5
2 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya dan Pemupukan Tanaman Buncis Buncis (Phaseolus vulgaris) termasuk sayuran polong semusim divisi spermatophyta, sub divisi: angiospermae, kelas: dicotyledonae, sub kelas: calyciflorae, ordo: rosales (leguminales), famili: leguminosae (papilionaceae), sub famili: papilionoideae, genus: phaseolus dan merupakan tanaman budidaya penting untuk pangan (Rubyogo et al. 2004). Tanaman ini bukan tanaman asli Indonesia melainkan tempat asal primernya adalah Meksiko Selatan dan Amerika Tengah, sedangkan daerah sekunder adalah Peru, Equador, Bolivia dan menyebar ke negara-negara Eropa sampai ke Indonesia dan sering disebut snap beans atau french beans. Kacang buncis tipe tegak (kidney-bean) atau kacang jago adalah tanaman asli lembah Tahuaacan-Meksiko (Maesen et al. 1992). Beberapa nama diberikan pada jenis buncis ini seperti snap bean, french bean dan string bean (Satti et al. 2010). Buncis mini (french bean) adalah tanaman yang biasa tumbuh di pegunungan Kashmir selama musim semi untuk menghasilkan polong hijau dan biji kering. Sekarang dibudidayakan juga sebagai tanaman musim dingin sehingga dinamai sebagai “Rabi-Rajmash”. Polong hijau dan biji kering keduanya kaya akan kandungan protein dan digunakan sebagai sayuran (Neeraj dan Singh 2011). Buncis bentuknya semak atau perdu terdiri dua tipe pertumbuhan yaitu tipe merambat (indeterminate) mencapai tinggi tanaman ± 2 m bahkan dapat mencapai 2.4 m dan lebih dari 25 buku pembungaan sehingga memerlukan turus untuk pertumbuhannya dan tipe tegak/pendek (determinate) tinggi tanaman antara 3050 cm dengan jumlah buku sedikit dan pembungaannya terbentuk di ujung batang utama. Daun buncis berdaun tiga dan menyirip. Bunga berukuran besar dan mudah terlihat, berwarna putih, merah jambu atau ungu dan merupakan bunga sempurna (Rubatzky 1997). Buncis merupakan salah satu sumber protein nabati dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dan lengkap. Buncis mempunyai potensi ekonomi yang cukup baik sebab peluang pasarnya cukup luas yaitu untuk sasaran pasaran dalam negeri maupun pasar luar negeri (ekspor). Selain dikonsumsi dalam bentuk polong dan biji yang dimasak, di Afrika dan di Amerika Latin, tajuk dan daunnya yang muda biasa digunakan sebagai lalapan (Rubatzky 1997). Buncis tipe tegak berasal dari daerah tropis sehingga apabila ditanam di daerah tropis pada dataran rendah tidak begitu jauh keadaan mikro klimatnya (Putrasamedja 1992). Buncis tipe tegak di Indonesia merupakan tanaman sayuran yang spesifik dataran tinggi. Buncis biasanya diusahakan di daerah-daerah dengan ketinggian 500-1500 m dpl (Pinilih 2005). Buncis tegak memiliki habitus tanaman yang tegak, tidak seperti buncis rambat yang memiliki habitus merambat. Buncis tegak selain mempunyai potensi produksi tinggi, pembudidayaannya tidak memerlukan ajir, sehingga dapat menghemat biaya produksi sebesar 30 % dibandingkan dengan buncis tipe merambat (Sumpena dan Hilman 2000).
