4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Aceh Barat secara geografis terletak pada 040 06’ – 040 – 47’ LU dan 950 52’ – 960 30’ BT. Wilayah Kabupaten Aceh Barat memiliki batas administrasi Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie di sebelah utara, dengan Aceh Tengah dan Nagan Raya di sebelah timur, dengan Samudera Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya di sebelah barat dan selatan. Luas wilayah daratan Kabupaten Aceh Barat mencapai 2.927,95 km2 atau seluas 292.795 ha, sedangkan panjang garis pantai diperhitungkan 50,55 km dengan luas laut 12 mil atau 233 km2 daratan (DKP, 2007). Kabupaten ini memiliki empat kecamatan yang berbatasan lansung dengan Samudera Indonesia dan merupakan Kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Johan Pahlawan, Meureubo, Samatiga dan Kecamatan Arongan Lambalek. Serta 8 kecamatan daratan yaitu Kaway XVI, Sungai Mas, Pantee Ceureumen, Panton Ree, Bubon, Woyla, Woyla Barat dan Woyla Timur. PPI Meulaboh berlokasi di Desa Ujong Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan. Luas Wilayah Kecamatan Johan Pahlawan adalah 44,91 Km2 atau 1,53 % dari luas kabupaten (BPS, 2008). Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran 1.
4.2 Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Barat yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2007 adalah 153.294 orang, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 78.191 orang dan perempuan sebanyak 75.103 orang. Jika melihat pada periode waktu 2001-2005 Kabupaten Aceh Barat mempunyai rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,70 persen per tahun. Setelah musibah gempa dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias tanggal 26 Desember 2004, jumlah penduduk Kabupaten Aceh Barat akhir Desember 2005 tercatat 150.450 jiwa. Penduduk Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2005 di semua Kecamatan terjadi penurunan rata-rata 2,24 persen. Hal ini disebabkan banyaknya penduduk Aceh Barat yang hilang, meninggal dan migrasi saat terjadinya musibah gempa
29
dan gelombang tsunami. Perkembangan jumlah penduduk menurut kecamatan dalam Kabupaten Aceh Barat dari tahun 2001 sampai tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Perkembangan penduduk di kecamatan pesisir dalam Kabupaten Aceh Barat periode 2001-2007 Kecamatan 2001 Kecamatan pesisir 1. Johan 52.125 Pahlawan 2. Meureubo 23.980 3. Samatiga 14.808 4. Arongan 12.294 Lambalek Jumlah 103.207 Kecamatan daratan 5. Woyla 24.641 6. Woyla Barat 7. Woyla Timur 8. Kaway XVI 23.690 9. B u b o n 5.101 10. Pante 11.329 Ceureumen 11. Sungai Mas 4.648 12. Panton Reu Jumlah 69.409 Jumlah 172.616 keseluruhan
2002
2003
Penduduk (jiwa) 2004 2005
2006
2007
52.757
53.312
52.118
43.804
44.139
45.654
24.310 14.977
24.568 15.133
24.018 14.794
18.417 12.492
18.557 12.587
19.194 13.019
12.444
12.575
12.293
10.058
10.134
10.481
104.488 105.588
103.223
84.771
85.417
88.348
24.956 -
11.802 7.972
11.538 7.793
11.613 6.869
11.701 6.921
12.102 7.158
-
5.446
5.324
4.009
4.039
4.178
23.975 5.162
24.227 5.215
23.684 5.098
25.174 5.481
25.365 5.523
18.429 5.172
11.456
11.576
11.317
9.125
9.194
9.509
4.707 70.256
4.760 70.998
4.653 69.407
3.408 65.679
3.434 66.177
4.306 3.552 64.406
172.630
150.450 151.594
153.294
174.744 176.586
Sumber: BPS Kabupaten Aceh Barat 2001-2008.
