TINJAUAN PUSTAKA Sambungan Kayu Menurut Hoyle (1973) sambungan adalah lokasi sederhana yang menghubungkan dua bagian atau lebih menjadi satu dengan bentuk tertentu pada ujung-ujung perlekatannya. Tular dan Idris (1981) menyatakan bahwa sambungan merupakan titik terlemah dari suatu konstruksi. Dalam pelaksanaan konstruksi kayu, harus diperhatikan cara menyambung, serta menggabungkan kayu tertentu sehingga dalam batas-batas tertentu gaya tarik dan gaya tekan yang timbul dapat diterima atau disalurkan dengan baik. Tujuan penyambungan kayu adalah untuk memperoleh panjang yang diinginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang di inginkan. Sebuah sambungan pada suatu konstruksi merupakan titik kritis atau terlemah pada konstruksi tersebut. Oleh karena itu, kayu yang akan disambung harus merupakan pasangan yang cocok dan tepat, penyambungan tidak boleh sampai merusak kayu yang disambung tersebut, sesudah sambungan jadi hendaknya diberi bahan pengawet agar tidak cepat lapuk dan sebaiknya sambungan kayu yang dibuat terlihat dari luar agar mudah untuk dikontrol (Surya, 2007). Kekuatan sambungan tergantung pada kekuatan komponen penyusunnya, yaitu kayu yang disambung dan alat sambungnya. Sesuai dengan teori mata rantai kekuatan sambungan banyak ditentukan oleh komponennya yang terlemah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan sambungan adalah kerapatan kayu, besarnya beban yang diberikan dan keadaan alat sambungnya (Surjokusumo 1984). Kayu sebagai Batang Sambungan
Berat jenis atau kerapatan dan kadar air kayu, terutama kadar air dibawah titik jenuh serat merupakan sifat fisik utama yang sangat mempengaruhi kekuatan atau sifat mekanik kayu. Peraturan konstruksi kayu Indonesia (PKKI) NI 5-1961 mengklasifikasikan kayu berdasarkan kelas kuat, mutu dan keawetannya. Pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 2002 penetapan kekuatan kayu dilakukan
menurut
acuan
berdasarkan
pemilahan
mekanis,
yaitu
kekuatannya
dikelompokkan berdasarkan pada besarnya modulus elastisitas. Sedangkan sifat mekanik pada kayu di Amerika dikorelasikan dengan berat jenisnya seperti ditabelkan pada Tabel 4-11a. dari Forest Products Laboratory, 1999. Menurut Courney (2000) perilaku tekan bahan padat seluler seperti kayu dipengaruhi oleh tebal dinding sel, bentuk sel, diameter rongga sel, distribusi kerapatan dan sifat-sifat mekanis zat dinding sel itu sendiri. Tabarsa dan Chui (2001) menunjukkan bahwa perilaku kayu dalam tekan arah transversal sangat tergantung pada ciri-ciri anatomi kayu tersebut. Berbeda dengan Beery et al. (1983) perilaku elastis lebih tergantung pada kerapatan dari pada sifat atau kharakteristik anatomi kayu. Kennedy (1968) dalam Muller, et al. (2003) memperkuat kecenderungan pengaruh kerapatan dan juga menemukan hubungan antara perilaku mekanis dengan proporsi kayu akhir serta perbedaan-perbedaan kayu awal dengan kayu akhir. Courney (2000) menjelaskan perbedaan perilaku dinding sel karena pengaruh pembebanan. Jika material dinding sel adalah daktil maka tegangan rusak/leleh berhubungan dengan sifat plastis dinding sel. Selanjutnya pada awal kolaps plastis dari bahan pada seluler plastis, tegangan sering mengalami penurunan tiba-tiba (mendadak) serta tegangan siklik dimana tegangan rata-rata periode stabil telah terjadi. Sebaliknya apabila material brittle (rapuh) maka kerusakan berhubungan dengan dinding-dinding sel yang rusak/patah. Pada kasus kayu daun lebar dengan pori tersebar merata (bahan padat seluler elastomeric) Courney (2000) menjelaskan bahwa kerusakan karena beban tekan tegak lurus tersebut disebabkan oleh deformasi plastis sel. Kurva tegangan-regangan akibat tekan bahan padat seluler elastomeric adalah smooth, periode stabil berlangsung cukup lama sampai regangan memasuki awal pemadatan kemudian kurva secara bertahap kemiringannya meningkat sampai pemadatan regangan dicapai. Kollmann (1959, 1982) dalam Muller et al. (2003) menyatakan bahwa kekuatan tekan tegak lurus serat kayu ditentukan oleh tegangan kritis dinding sel tunggal. Tekukan dinding sel merupakan titik terlemah sebagai awal kerusakan. Bodig (1963) dan Beery et al. (1983) menjelaskan karakteristik kerusakan sebagai fungsi zona lemah dalam kayu, dimana secara alami ditentukan oleh elemen-
8
elemen anatomi yang seragam. Menurut Beery et al. (1983) penurunan tegangan maksimum kayu akibat pembebanan arah radial diakibatkan bertambahnya bidang pembuluh dan lebar jari-jari.
