BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Buncis merupakan salah satu jenis tanaman sayuran polong yang memiliki
banyak kegunaan. Sebagai bahan sayuran, polong buncis dapat dikonsumsi dalam keadaan muda atau dikonsumsi bijinya. Buncis bukan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal dari meksiko selatan dan Amerika Tengah. Buncis yang dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia memiliki banyak jenis. Dari ragam varietas tersebut, tanaman buncis secara garis besar dibagi dalam dua tipe, yaitu buncis tipe membelit atau merambat dan buncis tipe tegak atau tidak merambat (Cahyono, 2007). Kedudukan tanaman buncis dalam tatanama tumbuhan (taksonomi) di klasifikasikan ke dalam (Benson, 1957): Kingdom
: Plant Kingdom
Divisio
: Spermatophyta
Sub division : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Sub kelas
: Calyciflorae
Ordo
: Rosales (Leguminales)
Famili
: Leguminosae (Papilionaceae)
Sub family : Papilionoideae Genus
: Phaseolus
Spesies
: Phaseolus vulgaris L.
6
7
Suku kacang-kacangan (Leguminosae atau Papilionaceae) mempunyai 690 genus dan sekitar 18.000 spesies. Beberapa spesies yang paling dekat dengan tanaman buncis diantaranya adalah kratok (P. lunatus L.) dan kacang hijau (P. radiates L.) (Rukmana, 1998). Buncis memiliki bentuk semak atau perdu dengan tinggi tanaman buncis tipe tegak berkisar antara 30-50 cm, tergantung pada varietasnya. Sedangkan tinggi ranaman buncis tipe merambat dapat mencapai 2 m. Tanaman buncis berakar tunggang yang tumbuh lurus ke dalam hingga kedalaman sekitar 11-15 cm, dan berakar serabut yang tumbuh menyebar (horizontal) dan tidak dalam. Batang tanaman buncis berbengkok-bengkok, berbentuk bulat, berbulu atau berambut halus, berbuku-buku atau beruas-ruas, lunak tetapi cukup kuat. Tanaman buncis memiliki bentuk daun bulat lonjong, ujung daun runcing, tepi daun rata, berbulu atau berambut sangat halus, dan memiliki tulang-tulang menyirip. Bunga tanaman buncis berbentuk bulat panjang (silindris) yang panjangnya 1,3 cm dan lebarnya bagaian tengah 0,4 cm. Bunga buncis berukuran kecil dengan kelopak bunga berjumlah 2 buah dan pada bagian bawah atau pangkal bunga berwarna hijau. Polong buncis memiliki bentuk bervariasi, tergantung pada varietasnya, ada yang berbentuk pipih dan lebar yang panjangnya lebih dari 20 cm, bulat lurus dan pendek kurang dari 12 cm, serta berbentuk silindris agak panjang sekitar 12-20 cm. biji buncis yang telah tua agak keras berukuran agak besar, berbentuk bulat lonjong dengan bagian tengah (mata biji) agak melengkung (cekung), berat biji buncis bekisar antara 16-40,6 g (berat 100 biji) (Cahyono, 2007).
8
Gambar 2.1. Buah buncis Buncis merupakan sumber protein, vitamin dan mineral yang penting dan mengandung zat-zat lain yang berkhasiat untuk obat dalam berbagai macam penyakit. Gum dan pektin yang terkandung dapat menurunkan kadar gula darah, sedangkan lignin berkhasiat untuk mencegah kanker usus besar dan kanker payudara. Serat kasar dalam polong buncis sangat berguna untuk melancarkan pencernaan sehingga dapat mengeluarkan zat-zat racun dari tubuh (Cahyono, 2007). Zat-zat gizi yang terdapat di dalam buncis dalam 100 g bahan yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1. Kandungan nilai gizi kacang buncis per 100 g bahan yang dapat dimakan No. Jenis zat gizi Jumlah kandungan gizi 1.
Energi/kalori
35 kal
2.
Protein
2,4 g
3.
Lemak
0,2 g
4.
Karbohidrat
7,7 g
5.
Kalsium
6,5 g
6.
Fosfor
4,4 g
7.
Serat
1,2 g
8.
Besi
1,2 g
9.
Vitamin A
630,0 SI
10.
Vitamin B1/Thiamine
0,08 mg
11.
