TINJAUAN PUSTAKA Pemupukan Keseimbangan unsur hara dalam tanah perlu dipertahankan, untuk menjaga agar terpeliharanya kesuburan tanah. Keseimbangan secara alami terjadi di bawah hutan perawan yang belum ada campur tangan manusia, karena proses pengayaan hara terus berlangsung. Dengan bertambahnya penduduk, permintaan akan lahan pertanian selalu meningkat. Hutan selalu menjadi sasaran utama untuk pengembangan lahan. Dengan demikian keseimbangan unsur hara akan terganggu. Untuk mencukupi unsur hara yang telah hilang dilakukan pemupukan, yang secara umum bertujuan untuk : 1. Menjaga tetap terpeliharanya keseimbangan unsur hara dalam tanah, karena setiap pemupukan tidak semua unsur hara hilang dari tanah tersebut. 2. Mengurangi bahaya erosi, karena akibat pemupukan terjadi penumbuhan vegetative yang baik. 3. Meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman (Jumin 2005) Penggunaan pupuk kimia dalam pertanian perlu memperhatikan reaksi kimia dari pupuk yang digunakan, apakah pupuk yang digunakan mempunyai sifat mengasamkan atau tidak, pada umumnya pupuk nitrogen yang mengandung ammonium atau sisa asam seperti sulfat (SO4) bersifat mengasamkan tanah. Pupuk nitrogen yang mengandung gugusan NH, sebelum tersedia pada tanaman, terlebih dahulu mengalami proses amonifikasi dan nitrifikasi. Pemupukan pada tanaman dapat meningkatkan produksi
namun dapat pula merugikan jika
diberikan tidak sesuai. Nitrogen diperlukan tanaman untuk pembentukan protein serta merupakan bagian integral dari molekul klorofil. Jika terjadi kekurangan nitrogen, tanaman tumbuh lambat dan kerdil. Daunnnya berwarna hijau muda. Sementara itu daun-daun yang lebih tua menguning dan akhirnya kering, dalam tubuh tanaman nitrogen bersifat dinamis sehingga jika terjadi kekurangan nitrogen pada bagian pucuk, nitrogen yang tersimpan pada daun tua akan dipindahkan ke organ yang lebih muda. Jika terjadi kelebihan nitrogen, tanaman tampak terlalu subur, ukuran daun menjadi lebih besar, batang menjadi lunak dan berair sehingga mudah rebah dan mudah diserang penyakit. Kelebihan nitrogen juga dapat
6
menunda pembentukan bunga, bahkan bunga yang telah terbentuk lebih mudah rontok (Novisan 2002). Fosfor adalah unsur hara kedua setelah nitrogen yang sering kali terdapat kekurangan pada tanah-tanah di Indonesia. Miskinnya tanah akan unsur fosfor antara lain disebabkan beberapa faktor, antara lain karena pengikisan partikel tanah akibat erosi, selain itu sifat fosfor yang sangat mudah bereaksi dengan tanah dan mudah terikat menjadi bentuk yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Novisan 2002). Tanaman akan menyerap fosfor dalam bentuk ortofosfat ion (H2PO4, HPO4). Konsentrasi ion ortofosfat dalam tanah sangat tergantung pada kemasaman tanah (pH). Selain dipengaruhi oleh kemasaman tanah, ketersediaan fosfat juga dipengaruhi oleh waktu, temperatur dan jumlah bahan organik yang tersedia dalam tanah. Waktu yang panjang akan menyebabkan semakin banyak fosfor terfiksasi oleh tanah. Pada tanah yang mempunyai kemampuan fiksasi tinggi, masa penggunaan fosfor akan lebih pendek, demikian juga sebaliknya, sehingga waktu pemberian pupuk fosfat harus mendapat perhatian yang serius. Iklim panas juga dapat menyebabkan penyerapan fosfor oleh tanah menjadi besar dibandingkan dengan daerah yang beriklim sedang. Selain itu ketersediaan fosfor dalam tanah juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik dalam tanah, karena bahan organik tersebut dapat menyumbangkan fosfor. Manfaat dari pemupukan fosfat antara lain untuk pembentukan sel-sel, memperbaiki pembentukan benih, mempercepat pemasakan buah, memperbaiki perakaran, mengurangi kerontokan buah dan menambah ketahanan terhadap penyakit (Jumin 2005). Peningkatan pemakaian pupuk nitrogen dan fosfor akan meningkatkan pula terhadap pupuk kalium. Walaupun unsur kalium dalam tanah masih tergolong cukup. Pupuk kalium memberikan pengaruh yang nyata pada tanah kering. Tetapi pada tanah sawah pupuk kalium tidak memperlihatkan pengaruh nyata. Hal ini disebabkan pada tanah sawah unsur kalium banyak ditambah oleh air irigasi. Unsur kalium dalam tanah berasal dari pelapukan persenyawaan mineral dan garam-garam yang mengandung kalium. Kekurangan kalium dapat ditambahkan dalam bentuk pupuk. Apabila kalium diberikan dalam bentuk pupuk, maka sebagian kalium akan bergerak ke permukaan liat dan sebagian lagi bergerak ke larutan tanah. Kalium yang berada pada permukaan liat akan diserap oleh
