5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Kayu Cepat Tumbuh (fast growing species) Beberapa jenis kayu cepat tumbuh yang banyak digunakan di dalam hutan tanaman industri dan hutan rakyat di antaranya sengon, akasia dan gmelina (Dephut, 2006) Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) merupakan jenis cepat tumbuh dan tumbuhan asli Indonesia (Budelman 1989). Menurut Mandang dan Pandit (2002), kayu sengon tergolong ringan dengan berat jenis rata-rata 0,33 (0,24-0,49); kelas awet IV-V; kelas kuat IV-V. Kegunaan untuk bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan kertas, dan barang kerajinan. Acacia mangium Willd. merupakan tanaman asli indonesia, khususnya Irian Jaya (Papua) dan Kepulauan Maluku (Richter and Dallwitz 2000). Kayu akasia memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66); termasuk kelas awet III dan kelas kuat II – III. Kegunaan kayu ini sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu dan jendela, perabot, lantai, papan dinding, tiang pancang, gerobak dan rodanya, alat pertanian, batang dan kotak korek api, papan partikel, venir, pulp dan untuk kayu bakar dan arang (Mandang dan Pandit 2002). Menurut Duke (1983), gmelina (Gmelina arborea) merupakan salah satu tanaman terbaik di daerah tropis, penggunaan kayu ini untuk papan partikel, kayu lapis, kayu gergajian untuk konstruksi, furniture sampai instrumen musik. Dari hasil uji kubur, memperlihatkan bahwa tanpa pengawetan kayu ini dapat bertahan sampai 15 tahun pada kondisi kontak dengan tanah. Menurut Kasmudjo (1990), berat jenis kayu gmelina berkisar 0,42 – 0,64 yang termasuk dalam kelas sedang. Sifat fisis dan morfologis serta sifat kimia kayu akasia, gmelina dan sengon dapat dilihat pada Tabel 2.1.
6
Tabel 2.1 Sifat fisis dan morfologis serta sifat kimia kayu akaisa, gmelina dan sengon 6 Parameter
Nilai gmelina*)
sengon
0,51 1,31 0,90
1,02
0,57 1,48 1,01
21,18 12,40 4,39 0,71
28,38 18,94 0,5 -
30,77 24,49 3,14 0,26
46,98 77,85 16,12 5,00 22,40 0,31
45,64 77,4 6,32 25,41 -
48,07 77,27 16,43 2,84 21,58 0,84
akasia Sifat fisis dan morfologis a.Panjang serat - Min. (mm) - Max. (mm) - Rata-rata (mm) b.Diameter serat - luar {D(µ)} - lumen, {L(µ)} c.Tebal dinding {W (µ)} d.Bilangan runkel (2W/L) Sifat Kimia a.Sellulosa alpha (%) b.Holosellulosa (%) c.Pentosan (%) d.Ekstraktif (%) e.Lignin (%) f.Abu (%)
Sumber : Massijaya , 1992 dan Kasmudjo, 1990*). 2.2 Papan Komposit Kayu dan Bambu Jenis kayu cepat tumbuh telah banyak digunakan dan menunjukkan kesesuaian sebagai bahan baku papan partikel komposit (Dephut, 2006). Penggunaan lapisan venir pada bagian permukaan papan partikel dapat memperbaiki sifat papan sehingga mirip dengan kayu lapis. Kombinasi papan partikel yang dilapisi dengan venir ini disebut com-ply (Haygreen dan Bowyer 1993). Panel com-ply terbuat dari venir dan partikel. Terdiri dari 3 lapis, dimana venir sebagai lapisan luar dan partikel sebagai core. Pada com-ply yang tersusun 5 lapis, memiliki lapisan venir di bagian tengahnya dan arahnya tegak lurus dengan venir luar (Maloney 1993). Penggunaan lapisan pada papan partikel seperti yang disebutkan di atas dewasa ini semakin beragam, sebagai upaya alternatif untuk mendapatkan papan
7
yang terbuat dari berbagai macam bahan sehingga akan semakin beragam pula sifat dan
tampilan
dekoratifnya.