Vitamin B2/Riboflavin
0,1 mg
12
Vitamin B3/Niacin
0,7 mg
13.
Vitamin C
19,0 mg
14.
Air
89 g
Sumber : Emma S.Wirakusumah (1994) dalam Cahyono, B. (2007)
Berdasarkan kegunaannya, buncis terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu : 1. Buncis Perancis : bagian yang dikonsumsi ialah polong berdaging yang berwarna hijau kuning, atau ungu yang mengandung biji yang belum berkembang. Polong tidak mempunyai urat samping. 2. Buncis filet haricot : polong mengandung urat samping (string), tetapi polong muda berdaging yang dikonsumsi. 3. Buncis haricot : biji segar adalah bagian yang dimakan, sedangkan polong mengandung urat samping dan serat umumnya tidak dikonsumsi. 4. Buncis bijian kering : biji kupasan kering adalah bagian yang dikonsumsi, sedangkan polong mempunyai urat samping, serat, lapisan lir kertas, dan tidak dimakan (Rubatzky, 1998)
10
Pada buah, batang, dan daun buncis mengandung senyawa kimia yaitu alkaloid, saponin, polifenol, dan flavonoid, asam amino, asparagin, tannin, fasin (toksalbumin). Biji buncis mengadung senyawa kimia yaitu
glukoprotein, tripsin inhibitor,
hemaglutinin, stigmasterol, sitosterol, kaempesterol, allantoin dan inositol. Kulit biji mengandung leukopelargonidin, leukosianidin, kaempferol, kuersetin, mirisetin, pelargonidin, sianidin, delfinidin, pentunididin dan malvidin. Sedangkan
buncis
segar mengandung vitamin A dan vitamin C (Hernani, 2006). Kandungan kimia buncis memiliki manfaat yaitu untuk meluruhkan air seni, menurunkan kadar gula dalam darah, bijinya dapat menurunkan tekanan darah tinggi, beri-beri dan daunnya untuk menambah zat besi (Hernani, 2006).
2.2
Senyawa Fitosterol Fitosterol merupakan sterol yang secara alami didapatkan dari tanaman.
Secara kimiawi, fitosterol mirip dengan kolesterol yang di dapat dari hewan. Sterol terdiri dari gabungan tiga cincin sikloheksana dengan berbagai macam sterol (lebih dari 40 fitosterol). Fitosterol pada tanaman merupakan komponen alami dari minyak tumbuhan seperti minyak biji bunga matahari dan beberapa konstituen alami dalam makanan manusia. (Dewanti, 2006) Fitosterol adalah campuran alami steroida (sterol) yang mengandung minimum 70% β – sitosterol. Kedua senyawa ini mempunyai struktur yang mirip dengan kolesterol, tetapi fitosterol mengandung gugus etil (-CH2-CH3) pada rantai cabang yaitu pada posisi C-24. Sebagaimana pentingnya fungsi kolesterol dalam membran sel tubuh manusia dan hewan, demikian juga fitosterol di dalam tanaman.
11
Lebih dari 200 jenis fitosterol telah diidentifikasi diantaranya
β – sitosterol,
campesterol dan stigmasterol (Gambar 2.2.) (Moreau, 2002).
Gambar 2.2. Struktur dari β – sitosterol (A), campesterol (B) dan stigmasterol (C) (Moreau, 2002) Pada tanaman terdapat lebih dari 40 senyawa sterol yang didominasi oleh beberapa senyawa dari kelompok fitosterol. Fitosterol terdapat dalam bahan makanan nabati, seperti minyak, serealia, buah-buahan, dan sayur-sayuran, dalam jumlah yang hanya sedikit. Oleh kerena itu senyawa fitosterol harus diisolasi dan kemudian dimasukkan ke dalam makanan seperti margarin, dengan jumlah yang efektif untuk menurunkan kolesterol darah. Dalam menurunkan kolesterol darah, fitosterol dapat mencegah absorbsi makanan dan mengabsorbsi kembali kolesterol endogen dari saluran pencernaan.
