PENINGKATAN KEAWETAN GLULAM DARI TIGA JENIS KAYU CEPAT TUMBUH DENGAN PENGASAPAN
MULYANI EFENDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Keawetan Glulam dari Tiga Jenis Kayu Cepat Tumbuh dengan Pengasapan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Mulyani Efendi NIM E251130111
RINGKASAN MULYANI EFENDI. Peningkatan Keawetan Glulam dari Tiga Jenis Kayu Cepat Tumbuh dengan Pengasapan. Dibimbing oleh MUH. YUSRAM MASSIJAYA, YUSUF SUDO HADI dan GUSTAN PARI. Glued laminated lumber (Glulam) yang terbuat jenis kayu hutan tanaman di antaranya sengon (Falcataria moluccana Miq.), kayu manii (Maesopsis eminii Engl.) dan mangium (Acacia mangium Willd.) Untuk meningkatkan masa pemakaian produk glulam yang terbuat dari jenis kayu cepat tumbuh dilakukan dengan smenambahkan bahan pengawet kayu seperti imidacloprid efektif membunuh rayap tanah, tetapi bahan tersebut berbahaya bagi manusia dan hewan. Salah satu alternatif pengawetan yang dapat diterapkan terhadap glulam adalah dengan pengasapan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kandungan senyawa yang terdapat di dalam asp mangium, menganalisis resistensi glulam asap terhadap serangan rayap tanah dengan uji laboratorium, dan menganalisis glulam asap secara kimia. Asap cair mangium menghasilkan senyawa yang didominasi oleh Acetic acid (CAS) Ethylicacid, Cyclobutanol (CAS) Cyclobutyl hydroxide, phenol dan kelompok Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAHs) lainnya yang meningkatkan resistensi glulam terhadap rayap tanah. Glulam asap memiliki resistensi yang sama dengan imidacloprid dan resistensinya lebih tinggi dibanding glulam tanpa pengawet. Resistensi glulam yang diasapi 15 hari sama dengan glulam yang diasapi 30 hari. Derajat kristalinitas kayu manii dan sengon menurun setelah diasapi, sedangkan pada kayu mangium meningkat. Analisis FTIR menunjukkan ada gugus fungsi baru pada bilangan 2848.86 cm-1 dan 1373.32 cm-1 serta terjadi penurunan intensitas OH pada bilangan 3336.85 cm-1. Pengaspan terhadap glulam menghasilkan senyawa berbasis phenol, acetaldehyde, benzaldehyde, carbamic acid, octene, cyclopentene, cyclobutanon, ethanone dan pyran yang mempunyai toksisitas yang tinggi.
Kata kunci: glulam asap, kayu cepat tumbuh, rayap tanah, pengasapan
SUMMARY MULYANI EFENDI. Improving Resistance of Glulam Made From Three Fast Growing Tree Species by Smoking. Supervised by MUH. YUSRAM MASSIJAYA, YUSUF SUDO HADI dan GUSTAN PARI. Glulam (Glued Luminated Lumber) is an alternative product for structural material that uses wood from plantation forests made from sengon (Falcataria moluccana), manii (Maesopsis eminii), and mangium (Acacia mangium). The service life of glulam can be extended by employing various preservative or chemical treatment methods. Imidacloprid improves wood resistance against termite attack, but it is dangerous to organisms and humans. Smoking is another alternative for improving glulam durability.
The purpose of this research was to perform a chemical analysis of mangium wood smoke, to determine the resistance of smoked glulam against subterranean termite attack in laboratory tests, and chemical analysis of smoked glulam. Based on findings of this research, it can be concluded that mangium smoke predominantly produced acetic acid, cyclobutanol, phenolic compounds, and other PAHs that improved glulam resistant to subterranean termite attack. Smoked glulam has the same resistance to subterranean termite attack as imidaclopridpreserved glulam, and this resistance is much higher than that of untreated glulam. The glulam smoked for 15 days has the same resistance as glulam smoked for 30 days. Crystalinity of sengon and manii were decrease after smoke treatment, however mangiun was increase. FTIR analysis indicate that there are new peak at 2848.86 cm-1 and 1373.32 cm-1, the insensity of OH free was decrease (3336.85 cm1 ). Smoking treatment produced phenol, acetaldehyde, benzaldehyde, carbamic acid, octene, cyclopentene, cyclobutanon, ethanone and pyran on glulam that high toxicity. Keywords: smoked glulam, fast growing tree species, Subterranean termite, smoking
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENINGKATAN KEAWETAN GLULAM DARI TIGA JENIS KAYU CEPAT TUMBUH DENGAN PENGASAPAN
MULYANI EFENDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi:
Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MS
Judul Penelitian : Peningkatan Keawetan Glulam dari Tiga Jenis Kayu Cepat Tumbuh dengan Pengasapan Nama
: Mulyani Efendi
NIM
: E251130111
Disetujui oleh: Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Muh. Yusram Massijaya, MS Ketua
Prof Dr Ir Yusuf Sudo Hadi, MAgr Anggota
Prof (R) Dr Ir Gustan Pari, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan
Dekan sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nyoman J. Wistara, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal ujian :
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian Peningkatan Keawetan Glulam dari Tiga Jenis Kayu Cepat Tumbuh dengan Pengasapan Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof Dr Ir Muh. Yusram Massijaya, MS selaku ketua komisi pembimbing, Dr Ir Yusuf Sudo Hadi, M.Agr selaku pembimbing kedua, Prof (Ris.) Dr Ir Gustan Pari M.Si selaku pembimbing ketiga, dan Ibu Arinana, S.Hut, Msi yang telah memberikan bantuan dan arahan yang sangat membantu penulis dalam penyusunan hingga penyelesaian karya tulis ini. Penghargaan yang setinggi-tingginya buat kedua orang tua saya Bapak Danuridin dan Ibu Wasliah, serta kedua mertua saya (alm) Bapak Ngaderi dan (alm) Ibu Suparmi. Terima kasih juga atas perjuangan, dukungan, doa dan pengorbanan isteri tercinta Puput Malahayati Sari dan kedua puteri saya Rahmah Syifa dan Adelia Sylva. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Mulyani Efendi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
v
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian
1 1 2 2 2
2 METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Pembuatan Glulam Metode Pengawetan Analisis Asap Cair mangium Metode Pengujian Keawetan Glulam Metode Analisis Pengasapan Analisis Data
3 3 3 3 5 7 7 9 9
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengawetan Glulam Kandungan Senyawa Asap Mangium Pengujian Ketahanan Glulam terhadap Rayap Tanah Analisa Pengasapan
11 11 13 14 21
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
28 28 28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis dan jumlah sampel pada proses pengasapan Retensi imidacloprid pada glulam Kandungan senyawa asap cair kayu mangium Mortalitas (%) rayap pada pengujian JIS Persentase kehilangan berat (%) pada pengujian JIS Feeding rate (μg/ekor/hari) pada pengujian JIS Hasil analisis sidik ragam pengujian JIS Uji lanjut Tukey terhadap faktor metode pengawetan pada pengujian JIS Mortalitas (%) rayap pada pengujian SNI Persentase kehilangan berat (%) pada pengujian SNI Feeding rate (μg/ekor/hari) pada pengujian SNI Hasil analisis sidik ragam pengujian SNI Uji lanjut Tukey faktor metode pengawetan pada pengujian SNI
5 13 14 15 16 16 17 17 18 18 19 19 20
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Diagram alir pembuatan glulam 4 Bentuk panel Glulam, S (Sengon), M (Manii), dan A (Mangium) 4 Sampel pengujian terhadap rayap tanah untuk glulam ASA 5 Proses pengasapan dengan YSH wood smoke kiln 6 Pengujian rayap tanah standar SNI 7 Pengujian rayap tanah standar JIS 8 YSH Wood Smoke Kiln 11 Persentase penambahan berat glulam setelah diasapi 12 Kristalinitas (a) sengon tanpa pengawet, (b) sengon diasapi, (c) manii tanpa pengawet, (d) manii diasapi 22 Derajat kristalinitas (a) kayu mangium sebelum dan (b) sesudah diasapi 23 Spektrum infrared sengon sebelum (atas) dan sesudah diasapi (bawah) 23 Spektrum infrared manii sebelum (atas) dan sesudah diasapi (bawah) 24 Spektrum infrared mangium sebelum (atas) dan sesudah diasapi (bawah) 24
1 2 3 4
Perubahan senyawa pada kayu setelah diasapi Pola kerusakan pada pengujian SNI Sampel setelah diumpankan terhadap rayap tanah (JIS) Sampel setelah diumpankan terhadap rayap tanah (SNI)
DAFTAR LAMPIRAN 32 34 35 36
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Glued laminated lumber (Glulam) merupakan rekayasa teknologi kayu dengan melakukan pengaturan tegangan (stress-rated product) dua atau lebih lamina yang direkat dengan arah longitudional sehingga menghasilkan produk desain ekonomis yang mampu memenuhi prinsip struktural (Moody et al. 1999). Glulam dapat dijadikan alternatif untuk memenuhi bahan struktural yang sudah terbatas bahan bakunya dengan memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan tanaman yang jumlahnya terus meningkat (Massijaya 2014). Kayu hutan tanaman didominasi oleh jenis kayu cepat tumbuh yang pada umumnya berdiameter kecil sehingga memiliki kekuatan dan keawetan rendah (Massijaya et al. 2011). Penelitian produk glulam sudah banyak dilakukan diantaranya Hazira et al. (2011) menyatakan bahwa pembuatan glulam dengan kombinasi dari jenis kayu yang memiliki kelas kuat yang berbeda menghasilkan kekuatan glulam yang sama. Sulistyawati et al. (2008) menyatakan bahwa semakin tipis lamina yang digunakan dalam pembuatan glulam akan menghasilkan kekuatan dan kelenturan balok glulam yang semakin besar karena luas garis rekat yang semakin luas. Komariah et al. (2015) mengkombinasikan beberapa jenis kayu hutan tanaman di antaranya sengon (Falcataria moluccana Miq.), kayu manii (Maesopsis eminii Engl.) dan mangium (Acacia mangium Willd.) menjadi produk glulam dengan ketebalan lamina yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa glulam memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan kayu solidnya dan glulam yang dibuat sudah memenuhi standar JIS 234 tahun 2003 utnuk dijadikan sebagai bahan baku struktural. Pemakaian produk glulam yang terbuat dari jenis kayu cepat tumbuh masih dimungkinkan adanya ancaman dari mikroorganisme perusak kayu seperti rayap tanah karena kayu tersebut masih didominasi oleh kayu juvenil (Fajriani et al. 2013). Lebih lanjut dilaporkan oleh Pandit dan Kurniawan (2008) bahwa kayu mangium termasuk kelas awet IV-V dan Hadi et al. (2014) menyebutkan bahwa sengon termasuk kelas awet V, sehingga untuk memaksimalkan penggunaanya diperlukan pengawetan untuk meningkatkan masa pakai produk glulam tersebut. Pengawetan kayu yang biasa digunakan adalah dengan menambahkan bahan kimia ke dalam kayu. Salah satu bahan pengawet yang banyak digunakan adalah imidacloprid yang efektif membunuh rayap (Majid et al. 2007). Tetapi bahan tersebut masih memberikan efek negatif dalam penggunaannya karena bersifat racun sehingga berbahaya bagi organisme lain seperti kelinci, burung, tanaman, ikan (Cox 2001), dan dilaporkan menimbulkan gangguan terhadap pernapasan manusia (Kumar et al. 2013). Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengawetan lain yang lebih aman bagi lingkungan dan lebih efisien dalam penggunaannya. Salah satu alternatif pengawetan yang dapat diterapkan terhadap glulam adalah dengan pengasapan yaitu memaksimalkan asap yang merupakan by-product dari proses pengarangan (Pari et al. 2006). Hadi et al. (2010a, 2010b, 2012) menyebutkan bahwa pengasapan kayu dengan asap yang berasal dari proses pengarangan kayu mangium mampu meningkatkan keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah. Nurhayati et al.