Paku sebagai Alat Sambung
Dari beberapa tipe paku utama yang digunakan dalam aplikasi struktural, maka paku umum dan paku panjang merupakan paku paling luas digunakan di Indonesia. Sama seperti paku lainnya paku umum memiliki ujung paku berbentuk diamond. Dalam buku ajar Design of Wood Structures, Allowable Stress Design (ASD)/Load Resistance and Factor Design (LRFD) (Breyer et al. 2007) dicantumkan panjang paku umum berkisar dari 5,08-15,24 cm dengan diameter berkisar dari 2,87-6,68 mm. Paku umum tersebut terbuat dari kawat baja karbon rendah dengan batang datar (lurus) dan ujung diamond. Karena diameter paku umum lebih besar dibandingkan diameter tipe paku lainnya, paku umum memiliki kecenderungan melentur yang kecil saat dipukul atau dipalu secara manual. Kekuatan lentur paku umum, box dan paku sinker berdasarkan Tabel NDS (National Design Spesification for Wood Construction ASD/LRFD (2005) dari kisaran diameter paku 2,87-6,68 mm adalah 100-70 ksi (7.031-4.922 kg/cm2). Kekuatan lentur paku (nail bending yield strength) merupakan salah satu parameter penting untuk menghitung nilai disain rujukan (tegangan ijin format ASD) dari sambungan kayu paku tunggal dari persamaan batas leleh (yield limit equations). Wiryomartono (1977) mengatakan bahwa aplikasi paku sebagai alat sambung pada konstruksi kayu pada dasarnya didisain untuk memikul beban geseran dan lenturan. Sambungan dengan paku pada dasarnya serupa dengan sambungan dengan baut tanpa mur serta cincin-cincin tutup. Tetapi pemindahan gaya dapat berlangsung lebih baik daripada dengan cara terakhir, karena paku itu tertanam erat didalam kayu. Hal ini disebabkan paku-paku tersebut dipukulkan begitu saja atau dipukulkan kedalam lubang yang lebih sempit yang dibuat sebelumnya.
9
Muller dalam Wiryomartono (1977) meneliti sambungan double shear balok kayu Pinus silvestris lebar 5,1 cm dengan paku bulat diameter 5,1 mm menghasilkan tegangan desak kayu (σ ds) 394 kg/cm2 dan P max per paku sebesar 478 kg. Dengan menggunakan kayu Swedish fir lebar balok 5.3 cm kekuatan desaknya (σ ds) menjadi 305 kg/cm2 dan P max per paku 474 kg. Menurut Soehendrodjati (1990) paku sebagai alat sambung sudah banyak digunakan, baik untuk penyambung perabotan rumah tangga, kusen, pintu, jendela maupun pada struktur bangunan. Wirjomartono (1977) mengatakan beberapa keuntungan penggunaan paku, yaitu harganya murah, sambungan bersifat kaku dan sesarannya kecil, sehingga struktur menjadi lebih kokoh, pelaksanaan pekerjaan cepat, mudah, dan tidak memerlukan tenaga ahli, perlemahan pada tampang tergolong kecil serta penyimpangan arah gaya terhadap arah serat tidak mempengaruhi kekuatan dukung. Menganggap efisiensi suatu konstruksi kayu (fiktif) tanpa sambungan sama dengan 100%, maka overall efficiency konstruksi dengan alat penyambung paku dan baut masing-masing dapat dinilai sebesar 50% dan 30% (Yap, 1984).
Sambungan Kayu dengan Paku
Dalam kaitan dengan nilai disain sambungan paku, PKKI
(Peraturan
Konstruksi Kayu Indonesia) 1961 telah mengakomodasikan syarat-syarat yang harus diperhatikan pada sambungan paku, diantaranya kekuatan paku tidak dipengaruhi oleh besarnya sudut penyimpangan antara arah gaya dan arah serat; apabila dalam suatu baris terdapat lebih dari 10 batang paku, maka kekuatan paku harus dikurangi dengan 10%, dan jika lebih dari 20 batang
harus dikurangi
dengan 20%; jarak paku minimum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, dalam arah gaya : 12 d untuk tepi kayu yang dibebani, 5 d untuk tepi kayu yang tidak dibebani dan jarak antara baris-baris paku, sedangkan dalam arah tegak lurus arah gaya : 5 d untuk jarak sampai tepi kayu dan 5 d untuk jarak antara barisbaris paku. Wirjomartono (1977) dan hasil penelitian Surjokusumo et al. (1980) mengatakan bahwa kekuatan sambungan kayu dipengaruhi oleh jenis kayu.
