19
TINJAUAN PUSTAKA Etnobotani Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa.
Studi etnobotani tidak hanya
mengenai data botani taksonomis saja, tetapi juga menyangkut pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan tumbuhan, serta menyangkut pemanfaatan tumbuhan tersebut lebih diutamakan untuk kepentingan budaya dan kelestarian sumber daya alam (Darmono, 2007). Ahli etnobotani bertugas mendokumentasikan dan menjelaskan hubungan kompleks antara budaya dan penggunaan tumbuhan dengan fokus utama pada bagaimana tumbuhan digunakan, dikelola, dan dipersepsikan pada berbagai lingkungan masyarakat, misalnya sebagai makanan, obat, praktik keagamaan, kosmetik, pewarna, tekstil, pakaian, konstruksi, alat, mata uang, sastra, ritual, serta kehidupan sosial. Penggunaan data tentang tumbuhan obat tradisional yang berasal dari hasil penyelidikan etnobotani merupakan salah satu cara yang efektif dalam menemukan bahan-bahan kimia baru dan berguna dalam pengobatan (Ersam, 2005). Raru sudah dikenal secara luas oleh masyarakat Tapanuli sebagai campuran dalam minuman tuak. Pencampuran ini diyakini dapat mengawetkan dan meningkatkan kadar alkohol dari nira aren yang dikonsumsi sebagai minuman tradisional. Sebagian masyarakat Tapanuli juga mengenal kulit kayu raru ini sebagai obat diabetes.
Kulit Kayu Raru Kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang penting setelah kayu. Jaringan ini tersusun dari beberapa tipe sel dan strukturnya kompleks bila dibandingkan dengan kayu. Secara umum, kulit kayu terbagi atas bagian kulit luar dan bagian dalam. Komponen-komponen utama kulit dalam adalah unsurunsur tapisan, sel-sel parenkim. Unsur-unsur tapisan berfungsi melakukan transportasi cairan dan makanan ke seluruh bagian-bagian tanaman. Kulit luar terutama terdiri dari periderm atau lapisan-lapisan gabus melindungi jaringan-
20
jaringan kayu terhadap kerusakan mekanik dan menjaganya dari organismeorganisme perusak kayu, variasi suhu dan kelembaban (Fengel dan Wagener, 1995). Menurut Haygreen dan Bowyer (1999) kulit kayu tersusun oleh bahanbahan kimia diantaranya selulosa 23.7%, hemiselulosa 24.9%, lignin 50.0%, ekstraktif 13.0% dan abu 0.9% Raru merupakan sebutan untuk jenis-jenis kulit kayu yang ditambahkan pada nira aren yang bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dan kadar alkohol (Santiyo, 2006).
Menurut laporan Balai Penyelidikan Kehutanan, 1954
disebutkan bahwa ada beberapa jenis kayu yang digolongkan sebagai kayu raru, antara lain Shorea maxwelliana King, Vatica songa V.Sl. dari famili dipterocarpaceae dan Garcinia sp. dari famili Guttifera. Penelitian Erika, 2005 menyebutkan bahwa jenis Shorea faguetiana Heim. termasuk juga sumber kulit raru. Penelitian Pasaribu, et.al. (2007) menemukan bahwa salah satu kulit kayu raru yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah diidentifikasi sebagai Cotylelobium melanoxylon Pierre.
Lebih lanjut disebutkan bahwa jenis ini
memiliki komponen kimia kayu berturut-turut adalah sebagai berikut : hemiselulosa 29,26%, alphaselulosa 37,35%, lignin 22,26% dan pentosan 17,31%. Selanjutnya kadar ekstraktif kayu raru yang larut dalam air dingin 3,19%, air panas 9,08%, alkohol benzene 1,76, NaOH 1% 19,27%.
Gambar 1 Pohon raru (Cotylelobium melanoxylon Pierre).
21
Penambahan kulit raru pada tuak, dimaksudkan agar rasa dan alkoholnya cocok (Ikegami, 1997). Selanjutnya Soerianegara, (1987) menambahkan bahwa kulit digunakan oleh masyarakat lokal untuk mencegah buih pada nira aren dan untuk menghambat peragian pada minuman tuak.
