OPTIMASI PEMANFAATAN KAYU MANGIUM (Acacia mangium Willd) SEBAGAI KOMPONEN RUMAH PREFABRIKASI TAHAN GEMPA
SULISTYONO
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : ” Optimasi Pemanfaatan Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) sebagai Komponen Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi.
Bogor, Desember 2011
Sulistyono NRP E061020061
ABSTRACT SULISTYONO. Optimation of Mangium Wood Utilization as Component of the Prefabricated Seismic Resistance House. Under the supervision of SURJONO SURJOKUSUMO, OSLY RACHMAN and NARESWORO NUGROHO. This research aimed to determine the value of the strength characteristics and strength distribution on ASD/LRFD as well as quality classes of 8 years mangium wood; to examine the characteristics of mangium logs and the processing process, with three most optimal sawing pattern and to find out the reliability and to investigate the behavior of shearwall mangium wood panels on the seismic resistance test. Materials used were 60 pieces of 8 years mangium logs in 22-42 cm diameter and 210 cm length come from HTI PT Inhutani II, South Kalimantan Province. Samples than tested for the physical and mechanical properties, characteristics of wood and its determination of allowable stress based on format ASTM D 2555-06, ASTM D 2915-03 in ASD/LRFD following the RSNI (2002) and ASTM D 5457-04. Processing of wood involves the log gradings; optimization sawing sawmill with three patterns (conventional, live sawing and live sawing pattern on the MOP program) and the sawing process; drying process with a standard schedule International Finance Corporation (2008) and working processes for the manufacture of wood molding. Shearwalls are tested with racking test (ISO/DIS 22452-2009) using a monotonic lateral load and analysis by SNI 1726-2002. There are four shearwall design patterns size (6.8 x 120 x 240) cm consist of straight sheathing, diagonal sheathing, diagonal windowed sheathing and shearwall with diagonal doored sheathing. Result showed that physical properties of Mangium wood such as moisture content reach 13.01% and specific gravity is 0.58. Mechanical properties of small clear specimen consist of average MOEs reach 126,960 kg/cm2, MOR 1,000 kg/cm2. Based on Full Scale-NDT data, MOE value reach 117,298 kg/cm2, includes in II-III classes strength based on (NI-5 PKKI; 1961). Allowable stress in the term of Fiber Stress (FS) between FS 7 - FS 22 and the average at FS 12 (SKI C-bo-010:1987). Strength reference between E8 - E17 and the E12 on average (RSNI 2002). Mangium wood is so stiff and strong enough that can be recommended as a structural building materials in structures such as pre-fabricated wooden houses shearwall. Weibull distribution was chosen as the standard distribution for the mangium wood strength. The characteristics of mangium wood from PT Inhutani II are small diameter, many defects and most of their stem is not round to nearly round, tapered and straight which will affect the quality of the wood. The output result in sawn timber form are 70.9%, 73.5%, and 74.7% respectively; in rough lumber form in follows 44.9%, 42.4%, and 45.5%; in blanking form in follows 37.9%, 35.5%, and 38.2% and in lumber shearing form in follows 27.7%, 26.4%, and 28.3% each for conventional pattern, live sawing pattern and live sawing pattern on the MOP program. The highest output at the live sawing pattern on the MOP program, which is followed by conventional pattern and live sawing pattern. On the mangium wood drying process, a modified conventional method requires 30 days until 11% MC and 33 days until 9% MC. The cost of molding production process of tongue and groove lumber for the prefabricated house include the transportation costs reach Rp 3,845,495/m3. The testing result of shearwall indicated that lumber straight sheathing type is weaker than the diagonal sheathing type, but the process is easier and more flexible. The diagonal sheathing type is stronger and more rigid as it has a triangulation truss. Type A design is appropriate for a small seismic zone (2), type B, D, E1 and E2 are suitable for a medium seismic zone (3, 4) and type C for a big seismic zone (5). Keywords: lumber shearing, mangium wood, monotonic load, pre-fabricated house, sawing patterns, shearwall.
RINGKASAN SULISTYONO. Optimasi Pemanfaatan Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) sebagai Komponen Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa. Dibawah bimbingan SURJONO SURJOKUSUMO, OSLY RACHMAN dan NARESWORO NUGROHO. Kebutuhan pembangunan rumah di Indonesia sangat tinggi akibat pertambahan jumlah penduduk dan bencana alam. Diperlukan pembangunan rumah layak huni, mudah dan cepat pembangunannya, bahan tersedia dan mudah dibuat berupa rumah prefabrikasi. Kayu banyak digunakan sebagai material bangunan karena sifat fleksibilitasnya sebagai bahan untuk konstruksi, kekuatannya cukup tinggi, ringan, mudah didapat, mudah dikerjakan, dapat diperbaharui dan berkelanjutan (ramah lingkungan) serta tahan gempa. Kayu Mangium dari HTI merupakan alternatif bahan konstruksi yang memenuhi syarat setelah pasokan dari hutan alam menurun. Perlu modifikasi berbagai elemen struktur dengan teknologi rekayasa bahan berupa pengolahan yang optimal dan rekayasa struktur untuk pembuatan komponen konstruksi rumah kayu prefabrikasi yang bersifat knockdown, kokoh dan tahan gempa. Penelitian ini bertujuan menentukan nilai kekuatan karakteristik, tegangan ijin, reference resistance, distribusi kelenturan dan kekuatan dalam format Allowable Stress Design/Load Resistance Factor Design (ASD/LRFD) serta kelas mutu kayu Mangium umur 8 tahun, mengetahui karakteristik dolog Mangium dan proses pengolahannya, membandingkan 3 pola penggergajian yang paling optimal berupa nilai rendemen pada 4 tingkat proses pengolahan dan mengetahui keandalan serta perilaku shearwall kayu Mangium terhadap beban lateral monotonik pada rumah prefabrikasi tahan gempa. Dilakukan pengujian sifat dasar (sifat fisis dan mekanis), karakteristik kayu dan penentuan tegangan ijin beserta kelas mutu kayu Mangium pada ukuran contoh kecil bebas cacat (CKBC) dan skala pemakaian (Full scale/FS) dari HTI PT INHUTANI II dalam Format ASD/LRFD. Penyusunan tegangan ijin dihitung dengan standar ASTM D 2555 untuk CKBC dan ASTM D 2915 untuk Full Scale. Penyusunan tegangan ijin dari format LRFD (CKBC/FS) menjadi format LRFD (FS) dihitung dengan standar ASTM D 5457, kemudian dilakukan pengkelasan mutu berdasarkan standar RSNI 2002. Proses pengolahan kayu meliputi 4 kegiatan yaitu pemilahan log (grading log) berupa angka bentuk dolog; optimasi penggergajian berupa penerapan 3 pola penggergajian (pola konvensional, pola satu sisi, pola satu sisi dengan Model Optimasi Penggergajian (MOP)) secara proporsional dan proses penggergajiannya; proses pengeringan berupa metode konvensional yang dimodifikasi dengan skedul standar Instruksi Pengeringan Kayu Papan Mangium (International Finance Corporation) dan proses pengerjaan kayu untuk pembuatan molding yang meliputi kegiatan persiapan lumber, rough end process dan proses molding. Pengujian kekuatan shearwall kayu Mangium sebagai komponen struktur rumah prefabrikasi meliputi kegiatan pembuatan benda uji shearwall berupa desain, pembuatan dan perakitan komponen, pemasangan alat ukur dan benda uji serta pengujian shearwall. Pada pengujian kekuatan shearwall, ada 4 pola desain berukuran (6,8 x 120 x 240) cm, yang meliputi : shearwall utuh dengan pola papan horisontal (straight sheathing), shearwall utuh dengan pola papan diagonal (diagonal sheathing) sudut 45o, shearwall berjendela dengan pola papan diagonal dan shearwall berpintu dengan pola papan diagonal. Pengujian shearwall dengan uji racking (ISO/DIS 22452) berupa beban lateral monotonik dan perhitungan gaya gempa dengan analisis gempa static ekuivalen (SNI 1726). Nilai sifat fisis kayu Mangium umur 8 tahun berupa kadar air (KA) rata-rata 13,01 % dan berat jenis (BJ) rata-rata 0,58. Nilai sifat mekanis data CKBC berupa Modulus of Elastisitas statis (MOEs) rata-rata 126.960 kg/cm2, Modulus of Rupture (MOR) rata-rata
1.000 kg/cm2 dan berdasarkan data Full Scale - Non Destructive Test (FS-NDT) nilai MOE rata-rata sebesar 117.298 kg/cm2. Kayu Mangium ini termasuk kelas kuat II – III (PKKI). Nilai tegangan ijin berupa Tegangan Serat (TS) antara TS 7 - TS 22 dan rata-rata di TS 12 (SKI C-bo-010:1987) dan kuat acuan lentur antara E8 - E17 dan rata-rata di E12 (RSNI), sehingga Kayu Mangium ini termasuk cukup kaku dan kuat. Pendugaan distribusi dan parameternya berdasarkan ASTM D 5457, lebih akurat menggunakan sebagian ekor distribusi daripada seluruh distribusi, karena untuk aplikasi struktur bangunan hanya ekor bawah distribusi keteguhan dan ekor atas distribusi beban yang mungkin menyebabkan kerusakan. Pada pengamatan distribusi kelenturan dan kekuatan, sebagai bagian paling menentukan kekuatan desain kayu, lebih dekat ke distribusi Weibull (sebanyak 4 buah yaitu pada MOE CKBC – NDT sekunder, MOE dan MOR FS - DT sekunder dan MOE FS – NDT sekunder) daripada distribusi normal (sebanyak 2 buah yaitu pada MOE CKBC – DT primer dan MOR CKBC – DT sekunder) maupun distribusi 3-Parameter Weibull (sebanyak 2 buah yaitu pada MOR CKBC – DT primer dan MOE CKBC – DT sekunder). Distribusi Weibull dipilih sebagai distribusi standar bagi kekuatan kayu konstruksi dari kayu Mangium maupun kayu-kayu konstruksi di Indonesia (Bahtiar, 2000) dan AS yang menetapkan distribusi Weibull sebagai distribusi standar (ASTM D 5457). Nilai reference resistance data sekunder pada ukuran FS lebih rendah karena adanya cacat-cacat di dalamnya dibanding nilai reference resistance pada data primer maupun data sekunder dari data CKBC, sehingga dapat menduga keterandalan struktur dengan tepat yang akan menunjukkan kemungkinan kerusakan yang semakin kecil. Berdasarkan kelas mutu standar RSNI 2002, nilai MOE dan MOR kayu Mangium dari data primer CKBC-DT cukup kaku dan kuat, berdasarkan data sekunder CKBC-DT kurang kaku tetapi cukup kuat, berdasarkan data sekunder FS-DT cukup kaku namun kurang kuat serta berdasarkan data sekunder CKBC-NDT, data primer FS-NDT dan data sekunder FS-NDT layak untuk konstruksi karena cukup kaku. Berdasarkan kelas mutu tersebut, kayu Mangium direkomendasikan sebagai bahan bangunan pada konstruksi struktural seperti shearwall pada struktur rumah kayu prefabrikasi. Karakteristik dolog kayu Mangium dari PT INHUTANI II sebagai jenis tanaman cepat tumbuh berdiameter kecil, banyak cacat dan sebagian besar batangnya tidak bundar sampai hampir bundar, taper dan lurus akan mempengaruhi kualitas kayu pada proses penggergajian. Hasil rendemen untuk Pola Konvensional, Pola Satu Sisi dan Pola Satu Sisi program MOP dalam bentuk sawn timber berturut-turut 70,9 %, 73,5 %, dan 74,7 %; bentuk bilah/rough lumber berturut-turut 44,9 %, 42,4 %, dan 45,5 % ; bentuk blangking berturut-turut 37,9 %, 35,5 %, dan 38,2 % dan bentuk lumber shearing berturut-turut 27,7 %, 26,4 %, dan 28,3 %. Rendemen aktual pada semua bentuk hasil penggergajian yang diperoleh dari pola satu sisi dengan MOP selalu lebih tinggi dibanding 2 pola penggergajian lainnya. Proporsi lumber shearing yang dibuat berdasarkan bentuk bahan bakunya, yaitu molding kayu utuh (solid wood) rata-rata diatas 70 % dan molding sambung (laminating edge to edge) rata-rata kurang dari 30 % pada semua pola penggergajian yang diterapkan. Kualitas papan laminasi lebih baik dibanding papan solid, tetapi prosesnya lebih banyak walau biaya yang dibutuhkan tidak berbeda nyata. Nilai rendemen ini masih mengikutsertakan cacat-cacat yang dianggap bukan merupakan cacat, karena produk lumber shearing ini untuk kebutuhan lokal. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai rendemen adalah ukuran dan kualitas kayu bulat, pola pengergajian dan angka bentuk terutama taper. Jumlah cacat berdasarkan pola penggergajian konvensional, pola satu sisi dan pola satu sisi dengan MOP berturut-turut sebanyak 15,10 %, 19,79 % dan 24,88 % dengan rata-rata 20,07 % contoh uji pada semua pola penggergajian. Dolog yang digergaji dengan pola satu sisi dan pola MOP presentase cacatnya lebih tinggi dibanding pola
konvensional karena menghasilkan kayu gergajian datar yang memiliki stabilitas dimensi dan keausan permukaan yang relatif rendah terutama berupa cacat bentuk (mencawan) dan cacat serat terpisah (pecah terbuka, retak dan pecah tertutup). Pada proses pengeringan kayu Mangium, metode konvensional yang dimodifikasi membutuhkan waktu 30 hari sampai KA 11 % dan 33 hari sampai KA 9 %. Metode konvensional yang dimodifikasi ini efektif untuk mengurangi waktu pengeringan tanpa menurunkan kualitas dan tidak merubah warna papan kayu Mangium. Waktu pengeringan metode konvensional yang dimodifikasi ini relatif cepat jika dibandingkan dengan metode konvensional, namun lebih lama jika dibandingkan dengan metode kiln drying, metode shed + kiln drying dan metode shed drying. Biaya proses produksi molding berupa lumber shearing tounge and groove rumah prefabrikasi berikut biaya transportasi ke pulau Jawa sebesar Rp 3.845.495,-/m3. Berdasarkan pengujian kekuatan shearwall pada kayu Mangium, lumber sheathing tipe straight sheathing lebih lemah dibanding diagonal sheathing namun pembuatannya lebih mudah. Tipe diagonal sheathing lebih kuat dan kaku karena mempunyai sifat triangulasi seperti sifat rangka batang (truss) dan lebih dapat menahan beban lateral. Komponen shearwall utuh dengan pola papan diagonal (B) dan komponen shearwall dengan pola papan diagonal utuh dan berjendela (C) mengalami kegagalan struktur karena adanya penurunan menahan beban secara drastis sebelum deformasinya mencapai 100 mm. Komponen shearwall lainnya yaitu tipe (A), (D), (E1) dan (E2) mengalami kegagalan servis kemampuan layan (serviceability failure) yang terjadi karena shearwall mempunyai sifat sangat daktail, dimana komponen belum runtuh walau deformasinya sudah mencapai 100 mm. Semua tipe shearwall berperilaku daktail parsial karena faktor daktilitasnya bernilai antara 1,01 sampai dengan 2,41. Perilaku daktil parsial sudah memenuhi 1,0 < μ < μm, sehingga dalam perencanaan struktur rumah oleh perencana dapat memilih nilai μ sendiri sesuai yang dikehendaki. Kerusakan pada shearwall tipe papan horisontal berupa pergeseran antar papan dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint). Kerusakan pada shearwall tipe papan diagonal berupa terbentuknya celah (gap) diantara susunan panel papan-papan diagonal bagian bawah dan rusaknya struktur akibat patah dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint). Pada shearwall tipe diagonal sheathing terjadi peningkatan nilai MOE dan MOR yang lebih besar dibanding shearwall tipe straight sheathing karena fungsi bracing diagonal berupa stress skin component tipe diagonal sheathing membuat struktur menjadi lebih kaku. Desain shearwall tipe straight sheathing dari kayu Mangium sesuai untuk diaplikasikan pada zona gempa kecil, sedangkan desain shearwall tipe diagonal sheathing sesuai pada zona gempa kecil, sedang dan besar. Panel shearwall papan lumber shearing dari kayu Mangium dapat dimanfaatkan sebagai elemen struktural tahan gempa pada bangunan rumah tinggal, karena dapat bekerja dengan baik berdasarkan faktor kekuatan dan daktilitas yang diperlukan untuk rumah tahan gempa. Berdasarkan sifat dasar dan pengkelasan mutu, optimasi penggergajian dan pengolahan kayu dan pengujian model komponen struktur shearwall beserta analisis perilakunya akibat pengaruh beban gempa, kayu Mangium umur 8 tahun dapat direkomendasikan sebagai komponen struktur bangunan kayu prefabrikasi Rumah Sederhana Sehat yang ramah lingkungan dan tahan gempa.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
OPTIMASI PEMANFAATAN KAYU MANGIUM (Acacia mangium Willd) SEBAGAI KOMPONEN RUMAH PREFABRIKASI TAHAN GEMPA
SULISTYONO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Disertasi
: Optimasi Pemanfaatan Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) sebagai Komponen Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa.
Nama
: Sulistyono
NIM
: E.061020061
Program Studi
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Emiritus. Ir. H.M. Surjono Surjokusumo, MSF, PhD Ketua
Prof. Riset. Dr. Ir. Osly Rachman, MS Anggota
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Anggota
Disahkan Oleh :
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof.Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal ujian : 15 Desember 2011
Tanggal lulus :
Penguji Luar Komisi : Ujian Tertutup : tanggal pelaksanaan 10 November 2011 1. Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA Direktur Hutan Tanaman PT Musi Hutan Persada Wakil Ketua Umum PERSAKI Pusat 2. Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS Sekretaris Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Ujian Terbuka : tanggal pelaksanaan 15 Desember 2011 1. Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, MSc. Staf Pengajar Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Anita Firmanti, MT. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum Departemen Pekerjaan Umum, Bandung
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya, penelitian ini dapat diselesaikan. Penelitian ini disusun sebagai tugas akhir program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB dengan judul penelitian “Optimasi Pemanfaatan Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) sebagai Komponen Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa” Terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Prof. (Emeritus). Ir. H.M. Surjono Surjokusumo, MSF, PhD, selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. (Riset). Dr. Ir. Osly Rachman, MS. dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS., selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, kritik, saran dan dorongan semangat selama proses studi doktoral yang dilakukan. Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Budi Santoso selaku Direktur Utama PT INHUTANI II beserta jajaranya dalam pelaksanaan penelitian terutama berupa bantuan bahan log kayu Mangium, proses penggergajian, transportasi dan akomodasi selama penelitian, Managemen PT Pradipta Ratanindo sebagai lokasi pengolahan kayu dan kepada BPPS DIKTI yang telah memberikan dukungan dan kesempatan berupa beasiswa selama proses studi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan pada pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi IPK dan kepada staf pada Laboratorium Keteknikan Kayu Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Departeman Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Balai Struktur dan Konstruksi Bangunan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Cileunyi Bandung. Tak lupa disampaikan ucapan terimakasih kepada Ir. Dwi Joko Priyono, MP., Efendi Tri Bachtiar, S.Hut, MSi, Admo Wibowo, SSi., Amin Suroso, ST. dan M. Irfan. Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA dan Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS sebagai penguji luar komisi pembimbing pada ujian tertutup serta Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, MSc. dan Ibu Dr. Ir. Anita Firmanti, MT. sebagai penguji luar komisi pembimbing pada ujian terbuka atas berkenannya memberikan masukan yang sangat berharga dan substansial serta saran-saran konstruktif yang diberikan bagi perbaikan disertasi ini.
Kepada keluarga besar (Alm.) Abdullah Siradj serta keluarga besar Ino Misno terimakasih atas dukungan dan do’a dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan terimakasih kepada istri tercinta Dewi Nopianti, SH., serta ananda Aqshal Faiq Syawalilah dan Kaylanaya Syawalia Putri atas segala dukungan materiil dan spiritual serta pengertiannya hingga terselesaikan studi ini. Semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal atas semua kebaikan yang telah diberikan. Semoga penelitian ini dapat dimanfaatkan dengan baik, sehingga diperoleh informasi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan teknologi konstruksi bangunan kayu, khususnya pemanfaatan kayu dari hutan tanaman dan hutan rakyat sebagai bahan komponen struktur bangunan tahan gempa yang bisa dibuat dengan sistem prefabrikasi berdasarkan modul bangunan rumah, diimplementasikan secara knock down dan diproduksi secara masal.
Bogor,
Desember 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pacitan pada tanggal 19 Mei 1971 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan (Alm.) Abdullah Siradj dan Sulastri. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS DIKTI dan lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor diperoleh pada tahun 2002 di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa yang sama dari BPPS DIKTI. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti sejak tahun 1996 hingga 2002, kemudian bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan sejak tahun 2002 hingga kini. Selama mengikuti program S3 penulis berkesempatan mengikuti beberapa kegiatan yang berkaitan dengan topik penelitian, yaitu Development of Hybrid Drying Using AF Heating and Hot Air “Room Temperature Setting Melamine Formaldehyde (MF) and Melamine Urea Formaldehyde (MUF) For Structural Use” di Sumedang, tahun 2002, Rapat Konsensus : Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (REVISI PKKI NI-5) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Bandung, tahun 2002, Seminar Masyarakat Peneliti Kayu (MAPEKI V) dan (MAPEKI XII) di Bogor tahun 2002 dan Bandung tahun 2009, The Fourth International Wood Science Symposium di Serpong, tahun 2002, Workshop Utilization of Small Diameter Logs from Sustainable Sources for Bio-composite Products di Bogor, tahun 2010 dan Diklat Auditor VLK Angkatan I di Bogor, bulan Maret 2011. Selama mengikuti program S3 penulis telah membuat publikasi ilmiah terkait penelitian yaitu Optimasi Pemanfaatan Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) sebagai Komponen Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa yang dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Wanaraksa, Volume : 9, No. 1 Januari 2011. ISSN : 0216.0730 dan Uji Racking pada Panel Komponen Shearwall dari Kayu Mangium sebagai Struktur Rumah Prefabrikasi yang dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Wanaraksa, Volume : 10, No. 2 Juni 2011. ISSN : 0216.0730.
Penulis menikah dengan Dewi Nopianti, SH pada bulan Februari 2003 dan dikaruniai putra Aqshal Faiq Syawalilah pada bulan Desember 2003 dan putri Kaylanaya Syawalia Putri pada bulan November 2005.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………….......................
i
DAFTAR TABEL……………………………………………….………….…..
v
DAFTAR GAMBAR………………………………………….……..................
vii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………….…………..….....
ix
DAFTAR SINGKATAN DAN KONVERSI…………………………………..
x
BAB I.
PENDAHULUAN…………………………………….…….…… Latar Belakang ……………………………..…………………….. Tujuan ………………………………………………….................. Hipotesa……………………………………………………........... Manfaat …………………………………………………................ Novelty ……………………………………………….................... Perumusan Masalah ………….………………………....................
1 1 3 3 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………..… Deskripsi Kayu Mangium (Acacia mangium Willd.)……………… 1. Risalah Kayu Mangium……...………………………………… 2. Sifat Dasar Kayu......…………………………………………… 3. Keawetan dan Keterawetan..……………………………….….. 4. Pengolahan Kayu Mangium……………………………….…… Keteknikan Kayu Konstruksi untuk Struktur Bangunan……….…. 1. Desain Struktur, Tegangan Ijin dan Standar Kualitas Kayu Konstruksi.................................................................................... 2. Pemilahan Kayu dan Pendugaan Kekuatan Kayu Konstruksi.… 3. Produk Kayu Rekayasa (Engineered Wood Products)….……... Rumah Kayu..…………………………………………................... 1. Persyaratan dan Keunggulan Rumah Kayu Sebagai Tempat Tinggal......................................................................................... 2. Komponen Rumah Kayu ………………………………….…… 3. Komponen Dinding Geser (shearwall) ………………….…..… Rumah Prefabrikasi ...........................….………………………..… 1. Definisi dan Ruang Lingkup...…………………......................... 2. Sistem Pembangunan Rumah Prefab........................................... 3. Keunggulan Rumah Kayu Prefab................................................ Bangunan Tahan Gempa…...………………………………............ 1. Prinsip Dasar Bangunan Tahan Gempa ....………..................... 2. Kaidah-kaidah Bangunan Tahan Gempa..................................... Desain Rumah..…………………………………………………..... 1. Definisi dan Konsep Desain Rumah Modular....………….…… 2. Modul……………………………………………………….….
7 7 7 8 10 11 15
A. B. C. D. E. F. BAB II. A.
B.
C.
D.
E.
F.
15 19 27 28 28 29 30 31 31 33 34 34 34 35 36 36 36 i
BAB III.
A. B. C.
D.
E.
KARAKTERISTIK, TEGANGAN IJIN DAN KELAS MUTU KAYU MANGIUM SEBAGAI BAHAN KAYU STRUKTURAL RUMAH PREFABRIKASI………………………………………. Tujuan Penelitian……………………………........................…...… Waktu dan Tempat Penelitian…………………….…………..…… Jenis Kegiatan Penelitian………………………………….............. 1. Pengujian Sifat Dasar Kayu Mangium.......……………………. a. Bahan dan Alat Penelitian…………………….…………… b. Metode Penelitian…………………………….…………… c. Analisis Data……………………………………....…….… 2. Penelitian Tegangan Ijin dan Pengkelasan Mutu Kayu Mangium sebagai Kayu Konstruksi dalam Format ASD/LRFD a. Bahan dan Alat…………………………………….……… b. Metode Pengolahan Data………………......……………... c. Analisis Data……………………………………………… Hasil dan Pembahasan…………………………………………….. 1. Pengujian Sifat Dasar untuk Menentukan Karakteristik Kayu Mangium…………………………………………….................. a. Sifat Fisis…………………………………………...........… b. Sifat Mekanis………………..………….………….…….… c. Nilai Karakteristik dan Tegangan Ijin Kayu Mangium….… d. Nilai Reference Resistance dengan Format ASD dan LRFD e. Kelas Kuat Kayu Mangium……………………….….……. 2. Penelitian Tegangan Ijin dan Pengkelasan Mutu Kayu Mangium sebagai Kayu Konstruksi dalam Format ASD/LRFD a. Distribusi Kelenturan dan Kekuatan Kayu Mangium…….. b. Penyusunan dan Perbandingan Kekakuan dan Kekuatan Kayu Mangium Data Primer dan Data Sekunder dalam Format ASD dan LRFD…………………………………… c. Kelas Mutu Kayu…….…………………………….……… Simpulan……………..................………………………….....……
PEMILAHAN DAN OPTIMASI PENGGERGAJIAN, PENGERINGAN DAN PENGERJAAN KAYU UNTUK PEMBUATAN MOLDING.......…………………………..……… A. Tujuan Penelitian.......……………………………………………… B. Waktu dan Tempat Penelitian.......………………………………… C. Jenis Kegiatan Penelitian.......………………………………...…… 1. Pengukuran dan Pemilihan Log (Grading Log) .......……..…… a. Bahan dan Alat Penelitian.......……………………….….… b. Metode Penelitian.......……………………………….….… 2. Optimasi Penggergajian Log Kayu Mangium.......…………..… a. Bahan dan Alat.......………………………………….….…
37 37 37 37 37 37 37 40 41 41 41 46 46 46 47 48 52 54 55 56 56
63 69 71
BAB IV.
73 73 73 73 73 73 73 76 76 ii
b. Metode Penelitian.......………………………………......… 3. Proses Pengeringan ……………….......…………………......... a. Bahan dan Alat.......……………………………………..... b. Metode Penelitian.......…………………………………..… 4. Proses Pengerjaan Kayu untuk Pembuatan Molding.......……… a. Bahan dan Alat.......……………………………………..… b. Metode Penelitian.......…………………………………..… C. Analisis Data.......………………………………………………..... D. Hasil dan Pembahasan.......…………………………………...…… 1. Pengukuran Dimensi dan Pemilihan Log (grading log)………. a. Pengukuran Dimensi dan Pembagian Log untuk 3 Variasi Pola Penggergajian......................................................….… b. Pemilihan Log (grading log) berupa Angka Bentuk Dolog 2. Optimasi Penggergajian Log Kayu Mangium.......……………. a. Proses Penggergajian.......……..........................……...…… b. Pola Penggergajian………………..........………………..… 3. Proses Pengeringan ……………………........……………….... a. Modifikasi Metode Konvensional (air and kiln drying)…... b. Skedul dan Hasil Pengeringan.......………………………… c. Macam-macam Cacat Teknis akibat Proses Pengeringan…. 4. Proses Pengerjaan Kayu Mangium untuk Pembuatan Molding a. Proses Pengerjaan Kayu Mangium menjadi Lumber Shearing.......………………………………………………. b. Rendemen.......……………………………………......…… 5. Biaya Produksi Shearwall untuk Komponen Struktur Rumah Prefabrikasi.......……………………………………………….. E. Simpulan.......………………………………………………........... BAB V.
A. B. C. D.
PENGUJIAN KEKUATAN SHEARWALL KAYU MANGIUM SEBAGAI KOMPONEN STRUKTUR RUMAH PREFABRIKASI.......……………………………………..……… Tujuan Penelitian.......……………………………………………... Waktu dan Tempat Penelitian………………………………….…. Bahan dan Alat Penelitian.......……………………………….…… Metode Penelitian.......……………………………………….....… 1. Pembuatan Benda Uji.......…………………………………….. a. Desain Kayu Mangium sebagai Komponen Dinding Geser (Shearwall) .......………………………………………..… b. Pembuatan Komponen Dinding Shearwall.......….……….. c. Perakitan Komponen Shearwall.......………………….…… 2. Pemasangan Alat Ukur.......…………………………………..... 3. Pengujian Shearwall dari Kayu Mangium sebagai Komponen Struktur Rumah Prefabrikasi.......………………………………
76 81 81 81 84 84 85 89 89 89 89 90 93 93 95 98 98 100 104 112 112 116 121 122
125 125 125 125 125 125 125 126 128 129 130 iii
E. Analisis Data.......………………………………………………..... F. Hasil dan Pembahasan.......……………………………………….. 1. Desain dan Perakitan Kayu Mangium sebagai Komponen Shearwall. .......………………………………………………... 2. Pengujian Ketahanan Gempa pada Komponen Shearwall…….. 3. Hasil Pengujian Ketahanan Gempa pada Komponen Shearwall a. Perilaku Kekakuan dan Kekuatan Shearwall.......………… b. Kegagalan Konstruksi.......……………………………….... c. Daktilitas………………………………………………….. d. Deformasi/kerusakan.......……………….…........................ e. Nilai Kekakuan (MOE) dan Kekuatan (MOR) Komponen Shearwall sebagai Balok Kantilever……………………… f. Analisis Perilaku Komponen Shearwall Kayu Mangium Akibat Pengaruh Beban Gempa.......………………………. G. Simpulan.......………………………………………....………........
133 135 135 137 139 139 142 142 143 145 147 151
BAB VI.
PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI 153 A. Pembahasan Umum.......…………………………………………… 153 B. Rekomendasi.......………………………………………………...... 167 BAB VII. SIMPULAN UMUM.......…………………......………………...… 169 DAFTAR PUSTAKA .......………………………………………………............
171
LAMPIRAN-LAMPIRAN…........……………………………………………...
179
iv
DAFTAR TABEL
No.
Teks
1
Tegangan Ijin setiap Kelas Mutu Menurut SKI C-bo-010:1987 ….............
18
2
Kuat Acuan Kayu Konstruksi untuk Tiap Kelas Mutu Menurut RSNI (2002) ………………………………………………..................................
19
Perbandingan Nilai Rata-Rata Sifat Fisis Kayu Mangium dari Data Primer dan Sekunder.......……...................................................................
46
4
Nilai Rata-Rata Sifat Mekanis Kayu Mangium...........................................
49
5
Perbandingan nilai karakteristik dan tegangan ijin kayu dari data primer dan sekunder dalam bentuk CKBC / FS pada format ASD dan LRFD…… 53
6
Uji T antara MOE CKBC DT Primer dengan MOE CKBC DT sekunder
63
7
Uji T antara MOR CKBC DT Primer dengan MOR CKBC DT sekunder
63
8
Uji T antara MOE CKBC DT Primer dengan MOE CKBC NDT sekunder
64
9
Perbandingan Nilai MOR dan MOE ukuran CKBC dan FS pada data primer dan data sekunder.......…………………………………………….
64
3
Hal
10
Model Matematik Hubungan antara Nilai MOE dan MOR untuk Kayu Mangium…………………………………………………………………... 65
11
Skedul pengeringan untuk kayu Mangium ketebalan 25 mm.......………..
82
12
Rata-Rata Dimensi Log Kayu Mangium untuk 3 Pola Penggergajian …..
90
13
Nilai Kebundaran Log pada Ketiga Kelompok Pola Penggergajian ...........
91
14
Nilai Taper Log pada Ketiga Kelompok Pola Penggergajian ………….....
91
15
Nilai Kelurusan Log pada Ketiga Kelompok Pola Penggergajian ..............
92
16
Perbandingan rendemen kayu Mangium dari pola penggergajian konvensional, pola satu sisi dan pola MOP.......……………………….….
97
Waktu pengeringan (drying time) metode konvensional (air and kiln drying) yang dimodifikasi pada Proses Pengeringan Kayu Mangium.........
100
Waktu pengeringan pada papan kayu Mangium dengan 5 metode pengeringan di PT INHUTANI II.......…………………………………...
101
Kategori dan Persentase Cacat pada Metode Penggergajian Saw Dry Rip (SDR) pada Masing-masing Pola Penggergajian.......…………….………
104
Volume dan Rendemen kayu Mangium pada masing-masing pola pengergajian dan pada setiap tahapan produksi.......……………………..
117
Nama produk sebagai hasil dari setiap tahapan proses produksi pembuatan molding dan mesin pembuatnya.......………………………....
119
Rekapitulasi Biaya Proses Produksi Lumber Shearing Rumah Prefabrikasi.......………………………………………………..................
121
Ukuran bukaan setiap bentuk shearwall……………………........………..
129
17 18 19 20 21 22 23
v
24
Perhitungan kekakuan dan kekuatan pada beberapa tipe komponen panel shearwall.......……………………………………………….....................
139
Perhitungan kekakuan (MOE) dan kekuatan (MOR) beberapa tipe komponen panel shearwall.......…………………………………………..
146
26
Perhitungan Beban Mati Efektif Bangunan Kayu Prefabrikasi.......……...
147
27
Koefisien Gempa dari Spektrum Respon.......…………………………....
147
28
Nilai Gaya Geser Horizontal Gempa.......………………………………...
148
29
Unjuk kerja (performance) panel komponen shearwall berdasarkan zona gempa.......…...............................................................................................
149
25
vi
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Hal
1
Bagan Alur Pikir Penelitian …………………………………….………… 5
2
Contoh uji kadar air, kerapatan, dan berat jenis ………………….......…...
38
3
Pengujian MOE dan MOR dengan one point loading.......……….………
40
4
Histogram hasil analisis cacat.......……………………..................………
51
5
Empat kemungkinan distribusi kekuatan kayu Mangium umur 8 tahun berdasarkan data CKBC – DT primer.............................………………….
57
Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium umur 8 tahun berdasarkan data CKBC – DT primer.......….....................……………….
57
Empat kemungkinan distribusi kekuatan kayu Mangium berdasarkan data CKBC – DT sekunder.......……….....................……………………..
58
Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium berdasarkan data CKBC – DT sekunder.......……….....................……………………..
59
Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium berdasarkan data CKBC – NDT sekunder.......………………………………………....
60
Empat kemungkinan distribusi kekuatan kayu Mangium berdasarkan data FS – DT sekunder.......…………………….....................……………
61
Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium berdasarkan data FS – DT sekunder.......…………………………………………..…..
61
Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium berdasarkan data FS – NDT sekunder......………………………………………….…..
62
13
Kegiatan pemotongan dolog dengan portabel chain saw.......…………....
74
14
Bentuk-bentuk dolog (a) Kebundaran, (b) Taper dan (c) Kelurusan……...…
76
15
Pola Penggergajian Satu Sisi……………………………………………...
78
16
Skema Proses Penggergajian ..........………………………………………
80
17
Skema Proses Pengeringan Kayu Mangium.......………………….………
84
18
Skema Proses Pembuatan Molding.......…………………………….…….
88
19
Retak (checks) pada papan kayu gergajian Mangium.............................….
106
20
Pecah tertutup (splits) pada papan kayu gergajian Mangium......................
106
21
Pecah dalam (honeycomb defect) pada papan kayu gergajian Mangium.....
106
22
Pecah terbuka (open split) pada papan kayu gergajian Mangium.......….....
107
23
Belah (shake) pada papan kayu gergajian Mangium.................................... 107
24
Mata kayu sehat (intergrown knots) pada papan kayu Mangium….....…… 108
25
Mata kayu busuk/lepas (encased knots) pada papan kayu Mangium.......… 108
26
Kayu gubal (sapwood) pada papan kayu gergajian Mangium.....................
6 7 8 9 10 11 12
109 vii
27
Cacat bentuk mencawan (cupping) pada papan kayu gergajian Mangium..
110
28
Kurva nilai rendemen pada setiap tahapan proses produksi pembuatan molding pada masing-masing pola pengergajian.......…………………….
119
29
Sistem Tounge and Groove untuk Dinding Shearwall…………….....…… 126
30
Bentuk-bentuk Desain Sambungan Papan Badan Miring Shearwall A, B, C dan D.......……………………............................................................…
126
31
Penyusunan dan perakitan komponen shearwall ….......…………………
127
32
Shearwall utuh dengan pola papan mendatar (a), dan shearwall pola papan diagonal yang utuh, berjendela dan berpintu (b), (c), (d) .......……..
128
33
Setting Pengujian Panel Shearwall .......……..........................................…
130
34
Prosedur pelaksanaan penerapan beban lateral (racking load) ….........…..
131
35
Pengujian Kekuatan Mekanis Shearwall berupa Uji Racking.......…..........
132
36
Pelaksanaan Pengujian.......……………………………………………….
132
37
Komponen shearwall utuh dengan pola papan mendatar sebagai kontrol (A) dan dengan pola papan diagonal (B) .......…………………………….
136
Komponen shearwall dengan pola papan diagonal utuh dan berjendela (C) dan papan diagonal utuh dan berpintu (D) ......……………….....……
136
Komponen shearwall berjendela dan berpintu dengan pola papan diagonal (E).......………………………………………………..................
136
40
Grafik perbandingan respon beban – deformasi komponen shearwall.......
140
41
Pergeseran antar papan tangue and groove pada shearwalls tipe horizontal (straight sheathing) akibat gaya lateral........................................
144
38 39
42
Terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint) .......…… 144
43
Kerusakan struktur akibat patah dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint) .......………………………………………...... 144
44
Terbentuknya celah (gap) diantara susunan panel papan-papan diagonal pada bagian bawah akibat pembebanan gaya lateral………………………
145
viii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Hal
1
Dimensi Log, Angka Bentuk dan Pembagian Log secara Proporsional pada Setiap Pola Penggergajian.......………………………………………
179
Volume dan Rendemen setiap Jenis Produksi pada Masing-masing Pola Penggergajian.......………………………………………………...............
182
Kategori dan Persentase Cacat Papan pada Metode Penggergajian Saw Dry rip (SDR) pada Masing-masing Pola Penggergajian.......……………
183
4
Jenis dan Jumlah Cacat pada Balok sebagai Rangka Shearwall…………
184
5
Data hasil pengukuran nilai strength ratio (SR) pada Balok sebagai Rangka Shearwall………………………………………………............
184
Jadwal pengeringan kayu Mangium berdasarkan IFC Advisory Services Indonesia 2008.......………………………………………………............
185
Hasil Pengukuran Kadar Air dengan 2 Alat Moisture Meter dalam Proses Pengeringan Kayu Mangium.......…………………………………………
186
Hasil Penurunan Kadar Air dalam Proses Pengeringan Kayu Mangium selama 24 Hari.......……………………………………………….............
186
Rekapitulasi Biaya Proses Produksi Lumber Shearing Rumah Prefabrikasi.......………………………………………………..................
187
2 3
6 7 8 9 10
Sifat Fisis Kayu
*)
11
Data Primer MOE dan MOR
*)
12
Kelompok Data
*)
13
Grafik Distribusi Kayu
*)
14
Optimasi Pengolahan Kayu
*)
15
Data Racking Shearwall
*)
16
Foto-foto Hasil Penelitian
*)
Keterangan : *) Lampiran digital
ix
DAFTAR SINGKATAN DAN KONVERSI CKBC = Contoh Kecil Bebas Cacat FS
= Full Scale = Contoh Uji Skala Pemakaian
KA
= Kadar Air (%)
BKU
= Berat Kering Udara (g)
BKT
= Berat Kering Tanur (g)
VKU
= Volume Kering Udara (cm3)
BJ
= Berat Jenis
ρ
= Kerapatan kayu (g/cm3)
ρ air
= Kerapatan air sebesar 1 g/cm3 pada kondisi suhu 4 0C sebagai benda standar
MOE = Modulus of Elasticity = Modulus elastisitas = nilai kekakuan (kg/cm2) MOEs = Modulus of Elastisity static = modulus elastisitas statis (kg/cm2) MOR = Modulus of Rupture = Modulus Patah = kekuatan lentur (kg/cm2) F
= Beban hingga batas proporsi (kg)
F max = Beban maksimal hingga contoh uji rusak (kg) L
= Panjang bentang (cm)
y
= Defleksi (cm)
b
= Lebar contoh uji (cm)
h
= Tinggi contoh uji (cm)
I
= Momen inersia
NDT = Non Destructive Test DT
= Destructive Test
ASD = Allowable Stress Design = Desain Tegangan Ijin LRFD = Load and Resistance Factor Design = Desain Faktor Beban dan Tahanan. R 0,05 = Kekuatan karakteristik kayu, berupa nilai 5 % EL (Exclusion Limit) = Tegangan ijin ASD dalam spesimen CKBC (kg/cm2) = Tegangan ijin ASD dalam spesimen Full Scale (kg/cm2) AF
= Adjustment Factors = faktor penyesuaian, yang terdiri atas faktor keamanan dan faktor lama pembebanan normal.
SR
= Strength Ratio = rasio kekuatan antara kayu lengkap dengan cacatnya terhadap kekuatan kayu tersebut apabila tanpa cacat (%).
TS = Tegangan Serat = Nilai Tegangan Ijin bagi setiap Kelas Mutu menurut SKI C-bo010:1987 x
E
= Kode Mutu Kuat Acuan Kayu Konstruksi untuk Tiap Kelas Mutu menurut RSNI (2002)
SF
= Special Factors, yang tergantung dari Size Effect (SE), Duration of load, jika pembebanan > 10 tahun, Treated wood/pengawetan, jika diawetkan dan Luas penampang tumpuan/sambungan.
Rn
= Reference stress = Tegangan referensi = kuat acuan. = parameter skala weibull
p
= persentil (5 % EL)
α
= parameter bentuk weibull
Ω
= data confidence factor
CVw = Coeffıcient of Variation KR
= Reliability normalization factor
d
= Diameter rata-rata (cm)
K
= Kebundaran
T
= Taper atau keruncingan dolog
Lr
= Kelurusan
v
= Deviasi
SDR = Teknik Saw Dry Rip R1
= Rendemen dalam bentuk papan sawn timber (%)
R2
= Rendemen dalam bentuk papan bilah/rough lumber (%)
R3
= Rendemen dalam bentuk papan blank (%)
R4
= Rendemen dalam bentuk papan lumber shearing tounge and groove (%)
R
= Rendemen berupa papan hasil pembelahan (%)
Vkg = Jumlah volume tiap papan kayu hasil pembelahan (m3) Vd
= Volume dolog (m3)
Rk
= Kekakuan racking (racking stiffness) panel (kg/mm)
µ
= Faktor daktilitas struktur gedung
δm = Simpangan maksimum struktur pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan (mm) δy
= Simpangan struktur pada saat terjadinya keruntuhan pertama di dalam struktur (mm)
V
= Gaya geser horisontal gempa (kg)
C 1 = Koefisien gempa Ig Rd
= Faktor keamanan struktur = Faktor reduksi gempa
W t = Berat struktur (kg) xi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebutuhan pembangunan rumah di Indonesia sangat tinggi sekitar 900.000 sampai 1,2 juta unit/tahun akibat pertambahan jumlah penduduk dan bencana alam seperti tsunami, banjir, longsor, gunung meletus dan berbagai bencana alam lainnya (Puslitbangkim, 2006). Dalam keadaan normal diperlukan rumah dalam jumlah besar dan sekian rumah yang sudah tua harus direhabilitasi/diganti dengan yang baru serta berbagai kondisi bencana alam yang terjadi. Kebutuhan rumah sudah sangat mendesak, sehingga diperlukan usaha percepatan pembangunan rumah yang layak, mudah dikerjakan, bahannya tersedia dan harganya terjangkau oleh masyarakat. Kondisi Indonesia sering terjadi bencana, sehingga diperlukan usaha untuk rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur termasuk perumahan bagi penduduk yang terkena bencana. Pertimbangan kondisi yang tidak normal akibat bencana ini diperlukan pembangunan rumah yang layak huni, tetapi mudah dan cepat pembangunannya, terjangkau, bahan tersedia di lokasi dan mudah dibuat serta memenuhi syarat rumah tinggal. Rumah sebagai tempat tinggal yang ideal harus memenuhi syarat : tahan cuaca, tahan organisme perusak, tahan gempa, aman dan nyaman dihuni, estetis dan arsitektural, sehat dan ramah lingkungan. Berdasarkan kondisi di atas, rumah prefabrikasi dari kayu bisa menjadi pilihan karena kecepatan pembangunannya, harga terjangkau dan bagianbagian bangunan yang rusak bisa diganti secara parsial. Indonesia merupakan kawasan rawan gempa sehingga menelan banyak korban akibat kegagalan konstruksi. Salah satu penyelesaian untuk bangunan tahan gempa yang praktis adalah menggunakan rumah prefabrikasi. Rumah prefabrikasi (disingkat prefab) adalah rumah yang konstruksi pembangunannya cepat karena menggunakan modul hasil fabrikasi industri (pabrik). Komponen-komponennya dibuat dan sebagian dipasang oleh pabrik (off site). Setelah semuanya siap, kemudian diangkut ke lokasi, disusun kembali dengan cepat, sehingga tinggal melengkapi utilitas (utility) serta pengerjaan akhir (finishing). Beberapa manfaat lain adalah waktu konstruksi yang cepat, lingkungan pembangunan yang bersih dan biaya yang lebih terjangkau. Rumah prefab dirancang berdasar atas modul, maka keleluasaan pemilihan desain menjadi terbatas pada apa yang telah tersedia, namun ini tidak mengurangi minat masyarakat untuk menggunakannya (Roychansyah, 2006).
Struktur bangunan berkayu memiliki stabilitas dan integritas struktur yang sangat tinggi. Hal ini karena kayu memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dibanding berat (strength to weight ratio) daripada baja dan beton yang memiliki berat lebih tinggi daripada kayu, sehingga bangunan kayu umumnya lebih ringan. Sambungan-sambungan komponen bangunan kayu bersifat daktil dan tidak mudah lepas. Pada saat terjadi kerusakan pada salah satu komponen bangunan kayu dapat diatasi, karena kayu dapat mengambil ke posisi keseimbangan baru. Sifat-sifat demikian menyebabkan bangunan kayu lebih tahan terhadap gempa (Karlinasari dan Nugroho 2006). Kayu banyak digunakan sebagai pilihan utama material bangunan karena sifat fleksibilitasnya. Kayu adalah salah satu bahan bangunan yang dapat digunakan sebagai bahan untuk konstruksi rumah prefabrikasi, karena kekuatannya yang cukup tinggi, ringan, mudah didapat, mudah dikerjakan dan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan dapat diproduksi secara berkelanjutan (ramah lingkungan). Dengan adanya degradasi hutan alam, keberadaan kayu yang memenuhi syarat baik kuantitas, kualitas dan ukurannya sebagai bahan bangunan semakin langka, sehingga perlu bahan pengganti alternatif berupa kayu-kayu yang dihasilkan oleh hutan tanaman dari hutan rakyat dan hutan tanaman industri seperti kayu Mangium (Acacia mangium Willd). Kayu Mangium merupakan sumberdaya alam terbarukan (renewable) karena cepatnya pertumbuhan dan potensinya melimpah. Kayu Mangium mempunyai keunggulan diantaranya adalah batangnya bulat lurus, berkulit tebal agak kasar dan kadang beralur kecil dengan warna coklat muda. Kayu Mangium juga kuat, ulet, rata, ringan, keras, mudah dibentuk dan dikerjakan serta mempunyai penampilan kayu mewah (berserat halus dan berkesan raba seperti kayu jati). Pemanfaatan kayu Mangium sebagai bahan bangunan dan furniture semakin beragam sehingga diperlukan teknologi untuk meningkatkan kegunaannya, terutama untuk mengatasi kelemahan kayu Mangium seperti banyak mata kayu, diameter yang terbatas dan cacat split. Hal ini dapat dikendalikan dengan pola pengerjaan bahan kayu yang optimal dan penerapan teknologi pengolahan kayu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kayu agar sesuai dengan kebutuhan bahan baku kayu untuk perumahan. Kayu Mangium memiliki prospek yang potensial berdasarkan sifat – sifat dasar kayunya dimana kekuatan kayu dapat diperhitungkan sebagai kayu konstruksi struktural melalui penerapan sistem masinal. Pada masa yang akan datang dengan perbaikan sifat yang dilakukan, termasuk perbaikan teknik silvikultur, diharapkan terjadi peningkatan sifat mekanis kayunya sebagai bahan bangunan yang ramah lingkungan dan tahan gempa. 2
Hingga saat ini kayu Mangium sebagian besar masih digunakan untuk bahan baku pulp dan kertas, dan hanya sedikit yang mengalokasikan untuk kayu pertukangan, sehingga terkendala pasokan bahan baku untuk pembangunan rumah prefab secara masal. Sebagai bahan bangunan, kayu Mangium memiliki kelemahan banyak mata kayu, diameter relatif kecil, kesilindrisannya relatif rendah dan adanya serat berpuntir meskipun bentuk dolog tergolong cukup bundar. Untuk mengatasi kelemahan ini diperlukan teknologi rekayasa bahan baku dengan penerapan pemilahan log, pola penggergajian, pengeringan dan pengolahan yang tepat guna meningkatkan rendemen dan efisiensi bahan. Kendala kayu Mangium sebagai bahan bangunan ini harus dilakukan teknologi baru untuk memodifikasi berbagai elemen struktur dengan teknologi rekayasa bahan dan rekayasa struktur untuk keperluan pembuatan komponen konstruksi rumah prefabrikasi kayu yang bersifat knockdown, kokoh dan tahan gempa. Agar lebih aplikatif, diperlukan desain dan pengujian model komponen struktur terpilih berdasarkan modul optimasi bahan dan perhitungan kekuatan berdasarkan analisa struktur sehingga dapat diproduksi secara masal dan berskala industri dengan sistem prefabrikasi. B. Tujuan 1. Menentukan nilai karakteristik, tegangan ijin dan pengkelasan mutu kayu Mangium umur 8 tahun sebagai bahan kayu struktural rumah prefabrikasi. 2. Melakukan penggergajian dengan Model Optimasi Penggergajian (MOP), pengeringan dan pengolahan kayu Mangium, guna meningkatkan rendemen dan kualitas kayu untuk bahan komponen struktur rumah prefab. 3. Melakukan pengujian eksperimental keandalan shearwall kayu Mangium terhadap beban lateral monotonik dan analisis perilakunya akibat pengaruh beban gempa pada rumah prefabrikasi. C. Hipotesa 1. Karakteristik kayu Mangium umur 8 tahun berupa sifat dasar, tegangan ijin dan kelas mutu kayu memenuhi syarat sebagai bahan konstruksi bangunan. 2. Kendala keterbatasan kayu Mangium sebagai bahan konstruksi bangunan dapat diatasi dengan penerapan rekayasa pengolahan bahan dan rekayasa struktur sehingga dapat meningkatkan rendemen dan optimalisasi bahan baku. 3. Berdasarkan uji kekuatan shearwall sebagai komponen struktur terpilih terhadap ketahanan gempa, kayu Mangium memenuhi syarat sebagai bahan dinding pada konstruksi rumah prefabrikasi.
3
D. Manfaat 1. Memberikan informasi tentang karakteristik bahan dan komponen struktur bangunan dari kayu Mangium 2. Teknologi rekayasa bahan dan rekayasa struktur terhadap kayu Mangium membantu meningkatkan rendemen dan efisiensi bahan baku pada konstruksi rumah kayu. 3. Memberikan informasi cara pembuatan produk rumah kayu masal dengan cara prefab, terjangkau, mudah, tahan gempa dan bahan tersedia melimpah. E. Novelty 1. Merancang komponen rumah prefab dari kayu Mangium dengan konstruksi modular mulai dari penentuan tegangan ijin dan pengkelasan mutu untuk bahan konstruksi, optimalisasi pengolahan bahan, serta uji komponen untuk kekokohan konstruksi dan ketahanan gempa sehingga bisa diproduksi secara masal. 2. Mengatasi keterbatasan kayu Mangium umur 8 tahun dengan penerapan rekayasa pengolahan bahan dan rekayasa struktur guna meningkatkan sifat dan kualitas kayu Mangium sesuai persyaratan teknis bangunan, meningkatkan rendemen (efisiensi) dan ramah lingkungan. 3. Optimasi pemanfaatan kayu Mangium dari HTI merupakan inovasi yang bernilai tinggi karena akan menghemat pemanfaatan kayu hutan alam dan lebih prolingkungan sebagai sumber bahan bangunan struktural yang sangat baik berupa : pemilahan kayu berdasarkan kelas mutu kayu sehingga hemat bahan, pemilihan pola penggergajian yang bernilai rendemen tinggi, dibuat ukuran serba papan dalam bentuk solid dan laminasi yang sesuai dengan karakteristik log diameter kecil dan desain struktur diagonal sheathing dengan pemanfaatan semua ukuran panjang papan. F. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain : (1) Kebutuhan rumah yang sangat mendesak; (2) Kondisi geografis Indonesia yang rawan gempa; (3) Keunggulan kayu dibandingkan dengan bahan bangunan lain; (4) Keunggulan kayu Mangium sebagai produk hutan tanaman; dan (5) Keterbatasan/kendala kayu Mangium yang perlu diatasi dengan rekayasa teknologi. Kendala ini yang mengakibatkan perlunya teknologi rekayasa bahan baku dengan penerapan pemilahan log, pola penggergajian dan pengolahan yang tepat guna meningkatkan rendemen dan efisiensi bahan. Berangkat dari kendala kayu
4
Mangium yang akan dipergunakan sebagai bahan bangunan, muncul gagasan untuk menerapkan teknologi baru (teknologi rekayasa bahan dan rekayasa struktur) agar kayu Mangium dapat diproduksi secara masal dan berskala industri dengan sistem prefabrikasi. Alur pikir penelitian disajikan sebagaimana pada Gambar 1 berikut : PERMASALAHAN Bagaimana membuat komponen struktur rumah prefabrikasi dari optimasi pemanfaatan kayu Mangium umur 8 tahun untuk memenuhi kebutuhan rumah yang ramah lingkungan dan tahan gempa ?
I. Pengujian sifat dasar untuk menentukan karakteristik kayu dan penentuan tegangan ijin serta pengkelasan mutu kayu Mangium umur 8 tahun dalam format ASD/LRFD
II. Optimasi penggergajian dan pengolahan kayu Mangium untuk peningkatan rendemen dan efisiensi bahan berupa : 1. Pengukuran dan pemilahan log, angka bentuk 2. Optimasi penggergajian log dengan MOP 3. Proses pengeringan yang optimum 4. Proses pengerjaan kayu untuk pembuatan molding 5. Optimasi dan efisiensi pengolahan kayu berupa rendemen dan cacat akibat pengolahan
III. Pengujian model komponen struktur terpilih mulai dari desain, perakitan dan pengujian komponen struktur shearwall berupa : pengujian eksperimental keandalan shearwall terhadap beban lateral monotonik
Analisis perilaku panel komponen shearwall kayu Mangium akibat pengaruh beban gempa pada rumah prefabrikasi
Rekomendasi penggunaan kayu Mangium umur 8 tahun sebagai komponen struktur bangunan kayu prefabrikasi Rumah Sederhana Sehat dan tahan gempa.