6
Buncis telah secara luas dikenal masyarakat sebagai sayuran yang bernilai gizi tinggi ditambah dengan adanya khasiat antihiperglikemik (bahan yang dapat menurunkan kadar glukosa darah) dan didukung kecendrungan pasar global kembali ke tanaman obat alami untuk pemeliharaan berbagai aspek kesehatan, maka diyakini bila buncis dapat dikembangkan menjadi sediaan bahan baku obat antihiperglikemik oral akan mempunyai nilai ekonomis yang prospektif (Andayani 2003). Buncis membutuhkan nitrogen dalam jumlah yang tinggi pada tahap perkembangan pertama untuk perkecambahan dan perkembangan simbiosis fiksasi nitrogen. Pada tahap berikutnya perkembangan kebutuhan nitrogen dipenuhi dari bakteri. Sejumlah nitrogen yang bersimbiosis bergantung pada jenis tanaman, efisiensi bakteri yang diinokulasi dan karakteristik tanah (Bildirici dan Yilmaz 2005). Permasalahan pemupukan, pengolahan lahan pertanian yang intensif, pencucian hara, erosi yang tinggi pada budidaya tanaman sayuran menyebabkan penurunan produktivitas, pemadatan lahan dan berkurangnya bahan organik tanah (Russel et al. 2006; Nissen dan Wander 2003). Beberapa permasalahan tersebut apabila berlangsung dalam jangka waktu yang lama, diprediksikan kondisi lahan sayuran akan mengalami degradasi lahan atau tidak berkelanjutan (Addiscot 2000). Penggunaan pupuk organik dalam budidaya sayuran memiliki beberapa keuntungan terutama untuk mempertahankan kondisi tanah dan menekan penggunaan pupuk anorganik (Widawati et al. 2010). Pemupukan dalam budidaya tanaman buncis adalah salah satu usaha untuk meningkatkan produksi. Di sisi lain apabila dosis pupuk yang diberikan tidak tepat, terlalu rendah produksi juga rendah, terlalu tinggi mencemari lingkungan dan merupakan suatu pemborosan. Lebih dari itu fenomena bahaya penggunaan pupuk berlebihan dan pestisida sintetik, memicu isu internasional trend gaya hidup sehat dengan slogan ”Back to Nature” di masyarakat dunia yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus mempunyai atribut; aman dikonsumsi (food savety attributes), bernutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes) (Winarno et al. 2002)
Peranan Pupuk Organik dan Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Perbaikan Kualitas Tanah Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian yang diusahakan secara intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C organik dalam tanah, yaitu<2% . Untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik >2.5%. Sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Bahan organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian, mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan (Badan Litbang Pertanian 2006).
7
Peranan bahan organik dalam budidaya pertanian adalah sebagai penyedia hara dan sebagai penyubur tanah. Bahan organik dapat diperoleh dari berbagai sumber, di antaranya adalah pupuk hijau yang merupakan bagian tanaman, limbah pertanian yang merupakan sisa panen (Rachman et al. 2011) dan kompos yang merupakan bahan organik seperti dedaunan, jerami, alang-alang rerumputan, kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah (Setyorini et al. 2011). Beberapa manfaat pemberian bahan organik adalah meningkatkan kandungan humus tanah, mengurangi pencemaran lingkungan, mengurangi pengurasan tanah yang terangkut dalam bentuk panenan dan erosi, memperbaiki sifat-sifat tanah serta memperbaiki kesehatan tanah (Swift dan Sanchez 1984). Bahan organik tanah memainkan peranan penting dalam kesuburan tanah dan merupakan sumber hara penting bagi tanaman. Humus tanah yang merupakan komponen terbesar bahan organik tanah juga berfungsi memelihara kondisi fisik tanah secara optimum untuk pertumbuhan tanaman, kapasitas pengikatan air dan ketersediaan hara. Hal ini terkait dengan eksistensi mikrob yang terdapat dalam bahan organik tersebut. Proses utama aktivitas mikrob di dalam tanah adalah mineralisasi bahan organik tersebut. Di dalam proses dekomposisi, ion kompleks organik dalam residu dapat dimineralisasi atau dikonversi dari bentuk organik ke bentuk anorganik seperti N, P dan S (Havlin et al. 2005). Proses mediasi biologi melalui dekomposisi bahan organik oleh mikrob merupakan hal penting dalam kerangka pemeliharaan, ketersediaan hara dan