7
tanaman, sedangkan yang bergerak ke permukaan akan menjadi cadangan kalium. Bila dibandingkan dengan unsur lain, kalium mempunyai ciri khusus, yaitu jika terdapat kalium yang berlebih dalam tanah tidak berpengaruh negatif terhadap tanaman, namun kehilangan kalium dalam tanah jauh lebih besar, karena tanaman dapat menyerap kalium melebihi dari kebutuhan yang sebenarnya. Serapan kalium oleh tanaman yang berlebih dari kebutuhannya tidak akan meningkatkan produksi tanaman, akibatnya terjadi pemborosan penggunaan kalium. Manfaat dari kalium yaitu memperkuat tanaman, mengurangi efek negatif dari pemupukan nitrogen, mengatur keseimbangan pupuk nitrogen dan fosfat, menambah bobot biji serealia dan menambah bernas. (Jumin 2005). Kebutuhan pupuk tiap jenis tanaman berbeda-beda tergantung dari jenisnya. Sehingga efesiensi pemupukannya juga berbeda-beda, pada tanaman yang hasil panennya berupa bagian vegetatif seperti sayuran, unsur hara yang terutama diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif (N) tentu mempunyai efisiensi pemupukan yang lebih tinggi daripada yang diperlukan untuk perkembangan generatif (P). pada tanaman padi sawah, misalnya, penyerapan hara N terbanyak terjadi pada fase pembibitan, pertunasan dan primordia bunga sampai berbunga (Notohadiprawiro et al. 1984). Pertanian Presisi Pertanian presisi merupakan upaya untuk meningkatkan produksi pertanian dengan mengurangi input produksi yang dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan input produksi sesuai dengan kebutuhan. Rains dan Thomas (2009) mengatakan bahwa Pertanian presisi telah muncul sebagai praktek manajemen dengan potensi untuk meningkatkan keuntungan dengan memanfaatkan informasi yang lebih akurat tentang sumber daya pertanian. Dalam hal ini mengenai manajemen variabel input, seperti tingkat aplikasi, pemilihan budidaya, praktek pengolahan tanah dan penjadwalan irigasi. Manajemen pertanian presisi sesuai untuk pertanian skala besar melalui pengembangan teknologi baru. Kini teknologi dalam pertanian presisi telah dikembangkan sehingga informasi di lapangan (seperti hasil dan tingkat aplikasi) dapat dikontrol dan diamati setiap tiga kaki di lapangan dengan biaya yang terjangkau bagi petani. Penerapan pestisida di daerah
8
serangan hama, dengan mengurangi jumlah pestisida yang digunakan yang berpotensi memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Pupuk dan kapur dapat diterapkan hanya bila diperlukan. Populasi tanaman dapat dipilih untuk mengoptimalkan nutrisi tanah, dan pemilihan jenis-jenis tanaman untuk memanfaatkan kondisi lahan yang tersedia. Tanaman juga dapat dipetakan untuk mengetahui daerah yang menghasilkan produksi yang tinggi atau rendah yang selanjutnya dapat digunakan untuk mengambil keputusan dengan manajeman yang baik. Menurut Arnholt et al. (2001) bahwa pertanian presisi merupakan sistem pertanian yang didesain untuk memberikan data dan informasi bagi petani sehingga dapat membantu dalam membuat suatu keputusan-keputusan pengolahan tanah berdasarkan lokasi. Dengan informasi ini, pertanian dapat menjadi lebih efisien, memungkinkan penggunaan biaya yang lebih kecil dan lebih menguntungkan serta mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Ada lima komponen teknologi yang digunakan dalam pertanian presisi, yaitu Geographical Information System (GIS), Global Positioning System (GPS), sensors, variable rate technology, dan, yield monitoring (Rains dan Thomas 2009). 1.