10
Banyak penelitian menyebutkan peranan jenis kayu dalam hal ini kerapatan kayu atau tebal dinding sel kayu sangat besar dalam mempengaruhi kekuatan sambungan kayu. Penelitian Surjokusumo et al. (1980) menyimpulkan bahwa makin tinggi kerapatan kayu dan jumlah paku maka kekuatan sambungan akan meningkat, tetapi peningkatan ini tidak bersifat linier. Pemakaian jumlah paku yang besar pada kayu dengan kerapatan tinggi cenderung akan memperbesar perlemahan sambungan. Selanjutnya dikatakan bahwa rata-rata kekuatan per paku akan meningkat dengan meningkatnya kerapatan kayu tetapi cenderung konstan dengan bertambahnya jumlah paku. Pada sambungan paku terdapat dua tipe pembebanan yaitu pembebanan lateral dan pembebanan withdrawal (Hoyle, 1973). Wood Handbook (FPL, 1987) mencantumkan
rumus
empiris
ketahanan
cabut/withdrawal
(withdrawal
resistance) adalah p = 7,850 G5/2DL, dan ketahanan samping/lateral (lateral resistance)
pada sesaran 0,015 inch adalah
p = KD3/2,
dimana p : beban
maksimum (pounds); L : penetrasi paku kedalam kayu (inch); G : kerapatan atau berat jenis kayu berdasarkan berat per volume pada kadar air 12% ; D : diameter paku (inch) dan K : konstanta atau koefisien. Dibandingkan ketahanan lateral, maka data atau informasi mengenai uji ketahanan withdrawal umumnya tidak begitu penting pada aplikasinya untuk bangunan-bangunan struktural sehingga kurang diperhitungkan atau sering diabaikan. Dari formula tersebut dapat dilihat bahwa ketahanan lateral sambungan kayu sangat dipengaruhi oleh diameter paku sebagai alat sambungnya. Berbeda dengan hasil penelitian Sadiyo dan Suharti (2004) dimana beban maksimum (ultimate) sambungan kayu single shear dengan pembebanan lateral sangat dipengaruhi oleh diameter dan berat jenis kayu, seperti dari model matematis yang dihasilkan, yaitu P = 19,95 GD2.07. Selanjutnya ternyata terdapat perbedaan cukup besar antara konstanta persamaan ini dengan persamaan penelitian Pun (1987), yaitu P = 45,6 GD1.59, sehingga grafik persamaannya lebih besar atau berada di atas grafik persamaan pertama. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan tipe/macam sambungan yang digunakan, dimana persamaan pertama dihasilkan dari pengujian menggunakan single shear connections (geser tunggal/tampang satu) sedangkan penelitian Pun (1987) menggunakan double shear connections (geser ganda/tampang dua). Selanjutnya
11
dikatakan bahwa double shear connections mampu menahan beban lebih besar dibandingkan bentuk single shear connections. Kajian atau penelitian mutakhir (Thelandersson dan Larsen, 2003) menyajikan banyak formula sambungan kayu, baik untuk sambungan single shear maupun double shear. Berkaitan dengan penelitian ini, selanjutnya dinyatakan formula atau rumus kekuatan sambungan double shear menggunakan pelat logam dengan alat sambung dowel dengan tumpuan tetap (fix support) adalah sebagai berikut : 1. Kerusakan terjadi pada balok kayu utama sedangkan alat sambung tipe dowel (paku atau baut) tidak mengalami kerusakan, maka R = 0,5 fh,2 t 2 d. 2. Balok kayu utama dan alat sambung dowel mengalami kerusakan, maka R = √2√M y f h,2 d; dimana R kekuatan sambungan per alat sambung per bidang geser,
M y momen yang terjadi pada alat sambung dowel, fh,2 kekuatan
melekat atau mengikat alat sambung dowel pada balok utama kayu, t 2 tebal balok kayu dan d diameter alat sambung dowel. Menurut Hoyle (1973) dan Pun (1987) pembebanan lateral yang dihasilkan dari sambungan kayu menggunakan paku jauh lebih besar dibandingkan pembebanan withdrawal,
sehingga
dijadikan dasar dalam
pembuatan sambungan yang baik. Model matematis pembebanan withdrawal menggunakan alat sambung baut (FPL, 1999) adalah P = 45,51 G2DL (metric), sedangkan untuk pembebanan lateral belum tersedia modelnya. Hal ini disebabkan
disainer bangunan dalam menggunakan metoda disain dan data
kekuatan baut (drift bolts) lebih didasarkan pada pengalaman. Perkembangan terakhir studi sambungan kayu dikemukakan oleh Blass dalam timber engineering (2003) tentang fenomena sambungan-sambungan kayu dengan berbagai alat sambung dowel. Dari hasil pengamatannya dikatakan bahwa terdapat tiga parameter utama yang cenderung mempengaruhi kekuatan sambungan menggunakan alat sambung dowel (paku atau baut), yaitu : 1. Kemampuan lentur alat sambung dowel. Kemampuan melentur ini sangat tergantung dari diameter dan kekuatan bahan atau alat sambungnya. 2. Kemampuan lekat atau benam (embedding strength) alat sambung kedalam kayu solid atau
