4
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tanaman Cabai Tanaman cabai (Capsicum annum L.) tergolong divisi Magnoliophyta, kelas Magnolipsida, ordo Solanales, Family Solanaceae, genus Capsicum. Beberapa spesies Capsicum antara lain Capsicum annum L., C. Pubescens Ruiz dan Pavon., C. frutescens L., C. chinensis Jacquin., dan C. pendulum Willdenow. Spesies C. annum L. banyak dibudidayakan dan penting secara ekonomis. Spesies ini mempunyai berbagai bentuk dan ukuran, meliputi rasa buah yang pedas dan manis (BPTS 1996). Rubatzky dan Yamaguchi (1997), mengemukakan bahwa sistem perakaran cabai dangkal, diawali dengan akar tunggang (akar primer) kemudian tumbuh akar rambut ke samping (akar lateral atau akar sekunder). Panjang akar primer berkisar 35-50 cm dan akar lateral sekitar 35-45 cm. Akar lateral cepat berkembang di dalam tanah dan menyebar pada kedalaman 10-15 cm. Batang utama tegak, berkayu, dan bercabang banyak dengan tinggi sekitar 45-50 cm. pembentukan kayu pada batang utama mulai terjadi pada umur 30 hari setelah tanam (hst). Pada setiap ketiak daun akan tumbuh tunas baru yang dimulai pada umur 10 hst. Tipe percabangan tegak atau menyebar tergantung spesiesnya. Daundaun tumbuh pada tunas samping secara berurutan, sedangkan pada batang utama tersebut tersusun secara spiral. Tanaman cabai mempunyai tangkai daun panjang, daun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate atau lanceolate, agak kaku, berwarna hijau muda sampai hijau gelap dengan tepi rata.
Budidaya Tanaman Cabai Cabai merah dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun di dataran tinggi, di lahan sawah ataupun di lahan tegalan. Keberhasilan dalam budidaya tanaman cabai, selain perlu dipenuhi persyaratan tumbuh pokok yaitu keadaan iklim dan tanah yang cocok untuk tanaman cabai, juga teknik budidaya yang tepat perlu diketahui. Agar mampu tumbuh dengan optimal, tanaman cabai merah memerlukan kisaran suhu udara antara (18-27)oC. Suhu udara yang optimum
5 untuk pertumbuhan dan pembungaannya adalah antara (21-27)oC dan untuk pembuahannya antara (15.5-21)oC. Suhu udara yang paling cocok untuk pertumbuhan cabai merah rata-rata adalah 16oC pada malam hari, dan minimum 23oC pada siang hari. Cabai merah tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah, karena pada keadaan tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit, terutama yang disebabkan oleh cendawan. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah sekitar 600-1250 mm per tahun (BPTS 1996). Pertumbuhan tanaman cabai merah yang baik memerlukan mutu bibit yang baik, dan untuk mendapatkan bibit yang baik, diperlukan benih yang baik pula. Benih cabai merah yang baik dapat diperoleh dengan menyeleksi tanaman cabai merah yang akan diambil buahnya untuk benih. Benih yang berasal dari bagian tengah buah cabai yang telah matang penuh dapat menghasilkan tanaman cabai yang berproduksi tinggi. Sebelum disemai, benih cabai sebaiknya direndam dahulu dalam air panas (50oC) selama ± 1 jam untuk mempercepat perkecambahan. Benih disemai di tempat yang telah disiapkan. Media persemaian yang baik berupa campuran pupuk kandang yang telah matang dan tanah (1:1). Benih disemai dengan jarak 5 cm x 5 cm, lubang tanam sedalam 0.5-1 cm, kemudian ditutup dengan lapisan tanah yang halus, selanjutnya ditutup dengan daun pisang atau plastik. Setelah benih berkecambah, tutup daun pisang atau plastik dibuka. Perkecambahan yang baik perlu temperatur antara (24-28)oC, sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan bibit sampai dipindahkan ke lapangan antara (22-25)oC (BPTS 1996). Bibit atau tanaman cabai merah yang masih kecil tidak tahan terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi. Oleh karena itu, tempat persemaian perlu diberi atap plastik atau daun kelapa yang menghadap ke arah Timur. Atap ini selain dapat melindungi bibit dari intensitas cahaya matahari yang tinggi dan terpaan air hujan, juga dapat menjaga kelembaban tanah dan udara di persemaian tersebut. Pemeliharaan bibit perlu dilakukan, air harus diberikan secukupnya, karena air yang terlalu banyak akan membuat tanaman menjadi rentan terhadap rebah kecambah (damping off). Penyiraman harus dilakukan pagi hari, supaya
6 daun tanaman dan permukaan tanah kering sebelum malam hari untuk mencegah terjadinya rebah kecambah (BPTS 1996).