GIS mengacu kepada perangkat lunak komputer yang menyediakan penyimpanan data, pengambilan, dan transformasi data spasial. Perangkat lunak GIS untuk pengelolaan pertanian presisi akan menyimpan data, seperti jenis tanah, kondisi nutrisi tanah, dan lainnya, dan menetapkan informasi tersebut dalam bidang lokasi tertentu (Rains dan Thomas 2009).
2.
GPS adalah jantung dari pertanian presisi (Searcy 1997).
Sistem ini
bertanggung jawab dalam merekam lokasi mesin ketika bergerak di lahan, posisi dan hasil pengukuran direkam secara simultan yang dapat menghasilkan gambar berupa peta. Informasi posisi yang diberikan dapat ditingkatkan akurasinya dengan koreksi sinyal Differential GPS (DGPS), Kecepatan maju alat juga dapat diukur menggunakan penerima DGPS, dimana akurasi pengukuran kecepatan maju oleh DGPS terutama ditentukan oleh kualitas penerima yang digunakan dan juga kecepatan alat, dan pengukuran tidak akan akurat untuk
kecepatan mesin yang lambat
9
(<1.5 mph). Penerima DGPS dipasang ditempat yang paling tinggi dari alat, biasanya diatap kabin atau di atas tangki biji (Searcy 1997) 3.
Sensor yang dipasang pada kendaraan aplikator dapat memberikan data yang dapat digunakan untuk menilai kondisi lapangan dan untuk menentukan (secara keseluruhan atau sebagian) tingkat aplikasi yang diinginkan, sensor tertentu juga dapat digunakan untuk melakukan pengukuran kecepatan dan posisi dari kendaraan aplikator yang digunakan, misalnya sensor Doppler seperti radar (Sudduth 1999)
4.
VRT mencakup kontrol komputer dan perangkat keras yang terkait untuk mengatur jumlah keluaran dari pupuk, kapur, dan pestisida. Kontrol ini dibuat oleh beberapa perusahaan dan secara umum menggunakan peta aplikasi yang ada pada GPS untuk menentukan lokasi lahan dan mengendalikan perangkat keras yang mangatur tingkat aplikasi (Rains dan Thomas 2009). Secara agronomi, sistem variable rate memberikan pengertian bahwa target pemupukan didasarkan atas hasil pengujian tanah dan berhubungan dengan sistem informasi kandungan hara tanah. Secara ekonomi, sistem variable rate berhubungan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pemupukan pada suatu areal pertanian. Pendekatan lingkungan, sistem variable rate membantu untuk mencegah pemupukan yang berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya masalah lingkungan (Setiawan 2001).
5.
