9 dan MSY adalah:
(26) Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi dan determinasi yang paling tinggi. Potensi lestari (PL) dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus dan berdasarkan prinsip kehati-hatian (FAO 1995 in Syamsiyah 2010), sehingga: PL = 90% x MSY
(27)
sehingga dapat ditentukan: TAC = 80% x PL
3
(28)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) di PPN Karangantu Sumber daya ikan yang didaratkan di PPN Karangantu Banten cukup beragam. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa ikan kurisi memiliki persentase sebesar 6% dari total hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Karangantu. Alat tangkap yang dominan menangkap ikan kurisi adalah dogol dengan ukuran mata jaring berkisar antara 1.5 hingga 8 inchi. Menurut Subani dan Barus (1989) daerah penangkapan (fishing ground) dogol tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar Perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah penangkapan ikan kurisi terdapat di sekitar Perairan Teluk Banten, Pulau Tunda, Pulau Pamajang dan Pulau Panjang. Alat tangkap dogol yang digunakan oleh para nelayan dioperasikan dengan kapal motor berukuran kurang dari 30 GT. Harga jual ikan kurisi mencapai Rp 12 000 - Rp 15 000/kg.
10
Gambar 2. Hasil tangkapan per jenis ikan tahun 2011 di PPN Karangantu Sumber : KKP 2012
Rasio Kelamin Rasio kelamin adalah perbandingan jenis kelamin jantan dan betina dimana penentuan jenis kelamin dilakukan secara morfologi. Tabel 2 memperlihatkan rasio kelamin dari ikan kurisi pada setiap pengambilan contoh. Tabel 2. Rasio kelamin ikan kurisi berdasarkan waktu pengambilan contoh Waktu
n
27-May-12 17-Jun-12 30-Jun-12 13-Jul-12 26-Jul-12 8-Aug-12 28-Aug-12 Total
109 79 105 110 98 112 100 713
Perbandingan (%) betina jantan 40 60 46 54 29 71 51 49 40 60 37 63 34 66 39 61
Pada Tabel 2 dapat kita lihat bahwa pada setiap pengambilan contoh jumlah ikan kurisi jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan kurisi betina. Ikan kurisi jantan yang diamati adalah 433 ekor, sedangkan untuk ikan kurisi betina berjumlah 280 ekor. Secara keseluruhan perbandingan antara ikan kurisi jantan dan betina yang diamati pada penelitian ini adalah 1.5:1 atau 61%:39%. Setelah dilakukan uji Chi-square dengan selang kepercayaan 95% diperoleh hasil bahwa perbandingan ikan kurisi jantan dan betina dalam suatu populasi dalam keadaan yang tidak seimbang (Lampiran 2).
11 Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pada Gambar 3 dan 4 disajikan grafik tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kurisi jantan dan betina pada setiap pengambilan contoh.
Gambar 3. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kurisi jantan
Gambar 4. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kurisi betina Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa ikan kurisi jantan yang ditangkap lebih banyak memiliki TKG I dan II. Ikan kurisi jantan yang matang gonad didapatkan pada setiap pengambilan contoh kecuali pada pengambilan contoh ke-2 dan ke-5, sedangkan untuk ikan kurisi betina ikan yang matang gonad tidak didapatkan pada pengambilan contoh ke-6 (Gambar 4). Ikan yang matang gonad merupakan ikan yang memiliki TKG III dan IV. Ikan kurisi jantan dan betina juga akan matang gonad seiring dengan bertambahnya ukuran panjang tubuh (Lampiran 3).
12 Sebaran Frekuensi Panjang Jumlah ikan kurisi yang diambil pada setiap pengambilan contoh berkisar antara 70-120 ekor. Pada Gambar 5 disajikan diagram batang sebaran frekuensi panjang total dari ikan kurisi jantan dan betina.
Gambar 5. Sebaran frekuensi panjang total ikan kurisi Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa frekuensi panjang ikan kurisi jantan menyebar dari selang kelas panjang 98 mm hingga 218 mm, sedangkan untuk frekuensi panjang ikan kurisi betina menyebar dari selang kelas panjang 98 mm hingga 196 mm. Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi untuk ikan kurisi jantan dan betina terdapat pada selang kelas 142 hingga 152 mm.
