BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Eucalyptus pellita F. Muell. merupakan salah satu spesies dari famili Myrtaceae yang memiliki pertumbuhan cepat (fast growing species). Spesies ini memiliki sifat kayu dan sifat pertumbuhan yang memenuhi persyaratan sebagai bahan baku pulp. Oleh karena itu E. pellita menjadi spesies yang dikembangkan pada hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia khususnya pada HTI pulp dan kertas. Tidak hanya sebagai bahan baku pulp dan kertas, E. pellita juga berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku rayon dan kayu pertukangan (Effendi dan Leksono, 2009). Salah satu kunci keberhasilan pembangunan HTI adalah penggunaan bibit yang berkualitas. Hal ini terkait tujuan pembangunan hutan tanaman yaitu untuk menghasilkan tegakan seragam dengan kualitas maupun kuantitas kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Peningkatan produktivitas tegakan HTI perlu terus dikembangkan agar pembangunan HTI dapat terus berjalan. Peningkatan produktivitas tegakan tidak terlepas dari pengaruh sifat genetik materi perbanyakan yang digunakan. Sachs et al. (1988) menyatakan bahwa perbanyakan E. pellita dengan tujuan peningkatan produktivitas belum memberikan hasil optimal apabila menggunakan materi generatif (benih). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan tegakan yang dihasilkan masih memiliki variasi yang cukup tinggi.
1
2
Variasi yang muncul dipengaruhi dari sifat penyerbukan yang terjadi pada jenis-jenis dalam genus Eucalyptus. Proses penyerbukan (polinasi) pada genus Eucalyptus terjadi atas bantuan serangga. Chaix et al. (2002) menyatakan bahwa Eucalyptus cenderung mengalami depresi inbreeding akibat dari sifatnya yang mudah untuk berkawin sendiri (self pollination). Selain itu hibridisasi alam juga mudah terjadi antar jenis-jenis dalam genus Eucalyptus (McKinnon et al., 1999 dan Eldridge et al., 1997 dalam Nurtjahjaningsih et al., 2013). Perbanyakan untuk menghasilkan tegakan yang seragam dapat diperoleh melalui perbanyakan vegetatif secara klonal dengan teknik kultur jaringan. Pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam aplikasi bidang kehutanan dipilih karena dapat memperbanyak klon secara cepat dengan sifat gen identik, bersifat aseptik, bebas penyakit dan dapat diproduksi sepanjang tahun. Selain itu penyimpanan materi genetik secara in vitro merupakan wujud pelestarian plasma nutfah jangka panjang dalam ruang simpan yang relatif kecil (Zulkarnain, 2009). Perbanyakan klon unggul E. pellita melalui proses kultur jaringan telah dikembangkan beberapa perusahaan maupun instansi di Indonesia dan negara lain seperti Brazil. Perusahaan yang telah mengembangkan E. pellita melalui teknik kultur jaringan adalah perusahaan HTI APP (Asian Pupl and Papper). Namun, minimnya informasi yang terpublikasi dari pihak terkait menjadikan perlu adanya penelitian lanjutan pada spesies ini. Adapun instansi yang melakukan
telah
mulai
penelitian E. pellita adalah BBPBPTH sebagai keberlanjutan
keberhasilan program pemuliaan E. pellita yang telah dilakukan sebelumnya oleh BBPBPTH.