2 (2005) menyebutkan bahwa asap cair dari kayu mangium mengandung beberapa senyawa kimia seperti asam organik, asam asetat, phenol, dan o-creosol yang mampu meningkatkan resistensi kayu asap. Dalam penelitian tersebut belum dilakukan analisis lanjutan terhadap pengaruh asap mangium terhadap sampel yang diasapi baik perubahan secara fisik maupun kimiawi. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis untuk mengetahui pengaruh pengasapan terhadap glulam yang diasapi dengan menganalisis perubahan fisik dan kimia sebelum dan sesudah glulam diasapi. Perubahan fisik glulam dianalisis dengan XRD (X-Ray deffractometer) yang merupakan teknik analisis fisik untuk melihat perubahan kristanilitas glulam setelah diasapi. Perubahan kimia pada glulam dilakukan dengan melakukan analisis FTIR (Fourier transform infrared spectroscopy) untuk melihat perubahan gugus fungsi, dan analisis GCMS (Gas Chromatography–Mass Spectrometry) untuk mengetahui kandungan senyawa kimia sebelum dan sesudah dilakukan pengasapan terhadap glulam.
Perumusan Masalah Glulam yang dibuat dari tiga jenis kayu cepat tumbuh (sengon, manii dan mangium) memiliki kekuatan yang lebih baik dibandingkan dengan kayu solid. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan glulam memiliki kelas awet yang rendah dan rentan terhadap serangan rayap tanah. Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Senyawa apakah yang terkandung di dalam asap mangium?. 2. Apakah pengasapan dapat meningkatkan keawetan glulam yang terbuat dari kayu cepat tumbuh?. 3. Bagaimana pengaruh pengasapan terhadap glulam?.
Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kandungan senyawa kimia asap mangium. 2. Menghasilkan produk glulam yang awet terhadap serangan rayap tanah dengan memanfaatkan tiga jenis kayu cepat tumbuh. 3. Menganalisis pengaruh pengasapan terhadap glulam.
Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Glulam yang terbuat dari kayu cepat tumbuh memiliki masa pakai yang lebih lama karena tahan terhadap serangan rayap tanah. 2. Memaksimalkan pemanfaatan asap yang biasanya terbuang dalam proses pengarangan sehingga mampu meningkatkan nilai ekonomis pengarangan. 3. Meningkatkan nilai ekonomis kayu cepat tumbuh.
3
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Puslitbang Kehutanan Gunung Batu, Laboratorium Komposit dan Laboratorium Rekayasa Konstruksi Bangunan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai bulan Mei 2015.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu sengon, manii dan mangium dengan diameter antara 15 cm dan 25 cm yang berasal dari Leuwiliang, Bogor. Perekat yang digunakan adalah jenis perekat WBPI (Water Base Polymer Isocyanate) yang diproduksi oleh PT. Polychemi Asia Pasifik. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari oven, YSH wood smoke kiln, Alat pengujian GCMS, XRD), dan FTIR.
Metode Pembuatan Glulam Proses pembuatan glulam dapat dilihat pada Gambar 1. Balok sengon, manii dan mangium digergaji menjadi lembaran-lembaran papan dengan ukuran 2 cm x 5 cm x 160 cm (tebal, lebar, panjang). Papan-papan tersebut dikeringkan secara alami sampai mencapai kadar air kering udara ± 12%. Papan yang sudah kering diserut dan diamplas menjadi papan lamina yang berukuran 1.7 cm x 5 cm x 160 cm dan 1.1 cm x 5 cm x 160 cm. Lamina tersebut diukur dimensi (panjang, lebar dan tebal) dan berat lamina. Ukuran akhir glulam yang dibuat adalah 5 cm x 5 cm x 160 cm dengan lima ulangan. Pemilahan lamina berdasarkan nilai MOE (Modulus of Elasticity) yang nilainya diukur dengan menggunakan alat deflektometer yang prosedurnya adalah sebagai berikut (Surjokusumo et al. 2003): 1. Lamina yang dipilah diletakkan di atas dua tumpuan. Beban A (P1) diletakkan di atas lamina tepat di atas jarum deflektometer, diukur besarnya defleksi (y1). 2. Beban standar B (P2) kemudian ditambahkan, angka pada deflokmeter dicatat. Beban diturunkan, lamina dibalik dan dipilah ulang seperti sebelumnya. 3. Besarnya nilai modulus elastisitas (MOE) setiap lamina dihitung dengan rumus pada persamaan berikut: ∆Pl3 MOE = 4∆ybh3 Keterangan : MOE : Modulus elastisitas (kg/cm2) ∆P : Beban standar (kg) ℓ : Jarak sangga (cm) ∆y : Defleksi yang terjadi akibat beban P b : Lebar penampang (cm)
4 h : Tebal penampang (cm) Nilai MOE dikelompokkan menjadi 3 kelompok dengan rentang tertentu yang disimbolkan dengan E1, E2, dan E3. Besar E1 > E2 > E3 yang kemudian nilai tersebut sebagai dasar penyusunan lamina (Herawati et al. 2010).
Persiapan Bahan Baku
Pengkondisian ± 1 minggu
Pembuatan Lamina
Pemilahan Lamina
Cold Press (t = ± 3 jam, P = 10 kg/cm2)
Pelaburan Perekat Isosianat 280 gr/m2
Gambar 1 Diagram alir pembuatan glulam, P(tekanan), t(waktu) Penyusunan lamina berdasarkan nilai MOE yang telah dikelompokkan. Prinsip penyusunannya adalah dengan menempatkan lamina yang memiliki nilai MOE yang lebih tinggi (E1) di bagian face glulam, lamina yang memiliki MOE terendah (E3) diletakkan pada bagian core dan lamina dengan MOE sedang (E2) pada bagian back glulam. Penyusunan lamina tebal 1 cm terdiri atas sengon (SSS), Manii (MMM), mangium (AAA), mangium-sengon (ASA), mangium-manii (AMA) dan lamina tebal 1.7 cm terdiri atas sengon (SSSSS), manii (MMMMM), mangium (AAAAA), mangium-sengon (ASSSA), dan mangium-manii (AMMMA) seperti Gambar 2.
Gambar 2 Bentuk panel Glulam, S (Sengon), M (Manii), dan A (Mangium) Perekat yang digunakan adalah WBPI dengan berat labur 280 g/m2 yang dilaburkan dengan menggunakan kuas pada kedua permukaan rekatan (double spread). Setelah itu dilakukan pengempaan dingin (cold press) dengan tekanan 10 kg/cm2 selama 3 jam dan dilakukan pengkondisian selama 1 minggu.
5 Pembuatan Contoh Uji Gambar 3 menunjukkan ukuran contoh uji keawetan glulam terhadap rayap tanah yang dibuat berdasarkan standar JIS K 1571- 2004 termodifikasi dan SNI 01. 7207-2006 termodifikasi pada ukuran sampel. Ukuran sampel dimodifikasi agar seluruh lapisan glulam terwakili pada saat pengujian laboratorium.
Gambar 3 Sampel pengujian terhadap rayap tanah untuk glulam ASA Metode Pengawetan Pengasapan Pengasapan dilakukan terhadap contoh uji pengujian rayap tanah yang dibuat dari glulam dan kayu solid sebagai tanpa pengawet. Ukuran dan jumlah sampel seperti yang terdapat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan jumlah sampel pada proses pengasapan Jenis Sampel Glulam Glulam Kayu solid Kayu solid Kayu solid Kayu solid
Ukuran sampel JIS termodifikasi SNI termodifikasi JIS termodifikasi SNI termodifikasi JIS standar SNI standar
Jumlah 50 50 15 15 15 15
Semua sampel dimasukan ke dalam YSH (Yusuf Sudo Hadi) wood smoke kiln seperti pada Gambar 4. Sampel diasapi selama 15 dan 30 hari dengan menggunakan asap yang diperoleh dari proses pengarangan kayu mangium.