Kelompok Umur Analisis kelompok umur dilakukan setelah mengetahui sebaran distribusi frekuensi panjang total dari ikan yang diamati pada setiap waktu pengambilan contoh. Pada Gambar 6 dan 7 disajikan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan kurisi jantan dan betina.
13 27 Mei 2012 n = 65
13 Juni 2012 n = 43
30 Juni 2012 n = 75
17 Juli 2012 n = 54
26 Juli 2012 n = 59
08 Agustus 2012 n = 71
28 Agustus 2012 n = 66
Gambar 6. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kurisi jantan Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar 7 dapat dilihat bahwa terjadi pergesaran modus ke arah kanan yang menandakan bahwa terjadi pertumbuhan pada ikan kurisi jantan dan betina. Hasil analisis kelompok umur ikan kurisi jantan dan betina berupa apnjang rata-rata dan indeks sparasi dapat dilihat pada Tabel 3.
14
27 Mei 2012 n = 44
13 Juni 2012 n = 36
30 Juni 2012 n = 30
17 Juli 2012 n = 56
26 Juli 2012 n = 39
08 Agustus 2012 n = 41
28 Agustus 2012 n = 34
Gambar 7. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kurisi betina Berdasarkan pada Tabel 3 nilai indeks sparasi lebih dari 2 (>2) sehingga hasil pemisahan kelompok umur ikan kurisi dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya. Menurut Hasselblad (1996) in Spare dan Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks sprasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan.
15 Tabel 3. Sebaran kelompok ukuran ikan kurisi jantan dan betina
Waktu Mei I Juni I Juni II Juli I Juli II Agustus I Agustus II
Kelompok umur 1 1 2 1 1 1 2 1 1 2
Panjang rata-rata jantan betina 141.31 ± 13.54 142.05 ± 11.47 132.94 ± 8.93 136.11 ± 15.30 158.18 ± 5.85 152.39± 17.75 150.07± 11.74 159.95 ± 13.01 160.14 ± 9.34 124.39 ± 8.56 135.53 ± 19.52 159.01 ± 14.13 138.66 ± 15.28 137.62 ± 15.95 149.90 ± 8.23 169.96 ± 15.25 182.09 ± 12.05
Index sparasi jantan betina n.a n.a n.a n.a 3.41 n.a n.a n.a n.a n.a n.a 3.052 n.a n.a n.a n.a 3.175
Hubungan Panjang dan Bobot Analisa mengenai hubungan panjang bobot dimanfaatkan untuk mengetahui pola pertumbuhan suatu organisme. Gambar 8 dan Gambar 9 menyajikan hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan kurisi.
Gambar 8. Hubungan panjang bobot ikan kurisi jantan (Nemipterus japonicus)
Gambar 9. Hubungan panjang bobot ikan kurisi betina (Nemipterus japonicus)
16 Berdasarkan hasil analisis panjang dan bobot diketahui bahwa untuk ikan kurisi betina memiliki persamaan W = 0.0010L2.1670, sedangkan untuk ikan kurisi jantan memiliki persamaan W = 0.0006L2.2760. Parameter Pertumbuhan Hasil analisis mengenai parameter pertumbuhan adalah koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik atau panjang yang tidak dapat dicapai oleh ikan (L∞) dan umur teoritik ikan pada saat panjang ikan nol (t0) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter pertumbuhan ikan kurisi berdasarkan model Von Bertalanffy Parameter K (bulan) L∞ (mm) t0 (bulan)
Jantan 0.14 224.90 -0.68
Nilai Betina 0.20 211.85 -0.50
Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy untuk ikan kurisi jantan berdasarkan Tabel 4 adalah Lt = 224.90 (1-e (-0.14(t+0.68))) dan untuk ikan kurisi betina memiliki persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy adalah Lt = 211.85 (1-e (-0.20(t+0.50)) ). Kurva pertumbuhan ikan kurisi jantan maupun ikan betina disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11 dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang total ikan (mm).
