II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanenan Kayu Menurut Suparto (1999), pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lainnya sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Ilmu dan teknologi dibidang pemanenan kayu hingga saat ini telah mengalami berbagai perkembangan, hal ini sebagai konsekuensi perubahan pendekatan manajemen hutan dari prinsip kelestarian hasil kepada prinsip pembangunan hutan lestari. Menurut Elias (2002), arah perkembangan pemanenan kayu tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pengertian pemanenan kayu mengalami perluasan yang lebih menekankan pada perencanaan sebelum pemanenan, supervisi teknik dan pencegahan kerusakan lebih lanjut. 2. Usaha memperpendek rantai tahapan pemanenan kayu. 3. Menerapkan sistem pemanenan kayu sesuai dengan klasifikasi fungsional lapangan dibidang kehutanan (pengembangan expert system). 4. Mengintegrasikan pengolahan kayu primer kedalam tahapan pemanenan kayu. 5. Penciptaan peralatan pemanenan kayu dengan perhatian ditekankan pada keunggulan produktivitas tinggi, keunggulan biaya, menekan kerusakan lingkungan dan keselamatan kerja. Menurut Budiaman (2003), komponen utama pemanenan kayu pada umumnya terdiri dari 5 kegiatan, yaitu penebangan pohon, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan. Selain itu pada tahapan tertentu, misalnya penebangan terdapat kegiatan tambahan yaitu pemotongan ujung dan pangkal kayu serta pemotongan cabang. Dalam melaksanakan kegiatan penebangan PT. Sari Bumi Kusuma telah menerapkan metode Reduced Impact Logging (RIL) dalam skala operasionalnya, dengan tujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap kerusakan tanah dan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan. RIL sering juga disebut RITH (Reduced Impact Timber Harvesting) adalah suatu teknik pemanenan kayu yang direncanakan secara intensif, dalam
6
pelaksanaan operasinya menggunakan teknik pelaksanaan dan peralatan yang tepat serta diawasi secara intensif untuk meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal dan tanah (Elias 2002). Menurut Klasen (1998) di acu dalam Tinambunan (1999), pengertian pemanenan hutan berwawasan lingkungan atau RIL secara luas mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan untuk meminimalkan dampak negatif dari pengelolaan hutan dan pengeluaran hasil hutan. Dengan pengertian tersebut maka RIL meliputi perbaikan perencanaan jalan, konstruksi jalan, perencanaan pemanenan dan semua kegiatan dalam rangka pengeluaran kayu dari hutan. Tujuan implementasi RIL adalah untuk meminimalkan pengaruh negatif terhadap
lingkungan
(erosi,
sedimentasi
dan
pengeruhan
air
sungai),
meningkatkan efisiensi pemanenan (penekanan terhadap volume limbah pemanenan, biaya pemanenan dan peningkatan kualitas produksi kayu), menciptakan ruang tumbuh yang optimal dalam tegakan (memaksimalkan pertumbuhan pohon dan hasil hutan non kayu), meningkatkan pendapatan, kesehatan dan keselamatan kerja pekerja dan masyarakat dan menciptakan prasyarat/kondisi pengelolaan hutan alam lestari (Elias 2002). 2.2. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Sistem silvikultur TPTJ merupakan salah satu sistem penebangan yang digunakan oleh HPH dalam mengolah dan memanfaatkan hutan. Salah satu HPH yang menerapkan sisten silvikultur TPTJ adalah PT. Sari Bumi Kusuma. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 201/Kpts-II/1998 tanggal 27 Febuari 1998, PT. Sari Bumi Kusuma memperoleh perpanjangan Hak Pengusahaan Hutan atas kawasan hutan produksi seluas 208.300 ha untuk jangka waktu pengusahaan selama 70 tahun dengan menggunakan sistem silvikultur TPTJ. Sistem silvikultur TPTJ adalah sistem tebang pohon dengan diameter diatas 40 cm. Pada sistem silvikultur terdapat jalur bersih selebar 3 m untuk kegiatan penanaman pohon semi toleran dengan jarak tanam 5 m x 5 m dengan kegiatan pemeliharaan yang intensif. Jarak antar jalur penanaman adalah 25 m dan jalur penanaman harus bersih dari tunggak dan dari pohon penaung, kecuali pohon
7
buah-buahan, komersial dan pohon yang dilindungi. Seiring dengan pertambahan umur pohon yang ditanam pada sistem silvikultur TPTJ dilakukan pelebaran jalur tanam. Pada tahun pertama jalur tanam dilebarkan menjadi 4 m, tahun kedua menjadi 6 m dan tahun ketiga menjadi 10 m. 2.3. Dampak Pemanenan Kayu Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah di Hutan Alam Tropika Tanah merupakan suatu sistem yang dinamis, yang tersusun dari empat bahan utama yaitu bahan mineral, bahan organik, air dan udara. Bahan-bahan penyusun tanah tersebut masing-masing berbeda komposisinya untuk setiap jenis tanah, kadar air dan perlakuan terhadap tanah (Yunus 2004 di acu dalam Iqbal 2006). Froehlich (1982) di acu dalam Matangaran (1992) mengemukakan secara umum pengaruh kegiatan pemanenan kayu terhadap kondisi fisik tanah hutan adalah : 1. Meningkatkan kerapatan limbak tanah. 2. Berkurangnya total ruang pori. 3. Berkurangnya pori non kapiler 4. Terjadinya peningkatan pori kapiler pada tingkat pemadatan tanah yang rendah. 5. Berkurangnya pori kapiler jika terjadi tingkat pemadatan tanah yang tinggi. 6. Berkurangnya laju infiltrasi air pada tanah. 7. Berkurangnya permeabilitas tanah. 8. Berkurangnya diameter pori efektif. 9. Berkurangnya kemampuan kapasitas daya tampung air. 10. Meningkatkan kekuatan tanah tergantung dari kadar air tanah. 11. Terjadinya perubahan struktur butir tanah ke bentuk pipih jika terjadi peningkatan kekuatan tanah. Hamzah (1978), Howard dan Singer (1981) di acu dalam Sukanda (2002) mengemukakan bahwa untuk menduga derajat kepadatan tanah hutan akibat pemanenan kayu, dapat dilakukan dengan cara mengukur kerapatan massa tanahnya. Menurut Hamzah (1983) di acu dalam Sukanda (2002), kerapatan massa tanah ada kaitannya dengan kepadatan tanah dalam kedudukan alamiah, yaitu berat tanah itu tiap satuan volume (g/cm3) dalam keadaan belum terganggu.
8
Hovland et al (1966) di acu dalam Sukanda (2002) membedakan kepadatan tanah ke dalam beberapa kelas, yaitu : 1. Tanah longgar (loose soils) dengan kerapatan massa tanah 0,9 – 1,3 g/cm3. 2. Tanah normal (normal soils) dengan kerapatan massa tanah 1,3 – 1,5 g/cm3. 3. Tanah padat (compact soils) dengan kerapatan massa tanah 1,5 – 1,8 g/cm3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soedomo (1993), menunjukkan adanya penurunan porositas tanah sebesar 5,9 % akibat dari kegiatan penebangan kayu, 12,4 % akibat kegiatan pembuatan jalan dan 14,7 % akibat kegiatan penimbunan kayu. Bobot isi tanah mengalami peningkatan sebesar 27,72 % karena kegiatan penebangan kayu, 25, 0 % karena pembuatan jalan dan 21,83 % ditempat penimbunan kayu. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan (landuse), perbedaan pola tanam dan konversi hutan menjadi lahan pertanian dapat mempengaruhi kadar bahan organik tanah (Anas, I., D.A, Santosa., R. Widyastuti, 1995). Demikian pula halnya dalam kegiatan pemanenan hutan dapat menurunkan bahan organik, khususnya C dan N secara drastis akibat perubahan suhu, lengas tanah dan aerasi (Matson et al 1987 di acu dalam Buchari 2002). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pamoengkas (1997) terhadap sifat kimia lain seperti kapasitas tukar kation (KTK) dan kation yang dapat ditukar seperti kalium (K), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) pada hutan yang belum terganggu dengan rumpang (gap) kecil yang berukuran 60 m2, rumpang (gap) besar berukuran 120 m2 dan 2 jalan sarad yang masing-masing telah mendapat perlakuan 4 kali dan 15 kali di lalui traktor. Diperoleh adanya penurunan nilai KTK pada hutan dengan rumpang (gap) kecil yang relatif sama jika dibandingkan dengan dengan hutan primer, namun untuk hutan dengan rumpang (gap) besar terjadi penurunan nilai KTK yang reatif lebih tinggi. Sedangkan untuk nilai kation yang dapat ditukar seperti kalium (K), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) pada setiap lokasi adalah relatif sama. Dampak pemanenan kayu terhadap sifat biologi tanah dapat diketahui dengan mengamati perubahan biomassa mikroorganisme (Cmic) dalam tanah. Menurut Pamoengkas (2006), tolok ukur Cmic lebih peka untuk menilai perubahan kandungan bahan organik tanah dibandingkan Corganik. Cmic tanah di hutan primer
9
dan areal TPTJ berkisar antara 198,00 mg/kg – 695,03 mg/kg. Respon Cmic pada areal TPTJ meningkat mulai dari areal bekas tebangan 1 tahun sampai areal bekas tebangan 4 tahun, namun menurun pada bekas tebangan 5 tahun. 2.4. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah adalah semua fraksi bukan mineral yang ditemukan sebagai komponen penyusun tanah. Bahan organik ini biasanya merupakan timbunan dari setiap sisa tumbuhan, binatang dan jasad mikro baik sebagian atau seluruhnya mengalami perombakan. Menurut Soepardi (1983), sumber asli bahan organik ialah jaringan tumbuhan. Di alam daun, ranting, cabang, batang dan akar tumbuhan menyediakan sejumlah bahan organik tiap tahunnya. Bahan tersebut akan mengalami pelapukan dan terangkut ke lapisan lebih dalam dan selanjutnya menjadi satu dengan tanah. Bahan organik umumnya ditemukan dipermukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya sekitar 3 - 5 % akan tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali, yaitu dalam memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara, dan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme (Hardjowigeno 2003). Bahan organik tersebut
sebagian
besar
berasal
dari
jaringan
tumbuhan
atau
serasah
dan necromass yang merupakan penyumbang rosot karbon melalui proses dekomposisi oleh aktivitas mikroorganisme. Bahan organik tanah merupakan pool biosfer dan sebagai tempat pertukaran karbon yang ada di dalam tanah dengan karbondioksida (CO2) di atmosfer secara langsung. Sementara itu, dekomposer bahan organik tanah cenderung akan mempengaruhi dinamika unsur hara, fisika, dan kimia tanah. CO2 umumnya dihasilkan dari perombakan bahan organik (Noor 2004). CO2 yang dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik tersebut kemudian tercampur dengan CO2 yang dikeluarkan akar tumbuhan dan yang terbawa oleh air hujan. CO2 yang dihasilkan tersebut akhirnya akan dibebaskan ke udara yang kemudian akan digunakan lagi oleh tanaman dalam proses fotosintesis. Menurut Dickmann dan Pregitzer (1992) respirasi akar hidup memberikan masukan yang besar terhadap siklus karbon, yaitu sekitar 12 % - 29 %.
