32
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Teknis pada Potensi Operasional Mesin Pengujian teknis pada potensi operasional mesin yang dilakukan pada mesin Dong Feng ZS 1100 terbagi menjadi dua bagian, yaitu saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar CNG+solar (dual fuel). Pengujian yang dilakukan meliputi beberapa aspek, diantaranya adalah output daya dan konsumsi solar. Pengujian dilakukan pada berbagai putaran mesin, yaitu 1100 rpm, 1400 rpm, 1500 rpm, 1600 rpm, dan 1800 rpm. Hasil pengukuran output daya pada seluruh putaran mesin yang diuji disajikan dalam Gambar 13. Gambar ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan output daya yang didapatkan pada mesin diesel Dong Feng ZS1100 saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar solar + CNG (dual fuel). 12.00
Daya mesin (HP)
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1000
1200
1400
1600
1800
2000
Putaran mesin (rpm) daya (HP) pada single fuel
daya (hp) pada dual fuel
Gambar 13 Sebaran nilai output daya mesin saat menggunakan single fuel dan dual fuel Gambar 13 menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar yang berbeda akan menyebabkan adanya perubahan output daya. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui adanya perbedaan output daya yang didapatkan pada mesin diesel Dong Feng ZS1100 saat menggunakan single fuel dan dual fuel. Output daya yang dihasilkan saat menggunakan single fuel lebih besar jika dibandingkan dengan saat menggunakan dual fuel. Mesin saat dijalankan pada putaran 1500 rpm mendapatkan daya sebesar 7,51 Hp saat menggunakan single fuel, dan sebesar 5,50 Hp saat menggunakan dual fuel. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh BBPPI (2010) bahwa didapatkan perbedaan output daya saat mesin kapal nelayan di Pasuruan menggunakan bahan bakar yang berbeda,
33
dimana output daya yang didapatkan lebih besar saat mesin menggunakan single fuel. Berdasarkan simulasi, pengurangan daya yang terjadi saat menggunakan dual fuel menyebabkan kecepatan kapal berkurang sebesar 0,32 knots. Saat kapal menggunakan single fuel, kapal berjalan dengan kecepatan 6,92 knots, dan saat kapal menggunakan dual fuel kapal berjalan dengan kecepatan 6,60 knots. Terdapat suatu hal yang cukup unik, CNG dikenal sebagai bahan bakar dengan octane number yang tinggi sehingga seharusnya cocok pada mesin dengan kompresi tinggi dan dapat meningkatkan daya mesin. Selain itu, berdasarkan hasil percobaan terdapat kenaikan putaran mesin di putaran stasioner saat menggunakan dual fuel. Berdasarkan rumus perhitungan daya (7 x area of piston x equivalent piston speed/33.000) (Wikipedia.org/horsepower), seharusnya daya akan bertambah bila putaran mesin bertambah. Hasil pengujian menunjukkan fakta yang berbeda, terlihat bahwa terjadi penurunan daya saat menggunakan dual fuel. Merujuk pada Ganesan (1999), dijelaskan bahwa CNG memiliki octane number yang besar sehingga dapat digunakan pada mesin dengan kompresi tinggi. Kekurangan yang ada pada CNG adalah massa jenis yang rendah sehingga menghasilkan performa mesin yang kurang baik. Merujuk pada laman www.eere.energy.gov/afdc/altfuel/natural_gas.html, dijelaskan bahwa pemakaian CNG akan menyebabkan mesin mengalami gejala ngelitik (knocking)saat mendapat beban yang tinggi. Hal ini menjelaskan mengapa pada putaran diatas 1600 Rpm saat menggunakan dual fuel daya mesin akan berkurang, sedangkan saat menggunakan single fuel daya akan terus meningkat dan mencapai puncaknya pada putaran 2096 rpm. Merujuk pada Semin et al. (2012), dinyatakan bahwa perubahan rasio kompresi akan berpengaruh pada performa mesin diesel. Mesin diesel umumnya memiliki rasio kompresi 20:1 hingga 26:1, sedangkan CNG dengan RON 130 cocok dengan mesin dengan rasio kompresi 16:1. Simulasi yang dilakukan oleh Semin et al. (2012) dengan menggunakan perangkat lunak GT Power menghasilkan bahwa diperlukan penurunan kompresi hingga 19:1 untuk menghasilkan daya maksimal karena jika rasio kompresi diatas 19:1 akan terjadi knocking (ngelitik) sehingga daya mesin akan berkurang. Hasil pengukuran konsumsi solar disajikan dalam Gambar 14 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsumsi solar pada mesin diesel Dong Feng ZS1100 saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar solar+CNG (dual fuel) selama satu jam.
konsumsi solar (cm3/h)
34 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1000
1200
1400
1600
1800
2000
Putaran mesin (rpm) Konsumsi Solar pada single fuel
Konsumsi solar pad dual fuel
Gambar 14 Sebaran nilai konsumsi solar saat menggunakan single fuel dan dual fuel Gambar 14 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada konsumsi solar di mesin diesel Dong Feng ZS1100 saat menggunakan single fuel dan dual fuel selama satu jam. Gambar 14 memperlihatkan bahwa sejak putaran 1100 rpm hingga 1800 rpm, konsumsi solar terpaut cukup jauh. Gambar ini pun memperlihatkan bahwa semakin tinggi putaran mesin, maka perbedaan konsumsi solar akan semakin jauh. Analisis konsumsi solar dilakukan pada putaran service continous rating, yaitu 1500 rpm. Hasil analisis menunjukkan perbedaan konsumsi solar yang cukup jauh antara penggunaan single fuel dan dual fuel pada mesin Dong Feng ZS 1100, yaitu 1.030 cm3/h saat menggunakan dual fuel dan 2.038,30 cm3/h saat menggunakan single fuel. Merujuk pada Prasetio et al. (2013), dinyatakan bahwa dengan adanya campuran CNG pada sistem bahan bakar, konsumsi solar akan berkurang secara signifikan hingga diatas 50 %. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan data penelitian ini, yaitu konsumsi solar terkurangi sebesar 50,52 %
Aspek Ekonomis pada Potensi Operasional Mesin Pengujian pada aspek ekonomis yang dilakukan pada mesin Dong Feng ZS 1100 terbagi menjadi dua bagian, yaitu saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar CNG+solar (dual fuel). Aspek ekonomis pada potensi operasional mesin yang diuji adalah harga total konsumsi bahan bakar. Pengujian dilakukan pada berbagai putaran mesin, yaitu 1100 rpm, 1400 rpm, 1500 rpm, 1600 rpm, dan 1800 rpm. Gambar 15 menggambarkan jumlah total biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan konsumsi bahan bakar. Diagram dalam gambar 15 memperlihatkan bahwa pada putaran 1100 rpm hingga 1400 rpm, selisih biaya total saat menggunakan dual fuel dibandingkan saat menggunakan single fuel hampir setara.