Ekstraktif Zat ekstraktif atau metabolit sekunder kayu meliputi sejumlah senyawa besar yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan pelarut netral baik yang polar maupun non-polar. Kandungan dan komposisi ekstraktif berbeda-beda diantara spesies kayu. Variasi ekstraktif juga dipengaruhi oleh tapak geografi dan musim (Fengel dan Wagener, 1995). Zat ekstraktif merupakan bahan pengisi pada sel tanaman yang sebagian besar terdapat pada lumen kayu dan sebagian kecil pada dinding sel. Keberadaannya tidak merupakan ikatan kimia, hanya secara fisik saja di dalam dinding sel.
Sifat ini mengakibatkan ekstraktif mudah sekali dilarutkan atau
diekstraksi dengan menggunakan bahan pelarut netral atau air, etanol, metanol, aseton, etil asetat, eter, heksana, benzena dan lainnya. Sjostrom (1995) dan Achmadi (1989) menyatakan bahwa secara kimiawi, zat ekstraktif kayu dapat digolongkan dalam tiga bagian, yaitu: 1. Komponen-komponen alifatik (lemak dan lilin) Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti nalkana, alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), suberin (poliestolida). Kelompok alkana dan alkohol relatif sedikit, bersifat lipofilik dan mantap. Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun kayu daun lebar. Ester dari alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid alami yang dikenal sebagai lilin. 2. Terpena dan terpenoid Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena (2-metilbutadiena) menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut jumlah unit isoprena yang menyusunnya, terpena dapat dibagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena
22
(n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8). Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil dan ester. Contoh dari terpenoid adalah poliprenol. Zat ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong sangat langka. Sedangkan pada kayu daun lebar mengandung terpena yang lebih tinggi, monoterpena ditemukan hanya pada kayu tropis saja (Sandermann, 1966 dalam Fengel dan Wagener, 1995). Terpena yang paling penting adalah α-pinena, β-pinena, dan limonena yang terdapat pada semua kayu daun jarum, camfena, mircena dan β-felandrena. Beberapa monoterpena merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika. Salah satu yang paling menonjol adalah kamfor dari Cinnamomum camphora. 3. Senyawaan fenolik Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima kelas, yaitu a) tanin terhidrolisis, produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama, b) tanin terkondensasi (flavonoid), merupakan polifenol yang mempunyai rantai karbon C6C3C6, contohnya krisin dan taksifolin, c) lignan merupakan dimer dari dua unit fenil propana (C6C3), contohnya konidendrin, pinoresinol dan asam plikatat, d) stilbena (1,2-difeniletilena), mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya pinosilvin, e) tropolon; mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh yang tidak jenuh, contohnya α, β, dan τ-tujaplisin yang disolasi dari Thuja plicata.
Pemanfaatan Ekstraktif Pemanfaatan zat ekstraktif sat ini sudah sangat luas yang dapat digolongkan berdasarkan penggunaannya antara lain: a. Sumber bahan kimia. Sumber bahan kimia yang melimpah diperoleh dari proses penyadapan pohon pinus dan jenis konifer lainnya yang akan menghasilkan rosin, terpentin dan tall oil. Penyadapan pada pohon karet juga akan menghasilkan lateks yang banyak digunakan dalam industri. Ekstraksi
23
pada kulit dan kayu dengan pelarut akan menghasilkan asam fenolat, terpen, lignan, lilin dan zat warna. b. Sebagai bahan perekat. Penggunaan yang paling memberikan harapan saat ini dan dimasa depan adalah penggantian fenol dalam resin fenol-formaldehida untuk memproduksi papan komposit. Penggunaan tanin yang diekstraksi dari kulit kayu mulai berkembang penggunaannya pada industri perekatan. Sumber ekstrak tanin terutama dari jenis akasia. c. Sebagai bahan pangan. Ekstraktif dari daun akan menghasilkan minyak atsiri, klorofil, karotenoid dan protein daun. Bagian dari daun terutama dari famili Leguminosae dengan proses pengeringan dan pelumatan dapat digunakan sebagai pakan ternak. d. Sebagai bahan obat.