Yield monitoring
merupakan metode langsung untuk mengetahui hasil
produksi dari lahan dan bagaimana mengaturnya agar lebih baik. (Rains dan Thomas 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Arnholt (2001) menunjukkan bahwa kombinasi antara Yield monitoring dan GPS dapat meningkatkan keuntungan bersih, hal ini berarti bahwa yield monitoring hanya akan menunjukkan nilai yang signifikan ketika analisis spasial dihasilkan dan hal ini membutuhkan teknologi GPS. Terdapat dua metode untuk mengaplikasikan pertanian presisi atau pertanian yang berorientasi lokasi (site-specific farming). Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan dapat digunakan untuk saling melengkapi atau dapat dikombinasikan (Morgan 1995). metode pertama, Map-based mencakup beberapa tahap: pembuatan grid sampling sebuah lahan, analisis laboratorium terhadap
10
sampel tanah, penentuan peta berdasarkan lokasi pada perlatan dan terakhir penggunaan peta yang telah dibuat untuk mengontrol variable rate applicator. Selama proses pengambilan sampel dan tahap pengaplikasian, penentuan posisinya biasanya menggunakan DGPS (Differential Global Positioning System). DGPS ini digunakan untuk menentukan lokasi di lapangan. Metode kedua adalah sensor based. Sensor yang digunakan adalah yang bersifat real-time dan menggunakan kontrol berumpanbalik untuk mengukur sifat-sifat yang dibutuhkan dari lahan yang dilaluinya, biasanya yang diukur adalah sifat tanah atau karakteristik tanaman dan kemudian dengan cepat
sinyal yang diperoleh
digunakan untuk mengontrol Variable rate applicator. Metode kedua ini tidak memerlukan sebuah GPS. Aplikasi pertanian presisi berpotensi untuk mengurangi biaya yang digunakan untuk produksi dengan kemungkinan hasil panen yang diperoleh meningkat,
karena mengurangi terjadinya pertumbuhan tanaman yang tidak
optimal karena adanya suplai unsur hara yang berlebihan atau kurang. Sevier dan Lee (2005) menyatakan bahwa adopsi dari pertanian presisi yang dilakukan di perkebunan jeruk yang berada di Florida menunjukkan penurunan penggunaan pupuk dengan penggunaan teknologi pertanian presisi, dimana pada salah satu plot dengan luas 4 ha yang pada tahun 2003 dengan menggunakan fixed rate applicator total pupuk yang digunakan sebesar 5.74 metric ton, sedangkan pada tahun 2004 dengan menggunakan variable rate applicator total pupuk yang digunakan sebesar 4.78 metric ton sehingga diperoleh penghematan sekitar 1 metric ton. Menurut Searcy (1997) teknologi pertanian presisi membawa peningkatan efesiensi pada produksi pertanaman. Dengan mendekati tingkat aplikasi yang sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman, potensi keuntungan dapat ditingkatkan dan kemungkinan kerusakan lingkungan dapat diminimalisir. Namun yang menjadi kendala dalam pengaplikasian teknologi tersebut, yaitu mahalnya biaya yang dibutuhkan. Dimana diperlukan data tentang tanah dan lainnya, serta peralatan yang mahal. Menurut arnholt (2001) yang melakukan penelitian tentang adopsi pertanian presisi oleh petani di Ohio tengah, biaya yang paling besar menurut petani yaitu biaya untuk penyiapan VRT, biaya tes tanah, dan biaya
11
untuk pengumpulan sampel tanah, tetapi 71 % petani setuju bahwa keuntungan dari aplikasi sistem pertanian masih melebihi dari total biaya yang digunakan. Variable Rate Aplicator Variable rate application (VRA), sebagai praktek pertanian presisi, didefinisikan sebagai aplikasi yang menggunakan kontrol elektronik dalam rangka mengotomatisasi perubahan tingkat input di lahan berdasarkan aplikasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam rangka menerapkan input produksi berupa pemupukan atau pemberian pestisida sesuai dengan lokasi dan peta aplikasi, kombinasi implement traktor harus
memiliki
sistem VRT. Dalam aplikasi
pemupukan, Variable rate dapat digolongkan menjadi single-nutrient dan multiple nutrient tergantung dari kemampuan alat yang digunakan. Teknologi
(VRA)
terdiri dari penerima GPS, kontrol, sensor kecepatan dan actuator (Tekin dan Sindir 2004) seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Searcy (1997) menyatakan bahwa VRT mencakup mesin yang otomatis merubah tingkat aplikasinya sebagai respon dari posisinya. Sistem VRT tersedia untuk mengaplikasikan beragam zat termasuk pupuk butiran atau cair. Pestisida, biji, dan air irigasi.