siklus materi (Tremblay dan Benner 2006). Pupuk organik mengandung unsur hara makro dan mikro namun dalam jumlah sedikit dan lambat tersedia. Pupuk organik juga mengandung asam-asam organik, hormon dan zat perangsang tumbuh yang sangat dibutuhkan tanaman dan tidak dimiliki oleh pupuk anorganik. Penggunaan pupuk organik lebih berperan dalam memperbaiki kesuburan tanah dan kualitas tanaman dibandingkan pensuplai unsur hara (Badan Litbang Pertanian 2010). Pupuk kandang merupakan satu jenis bahan organik yang umumnya digunakan dalam budidaya pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan hasil pertanian. Penambahan bahan organik dalam suatu budidaya tanaman dimaksudkan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah meliputi pembentukan struktur, meningkatkan konsistensi, memperbaiki porositas, meningkatkan daya mengikat air dan meningkatkan ketahanan terhadap erosi. Terhadap sifat kimia tanah, bahan organik memiliki peranan dalam meningkatkan kapasitas tukar kation, kapasitas tukar anion, menurunkan atau meningkatkan pH tanah, menigkatkan daya sangga tanah dan kegaraan tanah. Terhadap sifat biologi tanah, peranan bahan organik adalah sebagai sumber energi bagi makro dan mikro fauna tanah, penambahan bahan organik dalam tanah akan meningkatkan aktiviats dan populasi makro dan mikro fauna tanah sehingga proses dekomposisi dan mineralisasi juga meningkat (Atmojo 2003).
8
Pupuk kandang memiliki sifat alami tidak merusak tanah, menyediakan unsur hara makro (N, P, K, Ca dan S) serta unsur mikro. Selain itu, pupuk kandang juga berfungsi untuk meningkatkan daya pegang air tanah, meningkatkan aktivitas mikrobiologi, meningkatkan nilai kapasitas tukar kation serta memperbaiki struktur tanah. Dibandingkan bahan organik lain, pupuk kandang kotoran ayam memiliki kandungan unsur hara yang cukup tinggi yaitu 2.6% N, 2.9% P, dan 3.4% K (Santoso et al. 2004). Pupuk kandang ayam mengandung unsur hara lebih tinggi dibanding pupuk kandang lainnya. Selain dapat meningkatkan produktivitas tanaman, penggunaan pupuk kandang ayam merupakan salah satu komponen budidaya tanaman yang ramah lingkungan dan memiliki pengaruh yang baik terhadap tanah melalui perbaikan fisika, biologi dan kimia tanah yang lebih baik dari pupuk kandang lainnya. Penelitian Eliyani (1999) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang ayam 10 ton ha-1 dapat memperbaiki sifat kimia tanah yaitu meningkatkan kadar C organik tanah (1.72%), meningkatkan pH tanah berkisar antara 0.08-0.17 satuan dan meningkatkan kadar P-Bray tanah saat panen. Penelitian Susanti (2006) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang ayam 15 ton ha-1 merupakan dosis terbaik yang menghasilkan produksi biomassa tertinggi yaitu 10.73 g bobot kering daun dan 6.36 bobot kering umbi per tanaman pada tanaman kolesom. Pupuk kandang ayam juga dapat berfungsi sebagai carrier (pembawa) inokulan konsorsium bakteri yang dibentuk oleh strain Azospirillum, Azotobacter dan P-Solubiliser bakteri. Pupuk kandang ayam carrier ini berfungsi sebagai biofertilizer yang mampu meningkatkan kualitas fisik, kimia, mikrobiologi dan biokimia tanah (Rivera-Cruz et al. 2008). Pupuk hayati menjadi satu alternatif input produksi dalam budidaya tanaman, khususnya kegiatan yang menyangkut pemupukan. Biofertilizer atau pupuk hayati didefinisikan sebagai sebuah komponen yang mengandung mikrob untuk meningkatkan ketersediaan kandungan unsur hara bagi tumbuhan. Pupuk tersebut mengandung mikrob hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman. Bioteknologi berbasis mikrob dikembangkan dengan memanfaatkan peran penting bakteri. Upaya untuk meningkatkan peran mikrob tersebut melalui aplikasi ke daerah perakaran diharapkan dapat memacu pertumbuhan tanaman (Simanungkalit 2001). Kemampuan mikrob dalam menghasilkan hormon pertumbuhan (IAA, sitokinin dan giberelin) dapat meningkatkan pertumbuhan rambut-rambut akar sehingga penyerapan air dan hara mineral lebih efisien (Lerner 2005). Pada hasil penelitian Wibowo (2007) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk hayati (Azotobacter, Azospirillum, Pseudomonas, Bacillus dan Rhizobium) mampu meningkatkan kandungan hormon IAA rata-rata sebesar 73-159% pada tanaman caisim, jagung dan kedelai.
