II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune Fries Jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune Fr. termasuk dalam kelas
Basidiomycetes, famili Schizophyllaceae. S. commune diketahui telah tersebar di seluruh dunia (kosmopolit) dan dapat menimbulkan kerusakan yang berarti terutama di daerah tropika. Jamur ini mempunyai pertumbuhan yang relatif mudah dan cepat. Selain itu, S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 % (Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994). Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S. commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut: Regnum
: Myceteae
Divisi
: Amastigomycota
Sub-Divisi
: Basidiomycotina
Kelas
: Basidiomycetes
Sub-Kelas
: Holobasidiomycetidae I
Seri
: Hymenomycetes I
Ordo
: Aphyllophorales
Famili
: Schizophyllaceae
Genus
: Schizophyllum
Spesies
: Schizophyllum commune
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri yang khas yaitu tubuh buah berwarna abu-abu, berbentuk seperti kipas dengan diameter antara 1 sampai 4 cm, tubuh berdempetan secara lateral dan tidak bertangkai. Lapisan hymeniumnya terdiri dari lamella tebal yang robek (split) memanjang dengan kedua tepinya melipat ke dalam. Sementara itu menurut Buller (1909) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri antara lain tubuh buah yang biasanya berdempetan secara lateral dengan lebar mencapai 3 cm, tubuh buah ini dapat terbentuk secara tunggal dan seringkali dalam kelompok. Lamela jamur ini terdiri dari fasciculi, dimana antara
5
fasciculi yang lebih panjang dipisahkan oleh 3 sampai 5 fasciculi yang lebih pendek. Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan sebagai heterotalik hymenomicetes, dimana micelia “monoporous” yang berbeda sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928) dalam Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua. S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam Fitriyani 2010). Jamur pelapuk kayu S. commune merupakan jamur yang menyebabkan pelapukan atau pewarnaan kayu dan bahan-bahan selulosa lain. Hal ini dikarenakan jamur merupakan tumbuh-tumbuhan sederhana yang tidak mengandung klorofil sehingga tidak dapat memproduksi makanannya sendiri. Dengan demikian, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik lain (Haygreen & Bowyer 1989 dalam Fitriyani 2010).
Sumber Foto : Laila F
Gambar 1. Tubuh buah S. commune Fr.
2.2
Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Sengon tergolong dalam famili Leguminoceae, merupakan jenis tanaman
yang cepat tumbuh, tidak membutuhkan kesuburan tanah yang tinggi, dapat tumbuh pada tanah-tanah kering, tanah lembab, dan bahkan tanah-tanah yang
6
mengandung garam serta dapat bertahan terhadap kekurangan oksigen (Pamoengkas 1992 dalam Syafitri 2008). Sengon memiliki ciri-ciri umum antara lain yaitu warna kayu teras dan kayu gubalnya sulit dibedakan, warnanya putih abu-abu kecoklatan atau putih merah kecoklatan pucat. Teksturnya agak kasar sampai kasar, dengan arah serat terpadu atau kadang-kadang lurus, dan sedikit bercorak. Tingkat kekerasannya yaitu agak lunak dan beratnya ringan (Pandit dan Ramdan 2002). Sengon tergolong kayu ringan dengan berat jenis rata-rata yaitu 0,33 (0,24-0,49), dengan kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V (Mandang dan Pandit 1997). Daya tahan sengon terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Tingkat ketahanan kayu Sengon termasuk kelas sedang (Martawijaya et al. 1989 dalam Syafitri 2008). Kegunaannya adalah sebagai bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool semen, kelom, dan barang kerajinan lainnya. Nama lain dari Sengon yaitu jeunjing (Jawa Barat), sengon laut (Jawa Tengah dan Jawa Timur), sengon sabrang, sika, dan wahagom (Pandit dan Ramdan 2002).
Tabel 1. Komposisi kimia kayu sengon Analisis Kimia
Kadar
Lignin
26,8%
Selulosa
49,4%
Zat ekstraktif (larut alkohol- benzene)
3,4%
Pentosan
15,6%
Abu
0,6%
Silika
0,2%
Sumber: Martawijaya 1989
2.3
Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Karet termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae yang banyak ditemukan
pada perkebunan besar maupun perkebunan rakyat di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan (Komariyah et al. 1995 dalam Safitri 2003).
