KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM
INDAH SULISTYAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Karakteristik Kekuatan dan Kekakuan Balok Glulam Kayu Mangium adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi.
Bogor, Desember 2009
Indah Sulistyawati NIM E263070032/RPM
ABSTRACT INDAH SULISTYAWATI. The Strength and Stiffness Characteristics of Mangium Timber Glulam Beam. Under the supervision of NARESWORO NUGROHO, SURJONO SURJOKUSUMO, YUSUF SUDO HADI. Acacia mangium is one of the fast growing tree species that developed by Indonesian forestry government. Fast growing wood species has a smaller log diameter caused by the short cycle. To meet the availability of structural component with the dimension that do not depend on the wood log diameter, a structured form of non-solid wood was developed that is glulam (glued laminated). The wood characterictic such as the mechanical properties of the main structural member of beam that must be known are the stiffness and strength. The experimental test and the analytical process should be done exactly. The objectives of this research were to analyze the physical and mechanical properties of mangium wood; develope the new Curve SM-2009 method to obtain the shear modulus (G) of wood glulam beam; analyze the stiffness by taking into account the shear modulus material for glulam beam; analyze the actual strength value based on the data used from the each displacement transducer or strain gauge appliances. The wood used in this research was mangium wood cutted from Legok, Bogor, Perhutani Unit III West Java, at the age of about 8 years, with log diameter of 20-28 cm. Polyurethane as Water Based Polymer Isocyanate was used for adhesive. The ratio of resin and hardener was 100:15 by weight. The entire specimens test were prepared based on the dimension requirement. Lamina samples for glulam were evaluated to determine the stiffness or modulus of elasticity (MOE) using non-destructive test. The MOE properties of each lamina were gathered during the initial grade sorting. The formation of lamina arranging was made to form the glulam. The small clear test was done based on ASTM D143 (2005), “Test Methods for Small Clear Specimen of Wood”. Shear modulus of wood material was conducted based on the regulation as arranged by the ASTM D198-5a (2008), “Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes”. The new Curve SM-2009 method was done which take into account the deflection caused by bending, when L =14 h and L < 14 h. The transformed cross section method was done based on ASTM D3737-07 (2008), “Standard Practice for Establishing Allowable Poperties for Structural Glued Laminated (Glulam)”. The results showed that mangium wood as strength class II-III wood (PKKI) and design value E10-12 (RSNI) can be used as structural material; the depth beam will gradually be upgraded if the deflection influence caused by shear force is taken into account; the new developed Curve SM-2009 method to obtain shear modulus (G) was the simplified of ASTM D198-5a (2008) method; displacemet tranducer can be used to analyze the actual strength based on Transformed Cross Section method, and strain gauge as an equipments alternatively. Keywords: displacement tranducer, glulam, mangium wood, strain gauge, transformed cross section.
RINGKASAN Kayu Acacia mangium merupakan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) yang merupakan salah satu spesies yang sukses dan berkembang pertumbuhannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa karakteristik kayu mangium merupakan kayu kelas kuat II-III (berdasarkan PKKI) dan kayu dengan kuat acuan E10-12 (berdasarkan RSNI 2002). Kayu dengan karakteristik tersebut dapat digunakan sebagai komponen yang bersifat struktural. Glulam merupakan rekayasa produk pengaturan tegangan (stress-rated product) yang terdiri dari dua atau lebih papan kayu yang disebut lamina direkat satu dengan lainnya secara bersama-sama dengan arah serat longitudinal seluruh lapisan, paralel terhadap panjangnya, pernyataan yang dikemukan oleh Moody et al. (1999). Dalam pembuatan balok glulam dengan menyusun lamina yang mempunyai mutu lebih tinggi pada daerah dengan tegangan besar dan mutu yang lebih rendah pada daerah lainnya, penampang laminasi akan bekerja efektif didalam menerima beban lentur. Oleh karena terdapat kebebasan dalam menentukan dimensi penampang melintang balok glulam, maka dengan ketinggian penampang balok terdapat hal yang perlu mendapat perhatian dalam memperhitungkan besar modulus elastisitasnya (MOE). Dengan memperhitungkan defleksi akibat gaya lintang yang mengandung faktor modulus geser (G), akan menghasilkan nilai yang lebih tepat. Untuk memperoleh nilai modulus geser (G) kayu mangium dapat dilakukan berdasarkan pengujian laboratorium berdasarkan peraturan ASTM D198-5a (2008). Berdasarkan teori regangan, dikembangkan metode baru yang relatif lebih sederhana dan dapat diselesaikan dengan waktu lebih singkat jika dibandingkan peraturan ASTM. Selanjutnya kurva yang dihasilkan pada metode baru ini diberi nama KURVA SM 2009 (SM = Shear Modulus). Analisis kekuatan glulam tidak dapat dilakukan seperti pada balok kayu utuh, oleh karena glulam tersusun dari beberapa lamina dengan MOE berbeda. Analisis kekuatan untuk glulam dilakukan menggunakan metode ”Transformed Cross Section Area”, yaitu metode penggunaan konversi nilai MOE yang bervariasi pada masing-masing lamina tehadap satu nilai MOE. Metode ini mempunyai
pengaruh mengurangi lebar lamina dengan MOE rendah, dan menambah lebar lamina dengan MOE tinggi, berdasarkan pernyataan Bodig dan Jayne (1993). Untuk aplikasi penggunaan metode ”Transformed Cross Section”, diperlukan data uji lentur yang dilengkapi dengan “Displacement Tranducer”, yang berfungsi untuk mengukur defleksi yang terjadi akibat adanya pembebanan. Tegangan lentur juga dapat diketahui, dengan memasang strain gauge sebagai alat pengukur regangan yang terjadi pada lokasi terpilih. Dari besar regangan dapat dihitung besarnya tegangan lentur. Nilai modulus geser terhadap modulus elastisitasnya atau E/G masingmasing diperoleh dengan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM-2009 untuk balok utuh masing-masing adalah 19,16 dan 18,77. Sedangkan untuk balok glulam adalah 25,41 dan 24,89. Nilai E/G dengan cara ASTM D198-5a (2008) dan pengembangan metode Kurva SM-2009 adalah tidak berbeda nyata, berarti pengembangan metode ini telah teruji kebenarannya, maka dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan. Untuk balok glulam dengan metode ASTM D198-5a (2008) diperoleh MOEtrue rata-rata adalah 13318 MPa, dan MOEapp rata-rata adalah 11262 MPa. Dari kedua nilai tersebut dapat diketahui bahwa MOEtrue balok glulam adalah 18,3% lebih besar jika dibandingkan dengan MOEapp. Berdasarkan Kurva SM2009 diperoleh MOEtrue rata-rata balok glulam adalah 12978 MPa, dan MOEapp rata-rata adalah 11262 MPa, atau MOEtrue balok utuh adalah 15,2% lebih besar jika dibandingkan dengan MOEapp. Terlihat terjadi peningkatan yang cukup signifikan nilai pada MOEtrue apabila dibandingkan dengan MOEapp untuk balok glulam. Kajian pada balok glulam, displacemet tranducer dapat menunjang penggunaan metode “Transformed Cross Section” untuk memperoleh tegangan lentur aktual di berbagai posisi ketinggian penampang glulam. Strain gauge yang memberikan data regangan yang terjadi akibat suatu pembebanan pada balok glulam dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendapatkan tegangan lentur aktual.
v
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atu tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB
KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM
INDAH SULISTYAWATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Kayu
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi: Ujian Tertutup : tanggal pelaksanaan 5 November 2009 1. Prof. Bambang Suryoatmono, Ph.D. Guru Besar Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil Universitas Parahyangan dan Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Parahyangan, Bandung 2. Dr. Ir. Titik Penta Artiningsih, MT. Dekan Fakultas Teknik, Universitas Pakuan, Bogor
Ujian Terbuka: tanggal pelaksanaan 1 Desember 2009 1. Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS. Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor dan Ketua Organisasi Mapeki (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia) 2. Prof. Dr. Ir Ridwan Suhud Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Trisakti, Jakarta
Judul Disertasi
: Karakteristik Kekuatan dan Kekakuan Balok Glulam Kayu Mangium
Nama
: Indah Sulistyawati
NIM
: E263070032/RPM
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. Ketua
Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo, MSF. PhD. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr. Anggota Anggota
Diketahui, Ketua Departemen Hasil Hutan
Dr. Ir. Dede Hermawan, MSc.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 1 Desember 2009
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat, karunia, serta hidayahNya sehingga penulisan disertasi dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada yang terhormat Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS., Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo, MSF. PhD., Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr., sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, kritik, saran, dan dorongan semangat selama proses studi doktor yang dilakukan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang terhormat pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr., dan Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS., sebagai Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Kehutanan atas kesempatan studi yang diberikan. Kami ucapkan pula kepada yang terhormat Dr. Ir. Dede Hermawan, MSc., dan Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, MSc. sebagai ketua dan sekretaris Departemen Hasil Hutan atas kegiatan studi yang disediakan pada Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Kayu. Terima kasih sebesar-besarnya kepada yang kami hormati Prof. Bambang Suryoatmono, PhD., yang telah memberikan banyak ilmu dalam bidang keteknikan dan konstruksi kayu pada saat kami dalam masa kuliah program doktor, serta masukan yang sangat berharga pada saat ujian tertutup serta dalam penyempurnaan disertasi ini. Kami sampaikan pula kepada yang terhormat Dr. Ir. Anita Firmanti, MT., sebagai penguji pada ujian kualifikasi, Dr. Ir. Titik Penta Artiningsih, MT., penguji pada sidang tertutup, dan Prof. Dr. Ir Ridwan Suhud, serta Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS., sebagai penguji ujian terbuka, atas berkenannya memberikan masukan yang sangat berharga. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Amin Suroso, ST, Esti Prihatini, S.Si, serta seluruh staf dan laboran di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB atas kerjasamanya dan segala bantuannya dalam pelaksanaan pengujian laboratorium di Fakultas Kehutanan IPB, ketua, staf, dan laboran Laboratorium Struktur Puslitbangkim PU Cileunyi Bandung, atas diskusi dan masukan serta pelaksanaan pengujian laboratorium.
Kepada keluarga besar (Alm.) Soegiyo dan Muhammad Nyak Leman (Alm.) kami ucapkan terima kasih atas dukungan, doa serta kasih sayangnya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Teuku Mushaddiq, MMT., atas segala dukungan moril dan materiil, serta dengan segala penuh kesabaran dapat memahami kondisi penulis selama menjalani studi. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada anak-anakku tercinta Amalia Elfi Muna, SE. MM., Sari Nurul Hanifa, S. Ked., Teuku Ade Nur Shofwan, menantu Ir. Jimmy Gunawan, serta cucu Jason Akbar yang segala aktifitasnya selalu menghibur dan penulis sangat sayangi, atas kasih sayang, pengertian serta dapat memahami kekurangan perhatian selama penulis menjalani studi doktor. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan yang telah diberikan, dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu teknologi konstruksi kayu. Bogor, Desember 2009 Indah Sulistyawati
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 27 Agustus 1956 sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan (Alm) Soegiyo dan Supari. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti, lulus pada tahun 1981. Pendidikan Program Magister
ditempuh di Magister Teknik Sipil dibidang Struktur, Universitas
Trisakti, lulus tahun 1996. Program Doktor dilanjutkan di Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Kayu, Sekolah Pascasarjana IPB, mulai tahun 2007. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti sejak tahun 1986 sampai dengan sekarang. Selama mengikuti program Doktor, penulis telah hadir dan presentasi makalah pada 10th World Conference on Timber Engineering (WCTE), 2-5 Juni, 2008, di Miyazaki, Japan; International Symposium on Wood Science and Technology (IWAPS), 27-29 September, 2008,
di Harbin, China; dan
International Symposium IWRS (Indonesian Wood Research Society) pada tanggal 2-3 November 2009 di Bogor. .
Seminar nasional yang penulis telah hadir dan presentasi makalah, yaitu:
Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki) ke X pada tanggal 9-11 Agustus, di Pontianak, Kalimantan Barat; Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki) ke XI pada tanggal 8-10 Agustus, 2008 di Palangkaraya, Kalmantan Tengah; Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki) ke XII pada tanggal 23-25 Juli, 2009 di Bandung; Seminar nasional FTHH (Forum Teknologi Hasil Hutan) pada tanggal 29-30 Oktober 2009 di Bogor. Tulisan-tulisan ilmiah telah dimuat dalam Jurnal Teknik Sipil, Intitut Teknologi Bandung; Jurnal Teknik Sipil, Universitas Trisakti; Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis; dan Jurnal Rimba Kalimantan. Penulis menjadi anggota MC/TC 165 dibawah koordinasi Badan Standarisasi Nasional yang mempunyai kegiatan penyusunan peraturan dibawah ISO (The International Organization for Standarization) dalam bidang struktur kayu, sejak tahun 2009; anggota Mapeki (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia)
sejak tahun 2003 sampai sekarang; Pengurus Organisasi Mapeki periode tahun 2009-2012 pada bidang Kerjasama dan Income Generating Activities. Penulis menikah dengan Ir. Teuku Mushaddiq, MMT., pada tahun 1981 dan dikaruniai dua orang putri, satu orang putra yaitu, Amalia Elfi Muna, SE. MM., Sari Nurul Hanifa, S. Ked., dan Teuku Ade Nur Shofwan. Anak pertama telah menikah dengan Ir. Jimmy Gunawan, yang telah memberikan satu orang cucu dengan nama Jason Akbar kepada penulis.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................. ..... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii DAFTAR NOTASI......................................................................................xx 1. PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah .......................................................................... 3 1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 6 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 6 1.5. Hipotesis Penelitian .......................................................................... 7 1.6. Novelty Penelitian ............................................................................ 7 2. TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1. Kayu Acacia mangium...................................................................... 8 2.2. Rekayasa Kayu Glulam .................................................................. 10 2.3. Defleksi Berdasarkan Teori Energi Regangan ............................... 13 2.4. Pengujian Modulus Geser Berdasarkan ASTM.............................. 18 2.4.1. Berdasarkan ASTM D198 (1999) ........................................ 18 2.4.2. Berdasarkan ASTM D198 (2005) dan ASTM D198-5a (2008)21 2.5. Metode Transformasi Penampang Melintang................................. 23 3. ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU MANGIUM
26
3.1. Pendahuluan.................................................................................... 26 3.2. Tujuan Penelitian ............................................................................ 27 3.3. Bahan dan Metode .......................................................................... 27 3.3.1. Bahan dan Alat ..................................................................... 27 3.3.2. Metodologi ........................................................................... 28 3.4. Analisis Data................................................................................... 30 3.5. Hasil dan Pembahasan .................................................................... 31 3.6. Kesimpulan ..................................................................................... 38
4. ANALISIS KEKUATAN MEKANIS BALOK GLULAM DENGAN KETEBALAN LAMINA BERBEDA
40
4.1. Pendahuluan.................................................................................... 40 4.2. Tujuan Penelitian ............................................................................ 41 4.3. Bahan dan Metode .......................................................................... 41 4.3.1. Bahan dan Alat ..................................................................... 41 4.3.2. Metodologi ........................................................................... 42 4.4. Analisis data ................................................................................... 45 4.5. Hasil dan Pembahasan .................................................................... 45 4.6. Kesimpulan ..................................................................................... 56 5. ANALISIS MODULUS GESER (G) BALOK UTUH DAN GLULAM57 5.1. Pendahuluan.................................................................................... 57 5.2. Tujuan Penelitian ............................................................................ 58 5.3. Pengembangan
Metode
Baru
(Kurva-SM2009)
Dalam
Mendapatkan Modulus Geser Kayu ............................................... 59 5.4. Eksperimen berdasarkan ASTM 2008-5a (2008) dan Metode Baru Kurva SM-2009 .............................................................................. 69 5.4.1. Bahan dan Metode ................................................................ 69 5.4.1.1. Bahan dan Alat ........................................................ 69 5.4.1.2. Metodologi .............................................................. 69 5.5. Hasil dan Pembahasan .................................................................... 72 5.5.1. Balok utuh ............................................................................ 72 5.5.2. Balok Glulam........................................................................ 78 5.5.3. Perbandingan modulus geser dan elastisitas balok utuh dan glulam dengan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM-2009 ............................................................................... 84 5.6. Kesimpulan ..................................................................................... 85 6. ANALISIS KEKAKUAN DAN KEKUATAN BALOK UKURAN STRUKTURAL
GLULAM 87
6.1. Pendahuluan.................................................................................... 87 6.2. Tujuan Penelitian ............................................................................ 89 6.3. Bahan dan Metodologi.................................................................... 90 6.3.1. Bahan dan Alat ..................................................................... 90 6.3.2. Metodologi ........................................................................... 91 6.4. Hasil dan Pembahasan .................................................................... 99 xv
6.5. Kesimpulan ................................................................................... 114 7. PEMBAHASAN UMUM
116
8. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
122
8.1. KESIMPULAN UMUM............................................................... 122 8.2. SARAN ......................................................................................... 122 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xvi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Kekuatan mekanis, berat jenis dan kadar air kayu mangium... 10 Tabel 2.2 Perbandingan mendapatkan modulus geser (G) berdasarkan ASTM dan teori energi regangan ................................................ 22 Tabel 3.1 Sifat fisis dan mekanis kayu mangium ...................................... 37 Tabel 4.1 Penampang melintang balok glulam dan balok utuh ................. 43 Tabel 4.2 Modulus elastisitas balok glulam dan balok utuh ...................... 46 Tabel 4.3 Modulus of Rupture (MOR) balok glulam dan balok utuh ........ 48 Tabel 5.1 Nilai rasio defleksi akibat gaya geser terhadap momen lentur untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan .................................................................................... 63
L untuk balok h dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan .. 65
Tabel 5.2 Formula Kurva SM-2009 berdasarkan rasio
Tabel 5.3 Nilai a berdasarkan KURVA SM-2009 ..................................... 67 L = 14 , dan modulus geser G balok utuh h berdasarkan ASTM D198-5a (2008)........................................... 75
Tabel 5.4 Nilai Etrue , Eapp pada
L = 14 balok utuh berdasarkan h Kurva SM-2009........................................................................... 77
Tabel 5.5 Rasio nilai G terhadap Eapp pada
L = 14 , dan modulus geser G balok glulam h berdasarkan ASTM D198-5a (2008)........................................... 81
Tabel 5.6 Nilai Etrue , Eapp pada
L = 14 balok glulam h berdasarkan Kurva SM-2009 ...................................................... 83
Tabel 5.7 Rasio nilai G terhadap Eapp pada
Tabel 6.1 Kelompok kelas kuat lamina .................................................... 100 Tabel 6.2 Nilai Modulus elatisitas efektif, kekakuan lentur balok glulam dan rasio keduanya .................................................................... 105
Tabel 6.3 Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan metode konvensional dan transformasi ........................................................................ 107 Tabel 6.4 Regangan serat atas dan bawah menggunakan strain gauge ... 113
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian ........................................ 5 Gambar 2.1 Balok dengan beban terpusat di tengah bentang terletak di atas dua ............................................................................................... 15 Gambar 2.2 Penampang balok persegi panjang ......................................... 17 Gambar 2.3 Kurva untuk mendapatkan modulus geser (G) ....................... 20 Gambar 2.4 Susunan tiga lapis lamina simetris ......................................... 24 Gambar 2.5 Susunan n lapis lamina tidak simetris .................................... 25 Gambar 3.1 Uji lentur dengan mesin pemilah Panter ................................ 30 Gambar 3.2 Kerapatan kayu mangium ...................................................... 32 Gambar 3.3 Berat jenis kayu mangium ...................................................... 32 Gambar 3.4 Kadar air kayu mangium ........................................................ 32 Gambar 3.5 Susut longitudinal, radial, dan tangensial kayu mangium...... 33 Gambar 3.6 Tegangan tekan sejajar serat kayu mangium.......................... 34 Gambar 3.7 Tegangan tekan tegak lurus serat kayu mangium .................. 34 Gambar 3.8 Tegangan tarik tegak lurus serat kayu mangium.................... 35 Gambar 3.9 Tegangan geser sejajar serat kayu mangium .......................... 35 Gambar 3.10 Modulus elastisitas kayu mangium hasil pemilahan dengan Mesin Pemilah Panter ................................................................. 36 Gambar 4.1 Proses pengempaan balok glulam .......................................... 44 Gambar 4.2 Pelaksanaan uji lentur balok glulam dan balok utuh menggunakan Universal Testing Machine .................................. 44 Gambar 4.3 Kerapatan balok glulam dan balok utuh................................. 46 Gambar 4.4 Modulus elastisitas rata-rata balok glulam dan balok utuh .... 47 Gambar 4.5 Beban maksimum dan MOR balok glulam dan balok utuh.... 49 Gambar 4.6 Tipikal kerusakan balok glulam akibat uji lentur ................... 51
Gambar 4.7 Tren nilai MOE terhadap MOR balok glulam dan balok utuh 53 Gambar 4.8 MOE dan MOR rata-rata balok glulam dan balok utuh .......... 54 Gambar 4.9 Hubungan MOE-MOR balok glulam...................................... 55 Gambar 4.10 Hubungan MOE-MOR balok utuh.......................................... 55 Gambar 5.1 Kurva hubungan modulus elastisitas apparent terhadap rasio panjang bentang dan tinggi balok utuh ....................................... 61 Gambar 5.2 Hubungan rasio defleksi akibat gaya geser dan momen lentur terhadap rasio panjang bentang terhadap tinggi balok untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan .. 62 Gambar 5.3 Pengembangan metode baru Kurva SM-2009 mendapatkan nilai modulus geser G ................................................................. 66 Gambar 5.4 Nilai Eapp berdasarkan panjang bentang masing-masing balok utuh.............................................................................................. 73 2
1 ⎛h⎞ balok utuh Gambar 5.5 Kurva hubungan ⎜ ⎟ dengan nilai E ⎝ L⎠ berdasarkan ASTM D198-5a (2008)........................................... 74 L = 14 balok utuh berdasarkan h ASTM D198-5a (2008) ............................................................... 76
Gambar 5.6 Nilai Etrue terhadap Eapp pada
L = 14 h balok utuh .................................................................................... 78
Gambar 5.7 Nilai pembagi modulus geser G terhadap Eapp pada
Gambar 5.8 Nilai Eapp berdasarkan panjang bentang masing-masing balok glulam.......................................................................................... 79 2
1 ⎛h⎞ balok glulam Gambar 5.9 Kurva hubungan ⎜ ⎟ dengan nilai E ⎝ L⎠ berdasarkan ASTM D198-5a (2008)........................................... 80 Gambar 5.10 Modulus elastisitas apparent terhadap rasio panjang bentang dan tinggi balok glulam............................................................... 82 Gambar 5.11 Nilai pembagi modulus geser G terhadap modulus elastisitas balok glulam ................................................................................ 84 Gambar 5.12 Perbandingan modulus elastisitas dan rasio E/G balok utuh dan glulam ................................................................................... 85 xx
Gambar 6.1 Strain gauge pada sisi atas dan bawah balok glulam ............. 90 Gambar 6.2 Displacement tranducer pada tengah bentang balok glulam . 91 Gambar 6.3 Balok glulam siap untuk dilakukan uji lentur ........................ 93 Gambar 6.4 Susunan lamina balok glulam berdasarkan kelas kuat ........... 94 Gambar 6.5 Modulus elastisitas masing-masing lamina balok glulam ...... 94 Gambar 6.6 Pengujian lentur balok glulam ukuran struktural ................... 96 Gambar 6.7 Balok diatas dua perletakan dengan beban masing-masing ½ P pada sepertiga bentang ................................................................ 98 Gambar 6.8 Diagram regangan dan tegangan balok glulam ...................... 99 Gambar 6.9 Modulus elastisitas lamina dengan varisasi jarak bentang ... 100 Gambar 6.10 Histogram kelompok kuat acuan lamina ............................. 101 Gambar 6.11 Hubungan gaya-defleksi hasil uji lentur balok glulam......... 102 Gambar 6.12 Defleksi dan gaya maksimum balok glulam ........................ 103 Gambar 6.13 Modulus elastisitas efektif dan true balok glulam ............... 104 Gambar 6.14 Tren nilai EI terhadap MOE masing-masing balok glulam.. 105 Gambar 6.15 Kurva MOR berdasarkan metode konvensional dan transformasi ............................................................................... 108 Gambar 6.16 Tipikal kerusakan glulam ukuran struktural....................... 110 Gambar 6.17 Tegangan nominal dan aktual balok glulam ........................ 111 Gambar 6.18 Tren nilai MOE terhadap MOR masing-masing balok gulam111 Gambar 6.19 Nilai MOR berdasarkan metode transformasi dan uji regangan dengan strain gauge .................................................................. 114
xxi
DAFTAR NOTASI τ
= tegangan geser (MPa)
ρ
= kerapatan (g/cm3)
y
= ketinggian titik berat atau garis netral (mm)
btri
= lebar balok transformasi pada lapis ke i (mm)
Atri
= luas lamina lapisan i tertransformasi (mm2)
I 0i tr
= momen inersia elemen i tertransformasi (mm4)
σn
= tegangan lentur (MPa)
δ
= deformasi (mm)
A
= luas penampang (mm2)
A’
= modifikasi luas geser (mm2)
Abidang-gerser
= luas penampang bidang geser (cm2)
Abidang-tekan
= luas penampang bidang tekan (cm2)
b
= lebar potongan melintang penampang balok (mm)
bi
= lebar balok pada lapis ke i (mm)
i
d
= jarak titik berat elemen i terhadap garis netral penampang (mm)
CV
= koefsien variasi (%)
E
= MOE = modulus elastisitas (MPa)
Eapp = modulus elastisitas apparent (MPa) Eeff
= modulus elastisitas efektif (MPa)
Etrue = modulus elastisitas true (MPa) Ei
= MOE tertransformasi pada lapisan ke i (MPa)
En
= MOE pengukur (MPa)
f1, f2 = faktor pengaruh pembebanan G
= modulus geser (MPa)
h
= tinggi potongan melintang penampang balok (mm)
I
= momen Inersia (mm4)
Itr
= momen inersia transformasi (mm4)
k
= faktor bentuk penampang
L
= panjang bentang (mm)
Lkt
= panjang kondisi kering tanur (mm)
Lo
= panjang awal (mm)
M
= momen (Nmm)
MOR = modulus of rupture (MPa) m
= momen lentur akibat beban satu satuan
n
= faktor transformasi
P
= beban (N)
S
= statis momen penampang (mm3)
SD
= standar deviasi
U
= usaha
V
= volume (mm3)
Vkt
= volume kondisi kering tanur (cm3)
Vku
= volume kondisi kering udara (cm3)
v
= gaya geser akibat beban satu satuan
Wkt
= berat kondisi kering tanur (g)
Wku
= berat kondisi kering udara (g)
y
= jarak titik tinjauan terhadap garis netral penampang (mm)
Δ
= defleksi (mm)
Δb
= defleksi akibat lentur (bending) (mm)
Δs
= defleksi akibat gaya geser (shear) (mm)
Δtotal = defleksi total (mm)
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Modulus elatisitas apparent untuk uji modulus geser (G) balok utuh
2.
Modulus elatisitas apparent untuk uji modulus geser (G) balok glulam ................................................................................................ 3
134 135
Modulus elastisitas lamina balok glulam ukuran struktural...............136 4. Kuat acuan lamina untuk balok glulam ukuran struktural ............... 139.
1. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Acacia mangium atau biasa disebut kayu mangium merupakan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) mempunyai pertumbuhan tahunan yang tinggi dibandingkan dengan kayu jenis lainnya. Jenis cepat tumbuh seperti kayu
mangium mempunyai rotasi umur pendek yaitu sekitar 8-10 tahun dibandingkan jenis lainnya yang lebih dari 25 tahun. Pada umumnya kayu yang dihasilkan dari jenis cepat tumbuh mempunyai diameter kecil karena siklus pemotongan yang pendek, sehingga kayu sebagai bahan alamiah berupa balok atau log belum merupakan produk yang efisien sebagai komponen struktural. Adanya ketersediaan balok dengan diameter kecil, sedangkan kebutuhan sebagian komponen struktural memerlukan dimensi yang cukup besar, maka perlu suatu metode yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk memenuhi ketersediaan komponen struktural dengan dimensi yang tidak tergantung dengan diameter kayu, dikembangkanlah bentuk struktur bukan kayu utuh (solid wood) melainkan komponen laminasi yang dibuat melalui perekatan atau biasa disebut dengan balok laminasi atau balok glulam (glued
laminated). Serrano (2002) mengemukakan bahwa glulam adalah susunan beberapa lapis kayu direkatkan satu sama lain secara sempurna menjadi satu kesatuan tanpa terjadi diskontinuitas perpindahan tempat. Moody et al. (1999) menyatakan bahwa glulam merupakan rekayasa produk bermutu tegangan (stress-rated product) yang terdiri dari dua atau lebih lapisan kayu yang direkat satu dengan lainnya secara bersama-sama dengan arah serat longitudinal seluruh lapisan yang disebut sebagai lamina, paralel terhadap panjangnya. Juga dinyatakan bahwa glulam merupakan bahan yang terbuat dari lapisan kayu pilihan Prinsip
desain
laminasi
adalah
memaksimalkan
dimensi
dengan
meminimalkan material. Apabila prinsip tersebut dapat dilakukan secara simultan maka tujuan penggunaan laminasi dapat dicapai secara maksimal, sehingga laminasi merupakan desain ekonomis dengan tetap memenuhi prinsip struktural,
2 dinyatakan Bodig dan Jayne (2003). Juga dinyatakan bahwa
sistem lapisan
komposit khususnya laminasi kayu menambah pilihan di dalam desain struktur. Breyer (2007) mengemukakan bahwa apabila didesain bentang besar dan beban yang bekerja adalah besar, penggunaan kayu gergajian menjadi tidak praktis, maka dengan pertimbangan segi arsitek dapat digunakan struktur glulam. Berglund dan Rowell (2005) mengemukakan bahwa keuntungan paling besar dari penggunaan glulam adalah untuk menghasilkan balok besar dapat dibuat dari kayu dengan log berdiameter kecil, kayu dengan kualitas rendah, serta lamina penyusun glulam lebih cepat dikeringkan jika dibandingkan dengan kayu utuh dengan dimensi besar. Balok kayu utuh dengan adanya cacat kayu, mengakibatkan kapasitas memikul beban menjadi lebih kecil, dengan membuang cacatnya dan kemudian merekatkan kembali atau mengatur posisi cacat kayu secara tepat maka sifat mekanisnya akan meningkat. Perekat merupakan material dengan sifat berbeda dengan kayu. Adanya perekat diantara lapisan kayu pada glulam, memungkinkan terjadi perubahan sifat mekanis kayunya, seperti kekakuan dan kekuatannya. Dengan dimensi penampang melintang glulam yang sama, dapat disusun sejumlah lamina secara horizontal dengan ketebalan tertentu. Semakin banyak jumlah lamina, semakin tipis tebal lamina. Semakin banyak jumlah lamina semakin besar luas bidang rekatan. Faherty dan Williamson (1999) mengemukakan bahwa perekat dipilih lebih kuat dan mempunyai ketahanan yang lebih besar daripada kayu yang direkat. Pemilihan jenis perekat pada balok laminasi dipertimbangkan
secara teknis
maupun ekonomis sesuai dengan penggunaannya. Perlu diketahui jenis perekat yang dipilih adalah yang paling sesuai dengan penggunaan sistem laminasi. Wiryomartono (1958) mengemukakan bahwa komponen glulam selain memberi kemungkinan yang sangat luas pada arsitek dan perencana dalam menentukan bentuk serta arsitektur bangunan yang akan dibangun juga mengakibatkan berkembangnya industri perekat untuk glulam. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti di berbagai negara diperoleh
3 jenis perekat dengan mutu yang lebih tinggi, sehinnga dapat meyakinkan dan memuaskan penggunaan glulam. Untuk meningkatkan kekuatan dan kekakuan dari balok dibawah pembebanan lentur selain mengupayakan menyusun lamina pada daerah tepi atas dan bawah penampang (dimana pada daerah tersebut mengalami tegangan maksimum) adalah membuat balok relatif tinggi. Balok tinggi mempunyai momen inersia yang lebih besar dibandingkan dengan balok rendah. Dalam perhitungan kekakuan balok, defleksi yang terjadi akibat gaya gaya geser sering diabaikan. Analisis kekakuan dengan memperhitungkan defleksi akibat lentur dan defleksi akibat gaya geser perlu dipertimbangkan apabila material balok dibuat dari kayu. Pengaruh adanya pengabaian gaya geser akan menghasilkan perhitungan besar defleksi yang kurang tepat, sehingga mempunyai dampak nilai kekakuan yang kurang tepat pula. Khususnya pada balok dengan rasio bentang terhadap tinggi balok adalah kecil sesuai dengan pernyataan Biblis (1965). Oleh karena balok glulam dapat disusun dari lamina-lamina sehingga memungkinkan terbentuk balok glulam dengan ketinggian yang cukup tinggi maka hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan. Susunan lamina pada balok glulam dengan modululus elastisitas yang berbeda-beda mempunyai pengaruh pada sifat mekanis glulam. Analisis secara tepat untuk balok glulam diperlukan untuk memenuhi kondisi tersebut. 1.2.
