2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman dan Produk Gambir Gambir merupakan resin yang diekstrak dari daun dan cabang-cabang muda tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.), dikristalkan dan diperdagangkan dalam bentuk kubus atau blok kecil (Ridsdale, 2007). Selanjutnya, Thorpe dan Whiteley (1953) menyatakan bahwa catechu (produk gambir untuk pewarna) merupakan produk berwarna kuning biasanya berbentuk kubus dan diperoleh dari tumbuhan Uncaira gambir yang merupakan tanaman semak, baik yang liar maupun yang dibudidayakan. Catechu tersebut diisolasi melalui ekstraksi daun dan ranting dengan air panas sampai cairannya mengental seperti sirup. Bahan yang tidak larut kemudian dipisahkan dengan menggunakan saringan. Setelah dingin, massa berbentuk pasta tersebut dipotong-potong membentuk kubus berukuran 2.5 cm dan dikeringkan. Tumbuhan gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) termasuk dalam divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Gentianales, family Rubiaceae dan genus Uncaria (Ridsdale, 2007). Gambir merupakan liana yang batang mudanya berbentuk persegi dan batang utamanya tegak, dilengkapi dengan kait yang melengkung. Kait tersebut adalah modifikasi dari gagang perbungaan. Daunnya berhadapan, agak menjangat, pinggirannya rata, berbentuk bundar telur sampai lonjong, gundul, pertulangan daun bagian bawah menonjol dengan rambut-rambut domatia, penumpunya rata, gundul, panjangnya 7.5-12.5 cm (Gambar 3). Perbungaannya bertipe bongkol, tumbuh di ketiak daun dan di ujung ranting, bongkol itu berdiameter 6-8 cm, tangkai bunga mencapai panjang 3 mm, gundul, hipantium bergaris tengah 1-2 mm, berambut rapat, berwarna kuning sampai merah tua, tabung mahkota berbentuk benang, bagian luar berbulu jarang, panjangnya 10-15 mm, daun kelopak panjangnya 5-7 mm, tabungnya + 2.5 mm. Buahnya berbentuk bulat agak lonjong, berdiameter 15-17.5 mm (Djarwaningsih, 1993). Gambir dibudidayakan pada lahan dengan ketinggian 200-800 m di atas permukaan laut, mulai dari topografi agak datar sampai di lereng bukit. Biasanya gambir ditanam sebagai tanaman perkebunan di pekarangan atau kebun di pinggir
10 hutan. Budidaya gambir biasanya semiintensif, jarang diberi pupuk tetapi pembersihan dan pemangkasan dilakukan (Djarwaningsih, 1993).
Gambar 3. Tanaman Gambir Sumber: Koleksi Pribadi (2010) Di Indonesia gambir pada umumnya digunakan untuk menyirih. Gambir diketahui merangsang keluarnya getah empedu sehingga membantu kelancaran proses dalam perut dan usus (Djarwaningsih, 1993). Fungsi gambir yang lain adalah untuk campuran obat seperti untuk luka bakar, obat sakit kepala, obat diare, obat disentri, obat kumur-kumur, obat sariawan, serta obat sakit kulit yang digunakan dengan cara dibalurkan, penyamak kulit dan bahan pewarna tekstil. Fungsi yang tengah dikembangkan juga adalah sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel (Nazir, 2003). Menurut Ridsdale (1993), gambir memiliki tiga kegunaan utama yaitu:
(1) untuk penyamak kulit, (2) untuk menyirih yang
dikonsumsi bersama buah pinang (Areca catechu L), kapur dan daun sirih (Piper betle L.) serta (3) untuk obat-obatan. 2.2 Kandungan Kimia Gambir Kandungan utama gambir yang juga dikandung oleh banyak anggota Uncaria lainnya adalah flavonoid (terutama gambirin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid seperti gambirtanin serta turunan dihidro dan okso-nya (Thorpe dan Whiteley, 1921). Menurut Djarwaningsih (1993), daun gambir mengandung katekin yang bersifat sedikit larut dalam air
11 dingin tetapi cepat larut dalam air panas serta asam penyamak kateku (catechu) yang larut dalam air dingin. Gambir batangan yang digunakan untuk penyamak di Eropa mengandung 35-40 persen tanin. Dengan metode ekstraksi yang canggih, persentase olahan tanin dapat ditingkatkan sehingga dari gambir batangan dapat diperoleh katekin sebesar 65 persen dan sedikit asam penyamak kateku. Untuk proses penyamakan, dari gambir dapat dihasilkan bahan penyamak bermutu baik terutama bila dicampur dengan bahan penyamak lainnya. 2.2.1 Katekin Katekin merupakan senyawa flavonoid yang bersifat sebagai antioksidan. Katekin terutama terdapat pada tanaman berkayu, baik sebagai (+)-katekin maupun (-)-epi-katekin (cis).
Katekin memiliki nama kimia (2R,3S)-2-(3,4-
dihydroxyphenyl)chroman-3,5,7-triol dengan rumus kimia C15H14O6. Rumus struktur katekin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Rumus Struktur Katekin (Sumber: http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
Katekin dari gambir banyak digunakan dalam pewarnaan untuk produksi katun dan dikenal sebagai “catechu brown” yang bersifat tahan terhadap cahaya, larutan asam atau basa, juga bahan pemutih. Untuk mendapatkan sifat tersebut, katun direndam dalam larutan catechu panas (1-2%) yang telah ditambahkan CuSO4 (6% dari bobot catechu yang ditambahkan). Katun di atas dibiarkan di dalam wadah tersebut sampai dingin, selanjutnya direndam di dalam wadah kedua yang berisi larutan K2Cr2O7 hangat atau mendidih (0.1-0.2%).
Warna yang
terbentuk akan diperkuat oleh CuCr2O7. Wool juga dapat diberi warna dengan katekin menggunakan metode yang sama, sedang pewarnaan sutra dengan catechu terutama dilakukan untuk tujuan weighting (Thorpe dan Whiteley, 1953).
12 2.2.2 Tanin Menurut Hilbert (1954), tanin adalah sekelompok besar senyawa organik kompleks yang larut dalam air, dan tersebar secara luas di dalam berbagai tumbuhan.
Hampir setiap tumbuhan mengandung tanin dalam daun, ranting,
kulit kayu, kayu atau buahnya.
