KARAKTERISTIK BALOK LAMINAS1 DARI KAYU CEPAT TUMBUH BERDIAMETER KECIL
EVALINA HERAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESJS DA N SUMBER INPORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Cepat Tumbuh Berdiameter Kecil adalah karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbltkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkq dalam teks dan dicantumkan dalarrh Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
Evalina Herawati
NIM E05 1050091
EVALINA HERAWATI. Karakteristik Balok 1,aminasi dari Kayu Cepat Tumbuh Berdiameter Kecil. Dibimbing oleh MUH. YUSRAEd MASSIJAYA dan NARESWORO NUGROHO. Penggunaan kayu untuk keperluan struktural membutuhkan dimensi yang cukup besar dan bentailg yang panjang dan persyarat~mtertentu menyangkut kekuatannya. Di lain pihak, kayu yang banyak tersedia saat ini adalah kayu dari hutan tanaman dari jenis-jenis cepat tumbuh berdiameter kecil d m umumnya memiliki sifat yang inferior seperti kandungan cacat, keawetan alami dan kekuatannya dibandingkan dengan kayu dari hutan alam. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan kayu dengan dimensi yang diinginkan adalah g digunakan sebagai dengan teknik laminasi. Salah satu produk laminasi y ~ biasa bahan struktural adalah balok laminasi. Penelitian ini bertujuan mendesain balok larninasi dari kayu cepat tumbuh berdiameter kecil yaitu kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.) dan kayu akasia (Acacia malzgium Willd.) dengan pola penyusunan lamina pada penanlp~ang lintangnya dan menentukan karakteristik balok laminasi tersebut. Ukuran lebar lamina yang digunakan dalam pembuatan balok laminasi ini aclalah 2,4,6, 8 dan 12 cm dengan tebal 2 cm dan panjang 260 cm. Setiap lamina dipilah dengan menggunakan Mesin Pemilah Kayu (MPK) Panter untuk menentukan modulus elastisitasnya (MOE). Ukuran penampang lima tipe balok laminasi (A, B, C, D dan E) yang dibuat adalah 6 cm x 12 cm yang tersusun dari beberapa ukuran lebar dan berdasarkan MOE-nya. Perekat yang dipakai adalah water basedpolymer isocyanate (WBPI) dengan berat labur 280 g/m2untuk kedua pennukaannya. Standar pengujian mengacu pada JAS 234:2003. Nilai rataan MOE lamina kayu afrika dengan peng~tjianmenggunakan MPK Panter diperoleh sebesar 6,73 x lo4-8,24 x lo4 kg/cm2 sementara untuk lamina kayu akasia scbesar 7,80 x 10'-8,41 x 10"g/cm2. Sementara dari pengujian balok laminasinya diperoleh nilai rataan MOE balok laminasi afika sebesar 6,19 x 1(I4-7,6 1 x 1o4 kdcm2 dan 7,82 x I 04- 8,54 x 10' kg/cm2 untuk balok laminasi akasia pada posisi baring (fi'alwise). Untuk posisi tegak (edgewise), rataan MOE balok laminasi afrika adalah 4,13 x lo4-5,08 x 1o4 kg/cm2 dan sebesar 4,773 x 104- 5,68 x 1o4 kg/cm2 pada balok laminasi akasia. Kisaran nilai rataan MOE yang diperoleh dengan menggunakan UTM Baldwin adalah sebesar 7,30 x 10~-10,89 x 10hkg/crn2 untuk balok laminasi afrika dan urituk balok laminasi akasia 8,41 x 134-1 3,67 x lo4 kg/cm2. Sementara itu. nilai rataan MOR balok laminasi yang dihasilkan adalah sebesar 31 1-468 kg/crn2 untuk balok laminasi afrika dan untuk balc k laminasi akasia sebesar 5 16-687 kg/cm2. Berdasarkan nilai tersebut maka n i l ~ MOE i dm MOR balok lsminasi ltedua jenis kayu (kecuali MOE balok laminasi tipe B dari kayu afrika) telah memenuhi standar JAS 234:2003. Kadar air, keteguhan rekat dan delaminasi air dingin balok laminasi kedua jenis kayu telah memenuhi standar JAS 234:2003 sementara pacia uji delan~inasi air mendidih tidak ada satu balok laminasi pun yang memenuhi standar. Unt'uk persentme krrusakan kayu pada penpujian keteguhan rekat, hanya balok laminasi
afrika yang memenuhi standar. Hasil ini rnenunjukkan bahwa kayu afrika yang digunakan dalam penelitian ini memiliki keterekatan yang lebih baik dengan perekat yang dipakai dibandingkan dengan kayu akasia. Balok laminasi akasia memiliki kekakuan dan kekcatan lentur yang lebih tinggi dibandingkan dengan balok laminasi afrika dilihat dari nilai rataan MOE dan MOR-nya. Nilai MOE balok laminasi dipengaruhi oleh jenis kayu dan tipe balok sementara untuk nilai MOR selain dipengaruhi kedua faktor tersebut, interaksi keduanya juga berpengaruh nyata. Pola kerusakan balok laminasi umumnya terlihat pada zona tarik dan bagian tengah balok laminasi dengan beberapa tipe kerusakan. Seca~amum, balok laminasi men~ilikisifat-sifat yang lebih baik dibandingkan dengan balok utuhnya berdasarkan hasil pengujian yang diperoleh.
ABSTRACT EVALINA HERAWATI. The Characteristics of Glued-Laminated Beams Made from Small Diameter Fast Growing Species. Under the direction of MUH. YUSRAM MXSSIJAYA and NARESWORO NUGROHO. There are many products can be made using timber from small diameter fast growing species, one of them is glued-laminated (glulam) beams. Glulam beams is one of the engineered wood products used for structural applications. This research objective is to evaluate the characteristics of glulam beams made from small diameter fast growing species (Illaesopsis eminii Engl. and Acacia mangium Willd.). Laminations were used consist of 2,4,6, 8 and 12 cm in widthnesses, 2 cm in thickless and 260 cm in length. Each lamination was graded using Machine Stress Grading (namely by Panter or plank sorter) to determine its modulus of elasticity (MOE). Cross-section of five types of glulam beams is 6 cm x 12 cm were arranged of various widths and based on MOE of laminations. Glulam beams were bonded by water based polymer isocyunate (WBPI) using 280 @m2 double glue spread. The research results showed that glulam beams made from A. mangium Willd. showed better performance compared to those of'M. eminii Engl. based on its average value of MOE and modulus of rupture (MOR). In general, results showed that almost all of glulam types of both wood species fulfill the JAS 234:2003 standard in moisture content, MOE, MOR, shear strength and immersion delamination test. However, performance of glulam was unsatisfactory in boiling water soak delamination test. Keywords: Glulam beam, MOE, MOR, shear strength, delamination
O Hak cipta milik TPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang I . Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkai~sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan peadidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan. penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yarlg wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyac sebagian atau seluruh karya tulis dalarn bentuk apapun tanpa ieizin IPB
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Te~nayang dipilih dalanl penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2006 hingga Juli 2007 ini adalah balok laminasi dengan judul Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Cepat Tumbuh Berdiameter Kecil. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. 1r. Muh. Yusram Massijaya, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S. selaku pembimbing atas arahan, bimbingan dan saran yang diberikan. Bapak Ir. Sucahyo Sadiyo, M.S dan Bapak Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc. atas saran-saran yang diberikan bagi perbaikan tesis ini. Terima kasih kepada seluruh staf laboratorium keteknikan kayu (Pak Amin Suroso d m Mhd. Irfan) dan laboratorium kayu solid (Pak Suhada, Pak Kadiman, Pak Adang, Mbak Esti dan Lastri) serta Pak Supriatin dan Pak Abdullah atas bantuan dan kerja samanya selama penelitian berlangsung. Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepa6a Dikti atas beasiswa pendidikan, Yayasan Fuji Xerox Asia Pasific-Astra Graphia dan Rektor Universitas Sumatera Utara atas bantuan dana penelitian yang diberikan. Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc., Dekan Fakultas Pertanian USU, dan Ketua Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU atas reko~nendasiyang diberikan untuk melanju tkan pendidikan S2. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Effendi Tri Bachtiar, S.Hut. dan rekan-rekm IPK atas masukan dan bantuan yang diberikan. Terakhir, ungkapan terima kasih yang dalam kepada orangtua dan seluruh keluarga atas segala doa, dorongan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2007 Evalina Herawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padangsidempuan pada tanggal 27 Juni 1977 dari ayah Drs. Abdul Muluk Harahap dan ibu I-Ij. Nurintan. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Padangsidempuan d m pada tahun yang sarna lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2005 dengan sponsor BPPS. Penulis bckerja sebagai staf pengajar di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2003 ~ar.lpaidengan sekarang. Selama mengikuti program S2, penulis menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. Karya ilmiah berjudul Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Afiika (Maesopsis eminii Engl.) Berdiameter Kecil telah disajikan pada Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) X di Universitas Tanjungpura Pontianak pada tanggal 9-1 1 Agustus 2007.
DAFTAR IS1 Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPlRAN ...................................................................................
xiv
PENDAHULU AN Latar Relakang ......................................................................................... PenunusanMasalah ..........................................................................;...... Tujuan Penelitian ..................................................................................... .. Hipo tesis Penelitian ...................................................................................
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Balok Laminasi Definisi ............................................................................................ Sejarah dan Perkembangan .............................................................. Kelebihan dan Kekurangan .............................................................. Penggunaan ...................................................................................... Proses Produksi ................................................................................ Beberapa Perekat Balok Laminasi ............................................................ Perekat Isosianat ........................................................................................ Garnbar'm Umum Jenis Kayu Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) ............................................ Kayu Akasia (Acacia mangium Willd.) ........................................... BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu .................................................................................... Bahan dan Alat .......................................................................................... Metode Penelitian Pembuatan Balok Larninasi ............................................................ .. . . PeA1gujianBalok Laminas1............................................................... Desain Penelitian dan Analisis Data ................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilahan dan Penyusunan Lamina .......................................................... Karakteristik Balok Laminasi KadarAir ......................................................................................... Modulus Elastisitas Panter (MOEP) ................................................ Modulus Elastisitas Baldwin (MOEB) ............................................ Modulus Patah (MOR) .................................................................... Keteguhan Rekat .............................................................................. Delaminasi ...................................................................................... Pola Kerusakan Balok Laminasi ...................................................... KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...............................................................................................
17 17 17 20 24 25
31 33 36 39 42 46 47 59
Saran .........................................................................................................
60
DAFTAR PUS'TAKA .....................................................................................
61
LAMPIRAN ....................................................................................................
66
DAFTAR TABEL Halaman 1
2 3
MOE clan jumlah setiap kelompok lamina pada masing-masing ukuran lebar ......................................... ...............................................
25
Rekapitulasi nilai MOE Panter (MOEP) dan MOE Baldwin (MOEB) serta perbandingan MOEP-Baring dengan MOEB (x 1o4kg/cm2)...........
38
Rataan persentase kerusakan kayu pada pengujian balok laminasi afiika dan akasia.......................................................................................
42
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Mesin Pemilah Kayu (MPK) F'anter dan pengujian lamina ......................
2
Susunan lamina berdasarkan ukuran lebar dan MOE pa.da penampang balok laminasi ...........................................................................................
19
20 21
3
Balok laminasi dari (a) kayu afrika dan (b) akasia....................................
4
Pola pembebanan pada pengujian MOE dan MOR ..................................
5
Pengujian MOE dan MOR dengan menggunakan UTNl Baldwin............
22 22
6
Contoh uji ur~tukpengujian keteguhan rekat ............................................
23
7
Komposisi MOE (x lo4 kg/cm2) lamina-lamina penyusun balok laminasi tipe A dari kayu afrika (a) dan akasia (b) .................................................. 27
8
Komposisi MOE (x lo4 kg/cm2) lamina-lamina penyusun balok laminasi tipe B dari kayu afrika (a) dan akasia (b) .................................................. 28
9
Komposisi MOE (x 10' kg/cm2) lamina-lamina penyisun balok laminasi tipe C dari kayu afrika (a) dan akasia (b) ..................................................
29
10 Kornposisi MOE (x 1o4kg/crn2) lamina-lamina penyusun balok laminasi tipe D dari kayu afrika (a) dan akasia (b) .................................................. 29 1 1 Komposisi MOE (x 10' kg/cm2) lamina-lamina penyusun balok laminasi tipe E dari kayu afrika (a) dan akasia (b) ..................................................
30
12 Kadar air (%) pada berbagai tipe balok laminasi ...................................... 32 13 Modulus Elastisitas hasil pengujian MPK Panter posisi baring pada berbagai tipe balok laminasi ............................................................. 14 Modulus Elastisitas hasil pengujian MPK Panter posisi tegak
pada berbagai tipe balok laminasi .............................................................
15 Modulus Elastisitas Baldwin pada berbagai tipe balolc larninasi .............. 16 Modulus Patah pada berbagai tipe balok laminasi .................................... 17 Keteguhan rekat pada berbagai tipe balok laminasi.................................. 18 Kerusakan contoh uji keteguhan rekat balok laminasi (a) afrika dan (b) akasia ..................................................................................................
19 Rasio delaminasi air dingin (%) pada berbagai tipe balok laminasi .........
20 Rasio del'minasi air mendidih (%) pada berbagai tipe balok larninasi .... 21 Pola kerusakan balok laminasi kayu afiika tipe A ....................................
48
22 Pola kerusakan balok larninasi kayu akasia tipe A ...................................
49
Halaman 23 Pola kerusakan balok iaminasi kayu afrika tipe R ....................................
50
24 Pola kerusakan balok laminasi kayu akasia tipe B ....................................
50
25 Pola kerusakan balok laminasi kayu afrika tipe C ....................................
51
26 Pola kerusakan baloEr laminasi kayu akasia tipe C....................................
52
27 Pola kerusakan balok laminasi kayu afrika tipe D ....................................
53
28 Pola kerusakan balok laminasi kayu akasia tipe D ...................................
53
....................................
54
30 Pola kerusakan balok laminasi kayu akasia tipe E ...................................
55
3 1 Pola kerusakan balok utuh kayu afiika .....................................................
56
32 Pola kerusakan balok utuh kayu akasia................................................
56
33 Contoh kerusakan balok laminasi pada bagian bawah dan tengah yang memiliki mata kayu ..........................................................................
58
29 Pola kerusakan balok laminasi kayu afrika tipe E
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Nilai kerapatan (p), Modulus elastisitas Panter (MOEP) dan pengelompokan lamina kayu afrika ..........................................................
67
Nilai kerapatan (p), Modulus elastisitas Panter (MOEP) dan pengelompokan lamina kayu akasia..........................................................
72
Nilai pengujian kadar air (KA), kerapatan (p), modulus elastisitas Pantc,r (MOEP), MOE Baldwin (MOEB) dan modulus patah (MOR) balok lamiilasi kayu afrika .......................................................................
77
Nilai pengujian kadar air (KA), kerapatan (p), modulus elastisitas Panter (MOEP), MOE Baldwin (MOEB) dan modulus patah (MOR) . . balok la~ninas~ kayu akasia......................................................................
78
Nilai pengujian keteguhan rekat, persentase kerusakan, delaminasi air dingin dan delaminasi air meildidih balok laminasi kayu afrika .........
79
Nilai peng~~.jian keteguhan rekat, persentase kerusakan, delaminasi air dingin dan delaminasi air mendidih balok laminasi kayu akasia .........
80
Nilai pengu-iian kadar air (KA). kerspatan (p), keteguhan geser (KG). modulus elastisitas Panter (MOEP). MOE Baldwin (MOEB) dan modulus patah (MOR) balok utuh............................................................. 8 1 Masil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap kadar air .......................................................................
82
I-Iasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap MOE Panter posisi baring ............................................
83
Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap MOE Panter posisi tegak ........................................
84
Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap MOE-Baldwin ..............................................................
85
Masil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap MOR .........................................................................
86
Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap ketebmhan rekat ............................................................
87
Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap persentase kerusakan kayu ...........................................
88
Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu clan tipe balok laminasi terhadap delaminasi air dingin ..................................................
89
Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap delaminasi air mendidih ...............................................
90
PENDAHULUAN Latar Belakang
Eksploitasi yang berlebihan selama beberapa dasawarsa telah menyebabkan kondisi hutan alam rusak parah dan memprihatinkan. Kondisi ini berimplikasi terhadap berkurangnya produksi kayu dari hutan a i m , sehingga ketersediaan kayu berdiameter besar yang berasal dari hutan alam dewasa ini semakin terbatas. Di lain pihak, kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu tersebut, berbagai usaha telah dilakukan diantaranya adalah dengan membangun hutan tanaman. Berdasarkan Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2005, produksi kayu bulat dari hutan tanaman sebesar 13,58 juta m3 sedangkan dari hutan alam sebesar 9,33 juta m3 (Departemen Kehutanan 2006).
Data ini menunjukkan bahwa pemenuha
kebutuhan kayu pada saat ini lebih banyak berasal dari hutan tanaman. Kayu yang berasal dari hutan tanaman pada umurnnya adalah jenis-jenis cepat tumbuh (fist growing species) dengan waktu panen yang lebih singkat dibandingkan dengan waktu panen kayu dari hutan alam. Konsekuensi dari ha1 ini adalah kayu yang dihasilkan umulnnya berdiarneter kecil dengan beberapa sifat yang inferior seperti kandungan cacat dan keawetan alaminya jika dibandingkan dengan kayu dari hutan alam. Peruxxukan kayu yang berasal dari jenis-jenis cepat tumbuh semakin beragam. Meskipun awalnya bukan untuk keperluan struktural namun mengingat produksi kayu dari hutan alam yang biasa digunakan untuk keperluan tersebut semakin terbatas maka jenis-jenis ini pun diharapkan dapat menggantikan perman kayu dari hutan alam. Penggunaan kayu sebagai bahm struktural diantaranya adalah untuk keperluan bahan bangunan rumah atau bangunan lain, pembuatan kuda-kuda, rangka jembatan hingga hanggar pesawat terbang. Untuk berbagai keperluan struktural tersebut dibutuhkan dimensi kayu yang cukup bcsar dcrigari bentang yang panjang. Salah satu cara yang bisa dilakukan uituk mendapatkan kayu dengan dimensi yang diinginkan adalah dengan teknik laminasi.
Salah satu produk laminasi yang biasa cligunakan sebagai bahan
struktural adalah balok laminasi. Balok laminasi pada dasarnya adalah balok yang tersusun dari sejurnlah papan atau kayu gergajian (lamina) dengan arah serat sejajar satu sama lain yang direkat atau diikat oleh perekat, baut atau alat pengikat lainnya berbentuk lurus atau melengkung tergantung pemlukannya (Moody et al. 1999). Selain dimensi, kayu yang digunakan untuk keperluan struktural juga memerlukan persyaratan tertentu menyangkut kekuatannya dalam menahan suatu beban. Dalam pembuatan balok laminasi, penyusunan setiap lapisan (lamina) dapat diatur sedemikian rupa sehingga bisa meningkatkan sifat-sifat kekuatan kayu yang digunakan. Moody dan Hernandez (1997) dan Moody et al. (1999) menyatakan bahwa penggunaan balok laminasi sebagai bahan struktural memiliki kelebihankelebihan dibandingkan dengan balok kayu tanpa laminasi. Beberapa kelebihan balok laminasi adalah dalam ha1 ukuran, bentuk arsitektural, penampang lintang, pengeringan, penggunaan kayu yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Sejalan dengan ha1 tersebut, Senano (2003) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan balok laminasi adald~ meningkatkan sifat-sifat kekuatan dan kekakuan, memberikan pilihan bentuk geometri yang lebih beragam, memungkinkan untuk penyesuaiar~ kualitas laminasi dengan tingkat tegangan yang diinginkan dan meningkatkan akurasi dimensi dan stabilitas bentuk. Berdasarkan arah penyusunan lamina terhadap pembebanan, balok laminasi terbagi atas balok laminasi horizontal dan vertikal (Bodig dan Jayne 1982). Sementara itu, berdaswkan penyusunan tingkat kekakuan laminanya, balok laminasi terbagi atas balok laminasi seimbang (balanced) dan tidak seimbang (unbalanced). Pada balok larninasi seimbang, tingkat kekakuan lamina pada zona
tekan dan tarik sanla, sedangkan pada balok laminasi tidak seimbang, tingkat kekakuan lamina pada zona tarik lebih tinggi dibandingkan dengan lamina pada zona tekan (APA 2003). Berdasarkan jenis-jenis balok laminasi yang disebutkan di atas dan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini mencoba mendesain balok larninasi dengan membuat modifikasi pola penyusunan lamina pada penampang lintangnya. Pola yang dibuat terdiri atas laminasi horizontal
seimbang, vertikal serta kombinasi horizontal dan vertikal dengan tingkat kekakuan yang berbeda pada zona tarik dan tekannya. Selain dalam rangka ~nencarinilai kekuatar~yang tinggi, cara ini juga diharapkan clapat meningkatkan efisiensi penggilnaan kayllr dengan meinanfaatkan stbluruh bagian log, karena lebar lamina yang digunakan ukurannya beragam. Sejalan dengan upaya pemanfaatan kayu cepat turnbuh berdiameter kecil untuk keperluan struktural, maka jenis kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu afrika (Maesop.si.s eminii Engl.) dan kayu akasia (Acacia mangium Willd.) karena tergolong jenis kayu cepat tumbuh. Kayu afi-ika merupakm salah satu jenis yang banyak ditanam di hutan rakyat terutama di wilayah Jawa Barat, sementara kayu akasia merupakan salah satu jenis yang banyak ditanam di Hutan Tanaman Industri (HTI).