Perumusan Masalah
Kayu jenis cepat tumbuh dari hutan tanaman industri merupakan jenis kayu yang ketersediannya cukup potensial untuk digunakan. Salah satu jenis kayu tersebut adalah kayu mangium. Apakah kayu mangium mempunyai karakteristik material yang dapat digunakan sebagai komponen bersifat struktural? Oleh karena kayu yang dihasilkan dari jenis cepat tumbuh mempunyai diameter log kecil, maka perlu direncanakan rekayasa produk kayu yang sesuai. Balok glulam merupakan salah satu pilihan ideal. Glulam tersusun dari laminalamina dengan ketebalan tertentu, berapa besar pengaruh sifat mekanis balok glulam sehubungan dengan perbedaan ketebalan lamina?
4 Prinsip laminasi antara lain memaksimalkan dimensi, dimana salah satu pengertian dimensi adalah ketinggian penampang. Didalam pembuatan analisis kekakuan akan lebih tepat apabila dapat mengetahui permasalahan terabaikan yang sebenarnya dapat diperhitungkan sehingga dapat memperoleh nilai lebih tinggi atau dapat dikatakan akan diperoleh desain yang lebih ekonomis. Didalam menganalisis kekakuan balok yang dinyatakan sebagai modulus elastisitas selalu mengabaikan defleksi yang terjadi akibat pengaruh adanya gaya geser yang mengandung nilai modulus geser (G). Dengan mengabaikan defleksi akibat gaya geser berapa besar pengaruhnya terhadap perhitungan modulus elastisitas? Metode untuk mendapatkan nilai modulus geser adalah berdasarkan ASTM D198, apakah dapat dikembangkan metode lain yang lebih sederhana? Balok glulam ukuran struktural disusun dari lamina dengan modulus elastisitas berbeda. Analisis kekakuan dan kekuatan balok glulam tidak sama dengan balok utuh. Bagaimana cara menganalisis kekakuan dan kekuatan glulam tersebut? Secara skematik alir pikir sebagai dasar pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat seperti pada Gambar 1.1.
5 Perumusan Masalah: KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM STUDI PUSTAKA
Penelitian I - Kerapatan, berat jenis, kadar air - Susut kayu pada arah longitudinal, radial, dan tangensial - Tegangan tekan sejajar serat, tegangan tekan tegak lurus serat tegangan tarik tegak lurus serat, tegangan geser sejajar - MOE
PENELITIAN PENUNJANG
Penelitian II Perilaku balok utuh dan glulam (glued laminated) dengan ketebalan lamina berbeda
PENELITIAN UTAMA
MOE dan MOR glulam dan balok utuh
Modulus geser (G) balok utuh
Penelitian III Pengembangan metode: modulus geser (G)
Penelitian IV Karakteristik balok glulam ukuran struktural
Keterangan: Garis hubungan Garis manfaat hasil
Modulus geser (G) balok glulam
MOE glulam Tegangan lentur (MOR) glulam, berdasarkan data dengan Displacement Tranducer dan Strain Gauge
Gambar 1.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian
6 1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum yang akan diperoleh pada penelitian ini adalah membuat analisis kekuatan dan kekakuan balok glulam yang terbuat dari kayu mangium. Tujuan khusus yang akan dicapai dari penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis sifat fisis dan mekanis kayu mangium.
2.
Menganalisis pengaruh ketebalan lamina terhadap kekakuan dan kekuatan glulam serta membandingkan terhadap balok utuh dengan seluruh MOE lamina maupun balok utuh mendekati sama.
3.
Mendapatkan nilai modulus geser (G) kayu untuk balok utuh maupun glulam berdasarkan ASTM D198-5a (2008), membuat perbandingan hasil keduanya, dan membuat metode baru dalam mendapatkan nilai modulus geser.
4.
Menganalisis pertambahan nilai kekakuan dengan memperhitungkan nilai modulus geser.
5.
Menganalisis kekuatan glulam dengan adanya pengaturan lamina dilakukan dengan metode ”Transformed Cross Section” berdasarkan data uji lentur dengan menggunakan bantuan alat displacement tranducer dan strain gauge.
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1.
Meyakinkan bahwa A. mangium sebagai kayu fast growing species merupakan jenis kayu yang berpotensi sebagai material struktural.
2.
Memberikan informasi bagi perencana balok glulam, perhitungan modulus elastisitas dan kekuatan lentur balok glulam yang lebih tepat.
3.
Memberikan masukan dalam pembuatan peraturan konstruksi kayu Indonesia, sehubungan dengan analisis dan pelaksanaan pengujian lentur balok glulam di laboratorium.
7 1.5.
Hipotesis Penelitian
Sesuai dari tujuan yang dilakukan dapat dirinci hipotesis dari penelitian adalah sebagai beikut: 1.
Ketebalan lamina mempunyai pengaruh terhadap kekakuan dan kekuatan glulam.
2.
Kekakuan dan kekuatan glulam, diduga memiliki nilai yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan balok utuh.
3.
Dengan memperhitungkan defleksi akibat gaya geser yang mengandung faktor modulus geser (G), diduga akan memperbesar kekakuan balok glulam.
4.
Kekuatan balok glulam yang dinyatakan dalam besaran nilai tegangan lentur akan sama apabila menggunakan data uji lentur dengan bantuan alat
displacement tranducer atau strain gauge.
1.6.
Novelty Penelitian
Novelty yang telah diperoleh setelah mengadakan penelitian secara analitik dan empiris adalah sebagai berikut: 1.
Penemuan metode baru dengan diberikan nama Kurva SM-2009 untuk mendapatkan nilai modulus geser (G). Pengembangan metode ini merupakan penyederhanan metode yang diatur dalam ASTM D198-5a (2008).
2.
Pendekatan metode transformasi dalam perhitungan kekuatan balok glulam dilakukan secara empiris dengan bantuan alat displacement tranducer dan
strain gauge.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kayu Acacia mangium
Pada akhir tahun 1980-an Pemerintah Indonesia mencangankan program pembangunan hutan tanaman industri (HTI). Pembangunan HTI terutama dimaksudkan untuk merehabilitasi lahan-lahan dalam kawasan hutan tidak produktif. Di masa depan peran HTI untuk memasok kebutuhan kayu akan semakin penting oleh karena pasokan kayu dari hutan alam akan terus menurun. Kayu mangium telah menjadi salah satu spesies pohon yang penting dalam pembuatan hutan tanaman industri di Indonesia. Pada saat itu, kayu mangium merupakan spesies yang paling banyak ditanam, terutama pada HTI di Sumatera dan Kalimantan. Spesies ini dikembangkan untuk HTI karena laju pertumbuhan cepat, mempunyai kemampuan tumbuh pada lahan marginal seperti alang-alang, kayunya cocok untuk berbagai keperluan seperti bahan baku pulp, MDF (medium density fiber
board), papan partikel (particle board), dan kayu pertukangan, pernyataan ini telah disampaikan oleh Hardiyanto (2004). Pemanfaatan kayu mangium hingga saat ini telah mengalami spektrum yang luas, baik untuk kayu serat terutama untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Jamaludin et al. (2008) memberikan pendapat bahwa dengan adanya perubahan kondisional baik yang menyangkut kapasitas industri maupun adanya desakan kebutuhan kayu, maka kayu mangium digunakan pula sebagai kayu pertukangan maupun kayu energi sebagai bahan bakar arang. Kayu mangium adalah tanaman yang banyak tumbuh di wilayah Papua Nugini, Papua Barat dan Maluku. Tanaman ini pada mulanya dikembangkan eksitu di Malaysia Barat dan selanjutnya di Malaysia Timur, yaitu di Sabah dan Serawak. Oleh karena kayu mangium menunjukkan pertumbuhan yang baik, maka Filipina telah mengembangkan pula sebagai hutan tanaman. Penyebaran kayu mangium dikenal pula di kepulauan Sula, Seram, Aru, dan Timur laut Quensland, berdasarkan pernyataan Pinyopusarerk et al. (1993).
9 Berdasarkan pernyataan Mandang dan Pandit (1997), kayu mangium termasuk dalam Sub Famili Mimosideae, famili Leguminoseae. Nama lainnya adalah kasia, kihia (Sunda), akasia (berlaku umum). Dikatakan pula bahwa kayu mangium mempunyai ciri umum sebagai berikut: a. Warna: teras berwarna coklat pucat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. b. Corak: polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. c. Tekstur: halus sampai agak kasar dan merata. d. Arah serat: biasanya lurus, kadang-kadang berpadu e. Kilap: permukaan agak mengkilap. f. Kesan raba: licin. g. Kekerasan: agak keras sampai keras. Sedangkan ciri anatomi berdasarkan pernyataan dari kedua penulis tersebut adalah sebagai berikut: a. Pembuluh/pori: baur, soliter dan berganda radial yang terdiri atas 2-3 pori, kadang-kadang sampai 4, diameter agak kecil, jarang sampai agak jarang, bidang perforasi sederhana. b. Parenkim: bertipe paratrakeal bentuk selubung disekeliling pembuluh, kadang-kadang bentuk sayap pada pembuluh kecil. c. Jari-jari: sempit, jarang sampai agak jarang, ukurannya agak pendek sampai pendek. d. Sifat fisis: berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66); kelas awet II; kelas kuat II-III. Ginoga (1997) melaporkan hasil pengujian sifat mekanis kayu mangium dengan umur tanam 9 dan 10 tahun adalah seperti dirinci pada Tabel 2-1.
10 Tabel 2.1 Kekuatan mekanis, berat jenis dan kadar air kayu mangium Sumber: Ginoga (1997) Umur (Thn)
BJ (BKU)
Kekuatan mekanis (kg/cm2) MOR
10
MOE (x103) 113,664
Tegangan Proporsional 686,13
0,57 942,23 0,53-0,61* 812,99-1071,47* 0,033** 104,11** 9 0,51 725,37 118,693 528,32 0,45-0,56* 599,82-850,92* 0,0034** 78,911** Keterangan: BJ (BKU) = Berat jenis berdasarkan berat dan volume kering udara MOR = modulus of rupture MOE = modulus elastisitas (modulus of elasticity) τ // serat = tegangan geser sejajar serat *) = kisaran **) = simpangan baku
τ // serat 435,85 405,97-465,73* 24,07** 416,48 365,87-467,09* 31,81**
Kayu mangium termasuk jenis yang mudah dikeringkan tanpa cacat yang berarti. Pada penelitian terhadap kayu berupa quarter sawn dan flat sawn dimana masing-masing memiliki kadar air adalah 112% dan 99%, Silitonga (1987) melaporkan bahwa untuk mencapai kadar air akhir 9% kedua contoh tersebut masing-masing memerlukan waktu 10 dan 16 hari. Pecah ujung jarang terjadi dan tidak melengkung. Surjokusumo (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan kayu mangium sangat cepat dibandingkan hasil hutan tanaman industri lainnya yaitu mencapai 50 m3/ha/tahun pada daur 9 s/d 10 tahun atau dengan diameter antara 30 s/d 40 cm.
2.2.
Rekayasa Kayu Glulam
Glulam pertama kali digunakan di Eropa sebagai konstruksi pada auditorium Bassel di Negara Switzerland tahun 1893. Sistem ini dipatenkan sebagai Hertzer System dan digunakan perekat yang tidak tahan air. Jadi penggunaannya terbatas pada kondisi kering saja, menurut pernyataan Moody et
al. (1999). Riberholt (2007) telah mengemukakan bahwa pada tahun 1835 dan 1855, di Inggris dan Skotlandia, jembatan kereta api pertama dibangun menggunakan glulam lengkung dengan panjang bentang 18 m dan 36 m. Pada
KA (%) 14,48 15,32
11 awal abad 19, glulam lengkung dan balok digunakan sebagai struktur atap, menggunakan perekat casein. Selama perang dunia ke II, kebutuhan membangun bangunan militer yang terdiri dari komponen struktural yang besar, seperti gudang dan hanggar pesawat terbang, menambah ketertarikan terhadap sistem glulam. Perkembangan perekat resin sintetis tahan air mengizinkan penggunaan glulam kayu untuk jembatan dan bangunan eksterior lainnya, menurut Moody et al. (1999). Dikatakan pula bahwa selama tahun 1990-an, produksi glulam semakin berkembang dan diekspor dalam jumlah yang cukup berarti, dikirim ke negaranegara Pacific Rim terutama Jepang. Struktur glulam pertama diproduksi di New Zealand pada tahun 1957. Dasar terbentuknya industri glulam di New Zealand adalah adanya perkebunan kayu berdaun jarum, Radiata pine dan Douglas fir. Karena banyaknya jumlah
Radiata pine, maka struktur glulam banyak menggunakan kayu jenis ini, McIntosh (2008). Perekat yang digunakan adalah melamine-urea formaldehyde. Pada tahun 1965, New Zealand Forest Products membangun gedung 3 (tiga) lantai dari kayu Radiata pine dengan perekat casein untuk komponen interior dan menggunakan perekat resorcynol untuk komponen eksterior. Di Indonesia, di Aula Barat dan Timur Kampus Institut Teknik Bandung (ITB), pertama kali dibuat struktur glulam dengan sistim laminasi mekanis. Sambungan mekanis untuk menyatukan lamina satu dengan lainnya sebagai pembentuk glulam, digunakan baut. Pada posisi tertentu dipasang klem baja untuk lebih mempererat ikatan antar lamina. PT PAL Surabaya telah membuat lunas kapal terbuat dari kayu dengan sistem laminasi. Dibandingkan dengan kayu gergajian sebagai material struktural, glulam mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: (1) dimensi: dapat dibuat sebagai produk struktur kayu dengan dimensi yang lebih besar dari komponen kayu gergajian; (2) segi arsitektural: dapat dibuat untuk bentang besar, sebagai material terekspose atau elemen dekoratif; (3) pengkondisian: pengaruh retak dapat diminimalkan, dengan cara pengkondisian papan lamina sebelum digunakan sebagi produk glulam; (4) variasi penampang melintang: dapat didesain dengan penampang melintang yang berbeda sepanjang arah longitunal sesuai dengan kekuatan dan kekakuan yang ditentukan; (5) variasi kelas kayu: dapat disusun dari
12 papan lamina dengan kelas kayu yang berbeda, spesies kayu juga dapat bervariasi disesuaikan fungsi glulam; (6) ramah lingkungan: pohon berkayu mempunyai kemampuan mudah diperbaharui, relatif memerlukan energi rendah didalam pembuatannya, mampu menyimpan karbon, dan bekasnya dapat digunakan kembali. Glulam merupakan bahan ideal untuk struktur dengan bentang besar, untuk balok lurus dan tapered dapat digunakan untuk bentang sampai dengan 30 m atau lebih, pernyataan ini dikemukakan oleh Thelandersson (2002). Forest and Wood
Products Research and Development Corporation dari Australian Government (2007), mengemukakan bahwa glulam dapat dibuat menjadi komponen struktural dengan dimensi besar dan panjang yang terbuat dari banyak lamina dengan ukuran tipis. Kapasitas kekuatan bertambah dibandingkan dengan kekuatan komponen lamina awalnya, dan laminasi disusun sejajar arah serat. Setelah diadakan pemilihan lamina dengan sedikit cacat, dilakukan perekatan dan diklem secara bersama-sama dengan tekanan tertentu dan dilakukan curing. Dinyatakan pula bahwa kekakuan kayu tidak mempunyai pengaruh dengan adanya proses laminasi, biasanya balok glulam yang dibentuk dari lamina mempunyai MOE sama atau lebih kecil dari balok utuh. Pengaruh pengurangan kekuatan dapat diminimalkan dengan mengatur distribusi mata kayu (knots), pecah/belah (splits), kemiringan serat (slope of
grain) sepanjang komponen. Kekakuan glulam tidak terpengaruh oleh proses laminasi, dan balok laminasi mempunyai kekakuan sama dari kayu pembentuknya. Pada umumnya MOE balok glulam lebih kecil apabila dibandingkan dengan MOE laminasi pembentuknya. Sebagai komponen balok glulam yang mengalami lentur, mata kayu yang besar diletakkan pada daerah mendekati sumbu netral. Hal ini dilakukan karena pada daerah tersebut tegangan lentur yang terjadi adalah kecil. Dengan membuang mata kayu, kayu laminasi akan menjadi bahan yang bebas cacat, penjelasan ini dikemukakan oleh Fank dan Prion (2002). Juga dinyatakan bahwa agar glulam dapat dijamin lurus atau lengkung sesuai dengan desainnya, setelah proses perekatan selesai dilakukan pada seluruh lamina selanjutnya diberikan tekanan atau diklem > 0,7 MPa atau 7,0 kg/cm2. Pada NDS
13
Commentary (2004) tertulis bahwa balok glulam dibuat dari material kering yang harus dikontrol kualitasnya, termasuk cacat kayu. Dalam tahap kualifikasi perencanaan perlu ditentukan jenis perekat serta prosedur perekatan yang sesuai, agar memenuhi kekuatan geser rekat antar lapisan seperti yang ditentukan oleh NDS Commentary (2004). Fungsi dari perekatan adalah mengisi ruang kayu, menghasilkan ikatan perekat pada masing-masing komponen yang sama kuat serta membentuk ikatan kohesi diantara komponen. Pada struktur glulam, garis rekat harus cukup kuat dan dapat mempertahankan integritasnya sesuai dengan kelas serta umur yang diharapkan. Sejak tahun 1960, di Eropa menggunakan perekat sintetis, seperti Urea dan
Recorcinol, dimana perekat ini merupakan perekat terbaik. Kemudian akhir-akhir ini digunakan campuran Urea dengan Melamine. Dalam sepuluh tahun terakhir banyak digunakan perekat Polyurethane, yang dikenal sebagai perekat ramah lingkungan, pernyataan yang disampaikan oleh Riberholt (2007). Polyurethane dapat digunakan untuk pembuatan rangka furnitur dan bangunan-bangunan. Usysal dan Özçifçi (2006) memberikan pendapat bahwa Polyurethane dapat digunakan sebagai material perekat dengan kondisi kelembaban jangka panjang, namun tidak direkomendasikan digunakan untuk perekatan material kayu dengan kerapatan tinggi. 2.3.
Defleksi Berdasarkan Teori Energi Regangan
Konsep energi regangan merupakan salah satu konsep yang menjelaskan hubungan antara beban dan deformasi, dijelaskan oleh Megson (2005). Usaha yang dilakukan oleh beban adalah energi regangan yang disimpan pada batang dan dinyatakan dalam notasi U. Dengan adanya gaya tarik, batang akan bertambah panjang maka timbul regangan. Regangan dengan notasi ε adalah perpanjangan per satuan panjang. Adanya regangan ini menambah taraf energi dari batang. Dengan demikian besaran yang disebut energi regangan, didefinisikan sebagai energi yang diserap oleh batang selama proses pembebanan. Dari prinsip konservasi energi, diketahui bahwa energi sama dengan “usaha” yang dilakukan oleh beban asalkan tidak ada energi yang ditambahkan atau dikurangi didalam batang panas. Besar energi regangan dapat dituliskan sebagai berikut,
14 δ1
U = ∫ P dδ
(2.1)
0
Pada desain struktur balok seringkali didalam perhitungan defleksi pada suatu titik tertentu diasumsikan hanya akibat momen lentur saja meskipun pada titik yang ditinjau mempunyai pengaruh defleksi dengan adanya gaya lintang atau juga biasa disebut gaya geser. Persamaan defleksi akibat momen lentur dapat dituliskan, d 2 y M ( x) = EI dx 2
(2.2)
Perhitungan defleksi akibat gaya geser pada balok dengan material dari kayu, sering diabaikan. Biblis (1965) memberikan pernyataan bahwa dengan mengabaikan pengaruh adanya gaya geser akan menghasilkan perhitungan besar defleksi yang kurang tepat. Pernyataan tersebut berlaku khususnya untuk balok dengan rasio bentang terhadap tinggi balok adalah kecil, sebagai contoh adalah balok dengan penampang I dan box yang relatif mempunyai tebal badan (web) tipis. Tulisan yang dibuat oleh Orosz (1970) menyatakan bahwa defleksi akibat gaya geser sering diperlukan selain momen lentur pada konstruksi yang menggunakan material kayu. Juga dituliskan bahwa perkiraan perbandingan modulus geser dan modulus elastisitas kayu adalah 1/16, 1/2,50 untuk baja, dan 1/2,30 sampai dengan 1/2,70 untuk beton. Persamaan untuk defleksi akibat gaya geser pada kurva defleksi elastis dari balok, pertama kali dibuat oleh Grashof (1878) dan dikembangkan oleh Rankine (1895) dalam Biblis (1965), dan Orosz (1970). Sebelum membicarakan masalah cara mendapatkan modulus geser dari kayu, terlebih dahulu dibahas persamaan defleksi akibat momen lentur dan gaya geser. Analisa yang digunakan untuk memperoleh persamaan tersebut menggunakan konsep energi regangan. Konsep energi regangan didasarkan pada hubungan adanya penambahan energi yang terjadi akibat adanya deformasi. Energi regangan sama dengan usaha yang dilakukan akibat adanya beban yang diterapkan secara perlahan-lahan pada suatu komponen, hal ini dinyatakan oleh Beer dan Johnston (1992) serta Gere dan Timoshenko (1997).
15 Energi regangan untuk tegangan normal akibat momen lentur adalah: U=
∫
σ x2 2E
(2.3)
dV
Penurunan rumus defleksi akan diuraikan untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis yang terletak diatas dua perletakan sederhana dibebani gaya terpusat ditengah bentang, Gambar 2.1.
P
L/2
L (a)
Δb
Δtot
Δs (b)
M
+ (c)
L Keterangan: = sendi
= rol
Gambar 2.1 Balok dengan beban terpusat di tengah bentang terletak di atas dua buah perletakan sederhana (a) Defleksi total akibat momen lentur dan gaya geser (b) Diagram momen lentur (c) Diagram gaya geser Dengan menggunakan teori Castigliano maka besar defleksi akibat momen lentur adalah, Δb =
dimana M sedangkan
X =0
∂U ∂X
L
X =0
=∫ 0
M EI
X =0
∂M dx = ∂X
L
∫ 0
Mmdx EI
(2.4)
adalah momen lentur akibat beban luar dan dapat ditulis sebagai M,
∂M adalah momen lentur m akibat beban satu satuan pada titik yang ∂X
defleksinya akan dicari.
16 Sehingga, 1 L 2
Δb = 2 ∫ 0
1 1 1 1 L Px Pi x Px 2 2 1 Px 3 2 2 dx = 2 4 = dx ∫0 EI 6 EI EI Pi
1 L 2 0
=
PL3 48 EI
(2.5)
Orosz (1970) menuliskan berdasarkan hukum Hooke, persamaan Usaha U akibat gaya geser menggunakan teori energi regangan adalah:
τ xy2
∫
U=
2G
dV
(2.6)
Sedangkan besaran tegangan geser adalah,
τ=
VS bI
(2.7)
maka, L
1 U= ∫ 20
V 2S 2 ∫A I 2b2G dA dx
(2.8)
dan faktor bentuk “ k” dinyatakan sebagai, S2A dA I 2b 2 A
k=∫
(2.9)
Sehingga persamaan (2.8) dapat dituliskan kembali seperti persamaan sebagai berikut, U=
k 2
L
∫ 0
V2 dx GA
(2.10)
Dengan menggunakan teori Castigliano, maka besar defleksi pada suatu titik akibat gaya geser adalah, Δs =
dimana V sedangkan
X =0
∂U ∂X
L
X =0
V GA 0
=k∫
L
∂V Vvdx dx = k ∫ X =0 GA ∂X 0
(2.11)
adalah gaya geser akibat beban luar dan dapat ditulis sebagai V,
∂V adalah gaya geser v akibat beban satu satuan pada titik yang ∂X
defleksinya akan dicari.
17 1 L 2
k Δs = 2 G
∫ o
1 1 P Pi 1 2 2 dx = k 1 Px 2 L = kPL 0 GA 2 4GA A Pi
(2.12)
Faktor “k” untuk balok berpenampang persegi panjang dapat dihitung berdasarkan persamaan (2.9).
Y
h
d
dy
y
X
b Gambar 2.2 Penampang balok persegi panjang Statis momen S adalah: d
d
(
1 1 b S = ∫ y b dy = b y 2 b y 2 = d 2 − y 2 2 2 y 2 y dan
S2 =
(
b2 4 d − 2d 2 y 2 + y 4 4
)
)
(2.13)
(2.14)
maka, d
k=
2A S 2b dy 2 2 ∫ I b 0 d
=
(
4 I 2 = b2d 6 9 sehingga
)
2 A b2 4 d − 2d 2 y 2 + y 4 dy I 2b ∫0 4
=
Ab ⎛ 5 2 5 1 5 ⎞ ⎜d − d + d ⎟ 2I 2 ⎝ 3 5 ⎠
(2.15)
18 k=
b 2 2d ⎛ 8 5 ⎞ 12 = 1,20 ⎜ d ⎟= 4 2 6 ⎝ 15 ⎠ 10 (2) b d 9
Faktor k untuk penampang persegi panjang adalah 1,20, maka defleksi akibat gaya geser adalah, L/ 2
Δ s = 2 ( 1.2 )
∫ 0
1 P( ) 2 dx = 2.40 Px 4GA 2GA
L/2
0
=
1,20 PL 4GA
(2.16)
Sehingga defleksi total akibat momen lentur dan gaya geser untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis terletak di atas dua perletakan sederhana dengan beban di tengah bentang, secara umum dapat dituliskan, Δ=
PL3 kPL + 48EI 4GA
(2.17)
Δ=
PL3 0,30 PL + 48EI GA
(2.18)
atau
Dengan cara yang sama seperti di atas, defleksi total untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis terletak di atas dua perletakan sederhana dengan 2 (dua) beban terpusat ½ P masing-masing pada sepertiga bentang adalah,
Δ=
2.4.
23PL3 0,20 PL + 1296 EI GA
(2.19)
Pengujian Modulus Geser Berdasarkan ASTM
2.4.1. Berdasarkan ASTM D198 (1999)
Salah satu acuan yang dapat digunakan untuk menentukan modulus geser kayu adalah peraturan ASTM D198-99 tentang Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes. Untuk mendapatkan nilai modulus geser kayu,
19 pada peraturan tersebut perlu memasukkan nilai Poisson ratio sebesar 0,05 sampai dengan 0,50. Untuk memperoleh hasil yang lebih tepat seharusnya dengan memasukkan faktor Poisson ratio sesuai dengan material yang diuji. Kesulitan yang terjadi adalah belum banyak data atau hasil penelitian yang memperlihatkan besar Poisson rasio dari berbagai jenis kayu di Indonesia. Defleksi elastis pada balok persegi panjang dengan beban terpusat di tengah bentang dinyatakan, Δ=
PL3 PL + 48EI 4GA'
(2.20)
Modifikasi luas geser adalah hasil perkalian luas penampang geser A dan koefisien geser “K”, dimana “K” adalah ratio dari regangan geser rata-rata pada penampang terhadap regangan geser pada titik pusat. Apabila persamaan (2.18) dituliskan kembali, maka, Δ tot =
PL3 PL + 48EI 4GKA
(2.21)
Kita tinjau kembali persamaan dasar yang digunakan pada peraturan ini dengan mengabaikan kontribusi defleksi akibat geser, dituliskan, Δ=
PL3
(2.22)
48E f I
dimana Ef merupakan modulus elastisitas apparent, sehingga PL3 PL3 PL = + 48E f I 48EI 4GKA
(2.23)
Untuk penampang persegi panjang dengan lebar balok b dan tinggi h , maka persamaan (2.22) dapat dituliskan, L2 L2 1 = + 2 2 KG Ef h Eh
(2.24)
pada dua sisi dari persamaan (2.24) dikalikan dengan (h/L)2, maka persamaan untuk penampang persegi panjang menjadi, 1 1 1 ⎛h⎞ = + ⎜ ⎟ Ef E KG ⎝ L ⎠
2
(2.25)
Persamaan (2.25) dapat dituliskan sebagai bentuk persamaan sederhana y = b + mx, dimana y =1/Ef, b adalah 1/E, m adalah 1/(KG), serta x adalah (h/L)2.
20 Dari persamaan ini dapat diilustrasikan menjadi suatu kurva sebagaimana terlihat pada Gambar 2-3.
1/Ef m = K1 = 1/(KG) untuk penampang persegi panjang A
K1
1/E O
(h/L)2
Gambar 2.3 Kurva untuk mendapatkan modulus geser (G) Kurva pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa sumbu horizontal merupakan perbandingan tinggi terhadap panjang bentang dikuadratkan dari benda uji yang dicari besar modulus gesernya, dan pada sumbu vertikal merupakan nilai 1/Ef yang merupakan hasil perhitungan modulus elstisitas apparent hasil pengujian lentur dilaboratorium dengan mengadakan pengukuran defleksi yang terjadi akibat beban terpusat yang bekerja ditengah bentang. Diamati dari bentuk kurva pada Gambar 2.3 dan dengan memperhatikan persamaan (2.25) dapat disimpulkan bahwa apabila perbandingan (h/L)2 lebih kecil pengaruh defleksi akibat gaya geser akan semakin besar. Semakin kecil nilai (h/L)2, maka semakin besar pula pengaruh defleksi akibat gaya geser terhadap defleksi total yang terjadi. Rasio (h/L)2 yang ditentukan pada peraturan ini adalah antara 0,035 dan 0,0025 dengan dimensi penampang melintang yang sama dan minimal diadakan pengujian dengan empat bentang atau L yang berbeda. Dari uraian diatas dapat dibedakan cara penulisan rumus berdasarkan ASTM D198-99 dan berdasarkan teori energi regangan yang telah diuraikan terdahulu adalah terletak pada besar faktor 1/K dan k. Kalau diperhatikan persamaan (2.17) dan (2.23) adalah sama, perbedaan kedua persamaan tersebut hanya terletak pada faktor k adalah sama dengan 1/K. Jadi prinsip perhitungan dari peraturan ASTM adalah berdasarkan teori energi regangan.
21 Selanjutnya dapat dihitung nilai 1/K untuk penampang persegi panjang adalah antara 1,190 – 1,163 dan dibulatkan menjadi antara 1,20-1,17, sedangkan nilai k pada teori energi regangan adalah tetap 1,20. Nilai 1/K pada peraturan ASTM D198-99 dipengaruhi selain dari nilai Poisson ratio juga dari bentuk penampang, sedangkan pada teori energi regangan nilai k dipengaruhi hanya oleh faktor bentuk penampang saja. Pada kenyataannya untuk material kayu meskipun jenisnya sama kemungkinan mempunyai Poisson Ratio yang berbeda apalagi dengan jenis kayu lainnya. Hal ini merupakan suatu kelemahan yang terjadi pada persamaan defleksi akibat gaya geser untuk material kayu dengan menggunakan teori energi yang menggunakan faktor bentuk k sebagai salah satu faktor penentu. Apabila didalam penggunaan persamaan untuk defleksi akibat gaya geser memasukkan nilai Poisson Rasio akan menghasilkan nilai defleksi yang lebih tepat. Permasalahan yang terjadi adalah terbatasnya data nilai Poisson rasio, apabila diperlukan nilai tersebut biasanya dimasukkan nilai ν antara 0,2 – 0,50 untuk material kayu. Ditinjau dari nilai modulus geser G yang diperoleh dengan persamaan G =
1 untuk penampang persegi panjang terlihat bahwa setelah K K1
diadakan perhitungan terjadi sedikit perbedaan untuk penampang persegi panjang oleh karena memasukkan nilai Poisson Rasio. 2.4.2. Berdasarkan ASTM D198 (2005) dan ASTM D198-5a (2008)
Persamaan defleksi total yang digunakan pada ASTM D198 (1999) adalah sama dengan persamaan yang dinyatakan pada ASTM D198 (2005), apabila dituliskan kembali persamaan tesebut adalah sebagai berikut, Δ=
PL3 PL + 48EI 4GKA
(2.26)
Dengan adanya pembaharuan peraturan ASTM yang dibuat pada tahun 1999 dan direvisi pada tahun 2005 dan 2008, terdapat beberapa perbedaan yang terjadi. Dari perbandingkan sebagaimana disebutkan pada Tabel 2.2 dapat diamati bahwa definisi dari K untuk kedua peraturan tersebut berbeda satu sama lain. Pada peraturan ASTM D198 (1999) nilai K tergantung dari nilai Poisson rasio sedangkan pada peraturan ASTM D198 (2005) dan ASTM D198-5a (2008) tidak
22 tergantung dari Poisson ratio, dan nilai K merupakan faktor bentuk sebagaimana yang disebutkan pada teori energi. Terlihat bahwa nilai “1/K” pada kedua peraturan ini adalah sama dengan pada teori energi regangan yang dinyatakan sebagai “k”, yaitu 1/K atau k untuk penampang persegi panjang adalah 1,20. Nilai modulus geser G pada kedua peraturan ini juga sama seperti pada perhitungan apabila menggunakan teori energi regangan. Tabel 2.2
Perbandingan mendapatkan modulus geser (G) berdasarkan ASTM dan teori energi regangan
Diskripsi
ASTM D198 (1999) adalah
ratio
ASTM D198 (2005) dan
Teori Energi
ASTM D198-5a (2008)
Regangan
dari K = faktor bentuk
Definisi
K
faktor K
regangan geser rata-rata
atau k
pada
k = faktor bentuk
penampang
terhadap regangan geser pada titik pusat. penampang Untuk penampang persegi Untuk
Nilai
Untuk
faktor K
persegi panjang
panjang
penampang
atau k
K =(10(1+υ))/(12+11υ)
K = 5/6 = 0,8333
persegi panjang
dimana
υ = Poisson ratio
Atau 1/K =6/5 = 1,20
k = 1,20
k=
diambil antara 0,005
(tidak tergantung dengan
(tidak tergantung
1/K
dan 0,50 sehingga
nilai poisson rasio)
dengan nilai poisson rasio)
K = 0,84 s/d 0,86 atau 1/K =1,20 s/d 1,17 Nilai
Untuk
Modulus
persegi panjang
Geser (G)
G=
penampang Untuk penampang persegi
1 K K1
panjang
G=
1/ K K1
G = 6/(5 K1) atau 1,20/K1 G = 1,17/K1 s/d 1,20/K1
Untuk penampang persegi panjang
G=
k K1
G = 6/(5 K1) atau 1,20/K1
23 2.5.