9
Penggunaan pupuk hayati yang mengandung bakteri Azospirillum, Azotobacter, Pseudomonas dan Bacillus dapat memacu pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman khususnya pada jagung, tomat dan kentang. Pupuk hayati dapat meningkatkan ukuran tongkol, bobot biji jagung , jumlah serta bobot buah tomat. Pada tanaman kentang, penambahan pupuk hayati selain meningkatkan produksi juga dapat meningkatkan jumlah umbi berukuran besar (Hamim et al. 2007). Aplikasi pupuk hayati menjadi pelengkap sangat baik, karena selain meningkatkan kesuburan tanah juga memacu pertumbuhan tanaman (Vessey 2003). Manfaat lain dari penggunaan pupuk hayati adalah sebagai kontrol biologi terhadap berbagai macam jenis penyakit tumbuhan. Pupuk hayati yang diaplikasikan pada proses pembibitan kacang buncis (Vigna mungo) mampu menekan munculnya penyakit busuk akar hingga 77% dan meningkatkan daya kecambah hingga 20% (Mohammad dan Hossain 2003). Komunitas mikrob dapat berperan dalam pertumbuhan tanaman melalui beberapa mekanisme, antara lain : meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara di dalam tanah, meningkatkan kemampuan bersaing dengan patogen akar (Weller et al. 2002) Pupuk hayati merupakan inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu atau menfasilitasinya tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman (Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Salah satu faktor yang menentukan mutu suatu pupuk hayati adalah keefektifan strainstrain/spesies-spesies mikrob yang terkandung dalam pupuk hayati tersebut. Mikrob tersebut pada dasarnya diisolasi dari dalam tanah. kemudian diskrining berdasarkan sifat tertentu yang diinginkan (tanah kering, masam, dan sebagainya) selanjutnya diformulasi sebagai inokulan (Simanungkalit et al. 2006). Untuk aplikasi inokulan perlu bahan pembawa yang mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Keberadaan mikrob di dalam pupuk hayati tersebut meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui penyediaan hara bagi tanah, misalnya melalui fiksasi N, atau membuat hara lebih tersedia dengan pelarutan P atau meningkatkan akses tanaman untuk mendapatkan unsur hara yang memadai. Mikrob yang diformulasikan dalam bentuk pupuk hayati menurut Vessey (2003) dikenal dengan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). Pupuk hayati mengandung mikrob yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah agrolingkungan karena mikrob tersebut memiliki kemampuan untuk meningkatkan ketersediaan hara dan serapan hara, pertumbuhan tanaman dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Adesemoyo dan Kloepper 2009). Peningkatan serapan hara juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas mikrob yang terdapat dalam pupuk hayati. Peningkatan serapan hara N dipacu oleh aktivitas mikrob yang mampu mengikat N bebas yaitu Azotobacter dan Azospirillum tanpa harus bersimbiosis dengan tanaman (Goenadi 2004). Simanungkalit (2001) menyatakan bahwa di daerah perakaran (rizosfer) cukup banyak mikrob yang menguntungkan, mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman melalui peningkatan serapan hara dan mencegah timbulnya penyakit yang berasal dari tanah. Kelompok mikrob yang berperan sebagai pupuk hayati ada yang bersifat simbiotik (Rhizobium, Bradyrhizobium, mikoriza) maupun nonsimbiotik (Azotobacter, Azospirillum, Pseudomonas dan Bacillus). Berbagai inokulum pupuk hayati telah dikomersilkan di Indonesia, ada yang berupa strain