10
Fonte dan Schowalter (2004) mengatakan dekomposisi merupakan mekanisme yang penting dalam mendukung daur balik (turnover) karbon dan unsur hara dari vegetasi dan hewan yang mati. Dalam
proses
dekomposisi
terjadi
hubungan
timbal
balik
antara
mikroorganisme dan bahan organik karena bahan organik dapat : (1) menyediakan energi bagi mikroorganisme, (2) memberikan karbon sebagai penyusun sel dengan hasil samping seperti CO2, CH4, asam-asam organik dan alkohol. Kecepatan dekomposisi dipengaruhi oleh sifat bahan organik dan sifat tanah. Sifat bahan organik yang mempengaruhi dekomposisi adalah rasio C/N dan komposisi kimianya, sedangkan sifat tanah atau lingkungan yang mempengaruhi dekomposisi adalah suhu, oksigen, kelembaban, pH ketersediaan hara dan adanya zat penghambat. Proses dekomposisi bahan organik digambarkan seperti dalam Gambar 1 (Rao 1977).
Hewan
Tanaman
Bahan organik
Karbohidrat dan protein (mudah diserang oleh mikroorganisme
Lignin, lemak, lilin, resin, dll (resisten terhadap serangan mikroorganisme)
Proses oleh mikroorganisme (i dan ii)
i. mineralisasi CO2, NH4+, NO3-, NO2 ii. imobilisasi C,N, P,S dalam tubuh mikroorganisme Humus Gambar 1. Dekomposisi bahan organik (Rao 1977)
11
Keberadaan bahan organik tanah memegang peranan penting, sehingga dapat dipahami bahwa penurunan kadar bahan organik tanah perlu mendapat perhatian sedini mungkin. Karena akan berdampak langsung terhadap penurunan sifat tanah yang lainnya. Soepardi (1983) menyatakan bahwa pengaruh bahan organik tanah terhadap ciri tanah, adalah: 1. Pengaruh terhadap warna tanah – coklat sampai hitam. 2. Pengaruh terhadap ciri fisik : a. Memperbaiki struktur tanah. b. Menurunkan plastisitas, kohesi dan lain-lain. c. Meningkatkan kemampuan menahan air. 3. Kapasitas tukar kation yang tinggi : a. Dua sampai tiga puluh kali lebih besar dari koloid mineral. b. Meliputi 30 sampai 90 persen dari tenaga jerap suatu tanah mineral. 4. Suplai dan ketersediaan hara : a. Adanya kation yang mudah dipertukarkan. b. Nitrogen, fosfor dan belerang diikat dalam bentuk organik. c. Ekstraksi unsur dari mineral-mineral oleh asam humus. Bahkan menurut Detwiller (1986) keberadaan bahan organik merupakan faktor yang perlu di pertimbangkan dalam pengolahan lahan di daerah tropis, karena ia akan sangat berpengaruh terhadap struktur tanah, infiltrasi air dan aerasi serta penetrasi akar dalam tanah. Kesuburan tanah secara alami sangat tergantung dengan bahan organik, terutama di lapisan atas tanah. Pengolahan tanah secara intensif dan berkelanjutan tanpa adanya input bahan organik dapat menurunkan secara drastis konsentrasi unsur hara dalam tanah kemudian akan menurunkan porositas mikro tanah, kecepatan infiltrasi, menurunkan kelembaban tanah dan aerasi tanah (Mambani, 1986 di acu dalam Zaini dan Suhartatik 1997). Menurut Suparto (1999) setiap operasi pemanenan hutan (walau kecil sekalipun), dapat menyebabkan gangguan terhadap keutuhan hutan. Aktivitas manusia seperti konversi lahan sangat berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitro oksida (N2O dan NO) (Hairiah et al 2001). Peningkatan
12
konsentrasi gas-gas rumah kaca tersebut akan menyebabkan pemanasan secara global yang dapat meningkatkan suhu tanah daratan. Menurut Barchia (2006) perubahan suhu akan menentukan komposisi spesies dan aktivitas flora fauna dan pada waktu bersamaan juga secara langsung mempengaruhi setiap organisme dalam komunitasnya. Metabolisme mikrobia dan proses mineralisasi dari senyawa karbon lebih lambat pada suhu rendah, pada saat terjadi peningkatan suhu akan terjadi proses metabolisme dan respirasi yang akan melepaskan gas CO2.