Metode Transformasi Penampang Melintang
Metode trransformasi penampang melintang (Transformed Cross Section) adalah mentransformasikan penampang, yang terdiri dari beberapa bahan atau bahan yang sama tetapi kemampuan mekanis berbeda, kedalam suatu penampang ekuivalen yang disusun dari hanya satu bahan, dan dianalisis dengan cara biasa yang dipergunakan untuk balok satu bahan. Didalam analisis kekuatan glulam tidak dapat dilakukan seperti pada balok dengan kayu utuh, oleh karena glulam tersusun dari beberapa lapis material dengan MOE berbeda. Analisis kekuatan untuk glulam dilakukan menggunakan metode “Transformed Cross Section”, yaitu metode penggunaan konversi nilai MOE yang bervariasi pada masingmasing lamina terhadap satu nilai MOE, metode ini dijelaskan oleh Bodig dan Jayne (2003). ”Transformed Cross Section” merupakan potongan melintang transformasi komponen material homogen dengan satu nilai MOE yang merupakan hasil perubahan dari bentuk komponen komposit, telah dinyatakan oleh Beer dan Johnston (1992). Penelitian yang telah dilakukan Lee dan Kim (2000) menunjukkan bahwa prediksi kekuatan glulam dilakukan dengan metode ”Transformed Cross Section” dibandingkan terhadap pengujian laboratorium menghasilkan nilai yang hampir sama. Faktor transformasi dari lapisan lamina adalah: n=
Ei En
(2.27)
Berdasarkan faktor transformasi dapat digambarkan kembali penampang melintang aktual menjadi penampang melintang transformasi, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4. Dengan mentransformasikan semua bagian balok kedalam suatu bahan yang memiliki harga E tertentu, dimana bahan tersebut menjadi bahan khayal. Maka akan lebih mudah untuk mentransformasikan bahan ke salah satu dari berbagai bahan pada balok tersebut.
24
hi h
Garis netral
hn hi bn
b
b
(a)
(b)
Gambar 2.4 Susunan tiga lapis lamina simetris (a) Penampang aktual (b) Penampang melintang transformasi Momen inersia
dari penampang yang tertranformasi dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut,
[
]
I tr = 2∑ I 0i tr + Atri (d i ) untuk glulam horizontal n i
n
I tr = ∑ i
1 i 3 btr h 12
2
untuk glulam vertikal
(2.28) (2.29)
Secara umum tegangan lentur nominal dapat dinyatakan,
σn =
M y I tr
(2.30)
Dari tegangan lentur nominal dapat ditentukan tegangan aktual yang terjadi pada setiap titik dengan memperhitungkan kembali pengaruh MOE asalnya, sehingga dapat dituliskan bahwa,
σa =
M btri y I tr bi
(2.31)
Untuk glulam dengan susunan lamina yang mempunyai sifat mekanis yang tidak simetris, adanya momen lentur menjadikan suatu penyelesaian yang lebih rumit. Masing-masing lebar lamina ditransformasikan dengan cara mengalikan lebar masing-masing lamina dengan faktor transformasi, Gambar 2.5. Selanjutnya perlu diketahui terlebih dahulu garis netral atau titik berat penampang melintang. Letak garis netral dapat dihitung dengan persamaan,
25 n
y=
⎛ i −1
∑ E h ⎜⎝ ∑ h i =1
i i 1
1 n
i −1
∑E h i =1
i 1
⎞ + ( hi / 2 ⎟ ⎠
(2.32)
i
Setelah diperoleh letak titik berat pada balok yang tidak simetris, dapat dihitung tegangan lentur aktual pada titik tinjauan yang diinginkan menggunakan sebagaimana pada persamaan (2.32).
b5’ b4’ b3’
-
E2
-
E4 E5 E3 E1
+
b
+ b2’ b
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.5 Susunan n lapis lamina tidak simetris (a) Penampang aktual (b) Tegangan lentur nominal (c) Penampang melintang transformasi (d) Tegangan aktual
(d)
3.
ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU MANGIUM 3.1.
Pendahuluan
Sifat fisis kayu merupakan sifat dasar kayu yang berperan penting dan erat hubungannya dengan struktur kayu, pernyataan yang dibuat oleh Tsoumis (1991). Sifat fisis kayu yang sangat penting antara lain kerapatan (density), berat jenis (specific gravity), kadar air (moisture content), dan susut (shrinkage). Haygreen dan Bowyer (1993), memberikan pernyataan bahwa sifat mekanis kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan dan merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya. Kollmann dan Cote (1968) menjelaskan bahwa sifat mekanis kayu yang dapat digunakan untuk menilai kekuatan kayu adalah kekuatan lentur statis (static bending strength), kekakuan (stiffness), kekuatan tekan (compressive strength), kekuatan tarik (tensile strength), kekuatan geser (shearing strength), keuletan (toughness), kekerasan (hardness), dan ketahanan belah (cleavage resistance). Untuk mendapatkan nilai MOE dapat dilakukan dengan cara pengujian tanpa merusak (non destructive test). Untuk mendapatkan nilai MOR harus dilakukan pengujian sampai terjadi kerusakan atau biasa disebut keruntuhan (destructive test). Kekuatan lentur statis merupakan sifat kekuatan kayu untuk menahan beban yang berusaha melengkungkan kayu dan bekerja pada arah tegak lurus sumbu netral balok. Sifat yang termasuk dalam hal ini adalah tegangan yang terjadi sampai pada batas proporsional dan tegangan runtuh (MOR). MOR merupakan tegangan serat yang terjadi pada beban maksimum (fibre stress at maximum load) yang juga dapat dinyatakan sebagai tegangan yang terjadi pada saat benda mengalami kerusakan atau keruntuhan. Sifat kekuatan kayu bervariasi tergantung dari arah serat dan arah gaya yang bekerja. Kekuatan tekan pada kayu dibedakan dua macam yaitu kekuatan tekan tegak lurus dan sejajar arah serat kayu. Kekuatan tekan tegak lurus arah serat lebih kecil daripada kekuatan tekan sejajar arah serat. Demikian juga kekuatan tarik juga dibedakan menjadi dua macam yaitu kekuatan tarik tegak lurus dan sejajar arah serat. Kekuatan tarik tegak lurus arah serat lebih kecil daripada kekuatan tarik sejajar arah serat.
27 3.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisis dan mekanis kayu mangium dan kelas kuat kayu berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia.
3.3.
Bahan dan Metode
3.3.1. Bahan dan Alat
Jenis kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu mangium, diperoleh dari hasil tebang hutan tanaman industri milik Perum Perhutani Unit III lokasi di Legok, Bogor, Jawa Barat. Umur pohon pada saat ditebang sekitar 8 tahun, dengan diameter pohon sekitar 20-28 cm. Setelah penebangan log kayu diangkut ke pemotongan kayu (sawmill) dan dilakukan proses pemotongan kayu sesuai dengan ukuran lebar dan tinggi masing-masing lebih dari 60 mm, dan 120 mm serta panjang lebih dari 3000 mm. Setelah diadakan pemotongan, kayu diangkut ke laboratorium Puslitkim (Pusat Penelitian Pemukiman) PU, Cileunyi Bandung. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan secara alami, kayu disusun secara rapi diruang beratap dan diantara lapis diberikan kayu reng dengan ketebalan sekitar 30 mm. Kipas angin dipasang selama 24 jam sebanyak empat buah dengan posisi berubah-ubah dengan maksud agar kayu dapat kering dengan waktu lebih cepat apabila dibandingkan dengan tidak dilakukan pengipasan. Untuk mengetahui perkiraan kadar air kayu, diadakan pengetesan dengan alat pengukur kadar air digital yaitu dengan menusukkan jarum pada kayu dan secara langsung dapat diketahui nilai kadar airnya. Pengetesan secara random menunjukkan bahwa kadar air kering udara dari bahan dasar benda uji adalah sekitar 14 sampai dengan 16%. Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan keyakinan bahwa kayu dalam kondisi kering udara ideal dan dapat dipersiapkan sebagai material untuk pengujian sifat fisis atau mekanis kayu. Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat potong, penghalus, Calliper, alat pengukur kadar air digital, oven, alat pemilahan
28 kayu Panter, beban, Universal Testing Machine (UTM) kapasitas 10 KN, komputer, kalkulator, dan alat tulis.
3.3.2. Metodologi
Penelitian dilakukan di Laboratorium Struktur dan Bangunan Konstruksi Puslitkim PU, Cileunyi, Bandung. Pengujian sifat fisis dilakukan menggunakan benda uji bebas cacat. Sifat fisis antara lain kadar air, kerapatan, berat jenis, dan susut kayu pada arah longitudinal, radial maupun tangensial. Sifat mekanis kayu antara lain tegangan geser sejajar serat, tegangan tekan sejajar serat, tegangan tekan tegak lurus serat, dan tegangan tarik tegak lurus serat, dan modulus elastisitas MOE. Pengujian dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur pada standar ASTM D143 (2005) tentang Standard Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. Dimensi dari benda uji untuk mendapatkan nilai kerapatan dan berat jenis adalah 20 mm (panjang) x 20 mm (lebar) x 20 mm (tinggi) dengan kadar air kering udara antara 14-16%. Seluruh benda uji sebanyak dua puluh delapan buah diukur secara tepat panjang, lebar dan tingginya dengan alat pengukur digital selanjutnya ditimbang. Benda uji dikeringkan dalam oven dengan suhu antara 100-1030 C selama 24 jam. Setelah dikeluarkan dari oven benda uji didinginkan sebentar dan selanjutnya masing-masing benda uji ditimbang, hasil penimbangan disebut berat kering tanur . Uji susut kayu mangium disiapkan dengan dimensi 20 mm x 20 mm x 50 mm. Panjang 50 mm merupakan arah serat tinjauan yaitu masing-masing longitudinal untuk mendapatkan nilai susut longitudinal, arah serat radial untuk susut radial dan arah serat tangensial untuk susut tangensial. Lebar dan tinggi masing-masing benda uji sebesar 20 mm dengan arah serat lainnya. Masing masing benda uji diukur panjangnya secara tepat dan kemudian dimasukkan didalam oven dengan suhu 100-1030 C selama 24 jam. Benda uji dikeluarkan dari oven kemudian diadakan pengukuran panjangnya kembali. Kekuatan tekan sejajar serat merupakan kemampuan kayu menahan gaya tekan sejajar arah serat dan mengakibatkan terjadi perpendekan kayu. Kayu
29 dengan ukuran lebar, tinggi, dan panjang masing-masing adalah 50 mm, 50 mm, dan 200 mm sebanyak 10 buah diukur secara tepat dengan alat pengukur digital. Benda uji diberikan beban tekan sejajar serat pada permukaan potongan melintang secara bertahap dengan kecepatan 0,003 mm/mm panjang benda uji per menit. Oleh karena panjang benda uji adalah 200 mm maka kecepatan pembebanan adalah 0,6 mm/menit. Pembebanan dilakukan sampai terjadi kerusakan (failure) dari benda uji. Kekuatan tekan tegak lurus serat merupakan kemampuan kayu menahan gaya tekan yang bekerja tegak lurus arah serat. Benda uji sebanyak 10 buah dengan dimensi lebar, tinggi, dan panjang masing-masing adalah 50 mm, 50 mm, dan 150 mm diadakan pengukuran secara tepat dengan alat pengukur digital bagian tengah benda uji arah memanjang. Benda uji diletakkan secara mendatar dan pada bagian tengah atas diletakkan pelat baja dengan ukuran 50 mm x 50 mm. Pembebanan diberikan diatas pelat baja secara bertahap dengan kecepatan 0,305 mm/min. Pembebanan dilakukan sampai terjadi kerusakan dari benda uji. Kekuatan tarik (tensile strength) tegak lurus serat adalah kekuatan kayu untuk menahan beban luar yang berusaha menarik kayu tersebut. Benda uji sebanyak 10 buah masing-masing diberikan beban tarik tegak lurus serat, dengan kecepatan pembebanan 2,5 mm/menit. Pembebanan dilakukan sampai terjadi kerusakan dari benda uji. Kekuatan geser sejajar serat merupakan kemampuan kayu dalam menahan geseran antar serat. Kekuatan geser dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antar serat. Benda dengan dimensi lebar, tinggi, dan panjang masing-masing adalah 50 mm, 50 mm, dan 63 mm dicoak sebesar 13 mm pada bagian atas. Jadi bidang geser adalah 50 mm x 50 mm untuk panjang dan tinggi. Pengujian ini dilakukan dengan menekan pada bagian yang tercoak. Pembebanan diberikan dengan kecepatan sebesar 0,6 mm/menit. Pembebanan dilanjutkan sampai melewati batas proposional dan berhenti setelah terjadi kerusakan. Soerjokusumo (2003) dalam buku panduannya, menjelaskan penggunaan pemilah kayu secara mekanis berdasarkan nilai MOE. Pengujian
dilakukan
menggunakan mesin pemilah Panter (Plank Sorter) yang telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1980. Pelaksanaan pemilahan mekanis kayu menggunakan
30 alat tersebut dapat dilihat seperti pada Gambar 3.1. Mesin pemilah Panter merupakan mesin yang dirancang berdasarkan prinsip pendugaan kekuatan kayu melalui parameter kekakuannya. Mesin ini merupakan suatu sistem pemilahan kayu secara masinal yang sederhana dan pengujiannya bersifat tidak merusak (non destructive test). Dengan metode ini kelas kuat kayu yang diindikasikan dengan nilai MOE setiap balok kayu yang dipilah dapat diketahui dengan cepat tanpa terjadi kerusakan.
Gambar 3.1 Uji lentur dengan mesin pemilah Panter 3.4.
Analisis Data
Analisis data dilakukan sesuai dengan masing-masing jenis pengujian yang telah dilakukan pada pengujian laboratorium. Kerapatan merupakan nilai dari berat benda uji sebelum dioven dibagi dengan volume sebelum dioven pula, yaitu pada kondisi kering udara, dapat dihitung dengan persamaan, Kerapa tan = ρ =
Wku Vku
(3.1)
Berat jenis kayu adalah berat kering tanur dibagi dengan volume kering udara benda uji dibagi dengan berat air dibagi dengan volume air pada kondisi
31 kering udara. Nilai berat air dibagi dengan volume air adalah satu. Persamaan berat jenis dapat dituliskan sebagai berikut, Wkt Vku
Berat Jenis =
(3.2)
Wa Va
Kadar air merupakan hasil pembagian kandungan berat air terhadap berat kering tanur dari benda uji. Berat air adalah selisih dari berat benda uji sebelum dioven dikurangi dengan berat kering tanur benda uji. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan, Kadar Air =
(Wku −W kt ) Wkt
x 100% .
(3.3)
Susut longitudinal, tangensial dan radial, masing-masing dapat dihitung berdasarkan perbedaan perubahan deformasi terhadap panjang aslinya pada arah dimaksud, dan dapat dihitung dengan persamaan, Susut =
( Lo − Lku ) x 100% Lo
(3.4)
Kekuatan tekan sejajar serat dan kekuatan tekan tegak lurus serat, masingmasing dihitung berdasarkan persamaan (3.5), dan (3.6) sebagai berikut,
σ // serat = σ ⊥ serat =
P
(3.5)
Abidang tekan P
(3.6)
Abidang tekan
Kekuatan geser sejajar serat dapat dihitung berdasarkan persamaan,
τ // serat =
P
(3.7)
Abidang geser
3.5.
Hasil dan Pembahasan
Dari pengukuran dan penimbangan yang dilakukan diperoleh hasil bahwa nilai kerapatan dan berat jenis rata-rata kayu mangium masing-masing adalah 0,53 g/cm3, dan berat jenis 0,46, masing-masing kedua nilai tersebut dapat dilihat pada
32 Gambar 3.2 dan Gambar 3.3. Pada pengamatan kayu mangium yang telah dilakukan, diperoleh kadar air sebesar 16,35 %, lihat Gambar 3.4.
Kerapatan (g/cm3
0,80 0,60 0,40 3
Kerapatan rata-rata= 0,53 g/cm STDEV = 0.08 COV = 15,47%
0,20 0,00 0
5
10
15
20
25
30
Nomor Benda Uji
Gambar 3.2 Kerapatan kayu mangium 0,80
0,40 BJ rata-rata = 0,46 STDEV = 0,08 COV = 16,48%
0,20 0,00 0
5
10
15
20
25
30
Nomor Benda Uji
Gambar 3.3 Berat jenis kayu mangium 25 Kadar Air (%)
Berat Jenis
0,60
20 15 10 Kadar Air rata-rata = 16,35% STDEV = 3,29 COV =20,10%
5 0 0
5
10
15
20
Nomor Benda Uji
Gambar 3.4 Kadar air kayu mangium
25
30
33 Hasil pengujian menunjukkan bahwa perubahan panjang atau susut kayu mangium adalah sebagai berikut: susut arah tangensial adalah 5,51% dengan SD 0,49 dan CV 8,86%; susut arah radial adalah 2,74% dengan SD 0,30 dan CV 11,00%; serta susut arah longitudinal adalah 0,10% dengan SD 0,03 dan CV
Susut Longitudinal (%)
34,71%, lihat Gambar 3.5. 1,00 Susut Longitudinal rata-rata = 0.10% STDEV = 0,03 COV = 34,71%
0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 0
5
10
15
20
25
30
Nomor benda uji
Susut Radial (%)
10,00 Susut Radial rata-rata = 2,74% STDEV = 0,30 COV = 11,00%
8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 0
5
10
15
20
25
30
Nomor benda uji
Susut Tangensial (%)
10,00 Susut Tangensial rata-rata = 5,51% STDEV = 0,49 COV = 8,86%
8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 0
5
10
15
20
25
30
Nomor Benda Uji
Gambar 3.5 Susut longitudinal, radial, dan tangensial kayu mangium Tegangan tekan sejajar serat diperoleh dengan cara membagi gaya maksimum yang bekerja dengan luas permukaan benda uji. Nilai tegangan tekan
34 sejajar serat kayu mangium adalah 27,94 MPa dengan SD 1,78 dan CV 6,37%, dapat dilihat pada Gambar 3.6. Tegangan tekan tegak lurus serat adalah gaya maksimum dibagi dengan luas penampang tekan. Nilai tegangan tekan tegak lurus arah serat rata-rata kayu mangium adalah 12,02 MPa dengan SD 2,66 dan CV 22,18% , dapat dilihat pada Gambar 3.7. Tegangan tarik tegak lurus serat adalah gaya maksimum dibagi dengan luas biang tarik. Nilai tegangan tarik tegak lurus arah serat rata-rata kayu mangium adalah 3,57 MPa dengan SD 0,44 dan CV 12,18%, dapat dilihat pada Gambar 3.8.
Teg. Tekan Sejajar Serat (MPa)
40 30 20
σ tekan//serat rata-rata = 27,94 Mpa STDEV = 1,78 COV = 6,37%
10 0 0
2
4
6
8
10
12
Nomor Be nda Uji
Teg. Tekan Tegak Lurus Serat (MPa)
Gambar 3.6 Tegangan tekan sejajar serat kayu mangium
40
σ tekan ⊥ serat rata-rata = 12,02 MPa STDEV = 2,66 COV = 22,18%
30 20 10 0 0
2
4
6
8
10
12
Nomor Benda Uji
Gambar 3.7 Tegangan tekan tegak lurus serat kayu mangium
Teg. Tarik Tegak Lurus Serat (MPa)
35
5 4 3 2
σ tarik ⊥ serat rata-rata = 3,57 MPa STDEV = 0,44 COV = 12,18%
1 0 0
2
4
6
8
10
12
Nomor Benda Uji
Gambar 3.8 Tegangan tarik tegak lurus serat kayu mangium Dari pengujian ini didapatkan tegangan geser sejajar serat adalah 8,56 MPa
Teg. Geser Sejajar Serat (MPa)
dengan SD = 1,01, dan CV = 11,82%, lihat Gambar 3.9. 12 10 8 6
τ geser//serat rata-rata = 8,56 Mpa STDEV = 1,01 COV = 11,82%
4 2 0 0
2
4
6
8
10
Nomor Benda Uji
Gambar 3.9 Tegangan geser sejajar serat kayu mangium Dari hasil uji lentur menggunaksn mesin pemilah Panter diperoleh hasil MOE rata-rata adalah 9540 MPa dengan SD = 951, dan CV = 9,97%, lihat Gambar 3.10.
36
Modulus Elastisitas (MPa)
14000 12000 10000 8000 6000 4000
MOE rata-rata = 9540 MPa (E-10) STDEV = 951 COV = 9,97%
2000 0 0
20
40
60
80
100
120
Nomor Benda Uji
Gambar 3.10 Modulus elastisitas kayu mangium hasil pemilahan dengan Mesin Pemilah Panter Dari hasil pengujian yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis dari kayu mangium sangat beragam. Perbedaan nilai yang diperleh dari penelitian oleh penulis dan peneliti lainnya disebabkan oleh karena beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu: kondisi alam lokasi tanam seperti cuaca dan jenis tanah tempat pohon tumbuh, sistem tanam dan perawatan masa pertumbuhan dan kualitas bibit. Tabel 3.1 menunjukkan hasil pengujian sifat fisis dan mekanis kayu mangium yang dilakukan oleh penulis dan peneliti lainnya.
37 Tabel 3.1 Sifat fisis dan mekanis kayu mangium Jenis
Kerapatan (g/cm3)
Penulis (2008) 0,53 (kondisi kering udara)
Berat jenis
0,46
Susut arah longitudinal (%) Susut arah radial (%) Susut arah tangensial (%) MOE (MPa)
0,03
Peneliti lainnya 0,42-0,60 0,42 - 0,43 (kondisi basah) 0, 50-0,60 (kondisi kering) 0,48-0,52 0,57 0,65 0,43-0,47
2,74 5,51 9540
MOR (MPa)
Tegangan Tekan//serat (MPa) Tegangan geser//serat (MPa)
8,56
2,7 1,35 6,4 2,61 9908 9544-10771 10891 (umur 12 tahun) 74,5 97-113,5 97 (umur 12 tahun) 43,31-48,49 43,44 (umur 12 tahun) 15,81-17,28
Nama (*) McDicken dan Brewbaker (1984) Razali dan Kuo (1991)
Zin et al. (1991) Razali dan Hamami (1992) McDicken dan Brewbaker (1984) Sining (1988) Saleh dan Wong (1991) Ong (1985) Saleh dan Wong (1991) Ong (1985) Wang et al. (1989) Zin et al. (1991) Razali dan Hamami (1992) Wang et al. (1989) Zin et al. (1991) Razali dan Hamami (1992) Zin et al. (1991) Razali dan Hamami (1992) Zin et al. (1991)
Keterangan: (*) sumber dari Kader et al. Properties and Utilization. Didalam: Acacia mangium, Growing and Utlization.
Dari hasil pengujian sifat fisis dan mekanis yang dilakukan penulis pada penelitian ini kayu mangium dapat digolongkan berdasarkan peraturan kayu yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Berdasarkan Daftar I Peraturan Konstruksi Kayu Indonensia PKKI NI-5 1961 kelas kuat kayu didasarkan pada nilai MOE kayu. Dari pengujian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa MOE kayu mangium sekitar 9000-11000 MPa atau nilai MOE rata-rata 9540 MPa, digolongkan sebagai kayu kelas kuat II–III (MOE = 10000 MPa). Pada peraturan yang sama kelas kuat kayu dapat digolongkan berdasarkan berat jenis kayu. Dari pengujian yang telah dilaksanakan untuk kayu mangium
38 diperoleh nilai kerapatan rata-rata adalah 0,53 g/cm3 dan nilai berat jenis rata-rata adalah 0,46, berdasarkan PKKI dapat digolongkan sebagai kayu kelas kuat II (BJ = 0,40-0,60). b. Berbeda dengan PKKI, penggolongan kuat acuan pada RSNI (Rencana Standar Nasional Indonesia) 2002 tentang Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia didasarkan pada nilai MOE dan dilengkapi dengan nilai kuat tekan tegak lurus serat, tekan sejajar serat, tarik tegak lurus serat, tarik sejajar serat dan kuat geser sejajar serat yang dapat diambil dalam perencanaan kayu. Pada RSNI tidak menggolongkan kelas kuat kayu berdasarkan berat jenis kayu. Dari hasil pengujian diperoleh modulus elastistas (MOE) kayu mangium sekitar 9000-11000 MPa atau nilai MOE rata-rata 9540 MPa, tegangan tekan sejajar serat rata-rata 27,94 MPa, tegangan tekan tegak lurus serat rata-rata 12,02 MPa dan tegangan geser sejajar serat rata-rata 8,56 MPa. Berdasarkan nilai kuat acuan yang tercantum pada RSNI, kayu tersebut dapat digolongkan sebagai kuat acuan E10-12. Pemilihan kayu sebagai komponen struktural ditentukan berdasarkan pembebanan, bentang, bentuk dan dimensi yang direncanakan. Untuk beban dan bentang besar, digunakan kayu dengan kelas kuat tinggi. Sebaliknya untuk komponen struktur penunjang atau untuk menahan beban kecil atau untuk benting kecil digunakan kayu dengan kelas kuat yang lebih rendah. Kayu dengan kelas kuat II-III memungkinkan dan telah biasa digunakan sebagai komponen struktural. Penggunaannya tentunya telah direncanakan tidak melampaui batas kemampuan sifat mekanis kayu. 3.6.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sehubungan dengan sifat fisis dan mekanis kayu mangium sebagai berikut: 1. Kayu mangium mempunyai kerapatan rata-rata 0,53 g/cm3, berat jenis 0,46, dan MOE rata-rata 9540 MPa.
39 2. Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, kayu mangium merupakan kayu kelas kuat II-III (berdasarkan PKKI) dan kuat acuan E1012 (berdasarkan RSNI 2002). 3. Kayu kelas kuat II-III didalam aplikasi sehari-hari sudah biasa digunakan sebagai komponen kayu yang bersifat struktural.
4.
ANALISIS KEKUATAN MEKANIS BALOK GLULAM DENGAN KETEBALAN LAMINA BERBEDA 4.1.
Pendahuluan
Karakteristik struktur balok glulam dipengaruhi oleh lamina-lamina penyusunnya. Pada pinsipnya, berbagai spesies kayu dapat digunakan sebagai produk glulam selama digunakan perekat yang sesuai. Kekakuan (stiffness) merupakan kemampuan menahan perubahan bentuk atau lengkungan, dan modulus elastisitas (MOE) kayu merupakan indikasi dari kekakuan. Mamlouk dan Zaniewski (2006) menyatakan bahwa MOE adalah kemiringan proporsional garis linear dari kurva tegangan dan regangan. MOR (modulus of rupture) merupakan kekuatan serat yang terjadi pada beban maksimum yaitu pada saat benda mengalami kerusakan (failure), dan dikatakan sebagai kekuatan maksimum. Perekat dapat secara sempurna mentransfer dan mendistribusi tegangan, sehingga memungkinkan meningkatkan kekuatan dan kekakuan laminasi. Transfer tegangan yang efektif dari satu lamina kelamina lainnya tergantung dari kekuatan ikatan dari rantai imajiner sambungan rekatan dengan perekat. Kondisi sambungan dengan perekat tergantung dari kompleksitas faktor karakteristik dari kayu, perekat dan metode proses perekatan. Sulistyawati et al. (2003), menyatakan bahwa penyebab terjadinya ketidaksempurnaan proses perekatan adalah kondisi glulam yang tidak monolit, sehingga mengakibatkan penurunan sifat mekanis dari glulam. Hal ini menjadi pertimbangan untuk diperhatikan didalam produksi glulam. Perekat merupakan material dengan sifat berbeda dengan kayu. Adanya perekat diantara lapisan kayu pada glulam, memungkinkan terjadi perubahan sifat mekanis glulam, seperti kekakuan dan kekuatannya. Dengan dimensi penampang melintang glulam yang sama, dapat disusun sejumlah lamina secara horizontal dengan ketebalan tertentu. Semakin banyak jumlah lamina, semakin tipis tebal lamina. Semakin banyak jumlah
lamina semakin besar luas bidang rekatan.
41 Pengaruh adanya bahan perekat dan perbedaan ketebalan lamina pada balok glulam perlu diamati untuk mengetahui kemampuan kekakuan dan kekuatannya. 4.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kekakuan dan kekuatan
balok utuh dan glulam dengan ketebalan lamina berbeda, dengan
seluruh MOE lamina dan balok utuh mendekati sama. Tujuan khusus penelitian adalah: 1.
Mengetahui kekakuan balok gulam berdasarkan ketebalan lamina.
2.
Mengetahui gaya maksimum yang dapat dipikul oleh balok glulam berdasarkan ketebalan lamina.
3.
Mengetahui MOR (modulus of rupture) balok glulam berdasarkan ketebalan lamina.
4.
Membandingkan kekakuan dan kekuatan balok glulam dengan balok utuh.
4.3.
Bahan dan Metode
4.3.1. Bahan dan Alat
Kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah Akasia (Acacia mangium, famili Leguminoseae) yang merupakan kayu cepat tumbuh (fast growing species). Kayu ditebang dari Legok, Bogor, Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat dengan diameter log sekitar 20 cm-28 cm dan umur tanam sekitar 8 tahun. Perekat yang digunakan adalah Polyurethane (Water Based Polymer Isocyanate, WBPI). Perekat terdiri dari dua bagian yaitu PI 3100 sebagai resin dan H7 sebagai hardener, keduanya dicampur dengan perbadingan 100:15 berdasarkan berat. Berat labur adalah 280 g/m2 dan dilakukan pemolesan perekat pada kedua permukaan kayu.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah : gergaji mesin bandsaw); gergaji tangan; mesin serut (planner); kilang pengering (dry kiln); amplas; displacement tranducer; alat pengukur dimensi digital; alat
42 pengukur kadar air digital (digital moisture meter); timbangan elektrik; beban; Universal Testing Machine (UTM); alat pemilah kayu; alat tulis dan kalkulator; komputer dengan perangkat penunjangnya.
4.3.2. Metodologi
Pelaksanaan uji lentur dilakukan mengacu pada peraturan ASTM D143 (2005), ”Test Methods for Small Clear Specimen of Wood”. Pengujian lentur balok dengan memberikan beban terpusat ditengah bentang menggunakan Universal Testing Machine, Instron 330 Type dengan kapasitas beban sebesar 50 KN. Kecepatan pembebanan adalah 3 mm/menit, dan pengujian dilakukan sampai terjadi kerusakan (failure) pada masing-masing balok uji. Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Penyiapan benda uji
Balok glulam disusun dari lamina-lamina dengan ketebalan masing-masing 20 mm untuk glulam A, 15 mm untuk glulam B, dan 10 mm untuk glulam C, dengan lebar lebih dari 60 mm dan panjang 900 mm. Balok utuh disiapkan dengan ukuran bersih 60 mm x 60 mm x 900 mm untuk tebal, lebar dan panjang. Seluruh lamina dan balok utuh dalam kondisi kering udara dengan kadar air kesetimbangan sekitar 15%. Sebelum penyusunan lamina menjadi glulam, terlebih dahulu dilakukan pemilahan seluruh
lamina berdasarkan nilai modulus
elastisitasnya (MOE). Lamina dengan kelompok ketebalannya dikumpulkan berdasarkan besar MOE yang sama. Masing-masing lamina dengan ketebalan 20 mm disusun sebanyak 3 lapis, 15 mm sebanyak 4 lapis, dan 10 mm sebanyak 6 lapis. MOE lamina-lamina yang digunakan untuk membentuk balok glulam, seluruhnya mendekati nilai MOE balok utuh. Masing-masing jumlah benda uji balok glulam A, B, C, dan balok utuh adalah 10 (sepuluh) buah. Bahan perekat disiapkan sesuai dengan standar teknik yang ditentukan oleh produsen. Sebelum diaplikasikan, kedua komponen perekat yaitu base resin dan hardener dicampur dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 100 : 15
43 (berdasarkan berat). Sebelum proses perekatan, permukaan lamina dalam keadaan halus, dibersihkan dari segala kotoran. Pelaburan perekat dilakukan pada kedua permukaan (double spread) lamina dengan berat labur 280 g/m2. Balok laminasi yang telah selesai seluruh proses perekatan diletakkan diantara 2 (dua) buah profil besi siku yang dilengkapi dengan pelat besi dan selanjutnya dilakukan kempa dingin dengan cara diklem setiap jarak 30 cm selama 2 (dua) jam. Tabel 4.1 Penampang melintang balok glulam dan balok utuh
60 mm
Glulam A
60
3 x 20 mm
60 mm
Glulam B
60
4 x 15 mm
60 mm
Glulam C
6 x 10 mm
60
Balok utuh
60 mm
60
---
44 Sebelum dilakukan perataan sisi glulam dan pengujian lentur, balok glulam dikondisikan terlebih dahulu selama 7 (tujuh) hari untuk menjamin proses pematangan perekatan. Perataan sisi penampang glulam dilakukan sampai terbentuk lebar dan tinggi masing-masing adalah 60 mm. Tabel 4.1 menunjukkan penampang balok laminasi maupun utuh serta jumlah lapisan lamina. Proses pengempaan balok glulam dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Proses pengempaan balok glulam Pengujian lentur balok glulam dan balok utuh
Uji lentur setiap balok glulam dan balok utuh dengan cara meletakkan balok tersebut diatas dua perletakan dengan bentang antara keduanya 830 mm. Perbandingan dari panjang bentang dan tinggi penampang balok adalah sekitar 14.
