II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) 1. Risalah Kayu Mangium Pohon Mangium adalah tanaman asli (indigeneous species) yang tumbuh di Australia bagian utara, Papua Nugini dan Indonesia. Penyebaran alami di Indonesia meliputi daerah Papua, Kepulauan Maluku, Pulau Seram, Pulau Aru dan Kalimantan Timur. Wilayah penyebarannya meliputi 1 – 18,57 oLS dan 125,22 – 146,17 oBT dengan ketinggian 0 – 100 m dpl dengan batas tertinggi pada ketinggian 780 m dpl (Pinyopusarerk et. al., 1993). Pohon Mangium telah terbukti tumbuh baik di luar habitat aslinya. Pohon yang termasuk jenis intoleran ini unggul untuk reboisasi lahan kritis dan padang ilalang, dan sangat potensial sebagai penghasil kayu. Pohon Mangium termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing species) di daerah tropik dan memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi dalam setiap upaya reboisasi (Pinyopusarerk et. al., 1993). Pohon Mangium merupakan jenis daun lebar (broadleaves) dan termasuk ke dalam divisio Spermatophyta, sub divisio Angiospermae, ordo Rosales, famili Leguminoceae dan genus Acacia. Genus yang termasuk kelas Dicotyledons ini memiliki lebih dari 1.000 spesies pohon dan perdu yang tumbuh di Afrika, Amerika, Asia dan Australia. Nama lain Mangium adalah pilang atau jati mangium (Jawa), mangge hutan, tongke hutan (Seram), nak (Maluku), laj (Aru) atau jerri (Papua) (Pinyopusarerk et. al., 1993). Pohon Mangium dikembangkan pada tahun 1942 di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur oleh Jepang untuk mendapatkan bahan baku popor senjata dan pada tahun 1978 di Sumberjeriji dengan benih berasal dari Sabah. Sejak dicanangkan HTI pada tahun 1984, Mangium dipilih sebagai salah satu jenis tanaman favorit HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu serat (bahan baku pulp dan kertas) pada rotasi 6 - 7 tahun dan umur rotasi 25 – 30 tahun sebagai kayu pertukangan serta untuk kayu bakar. Pohon Mangium tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi, bahkan mampu tumbuh dengan baik pada lahan yang miskin hara dan tidak subur. Habitus pohon Mangium dapat mencapai tinggi 30 m dengan diameter mencapai 90 cm serta batang bebas cabang 10 – 15 m. Ciri tanaman ini adalah batangnya bulat lurus,
banyak cabang, berkulit tebal agak kasar dan kadang beralur kecil dengan warna coklat muda (Andriawan, 1999). Tegakan Mangium mampu menghasilkan riap tahunan sebesar 46 m3/ha/tahun pada plot pemuliaan dan 32 m3/ha/tahun pada tingkat praktek di lapangan. Diameter Mangium di HTI yang berumur 10 tahun berkisar antara 20 – 22 cm dengan tebal kayu terasnya mencapai 14 – 16 cm (Malik et. al., 2000). Diameter pohon Mangium tersebut sebesar 38,6 cm pada umur 13 tahun dengan Mean Annual Increment (MAI) diameter sebesar 5,98 cm/tahun. Diameter setinggi dada akan membesar dengan cepat sampai lebih dari 20 cm hanya dalam kurun waktu 4 tahun, kemudian menurun setelah tahun ke lima dan pada umur 8 tahun pertumbuhannya seolah berhenti pada diameter 30 cm (Tsai, 1993). 2. Sifat Dasar Kayu Kayu merupakan produk alami yang mempunyai sifat yang sangat komplek yang terdiri dari jutaan sel dan berbagai unsur kimia. Ditinjau secara makroskopis, kayu tersusun atas sel-sel kayu dalam struktur selular dengan komposisi dinding sel, rongga sel dan membran yang mengandung selulose, hemiselulose, lignin dan karbohidrat. Di dalam kayu terdapat zat penyusun seperti kayunya sendiri, zat ekstratif dan air. Faktor-faktor ini mengakibatkan kayu bisa berubah bentuk seperti melengkung, retak atau pecah, mudah atau sukar digergaji dan kayu menampilkan karakter-karakter tertentu seperti adanya kayu gubal, kayu teras, lingkaran tahun dan sebagainya yang dapat dilihat mata. Perilaku dan karakter ini dapat menentukan mutu dolog dan kayu penggergajian (Rachman dan Malik, 2008). Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kayu menyebabkan perbedaan sifatsifat yang dimiliki oleh kayu tersebut. Sehingga dalam pengolahan dan penggunaan setiap jenis kayu disesuaikan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh kayu tersebut. 1. Sifat Anatomis 1). Lingkaran Tumbuh Lingkaran tumbuh atau lingkaran tahun nampak jelas pada kayu Mangium yang tumbuh di daerah dengan perbedaan musim hujan dan musim kemaraunya nyata. Pada musim hujan dibentuk sel-sel dengan dinding yang tipis (kayu awal) karena sebagian hasil fotosintesa digunakan untuk pertumbuhan (tunas-tunas baru) dan sedikit untuk penebalan dinding. Sebaliknya pada musim kemarau dibentuk sel-sel dengan dinding
8
yang tebal (kayu akhir) karena hasil fotosintesa tidak diperlukan untuk pertumbuhan. Pita kayu yang berselang-seling ini menandai batas lingkaran tahun. Lingkaran tumbuh kayu Mangium pada kayu normal berkolerasi dengan kerapatan, yaitu kayu dengan pori tata lingkar, kerapatannya cenderung meningkat dengan meningkatnya lingkaran tumbuh. Kayu Mangium termasuk jenis kayu cepat tumbuh yang mempunyai batas lingkaran tumbuh yang jelas pada bagian terasnya dengan lebar 1 – 2 cm (Ginoga, 1997). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhannya yang cepat serta adanya kayu muda (juvenile wood). 2). Tebal Kayu Gubal dan Kayu Teras Kayu gubal (sapwood) dan kayu teras (heartwood) pada kayu Mangium tampak jelas pada potongan atau penampang lintang dolog. Gubal terletak di sekeliling bagian luar dolog, tepat setelah kulit kayu. Setelah gubal terdapat silinder kayu teras yang merupakan sumber bahan kayu yang penting dan di bagian pusat terletak empulur (pith). Gubal berwarna lebih terang dari pada teras, keawetan dan kekuatannya lebih rendah tetapi permeabilitasnya lebih tinggi. Gubal merupakan jaringan kayu yang masih hidup sedangkan teras adalah jaringan yang sudah mati. Tebal kayu gubal dan kayu teras berpengaruh terhadap kekuatan kayu. Hasil pengamatan terhadap dolog kayu Mangium menunjukkan kecenderungan bahwa makin tinggi umur kayu maka bagian kayu terasnya makin tebal (Ginoga, 1997). 3). Warna dan Serat Kayu Warna kayu teras dan gubal dapat dilihat dengan jelas : bagian teras berwarna lebih gelap, sedangkan gubalnya berwarna putih dan lebih tipis. Warna kayu teras agak kecoklatan, hampir mendekati warna kayu jati, kadang-kadang mendekati warna jati gembol. Arah serat lurus sampai berpadu (Ginoga, et. al., 1999). Tekstur kayu agak kasar, kesan raba agak halus dan kayu agak lunak, arah serat lurus dan agak berpadu (Rulliaty dan Mandang, 1988). 2. Sifat Fisis dan Mekanis 1). Berat Jenis dan Kadar Air Berat kayu meliputi berat zat kayu sendiri, berat zat ekstraktif dan berat air yang dikandungnya. Jumlah zat kayu dan zat ekstraktif biasanya konstan, sedangkan jumlah kandungan air berubah-ubah. Untuk mendapat keseragaman, maka dalam penentuan berat jenis kayu, berat ditentukan dalam keadaan kering tanur.