2.5. Kandungan Karbon dalam Tanah di Hutan Alam Tropika Jumlah hara pada hutan tropika sebagian besar terdapat pada biomassa tegakan (Medina & Cuevas 1989 di acu dalam Sulistiyanto 2005). Dimana 50 % dari biomassa adalah karbon (Brown 1997). Perpindahan hara dan transfer energi banyak di pengaruhi oleh keberadaan biomassa serasah dan proses daur balik (turnover) akar dalam tanah (Gower 2003). Hal ini sangat penting untuk ”budget” hara dari ekosistem hutan terutama pada tanah yang miskin hara, dimana tumbuhan sangat tergantung pada ”recycling” hara pada serasah tersebut. Menurut hasil penelitian Hairiah et al (2004), biomassa serasah hutan di Sumberjaya Lampung
sekitar 2,1 ton/ha, kebun kopi multistrata
(umur >10 tahun) menghasilkan biomassa serasah sekitar 1,8 ton/ha, pada kebun kopi naungan sekitar 1,2 ton/ha, dan pada kebun kopi monokultur sekitar 1,2 ton/ha.ahan kopi mono Menurut Lasco et al (2000), Wingum dan Schroeder (1998) di acu dalam Hilmi (2003), kepadatan biomassa hutan tua berkisar 1,655 mega gram/ha. Dimana dari 94 % biomassa terdiri dari 55 % di akar, sedangkan untuk hutan sekunder 80 % berada di atas permukaan tanah dan 20 % di bawah permukaan tanah. Sejak tahun 1973, kajian dampak suhu tanah terhadap berat kering (biomassa) akar telah banyak di lakukan. Seperti kajian dampak suhu tanah terhadap berat kering jenis blue grama (Bouteloua gracilis Willd. Ex H. B. K) oleh Wilson (1981), jenis soybean (Glycine max. L) oleh Mattews dan Hayes (1982)
perennial ryegrass (Lolium perenne. L) oleh Clarkson et al (1986)
dan sorgum (Sorgum vulgare) oleh Rao et al (1989). Secara umum, berat kering
13
(biomassa) akar di pengaruhi oleh kondisi suhu dengan pertumbuhan optimum pada suhu 250C (Kaspar & Bland 1992). Biomassa akar (root biomass) biasanya lebih rendah dibanding biomassa tegakan. Rasio biomassa akar/biomassa tegakan (root weight/shoot weight) untuk spesies kayu kayuan di hutan tropika berkisar 0,03 sampai 0,81 (Dean et al 1996 di acu dalam Sulistiyanto 2005). Biomassa akar berkisar antara 13,9 – 20,2 ton/ha pada hutan Kartanaka, India. Angka yang relatif rendah, karena tidak memasukkan akar halus. Dimana pada hutan tersebut tidak ditemukan akar halus dengan diameter dibawah 5 cm (Rai dan Proctor 1986 di acu dalam Sulistiyanto 2005). Padahal menurut Klinge (1978) di acu dalam Sulistiyanto (2005), akar-akar halus ini mempunyai proporsi yang besar untuk jumlah kuota akar khususnya di hutan tropika. Contoh ekstrim yang ditunjukkan oleh Klinge (1978) di acu dalam Sulistiyanto (2005), untuk hutan amazon hampir 80 % akar mempunyai diameter kurang dari 1 cm. Lebih lanjut dalam hal yang sama, Schulze et al (1996) melaporkan 90 % dari total biomassa akar berada pada kedalaman antara 0 – 0,60 m untuk Nothofagu pumilio, Jackson et al (1996) melaporkan 52 % dari biomassa akar untuk hutan coniferous biasanya berada pada kedalaman 0 – 30 cm, dan Laclau (2003), mendapatkan 75 % dari biomassa akar dari ponderosa pine (Pinus ponderosa) pada kedalaman antara 0 – 50 cm. Evolusi CO2 dari tanah dikenal dengan istilah respirasi. Menurut Hanson et al (2000) di acu dalam Chen et al (2005) kontribusi akar terhadap total respirasi tanah berkisar antara 10 % sampai lebih dari 90 %. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Siringoringo dan Siregar (2006), kandungan karbon dalam tanah pada kedalaman 0 – 30 cm di bawah tegakan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen dan vegetasi hutan sekunder adalah relatif sama, yaitu masing-masing berkisar antara 1,52 – 3,16 % dan 1,24 – 3,21 %, dimana kandungan karbon dalam tanah pada lapisan atas lebih tinggi dari pada lapisan yang lebih bawah. Secara analisis statistik, tegakan hutan tanaman rakyat jenis Paraserianthes falcataria (L) Nielsen belum memberikan pengaruh yang berarti terhadap peningkatan simpanan karbon dalam tanah hingga tegakan berumur 6 – 7 tahun. Simpanan karbon dalam tanah pada kedalaman 0 – 30 cm
14
di bawah tegakan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen dan hutan sekunder masing-masing sebesar 59,43 ton/ha dan 51,16 ton/ha. Hariyadi (2005) mengemukakan, bahwa pada sistem pertanaman teh umur 5 tahun yang dibudidayakan secara intensif memiliki cadangan karbon sebesar 27,02 % jika dibandingkan dengan hutan alam di Taman Nasional Gunung Halimun. Nilai cadangan karbon ini meningkat sejalan dengan peningkatan umur tanaman dan pada tanaman teh umur 20 tahun, pertanaman teh tersebut memiliki cadangan karbon sebesar 29,66 % jika dibandingkan dengan hutan alam. Cadangan karbon pada lahan bera umur 4 tahun sampai 7 tahun memiliki cadangan karbon dalam tanah 10,71 – 13,88 % jika dibandingkan dengan hutan alam. Hutan pinus (umur 30 tahun) dan kebun campuran (30 tahun) memiliki cadangan karbon masing-masing 66,27 % dan 77,68 % jika dibandingkan dengan hutan alam. Cadangan karbon di hutan alam Gunung Halimun secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata kadar karbon pada kawasan hutan alam Gunung Halimun No
Parameter
Rata-rata (ton C/ha)
1.
Bagian tajuk
225,65 ± 45, 95
2.
Bagian akar
56,41 ± 11,49
3.
Tumbuhan dengan dbh < 5 cm
8,52 ± 1,32
4.
Pohon mati tegak
2,66 ± 0,64
5.
Pohon mati di atas tanah
1,34 ± 0,34
6.
Serasah dan tumbuhan bawah
2,10 ± 0,67
7.
Humus
16,36 ± 3,52
8.
Tanah (0 – 60 cm)
88,35 ± 14,93
Total C
401,39 ± 54,20
Pada umunya kandungan karbon dalam tanah di bagian atas (top soil) lebih tinggi dibanding bagian bawah (sub soil). Penelitian tentang kandungan karbon dalam tanah pada berbagai kondisi lahan di dataran rendah Sumatera di laporkan van Noordwijk et al. (1997) di acu dalam Hariyadi (2005) seperti disajikan pada Tabel 2.