Namun, tanin komersial hanya diambil dari
tanaman yang kandungan taninnya tinggi. Tanaman dengan kandungan tanin yang lebih rendah dari 10% tidak ekonomis untuk diekstrak. Klasifikasi utama tanin dari tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 5. Bentuk tanin yang paling murni yaitu asam gallotanin bersifat tidak berwarna, tidak berbau, larut dalam air dan dapat bergabung dengan gelatin yang terdapat dalam kulit. Karena sifat tersebut, maka tanin sangat penting dalam industri penyamakan kulit (Hilbert, 1954). Kelas I. Tanin Katekol (Catechol tannins) Dengan larutan Brom memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan hitam kehijauan. Dengan CuSO4 diikuti dengan Amoniak berlebihan, ada dua kelas: Kelass A (Endapannya larut) Cutch (Acacia catechu) Quebracho Hemlock Larch Gambier Quercitron
Kelas B (Endapannya tidak larut) Cutch (Mangrove) Willow Oak
Kelas II. Tanin Campuran Dengan larutan Brom memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan keunguan. Wattle bark English oak bark Chestnut oak bark Babool bark
Kelas III. Tanin Pirogalol Dengan larutan Brom tidak memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan biru hitam.
Gallnuts Sumac
Myrobalans Chestnut
Valonia Divi-divi
Gambar 5. Klasifikasi Tanin dari Tumbuhan Sumber: Hilbert (1954)
Alarrobilla
13 2.3 Agroindustri Agroindustri merupakan perusahaan yang memproses bahan baku yang berasal dari pertanian baik tanaman maupun hewan (Austin, 1981). Selanjutnya, Austin (1981) menyebutkan bahwa tingkat pemrosesan tersebut dapat bervariasi mulai dari aktivitas pembersihan dan pemilahan, pengolahan sederhana hingga modifikasi kimia untuk mendapatkan produk yang diinginkan (Tabel 1). Dalam industri pangan, transformasi tersebut bertujuan antara lain untuk mendapatkan produk yang dapat dimakan atau digunakan, mengingkatkan daya simpan, mempermudah transportasi, meningkatkan nilai gizi serta nilai cernanya. Secara umum, kerumitan teknologi, kebutuhan investasi serta aktivitas manajerial dalam agroindustri sangat tergantung pada tingkat transformasi tersebut (Austin, 1981). Tabel 1. Pengelompokan Agroindustri Berdasarkan Level Proses Transformasi Kategori Aktivitas Pengolahan I
Pembersihan Pemilahan
II
Ginning Penggilingan Pemotongan Pencampuran Pemasakan Pasteurisasi Pengalengan Dehidrasi Pembekuan Pemintalan Ekstraksi Assembly
III
IV
Modifikasi kimia Teksturisasi
Contoh Produk Buah-buahan segar Sayuran segar Telur Biji-bijian (serealia) Jute Daging Kapas Rempah-rempah Kayu Pakan ternak Karet Produk-produk susu Buah-buahan dan sayuran olahan Daging Sauces Tekstil dan garmen Minyak Furnitur Gula Minuman Makanan instan Textured vegetable products Ban
Sumber: Austin (1981) Agroindustri merupakan sektor yang sangat penting di berbagai negara, khususnya negara berkembang.
Bahkan Brown, Deloitte dan Touche (1994)
14 menyebutkan bahwa lebih dari separuh aktivitas manufaktur di berbagai negara berkembang di dunia terdiri dari agroindustri yang meliputi penanganan dan pengolahan bahan baku pertanian. Agroindustri dikenalkan di Indonesia sejak abad ke-18 melalui penerapan sistem tanam paksa. Saat itu, pemerintah Bealnda menyadari betul bahwa Indonesia secara geografis sangat cocok untuk usaha budidaya tanaman tropis dengan nilai ekonomis yang tinggi. Dimulai dari tanam paksa, berkembanglah perkebunan kopi, gula, nilam, tembakau, teh, kina serta karet dan rempah-rempah di beberapa pulau di Indonesia (Mangunwidjaja dan Saillah, 2005). Selanjutnya, Mangunwidjaja dan Saillah (2005) menyebutkan bahwa pembangunan agroindustri secara tepat diharapkan akan dapat meningkatkan keberhasilan negara berdasarkan tolok ukur sebagai berikut: Menghasilkan produk agroindustri yang berdaya saing dan memiliki nilai tambah Meningkatkan perolehan devisa dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Menyediakan
lapangan
kerja
yang dibutuhkan
dalam
mengatasi
pengangguran Meningkatkan kesejahteraan pelaku agroindustri baik di tingkat hulu maupun hilir Memelihara mutu dan daya dukung lingkungan untuk pembangunan agroindustri berkelanjutan Mengarahkan kebijakan ekonomi makro untuk berpihak kepada pemasok agroindustri. 2.4 Potensi dan Peranan Agroindustri Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat Gambir merupakan salah satu tanaman perkebunan yang cukup banyak dikembangkan di Propinsi Sumatera Barat (Tabel 2). Di wilayah tertentu, gambir bahkan menjadi sumber pencaharian yang utama bagi masyarakat. Meskipun dari segi luasnya perkebunan gambir jauh di bawah tanaman perkebunan utama seperti kelapa sawit dan karet, namun sebagai tanaman spesifik daerah, gambir
15 merupakan komoditas yang penting dan menjadi salah satu produk unggulan di daerah tersebut. Tabel 2. Luas dan Produksi berbagai Tanaman Perkebunan Tanaman Luas Area (ha) Produksi (Ton) Kab 50 Sumatera Kab 50 Sumatera Kota Barat Kota Barat Karet 5,229 87,286 10,620 146,645 Kelapa 4,594 79,829 5,849 90,760 Kulit Manis 1,776 35,232 2,873 38,300 Cengkeh 20 1,602 70 6,892 Tebu 14,576 7,239 Tembakau 959 1,033 1,215 1,350 Kopi 1,660 28,788 2,434 46,890 Gambir 9,240 13,115 13,261 19,350 Enau 307 1,158 584 1,638 Kelapa Sawit 76 326,580 29 154,484 Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat (2008) BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2008) Dari segi jumlah rumah tangga dan tenaga kerja yang terlibat, gambir merupakan komoditas yang penting di Kabupaten Lima Puluh Kota, terlebih di tiga kecamatan utama penghasil gambir yaitu Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan Koto Baru dan Kecamatan Bukit Barisan. Data jumlah penduduk, kepala keluarga (KK) dan kepala keluarga (KK) petani gambir per kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 3. Umumnya keluarga petani gambir memiliki sekitar dua hektar kebun gambir dan hampir seluruhnya memiliki minimal satu rumah kempa. Pada saat panen, tiap rumah kempa akan mempekerjakan dua-tiga tenaga kerja pengempa. Secara teoritis, gambir dapat dipanen setiap empat bulan, namun kebun gambir masyarakat umumnya dapat dipanen setiap enam bulan, dengan masa panen sekitar dua-tiga minggu per hektar. Di nagari Lubuk Alai, Kecamatan Kapur IX, diperkirakan terdapat sekitar 1,500-2,000 tenaga kerja pengempa dan pembantu pengempa. Selain tenaga kerja pengempa, diperlukan juga 2-10 orang buruh tani untuk penyiangan setiap bidang kebun gambir. Mereka bekerja beberapa saat setelah pemanenan daun gambir dilakukan (Survei dan wawancara dengan Wali Nagari dan petani gambir Nagari Lubuk Alai, Muara Paiti dan Sialang, Kecamatan Kapur IX, Juni 2010).