12
Kolesterol yang terlarut dalam campuran misel, mengandung garam empedu dan fosfolipid menuju tempat penyerapan dan selanjutnya diserap ke dalam sirkulasi darah. Campuran misel memiliki kapasitas untuk melarutkan molekul hidrofobik. Fitosterol memiliki hidrofobilitas yang lebih besar dibandingkan kolesterol dalam campuran misel dan memiliki kelarutan yang rendah sehingga fitosterol dapat menggantikan kolesterol dari campuran misel. Fitosterol menggantikan kolesterol dalam usus lumen dari campuran misel dengan cara mereduksi penyerapan kolesterol oleh membran usus. Mekanisme yang terjadi pada saat sterol diserap ke usus penyerapan. Niemann-Pick C1 like 1 (NPC1L1) merupakan sistem pergerakan untuk fitosterol dalam usus dan pengangkut kolesterol. Protein yang mengikat ATP dikenal sebagai ABCG5 dan ABCG8. Kedua ATP tersebut masing-masing akan membentuk satu setengah pembawa (transporter) yang mensekreksikan fitosterol dan kolesterol yang tidak mengalami esterifikasi dari usus penyerapan ke lumen pencernaan. Fitosterol lebih cepat disekresikan kembali oleh ABCG5/ABCG8 dari pada kolesterol ke dalam pencernaan, sehingga akan menghasilkan absorbsi pencernaan fitosterol yang lebih sedikit dibandingkan kolesterol. Pada usus penyerapan, fitosterol mengurangi tingkat esterifikasi kolesterol melalui penghambatan kolesterol dengan asil-koenzim asiltransferase (ACAT). ACAT mengurangi konsentrasi intraseluler kolesterol bebas menjadi kolesterol ester. Hasil esterifikasi yaitu kolesterol ester (CE) dan fitosterol ester (PE) bergabung membentuk kilomikron (CM), fitosterol yang bergabung tersebut memasuki sirkulasi darah dan dibawa menuju hati. Kecepatan
13
sekresi fitosterol dalam empedu jauh lebih cepat daripada kolesterol dan terjadi penurunan absorbsi dari fitosterol (Gambar 2.3.) (Bonsdoff – Nikander, 2005). Proses absorbsi fitosterol yang sangat rendah ini yang menghambat penyerapan kolesterol dan membantu menurunkan jumlah kolesterol yang memasuki aliran darah serta mempercepat ekskresi kolesterol. Berkurangnya kadar kolesterol yang memasuki aliran darah akan memperkecil kemungkinan terjadinya penumpukan lemak di organ tubuh. Selain itu, fitosterol dapat memperbaiki regulasi kolesterol darah pada tingkat normal (Granfa, 2007).
Gambar 2.3. Mekanisme fitosterol dan kolesterol dalam saluran penyerapan (Bonsdoff – Nikander, 2005).
14
2.3
Kolesterol Kolesterol adalah steroid alkohol tidak jenuh yang mempunyai berat molekul
tinggi, terdiri atas sebuah cincin siklopentanoperhidropenantren dan sebuah rantai yang mempunyai 8 atom karbon. Kolesterol dalam tubuh mempunyai fungsi untuk membangun dan memperbaiki membran sel, sintesis asam empedu dan vitamin D, prekursor hormon progestin, hormone steroid, androgen dan estrogen. Kolesterol bila terdapat dalam jumlah terlalu banyak di dalam darah dapat membentuk endapan pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan penyempitan yang disebut aterosklerosis. Bila penyempitan terjadi pada pembuluh darah jantung menyebabkan penyakit jantung koroner (Almatsier, 2004) Sintesis kolesterol dikendalikan oleh enzim HMG-KoA reduktase dan dihambat oleh LDL kolesterol pada reseptor LDL. Reseptor LDL terdapat pada permukaan sel dalam lekukan yang terbungkus pada sisi sitosol membran sel dengan sebuah protein yang dinamakan klatrin. LDL diambil oleh reseptor LDL dalam keadaan utuh melalui endositosis, kemudian dipecah dalam lisosom dan diikuti oleh translokasi kolesterol ke dalam sel. Jumlah reseptor LDL pada permuakaan sel diatur oleh kebutuhan kolesterol bagi membran sel, sintesis hormone steroid atau asam empedu (Murray, 2006).