Isolasi senyawa aktif dapat dilakukan pada berbagai
bagian dari pohon.
Seperti halnya isolasi flavonoid dihidrokuersetin dan
kuersetin yang diekstrak dari kulit Douglas fir (Pseudotsuga menziesii) dan western larch (Larix occidentalis) kemungkinan besar cocok sebagai antioksidan (Fengel dan Wagner, 1995).
Pemanfaatan Ekstraktif sebagai Obat Tumbuhan obat adalah semua tumbuhan baik yang sudah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan yang dapat digunakan sebagai obat (Sandra dan Sjahril 1994). Pemanfaatan tumbuhan obat sudah banyak di Indonesia yang dikenal banyak dalam bentuk jamu-jamuan. Di sisi lain, pemanfaatan obat dari tumbuhan hutan belum banyak dilakukan, padahal potensi sumberdaya hutan sebagai sumber daya obat sangatlah tinggi. Salah satu jenis tumbuhan hutan yang sudah dikenal luas pemanfaatannya adalah Taxus brevifolia. Suwandi (2007) menyebutkan bahwa fungsi senyawa adalah sebagai antikanker.
taxol dari
Taxus brevifolia
Taxol merupakan senyawa toxoid yang mempunyai aktivitas antikanker. Selain itu,
taxol juga memberi harapan sebagai antitumor yang lain seperti breast, head, neck, lung, colon tumours. Taxol dikatakan merupakan antikanker yang lebih unggul dibanding dengan antikanker lain, karena mempunyai mekanisme memblok pembelahan sel kanker. Saat ini kulit kayu pohon Taxus brevifolia merupakan bahan baku resmi yang telah disetujui FDA. Taxol terutama digunakan untuk ovarian cancer juga aktif terhadap platinium-resistant ovarian cancer yang dalam penelitian memberikan respon 28% dari 28 pasien.
24
Tumbuhan dari famili Moraceae merupakan sumber utama senyawa flavonoida, aril-benzofuran, stilben tersubsitusi gugus isoprenil dan oksigenasi. Famili Clusiacea (Guttiferea) dikenal sebagai sumber senyawa santon, kumarin, benzofenon dan biflavonoid yang tersubstitusi gugus isoprenil oksigenasi. Beberapa keunggulan kimiawi tumbuhan tropika Indonesia, meliputi tiga spesies tumbuhan dari genus Artocarpus (Moraceae), yang terdapat di hutan tropika Sumatera Barat, yaitu Artocarpus bracteata dan Artocarpus dadah dan Artocarpus altilis asal Sri Lanka dan Taiwan sudah dilaporkan, sedangkan asal Indonesia belum pernah diteliti. Taksa ini dikenal sebagai sumber utama senyawa fenolat turunan flavonoida, aril-benzofuran, stilbenoid dan santon turunan flavonoida, terdiri dari 40 genus dan tidak kurang dari 3000 spesies, dari sejumlah senyawa yang dihasilkan mempunyai aktivitas biologi, sebagai promotor antitumor, antibakteri, antifungal, antiimflamatori, antikanker dan lain-lain. Keragaman kimiawi yang dihasilkan oleh ketiga spesies tersebut, seperti berikut ini; Artocarpus dadah, dari spesies ini telah ditemukan dua kelompok utama yang lazim, yaitu kelompok non-fenolat terdiri dari tiga turunan triterpenoid, yakni lupeol, lupeol asetat dan β-sitosterol dan dari kelompok fenolat yang termasuk turunan turunan flavan-3-ol, yaitu afzelekin-3-O-α-L-ramnosida. Afinitas kimiawi tumbuhan yang dilaporkan dari Artocarpus dadah termasuk kelompok langka dari tumbuhan genus Artocarpus yang dikenal sebagai sumber utama senyawa flavon di atau tri-oksigenasi dan terisoprenilasi pada posisi C-3, sebaran senyawa seperti pada Artocarpus dadah. Elin, et.al.(2006) telah melakukan penelitian efek minyak atsiri kulit kayu dan daun kayu manis (Cinnamomum burmanni) terhadap bakteri dan fungi. Salah satu kandungannya adalah minyak atsiri yang terdapat baik dalam kulit kayu maupun daunnya. Pada umumnya minyak atsiri berkhasiat antimikroba, oleh karena itu dilakukan pengujian aktivitas terhadap bakteri dan jamur.
