EFEK TOKSIKOPATOLOGI EKSTRAK KULIT KAYU MANGIUM (Acacia mangium) PADA MENCIT (Mus musculus)
TANIA MUTIARA B04110148
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efek Toksikopatologi Ekstrak Kulit Kayu Mangium (Acacia mangium) pada Mencit (Mus musculus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2015 Tania Mutiara NIM B04110148
ABSTRAK TANIA MUTIARA. Efek Toksikopatologi Ekstrak Kulit Kayu Mangium (Acacia mangium) pada Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan RITA KARTIKA SARI. Dalam mengatasi penyakit yang disebabkan oleh aktivitas radikal bebas, antioksidan alami kini mulai banyak digunakan. Mangium (Acacia mangium) diketahui memiliki aktivitas antioksidan dalam uji in vitro, namun penggunaannya secara in vivo perlu diuji keamanannya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa efek toksikopatologi pada sel-sel organ hati dan ginjal mencit pada pemberian ekstrak kuli kayu mangium. Penelitian ini menggunakan 6 ekor mencit yang dibagi ke dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Perlakuan diberikan sekali sehari selama 7 hari. Mencit dinekropsi dan diambil organ hati dan ginjal untuk dibuat preparat histopatologi. Parameter yang diamati adalah jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis pada sel hati di daerah segitiga Kiernan dan vena centralis serta sel epitel tubulus proksimal ginjal. Data dianalisis menggunakan uji ANOVA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit kayu mangium menimbulkan kerusakan yang bersifat ringan dan reversible pada sel hati dan ginjal mencit. Efek toksik pada hati dan ginjal mencit bisa dihindari dengan penggunaan pada dosis dan jangka penggunaan yang terbatas. Kata kunci: Acacia mangium, ginjal, hati, kulit kayu, toksikopatologi
ABSTRACT Toxicopathology Effect of Mangium (Acacia mangium) Tree Bark in Mice (Mus musculus). Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and RITA KARTIKA SARI. Today‘s lifestyle is triggering a lot of free radical related disease. To overcome the problem, the usage of natural antioxidant is escalating. Acacia mangium (mangium) is known to have antioxidant activity, yet the safety of this substance in human‘s body is not known. The purpose of this study is to analyze the toxicopathology effect of mangium tree bark in liver and kidney cells of mice. The study used 6 mice divided into control group and treatment group. The treatment was given once a day for a week. The liver and kidney of mice then are taken to be processed into histopathology slides. Observed parameters are the quantity of organ cells developing hydropic degeneration, fat degeneration, and necrosis. The data was analyzed statistically by ANOVA and Duncan method. The result show that the extract of mangium‘s tree bark produce light and reversible damages to the cell organs. The toxic effect in mice‘s liver and kidney can be avoided by limited usage and dose. Keywords: Acacia mangium, kidney, liver, toxicopathology, tree bark
EFEK TOKSIKOPATOLOGI EKSTRAK KULIT KAYU MANGIUM (Acacia mangium) PADA MENCIT (Mus musculus)
TANIA MUTIARA B04110148
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA
Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas segala karunia-Nya karya ilmiah ini dapat selesai. Karya ilmiah ini berjudul ―Efek Toksikopatologi Ekstrak Kulit Kayu Mangium (Acacia mangium) pada Mencit (Mus musculus)‖ yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 sampai dengan Juni 2015. Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet selaku pembimbing I dan Ibu Dr Ir Rita Kartika Sari, MSi selaku pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan adik atas kasih sayang, dukungan, dan doa selama ini. Penghargaan turut penulis sampaikan kepada terutama Laboratorium Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) atas bantuan selama ini. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Selma Anggita FKH 48 dan Rizky Rosilia THH 47 yang telah membantu selama penelitian, serta temanteman Ganglion FKH 48. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2015
Tania Mutiara
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
10
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
7
Waktu dan tempat penelitian
7
Bahan dan alat
7
Prosedur
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Tingkah laku, rambut, nafsu makan, dan bobot mencit
11
Hati
12
Ginjal
13
SIMPULAN DAN SARAN
14
Simpulan
14
Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
17
RIWAYAT HIDUP
21
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Konsumsi pakan dan perubahan bobot mencit dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan selama 7 hari pemberian ekstrak Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami lesi pada segitiga Kiernan Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami lesi pada vena centralis Rerata jumlah sel epitel tubulus yang mengalami lesi pada ginjal
11 12 13 13
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Kayu mangium Alur penelitian Histopatologi sel hati di daerah segitiga Kiernan Histopatologi sel hati di daerah vena centralis Histopatologi sel epitel tubulus proksimal ginjal
4 8 9 10 10
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Sertifikat Persetujuan Etik Hewan Hasil perhitungan statistik
17 18
PENDAHULUAN
Latar Belakang Akhir-akhir ini manusia banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet maupun pewarna. Perilaku konsumsi semacam ini menimbulkan berbagai penyakit, yang salah satunya disebabkan oleh adanya reaktivitas radikal bebas di lingkungan manusia (Murningsih 2012). Reaktivitas tersebut dapat dihambat oleh adanya antioksidan. Antioksidan alami kini mulai banyak digunakan karena sifat karsinogeniknya lebih rendah dibandingkan antioksidan sintetik (Amarowicz et al. 2000). Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, Indonesia memiliki banyak tanaman yang memiliki potensi sebagai antioksidan alami. Salah satu jenis tumbuhan yang mengandung antioksidan adalah mangium (Acacia mangium). Menurut Yuniarti (2008), mangium mengandung senyawa bioaktif dengan aktivitas biologi yang tinggi seperti antioksidan, antifungal, dan antibakteri. Berdasar hasil penelitian Sari et al. (2013), ekstrak metanol daun dan kulit akasia memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dengan nilai effective concentration 50% (EC50) 27 ppm dan 7 ppm. Potensi antioksidan dari ekstrak kulit mangium dengan berbagai konsentrasi etanol dapat diketahui dari pengujian secara in vitro dan in vivo. Pengujian secara in vitro telah dilakukan dengan mendeteksi kemampuan ekstrak dalam menurunkan radikal bebas 1,2-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), sementara uji in vivo dilakukan terhadap mencit (Mus musculus). Menurut Iannaccone dan Jacob (2009) mencit memiliki kondisi fisiologis yang mirip dengan manusia, sehingga mencit digunakan sebagai hewan coba. Hasil positif diberikan oleh ekstrak etanol 30% dengan dosis 0.56 mg/ kg BB (Rosilia 2014). Menurut Peraturan Kepala Bidang Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia nomor 13 tahun 2014 tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal, uji non klinik diperlukan sebagai langkah awal uji klinik obat herbal. Pengujian terhadap keamanan konsumsi mangium belum dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan analisa terhadap efek toksikopatologi mangium terhadap tubuh.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menganalisa efek toksikopatologi pada sel-sel organ hati dan ginjal mencit pada pemberian ekstrak kayu mangium yang berkhasiat antioksidan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek toksik dari ekstrak kulit mangium sebagai antioksidan.