7
Ciri-ciri umum kayu karet antara lain memiliki bagian teras berwarna putih kekuning-kuningan pucat, terkadang agak merah jambu jika segar dan lambat laun berubah menjadi kuning jerami atau coklat pucat, namun tidak tegas batasnya dengan gubal. Kayu karet memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,55-0,70) dengan kelas awet V dan termasuk dalam kelas kuat II-III. Kayu karet banyak digunakan untuk perabot rumah tangga, untuk kayu bentukan misalnya panel dinding, bingkai gambar atau lukisan, lantai parket, inti papan blok, palet, peti wadah, peti jenazah, vinir, kayu lamina untuk tangga, serta kerangga pintu dan jendela (Mandang dan Pandit 1997).
Tabel 2. Komposisi kimia kayu karet Komponen Kimia
Kadar (%)
Selulosa total
60,0-68,0
Alpha selulosa
39,0-45,0
Pentosan
19,0-22,0
Lignin
19,0-24,0
Abu
0,65-1,30
Sumber: Boerhendy dan Agustina 2006
Tabel 3. Analisis kimia kayu karet berdasarkan umur Analisis kimia
Holocellulose, % Cellulose, % Lignin, % Pentosan, % Silica, % Kadar abu (Ash content), % Kadar air (Moisture content), % Kelarutan dalam (Solubility in), %: Air dingin (Cold water) Air panas (Hot water) Alcohol: Benzene NaOH 1% Sumber: Pari 1996
Umur 10 Tahun
20 Tahun
69,40 47,81 30,60 17,80 0,30 1,21 5,58
66,46 48,64 33,54 16,81 0,52 1,25 4,21
3,87 5,01 4,18 15,03
3,92 4,36 4,43 15,31
8
2.4
Tusam/Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vries) Pinus termasuk dalam famili Pinaceae dan spesies Pinus merkusii dan
satu-satunya yang tumbuh di selatan khatulistiwa (Suheti et al. 1998 dalam Forlendiana 2005). Pinus memiliki ciri-ciri umum antara lain yaitu warna kayu teras dengan gubalnya sukar dibedakan kecuali pada pohon berumur tua, kayu teras berwarna kuning kemerahan sedangkan kayu gubal berwarna putih krem. Pada permukaan radial dan tangensialnya mempunyai corak yang disebabkan perbedaan struktur kayu awal dan kayu akhirnya sehingga terkesan ada pola dekoratif. Riap tumbuh agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua, pada penampang melintang kelihatan seperti lingkaran-lingkaran memusat. Pinus bertekstur agak kasar dan serat lurus yang tidak rata dengan kekerasan yang agak keras dan berat agak ringan sampai agak berat (Pandit dan Ramdan 2002). Sjostrom (1981) menambahkan bahwa kayu teras pada pinus secara khas mengandung ekstraktif jauh lebih banyak daripada kayu gubal. Kandungan zat ekstraktif ini berguna untuk melindungi kayu dari kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga. Pinus memiliki berat jenis rata-rata sebesar 0,55 (0,400,75) dengan kelas awet IV dan kelas kuat III. Kegunaannya yaitu sebagai bahan papan partikel, pulp dan kertas, vinir, perabot rumah tangga, korek api, pensil, kotak, kerangka pintu dan jendela, dan mainan anak-anak. Nama lain dari pinus yaitu damar batu, damar bunga, huyam, uyam, dan sala (Pandit dan Ramdan 2002).
Tabel 4. Komposisi kimia kayu tusam Analisis Kimia
Kadar
Lignin
24,3%
Selulosa
54,9%
Zat ekstraktif (larut alkohol- benzene)
6,3%
Pentosan
1,4%
Abu
1,1%
Silika
0,2%
Sumber: Martawijaya et al. 1989 dalam Atlas kayu Indonesia, Jilid II
9
2.5
Mangium (Acacia mangium Willd.) A. mangium Willd. merupakan salah satu dari 1100 spesies tanaman yang
termasuk famili Leguminosae, sub-famili Mimosoideae, dan ordo Rosales (Anonymous 1983 dalam Forlendiana 2005). Klasifikasi secara lengkap A. mangium Willd. menurut National Research Council (1983) dalam Syafitri (2008) yaitu termasuk ke dalam: Sub-Kingdom
: Embryophyta
Filum
: Tracheophyta
Sub-filum
: Pteropsida
Kelas
: Angiospermae
Sub-kelas
: Dycotyledone
Famili
: Fabaceae
Sub-famili
: Mimosaideae
Spesies
: Acacia mangium Willd.