Hasil
menunjukkan bahwa minyak atsiri kulit batang mempunyai aktivitas yang kuat terhadap semua bakteri dan fungi uji sedangkan minyak atsiri daun aktif terhadap semua bakteri uji tetapi tidak aktif terhadap dua marga fungi yaitu Aspergillus dan Scedosporium. Aktivitas antibakteri minyak atsiri kulit batang paling kuat terhadap Bacillus subtilis dengan konsentrasi hambat minimum 0,62% sedangkan
25
aktivitas antifungi terkuat terhadap Candida albicans dengan konsentrasi hambat minimum 1%. Wen, et.al (2004) menyatakan bahwa ekstrak etanol dari kulit Cryptomeria japonica D. Don menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik. Sembilan senyawa mencakup tujuh diterpenoids (ferruginol, asam isopimaric, iguestol, isopimarol, phyllocladan-16α-ol, sandaracopimarol dan sugiol) dan dua steroid (β-sitosterol dan β-sitostenone) telah diisolasi dengan HPLC dari subfraksi aktif dari fraksi larut hexan.
Enam senyawa memperlihatkan antibakteri aktivitas sempurna;
kemampuan mereka mengurangi aktivitas bakteri sebagai berikut: ferruginol> asam isopimaric> sugiol> sandara copimarol> iguestol> isopimarol. Ferruginol memiliki aktivitas antibakteri yang paling kuat di dalam semua senyawa.
Pemanfaatan Ekstraktif sebagai Antidiabetes Senyawa aktif alkaloid dan flavonoid memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar gula darah. Sedangkan senyawa tanin dan saponin dapat dipakai sebagai antimikroba (bakteri dan virus). Seperti halnya mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.), bijinya mengandung saponin dan flavonoid yang bisa digunakan sebagai obat hipertensi dan diabetes (Dalimartha, 2001). Kulit kayu pulai (Alstonia scholaris) mengandung alkaloid ditanin, ekitamin (ditamin), ekitanin, ekitamidin, alstonin, ekiserin, ekitin, ekitein, porfirin dan triterpen. Daun mengandung pikrinin. Sedangkan bunga pulai mengandung asam ursolat dan lupeol.
Ekstrak kulit kayu ini memiliki aktivitas
antihiperglikemia yang baik. Kulit kayu dikeringkan dengan cara dijemur atau pemanasan (Dalimartha, 2001). Agung (1998) telah melakukan telaah fitokimia dan uji efek antidiabetik ekstrak-ekstrak air, n-heksana, etil asetat dan etanol herba sambiloto (Androgaphis paniculata Nees.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol dengan dosis 0,5 g/kg bobot badan memperlihatkan efek antidiabetik pada tikus putih jantan jantan galur Sprague Dawley, yang diuji dengan metode uji toleransi glukosa. Dalam ekstrak air dan ekstrak etanol ditemukan senyawa golongan diterpenoid.
26
Pada penelitian Ragavan dan Krishnakumari (2006), tentang pengaruh ekstrak kulit batang Terminalia arjuna menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari kulit batang secara nyata dapat menurunkan glukosa darah tikus dari 302,62±22,35 menjadi 82,50 ±4,72 dan menurunkan aktivitas glukosa-6-phosfat, fruktosa-1,
6-disphospatase,
aldosa
dan
meningkatkan
aktivitas
kultur
phospoglukoisomerase dan heksokinase. Hasil penelitian Sokeng, et.al (2005) tentang pengaruh ekstrak etanol kulit batang Bridelia ndellensis menyebutkan bahwa tidak ada efek hiperglikemik pada tikus setelah perlakuan. Akan tetap ekstrak dari fraksi etilasetat-disklorometan berpengaruh nyata dalam menurunkan glukosa darah tikus.