2
TINJAUAN PUSTAKA Pengujian Antioksidan Pengujian antioksidan dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Pengujian in vitro metode DPPH mendeteksi molekul DPPH yang merupakan radikal bebas stabil berdasarkan delokalisasi elektron bebas (Alam et al. 2012). Aktivitas antioksidan ditentukan dengan menghitung persen penangkapan radikal bebas DPPH menggunakan elektrofotometer. Pengujian antioksidan secara in vivo menggunakan pengukuran langsung terhadap komponen sistem tubuh hewan coba seperti glutation, tokoferol, askorbat, pengukuran stress oksidatif, dan pengukuran produk atau komponen indikator kerusakan oksidatif seperti hidroperoksida (Papas 1999). Sampel yang digunakan adalah cairan dan jaringan biologis seperti urin, air mata, cairan serebrospinal, plasma, eritrosit, dan serum dari darah hewan percobaan (Niki 2010). Aktivitas antioksidan in vivo diukur misalnya dari kemampuan plasma dalam mereduksi ferric, estimasi glutation tereduksi, dan pengukuran enzimenzim seperti glutathione-S-transferase (GSt), superoxide dismutase (SOD), dan katalase (Alam et al 2012). Salah satu uji antioksidan yang dilakukan secara in vivo adalah uji deteksi kadar malondialdehyde (MDA) yang menggunakan serum darah dari mencit. MDA adalah produk akhir dari peroksidasi lipid yang bereaksi dengan protein dan asam amino serta merupakan produk yang paling sering diukur (Jones dan Kubow 2006). Akumulasi MDA menyebabkan hemolisis, penurunan integritas membran protein sitoskeletal, kebocoran potassium, dan deformitas selular (Stern 1985). Produksi MDA terjadi mendahului onset hemolisis pada sel darah merah yang terpapar agen oksidatif. Kadar MDA yang tinggi di dalam darah menandakan aktivitas radikal bebas yang tinggi dalam tubuh.
Persyaratan Penggunaan Herba Sebagai Suplemen/ Obat Bagi Manusia
Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia (2004), obat bahan alam Indonesia adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia, yang berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat dibagi menjadi jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor 13 tahun 2014 tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal, tahaptahap uji pada obat herbal meliputi klaim kegunaan, uji non klinik yang dilakukan pada hewan, serta uji klinik yang dilakukan pada manusia dan terdiri dari 4 tahap. Obat herbal yang akan diuji klinik memerlukan adanya data uji toksisitas dan minimal diperlukan data LD50. Uji klinik obat herbal harus
3 memberikan manfaat nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan masyarakat, mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik, mendapatkan persetujuan atau menyampaikan notifikasi kepada Kepala Badan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 9 tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik, dan mengacu pada Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik dan Pedoman Uji Klinik Obat Herbal (2014).
Toksikopatologi Toksikopatologi, atau juga disebut sebagai patologi toksikologis, dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perubahan sel, jaringan, dan organ yang diinduksi oleh toksikan, toksin, dan agen fisik serta mekanisme atas munculnya perubahan-perubahan tersebut. Dari informasi yang diperoleh, dilakukan perkembangan dari pengujian risiko dan kebijakan pengendalian risiko (Rousseaux 2005). Patologi toksikologis utamanya mempelajari efek morfologis dan struktural akibat toksikan serta mekanisme kejadian efek struktural tersebut (Rousseaux 2005). Perubahan patologis yang terjadi bisa diamati di organ yang terekspos oleh zat toksik. Pengamatan patologi hati dan ginjal dilakukan terhadap zat toksik yang dikonsumsi secara oral. Drug-induced hepatotoxicity adalah kerusakan hati yang diinduksi oleh obat-obatan, dan mencakup perubahan ringan pada hasil uji fungsi hati hingga kegagalan fungsi hati. Kebanyakan kasus drug-induced hepatotoxicity melibatkan transformasi dari obat asal menjadi zat perantara aktif yang berisfat toksik atau memicu respons imun (Helms dan Quan 2006). Beberapa produk herbal dan teh telah diimplikasikan dalam beberapa kasus hepatotoksisitas yang parah. Drug-induced nephrotoxicity adalah kerusakan organ ginjal akibat obatobatan yang bervariasi tergantung konsentrasi obat yang terpapar pada ginjal. Terdapat empat lesio yang digunakan untuk mendeskripsikan kerusakan ginjal akibat penggunaan obat yaitu acute tubular necrosis (ATN), acute tubulointerstitial disease (ATID), chronic tubulointerstitial disease (CTID), dan glomerulonephritis (GN) (Helms dan Quan 2006).