Tanaman A. mangium memiliki beberapa keunggulan, antara lain: merupakan jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) dan mudah tumbuh (adaptive) pada kondisi lahan yang kurang subur. Jenis ini juga tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi. Dapat tumbuh pada lahan dengan pH rendah, tanah berbatu, serta tanah yang telah mengalami erosi. Karena kelebihan yang dimilikinya tersebut, jenis ini banyak digunakan dalam kegiatan HTI, rehabilitasi hutan dan lahan Indonesia (PPPBPH 2003 dalam Syafitri 2008). Keunggulan lainnya adalah A. mangium sebagai kayu keras mempunyai kandungan lignin lebih rendah dan terutama lebih mudah didelignifikasi daripada kayu lunak (Fengel dan Wegener 1995). Ciri umum dari A. mangium adalah memiliki teras berwarna coklat tua, coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Coraknya polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. Teksturnya halus sampai agak kasar dan merata. Arah seratnya halus, kadang-kadang berpadu. Permukaannya agak mengkilap dan memiliki kesan raba yang licin. Kekerasannya agak keras sampai keras. A. mangium memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66), dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III (Mandang dan Pandit 1997).
10
Kegunaannya adalah sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga (a.l lemari), lantai, papan dinding, tiang, tiang pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas; selain itu baik juga untuk kayu bakar (Mandang dan Pandit 1997).
Tabel 5. Komposisi kimia kayu mangium Kimia kayu Lignin
Deptan, 1976 lignin sedang
Siagian et al. (1999)
Whitemore Organization (1984) dalam Silitonga (1993)
lignin sedang (19,7%)
Lignin 19,7%
selolusa sedang
selulosa tinggi
Holo-sellulosa 69,4
(40–44 %)
(44,0%-69,4%)
Alfa-sellulosa 44,0
zat ekstraktif (larut alkohol-benzene) tinggi
ektraktif tinggi
Kelarutan:
(18–32 %) Selulosa Zat ekstraktif
- Alk. Benzen 5,6 - Air panas 9,8 - NaOH 1 % 14,8
Pentosan
termasuk
-
Pentosan 16,0
rendah Abu
Rendah
-
Abu 0,68
silika
Rendah
-
-
Sumber: Malik et al.
2.6
Komponen Kimia Kayu Berdasarkan bobot molekul atau tingkat polimernya, terdapat dua macam
komponen kimia kayu yaitu komponen yang bobot molekulnya rendah dan komponen yang bobot molekulnya tinggi. Komponen dengan bobot molekul rendah antara lain bahan organik dan anorganik. Komponen yang mempunyai bobot molekul tinggi terdiri atas polisakarida (holoselulosa) dan lignin (Herliyana 1997). Komponen utama kayu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, zat ekstraktif dan abu. Selulosa merupakan bagian terbesar yang terdapat dalam kayu, yaitu berkisar antara 39-55%, kemudian lignin 18-33%, pentosan 21-24%, zat
11
ekstraktif 2-6% dan abu 0,2-2%. (Martawijaya et al. 1981). Malik et al. menambahkan bahwa perbedaan umur pohon memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komposisi kimia kayu Selulosa. Struktur selulosa pada kayu daun jarum (softwood) sama dengan pada kayu daun lebar (hardwood), tapi DP-nya (derajat polimer) berbeda. Selulosa pada kayu daun lebar mempunyai DP yang lebih kecil (serat pendek), sedang pada kayu daun jarum mempunyai DP yang lebih besar (serat panjang). Hemiselulosa. Hemiselulosa disusun oleh berbagai jenis monomer yang disebut heteropolisakarida. Hemiselulosa pada kayu daun lebar terdiri dari unit xilosa dan asetil (glukoronoxylan), sedang pada kayu daun jarum berupa unit mannosa, glukosa, dan galaktosa (galactoglukomannnan). Lignin. Lignin pada kayu daun lebar berbeda dibandingkan dengan pada kayu daun jarum, baik susunan amupun kadarnya. Susunan dan kadar lignin berpengaruh terhadap sifat-sifat seperti ketahanan kayu terhadap mikroorganisme, degradasi dan juga dalam teknologi pengolahan dan sebagainya. Lignin pada kayu daun jarum hanya disusun oleh koniferil alkohol dan sangat sedikit sinafil alkohol, sedang lignin pada kayu daun lebar disusun oleh, dengan suatu perbandingan tertentu tergantung pada faktor tempat tumbuh dan spesies. (Fengel & Wegener 1984).