9
Sifat fisis dan mekanis yang umum dijadikan dasar dalam penggunaan kayu adalah berat jenis (BJ), kadar air (KA) dan keteguhan (MOE dan MOR). Hasil pengujian BJ dan KA menyatakan bahwa kayu Mangium pada umur 10 tahun mempunyai berat jenis 0,57 dan kadar air basah dan kering udara berturut-turut adalah 125 % dan 18 %. Secara statistik berat jenis kayu pada umur yang berbeda tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (Ginoga, 1997). 2). Kekuatan dan Kelas Kuat Hasil pengujian terhadap sifat mekanis menyatakan bahwa kayu Mangium di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten pada umur 8 tahun dari Bogor mempunyai nilai MOE rata-rata sebesar 97.308 kg/cm2 (Sulistyawati, 2009) dan dari Indramayu sebesar 88.000 kg/cm2 dengan nilai MOR rata-rata sebesar 436 kg/cm2 (Firmanti et al., 2003). Hasil pengujian kayu Mangium pada umur 10 tahun mempunyai nilai MOR, MOE dan tekan sejajar serat berturut-turut adalah 942 kg/cm2, 113.644 kg/cm2 dan 435 kg/cm2 (Ginoga, 1997). Berdasarkan sifat mekanis yang dimilikinya, kayu Mangium dapat digunakan sebagai bahan konstruksi ringan, mebel dan barang kerajinan. Kayu lamina Mangium memiliki MOE 105.900 kg/cm2 dan memenuhi syarat yang ditetapkan oleh JAS (Ginoga, 1997). Berdasarkan berat jenis, keteguhan lentur statis dan tekan sejajar serat, pada umur 10 tahun maka kayu Mangium termasuk kelas kuat II – III (Ginoga, 1997). 3. Keawetan dan Keterawetan Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu, terutama faktor biologis, seperti jamur, serangga (rayap dan bubuk) dan binatang laut. Sifat keawetan ditentukan berdasarkan persentase penurunan berat kayu akibat serangan faktor biologis. Sedangkan sifat keterawetan kayu adalah kemampuan kayu menyerap bahan pengawet tertentu yang diawetkan dengan metode tertentu. Sifat keterawetan ditentukan berdasarkan retensi dan daya penetrasi bahan pengawet terhadap kayu. Retensi dinyatakan dalam kg/m3 kayu dihitung berdasarkan penimbangan kayu sebelum dan sesudah pengawetan. Penetrasi dinyatakan dalam persen luas penampang contoh uji (Ismanto, 1995). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, kayu Mangium memiliki kelas ketahanan IV (rendah) terhadap serangan rayap tanah dan kelas ketahanan III (sedang) terhadap penggerek di laut (Muslich dan Sumarni, 1993). Kayu Mangium memiliki sifat keterawetan yang berbeda menurut asal kayunya. Dengan menggunakan bahan
10
pengawet CCA, kayu Mangium dari hutan tanaman (asal Jawa Barat) memiliki sifat keterawetan lebih buruk (kelas awet II-III) dibanding kayu Mangium dari hutan alam (asal Maluku) yang memiliki kelas awet I-II (Martawijaya dan Barly, 1990). 4. Pengolahan Kayu Mangium a. Pengergajian Produk kayu umumnya diolah sebelum dimanfaatkan. Penggergajian adalah suatu unit usaha yang menggunakan bahan baku kayu, dengan alat utama gergaji, mesin sebagai tenaga penggerak serta dilengkapi dengan berbagai alat atau mesin pembantu (Widarmana, 1981). Sedangkan kayu gergajian merupakan kayu-kayu yang dihasilkan dari proses menggergaji dan menggergaji kembali. Penggergajian merupakan proses pertama dalam urutan industri pengolahan kayu berupa kegiatan merubah bentuk atau konversi kayu bulat menjadi kayu persegian untuk memenuhi tujuan tertentu (Rachman dan Malik, 2008). Sedangkan tujuan menggergaji adalah untuk mendapatkan kayu gergajian dengan ukuran dan kualita tertentu sesuai dengan tujuan pemakaiannya, mendapatkan produksi yang tinggi, memperoleh rendemen yang tinggi, memanfaatkan kayu gergajian dengan ongkos produksi yang rendah, dan memperoleh kayu gergajian dengan ukuran yang tepat, bebas cacat atau berkualitas tinggi (Padlinurdjaji dan Ruhendi, 1981). Bila melihat mata rantai industri pengolahan kayu, maka dalam pabrik pengergajian terjadi proses perubahan pertama kali kayu dalam bentuk dolog menjadi kayu gergajian (sawn timber) atau disebut kayu konversi berupa balok, papan, tiang serta sortimen lainnya. Sehingga industri kayu gergajian disebut industri kayu primer yang akan mendorong pertumbuhan industri kayu sekunder. Penggergajian adalah kegiatan merubah bentuk atau konversi kayu bulat menjadi kayu persegian untuk memenuhi tujuan tertentu dengan menggunakan pola penggergajian tertentu. Pola penggergajian (sawing pattern atau cutting programme) adalah rencana dan cara pembelahan dolog menjadi potongan atau lembaran kayu gergajian beserta urutan dan penugasannya pada mesin-mesin penggergajian, dengan cara merencanakan dan mengatur cara menggergaji agar dolog dapat dimanfaatkan seefisien mungkin (Rachman dan Malik, 2008). Berbagai macam pola penggergajian dapat diciptakan untuk setiap potong dolog yang dijadikan pedoman untuk menggergaji yaitu pola penggergajian satu sisi
11
(sawing trough-and trough atau live sawing), berguling (round sawing), taper (taper sawing), perempatan (quarter sawing) dan penggergajian simulasi. 1). Penggergajian Satu Sisi Pola penggergajian satu sisi adalah pola sederhana dimana dolog dikunci pada suatu sisi lalu digergaji secara terus-menerus ke arah sisi yang berhadapan sampai selesai. Pola ini ditandai oleh irisan gergaji yang seolah-olah membuat garis singgung dengan lingkaran tahun yang sejajar satu sama lain bila dilihat pada penampang lintang dolog. Pola penggergajian satu sisi biasa digunakan untuk dolog berdiameter kecil, kayu-kayu dari hutan tanaman dan dolog yang banyak mengandung cacat. Dengan pola ini waktu produksi relatif cepat akan tetapi kualitas kayu gergajian yang dihasilkan umumnya rendah. Namun, bila dolognya bermutu tinggi maka pola satu sisi akan menghasilkan rendemen paling tinggi (Rachman dan Malik, 2008). 2). Pola Penggergajian Berguling Pola penggergajian berguling merupakan teknik penggergajian dengan cara mengelilingi dolog. Pola penggergajian ini didasarkan kepada teori bahwa sifat-sifat dolog, terutama jenis-jenis kayu tropis, yaitu bagian terluar dolog terdapat lebih sedikit cacat kayu semakin ke arah dalam (empulur) semakin banyak mengandung cacat seperti mata kayu, busuk, retak dan hati rapuh. Jumlah dan jenis cacat itu menyebar tidak merata pada keempat sisi dolog. Sehingga pola ini merupakan cara untuk dapat memanfaatkan terlebih dahulu bagian dolog yang bermutu lebih tinggi. Praktek penggergajian dengan pola berguling dilakukan dengan cara mulamula dolog dinilai pada keempat sisinya. Sisi yang terbaik digergaji lebih dahulu. Selanjutnya dolog dikunci pada suatu posisi lalu sisi dolog yang pertama digergaji seperti pada pola satu sisi. Penggergajian dihentikan ketika ditemui cacat. Pada saat itu dolog diputar 90°. Penggergajian dilanjutkan pada sisi ke- 2 dan dihentikan lagi setelah ditemui cacat. Demikian seterusnya pada sisi ke- 3 dan ke- 4 penggergajian dilakukan sampai akhirnya sekeliling dolog yang dikatakan sebagai pola berguling 12-3-4. Modifikasi pola dilakukan dengan pola berguling 1-3-4-2 yang diterapkan bagi dolog-dolog yang mengandung tegangan tumbuh (Rachman dan Malik, 2008). 3). Pola Pengergajian Taper Pola penggergajian taper adalah pola yang digunakan untuk dolog- dolog taper bentuknya seperti kerucut terpotong. Jenis-jenis pola penggergajian taper menurut
12
Rachman dan Malik (2008) adalah pola satu sisi sejajar kulit (one bark live sawing), pola taper dua sisi (taper sawing two sides) dan pola empat sisi (taper sawing four sides). Dolog yang digergaji dengan semua pola di atas akan menghasilkan kayu gergajian datar (flat sawn lumber). 4). Pola Penggergajian Perempatan Pola penggergajian perempatan diciptakan untuk mendapatkan kayu gergajian yang lebih baik, dolog digergaji dengan membentuk irisan-irisan gergaji tegak lurus atau hampir tegak lurus terhadap lingkaran tahun atau membentuk sekitar 45° dengan lingkaran tahun. Kayu gergajian yang dihasilkan oleh pola perempatan disebut kayu gergajian perempatan (quarter sawn lumber). Kayu gergajian perempatan ditandai oleh garis-garis hampir lurus yang tampil lebih indah pada permukaannya, terutama pada jenis-jenis kayu dengan lingkaran tahun yang nyata. Keunggulannya adalah stabilitas dimensi dan keausan permukaannya relatif tinggi karena irisan gergaji mengerat dolog secara radial sehingga permukaan kayunya menjadi lebih padat (jarak lingkaran tahun lebih rapat). Kekurangannya adalah rendemen dan produktifitas penggergajian relatif rendah karena tingginya sebetan yang terbuang dan waktu diperlukan selama produksi untuk mendapatkan irisan dengan posisi radial yang lebih tepat (Rachman dan Malik, 2008). 5). Penggergajian Simulasi Simulasi adalah suatu metode pemecahan masalah dengan cara menggunakan suatu model. Dalam penggergajian, sebagai model adalah dolog dengan diameter dan panjang tertentu yang dianggap berbentuk silindris masif dengan kedua ujungnya terpotong tegak lurus. Komponen model lainnya adalah tebal irisan gergaji dan ukuran kayu gergajian yang dianggap berbentuk lempengan empat persegi. Permasalahannya adalah bagaimana mendapat lempengan (kayu gergajian) secara maksimum dari dolog model. Dengan simulasi yang dilakukan secara berulang-ulang, banyaknya lempengan yang diperoleh dapat dihitung secara matematik melalui ukuran dolog, tebal irisan gergaji dan ukuran lempeng dengan bantuan komputer. Program komputer untuk penggergajian simulasi dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor dengan nama program MOP (Model Optimasi Penggergajian). Dengan cara ini rendemen tertinggi simulasi penggergajian mencapai sekitar 83 % (Rachman, 1994).