35
harga total bahan bakar (Rp)
16000 14000 12000 10000 8000
6000 4000 2000 0 1000
1200
1400
1600
1800
2000
Putaran mesin (rpm) Harga single fuel
Harga dual fuel
Gambar 15 Sebaran harga total konsumsi bahan bakar saat menggunakan single fuel dan dual fuel Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan bahan bakar dual fuel akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi solar dan harga total penggunaan bahan bakar. Gambar 15 menunjukkan bahwa pada putaran 1100 rpm hingga 1400 rpm, selisih biaya total yang dikeluarkan untuk konsumsi bahan bakar setara antara menggunakan dual fuel dan single fuel. Gambar 15 memiliki karakteristik yang sama dengan Gambar 14. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan bahwa semakin tinggi putaran mesin, maka konsumsi solar antara mesin single fuel dan mesin dual fuel akan semakin jauh. Perhitungan yang dilakukan pada putaran 1500 rpm menunjukkan bahwa terdapat penghematan sebesar Rp 1.370,83 untuk setiap jam pemakaian mesin. Berdasarkan hasil kajian peneliti, perbedaan harga CNG dan solar hanya terpaut Rp 1.700 per liter. Harga solar adalah Rp 4.500 per liter dan harga CNG adalah Rp 3.800 per Kg. Perbedaan harga yang tidak terlalu jauh menyebabkan penghematan yang didapat tidak terlalu besar. Penghematan yang signifikan akan didapatkan bila selisih harga solar dan CNG sebesar Rp 4.700, yaitu harga solar sebesar Rp 8.500 per liter dan harga CNG sebesar Rp 3.800 per Kg. Tabel 26 menggambarkan penghematan yang akan didapatkan pada setiap tingkatan harga solar saat mesin dijalankan selama satu jam.
36
Tabel 26 Penghematan biaya bahan bakar per satu jam pemakaian mesin Harga solar (Rp) 4.500 5.000 5.500 6.000 6.500 7.000 7.500 8.000 8.500 9.000
harga single fuel (Rp) 9.172,50 10.191,67 11.210,83 12.230,00 13.249,17 14.268,33 15.287,50 16.306,67 17.325,83 18.345,00
harga dual fuel (Rp) 7.801,67 8.317,00 8.832,00 9.346,67 9.861,67 10.376,67 10.891,67 11.406,67 11.921,67 12.436,67
Penghematan (Rp) 1.370,83 1.874,67 2.378,83 2.883,33 3.387,50 3.891,66 4.395,83 4.900,00 5.404,16 5.908,33
Merujuk pada Prasetio et al. (2013), dinyatakan bahwa pemakaian dual fuel yang setara dengan 10 liter solar akan memberikan penghematan hingga Rp 16.500. Perhitungan yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bila harga solar sebesar Rp 6.500 per liter dan harga CNG sebesar Rp 3.800 per kg, maka pemakaian dual fuel yang setara dengan 10 liter solar akan memberikan penghematan sebesar Rp 16.568 pada penggunaan mesin dengan putaran 1.500 rpm. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian bahan bakar dual fuel terbukti dapat mengurangi pengeluaran biaya bahan bakar sehingga akan mengurangi biaya operasional. Penghematan yang signifikan akan sangat dirasakan oleh nelayan jika selisih harga solar dan CNG minimal Rp 4.700, yaitu harga solar sebesar Rp 8.500 per liter dan harga CNG Rp 3.800 per kg.
Analisis Multi Kriteria pada Potensi Operasional Mesin Berdasarkan pengujian pada mesin Dong Feng ZS 1100 saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar CNG+solar (dual fuel), didapatkan beberapa hasil yang terdiri atas output daya; konsumsi solar; dan harga total konsumsi bahan bakar. Pengujian dilakukan pada berbagai putaran mesin, yaitu 1100 rpm hingga 1800 rpm. Nilai hasil yang akan dianalisis adalah pada putaran 1500 rpm sebagai service continous rating yang digunakan oleh nelayan saat operasi penangkapan ikan. Nilai-nilai ini akan diberi skor dan bobot sesuai dengan hasil yang didapatkan. Matriks sebanding berpasang akan digunakan dalam menentukan bobot yang akan diberikan pada setiap variabel, sedangkan penentuan skor akan mengacu pada rumusan yang telah dijelaskan dalam metode penelitian. Penentuan bobot akan disajikan dalam Tabel 27.
37
Tabel 27 Perhitungan bobot pada potensi operasional mesin Variabel
Konsumsi BB
Daya
Harga Total BB
Matriks Dinormalisasi
VP
Daya
1
0,20
0,13
0,08
0,05
0,09
0,07
Konsumsi BB
5
1
0,33
0,38
0,24
0,23
0,28
Harga total BB
7
3
1
0,54
0,71
0,69
0,65
Jumlah
15
4,20
1,46
1
1
1
1
Hasil pengujian yang telah dianalisis dengan mengggunakan metode multi criteria analysis akan disajikan dalam Tabel 28 dan Tabel 29. Tabel 28 Multi criteria analysis potensi operasional mesin pada penggunaan single fuel Kriteria Teknis dan Solar Skor Bobot Jumlah Ekonomis Daya saat menggunakan solar (HP)
7,51
2
0,07
0,14
Konsumsi solar (cm3/h)
2.038,30
2
0,28
0,56
Harga konsumsi solar (Rp)
9.172,50
2
0,65
1,30
Jumlah
2
Tabel 29 Multi criteria analysis potensi operasional mesin pada penggunaan dual fuel Kriteria Teknis dan Ekonomis Daya menggunakan dual fuel (HP) 3
Dual Fuel 5,50
Skor
Bobot
Jumlah
1
0,07
0,07
Konsumsi solar (cm /h)
1.030
5
0,28
1,42
Harga konsumsi solar+CNG (Rp)
7.801,67
3
0,65
1,94
Jumlah
3,43
Tabel 28 dan Tabel 29 memperlihatkan bahwa saat menggunakan dual fuel, konsumsi solar dan harga total konsumsi bahan bakar lebih unggul dibandingkan saat menggunakan single fuel. Keunggulan penggunaan single fuel ada pada variabel daya yang dihasilkan, yaitu 23 % lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan dual fuel.
