5
TINJAUAN PUSTAKA Kulit Batang Secara umum kulit batang dapat diklasifikasikan menjadi kulit luar (outer bark) dan kulit dalam (inner bark). Kulit luar berfungsi sebagai pelindung pohon dari kondisi di luar. Kulit luar ini dapat mencegah kelembaban disaat hujan dan membantu pohon untuk tidak kehilangan kelembabannya di saat kekeringan. Bagian ini diperbaharui secara terus menerus dari dalam dan merupakan bagian yang tahan terhadap dingin dan panas serta melindungi pohon dari serangan serangga. Kulit dalam merupakan bagian kulit yang hidup namun kemudian mati untuk menjadi jaringan gabus yang akan membentuk kulit luar yang protektif. Kulit batang merupakan bagian terluar dari kayu maupun cabang. Secara anatomi kulit batang merupakan jaringan tumbuhan yang berada diluar kambium. Pembentukan kulit diawali oleh pertumbuhan sel kambium. Pertumbuhan sel ini kearah interior membentuk xylem (jaringan kayu) dan phloem, sedangkan ke arah eksterior membentuk jaringan primer kulit kayu. Struktur kulit kayu menjadi lebih rumit dengan adanya dua lapisan kambial yang sering disebut kambium gabus atau phellogen. Phloem yang dihasilkan oleh kambium vaskuler hanya menyusun bagian dalam lapisan kulit, sedangkan lapisan kulit luar yang cenderung kasar merupakan hasil kegiatan kambium kedua yang dikenal dengan phellogen (felogen), yang terbentuk sesudah dan di bagian luar kambium vaskuler sejati (Haygreen dan Bowyer, 1982). Jaringan gabus (cork) yang lebih dikenal dengan istilah periderm berkontribusi pada pembentukan jaringan luar kulit kayu (outer bark). Jaringan tambahan lainnya yang dapat dijumpai pada kulit kayu antara lain jaringan sklerenkim yang mengalami lignifikasi serta jaringan parenkim ( Harkin dan Rowe, 1971).
6
Sumber : www.google.co.id
Gambar 1. Struktur anatomi kulit batang pohon
Zat Ekstraktif Zat ekstraktif yang terdapat didalam kayu dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kelompok (Sjostrom, 1993): 1.
Senyawa terpena dan terpenoid, didalamnya termasuk terpentin yang terdiri dari monoterpenoid dan seskuiterpenoid yang mudah menguap, resin dan campuran asam-asam resin. Terpentin telah digunakan secara tradisional sebagai pelarut pernis dan cat dan digunakan untuk berbagai tujuan seperti pembuatan perekat.
2.
Senyawa lilin dan lemak. Kelompok ini terdiri atas senyawa ester alkohol alifatik campuran, dan asam lemak. Senyawa lilin dan steroid dapat digunakan sebagai pengikat atau pengganti lilin karbon. Suberin dan steroid juga digolongkan pada kelompok lilin dan steroid.
3.
Senyawa fenol, didalamnya terdiri dari senyawa monomer, oligo maupun polimer fenol yang dapat ditemui pada kayu teras, kulit, daun, buah dan akar dalam jumlah yang cukup besar. Penyusun senyawa fenol yang penting adalah kelompok flavonoid. Senyawa fenol ada yang berasal dari asam shikimat atau jalur shikimat dan senyawa fenol yang berasal dari jalur asetatmalonat.
Ekstraktif dapat dikeluarkan menggunakan berbagai macam pelarut polar dan non polar, seperti kloroform, aseton dan air. Secara umum zat ekstraktif mampu larut dalam pelarut netral. Kandungan dan jumlah zat ekstraktif pada setiap jenis pohon dapat berbeda-beda. Hal ini karena kandungan maupun jumlah zat ekstraktif dipengaruhi oleh faktor biofisik tempat tumbuh pohon sendiri.