kayu komposit. Kekuatan membenam tersebut terutama
tergantung dari kerapatan kayu dalam mencengkeram paku atau baut. Dengan
12
demikian terdapat kaitan langsung dengan luas permukaan (diameter dan panjang) alat sambung yang masuk kedalam kayu. 3. Kekuatan withdrawal terutama pada alat sambung yang memiliki permukaan tidak halus. Persamaan Batas Leleh Tjondro, (2007) mengatakan bahwa perkembangan persamaan batas leleh pertama kali diperkenalkan oleh Johansen’s (1949) yang didasarkan atas prinsipprinsip mekanika teknik untuk memprediksi kekuatan leleh dari lentur baut tunggal dan tahanan dari kayu saat hancur. Menurut buku baku Design of Wood Structures, ASD/LRFD (2007) yang dimaksud Tjondro (2007) dengan model batas leleh adalah yield limit equations, kekuatan leleh dari lentur baut tunggal adalah dowel (bolt) bending yield strength dan tahanan kayu saat hancur adalah dowel bearing strength atau embedding strength. Tjondro (2007) menggunakan istilah yang disebut terakhir dengan nama kuat tumpu baut, yaitu suatu sifat mekanik bahan yang ditentukan berdasarkan hasil uji yang menggambarkan kuat batas dari kayu disekeliling lubang yang terbebani tekan oleh alat sambung tipe dowel. Persamaan atau model Johansen (1949) tersebut kemudian diperbaiki oleh Maclain dan Thangjitham (1983), dan Solltis et al. (1986) dalam Tjondro (2007) memprediksi kuat leleh dari sambungan. Harding dan Fowkes (1984) menggunakan 5% offset yield untuk menentukan kuat leleh sambungan baut dengan asumsi elastis-plastis sempur na. Karena paku juga merupakan salah satu alat sambung tipe dowel selain baut, maka persamaan nilai disain rujukan Z (nilai disain rujukan format ASD) sambungan single maupun double shear batang kayu-pelat baja dengan sambungan baut yang diperoleh dari persamaan batas leleh pada prinsipnya berlaku juga untuk alat sambung paku setelah memperhatikan beberapa faktor penyesuaian yang diatur dalam buku Design of Wood Structures, ASD/LRFD (2007) dan buku pelengkapnya National Design Spesification for Wood Constructions ASD/LRFD (2005). Perzamaan Z sambungan double shear batang kayu-pelat baja dengan paku tunggal sangat dipengaruhi oleh parameter nail bearing strength (F e ) dan nail bending yield strength (Fyb ), faktor diameter paku (D), penetrasi (panjang) paku dalam balok utama (ℓ m ) dan dalam pelat baja (ℓ s )
13
serta faktor reduksi ukuran relatif diameter paku (R d ).
Buku tersebut
mencantumkan hanya 4 persamaan batas leleh dengan 4 mode (pola) kerusakan untuk sambungan double shear dengan alat sambung tipe dowel. Kekuatan tumpu dowel (dowel bearing strength) Fe untuk beberapa jenis kayu yang telah diberikan adalah konstan untuk alat sambung yang memiliki diameter kecil (D ≤ 0,25”) tanpa mempedulikan sudut beban terhadap serat kayu. Kekuatan tumpu dowel dalam hubungannya dengan paku merupakan suatu fungsi dari berat jenis kayu. Kekuatan tumpu paku terhadap pelat/lempeng baja yang dibentuk dalam kondisi dingin (cold-formed steel) ditetapkan sebesar 1,375 kali kekuatan tarik ultimat (Fu ) dari pelat baja atau F es = 1,375 F u . Berdasarkan buku NDS (2005) besarnya dowel bearing strength untuk pelat sisi baja (F es ) adalah sebesar 61.850 psi. Hasil penelitian nilai ℓ m untuk paku umum terhadap kapasitas alat sambung didasarkan pada persamaan batas leleh dengan penetrasi paku p = 10D pada batang utama (main member), dan secara langsung dapat diaplikasikan untuk sambungan dengan p ≥ 10D. Untuk sambungan paku dengan 6D ≤ p < 1 0 D, digunakan faktor pengurangan sebesar p/10D yang dihitung untuk penetrasi paku setelah dikurangi bagian batang utamanya. Hasil yang diperoleh melalui kajian alat sambung paku, rumus untuk kekuatan lentur leleh paku umum dan paku panjang terbuat dari kawat baja karbon rendah, selanjutnya dikembangkan menjadi persamaan Fyb = 130,4 213,9D. Pada persamaan tersebut, D menyatakan diameter alat sambung (in.), dan Fyb adalah kekuatan lentur leleh paku (ksi). Perlu diingat bahwa F yb dalam persamaan lainnya dinyatakan dalam satuan psi. Apabila nilai-nilai disain sambungan diperoleh dari persamaan-persamaan batas leleh dan atau dari tabel NDS pendukung (2005), proses disain hendaknya merujuk pada praktek rekayasa konstruksi. Pendekatan tersebut bukan hal yang umum dalam praktek manufaktur untuk mengidentifikasi atau mengenal kekuatan lentur alat-alat sambung yang digunakan dalam konstruksi kayu.