Gambar 1. Bagan Alur Pikir Penelitian
5
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) 1. Risalah Kayu Mangium Pohon Mangium adalah tanaman asli (indigeneous species) yang tumbuh di Australia bagian utara, Papua Nugini dan Indonesia. Penyebaran alami di Indonesia meliputi daerah Papua, Kepulauan Maluku, Pulau Seram, Pulau Aru dan Kalimantan Timur. Wilayah penyebarannya meliputi 1 – 18,57 oLS dan 125,22 – 146,17 oBT dengan ketinggian 0 – 100 m dpl dengan batas tertinggi pada ketinggian 780 m dpl (Pinyopusarerk et. al., 1993). Pohon Mangium telah terbukti tumbuh baik di luar habitat aslinya. Pohon yang termasuk jenis intoleran ini unggul untuk reboisasi lahan kritis dan padang ilalang, dan sangat potensial sebagai penghasil kayu. Pohon Mangium termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing species) di daerah tropik dan memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi dalam setiap upaya reboisasi (Pinyopusarerk et. al., 1993). Pohon Mangium merupakan jenis daun lebar (broadleaves) dan termasuk ke dalam divisio Spermatophyta, sub divisio Angiospermae, ordo Rosales, famili Leguminoceae dan genus Acacia. Genus yang termasuk kelas Dicotyledons ini memiliki lebih dari 1.000 spesies pohon dan perdu yang tumbuh di Afrika, Amerika, Asia dan Australia. Nama lain Mangium adalah pilang atau jati mangium (Jawa), mangge hutan, tongke hutan (Seram), nak (Maluku), laj (Aru) atau jerri (Papua) (Pinyopusarerk et. al., 1993). Pohon Mangium dikembangkan pada tahun 1942 di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur oleh Jepang untuk mendapatkan bahan baku popor senjata dan pada tahun 1978 di Sumberjeriji dengan benih berasal dari Sabah. Sejak dicanangkan HTI pada tahun 1984, Mangium dipilih sebagai salah satu jenis tanaman favorit HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu serat (bahan baku pulp dan kertas) pada rotasi 6 - 7 tahun dan umur rotasi 25 – 30 tahun sebagai kayu pertukangan serta untuk kayu bakar. Pohon Mangium tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi, bahkan mampu tumbuh dengan baik pada lahan yang miskin hara dan tidak subur. Habitus pohon Mangium dapat mencapai tinggi 30 m dengan diameter mencapai 90 cm serta batang bebas cabang 10 – 15 m. Ciri tanaman ini adalah batangnya bulat lurus,
banyak cabang, berkulit tebal agak kasar dan kadang beralur kecil dengan warna coklat muda (Andriawan, 1999). Tegakan Mangium mampu menghasilkan riap tahunan sebesar 46 m3/ha/tahun pada plot pemuliaan dan 32 m3/ha/tahun pada tingkat praktek di lapangan. Diameter Mangium di HTI yang berumur 10 tahun berkisar antara 20 – 22 cm dengan tebal kayu terasnya mencapai 14 – 16 cm (Malik et. al., 2000). Diameter pohon Mangium tersebut sebesar 38,6 cm pada umur 13 tahun dengan Mean Annual Increment (MAI) diameter sebesar 5,98 cm/tahun. Diameter setinggi dada akan membesar dengan cepat sampai lebih dari 20 cm hanya dalam kurun waktu 4 tahun, kemudian menurun setelah tahun ke lima dan pada umur 8 tahun pertumbuhannya seolah berhenti pada diameter 30 cm (Tsai, 1993). 2. Sifat Dasar Kayu Kayu merupakan produk alami yang mempunyai sifat yang sangat komplek yang terdiri dari jutaan sel dan berbagai unsur kimia. Ditinjau secara makroskopis, kayu tersusun atas sel-sel kayu dalam struktur selular dengan komposisi dinding sel, rongga sel dan membran yang mengandung selulose, hemiselulose, lignin dan karbohidrat. Di dalam kayu terdapat zat penyusun seperti kayunya sendiri, zat ekstratif dan air. Faktor-faktor ini mengakibatkan kayu bisa berubah bentuk seperti melengkung, retak atau pecah, mudah atau sukar digergaji dan kayu menampilkan karakter-karakter tertentu seperti adanya kayu gubal, kayu teras, lingkaran tahun dan sebagainya yang dapat dilihat mata. Perilaku dan karakter ini dapat menentukan mutu dolog dan kayu penggergajian (Rachman dan Malik, 2008). Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kayu menyebabkan perbedaan sifatsifat yang dimiliki oleh kayu tersebut. Sehingga dalam pengolahan dan penggunaan setiap jenis kayu disesuaikan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh kayu tersebut. 1. Sifat Anatomis 1). Lingkaran Tumbuh Lingkaran tumbuh atau lingkaran tahun nampak jelas pada kayu Mangium yang tumbuh di daerah dengan perbedaan musim hujan dan musim kemaraunya nyata. Pada musim hujan dibentuk sel-sel dengan dinding yang tipis (kayu awal) karena sebagian hasil fotosintesa digunakan untuk pertumbuhan (tunas-tunas baru) dan sedikit untuk penebalan dinding. Sebaliknya pada musim kemarau dibentuk sel-sel dengan dinding
8
yang tebal (kayu akhir) karena hasil fotosintesa tidak diperlukan untuk pertumbuhan. Pita kayu yang berselang-seling ini menandai batas lingkaran tahun. Lingkaran tumbuh kayu Mangium pada kayu normal berkolerasi dengan kerapatan, yaitu kayu dengan pori tata lingkar, kerapatannya cenderung meningkat dengan meningkatnya lingkaran tumbuh. Kayu Mangium termasuk jenis kayu cepat tumbuh yang mempunyai batas lingkaran tumbuh yang jelas pada bagian terasnya dengan lebar 1 – 2 cm (Ginoga, 1997). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhannya yang cepat serta adanya kayu muda (juvenile wood). 2). Tebal Kayu Gubal dan Kayu Teras Kayu gubal (sapwood) dan kayu teras (heartwood) pada kayu Mangium tampak jelas pada potongan atau penampang lintang dolog. Gubal terletak di sekeliling bagian luar dolog, tepat setelah kulit kayu. Setelah gubal terdapat silinder kayu teras yang merupakan sumber bahan kayu yang penting dan di bagian pusat terletak empulur (pith). Gubal berwarna lebih terang dari pada teras, keawetan dan kekuatannya lebih rendah tetapi permeabilitasnya lebih tinggi. Gubal merupakan jaringan kayu yang masih hidup sedangkan teras adalah jaringan yang sudah mati. Tebal kayu gubal dan kayu teras berpengaruh terhadap kekuatan kayu. Hasil pengamatan terhadap dolog kayu Mangium menunjukkan kecenderungan bahwa makin tinggi umur kayu maka bagian kayu terasnya makin tebal (Ginoga, 1997). 3). Warna dan Serat Kayu Warna kayu teras dan gubal dapat dilihat dengan jelas : bagian teras berwarna lebih gelap, sedangkan gubalnya berwarna putih dan lebih tipis. Warna kayu teras agak kecoklatan, hampir mendekati warna kayu jati, kadang-kadang mendekati warna jati gembol. Arah serat lurus sampai berpadu (Ginoga, et. al., 1999). Tekstur kayu agak kasar, kesan raba agak halus dan kayu agak lunak, arah serat lurus dan agak berpadu (Rulliaty dan Mandang, 1988). 2. Sifat Fisis dan Mekanis 1). Berat Jenis dan Kadar Air Berat kayu meliputi berat zat kayu sendiri, berat zat ekstraktif dan berat air yang dikandungnya. Jumlah zat kayu dan zat ekstraktif biasanya konstan, sedangkan jumlah kandungan air berubah-ubah. Untuk mendapat keseragaman, maka dalam penentuan berat jenis kayu, berat ditentukan dalam keadaan kering tanur.
9
Sifat fisis dan mekanis yang umum dijadikan dasar dalam penggunaan kayu adalah berat jenis (BJ), kadar air (KA) dan keteguhan (MOE dan MOR). Hasil pengujian BJ dan KA menyatakan bahwa kayu Mangium pada umur 10 tahun mempunyai berat jenis 0,57 dan kadar air basah dan kering udara berturut-turut adalah 125 % dan 18 %. Secara statistik berat jenis kayu pada umur yang berbeda tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (Ginoga, 1997). 2). Kekuatan dan Kelas Kuat Hasil pengujian terhadap sifat mekanis menyatakan bahwa kayu Mangium di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten pada umur 8 tahun dari Bogor mempunyai nilai MOE rata-rata sebesar 97.308 kg/cm2 (Sulistyawati, 2009) dan dari Indramayu sebesar 88.000 kg/cm2 dengan nilai MOR rata-rata sebesar 436 kg/cm2 (Firmanti et al., 2003). Hasil pengujian kayu Mangium pada umur 10 tahun mempunyai nilai MOR, MOE dan tekan sejajar serat berturut-turut adalah 942 kg/cm2, 113.644 kg/cm2 dan 435 kg/cm2 (Ginoga, 1997). Berdasarkan sifat mekanis yang dimilikinya, kayu Mangium dapat digunakan sebagai bahan konstruksi ringan, mebel dan barang kerajinan. Kayu lamina Mangium memiliki MOE 105.900 kg/cm2 dan memenuhi syarat yang ditetapkan oleh JAS (Ginoga, 1997). Berdasarkan berat jenis, keteguhan lentur statis dan tekan sejajar serat, pada umur 10 tahun maka kayu Mangium termasuk kelas kuat II – III (Ginoga, 1997). 3. Keawetan dan Keterawetan Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu, terutama faktor biologis, seperti jamur, serangga (rayap dan bubuk) dan binatang laut. Sifat keawetan ditentukan berdasarkan persentase penurunan berat kayu akibat serangan faktor biologis. Sedangkan sifat keterawetan kayu adalah kemampuan kayu menyerap bahan pengawet tertentu yang diawetkan dengan metode tertentu. Sifat keterawetan ditentukan berdasarkan retensi dan daya penetrasi bahan pengawet terhadap kayu. Retensi dinyatakan dalam kg/m3 kayu dihitung berdasarkan penimbangan kayu sebelum dan sesudah pengawetan. Penetrasi dinyatakan dalam persen luas penampang contoh uji (Ismanto, 1995). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, kayu Mangium memiliki kelas ketahanan IV (rendah) terhadap serangan rayap tanah dan kelas ketahanan III (sedang) terhadap penggerek di laut (Muslich dan Sumarni, 1993). Kayu Mangium memiliki sifat keterawetan yang berbeda menurut asal kayunya. Dengan menggunakan bahan
10
pengawet CCA, kayu Mangium dari hutan tanaman (asal Jawa Barat) memiliki sifat keterawetan lebih buruk (kelas awet II-III) dibanding kayu Mangium dari hutan alam (asal Maluku) yang memiliki kelas awet I-II (Martawijaya dan Barly, 1990). 4. Pengolahan Kayu Mangium a. Pengergajian Produk kayu umumnya diolah sebelum dimanfaatkan. Penggergajian adalah suatu unit usaha yang menggunakan bahan baku kayu, dengan alat utama gergaji, mesin sebagai tenaga penggerak serta dilengkapi dengan berbagai alat atau mesin pembantu (Widarmana, 1981). Sedangkan kayu gergajian merupakan kayu-kayu yang dihasilkan dari proses menggergaji dan menggergaji kembali. Penggergajian merupakan proses pertama dalam urutan industri pengolahan kayu berupa kegiatan merubah bentuk atau konversi kayu bulat menjadi kayu persegian untuk memenuhi tujuan tertentu (Rachman dan Malik, 2008). Sedangkan tujuan menggergaji adalah untuk mendapatkan kayu gergajian dengan ukuran dan kualita tertentu sesuai dengan tujuan pemakaiannya, mendapatkan produksi yang tinggi, memperoleh rendemen yang tinggi, memanfaatkan kayu gergajian dengan ongkos produksi yang rendah, dan memperoleh kayu gergajian dengan ukuran yang tepat, bebas cacat atau berkualitas tinggi (Padlinurdjaji dan Ruhendi, 1981). Bila melihat mata rantai industri pengolahan kayu, maka dalam pabrik pengergajian terjadi proses perubahan pertama kali kayu dalam bentuk dolog menjadi kayu gergajian (sawn timber) atau disebut kayu konversi berupa balok, papan, tiang serta sortimen lainnya. Sehingga industri kayu gergajian disebut industri kayu primer yang akan mendorong pertumbuhan industri kayu sekunder. Penggergajian adalah kegiatan merubah bentuk atau konversi kayu bulat menjadi kayu persegian untuk memenuhi tujuan tertentu dengan menggunakan pola penggergajian tertentu. Pola penggergajian (sawing pattern atau cutting programme) adalah rencana dan cara pembelahan dolog menjadi potongan atau lembaran kayu gergajian beserta urutan dan penugasannya pada mesin-mesin penggergajian, dengan cara merencanakan dan mengatur cara menggergaji agar dolog dapat dimanfaatkan seefisien mungkin (Rachman dan Malik, 2008). Berbagai macam pola penggergajian dapat diciptakan untuk setiap potong dolog yang dijadikan pedoman untuk menggergaji yaitu pola penggergajian satu sisi
11
(sawing trough-and trough atau live sawing), berguling (round sawing), taper (taper sawing), perempatan (quarter sawing) dan penggergajian simulasi. 1). Penggergajian Satu Sisi Pola penggergajian satu sisi adalah pola sederhana dimana dolog dikunci pada suatu sisi lalu digergaji secara terus-menerus ke arah sisi yang berhadapan sampai selesai. Pola ini ditandai oleh irisan gergaji yang seolah-olah membuat garis singgung dengan lingkaran tahun yang sejajar satu sama lain bila dilihat pada penampang lintang dolog. Pola penggergajian satu sisi biasa digunakan untuk dolog berdiameter kecil, kayu-kayu dari hutan tanaman dan dolog yang banyak mengandung cacat. Dengan pola ini waktu produksi relatif cepat akan tetapi kualitas kayu gergajian yang dihasilkan umumnya rendah. Namun, bila dolognya bermutu tinggi maka pola satu sisi akan menghasilkan rendemen paling tinggi (Rachman dan Malik, 2008). 2). Pola Penggergajian Berguling Pola penggergajian berguling merupakan teknik penggergajian dengan cara mengelilingi dolog. Pola penggergajian ini didasarkan kepada teori bahwa sifat-sifat dolog, terutama jenis-jenis kayu tropis, yaitu bagian terluar dolog terdapat lebih sedikit cacat kayu semakin ke arah dalam (empulur) semakin banyak mengandung cacat seperti mata kayu, busuk, retak dan hati rapuh. Jumlah dan jenis cacat itu menyebar tidak merata pada keempat sisi dolog. Sehingga pola ini merupakan cara untuk dapat memanfaatkan terlebih dahulu bagian dolog yang bermutu lebih tinggi. Praktek penggergajian dengan pola berguling dilakukan dengan cara mulamula dolog dinilai pada keempat sisinya. Sisi yang terbaik digergaji lebih dahulu. Selanjutnya dolog dikunci pada suatu posisi lalu sisi dolog yang pertama digergaji seperti pada pola satu sisi. Penggergajian dihentikan ketika ditemui cacat. Pada saat itu dolog diputar 90°. Penggergajian dilanjutkan pada sisi ke- 2 dan dihentikan lagi setelah ditemui cacat. Demikian seterusnya pada sisi ke- 3 dan ke- 4 penggergajian dilakukan sampai akhirnya sekeliling dolog yang dikatakan sebagai pola berguling 12-3-4. Modifikasi pola dilakukan dengan pola berguling 1-3-4-2 yang diterapkan bagi dolog-dolog yang mengandung tegangan tumbuh (Rachman dan Malik, 2008). 3). Pola Pengergajian Taper Pola penggergajian taper adalah pola yang digunakan untuk dolog- dolog taper bentuknya seperti kerucut terpotong. Jenis-jenis pola penggergajian taper menurut
12
Rachman dan Malik (2008) adalah pola satu sisi sejajar kulit (one bark live sawing), pola taper dua sisi (taper sawing two sides) dan pola empat sisi (taper sawing four sides). Dolog yang digergaji dengan semua pola di atas akan menghasilkan kayu gergajian datar (flat sawn lumber). 4). Pola Penggergajian Perempatan Pola penggergajian perempatan diciptakan untuk mendapatkan kayu gergajian yang lebih baik, dolog digergaji dengan membentuk irisan-irisan gergaji tegak lurus atau hampir tegak lurus terhadap lingkaran tahun atau membentuk sekitar 45° dengan lingkaran tahun. Kayu gergajian yang dihasilkan oleh pola perempatan disebut kayu gergajian perempatan (quarter sawn lumber). Kayu gergajian perempatan ditandai oleh garis-garis hampir lurus yang tampil lebih indah pada permukaannya, terutama pada jenis-jenis kayu dengan lingkaran tahun yang nyata. Keunggulannya adalah stabilitas dimensi dan keausan permukaannya relatif tinggi karena irisan gergaji mengerat dolog secara radial sehingga permukaan kayunya menjadi lebih padat (jarak lingkaran tahun lebih rapat). Kekurangannya adalah rendemen dan produktifitas penggergajian relatif rendah karena tingginya sebetan yang terbuang dan waktu diperlukan selama produksi untuk mendapatkan irisan dengan posisi radial yang lebih tepat (Rachman dan Malik, 2008). 5). Penggergajian Simulasi Simulasi adalah suatu metode pemecahan masalah dengan cara menggunakan suatu model. Dalam penggergajian, sebagai model adalah dolog dengan diameter dan panjang tertentu yang dianggap berbentuk silindris masif dengan kedua ujungnya terpotong tegak lurus. Komponen model lainnya adalah tebal irisan gergaji dan ukuran kayu gergajian yang dianggap berbentuk lempengan empat persegi. Permasalahannya adalah bagaimana mendapat lempengan (kayu gergajian) secara maksimum dari dolog model. Dengan simulasi yang dilakukan secara berulang-ulang, banyaknya lempengan yang diperoleh dapat dihitung secara matematik melalui ukuran dolog, tebal irisan gergaji dan ukuran lempeng dengan bantuan komputer. Program komputer untuk penggergajian simulasi dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor dengan nama program MOP (Model Optimasi Penggergajian). Dengan cara ini rendemen tertinggi simulasi penggergajian mencapai sekitar 83 % (Rachman, 1994).
13
Hasil simulasi memberikan informasi bahwa pada tebal kayu gergajian yang akan diproduksi dan diameter dolog yang digergaji akan diperoleh posisi Pembelahan Pertama Terbaik (PPT), jumlah lembar kayu gergajian dan rendemen. Hasil simulasi disajikan dalam bentuk tabel yang digunakan untuk membantu operator di lapangan dalam mendapatkan PPT tanpa menggunakan komputer (Ginoga et al., 1999). Hasil kayu gergajian dari penggergajian simulasi selalu bernilai lebih tinggi dari kenyataan yang sebenarnya, karena pola penggergajian simulasi menganut asumsi bahwa wujud dolog adalah simetris, lurus atau silindris, lintasan gergaji betulbetul lurus dan cacat dolog minimal. Uji coba teknik penggergajian konvensional pada dolog kayu Mangium dengan rata-rata diameter 22,4 cm dan panjang 257,5 cm, diperoleh rendemen penggergajian sebesar 39,60 %. Sejak diterapkannya teknik penggergajian dengan sistem simulasi dengan program MOP dalam penentuan posisi PPT, teknik ini mampu meningkatkan rendemen penggergajian dolog diameter kecil rata-rata 12,4 % atau menjadi 51,24 % (Rachman dan Balfas, 1993). b. Pengerjaan Karakteristik pengerjaan kayu Mangium, seperti kemudahan dipotong, diserut, dibor dan diampelas secara umum memberikan hasil sangat baik. Pengujian yang dilakukan Ginoga (1997), sifat permesinan kayu Mangium termasuk kelas II - I (baiksangat baik). Karena papan kayu Mangium umumnya berukuran sempit serta ukuran yang relatif pendek, maka teknologi papan sambung dan balok lamina menjadi solusi untuk mengatasi masalah tersebut (Rachman dan Balfas, 1993). c. Pengeringan Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memperbaiki mutu pengeringan kayu Mangium, antara lain dengan perlakuan pengeringan alami (air drying), perebusan, pengukusan dan pemanasan dengan microwave sebelum dikeringkan lebih lanjut. Dengan perlakuan pengeringan alami, mutu kayu menjadi baik namun secara ekonomis tidak menguntungkan karena memerlukan waktu sangat panjang (Trihastoyo, 2001). Metode lain dengan memakai microwave dapat mempercepat pengeringan dan mengurangi porsi cacat kayu (Krisdianto dan Malik, 2004), namun sulit untuk diaplikasikan di Indonesia karena alat tersebut memerlukan daya listrik yang tinggi. Perlakuan sebelum pengeringan dengan pengukusan (Basri dan Yuniarti, 2001) dan perebusan (Krisdianto dan Malik, 2004) mampu mempercepat pengeringan
14
namun menimbulkan cacat dan degradasi warna pada kayu Mangium. Perlakuan pengukusan dapat meningkatkan tekanan pengeringan (drying stress) pada kayu red oak lebih tinggi dibandingkan dengan pengurangan kecepatan pengeringannya (Wang et. al., 1993). Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pengeringan pada permukaan kayu yang kadar airnya sudah berada di bawah titik jenuh serat dengan bagian dalam kayu yang kadar airnya masih tinggi, sehingga terjadi tegangan tarik antara bagian dalam dan bagian permukaan yang mengakibatkan kerusakan pada kayu. Kayu yang sifat zat ekstratifnya peka terhadap panas akan terurai atau menguap sehingga terjadi degradasi warna pada permukaannya (Boyd, 1974). Perubahan warna ini berkaitan erat dengan proses penguapan yang berjalan sangat cepat di awal pengeringan sementara kadar air kayu masih tinggi (Tarvainen et al., 2001). Pada penelitian quarter sawn dan flat sawn dengan kelembaban awal masingmasing 112 % dan 99 %, Silitonga (1987) melaporkan bahwa untuk mencapai kadar air 9 % kedua contoh tersebut masing-masing memerlukan waktu 10 dan 16 hari dan jarang terjadi pecah ujung atau melengkung. Kelemahannya adalah kolaps pada kayu teras yang biasa terjadi pada awal pengeringan. Gejala lebih jelas terlihat pada papan quarter sawn. Pengeringan sebaiknya dengan kombinasi antara shed drying (predrying treatment) dan kiln drying sehingga mengurangi cacat pengeringan dan dapat meningkatkan kualitas kayu Mangium (Basri et al., 2002). B. Keteknikan Kayu Konstruksi untuk Struktur Bangunan 1. Desain Struktur, Tegangan Ijin dan Standar Kualitas Kayu Konstruksi Kayu konstruksi adalah kayu bangunan yang digunakan sebagai elemen struktur bangunan yang penggunaannya memerlukan perhitungan beban (Surjokusumo, 1993). Struktur adalah gabungan komponen yang menahan gaya desak, tarik atau momen untuk meneruskan beban ke tanah dengan aman. Elemen struktur terdiri atas batang desak yang berfungsi menahan gaya desak aksial, batang tarik sebagai penahan gaya tarik aksial, balok sebagai penahan gaya geser, lentur dan gaya aksial dalam struktur horisontal dan kolom dalam struktur vertikal yang berfungsi sama dengan balok (Siswadi, et al., 1999). Kayu adalah bahan konstruksi dari tumbuhan. Sifat alaminya yang beragam akan mempengaruhi kualitas kayu yang dibentuknya dan untuk mampu menahan beban yang ditopang oleh kayu harus berada pada batas tegangan yang diijinkan. Tegangan dasar pada kayu yang diperhitungkan dengan beberapa faktor koreksi seperti keamanan, penyesuaian, pengaruh ukuran, kadar air dan rasio kekuatan, akan menghasilkan suatu
15
nilai tegangan yang diijinkan (allowable stress) yang memberikan jaminan keselamatan dalam penggunaannya. Tegangan ijin dibuat sedekat mungkin dengan penggunaannya agar dihasilkan nilai penggunaan dan keamanan yang cukup tinggi (Surjokusumo, 1993). Dalam mendesain struktur, kapasitas (capacity) struktur harus lebih besar atau sama dengan beban (demand) yang akan diterima oleh struktur (demand ≤ capacity). Bila tidak terpenuhi, struktur akan runtuh atau tidak dapat memenuhi fungsi layannya. Beban berupa gaya-gaya eksternal yang diterima sebuah struktur menimbulkan gaya-gaya internal pada elemen struktur. Gaya internal tersebut berupa tarik, tekan, lentur, geser, torsi dan tumpu. Gaya-gaya internal di dalam batang menimbulkan efek berupa terjadinya tegangan (σ) dan regangan (ε). Tegangan merupakan ukuran intensitas gaya persatuan luas (σ = P/A), sedangkan regangan menunjukkan besarnya deformasi dibandingkan dengan kondisi mula-mula (ε = Δ/y). Gaya-gaya internal yang terjadi dalam batang menyebabkan bermacam-macam bentuk kerusakan. Gaya tarik mempunyai kecenderungan menarik elemen hingga putus. Tegangan tarik terdistribusi merata pada penampang elemen bersih, sehingga tegangan tarik dinyatakan sebagai σ = P/A. Gaya tekan menyebabkan hancur atau tekuk pada elemen. Elemen yang pendek cenderung hancur dan memiliki kekuatan mendekati kekuatan tarik elemen tersebut. Sebaliknya semakin panjang material akan semakin rendah kekuatannya menahan tekan. Elemen tekan yang berukuran panjang dapat menjadi tidak stabil dan secara tiba-tiba menekuk pada taraf beban kritis. Ketidakstabilan tiba-tiba ini menyebabkan material tidak mampu menerima tambahan beban karena akan menyebabkan kelebihan tegangan pada material. Fenomena ini disebut tekuk (buckling). Terjadinya tekuk menyebabkan elemen panjang (balok) tidak mampu memikul beban yang sangat besar. Lentur merupakan keadaan gaya komplek yang berkaitan dengan melenturnya balok akibat adanya beban transversal. Aksi lentur menyebabkan serat-serat pada satu muka balok memanjang akibat mengalami tarik, sedang pada muka lainnya memendek akibat mengalami tekan. Jadi pada lentur, baik gaya tekan maupun gaya tarik terjadi pada satu penampang yang sama. Oleh karena itu tegangan akibat gaya kompleks ini tidak dapat dinyatakan dengan rumus umum σ = P/A. Tegangan tarik dan tekan pada balok lentur bekerja tegak lurus permukaan penampang. Geser adalah gaya-gaya berlawanan arah yang menyebabkan satu bagian struktur tergelincir terhadap bagian didekatnya. Tegangan geser terjadi pada arah tangensial permukaan gelincir. Gaya-gaya yang komplek terjadi pada batang yang mengalami
16
puntiran (torsi). Balok yang mengalami torsi akan menyebabkan terjadinya tegangan tarik dan tegangan tekan. Tegangan tumpu terjadi antara bidang muka dua elemen apabila gaya-gaya disalurkan dari satu elemen ke elemen lainnya, misalnya tegangan tumpu terjadi pada ujung-ujung balok terletak di atas kolom. Untuk alasan arsitektural dan kenyamanan penggunaan, besarnya defleksi dibatasi. Struktur dapat disebut mengalami kegagalan apabila defleksinya melebihi batas yang diijinkan, meskipun struktur tersebut masih mampu menahan beban yang diberikan terhadapnya (Schodek, 1999). Apabila batang dibebani secara aksial, maka akan timbul tegangan di dalam batang yang disebut dengan tegangan aktual. Jika material yang digunakan masih mampu menahan beban tersebut, maka batang tidak akan runtuh. Apabila bebannya diperbesar sehingga tegangannya meningkat, maka pada saat tertentu akan mencapai titik dimana tegangan yang timbul akan melebihi kapasitas bahan. Pada titik ini batang akan mulai mengalami kegagalan dalam menahan beban sehingga tegangan yang timbul disebut tegangan patah. Tegangan patah hanya tergantung pada material, sehingga melalui eksperimen dapat ditetapkan tegangan patah untuk setiap material (Schodek, 1999). Tegangan patah material menunjukkan tegangan maksimum yang bisa diterima material, namun perencana akan mempertimbangkan keamanan struktur selama penggunaan dan hal lain yang menyebabkan kegagalan struktur yang dibangunannya. Perencana selalu memberikan tambahan ukuran material secara rasional untuk meningkatkan kapasitasnya. Tambahan ukuran material dalam perencanaan struktur dilakukan dengan memberikan faktor penyesuaian (Adjustment Factor, AF) yang terdiri atas faktor keamanan dan faktor lama pembebanan normal. Tegangan patah yang telah direduksi dengan faktor penyesuaian disebut dengan tegangan ijin (FPL, 1999). Pada material yang relatif seragam, persamaan tegangan ijin (F x = Fpatah *AF) cukup memadai. Tetapi sebagai produk alam yang dipengaruhi oleh genetik dan faktorfaktor lingkungan selama pertumbuhannya, kayu memiliki sifat dengan variasi sangat tinggi. Oleh karena itu sangat riskan untuk menetapkan tegangan patah sebatang kayu sebagai tegangan patah bagi seluruh kayu dalam populasi. Pada kayu yang berasal dari satu batang pohon dapat diperoleh tegangan patah terkecil sebesar satu persepuluh dari tegangan patah terbesar. Selang ini semakin besar kalau kayu berasal dari individu pohon, tempat tumbuh dan jenis yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan pendekatan statistik untuk memilih tegangan patah yang dapat mewakili seluruh populasi. Pada umumnya dipilih tegangan patah 5 % terlemah sebagai nilai bagi tegangan patah seluruh batang kayu dalam populasi, yang disebut dengan 5 % Exclusion Limit (5 % EL). Pada ASTM D 17
2915 (2003), 5% EL disebut dengan kekuatan karakteristik yang bisa dihitung secara parametrik dan non parametrik, dengan demikian tegangan ijin pada kayu dinyatakan dengan F x = 5% EL.AF. Tegangan ijin setelah direduksi dengan faktor-faktor penyesuaian lain merupakan sisi kapasitas dalam perencanaan struktur menggunakan format ASD (Bachtiar, 2008). Pengkelasan mutu kayu telah dilakukan sesuai dengan SKI C-bo-010:1987 (Dephut, 1988) yang mendasarkan pengujian MOE menggunakan beban ganda di tengah bentang pada posisi edgewise sesuai standar ASTM D 198 (2005) dan menghasilkan kelas mutu kayu berdasarkan tegangan lenturnya. Nilai tegangan ijin bagi tiap kelas mutu disebut Tegangan Serat (TS) seperti Tabel 1 berikut. Tabel 1. Tegangan Ijin setiap Kelas Mutu Menurut SKI C-bo-010:1987 Kelas Mutu
Lentur
TS35 TS32 TS30 TS27 TS25 TS22 TS20 TS17 TS15 TS12 TS10 TS7 TS5
350 325 300 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50
Tegangan Kerja dasar (kg/cm2) Tarik Tekan Geser // serat // serat // serat 210 271 26 195 252 24 180 232 22 165 213 20 150 193 18 135 174 16 120 155 15 105 135 13 90 116 11 75 97 9 60 77 7 45 58 5 30 39 3
Tekan ⊥ serat 52 48 45 41 37 33 30 26 22 18 15 11 7
MOE(x1000 kg/cm2 ) 210 200 190 180 170 160 150 140 125 110 95 80 65
Sumber : SKI C-bo-010 : 1987 Spesifikasi Kayu Bangunan untuk Perumahan. DepHut (1988)
Depkimpraswil (2002) dalam Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (RSNI) mencantumkan nilai desain yang disebut Kuat Acuan Lentur yang dihitung melalui pengujian menggunakan beban tunggal di tengah bentang pada posisi flatwise. Tabel 2. menyajikan kode mutu dan nilai kuat acuan bagi desain tersebut.
18
Tabel 2. Kuat Acuan Kayu Konstruksi untuk Tiap Kelas Mutu Menurut RSNI (2002) Kode Mutu
Modulus elastisitas Lentur Ew (x1000
kg/cm2 ) E26 250 E25 240 E24 230 E23 220 E22 210 E21 200 E20 190 E19 180 E18 170 E17 160 E16 150 E15 140 E14 130 E13 120 E12 110 E11 100 E10 90 Sumber : RSNI (2002)
Kuat Lentur Fb
Kuat Tarik Sejajar Serat Ft
Kuat Tekan sejajar serat Fc
Kuat Geser Fv
Kuat Tekan Tegak lurus serat Fc⊥
660 620 590 560 540 520 470 440 420 380 350 320 300 270 230 200 180
600 580 560 530 500 470 440 420 390 360 330 310 280 250 220 190 170
460 450 450 430 410 400 390 370 350 340 330 310 300 280 270 250 240
66 65 64 62 61 59 58 56 54 54 52 51 49 48 46 45 43
240 230 220 210 200 190 180 170 160 150 140 130 120 110 110 100 90
Desain nilai tegangan ijin menurut PKKI maupun SKI menggunakan format ASD (Allowable Stress Design), sedangkan dalam desain SNI di Indonesia menganut format LRFD (Load and Resistance Factor Design) sehingga nilai desain bagi sifat kekuatan kayu harus ditetapkan dalam format baru. 2. Pemilahan Kayu dan Pendugaan Kekuatan Kayu Konstruksi Sifat mekanis kayu merupakan salah satu sifat yang dapat dipakai untuk menduga kegunaan suatu jenis kayu. Beberapa sifat mekanis kayu untuk menilai kekuatan kayu adalah : a.
Keteguhan kayu, ialah kemampuan kayu dalam menahan beban atau gaya yang diberikan padanya. Sifat keteguhan kayu meliputi : Keteguhan lentur, Keteguhan tekan tegak lurus arah serat, Keteguhan tekan sejajar arah serat, Keteguhan geser sejajar arah serat, Sifat keuletan dan Sifat kekerasan.
b.
Sifat Elastisitas Kayu, ialah ketahanan kayu terhadap perubahan bentuk saat beban atau gaya diberikan kemudian kayu kembali ke bentuk semula. Dalam mempelajari sifat mekanis kayu terdapat batasan dasar yaitu tegangan
(distribusi gaya per satuan luas) dan regangan (perubahan panjang per unit panjang bahan). Hubungan tegangan dan regangan ini berbentuk kurva berbanding lurus.
19
Sifat mekanis terutama nilai MOE dan MOR dapat dijelaskan sebagai berikut : a.
Sifat kekakuan, yang dinyatakan dalam bentuk Modulus of Elasticity (MOE). Nilai MOE ini menyatakan kekakuan kayu, keadaan bentuk dan posisi penampang bahan serta posisi pembebanan pada kayu tersebut. Ditinjau dari segi posisi pembebanan pada kayu, nilai MOE dibagi menjadi 2 sesuai cara yang digunakan sebagai berikut : 1) Pembebanan cara terpusat di tengah (center loading). Dimana pemberian beban dilakukan di satu titik tepat di tengah-tengah bentang kayu uji. Rumus MOE yang digunakan adalah : (1) dimana : MOE
= Modulus of Elasticity (kg/cm2)
ΔF
= Beban yang diberikan (kg)
L
= Jarak sangga (cm)
Δy
= Lenturan yang timbul (cm)
b
= Lebar balok (cm)
h
= Tebal atau tinggi balok (cm)
2) Pembebanan cara Two Load Point Loading Rumus MOE yang digunakan untuk pembebanan cara Two Load Point Loading adalah : (2) b.
Tegangan patah pada beban maksimum (fiber stress at maximum load), yaitu tegangan yang terjadi pada saat benda tersebut patah. Nilai ini merupakan sifat kritis kayu yang disebut Modulus of Rupture (MOR) atau Modulus Patah. Rumus untuk menghitung Modulus Patah adalah sebagai berikut : 1) MOR untuk Center Loading : (3) 2) MOR untuk Two Load Point Loading : (4) dimana : Fmax = Beban maksimal hingga contoh uji rusak (kg)
20
Variabilitas kayu sangat tinggi akibat pengaruh genetik dan faktor lingkungan selama pertumbuhan. Variabilitas ini juga terjadi pada sifat mekanis kayu yang dicirikan dua sifat penting yaitu kekakuan lentur (MOE) dan keteguhan lentur patah (MOR). Kekakuan lentur kayu konstruksi di pasaran kayu bangunan Indonesia berkisar pada selang yang sangat lebar yaitu antara 30.000 – 260.000 kg/cm2, atau bedanya mencapai 6 – 9 kali kekakuan kayu terlentur. Kekakuan kayu terkuat (MOR) yang mampu mencapai sekitar 1.200 kg/cm2 bisa mencapai 11 – 13 kali dibanding yang terlemah (Surjokusumo dan Bachtiar, 2000) Penetapan nilai kekuatan karakteristik untuk setiap jenis/kelompok jenis, secara ekonomis ataupun sumberdaya sangat merugikan karena justifikasi kekuatan jauh di bawah kemampuan kayu yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan penggunaan dimensi kayu untuk suatu beban tertentu menjadi lebih besar dibanding yang dibutuhkan, sehingga terjadi pemborosan sumberdaya. Karena itu pemilahan guna penentuan kelas mutu (grading) dikembangkan dengan mencari variabel selain jenis sebagai dasar pengkelasan mutu. Variabel alternatif tersebut diharapkan dapat diukur dengan mudah tanpa merusak kayu dan mempunyai korelasi yang tinggi dengan sifat kekuatan kayu. Berat jenis dan MOE memenuhi kedua syarat tersebut dengan baik.
Menurut Gloss (1994) dalam
Surjokusumo dan Bachtiar (2000) berat jenis berkorelasi dengan MOR sebesar 0,5 dan MOE sebesar 0,7 – 0,8. Maka MOE diharapkan dapat digunakan sebagai variabel tunggal untuk menduga kekuatan kayu. Namun, koreksi terhadap jenis masih perlu dilakukan meski asumsi dasarnya MOE dapat menduga MOR secara regardless species. Untuk kemudahan, setiap potong kayu yang memiliki sifat mekanis serupa dipisah atau dikelompokkan ke dalam kelas yang disebut dengan kelas mutu (stress grade). Kelas mutu tersebut dicirikan oleh satu atau lebih standar penyortiran, sekumpulan sifat mekanis yang diijinkan untuk desain struktur dan sebuah nama kelas mutu yang khas. Sifat mekanis yang diijinkan tergantung kepada standar penyortiran dan faktor tambahan yang tidak berkorelasi dengan standar penyortiran. Dalam pengkelasan mutu, sifat yang diperlukan sebagai standar penyortiran adalah modulus elastisitas, keteguhan tekan, tarik dan geser sejajar serat, keteguhan tekan tegak lurus serat dan keteguhan lentur patah. Saat ini dikenal dua sistem pemilahan kayu yaitu pemilahan visual dan masinal. a. Pemilahan Visual Pemilahan visual menganggap bahwa sifat kayu gergajian berbeda dari sifat kayu bebas cacat karena terdapat karakteristik pertumbuhan yang berpengaruh terhadap
21
sifat tersebut. Karakteristik pertumbuhan digunakan untuk menyortir kayu gergajian ke dalam beberapa kelas mutu. Pemilahan visual didasarkan dua konsepsi yaitu: 1) Kekuatan kayu konstruksi berbanding lurus dengan kekuatan jenis kayunya dalam keadaan bebas cacat. Kekuatan ini hasil dari pengujian contoh kecil bebas cacat. 2) Reduksi kekuatan karena cacat kayu seperti miring serat dan lain-lain dinyatakan dalam rasio kekuatan yang menggambarkan besarnya pengaruh cacat tersebut. Dalam standar ASTM D 245 (2005), karakteristik pertumbuhan yang digunakan sebagai standar penyortiran adalah miring serat, mata kayu, retak dan pecah, pingul dan seleksi berat jenisnya. Pada PKKI NI-5 (1961) dan SII 0458 (1981) karakteristik pertumbuhan yang digunakan sebagai standar penyortiran adalah mata kayu, pingul, miring serat, retak, pecah dan berat jenis. Dalam SKI C-b0-010 (1987) memanfaatkan mata kayu, pingul, miring serat, retak, pecah, lubang gerek dan cacat gabungan dalam penyortiran kelas mutu kayu A dan B. b. Pemilahan Masinal Di Indonesia telah dikembangkan sistem masinal berupa mesin pemilah mekanis yang murah, sederhana dan mudah dioperasikan di lapangan yang disebut Mesin Pemilah Kayu Panter (Plank and Sorter). Pada dasarnya Panter menduga kekuatan kayu dengan cara mengukur defleksi untuk beban tertentu dan kemudian dikonversi dalam bentuk persamaan hubungan menjadi suatu nilai modulus elastisitas dan keteguhan lentur patahnya. Persamaan tersebut adalah MOR = 109 + 0,00301 MOEPanter (Surjokusumo dan Bachtiar, 1999). Ada 2 cara untuk mengukur tegangan yang diperkenankan pada kayu, yaitu pengujian langsung dengan menghancurkan beberapa contoh uji dan pengujian tidak langsung dengan mengukur variabel sifat kayu yang berkorelasi dengan kekuatan kayu tanpa merusaknya (non destructive test) (Surjokusumo dan Bachtiar, 2000). Beban yang diterima struktur dipengaruhi oleh tipe beban (beban mati, beban hidup, beban angin dll), sudut dan perletakan beban. Besarnya beban juga dipengaruhi oleh interaksi antar elemen dalam sistem geometri struktur yang bersangkutan. Sedangkan kapasitas sebuah struktur ditentukan oleh kombinasi antara tipe material (berkaitan dengan sifat-sifat mekanisnya), bagian-bagian dan bentuk geometri struktur (section and geometry) dan perilaku struktur dalam menerima beban (performance). Sehingga proses desain struktur dipengaruhi oleh beban, bentuk geometri, kondisi lingkungan, material dan performance dari struktur. Pertimbangan ekonomi dan estetika menjadi kendala yang perlu diperhitungkan meskipun hal ini menjadi 22
prioritas berikutnya dalam pertimbangan keamanan dan kemampuan layan dari struktur (Schodek, 1999). Suatu keadaan ketika struktur mulai mengalami ’kegagalan’ dalam memenuhi fungsinya disebut dengan limit state. Keadaan ini dicapai ketika demand sama dengan kapasitas. Ada 2 macam limit state yang dipergunakan untuk mendesain struktur, yaitu serviceability limit state dan safety limit state. Serviceability limit state berkaitan dengan kemampuan struktur dalam memberikan layanan fungsional struktur dalam menerima beban akibat penggunaan sehari-hari. Sedangkan safety limit state berkaitan dengan keamanan struktur akibat menerima beban maksimum yang mengakibatkan keruntuhan, ketidakstabilan dan kehilangan kesetimbangan. (Schodek, 1999). Serviceability limit state memberikan batasan maksimum kondisi yang masih dapat ditoleransi berkaitan dengan kegagalan fungsi layan yang menyebabkan ketidaknyamanan penggunaan atau terganggunya keindahan arsitektural. Kondisi yang dibatasi serviceability limit state antara lain vibrasi dan defleksi. Desainer menggunakan serviceability limit state untuk menyatakan performance struktur sebenarnya dalam memenuhi fungsi layan sehari-hari. Dalam mendesain, kemampuan layan sebuah struktur dapat dibuat dengan presisi cukup baik tanpa berlebihan menggunakan bahan. Sedangkan safety limit state dapat dijelaskan secara statistik mengenai probabilitas kegagalan (probability of failure) atau sebaliknya probabilitas aman (probability of survival). Dengan menggunakan statistik, dapat diduga keamanan struktur berdasarkan probabilitas yang terukur, guna mempertimbangkan margin keamanan yang rasional untuk mencegah terjadinya keruntuhan /kerusakan. Ada dua format untuk menghitung kekuatan kayu, yaitu ASD (Allowable Stress Design) dan LRFD (Load and Resistance Factor Design). 1). Format ASD (Allowable Stress Design) Format ASD merupakan format konvensional, diasumsikan tidak terdapat variabilitas beban sehingga setiap macam beban dianggap mempunyai pengaruh yang sama terhadap kayu. Tegangan ijin murni ditentukan oleh distribusi kekuatan kayu dan tidak ada distribusi beban. Konsep dasar format ASD adalah : Kd.Fx ≥ D + L, yang berarti beban hidup ditambah beban mati harus lebih kecil atau sama dengan tegangan ijin dikalikan dengan faktor lama pembebanan. Faktor lama pembebanan (Kd) dipilih 1,00 untuk lantai dan 1,25 untuk atap tanpa salju. Nilai tersebut diperoleh dengan asumsi lama pembebanan selama 10 tahun. Sedangkan tegangan ijin (Fx) merupakan kekuatan karakteristik kayu yang telah direduksi dengan faktor keamanan 23
sebagai faktor pengali, yakni sebesar 1/(2,1) untuk softwood dan 1/(2,3) untuk hardwood. Kekuatan karakteristik suatu jenis atau kelompok kayu merupakan 5 % exclution limit terhadap distribusi populasinya. Pedoman SKI C-b0-010 (1987) menerapkan metode ini dan menyajikan tabel tegangan ijin kayu konstruksi dalam 13 kelas mutu kayu yang disebut dengan TS (Tegangan Serat) 2). Format LRFD (Load and Resistance Factor Design). Format LRFD merupakan format praktis, sederhana dan siap pakai bagi masyarakat perkayuan Amerika Serikat. Dasar penggunaan analisis keterandalan dalam menentukan faktor beban (load) dan daya tahan (resistance) untuk desain struktural mengacu kepada suatu diagram keamanan struktur. Standar ASTM D 5457 (2004) mengijinkan dua cara perhitungan ketahanan referensi (reference resistance) yaitu prosedur reliability normalization dan format conversion. Reliability normalization merupakan prosedur LRFD yang dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat, sedangkan format conversion hanya mengalikan tegangan ijin (allowable stress) dalam format ASD dengan faktor konversi sebesar 2,16/ɸ. Karena itu format conversion tidak dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat. LRFD adalah metode desain struktural yang menggunakan konsep teori keterandalan dan memasukkannya ke dalam prosedur yang dapat dipakai oleh masyarakat desain. LRFD diadopsi dari metodologi Reliability Based Design (RBD), tetapi prosedur kedua desain ini berbeda cukup nyata. RBD sering menghitung kuantitas berhubungan dengan keterandalan pada kondisi dan jangka waktu tertentu. Satu masalah dalam penerapan RBD untuk aplikasi struktural adalah perhitungan yang harus mengidealisasikan beban dan respon sistem struktural dalam mereduksi beban menjadi persamaan matematika. Proses idealisasi ini sangat menarik tetapi terlalu rumit dalam praktek. LRFD dikembangkan dengan memilih sebagian konsep dasar RBD dan mengembangkan sebuah format yang mirip dengan desain ASD. LRFD memberikan perbaikan dalam proses desain dibanding ASD, yaitu : 1) Pertimbangan variabilitas macam-macam beban saat menaksir faktor-faktor keamanan. 2) Pertimbangan konsekwensi atas aneka ragam modus potensi kerusakan pada struktur. 3) Nilai keteguhan material yang terkait dengan data hasil pengujian (kapasitas elemen struktur)
24
4) Pertimbangan variabilitas keteguhan. Standar yang terbit sebelum ASTM D 5457 (2004) tentang tegangan ijin berbagai jenis produk berbahan kayu mengarahkan penggunaan ragam cara menghitung dugaan fifth percentile limits dari populasi. Angka tunggal ini menjadi dasar penetapan tegangan ijin. Sebaliknya RBD memerlukan definisi yang akurat tentang sebagian ekor bawah dari distribusi bahan dan sebagian besar ekor atas dari distribusi beban. LRFD memerlukan informasi lebih banyak seperti reference values dan variabilitas dibanding prosedur sebelumnya, namun secara substansial lebih sedikit dibanding RBD. Pengguna LRFD hanya memerlukan tipe distribusi dan parameter-parameter yang mencirikan distribusi tersebut. Pendugaan distribusi dan parameternya lebih akurat menggunakan sebagian ekor distribusi daripada seluruh distribusi, karena untuk aplikasi gedung hanya ekor bawah distribusi keteguhan dan ekor atas distribusi beban yang mungkin menyebabkan kerusakan. Simulasi menunjukkan bahwa tipe distribusi yang
diasumsikan sangat
berpengaruh dalam penghitungan faktor keteguhan LRFD. Perbedaan ini dikarenakan ketidakmampuan bentuk distribusi standar untuk mengepas/menyelaraskan ekor data dengan tepat. Dengan menstandarisasi tipe distribusi, prosedur ini memberikan nilai tengah yang konsisten untuk mendapatkan faktor-faktor yang diharapkan. Apalagi dengan mengijinkan pengepasan/penyelarasan ekor data, ini memberikan cara pengepasan/penyelarasan data dalam wilayah yang lebih superior daripada tipe distribusi lengkap. Tim pengembangan LRFD Amarika Serikat menyimpulkan bahwa (Gromala, et al., 1994) : 1) Analisis keterandalan merupakan perangkat yang sangat berguna. Namun karena variabel yang berpengaruh terhadap keterandalan elemen struktur tidak dapat dikuantifikasi, maka tidak mungkin menghitung indeks keterandalan kecuali dalam pengertian relatif. 2) Karena metode analisis atau prosedur untuk menghasilkan parameter-parameter input belum distandarisasi, maka tidak tepat untuk menganjurkan penggunaan analisis keterandalan untuk menghitung nilai desain 3) Jika sebuah standar menawarkan target indeks keterandalan yang konsisten dengan pengalaman praktis dapat dikembangkan, dan jika standar tersebut memberikan referensi yang teliti untuk perhitungan keterandalan, maka mudah untuk menggunakan analisis keterandalan dalam memperoleh faktor normalisasi yang mengarah kepada nilai desain yang digunakan. 25
Berdasarkan hal tersebut, standar spesifikasi ASTM D 5457 (2004) ini menghasilkan nilai desain dua pendekatan yaitu pendekatan format conversion dan pendekatan reliability normalization.
Kedua
pendekatan
ini dalam praktek
memberikan kepuasan dalam mencapai tujuan yang konsisten. Pendekatan reliability normalization memberikan kondisi yang teliti dan terstandarisasi sehingga indeks keterandalan dapat dicapai. 1) Format Conversion Format Conversion dilakukan untuk menghitung faktor aritmatik yang akan memberikan keadaan yang identik antara metode desain ASD dan LRFD. Untuk lenturan sederhana : ASD
: C D .F.S A = D + L
LRFD : λ.ɸ.Rn.S L = 1,2 D + 1,6 L
(5) (6)
Dimana : C D = load duration factor (ASD) λ
= time effect factor (LRFD)
ɸ = resistance factor F Rn
= allowable stress = reference stress
S A,L = section modulus req ‘d (ASD, LRFD) D,L = dead load, live load Dengan menyelesaikan kalibrasi (ditentukan S A = S L ) faktor konversi, K f adalah : (7) Untuk mengkalibrasi satu kasus pembebanan, maka dapat dipilih perbandingan beban (load ratio =L/D) dimana kalibrasi diinginkan, masukkan nilai-nilai numerik untuk parameter lain dan diselesaikan untuk mendapatkan K f. Kepuasan kalibrasi dibuat dengan memplot Kf memotong garis load ratio untuk dua beban yaitu beban lantai (occupancy) dan beban curah hujan (rain), meneliti pembebanan yang paling umum untuk tiap kasus dan memilih suatu titik yang menyeimbangkan kelebihan dalam desain lantai dengan kekurangan desain atap. Pemilihan ini dapat diterima secara spasial karena memberikan keseimbangan yang beralasan dari kasus-kasus pembebanan dan spasial karena berakibat intuisi ahli teknik berkembang bahwa floor spans cukup konservatif. Akhirnya nilai numerik yang dipilih untuk faktor konversi
26
adalah 2,16/ɸ. Rasio ini diperoleh melalui penyelesaian aljabar dari Kf untuk L/D = 3, λ = 0,80 dan K D =1,15 (Bahtiar, 2008). 2) Reliability Normalization Konversi berdasarkan keterandalan dapat dilakukan melalui prosedur standar, yaitu : a)
Pemilihan nilai indeks keterandalan (β) yang ditargetkan
b) Pemilihan variabel untuk analisis yang diteliti c)
Pemilihan kasus-kasus pembebanan yang diamati (termasuk bentuk distribusi, parameter, dan perbandingan beban).
d) Pelaksanaan analisis Ketika standar ini berkembang, pendekatan ini membutuhkan data keteguhan dalam suatu sel yang spesifik. Setiap sel membutuhkan pertimbangan keterwakilan dari sampel, teknik pengepasan distribusi yang baik dan pendugaan parameter. Permasalahan lain muncul untuk menguji validitas pengambilan data dan kebutuhan afirmasi ulang pada stabilitas populasi. Pendekatan di atas menghasilkan nilai desain untuk produk spesifik pada tata cara yang spesifik pula, namun penggunaannya dalam kontek yang berbeda sangat sulit. Metode alternatif, distandarisasikan dalam ASTM D-5457 (2004), memanfaatkan prinsip-prinsip analisis keterandalan untuk menciptakan prosedur seragam yang lebih mudah diadaptasi untuk berbagai macam produk. Metode alternatif ini menganjurkan agar β target ditetapkan untuk kondisi harapan tertentu dan analisis dilakukan hanya pada variabel primer yaitu distribusi reference resistance, beban mati dan beban hidup. Kondisi harapan ditetapkan berdasarkan statistik pembebanan spesifik. Dalam metode ini nilai reference resistance dihitung dengan mengalikan dugaan fifth percentile dari populasi dengan reliability normalization factor, KR . Rn = KR .R 05
(8)
K R merupakan perbandingan sederhana antara faktor keterandalan hasil perhitungan dengan faktor konstanta yang telah ditetapkan dalam buku pegangan desain (ɸ c , ɸ s), dan nilai K R telah ditabelkan dalam ASTM D-5457 (2004). 3. Produk Kayu Rekayasa (Engineered Wood Products) Kayu bermutu struktural adalah kayu gergajian yang dapat digunakan untuk struktur bangunan. Jadi produk kayu rekayasa bermutu struktural adalah semua material yang berbahan dasar kayu atau serat kayu yang diolah sedemikian rupa sehingga mampu 27
menjadi bahan struktur bangunan seperti papan/panel struktural, kayu lamina/laminated beam dan built up beam. APA-EWA (2002) membagi produk kayu hasil rekayasa dalam beberapa kategori, yaitu a). panel struktural termasuk kayu lapis, OSB (Oriented Strand Board) dan panel komposit, b). kayu lamina (Glued Laminated Timber), SCL (Structural Composit Lumber) dan LVL (Laminated Veneer Lumber) serta balok I (I-joist) dan c). Built up beam (portal rangka). Jenis produk komposit kayu yang termasuk kayu rekayasa adalah kayu lamina (glulam), kayu lapis (plywood), sambungan kayu dengan plat baja, balok I (wood I-joist), OSB (Oriented Strand Board), wafer board, LVL (Laminated Veneer Lumber), PSL (Parallel Strand Lumber) dan LSL (Laminated Strand Lumber) (Smulski, 1997). Pembuatan papan laminasi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan bahan konstruksi dari kayu berdiameter kecil. Uji coba pembuatan produk ini antara lain dilakukan oleh Ginoga (1998). Pada pembuatan bilah sambung dan papan sambung, kayu Mangium berkualitas baik dibawah kualitas kayu Pinus dan diatas kayu Sukun dengan menggunakan sambungan menjari (Alamsyah dan Rahman, 2002). C. Rumah Kayu Rumah kayu adalah rumah yang hampir 100 persen mulai dari lantai, dinding, sampai tiang-tiangnya terbuat dari kayu. Meskipun prinsipnya sama dengan rumah biasa, bangunan rumah kayu sebaiknya tidak langsung bersentuhan dengan tanah, agar tidak lembab dan tidak mudah diserang rayap. Lantai rumah kayu diangkat atau ditinggikan dari tanah minimal 50 cm. Bahkan untuk rumah kayu yang diangkat secara ekstrim seperti rumah panggung, di bagian bawah rumah yang lapang, bisa dijadikan garasi atau ruang servis, karena itu pondasi yang cocok untuk rumah kayu adalah pondasi setempat (umpak) (Hardjopranoto dan Suharsa, 2005). 1.
Persyaratan dan Keunggulan Rumah Kayu Sebagai Tempat Tinggal Rumah sebagai tempat tinggal harus memiliki kaidah-kaidah layak huni. Agar
bangunan memiliki keandalan, bangunan tersebut harus memenuhi aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bangunan Gedung No. 28/2002 (Sabaruddin, 2006). Manusia memerlukan rumah sebagai tempat tinggal, berlindung dari cuaca dan binatang buas, serta bertahan hidup dari bencana alam. Rumah ideal sebagai tempat tinggal harus memenuhi persyaratan antara lain : tahan cuaca, tahan organisme perusak,
28
tahan gempa, mudah dibongkar dan dipasang kembali, aman dan nyaman dihuni, estetis dan arsitektural, sehat dan ramah lingkungan (Fahutan IPB, 2005). Keunggulan Rumah Kayu adalah : (Pandey, 2006) a.
Efisien secara teknis. Pondasi diminimalisir, panel dinding tidak membebani dan dapat dikurangi ketebalannya. Komponen dasarnya (kayu, paku, baut) tidak mahal.
b.
Ramah lingkungan dan lestari. Kayu bersifat sebagai sumberdaya terbarukan dan tersedia secara komersial.
c.
Diterima secara budaya. Sistem ini menggunakan bahan tradisional pada konteks keteknikan yang modern.
d.
Tahan dan Aman. Semua komponen diawetkan secara aman terhadap kehidupan sehari-hari sehingga ramah lingkungan. Secara teknis, struktur rumah kayu tahan angin, gempa dan akibat-akibat alam lainnya
e.
Teknik perbaikan sambungan semakin baik dan sangat presisi.
f.
Konstruksi modular. Cocok untuk prefab atau pabrikasi di tempat. Semua komponen dirancang untuk prefab atau dipersiapkan di workshop.
g.
Mudah dirakit. Hanya dibutuhkan pekerjaan kayu dasar dan alat-alat pertukangan dan keahlian diperlukan untuk menangani konstruksi ini.
2.
Komponen Rumah Kayu Bangunan rumah dapat diproduksi tiap-tiap komponennya kemudian dirangkai di
lapangan yang meliputi : komponen pondasi, komponen lantai, komponen dinding, komponen langit-langit, komponen kuda-kuda, serta komponen atap (Fahutan IPB, 2005). a. Komponen Pondasi Dikenal 2 tipe pondasi, yaitu tembokan menerus dengan ketinggian lebih dari 50 cm untuk menghindari kelembaban akibat kontak langsung dengan tanah dan panggung dengan ketinggian lebih dari 50 cm, lantai kayu dengan pondasi umpak untuk menghindari genangan dan serangan rayap. b. Komponen Lantai dan Dinding Komponen lantai dan dinding pada rumah kayu, konstruksinya hampir sama. Ada 2 tipe konstruksi untuk komponen lantai dan dinding rumah kayu. Pertama, konstruksi diafragma (kotak) yang menggunakan rangka kayu sebagai komponen struktural dan plywood, panel kayu (block board, particle board, cement board, medium density fiber board, oriented strand board) atau bilik bambu sebagai lapisan penutup (sheathing). Kedua, konstruksi stress skin component dimana desain lantai dan dinding model ini
29
memanfaatkan papan-papan yang ditata membentuk sudut 45o dari vertikal dan saling tegak lurus antar komponen sebagai lapisan penutup (sheathing). Untuk menghindari timbulnya celah akibat penyusutan, maka dapat ditambahkan bingkai antar pelat. Papanpapan miring ini berfungsi estetis dan sebagai komponen struktural. c. Komponen Atap Komponen atap terdiri dari komponen kuda-kuda, langit-langit dan atap. Komponen kuda-kuda didesain menggunakan papan paku yang dapat dibongkar dan dipasang dengan cepat. Langit-langit dapat dibuat dengan mempersiapkan komponen-komponen yang dapat disambung dengan mudah, sedangkan atap dapat mempergunakan seng atau asbes. Bentuk dan bahan atap rumah kayu beragam jenisnya. Syaratnya bergaya natural dan bobotnya ringan. Bentuk atap rumah kayu berupa model standar seperti atap pelana atau perisai dan bentuk atap rumah tradisional seperti model atap rumah joglo, model lumbung Bali atau rumah adat Batak (Nurweda, 2005). 3.
Komponen Dinding Geser (Shearwall) Shearwall sebagai komponen dinding merupakan elemen vertikal pada sistem
tahanan gaya lateral (lateral force resisting) yang berfungsi menopang diafragma dan mentransfer gaya-gaya lateral ke arah pondasi. Pada bangunan dengan diafragma kayu sering digunakan dinding geser dari bata atau beton seperti halnya dinding geser dengan rangka kayu (Anonim, 2004). Sejumlah bahan sheathing dapat digunakan untuk dinding geser pada dinding rangka kayu antara lain : Panel kayu struktural seperti plywood dan oriented strand board (OSB), gypsum wallboard (drywall), fiberboard (termasuk fiber-cement panels) dan lumber sheathing (horizontal atau diagonal sheathing). Panel kayu struktural mempunyai kapasitas dinding geser yang lebih besar jika dibandingkan dengan tipe sheathing lainnya. Dinding geser kantilever dimulai dari pondasi, dibebani oleh satu atau lebih gayagaya lateral dan diagram momen serta gaya geser pada segmen dinding geser satu lantai. Apabila terdapat tambahan lantai, akan terdapat tambahan gaya-gaya lateral yang bekerja pada dinding geser masing-masing tingkat diafragma. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada waktu mendesain dinding geser (Anonim, 2004) adalah ketebalan sheathing, pemakuan dinding geser, desain chord/elemen rangka bagian samping (tarik dan tekan), desain collector/elemen rangka bagian atas dan bawah (tarik dan tekan), ketentuan angkor (ikatan ke bawah dan geser), proporsi geser panel dan defleksi.