16 Tabel 3. Jumlah Penduduk, Jumlah Keluarga dan Jumlah Keluarga Petani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota No
Kecamatan
Jumlah Jumlah Jumlah Keluarga Penduduk Keluarga Petani Gambir (Jiwa) (KK) (KK) 1 Kapur IX 26,300 6,128 3,497 2 Pangkalan Koto Baru 27,665 6,536 1,312 3 Suliki 14,098 4,012 192 4 Guguak 33,383 8,668 28 5 Lareh Sago Halaban 32,805 8,630 341 6 Mungka 23,059 5,959 467 7 Harau 42,019 10,175 715 8 Payakumbuh 29,568 7,001 65 9 Bukit Barisan 21,921 7,102 1,385 Sumber: Bahan Presentasi Dinas Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2008 (Wawancara dengan Staf Dinas Perkebunan, Agustus 2009) 2.5 Permasalahan dalam Pengembangan Agroindustri Skala Kecil Banyak permasalahan yang dihadapi UKM menyebabkan perkembangan UKM cenderung statis.
Sebagai contoh adalah penelitian Sumaryanto et al.
(2007) tentang penguatan UKM Produk Tradisional Perikanan di Daerah Pesisir. Dari penelitian tersebut diketahui beberapa kelemahan dalam pengembangan UKM antara lain: mutu yang rendah dan tidak seragam, fluktuasi produksi yang seringkali mengganggu sistem penawaran, lemahnya penguasaan teknologi sehingga sering menimbulkan perubahan karakteristik, lemahnya manajemen kelembagaan yang menyebabkan hubungan produksi dan pasar terputus. Mangunwidjaja dan Saillah (2005) menyebutkan beberapa permasalahan dan kendala dalam pengembangan agroindustri skala kecil khususnya di pedesaan meliputi keterbatasan modal, kemampuan sumberdaya manusia, keterbatasan penerapan teknologi, sarana dan prasarana yang kurang atau tidak memadai serta kelembagaan. Permasalahan tersebut juga umum dihadapi petani pada berbagai komoditas pertanian yang penting di Indonesia, seperti permasalahan yang dihadapi petani kelapa sawit yang dikemukakan Darussamin (2011) yaitu: skala yang kecil, lemah dalam akses informasi, lemah dalam akses teknologi, penggunaan bibit yang tidak terjamin, lemah dalam manajemen, permasalahan
17 permodalan, produktivitas yang rendah, ketiadaan atau lemahnya organisasi. Hal yang sama juga terjadi pada industri kecil gambir. Berdasarkan hasil survei Tim Peneliti Gambir IPB 2009, permasalahan dalam agroindustri gambir yang seluruhnya dilakukan dalam skala kecil oleh masyarakat di Sumatera Barat meliputi permasalahan teknologi, mutu produk, pemasaran dan pemodalan (Gumbira Sa’id et al., 2009). Selanjutnya, Dhalimi (2006) merinci permasalahan permodalan yang berkaitan dengan keterbatasan modal petani serta kelembagaan yang belum mendukung untuk berkembangnya industri gambir yang kuat. Dari segi pemasaran, permasalahan yang ada meliputi fluktuasi harga gambir yang tinggi serta lemahnya posisi tawar petani dan pengempa dalam rantai pasok gambir.
Dari segi pembibitan dan budidaya,
permasalahan industri gambir pada dasarnya terkait dengan mutu dan produktivitas daun dan ranting yang masih harus ditingkatkan, sedangkan dari segi pengolahan permasalahannya terkait dengan kemampuan produksi serta masalah kualitas gambir yang dihasilkan masyarakat. Mengingat pentingnya peranan agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, maka pemecahan permasalahan di sektor tersebut akan berkontribusi besar bagi masyarakat Lima Puluh Kota khususnya, dan Sumatera Barat umumnya. Sejalan dengan kebijakan Departemen Perindustrian (2007), maka penguatan agroindustri gambir dapat ditempuh melalui strategi pembinaan secara terpadu pada aspek teknologi, pemasaran, sumberdaya manusia dan pendanaan yang didukung oleh penguatan kelembagaan. 2.6 Teknologi Proses Produksi Gambir dan Pemisahan Komponen Gambir Terdapat berbagai teknologi proses yang dapat digunakan untuk produksi gambir. Menurut Tarwiyah (2001), tahapan proses produksi gambir terdiri dari pengukusan, pemerasan, pengentalan, penirisan pencetakan dan pengeringan. Daswir, Risfaheri dan Yuliani (2003) mengemukakan tehapan proses pengolahan gambir cara Cina dan Eropa yang berbeda (Gambar 6). Di antara tahapan proses tersebut aktivitas inti dalam pengolahan gambir adalah ekstraksi getah gambir dan pengeringan. Dari hasil survei lapangan di Kabupaten Lima Puluh Kota selama periode Agustus 2009 sampai dengan Juli 2010 (Gumbira-Said et al., 2010)
18 diketahui bahwa pengeringan gambir umumnya dilakukan melalui penjemuran gambir menggunakan sinar matahari. Pada malam hari atau ketika penjemuran tidak dapat dilakukan karena cuaca yang tidak mendukung, maka gambir ditempatkan di atas para-para yang berada di atas tungku pemasakan sehingga pengeringan dapat memanfaatkan panas dan asap dari tungku. Penggunaan bak pengering dengan blower dan pemanas berbahan bakar minyak hanya dilakukan beberapa pedagang pengumpul atau eksportir. Untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi, di samping berbagai upaya peningkatan mutu gambir rakyat, maka sangat perlu dilakukan fraksinasi gambir menjadi komponen-komponennya.
Terdapat berbagai pilihan teknologi untuk
pemisahan senyawa-senyawa fenol, tanin dan katekin yang dapat digunakan untuk fraksinasi gambir.