Dari tahun 2001 sampai tahun 2007, Kecamatan Johan Pahlawan menduduki posisi pertama dalam jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Barat. Hal ini dikarenakan Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kecamatan yang terletak di pusat Kota Meulaboh, sebagai ibu kota dari Kabupaten Aceh Barat. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Meureubo pada posisi kedua dan Kecamatan Kaway XVI pada posisi ketiga. Pada tahun 2006 penduduk di kecamatan ini (Kaway XVI) mencapai 25.365 jiwa (tertinggi setelah Kecamatan Johan Pahlawan), namun pada tahun 2007 mengalami penurunan 27,35% (18.429 jiwa) yang dikarenakan pembentukan kecamatan baru yaitu Panton Reu di Kabupaten Aceh Barat yang sebelumnya merupakan wilayah Kecamatan Kaway XVI. Selain itu, perpindahan
30
penduduk Kecamatan Kaway XVI ke Kecamatan Johan Pahlawan juga ikut mengurangi jumlah penduduk Kecamatan Kaway XVI pada tahun 2007. Kabupaten Aceh Barat mempunyai kepadatan penduduk seperti yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9
Perkembangan kepadatan penduduk di kecamatan pesisir dalam Kabupaten Aceh Barat, 2001-2007
Kecamatan 2001
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 2002 2003 2004 2005 2006
Kecamatan pesisir 1. Johan 1.161 1.175 Pahlawan 2. Meureubo 212 215 3. Samatiga 105 106 4. Arongan 95 96 Lambalek Kecamatan daratan 5. Woyla 99 100 6. Woyla Barat 7. Woyla Timur 8. Kaway XVI 46 47 9. B u b o n 39 40 10. Pante 23 23 Ceureumen 11. Sungai Mas 5 5 12. Panton Reu Jumlah 59 60 keseluruhan
1.187
2007
1.160
975
983
1.017
218 108
213 105
163 89
164 89
170 93
97
95
77
78
81
47 65 41 47 40
46 63 40 46 39
47 56 30 49 42
47 56 30 50 43
49 58 32 36 44
24
23
19
19
19
6 -
5 -
4 -
4 -
6 43
60
59
51
52
52
Sumber: BPS Kabupaten Aceh Barat,2001- 2008
Tabel 9 menunjukkan kepadatan penduduk pasca musibah gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Barat tertinggi dicapai oleh Kecamatan Johan Pahlawan yaitu 975 jiwa/km2. Kemudian diikuti Kecamatan Meureubo 163 jiwa/km2, disusul Kecamatan Sama Tiga dan Kecamatan Kaway XVI. Kepadatan penduduk di Kecamatan Johan Pahlawan lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Hal ini disebabkan karena Kecamatan Johan Pahlawan merupakan pusat kota dan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Barat. 4.3 Kelembagaan Perikanan dan Kelautan Kelembagaan perikanan dan kelautan yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat meliputi Panglima Laot (lembaga hokum adat laut NAD), HNSI (Himpunan
31