Gambar 4.2 Pelaksanaan uji lentur balok glulam dan balok utuh menggunakan Universal Testing Machine
45 Beban terpusat diberikan ditengah bentang, pelaksanaan pengujian dilakukan dengan kecepatan pembebanan adalah 3 mm/menit, dan peningkatan beban diberikan sampai terjadi kerusakan balok. Pelaksanaan pengujian lentur dapat dilihat seperti pada Gambar 4.2.
4.4.
Analisis data
Hasil uji lentur menghasilkan data defleksi (Δ) dan beban terpusat (P) yang bekerja ditengah bentang. MOE diperoleh dengan perhitungan secara analitik dengan mengambil data defleksi dari grafik P - Δ yang menunjukkan garis linier yaitu
hubungan dalam batas elastis. Persamaan untuk memperoleh modulus
elastisitas MOE adalah:
MOE =
PL3 4 Δ bh3
(4.1)
MOR (modulus of rupture) merupakan tegangan lentur pada serat tepi atas atau bawah penampang balok yang paling jauh dari titik berat penampang akibat gaya maksimum yang bekerja pada saat terjadi kerusakan. Persamaan untuk memperoleh nilai MOR adalah: MOR =
3 PL 2 bh 2
4.5.
(4.2)
Hasil dan Pembahasan
Besaran kerapatan balok glulam dan balok utuh yang diperoleh dari pengukuran potongan masing-masing kedua balok tersebut berbentuk kubus dengan ukuran sekitar 60 mm x 60 mm x 60 mm, dapat dilihat pada Gambar 4.3. Kerapatan glulam B, C, dan balok utuh adalah hampir sama. Kerapatan glulam A lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketiga jenis balok lainnya. Material kayu dari pohon yang sama atau pohon yang tumbuhnya berdekatan dalam satu kawasan, dan dengan umur yang sama tidak menjamin mempunyai nilai kerapatan yang persis sama. Hasil pengujian lentur balok glulam dan balok utuh dengan beban terpusat ditengah bentang dibuat grafik hubungan P-Δ, dan selanjutnya diadakan
46 perhitungan MOE menggunakan persamaan (4.1) dan MOR dengan persamaan (4.2). Tabel 4.2 menunjukkan nilai MOE masing-masing benda uji balok glulam maupun balok utuh. 0,80 3
Kerapatan (g/cm)
0,63 0,60
0,54
0,53
Glulam B
Glulam C
0,54
0,40 0,20 0,00 Glulam A
Balok Utuh
Gambar 4.3 Kerapatan balok glulam dan balok utuh Tabel 4.2 Modulus elastisitas balok glulam dan balok utuh Benda Uji MOE Benda Uji (glulam) (MPa) (glulam) A1 6677 B1 A2 6943 B2 A3 6011 B3 A4 5694 B4 A5 5565 B5 A6 4912 B6 A7 5964 B7 A8 4567 B8 A9 5747 B9 A10 6212 B10 rata-rata 5829 SD 722 CV(%) 12,38
MOE (MPa) 7865 6077 8791 7407 8077 7981 6740 6032 7729 6297 7300 956 13,10
Benda Uji MOE (glulam) (MPa) C1 8593 C2 6776 C3 7932 C4 6581 C5 7411 C6 7606 C7 6953 C8 5740 C9 8240 C10 6131 7196 923 12,83
Benda Uji (balok utuh) D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10
MOE (MPa) 7487 6287 6262 6522 6041 5614 7857 6227 7411 6038 6575 744 11,31
Keterangan: A = balok glulam dengan 3 lamina, ketebalan masing-masing lamina 20 mm B = balok glulam dengan 4 lamina, ketebalan masing-masing lamina 15 mm C = balok glulam dengan 6 lamina, ketebalan masing-masing lamina 10 mm D = balok utuh
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa MOE rata-rata glulam A terdiri dari tiga lamina dengan masing-masing ketebalan 20 mm adalah 11,3% lebih rendah dari balok utuh. Glulam B terdiri dari empat lamina dengan masing-masing ketebalan
47 15 mm mempunyai nilai MOE 11,0% lebih tinggi dari balok utuh. Sedangkan Glulam C terdiri dari enam lamina dengan masing-masing ketebalan 10 mm adalah 9,5% lebih tinggi dari balok utuh. Analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95%, nilai Fhitung > F( α = 5%),
dimana Fhitung = 6,47 dan F( α
= 5%)
= 2,87, nilai MOE dipengaruhi oleh
konfigurasi penampang balok. Uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) menunjukkan bahwa MOE balok glulam dengan ketebalan lamina 15 mm (glulam B) setara dengan 10 mm (glulam C), dan keduanya setara dengan balok utuh. MOE glulam dengan ketebalan lamina 20 mm (glulam A) tidak setara dengan glulam B dan C, tetapi setara dengan balok utuh. Ketebalan lamina glulam B dan C lebih tipis jika dibandingkan dengan A, dan jumlah lamina glulam B dan C lebih banyak daripada A, maka luas bidang rekatan glulam B dan C lebih besar jika dibandingkan dengan A. Hasil penelitian menunjukkan MOE glulam B dan C lebih besar daripada A, maka luas bidang rekatan mempunyai pengaruh terhadap nilai MOE. Lebih besar luas rekatan lebih besar nilai MOE balok glulam atau kekakuannya. Meskipun luas rekatan glulam C lebih besar daripada B, MOE glulam C lebih kecil daripada B, tetapi MOE keduanya setara. Hal ini menunjukkan bahwa luas rekatan bukan merupakan satu hal yang mempengaruhi nilai MOE-nya, tetapi tipe kerusakan dapat menjadi suatu kondisi yang mempengaruhi nilai MOE.
MOE (MPa)
10000 8000 6000
7300
7196
Glulam B
Glulam C
6575
5829
4000 2000 0 Glulam A
Balok Utuh
Gambar 4.4 Modulus elastisitas rata-rata balok glulam dan balok utuh
48 Berdasarkan gaya maksimum yang dapat dipikul oleh balok glulam dan balok utuh dihitung besar MOR, yang ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Modulus of Rupture (MOR) balok glulam dan balok utuh Benda Uji MOR Benda Uji MOR Benda Uji MOR Benda Uji (glulam) (MPa) (glulam) (MPa) (glulam) (MPa) (balok utuh) A1 46,16 B1 73,23 C1 45,41 D1 A2 50,78 B2 52,51 C2 59,52 D2 A3 47,12 B3 59,92 C3 53,64 D3 A4 41,08 B4 64,13 C4 54,38 D4 A5 42,62 B5 53,62 C5 52,91 D5 A6 44,45 B6 65,43 C6 65,22 D6 A7 30,88 B7 62,86 C7 55,00 D7 A8 44,71 B8 49,49 C8 52,20 D8 A9 41,32 B9 65,66 C9 61,72 D9 A10 54,59 B10 58,43 C10 47,81 D10 rata-rata 44,37 60,53 54,78 SD 6,34 7,22 6,03 CV(%) 14,29 11,92 11,02 Keterangan: A = balok glulam dengan 3 lamina, ketebalan masing-masing lamina 20 mm B = balok glulam dengan 4 lamina, ketebalan masing-masing lamina 15 mm C = balok glulam dengan 6 lamina, ketebalan masing-masing lamina 10 mm D = balok utuh
MOR (MPa) 58,69 51,46 55,47 50,94 50,97 49,06 54,64 50,34 57,27 49,10 52,80 3,46 6,55
Gambar 4.5 menunjukkan beban maksimum rata-rata dan MOR rata-rata yang terjadi pada ketiga jenis glulam A, B, dan C serta balok utuh. Ditinjau dari tiga balok glulam, C dengan ketebalan lamina 10 mm merupakan balok yang menahan beban maksimum terbesar, yaitu 10406 N, diikuti dengan glulam B dengan ketebalan lamina 15 mm, 10360 N dan selanjutnya glulam A tebal lamina 20 mm menahan beban maksimum paling kecil, 8352 N. Balok utuh menahan beban maksimum 9045 N, lebih kecil dari glulam B dan C, tetapi lebih besar dari glulam A. Beban maksimum yang dapat dipikul oleh glulam A adalah 7,7% lebih rendah, glulam B dan C masing-masing 14,5% dan 15,0% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan balok utuh. Apabila ditinjau dari nilai rata-rata ketiga jenis glulam, diperoleh hasil beban maksimum rata-rata adalalah 9706 N atau 7,3% lebih besar apabila dibandingkan terhadap beban maksimum yang dapat ditahan balok utuh. MOR glulam A adalah 16,0% lebih rendah, dan masing-masing 14,7%
49 serta 3,6% lebih tinggi untuk glulam B dan C apabila dibandingkan terhadap balok utuh. Analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95%, nilai Fhitung > F( α = 5%),
dimana Fhitung = 12,73 dan F( α
= 2,87, nilai MOR dipengaruhi oleh
= 5%)
konfigurasi penampang balok. Uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa MOR glulam dengan ketebalan lamina 15 mm (glulam B) berbeda nyata dengan ketebalan lamina 10 mm (glulam C), 20 mm (glulam A), dan balok utuh. Sedangkan glulam C dengan ketebalan lamina 10 mm tidak berbeda nyata dengan balok utuh. 12000
10360
80
8000 60,53
54,78
52,80
44,37
40
4000
MOR (MPa)
9045
8352
Pmaks (N)
120
10406
0
0 Glulam A
Glulam B
Glulam C
Pmaks
Balok Utuh
MOR
Gambar 4.5 Beban maksimum dan MOR balok glulam dan balok utuh Rasio beban maksimum terhadap nilai MOR balok glulam A,B,C maupun balok utuh masing-masing adalah 1,9,
1,7, 1,9, dan 1,7. Glulam C dapat
mencapai beban maksimum sebesar 10406 N, lebih besar dari balok glulam B, yaitu 10360 N, tetapi MOR glulam C sebesar 54,78 MPa lebih kecil dari pada MOR glulam B, yaitu 60,53 MPa. Seharusnya perbandingan beban maksimum yang dapat dipikul terhadap MOR yang terjadi pada masing-masing balok glulam maupun balok utuh adalah sama. Pada kenyataannya kedua nilai tersebut berbeda, hal ini terjadi oleh karena beban maksimum diperoleh secara langsung dari pengujian lentur yang dilakukan pada saat pengujian laboratorium, sedangkan MOR merupakan hasil perhitungan yang dipengaruhi oleh dimensi penampang balok. Dimensi balok yang dimaksud adalah lebar dan tinggi glulam maupun balok utuh.
50 Pengukuran dimensi hanya dilakukan pada tiga lokasi saja, yaitu pada bagian kiri, tengah dan kanan dari balok, kemudian diadakan perhitungan dimensi penampang rata-ratanya. Perbedaan juga terjadi ketidakseragaman
oleh karena
terdapat
penampang pada seluruh panjang balok. Meskipun telah
diupayakan menyiapkan benda uji dengan dimensi penampang yang sama pada seluruh panjang balok, pada kenyataannya masih terdapat perbedaan. Hal ini oleh karena dalam penyiapan benda uji dilakukan penyerutan dengan peralatan yang sederhana, tidak dapat menjamin dimensi lebar atau tinggi balok sama pada seluruh panjangnya. Apabila balok diasumsikan sebagai bahan yang homogen pada seluruh panjangnya, seharusnya tidak terjadi perbedaan rasio beban maksimum dan MOR pada masing-masing tipe balok glulam terhadap balok utuh. Perbedaan terjadi diantara balok glulam sendiri maupun terhadap balok utuh, selain dari sifat homogenitas bahan kayu juga disebabkan oleh beberapa parameter antara lain kualitas perekatan maupun jumlah lamina pada glulam sehubungan dengan total luas rekatannya. Falk dan Colling (1995) menyampaikan bahwa adanya rekatan laminasi dapat menghasilkan kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan laminanya sendiri. Tipikal kerusakan yang terjadi pada masing-masing kelompok balok glulam digunakan sebagai pengamatan terjadinya perbedaan nilai beban maksimum yang dapat ditahan dan nilai MOR-nya. Secara umum tipe kerusakan balok glulam maupun balok utuh dapat dilihat pada Gambar 4.6. Hasil pengamatan pada saat pengujian lentur di laboratorium terlihat bahwa dari sepuluh benda uji glulam A sebanyak lima buah mengalami kerusakan pada serat terluar balok yaitu pada daerah tarik dan kerusakan slip terjadi pada rekatan lamina lapis terbawah balok. Lima benda uji lainnya yang termasuk glulam A mengalami kerusakan pada serat terbawah balok, tanpa terjadi kerusakan slip antar lamina. Hampir seluruh kerusakan glulam B terjadi pada serat terluar balok yang merupakan daerah tarik, hanya terdapat satu balok mengalami kerusakan pada serat terluar daerah tarik dan kerusakan slip pada rekatan lamina lapis terbawah balok. Pada glulam C, dari sepuluh benda uji terdapat dua buah benda uji mengalami kerusakan slip pada daerah rekatan antar lamina, masing-masing satu buah terjadi kerusakan slip pada
51 rekatan lamina lapis pertama atau terbawah, satu buah benda uji kerusakan slip pada rekatan lamina lapis pertama dan kedua, balok lainnya yang termasuk glulam C mengalami kerusakan sisi terluar yaitu pada daerah tarik balok. Kerusakan glulam horizontal sering diawali dengan terjadinya slip pada sambungan antara lapisan diikuti kerusakan pada daerah tarik yaitu pada serat bawah penampang, merupakan hasil penelitian Sulistyawati et al. (2005).
Glulam A
Glulam B
Glulam C
Gambar 4.6 Tipikal kerusakan balok glulam akibat uji lentur Gambar 4.7 menunjukkan tren hubungan nilai MOE dan MOR masingmasing benda uji balok glulam maupun balok utuh. Berdasarkan tren tersebut, dievaluasi korelasi nilainya dengan tipe kerusakan untuk balok glulam atau utuh. Terlihat tidak adanya korelasi linear antara MOE dan MOR untuk masing-masing benda uji. Beberapa hasil menunjukkan bahwa MOE lebih tinggi tetapi lebih rendah untuk MOR. Diawali terjadi kerusakan slip pada daerah tarik balok A1, A2, dan A10, tetapi balok-balok tersebut memiliki MOE dan MOR lebih besar jika
52 dibandingkan dengan benda uji lainnya. Pada benda uji balok glulam A7 mempunyai MOE yang tinggi dengan MOR yang lebih rendah dari lainnya, walaupun tidak terjadi kerusakan slip di antara lamina. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat tipe kerusakan yang berbeda-beda. Slip yang terjadi mungkin terjadi akibat adanya pengaruh lenturan. Pada sisi atas garis netral penampang balok mengalami tekanan sedangkan pada bagian bawah garis netral mengalami tarikan, dan dengan tidak terikat kuatnya perekat mengakibatkan terjadi slip diantara lamina. Sulistyawati et al. (2006 dan 2008) dari hasil penelitiaannya menyampaikan bahwa terjadi beberapa kerusakan slip pada glulam yang disusun oleh lamina secara horizontal terjadi pada daerah tarik, yaitu pada lapis pertama garis rekat antar lamina. Desain yang ideal dari glulam adalah apabila merupakan material yang seragam, kenyataannya tidak sepenuhnya seperti yang diharapkan. Karena ketidak sempunaan sifat saling kunci secara mekanis antara kayu dan perekat mungkin akibat proses perekatan, akibat adanya pembebanan yang mulai betambah basar terjadi deformasi yang mengakibatkan slip antar lamina. Kekuatan akan mulai berkurang sehingga akan mempercepat terjadinya kerusakan. Transfer tegangan yang efektif dari satu lapisan ke lainnya tergantung pada kekuatan suatu sambungan perekatan. Sifat saling kunci mekanis terjadi pada saat perekat meresap melalui permukaan kedalam mikrostruktur dari kayu. Selain proses perekatan juga merupakan hal yang mempengaruhinya.
53
10000
100
5000
50
0
MOR (MPa)
MOE (MPa)
Balok glulam dengan tebal lamina = 20 mm
0 A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9 A10
Benda Uji MOE
MOR
10000
100
5000
50
0
MOR (MPa)
MOE (MPa)
Balok glulam dengan tebal lamina 15 mm
0 B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9 B10
Benda Uji MOE
MOR
10000
100
5000
50
0
MOR (MPa)
MOE (MPa)
Balok glulam dengan tebal lamina 10 mm
0 C1
C2
C3
C4
C5
C6
C7
C8
C9 C10
Benda Uji MOE MOR
10000
100
5000
50
0
0
MOR (MPa)
MOE (MPa)
Balok Utuh
D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10 Benda Uji MOE
MOR
Gambar 4.7 Tren nilai MOE terhadap MOR balok glulam dan balok utuh
54 Beban vertikal terpusat ditengah bentang yang bekerja pada balok menyebabkan terjadi baik tegangan lentur maupun tegangan geser pada tengah bentang yang pada kondisi ini merupakan titik kritis sepanjang bentang balok. Dalam batas regangan elastis, tegangan lentur yang terjadi adalah maksimum pada sisi tepi atas atau bawah. Sebaliknya tegangan lentur adalah nol pada sumbu netral penampang melintang balok. Sedangkan tegangan geser pada sisi atas atau bawah penampang melintang adalah nol, dan maksimum pada sumbu netral penampang melintang balok glulam. Pada lapisan lamina mendekati garis netral mempunyai kombinasi tegangan lentur yang lebih kecil tetapi gaya geser yang lebih besar. Pada kenytaannya terjadi slip pada lapisan kedua, yang mempunyai tegangan geser yang lebih besar dibandingkan lapisan dibawahnya. Hal ini perlu dipertimbangkan untuk diperhatikan bahwa didalam perhitungan kapasitas tegangan dari balok glulam bukan hanya tegangan lentur maksimum tetapi kombinasi tegangan lentur dan tegangan geser. Gambar 4.8 menunjukkan nilai MOE dan MOR rata-rata seluruh balok glulam A, B dan C, juga MOE dan MOR rata-rata balok utuh. Besar MOE ratarata balok glulam 3,0% lebih tinggi jika dibandingkan dengan MOE balok utuh. Begitu pula MOR balok glulam 0,81% lebih tinggi jika dibandingkan dengan MOR balok utuh. 80 67,75
65,75 53,23
(MPa)
60
52,80
40 20 0 MOEx100 Balok Glulam
MOR Balok Utuh
Gambar 4.8 MOE dan MOR rata-rata balok glulam dan balok utuh
55
MOR (MPa)
10000 8000 6000 4000 y = 3741,6e 2000
0,0109x
2
R = 0,39
0 0
20
40
60
80
MOE (MPa)
Gambar 4.9 Hubungan MOE-MOR balok glulam
Gambar 4.9 menunjukkan hubungan MOE-MOR dari balok Glulam A, B dan C, yaitu balok glulam dengan lamina masing-masing 3 x 20 mm, 4 x 15 mm, dan 6 x 10 mm. Berdasarkan regresi tipe exponensial dapat dituliskan hubungan MOE dan MOR ketiga jenis glulam adalah y = 3741,6e0.0109x dengan derajat kepercayaan R2 = 0,39. Sedangkan Gambar 4.10 menunjukkan hubungan MOEMOR untuk balok utuh dan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan y = 1680,4e0.0257x dengan derajat kepercayaan R2 = 0,65.
MOR (MPa)
10000 8000 6000 4000 y = 1680,4e 2000
0,0257x
2
R = 0,65
0 45
50
55 MOE (MPa)
Gambar 4.10 Hubungan MOE-MOR balok utuh
60
56 4.6.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk balok glulam dan balok utuh dengan dimensi penampang melintang dan modulus elastisitas sama, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kekakuan balok glulam cenderung meningkat dengan ketebalan lamina yang semakin tipis.
2.
Semakin tipis ketebalan lamina, semakin besar gaya maksimum yang dapat ditahan.
3.
Kekuatan yang dinyatakan sebagai MOR balok glulam tidak selalu meningkat dengan ketebalan lamina yang semakin tipis.
4.
Nilai rata-rata kekakuan dan kekuatan balok glulam adalah sama dengan balok utuh.
5.
ANALISIS MODULUS GESER (G) BALOK UTUH DAN GLULAM 5.1.
Pendahuluan
Dalam pengembangan metode desain komponen kayu seperti balok deformasi akibat gaya geser merupakan suatu parameter yang penting pada suatu proses desain. Modulus geser kayu yang merupakan parameter sifat geser kayu diperlukan untuk mendesain struktur balok untuk kondisi tertentu. Dengan pengujian lentur di laboratorium, diperoleh besaran defleksi kemudian diadakan perhitungan sederhana, dapat diketahui nilai modulus elastisitas (E) atau sering dinyatakan sebagai MOE kayu. Didalam perhitungan tersebut biasanya hanya memperhitungkan defleksi akibat lentur saja dan hampir tidak pernah memperhitungkan defleksi akibat pengaruh gaya geser atau gaya lintang. Untuk memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya geser diperlukan data modulus geser kayu. Tetapi pada kenyataannya hanya sedikit sekali informasi atau penelitian tentang nilai modulus geser kayu. Hal ini mengakibatkan didalam perhitungan yang menyangkut nilai tersebut sering diabaikan. Telah dibuktikan oleh beberapa peneliti kayu bahwa dengan mengabaikan defleksi akibat gaya geser pada material kayu akan menghasilkan nilai E yang tidak tepat, yaitu nilai E yang lebih kecil. Bodig (2003) memberikan pernyataan bahwa peningkatan kesalahan karena mengabaikan defleksi akibat geser tergantung dari tipe balok, kondisi pembebanan, rasio
E , dan rasio bentangG
tinggi balok. Untuk balok tinggi dari kayu perlu memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya lintang, tidak hanya pengaruh lentur saja. Apabila terdapat informasi yang cukup dari hasil penelitian yang menghasilkan nilai modulus geser kayu, perencana dapat menggunakannya didalam perhitungan sehubungan kekakuan kayu akibat pengaruh gaya geser. Yoshihara (1998) memberikan pernyataan bahwa pengaruh tegangan geser tergantung dari rasio tinggi/panjang bentang balok, apabila rasio tinggi-panjang bentang adalah besar, maka hal ini harus mendapat perhatian. Sulistyawati (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa untuk balok tinggi dengan panjang
58 bentang pendek atau nilai kuadrat dari rasio tinggi balok terhadap panjang bentang balok cukup besar, defleksi akibat gaya geser mempunyai nilai yang perlu diperhitungkan. Juga dinyatakan bahwa dengan memperhitungkan defleksi akibat gaya geser yang mengandung nilai modulus geser untuk balok, kekakuan lentur (EI) balok kayu mempunyai nilai lebih besar. Berdasarkan realita bahwa sebenarnya nilai modulus elastisitas E menjadi lebih besar untuk tinggi dan panjang balok tertentu, maka didalam memperhitungkan nilai kekakuan, pengaruh defleksi akibat gaya geser harus diperhitungkan. Hal ini sebenarnya mempunyai arti bahwa kapasitas balok menahan lendutan menjadi lebih besar. Dengan memperhitungkan E yang lebih besar, maka didalam desain balok kayu akan diperoleh desain yang lebih ekonomis. Untuk memperhitungkan defleksi akibat gaya geser perlu dicari nilai modulus geser (G) kayu. Salah satu aturan yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai modulus geser kayu adalah ASTM D198-5a (2008). Peraturan ini merupakan revisi terakhir pada masa kini yang telah beberapa kali diadakan perbaikan. Pada penelitian ini dikembangkan pula suatu cara mendapatkan nilai tersebut dengan cara pengujian yang lebih cepat dan analisis yang lebih sederhana, yaitu dengan pembacaan kurva hubungan Enormal/short-span - G/Enormal-span dengan cara mengadakan pengujian lentur untuk ukuran kayu dengan perbandingan normal (normal span) dan
L = 14 sebagai balok bentang h
L < 14 sebagai balok bentang pendek (short span), dan h
kemudian secara cepat dapat mengetahui nilai modulus geser.
5.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah memperoleh nilai modulus geser (G) kayu mangium. Tujuan khusus dari penelitian untuk balok utuh dan balok glulam dengan rincian sebagai berikut: 1.
Memperoleh nilai modulus geser dengan pengujian laboratorium berdasarkan peraturan ASTM D198-5a (2008).
59 2.
Memperoleh nilai modulus geser dengan membuat pengembangan metode baru dengan nama Kurva SM-2009 (SM = Shear Modulus).
3.
Membandingkan hasil menggunakan kedua metode tersebut.
5.3.
Pengembangan Metode Baru (Kurva-SM2009) Dalam Mendapatkan Modulus Geser Kayu
Teori untuk mendapatkan modulus geser kayu dikembangkan berdasarkan teori energi regangan. Penurunan rumus defleksi total untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis yang terletak diatas dua perletakan sederhana dibebani gaya terpusat di tengah bentang telah diuraikan terdahulu pada Bab 2 tentang Tinjauan Pustaka. Rumus ini dituliskan kembali sebagai berikut, Δ total =
PL3 0 ,30 PL + GA 48 EI
(5.1)
Perbandingan defleksi akibat gaya geser dan momen lentur adalah, E⎛h⎞ Δ s 0,30 PL 48 EI 0 ,30 PL 4 Ebh 3 = 1,20 ⎜ ⎟ x = = x 3 2 GA Δb PL G⎝L⎠ Gbh L
2
(5.2)
Dari persamaan (5.2) dapat dilihat bahwa perbandingan defleksi akibat gaya geser terhadap momen lentur mengandung nilai
E , nilai E dan G G
merupakan parameter sifat bahan kayu yang diamati. Perbandingan antara deflesksi akibat gaya geser dan akibat momen lentur akan berubah, sesuai dengan besaran h sebagai tinggi balok dan L sebagai panjang bentang balok. Dengan 2
⎛h⎞ besar h tetap, semakin besar bentang balok akan semakin kecil nilai ⎜ ⎟ . Pada ⎝L⎠
kondisi seperti ini pengaruh gaya geser pada benda uji mendekati nol, sehingga defleksi yang terjadi akibat gaya geser dapat diabaikan, maka persamaan defleksi dapat dituliskan sebagai berikut, Δ=
PL3
48EI
(5.3)
60 Besar modulus elastisitas yang berasal dari persamaan (5.3) disebut sebagai E apparent , dapat dituliskan, Eapp =
PL3 48ΔI
(5.4) 2
⎛h⎞ Untuk mengetahui batasan ⎜ ⎟ sebagai nilai yang dianggap kecil atau ⎝L⎠ besar akan ditinjau dari hasil percobaan secara empiris yang dilakukan dilaboratorium menggunakan bahan yang digunakan mendapatkan modulus geser pada bab ini. Seharusnya dalam suatu uji lentur untuk mendapatkan modulus elastisitas, untuk bahan yang sama dengan bentang berbeda mempunyai nilai mendekati sama. Tetapi pada kenyataannya apabila
L < 14 , maka modulus h
elastisitas yang dihitung akibat momen lentur saja menghasilkan nilai yang lebih kecil. Artinya didalam perhitungan terdapat parameter atau pengaruh yang terabaikan. Untuk menunjang pernyataan ini penulis mengambil terlebih dahulu hasil uji lentur dari beberapa variasi panjang bentang dengan tinggi balok tetap, yang selanjutnya telah dihitung nilai Eapp. Pada Wood Hand Book, Wood as an
Engineering Material (1999), tercantum nilai modulus elastisitas yang telah disusun pada suatu tabel untuk berbagai jenis kayu. Dijelaskan bahwa untuk memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya geser, nilai modulus elastisitas tersebut dapat ditambahkan sebesar 10%. Gambar 5.1 menunjukkan kurva hubungan dan Eapp pada sumbu y terhadap
L L pada sumbu x. Pada saat = 14 , maka Eapp mempunyai nilai yang lebih besar h h dibandingkan perbandingan L/h lainnya, dan semakin kecil rasio nilai Eapp.
L semakin kecil h
61
MOEapp (MPa
12000
10000
8000
2
y = -45,889x + 1387,2x - 269,47 2
R = 0,65 6000 0
5
10
15
20
L/h
Gambar 5.1 Kurva hubungan modulus elastisitas apparent terhadap rasio panjang bentang dan tinggi balok utuh 2
L ⎛h⎞ Telah dibuktikan diatas apabila nilai ⎜ ⎟ adalah kecil berarti adalah h ⎝L⎠ ⎛h⎞ besar, maka pengaruh geser dapat diabaikan. Tetapi apabila nilai ⎜ ⎟ ⎝L⎠ besar berarti
2
adalah
L adalah kecil maka pengaruh gaya geser tidak dapat diabaikan. h
Secara analitis, perbandingan defleksi akibat gaya geser dan momen lentur 2
E⎛h⎞ sebesar 1,20 ⎜ ⎟ dapat digambarkan dalam kuva hubungan Δs/Δb pada sumbu G⎝L⎠ y dan
L pada sumbu x, lihat Gambar 5.2, atau dituangkan dalam suatu tabel, h
yaitu Tabel 5.1. Grafik pada Gambar 5.2 menunjukkan bahwa apabila perlahan grafik menunjukkan nilai perbandingan jelasnya nilai perbandingan
Δs semakin kecil. Untuk lebih Δb
L Δs berdasarkan dan E/G adalah antara 6 sampai Δb h
dengan 18%, masing-masing untuk dengan 30.
L > 14 , maka secara h
E L = 14 dengan mulai dari 10 sampai G h
62
(defl geser/defl lentur)%
60 50 E/G = 10 40
E/G = 15
30
E/G = 20
20
E/G = 25 E/G = 30
10 0 6
8
10
12
14
16
18
20
L/h
Gambar 5.2 Hubungan rasio defleksi akibat gaya geser dan momen lentur terhadap rasio panjang bentang terhadap tinggi balok untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan Apabila dicermati pada peraturan ASTM D143-94 (2007) untuk uji lentur kayu ditentukan perbandingan
L adalah 14. Hal ini tentunya merupakan suatu h
alasan mendasar sebagai pertimbangan untuk mendapatkan nilai-nilai hasil analitis uji tersebut.
63 Tabel 5.1 Nilai rasio defleksi akibat gaya geser terhadap momen lentur untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan L/h
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
4,15 4,57 4,98 5,40 5,81 6,23 6,64 7,06 7,47 7,89 8,30 8,72 9,13 9,55 9,97 10,38 10,80 11,21 11,63 12,04 12,46
4,69 5,16 5,63 6,09 6,56 7,03 7,50 7,97 8,44 8,91 9,38 9,84 10,31 10,78 11,25 11,72 12,19 12,66 13,13 13,59 14,06
5,33 5,87 6,40 6,93 7,47 8,00 8,53 9,07 9,60 10,13 10,67 11,20 11,73 12,27 12,80 13,33 13,87 14,40 14,93 15,47 16,00
6,12 6,73 7,35 7,96 8,57 9,18 9,80 10,41 11,02 11,63 12,24 12,86 13,47 14,08 14,69 15,31 15,92 16,53 17,14 17,76 18,37
7,10 7,81 8,52 9,23 9,94 10,65 11,36 12,07 12,78 13,49 14,20 14,91 15,62 16,33 17,04 17,75 18,46 19,17 19,88 20,59 21,30
8,33 9,17 10,00 10,83 11,67 12,50 13,33 14,17 15,00 15,83 16,67 17,50 18,33 19,17 20,00 20,83 21,67 22,50 23,33 24,17 25,00
9,92 10,91 11,90 12,89 13,88 14,88 15,87 16,86 17,85 18,84 19,83 20,83 21,82 22,81 23,80 24,79 25,79 26,78 27,77 28,76 29,75
12,00 13,20 14,40 15,60 16,80 18,00 19,20 20,40 21,60 22,80 24,00 25,20 26,40 27,60 28,80 30,00 31,20 32,40 33,60 34,80 36,00
14,81 16,30 17,78 19,26 20,74 22,22 23,70 25,19 26,67 28,15 29,63 31,11 32,59 34,07 35,56 37,04 38,52 40,00 41,48 42,96 44,44
18,75 20,63 22,50 24,38 26,25 28,13 30,00 31,88 33,75 35,63 37,50 39,38 41,25 43,13 45,00 46,88 48,75 50,63 52,50 54,38 56,25
E/G 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
3,70 4,07 4,44 4,81 5,19 5,56 5,93 6,30 6,67 7,04 7,41 7,78 8,15 8,52 8,89 9,26 9,63 10,00 10,37 10,74 11,11
Dengan dasar uji lentur di laboratorium serta perhitungan analitis, serta pertimbangan aturan uji lentur pada ASTM D143, maka penulis menentukan bahwa EL=14h sebagai Enormal- span, sehingga dapat dituliskan bahwa,
Enormal − span = EL =14 h =
PL3 48ΔI
(5.5)
Oleh karena itu didalam mengadakan perhitungan defleksi pada pengujian benda uji dengan
L < 14 seharusnya memperhitungkan pengaruh gaya geser h
selain momen, sehingga besar defleksi sebenarnya adalah
Δ L<14 h =
0.3PL PL3 + 48 E L =14 h I GA
(5.6)
Δ l <14 h =
0.3PL E L =14 h PL3 + 48 E L =14 h I GA E L =14 h
(5.7)
atau
64 Sehingga
El =14 h = E L =14 h =
0.3PL E L =14 h PL3 + GA Δ L<14 h 48Δ L <14 h I
0.3PL PL3 + 48Δ L<14 h I GbhΔ L <14 h E L =14 h
(5.8)
(5.9)
atau E L =14 h =
PL3 0 ,3PL + 48Δ L <14 h I Gbh PL3 E L =14 h 48 E L <`14 h I
(5.10)
Persamaan (5.10) dapat pula dituliskan, EL =14 h = EL <14 h +
0 ,3PL ⎛ ⎞ ⎟ Gbh ⎜ PL3 ⎜ ⎟ EL =14 h ⎜ 48 1 bh3 E ⎟ ⎜ L <14 h ⎟ ⎝ 12 ⎠
⎛ ⎞ ⎜ 2⎟ 1,20 ⎛ h ⎞ ⎟ = E L<14 h ⎜1 + ⎜ ⎟ ⎜ G ⎝L⎠ ⎟ ⎜ ⎟ E L =14 h ⎝ ⎠ untuk penyederhanaan , diambil a =
G EL =14 h
2 E L =14 h ⎛⎜ 1,20 ⎛ h ⎞ ⎞⎟ = 1+ ⎜ ⎟ E L<14 h ⎜⎝ a ⎝ L ⎠ ⎟⎠
(5.11)
, maka
(5.12)
Dari persamaan (5.12) disusun masing-masing formula untuk rasio L dan h yang berbeda pada Tabel 5.2.