Namun
demikian spesifikasi utama untuk paku-paku di Amerika Serikat saat ini merupakan
bagian
yang
penting
sebagai
pembekalan
tambahan
yang
14
memungkinkan pembeli untuk mengenali paku konstruksi teknik dengan kekuatan lentur. Karena spesifikasi kekuatan lentur leleh untuk alat sambung relatif baru, maka telah direkomendasikan dimana para disainer dapat merinci paku konstruksi teknik atau mengidentifikasi F yb minimum untuk setiap jenis paku yang digunakan dalam disain.
Gambaran Umum Jenis Kayu Kayu Sengon Kayu sengon (nama botanis Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn.) termasuk famili Leguminoseae dengan nama daerah jeungjing (Jawa Barat), sengon laut (Jawa Tengah dan Jawa Timur), sengon sabrang, sika dan wahagom. Ciri umum dari kayu ini adalah bagian teras dan gubalnya sukar dibedakan, warnanya abu-abu kecokelatan atau putih merah kecokelatan pucat. Tekstur yang dimiliki agak kasar sampai kasar, arah serat terpadu dan kadang-kadang lurus, dan sedikit bercorak dengan kekerasan agak lunak dan beratnya ringan. Ciri anatomi kayu sengon yaitu porinya berbentuk bulat sampai oval, tersebar, soliter dan gabungan pori yang terdiri dari 2-3 pori, jumlahnya sedikit 47 per mm2, diameter tangensial sekitar 160-340 µ dan bidang perforasinya sederhana. Parenkim umumnya menyinggung pori sepihak (scanty) sampai selubung (vasicentric), kebanyakan parenkim apotrakeal sebar yang terdiri 1-3 sel membentuk garis-garis tangensial diantara jari-jari. Jari-jari kayu umumnya sempit terdiri dari 1-2 seri, 6-12 per mm arah tangensial dengan komposisi seragam (homoseluler) yang hanya terdiri dari sel baring. Kayu sengon memiliki berat jenis rata-rata 0,33 (0,24-0,49); kelas awet: IV-V
dan kelas kuat:IV-V. Kayu ini digunakan sebagai bahan bangunan
perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool semen, kelom dan barang kerajinan lainnya (Pandit dan Ramdan, 2002).
Kayu Nangka Kayu nangka dengan nama botanis Artocarpus heterophyllus termasuk ke dalam famili Moraceae. Jenis ini dibudidayakan di seluruh Asia yang beriklim tropis dan banyak digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan baku meubel.
15
Kayu memiliki berat jenis rata-rata 0,66 dengan kelas kuat II dan kelas awet II-III. Selain itu ciri umum lainnya adalah seratnya agak kasar dan berwarna kuning sitrun mengkilat. Warna kuning tersebut disebabkan oleh adanya kandungan morine. Zat ini dapat diekstrak dengan air mendidih atau alkohol. Morine dapat digunakan sebagai pewarna kuning pada makanan. Penelitian yang dilakukan oleh Isrianto (1997) menunjukkan bahwa selama pengeringan dari keadaan basah sampai kering udara, penyusutan yang terjadi pada bidang radial (R) dan bidang tangensial (T) hampir sama dan relatif stabil (T/R ratio mendekati 1) (Martawijaya et al. 1989).
Kayu Rasamala Kayu rasamala (nama botanis Altingia excelsa Noronha) dengan nama daerah mala (Jawa), tulasan (Sumatera), dan mandung (Minang kabau), memiliki berat jenis rata-rata 0,81 (0,61-0,90). Kayu tergolong kelas awet II (III) dan kelas kuat II, dengan kegunaan sebagai bahan perumahan (tiang dan balok), jembatan, tiang listrik dan telepon dan bantalan rel (Mandang dan Pandit 1997). Ciri umum kayu ini antara lain: bagian teras berwarna kelabu pucat merah kecokelatan, tidak jelas batas dengan gubal yang biasanya berwarna lebih terang, yaitu kelabu terang kemerahan. Permukaan kayu agak licin dan sedikit mengkilap, terutama pada bidang radial, dengan tekstur halus dan rata. Kekerasan kayu agak keras sampai keras dan tes buihnya negatif. Menurut Mandang dan Pandit (1997), ciri anatomi dari kayu rasamala adalah pembuluh atau pori baur, sebagian besar soliter, sedikit yang berganda radial, miring sampai tangensial yang terdiri atas 2 pori, jumlahnya sekitar 26-48 per mm2, diameter tangensial sekitar 60-110 µ, bidang perforasi bentuk tangga. Parenkimanya bertipe apotrakea, jarang sampai cukup banyak, tersebar dalam kelompok mengikut i jari-jari, atau arah tangensial, terdiri atas 2-6 sel dan mengandung banyak endapan getah. Jari-jari agak lebar, terdiri atas 2-4 seri, 8-11 per mm arah tangensial, dan heteroseluler. Pada bidang radial jari-jari sangat jelas karena berisi endapan yang berwarna merah kecokelatan. Saluran interselulernya berupa saluran aksial yang kadang-kadang tersusun dalam deret konsentrik.