Nelayan Seluruh Indonesia), koperasi, GAPI (Gabungan Pedagang Ikan) dan GAPIKA (Gabungan Pengolah Ikan). Panglima Laot merupakan lembaga adat yang berfungsi sebagai ketua adat bagi kehidupan nelayan di pantai/masyarakat pesisir, serta merupakan unsur penghubung antara pemerintah dengan rakyat (nelayan) di tepi pantai guna menyukseskan program pembangunan perikanan dan program pemerintah secara umum. Fungsi dan tugas Panglima Laot diharapkan dapat membantu pemerintah dalam pembangunan perikanan, melestarikan adat istiadat, dan kebiasaankebiasaan dalam masyarakat nelayan (DKP, 2006). Sebagaimana fungsi dan peranan Panglima Laot maka dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat terdapat tiga wilayah administrasi kepengurusan Panglima Laot, yaitu Panglima Laot Lhok, Panglima Laot Kabupaten/Kota, dan Panglima Laot Propinsi. Wilayah-wilayah tersebut secara struktur organisasi terdiri dari penasehat, ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara (DKP, 2006). Panglima Laot berfungsi dan bertugas sebagai pembantu pemerintah dalam membantu pembangunan perikanan, melestarikan adat istiadat dan kebiasaankebiasaan dalam masyarakat nelayan, diantaranya (Panglima Laot, 2005): 1) Panglima Laot Lhok menyelesaikan sengketa antar nelayan di wilayah kerjanya; 2) Panglima Laot Kabupaten/Kota melaksanakan penyelesaian sengketa antara nelayan dari 2 atau lebih, dimana Panglima Laot Lhok yang bersangkutan sebelumnya belum dapat menyelesaikan, serta mengatur jadwal Kenduri Adat Laot sehingga tidak terjadi kenduri yang dilaksanakan pada hari-hari yang sama dalam kabupaten/kota; 3) Panglima Laot Propinsi mengkoordinir pelaksanaan Hukum Adat Laot di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan menjembatani mengurus kepentingankepentingan nelayan di tingkat propinsi. Dalam melaksanakan fungsinya, Panglima Laot mempunyai tugas antara lain: 1) Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan adat laot; 2) Mengkoordinir dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut;
32
3) Menyelesaikan perselisihan/sengketa yang terjadi di antara sesama anggota nelayan dan kelompoknya; 4) Mengurus dan menyelenggarakan Upacara Adat Laot; 5) Menjaga/mengawasi agar pohon-pohon di tepi pantai tidak ditebang karena ikan akan menjauh ke tengah laut (perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi daerah setempat); 6) Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan Panglima Laot dengan Panglima Laot lainnya; 7) Meningkatkan taraf hidup nelayan pesisir pantai. Pelaku sistem kenelayanan di Kabupaten Aceh Barat terdiri dari Panglima Laot, Toke (Toke Boat, Toke Bangku, dan Toke Penampung), dan Nelayan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Pelaku sistem kenelayanan di Kabupaten Aceh Barat No. 1.
Pelaku Panglima Laot
2.
Toke Boat
3.
Toke Bangku
4.
Toke Penampung
5.
Nelayan
Fungsi dan Peran Mengayomi, menjaga, memelihara, membina sistem adat kenelayanan dan kelautan. Pemilik (pihak yang menyediakan) boat/kapal yang dipakai oleh nelayan dalam mencari dan mendapatkan hasil tangkapan di laut. a. Penyedia modal kerja melaut; b. Menjaga stabilitas harga ikan dari dan ke pasar; c. Menerima dan membeli hasil tangkapan; d. Menjual hasil tangkapan ke Toke Penampung. Memasarkan, mengolah, mendistribusikan hasil tangkapan baik lokal maupun luar daerah (Medan). Melaksanakan aktivitas penangkapan ikan (melaut).