13
Hasil simulasi memberikan informasi bahwa pada tebal kayu gergajian yang akan diproduksi dan diameter dolog yang digergaji akan diperoleh posisi Pembelahan Pertama Terbaik (PPT), jumlah lembar kayu gergajian dan rendemen. Hasil simulasi disajikan dalam bentuk tabel yang digunakan untuk membantu operator di lapangan dalam mendapatkan PPT tanpa menggunakan komputer (Ginoga et al., 1999). Hasil kayu gergajian dari penggergajian simulasi selalu bernilai lebih tinggi dari kenyataan yang sebenarnya, karena pola penggergajian simulasi menganut asumsi bahwa wujud dolog adalah simetris, lurus atau silindris, lintasan gergaji betulbetul lurus dan cacat dolog minimal. Uji coba teknik penggergajian konvensional pada dolog kayu Mangium dengan rata-rata diameter 22,4 cm dan panjang 257,5 cm, diperoleh rendemen penggergajian sebesar 39,60 %. Sejak diterapkannya teknik penggergajian dengan sistem simulasi dengan program MOP dalam penentuan posisi PPT, teknik ini mampu meningkatkan rendemen penggergajian dolog diameter kecil rata-rata 12,4 % atau menjadi 51,24 % (Rachman dan Balfas, 1993). b. Pengerjaan Karakteristik pengerjaan kayu Mangium, seperti kemudahan dipotong, diserut, dibor dan diampelas secara umum memberikan hasil sangat baik. Pengujian yang dilakukan Ginoga (1997), sifat permesinan kayu Mangium termasuk kelas II - I (baiksangat baik). Karena papan kayu Mangium umumnya berukuran sempit serta ukuran yang relatif pendek, maka teknologi papan sambung dan balok lamina menjadi solusi untuk mengatasi masalah tersebut (Rachman dan Balfas, 1993). c. Pengeringan Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memperbaiki mutu pengeringan kayu Mangium, antara lain dengan perlakuan pengeringan alami (air drying), perebusan, pengukusan dan pemanasan dengan microwave sebelum dikeringkan lebih lanjut. Dengan perlakuan pengeringan alami, mutu kayu menjadi baik namun secara ekonomis tidak menguntungkan karena memerlukan waktu sangat panjang (Trihastoyo, 2001). Metode lain dengan memakai microwave dapat mempercepat pengeringan dan mengurangi porsi cacat kayu (Krisdianto dan Malik, 2004), namun sulit untuk diaplikasikan di Indonesia karena alat tersebut memerlukan daya listrik yang tinggi. Perlakuan sebelum pengeringan dengan pengukusan (Basri dan Yuniarti, 2001) dan perebusan (Krisdianto dan Malik, 2004) mampu mempercepat pengeringan
14
namun menimbulkan cacat dan degradasi warna pada kayu Mangium. Perlakuan pengukusan dapat meningkatkan tekanan pengeringan (drying stress) pada kayu red oak lebih tinggi dibandingkan dengan pengurangan kecepatan pengeringannya (Wang et. al., 1993). Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pengeringan pada permukaan kayu yang kadar airnya sudah berada di bawah titik jenuh serat dengan bagian dalam kayu yang kadar airnya masih tinggi, sehingga terjadi tegangan tarik antara bagian dalam dan bagian permukaan yang mengakibatkan kerusakan pada kayu. Kayu yang sifat zat ekstratifnya peka terhadap panas akan terurai atau menguap sehingga terjadi degradasi warna pada permukaannya (Boyd, 1974). Perubahan warna ini berkaitan erat dengan proses penguapan yang berjalan sangat cepat di awal pengeringan sementara kadar air kayu masih tinggi (Tarvainen et al., 2001). Pada penelitian quarter sawn dan flat sawn dengan kelembaban awal masingmasing 112 % dan 99 %, Silitonga (1987) melaporkan bahwa untuk mencapai kadar air 9 % kedua contoh tersebut masing-masing memerlukan waktu 10 dan 16 hari dan jarang terjadi pecah ujung atau melengkung. Kelemahannya adalah kolaps pada kayu teras yang biasa terjadi pada awal pengeringan. Gejala lebih jelas terlihat pada papan quarter sawn. Pengeringan sebaiknya dengan kombinasi antara shed drying (predrying treatment) dan kiln drying sehingga mengurangi cacat pengeringan dan dapat meningkatkan kualitas kayu Mangium (Basri et al., 2002). B. Keteknikan Kayu Konstruksi untuk Struktur Bangunan 1. Desain Struktur, Tegangan Ijin dan Standar Kualitas Kayu Konstruksi Kayu konstruksi adalah kayu bangunan yang digunakan sebagai elemen struktur bangunan yang penggunaannya memerlukan perhitungan beban (Surjokusumo, 1993). Struktur adalah gabungan komponen yang menahan gaya desak, tarik atau momen untuk meneruskan beban ke tanah dengan aman. Elemen struktur terdiri atas batang desak yang berfungsi menahan gaya desak aksial, batang tarik sebagai penahan gaya tarik aksial, balok sebagai penahan gaya geser, lentur dan gaya aksial dalam struktur horisontal dan kolom dalam struktur vertikal yang berfungsi sama dengan balok (Siswadi, et al., 1999). Kayu adalah bahan konstruksi dari tumbuhan. Sifat alaminya yang beragam akan mempengaruhi kualitas kayu yang dibentuknya dan untuk mampu menahan beban yang ditopang oleh kayu harus berada pada batas tegangan yang diijinkan. Tegangan dasar pada kayu yang diperhitungkan dengan beberapa faktor koreksi seperti keamanan, penyesuaian, pengaruh ukuran, kadar air dan rasio kekuatan, akan menghasilkan suatu
15
nilai tegangan yang diijinkan (allowable stress) yang memberikan jaminan keselamatan dalam penggunaannya. Tegangan ijin dibuat sedekat mungkin dengan penggunaannya agar dihasilkan nilai penggunaan dan keamanan yang cukup tinggi (Surjokusumo, 1993). Dalam mendesain struktur, kapasitas (capacity) struktur harus lebih besar atau sama dengan beban (demand) yang akan diterima oleh struktur (demand ≤ capacity). Bila tidak terpenuhi, struktur akan runtuh atau tidak dapat memenuhi fungsi layannya. Beban berupa gaya-gaya eksternal yang diterima sebuah struktur menimbulkan gaya-gaya internal pada elemen struktur. Gaya internal tersebut berupa tarik, tekan, lentur, geser, torsi dan tumpu. Gaya-gaya internal di dalam batang menimbulkan efek berupa terjadinya tegangan (σ) dan regangan (ε). Tegangan merupakan ukuran intensitas gaya persatuan luas (σ = P/A), sedangkan regangan menunjukkan besarnya deformasi dibandingkan dengan kondisi mula-mula (ε = Δ/y). Gaya-gaya internal yang terjadi dalam batang menyebabkan bermacam-macam bentuk kerusakan. Gaya tarik mempunyai kecenderungan menarik elemen hingga putus. Tegangan tarik terdistribusi merata pada penampang elemen bersih, sehingga tegangan tarik dinyatakan sebagai σ = P/A. Gaya tekan menyebabkan hancur atau tekuk pada elemen. Elemen yang pendek cenderung hancur dan memiliki kekuatan mendekati kekuatan tarik elemen tersebut. Sebaliknya semakin panjang material akan semakin rendah kekuatannya menahan tekan. Elemen tekan yang berukuran panjang dapat menjadi tidak stabil dan secara tiba-tiba menekuk pada taraf beban kritis. Ketidakstabilan tiba-tiba ini menyebabkan material tidak mampu menerima tambahan beban karena akan menyebabkan kelebihan tegangan pada material. Fenomena ini disebut tekuk (buckling). Terjadinya tekuk menyebabkan elemen panjang (balok) tidak mampu memikul beban yang sangat besar. Lentur merupakan keadaan gaya komplek yang berkaitan dengan melenturnya balok akibat adanya beban transversal. Aksi lentur menyebabkan serat-serat pada satu muka balok memanjang akibat mengalami tarik, sedang pada muka lainnya memendek akibat mengalami tekan. Jadi pada lentur, baik gaya tekan maupun gaya tarik terjadi pada satu penampang yang sama. Oleh karena itu tegangan akibat gaya kompleks ini tidak dapat dinyatakan dengan rumus umum σ = P/A. Tegangan tarik dan tekan pada balok lentur bekerja tegak lurus permukaan penampang. Geser adalah gaya-gaya berlawanan arah yang menyebabkan satu bagian struktur tergelincir terhadap bagian didekatnya. Tegangan geser terjadi pada arah tangensial permukaan gelincir. Gaya-gaya yang komplek terjadi pada batang yang mengalami
16
puntiran (torsi). Balok yang mengalami torsi akan menyebabkan terjadinya tegangan tarik dan tegangan tekan. Tegangan tumpu terjadi antara bidang muka dua elemen apabila gaya-gaya disalurkan dari satu elemen ke elemen lainnya, misalnya tegangan tumpu terjadi pada ujung-ujung balok terletak di atas kolom. Untuk alasan arsitektural dan kenyamanan penggunaan, besarnya defleksi dibatasi. Struktur dapat disebut mengalami kegagalan apabila defleksinya melebihi batas yang diijinkan, meskipun struktur tersebut masih mampu menahan beban yang diberikan terhadapnya (Schodek, 1999). Apabila batang dibebani secara aksial, maka akan timbul tegangan di dalam batang yang disebut dengan tegangan aktual. Jika material yang digunakan masih mampu menahan beban tersebut, maka batang tidak akan runtuh. Apabila bebannya diperbesar sehingga tegangannya meningkat, maka pada saat tertentu akan mencapai titik dimana tegangan yang timbul akan melebihi kapasitas bahan. Pada titik ini batang akan mulai mengalami kegagalan dalam menahan beban sehingga tegangan yang timbul disebut tegangan patah. Tegangan patah hanya tergantung pada material, sehingga melalui eksperimen dapat ditetapkan tegangan patah untuk setiap material (Schodek, 1999). Tegangan patah material menunjukkan tegangan maksimum yang bisa diterima material, namun perencana akan mempertimbangkan keamanan struktur selama penggunaan dan hal lain yang menyebabkan kegagalan struktur yang dibangunannya. Perencana selalu memberikan tambahan ukuran material secara rasional untuk meningkatkan kapasitasnya. Tambahan ukuran material dalam perencanaan struktur dilakukan dengan memberikan faktor penyesuaian (Adjustment Factor, AF) yang terdiri atas faktor keamanan dan faktor lama pembebanan normal. Tegangan patah yang telah direduksi dengan faktor penyesuaian disebut dengan tegangan ijin (FPL, 1999). Pada material yang relatif seragam, persamaan tegangan ijin (F x = Fpatah *AF) cukup memadai. Tetapi sebagai produk alam yang dipengaruhi oleh genetik dan faktorfaktor lingkungan selama pertumbuhannya, kayu memiliki sifat dengan variasi sangat tinggi. Oleh karena itu sangat riskan untuk menetapkan tegangan patah sebatang kayu sebagai tegangan patah bagi seluruh kayu dalam populasi. Pada kayu yang berasal dari satu batang pohon dapat diperoleh tegangan patah terkecil sebesar satu persepuluh dari tegangan patah terbesar. Selang ini semakin besar kalau kayu berasal dari individu pohon, tempat tumbuh dan jenis yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan pendekatan statistik untuk memilih tegangan patah yang dapat mewakili seluruh populasi. Pada umumnya dipilih tegangan patah 5 % terlemah sebagai nilai bagi tegangan patah seluruh batang kayu dalam populasi, yang disebut dengan 5 % Exclusion Limit (5 % EL). Pada ASTM D 17
2915 (2003), 5% EL disebut dengan kekuatan karakteristik yang bisa dihitung secara parametrik dan non parametrik, dengan demikian tegangan ijin pada kayu dinyatakan dengan F x = 5% EL.AF. Tegangan ijin setelah direduksi dengan faktor-faktor penyesuaian lain merupakan sisi kapasitas dalam perencanaan struktur menggunakan format ASD (Bachtiar, 2008). Pengkelasan mutu kayu telah dilakukan sesuai dengan SKI C-bo-010:1987 (Dephut, 1988) yang mendasarkan pengujian MOE menggunakan beban ganda di tengah bentang pada posisi edgewise sesuai standar ASTM D 198 (2005) dan menghasilkan kelas mutu kayu berdasarkan tegangan lenturnya. Nilai tegangan ijin bagi tiap kelas mutu disebut Tegangan Serat (TS) seperti Tabel 1 berikut. Tabel 1. Tegangan Ijin setiap Kelas Mutu Menurut SKI C-bo-010:1987 Kelas Mutu
Lentur
TS35 TS32 TS30 TS27 TS25 TS22 TS20 TS17 TS15 TS12 TS10 TS7 TS5
350 325 300 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50
Tegangan Kerja dasar (kg/cm2) Tarik Tekan Geser // serat // serat // serat 210 271 26 195 252 24 180 232 22 165 213 20 150 193 18 135 174 16 120 155 15 105 135 13 90 116 11 75 97 9 60 77 7 45 58 5 30 39 3
Tekan ⊥ serat 52 48 45 41 37 33 30 26 22 18 15 11 7
MOE(x1000 kg/cm2 ) 210 200 190 180 170 160 150 140 125 110 95 80 65
Sumber : SKI C-bo-010 : 1987 Spesifikasi Kayu Bangunan untuk Perumahan. DepHut (1988)
Depkimpraswil (2002) dalam Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (RSNI) mencantumkan nilai desain yang disebut Kuat Acuan Lentur yang dihitung melalui pengujian menggunakan beban tunggal di tengah bentang pada posisi flatwise. Tabel 2. menyajikan kode mutu dan nilai kuat acuan bagi desain tersebut.