Sebagian di antara penelitian mengenai teknologi proses
tersebut disajikan pada Tabel 4. Pambayun et al. (2007) melakukan ekstraksi produk gambir dengan berbagai jenis pelarut menghasilkan jumlah bahan terekstrak, kandungan fenol, dan sifat antibakteri yang bervariasi. Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa pada metoda maserasi dan Soxhlet, bahan terekstrak paling tinggi diperoleh pada campuran etanol air 1:1, masing-masing sebesar 84.77 dan 87.69 persen. Kandungan fenol tertinggi ditemukan pada bahan terekstrak dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat, yakni 88.30 dan 90.85 persen. Amos (2005) melakukan penelitian untuk mengekstrak katekin dari daun gambir dengan menggunakan pelarut alkohol (etanol) pada berbagai konsentrasi dan waktu perebusan. Penelitan Amos (2005) menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi etanol, maka makin tinggi katekin yang diperoleh. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa waktu perebusan berpengaruh terhadap kadar katekin yang diperoleh dalam sampel gambir.
Selanjutnya diketahui bahwa waktu
perebusan optimum adalah 25 menit sejak air mendidih.
19
Pemisahan daun dan ranting
Daun gambir dipotong halus hingga volume menjadi 1/2 volume awal
Perbusan selama 1/2 jam. Selama pemasakan daun Diaduk dan dimemarkan
Dimasukkan ke dalam air mendidih, terusm enerus ditumbuk dan diaduk selama 0.5 jam
Pengambilan ekstrak dan daun dimasak kembali
Ranting dipisahkan dengan garpu dan massa daun yang tertinggal ditumbuk dan diaduk selama 10-15 menit
Dikentalkan dengan Pemanasan sampai BJ 1.106 - 1.125 (14-16 oBe)
Ekstrak diambil dan daun didiolah kembali (ditumbuk 10 menit)
Penyaringan
Dikentalkan sampai 6.5-7.5 oBe pada suhu 90 oC o
Dikeringanginkan sampai suhu menjjadi 35 oC sambil diaduk secara berkala Ekstrak kental berwarna kuning kecoklatan
Didinginkan sampai suhu 46-48 C dan ditambahkan tepung sagu sebagai pengikat Diaduk pada suhu 40-42 oC, dituangkan ke dalam cetakan dan dibiarkan selama 612 jam Pengantongan gambir sesuai ukuran yang diinginkan
(a) Cara Cina
(b) Cara Eropa
Gambar 6. Pengolahan Gambir dengan Cara Cina dan Cara Eropa Sumber: Daswir, Risfaheri dan Yuliani (2003) Nazir (2002) melakukan penelitian pemurnian gambir untuk mendapatkan katekin murni. Dalam penelitian tersebut digunakan beberapa tahapan pemisahan dengan menggunakan beberapa pelarut yaitu air, heksan, metanol dan etil asetat. Dari penelitiannya, Nazir (2002) dapat memperoleh produk dengan kandungan katekin mencapai 95%.
20 Tabel 4. Beberapa Penelitian mengenai Teknologi Pemisahan Senyawa Fenol, Tanin, Katekin dari Tumbuhan Peneliti Makkar et al. (1993) Hayani (2003)
Topik Penelitian analisis total fenol dari tanaman Rumex hastatus Analisis kadar katekin gambir
Jerez et al. (2006)
ekstraksi senyawa-senyawa fenol dari kulit kayu pinus
Yoshida et al. (1999) Bonilla et al. (1999) Pan dan Lundgren (1995) Row dan Jin (2006)
Chang et al. (2000) Sua et al. (2003)
ekstraksi katekin dari teh hijau ekstraksi senyawa fenol dari Anggur ekstraksi senyawa fenol dari kulit kayu Picea abies ekstraksi senyawa katekin dari Teh Korea
Suzuki et al. (2005)
ekstraksi senyawa katekin dari Teh hijau Analisis stabilitas theaflavin dan katekin analisis kadar katekin dari tanaman Dyospyros kaki
Uzunalic et al. (2006) Matthews et al. (1997) Streit dan Fengel (1994)
ekstraksi kafein dan katekin dari teh hijau ekstraksi Protoanthocyanidin dari kulit kayu pemurnian tanin dari Quebracho Colorado
Metode
Bahan, faktor dsb
Ekstraksi dengan pelarut Ekstraksi dengan pelarut
Aseton-air, Metanol-Air Etil Asetat dengan Pemanasan Etil Asetat, Pengaruh Temperatur, Waktu kontak dan rasio solid liquid Pengaruh pH terhadap efisiensi ekstraksi Etil Asetat, Waktu kontak
Ekstraksi dengan pelarut ekstraksi dengan buffer dan aquadest dilanjutkan dengan filtrasi membran Ekstraksi dengan pelarut Ekstraksi dengan pelarut
Ekstraksi dengan pelarut
Etanol Air-Chloroform, Air-Etil Asetat, Waktu, Temperatur Menggunakan Packed-column extractor dikombinasikan dengan penambahan etanol Etanol, Etil Asetat dan Butanol Air-Chloroform, Air-Etil Asetat dengan Pemanasan acetone, etanol, metanol, acetonitrile, air, waktu dan temperature Metanol-Air, Pengaruh Waktu kontak
ekstraksi dengan pelarut
Aseton-air
Ekstraksi dengan pelarut
Ekstraksi dengan Karbondioksida Ekstraksi dengan pelarut Ekstraksi dengan pelarut
Ekstraksi dengan pelarut
21 Hayani
(2003) mencoba melakukan ekstraksi katekin gambir dengan
pelarut etil asetat. Ekstraksi dilakukan dengan tiga macam perlakuan yaitu (1) menggunakan pemanasan di atas hot plate sampai diperoleh suhu 52-75 oC selama 5 menit, (2) menggunakan pemanas ultrasonik selama 15 menit dan (3) menggunakan shaker selama 5 menit. Setelah ekstraksi tersebut, kadar katekin diukur melalui pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 279 nm.
Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan pemanasan dengan hot plate memberikan hasil pengukuran yang lebih tinggi sebab ektraksi berlangsung lebih sempurna. 2.7 Konsep Klaster Industri Klaster industri adalah sebuah kelompok usaha yang secara geografis berada dalam suatu wilayah yang berdekatan yang terdiri dari perusahaanperusahaan dan institusi-institusi terkait dalam bidang tertentu yang dihubungkan adanya sifat kebersamaan dan saling melengkapi satu sama lain (Porter 1998). Konsep klaster industri dari Porter (1998) didasari dari hasil penelitiannya di dalam membandingkan daya saing internasional beberapa negara. Keunggulan daya saing suatu negara/daerah dapat bertahan bukan karena kandungan mineral dan tanahnya, tetapi karena negara tersebut mengkonsentrasikan dirinya terhadap peningkatan keahlian dan keilmuan, pembentukan institusi, menjalin kerja sama, melakukan relasi bisnis serta memenuhi keinginan konsumen yang semakin banyak dan sulit dipenuhi (Porter, 1998). Porter (1990) menyatakan bahwa keunggulan industri suatu daerah/negara tidak berasal dari kesuksesannya sendiri tetapi karena kesuksesan kelompok akibat adanya keterkaitan antar perusahaan dengan institusi yang mendukung. Sekelompok perusahaan dan institusi pada suatu industri di suatu daerah tersebut kemudian dikenal dengan istilah klaster industri. Pada klaster industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan menengah, tetapi juga perusahaan kecil. Adanya klaster industri merangsang terjadinya bisnis baru, lapangan kerja baru, para pengusaha baru yang mampu memutar pinjaman baru.
Porter (1990) memperkenalkan teori kemampuan
kompetisi suatu negara yang digambarkan dalam Porter Diamond (Berlian
22 Porter) seperti dapat dilihat pada Gambar 7. Model tersebut menggabungkan analisis di tingkat industri maupun tingkat perusahaan.
Dengan mengkaji
keempat faktor tersebut, Model Berlian Porter menunjukkan mengapa daya saing suatu industri tidak dapat bertahan lama (Porter, 1990). Strategi Perusahaan dan Persaingan
Kondisi Faktor
Kondisi Permintaan
Industri Terkait dan Pendukung
Gambar 7. Model Berlian Porter Sumber: Porter (1990) Pada Gambar 7 dapat dilihat adanya empat faktor kunci yang menentukan daya saing suatu negara yaitu kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan, struktur dan persaingan serta keterkaitan dan industri pendukung. Negara tertentu memiliki bentuk berlian (keterkaitan antar empat faktor) yang berbeda dengan negara lain. Kondisi tersebut membuat suatu negara mampu mengungguli negara lainnya. Rincian keempat faktor tersebut disajikan pada Tabel 5. Pendekatan klaster industri dinilai sangat bermanfaat bagi pembangunan ekonomi, khususnya peningkatan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2003) menyatakan bahwa peningkatan daya saing ini dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara berikut: (1) Meningkatkan produktivitas perusahaan (2) Mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai fondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan (3) Mensimulasikan tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat memperkuat dan memperluas klaster.
23 Tabel 5. Uraian Komponen Berlian Porter No
Komponen Berlian Porter
Uraian
1
Kondisi faktor
Ketersediaan dan kemampuan sumberdaya manusia,
sumberdaya
pengetahuan,
fisik,
sumberdaya
sumberdaya modal
dan
infrastruktur 2
Kondisi permintaan
3
Strategi
4
Permintaan domestik dan internasional
perusahaan, Menujukkan kondisi internal serta persaingan
struktur dan persaingan
antar perusahaan
Industri terkait dan
Menunjukkan bagaimana suatu industri saling
pendukung
bergantung dan mengisi industri lainnya
Sumber: Porter (1998) Soetrisno (2005) menyebutkan bahwa studi-studi mengenai klaster UKM di Eropa Barat menunjukkan adanya sejumlah faktor yang membuat mereka dapat berkembang dengan pesat.
Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai
berikut: (1) Di dalam sentra produksi terdapat juga pemasok bahan baku, komponen-komponen, sub kontraktor dan produsen barang-barang jadi. Kondisi ini selain dapat mengurangi ongkos produksi, juga dapat menyebabkan masing-masing UKM satu sama lain saling bersinergi. (2) Adanya kombinasi antara persaingan yang ketat dan kerja sama antar sesama pengusaha UKM. Kondisi ini menciptakan tingkat efisiensi kolektif yang tinggi. (3) Di dalam klaster terdapat pusat-pusat pelayanan, terutama yang disediakan oleh pemerintah yang dapat digunakan secara kolektif oleh semua pengusaha. (4) UKM yang ada dalam klaster menjadi sangat fleksibel dalam menghadapi perubahan di pasar karena adanya jaringan yang baik serta inovasi-inovasi yang cerdas.
24 2.8 Analisis SWOT Analisis SWOT adalah proses untuk membangun informasi yang membantu dalam menyesuaikan tujuan, program dan kapasitas suatu organisasi atau kelompok dengan lingkungan sosial tempatnya beroperasi (RAPIDBI, 2010). Analisis SWOT merupakan teknik sederhana yang sangat berguna untuk membangun pemahaman tentang organisasi, situasi serta pengambilan keputusan dalam bisnis, organisasi bahkan individu. Menurut Morrison (2010), analisis SWOT merupakan perangkat perencanaan yang digunakan untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dalam proyek atau organissi. Analisis SWOT meliputi penetapan tujuan bisnis serta identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mendukung atau dapat menghalangi pencapaian tujuan tersebut. RAPIDBI (2010) menyebutkan bahwa analisis SWOT dapat membantu menyediakan kerangka untuk melakukan review strategi, posisi dan mengarahkan perusahaan atau organisasi. Analisis SWOT dapat digunakan untuk penyelesaian masalah, perencanaan termasuk perencanaan strategis, evaluasi produk, evaluasi pesaing serta pengambilan keputusan (Morrison, 2010). Selanjutnya, RAPIDBI (2010) menyatakan bahwa analisisi SWOT sering digunakan sebagai bagian dari perencanaan strategis, namun dapat juga digunakan untuk memahami organisasi atau situasi maupun pengambilan berbagai keputusan. Selanjutnya, Morrison (2010) menyebutkan beberapa kelebihan Analisis SWOT sebagai berikut: •
Sederhana dan fleksibel
•
Membantu memahami kekuatan dan kelemahan organisasi
•
Mendorong untuk pengembangan pemikiran strategis
•
Memungkinkan manajemen untuk fokus pada kekuatan dan membangun kesempatan
•
Memungkinkan organisasi untuk mengantisipasi tentangan organisasi pada masa yang akan datang dan melakukan tindakan untuk menghindari atau meminimumkan pengaruhnya.
•
Memungkinkan organisasi untuk memanfaatkan semua kesempatan dalam bisnis.
25 2.9 Proses Hirarki Analitik Proses Hirarki Analitik adalah suatu metode untuk memecahkan suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam beberapa komponen dalam susunan yang memiliki hirarki (Saaty, 1980).
Selanjutnya, Saaty (1980)
menyatakan bahwa dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis yang digunakan dalam Proses Hirarki Analitik, terdapat tiga prinsip yang harus ditempuh yaitu penyusunan hirarki, penetapan prioritas dan konsistensi logis. Saaty (1980) menyatakan bahwa penyelesaian persoalan dengan Proses Hirarki Analitik diawali dengan penyusunan hirarki persoalan.