38
Keunggulan dual fuel terdapat pada konsumsi solar dan harga total konsumsi bahan bakar masing–masing sebesar 50,52 % dan 17,5 % jika dibandingkan dengan penggunaan single fuel. Berdasarkan analisa diatas dapat disimpulkan bahwa pada potensi operasional mesin, penggunaan dual fuel pada mesin Dongfeng ZS1100 lebih unggul dengan perbandingan nilai sebesar 3.43 dan 2 dari nilai maksimal sebesar 7.
Aspek Teknis pada Potensi Stabilitas Kapal Menurut Hind (1967), stabilitas kapal adalah kemampuan kapal untuk kembali ke posisi semula setelah mengalami gaya tarik dari luar maupun dari dalam kapal yang menyebabkan kapal miring. Salah satu tipe dari stabilitas kapal adalah stabilitas statis, yaitu kecenderungan kapal kembali ke posisi semula setelah kapal cenderung dimiringkan pada saat kapal dalam keadaan diam. Pengujian stabilitas statis dikenal dengan nama Inclining Experiment. Pengujian ini adalah investigasi stabilitas untuk semua kapal baru dengan ukuran diatas 24 m untuk menentukan LCG, VCG, TCG, dan KG kapal. Ujian pertama bagi stabilitas kapal adalah saat kapal pertama kali diluncurkan ke dalam air. Kapal dengan stabilitas buruk akan lambat kembali ke posisi semula setelah diluncurkan ke dalam air. Kapal dengan stabilitas yang sangat buruk akan tenggelam (capsized) saat diluncurkan ke dalam air. Ujian kedua bagi stabilitas kapal adalah saat dilakukannya sea trial, terutama saat uji manuver. Kapal dengan kualitas stabilitas yang buruk akan sangat membahayakan dan penuh dengan resiko. Stabilitas kapal memiliki kaitan yang erat dengan keselamatan dan menjadi faktor yang sangat penting dalam desain sebuah kapal. Kapal yang diuji pada penelitian ini adalah kapal nelayan dengan dimensi utama dan coeffcient of fineness sebagai berikut: Panjang (L)
: 11,88 m
Lebar (B)
: 2,5 m
Tinggi geladak (H)
: 1m
Tinggi sarat (T)
: 0,75 m
Koefisien blok (Cb)
: 0,51
Koefisien midship (Cm)
: 0,6
Koefisien waterplane(Cw)
: 0,75
Kapal ini dimodifikasi hingga memiliki tiga desain general arrangement. Desain ke-1 menggunakan bahan bakar dual fuel dengan penempatan CNG dibawah geladak dan dalam tempat tertutup (confined area). Desain ke-2 menggunakan bahan bakar single fuel dengan penambahan bahan bakar cadangan sebanyak 48 kg, sedangkan desain ke-3 menggunakan bahan bakar dual fuel dengan penempatan CNG kit diatas geladak.
39
Hal yang membedakan antara desain ke-1 dan desain ke-2 adalah penggunaan single fuel. Penggunaan single fuel menjadikan ruang CNG kit dapat dikonversi menjadi fish hold sehingga ikan yang ditangkap 200 kg lebih banyak dibandingkan desain ke-1. Hal yang membedakan antara desain ke-1 dan desain ke-3 adalah peletakan tabung CNG. Tabung CNG pada desain ke-1 diletakkan di bawah geladak dan sejajar mesin utama, sedangkan pada desain ke-3, tabung CNG diletakkan di atas geladak sehingga ruang muat yang dimiliki oleh desain ke-3 mampu memuat ikan 200 kg lebih banyak jika dibandingkan dengan desain ke-1. Perbedaan desain general arrangement akan menyebabkan terjadinya perbedaan titik berat pada setiap desain. Titik berat adalah titik tangkap/titik pusat dari semua resultante gaya-gaya yang bekerja di atas kapal. Titik berat terbagi menjadi tiga, yaitu: 1. Titik berat secara memanjang (horizontal); Titik berat ini dikenal dengan sebutan Longitudinal Center Gravity (LCG), yaitu titik pusat dari resultante gaya-gaya yang bekerja pada bagian buritan kapal hingga bagian haluan kapal secara memanjang. Titik ini dihitung berdasarkan jaraknya dari titik Afterpeak (AP) 2. Titik berat secara meninggi (vertikal); dan Titik berat ini dikenal dengan sebutan Vertical Center Gravity (VCG), yaitu titik pusat dari resultante gaya-gaya yang bekerja mulai dari titik baseline kapal hingga bagian superstructure kapal. Titik ini dihitung berdasarkan jaraknya dari titik baseline. 3. Titik berat secara melebar (transversal). Titik berat ini dikenal dengan sebutan Transversal Center Gravity (TCG), yaitu titik pusat dari resultante gaya-gaya yang bekerja pada bagian kiri dan kanan kapal. Titik ini dihitung berdasarkan jaraknya dari titik center line. Ketiga titik berat ini diilustrasikan pada Gambar 16.
Gambar 16 Ilustrasi LCG-VCG-TCG Titik berat adalah salah satu bagian yang mempengaruhi kualitas stabilitas suatu kapal. Pada suatu benda yang mengapung diam di permukaan air, terdapat dua gaya utama yang sama besar dan bekerja berlawanan arah pada sumbu vertikal, yaitu gaya berat G (Center of Gravity) dan gaya apung B (Center of Buoyancy). Lester (1985) menyatakan bahwa terdapat 3 titik yang memegang peranan penting dalam peninjauan stabilitas suatu kapal yaitu titik G, B dan M. Kok (1983), menyatakan bahwa
40 “...titik berat G (Center of gravity) adalah titik resultan gaya berat seluruh bagian kapal termasuk semua isi yang berada didalamnya yang menekan ke bawah; titik apung B (Bouyancy) adalah titik berat geometris bagian kapal yang terbenam dalam air yang menekan ke atas, dan titik M (Metacenter) adalah tinggi sudut inklinasi dari lunas kapal serta titik pusat garis yang bekerja gaya apung dan gaya berat. Gaya-gaya yang menyebabkan terjadinya stabilitas adalah gaya berat G yang besarnya sama dengan pemindahan air D (displacement), dan gaya apung yang bekerja pada B yang sama juga besarnya dengan pemindahan air D (displacement) seperti dikemukakan dalam hukum Archimedes: “Sebuah benda yang seluruhnya atau sebagian tercelup di dalam suatu fluida akan diapungkan ke atas dengan sebuah gaya yang sama dengan berat fluida yang di-pindahkan oleh benda tersebut...”.