65 L untuk balok dengan h beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan
Tabel 5.2 Formula Kurva SM-2009 berdasarkan rasio
L/h
Formula
13
E L =14 h ⎡ 0 ,00710 ⎤ = 1+ E L<14 h ⎢⎣ a ⎥⎦
12
E L =14 h ⎡ 0 ,00833 ⎤ = 1+ E L <14 h ⎢⎣ a ⎥⎦
11
E L =14 h ⎡ 0 ,00992 ⎤ = 1+ E L <14 h ⎢⎣ a ⎥⎦
10
E L =14 h ⎡ 0,012 ⎤ = 1+ E L <14 h ⎢⎣ a ⎥⎦
9
E L =14 h ⎡ 0 ,01482 ⎤ = 1+ E L <14 h ⎢⎣ a ⎥⎦
8
E L =14 h ⎡ 0 ,01875 ⎤ = 1+ E L <14 h ⎢⎣ a ⎥⎦
7
E L =14 h ⎡ 0 ,02449 ⎤ = 1+ E L <14 h ⎢⎣ a ⎥⎦
6
E L =14 h ⎡ 0,03 ⎤ = 1+ E L <14 h ⎢⎣ a ⎥⎦
Dari persamaan (5.12) dapat digambarkan sebagai kurva hubungan pada sumbu y terhadap a pada sumbu x, dimana nilai a merupakan rasio
E L =14 h E L <14 h
G E L =14 h
,
lihat Gambar 5.3. Kedua nilai masing-masing pembilang dan pembagi persamaan (5.12) merupakan modulus elastisitas dengan memperhitungkan defleksi akibat momen lentur saja. Dari kurva tersebut diperoleh nilai modulus geser G. Untuk mengetahui nilai a lebih tepat untuk digunakan memperoleh nilai modulus geser G, dapat dilihat pada Tabel 5.3.
66 2,00 1,95 1,90 1,85
P
1,80
½L
1,75
½L
1,70 1,65
EL= 14h/EL<14h
1,60 1,55 1,50 1,45 1,40 1,35 1,30 1,25 1,20 1,15 1,10 1,05 1,00 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11 0,12 0,13 0,14 0,15 a = G/EL=14h L/h = 13
L/h = 12
L/h = 11
L/h = 10
L/h = 9
L/h = 8
L/h = 7
L/h = 6
Gambar 5.3 Pengembangan metode baru Kurva SM-2009 mendapatkan nilai modulus geser G
67 Tabel 5.3 Nilai a berdasarkan KURVA SM-2009 EL=14h/EL<14h
1,02 1,04 1,06 1,08 1,10 1,12 1,14 1,16 1,18 1,20 1,22 1,24 1,26 1,28 1,30 1,32 1,34 1,36 1,38 1,40 1,42 1,44 1,46 1,48 1,50 1,52 1,54 1,56 1,58 1,60 1,62 1,64 1,66 1,68 1,70 1,72 1,74 1,76 1,78 1,80 1,82 1,84 1,86 1,88 1,90 1,92 1,94 1,96 1,98 2,00
13 0,35500 0,17750 0,11833 0,08875 0,07100 0,05917 0,05071 0,04438 0,03944 0,03550 0,03227 0,02958 0,02731 0,02536 0,02367 0,02219 0,02088 0,01972 0,01868 0,01775 0,01690 0,01614 0,01543 0,01479 0,01420 0,01365 0,01315 0,01268 0,01224 0,01183 0,01145 0,01109 0,01076 0,01044 0,01014 0,00986 0,00959 0,00934 0,00910 0,00888 0,00866 0,00845 0,00826 0,00807 0,00789 0,00772 0,00755 0,00740 0,00724 0,00710
12 0,41650 0,20825 0,13883 0,10413 0,08330 0,06942 0,05950 0,05206 0,04628 0,04165 0,03786 0,03471 0,03204 0,02975 0,02777 0,02603 0,02450 0,02314 0,02192 0,02083 0,01983 0,01893 0,01811 0,01735 0,01666 0,01602 0,01543 0,01488 0,01436 0,01388 0,01344 0,01302 0,01262 0,01225 0,01190 0,01157 0,01126 0,01096 0,01068 0,01041 0,01016 0,00992 0,00969 0,00947 0,00926 0,00905 0,00886 0,00868 0,00850 0,00833
11 0,49600 0,24800 0,16533 0,12400 0,09920 0,08267 0,07086 0,06200 0,05511 0,04960 0,04509 0,04133 0,03815 0,03543 0,03307 0,03100 0,02918 0,02756 0,02611 0,02480 0,02362 0,02255 0,02157 0,02067 0,01984 0,01908 0,01837 0,01771 0,01710 0,01653 0,01600 0,01550 0,01503 0,01459 0,01417 0,01378 0,01341 0,01305 0,01272 0,01240 0,01210 0,01181 0,01153 0,01127 0,01102 0,01078 0,01055 0,01033 0,01012 0,00992
a = G/EL=14h L/h 10 9 0,60000 0,74100 0,30000 0,37050 0,20000 0,24700 0,15000 0,18525 0,12000 0,14820 0,10000 0,12350 0,08571 0,10586 0,07500 0,09263 0,06667 0,08233 0,06000 0,07410 0,05455 0,06736 0,05000 0,06175 0,04615 0,05700 0,04286 0,05293 0,04000 0,04940 0,03750 0,04631 0,03529 0,04359 0,03333 0,04117 0,03158 0,03900 0,03000 0,03705 0,02857 0,03529 0,02727 0,03368 0,02609 0,03222 0,02500 0,03088 0,02400 0,02964 0,02308 0,02850 0,02222 0,02744 0,02143 0,02646 0,02069 0,02555 0,02000 0,02470 0,01935 0,02390 0,01875 0,02316 0,01818 0,02245 0,01765 0,02179 0,01714 0,02117 0,01667 0,02058 0,01622 0,02003 0,01579 0,01950 0,01538 0,01900 0,01500 0,01853 0,01463 0,01807 0,01429 0,01764 0,01395 0,01723 0,01364 0,01684 0,01333 0,01647 0,01304 0,01611 0,01277 0,01577 0,01250 0,01544 0,01224 0,01512 0,01200 0,01482
8 0,93750 0,46875 0,31250 0,23438 0,18750 0,15625 0,13393 0,11719 0,10417 0,09375 0,08523 0,07813 0,07212 0,06696 0,06250 0,05859 0,05515 0,05208 0,04934 0,04688 0,04464 0,04261 0,04076 0,03906 0,03750 0,03606 0,03472 0,03348 0,03233 0,03125 0,03024 0,02930 0,02841 0,02757 0,02679 0,02604 0,02534 0,02467 0,02404 0,02344 0,02287 0,02232 0,02180 0,02131 0,02083 0,02038 0,01995 0,01953 0,01913 0,01875
7 1,22450 0,61225 0,40817 0,30613 0,24490 0,20408 0,17493 0,15306 0,13606 0,12245 0,11132 0,10204 0,09419 0,08746 0,08163 0,07653 0,07203 0,06803 0,06445 0,06123 0,05831 0,05566 0,05324 0,05102 0,04898 0,04710 0,04535 0,04373 0,04222 0,04082 0,03950 0,03827 0,03711 0,03601 0,03499 0,03401 0,03309 0,03222 0,03140 0,03061 0,02987 0,02915 0,02848 0,02783 0,02721 0,02662 0,02605 0,02551 0,02499 0,02449
6 1,50000 0,75000 0,50000 0,37500 0,30000 0,25000 0,21429 0,18750 0,16667 0,15000 0,13636 0,12500 0,11538 0,10714 0,10000 0,09375 0,08824 0,08333 0,07895 0,07500 0,07143 0,06818 0,06522 0,06250 0,06000 0,05769 0,05556 0,05357 0,05172 0,05000 0,04839 0,04688 0,04545 0,04412 0,04286 0,04167 0,04054 0,03947 0,03846 0,03750 0,03659 0,03571 0,03488 0,03409 0,03333 0,03261 0,03191 0,03125 0,03061 0,03000
68 Setelah diperoleh nilai modulus geser kayu, dapat dihitung nilai modulus elastisitas sebenarnya yang disebut sebagai Etrue yang telah memperhitungkan defleksi akibat momen lentur dan gaya geser. Dari pembahasan terdahulu telah dinyatakan bahwa defleksi total merupakan penjumlahan dari defleksi akibat momen lentur dan gaya geser, dituliskan kembali, Δ tot = Δ b + Δ s selanjutnya dijabarkan sebagai, PL3 PL3 = + Δs 48 E app I 48 Etrue I
:
PL3 Etrue I
sehingga, Etrue Δ = 1+ s E app Δb
(5.13)
atau, ⎛ Δ Etrue = ⎜⎜1 + s ⎝ Δb
⎞ ⎟⎟ E app ⎠
(5.14)
69 5.4.
Eksperimen berdasarkan ASTM 2008-5a (2008) dan Metode Baru Kurva SM-2009 5.4.1. Bahan dan Metode 5.4.1.1.
Bahan dan Alat
Kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah Akasia (Acacia mangium, famili Leguminosae) yang merupakan kayu cepat tumbuh (fast growing species). Kayu ditebang dari Legok, Perum Perhutani Unit III, Bogor, Jawa Barat dengan diameter log antara 200 -280 mm dan umur tanam sekitar 8 tahun. Perekat yang digunakan adalah polyurethane (Water Based Polymer Isocyanate, WBPI). Perekat terdiri dari dua bagian yaitu PI 3100 sebagai resin dan H7 sebagai hardener, keduanya dicampur dengan perbandingan 100:15 berdasarkan berat. Berat labur adalah 280 g/m2 dan dilakukan pemolesan perekat pada kedua permukaan kayu. Pengeringan lamina maupun balok utuh dilakukan secara alamiah sampai mencapai kadar air sekitar 15%. Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat potong kayu, penghalus kayu, calliper, alat ukur kadar air, Universal Testing Machine Instron 330 Type dengan kapasitas beban sebesar 50 KN, dan komputer dengan perangkat penunjangnya. 5.4.1.2.
Metodologi
Lokasi Penelitian
Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Keteknikan Kayu Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor, Jawa Barat.
Penyiapan benda uji
Benda uji balok utuh disiapkan sebanyak 3 (tiga) buah dengan dimensi penampang 65 mm x 65 mm untuk lebar dan tinggi serta panjang balok adalah 1200 mm, disusun diberi jarak antara diletakkan di bawah ruang beratap. Seluruh balok utuh dikeringkan sampai tercapai kondisi kering udara, dengan kadar air
70 kesetimbangan
sekitar 15%. Selanjutnya balok kayu dihaluskan sehingga
mempunyai dimensi penampang 60 mm x 60 mm. Balok glulam atau balok lamina disusun dari lamina-lamina dengan dimensi penampang 22 mm x 65 mm untuk lebar dan tinggi serta panjang lamina adalah 1000 mm. Seluruh lamina dikeringkan sampai tercapai kondisi kering udara, dengan kadar air kesetimbangan
sekitar 15%. Seluruh lamina dihaluskan
permukaannya sehingga mempunyai ketebalan sekitar 20 mm. Sebelum penyusunan lamina menjadi glulam, terlebih dahulu dilakukan pemilahan seluruh lamina berdasarkan nilai modulus elastisitasnya (MOE). Lamina dengan kelompok ketebalannya dikumpulkan berdasarkan besar MOE yang sama. Balok glulam disusun dari 3 (tiga) buah lamina. Bahan perekat disiapkan sesuai dengan standar teknik yang ditentukan oleh produsen. Sebelum diaplikasikan, kedua komponen perekat yaitu base resin dan hardener dicampur dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 100 : 15 (berdasarkan berat). Sebelum proses perekatan, permukaan lamina dalam keadaan halus, dibersihkan dari segala kotoran. Pelaburan perekat dilakukan pada kedua permukaan (double spread) lamina dengan berat labur 280 g/m2. Balok laminasi yang telah selesai seluruh proses perekatan diletakkan diantara 2 (dua) buah profil besi siku yang dilengkapi dengan pelat besi dan selanjutnya dilakukan kempa dingin dengan cara diklem setiap jarak 30 cm selama 2 (dua) jam. Sebelum dilakukan perataan sisi glulam dan pengujian lentur, balok glulam dikondisikan terlebih dahulu selama 7 hari untuk menjamin proses pematangan perekatan. Perataan sisi penampang glulam dilakukan sampai terbentuk lebar adalah 60 mm.
Metode Penelitian
Untuk memperoleh nilai modulus geser dilakukan pengujian dengan dua metode: (1) berdasarkan ASTM D198-5a (2008) tentang “Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes” Section 44-51, Shear Modulus, (2) metode baru Kurva SM-2009 yang dikembangkan penulis dengan cara pembacaan kurva hubungan EL/h=14/EL/h<14 - G/EL/h=14.
71 1.
Berdasarkan ASTM D198-05a(2008)
Balok terletak diatas dua perletakan diberikan beban terpusat ditengah bentang dan diukur defleksi yang terjadi ditengah bentang. Prosedur ini dilakukan minimal empat panjang bentang yang berlainan pada satu balok benda uji. Masing-masing panjang bentang ditentukan sebesar kwadrat dari tinggi per 2
⎛h⎞ panjang bentang atau ⎜ ⎟ adalah diantara 0,035 sampai dengan 0,0025, atau ⎝ L⎠
L=
h2 0 ,035
sampai dengan
h2 0 ,0025
(5.16)
Oleh karena penampang benda uji balok ditentukan 6 cm x 6 cm maka panjang bentang untuk pengujian adalah antara 32 sampai 120 cm. Jumlah balok uji yang dilakukan pengujian adalah sebanyak 3 (tiga) buah. Dengan balok yang sama dilakukan pengujian dengan mengatur panjang bentang masing-masing adalah 110 cm, 75 cm , 60 cm, dan 46 cm, untuk seluruh benda uji. Pertambahan beban diberikan dengan prediksi terjadi tegangan lentur masih dalam batas elastis. Pembacaan besar defleksi di tengah bentang dilakukan pada setiap pertambahan beban. Kecepatan pembebanan adalah 3 mm/menit. Untuk memperkirakan bahwa pengujian masih pada batas elastis dilakukan dengan menentukan batas beban terbesar yang bekerja dengan cara menghitung tegangan lentur yang mungkin timbul. Berdasarkan data uji lentur digambarkan kurva hubungan gaya dan defleksi, sudut kemiringan dari kurva digunakan untuk perhitungan modulus elastisitas kayu. Sebelum diadakan pengujian masing-masing balok diadakan pengukuran dimensi penampang melintang balok, yaitu lebar dan tinggi balok pada tiga lokasi tinjauan sepanjang balok, selanjutnya dipergunakan untuk perhitungan E balok kayu.
72 2
⎛h⎞ Modulus geser diperoleh dari kurva hubungan nilai ⎜ ⎟ pada arah sumbu ⎝L⎠ x dan nilai
1 pada arah sumbu y. Nilai modulus geser adalah proporsional Ef
terhadap titik potong garis lurus dari beberapa titik koordinat hasil pengujian terhadap sumbu y dihitung dari koordinat titik O(0,0), ditunjukkan nilai terhadap 1 , dimana Ef adalah Eapparent dan E adalah Etrue. E
2.
Berdasarkan Metode Baru Kurva SM-2009
Data yang digunakan untuk analisis metode baru Kurva SM-2009, sekaligus menggunakan data uji lentur yang telah dilakukan untuk metode ASTM D198-5a (2008) yang telah dijelaskan terdahulu. Balok terletak diatas dua perletakan diberikan beban terpusat ditengah bentang dan diukur defleksi yang terjadi ditengah bentang. Data yang diperlukan adalah defleksi yang terjadi masingmasing pada 2 (dua) variasi panjang bentang dengan tinggi balok h tetap, yaitu dengan rasio
L L = 14 dan < 14 . Dari kedua jenis data defleksi dihitung nilai h h
Eapp. Berdasarkan kurva hubungan EL/h=14/EL/h<14 pada sumbu y dapat diperoleh nilai a pada sumbu x, lihat Gambar 5.3. Dari nilai a yang merupakan rasio G/EL/h=14, dapat dihitung nilai modulus geser kayu G. 5.5.
Hasil dan Pembahasan 5.5.1. Balok utuh
1.
Berdasarkan ASTM D198-05a(2008)
Hasil pengujian balok diatas dua perletakan dengan bentang yang berbedabeda dapat dihitung masing-masing Eapp yaitu modulus elastisitas yang hanya 2
⎛h⎞ memperhitungkan defleksi akibat lentur. ⎜ ⎟ masing-masing balok uji adalah ⎝L⎠
73 antara 0,003 s/d 0,017, nilai tersebut memenuhi syarat sebagaimana diatur berdasarkan peraturan ASTM D198-05a (2008), yaitu diantara 0,0025 sampai dengan 0,035. Eapp masing-masing benda uji dengan panjang bentang berbeda secara rinci dipaparkan pada Gambar 5.4. Dari grafik tersebut dapat diamati bahwa dengan bentang balok lebih besar mempunyai nilai Eapp lebih besar pula jika dibandingkan dengan bentang yang lebih kecil. Meskipun kadang terjadi pada balok 1 bahwa Eapp dengan panjang bentang 60 cm lebih besar jika dibandingkan dengan panjang bentang 75 cm. Juga untuk benda uji 2, Eapp dengan panjang bentang 75 cm lebih besar jika dibandingkan dengan panjang bentang 110 cm. Tetapi apabila data tersebut dibuat grafik kemudian diselesaikan persamaan regresinya, dapat dinyatakan bahwa semakin pendek bentang, diperoleh nilai Eapp yang semakin kecil. 12000
8000 Eapp (MPa) 4000
0
L= 1100 mm L= 750 mm
L = 600 mm L = 460 mm
Balok 1
10032
9288
9987
7159
Balok 2
9026
9624
9104
6614
Balok 3
10131
9785
9672
8625
Gambar 5.4 Nilai Eapp berdasarkan panjang bentang masing-masing balok utuh Masing-masing nilai
1 dapat dihitung untuk masing-masing balok E app
kemudian diplotkan pada kurva seperti ditunjukkan pada Gambar 5.5. Persamaan regresi dibuat berdasarkan keempat nilai tersebut dari setiap balok.
Pernyataan
terdahulu bahwa semakin kecil panjang bentang semakin kecil nilai E, sebaliknya semakin kecil panjang bentang semakin besar nilai
1 . Dari ketiga diagram E
74 tersebut, pada nilai x = 0 dengan perpotongan garis nilai-nilai
1 diperoleh nilai E
1 , dan selanjutnya dapat dihitung nilai Etrue masing-masing balok. Etrue
1/MOE x 1/100000 (1/MPa)
Balok uji 1 20 15 10 y = 285,52x + 8,6942 2 R = 0,75
5 0 0,000
0,005
0,010 (h/L)
0,015
0,020
2
Balok uji 2
1/MOE x 1/100000 (1/MPa)
20 15 10
y = 303,67x + 9,0569 2 R = 0,74
5 0 0,000
0,005
0,010 (h/L)
0,015
0,020
2
1/MOE x 1/100000 (1/MPa)
Balok uji 3 20 15 10 y = 122,56x + 9,4024 2 R = 0,94
5 0 0,000
0,005
0,010 (h/L)
2
0,015
0,020
2
1 ⎛h⎞ Gambar 5.5 Kurva hubungan ⎜ ⎟ dengan nilai balok utuh berdasarkan E ⎝L⎠ ASTM D198-5a (2008)
75 Modulus geser G merupakan
1,2 , dimana K1 adalah kemiringan garis linier yang K1 2
1 ⎛h⎞ terbentuk dari diagram hubungan ⎜ ⎟ dan . E app ⎝L⎠ Dari hasil analisis yang dilakukan lebih lanjut, seperti ditunjukkan pada Tabel 5.4, nilai G adalah (1/23,44) , (1/23,86) dan (1/10,19) x Eapp masingmasing untuk balok 1 , 2, dan 3. atau rata-rata (1/19,16) x Eapp pada
L = 14 . h
L = 14 , dan modulus geser G balok utuh h berdasarkan ASTM D198-5a (2008)
Tabel 5.4 Nilai Etrue , Eapp pada
BALOK 1 2 3
Persamaan garis y = 285,52 x + 8,6942 y = 303,67 x + 9,0569 y = 122,56 x + 9,4024
(K1 x 10-5) (1/MPa)
(b x 10-5) (1/MPa)
285,52
Etrue (MPa)
G (MPa)
Eapp (MPa)
8,69
11501,92
420,29
9851,31
23,44
303,67
9,06
11041,31
395,17
9428,41
23,86
122,56
9,40 rata-rata
10635,58 11059,60
979,11
9972,37 9750,70 SD CV (%)
10,19 19,16 7,78 40,58
1/a = MOEapp/G
Keterangan: SD = standar deviasi; CV = koefisien variasi
Pada proses mendapatkan nilai modulus geser berdasarkan ASTM D198-5a (2008), sekaligus dapat diperoleh nilai Etrue. Gambar 5.6 menunjukkan bahwa Etrue rata-rata adalah 11060 MPa, dan Eapp adalah 9751 MPa. Dari kedua nilai tersebut dapat diketahui bahwa Etrue 13,4% lebih besar jika dibandingkan dengan Eapp pada L = 14 . h Persentasi perbedaan yang terjadi dalam hal nilai modulus elastisitas akan mempunyai dampak yang signifikan sehubungan dengan desain penampang balok yang ekonomis. Khususnya hal ini mempunyai arti apabila diterapkan pada balok tinggi atau balok dengan perbandingan panjang bentang terhadap tinggi balok L < 14 . h
Modulus Elastisitas (MPa)
76
15000 11060 9751 10000
5000
0 MOEapp
MOEtrue
L = 14 balok utuh berdasarkan ASTM h D198-5a (2008)
Gambar 5.6 Nilai Etrue terhadap Eapp pada
2.
Berdasarkan Metode Baru Kurva SM-2009
Telah dijelaskan pada metode pengujian diatas bahwa data modulus elastisitas yang digunakan pada penelitian ini sekaligus diperoleh dari hasil uji lentur berdasarkan ASTM D198-05a (2008). Untuk mendapatkan modulus geser dengan metode ini, yaitu dengan cara pembacaan kurva hubungan EL/h=14/EL/h<14 tehadap G/EL/h<14 dapat dilihat kembali Gambar 5.3. Pada sub bab ini akan ditinjau modulus elastisitas untuk dihitung
L L = 14 dan = 6 . Kedua nilai tersebut h h
berdasarkan persamaan regresi yang telah diperoleh dari kurva 2
⎛h⎞ hubungan ⎜ ⎟ dan nilai ⎝ L⎠
⎛1⎞ ⎜ ⎟ yang dipaparkan pada Gambar 5.5. ⎝E⎠
Tabel 5.5 menunjukkan nilai rasio Eapp pada
L = 14 terhadap Eapp pada h
L = 6 , selanjutkan dengan memplotkan pada kurva Metode Baru Kurva SM-2009, h dapat dilihat nilai a, dimana a merupakan rasio
G E L =14 h
.
77 L = 14 balok utuh berdasarkan Kurva h SM-2009
Tabel 5.5 Rasio nilai G terhadap Eapp pada
Balok 1 2 3
L/h 14 6 14 6 14 6
2
(h/L) 0,005 0,028 0,005 0,028 0,005 0,028
(1/Eapp) 10-5 (1/MPa) 10,15 16,63 10,61 17,49 10,03 12,81
Eapp (MPa) 9851,31 6014,93 9428,41 5716,84 9972,37 7808,32
Eapp(L/h=14)/ Eapp(L/h=10) 1,64
a 0,0436
1/a 22,96
1,65
0,0428
23,37
1,28
0,1002
9,98
ratarata SD CV (%)
18,77 7,62 40,58
Keterangan: SD = standar deviasi; CV = koefisien variasi
Berdasarkan pembacaan kurva diperoleh nilai a untuk masing-masing balok 1, 2. dan 3 adalah 0,0428, 0,04, dan 0,1002. Dari nilai tersebut, modulus geser G untuk masing-masing balok 1, 2, dan 3 adalah (1/22,96), (1/23,37), dan (1/9,98) x Eapp pada
L = 14 . Apabila ketiga nilai tersebut dirata-ratakan, maka nilai G h
adalah (1/18,77) x Eapp pada .
L = 14 h
Nilai pembagi dari faktor terhadap Eapp pada
L = 14 untuk metode h
pertama berdasarkan ASTM D198-5a (2008) dan metode kedua dengan cara pembacaan Kurva SM-2009 digambarkan dalam diagram batang seperti ditunjukkan pada Gambar 5.7. Nilai 1/a untuk kedua metode tidak berbeda nyata. Untuk nilai 1/a berdasarkan Kurva SM-2009 adalah 2% lebih kecil apbila dibandingkan berdasarkan metode ASTM. Secara statistik dengan uji T, nilai modulus geser G dengan kedua metode tersebut adalah tidak berbeda nyata.
78
25 20 15 1/a 10 5 0
1
2
3
ASTM D198-5a (2008)
23,44
23,86
10,19
Kurva SM-2009
22,96
23,37
9,98
Gambar 5.7 Nilai pembagi modulus geser G terhadap Eapp pada
L = 14 balok h
utuh 5.5.2. Balok Glulam
1.
Berdasarkan ASTM D198-05a(2008)
Hasil pengujian balok glulam diatas dua perletakan dengan bentang yang berbeda-beda sama seperti yang dilakukan untuk balok utuh dapat dihitung masing-masing nilai Eapp yaitu modulus elastisitas yang hanya memperhitungkan defleksi akibat lentur. Nilai tersebut secara rinci dapat dilihat pada Gambar 5.8. Dari grafik tersebut dapat diamati bahwa pada balok glulam 1 dengan bentang lebih besar mempunyai nilai Eapp lebih besar pula jika dibandingkan dengan bentang yang lebih kecil. Pada balok glulam 2, dengan bentang 1100 mm mempunyai nilai Eapp lebih kecil jika dibandingkan dengan bentang 750 mm, kemudian menurun pada bentang yang lebih pendek yaitu 600 mm, selanjutnya terjadi kenaikan nilai pada bentang 460 mm. Pada balok glulam 3 mempunyai tren yang tidak sama dengan kedua balok glulam lainnya, pada panjang bentang semakin pendek yaitu 750 mm dan 600 mm mempunyai nilai Eapp yang membesar, kemudian pada bentang 460 mm mempunyai nilai terkecil dibandingkan 3 (tiga) nilai lainnya.
79 15000
10000 Eapp (MPa) 5000
0
L =1100 mm
L = 750 mm
L = 600 mm
L = 460 mm
Glulam 1
10401
9750
9557
6344
Glulam 2
10859
12925
7805
8057
Glulam 3
11432
13698
13857
9899
Gambar 5.8 Nilai Eapp berdasarkan panjang bentang masing-masing balok glulam Masing-masing nilai
1 dapat dihitung untuk masing-masing balok E app
kemudian diplotkan pada kurva seperti ditunjukkan pada Gambar 5.9. Persamaan regresi dibuat berdasarkan keempat nilai dari setiap balok. Dari ketiga diagram tersebut, pada nilai x = 0, diperoleh nilai nilai Etrue masing-masing balok.
1 , dan selanjutnya dapat dihitung Etrue
80
(1/MOEapp) x 1/100000 (1/MPa)
Balok Glulam 1 20 15 10 y = 427,13x + 7,5141 2 R = 0,86
5 0 0,000
0,005
0,010 (h/L)
0,015
0,020
2
(1/MOEapp) x 1/100000 (1/MPa)
Balok Glulam 2 20 15 10 y = 304,68x + 7,8042 2 R = 0,54
5 0 0,000
0,005
0,010 (h/L)
0,015
0,020
2
(1/MOEapp) x 1/100000 (1/MPa)
Balok Glulam 3 20 y = 116,18x + 7,2284 2 R = 0,29
15 10 5 0 0,000
0,005
0,010 (h/L)
2
0,015
0,020
2
1 ⎛h⎞ balok glulam berdasarkan Gambar 5.9 Kurva hubungan ⎜ ⎟ dengan nilai E ⎝L⎠ ASTM D198-5a (2008)
81 Dari hasil analisis yang dilakukan lebih lanjut, yang ditunjukkan pada Tabel 5.6. diperoleh nilai G adalah (1/36,72) , (1/27,13) dan (1/12,38) x Eapp masingmasing untuk balok glulam 1 , 2, dan 3. atau rata-rata (1/25,41) x Eapp pada L = 14 . h L = 14 , dan modulus geser G balok glulam h berdasarkan ASTM D198-5a (2008)
Tabel 5.6 Nilai Etrue , Eapp pada
BALOK
Persamaan garis
y = 427,13 x + 7,5141 y = 304,68 x + 7,8042 y = 116,18x + 7,2284
1 2 3
(K1 x 10-5) (1/MPa)
(b x 10-5) (1/MPa)
Etrue (MPa)
G (MPa)
Eapp (MPa)
427,13
7,51 13308,31
280,94 10316,37
36,72
304,68
7,80 12813,61
393,86 10685,26
27,13
7,23 13834,32 1032,88 12785,84 rata-rata 13318,75 11262,49 SD CV (%) Keterangan: SD = standar deviasi; CV = koefisien variasi
2.
1/a = Eapp/G
116,18
12,38
25,41 12,26 48,26
Berdasarkan Metode Baru Kurva SM-2009
Apabila data besaran Eapp untuk balok glulam diplotkan kemudian digambarkan dan dibuat serta garis tren polinomial, Gambar 5.10, dapat dilihat bahwa tren Eapp akan menjadi lebih kecil untuk sekitar
L < 14 . Telah dibahas h
sebelumnya untuk balok utuh bahwa pada saat rasio bentang balok terhadap tinggi balok
L = 14 , maka kondisi tersebut dinyatakan sebagai batasan timbulnya h
modulus
elastisitas
apparent,
yaitu
modulus
elasisitas
yang
hanya
memperhitungkan pengaruh defleksi akibat momen lentur saja. Kurva hubungan Eapp pada sumbu y dan
L pada sumbu x unuk balok glulam mempunyai tren yang h
dapat dikatakan sama dengan balok utuh. Pada saat
L = 14 , nilai Eapp adalah lebih h
82 besar jika dibandingkan Eapp pada
L L semakin < 14 , dan semakin kecil rasio h h
kecil nilai Eapp. Oleh karena itu untuk mendapatkan modulus geser G untuk balok glulam juga menggunakan Metode Baru Kurva SM-2009.
MOEapp (MPa
15000 10000 5000
2
y = -92,796x + 2647,6x - 6587,3 2
R = 0,39
0 0
5
10
15
20
L/h
Gambar 5.10 Modulus elastisitas apparent terhadap rasio panjang bentang dan tinggi balok glulam Seperti yang dilakukan untuk balok utuh, terlebih dahulu dihitung E yang hanya memperhitungkan defleksi akibat lentur, pada saat
L L = 14 dan = 6 L/h . h h
Kedua nilai tersebut dihitung berdasarkan persamaan regresi yang telah diperoleh 2
⎛h⎞ ⎛1⎞ dari kurva hubungan ⎜ ⎟ dan nilai ⎜ ⎟ yang dipaparkan pada Gambar 5.9. ⎝ L⎠ ⎝E⎠ Tabel 5.7 menunjukkan nilai rasio Eapp pada
L L = 14 terhadap Eapp pada =6, h h
selanjutkan dengan memplotkan pada kurva Metode Baru Kurva SM-2009, dapat dilihat nilai a, dimana a merupakan rasio
G E L =14 h
.