Perurnusan Masalah Pembuatan balok laminasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan dimensi yang dimiliki oleh kayu cepat tumbuh berdiameter kecil, tetapi hams diingat bahwa kayu sebagai bahan struktural hams memenuhi persyaratan tertentu menyangkut kekuatannya. Oleh karena ittl pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana mendeszin balok laminasi agar didapatkan nilai kekuatan yang paling tinggi denga~lmen-anfaatkan seluruh bagian log sebagai upaya efisiensi penggunaan kayu dan apakah balok laminasi tersebut memiliki karakteristik yang dapat memenuhi pers~aratankekuatan kayu struktural. Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan
mendesain balok
laminasi dengan
cara
memodifikasi pola penyusunan dan ukuran lamina pada penampang lintangnya agar didapatkan nilai kekuatan yang paling tinggi dcngan memanfaatkan seluruh bagian log dan menentukan karakteristik balok laminasi tersebut sebagai kayu struktural.
Hipotesis Penelitian Desain balok laminasi dengan modifikasi pola penyusunan dan ukuran lamina pada penampang lintangnya dapat memenuhi persyaratan kekuatan kayu struktural.
TINJAUAN PUSTAKA Balok Laminasi
Definisi
Balok laminasi atau dikenal sebagai glulam (.g!ued-laminated timber) merupakan salah satu produk kayu rekayasa yang tertua. Balok larninasi terbuat dari dua atau lebih kayu gergajian yang direkat dengan arah serat sejajar satu sama lain, berbent.uk lurus atau lengkung tergantung perur.tukannya (Moody et al. 1999). Serrano (2003) menyatakan bahwa pada dasarnya balok laminasi adalah produk yang dihasilkan dengan menyusun sejumlah papan atau l:*minadi atas satu dengan yang laillnya dan merekatnya sehingga membentuk Fenampang balok yang diinginkan. Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa berdasarkan posisi pembebanan, balok laminasi dibedakan menjadi balok laminasi horizontal dan vertikal. Sed~ngkanberdasarkan penarnpangnya balok laminasi dibagi menjadi balok I, balok 'T, balok I ganda, balok pipa/kotak dan stressed-skin panel. Sementara itu, menurut CWC (2000) bentuk-bentuk ba~loklarninasi (glulam) terdiri atas balok laminasi lurus dan lengkung yang masing-masing memiliki beberapa variasi.
Sejarah dan Perkembangan Balok laminasi pertama kali digunakan di Eropa sebagai konstruksi pad?
auditorium di Basel, Switzerland tahun 1893. Otto Karl Freidrich Hetzer (18461911) memperoleh paten pertama untuk konstruksi ini pada tahun 1901 sehingga dikenal sebagai "Hetzer System".
Aplikasinya pada saat itu masih terbatas
karena perekat yang digunakan tidak tahan air (Rhude 1996; Moody d m Hernandez 1997). Pada tahun 1934, Forest Products Laboratory di Madison, Wisconsin mendiri":an
sebuah bangunan yang menggunakan balok laminasi untuk
konstruksinya. Balok laminasi untuk bangunan tersebut diproduksi oleh sebuah perusahaan di Peshtigo, Wisconsin yang didirikan oleh seorang imigran Jerman
yarlg membawa teknologi tersebut ke Amerika Serikat. Beberapa perusahaan dibangun di akhir tahun 1930-an menggunakan teknologi yang sama untuk membuat balok laminasi untuk keperluan pembangunan gymnasium, aula, pabrik dan gudang (Moody dan Hernandez 1997). Selama Perang Dunia 11, kebutuhan akan elemen struktural yang besar untuk mendirikan bangunan militer seperti gudang dan hanggar pesawat terbang, menambah ketertarikan pada balok laminasi. Perkembangan perekat resin sintesis tahan air memungkinkan penggunaan balok laminasi untuk jembatan dan aplikasi eksterior lainnya. Selanjutnya tahun 1950-an terdapat sedikitnya belasan pabrik balok laminasi di Amerika Serikat (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Pada tahun 1995 kira-kira ada 30 pabrik balok laminasi di seluruh Amerika Serikat dan beberapa di Kanada, yang sebagian besar lrdalah pemegang lisensi dari American Institute Timber Construction (AITC). Selama tahun 1990-an balok laminasi tersebut banyak diekspor ke Jepang (Rhude 1996; Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Sementara itu, pemakaian balok larninasi di Indonesia belum banyak berkembang karena memerlukan biaya investasi tinggi sehingga menyebabkan harga produk laminasi lebih mahal dari kayu gergajian konvensional (Abdurachrnan dan Hadjib 2005). Pemakaiannya antara lain pada bangunan Aula Barat dan Timur Institut Teknologi Bandung dengan bentuk parabola yang terbuat dari laminasi mekanis kayu jati yang dibangun pada tahurl 1920-an (Siddiq 1989). Sedangkan di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, penggunaan balok laminasi sudah sangat beragam, dari balok penyangga p d a rangka rumah sampai elemen struldur pada bangunan non perumahan (Lam dan Prion 2003). Kelebihan dan Kekurangan
Moody dan Hernandez (1997) serta Moody et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa kelebihan balok laminasi dibandingkan d e ~ g a nkayu gergajian serta bahan struktural lain adalah dalam ha1 ukuran, bentuk arsitektural, pengeringan, penampang lintang (cross section), efisiensi dan rarnah lingkungan.
Sementara itu Serrano (2003) menyatakan dengan ringkas bahwa keuntungan yenggunaan balok laminasi adalah meningk~tkansifat-sifat kekuatan dan
kekakuan,
memberikan pilihan
bentuk
geo~netri lebih
beragam,
memungkinkan untuk penyesuaian kualitas laminasi dengan tingkat tegangan yang diinginkan dan meningkatkan akurasi dimensi dan stabilitas bentuk. Sedangkan CWC (2000) menyatakan bahwa laminasi adalah cara yang efektif dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi elemen struktural yang besar dalam berbagai bentuk dan ukuran. Di samping kelebihan yang disebutkan di atas, balok laminasi juga memiliki beberapa kekurangan.
Jika kayu solid tersedia dalam ukuran yang
diperlukm maka proses tambahan dalam pembuatar balok laminasi akan meningkatkan biaya produksinya melebihi kayu gergajian.
Pembuatan balok
laminasi memerlukan peralatan khusus, perekat, fasilitas pabrik dan keahlian dalam pembuatannya, dibandingkan bila memproduksi kayu gergajian. Semua tahap dalarn proses pembuatan memerlukan perhatian rmtuk menjamin produk akhir yang berkualitas tinggi. Faktor yang hams dipertimbangkan di awal dalam desain balok laminasi berukuran besar, lurus atau lengkung adalah penanganan dan pengapalan (Moody et al. 1999).
Balok laminasi merupakan produk struktural yang 'diguna :an untuk rangka, balok, kolom dan kuda-kuda (CWC 2000). Moody dan 1Iernandez (1997) menyatakan bahwa meskipun penggunaan utama balok laminasi adalah pada sistem atap dari bangunan-bangunan komersial, balok laminasi juga semakin digunakan pada sistem atap dan lantai rurnah. Berbagai penggunaannya pada: 1. Bangunan-.bangunan komersial dan rumah; sebagai balok persegi, balok bubungan dm1 lengkung, kuda-kuda, balok untuk konstruksi rumah, bangunan kayu bertingkat, lengkungan, kubah dan tiang konstruk:si.
2. Jembatan; untuk bagian-bagian dari struktur bagian atas seperti balok penopang dan decking.
3. Penggunaan struktur lain; untuk tower transmisi listrik, tonggak listrik dan penggunaan lain untuk memenuhi persyaratan ukuran dan b:ntuk yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvensional.
Proses Produksi Moody dan Hernandez (1997) dan Moody et ul. ( 1 999) menyatakan bahwa pembuatan balok laminasi hams mengikuti standar nasional yang diakui untuk membuktikan kebenaran nilai desain rekayasa yang diteiltukan. Balok laminasi yang dibuat dengan benar akan menunjukkan ke~eimbang~m antara kualitas kayu dan ikatan perekat dalam kinerja struktural. Proses pembuatan balok laminasi terdiri atas: pembuatan lamina, pengeringan dan pemilahan, penyambungan ujung lamina, perekatan permukaan, dan penyelesaian akhir (fznishing) dan pabrikasi.
Jika balok laminasi akan
digunakan pada kondisi lingkungan dengan kadar air tinggi maka perlu diberi perlakuan pengawetan. Tahap akhir yang penting dalan menjamin mutu balok laminasi adalah perlindungan selama pemindahan dan penyimpanan (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999).
Pembuatan Lamina. Kayu yang akan digunakan ~ n t u kpembuatan lamina dipotong mcnurut ukuran yang telah ditentukan atan standar yang dipakai. Sebagai contoh, ukuran standar tebal lamina adalah 3,8 cm dan 1,9 cm dengan ukuran lebar yang lebih bervariasi (CWC 2000).
Pengeringan dan Pemilahan Lamina. Lamina perlu dikeringkan secara tepat untuk meminimalkan perubahan dimensi dan meningkatkan sifat-sifat strukturalnya. Biasanya dilakukan dengan pengeririgan di dalam dry kiln (Moody
et al. 1 999). Pada umumnya, kadar air maksimum lamina adalah 16% dengan perbedaan tiap lamina maksimurrl 5% berdasarkan standar American National Standards
Institute (ANSI). Kebanyakan pabrik menggunakan lamina dengan kadar air 12% atau sedikit lebih rendah (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Lam dan Prion (2003) menyatakan lamina dikeringkan pad&kadar air dengan kisaran
7-15%.
Sedangkan beberapa penelitian pembc~tan balok laminasi yang
dilakukan, pada umumnya menggunakan lamina dengan kadar air kering udara berkisar antara 8--18% (Sinaga dan Hadjib 1989; Shedlauskas e ' 01. 1996; Yanti 1998; Ginoga 1998; Darmayanti 1998; Rostina 2001; Malik dan Santoso 2005; Abdurachman dan Hadjib 2005). Pemilahan standar yang dipublikasikan oleh asosiasi pemilahan kayu regional menjelaskan karakteristik alami dan cacat-cacat permesinan yang diperbolehkan dalam berbagai mutu kayu.
Standar per-buatan untuk balok
laminasi menjelaskan kombinasi mutu kayu yang penting untuk nilai desain spesifik. Dua tipe pemilahan kayu yang digunakan untuk lamina yaitu pemilahan visual dan penilrian-E (E-rating) (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999).
.Pads proses produksi skala laboratoriurn pemilahan lamina dilakukan dengan menggunakan mesin pemilah kayu (MPK) Panter seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Perangin-angin (2000), Rostina (2001) dan Abdurachman dan Hadjib (2005). Begitu juga dengan penelitian Moody et al. (1993) dan Janowiak et al. (1995) menggunakan pemilahan masinal untuk menentukan kekakuan lamina yang akan dipakai dalam menyusm komposisi balok yang dibuat. Cara ini dapat meningkatkan kekuatan balok laminasi yang dihasilkan.
Lam dan Prion (2003) menyatakan bahwa secara khusus lamina dengan kekakuan yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih baik digunakan pada laminasi bagian luar dalam penyusunan elemen balok untuk memaksimallcan efisiensinya. Sementara itu, dari hasil penelitiannya Hernandez dan Moody (1996) menyatakan bahwa jenis, kelompok jenis dan negara asal kayu memiliki pengaruh yang kccil pada sifat-si fat kckuatan balok laminasi. Penggunaan kualitas mekanis bagian luar scbagai indikator sifat-sifat kekuatan lentur merupakan cara yang efektif untuk mengelompokkan balok laminasi. Penyambungan Ujung Lamina. Untuk membuat balok laminasi dengan
panjang melebihi kayu gergajian yang umumnya tersedia hams dilakukan dengan menyambung ujung lamina sampai panjang yang ditentukan. Sambungan ujung yang umun adalahfinger joint dengan panjang kira-kira 28 mm (1,l in). Bentukbentuk lain dapat digunakan asalkan mzmenuhi persyaratan kckuatan spesifik dan daya tahan (Moody et al. 1999).
Sebelum pembuatan, ujung lamina diperiksa untuk memastikan bahwa tidak ada mata kayu atau hal-ha1 lain yang akan dapat mengurangi kekuatan sambungan. Sarnbungan kemudian dibuat pada kedua ujung lamina dengan rnenggunakan pisau khusus dan selanjutnya diberi perekat. Sambungan pada potongan lamina yang berdekatan dipasangkan dan perekat dimatangkan dengan pemberian tekanan pada kedua ujung lamina. Sebagian besar menggunakan sistem pematangan frekuensi radio kontinyu (continuous radio-frequency curing system) yang menghasilkan panas dengan cepat dan mecgeraskan perekat dalanl beberapa detik (Moody et ul. 1999). Perekatan Permukaan.
Penyusunan lamina c~enjadi elemen dengan
ukuran yang ditentukan merupakan tahap kritis yang lain dalam proses pembuatan balok laminasi. Untuk memperoleh permukaan yang bersih, ~ejajardan dapat direkat, lamina hams diketam pada kedua permukaan lebarnyr sebelum proses perekata~l. Hal h i menjamin susunan akhir akan berbentuk peisegi dan tekanan yang diberikan akan merata. Perekat kemudian dilaburkan dengan menggunakan glue extruder (Moody et al. 1999). Lamina kemudian disusun ke dalam bentuk yaqg ditentukan.
Setelah
perekat mencapai masa tunggu (open assembly time) yang tepat selanjutnya diberikan tekanan. Metode yang paling umum dalam pemberikan tekanan adalah dengan pengempaan (clamping beds). Tekanan diberikan dengan sistem mekanik atau hidrolik. Dengan proses ini, perekat dimatangkan palla suhu ruangan selama 6-24 jam. Beberapa sistem pengempaan automatis yang baru termasuk tekanan hidrolik kontirlyu (continuous hydraulic press) dan pematatangan frekuensi radio
dapat mempersingkat proses perekatan permukaan dari beberapa jam menjadi beberapa menit. Setelah proses perekatan permukaan selesai, perekat diharapkan mencapai 90% atau iebih kekuatan ikatannya. Selama beberapa hari berikutnya, pematangan berlanjut tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Pengenipaan yang dilakukan pada beberapa penelitian u~numnya menggunakan pengempaan dingin dengan besar tekanan yang diberikan 10 kg/cm2 dengan lama waktu pengempaan bervariasi antara 2-24 jam. Dari hasil pene1iti:tn Anshari (2006) tekanan kempa sebesar 0,6 MPa selama 6 jam
menghasilkan kekuatan lentur dan keteguhan rekat yang paling tinggi. Besarnya tekanan kempa dan lama waktu pengempaan antara lain bergantung pada jenis kayu, jenis perekat, dan ketebalan balok laminasi. Penyelesaian Akhir (Finishing) dan Pabrikasi. Setelah balok laminasi
dikeluarkan dari sistem pengempaan, permukaan lebar diketam untuk menghilangkan perekat yang keluar antara lamina yang berdekatan dan untuk meratakan sisi lamina. Sehingga, balok laminasi yang telah selesai sedikit lebih kecil daripada ukuran nominal laminanya. Dua permukaan lainnya dapat diketarn atau diamplas nienggunakan peralatan yang mudah dibawa (portable) (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan adslah pabrikasi, dimana dilakukan pemotongan akhir, pelubangan, penambahan sambungan dan pemberian penutup jika dipersyaratkan. Penutup ujung, penutup permukaan, cat dasar dan pembungkusan dengan kertas tahan air atau plastik membantu untuk menstabilkan kadar air balok laminasi antara waktu pembuatan dan pemasangannya. Tingkat kepentingan perlindungan bergantung pada penggunaan akhir yang ditetapkan (Moody et al. 1999). Beberapa Perekat Balok Laminasi
Perekat yang digunakan dalam pembuatan balok lmninasi hams memenuhi persyaratan untuk pemakaian pada kondisi kering (kadar air < 16%) maupun kondisi basah (kadar air 2 16%) (APA 2003). Vick (1 999) menyatakan bahwa perekat yang dapat digunakan untuk keperluan struktllra?eksterior adalah phenol formaldehyde
(PF),
resorcinol formaldehyde
(RF),
phenol
resorcinol
formaldehyde (PRF), isocyanate dan melamin formaldenyde (MF).
PRF adalafr perekat yang paling umum digunakan dalam pembuatan balok laminasi, namun perekat lain yang telah dievaluasi dan dibuktikan memenuhi persyaratan baik kinerja maupun daya tahannya dayat digunakan (Moody et al. 1999). Sementara itu, dilaporkan semua balok laminasi di Kanada dibuat dengan mengg~makanperekat tahan air (water proof) baik uqtuk penyambungan ujung
maupun perekatan permukaan lamina sehingga sesuai untuk penggunaan interior maupun eksterior (CWC 2000). Perekat PF dipasarkan dalarn tiga bentuk dasar yaitu: cairan, serbuk atau film. Sementara, perekat RF dibuat dalam bentuk cairan. Kedua perekat ini sama-
sama memiliki garis rekat berwarna merah gelap. PF matang dalam kempa panas pada suhu 120-150°C,
sedangkan RF bisa matang p:.da suhu ruangan. Kedua
perekat ini nlemiliki kekuatan basah dan kering yang tinggi, sangat tahan terhadap air dan udara lembab serta lebih tahan dibandi~igkankayu terhadap suhu tinggi (Marra 1992; Vick 1999). Resorcinol merupakan bahan kimia yang mahal dan hanya diproduksi di
beberapa negara sehingga merupakan faktor penentu dalam biaya perekat RF dan PRF (Pizzi 1994). Dengan kesamaan reaksi kimia, dimungkinkan penggabungan sifat-sifit resin phenol dan resorcinol untuk mengtasilkan resorcinol yang berbiaya rendah atau phenol yang lebih cepat matang. Hasilnya, perekat PRF yang mempunyai biaya yang lebih rendah karena berbasis phenol dan matang pada suhu ruangan karena gugus ujung resorcinol (Marra 1992). Beberapa penelitian melaporkan penggunaan poli ~rinilasetat (PVA) pada balok laminasi non stnlktural untuk keperluan interior (Sinaga dan Hadjib 1989; Wardhani 1999; Anshari 2006). Untuk keperluan semistniktural eksterior terbatas dilaporkan penggunaan polyurethane (Wijaya 200 1). Sedangkan untuk keperluan struktural eksterior, jenis-jenis perekat yang dilaporkan dalam bcberapa penelitian adalah perekat PF (Darmayanti 1998; Yanti 1998; Perangin-angin 2000), PRF (Karnasudirdja 1989; Wong et al. 2002; Hadi et ul. 2005; /\bdurachman dan Hadjib 2005), dan MF (Moody et al. 1993). Untuk keperluan ;truktural ekterior terbatas, dilaporkan penelitian menggunakan epoxy (Rostina 2001; Imron 2005; Anshari 2006) dan melamine ureaformaldehyde (MUF) (Aniwila 1993). Perekat lain juga terus dikembangkan seperti dilaporkan dalarn penelitian Malik dan Santoso (2005) dengan menggunakan perekat lignin resorcinol formaldehyde ('>RF) dan tannin resorcinol formaldehyde (TRF), walaupun
hasilnya belurn setara dengan perekat PRF. Berat labur yang digunakan dalarn beberapa penelitian bervariasi, pada umumnya berkisar antara 170-470 g/tn2
dengan pelaburan pada satu permukaan (single spread) atau dua permukaan (double spread). Perekat Isosianat Perekat isosianat didasarkan pada reaktivitas radikal iso: ianat (-N=C=O) yang tine gi. Penggabungan dengan polaritas yang kuat membuat senyawa yang mengandung radikal ini tidak hanya memiliki potensi adhesi yang baik tetapi juga potensial untuk membentuk ikatan kovalen dengan bahan yang memiliki hidrogen reaktif (Marra 1992). Selanjutnya Vick (1999) menyatakan bahwa di isosianat adalah bahan kimia ymg sangat reaktif yang membentuk polimer dengan cepat jika berhubungan dengan basa kuat, asam mineral dan air.