7
Faktor biofisik yang dimaksud seperti : iklim, kesuburan tanah, serta curah hujan. Zat ekstraktif dapat bervariasi jumlahnya didalam pohon itu sendiri maupun antar spesies. Kandungan zat ekstraktif antara kayu teras dan kayu gubal berbeda. Sebagai contoh
kandungan zat ekstraktif pada kayu Pinus banksiana yang
menunjukkan kandungan zat ekstraktif pada kayu teras lebih tinggi dibandingkan kayu gubal. Zat ekstraktif merupakan substansi organik yang terbentuk saat terjadinya perubahan kayu gubal menjadi kayu teras. Oleh karena itu pada umumnya kayu teras memiliki keawetan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kayu gubal (Pandit dan Ramdan, 2000). Meskipun jmlah zat ekstraktif tergolong kecil pada struktur kayu dan merupakan komponen tambahan pada dinding sel kayu, namun keberadaan zat ekstraktif sering kali menjadi faktor penentu dalam hal keawetan kayu dan teknik pengolahan kayu. Kandungan zat ekstraktif dapat berubah selama pengeringan kayu terutama senyawa tak jenuh, lemak dan asam lemak terdegradasi. Ekstraktif juga sangat berpengaruh pada produksi pulp. Kandungan ekstraktif pada kayu segar dapat menyebabkan noda kuning/penguningan pulp. Ekstraktif juga mempengaruhi kekuatan pulp, perekatan dan pengerjaan akhir kayu. Studi mengenai potensi zat ekstraktif dilakukan dalam berbagai aspek. Studi yang dilakukan antara lain penelitian mengenai potensi senyawa bioaktif dari ekstrak akar, kulit batang maupun daun yang dapat digunakan sebagai bahan obat, kosmetika maupun bahan pengawet. Studi alkaloid sebagai bahan obat contohnya seperti potensi senyawa alkaloid dari Albertisia papuana Becc. yang memiliki sifat anti plasmodium secara in vitro sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obat malaria (Lusiana, 2009). Studi lainnya meneliti bioaktivitas zat ekstraktif kayu manggis (Garcinia mangostana
L)
terhadap rayap tanah
Captotermes
curvignathus Holmgren (Syahidah, 2008). Ekstrak organik pada kayu teras Juniperus virginiana diketahui memiliki sifat inhibitor terhadap pertumbuhan jamur pembusuk kayu seperti Trametes versicolor dan Gloeophyllum trabeum (Mun dan Prewitt, 2011).
8
Alkaloid Alkaloid awalnya terbentuk dari kata alkali yang berarti basa dan oid yang berarti menyerupai. Alkaloid dapat diartikan sebagai senyawa yang menyerupai basa (Fessenden dan Fessenden, 1997). Alkaloid merupakan molekul organik yang sedikitnya memiliki 1 atom nitrogen dan memiliki struktur cincin heterosiklik. Adanya gugus tambahan pada struktur alkaloid seperti gugus metil radikal memberikan sifat yang unik pada alkaloid. Pada tumbuhan liar alkaloid umumnya bersifat toksik (racun). Alkaloid cenderung mudah untuk diekstrak menggunakan pelarut organik seperti metanol, kloroform, dietil-eter. Alkaloid yang terlarut dapat diidentifikasi menggunakan metode instrumental standar seperti kromatografi gas (GC), kombinasi kromatografi gas dengan spektrometri massa (GCMS)
atau menggunakan LCMS dan HPLC. Alkaloid umumnya
memiliki pengaruh biologis pada tubuh maupun pikiran manusia, karena dapat bertindak seperti narkotika, stimulan dan menyebabkan halusinasi. Oleh sebab itu alkaloid pada tumbuhan banyak dieksploitasi secara luas sebagai bahan obat maupun bahan psiko-aktif. Alkaloid termasuk salah satu senyawa yang relatif kecil pada kelompok senyawa organik. Berat atomnya berkisar antara 100 hingga 300. Alkaloid memiliki rasa yang pahit sebagai bentuk evolusi pada tumbuhan vaskular maupun jamur sebagai bentuk mekanisme pertahanan biologis. Salah satu jenis alkaloid yang telah digunakan sejak dahulu dan berkembang hingga saat ini adalah alkaloid jenis kafein; Jenis alkaloid ini dapat dengan mudah ditemukan pada Caffea arabica dan Theobroma cacao ( Rafferty, 2007). Qiu et al. (2008) melaporkan bahwa jenis alkaloid brusin dan striknin sering digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional untuk mengobati penyakit sistem saraf pusat dan nyeri arthritis traumatis. Brusin dan striknin dikenal bersifat racun dan membunuh dan terkandung di dalam biji Strychnos nux-vomica L. Reaksi asam-basa menyebabkan brusin terprotonisasi di atom N(2). Brusin bersama senyawa induk striknin sering digunakan secara bersama-sama dalam pemisahan asam rasemik. Brusin memiliki rumus molekul C23H26N2O4. Titik leleh brusin adalah 178ºC dan titik didihnya adalah 470ºC. Brucine kurang larut dalam air, tetapi larut dengan baik dalam alkohol. Brucine merupakan alkaloid yang paling
9
umum digunakan dalam resolusi asam optik aktif. Oleh karena itu, brusin dapat dimurnikan dan digunakan berulang.