Mangium Mangium adalah pohon yang cepat pertumbuhannya dan paling umum digunakan dalam program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik (Krisnawati et al. 2011). Pohon ini memiliki kualitas kayu yang baik dan kemampuan toleransi yang tinggi terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan (National Research Council 1983 dalam Krisnawati et al. 2011).
4 Mangium memiliki akar tunggal dan tingginya mencapai 30 meter dengan diameter hingga 90 cm. Mangium tumbuh di dataran rendah tropis lembab dengan ketinggian 9-800 meter di atas permukaan laut dan temperatur 18-28 oC, serta merupakan tumbuhan asli di Australia, Indonesia, dan Papua Nugini. Di Indonesia, Mangium terdapat di Kepulauan Aru, Irian Jaya, Seram, dan Kepulauan Sula (Orwa et al. 2009). Menurut Krisnawati et al. (2011), kayu mangium dapat digunakan untuk pulp, kertas, papan partikel, krat, kepingan kayu, kayu penggergajian, molding, mebel, vinir, dan kayu bakar serta arang. Daun mangium dapat digunakan sebagai pakan ternak, sementara cabang dan daun keringnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Serbuk gergaji mangium dapat digunakan sebagai substrat berkualitas tinggi untuk produksi jamur konsumsi. Penggunaan non kayu mangium adalah bahan perekat dan produksi madu.
Gambar 1: Pohon mangium (kanan), buah dan daun mangium (kiri) Sumber: PIER (2013) Menurut Wina et al. (2010), antioksidan yang terkandung dalam ekstrak kulit kayu mangium adalah tanin. Tanin adalah senyawa fenolik yang memiliki berat molekul tinggi dan mengandung cukup gugus hidroksil dan gugus lain yang cocok untuk membentuk kompleks kuat dengan protein dan makromolekul lain (Hoffman 2003).
Hati Hati adalah kelenjar terbesar di dalam tubuh yang terletak di bagian teratas rongga abdomen di sebelah kanan diafragma. Fungsi hati berkaitan dengan metabolisme tubuh, kandungan zat-zat normal darah, pembentukan ureum, penyerapan bilirubin, dan detoksikasi. Fungsi detoksikasi hati menjadi sangat penting dalam mengamankan racun yang ada di dalam tubuh agar tidak tejadi keracunan (Pearce 2009). Aliran darah kaya nutrisi masuk ke hati melalui vena portal, sementara aliran darah kaya oksigen masuk melalui arteri hepatica (Colnot dan Perret 2011). Vena portal berfungsi mengumpulkan darah dari daerah mesenterika dan limpa, sementara arteri hepatica mengumpulkan darah dari daerah coeliac (Indu 2012).
5 Vena portal dan arteri hepatica merupakan bagian dari segitiga Kiernan (portal triad) bersama dengan saluran empedu intralobuler yang mengalirkan cairan empedu. Darah mengalir dari vena portal dan arteri hepatica ke vena sentrilobuler. Fungsi metabolisme dilakukan oleh hepatosit yang tersebar dari segitiga Kiernan ke venule hepatic (Colnot dan Perret 2011). Hasil metabolisme dan produk sel hati serta CO2 dikeluarkan melalui vena centralis (Indu 2012). Zonasi hati pertama kali diperkenalkan oleh Jungermann pada 1996 yang mendemonstrasikan perbedaan fungsi hepatosit berdasarkan posisinya mengikuti porto-central axis dari lempeng sel hati. Zona 1 mengelilingi segitiga Kiernan dan berhubungan dengan aliran darah aferen, serta berfungsi dalam metabolisme glukosa, metabolisme lipid berupa degradasi asam lemak, katabolisme histidin dan serin, serta detoksifikasi amonia. Zona 3 berada di dekat vena sentrilobular dan berhubungan dengan aliran darah keluar, serta berfungsi dalam metabolisme obat dan xenobiotic, metabolisme lipid berupa lipogenesis, pembentukan empedu dari kolesterol, metabolisme beberapa asam amino, serta sintesis glutamin. Zona 2 berada di antara zona 1 dan 3 (Colnot dan Perret 2011). Sesuai dengan zona dan fungsi selnya, kerusakan sel hati di antaranya adalah degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis. Sel hati yang menderita degenerasi hidropis tampak membengkak (distensi) dengan bagian yang kosong (vakuola) di dalam sitoplasma, bahkan terkadang mengisi seluruh sitoplasma, dan sel tampak menggelembung. Nukleus tetap terdapat di tengah-tengah sel (Gopinath dan Mowat 2014). Degenerasi hidropis sel hati adalah edema osmotik sel akibat kerusakan homeostasis energi hepatoseluler dan perubahan permeabilitas membran sel. Perubahan ini mempengaruhi pompa ion yang terdapat di dalam membrane sel sehingga terjadi influks air dan sodium (Dancygier 2010). Hilangnya integritas membran memicu akumulasi cairan di dalam sel. Sel yang menderita degenerasi hidropis sering berada dekat dengan area nekrosis. Perubahan ini bersifat reversible, namun bisa meningkat ke arah nekrosis (Gopinath dan Mowat 2014). Sel hati yang menderita degenerasi lemak sering ditemukan pada rodensia. Keberadaan lemak periportal adalah hal yang normal pada mencit betina. Degenerasi lemak (steatosis) disebabkan oleh kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan DNA pada mitokondria; penghambatan enzim oksidasi β