Gambar 10. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kurisi jantan
17
Gambar 11. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kurisi betina Mortalitas dan Laju Eksploitasi Suatu stok sumber daya ikan akan mengalami penurunan akibat tingkat mortalitas yang tinggi. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan kurisi dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang. Informasi mengenai laju mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi di PPN Karangantu, Banten Parameter Mortalitas penangkapan (F) Mortalitas alami (M) Mortalitas total (Z) Eksploitasi (E)
Nilai (per tahun) Jantan Betina 0.2501 0.3079 0.2362 0.2949 0.4863 0.6028 51.43 % 51.08%
Berdasarkan pada tabel diatas diketahui bahwa nilai mortalitas penangkapan ikan kurisi jantan dan betina lebih besar dibandingkan dengan nilai mortalitas alami. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi jantan dan betina lebih banyak mati akibat adanya kegiatan penangkapan. Laju eksploitasi ikan kurisi jantan dan betina masing-masing sebesar 51%.
Model Produksi Surplus Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari. Dalam menentukan upaya penangkapan diperlukan standarisasi alat tangkap (Lampiran 9). Data hasil tangkapan ikan kurisi dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi disajikan pada Tabel 6.
18 Tabel 6. Hasil tangkapan (ton) dn upaya penangkapan (trip) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Hasil tangkapan (ton) 116 108 161 115 83 141 141
Upaya (trip) 1214 607 943 1663 2136 2768 2052
Berdasarkan pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan kurisi mengalami fluktuasi. Upaya penangkapan ikan kurisi selalu mengalami kenaikan kecuali pada tahun 2006. Hasil tangkapan ikan kurisi tertinggi terdapat pada tahun 2007 yaitu 161 ton dengan upaya penangkapan yaitu 943 trip. Analisis potensi sumber daya ikan kurisi dapat dilakukan melalui pendekatan model Fox. Grafik analisis MSY dengan menggunakan model Fox disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Model produksi surplus dengan pendekatan model Fox Model Fox menggunakan hubungan hasil tangkapan dengan CPUE yang dilogaritmanaturalkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa model ini memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 81%. Hal ini menandakan bahwa model Fox cocok digunakan untuk menduga upaya optimum (fmsy) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) karena dapat mewakili keadaan sebenarnya sebesar 81%. Pada pendekatan model Fox diperoleh upaya penangkapan optimum (fmsy) ikan kurisi adalah 1442 trip per tahun dengan nilai MSY adalah 135 ton per tahun dan jumlah tangkapan ikan kurisi yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) sebesar 97 ton per tahun.
19 Pembahasan
Rasio Kelamin Perbandingan yang didapatkan antara ikan kurisi betina dan ikan kurisi jantan secara keseluruhan adalah 1:1.5. Ikan kurisi jantan yang tertangkap di Teluk Banten lebih banyak dibandingkan dengan ikan betina. Setelah dilakukan uji Chi-square diperoleh hasil bahwa proporsi ikan kurisi jantan dan betina dalam suatu populasi dalam keadaan yang tidak seimbang (Lampiran 2). Hal ini juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2012) di Selat Sunda yang menghasilkan perbandingan 1:1.8 dimana ikan kurisi jantan lebih banyak dibandingkan dengan ikan kurisi betina. Variasi dalam rasio kelamin sering terjadi akibat adanya 3 faktor yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan dan penangkapan (Bal dan Rao 1984 in Nugraha dan Mardlijah 2006). Purwanto et al. (1986) in Susilawati (2000) menyatakan bahwa perbandingan ikan jantan dan betina dalam suatu populasi diharapkan dalam keadaan yang seimbang yaitu 1:1. Atau setidaknya ikan betina lebih banyak untuk mempertahankan kelestarian populasi (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001).