10
tunggal (mengandung satu strain mikrob) dan ada yang multistrain (mengandung dua atau lebih strain mikrob). Tidak seperti senyawa agrokimia sintesis yang fungsi dan pengaruhnya sama di berbagai kondisi dan lingkungan, mikrob memiliki tanggap yang relatif berbeda untuk tiap rentang kondisi lingkungan yang berbeda. Beragamnya kondisi lingkungan (jenis tanah, tingkat pengelolaan tanah, iklim dan jenis tanaman yang diusahakan) dengan masa pengujian yang pendek dan teknik aplikasi yang belum tepat merupakan kendala yang harus diteliti untuk keberhasilan pemanfaatan pupuk hayati ke depan (Husen et al. 2006). Mikrob penambat N tanpa bersimbiosis dengan legume meliputi : Azospirillum, Azotobacter, Herbaspirillum, dan Azoarcus (Saikia dan Jain 2007). Spesies-spesies Azotobacter yang telah diketahui/ dikenal antara lain: A. chroococcum. A. beijerinckii. A. paspali. A. vinelandii. A. agilis. A. insignis dan A. macrocytogenes (Wedhastri 2002). Sedangkan mikrob pelarut fosfat di dalam tanah ada dua kelompok yaitu dari kelompok bakteri dan jamur. Pelarut P dari kelompok bakteri antara lain adalah Pseudomonas dan Bacillus, sedangkan dari kelompok fungi adalah Aspergillus dan Penicilium ( Ruhnayat 2007). Pengikatan N oleh mikroba penambat dilakukan dengan mengubah nitrogen di atmosfer menjadi ammonia melalui enzim nitrogenase (Saikia dan Jain 2007). Azotobacter adalah bakteri penambat nitrogen aerobik yang mampu menambat nitrogen dalam jumlah yang cukup tinggi, bervariasi ± 2 – 15 mg nitrogen/g sumber karbon yang digunakan (Wedhastri 2002). Pada medium yang sesuai Azotobacter mampu menambat 10 – 20 mg nitrogen/g gula. Azotobacter sangat sensitif pada alkalinitas, asiditas dan optimum pada pH 7-8. Ion aluminium bersifat toksik untuk Azotobacter. Hal ini merupakan hambatan utama bagi Azotobacter yang berasal dari tanah podsolik (Isminarni et al. 2007). Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi penambatan nitrogen antara lain suhu, kelembaban tanah, pH tanah, sumber karbon, cahaya dan penambatan nitrogen. Disamping itu jumlah bakteri penambat nitrogen pada perakaran, potensial redoks dan konsentrasi oksigen juga dapat mempengaruhi aktivitas penambatan nitrogen (Wedhastri 2002). Sistem pertanian berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan kualitas tanah sebagai tempat tumbuh tanaman. Kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Secara umum terdapat tiga makna pokok dari definisi tersebut yaitu produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi, mutu lingkungan yaitu tanah diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran air , tanah, udara, penyakit dan kerusakan sekitarnya dan ketiga kesehatan makhluk hidup (Doran dan Parkin 1994). Penambahan bahan organik merupakan salah satu cara peningkatan kualitas tanah (Sanchez 1992). Bahan organik terdiri dari campuran residu tanaman dan hewan dalam berbagai tahap dekomposisi, tubuh mikroorganisme dan hewan kecil yang masih hidup maupun sudah mati serta sisa-sisa hasil dekomposisi (Schnitzer 1991). Dengan pemberian bahan organik, dapat diperoleh beberapa manfaat diantaranya dapat meningkatkan kandungan unsur hara, mengurangi pencemaran lingkungan serta mampu memperbaiki sifat-sifat tanah.