dan replikasi DNA mitokondrial; dan penghambatan, koenzim A yang memicu munculnya neurotoksin 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydro- pyridine (MPTP). Akibatnya asam lemak tidak diproses dengan baik oleh mitokondria dan sebagian besar diesterifikasi menjadi trigliserida. Terjadi peningkatan residu asam lemak yang tidak teresterifikasi dan penumpukan trigliserida sebagai vesikel kecil di dalam sel (Pessayre et al. 2001). Vakuolisasi sering muncul di daerah sentrilobular dan periportal serta jarang di daerah midzonal atau secara difus. Perubahan yang terjadi secara ekstensif menggeser nukleus ke tepi. Perubahan ini bersifat reversible (bisa kembali ke keadaan sehat), namun bila terjadi secara parah dan persisten dapat memicu nekrosis, fibrosis, inflamasi, hiperplasia nodular, dan defisiensi kolin (Gopinath dan Mowat 2014). Kematian sel hati yang masih melekat pada jaringan parenkim normal disebut nekrosis. Secara umum nekrosis pada hati bersifat koagulatif dan terdistribusi berdasarkan zona. Walaupun ada banyak teori mengenai nekrosis, kejadian patogenetik yang sangat penting adalah kerusakan mitokondria yang
6 diikuti penurunan fosforilasi oksidatif, penurunan ATP, kehilangan hemostasis energi, dan peningkatan permeabilitas membran plasma. Peningkatan influks ion Ca++ mengaktifkan hidrolase degradatif seperti protease, fosfolipase, dan endonuklease yang memperparah kerusakan membran plasma. Dalam kehadiran oksigen, terjadi peroksidasi lipid yang semakin merusak membran plasma dan mengganggu hubungan sitoskeleton dan membran plasma. Akibatnya integritas membran sel hilang, terjadi akumulasi kalsium intraseluler, serta terjadi kematian sel (Dancygier 2010). Zona yang nekrosis mengalami kehilangan glikogen dan peningkatan plasma enzim liver-specific. Bila kerusakan yang terjadi bersifat ringan atau zonal, perbaikan berupa regenerasi terjadi dengan cepat sehingga tidak terjadi pembentukan luka. Pada kasus yang parah zona yang nekrotik bergabung dengan lobulus yang berdekatan, membentuk bridging necrosis (Gopinath dan Mowat 2014). Kerusakan akibat hepatotoksisitas herbal berupa zonal/ bridging necrosis, fibrosis, steatosis, dan venooclusice disease (VOD) atau sekarang dikenal sebagai sinusoidal obstructive syndrome (SOS) (Boyer et al. 2012).
Ginjal Ginjal adalah organ berbentuk kacang dan berjumlah sepasang yang berada di daerah abdomen. Ginjal adalah organ utama yang mensekresi zat yang larut dalam cairan yang tidak direabsorpsi di saluran pencernaan, dan sebagian besar ekskresi obat dilakukan oleh filtrasi ginjal (Le 2014). Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan produk buangan terutama urea dan mengatur keseimbangan air, elektrolit, serta asam dalam tubuh. Glomerulus adalah unit filtrasi dari ginjal yang terdiri atas beberapa kumparan. Darah masuk ke glomerulus melalui arteriol afferent, sehingga glomerulus adalah bagian ginjal yang pertama terpapar oleh zat toksik. Menurut Le (2014) filtrasi ginjal oleh glomerulus berperan utama dalam ekskresi obat. Metabolit obat yang sebagian besar bersifat polar tidak bisa berdifusi kembali ke sirkulasi dan dieksresi menggunakan mekanisme transport yang spesifik untuk reabsorbsi senyawa polar. Tubulus proksimal berperan penting dalam mengeliminasi banyak obat melalui proses sekresi aktif tubulus (Le 2014). Proses ini bergantung pada energi, dan mungkin dihentikan oleh inhibitor metabolik. Saat konsentrasi obat tinggi, tranportasi sekretoris bisa mencapai batas tertinggi (transport maksimum). Sebagian besar obat yang bersifat nefrotoksik menyebabkan kerusakan melalui perubahan hemodinamika glomerular, inflamasi, toksisitas sel tubular, crystal nephropathy, rhabdomyolisis, dan thrombotic microangiopathy (Naughton 2008). Kerusakan ginjal sering bersifat reversible bila obat yang berpengaruh dihentikan. Peradangan oleh obat menyebabkan perubahan pada glomerulus, sel tubulus, dan jaringan interstitial, serta menyebabkan fibrosis dan kerusakan pada ginjal (Naughton 2008). Sel tubulus renal, terutama sel tubulus proksimal, rentan terhadap efek toksik obat akibat peran mereka dalam memekatkan dan mereabsorpsi filtrat glomerular yang mengandung konsentrasi toksin tersirkulasi
7 yang tinggi. Menurut Gupta (2012), kerusakan pada daerah tubular adalah pola yang paling umum ditemukan pada kasus cedera ginjal oleh zat toksik, sementara bagian yang paling terpengaruh zat nefrotoksik adalah tubulus proksimal. Kerusakan tubulus proksimal bisa disebabkan oleh kerusakan langsung oleh toksikan, aktivasi metabolik dari toksikan, dan gangguan endotel atau membran basal secara ischemic-reperfusion, fisika, maupun kimiawi. Hal ini terjadi akibat kerusakan fungsi mitokondria sehingga mengganggu proses transportasi tubular, meningkatkan stress oksidatif, atau membentuk radikal bebas (Naughton 2008).