Perekat polymeric
methylene diphenyl diisocyanate (PMDI) membentuk ikatm yang kuat dan tahan dengan kayu, sehingga saat ini banyak digunakan dalam pembuatan produkproduk kayu komposit. Perekat isosianat yang paling umum digunakan karena volatilitasnya rendah adalah diphenylmethane diisocyanate (MDI) (Marra 1992).
Sementara itu,
Pizzi (1994) menyatakan bahwa diisosianat digunakan secara luas untuk memproduksi papan partikel eksterior. Keuntungan perekat ini antara lain adalah: lebih sedikit jumlah yang dibutuhkan dalam memproduksi sifat-sifat papan yang sama, dapat digunakan suhu pengempaan yang lebih rendah, siklus pengempaan lebih cepat, lebih toleran terhadap kadar air flakes, energi pengeringan yang dibutuhkan lebih sedikit dan tidak admya emisi formaldehida (Marra 1992). Perekat isosianat yang digunakan untuk balok laminasi berbentuk emulsi cair yang terpisah dengan hardener-nya dan dicampurkan bila akan digunakan. Perekat matang pada suhu kamar, suhu yang lebih tinggi atau pada frekuensi radio dan memerlukan tekanan yang tinggi. Perekat ini memiliki kekuatan basah dan kering yang tinggi, sangat tahan terhadap air dan udara lembab serta sangat tahan terhadap kondisi oasah dan kering yang berulang (Vick 1999).
Gambaran Umum Jenis Kayu Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)
Kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.) termasuk ke dalam famili Rharnnaceae, dikenal dengan beberapa nama lokal seperti pohon payung, musizi, afrika dm manii. Kayu afrika tumbuh alami di Afrika dari Kenya sampai Liberia antara 8"LU dan 6"LS, kebanyakan ditemukan di hutan tinggi dalam ekozona antara hutan dan sabana. Pada sebaran alami, jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai ketinggian 1.800 m dpl. Jenis ini biasanya ditanam di dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600-900 m dpl dengan curah hujan 1.200-3.600 mmltahun dan musim kering sampai 4 bulan. Jenis ini menyukai solurr~tanah dalam dengan drainase baik, namun dapat tumbuh pada solurn tipis asalkan terdapat air cukup (Joker 2002). Pohonnya meranggas dan dapat mencapai tinggi 45 m dengan bebas cabang 213 tinggi total (Joker 2002). Batang benvarna keputihan, lurus dan berbentuk silir~der pada hutan tanaman dan didapati tumbuh condong ke arah cahaya matahiari apabila tumbuh bersama spesies pohon lain. Kayu gubalnya berwarna harnpir putih d m kayu terasnya kekuningan apabila masih basah berubah menjadi coklat keemasan atau coklat tua setelah lama terbuka. Tekstur kayu agak kasar dengan serat bersilang, menghasilkan corak pada perrnukaan papan. Kerapatan kayu pada kadar air 15% sebesar 0,64-0,72 &m3 dari pohon berumur 42 tahun,
sedangkan dari pohon berumur 6 tahun sebesar 0,58-0,64 &m3 (Ani d m Arninah 2006). Kayu afrika ~nerupakan jenis pohon cepat tumbuh dan serba guna.
Kayunya berkekuatan sedang sampai kuat, digunakan untuk konstruksi, kotak dan tiang.
Jenis ini juga banyak ditanam untuk sumber kayu bakar.
Daunnya
digunakan untuk pakan ternak karena kandungan bahan keringnya mencapai 35% dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak. Pulp dari jenis ini sebanding dengan pulp jenis hardwood umurnnya. Pada pola agroforestry ditanam sebagai penaung coklat, kopi, kapulaga dan tell, juga ditanam untuk pengendali erosi (Joker 2002).
Kayu Akasia (Acacia mangium Willd.) Kayu akasia (Acacia mangium Willd.) termasuk dalarn famili Leguminosae, sub-famili Mimosoideae. Secara umum dikenal dengan nama brown salwood, black wattle dan hickory wattle (Australia), manggae hutan, tongke hutan, nak, laj, jerri (Indonesia) dan arr (Papua New Guinea). Sementara itu, di Malaysia dikenal dengan nama mangium dan kayu sofada sedangkan di Thailand dikenal dengan k, a thin tepa (Awang dan I'aylor 1993). Secara umum Acucia mangium Willd. dapat mencapai tinggi 25-35 m dengan bebas cabang melebihi setengah dari total tinggi. Diameternya dapat mencapai lebih dari 60 cm. Pada lahan yang miskin, pohon biasanya lebih kecil, dengan rata-rata tinggi antara 7 dan 10 m. Pohon yang masih muda benvama hijau, kulit kasar dan beralur, berwarna abu-abu atau coklat (Awmg dan Taylor, 1993). Acacia mangium Willd termasuk jenis pohoil cepat tumbuh, tidak memerlukan persyaratan turnbuh yang tinggi dan tidak begitu terpengaruh oleh jenis tanah. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah miskin ham, padang alang-alang, bekas tebangan, tanah erosi, tanah berbatu dan juga tanah aluvial. Jenis ini juga dapat beraclaptasi dengan tanah asam (pH 4,5-6,5) di dataran tropis yang lembab Pada tempat tumbuh yzlg baik, pohon berumur 9 tahun tinggin~a mencapai 23 m, dengan rata-rata riap diameter 2-3 cm/th dan produksi kayunya 41,5 m3/ha. Pada areal yang ditumbuhi alang-alang, umur 13 tahun mencapai tinggi 25 m dengan diameter rata-rata 27 cm serta hasil produksi rata-rata 20 rn3/ha/lahun (Awang d m Taylor 1993; Departemen Kehutanan 1994).
Ciri urnum kayu akasia adalah teras benvarna coklat pucat sarnpai coklat tua dimana batasnya tegas dengan gubal yang benvaina kuning pucat sampai kuning jerami.
Corak kayunya polos atau berjalur-jalur benvarna gelap dan
terang bergantian pada bidang radial, tekstur halus sampai agak kasar dan merata dengan arah serat biasanya lurus dan kadang-kadang berpadu. Permukaan agak mengkilap, kesan raba licin dan agak keras sarnpai keras (Mandang dan Pandit 1997). Kayu Acacia mangium Willd. memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66),
tergolong ke dalam kelas kuat 11--111 dan kelas awet 111.
Kegunaannya antara lain untuk bahan konstruksi ringar, sampai berat, rangka pintu dan jendela. perabot rumah tangga, lantai, papan dinding, tiang, pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas, selain itu baik juga untuk kayu bakar dan ;3rang (Mandang . d m
Pandit 1997).
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Kayu Solid, Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Yertanian Bogor.
Penelitian berlangsung selama delapan bulan dari bulan
Desember 2006 hingga Juli 2007.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu afrika (Maesopsis
eminii Engl.) yang berasal dari daerah Cibeureum, Bogor dan kayu akasia (Acaciu mangium Willd). yang berasal dari daerah Darmaga dan Jasinga, Bogor dengan perkiraau umur kedua jenis 7 hingga 10 tahun. Perekat qang dipakai adalah Water
Based Polymer isocyanate (WBPI) yang diperoleh dzri PT. Polychemi Asia Pasifik, Jakarta. Alat yang digunakan untuk pembuatan papan dan lamina adalah gergaji mesin, mesin serut dan mesin amplas.
Kilang pengering digunakan untuk
mengeringkan papan. Alat-alat lainnya adalah peralatan untuk aplikasi perekat (wadah plastik, pengaduk dan kape), peralatan untuk pengempaan dingin (klem, besi siku dan plat besi), mesin pemilah kayu (MPK) Panter, universal testing
machine (UTM) Baldwin, oven, water bath, timbangan, moisture meter dan kaliper.
Metode Penelitian Pembuatan Balok Laminasi Pembuatan Papan dan Pengeringan.
Log berdiameter 20-35 cm dengan
panjang berkisar 280 cm dari jenis kayu afrika dan akasia digergaji dengan pola
live sawing menjadi lembaran-lembaran papan dengan ketebalan sekitar 2,6 cm. Papan-papan tersebut kemudian dikeringkan dalarn kilang pengering dengan kondisi suhu dan RH yang diatur sarnpai mencapai kadar air
* 12%.
Setelah itu
papan dikondisikan selama sekitar 7 hari untuk meratakan kadar air di dalanl kayu. Pembuatan Lamina. Papan dipotong ujungnya lalu dibelah rnenjadi lamina
dengan beberapa ukuran lebar seperti yang telah ditentukan.
Pembelahan
dilakukan secara acak sehingga penampang radial dan tangensial tidak menjadi perhatian utama dalam penelitian ini.
Selanjutnya tiap lamina diserut dan
diamplas sarnpai halus. Ukuran lamina yang dibuat serta jurnlahnya untuk kedua jenis kayu adalah: a. 2 cm x 2 cm x 260 cm sebanyak 40 buah b. 2 cm x 4 cm x 260 cm sebanyak 60 buah c. 2 cm x 6 cm x 260 cm sebanyak 120 buah d. 2 cm x 8 cmx 260 cmsebanyak50 buah e. 2 cm x 12 cm x 260 cm sebanyak 30 buah Setiap lamina diukur dimensinya (panjang, lebar dan teba!) dan ditimbang untuk menentukan kerapatannya. Ukuran akhir balok laminasi y~ng dibuat adalah 6 cm x 12 cm x 260 cm. Selain itu, dibuat juga balok utuh berukuran 6 cm x 12
cm x 260 cm dari kedua jenis kayu tersebut sebagai pembanding. Pemilahan Lamina dengan Mesin Pemilah Kayu (MPK) Panter.
Tahap
selanjutnya adalah memilah masing-masing lamina dengan menggunakan MPK Panter (Gambar 1). Prosedurnya adalah sebagai berikut: 1. Kayu yang akan dipilah diletakkan di atas turnpuan. 2. Beban A diletakkan di atas kayu tepat di atas jarum penyetam penimbangan. 3. Penyetara peninlbangan kasar dan halus diatur sampai mistar Panter
menunjukkan awal pembacaan (ke angka 2 cm). 4. Beban standar B kemudian ditambahkan dan angka mistar yang terjadi dicatat. 5. Beban diturunkan, kayu dibalik dan dipilah ulang seperti sebelumnya kemudian angka mistar yang terjadi dicatat.
--
-
Gambar 1 Mesin Pemilah Kayu (MPK) Panter dan pengujian lamina.
Berdasarltan pemilahan mekanis dengan MPK Panter diperoleh nilai defleksi dari masing-masing lamina, yang akan digu~~akan untuk menentukan besarnya modulus elastisitas (MOE) tiap lamina. Rumus yang digunakan untuk perhitungannya adalah: pz3 x FK (kglcm2) 4~~bh"
MOE =
Diniana: MOE
: modulus elastisitas (kgkm2)
P
: beban standar (kg)
1
:jarak sangga (cm)
AY
: defleksi yang terjadi akibat beban P (cm)
b
: leba penampang (cm)
h
: tebal penampang (cm)
F:K
: faktor koreksi kalibrasi alat
Nilai MOE yang diperoleh kemudian dikelompokkm menjadi tiga kelompck dengan rentang nilai tertentu dan diberi simbol El, E2 dan E3 dimana El > E2>E3.
Penyusunan Lamina.
Lamina yang telah dikelompokkan berdasarkan nilai
MOE-nya fiisusun menurut
susunan yang telah
ditetapkan.
Prinsip
penyusunannya adalah dengan menempatkan lamina ynng memiliki nilai MOE yang lebih tinggi di bagian luar balok laminasi yang akmi dibuat. Sementara itu, lamina yang memiliki nilai MOE yang lebih rendah diterr~patkandi bagian dalam
balok laminasi. Susunan lamina dalam setiap balok 1arnin:isi seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Susunan lamina berdasarkan ukuran lebar darl MOE pada penampang balok laminasi. Perekatan. Perekat yang digunakan terdiri atas dua komponen (base resin dan
hardener) yang dicampurkan dengan perbandingan 10U:15. Pelaburan perekat pada permukaan lamina dilakukan dengan menggunakan kape. Pelaburan dilakukan pada dua permukaan (double spread) dengan berat labur 280 g/m2. Pengempaan. Pengempaan dilakukan dengan menempatkan lamina yang telah
dilaburi perekat di antara dua besi siku. Plat besi dipasang menempel pada besi siku bagian luar lalu diklem dengan jarak klem + 30 cm selama 2 jam. Pengkondisian.
Selanjutnya balok laminasi dikondisikan selama 1 minggu
sebelum dilakukan pengujian. Sementara itu, untuk balok laminasi tipe C, D dan
E, kembali diserut dan diamplas sebelum direkat dan dikempa lalu dikondisikan selarna I minggu seperti balok tipe A dan B.
Pengujian Balok Laminasi
Balok laminasi dirapikan (dipotong ujungnya dan diserut) kemudian diukur dimensinya dan ditimbang untuk memperoleh nilai kerapatan kering udara (Gambar 3). Selanjutnya diuji dengan MPK Panter untuk mendapatkan nilai MOE bdok 1:uninasi.
(b>
(a)
Gambar 3 Balok laminasi dari (a) kayu afrika dan (b) kayu akasia. Balok larninasi kemudian dipotong untuk penguji4m kadar air, modulus elastisitas, modulus patah (MOR), keteguhan rekat dan delaminasi sesuai Japanese Agricultural Standard for Glued Laminated Timber Notijkation No.
234 tahun 2003 (JPIC 2003). Kadar air. Contoh uji untuk pengukuran kadar air balok laminasi ditimbang'lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 10W2 OC sampai mencapai berat konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:
Kadar air (%) =
Wl- W2 x 100% W2
Dimana: W1
: berat contoh uji sebelum dikeringkan (g)
W2
: berat kering oven (g)
Modulus elastisitas (MOE) dan modulus patah (MOR), Pengujian MOE dilakukan dengan menggunakan UTM Baldwin dengan pola penibebanan seperti terlihat pada Gambar 4. Pengujian MOR merupakan lanjutan dari pengujian MOE, dimana contoh uji diberikan pembebanan sampai mengalami kerusakan
(Garnbar 5). Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap pola kerusakan balok laminasi yang diuji.
Gambar 4 Pola pembebanan pada pengujian M a E dan MOR.
Gambar 5 Pengujian MOE dan MOR dengan meriggunakan UTM Baldwin.
Nilai MOE dan MOR balok laminasi dihitung berdasarkan rumus:
MOE =
AP(I - s)(212 + 21s - s2) 8h h 3 ~ y
MOR =
3Ph ( I - S )
2 b h2
Dimana: AP
: perbedaan beban pada batas atas dan bawah (kg)
Pb
: beban maksimum pada saat kayu rusak (kg)
1
:jar& sangga (cm)
S
:jarak antara dua titik pembebanan (cm)
Ay b
: defleksi yang terjadi akibat beban P (cm)
h
: tebal contoh uji (cm)
: lebar contoh uji (cm)
Keteguhan rekat. Pengujian keteguhan rekat dilakukan dengan cara memberikan
pembebanan yang diletakkan pada arah sejajar serat dengan meletakkan contoh uji secara vertikal (Gambar 6).
Nilai beban maksimurn dibaca saat contoh uji
mengalami kerusakan. ...."' 5 mm
Garis rekat Gatnbar 6 Contoh uji untuk pengujian keteg~hanrekat. Keteguhan rekat dihitung dengan menggunakan rumus:
Keteguhan rekat (kg l cm ) =
Beban maksimum (kg) Luas area yang direkat ( c m 2 )
Delaminasi. Uji delaminasi dilakukan dengan dua cara yaitu perendaman dalam
air dingin dan air mendidih. Contoh uji dipotong dari bagian ujung balok laminasi dengan panjang 75 mm.
Perendaman dalam air dingin dilakukan dengan
merendam contoh uji dalam air pada suhu ruangan selama 6 jam. Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 40
3 OC selama 18 jam. Perendaman dalam
air mendidih dilakukan dengan merebus contoh uji dalam air mendidih (h 100 OC)
selama 4 jam kemudian dilanjutkan dengan merendamnya dalam air pada suhu ruangan ~elama1 jam. Setelah itu contoh uji dikeringkan dalam oven pada suhu
70
*3
O C
selama 18jam.
Rasio delaminasi dihitung dengan rurnus: Rasio delaminasi (%)
=
Jumlah ~ a n i a n adelaminasi Dada kedua ujung Jumlah panjang garis rekat pada kedua ujung
00%
Desain Penelitian dan Analisis Data
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial d a l m rancangan acak lengkap (Faktorial RAL).
Rancangan ini
digunakan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor yang dicobakan yaitu jenis kayu (afrika dan akasia) dan tipe balok (A, B, C, D d a l E) serta interaksinya terhadap respon yang diamati. Jurnlah ulangan dalam setiap perlakuan adalah sebanyak lima. Model linier aditif dari rancangan penelitian ini menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah: YUk =
+ ai + pj + (ap)ij + Eijk
Dimana: Yijk
: nilai pengamatan pada faktor jenis kayu taraf ke-i, faktor tipe balok
taraf ke-j dan ulangan ke-k P
: konlponen aditif dari rataan
ai
: pengaruh utama dari jenis kayu
pj
: pengaruh utama dari tipe balok
: kompoi~eninteraksi dari jenis kayu dan tipe balok Eijk
: galat percobaan
Selain itu, nilai rata-rata pengujian yang didapatkan juga dibandingkan dengan nilai yang terdapat pada standar pengujian yang digunakan untuk melihat apakah balok laminasi yang dihasilkan memenuhi standar atau tidak.
HASlL DAN PEMBAHASAN Pernilahan dan Penyusunan Lamha Pemilahan lamina dengan MPK Panter menghasilkan nilai modulus elastisitas (MOE) yang digunakan untuk pengelompokan lamina. Nilai MOE pada setiap ukuran lebar dibagi menjadi tiga kelompok dengan rentang nilai tertentu dan diberi simbol E l , E2 dan E3, dimana El>E2>E3 (Lampiran 1 dan 2). MOE dan jumlah ~nasing-masingkelompok untuk setiap ukuran lebar dapat
dilihat pada 'Tabel 1. Tabel 1 MOE dan jumlah setiap kelompok lamina pada masing-masing ukuran lebar ienis Kayu
A frika
A kasia
--
-
1,ebar lamina (cm) minimal
MOE (x 1o4 kglcm2) maksimal
2 4 6 8 12
4.33 5,34 5,17 6.15 5,34
13.73 10,36 10,75 10.78 7.45
2 4 6 8 12
6.38 5.52 5.28 4.99 4.98
11.21 11,43 14,lO 15,11 10,71
jangkauan
Jumlah
rataan
9.40 7.65 5,02 7,46 5,58 7,37 4.63 8.24 2,11 6,73 -7 4,83 5,91 8,83 10.13 573
7,90 8,04 8,41 8,41 7,80 T:
El
E2
E3
-Z 10 20 10 5 50
10 10 20
5 10 20 10 5
10 10 20 10 5
10 20 5 .- 5
50
55
45
10
5 55
5 10 20 5 5 45
5
Tabel I menunjukkan secara umum nilai rataan MOE kayu akasia untuk semua ukuran lebar lebih tinggi dibandingkan dengan lcayu afrika. Nilai rataan MOE untuk kayu afrika adalah sebesar 6,73 x 1 04-8,24 x 10"kg/cm2 sementara
untuk kayu akasia sebesar 7.80 x 104-8,41 kg/cm2. Nilai Mot ini berhubungan dengan kerapatan kedua jenis kayu, disamping adanya cacat seperti mata kayu dan serat miring.