Titik berat pada ketiga desain general arrangement dihitung dengan menggunakan software microsoft excel. Hasil perhitungan pada ketiga desain akan dibandingkan dan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Perbandingan titik berat pada tiga desain general arrangement Objek Desain ke-1
Berat total (ton) 4,81
LCG (m) 5,19
VCG (m) 0,71
TCG (m) 0,00
Desain ke-2
5,07
5,05
0,69
0,00
Desain ke-3
5,10
5,04
0,70
0,00
Tabel 30 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan berat total dari setiap desain general arrangement. Desain ke-1 memiliki berat total paling kecil karena CNG kit diletakkan di bawah geladak sehingga ruang yang dipakai untuk peletakan CNG akan mengurangi kapasitas ruang muat, walaupun jika ditinjau dari Vertical Centre Gravity hal ini akan mengurangi tinggi titik berat. Desain ke2 dan desain ke-3 memiliki kapasitas ruang muat yang sama sehingga selisih berat total yang ada tidak terlalu signifikan. Desain ke-3 sedikit lebih berat karena berat CNG kit melebihi berat 60 liter solar yang merupakan bahan bakar cadangan. Longitudinal Centre Gravity (LCG) pada Desain ke-2 dan desain ke-3 hampir tidak berbeda, sedangkan pada desain ke-1 berbeda sebanyak 15 cm. Desain ke-1 memiliki LCG yang berbeda karena peletakan CNG kit di bawah geladak menjadikan ruang muat semakin maju sehingga titik berat berpindah ke depan. Vertical Centre Gravity (VCG) pada ketiga desain hampir tidak berbeda. Hal ini cukup unik mengingat bahwa ketiga desain ini memiliki perbedaan dalam instalasi sistem bahan bakar. Desain ke-1 dengan peletakan CNG kit sejajar berada pada posisi mesin diperkirakan memiliki VCG jauh dibawah Desain ke-2 yang peletakan solar cadangannya diatas geladak serta desain ke-3 yang peletakan CNG kit nya diatas geladak. Hal ini tidak terjadi disebabkan oleh berat CNG kit maupun solar cadangan hanya sekitar 1,6 % dari berat total, sehingga tidak signifikan terhadap perubahan VCG. Hal yang berbeda terjadi pada LCG, berat ikan yang dapat diangkut berkurang hingga 3,9 % dari berat total sehingga lebih berpengaruh pada LCG.
41
Transversal Centre Gravity (TCG) pada setiap desain sama, yaitu 0.0 atau terletak pada center line. Hal ini dikarenakan dalam menyusun komponenkomponen di dalam kapal selalu diupayakan agar beban di sebelah kiri dan sebelah kanan selalu seimbang. Ketidakseimbangan peletakan komponen akan menyebabkan stabilitas kapal berkurang. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi stabilitas kapal diantaranya adalah posisi relatif titik M terhadap titik G. Hardjanto (2010), menyatakan bahwa titik M adalah titik yang tingginya tidak boleh dilebihi oleh titik G agar kapal tetap dalam kondisi stabilitas positif, sedangkan GM adalah jarak tegak antara titik G dengan titik M. GM yang terlalu kecil akan menyebabkan periode rolling kapal lambat, sedangkan GM yang terlalu besar akan membuat periode rolling kapal cepat dan tersentak-sentak. Muckle (1978) menyatakan mengenai posisi relatif titik M terhadap G sebagai berikut : “...Apabila titik G berada di bawah titik M maka momen penegak (Righting moment, RM=Δ.GZ, sedangkan GZ=GM Sin θ) bernilai positif karena lengan penegak (GZ) bernilai positif. Momen penegak ini sanggup mengembalikan kapal ke posisi tegak semula. Stabilitas yang demikian disebut stabilitas positif (stabil). Apabila titik G dan M berimpit, maka momen penegak (RM) akan sama dengan nol karena tidak terbentuk lengan penegak (GZ=0) sehingga RM=0. Ini berarti apabila kapal sengat (olengan cepat) maka kapal tersebut akan tetap sengat sebab tidak ada lengan penegak. Stabilitas yang demikian disebut stabilitas netral. Apabila titik G berada di atas titik M maka momen penegak (Righting moment, RM) bernilai negatif karena lengan GZ bernilai negatif. Momen penegak ini tidak mampu mengembalikan kapal ke posisi tegak semula, malah membantu memiringkan kapal dan kemungkinan kapal terbalik. Stabilitas yang demikian disebut stabilitas negatif (labil)....”
Gambar 17 menjelaskan tipe – tipe stabilitas yang dapat terjadi pada kapal
42
Gambar 17 Tipe – tipe stabilitas (Hardjanto, 2010) Dua prinsip pokok dalam perhitungan stabilitas adalah prinsip kenyamanan dan prinsip keselamatan. Kenyamanan kapal sangat tergantung pada nilai GMT, jika terlalu rendah maka sudut olengan kapal akan besar sehingga periode olengan pun akan relatif besar. Nilai GMT akan kecil bahkan negatif bila peletakan muatan terkonsentrasi diatas permukaan geladak. Bila nilai GMT terlalu besar maka sudut olengan kapal akan terlalu kecil sehingga periode olengan kapal kecil namun menyentak – nyentak (Hardjanto, 2010). Keselamatan kapal sangat dipengaruhi oleh nilai GZ. Besar kecilnya nilai GZ menentukan keselamatan kapal, karena momen penegak atau momen static stability memiliki rumus W x GZ. W adalah volume displacement dan GZ adalah lengan penegak. GZ merupakan ukuran kemampuan kapal untuk kembali tegak setelah kapal mengalami kemiringan akibat pengaruh dari gaya–gaya eksternal (Hardjanto, 2010). Terdapat enam kriteria yang akan diukur pada penilaian stabilitas kapal. Enam kriteria tersebut adalah luas area 0°-30° pada kurva stabilitas, luas area 0°40° pada kurva stabilitas, luas area 30°-40° pada kurva stabilitas, nilai maksimal GZ, sudut pada nilai maksimal GZ, dan panjang GM. Enam kriteria ini dapat digambarkan dalam sebuah kurva yang bernama curves of static stability (kurva stabilitas statis). Semua kriteria tersebut telah diatur oleh International Maritime Organization. Gambar 18 menggambarkan kriteria-kriteria tersebut.