16
Kayu Borneo Super Jenis kayu borneo super bukan merupakan nama jenis kayu dari spesies tertentu atau bukan pula pengelompokan kayu yang seluruhnya berasal dari pulau Kalimantan. Borneo super lebih merupakan nama perdagangan menurut perusahaan kayu. Kayu borneo super merupakan campuran dari beberapa jenis kayu yang berlainan. Pengelompokan jenis kayu yang dilakukan oleh perusahaan yang memperjual belikan kayu didasarkan pada kelas awet dan jelas kuat yang tidak jauh berbeda. Rulliaty dan Sumarliani (1991) menyatakan bahwa dari jenisjenis kayu yang diperdagangkan banyak ditemukan campuran jenis-jenis kayu lain. Yang terbanyak yaitu pada jenis kayu dengan nama dagang borneo dengan 21 jenis kayu yang berlainan. Persentase untuk jenis meranti merah (Shorea spp.) hanya 4 %, sedangkan jenis lain yang paling banyak dicampurkan yaitu tepis (Polyathia hypoleuca) 26,7%, durian (Durio sp.) 13,3 %. Ketiga jenis kayu yang terakhir ini memiliki berat jenis, kelas awet dan kelas kuat yang tidak terlalu jauh berbeda dengan kayu meranti merah. Pada jenis kayu dengan nama dagang borneo super, persentase paling tinggi berasal dari jenis meranti merah (32%). Jenis lain yang dicampurkan dan memiliki persentase besar adalah nyatoh sebesar 13%. Pencampuran jenis kayu yang berlainan kedalam satu kelompok nama dagang bisa disebabkan oleh sulitnya mendapatkan bahan kayu. Seiring dengan sulitnya untuk memperoleh bahan kayu dari hutan alam dan hutan produksi saat ini, memungkinkan percampuran jenis kayu yang lebih banyak kedalam nama dagang menurut perusahaan. Hasil akhir penelitian yang dilakukan oleh Rulliaty dan Sumarliani (1991) menyatakan bahwa beberapa jenis kayu yang kurang dikenal, seperti kayu kereta (Swintonia sp.), Gymnacranthera sp., kelapa tupai (Kokoona sp.) dan sendok-sendok (Endospermum malaccense), secara sengaja maupun tidak sengaja turut diperdagangkan.
Kayu Meranti Merah Kayu meranti merah dengan nama botanis Shorea spp (kurang lebih 22 spesies utama) termasuk famili Dipterocarpaceae memiliki nama daerah meranti, banio atau ketuko (Sumatera); damar, lanan, tengkawang atau abang
17
(Kalimantan); kayu bapa atau sehu (maluku). Ciri umum dari kayu ini adalah warna kayu teras bervariasi dari hampir putih, coklat pucat, merah jambu, merah muda, merah kelabu, merah-coklat muda dan merah sampai merah tua atau coklat tua. Kayu gubal berwarna lebih muda dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras berwarna putih, putih kotor, kekuning-kuningan atau kecoklat-coklatan sangat muda biasanya kelabu, tebal 2-8 cm.. Tekstur kayu agak kasar sampai kasar dan merata, lebih kasar dari meranti putih dan meranti kuning. Ciri anatomi kayu meranti merah yaitu porinya sebagian besar soliter, sebagian kecil bergabung 2-3 dalam arah radial, kadang-kadang berkelompok dalam arah diagonal atau tangensial, diameter umumnya 200-300 μ, kadangkadang lebih dari 400 μ, frekuensi 2-8 per mm2, kadang-kadang berisi tilosis, gom atau damar berwarna coklat. Kayu ini umumnya mempunyai saluran aksial tersusun dalam deretan tangensial yang kontinu, kadang-kadang terdapat deretan yang pendek. Jari-jari seluruhnya multiseriat, berukuran sedang dengan lebar maksimum 75 μ, tinggi bervariasi antara 125-3375 μ, frekuensi 4-5 per mm, kadang-kadang berisi kristal Ca-oksalat secara sporadis. Panjang serat rata-rata bervariasi dari 1,150-1,530 μ, diameter dari 19,2-26,0 μ, tebal dinding 2,4-462 μ dan dimeter lumen dari 13,6-19,3 μ tergantung jenis (species) kayunya. Berdasarkan berat jenisnya dibedakan antara meranti merah ringan dengan berat jenis kurang dari 0,60 (yang disebut meranti merah saja) dan meranti merah berat dengan berat jenis 0,60 atau lebih. Kayu meranti merah secara umum memiliki kelas awet III-V, kecuali S.ovata yang termasuk kelas awet III-II, dan kelas kuat bervariasi dari II-V tergantung jenis kayunya. Kayu ini terutama digunakan
untuk venir dan kayu lapis, dapat juga dipakai untuk bangunan
perumahan sebagai rangka, balok, galar, kaso, pintu dan jendela, dinding, lantai dan sebagainya. Selain itu dapat juga digunakan sebagai kayu perkapalan (Martawijaya et al., 1981).