Rataan kerapatan kayu afrika (0,44) leblh kecil dibandingkan
dengan rataan kerapatan kayu akasia (0,61). Mata kayu dan serat miring lebih banyak terdapat pada kayu afrika. Hasil penelitian Alifianto (2007) menunjukkan
bahwa cacat yang dominan pada kayu afrika adalah serat miring (48,4%) dan mata kayu (40,3%). Selain cacat tersebut, terdapat juga cacat ben~papingul yaitu adanya kulit atau tidak sempurnanya sudut-sudut pada pinggir atau sudut-sudut dari sepotong kayu. Cacat lain yang terdapat pada lamina kedua jenis kayu adalah cacat akibat proses pengeringan karena adanya perbedaan penyusutan antar.1 arah radial dan tangensial serta pengaruh internal stress akibat perbedaan distribusi kadar air di dalam kayu (Tsoumis 1991). Cacat-cacat tersebut diantar anya membusur (bowing), n~elengkung(crooking), mencawan (cupping) dan me nuntir (twisting). Meskipun disebutkan bahwa jenis cacat ini tidak mempengaruhi nilai MOE namun cacat ini menjadi ha1 yang perlu diperhatikan dalam penyusunan lamina karena dapat menyulitkan dalam proses pengempaan. Selanjutnya berdasarkan nilai MOE pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa nilai MOE tidak dipengaruhi oleh ukuran lebar lamina tetapi lebih pada kondisi lamina tenttama adanya cacat mata kayu atau serat miring. Pada lamina kayu afrika ada kecenderungan semakin lebar lamina jangkwan nilai MOE semakin kecil, namun ha1 tersebut tidak terlihat pada lamina kayu akasia, Jangkauan nilai MOE kayu akasia cenderung semakin besar dengan semakin lebarnya lamina sampai ukuran 8 cm kemudian tumn pada lamina ukuran 12 cm. Semakin besar jangkauan nilai MOE menunjukkar~ semakin besar vtuiasi nilai MOE yang digunakan dalam menyusun balok laminasi dan berlaku sebaliknya. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai koefisien variasi yang berkisar antara 8,4% (lamina lebar 12 cm) sampai 30,8% (lamina lebar 2 cm) pada kayu afrika dan 18,8% (lamina lebar 2 dan 4 cm) sampai 30,5% (lamina lebar 8 cm) pada kayu akasia (Lampiran 1 dan 2). Nilai MOE yang bervariasi ini dapat dipahami karena pada penelitian ini tidak dilakukan pembatasan nilai minimal atau maksimal yang digunakan dalam pembuatan balok laminasi. Pemilahan yang dilakukan lebih ditujukan untuk mengelompokkan lamina menjadi kategori tinggi
(El) sedang (E2) dan rendah (E3) sehingga diharapkan semua lamina dapat digunakan. Penyusunan nilai MOE pada setiap balok laminasi diusahakan merata agar diperoleh balok laminasi yang memiliki kekuatan relatif homogen.
Prinsip
penyusunan ini adalah dengan menempatkan lamina yang memiliki nilai MOE yang lebih tinggi di bagian luar balok laminasi yang dibuat.
Sementara itu,
lamina yang memiliki nilai MOE yang lebih rendah ditempatkan di bagian dalam balok laminasi.
Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kekakuan balok
laminasi yang dihasilkan (Bodig & Jayne 1982). Penyusunan lamina dalam pembuatan balok laminasi dengan cara menempatkan lamina yang lebih kuat pada bagian yang mengalami tegangan paling besar (bagian atas dan bawah) dapat memaksimalkan kinerja balok laminasi yang dihasilkan.
Demikian juga dengan menempafkan lamina yang
memiliki MOE yang lebih tinggi sejauh mungkin dari su,nbu netral akan mem~nimalkandefleksi yang terjadi (Hoyle 1978). Selanjutnya Gambar 7-1 1 menyajikan komposisi nilni MOE setiap lamina pada semua tipe balok laminasi kayu afiika dan akasia.
Gambar 7 Komposisi MOE (x 10' kglcm2) lamina-lamina penyusun balok laminasi tipe A dari kayu afrika (a) dan akasia (b).
Garnbar 11 Komposisi MOE (x lo4 kg/cm2) lamina-lamina penyusun balok laminasi tipe E dari kayu afrika (a) dan akasia (b). Balok laminasi tipe A dan B tersusun atas lamina yang memiliki ukuran lebar yang sama. Pada balok laminasi tipe A yang ierdiri atas enam lapisan lamina lebar 6 cm yang disusun secara horizontal, E l ditempatkan pada bagian terluar sebelah atas dan bawah, kemudian E2 ditempatkan disebelah dalam setelah 171 dan pad3 bagian tcngah ditcmpatkan E3. 1,amina yang n~emilikiMOE yang
tinggi ditempatkan pada bagian yang mengalami tegangan maltsimum pada saat balok mengalami lentunn yaitu pada zona tekan (bagian atan,balok) dan zona tarik (bagian bawah balok) dengan komposisi yang seimSang. 3alam Moody dan Heniandez (1997) dinyatakan bahwa penempatan lamina yang memiliki MOE tinggi pada zona tekan dan tarik dengan jumlah yang sama (balanced
combincrtion) dimaksudkan untuk mengoptimalkan I-ekakuan lentur balok laminasi. Sementara itu, pada balok laminasi tipe 0, lamina lebar 12 cm disusun secara vertikal dengan menempatkan El dan E2 pada bagian luar dan E3 di bagian dalam. Untuk balok laminasi tipe C, D dan E dilakukan kombinasi penyusunan lamina secara horizontal dan vertikal. Pada balok laminasi tipe C, bagian atas dan bawah disusun oleh lamina lebar 6 cm, El ditempatkan c'i bagian bawah sementara E2 di bagian atas. Bagian tengah disusun oleh lamina 8 cm secara vertikal dengan E l dan E2 di bagian luar sedangkan E3 di bagiar dalam. Balok laminasi tipe D, pada bagian atas dan bawah disu: un oleh 3 lamina lebar 4 cm secara vertikal. Pada bagian atas terdiri atas E2 yang ditempatkan di sebelah luar dan E3 di sebelah dalam, sementara pada bagian bawah terdiri atas
E l yang ditempatkan di sebelah luar dan E3 di sebelah dalam. Bagian tengah terdiri atas 2 lamina lebar 6 cm kelompok E3 yang disusun secara horizontal. B a l o ~lamhasi tipe E, susunannya hampir sama dengan tipe C, hanya pada bagian dalam lamina lebar 8 cm diganti dengan 4 lamina lebar 2 cm dengan susunan dari atas ke bawah adalah E2, E3, E2 dan El. Pada komposisi penyusunan MOE tipe balok C, 1) dan E, lamina yang ditempatkan pada zona tekan memiliki MOE yang lebih rendah dibandingkan dengan lamina yang ditempatkan pada zona tarik. APA (2003) menyatakan bahwa pada balok tidak seimbang (unbalanced beams) kualitas lamina yang digunakan pada zona tarik lebih tinggi dibandingkan lamina yang digunakan pada zona tekan, dimana ha1 ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya kayu.
Sementara Moody dan Hernandez (1997)
menyatakari bahwa penyusunan seperti ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan kekuatan lentur balok laminasi. Karakteristik Balok Laminasi Kadar Air
Rataan kadar air untuk setiap tipe balok laminasi kayu afrika dan akasia disajikan pada Gambar 12. Kisaran nilai rataan kadar air balok laminasi afrika
adalah 12,4-12,9% dan 12,2-12,8% untuk balok laminasi akasia. Kadar air maksimal yang disyaratkan dalam JAS for Glued Lamirlated Timber No. 234 tahun 2003 adalah 15% sehingga nilai ini telah memenuhi standar tersebut. 1 JAS 234:2003
15
A
B
C
D
E
Tipe Balok Laminasi
Gambar 12 Kadar air (%) pada berbagai tipe t~aloklaminasi.
Hasil analisis statistik (Lampiran 8) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar air kedua jenis kayu. Kadar air balok larninasi D, A dan
B tidak berbeda nyata begitu juga antara tipe C dan E, namun tipe D berbeda nyata dengan tipe C dan E. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kadar air lamina sebelutn direkat. Moody et al. (1999) menyatakan bahwa perbedaan maksimum kadar air tiap lamina adalah sebesar 5%. Jika dilihat dari nilai ra& kadar air setiap tipe balok laminasi maka perbedaan ini sebenarnya tidak terlalu besar, dimana perbedaan nilai tertinggi (12,85% tipe D) d m terendah (12,30% tipe E) adalah sebesar 0,55%. Sehingga secara umum dari kisaran njlai yang diperoleh, kadar air balok laminasi yang dihasilkan pada penelitian ini sudah cukup seragam dilihat dari koefisien variasinya, pada balok laminasi afrika 3,2%
dan 2,9% pada balok laminasi akasia untuk semua tipe. Kadar air balok laminasi ini juga lebih kecil jika dibandingkan dengan kadar air balok utuhnya. Kadar air balok utuh kayu afrika sebesar 13,1% dan kayu akasia sebesar 15%. Pengeringan untuk balok utuh ini memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pengeringan lamina penyusun balok laminasi. Hal ini berhubungan dengan dimensi tebal halok utuh yang besarnya
sekitar tiga kali dimensi tebal lamina. Oleh sebab itu, salah sat^^ keuntungan penggunaan balok laminasi adalah dari segi pengeringan. Kadar air mer~lpakansalah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan kayu. Pada umumnya kekuatan kayu meningkat dengan berkurangnya kadar air di bawah titik jenuh serat. Peningkatan ini terjadi karena adanyb perubahan pada dinding sel yang menjadi semakin kompak.
Unit strukturalnya (mikrofibril)
semakin rapat dan gaya tarik-menarik antara rantai molekul selulosa menjadi lebih kuat (Tsoumis 1991). Kadar air balok laminasi diusahakan seragam sehirigga pada saat pengujian kek~atannya,hasil yang diperoleh tidak lagi dipengaruhi oleh perbedaan kadar air. Dengan kadar air 4 12%, balok laminasi yang dihasilkcn diharapkan lebih stabil terhadap perubahan dimensi akibat penyusutan atau pengembangan. Moody et al.
(1 999) menyatakan bahwa pada umumnya kadar air lamina yang digunakan dalam pembuatan balok laminasi secara komersial adalah 12% atau sedikit di bawahnya. Hal ini karena pada kadar air 12% penyambungan ujung lamina lebih mudah dilakukan darl merupakan kadar air keseimbangan ra~a-ratauntuk kebanyakan aplikasi interior.
Modulus Elastisitas Panter (MOEP) Rataan hasil pengujian MOE dengan menggunakan MPK Panter pada posisi baring Vlahuise) dapat dilihat pada Gambar 13, nilai rataan 4OE untuk balok I
lami qasi afri1.a adalah 6,19 x 104-7,6 1 x lo4 ky/cm2 dari 7,82 x 1 04- 8,54 x lo4 kglcm2 untuk balok laminasi akasia. Sementara untuk posisi tegak (edgewise), rataan MOE untuk balok laminasi afrika adalah 4,13 x 104-5,08 x 1o4 kg/cm2 dan sebesar 4,78 x
10'-
5,68 x I0' kdcm2 untuk balok laminasi akasia (Gambar 14).
Nilai pengujian ini diperoleh dari pengukuran defleksi terbesar pada keempat sisi balok laminasi.
Afrika LI Akasia
A
B
C
D
E
Tipe Balok Laminasi
Gambar 13 Modulus Elastisitas hasil pengujian MPK Fanter pxisi baring pada berbagai tipe balok laminasi
A
B
C
D
E
Tipe Balok Laminasi
Gambar 14 Modulus Elastisitas hasil pengujian MPK Panter posisi tegak pada berbagai tipe balok laminasi. Rataan nilai MOE pada pengujian posisi baring lebih tinggi dibandingkan dengan posisi tegak. Hoyle (1978) menyatakan bahwa defleksi lenturar~ dipengaruhi oleh rasio bentang (1) terhadap tinggi (h) balok.
Yap (1984)
menyatakan bahwa balok yang tingginya diperbesar menunjukkan kekuatan lentur yang menurun. Pada balok yang lebih tinggi, penurunan tegangan tekan ke arah garis netral tidak begitu cepat seperti balok yang lebih rendah, sehingga pendukungan serat-serat yang lebih dekat pada garis netral terhadap serat-serat ujung tidak begitu besat.
Berdasarkan analisis statistik (Lampiran 9) jenis kayu dan tipe balok laminasi berpengaruh nyata terhadap rataan MOE pada posisi baring. Rataan MOE balok laminasi akasia lebih tinggi dibandingkan dengan rataan MOE balok laminasi afrika, ha1 ini berkaitan dengan kerapatan kayu dimana kerapatan kayu akasia lebih besar dibandingkan dengan kerapatan kayu afrika. Untuk tipe balok laminasi, tipe D memiliki nilai rataan tertinggi diikuti secara berurutan oleh tipe E, C, A dan B. Meskipun tipe
D memiliki rataan
tertinggi nanun dari hasil anal isis statistik, nilainya tidak berbeda nyata dengan tipe E, C dan A.
Nilai rataan tipe D dan E berbeda nyata dengan tipe B,
sementara tipe B, A dan C tidak berbeda nyata.
Hasil ini menunjukkan bahwa
dalam pengujian posisi baring yang dilakukan, susunan lamina vertikal (bagian tengah balok) pada tipe A dan D tidak menghasilkan perbedaan nilai MOE yang nyata dengan susunan lamina horizontal pada tipe C dan E. Sementara untuk tipe
B, selain lamina penyusunnya yang berada pada posisi horizontal pada saat pengujian sehingga menghasilkan defleksi yang lebih besar, rendahnya nilai MOE ini dibandingkan dengan tipe lainnya disebabkan oleh rendahnya nilai MOE lamina penyusunnya. Lamina lebar 12 cm untuk kedua jenis kayu memiliki nilai rataan MOE yang paling rendah. Selanjutnya berdasarkan analisis statistik (Lampkan 10) hariya jenis kayu yang berpengaruh nyata terhadap rataan MOE pada posisi tegak. Seperti pada posisi baring, nilai rataan MOG balok laminasi akasia lebih tinggi dibandingkan dengan rataan MOE balok laminasi afrika. Pengujian balok laminasi dengan posisi tegak dirasakari kurang sensitif terhadap berbagai tipe penyusilnan lamina pada penampang lintang balok sehingga tidak ada nilai yang menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pernilahan kayu dcngan ,nenggunakan MPK Panter
disarankan dilakukan dalam posisi baring untuk menghilangkan internal stress yang terjadi piida bentang pilah (Surjokusunio et al. 2003). Nilai rataan MOE baring yang diperoleh pada berbagai tipe balok laminasi kecuali balok tipe B dari kayu afrika menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan MOE balok utuh. Untuk balok utuh afrika diperoleh nilai untuk balok utuh rataan MOE sebesar 6,56 x 10' kg/cm2 dan 6,62 x 10%~g/crn~ akasia (Lampiran 7). Begitu juga dengan nilai rataan MOE tegak, rataan MOE
balok laminasi pada berbagai tipe menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan balok utuhnya kecuali tipe B dari kryu afrika nilai rataannya hampir sama dengan balok utuh yaitu sebesar 4,14 x 1 o4 kg/cm2. Hasil penelitian balok laminasi dari kayu kelapa (Rostina 2001) menunjukkan kisaran nilai MOE posisi baring sebesal- 7,82 x 10'-13,14
x 10'
kg/crn2 dan pada posisi tegak sebesar 5 2 3 x 10'- 9,81 x lo4 kll/crn2. Jika dibandingkan dengan nilai MOE tersebut maka nilai yang diperoleh dari penelitian ini memiliki kisaran nilai yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh perbedaa~ijenis kayu yang digunakan, pola penyusunan lamina, tebal lamina serta perbedaan dalam pengujian (panjang bentang yang digunakan).
Modulus Elastisitas Baldwin (MOEB) Selanjutnya hasil pengujian balok laminasi dari icedua jenis kayu dengan rnenggunakan UTM Baldwin menghasilkan nilai rataan MOE sebesar 7,30 x 1 0410,89 x lo4 kg/cm2 untuk balok laminasi afrika dan untuk balok laminasi akasia 8,41 x lo4-13,67 x lo4 kg/cm2 (Gambar 15). Jika dibandingkan dengan nilai
MOE minimal yang dipersyaratkan pada standar JAS 234:2003 sebesar 7,5 x lo4 kg/cm2 maka nilai rata-rata MOE ini telah memenuhi standar kecuali untuk balok laminasi a f r i k ~tipe B.
12.18 0
3
9
F
6
i:m W
C' 2
JAS 234:2003
n Aftlkr
3
Akasir 0
A
B
C
D
E
Tipe Balok Laminasi
Gambar 15 Modulus Elastisitas Baldwin pada berbagai tipe balok laminasi.
Nilai rataan MOE balok laminasi akasia lebih tinggi dibandingkan dengan balok laminasi afrika untuk tiap tipe balok. Hasil analisis statistik (Lampiran 11) menunjukkan bahwa jenis kayu dan tipe balok laminasi berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MOE, sementara interaksi keduanya tidak. Hal :ni berarti bahwa selain dipengamhi jenis kayu, pola penyusunan lamina pada pe nampang lintang balok Ian inasi juga mempengaruhi kekakuan balok yang dihasilkan. Nilai rataan MOE tertinggi terdapat pada balok larninasi tipe C diikuti secara berurutan oleh tipe E, A, B dan D. Balok laminasi tipe C, E dan A tidak menunjukkan perbedaan nilai yang nyata namun berbeda nyata dengan balok laminasi tipe B din D, sedangkan antara tipe B dan D tidak berbeda nyata. Balok laninasi tipe C dan E memiliki susunan yang hampir sama, yaitu lamina disusun secara horizontal dan vertikal, dimana pada bagian bawah ditempatkan lamina kelomyok El dan pada bagian atasnya lamina kelompok E2. Perbedaannya adalah pada tipe E lamina lebar 8 cm yang disusun secara vertikal dibagian tengah diganti dengan lamina lebar 2 cm sebanyalc 4 buah. Selain karena penempatan El dan E2 pada bagian bawah d m atas balok, penyusunan secara vertikal pada bagian tengah balok juga memberikan kontribusi terhadap nilai MOE yang diperoleh meskipun nilai MOE ini ternyata tidak berbeda nyata dengan MOE tipe A. Dari segi penggunaan bahan, hasil yang diperoleh ini menunjukkan bahwa bagian tengah balok dapat diganti dengan lamina yang memiliki ukuran lebar lebih kecil, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan namun dengan konsekuensi
bahwa kebutuhan perekat yang diperlukan akan
semakin banyak. R:,lok laminasi tipe R dan D men~iliki nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan dengan tiga tipe balok laminasi lainnya.