30
Dinding geser rangka kayu yang umum adalah tipe yang menggunakan wood structural panel sheathing atau plywood siding. Wood structural panel sheathing biasanya hanya dipasang pada satu sisi dinding sebagai pelapis akhir dinding (finish wall) dan jika gaya geser desain yang dipikul lebih besar maka panel sheathing dipasang pada kedua sisi dinding geser. Apabila menggunakan ukuran dan jarak paku yang sama pada kedua sisi panel sheathing, maka shearwall mempunyai kapasitas geser yang dobel. Plywood siding dan structural wood panel siding juga dapat digunakan untuk menahan gaya-gaya pada dinding geser. Siding ini dapat dipaku langsung pada klos (stud) atau mungkin dipasang disamping gypsum sheathing yang mempunyai ketebalan 15,875 mm. Desain wood light frame shearwall dibagi menjadi 3 macam metode, yaitu metode Segmented shearwall yang mengasumsikan bahwa masing-masing dinding geser merupakan elemen kantilever, terjepit pada bagian dasar dan bagian atas bebas terdefleksi ke arah samping, metode Shearwall designed for force transfer around openings, dimana seluruh dinding termasuk bukaan berfungsi sebagai shearwall dan metode Perforated shearwall yang merupakan pengembangan semi empiris dari percobaan yang dilakukan pada shearwall (Anonim, 2005). Lumber sheathing secara ekstensif digunakan untuk wood frame shearwalls. Lumber sheathing dapat digunakan secara horizontal (straight sheathing), tetapi tipe ini relatif lemah dan fleksibel. Tipe lainnya adalah diagonal sheathing yang lebih kuat dan kaku oleh karena mempunyai sifat triangulasi seperti halnya sifat rangka batang (truss) (Anonim, 2004). IBC menyediakan metode perhitungan untuk shearwall. Defleksi yang terjadi pada shearwall adalah akibat lentur (bending), geser (shear), slip paku (nail slip) dan slip angkor (anchorage slip). Perilaku shearwall sama dengan kantilever I-beam. Chords menahan momen, analog dengan flange dari I-beam dan terjadi perpanjangan aksial dan pemendekan chords akibat adanya defleksi. Kekakuan lentur dari shearwall ada hubungannya dengan kekakuan aksial chords (Anonim, 2005). D. Rumah Prefabrikasi 1.
Definisi dan Ruang Lingkup Rumah prefabrikasi adalah rumah yang konstruksi pembangunannya cepat karena
menggunakan modul hasil fabrikasi industri (pabrik). Komponen-komponennya dibuat dan sebagian dipasang oleh pabrik (off site). Setelah semuanya siap, kemudian diangkut ke lokasi, disusun kembali dengan cepat, sehingga tinggal melengkapi utilitas (utility)
31
serta pengerjaan akhir (finishing). Keuntungannya adalah waktu konstruksi yang cepat, lingkungan pembangunan yang lebih bersih, dan biaya yang lebih terjangkau. Karena biasanya berdasar atas modul, maka keleluasaan pemilihan desainnya terbatas pada apa yang telah tersedia (Roychansyah, 2006). Kayu adalah salah satu bahan bangunan yang sangat baik untuk konstruksi rumah prefabrikasi, karena kekuatannya yang tinggi, ringan, mudah didapat, mudah dikerjakan dan dapat diperbaharui. Cara membangun rumah dengan cepat ialah dengan cara prefabrikasi, yaitu pembuatan bagian-bagian rumah di dalam pabrik dan kemudian dipasang di tempat. Pekerjaan-pekerjaan sebagian besar dilaksanakan dalam pabrik sehingga tidak tergantung pada iklim, kondisi pekerjaan lebih baik, produksi lebih cepat, mudah dan baik. Prefabrikasi adalah seluruh bagian rumah diproduksi secara presisi di workshop (bengkel) sebelum dipasang (Kamil, 1970). Sebelumnya rumah prefabrikasi hanya mengandung terminologi: material terbatas, masal dan hibrid pada suatu lokasi, moduler, panel, pabrikan (manufactured), dengan sistem semi-fix (pre-engineered system). Di Eropa dan Jepang rumah prefab didefinisikan sebagai rumah dengan modul tertentu dan dibangun layaknya rumah biasa (dari satu lantai sampai low rise house) yang dikenal sebagai dwellhouse prefab dan menjadi bagian dari budaya berumah di negara tersebut. Rumah prefab menjadi pilihan karena kecepatan pembangunannya dan terjangkau. Kayu banyak digunakan sebagai pilihan utama material bangunan karena sifat fleksibilitasnya (Roychansyah, 2006). Di Amerika dan Canada, rumah prefab dikenal sebagai manufactured house yang bertumpu pada struktur baja, mengikuti mobile home atau caravan sebagai rumah dinamis (portable house prefab). Proses produksi manufactured house 85% diselesaikan di dalam pabrik, atau masih dibedakan dengan modular house sebagai rumah prefab. Bermula dari kayu, saat ini material bangunan untuk rumah prefab sudah sangat beragam, seperti beton pracetak (precast concrete), baja ringan (light gauge-steel), kayu lapis (timber framed) dan beragam materi mutakhir lainnya. Dari produksi masal, saat ini masyarakat bisa memilih rumah-rumah prefab itu secara individu dengan hanya memilih desain di katalog atau ruang pamer (housing plaza) dan beberapa modifikasi yang dimungkinkan. Rumah akan berdiri dalam waktu pengerjaan (construction time) tak lebih dari sebulan setelah semua syarat (termasuk tanah) tersedia. Rumah kayu identik dengan rumah knockdown yang bisa dibongkar pasang. Padahal rumah kayu banyak yang permanen, walaupun di lokasi pembangunan komponen rumah seperti dinding, lantai, dan atap, umumnya tinggal dipasang. Knockdown adalah 32
bila diperlukan, rumah bisa dibongkar dan dipasang kembali di tempat berbeda, tanpa ada bagian yang rusak dan harus diganti (Hardjopranoto dan Suharsa, 2005). Pemasangan dengan sistem knockdown diikat pasak, mur-baut, paku dan sebagainya. Pemasangan tidak butuh tenaga ahli. Dengan buku manual, tukang biasa bisa melakukannya. Rumah prefab memakai komponen panel papan sebagai elemen struktur. Dengan komponen tersebut dapat membentuk struktur mulai dari pondasi, sloof, kolom, balok dan kuda-kuda, bahkan panel struktur ini dapat berfungsi untuk tiang pagar, drainase, carport dan tangga opsional. Bila ada panel yang rusak, bagian yang rusak dapat diganti secara parsial seperti suku cadang mobil (Puslitbangkim, 2006). Sementara dinding pengisi, penutup lantai dan atap, pintu dan jendela disesuaikan dengan modul rumah yang akan dikembangkan, bisa terbuat dari plywood, panel kayu (block board, particle board, cement board, medium density fiber board, oriented strand board) atau bilik bambu untuk lantai dan dindingnya. 2.
Sistem Pembangunan Rumah Prefab Di Indonesia sistem panel dengan komponen yang kecil adalah yang paling sesuai.
Ukuran panel ini lebarnya 1 – 1,20 m, dengan tinggi 2,20 – 2,40 m. Tinggi ini merupakan minimum tinggi plafon dan dapat ditinggikan menurut kebutuhan dengan tidak perlu merubah ukuran komponen itu. Maka dapat dibuat komponen-komponen dinding luar, dinding dalam, dinding dengan jendelanya dan komponen kusen pintu dengan daun pintunya. Keuntungan cara ini adalah bahwa dalam pemasangan tidak perlu memberikan tanda-tanda pada komponen-komponen itu, sehingga tidak membuang waktu untuk mencari nomer atau tanda-tanda lainnya (Kamil, 1970). Dalam penggergajian kayu, dolog dan balok dijadikan papan-papan, regel (plate) dan ukuran lain yang diperlukan. Ukuran kayu, terutama mengenai tebalnya telah diatur sedemikian rupa sehingga sedikit mungkin adanya variasi yaitu hanya 2,5 dan 5,5 cm. Sedangkan lebarnya adalah 11, 16, 20, dan 25 cm. Lain-lain ukuran yang lebih kecil dapat diatur kemudian dalam proses selanjutnya. Untuk rumah yang tidak bertingkat, maka kap konstruksi dengan sistem kudakuda papan paku adalah yang paling sesuai dengan prefab. Titik berat rumah prefabrikasi adalah pembuatan dinding-dinding berikut jendela dan pintu yang dapat dipasang dengan cepat dan pemasangan kap dengan mempergunakan sistem kuda-kuda papan paku.
33
3.
Keunggulan Rumah Kayu Prefab Kayu sebagai bahan bangunan sesuai untuk prefabrikasi karena ringan, daya
hantar kecil terhadap panas/dingin, kekuatan yang tinggi, dan mudah mengerjakannya sehingga berbagai cara sambungan dapat dilakukan dengan alat yang sederhana. Keunggulan Rumah Kayu Prefab (Fahutan IPB, 2005 dan Puslitbangkim, 2006) a. Ramah lingkungan dan awet (tahan rayap dan pelapukan). b. Konstruksi sederhana dan fleksibilitas desain tinggi, tergantung kreatifitas arsiteknya. c. Konstruksi bangunan kuat tetapi komponennya ringan dan kokoh (tahan gempa dan banjir/tsunami). d. Knockdown dan dapat dipindahkan. e. Cocok untuk teknologi di pedesaan dan mengakomodasi potensi lokal (budaya dan bahan bangunannya) f. Dapat dipasang di atas rakit dan pondasi umpak. g. Merupakan rumah tumbuh, secara horisontal dan vertikal h. Pembangunan bertahap dan pemasangan sangat cepat i.
Komponen dapat diproduksi secara home industri sehingga murah dan terjangkau.
j.
Dapat digunakan untuk bangunan umum dan fasilitas sosial Kendalanya adalah bahwa industri perumahan prefab perlu modal besar untuk
pabrik dan minim variasi desain dengan tipe-tipe rumah yang seragam. E. Bangunan Tahan Gempa 1.
Prinsip Dasar Bangunan Tahan Gempa. Prinsip dasar bangunan tahan gempa adalah setiap komponen-komponen
bangunan harus terikat dengan kuat satu dengan yang lainnya. Ikatan tersebut mulai dari fondasi dengan sloof, sloof dengan kolom praktis, kolom praktis dengan ring balok, dan ring balok dengan rangka kuda-kuda. Demikian juga pada bagian pengisi bahwa dinding harus terikat dengan rangka kolom praktis, kusen pintu dan jendela harus terikat dengan dinding. Selain konstruksi yang benar, faktor kualitas bahan juga mendukung karena pemilihan bahan yang kurang baik akan mengurangi kekuatan bangunan, terutama pada ikatan-ikatan (Sabaruddin, 2006). Merencanakan bangunan tahan gempa untuk mencegah dan mengurangi timbulnya korban jiwa, kerugian harta benda, melindungi manusia dari luka-luka dan kerusakan bangunan. Pada dasarnya tidak ada rumah yang dapat dikatakan tahan seluruhnya terhadap gempa bumi. Istilah tahan gempa dimaksudkan paling tidak
34
mengurangi resiko akibat gempa. Nilai resiko gempa pada bangunan menggambarkan besarnya kerusakan atau jumlah biaya untuk memperbaiki kerusakan yang diperkirakan akan terjadi selama berdirinya bangunan tersebut. Mutu perencanaan, bahan bangunan dan mutu konstruksi bangunan berperan dalam pelaksanaan bangunan tahan gempa. 2.
Kaidah–kaidah Bangunan Tahan Gempa Bangunan tahan gempa memiliki tiga kaidah yaitu (Puslitbangkim, 2006) :
a.
Bila terjadi gempa ringan bangunan tidak akan mengalami kerusakan baik pada elemen struktur (kolom, balok, atap, dinding dan pondasi) maupun pada elemen nonstruktur (genteng dan kaca).
b.
Bila terjadi gempa berkekuatan sedang, bangunan bisa mengalami kerusakan hanya pada elemen non-struktur. Sedangkan elemen strukturnya tidak rusak.
c.
Bila terjadi gempa berkekuatan besar, bangunan bisa mengalami kerusakan, baik pada elemen struktur maupun elemen non-strukturnya. Namun, kedua elemen tersebut tidak boleh membahayakan penghuni yang ada di dalam bangunan. Penghuni harus mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri sebelum bangunannya runtuh. Pada saat terjadi gempa, struktur bangunan gedung tidak boleh mengalami
kerusakan struktural namun dapat mengalami kerusakan non-struktural ringan ketika terjadi gempa sedang. Akibat gempa kuat, struktur bangunan gedung dapat mengalami kerusakan struktural yang berat namun tetap dapat berdiri sehingga korban jiwa dapat dihindarkan (SNI 03-1726, 2002) . Puslitbangkim memiliki model rumah sederhana tahan gempa bernama RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat) dan diaplikasikan di Sukabumi, Nabire, Aceh dan Klaten. Juga ada Smart Modula hasil Inovasi Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Solo yang mengusung konsep pengembangan rumah tradisional nenek moyang dengan pondasi umpak. Dinding dirancang tidak untuk menahan beban karena beban ditahan melalui pembuatan stuktur kolom dan pilar yang mampu menahan goncangan gempa hingga kekuatan 8,3 skala Richter. Kedua model rumah tahan gempa ini memiliki konsep yang sama, yaitu model rumah sederhana tahan gempa yang menganut sistem knockdown, fleksibel dan sebagian besar bahan dibuat melalui proses prefabrikasi (Faizal, 2006).
35
F. Desain Rumah 1. Definisi dan Konsep Desain Rumah Modular Penggunaan sistem modular mengarah pada sistem penggunaan komponen berupa modul-modul yang seragam yang berfungsi memberikan kemudahan dan percepatan dalam pelaksanaan pembangunan. Maka diharapkan akan menghemat tenaga kerja, biaya, bahan dan waktu tanpa mengurangi kualitas bangunan sehingga dapat menekan harga per m2 bangunan yang berdampak murahnya harga satu satuan unit rumah. Konsep dasar sistem desain rumah modular ini meliputi beberapa hal berikut : a.
Efisiensi bahan bangunan, melalui penerapan koordinasi modular
b.
Kecepatan kerja pembangunan yang tinggi
c.
Efisiensi penggunaan lahan/orang pada bangunan
d.
Teknologi pembangunan yang masih labour intensive
e.
Biaya pemeliharaan yang murah
f.
Bangunan harus hemat energi
g.
Kenyaman huni yang cukup tinggi
h.
Bangunan mendukung komunikasi penghuni yang akrab. Pelaksanaan struktur bangunan, sebagai kerangka bangunan harus dapat
memberikan kontribusi bagi penurunan harga biaya bangunan. Sistem Struktur Kerangka yang open system dipergunakan untuk menampung beberapa bentuk komponen yang telah sesuai dengan Standar Koordinasi Modular sehingga bangunan mempunyai fleksibilitas yang tinggi. Sistem Pelaksanaan/Ereksi Struktur di lapangan dipergunakan sistem membangun di tempat sehingga masih bersifat labour intensive 2. Modul Sistem panel dengan komponen berukuran lebar 1,20 m dan tinggi 2,40 m sesuai dengan kondisi di Indonesia. Melalui komponen-komponennya, modul ruang yang dapat dibentuk adalah 2,40 x 2,40 ; 2,40 x 3,60 ; 3,60 x 3,60 dan 3,60 x 4,80 untuk bangunan satu dan dua lantai dan tidak ada batas luas bangunan, pengembangan luas bangunan berdasarkan kelipatan ukuran lebar panel 1,20 m, sehingga disebut rumah tumbuh, baik vertikal maupun horizontal (Kamil, 1970). Bentuk rumah bisa satu lantai, dua lantai, atau rumah panggung. Meski teknologinya sederhana, rumah ini sangat layak huni. Tinggal menyesuaikan bahan dan finishingnya. Gaya arsitekturnya bisa apa saja, termasuk gaya tradisional atau minimalis.
36
III. KARAKTERISTIK, TEGANGAN IJIN DAN KELAS MUTU KAYU MANGIUM SEBAGAI BAHAN KAYU STRUKTURAL RUMAH PREFABRIKASI A. Tujuan Penelitian 1. Menentukan nilai kekuatan karakteristik, tegangan ijin, reference resistance dan kelas mutu kayu Mangium umur 8 tahun untuk merancang struktur rumah kayu prefab. 2. Menyusun dan membandingkan data primer dan data sekunder yang meliputi distribusi kelenturan, kekakuan dan kekuatan dalam format ASD dan LRFD serta kelas mutu kayu Mangium. B. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan, mulai bulan Juni sampai Juli 2010 di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. C. Jenis Kegiatan Penelitian Penelitian dilakukan 2 tahap yaitu pengujian sifat dasar untuk menentukan karakteristik kayu dan penentuan tegangan ijin beserta kelas mutu kayu Mangium. 1.
Pengujian Sifat Dasar Kayu Mangium
a.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah kayu Mangium umur 8 tahun ukuran contoh kecil
bebas cacat (CKBC) dan skala pemakaian (Full scale/FS) dari HTI PT INHUTANI II Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Alat yang digunakan adalah timbangan elektronik, oven, desikator, kaliper, deflektometer, alat tulis, UTM Instron, Mesin Pemilah Kayu (MPK) Panter dan komputer. b.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui pentahapan sebagai berikut :
1) Persiapan Bahan Dilakukan pemilahan secara visual pada balok bahan rangka shearwall ukuran (5 x 7 x 400) cm berupa identifikasi cacat terutama cacat mata kayu hasil optimasi penggergajian dan pengolahan kayu untuk memastikan kondisi papan kayu Mangium, berupa nilai strength ratio (SR) dengan standar pengujian ASTM D 245-05. 37
2) Pembuatan Contoh Uji Pembuatan contoh uji CKBC mengacu pada ASTM D 143-00 metode sekunder ukuran (2,5 x 2,5 x 2,5) cm untuk pengujian sifat fisis kayu dan ukuran (2,5 x 2,5 x 41) cm untuk sifat mekanis lentur berjumlah masing-masing 100 buah. Pembuatan contoh uji skala pemakaian (Full scale) ukuran (1,8 x 10,5 x 210) cm untuk sifat mekanis lentur berjumlah 63 buah mengacu pada ASTM D 198-05. 3) Pengujian Benda Uji a). Uji Sifat Fisis Pengujian sifat fisis dilakukan terhadap contoh uji berukuran (2,5 x 2,5 x 2,5) cm untuk kadar air (KA), kerapatan dan berat jenis (BJ).
2,5 cm 2,5 cm 2,5 cm
Gambar 2. Contoh uji kadar air, kerapatan dan berat jenis (1). Kadar Air Contoh uji ditimbang berat awal berupa berat kering udara (BKU), selanjutnya dioven
selama 24 jam pada suhu (103 ± 2) ºC. Setelah pengovenan contoh uji
diletakkan dalam desikator selama 20 menit, selanjutnya timbang berat kering tanur (BKT) nya. Contoh uji kembali dioven selama tiga jam dengan perlakuan yang sama sampai didapatkan berat yang konstan. Nilai KA didapat dengan cara membandingkan pengurangan berat kering udara dan berat kering tanur terhadap berat kering tanurnya menggunakan rumus : (9) dimana: KA = Kadar Air (%) BKU = Berat Kering Udara (g) BKT = Berat Kering Tanur (g) (2). Kerapatan Penentuan kerapatan menggunakan contoh uji yang sama dengan contoh uji yang digunakan pada pengujian KA. Penentuan kerapatan ini secara gravimetris dengan cara 38
menimbang berat kering tanur (BKT) nya dan diukur panjang (p), lebar (l) serta tebalnya (t) untuk menghitung volumenya. Nilai kerapatan diperoleh dari perbandingan berat kayu dengan volumenya dalam kondisi kering udara dengan menggunakan rumus : (10) dimana : ρ
= kerapatan kayu (g/cm3)
BKT
= berat kering tanur (g)
VKU
= volume kering udara (cm3)
(3). Berat Jenis Nilai BJ diperoleh dari perbandingan kerapatan kayu dengan kerapatan air : (11) dimana: BJ
= berat jenis
ρ
= kerapatan kayu (g/cm3)
ρ air
= kerapatan air dianggap 1 (g/cm3)
b). Uji Sifat Mekanis Pengujian bertujuan untuk mencari nilai kekakuan lentur (Modulus of Elasticity/MOE) dan keteguhan patah (Modulus of Rupture/MOR) kayu Mangium. Besarnya nilai MOE menandakan sifat kelenturan atau kekakuan bahan, sedangkan MOR adalah besarnya nilai pembebanan lentur maksimal yang menyebabkan contoh uji patah. Pengujian MOE dan MOR menggunakan CKBC ukuran (2,5 x 2,5 x 41) cm. Pengujian sesuai ASTM D 143-00 berupa pengujian satu pembebanan (one point loading) dimana contoh uji diletakkan ujung-ujungnya pada bentang penyangga dan beban diletakkan di tengah bentang (Gambar 3). Kecepatan pembebanan sebesar 1,3 mm/detik dengan panjang bentang (L) 36 cm, menggunakan UTM Instron. Posisi terbaik pembebanan adalah pada penampang papan tangensial yang mendapatkan beban yaitu posisi kayu rebah/baring/tidur (flat-wise).
39
1/2L
F
b
1/2L h
L
Gambar 3. Pengujian MOE dan MOR dengan one point loading (12) (13) dimana: MOR
= Modulus of Rupture (kg/cm2)
MOEs
= Modulus of Elasticity static (kg/cm2)
F
= beban hingga batas proporsi (kg)
Fmax
= beban maksimal hingga contoh uji rusak (kg)
L
= panjang bentang (cm)
y
= defleksi (cm)
b
= lebar contoh uji (cm)
h
= tinggi contoh uji (cm)
Pengujian MOE juga dilakukan dengan menggunakan contoh uji skala pemakaian (Full scale) ukuran (1,8 x 10,5 x 210) cm dengan satu pembebanan (one point loading) menggunakan MPK Panter. Data yang diperoleh berupa beban sampai batas proporsi dan defleksi. c.
Analisis Data Hasil penelitian sifat dasar berupa sifat fisis (KA ; BJ) dan sifat mekanis berupa
nilai MOEs dan MOR pada ukuran CKBC serta nilai MOE pada ukuran Full Scale (FS) kayu Mangium umur 8 tahun. Dari penelitian ini akan diperoleh nilai kekuatan karakteristik, tegangan ijin bentuk CKBC dan FS dalam format ASD, nilai reference resistance dalam bentuk FS pada format ASD dan LRFD dan kelas mutu kayu Mangium sebagai dasar untuk merancang struktur rumah kayu prefab. Hasil ini akan dibandingkan dengan kayu sejenis yang berbeda habitat, umur, cara pengujian dan ukuran contoh ujinya.
40
Nilai karakteristik kayu merupakan penentuan nilai tegangan lentur yang didapat dari data hasil pengujian. Keragaman kekuatan kayu dapat ditinjau dari beberapa pengujian sifat fisis dan sifat mekanis kayu tersebut. Hasil pengujian sifat dasar merupakan data primer ukuran CKBC dan FS pada penelitian tegangan ijin dan kelas mutu kayu Mangium. Untuk konversi nilai tegangan ijin dari data CKBC menjadi FS diperlukan faktor-faktor penyesuaian berupa nilai SR, KA dan Special Factor yang meliputi nilai ukuran benda uji (size effect), lama pembebanan (duration of load), pengawetan (treated wood) dan luas penampang tumpuhan/sambungan jika berbentuk komponen. 2.
Penelitian Tegangan Ijin dan Pengkelasan Mutu Kayu Mangium sebagai Kayu Konstruksi dalam Format ASD/LRFD
a.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah data-data primer dan sekunder hasil pengujian sifat
fisis dan mekanis kayu Mangium pada ukuran CKBC dan FS. Data primer berasal dari pengujian langsung pada ukuran CKBC berupa destructive test (DT) dan ukuran FS berupa non destructive test (NDT). Data sekunder berupa data-data hasil penelitian sebelumnya. Pada ukuran CKBC berupa NDT dengan alat Sylvatest duo dan berupa DT dengan alat UTM Amsler/Instron. Pada ukuran skala pemakaian berupa NDT dengan MPK Panter dan berupa DT dengan UTM Baldwin/Shimadzu. Pengujian telah dilakukan sejak tahun 1997 sampai 2008
di Laboratorium Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan Bogor dan Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu FAHUTAN IPB, Bogor. Alat yang diperlukan untuk perhitungan dan analisis data adalah seperangkat komputer pada software MS Office 2003 dan Minitab Release 14,xx. b.
Metode Pengolahan Data Ada dua format untuk menghitung tegangan ijin kayu, yaitu dengan metode
Allowable Stress Design (ASD) dan Load and Resistance Factor Design (LRFD). Dalam menentukan tegangan ijin dan pengkelasan mutu menggunakan acuan standar RSNI 2002 berdasarkan format LRFD ukuran Full Scale (FS). Untuk menghitung kekuatan kayu ini berdasarkan data-data yang tersedia, dapat ditentukan dari format ASD dan format LRFD yang dikonversi menjadi format LRFD ukuran FS. Sehingga tegangan ijin dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu penyusunan tegangan ijin dari
41
format ASD (CKBC/FS) menjadi format LRFD (FS) dan dari format LRFD (CKBC/FS) menjadi format LRFD (FS). Prosedur penelitian yang dilakukan melalui pentahapan sebagai berikut : 1) Penyusunan Tegangan Ijin dari Format ASD (CKBC/FS) Menjadi Format LRFD (FS) Allowable Stress bagi tiap-tiap kelas mutu dihitung sesuai dengan standar ASTM D 245-05 untuk CKBC dan ASTM D 2915-03 untuk Full Scale (lumber). Prosedur ini dibedakan menjadi 2 macam berdasarkan ukuran contoh ujinya. a) Penyusunan Tegangan Ijin dari Format ASD (CKBC) menjadi Format LRFD (FS) Prinsip analisis penyusunan Allowable Stress dari format ASD ukuran CKBC menjadi format LRFD (FS) adalah sebagai berikut : (1) Menggunakan metode statistik sesuai dengan ASTM D 245-05 untuk menyusun Allowable Stress kayu Mangium dengan cara data disusun distribusinya sebagai distribusi normal dan dicari kekuatan karakteristiknya (R 0,05 ) yaitu berupa nilai 5 % EL (Exclusion Limit) dengan rumus sebagai berikut : (14) Nilai karakteristik merupakan penentuan nilai tegangan lentur yang didapat dari data primer dan sekunder. Keragaman kekuatan kayu ditinjau dari beberapa pengujian sifat fisis dan sifat mekanis kayu tersebut. (2) Tegangan ijin ASD dalam bentuk CKBC (Fx). Tegangan ijin (Fx) merupakan kekuatan karakteristik kayu yang telah direduksi dengan faktor keamanan berdasarkan Tabel 8. Adjustment Factors to Be Applied to the Clear Wood Properties ASTM D 245-05, yakni sebesar 1/(2,1) untuk softwood dan 1/(2,3) untuk hardwood karena pertimbangan keamanan. Faktor keamanan untuk kayu Mangium yaitu 1/(2,3) karena termasuk hardwood. Adapun rumus Tegangan Ijin adalah : Fx = R 0,05 x faktor keamanan (3) Tegangan ijin ASD dalam bentuk FS (
(15)
dengan cara konversi dari data CKBC
(ASD) ke FS (ASD) Berdasarkan point 7. Modification of Allowable Propertis for Design Use dan Tabel 12. Allowable Properties for the Sample Stress Grade dari ASTM D 245-05
42
Rumusnya : (16) (17) Dimana : = Tegangan ijin lentur ASD dalam bentuk FS (kg/cm2) = Tegangan ijin lentur ASD dalam bentuk CKBC (kg/cm2) AF
= Adjustment Factors = untuk bending strength pada Tabel 8. Adjustment Factors to Be Applied to the Clear Wood Properties. Hardwood =
SR
= Strength Ratio = rasio kekuatan antara kayu lengkap dengan cacatnya terhadap kekuatan kayu tersebut apabila tanpa cacat (%). Nilai yang digunakan adalah nilai SR yang terendah.
KA = Kadar Air pada saat pengujian (%). SF
= Special Factors, tergantung dari nilai-nilai berikut : • Size Effect (SE) • Duration of load, jika pembebanan > 10 tahun • Treated wood/pengawetan, jika diawetkan • Luas penampang tumpuan/sambungan, jika berbentuk komponen
Nilai SF yang dipakai biasanya adalah nilai SE saja, dengan rumus : (18) Dimana : d = tinggi/tebal netto, berlaku pada pembebanan terpusat (in) Jika SE bernilai lebih besar dari 1 maka SE bernilai = 1, tetapi jika nilai SE < 1 maka digunakan nilai SE itu sendiri. (4) Konversi dari ASD ke LRFD menggunakan format conversion. Format conversion berupa Reference stress (R n ) diperoleh dengan mengalikan tegangan ijin/allowable stress dalam format ASD dalam bentuk FS (
) dengan
faktor konversi (kf) sebesar 2,16/ɸ. Nilai resistance faktor (ɸ) tergantung dari macam uji (property) yang dilakukan, diperoleh dari ASTM D 5457-04 Tabel 2.
43
Specified LRFD Resistance Factors, ɸ s . Rumus selengkapnya adalah sebagai berikut : (19) b) Penyusunan Tegangan Ijin dari Format ASD (FS) Menjadi Format LRFD (FS) Prinsip analisis penyusunan Allowable Stress dari Format ASD ukuran FS menjadi format LRFD (FS) adalah sebagai berikut : (1) Menggunakan metode statistik sesuai dengan standar ASTM D 2915-03 untuk menyusun Allowable Stress kayu Mangium dengan cara data disusun distribusinya sebagai distribusi normal dan dicari kekuatan karakteristiknya (R 0,05 ) sebagaimana persamaan (14). Nilai karakteristik dalam penelitian ini merupakan penentuan nilai tegangan lentur yang didapat dari data sekunder hasil pengujian. (2) Tegangan ijin ASD dalam bentuk FS ( Tegangan ijin (
.
) merupakan kekuatan karakteristik kayu yang telah direduksi
dengan faktor keamanan sebesar 1/(2,3) untuk hardwood (kayu Mangium) karena pertimbangan keamanan berdasarkan Tabel 5. Reduction Factor to Related Test Statistic to Allowable Properties ASTM D 2915-03. Adapun rumus Tegangan ijin adalah : = R 0,05 x faktor keamanan
(20)
(3) Konversi dari ASD ke LRFD menggunakan format conversion. Format conversion yang berupa Reference stress (R n ) diperoleh dengan mengalikan tegangan ijin/allowable stress dalam format ASD (
) dengan faktor
konversi (kf) sebesar 2,16/ɸ. Nilai resistance faktor (ɸ) tergantung dari macam uji (property) yang dilakukan, diperoleh dari ASTM D 5457-04 Tabel 2. Specified LRFD Resistance Factors, ɸ s. Rumusnya sebagaimana persamaan (19) di atas. 2) Penyusunan Tegangan Ijin dari Format LRFD (CKBC/FS) Menjadi Format LRFD (FS) Reliability normalization merupakan salah satu prosedur LRFD dalam menghitung ketahanan referensi (reference resistance) dari keterandalan struktural dengan tepat. Prosedur ini dibedakan menjadi 2 macam berdasarkan ukuran contoh ujinya dengan standar ASTM D 5457-04.
44
a) Penyusunan Tegangan Ijin dari Format LRFD (CKBC) Menjadi LRFD (FS) Prosedur penelitian dilakukan melalui pentahapan sebagai berikut : (1) Data disusun distribusinya berupa distribusi weibull (2) Dihitung kekuatan karakteristik kayu Mangium yaitu 5 % EL (Exclusion Limit) R 0,05 dengan rumus sebagai berikut : (21) Dimana : R 0,05 = Kekuatan karakteristik kayu, berupa nilai 5 % EL (Exclusion Limit) = parameter skala weibull p
= persentil (5 % EL)
α
= parameter bentuk weibull
(3) Nilai reference resistance dicari dengan prosedur ASTM D 5457-04 Nilai reference resistance (R n ) dihitung dengan mengalikan dugaan fifth percentile dari populasi (R 0,05 ) dengan data confidence factor (Ω) dan reliability normalization factor (KR ). Rumus selengkapnya adalah sebagai berikut : (22) Dimana : Ω = data confidence factor K R = reliability normalization factor. Data confidence factor (Ω) dapat diperoleh dengan mencari nilai Coeffıcient of Variation (CVw) dengan jumlah data yang digunakan (n) berdasarkan ASTM D 5457-04 Tabel 1. Data Confidence Factor, Ω on R 0.05 , for Two-Parameter Weibull Distribution with 75 % Confidence. Nilai Coeffıcient of Variation (CVw) dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut : (23) K R merupakan perbandingan sederhana antara faktor keterandalan hasil perhitungan dengan faktor konstanta yang telah ditetapkan dalam buku pegangan desain (ɸ c / ɸ s). Nilai K R ini telah ditetapkan dalam ASTM D 5457-04 Tabel 3. Fifth-Percentile Based Realibility Normalization Factors, K R . (4) Konversi dari data CKBC (LRFD) ke FS (LRFD) Konversi dilakukan berdasarkan point 7. Modification of Allowable Properties for Design Use dan Tabel 12. Allowable Properties for the Sample Stress Grade pada ASTM D 245-05. 45
b) Penyusunan Tegangan Ijin dalam Format LRFD Ukuran FS Prosedur penelitian dilakukan melalui pentahapan sebagai berikut : (1) Data disusun distribusinya berupa distribusi weibull (2) Dihitung kekuatan karakteristik kayu Mangium (R 0,05 ) sebagaimana persamaan (21). (3) Dihitung
nilai reference resistance (R n ) dengan prosedur ASTM D 5457-04
sebagaimana persamaan (22). 3) Pengkelasan Mutu Berdasarkan Standar RSNI 2002. Berdasarkan hasil nilai tegangan ijin dari perhitungan tersebut, dilakukan pengkelasan mutu berdasarkan standar RSNI 2002 berupa nilai kekuatan kayu (MOR) yang diwujudkan dalam bentuk kuat acuan seperti terlihat pada Tabel 2. c.
Analisis Data Hasil penelitian meliputi nilai risalah cacat berupa identifikasi cacat hasil optimasi penggergajian dan pengolahan kayu, kekuatan karakteristik, tegangan ijin dan kelas mutu kayu Mangium sebagai dasar untuk desain struktur rumah kayu prefabrikasi. Beberapa analisa yang dilakukan meliputi : 1.
Distribusi kelenturan dan kekuatan Kayu Mangium
2.
Penyusunan dan perbandingan kekakuan dan kekuatan Kayu Mangium dari data primer dan data sekunder dalam format ASD dan LRFD
3.
Kelas Mutu kayu
D. Hasil dan Pembahasan 1. Pengujian Sifat Dasar untuk Menentukan Karakteristik Kayu Mangium Pengujian kekuatan elemen bahan struktur untuk komponen rumah prefabrikasi ini berupa pengujian sifat fisis dan sifat mekanis untuk menentukan karakteristik kayu Mangium. Sifat fisis kayu yang diukur meliput i kadar air (KA) dan berat jenis (BJ). Data nilai rata-rata sifat fisis tersaji pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Perbandingan Nilai Rata-Rata Sifat Fisis Kayu Mangium dari Data Primer dan Sekunder 1) 2) 3) Data Primer KA (%) BJ KA (%) KA (%) BJ KA (%) BJ 16,5 0,47 14,48 0,57 15,00 Rata-rata 13,01 0,58 19,5 0,60 18,00 0.61 16,00 Maksimum 14,38 0,67 14,9 0,41 14,00 0,53 14,00 Minimum 11,82 0,49 Ket : 1). Firmanti et al. (2003) 2). Ginoga. (1997) dan 3). Sulistyawati. (2009). Sifat fisis
BJ 0,53 0,60 0,42
46
a.
Sifat Fisis
1) Kadar Air (KA) Kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis artinya kayu mampu menyerap air dari lingkungan sekitarnya (dan menahannya dalam bentuk uap atau cairan) atau melepaskan air sehingga kayu dalam keadaan setimbang dengan kandungan air di sekitarnya. Kadar air dipengaruhi oleh jenis kayu, suhu, sirkulasi udara dan kelembaban udara sekitarnya. Kandungan KA di dalam satu batang kayu dipengaruhi oleh variasi secara vertikal pada batang kayu serta pergerakan air dalam kayu (Tsoumis, 1991). Berdasarkan Tabel 3 di atas, nilai KA berkisar antara 11,82 % sampai 14,38 % dengan nilai rata-rata 13,01 %. Nilai ini merupakan KA keseimbangan karena telah dilakukan pengeringan kayu sebelumnya yang mencapai KA ± 10 %. 2) Berat Jenis (BJ) Berat kayu tergantung dari jumlah zat kayu, kadar air dan zat ekstraktif didalamnya. Jumlah zat kayu dan zat ekstraktif biasanya konstan, sedangkan jumlah kandungan air berubah-ubah. Untuk mendapat keseragaman, maka dalam penentuan berat jenis kayu, berat ditentukan dalam keadaan kering tanur. Pada umumnya kayukayu yang berat juga kuat, dan bahwa kekuatan, kekerasan dan sifat teknis lainnya berbanding lurus dengan berat jenisnya. Makin tinggi BJ kayu, kayu semakin berat dan semakin kuat. Tentu perbandingan ini tidak selalu benar, sebab susunan dari kayu ukuran pemakaian dengan adanya cacat tidak selalu sama. Kebanyakan sifat mekanis kayu sangat berhubungan dengan kerapatan dan BJ. Kekuatan dan kekakuan kayu meningkat dengan meningkatnya BJ. Berat jenis kayu merupakan sifat fisis kayu yang banyak digunakan untuk menduga sifat-sifat kayu lainnya. Berat jenis kayu ditentukan oleh tebal dinding sel dan ukuran rongga sel. Bahan kimia berupa zat ekstratif yang terdapat pada dinding sel juga akan mempengaruhi nilai BJ kayu (Haygreen dan Bowyer, 1982). Berdasarkan Tabel 3 di atas, nilai BJ berkisar antara 0,49 sampai 0,67 dengan nilai rata-rata 0,58. Hasil pengujian KA dan BJ pada kayu Mangium pada umur 8 tahun ini secara deskriptif tidak berbeda nyata dengan hasil pengujian BJ dan KA pada kayu Mangium umur yang sama dengan BJ 0,53 pada KA 15,0 % (Sulistyawati, 2009) dan umur 10 tahun dengan BJ 0,57 pada KA 14,48 % (Ginoga, 1997). Namun berbeda dengan
47
kayu Mangium dari Indramayu pada umur yang sama yaitu BJ 0,47 pada KA 16,5 % (Firmanti et al. 2003). Perbedaan nilai BJ di atas disebabkan 2 kemungkinan, yaitu perbedaan KA dan tempat tumbuh asal kayu Mangium tersebut. Pada kayu Mangium umur 8 tahun, BJ diukur pada KA yang relatif rendah yaitu sekitar 13,01 %, sedangkan pada kayu umur yang sama dari Indramayu dan Bogor pada KA yang lebih tinggi yaitu 16,5 % dan 15,0 % dan pada umur 10 tahun diukur pada KA 14,48 %. Perbedaan KA kayu Mangium ini kemungkinan mempengaruhi kekuatan kayu sehingga berpengaruh terhadap nilai berat jenisnya, dimana kekuatan umumnya meningkat seiring berkurangnya KA di bawah titik jenuh serat (Haygreen dan Bowyer, 1982). Pada umur pohon yang lebih tua akan dibentuk kayu yang lebih berat daripada umur yang lebih muda. Jika dilihat hasil perbandingan nilai BJ di atas, BJ pada kayu Mangium 8 tahun lebih tinggi dibanding umur 10 tahun. Hal ini karena adanya variasi antar pohon dalam spesies yang sama akibat perbedaan kondisi dan lingkungan tempat tumbuh serta faktor keturunan (genetik). Kayu Mangium ini berasal dari Pulau Laut, Kalimantan Selatan sedangkan kayu Mangium umur 8 tahun (Firmanti et al. 2003), (Sulistyawati, 2009) dan umur 10 tahun (Ginoga, 1997) berasal dari Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat dan Banten. Variasi nilai BJ kayu dapat terjadi dalam satu pohon maupun antar pohon pada spesies yang sama (Tsoumis, 1991). Variasi dalam satu pohon dapat terjadi pada arah vertikal (pangkal, tengah, ujung) maupun horizontal (dekat empulur, teras dan gubal); sedangkan variasi antar pohon dalam spesies yang sama disebabkan oleh perbedaan kondisi dan lingkungan tempat tumbuh serta faktor keturunan (genetik). b.
Sifat Mekanis Sifat mekanis kayu diukur dari pengujian statis dengan UTM Instron dan MPK
Panter. Kayu memiliki variabilitas sangat tinggi akibat pengaruh sifat-sifat genetik dan faktor-faktor lingkungan selama pertumbuhannya. Sifat mekanis kayu dapat menduga kekuatan kayu, khususnya lentur statis yang dicirikan dua sifat penting yaitu nilai MOE (modulus of elasticity) atau kekakuan lentur dan nilai MOR (modulus of rupture) atau keteguhan lentur patah. 1) Kekakuan Lentur berupa Nilai MOE Sifat Elastisitas Kayu ialah ketahanan kayu terhadap perubahan bentuk saat beban atau gaya diberikan kemudian kayu kembali ke bentuk semula. Elastisitas adalah sifat 48
benda yang mampu kembali ke kondisi semula (bentuk dan ukuran) ketika beban yang mengenainya dihilangkan. Hal tersebut terjadi di bawah batas proporsi. Di atas proporsi, peningkatan tegangan akan menyebabkan deformasi yang lebih besar dari proporsi sampai tegangan yang menyebabkan benda rusak. Modulus elastisitas yang tinggi menunjukkan bahwa bahan kayu tersebut kaku (Tsoumis, 1991). Data nilai rata-rata sifat mekanis kayu Mangium tersaji pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Nilai rata-rata sifat mekanis kayu Mangium Nilai Rata-rata Minimal Maksimal
Data primer MOE (kg/cm2) CKBC DT FS NDT 126.960 117.298 72.026 79.003 168.340 163.645
Nilai MOE ini menyatakan kekakuan kayu, keadaan bentuk dan posisi penampang bahan serta posisi pembebanan pada kayu tersebut. Kekakuan lentur kayu Mangium berdasarkan data CKBC-DT pada umur 8 tahun rata-rata 126.960 kg/cm2. Nilai kekakuan lentur (MOE) kayu Mangium berdasarkan data FS-NDT hasil pengujian statis pada umur 8 tahun rata-rata 117.298 kg/cm2. 2) Keteguhan Lentur Patah berupa Nilai MOR Keteguhan kayu ialah kemampuan kayu dalam menahan beban atau gaya yang diberikan padanya. Tegangan patah pada beban maksimum (fiber stress at maximum load) adalah tegangan yang terjadi pada saat benda tersebut patah. Nilai ini merupakan sifat kritis kayu yang disebut Modulus of Rupture (MOR) atau Modulus Patah. Keteguhan lentur patah (MOR) menunjukkan kemampuan yang dimiliki kayu untuk menerima beban maksimum. Keteguhan lentur patah berupa kekuatan kayu Mangium umur 8 tahun ini berkisar antara 385 kg/cm2 sampai 1.402 kg/cm2 dengan rata-rata 1.000 kg/cm2. Sehingga kekuatannya bisa mencapai 3 sampai 4 kali lebih kuat dari kayu terlemah. Nilai ini lebih tinggi dibanding hasil pengujian kayu Mangium pada umur yang sama dari Indramayu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dengan nilai MOR berkisar antara 153 kg/cm2 sampai 920 kg/cm2 dengan rata-rata 436 kg/cm2 (Firmanti et al., 2003). Hasil pengujian terhadap sifat mekanis menyatakan bahwa kayu Mangium pada umur 8 tahun mempunyai nilai rata-rata MOR dan MOE berturut-turut adalah 1.000 kg/cm2 dan 126.960 kg/cm2 pada data primer CKBC-DT dan nilai rata-rata MOE 117.298 kg/cm2 pada data primer FS-NDT. Menurut PKKI, yang mendasarkan 49
penentuan kekuatan dari BJ dan keteguhan lentur statis, kayu Mangium pada umur 8 tahun termasuk kelas kuat II – III (Sulistyawati, 2009) dan umur 10 tahun (Ginoga, 1997). Kayu kelas kuat II – III di dalam aplikasinya dapat digunakan sebagai komponen kayu yang bersifat struktural (Sulistyawati, 2009). Modulus elastisitas merupakan sifat mekanis yang peka terhadap cacat (Surjokusumo, 1982). Faktor yang mempengaruhi sifat kekuatan kayu diantaranya adalah cacat kayu dan faktor lain selain cacat yaitu BJ, KA, jangka waktu pembebanan, jangka waktu pemakaian dan pengawetan kayu (Green et. al. 1999). Faktor yang diduga sangat berpengaruh terhadap penentuan sifat kekuatan kayu dalam penelitian ini yaitu cacat kayu dan BJ. Dari hasil risalah cacat terhadap contoh uji berupa balok kaso ukuran (5 x 7 x 400) cm sebanyak 27 batang yang akan digunakan sebagai rangka shearwall, ditemukan banyak cacat yang mempengaruhi kekuatan kayu. Jenis cacat yang ditemukan antara lain cacat mata kayu, pecah, retak, miring serat, lubang gerek dan pingul. Cacat yang mendominasi adalah cacat pecah dan mata kayu seperti terlihat pada Gambar 4 dan Lampiran 4. Dominasi cacat serat terpisah berupa cacat pecah akibat adanya internal stress pada kayu Mangium berupa stress growth yang sering terjadi pada tanaman jenis cepat tumbuh. Kayu Mangium memiliki tegangan pertumbuhan yang tinggi. Tegangan-tegangan yang dibebaskan pada kayu Mangium lebih besar dibandingkan beberapa jenis kayu daun lebar lainnya (Wahyudi et al. 1998). Ini mengindikasikan bahwa tegangan-tegangan pertumbuhan juga tinggi, oleh karenanya resiko terjadinya cacat pada kayu Mangium juga tinggi. Tegangan tumbuh (internal stress, reaction wood dan spring) adalah aksi dari dolog yang ingin kembali ke bentuk asalnya karena dalam masa pertumbuhan, pohon mengalami tegangan karena miring, bengkok menyusup mencari sinar matahari, tiupan angin dan lain-lain. Tegangan tumbuh mudah terbentuk pada kayu-kayu cepat tumbuh pada hutan tanaman walaupun batangnya tidak miring selama pertumbuhan (Haygreen dan Bowyer, 1982). Tegangan tumbuh terjadi karena adanya gaya-gaya longitudinal, yaitu tension yang berkembang mulai dari empulur ke arah tepi dolog dan compression yang berkembang mulai dari tepi dolog ke arah empulur. Reaksi tegangan tumbuh ini dapat dilihat pada saat dolog pertama kali atau beberapa kali digergaji, tegangan tumbuh menyebabkan pecahnya kayu gergajian dan bengkoknya sisa dolog. Keadaan ini tampak jelas pada jenis kayu Mangium. Kerugian lain adalah pengaruh penyusutan longitudinal yang tinggi, menyebabkan bengkoknya 50
kayu terutama sewaktu pengeringan. Tegangan tumbuh dapat menimbulkan serat berbulu pada permukaan kayu gergajian yang menimbulkan panas pada bilah gergaji sehingga bilah tersebut tidak dapat menggergaji lurus karena menurunnya tegangan (tension) bilah. Tegangan-tegangan pertumbuhan adalah penyebab utama timbulnya pecah pada pohon yang masih berdiri maupun pada log-log hasil penebangan, perubahan bentuk pada kayu gergajian seperti membusur dan memangkok/mencawan setelah digergaji dari log serta brittle heart dan compression failures pada pohon berdiri (Panshin dan de Zeeuw, 1980). Retak dan pecah disebabkan adanya penurunan KA pada permukaan kayu sampai pada titik rendah tertentu dan mengakibatkan timbulnya tegangan tarik maksimum tegak lurus serat yang cenderung menyebabkan terpisahnya serat-serat kayu dan menyebabkan cacat. Hal ini yang menyebabkan kayu Mangium mempunyai cacat pecah dan retak yang cukup banyak. Retak dan pecah berpengaruh terhadap kekuatan tarik, kekuatan tekan dan kekuatan geser. Cacat alami berupa mata kayu hampir terdapat pada setiap papan akibat tumbuhnya cabang pada batang. Serat di sekitar mata kayu tumbuh melingkar mengelilingi mata kayu. Orientasi serat yang mengalami penyimpangan di sekitar mata kayu ini disamping daya kohesi antara mata kayu dengan kayu sekitarnya yang lebih lemah (dibandingkan antar serat kayu) yang menyebabkan reduksi kekuatan kayu pada umumnya. Pengaruh mata kayu terhadap kekuatan lentur dan kekakuan kayu adalah akibat penyimpangan orientasi serat. Lokasi mata kayu pada daerah tegangan tarik akan mengurangi kekuatan lentur. 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Mata kayu Mata kayu sehat lepas
Pecah
Retak
Lubang gerek
Miring serat
Pingul
Jenis cacat
Gambar 4. Histogram hasil analisis cacat 51
Pengaruh cacat terhadap kekuatan kayu berupa pemilahan pada contoh uji Full Scale dilakukan secara sensus dinyatakan dengan nilai strength ratio (SR). Nilai SR ini ditentukan dengan menggunakan standar ASTM D 245-05 dimana cacat yang kritis atau memiliki nilai SR yang paling rendah yang dipakai dan terutama dari mata kayu. Cacat pecah tidak digunakan untuk mencari nilai SR karena sudah dihilangkan pada saat papan diolah menjadi papan-papan bentuk bilah. Data hasil pengukuran nilai SR berupa cacat mata kayu pada balok sebagai rangka shearwall ini adalah rata-rata 82,11 % dan minimum 62,00 % sebagaimana pada Lampiran 5, yang akan digunakan dalam konversi tegangan ijin dari data CKBC (ASD) menjadi FS (ASD). Nilai SR ini lebih rendah dibanding hasil pengukuran kayu Mangium pada umur yang sama dari Indramayu yang mencapai 86,70 % (Firmanti et al., 2003). c.
Nilai Karakteristik dan Tegangan Ijin Kayu Mangium Tegangan patah material yang diperoleh melalui penelitian menunjukkan
tegangan maksimum yang bisa diterima material, namun perencana akan mempertimbangkan keamanan struktur selama penggunaan dan hal lain yang mungkin menyebabkan kegagalan struktur yang dibangunannya. Perencana yang baik selalu memberikan tambahan ukuran material secara rasional untuk meningkatkan kapasitasnya. Tambahan ukuran material dalam perencanaan struktur dilakukan dengan memberikan faktor penyesuaian (Adjustment Factor, AF) yang terdiri atas faktor keamanan dan faktor lama pembebanan normal. Tegangan patah yang telah direduksi dengan faktor penyesuaian disebut dengan tegangan ijin (F x = F patah *AF). Faktor lama pembebanan perlu dimasukkan untuk mereduksi tegangan patah karena sifat khas dari material kayu, yaitu kayu dapat menahan beban tiba-tiba jauh lebih baik daripada menahan beban berjangka waktu lama. Struktur kayu umumnya dirancang untuk penggunaan selama ± 10 tahun, padahal pengujian untuk mengukur tegangan patah dilakukan hanya dalam waktu singkat sekitar 5-10 menit (FPL, 1999). Pada material yang relatif seragam, persamaan tegangan ijin (F x = Fpatah *AF) cukup memadai. Tetapi sebagai produk alam yang dipengaruhi oleh genetik dan faktor-faktor lingkungan selama pertumbuhannya, kayu memiliki sifat dengan variasi sangat tinggi. Oleh karena itu sangat riskan untuk menetapkan tegangan patah sebatang kayu sebagai tegangan patah bagi seluruh kayu dalam populasi. Pada kayu yang berasal dari satu batang pohon dapat diperoleh tegangan patah terkecil sebesar satu persepuluh dari tegangan patah terbesar. Pada penelitian terhadap kayu Mangium 52
umur 8 tahun ini,
kekuatannya mencapai 3 sampai 4 kali lebih kuat dari kayu
terlemah. Selang ini semakin besar kalau kayu berasal dari individu pohon, tempat tumbuh dan jenis yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan pendekatan statistik untuk memilih tegangan patah yang dapat mewakili seluruh populasi. Pada umumnya dipilih tegangan patah 5 % terlemah sebagai nilai bagi tegangan patah seluruh batang kayu dalam populasi, yang disebut dengan 5 % Exclusion Limit (5 % EL). Pada ASTM D 245-05 untuk CKBC dan D 2915-03 ukuran Full Scale (FS), 5% EL disebut dengan kekuatan karakteristik (R 0,05 ) yang bisa dihitung secara parametrik dan non parametrik. Tabel 5. Perbandingan nilai karakteristik, tegangan ijin dan reference resistance kayu dari data primer dan sekunder dalam bentuk CKBC/FS pada format ASD dan LRFD MOR (kg/cm2) Allowable Stress
R 0,05 Fx σ lt Rn
CKBC DT P
ASD 691 300 186 473
CKBC DT S
LRFD
ASD
655
503
FS DT S
LRFD
584 254 156 400
ASD
LRFD
572
133
230
459
58 147
208
Keterangan : R 0,05 = Nilai karakteristik kayu Fx = Nilai tegangan ijin bentuk CKBC pada format ASD σ lt = Nilai tegangan ijin bentuk FS hasil konversi pada format ASD Rn = Nilai reference resistance Tata cara menghitung kekuatan karakteristik secara rinci diatur dalam ASTM D 2915-03. Garis regresi hubungan antara modulus patah (MOR) dengan modulus elastisitas (MOE) dipakai sebagai dasar pembentukan mutu kekuatan. Kemudian terhadap garis regresi ini dibuat garis 5 % Exclusion Limit bawah, yang artinya garis batas dimana 5 % dari batang yang diregresi berada di sebelah bawah dan 95 % berada pada dan di atas garis tersebut. Garis batas ini dibuat sejajar garis regresi (Surjokusumo, 1993). Nilai kekuatan karakteristik kayu Mangium hasil pengujian statis pada umur 8 tahun dari HTI PT INHUTANI II adalah 691 kg/cm2 pada format ASD dan 655 kg/cm2 pada format LRFD sebagaimana tercantum pada Tabel 5, yang merupakan nilai 5 % Exclusion Limit.
Nilai kekuatan karakteristik tersebut
merupakan penentuan nilai tegangan lentur hasil pengujian guna memperoleh nilai tegangan yang diijinkan (allowable stress) dengan menggunakan faktor pengganda tertentu.
53
Desain nilai tegangan ijin menurut SKI yang merupakan Standar Spesifikasi Kayu Bangunan untuk Perumahan, menggunakan format ASD (Allowable Stress Design). Dengan demikian tegangan ijin pada kayu dinyatakan (Fx = 5% EL.AF). Nilai Tegangan ijin bentuk CKBC pada format ASD (Fx) hasil pengujian statis pada umur 8 tahun ini adalah 300 kg/cm2. Nilai tegangan ijin bentuk CKBC pada format ASD (Fx) tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai tegangan ijin bentuk FS pada format ASD (
), guna pengkelasan mutu kayu berdasarkan SKI C-bo-010:1987.
Tegangan ijin setelah direduksi dengan faktor-faktor penyesuaian lain termasuk nilai strength rationya merupakan sisi kapasitas dalam perencanaan struktur menggunakan format ASD (Bahtiar, 2008). Pengkelasan mutu kayu dilakukan sesuai dengan SKI C-bo-010:1987 berdasarkan standar ASTM D 198-05 dan menghasilkan kelas mutu kayu berdasarkan tegangan lenturnya. Nilai tegangan ijin bagi tiap kelas mutu disebut Tegangan Serat (TS) seperti Tabel 1. Nilai tegangan ijin bentuk FS hasil konversi pada format ASD
hasil pengujian (CKBC primer) adalah 186 kg/cm2 (TS 18). Berdasarkan pengkelasan mutu dengan SKI C-bo-010:1987, nilai MOE kayu
Mangium dari data CKBC-DT data primer masuk kelas TS 7 sampai TS 22 dan ratarata di TS 15, berdasarkan nilai MOR sebesar 186 kg/cm2 masuk kelas kuat TS 18 dan berdasarkan nilai MOE kayu Mangium dari data FS-NDT data primer masuk kelas TS 7 sampai TS 22 dan rata-rata di TS 12. Kayu Mangium umur 8 tahun dari HTI PT INHUTANI II ini cukup kaku dan kuat. Nilai ini lebih rendah dibandingkan hasil pengujian kayu Mangium sebelumnya dengan nilai TS 12 sampai TS 27 (Surjokusumo, 2006). d. Nilai Reference Resistance dengan Format ASD dan LRFD Load and Resistance Factor Design (LRFD) adalah metode desain struktural yang menggunakan konsep teori keterandalan dan memasukkannya ke dalam prosedur yang dapat dipakai oleh masyarakat desain. Format LRFD merupakan format praktis, sederhana dan siap pakai. Dasar penggunaan analisis keterandalan dalam menentukan faktor beban (load) dan ketahanan (resistance) untuk desain struktural mengacu kepada suatu diagram keamanan struktur. Standar ASTM D 5457-04 mengijinkan dua cara perhitungan ketahanan referensi (reference resistance) yaitu prosedur reliability normalization dan format conversion. Reliability normalization merupakan prosedur LRFD yang dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat, sedangkan format conversion hanya 54
mengalikan tegangan ijin (allowable stress) dalam format ASD dengan faktor konversi sebesar 2,16/ɸ. Karena itu format conversion tidak dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat. SNI menganut format LRFD sehingga nilai desain bagi sifat kekuatan kayu harus ditetapkan dalam format baru. Depkimpraswil (2002) dalam Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (RSNI) mencantumkan nilai desain yang disebut Kuat Acuan Lentur yang dihitung melalui pengujian menggunakan beban tunggal di tengah bentang pada posisi flatwise, seperti tercantum pada Tabel 2. Nilai ketahanan referensi (reference resistance) data primer dalam bentuk FS pada format LRFD (Rn) hasil pengujian pada umur 8 tahun dari HTI PT INHUTANI II adalah 503 kg/cm2 sebagaimana pada Tabel 5. Hasil perhitungan reference resistance pada data primer hasil penelitian dengan menggunakan prosedur format conversion dalam format ASD adalah 473 kg/cm2. e. Kelas Kuat Kayu Mangium Berdasarkan pengkelasan mutu dengan standar RSNI 2002, nilai MOE kayu Mangium dari data CKBC primer sebagaimana tercantum pada Tabel 4 masuk kelas E7 sampai E17 dan rata-rata di E13, berdasarkan nilai MOR sebagaimana tercantum pada Tabel 5 sebesar 503 kg/cm2 (nilai reference resistance dalam bentuk FS pada format LRFD) dan sebesar 473 kg/cm2 (nilai reference resistance dengan menggunakan prosedur format conversion dalam format ASD) masuk kelas kuat E20 dan berdasarkan nilai MOE kayu Mangium dari data FS primer (Tabel 4) masuk kelas E8 sampai E17 dan rata-rata di E12. Kayu Mangium umur 8 tahun dari HTI PT INHUTANI II ini cukup kaku dan kuat. Nilai ini sama dengan hasil pengujian kayu Mangium pada umur yang sama dari Indramayu dengan nilai kuat acuan E12 (Firmanti et al., 2003) dan lebih tinggi dibanding hasil pengujian dari Bogor dengan nilai kuat acuan E10 – E12 (Sulistyawati, 2009). Kayu Mangium umur 8 tahun ini berdiameter antara 22 – 42 cm. Karena papan kayu Mangium umumnya berukuran sempit serta ukuran yang relatif pendek, maka teknologi papan sambung dan balok lamina menjadi solusi untuk mengatasi masalah tersebut (Rachman dan Balfas, 1993).