Litsea tomentosa Blume. L. tomentosa merupakan anggota famili Lauraceae. Jenis ini banyak tersebar di Peninsular Malaysia, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Filipina, Papua New Guini serta Myanmar. Di Indonesia jenis ini dikenal dengan nama huru meuhmal, huru dapung, huru leksa, wuru lutung (Lemmens et al.1995). Di Provinsi Nusa Tenggara Timur jenis ini dikenal dengan nama lokal kayu ular. Masyarakat NTT Litsea tomentosa Blume memiliki berat jenis 0.57. Jenis ini digolongkan pada kelas awet III dan kelas kuat III-II (Oey, 1990). Kayunya dapat digunakan sebagai medang atau rangka untuk konstruksi rumah. Secara lengkap klasifikasi Litsea tomentosa Blume sebagai berikut : Klasifikasi Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Magnoliopsida
Bangsa
:
Laurales
Famili
:
Lauraceae
Marga
:
Litsea
Sinonim
:
Litsea cuneata, Litsea membranacea Elmer, Litsea grandifolia Teschner
Deskripsi Ketinggian pohon dapat mencapai 27 m. Diameter batang dapat mencapai 50 cm. Permukaan kulit batang halus dan berwarna cokelat. Kulit batang bagian dalam (inner bark) berwarna cokelat-orange. Daunnya tersusun secara spiral dan buahnya berbentuk elips. Jenis ini termasuk jenis yang jarang dijumpai namun terdistribusi di dataran rendah hingga hutan pegunungan dengan ketinggian 1500 m dpl. Kerapatan kayunya mencapai 700-750 kg/m3 pada kadar air 15% (Lemmens et al.,1995).
10
Gambar 2. Batang pohon (kiri) dan kulit batang L. tomentosa (kanan) Novianti et al. (2006) telah mengidentifikasi 4 jenis senyawa alkaloid dari kayu teras L. tomentosa. Adapun keempat jenis alkaloid tersebut adalah boldin, predisentrin, laurolitsin, dan launobin. HO
HO
H 3C
H 3C
N O
HO
N O
CH3
CH3
O
H 3C
H 2C
N O
H
N
O
H
HO H 3C
H 3C
H 3C
O
O
O O
OH
boldin
H 3C
predisentrin
OH
H 3C O
laurolitsin
launobin
Gambar 3. Jenis alkaloid yang teridentifikasi pada kayu teras L.tomentosa Govindachari (1971) berhasil mengisolasi jenis terpenoid tetrasiklik pada kayu L. tomentosa dengan nama litsomentol. Litsomentol merupakan triterpenoid tetrasiklik jenis baru dengan rumus molekul C30H52O2.