Tabel 6. Dua macam komponen kimia kayu berdasarkan bobot molekul Bobot molekul/ tingkat polimer komponen yang bobot molekulnya rendah
komponen yang bobot molekulnya tinggi
Komponen kimia kayu
Kandungan bahan kimia/ Satuan-satuan penyusun
Bahan organik
zat ekstraktif, (yang sampai puluhan ribu jenisnya)
Bahan anorganik
abu/mineral: silica, magnesium, mangan, kalsium, kalium, fosfor
Polisakarida (holoselulosa)
Selulosa dan hemiselulosa
Lignin
Fenilpropana, gualasilpropana, siringilpropana
Sumber: Herliyana 1997
Ket.
Komponen dengan BM rendah sekitar 1 sampai 10% Komponen dengan BM tinggi mencapai 90%
12
2.7
Siklus dan Proses Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk
Siklus Pelapukan Kayu Menurut Tambunan dan Nandika dalam Herliyana (1994), secara umum siklus pelapukan oleh jamur pelapuk kayu dari kelas Basidiomycetes adalah sebagai berikut. Pertama basidiospora menempel pada permukaan kayu karena terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang mudah terkena infeksi. Apabila keadaan lingkungan sesuai, basidiospora tersebut akan berkecambah menjadi hifa atau miselium yang berinti satu yang haploid (miselium primer). Buller (1924) dalam Herliyana (1994) menambahkan bahwa dua hifa miselium primer yang kompatibel akan mengadakan somatogami sehingga terjadi dikarionasi (terjadinya hifa baru dengan tetap berinti dua), sehingga terbentuk miselium sekunder yang selanjutnya berinti dua yang masing-masing haploid. Miselium sekunder ini berkembang secara khusus, yaitu tiap inti membelah diri dan hasil belahan tiap pasangan baru tanpa mengadakan kariogami dalam sel baru, sehingga miselium sekunder tiap sel selalu berinti dua. Pembelahan tiap-tiap inti diikuti dengan terbentuknya suatu kait yang mengakibatkan terjadinya suatu struktur pada tiap antar dua sel yang lama dan baru yang biasa disebut sambungan apit (clamp connection). Setelah terbentuk miselium sekunder yang sel ke sel pada kayu melalui lubang pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan dinding sel atau noktah-noktah dan dinding sel kayu. Proses Pelapukan Kayu Cartwright dan Findlay (1958) dalam Herliyana (1994) mendefinisikan pelapukan kayu sebagai berkurangnya kepadatan kayu, disebabkan karena terjadinya penguraian bahan dasar kayu oleh jamur. Karena jamur tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk bahan organik sendiri, maka bahanbahan organik kompleks yang ada dalam kayu dirombak untuk dijadikan sebagai sumber energi. Hasil dari proses respirasi oleh jamur tersebut berupa karbondioksida sesuai dengan yang dikemukakan seperti di bawah ini. C₆H₁₀O₅ + 6O₂ 5H₂O + 6CO₂ Jamur pelapuk kayu dapat berkembang dalam kondisi lingkungan yang cocok melalui perkecambahan spora atau pertumbuhan segmentasi hifa (mycelium) yang berasal dari sumber-sumber yang terinfeksi di sekitarnya. Hifa
13
tumbuh sepanjang permukaan kayu dan melakukan penetrasi untuk pertama kalinya melalui dinding sel kayu atau lubang yang dibuat oleh hifa itu sendiri. Kejadian tersebut merupakan awal dari proses pelapukan. Kemampuan hifa menyerang sel-sel kayu ditentukan oleh kenormalan aktivitas pertumbuhan sel hifa, yang dikenal sebagai zona sub-apikal hifa. Sel-sel pada ujung hifa selain dapat mengadakan proses biokimia juga dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk mempercepat (katalisator) proses biokimia dalam rangka menembus dinding sel kayu serta perolehan zat makanan yang diperoleh hifa. Pelapukan kayu oleh jamur dapat dibagi ke dalam dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap Pelapukan Awal Pada tingkat permulaan, yaitu terjadinya kontak antara hifa dan dinding sel kayu, proses biokimia sudah mulai terjadi sehingga hifa dapat menembus dinding sel kayu dan kemudian mencapai dinding sel berikutnya. Tahap ini ditandai oleh munculnya perubahan warna kayu, bahan kayu dapat mengeras atau kaku. Tahap permulaan pelapukan oleh jamur mengakibatkan perubahan penampilan struktur dan berkurangnya kekuatan kayu. Tahap Pelapukan Lanjutan Pada tahap selanjutnya, warna maupun sifat fisik kayu akan berubah, secara sebagian atau keseluruhan. Tahap ini ditandai oleh mudahnya kayu dihancurkan dengan penekanan. Kerusakan berlanjut hingga kayu teras rusak berat dan terbentuk lubang-lubang di dalam kayu. Kadangkala hanya lapisan tipis kayu gubal yang tertinggal sebagai penahan (Herliyana 1994).