Penyakit Antraknosa Penyakit antraknosa pada cabai yang dapat menyebabkan gejala rebah kecambah di persemaian disebabkan oleh genus Colletotrichum, terdiri atas lima spesies Colletotrichum gloeosporoides, C. capsici, C. dematium, C. cocodes, dan C. acutatum. Cendawan Colletotrichum gloeosporoides merupakan cendawan patogen penyebab antraknosa pada tanaman buah-buahan terutama di daerah tropis seperti Indonesia (Kelemu et al. 1997). Di Indonesia cendawan Colletotrichum yang paling banyak menyerang pertanaman cabai adalah C. capsici dan C. gloeosporoides (Suryaningsih et al. 1996). Thaung (2008), juga melaporkan bahwa cendawan Gloeosporium piperatum merupakan patogen yang dapat menyebabkan penyakit antraknosa pada cabai merah di Myanmar.
Sebaran Penyakit Akhir-akhir ini diketahui bahwa patogen antraknosa banyak ditemukan menyerang pertanaman cabai di Indonesia. Hasil penelitian Widodo (2007), menunjukkan bahwa penyakit antraknosa pada cabai di Bogor, Brebes, Bandung, Pasir Sarongge, Payakumbuh, dan Mojokerto disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporoides dan C. acutatum. Populasi C. gloeosporoides di lapangan 5-6 kali lebih banyak daripada populasi C. acutatum (Holliday 1980). Serangan cendawan Colletotrichum capsici dan C. gloeosporoides itu membuat buah berwarna kuning kecoklatan, mengerut, dan mengering (Suryaningsih et al. 1996).
Daur Penyakit Cendawan antraknosa dapat menyerang daun dan batang, kemudian menginfeksi buah cabai. Cendawan pada buah masuk ke dalam ruang benih dan menginfeksi benih. Kemudian cendawan menginfeksi kecambah yang tumbuh dari benih yang terinfeksi patogen. Cendawan hanya sedikit mengganggu tanaman yang sedang tumbuh, tetapi menggunakan tanaman ini untuk bertahan sampai
7 terbentuknya buah matang secara fisiologis. Selain itu patogen dapat mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman sakit. Selanjutnya konidia disebarkan oleh angin, benih atau tanah (Semangun 2000). Menurut
Agrios
(2005), patogen dapat terbawa benih dan mampu bertahan pada sisa tanaman, bersifat laten, dan sewaktu-waktu dapat aktif menginfeksi pada buah.
Gejala Penyakit Rebah Kecambah Kehilangan hasil buah cabai merah yang disebabkan penyakit antraknosa ini bervariasi antara 21%-65%. Terdapat cendawan dominan yang dapat menyebabkan penyakit antraknosa pada cabai merah. Gejala penyakit ini berupa bercak kecil pada buah cabai. Selama musim hujan bercak ini berkembang cepat, bahkan pada lingkungan kondusif penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal pertanaman cabai (Syukur 2007). Serangan pada benih menyebabkan kegagalan untuk berkecambah dan pada kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah (damping off). Serangan pada tanaman dewasa menimbulkan mati pucuk (die back) dan infeksi lebih lanjut menyebabkan busuk kering pada batang (Suryaningsih et al. 1996). Pada daun dan batang muda mulai dari perkecambahan hingga pembungaan patogen tersebut dapat bersifat laten, kemungkinan patogen dapat aktif menginfeksi pada tahapan tertentu, biasanya pada buah yang mulai matang secara fisiologis (BPTS 1996).