Kayu Kapur Kayu kapur dengan nama botanis Dryobalanops spp termasuk famili Dipterocarpaceae dengan nama daerah ampadu, bayau, ampalang kapur hitam, kapur naga, kapur sintuk atau sintok (Sumatera); haburuan, kaberun, kamfer,
18
kuras (Kalimantan). Ciri umum dari kayu kapur adalah kayu teras berwarna merah atau merah kelabu pada D. aromatica, sedang pada D. lanceolata dan D. beccarii warnanya lebih muda. Kayu gubal berwarna hampir putih sampai coklat kuning muda, tebal antara 2-8 cm dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras. Ciri anatomi kayu kapur yaitu porinya hampir seluruhnya soliter, kadangkadang bergabung 2-3 dalam arah radial atau tangensial, diameter cukup kecil sampai agak lebar, frekuensi 3-7 per mm2, bidang perforasi sederhana dalam posisi agak miring, pori berisi tilosis dan zat yang berwarna merah coklat. Kayu ini mempunyai saluran interselular aksial lebih kecil dari pori, berderetan arah tangensial panjang, berisi damar berwarna putih. Jari-jari kayu heteroselular, lebar 50-100 μ, tinggi kurang 2 mm dengan frekuensi 5-10 μ, banyak berisi silika. Panjang serat D. aromatica dan D. beccarii berturut-turut 1.736 μ dan 1.179 μ dengan diameter 20,5 μ dan 21,6 μ, tebal dinding 4,6 μ dan 3,0 μ serta diameter lumen 11,3 μ dan 15,6 μ. Berat jenis kapur berkisar dari 0,60-0,94 tergantung dari spesiesnya, dengan kelas kuat antara I-II. Kayu kapur termasuk kelas awet II-IV. Kayu D. aromatica dapat dipakai untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga digunakan untuk perkapalan, peti (koper), mebel dan juga peti mati. Kayu D. Lanceolata dan D. Beccarii dipakai untuk perahu, balok, tiang dan konstruksi atap pada bangunan perumahan, juga untuk mebel dan peti (koper). Di Sabah kayu kapur dipakai untuk kayu lapis, konstruksi berat di tempat yang tidak ada serangan rayap yang hebat, lantai, papan ampig, mebel murah, gading-gading dan papan kapal, sirap yang digergaji, karoseri dan peti pengepak untuk barang berat (Martawijaya et al., 1981).
Kayu Bangkirai Kayu bangkirai dengan nama botanis Shorea laevis Ridl. (syn. S. laevifolia Endert) termasuk famili Dipterocarpaceae memiliki nama daerah anggelam, bangkirai, benuas (Kalimantan). Ciri umum dari kayu bangkirai adalah kayu teras berwarna kuning-coklat, kayu gubal coklat muda pucat kekuning-kuningan. Ciri anatomi kayu bangkirai yaitu porinya sebagian besar soliter, sebagian kecil bergabung 2-4 dalam arah radial kadang-kadang dalam arah tangensial atau
19
miring, berbentuk bundar atau lonjong diameter 100-300 μ, frekuensi 2-10 per mm2, bidang perforasi sederhana, pori berisi banyak tilosis. Kayu ini mempunyai saluran interselular vertikal hampir selalu lebih kecil dari pori, kadang-kadang sama besar, tersusun dalam deretan memanjang arah tangensial, kadang-kadang dalam deratan pendek, berisi damar berwarna putih. Jari-jari satu macam, sempit dan pendek, frekuensi 6-8 μ, kadang-kadang berisi endapan berwarna coklat. Panjang serat 1.230 μ dengan diameter 19,9 μ, tebal dinding 1,9 μ serta dimeter lumen 16,1 μ. Berat jenis bangkirai 0,91 dengan kelas kuat I-II. Kayu bangkirai termasuk kelas awet I-II (III), sedang daya tahannya terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light termasuk kelas III. Kayu bangkirai digunakan untuk konstruksi berat di bawah atap maupun ditempat terbuka, antara lain untuk bangunan jembatan, bantalan, tiang listrik, lantai, bangunan maritim, perkapalan, karoseri dan perumahan (Martawijaya et al., 1981).