55
2.
Penelitian Tegangan Ijin dan Pengkelasan Mutu Kayu Mangium sebagai Kayu Konstruksi dalam Format ASD/LRFD
a. Distribusi Kelenturan dan Kekuatan Kayu Mangium Kayu memiliki variabilitas sangat tinggi akibat pengaruh sifat-sifat genetik dan faktor-faktor lingkungan selama pertumbuhannya. Sifat mekanis kayu yang dicirikan dua sifat penting yaitu nilai MOE atau kekakuan lentur dan nilai MOR atau keteguhan lentur patah sangat bervariasi. Kekakuan lentur kayu Mangium umur 8 tahun dari PT INHUTANI II berdasarkan data CKBC-DT hasil pengujian statis berkisar antara 72.026 kg/cm2 sampai 168.340 kg/cm2 dengan rata-rata 126.960 kg/cm2. Kekakuan lentur kayu tertinggi mencapai 2 sampai 3 kali kekakuan lentur kayu terlentur. Keteguhan lentur patah berupa kekuatan kayu Mangium berkisar antara 385 kg/cm2 sampai 1.402 kg/cm2 dengan rata-rata 1.000 kg/cm2. Kekuatannya mencapai 3 sampai 4 kali lebih kuat dari kayu terlemah. Angka ini lebih rendah daripada yang dikemukakan Gloss (1983) bahwa kekuatan kayu dapat sangat bervariasi sehingga potongan kayu terkuat bisa mencapai sepuluh kali lipat kayu terlemah. Hal ini wajar mengingat kayu Mangium yang diuji berbentuk contoh kecil bebas cacat, sehingga perbedaan kekuatannya tidak terlalu bervariasi akibat contoh ujinya tanpa cacat. Untuk keperluan struktural, berbagai negara telah memperdebatkan distribusi standar yang tepat bagi penyebaran kekakuan dan kekuatan kayu. Setelah melalui penelitian yang panjang, Amerika Serikat akhirnya menetapkan distribusi Weibull yang tertuang pada ASTM D 5457-04. Standar yang terbit sebelum ASTM D 5457-04 tentang tegangan ijin berbagai jenis produk berbahan kayu mengarahkan penggunaan ragam cara menghitung dugaan fifth percentile limits dari populasi. Angka tunggal ini menjadi dasar penetapan tegangan ijin. LRFD memerlukan informasi lebih banyak seperti reference values dan variabilitas dibanding prosedur sebelumnya, namun secara substansial lebih sedikit dibanding Realiability Based Design (RBD). Pengguna LRFD hanya memerlukan tipe distribusi dan parameter-parameter yang mencirikan distribusi tersebut. Pada perbaikan prosedur ini disarankan bahwa pendugaan distribusi dan parameternya lebih akurat menggunakan sebagian ekor distribusi daripada seluruh distribusi, karena untuk aplikasi gedung hanya ekor bawah distribusi keteguhan dan ekor atas distribusi beban yang mungkin menyebabkan kerusakan. Simulasi menunjukkan bahwa tipe distribusi yang diasumsikan sangat berpengaruh dalam penghitungan faktor keteguhan LRFD. Perbedaan ini dikarenakan 56
ketidakmampuan bentuk distribusi standar untuk mengepas/menyelaraskan ekor data dengan tepat. Dengan menstandarisasi tipe distribusi, prosedur ini memberikan nilai tengah yang konsisten untuk mendapatkan faktor-faktor yang diharapkan. Apalagi dengan mengijinkan pengepasan/penyelarasan ekor data, ini memberikan cara pengepasan/penyelarasan data dalam wilayah yang lebih superior daripada tipe distribusi lengkap.
Gambar 5. Empat kemungkinan distribusi kekuatan kayu Mangium umur 8 tahun berdasarkan data CKBC – DT primer
Gambar 6. Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium umur 8 tahun berdasarkan data CKBC – DT primer
57
Oleh karena itu, dilakukan pemilihan tipe distribusi standar yang tepat bagi penyebaran kelenturan dan kekuatan kayu Mangium dari berbagai tipe data baik CKBC / FS yang berasal dari data primer dan data sekunder. Hal ini dilakukan lebih disebabkan ketidakmampuan distribusi standar untuk mengepas ekor-ekor data sesungguhnya. Distribusi Weibull dan Logistic tidak tepat untuk mewakili penyebaran kelenturan dan kekuatan kayu Mangium umur 8 tahun dari PT INHUTANI II. Seperti ditunjukkan Gambar 5 dan Gambar 6 telah terjadi penyimpangan distribusi dugaan dari kenyataan di lapangan bila kedua tipe distribusi ini digunakan sebagai asumsi. Distribusi 3-Parameter Weibull secara visual cukup baik menduga distribusi kekuatan kayu Mangium, sedangkan distribusi Normal secara visual cukup baik menduga distribusi kelenturan/kekakuan kayu Mangium umur 8 tahun ini. Penyimpangan yang terjadi tidak terlalu besar, bahkan pada kedua ekor sekalipun sebagaimana ditunjukkan pada nilai P (P-value), yaitu P-value > 0,500 untuk distribusi 3-Parameter Weibull pada nilai kekuatan kayu Mangium dan P-value = 0,435 untuk distribusi Normal pada nilai kelenturan/kekakuan kayu Mangium. Nilai P-value yang besar menunjukkan kesesuaian distribusi untuk mewakili penyebaran kelenturan dan kekuatan kayu Mangium ini.
Gambar 7. Empat kemungkinan distribusi kekuatan kayu Mangium berdasarkan data CKBC – DT sekunder.
58
Gambar 8. Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium berdasarkan data CKBC – DT sekunder. Distribusi Weibull dan Logistic tidak tepat untuk mewakili penyebaran kelenturan dan kekuatan kayu Mangium dari data CKBC – DT sekunder ini. Seperti ditunjukkan Gambar 7 dan Gambar 8 telah terjadi penyimpangan distribusi dugaan dari kenyataan di lapangan bila kedua tipe distribusi ini digunakan sebagai asumsi. Distribusi Normal secara visual cukup baik menduga distribusi kekuatan kayu Mangium, sebagaimana ditunjukkan pada nilai P yang terbesar yaitu P-value = 0,357, sedangkan distribusi 3-Parameter Weibull secara visual cukup baik menduga distribusi kelenturan/kekakuan kayu Mangium dari data CKBC – DT sekunder sebagaimana ditunjukkan pada nilai P yang terbesar yaitu P-value = 0,444. Penyimpangan yang terjadi tidak terlalu besar, bahkan pada kedua ekor sekalipun. Nilai P-value yang besar menunjukkan kesesuaian distribusi untuk mewakili penyebaran kelenturan dan kekuatan kayu Mangium ini.
59
Gambar 9. Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium berdasarkan data CKBC – NDT sekunder. Distribusi 3-Parameter Weibull, Logistic dan Normal tidak tepat untuk mewakili penyebaran kelenturan/kekakuan kayu Mangium dari data CKBC – NDT sekunder ini. Seperti ditunjukkan Gambar 9 telah terjadi penyimpangan distribusi dugaan dari kenyataan di lapangan bila ketiga tipe distribusi ini digunakan sebagai asumsi. Distribusi Weibull secara visual cukup baik menduga distribusi kelenturan / kekakuan kayu Mangium dari data CKBC – NDT sekunder ini sebagaimana ditunjukkan pada nilai P yang terbesar yaitu P-value = 0,017. Penyimpangan yang terjadi tidak terlalu besar, bahkan pada kedua ekor sekalipun. Nilai P-value yang besar menunjukkan kesesuaian distribusi untuk mewakili penyebaran kelenturan kayu Mangium ini.
60
Gambar 10. Empat kemungkinan distribusi kekuatan kayu Mangium berdasarkan data FS – DT sekunder
Gambar 11. Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium berdasarkan data FS – DT sekunder. Distribusi 3-Parameter Weibull, Logistic dan Normal tidak tepat untuk mewakili penyebaran kelenturan dan kekuatan kayu Mangium dari data FS – DT sekunder ini. Seperti ditunjukkan Gambar 10 dan Gambar 11 telah terjadi penyimpangan distribusi dugaan dari kenyataan di lapangan bila ketiga tipe distribusi ini digunakan sebagai asumsi. Distribusi Weibull secara visual cukup baik menduga distribusi kekuatan dan kelenturan/kekakuan kayu Mangium,
61
sebagaimana ditunjukkan pada nilai P yang terbesar yaitu P-value < 0,010 dari data FS – DT sekunder ini. Penyimpangan yang terjadi tidak terlalu besar, bahkan pada kedua ekor sekalipun. Nilai P-value yang besar menunjukkan kesesuaian distribusi untuk mewakili penyebaran kelenturan dan kekuatan kayu Mangium ini.
Gambar 12. Empat kemungkinan distribusi kekakuan kayu Mangium berdasarkan data FS – NDT sekunder. Distribusi 3-Parameter Weibull, Logistic dan Normal tidak tepat untuk mewakili penyebaran kelenturan/kekakuan kayu Mangium dari data FS – NDT sekunder ini. Seperti ditunjukkan Gambar 12 telah terjadi penyimpangan distribusi dugaan dari kenyataan di lapangan bila ketiga tipe distribusi ini digunakan sebagai asumsi. Distribusi Weibull secara visual cukup baik menduga distribusi kekakuan kayu Mangium dari data FS – NDT sekunder ini sebagaimana ditunjukkan pada nilai P yang terbesar yaitu P-value < 0,010. Penyimpangan yang terjadi tidak terlalu besar, bahkan pada kedua ekor sekalipun. Nilai P-value ini menunjukkan kesesuaian distribusi untuk mewakili penyebaran kelenturan kayu Mangium. Pada pengamatan ekor bawah, sebagai bagian paling menentukan kekuatan desain kayu, lebih dekat ke distribusi Weibull (sebanyak 4 buah yaitu pada MOE CKBC – NDT sekunder, MOE dan MOR FS - DT sekunder dan MOE FS – NDT sekunder) daripada distribusi Normal (sebanyak 2 buah yaitu pada MOE CKBC – DT primer dan MOR CKBC – DT sekunder) maupun distribusi 3-Parameter Weibull (sebanyak 2 buah yaitu pada MOR CKBC – DT primer dan MOE CKBC – DT sekunder). Hal ini sesuai dengan analisis terhadap 809 contoh uji dari 62
berbagai jenis kayu, kelenturan dan kekuatan kayu Indonesia berdistribusi Weibull (Bahtiar, 2000) dan Amerika Serikat yang menetapkan distribusi Weibull sebagai distribusi standar sebagaimana pada ASTM D 5457-04. Maka distribusi Weibull dipilih sebagai distribusi standar bagi kekuatan kayu konstruksi dari kayu Mangium maupun kayu-kayu konstruksi di pasaran kayu Indonesia. b. Penyusunan dan Perbandingan Kekakuan dan Kekuatan Kayu Mangium Data Primer dan Data Sekunder dalam Format ASD dan LRFD 1) Persamaan/Perbedaan Data Primer dan Data Sekunder. Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan data primer dan data sekunder dilakukan uji statistik dengan uji T saling bebas (independent t test), karena jumlah contoh uji yang berbeda. a) Perbandingan data antara MOE CKBC DT Primer dengan MOE CKBC DT sekunder Tabel 6. Uji T antara MOE CKBC DT Primer dengan MOE CKBC DT sekunder. Uji t : Saling bebas dengan asumsi ragam sama MOE CKBC DT Primer MOE CKBC DT sekunder Rata-rata 126.959,59 90.462,64 2 Variasi (Sd ) 277.378.105,90 429.203.532,30 Jumlah contoh uji (n) 100 213 Nilai t hitung 15,43 Probabilitas uji t 2 ekor 2,86 x 10-40 Setelah dilakukan analisis statistik dengan uji T saling bebas, nilai MOE CKBC DT Primer dengan MOE CKBC DT sekunder berbeda nyata. Hal ini terlihat dari nilai peluang penerimaan hipotesis (Probabilitas uji t 2 ekor) pada tingkat kepercayaan 95 % adalah 2,86 x 10-40 (lebih kecil dari 0,05) yang berarti bahwa hipotesis dapat ditolak. b) Perbandingan data antara MOR CKBC DT Primer dengan MOR CKBC DT sekunder Tabel 7. Uji T antara MOR CKBC DT Primer dengan MOR CKBC DT sekunder Uji t : Saling bebas dengan asumsi ragam sama MOR CKBC DT Primer MOR CKBC DT sekunder Rata-rata 999,85 835,66 2 Variasi (Sd ) 35.222,37 23.331,11 Jumlah contoh uji (n) 100 213 Nilai t hitung 8,23 Probabilitas uji t 2 ekor 5,37 x 10-15 63
Setelah dilakukan analisis statistik dengan uji T saling bebas, nilai MOR CKBC DT Primer dengan MOR CKBC DT sekunder berbeda nyata. Hal ini terlihat dari nilai peluang penerimaan hipotesis (Probabilitas uji t 2 ekor) pada tingkat kepercayaan 95 % adalah 5,37 x 10-15 (lebih kecil dari 0,05) yang berarti bahwa hipotesis dapat ditolak. c) Perbandingan data antara MOE CKBC DT Primer dengan MOE CKBC NDT Sekunder Tabel 8. Uji T antara MOE CKBC DT Primer dengan MOE CKBC NDT Sekunder Uji t : Saling bebas dengan asumsi ragam sama MOE CKBC DT Primer MOE CKBC NDT Sekunder Rata-rata 126.959,59 147.344,94 2 Variasi (Sd ) 277.378.106 2.252.996.540 Jumlah contoh uji (n) 100 66 Nilai t hitung -3,95 Probabilitas uji t 2 ekor 0,000117 Setelah dilakukan analisis statistik dengan uji T saling bebas, nilai MOE CKBC DT Primer dengan MOE CKBC NDT sekunder berbeda nyata. Hal ini terlihat dari nilai peluang penerimaan hipotesis (Probabilitas uji t 2 ekor) pada tingkat kepercayaan 95 % adalah 0,000117 (lebih kecil dari 0,05) yang berarti bahwa hipotesis ditolak. Nilai t hitung yang bernilai negatif bermakna bahwa nilai rata-rata dari data yang dibandingkan yaitu nilai rata-rata data MOE CKBC NDT Sekunder lebih besar dibandingkan nilai rata-rata dari data MOE CKBC DT Primer. 2) Perbandingan Kekakuan dan Kekuatan Kayu Mangium Untuk melihat kekakuan dan kekuatan kayu Mangium dari data primer dan data sekunder dilakukan perbandingan nilai MOE dan MOR pada ukuran CKBC dan FS nya, sebagimana tercantum pada Tabel 9 berikut : Tabel 9. Perbandingan Nilai MOR dan MOE ukuran CKBC dan FS pada data primer dan data sekunder
MOR 100 1.000 1.402 385
MOEs 100 126.960 168.340 72.026
MOR 213 836 1.423 412
MOEs 213 90.463 170.262 53.247
CKBC NDT sekunder (kg/cm2) MOE D 66 147.345 274.030 79.740
188
16.655
153
20.717
47.466
CKBC DT Primer (kg/cm2)
N Rata-rata Maksimum Minimum Standar deviasi
CKBC DT Sekunder (kg/cm2)
FS NDT primer (kg/cm2)
FS NDT sekunder (kg/cm2)
MOE 144 113.463 242.696 18.350
MOE 63 117.298 163.645 79.003
MOE 146 101.527 182.699 40.598
48.089
19.261
33.707
FS DT Sekunder (kg/cm2) MOR 144 576 1.357 153 269
64
Berdasarkan Tabel 9 di atas, kekakuan lentur kayu Mangium dari data primer CKBC-DT hasil pengujian statis pada umur 8 tahun berkisar pada selang yang lebar yaitu antara 72.026 kg/cm2 sampai 168.340 kg/cm2 dengan rata-rata 126.960 kg/cm2. Kekakuan lentur kayu tertinggi mencapai 2 sampai 3 kali kekakuan lentur kayu terlentur. Sedangkan kekuatan kayu Mangium berkisar antara 385 kg/cm2 sampai 1.402 kg/cm2 dengan rata-rata 1.000 kg/cm2 bisa mencapai 3 sampai 4 kali lebih kuat dari kayu terlemah. Kekakuan lentur kayu Mangium berdasarkan data sekunder CKBC-DT rata-rata 90.463 kg/cm2 dan kekuatannya rata-rata 836 kg/cm2. Sedangkan kekakuan lentur kayu Mangium berdasarkan data sekunder CKBC – NDT rata-rata 147.345 kg/cm2. Kekakuan lentur kayu Mangium berdasarkan data sekunder FS – DT ratarata 113.463 kg/cm2 dan kekuatannya rata-rata 576 kg/cm2. Nilai kekakuan lentur kayu Mangium berdasarkan data primer FS-NDT hasil pengujian statis pada umur 8 tahun rata-rata 117.298 kg/cm2. Sedangkan kekakuan lentur kayu Mangium berdasarkan data sekunder FS-NDT rata-rata 101.527 kg/cm2. Nilai kekakuan dan kekuatan kayu Mangium pada data FS mempunyai selang kekakuan dan kekuatan yang lebih lebar dibanding data CKBC, hal ini dimungkinkan karena data FS banyak mengandung cacat-cacat kayu akibat pertumbuhan dan pengolahan kayu, sedangkan data CKBC relatif bebas dari cacat-cacat kayu. Berikut disajikan hubungan antara nilai MOE dan MOR untuk kayu Mangium berupa model matematik berdasarkan data primer dan data sekunder : Tabel 10. Model Matematik Hubungan antara Nilai MOE dan MOR untuk Kayu Mangium No. Jenis Data
Persamaan
R2
1
CKBC DT data primer
MOR = 0,008MOE - 66,52
0,555
2
CKBC DT data sekunder
MOR = 0,004MOE - 390,7
0,444
3
FS DT data sekunder
MOR = 0,004MOE - 55,62
0,670
Berdasarkan Tabel 9 di atas, nilai MOE NDT yang berasal dari nilai MOE D lebih tinggi sekitar 16 % dibandingkan nilai MOE DT yang berasal dari nilai MOEs pada CKBC data primer dan 63 % lebih besar dibandingkan dengan nilai MOE DT yang berasal dari nilai MOEs pada CKBC sekunder. Hal ini sesuai
65
dengan hasil penelitian Oliviera et.al. (2002) yang menghasilkan nilai pengujian dinamis (MOE D ) yang lebih tinggi 20 % daripada nilai pengujian statis (MOE S ). Halabe et al. (1995) diacu dalam Oliviera et al. (2002) menyatakan bahwa nilai MOE yang didapatkan melalui ultrasound umumnya lebih tinggi daripada nilai yang dihasilkan pada defleksi statis. Hal ini karena kayu merupakan material yang bersifat viskoelastis dan memiliki kemampuan menyerap yang tinggi. Saat terjadi tegangan perambatan pada kayu, kekuatan elastik proporsional terhadap pemindahan dan kekuatan yang menghilang proporsional terhadap kecepatan. Ketika kekuatan diberikan dalam waktu singkat, material menunjukkan tingkah laku elastik yang solid, sedangkan pada aplikasi kekuatan yang lebih lama tingkah lakunya serupa dengan viscous liquid. Tingkah laku ini lebih bisa dilihat uji bending statis (jangka waktu lama) daripada uji ultrasonic yang banyak digunakan untuk uji non destructive. Dengan demikian MOE dinamis (MOE D ) yang didapat dari metode ultrasound biasanya lebih besar daripada yang didapatkan pada defleksi statis (MOE S ) 3) Perbandingan Nilai Karakteristik Kayu Data Primer dan Sekunder dalam Bentuk CKBC dan FS Kayu Mangium merupakan tanaman jenis cepat tumbuh dan tanaman perintis, oleh karena itu kualitas kekuatan kayu Mangium ini sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tempat tumbuhnya. Kekuatan karakteristik suatu jenis atau kelompok kayu merupakan 5 % exclusion limit terhadap distribusi populasinya. Nilai kekuatan karakteristik kayu Mangium hasil pengujian statis pada umur 8 tahun adalah 691 kg/cm2 pada format ASD dan 655 kg/cm2 pada format LRFD sebagaimana tercantum pada Tabel 5, yang merupakan nilai 5 % Exclusion Limit. Nilai ini lebih tinggi dibanding kekuatan karakteristik kayu Mangium pada data CKBC sekunder sebesar 584 kg/cm2 pada format ASD dan 572 kg/cm2 pada format LRFD. Nilai kekuatan karakteristik kayu Mangium pada data FS sekunder adalah 133 kg/cm2 pada format ASD dan 230 kg/cm2 pada format LRFD (Tabel 5), tidak berbeda nyata dibanding nilai kekuatan karakteristik kayu Mangium dari Indramayu sebesar 231 kg/cm2 pada format LRFD (Firmanti et al., 2003). Kekuatan karakteristik kayu terendah dimiliki oleh data FS sekunder, sedangkan yang paling kuat dimiliki oleh data CKBC primer. Data CKBC 66
sekunder hampir mendekati nilai data CKBC primer. Untuk keperluan struktur, terutama sebagai penyangga beban bisa dipenuhi oleh data CKBC primer dan sekunder yang dapat menahan beban lebih dari 200 kg/cm2. Nilai kekuatan karakteristik dari data FS sekunder sebesar 133 kg/cm2 (dalam format ASD) dan 230 kg/cm2 (dalam format LRFD) dapat menahan beban sedang karena kekuatan karakteristiknya berkisar antara 100 – 200 kg/cm2 (Bahtiar, 2000) sehingga cukup baik digunakan untuk papan-papan struktural. Nilai kekuatan karakteristik kayu Mangium pada data FS mempunyai kekuatan karakteristik yang lebih rendah dibanding data CKBC, hal ini dimungkinkan karena data FS banyak mengandung cacat-cacat kayu akibat pertumbuhan dan pengolahan kayu, sedangkan data CKBC relatif bebas dari cacat-cacat kayu. Untuk keperluan konstruksi, variabel kekuatan karakteristik kayu ini tidak banyak berarti. Pemborosan kayu sebagai bahan bangunan masih tinggi, meskipun telah dipilah-pilah kekuatan kayunya, karena setiap kelompok data kayu ini hanya memiliki satu nilai kekuatan karakteristik, padahal rentang kekuatannya masih lebar. Berdasarkan uraian sebelumnya, kekuatan kayu Mangium tertinggi pada data CKBC dapat mencapai 3 sampai 4 kali kekuatan kayu terlemah. Sedangkan kekuatan kayu Mangium pada data kelas mutu lebih lebar lagi, yaitu mencapai 8 sampai 9 kali lebih kuat dari kayu terlemah. Penetapan satu nilai kekuatan karakteristik (R 0,05 ) untuk setiap jenis kayu, secara ekonomis maupun sumberdaya sangat merugikan, karena justifikasi kekuatan jauh di bawah kemampuan sebenarnya dari sebagian besar kayu, namun dari segi keamanan struktur menjadi lebih aman. Tindakan ini menyebabkan penggunaan dimensi kayu untuk suatu beban tertentu menjadi lebih besar daripada yang dibutuhkan, sehingga terjadi pemborosan sumberdaya kayu. 4) Perbandingan Nilai Tegangan Ijin (F x ) Data Primer dan Data Sekunder dalam Bentuk CKBC pada Format ASD Format ASD merupakan format konvensional, diasumsikan tidak terdapat variabilitas beban sehingga setiap macam beban dianggap mempunyai pengaruh yang sama terhadap kayu. Tegangan ijin murni ditentukan oleh distribusi kekuatan kayu dan tidak ada distribusi beban. Konsep dasar dalam format ASD adalah : Kd.Fx ≥ D + L, yang berarti beban hidup ditambah beban mati harus lebih kecil atau sama dengan tegangan ijin dikalikan dengan faktor lama pembebanan. 67
Tegangan ijin (Fx) merupakan kekuatan karakteristik kayu yang telah direduksi dengan faktor keamanan sebagai faktor pengali, yakni sebesar 1/(2,1) untuk softwood dan 1/(2,3) untuk hardwood. Oleh karena kayu Mangium termasuk hardwood, maka faktor pengalinya digunakan sebesar 1/(2,3). Nilai Tegangan ijin bentuk CKBC pada format ASD (Fx) dari data primer adalah 300 kg/cm2 sedangkan tegangan ijin dari data sekunder adalah 254 kg/cm2. Berdasarkan nilai tegangan ijin (F x ) tersebut, nilai tegangan ijin (F x ) dari data primer lebih besar dibanding nilai tegangan ijin (F x) dari data sekunder. 5) Perbandingan Nilai Tegangan Ijin (σ lt ) Data Primer dan Data Sekunder dalam Bentuk kelas mutu pada Format ASD Nilai tegangan ijin bentuk CKBC pada format ASD (Fx) kemudian dikonversi menjadi nilai tegangan ijin bentuk kelas mutu pada format ASD (σlt). Nilai tegangan ijin bentuk kelas mutu pada format ASD (
) dari data primer
adalah 186 kg/cm2 sedangkan tegangan ijin data sekunder adalah 156 kg/cm2. Nilai tegangan ijin bentuk FS pada format ASD ( kg/cm2. Berdasarkan nilai tegangan ijin (
) dari data sekunder adalah 58
) tersebut, nilai tegangan ijin (
dari data primer bentuk CKBC lebih besar dibanding nilai tegangan ijin (
)
) dari
data sekunder baik dalam bentuk CKBC maupun FS. Pengkelasan mutu kayu dalam format ASD ini dilakukan sesuai dengan SKI Cbo-010:1987 yang menghasilkan kelas mutu kayu berdasarkan tegangan lenturnya yang disebut Tegangan Serat (TS) seperti Tabel 1. Nilai tegangan ijin bentuk FS hasil konversi pada format ASD
hasil pengujian CKBC primer adalah 186
kg/cm2 (TS 18), lebih tinggi dibanding data CKBC sekunder sebesar 156 kg/cm2 (TS 15) dan data FS sekunder 58 kg/cm2 (TS 5). Kayu Mangium dari data primer relatif lebih kuat dibanding kayu Mangium dari data sekunder. Berdasarkan nilai tegangan serat
kayu tersebut, kayu Mangium direkomendasikan untuk
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, terutama untuk bahan konstruksi seperti shearwall. 6) Perbandingan Nilai Reference Resistance (Rn) Data Primer dan Sekunder Baik dalam Bentuk CKBC maupun kelas mutu pada Format LRFD. Nilai reference resistance (Rn) data primer dari data CKBC dengan menggunakan prosedur format conversion dalam format ASD sebesar 473 kg/cm2 dan dalam bentuk FS pada format LRFD sebesar 503 kg/cm2, diikuti nilai reference resistance dari data sekunder data CKBC dengan menggunakan 68
prosedur format conversion dalam format ASD sebesar 400 kg/cm2 dan dalam bentuk FS pada format LRFD sebesar 459 kg/cm2 dan nilai reference resistance dari data sekunder data FS dengan menggunakan prosedur format conversion dalam format ASD sebesar 147 kg/cm2 dan dalam bentuk FS pada format LRFD sebesar 208 kg/cm2. Nilai ini lebih besar dibanding nilai reference resistance kayu Mangium dari Indramayu sebesar 161 kg/cm2 dalam bentuk FS pada format LRFD (Firmanti, et al. 2003). Berdasarkan perbandingan nilai reference resistance baik dalam bentuk CKBC maupun kelas mutu pada format ASD dan LRFD, nilai reference resistance data primer lebih besar dibanding
nilai reference resistance data
sekunder baik pada ukuran CKBC maupun FS. Meskipun nilai reference resistance data sekunder pada ukuran FS terendah, namun kondisi kayunya sudah mengandung cacat-cacat di dalamnya, sehingga dapat menduga keterandalan struktur dengan tepat. Keterandalan yang tepat
menunjukkan kemungkinan
kerusakan yang semakin kecil. Sementara perhitungan ketahanan referensi (reference resistance) pada data primer dan data sekunder dari data CKBC yang sudah dikonversi ke bentuk FS ini menggunakan prosedur format conversion. Karena itu nilai ketahanan referensi (reference resistance) ini tidak dapat menduga keterandalan struktur dengan tepat. c. Kelas Mutu Kayu Untuk kemudahan dan alasan ekonomi, setiap potong kayu yang memiliki sifat mekanis serupa dipisah atau dikelompokkan ke dalam kelas yang disebut dengan kelas mutu (stress grade). Kelas mutu dicirikan oleh satu atau lebih standar penyortiran, sekumpulan sifat mekanis yang diijinkan untuk desain struktur dan sebuah nama kelas mutu yang khas. Dalam pengkelasan mutu, sifat yang diperlukan adalah sifat mekanis kayu yang dicirikan dua sifat penting yaitu nilai MOE dan nilai MOR. Berdasarkan pengkelasan mutu dengan standar RSNI 2002, nilai MOE kayu Mangium dari data CKBC-DT data primer sebagaimana pada Tabel 9, masuk kelas E7 sampai E17 dan rata-rata di E13. Dan berdasarkan nilai MOR sebagaimana tercantum pada Tabel 5 sebesar 503 kg/cm2 (nilai reference resistance dalam bentuk FS pada format LRFD) dan sebesar 473 kg/cm2 (nilai reference resistance dengan menggunakan prosedur format conversion dalam 69
format ASD) masuk kelas kuat E20 dan berdasarkan nilai MOE kayu Mangium dari data FS primer masuk kelas E8 sampai E17 dan rata-rata di E12. Kayu Mangium umur 8 tahun dari HTI PT INHUTANI II ini cukup kaku dan kuat. Berdasarkan data CKBC-DT data sekunder sebagaimana pada Tabel 9, nilai MOE kayu Mangium masuk kelas E5 sampai E17 dan rata-rata di E9. Dan berdasarkan nilai MOR sebagaimana tercantum pada Tabel 5 sebesar 459 kg/cm2 (nilai reference resistance dalam bentuk FS pada format LRFD) dan sebesar 400 kg/cm2 (nilai reference resistance dengan menggunakan prosedur format conversion dalam format ASD) masuk kelas kuat E17-E19. Sehingga kayu Mangium dari data sekunder CKBC – DT ini cukup layak untuk konstruksi karena kurang kaku tapi cukup kuat. Berdasarkan data CKBC-NDT data sekunder sebagaimana tercantum pada Tabel 9, nilai MOE kayu Mangium masuk kelas E8 sampai E26 dan rata-rata di E14. Sehingga kayu Mangium dari data sekunder CKBC – NDT ini layak untuk konstruksi karena cukup kaku. Berdasarkan data FS-DT data sekunder sebagaimana pada Tabel 9 nilai MOE kayu Mangium masuk kelas E5 sampai E25 dan rata-rata di E12. Dan berdasarkan nilai MOR sebagaimana tercantum pada Tabel 5 sebesar 208 kg/cm2 (nilai reference resistance dalam bentuk FS pada format LRFD) dan sebesar 147 kg/cm2 (nilai reference resistance dengan menggunakan prosedur format conversion dalam format ASD) masuk kelas kuat E8 - E11. Sehingga kayu Mangium dari data sekunder FS – DT ini cukup kaku namun kurang kuat (agak getas). Berdasarkan data FS-NDT data primer sebagaimana pada Tabel 9, nilai MOE kayu Mangium masuk kelas E8 sampai E17 dan rata-rata di E12. Sedangkan berdasarkan data FS-NDT data sekunder sebagaimana pada Tabel 9, nilai MOE kayu Mangium masuk kelas E5 sampai E19 dan rata-rata di E11. Sehingga kayu Mangium dari data FS – NDT ini layak untuk konstruksi karena cukup kaku. Secara keseluruhan kayu Mangium sebagai jenis kayu cepat tumbuh dan banyak ditanam pada HTI dapat direkomendasikan untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, terutama untuk konstruksi struktural sebagai komponen shearwall dan diafragma pada konstruksi rumah prefabrikasi, dinding, lantai, jendela, pintu, atap dan perancah karena relatif kaku dan cukup kuat. PT
70
INHUTANI II sudah menurunkan daur menjadi 8 tahun, baik untuk kebutuhan pulp maupun untuk kayu pertukangan. E. Simpulan Dari penelitian yang dilakukan diperoleh beberapa simpulan yaitu : 1. Nilai sifat fisis kayu Mangium umur 8 tahun di PT INHUTANI II berupa KA ratarata 13,01 % dan BJ rata-rata 0,58. Nilai sifat mekanis data CKBC berupa MOEs rata-rata 126.960 kg/cm2, MOR rata-rata 1.000 kg/cm2 dan berdasarkan data FSNDT nilai MOE rata-rata sebesar 117.298 kg/cm2. 2. Kayu Mangium umur 8 tahun ini termasuk kelas kuat II – III (NI-5 PKKI;1961). Nilai tegangan ijin berupa Tegangan Serat (TS) termasuk kelas TS 7 sampai TS 22 dan rata-rata di TS 12 (SKI C-bo-010:1987), dan kuat acuan lentur termasuk kelas E8 sampai E17 dan rata-rata di E12 (RSNI 2002). 3. Pada pengamatan distribusi kekakuan dan kekuatan kayu Mangium, distribusi Weibull dipilih sebagai distribusi standar bagi kekuatan kayu konstruksi dari kayu Mangium maupun kayu-kayu konstruksi di pasaran kayu Indonesia. 4. Nilai reference resistance data sekunder pada ukuran FS lebih rendah dibanding nilai reference resistance pada data primer maupun data sekunder dari data CKBC, karena adanya cacat-cacat di dalamnya. Sehingga dapat menduga keterandalan struktur dengan tepat
yang akan menunjukkan kemungkinan
kerusakan yang semakin kecil. 5. Berdasarkan kelas mutu standar RSNI 2002, nilai MOE dan MOR kayu Mangium dari data primer CKBC-DT, data sekunder CKBC-DT dan data sekunder FS-DT ini cukup kaku dan kuat serta berdasarkan data sekunder CKBC-NDT, data primer FS-NDT dan data sekunder FS-NDT ini layak untuk konstruksi karena cukup kaku.
71
72
IV. PEMILAHAN DAN OPTIMASI PENGGERGAJIAN, PENGERINGAN DAN PENGERJAAN KAYU UNTUK PEMBUATAN MOLDING A. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik dolog kayu Mangium berupa volume log, angka bentuk dan cacat pertumbuhan. 2. Mengetahui proses pengolahan kayu berupa proses penggergajian log diameter kecil yang optimal dan proses pengerjaan kayu untuk pembuatan molding. 3. Mengetahui proses pengeringan dan cacat-cacatnya. 4. Menghitung nilai rendemen pada 3 pola penggergajian dalam bentuk papan sawn timber (R1), rough lumber (R2), blank (R3) dan lumber shearing (R4). 5. Menghitung biaya produksi shearwall untuk komponen struktur rumah prefabrikasi. B. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai bulan Maret sampai Mei 2010. Proses penggergajian dilaksanakan di Industri Penggergajian Kayu PT INHUTANI II di Semaras, Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Proses pengeringan, pengolahan dan pembuatan contoh uji komponen shearwall dilaksanakan di Industri Pengolahan Kayu PT Pradipta Ratanindo, Bati-Bati, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. C. Jenis Kegiatan Penelitian Kegiatan penelitian ini ada 4 yaitu pengukuran dan pemilahan log (grading log), penggergajian, pengeringan dan pengerjaan kayu untuk pembuatan molding. 1.
Pengukuran dan Pemilihan Log (Grading Log)
a.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 60 buah dolog kayu Mangium umur 8 tahun,
berdiameter 22 - 42 cm dan panjang 210 cm dari HTI PT INHUTANI II di Pulau Laut. Alat yang digunakan berupa : meteran/phiband, penggaris, chainsaw, kamera, alat tulis, kapur tulis dan buku taksasi pengukuran. b. Metode Penelitian Pada tahap ini diukur diameter dan panjang log, cacat alami dan kesilindrisan setiap log kayu Mangium yang dinyatakan dalam nilai angka bentuk. Tahapan pengukuran dan pemilihan log sebelum digergaji adalah sebagai berikut :
73
1) Pembersihan dan Pemotongan Dolog Pembersihan bertujuan untuk menghilangkan lumpur, kerikil, kotoran atau benda lain yang mengganggu proses penggergajian. Pemotongan dolog bertujuan memotong dolog yang panjangnya belum sesuai dengan ukuran dan membuang cacat seperti busuk, pecah atau belah ujung dan bengkok sehingga diperoleh dolog yang rata pada kedua ujung bontos log tersebut dan cacat minimum. Pemotongan dolog dilakukan dengan portabel chain saw di log yard untuk memudahkan pemindahan dolog ke dalam pabrik.
Gambar 13. Kegiatan pemotongan dolog dengan portabel chain saw 2) Pengukuran Dimensi Log. Pengukuran diameter dilakukan pada bagian pangkal (dp) dan ujung (du), masingmasing pengukuran dilakukan dua kali saling tegak lurus (dp1 ┴ dp2) dan du1┴du2) tanpa kulit. Diameter diukur melalui titik pusat bontos, masing-masing bontos diukur diameter terpendek dan terpanjangnya, kemudian dirata-ratakan dengan rumus :
(22) Keterangan : d
= diameter rata-rata (cm)
dp 1 = diameter pendek di pangkal (cm) dp 2 = diameter panjang di pangkal (cm) du 1 = diameter pendek di ujung (cm) du 2 = diameter panjang di ujung (cm)
74
Kemudian diukur panjang (p) log tersebut. Volume setiap log dihitung dengan rumus : (23) 3) Pemilahan Log (Grading Log) berupa Angka Bentuk Dolog Pada tahap ini diukur data interval diameter, panjang dan penyimpangan log berupa cacat alami dan kesilindrisan yang dinyatakan dalam nilai angka bentuk yang meliputi kebundaran, taper dan kelurusan setiap log, sebagai berikut : a) Kebundaran (K) Klasifikasi kebundaran dolog dikelompokan menjadi tiga, yaitu: bundar (> 90%), hampir bundar (> 80% - < 90%) dan tidak bundar (< 80%), yang bentuknya seperti Gambar 14a, dengan rumus sebagai berikut (Rachman dan Malik, 2008) :
K1 < K2 K = K1
(24)
b) Taper (T). Klasifikasi keruncingan dolog yaitu: Taper > 0,52 cm/m dan Tidak taper < 0,52 cm/m (Rachman dan Malik, 2008). Mengukur keruncingan dolog (taper) dengan cara mengurangi rata-rata diameter pangkal (dp) dengan rata-rata diameter ujung (du) kemudian dibagi dengan panjang log (p) sebagimana pada Gambar 14b dengan rumus sebagai berikut : (dp1 + dp2)/2 = dp (du1 + du2)/2 = du T = (dp – du)/p
(25)
c) Kelurusan (Lr). Kelas kelurusan terbagi menjadi empat, yaitu: lurus≤( 1/13 ; v =10 cm, d = 130 cm) = 0,00 – 0,07, hampir lurus (1/12 – 1/7) = 0,08 – 0,14, cukup lurus 1/6 – 1/2) = 0,16 – 0,50 dan tidak lurus (> 1/2) = > 0,50 (Rachman dan Malik, 2008). Pada badan kayu bulat ditentukan terlebih dahulu tiga titik, dua titik pada masing-masing ujungnya (pangkal dan ujung log) dan satu titik lagi pada tempat bengkokan (v). Kemudian antara pangkal dan ujung dihubungkan dengan seutas tali yang direntangkan dengan 75
tegang, selanjutnya dari v diukur jaraknya sampai pada tali yang direntangkan. Jarak yang diketahui tersebut dibandingkan dengan diameter untuk mengetahui kelurusan kayu sebagaimana Gambar 14c dengan rumus sebagai berikut : (26)
(a)
(b)
(c)
Gambar 14. Bentuk-bentuk dolog (a) Kebundaran, (b) Taper dan (c) Kelurusan 2.
Optimasi Penggergajian Log Kayu Mangium
a.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 60 dolog kayu Mangium berdiameter 22 - 42 cm dan
panjang 210 cm sebagaimana bahan tersebut di atas. Dolog tersebut akan dibentuk menjadi papan lumber shearing tounge and groove (T and G) ukuran 18 x 105 x (200 s.d 2100) mm untuk bahan lumber sheathing komponen shearwall. Alat yang digunakan bandsaw 36 inchi dan Tabel Pembelahan Pertama Terbaik (PPT). b. Metode Penelitian Ukuran komponen struktur sesuai dengan ukuran hasil desain rumah prefab untuk komponen shearwall yaitu papan lumber shearing (T and G) ketebalan 18 mm, sehingga ukuran target ketebalan dari proses penggergajian adalah 25 mm dengan tambahan spilasi/allowance. Tahapan proses penggergajian adalah sebagai berikut : 1) Pembagian dan pemberian kode tiap log Jumlah 60 log berukuran panjang 210 cm dan dibagi menjadi 3 kelompok sesuai dengan jumlah pola penggergajian yang akan diteliti. Pengelompokkan log berupa pemberian kode warna pada bontos log. Sehingga setiap pola penggergajian terdiri dari 20 batang log dengan ukuran Ø yang proporsional.
76
2) Loading deck. Dilakukan pemuatan (loading) ke log deck sawmill dengan menggunakan Loader. Pada saat loading ke deck sawmill, dimuat tiap log dan dilakukan secara terpisah setiap kelompok pola penggergajian. 3) Peletakan log di atas carriage. Dolog ditempatkan pada kereta dolog (carriage) dengan posisi pangkal di depan dan lurus menghadap ke arah gergaji bandsaw. Penentuan posisi log pada carriage sebaiknya mengikuti pertimbangan operator karena pertimbangan kekokohan dalam memegang log untuk mengurangi resiko cacat saat penggergajian. Peletakan log pada carriage untuk Ø berbentuk elips adalah panjang Ø pangkal yang terpanjang pada posisi horizontal, sedang panjang Ø yang pendek terletak pada posisi vertikal. 4) Pembelahan utama dolog Pembelahan utama ini adalah tahap pertama pembelahan dolog dengan mesin bandsaw. Dalam menggergaji tebal papan yang dihasilkan seragam, yakni 25 mm. Kondisi log mudah digergaji pada saat kondisi basah (green). Proses pembelahan dolog dimulai dengan meletakkan dolog pada meja gergaji oleh dua orang operator dan mendorong dolog tersebut ke arah gergaji. Posisi pembelahan pertama ditentukan oleh operator yang mendorong dolog untuk digergaji. Operator yang lain menarik dolog yang sedang digergaji dan mengatur kayu gergajian yang akan diratakan sisinya. Proses ini dilakukan terus-menerus hingga dolog selesai dibelah menjadi kayu gergajian. Perlakuan pola penggergajian ada 3 macam, yaitu : a) Pola Konvensional Pola penggergajian konvensional adalah pola yang dilakukan tanpa mengikuti pola penggergajian tertentu, tetapi lebih menitikberatkan pengalaman dan kemampuan operator dalam melakukan penggergajian. b) Pola Satu Sisi Pola penggergajian satu sisi adalah pola sederhana dimana dolog dikunci pada suatu sisi lalu digergaji secara terus-menerus ke arah sisi yang berhadapan sampai selesai. Pola ini ditandai oleh irisan gergaji yang seolah-olah membuat garis singgung dengan lingkaran tahun yang sejajar satu sama lain bila dilihat pada penampang lintang log.
77
Gambar 15. Pola penggergajian satu sisi Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor (2008).
c) Pola Satu Sisi dengan Program Model Optimasi Penggergajian (MOP) Pola penggergajian satu sisi dengan Program MOP hampir sama dengan pola penggergajian satu sisi. Teknik ini didukung oleh teori bahwa pada pola penggergajian satu sisi, posisi pembelahan pertama menentukan jumlah lintasan gergaji dan komposisi lebar papan yang akan dihasilkan. Posisi Pembelahan Pertama Terbaik (PPT) akan menghasilkan jumlah papan dan lebar papan tertinggi sehingga rendemen menjadi optimum. Asumsinya adalah dolog berbentuk silinder masif yang kedua ujungnya terpotong tegak lurus. Simulasi adalah suatu metode pemecahan masalah dengan cara menggunakan suatu model. Dalam penggergajian, sebagai model adalah dolog dengan diameter dan panjang tertentu yang dianggap berbentuk silindris masif dengan kedua ujungnya terpotong tegak lurus, tebal irisan gergaji dan ukuran kayu gergajian yang dianggap berbentuk lempengan empat persegi. Permasalahannya adalah bagaimana mendapat lempengan (kayu gergajian) secara maksimum dari dolog model. Dengan simulasi, banyaknya lempengan yang diperoleh dapat dihitung dengan rekayasa model matematis untuk menetapkan PPT melalui ukuran dolog, tebal irisan gergaji dan ukuran lempeng dan tahapan-tahapan perhitungan dalam program komputer secara berulang-ulang (Rachman, 1994). Hasil simulasi memberikan informasi bahwa pada tebal kayu gergajian yang akan diproduksi dan diameter dolog yang digergaji akan diperoleh posisi PPT, jumlah lembar kayu gergajian dan rendemen. Tabel ini membantu operator di lapangan untuk mendapatkan PPT tanpa menggunakan komputer (Ginoga et al., 1999). Data entri (dimasukkan dalam software) berupa diameter, panjang dan volume log, serta tebal gergaji dan tebal papan yang akan dihasilkan. Berdasarkan data tersebut, dilihat tabel PPT untuk memperoleh lebar PPT, jumlah papan yang dihasilkan dan rendemen gergajian secara simulasi.
78
Pola penggergajian satu sisi dengan Program MOP menggunakan petunjuk Tabel PPT hasil simulasi komputer yang berisi jumlah lembar kayu gergajian yang akan dihasilkan dan rendemen dolog yang akan digergaji pada ukuran panjang dan diameter tertentu. Manfaat tabel PPT adalah membantu pelaksanaan pengergajian di lapangan dalam menentukan posisi pembelahan awal tanpa menggunakan komputer (Ginoga et al.,1999) dan memperkirakan lembar papan yang akan dihasilkan dan rendemen sesuai tebalnya untuk dolog diameter kecil yang akan digergaji. Ukuran target ketebalan proses penggergajian sebesar 25 mm untuk ukuran standar modular ketebalan papan sebagai elemen panel shearwall sebesar 18 mm. Dasarnya sawn timber setebal 25 mm akan berkurang 3 mm pada saat pengetaman (planing) oleh double surfacer, 3,6 mm pada saat proses molding dengan molder dan nilai penyusutan papan serta 0,4 mm pada proses sanding. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan penggergajian dengan pola penggergajian satu sisi dengan Program MOP, yaitu : a) Menyiapkan Tabel PPT, kemudian menentukan diameter log yang akan digergaji b) Diameter standar untuk penentuan PPT adalah pada bagian diameter terbesar (biasanya pada pangkal batang) dari 2 ujung yang ada dan diukur di luar bagian kulit (tanpa kulit) dengan ketentuan sbb : • Jika diameter pangkal berbentuk silindris maka dipakai rata-rata diameter pangkal. • Jika diameter pangkal berbentuk elips, maka dipakai diameter pangkal terpanjang dan diposisikan arah mendatar (tidur). c) Pada tabel PPT, standar diameter berupa satuan tanpa angka di belakang koma, sehingga jika hasil pengukuran terdapat kelebihan angka, maka dibulatkan ke bawah. d) Pemberian tanda lebar PPT pada penampang melintang batang balok dilaksanakan pada bagian diameter yang terbesar (biasanya pada pangkal batang) dan dibuat di luar penampang melintang log agar terlihat oleh operator. e) Dibuat dudukan setebal 0,5 cm pada posisi 900 pada sisi PPT untuk dudukan log agar tidak mengelinding atau bergeser. f) Setelah persiapan itu selesai, maka kegiatan penggergajian dilakukan satu persatu pada dolog sesuai dengan pola yang diteliti.
79
Asumsi yang digunakan adalah rata-rata Ø dolog sama atau proporsional, sehingga setiap kelas Ø terwakili pada setiap pola penggergajian dengan cara dolog-dolog diukur diameternya dan kemudian dibagi secara proporsional. 5) Penumpukan kayu pacakan. Setelah dilakukan penggergajian maka dilakukan penumpukan kayu pacakan (kayu gergajian kasar yang sisinya masih belum rata karena belum dilakukan edging) secara terpisah sesuai dengan pola penggergajian yang diterapkan. 6) Pemuatan (loading ) kayu pacakan Pemuatan kayu pacakan ke atas Truk di industri sawmill PT INHUTANI II di Semaras, Pulau Laut, Kalimantan Selatan. 7) Pengangkutan ke industri pengolahan kayu. Pengangkutan dilakukan menuju PT Pradipta Ratanindo di Kecamatan Bati-bati, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Urutan proses penggergajian ini menggunakan teknik Saw Dry Rip (SDR), sehingga dalam proses penggergajian ini hanya sampai kegiatan pembelahan pertama dolog untuk dijadikan beberapa kayu pacakan yang disebut breakdown sawing. Kegiatan selanjutnya berupa kegiatan resawing, edging dan trimming dilaksanakan setelah proses pengeringan. Urutan proses penggergajian sebagaimana Gambar 16 berikut : Dolog di log yard 1. Pengukuran dan Pemilihan Log (Grading Log) 1) Pembersihan dan Pemotongan Dolog 2) Pengukuran Dimensi Setiap Log. 3) Pemilahan Log (Grading Log) berupa Angka Bentuk Dolog
2. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Penggergajian berupa Optimasi Penggergajian Log Kayu Mangium Pembagian dan Pemberian Kode tiap Log Loading deck. Peletakan log di atas carriage Pembelahan dolog dengan bandsaw Penumpukan kayu pacakan. Pemuatan (loading ) kayu pacakan Pengangkutan ke industri pengolahan kayu Gambar 16. Skema Proses Penggergajian
80
3.
Proses Pengeringan
a.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah papan pacakan kayu Mangium ukuran tebal 25 mm,
panjang 2100 mm dan lebar papan bervariasi mulai dari 50 mm s/d 400 mm pada teknik SDR hasil optimasi penggergajian pada 3 pola penggergajian yang dilakukan sebelumnya. Penerapan penggerggajian teknik SDR menghasilkan bentuk sisi papan yang masih belum beraturan yang disebut kayu pacakan, karena belum dilakukan edging dan trimming. Alat yang digunakan adalah kiln dry tipe tunggal (kompartemen), moisture meter merek Ballunn dan MC Kuning, stick dari kayu Mangium ukuran (25 x 25 x 1000) mm dan klem. b. Metode Penelitian Proses
pengeringan
kayu
Mangium
ini
menggunakan
kilang
pengering
konvensional dengan beberapa tambahan modifikasi perlakuan. Tahapan pengeringan kayu Mangium adalah sebagai berikut : 1) Penyusunan kayu berupa pemasangan stick dan klem. a) Pemasangan stick Dilakukan penyusunan papan kayu pacakan berjumlah 20 lapis pada pallet pengeringan secara manual dengan memberi stick/pengganjal setiap jarak 30 cm arah tegak lurus pada tumpukan (stacking). Susunan papan kayu pacakan dibagi menjadi 3 kelompok sesuai pola penggergajian. b) Pemasangan klem Dilakukan pemasangan klem berupa pelat besi pada stacking dengan cara mengikat tumpukan papan kayu pacakan guna mengurangi cacat bentuk akibat pengeringan. 2) Pengeringan alami (air drying). Dilakukan pengeringan alami pada tumpukan papan kayu pacakan dengan cara diangin-anginkan pada ruang terbuka dibawah naungan (dengan peredaran udara yang cukup) selama 12 hari untuk mencapai KA kering udara dari kondisi basah (green). 3) Proses pengeringan kayu di dalam kilang pengering (kiln dry) a) Memasukkan papan kayu pacakan ke dalam kiln dry
81
b) Boiler sebagai sumber energi berupa uap panas dijalankan, tetapi belum dibuka ke dalam chamber selama 1 (satu) hari. c) Fan dalam chamber dijalankan. Chamber dilengkapi dengan 4 buah fan (exhaust fans) berkekuatan 50 Hz yang dipasang dibalik dinding dan atap. Fan ini selalu berputar untuk mendorong udara dingin dari chamber untuk stabilisasi suhu. d) Dilakukan penyemprotan (spraying) dengan uap dingin selama 15 menit di dalam kiln dry sebelum proses pengeringan untuk mendapatkan kesamaan KA. e) Uap panas (steam) yang dihasilkan oleh boiler dimasukkan ke dalam chamber sebagai pertanda dimulainya proses pengeringan kayu. f) Damper sebagai pengatur ventilasi dijalankan sehari setelah start awal. Damper dijalankan setiap 6 menit sekali yang terbuka selama 1 menit selama pengeringan. g) Dilakukan penyesuaian suhu pada setiap penurunan KA ± 10 %, sesuai skedul pengeringan standar Instruksi Pengeringan Kayu Papan Mangium ketebalan 25 mm s/d 35 mm dari IFC (2008), sebagaimana Tabel 11. Setiap penurunan KA ± 10 % dari KA awal sampai dengan target akhir KA sebesar 10 %, suhu ditingkatkan secara bertahap sebesar 5 oC dari suhu awal 40 oC hingga mencapai suhu maksimum (65 ± 5) oC pada tahap akhir proses pengeringan. Tipe skedul pengeringan yang digunakan adalah skedul berdasarkan Kadar Air (KA), dimana perubahan tahapan skedul berupa peningkatan suhu secara bertahap sebesar 5 0C berdasarkan KA rata-rata dari kayu yang diduga dengan mengukur KA papan di dalam chamber setiap 3 hari sekali. Tabel 11. Skedul pengeringan untuk kayu Mangium ketebalan 25 mm. No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kadar air/moisture content (%) 114-126 menjadi 65 Papan kering udara (65) 60 50 40 30 20 10
Suhu (°C) air drying (28-32) 40 45 50 55 55 60 65
Kelembaban/humidity (%) 42 41 43 40 41 42 41
h) Pencatatan penurunan KA. Penurunan KA dicatat setiap 3 hari sekali sampai diketahui jumlah hari yang diperlukan (drying time) selama proses pengeringan. 4) Cooling down. Caranya mengeluarkan kayu dari kiln dry untuk air drying minimal 24 jam, lalu dimasukkan lagi setelah proses pengeringan pada saat KA TJS (25 – 30 %) yang berfungsi untuk memberi kesempatan pada pori-pori kayu agar tetap terbuka
82
dan rekondisi KA agar pengeringan merata (dilakukan jika terjadi stagnasi penurunan KA). 5) Penghentian steam dan boiler. Bila KA rata-rata telah mencapai 10 %, steam dan boiler dihentikan dan suhu diturunkan perlahan-lahan dari 65 oC sampai 30 oC. Lalu dilakukan pendinginan (cooling down) selama 12 jam sebelum papan kayu dikeluarkan dari ruang pengering untuk penyesuaian dengan suhu dan kelembaban setempat. 6) Fan dan Damper dihidupkan. Setelah mencapai KA 10 % Fan dan Damper dihidupkan selama 24 jam, kayu masih di dalam kiln dry, pintu kecil terbuka, pintu besar tertutup. 7) Seasoning. Dilanjutkan proses Seasoning dengan air drying di luar kiln dry selama 1 minggu untuk menghindari cacat pengerjaan. 8) Dilakukan pengamatan laju penurunan KA, jumlah dan jenis cacat pengeringan (cacat bentuk dan cacat badan) dan warna kayu yang dilakukan berdasarkan ASTM D 245-05.
83
Urutan proses pengeringan kayu Mangium sebagaimana terlihat pada Gambar 17 berikut : 1) Penyusunan kayu berupa pemasangan stick dan klem 2) Pengeringan alami (air drying) 3) a) b) c) d)
Proses pengeringan kayu di dalam kiln dry : Memasukkan papan kayu pacakan ke dalam kiln dry Boiler dijalankan, tetapi belum dibuka ke dalam chamber. Fan dalam chamber dijalankan guna stabilisasi suhu. Spraying dengan uap dingin selama seperampat jam untuk mendapatkan kesamaan KA. e) Membuka katup chamber untuk memasukkan uap panas (steam) yang sebagai pertanda dimulainya proses pengeringan kayu f) Damper dijalankan sehari setelah start awal sampai selesainya proses pengeringan. g) Peningkatan suhu yang dilakukan pada setiap penurunan KA ± 10 %. Suhu ditingkatkan secara bertahap sebesar 5 oC dari suhu awal 40 oC hingga mencapai suhu (65 ± 5) oC h) Pencatatan penurunan KA setiap 3 hari sekali sampai diketahui jumlah hari yang diperlukan (drying time) untuk proses pengeringan. 4) Bila KA rata-rata telah mencapai 10 %, steam dan boiler dihentikan, suhu diturunkan perlahan sampai 30 oC dan cooling down selama 12 jam. 5) Fan dan Damper dihidupkan selama 24 jam 6) Seasoning selama 1 minggu 7) Pengamatan laju penurunan KA, jumlah dan jenis cacat
pengeringan (cacat bentuk dan cacat badan) dan warna kayu Gambar 17. Skema Proses Pengeringan Kayu Mangium 4.
Proses Pengerjaan Kayu untuk Pembuatan Molding
a.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah papan kayu pacakan Mangium pada teknik SDR hasil
optimasi 3 pola penggergajian yang telah dikeringkan. Bahan lain adalah perekat Koyobond KR 560 (water based polymer – isocyanate adhesive for wood), hardener dan sawdust ukuran mesh 10 – 20. Alat yang digunakan berupa meteran, penggaris, kaliper, edger, trimmer (cross cutter), resaw/multiripsaw, planer/double surfacer, alat laminating, molder dan sander.