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Wharton dan Uribeondo (2004), mengemukakan bahwa kondisi yang optimal untuk perkembangan penyakit antraknosa yaitu pada kelembaban relatif (RH) 95%. Kondisi tersebut dapat membantu mempercepat infeksi dan perkembangan penyakit selanjutnya. Suhu optimum untuk perkembangan patogen yaitu 25oC sampai 30oC. Sehingga pada musim penghujan serangan penyakit menjadi lebih tinggi daripada musim kemarau.
8
Pengendalian Penyakit Pengendalian terpadu lebih diutamakan dalam memperoleh hasil maksimal yaitu penerapan pengendalian secara kultur teknis, mekanis atau fisik, biologi, genetika dan kimia. Strategi utama dalam mengendalikan penyakit ini antara lain adalah dengan menggunakan benih tanaman yang sehat, menghindari terjadinya luka, meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah, dan pengendalian kimiawi dengan produk sistemik (Agrios 2005). Sinaga (2004), mengemukakan bahwa prinsip pengendalian penyakit secara tradisional yaitu penghindaran, eksklusi, eradikasi, proteksi, resistensi, dan terapi tetap dimanfaatkan untuk digunakan menjadi taktik-taktik pengendalian dalam penyusunan suatu stategi pengendalian yang holistik.
Pengendalian Hayati Pengendalian yang selalu dilakukan petani untuk menyelamatkan tanamannya yaitu dengan menggunakan pestisida senyawa kimia sintetis. Pestisida yang digunakan selain tidak khas terhadap spesies patogen tular tanah, juga belum tentu mampu mencapai lokasi patogen, kegagalan pengendalian ini didukung oleh kemampuan patogen dalam membentuk pertahanan diri serta mempunyai kisaran inang yang luas. Berdasarkan ekobiologi umumnya patogen, maka pengendalian hayati berpeluang baik untuk berhasil (Sinaga 2004). Secara biologi dalam mengendalikan penyakit antraknosa adalah dengan menggunakan agens antagonis Trichoderma spp., Gliocladium spp., Bacillus spp., dan Pseudomonas kelompok fluorescens (Sinaga et al. 1992). Mekanisme dari agens biokontrol dalam melemahkan atau membunuh patogen tanaman adalah dengan memparasit patogen secara langsung, memproduksi antibiotik (toksin), kemampuannnya dalam kompetisi ruang dan nutrisi, memproduksi enzim untuk melawan komponen sel patogen, dan menginduksi respon ketahanan tanaman, serta memproduksi metabolisme tanaman dalam menstimulasi perkecambahan spora patogen (Agrios 2005).
9 Sinaga
(2006),
mengemukakan
bahwa
aplikasi
agens
antagonis
menunjukkan inisiasi langsung dalam menekan inokulum patogen, mencegah kolonisasi patogen, melindungi perkecambahan biji dan akar tanaman dari infeksi, selain itu agens antagonis dapat langsung menghambat patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi terhadap ruang dan nutrisi, menginduksi proses ketahanan tanaman, serta interaksi langsung dengan patogen. Interaksi yang terjadi berupa hiperparasit, hiperpatogen melalui destruksi unit-unit propagatif (propagul) atau biomassa, sehingga dapat mengurangi kepadatan inokulum dan aktivitas patogen.
Trichoderma harzianum Cendawan Trichoderma harzianum merupakan cendawan yang termasuk kelas Deuteromycetes. Agens antagonis T. harzianum memiliki aktivitas antifungal yang tinggi karena dapat memproduksi enzim litik dan antibiotik (antifungal). Selain itu, T. harzianum juga dapat berkompetisi dengan patogen dan dapat memacu pertumbuhan tanaman. Pada umumnya, T. harzianum banyak ditemukan di tanah hutan maupun tanah pertanian atau pada substrat berkayu. Cendawan ini merupakan agens biokontrol yang dapat hidup dalam ekosistem yang berbeda, dapat menyeimbangkan tanah, dan tidak berbahaya bagi organisme bermanfaat lainnya (Amin et al. 2010). Widyastuti (2006), mengemukakan bahwa saat berada pada kondisi kaya akan kitin, T. harzianum memproduksi protein kitinolitik dan enzim kitinase. Enzim ini berguna untuk meningkatkan keefektifan aktivitas biokontrol terhadap patogen yang mengandung kitin. Mekanisme antagonis dari Trichoderma terhadap berbagai patogen adalah (1) hiperparasitisme yaitu cendawan yang mendapatkan nutrisi dari cendawan lainnya tanpa memberikan manfaat, (2) antibiosis yaitu hubungan antara dua organisme yang dapat merugikan salah satu organisme, biasanya salah satu organisme memproduksi toksik, (3) kompetisi nutrisi atau ruang, (4) toleransi terhadap stres melalui peningkatan akar dan perkembangan tanaman, (5) memproduksi senyawa yang bersifat memacu pertumbuhan tanaman, (6) induksi resistensi, dan (7) lisis.