Tingkat Kematangan Gonad Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak melakukan reproduksi (Affandi et al. 2007). Ikan kurisi jantan yang telah matang gonad banyak terdapat pada akhir Juni hingga pertengahan Juli dan akhir Agustus, sama hal nya dengan ikan kurisi betina. Berdasarkan informasi tersebut dapat diduga pada saat pengambilan contoh ikan kurisi sedang mengalami pemijahan. Dan (1977) in Brojo dan Sari (2002) menyebutkan bahwa pemijahan ikan kurisi terjadi antara bulan Desember-Februari dan antara bulan Juni - Juli. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Sperman Karber menurut Udupa (1986) diperoleh ukuran pertama kali matang gonad (Lm) pada ukuran 213 mm (Lampiran 4). Pada penelitian Rahayu (2012) diperoleh nilai Lm di Selat Sunda 233 mm. Ukuran waktu pertama kali matang gonad bervariasi diantara dan didalam spesies (Udupa 1986) diantaranya disebabkan oleh perbedaan kecepatan tumbuh (Nikolsky 1969 in Susilawati 2000), perbedaan strategis hidup atau pola adaptasi ikan (Busing 1987 in Susilawati 2000), serta adanya perbedaan kondisi perairan. Dalam pengusahaan suatu perikanan hendaknya membiarkan sebagian ikan-ikan dengan panjang yang sama atau lebih besar dari Lm untuk bereproduksi, agar tidak mengganggu proses perkembangbiakan yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya (Brojo dan Sari 2002).
Sebaran Frekuensi Panjang Frekuensi panjang dari ikan kurisi jantan menyebar dari selang kelas panjang 98 mm hingga 218 mm, sedangkan untuk frekuensi panjang ikan kurisi
20 betina menyebar dari selang kelas panjang 98 mm hingga 196 mm (Lampiran 5). Jika dibandingkan dengan penelitian Rahayu (2012), ikan kurisi betina di Selat Sunda memiliki panjang maksimum 312 mm dan 325 mm untuk ikan kurisi jantan. Perbedaan ukuran panjang maksimum ikan yang tertangkap dapat disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi pengambilan contoh yang berhubungan dengan kemampuan pertumbuhan ikan di perairan tersebut, waktu pengambilan contoh dan jumlah ikan contoh yang diambil. Menurut Nikolsky (1963) in Suwarni (2009) apabila pada suatu perairan terdapat perbedaan ukuran dan jumlah dari salah satu jenis kelamin, kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan ukuran pertama kali matang gonad, perbedaan masa hidup, dan adanya pemasukan jenis ikan atau spesies baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada. Kelompok Umur Analisis kelompok umur dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata panjang ikan pada setiap pengambilan contoh. Pada Gambar 6 dan Gambar 7 terlihat adanya pergeseran kurva ke arah kanan yang menunjukkan adanya pertumbuhan pada ikan kurisi jantan dan betina pada pengambilan contoh ke-2 hingga ke-4 dan terjadi adanya proses rekruitmen yang ditandai dengan adanya pergeseran ke arah kiri pada akhir Juli yaitu pada pengambilan contoh ke-5. Ikan yang ditangkap pada akhir Juli memiliki ukuran panjang yang kecil, dapat dikatakan ikan kurisi berusia muda tertangkap oleh nelayan, penangkapan ikan berusia muda sangat mempengaruhi keberadaan stok sumber daya ikan kurisi ini. Faktor utama ikan berusia muda ini tertangkap yaitu ukuran mata jaring yang terlalu kecil sehingga penangkapan tidak selektif.