18
Tabel 2. Kuat Acuan Kayu Konstruksi untuk Tiap Kelas Mutu Menurut RSNI (2002) Kode Mutu
Modulus elastisitas Lentur Ew (x1000
kg/cm2 ) E26 250 E25 240 E24 230 E23 220 E22 210 E21 200 E20 190 E19 180 E18 170 E17 160 E16 150 E15 140 E14 130 E13 120 E12 110 E11 100 E10 90 Sumber : RSNI (2002)
Kuat Lentur Fb
Kuat Tarik Sejajar Serat Ft
Kuat Tekan sejajar serat Fc
Kuat Geser Fv
Kuat Tekan Tegak lurus serat Fc⊥
660 620 590 560 540 520 470 440 420 380 350 320 300 270 230 200 180
600 580 560 530 500 470 440 420 390 360 330 310 280 250 220 190 170
460 450 450 430 410 400 390 370 350 340 330 310 300 280 270 250 240
66 65 64 62 61 59 58 56 54 54 52 51 49 48 46 45 43
240 230 220 210 200 190 180 170 160 150 140 130 120 110 110 100 90
Desain nilai tegangan ijin menurut PKKI maupun SKI menggunakan format ASD (Allowable Stress Design), sedangkan dalam desain SNI di Indonesia menganut format LRFD (Load and Resistance Factor Design) sehingga nilai desain bagi sifat kekuatan kayu harus ditetapkan dalam format baru. 2. Pemilahan Kayu dan Pendugaan Kekuatan Kayu Konstruksi Sifat mekanis kayu merupakan salah satu sifat yang dapat dipakai untuk menduga kegunaan suatu jenis kayu. Beberapa sifat mekanis kayu untuk menilai kekuatan kayu adalah : a.
Keteguhan kayu, ialah kemampuan kayu dalam menahan beban atau gaya yang diberikan padanya. Sifat keteguhan kayu meliputi : Keteguhan lentur, Keteguhan tekan tegak lurus arah serat, Keteguhan tekan sejajar arah serat, Keteguhan geser sejajar arah serat, Sifat keuletan dan Sifat kekerasan.
b.
Sifat Elastisitas Kayu, ialah ketahanan kayu terhadap perubahan bentuk saat beban atau gaya diberikan kemudian kayu kembali ke bentuk semula. Dalam mempelajari sifat mekanis kayu terdapat batasan dasar yaitu tegangan
(distribusi gaya per satuan luas) dan regangan (perubahan panjang per unit panjang bahan). Hubungan tegangan dan regangan ini berbentuk kurva berbanding lurus.
19
Sifat mekanis terutama nilai MOE dan MOR dapat dijelaskan sebagai berikut : a.
Sifat kekakuan, yang dinyatakan dalam bentuk Modulus of Elasticity (MOE). Nilai MOE ini menyatakan kekakuan kayu, keadaan bentuk dan posisi penampang bahan serta posisi pembebanan pada kayu tersebut. Ditinjau dari segi posisi pembebanan pada kayu, nilai MOE dibagi menjadi 2 sesuai cara yang digunakan sebagai berikut : 1) Pembebanan cara terpusat di tengah (center loading). Dimana pemberian beban dilakukan di satu titik tepat di tengah-tengah bentang kayu uji. Rumus MOE yang digunakan adalah : (1) dimana : MOE
= Modulus of Elasticity (kg/cm2)
ΔF
= Beban yang diberikan (kg)
L
= Jarak sangga (cm)
Δy
= Lenturan yang timbul (cm)
b
= Lebar balok (cm)
h
= Tebal atau tinggi balok (cm)
2) Pembebanan cara Two Load Point Loading Rumus MOE yang digunakan untuk pembebanan cara Two Load Point Loading adalah : (2) b.
Tegangan patah pada beban maksimum (fiber stress at maximum load), yaitu tegangan yang terjadi pada saat benda tersebut patah. Nilai ini merupakan sifat kritis kayu yang disebut Modulus of Rupture (MOR) atau Modulus Patah. Rumus untuk menghitung Modulus Patah adalah sebagai berikut : 1) MOR untuk Center Loading : (3) 2) MOR untuk Two Load Point Loading : (4) dimana : Fmax = Beban maksimal hingga contoh uji rusak (kg)
20
Variabilitas kayu sangat tinggi akibat pengaruh genetik dan faktor lingkungan selama pertumbuhan. Variabilitas ini juga terjadi pada sifat mekanis kayu yang dicirikan dua sifat penting yaitu kekakuan lentur (MOE) dan keteguhan lentur patah (MOR). Kekakuan lentur kayu konstruksi di pasaran kayu bangunan Indonesia berkisar pada selang yang sangat lebar yaitu antara 30.000 – 260.000 kg/cm2, atau bedanya mencapai 6 – 9 kali kekakuan kayu terlentur. Kekakuan kayu terkuat (MOR) yang mampu mencapai sekitar 1.200 kg/cm2 bisa mencapai 11 – 13 kali dibanding yang terlemah (Surjokusumo dan Bachtiar, 2000) Penetapan nilai kekuatan karakteristik untuk setiap jenis/kelompok jenis, secara ekonomis ataupun sumberdaya sangat merugikan karena justifikasi kekuatan jauh di bawah kemampuan kayu yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan penggunaan dimensi kayu untuk suatu beban tertentu menjadi lebih besar dibanding yang dibutuhkan, sehingga terjadi pemborosan sumberdaya. Karena itu pemilahan guna penentuan kelas mutu (grading) dikembangkan dengan mencari variabel selain jenis sebagai dasar pengkelasan mutu. Variabel alternatif tersebut diharapkan dapat diukur dengan mudah tanpa merusak kayu dan mempunyai korelasi yang tinggi dengan sifat kekuatan kayu. Berat jenis dan MOE memenuhi kedua syarat tersebut dengan baik.