84
b. Metode Penelitian Kegiatan pengolahan kayu sekunder berupa proses pengerjaan kayu untuk pembuatan papan bentukan (molding) komponen shearwall. Proses pembuatan molding dilakukan dengan tiga tahapan yaitu : 1) Persiapan Lumber, yang meliputi kegiatan perataan sisi (edging), pemotongan (trimming) dan pembelahan ulang (resawing) beserta grading dan sortasinya. a) Perataan sisi (Edging) Perataan sisi dilakukan oleh mesin belah (edger) tipe gergaji piring (circle saw) ukuran 40,64 – 45,72 cm. Fungsinya untuk meratakan bagian pinggir kayu pacakan karena penerapan teknik penggerggajian SDR sebelumnya mengakibatkan bentuk sisi papan masih belum merata (papan berpingul) atau cacat lain menjadi sortimen dengan ukuran selebar mungkin. b) Pemotongan (Trimming) Kayu pacakan diteruskan ke unit gergaji potong trimmer/cross cutter (satu bilah). Fungsinya adalah mengerat papan-papan kayu pacakan menyilang serat secara tegak lurus (potongan menjadi siku) terhadap arah panjangnya untuk meratakan ujungujung papan, menghilangkan cacat, membuang panjang tertentu atau membagi papan menjadi dua bagian atau lebih. Tempat-tempat pemotongan dipilih sedemikian rupa sehingga cacat seperti mata kayu tidak sehat, pecah, retak dan lain-lain dapat dikeluarkan. Setelah tahapan tersebut terjadi perubahan papan dari kayu pacakan menjadi kayu gergajian (sawn timber). Kemudian dilakukan pengukuran dimensi papan untuk memperoleh volume papan sawn timber (V1) tiap pola penggergajian dengan ketebalan papan 25 mm, ukuran lebar variatif dan panjang 2050 mm dan 2100 mm sebagai dasar untuk memperoleh nilai rendemen pertama (R1). c) Pembelahan ulang (resawing) Pembelahan ulang (resawing) dilakukan dengan gergaji resaw/multiripsaw. Resaw berfungsi merajang (membelah) kembali kayu gergajian menjadi ukaran lebar tertentu atau membagi lebar papan menjadi dua lembar atau lebih berupa sortimen yang sudah mendekati ukuran lebar sortimen akhir. Resawing dilakukan dalam satu alur terhadap papan-papan sawntimber dengan satu ukuran terlebar 115 mm tiap papannya sampai semua papan selesai diresawing sebagai bahan dasar pembuatan papan lumber shearing (T and G) solid. Bagi papan yang tidak memenuhi lebar standar tersebut dibuat lebar papan 45 mm sebagai bahan 85
pembuatan lumber shearing (T and G) laminasi. Setelah pembelahan ulang maka ukuran lebar dan tebal kayu gergajian memenuhi permintaan yang diinginkan. d) Pola (grading dan sortasi) Lalu dilakukan pola (grading dan sortasi) berupa identifikasi cacat (cacat bentuk dan cacat badan) pada setiap lembar papan dengan memberi tanda pada cacatcacatnya seperti mata kayu tidak sehat, pecah, retak atau bengkok. e) Pemotongan (Trimming) Setelah pola dilanjutkan pemotongan kayu dengan gergaji potong cross cutter untuk membuang cacat-cacatnya menjadi panjang 200 mm sampai dengan 2100 mm. Sehingga diperoleh papan dengan ukuran lebar dan panjang yang sesuai dengan kebutuhan serta cacat minimum. Kemudian dilakukan pengukuran dimensi papan untuk memperoleh volume kayu tiap pola penggergajian berupa volume bilah/rough lumber (V2) dengan ukuran (25 x 115 x (200 s.d. 2100)) mm dan (25 x 45 x (200 s.d. 2100)) mm untuk memperoleh nilai rendemen kedua (R2). 2) Rough End Process, yang bertujuan meratakan permukaan kayu gergajian, membuat kayu gergajian benar-benar empat persegi (exactly) dan memperkecil beban pisau molding. Rough End Process meliputi kegiatan : a) Pengetaman (planing) Dilakukan pengetaman dua muka dengan planer/double surfacer dari papan solid ukuran (25 x 115 x (200 s.d. 2100)) mm dan (25 x 45 x (200 s.d. 2100)) mm menjadi ukuran (22 x 115 x (200 s.d. 2100)) mm dan (22 x 38 x (200 s.d. 2100)) mm. Dilanjutkan pengukuran papan solid ukuran (22 x 115 x (200 s.d. 2100)) mm untuk memperoleh volume kayu gergajian bersih (blank) setiap pola penggergajian (V3.1) sebagai dasar untuk memperoleh nilai rendemen ketiga (R3) dari papan solid. b) Pengelompokan (grouping) Dilakukan pengelompokan pada papan ukuran (22 x 38 x (200 s.d.2100)) mm berdasarkan ukuran panjang yang sama. c) Pelaburan perekat (glue application) Dilakukan pelaburan perekat pada sisi tebal papan ukuran (22 x 38 x (200 s.d.2100)) mm berdasarkan ukuran panjang yang sama dengan perekat Koyobond KR 560. Proporsi perekat adalah 85 % berupa perekat Koyobond KR 560 dan 15 % hardener.
86
d) Penyatuan papan (Laminating) Dilakukan proses laminating edge to edge terhadap 3 papan dengan lebar masingmasing 38 mm ke arah lebar dan dipres selama 45 menit berdasarkan ukuran panjang yang sama menjadi 1 papan laminasi ukuran (22 x 114 x (200 s.d 2100)) mm. Papanpapan laminasi ini diukur volumenya sebagai volume kayu gergajian bersih (blank) setiap pola penggergajian (V3.2) untuk memperoleh nilai rendemen ketiga (R3) papan laminasi. e) Penghitungan volume papan kayu gergajian bersih (blank) Volume papan solid (V3.1) dan papan laminasi (V3.2) kayu gergajian bersih (blank) masing-masing pola penggergajian dijumlahkan menjadi volume papan kayu gergajian bersih (blank) untuk memperoleh nilai rendemen ketiga (R3). 3) Molding Process. Kegiatan Molding Process meliputi kegiatan : a) Molding. Dilakukan proses molding terhadap papan solid dan papan laminasi dengan molder. Hasilnya berbentuk papan lumber shearing T and G berupa lumber shearing utuh (solid) dan lumber shearing laminasi. Proses Molding menghasilkan profil lumber shearing T and G ukuran (18,4 x 105 x (200 s.d 2100)) mm. b) Pendempulan Pendempulan dilakukan terhadap cacat-cacat pertumbuhan seperti mata kayu, busuk hati dan cacat-cacat bentuk akibat proses pengerjaan kayu seperti pingul dan retak pada profil lumber shearing. Dempul dibuat dari campuran sawdust ukuran mesh 10 – 20 % dengan perekat Koyobond KR 560 tanpa hardener. c) Pengamplasan (sanding) Pada profil lumber shearing T and G ukuran (18,4 x 105 x (200 s.d 2100)) mm dilakukan sanding 2 sisi dengan sander. d) Penghitungan volume lumber shearing Tahapan akhir molding process ini adalah pengukuran dimensi profil lumber shearing T and G ukuran (18 x 105 x (200 s.d 2100)) mm. Volume lumber shearing solid (V4.1) dan laminasi (V4.2) masing-masing pola penggergajian dijumlahkan menjadi volume lumber shearing (V4) untuk memperoleh nilai rendemen keempat (R4).
87
Urutan proses pembuatan molding lumber shearing terlihat pada Gambar 18 berikut :
1). Persiapan Lumber : (R1) dan (R2) a) Perataan sisi (edging) b) Pemotongan (trimming) (R1) c) Pembelahan ulang (resawing) d) Pola (grading dan sortasi) e) Pemotongan (trimming) (R2) Papan solid ukuran (25 x 115 x (200 s.d 2100)) mm dan (25 x 45 x (200 s.d 2100)) mm 2). Rough End Process Pengetaman (planing) dua muka (double surfacer) menjadi berukuran (22 x 115 x (200 s.d 2100)) mm dan (22 x 38 x (200 s.d 2100)) mm
Lumber ukuran (22 x 115 x (200 s.d 2100)) mm (V3.1)
Lumber ukuran (22 x 38 x (200 s.d 2100)) mm
Lumber solid (blank) (R3)
Pengelompokan (grouping) berdasarkan ukuran panjang yang sama Pelaburan perekat (glue application)
Laminating ukuran (22 x 114 x (200 s.d 2100)) mm (V3.2) Lumber laminating (blank) (R3)
3). Proses Molding meliputi kegiatan : a) Molding dengan molder menjadi profil lumber shearing tounge and groove ukuran (18,4 x 105 x (200 s.d 2100)) mm b) Pendempulan c) Pengamplasan (sanding) Lumber shearing tounge and groove ukuran (18 x 105 x (200 s.d 2100)) mm (V4 ; R4)
Gambar 18. Skema Proses Pembuatan Molding
88
C. Analisis Data Analisis penelitian ini berupa analisa optimasi bahan kayu Mangium sebagai komponen shearwall yang meliputi : 1) Karakteristik dolog yang meliputi volume log, angka bentuk dan cacat pertumbuhan yang mempengaruhi kualitas dolog kayu Mangium pada setiap pola penggergajian. 2) Analisis proses pengolahan kayu Mangium yang meliputi proses penggergajian dan pengerjaan kayu. 3) Analisis jumlah hari yang diperlukan (drying time) untuk proses pengeringan berdasarkan tipe dan skedul pengeringan yang diterapkan dan analisis jumlah dan jenis cacat akibat proses pengeringan. 4) Menghitung dan membandingkan nilai rendemen pada 3 pola penggergajian baik bentuk solid maupun laminasi dari rendemen papan sawn timber (R1), bilah/rough lumber (R2), blank (R3) sampai bentuk molding lumber shearing T and G (R4). Rendemen penggergajian dirumuskan sebagai berikut : (27) Dimana : R
= Rendemen berupa papan kayu hasil pembelahan (%)
Vkg = Jumlah volume tiap papan kayu hasil pembelahan (m3) Vd
= Volume dolog (m3)
5) Menghitung biaya produksi shearwall untuk komponen struktur rumah prefabrikasi. D. Hasil dan Pembahasan 1.
Pengukuran Dimensi dan Pemilihan Log (grading log). Setiap dolog memiliki penampilan berbeda dengan dolog lain. Penampilan dolog
seperti bentuk bulat dengan diameter tertentu, silindris, taper dan kelurusan akan mempengaruhi proses penggergajian. Berikut hasil pengukuran dimensi dan pemilihan log : a.
Pengukuran Dimensi dan Pembagian Log untuk 3 Variasi Pola Penggergajian Dimensi log menentukan volume log. Selanjutnya dapat menentukan volume luaran dan rendemennya. Sebelum digergaji, dimensi log yang meliputi diameter dan panjang log diukur pada bontos maupun badan kayu dan ditetapkan volumenya. 89
Contoh uji log berjumlah 60 batang dengan variasi diameter antara 22 sampai dengan 42 cm dan dibagi secara proporsional terhadap 3 pola penggergajian. Penentuan diameter berasal dari rata-rata diameter ujung dan pangkal masing masing 2 kali pengukuran sesuai standar penentuan PPT untuk volume input rendemen dan angka bentuk. Berdasarkan data dimensi dolog yang diperoleh dari pengukuran, kemudian dihitung volume dolog tersebut. Hasilnya tercantum pada Tabel 12 berikut yang merupakan rekapitulasi dari Lampiran 1. Tabel 12. Rata-Rata Dimensi Log Kayu Mangium untuk 3 Pola Penggergajian. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Uraian Jumlah log (batang) Selang diameter log (cm) Rata-rata diameter log (cm) Selang panjang log (cm) Rata-rata panjang log (cm) Rata-rata volume/batang log (m3) Volume log (m3) Volume total log (m3) Persentase volume log (%)
Pola penggergajian Konvensional Satu sisi MOP 20 20 20 22 - 38 22 - 40 24 - 42 29,21 29,36 29,61 210 205 - 210 210 210,0 209,5 210,0 0,143568 0,144933 0,148064 2,871367 2,898661 2,961293 8,7313 32,89 33,20 33,92
Urutan dimensi log dari yang terkecil sampai yang terbesar adalah pola konvensional (32,89 %), pola satu sisi (33,20 %) dan pola satu sisi dengan MOP (33,92 %). b. Pemilahan Log (grading log) berupa Angka Bentuk Dolog Besar penyimpangan dari bentuk sempurna (silinder masif yang kedua ujungnya terpotong tegak lurus) yang dinyatakan dalam angka (kuantitatif) disebut angka bentuk dolog yang berpengaruh langsung pada rendemen penggergajian. Pada tahapan ini diukur data interval diameter, panjang dan penyimpangan log berupa cacat alami dan kesilindrisan yang dinyatakan dalam nilai angka bentuk yang meliputi kebundaran, taper dan kelurusan setiap log kayu Mangium umur 8 tahun. 1) Kebundaran Kebundaran (K) adalah perbandingan diameter terpendek dan terpanjang pada masing-masing penampang lintang sepotong dolog dan dinyatakan dalam persen. Oleh karena sepotong dolog ada dua penampang lintang (ujung dan pangkal) maka kebundaran ditentukan oleh nilai persentase yang lebih rendah. Hasil penghitungan
90
nilai kebundaran log pada ketiga kelompok pola penggergajian tercantum pada Tabel 13 berikut : Tabel 13. Nilai Kebundaran Log pada Ketiga Kelompok Pola Penggergajian No
Uraian
Selang Kebundaran Rata-rata Kebundaran Jumlah Kelas Kebundaran a. Bundar b. Hampir Bundar c. Tidak Bundar Jumlah Total 1 2 3
Pola penggergajian Konvensional Satu sisi MOP 0,5750 – 0,9722 0,6200 -0,9615 0,5789 – 0,9583 0,7923 0,8505 0,8522 3 (15%) 8 (40%) 9 (45%) 20
7 (35 %) 8 (40 %) 5 (25 %) 20
6 (30 %) 11 (55 %) 3 (15 %) 20
Terdapat 3 kelas kebundaran yaitu bundar, hampir bundar dan tidak bundar pada semua pola penggergajian. Rata-rata kebundaran pada Pola Konvensional berada pada kelas tidak bundar, sedang Pola Satu Sisi dan Pola MOP pada kelas hampir bundar. Pada Pola Konvesional dominan pada kelas tidak bundar (45 %), Pola Satu Sisi dan Pola MOP dominan pada kelas hampir bundar (40%) dan (55%). 2) Taper Taper atau keruncingan dolog (T) adalah perbedaan pangkal dan ujung untuk setiap satu meter panjang dolog. Dolog yang taper berbentuk seperti kerucut yang ujungnya terpotong tegak lurus. Sepotong dolog dikatakan taper apabila perbedaan diameter pangkal dan ujung lebih besar dari 0,52 cm tiap meter panjang (Amerika menetapkan 1 inci tiap 16 kaki panjang). Hasil penghitungan nilai taper log pada ketiga kelompok pola penggergajian tercantum pada Tabel 14 berikut : Tabel 14. Nilai Taper Log pada Ketiga Kelompok Pola Penggergajian No
Uraian
1 Selang Taper (cm/m) 2 Rata-rata Taper (cm/m) 3 Jumlah Kelas Taper : a. Taper b. Tidak taper Jumlah Total
Pola Penggergajian Konvensional Satu Sisi MOP 0,0000 – 2,1429 0,0000 – 3,8095 0,2381 -5,0000 0,9167 0,9422 1,7024 14 (70%) 6 (30%) 20
13 (65 %) 7 (35 %) 20
15 (75 %) 5 (25 %) 20
Berdasarkan Tabel 14 tersebut terdapat 2 kelas taper yaitu Taper dan Tidak Taper pada semua pola penggergajian. Rata-rata taper yang dominan pada Pola Konvensional, Pola Satu Sisi dan Pola MOP semua termasuk ke dalam kelas taper yaitu berturut turut (70 %), (65 %) dan (75 %). 91
Dolog taper apabila digergaji tanpa pola tertentu maka kayu gergajian yang dihasilkan akan mengandung serat miring. Sortimen itu tidak disukai karena kekuatan kayunya rendah, mudah patah dan tidak layak sebagai kayu penyangga (tiang). Untuk menghindari terjadinya serat miring pada kayu gergajian yang dihasilkan dapat dilakukan dengan beberapa variasi pola penggergajian taper. 3) Kelurusan Kelurusan (Lr) ialah perbandingan jarak penyimpangan terjauh antara garis lurus yang ditarik dari kedua ujung dolog (deviasi = v) dengan diameter dolog yang bersangkutan. Hasil penghitungan nilai kelurusan log pada ketiga kelompok pola penggergajian tercantum pada Tabel 15 berikut : Tabel 15. Nilai Kelurusan Log pada Ketiga Kelompok Pola Penggergajian No
Uraian
1 Selang Kelurusan 2 Rata-rata Kelurusan 3 Jumlah Kelas Kelurusan : a. Lurus b. Hampir Lurus c. Cukup lurus d. Tidak lurus Jumlah total
Pola Penggergajian Konvensional Satu Sisi MOP 0,0000 – 0,2299 0,0000 -0,1967 0,0000 – 0,1720 0,0583 0,0413 0,0593 11 (55%) 6 (30%) 3 (15%) 0 (0%) 20
15 (75 %) 2 (10 %) 3 (15 %) 0 (0%) 20
10 (50 %) 8 (40 %) 2 (10 %) 0 (0%) 20
Terdapat 3 kelas kelurusan (lurus, hampir lurus dan cukup lurus) pada semua pola penggergajian dan tidak ada satupun kelas tidak lurus. Rata-rata kelurusan pada Pola Konvensional, Pola Satu Sisi dan Pola MOP termasuk kategori kelas lurus. Pada Pola Konvesional, Pola Satu Sisi dan Pola MOP dominan terdapat pada kategori kelas lurus berturut-turut (55 %), (75 %) dan (50 %). Berdasarkan pengukuran dimensi dan pemilihan log kayu Mangium dari HTI Semaras dan Tanjung Seloka di PT INHUTANI II, kualitas dolog berdasarkan kondisi dimensinya berturut-turut dari yang terbaik adalah Pola MOP, diikuti Pola Satu Sisi dan Pola Konvensional, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Dimensi log yang meliputi diameter, panjang dan volume log pada ketiga pola penggergajian hampir sama. Hal ini dibuat proporsional untuk mengurangi bias pengukuran rendemen dalam rangka membandingkan hasil penggergajian ketiga pola penggergajian tersebut. Berdasarkan nilai angka bentuk, kondisi dolog secara keseluruhan berturut-turut dari yang terbaik adalah Pola Satu Sisi, diikuti Pola MOP dan terakhir Pola 92
Konvensional. Karakteristik dolog dari PT INHUTANI II adalah sebagian besar batangnya berbentuk tidak bundar sampai hampir bundar, taper dan lurus. Karakteristik dolog yang meliputi volume log, angka bentuk dan cacat pertumbuhan mempengaruhi kualitas dolog kayu Mangium pada setiap pola penggergajian. Makin tinggi kualitas dolog, makin tinggi pula volume, kualitas dan rendemen kayu gergajian yang akan diperoleh (Widarmana, 1981). Informasi karakteristik dolog kayu Mangium ini perlu diketahui sebelum pelaksanaan penggergajian agar konversi dolog menjadi kayu gergajian dilakukan dengan tepat, prosesnya berjalan efisien dan nilai kayu gergajian optimum. 2.
Optimasi Penggergajian Log Kayu Mangium Kegiatan awal dalam perancangan rumah prefabrikasi adalah proses pengolahan
kayu berupa proses penggergajian. Proses penggergajian yang dilakukan menggunakan 3 pola penggergajian yaitu Pola Konvensional, Pola Satu Sisi dan Pola Satu Sisi dengan program Model Optimasi Penggergajian (MOP) guna mengetahui pola penggergajian yang paling optimal dalam penyediaan bahan baku untuk komponen shearwall. Optimasi penggergajian
diukur
berdasarkan
nilai
rendemen
masing-masing
jenis
pola
penggergajian mulai dalam bentuk sawn timber, bilah/rough lumber, blangking sampai lumber shearing. Bahan yang digunakan berupa dolog sebanyak 8,7313 m3 yang dibagi ke dalam 3 pola penggergajian secara proporsional dengan selang diameter 22 s/d 42 cm. a.
Proses Penggergajian Proses penggergajian adalah konversi kayu bulat (primary conversion) menjadi
kayu persegian atau kayu gergajian (Rachman, 1986). Pada penggergajian kecil seperti sawmill di Semaras PT INHUTANI II ini, pembelahan pertama, pembelahan ulang dan perataan sisi dikerjakan oleh mesin yang sama. Proses pembelahan dolok dimulai dengan meletakkan dolok pada meja gergaji oleh dua orang operator dan mendorong dolok tersebut ke arah gergaji. Posisi pembelahan pertama ditentukan oleh operator yang mendorong dolok untuk digergaji. Operator yang lain menarik dolok yang sedang digergaji dan mengatur kayu gergajian yang akan diratakan sisinya. Proses ini dilakukan terus-menerus hingga dolok selesai dibelah menjadi kayu gergajian. Penentuan posisi log saat di meja gergaji, sebaiknya mengikuti operator karena pertimbangan kekokohan dalam memegang log, sehingga bisa mengurangi resiko cacat saat penggergajian.
93
Ukuran-ukuran komponen rumah prefab dibuat serba modular dan serba papan yang seragam dalam satu log yang akan digergaji sehingga tidak boros bahan (efisien) tetapi memenuhi kekuatan sebagai bahan konstruksi bangunan. Pendekatan yang digunakan adalah pola penggergajian dan desain konstruksi bangunan rumah prefab yang dominan menggunakan papan (serba papan) mulai dari lantai, dinding dan kuda-kuda papan paku. Ukuran-ukuran komponen struktur yang dibuat sesuai dengan ukuran hasil desain rumah prefab untuk komponen shearwall. Ukuran-ukuran standar modular bahan untuk papan akan digunakan sebagai elemen panel shearwall ini adalah papan dengan ketebalan 18 mm, sehingga ukuran target ketebalan dari proses penggergajian sebagai pengolahan kayu primer adalah 25 mm dengan tambahan allowance. Allowance sebesar 7 mm ini akan habis pada saat pengolahan kayu sekunder sampai tebal papan bersih 18 mm. Dasarnya sawn timber setebal 25 mm akan berkurang 3 mm pada saat pengetaman (planing) oleh double surfacer, 3,6 mm pada saat proses molding dengan molder dan penyusutan papannya serta 0,4 mm pada proses sanding. Kegiatan utama proses penggergajian adalah pembelahan dolog dengan bandsaw di sawmill. Pada proses penggergajian ini dolog digergaji menjadi beberapa bagian yang disebut kayu pacakan. Personil yang menentukan jumlah dan bentuk pacakan berikut konversinya menjadi sortimen dalam suatu pabrik penggergajian disebut saw master. Dalam pabrik penggergajian skala kecil seperti di PT INHUTANI II ini dirangkap oleh operator. Proses pembelahan oleh bandsaw menghasilkan kayu pacakan yang berbentuk utuh sesuai dengan besarnya diameter log, sehingga dihasilkan sebanyak-banyaknya papan dengan lebar maksimum dan mempunyai cacat minimal serta memperoleh rendemen maksimum baik secara kuantitas maupun kualitas. Saw master mempunyai peranan penting dalam usaha mencapai tujuan tersebut. Operator dan saw master yang berpengalaman, terampil dan bekerja cermat sangat menentukan tinggi rendahnya rendemen. Hal ini dikarenakan operator dan saw master dapat menyesuaikan kondisi dolog yang mempunyai bentuk, ukuran dan cacat yang sangat bervariasi dengan sortimen yang hendak dihasilkan. Urutan proses penggergajian secara lengkap meliputi kegiatan pemotongan dolog di log deck, breakdown sawing, resawing, edging dan trimming (Rachman dan Malik, 2008). Semua kayu gergajian belum tentu perlu melewati semua langkah tersebut. Penelitian ini menggunakan proses penggergajian teknik Saw Dry Rip (SDR) yaitu 94
pembelahan log yang menghasilkan kayu gergajian atau sortimen yang kemudian dikeringkan tanpa diratakan pinggir dan dipotong ujung terlebih dahulu (Maeglin dan Boone,
1983), sehingga proses penggergajian hanya sampai kegiatan pembelahan
pertama dolog untuk dijadikan beberapa kayu pacakan yang disebut kegiatan breakdown sawing. Kegiatan resawing, edging dan trimming dilaksanakan setelah proses pengeringan. Penerapan proses penggergajian teknik SDR dalam rangka meminimalisir cacatcacat bentuk akibat proses pengolahan kayu terutama pada proses pengeringan. Pola SDR ini membuat kualitas kayu lebih baik akibat pengeringan lebih dahulu dilakukan dibanding pola Saw Rip Dry (SRD), tetapi agak lebih rumit. Bila ingin menerapkan pola SRD pada kayu Mangium disarankan dengan menambah tebal kayu gergajian dari 25 mm menjadi 30 mm, karena lebih rentan terjadi cacat pada arah tebal. Pola SRD lebih cepat dan efisien, tetapi kurang hemat kayu. b. Pola Penggergajian Pola penggergajian adalah rencana dan cara pembelahan dolog menjadi potongan atau lembaran kayu gergajian beserta urutan dan penugasannya pada mesin-mesin penggergajian, dengan cara merencanakan dan mengatur cara menggergaji agar dolog dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Pola penggergajian berperan menentukan besarnya rendemen dan tingkat mutu kayu gergajian. Untuk menerapkan pola yang sesuai harus mengetahui sifat-sifat umum jenis kayu dan kualitas dolog serta jenis dan kualitas kayu gergajian yang akan diproduksi. Berbagai macam pola penggergajian dapat diciptakan untuk setiap potong dolog. Pada dasarnya pola penggergajian terpilih tergantung pada sortimen serta pemanfaatan kayu gergajian yang dikehendaki. Dalam penelitian ini menggunakan pola pengergajian konvensional, satu sisi (live sawing) dan penggergajian simulasi berupa Pola Satu Sisi dengan program Model Optimasi Penggergajian (MOP), karena pertimbangan diameter rata-rata kayu Mangium yang termasuk kategori berdiameter kecil yaitu berkisar antara 22 s/d 42 cm. Asumsi yang digunakan adalah rata-rata diameter dolog sama. Masing-masing pola penggergajian dijelaskan sebagai berikut : 1) Pola Konvensional Pola penggergajian konvensional adalah suatu pola yang dilakukan tanpa mengikuti pola penggergajian tertentu, tetapi lebih menitikberatkan pengalaman dan kemampuan operator dalam melakukan penggergajian. Pola ini kemungkinan merupakan kombinasi terhadap pola-pola penggergajian yang ada, yaitu kombinasi dari pola penggergajian satu 95
sisi (live sawing), berguling (round sawing), taper (taper sawing) dan perempatan (quarter sawing). 2) Pola Satu Sisi Pola penggergajian satu sisi biasa digunakan untuk pembuatan kayu gergajian berbentuk papan dari dolog diameter kecil, kayu-kayu dari hutan tanaman dan dolog yang banyak mengandung cacat. Dengan pola ini akan diperoleh rendemen yang tinggi, papan yang lebar dan waktu produksi relatif cepat akan tetapi kualitas kayu gergajian yang dihasilkan umumnya rendah. Tetapi bila dolognya bermutu tinggi maka pola satu sisi akan menghasilkan rendemen paling tinggi (Rachman dan Malik, 2008). 3) Pola Satu Sisi dengan Program MOP Untuk memperoleh rendemen kayu gergajian yang optimum dengan pola satu sisi, telah direkayasa suatu teknik untuk membantu operator penggergajian dalam penentuan pembelahan pertama terbaik dengan program komputer berupa Model Optimasi Penggergajian (MOP) yang memandang dolog sebagai silinder masif yang kedua ujungnya terpotong tegak lurus. Dalam pola penggergajian satu sisi, posisi pembelahan pertama menentukan jumlah lintasan gergaji dan komposisi lebar papan yang akan dihasilkan. Posisi Pembelahan Pertama Terbaik (PPT) akan menghasilkan jumlah papan dan lebar papan tertinggi sehingga rendemen menjadi optimum. Model dolog silinder masif ini bila secara simulasi pada posisi pembelahan pertama tertentu dengan lebar irisan gergaji tertentu, selanjutnya model digergaji secara terus-menerus pada ketebalan papan tertentu sampai selesai, maka jumlah lembar papan dan lebar tiap lembar papan yang dihasilkan (volume) dapat dihitung. Bila dicoba berbagai posisi pembelahan pertama secara simulasi akan diperoleh satu posisi yang menghasilkan rendemen tertinggi. Posisi ini adalah posisi Pembelahan Pertama Terbaik (PPT). Penentuan posisi pembelahan pertama akan berpengaruh pada volume kayu gergajian yang akan dihasilkan. Pola penggergajian satu sisi dengan Program MOP hampir sama dengan pola penggergajian satu sisi, bedanya dalam menentukan lebar pembelahan pertama kali dengan menggunakan petunjuk Tabel PPT. Di dalam Program MOP ini terdapat tabel PPT hasil simulasi komputer, jumlah lebar kayu gergajian yang akan dihasilkan dan rendemen dolog yang akan digergaji pada ukuran panjang dan diameter tertentu. Manfaat tabel PPT ini adalah untuk membantu pelaksanaan pengergajian di lapangan dalam menentukan posisi pembelahan awal tanpa menggunakan komputer (Ginoga et al., 1999) dan memperkirakan lembar papan yang akan dihasilkan dan rendemen sesuai tebalnya
96
untuk suatu dolog diameter kecil yang akan digergaji. Dengan cara ini rendemen tertinggi simulasi penggergajian mencapai sekitar 83% (Rachman, 1994). Berikut ini disajikan data rendemen ketiga pola penggergajian yang meliputi pola penggergajian konvensional, pola satu sisi dan pola MOP dari Kayu Mangium. Tabel 16. Perbandingan rendemen kayu Mangium dari pola penggergajian konvensional, pola satu sisi dan pola MOP No. 1
Bentuk rendemen Sawn timber
Pola konvensional(%) 70,93
Pola Satu sisi (%) 73,49
Pola MOP Simulasi (%) Aktual (%) 79,53 74,70
Rasio (aktual/simulasi) 0,94
Rendemen hasil penggergajian yang diperoleh dari simulasi berdasarkan Tabel 16 di atas selalu lebih tinggi dari hasil aktual, karena pola penggergajian simulasi berasumsi bahwa dolog berbentuk simetris, lurus dan silindris, lintasan gergaji lurus serta cacat dolog belum diperhitungkan. Rasio antara rendemen aktual dan rendemen simulasi yang diperoleh dari hasil penggergajian dalam bentuk sawntimber sebesar 0,94. Tingginya nilai rasio tersebut karena hasil penggergajian bentuk sawntimber masih mengandung cacatcacat akibat pengeringan, belum dilakukan pola (grading dan sortasi) dan baru dilakukan perataan sisi (edging) dan pemotongan ujung (trimming) dengan lebar yang masih bervariasi sesuai lebar diameter dolognya. Ketika sudah dalam bentuk papan bilah (rough lumber) yaitu bentuk papan hasil pembelahan ulang (resawing) yang mendekati ukuran target baik untuk papan solid maupun papan laminasi, dan dilakukan pola (grading dan sortasi) serta pemotongan ujung (trimming) sehingga ukuran panjangnya bervariasi setelah dikeluarkannya cacat-cacat pada papan tersebut, maka rasio antara rendemen aktual dan rendemen simulasi hanya sebesar 0,57 dengan rendemen aktual pola MOP bentuk bilah sebesar 45,51 %. Hasil rendemen tertinggi dalam bentuk kayu gergajian (sawn timber) adalah pola penggergajian MOP sebesar 74,70 %, kemudian diikuti pola satu sisi dan pola konvensional berturut-turut sebesar 73,49 % dan 70,93 %. Rendemen aktual hasil penggergajian dari pola penggergajian MOP selalu lebih tinggi dibanding 2 pola penggergajian lainnya. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Rachman dan Balfas (1993), bahwa sejak diterapkannya teknik penggergajian dengan sistem simulasi dengan program MOP dalam penentuan posisi PPT, teknik ini mampu meningkatkan rendemen penggergajian dolog diameter kecil rata-rata 12,4 % atau menjadi 51,24 % . Dolog yang digergaji dengan Pola Satu Sisi dan Pola Satu Sisi dengan Program MOP akan menghasilkan kayu gergajian datar (flat sawn lumber). Kayu gergajian datar 97
ditandai oleh gari-garis berbentuk elip pada permukaan yang terbentuk karena irisan gergaji mengerat kayu secara tangensial atau menyinggung lingkaran tahun. Garis-garis itu tampak jelas terutama pada jenis kayu yang perbedaan kayu awal dan kayu akhirnya cukup nyata Pengenalan karakteristik kayu bulat untuk penghara industri penggergajian merupakan hal penting agar dapat menerapkan efisiensi proses dengan baik dan cepat. Pada hakekatnya karakteristik kayu bulat ini cenderung menurunkan efisiensi proses penggergajian. Dengan mengenalnya, diharapkan penurunan efisiensi proses dapat dihindari. Karakteristik kayu yang sering ditemui pada kayu Mangium adalah tegangan tumbuh, kayu muda dan hati rapuh. Saat ini terjadi perubahan bahan baku industri perkayuan dari hutan alam yang berdiameter besar ke hutan tanaman dan hutan rakyat yang berdiameter kecil dan relatif lebih muda. Beberapa karakteristik dolog diameter kecil yang ditemui pada kayu Mangium adalah tegangan tumbuh, yang dapat dilihat pada saat dolog digergaji terjadi pecah papan. Kayu muda pada dolog penghara penggergajian akan menurunkan kualitas kayu gergajian karena sortimen mudah bengkok atau pecah. Dolog yang mengandung hati rapuh akan mengurangi pemanfaatan untuk menjadi kayu gergajian, karena kualitasnya rendah. 3.
Proses Pengeringan Proses selanjutnya adalah pengeringan bahan baku berupa papan-papan kayu
pacakan dari hasil penggergajian. Tujuan pengeringan kayu ini untuk peningkatan kekuatan dan keawetan kayu, stabilisasi dimensi dan peningkatan kualitas kayu baik dalam proses pengolahan maupun pada saat penggunaan dan mendapatkan standar pengeringan bagi papan-papan dari kayu Mangium. Masalah serius yang dikeluhkan dalam pengolahan kayu adalah proses pengeringan karena berlangsung lama dengan kecenderungan cacat bentuk dan pecah dalam (honeycomb defect). a. Modifikasi Metode Konvensional (air and kiln drying) Proses pengeringan kayu ini menggunakan metode konvensional yang dimodifikasi dengan menggunakan standar Instruksi Pengeringan Kayu Papan Mangium ketebalan 25 mm s/d 35 mm dari IFC (2008). Penggunaan standar ini karena skedul pengeringannya menggunakan tipe skedul berdasarkan kadar air (KA). Perubahan tahapan skedul didasarkan atas KA rata-rata dari kayu yang dapat diduga/diukur dengan papan contoh atau memakai load cell ataupun in kiln moisture meter. Skedul tipe ini biasa digunakan
98
pada kayu daun lebar seperti kayu Mangium karena proses pengeringannya lebih sulit dan sebaran kadar airnya besar. Modifikasi metode konvensional (air and kiln drying) pada proses pengeringan kayu Mangium ini berupa penurunan suhu awal pada skedul pengeringan IFC (2008), penggunaan kilang pengering konvensional bertipe kompartemen/tunggal dan tambahan perlakuan pada proses pengeringannya. Pemakaian suhu awal diturunkan dari 45 °C pada skedul pengeringan IFC (2008) menjadi hanya 40 °C. Hal ini untuk mengurangi cacatcacat yang terjadi selama proses pengeringan dan sebagai pengganti metode shed drying (pre-drying treatment). Penambahan suhu dilakukan secara bertahap sebesar 5 °C setiap 3 hari sampai suhu 65 °C guna mendapatkan papan dengan KA 10 %. Menurut Basri et al., (2001), pemakaian suhu 60 °C di awal pengeringan sudah menampakkan perubahan bentuk, pecah dalam dan degradasi warna pada kayu. Hal ini menunjukkan adanya kepekaan kayu Mangium tehadap panas, terutama pada kandungan air di atas titik jenuh serat. Oleh karena itu diperlukan metode pengeringan yang sesuai sehingga dapat meningkatkan sifat pengeringan (mempercepat waktu pengeringan/laju pengeringan dan mengurangi cacat kayu/tidak menurunkan mutu kayu). Penggunaan kilang pengering konvensional bertipe kompartemen/tunggal ini sesuai dengan karakter kayu Mangium yang sukar dikeringkan dan perlu pengeringan yang baik. Ciri tipe kilang pengering kompartemen adalah papan kayu dimasukkan dan dikeluarkan dalam satu waktu; keseluruhan skedul dilakukan di dalam satu kilang; suhu dan kelembaban sama pada semua bagian kilang dan baik digunakan untuk kayu yang sukar dikeringkan. Beberapa tambahan perlakuan modifikasi dalam pengeringan kayu Mangium adalah pemasangan stik setiap jarak 30 cm pada proses stacking, pemasangan klem pada stacking untuk mengurangi cacat akibat pengeringan, penyemprotan dengan uap dingin selama 15 menit sebelum proses pengeringan untuk mendapatkan kesamaan KA dan Damper dijalankan setiap 6 menit sekali terbuka selama 1 menit selama proses pengeringan. Cooling down dengan cara mengeluarkan kayu dari kiln dry untuk air drying minimal 24 jam tidak dilakukan karena tidak terjadi stagnasi penurunan KA pada saat KA TJS (25 – 30 %). Setelah mencapai KA 10 %, suhu diturunkan perlahan-lahan sampai 0 °C. Kemudian Fan dan Damper tetap dihidupkan selama 24 jam, kayu masih di dalam kiln dry, pintu kecil terbuka, pintu besar tertutup dan dilanjutkan proses Seasoning dengan air drying di luar kiln dry selama 1 minggu untuk menghindari cacat pengerjaan. 99
b. Skedul dan Hasil Pengeringan Hasil kegiatan pengeringan kayu ini berupa skedul penambahan suhu secara bertahap dan jumlah hari pada setiap kenaikan suhu tersebut. Waktu pengeringan kayu Mangium dengan metode konvensional (air and kiln drying) yang dimodifikasi dapat dilihat pada Tabel 17 dan diharapkan bisa menjadi standar pengeringan untuk kayu Mangium. Tabel 17. Waktu pengeringan (drying time) metode konvensional (air and kiln drying) yang dimodifikasi pada Proses Pengeringan Kayu Mangium No
MC (%)
Suhu (°C )
Jumlah hari
1 2 3 4 5 6 7 8
114-126 menjadi 65 65 menjadi 56 56 manjadi 35 35 manjadi 31 31 menjadi 26 26 menjadi 19 19 menjadi 11 11 menjadi 9 Total hari
28-32 40 45 50 55 55 60 65
12 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 33 hari
Laju pengeringan (drying rate), %/hari 4,6 3,0 7,0 1,3 1,7 2,3 2,7 0,7
Keterangan Air drying Kiln drying Kiln drying Kiln drying Kiln drying Kiln drying Kiln drying Kiln drying
Waktu pengeringan alami (air drying) papan kayu Mangium dengan tebal 25 mm kondisi basah dari Pulau Laut memerlukan waktu sekitar 12 hari untuk menurunkan KA dari kondisi segar 114 – 126 % ke rata-rata KA 65 %. Sebagai perbandingan hasil pengujian pengeringan kayu Mangium di PT INHUTANI II menggunakan metode pengeringan alami pada kayu berupa papan dengan tebal 25 mm memerlukan waktu sekitar 1 bulan untuk menurunkan KA dari kondisi segar 70 – 80 % ke KA 40 % (Trihastoyo, 2001). Setelah pengeringan alami (air drying) sebagai pre-drying treatment maka dilanjutkan pengeringan dengan kiln drying sampai KA ± 10 %. Dari Tabel 17 di atas, metode konvensional (air and kiln drying) yang dimodifikasi membutuhkan waktu 30 hari (12 hari pengeringan alami dan 18 hari pengeringan dengan kilang pengering) sampai KA 11 % dan membutuhkan waktu 33 hari (12 hari pengeringan alami dan 21 hari pengeringan dengan kilang pengering) sampai KA 9 %. Metode konvensional yang dimodifikasi ini efektif untuk mengurangi waktu pengeringan tanpa menurunkan kualitas dan tidak merubah warna papan kayu Mangium.
100
Bila dilihat laju pengeringan (drying rate) yang merupakan % penurunan KA per hari (% decrease in moisture content per day) terlihat bahwa di bawah KA titik jenuh serat (TJS) proses pengeringannya berjalan lambat. TJS adalah suatu keadaan dimana air dalam kayu hanya terdapat pada dinding sel sedangkan dalam rongga sel sudah kosong. Pada kondisi demikian pergerakan air ke permukaan kayu sangat sulit karena permeabilitasnya sudah berkurang, bahkan zat ekstratif dalam kayu menutup jalan bagi aliran air di dalam kayu. Oleh karena itu untuk mempercepat waktu pengeringan, penggunaan metode kiln drying perlu ditingkatkan suhunya agar menghasilkan panas yang lebih tinggi. Tabel 18 berikut merupakan hasil penelitian mengenai waktu pengeringan berupa jumlah hari yang diperlukan pada papan kayu Mangium dengan 5 metode pengeringan yang pernah dilakukan di PT INHUTANI II. Tabel 18. Waktu pengeringan pada papan kayu Mangium dengan 5 metode pengeringan di PT INHUTANI II No 1 2 3 4 5
Metode Pengeringan Metode konvensional (air + kiln drying) Metode kiln drying Metode shed drying Metode shed + kiln drying Metode konvensional (air + kiln drying) yang dimodifikasi
Waktu pengeringan dari kondisi basah sampai KA 15 % (hari) 40 14 28 19 30
Sumber : Basri et al. 2002
Jika dibandingkan dengan metode konvensional (air + kiln drying) yang membutuhkan waktu selama 40 hari untuk mencapai KA 15 %, maka metode konvensional yang dimodifikasi ini relatif cepat yaitu hanya membutuhkan waktu selama 30 hari. Namun jika dibandingkan dengan metode kiln drying selama 14 hari, metode shed + kiln drying selama 19 hari dan metode shed drying selama 28 hari untuk mencapai KA 15 %, maka metode konvensional (air and kiln drying) yang dimodifikasi ini membutuhkan waktu yang lebih lama namun menghasilkan kualitas kayu yang lebih baik (tidak terjadi perubahan warna dan cacat bentuk minimal akibat proses pengeringan). Kombinasi air drying dan kiln drying yang dimodifikasi tampaknya lebih efektif untuk mengeringkan papan kayu Mangium daripada menggunakan metode konvensional (air + kiln drying), metode shed + kiln drying dan shed drying. Papan kayu Mangium kondisi basah dikeringka n sampai KA 65 % dengan pengeringan alami (air drying)
101
sebagai pre-drying treatment dan dilanjutkan pengeringan dengan kiln drying sampai KA yang diinginkan sebesar 10 – 15 %. Rata-rata waktu pengeringan yang dibutuhkan pada kombinasi pengeringan yang dimodifikasi ini adalah 30 hari untuk sampai KA 11 % dan 33 hari untuk sampai KA 9 %. Pengeringan sampai KA 10 % dilakukan untuk tujuan ekspor. Kombinasi air drying dan kiln drying yang dimodifikasi ini menjadikan papan kayu Mangium akan mudah dan cepat dikeringkan dengan mutu kayu yang baik. Hasil yang baik dapat diperoleh karena titik kritis pengeringan kayu Mangium ini masih di atas TJS baik pada saat pengeringan alami yaitu KA sebesar 65 %, maupun pada saat pengeringan di dalam kilang pengering yaitu KA sebesar 56 % pada saat suhu 40°C, KA sebesar 35 % pada saat suhu 45 °C dan KA sebesar 31 % pada saat suhu mencapai 50°C . Pre-drying treatment berupa pengeringan alami (air drying) dan penurunan suhu awal dari 45 °C pada skedul pengeringan IFC (2008) menjadi hanya 40 °C sebagai pengganti metode shed drying, bertujuan untuk akselerasi proses pengeringan dan mengurangi cacat kolaps dan pecah selama proses pengeringan. Namun metode ini masih lebih lambat dibandingkan dengan metode shed + kiln drying yang juga lebih baik pada perbaikan sifat pengeringannya. Industri pengolahan kayu mempunyai masalah dalam pengeringan kayu Mangium kondisi segar. Untuk menyelesaikan masalah ini, industri telah menggunakan metode pengeringan alami sekitar 30 – 45 hari untuk menurunkan KA dari kondisi segar sampai KA 40 %. Dibandingkan dengan metode pengeringan alami, metode konvensional (air and kiln drying) yang dimodifikasi lebih sesuai dan efisien karena waktu pengeringannya dapat dikurangi sekitar 10 hari (40 hari pada metode konvensional dan hanya 30 hari dengan metode konvensional yang dimodifikasi pada KA akhir 15 %), walaupun masih lebih baik dengan metode shed + kiln drying yang bisa mengurangi waktu pengeringan sampai 3 minggu (Basri, et al. 2002). Kayu Mangium termasuk jenis kayu yang sulit dikeringkan (berlangsung lama dengan kecenderungan cacat bentuk dan pecah dalam), karena : 1) Kayu Mangium termasuk jenis kayu daun lebar yang struktur selnya lebih heterogen (persentase jari-jari kayu besar dan ukuran vessel bervariasi). 2) Proporsi kayu teras pada kayu Mangium lebih besar dibandingkan kayu gubalnya, sehingga menghambat proses pengeringan akibat permeabilitasnya berbeda. Pada kayu teras terbentuk zat ekstratif dan tylosis yang menutup lumen-lumen sel dan terjadinya aspirasi noktah pada kayu gubal sehingga mengurangi permeabilitas kayu. 102
3) Kayu Mangium peka tehadap panas, terutama pada kandungan air di atas titik jenuh serat, sehingga perlu dilakukan metode baru dalam proses pengeringan berupa modifikasi metode konvensional, seperti pre-drying treatment pada shed drying method. Dibandingkan dengan kayu lain yang berat jenisnya sama, kayu Mangium termasuk lambat mengering dengan tingkat kepekaan yang tinggi terhadap panas. Jika pengeringan dipercepat resikonya adalah pecah, berubah bentuk dan degradasi warna pada kayu. Faktor yang mempengaruhi sifat pengeringan kayu Mangium adalah struktur anatomi dan kandungan kimia kayunya. Hal ini dinyatakan dari hasil penelitian Waluyo (2003) yang memperoleh data ukuran noktah kayu Mangium sangat kecil, sedangkan frekwensi jarijarinya sangat tinggi, serta terdapat endapan berwarna hitam dalam pembuluh kayu. Noktah antar pembuluh yang kecil serta adanya penyumbatan dalam pembuluh kayu akan menghambat proses pengeluaran air dalam kayu. Selain itu frekwensi jari-jari kayu yang tinggi menjadi titik lemah dalam pengeringan karena retak dan pecah pada kayu biasanya terjadi lewat jari-jari. Disarankan penanganan log setelah ditebang dibiarkan dahulu 1 sampai 6 bulan untuk diperam guna menurunkan kandungan minyak atau dilakukan peneresan seperti di hutan jati. Jika kondisi segar (fresh cut) langsung diolah terjadi kesulitan pada saat pengeringan yang butuh waktu lebih lama. Dari uraian di atas, industri harus mempertimbangkan dalam menentukan metode pengeringan kayu Mangium. Jika ingin mendapatkan produk kayu Mangium dengan mutu dan nilai jual tinggi, maka disarankan memilih metode konvensional yang dimodifikasi ini dan metode shed + kiln drying. Metode ini memerlukan waktu agak lama yaitu 30 hari untuk target KA 15 % dan tambahan biaya, namun hasilnya lebih baik. Akan tetapi jika pertimbanganya pada kuantitas produk, maka metode pengeringan yang bisa digunakan adalah kiln drying yang hanya memerlukan waktu 14 hari, namun terdapat kendala berupa cacat-cacat akibat proses pengeringan. Metode konvensional (air and kiln drying) yang dimodifikasi ini efektif untuk mengurangi waktu pengeringan tanpa menurunkan kualitas dan tidak merubah warna papan kayu Mangium. Papan kayu Mangium kondisi basah dikeringkan sampai KA 65 % dengan pengeringan alami (air drying) sebagai pre-drying treatment dan dilanjutkan pengeringan dengan kiln drying sampai KA sebesar 10 %.
103
c. Macam-macam Cacat Teknis akibat Proses Pengeringan Penggunaan kayu kekuatan rendah sampai menengah semakin banyak digunakan untuk bahan konstruksi kayu, karena keberadaan kayu yang kuat semakin langka. Jenis kayu yang dipakai untuk konstruksi bangunan sebagai kayu pertukangan didominasi oleh jenis-jenis kayu yang berasal dari HTI yang memiliki kekuatan rendah sampai menengah tetapi banyak terdapat cacat-cacat akibat pertumbuhan maupun saat pengerjaan kayu. Selama proses pengolahan kayu, ditemukan cacat-cacat serat terpisah dan cacat bentuk akibat pengerjaan/pengolahan kayu tersebut (Rachman dan Malik, 2008). Ada 4 macam cacat pada 2 kategori cacat tersebut yang ditemukan pada proses pengolahan kayu Mangium ini, yaitu : cacat bentuk (warping) berupa memangkuk/mencawan (cupping) dan cacat serat terpisah berupa retak (checks), pecah tertutup (splits, honeycomb defect) dan pecah terbuka (open split, shake) sebagaimana tercantum pada Tabel 19. Sementara cacat yang lain seperti mata kayu, miring serat dan pingul tidak dihitung sebagai cacat karena produk ini untuk kebutuhan dalam negeri. Tabel 19. Kategori dan Persentase Cacat pada Metode Penggergajian Saw Dry Rip (SDR) pada Masing-masing Pola Penggergajian
No. 1 2 3
Metode penggergajian Pola konvensional Pola satu sisi Pola satu sisi dengan MOP Jumlah total
Kategori Cacat cacat bentuk cacat serat terpisah pecah pecah mencawan Retak tertutup terbuka 7 8 5 9 11 9 8 10
∑ papan cacat
∑ total papan
29 38
192 192
15,10 19,79
Persen cacat (%)
16
13
9
14
52
209
24,88
34
30
22
33
119
593
20,07
Beberapa cacat tersebut dapat dijumpai secara bersamaan pada sebatang kayu gergajian, tetapi pada umumnya ditonjolkan cacat yang spesifik dan intensitasnya tinggi. Hal ini sangat tergantung pada persyaratan kualita yang ditetapkan dalam penggunaan kayu tersebut. Untuk menjamin keseragaman pada kekuatan kayu dalam menentukan allowable stress untuk perencanaan bangunan, dilakukan stress grading atau pemberian mutu pada kayu bangunan. Stress grading didasarkan pada karakteristik yang ada pada kayu (adanya cacat) serta pengaruhnya terhadap kekuatan kayu. Cacat-cacat yang harus dibatasi dalam stress grading adalah mata kayu, miring serat, pingul (wane), pecah dan retak. Dari 593 contoh uji papan yang diamati, ada 119 (20,07 %) contoh uji yang mengalami cacat pada semua pola penggergajian. Jumlah cacat tertinggi berdasarkan pola 104
penggergajian terjadi pada pola satu sisi dengan MOP sebanyak 52 buah (24,88 %) berupa cacat mencawan (16 buah), retak (13 buah), pecah tertutup (9 buah) dan pecah terbuka (14 buah). Diikuti oleh pola satu sisi sebanyak 38 buah (19,79 %) berupa cacat mencawan (11 buah), retak (9 buah), pecah tertutup (8 buah) dan pecah terbuka (10 buah). Cacat terendah terjadi pada pola penggergajian konvensional sebanyak 29 buah (15,10 %) berupa cacat mencawan (7 buah), retak (8 buah), pecah tertutup (5 buah) dan pecah terbuka (9 buah). Dolog yang digergaji dengan pola satu sisi dan pola satu sisi dengan MOP menghasilkan kayu gergajian datar (flat sawn lumber). Kelemahan kayu gergajian datar adalah stabilitas dimensi dan keausan permukaan yang relatif rendah. Bentuk kayu gergajian datar menyebabkan presentase cacat pada pola satu sisi dengan MOP dan pola satu sisi lebih tinggi dibanding pola konvensional yang menghasilkan kayu gergajian relatif bervariasi. Cacat-cacat yang terjadi akibat penerapan pola penggergajian satu sisi dan proses pengeringan kayu ini yang menurunkan rendemen dan kualitas kayu Mangium. Cacat kayu adalah kelainan atau penyimpangan pada kayu yang dapat menurunkan kekuatan atau pengaruhnya kurang baik dalam penggunaan, penampilan, atau pengerjaan lebih lanjut (Sofyan dan Surjokusumo, 1980). Menurut berat-ringannya, cacat dikelompokkan menjadi 2 (Mardikanto, et al. 2011), yaitu : 1) Cacat berat yaitu cacat yang tidak diperkenankan (Non Permissible Defects/NPD). Yang termasuk kedalam kelompok cacat berat adalah lubang gerek besar (large borer holes), pecah, lapuk (decay), busuk (rot), serat tertekuk (compression failure) dan hati rapuh (brittle heart). Berdasarkan kriteria tersebut, maka cacat berat yang terdapat pada kayu gergajian Mangium adalah cacat serat terpisah berupa pecah, sedangkan cacat lainnya tidak ditemukan. Cacat pecah yang terdapat pada hasil pengeringan papan kayu Mangium, terdiri dari :
105
a)
Retak (checks), terutama disebabkan oleh tegangan yang terjadi dalam pengeringan, biasanya lebar pecah sebesar rambut (hair line) dan terputus-putus.
Gambar 19. Retak (checks) pada papan kayu gergajian Mangium b) Pecah tertutup (splits), dengan lebar tidak lebih dari 2 mm dan tidak tembus.
Gambar 20. Pecah tertutup (splits) pada papan kayu gergajian Mangium c)
Pecah dalam (honeycomb defect).
Gambar 21. Pecah dalam (honeycomb defect) pada papan kayu gergajian Mangium
106
d) Pecah terbuka (open split) lebar 2 mm sampai 6 mm dan atau sudah tembus kemuka sebaliknya.
Gambar 22. Pecah terbuka (open split) pada papan kayu gergajian Mangium e)
Belah (shake) yaitu pecah yang lebarnya lebih dari 6 mm.
Gambar 23. Belah (shake) pada papan kayu gergajian Mangium Pecah tertutup (splits) dan pecah dalam (honeycomb defect) dalam rekapitulasi risalah cacat disatukan dengan istilah pecah tertutup (splits, honeycomb defect). Sedangkan pecah terbuka (open split) dan belah (shake) dalam rekapitulasi risalah cacat disatukan dengan istilah pecah terbuka (open split, shake). Bentuk pecah yang terdapat pada kayu gergajian Mangium berupa pecah ujung (end splits) yaitu pecah tertutup atau pecah terbuka/belah yang terdapat pada ujung papan. 2) Cacat Ringan ialah cacat yang diperkenankan sesuai dengan persyaratan mutu, yang meliputi mata kayu (knot), lubang jarum dan lubang gerek (pinhole), retak permukaan (surface cheks), perubahan warna (discoloration), kantong damar atau kantong getah, kayu gubal (sapwood), cacat teknis dan cacat bentuk.
107
Cacat ringan yang terdapat pada kayu gergajian Mangium adalah mata kayu (knots), kayu gubal (sapwood) dan cacat bentuk sedangkan cacat lainnya tidak ditemukan. a) Mata kayu (knots) Mata kayu adalah potongan melintang bebas cabang atau ranting yang dikelilingi oleh pertumbuhan kayu atau bagian lain dari pohon. Ada 2 jenis mata kayu, yaitu : •
Mata kayu sehat (intergrown knots) adalah apabila bebas dari pembusukan atau gejala-gejalanya, keadaannya lebih keras atau sama dengan kayu sekitarnya dengan warna biasanya lebih gelap dari warna kayu sekitarnya.
Gambar 24. Mata kayu sehat (intergrown knots) pada papan kayu Mangium •
Mata kayu busuk/lepas (encased knots) yaitu mata kayu yang telah mengalami pembusukan, sehingga kayunya lebih lunak dari kayu di sekitarnya, biasanya dihasilkan oleh cabang atau ranting yang mati. Di dalam pengujian yang mempengaruhi mutu adalah diameter, jumlah dan jarak antara mata kayu yang satu dengan yang lainnya.
Gambar 25. Mata kayu busuk/lepas (encased knots) pada papan kayu Mangium Cacat alami berupa mata kayu hampir terdapat pada setiap papan akibat tumbuhnya cabang pada batang. Serat di sekitar mata kayu tumbuh melingkar mengelilingi mata kayu. Orientasi serat yang mengalami penyimpangan di sekitar mata kayu ini disamping daya kohesi antara mata kayu dengan kayu sekitarnya 108
yang lebih lemah (dibandingkan antar serat kayu) yang menyebabkan reduksi kekuatan kayu pada umumnya. Ada dua macam mata kayu yaitu mata kayu sehat (intergrown knot) dan mata kayu lepas (encased knot). Mata kayu sehat adalah mata kayu yang masih sehat, terikat erat pada kayu yang dihasilkan dari cabang yang masih hidup. Sedangkan mata kayu lepas yaitu mata kayu yang tidak terikat erat ke kayu hingga mudah terlepas dan dapat menjadi berlubang, dihasilkan dari cabang yang sudah mati. Pengaruh mata kayu terhadap kekuatan lentur dan kekakuan kayu adalah akibat penyimpangan orientasi serat. Lokasi mata kayu pada daerah tegangan tarik akan mengurangi kekuatan lentur. Dalam penelitian ini tidak dilakukan penghitungan jumlah mata kayu tersebut, baik mata kayu sehat maupun mata kayu lepas/busuk, karena untuk mata kayu lepas yang besar langsung dibuang, yang kecil dilakukan pendempulan. Mata kayu sehat tidak dihitung sebagai cacat, karena produk lumber shearing ini untuk kebutuhan lokal yang tetap mengikutsertakan mata kayu sehat yang dianggap bukan sebagai cacat karena hanya berfungsi sebagai sheathing pada rangka dinding kayu shearwall. b) Kayu gubal (sapwood) adalah bagian terluar dari kayu yang berbatasan dengan kulit dan merupakan bagian batang yang masih hidup (berwarna lebih terang) dan berisi zat makanan cadangan. Penilaian kayu gubal dalam penentuan mutu molding hanya pada ada tidaknya noda. Noda ini termasuk dianggap perubahan warna (discoloration).
Gambar 26. Kayu gubal (sapwood) pada papan kayu gergajian Mangium Tebal kayu teras pada kayu Mangium lebih besar dibanding kayu gubalnya. Diameter kayu Mangium di HTI yang berumur 8 tahun ini berkisar antara 22 – 42 cm dengan tebal kayu terasnya mencapai 14 – 18 cm. Tebal kayu gubal dan kayu 109
teras berpengaruh terhadap kekuatan kayu. Oleh karena kayu gubal lebih bersifat inferior maka keadaannya akan menurunkan mutu dolog. Dalam rangka menurunkan daur teknis agar kayu teras lebih tebal dibanding pada pertumbuhan normalnya, dapat dipacu dengan prunning dan mempersempit jarak tanam (Pandit, 1995). Cacat alami berupa kayu gubal hampir terdapat pada setiap papan. Dalam penelitian ini tidak dilakukan penghitungan jumlah kayu gubal, karena produk lumber shearing ini untuk kebutuhan lokal yang menganggap kayu gubal bukan merupakan cacat. c) Cacat bentuk umumnya terjadi akibat sistem pengeringan bahan baku (kayu gergajian) yang tidak baik, sehingga KA kayu pada waktu pembentukan tidak merata dan dapat mengakibatkan terjadinya lengkungan (croocking), membusur (bowing), mencawan (cupping) atau memuntir (twisting).