43
Gambar 18 Kriteria stabilitas oleh IMO Sumber: Hind, 1967 Keterangan : A : Luas area di bawah kurva stabilitas statis sampai sudut oleng 30º tidak boleh kurang dari 3,15 meter degree; B : Luas area di bawah kurva stabilitas statis sampai sudut oleng 40º tidak boleh kurang dari 5,16 meter degree; C : Luas area antara sudut oleng 30º sampai 40º tidak boleh kurang dari 1,72 meter degree, dimana ruangan di atas dek akan tenggelam dengan sudut keolengan tersebut. D : Nilai maksimum righting lever (GZ) sebaiknya dicapai pada sudut tidak kurang dari 30º serta bernilai minimum 0,20 meter; E : Sudut maksimum stabilitas sebaiknya lebih dari 25º; dan F : Nilai initial GM tidak boleh kurang dari 0,35 meter Luas area 0°-30° adalah luas dari area dibawah kurva stabilitas statis pada sudut 0°-30°. Susanto (2010) menyatakan bahwa luas area di bawah kurva 0°-30°, kurva 0°-40°, dan kurva 30°-40° menggambarkan kemampuan kapal untuk menyerap energi yang diberikan oleh angin, gelombang, dan gaya eksternal lainnya. Luas area 0°-30° dianggap sebagai area yang mewakili saat nilai GZ cukup besar dan momen penegak telah bekerja dengan optimal. Area 0°-15° adalah initial stability (stabilitas awal), dimana pada fase ini hal yang berpengaruh pada stabilitas adalah nilai GM. Pada fase ini pergerakan titik M sangat kecil sehingga titik M dianggap tetap. Sudut 40° diasumsikan sebagai sudut edge of immersion deck, yaitu sudut dimana air laut akan mulai memasuki dek kapal. Istilah lain yang dikenal untuk menggambarkan hal ini adalah flooding angle. Luas area 0°-40° adalah luas dari area dibawah kurva stabilitas statis pada sudut 0°-40°. Luas area ini penting untuk mengetahui apakah kapal mempunyai momen penegak yang baik saat air mulai memasuki dek kapal. Kapal gillnet yang diuji memiliki sudut edge of immersion deck sebesar 33,1° pada desain ke-1, 32,5° pada Desain ke-2, dan 32,6° pada desain ke-3. Luas area 30°-40° adalah luas dari area dibawah kurva stabilitas statis pada sudut 30°-40°. Susanto (2010) menyatakan bahwa luas area antara sudut
44
oleng 30° sampai 40° tidak boleh kurang dari 1,72 meter degree. Luas area yang rendah akan menyebabkan ruangan di atas dek akan tenggelam dengan sudut keolengan tersebut. GZ adalah lengan penegak yang terjadi pada kapal saat kapal mengalami kemiringan pada sudut diatas 15°. GZ dengan nilai positif akan membantu kapal kembali ke posisi semula setelah mengalami sudut kemiringan akibat adanya gaya eksternal kapal seperti angin, ombak, dan gelombang. Hal ini akan menyebabkan kapal memiliki stabilitas positif. GZ dengan nilai negatif yang disebabkan oleh nilai GM yang negatif akan membuat posisi kapal semakin miring. Hal ini menyebabkan kapal memiliki stabilitas negatif. Kapal dapat mengalami stabilitas negatif karena disebabkan oleh tiga hal, yaitu: 1. Pemindahan muatan dari bagian bawah kapal (under deck); 2. Penambahan muatan di atas geladak kapal (on deck); dan 3. Pengaruh dari free surface effect. (Hardjanto, 2010) GZ dengan nilai positif akan dapat membantu mengembalikan kapal ke posisi semula dikarenakan oleh besarnya momen stabilitas statis yang berfungsi untuk mengembalikan posisi kapal ketika terjadi sudut kemiringan ditentukan oleh dua hal, yaitu berat kapal (W), dan lengan penegak (GZ). Ilustrasi yang menggambarkan kapal dengan stabilitas positif dan stabilitas negatif digambarkan dalam Gambar 19 dan Gambar 20. Ilustrasi yang menggambarkan perpindahan titik berat (G) akibat perpindahan muatan di atas kapal dan akibat free surface effect digambarkan dalam Gambar 21 dan Gambar 22.
Gambar 19 Kapal dengan stabilitas positif Sumber: Hardjanto, 2010 Saat kapal dalam keadaan stabil, terdapat dua gaya yang sama besar namun berlawanan arah,yaitu gaya tekan air (B) yang memiliki arah ke atas dan gaya berat kapal (G) yang memiliki arah ke bawah. Saat kapal mengalami kemiringan pada sudut diatas 15° akibat gaya eksternal, titik berat kapal tidak berpindah karena tidak terjadi pergeseran muatan di atas kapal, namun titik tekan air (B) akan mengalami perpindahan. Hal ini menyebabkan terjadi jarak antara titik G dengan garis BM dengan kondisi titik G tetap dibawah titik M. Jarak ini akan menjadi lengan penegak (GZ) yang menyebabkan kapal memiliki momen
45
pembalik untuk kembali ke posisi stabil. Momen pembalik akan mengembalikan kapal ke posisi semula karena titik B menekan ke atas, titik G menekan ke bawah, serta titik G posisinya tetap dibawah titik M.
Gambar 20 Kapal dengan stabilitas negatif Sumber: Hardjanto, 2010 Pada kondisi ini, saat kapal dalam keadaan stabil posisi titik G telah berada diatas titik M. Saat kapal mengalami kemiringan diatas 15°, posisi titik G yang diatas titik M menyebabkan terjadinya stabilitas yang negatif. Stabilitas yang negatif ini akan menyebabkan GZ bernilai negatif, sehingga momen yang terjadi tidak membalikkan kapal ke posisi semula, melainkan akan menambah kemiringan kapal.