Menurut Gloss (1994) dalam
Surjokusumo dan Bachtiar (2000) berat jenis berkorelasi dengan MOR sebesar 0,5 dan MOE sebesar 0,7 – 0,8. Maka MOE diharapkan dapat digunakan sebagai variabel tunggal untuk menduga kekuatan kayu. Namun, koreksi terhadap jenis masih perlu dilakukan meski asumsi dasarnya MOE dapat menduga MOR secara regardless species. Untuk kemudahan, setiap potong kayu yang memiliki sifat mekanis serupa dipisah atau dikelompokkan ke dalam kelas yang disebut dengan kelas mutu (stress grade). Kelas mutu tersebut dicirikan oleh satu atau lebih standar penyortiran, sekumpulan sifat mekanis yang diijinkan untuk desain struktur dan sebuah nama kelas mutu yang khas. Sifat mekanis yang diijinkan tergantung kepada standar penyortiran dan faktor tambahan yang tidak berkorelasi dengan standar penyortiran. Dalam pengkelasan mutu, sifat yang diperlukan sebagai standar penyortiran adalah modulus elastisitas, keteguhan tekan, tarik dan geser sejajar serat, keteguhan tekan tegak lurus serat dan keteguhan lentur patah. Saat ini dikenal dua sistem pemilahan kayu yaitu pemilahan visual dan masinal. a. Pemilahan Visual Pemilahan visual menganggap bahwa sifat kayu gergajian berbeda dari sifat kayu bebas cacat karena terdapat karakteristik pertumbuhan yang berpengaruh terhadap
21
sifat tersebut. Karakteristik pertumbuhan digunakan untuk menyortir kayu gergajian ke dalam beberapa kelas mutu. Pemilahan visual didasarkan dua konsepsi yaitu: 1) Kekuatan kayu konstruksi berbanding lurus dengan kekuatan jenis kayunya dalam keadaan bebas cacat. Kekuatan ini hasil dari pengujian contoh kecil bebas cacat. 2) Reduksi kekuatan karena cacat kayu seperti miring serat dan lain-lain dinyatakan dalam rasio kekuatan yang menggambarkan besarnya pengaruh cacat tersebut. Dalam standar ASTM D 245 (2005), karakteristik pertumbuhan yang digunakan sebagai standar penyortiran adalah miring serat, mata kayu, retak dan pecah, pingul dan seleksi berat jenisnya. Pada PKKI NI-5 (1961) dan SII 0458 (1981) karakteristik pertumbuhan yang digunakan sebagai standar penyortiran adalah mata kayu, pingul, miring serat, retak, pecah dan berat jenis. Dalam SKI C-b0-010 (1987) memanfaatkan mata kayu, pingul, miring serat, retak, pecah, lubang gerek dan cacat gabungan dalam penyortiran kelas mutu kayu A dan B. b. Pemilahan Masinal Di Indonesia telah dikembangkan sistem masinal berupa mesin pemilah mekanis yang murah, sederhana dan mudah dioperasikan di lapangan yang disebut Mesin Pemilah Kayu Panter (Plank and Sorter). Pada dasarnya Panter menduga kekuatan kayu dengan cara mengukur defleksi untuk beban tertentu dan kemudian dikonversi dalam bentuk persamaan hubungan menjadi suatu nilai modulus elastisitas dan keteguhan lentur patahnya. Persamaan tersebut adalah MOR = 109 + 0,00301 MOEPanter (Surjokusumo dan Bachtiar, 1999). Ada 2 cara untuk mengukur tegangan yang diperkenankan pada kayu, yaitu pengujian langsung dengan menghancurkan beberapa contoh uji dan pengujian tidak langsung dengan mengukur variabel sifat kayu yang berkorelasi dengan kekuatan kayu tanpa merusaknya (non destructive test) (Surjokusumo dan Bachtiar, 2000). Beban yang diterima struktur dipengaruhi oleh tipe beban (beban mati, beban hidup, beban angin dll), sudut dan perletakan beban. Besarnya beban juga dipengaruhi oleh interaksi antar elemen dalam sistem geometri struktur yang bersangkutan. Sedangkan kapasitas sebuah struktur ditentukan oleh kombinasi antara tipe material (berkaitan dengan sifat-sifat mekanisnya), bagian-bagian dan bentuk geometri struktur (section and geometry) dan perilaku struktur dalam menerima beban (performance). Sehingga proses desain struktur dipengaruhi oleh beban, bentuk geometri, kondisi lingkungan, material dan performance dari struktur. Pertimbangan ekonomi dan estetika menjadi kendala yang perlu diperhitungkan meskipun hal ini menjadi 22
prioritas berikutnya dalam pertimbangan keamanan dan kemampuan layan dari struktur (Schodek, 1999). Suatu keadaan ketika struktur mulai mengalami ’kegagalan’ dalam memenuhi fungsinya disebut dengan limit state. Keadaan ini dicapai ketika demand sama dengan kapasitas. Ada 2 macam limit state yang dipergunakan untuk mendesain struktur, yaitu serviceability limit state dan safety limit state. Serviceability limit state berkaitan dengan kemampuan struktur dalam memberikan layanan fungsional struktur dalam menerima beban akibat penggunaan sehari-hari. Sedangkan safety limit state berkaitan dengan keamanan struktur akibat menerima beban maksimum yang mengakibatkan keruntuhan, ketidakstabilan dan kehilangan kesetimbangan. (Schodek, 1999). Serviceability limit state memberikan batasan maksimum kondisi yang masih dapat ditoleransi berkaitan dengan kegagalan fungsi layan yang menyebabkan ketidaknyamanan penggunaan atau terganggunya keindahan arsitektural. Kondisi yang dibatasi serviceability limit state antara lain vibrasi dan defleksi. Desainer menggunakan serviceability limit state untuk menyatakan performance struktur sebenarnya dalam memenuhi fungsi layan sehari-hari. Dalam mendesain, kemampuan layan sebuah struktur dapat dibuat dengan presisi cukup baik tanpa berlebihan menggunakan bahan. Sedangkan safety limit state dapat dijelaskan secara statistik mengenai probabilitas kegagalan (probability of failure) atau sebaliknya probabilitas aman (probability of survival). Dengan menggunakan statistik, dapat diduga keamanan struktur berdasarkan probabilitas yang terukur, guna mempertimbangkan margin keamanan yang rasional untuk mencegah terjadinya keruntuhan /kerusakan. Ada dua format untuk menghitung kekuatan kayu, yaitu ASD (Allowable Stress Design) dan LRFD (Load and Resistance Factor Design). 1). Format ASD (Allowable Stress Design) Format ASD merupakan format konvensional, diasumsikan tidak terdapat variabilitas beban sehingga setiap macam beban dianggap mempunyai pengaruh yang sama terhadap kayu. Tegangan ijin murni ditentukan oleh distribusi kekuatan kayu dan tidak ada distribusi beban. Konsep dasar format ASD adalah : Kd.Fx ≥ D + L, yang berarti beban hidup ditambah beban mati harus lebih kecil atau sama dengan tegangan ijin dikalikan dengan faktor lama pembebanan. Faktor lama pembebanan (Kd) dipilih 1,00 untuk lantai dan 1,25 untuk atap tanpa salju. Nilai tersebut diperoleh dengan asumsi lama pembebanan selama 10 tahun. Sedangkan tegangan ijin (Fx) merupakan kekuatan karakteristik kayu yang telah direduksi dengan faktor keamanan 23
sebagai faktor pengali, yakni sebesar 1/(2,1) untuk softwood dan 1/(2,3) untuk hardwood. Kekuatan karakteristik suatu jenis atau kelompok kayu merupakan 5 % exclution limit terhadap distribusi populasinya. Pedoman SKI C-b0-010 (1987) menerapkan metode ini dan menyajikan tabel tegangan ijin kayu konstruksi dalam 13 kelas mutu kayu yang disebut dengan TS (Tegangan Serat) 2). Format LRFD (Load and Resistance Factor Design). Format LRFD merupakan format praktis, sederhana dan siap pakai bagi masyarakat perkayuan Amerika Serikat. Dasar penggunaan analisis keterandalan dalam menentukan faktor beban (load) dan daya tahan (resistance) untuk desain struktural mengacu kepada suatu diagram keamanan struktur. Standar ASTM D 5457 (2004) mengijinkan dua cara perhitungan ketahanan referensi (reference resistance) yaitu prosedur reliability normalization dan format conversion. Reliability normalization merupakan prosedur LRFD yang dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat, sedangkan format conversion hanya mengalikan tegangan ijin (allowable stress) dalam format ASD dengan faktor konversi sebesar 2,16/ɸ. Karena itu format conversion tidak dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat. LRFD adalah metode desain struktural yang menggunakan konsep teori keterandalan dan memasukkannya ke dalam prosedur yang dapat dipakai oleh masyarakat desain. LRFD diadopsi dari metodologi Reliability Based Design (RBD), tetapi prosedur kedua desain ini berbeda cukup nyata. RBD sering menghitung kuantitas berhubungan dengan keterandalan pada kondisi dan jangka waktu tertentu. Satu masalah dalam penerapan RBD untuk aplikasi struktural adalah perhitungan yang harus mengidealisasikan beban dan respon sistem struktural dalam mereduksi beban menjadi persamaan matematika. Proses idealisasi ini sangat menarik tetapi terlalu rumit dalam praktek. LRFD dikembangkan dengan memilih sebagian konsep dasar RBD dan mengembangkan sebuah format yang mirip dengan desain ASD. LRFD memberikan perbaikan dalam proses desain dibanding ASD, yaitu : 1) Pertimbangan variabilitas macam-macam beban saat menaksir faktor-faktor keamanan. 2) Pertimbangan konsekwensi atas aneka ragam modus potensi kerusakan pada struktur. 3) Nilai keteguhan material yang terkait dengan data hasil pengujian (kapasitas elemen struktur)
24
4) Pertimbangan variabilitas keteguhan. Standar yang terbit sebelum ASTM D 5457 (2004) tentang tegangan ijin berbagai jenis produk berbahan kayu mengarahkan penggunaan ragam cara menghitung dugaan fifth percentile limits dari populasi. Angka tunggal ini menjadi dasar penetapan tegangan ijin. Sebaliknya RBD memerlukan definisi yang akurat tentang sebagian ekor bawah dari distribusi bahan dan sebagian besar ekor atas dari distribusi beban. LRFD memerlukan informasi lebih banyak seperti reference values dan variabilitas dibanding prosedur sebelumnya, namun secara substansial lebih sedikit dibanding RBD. Pengguna LRFD hanya memerlukan tipe distribusi dan parameter-parameter yang mencirikan distribusi tersebut. Pendugaan distribusi dan parameternya lebih akurat menggunakan sebagian ekor distribusi daripada seluruh distribusi, karena untuk aplikasi gedung hanya ekor bawah distribusi keteguhan dan ekor atas distribusi beban yang mungkin menyebabkan kerusakan. Simulasi menunjukkan bahwa tipe distribusi yang
diasumsikan sangat
berpengaruh dalam penghitungan faktor keteguhan LRFD. Perbedaan ini dikarenakan ketidakmampuan bentuk distribusi standar untuk mengepas/menyelaraskan ekor data dengan tepat. Dengan menstandarisasi tipe distribusi, prosedur ini memberikan nilai tengah yang konsisten untuk mendapatkan faktor-faktor yang diharapkan. Apalagi dengan mengijinkan pengepasan/penyelarasan ekor data, ini memberikan cara pengepasan/penyelarasan data dalam wilayah yang lebih superior daripada tipe distribusi lengkap. Tim pengembangan LRFD Amarika Serikat menyimpulkan bahwa (Gromala, et al., 1994) : 1) Analisis keterandalan merupakan perangkat yang sangat berguna. Namun karena variabel yang berpengaruh terhadap keterandalan elemen struktur tidak dapat dikuantifikasi, maka tidak mungkin menghitung indeks keterandalan kecuali dalam pengertian relatif. 2) Karena metode analisis atau prosedur untuk menghasilkan parameter-parameter input belum distandarisasi, maka tidak tepat untuk menganjurkan penggunaan analisis keterandalan untuk menghitung nilai desain 3) Jika sebuah standar menawarkan target indeks keterandalan yang konsisten dengan pengalaman praktis dapat dikembangkan, dan jika standar tersebut memberikan referensi yang teliti untuk perhitungan keterandalan, maka mudah untuk menggunakan analisis keterandalan dalam memperoleh faktor normalisasi yang mengarah kepada nilai desain yang digunakan. 25
Berdasarkan hal tersebut, standar spesifikasi ASTM D 5457 (2004) ini menghasilkan nilai desain dua pendekatan yaitu pendekatan format conversion dan pendekatan reliability normalization.