Pada tahap ini,
persoalan yang kompleks distrukturkan secara grafis. Agar dapat dibandingkan, maka setiap alternatif keputusan harus dapat dinilai dengan kriteria-kriteria yang dapat dirinci menjadi sub kriteria. Selanjutnya sub kriteria dirinci lagi menjadi sub-sub kriteria dan seterusnya. Melalui penyusunan kriteria, sub kriteria, subsub kriteria dan seterusnya dalam suatu hirarki, maka alternatif keputusan yang akan diambil dapat di-ranking. Dalam hirarki, masing-masing komponen akan diberikan nilai serta tingkat kepentingan melalui proses pembandingan berpasangan (pair-wise comparison). Karena penilaian dan penentuan tingkat kepentingan dilakukan secara subyektif, maka pengambilan keputusan menggunakan Proses Hirarki Analitik akan menghadapi persoalan konsistensi. Saaty (1980) mengemukakan metode untuk mengukur tingkat konsistensi melaui perhitungan Consistency Index (CI). Dari nilai Consistency Index (CI), selanjutnya
ditentukan Consistency Ratio
(CR). Pada tahap akhir dilakukan uji konsistensi hirarki dengan menggunakan Rasio Konsistensi Hirarki. Jika rasio konsistensi hirarki lebih kecil atau sama dengan 10 persen, maka hasil penilaian hirarki secara keseluruhan dapat diterima. 2.10 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah sistem pemroses informasi yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologi. JST pertama kali diperkenalkan oleh McCulloch dan Pitts pada tahun 1943. JST ditentukan oleh jumlah, struktur, dan pola hubungan antar neuron (arsitektur jaringan), metode untuk menentukan bobot penghubung (metode training/learning), serta fungsi
26 aktivasi yang akan menentukan apakah sinyal dari input neuron akan diteruskan ke neuron lain atau tidak. Neuron adalah unit pemroses informasi yang menjadi dasar dalam pengoperasian JST (Fausset, 1994). Contoh JST sederhana ditunjukkan pada Gambar 8. Pada Gambar 8, neuron Yj menerima masukan dari neuron x1, x2, ... xm dengan bobot hubungan masing-masing adalah wj1, wj2,...wj3. Impuls neuron kemudian dijumlahkan, yaitu: net = x1wj1 + x2wj2 + ... + xmwjm Besar impuls yang diterima oleh Yj mengikuti fungsi aktivasi yj=f(net). Apabila nilai fungsi aktivasi cukup kuat, maka sinyal akan diteruskan. Nilai fungsi aktivasi (keluaran model jaringan) juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengubah bobot.
x1
wj1
x2
wj2
xm
wjm
Yj
Gambar 8. Jaringan Syaraf Tiruan Sederhana Sumber: Fausset (1994)
Bentuk JST yang lebih kompleks terdiri dari satu atau lebih lapisan tersumbunyi (Gambar 9). Pada JST tersebut, sinyal input akan diterima oleh lapisan tersembunyi 1 (hidden layer 1) yang akan meneruskannya ke lapisan tersembunyi berikutnya sampai ke output. x1
v11 vp1
v1i xi vpi v1n xn vpn
w11 z1 wj1 wm1 w1p wjp zp wmp
Y1
Yj
Ym
Gambar 9. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Satu Lapisan Tersembunyi Sumber: Fausset (1994)
27
Backpropagation Keterbatasan JST dengan satu layer telah menyebabkan berkurangnya minat para ahli dalam pengembangan JST pada tahun 1970-an.
Namun,
ditemukannya metode training JST multilayer telah membangkitkan kembali upaya untuk pengembangan aplikasi JST dalam berbagai persoalan (Fausset, 1994).
Metode training ini dikenal sebagai back propagation atau the
generalized delta rule. Pada dasarnya, metode ini berupaya meminimumkan error dari output yang dihitung oleh JST. Training JST dengan backpropagation terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) feedforward data input, (2) perhitungan error dan menariknya kembali ke belakang dan (3) penyesuaian bobot dalam jaringan. Setelah training, penggunaan JST hanya terdiri dari fase komputasi feedforward. Dalam periode selanjutnya, telah dikembangkan berbagai macam variasi dari backpropagation untuk memperbaiki kecepatan proses training. Algoritma dan langkah-langkah dalam backpropagation untuk JST seperti Gambar 10 dikemukakan oleh Fausset (1994) sebagai berikut:
Gambar 10. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Satu Lapisan Tersembunyi dan Bias Sumber: Fausset (1994)
28
Langkah 0. Inisialisasi bobot. (Masing-masing bobot diset ke nilai sembarang yang kecil). Langkah 1. Jika kondisi untuk mengakhiri backpropagation belum terpenuhi, dilakukan Step 2-9. Langkah 2. Untuk tiap pasangan data training, dilakukan Langkah 3-8. Feedforward: Langkah 3. Tiap unit input (Xi, i = 1, ..., n) akan menerima sinyal input xi dan menyalurkannya ke semua unit pada layer di atasnya (lapisan tersembunyi). Langkah 4. Tiap-tiap node dalam lapisan tersembunyi (Zj, j = 1, ..., p) menerima jumlah terbobot dari sinyal input, n
z _ in j
xi vij , i 1
Selanjutnya, dengan fungsi aktivasi dihitung sinyal output, zj = f(z_inj), dan mengirimnya ke semua node pada layer di atasnya (node output). Langkah 5. Tiap-tiap node output (Yk, k = 1, …, m) merupakan jumlah terbobot masing-masing sinyal input, k
y _ ink
z j w jk j 1
Selanjutnya, dengan fungsi aktivasi dihitung sinyal output, yk= f(y_ink). Backpropagation dari kesalahan: Langkah 6. Tiap-tiap node output (Yk, k = 1, ..., m) akan menerima pola target yang berhubungan dengan pola input training, dan dihitung deviasinya, δk = (tk -yk)f'(y_ink), dihitung koreksi bobotnya untuk digunakan untuk memperbaiki wjk selanjutnya), Δwjk = α δk zj,
29 serta dihitung koreksi bias yang digunakan untuk memperbaiki w0k selanjutnya), Δw0k = α δk dan mengirim δk kepada node-node pada layer di bawahnya. Langkah 7. Setiap node pada lapisan tersembunyi (Zj, j = 1, ...,p) menjumlahkan delta input masing-masing (dari node-node pada layer di atasnya), m
_ in j
k
w jk ,
k 1
selanjutnya mengalikannya dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung informasi penyimpangan, j
_ in j f ' ( z _ in j ),
dan menghitung koreksi terbobotnya yang digunakan untuk memperbaiki vij selanjutnya Δvij = α δj xi, serta menghitung koreksi bias yang akan digunakan untuk memperbaiki v0j selanjutnya, Δv0j = α δj. Perbaikan bobot dan bias: Langkah 8. Tiap-tiap node output (Yk, k = 1, ..., m) memperbaiki bias dan bobotnya (j = 0, ..., p): wjk(new) = wjk(old) + Δwjk. Masing-masing node dalam lapisan tersembunyi (Zj, j = 1, ..., p) mengupdate bias dan bobotnya (i = 0, ..., n): vij (new) = vij(old) + Δvij Langkah 9. Uji kondisi untuk mengakhiri proses ini. Secara ringkas, algoritma backpropagation disajikan pada Gambar 11.