Penggunaan
lapisan
karton
gelombang
dapat
meningkatkan nilai MOE dan MOR papan dari limbah kertas koran (Massijaya 1997), begitu pula halnya dengan penggunaan limbah kantong semen (Suhasman 2005) dan penggunaan lapisan bilah bambu dari papan partikel kayu karet dengan perekat phenol formaldehida (Sudijono dan Subiyakto 2002). Penggunaan bambu sebagai produk komposit telah berkembang, tetapi umumnya dalam bentuk papan partikel dari serat bambu dan plywood dari bilah bambu (tradeindia.com, 2007). Penggunaan bilah bambu sebagai balok laminasi telah diteliti oleh Nugroho dan Ando (2000), Setyo dan Sudibyo (2005). Untuk penggunaan konstruksi, ada beberapa jenis bambu yang biasa dipakai. Salah satunya adalah bambu tali atau biasa juga disebut bambu apus (Giganthocloa apus Bl.Ex (Schult.f.) Kurz. Menurut Sulthoni (1988) diacu pada penelitian Morisco (1999) bambu tali tidak mudah diserang bubuk sekalipun tidak diawetkan. Oleh karena itu, bambu jenis ini banyak dipakai sebagai bahan bangunan. Tabel 2.2 Kandungan kimia Gigantochloa apus Kandungan Kimia
Nilai
Selulosa (%) 52,1 Lignin (%) 24,9 Pentosan (%) 19,3 Abu (%) 2,75 Silika (%) 0,37 Kelarutan dalam air dingin (%) 5,2 Kelarutan dalam air panas (%) 6,4 Kelarutan dalam alkohol benzena 1,4 Kelarutan dalam NaOH 1% 25,1 Sumber : Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) diacu dalam Krisdianto et al., (2007)
8
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Papan Komposit Menurut Maloney (1993), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan papan adalah : spesies kayu, tipe bahan baku, tipe perekat, kadar air dan distribusi, kadar air mat, zat aditif yang digunakan, gradasi ukuran partikel, gradasi kerapatan, kerapatan papan dan orientasi partikel. Menurut Nemli et al. (2005), kadar air lapik, penggunaan limbah, kadar perekat dan waktu kempa berpengaruh terhadap sifat fisik dan mekanik papan, juga terhadap kehalusan permukaan papan. Jenis Kayu 1. Kerapatan Maloney (1993), menyatakan bahwa kayu berkerapatan rendah dapat dipadatkan menjadi papan partikel berkerapatan sedang dengan lebih terjaminnya terjadi kontak antar partikel yang cukup selama pengempaan panas berlangsung sehingga dapat menghasilkan rekatan yang baik. 2. Asiditas Umumnya kayu yang digunakan mempunyai pH asam (4,0-4,5), sementara hampir semua perekat dikondisikan pada pH netral, sehingga dibutuhkan penambahan katalis untuk mempercepat terjadinya curing. 3. Kadar Air (KA) Jenis kayu dengan KA yang tinggi menyusahkan dalam pembuatan dan membutuhkan energi yang lebih besar untuk pengeringan. Pada kayu dengan KA yang sangat rendah akan memberikan sifat partikel yang sebaliknya. 4. Ekstraktif Ekstraktif dapat menyebabkan beberapa masalah dalam pembuatan papan partikel, di antaranya menghambat dalam penyerapan dan pengerasan perekat, mengurangi sifat tahan air dari papan dan dapat menimbulkan blowing pada waktu pengempaan panas.