2.8
Ketahanan Kayu terhadap Jamur Pelapuk S. commune Ketahanan terhadap pelapukan dan dengan demikian ketahanan kayu
ditentukan oleh kandungan bahan fenolik yang terbentuk dalam kayu. Kandungan bahan kimia dalam kayu mempengaruhi ketahanan kayu terhadap pelapukan. Kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun bagi jamur pelapuk menyebabkan kayu lebih tahan terhadap jamur tersebut. Zat-zat ekstraktif yang dikenal menghambat pelapukan adalah senyawa-senyawa fenolik.
14
Pada prinsipnya semua jenis kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran dapat diserang oleh jamur. Akan tetapi ada juga beberapa jenis kayu yang tahan terhadap serangan jamur. Hal ini disebabkan karena adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang bersifat anti jamur (fungisida) alami. Berbagai faktor yang mempengaruhi ketahanan kayu terhadap pelapukan, beberapa di antaranya menyangkut sifat kayunya sendiri dan lainnya adalah kondisi dimana kayu digunakan. Yang menyangkut sifat kayunya sendiri seperti kandungan kimia dan berat jenis (specific gravity) dari kayu, sedang yang termasuk faktor luar adalah kelembaban, temperatur, dan tersedianya oksigen. Kayu yang ditebang pada musim pertumbuhan lebih peka terhadap pelapukan daripada yang ditebang pada periode dorman. Sementara perbedaan arah serat kayu tidak mempengaruhi kepekaan kayu terhadap serangan kayu. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan kayu adalah umur pohon. Menurut Tim ELSSPAT (1997) dalam Fitriyani (2010), umur pohon memiliki hubungan yang positif dengan ketahanan kayu. Jika pohon ditebang dalam umur yang tua, pada umumnya lebih awet daripada jika ditebang ketika muda karena semakin lama pohon tersebut hidup maka semakin banyak zat ekstraktif yang dibentuk. Kayu teras umumnya lebih awet dibandingkan dengan kayu gubal, karena strukturnya yang lebih padat, mengandung air dan oksigen yang lebih rendah serta memiliki zat-zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap jamur atau mengandung zat resin yang bersifat mengurangi penyerapan air. Berdasarkan kehilangan berat kayu oleh jamur pelapuk, kayu dibagi ke dalam beberapa kelas awet. Tabel 7. Kelas Ketahanan Kayu terhadap Jamur Kelas
Ketahanan
Kehilangan Berat (%)
I
Sangat tahan
<1
II
Tahan
1-5
III
Agak tahan
5-10
IV
Tidak tahan
10-30
V
Sangat tidak tahan
>30
Sumber: SNI 01-7207-2006
15
Menurut Findly dan Martawijaya (1977) dalam Pratiwi (2009), terdapat lima kelas awet kayu. Mulai dari kelas awet I (yang paling awet) sampai kelas awet V (yang paling tidak awet). Martawijaya (1977) dalam Pratiwi (2009) menyatakan bahwa kelas awet kayu didasarkan atas ketahanan kayu teras karena bagaimana pun awetnya suatu jenis kayu, bagian gubalnya selalu mempunyai ketahanan yang terendah (kelas awet V). Hal ini disebabkan karena pada bagian kayu gubal tidak terbentuk zat-zat ekstraktif seperti phenol, tannin, alkaloide, saponine, chinon, dan dammar. Zat-zat tersebut memiliki daya racun terhadap organisme perusak kayu.