Diabetes Diabetes melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. Kadar gula darah berhubungan dengan kemampuan pankreas dalam memproduksi insulin yang berfungsi mengubah glukosa menjadi glikogen. Diabetes atau kencing manis sering disebut sebagai penyakit akibat kelainan hormon ini, akibatnya tubuh menjadi tidak dapat menyerap glukosa dari darah (Hembing, 2005). DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Penderita DM mempunyai risiko untuk menderita komplikasi yang spesifik akibat perjalanan penyakit ini, yaitu retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), dan penyakit arteria koronaria (Coronary artery disease).
Prevalensi DM sulit ditentukan karena
standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Association (ADA), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat (AS) menderita DM dan yang tidak terdiagnosis sekitar 5,4 juta. Dengan demikian, diperkirakan lebih dari 15 juta orang di AS menderita DM. Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%. Menurut anjuran PERKENI yang sesuai dengan anjuran ADA 1997, DM bisa diklasifikasikan secara etiologi
27
menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (Widijanti A. dan Bernard T.R. 2008). 1. Diabetes Tipe 1, atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi. 2. Diabetes tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Gejala minimal dan kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini, yang umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi, sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin. 3. DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3-5% dan para ibu tersebut meningkat resikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.
Enzim α-Glukosidase
28
Enzim α-glukosidase memiliki nama kimia α-D-glukosida glukohidrolase merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan glukosa di dalam usus halus manusia. Enzim ini membantu dalam pemecahan rantai polisakarida pada ikatan α(1-6) pada setiap titik percabangan yang tidak dapat dipecahkan oleh enzim fosforilase. Produk dari aktivitas enzim ini adalah polimer (α1-4) tak bercabang dan satu glukosa. Reaksi ini terjadi setelah aktivitas glikogen phosporilase dan glikogen transferase terjadi. Perkembangan yang terus meningkat pada ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia biokimia dan kedokteran, memberikan dampak pada penemuan senyawa baru yang dapat menghambat α-glikosidase secara tepat guna dan cepat. Senyawa ini disebut dengan inhibitor α-glukosidase (IAG), yang mempunyai aplikasi yang sangat luas, seperti informasi mekanisme kerja enzim α-glikosidase. Hal ini dapat terjadi karena bentuk dan fungsi senyawa IAG yang mirip terhadap enzim α-glukosidase. Dalam dua dekade ini telah banyak dilakukan penelitian untuk mencari dan mengembangkan inhibitor α-glukosidase. Saat ini telah dilaporkan banyak inhibitor α-glukosidase yang baru dan efektif, seperti acarbose dan voglibose dari mikroorganisme serta 1-deoxynojirimycin dari tanaman (Asano et al. 1995 dalam Liu, 2006). Acarbose dan miglitol adalah inhibitor α-glukosidase. Pada prinsipnya mekanisme kerja kedua inhibitor hampir sama yaitu memperlambat pemecahan disakarida, polisakarida dan karbohidrat kompleks lainnya menjadi monosakarida. Pembuatan glukosa secara enzimatis dan absorpsi glukosa selanjutnya ditunda, dan nilai glukosa darah setelah makan, yang tinggi pada pasien diabetes tipe II, dapat dikurangi dengan IAG. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pada miglitol absorpsi terjadi secara sistematis dan tidak di metabolisme di dalam tubuh, akan tetapi di ekskresikan oleh ginjal. IAG tidak mencegah absorpsi karbohidrat dan gula kompleks, tetapi mereka menunda absorpsinya. Kelemahan dari agen inhibitor ini adalah harus dimakan bersama makanan dan mempunyai efek samping pada pembentukan gas di perut (Neal 2002).