83 L = 14 balok glulam berdasarkan h Kurva SM-2009
Tabel 5.7 Rasio nilai G terhadap Eapp pada
Balok 1 2 3
L/h 14 6 14 6 14 6
2
(h/L) 0,005 0,028 0,005 0,028 0,005 0,028
(1/Eapp) 10-5 (1/MPa) 9,69 19,38 9,36 16,27 7,82 10,46
Eapp (MPa) 10316,37 5160,27 10685,26 6147,21 12785,84 9564,23
Eapp(L/h=14)/Eapp(L/h=10) 2,00
a 0,0278
1/a 35,97
1,74
0,0376
26,57
1,34
0,0825
12,13
rata-rata SD CV (%)
24,89 12,01 48,26
Keterangan: SD = standar deviasi; CV = koefisien variasi
Berdasarkan pembacaan Kurva SM-2009 diperoleh nilai a untuk masingmasing balok 1, 2. dan 3 adalah 0,0278, 0,0376, dan 0,0825. nilai modulus geser G untuk masing-masing balok 1, 2, dan 3 adalah (1/35,97), (1/26,56), dan (1/12,13) x Eapp.. Apabila ketiga nilai tersebut dirata-ratakan, maka nilai G adalah (1/24,89) x Eapp pada
L = 14 . h
Nilai pembagi modulus geser G terhadap Eapp untuk kedua metode digambarkan dalam diagram batang seperti ditunjukkan pada Gambar 5.11. Nilai 1/a untuk kedua metode tidak berbeda nyata. Untuk nilai 1/a berdasarkan Kurva SM-2009 adalah 2% lebih kecil apbila dinbandingkan berdasarkan metode ASTM D198-5a (2008). Secara statistik dengan uji T, nilai modulus geser G dengan kedua metode tersebut adalah tidak berbeda nyata.
84
40 30
1/a
20 10 0
1
2
3
ASTM D198-5a (2008)
36,72
27,13
12,38
Kurva SM-2009
35,97
26,57
12,13
Gambar 5.11 Nilai pembagi modulus geser G terhadap modulus elastisitas balok glulam 5.5.3. Perbandingan modulus geser dan elastisitas balok utuh dan glulam dengan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM-2009
Telah dijelaskan diatas hasil penelitian yang telah diperoleh nilai modulus geser untuk masing-masing balok utuh maupun balok glulam menggunakan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM-2009. Pada sub bab ini akan disampaikan perbandingan satu sama lain nilai modulus geser, modulus elastisitas apparent maupun true untuk balok utuh, glulam dengan kedua metode tersebut. Modulus elastisitas apparent hanya memperhitungkan defleksi akibat momen lentur, sedangkan modulus elastisitas true memperhitungkan defleksi akibat momen lentur dan gaya geser yang mengandung faktor modulus geser G. Gambar 5.12 merupakan kurva batang yang menunjukkan nilai-nilai tersebut. Pada balok glulam selalu terjadi peningkatan nilai Eapp, Etrue, dan rasio E/G jika dibandingkan dengan balok utuh dengan kedua metode. Dengan metode yang sama yaitu ASTM D198-5a (2008), ketiga nilai tersebut untuk balok glulam masing-masing lebih besar 15,5, 20,42, dan 32,62% jika dibandingkan dengan balok utuh. Sedangkan dengan metode yang sama yaitu metode Kurva SM-2009, ketiga nilai tersebut untuk balok glulam masing-masing lebih besar 15,49, 19,38, dan 32,61% jika dibandingkan dengan balok utuh.
85
15000
10000
5000
0
Eapp (MPa)
Etrue (MPa)
E/G
ASTM D198-5a (2008) Balok Utuh
9751
11060
19,16
KURVA SM-2009 Balok Utuh
9751
10872
18,77
ASTM D198-5a (2008) Glulam
11262
13319
25,41
KURVA SM-2009 Glulam
11262
12978
24,89
Gambar 5.12 Perbandingan modulus elastisitas dan rasio E/G balok utuh dan glulam Rasio E/G balok glulam sekitar 25 lebih besar apabila dibandingkan dengan balok utuh dengan nilai sekitar 19. Hal ini disebabkan oleh karena pada balok glulam terdapat garis rekat yang dapat menghambat adanya deformasi pada arah tegak lurus serat kayu. Dari hasil yang telah diperoleh apabila rasio E/G besar seperti pada glulam, maka nilai Etrue akan meningkat lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio E/G yang lebih kecil seperti yang terjadi pada balok utuh. Modulus elastisitas yang diperhitungkan adalah modulus elastisitas apparent pada rasio L dan h yang sama untuk balok glulam dan utuh,. dalam hal ini digunakan rasio
5.6.
L = 14 . h
Kesimpulan
Hasil penelitian tentang modulus geser (G) untuk balok utuh dan balok glulam yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Modulus elastisitas apparent balok utuh maupun glulam akan semakin kecil untuk balok pendek (short-span), yaitu balok dengan perbandingan panjang
86 bentang terhadap tinggi balok atau besar pada 2.
L < 14 , relatif mempunyai nilai lebih h
L L = 14 , meskipun pada > 14 terjadi peningkatan relatif kecil. h h
Masing-masing nilai Eapp, Etrue, rasio
E balok glulam adalah lebih besar G
jika dibandingkan dengan balok utuh. 3.
Dalam menghitung nilai modulus elastisitas pada balok glulam, pengaruh defleksi akibat gaya geser relatif cukup besar. Peningkatan Etrue tehadap Eapp pada balok glulam adalah lebih besar jika dibandingkan dengan balok utuh; mendapatkan nilai modulus geser kayu lebih mudah dan sederhana dengan cara Kurva SM-2009 daripada ASTM D198-5a (2008).
4.
Nilai modulus geser untuk balok utuh dan glulam yang diperoleh dari metode Kurva SM-2009 tidak berbeda nyata dengan metode ASTM D1985a (2008).
5.
Dengan metode ASTM D198-5a (2008), Etrue dapat secara langsung dari 2
kurva hubungan 6.
1 ⎛h⎞ dan ⎜ ⎟ . E ⎝L⎠
Dengan metode Kurva SM-2009, Etrue dapat secara cepat dihitung berdasarkan tabel rasio
7.
E . G
Metode Kurva SM-2009 dapat dipertangungg jawabkan untuk digunakan mendapatkan nilai modulus geser G.
6.
ANALISIS KEKAKUAN DAN KEKUATAN BALOK GLULAM UKURAN STRUKTURAL 6.1.
Pendahuluan
Balok glulam sebagai bentuk rekayasa struktur bukan kayu utuh merupakan komponen struktural dengan dimensi yang tidak tergantung dengan diameter kayu. Glulam singkatan dari Glued Laminated merupakan susunan beberapa lapis kayu direkatkan satu sama lain secara sempurna menjadi satu kesatuan tanpa terjadi diskontinuitas perpindahan tempat, Gurdal et al. (1999). Arah serat seluruh lapis kayu, paralel terhadap panjang balok. Bodig dan Jayne (1993) mengemukakan bahwa kayu sebagai material alamiah berupa balok atau log mungkin belum merupakan produk yang efisien sebagai komponen struktural, sebuah balok kayu utuh dengan adanya cacat kayu kapasitas dalam memikul beban menjadi lebih kecil. Dengan memotong menjadi papan yang biasa disebut lamina, kemudian menyusun dan melekatkan kembali dengan menghilangkan cacat kayu atau mengatur posisi cacat kayu secara tepat maka sifat mekanisnya dapat meningkat. Dinyatakan oleh Berglund dan Rowell (2005) bahwa keuntungan paling besar dari penggunaan glulam adalah dapat menjadi balok besar yang dibuat dari kayu dengan log berdiameter kecil, dapat disusun dari kayu dengan kwalitas rendah, lamina penyusun glulam merupakan kayu tipis yang dapat dikeringkan lebih cepat daripada kayu utuh dengan dimensi besar. Moody et al. (1999) memberikan penjelasan bahwa glulam merupakan rekayasa produk pengaturan tegangan (stress-rated product) yang terdiri dari dua atau lebih papan kayu yang direkat satu dengan lainnya secara bersama-sama dengan arah serat longitudinal seluruh lapisan yang disebut sebagai lamina, paralel terhadap panjangnya. Juga dinyatakan bahwa glulam merupakan bahan yang terbuat dari lapisan kayu pilihan. Lamina dapat diatur dengan mutu disesuaikan dengan fungsi ditinjau dari segi kemampuan struktural didalam menerima beban. Susunan lamina dengan mutu berbeda pada lapis tertentu akan mempengaruhi sifat mekanis kayu. Dalam pembuatan balok glulam dengan menyusun lamina yang mempunyai mutu lebih tinggi pada daerah dengan
88 tegangan besar dan mutu yang lebih rendah pada daerah lainnya, penampang laminasi akan bekerja efektif didalam menerima beban lentur. Perekat merupakan material dengan sifat berbeda dengan kayu. Adanya perekat diantara lapisan kayu pada glulam, memungkinkan terjadi perubahan sifat mekanis glulam, seperti kekakuan dan kekuatannya. Glulam merupakan komponen dari material komposit, yaitu material terdiri dari beberapa sifat mekanis, dalam hal ini terdapat lamina kayu dengan modulus elastisitas (MOE) berbeda masing-masing lapisan dan bahan perekat yang terdapat diantara susunan lamina-lamina . Sifat elastisitas bahan untuk menahan lenturan pada balok glulam dan kekuatan yang ditunjukkan sebagai tegangan lentur, tidak dapat dihitung sebagaimana layaknya balok utuh. Oleh karena terdapat kebebasan dalam menentukan dimensi penampang melintang balok glulam, sehubungan dengan ketinggian penampangnya terdapat hal yang perlu mendapat perhatian dalam memperhitungkan besar modulus elastisitasnya (MOE). Dengan memperhitungkan defleksi akibat gaya lintang yang mengandung faktor modulus geser (G), akan menghasilkan nilai yang lebih tepat. Kajian dalam menganalisis kekuatan glulam adalah untuk mengetahui tegangan lentur, yang terjadi akibat adanya pengaruh lentur. Modulus of Rupture (MOR) merupakan kekuatan atau tegangan lentur maksimum terjadi pada serat tepi atas dan bawah penampang melintang balok, masing-masing mengalami lentur tekan pada serat tepi atas dan tarik pada serat tepi bawah. Lamina dimodelkan sebagai material ekivalen homogen dengan MOE konstan pada seluruh penampang. Didalam analisis kekuatan glulam tidak dapat dilakukan seperti pada balok kayu utuh, oleh karena glulam tersusun dari beberapa lamina dengan MOE berbeda.
Analisis
kekuatan
untuk
glulam
dilakukan
menggunakan
metode ”Transformed Cross Section”, yaitu metode penggunaan konversi nilai MOE yang bervariasi pada masing-masing lamina terhadap satu nilai MOE, dan metode ini mempunyai pengaruh mengurangi lebar lamina dengan MOE rendah, dan menambah lebar lamina dengan MOE tinggi, Bodig dan Jayne (1993).
”Transformed
Cross
Section”
merupakan
potongan
melintang
transformasi komponen material homogen dengan satu nilai MOE yang
89 merupakan hasil perubahan dari bentuk komponen komposit (Beer, 1992). Dengan adanya perbedaan MOE masing-masing lamina, dapat diperoleh nilai MOR setiap titik tinjauan. Lee et al. (2000) menyatakan bahwa data yang paling sesuai digunakan sebagai variabel data masukan untuk prediksi kekuatan glulam dengan metode ”Transformed Cross Section” adalah metode MSR (Machine Stress Rating). Penyelesaian secara analitik didalam memperoleh nilai tegangan lentur dengan metode ”Transformed Cross Section” dilakukan uji lentur dilaboratorium dengan
menggunakan
alat
displacement
tranducer
dan
strain
gauge.
Displacement tranducer mempunyai fungsi mengukur besaran defleksi yang terjadi pada balok saat diberi pembebanan. Strain gauge berfungsi megukur regangan pada lokasi ditempat terpilih. Penggunaan kedua alat tersebut perlu diketahui hasilnya untuk dibuat perbandingan diantara keduanya. 6.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kekakuan yang dinyatakan sebagai modulus elastisitas dan kekuatan yang dinyatakan sebagai tegangan lentur dari balok glulam ukuran pemakaian. Tujuan khusus yang akan dicapai pada penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1.
Menganalisis modulus elastisitas dan kekakuan lentur apparent.
2.
Menganalisis modulus elastisitas dan kekakuan lentur true dengan memperhitungkan faktor modulus geser (G).
3.
Menganalisis tegangan lentur maksimum atau modulus of rupture (MOR), serta tegangan yang terjadi pada setiap titik berdasarkan data hasil pengujian lentur dengan alat displacement tranducer.
4.
Menganalisis tegangan lentur maksimum atau modulus of rupture (MOR) berdasarkan data hasil pengujian lentur dengan alat strain gauge.
5.
Membandingkan nilai MOR yang diperoleh dari analisis berdasarkan data pengujian lentur menggunakan alat displacement tranducer, dan strain gauge.
90 6.3.
Bahan dan Metodologi
6.3.1. Bahan dan Alat
Kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah Acacia mangium, famili Leguminosae yang merupakan kayu cepat tumbuh (fast growing species). Kayu ditebang dari Legok, Bogor, Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat dengan diameter log sekitar 20 – 28 cm, dan umur tanam sekitar 8 tahun. Perekat yang digunakan adalah Polyurethane (Water Based Polymer Isocyanate, WBPI). Perekat dengan nama PI-3100 terdiri dari 2 komponen yaitu base resin dan hardener (H-7). Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat potong kayu, penghalus kayu, amplas, alat ukur dimensi (calliper), alat ukur kadar air digital (digital moisture content), timbangan elektrik, alat tulis, komputer dengan peangkat penunjangnya. Alat uji lentur digunakan Universal Testing Machine UH-C500B dilengkapi dengan Portable Data Logger TDS 303 dan External Display Unit EDU 11 Type R 6010. Alat pengukur regangan Strain Gauges digunakan Tokyo Sokki Kenkyujo Type PFL-30-11, dengan gauge length adalah 30 mm, lihat Gambar 6.1. Sedangkan alat pengukur defleksi displacement tranducer dapat dilihat seperti pada Gambar 6.2.
Gambar 6.1 Strain gauge pada sisi atas dan bawah balok glulam
91
Gambar 6.2 Displacement tranducer pada tengah bentang balok glulam 6.3.2. Metodologi
Lokasi Penelitian
Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor, serta Laboratorium Struktur Bangunan Puslitbangkim PU Cileunyi Bandung, Jawa Barat.
Penyiapan benda uji
Balok kayu untuk glulam dipotong dari log kayu dengan arah longitudinal dengan ukuran 70 mm x 150 mm x 3000 mm untuk lebar, tinggi dan panjangnya. Seluruh balok dikeringkan secara alamiah, disusun dengan bagian lebar dari penampang melintang balok secara horisontal dengan jarak 40 mm, diberi reng diatasnya dengan ukuran 2 mm x 3 mm dengan arah berlawanan susunan bawahnya. Dengan cara yang sama disusun lapis perlapis dalam arah vertikal. Setelah balok kering, yaitu mempunai kadar air sekitar 18%, balok dibelah menjadi papan lamina. Papan lamina dibuat dengan ukuran 25 mm x 65 mm x 300 mm untuk masing-masing tebal, lebar dan panjangnya. Seluruh lamina disusun kembali dengan cara penyusunan sama dengan pada proses pengeringan balok
92 sampai mencapai kadar air kesetimbangan
sekitar 14%. Permukaan lamina
dihaluskan sehingga tebal lamina menjadi sekitar 22 mm, dengan lebar 65 mm dan panjang 3000 mm. Pemilahan seluruh lamina dilakukan berdasarkan modulus elastisitasnya (MOE) dengan cara mengadakan pengujian lentur sistem non destructive test. Masing-masing lamina diadakan pengujian lentur dengan varisai 5 (lima) jarak bentang, yaitu 500 mm, 1000 mm, 1500 mm, 2000 mm, dan 2500 mm. Lamina diletakkan diatas dua perletakan diberikan beban terpusat ditengah bentang serta dilakukan pengukuran defleksi dengan alat deflektometer ditengah bentang. Sebelum diadakan pengujian lentur terlebih dahulu dimensi papan lamina diukur untuk tebal dan lebarnya pada bagian tepi kiri kanan dan tengah arah panjang lamina. Dari data gaya P dan defleksi hasil uji lentur masing-masing lamina dibuat analisis untuk mendapatkan nilai MOE. Nilai MOE dihitung berdasarkan hubungan P dan defleksi yang linier, yaitu diagram hubungan pada daerah elastis. Selanjutnya diadakan pengelompokan lamina berdasarkan kelas kuat yang dinyatkan dengan notasi E. Sebagai contoh kelas kuat E12 adalah kayu dengan MOE = 11.000 MPa. Balok glulam disusun dari 7 (tujuh) lapis lamina. Lamina dengan MOE paling besar diletakkan pada lapis sisi terluar, yaitu bagian lapis teratas dan terbawah balok glulam. Secara berurutan MOE yang lebih rendah disusun secara berurutan kearah bagian tengah lapisan glulam. Berdasarkan Timber Construction Manual (2005), penempatan laminasi dengan kelas kuat lebih tinggi pada bagian yang diharapkan mengalami tegangan besar akibat suatu pembebanan, akan menghasilkan balok glulam yang efisien dalam hal penggunaan bahan kayu yang tersedia. Perekat disiapkan sesuai dengan standar teknik yang ditentukan dari produsen. Sebelum diaplikasikan, kedua komponen perekat yaitu resin dan hardener dicampur dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 100 : 15 (berdasarkan berat). Sebelum proses perekatan, permukaan lamina dalam keadaan halus, dibersihkan dari segala kotoran. Seluruh sistem pelaburan perekat dilakukan dengan menggunakan kape, dan dilaburkan pada kedua permukaan (double spread) lamina dengan berat labur 280 g/m2. Perekat yang terdiri dari
93 base dan resin disiapkan dan ditimbang untuk masing-masing lapis lamina. Perekatan dimulai pada lapisan balok glulam terbawah, dilanjutkan dengan lapisan lebih atas. Balok glulam yang telah diselesaikan seluruh proses perekatan diletakkan diantara 2 (dua) buah pelat besi dengan tebal 10 mm dan selanjutnya dilakukan kempa dingin dengan cara diklem setiap jarak 30 cm, dilakukan selama 4 (empat) jam. Sebelum diadakan perataan kembali seluruh permukaan glulam dan diadakan pengujian lentur, balok glulam perlu dikondisikan terlebih dahulu selama 7 hari untuk menjamin proses pematangan perekatan. Penyerutan dilakukan kembali sehingga lebar balok glulam sekitar 60 mm dan panjang 2600 mm. Pengukuran dimensi penampang melintang yang terdiri dari lebar dan tinggi balok dilakukan pada seluruh balok glulam, pengukuran dilakukan pada 3 posisi yaitu bagian tepi kiri kanan dan tengah. Balok glulam siap untuk diadakan uji dapat dilihat seperti pada Gambar 6.3. Gambar 6.4 menunjukkan penampang balok glulam dengan nilai kelas kuat kayu untuk masing-masing lamina, dan Gambar 6.5 menunjukkan nilai MOE masing-masing lamina.
Gambar 6.3 Balok glulam siap untuk dilakukan uji lentur
94 E12
E12
E12
E12
E12
E11
E11
E11
E11
E11
E10
E10
E10
E10
E10
E10
E9
E10
E10
E11
E11
E11
E11
E11
E12
E12
E12
E12
E12
E12
E15
E15
E15
E14
E14
Balok 3
Balok 4
Balok 1
Balok 2
Balok 5
E12
E13
E13
E13
E13
E11
E11
E11
E11
E11
E10
E10
E10
E10
E11
E10
E9
E9
E9
E9
E11
E11
E11
E11
E11
E12
E12
E12
E12
E12
E13
E13
E13
E13
E13
Balok 8
Balok 9
Balok 6
Balok 7
Balok 10
Gambar 6.4 Susunan lamina balok glulam berdasarkan kelas kuat 11619
11647
11667
11709
11758
10626
10634
10724
10764
10775
9473
9581
9603
9688
9691
9250
9191
9159
9123
9101
10560
10452
10403
10396
10266
11351
11305
11266
11234
11213
14676
14190
14119
13928
13892
Balok 1
Balok 2
Balok 3
Balok 4
Balok 5
11881
12046
12049
12296
12329
10846
10848
10849
10857
10909
9713
9764
9796
9938
10003
9013
8884
8844
8821
8709
10178
10154
10111
10085
10076
11165
11158
11144
11101
11100
12963
12727
12564
12522
12418
Balok 6
Balok 7
Balok 8
Balok 9
Balok 10
Gambar 6.5 Modulus elastisitas masing-masing lamina balok glulam
95 Metode Penelitian
Pengujian lentur di laboratorium untuk glulam dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur pada ASTM D198-5a (2008) tentang “Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes” Section 4-11 tentang Flexure. Uji lentur lamina dilakukan dengan cara sederhana, lamina diletakkan diatas dua perletakan, masing-masing lamina dilakukan dengan 5 (empat) macam jarak perletakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya pebedaan nilai modulus elastisitas apabila pengujian dilakukan dengan jarak bentang berbeda. Pengujian dilakukan dengan memberikan gaya ditengah bentang, diukur besar defleksi yang terjadi dibawah beban. Beban ditingkatkan lebih besar dari beban sebelumnya. Diadakan pengukuran defleksi yang terjadi.
Besar
pembebanan yang diberikan ditentukan sebesar beban yang diperkirakan mengakibatkan tegangan masih dalam batas elastis. Selisih masing-masing besaran kedua beban dan defleksi yang dijadikan sebagai parameter dalam perhitungan modulus elastisitas yang terjadi. Pengujian lentur yang dilakukan merupakan pengujian non destructive. Setelah diperoleh masing-masing MOE lamina, selanjutnya diadakan pemilahan lamina berdasarkan kelompok nilai kelas kuat kayu. Pengujian lentur balok glulam dilakukan dengan meletakkannya diatas dua perletakan, diberikan dua beban terpusat masing-masing pada satu pertiga bentang (third point loading). Pembacaan pertambahan besar beban dan defleksi yang terjadi ditengah bentang ditransfer kedalam data logger, begitu pula besar regangan yang terjadi pada serat sisi atas dan bawah balok glulam. Pembebanan diberikan hingga terjadi keruntuhan balok glulam. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine. Kadar air diukur beberapa saat sebelum pengujian dengan bantuan alat digital moisture meter dan diperoleh nilai sekitar 14 ~ 16 %. Dari kurva hubungan defleksi-beban hasil pengujian lentur dihitung modulus elastisitas tanpa dan memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya geser yang mengandung nilai modulus geser G. Dari gaya maksimum yang terjadi dihitung nilai tegangan maksimum nominal pada sisi atas dan bawah balok glulam.
96 Dengan
metode
“Transformed
Cross
Section”
(penampang
melintang
tertransformasi), dihitung tegangan aktual pada setiap titik tinjauan, berdasarkan ketentuan yang diatur pada ASTM D3737-07 (2008) tentang “Standard Practice for Establihing Allowable Poperties for Structural Glued Laminated Timber (Glulam)”.
Gambar 6.6 Pengujian lentur balok glulam ukuran struktural Analisis
Pada umumnya didalam memperhitungkan defleksi yang terjadi pada suatu titik dari balok yang dibebani hanya memperhitungkan pengaruh akibat adanya lentur saja, padahal pada titik tersebut juga terdapat pengaruh defleksi akibat gaya lintang meskipun pada posisi tersebut tidak terdapat gaya lintang. Sebagai gambaran balok yang dibebani dua buah gaya terpusat, pada tengah bentang diantara dua buah gaya terpusat tidak bekerja gaya lintang, tetapi pada tersebut terdapat pengaruh defleksi akibat gaya lintang. Defleksi akibat gaya lintang dari perletakan sampai beban terpusat mempengaruhi daerah tengah bentang. Secara umum persamaan defleksi total yang terjadi pada setiap lokasi dapat dituliskan sebagai berikut,
97 Defleksi total untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis yang terletak diatas dua perletakan sederhana dibebani gaya terpusat masing-masing ½ P pada sepertiga bentang, Gambar 6.7 adalah,
Δ total =
23PL3 PL +k 1296 EI 6GA
(6.1)
Nilai k adalah 1,20 untuk penampang empat persegi panjang. Δtotal disini memperhitungkan defleksi akibat lentur dan gaya geser. Persamaan (6.2) dapat dituliskan kembali sebagai berikut,
Δ total = Rasio
23PL3 0 ,2 PL + 1296 EI GA
(6.2)
Δs dapat dijperoleh dari persamaan (6.2) sebagai berikut, Δb Δs E⎛h⎞ = 0 ,94 ⎜ ⎟ Δb G⎝L⎠
2
(6.3)
Dari persamaan (6.3) dapat diperoleh modulus elastisitas true sebagaimana telah dijelaskan pula pada Bab 5, yang telah memperhitungkan pengaruh momen lentur dan gaya geser. Oleh karena glulam tersusun dari lamina-lamina dengan modulus elastisitas yang berbeda, maka pada rumus untuk mendapatkan MOEtrue menggunakan Eeff . Rumus dimaksud adalah, ⎛ Δ ⎞ MOEtrue = ⎜⎜1 + s ⎟⎟ E eff ⎝ Δb ⎠
(6.4)
, dimana,
∑ E {I = i
E eff
i 0
( )
+ Ai d i
I tranf
2
(6.5)
98
P
½P
½P 1/3 L
1/3 L
1/3 L
Gambar 6.7 Balok diatas dua perletakan dengan beban masing-masing ½ P pada sepertiga bentang Untuk mendapatkan nilai tegangan lentur pada setiap titik glulam dengan MOE lamina yang tidak seragam untuk seluruh lapisan dilakukan berdasarkan
metode “Transformed Cross Section”, yang mana dengan adanya perbedaan MOE masing-masing lamina, dapat diperoleh nilai tegangan lentur setiap titik tinjauan. Glulam terdiri dari beberapa jenis MOE dengan nilai lebih kecil berada pada daerah mendekati sumbu netral dan MOE dengan nilai lebih besar terletak pada sisi atas dan bawah penampang, Tegangan lentur yang terjadi pada setiap ketinggian penampang terlebih dahulu dihitung sebagai tegangan lentur nominal berdasarkan penampang dengan masing-masing MOE lapisan lamina yang telah ditransformasi pada satu lamina tertentu, Gambar 6.8. Pada kasus ini ditentukan MOE yang tetap adalah lamina terbesar, MOE terbesar ditentukan sebagai nilai transformasi.
99
9 x 2cm =18 cm
6
(b)
(a)
(c)
(d)
Gambar 6.8 Diagram regangan dan tegangan balok glulam a. Penampang balok glulam b.
Diagram regangan
c.
Diagram tegangan lentur nominal
d.
Diagram tegangan lentur aktual
6.4.
Hasil dan Pembahasan
.Dari hasil uji lentur non destructive, dihitung nilai MOE masing-masing lamina dengan 5 (lima) variasi jarak bentang, yaitu 500 mm, 1000 mm, 1500 mm, 2000 mm, dan 2500 mm, lihat Gambar 6.9. Dari garis regresi dapat diketahui bahwa uji lentur dengan jarak bentang 500 mm menghasilkan modulus elastisitas terendah dibandingkan keempat jarak bentanng lainnya. Untuk menghasilkan nilai modulus elastisitas rata-rata diambil dari nilai modulus elastisitas dengan jarak bentang 1000 mm, 1500 mm, 2000 mm, dan 2500 mm. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan keempat kondisi tersebut menghasilkan nilai modulus elastisitas yang mendekati sama.
100
Modulus Elastisitas (MPa)
20000
15000
10000
5000
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Nomor Benda Uji L = 500 mm
L = 1000 mm
L = 1500 mm
L = 2000 mm
L = 2500 mm
Poly. (L = 500 mm)
Poly. (L = 1000 mm)
Poly. (L = 1500 mm)
Poly. (L = 2000 mm)
Poly. (L = 2500 mm)
Gambar 6.9 Modulus elastisitas lamina dengan varisasi jarak bentang Selanjutnya masing-masing lamina sebanyak 90 (sembilan puluh) buah dikelompokkan berdasarkan kuat acuan, kelompok kuat acuan lamina dapat dilihat pada Tabel 6.1. Dari seluruh lamina yang tersedia dipilih sebanyak 70 (tujuh puluh) lamina untuk disusun menjadi 10 (sepuluh) balok glulam. Histogram kuat acuan kelompok lamina dapat dilihat pada Gambar 6.10. Dari histrogam tersebut terlihat bahwa persentase mayoritas berdasarkan kelompok kuat acuan adalah E10 dan E12, atau MOE sekitar 9000 kg/cm2 dan 11000 kg/cm2. Tabel 6.1 Kelompok kuat acuan lamina KUAT ACUAN JUMLAH E7 6 E8 8 E9 10 E10 15 E11 21 E12 16 E13 9 E14 2 E15 3 Total benda uji 90
KUMULATIF JUMLAH 6 14 24 39 60 76 85 87 90
PERSEN 6,67 8,89 11,11 16,67 23,33 17,78 10,00 2,22 3,33
KUMULATIF PERSEN 6,67 15,56 26,67 43,33 66,67 84,44 94,44 96,67 100,00
101 Hitogram KUAT ACUAN Normal Variable Kelompok 90 lamina Kelompok 70 lamina
20
Mean StDev N 10.66 1.927 90 11.41 1.409 70
Frekuensi
15
10
5
0
6
8
10 12 Kuat Acuan
14
Gambar 6.10 Histogram kelompok kuat acuan lamina Dari hasil uji lentur balok glulam dapat digambarkan tipikal kurva hubungan gaya pada arah sumbu y dan defleksi pada arah sumbu x, Gambar 6.11. Untuk lebih jelasnya kurva hubungan gaya- defleksi seluruh glulam dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan berdefleksi balok glulam pada saat mencapai gaya maksimum adalah berbedabeda. Sebenarnya metode “Transformed Cross Section”,berlaku untuk kondisi tegangan-regangan dalam batas elastis, dan memenuhi strain compatibily. Didalam perhitungan modulus elastisitas memang memperhitungkan kondisi hubungan tegangan-regangan dalam batas elastis atau hubungan gaya-defleksi merupakan garis lurus. Pada kenyataannya pada saat balok glulam dibebani, beberapa balok glulam tidak memenuhi syarat terjadinya strain compatibily. Kondisi ini terlihat pada Lampiran 7 yang melengkapi Gambar 6.11, untuk glulam 2,7, dan 8, dimana kurva hubungan gaya-defleksi pada bagian atas mulai melengkung. Hal ini terjadi antara lain ketidaksempurnaan didalam pembuatan balok glulam, disebabkan karena keterbatasan ketersediaan peralatan yang memadai. Dengan keterbatasan yang terjadi penulis akan melakukan analisis balok glulam berdasarkan metode “Transformed Cross Section” meskipun tidak dapat memenuhi persyaratan secara sempurna.
102
50000
Gaya 25000 (N)
0 0
25
50 Defleksi (mm)
75
100
Gambar 6.11 Tipikal hubungan gaya-defleksi hasil uji lentur balok glulam ukuran struktural Besar defleksi yang terjadi merupakan faktor yang menunjukkan kemampuan kekakuan balok, dimana kemampuan balok mengandung nilai modulus elastisitas dari material pembentuknya. Gambar 6.12 menunjukkan bahwa apabila kemampuan glulam menerima beban pada saat mulai terjadi kerusakan adalah besar, maka defleksi yang terjadi juga besar, sebaliknya apabila kemampuan menerima beban saat mulai terjadi kerusakan adalah kecil maka defleksi yang terjadi juga kecil.
Kondisi ini antara lain dapat mempercepat
terjadinya kerusakan benda uji tersebut. Pada balok glulam GL 4 terlihat bahwa gaya maksimum yang dipikul dan defleksi pada saat gaya maksimum tercapai adalah paling kecil apabila dibandingkan dengan balok glulam lainnya. Hal ini apabila diamati dari kerusakan yang terjadi pada saat pengujian adalah terjadi slip pada antara lapis ke 3 dan ke 4 dari susunan lamina balok glulam. Slip terjadi sampai hampir ditengah bentang balok glulam, yaitu 130 cm dari ujung balok glulam. Balok glulam GL 5 juga terjadi slip juga antara lapis ke 3 dan 4, tetapi hanya sekitar 60 cm dari ujung balok glulam. Berbeda dengan balok glulam GL 7, kemampuan defleksi adalah paling menonjol tinggi diantara balok uji lainnya. Dari pengamatan kerusakan yang terjadi pada saat uji lentur adalah tidak terdapat slip pada lapisan antara lamina, dan kerusakan sampai hancur terjadi pada serat kayu daerah tarik yaitu bagian bawah (lapis 1, 2, dan 3), ditengah bentang balok glulam. Gaya maksimum terjadi pada balok glulam GL 9, kerusakan hanya terjadi pada sisi terbawah dimulai dari lokasi adanya gubal kayu yang berada segaris dibawah salah satu
103 pusat gaya, yaitu pada sepertiga bentang. Kekakuan balok glulam semakin kecil apabila terjadi kerusakan slip pada antar lapisan lamina, dan konfigurasi penampang balok glulam mempengaruhi nilai kekakuan maksimumnya, Sulistyawati et al. (2008). 80 60 40 20 0 Defleksi (mm)
GL 1
GL 2
GL 3
GL 4
GL 5
GL 6
GL 7
GL 8
GL 9 GL 10
41,1
54,3
39,7
29,1
33,2
38,5
67,4
47,4
46,7
36,6
Gaya Maksimum (KN) 32,00 35,99 32,12 25,99 31,04 29,01 35,97 33,36 37,05 27,03
Keterangan: GL = glulam
Gambar 6.12 Defleksi dan gaya maksimum balok glulam Telah dijelaskan terdahulu bahwa perbedaan modulus elastisitas tergantung dari rasio panjang bentang L dan tinggi balok h, serta rasio nilai modulus elastisitas akibat momen lentur saja terhadap modulus geser G atau MOE/G. Pada perhitungan MOEapp balok glulam diperhitungkan sebagai MOEeff, yaitu modulus elastisitas yang telah memperhitungkan masing-masing MOE lamina penyusunnya. MOEeff dihitung menggunakan persamaan (6.5), MOEtrue dihitung
berdasarkan
persamaan
(6.4).