Kedua
pendekatan
ini dalam praktek
memberikan kepuasan dalam mencapai tujuan yang konsisten. Pendekatan reliability normalization memberikan kondisi yang teliti dan terstandarisasi sehingga indeks keterandalan dapat dicapai. 1) Format Conversion Format Conversion dilakukan untuk menghitung faktor aritmatik yang akan memberikan keadaan yang identik antara metode desain ASD dan LRFD. Untuk lenturan sederhana : ASD
: C D .F.S A = D + L
LRFD : λ.ɸ.Rn.S L = 1,2 D + 1,6 L
(5) (6)
Dimana : C D = load duration factor (ASD) λ
= time effect factor (LRFD)
ɸ = resistance factor F Rn
= allowable stress = reference stress
S A,L = section modulus req ‘d (ASD, LRFD) D,L = dead load, live load Dengan menyelesaikan kalibrasi (ditentukan S A = S L ) faktor konversi, K f adalah : (7) Untuk mengkalibrasi satu kasus pembebanan, maka dapat dipilih perbandingan beban (load ratio =L/D) dimana kalibrasi diinginkan, masukkan nilai-nilai numerik untuk parameter lain dan diselesaikan untuk mendapatkan K f. Kepuasan kalibrasi dibuat dengan memplot Kf memotong garis load ratio untuk dua beban yaitu beban lantai (occupancy) dan beban curah hujan (rain), meneliti pembebanan yang paling umum untuk tiap kasus dan memilih suatu titik yang menyeimbangkan kelebihan dalam desain lantai dengan kekurangan desain atap. Pemilihan ini dapat diterima secara spasial karena memberikan keseimbangan yang beralasan dari kasus-kasus pembebanan dan spasial karena berakibat intuisi ahli teknik berkembang bahwa floor spans cukup konservatif. Akhirnya nilai numerik yang dipilih untuk faktor konversi
26
adalah 2,16/ɸ. Rasio ini diperoleh melalui penyelesaian aljabar dari Kf untuk L/D = 3, λ = 0,80 dan K D =1,15 (Bahtiar, 2008). 2) Reliability Normalization Konversi berdasarkan keterandalan dapat dilakukan melalui prosedur standar, yaitu : a)
Pemilihan nilai indeks keterandalan (β) yang ditargetkan
b) Pemilihan variabel untuk analisis yang diteliti c)
Pemilihan kasus-kasus pembebanan yang diamati (termasuk bentuk distribusi, parameter, dan perbandingan beban).
d) Pelaksanaan analisis Ketika standar ini berkembang, pendekatan ini membutuhkan data keteguhan dalam suatu sel yang spesifik. Setiap sel membutuhkan pertimbangan keterwakilan dari sampel, teknik pengepasan distribusi yang baik dan pendugaan parameter. Permasalahan lain muncul untuk menguji validitas pengambilan data dan kebutuhan afirmasi ulang pada stabilitas populasi. Pendekatan di atas menghasilkan nilai desain untuk produk spesifik pada tata cara yang spesifik pula, namun penggunaannya dalam kontek yang berbeda sangat sulit. Metode alternatif, distandarisasikan dalam ASTM D-5457 (2004), memanfaatkan prinsip-prinsip analisis keterandalan untuk menciptakan prosedur seragam yang lebih mudah diadaptasi untuk berbagai macam produk. Metode alternatif ini menganjurkan agar β target ditetapkan untuk kondisi harapan tertentu dan analisis dilakukan hanya pada variabel primer yaitu distribusi reference resistance, beban mati dan beban hidup. Kondisi harapan ditetapkan berdasarkan statistik pembebanan spesifik. Dalam metode ini nilai reference resistance dihitung dengan mengalikan dugaan fifth percentile dari populasi dengan reliability normalization factor, KR . Rn = KR .R 05
(8)
K R merupakan perbandingan sederhana antara faktor keterandalan hasil perhitungan dengan faktor konstanta yang telah ditetapkan dalam buku pegangan desain (ɸ c , ɸ s), dan nilai K R telah ditabelkan dalam ASTM D-5457 (2004). 3. Produk Kayu Rekayasa (Engineered Wood Products) Kayu bermutu struktural adalah kayu gergajian yang dapat digunakan untuk struktur bangunan. Jadi produk kayu rekayasa bermutu struktural adalah semua material yang berbahan dasar kayu atau serat kayu yang diolah sedemikian rupa sehingga mampu 27
menjadi bahan struktur bangunan seperti papan/panel struktural, kayu lamina/laminated beam dan built up beam. APA-EWA (2002) membagi produk kayu hasil rekayasa dalam beberapa kategori, yaitu a). panel struktural termasuk kayu lapis, OSB (Oriented Strand Board) dan panel komposit, b). kayu lamina (Glued Laminated Timber), SCL (Structural Composit Lumber) dan LVL (Laminated Veneer Lumber) serta balok I (I-joist) dan c). Built up beam (portal rangka). Jenis produk komposit kayu yang termasuk kayu rekayasa adalah kayu lamina (glulam), kayu lapis (plywood), sambungan kayu dengan plat baja, balok I (wood I-joist), OSB (Oriented Strand Board), wafer board, LVL (Laminated Veneer Lumber), PSL (Parallel Strand Lumber) dan LSL (Laminated Strand Lumber) (Smulski, 1997). Pembuatan papan laminasi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan bahan konstruksi dari kayu berdiameter kecil. Uji coba pembuatan produk ini antara lain dilakukan oleh Ginoga (1998). Pada pembuatan bilah sambung dan papan sambung, kayu Mangium berkualitas baik dibawah kualitas kayu Pinus dan diatas kayu Sukun dengan menggunakan sambungan menjari (Alamsyah dan Rahman, 2002). C. Rumah Kayu Rumah kayu adalah rumah yang hampir 100 persen mulai dari lantai, dinding, sampai tiang-tiangnya terbuat dari kayu. Meskipun prinsipnya sama dengan rumah biasa, bangunan rumah kayu sebaiknya tidak langsung bersentuhan dengan tanah, agar tidak lembab dan tidak mudah diserang rayap. Lantai rumah kayu diangkat atau ditinggikan dari tanah minimal 50 cm. Bahkan untuk rumah kayu yang diangkat secara ekstrim seperti rumah panggung, di bagian bawah rumah yang lapang, bisa dijadikan garasi atau ruang servis, karena itu pondasi yang cocok untuk rumah kayu adalah pondasi setempat (umpak) (Hardjopranoto dan Suharsa, 2005). 1.
Persyaratan dan Keunggulan Rumah Kayu Sebagai Tempat Tinggal Rumah sebagai tempat tinggal harus memiliki kaidah-kaidah layak huni. Agar
bangunan memiliki keandalan, bangunan tersebut harus memenuhi aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bangunan Gedung No. 28/2002 (Sabaruddin, 2006). Manusia memerlukan rumah sebagai tempat tinggal, berlindung dari cuaca dan binatang buas, serta bertahan hidup dari bencana alam. Rumah ideal sebagai tempat tinggal harus memenuhi persyaratan antara lain : tahan cuaca, tahan organisme perusak,
28
tahan gempa, mudah dibongkar dan dipasang kembali, aman dan nyaman dihuni, estetis dan arsitektural, sehat dan ramah lingkungan (Fahutan IPB, 2005). Keunggulan Rumah Kayu adalah : (Pandey, 2006) a.
Efisien secara teknis. Pondasi diminimalisir, panel dinding tidak membebani dan dapat dikurangi ketebalannya. Komponen dasarnya (kayu, paku, baut) tidak mahal.
b.
Ramah lingkungan dan lestari. Kayu bersifat sebagai sumberdaya terbarukan dan tersedia secara komersial.
c.
Diterima secara budaya. Sistem ini menggunakan bahan tradisional pada konteks keteknikan yang modern.
d.
Tahan dan Aman. Semua komponen diawetkan secara aman terhadap kehidupan sehari-hari sehingga ramah lingkungan. Secara teknis, struktur rumah kayu tahan angin, gempa dan akibat-akibat alam lainnya
e.
Teknik perbaikan sambungan semakin baik dan sangat presisi.
f.
Konstruksi modular. Cocok untuk prefab atau pabrikasi di tempat. Semua komponen dirancang untuk prefab atau dipersiapkan di workshop.
g.
Mudah dirakit. Hanya dibutuhkan pekerjaan kayu dasar dan alat-alat pertukangan dan keahlian diperlukan untuk menangani konstruksi ini.
2.