6
Gambar 4 Proses pengasapan dengan YSH wood smoke kiln Keterangan gambar : 1. Tungku pengarangan kayu. 2. Drum dengan ukuran tinggi ± 90 cm, diameter ± 55 cm yang berisi kayu yang dibakar untuk dijadikan arang. 3. Drum 2 untuk menyalurkan asap dan meredam panas (ukuran drum sama dengan drum 1). 4. Saluran untuk menyalurkan asap dari drum 1 ke YSH wood smoke kiln (diameter ± 3 inchi). 5. Katup buka dan tutup yang mengatur pergerakan asap. 6. Tempat sampel yang diasapi. 7. Saluran untuk membuang cuka kayu (diameter 3/4 inchi). 8. Saluran pembuangan sisa asap. 9. Saluran udara untuk mengatur proses pengarangan kayu dan jumlah asap yang masuk YSH wood smoke kiln. Pengawetan Kimiawi Contoh uji yang akan diawetkan dihitung volume awalnya. Sampel dimasukkan ke dalam oven yang bersuhu 60 oC selama 2 hari dan kemudian ditimbang beratnya (W1). Pemberian bahan pengawet pada contoh uji dilakukan dengan pelaburan menggunakan kuas sebanyak 4 kali dengan konsentrasi 2.5%. Setelah kering, kemudian contoh uji ditimbang (W2) sehingga retensi bahan pengawet ke dalam contoh uji dapat dihitung dengan rumus di bawah ini. 𝑅=
𝐴 𝑥𝐾 𝑉
Keterangan: R : Retensi bahan pengawet (kg/m3) A : Absorbsi (kg) V :Volume contoh uji yang dimasukan bahan pengawet (m3) K : Konsentrasi bahan pengawet (%)
7 Analisis Asap Cair Mangium Analisis kimia asap mangium dilakukan dengan menganalisis kandungan senyawa kimia asap cair mangium dengan GCMS dengan gas helium (He) sebagai fasa gerak. Sampel berbentuk serbuk sebanyak 10 mg dimasukkan kedalam kuvet (sel) dan selanjutnya kuvet dimasukkan kedalam GCMS yang dipanaskan dengan menggunakan suhu terprogram (suhu analisa) yang secara bertahap meningkat dari 100-250 oC. Metode Pengujian Keawetan Glulam Uji Laboratorium Standar SNI 01. 7207-2006 Pengujian dengan standar SNI termodifikasi ditunjukkan dengan Gambar 5. Sebelum dilakukan pengujian maka contoh uji dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60 ± 2 oC selama 24 jam dan ditimbang sehingga mendapatkan berat kayu sebelum pengujian (W1). Sedangkan untuk 200 gram pasir yang digunakan dalam pengujian disterilisasi di dalam oven dengan suhu 100 ± 2 oC selama 48 jam dan setelah itu dimasukkan ke dalam botol. Setelah itu contoh uji dimasukkan ke dalam botol dengan posisi mendatar di atas pasir seperti tampak pada Gambar 5. Botol uji diatur kelembabannya dengan kadar air 7% di bawah kapasitas menahan air (water holding capacity). Selanjutnya ke dalam setiap botol dimasukkan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) yang sehat dan aktif sebanyak 200 ekor. Botol tersebut disimpan di tempat gelap selama 4 minggu dan setiap minggu botol ditimbang dan diamati aktivitas rayapnya. Jika kadar air pasir turun 2% atau lebih maka ke dalam botol tersebut ditambahkan air secukupnya sehingga kadar airnya kembali seperti semula (Arinana et al. 2012). Setelah proses pengujian rayap selesai kemudian contoh uji dibersihkan, selanjutnya dioven selama 48 jam dengan suhu 60 ± 2 oC dan ditimbang (W2).
Gambar 5 Pengujian rayap tanah standar SNI Uji Laboratorium JIS K 1571- 2004 Contoh uji dioven dengan suhu 60 ± 2 oC selama 48 jam untuk mendapatkan nilai berat kayu sebelum pengujian (W1). Wadah uji berupa pipa paralon dibuat dengan dasar dental cement dan jaring tipis diletakkan diatas dental cement. Wadah uji & jaring plastik harus dalam keadaan steril dengan cara disemprot dengan alkohol 70%. Contoh uji dimasukkan ke dalam wadah uji dengan posisi mendatar menyentuh jaring tipis (Gambar 6). Setiap wadah uji berisi 1 contoh uji dan
8 dimasukkan 150 ekor rayap tanah dari kasta pekerja dan 15 ekor kasta prajurit. Selanjutnya wadah uji ditutup dengan kain hitam yang diikat dengan karet dan ditempatkan dalam kontainer (wadah uji) yang telah dialasi kapas basah. Wadah diletakkan di atas kapas basah, kemudian disimpan di tempat gelap selama 3 minggu (Arinana et al. 2012). Selama pengujian diusahakan agar kelembaban botol uji tetap terjaga dan rayap tanah yang mati harus segera dikeluarkan dari wadah uji (Gambar 6). Setelah 3 minggu wadah uji dibongkar, selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah rayap yang masih hidup untuk mengetahui nilai mortalitas rayap. Contoh uji dibersihkan, selanjutnya dioven selama 48 jam dengan suhu 60 ± 2 oC dan ditimbang (W2).
Gambar 6 Pengujian rayap tanah standar JIS Respon yang dihitung setelah dilakukan pengujian rayap dengan standar JIS dan SNI terdiri atas persen kehilangan berat, mortalitas dan feeding rate yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: MR = Wl =
D x100 n
(W1 − W2 ) x100 W1
FR = (
∆W ) /𝑇 (R 0 + R1 )/2
Keterangan: MR : Mortalitas rayap (%) D : Jumlah rayap pekerja yang mati (ekor) n : Jumlah total rayap pekerja pada pengujian (ekor) MR : Mortalitas rayap (%) D : Jumlah rayap pekerja yang mati (ekor) 𝐹𝑅 : Feeding Rate (μg/ekor/hari) ∆𝑊 : Selisih kehilangan berat contoh uji (μg) 𝑅0 : Jumlah rayap pekerja pada awal pengujian (ekor) 𝑅1 : Jumlah rayap pekerja pada akhir pengujian (ekor)
T
: Lama waktu pengumpanan (hari)
9 Metode Analisis Pengasapan Sampel glulam sebelum dan sesudah diasapi dianalisis di Puslitbang Kehutanan di Gunung Batu untuk mengetahui perubahan glulam secara fisik dan kimia (Lempang et al. 2011). Kristalinitas Karakterisasi struktur dengan XRD untuk mengetahui derajat kristalinitas, tinggi, lebar, jarak dan jumlah lapisan aromatik pada contoh. Karakterisasi ini dilakukan dengan cara menginterpretasi pola difraksi dari hamburan sinar X pada contoh. Sekitar 2 g serbuk contoh glulam sebelum dan sesudah diasapi dimasukkan ke dalam kuvet aluminium, kemudian permukaan serbuk contoh dipadatkan dan diratakan dengan menggunakan sepotong kaca. Kaca tersebut ditekan sambil digerak-gerakkan diatas permukaan kuvet yang berisi serbuk contoh, sehingga serbuk contoh menjadi padat dan permukaannya rata dan sejajar dengan permukaan kuvet, selanjutnya diradiasi dengan sinar X. Penetapan derajat kristalinitas, tinggi (Lc), lebar (La), jarak (d) dan jumlah lapisan aromatik (N) pada contoh. Gugus Fungsi Karakterisasi FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi pada glulam sebelum dan sesudah dilakukan pengasapan. Karakterisasi ini dilakukan dengan cara mencampurkan serbuk contoh dengan kalium bromida (KBr) kering (1 : 99). Campuran serbuk contoh dan KBr kemudian dicetak dan dipadatkan sehingga berbentuk pelet yang tipis, selanjutnya diukur serapannya pada bilangan gelombang 600-4000 cm-1. Senyawa Kimia Identifikasi senyawa kimia serbuk glulam sebelum dan sesudah diasapi dilakukan dengan menggunakan kromatografi GCMS dengan gas helium (He) sebagai fasa gerak. Sampel berbentuk serbuk sebanyak 10 mg dimasukkan kedalam kuvet (sel) dan selanjutnya kuvet dimasukkan kedalam GCMS yang dipanaskan dengan menggunakan suhu terprogram (suhu analisa) yang secara bertahap meningkat dari 100-250 oC.
Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah Rancangan Acak Blok dalam 2 × 4 faktorial. Adapun blok adalah jenis kayu (J) yang terdiri atas 5 taraf yaitu sengon (J1), manii (J2), mangium (J3), sengon-mangium (J4) dan manii-mangium (J5). Faktor jumlah lapisan (L) terdiri atas 3-lapis (L1), 5-lapis (L2). Faktor metode pengawetan glulam (P) terdiri atas 4 taraf yaitu tanpa pengawet (P1), imidacloprid (P2), pengasapan 1/2 bulan (P3), pengasapan 1 bulan (P4) Model linier aditif dari rancangan ini menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah: Yijk = µ + Li + Pj + (LP)ij + Jk + єijk
10 Keterangan: Yijk : Nilai pengamatan faktor jumlah lapisan ke-i, metode pengawetan ke-j dan blok ke-k µ : Nilai rata-rata populasi Li : Pengaruh taraf ke-i dari faktor jumlah lapisan Pj : Pengaruh taraf ke-j dari faktor metode pengawetan (LP)ij: Pengaruh interaksi dari jumlah lapisan dan metode pengawetan Jk : Pengaruh blok dari jenis ke-k εijk : Galat percobaan Apabila hasilnya beda nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey.
11
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengawetan Glulam Pengasapan Proses pengasapan dilakukan dengan menggunakan YSH wood smoke kiln. Prinsip kerja alat ini adalah mengalirkan asap dari hasil proses pengarangan ke dalam tempat penyimpanan sampel. Alat ini terdiri dari dua drum yang fungsinya berbeda, drum pertama berfungsi sebagai tungku (drum kiln) untuk tempat pengarangan kayu dan drum kedua berisi ijuk dan pasir yang berfungsi sebagai peredam panas dan penyaringan asap agar terbebas dari tar. Proses pengasapan glulam dilakukan selama satu bulan yang menghabiskan kayu bakar mangium sebanyak 667 kg dan kadar air kayu 19%. Proses pengasapan terhadap glulam dilakukan dalam dua periode waktu yaitu 15 hari dan 30 hari. Selama proses pengasapan, sampel glulam di balik posisinya setiap pertengahan periode agar proses pengasapan merata pada permukaan sampel terutama pada bagian permukaan yang lebar. Arah pergerakan asap pada alat YSH wood smoke kiln adalah dari atas ruang peletakan sampel, sehingga bagian yang terkena asap adalah bagian atas sampel.
Gambar 7 YSH Wood Smoke Kiln Suhu proses pengasapan pada ruangan tempat sampel berkisar antara 24 oC sampai 33 oC. Dengan kondisi tersebut maka sampel glulam tidak terpengaruh oleh suhu akibat proses pengarangan kayu yang biasanya menimbulkan panas.