3
Penelitian embriogenesis somatik E. pellita telah dilakukan oleh Widyatmoko dan Herawan (2014). Rekomendasi pada penilitian tersebut adalah perlunya aplikasi kombinasi kultur tunas aksiler dan embriogenesis somatik E. pellita. Penggunaan tunas aksiler relatif lebih efektif dan cepat menghasilkan tunas dibandingkaan melalui embriogenesisi, karena memiliki keuntungan yaitu hanya diperlukan pemanjangan tunas dan diferensiasi akar untuk memperoleh tanaman yang memiliki organ lengkap (Zulkarnian, 2009). Permasalahan perbayakan tunas aksiler E. pellita pada fase induksi yang sering terjadi dan menjadi kendala adalah tingginya kontaminasi (Bahanawan, personal communication, 27 Oktober, 2014). Selain itu Jimenez et al. (2000) juga telah melakukan penelitian mengenai kultur jaringan eksplan nodus E. pellita namun persentase eksplan yang tetap steril hanya sebesar 38,3%. Ada tidaknya kontaminasi pada media maupun eksplan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam perbanyakan dengan teknik kultur jaringan (Leifert dan Cassells, 2001). Namun menurut Zulkarnain (2009) sumber kontaminasi yang paling sulit dikendalikan adalah mikroorganisme pada eksplan. Kontaminasi mikroorganisme harus dihindari karena pertumbuhannya sangat cepat sehingga mampu menutupi permukaan media dan eksplan. Hal tersebut dikarenakan media kultur jaringan mengandung gula, vitamin serta mineral sehingga menjadi lingkungan yang menguntungkan tidak hanya bagi eksplan namun juga bagi mikroorganisme. Sumber kontaminasi yang terdapat pada eksplan dapat dihilangkan dengan cara melakukan sterilisasi eksplan. Metode sterilisasi eksplan yang
4
dilakukan akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik spesies dan bagian tanaman yang digunakan. Metode sterilisasi yang efektif untuk suatu spesies dan bagian tanaman akan diketahui jika telah dilakukan serangkaian percobaan (Sulistiani dan Yani, 2012). Suatu metode sterilisasi dikatakan efektif apabila mampu mereduksi sumber kontaminasi namun tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan tumbuhan yang akan dikulturkan. Efektifitas suatu metode sterilisasi akan berbeda-beda sesuai dengan sifat bahan dan teknik pelaksanaan metode tersebut. Konsentrasi dan waktu aplikasi pemberian sangat berpengaruh terhadap keefektifan bahan sterilan yang digunakan. Salah satu bahan kimia yang sering digunakan dalam sterilisasi pada proses pelaksanaan kultur jaringan adalah natrium hipoklorit (NaOCl). Natrium hipoklorit (NaOCl) merupakan bahan kimia yang termasuk dalam golongan halogen, senyawa alkali kuat dan bersifat basa. NaOCl merupakan bahan utama dari cairan pemutih dengan kandungan sebesar 5,25% pada produk komersil dan dapat berfungsi sebagai disinfektan. NaOCl merupakan sterilan yang efektif pada sebagian besar bahan tanaman. Penelitian mengenai penggunaan NaOCl sebagai sterilan pada berbagai spesies tanaman telah banyak dilaporkan. Bahan ini disarankan digunakan karena memiliki kemampuan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme (Perochena et al., 2015). Selain itu NaOCl relatif lebih aman bagi manusia dan jaringan tanaman serta lebih mudah diperoleh karena terdapat dalam larutan pemutih (bleach).
5
1.2. Rumusan Masalah Adanya kontaminasi masih menjadi permasalahan yang terjadi pada teknik kultur jaringan, padahal tersedianya bibit maupun stok tanaman mikro sebagai stool plant unggul dan steril merupakan hasil yang diinginkan dari teknik perbanyakan ini. Upaya untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada kultur jaringan adalah dengan melakukan sterilisasi. Teknik pelaksanaan sterilisasi bekerja secara spesifik pada jenis eksplan dan spesies tanaman serta dipengaruhi oleh karakteristik sterilan yang digunakan. Jenis eksplan dan spesies tanaman akan mempengaruhi teknik sterilisasi yang efektif mereduksi kontaminan namun tanpa merusak jaringan tanaman tersebut. Sterilan yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda dan keberhasilannya dipengaruhi oleh konsentrasi serta lama waktu pengaplikasian. Salah satu sterilan yang telah banyak dilaporkan efektif digunakan dalam sterilisasi eksplan adalah NaOCl. Penelitian mengenai prosedur pelaksanaan sterilisasi yang spesifik dilakukan pada eksplan tunas aksiler E. pellita masih belum dilakukan. Oleh karena itu rumusan masalah yang dapat ditarik adalah berapakah konsentrasi dan lama waktu perendaman NaOCl yang efektif dalam meminimalkan sumber kontaminan eksplan E. pellita pada fase induksi. Fase induksi merupakan fase awal dan terpenting dalam kegiatan perbanyakan secara kultur jaringan serta berpeluang mengalami kontaminasi terbesar.
6
1.3. Tujuan Tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah mengetahui konsentrasi
dan
lama
waktu
perendaman
NaOCl
yang
efektif
untuk
meminimalkan sumber kontaminan eksplan E. pellita pada fase induksi.
1.4. Manfaat Memberikan informasi dasar pada teknis perbanyakan kultur jaringan eksplan tunas E. pellita sebagai pedoman penelitian selanjutnya dan meningkatkan keberhasilan perbanyakan klonal E. pellita.