Kabupaten Aceh Barat memiliki sistem kelembagaan nelayan yang sama seperti di tingkat propinsi. Adanya kelembagaan adat laut, dalam hal ini Panglima Laot, harapannya semakin memudahkan nelayan/masyarakat pesisir untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah daerah (pemda) atau pemerintah propinsi, sehingga kesejahteraan masyarakat pesisir/nelayan dapat meningkat. Selain itu, kelembagaan adat ini (Panglima Laot) dapat berperan lebih dalam memonitoring pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah, terutama yang terkait dengan pembangunan yang menyentuh masyarakat pesisir/nelayan
33
agar pembangunan tersebut dapat terlaksana dengan baik, berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efisien). Sebagai mitra kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat yang secara fungsional organisasi himpunan nelayan seluruh Indonesia (HNSI), memiliki peran dan fungsi yang sangat penting untuk menampung berbagai asprirasi masyarakat nelayan. Berbagai program pembangunan perikanan perlu disinergiskan dengan program-program yang dianggarkan oleh organisasi terkait. Dengan demikian organisasi HNSI Kabupaten Aceh Barat menjadi salah satu organisasi yang dapat dimanfaatkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan untuk menjaring berbagai informasi dalam rangka pembangunan dan mengembangkan kegiatan perikanan. Keadaan organisasi HNSI pasca tsunami di Kabupaten Aceh Barat memiliki aktivitas yang lebih rendah akibat hancur dan rusak berbagai fasilitas yang ada (DKP, 2006). Koperasi sebagai lembaga ekonomi yang bergerak di bidang kelautan dan perikanan di Kabupaten Aceh Barat diharapkan bisa eksis dalam menopang perekonomian masyarakat perikanan. Jumlah koperasi perikanan di Kabupaten Aceh Barat masih sangat terbatas dan belum mampu memfasilitasi kegiatan nelayan secara keseluruhan. Keadaan tersebut disebabkan selain sangat minimnya koperasi yang bergerak di bidang perikanan juga keterbatasan modal menjadi kendala dalam menggerakkan nelayan dan pembudidaya serta masyarakat pengolah hasil perikanan (DKP, 2006). Untuk lebih jelasnya keadaan koperasi perikanan di Kabupaten Aceh Barat dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Nama dan kedudukan koperasi perikanan dalam Kabupaten Aceh Barat tahun 2006 No.
Nama
1 2 3 4
Koppal Hareukat Laot Koperasi Perikanan Bina Nelayan Koperasi Perikanan Karya Usaha Koperasi Perikanan PNTII Bunga Laut
Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat, 2006.
Alamat Desa Ujong Baroh Panggong Suak Timah Ujong Baroh
Kecamatan Johan Pahlawan Johan Pahlawan Sama Tiga Johan Pahlawan
34
4.4 Keadaan Perikanan Tangkap 4.4.1 Armada penangkapan ikan Armada penangkapan ikan yang beroperasi di Kabupaten Aceh Barat terdiri dari sampan (perahu tanpa motor) dan perahu motor (PM). Perahu tanpa motor (PTM) terbagi dalam perahu tanpa motor (PTM) kecil, sedang dan besar. Sedangkan perahu motor tempel terbagi dalam perahu motor tempel dan kapal motor (KM). Jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2001-2007 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2001-2007 Jenis Armada (Unit) Kecil PTM Sedang Besar Jumlah PTM MT PM KM Jumlah PM Total
2001 22 126 43 191 37 384 421 612
2002 105 145 30 280 27 416 443 723
2003 54 78 21 153 6 398 404 557
Tahun 2004 138 45 34 217 65 649 714 931
2005 110 83 64 257 60 440 500 757
2006 39 21 10 70 85 544 629 699
2007 39 21 2 62 85 655 740 802
Sumber : BPS 2001-2006 dan DKP Kabupaten Aceh Barat 2007; diolah kembali.
Keterangan: PTM = perahu tanpa motor; PM = perahu motor; MT = motor tempel; KM = kapal motor.
Pada periode 2001-2004 yang merupakan tahun sebelum peristiwa gempa dan gelombang tsunami, perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Barat secara keseluruhan berfluktuasi dengan kecendrungan menurun pada tahun 2003, untuk kemudian meningkat kembali pada tahun 2004. Dari Tabel 12 dan Gambar 3 dapat dilihat perbandingan jumlah armada kapal pada periode 2005-2007 yang merupakan tahun pasca peristiwa gempa dan gelombang tsunami. Pada tahun 2005 jumlah armada kapal 757 unit atau mengalami penurunan sebesar 18,69 %, kemudian pada tahun 2006 mengalami penurunan kembali menjadi 699 unit (-7,66 %) dan mulai mengalami peningkatan pada tahun 2007 dengan tingkat pertumbuhan 14,74 %.
35
Jumlah Armada (Unit)
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
931
612
2001
Gambar 3
757
723
802
699
557
2002
2003
2004 Tahun
2005
2006
2007
Kecenderungan perkembangan jumlah armada penangkapan ikan Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2001 – 2007.
Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan secara keseluruhan pada periode 2001-2007 adalah berfluktuasi, dengan awal penurunan terjadi pada tahun 2003 (-22,96 %), kemudian tahun 2005 (-18,69 %), tahun 2006 (- 7,66 %) dan mengalami peningkatan pada tahun 2007 (14,74 %). Pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2003 dengan nilai negatif 22,96 %. Dan pertumbuhan tertinggi dengan nilai pertumbuhan positif 67,15 pada tahun 2004. Pertumbuhan rata-rata per tahun (tahun 2001-2007) armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Barat adalah 5,65 %. Peristiwa gempa dan tsunami telah menyebabkan penurunan jumlah armada kapal walaupun pada tahun 2003 sebelum musibah gempa dan tsunami juga telah terjadi penurunan jumlah armada penangkapan ikan. Namun penurunan jumlah armada penangkapan tersebut pasca gempa dan tsunami memiliki dampak yang besar dan telah menyebabkan penurunan jumlah armada penangkapan ikan pada dua tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2005 dan 2006. Penurunan jumlah armada pada tahun 2005 lebih menggambarkan tingkat kerusakan dan kehilangan armada penangkapan ikan yang disebabkan gempa dan tsunami. Namun pada tahun 2006, penurunan jumlah armada penangkapan ikan ini merupakan dampak dari musibah gempa dan tsunami dimana hancurnya sarana dan prasarana pelabuhan perikanan yang di antaranya adalah PPI Meulaboh, kerusakan prasarana jalan raya, hancur totalnya pasar ikan bina usaha, pasar ikan
36
lama (pasar Ujong Baroh), pasar ikan baru (pasar Padang Seuraheut) yang selama ini menjadi tempat aktivitas penjualan hasil tangkapan. Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi sebagian nelayan untuk lebih memilih pindah ke daerah yang lebih baik dari segi fasilitas dan tingkat penjualan hasil tangkapan. Selain itu, pertimbangan psikologis, dimana sebagian nelayan yang mengalami traumatis atas kejadian gempa dan tsunami sehingga nelayan memilih untuk pindah dan memulai kembali aktivitas melautnya di Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan atau daerah lainnya yang merupakan daerah yang tidak terjadi tsunami. DKP (2006), menyatakan bahwa kepemilikan armada penangkapan dalam Kabupaten Aceh Barat terjadi penurunan akibat terjadinya musibah gempa bumi dan tsunami. Perubahan jumlah armada yang dimiliki para nelayan selain kuantitas juga kualitas yang bersumber dari berbagai bantuan juga relatif menurun/kualitasnya rendah. 4.4.2 Alat tangkap Jenis-jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat adalah beragam yaitu payang, pukat pantai, jaring hanyut, jaring insang, trammel net, rawai, pancing tonda dan pancing lainnya (lihat Tabel 13). Pada tahun 2007 alat tangkap pancing memiliki jumlah terbanyak dibandingkan alat tangkap lainnya yaitu 258 unit. Peristiwa tsunami telah mengakibat penurunannya jumlah alat tangkap di Kabupaten Aceh Barat. Ini terlihat dari penurunan jumlah alat tangkap sebelum tsunami (tahun 2004) sebanyak 785 unit dan sesudah tsunami menjadi 612 unit atau menyebabkan pertumbuhan menjadi minus 22,04%. Namun seiring dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi NAD pasca tsunami, yang salah satunya dengan pengadaan alat tangkap maka dapat dilihat pada tahun 2006, pertumbuhan alat tangkap menjadi positif 35,62%. Adapun pertumbuhan rata-rata pertahun alat tangkap di Kabupaten Aceh Barat dari tahun 2001-2007 adalah 10,25%.