Gambar 1 Variable Rate Fertilizer Applicator (Tekin dan Sindir 2004) Ada tiga pendekatan berbeda untuk VRA. Pada pendekatan peta pengarah (map driven approach (MDA)),
peta yang dipresentasikan secara digital
dihubungkan dengan pengontrol Variable rate applicator untuk menentukan
12
tingkat aplikasi keseluruhan ketika aplikator bergerak melewati lahan. Pada pendekatan sensor (sensor driven approach (SDA)), sebuah sensor dipasang pada aplikator yang mendeteksi beberapa faktor, seperti nitrat tanah, dan Variable rate applicator menggunakan sinyal sensor untuk menentukan tingkat aplikasi yang tepat ketika aplikator melewati lahan. Pendekatan ketiga adalah kombinasi antara peta dan sensor (map and sensor driven approach (MSDA)). Pada aplikasi MSDA pemupukan nitrogen, sebagai contoh, peta aplikasi dapat mengindikasikan keseluruhan kebutuhan nitrogen untuk memperoleh hasil yang ditargetkan pada tiap area di lahan, ketika sensor nitrat mengindikasikan bahwa kebutuhan nitrogen telah terpenuhi, maka aplikator hanya akan mengaplikasikan nitrogen tambahan untuk mencapai target yang telah ditentukan (Srivastava et al. 2006). Berbagai usaha pertanian telah mendapatkan keuntungan dari VRT, sebagai contoh sensor telah dikembangkan untuk mengetahui kepadatan populasi gulma di lahan. Variable rate sprayers telah dikembangkan sehingga memiliki kemampuan untuk hanya menyemprot pada daerah yang terdapat populasi gulma yang signifikan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendeteksi variasi spasial dari pemdatan tanah, sehingga penggunaan chisel yang dalam hanya dilakukan pada area yang membutuhkan operasi pengolahan dengan energi yang tinggi (Srivastava et al. 2006). Penerapan VRA pada budidaya padi telah dilakukan Setiawan (2001) yang melakukan penelitian di Kyoto dengan unit kontrol berupa komputer desktop yang dipasang di traktor. Aplikasi dosis pemupukan ditentukan berdasarkan pembacaan sensor posisi yang berupa RTK-DGPS. Selain itu, juga digunakan sensor putaran roda penggerak untuk mengantisipasi jika GPS receiver kehilangan sinyal. Dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa VRA dapat memberikan dosis pemupukan yang sesuai dengan dosis yang teklah direkomendasikan.
Loghavi
dan Forouzanmehr (2010) telah melakukan penelitian di Iran, dengan metering device tipe screw yang digerakkan oleh motor stepper. Unit kontrol utama menggunakan ATmega 16 dan untuk mengontrol kecepatan motor menggunakan ATmega 8, dengan kapasitas 175 kg/ha. Azis (2011) melakukan penelitian dengan pengontrolan pada kecepatan metering device. Di mana penentuan parameter kontrol PID dilakukan dengan metode Zeigler-Nichols dan ternyata tidak
13
memberikan pengontrolan yang cukup presisi. Selain itu, pada penggunaan rotor ganda, tidak mampu mengatasi beban yang diberikan, sehingga laju keluaran pupuk hanya mengalami peningkatan yang kecil dibandingkan dengan penggunaan rotor tunggal. Namun dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa laju keluaran pupuk dapat dikontrol dengan mengendalikan kecepatan penjatah pupuk. Mikrokontroler Mikrokontroler merupakan komputer mikro yang dibuat dalam bentuk chip semikonduktor. Mikrokontroler telah banyak digunakan di berbagai peralatan elektronik, dari peralatan rumah tangga, perangkat audio-video, pengendali mesinmesin industri sampai pesawat ruang angkasa. Sebuah komputer