Dari segi lamina
penyusun, tipe B memiliki nilai rataan MOE yang lebih rendah dibandingkan dengan MOE penyusun tipe balok lainnya. Selain itu, susunan lamina pada balok tipe B dan D juga ikut mempengaruhi nilai MOE. Balok laminasi tipe B terdiri dari tiga lapisan lamina yang disusun secara vertikal dengan menempatkan lamina kelompok El dan E2 di bagian samping balok dan E3 di bagian dalam. Ketika balok ini dibcri beban maka lamina kelompok E3 sccara langsung menerima beban, karena berada di zona tekan sehingga defleksi yang terjadi menjadi lebih
:
besar. Demikian juga dengan susunan lamina pada tipe D yang bagian atas dan bawahnya disusun secara vertikal oleh lamina lebar 4 cm dan pada bagian tengahnya diternpatkan lamina kelompok E3. Jika dibandingkan dengan rataan MOE balok utuhnya dengan pengujian yang sama maka untuk balok laminasi afrika rataan MOE semua tipe balok nilainya :ebih tinggi dari rataan MOE balok utuhnya yaitu sebesar 6,60 x 10' kg/cm2. Sementara itu, pada balok laminasi akasia hampir semua tipe balok nilai rataan MOE-nya lebih tinggi dibandingkan dengan rataan MOE balok utuhnya yaitu sebesar 9 3 9 x lo4 kg/cm2, kecuali tipe D. Beberapa hasil penelitian lain dalam ukuran pemakaian (full scale), balok laminasi dari kayu eukaliptus dengan penyusunan lamina secara horizontal memiliki nilai sebesar 10,28 x lo4 kg/cm2 (Sinaga & Hadjib 1989), kayu kelapa sebesar 13,62 x lo4-2 1,O x 10' kg/crn2 (Rostina 200 1) dan 11,34 x 10' kg/cm2.. kombinasi antara kayu akasia dan albizia (Hadi et ul. 2005). Perbedaan nilai MOE yang diperoleh dibandingkan dengan hasil penelitian lain disebabkan oleh perbedaan jenis kayu yang digunakan, jumlah lapisan penyusun dan pola penyusunan lamina. Selanjutnya pada Tabel 2 dapat dilihat rekapitulasi hasil pengujian dengan MPK Panter pada posisi baring dan tegak, MOE Baldwir. dan perbandingan MOE Panter pada posisi baring dengan MOE Baldwin. Tabel 2 Rekapitulasi nilai MOE Panter (MOEP) dan MOE Baldwin (MOEB) serta perbandingan MOEP-Baring dengan MOEB (x :o4 kg/cm2) --
Jenis K * -
Akasia
T~pe Balok
MOEP Baring
A
7,07
B C D E
7,97 8,49 8,32 8,54
MOEP h1OEB Tegak -4,49
9,63
5,16 4,7$
10,35
495
8,4 1 12,18
5$9
13367
MOEP ~ a r i n r MOEB (%) 26,6
23,0 37,9 1,1
29,9
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai MOE yang diperoleh menggunakan MPK Panter untuk semua tipe balok lebih rendah dibandingkan dengan nilai MOE yang dihasilkan dengan UTM Baldwin dengan kisaran sebesar 1,l-37,9%. t Ial ini disebabkan karena defleksi yang terukur pada pengujian MI'K Panter lebih
besar akibat adanya pengaruh gaya geser dibandingkan dengan defleksi pada pengujian dengan UTM Baldwin yang tidak dipengaruhi gaya geser. Nilai MOE yang diperoleh menggunakan MPK Panter pada posisi baring terlihat lebih mendekati nilai MOE hasil pengujian UTM Baldwin dibandingkan dengan pengujian pada posisi tegak. Seperti dinyatakan sebelumnya, pengujian dengan menggunakan MPK Panter dirancang untuk posisi baring Cflatwisc). Pengujian
menggunakan MPK
Panter
dilakukan dengan metode
pembebanan pada satu titik (one point loading) sementara pengujian dengan UTM Baldwin dilakukan dengan metode pembebanan pade dua titik (fwo point loading). Pada metode yang pertama, defleksi yang dihhsilkan dipengaruhi oleh adanya gaya geser, sehingga defleksi yang terukur lebih besar dari yang sebenarnya. MOE yang diperoleh dengan cara ini disebut sebagt:i MOE apparent. Pada metode yang kedua, pembebanan menghasilkan momen yang konstan, oleh kareria itu tidak ada pengaruh gaya geser yang terjadi ~ a d balok a di antara dua beban. Pengukuran defleksi dilakukan tepat diantara dua titik beban dan MOE yang diperoleh disebut dengan MOE true (Bodig dan Jayne 1982).
Modulus Patah (MOR) Nilai rataan MOR balok laminasi yang dihasilkan adalah sebesar 3 11-468 kg/cm2 untuk balok laminasi afiika sementara untuk balok laminasi akasia sebesar 516-687 kg/cm2 (Gambar 16).
Jika dibandingkan dengan nilai yang
dipersyaratkan pada JAS 234:2003 sebesar 300 kg/cm2, maka rataan MOR semua tipe balok laminasi dari kedua jenis kayu ini telah memenuhi standar.
JAS 234:2003
A
C
B
D
E
Tipe Balok Laminasi
Gambar 16 Modulus Patah pada berbagai tipe balok laminasi.
Hasil analisis statistik (Lampiran 12) menunjukkan bahwa nilai MOR yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis kayu, tipe balok dan interaksi antara keduanya. MOR balok laminasi akasia lebih tinggi dibandingkan dengan MOR balok laminasi afiika. Green et al. (1999) menyatakan bahwa MOR merupakan salah satu ukuran sifat-sifat kekuatan bahan, yang dipengaruhi antara lain oleh kerapatanherat jenis k~.yu, mata kayu dan kemiringan serat.
Kayu afrika
memiliki kerapatan yang lebih rendah dan memiliki banyak cacat terutama mata kayu dan serat miring sehingga nilai MOR yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan kayu akasia. Tipe balok C memiliki nilai MOR tertinggi, diikuti tipe E, A, D dan B secara berurutan. Nilai MOR balok laminasi tipe C tidak berbeda nyata dengan tipe E dan A namun berbeda nyata dengan tipe D dan R. Tipe E hanya berbeda nyata dengan tipe B sedangkan antara tipe A, D dan B tidak berbeda nyata. Untuk meningkatkan MOR balok laminasi, lamina yang ditempatkan pada zona yang mengalami tegangan maksimum baik tarik rnaupun tekan adalah lamina yany memiliki MOE yang lebih tinggi. Seperti dimaksudkan sebelumnya dalam penyusunan lamina tipe C dan E, penempatan MOE yang lebih tinggi pada zona tarik dibandingkan dengan zona tekan bcrtujuan untuk mengoptimalkan niiai MOR yang diperoleh. Penyusunan lamina seperti pada tipe C dan E ini ternyata
memberikan nilai MOR yang lebih tinggi dibandingkan tipe laimya, meskipun tidak semuanya nyata secara statistik. Sementara itu, penysunan yang dilakukan pada tipe D dengan prinsip yang sama tidak memberikan nilai MOR yang lebih tinggi dibandingkan dengan tipe balok lainnya kecuali tipe B. Nal ini karena pada bagi'm atas dan bawah yang terdiri atas lamina 4 cm yang disusun secara vertikal terdapat lamina kelompok E3 sehingga diperkirakan menyebabkan kekuatannya berk~irang. Demikiarl juga untuk balok laminasi tipe B yang seluruhnya disusun oleh lamina secara vertikal, lamina yang memiliki MOE Iebih tinggi ditempatkan disebelah luar (bagian samping balok) sedangkan lamina yang MOE-nya lebih rendah berada di dalam balok. Pada saat balok dibebani, lamina yang memiliki MOEyang lebih rendah ini juga berada pada bagian yang mengalami tegangan maksimum yaitu pada zona tarik dan tekan, sehingga akan mengurangi kekuatan balok. Selanjutnya berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan tipe balok lan~inasi terlihat bahwa interaksi antara jenis kayu akasia dengan tipe balok C memiliki rataan tertinggi namun tidak berbeda nyata dengan tipe B dan E dari jenis k a p yang sama. T'ipc B, E dan A tidak berbeda nyata sementara tipe D berbeda nyata dengan tipe lainnya kecuali dengan tipe A. Untuk jenis kayu afrika, hampir semua tipe balok (A, C, D dan E) memiliki nilai MOR yang tidak berbeda nyata kecuali tipe B. Balok tipe D dari jenis akasia memiliki nilai MOR yang tidak berbeda nyata tiengan balok tipe D dan E dari jenis afrika. Nilai rataan MOR balok utuh untuk kayu afrika diperoleh sebesar 312 kg/cm2 dan 482 kg/crn2 untuk balok utuh kayu akasia. Nilai -at-
MOR pada
semua tipe balok laminasi lebih tinggi dibandingkan dengan .ataan nilai MOR balok ut lhnya kecuali balok laminasi afrika tipe B. Hasil penelitian lain menunjukkan nilai MOR halok laminasi kayu eukaliptus sebesar 420 kg/cm2(Sinaga & Hadjib 1989) dan antara 476 sampai 858 kg/cm2 pada balok laminasi kayu kelapa (Rostina 2001). Perbedaan nilai MOR yang diperoleh clengan penelitian lain terutama berhubwgan dengan karakteristik kayu yang digunakan. Kayu yang memiliki kerapatan lebih tinggi akan memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang kerapatanya lebih
rendah.
Disamping kerapatan kayunya, kekuatan juga dipengaruhi oleh ada
tidaknya cacat pada kayu tersebut. Cacat yang dapat mengurangi kekuatan kayu antara lain adalah mata kayu, serat miring, retak atau pecah, dan adanya kayu tekan dan kayu tarik (Tsoumis 1991). Bila dibandingkan dengan nilai MOR tertinggi yang dicapai dari hasil pcnelitian Rostina (2001) maka nilai MOR balok laminasi yans diperoleh pada penelitian ini lebih rendah.
Bahan yang digunakan yaitu kciyu kelapa tidak
memiliki cacat terutama mata kayu dan serat miring disar,lping kerapatan kayunya yang juga lebih tinggi dari pada kayu yang digunakan daiam penelitian ini terutama pada bagian tepi batang. Nilai MOR balok laminasi dari kayu afrika dan akasia yang digunakan dalam penelitian ini masih dapat litingkatkan dengan cara mereduksi cacat terutama mata kayu dan menyambung kembali kayu dengan sambungan jari (finger joint).
Keteguhan Rekat Pengujian keteguhan rekat dilakukan untuk mengetahui kinerja perekat dalam balok laminasi yang dihasilkan. Nilai rataan keteguhan rekat sebesar 75,l88,O kg/cm2 untuk balok laminasi afrika dan antara 84,4-100,3 kg/cm2 untuk balok lanlinasi akasia (Gambar 17). Keteguhan rekat balok laminasi akasia ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Alamsyah et al. (2005) yaitu sebesar 186 kg/cm2. Namun jika dibandingkan dengan hasil penelitian Santoso dan Malik (2005) dengan menggunakan perekat phenol resorcinol jormaldehide (PRF) yang sebesar 37,l-96,4 kg/cm2, rataan keteguhan rekat dari hasil penelitian ini masih lebih baik. Berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 13), hanya jenis kayu yang berpengaruh nyata terhadap keteguhan rekat. Keteguhan rekat balok l a m i k i akasia lebih tinggi dibandingkan dengan balok laminasi afrika. Jika dibandingk& dengan standar JAS 234:2003 yang mensyaratkan nilai keteguhan rekat minimal
54 kg/cm2 maka semua tipe balok laminasi dari kedua jenis kayu tersebut telah memenuhi standar.
JAS 234:2003
A
B C D Tipe Balok Laminasi
E
Gambar 17 Keteguhan rekat pada berbagai tipe balok larninasi.
Rataan persentase kerusakan kayu pada pengujian keteguhan rekat balok laminasi afrika sebesar 93-1 00% dan pada balok laminasi akasia sebesar 20-46% (Tabel 3). Sama halnya dengan keteguhan rekat maka persentase kerusakan kayu ini juga hanya dipengaruhi oleh jenis kayu (Lampiran 14). Persentase kerusakan kayu yang dipersyaratkan dalam JAS 234:2003 adzlah sebesar 70% sehingga hanya kayu afrika yang memenuhi standar. Tabel 3 Rat:mn persentase kerusakan kayu pada pengujian balok laminasi afrika dan akasia --Persentase kerusakan kayu (%) Tipe balok afrika akasia
Nilai persentase kerusakan kayu tersebut menunjukkan bahwa kayu afrika dapat direkat dengan lebih baik dibandingkan dengan kayu akasia dengan menggunakan perekat isosianat yang dipakai.
Kercsakan contoh uji balok L
larninasi afrika hampir seluruhnya terjadi pada kayunya sedangkan pada balok laminasi akasia sebagian besar terjadi pada garis rekatnya (Gambar 18).
(b) Gambar 18 Kerusakan contoh uji keteguhan rekat balok larninasi (a) afrika d m (b) akasia.
Kualitas rekatan yang diperoleh juga dipengaruhi oleh tingkat keterbasahan kayu yang digunakan. Dari pengukuran terhadap sudut kontak antara perekat dengan permukaan kayu diketahui bahwa sudut kontak yang terbentuk pada kayu afrika lebih kecil dibandingkan dengan kayu akasia. Pada kayu afrika diperoleh nilai rataan sudut kontak sebesar 34" sementara pada kayu akasia sebesar 43". Besarnya sudut kontak ini merupakan salah satu indikator keterbasahan kayu oleh perekat.
Sem'akin kecil sudut yang terbentuk maka keterbasahan kayu oleh
perekat semakin baik. Berdasarkan uji geser terhadap kayu solidnya, dihasilkan rataan keteguhan geser sebesar 57,7 kg/cm2 untuk kayu afrika dan 88,3 kg/cm2 untuk kayu akasia. Nilai ini juga menunjukkan bahwa kinerja perekat lebih baik pada kayu afrika dibandingkan dengan pada kayu ;ikasia karena nilai keteguhan rekatnya melebihi nilai keteguhan geser kayu solidnya. Vick (1999) menyatakan bahwa pada beberapa keadaan, kerapatan yang tinggi akan menimbulkan kesulitan pada proses perekatan. Hal ini disebabkan tebalnya dinding sel dan kecilnya volume rongga yang mengakibatkan perekat tidak dapat melakukan penetrasi dengan mudah sehingga interlocking hanya terjadi p:\da kedalaman yang terbatas. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab kinerja perekat tidak dapat optimal pada kayu akasia karena kerapatannya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu afrika. Sebab lain diduga berhubungan dengan kandungan zat ekstraktif yang terdapat pada kayu akasia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan zat ekstraktif pada kayu akasia tergolong tinggi, dimana zat ekstraktif ini dapat inenghalangi penetrasi dan pematangan (curing) perekat. Selain dipengaruhi oleh sifat-sifat kayunya, ltualitas perekatan pada penelitian yang dilakukan juga dipengaruhi oleh proses pengempaan. Besarnya tekanan pada pengempaan dengan cara klem yang dilakukan pada penelitian ini tiduk terukur secara pasti. Berdasarkan kualitas rekat m yang diperoleh, besarnya tekanan kempa sudah cukup untuk kayu afrika tetapi kcrnungkinan belurn cukup untuk kayu aka:jia.
Dari Gambar 18 terlihat bahwa pada garis rekat balok
laminasi akasia masih banyak terdapat butiran-butiran perekat yang tidak berpenetrasi ke dalarn kayu.
Delaminasi Hasil uji delaminasi dengan perendaman dalam air dingin sebesar 0,8-3,3% untuk balok laminasi afrika dan 0,0-1,8% untuk: balok laminasi akasia (Gambar 19).
A
B
D
C
E
Tipe Balok Laminasi
Gambar 19 Rasio delaminasi air dingin (%) pada berbagai tipe balok laminasi.
Sementara uji delaminasi dengan air mendidih, untuk balok laminasi afrika sebesar 11,4-20,2% dan 27,042,7% untuk balok laminasi akasia (Gambar 20).
Afrika OAkasia
JAS 234:2003
5% A
B
C
D 1ipe Balok Laminasi
E
Gambar 20 Rasio delaminasi air mendidih (%) yada berbagai tipe balok laminasi. Untuk iji delaminasi dengan perendaman dalan~air dingin, semua tipe balok larninasi dari kedua jenis kayu telah memenuhi persyaratan JAS 234:2003 karena nilainya berada di bawah 10%. Sementara pada uji delaminasi dengan air
mendidih tidak ada satu balok laminasi pun yang memenuhi standar karena nilainya berada di atas nilai minimal yang dipersyaratkan yaitu sebesar 5%. Hasil analisis statistik (Lampiran 15 dan 16) untuk uji delaminasi baik dengan air dingin maupun air mendidih me,lunjukkan bahwa persentase delaminasi hanya berbeda antara jenis kayu. Hasil penelitian lain dangan perendanlan dalam air dingin namun menggunakan vakurn menunjukkan nilai yang lebih bervariasi antara
0,0-57,3% (NIWT 2005). Berdasarkan nilai delaminasi dalam air mendidih yang diperoleh, diketahui bahwa perekat isosianat yang digunakan ternyata belum mampu bertahan terhadap kondisi yang ekstrim. Vick (1999) rnenyatakan bahwa llji delaminasi merupakan indikator ketahanan perekat terhadap adanya tekanan pengembangan dan penyusutan akibat adanya kelembaban dan panas yang I-inggi. Oleh karena itu, perekat ini lebih disarankan untuk pemakaian interior atau konstruksi yang terlindung.
Pola Kerusakan Balok Laminasi Wiryomartono (1976) menyatakan bahwa balok ymg dibebani oleh beban lentur &an mengalami kerusakan pertama kali pada zona tekannya berupa retakretak kecil kernudian diikuti dengan turunnya garis netral dan berikutnya timbul retak-retak pada zona tarik hingga balok akhirnya patah, sehingga balok akan mengalami patah terlebih dahulu pada zona tariknya. Pengamatan terhadap pola kerusakan balok laminasi maupun balok utuhnya dilakukan setelah pengujian MOR. Kerusakan diukur panjangnya dan digarnbar untuk setiap balok. Sketsa dari masing-masing balok tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 1-32. Pola kerusakan yang disampaikan mengacu pada pola keiusakan pada kayu yang mengalaini lenturan dalam Bodig dan Jayne (1982), yang terdiri atas tarik sederhana (simple tension), tarik serat miring (tension cross-grlrin), tarik terbelah
(splintering tension), tarik regas (brash tension), tekan (comp,.ession) dan geser horizontal (horizontal shear). Kelusakan berupa tarik sederhana (simple tension) bukan merupakan tipe kerusakan yang biasa terjadi namun kadang-kadang dijumpai pada kayu yang memiliki kerapatan tinggi.
Tarik serat miring (tension cross-grain) terjadi bila terdapat serat miring pada kayu, sementara tarik terbelah (splintering tension) biasanya terjadi pada kayu dengan kadar air yang rendah.
Tarik regas (brgsh tension) seringkali
merupakan indikasi adanya struktur molekuler yang abnormal, adanya kayu tekan atau pelapukan. Kerusakan tekan (compression) khususnya terjadi pada kayu tanpa cacat yang memiliki kerapatan rendah sedangkan geser horizontal (horizontul sheur) merupakan kerusakan yang terjadi di dekat bidang netral. Sementara untuk pola kerusakan akibat adanya mata kayu pada balok yang mengalami lenturan terdiri atas tarik diagonal (diagonal tension), tekan di sekitar mata kayu (compression near a knot) dan tarik serat miring terlokalisir (localized cross-grain tension). Pola kerusakan pada balok larninasi tipe A kayu afrika dan akasia dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22. Balok AAl
I
119 cm
Balok AA2
-
1
p----
40 cm-
C 2 6 cm
---4
Balok AA3
Lwen9-J Balok AA4
-
72 em
1
Gartlbar 2 1 Pola kerusakan balok laminasi kayu afrika tipe A.
Ralok h l A l
1
-
ION rtn
I J J CII!----/
Ralok M A 2
Balok MA3
-----------
Baiok MAS
Gambar 22 Pola kerusakan balok laminasi kayu akasia tipe A.
Kerusaka~lyang dapat diamati pada balok laminasi tipe A terjadi pada zona tekan, garis netral dan pada zona tarik pada balok laminasi afiil a sementara pada balok laminasi akasia terjadi pada garis netral dan zona tarik, urnumnya terjadi di sekitar beban. Kerusakan tekan (compression) terjadi pada balok AA1 dan AA3 dimana kayu mengalami kerut (wrinkle) pada bagian atss (zona tekan) di antara titik pembebanan sebelum mencapai beban maksimum.