Gambar 2.4. Struktur Kolesterol (Muraay, 2006)
15
Kolesterol dibagi menjadi tiga yaitu kolesterol High Density Lipoprotein (HDL), kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan Trigliserida (Bastiansyah, 2010). Kolesterol HDL merupakan kolesterol yang tidak berbahaya dengan kadar HDL rata-rata adalah 40-45 mg/dl dalam keadaan normal. HDL berfungsi sebagai pembersih saluran pembuluh darah serta melindungi pembuluh darah dari proses atherosklerosis (terbentuknya plak pada dinding pembuluh darah). Lipoprotein akan mengangkut kelebihan kolesterol untuk diangkut kembali ke hati yang akan selanjutnya diuraikan lalu dibuang ke dalam kandung empedu sebagai cairan empedu. Protein utama yang membentuk HDL adalah Apo-A (apolipoprotein-A, HDL memiliki kandungan lemak yang lebih sedikit dan kepadatan tinggi sehingga lebih berat (Fikri, 2009) Kolesterol LDL lebih banyak mengandung lemak dari pada HDL dengan kadar LDL rata-rata adalah 150-190 mg/dl. Kolesterol LDL mempunyai kecendrungan menempel di dinding pembuluh darah ini yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah, LDL juga mengangkut kolesterol paling banyak di dalam darah. Meningkatnya kadar LDL mengakibatkan pengendapan kolesterol dalam arteri. Kolesterol LDL memiliki ukuran 3-4 kali lebih besar dari kolesterol HDL, mengandung kolesterol 70%, 13% lipoprotein, 12% fosfolipida, dan 5% lemak (Gropper,2005) Trigliserida merupakan salah satu lemak yang ditranspor ke dalam aliran darah sebagai sumber energi bagi tubuh. Trigliserida yang masuk ke dalam tubuh kemudian diproses dan diserap di usus dan darah. Selanjutnya trigliserida disalurkan ke dalam sel tubuh dalam bentuk kilomikron dan very low density protein (VLDL).
16
Kadar trigliserida rata-rata pada tubuh adalah dibawah 150mg/dl. Trigliserida adalah sejenis lemak yang berada di dalam darah dan berbagai organ dalam tubuh. Meningkatnya jumlah trigliserida dalam darah dapat juga meningkatkan kadar kolesterol. Beberapa faktor mempengaruhi kadar trigliserida di dalam darah seperti: obesitas, konsumsi alkohol, gula serta makanan yang berlemak. Meningkatnya trigliserida akan menambah resiko terjadinya berbagai penyakit terutama penyakit jantung dan stroke (Hirakawa, 2005). Kolesterol diproduksi oleh hati, mekanisme kerja kolesterol adalah kolesterol dibawa oleh lipoprotein yang bernama LDL (Low Density Lipoprotein) untuk dibawa ke sel-sel tubuh yang memerlukan, termasuk ke sel otot jantung, otak dan lain-lain agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kelebihan kolesterol yang diangkut oleh LDL akan diangkut kembali oleh lipoprotein yang disebut HDL (High Density Lipoprotein) untuk dibawa kembali ke hati yang selanjutnya akan diuraikan lalu dibuang ke dalam kandung empedu sebagai asam (cairan) empedu (Lehninger, 1982).
2.4
Ekstraksi dengan maserasi Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut organik
pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel akan terjadi pemecahan dinding sel dan membran sel karena perbedaan tekanan antara di dalam dan luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas
17
yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan kelarutan senyawa bahan organik dalam pelarut tersebut (Irwan 2010). Secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alami karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder. Kelebihan metode maserasi pada ekstraksi zat warna alami yaitu zat warna mengandung gugus-gugus yang tidak stabil (mudah menguap seperti ester dan eter tidak akan rusak atau menguap karena berlangsung pada konndisi dingin. Selain itu kelebihan dari maserasi adalah cara pengerjaan yang dilakukan lebih sederhana dan dapat dilakukan untuk bahan-bahan atau zat yang tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahan dari metode maserasi adalah banyak pelarut yang dibutuhkan selama proses maserasi dan waktu yang dibutuhkan lama (Irwan 2010).