15
Tabel 2. Kandungan Corganik tanah dan rasio C/N di dataran rendah (< 200 m dpl) Corganik (%) Rasio C/N Sub soil Top soil Sub soil Top soil Hutan primer 1,06 3,38 12,34 10,99 Hutan sekunder 1,11 3,83 12,49 10,70 Lahan semak 1,13 3,34 12,19 10,87 Lahan pertanian 1,04 9,55 2,98 11,08 Lahan alang-alang 1,06 11,16 2,98 13,03 Rawa 1,21 10,70 5,25 13,50 Sumber : Noordwijk et al (1997) di acu dalam Hariyadi (2005) Kondisi Lahan
Loomis (1949) di acu dalam Imas dan Setiadi (1988) telah membuat suatu perhitungan terhadap jumlah karbon yang melalui berbagai fase dari siklus dan hasilnya beserta dengan beberapa penambahan tercantum pada Tabel 3. Dari data yang tercantun di dalam Tabel 3 tersebut, terlihat bahwa tumbuhan laut akan mengikat karbon lebih banyak lagi, karena terdapat kadar karbon dioksida terlarut yang tinggi pada lapisan permukaan laut atau karena luas daerah yang cukup besar di atas lautan. Tabel 3. Jumlah karbon yang melintasi siklus karbon Jumlah Karbon dalam Kg C terfiksasi dalam lautan
8,17 x 10 ¹³/tahun
C terfiksasi daratan
1,68 x 10 ¹³/tahun
C dilepaskan tanah oleh aktivitas mikrobe
1,34 x 10 ¹³/tahun
C dilepaskan oleh respirasi hewan
0,08 x 10¹³/tahun
C dilepaskan oleh respirasi tumbuhan
0,25 x 10 ¹³/tahun
C dalam atmosfer
3,81 x 1014
C dalam jaringan tumbuhan
40 % - 50 %
C dalam tanah ¹)
4,8 x 1014
C dalam lautan (CO2 dan Karbonat)
5,44 x 1014
Keterangan : ¹) : Diasumsikan luas tanah 1,49 x 10¹º ha dan rataan berat tanah 19,94x105 kg/ha Sumber : Imas dan setiadi 1988
16
Fiksasi karbondioksida berguna untuk mendapatkan sejumlah karbon untuk keperluan tumbuhan, karena karbon meliputi 0,007 persen dari unsur-unsur di dalam atmosfer (0,03 persen dalam bentuk karbon dioksida) dan 40-50 persen dari unsur-unsur di dalam jaringan tumbuhan. Dengan demikian pelepasan karbon dari jaringan tumbuhan amat penting guna mempertahankan suplai di dalam atmosfer yang dapat ditempuh dengan berbagai cara (Imas dan setiadi 1988). Loomis (1949) di acu dalam Imas dan Setiadi (1988) menduga bahwa 15 persen dari karbon yang difiksasi tumbuhan hilang karena respirasi tumbuhan, 5 persen melalui respirasi hewan dan sisanya melalui respirasi mikroba (1,34 x 10¹³ kg/tahun). Sebagian besar respirasi mikroba berlangsung di dalam tanah, sehingga bila diasumsikan masukan dan keluaran karbon berimbang berarti tidak kurang dari 1,34 x 10¹³ ton karbon (900 kg/ha) telah ditambahkan kedalam tanah tiap tahun. 2.6. Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Terhadap Potensi Kandungan Karbon dalam Tanah Cadangan karbon dalam tanah ditunjukkan oleh nilai Corganik tanah yang merupakan penyusun utama bahan organik. Besar kecilnya kandungan Corganik di dalam tanah akan mempengaruhi populasi mikroorganisme, kemudian akan berpengaruh pula pada biomassa mikroorganisme. Karena Corganik merupakan salah satu sumber energi dan juga bahan makanan bagi mikroorganisme. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pamoengkas (2006) di areal TPTJ umur 1 tahun sampai 5 tahun dan hutan primer sebagai pembanding, diperoleh secara keseluruhan
kandungan Corganik pada seluruh plot penelitian termasuk
kedalam kategori rendah sampai sedang. Yaitu berkisar antara 1,08 % sampai 2,25 % (10,87 g/kg – 22,50 g/kg). Dari kisaran tersebut, ternyata kandungan Corganik di seluruh areal bekas penebangan TPTJ pada kedalaman 0 – 10 cm dan 10 cm - 20 cm adalah lebih besar jika dibandingkan dengan hutan primer, dengan kandungan Corganik terbesar pada areal bekas tebangan 3 tahun. Perbedaan nyata kandungan Corganik dalam tanah hanya terlihat antara hutan primer dengan areal bekas tebangan 3, 4 dan 5 tahun pada kedalaman 0 – 10 cm, sedangkan pada kedalaman 10 cm - 20 cm perbedaan hanya tampak antara hutan primer dengan areal bekas tebangan 3 tahun.