METODE Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dimulai dengan pengajuan proposal ke Komisi Etik Hewan. Hasil scan Sertifikat Persetujuan Etik Hewan (SKEH) dengan nomor 033/KEH/SKE/IV/2015 dikeluarkan pada 20 April 2015 terlampir (Lampiran 1). Penelitian ini dilakukan bulan Maret- Juni 2015. Penelitian toksikopatologi berupa penghitungan derajat kerusakan sel organ hati dan ginjal dilakukan di laboratorium Divisi Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan kimia yang digunakan adalah ekstrak kulit kayu mangium dengan konsentrasi 30%, mencit putih jantan berumur 2 bulan, pakan mencit produksi PT Charoen Popkhand, blok parafin, xylol, etanol absolut, etanol 90%, etanol 80%, larutan hematoksilin, larutan pembiru, air keran, dan larutan eosin. Alat-alat yang digunakan adalah kandang mencit, alat sonde lambung, peralatan gelas (gelas piala, gelas ukur, pipet, cawan petri), peralatan bedah minor, syringe, jarum suntik, tabung eppendorf, mikrotom, mikroskop, dan komputer.
8 Prosedur Analisis Data Prosedur analisis data yang dilakukan terbagi menjadi tiga bagian yaitu uji pendahuluan, pembuatan preparat, dan analisis data. Alur prosedur dapat dilihat di Gambar 2.
Gambar 2: Alur penelitian
Uji Pendahuluan Mencit putih jantan (Mus musculus) berumur 2—3 bulan dengan berat berkisar 20-30 g per ekor diadaptasi selama 2 minggu sebelum dilakukan pengujian. Menurut OECD (2001) dalam setiap langkah uji toksisitas akut bisa digunakan 3 ekor hewan coba. Mencit berasal dari BP POM. Adaptasi mencit dilakukan pada kandang plastik ukuran (30 x 20 x 10) cm3 dengan alas berupa serbuk gergaji. Kandang mencit diberi ‗panggung‘ dari bahan kawat agar feses dan urin mencit bisa jatuh ke dasar kandang dan mencit tidak terkontaminasi kotoran. Suhu kandang mencit ber 25ºC dan kelembaban 79%. Kandang mencit dibersihkan satu kali sehari. Perlakuan yang diberikan berupa pemberian dosis per oral sebesar 0.56 mg/ kg BB sekali sehari selama 7 hari dan pengamatan tingkah laku berupa agresivitas, tegak rambut, nafsu makan, dan bobot mencit untuk melihat tingkat stres mencit. Uji MDA menggunakan spektrofotometer terhadap serum darah mencit dilakukan setelah perlakuan selesai. Kelompok mencit dengan hasil uji MDA yang paling baik berarti menerima dosis ektrak kayu mangium yang efektif. Pengambilan organ Mencit yang telah mati dibedah bagian abdomennya untuk mendapatkan preparat hati dan ginjal. Hati dan ginjal kemudian disimpan di dalam wadah plastik berisi buffer netral formalin (BNF) 10%.
9 Histopatologi Menurut Muntiha (2001), proses pembuatan preparat histopatologi dimulai dengan pemotongan jaringan organ lalu dimasukkan di dalam larutan fiksatif dan didehidrasi dengan larutan etanol bertingkat. Selanjutnya parafin cair dituang ke jaringan. Setelah blok parafin membeku, dilakukan pemotongan preparat, penempatan preparat pada kaca objek, dan pewarnaan preparat dengan hematoksilin eosin. Pewarnaan hematoksilin eosin melibatkan banyak komponen, yaitu xylol, etanol absolut, etanol 90%, etanol 80%, air keran, larutan hematoksilin, larutan pembiru, dan larutan eosin selama 1-5 menit. Preparat yang telah diwarnai diberi 1 tetes cairan perekat (Enthelan) dan selanjutnya ditutup dengan kaca penutup. Hasil pewarnaan dapat dilihat di bawah mikroskop (Muntiha 2001). Organ yang telah dibuat preparat histopatologi diperiksa di bawah mikroskop lalu difoto dengan perbesaran lensa objektif 40x sebanyak masingmasing 10 lapangan pandang untuk daerah di sekitar vena sentralis dan segitiga Kiernan serta 5 lapangan pandang pada ginjal kanan dan 5 lapangan pandang pada ginjal kiri. Jumlah sel yang mengalami degenerasi hingga nekrosa dihitung per lapangan pandang menggunakan program komputer ImageJ. Penilaian kerusakan sel (scoring) dilakukan pada masing-masing lapangan pandang. Segitiga Kiernan adalah daerah hati yang berhubungan dengan aliran darah masuk. Pemeriksaan sel hati di segitiga Kiernan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Histopatologi sel hati di daerah segitiga Kiernan. a= sel normal; b=sel degenerasi hidropis, sitoplasma tidak homogen dan pucat. Pewarnaan HE.
10 Daerah hati yang berhubungan dengan aliran darah keluar adalah vena centralis. Pemeriksaan sel hati pada daerah ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Histopatologi sel hati di daerah vena centralis. b=sel degenerasi hidropis, sitoplasma tidak homogen dan pucat. Pewarnaan HE. Tubulus proksimal ginjal berfungsi dalam mengeksresikan sisa metabolisme obat. Pemeriksaan sel epitel tubulus proksimal ginjal dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5 Histopatologi sel epitel tubulus proksimal ginjal. c= degenerasi lemak, terdapat vakuola jernih di sitoplasma; d= sel nekrosis, inti sel mengalami piknosis. Pewarnaan HE.