11
Secara umum indikator kualitas tanah harus mengintegrasikan sifat kimia fisik dan biologi tanah, mudah diperoleh oleh para pengguna dan diaplikasikan pada berbagai kondisi lapangan, peka terhadap perubahan pengolahan tanah dan iklim, dapat diukur atau diprediksi di lapangan dan di laboratorium dan sedapat mungkin tersedia dalam basis data tanah. Salah satu indikator kualitas tanah adalah kandungan bahan organik tanah, selain indikator yang lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Diambilnya bahan organik sebagai salah satu indikator yang perlu diperhatikan karena sifatnya yang sangat labil dan kandungannya berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan tanah (Blair et al. 1998). Walaupun kandungan bahan organik tanah sangat sedikit yaitu 1-5% dari berat total tanah mineral, namun pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar. Manfaat bahan organik sudah teruji kehandalannya dalam memperbaiki kualitas tanah (Stevenson 1994).
Efektifitas Pupuk Organik dan Pupuk Hayati dalam Meningkatkan Efisiensi Pupuk Anorganik Pengembangan pupuk anorganik berdampak positif terhadap peningkatan produksi, namun penggunaan pupuk anorganik juga berdampak negatif, seperti pencemaran lingkungan dan inefisiensi pemupukan. Dampak negatif ini disebabkan pemakaian pupuk anorganik tidak menurut aturan yang seharusnya digunakan bersama dengan pupuk organik, takarannya sesuai dengan keperluan tanaman guna mengurangi dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik (Badan Litbang Pertanian 2010). Pupuk anorganik atau disebut juga pupuk mineral adalah pupuk yang mengandung satu atau lebih senyawa anorganik seperti N, P dan K. Pupuk N utama adalah pupuk Urea (CO(NH2)2 yang mengandung 46% N, berbentuk pril/tablet, warna putih dam mudah larut dalam air. Bila urea digunakan pada lahan kering, tanaman menyerap N sebagian besar dalam bentuk NO3 - karena ammonium yang dikandung dalam pupuk urea akan mengalami oksidasi, tanaman menyerap NH4+ dalam jumlah kecil (Adiningsih 2004). Selain N, tanaman juga membutuhkan P dan K. Fosfor umumnya diserap tanaman dalam bentuk H2PO4- dan HPO42- dimana kemasaman tanah sangat menentukan nisbah serapan H2PO4- dan HPO42-. Fosfor diserap oleh tanaman dan didistribusikan ke setiap sel dalam tanaman. Fosfor sangat berpengaruh terhadap perkembangan tanaman. Hal ini disebabkan P banyak terdapat dalam sel tanaman berupa unit nukleotida. Unsur P dapat menstimulir pertumbuhan dan perakaran tanaman, keadaan ini berhubungan dengan fungsi P dalam metabolisme sel. Dari percobaan-percobaan pada tanah yang kekurangan P, bila dipupuk P ternyata pertambahan bagian akar lebih besar jika dibandingkan dengan bagian atas tanaman (Havlin et al. 2005). Unsur P berperan dalam proses fotosintesis, respirasi, penyimpanan energi, transfer, pembelahan dan perbesaran sel serta berperan dalam pertumbuhan akar dan pucuk tanaman (Bennet 1996). Salah satu bentuk pupuk kalium adalah pupuk KCl yang mengandung 4061.5% K2O, berbentuk kristal atau briket, berwarna merah muda dan larut dalam air. Kalium dalam tanah terdapat dalam bentuk tersedia (K-dapat dipertukarkan; K dalam larutan tanah), lambat tersedia (terfiksasi dalam ilit, biotit) dan yang sukar
12