Komponen Rumah Kayu Bangunan rumah dapat diproduksi tiap-tiap komponennya kemudian dirangkai di
lapangan yang meliputi : komponen pondasi, komponen lantai, komponen dinding, komponen langit-langit, komponen kuda-kuda, serta komponen atap (Fahutan IPB, 2005). a. Komponen Pondasi Dikenal 2 tipe pondasi, yaitu tembokan menerus dengan ketinggian lebih dari 50 cm untuk menghindari kelembaban akibat kontak langsung dengan tanah dan panggung dengan ketinggian lebih dari 50 cm, lantai kayu dengan pondasi umpak untuk menghindari genangan dan serangan rayap. b. Komponen Lantai dan Dinding Komponen lantai dan dinding pada rumah kayu, konstruksinya hampir sama. Ada 2 tipe konstruksi untuk komponen lantai dan dinding rumah kayu. Pertama, konstruksi diafragma (kotak) yang menggunakan rangka kayu sebagai komponen struktural dan plywood, panel kayu (block board, particle board, cement board, medium density fiber board, oriented strand board) atau bilik bambu sebagai lapisan penutup (sheathing). Kedua, konstruksi stress skin component dimana desain lantai dan dinding model ini
29
memanfaatkan papan-papan yang ditata membentuk sudut 45o dari vertikal dan saling tegak lurus antar komponen sebagai lapisan penutup (sheathing). Untuk menghindari timbulnya celah akibat penyusutan, maka dapat ditambahkan bingkai antar pelat. Papanpapan miring ini berfungsi estetis dan sebagai komponen struktural. c. Komponen Atap Komponen atap terdiri dari komponen kuda-kuda, langit-langit dan atap. Komponen kuda-kuda didesain menggunakan papan paku yang dapat dibongkar dan dipasang dengan cepat. Langit-langit dapat dibuat dengan mempersiapkan komponen-komponen yang dapat disambung dengan mudah, sedangkan atap dapat mempergunakan seng atau asbes. Bentuk dan bahan atap rumah kayu beragam jenisnya. Syaratnya bergaya natural dan bobotnya ringan. Bentuk atap rumah kayu berupa model standar seperti atap pelana atau perisai dan bentuk atap rumah tradisional seperti model atap rumah joglo, model lumbung Bali atau rumah adat Batak (Nurweda, 2005). 3.
Komponen Dinding Geser (Shearwall) Shearwall sebagai komponen dinding merupakan elemen vertikal pada sistem
tahanan gaya lateral (lateral force resisting) yang berfungsi menopang diafragma dan mentransfer gaya-gaya lateral ke arah pondasi. Pada bangunan dengan diafragma kayu sering digunakan dinding geser dari bata atau beton seperti halnya dinding geser dengan rangka kayu (Anonim, 2004). Sejumlah bahan sheathing dapat digunakan untuk dinding geser pada dinding rangka kayu antara lain : Panel kayu struktural seperti plywood dan oriented strand board (OSB), gypsum wallboard (drywall), fiberboard (termasuk fiber-cement panels) dan lumber sheathing (horizontal atau diagonal sheathing). Panel kayu struktural mempunyai kapasitas dinding geser yang lebih besar jika dibandingkan dengan tipe sheathing lainnya. Dinding geser kantilever dimulai dari pondasi, dibebani oleh satu atau lebih gayagaya lateral dan diagram momen serta gaya geser pada segmen dinding geser satu lantai. Apabila terdapat tambahan lantai, akan terdapat tambahan gaya-gaya lateral yang bekerja pada dinding geser masing-masing tingkat diafragma. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada waktu mendesain dinding geser (Anonim, 2004) adalah ketebalan sheathing, pemakuan dinding geser, desain chord/elemen rangka bagian samping (tarik dan tekan), desain collector/elemen rangka bagian atas dan bawah (tarik dan tekan), ketentuan angkor (ikatan ke bawah dan geser), proporsi geser panel dan defleksi.
30
Dinding geser rangka kayu yang umum adalah tipe yang menggunakan wood structural panel sheathing atau plywood siding. Wood structural panel sheathing biasanya hanya dipasang pada satu sisi dinding sebagai pelapis akhir dinding (finish wall) dan jika gaya geser desain yang dipikul lebih besar maka panel sheathing dipasang pada kedua sisi dinding geser. Apabila menggunakan ukuran dan jarak paku yang sama pada kedua sisi panel sheathing, maka shearwall mempunyai kapasitas geser yang dobel. Plywood siding dan structural wood panel siding juga dapat digunakan untuk menahan gaya-gaya pada dinding geser. Siding ini dapat dipaku langsung pada klos (stud) atau mungkin dipasang disamping gypsum sheathing yang mempunyai ketebalan 15,875 mm. Desain wood light frame shearwall dibagi menjadi 3 macam metode, yaitu metode Segmented shearwall yang mengasumsikan bahwa masing-masing dinding geser merupakan elemen kantilever, terjepit pada bagian dasar dan bagian atas bebas terdefleksi ke arah samping, metode Shearwall designed for force transfer around openings, dimana seluruh dinding termasuk bukaan berfungsi sebagai shearwall dan metode Perforated shearwall yang merupakan pengembangan semi empiris dari percobaan yang dilakukan pada shearwall (Anonim, 2005). Lumber sheathing secara ekstensif digunakan untuk wood frame shearwalls. Lumber sheathing dapat digunakan secara horizontal (straight sheathing), tetapi tipe ini relatif lemah dan fleksibel. Tipe lainnya adalah diagonal sheathing yang lebih kuat dan kaku oleh karena mempunyai sifat triangulasi seperti halnya sifat rangka batang (truss) (Anonim, 2004). IBC menyediakan metode perhitungan untuk shearwall. Defleksi yang terjadi pada shearwall adalah akibat lentur (bending), geser (shear), slip paku (nail slip) dan slip angkor (anchorage slip). Perilaku shearwall sama dengan kantilever I-beam. Chords menahan momen, analog dengan flange dari I-beam dan terjadi perpanjangan aksial dan pemendekan chords akibat adanya defleksi. Kekakuan lentur dari shearwall ada hubungannya dengan kekakuan aksial chords (Anonim, 2005). D. Rumah Prefabrikasi 1.
Definisi dan Ruang Lingkup Rumah prefabrikasi adalah rumah yang konstruksi pembangunannya cepat karena
menggunakan modul hasil fabrikasi industri (pabrik). Komponen-komponennya dibuat dan sebagian dipasang oleh pabrik (off site). Setelah semuanya siap, kemudian diangkut ke lokasi, disusun kembali dengan cepat, sehingga tinggal melengkapi utilitas (utility)
31
serta pengerjaan akhir (finishing). Keuntungannya adalah waktu konstruksi yang cepat, lingkungan pembangunan yang lebih bersih, dan biaya yang lebih terjangkau. Karena biasanya berdasar atas modul, maka keleluasaan pemilihan desainnya terbatas pada apa yang telah tersedia (Roychansyah, 2006). Kayu adalah salah satu bahan bangunan yang sangat baik untuk konstruksi rumah prefabrikasi, karena kekuatannya yang tinggi, ringan, mudah didapat, mudah dikerjakan dan dapat diperbaharui. Cara membangun rumah dengan cepat ialah dengan cara prefabrikasi, yaitu pembuatan bagian-bagian rumah di dalam pabrik dan kemudian dipasang di tempat. Pekerjaan-pekerjaan sebagian besar dilaksanakan dalam pabrik sehingga tidak tergantung pada iklim, kondisi pekerjaan lebih baik, produksi lebih cepat, mudah dan baik. Prefabrikasi adalah seluruh bagian rumah diproduksi secara presisi di workshop (bengkel) sebelum dipasang (Kamil, 1970). Sebelumnya rumah prefabrikasi hanya mengandung terminologi: material terbatas, masal dan hibrid pada suatu lokasi, moduler, panel, pabrikan (manufactured), dengan sistem semi-fix (pre-engineered system). Di Eropa dan Jepang rumah prefab didefinisikan sebagai rumah dengan modul tertentu dan dibangun layaknya rumah biasa (dari satu lantai sampai low rise house) yang dikenal sebagai dwellhouse prefab dan menjadi bagian dari budaya berumah di negara tersebut. Rumah prefab menjadi pilihan karena kecepatan pembangunannya dan terjangkau. Kayu banyak digunakan sebagai pilihan utama material bangunan karena sifat fleksibilitasnya (Roychansyah, 2006). Di Amerika dan Canada, rumah prefab dikenal sebagai manufactured house yang bertumpu pada struktur baja, mengikuti mobile home atau caravan sebagai rumah dinamis (portable house prefab). Proses produksi manufactured house 85% diselesaikan di dalam pabrik, atau masih dibedakan dengan modular house sebagai rumah prefab. Bermula dari kayu, saat ini material bangunan untuk rumah prefab sudah sangat beragam, seperti beton pracetak (precast concrete), baja ringan (light gauge-steel), kayu lapis (timber framed) dan beragam materi mutakhir lainnya. Dari produksi masal, saat ini masyarakat bisa memilih rumah-rumah prefab itu secara individu dengan hanya memilih desain di katalog atau ruang pamer (housing plaza) dan beberapa modifikasi yang dimungkinkan. Rumah akan berdiri dalam waktu pengerjaan (construction time) tak lebih dari sebulan setelah semua syarat (termasuk tanah) tersedia. Rumah kayu identik dengan rumah knockdown yang bisa dibongkar pasang. Padahal rumah kayu banyak yang permanen, walaupun di lokasi pembangunan komponen rumah seperti dinding, lantai, dan atap, umumnya tinggal dipasang. Knockdown adalah 32
bila diperlukan, rumah bisa dibongkar dan dipasang kembali di tempat berbeda, tanpa ada bagian yang rusak dan harus diganti (Hardjopranoto dan Suharsa, 2005). Pemasangan dengan sistem knockdown diikat pasak, mur-baut, paku dan sebagainya. Pemasangan tidak butuh tenaga ahli. Dengan buku manual, tukang biasa bisa melakukannya. Rumah prefab memakai komponen panel papan sebagai elemen struktur. Dengan komponen tersebut dapat membentuk struktur mulai dari pondasi, sloof, kolom, balok dan kuda-kuda, bahkan panel struktur ini dapat berfungsi untuk tiang pagar, drainase, carport dan tangga opsional. Bila ada panel yang rusak, bagian yang rusak dapat diganti secara parsial seperti suku cadang mobil (Puslitbangkim, 2006). Sementara dinding pengisi, penutup lantai dan atap, pintu dan jendela disesuaikan dengan modul rumah yang akan dikembangkan, bisa terbuat dari plywood, panel kayu (block board, particle board, cement board, medium density fiber board, oriented strand board) atau bilik bambu untuk lantai dan dindingnya. 2.