Hubungan panjang dan bobot Hubungan panjang bobot memungkinkan studi mengenai sejarah hidup dan perbandingan morfometrik antara spesies ikan yang berbeda atau antara populasi ikan dari habitat dan atau daerahyang berbeda (Pawar et al. 2010). Nilai b dari hasil regresi digunakan untuk menduga pola pertumbuhan. Analisa hubungan panjang dan bobot pada ikan kurisi jantan menghasilkan nilai b sebesar 2.2760, sedangkan untuk ikan kurisi betina menghasilkan nilai b sebesar 2.1760. Nilai konstanta b dipengaruhi oleh tingkat perkembangan ontogenetik seperti perbedaan umur, tingkat kematangan gonad dan jenis kelamin (Dulcic et al. in Kunto 2005). Lebih lanjut Bagenal dan Tesch in Kunto (2005) menambahkan bahwa nilai konstanta b juga dipengaruhi oleh letak geografis, kondisi lingkungan seperti musim, tingkat kepenuhan lambung, penyakit dan parasit yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Pendugaan pola pertumbuhan ikan kurisi baik jantan maupun betina didukung dengan menggunakan uji t pada selang kepercayaan 95% (α=0.05). Uji lanjut ini menghasilkan bahwa pertumbuhan ikan kurisi baik ikan kurisi jantan maupun ikan kurisi betina adalah allometrik negatif yang menandakan bahwa pertambahan panjangnya lebih dominan dibandingkan pertambahan bobotnya. (Lampiran 6). Hal ini juga sesuai dengan penelitian oleh Harahap dan Bataragoa
21 (2008) yang menyebutkan bahwa ikan kurisi memiliki pertumbuhan allometrik negatif. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Robiyani (2000), Fitriyanti (2011), Gumilar (2012) dan Rahayu (2012) juga menunjukkan persamaan bahwa pola pertumbuhan ikan kurisi adalah allometrik negatif.
Parameter Pertumbuhan Parameter pertumbuhan diduga dengan menggunakan metode Ford walford (Lampiran 7). Data masukan panjang yang digunakan diperoleh dari hasil analisis metode NORMSEP dalam program FISAT II. Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien pertumbuhan (K) ikan kurisi jantan lebih rendah dari ikan kurisi betina (Tabel 4). Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan semakin lama waktu yang dibutuhkan spesies tersebut untuk mendekati panjang asimtotik, begitupun sebaliknya semakin tinggi koefisien pertumbuhan semakin cepat waktu yang dibutuhkan mendekati panjang asimtotik. Hasil analisis beberapa penelitian tentang ikan kurisi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Parameter pertumbuhan ikan kurisi dari beberapa hasil penelitian
Sumber
Lokasi
Nama Spesies
Contoh Ikan
Fitriyanti (2011) Gumilar (2011) Rahayu (2012) Penelitian ini (2013)
Teluk Jakarta Teluk Banten
Nemipterus balinensis Nemipterus furcosus Nemipterus japonicas Nemipterus japonicus
jantan betina jantan betina jantan betina jantan betina
Selat Sunda Teluk Banten
Parameter pertumbuhan K L∞ t0 0.52 217.51 -1.85 0.33 282.12 -1.08 0.21 319.84 -2.54 0.31 322.95 -1.70 0.15 493.36 -0.53 0.39 334.32 -0.22 0.14 224.90 -0.68 0.20 211.85 -0.50
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada perairan yang berbeda memiliki parameter pertumbuhan yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi perairan. Cepat lambatnya pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu internal seperti keturunan, seks, umur, parasit, dan penyakit sedangkan faktor eksternal adalah makanan dan kondisi perairan (Effendie 2002). Adanya perubahan faktor lingkungan secara periodik akan mempengaruhi kondisi dari ikan tersebut (Handayani 2006).
Laju Mortalitas dan Eksploitasi Suatu stok sumber daya ikan akan mengalami penurunan akibat tingkat kematian atau mortalitas yang tinggi. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan kurisi dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang (Lampiran 8). Laju mortalitas penangkapan (F) ikan kurisi jantan
22 dan betina lebih besar dibandingkan dengan laju mortalitas alami (M). Hal ini menandakan ikan kurisi jantan dan betina lebih banyak mati akibat kegiatan penangkapan. Parameter pertumbuhan dan mortalitas dari beberapa spesies ikan digunakan untuk memperkirakan tingkat eksploitasi (Khan et al 2003). Penentuan laju eksploitasi (E) didapatkan dari hasil bagi antara laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z). Semakin besar aktivitas penangkapan maka akan membuat sumber daya ikan terancam. Laju eksploitasi ikan kurisi jantan dan betina masing-masing yaitu sebesar 51% (Tabel 5). Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) angka eksploitasi optimal hanya sebesar 50%, sehingga angka tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi telah mengalami tangkap lebih. Tingginya tingkat eksploitasi mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang sangat tinggi terhadap stok ikan kurisi di Perairan Teluk Banten. Penangkapan berpengaruh terhadap perubahan populasi ikan di suatu Perairan (Masrikat 2012).