9
Perekat Penggunaan tipe perekat dan jumlah perekat yang berbeda akan menghasilkan papan dengan kualitas yang berbeda. Semakin tinggi jumlah perekat yang digunakan, kualitas papan yang dihasilkan akan semakin baik. Zat Aditif Maloney (1993) mengatakan bahwa penggunaan parafin pada kadar 0,5-1% di dalam pembuatan papan dapat memperbaiki daya tahan terhadap air dan stabilitas dimensi papan. Parafin (C25H52) umumnya berwarna putih, tidak berbau, berasa tawar, titik leleh 47-64oC dengan kerapatan 0,93 g/cm3. Parafin ini tidak larut dalam air tapi larut dalam ether, benzen dan esther (Wikipedia, 2007). Menurut Carll (1996), parafin mempunyai struktur microcrystallin yang mengandung minyak, dimana minyak ini dapat berpindah ke permukaan papan dan melapisi papan tersebut sehingga papan lebih tahan terhadap air. Hsu et al. (1990) diacu dalam Muehl dan Krzysik (1997), menyatakan bahwa penambahan parafin akan menurunkan pengembangan tebal dan cenderung meningkatkan sifat mekanis papan, tetapi efeknya tidak secara proporsional dengan penambahan kandungan parafin. Sementara penelitian oleh Youngquist et al. (1990) dalam Muehl dan Krzysik (1997), melaporkan bahwa hasil pengujian perendaman 24 jam, dengan adanya peningkatan kandungan resin dan parafin umumnya menurunkan daya serap air dan pengembangan tebal, tetapi menurunkan sifat mekanis papan (bending properties). Hasil penelitian Muehl dan Krzysik (1997) dengan penggunaan parafin pada kadar 0%, 0,8% dan 1,6% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan secara statistik pengaruh peningkatan kadar parafin terhadap MOE dan MOR papan. Penelitian oleh Winistorfer et al. (1992) yang diacu dalam Muehl dan Krzysik (1997) dengan pemakaian parafin pada berbagai kadar yaitu 0,5%, 1% dan 1,5% berdasarkan BKT, memperlihatkan bahwa pemakaian parafin menurunkan kualitas rekatan, tetapi semakin tinggi kadar parafin yang digunakan, penurunan daya serap
10
air, penurunan pengembangan tebal dan penurunan pengembangan linier juga semakin tinggi pula. Kadar Air dan Distribusi Kadar air dan keseragaman kadar air lapik sangat menentukan sifat akhir papan yang dihasilkan. Jika kadar air pada bagian permukaan tinggi dan pada bagian tengah (core) rendah, akan terjadi kerapatan papan yang lebih tinggi pada bagian permukaan dibandingkan bagian tengah papan, sehingga menghasilkan papan dengan kekuatan tekan dan kekakuan yang tinggi tetapi keteguhan rekat yang rendah. Sebaliknya jika kadar air lebih tinggi pada bagian core akan menghasilkan papan dengan kerapatan yang tinggi pada bagian core sehingga papan tersebut mempunyai keteguhan rekat yang tinggi tetapi kekuatan tekan dan kekakuan yang rendah (Maloney, 1993). Menurut Chelak dan Newman (1991), pada kadar air yang rendah, partikel kayu membutuhkan proses pengeringan yang lebih lama dan atau temperatur yang lebih tinggi sehingga partikel lebih kering dan mempunyai temperatur yang lebih tinggi (surface tempering). Hal tersebut dapat mengakibatkan tidak terjadinya ikatan hydrogen sehingga berkurangnya natural bonding. Kadar air yang lebih tinggi juga mengakibatkan struktur selulosa lebih plastis sehingga mudah untuk terjadinya kontak antar serat. Hal tersebut dapat meningkatkan kekuatan ikatan secara alami (natural bonding). Dalam proses pembentukan kayu seperti pelengkungan atau pemadatan, dinding sel kayu harus bersifat lunak atau plastis sehingga lebih mudah di bentuk (Wardhani, 2005). Plastisasi dinding sel dapat dilakukan dengan berbagai cara , baik secara kimiawi, fisik atau kombinasi keduanya. Secara kimia dapat dilakukan dengan perendaman dengan bahan kimia, dan secara fisik dapat dilakukan dengan peningkatan kadar air atau pemberian panas. Dinding sel kayu merupakan komposit dengan serat sebagai tulangan yang terdiri dari beberapa lapisan yang heterogen, baik struktur maupun komposisi kandungan kimianya. Komponen utama penyusun