12
Penambahan berat (%)
25 20 15 10
15 hari
5
30 hari 0
Jenis Gambar 8 Persentase penambahan berat glulam setelah diasapi Gambar 8 menunjukkan penambahan berat sampel setelah dilakukan pengasapan selama 15 hari dan 30 hari. Rata-rata penambahan berat sampel pada pengasapan 15 hari sebesar 9% dan pengasapan 30 hari sebesar 20%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi penambahan berat pada sampel yang diasapi adalah periode pengasapan, sedangkan jenis dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berbengaruh. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penambahan berat pada pengasapan 30 hari berbeda dengan pengasapan 15 hari. Penambahan berat sampel mengindikasikan adanya bahan asap yang masuk atau menempel pada glulam pada saat proses pengasapan. Ukuran partikel asap berukuran lebih kecil dari 2,5 𝜇 sehingga penambahan berat diduga karena adanya partikel asap yang menempel pada permukaan kayu dan masuk ke dalam lumen melalui pori-pori kayu yang berukuran 20-400 𝜇 (Martawijaya et al. 1989). Pengawetan Kimia Retensi adalah banyaknya larutan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Besarnya retensi dapat dinyatakan dalam banyaknya bahan pengawet per meter kubik kayu. Efektifitas suatu cara pengawetan kayu, baru dapat ditentukan kemudian berdasarkan umur pakai kayu yang telah diawetkan, tetapi nilai penetrasi dan retensi dapat dijadikan kriteria untuk menilai kesuksesan proses pengawetan kayu. Tabel 2 menunjukkan hasil retensi pengawetan imidacloprid pada glulam. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis glulam dan banyaknya lapisan tidak berpengaruh pada retensi bahan pengawet.
13 Tabel 2 Retensi imidacloprid pada glulam No
Jenis
1 2 3 4 5
Sengon Manii Mangium Mangium-manii Mangium-sengon
Retensi (kg/m3) 11 10 10 8 7
Kandungan Senyawa Asap Mangium Pirolisis adalah salah satu proses pengarangan yang mendekomposisi material organik tanpa mengandung oksigen. Apabila ada oksigen pada saat proses pirolisis maka akan ada reaksi dengan material lain yang pada akhirnya akan menghasilkan abu. Pada proses pirolisis terhadap kayu, lignin terdegradasi sebagai akibat kenaikan suhu sehingga dihasilkan senyawa-senyawa karakteristik sesuai dengan jenis kayu. Proses pirolisis berlangsung dalam dua tahapan yaitu pirolisis primer dan pirolisis sekunder. Pirolisis primer terdiri dari proses cepat yang terjadi pada suhu 50 oC sampai 300 °C, dan proses lambat pada suhu 300 sampai 400 °C. Proses pirolisis primer cepat menghasilkan arang, berbagai gas, dan H2O. Sedangkan proses lambat menghasilkan arang, H2O, CO, dan CO2. Pirolisis sekunder merupakan proses pirolisis yang berlangsung pada suhu lebih dari 600°C dan terjadi pada gas– gas hasil, serta menghasilkan CO, H2, dan hidrokarbon (Pari 2004). Asap hasil pengarangan yang dialirkan ke tempat sampel diidentifikasi untuk mengetahui kandungan senyawa yang ada di dalamnya. Hasil identifikasi senyawa kimia asap cair mangium dengan menggunakan alat uji GCMS ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil spektra kromatografi gas asap cair mangium hasil pirolisis pada suhu 400 ℃ terlihat adanya 13 puncak yang mengindikasikan ada 13 senyawa yang terkandung di dalamnya. Senyawa penyusun asap cair mangium terdiri dari beberapa senyawa asam, karbonil dan fenol. Konsentrasi komponen senyawa kimia yang tertinggi didominasi oleh Acetic acid (CAS) Ethylicacid (32.06%), Cyclobutanol (CAS) Cyclobutyl hydroxide (30.82%), fenol (12.01%) dan kelompok polyciclic aromatic hydrocarbon (PAHs) lainnya. Asam asetat merupakan komponen terbesar dalam asap cair mangium yang bersifat asam dengan PH berkisar 3 sampai 6. Proses pirolisis telah menyebabkan terjadinya degradasi terhadap hemiselullosa. Pada saat terjadi degradasi terhadap hemisellulosa diawali dengan dilepaskannya asam asetat dan pembentukannya makin cepat dengan konsentrasi yang meningkat pada pemanasan 150 oC (Sunqvis 2004). Pembentukan asam asetat tersebut 40% sampai 60% berasal dari o-acetyl yang dirubah menjadi asam asetat (Garrote et al. 2001).
14 Tabel 3 Kandungan senyawa asap cair kayu mangium No
R. Time
Nama senyawa
1 2 3 4 5
5.25 3.165 3.067 13.95 18.324
6 7 8
13.782 18.517 16.583
9
13.575
10 11
14.928 15.426
12 13
15.767 3.728
Acetic acid(CAS)Etyhlicacid Cyclobutanol (CAS) Cyclobutyl hydroxide Trideuteroacetonitrile Phenol,4-methyl-(CAS)p-Cresol 1,6-Anhydro-Beta-DGlucopyranose(Levoglucosan) Phenol,2-methoxy-(CAS)Guaiacol 1-Acetoxy-Cyclopenten-3-ONE Phenol,2,6-dimetoxy-(CAS)2,6Dimethoxyphenol 2H-Pyran-2-one,tetrahydro-(CAS)5Valerolactone 2-Methoxy-4-methylphenol 2-Propenoicacid, 2 methyl, ethylester (CAS) Ethylmethacrylate 2,5-Dimetoxytoluene Acetic acid,methylester(CAS)Methylacetate
Konsentrasi (%) 32.06 30.82 8.78 4.86 3.99 3.92 3.60 3.23 2.58 2.04 1.71 1.47 0.93
Kelompok senyawa yang terkandung di dalam asap mangium diduga berperan aktif dalam meningkatkan resistensi glulam terhadap serangan rayap tanah. Oramahi et al. (2014) yang menyebutkan bahwa kelompok senyawasenyawa alkohol, fenol, asam dan keton yang terkandung di dalam asap cair dari kayu laban mampu meningkatkan mortalitas pada pengujian kayu laban dari serangan rayap tanah. Kandungan senyawa asap cair terdiri dari senyawa PAHs lainnya seperti 2H-Pyran-2-one,tetrahydro-(CAS)5, Valerolactone; 1,6-AnhydroBeta-D-Glucopyranose (Levoglucosan); dan 1-Acetoxy Cyclopenten-3-ONE. PAHs berasal dari beberapa proses seperti hasil proses pembakaran yang tidak sempurna atau hasil pirolisis material organik pada saat proses pengarangan yang bersifat karsinogenik (Fang et al. 2002) dan menyebabkan kerusakan permanen bagi organisme hidup (Ong et al. 2007) .
Pengujian Ketahanan Glulam terhadap Rayap Tanah Pada penelitian ini digunakan dua standar pengujian ketahanan glulam terhadap serangan rayap tanah, yaitu standar JIS dan standar SNI. Indikator yang digunakan untuk menguji ketahanan glulam terhadap serangan rayap tanah adalah mortalitas rayap, persentase kehilangan berat sampel dan feeding rate rayap. Nilai mortalitas ditentukan berdasarkan jumlah rayap yang mati selama proses pengumpanan contoh uji. Semakin banyak rayap yang mati, maka semakin tinggi mortalitas yang menunjukkan juga bahwa bahan pengawet semakin baik. Parameter kedua yang digunakan dalam pengujian sifat anti rayap adaIah laju konsumsi rayap tanah yang menunjukkan besarnya kehilangan berat kertas uji selulosa setelah
15 diumpankan selama periode pengujian. Semakin tinggi persentase kehilangan berat sampel mengindikasikan semakin rendah sifat anti rayap dari bahan pengawet. Feeding rate rayap menunjukkan banyaknya sampel yang dimakan oleh tiap rayap per hari (Arinana et al. 2012). Pengujian Laboratorium Standar JIS Hasil pengujian glulam terhadap rayap tanah dengan menggunakan standar JIS ditunjukkan dengan parameter mortalitas, persentase kehilangan berat sampel dan feeding rate. Tabel 4 Mortalitas (%) rayap pada pengujian JIS Jenis
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
Metode pengawetan Tanpa Pengasapan Pengasapan Imidacloprid pengawet 15 hari 30 hari 3-lapis 83(9) 100(1) 100(0) 100(0) 90(9) 100(1) 97(6) 100(0) 95(1) 97(5) 100(0) 100(0) 76(27) 100(1) 100(0) 100(0) 86(4) 100(0) 100(0) 100(0) 86 99 99 100 5-lapis 84(15) 100(0) 99,4(0) 100(0) 74(31) 100(1) 97(2) 100(0) 78(29) 100(0) 100(0) 100(0) 93(8) 100(0) 100(0) 100(0) 81(21) 100(0) 100(0) 100(0) 84 100 99 100
Ket : data terdiri dari rataan (standar deviasi)
Tabel 4 menunjukkan bahwa mortalitas rayap dengan perlakuan yang berbeda memberikan hasil yang berbeda-beda, mortalitas glulam dengan bahan pengawet (pengasapan dan imidacloprid) nilainya antara 98% dan 100% yang mengindikasikan bahwa hampir semua rayap yang digunakan dalam pengujian mati. Nilai tersebut 15.5% lebih tinggi dibandingkan dengan mortalitas pada glulam tanpa pengawet yang nilainya 85%. Mortalitas pada glulam tanpa pengawet tergolong tinggi, hal ini diduga karena perekat yang digunakan pada pembuatan glulam mampu meningkatkan resistensi terhadap serangan rayap tanah (Santoso dan Jasni 2003) sehingga banyak rayap yang mati. Hal ini juga sejalan dengan Hakim et al. (2011) yang melaporkan bahwa pembuatan produk komposit dengan menggunakan perekat isosianat meningkatkan mortalitas rayap. Tabel 5 menunjukkan bahwa kehilangan berat sampel yang paling besar terjadi pada glulam tanpa pengawet 26.86%, sedangkan kehilangan berat glulam dengan pengasapan 15 hari, 30 hari dan pengawetan imidacloprid secara berturutturut adalah 3.06%; 3.11%; dan 0.62%.