Gambar 27. Cacat bentuk mencawan (cupping) pada papan kayu gergajian Mangium Dalam penelitian ini jenis cacat bentuk yang ditemukan adalah mencawan (cupping), sedangkan cacat bentuk yang lain tidak diketemukan. Cacat bentuk (mencawan) akibat pengeringan ini dapat dibuat efektif dengan membuat laminasi, karena kalau dipaksakan solid papan tidak akan terpakai. Rendemen dari proses pengolahan kayu Mangium adalah rendemen untuk pasar lokal yang mengikutsertakan mata kayu sehat, retak, pinhole dan kayu gubal. Kayu Mangium memiliki tegangan pertumbuhan yang tinggi. Tegangantegangan yang dibebaskan pada kayu Mangium lebih besar dibandingkan beberapa jenis kayu daun lebar lainnya (Wahyudi et al. 1998). Ini mengindikasikan bahwa tegangan-tegangan pertumbuhan juga tinggi, oleh karenanya resiko terjadinya cacat pada kayu Mangium juga tinggi.
110
Tegangan tumbuh (internal stress, reaction wood dan spring) adalah aksi dari dolog yang ingin kembali ke bentuk asalnya karena dalam masa pertumbuhan, pohon mengalami tegangan karena miring, bengkok menyusup mencari sinar matahari, tiupan angin dan lain-lain. Tegangan tumbuh mudah terbentuk pada kayu-kayu cepat tumbuh pada hutan tanaman walaupun batangnya tidak miring selama pertumbuhan (Haygreen dan Bowyer, 1982). Tegangan tumbuh terjadi karena adanya gaya-gaya longitudinal, yaitu tension yang berkembang mulai dari empulur ke arah tepi dolog dan compression yang berkembang mulai dari tepi dolog ke arah empulur. Reaksi tegangan tumbuh ini dapat dilihat pada saat dolog pertama kali atau beberapa kali digergaji, tegangan tumbuh menyebabkan pecahnya kayu gergajian dan bengkoknya sisa dolog. Keadaan ini tampak jelas pada jenis kayu Mangium. Kerugian lain adalah pengaruh penyusutan longitudinal yang tinggi. Pengerutan longitudinal yang tinggi akan menyebabkan bengkoknya kayu terutama sewaktu pengeringan. Tegangan tumbuh dapat menimbulkan serat berbulu pada permukaan kayu gergajian yang menimbulkan panas pada bilah gergaji sehingga bilah tersebut tidak dapat menggergaji lurus karena menurunnya tegangan (tension) bilah. Tegangan-tegangan pertumbuhan adalah penyebab utama timbulnya pecah pada pohon yang masih berdiri maupun pada log-log hasil penebangan, perubahan bentuk pada kayu gergajian seperti membusur dan mencawan setelah digergaji dari log serta brittle heart dan compression failures pada pohon berdiri (Panshin dan de Zeeuw, 1980). Retak dan pecah disebabkan adanya penurunan KA pada permukaan kayu sampai pada titik rendah tertentu dan mengakibatkan timbulnya tegangan tarik maksimum tegak lurus serat yang cenderung menyebabkan terpisahnya serat-serat kayu dan menyebabkan cacat. Hal ini yang menyebabkan kayu Mangium mempunyai cacat pecah dan retak yang cukup banyak. Retak dan pecah berpengaruh terhadap kekuatan tarik, kekuatan tekan dan kekuatan geser. Untuk mengurangi cacat retak dan pecah yang terjadi pada pohon Mangium akibat tegangan pertumbuhan dapat dihindari dengan teresan sebelum dilakukan penebangan dan pembuatan takik/alur pada batang pohon Mangium. Berdasarkan analisa macam-macam cacat teknis akibat proses pengeringan disimpulkan beberapa hal berikut :
111
1) Jumlah cacat pada proses pengeringan dengan metode konvensional yang dimodifikasi sebesar 20,07 % contoh uji yang mengalami cacat pada semua pola penggergajian. Jumlah cacat berdasarkan pola penggergajian dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah pola satu sisi dengan MOP sebanyak 24,88 %, pola satu sisi sebanyak 19,79 % dan pola penggergajian konvensional sebanyak 15,10 %. 2) Urutan jenis cacat dari yang terbesar sampai yang terkecil berturut-turut adalah mencawan sebanyak 34 buah, pecah terbuka sebanyak 33 buah, retak sebanyak 30 buah dan pecah tertutup sebanyak 22 buah. 3) Dolog yang digergaji dengan pola satu sisi dan pola MOP menghasilkan kayu gergajian datar yang memiliki stabilitas dimensi dan keausan permukaan yang relatif rendah, sehingga presentase cacatnya lebih tinggi dibanding pola konvensional. 4) Cacat berat pada kayu gergajian Mangium berupa retak (checks), pecah tertutup (splits), pecah dalam (honeycomb defect), pecah terbuka (open split) dan belah (shake). 5) Cacat ringan pada kayu gergajian Mangium berupa mata kayu (knots), kayu gubal (sapwood) dan cacat bentuk tipe mencawan (cupping). 4.
Proses Pengerjaan Kayu Mangium untuk Pembuatan Molding
a.
Proses Pengerjaan Kayu Mangium menjadi Lumber Shearing Proses pengolahan kayu lebih lanjut dari hasil produksi primer disebut pengolahan kayu sekunder. Kegiatan pengolahan sekunder dalam perancangan rumah prefabrikasi ini adalah proses pengerjaan kayu untuk pembuatan papan bentukan (molding) komponen shearwall. Proses pembuatan molding dilakukan dengan tiga tahapan yaitu : 1) Persiapan Lumber, yang meliputi kegiatan perataan sisi (edging), pemotongan (trimming), pembelahan ulang (resawing) beserta grading dan sortasinya. Penelitian ini menggunakan proses penggergajian teknik SDR, sehingga kegiatan resawing, edging dan trimming dilaksanakan setelah proses pengeringan, yaitu pada proses pengerjaan kayu berupa pembuatan molding tahap persiapan lumber. Setelah tahapan kegiatan perataan sisi (edging) dan pemotongan (trimming) pada kayu pacakan Mangium yang pertama ini diperoleh hasil pengukuran dimensi papan berupa volume papan sawn timber (V1) tiap pola penggergajian 112
dengan ketebalan papan 25 mm, ukuran lebar variatif dan panjang 2050 mm dan 2100 mm untuk memperoleh nilai rendemen pertama (R1). Setelah pengukuran rendemen yang pertama tersebut dilanjutkan kegiatan pembelahan ulang (resawing) beserta grading dan sortasinya dan pemotongan (trimming) kayu Mangium yang kedua. Pada kegiatan pembelahan ulang (resawing), operator gergaji perlu mencurahkan perhatiannya dengan baik karena : (1) ukuran lebar dan tebal akhir kayu gergajian paling banyak ditentukan/dibuat oleh mesin gergaji ini dan (2) penampilan akhir permukaan kayu gergajian sebagian besar ditentukan oleh hasil kerja mesin resaw. Operator mesin gergaji resaw harus mengetahui ukuran sortimen yang dibuat. Untuk memudahkan pekerjaan, operator dilengkapi dengan alat ukur (meteran) dan kapur untuk menandai bagian yang perlu dibuang dari sebuah kayu pacakan yang sedang digergaji. Setelah tahapan kegiatan pembelahan ulang (resawing), pola (grading dan sortasi) dan pemotongan (trimming) kayu Mangium yang kedua ini diperoleh hasil pengukuran dimensi papan untuk memperoleh volume kayu tiap pola penggergajian berupa volume bilah/rough lumber (V2) dengan ukuran (25 x 115 x (200 s.d. 2100)) mm dan (25 x 45 x (200 s.d. 2100)) mm untuk memperoleh nilai rendemen kedua (R2). 2) Rough End Process, yang bertujuan meratakan permukaan kayu gergajian (dengan planer),
membuat
kayu gergajian benar-benar empat
persegi (exactly),
mengeluarkan cacat dari lembaran kayu gergajian dan memperkecil beban pisau molding. Dalam penelitian ini menggunakan rough end process tipe 3 (Rahman dan Malik, 2008) yang dimodifikasi, karena lumber shearing yang dibuat berdasarkan asal/bentuk bahan bakunya, yaitu molding kayu utuh (solid wood) dan molding sambung (laminating edge to edge wood). Rough End Process meliputi kegiatan : pengetaman (planing), pengelompokan (grouping), pelaburan perekat (glue application) dan penyatuan papan (laminating). Proses pengetaman (planing) menghasilkan ukuran (22 x 115 x (200 s.d. 2100)) mm dan (22 x 38 x (200 s.d. 2100)) mm. Fungsi pengetaman (planing) adalah meratakan dan menipiskan permukaan pada 1 atau 2 muka sisi lebar dan tebalnya. Kemudian dilakukan pengukuran papan solid (lumber) ukuran (22 x 115 x (200 s.d. 2100)) mm untuk memperoleh volume kayu gergajian bersih (blank)
113
setiap pola penggergajian (V3.1) sebagai dasar untuk memperoleh nilai rendemen ketiga dari papan solid (R3.1). Untuk papan-papan ukuran (22 x 38 x (200 s.d. 2100)) mm dilakukan proses laminating dengan perekatan ke arah lebar untuk mendapatkan papan-papan laminasi yang lebarnya hampir sama dengan papan solid menjadi berukuran (22 x 114 x (200 s.d. 2100)) mm. Proses perekatan dengan menggunakan perekat Koyobond KR 560 (water based polymer – isocyanate adhesive for wood). Proporsinya adalah 85 % berupa perekat Koyobond KR 560 dan 15 % hardener. Senyawa kimia organik isocyanate dikembangkan di Jerman pada tahun 1930 dan perekat berbahan dasar isocyanate mulai digunakan pada pertengahan tahun 1940. Pelopor penggunaan diisocyanate sebagai perekat kayu adalah Deppe dan Ernst pada tahun 1951. Sebagai akibat dari pekerjaannya, pembuatan papan komersial dengan menggunakan diisocyanate dimulai di Jerman pada tahun 1975 (Pizzi, 1983). Isosianat merupakan salah satu perekat yang digunakan dalam pembuatan papan biokomposit. Perekat ini bersifat karsinogen dan beracun. Perekat ini tergolong kategori perekat termosetting, karena tidak dapat kembali ke bentuk semula apabila diaplikasikan ke bahan yang digunakan. Perekat isosianat memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada perekat lainnya. Isosianat bereaksi bukan hanya dengan aquarous tetapi juga dengan kayu yang menghasilkan ikatan kimia yang kuat sekali (chemical bonding). Isosianat juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif, yaitu R-N=C=O. Keunikan perekat isosianat adalah dapat digunakan pada variasi suhu yang luas, tahan air, panas, cepat kering, pH netral dan kedap terhadap solvent (pelarut organik). Isosianat membutuhkan waktu yang lama untuk mengental, pada saat menit ke-70 isosianat tidak mampu mengental dengan sempurna (Ruhendi dan Hadi, 1997). Menurut
Marra
(1992),
perekat
isosianat
memiliki
keunggulan,
diantaranya : 1) Dibutuhkan jumlah sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan sama. 2) Dapat menggunakan suhu kempa yang lebih rendah. 3) Siklus pengempaan lebih singkat. 4) Lebih toleran pada partikel berkadar air tinggi. 5) Membutuhkan energi pengeringan yang lebih sedikit. 6) Stabilitas dimensi papan yang dihasilkan lebih tinggi. 114
7) Tidak ada emisi formaldehida. Kegiatan laminating sebaiknya tidak dilakukan pada kayu Mangium dengan KA kurang dari 20 % (ditandai dengan bau kayu yang masih menyengat). Setelah kering pada proses laminating, papan-papan laminasi tersebut akan saling terlepas, karena papan tersebut masih mengalami kembang susut dan melengkung. Tidak dilakukan proses laminating ke arah panjang papan sistem finger joint model butt joint (papannya tipis), karena desain shearwall yang digunakan adalah model diagonal yang memakai semua ukuran panjang lumber shearing. Setelah tahapan kegiatan pengelompokan (grouping), pelaburan perekat (glue application) dan penyatuan papan (laminating) pada proses pembuatan papan laminasi diperoleh volume kayu gergajian bersih (blank) setiap pola penggergajian (V3.2) untuk memperoleh nilai rendemen ketiga dari papan laminasi (R3.2). Hasil Rough end Process disebut kayu gergajian bersih (blank). Volume papan solid (V3.1) dan papan laminasi (V3.2) kayu gergajian bersih (blank) masing-masing pola penggergajian tersebut dijumlahkan dan menjadi volume papan kayu gergajian bersih (blank) untuk memperoleh nilai rendemen ketiga (R3). 3) Molding Process. Kegiatannya meliputi molding, pendempulan dan pengamplasan (sanding). Molding adalah proses merubah lembar kayu gergajian persegi-empat menjadi bentuk profil beralur dengan berbagai ragam bila dilihat pada penampang lintang. Proses molding dilakukan pada papan solid dan papan laminasi dari tahapan sebelumnya menjadi lumber shearing atau papan tounge and groove (Tand G) ukuran (18,4 x 105 x (200 s.d 2100)) mm berupa molding utuh (solid) dan molding laminasi untuk sheathing komponen shearwall. Molding kayu utuh (solid) adalah molding yang bahan bakunya dari kayu utuh, sedangkan molding sambung/laminasi adalah molding yang bahan bakunya dari kayu gergajian pendek/sempit atau kayu lainnya yang disambung, terdiri dari bilah sambung. Untuk molding sambung/laminasi, bahan baku papan/bilah sambungnya mempunyai ukuran dan warna yang sama atau hampir sama, jenis kayu sama atau mempunyai sifat-sifat yang hampir sama serta disambung dengan perekat yang baik. Tahapan proses berikutnya adalah pendempulan pada papan-papan tersebut. Dempul yang dipakai untuk pendempulan pada papan lumber shearing T and G 115
dibuat sendiri untuk penghematan dan kepraktisan. Dempul buatan sendiri ini berupa campuran serbuk kayu (sawdust) pada ukuran mesh yang lembut (10 – 20 %) dicampur perekat Koyobond dari melamin tanpa hardener sampai berbentuk pasta yang berwarna agak gelap. Pendempulan dilakukan terhadap cacat-cacat pertumbuhan seperti mata kayu dan cacat-cacat bentuk akibat proses pengerjaan kayu seperti pingul dan retak pada profil lumber shearing. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengamplasan pada profil lumber shearing T and G ukuran (18,4 x 105 x (200 s.d 2100)) mm pada kedua sisi papan dengan sander. Proses sanding ini akan mengurangi ketebalan pada masingmasing sisi 0,2 mm, sehingga netto tebal setelah sanding adalah 18 mm. Setelah dilakukan pendempulan dan pengamplasan terhadap profil lumber shearing T and G hasil proses molding sebelumnya diperoleh ukuran (18 x 105 x (200 s.d 2100)) mm. Volume lumber shearing solid (V4.1) dan laminasi (V4.2) masing-masing pola penggergajian dijumlahkan menjadi volume lumber shearing (V4) untuk memperoleh nilai rendemen keempat (R4). Berikut beberapa persyaratan umum bahan baku untuk pembuatan molding yaitu : 1) Pengaturan bahan baku untuk menghindari pemborosan. 2) Tidak menggunakan bahan baku yang tidak akan menghasilkan mutu kayu bentukan yang dikehendaki 3) Untuk molding sambung, bahan baku papan/bilah sambungnya mempunyai ukuran dan warna yang sama atau hampir sama, jenis kayu sama atau mempunyai sifat-sifat yang hampir sama serta disambung/direkat dengan perekat yang baik 4) Kadar air maksimal 20 %. 5) Tidak diperkenankan mempunyai cacat lobang gerek besar, mata kayu busuk, mata kayu lepas, pingul dan lengkung. b. Rendemen Optimasi pengerjaan kayu merupakan suatu kriteria keberhasilan proses penggergajian yang diukur berdasarkan tinggi rendahnya rendemen. Rendemen penggergajian adalah perbandingan volume kayu gergajian yang dihasilkan (output) dengan volume bahan baku kayu bulat (input) yang dinyatakan dalam persen. Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan dan pembandingan nilai rendemen pada 3 pola penggergajian baik bentuk solid maupun laminasi. Macam rendemen yang dihitung dan dibandingkan meliputi nilai rendemen papan sawn timber (R1), bilah/rough 116
lumber (R2), blank (R3) sampai bentuk molding lumber shearing T and G (R4) dengan ukuran sortimen untuk shearwall pada komponen struktur rumah prefabrikasi Papan sawntimber adalah bentuk papan hasil pembelahan pertama kali oleh bandsaw yang sudah mengalami pengeringan, perataan sisi (edging) dan pemotongan ujung (trimming) dengan lebar yang masih bervariasi sesuai lebar diameter dolognya. Papan bilah (rough lumber) adalah bentuk papan hasil pembelahan ulang (resawing) yang mendekati ukuran target baik untuk papan solid maupun papan laminasi, pola (grading dan sortasi) dan pemotongan ujung (trimming) sehingga ukuran panjangnya bervariasi setelah dikeluarkannya cacat-cacat pada papan tersebut. Papan blangking adalah bentuk papan hasil pengetaman (planing) dengan double surfacer berupa papan ketam 4 sisi (surfaced 4 side/s4s) baik untuk papan solid maupun papan laminasi. Lumber shearing adalah bentuk papan berupa profil/papan bentukan hasil molding, pendempulan dan pengampelasan (sanding). Data perhitungan nilai rendemen kayu Mangium pada masing-masing pola pengergajian dan tingkatan setiap produk tersaji pada Lampiran 1 dan Tabel 20 berikut. Tabel 20. Volume dan Rendemen kayu Mangium pada masing-masing pola pengergajian dan pada setiap tahapan produksi No 1 2 3 4 5
Jenis produk Log Sawn timber (R1) Bilah/Rough Lumber (R2) Blangking (R3) Lumber shearing (R4)
a 2,871367 2,036763 1,290456 1,087507 0,794235
Volume (m3) b 2,898660 2,130225 1,227940 1,029752 0,763749
c 2,961293 2,212200 1,347683 1,130336 0,838839
Rendemen (%) a b c 100,00 100,00 100,00 70,93 73,49 74,70 44,94 42,36 45,51 37,87 35,53 38,17 27,66 26,35 28,33
Keterangan : a) pola konvensional, b) pola satu sisi, dan c) pola satu sisi dengan MOP
Dari Tabel 20 di atas, hasil rendemen dari Pola Konvensional, Pola Satu Sisi dan Pola Satu Sisi dengan program MOP dalam bentuk papan sawn timber berturut turut (70,93 %), (73,49 %) dan 74,70 % ; Bilah/rough lumber berturut turut 44,94 %, 42.36 %, dan 45,51 % ; bentuk Blangking berturut turut 37,87 %, 35,53 %, dan 38,17 % dan bentuk lumber shearing berturut turut 27,66 %, 26,35 %, dan 28,33 %. Rendemen tertinggi pada produk sawn timber adalah pola satu sisi dengan MOP, berikutnya berturut-turut diikuti oleh pola satu sisi dan pola konvensional. Komposisi ini tidak sejalan pada proses produksi selanjutnya yang berupa bilah/rough lumber, blanking maupun produk akhir lumber shearing, dimana rendemen tertinggi tetap
117
pada pola satu sisi dengan MOP, namun rendemen berikutnya diikuti oleh pola konvensional dan terakhir pola satu sisi. Fenomena pergeseran posisi pola satu sisi ini akibat banyaknya cacat pada penerapan pola penggergajian satu sisi yang lebih besar dibanding cacat yang ditimbulkan oleh pola konvensional. Dolog yang digergaji dengan pola satu sisi akan menghasilkan kayu gergajian datar (flat sawn lumber). Kelemahan kayu gergajian datar adalah stabilitas dimensi dan keausan permukaan yang relatif rendah. Pada jenis kayu dengan kembang susut tinggi, kayu gergajiannya akan mudah melengkung (bowing), memangkuk (cupping), terpuntir (twisting) atau retak pecah bila tidak dikeringkan dengan baik. Cacat-cacat bentuk akibat proses pengeringan dan pengerjaan kayu akan menurunkan rendemen kayu Mangium yang menggunakan pola penggergajian satu sisi. Namun secara keseluruhan proporsi rendemen tertinggi pada setiap tahapan proses produksi terdapat pada pola penggergajian satu sisi dengan program MOP. Nilai rendemen di atas masih mengikutsertakan cacat-cacat ringan yang dianggap bukan merupakan cacat seperti mata kayu sehat (intergrown knots), lubang jarum dan lubang gerek (pinhole), retak permukaan (surface cheks), perubahan warna (discoloration) pada kayu gubal (sapwood) dan serat tertekuk (compression failure), karena produk lumber shearing ini untuk kebutuhan lokal. Sedangkan proporsi lumber shearing yang dibuat berdasarkan bentuk bahan bakunya, yaitu molding kayu utuh (solid wood) dan molding sambung (laminating edge to edge) adalah 76,04 % kayu solid, 23,96 % kayu laminating pada Pola Konvensional, 73,73 % kayu solid, 26,27 % kayu laminating pada Pola Satu Sisi dan 73,77 % kayu solid, 26,23 % kayu laminating pada Pola Satu Sisi dengan Program MOP. Sehingga bentuk molding kayu utuh (solid wood) tertinggi pada Pola Konvensional diikuti Pola Satu Sisi dengan Program MOP dan Pola Satu Sisi. Volume kayu bentukan profil/hias terdiri dari Initial Size atau Nominal Size berupa volume khayal yang merupakan hasil perkalian antara luas penampang khayal dan panjang papan tersebut dan Net Finish Size atau Actual Size berupa volume sebenarnya yang merupakan hasil perkalian antara luas penampang sebenarnya dan panjang papan tersebut. Penelitian ini menggunakan Initial Size atau Nominal Size sebagai dasar dalam menentukan volume dan rendemen lumber shearing T and G, sesuai dengan SNI 1-5008.10-2001 sebagai standar perhitungan rendemen molding dan untuk mempermudah perhitungan volume dan rendemen molding tersebut. 118
Untuk keperluan perbandingan, rendemen molding dihitung berupa output dari setiap tahapan proses produksi pembuatan molding pada masing-masing pola pengergajian dan mesin pembuatnya. Rendemen akhir merupakan rendemen produk akhir berupa lumber shearing T and G dari rendemen masing-masing tahap proses. Untuk membandingkan hasil nilai rendemen pada ketiga pola penggergajian tersebut dapat dilihat pada Gambar 28 berikut ini. Rendemen (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Pola konvensional Pola Satu Sisi Pola MOP
Jenis produk
Gambar 28. Kurva nilai rendemen pada setiap tahapan proses produksi pembuatan molding pada masing-masing pola pengergajian Sebagai gambaran, Tabel 21 berikut menjelaskan nama produk sebagai hasil dari setiap tahapan proses produksi pembuatan molding dan mesin pembuatnya. Tabel 21. Nama produk sebagai hasil dari setiap tahapan proses produksi pembuatan molding dan mesin pembuatnya No 1 2 3 4 5
Nama proses Penyiapan bahan Pembuatan bilah Penyerutan Pemotongan bilah Pembuatan profil/molding
Nama mesin Bandsaw dan kiln dry Multiripsaw Planer Cross cutter Molder
Hasil/output Kayu pacakan Sawn timber Bilah / rough lumber Blanks/ S2S/S4S Lumber shearing
Kualitas kayu gergajian yang baik dicirikan dengan presentase cacat permukaan yang rendah serta ukuran akhir yang seragam, sedangkan kuantitas kayu gergajian dicirikan dengan adanya rendemen yang tinggi (Rachman, 1994). Beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya rendemen, antara lain (Padlinurdjaji dan Ruhendi, 1981) : jenis kayu yang digergaji, ukuran dan kualitas kayu bulat, tipe 119
gergaji yang digunakan, ukuran kayu gergajian yang dihasilkan, keterampilan dan pengalaman operator, sistem upah yang diterapkan, pengawasan, target size, pola pengergajian yang diterapkan dan faktor angka bentuk terutama taper. Pada penelitian ini, faktor-faktor tersebut dianggap sama, kecuali ukuran dan kualitas kayu bulat, pola pengergajian dan angka bentuk terutama taper bervariasi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Ukuran dan kualitas kayu bulat. Diameter log mempengaruhi rendemen yang diperoleh, makin besar diameter makin tinggi rendemen yang dicapainya. Pola penggergajian satu sisi dengan program MOP memiliki rendemen tertinggi karena faktor pola penggergajian dan rata-rata diameternya paling tinggi. Di dalam proses penggergajian dolog-dolog yang memiliki diameter besar akan menghasilkan rendemen yang tinggi dan dolog-dolog yang kecil akan menghasilkan rendemen yang kecil. Dalam menentukan rendemen ada berbagai cara yang dapat dilakukan. Dalam skala pabrik umumnya banyak menggunakan statistika, tetapi perhitungan ini mempunyai kelemahan yaitu hanya memberikan gambaran kasar tentang rendemen rata-rata sehingga tidak diketahui rendemen tiap kualita kayu atau tiap kelas diameter kayu penghara karena biasanya kualita kayu penghara tidak dipisah-pisahkan di tempat penimbunan (Padlinurdjaji dan Ruhendi, 1981) b. Pola pengergajian yang diterapkan. Pola penggergajian sangat menentukan rendemen yang dihasilkan, terutama untuk diameter kecil. Pola penggergajian satu sisi dengan program MOP memiliki rendemen tertinggi pada setiap bentuk produk kayu (dari sawn timber sampai dengan lumber shearing) dibanding 2 pola penggergajian yang lain sebagaimana Tabel 20 di atas. c. Faktor Angka bentuk terutama taper. Dolog yang panjang pada hakekatnya tidak mempengaruhi rendemen. Bila dolog yang panjang tersebut tapernya nol maka kayu gergajian yang panjang secara penuh (full length lumber) dapat diperoleh. Akan tetapi semakin panjang dolog biasanya taper dolog semakin besar. Hal ini menyebabkan semakin banyak kayu yang hilang untuk mengeluarkan taper yang akan menjadi sebetan sehingga menurunkan rendemen sebagaimana Tabel 14 di atas.
120
5.
Biaya Produksi Shearwall untuk Komponen Struktur Rumah Prefabrikasi
Tabel 22. Rekapitulasi Biaya Proses Produks i Lumber Shearing Rumah Prefabrikasi No. 1 2 3 4 5 6
Uraian kegiatan Pembelian Log Proses Penggergajian Proses Pengeringan Proses Pengerjaan Tata Usaha Kayu (FAKO) Transportasi P. Kalimantan – P. Jawa
Biaya (Rp) Persentase (%) 26.444.000 40,45 14.517.000 22,21 11.371.650 17,39 4.585.775 7,01 200.000 0,31 8.255.000 12,63 65.373.425 100,00
Hasil rekapitulasi biaya keseluruhan proses produksi molding berupa lumber shearing T and G untuk komponen shearwall rumah prefabrikasi tercantum pada Tabel 22 sebesar Rp. 65.373.425,- dan menghasilkan produksi akhir molding sebesar 17,0 m3 dari total input log sebesar 66,1 m3. Sehingga biaya produksi pembuatan molding pada penelitian ini sebesar Rp 3.845.495,-/m3. Komposisi biaya terbesar pada pembelian log kayu Mangium sebesar Rp. 26.444.000,- (40,45 %). Selanjutnya biaya proses penggergajian sebesar Rp. 14.517.000,(22,21 %), proses pengeringan sebesar Rp. 11.371.650,- (17,39 %), biaya transportasi produk dari Kalimantan ke pulau Jawa sebesar Rp. 8.255.000,- (12,63 %), proses pengerjaan sebesar Rp. 4.585.775,- (7,01 %) dan biaya tata usaha kayu berupa administrasi Faktur Angkutan Kayu Olahan (FAKO) sebesar Rp. 200.000,- (0,31 %). Biaya transportasi dari Kalimantan Selatan ke Pulau Jawa sebesar Rp 8.255.000,- terdiri dari biaya pemuatan (loading) Rp 255.000,- dan biaya angkutan sebesar Rp. 8.000.000,-. Dengan hasil perhitungan biaya produksi molding berupa lumber shearing T and G untuk komponen shearwall rumah prefabrikasi ini, harga rumah kayu prefab tipe 21 senilai ± Rp 23.000.000,- per unit yang terdiri dari Rp 17.304.727,- untuk bahan kayu 4,5 m3 (Fahutan, 2005) dan sisanya senilai Rp 5.695.273,- untuk bahan atap (seng aluminium ADE HADECK tipe ADH-7000 ketebalan 0,5 mm), pondasi umpak dan upah pekerja tetapi belum termasuk harga tanah.
121
E. Simpulan Berdasarkan analisis tersebut di atas, disimpulkan berdasarkan kategori berikut : Karakteristik dolog kayu Mangium : 1. Kualitas dolog berdasarkan kondisi dimensinya berturut-turut dari yang terbaik adalah pada Pola penggergajian MOP, diikuti Pola Satu Sisi dan Pola Konvensional, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. 2. Karakteristik dolog kayu Mangium dari PT INHUTANI II sebagian besar batangnya berbentuk tidak bundar sampai hampir bundar, taper dan lurus. Karakteristik dolog berupa volume log, angka bentuk dan cacat pertumbuhan mempengaruhi kualitas dolog kayu Mangium pada setiap pola penggergajian. Proses penggergajian kayu Mangium : 3. Jumlah cacat berdasarkan pola penggergajian dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah pola satu sisi dengan MOP 24,88 %, pola satu sisi 19,79 % dan pola konvensional 15,10 %. 4. Dolog yang digergaji dengan pola satu sisi menghasilkan kayu gergajian datar (flat sawn lumber), yang mempunyai kelemahan pada stabilitas dimensi, keausan permukaan yang rendah dan presentase cacat lebih tinggi dibanding pola konvensional. Cacat-cacat akibat penerapan pola penggergajian satu sisi ini menurunkan rendemen dan kualitas kayu. 5. Karakteristik dolog diameter kecil kayu Mangium adalah tegangan tumbuh, yang terlihat pada saat dolog digergaji terjadi pecah papan. Kayu muda pada dolog penghara penggergajian akan menurunkan kualitas kayu gergajian karena sortimen mudah bengkok atau pecah. Proses pengeringan kayu Mangium : 6. Metode konvensional yang dimodifikasi membutuhkan waktu 30 hari sampai KA 11 % dan 33 hari sampai KA 9 %. Metode konvensional yang dimodifikasi ini efektif untuk mengurangi waktu pengeringan tanpa menurunkan kualitas dan tidak merubah warna papan kayu Mangium. 7. Waktu pengeringan metode konvensional yang dimodifikasi ini relatif cepat jika dibandingkan dengan metode konvensional, namun lebih lama jika dibandingkan dengan metode kiln drying, metode shed + kiln drying dan metode shed drying. 8. Jumlah cacat berdasarkan pola penggergajian satu sisi dengan MOP, pola satu sisi, dan pola konvensional berturut-turut sebanyak 24,88 %, 19,79 % dan 15,10 % 122
dengan rata-rata 20,07 % contoh uji pada semua pola penggergajian. Dolog yang digergaji dengan pola satu sisi dan pola MOP presentase cacatnya lebih tinggi dibanding pola konvensional karena menghasilkan kayu gergajian datar yang memiliki stabilitas dimensi dan keausan permukaan yang relatif rendah. 9. Jenis cacat setelah proses pengeringan berupa cacat bentuk (mencawan) dan cacat serat terpisah (pecah terbuka, retak dan pecah tertutup). Proses pengerjaan kayu Mangium : 10. Rendemen aktual pada semua bentuk hasil penggergajian yang diperoleh dari pola satu sisi dengan MOP selalu lebih tinggi dibanding 2 pola penggergajian lainnya. 11. Proporsi lumber shearing yang dibuat berdasarkan bentuk bahan bakunya, yaitu molding kayu utuh (solid wood) rata-rata diatas 70 % dan molding sambung (laminating edge to edge) rata-rata kurang dari 30 % pada semua pola penggergajian yang diterapkan. 12. Kualitas papan laminasi lebih baik dibanding papan solid, tetapi prosesnya lebih banyak walau biaya yang dibutuhkan tidak berbeda nyata. 13. Nilai rendemen masih mengikutsertakan cacat-cacat ringan yang dianggap bukan merupakan cacat, karena produk lumber shearing ini untuk kebutuhan lokal. 14. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai rendemen adalah ukuran dan kualitas kayu bulat, pola pengergajian dan angka bentuk terutama taper. Biaya produksi shearwall dari kayu Mangium : 15. Biaya proses produksi molding berupa lumber shearing tounge and groove rumah prefabrikasi berikut biaya transportasi ke pulau Jawa sebesar Rp 3.845.495,-/m3.
123
V. PENGUJIAN KEKUATAN SHEARWALL KAYU MANGIUM SEBAGAI KOMPONEN STRUKTUR RUMAH PREFABRIKASI A. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengetahui keandalan dan menganalisis perilaku shearwall kayu Mangium pada rumah prefabrikasi akibat pengaruh beban lateral monotonik.
2.
Menghitung gaya gempa berdasarkan SNI 1726-2002 untuk menentukan zona gempa yang sesuai.
3.
Membandingkan hasil pengujian komponen shearwall dengan perhitungan beban gempa hasil analisis struktur desain.
B. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai bulan Agustus sampai Oktober 2010 di Balai Struktur dan Konstruksi Bangunan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Cileunyi Bandung. C. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah papan solid lumber shearing T and G ukuran 18 mm x 105 mm dengan panjang antara 200 mm sampai dengan 2100 mm dan balok ukuran 5 x 7 cm sebagai rangka batang dari kayu Mangium. Bahan lainnya adalah paku, baut dan mur serta ring, klem dan pasak kayu. Alat yang digunakan adalah plat besi ukuran (240 x 120 x 0,9) cm, klem baja, meteran, palu, pahat, bor, alat tulis dan alat hitung. Pengujian model komponen shearwall dengan UTM Jack berkapasitas 10 ton, pompa hidrolik sebagai penggerak UTM Jack, Data Logger sebagai alat pencatat beban, lendutan dan tegangan-tegangan lain yang diperlukan serta Tranducer sebagai alat ukur deformasi (defleksi). D. Metode Penelitian Metode penelitian dilakukan melalui pentahapan sebagai berikut : 1.
Pembuatan Benda Uji
a.
Desain Kayu Mangium sebagai Komponen Shearwall. Komponen shearwall dibuat dengan memperhatikan hasil analisa perhitungan
struktur sebelumnya dan pertimbangan daya kreasi dari segi teknis dan arsitektural (Wijaya, 2007). Dibuat 4 tipe panel shearwall yaitu panel shearwall A (240 × 120 cm2) ukuran penuh, panel shearwall B (40 × 120 cm2), panel shearwall C (60 × 120 125
cm2) dan panel shearwall D (80 × 120 cm2). Bentuk konstruksi shearwall dibuat stress skin component. Lumber sheathing didesain secara horisontal (straight sheathing) sebagai kontrol dan secara diagonal (diagonal sheathing) sebagai perlakuan. Dalam mendesign panel shearwall digunakan metode pendekatan dalam menentukan gaya – gaya yang diterima setiap batang papan badan miring (18 × 105 mm2) arah 45° (Gambar 30). Penyusunan papan badan miring menggunakan sistem T and G (Gambar 29).
Gambar 29. Sistem Tounge and Groove untuk Dinding Shearwall
A B
C
D
Gambar 30. Bentuk-bentuk Desain Sambungan Papan Badan Miring Shearwall A, B, C dan D Gaya normal yang terjadi pada shearwall (asumsi sebagai pendel), diasumsikan menjadi gaya luar (N). Daerah dari papan yang bernomor adalah sebagian dari papan badan miring yang diasumsikan menahan gaya normal yang terjadi pada panel shearwall tersebut. Daerah dari papan yang bernomor adalah papan badan miring yang panjangnya utuh. Untuk memperpendek jarak pemakuan dengan menambah batang pada bingkai panel shearwall. b. Pembuatan Komponen Dinding Shearwall Ukuran shearwall rumah prefab yang dibuat adalah 86 mm x 1200 mm x 2400 mm dengan beberapa variasi desain dinding model stress skin (sesuai dengan hasil desain struktur rumah prefab). Pembuatan dinding diawali dengan pembuatan rangka/bingkai dari kayu Mangium ukuran 5 cm x 7 cm. Bingkai tersebut kemudian dirakit dengan papan lumber shearing T and G ukuran 18 mm x 105 mm dan panjangnya bervariasi dari 200 mm sampai dengan 2100 mm. Papan-papan tersebut disusun menjadi
126
shearwall dengan susunan papan badan miring arah 45° (diagonal sheathing) dengan menggunakan paku. Pemakuan papan/panel shearwall pada bingkai baik papan utama maupun papan lainnya memakai paku dengan panjang paku 5 cm. Posisi pemakuan adalah dua paku pada setiap ujung papan panel dengan jarak 4 cm antar paku, sehingga berjumlah 4 paku setiap lembar papan yang dipaku secara berpasangan. Ini dimaksudkan supaya papan tidak bisa berputar dibandingkan apabila memakai satu paku. Setiap sambungan rangka diberi satu buah pasak kayu. Pada setiap sambungan rangka antara diberi paku satu buah dengan panjang paku 7 cm. Penyusunan dan perakitan komponen shearwall seperti terlihat pada Gambar 31.
Gambar 31. Penyusunan dan perakitan komponen shearwall. Pembuatan komponen rangka shearwall dengan ukuran sama yaitu tebal 6,8 cm x lebar 120 cm x tinggi 240 cm. Komponen shearwall terdiri dari 4 pola desain, meliputi : Shearwall utuh dengan pola papan horisontal (straight sheathing) sebagai kontrol, Shearwall utuh dengan pola papan diagonal (diagonal sheathing) sudut 45
o
,
Shearwall berjendela dengan pola papan diagonal dan Shearwall berpintu dengan pola papan diagonal, sebagaimana Gambar 32 berikut ini.
127
120 cm
120 cm
120 cm
120 cm
40 cm
60 cm
240 cm
80 cm
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 32. Shearwall utuh dengan pola papan mendatar (a), dan shearwall pola papan diagonal yang utuh, berjendela dan berpintu (b), (c), (d) c.
Perakitan Komponen Shearwall Dilakukan perakitan terhadap komponen shearwall tersebut berpasangan dengan berbagai variasi sebagai perlakuannya. Ukuran contoh uji shearwall adalah (8,6 x 240 x 240) cm, berupa gabungan 2 komponen panel shearwall secara horisontal yang diikat dengan baut. Setiap shearwall menggunakan tipe rangka, papan penutup, baut, paku dan pola pemakuan yang sama. Ukuran dan penempatan bukaan berupa pintu dan jendela diukur berdasarkan rasio area papan penutup (r). Tabel 23 merinci hasil rakitan, dimensi yang terbuka dan menggambarkan lokasi yang terbuka pada setiap bentuk shearwall. Shearwall A dan B (r = 1,0) tidak mempunyai bukaan dan perlu pengukuran kapasitas pada kondisi tutupan yang penuh. Rasio shearwall C, D, dan E terhadap shearwall A dan B dibandingkan langsung untuk rasio kapasitas gesernya.
128
Tabel 23. Ukuran bukaan setiap bentuk shearwall Bentuk shearwall
Tipe shearwall
240 cm 120 cm
120 cm
60 cm
240 cm 120 cm
120 cm
40 cm
80 cm
60 cm 240 cm
120 cm
120 cm
80 cm
Tipe = A Rasio area (r ) = 1,0 Ukuran bukaan : Pintu = Jendela = -
Tipe = C Rasio area (r ) = 0,79 Ukuran bukaan : Pintu = Jendela = 100x120 cm
Bentuk shearwall
Tipe shearwall
240 cm
Tipe = B Rasio area (r ) = 1,0 Ukuran bukaan : Pintu = Jendela = -
120 cm
120 cm
40 cm
240 cm 120 cm
120 cm
Tipe = D Rasio area (r ) = 0,58 Ukuran bukaan : Pintu = 200x120 cm Jendela = -
Tipe = E Rasio area (r ) = 0,37 Ukuran bukaan : Pintu = 200x120 cm Jendela = 100x120 cm
Kemudian benda uji dipasang pada alat uji dengan penyesuaian antara benda uji dan alat ujinya. Diusahakan benda uji presisi dan ukurannya sesuai dengan alat ujinya guna mengurangi kesalahan akibat pengukuran. 2.
Pemasangan Alat Ukur Alat ukur dipasang dengan kondisi normal dan dicek penempatannya agar pengujian dapat berjalan normal dan error alat dapat dihindari. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, posisi alat ukur (deflektor, komputer, data logger dan tranducer) harus pada posisi nol (terkalibrasi dengan benar). Tahapannya adalah : a.
Peletakan balok kayu ukuran (20 x 40 x 3500) cm pada bagian dasar alat uji sebagai dudukan benda uji yang terkunci pada alat uji.
b.
Benda uji dipasang dengan dibaut pada bagian rangka benda uji sebanyak 4 buah pada dudukan balok kayu tersebut. Baut yang digunakan berukuran panjang 16 inchi atau lubang berdiameter 32 mm.
c.
Dipasang load cell (hidrolik manual) berkemampuan 10 ton pada arah vertikal/aksial dan lateral/horisontal.
d.
Agar beban aksial menjadi merata maka diperlukan alat berupa kumpulan rol sepanjang 40 cm yang bergerak. 129
e.
Pada setiap sudut dan sisi yang mengalami displacementt dipasang tranduser yang terhubung dengan data logger lewat kabel data. Jumlah tranduser yang dipasang sebanyak 11 buah pada setiap sisi/sudut yang diperkirakan mengalami pergeseran. Selengkapnya setting pengujian sebagaimana Gambar 33 berikut :
Load Cell Cap 10 ton
Load Cell Cap 10 ton
Panel Dinding Kayu
Freme Kayu
Angkur bout
14" Bout
16"
Balok Kayu 15/20
Gambar 33. Setting Pengujian Panel Shearwall 3.
Pengujian Shearwall dari Kayu Mangium sebagai Komponen Struktur Rumah Prefabrikasi Pengujian komponen shearwall berupa horizontal in-plane monotonic load
racking stiffness and strength test berdasarkan ISO 22452 (2009) untuk simulasi kekuatan gempa. Pembebanan diberikan pada satu arah yaitu beban horisontal (racking loads). Sedangkan beban vertikal hanya berfungsi menahan akibat reaksi dari uji racking sehingga nilainya konstan. Pengujian diperlukan untuk mengetahui perilaku dan keandalan dari pengaku (brace) dan sambungan (joint). Pembebanan diberikan pada arah horisontal dan bertahap sebesar 0,1 F max,est pada komponen shearwall. Teknik pengujian pada shearwall ini digunakan cara penambahan beban (force) terhadap displacement (D). Nilai estimasi beban maksimal (F max,est ) diperoleh berdasarkan uji pendahuluan (preliminary test). Sedangkan F max,est pada contoh uji yang mendapatkan perlakuan, berdasarkan nilai F max dari pengujian contoh uji kontrol. Jika F max,est sudah diperoleh, maka indeks beban yang diberikan secara bertahap pada pembebanan horisontal adalah sebesar 10 % F max,est . Penentuan F max,est dan indeks penambahan beban sebagai perlakuan tergantung kepada desain material shearwall (with or with out opening), material shearwall (frame dan sheathingnya)
dan ukuran dimensi shearwall.
Jika
menggunakan prosedur
130
penambahan deformasi terhadap waktu maka beban horisontal (F) sekitar (2 ± 0,5) mm/min. Berdasarkan preliminary test pada contoh uji kontrol diperoleh beban maksimum (F max ) sebesar 216 kg. Fmax ini digunakan untuk semua benda uji karena merupakan F max, est terkecil sehingga dianggap yang paling konservatif untuk mendapatkan semua nilai kekakuan dan kekuatan panel shearwall tersebut. Prosedur uji racking dilakukan berupa penambahan beban horisontal secara bertahap sebesar 0,1 F max, est terhadap waktu, yang dibagi menjadi 3 langkah, yaitu : 1). Siklus beban stabil (stabilizing load cycle) berupa penambahan beban seberat 0,1 F max, est
yang berfungsi sebagai stabilisasi contoh uji, 2). Siklus beban kekakuan (stiffness
load cycle) berupa penambahan beban sampai berat 0,4 Fmax,est yang dilakukan secara bertahap berupa beban 0,1 F
max,est
untuk mendapatkan nilai kekakuan benda uji dan
3). Uji kekuatan (strength test) berupa penambahan beban sebesar 0,1 Fmax,est secara bertahap sampai tercapai F max dari benda uji tersebut sebagaimana Gambar 34 berikut.
Gambar 34. Prosedur pelaksanaan penerapan beban lateral (racking load) Pembebanan diberikan pada arah lateral/horisontal dan diberikan secara bertahap sebesar 0,1 F max,est pada komponen shearwall sebagaimana prosedur pada Gambar 34. Benda uji dibuat sebanyak 5 buah. Pembebanan lateral dilakukan dengan metode pembebanan satu titik pada ujung kiri atas. Data yang diperoleh berupa beban sampai batas proporsi, displacement dan beban maksimum, tegangan-tegangan lain yang diperlukan seperti pada kekuatan masing-masing pada titik sambungan dalam berbagai variasi sambungan dan alat tambahan pada rangka (blassing).
131
Beban vertikal (Fv) Beban lateral (F) = Jarum deflektometer
240 cm (H)
C
Baut yang ditanam ke mesin
240 cm (B)
Gambar 35. Pengujian Kekuatan Mekanis Shearwall berupa Uji Racking
Gambar 36. Pelaksanaan Pengujian Prosedur pengujian shearwall sebagai berikut : a. Benda uji elemen diletakkan pada posisi horisontal dan terikat pada ujung UTM Jack b. Beban berupa dorongan diberikan secara bertahap sampai diperoleh data ulangan dan sampai benda rusak. c. Pada bagian ujung benda uji dengan UTM Jack dipasang Data logger sebagai alat pencatat beban dengan lendutannya serta tegangan-tegangan lain yang diukur. d. Pada bagian-bagian komponen yang ingin diukur tegangan dan regangannya dipasang Tranducer yang berfungsi untuk mengetahui besarnya defleksi yang terjadi pada saat diberi beban. 132
e. Benda uji diberi beban secara bertahap sebesar 10 % F max,est sampai jarum Data logger dan Tranducer bergerak dan menunjukkan suatu nilai tertentu. f. Setiap kenaikan beban, data logger dan tranducer terekam dan terbaca oleh komputer yang langsung memberikan data beserta grafik hasil pengukurannya. g. Pembacaan Hasil Pengujian h. Pembebanan dihentikan jika telah melewati batas kekuatan struktur atau telah melewati batas layan struktur berupa kondisi dimana papan telah mengalami keruntuhan/kerusakan
(collapses)
atau
telah
mengalami
deformasi/displacement sebesar 100 mm, mana yang terlebih dahulu tercapai. Semua data terekam dalam komputer mulai saat komponen masih elastis, batas proporsi sampai beban maksimum (benda uji rusak) atau data beban tidak bertambah lagi. Data tersebut dilengkapi dengan grafik hasil uji geser berupa tegangan dan regangan yang ditimbulkan dan data beban dengan lendutan yang dihasilkan akibat uji geser secara lateral. E. Analisis Data Hasil penelitian pengujian komponen struktur shearwall ini adalah nilai ketahanan gempa hasil uji lateral kayu Mangium umur 8 tahun berupa : 1. Kekakuan racking (racking stiffness) panel (R k ), dihitung dengan rumus : (28) 2. Kekuatan racking (racking strength), yaitu berupa nilai maksimum beban racking (F max) yang diperoleh pada uji kekuatan. 3. Rekaman displacement dan kerusakan komponen pada panel shearwall 4. Perbandingan kekuatan dan kekakuan relatif berbagai desain konstruksi shearwall diagonal sheathing terhadap horizontal sheathing pada desain stress skin component. 5. Pengukuran daktilitas shearwall dengan mengukur faktor daktilitasnya (μ), dengan rumus : (29) Dimana : µ
= faktor daktilitas struktur gedung
(δm) = simpangan maksimum struktur pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan (mm) 133
(δy) = simpangan struktur pada saat terjadinya keruntuhan pertama di dalam struktur (mm). 6. Nilai kekakuan (MOE) dan kekuatan (MOR) komponen shearwall dengan rumus balok kantilever sebagai berikut : (30)
(31) Dimana : (32) 7. Perhitungan gaya gempa dengan analisis gempa static ekuivalen berdasarkan SNI 1726-2002 untuk menentukan zona gempa yang sesuai. Kesesuain zona gempa diperoleh dari nilai gaya geser horisontal gempa dengan beberapa asumsi karakteristik bangunan tertentu yang ditetapkan, dengan rumus: (33) Dimana : V
= Gaya geser horisontal gempa (kg)
C 1 = Koefisien gempa Ig
= Faktor keamanan struktur
R d = Faktor reduksi gempa W t = Berat struktur (kg) 8. Hasil pengujian komponen shearwall berupa nilai gaya geser horisontal gempa kayu Mangium umur 8 tahun ini dibandingkan dengan perhitungan beban gempa hasil analisis struktur desain pada penelitian Design dan Analisis Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa dari Kayu (Wijaya, 2007). Hasil pengujian dianalisis secara statistik dengan membandingkan kekuatan komponen struktur hasil pengujian dengan kekuatan rencana berdasarkan analisis struktur. Hipotesis : A.Kuat lentur sampel lebih besar dari kuat lentur rencana B.Ketahanan gempa shearwall lebih besar dari ketahanan gempa yang diijinkan.
134
Untuk melihat besarnya gaya yang dapat ditahan sampel dari yang direncanakan, maka analisa yang dilakukan adalah uji rata-rata satu pihak. Hipotesis :
H 0 : μ = P rencana H 1 : μ > P rencana
F. Hasil dan Pembahasan 1.
Desain dan Perakitan Kayu Mangium sebagai Komponen Shearwall. Komponen shearwall dibuat dari papan dan rangka. Papan hasil proses molding
berupa molding lumber shearing T and G, yang terdiri dari molding kayu utuh (solid wood) dan molding laminasi (laminating edge to edge). Papan dan rangka bentuk solid dari kayu Mangium masih mengalami pelengkungan, berakibat mempersulit sewaktu merakit menjadi komponen struktur shearwall. Tetapi papan dan rangka bentuk solid ini lebih sederhana dalam proses. Berbeda dengan papan laminasi yang lebih rumit dalam proses pembuatan (tambahan proses laminating, molding dan crosscut) tetapi lebih stabil. Secara keseluruhan kualitas papan laminasi lebih baik dibanding papan solid, tetapi proses dan biaya yang dibutuhkan lebih banyak. Pada pembuatan shearwall, tipe papan horisontal (straight sheathing) lebih mudah dalam perakitan dibanding tipe papan diagonal (diagonal sheathing), karena ukuran panjang papan pada dinding horisontal seragam. Namun hal ini mengakibatkan pemborosan bahan, kecuali dengan system finger joint. Perakitan tipe papan diagonal lebih rumit daripada papan horisontal, karena harus membuat ukuran papan yang variatif, tetapi hemat bahan karena bisa memanfaatkan segala ukuran panjang papan dan tidak perlu dibuat finger joint. Untuk stabilisasi dimensi dan optimalisasi bahan produk kayu Mangium sebagai shearwall, maka dilakukan pengeringan yang optimal dan dibuat dengan cara laminated edge to edge. Setelah dilakukan perakitan, maka akan menjadi pasangan tipe-tipe shearwall sebagaimana gambar berikut :
135
A
B
Gambar 37. Komponen shearwall utuh dengan pola papan mendatar sebagai kontrol (A) dan dengan pola papan diagonal (B)
C
D
Gambar 38. Komponen shearwall dengan pola papan diagonal utuh dan berjendela (C) dan papan diagonal utuh dan berpintu (D)
E
Gambar 39. Komponen shearwall berjendela dan berpintu dengan pola papan diagonal (E).
136
2.
Pengujian Ketahanan Gempa pada Komponen Shearwall. Pengujian komponen struktur berupa pengujian ketahanan gempa pada
shearwall. Pengujian skala pakai pada shearwall dilakukan dengan beban statik monotonik lateral untuk simulasi kekuatan gempa. Pengujian skala pakai diperlukan untuk mengetahui perilaku dan keandalan dari penguat/pengaku (brace) dan sambungan (joint). Beberapa desain panel untuk uji racking dibuat dengan jumlah contoh uji masing-masing satu buah (n = 1). Hal ini dimungkinkan karena : a.
Tiap contoh uji sebanyak 5 buah berbeda dalam desain panelnya.
b.
Diperbolehkan dalam struktur, karena dalam satu contoh uji terdiri dari beberapa variasi perlakuan (with or with out opening and horizontal or diagonal on desain sheathing). Jika contoh ujinya mempunyai karakteristik yang sama maka n > 1 karena merupakan ulangan, bukan perlakuan.
c.
Penelitian ini bersifat eksploratif dan komparatif untuk dibandingkan dengan standar panel papan kayu lapis yang sudah ada. Hal ini dibenarkan dalam hukum statistik. Pengujian komponen shearwall kayu Mangium berupa uji racking monotonic
kekakuan dan kekuatan berupa beban horisontal yaitu horizontal in-plane monotonic load racking stiffness and strength test berdasarkan ISO 22452. Pertimbangan penggunaan uji racking monotonic tersebut adalah : a.
Uji racking monotonic sesuai dengan beban siklik dan beban gempa untuk mendukung informasi kebutuhan rumah prefab tahan gempa.
b.
ISO 22452 sesuai untuk uji statik dan siklik
c.
Pembebanan pada uji racking ini ada dua macam, yaitu : 1) Pembebanan vertikal dan pembebanan horisontal secara bersamaan 2) Pembebanan horisontal saja, sedangkan pembebanan vertikalnya tetap. Pada penelitian ini digunakan uji beban racking monotonic berupa beban
horisontal sesuai dengan ISO 22452 dan rekomendasi dari Puslitbangkim yang sudah memenuhi untuk beban gempa. Caranya, dengan penambahan beban horisontal, maka secara perlahan beban vertikalnya dikurangi secara bertahap. Beban tetap vertikal sebesar 850 kg dengan asumsi 17 dinding shearwall akan digunakan pada rumah tipe 36. Agar beban vertikal konstan maka setiap penambahan beban horisontal, maka beban vertikal dikurangi ± 20 %, sehingga beban vertikal konstan/tetap yang merupakan beban mati (dead load) dari sebuah bangunan (rangka kuda-kuda, atap dan 137
langit-langit). Beban vertikal harus merata, sehingga diperlukan alat berupa kumpulan rol sepanjang 40 cm yang bergerak. Berdasarkan ISO 22452, nilai estimasi beban maksimal (F max,est ) diperoleh berdasarkan pengalaman (experience), perhitungan (calculation) dan uji pendahuluan (preliminary test) serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Penentuan F max,est dan indeks penambahan beban sebagai perlakuan tergantung kepada desain material shearwall (with or with out opening), material shearwall (frame dan sheathingnya) dan ukuran dimensi shearwall. Dalam penelitian digunakan nilai estimasi beban maksimal (F max,
est )
dari
contoh uji pertama berupa panel shearwall horisontal yang juga berfungsi sebagai kontrol. Pertimbangan memilih contoh uji kontrol untuk mendapatkan nilai F max, est adalah bahwa tiap contoh uji nilainya akan berbeda-beda tergantung dari desain shearwall yang dibuat sebagai perlakuan dan contoh uji tersebut merupakan gabungan dari 2 desain. Sementara jika berdasarkan desain dari penelitian sebelumnya hanya terdiri dari satu panel dinding. Berdasarkan preliminary test pada contoh uji pertama sebagai kontrol diperoleh beban maksimum (F max ) sebesar 216 kg. F max ini digunakan untuk semua benda uji karena merupakan F max, est terkecil sehingga dianggap yang paling konservatif untuk mendapatkan semua nilai kekakuan dan kekuatan panel shearwall tersebut. Nilai rigidity adalah nilai pada kurva yang masih linier. Sedangkan pendekatan kekuatan suatu struktur berdasarkan kekuatan yang non linier hingga beban maksimum yang dapat dipikulnya. Pada penelitian ini dicari nilai rigidity sampai pada beban 0,4 F
max,est .
Disarankan nilai rigidity dicari berdasarkan kurva linier yang
dihasilkan antara nilai beban (F) dan displacement (Δ) berdasarkan data yang dihasilkan (catatan : selama kurva linier sampai batas terentu bernilai agak kasar, karena contoh ujinya bervariasi). Nilai rigidity sebesar 0,4 Fmax,est pada contoh uji kontrol dicari dengan membaca dari data logger, yaitu nilai Δ pada F sebesar 0,1 Fmax
est
sampai dengan 0,4
F max est pada data contoh uji kontrol. Prosedur uji racking dapat didekati dengan 2 metode, yaitu penambahan beban terhadap waktu dan penambahan deformasi terhadap waktu. Dalam penelitian ini uji racking yang dilakukan berupa penambahan beban horisontal secara bertahap sebesar 0,1 Fmax, est terhadap waktu, yang dibagi 3 langkah, yaitu :
138
1.
Siklus beban stabil (stabilizing load cycle) berupa penambahan beban seberat 0,1 F max,est yang berfungsi sebagai stabilisasi contoh uji sebelum dilakukan pembebanan yang sesungguhnya dan berfungsi sebagai kalibrasi alat uji.
2.
Siklus beban kekakuan (stiffness load cycle) berupa penambahan beban seberat 0,4 Fmax,est yang dilakukan secara bertahap berupa beban 0,1 F
max, est .
Tahapan ini
dilakukan untuk mendapatkan nilai kekakuan benda uji. 3.
Uji kekuatan (strength test) berupa penambahan beban sebesar 0,1 F max , est secara bertahap sampai tercapai F max dari benda uji tersebut dan kemudian menurun sampai kurang dari 70 % Fmax nya. F max dapat dicapai pada saat komponen panel shearwall mengalami kerusakan
(collapses)
atau
komponen
panel
shearwall
telah
mengalami
pergeseran
(displacement/deformation) sejauh 100 mm dari posisi semula. Penentuannya tergantung mana dahulu yang tercapai. Nilai kekakuan dan kekuatan yang diperoleh bersifat relatif. Jadi nilainya adalah nilai relatif benda uji dibanding komponen standar/kontrol yang berupa dinding panel horisontal. 3.
Hasil Pengujian Ketahanan Gempa pada Komponen Shearwall
a.