2.5
Analisis GC-MS GC-MS (Gas Chromatography – Mass Spektrometri) merupakan perpaduan
dari kromatografi gas dan spektroskopi massa. Senyawa yang telah dipisahkan oleh kromatografi gas, selanjutnya dideteksi atau dianalisis menggunakan spektroskopi massa. Pada GCMS aliran dari kolom terhubung secara langsung pada ruang ionisasi spektrometer massa. Pada ruang ionisasi semua molekul (termasuk gas pembawa, pelarut, dan solut) akan terionisasi, dan ion dipisahkan berdasarkan massa dan rasio muatannya. Setiap solut mengalami fragmentasi yang khas (karakteristik) menjadi ion yang lebih
18
kecil, sehingga spektra massa yang terbentuk dapat digunakan untuk mengidentifikasi solut secara kualitatif (Harvey, 2000). Pada kromatografi gas (GC) sampel dapat berupa gas atau cairan, yang diinjeksi pada aliran fasa gerak yang berupa gas inert (juga disebut sebagai gas pembawa). Sampel dibawa melalui kolom kapiler dan komponen sampel akan terpisah berdasarkan kemampuanya untuk terdistribusi dalam fasa gerak dan fasa diam (Harvey, 2000). Fasa gerak yang paling umum digunakan untuk GC adalah He, Ne, Ar, dan N2, yang memiliki keuntungan inert terhadap sampel maupun terhadap fasa diam. Sedangkan kolom yang digunakan biasanya terbuat dari kaca, stainless steel, tembaga, atau aluminium dan mempunyai panjang sekitar 2-6 m, dan diameter 2-4 mm. Kolom diisi dengan suatu fasa diam dengan kisaran diameter 37-44 µm sampai 250-354 µm (Harvey, 2000). Komponen yang telah dipisahkan dengan kromatografi gas selanjutnya dapat dideteksi dengan spektrometer massa. Konsep dari spektrometri massa adalah sederhana, yaitu suatu senyawa akan diionisasi, ion akan dipisahkan berdasarkan massa/rasio muatan dan beberapa ion akan menunjukkan masing-masing unit massa/muatan yang terekam sebagai spektrum massa (Silverstein, 2005)
19
Gambar 2.5. Gas Chromatography – Mass Spektrometri (Silverstein, 2005) Kromatografi gas-spektrofotometri massa (GC-MS) untuk senyawa fitosterol memiliki kondisi yang khas yaitu injeksi split dengan rasio pemecahan variasi 1:15 sampai 1:100, suhu injeksi 250-300oC, suhu awal kolom sebesar 250-300oC dan sesuai dengan kondisi isokratik maupun temperature pada kolom pemanas yang telah diprogram (Winkler-moser, 2011). Kromatografi gas-spektrofotometri massa (GC-MS) mendeteksi senyawa fitosterol pada ekstrak etanol buah buncis terdeteksi pada kelimpahan sebesar 2,48% sebagai stigmasterol dan beta sitosterol, 6,01% sebagai - sitosterol, dengan kondisi running temperature injeksi 280oC, gas pembawa helium dengan tekanan sebesar 149,9 KPa dan laju alir 2,77 mL/menit pada alat GC-MS QP-2010 merk Shimadzu (Jannah, 2013). Pada ekstrak etanol daun katuk senyawa fitosterol yang dianalisis dengan GC-MS terdeteksi pada kelimpahan sebesar 3,81% sebagai stigmasterol, 2,38% sebagai sitosterol dan 2,21% sebagai fukosterol dengan energi electron 70 eV,
20
kolom HP Ultra 2 Capilarry coloumn, gas pembawa helium, laju kolom 0,9 l/menit (Subekti, 2006).
2.6
Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi
yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190 - 380) dan sinar tampak (380 - 780) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energy elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995). Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang di absorpsi. Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 2002). Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain: 1.Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna. 2.Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.