Gambar 21 Kapal dengan perpindahan muatan diatas kapal Sumber: Hardjanto, 2010 Gambar 21 menunjukkan bahwa perpindahan muatan di atas dek akan menyebabkan TCG berpindah. TCG yang berpindah akan menyebabkan kapal miring ke salah satu sisi dan tidak akan ada momen pembalik karena berpindahnya TCG disebabkan karena faktor internal di dalam kapal.
46
Gambar 22 free surface effect di atas kapal Sumber: Hardjanto, 2010
nilai GZ (m)
Free surface effect akan terjadi saat muatan yang dibawa oleh kapal bersifat cair atau muatan tersebut membutuhkan air untuk menjaga kesegarannya (contoh: Muatan berupa ikan hidup). Free surface effect berpotensi terjadi saat tangki/ruang muat yang digunakan untuk menampung air tidak terisi penuh. Tangki air yang tidak terisi penuh akan menyisakan ruang kosong. Ruang kosong ini akan membuat air berpindah saat kapal mengalami gaya eksternal yang menyebabkan titik berat (TCG) air akan berpindah dan mengurangi kualitas stabilitas kapal. Pengujian stabilitas statis telah dilakukan pada kapal uji. Enam kriteria yang ditetapkan oleh IMO dijelaskan pada Gambar 18. Enam kriteria ini telah diuji dan hasilnya digambarkan pada Gambar 23 dan Tabel 31. 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
20
40
60
80
100
sudut kemiringan (°) Desain 1
Desain 2
Desain 3
Gambar 23 Kurva stabilitas statis pada kapal uji
120
47
Tabel 31 Kriteria stabilitas kapal uji Kriteria A (m.deg) B (m.deg) C (m.deg) D (m) E (deg) F (m)
IMO
Ds 1
Ds 2
Ds 2
Status
> 3,15 > 5,16 > 1,72 > 0,20 25 > 0,35
3,19 5,71 2,51 0,34 60 0,40
3,44 6,14 2,69 0,35 60 0,43
3,32 5,92 2,60 0,34 59,5 0,41
Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi
M1 M2 M3 (%) (%) (%) 1,27 9,21 5.40 10,66 18,99 14,73 45,93 56,39 51,16 70 75 70 240 240 238 14,29 22,86 17,14
Keterangan : A : Luas area di bawah kurva stabilitas statis sampai sudut oleng 30° B : Luas area di bawah kurva stabilitas statis sampai sudut oleng 40° C : Luas area antara sudut oleng 30° sampai 40° D : Nilai maksimum righting lever (GZ) pada sudut diatas 30° E : Sudut maksimum stabilitas F : Nilai initial GM (GM awal) Ds 1 : Desain ke-1 Ds 2 : Desain ke-2 Ds 3 : Desain ke-3 M1 : Margin 1 M2 : Margin 2 M3 : Margin 3 IMO menentukan standar minimal pada luas area 0°-30°, yaitu 3,15 m.deg. Luas area dibawah 3,15 m.deg akan menyebabkan periode rolling kapal terlalu lambat, sehingga pada frekuensi gelombang air laut yang cukup rapat hal ini akan membahayakan keselamatan kapal karena stabilitas kapal bisa menjadi netral (titik G berhimpit dengan titik M) bahkan menjadi negatif (titik M terletak dibawah titik G). Kapal gillnet yang diuji pada setiap desain memiliki luas area 0°-30° diatas standar yang ditentukan oleh IMO. Desain ke-1 memiliki luas area 0°-30° sebesar 3,19 m.deg, desain ke-2 memiliki luas area 0°-30° sebesar 3,44 m.deg, sedangkan desain ke-3 memiliki luas area 0°-30° sebesar 3,32 m.deg. Desain ke-1 memiliki margin sebesar 1,27 % dari standar IMO. Desain ke-2 memiliki margin 9,21 % dari standar IMO, sedangkan desain ke-3 memiliki margin 5,4 %. Pada ketiga desain dapat dilihat bahwa luas area 0°-30° sangat dekat dengan ambang batas yang ditentukan oleh IMO. Hal ini menunjukkan bahwa periode rolling kapal sudah mencukupi namun tidak masuk dalam kategori baik karena Setiyanto (2002), Farhum (2010), dan Susanto (2010) saat menguji luas area 0°-30° pada kapal purse seine, pole and line, serta multi gears mendapatkan margin diatas 50% bila dibandingkan dengan standar IMO. Pada luas area dibawah kurva 0°-40°, standar minimal yang telah ditentukan oleh IMO adalah 5,16 m.deg. Kapal gillnet yang menjadi kapal uji pada setiap desain memiliki luas area 0°-40° diatas standar yang ditetapkan oleh IMO. Desain ke-1 memiliki luas area 0°-40° sebesar 5,71 m.deg, Desain ke-2 memiliki luas area 0°-40° sebesar 6,14 m.deg, sedangkan desain ke-3 memiliki luas area 0°-40° sebesar 5,92 m.deg. Desain ke-1 memiliki margin sebesar 10,66 % dari standar IMO. Desain ke-2 memiliki margin 18,99 % dari standar IMO, sedangkan desain
48
ke-3 memiliki margin 14,73 %. Pada ketiga desain dapat dilihat bahwa luas area 0°-40° tidak terlampau jauh dengan ambang batas yang ditentukan oleh IMO. Setiyanto (2002) dan Susanto (2010) saat menguji luas area 0°-40° pada kapal purse seine dan multi gears mendapatkan margin diatas 50 %, sedangkan Farhum (2010) memiliki margin yang negatif pada pengujian kapal pole and line bila dibandingkan dengan standar IMO. Pada luas area dibawah kurva 30°-40°, standar minimal yang telah ditentukan oleh IMO adalah 1,72 m.deg. Kapal gillnet yang menjadi kapal uji pada setiap desain memiliki luas area 30°-40° diatas standar yang ditetapkan oleh IMO. Desain ke-1 memiliki luas area 30°-40° sebesar 2,51 m.deg, desain ke-2 memiliki luas area 30°-40° sebesar 2,69 m.deg, sedangkan desain ke-3 memiliki luas area 30°-40° sebesar 2,60 m.deg. Desain ke-1 memiliki margin sebesar 45,93 % dari standar IMO. Desain ke-2 memiliki margin 56,39 % dari standar IMO, sedangkan desain ke-3 memiliki margin 51,16 %. Setiyanto (2002) dan Susanto (2010) saat menguji luas area 30°-40° pada kapal purse seine dan multi gears mendapatkan margin diatas 85 %, sedangkan Farhum (2010) memiliki margin yang negatif pada pengujian kapal pole and line bila dibandingkan dengan standar IMO. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa pada luas area dibawah kurva 0°-30° dan kurva 0°-40°, terlihat bahwa hasil yang diperoleh tidak jauh dari standar minimal yang ditetapkan oleh IMO. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Ketiadaan regulasi yang mengatur dengan detail mengenai kapal ikan, khususnya kapal ikan berukuran kecil sehingga kapal dibuat dengan desain seadanya dengan biaya seminimal mungkin; 2. Kapal dibuat berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam membuat kapal tanpa adanya perencanaan dan pembuatan ship conceptual design; 3. Proses ship conceptual design yang terlewati akan menjadikan kapal tidak memiliki preliminary design sehingga tidak terdapat perhitungan teknis dari berbagai faktor (contoh: faktor stabilitas, faktor keselamatan, faktor pengendalian pencemaran, dll); dan 4. Tidak terdapat sea trial saat kapal telah selesai dibuat sehingga tidak ada proses quality control terhadap kapal yang telah selesai dibuat. Faktor berikutnya yang akan dibahas adalah nilai minimal GZ. Nilai minimal GZ yang ditetapkan oleh IMO adalah 0,2 m. Kapal gillnet yang menjadi kapal uji pada setiap desain memiliki nilai diatas standar yang ditetapkan oleh IMO. Desain ke-1 memiliki besar GZ sebesar 0,34 m, desain ke-2 memiliki besar GZ sebesar 0,35 m, sedangkan desain ke-3 memiliki besar GZ sebesar 0,34 m. Desain ke-1 memiliki margin sebesar 70 % dari standar IMO. Desain ke-2 memiliki margin 75 % dari standar IMO, sedangkan desain ke-3 memiliki margin 70 %. Setiyanto (2002) dan Susanto (2010) saat menguji besar GZ pada kapal purse seine dan multi gears mendapatkan margin diatas 65 %, sedangkan Farhum (2010) memiliki margin yang negatif pada pengujian kapal pole and line bila dibandingkan dengan standar IMO. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa nilai GZ sangat baik pada ketiga desain kapal uji. Hal ini menunjukkan bahwa lengan penegak maksimal yang dimiliki kapal uji sangat baik.
49
Faktor berikutnya yang akan dibahas adalah sudut maksimum stabilitas. Sudut maksimum stabilitas adalah sudut kemiringan kapal dimana momen pembalik memiliki nilai lengan penegak (GZ) terkuat untuk mengembalikan kapal pada posisi semula. IMO menetapkan bahwa sudut maksimum stabilitas harus melebihi 25°. Kapal gillnet yang menjadi kapal uji memiliki tiga desain dan setiap desain memiliki nilai sudut maksimum stabilitas diatas standar yang ditetapkan oleh IMO. Nilai sudut ini seharusnya tidak jauh dari flooding angle yang dimiliki oleh kapal uji. Kapal uji memiliki flooding angle mendekati 33°. Desain ke-1 memiliki GZ terbesar pada sudut 60°, desain ke-2 memiliki GZ terbesar pada sudut 60°, sedangkan desain ke-3 memiliki GZ terbesar pada sudut 59,5°. Desain ke-1 memiliki margin sebesar 240 % dari standar IMO. Desain ke-2 memiliki margin 240 % dari standar IMO, sedangkan desain ke-3 memiliki margin 238 %. Faktor kesalahan desain pada kapal uji menyebabkan sudut maksimum stabilitas sangat jauh dari flooding angle yang dimiliki kapal. Kapal uji seharusnya memiliki freeboard yang lebih tinggi sehingga flooding angle yang dimiliki dapat ditingkatkan. Farhum (2010) dan Susanto (2010) saat menguji sudut GZ terbesar pada kapal pole and line dan multi gears mendapatkan margin 0 % dan 65.6 %. Kriteria terakhir yang disyaratkan oleh IMO adalah besar GM awal (initial GM). GM awal yang disyaratkan oleh IMO adalah sebesar 0,35 m untuk kapal ikan. Kapal gillnet yang menjadi kapal uji memiliki tiga desain dan setiap desain memiliki nilai GM diatas standar yang ditetapkan oleh IMO. Desain ke-1 memiliki GM awal sebesar 0,40 m, desain ke-2 memiliki GM awal sebesar 0,43 m, sedangkan desain ke-3 memiliki GM awal sebesar 0,41 m. Desain ke-1 memiliki margin sebesar 14,29 % dari standar IMO. Desain ke-2 memiliki margin 22,86 % dari standar IMO, sedangkan desain ke-3 memiliki margin 17,14 % dari standar IMO. Setiyanto (2002) dan Susanto (2010) saat menguji sudut GM terbesar pada kapal purse seine dan multi gears mendapatkan margin diatas 80 %. Farhum (2010) saat melakukan pengujian pada kapal pole and line mendapatkan margin 1.2 % dari nilai GM standar minimal IMO. Hardjanto (2010) menyatakan bahwa stabilitas yang ideal adalah ketika nilai GM tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Kapal dengan nilai GM terlalu besar akan menyebabkan kapal kaku dan bergerak dengan sentakan yang kuat ketika mengalami kemiringan. Hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan bagi awak kapal dan dapat mempercepat terjadinya keausan pada bagian-bagian kapal yang memiliki konsentrasi tegangan cukup tinggi. Hardjanto (2010) menyatakan pula bahwa Bureau Veritas (BV) selaku salah satu biro klasifikasi kapal internasional yang tergabung dalam IACS memiliki ketentuan mengenai besar GM ideal pada suatu kapal. Ketentuan ini hanya berlaku pada kapal dengan ukuran diatas 24 m sehingga tidak bisa diimplementasikan pada kapal gillnet yang diuji. Pemaparan yang telah dilakukan pada enam kriteria stabilitas diatas menunjukkan bahwa semua desain pada kapal gillnet yang diuji memenuhi kriteria dan kualitas stabilitasnya tidak berbeda jauh. Saat dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanto (2010) dan Setiyanto (2002), kapal uji hampir pada semua faktor memiliki margin yang lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal berikut:
50
1. Kapal yang diuji oleh Setiyanto (2002) memiliki titik berat yang rendah, yaitu 0,9 meter dengan tinggi geladak 2,6 meter sehingga kualitas stabilitasnya jauh lebih baik; 2. Kapal yang diuji oleh Susanto (2010) menggunakan asumsi saat kapal tiba di fishing base dengan komposisi berat 20 % hasil tangkapan, 10 % perbekalan, bahan bakar dan lain-lain; dan 3. Kondisi dua pada kapal yang diuji oleh Susanto (2010) menggunakan asumsi saat kapal tiba di fishing ground, yaitu kapal berangkat dari fishing ground dengan hasil tangkapan penuh (50 % perbekalan dan BBM). Saat kondisi ini diaplikasikan pada perhitungan, maka margin pada semua faktor terkurangi antara 11 % hingga 16 %. Margin yang ada diperkirakan tidak akan berbeda jauh bila asumsi yang dipakai adalah hasil tangkapan penuh, BBM dan perbekalan penuh, dan es dalam kondisi penuh Pengujian yang dilakukan pada kapal uji hanya menganalisis terbatas pada aspek teknis dan ekonomis. Berdasarkan perspektif keselamatan, desain ke-1 sangat tidak dianjurkan pada kapal kecil, karena merujuk pada Guidelines for the Use of Gas as Fuel for Ships yang dikeluarkan oleh Germanischer Llyodd (GL), dinyatakan bahwa ...„Gas dalam keadaan cair dapat disimpan di tempat tertutup dengan tekanan kerja maksimum sebesar 10 bar. Tempat penyimpanan gas bertekanan (compressed gas) pada ruangan tertutup dan tempat tabung gas yang dapat menahan tekanan lebih dari 10 bar di tempat tertutup tidak dibenarkan. Hal ini dapat diterima bila memiliki pertimbangan khusus dan telah menerima izin dari GL. Pertimbangan-pertimbangan yang dimaksud adalah: 1. 2.