11
dinding sel adalah rantai selulosa yang tergabung membentuk satu ikatan dan mempunyai arah orientasi yang sama disebut mikrofibril. Tiap lapisan dinding sel mempunyai arah mikrofibril yang berbeda, yang diselubungi oleh matrik berupa lignin dan hemiselulosa (Dwianto et al., 1998 diacu dalam Wardhani, 2005). Molekul air yang masuk ke kayu tidak dapat masuk ke daerah kristalin mikrofibril tetapi berikatan denagn matrik dan ruang antara matrik-mikrofibril serta bertindak sebagai agen pengembang dan plasticizer. Ketika kayu dipanaskan dalam kondisi basah maka terjadi pelunakan komponen matrik sehingga terjadi plastisasi dinding sel, sedangkan mikrofibril selulosa tetap dalam keadaan gelas karena mikrofibril hampir tidak terpengaruh oleh lembab dan panas. Pengempaan kayu basah atau kadar air tinggi dapat menyebabkan terjadinya tekanan hidrostatis pada bagian tengah kayu yang berakibat kerusakan tekan. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah, diperlukan waktu yang lama untuk proses plastisasi. Kerapatan Papan Kerapatan papan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kekuatan papan. Semakin tinggi kerapatan papan, kekuatan papan semakin baik kecuali pengembangan tebal dan pengembangan linier karena pada umumnya kayu pada papan partikel berkerapatan tinggi akan mempunayi pengembangan yang lebih tinggi setelah menyerap air/uap air. Tipe dan geometri partikel Berbagai penelitian yang dirangkum oleh Maloney (1993), menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran partikel sangat mempengaruhi kekuatan papan yang dihasilkan. MOR dan MOE papan meningkat dengan bertambahnya ukuran (tebal dan panjang) partikel sampai titik tertentu dan jika tebal dan panjang partikel semakin bertambah, kekuatan papan akan menurun.
12
2.4 Perekat Poliuretan Penggunaan perekat isocyanate, khususnya
polymeric diphenylmethane
diisocyanate (pMDI) meningkat sebagai pengganti perekat berbasis formaldehida (Umemura dan Kawai 2002). Menurut Lees (2006),
poliuretan umumnya disingkat PU terbentuk dari
campuran antara isocyanate dan polyol dengan proporsi tertentu, kemudian bereaksi dan membentuk polymer. Ada beberapa tipe isocyanate yang umum digunakan dalam pembentukan PU. Masing-masing jenis tersebut akan menghasilkan produk yang berbeda dalam sifat, sistem pengerasan dan proses produksinya. Hal yang penting bahwa gugus fungsional dari semua jenis isocyanate itu adalah –NCO group. Untuk membentuk cross linked, dibutuhkan lebih dari dua gugus fungsional tersebut. Ada dua tipe polyol yang digunakan dalam pembentukan PU, yaitu polyester dan polyether. Penggunaan zat aditif juga umum digunakan yaitu katalis, ekstender, blowing agent, flame retardant, pigmen dan filler. Reaksi umum pembentukan PU adalah : isocyanate + polyol
polyurethane
Isocyanate dapat bereaksi dengan berbagai macam gugus kimia dan menghasilkan polymer yang sangat bervariasi berdasarkan reaksi yang terjadi. Oleh karena itu PU yang dihasilkan sangat reaktif dan sangat beragam strukturnya tergantung pada tipe isocyanate dan tipe hydrogen reaktif yang terdapat pada formula tersebut. Perekat PU telah digunakan di Eropa lebih dari 20 tahun. Di dalam industri perkayuan, penggunaan perekat PU berkembang karena adanya kontrol lingkungan yang cukup ketat terhadap perekat berbasis formaldehida yang telah umum digunakan. Selanjutnya dikatakan, perekat ini memiliki komposisi yang sangat signifikan digunakan untuk berbagai aplikasi.