10 Morfologi secara mikroskopis untuk cendawan T. harzianum adalah konidiofor hialin, bercabang banyak, fialid tunggal atau dengan kelompok, konidia (phialospora) hialin, berwarna hijau, sel tunggal, oval, biasanya mudah dikenali dengan pertumbuhannya yang cepat, bersifat saprofitik di tanah atau pada kayu, beberapa spesies dilaporkan bersifat parasit pada cendawan lain (Barnett dan Hunter 1998). Klamidospora berwarna cokelat kebulatan (Watanabe 2002). Produk T. harzianum dapat mengontrol penyebab penyakit rebah kecambah
atau penyakit pada akar tanaman hias dan bibit pohon
kehutanan, dan dapat diaplikasikan pada benih untuk mengendalikan rebah kecambah (Whipps dan Lumsden 2001).
Gliocladium spp. Cendawan Gliocladium spp. dapat mengendalikan beberapa patogen tular tanah. Cendawan tersebut dapat mengolonisasi mikroba patogen, sehingga mikroba patogen tidak dapat berkembang. Agens biokontrol Gliocladium spp. merupakan cendawan antagonis yang memiliki mekanisme hiperparasitisme dan dapat memproduksi bahan antifungi.
Bahan antifungi
yang dihasilkan
Gliocladium spp. berupa antibiotik gliotoksin dan viridin yang dapat menekan perkembangan mikroba lain (Whipps dan Lumsden 2001). Menurut Watanabe (2002), morfologi secara mikroskopis untuk cendawan Gliocladium adalah konidiofor hialin, tegak lurus, sederhana atau bercabang berlawanan atau verticillately, terutama pada metula, septat, massa konidia fialid pada cabang apikal. Konidia hijau muda, massa hijau tua, elips atau kebulatan, sel tunggal. Klamidospora bulat atau kebulatan. Produk Gliocladium virens telah muncul di pasar dalam dua formulasi, GlioGardTM, dan SoilGardTM. Produk ini ditargetkan untuk mengendalikan penyakit rebah kecambah pada sayuran dan bibit tanaman hias yang disebabkan Rhizoctonia solani dan Pythium spp. Aplikasi hanya terbatas pada rumah kaca atau penggunaan wadah interior (Whipps dan Lumsden 2001).
11 Bacillus subtilis Mikroba agens antagonis yang saat ini diketahui mempunyai potensi sebagai pengendali penyakit antraknosa pada cabai ialah Bacillus subtilis. Bakteri Bacillus subtilis bersifat antagonis terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri atau cendawan, ditemukan di lingkungan tanah perkebunan bawang dan cabai. Bakteri ini menghasilkan antibiotik, diantaranya polymixin, difficidin, subtillin, dan mycobacillin yang mempunyai aktivitas fungisida dan digunakan sebagai agens biokontrol (Earl et al. 2008). Bakteri B. subtilis memiliki kemampuan sebagai agens antagonis terhadap cendawan patogen secara in vitro karena mampu memproduksi zat aktif sebagai antifungi yang merupakan isomer dari senyawa iturin-A, diprodukasi secara ekstraseluler, stabil terhadap suhu panas, dan tidak larut dalam air maupun asam lemah. Senyawa iturin-A merupakan senyawa amina yang dapat mencegah sporulasi, menghambat pada tahap awal pertumbuhan cendawan patogen, sehingga konidia tidak terbentuk dan pada akhirnya pertumbuhan miselium menjadi steril (Gunawan 2005). Di bagian proteksi Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, Bacillus subtilis telah dibuat dalam bentuk formulasi biopestisida dengan nama Bs 001 50 WP. Berdasarkan penelitian Gunawan (2005), formulasi biopestisida Bs 001 50 WP berpotensi menekan intensitas penyakit antraknosa sebesar 2.67% tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida kimia Bi 1/48 WP sebesar 2.07%. Hal ini memberikan indikasi bahwa formula Bs 001 50 WP dapat digunakan sebagai biofungisida yang memiliki daya pengendalian penyakit antraknosa setara dengan fungisida kimia.