37
Tabel 13 Jenis dan jumlah alat tangkap yang dioperasikan di Kabupaten Aceh Barat menurut jenis pada tahun 2001-2007 Jenis Alat Tangkap Pukat Kantong
Jaring Insang
Pancing
Payang Pukat Pantai Jaring Hanyut Jaring Klitik Trammel Net Rawai Pancing Tonda Pancing Lainnya
LainLain Total (Unit)
2001 36
2002 31
2003 25
Tahun 2004 19
2005 27
2006 19
2007 24
44
23
27
21
43
2
2
50
10
12
45
51
0
16
135
121
152
121
31
168
215
87 111
35 56
27 24
57 108
18 212
129 198
143 258
127
71
39
66
136
140
144
99
91
59
276
94
174
216
95 784
0 438
160 525
72 785
0 612
0 830
0 1.018
Sumber : BPS 2001-2007; diolah kembali
Namun dari data yang bersumber dari profil kelautan dan perikanan Kabupaten Aceh Barat tahun 2006 diketahui bahwa alat tangkap Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2006 terdiri dari pukat payang, pukat cincin, pancing tonda, pancing ramit, rawai hiu, rawai kakap, jaring kelitik, pukat tarik, dan gill net. Jumlah dan daerah penyebaran alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Untuk tahun-tahun sebelumnya, periode 2001-2005 data tersebut tidak diperoleh. Dari hasil wawancara dengan bidang kelautan DKP Kabupaten Aceh Barat menyebutkan profil kelautan dan perikanan Kabupaten Aceh Barat baru mulai disusun pada tahun 2006. Tabel 14 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2006 jenis alat tangkap yang dominan di Kabupaten Aceh Barat adalah pukat tarik sebanyak 184 unit (33,33%), jaring kelitik sebanyak 128 unit (23,19%), pancing ramit sebanyak 81 unit (14,67%). Pada tahun yang sama, jumlah alat tangkap yang beroperasi di Kabupaten Aceh Barat terbanyak ditemukan di Kecamatan Johan Pahlawan yang merupakan daerah PPI Meulaboh yaitu sebanyak 357 unit (64,67% dari total unit alat tangkap yang terdapat di Kabupaten ini).
38
Tabel 14 Jumlah alat tangkap menurut kecamatan di Kabupaten Aceh Barat tahun 2006 Jenis Alat Tangkap Samatiga Pukat Payang Pukat Cincin Pancing Tonda Pancing Ramit Rawai Hiu Rawai Kakap Jaring Keliitik Pukat Tarik Gill Net
19 69 4
Kecamatan Johan Meureubo Pahlawan 19 13 47 6 73 5 27 28 37 72 108 7 5 2
Arongan L.
Jumlah (Unit)
7 3 1
19 13 60 81 27 28 128 184 12
Sumber : DKP Kabupaten Aceh Barat 2006; diolah kembali
Gill Net 2%
Pukat Payang 3%
Pukat Cincin 2% Pancing Tonda 11%
Pukat Tarik 34%
Pancing Ramit 15% Rawai Hiu 5% Jaring Keliitik 23%
Rawai Kakap 5%
Gambar 4 Sebaran alat tangkap menurut jenis yang dioperasikan di Kabupaten Aceh Barat 2006. 4.4.3 Nelayan Nelayan adalah orang yang secara aktif dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2007 berjumlah sebanyak 2970 jiwa yang terdiri dari nelayan tetap sebanyak 2.607 jiwa, sambilan utama sebanyak 330 jiwa dan sambilan tambahan sebanyak 33 jiwa dan tersebar di empat kecamatan dalam Kabupaten Aceh Barat. Kecamatan Johan Pahlawan adalah kecamatan yang memiliki jumlah nelayan tertinggi yaitu 1.881 jiwa kemudian disusul oleh kecamatan Sama Tiga sebanyak 456 jiwa (lihat Tabel 15).