Perilaku Kekakuan dan Kekuatan Shearwall
Hasil uji kekakuan dan kekuatan shearwall sebagaimana Tabel 24 dan Gambar 40. Tabel 24. Perhitungan kekakuan dan kekuatan pada beberapa tipe komponen shearwall Tipe racking racking Kekakuan Kekuatan δy δm µ shear stiffness (R k ) strength relatif relatif (mm) (mm) wall (kg/mm) (kg) A 41 216 1,00 1,00 106,58 107,58 1,01 B 225 486 5,48 2,29 24,19 58,19 2,41 C 271 505 6,60 2,34 32,99 36,19 1,10 D 140 356 3,41 1,67 75,99 102,28 1,35 E1 260 472 6,34 2,12 94,99 95,79 1,01 E2 11 450 0,26 2,08 90,19 125,18 1,39 Keterangan : δy = simpangan struktur gedung pada saat terjadinya keruntuhan pertama di dalam struktur gedung (mm) δm = simpangan maksimum struktur gedung pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan (mm) µ = faktor daktilitas
139
Gambar 40. Grafik perbandingan respon beban – deformasi komponen shearwall Kekakuan racking (racking stiffness), kekuatan racking (racking strength), displacement/deformation, perbandingan kekuatan dan kekakuan relatif berbagai desain konstruksi shearwall diagonal sheathing terhadap horizontal sheathing pada desain stress skin component dan daktilitas shearwall dapat dilihat pada Tabel 24. Kekakuan racking (racking stiffness) panel (R k ) dihitung dengan rumus (31), kekuatan racking (racking strength) berupa nilai maksimum beban racking (F
max ),
dan daktilitas
shearwall berupa nilai faktor daktilitasnya (μ), dengan rumus (32). Seperti ditunjukkan pada Tabel 24, kekakuan shearwall berkisar antara 11 kg/mm sampai dengan 271 kg/mm, dimana shearwall C mempunyai kekakuan tertinggi dan shearwall E2 mempunyai kekakuan terendah. Rasio kekakuan relatif shearwall C sebesar 6,60 kali dibanding shearwall A sebagai kontrol dan kekakuan relatif shearwall E2 hanya 0,26 kekakuan shearwall A. Kekakuan relatif yang lebih rendah pada komponen shearwall E2 diduga akibat contoh uji komponen shearwall ini sudah diuji untuk yang kedua kalinya. Sehingga panel komponen shearwall ini sudah mengalami deformasi pada pengujian sebelumnya walau kekuatannya masih lebih tinggi dibanding komponen shearwall A sebagai kontrol. Informasi ini berguna untuk mengetahui kekuatan konstruksi bangunan terhadap gempa susulan yang biasa terjadi setelah gempa pertama yang relatif paling besar kekuatannya. Berdasarkan Tabel 24 dan Gambar 40, kekuatan shearwall berkisar antara 216 kg sampai dengan 505 kg, dimana shearwall C mempunyai kekuatan tertinggi dan
140
shearwall A mempunyai kekuatan terendah. Rasio kekuatan relatif shearwall C sebesar 2,34 kali dibanding shearwall A yang mempunyai kekuatan terendah. Kekakuan dan kekuatan relatif komponen shearwall dengan pola papan diagonal (diagonal sheathing) lebih kaku dan lebih kuat dibanding komponen shearwall dengan pola papan mendatar (horizontal sheathing) sebagai kontrol. Hal ini karena desain konstruksi dinding shearwall diagonal sheathing pada desain stress skin component menahan beban horisontal lebih kuat dan kaku oleh karena mempunyai sifat triangulasi seperti halnya sifat rangka batang (truss) dibanding desain horizontal sheathing. Lumber sheathing secara ekstensif digunakan untuk wood frame shearwalls. Lumber sheathing yang dibuat secara horisontal (straight sheathing), kekakuan dan kekuatannya relatif lebih lemah dan fleksibel. Sedangkan sebagai perlakuan dengan menggunakan tipe diagonal sheathing, kekakuan dan kekuatannya lebih kuat dan kaku oleh karena mempunyai sifat triangulasi seperti halnya sifat rangka batang (truss). Komponen shearwall dengan pola papan diagonal utuh dan berjendela (C) lebih kuat dibanding komponen shearwall utuh dengan pola papan diagonal (B) sebelumnya. Hal ini karena pada posisi jendela, pemakuan jaraknya lebih pendek dan bukan saja dari ujung ke ujung, tetapi juga dari ujung sisi ke bagian tengah rangka jendelanya. Komponen shearwall C ini mempunyai kekuatan yang lebih besar, karena lebih dekat jarak pemakuannya sehingga lebih kaku (lebih berfungsi sebagai pengaku/bracing dibanding sebagai penutup/sheathing). Kekakuan dan kekuatan relatif yang tinggi pada komponen shearwall berjendela dan berpintu (E) juga diduga akibat semakin rapatnya jarak pemakuan antar papan, baik pada rangka sisi maupun rangka tengah. Sehingga panel komponen shearwall ini selain berfungsi untuk sheathing, lebih berfungsi sebagai pengaku (brace) walau sheathingnya lebih terbuka akibat adanya pintu dan jendela. Agar komponen shearwall lebih kuat dan mendapatkan nilai kekakuan dan kekuatan yang konsisten pada setiap bentuk shearwall yang utuh dan bukaan (berjendela dan berpintu), maka pada saat pemasangan papan perlu penguatan pemakuan pada setiap rangka horisontal yang berada ditengah-tengah rangka sesuai dengan gambar desain sebelumnya (Wijaya, 2007). Sehingga panel komponen shearwall ini berfungsi untuk sheathing dan pengaku (brace).
141
b. Kegagalan Konstruksi Berdasarkan pengujian, terlihat yang mana terlebih dahulu mencapai kekuatan maksimumnya (beban/deformasi) untuk mengetahui jenis kegagalan konstruksinya. Kegagalan konstruksi terdiri dari kegagalan struktur dimana komponen shearwall mengalami keruntuhan/kerusakan sebelum deformasinya mencapai 100 mm dan kegagalan servis kemampuan layan (serviceability failure) dimana bahan belum mengalami deformasi keruntuhan walau deformasinya sudah mencapai 100 mm. Berdasarkan pada Tabel 24 dan Gambar 40 contoh uji komponen shearwall B (δy = 24,19 mm ; δm = 58,19 mm) dan komponen shearwall C (δy = 32,99 mm ; δm = 36,19 mm) mengalami keruntuhan/kerusakan sebelum deformasinya mencapai 100 mm. Sehingga 2 contoh uji komponen shearwall ini mengalami kegagalan konstruksi berupa kegagalan struktur yang ditunjukkan adanya penurunan menahan beban secara drastis, setelah mencapai beban puncak kekuatannya (F max ). Kegagalan konstruksi berupa kegagalan servis kemampuan layan (serviceability failure) terjadi pada 3 komponen lainnya, yaitu komponen shearwall A sebagai kontrol, komponen shearwall D, dan komponen shearwall E (E1;E2). Kegagalan servis kemampuan layan (serviceability failure) terjadi karena shearwall mempunyai sifat sangat daktail, dimana komponen belum mengalami deformasi/keruntuhan walau deformasinya sudah mencapai 100 mm (δy; δm = 100 mm). Sehingga kegagalan struktur tidak tampak, yang terjadi adalah struktur mengalami displacement horisontal yang sangat besar yang mencapai 100 mm, seperti yang dipersyaratkan pada ISO 22452. c. Daktilitas Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur rumah untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya keruntuhan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur rumah tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi diambang keruntuhan. Pengukuran daktilitas shearwall dengan mengukur faktor daktilitasnya (μ) yang menunjukkan bagaimana kegagalan sistem struktur (rapuh atau daktil) terjadi dan menjadi parameter untuk perbandingan antara pengukuran hasil uji dengan nilai desainnya. Tabel 24 menunjukkan faktor daktilitas setiap bentuk shearwall berdasarkan rumus (29). Faktor daktilitas shearwall terendah bernilai 1,01 pada shearwall A dan tertinggi bernilai 2,41 pada shearwall B. 142
Faktor daktilitas struktur rumah (μ) adalah rasio antara simpangan maksimum struktur rumah akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan (δm) dan simpangan struktur rumah pada saat terjadinya keruntuhan pertama (δy), yaitu : 1,0 ≤ µ
. Jika faktor daktilitas struktur rumah bernilai
μ = 1,0 maka struktur rumah tersebut berperilaku elastik penuh. Pada struktur yang elastik penuh, kondisi struktur rumah diambang keruntuhan tercapai bersamaan dengan keruntuhan pertama di dalam struktur (δm = δy). Sedangkan jika seluruh tingkat daktilitas struktur rumah dengan nilai faktor daktilitas di antara untuk struktur rumah yang elastik penuh sebesar 1,0 dan untuk struktur rumah yang daktail penuh sebesar 5,3 maka struktur rumah tersebut berperilaku daktail parsial. Dan jika tingkat daktilitas struktur rumah, di mana strukturnya mampu mengalami simpangan pascaelastik pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan yang paling besar, yaitu dengan mencapai nilai faktor daktilitas sebesar 5,3 maka struktur rumah tersebut berperilaku daktail penuh. Berdasarkan Tabel 24, semua tipe shearwall yaitu A, B, C, D dan E1 serta E2 berperilaku daktail parsial. Tipe shearwall yang berperilaku mendekati elastik penuh adalah tipe A dan E1. Sedangkan pada pengujian ini tidak terjadi daktail penuh karena tidak ada yang bernilai µ sampai 5,3 dan tidak semua jenis sistem struktur rumah mampu berperilaku daktail penuh. Perilaku daktil parsial sudah memenuhi 1,0 < μ < μm, sehingga dalam perencanaan struktur rumah oleh perencana dapat memilih nilai μ sendiri sesuai yang dikehendaki. d. Deformasi/kerusakan Kerusakan yang terjadi pada komponen shearwall utuh dengan pola mendatar berupa pergeseran antar papan akibat gaya lateral yang diterapkan dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint). Sedangkan kerusakan yang terjadi pada komponen shearwall dengan pola diagonal berupa terbentuknya celah (gap) diantara susunan panel papan-papan diagonal pada bagian bawah akibat pembebanan gaya lateral dan rusaknya struktur akibat patah dan terlepasnya rangka shearwall pada penguat/pengaku (brace) dan titik-titik sambungan (joint). Oleh karena kerusakan terbesar terjadi pada sudut-sudut sambungan, maka pada titik-itik sambungan tersebut diberi pengaku/penguat berupa alat sambung berbentuk segitiga (triangle geometry) atau berbentuk menyiku (rigid joints) berbahan kayu atau baja.
143
Gambar 41. Pergeseran antar papan tounge and groove pada shearwalls tipe horisontal (straight sheathing) akibat gaya lateral
Gambar 42. Terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint)
Gambar 43. Kerusakan struktur akibat patah dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint). 144
Gambar 44. Terbentuknya celah (gap) diantara susunan panel papan-papan diagonal pada bagian bawah akibat pembebanan gaya lateral. e. Nilai Kekakuan (MOE) dan Kekuatan (MOR) Komponen Shearwall sebagai Balok Kantilever Jika sebuah benda uji seperti pengujian komponen shearwall yang mendapat beban pada salah satu sisi saja berupa uji monotonik lateral dan shearwall tersebut tidak dapat berputar pada titik itu (jepit) maka shearwall tersebut disebut balok kantilever. Pada sisi sebelah kiri mendapatkan tekanan berupa beban yang biasanya disebut tekanan/kekangan (restrained) dan sebelah kanan bebas untuk terjadinya defleksi. Oleh karena itu shearwall ini disebut komponen shearwall kayu bertulang kantilever. Ditetapkan pengertian shearwall untuk mengingatkan para perencana, bahwa shearwall dapat dibuat lebih daktail dengan merangkaikannya dengan shearwall lainnya melalui rangka-rangka balok sebagai sarana untuk terjadinya plastifikasi. Shearwall kayu bertulang kantilever adalah suatu subsistem struktur rumah yang fungsi utamanya adalah untuk memikul beban geser akibat pengaruh Gempa Rencana, yang runtuhnya disebabkan oleh momen lentur (bukan oleh gaya geser) dengan terjadinya sendi plastis pada kakinya, di mana nilai momen runtuhnya dapat mengalami peningkatan terbatas akibat pengerasan regangan. Rasio antara tinggi dan lebar shearwall tidak boleh kurang dari 2 dan lebar tersebut tidak boleh kurang dari 1,5 m. Oleh karenanya pembuatan contoh uji ini dengan menyatukan 2 shearwall guna memenuhi syarat tersebut. Ukuran shearwall rumah prefab yang dibuat adalah (8,6 x 120 x 240) cm. Dan setelah disatukan pemasangannya menjadi ukuran (8,6 x 240 x 240) cm. Hasil perhitungan kekakuan (MOE) dan kekuatan (MOR) beberapa tipe komponen shearwall sebagaimana Tabel 25 berikut.
145
Tabel 25. Perhitungan kekakuan (MOE) dan kekuatan (MOR) beberapa tipe komponen panel shearwall
240
Kurva beban (y) - deformasi (x) dibawah batas proporsi y = 1,42x + 91,45
7
240
5
7
356
5
E1
472
E2
450
No uji
Fmax (kg)
h (cm)
b (cm)
L (cm)
MOE (kg/cm2)
MOR (kg/cm2)
A
216
5
7
0,96
11.217
222
B
486
5
y=39,94x+81,15
0,99
315.503
500
C
505
240
y=26,78x+140,6
0,99
211.547
519
D
7
240
y=18,48x+74,10
0,99
145.981
366
5
7
240
y=5,022x+95
0,98
39.671
485
5
7
240
y=4,914x+23,47
0,99
38.818
463
R2
Berdasarkan Tabel 25 di atas, kekakuan (MOE) pada beberapa tipe komponen panel shearwall dari kayu Mangium berkisar pada selang yang sangat lebar yaitu antara 11.217 kg/cm2 sampai 315.503 kg/cm2 dengan rata-rata 127.123 kg/cm2. Kekakuan (MOE) pada tipe komponen panel shearwall dari kayu Mangium tertinggi dapat mencapai 28 kali kekakuan (MOE) tipe komponen panel shearwall terlentur. Sedangkan kekuatan (MOR) pada tipe komponen panel shearwall dari kayu Mangium berkisar antara 222 kg/cm2 sampai 519 kg/cm2 dengan rata-rata 426 kg/cm2 bisa mencapai 2 sampai 3 kali lebih kuat dari tipe komponen panel shearwall terlemah. Kurva beban (y) - deformasi (x) dibawah batas proporsi tersebut merupakan cara untuk menghitung nilai MOE shearwall sebagai balok kantilever. Dalam menghitung nilai MOE dan MOR, nilai momen inersia (I) dengan asumsi hanya rangka batang horisontal yang bekerja menahan momen. Pada shearwall tipe straight sheathing (A) terlihat bahwa batang bracing vertikal berupa stress skin component tipe horizontal/straight sheathing tidak efektif menahan momen, sehingga nilai MOE dan MOR struktur shearwall tersebut masih sesuai dengan bahan baku kayu. Sedangkan pada shearwall tipe diagonal sheathing (B, C, D, E1, E2) terjadi peningkatan nilai MOE dan MOR yang lebih besar karena fungsi bracing diagonal berupa stress skin component tipe diagonal sheathing membuat struktur menjadi lebih kaku. Kekakuan dan kekuatan struktur tersebut lebih disebabkan oleh bentuk geometri penampang bracing, walaupun juga dipengaruhi oleh bahan/material dan jenis tumpuannya.
146
f. Analisis Perilaku Komponen Shearwall Kayu Mangium Akibat Pengaruh Beban Gempa 1) Perhitungan Gaya Gempa Untuk perhitungan gaya gempa berdasarkan bangunan rumah sederhana sehat yaitu setara dengan tipe 36 dengan ukuran tinggi dinding 240 cm dan lebar antara 120 cm sesuai dengan hasil Design dan Analisis Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa dari Kayu (Wijaya, 2007). Perhitungan gaya gempa berdasarkan SNI 1726-2002, bangunan rumah kayu prefabrikasi dikategorikan sebagai bangunan beraturan dengan tinggi dinding 240 cm, dengan peruntukan rumah tinggal dan ditetapkan jenis tanah keras. a)
Berat Bangunan (W t ) Berat bangunan yang diperhitungkan adalah beban mati efektif struktur bangunan yang bekerja saat terjadi gempa yang meliputi atap (seng aluminium ADE HADECK tipe ADH-7000 ketebalan 0,5 mm), langitlangit, dinding ketebalan 18 mm dan lantai ketebalan 18 mm berdasarkan perhitungan analisa desain (Wijaya, 2007) sebagaimana Tabel 26 berikut. Tabel 26. Perhitungan Beban Mati Efektif Bangunan Kayu Prefabrikasi No Komponen W t (kg) 1 Atap 544,10 2 Langit-langit 396,00 3 Dinding 3.823,20 4 Lantai 765,36 Total 5.528,66
b) Koefisien Gempa (C 1 ) Nilai Faktor Respons Gempa Rencana yang didapat dari Spektrum Respons Gempa Rencana, jenis tanah adalah tanah keras untuk semua zona gempa. Berdasarkan SNI 1726-2002, didapatkan koefisien gempa pada Tabel 27 berikut. Tabel 27. Koefisien Gempa dari Spektrum Respon Komponen Koefisien gempa rencana
1
2
0,05
0,15
Zona gempa 3 4 0,23
0,30
5
6
0,35
0,42
Sumber : SNI 1726-2002
147
c)
Faktor Keutamaan (I g ) Struktur Faktor pengali dari pengaruh gempa pada berbagai kategori gedung, untuk menyesuaikan periode ulang gempa yang berkaitan dengan penyesuaian probabilitas dilampauinya pengaruh tersebut selama masa layan. Berdasarkan SNI 1726-2002, untuk kategori rumah/penghunian diperoleh faktor keutamaan (I g ) sebesar =1.
d) Faktor Reduksi Gempa (R d ) Faktor Reduksi Gempa (R d) adalah rasio antara beban gempa maksimum akibat pengaruh gempa rencana pada struktur rumah elastik penuh dan beban gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana pada struktur bangunan rumah daktail. Dimana bergantung pada faktor daktilitas struktur rumah tersebut, untuk mendapatkan nilai faktor reduksi gempa. Berdasarkan diagram tegangan-regangan kayu sebagaimana Tabel 24 dan Gambar 40 maka diasumsikan merupakan kondisi daktail parsial dengan µ terbesar yaitu 2,41 sehingga R d = 3,85. Faktor reduksi gempa (R d ) didapatkan menurut persamaan : 1,6 ≤ R d = μ f1 ≤ Rm, di mana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur rumah dan nilainya ditetapkan sebesar 1,6. Jika R d = 1,6 artinya faktor reduksi gempa untuk struktur rumah berperilaku elastik penuh, sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum
yang
dapat
dikerahkan
oleh
sistem
struktur
yang
bersangkutan. e)
Gaya Geser Horisontal Gempa (V) Gaya Geser Horisontal Gempa (V) dapat diperoleh dengan persamaan (33) dan hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 28. Tabel 28. Nilai Gaya Geser Horisontal Gempa
No 1 2 3 4 5
Komponen Berat Bangunan (W t ) (kg) Koefisien Gempa (C 1 ) Faktor Keutamaan (I g ) Struktur Faktor Reduksi Gempa (Rd ) Gaya Geser Horisontal Gempa (V) (kg)
Kecil
Zona Gempa Sedang 3 4 5.529 5.529 0,23 0,30
Besar 5 6 5.529 5.529 0,35 0,42
1 5.529 0,05
2 5.529 0,15
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
3,85
3,85
3,85
3,85
3,85
3,85
71,80
215,40
330,28
430,80
502,61
603,13
148
Karakteristik bangunan yang dianalisa dengan asumsi jenis bangunan rumah tipe 36, berlantai satu dengan tinggi 240 m yang berdiri di atas tanah keras. 2) Pembagian Jenis Desain Komponen Shearwall Berdasarkan Zona Gempa Berdasarkan perhitungan gaya gempa desain rumah prefabrikasi dari kayu Mangium pada 6 zona gempa, didapatkan gaya geser total akibat gempa. Data tersebut menjadi dasar pengelompokkan panel komponen shearwall dalam menerima gaya lateral seperti Tabel 29. Tabel 29. Unjuk kerja (performance) komponen shearwall berdasarkan zona gempa No
Tipe panel shearwall
1 2 3
Horisontal utuh (A) Diagonal utuh (B) Diagonal utuh berjendela (C) Diagonal utuh berpintu (D) Diagonal berjendela dan berpintu dengan beban aksial (E1) Diagonal berjendela dan berpintu tanpa beban aksial (E2)
4 5
6
beban – deformasi shearwall Pmax (kg) Deformasi (mm) 216 106,58 486 24,19
Zona gempa 2 4
kecil sedang
505
32,99
5
besar
356
75,99
3
sedang
472
94,99
4
sedang
450
90,19
4
sedang
Gempa kecil terjadi pada kegempaan kurang dari 3 Skala Richter (SR), gempa sedang berkisar antara 3 sampai 5 SR dan gempa besar terjadi pada kegempaan lebih dari 5 SR. Berdasarkan hasil perhitungan gaya gempa
(SNI 1726-2002),
disimpulkan : a) Desain tipe A komponen panel shearwall dari kayu Mangium sesuai untuk diaplikasikan pada zona gempa kecil (2), tipe B, D, E1 dan E2 sesuai pada zona gempa sedang (3,4) dan tipe C sesuai pada zona gempa besar (5). b) Kekuatan desain komponen papan horisontal lebih rendah dibanding desain papan diagonal. 3) Perbandingan Hasil Pengujian Komponen Shearwall Perhitungan Beban Gempa Hasil Analisis Struktur Desain.
dengan
Hasil pengujian komponen shearwall berupa nilai gaya geser horisontal gempa kayu Mangium umur 8 tahun. Nilai pengujian ini 149
dibandingkan dengan perhitungan beban gempa hasil analisis struktur desain pada penelitian Design dan Analisis Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa dari Kayu hasil penelitian sebelumnya (Wijaya, 2007). Nilai gaya geser horisontal gempa atau beban geser dasar statik ekuivalen (V), berkaitan dengan beban gempa statik ekuivalen. Beban geser dasar statik ekuivalen ini dapat dinyatakan dalam respons dinamik sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) yang berkaitan dengan ragam fundamentalnya saja, sehingga dapat ditentukan dengan perantaraan Spektrum Respons Gempa Rencana C-T, seperti dinyatakan oleh pers.(26) pada SNI 1726-2002. Di dalam persamaan ini faktor I g adalah untuk memperhitungkan kategori gedung/rumah yang dihadapi, sedangkan R d adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut menjadi beban gempa nominal sesuai dengan faktor daktilitas yang dipilih untuk struktur gedung tersebut. Respons dinamik masing-masing ragam ini berbentuk respons dinamik suatu sistem SDK, di mana ragam yang semakin tinggi memberikan sumbangan respons dinamik yang semakin kecil dalam menghasilkan respons dinamik total. Pada struktur gedung beraturan, berperilaku sebagai struktur 2D, respons dinamik ragam fundamentalnya sangat dominan, sehingga respons dinamik ragam-ragam lainnya dianggap dapat diabaikan. Kemudian, berhubung struktur gedung tidak seberapa tinggi (kurang dari 10 tingkat atau 40 m), bentuk ragam fundamental dapat dianggap mengikuti garis lurus (tidak lagi garis lengkung). Dengan dua anggapan penyederhanaan tadi, dari penjabaran lebih lanjut dalam Analisis Ragam, respons dinamik struktur gedung beraturan dapat ditampilkan seolah-olah sebagai akibat dari suatu beban gempa statik ekuivalen. Berdasarkan Tabel 28 di atas, nilai gaya geser horisontal gempa berkisar antara 71,80 kg sampai 603,13 kg. Berdasarkan perhitungan gaya gempa desain rumah prefabrikasi dari kayu Mangium pada 6 zona gempa, didapatkan gaya geser total akibat gempa. Data tersebut menjadi dasar pengelompokan panel komponen shearwall dalam menerima gaya lateral seperti Tabel 29. Hasilnya desain beberapa tipe komponen panel shearwall dari kayu Mangium sesuai untuk diaplikasikan pada zona gempa 2 (kecil), 3, 4 (sedang) dan 5 (besar). Perhitungan gempa pada penelitian Design dan Analisis Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa dari Kayu hasil penelitian sebelumnya (Wijaya, 150
2007) menggunakan peraturan UBC yang berbeda dengan peraturan gempa yang ada di Indonesia. Karakteristik bangunan yang dianalisa dengan asumsi berupa jenis bangunan rumah kayu tipe 36 (C t = 0,02), berlantai satu dengan tinggi bangunan 2,4 m yang berdiri di atas tanah keras (S D = stiff soil profile) tanpa studi geoteknik. Desain rumah prefabrikasi ini berlaku pada Zona gempa 4 (sedang), namun berdasarkan SNI 1726-2002 termasuk zona gempa 6 (berat) dengan faktor keutamaan I g = 1,0 untuk tipe bangunan sekolah dan nilai R d = 4,5 karena termasuk Light frame shear panels kategori light other than plywood sheathing. Dari parameter – parameter di atas, maka gaya gempa (F px ) hasil perhitungan sebesar 17,55 kg/m. Berdasarkan perbandingan hasil pengujian komponen shearwall dengan perhitungan beban gempa hasil analisis struktur desain dapat disimpulkan bahwa beban gempa tidak terlalu mempengaruhi rumah kayu tersebut dan rumah dari bahan kayu dapat dibuat menjadi rumah kayu tahan gempa. G. Simpulan 1. Kekakuan dan kekuatan lumber sheathing tipe straight sheathing relatif lebih lemah tetapi mudah dibuat dibanding tipe diagonal sheathing. Shearwall tipe diagonal sheathing lebih kuat dan kaku karena mempunyai sifat triangulasi seperti sifat rangka batang (truss) dan lebih dapat menahan beban lateral. 2. Komponen shearwall tipe B dan C mengalami kegagalan struktur, sedangkan komponen shearwall tipe A, D, E1 dan E2 mengalami kegagalan servis kemampuan layan (serviceability failure). 3. Pada shearwall tipe diagonal sheathing terjadi peningkatan nilai MOE dan MOR yang lebih besar karena fungsi bracing diagonal berupa stress skin component tipe diagonal sheathing membuat struktur menjadi lebih kaku, sedangkan pada shearwall tipe straight sheathing tidak efektif menahan momen. 4. Desain shearwall tipe straight sheathing dari kayu Mangium sesuai untuk diaplikasikan pada zona gempa kecil, sedangkan desain shearwall tipe diagonal sheathing sesuai pada zona gempa kecil, sedang dan besar. 5. Berdasarkan perbandingan hasil pengujian komponen shearwall dengan perhitungan beban gempa hasil analisis struktur desain, beban gempa tidak terlalu
151
mempengaruhi rumah kayu dan rumah dari bahan kayu dapat dibuat menjadi rumah tahan gempa.
152
VI. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI A. Pembahasan Umum Kayu konstruksi sebagai bahan struktural membutuhkan kekuatan yang tinggi. Struktur bangunan kayu memiliki stabilitas dan integritas yang tinggi. Sebab kayu memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dibanding beratnya, sehingga bangunan kayu umumnya lebih ringan. Sambungan-sambungan komponen bangunan kayu bersifat daktil dan tidak mudah lepas. Saat terjadi kerusakan pada salah satu komponen bangunan, kayu akan mengambil posisi keseimbangan baru. Sehingga bangunan kayu lebih tahan terhadap gempa (Karlinasari dan Nugroho 2006). Kayu banyak digunakan sebagai material bangunan karena sifat fleksibilitasnya sebagai bahan untuk konstruksi, kekuatannya cukup tinggi, ringan, mudah didapat, mudah dikerjakan, dapat diperbaharui dan berkelanjutan (ramah lingkungan). Paradigma penggunaan sumber daya kayu mulai berubah, dari hutan alam ke hutan tanaman. Hutan tanaman memiliki potensi yang menjanjikan sebagai pemasok kayu konstruksi karena rotasinya lebih pendek dengan sifat kayu yang cukup baik. Contoh jenis kayu cepat tumbuh dengan kekuatan yang cukup baik adalah kayu Mangium (Acacia mangium Willd). Kayu Mangium dapat digunakan untuk bahan baku pulp dan kertas, kayu energi dan kayu pertukangan, apalagi diketahui bahwa teksturnya memiliki kemiripan dengan jati sehingga sering dikatakan sebagai “jati mangium”. Sebagai salah satu pohon cepat tumbuh unggulan dari hutan tanaman, kayu Mangium memiliki prospek yang potensial berdasarkan sifat – sifat dasar kayunya dimana kekuatan kayu dapat diperhitungkan sebagai kayu konstruksi struktural melalui penerapan sistem masinal. Pada masa yang akan datang dengan perbaikan sifat yang dilakukan, termasuk perbaikan teknik silvikultur, diharapkan terjadi peningkatan sifat mekanis kayunya. Kebutuhan rumah yang mendesak dan kurangnya pasokan kayu dari hutan alam, perlu strategi pembangunan berupa rumah prefabrikasi dari kayu karena kecepatan pembangunan, harga terjangkau dan adanya pasokan kayu alternatif dari hutan tanaman baik hutan rakyat maupun HTI seperti kayu Mangium. Pembangunan rumah masal prefabrikasi juga berfungsi untuk penanggulangan pasca bencana berupa rumah, sekolah dan fasilitas umum lainnya dengan membuat depo-depo rumah prefabrikasi di daerah rawan bencana yang dapat dibuat secara cepat dalam kondisi darurat dan dapat
153
dipindahkan setelah tahap relokasi pasca bencana. Dalam penelitian ini dilakukan optimasi pemanfaatan dan pembuatan rancangan komponen struktur rumah prefabrikasi dari kayu Mangium umur 8 tahun untuk memenuhi kebutuhan rumah yang ramah lingkungan dan tahan gempa. Kayu sebagai bahan bangunan yang ramah lingkungan (green building) termasuk dalam kategori konstruksi bangunan yang berkelanjutan (sustainable construction) karena bahannya bersifat renewable dan dapat diproduksi secara berkelanjutan. Beberapa prinsip sustainable construction dapat dipenuhi oleh bahan dari kayu, antara lain : 1. Reduse resources comsumption (Reduce), dapat mengurangi konsumsi sumberdaya dan energi dalam pemanfaatannya, 2. Reuse resources (Reuse), sumberdaya kayu dapat digunakan berulang kali. 3. Use recyclable resources (Recycle), sumberdaya kayu dapat di daur ulang/diolah kembali. 4. Protect nature (Nature), pengembangan sumberdaya pohon/kayu dapat melindungi keseimbangan alam, 5. Eliminate toxics (Toxic), pengembangan sumberdaya pohon/kayu dapat mengurangi racun dan polusi. 6. Apply life-cycle costing (Economic),
penggunaan
sumberdaya
pohon/kayu
lebih
ekonomis
dibanding
menggunakan bahan lainnya dan 7. Focus on quality (Quality), pengawasan terhadap kualitas bahan dan bangunan dapat dilakukan lebih teliti (Kibert, 2007). Tiga hal dilakukan yaitu penentuan tegangan ijin dan pengkelasan mutu kayu Mangium umur 8 tahun untuk bahan konstruksi, merancang komponen shearwall untuk rumah prefab dengan konstruksi modular berupa optimalisasi pengolahan bahan dan uji komponen untuk kekuatan konstruksi dan ketahanan gempa sehingga bisa diproduksi secara masal. Kendala keterbatasan kayu Mangium sebagai bahan konstruksi bangunan dapat diatasi dengan penerapan rekayasa pengolahan bahan dan rekayasa struktur dengan analisa konstruksi guna meningkatkan sifat dan kualitas kayu sesuai persyaratan teknis bangunan, meningkatkan rendemen (efisiensi) dan optimalisasi bahan baku kayu. Penelitian ini meliputi studi numerik, empirik dan analitik yang saling berkaitan dengan tujuan akhir memberikan rekomendasi penggunaan kayu Mangium umur 8 tahun sebagai bahan struktur bangunan rumah kayu prefabrikasi yang kokoh dan ramah lingkungan. Studi numerik meneliti tentang karakteristik, tegangan ijin dan pengkelasan mutu kayu Mangium untuk bahan konstruksi rumah prefab sederhana sehat. Studi empirik dengan melakukan pengujian sifat dasar untuk menentukan karakteristik kayu Mangium, optimasi penggerjian dan pengolahan kayu Mangium dan pengujian eksperimental keandalan panel komponen shearwall kayu Mangium terhadap beban lateral monotonik.
154
Dalam studi analitik telah dianalisis perilaku panel komponen shearwall kayu Mangium akibat pengaruh beban lateral monotonik pada rumah prefabrikasi berdasarkan kajian eksperimental keandalan dinding rangka - papan diagonal kayu Mangium. Analisis ini untuk mengetahui pengaruh tipe lumber sheathing pada bentuk konstruksi stress skin component yang digunakan secara ekstensif untuk wood frame shearwalls terhadap kekuatan shearwall dan pengaruhnya terhadap ketahanan gempa dan mengetahui tipe lumber sheathing yang paling berpengaruh terhadap kekuatan shearwall. Lumber sheathing dibuat secara horisontal (straight sheathing) sebagai kontrol dan secara diagonal (diagonal sheathing) sebagai perlakuan dengan desain tertutup (utuh) dan terbuka (pintu dan jendela). Berdasarkan penelitian tentang karakteristik, tegangan ijin dan pengkelasan mutu kayu Mangium sebagai bahan kayu struktural rumah prefabrikasi, nilai sifat fisis berupa kadar air (KA) berkisar antara 11,82 % sampai 14,38 % dengan nilai rata-rata 13,01 % dan berat jenis (BJ) berkisar antara 0,49 sampai 0,67 dengan nilai rata-rata 0,58. Hasil pengujian KA dan BJ pada kayu Mangium pada umur 8 tahun ini secara deskriptif tidak berbeda nyata dengan hasil pengujian BJ dan KA pada kayu Mangium umur yang sama dengan BJ 0,53 pada KA 15,0 % (Sulistyawati, 2009) dan umur 10 tahun dengan BJ 0,57 pada KA 14,48 % (Ginoga, 1997). Namun berbeda dengan kayu Mangium dari Indramayu pada umur yang sama yaitu BJ 0,47 pada KA 16,5 % (Firmanti et al. 2003). Perbedaan nilai BJ di atas disebabkan 2 kemungkinan, yaitu perbedaan KA dan tempat tumbuh asal kayu Mangium tersebut. Pada kayu Mangium umur 8 tahun, BJ diukur pada KA yang relatif rendah yaitu sekitar 13,01 %, sedangkan pada kayu umur yang sama dari Indramayu pada KA yang lebih tinggi yaitu 16,5 % dan pada umur 10 tahun diukur pada KA antara 14 % sampai 18 %. Perbedaan KA kayu Mangium ini kemungkinan mempengaruhi kekuatan kayu sehingga berpengaruh terhadap nilai berat jenisnya, dimana kekuatan umumnya meningkat seiring berkurangnya KA di bawah titik jenuh serat (Haygreen dan Bowyer, 1982). Pada umur pohon yang lebih tua akan dibentuk kayu yang lebih berat daripada umur yang lebih muda. Jika dilihat hasil perbandingan nilai berat jenis di atas, ternyata umur kayu Mangium 8 tahun lebih tinggi dibanding umur 10 tahun. Hal ini karena adanya variasi antar pohon dalam spesies yang sama akibat perbedaan kondisi dan lingkungan tempat tumbuh serta faktor keturunan (genetik). Kayu Mangium pada penelitian ini berasal dari Pulau Laut, Kalimantan Selatan sedangkan kayu Mangium pembanding
155
berasal dari Bogor (Sulistyawati, 2009) dan Indramayu (Firmanti et al., 2003) Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Variasi nilai berat jenis kayu dapat terjadi dalam satu pohon maupun antar pohon pada spesies yang sama (Tsoumis, 1991). Variasi dalam satu pohon dapat terjadi pada arah vertikal (pangkal, tengah, ujung) maupun horisontal (dekat empulur, teras dan gubal); sedangkan variasi antar pohon dalam spesies yang sama disebabkan oleh perbedaan kondisi dan lingkungan tempat tumbuh serta faktor keturunan (genetik). Sifat mekanis dari data CKBC berupa kekakuan lentur (MOEs) berkisar antara 72.026 kg/cm2 sampai 168.340 kg/cm2 dengan rata-rata 126.960 kg/cm2. Kekakuan lentur kayu tertinggi mencapai 2 sampai 3 kali kekakuan lentur kayu terlentur. Keteguhan lentur patah (MOR) kayu Mangium berkisar antara 385 kg/cm2 sampai 1.402 kg/cm2 dengan rata-rata 1.000 kg/cm2. Sehingga kekuatannya bisa mencapai 3 sampai 4 kali lebih kuat dari kayu terlemah. Nilai kekakuan lentur (MOE) kayu Mangium berdasarkan data FSNDT hasil pengujian statis pada umur 8 tahun berkisar pada selang yang agak lebar yaitu antara 79.003 kg/cm2 sampai 163.645 kg/cm2 dengan rata-rata 117.298 kg/cm2. Kekakuan lentur kayu tertinggi dapat mencapai 2 kali kekakuan lentur kayu terlentur. Menurut PKKI yang mendasarkan penentuan kekuatan dari berat jenis, keteguhan lentur statis dan keteguhan tekan sejajar serat, kayu Mangium umur 8 tahun ini termasuk kelas kuat II – III sesuai dengan kayu Mangium umur 10 tahun (Ginoga, 1997). Sehingga penelitian sifat dasar kayu ini mampu menurunkan daur teknis untuk kayu konstruksi ringan dari 10 tahun menjadi 8 tahun. Berdasarkan pengkelasan mutu dengan SKI C-bo010:1987 dan RSNI 2002, kayu Mangium pada umur 8 tahun dari HTI PT INHUTANI II ini cukup kaku dan kuat. Berdasarkan sifat mekanis yang dimiliki tersebut kayu Mangium dapat digunakan sebagai komponen kayu yang bersifat struktural (Sulistyawati, 2009), bahan konstruksi, mebel dan barang kerajinan. Papan kayu Mangium umumnya berukuran sempit/tipis serta ukuran yang relatif pendek, maka teknologi papan sambung dan balok lamina menjadi solusi untuk mengatasi masalah tersebut (Rachman dan Balfas, 1993). Pada pengamatan ekor bawah pada semua data baik data primer maupun data sekunder, sebagai bagian paling menentukan kekuatan desain kayu, lebih dekat ke distribusi Weibull daripada distribusi Normal maupun distribusi 3-Parameter Weibull. Oleh sebab itu distribusi Weibull dipilih sebagai distribusi standar bagi kekuatan kayu konstruksi dari kayu Mangium maupun kayu-kayu konstruksi di pasaran kayu Indonesia
156
(Bahtiar, 2000). Hal ini sesuai dengan Amerika Serikat yang juga menetapkan distribusi Weibull sebagai distribusi standar sebagaimana tertuang pada ASTM D 5457-04. Nilai kekakuan (MOE), kekuatan (MOR) dan kekuatan karakteristik kayu Mangium pada data FS mempunyai selang kekakuan dan kekuatan yang lebih lebar dan lebih rendah dibanding data CKBC, karena data FS banyak mengandung cacat-cacat kayu akibat pertumbuhan dan pengolahan kayu, sedangkan data CKBC relatif bebas dari cacatcacat kayu. Untuk keperluan konstruksi, variabel kekuatan karakteristik kayu ini tidak banyak berarti. Pemborosan kayu sebagai bahan bangunan masih tinggi, meskipun telah dipilahpilah kekuatan kayunya, karena setiap kelompok data kayu ini hanya memiliki satu nilai kekuatan karakteristik, padahal rentang kekuatannya masih lebar. Berdasarkan uraian sebelumnya, kekuatan kayu Mangium tertinggi pada data CKBC dapat mencapai 3 sampai 4 kali kekuatan kayu terlemah. Sedangkan kekuatan kayu Mangium pada data FS lebih lebar lagi, yaitu mencapai 8 sampai 9 kali lebih kuat dari kayu terlemah. Penetapan satu nilai kekuatan karakteristik (R 0,05 ) untuk setiap jenis kayu pada format ASD, secara ekonomis maupun sumberdaya sangat merugikan, karena justifikasi kekuatan jauh di bawah kemampuan sebenarnya dari sebagian besar kayu, namun dari segi keamanan struktur menjadi lebih aman. Tindakan ini menyebabkan penggunaan dimensi kayu untuk suatu beban tertentu menjadi lebih besar daripada yang dibutuhkan, sehingga terjadi pemborosan sumberdaya kayu. Oleh karena itu perlu perbaikan pada perhitungan nilai karakteristik (R 0,05 ) untuk setiap jenis kayu dengan format LRFD berdasarkan ASTM D 5457-04 yang memerlukan informasi lebih banyak seperti reference values dan variabilitas dibanding prosedur sebelumnya. Pengguna LRFD hanya memerlukan tipe distribusi dan parameter-parameter yang mencirikan distribusi tersebut. Pada perbaikan prosedur ini, pendugaan distribusi dan parameternya lebih akurat menggunakan sebagian ekor distribusi daripada seluruh distribusi, karena untuk aplikasi gedung hanya ekor bawah distribusi keteguhan dan ekor atas distribusi beban yang mungkin menyebabkan kerusakan. Hal ini sesuai dengan hasil perhitungan sebelumnya pada pengamatan distribusi kekakuan dan kekuatan kayu Mangium, dimana distribusi Weibull dipilih sebagai distribusi standar bagi kekuatan kayu konstruksi dari kayu Mangium maupun kayu-kayu konstruksi di pasaran kayu Indonesia. Berdasarkan nilai tegangan ijin dan nilai reference resistance, nilai data primer lebih besar dibanding nilai data sekunder. Sehingga kayu Mangium dari PT INHUTANI II relatif lebih kuat dibanding kayu Mangium dari data sekunder. Meskipun nilai 157
reference resistance (Rn) data sekunder pada ukuran FS terendah, namun perhitungannya menggunakan prosedur reliability normalization, sehingga dapat menduga keterandalan struktur dengan tepat. Berbeda dengan perhitungan ketahanan referensi (reference resistance) pada data primer dan data sekunder dari data CKBC yang sudah dikonversi ke bentuk FS yang menggunakan prosedur format conversion, sehingga tidak dapat menduga keterandalan struktur dengan tepat. Keterandalan yang tepat menunjukkan kemungkinan kerusakan yang semakin kecil. Berdasarkan pengkelasan mutu dengan standar RSNI 2002, nilai MOE dan MOR data CKBC-DT dan FS-NDT data primer kayu Mangium pada umur 8 tahun dari HTI PT INHUTANI II ini cukup kaku dan kuat dengan nilai kuat acuan E12 – E13. Nilai ini sama dengan hasil pengujian kayu Mangium pada umur yang sama dari Indramayu dengan nilai kuat acuan E12 (Firmanti et al., 2003) dan lebih tinggi dibanding hasil pengujian dari Bogor dengan nilai kuat acuan E10 – E12 (Sulistyawati, 2009). Sedangkan berdasarkan data sekunder FS-DT ini cukup kaku namun kurang kuat serta berdasarkan data sekunder CKBC-NDT, data primer FS-NDT dan data sekunder FS-NDT ini layak untuk konstruksi karena cukup kaku. Berdasarkan sifat mekanis dan kelas mutu yang dimiliki, kayu Mangium dapat direkomendasikan sebagai bahan bangunan, terutama untuk konstruksi struktural seperti shearwall sebagai komponen struktur rumah kayu prefabrikasi karena relatif cukup kaku dan kuat. Pada saat ini PT INHUTANI II sudah menurunkan daurnya menjadi 8 tahun, baik untuk kebutuhan pulp maupun untuk kayu pertukangan. Kayu Mangium banyak digemari di Jepang maupun Eropa terutama untuk kebutuhan garden furniture (table top, meja, kursi, flooring, wall). Hasil pengujian pada pemilihan dan optimasi penggergajian kayu Mangium, kualitas dolog berdasarkan kondisi dimensinya berturut-turut dari yang terbaik adalah pola penggergajian Pola MOP, diikuti Pola Satu Sisi, dan Pola Konvensional, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Karakteristik dolog kayu Mangium dari PT INHUTANI II sebagian besar batangnya berbentuk tidak bundar sampai hampir bundar, taper dan lurus. Karakteristik dolog yang meliputi volume log, angka bentuk dan cacat pertumbuhan akan mempengaruhi kualitas dolog kayu Mangium pada setiap pola penggergajian. Karakteristik dolog kayu Mangium sebagai bahan baku atau kayu penghara yang masuk penggergajian adalah produk alam yang berupa dolog yang berkeragaman besar dalam kualitasnya. Makin tinggi kualitas dolog, makin tinggi pula volume, kualitas dan 158
rendemen kayu gergajian yang akan diperoleh (Widarmana, 1981). Informasi karakteristik dolog ini perlu diketahui sebelum pelaksanaan penggergajian, yang meliputi sumber tumbuhan yang menghasilkan kayu (timber) dan bagaimana tingkah laku (behaviour) kayu Mangium tersebut agar konversi dolog menjadi kayu gergajian dilakukan dengan tepat, prosesnya berjalan efisien dan nilai kayu gergajian yang dihasilkan menjadi optimum. Kegiatan awal dalam optimasi pemanfaatan kayu Mangium sebagai komponen rumah prefabrikasi adalah proses pengolahan kayu berupa proses penggergajian. Proses penggergajian yang dilakukan menggunakan 3 pola penggergajian yaitu Pola Konvensional, Pola Satu Sisi dan Pola Satu Sisi dengan program Model Optimasi Penggergajian (MOP) guna mengetahui pola penggergajian yang paling optimal dalam penyediaan bahan baku untuk komponen shearwall. Optimasi penggergajian diukur berdasarkan nilai rendemen masing-masing jenis pola penggergajian mulai dalam bentuk sawn timber, bilah/rough lumber, blangking sampai lumber shearing. Penggergajian merupakan proses pertama dalam urutan industri pengolahan kayu berupa kegiatan merubah bentuk atau konversi kayu bulat menjadi kayu persegian untuk memenuhi tujuan tertentu (Rachman dan Malik, 2008). Sedangkan tujuan menggergaji adalah untuk mendapatkan kayu gergajian dengan ukuran dan kualita tertentu sesuai dengan tujuan pemakaiannya, mendapatkan produksi dan rendemen yang tinggi, memanfaatkan kayu gergajian dengan ongkos produksi yang rendah dan memperoleh kayu gergajian dengan ukuran yang tepat, bebas cacat atau berkualitas tinggi (Padlinurdjaji dan Ruhendi, 1981). Bila melihat mata rantai industri pengolahan kayu, maka dalam pabrik pengergajian terjadi proses perubahan pertama kali kayu dalam bentuk dolog menjadi kayu gergajian (sawn timber) atau disebut juga kayu konversi berupa balok, papan, tiang serta sortimen lainnya. Sehingga industri kayu gergajian disebut industri kayu primer. Proses pembelahan oleh bandsaw menghasilkan belahan besar berupa kayu pacakan yang berbentuk utuh sesuai dengan besarnya diameter log tersebut. Tujuan utama pembelahan dolog menjadi kayu pacakan adalah agar dari kayu pacakan yang akan dihasilkan diperoleh sebanyak-banyaknya papan dengan lebar maksimum dan mempunyai cacat minimal. Sehingga tujuan akhirnya adalah memperoleh rendemen maksimum baik secara kuantitas maupun kualitas. Urutan proses penggergajian secara lengkap meliputi kegiatan pemotongan dolog di log deck, breakdown sawing, resawing, edging dan trimming (Rachman dan Malik, 159
2008). Kayu gergajian belum tentu perlu melewati semua langkah tersebut. Pada penelitian ini menggunakan proses penggergajian teknik Saw Dry Rip (SDR), sehingga dalam proses penggergajian hanya sampai kegiatan pembelahan pertama dolog untuk dijadikan beberapa kayu pacakan yang disebut kegiatan breakdown sawing. Kegiatan selanjutnya berupa kegiatan resawing, edging dan trimming dilaksanakan setelah proses pengeringan. Penerapan proses penggergajian teknik SDR pada proses penggergajian kayu Mangium adalah dalam rangka meminimalisir cacat-cacat bentuk akibat proses pengolahan kayu terutama pada proses pengeringan. Pola SDR ini membuat kualitas kayu lebih baik akibat pengeringan lebih dahulu dilakukan dibanding pola Saw Rip Dry (SRD), tetapi agak lebih rumit. Bila ingin menerapkan pola SRD pada kayu Mangium disarankan dengan menambah tebal hasil kayu gergajian (sawn timber) dari 25 mm menjadi 30 mm, karena lebih rentan terjadi cacat pada arah tebalnya. Sehingga pola SRD ini lebih cepat dan efisien, tetapi kurang hemat kayu. Pola penggergajian adalah rencana dan cara pembelahan dolog menjadi potongan atau lembaran kayu gergajian beserta urutan dan penugasannya pada mesin-mesin penggergajian, dengan cara merencanakan dan mengatur cara menggergaji agar dolog dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Pola penggergajian berperan dalam menentukan besarnya rendemen dan tingkat mutu kayu gergajian yang dihasilkan. Untuk menerapkan pola yang sesuai harus mengetahui sifat-sifat umum jenis kayu dan kualitas dolog serta jenis dan kualitas kayu gergajian yang akan diproduksi. Berbagai macam pola penggergajian dapat diciptakan untuk setiap potong dolog. Pada dasarnya pola penggergajian terpilih tergantung pada sortimen serta pemanfaatan kayu gergajian yang dikehendaki. Dalam penelitian ini menggunakan Pola Konvensional, Pola Satu Sisi (live sawing) dan Pola Satu Sisi dengan program Model Optimasi Penggergajian (MOP), karena pertimbangan diameter rata-rata kayu Mangium yang berkisar antara 22 - 42 cm. Hasil rendemen tertinggi dalam bentuk kayu gergajian (sawn timber) adalah pola penggergajian MOP sebesar 74,70 %, kemudian diikuti pola satu sisi dan pola konvensional berturut-turut sebesar 73,49 % dan 70,93 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rendemen aktual hasil penggergajian yang diperoleh dari pola penggergajian MOP selalu lebih tinggi dibanding 2 pola penggergajian lainnya, karena pola penggergajian simulasi berasumsi bahwa dolog berbentuk simetris, lurus, dan silindris, lintasan gergaji lurus serta cacat dolog belum diperhitungkan. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh 160
Rachman dan Balfas (1993), bahwa sejak diterapkannya teknik penggergajian dengan sistem simulasi dengan program MOP dalam penentuan posisi PPT, teknik ini mampu meningkatkan rendemen penggergajian dolog diameter kecil rata-rata 12,4 % atau menjadi 51,24 % . Pengenalan karakteristik kayu bulat untuk penghara industri penggergajian merupakan hal penting agar dapat menerapkan efisiensi proses dengan baik dan cepat. Hakekatnya karakteristik kayu bulat ini cenderung menurunkan efisiensi proses penggergajian. Dengan mengenalnya, diharapkan penurunan efisiensi proses dapat dihindari. Karakteristik kayu yang sering ditemui pada kayu Mangium adalah tegangan tumbuh, kayu muda dan hati rapuh. Tujuan pengeringan kayu adalah untuk peningkatan kekuatan dan keawetan kayu, stabilisasi dimensi dan peningkatan kualitas kayu baik dalam proses pengolahan maupun pada saat penggunaan dan mendapatkan standar pengeringan bagi papan-papan dari kayu Mangium. Masalah serius yang dikeluhkan dalam pengolahan kayu adalah proses pengeringan karena berlangsung lama dengan kecenderungan cacat bentuk dan pecah dalam (honeycomb defect). Pengeringan kayu Mangium ini menggunakan kilang pengering konvensional bertipe tunggal, karena tipe ini sesuai dengan karakter kayu Mangium yang sukar dikeringkan dan perlu pengeringan yang baik. Metode konvensional (air and kiln drying) yang dimodifikasi membutuhkan waktu 30 hari (12 hari pengeringan alami dan 18 hari pengeringan dengan kilang pengering) sampai kadar air 11 % dan 33 hari (12 hari pengeringan alami dan 21 hari pengeringan dengan kilang pengering) sampai kadar air 9 %. Berdasarkan laju pengeringan (drying rate) yang merupakan % penurunan kadar air per hari (% decrease in moisture content per day) terlihat bahwa di bawah kadar air titik jenuh serat proses pengeringannya berjalan lambat. Titik jenuh serat adalah suatu keadaan dimana air dalam kayu hanya terdapat pada dinding sel sedangkan dalam rongga sel sudah kosong. Pada kondisi yang demikian pergerakan air ke permukaan kayu sangat sulit karena permeabilitasnya sudah berkurang, bahkan zat ekstratif dalam kayu menutup jalan bagi aliran air di dalam kayu. Oleh karena itu untuk mempercepat waktu pengeringan, penggunaan metode kiln drying perlu ditingkatkan temperaturnya agar menghasilkan panas yang lebih tinggi. Berdasarkan pengeringan kayu Mangium dengan menerapkan metode konvensional yang dimodifikasi, efektif untuk mengurangi waktu pengeringan tanpa menurunkan 161
kualitas dan merubah warna papan kayu Mangium. Papan kayu Mangium kondisi basah dikeringkan sampai kadar air 65 % dengan pengeringan alami (air drying) sebagai predrying treatment dan dilanjutkan pengeringan dengan kiln drying sampai kadar air yang diinginkan sebesar 10 %. Dari 593 contoh uji papan yang diamati, ada 119 (20,07 %) contoh uji yang mengalami cacat pada semua pola penggergajian. Jumlah cacat tertinggi berdasarkan pola penggergajian terjadi pada pola satu sisi dengan MOP sebanyak 24,88 %, diikuti pola satu sisi sebanyak 19,79 % dan pola konvensional sebanyak 15,10 %. Dolog yang digergaji dengan pola satu sisi akan menghasilkan kayu gergajian datar (flat sawn lumber), yang mempunyai kelemahan pada stabilitas dimensi dan keausan permukaan yang rendah. Bentuk kayu gergajian datar ini menyebabkan presentase cacat kedua pola penggergajian tersebut lebih tinggi dibanding pola konvensional. Cacat-cacat akibat penerapan pola penggergajian satu sisi dan proses pengeringan ini akan menurunkan rendemen dan kualitas kayu. Cacat berat yang terdapat pada kayu gergajian Mangium adalah cacat serat terpisah berupa pecah, yang meliputi : retak (checks), pecah tertutup (splits), pecah dalam (honeycomb defect), pecah terbuka (open split) dan belah (shake). Bentuk pecah yang terdapat pada kayu gergajian Mangium berupa pecah ujung (end splits). Cacat ringan berupa mata kayu (knots), kayu gubal (sapwood) dan cacat bentuk tipe mencawan (cupping). Cacat-cacat bentuk akibat proses pengeringan dan pengerjaan kayu diduga menurunkan rendemen dari kayu Mangium pada pola penggergajian satu sisi. Karakteristik dolog kayu Mangium adalah tegangan tumbuh yang terlihat pada saat dolog digergaji terjadi pecah papan. Kayu muda pada dolog penghara penggergajian akan menurunkan kualitas kayu gergajian karena sortimen mudah bengkok atau pecah. Kayu Mangium memiliki tegangan pertumbuhan yang tinggi. Tegangan-tegangan yang dibebaskan pada kayu Mangium lebih besar dibandingkan beberapa jenis kayu daun lebar lainnya (Wahyudi et al. 1998). Ini mengindikasikan bahwa tegangan-tegangan pertumbuhan juga tinggi, oleh karenanya resiko terjadinya cacat pada kayu Mangium ini juga tinggi. Tegangan tumbuh (internal stress, reaction wood dan spring) adalah aksi dari dolog yang ingin kembali ke bentuk asalnya karena dalam masa pertumbuhan, pohon mengalami tegangan karena miring, bengkok menyusup mencari sinar matahari, tiupan angin dan lain-lain. Tegangan tumbuh mudah terbentuk pada kayu-kayu cepat tumbuh pada hutan tanaman walaupun batangnya tidak miring selama pertumbuhan (Haygreen 162
dan Bowyer, 1982). Tegangan tumbuh terjadi karena adanya gaya-gaya longitudinal, yaitu tension yang berkembang mulai dari empulur ke arah tepi dolog dan compression yang berkembang mulai dari tepi dolog ke arah empulur. Kegiatan pengolahan sekunder dalam perancangan rumah prefabrikasi adalah proses pengerjaan kayu untuk pembuatan papan bentukan (molding) komponen shearwall. Proses pembuatan molding dilakukan dengan tiga tahapan yaitu : 1) Persiapan Lumber, yang meliputi kegiatan perataan sisi (edging), pemotongan (trimming), pembelahan ulang (resawing) beserta grading dan sortasinya, 2) Rough End Process yang meliputi kegiatan pengetaman (planing), pengelompokan (grouping), pelaburan perekat (glue application), dan penyatuan papan (laminating) dan 3) Molding Process, yang meliputi kegiatan molding, pendempulan dan pengamplasan (sanding). Optimasi pengerjaan kayu
merupakan kriteria keberhasilan yang diukur
berdasarkan tinggi rendahnya rendemen dalam suatu proses penggergajian. Rendemen aktual pada semua bentuk hasil penggergajian yang diperoleh dari pola penggergajian MOP selalu lebih tinggi dibanding 2 pola penggergajian lainnya. Rendemen hasil penggergajian yang diperoleh dari pola penggergajian MOP dalam bentuk papan (sawn timber), bilah (rough lumber), blangking maupun lumber shearing selalu ditempati pola penggergajian MOP. Berikutnya diikuti Pola Konvensional dan Pola Satu Sisi. Proporsi lumber shearing yang dibuat berdasarkan bentuk bahan bakunya, yaitu molding kayu utuh (solid wood) rata-rata diatas 70 % dan molding sambung (laminating edge to edge) rata-rata kurang dari 30 % baik pada Pola Konvensional, Pola Satu Sisi dan Pola Satu Sisi dengan Program MOP. Sedangkan kualitas papan laminasi lebih baik dibanding papan solid, tetapi prosesnya lebih banyak walau biaya yang dibutuhkan tidak berbeda nyata. Nilai rendemen pada penelitian masih mengikutsertakan cacat-cacat ringan yang dianggap bukan merupakan cacat seperti mata kayu sehat (intergrown knots), lubang jarum dan lubang gerek (pinhole), retak permukaan (surface cheks), perubahan warna (discoloration) pada kayu gubal (sapwood) dan serat tertekuk (compression failure), karena produk lumber shearing ini untuk kebutuhan lokal. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai rendemen pada penelitian ini adalah ukuran dan kualitas kayu bulat, pola pengergajian yang diterapkan dan angka bentuk terutama taper. Biaya proses produksi molding berupa lumber shearing tounge and groove rumah prefabrikasi dan biaya angkutan ke Pulau Jawa sebesar Rp 3.845.495,-/m3. Komposisi biaya terbesar berturut-turut pada pembelian log (40,45 %), proses penggergajian 22,21 163
%, proses pengeringan 17,39 %, biaya transportasi 12,63 %, proses pengerjaan 7,01 % dan biaya tata usaha kayu 0,31 %. Harga rumah kayu prefab tipe 21 senilai ± Rp 23.000.000,- per unit yang terdiri dari Rp 17.304.727,- untuk bahan kayu 4,5 m3 (Fahutan, 2005) dan sisanya senilai Rp 5.695.273,- untuk bahan atap, pondasi umpak dan upah pekerja tetapi belum termasuk harga tanah. Pada pembuatan dan perakitan shearwall kayu Mangium sebagai komponen struktur rumah prefabrikasi menunjukkan bahwa papan dan rangka bentuk solid dari kayu Mangium masih mengalami pelengkungan (bowing), berakibat mempersulit sewaktu merakit menjadi komponen struktur shearwall. Tetapi papan dan rangka bentuk solid ini lebih sederhana dalam proses. Berbeda dengan papan laminasi yang lebih lebih rumit dalam proses pembuatan (tambahan proses grouping, glue application dan laminating) tetapi lebih stabil. Secara keseluruhan kualitas papan laminasi lebih baik dibanding papan solid, tetapi prosesnya lebih banyak. Meskipun demikian biaya yang dibutuhkan tidak berbeda nyata. Pada pembuatan shearwall, tipe papan horisontal (straight sheathing) lebih mudah dalam perakitan dibanding tipe papan diagonal (diagonal sheathing), karena ukuran panjang papan pada dinding horisontal seragam. Namun hal ini mengakibatkan pemborosan bahan, kecuali dengan system finger joint. Perakitan tipe papan diagonal lebih rumit daripada papan horisontal, karena harus membuat ukuran papan yang variatif, tetapi hemat bahan karena bisa memanfaatkan segala ukuran panjang papan dan tidak perlu dibuat finger joint. Untuk stabilisasi dimensi dan optimalisasi bahan produk kayu Mangium sebagai shearwall, maka perlu dilakukan pengeringan yang optimal dan dibuat dengan cara laminated edge to edge. Pengujian komponen shearwall kayu Mangium berupa uji racking monotonic kekakuan dan kekuatan berupa beban horisontal berdasarkan ISO 22452. Penentuan F max, est
dan indeks penambahan beban sebagai perlakuan tergantung kepada desain material
shearwall (with or with out opening), material shearwall (frame dan sheathingnya) dan ukuran dimensi shearwall. Dalam penelitian ini digunakan nilai estimasi beban maksimal (F max, est ) dari contoh uji pertama berupa komponen shearwall horisontal yang juga berfungsi sebagai kontrol. Pertimbangan memilih contoh uji kontrol untuk mendapatkan nilai F max, est adalah bahwa tiap contoh uji nilainya akan berbeda-beda tergantung dari desain panel dinding yang dibuat sebagai perlakuannya dan contoh uji tersebut merupakan gabungan dari 2 desain. Sementara jika berdasarkan desain dari penelitian sebelumnya hanya terdiri dari satu 164
panel dinding. Berdasarkan preliminary test pada contoh uji pertama sebagai kontrol diperoleh beban maksimum (F max ) sebesar 216 kg. F max ini digunakan untuk semua benda uji karena merupakan F max, est terkecil sehingga dianggap yang paling konservatif untuk mendapatkan semua nilai kekakuan dan kekuatan komponen shearwall tersebut. Kekakuan tipe komponen panel shearwall dari kayu Mangium tertinggi dapat mencapai 6 - 7 kali kekakuan tipe komponen panel shearwall terlentur. Sedang kekuatannya bisa mencapai 2 sampai 3 kali lebih kuat dari tipe komponen panel shearwall terlemah. Sementara kekakuan dan kekuatan lumber sheathing tipe horisontal (straight sheathing) relatif lebih lemah dibanding tipe diagonal sheathing. Shearwall tipe diagonal sheathing lebih kuat dan kaku karena mempunyai sifat triangulasi seperti halnya sifat rangka batang (truss) dan lebih dapat menahan beban lateral. Nilai kekakuan dan kekuatan panel shearwall utuh pada tipe diagonal sheathing (tipe C) yang tertinggi tersebut masih dapat ditingkatkan dengan pemakuan pada rangka antara sesuai desain rumah prefabrikasi. Komponen shearwall utuh dengan pola papan diagonal (B) dan komponen shearwall dengan pola papan diagonal utuh dan berjendela (C) mengalami kegagalan konstruksi berupa kegagalan struktur karena adanya penurunan menahan beban secara drastis sebelum deformasinya mencapai 100 mm. Komponen shearwall lain yaitu shearwall tipe (A), (D), (E1) dan (E2) mengalami kegagalan konstruksi berupa kegagalan servis kemampuan layan (serviceability failure) yang terjadi karena shearwall mempunyai sifat sangat daktail, dimana komponen belum runtuh walau deformasinya sudah mencapai 100 mm. Jenis kerusakan yang menonjol pada variasi desain panel komponen shearwall adalah kegagalan service kemampuan layan (serviceability failure). Sehingga kegagalan struktur tidak tampak, yang terjadi adalah struktur mengalami displacemen horizontal yang sangat besar yang mencapai 100 mm, seperti yang dipersyaratkan pada ISO 22452. Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur rumah untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya keruntuhan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur rumah tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi diambang keruntuhan. Pengukuran daktilitas shearwall dengan mengukur faktor daktilitasnya (μ) yang menunjukkan bagaimana kegagalan sistem struktur (rapuh atau daktil) terjadi dan menjadi parameter untuk perbandingan antara pengukuran hasil uji dengan nilai desainnya. 165
Semua tipe shearwall berperilaku daktail parsial karena faktor daktilitas shearwall (μ) bernilai antara 1,01 sampai dengan 2,41. Tipe shearwall yang berperilaku mendekati elastik penuh adalah tipe A dan E1. Perilaku daktil parsial sudah memenuhi 1,0 < μ < μm, sehingga dalam perencanaan suatu struktur rumah oleh perencana atau pemilik gedung dapat memilih nilai μ sendiri sesuai yang dikehendaki. Pada saat dilakukan pengujian terdapat beberapa deformasi yang terjadi, baik pada komponen shearwall tipe papan horisontal maupun tipe papan diagonal. Kerusakan yang terjadi pada komponen shearwall tipe papan horisontal berupa pergeseran antar papan akibat gaya lateral dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint). Sedang kerusakan yang terjadi pada komponen shearwall tipe papan diagonal berupa terbentuknya celah (gap) diantara susunan panel papan-papan diagonal bagian bawah akibat pembebanan dan rusaknya struktur akibat patah dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint). Pada saat pengujian, komponen shearwall mendapat beban pada salah satu sisi saja berupa uji monotonik lateral dan tidak dapat berputar pada titik itu (jepit) maka shearwall tersebut berperilaku seperti balok kantilever yang disebut shearwall kayu bertulang kantilever. Pada sisi sebelah kiri mendapatkan tekanan berupa beban yang biasanya disebut tekanan/kekangan (restrained) dan sebelah kanan bebas untuk terjadinya defleksi. Shearwall kayu bertulang kantilever adalah suatu subsistem struktur rumah yang fungsi utamanya adalah untuk memikul beban geser akibat pengaruh Gempa Rencana, yang runtuhnya disebabkan oleh momen lentur (bukan oleh gaya geser) dengan terjadinya sendi plastis pada kakinya, di mana nilai momen runtuhnya dapat mengalami peningkatan terbatas akibat pengerasan regangan. Kekakuan (MOE) pada beberapa tipe komponen panel shearwall dari kayu Mangium berkisar pada selang yang sangat lebar yaitu antara 11.217 kg/cm2 sampai 315.503 kg/cm2 dengan rata-rata 127.123 kg/cm2. Sedangkan kekuatan (MOR) pada tipe komponen panel shearwall dari kayu Mangium berkisar antara 222 kg/cm2 sampai 519 kg/cm2 dengan rata-rata 426 kg/cm2. Pada shearwall tipe straight sheathing terlihat bahwa batang bracing vertikal berupa stress skin component tidak efektif menahan momen, sehingga nilai MOE dan MOR struktur shearwall tersebut masih sesuai dengan bahan baku kayu. Pada shearwall tipe diagonal sheathing terjadi peningkatan nilai MOE dan MOR yang lebih besar karena fungsi bracing diagonal berupa stress skin component membuat struktur menjadi lebih kaku. Kekakuan dan kekuatan struktur tersebut
166
disebabkan oleh bentuk geometri penampang bracing, walaupun juga dipengaruhi oleh bahan/material dan jenis tumpuannya. Untuk mengetahui ketahanan bangunan terhadap pengaruh gempa maka dilakukan perhitungan gaya gempa dengan menggunakan cara analisis gempa static ekuivalen berdasarkan SNI 1726-2002. Bangunan rumah kayu prefabrikasi dikategorikan sebagai bangunan beraturan dengan tinggi dinding 2,4 m, dengan peruntukan rumah tinggal dan ditetapkan jenis tanah keras. Hasilnya desain tipe A komponen shearwall sesuai untuk diaplikasikan pada zona gempa kecil, tipe B, D, E1 dan E2 sesuai pada zona gempa sedang dan tipe C sesuai pada zona gempa besar. Secara keseluruhan, desain shearwall tipe diagonal sheathing komponen panel shearwall dari kayu Mangium sesuai untuk diaplikasikan pada zona sedang dan besar. Berdasarkan perbandingan hasil pengujian dengan perhitungan beban gempa hasil analisis struktur desain, bahwa beban gempa tidak terlalu mempengaruhi rumah kayu dan rumah berbahan kayu dapat dibuat menjadi rumah kayu tahan gempa. Sehingga panel shearwall ini dapat dimanfaatkan sebagai elemen struktural tahan gempa pada bangunan rumah tinggal. Kombinasi rangka kayu dengan panel papan yang berbahan dasar papan solid dan papan laminasi dapat bekerja dengan baik jika ditinjau dari faktor kekuatan dan daktilitas yang diperlukan untuk rumah tahan gempa. B.