30
MULAI INISIALISASI
Langkah 0
(t-y)>
Langkah 1
STOP
Penerimaan + Pemancaran Sinyal Input
Langkah 3 Langkah 4
n
z _ in j
xi vij , i 1
zj = f(z_inj) Langkah 5 k
y _ ink
z j w jk j 1
yk= f(y_ink).
Langkah 6
δk = (tk -yk)f'(y_ink) Δwjk = α δk zj Δw0k = α δk Langkah 7 m
_ in j
k
w jk ,
k 1
j
_ in j f ' ( z _ in j ),
Δvij = α δj xi Δv0j = α δj Langkah 8 wjk(new) = wjk(old) + Δwjk vij (new) = vij(old) + Δvij
Gambar 11. Algoritma Backpropagation untuk Perbaikan Bobot dalam Jaringan Syaraf Tiruan (Diringkas dari Fausset, 1994)
31 2.11 Beberapa Penelitian Terdahulu Tinambunan (2008) melakukan penelitian tentang pendapatan usaha tani dan pemasaran gambir di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2007. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pendapatan bersih petani apabila menjual output dalam bentuk daun dan ranting muda per hektar per tahun adalah sebesar Rp. 11.476.200,00 sementara apabila menjual output dalam bentuk getah basah (bubur) dan getah kering masing-masing adalah sebesar Rp. 14.073.200,00 dan Rp. 15.129.200,00. Pemasaran untuk output getah basah maupun getah kering masih cukup efisien yang ditunjukkan oleh marjin harga yang diterima petani cukup tinggi yaitu 100% untuk daun dan ranting muda, 75 persen untuk getah kering dan 90,57 persen untuk getah basah. Besarnya marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran pada masing-masing output cukup seimbang (6-19 persen) dan keuntungan dari lembaga pemasaran pada masing-masing output berkisar antara 5,63 persen sampai 14 persen. Rivai (2003) melakukan penelitian mengenai analisis finansial usaha tani dan pengolahan gambir di Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam penelitian tersebut dilakukan survey terhadap 28 petani dari 100 petani yang tersedia. Dari penelitian tersebut diketahui rasio pendapatan dan biaya pengusahaan gambir adalah 2.52 dengan rata-rata keuntungan petani sebesar Rp. 1,439,600 per hektar per tiga bulan.
Selanjutnya, untuk
pengembangan lebih lanjut Rivai (2003) menyarankan penumbuhan perkebunan gambir dengan bimbingan pemerintah Kabupaten Musi Banyasin. Penelitian Yuhono (2004) di Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Kabupaten 50 Kota pada tahun 2003 menunjukkan bahwa usaha tani gambir, teknik budidaya dan pengolahan yang masih bersifat tradisional, merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu, rendemen dan pendapatan petani. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp. 4.840.625,- per hekter per tahun, sedang pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 6.238.125,- per hektar per tahun. Pemasaran yang terjadi masih cukup efisien, ditunjukkan oleh marjin harga yang diterima petani cukup tinggi (67 persen), besarnya marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran seimbang (12,49 - 20,88 persen), dan keuntungan dari lembaga pemasaran berkisar antara 10 – 20 persen.
32 Pambayun et al. (2007) melakukan ekstraksi produk gambir dengan berbagai jenis pelarut menghasilkan jumlah bahan terekstrak, kandungan fenol, dan sifat antibakteri yang bervariasi. Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa pada metoda maserasi dan Soxhlet, bahan terekstrak paling tinggi diperoleh pada campuran etanol air 1:1, masing-masing sebesar 84,77 dan 87,69 persen. Kandungan fenol tertinggi ditemukan pada bahan terekstrak dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat, yakni 88,30 dan 90,85 persen. Dalam hal IKM dan klasternya, penelitian Kuncoro dan Supomo (2003) tentang pola klaster dan orientasi pasar di sentra industri keramik Kasongan, DI Yogyakarta, menunjukkan bahwa variabel aktifitas berpromosi, teknologi, jumlah tenaga kerja dan umur perusahaan sangat berpengaruh dalam menentukan orientasi pasar industri keramik Kasongan. Semakin aktif pengusaha berpromosi maka semakin besar probabilitasnya berorientasi pasar ke luar negeri. Semakin modern penerapan teknologi pembakaran keramik, semakin besar kemungkinan pengusaha untuk berorientasi pasar luar negeri. Semakin tua usia perusahaan, semakin tinggi pula probabilitas perusahaan untuk berorientasi ke luar negeri. Dari hasil formasi keterkaitan/pola sentra industri keramik Kasongan, maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya industri keramik di Kasongan menjalin kerjasama baik dengan pihak-pihak di dalam klaster maupun di luar klaster. Heatubun (2008) mengkaji peranan usaha kecil dan menengah dalam pertumbuhan ekonomi dan ekspor, sedangkan Djaimi (2006) melakukan penelitian tentang peranan, perilaku dan kinerja industri kecil dan menengah dalam perekonomian Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Heatubun (2008) maupun Djaimi (2006) menggunakan metode statistika untuk mengevaluasi hubungan antar variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan ekspor Indonesia. Oktavina (2008) melakukan rancang bangun model manajemen strategi evaluasi kinerja usaha mikro dan kecil makanan ringan di Provinsi Lampung. Untuk pengukuran kinerja usaha mikro dan kecil, Oktavina (2008) menggunakan Teknik Ordered Weighted Averaging (OWA) Operators dan Balanced Scorecard. Selanjutnya, untuk pemilihan alternatif dan pengembangan strategi peningkatan kinerja ia menggunakan Teknik Proses Hirarki Analitik Fuzzy
33 (Fuzzy Analitycal Hierarchy Process) serta Teknik Penyebaran Fungsi Kualitas (Quality Function Deployment). Partiwi (2007) melakukan rancang bangun model pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut khususnya teri nasi untuk wilayah Jawa Timur. Dalam rancang bangun tersebut digunakan model pengukuran kinerja komprehensif menggunakan model Scoring Board dengan berbasis model SMART-2, OMAX dan Balanced Scorecard. Selanjutnya, Partiwi (2007) mengembangkan model pengukuran kinerja tersebut dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan (SPK) untuk manajemen kinerja pada sistem klaster agroindustri hasil laut Kusnandar (2006) merancang model pengembangan industri kecil jamu dengan menggunakan Sistem Manajemen Ahli. Penelitian tersebut dilakukan di Kabupaten Sukoharjo yang melibatkan 56 industri kecil jamu yang terdaftar secara formal di samping industri kecil jamu lain yang tidak terdaftar secara formal. Dalam penelitian tersebut dilakukan kajian mengenai aspek pengadaan bahan baku, pemasaran, pembiayaan dan kelembagaan untuk pengembangan industri kecil jamu. Yudoko dan Mulyati (2003) melakukan penelitian karakteristik industri penyamakan kulit di Kabupaten Garut menggunakan pendekatan klaster. Dalam penelitian ini, pelaku dalam klaster industri kulit terdiri dari industri penyamak kulit skala kecil, industri penyamak kulit skala menengah dan pemasok bahanbahan kimia. Dari penelitian ini didapatkan bahwa keterkaitan industri penyamak kulit dengan sektor peternakan, lembaga penelitian, institusi pendidikan dan lembaga keuangan sangat lemah. Tarigan (2008) melakukan penelitian pengembangan agroindustri sutra alam di Kabupaten Wajo melalui pendekatan klaster. Dalam klaster sutra alam tersebut, industri pertenunan merupakan industri inti yang bertujuan untuk meningkatkan pemasaran, meningkatkan kualitas, produktivitas dan efisiensi serta mengembangkan desain.