MOEtrue
dihitung
dengan
memperhitungkan modulus geser yang telah dibahas pada Bab V untuk balok glulam dimana rasio E/G adalah 25. Nilai MOEeff dan MOEtrue dapat dilihat seperti pada Gambar 6.13, apabila diadakan perbandingan, nilai MOEtrue adalah lebih besar 10,43% terhadap MOEeff.
104
15000
10000
5000
0 MOEeff (Mpa)
GL 1
GL 2
GL 3
GL 4
GL 5
GL 6
GL 7
GL 8
GL 9 GL 10
12385 12219 12209 12161 12162 11878 11853 11796 11867 11850
MOEtrue (MPa) 13627 13515 13465 13375 13485 13129 13101 13057 13129 13058
Gambar 6.13 Modulus elastisitas efektif dan true balok glulam Pada bagian alinea ini akan dilihat besar pengaruh adanya perekatan terhadap kekakuan glulam. Hal ini dilakukan dengan membnadingkan nilai MOE efektif yang telah dihitung dengan nilai EI yang merupakan kekakuan lentur komponen balok glulam, dimana persamaan nilai tersebut adalah
23PL3 . Dari 1296Δ
persamaan terakhir terlihat bahwa nilai E sebagai MOE dan I menjadi satu kesatuan. Pada awalnya dipikirkan bahwa untuk komponen yang bersifat komposit yaitu komponen yang mengandung lebih dari satu jenis material, yaitu kayu dan adanya perekat diantara lapisan, perlu diketahui pengaruhnya terhadap sifat elastisitas material yang diidentifikasikan dengan nilai EI sebagai nilai kekakuan komponen balok glulam yang mengalami lenturan. Berdasarkan hasil perhitungan untuk nilai MOEef dan EI dapat dilihat pada Tabel 6.2, dan untuk melihat tren nilai-nilai
tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.14. Tren nilai
MOEapp dan EI masing-masing balok glulam adalah sama, menunjukkan bahwa
dengan adanya perekat diantara lapisan lamina pada balok glulam tidak meningkatkan nilai modulus elastisitasnya.
105 Tabel 6.2 Nilai Modulus elatisitas efektif, kekakuan lentur balok glulam dan rasio keduanya No Glulam GL 1 GL 2 GL 3 GL 4 GL 5 GL 6 GL 7 GL 8 GL 9 GL 10 rata-rata SD CV (%)
EI (Nmm2) 2,327E+11 2,370E+11 2,414E+11 2,312E+11 2,522E+11 2,164E+11 2,257E+11 2,331E+11 2,534E+11 2,069E+11 2,330E+11 1,448E+10 6,21
MOEeff (MPa) 12385 12219 12209 12161 12162 11878 11853 11796 11867 11850 12038 210 1,74
EI/MOEeff 18785692 19397660 19774691 19008918 20736573 18219546 19044096 19764533 21352811 17456901 19354142 1139115 5,89
3E+11
30000
2E+11
20000
1E+11
10000
0
MOEeff (MPa)
2
EI (N/mm)
Keterangan: GL = glulam
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
No Benda Uji EI (N/mm2)
MOEeff (MPa)
Gambar 6.14 Tren nilai EI terhadap MOE efektif masing-masing balok glulam Analisis dengan metode konvensional pada seluruh glulam menunjukkan tidak terdapat perbedaan nilai MOR pada sisi teratas dan terbawah balok glulam atau masing-masing bagian serat tertekan dan tertarik. Hal ini terjadi oleh karena pada perhitungan MOR menggunakan asumsi bahwa glulam merupakan susunan lamina dengan MOE yang sama, sehingga garis netral penampang balok glulam terdapat pada setengah ketinggian balok glulam. Perhitungan cara konvensional menggunakan momen inersia I tanpa memperhitungkan pengaruh perbedaan MOE masing-masing lapis lamina. Kondisi ini mengakibatkan MOR pada sisi teratas dan terbawah mempunyai nilai
106 yang sama, hanya pebedaannya pada sisi dibawah garis netral timbul tegangan lentur dengan nilai positip, sedangkan pada setengah bagian yaitu diatas garis netral timbul tegangan lentur negatif. Garis netral merupakan garis melalui titik berat penampang dengan tegangan lentur adalah sama dengan nol. MOR merupakan tegangan lentur maksimum yang terjadi pada sisi terbawah dan teratas balok glulam. Analisis berdasarkan metode “Transformed Cross Section”, dihitung tegangan lentur nominal dan aktual yang terjadi pada setiap ketinggian penampang. Kedua tegangan tersebut dihitung berdasarkan penampang dengan masing-masing MOE lapisan lamina yang telah ditransformasi pada satu lamina tertentu. Pada kasus ini ditentukan MOE yang tetap adalah lamina pada lapisan paling bawah yaitu lapisan lamina dengan MOE terbesar ditentukan sebagai pengukur, sedangkan lainnya sebagai nilai transformasi. Oleh
karena
masing-masing
lamina
mempunyai
MOE
berbeda,
memungkinkan terjadinya pergeseran titik berat atau garis netral penampang glulam.
Setelah diadakan penghitungan letak titik berat atau garis netral
penampang balok glulam diperoleh hasil bahwa garis netral seluruh balok uji glulam yang dilakukan pada penelitian ini terletak dibawah titik tengah penampang glulam. Kondisi ini mengakibatkan tegangan nominal yang terjadi pada sisi paling atas dan paling bawah penampang balok glulam tidak sama besar. Tegangan nominal pada sisi paling atas mempunyai nilai absolut yang lebih besar jika dibandingkan dengan sisi paling bawah. Tegangan aktual merupakan perkalian nilai tegangan nominal dengan faktor transfomasi yang merupakan rasio MOE tertransformasi pada lapisan lamina dimaksud dibagi dengan MOE lamina
pengukur. Lamina pengukur pada seluruh benda uji glulam merupakan lamina paling bawah yaitu dengan lamina yang mempunyai MOE terbesar jika dibandingkan dengan lapisan lamina diatasnya. Nilai faktor transformasi berbeda untuk masing-masing lamina dan nilainya adalah lebih kecil dari 1. Nilai tegangan lentur nominal pada sisi paling bawah adalah sama dengan tegangan lentur aktual pada sisi yang sama. Sedangkan tegangan lentur aktual pada posisi lainnya adalah lebih kecil dari tegangan lentur nominalnya. Nilai tegangan lentur maksimum pada sisi paling bawah atas paling atas glulam atau
107 MOR dari hasil perhitungan secara konvensional serta MOR aktual hasil
perhitungan dengan metode “Transformed Cross Section”. dapat dilihat pada Tabel 6.3. Dengan lebih mudah dapat dilihat perbedaan nilai MOR yang diperoleh dengan metode konvensional dan metode “Transformed Cross Section” atau transformasi pada Gambar 6.15. MOR dengan metode transformasi pada serat atas yaitu serat yang mengalami tegangan tekan tidak jauh berbeda dengan tegangan serat bawah maupun atas dengan cara konvensional. Tetapi tegangan pada serat bawah yaitu tegangan tarik dengan metode transformasi untuk beberapa glulam terlihat perbedaan yang relatif berarti. Tabel 6.3 Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan metode konvensional dan transformasi
Benda Uji
Metode Konvensional Serat Bawah = Serat Atas GL1 51,96 GL2 55,02 GL3 50,90 GL4 42,02 GL5 46,68 GL6 44,70 GL7 55,69 GL8 50,83 GL9 56,62 GL10 43,33 Rata-rata 49,77 SD 5,31 CV (%) 10,66 Keterangan: GL = glulam
MOR (MPa) Metode Transformasi Aktual Serat Aktual Serat Bawah Atas 59,69 51,52 62,23 54,95 57,44 50,84 47,09 42,11 52,25 46,89 48,25 45,70 59,41 57,54 53,89 52,65 59,74 59,25 45,49 45,41 54,55 50,69 6,03 5,61 11,06 11,08
Apabila MOR dengan metode transformasi untuk glulam pada serat bawah dibandingkan dengan MOR pada serat bawah metode konvensional terjadi perbedaan lebih besar untuk GL 1 adalah 14, 9 %, GL 2 adalah 13,1%, GL 3 adalah 12,9, GL 4 adalah 12,1%, dan 11, 9% untuk GL 5. Sedangkan untuk balok glulam lainnya mempunyai perbedaan untuk GL 6 adalah 8,0 %, GL 7 adalah
108 6,7%, untuk GL 8 adalah 6,0% , GL 9 adalah 5,6%, dan 5,0% untuk GL 10. Perbedaan yang terjadi disebabkan antara lain oleh karena adanya pengaruh adanya MOE terbesar terletak pada susunan lamina terbawah.
MOR (MPa)
80 60 40 20 0 GL1
GL2
Konvensional
GL3
GL4
GL5
GL6
Aktual Serat Bawah Transformasi
GL7
GL8
GL9
GL10
Aktual Serat Atas Transformasi (--)
Gambar 6.15 Kurva MOR berdasarkan metode konvensional dan transformasi Sebagai salah satu prinsip pembuatan komponen glulam dengan menyusun lamina MOE lebih besar pada sisi tepi atau menjauhi garis netral, dan secara berurutan lamina dengan MOE yang lebih kecil sampai terkecil pada arah mendekati atau pada garis netral. Prinsip ini telah dilakukan didalam pembuatan susunan lamina masing-masing balok glulam. Untuk balok glulam Gl 1, 2, dan 3 dibuat susunan lamina dari lapis terbawah sampai teratas dengan kelas kuat kayu yang sama diantara satu dengan ketiganya. MOR yang terjadi berdasarkan metode konvensional dan transformasi untuk
serat atas maupun atas glulam adalah hampir sama, tetapi mempunyai nilai yang lebih besar untuk serat bawah. Lamina paling bawah untuk ketiganya mempunyai kuat acuan E15 dan E12 untuk lapis paling atas. Jadi ketiga balok glulam tersebut mempunyai susunan kuat acuan yang tidak simetris. Oleh karena kuat acuan yang lebih besar terletak dibawah, maka setelah dihitung berdasarkan luas penampang transformasi, diperoleh bahwa posisi garis netral berada dibawah garis horisontal yang melalui titik tengah penampang. Hal ini mengakibatkan besar tegangan lentur nominal pada sisi tepi daerah tarik lebih kecil jika dibandingkan dengan tegangan lentur nominal pada sisi tepi daerah tekan. Selanjutnya setelah dihitung besar tegangan lentur aktual yang merupakan
109 tegangan lentur nominal dikalikan dengan faktor transformasi, diperoleh tegangan lentur aktual pada daerah tekan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan tegangan lentur aktual pada daerah tarik. Perlu diperhatikan balok glulam GL 4, 5, 6, dan 7 yang dibuat susunan lamina dari lapis terbawah sampai teratas dengan kelas kuat kayu yang sama diantara satu dengan keempatnya. Terlihat bahwa pada balok glulam 7 mempunyai nilai MOR terbesar dengan metode konvensional maupun transformasi. Hasil yang kecil dimungkinkan terjadinya kerusakan lebih awal yang terjadi oleh karena adanya kerusakan yang dimulai dari letak mata kayu atau pada perlemahan kayu lainnya. Begitu pula pada GL 8, 9 dan 10 dengan susunan lamina dari lapis terbawah sampai teratas dengan kelas kuat kayu yang sama diantara satu dengan ketiganya. GL 10 mempunyai nilai MOR yang terendah dibandingkan GL 8, dan 9, kerusakan pada GL10 adalah slip pada garis rekat pertama dari bawah. Slip dapat mengakibatkan kemampuan maksimum memikul beban menjadi lebih rendah, sehingga kekuatan serta kekakuan lebih rendah. Wiryomartono (1976) dalam tulisannya mengusulkan bahwa slip balok dapat dihalangi dengan menempatkan pasak diantara lapisan lamina. Tipikal kerusakan balok glulam dapat dilihat pada Gambar 6.16. Oleh karena pada metode transformasi memperhitungkan pengaruh masingmasing MOE lamina, maka dengan menggunakan metode transformasi memungkinkan letak garis netral tidak terdapat ditengah ketinggian penampang melintang balok glulam. Dari 10 (sepuluh) benda uji glulam dengan susunan lamina seperti yang telah ditentukan, seluruhnya posisi garis netral terletak dibawah setengah ketinggian balok glulam. Hal ini mengakibatkan MOR nominal pada serat teratas adalah lebih besar apabila dibandingkan dengan serat terbawah. Oleh karena tegangan aktual dipengaruhi dengan faktor transformasi masing-masing lapisan, hasil analisis menunjukkan MOR serat teratas mempunyai nilai yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan serat terbawah. Gambar 6.17 menunjukkan tipikal tegangan nominal dan aktual balok glulam pada masing-masing titik tinjauan pada seluruh ketinggiannya.
110
(a)
(c)
(b) (d) Gambar 6.16 Tipikal kerusakan glulam ukuran struktural (a)
Slip digaris rekat lapis ketiga pada ujung balok glulam
(b)
Gabungan slip dan retak antara dua garis rekat
(c)
Slip digaris rekat lapis pertama pada daerah tarik ditengah bentang
(d) Hancur pada serat bawah daerah tarik Nilai MOR dengan metode konvensial adalah sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan cara transformasi oleh karena pada metode konvensional memperhitungkan momen inersia tidak mempertimbangkan besaran MOE masing-masing lamina. Untuk perhitungan MOR dengan metode transformasi memperhitungkan momen inersia transformasi yaitu momen inersia yang memperhitungkan besaran MOE masing-masing lamina.
111
h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
Gambar 6.17 Tipikal tegangan nominal dan aktual balok glulam Gambar 6.18 menunjukkan tren MOEef, dan MOR aktual, yaitu MOR yang diperoleh dengan perhitungan berdasarkan metode “Transformed Cross Section” atau metode transformasi. Tidak selalu balok glulam mempunyai MOEef yang lebih tinggi juga mempunyai MOR aktual yang lebih tinggi. Terdapat beberapa glulam yang mempunyai MOE tinggi tetapi mempunyai MOR tinggi pula, tetapi lebih rendah jika dibandingkan dengan glulam lainnya. Sebaliknya terdapat
20000
200
15000
150
10000
100
5000
50
0
MOR Aktual (MPa)
MOEef (MPa)
glulam dengan MOE yang lebih tinggi mempnyai MOR yang lebih rendah.
0 GL1
GL2
GL3
GL4
GL5
GL6
GL7
GL8
GL9
GL10
Benda Uji MOEef
MOR Aktual Serat Bawah
MOR Aktual Serat Atas
Gambar 6.18 Tren nilai MOE efektif terhadap MOR masing-masing balok gulam
112 Hasil penelitian uji lentur dengan menempelkan strain gauge pada permukaan sisi bawah dan atas glulam diperoleh data besar gaya yang bekerja dan regangan kayu ε . Dari penelitian dengan menggunakan strain gauge diperoleh besaran regangan pada sisi serat atas glulam adalah negatif dan pada sisi serat bawah adalah positip, nilai dari kedua jenis regangan dapat dilihat pada Tabel 6.4 Perbedaan tanda menunjukkan bahwa akibat pembebanan yang bekerja meenyebabkan balok glulam mengalami lenturan. Lenturan yang terjadi mengakibatkan serat bagian atas garis netral mengalami tekanan dan serat bagian bawah garis netral mengalami tarikan, Regangan dengan nilai yang lebih besar kadang terjadi pada serat tertekan atau serat atas dan nilai yang lebih kecil pada serat tertarik atau serat bawah. Apabila dilihat dari prosentase, nilai lebih besar pada serat tertekan terjadi 66,7%, dan nilai lebih besar pada serat tertarik mencapai 33,3%. Dengan catatan bahwa dengan sejumlah 10 (sepuluh) benda uji balok glulam terdapat satu balok glulam yang menunjukkan nilai regangan dari hasil strain gauge yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, yaitu pada benda uji balok glulam 4. Kerusakan terjadi mungkin disebabkan karena terjadi pemasangan atau penempelan strain gauge secara tidak sempurna, sehingga lat tersebut tidak dapat merekam perubahan regangan yang terjadi mulai dari awal pembebanan sampai akhir pembebanan. Kemungkinan kedua tidak terekamnya data regangan oleh karena terdapat kerusakan pada alat strain gauge atau pada kabel yang menghubungkan strain gauge dengan data logger, yang berfungsi sebagai alat perekam data. Dari data regangan dan nilai modulus elastisitas glulam yang telah dihitung sebelumnya, dapat dihitung nilai tegangan maksimum atau MOR yang terjadi pada sisi bawah dan atas glulam dimana strain gauge ditempelkan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tegangan maksimum pada serat sisi teratas dan terbawah mempunyai nilai yang proporsional dengan nilai regangannya. Nilai MOR yang telah dihitung dari regangan yang terukur oleh strain gauge dapat dilihat pada Gambar 6.19.
113 Tabel 6.4 Regangan serat atas dan bawah menggunakan strain gauge Benda Uji Regangan serat atas (x10-6) GL1 -4452 GL2 -5535 GL3 -5212 GL4 GL5 -4806 GL6 -4680 GL7 -4841 GL8 -3783 GL9 -4367 GL10 -3434 Rata rata -4568 SD 657 CV (%) 14 Keterangan: GL = glulam
Regangan serat bawah (x10-6) 4040 5374 4086 3816 4063 5789 4333 4960 3387 4428 782 18
Terjadi perbedaan tegangan maksimum pada sisi serat atas dan bawah atau nilai MORnya yang terjadi antara hasil perhitungan berdasarkan hasil regangan yang dideteksi dengan strain gauges dan metode transformasi. Beberapa MOR berdasarkan strain gauge lebih kecil 3,5 sampai dengan 24,3% , dan sebagian data menunjukkan 0,9 sampai dengan 15,4% lebih besar jika dibandingkan dengan hasil perhitungan metode transformasi. Hal ini terjadi oleh karena pada metode transformasi yang dalam perhitungannya berdasarkan pengukuran defleksi dengan alat displacement tranducer yang diletakkan ditengah bentang merupakan pengukuran akibat
deformasi yang terjadi mewakili balok pada keseluruhan bentang. Sedangkan pada pengkuran regangan yang diletakkan pada sisi atas dan bawah balok ditengah bentang merupakan alat yang relatif kecil dan sensitif. Sehingga pengukuran dengan strain gauge kemungkinan dipengaruhi dengan kondisi serat pada posisi letak strain gauge atau dipengaruhi dengan kondisi serat sekitar letak strain gauge.
114
MOR (MPa)
80 60 40 20 0
GL1
GL2
GL3
GL5
GL6
GL7
GL8
GL9 GL10
Aktual Serat Bawah
59,69 62,23 57,44 52,25 48,25 59,41 53,89 59,74 45,49
Aktual Serat Atas (--)
51,52 54,95 50,84 46,89 45,70 57,54 52,65 59,25 45,41
Serat Bawah (Strain Gauge)
47,18 58,50 44,48 42,96 40,86 61,02 46,08 57,64 34,43
Serat Atas (--)(Strain Gauge) 51,99 60,25 56,74 54,11 47,07 51,02 40,23 50,75 34,91
Gambar 6.19 Nilai MOR berdasarkan metode transformasi dan uji regangan dengan strain gauge 6.5.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bab ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kemampuan glulam menerima beban pada saat mulai terjadi kerusakan adalah besar, maka defleksi maksimum juga besar, sebaliknya apabila kemampuan menerima beban saat mulai terjadi keruntuhan adalah kecil maka defleksi juga kecil
2.
Terjadi peningkatan yang signifikan nilai modulus elastisitas balok glulam apabila juga memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya geser selain momen lentur.
3.
Perhitungan tegangan yang terjadi adalah tepat apabila menggunakan metode transformasi (Transformed Cross Section) berdasarkan data uji lentur dengan displacement tranducer sebagai pengukur defleksi
4.
Data dari strain gauge sebagai pengukur regangan dapat menganalisis tegangan yang terjadi pada tempat menempelnya alat tersebut tanpa memperhitungkan kelas kuat lamina secara keseluruhan
115 5.
Nilai
MOR
berdasarkan
data
menggunakan
masing-masing
alat
displacement tranducer atau strain gauge, pada posisi tinjauan tertentu
mempunyai nilai relatif sama.
116 7.
PEMBAHASAN UMUM
Glulam merupakan material komposit, oleh karena terdiri dari beberapa lamina dan perekat yang masing-masing mempunyai sifat fisis dan mekanis berbeda. Interaksi yang baik dan sesuai antara kayu dan perekat diperlukan untuk terjadinya ikatan antar lamina sebaik mungkin. Adanya perekat diantara lapisan kayu pada glulam, memungkinkan terjadi perubahan sifat mekanis glulam, seperti kekakuan dan kekuatannya. Dengan dimensi penampang melintang glulam yang sama, dapat disusun sejumlah lamina secara horizontal dengan ketebalan tertentu. Semakin banyak jumlah lamina, semakin tipis tebal lamina. Semakin banyak jumlah lamina semakin besar luas bidang rekatan. Untuk mengetahui pengaruh ketebalan lamina atau jumlah luas bidang rekat, diadakan uji lentur balok glulam. Glulam dengan ukuran penampang melintang 60 mm x 60 mm untuk lebar dan tingginya. Ketebalan lamina balok glulam masingmasing adalah 20 mm, 15 mm, dan 10 mm. Lamina dipilih dengan MOE yang mendekati sama. Sebagai pembanding kekuatan mekanis glulam, dilakukan juga uji lentur balok utuh dengan dimensi dan MOE sama dengan glulam. MOE terdiri dari tiga lamina 20 mm adalah 11,3% lebih rendah dari balok utuh. Glulam terdiri dari empat lamina dengan masing-masing ketebalan 15 mm mempunyai nilai MOE 11,0% lebih tinggi dari balok utuh. Sedangkan Glulam terdiri dari enam
lamina dengan masing-masing ketebalan 10 mm adalah 9,5% lebih tinggi dari balok utuh. Apabila dibandingkan terhadap balok utuh, MOR glulam terdiri dari tiga lamina 20 mm adalah 16,0% lebih rendah, dan masing-masing 14,7% serta 3,6% lebih tinggi untuk glulam terdiri dari empat lamina dengan masing-masing ketebalan 15 mm dan glulam terdiri dari enam lamina dengan masing-masing ketebalan 10 mm. Besar MOE rata-rata balok glulam 3,0% lebih tinggi jika dibandingkan dengan MOE balok utuh. Begitu pula MOR balok glulam 0,81% lebih tinggi jika dibandingkan dengan MOR balok utuh. Luas rekatan bukan merupakan satu hal mutlak yang mempengaruhi nilai MOE dan MORnya, tetapi kemungkinan tipe kerusakan menjadi suatu kondisi yang mempengaruhi kedua
117 nilai tersebut. Terlihat tidak adanya korelasi linear antara MOE dan MOR untuk masing-masing benda uji balok glulam. Beberapa hasil menunjukkan bahwa MOE lebih tinggi tetapi lebih rendah untuk MOR, dan sebaliknya MOE lebih rendah tetapi emmpunyai MOR yang lebih tinggi. Didalam perhitungan modulus elastisitas sering hanya memperhitungkan defleksi akibat momen lentur saja, dan hampir tidak pernah memperhitungkan defleksi akibat pengaruh gaya geser atau gaya lintang. Untuk memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya geser diperlukan data modulus geser kayu (G). Tetapi pada kenyataannya hanya sedikit sekali informasi atau penelitian tentang nilai modulus geser kayu. Hal ini merupakan salah satu alasan mengabaikan analisis menggunakan faktor tersebut. Telah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya bahwa dengan mengabaikan defleksi akibat gaya geser pada material kayu akan menghasilkan nilai modulus elasitisitas yang lebih kecil. Padahal sebenarnya apabila balok mempunyai modulus elastisitas yang lebih besar, berarti balok tersebut mempunyai kemampuan menahan defleksi lebih besar. Batasan besaran defleksi perlu ditentukan sehubungan dengan kenyamanan pengguna komponen struktur tersebut. Semakin besar defleksi terjadi berarti semakin besar goyangan pada arah vertikal, sehingga terjadi ketidak nyamanan penggunaan struktur tersebut. Untuk memperoleh nilai modulus geser (G) jenis kayu mangium dapat dilakukan berdasarkan pengujian laboratorium berdasarkan peraturan ASTM D198-5a (2008). Pada peraturan ini, untuk masing-masing balok uji perlu diadakan uji lentur dengan 4 (empat) variasi jarak bentang. Hal ini membutuhkan waktu relatif lebih lama, baik dalam pelaksanaan pengujian dilaboratorium maupun pekerjaan analitisnya. Berdasarkan teori regangan, dikembangkan metode baru yang relatif lebih sederhana dan dapat diselesaikan dengan waktu lebih singkat jika dibandingkan berdasarkan peraturan ASTM. Pengembangan metode memerlukan uji lentur masing-masing balok dengan 2 (dua) variasi jarak bentang. Berdasarkan nilai modulus elastisitas yang diperoleh dari uji lentur dengan bentang L = 14 h dan L < 14h, selanjutnya dengan bantuan kurva SM 2009 diperoleh nilai modulus geser
(G).
118 Dalam pengujian untuk memperoleh nilai modulus geser dibuat balok glulam terdiri dari 3 (tiga) lamina dengan MOE mendekati sama, dan disiapkan pula balok utuh dengan MOE mendekati sama dengan MOE lamina yang disusun sebagai balok glulam. Lebar dan tinggi penampang kedua jenis balok tersebut adalah 60 mm x 60 mm. Pengujian lentur balok utuh dan balok glulam dilakukan dengan variasi bentang 1100 mm, 750 mm, 600 mm, dan 460 mm, sesuai dengan batasan panjang bentang yang ditentukan pada ASTM D198-5a (2008). Diperoleh nilai MOEapp untuk balok utuh dengan keempat variasi bentang tersebut masing-masing antara 9000 - 10000 MPa, 9200-9800 MPa, 9100-9900 MPa, dan 6600-8600 MPa. Dengan panjang bentang yang sama diperoleh MOEapp untuk balok glulam adalah 10400-10800 MPa, 9700- 13700 MPa, 7800-13800, dan 6300-9900 MPa. Hasil nilai-nilai tersebut untuk balok utuh maupun glulam menunjukkan bahwa MOEapp akan semakin kecil apabila diadakan pengujian lentur dengan bentang yang lebih pendek. Rrasio modulus elastisitas terhadap modulus geser atau E/G masing-masing diperoleh dengan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM-2009 untuk balok utuh adalah 19,16 dan 18,77 Sedangkan untuk balok glulam adalah 25,41 dan 24,89. Nilai E/G balok glulam lebih besar daripada balok utuh oleh karena kemungkinan pengaruh adanya perekat diantara lamina yang mengakibatkan dapat meredusir terjadinya regangan geser pada arah vertikal terhadap arah longitudinal balok glulam. Nilai
E dengan cara ASTM D198 dan pengembangan G
metode Kurva SM-2009 tidak berbeda nyata, berarti pengembangan metode ini telah teruji kebenarannya, maka dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan. Pengujian lentur balok utuh dengan metode ASTM D198-5a (2008) diperoleh Etrue rata-rata adalah 11060 MPa, dan Eapp adalah 9751 MPa. Dari kedua nilai tersebut dapat diketahui bahwa Etrue 13,4% lebih besar jika dibandingkan dengan Eapp pada
L = 14 . Sedangkan berdasarkan Kurva SM-2009 diperoleh h
MOEtrue rata-rata balok utuh adalah 10672 MPa, dan MOEapp rata-rata adalah
9751 MPa, atau MOEtrue balok utuh adalah 11,5% lebih besar jika dibandingkan dengan MOEapp.
119 Untuk balok glulam dengan metode ASTM D198-5a (2008) diperoleh MOEtrue rata-rata adalah 13318 MPa, dan MOEapp rata-rata adalah 11262 MPa.
Dari kedua nilai tersebut dapat diketahui bahwa MOEtrue balok glulam adalah 18,3% lebih besar jika dibandingkan dengan MOEapp. Sedangkan berdasarkan Kurva SM-2009 diperoleh MOEtrue rata-rata balok glulam adalah 12978 MPa, dan MOEapp rata-rata adalah 11262 MPa, atau MOEtrue balok utuh adalah 15,2% lebih
besar jika dibandingkan dengan MOEapp. Dari nilai yang diperoleh terjadi peningkatan yang cukup signifikan nilai pada MOEtrue apabila dibandingkan dengan MOEapp untuk balok utuh maupun balok glulam. Peningkatan yang terjadi pada balok glulam lebih tinggi apabila dibandingkan dengan balok utuh. Dari kenyataan ini dapat dipahami bahwa dalam analisis untuk memperoleh nilai modulus elastisitas perlu memperhitungkan defleksi selain akibat momen lentur juga akibat gaya geser. Pada pengujian balok glulam ukuran pemakaian yang terdiri dari 7 (tujuh) lapis lamina ketebalan sekitar 22 mm, dimensi penampang glulam adalah 60 mm x 150 mm untuk lebar dan ketinggiannya. Pengujian lentur dilengkapi dengan displacement tranducer sebagai pengukur defleksi yang diletakkan ditengah
bentang, dan strain gauge yang ditempel pada sisi teratas dan terbawah balok glulam yang berfungsi sebagai pengukur regangan. MOE lamina yang digunakan sebagai penyusun balok glulam adalah kuat
acuan antara E9-E15, atau antara MOE 8000-14000 MPa. Hasil uji lentur menunjukkan apabila kemampuan glulam menerima beban pada saat mulai terjadi keruntuhan adalah besar, maka defleksi yang terjadi juga besar, sebaliknya apabila kemampuan menerima beban saat mulai terjadi keruntuhan adalah kecil maka defleksi yang terjadi juga kecil. Besar defleksi yang terjadi merupakan faktor yang menunjukkan kemampuan kekakuan balok, dimana kemampuan balok tersebut mengandung nilai modulus elastisitas dari material pembentuknya. Besaran gaya maksimum dan defleksi maksimum tergantung dari tipe kerusakan yang terjadi pada saat pengujian lentur. Nilai tersebut besar apabila kerusakan terjadi pada serat bawah balok atau daerah tarik maksimum. Kedua nilai tersebut cenderung kecil apabila terjadi slip pada garis rekat lamina. Slip yang terjadi pada arah longitudinal mengurangi deformasi arah vertikal, karena
120 deformasi tersebut ter-redusir dengan adanya deformasi arah longitudinal. Pada saat slip mulai terjadi, memungkinkan perubahan sifat mekanis, sehingga mempercepat terjadinya keruntuhan dari balok uji lentur. Apabila diadakan perbandingan MOE glulam akibat momen lentur dan gaya geser lebih besar 11,1% sampai dengan 10,4% jika dibandingkan akibat gaya geser saja. Perhitungan tegangan lentur aktual glulam dilakukan menggunakan metode “Transformed Cross Section” atau metode transformasi. Metode transformasi menggunakan
momen
inersia
transformasi
yaitu
momen
inersia
yang
memperhitungkan besaran MOE masing-masing lamina. Tegangan lentur maksimum atau nilai MOR dengan metode konvensial menunjukkan nilai yangh sama untuk serat atas atau bawah balok glulam. Hal ini oleh karena dalam analisisnya se-olah2 merupakan balok utuh, sehingga titik berat terdapat ditengah penampang. Momen inersia yang diperhitungkan merupakan momen inersia efektif, yaitu tidak mempertimbangkan besaran MOE masing- masing lamina. Tegangan lentur terlebih dahulu dihitung sebagai tegangan lentur nominal berdasarkan penampang dengan masing-masing MOE lapisan lamina yang telah ditransformasi pada satu lamina tertentu. Tegangan aktual yang terjadi pada setiap ketinggian penampang diperoleh dengan memperhitungkan MOE lapisan yang ditinjau. Ditinjau korelasi MOE dan MOR balok glulam, tidak selalu balok glulam mempunyai MOE yang lebih tinggi juga mempunyai MOR aktual yang lebih tinggi. Terdapat beberapa glulam yang mempunyai MOE tinggi tetapi mempunyai MOR tinggi pula, tetapi lebih rendah jika dibandingkan dengan glulam lainnya.