Rekomendasi
1.
Kayu Mangium dapat digunakan sebagai kayu pertukangan untuk bahan bangunan rumah kayu.
2.
Untuk mengurangi cacat retak dan pecah yang terjadi pada pohon Mangium akibat tegangan pertumbuhan dapat dihindari dengan teresan sebelum dilakukan penebangan dan pembuatan takik/alur pada batang pohon Mangium.
3.
Pada tahap penyusunan kayu saat proses pengeringan kayu Mangium, sebaiknya kegiatan pemasangan klem diganti dengan pemberian beban pada tumpukan papan sawn timber guna mengurangi cacat terutama cacat bentuk akibat pengeringan.
4.
Untuk stabilisasi dimensi dan optimalisasi (efisiensi bahan baku) produk kayu dari log diameter terbatas seperti kayu Mangium dilakukan pengeringan yang optimal dan dibuat dengan cara teknologi papan sambung dan balok lamina (laminated fingerjoint, laminated side to side dan laminated edge to edge).
167
5.
Pengujian empiris yang dilakukan pada komponen shearwall ini perlu dilakukan uji pendahuluan dengan menyediakan contoh uji tersendiri untuk mendapatkan F max, estnya . .
6.
Dilakukan pelengkapan model contoh uji menjadi 8 variasi (sesuai gambar yang disetting) dengan cara menempatkan panel shearwall pada posisi berlawanan untuk 3 variasi terakhir.
7.
Untuk mendapatkan nilai kekakuan dan kekuatan yang konsisten, perlu penguatan pemakuan benda uji pada rangka horisontal bagian tengah sesuai desain rumah prefabrikasi.
8.
Kerusakan terbesar pada shearwall terjadi pada sudut-sudut sambungan, maka pada titik-titik sambungan tersebut diberi pengaku/penguat berupa alat sambung berbentuk segitiga (triangle geometry) atau berbentuk menyiku (rigid joints) berbahan kayu atau baja.
9.
Perlu uji siklik pada shearwall untuk ketahanan lateral dan ketahanan gempa.
10.
Modul dengan komponen shearwall bisa terdiri dari beberapa panel sesuai ukuran dan fungsi ruangan tersebut, sehingga perlu juga diperhatikan hubungan antar panel tersebut.
168
VII. SIMPULAN UMUM 1.
Kayu Mangium umur 8 tahun dari HTI PT INHUTANI II cukup kaku dan kuat (NI-5 PKKI;1961; SKI C-bo-010:1987; RSNI 2002). Penelitian sifat dasar kayu Mangium ini mampu menurunkan daur teknis untuk kayu konstruksi menjadi 8 tahun dan dapat digunakan sebagai bahan bangunan pada konstruksi struktural seperti shearwall pada struktur rumah kayu prefabrikasi.
2.
Distribusi Weibull dipilih sebagai distribusi standar bagi kekuatan kayu konstruksi Mangium maupun kayu-kayu konstruksi di pasaran kayu Indonesia.
3.
Nilai reference resistance data sekunder pada ukuran FS lebih rendah dibanding nilai reference resistance pada data primer maupun data sekunder dari data CKBC, karena adanya cacat-cacat di dalamnya. Sehingga dapat menduga keterandalan struktur dengan tepat yang akan menunjukkan kemungkinan kerusakan yang semakin kecil.
4.
Berdasarkan kelas mutu standar RSNI 2002, nilai MOE dan MOR kayu Mangium dari data primer CKBC-DT, data sekunder CKBC-DT dan data sekunder FS-DT ini cukup kaku dan kuat serta berdasarkan data sekunder CKBC-NDT, data primer FSNDT dan data sekunder FS-NDT ini layak untuk konstruksi karena cukup kaku.
5.
Karakteristik dolog kayu Mangium dari PT INHUTANI II sebagian besar batangnya berbentuk tidak bundar sampai hampir bundar, taper dan lurus, yang mempengaruhi kualitas dolog pada setiap pola penggergajian.
6.
Dolog yang digergaji dengan pola satu sisi menghasilkan kayu gergajian datar (flat sawn lumber), yang mempunyai kelemahan pada stabilitas dimensi, keausan permukaan yang rendah dan presentase cacat yang lebih tinggi,
sehingga
menurunkan rendemen dan kualitas kayu dibanding pola konvensional. 7.
Metode konvensional yang dimodifikasi efektif untuk
mengurangi waktu
pengeringan tanpa menurunkan kualitas dan merubah warna papan kayu Mangium. Metode pengeringan ini lebih cepat dibandingkan metode konvensional dan cacatcacat bentuk akibat proses pengeringan juga berkurang. 8.
Rendemen aktual pada semua bentuk hasil penggergajian berupa sawntimber, bilah (rough lumber), blangking maupun lumber shearing dari pola penggergajian MOP selalu lebih tinggi dibanding 2 pola penggergajian lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai rendemen adalah ukuran dan kualitas kayu bulat, pola pengergajian dan angka bentuk terutama taper.
169
9.
Biaya proses produksi lumber shearing tounge and groove rumah prefabrikasi sebesar Rp 3.845.495,-/m3 dan sebagian besar untuk pembelian log, proses penggergajian, proses pengeringan dan biaya transportasi.
10. Tipe straight sheathing lebih mudah dibuat shearwall dibanding tipe diagonal sheathing. Namun kekakuan dan kekuatan tipe straight sheathing relatif lebih lemah dibanding tipe diagonal sheathing. Shearwall tipe diagonal sheathing lebih kuat dan kaku karena mempunyai sifat triangulasi seperti halnya sifat rangka batang (truss) dan lebih dapat menahan beban lateral. 11. Jenis kerusakan yang menonjol pada variasi desain panel komponen shearwall adalah kegagalan service kemampuan layan (serviceability failure) yang terjadi karena shearwall mempunyai sifat sangat daktail, dimana komponen belum runtuh walau deformasinya sudah mencapai 100 mm. 12. Semua tipe shearwall berperilaku daktail parsial sehingga dalam perencanaan suatu struktur rumah oleh perencana atau pemilik gedung dapat memilih nilai μ sendiri sesuai yang dikehendaki. 13. Kerusakan pada shearwall tipe papan horisontal berupa pergeseran antar papan dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint). Sedang kerusakan pada shearwall tipe papan diagonal berupa terbentuknya celah (gap) diantara susunan panel papan-papan diagonal bagian bawah dan rusaknya struktur akibat patah dan terlepasnya rangka shearwall pada titik-titik sambungan (joint). 14. Pada shearwall tipe diagonal sheathing terjadi peningkatan nilai MOE dan MOR yang lebih besar karena fungsi bracing diagonal berupa stress skin component membuat struktur menjadi lebih kaku, sedangkan pada shearwall tipe straight sheathing tidak efektif menahan momen. Kekakuan dan kekuatan struktur tersebut lebih disebabkan oleh bentuk geometri penampang bracing, walaupun juga dipengaruhi oleh bahan/material dan jenis tumpuannya 15. Desain shearwall tipe straight sheathing dari kayu Mangium sesuai untuk diaplikasikan pada zona gempa kecil saja, sedangkan desain shearwall tipe diagonal sheathing sesuai pada semua zona gempa. Beban gempa tidak terlalu mempengaruhi rumah kayu dan rumah berbahan kayu dapat dibuat menjadi rumah kayu tahan gempa. 16. Panel shearwall dari kayu Mangium dapat dimanfaatkan sebagai elemen struktural tahan gempa pada bangunan rumah karena dapat bekerja dengan baik jika ditinjau dari faktor kekuatan dan daktilitasnya. 170
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. SNI Kayu bentukan (moulding) Tusam. SNI 01-5008.10-2001. Produk Kayu Olahan. Kayu, bukan kayu serta produk Kehutanan (Pantek 555). Senarai SNI Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. ______. 2002. SNI Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung. SNI-1726-2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Permukiman. Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman dan Prasarana Wilayah. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Bandung. ______. 2002. Understanding Engineered Wood Products. The APA Wood Engineered Association. www.WoodUniversity.org. Dikunjungi 23 Desember 2003 ______. 2004. Panel Design spesification. The APA Wood Engineered Association. www.WoodUniversity.org. Dikunjungi 20 Desember 2008 ______. 2005. Engineered Wood Constuction Guide. The APA Wood Engineered Association . www.WoodUniversity.org. Dikunjungi 10 Januari 2009 ASTM. American Society for Testing and Materials. 2000. Annual Book of ASTM Standards. Volume 0410. Wood. D 143 (modifikasi) Standard Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. Section 7. Static Bending. USA _____. American Society for Testing and Materials. 2003. Annual Book of ASTM Standards. Volume 0410. Wood. D.2915-03. Standard Practise for Evaluating Allowable Propertis for Grades of Structural Lumber. USA _____. American Society for Testing and Materials. 2004. Annual Book of ASTM Standards. Volume 0410. Wood. D 5457 Standard Specification for Computing Reference Resistance of Wood-Based Materials and Structural Connections for Load and Resistance Factor Design. Section 4. Construction. USA _____. American Society for Testing and Materials. 2005a. Annual Book of ASTM Standards. Volume 0410. Wood. D 245, Standard Practice for Establishing Structural Grades and Related Allowable Properties for Visually Graded Lumber. USA _____. American Society for Testing and Materials. 2005b. Annual Book of ASTM Standards. Volume 0410. Wood. D 198 Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes. Section 4 – 11. Flexure. USA Alamsyah E. M. dan O. Rahman. 2002. Karakteristik sambungan Jari dan Lidah pada Bilah Sambung Kayu Mangium, Tusam dan Sukun. Proseding Seminar Nasional V MAPEKI. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Andriawan D. 1999. Studi Mengenai Penurunan Nilai Karakteristik Kayu Mangium (Acacia mangium). Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti. Skripsi 171
Bahtiar, E. T. 2000. Penyusunan Model Penduga Kekuatan Kayu Konstruksi Dalam Format ASD (Allawable Stress Design) dan LRFD (Load and Resistance Factor Design) untuk Pemilahan Sistem Panter. Skripsi. IPB. Bogor ____________. 2008. Desain Tumpukan Gelugu (Kelapa Gelondongan) sebagai Penyangga Terowongan Pertambangan dalam Format ASD dan LRFD. Thesis. IPB. Bogor. Basri E., K. Hayashi, S. Masasuke and H. Nishiyama. 2001. Drying technique for some fast growing species from Indonesia. Proceed of 7th International IUFRO Wood Drying Conference July 9-13, 2001 in Tsukuba. Pp. 84 – 89. Forestry and Forest Products Research Institute, Japan ______, dan K. Yuniarty. 2001. Perkembangan Penelitian Pengeringan Kayu Mangium (Acacia mangium) di Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Prosiding Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan. 7 November 2001. H. 207 – 213. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor ______, K. Hayashi, dan Rahmat. 2002. The Combination of Shed and Kiln Drying Resulted in Good Quality of Mangium Lumbers. Proceeding of The Fourth International Wood Science Symposium. LIPI. Serpong. Boyd, J.D. 1974. Anisotropic Shrinkage of Wood Identification of The Dominant Determinants. Mokuzai Gakkaishi. 20 (10): 473-482. Japanese Wood Researcher Society Tokyo. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum, 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. NI51 PKKI 1961. Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. Dirjen Cipta Karya. Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. [Dephut] Departemen Kehutanan, 1988. Standar Kehutanan Indonesia. Spesifikasi Kayu Bangunan untuk Perumahan. SKI C-bo-010-1987. Departemen Kehutanan RI. Dirjen Pengusahaan Hutan. Jakarta. [Depkimpraswil] Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002. Konsensus Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta. Faizal L., 2006. Rumah Tahan Gempa Perkecil Jumlah Korban. Artikel Koran Harian Pikiran Rakyat. Edisi 7 September 2006. p : 23 [Fahutan] Fakultas Kehutanan IPB, 2005. Rumah Prefab Fahutan IPB : Knockdown, Kokoh, dan Tahan Gempa. Tim Pengkajian Rumah Prefab. Departemen Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
172
Firmanti, A., S. Surjokusumo, K. Komatsu, S. Kawai, and B. Subiyanto. 2003. Utilizing Acacia mangium for Construction Materials. International Symposium on Sustainable Utilization of Acacia mangium. Proceedings of JSPS-LIPI Core University Program; Kyoto, October 21-22, 2003. Wood Research Institute and Radio Science Center for Space and Atmosphere. Japan FPL. Forest Products Laboratory. 1999. Wood Handbook : Wood as Engineering Material. USDA Forest Service. USA Ginoga B. 1997. Beberapa Sifat Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) pada Beberapa Tingkat Umur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 13 (5) : 132 – 149. _____ . 1998. Mutu Dolok, Berat Jenis dan Kekuatan Balok Lamina Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) dan Kayu Sungkai (Peronema canescens Jack). Buletin Penelitian Hasil Hutan 16(2) : 79-92 _____ ., O. Rahman, J. Malik. 1999. Petunjuk Teknik Penggergajian Dolok Diameter Kecil. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Gloss P. 1983. Strength Grading. Dalam Timber Enginnering Step 1. Editor : H.J. Blass, et. al.. Centrum Hout. Netherland. Green DW, Winnandy JE, dan Kretschmann DE. 1999. Mechanical Properties of Wood. Wood Handbook. Wood as an Engineering Material. Chapter 4 pp : 4-1 – 4-43. Forest Products Society. Agric.Handbook 72. Washington DC. U.S. Department. Gromala, D., D. Pollock, T. Williamson. 1994. LRFD in United States : Development of A New Design System. Pacific Timber Engineering Conference. Gold Cost Australia. Hardjopranoto S., dan K. B. Suharsa. 2005. Rumah Kayu Kesan Alami yang Tetap Dicari. Tabloid Rumah. Edisi 05 Juli – 18 Juli 2005 Haygreen, J.G and J.L, Bowyer. 1982. Forest Products and Wood Science. Iowa State University Press Ames. Iowa. International Finance Corporation (IFC). 2008. Advisory Services Indonesia, World Bank Group. Ismanto A. 1995. Ketahanan Beberapa Jenis Kayu HTI terhadap Penggerek Kayu di Laut. Prosiding Ekspose Hasil Litbang dan Sosek Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor ISO/DIS 22452. 2009. Timber structures – Structural insulated panel wall – Test methods”. International Organization for Standardization. Geneva Kamil N., 1970. Rumah-rumah Prefabrikasi dan Kemungkinan Perkembangannya di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
173
Karlinasari L, Nugroho N. 2006. Pembangunan Rumah Contoh Tahan Gempa untuk Daerah Bencana dengan Sistem Pre-pabrikasi. Laporan Akhir LPPM. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Kibert, C. J. 2007. Sustainable Construction. Green Building Design and Delivery. Second Edition Krisdianto dan J. Malik. 2004. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan terhadap Kecepatan Pengeringan Kayu Mangium. Jurnal penelitian hasil hutan. 22(3): 135 -142. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor Maeglin, R.R., dan Boone, R.S. 1983. An Evaluation of Saw Dry Rip (SDR) for The Manufacture of Studs from Small Ponderosa Pine Logs. United States Department of Agriculture Forest. Service Forest Product Laboratory Research Paper. FPL - 435 Malik J., A. Santoso dan O. Rahman. 2000. Sari Hasil Penelitian Mangium (Acacia mangium Willd). Pusat Penelitian Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. Mardikanto T.R., L. Karlinasari dan E.T. Bahtiar. 2011. Sifat Mekanis Kayu. Buku Ajar. PT Penerbit IPB Press. Bogor Marra A.A., 1992. Technology of Wood Bonding Principles in Practice. USA : Van Nostrand Reinhold. Martawijaya A., dan Barly. 1990. Keawetan dan Keterawetan Beberapa Jenis Kayu yang Berasal dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Prosiding Diskusi HTI. Badan Penelitian dan Pengembagan Kehutanan. Jakarta Muslich M., dan G. Sumarni. 1993. Tipe dan Intensitas Serangan Penggerek Kayu di Laut pada Beberapa Jenis Kayu HTI. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Kayu HTI. Badan Penelitian dan Pengembagan Kehutanan. Jakarta Nurweda G. P., 2005. Atap Apa yang Cocok. Tabloid Rumah. Edisi 05 Juli – 18 Juli 2005. Oliviera, F.G.R.de, Campos J.A.O.de, Pletz E., Sales A. 2002. Assesment of Mechanical Properties of Wood Using an Ultrasonic Technique. Proceedings of The 13th International Symposium on Nondestructive Testing of Wood; University of California Berkeley Campus. 19 – 21 Agustus 2002. Madison : Forest Products Society. Pp 75 -78. Padlinurdjaji, I.M. dan S. Ruhendi. 1981. Penggegajian. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Pandey C. N. 2006. Bamboo Based Housing System. IPIRTI and TRADA. http://www.tradatechnology.cu.uk. Dikunjungi tgl. 23 Januari 2006. Pandit I. K. N., 1995. Anatomi Kayu. Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan Baku. Fakultas Kehutanan IPB. IPB Press. Bogor.
174
Panshin A.J. dan C. de Zeeuw. 1980. Text Book of Wood Technology. McGraw-Hill Book Co., Pp. 159-197. New York Pinyopusarerk K., S.B. Liang, dan B. V. Gunn. 1993. Taxonomy, Distribution, Biology and Use an Exotic, In : Awang K., D. Taylor (editors) : Acacia manium, Growing and Utilization. MPTS Monograph Series No. 3. Bangkok. Pizzi, A.J. 1983. Polym. Sci., Polym Chem. Edition. Vol. 20 : 739-764. [Puslitbangkim] Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2006. Pengembangan Rumah Instan Sederhana Sehat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Cileunyi. Bandung Rahman O. 1986. Penentuan Ukuran Sasaran Kayu Gergajian. Jurnal Litbang Kehutanan Vol. 2. No. 1. Bogor. __________. 1994. Program Simulasi Komputer untuk Meningkatkan Rendemen Penggergajian. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 12 No. 5. pp 180 - 193. Bogor. ________, dan J. Balfas. 1993. Karakteristik Penggergajian dan Pengerjaan Beberapa Jenis Kayu HTI. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Kayu HTI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. ________., dan J. Malik, 2008. Penggergajian dan Pengerjaan Kayu. Pilar Industri Perkayuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan R.I. Bogor. Roychansyah M.S. 2006. Perkembangan Rumah Prefabrikasi. www.beritaiptek.com.g. Dikunjungi 28 Maret 2006 Ruhendi S. dan Y.S. Hadi. 1997. Perekat dan Perekatan. Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rulliaty S., dan Y.I. Mandang. 1988. Struktur Anatomi Beberapa Jenis Kayu hutan Tanaman Industri. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol.5 No.6. Bogor. Sabaruddin A., 2006. Membangun Rumah Sederhana Tahan Gempa. Artikel Koran Harian Pikiran Rakyat. Edisi 7 September 2006. p : 30 Schodek, D. L. 1999. Struktur : alih bahasa, Bambang Suryoatmono; editor : Djadja Subagdja. Ed.2. Erlangga. Jakarta Silitonga T. 1987. Kajian Kayu HTI untuk Pulp Kertas dan Rayon. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Kayu HTI . Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Siswadi, W. Sarjono, H.Y. Wigroho, W.I. Ervianto. 1999. Analisis Struktur Statik Tertentu. Penerbit Universitas Atmajaya. Yogyakarta.
175
Smulski S. 1997. Engineered Wood Product. A Guide for Specifiers, Designers and Users. PFS Research Foundation. Madison, Wisconsin. P : ix Sofyan K. dan Surjokusumo S., 1980. Risalah Cacat pada Papan Gergajian Kamper, Keruing, dan Meranti. Makalah penunjang dalam lokakarya Standarisasi dan Normalisasi Kayu Bangunan, tgl 18 September 1980. Fahutan IPB. Bogor Sulistyawati, I. 2009. Karakteristik Kekuatan dan Kekakuan Balok Glulam Kayu Mangium. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Disertasi (Tidak diterbitkan) Surjokusumo S. 1982. Laporan Studi Mekanikal Stress Grading. Lembaga Penelitian IPB. Bogor _____
. 1993. Kayu sebagai Bahan Bangunan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
., E.T. Bahtiar. 1999. Kayu Indonesia sebagai Bahan Rekayasa Konstruksi _____ Kayu. Seminar Sehari HAKI, 8 September 1999. _____ ., E.T. Bahtiar. 2000. Pendugaan Kekuatan Kayu Konstruksi Indonesia dengan Mesin Pemilah Panter dalam Format Allowable Stress Design (ASD) dan Load and Resistance Factor Design (LRFD). Pusat Studi Ilmu Hayati. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. . 2006. Bunga Rampai Jejak Langkah Pengabdian. Departemen Hasil _____ Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Tarvainen, V. P. Saranpaa and J. Repola. 2001. Discoloration of Norway spruce and Scots pine timber during drying. Preceed of 7thInternational IUFRO Wood DryingConference, July 9 – 13 , 2001 in Tsukuba. Pp. 294 – 299. Forestry and Forest Products Research Institute, Japan Trihastoyo, A. 2001. Prospek Pemanfaatan Kayu Acacia mangium untuk Kayu Pertukangan. Prosid. Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan. 7 November 2001. H. 77 – 81. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor Tsai L.M. 1993. Growth and Yield In : Acacia mangium, Growing and Utilization. Editors : K. Awang and D. Taylor. MPTS Monograph Series No. 3. Bangkok. Thailand. Tsoumis G. 1991. Science And Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization, Van Nostrand Reinhold Company Inc., New York Wahyudi, I.,T. Okuyama, Y. Sudohadi, H. Yamamoto, M. Yoshida, and H. Watanabe. 1998. Growth Mechanism of Fast Growing Species in Tropical Forest. Growth stresses and strains of acacia mangium. Proceedings of the second International Wood Science Seminar; Serpong, 6-7 November 1998. Serpong: JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science.
176
Waluyo H. 2003. Struktur Anatomi dan Dimensi Serat Kayu Mangium (Acacia mangium, Wild.). Fakultas Kehutanan. Universitas Winaya Mukti. Bandung. Skripsi (Tidak diterbitkan) Wang, Z., E.T. Choong and V.K. Gopu. 1993. Effect of presteaming on drying stresses of red oak using a coating and bending method. Wood and Fiber Science 26 (4): 527 - 535. Widarmana, S. 1981. Cara-Cara Menggergaji untuk Meningkatkan Kualitas Kayu Gergajian. Makalah Penunjang Diskusi Industi Perkayuan. LPHH – Bogor. Pp. 187195. Wijaya, B., 2007. Design dan Analisis Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa dari Kayu. Skripsi. Jurusan Teknik Sipil. Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara. Jakarta.
177
178
Lampiran 1. Dimensi Log, Angka Bentuk dan Pembagian Log secara Proporsional pada Setiap Pola Penggergajian A. Pola Konvensional : No.
No. log
1 30 2 5 3 47 4 51 5 45 6 41 7 46 8 54 9 11 10 37 11 42 12 56 13 34 14 23 15 58 16 19 17 9 18 39 19 59 20 53 jumlah rata-rata
d1 21 25 21 23 25 26 23 27 26 26 27 24 23 27 29 33 35 32 29 33
dp (cm) d2 Rp 22 21.5 27 26.0 29 25.0 28 25.5 29 27.0 28 27.0 33 28.0 32 29.5 33 29.5 33 29.5 30 28.5 39 31.5 40 31.5 36 31.5 34 31.5 33 33.0 36 35.5 40 36.0 44 36.5 46 39.5
d3 20 23 22 22 26 25 21 24 26 24 25 27 28 27 30 30 33 33 33 33
Dimensi log du (cm) d (cm) d4 Ru 24 22.0 22 24 23.5 25 25 23.5 24 24 23.0 24 27 26.5 27 28 26.5 27 27 24.0 26 26 25.0 27 27 26.5 28 31 27.5 29 30 27.5 28 29 28.0 30 31 29.5 31 36 31.5 32 32 31.0 31 33 31.5 32 33 33.0 34 36 34.5 35 35 34.0 35 40 36.5 38 584 29.21
Nilai bentuk Pjg (cm) 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 4200 210
Vol Log (cm3)
K (%)
77984 0.8333 100981 0.9259 96942 0.7241 96942 0.8214 117960 0.8621 117960 0.8929 111439 0.6970 122411 0.8438 129242 0.7879 133899 0.7742 129242 0.8333 145903 0.6154 153352 0.5750 163572 0.7500 160986 0.8529 171454 0.9091 193379 0.9722 204836 0.8000 204836 0.6591 238043 0.7174 2871368 15.8470 143568 0.7923499 2.871368
T (cm/m) -0.2381 1.1905 0.7143 1.1905 0.2381 0.2381 1.9048 2.1429 1.4286 0.9524 0.4762 1.6667 0.9524 0.0000 0.2381 0.7143 1.1905 0.7143 1.1905 1.4286 18.3333 0.9166667
L 0.2299 0.0000 0.1443 0.0000 0.0748 0.0000 0.0000 0.1284 0.0357 0.0702 0.0000 0.0672 0.0984 0.0000 0.0960 0.0000 0.0000 0.1418 0.0000 0.0789 1.1657 0.058285
v (cm) 5 0 3.5 0 2 0 0 3.5 1 2 0 2 3 0 3 0 0 5 0 3
179
Lampiran 1. (lanjutan) B. Pola Satu Sisi : No.
No. log
1 22 2 50 3 43 4 2 5 6 6 25 7 1 8 32 9 3 10 35 11 48 12 52 13 4 14 20 15 57 16 12 17 38 18 36 19 60 20 44 jumlah rata-rata
d1 23 23 24 25 27 26 26 27 29 27 26 27 27 30 31 32 32 32 34 31
dp (cm) d2 Rp 23 23.0 25 24.0 27 25.5 26 25.5 29 28.0 28 27.0 30 28.0 30 28.5 30 29.5 30 28.5 30 28.0 34 30.5 37 32.0 36 33.0 36 33.5 34 33.0 36 34.0 40 36.0 44 39.0 50 40.5
d3 20 22 22 25 25 25 23 25 27 26 27 26 28 27 27 31 31 32 29 33
Dimensi log du (cm) d (cm) d4 Ru 22 21.0 22 24 23.0 24 24 23.0 24 26 25.5 26 26 25.5 27 26 25.5 26 30 26.5 27 27 26.0 27 29 28.0 29 30 28.0 28 29 28.0 28 29 27.5 29 30 29.0 31 32 29.5 31 33 30.0 32 35 33.0 33 34 32.5 33 38 35.0 36 33 31.0 35 47 40.0 40 587 29.36
Nilai bentuk Pjg (cm) 210 210 210 210 210 205 210 210 210 210 210 210 210 209 210 210 210 206 210 210 4190 209.5
Vol Log (cm3)
K (%)
79787 0.9091 91038 0.9167 96942 0.8889 107194 0.9615 117960 0.9310 110887 0.9286 122411 0.7667 122411 0.9000 136259 0.9310 131561 0.8667 129242 0.8667 138639 0.7941 153352 0.7297 160220 0.8333 166179 0.8182 179522 0.8857 182252 0.8889 203795 0.8000 201941 0.7727 267067 0.6200 2898661 17.0095 144933 0.8504759 2.898661
T (cm/m) 0.9524 0.4762 1.1905 0.0000 1.1905 0.7317 0.7143 1.1905 0.7143 0.2381 0.0000 1.4286 1.4286 1.6746 1.6667 0.0000 0.7143 0.4854 3.8095 0.2381 18.8442 0.9422083
L 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.1524 0.1835 0.0000 0.1043 0.0708 0.0000 0.0690 0.1967 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0497 0.8264 0.041319
d terpanjang 23 25 27 26 29 28 30 30 30 30 30 34 37 36 36 34 36 40 44 54
v (cm) 0 0 0 0 0 4 5 0 3 2 0 2 6 0 0 0 0 0 0 2
180
Lampiran 1. (lanjutan) C. Pola Satu Sisi dengan MOP : Dimensi log no.
No. log
1 7 2 15 3 26 4 21 5 10 6 18 7 14 8 28 9 16 10 24 11 40 12 49 13 33 14 13 15 55 16 17 17 29 18 31 19 8 20 27 jumlah rata-rata
dp (cm) d1 24 23 24 25 26 26 27 27 28 30 29 22 30 30 28 38 33 36 34 43
d2 26 24 25 30 27 28 29 30 31 31 33 38 36 33 39 39 39 42 43 50
du (cm) Rp 25.0 23.5 24.5 27.5 26.5 27.0 28.0 28.5 29.5 30.5 31.0 30.0 33.0 31.5 33.5 38.5 36.0 39.0 38.5 46.5
d3 22 23 23 21 25 24 26 26 26 25 25 27 27 29 27 26 31 31 33 33
d4 23 23 24 24 27 29 26 26 30 29 29 30 28 33 30 30 32 31 39 40
Ru 22.5 23.0 23.5 22.5 26.0 26.5 26.0 26.0 28.0 27.0 27.0 28.5 27.5 31.0 28.5 28.0 31.5 31.0 36.0 36.5
Nilai bentuk
d (cm)
Pjg (cm)
24 23 24 25 26 27 27 27 29 29 29 29 30 31 31 33 34 35 37 42 592 29.61
210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 4200 210
Vol Log (cm3)
K (%)
92986 0.9231 89112 0.9583 94954 0.9583 103031 0.8333 113592 0.9259 117960 0.8276 120176 0.9310 122411 0.9000 136259 0.8667 136259 0.8621 138639 0.8621 141039 0.5789 150848 0.8333 160986 0.8788 158421 0.7179 182252 0.8667 187774 0.8462 201941 0.8571 228740 0.7907 283913 0.8250 2961293 17.0431 148065 0.8521553 2.961293
T (cm/m) 1.1905 0.2381 0.4762 2.3810 0.2381 0.2381 0.9524 1.1905 0.7143 1.6667 1.9048 0.7143 2.6190 0.2381 2.3810 5.0000 2.1429 3.8095 1.1905 4.7619 34.0476 1.702381
L 0.0000 0.1720 0.1250 0.0800 0.0000 0.0000 0.1111 0.0000 0.1565 0.1043 0.0000 0.0000 0.1322 0.1280 0.0000 0.0902 0.0000 0.0857 0.0000 0.0000 1.1852 0.05926
d terpanjang
PPT (cm)
v (cm)
26 24 25 30 27 29 29 30 31 31 33 38 36 33 39 39 39 42 43 50
1.0 1.5 2.0 1.5 1.5 1.0 1.0 1.5 2.0 2.0 1.5 1.5 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0 1.0 1.5
0 4 3 2 0 0 3 0 4.5 3 0 0 4 4 0 3 0 3 0 0
181
Lampiran 2. Volume dan Rendemen setiap Jenis Produksi pada Masing-masing Pola Penggergajian Volume (m3)
Jenis produk
No
Rendemen (%)
1
2
3
total
1
2
3
Total
1
Log
2,871367
2,898660
2,961293
8,731300
2
2,036763
2,130225
2,212200
6.379188
70,9
73,5
74,7
73,06
3
Sawntimber (R1) Bilah/rough lumber (R2)
1,290456
1,227940
1,347683
3.866079
44,9
42,4
45,5
44,28
4
Blangking (R3)
3,247595
37,9
35,5
38,2
37,19
5
Lumber shearing (R4)
2,396822
27,66
26,35
28,33
27,45
1,087507 0,79424
1,029752 0,763749
1,130336 0,838839
Keterangan : 1 = Pola penggergajian konvensional 2 = Pola penggergajian satu sisi 3 = Pola penggergajian MOP
182
Lampiran 3. Kategori dan Persentase Cacat Papan pada Metode Penggergajian Saw Dry Rip (SDR) pada Masing-masing Pola Penggergajian I. Pola Konvensional
Kategori cacat
Jenis cacat
Membusur Lengkung Mencawan Cacat serat terpisah Retak Pecah tertutup Pecah terbuka jumlah total papan cacat jumlah total papan
Jumlah papan
% cacat
Cacat bentuk
18 33
9.4 17.2
19 70 192
9.9 36.5
II. Pola Satu Sisi
Kategori cacat
Jenis cacat
Membusur Lengkung Mencawan Cacat serat terpisah Retak Pecah tertutup Pecah terbuka jumlah total papan cacat jumlah total papan
Jumlah papan
% cacat
Cacat bentuk
17 29
8.9 15.1
14 60 192
7.3 31.3
III. Pola MOP
Kategori cacat
Jenis cacat
Membusur Lengkung Mencawan Cacat serat terpisah Retak Pecah tertutup Pecah terbuka jumlah total papan cacat jumlah total papan
Jumlah papan
% cacat
Cacat bentuk
34 39
16.3 18.7
12 85 209
5.7 40.7
183
Lampiran 4. Jenis dan Jumlah Cacat pada Balok sebagai Rangka Shearwall No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis cacat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Pecah Retak Lubang gerek Miring serat Pingul
Jumlah cacat 124 79 147 61 28 5 8
Lampiran 5. Data hasil pengukuran nilai strength ratio (SR) pada Balok sebagai Rangka Shearwall CU 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 rata-rata Maksimum Minimum Stdev
Nilai SR (%) 79 77 83 79 89 68 69 80 85 83 85 83 95 88 91 75 91 90 92 85 83 77 85 62 90 88 65 82,11 95,00 62,00 8,54
Jenis cacat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Mata kayu sehat Mata kayu sehat
184
Lampiran 6. Jadwal pengeringan kayu Mangium berdasarkan IFC Advisory Services Indonesia 2008 No.
Sceduling KD
1
1
Tanggal Start
22/03/2010
2
3
Ukuran (mm )
25x110x2050
3
Spraying
22/03/2010 0
2
3
4
5
6
7
8
4
Kelembaban C
42
41
43
40
41
42
41
42
5
Moisture Content (MC %)
100
65
40
37
34
25
12
10
40
45
50
55
55
60
60
65
0
6
Temperatur ( C)
7
Damper 1'/6'
8
Tanggal Kontrol *)
9
Keterangan
6
6
6
6
6
6
6
6
22/03/2010
25/03/2010
28/03/2010
31/03/2010
03/04/2010
06/04/2010
09/04/2010
12/04/2010
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
Keterangan
23/03/2010 24 hari
*) = Dihitung harinya berdasarkan penurunan MC setiap 10 % Damper dilakukan setiap 6 menit sekali selama 1 menit, untuk stabilisasi kelembaban Spraying dilakukan pada saat suhu melebihi nilai kelembaban yang ditentukan (± 40 0C )
185
Lampiran 7. Hasil Pengukuran Kadar Air dengan 2 Alat Moisture Meter dalam Proses Pengeringan Kayu Mangium Jenis Moisture meter tgl kontrol 23/03/2010 28/03/2010 31/03/2010 03/04/2010 06/04/2010 09/04/2010 12/04/2010
Ballunn 1 54 32 32 26 15 10 9
2 54 38 32 27 20 12 10
MC kuning 3 65 40 37 34 23 13 12
1 45 30 25 17 10 8 7
2 50 30 25 20 15 9 8
3 60 32 32 25 25 11 10
Lampiran 8. Hasil Penurunan Kadar Air dalam Proses Pengeringan Kayu Mangium selama 24 Hari No 1 2 3 4 5 6 7
MC (derajat) 100 menjadi 65 65 menjadi 40 40 menjadi 37 37 menjadi 34 34 menjadi 25 25 menjadi 12 12 menjadi 10 Total hari
Temperatur 40 45 50 55 55 60 65
jumlah hari
Ket
3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 24 hari
186
Lampiran 9. Rekapitulasi Biaya Proses Produksi Lumber Shearing Rumah Prefabrikasi No 1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Uraian kegiatan Pembelian Log Penggergajian Upah borongan susun stik sawn timber Proses pengeringan Ripsaw Cross cut Laminating Molding Dempul Sanding Tata usaha kayu (FAKO) Pemuatan (loading) Pengangkutan P Laut - P Jawa
satuan
jumlah
m3 m3 m3 m3 m3 pcs m2 ML m3 m2 m3 m3 m3
66.1 48.4 48.4 48.4 47.7 11300.0 32.8 25440.0 22.5 124.8 17.0 17.0 17.0
Biaya (Rp/satuan) 400,000 300,000 10,000 225,000 27,500 115 1,500 45 30,000 850 11,765 15,000 470,588
Total biaya (Rp) 26,444,000 14,517,000 483,900 10,887,750 1,312,245 1,299,500 49,230 1,144,800 673,920 106,080 200,000 255,000 8,000,000 65,373,425
Keterangan : ml = meter lari Pcs = pieces
187
Lampiran 1. Dimensi Log, Angka Bentuk dan Pembagian Log secara Proporsional pada Setiap Pola Penggergajian A. Pola Konvensional : No.
No. log
1 30 2 5 3 47 4 51 5 45 6 41 7 46 8 54 9 11 10 37 11 42 12 56 13 34 14 23 15 58 16 19 17 9 18 39 19 59 20 53 jumlah rata-rata
d1 21 25 21 23 25 26 23 27 26 26 27 24 23 27 29 33 35 32 29 33
dp (cm) d2 Rp 22 21.5 27 26.0 29 25.0 28 25.5 29 27.0 28 27.0 33 28.0 32 29.5 33 29.5 33 29.5 30 28.5 39 31.5 40 31.5 36 31.5 34 31.5 33 33.0 36 35.5 40 36.0 44 36.5 46 39.5
d3 20 23 22 22 26 25 21 24 26 24 25 27 28 27 30 30 33 33 33 33
Dimensi log du (cm) d (cm) d4 Ru 24 22.0 22 24 23.5 25 25 23.5 24 24 23.0 24 27 26.5 27 28 26.5 27 27 24.0 26 26 25.0 27 27 26.5 28 31 27.5 29 30 27.5 28 29 28.0 30 31 29.5 31 36 31.5 32 32 31.0 31 33 31.5 32 33 33.0 34 36 34.5 35 35 34.0 35 40 36.5 38 584 29.21
Nilai bentuk Pjg (cm) 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 4200 210
Vol Log (cm3)
K (%)
77984 0.8333 100981 0.9259 96942 0.7241 96942 0.8214 117960 0.8621 117960 0.8929 111439 0.6970 122411 0.8438 129242 0.7879 133899 0.7742 129242 0.8333 145903 0.6154 153352 0.5750 163572 0.7500 160986 0.8529 171454 0.9091 193379 0.9722 204836 0.8000 204836 0.6591 238043 0.7174 2871368 15.8470 143568 0.7923499 2.871368
T (cm/m) -0.2381 1.1905 0.7143 1.1905 0.2381 0.2381 1.9048 2.1429 1.4286 0.9524 0.4762 1.6667 0.9524 0.0000 0.2381 0.7143 1.1905 0.7143 1.1905 1.4286 18.3333 0.9166667
L 0.2299 0.0000 0.1443 0.0000 0.0748 0.0000 0.0000 0.1284 0.0357 0.0702 0.0000 0.0672 0.0984 0.0000 0.0960 0.0000 0.0000 0.1418 0.0000 0.0789 1.1657 0.058285
v (cm) 5 0 3.5 0 2 0 0 3.5 1 2 0 2 3 0 3 0 0 5 0 3
179
Lampiran 1. (lanjutan) B. Pola Satu Sisi : No.
No. log
1 22 2 50 3 43 4 2 5 6 6 25 7 1 8 32 9 3 10 35 11 48 12 52 13 4 14 20 15 57 16 12 17 38 18 36 19 60 20 44 jumlah rata-rata
d1 23 23 24 25 27 26 26 27 29 27 26 27 27 30 31 32 32 32 34 31
dp (cm) d2 Rp 23 23.0 25 24.0 27 25.5 26 25.5 29 28.0 28 27.0 30 28.0 30 28.5 30 29.5 30 28.5 30 28.0 34 30.5 37 32.0 36 33.0 36 33.5 34 33.0 36 34.0 40 36.0 44 39.0 50 40.5
d3 20 22 22 25 25 25 23 25 27 26 27 26 28 27 27 31 31 32 29 33
Dimensi log du (cm) d (cm) d4 Ru 22 21.0 22 24 23.0 24 24 23.0 24 26 25.5 26 26 25.5 27 26 25.5 26 30 26.5 27 27 26.0 27 29 28.0 29 30 28.0 28 29 28.0 28 29 27.5 29 30 29.0 31 32 29.5 31 33 30.0 32 35 33.0 33 34 32.5 33 38 35.0 36 33 31.0 35 47 40.0 40 587 29.36
Nilai bentuk Pjg (cm) 210 210 210 210 210 205 210 210 210 210 210 210 210 209 210 210 210 206 210 210 4190 209.5
Vol Log (cm3)
K (%)
79787 0.9091 91038 0.9167 96942 0.8889 107194 0.9615 117960 0.9310 110887 0.9286 122411 0.7667 122411 0.9000 136259 0.9310 131561 0.8667 129242 0.8667 138639 0.7941 153352 0.7297 160220 0.8333 166179 0.8182 179522 0.8857 182252 0.8889 203795 0.8000 201941 0.7727 267067 0.6200 2898661 17.0095 144933 0.8504759 2.898661
T (cm/m) 0.9524 0.4762 1.1905 0.0000 1.1905 0.7317 0.7143 1.1905 0.7143 0.2381 0.0000 1.4286 1.4286 1.6746 1.6667 0.0000 0.7143 0.4854 3.8095 0.2381 18.8442 0.9422083
L 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.1524 0.1835 0.0000 0.1043 0.0708 0.0000 0.0690 0.1967 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0497 0.8264 0.041319
d terpanjang 23 25 27 26 29 28 30 30 30 30 30 34 37 36 36 34 36 40 44 54
v (cm) 0 0 0 0 0 4 5 0 3 2 0 2 6 0 0 0 0 0 0 2
180
Lampiran 1. (lanjutan) C. Pola Satu Sisi dengan MOP : Dimensi log no.
No. log
1 7 2 15 3 26 4 21 5 10 6 18 7 14 8 28 9 16 10 24 11 40 12 49 13 33 14 13 15 55 16 17 17 29 18 31 19 8 20 27 jumlah rata-rata
dp (cm) d1 24 23 24 25 26 26 27 27 28 30 29 22 30 30 28 38 33 36 34 43
d2 26 24 25 30 27 28 29 30 31 31 33 38 36 33 39 39 39 42 43 50
du (cm) Rp 25.0 23.5 24.5 27.5 26.5 27.0 28.0 28.5 29.5 30.5 31.0 30.0 33.0 31.5 33.5 38.5 36.0 39.0 38.5 46.5
d3 22 23 23 21 25 24 26 26 26 25 25 27 27 29 27 26 31 31 33 33
d4 23 23 24 24 27 29 26 26 30 29 29 30 28 33 30 30 32 31 39 40
Ru 22.5 23.0 23.5 22.5 26.0 26.5 26.0 26.0 28.0 27.0 27.0 28.5 27.5 31.0 28.5 28.0 31.5 31.0 36.0 36.5
Nilai bentuk
d (cm)
Pjg (cm)
24 23 24 25 26 27 27 27 29 29 29 29 30 31 31 33 34 35 37 42 592 29.61
210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 210 4200 210
Vol Log (cm3)
K (%)
92986 0.9231 89112 0.9583 94954 0.9583 103031 0.8333 113592 0.9259 117960 0.8276 120176 0.9310 122411 0.9000 136259 0.8667 136259 0.8621 138639 0.8621 141039 0.5789 150848 0.8333 160986 0.8788 158421 0.7179 182252 0.8667 187774 0.8462 201941 0.8571 228740 0.7907 283913 0.8250 2961293 17.0431 148065 0.8521553 2.961293
T (cm/m) 1.1905 0.2381 0.4762 2.3810 0.2381 0.2381 0.9524 1.1905 0.7143 1.6667 1.9048 0.7143 2.6190 0.2381 2.3810 5.0000 2.1429 3.8095 1.1905 4.7619 34.0476 1.702381
L 0.0000 0.1720 0.1250 0.0800 0.0000 0.0000 0.1111 0.0000 0.1565 0.1043 0.0000 0.0000 0.1322 0.1280 0.0000 0.0902 0.0000 0.0857 0.0000 0.0000 1.1852 0.05926
d terpanjang
PPT (cm)
v (cm)
26 24 25 30 27 29 29 30 31 31 33 38 36 33 39 39 39 42 43 50
1.0 1.5 2.0 1.5 1.5 1.0 1.0 1.5 2.0 2.0 1.5 1.5 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0 1.0 1.5
0 4 3 2 0 0 3 0 4.5 3 0 0 4 4 0 3 0 3 0 0
181
Lampiran 2. Volume dan Rendemen setiap Jenis Produksi pada Masing-masing Pola Penggergajian Volume (m3)
Jenis produk
No
Rendemen (%)
1
2
3
total
1
2
3
Total
1
Log
2,871367
2,898660
2,961293
8,731300
2
2,036763
2,130225
2,212200
6.379188
70,9
73,5
74,7
73,06
3
Sawntimber (R1) Bilah/rough lumber (R2)
1,290456
1,227940
1,347683
3.866079
44,9
42,4
45,5
44,28
4
Blangking (R3)
3,247595
37,9
35,5
38,2
37,19
5
Lumber shearing (R4)
2,396822
27,66
26,35
28,33
27,45
1,087507 0,79424
1,029752 0,763749
1,130336 0,838839
Keterangan : 1 = Pola penggergajian konvensional 2 = Pola penggergajian satu sisi 3 = Pola penggergajian MOP
182
Lampiran 3. Kategori dan Persentase Cacat Papan pada Metode Penggergajian Saw Dry Rip (SDR) pada Masing-masing Pola Penggergajian I. Pola Konvensional
Kategori cacat
Jenis cacat
Membusur Lengkung Mencawan Cacat serat terpisah Retak Pecah tertutup Pecah terbuka jumlah total papan cacat jumlah total papan
Jumlah papan
% cacat
Cacat bentuk
18 33
9.4 17.2
19 70 192
9.9 36.5
II. Pola Satu Sisi
Kategori cacat
Jenis cacat
Membusur Lengkung Mencawan Cacat serat terpisah Retak Pecah tertutup Pecah terbuka jumlah total papan cacat jumlah total papan
Jumlah papan
% cacat
Cacat bentuk
17 29
8.9 15.1
14 60 192
7.3 31.3
III. Pola MOP
Kategori cacat
Jenis cacat
Membusur Lengkung Mencawan Cacat serat terpisah Retak Pecah tertutup Pecah terbuka jumlah total papan cacat jumlah total papan
Jumlah papan
% cacat
Cacat bentuk
34 39
16.3 18.7
12 85 209
5.7 40.7
183
Lampiran 4. Jenis dan Jumlah Cacat pada Balok sebagai Rangka Shearwall No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis cacat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Pecah Retak Lubang gerek Miring serat Pingul
Jumlah cacat 124 79 147 61 28 5 8
Lampiran 5. Data hasil pengukuran nilai strength ratio (SR) pada Balok sebagai Rangka Shearwall CU 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 rata-rata Maksimum Minimum Stdev
Nilai SR (%) 79 77 83 79 89 68 69 80 85 83 85 83 95 88 91 75 91 90 92 85 83 77 85 62 90 88 65 82,11 95,00 62,00 8,54
Jenis cacat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu sehat Mata kayu lepas Mata kayu sehat Mata kayu sehat
184
Lampiran 6. Jadwal pengeringan kayu Mangium berdasarkan IFC Advisory Services Indonesia 2008 No.
Sceduling KD
1
1
Tanggal Start
22/03/2010
2
3
Ukuran (mm )
25x110x2050
3
Spraying
22/03/2010 0
2
3
4
5
6
7
8
4
Kelembaban C
42
41
43
40
41
42
41
42
5
Moisture Content (MC %)
100
65
40
37
34
25
12
10
40
45
50
55
55
60
60
65
0
6
Temperatur ( C)
7
Damper 1'/6'
8
Tanggal Kontrol *)
9
Keterangan
6
6
6
6
6
6
6
6
22/03/2010
25/03/2010
28/03/2010
31/03/2010
03/04/2010
06/04/2010
09/04/2010
12/04/2010
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
Keterangan
23/03/2010 24 hari
*) = Dihitung harinya berdasarkan penurunan MC setiap 10 % Damper dilakukan setiap 6 menit sekali selama 1 menit, untuk stabilisasi kelembaban Spraying dilakukan pada saat suhu melebihi nilai kelembaban yang ditentukan (± 40 0C )
185
Lampiran 7. Hasil Pengukuran Kadar Air dengan 2 Alat Moisture Meter dalam Proses Pengeringan Kayu Mangium Jenis Moisture meter tgl kontrol 23/03/2010 28/03/2010 31/03/2010 03/04/2010 06/04/2010 09/04/2010 12/04/2010
Ballunn 1 54 32 32 26 15 10 9
2 54 38 32 27 20 12 10
MC kuning 3 65 40 37 34 23 13 12
1 45 30 25 17 10 8 7
2 50 30 25 20 15 9 8
3 60 32 32 25 25 11 10
Lampiran 8. Hasil Penurunan Kadar Air dalam Proses Pengeringan Kayu Mangium selama 24 Hari No 1 2 3 4 5 6 7
MC (derajat) 100 menjadi 65 65 menjadi 40 40 menjadi 37 37 menjadi 34 34 menjadi 25 25 menjadi 12 12 menjadi 10 Total hari
Temperatur 40 45 50 55 55 60 65
jumlah hari
Ket
3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 24 hari
186
Lampiran 9. Rekapitulasi Biaya Proses Produksi Lumber Shearing Rumah Prefabrikasi No 1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Uraian kegiatan Pembelian Log Penggergajian Upah borongan susun stik sawn timber Proses pengeringan Ripsaw Cross cut Laminating Molding Dempul Sanding Tata usaha kayu (FAKO) Pemuatan (loading) Pengangkutan P Laut - P Jawa
satuan
jumlah
m3 m3 m3 m3 m3 pcs m2 ML m3 m2 m3 m3 m3
66.1 48.4 48.4 48.4 47.7 11300.0 32.8 25440.0 22.5 124.8 17.0 17.0 17.0
Biaya (Rp/satuan) 400,000 300,000 10,000 225,000 27,500 115 1,500 45 30,000 850 11,765 15,000 470,588
Total biaya (Rp) 26,444,000 14,517,000 483,900 10,887,750 1,312,245 1,299,500 49,230 1,144,800 673,920 106,080 200,000 255,000 8,000,000 65,373,425
Keterangan : ml = meter lari Pcs = pieces
187
124