16 Tabel 5 Persentase kehilangan berat (%) pada pengujian JIS Jenis
Tanpa pengawet
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
18.58(14.27) 19.87(7.67) 18.85(3.49) 18.02(2.3) 37.74(5.34) 22.61
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
73.7(50.5) 21.27(0.92) 14.74(0.79) 25.66(7.17) 20.17(7.64) 31.11
Metode pengawetan Pengasapan Pengasapan Imidacloprid 15 hari 30 hari 3-lapis 3.48(1.21) 2.73(1.48) 0.39(0.18) 3.94(0.44) 2.91(0.2) 1.09(0.48) 4.23(1.01) 2.32(0.92) 0.91(0.74) 2.93(0.38) 2.99(0.14) 0.58(0.47) 2.66(0.85) 2.78(0.62) 0.38(0.06) 3.45 2.75 0.67 5-lapis 2.94(1.59) 3.94(0.65) 0.61(0.05) 2.91(1.39) 3.29(0.7) 0.99(0.99) 2.86(0.83) 3.01(0.89) 0.55(0.41) 2.19(1.11) 4(1.02) 0.28(0.09) 2.51(0.22) 3.13(0.7) 0.51(0.22) 2.68 3.47 0.59
Ket : data terdiri dari rataan (standar deviasi)
Feeding rate rayap pada pengujian rayap dengan standar JIS ditunjukkan pada Tabel 6. Glulam tanpa pengawet mempunyai rata-rata feeding rate tertinggi 243.5 µg/rayap/hari dan yang terendah pada glulam yang diawetkan dengan imidacloprid 2 µg/rayap/hari. Rata-rata feeding rate untuk glulam yang diasapi selama 30 hari nilainya 8.13 µg/rayap/hari, sedangkan glulam yang diasapi selama 15 hari 8 µg/rayap/hari). Tabel 6 Feeding rate (μg/ekor/hari) pada pengujian JIS Jenis
Tanpa pengawet
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
116(79) 189(117) 219(70) 163(53) 375(70) 212
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
508(341) 226(26) 175(15) 240(91) 227(104) 275
Metode pengawetan Pengasapan Pengasapan Imidacloprid 15 hari 30 hari 3-lapis 6(2) 5(3) 1(0) 11(1) 7(1) 3(2) 14(3) 7(4) 3(2) 8(1) 8(0) 2(1) 7(2) 7(1) 1(0) 9 7 2 5-lapis 6(4) 9(4) 1(0) 9(3) 9(1) 3(3) 10(3) 9(2) 2(1) 6(3) 9(6) 1(0) 8(1) 10(3) 2(1) 8 9 2
17 Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang ditunjukkan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa semua indikator serangan rayap tanah (mortalitas, kehilangan berat, feeding rate) hanya dipengaruhi oleh metode pengawetan glulam, sedangkan jumlah lapisan, interaksi kedua faktor, dan jenis sebagai kelompok tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketiga indikator Tabel 7 Hasil analisis sidik ragam pengujian JIS Indikator Mortalitas Kehilangan Berat Feeding rate
Metode pengawetan (A) * * *
Jumlah lapisan (B)
Interaksi (AB)
Jenis (blok)
NS NS NS
NS NS NS
NS NS NS
Signifikant (P < 0.01), NS: Non Significant
Hasil uji lanjut Tukey terhadap faktor metode pengawetan glulam terhadap ketiga indikator ditunjukkan pada Tabel 8. Mortalitas rayap pada glulam tanpa pengawet berbeda dengan mortalitas glulam yang diawetkan, sedangkan glulam yang diawetkan imidacloprid nilainya tidak berbeda dengan glulam yang diasapi selama 15 hari dan 30 hari. Persentase kehilangan berat sampel menunjukkan bahwa kehilangan berat sampel glulam tanpa pengawet berbeda dengan glulam yang diawetkan, sedangkan kehilangan berat pada glulam yang diawetkan imidacloprid nilainya sama dengan glulam yang diasapi. Feeding rate pada glulam tanpa pengawet berbeda dengan glulam yang diawetkan, sedangkan feeding rate glulam yang diawetkan imidacloprid nilainya sama dengan glulam yang diasapi. Tabel 8 Uji lanjut Tukey terhadap faktor metode pengawetan pada pengujian JIS Metode pengawetan
Mortalitas (%)
Tanpa pengawet Pengasapan 15 hari Pengasapan 30 hari Imidacloprid
85a 100b 90b 100b
Kehilangan berat (%) 26,86a 3,06b 3,11b 0,62b
Feeding rate (μg/ekor/hari) 244a 9b 8b 2b
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Pengujian laboratorium standar SNI Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel glulam selama 4 minggu dengan menggunakan standar SNI ditunjukkan dengan parameter mortalitas, persentase kehilangan berat sampel dan feeding rate.
18 Tabel 9 Mortalitas (%) rayap pada pengujian SNI Jenis
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
Metode pengawetan Tanpa Pengasapan Pengasapan Imidacloprid pengawet 15 hari 30 hari 3-lapis 82(8) 98(2) 97(5) 100(0) 99(1) 97(6) 97(6) 100(0) 87(6) 87(2) 89(10) 100(0) 88(11) 96(7) 93(8) 100(0) 85(13) 99(1) 92(6) 100(0) 88 95 94 100 5-lapis 86(16) 98(4) 95(5) 100(0) 78(19) 100(1) 95(9) 100(0) 83(16) 98(3) 93(7) 100(0) 92(7) 99(2) 99(2) 100(0) 94(7) 95(6) 97(6) 100(0) 87 98 96 100
Ket : data terdiri dari rataan (standar deviasi)
Nilai mortalitas ditentukan berdasarkan jumlah rayap yang mati selama proses pengumpanan contoh uji. Tabel 9 menunjukkan bahwa mortalitas perlakuan dengan menggunakan standar SNI memberikan nilai yang berbeda-beda. Mortalitas tertinggi terjadi pada glulam yang diawetkan dengan imidacloprid (100%) yang mengindikasikan bahwa semua rayap mati, sedangkan glulam dengan pengasapan nilainya 95% - 96.5% dan terendah pada glulam tanpa pengawet yaitu 87.5% . Tabel 10 Persentase kehilangan berat (%) pada pengujian SNI Jenis
Tanpa pengawet
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
21.97(8.57) 36.1(24.3) 6.06(3.52) 8.33(5.57) 15(5.62) 17.49
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon
52.6(29) 11.57(3.24) 4.16(2.41) 21.78(16.06)
Metode pengawetan Pengasapan Pengasapan Imidacloprid 15 hari 30 hari 3-lapis 5.32(3.05) 10.13(0.83) 4.61(0.96) 9(2.98) 6.59(2.61) 5.02(3.86) 5.73(1.63) 1.95(0.45) 2.63(0.98) 7.83(2.22) 5.98(2.37) 2.21(0.18) 8.33(0.49) 8.64(0.61) 3.55(2.1) 7.242 6.658 3.60 5-lapis 9.38(1.89) 7.88(0.76) 7.33(2.03) 5.03(5.82) 7.09(0.63) 6.77(2.99) 5.45(2.16) 4.75(1.96) 1.96(0.36) 5.39(1.02) 5.31(3.28) 5.73(3.28)
Mangium-manii Rata-rata
11.51(8.56) 20.32
7.96(1.78) 6.64
5(1.36) 6.00
3.17(2.06) 4.99
19 Berdasarkan Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan berat sampel setelah pengujian paling besar terjadi pada glulam tanpa pengawet 18.9%, sedangkan rata-rata kehilangan berat glulam dengan pengasapan 15 hari, pengasapan 30 hari dan pengawetan imidacloprid secara berurut-turut adalah 6.94%; 6.33%; dan 4.3%. Kehilangan berat berdasarkan jenis menunjukkan bahwa kehilangan berat terbesar terjadi pada glulam tanpa pengawet sengon 37.29% dan yang terkecil pada glulam mangium 5.11%. sedangkan untuk glulam manii, mangium-sengon dan mangium-manii secara berurutan adalah 23.84%, 15.06% dan 13.26%. Tabel 11 Feeding rate (μg/ekor/hari) pada pengujian SNI Jenis
Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
Metode pengawetan Tanpa Pengasapan Pengasapan Imidacloprid pengawet 15 hari 30 hari 3-lapis 32(14) 17(12) 37(9) 14(4) 82(56) 44(20) 33(14) 28(22) 18(11) 29(9) 11(3) 14(4) 20(14) 36(8) 29(11) 10(2) 36(10) 48(5) 44(2) 18(11) 38 35 31 17 5-lapis 111(85) 33(12) 33(4) 26(9) 31(6) 28(31) 38(5) 37(16) 13(7) 37(18) 28(10) 13(1) 52(42) 26(4) 21(11) 25(13) 31(22) 42(11) 27(8) 15(10) 48 33 29 23
Ket : data terdiri dari rataan (standar deviasi)
Tabel 11 menunjukkan feeding rate rayap pada pengujian SNI, feeding rate terendah pada pengawetan dengan imidacloprid, kemudian diikuti oleh pengaspan 30 hari, pengasapan 15 hari dan tanpa pengawet. Trend kenaikan feeding rate juga terjadi pada glulam yang terbuat dari 3-lapis dan 5-lapis, terutama jika dilihat dari glulam yang diawetkan dengan imidacloprid, pengasapan 15 hari, pengasapan 30 hari, dan glulam tanpa pengawet. Tabel 12 Hasil analisis sidik ragam pengujian SNI Indikator Mortalitas Kehilangan Berat Feeding rate a
Metode pengawetan (A) * * *
Jumlah lapisan (B)
Interaksi (AB)
Jenis (blok)
NS NS NS
NS NS NS
NS * NS
huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda
20 Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang ditunjukkan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa semua indikator serangan rayap tanah (mortalitas, kehilangan berat, feeding rate) hanya dipengaruhi oleh metode pengawetan glulam, sedangkan jumlah lapisan dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketiga indikator. Sedangkan jenis sebagai faktor blok hanya berpengaruh secara signifikan pada kehilangan berat sampel. Hal tersebut diduga karena glulam yang terbuat dari jenis yang sama atau kombinasi dua jenis kayu memiliki densitas yang berbeda-beda (Komariah et al. 2015) sehingga mempengaruhi kehilangan berat. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Hermawan (2012) dan Hadi et al. (2015). Tabel 13 Uji lanjut Tukey faktor metode pengawetan pada pengujian SNI Metode pengawetan Tanpa pengawet Pengasapan 15 hari Pengasapan 30 hari Imidacloprid
Mortalitas (%) 87a 97bc 95b 100c
Kehilangan berat (%) 18.90a 6.94b 6.33b 4.30b
Feeding rate (μg/ekor/hari) 87.42a 33.92ab 29.89ab 19.87b
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Hasil uji lanjut Tukey terhadap faktor metode pengawetan glulam terhadap ketiga indikator ditunjukkan pada Tabel 13. Mortalitas rayap pada glulam tanpa pengawet berbeda dengan mortalitas glulam yang diawetkan, sedangkan glulam yang diawetkan imidacloprid nilainya tidak berbeda dengan glulam yang diasapi selama 15 hari, mortalitas glulam yang diasapi 15 hari tidak berbeda dengan 30 hari. Persentase kehilangan berat menunjukkan bahwa kehilangan berat sampel glulam tanpa pengawet berbeda dengan glulam yang diawetkan, sedangkan kehilangan berat pada glulam yang diawetkan imidacloprid nilainya sama dengan glulam yang diasapi. Feeding rate pada glulam tanpa pengawet berbeda dengan glulam yang diasapi 30 hari dan glulam dengan imidacloprid, sedangkan feeding rate glulam yang diawetkan imidacloprid nilainya sama dengan glulam yang diasapi 30 hari. Hasil pengujian glulam terhadap serangan rayap tanah pada pengujian JIS dan SNI memberikan hasil yang hampir sama. Faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas, kehilangan berat sampel dan feeding rate adalah metode pengawetan. Mortalitas glulam yang diasapi nilainya lebih besar dibandingkan dengan glulam tanpa pengawet, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadi et al. (2010a, 2010b, 2012) yang menyebutkan bahwa mortalitas rayap kayu yang diasapi lebih besar dibandingkan dengan kayu tanpa pengawet. Bahan asap mampu memberikan efek toksik seperti imidacloprid yang sudah tebukti membunuh rayap tanah (Majid et al. 2007) Kehilangan berat sampel glulam yang diasapi lebih rendah dibandingkan dengan glulam tanpa pengawet, hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Hadi et al. (2010a, 2010b, 2012). Pengasapan telah mempengaruhi perilaku makan rayap yang ditunjukkan dengan kehilangan berat sampel. Bahan asap diduga termasuk ke dalam golongan non-repellen sehingga glulam yang telah diasapi masih dimakan oleh rayap (Richardson 1993).