Kerusakan geser
horizontal (hcrizontul sheur) harnpir terjadi pada semua balok laminasi, kerusakan ini dapaf berupa kerusakan garis rekat maupun kayu sclidnya, umumnya terjadiv pada bagian tengah (garis netral) dan bawah balok (zlona tarik).
Kerusakan
lainnya adalah kerusakan tarik akibat adanya serat miring (cross-grain tension) dan tarik terbelah (splintering tension). Selanjutnya Gambar 23 dan 24 memperlihatkan pola kerusakan pada balok laminasi tipe 13.
Ip__
Ralok AB2
12t1 r m
I
-
Balok AB3
I 82 cnr 4 34 em Balok AS4
-T
Halok AB5
!
-
-
~
~
m
89cm b
I
Gambar 23 Pola kerusakan balok laminasi kayu afrika tipe B. Balok MB1
- -C Balok MB2
C-
91cm
I 86cm A
4
86cm
Salok MB3
/
I
~
c
------4 m
Balok MB4
I I08cm ---- - - - 6 4 8 cm-1 Baiok MBS
/
Garnbar 24 Pola kenlsakan balok laminasi kayu akasia tipe B.
Berdasarkan Gambar 23 d m 24 pola kerusakan yang terjadi pada balok larninasi tipe ini sebagian besar terjadi pada bagian tengah dan bawah balok dan berada di sekitar titik pembebanan. Kerusakan yang terlihat pada sisi balok adalah tarik serat miring (tension cross-gruin) dan tarik terbelah (splintering tension). Kerusakan geser pada garis rekat berada pada bagian dalam balok
sehingga tidak tarnpak dari sisinya. Namun rusaknya balok ini bisa dilihat pada sisi bagian bawah balok seperti pada balok MB2. Balok laminasi akasia lebih banyak mengalami kerusakan geser pada garis rekatnya dibandingkan dengan balok laminasi afrika. Selanjutnya pada Gambar 25 dan 26 dapat dilihat pola kerusakan yang terjadi pada balok lamiiiasi tiye C. Balok AC1
Balok AC2
C--
-
--
--
61 cm
I rnt -J IIJ
83cm ------4 Balok AC:3
I --99 c", $- -- --- 40 (111
Balok ,lCS
Ga~nbar25 Pola kerusakan balok laminasi kayu afriki. tipe C.
-1
80 clll
d- ni; cnt -----------I
Ralok MC3
Ralok MC4 Id,
-- -
.
-
-. . ...
Gambap 26 Pola kerusakan balok larninasi kayu akasia tipe C. Pada balok laminasi tipe C ini, sebagian besar kerusakan terjadi pada bagian tengah (lan~ina!ebur 8 em) dan bagian bawah balok di sekitar titik pembebanan kecuali balok MC1 (Gambar 3 1) yang mengalami kerusakan tekan (compressionj pada bagian atas baiok (zona tekan). Sementara itu, pada balok laminasi AC3, terjadi kerusakan yang memanjang ke arah tumpuan di sebelah kiri. Kerusakan geser horizontal antara lamina lebar 8 cm yang tersusun secara vertikal dengan lamina di bawahnya lebih banyal. terjadi pada balok laminasi akasia. Kerusakan lain adalah kerusakan tarik serat miring (tension cross-grain) dan tarik terbelah (splintering terzsion) dari zona tarik ke bagian tengah balok.
Pola kerusakan pada balok laminasi tipe D dapat dilihat pada Garnbar 27 dan 28 berikut ini.
Balok AD1
wtt rrn
Ralok AD2
I 102 c
r
n
1
5
1
1 77 cm I
c
m
4
Balok AD3
Balok AD4
Balok AD5
Gambar 27 Pola kerusakan balok laminasi kayil afrika tipe D. Balok MD1
( 1.14c n ~ -
4
2 7 r w
Balok MD2
C-
0 1 cni
Balok WID4
I 53 -.I
90 c n l
Ill
I
Balok MD5
147
CIII
&
l
*
c
n
a
j
76 ell1 A
3
7 rnr
Ganlbar 28 Pola kerusakan balok laminasi kayu akasia tipe D.
)
Kerusakan terutama terjadi pada lamina lapisan tengah lamina (lebar 6 cm yang disusun secara horizontal) dan antara lamina tersebut dengan lamina di bawahnya (lamina lebar 4 cm yang disusurl secara wrtikal) berupa kerusakan geser horizontal pada garis rekat dan kayu solidnya. Sanentara itu, kerusakan pada zona tarik berupa tarik serat miring (tension cross-gruin) d m tarik terbelah (splintering rension) hampir ditemukan pada semua balok.
Posisi kerusakan
berada di sekitar titik pembebanan kecuali pada balok MDl dan MD5 memanjang ke arah turnpuan sebelah kanan. Garnbar 29 d m 30 menyajikan pola kerusakan pada balok laminasi tipe E. Posisi kerusakan terutama terjadi di sekitar titik pembcbanan. Sebagian besar kerusakan terjadi pada bagian tengah dan bawah balok berupa kerusakan horizontal antara lamina lebar 8 cm dengan lamina di bagian bawahnya dqn ken~sakantarik serat miring (tension cross-grain) d m tarik terbelah (splintering tension) pada zona tarik ke bagian tengah balok. Berbeda dengan balok lainnya, balok AE3 mengalami kerusakan pada zona tekan (compression) tepat di bawah titik pembebanan. Halok A L I
Balok AE2
1- .* .)&- -
. --I
Nl cm
Ralok AE3
C
- --
07 rm
-
--I
L
93 em I
Ralok AE4
1 3 0c t l 1 4
65 c m A
3
6e m 4
Balok AE5
Gambar 29 Pola kerusakan balok laminasi kayu afrika tipe E.
Halok hl E2
Ralok ME3
1
102 cm 1
.
1
6 rm
Ralok ME4
Gambar 30 Pola kerusakan balok laminasi kayu akasia tipe E. Di samping pengamatan terhadap kerusakan pada balok laminasi, dilakukan juga pengamatan terhadap kerusakan pada balok utuh dari kedua jenis kayu yang digunakan. Gambar 3 1 dan 32 menyajikan pola kerusakan pada balok utuh. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada urnurnnya kerusakan yang terjadi adalah kerusakan tarik serat miring (tension cross-grain) dan tarik terbelah (splintering tension) di sekitar titik pembebanan dan kebanyakan memanjang ke arah tumpuan. Kerusakan yang terjadi pada balok utuh kayu afrika terlihat lebih parah dibandingkan dengan kerusakan pada balok utuh kayu akasia. Hal ini berhubungan dengan kekuatannya yang lebih rendah dibandingkan kayu akasia dan mengandung lebih banyak cacat.
Gambar 3 1 Pola kerusakan balok utuh kayu afi-ika.
Gambar 32 Pola kerusakan balok utuh kayu akasia.
Secara umum dapat disampaikan bahwa beberapa balok laminasi mengalami kenrt (wrinkle)pada bagian atas (zona tekan) pada atau di antara titik pembebanan sebelum mencapai beban maksimurn. Pengamatan setelah beban maksimum menunjukkan bahwa patahan terjadi melewati bagian b a w d (zona tarik) dan atau bagian tengah pada balok laminasi maupun balok utuh. Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa tegangan maksimum pada kayu lebih besar pada tegangan tarik dari pada tegangan tekan, tegangan pada zona tekan mencapai maksimum sebelum tegangan mencapai maksimum pada zona tarik.
Konsekuensinya,
kerusakan tek'an terlihat sebagai indikasi pertama kerusakan.
Setelah itu
kerusakan tarik akan terlihat pada bagian bawah balok dengan turunnya bidang netral. Sementara itu, kerusakan pada garis rekat terutama terjadi pada bagian tengah balok laminasi. Hal ini disebabkan pada garis netral balok mengalami tegangan geser yang paling besar. Kerusakan pada garis rek it balok laminasi akasia lebih banyak terjadi dibandingkan dengan balok laminasi afiika. Seperti telah disarnpaikan pada bahasan mengenai keteguhan rekat, kayu afrika memiliki keterekatan yang lebih baik dibandingkan dengan kayu akasia dengan perekat isosianat yang digunakan. Melihat ha1 ini, maka pada pembuatan baIok laminasi perekatan paua bagian tengah balok perlu menjadi perhatian sehingga kerusakan akibat tegangan geser dapat diminimalkan. Disamping itu, kerusakan juga umurnnya terjadi pada bagian yang memiliki cacat berupa mata kayu terutama pada bagian bawah dan tengah balok, yang terletak pada atau berdekatan dengan titik pembebanan (Gambar 33). Mata kayu merupakan cacat yang sangat besar pengaruhnya dalanl mengurangi kekuatarl kayu, sehingga untuk keperluan struktural umumnya mata kayu sangat dibatasi.
Gambar 33 Contoh kerusakan balok laminasi pada bagian bawah dan tengah yang rnerniliki rnata k a p , Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kerusakan pada balok utuh kayu afrika lebih besar jika dibandingkan dengan balok laminasinya. Kerusakan ini erat kaitannya dengan keberadaan mata kayu yang Iebih banyak pada kayu afrika. Pada balok utuh, mata kayu lebih terpusat pada satu bagian dari kayu, sedangkan pada balok laminasi mata kayu lebih menyebar karena balok tersusun atas beberapa lapisan lamina.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Nilai rataan MOE lamina yang digunakan sebagai penyusun balok laminasi adalah 6,73 x 104-8,24 x 10' kg/cm2 untuk lamina kayu afrika dan 7,80 x 10'-
8,4 1 x 1o4 kg/cm2untuk lamina kayu akasia.
2. Nilai rataan MOE dan MOR balok laminasi kayu afrika dan akasia pada berbagai tipe telah memenuhi standar JAS 234:2003 kecuali nilai MOE balok laminasi afrika tipe B. 3. Nilai MOE balok laminasi dipengaruhi secara nyata oleh jenis kayu dan tipe balok (penyusunan lamina pada penampang lintang balok) sementara untuk nilai MOR selain dipengaruhi kedua falrtor tersebut, interaksi keduanya juga berpengaruh nyata.
Balok laminasi yang memiliki nilai MOE dan MOR
tertinggi adalah balok laminasi akasia tipe C. 4. Balok laminasi akasia memiliki kekakuan dan kekuatan lentur yang lebih tinggi dibandingkan dengan balok laminasi afrika dilihat dari nilai rataan MOE dan MOR-nya.
5. Nilai rataan kadar air, keteguhan rekat dan d~larninasi air dingin telah memenuhi standar JAS 234:2003 sementara pada uji delaminasi air mendidih tidak ada satu balok laminasi pun yang memenuhi standar. Untuk persentase kerusakan kayu pada pengujian keteguhan rekat, ha2ya balok laminasi kayu afrika yang memenuhi standar. 6. Pola kerusakan balok laminasi umumnya terlihat pada zona tarik dan bagian
tengah balok laminasi dengan beberapa tipe kerusakan. Kerusakan terutarna terjadi pada bagian yang mengandung cacat terutana mata kayu dan serat miring. 7. Secara umum, balok laminasi memiliki sifat-sifat yang lebih baik
dibandingkan dengan balok utuhnya berdasarkan hasil pengujian yang diperoleh.
Saran 1. Perlu dilakukm pe~elitianuntuk meningkatltan sifat-sifat kekuatan balok laminasi dengan cara mereduksi cacat mata kayu dan menggantinya dengan sambungan.finger.joint. 2.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan besar tekanan kempa yang optimal untuk kayu akasia sehingga dapat memperbaiki kualitas rekatannya.
3.
Pentlitian selanjutnya juga disarankan untuk mcr~cobajenis-jenis cepat tumbuh yang lain dengan tipe penyusunan lamina yang lebih beragam dan perekat lain yang lebih tahan terhadap kelembaban dan panas yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, Hadjib N. 2005. Kekuatan dan kekakuan balok lamina dari dua jenis kayu kurang dikenal. Jurnal Penelitian Hasil HuLm 23: 87-100. Alarnsyah EM, E. amada M, Taki K. 2005. Bond quality of Irldonesian and Malaysian fast-growing tree species. Di dalam: Wahyu D, editor. Towards ecology and economy harmonization of tropical forest resources. Proceedings of the 6'h International Wood Science Symposium; Bali, 29-3 1 Agu 2005. Bali: LIPI-JSPS. hlm 220-227. Alifianto DH. 2007. Risalah cacat serta penentuan sifat lnekanis lentur dinamis dan statis contoh kecil kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertarlitin Bogor. Amwila AY. 1993. Peningkatan nilai kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) NIELSEN) melalui pembuatan kayu lamina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ani S, Aminah H. 2006. Plantation timber of hfaesopsis eminii. Journal of Tropical Forest Science 18(2): 87-90. Anshari B. 2006. Pengaruh variasi tekanan kempa terhadap kuat lentur kayu lanlinasi dari kayu meranti dan keruing. Dimensi Teknik Sipil 8: 25-33. http://puslit.petra..ac.idl-puslit'jo~als/article.php?PublishedlD=CIV0608O 10 5-7k [I 6 Mar 20061. [APA] American Plywood Assosiation. 2003. Glularn product guide. http://www.apawood.org/glu~level~b.cfm?content=prd-glu-main [15 Jul 20061. Awang K, Taylor D. 1993. Acacia mangiuw Growing and Utilization. Bangkok: Winrock International and the Food and Agriculture Organization of the United Nations. Bodig J, Jayne BA. 1982. Mechanics of Wood nnd Wood Composites. Van Nostrand Reinhold Company. New York. [CWC] Canadian Wood Council. 2000. Wood Reference Handbook: A guide to the architectural use of wood in building construction. Ed ke-4. Ottawa: Canadian Wood Council. Darnlayanti K. 1998. Pengaruh jenis perekat dan ketebalan lamina terhadap sifat fisis dan nlekanis balok larninasi campuran kayu kelapa (Cocos nucijiera) dan meranti merah (Shorea spp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kehutanan. 1994. Acacia mangium. http://air.bappenas.go.id /open PDF.php?fn=doc/pdfkliping/9,9%20JutaC/020Hek~eY02OHu~m%2OSuda h%20Dibangun%20Lagi.pdf&PHPSESSID=4d2e86fdc7d2 1da2ef9cbSe11 b38f37 1 [2 Juni 20061. Departemen Kehutanan. 2006. Statistik Kehutanan Indonesia 2005. Jakarta: Departemen Kehutanan. Ginoga B. 1998. Mutu dolok, berat jenis dan kekuatan balok lamina kayu mangium (Acacia mangium Willd.) dan kayu sungkai (Peronema canescens Jack.). Buletin Penelitian Hasil Hutan 16:79-82. Green DW, Winandy JE, Kretschmann DE. 1999. Mechanical properties of wood. Di clalam: Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Madison, WI: USDA Forest Service, Forest Products Laboratory. Hadi .M, Subiyanto B, Firmanti A, Komatsu K, Yuwasdiki S. 2005. B e m coltunn joint of Acacia mangium-Albizia falcataria glulam with bolt fasteners. Di dalam: Wahyu D, editor. Towards ecology and economy harmonization of tropical forest resources. Proceedings of the dhInternational Wood Science Symposium; Bali, 29-3 1 Agu 2005. Bali: LIPI-JSPS. hlm 138-144. Hernandez R, Moody RC. 1996. Analysis of glulatn timber beams with mechanically graded (E-rated) outer laminations. Proceedings of the International Wood Engineering Conference. Vol. 1:144-150. Yew Orleans, L.A. Hoyle RJ. 1978. Wood Technology in the Design of Structures. Montana: Mounting Press Publishing Co. Imron. 2005. Pengaruh jumlah lamina bambu betung terhadap sifat fisis mekanis balok laminasi kayu sengon dengan sambungan pasak [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Janowiak JJ et 01. 1995. Efficient utilization of red maple lumber in gluedlaminated timber beams. Res. Pap. FPL,-RP-541. Madison, WI: IJSDA Forest Service, Forest Products Laboratory. 23p. Joker D. 2002. lnformasi singkat benih. http://www.dcp11ut.go.id/ INFORMASY RRL/IFSP/Maesopsis~eminii.pdf#search=%22maesopsis%'2 [27 Sep 20061. [JPIC] Japan Plywood Inspection Corporation. 2003. standard for glued laminated timber. Tokyo: JPIC.
Jap inese agricultural
Karnasudirdja S. 1989. Kekuatan kayu lamina yang dibuzt dati tiga jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6: 28 1-287.
Lam F, Prion HGL. 2003. Engineered wood products for structural purposes. Di dalam: Thelandersson S, Larsen HJ, editor. Tinzber Engineering. New k'ork: Jhon Wiley & Sons, Ltd. hlm 81-102. Malik J, Santoso A. 2005. Keteguhan lentur statis balol; lamina dari tiga jenis kayu limSah pembalakan hutan tanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23: 385-397. Mandang YI, Pandit IKN. Bogor: Yayasan Prosea.
1997. Pedoman Identifikasi Kayu di La17angan.
Marra M. 1992. Technology of Wood Bonding: Princqles in Practice. New York: Van Nostrand Reinhold. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Peruncangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dun Minitab. Bogor: IPB Press. Moody RC and Hernandez R. 1997. Glued-laminated timber. Di dalam: Smulski S, editor. Engineered Wood Products, A Guide .for Specrfiers, Designers and Users. Wisconsin: PFS Research Foundation. Moody PC, Fernandez R, Davalos JF, Sonti SS. 1993. Yellow poplar glulam timber beam performance. Res. Pap. FPL-RP-520. Madison, Wl: U.S. Depaxtment of Agriculture, Forest Service, Forest Products Laboratory. 28 p. Moody RC, Hernandez R, Liu JY. 1999. Glued structm~lmembers. Di dalam: Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Madison, IVI: USDA Forest Service, Forest Products Laboratory. [NIWT] Norwegian Institute of Wood Technology. 2005. Gluing of Norway spruce and scots pine with an EPI (emulsion polymer isocyanate) adhesive. http://www.trefokus.no/document/SSFFLiming28O12005-Report-PwHnQ.p df. Gluing of Norway. [23 Nov 20061. Perangin-angin B. 2000. Pengaruh kombinasi kekakuan lentur dan jurnlah lamina tcrhadap kekuatan balok laminasi kayu kaya (Khaya senegalensis (Desr.) A. Juss) dan kayu bipa (Pterygota alata (Roxb.) R. Br.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, lnstitut Pertanian Bogor. Pizzi A. 1994. Advanced Wood Adhesives Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Rostina T. 2001. Pengaruh jurnlah lapisan dan komposisi kekakuan bahan papan lamina terhadap keteguhan lentur statis balok laminasi kayu kelapa (Cocos nucjfirlr 1,inn.) [skripsil. Rogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian 13ogor.
Rhude AJ. 1996. Structural glued laminated timber: history of its origins and early development. Forest Products Journal 46: 15-22. Santoso A, Malik J. 2005. Pengaruh jenis perekat dan kombinasi jenis kayu terhadap keteguhan rekat kayu lamina. Jurnal Penelitiari Hasil Hutan 23: 375384. Serrano, E. 2003. Mechanical performance and modelling of glulam. Di dalam Thelandesson S, Larsen HJ, editor. Timber Engineering. New York: Jhon Wiley & Sons, Ltd Shedlauskas JP et al. 1996. Efficient use of red oak for glued-laminated beams. American Society of Agricultural Engineers 39: 203-239. Siddiq. 1989. Penggunaan glued-laminated timber (Glulam) untuk komponen struktur bangunan gedung dan perurnahan. Makalah pada Seminar GluedLaminated-Timber di Departemen Kehutanan. Jakarta, 15 Jun 1989. Sinaga M, Hadjib N. 1989. Sifat mekanis kayu lamina gabungan dari kayu pinus dan eucalytus. Duta Rimba 15:113-114. Surjokusumo S, Nugroho N, Priyono J, Suroso A. 2003. Buku Petunjuk Penggunaan Mesin Pemilah Kayu Panter versi Panter MPK-5. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tsoumis G . 1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties, Utilization. New York: Van Nostrand Reinhold. Vick CB. 1999. Adhesive bonding of wood material. Di dalam: Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Madison, WI: USDA, Forest Product Service, Forest Products Laboratory. hlm. 9.1 - 9.24. Wardhani IY. 1999. Kualita perekatan kayu lamina dari empat jenis kayu kwang dikenal. Frontir (24). htt~://unmul.ac.id/dat/oub/fii.ontir/isna.vdf f 16 Mar 20061. Wijaya A. 2001. Pengaruh variasi kerapatan papan dan jenis perekat terhadap keteguhan rek.at dan persentase kerusakan papan laminasi kayu kelapa (Cocos nucifera L.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wiryomartono S. 1976. Konstruksi Kayu. Jilid I . Yogyakarta: Universitas Gajah Macia. Wong ED, Tan YE, Yang P, Cheong PJ. 2002. Production of structural glulam from tropical hardwood: evaluation of bonding integrity based on Malaysian structural glulam standards (MS 758:1981 and MS 758: 2001). Di dalam Proceedings of the bth Pacific Rim Bio-Based Composites Symposium. Oregon 2002. hlm 104-11 1.