mikro memiliki tiga komponen utama, unit pengolah pusat, memori, dan sistem input/output untuk dihubungkan dengan perangkat luar (Usman 2008). Mikrokontroler yang ada saat ini salah satunya adalah mikrokontroler jenis AVR (Advanced Virtual RISC ) yang pertamakali dikembangkan pada tahun 1996 oleh dua orang mahasiswa Norwegian Institute of Technology yaitu Alf-Egil Bogen dan Vegard Wollan. Mikrokontroler AVR kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Atmel. Sa ini mikrokontroller AVR memiliki banyak seri, setiap seri memiliki perbedaan kemampuan, feature-feature, ukuran chip dan harga. dimana pada beberapa seri mikrokontroller ini telah memiliki ADC dan PWM. Mikrokontroler AVR menggunakan teknologi RISC (Reduced Instruction Set Computing), yang memberikan kemampuan untuk melaksanakan instruksi dengan cepat karena mengurangi jumlah instruksi level mesin. Pengurangan jumlah instruksi ini berpengaruh pada kecepatan yang disebabkan karena dengan jumlah instruksi mesin yang terbatas, kebanyakan dapat berjalan dalam satu putaran dari clock prosessor. Dipandang dari segi MIPS (million of instructions per second), AVR yang menggunakan clock 8 MHz dapat mengeksekusi 8 juta instruksi perdetik atau 8 MIPS (Barnet et al. 2006).
14
Gambar 2 Konfigurasi pin ATmega 128 (Atmel 2010) ATmega 128 merupakan salah satu mikrokontroler dari keluarga AVR, dengan kapasitas memori yang besar dan kelebihan fitur AVR lainnya seperti PWM, dan ADC dengan total 64 pin. Selengkapanya fitur ATmega 128 : a. High performance, Mikrokontroler AVR berdaya rendah. b. Memori Flash 128 Kbytes, EEPROM 4 Kbytes, SRAM 4 Kbytes c. 2 buah 8-bit timer/counters, 2 buah 16-bit timer/counters, 2 kanal 8-bit PWM, 6 kanal 16-bit PWM. d. 8 kanal 10-bit ADC, 2 USART, watchdog timer, dan analog comparator. e. 53 jalur Input/Output. f. Antar muka SPI untuk In-System Programming. g. Penyimpanan data : 20 tahun pada suhu 850C/100 tahun pada suhu 250C. h. Dapat mencapai 16 MIPS (Millions of instruction per second) pada 16 MHz. i. Enam mode sleep : idle, ADC Noise, Power-save, Power-down, Standby dan extended standby. j. Nilai kecepatan 0-16 MHz. (Atmel 2010).
15
Gambar 3 Blok diagram ATmega 128 (Atmel 2010) Rotary Encoder Encoder
adalah
sensor
yang
menghasilkan
output
digital
dan
dikelompokan sebagai linear encoder untuk perpindahan linear dan rotary encoder untuk perpindahan sudut (Monta et al. 1998). Rotary encoder dapat memonitor gerakan dan posisi, umumnya menggunakan sensor optik untuk menghasilkan pulsa yang dapat dikonversi menjadi gerakan atau posisi. Umumnya digunakan pada pengendalian robot, motor drive dan lainnya. Terdapat dua jenis rotary encoder yang digunakan, Absolute rotary encoder dan incremental rotary encoder. Absolute encoder menggunakan beberapa celah dan beberapa output yang dibaca secara pararel untuk menghasilkan representasi biner dari posisi sudut
16
absolut dari poros (Monta et al. 1998). Piringan yang digunakan untuk absolut encoder tersusun dari segmen-segmen cincin konsentris yang dimulai dari bagian tengah piringan ke arah tepi luar piringan yang jumlah segmennya selalu dua kali jumlah segmen cincin sebelumnya. Cincin pertama di bagian paling dalam memiliki satu segmen transparan dan satu segmen gelap, cincin kedua memiliki dua segmen transparan dan dua segmen gelap, dan seterusnya hingga cincin terluar.