Kayu Kempas Kayu kempas dengan nama botanis Koompassia malaccencis Maing. Termasuk famili Caesalpiniaceae yang memiliki kayu teras berwarna merah kecoklatan, mudah dibedakan dengan gubalnya yang berwarna coklat sangat muda sampai kuning coklat muda. Tekstur kasar sampai sangat kasar, arah serat lurus berombak sampai berpadu dan permukaan kayu agak mengkilap, dan sering mempunyai kulit tersisip (includid phloem). Kayunya sangat keras dan berat dengan berat jenis rata-rata 0,95 (0,68-1,29), kelas awet III-IV dan kelas kuat I-II. Kempas dapat digunakan untuk bahan baku berat, bantalan kereta api, tiang listrik dan tiang telepon (sebaiknya diawetkan), bangunan pelabuhan, kerangka pintu dan jendela dan lantai rumah (Pandit dan Ramdan, 2002).
Kayu Mabang Kayu mabang termasuk dalam kelompok meranti merah dengan nama latin Shorea pachyphylla dari suku Dipterocarpaceae. Nama lain dari kayu mabang ini adalah meranti kerucup. Penyebaran kayu ini hanya dapat dijumpai di daerah Kalimantan pada daerah tanah bergambut. Ciri umum kayu mabang antara lain, pohon besar, batang merekah dan bersisik, banir besar, dan pada umunya
20
berdamar. Kulit luar dan dalam tebal, berurat-urat, kayu warna merah atau kemerah-merahan, gubalnya kuning pucat, isi kayu bewarna merah. Ciri anatomi kelompok kayu meranti merah ini antara lain memiliki pori yang sebagian besar soliter, sebagian kecil bergabung 2-3 dalam arah radial, kadang-kadang berkelompok dalam arah diagonal atau tangensial, diameter umumnya 200-300 mikron kadang-kadang lebih dari 400 mikron, frekuensi 2-8 per mm2, kadang-kadang berisi tilosis, gom atau damar coklat. Jari-jari hampir seluruhnya multiserat, berukuran sedang dengan lebar maksimum 75 mikron, tinggi bervariasi antara 125-3375 mikron, frekuensi 4-5 per mm, kadang-kadang berisi kristal Ca-oksala secara sporadic. Kayu mabang ini memiliki rata-rata berat jenis 0,77 (0,52–0,92), kelas kuat II-III dan kelas awet III. Kayu mabang dapat dipakai untuk venir dan kayu lapis, bahan konstruki (rangka, balok, galar, kaso, pintu, jendela, dinding, lantai), kayu perkapalan, peti pengepak, mebel murah, peti mati dan alat musik. Jenis kayu ini pada umumnya dapat dipaku dan disekrup dengan baik, tetapi cenderung pecah apabila menggunakan kayu yang cukup besar (Anonim, 1991). Kayu Punak Kayu punak memiliki nama latin Tetramerista glabra miq. Kayu ini termasuk dalam family Theaceae dengan daerah penyebaran Sumatera dan Kalimantan. Nama lain dari kayu ini adalah punah, lempunak. Ciri umum kayu punak ini memiliki warna coklat merah muda kekuning-kuningan dan tekstur kasar. Kayu punak memiliki rata-rata berat jenis 0,76 (0,55–0,90), kelas awet IIIIV dengan kelas kuat II. Kayu punak tergolong mudah untuk dikerjakan dan dapat digunakan sebagai kayu bangunan, plywood, kayu perkakas, lantai, papan, rangka pintu dan jendela, kayu perkapalan, tiang, moulding (Anonim, 2008). Damayanti dan Mandang (2007) menjelaskan bahwa ciri utama yang dapat dijumpai pada identifikasai kayu punak berupa teras kuning jerami sampai coklat merah muda, keras, pembuluh hampir seluruhnya berganda radial, parenkim kelompok baur, jari-jari dua ukuran lebar. Sedangkan ciri anatomi dari kayu punak ini adalah soliter dan berganda radial 2-6 sel, diameter 200 mikron, frekuensi 2-3 per mm2, bidang perforasi bentuk tangga, tilosis jarang, endapan coklat merah. Parenkim
21
baur atau kelompok baur berupa garis-garis tangensial pendek diantara jari-jari. Jari-jari dua macam lebar, agak sempit dan agak lebar, frekuensi 10 per mm. Kayu punak juga dikenal dengan nama lain seperti punak tembaga/bubur/daun halus/daun lebar/, biro-biro, enmalakkok, malakko, birah-birah (Sumatera), kayu tanah, asam, miyapok, carengga (Kalimantan).
22