Yanti N. 1998. Pengaruh kombinasi sudut sambungan terhadap sifat mekanis balok larninasi kayu agatis (Agathis loranthifolia Salisb.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Yap KHF. 1984. Konstruksi Kayu. Bandung: Binacipta.
LAMPIRAN
Larnpiran 1 Nilai kerapatan (p), Modulus Elastisitas Panter (MOEP) dan pengelompokan lamina kayu afrika LAMINA LEBAR 12 CM Kode No
Dirnensi rata-rata P (crn) I(crn) t(cm)
Massa
ph
Defleksi
MOEP
MOEP
(g)
(g/cm3)
(cm)
(kg/cm2)
(lo4 kg/cm2)
-
Lamina
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
A.12.1 A.12.2 A.12.3 A.12.4 A.12.5 A.12.6 A.12.7 A.12.8 A.12.9 A.12.10 A.12.11 A.12.12 A.12.13 A.12.14
263.0 262.5 262.0 261.5 262.1 262.0 261.9 262.3 263.5 263.0 262.3 262.0 262.0 242.3
12.67 12.73 12.76 12.57 12.75 12.59 12.39 12.42 12.34 12.73 12.83 12.51 12.49 12.79
2.04 2.07 2.12 2.06 2.03 2.12 2.09 2.03 2.04 2.09 2.07 2.00 2.02 2.09
2602 2582 2746 2712 3362 2670 2554 3338 2736 3052 3264 2740 2620 2582
- 15
A.12.15
262.2
12.52
2.02
2696
Keterangan: E 1 = >7 1000; E2 = 66000-7 1000; E3 = <66000
0.38 0.17 0.39 0.40 0.49 0.38 , 0.38 0.50 0.41 0.44 0.47 0.42 0.40 0.37
9.3 9.5 8.5 11.2 9.2 9.6 9.1 10.0 10.2 11.9 9.0 11.1 10.5 9.8
73632 68833 71142 59482 74467 63421 71340 70193 68385 53392 72144 66009 67918 643 17
0.41
10.9
65217
rataan
67326
minimal maksirnal standar deviasi
74467 5624
7.36 6.88 7.1 1 5.95 7.45 6.34 7.13 7.02 6.84 5.34 7.21 6.60 6.79 6.43 6.52
Kelompok
E1 E2 E1 E3 E1 E3 El E2 'E2 E3 E1 E3 E2 E3 E3
--
53392
LAMINA LEBAR 8 CM No
Kode
Dimensi rata-rata
Massa
pku
Defleksi
MOEP
MOEP
p m )
I (cm)
t (crn)
(g)
(s/cm3)
(cm)
(kdcm2)
kdcm2)
A.8.1 262.2 A.8.2 261.7 A.8.3 262.0 A.8.4 261.7 A.8.6 261.8 A.8.7 262.0 A.8.8 261.5 A.8.9 261.8 A.8.10 261.7 A.8.12 262.0 A.8.13 262.2 A.8.14- 262.0
8.40 8.47 8.48 8.93 8.65 8.53 8.43 8.52 8.42 8.72 8.59 8.39
2.10 2.08 2.01 2.09 1.80 2.09 2.1 1 2.1 1 2.07 1.97 2.08 2.09
23 14 2192 2008 1974 2042 2098 1794 2214 2204 21 70 1742 2084
0.50 0.48 0.45 0.40 0.50 0.45 0.39 0.47 0.48 0.48 0.37 0.45
(1 0 4
Lamina
I 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12
9.3 11.8 12.9 9.1 19.9 9.1 9.6 13.4 13.3 17.0 11.0 13.8
100989 82060 82910 98861 73644 103773 95912 68876 73730 653 I0 86279 69565
10.10 8.21 8.29 9.89 7.36 10.38 9.60 6.89 7.38 6.53 8.63 6.96
Kelompok __
E1 E2 E2 E1 E2 El El E3 E2 E3 El E2 -.
0.44 0.44 0.49 0.49 0.57 0.55 rata-rata minimal maksimal standar deviasi CV(%)
LAMINA LEBAR 6 CM -No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kode
,
107776 14330 17.4
-
- --
Dimensi rata-rata
Massa
pku
Defleksi
MOEP
MOEP
I (cm) 6.57 6.30 6.53 6.55 6.57 6.83 6.62 6.58
(g) 1698 1672 1396 1362 1462 2010 1402 1584
(&m3) 0.48 0.49 0.38 0.37 0.40 0.49 0.39 0.44
(cm) 17.0 12.6 17.2 15.6 20.2 9.1 13.9 15.6
(kg/cm2) 75404 105194 68772 73470 57798 96157 92147 78000
kg/cm2)
(104
Lamina A.6.1 A.6.2 A.6.3 A.6.4 A.6.5 A.6.6 A.6.7 A.6.8
p (c:n) 261.5 263.1 262.8 262.0 261.8 261.9 262.0 262.3
t (cm)
2.06 2.06 2.12 2.14 2.12 2.3 1 2.05 2.09
7.54 10.52 6.88 7.35 5.78 9.62 9.2 1 7.80
Kelompok --
E2
El E2 E2 E3 E1 El E2
Lampiran 1 (Lanjutan) 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 --- 60
A.6.21 A.6.22 A.6.23 A.6.24 A.6.25 A.6.26 A.6.27 A.6.28 A.6.29 A.6.30 A.6.3 1 A.6.32 A.6.33 A.6.34 A.6.35 A.6.36 A.6.37 A.6.38 A.6.39 A.6.40 A.6.41 A.6.42 A.6.43 A.6.44 A.6.46 A.6.47 A.6.48 A.6.51 A.6.52 A.6.53 A.6.54 A.6.55 A.6.56 A.6.57 A.6.58 A.6.59 A.6.60 A.6.61 A.6.67 A.6.63
263.0 262.9 262.6 262.5 262.5 262.1 262.2 262.7 262.2 262.9 262.3 262.6 262.4 262.1 262.2 262.5 262.1 262.0 262.2 262.2 262.5 262.2 262.3 262.6 262.0 262.4 262.1 262.6 262.3 263.0 261.3 262.1 262.2 262.4 262.2 262.3 262.6 261.7 262.1 261.8 ---
Lampiran 1 (Lanjutan) Keterangan: El = >78100; E2 = 65000-78100; E3 = <65000
rata-rata minimal
73707 5 1680
standar deviasi
13865
No
Kode
Dimensi rata-rata
Massa
pku
Defleksi
MOEP
MOEP (104
-- Lamina 1
--
-
LAMINA LEBAR 4 CM
A.4.1
p (cm) 261.8
I (cm)
t (cm)
4.73
2.10
(g) 1116
(g/cm" 0.43
(cni) 7.6
(kg/cmL) 88306
Kelompok
kg/crn2)
8.83
E1
Lampiran 1 (Lanjutan) Keterangan: El = >84500; E2 = 62950-84500; E3 = <62950
rata-rata minimal
maksimal standar deviasi LAMINA LEBAR 2 CM Kode Dimensi rata-rata
No
Lami-cm)
---
1 (cm)
Massa
t (ctn)
261.5 2.44 2.03 A.2.1 2 A.2.2 262.0 2.55 2.03 3 A.2.3 262 0 2.40 2.07 4 A.2.4 262.0 2.47 1.99 261.6 2.28 5 A.2.6 1.94 6 A.2.7 261.5 2.37 2.03 7 A.2.8 261.5 2.62 2.09 608 8 A.2.10 262.0 2.49 2.07 588 9 A.2.11 261.7 2.48 2.05 524 10 A.2.12 261.7 2.41 2.05 614 11 A.2.13 263.0 2.51 2.02 650 12 A.2.14 264.5 2.34 1.95 598 13 A.2.15 262.5 2.37 2.02 526 14 A.2.16 263.0 2.33 1.96 432 15 A.2.17 262.3 2.42 2.07 570 16 A.2.18 263.1 2.45 2.04 540 17 A.2.19 262.2 2.24 2.00 446 18 A.2.20 261.5 2.57 1.94 562 19 A.2.21 262.1 2.40 2.02 656 20 A.2.22 262.0 2.43 1.89 606 Keterangan: El = >94000; E2 = 60500-94000; E3 = <60500 1
Detleksi
--(cm) 18.4 14.6 14.5 27.5 13.0 18.6 20.4 18.1 19.3 18.9 22.2 20.8 12.4 27.9 23.2 14.6 24.5 34.4 21.9 41.7
0.42 0.44 0.39 0.48 0.49 0.50 0.42 0.36 0.43 0.41 0.38 0.43 0.52 0.50 rata-rata minimal maksimal standar deviasi
74627 53396 103641 14':86
MOEP
MOEP
(kdcm2)
( I 04 kg/cm2)
781 16 94934 95247 54896 137320 79593 60225 73 177 7 1252 75048 6351 1 82 182 121213 608 15 58859 976 19 67762 45992 68559 43344 76483 43344 137320 23562
7.81 9.49 9.52 5.49 13.73 7.96
Larnpiran 2 Nilai kerapatan (p), Modulus Elastisitas Panter (MOEP) dan pengelompokan lamina kayu akasia -LAMINA LEBAR 12 CM Kode No
Dimensi rata-rata
Massa
ph
Defleksi
MOEP
MOEP (, 04
P
Kelompok
0 Lamina (cm) 1 (cm) t (cm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
M.12.1 M.12.2 M.12.3 M.12.4 M.12.5 M.12.6 M.12.7 M.12.8 M.12.9 M.12.10 M.12.11 M.12.12 M.12.13 M.12.14 M.12.15
261.7 261.8 257.0 261.6 261.9 261.4 262.0 262.0 262.0 261.9 262.2 261.7 261.7 264.4 265.0
12.42 12.40 12.55 12.57 12.76 12.21 12.62 12.53 12.30 12.61 12.53 12.54 12.35 11.72 11.54
2.10 2.10 2.1 1 2.04 2.06 2.08 2.12 1.87 2.04 2.12 2.10 2.13 2.07 1.98 1.89
3696 4352 3922 3272 3884 4488 4736 3530 4386 3978 4080 3256 4086 4406 3900
Keterangan: E l = >88000; E2 = 72000-S8000; E3 = (72000
0.54 0.64 0.58 0.49 0.56 0.68 0.67 0.58 0.67 0.57 0.59 0.47 0.61 0.72 0.68
8.0 7.3 8.3 13.6 9.8 7.3 5.7 9.2 7.5 12.3 7.2 10.9 8.8 11.1 13.3
rataan minimal maksimal standar deviasi
79991 88612 75660 50687 67758 91652 107075 98181 94565 49786 87827 56050 76869 73640 71433 77986 49786 107C75 17163
8.00 8.86 7.57 5.07 6.78 9.17 10.71 9.82 9.46 4.98 8.78 5.60 7.69 7.36 7.14
E2 El E2 E3 E3 El ' El El El E3 E2 E3 E). E2 E3
LAMINA LEBAR 8 CM Kode
Massa
pkll
Defleksi
MOEP
MOEP
Lamina
Dimensi rata-rata 1 p (cm) (cm) t (cm)
(B)
(&cm3)
(crn)
(kg/cm2)
kg/cm2)
M.8.1 M.8.2 M.8.3 M.8.4 M.8.5 M.8.6 M.8.7 M.8.8 M.8.9 M.8.10 M.8.11 M.8.12
261.5 261.8 262.0 261.8 262.3 261.8 262.2 261.6 259.0 261.7 261.6 262.0
3210 3048 2262 2414 3216 2718 3422 2868 2334 2568 2850 2360
0.72 0.64 0.48 0.52 0.69 0.58 0.75 0.62 0.49 0.56 0.65 0.54
9.1
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
8.40 8.61 8.53 8.52 8.58 8.54 8.52 8.45 8.64 8.57 8.53 8.40
2.02 2.13 2.10 2.09 2.09 2.09 2.04 2.09 2.15 2.03 1.96 1.98
(,04
10.5 15.5 13.7 10.6 12.1 6.9 13.4 11.8 12.3 20.7 16.8
120354 87455 61651 7097 1 9204 1 8 1039 151144 7333 1 75249 86427 56983 68833
12.04 8.75 6.17 7.10 9.20 8.10 15.11 7.33 7.52 8.64 5.70 6.88
Kelonlpok
-E1 E1 E3 E2 E1 E2 E1
E2 E2 E1 E3 E2
-
Lampiran 2 (Lanjutan) 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
M.8.13 M.8.14 M.8.15 M.8.16 M.8.17 M.8.18 M.8.19 M.8.20 M.8.21 M.8.22 M.8.23 M.8.24 M.8.25
261.8 261.6 262.0 261.7 261.7 262.3 261.6 262.2 261.6 261.7 264.8 265.4 262.0
8.60 8.44 8.44 8.65 8.51 8.55 8.41 8.46 8.49 8.47 8.37 8.35 8.57
2.02 2.08 2.08 2.07 2.03 2.07 2.03 2.08 2.06 2.03 1.62 1.53 2.05
2500 3352 3282 2732 2720 3222 2622 2722 2368 2562 2598 2328 2838
Keterangan: El = >83000; E2 = 68000-83000; E3 = <68000
0.55 0.73 0.71 0.58 0.60 0.69 0.59 0.59 0.52 0.57 0.72 0.69 0.62
15.2 8.5 7.4 11.5 13.5 9 21.6 13.4 19 14.3 25.5 28.6 19.7
rataan minimal maksimal standar deviasi CV(%)
70624 1 17946 135417 85891 78680 111459 49884 745 13 54057 75456 82704 88200 51676 84080 49884 15114r
25649 30.5
LAMINA LEBAR 6 CM Kode No Lamina
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
M.6.1 M.6.2 M.6.3 M.6.4 M.6.5 M.6.6 M.6.7 M.6.8 M.6.9 M.6.10 M.6.11 M.6.12 M.6.13 M.6.14 M.6.15 M.6.16 M.6.17 M.6.18 M.6.19 M.6.20
Dimensi rata-rata P 1 t (cm) (cm) (cm)
261.4 262.0 262.6 262.5 261.d 261.8 262.4 262.2 262.0 261.6 262.1 261.7 261.7 261.6 262.2 261.6 261.7 261.7 262.4 262.0
6.47 6.56 6.56 6.55 6.30 6.57 6.55 6.51 6.55
6.55 6.44 6.51 6.42 6.57 6.54 6.55 6.46 6.63 6.50 6.46
2.00 2.13 2.09 2.16 2.09 1.93 1.96 1.96 1.96 1.89 2.06 1.96 1.91 2.05 2.00 1.96 2.04 2.00 2.09 1.90
Massa
pk,,
Defleksi
(g)
(&m3)
(cm)
1722 2572 2570 2554 2136 1842 2452 2338 2326 1972 2276 1792 1712 1686 1866 2368 2264 2198 2390 1854
0.51 0.70 0.71 0.69 0.62 0.55 0.73 0.70
19.7 8.5 12.5 10.8 14.6 26.3 18.8 15.3 14.6 23.6 13.2 27.0 29.5 21.1 20.4 11.8 17.7 21.8 12.0 23.7
0.69
0.61 0.65 0.54 0.54 0.48 0.54 0.70 0.66 0.63 0.67 0.58
MOEP
MOEP
(kg/cm2) (1 O4 kg/cm2)
74289 141008 101616 105776 9044 1 61 102 81301 100790 105557 72439 102051 57353 58024 63783 71384 130464 78299 65453 106560 7 1932
7.43 14.10 10.16 10.58 9.04 6.1 1 8.13 10.08 10.56 7.24 10.2 1 5.74 5.80 6.38 7.14 13.05 7.83 6.55 10.66 7.19
Kelompok
-
E2 El E1 E1 E2 E3 E2 El
El E2 E1 E3 E3 E3 E3 E1 E2 E3 El E2
Lampiran 2 (Lanjutan)
-
- -262.4 261.8 261.7 262.0 262.3 262.5 262.2 262.0 261.8 262.0 262.7 262.8 261.9 261.6 262.0 262.0 262.2 262.0 261.7 262.1 262.0 261.5 262.1 261.4 262.6 261.5 262.2 262.4 261.9
45 46 47 48 49
M.6.21 M.6.22 M.6.23 M.6.24 M.6.25 M.6.26 M.6.27 M.6.28 M.6.29 M.6.30 M.6.31 M.6.32 M.6.33 M.6.34 M.6.35 M.6.36 M.6.37 M.6.38 M.6.39 M.6.40 M.6.41 M.6.42 M.6.43 M.6.44 M.6.45 M.6.46 M.6.47 M.6.48 M.6.49
50
M.6.50 262.6
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
51 M.6.51 52 M.6.52 53 M.6.53 54 M.6.54 55 M.6.55 56 M.6.56 57 M.6.57 58 M.6.58 59 M.6.59 60-M.6.60 -
262.2 265.5 264.6 263.9 264.8 263.6 262.6 265.4 265.6 262.1
--
6.59 6.36 6.50 6.58 6.42 6.52 6.39 6.43 6.49 6.55 6.46 6.59 6.36 6.53 6.45 6.55 6.45 6.47 6.44 6.46 6.54 6.44 6.90 6.44 6.49 6.44 6.68 6.68 6.52
2.1 1 1.93 1.97 1.95 1.9? 1.97 1.93 2.03 2.08 1.93 1.93 2.06 2.08 1.96 2.08 2.01 2.10 2.02 2.02 2.06 2.05 1.99 2.05 2.12 2.04 2.07 2.10 1.96 2.04
6.38
2.06
6.57 7.1 1 6.81 6.80 6.68 6.91 6.75 6.79 6.66 6.49
2.06 1.56
1.68 1.75 1.58 1.62 1.53 1.54 1.78 2.03
--
Lampiran 2 (Lanjutan) Keterangan: El = >90500; E2 = 7 1 5000-90500; E3 = <7 1500
rataan minimal maksimal standar deviasi CV(%)
LAMINALEBAR 4 -CM Kode Dimensi rata-rata No
I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Lamina M.4.1 M.4.2 M.4.3 M.4.4 M.4'5 M.4.6 M.4.7 M.4.8 M.4.9 M.4.11 M.4.12 M.4.13 M.4.14 M.4.15 M.4.16 M.4.17 M.4.18 M.4.19 M.4.20
P
(cm) 262.1 262.2 262.1 262.3 261.7 261.7 262.5 262.0 262.3 262.4 262.1 261.6 261.9 261.5 261.6 261.5 261.8 261.8 262.0 M.4.21 261.9 M.4.23 261.6 M.4.25 261.2 M.4.26 261.8 M.4.27 261.4 M.4.28 263.2 M.4.29 262.4 M.4.30 262.0 M.4.31 262.8 M.4.32 262.0 M.4.33 261.5
I
(ctn) 4.49 4.45 4.47 4.60 4.62 4.54 4.46 4.48 4.42 4.37 4.61 4.41 4.54 4.50 4.49 4.51 4.87 4.38 4.47
4.45 4.41 4.52 4.50 4.44 4.35 4.63 4.63 4.51 4.29 4.37
Massa
pk,,
Defleksi
MOEP
MOEP
(g)
(g/cm3) 0.63 0.61 0.52 0.55 0.62 0.65 0.72 0.60 0.65 0.68 0.69 0.61 0.68 0.53 0.55 0.64 0.54 0.69 0.56 0.56 0.52 0.70 0.59 0.57 0.67 0.53 0.58 0.72 0.62 0.57
(cm) 6.6 15.1 11.4 10.0 15.7 7.5 10.4 11.4 9.3 9.6 11.3 13.0 9.5 12.0 12.4 11.0 12.7 8.2
(kp/cm2) 104298 63024 72063 72566 55167 114299 87293 833 17 99176 106474 83435 '18489 99203 34356 66801 72654 59844 9721 5 68517 76988 72778 83339 69238 65141 91041 8 1322 66204 95 145 63383 78230
kdcm2)
t
(cm) 2.13 1 92 2.01 2.08 1.96 1.97 1.95 1.92 1.94 1.89 1.90 1.88 1.91 1.87 2.00 2.03 2.01 2.05 1.90 1.92 1.99 1.95 1.98 2.01 1.92 2.1 1 2.06 2.04 2.00 2.05
84054 52758 141008 20700 24.6
1580 1358 1224 1382 1470 1530 1650 1342 1464 1478 1592 1334 1542 1166 1292 1518 1372 1630 1256 1244 1 186 1618 1382 1340 1464 1350 1452 1754 1392 1330
14.3
12.3 11.8 10.7 12.3 12.7 10.'7 8.5 11.2 8.2 13.8 10.2
(, 04
10.43 6.30 7.2 1 7.26 5'52 11.43 8.73 8.33 9.92 10.65 8.34 7.85 9.92 8.44 6.68 7.27 5.98 9.72 6.85 7.70 7.28 8.33 6.92 6.5 1 9.10 8.13 6.62 9.5 1 6.34 7.82
Kelompoh El E3 E3 E2 E3 El E1 E2 El E1 E2 E2 E1 E1 E3 E2 E3 El E3
E2 E2 E2 E3 E3 El
E2 E3 E1 E3 E2
Lampiran 2 (Lanjutan) Keterangan: El = >84000; E2 = 72500-84000; E3 = G'2500
rataan minimal maksimal standar deviasi
-
LAMJNA LEBAR 2 CM Kode No Lamina
80367 55167 114299 15103
Dimensi rata-rata P 1 t (cm) (cm) (cm)
Massa
pku
Defleksi
MOEP
MOEP (lo4 kg/cm2)
(g)
(g/cm3)
(cm)
(kg/cm2)
756 782 642 796 758 774 744 846 852 702 808 708 664 766 632 700 818 904 730 852
0.60 0.57 0.52 0.61 0.59 0.61 0.50 0.58 0.63 0.53 0.61 0.56 0.54 0.55 0.50 0.56 0.62 0.69 0.59 0.65
24.0 17.7 26.5 20.5 23.5 14.6 15.7 21.0 12.7 14.0 20.5 22.9 25.2 20.5 23.3 18.9 18.1 19.5 24.2 15.0
67535 73600 63767 73343 65699 105083 85006 65339 112092 100504 70825 72.402 66984 7046 1 67380 87810 88330 80303 66026 97386
Keterangan: E l = >88000; E2 = 67000-88000; E3 = q67000
rataan
1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