Kendala yang dihadapi industri inti meliputi
keterbatasan teknologi, rendahnya kualitas bahan baku serta keterbatasan modal usaha.
Permasalahan tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu melalui
34 keterkaitan dengan lembaga keuangan serta peningkatan kemampuan sumberdaya manusia. Purwaningsih
dan
Astuti
(2005)
melakukan
penelitian
tentang
pengembangan agroindustri tempe skala kecil dan menengah dengan pendekatan klaster di Kota Malang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kerja sama antara industri inti dengan industri pendukung berlangsung baik, sedang kerja sama dengan industri terkait hanya bersifat insidental. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa peranan kedekatan lokasi belum termanfaatkan secara maksimal, baik dalam bentuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun bagi tumbuhnya industri baru. Kondisi tersebut sangat diperlukan bagi pengembangan industri kecil dan menengah. Nazra (2002) melakukan penelitian tentang masalah kelembagaan lokal pada petani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Dari penelitian tersebut diketahui lemahnya posisi tewar petani, tidak adanya lembaga petani, serta kurangnya peran pemerintah dalam memfasilitasi tumbuhnya kelembagaan tersebut. Di sisi lain, perilaku konsumtif petani sering menyebabkan banyak petani terjerat sistem ijon yang semakin memperlemah posisi tawar mereka di hadapan pedagang pengumpul. Orgianus (2004) melakukan rekayasa model bagi hasil dan bagi resiko pembiayaan usaha kecil dan menengah agroindustri berbasis kentang. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pola pembiayaan dengan sistem bagi hasil dan bagi resiko dapat membantu usaha kecil dan menengah agroindustri yang cukup adil bagi pelaku agroindustri yang merupakan usaha dengan resiko cukup tinggi. Berbagai penelitian telah dilakukan oleh banyak peneliti mengenai gambir antara tahun 1990-an hingga 2008.
Penelitian-penelitian tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam teknologi proses, mesin dan peralatan, budidaya, pengembangan produk, bisnis, pemasaran dan perdagangan, kajian finansial serta penelitian dan pengembangan (Lampiran 6).
Beberapa penelitian mengenai
gambir dapat disebutkan antara lain: 1. Hasman, E dan M. Surya (2006) melakukan perancangan alat untuk pengolahan gambir alat perebus bertekanan dan Abrar, H. et al.
(2008)
35 merancang mesin kempa hidrolik, sedangkan Pratoto (2002) melakukan penelitian mengenai pengeringan gambir. 2. Suherdi (1994), Nazir, N. N. Ferdinal (2002), Amos, I. Zainuddin, A. Triputranto, B. Rusmandana, S. Ngudiwaluyo (2004), Irzal dan A. Eviza (2004) dan Ridilwan (2008) melakukan penelitian mengenai teknologi proses pengolahan gambir. 3. Ferita, I., B. Satria, Djafarudin (2002), Aprisal (2002), Asyiardi (2002), Denian, A. (2003) dan Nurmansyah, A. Denian dan E. Suryani (2003) melakukan penelitian mengenai budidaya tanaman gambir. 4. Aldi, Y., A. A. Bakhtiar dan S.Rusfa (2004), Emriadi. , Y.Stiadi, Henny, dan D. Mustika (2004), Firmansyah, A. Bakhtiar, S.A. Konda (2004), Ilyas, A. I. Trinanda, A. Bakhtiar (2004), Kasim, A. (2004), Patrick, L. (1999), Shanie, M., V. Hosiana, A. Bakhtiar (2004), Sugiyama, S. (2005), Arneti, U. Syam, N. Nelly (2002) melakukan penelitian mengenai pengembangan produk gambir untuk perekat kayu lapis, insektisida nabati, produk farmasi seperti tablet hisap, imunomodulator, terapi untuk hepatitis, serta produk kosmetik seperti shampoo, anti-acne dan sebagainya. 5. Munir, M. (2000), Hamzah, Z. (2002), Aisman, N. Nazir, M. Djalal (2004), Busharmaidi (2007) dan Ispinimiartriani (2008) mengkaji mengenai perdagangan dan pemasaran serta kajian finansial dalam bisnis gambir. 6. Dhalimi, A (2006) dan Denian, A., Z. Hasan dan A. Taher (2003) mengkaji mengenai penelitian dan pengembangan gambir. Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian disertasi ini mengkaji upaya perbaikan agoindustri gambir pada masa yang akan datang dengan mengkaji persoalan teknologi, pengembangan produk, bisnis dan finansial. Pengkajian yang menyeluruh tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan begi pemerintah dalam penyusunan kebijakan dan rencana pengembangan agroindustri gambir pada masa yang akan datang.
36
(halaman ini sengaja dibiarkan kosong)