39
Tabel 15 Jumlah nelayan menurut kecamatan di Kabupaten Aceh Barat tahun 2007 No. 1 2 3 4
Kecamatan
Nelayan Sambilan Utama 76 108 84 62 330
Tetap
Johan Pahlawan Meureubo Sama Tiga Arongan Lambalek Jumlah
1.728 320 364 195 2607
Sambilan Tambahan 7 13 8 5 33
Jumlah 1.811 441 456 262 2970
Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat, 2007
Perkembangan jumlah nelayan yang berada di Kabupaten Aceh Barat selama periode 2001-2007 cenderung mengalami penurunan walaupun tetap terjadi peningkatan pada tahun tertentu (lihat Gambar 5 dan Tabel 16). Adapun kisaran pertumbuhan jumlah nelayan di kabupaten ini adalah -44,09% sampai dengan 28,46% per tahun. Penurunan jumlah nelayan terjadi pada tahun 2003, kemudian mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan 21,10% (penambahan jumlah nelayan sebanyak 551 jiwa) pada tahun 2004. Peristiwa gempa dan tsunami, 26 Desember 2004 menyebabkan penurunan kembali jumlah nelayan pada tahun 2005 sebesar -26,88% (penurunan jumlah nelayan sebesar 850
Jumlah Nelayan (Jiwa)
jiwa).
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
4597
4670
3162 2611
2001
2002
2003
2970
2970
2312
2004 Tahun
2005
2006
2007
Gambar 5 Kecenderungan perkembangan jumlah nelayan Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2001-2007.
40
Tabel 16 Jumlah nelayan di Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2001-2007 Tahun
Jumlah Nelayan (Jiwa)
Pertumbuhan (%)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
4597 4670 2611 3162 2312 2970 2970
1.59 -44.09 21.10 -26.88 28.46 0.00
Sumber: BPS Kabupaten Aceh Barat,2001-2006 dan DKP Kabupaten Aceh Barat, 2007; diolah kembali
4.4.4 Volume dan Nilai Produksi Musibah gempa dan gelombang tsunami memperlihatkan dampak yang begitu besar baik dalam volume produksi maupun nilai produksi hasil tangkapan. Volume produksi pada tahun 2005 mengalami penurunan 55 % (negatif), dimana pada tahun 2005 kemampuan produksi Kabupaten Aceh Barat tercatat hanya 13.976,61 ton dan nilai produksi sebesar Rp. 143.007.725 atau mengalami penurunan sebesar 54,94 %. Seiring pembangunan kembali sektor perikanan tangkap di Kabupaten Aceh Barat yang ditandai dengan pembangunan kembali PPI Meulaboh, bertambahnya armada penangkapan ikan serta alat tangkap, maka pada tahun berikutnya (tahun 2006) volume produksi telah mengalami pertumbuhan positif sebesar 2,20 % (13.976,61 ton) dan pertumbuhan nilai produksi sebesar 1.98% (Rp. 145.846.230). Pertumbuhan volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kabupaten ini terus terjadi dimana pada tahun 2007 volume produksi ikan laut yang didaratkan di Kabupaten Aceh Barat adalah 16.060,30 ton dan mengalami pertumbuhan positif sebesar 12,44 % dari tahun sebelumnya. Pada tahun yang sama, nilai produksinya mencapai Rp. 198.471.700 atau mengalami pertumbuhan sebesar 36,08 % dibanding dengan tahun sebelumnya. Perkembangan volume produksi hasil tangkapan Kabupaten Aceh Barat selama periode 2001-2007 sangat berfluktuasi (lihat gambar 6), dengan kisaran produksi 11.574 – 31.059,08 ton per tahun dan kisaran pertumbuhan -54,94% sampai dengan 212,47% per tahun (lihat tabel 17).