M.2.1 M.2.2 M.2.3 M.2.4 M.2.5 M.2.7 M.2.8 M.2.9 M.2.10 M.2.12 M.2.13 M.2.16 M.2.17 M.2.18 M.2.19 M.2.22 M.2.23 M.2.25 M.2.27 M.2.29
261.0 261.9 261.4 262.0 261.0 261.3 262.3 261.8 261.4 258.5 262.1 260.3 261.1 261.2 260.0 261.3 262.5 261.5 261.9 262.5
2.48 2.49 2.44 2.49 2.45 2.44 2.83 2.82 2.56 2.51 2.48 2.49 2.42 2.67 2.43 2.44 2.63 2.54 2.39 2.49
1.95 2.10 1.94 2.00 1.99 2.00 1.99 1.98 2.02 2.04 2.03 1.94 1.94 1.98 1.99 1.95 1.93 1.96 1.99 2.02
78994
minimal
63767
maksimal
112092
standar deviasi
14863
6.75 7.36 6.38 7.33 6.57 10.51 8.50 6.53 11.21 10.05 7.08 7.24 6.70 7.05 6.74 8.78 8.83 8.03 6.60 9.74
Kelompok
E2 E2 E3 E2 E3 El E2 E3 El El E2 E2
E3 E2 E2 E2 E1 E2 E3 E1
Lampiran 3 Nilai pengujian kadar air (KA). kerapatan (p), modulus elastisitas Pmter (MOEP), MOE Baldwin (MOEB) dan modulus patah (MOR) balok lcuninasi kayu afrika -
-
--
MOEP (k&cni2) No
Kode Balok
KA (%)
MOER
P
Raring (g/cm3)
( x lo4)
Tegak ( s lo4)
(kgicm2) ( x 1 04)
MOR
(kg/cm2)
1,ampiran 4 Nilai pengujian kadar air (KA), kerapatan (p), modulus elastisitas Panter (MOEP), MOE Baldwin (hIOEE3) dan modulus patah (MOR) balok laminasi kayu akasia
No
I
Kode
KA
P
Balok
(%)
(dcm7)
MA1
12.5
0.61
MOEP (kg!cm') Baring (
71344
MOE-B Tegak
1 04)
7.13
(kg/cm2)
( x lo4)
43814
4.38
105332
MOR
( x 1 04)
(kg/cm2)
10.53
570
Lampiran 5 Nilai pengujian keteguhan rekat, persentase ken~sakan, delaminasi air dingin dan delaminasi air mendidih balok laminasi kayu afrika
No
Kode Balok
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
AA4 AA5 AB1 AB2 AB3 AB4 AB5 ACl AC2 AC3 AC4 AC5 AD1 AD2 AD3 AD4 AD5 AEI AE2
23
AE3
94.6 81.7
24 25 --
il:4 AL3
73.3 73.9
Keteguhan rekat
Kerusakan kayu
Delaminasi air dingin
Delaminasi air mendidih
100 100 100 100 LOO 100 100 100 100 65 100 100 100 100 100 100 100 100 100
0.6 0.0 3.8 1.6 1.7 7.6 0.0 1.3 1.13 3.5 9.8 0.0 2.4 0.5 0.8 0.0 0.5 0.0 0.6
16.7 10.7 10.1 12.9 25.3 34.0 18.4 14.5 16.9 25.2 26.0 12.3 12.1 24.1 14.8 15.5 9.1 7.0 9.9
100
3 .O
11.8
100
0.0
12.4
1 00
0.8
60.5 75.3 78.1 77.2 84.5 86.7 58.1 82.9 86.3 86.8 77.0 69.4 97.9 67.7 88.8 103.8 81.') 88.8
1
-
-
-
16.0
-
Lampiran 6 Nilai pengujian keteguhan rekat, persentase kemsakan, delaminasi air dingin dan delamjnasi air mendidih balok lalnirlasi kayu akasia -
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
25
Kode Balok
MA1 MA2 MA3 MA4 MA5 MB1 MB2 MB3 ME34 MB5 MCl MC2 MC3
MC4 MC5 MD1 MD2 MD3 MD4 MD5 ME1 ME2 ME3
ME4 M1i5
Keteguhan rekat
Kerusakan kayu
Delanlinasi air dingin
Delalninasi air mendidih
Lan~piran7 Nilai pengujian kadar air (KA), kerapatan (p), keteguhan geser (KG), modulus elastisitas Panter (MOEP), MOE Baldwin (MOER) dan ~noduluspatah (MOK) balok utuh Kode No
Balok
I
p
KG
MOEP (kg$cm2) -Baring
Tegak
( x lo4)
(p/crn3) ( kg/crn2I
MOEB
MOR
(figlc1n2)
(kgkm2)
( x lo4)
( x lo4)
Kayu Afrika
5
~5 -- 12.7 0.52 100.4 -rataan 13.1-- 0.43 57.7
62792
6.28
35254
3.53
65994
6.60
175
65626
6.56
41382
4.14
65989
6.60
312
68700
6.87
4311 1
4.31
349 lo
3.49
417*
rataan 15.0 0.65 88.3 66160 Catatan * : penglljinn one point loading
6.62
42896
4.29
95862
9.59
482
Kayu akasia
5
M5
-
0.72 110.3
-
Larnpiran 8 Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap kadar air The SAS System General L i n e a r Models Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class Levels Values F1 2 1 2 F2 5 1 2 3 4 5 R 5 1 2 3 4 5 Number o f o b s e r v a t i o n s i n d a t a s e t = 50 The SAS System General L i n e a r Models Procedure Dependent V a r i a b l e : Y1 kadar a i r DF Sum o f Squares Mean Square Source Model 9 1 .97620000 0.21 957778 Error 40 5.30800000 0.13270000 Corrected T o t a l 49 7.28420000 R-Square 0.271 300
C.V. 2.903556
~r > F 0.1328
F Value 1.65
Root MSE 0.36428011
Y1 Mean 12.54600000
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Type ISS O.OZ380000 1.81720000 0.12520000
Mean Square 0.03380000 0.45430000 0.031 30000
F Value 0.25 3.42 0.24
Pr > F 0.6165 0.0169 0.9165
Source F1 F2 F1*F2
DF
Type I11 SS 0.03380000 1 .81720000 0.12520000
Mean Square 0.03380000 0.45430COO 0.031 30000
F L1alue 0.25 3.42 0.24
Pr > F 0.6165 0.0169 0.9165
1 4
4
Duncan Grouping
Level o f F1
Level of F2
Mean
N
F2
--------------yl------------N
Mean
SD
Lmpiran 9 Jjasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok larninasi terhadap MOE Panter posisi baring The SAS System General L i n e a r Models Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class Levels Values
F1
2 5 5
1 2 i 2 3 4 5 R 1 2 3 4 5 Number o f o b s e r v a t i o n s i n d a t a s e t = 50 F2
The SAS System General L i n e a r Models Procedure MOE-P BARING Dependent V a r i a b l e : Y1 Sour.ce Model Error Corrected T o t a l
Sum o f Squares
F Value
2968102503.92 1523293234.00 44.91395737.92
8.66
C.V.
Pr > F 0.0001
Y1 Mean
8.160760
7561 9.0400
Source
Type I SS
F Value
Pr > F
F1 F2 F1 *F2
2205356567.12 449104162.52 313641774.28
57.91 2.95 2.06
0.0001 0.0317 0.1044
Type 111 SS F Value 2205356567.12 57.91 449104162.52 2.95 31 3641 774.28 2.OE
0.0001 0.0317 0.1044
Source
DF
F1 F2 F1 *F2
1
4 4 Duncan Grouping A
B Duncan Grouping A A A A 6 A B
A
B B B
A
Level of
Level of
F1
F2
1 1 1 1
1
1 2 2 2 2
2
2 3 4 5 1 2 3 4 5
Mean
82260 68978
F1 25 2 25 1
Mean
N
N
79632
F2 10 4
77622
10
75601
10 3
74464
10
70776
10 2
------------. Mean
7071 3.6000 61852.6000 66339.6000 761 07.4000 69875.4000 78214.6000 79698.6000 84862.8000 831 56.8000 85369.0000
5
1
Pr > F
Lampiran 10 Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe baloklaminasi terhadap MOE Panter posis; tegak The SAS System General L i n e a r Models Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class Levels Values F1 2 1 2 F2 5 1 2 3 4 5 R 5 1 2 3 4 5 Number o f o b s e r v a t i o n s i n d a t a s e t = 50 'The SAS System General L i n e a r Models Procedure Dependent V a r i a b l e : Y1 Source Moqel Error Corrected T o t a l
MOE-P TEGAK
DF 9 40 49
Sum o f Squares 0.07535528 0.08387720 0.15923248
F Value 3.99
Pr > F 0.0011
R-Square 0.473241
C.V. 0.978366
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Type I SS 0.03369608 0.0201 1808 0.02154112
F Value 16.07 2.40 2.57
Pr > F 0.0003 0.0661 0.0526
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Type I11 SS 0.03369608 0.02011808 0.02154112
F Value 16.07 2.40 2.57
Pr > F 0.0003 0.0661 0.0526
Duncari Grouping
Level of F2 1 2
3 4 5 1
2 3 4 5
Mean
------------N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Mean
4.65060000 4.61540000 4.62760000 4.70540000 4.67360000 4.75060000 4.70900000 4.67520000 4.69340000 4.70400000
Y1 Mean 4.68048000
N
F1
Lampirar 1 1 Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe bdok laminasi terhadap MOE-Baldwin The SAS system General L i n e a r Models Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class Levels Values
Number o f o b s e r v a t i o n s i n d a t a s e t = 49 General L i n e a r Models Procedure Dependent V a r i a b l e : Y1 MOE DF Sum o f Squares F Value Pr > F Source Model 9 0.33458642 3.46 0.0032 Error 39 0.41951840 Corrected T o t a l 48 0.75410482
2 2 2 2
C.V. 2.075994
DF 1 4 4
Type I11 SS 0.11673982 0.18055376 0.0344361 2
Y 1 Mean 4.99593878
F Value 10.85 4.20 0.80
Duncan Grouping
Mear
N
F1
Duncan Grouping
Mean
N
F2
Level of F1 1 1 1 1 1 :!
R - Square 0.443687
Level o f F2 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
------------N 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5
Mean 4.96880000 4.85300000 4.97820000 4.89700000 5.02820000 5.09200000 5.00600000 5.12400000 4.92260000 5.06980000
Pr > F 0.0021 0.0064 0.5324
Lampiran 12 Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap MOR The SAS System General L i n e a r Models Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class Levels Values F1 2 '1 2 F2 5 1 2 3 4 5 R 5 1 2 3 4 5 Number o f o b s e r v a t i o n s i n d a t a s e t = 50 MOR Dependent V a r i a b l e : Y1 DF Sum o f Squares F Value Pr > F Source 9 633883.300000 15.52 0.0001 Model Error 40 181559.200000 Corrected T o t a l 49 815442.500000
Source Fl F2 F1*F2
R-Square 0.777349 DF 1 4 4
C.V. 13.25437 Type I SS 485900.820000 51474.200000 96508.280000
Y l Mean 5c)8.300000 F Value Pr > F 107.05 0.0001 2.84 0.0368 5.32 0.0016
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Type I11 SS 485900.820000 51474.200000 96508.280000
F Value 107.05 2.84 5.32
Duncan Grouping A B
Mean 606.88 409.72
N 25 25
F1 2 1
Duncan Grouping
Mean
N
F2
A A A A A
548.50
O
Duncan Gruping
Level o f F1 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1
Pr > F 0.0001 0.0368 0.0016
541 .OO C C
504.60
C C C
478.90 468.50 Level of F2 N 3 5 2 5 5 5 1 5 4 5 5 5 4 5 1 5 3 5 2 5
10 2 ---------yq--------.-
Mean 687.000000 626.200000 614.600000 590.600000 516.000000 467.400000 441 .800000 418.600000 410.000000 310.800000
SD 40.7615014 30.6463701 78.1971867 95.8191004 93.4023554 37.0985175 61 .5605393 61 .9297990 78.5334324 60.0016666
Lampiran 13 Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap keteguhan rekat The SAS System General L i n e a r Models Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class Levels Values F1 2 1 2 F2 5 1 2 3 4 5 R 5 1 2 3 4 5 Number o f o b s e r v a t i o n s i n d a t a s e t = 50 The SAS System General L i n e a r Models Procedure Dependent V a r i a b l e : Y1 Source Model Error Corrected T o t a l
KETEGUHAN REKAT
DF 9 40 49 R-Square 0.308795
Sum o f Squares 3405.09780000 7621.93600000 11027.03380000 C.V. 15.91818
F Value 1.99
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Type I SS 1864.161 80000 1287.22880000 253.70720000
F Value 9.78 1.69 0.33
Pr > F 0.0033 0.1716 0.8542
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Type I11 SS 1864.161 80000 1287.22880000 253.70720000
F Value 9.78 1.69 0.33
Pr > F 0.0033 0.1716 0.8542
Duncan Grouping
Level o f F1
Level of F2
Mean
Y1 Mean 86.71 80000
N
F1
-..--..-..--.-y+------------N
Mean
Pr z F 0.0669
CD
Lampiran 14 Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap persentase kerusakan byti The SAS System General L i n e a r Models Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Values Class Levels 2 1 2 F1 5 1 2 3 4 5 F2 5 1 2 3 4 5 R Number o f o b s e r v a t i o n s i n d a t a s e t = 50 Dependent V a r i a b l e : Y1 KK source Model Error Corrected T o t a l
DF 9 40 49
Sum o f Squares 57852.0200000 9851 .2000000 67703.2200000
R-square 0.854494
C.V. 28.87985
Source F1 F2 F1*F2
DF
1 4 4
Type I SS 56515.2200000 1110.1200000 226.6800000
F Value 229.48 1.13 0.23
Pr > F 0.0001 0.3575 0.9199
Source F1 F2 F l *F2
DF 1 4 4
Type XI1 SS 56515.2200000 1110.1200000 226.6800000
F Value 229.48 1.13 0.23
Pr > F 0.0001 0.3575 0.9199
Duncan Grouping
Le t e l o f FI
Level of F2
Mean
F Value 26.10
Pr > F 0.0001
~1 Mean 54.3400000
N
F1
--------------y~-------------
N
Mean
SD
Lampiran 15 Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayi dan tipe balok laminasi terhadap delarninasi air dingin The SAS System General L i n e a r Models Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class Levels Values F1 2 1 2 F2 5 1 2 3 4 5 R 5 1 2 3 4 5 Number o f o b s e r v a t i o n s in d a t a s e t = 50 The SAS System General L i n e a r Models Procedure Dependent V a r i a b l e : Y1 DELAMINASI AIR DINGIN Source Pr > F Model 0.1499 Error Corrected T o t a l
DF
Sum o f Squares
Mean Square
F Value
9
10.58801688
1 .I7644632
1.60
40 49
29.501 32360 40.08934048
0.73753309
R-Square 0.264111
C.V. Root MSE 105.4412 0.85879747
Source F1 F2 F1*F2
OF 1 4 4
Type 1 SS 4.78146888 2.09491148 3.71 163652
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Type I11 SS 4.78146888 2.09491148 3.71 163652
Duncan Grouping
Level o f F1
Level of F2
Mean
Y1 Mean 0.81448000 Mean square 4.78146888 0.52372787 0.9279091 3 Mean Square 4.78146888 0.52372787 0.9279091 3 N
F value 6.48 0.71 1.26
Pr > F 0.0148 0.5899 0.3024
F Value 6.48 0.71 1.26
Pr > F 0.0148 0.5899 0.3024
F1
yl-------------
N
Mean
SD
Lampiran 16 Hasil analisis statistik faktorial pengaruh jenis kayu dan tipe balok laminasi terhadap delaminasi air mendidih The SAS System General L i n e a r Models Procedgre Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class Levels Values F1 2 1 2 F2 5 1 2 3 4 5 R 5 1 2 3 4 5 Number o f o b s e r v a t j o n s i n d a t a s e t = 50 Dependent V a r i a b l e : Y1 DELAMINASI AIR MENDIDIH Source DF Sum o f Squares Mean Square Pr > F Model 9 50.62389538 5.62487726 0.0001 Error 40 36.17127520 0.90428188 Corrected T o t a l 49 86.7951 7058 R-Square 0.583257
C.V. 19.60785
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Source F1 F2 F1*F2
DF 1 4 4
Type ISS 40.559421 78 7.09858948 2.96588412 Type I11 SS 40.559421 78 7.09858948 2.9658841 2
Duncan Grouping A B Level o f F1 1 1 1
1 1 2
2 2 2 2
Level o f F2 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
Root MSE 0.95093737
Mean 5.7504 3.9491
5
5 5 5
5 5 5 5
Mean 3.85840000 4.38740000 4.31 000000 3.83720000 3.35260000 5.10960000 5.56960000 6.49940000 6.17860000 5.39500000
6.22
Y1 Mean 4.84978000 Mean Square 40.559411 78 1.77464737 0.74147103
F Value 44.85 1.96 0.82
Pr > F 0.0001 0.1189 0.5202
Mean Square 40.559421 78 1 .77464737 0.74147103
F Value 44.85 1.96 0.82
Pr > F 0.0001 0.1189 0.5202
N
25 25
F1 2 1
- - - - - - - - - - - - -Y1-N 5 5
F Value
'1