13
Menurut Petrie (2004), isocyanate yang paling umum digunakan dalam perekat PU adalah MDI (methyllene diphenyl diisocyanate). Isocyanate group yang terdapat dalam perekat ini bereaksi dengan hydroxyl group pada substrat membentuk urethane linkage dan isocyanate yang bereaksi dengan air akan membentuk urea linkage dan karbon dioksida. Linier thermoplastic polyurethane akan terbentuk jika dua grup reaktif digabungkan seperti diisocyanate dan diols. Jika polyols atau hydroxyl group bereaksi dengan isocyanate akan membentuk polymer, yang disebut crosslinked. Ikatan yang terjadi antara kayu dengan perekat seperti gambar berikut :
Gambar 2.1 Ikatan hydrogen antara gugus –OH selulosa dan gugus –OH perekat Sumber : Cognard P, 2004
Gambar 2.2 Reaksi kimia dan ikatan antara gugus isocyanate dan gugus hydroxyl Sumber : Cognard P, 2004. Penelitian oleh Alamsyah et al. (2005) dengan menggunakan perekat aqueous polymer isocyanate (API) menunjukkan keterbasahan kayu sengon lebih baik dibandingkan kayu akasia, dan kayu akasia lebih baik dibandingkan dengan kayu
14
gmelina. Penelitian tersebut menunjukkan sudut kontak antara kayu dengan perekat selama 120 detik pengamatan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa elapsed time kayu sengon 50 detik, kayu akasia pada detik ke 120 mempunyai sudut kontak antara 50-60oC, dan kayu gmelina pada detik ke 120 mempunyai sudut kontak ± 70oC
Sudut Kontak (o)
Elapsed time (detik) Gambar 2.3 Diagram Sudut kontak antara kayu dengan perekat API Sumber : Alamsyah et al., (2005) 2.5 Karakteristik Papan Komposit dengan Perekat Berbahan Dasar Isocyanate Papan partikel yang menggunakan MDI sebagai perekat, memiliki kekuatan yang tinggi, ketahanan terhadap cuaca yang baik dan stabilitas dimensi yang tinggi. Selain itu, papan partikel yang dihasilkan bebas dari bau dan bahan yang berbahaya serta non-corrosive, tidak seperti halnya perekat phenolic. Sehingga papan partikel dengan perekat ini dapat digunakan untuk keperluan interior maupun eksterior (Petrie 2004). Penelitian oleh Zheng et al. (2007) dengan menggunakan jose tall wheatgrass dengan perekat polymeric methane diphenyl diisocyanate (pMDI) menunjukkan bahwa peningkatan kadar air partikel dari 2% hingga 8% dapat meningkatkan kekuatan papan, tetapi peningkatan kadar air partikel dari 8% ke 10% mengakibatkan
15
kekuatan papan menurun yang disebabkan oleh isocyanate grup yang ada dalam perekat lebih banyak bereaksi dengan air dibandingkan yang bereaksi dengan partikel. Penelitian oleh Zheng et al. (2006) memperlihatkan bahwa papan partikel yang terbuat dari kayu eukaliptus dengan perekat 4% pMDI mempunyai kualitas yang lebih baik, kecuali nilai MOR dibandingkan dengan papan yang menggunakan 7% perekat UF. Penelitian pengaruh kadar air furnish dengan perekat MDI oleh Chelak dan Newman (1991), dengan variasi kadar air 9%, 11%, 13% dan 15% menunjukkan kekuatan papan terendah pada papan dengan kadar air 15%, baik nilai IB, MOR dan MOE, tetapi stabilitas dimensi terbaik dalam hal ini pengembangan tebal setelah perendaman 24 jam terendah pada papan dengan KA partikel 15%. Menurut Chelak dan Newman (1991), perekat berbasis isocyanate dapat bereaksi dengan air yang terdapat di dalam kayu menghasilkan ikatan polyurea, terjadi ikatan secara fisik dipermukaan kayu sehingga memberikan kekuatan ikatan secara mekanis (mechanical bonding). Selain itu, kekuatan papan juga diakibatkan karena terjadinya ikatan kimia antara N-C-O grup dengan kayu. Mekanisme terjadinya ikatan sebagai berikut : 1. Reaksi antara isocyanate dengan hydroxyl group dari kayu membentuk ikatan urethane O OCN
CH2
NCO + OH
OCN
CH2
NCO urethane H
16
2. Reaksi antara isocyanate dengan air membentuk ikatan urea OCN
CH2
NCO + H2O
OCN
CH2
NH2 + CO2 …(1)
amina OCN
CH2
NH2 + OCN
CH2
NCO
O OCN
CH2
N-C-N H
CH2
NCO ………(2)
H urea
Gambar 2.4 Mekanisme reaksi perekat isocyanate dengan kayu dan air Sumber : Chelak dan Newman, 1991