21 Berdasarkan hasil pengujian ketahanan glulam terhadap serangan rayap tanah berdasarkan pengujian JIS dan SNI menunjukkan bahwa mortalitas, kehilangan berat sampel dan feeding rate rayap pada glulam tanpa pengawet nilainya berbeda dengan glulam yang diawetkan (pengasapan dan imidacloprid). Nilai ketiga indikator pada glulam yang diasapi sama dengan glulam yang diawetkan dengan imidacloprid, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengasapan terhadap glulam telah meningkatkan resistensi glulam terhadap serangan rayap tanah yang diindikasikan dengan mortalitas rayap yang tinggi, kehilangan berat sampel yang rendah, dan feeding rate yang rendah. Asap mangium yang didominasi oleh senyawa asam asetat, cyclobutanol, senyawa phenolic dan Senyawa PAHs yang lain telah meningkatkan keawetan glulam terhadap serangan rayap tanah. Pengaruh pengasapan tersebut juga terlihat pada Tabel 14 tentang klasifikasi keawetan glulam berdasarkan persentase kehilangan berat sampel pada pengujian SNI. Tabel 14 Klasifikasi kelas keawetan glulam berdasarkan standar SNI Jenis Sengon Manii Mangium Mangium-sengon Mangium-manii Rata-rata
Tanpa pengawet 37.29(V) 23.84(V) 5.11(II) 15.06(IV) 13.26(IV) 20.32(V)
Metode pengawetan Pengasapan Pengasapan 15 hari 30 hari 7.35(III) 9.01(III) 7.02(III) 6.84(II) 5.59(II) 3.35(I) 6.61(II) 5.65(II) 8.15(III) 6.82(II) 6.64(II) 6.01(II)
Imidacloprid 5.97(II) 5.9(II) 2.3(I ) 3.97(II) 3.36(II) 4.99(II)
Kelas keawetan alami kayu sengon, manii dan mangium yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai kelas keawetan V yang artinya keawetan kayu tersebut sangat buruk terhadap serangan rayap tanah. Secara umum pengawetan terhadap glulam dapat meningkatkan kelas keawetan glulam. Metode pengawetan yang terdiri dari pengawet imidacloprid, pengasapan 15 hari dan pengasapan 30 hari mampu meningkatkan glulam dari kelas V menjadi kelas II. Dengan peningkatan kelas keawetan glulam tersebut menunjukkan adanya pengaruh asap mangium terhadap glulam sehingga meningkatkan resistensi glulam terhadap serangan rayap tanah. Analisa Pengasapan Derajat Kristalinitas Struktur kimia kayu terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik dan lignin sebagai bahan pengikat yang memberikan kekakuan pada dinding sel. Ikatan antara molekul-molekul selulosa membentuk daerah yang teratur (kristalin) dan kurang teratur (amorf). Daerah (bagian) kristalin dari kayu adalah fraksi bahan kristal yang padat pada mikrofibril selulosa. Kristalinitas mikrofibril selulosa merupakan salah satu faktor utama penentu sifat mekanis kayu. Meningkatnya derajat kristalinitas akan mengakibatkan meningkatnya nilai kekuatan dan kekerasan. Perbandingan antara
22 daerah kristalin dengan seluruh daerah mikrofibril selulosa dikenal dengan istilah derajat kristalinitas (Andersson et al. 2003).
Gambar 9 Derajat kristalinitas (a) sengon tanpa pengawet, (b) sengon diasapi, (c) manii tanpa pengawet, (d) manii diasapi Hasil analisis XRD pada Gambar 9 menunjukkan bahwa derajat kristalinitas kayu sengon dan manii menurun setelah diasapi. Derajat kristalinitas Sengon menurun dari 30.25% menjadi 28.39%, sedangkan manii dari 28.68% menjadi 27.25%. Penurunan derajat kristalinitas tersebut diduga disebabkan oleh bahan pengawet (bahan asap) yang memiliki ukuran yang lebih besar dari struktur kristal selulosa sehingga merusak lapisan permukaan kristalin selulosa atau matriks penyusun dinding sel. Perusakan lapisan kristalin terjadi dengan cara membentuk microvoid atau small crack. Akibatnya, dimensi kristalin, jarak antara elemen fibril dan derajat kristalinitas berubah (Yunianti 2012). Derajat kristalinitas kayu mangium sebelum dan sesudah diasapi meningkat dari 28.86% menjadi 32.49% (Gambar 10). Kenaikan derajat kristalinitas mangium tersebut diduga karena bahan asap memiliki bentuk struktur dan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran selulosa mangium sehingga hanya berikatan di permukaan kristalin selulosa (panjang dan lebar) sehingga derajat kristalinitas bertambah. Perubahan jarak antar elemen fibril yang makin dekat disertai pertambahan dimensi kristalin mengakibatkan perubahan kristalinitas pada mikrofibril selulosa (Yunianti 2012). Hal ini juga didukung dengan hasil pengujian GCMS yang menunjukkan jumlah senyawa baru yang terjadi pada kayu mangium lebih sedikit yaitu 11 senyawa sedangkan pada kayu sengon dan manii berjumlah 20 senyawa. Derajat kristalinitas yang tinggi menyebabkan kayu sulit bereaksi dengan senyawa lain.
23
Gambar 10 Derajat kristalinitas (a) kayu mangium sebelum dan (b) sesudah diasapi
Pengujian Spektroskopi Inframerah FTIR digunakan untuk mempelajari kerusakan kayu secara kimiawi dan untuk menganalisis perubahan struktur kimia kayu setelah dilakukan perlakuan. Jika seberkas sinar inframerah dilewatkan pada suatu sampel polimer, maka beberapa frekuensinya diabsorpsi oleh molekul sedangkan frekuensi lainnya ditransmisikan. Transisi yang terlibat pada absorpsi IR berhubungan dengan perubahan vibrasi yang terjadi pada molekul. Jenis ikatan yang ada dalam molekul polimer (C-C, C=C, C-O, C=O) memiliki frekuensi vibrasi yang berbeda. Adanya ikatan tersebut dalam molekul polimer dapat diketahui melalui identifikasi frekuensi karakteristik sebagai puncak absorpsi dalam spektrum IR. (Rohaeti 2009). Bodir Lau (2012) melaporkan bahwa spektrum IR pada kayu memiliki spektrum yang hampir sama yaitu gugus OH (3300–4000 cm), C-H (2930-2910), C=O karbonil (1740-1730), C=O pada xylan dan hemiselulosa (1735), CH2 selulosa dan lignin(1462-1425), OH fenol (1260-1234).