Model Produksi Surplus Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum) dan tangkapan maksimum lestari. Rumus-rumus model produksi surplus (MPS) hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan upaya penangkapan akan menyebabkan penurunan CPUE (Utami et al. 2012). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) dengan medel Fox yaitu 0,81 yang berarti model ini dapat mewakili keadaan sebenarnya sebesar 81% (Lampiran 10). Model Fox menduga upaya optimum (fmsy) sebesar 1442 trip per tahun dan Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 135 ton per tahun. Pada tahun 2010 dan 2011 hasil tangkapan telah melebihi nilai MSY yaitu 141 ton per tahun tetapi dengan upaya tangkap yang berbeda dan telah melebihi upaya optimum yaitu 2449 trip per tahun pada tahun 2010 dan 1883 trip per tahun untuk tahun 2011.Keadaan ini dapat mengindikasikan bahwa ikan kurisi di Teluk Banten diduga telah mengalami tangkap lebih.
Pengelolaan Ikan Kurisi Menurut FAO (1997) in Widodo dan Suadi (2006), pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Ikan-ikan contoh yang teramati pada penelitian ini memiliki ukuran lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad (Lm). Oleh karena itu dapat diduga bahwa stok sumber daya ikan kurisi yang ditangkap di Perairan Teluk Banten telah mengalami kondisi growth overfishing, yaitu ikan-ikan kurisi yang berukuran kecil banyak tertangkap oleh nelayan sebelum ikan tersebut mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Tingginya aktivitas penangkapan akan mempengaruhi terhadap ketersediaan stok dari ikan kurisi. Untuk mencegah kondisi perikanan seperti ini maka diperlukan suatu pengelolaan yang dapat
23 mengurangi laju eksploitasi dari ikan kurisi (Nemipterus japonicus) serta pemanfaatannya lestari dan berkelanjutan. Pendekatan rencana pengelolaan pada penelitian ini adalah menggunakan konsep MSY dengan model Fox yaitu upaya penangkapan tidak melebihi 1442 trip per tahun dengan MSY 135 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) sebesar 97 ton per tahun. Pengelolaan juga dapat dilakukan dengan cara pengaturan upaya penangkapan, dan pengaturan ukuran mata jaring. Selain itu perlu adanya penetapan sangsi yang tegas serta kerja sama antara para stakeholder terkait agar kelestarian ikan tetap terjaga dan nelayan dapat sejahtera.
4
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ikan kurisi di Perairan Teluk Banten diduga telah mengalami kondisi growth overfishing dan memiliki laju eksploitasi sebesar 0.5143 untuk ikan kurisi jantan sedangkan untuk ikan kurisi betina adalah 0.5108. Hal ini menunjukkan laju eksploitasi telah melebihi laju ekploitasi optimum sebesar 0.5 sehingga diduga ikan kurisi di Perairan Teluk Banten telah mengalami tangkap lebih. Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan meliputi pengaturan upaya penangkapan kurang dari 1442 trip per tahun dengan hasil tangkapan maksimum lestrai (MSY) 135 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) sebesar 97 ton per tahun dan menangkap ikan pada ukuran lebih dari 213 mm dengan ukuran mata jaring lebih dari 1.5 inchi.
Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai musim pemijahan untuk menambah informasi mengenai sumber daya ikan kurisi di Perairan Teluk Banten yang nantinya dapat mendukung pengelolaan ikan kurisi yang lebih tepat dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Affandi R, Sulistiono, Firmansyah A, Sofiah S, Brojo M, Mamengke J. 2007. Aspek biologi ikan butini (Glossogobius Matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14(1): 13-22.