11 Uji Statistik Data diolah dalam rancangan acak lengkap dengan program Microsoft Excel 2010 dan IBM SpSS 16.0 menggunakan metode One Way ANOVA dengan uji Post Hoc Duncan dan tingkat kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan tingkah laku, rambut, nafsu makan, dan bobot mencit serta jumlah sel yang mengalami lesi pada organ hati dan ginjal dilakukan untuk mengetahui efek toksik obat mencit. Perbedaan yang terjadi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dianggap disebabkan oleh pemberian ekstrak kulit kayu mangium. Tingkah Laku, Rambut, Nafsu Makan, dan Bobot Mencit Pengamatan tingkah laku, rambut, nafsu makan, dan bobot mencit dilakukan selama 7 hari perlakuan. Pengamatan ini dilakukan untuk meneliti tingkat stres mencit yang berpengaruh besar pada validitas data yang diambil (Wishaw dan Kolb 2005). Menurut sumber yang sama tingkat agresivitas yang tinggi menunjukkan ketidakstabilan sosial dalam kelompok mencit, sementara rambut yang mencit yang beridiri adalah respon mencit terhadap tekanan suhu dingin. Nafsu makan dan bobot mencit berhubungan dengan homeostasis mencit (Wishaw dan Koln 2005). Dari pengamatan yang dilakukan, tidak ada kelainan berupa tingkah laku agresi dan kelainan pada rambut mencit. Rerata konsumsi pakan dan perubahan bobot badan kedua kelompok tidak berbeda nyata secara statistik, namun konsumsi pakan dan bobot badan mencit kelompok perlakuan lebih tinggi secara numerik. Hal menunjukkan bahwa pemberian ekstrak mangium meningkatkan nafsu makan dan bobot badan mencit secara tidak signifikan. Sebagai perbandingan, pada penelitian Harlina (2007) pemberian tepung daun Acacia villosa dalam berbagai konsentrasi selama 4 minggu menyebabkan penurunan pertambahan berat badan tikus. Tabel 1 Konsumsi pakan dan perubahan bobot mencit dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan selama 7 hari pemberian ekstrak Hari ke Bobot (g) Kontrol Perlakuan Rerata konsumsi pakan 12.12a 17.38a Rerata perubahan bobot mencit
0.10a
0.30a
Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan nyata (p<0,05) dalam kelompok perlakuan antar waktu pengujian.
12 Hati Kerusakan sel hati di daerah segitiga Kiernan menunjukkan bahwa suatu zat telah memiliki kemampuan merusak sel sebelum zat tersebut dimetabolisme oleh hati. Pemberian ekstrak kulit kayu mangium memberikan efek pada sel hati di daerah segitiga Kiernan. Pengaruh ekstrak terhadap sel normal hati dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami lesio pada Segitiga Kiernan Lesi hepatosit Kelompok mencit Kontrol Perlakuan a Sel normal 67.24±11.18 37.79±20.07b Degenerasi hidropis 35.28±11.08a 62.51±20.64b Degenerasi lemak 0a 0a Sel nekrosis 0.18±0.55a 0.70±1.29a Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan nyata (p<0,05) antara kelompok perlakuan.
Perhitungan statistik pada sel hati yang berada di daerah sekitar Segitiga Kiernan menunjukkan perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada jumlah sel normal dan degenerasi hidropis. Jumlah sel normal pada kelompok perlakuan secara nyata lebih sedikit dibandingkan jumlah sel normal pada kelompok perlakuan, sementara jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan secara nyata lebih banyak. Kejadian degenerasi lemak tidak teramati, sementara jumlah sel yang mengalami nekrosis tidak berbeda nyata. Hal ini berbeda dengan kasus hepatotoksisitas akibat white phosporus, aflatoksin, ferric sulfate, asam asetat, dan etionin di mana degenerasi lemak merupakan kejadian dominan yang megiringi nekrosis sel hati (Zimmerman 1999). Dapat disimpulkan bahwa kerusakan sel hati di sekitar segitiga Kiernan bersifat ringan dan reversible. Senyawa lain yang dapat merusak hepatosit di daerah segitiga Kiernan adalah proteus endotoxin, asam tanin, dan beriliu m (Wight 2012, Kirkham dan Shepherd 2007). Senyawa-senyawa ini menyebabkan nekrosis, degenerasi lemak (steatosis), multiplikasi saluran empedu, abnormalitas pembuluh darah, kerusakan membran, granuloma pada hati, fibrosis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler (Zimmerman 1999). Metabolisme obat-obatan dan xenobiotic terjadi sebagian besar di daerah sekitar vena centralis di zona 3 di mana keberadaan sitokrom P450 yang berfungsi sebagai katalisator proses oksidasi obat berjumlah paling banyak (Colnot dan Perret 2011). Efek pemberian ekstrak kulit kayu mangium terhadap sel normal hati di daerah vena centralis dapat dilihat pada Tabel 3.
13 Tabel 3 Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami lesio pada vena centralis Lesi hepatosit Kelompok mencit
Sel normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Sel nekrosis
Kontrol
Perlakuan
69.63±12.53a 29.10±11.62a 0a 1.27±4.56a
35.09±19.23b 65.62±19.30b 0.05±0.25a 0.24±0.77b
Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan nyata (p<0,05) antara kelompok perlakuan.