3.
Memenuhi, yaitu terdapat sistem yang dapat menurunkan tekanan di dalam tangki penyimpanan gas saat terjadi kebakaran yang dapat mempengaruhi tangki. Seluruh permukaan pada ruangan tempat peyimpanan tangki gas dilengkapi dengan perlindungan panas sehingga terhindar dari keluarnya gas bertekanan tinggi dan kondensasi,kecuali bulkheads didesain untuk temperatur sangat rendah yang dapat terjadi saat terjadi kebocoran gas. Sistem pemadam kebakaran yang permanen terpasang di ruang penyimpanan tangki
Analisis Multi Kriteria pada Potensi Stabilitas Berdasarkan pengujian pada kapal gillnet dengan tiga desain general arrangement menggunakan software desain kapal, didapatkan hasil bahwa kualitas stabilitas statis pada setiap desain memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh IMO. Kriteria yang ditetapkan oleh IMO adalah luas area di bawah kurva stabilitas statis sampai sudut oleng 30°, luas area di bawah kurva stabilitas statis sampai sudut oleng 40°, luas area antara sudut oleng 30° sampai 40°, nilai maksimum righting lever (GZ) pada sudut diatas 30°, sudut maksimum stabilitas, dan nilai initial GM (GM awal). Hasil pengujian yang didapatkan akan diberi skor dan bobot sesuai dengan hasil yang didapatkan. Matriks sebanding berpasang akan digunakan dalam menentukan bobot yang akan diberikan pada setiap variabel, dan penentuan skor akan mengacu pada rumusan yang telah dijelaskan dalam metode penelitian. Penentuan bobot akan disajikan dalam Tabel 32.
51
Tabel 32 Perhitungan bobot pada potensi stabilitas Luas Area 0°30°
Luas Area 0°40°
Luas Area 30°40°
Maks GZ
Sudut Maks GZ
GM Awal
Luas area 0°-30°
1
1
1
0,13
0,14
0,25
0,05
0,05
0,05
0,06
0,04
0,03
0,05
Luas area 0°-40°
1
1
1
0,13
0,14
0,25
0,05
0,05
0,05
0,06
0,04
0,03
0,05
Luas area 30°-40°
1
1
1
0,13
0,14
0,25
0,05
0,05
0,05
0,06
0,04
0,03
0,05
Maks GZ
7
7
7
1
2
4
0,35
0,35
0,35
0,47
0,53
0,46
0,42
Sudut maks GZ
6
6
6
0.50
1
3
0,30
0,30
0,30
0,23
0,27
0,34
0,29
GM awal
4
4
4
0,25
0,33
1
0,20
0,20
0,20
0,12
0,09
0,11
0,15
Jumlah
20
20
20
2,13
3,76
8,75
1
1
1
1
1
1
1
Variabel
Matriks Dinormalisasi
VP
Hasil pengujian yang telah dianalisis dengan mengggunakan metode multi criteria analysis akan disajikan dalam Tabel 33. Tabel 33 Multi criteria analysis potensi stabilitas kapal Kriteria stabilitas
desain ke-1
desain ke-2
desain ke-3
Luas area 0° sampai 30°
3,19
3,44
3,32
Luas area 0° sampai 40°
5,71
6,14
Luas area 30° sampai 40°
2,51
Nilai maks GZ pada 30°
std
skr 1
skr 2
skr 3
bobot jml 1
jml 2
jml 3
3,15
2
2
2
0,05
0,10
0,10
0,10
5,92
5,16
3
3
3
0,05
0,15
0,15
0,15
2,69
2.60
1,72
4
5
5
0,05
0,20
0,25
0,25
0,34
0,35
0,34
0,20
5
6
5
0,42
2,10
2,52
2,10
Sudut pada maks GZ
60
60
59,5
25
7
7
7
0,29
2,03
2,03
2,03
Nilai GM untuk kapal ikan
0,40
0,43
0,41
0,35
3
3
3
0,15
0,45
0,45
0,45
Jml
5,03
5,5
5,08
Keterangan : Std adalah standar minimal yang ditetapkan oleh IMO Skr adalah nilai skor pada tiap-tiap loadcase/desain Jml adalah nilai kualitas dari kriteria stabilitas Tabel 33 memperlihatkan bahwa Desain ke-2 (single fuel) memiliki keunggulan pada luas area 30° sampai 40°, dan nilai maksimal GZ. Hal ini menunjukkan bahwa Desain ke-2 memiliki lengan penegak yang lebih besar dibandingkan dua desain lainnya. Desain ke-1 (dual fuel, CNG kit diletakkan di bawah) tidak memiliki keunggulan dibanding dua desain lainnya. Desain ke-3 memiliki keunggulan pada luas area 30° sampai 40°. Ketiga desain memiliki kualitas stabilitas statis yang hampir serupa.