Gambar 11 Spektrum infrared kayu sengon sebelum (atas) dan sesudah diasapi (bawah)
24
Gambar 12 Spektrum infrared kayu manii sebelum (atas) dan sesudah diasapi (bawah)
Gambar 13 Spektrum infrared mangium sebelum (atas) dan sesudah diasapi (bawah) Spektrum kayu sengon, manii dan mangium mengalami perubahan sebelum dan sesudah diasapi. Pada spektrum setelah diasapi muncul puncak spektrum baru dengan intensitas yang rendah yaitu pada bilangan gelombang 2848.86 yang mengindikasikan adanya gugus CH dan CH2 stretching (Adapa et al. 2009). Pita CH pada selulosa dan hemiselulosa muncul pada pita spektrum 1373.32 yang mengindikasikan adanya ikatan pada selulosa dan hemiselulosa setelah kayu diasapi. Intensitas OH bebas (3336.85) mengalami penurunan setelah diasapi, hal ini menunjukkan bahwa ikatan OH menjadi rendah (Salih 2012). Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa gugus OH bereaksi dengan senyawa lain. Perubahan gugus fungsi pada glulam yang diasapi sulit dideteksi karena intensitas perubahannya kecil terutama pada munculnya peak baru, hal ini kemungkinan karena proses pengasapan ini hanya memiliki retensi dan penetrasi yang yang rendah sehingga perubahan atau terjadinya reaksi hanya terjadi di bagian permukaan. Hal ini juga dapat terlihat dari pola serangan rayap terhadap sampel yang diasapi (Lampiran 2), sampel yang terserang adalah bagian pinggir dan setelah terjadi serangan di tempat tersebut maka serangan selanjutnya adalah masuk ke bagian dalam kayu tanpa melewati lapisan bahan asap. Pelapisan atau terjadinya reaksi diduga dipengaruhi oleh bahan asap yang mengenai sampel. Bagian yang
25 terserang rayap adalah bagian yang tidak terkena asap dari arah atas, sehingga bagian asap yang mengenai sampel sedikit. Rendahnya ikatan kimia antara bahan pengasap dengan kayu juga diduga menyebabkan bahan pengasap mudah tercuci. Hadi et al. (2010b) yang melaporkan bahwa kayu yang diasapi mempunyai ketahanan yang rendah ketika dilakukan pengujian di lapangan. Hal tersebut juga dapat terlihat dari hasil pengujian JIS dan SNI yang hasilnya berbeda pada indikator kehilangan berat. Pada pengujian SNI ditambahkan air untuk menjaga kelembaban sehingga air tersebut diduga menyebabkan pencucian terhadap sampel. Analisis Komponen Senyawa Kimia Glulam Proses pengasapan glulam dengan menggunakan asap yang berasal dari proses pengarangan kayu mangium mampu meningkatkan keawetan glulam terhadap serangan rayap tanah. Asap mangium yang didominasi oleh asam asetat, cyclobutanol, senyawa pehenolik dan senyawa PAHs lainnya telah menimbulkan 2 perubahan komponen senyawa pada glulam. Perubahan itu adalah terjadinya perubahan konsentrasi senyawa yang erkandung di dalam glulam sebelum dan sesudah diasapi, dan terbentuknya senyawa baru setelah glulam diasapi. Tabel 15 menunjukkan tiga besar kelompok senyawa hasil uji GCMS terhadap kayu sebelum dan sesudah dilakukan pengasapan. Konsentrasi senyawa baru tiap jenis kayu berbeda-beda, konsentrasi total senyawa baru terbesar pada sengon sebesar 73.63%, manii 68.06%, dan mangium 33.31konsentrasi kelompok senyawa baru diurutkan dari yang terbesar adalah sebagai berikut asam (53.25%), keton (18.09%), fenol (17.17%), aldehid (16.18%), alkena (14.3%), alkana (9.69%), benzene (7.75%) dan alkohol (0.86%). Perubahan senyawa yang terjadi dikarenakan tiap kayu mempunyai kandungan yang berbeda-beda. Pada kelompok fenol terjadi perubahan pada semua jenis fenol, tetapi jenis fenol yang terbentuk pada masing-masing jenis kayu berbeda. Konsentrasi fenol terbesar terjadi pada kayu sengon diikuti mangium dan manii. Kelompok fenol pada ekstraktif mempunyai efektifitas sebagai fungisida (Achmadi 1990). Pada kelompok asam terutama carbamic acid terbentuk pada semua jenis kayu dengan konsentrasi terbesar pada manii, sedangkan pada sengon dan mangium konsentrasinya sama. Carbamic acid berdasarkan beberapa studi menunjukkan tingkat toksisitas yang tinggi pada tikus dengan LD50 mencapai 690 mg/kg berat tubuh tikus betina, sedangkan pada bakteri bersifat bakteriostatik pada konsentrasi 1000 mikrogram. Carbamic acid juga menyebabkan kematian pada hewan dengan indikasi adanya tumor dan gangguan hati (Chemie, 2000), tetapi pengaruh negatif pada manusia belum ada laporan. Kelompok aldehid terdiri dari acetaldehyde dan benzaldehyde. Acetaldehyde mempunyai toksisitas 10 sampai 30 kali jika dibandingkan dengan ethanol (Sprince et al. 1974), sedangkan benzaldehyde mampu membunuh nyamuk Aedes aegepty pada fase larva dan pupa (Paulraj et al. 2011).
26 Tabel 15 Kelompok senyawa baru pada sengon, manii, mangium setelah diasapi Konsentrasi (%) Sengon Manii Mangium
Nama senyawa Kelompok phenol Phenol,(1,1-dimethylethyl)-4-methoxy(CAS)Butylatedhydroxyanisole Phenol,2-methoxy-(CAS)Guaiacol Phenol,4-ethyl-2-methoxy-(CAS)p-Ethylguaiacol Cyclopentanol(CAS)Hydroxycyclopentane Phenol,2-methoxy-4-propyl-(CAS)5-propyl-guaiacol Phenol,2-methoxy-4-(2-propenyl),acetate(CAS)Aceteugenol Total Kelompok asam 2,4-Hexadienedioicacid,3,4-diethyl-,dimethylester,(E,Z) 2-Propenoicacid,2-methyl,ethylester(CAS)Ethylmethacrylate Acetic acid Triacontanoicacid,methylester(CAS)Methyltriacontanoate 5-Chloro-2-(3,4-dimethoxybenzamido)benzoicacid Benzenepropanoicacid,2-methoxy-,methylester Carbamic acid Total
0,58 6,35
2,53 0,96 -
4,95 -
0,98 7,91
0,98 4,47
4,95
-
1,95
-
1,59 14 1,17 7,04 23,8
1,55 7,04 0,43 -
-
11,25 22,22
7,04 7,04
-
2,26 1,52 3,78
Kelompok aldehid Acetaldehyde Benzaldehyde,4-hydroxy-3-methoxy-(CAS)Vanillin 3-(3',5'-dimethoxy-4'-hydroxyphenyl)-E-2-propenal Total
8,05 1,27 9,32
0
Tabel 16 menunjukkan perubahan kelompok senyawa kimia pada tiga jenis kayu yang ada di glulam sebelum dan sesudah diasapi. Pada kelompok keton, senyawa yang mengalami kenaikan konsentrasi di antaranya propanone dan butane, sedangkan yang mengalami penurunan konsentrasi adalah ethanone, propenal, fenol. Penurunan kandungan fenol tersebut diduga karena zat tersebut beraksi dengan senyawa asap dan membentuk senyawa baru atau turunannya. Hal tersebut juga didukung dengan data hasil GCMS yang menunjukkan adanya senyawa baru dan hasil FTIR dengan penurunan pita spektrum fenol pada bilangan gelombang 1244.22 cm-1. Asam asetat pada semua jenis kayu mengalami penurunan, hal ini merupakan salah satu penyebab dari peningkatkatan resistensi glulam yang diasapi karena menurut Nandika et al. (2003) menyebutkan bahwa asam asetat merupakan senyawa organik yang digunakan sebagai sumber energi oleh rayap. Asam asetat tersebut berasal hasil akhir metabolisme selulosa, sehingga dengan berkurangnya asam asetat tersebut mengganggu aktivitas rayap.
27 Tabel 16 Perubahan kelompok senyawa setelah diasapi Kelompok senyawa Senyawa lain Benzene Phenol Keton Aldehid Asam
Konsentrasi (%) Sebelum Sesudah Sengon 2.94 3.84 1.35 1.65 9.21 7.69 6.34 4.19 5.6 3 11.68 6.52 Manii
Keton Senyawa lain Aldehid Phenol
8.26 0.64 1.48 29.37
12.57 4.65 0.8 13.93
Senyawa lain Keton Aldehid Phenol Asam
Mangium 0.96 19.36 4.95 12.01 12.77
3.04 20.03 5.15 12.05 3.69
Sumber data : lampiran 1
28
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahawa kandungan senyawa pada asap yang dianalisis melalui asap cair mangium menghasilkan senyawa yang didominasi oleh Acetic acid (CAS) Ethylicacid, Cyclobutanol (CAS) Cyclobutyl hydroxide, phenol dan kelompok PAHs lainnya yang kemudian bereaksi dengan senyawa yang ada di dalam glulam. Resitensi glulam asap terhadap serangan rayap tanah sama dengan glulam yang diawetkan dengan imidacloprid dan lebih tinggi dibanding glulam tanpa pengawet. Resistensi pengasapan 15 hari sama dengan pengasapan 30 hari.. Kelas keawetan glulam setelah pengasapan mengalami peningkatan dari kelas V menjadi kelas II baik pada pengasapan 15 hari maupun 30 hari. Analisis XRD menunjukan bahwa kayu mangium mengalami peningkatan derajat kristalinitas, sedangkan kayu sengon dan manii mengalami penurunan, sedangkan mangium mengalami kenaikan setelah dilakukan proses pengasapan. Analisis spetroskopi inframerah menunjukan bahwa pada glulam yang diasapi terbentuk peak baru terutama pada bilangan gelombang 2848.86 cm-1 dan 1373.32 cm-1, serta terjadi penurunan intensitas OH bebas pada bilangan gelombang 3336.85 cm-1 yang mengindikasikan bahwa gugus OH bereaksi dengan senyawa lain. Proses pengasapan menyebabkan terbentuknya senyawa baru dan perubahan konsentrasi pada glulam sebelum dan sesudah diasapi. Senyawa baru yang mampu meningkatkan keawetan glulam phenol, acetaldehyde, benzaldehyde, carbamic acid, octene, cyclopentene, cyclobutanon, ethanone dan pyran yang bersifat karsinogenik. Perubahan konsentrasi terjadi pada beberapa senyawa yang berbasis asam, fenol, aldehide, dan keton.
Saran Saran dalam penelitian ini adalah perlu dilakukan optimasi lamanya pengasapan terhadap kayu. Perlu dilakukan pengujian lapang dan menganalisis mudah atau tidaknya ketercucian bahan.