Hasil analisa statistik menunjukkan perbedaan nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada jumlah sel normal, degenerasi hidropis, dan sel nekrosis. Jumlah sel normal pada kelompok perlakuan secara nyata lebih sedikit dibandingkan jumlah sel normal pada kelompok kontrol, sementara jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan secara nyata lebih banyak. Hal ini menandakan bahwa kerusakan sel akibat pemberian ekstrak kulit kayu mangium bersifat ringan dan reversible. Jumlah sel nekrosis pada kelompok perlakuan yang lebih sedikit dari kelompok kontrol menandakan bahwa ekstrak kulit kayu mangium memberikan manfaat baik pada sel hati di sekitar vena centralis. Obat yang bersifat hepatotoksik biasanya mempengaruhi zona 3, dan ditunjukkan dengan peningkatan jumlah sel hati yang mengalami kerusakan secara signifikan. Komponen yang bersifat hepatotoksik dalam suplemen herbal menurut Buchorntavakul dan Reddy (2012) misalnya alkaloid pirolizidin, glikosida antrasin, diterpenoid, dan katekin. Menurut Sinha et al. (2010), komponen hepatotoksik pada Acacia auriculaeformis dan Acacia concinna D.C. adalah saponin, sementara pada Acacia pinnata Willd. adalah tanin.
Ginjal Ginjal sebagai tempat ekskresi sisa-sisa metabolisme tubuh juga menerima efek toksik dari ekstrak kulit kayu mangium. Pengaruh pemberian ekstrak kulit kayu mangium terhadap sel normal epitel tubulus proksimal dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rerata jumlah sel epitel tubulus yang mengalami lesi pada ginjal Lesi sel epitel tubulus ginjal Kelompok mencit Kontrol Perlakuan a Sel normal 56.91±8.37 29.27±9.81b Degenerasi hidropis 42.44±8.79a 63.15±10.95b a Degenerasi lemak 0.11±0.60 0.54±1.39a Sel nekrosis 0.53±0.72a 7.04±7.48a Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan nyata (p<0,05) antara kelompok perlakuan.
14 Analisa statistik menunjukkan perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada jumlah sel normal dan degenerasi hidropis. Jumlah sel normal pada kelompok perlakuan secara nyata lebih sedikit dibandingkan jumlah sel normal pada kelompok kontrol, sementara jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan secara nyata lebih banyak. Hal ini menandakan bahwa kerusakan sel yang terjadi pada ginjal akibat pemberian ekstrak kulit kayu mangium bersifat ringan dan reversible. Hal lain yang penting diamati dari ginjal adalah degenerasi hialin. Degenerasi hialin terjadi akibat reabsorbsi massa protein di dalam lumen tubulus. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah glomerulus. Hipertensi intraglomerular memicu akumulasi protein plasma berukuran sangat besar seperti fibrin dan IgM di ruangan subendotelial. Penimbunan materi hialin amorf ini akhirnya direabsorbsi dan menumpuk pada intrasitoplasma epitel tubulus ginjal (Rennke dan Denker 2007). Tidak adanya degenerasi hialin pada penelitian ini mengindikasikan bahwa zat ekstraktif mangium tidak merusak epitel serta tidak mengganggu permeabilitas kapiler glomerular ginjal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak etanol 30% kulit kayu mangium pada dosis 0.56 mg/ kg BB yang diberikan selama 7 hari menimbulkan kerusakan yang bersifat ringan dan reversible pada sel hati dan ginjal mencit, yang berarti bahwa efek toksik pada hati dan ginjal mencit bisa dihindari dengan penggunaan pada dosis dan jangka penggunaan yang terbatas. Efek antioksidan dari ekstrak mangium bisa diamati pada daerah vena centralis dari penurunan jumlah sel yang mengalami nekrosis.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai uji toksisitas dan dosis LD50 pada ekstrak etanol 30% kulit kayu mangium pada dosis lain.
15
DAFTAR PUSTAKA
Alam MN, Bristi NJ, Rafiquzzaman M. 2012. Review on in vivo and in vitro methods evaluation of antioxidant activity. Saudi Pharm J 2013(21):143152. Amarowicz R, Naczk M, Shahidi F. 2000. Antioxidant activity of crude tannins of Canola and Rapessed Hulls. J Am Oil Chem Soc 77 (9):957-961. Boyer TD, Manns MP, Sanyal F. 2012. Zakim and Boyer’s Hepatology. Philadelphia (US): Elsevier. BPOMRI [Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia]. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. BPOMRI [Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia]. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor 13 tahun 2014 tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal. Buchorntavakul C, Reddy KR. 2012. Review article: herbal and dietary supplement hepatotoxicity. Aliment Pharmacol Ther 31(1):3–17.doi: 10.1111/apt.12109 Colnot S, Perret C. 2011. Molecular Pathology of Liver Diseases: Liver Zonation. New York (US): Springer. Dancygier H. 2010. Clinical Hepatology: Principles and Practice of Hepatobiliary Diseasse 1st Ed. New York (US): Springer. Gopinath C, Mowat V. 2014. Atlas of Toxicological Pathology. New York (US): Springer. Gupta CG. 2012, Veterinary Toxicology: Basic and Clinical Principles. London (GB): Academic Pr. Harlina E. 2007. Toksikopatologi dan biotransformasi senyawa toksik lamtoro (Acacia villosa) pada tikus [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Helms RA, Quan DJ [editor]. 