Sebaliknya terdapat glulam dengan MOE yang lebih tinggi mempnyai MOR yang lebih rendah. Jadi korelasi MOE dan MOR adalah tidak linier. Hal ini diakibatkan tipe kerusakan masing-masing balok glulam berbeda. Terjadinya slip pada garis rekat memungkinkan nilai MOE lebih rendah. Berdasarkan data dengan alat strain gauge, regangan dengan nilai yang lebih besar kadang terjadi pada serat tertekan atau serat atas dan nilai yang lebih kecil pada serat tertarik atau serat bawah. Apabila dilihat dari prosentase, nilai lebih besar pada serat tertekan terjadi 66,7%, dan nilai lebih besar pada serat tertarik mencapai 33,3%. Dapat dihitung nilai tegangan maksimum atau MOR
121 yang terjadi pada sisi bawah dan atas glulam dimana strain gauge ditempelkan. erjadi perbedaan tegangan maksimum pada sisi serat atas dan bawah atau nilai MORnya yang terjadi antara hasil perhitungan berdasarkan hasil regangan yang
dideteksi dengan strain gauges dan metode transformasi. Beberapa MOR berdasarkan strain gauge lebih kecil 3,5 sampai dengan 24,3% , dan sebagian data menunjukkan 0,9 sampai dengan 15,4% lebih besar jika dibandingkan dengan hasil perhitungan metode transformasi. Hal ini terjadi oleh karena pada metode transformasi yang dalam perhitungannya berdasarkan pengukuran defleksi dengan alat displacement tranducer yang diletakkan ditengah bentang merupakan pengukuran akibat deformasi yang terjadi mewakili balok pada keseluruhan bentang. Pengukuran regangan yang diletakkan pada sisi atas dan bawah balok ditengah bentang merupakan alat yang relatif kecil dan sensitif. Sehingga pengukuran dengan strain gauge kemungkinan dipengaruhi dengan kondisi serat pada posisi letak strain gauge atau dipengaruhi dengan kondisi serat sekitar letak strain gauge. Jadi kedua alat tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan utama displacement tranducer adalah defleksi yang terdeteksi mewakili kondisi secara keseluruhan. Kekurangan utama adalah penyelesaian analisisnya lebih rumit. Sedangkan kelebihan utama penggunaan strain gauge adalah untuk mendapatkan nilai tegangan yang terjadi memerlukan analisis yang lebih sederhana. Kekurangan utamanya adalah regangan yang terjadi pada lokasi menempelnya strain gauge dipengaruhi oleh kondisi serat tempat menempel atau serat sekitarnya. Ditinjau dari segi ekonomis penggunaan strain gauge lebih mahal jika dibandingkan dengan displacement tranducer.
8.
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
8.1.
KESIMPULAN UMUM
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan umum dapat drinci sebagai berikut: 1.
Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, karakteristik kayu mangium merupakan kayu kelas kuat II-III (berdasarkan PKKI) dan kuat acuan E10-12 (berdasarkan RSNI 2002).
2.a.
Bertambah tipis ketebalan lamina balok glulam cenderung bertambah besar kekakuan dan kekuatannya, tapi tidak berbeda nyata.
b. 3.a.
Nilai rata-rata kekuatan dan kekakuan balok utuh dan glulam adalah sama. Balok tinggi dari balok utuh dan glulam perlu memperhitungkan defleksi akibat pengaruh gaya geser.
b.
Modulus geser (G) dapat diperoleh dengan metode yang diatur dalam ASTM D198. Untuk penyederhaan dikembangkan metode Kurva SM-2009.
4.a. b.
Susunan MOE lamina mempengaruhi posisi titik beat penampang glulam. Displacemet tranducer dapat menunjang penggunaan metode “Transformed Cross Section” untuk memperoleh tegangan lentur aktual di berbagai posisi
ketinggian penampang glulam. c. Strain gauge dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendapatkan tegangan lentur aktual. 8.2.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan berbagai tinjauan, disarankan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pihak terkait sebagai berikut: 1.
Penelitian yang telah dilakukan dapat menjadi salah satu acuan untuk penelitian sejenis yang lebih mendalam sehingga diperoleh produk glulam yang efisien.
2.
Melakukan penelitian lanjutan komponen glulam menggunakan jenis kayu potensial lainnya yang ada di Indonesia.
123 3.
Melakukan penelitian lanjutan dari glulam sebagai fungsi komponen struktural lainnya seperti kolom, rangka atap dan lainnya dengan variasi bentuk penampang melintang.
4.
Pengembangan analisis lanjutan sehubungan sifat mekanis glulam.
5.
Hasil penelitian sehubungan dengan glulam di Indonesia dapat dijadikan sebagai masukan dalam pembuatan revisi atau pembaharuan peraturan Konstruksi Kayu Indonesia.
125 Breyer DE, Fridley KJ, Cobeen KE. Pollock DG. 2007. Design of Wood Structures ASD/LRFD. New York : McGraw-Hill Inc. Faherty KF, Williamson TG. 1999. Wood Engineering and Construction Handbook. New York: McGraw-Hill Inc. Falk RH, Colling F. 1995. Laminating Effects in Glued-Laminated Timber Beams. Journal of Structural Engineering. 1863: 1857-1863. Ferdinand PB, Russell J JR. 1992. Mechanics of Material, Second Edition. England: McGraw Hill Book Company. Gere JM, Timoshenko SP. 1997. Mechanics of Material, Fourth Edition. PWS Publishing Company, Division of International Thomson Publishing Inc. Ginoga B. 1997. Beberapa Sifat Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) pada Beberapa Tingkat Umur. Bogor: Bulletin Penelitian Hasil Hutan 13 (5):132-149. Gurdal Z, Haftka RT, Hajala P. 1999. Design and Optimization of Laminated Composite Materials. New York.: John Willey & Sons Inc. Haygreen JG, Bowyer JL. 1993. Forest Products and Wood Science An Introduction. Ames. IOWA: The Iowa State University Press. Hardiyanto EB. 2004. Silvikultur dan Pemuliaan Acacia mangium. Didalam: Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. PT Musi Hutan Persada. Sumatera Selatan. Orosz I. 1970. Simplified Method for Calculating Shear Deflections of Beams. Madison, Wisconsin: U.S Department of Agriculture Forest Service Forest Products Laboratory,. Jamaludin M, Santoso A, Rahman O. 2006. Sari Hasil Penelitian Mangium mangium Willd). Website Departemen Kehutanan, (Acacia http://ww.dephut.go.id. Diakses 5 Agustus 2008. Kader RA, Sahri MH. 1993. Properties and Utilization. Di dalam: Awang K dan Taylor D, editor. Acacia mangium, Growing and Utlization. Bangkok: Winrock International and the Food and Agriculture Organization of the United States. Kollmann FFP, Cote WA. 1968. Principle of Wood Science and Technology. Volume I. Solid Wood. Berlin: Springer Verlag. Lee JJ, Kim GC. 2000. Study on the Determination of the Strength Properties of Structural Glued Laminated Timber 1: Determination of Optimum MOE as input Variable. Journal of Wood Science, 46(2):115-121. Japan: Springer.
126
Mamlouk MS, Zaniewski JP. 2006. Materials for Civil and Construction Engineers. Pearson Education, Inc. Prentice Hall. Mandang YI, Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA Bogor dan Pusat Diklat Pegawai & SDM Kehutanan. McIntosh KA. 2008. Case Study of Glulam Manufactured in New Zealand since 1957. NZ Timber Design Journal. Issue 1 Vol. 6: 6-12. Megson THG. 2005. Structural and Stress Analysis. Britain: Butterworth-Heinemann.
Elsevier
Moody RC, Hernandez R, Liu JY. 1999. Glued Structural Members. Didalam: Wood Handbook-Wood as an Engineering Material. Gen. Tech. Rep. FPLGTR-113, Madison, Wisconsin, USA:. Department of Agriculture, Forest Service, Forest Product Laboratory. Orosz I. 1970. Simplified Method for Calculating Shear Deflections of Beams. Madison, Wisconsin, USA: U.S Department of Agriculture Forest Service Forest Products Laboratory. Pinyopusarerk K, Liang SB, Gunn BV. 1993. Taxonomy, Distribution, Biology and Use an Exotic. Di dalam: Awang K, Taylor D, editor. Acacia mangium Growing and Utilization. Bangkok: Winrock International and the Food and Agriculture Organization of the United Nations. [RSNI] Rencana Standar Nasional Indonesia. 2002. Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Riberholt H. 2007. Performance of Old Glulam Structures in Europe. Rapport BYG-Danmarks Tekniske Universitet R-177. Serrano E. 2002. Mechanical Performance and Modelling of Glulam. Di dalam: Thelandersson S, Larsen HJ editor. Timber Engineering. New York: John Willey & Sons. Silitonga T. 1987. Kajian Kayu HTI untuk Pulp Kertas dan Rayon. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Kayu HTI. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sulistyawati I. 2006. Ratio of Shear to Bending Deflection and Its Influence to Bending Stiffness (EI) of Timber Beam. Journal of Tropical Wood Science and Technology, The Indonesian Wood Research Society, 4 (2): 44-49.
127 Sulistyawati I, Surjokusumo S. 2003. The Behavior of Horizontal and Vertical Glued Laminated Timber Under Bending Load. Proceedings of The Ninth East Asia Pasific Conference of Structural Engineering and Construction (9th EASEC), 16-18 Desember 2003. Bali, Indonesia. Sulistyawati I, Nugroho N, Surjokusumo S, Hadi YS. 2008. Strength of Acacia Wood with Polyurethane Adhesive. Proceedings of IWAPS (International Symposium on Wood Science and Technology), 27-29 September 2008. Harbin, China. Sulistyawati I, Nugroho N, Surjokusumo S, Hadi YS. 2008. The Performance of Lamina’s Thickness for Horizontally Glued Laminated Beam. Proceedings of 10th World Conference on Timber Engineering (WCTE), 2-5 Juni, 2008. Miyazaki, Japan. Sulistyawati I, Nugroho N, Surjokusumo S, Hadi YS. 2008. Kekuatan Lentur Glued Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode “Transformed Cross Section”. Journal of Tropical Wood Science and Technology, The Indonesian Wood Research Society, 6 (2): 49-55. Sulistyawati I, Nugroho N, Surjokusumo S, Hadi YS. 2008. Kekakuan dan Kekuatan Lentur Maksimum Balok Glulam dan Utuh Kayu Akasia. Jurnal Teknik Sipil, Jurnal Teoritis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil, Institut Teknologi Bandung (ITB), 15 (3): 113-119. Surjokusumo, Nugroho N, Priyono J, Suroso A. 2003. Buku Petunjuk Penggunaan Mesin Pemilah Kayu Versi Panter MPK-5. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutan, Surjokusumo S. 2003. Mutu Kayu Indonesia. Proceedings Pemberdayaan Kayu Indonesia. FTSP Usakti Indonesia Thelandersson S. 2002. Timber Engineering-General Introduction. Di dalam: Thelandersson S, Larsen HJ, editor. Timber Engineering. New York: John Willey & Sons. Timoshenko, Robert E. 1976. Strength of Materials. New York: Krieger Publishing Company Huntington. Tsai LM. 1993. Growth and Yield. Didalam: Awang K, Taylor D, editor. Acacia mangium Growing and Utilization. Bangkok: Winrock International and the Food and Agriculture Organization of the United Nations. Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood, Structure, Properties, Utilization. New York: Van Nostrand Reinhold. Wiryomartono S. 1958. Konstruksi Kayu Berlapis Majemuk (Glued Laminated Wood Construction). Jogyakarta: Penerbitan Universitas.
128 Wiryomartono S. 1976. Konstruksi Kayu. Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada. Yoshihara H, Yoshitaka K. 1998. Measurement of the Shear Modulus of Wood by Static Bending Test. Japan: The Japan Wood Research Society.
LAMPIRAN
130
L untuk uji modulus h geser (G) balok utuh dengan metode ASTM D198-5a (2008)
Lampiran 1. Modulus elastisitas apparent dengan variasi
BALOK 1
No BALOK A1-110 A1-75 A1-60 A1-46
b (mm)
h (mm)
L (mm)
MOEapp (MPa)
(h/L)2
60,153 60,153 60,153 60,153
58,683 58,683 58,683 58,683
1100 18,745 750 12,780 600 10,224 460 7,839
10032,452 9288,215 9987,364 7158,768
0,00285 0,00612 0,00957 0,01627
b (mm)
h (mm)
L (mm)
MOEapp (MPa)
(h/L)2
60,130 60,130 60,130 60,130
60,797 60,797 60,797 60,797
1100 18,093 750 12,336 600 9,869 460 7,566
9025,694 9624,193 9103,584 6614,427
b (mm)
h (mm)
L (mm)
MOEapp (MPa)
(h/L)2
59,867 59,867 59,867 59,867
59,690 59,690 59,690 59,690
1100 18,429 750 12,565 600 10,052 460 7,706
10131,225 9785,241 9672,096 8624,869
0,00294 0,00633 0,00990 0,01684
(L/h)
(1/MOEapp) x 10-5 (1/MPa) 9,968 10,766 10,013 13,969
BALOK 2
No BALOK A2-110 A2-75 A2-60 A2-46
0,00305 0,00657 0,01027 0,01747
(1/MOEapp) x 10-5 (1/MPa) 11,079 10,390 10,985 15,118
BALOK 3
No BALOK A3-110 A3-75 A3-60 A3-46
(L/h)
(1/MOEapp) x 10-5 (1/MPa) 9,870 10,219 10,339 11,594
131
L untuk uji modulus h geser (G) balok glulam dengan metode ASTM D198-5a (2008)
Lampiran 2. Modulus elastisitas apparent dengan variasi
BALOK 1
No BALOK GL1-110 GL1-75 GL1-60 GL1-46
b (mm)
h (mm)
59,800 59,800 59,800 59,800
60,953 60,953 60,953 60,953
b (mm)
h (mm)
60,577 60,577 60,577 60,577
59,637 59,637 59,637 59,637
b (mm)
h (mm)
60,377 60,377 60,377 60,377
61,580 61,580 61,580 61,580
L (mm)
(L/h)
1100 18,047 750 12,304 600 9,844 460 7,547
MOEapp (MPa)
(h/L)2
10400,965 9750,478 9557,005 6343,890
0,00307 0,00660 0,01032 0,01756
MOEapp (MPa)
(h/L)2
10858,931 12924,822 7805,355 8056,765
0,00294 0,00632 0,00988 0,01681
MOEapp (MPa)
(h/L)2
11431,821 13698,072 13857,147 9898,786
0,00313 0,00674 0,01053 0,01792
(1/MOEapp) x 10-5 (1/MPa) 9,614 10,256 10,464 15,763
BALOK 2 No BALOK GL2-110 GL2-75 GL2-60 GL2-46
L (mm)
(L/h)
1100 18,445 750 12,576 600 10,061 460 7,713
(1/MOEapp) x 10-5 (1/MPa) 9,209 7,737 12,812 12,412
BALOK 3
No BALOK GL3-110 GL3-75 GL3-60 GL3-46
L (mm)
(L/h)
1100 17,863 750 12,179 600 9,743 460 7,470
(1/MOEapp) x 10-5 (1/MPa) 8,748 7,300 7,216 10,102
132
Lampiran 3. Modulus elastisitas lamina balok glulam ukuran struktural
MOE (MPa)
L = 500 mm
L = 1000 mm
L = 1500 mm
L = 2000 mm
L = 2500 mm
rata2 dengan L 1000 s/d 2500 mm
1
8177
13577
12966
16951
12074
13892
2
7226
10587
11109
11539
11617
11213
3
8287
10659
11187
11281
11810
11234
4
7971
7831
11330
9119
11733
10003
5
9410
13735
14542
13676
13758
13928
6
9551
14907
11630
15073
14867
14119
7
13007
12820
12305
12756
12208
12522
8
7734
10239
7827
10488
12062
10154
9
7090
10094
11312
10486
11207
10775
10
8577
10551
10681
10860
10964
10764
11
10142
10144
10454
11193
11105
10724
12
7060
8888
8781
8442
8725
8709
13
9598
13388
14465
14340
14567
14190
14
5314
7886
8421
7780
6315
7600
15
7702
10452
10452
10787
10550
10560
16
7848
11244
12054
11587
12149
11758
17
7017
11001
10861
15173
14817
12963
18
7891
10045
10203
10652
10166
10266
19
8655
10255
10965
10649
10635
10626
20
8561
12378
11815
8549
11891
11158
21
9403
11120
11064
11254
9990
10857
22
11050
11442
11692
12500
10953
11647
23
6671
7419
7530
7352
7671
7493
24
8864
9166
8850
8702
9332
9013
25
12770
11850
14236
11481
11749
12329
26
5624
7147
7046
6436
6611
6810
27
7927
12437
12067
12522
12645
12418
28
9453
8963
8767
8704
9102
8884
29
7608
9479
8666
8681
9578
9101
30
8222
9021
9366
9750
10187
9581
31
5974
6902
6313
7061
7156
6858
32
7575
9150
8714
8388
9032
8821
No Lamina
133
Lampiran 3. Lanjutan
MOE (MPa)
L = 500 mm
L = 1000 mm
L = 1500 mm
L = 2000 mm
L = 2500 mm
rata2 dengan L 1000 s/d 2500 mm
33
7207
8633
7836
7683
7947
8025
34
10182
11004
11118
11214
11067
11101
35
8058
9557
9669
9737
11481
10111
36
7041
7833
8122
7831
7863
7912
37
10461
11339
11282
10925
11676
11305
38
8464
13807
13127
12086
11888
12727
39
9919
10503
10637
10927
10469
10634
40
7052
11367
10636
11409
11165
11144
41
11680
16272
11021
16422
14986
14676
42
8318
9583
9339
10502
9327
9688
43
9062
12306
12268
13109
12573
12564
44
6720
6822
7068
8712
7742
7586
45
6010
7956
8276
8200
8042
8118
46
8820
11020
10685
10742
10937
10846
47
4611
6306
6271
6129
6196
6225
48
8563
10962
10800
10728
10903
10848
49
10340
10937
11072
11802
10848
11165
50
7846
10174
10966
11603
12322
11266
51
6408
6791
7271
6637
6641
6835
52
7765
9361
8237
10482
10332
9603
53
9176
9661
10060
10448
10541
10178
54
7980
10584
11522
11532
10761
11100
55
8784
10993
10313
11290
10799
10849
56
6764
6951
8623
11803
11475
9713
57
5576
7436
8079
7450
7632
7650
58
6229
11434
11932
12506
11651
11881
59
6242
9737
11102
13023
12614
11619
60
8419
11167
11649
12583
12799
12049
61
7223
9429
9109
9371
10854
9691
62
5008
6578
7582
7534
8707
7600
63
8509
11914
11668
11223
11865
11667
64
9760
10700
10849
10737
11351
10909
No Lamina
134
Lampiran 3. Lanjutan
MOE (MPa)
L = 500 mm
L = 1000 mm
L = 1500 mm
L = 2000 mm
L = 2500 mm
rata2 dengan L 1000 s/d 2500 mm
65
8378
9776
10309
10243
9977
10076
66
7018
9153
9303
9864
9574
9473
67
8023
10606
11015
11401
8591
10403
68
9879
12381
9803
12645
12005
11709
69
9824
11764
12735
12237
12449
12296
70
8357
10190
10286
10538
10572
10396
71
6984
8887
8736
8262
8207
8523
72
9477
9944
10479
10043
9871
10085
73
6560
7757
7958
7829
7575
7780
74
7981
9813
10575
10648
10774
10452
75
5067
6911
7230
7067
7539
7187
76
9810
12652
11619
11859
12053
12046
77
7010
8310
8419
8423
8558
8428
78
8525
9651
9031
9055
9026
9191
79
7278
9047
9354
9610
8990
9250
80
5484
5968
6052
6067
6215
6075
81
7498
9793
9823
9742
9698
9764
82
5347
6142
6176
6625
6600
6386
83
7205
8862
8603
8820
9092
8844
84
7331
8497
8404
8728
8665
8574
85
4014
8855
9174
9182
9282
9123
86
7968
10475
11366
11804
11759
11351
87
7046
10184
10179
9719
9668
9938
88
6346
8860
8582
8078
7924
8361
89
5368
8371
10792
10698
9325
9796
90
7616
9059
9095
9217
9265
9159
No Lamina
135
Lampiran 4. Kuat acuan lamina untuk balok glulam ukuran struktural
No urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
No Lamina 41 13 6 5 1 17 38 43 7 27 25 69 60 76 58 16 68 63 22 59 86 37 50 3 2 49 20 40 34 54 64 21 55 48
MOE (MPa)
Kuat Acuan
14676 14190 14119 13928 13892 12963 12727 12564 12522 12418 12329 12296 12049 12046 11881 11758 11709 11667 11647 11619 11351 11305 11266 11234 11213 11165 11158 11144 11101 11100 10909 10857 10849 10848
E15 E15 E15 E14 E14 E13 E13 E13 E13 E13 E13 E13 E13 E13 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E12 E11 E11 E11 E11
136
Lampiran 4. Lanjutan
No Urut 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
No Lamina 46 9 10 11 39 19 15 74 67 70 18 53 8 35 72 65 4 87 89 81 56 61 42 52 30 66 79 78 90 85 29 24 28 83 32 12
MOE (MPa) 10846 10775 10764 10724 10634 10626 10560 10452 10403 10396 10266 10178 10154 10111 10085 10076 10003 9938 9796 9764 9713 9691 9688 9603 9581 9473 9250 9191 9159 9123 9101 9013 8884 8844 8821 8709
Kuat Acuan E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E11 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E10 E9 E9 E9 E9
137
Lampiran 4. Lanjutan
No Urut 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
No Lamina 84 71 77 88 45 33 36 73 57 62 14 44 23 75 31 51 26 82 47 80
MOE (MPa) 8574 8523 8428 8361 8118 8025 7912 7780 7650 7600 7600 7586 7493 7187 6858 6835 6810 6386 6225 6075
Kuat Acuan E9 E9 E9 E9 E9 E9 E8 E8 E8 E8 E8 E8 E8 E8 E7 E7 E7 E7 E7 E7
138
Lampiran 5. Kekakuan lentur (EI) balok glulam ukuran struktural
Glulam 1
b (mm) 60,14 60,14 60,14 60,14 60,14 60,14 60,14
h (mm) 156,77 156,77 156,77 156,77 156,77 156,77 156,77
P (N) 8100 8900 10700 12600 15600 18200 20400
d (mm) 9,06 10,04 11,78 13,6 16,72 19,38 21,56
EI L (mm) (Nmm2) 2400 2,26E+11 2400 2,24E+11 2400 2,30E+11 2400 2,35E+11 2400 2,36E+11 2400 2,38E+11 2400 2,40E+11 Rata-rata 2,327E+11 SD 5,839E+09 CV (%) 2,5
Glulam 2 b (mm) 60,36 60,36 60,36 60,36 60,36 60,36 60,36 60,36 60,36 60,36 60,36
h (mm) 161,28 161,28 161,28 161,28 161,28 161,28 161,28 161,28 161,28 161,28 161,28
P (N) 10100 11160 12320 13220 14060 15090 16110 17050 17950 19070 20010
d (mm) 10,9 12 13,22 14,18 15,1 16,08 17,1 18,08 19,02 20,28 21,3
L (mm) 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 Rata-rata SD CV (%)
EI (N mm2) 2,35E+11 2,35E+11 2,36E+11 2,36E+11 2,36E+11 2,38E+11 2,38E+11 2,39E+11 2,39E+11 2,38E+11 2,38E+11 2,370E+11 1,520E+09 0,6
139
Lampiran 5. Lanjutan Glulam 3 b (mm) 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11 60,11
h (mm) 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73 158,73
P (N) 10080 11380 12160 13020 14100 15000 16010 16850 17010 18010 19010 19990 20520
d (mm) 10,60 11,90 12,70 13,58 14,70 15,66 16,74 17,64 17,80 18,90 20,04 21,14 21,74
L (mm) EI (N mm2) 2400 2,41E+11 2400 2,42E+11 2400 2,42E+11 2400 2,43E+11 2400 2,43E+11 2400 2,42E+11 2400 2,42E+11 2400 2,42E+11 2400 2,42E+11 2400 2,41E+11 2400 2,40E+11 2400 2,39E+11 2400 2,39E+11 Rata-rata 2,41E+11 SD 1272897186 CV (%) 0,5
P (N) 10040 11020 12060 13080 14080 15070 16150 17070 17990 19050 20010
d (mm) 11,06 12,10 13,22 14,34 15,42 16,46 17,66 18,64 19,66 20,82 21,92
L (mm) 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 Rata-rata SD CV (%)
Glulam 4 b (mm) 60,64 60,64 60,64 60,64 60,64 60,64 60,64 60,64 60,64 60,64 60,64
h (mm) 156,46 156,46 156,46 156,46 156,46 156,46 156,46 156,46 156,46 156,46 156,46
EI (N mm2) 2,30E+11 2,31E+11 2,31E+11 2,31E+11 2,31E+11 2,32E+11 2,32E+11 2,32E+11 2,32E+11 2,32E+11 2,31E+11 2,31E+11 6,10E+08 0,3
140
Lampiran 5. Lanjutan Glulam 5
b (mm) 59,89 59,89 59,89 59,89 59,89 59,89 59,89 59,89 59,89 59,89 59,89
h (mm) 163,24 163,24 163,24 163,24 163,24 163,24 163,24 163,24 163,24 163,24 163,24
P (N) 10040 11020 12040 13020 14020 15000 15970 17070 18090 19110 20080
d (mm) 10,16 11,12 12,14 13,08 14,06 15,04 16,02 17,08 18,08 19,12 20,04
L (mm) 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 Rata-rata SD CV (%)
EI (N mm2) 2,50E+11 2,51E+11 2,51E+11 2,52E+11 2,52E+11 2,52E+11 2,52E+11 2,53E+11 2,53E+11 2,53E+11 2,54E+11 2,52E+11 1,10E+09 0,4
P (N) 10040 11080 12020 13040 14060 15090 16030 17030 18050 19030 20080
d (mm) 11,86 13,04 14,10 15,24 16,40 17,56 18,70 19,88 21,04 22,22 23,50
L (mm) 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 Rata-rata SD CV (%)
EI (N mm2) 2,14E+11 2,15E+11 2,16E+11 2,17E+11 2,17E+11 2,18E+11 2,17E+11 2,17E+11 2,17E+11 2,17E+11 2,16E+11 2,16E+11 9,76E+08 0,5
Glulam 6
b (mm) 60,35 60,35 60,35 60,35 60,35 60,35 60,35 60,35 60,35 60,35 60,35
h (mm) 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66
141
Lampiran 5. Lanjutan
Glulam 7
b (mm) 60,06 60,06 60,06 60,06 60,06 60,06 60,06 60,06 60,06 60,06 60,06
h (mm) 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66 160,66
P (N) 10080 11120 12080 13100 14120 14980 16110 17110 18110 19150 20140
d (mm) 11,42 12,54 13,56 14,68 15,82 16,74 17,98 19,10 20,24 21,44 22,66
L (mm) 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 Rata-rata SD CV (%)
EI (N mm2) 2,23E+11 2,24E+11 2,26E+11 2,26E+11 2,26E+11 2,27E+11 2,27E+11 2,27E+11 2,27E+11 2,26E+11 2,25E+11 2,26E+11 1,05E+09 0,5
L (mm) 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 Rata-rata SD CV (%)
EI (N mm2) 2,33E+11 2,32E+11 2,33E+11 2,34E+11 2,34E+11 2,34E+11 2,34E+11 2,33E+11 2,33E+11 2,33E+11 2,32E+11 2,33E+11 8,59E+08 0,4
Glulam 8
b (mm) 60,122 60,122 60,122 60,122 60,122 60,122 60,122 60,122 60,122 60,122 60,122
h (mm) 161,857 161,857 161,857 161,857 161,857 161,857 161,857 161,857 161,857 161,857 161,857
P (N) 10100 11120 12100 13080 14080 15070 16090 17090 18150 19110 19990
d (mm) 10,98 12,12 13,14 14,16 15,22 16,28 17,40 18,60 19,74 20,78 21,84
142
Lampiran 5. Lanjutan Glulam 9
b (mm) 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247 60,247
h (mm) 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460 161,460
P (N) 10040 11080 12020 12980 13080 14080 15050 16070 17050 17990 18930 19050 20010
d (mm) 10,00 11,04 11,98 13,00 13,10 14,02 14,96 15,96 16,92 17,90 18,98 19,12 20,40
L (mm) 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 Rata-rata SD CV (%)
EI (N mm2) 2,54E+11 2,54E+11 2,54E+11 2,53E+11 2,53E+11 2,54E+11 2,55E+11 2,55E+11 2,55E+11 2,54E+11 2,52E+11 2,52E+11 2,48E+11 2,53E+11 1,80E+09 0,7
h (mm) 158,067 158,067 158,067 158,067 158,067 158,067 158,067 158,067 158,067 158,067 158,067
P (N) 10080 11140 12120 13080 14080 15090 15970 17130 18010 19110 20100
d (mm) 12,26 13,52 14,70 15,88 17,12 18,44 19,58 21,10 22,18 23,64 24,94
L (mm) 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 Rata-rata SD CV (%)
EI (N mm2) 2,0813E+11 2,0858E+11 2,0872E+11 2,0851E+11 2,082E+11 2,0716E+11 2,0647E+11 2,0552E+11 2,0555E+11 2,0464E+11 2,040E+11 2,069E+11 1,712E+09 0,8
Glulam 10 b (mm) 59,928 59,928 59,928 59,928 59,928 59,928 59,928 59,928 59,928 59,928 59,928
143
Lampiran 6. Titik berat , momen inersia transformasi (Itranf), dan modulus elastisitas efektif (Eef) glulam 1 Lamina 1 2 3 4 5 6 7
MOE (MPa) 14676 11351 10560 9250 9473 10626 11619
h (mm) 22,4 22,4 22,4 22,4 22,4 22,4 22,4
b (mm) 60,14 60,14 60,14 60,14 60,14 60,14 60,14
b trans (mm) 60,14 46,51 43,27 37,91 38,82 43,54 47,61
btran/b 1,00 0,77 0,72 0,63 0,65 0,72 0,79
Titik berat per lamina (mm) 11,20 33,60 56,00 78,40 100,80 123,20 145,60
(MOE) (h) (MOE)(t )x titik berat per lamina (N/mm) 328742,40 3681914,88 254262,40 8543216,64 236544,00 13246464,00 207200,00 16244480,00 212195,20 21389276,16 238022,40 29324359,68 260265,60 37894671,36 Total (MOE)(h) Total (MOE)(h) x titik berat per lamina (N/mm) (N) 1737232 130324383 Titik Berat Penampang (mm) 75,02
144
Lampiran 6. Lanjutan Lamina 1 2 3 4 5 6 7
A (mm2) 1347,14 1041,93 969,32 849,07 869,54 975,38 1066,53
d (mm) 63,82 41,42 19,02 -3,38 -25,78 -48,18 -70,58
I (mm4) 56328,25 43566,50 40530,55 35502,61 36358,51 40783,86 44595,11 Total I (mm4) 297665,38
A.d2 (mm4) 5486601,32 1787412,17 350603,36 9709,29 577977,15 2264309,58 5313190,21 Total Momen statis (mm4) 15789803,08 I transformasi 16087468,46 E(I+A.d2) 81348034360 20783438918 4130374059 418210031,2 5819601661 24493922855 62252107693 Total E(I+A.d2) 1,99246E+11 Eef 12385
145
Lampiran 7. Hubungan gaya-defleksi hasil uji lentur balok glulam ukuran struktural
Glulam 6
Glulam 1 50000 Gaya (N)
Gaya (N)
50000 25000
25000
0
0 0
25
50 75 Defleksi (mm)
100
0
25
Glulam 2
Glulam 7
Gaya (N)
Gaya (N)
25000
25000
0
0 0
25
50 75 Defleksi (mm)
100
0
25
Glulam 3
100
Glulam 8
Gaya (N)
Gaya (N)
50 75 Defleksi (mm)
50000
50000 25000
25000
0
0 0
25
50 75 Defleksi (mm)
100
0
25
Glulam 4
50 75 Defleksi (mm)
100
Glulam 9
50000 Gaya (N)
50000 Gaya (N)
100
50000
50000
25000 0
25000 0
0
25
50 75 Defleksi (mm)
100
0
Glulam 5
25
50 75 Defleksi (mm)
100
Glulam 10
50000
50000 Gaya (N)
Gaya (N)
50 75 Defleksi (mm)
25000 0
25000 0
0
25
50 75 Defleksi (mm)
100
0
25
50 75 Defleksi (mm)
100
146
Lampiran 8. Tegangan nominal dan aktual balok glulam ukuran struktural
Balok Glulam 1 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
60
80
60
80
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
Balok Glulam 2 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
Balok Glulam 3 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
147
Lampiran 8. Lanjutan
Balok Glulam 4 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
60
80
60
80
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
Balok Glulam 5 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
Balok Glulam 6 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
148
Lampiran 8. Lanjutan
Balok Glulam 7 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
60
80
60
80
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
Balok Glulam 8 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
Balok Glulam 9 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
149
Lampiran 8. Lanjutan Balok Glulam 10 h glulam (mm)
200 150 100 50 0 -60
-40
-20
0
20
Tegangan Lentur (MPa) Tegangan Aktual
Tegangan Nominal
40
60