29
DAFTAR PUSTAKA Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor: IPB. Adapa P, Karunakaran C, Tabil L, Schoenau G.2009. Potential applications of infrared andraman spectromicroscopy for agricultural biomass. AEI Ejournal ( XI): 129-130. Andersson S, Serimaa R, Paakari T, Saranpää P, Pesonen E. 2003. Crystallinity of wood and the size of cellulose crystallities in norway spruce (Picea abies). Journal Wood Science 49:531-537. Arinana, Tsunoda K, Herliyana EN, HadiYS. 2012. Termite-susceptible species of wood for inclusion as a reference in indonesian standardized laboratory testing. Insects Journal. 3:396-40. doi:10.3390/insects3020396. Bodîrlău R, Teacă CA. 2009. Fourier transform infrared spectroscopy and thermal analysis of lignocellulose fillers treated with organic anhydrides. Rom. Journ. Phys., 54, (1–2), P. 93–104. Chemie BG.2000. Toxilogical evaluation : Carbamic acid. Heidelberg. German. Cox C. 2001. Imidacloprid. Journal of Pesticide Reform. 21(1) :15-21. FajrianiE, RulleJ, DlouhaJ, FournierM, HadiYS, DarmawanW. 2013. Radial variation oaf wood properties of sengon (Paraserianthes Falcataria) and Jabon (Anthocephalus cadamba). JIAWS10(2), 110-117. DOI 10.1007/s13196-013-0101-9. Fang GC, Chang FK, Lu C, Bai H. 2002. Toxic equivalency factors study of poly cyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in Taichung City , Taiwan. Toxicology and Industrial Health 2002; 18: 279-288. Garrote G, Dominguez H, Parajo JC. 2001. Study on the deacetylation of hemicelluloses during the hydrothermal processing of eucalyptus wood. Holz als Roh und Werkstof (59: 53-59. Hadi YS, Nurhayati T, Jasni J, Yamamoto H, Kamiya N. 2010a. Smoked wood as an alternative for wood protection against termites. Forest Prod. J. 60(6):496-500. Hadi YS, Nurhayati T, Jasni J, Yamamoto H, Kamiya N. 2010b. Smoked wood resistance against termite. Journal of Tropical Forest Science 22(2):127132. Hadi YS, Nurhayati T, Jasni J, Yamamoto H, Kamiya N. 2012. Resistance of smoked wood to subterranean and dry-wood termite attack. International Biodeterioration & Biodegradation 70 (2012) : 79-81. 27(1): 25–29. Hadi YS, Arinana A, and Massijaya MY. 2014. Feeding rate as a consideration factor for successful termite wood preference tests.Wood and Fiber Science 46(4), 590-593. Hadi YS, Rahayu IS, Danu S. 2015. Termite resistance of jabon wood impregnated with methyl methacrylate. Forest Prod. J. 60(6):496–500. Hakim L, Herawati E, Wistara INJ. 2011. Papan serat berkerapan sedang berbahan baku sludge terasetilasi dari industri kertas. Makara, Teknologi (2) 123-130. Hazira W, Mohammmad, Azran M, Ahmad Z. 2011. Bending strength properties of glued laminated timber from selected Malaysian hardwood timber. IJCEE (11) 4: 7-12.
30 Herawati E, Massijaya MY, dan Nugroho N. 2008. Karakteristik balok laminasi dari kayu mangium (Acacia Mangium Willd.). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 1-8 . Hermawan D, Hadi YS, Fajriani E, Massijaya M, Hadjib N. 2012. Resistance of particleboards made from fast-growing wood species to subterranean termite attack. Insects 2012, 3, 532-537.doi:10.3390/insects3020532. Hunt GM, Garrat GA. 1986. Pengawetan Kayu. Akademi Pressindo. Jakarta. JIS K 1571. 2004. Wood Preservatives Performance Requirements and Their Test Methods for Determining Effectiveness. Japan : Tokyo. Komariah RN, Hadi YS, Massijaya MY, Suryana J. 2015. Physical-mechanical properties of glued laminated timber made from tropical small-diameter logs grown in indonesia. J. Korean Wood Sci. Technol. 43(2): 156~167.http://dx.doi.org/DOI : 10.5658/WOOD.2015.43.2.156 Kumar A, Verma A, Kumar A. 2013. Accidental human poisoning with a neonicotinoid insecticide, imidacloprid: a rare case report from rural india with a brief review of literature. Egyptian Journal of Forensic Sciences (3) 123–126. Majid AH, Ahmad AH, Rashid MZA, Rawi CSM. 2007. Preliminary field efficacy of imidacloprid on Globitermes sulphureus (Isoptera: Termitidae) (Subterranean Termite) In Penang. Jurnal Biosains : 18(2) 109–114. Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 1981. Atlas kayu Indonesia; jilid I. Jakarta: Departemen Kehutanan. Massijaya MY. 2014. Final Report National Medium-Term Development plan (RPJMN) for forestry sector 2015 – 2019. Prepared for Planning BureauMinistry of forestry Republic of Indonesia. Sponsored by Deutsche Gesselschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH. January. 2014. Massijaya MY, Hadi YS, Hermawan D, Hadjib N. 2011. Project Completion Report: Activity 2.1.4 Evaluation of the Appropriate Properties of Products Manufactured from Small Diameter Logs in Indonesia. Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. Bogor: IPB Press Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor: IPB Press Moody RC, Hernandez R, Liu JY. 1999. Glued Structural Timbers. In: Wood Handbook-Wood as an Engineering Material. USDA Forest Service, Forest Products Laboratory, Madison, WI (US). Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap. Jakarta. Indonesia. Nurhayati T, Roliadi H, Bermawie N. 2005. Production of mangium (Acacia mangium) wood vinegar and its utilization. Journal of Forestry Research (2) 1: 13 – 25. Ong S, Ayoko GA, Kokot S, Morawska L. 2007. Polycyclic aromatic hydrocarbons in house dust samples: source identification and apportionment. In: Proceedings of the 14th international IUAPPA world congress, Brisbane, Australia. Oramahi HA, Diba F, Nurhaida. 2014. New bio preservatives from lignocelluloses biomass bio-oil for anti termites Coptotermes curvignathus Holmgren. Procedia Environmental Science (20) 778–784.
31 Pandit IKN, KurniawanD. 2008. Struktur Kayu: Sifat Kayu sebagai Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pari G, Hendra D, Pasaribu RA. 2006. Effect of activation time and concentration of phosphoric acid on the quality of activated charcoal from the bark of Acacia mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(1): 33-46. Pari G. 2004. Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai adsorben emisi formaldehida kayu lapis [Disertasi Program Doktor]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Richardson BA. 1993. Wood Preservation. E & FN Spon. London. Rohaeti E. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Salih. 2012. Fourier Transform - Materials Analysis.University Campus SteP. Croatia. Santoso A, Jasni. 2003. The LRF glue line durability of manii laminated wood againts dry wood termite. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (1), No 1. Sprince. 1974. Protection against acetaldehyde toxicity in the rat by l-cysteine, thiamin and l-2-methylthiazolidine-4-carboxylic acid. Agents and Actions vol. 4:2. Sulistyawati I, Hadi YS, Suryokusumo S, Nugroho N. 2008. Kekakuan dan kekuatan lentur maksimum balok glulam dan utuh kayu akasia. Jurnal Teoritis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil. (15) 3: 113-122. Sunqvis B. 2004. Colour change and acid formation in wood during heating. Doctoral thesis. Lulea University of Technology. Sweden. Surjokusumo S, Nugroho N, Priyono J, Suroso A. 2003. Buku Petunjuk Penggunaan Mesin Pemilah Kayu Panter Versi Panter MPK-5. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan,Institut Pertanian Bogor. Yunianti DA. 2012. Karakteristik struktur nano dinding sel dan kaitannya dengan sifat-sifat kayu (Studi Kasus Kayu Jati Klon Umur 7 Tahun). [Disertasi Program Doktor]. Bogor. Institut pertanian Bogor.
32
LAMPIRAN Lampiran 2 Perubahan senyawa pada kayu setelah diasapi Kelompok senyawa phenol phenol asam aldehid keton benzene Senyawa lain Senyawa lain Senyawa lain
phenol phenol aldehid keton keton keton keton Senyawa lain
phenol phenol phenol asam aldehid keton keton keton keton keton
Nama senyawa sengon Phenol,2,6-dimethoxy-(CAS)2,6-Dimethoxyphenol Phenol,2-methoxy-(CAS)Guaiacol Aceticacid(CAS)Ethylicacid Pentanal(CAS)n-Pentanal 2-Propanone,1-hydroxy-(CAS)Acetol Benzene,1,2,3-trimethoxy-5-methyl-(CAS)Toluene,3,4,5trimethoxy2,4(3H,5H)-Furandione,3-methyl-(CAS).ALPHA.METHYLTETRONICACID Oxirane,2-butyl-3-methyl-(CAS)2,3-Epoxyheptane 2-Cyclopenten-1-one,2-hydroxy-3-methyl-(CAS)Corylon manii Phenol,2,6-dimethoxy-(CAS)2,6-Dimethoxyphenol Phenol,2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)-(CAS)4-Allyl-2,6dimethoxyphenol 3-(3',5'-dimethoxy-4'-hydroxyphenyl)-E-2-propenal 2-Propanone,1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-(CAS)1-(4HYDROXY-3-METHOXY 2-Propanone,1-hydroxy-(CAS)Acetol Ethanone,1-(4-hydroxy-3,5-dimethoxyphenyl)(CAS)Acetosyringone 3-Methoxyacetophenone butan-3-enoicacidmethylester mangium Phenol,4-ethyl-2-methoxy-(CAS)p-Ethylguaiacol Phenol,2,6-dimethoxy-(CAS)2,6-Dimethoxyphenol Phenol,2-methoxy-(CAS)Guaiacol Aceticacid(CAS)Ethylicacid Pentanal(CAS)n-Pentanal Ethanone,1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)(CAS)Acetovanillone 2-Ethyl-3-methoxy-2-cyclopentenone Cyclohexanone(CAS)Anon 2-Propanone,1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-(CAS)1-(4hydroxy-3-methoxy 2-Hexanone(CAS)Hexan-2-one
sebelum
sesudah
5,53 3,68 11,68 5,6 6,34 1,35
4,89 2,8 6,52 3 4,19 1,65
0,84
0,67
0,87 1,23
2,07 1,1
11,7 17,67
4,03 9,9
1,48 0,89
0,8 5,91
1,21 2,51
1,82 2,09
3,65 0,64
2,75 4,65
1,12 6,09 4,8 12,77 4,95 1,85
1,39 6,19 4,47 3,69 5,15 2,82
1,02 2,74 0,72
1,91 3,3 0,9
3,46
3,1
33 keton keton Senyawa lain
3-Methoxyacetophenone 2-Propanone,1-hydroxy-(CAS)Acetol Butan-3-Enoicacidmethylester
4,12 5,45 0,96
3,62 4,38 3,04
34 Lampiran 3 Pola kerusakan pada pengujian SNI
35 Lampiran 4 Sampel setelah diumpankan terhadap rayap tanah (JIS)
36 Lampiran 5 Sampel setelah diumpankan terhadap rayap tanah (SNI)
37
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Mei 1982 di Pemalang, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Danuridin dan Ibu Wasliah. Penulis pernah sekolah di SDN Kebanggan, SMPN I Randudongkal dan lulus SMA di SMAN 1 Pemalang pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB dan lulus pada tahun 2006. Pendidikan kemudian dilanjutkan ke program Magister Manajemen di Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2010 dan lulus pada tahun 2012.