2006. Textbook of Therapeutics: Drug and Disease Management 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Hoffman D. 2003. Medical Herbalism: The Science and Practice of Herbal Medicine. Vermont (US): Healing Arts Pr. Iannaccome PM, Jacob HJ. 2009. Rats! Dis Model Mech 2(5-6): 206-210. Indu K. 2012. Medical Physiology for Undergraduate Students. New Delhi (IN): Elsevier. Jones PJH, Kubow S. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease. Shils ME, Ross AC, Shike M, Caballero B, Cousins RJ, editor. Philadelphia (US): LWW. Kirkham N, Shepherd NA. 2007. Progress in Pathology. Cambridge (GB): Cambridge Univ Pr. Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M. 2011. Acacia mangium Willd.: Ekologi, Silvikultur, dan Produktivitas. Bogor (ID): CIFOR. Le J. 2014. Drug Excretion [internet]. [diunduh 2015 Juni 20] Tersedia pada: https://www.merckmanuals.com/professional/clinicalpharmacology/pharma cokinetics/drug-excretion
16 Le J. 2014. Drug Metabolism. [internet]. [diunduh 2015 Juni 20] Tersedia pada: https://www.merckmanuals.com/professional/clinicalpharmacology/pharma cokinetics/drug-metabolism Muntiha M. 2001. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi dari Jaringan Hewan dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) [internet]. [diunduh pada 2014 September 20]. Tersedia pada: http://balitnak.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_phocadownl oad&view=category&id=66:3&download=1043:3&start=20&Itemid=1 Murningsih T. 2012. Sifat antioksidan,kandungan fenolat total dan flavonoid total ekstrak kulit batang Mertapang. JIIH 11 (1): 85-89. Naughton CA. 2008. Drug-Induced Nephrotoxicity. Am Fam Physician 78(6):743750. Niki E. 2010. Assessment of antioxidant capacity in vitro and in vivo. Redox Biol 49:503-515. OECD [Organisation for Economic Co-operation and Development]. 2001. OECD Guideline for Testing of Chemicals: Acute Oral Toxicity- Acute Toxic Class Method [internet]. [diunduh pada 2015 Feb 27] . Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Acacia mangium [internet]. [diunduh 2015 Juni 4]. Tersedia pada: http:// www.worldagroforestry.org/treedb/AFTPDFS/Acacia_mangium.PDF. Papas AM. 1999. Antioxidant Status, Diet, Nutrition, and Health. Papas AM, editor. Florida (US): CRC Pr. Pearce EC. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta (ID): Gramedia. Pessayre D, Fromenty B, Mansouri A. 2001. Mitochondria in Pathogenesis. New York (US): Kluwer Academic/ Plenum Pub. PIER [Pacific Islands Ecosystem at Risk]. 2013. Acacia mangium [internet]. [diunduh 2015 Oktober 7] Tersedia pada: http://www.hear.org/pier/imagepages/thumbnails/acacia_mangium.htm Rennke HG, Denker BM, Rose BD. 2007. Renal Pathophysiology: The Essentials Second Edition. Philadelphia (US): Lippincott Williams and Wilkins. Rosilia R. 2014. Aktivitas antioksidan zat ekstraktif daun mangium (Acacia mangium Willd.) berdasar uji secara in vitro dan in vivo [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rousseaux CG. 2005. Living in a Safe Chemical World. Di dalam: Toxicology and Applied Pharmacology Volume 207, Issue 2, Supplement, Pages 1-756 (1 September 2005). The 10th International Congress of Toxicology [internet]. 2004 Juli 11-15; Tampere Finlandia (FI). doi:10.1016/j.taap.2005.01.036. Sari RK, Nawawi DS, Darmawan W. 2013. Eksplorasi Senyawa Antikanker dari Limbah Industri Kayu Rakyat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sinha MK, Munshi JD, Munshi JSD. 2010. Eco-Toxicology of Biocidal Plants. New Delhi (IND): Krishan Mittal. Stern A. 1985. Oxidative Stress. Sieh H, editor. London (GB): Academic Pr Inc. Wight DWD. 2012. Atlas of Liver Pathology. New York (US): Springer. Wina E, Susana IWR, Tangendjaja B. 2010. Biological activity of tannins from Acacia mangium bark extracted by different solvents. Media Peternakan 33(2):103-107/
17 Whishaw IQ, Kolb B. 2005. The Behavior of the Laboratory Rat: A Handbook wih Tests. New York (US): Oxford University Pr. Yu L, Tsao R, Shahidi F. 2012. Cereals and Pulses: Nutraceutical Properties and Health Benefits. Oxford (GB): Wiley-Blackwell Yuniarti. 2008. Isolasi dan Identifikasi senyawa antifungal dari Acacia mangium Willd dan uji aktivitasnya terhadap Ganoderma philippii [tesis].Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Zimmerman AJ. 1999. Hepatotoxicity: The Adverse Effects of Drugs and Other Chemicals on the Liver. Philadelphia (US): Lippincott Williams and Wilkins.
18 Lampiran 1 Sertifikat Persetujuan Etik Hewan
19 Lampiran 2 Hasil perhitungan One Way ANOVA pada segitiga Kiernan
20 Lampiran 3 Hasil perhitungan One Way ANOVA pada vena centralis
21 Lampiran 4 Hasil perhitungan One Way ANOVA pada ginjal
22
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Surabaya pada 27 Januari 1993 dari ayah bernama Djuanda Mutiara dan ibu bernama Linfhani Tania. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara dengan seorang adik perempuan bernama Jassynda Mutiara Penulis menghabiskan masa sekolahnya di SD Santa Ursula BSD pada 19992005, SMP Santa Ursula BSD pada 2005-2008, dan SMA Santa Ursula BSD pada 2008-2011. Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor jalur UTM pada tahun 2011. Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif sebagai ketua divisi Pendidikan Himpro Satli tahun 2013-2014 dan pernah menjabat sebagai ketua divisi acara Seminar Nasional Himpro Satli 2014.