tersedia (feldspar, muskovit). Kalium dalam tanaman berperan dalam pembelahan sel, fotosintesis, translokasi gula, reduksi nitrat dan aktivitas enzim (Leiwakabessy 1998). Unsur K memegang peranan penting dalam proses membuka dan menutup stomata, transportasi unsur hara dari akar ke daun, serta proses kerja enzim pertumbuhan (Masdar 2003). Unsur K juga banyak terlibat dalam sistem selular tanaman, sistem enzimatis, ketahanan tanaman, sintesis selulosa, sintesis protein dan pengaturan pH (Amrutha et al. 2007). Apabila unsur hara esensial tersebut tidak cukup bagi tanaman maka akan berakibat rendahnya pertumbuhan dan produksi tanaman (Mendoza et al. 2009). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/2007 merekomendasikan pengembalian bahan organik atau pemberian pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi dan kesuburan tanah, sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik (Badan Litbang Pertanian 2010). Kandungan bahan organik di dalam tanah perlu dipertahankan agar jumlahnya tidak sampai dibawah 2 %, dan hingga sekarang pupuk organik tetap digunakan karena fungsinya belum tergantikan oleh pupuk anorganik. Beberapa manfaat pupuk organik (kompos) antara lain: mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro walaupun dalam jumlah kecil, memperbaiki granulasi tanah berpasir dan tanah padat sehingga dapat meningkatkan kualitas aerasi, memperbaiki drainase tanah, dan meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air. Disamping itu kompos juga mengandung asam humik (humus) yang mampu meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan membantu meningkatkan pH pada tanah asam (Lulakis dan Petsas 1995). Tanah yang kaya bahan organik bersifat lebih terbuka dengan aerasi yang baik, relatif lebih sedikit hara yang terfiksasi mineral tanah sehingga yang tersedia bagi tanaman lebih besar dan menjadi sumber energi mikrob tanah dalam dekomposisi dan mempercepat pelepasan hara. Pupuk anorganik tidak dapat menggantikan manfaat ganda bahan organik, namun dapat ditambahkan untuk membuat hara lebih tersedia (Sutanto 2002). Aktivitas mikrob dan daur nutrisi yang meliputi substansi bahan organik tanah berdampak terhadap ketersediaan nutrisi bagi tanaman (Havlin et al. 2005). Pendekatan terpadu dengan menggunakan kombinasi pupuk hayati, pupuk organik dan pupuk anorganik merupakan pendekatan yang baik. Percobaaan di rumah kaca oleh Hamim et al. (2007) dengan menggunakan kombinasi antara pupuk hayati dan kompos 5 ton/ha menghasilkan bobot kering jagung pipilan tertinggi yakni 41,6 g per pot jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk hayati. Menurut Simanungkalit (2001), inokulasi kedelai dengan pupuk hayati Bradyrhizobium japonicum pada tanah podsolik merah kuning di Tamanbogo (Lampung Tengah) menunjukkan tanpa pupuk N (Urea) tingkat efisiensinya lebih tinggi. Besarnya kenaikan hasil yang diperoleh dengan inokulasi tanpa pupuk N rata-rata 20%. Penelitian yang dilakukan El Ainy (2008) pada tanaman jagung dan padi serapan hara makro mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 50-97 % dan 10.9-22.5 % sebagai respon terhadap aplikasi pupuk hayati. Walaupun demikian, penggunaan pupuk anorganik maupun organik sebagai tambahan sumber nutrisi masih diperlukan untuk meningkatkan efektifitas pupuk hayati dalam meningkatkan serapan hara tanaman.
13
Efisiensi pemupukan perlu ditingkatkan karena pupuk yang diberikan ke tanaman tidak seluruhnya diserap oleh tanaman. Tanaman menggunakan sekitar 50% dari pupuk N yang diberikan (Saikia dan Jain 2007). Tanaman hanya mengambil 10-25% P yang diberikan melalui pemupukan, sebagian besar mengakibatkan perubahan kimia dalam tanah menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman (Mikanova dan Novakova 2002). Ginting et al. (2006) juga menyatakan bahwa pemberian pupuk P hanya 15-20% saja yang dapat diserap oleh tanaman. Sehingga salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi pemupukan adalah dengan pemanfaatan mikrob sebagai pupuk hayati.