Sistem Pembangunan Rumah Prefab Di Indonesia sistem panel dengan komponen yang kecil adalah yang paling sesuai.
Ukuran panel ini lebarnya 1 – 1,20 m, dengan tinggi 2,20 – 2,40 m. Tinggi ini merupakan minimum tinggi plafon dan dapat ditinggikan menurut kebutuhan dengan tidak perlu merubah ukuran komponen itu. Maka dapat dibuat komponen-komponen dinding luar, dinding dalam, dinding dengan jendelanya dan komponen kusen pintu dengan daun pintunya. Keuntungan cara ini adalah bahwa dalam pemasangan tidak perlu memberikan tanda-tanda pada komponen-komponen itu, sehingga tidak membuang waktu untuk mencari nomer atau tanda-tanda lainnya (Kamil, 1970). Dalam penggergajian kayu, dolog dan balok dijadikan papan-papan, regel (plate) dan ukuran lain yang diperlukan. Ukuran kayu, terutama mengenai tebalnya telah diatur sedemikian rupa sehingga sedikit mungkin adanya variasi yaitu hanya 2,5 dan 5,5 cm. Sedangkan lebarnya adalah 11, 16, 20, dan 25 cm. Lain-lain ukuran yang lebih kecil dapat diatur kemudian dalam proses selanjutnya. Untuk rumah yang tidak bertingkat, maka kap konstruksi dengan sistem kudakuda papan paku adalah yang paling sesuai dengan prefab. Titik berat rumah prefabrikasi adalah pembuatan dinding-dinding berikut jendela dan pintu yang dapat dipasang dengan cepat dan pemasangan kap dengan mempergunakan sistem kuda-kuda papan paku.
33
3.
Keunggulan Rumah Kayu Prefab Kayu sebagai bahan bangunan sesuai untuk prefabrikasi karena ringan, daya
hantar kecil terhadap panas/dingin, kekuatan yang tinggi, dan mudah mengerjakannya sehingga berbagai cara sambungan dapat dilakukan dengan alat yang sederhana. Keunggulan Rumah Kayu Prefab (Fahutan IPB, 2005 dan Puslitbangkim, 2006) a. Ramah lingkungan dan awet (tahan rayap dan pelapukan). b. Konstruksi sederhana dan fleksibilitas desain tinggi, tergantung kreatifitas arsiteknya. c. Konstruksi bangunan kuat tetapi komponennya ringan dan kokoh (tahan gempa dan banjir/tsunami). d. Knockdown dan dapat dipindahkan. e. Cocok untuk teknologi di pedesaan dan mengakomodasi potensi lokal (budaya dan bahan bangunannya) f. Dapat dipasang di atas rakit dan pondasi umpak. g. Merupakan rumah tumbuh, secara horisontal dan vertikal h. Pembangunan bertahap dan pemasangan sangat cepat i.
Komponen dapat diproduksi secara home industri sehingga murah dan terjangkau.
j.
Dapat digunakan untuk bangunan umum dan fasilitas sosial Kendalanya adalah bahwa industri perumahan prefab perlu modal besar untuk
pabrik dan minim variasi desain dengan tipe-tipe rumah yang seragam. E. Bangunan Tahan Gempa 1.
Prinsip Dasar Bangunan Tahan Gempa. Prinsip dasar bangunan tahan gempa adalah setiap komponen-komponen
bangunan harus terikat dengan kuat satu dengan yang lainnya. Ikatan tersebut mulai dari fondasi dengan sloof, sloof dengan kolom praktis, kolom praktis dengan ring balok, dan ring balok dengan rangka kuda-kuda. Demikian juga pada bagian pengisi bahwa dinding harus terikat dengan rangka kolom praktis, kusen pintu dan jendela harus terikat dengan dinding. Selain konstruksi yang benar, faktor kualitas bahan juga mendukung karena pemilihan bahan yang kurang baik akan mengurangi kekuatan bangunan, terutama pada ikatan-ikatan (Sabaruddin, 2006). Merencanakan bangunan tahan gempa untuk mencegah dan mengurangi timbulnya korban jiwa, kerugian harta benda, melindungi manusia dari luka-luka dan kerusakan bangunan. Pada dasarnya tidak ada rumah yang dapat dikatakan tahan seluruhnya terhadap gempa bumi. Istilah tahan gempa dimaksudkan paling tidak
34
mengurangi resiko akibat gempa. Nilai resiko gempa pada bangunan menggambarkan besarnya kerusakan atau jumlah biaya untuk memperbaiki kerusakan yang diperkirakan akan terjadi selama berdirinya bangunan tersebut. Mutu perencanaan, bahan bangunan dan mutu konstruksi bangunan berperan dalam pelaksanaan bangunan tahan gempa. 2.
Kaidah–kaidah Bangunan Tahan Gempa Bangunan tahan gempa memiliki tiga kaidah yaitu (Puslitbangkim, 2006) :
a.
Bila terjadi gempa ringan bangunan tidak akan mengalami kerusakan baik pada elemen struktur (kolom, balok, atap, dinding dan pondasi) maupun pada elemen nonstruktur (genteng dan kaca).
b.
Bila terjadi gempa berkekuatan sedang, bangunan bisa mengalami kerusakan hanya pada elemen non-struktur. Sedangkan elemen strukturnya tidak rusak.
c.
Bila terjadi gempa berkekuatan besar, bangunan bisa mengalami kerusakan, baik pada elemen struktur maupun elemen non-strukturnya. Namun, kedua elemen tersebut tidak boleh membahayakan penghuni yang ada di dalam bangunan. Penghuni harus mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri sebelum bangunannya runtuh. Pada saat terjadi gempa, struktur bangunan gedung tidak boleh mengalami
kerusakan struktural namun dapat mengalami kerusakan non-struktural ringan ketika terjadi gempa sedang. Akibat gempa kuat, struktur bangunan gedung dapat mengalami kerusakan struktural yang berat namun tetap dapat berdiri sehingga korban jiwa dapat dihindarkan (SNI 03-1726, 2002) . Puslitbangkim memiliki model rumah sederhana tahan gempa bernama RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat) dan diaplikasikan di Sukabumi, Nabire, Aceh dan Klaten. Juga ada Smart Modula hasil Inovasi Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Solo yang mengusung konsep pengembangan rumah tradisional nenek moyang dengan pondasi umpak. Dinding dirancang tidak untuk menahan beban karena beban ditahan melalui pembuatan stuktur kolom dan pilar yang mampu menahan goncangan gempa hingga kekuatan 8,3 skala Richter. Kedua model rumah tahan gempa ini memiliki konsep yang sama, yaitu model rumah sederhana tahan gempa yang menganut sistem knockdown, fleksibel dan sebagian besar bahan dibuat melalui proses prefabrikasi (Faizal, 2006).
35
F. Desain Rumah 1. Definisi dan Konsep Desain Rumah Modular Penggunaan sistem modular mengarah pada sistem penggunaan komponen berupa modul-modul yang seragam yang berfungsi memberikan kemudahan dan percepatan dalam pelaksanaan pembangunan. Maka diharapkan akan menghemat tenaga kerja, biaya, bahan dan waktu tanpa mengurangi kualitas bangunan sehingga dapat menekan harga per m2 bangunan yang berdampak murahnya harga satu satuan unit rumah. Konsep dasar sistem desain rumah modular ini meliputi beberapa hal berikut : a.
Efisiensi bahan bangunan, melalui penerapan koordinasi modular
b.
Kecepatan kerja pembangunan yang tinggi
c.
Efisiensi penggunaan lahan/orang pada bangunan
d.
Teknologi pembangunan yang masih labour intensive
e.
Biaya pemeliharaan yang murah
f.
Bangunan harus hemat energi
g.
Kenyaman huni yang cukup tinggi
h.
Bangunan mendukung komunikasi penghuni yang akrab. Pelaksanaan struktur bangunan, sebagai kerangka bangunan harus dapat
memberikan kontribusi bagi penurunan harga biaya bangunan. Sistem Struktur Kerangka yang open system dipergunakan untuk menampung beberapa bentuk komponen yang telah sesuai dengan Standar Koordinasi Modular sehingga bangunan mempunyai fleksibilitas yang tinggi. Sistem Pelaksanaan/Ereksi Struktur di lapangan dipergunakan sistem membangun di tempat sehingga masih bersifat labour intensive 2. Modul Sistem panel dengan komponen berukuran lebar 1,20 m dan tinggi 2,40 m sesuai dengan kondisi di Indonesia. Melalui komponen-komponennya, modul ruang yang dapat dibentuk adalah 2,40 x 2,40 ; 2,40 x 3,60 ; 3,60 x 3,60 dan 3,60 x 4,80 untuk bangunan satu dan dua lantai dan tidak ada batas luas bangunan, pengembangan luas bangunan berdasarkan kelipatan ukuran lebar panel 1,20 m, sehingga disebut rumah tumbuh, baik vertikal maupun horizontal (Kamil, 1970). Bentuk rumah bisa satu lantai, dua lantai, atau rumah panggung. Meski teknologinya sederhana, rumah ini sangat layak huni. Tinggal menyesuaikan bahan dan finishingnya. Gaya arsitekturnya bisa apa saja, termasuk gaya tradisional atau minimalis.
36