21
3.Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.(Mulja dan Suharman, 1995). Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi: 1. Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah lampu wolfram. 2. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. 3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca atau kuvet kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. 4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 2002). Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visible tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Serapan ultraviolet dan visibel dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka serapan radiasi ultraviolet atau terlihat sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan. Panjang gelombang serapan merupakan ukuran dari pemisahan tingkatan-tingkatan tenaga dari orbital yang bersangkutan. Spektrum ultraviolet adalah gambar antara panjang gelombang atau frekuensi serapan lawan intensitas serapan (transmitasi atau absorbansi). Sering juga data ditunjukkan sebagai gambar grafik atau tabel yang menyatakan panjang
22
gelombang lawan serapan molar atau log dari serapan molar, Emax atau log Emax (Sastrohamidjojo, 2001). Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi menuju ke tingkat yang lebih tinggi oleh sumber listrik bertegangan tinggi atau oleh pemanasan listrik. Monokromator adalah suatu piranti optis untuk memencilkan radiasi dari sumber berkesinambungan. Digunakan untuk memperoleh sumber sinar monokromatis. Alat dapat berupa prisma atau grating (Khopkar, 2002). Pengukuran pada daerah UV harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi maupun berbentuk silinder dengan ketebalan 10 mm. Sel tersebut adalah sel pengabsorpsi, merupakan sel untuk meletakkan cairan ke dalam berkas cahaya spektrofotometer. Sel haruslah meneruskan energi cahaya dalam daerah spektral yang diminati. Sebelum sel dipakai dibersihkan dengan air atau dapat dicuci dengan larutan detergen atau asam nitrat panas apabila dikehendaki (Sastrohamidjojo, 2001).
2.7
Penentuan Kadar Kolesterol a. Metode CHOD-PAP Metode CHOD-PAP digunakan untuk menentukan kadar kolesterol total dan kolesterol HDL. Kolesterol dianalisis pertama kali oleh Liebermann pada tahun 1855 yang diikuti dengan Burchard 1889. Pada reaksi Liebermann-Burchard, kolesterol yang terbentuk berwarna biru kehijauan dari polimer yang tidak terbungkus karbohidrat pada asam asetat/asam anhidrat. Metode Abell dan Kendall merupakan metode spesifik
23
untuk kolesterol tetapi secara teknis kompleks dan dibutuhkan reagen yang korosif. Pada tahun 1974, Allain, et., al. dan Roeschlau, et., al. dapat mengkombinasi kolesterol esterase dan kolesterol oksidase dalam satu reagen enzim untuk menentukan kolesterol total. Kolesterol ester, secara enzimatis dihidrolisis dengan kolesterol esterase (CE) menjadi kolesterol dan asam lemak bebas. Kolesterol bebas kemudian dioksidasi oleh oksidase kolesterol (CHOD) menjadi kolest-4-en3-one dan H2O2. Hydrogen peroksida yang terbentuk bereaksi dengan fenol dan 4-aminoantipirine (4-AAP) untuk membentuk quinoneimine berwarna merah. Intensitas warna produk yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi kolesterol yang diukur melalui peningkatan absorbansi pada 500-550 nm (Biotec, 2011). Reaksi yang terjadi sebagai berikut : Kolesterol ester + H2O CE kolesterol + asam lemak Kolesterol + O2
CHOD
kolest-4-en-3-one + H2O2
2H2O2 + 4-AAP + phenol POD quinoneimine + 4 H2O b. Metode GPO-PAP Metode GPO-PAP digunakan untuk menentukan kadar trigliserida. Trigliserida pada serum dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebes oleh enzim lipase lipoprotein. Gliserol diubah menjadi gliserol-3-fosfat, yang kemudian dioksidasi oleh oksidase gliserol fosfat (GPO) menghasilkan hidrogen peroksida dan dihidroksiaseton. Hidrogen peroksida bereaksi dengan 4-klorofenol dan 4-aminoantipirin (4-AAP) membentuk kompleks quinoneimine berwarna merah yang diukur pada 550 nm Intensitas warna
24
yang terbentuk berbanding lurus dengan konsentrasi trigliserida dalam sampel (Biotec, 2011). Reaksi yang terjadi sebagai berikut : Triglyserida + 3H2O LPL Gliserol + 3R-COOH Gliserol + ATP Gliserolkinase gliserol-3-fosfat + ADP Gliserol-3-fosfat +O2 GPO Dihidroksiaseton + fosfat + H2O2 2H2O2 + 4-aminoantipirin + 4-klorofenol
POD
4H2O + HCl +
quinoneimine c.
Pemeriksaan Kolesterol LDL Kadar LDL Kolesterol pada umumnya di estimasi dengan rumus yang disusun oleh Fridewald, Levy dan Fredicson sebagai berikut: LDL = Total Kolesterol – (HDL Kolesterol + 1/5 Trigliserida) Untuk menghitung kadar LDL kolesterol terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total, trigliserida dan HDL kolesterol (Soeharto, 2000).