Gambar 4 Susunan pola 16 cincin konsentris pada absolut encoder (Kissel 2006) Incremental encoder biasanya menggunakan tiga output. Output Z sebagai ouput index yang menghasilkan 1 pulsa peputaran dan digunakan sebagai reset atau sinyal start. Output A adalah basis output dan menghasilkan beberapa pulsa perputaran. Output B pada dasarnya sama dengan output A hanya saja terdapat perbedaan fase sebesar 90o dan hal ini bisa digunakan untuk mendeteksi arah putaran (Monta et al. 1998). Ketika poros berputar, deretan pulsa akan muncul di masing-masing channel pada frekuensi yang proporsional dengan kecepatan putar. Dengan mengetahui channel mana yang leading terhadap channel satunya dapat kita tentukan arah putaran yang terjadi karena kedua channel tersebut akan selalu berbeda fasa seperempat putaran (quadrature signal). Biasanya encoder ini dipasang segaris dengan poros (shaft) motor. Gear box, sendi atau bagian berputar lainnya. Bebarapa tipe encoder memiliki poros berlubang (hollow shaft encoder) yang didesain untuk sistem sambungan langsung ke poros obyek yang dideteksi.
17
Gambar 5 Bentuk dan sinyal output incremental rotary encoder (Automation Engineering 2011) Karekteristik Pupuk Pengaplikasian pupuk di lahan perlu diketahui karakteristiknya. Hal ini berhubungan dengan bagaimana mengaplikasikan pupuk tersebut dan juga kemungkinan untuk mencampur satu pupuk dengan pupuk yang lain. Pupuk Urea Urea adalah pupuk buatan hasil persenyawaan NH4 dengan CO2, bahan dasarnya biasanya berupa gas alam dan merupakan hasil ikutan hasil tambang minyak bumi. Urea memiliki sudut curah 36o (Syafri 2011). Tabel 1 Karakteristik pupuk Urea Keterangan Kadar N (%) Reaksi Higroskopisitas Granulasi (mm) Titik cair (oC) Warna Sumber : http://www.pusri.co.id
Jenis Pupuk Urea 42 - 46 agak masam tinggi 1-3.35 132 Putih
18
Pupuk SP-36 SP-36 (Superphospat 36) merupakan pupuk dengan bahan dasar asam fosfat dan kalsium, hasilnya merupakan kalsium fosfat yang mudah larut dalam air. Selain SP-36, fosfat juga dapat diperoleh dari pupuk TSP (Triple Super Phosphate). Pupuk ini memiliki sudut curah 30o (Syafri 2010). Tabel 2 Karakteristik pupuk SP-36 Keterangan P2O5 (larut asam sitrat 2 %) Hara Lain : S (%) Kelarutan dalam air ( gr/ltr ) Reaksi Higroskopisitas Granulasi (mm) Warna Sumber : http://www.pusri.co.id
Jenis Pupuk SP-36 36 5 Agak masam 1-4 Abu-abu
Pupuk NPK/Phonska Pupuk NPK (nitrogen phosphate kalium) merupakan pupuk majemuk yang mengandung tiga unsur hara utama yang paling dikenal saat ini, berbentuk butiran dan berwarna merah mudah. Sudut curah pupuk NPK sekitar 30 – 33o (ICL Fertilizer 2012) Pupuk juga dapat dicampurkan. Pupuk campur ini dapat dibuat dari pupuk tunggal yang biasanya memiliki kadar hara tinggi, misalnya Urea, TSP, dan KCl. Dapat pula berasal dari pupuk yang susunan aslinya sudah majemuk, misalnya amonium nitrat dan kalium nitrat. Tabel 3 Karakteristik pupuk NPK/Phonska Keterangan Nitrogen (N) % Fosfat (P2O5) % Kalium (K2O) % Sulfur (S) % Higroskopisitas Kelarutan dalam air Warna Sumber : http://www.petrokimia-gresik.com
Jenis Pupuk NPK/Phonska 15 15 15 10 tinggi Larut Merah muda
19
(a) Urea
(b) SP-36
(c) NPK Gambar 6 Bentuk fisik pupuk