41
Tabel 17 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Volume dan nilai produksi hasil tangkapan yang didaratkan di Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2001-2007 Volume Produksi (ton) 11.574,00 11.574,21 11.692,00 31.059,08 13.976,61 14.284,07 16.060,30
Pertumbuhan (%) 0,00 1,02 165,64 -55,00 2,20 12,44
Nilai Produksi (Rp. ) 196.700.000 196.701.000 101.559.120 317.346.150 143.007.725 145.846.230 198.471.700
Pertumbuhan (%) 0,00 -48,37 212,47 -54,94 1,98 36,08
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Barat, 2001-2007; diolah kembali
Perkembangan nilai produksi hasil tangkapan kabupaten ini juga menunjukkan nilai yang sangat berfluktuasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7, yang menunjukkan kecenderungan untuk meningkat sejak tahun 2004 setelah mengalami penurunan pada tahun 2003, walaupun kembali mengalami penurunan pada tahun 2005 karena peristiwa gempa dan gelombang tsunami. Namun pada dua tahun berikutnya (tahun 2006 dan 2007) terus memperlihatkan peningkatan. Adapun kisaran pertumbuhan nilai produksi hasil tangkapan pada periode 2001– 2007 ini adalah berkisar dari negatif 54,94% hingga positif 212,47%.
Volume Produksi (ton) (x 1000)
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 2001
2002
2003
2004 Tahun
2005
2006
2007
Gambar 6 Kecenderungan perkembangan volume produksi hasil tangkapan yang didaratkan di Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2001-2007.
42
Nilai Produksi (Rp.) (x 1 juta)
350 300 250 200 150 100 50 0 2001
2002
2003
2004 Tahun
2005
2006
2007
Gambar 7 Kecenderungan perkembangan nilai produksi hasil tangkapan yang didaratkan di Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2001 – 2007. 4.4.5 Daerah dan Musim Penangkapan Daerah penangkapan ikan (DPI) nelayan Kabupaten Aceh Barat adalah di sekitar perairan laut Simeulue (Sinabang), perairan Kabupaten Aceh Barat yang meliputi daerah Bubon (Sama Tiga) dan Arongan Lambalek, yang perairan atau daerah tersebut merupakan bagian dari Samudera Hindia. Penangkapan ikan di suatu DPI yang dilakukan oleh nelayan-nelayan kabupaten ini sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Para nelayan tersebut akan melakukan operasi penangkapan ikan di saat perairan tenang dan pada saat gelap bulan (bulan mati) terutama nelayan yang mengoperasikan alat tangkap pukat cincin. Jika cuaca tidak mendukung seperti adanya musim penghujan yang disertai badai (terutama musim barat), maka nelayan memilih untuk tidak melaut. Pada kondisi yang lain, adat istiadat dan hukom laot (hukum laut) yang telah dianut turun-menurun oleh nelayan dan masyarakat adat di Kabupaten Aceh Barat memiliki hari atau tanggal tertentu yang tidak melaut atau pantang melaut (pantang laot) : 1) Kenduri adat laot, kenduri adat dilaksanakan selambat-lambatnya tiga tahun sekali atau tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan setempat, dinyatakan tiga hari pantangan melaut pada acara kenduri tersebut dihitung
43
sejak matahari terbit pada hari kenduri hingga matahari terbenam pada hari Jum’at; 2) Hari Jum’at, yang dihitung sejak tenggelam matahari pada hari kamis hingga terbenam matahari pada hari jum’at; 3) Hari Raya Idul Fitri, dilarang melaut selama dua hari dihitung sejak tenggelam matahari pada hari megang hingga terbenam matahari pada hari raya (syawal) kedua; 4) Hari Raya Idul Adha, dilarang melaut selama dua hari dihitung sejak tenggelam matahari pada hari megang hingga terbenam matahari pada hari raya (dzulhijjah) kedua; 5) Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, dilarang melaut selama satu hari dihitung sejak tenggelam matahari pada tanggal 16 Agustus hingga terbenam matahari tanggal 17 Agustus. Apabila nelayan melanggar hari-hari yang telah ditentukan untuk tidak melaut, maka nelayan yang melakukan pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi hukum: 1) Seluruh hasil tangkapan disita; 2) Dilarang melaut sekurang-kurangnya tiga hari dan paling lamanya tujuh hari.