Pseudomonas fluorescens Ciri-ciri bakteri genus Pseudomonas antara lain berbentuk bulat panjang atau batang, sebagian besar bersifat mobil dengan flagella monotrikus, politrikus atau lopotrikus dan hampir semuanya gram negatif dan bersifat aerobik (Suharno 2001).
12 Bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens juga dapat menghasilkan metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen. Metabolit-metabolit tersebut berguna untuk memacu pertumbuhan tanaman (Hasanuddin 2003). Siderofor dapat menekan perkembangan patogen secara aktif dalam persaingan besi (Fe) karena senyawa ini memiliki berat molekul rendah dengan affinitas yang sangat kuat terhadap
Fe
(III).
Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
siderofor
berpendarfluor kuning kehijauan yang dihasilkan oleh pseudomonad pendarfluor disebut
sebagai
pseudobactin
bermanfaat
untuk
pertumbuhan
tanaman
(Maleki et al. 2010). Bakteri antagonis P. fluorescens merupakan salah satu golongan PGPR yang memiliki mekanisme biokontrol yang melibatkan produksi antibiotik berupa phenazine-1-carboxyclic acid, 2,4-diacetyl phloroglucinol, oomycin, pyoluteorin, pyrrolnitrin, kanosamine, zwittermycin-A, dan pantocin A (Fernando et al. 2005). Antagonisme bersifat kompetisi dan lisis. Kompetisi terjadi dalam pemanfaatan nutrisi dan ruang tumbuh, sedangkan lisis ditunjukkan dengan zona bening pada media tumbuh uji (Anik 2001). Beberapa strain dari P. fluorescens dapat menekan penyakit pada tanaman serta melindungi benih dan akar dari serangan cendawan tular tanah dan bakteri patogen (Corbell dan Loper 1995). Agens biokontrol Pseudomonas fluorescens agak spesifik mengenai kemampuannya
untuk
melindungi
tanaman
dari
patogen
tular
tanah.
Bakteri antagonis P. flourescens termasuk kedalam bakteri yang dapat ditemukan dimana saja (ubiquitous), seringkali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar), dan sisa tanaman yang membusuk, serta pada tanah dan air (Couillerot et al. 2008). Bakteri Pseudomonas fluorescens mampu memproduksi zat antibiotik serin yang dapat menghambat pertumbuhan ganggang berbahaya di lingkungan laut. Zat antibiotik tersebut digunakan P. fluorescens dalam mekanisme lisis untuk menghancurkan sel ganggang. Bakteri P. fluorescens memainkan peran penting dalam melindungi tanaman dari penyakit tular tanah. Strain dari P. fluorescens dikenal dapat menghasilkan zat antifungi untuk mengendalikan cendawan patogen tanaman seperti Rhizoctonia solani, oryzae Pyricularia, Monilinia fructicola,
13 Botrytis cinerea, Altenaria kikuchiana, Fusarium oxysporum, F. solani, dan Phytophthora capsici (Kim et al. 2007). Widodo et al. (1993), melaporkan bahwa Pseudomonas fluorescens memiliki kelebihan dibandingkan bakteri lain, karena bakteri ini memiliki proses metabolisme yang sederhana sehingga dapat langsung menuju substrat yang dikeluarkan oleh tanaman dan memiliki siklus hidup yang pendek. Sifat-sifat yang dimiliki
oleh
P.
fluorescens
diantaranya
adalah
mampu
mendominasi
pemanfaatan eksudat yang dikeluarkan oleh akar, dapat berkembangbiak dengan cepat, serta mampu mengkoloni daerah perakaran.