Gambar 4. Struktur molekul litsomentol
Pemanfaatan Kulit Batang Kulit batang sering menjadi masalah dalam proses pemanenan kayu. Kulit batang hasil dari pengulitan kayu menjadi limbah pemanenan yang sering muncul dibeberapa lokasi penebangan. Untuk mendukung pemanfaatan batang pohon secara menyeluruh, maka berkembang pemanfataan kulit batang. Kulit batang saat
11
ini banyak digunakan sebagai sumber energi karena kalor yang dihasilkan. Selain itu pada sektor pertanian kulit batang banyak digunakan sebagai pupuk atau penambah unsur hara. Kandungan bahan kimia aktif pada kulit batang seperti jenis alkaloid dan terpenoid, memmungkinkan pengembangan pemanfaatan kulit batang bagi industri farmasi. Kandungan tanin yang tinggi pada kulit batang menyebabkan banyak ekstraksi tanin dilakukan untuk digunakan pada industri penyamakan kulit (Duret et al., 2009). Beberapa studi yang menunjukkan sifat anti rayap dan anti jamur dari ekstrak kulit batang memungkinkan pemanfaatan kulit batang sebagai bahan pengawet alami untuk kayu.
Jamur Istilah "jamur" (mushroom)
berasal dari bahasa Yunani yaitu mykes.
Berawal dari kata mykes itulah berkembang istilah mycology yang berasal dari kata mykes yang artinya jamur dan logos yang berarti ilmu. Istilah lainnya yaitu fungus dalam bahasa Yunani juga merujuk kepada jamur. Fungus yang berarti tumbuh dengan subur, kemudian menjadi nama kingdom tumbuhan yaitu Fungi. Seorang botanis Italia bernama Pier Antonio Micheli, pada tahun 1729 memasukkan hasil penelitiannya mengenai jamur dan dipublikasikan pada Nova Plantarum Genera. Berbeda dengan tumbuhan lainnya yang bersifat autotrof, jamur merupakan organisme heterotrof. Secara tradisional, jamur merupakan organisme eukariotik yang mampu menghasilkan spora dan memiliki hifa (Alexopoulus et al., 1996). Diperkirakan diseluruh dunia terdapat 1.5 juta spesies yang termasuk di dalam kingdom Fungi, namun baru sekitar 69.000 spesies yang berhasil dideskripsikan (Hawksworth, 1991 dalam Alexopoulus,1996). Jamur tidak memiliki klorofil. Jamur memiliki dinding sel, namun tidak memiliki akar, batang maupun daun seperti tumbuhan tingkat tinggi. Jamur terdiri dari filamen (benang) halus yang disebut dengan hifa. Hifa inilah yang bergabung membentuk mycelium sebagai tubuh jamur. Jika diamati dibawah mikroskop terdapat tipe hifa yang dibatasi oleh sekat. Tipe hifa seperti ini disebut dengan septate. Untuk hifa yang tidak bersekat disebut dengan hifa aseptate atau nonseptate. Setiap fragmen dari bagian jamur mampu tumbuh sebagai individu baru. Jamur memiliki kemampuan menggunakan segala macam sumber karbon
12
sebagai bahan makanan. Jamur ada yang digolongkan sebagai saprofit dan parasit. Saprofit mendapatkan makanan dari bahan organik yang telah mati. Parasit mampu hidup pada material organik yang hidup ataupun mati. Parasit dapat merugikan ataupun mematikan inang tempat jamur tersebut tumbuh. Disamping sebagai sumber makanan, jamur juga dapat menyerang berbagai produk yang digunakan oleh manusia. Bahkan jamur dapat menjadi sumber penyakit bagi manusia.
Salah
satu
kerugian
yang
disebabkan
oleh
jamur
adalah
pembusukan/pelapukan kayu. Jamur pelapuk kayu dapat menyebabkan perubahan sifat fisik dan sifat kimia kayu. Jamur ini merombak polimer kayu menjadi senyawa sederhana yang dijadikan sebagai sumber makanan untuk bertahan hidup. Proses perombakan dilakukan secara biokimia dengan bantuan enzim (Arif et al., 2008). Spesies jamur yang terkenal sebagai jamur pelapuk kayu antara lain : Chaetomium globosum, Coriolus versicolor, Dacryopinax spathularia, Lentinus lepideus, Phanerochaete chrysosporium, Phlebia brevispora, Polyporus sp., Poria placenta, Pycnoporus sanguineus, Schizophyllum commune, Trametes sp., Tyromyces palustris, Gloeophyllum trabeum. Terdapat dua macam tipe pelapukan kayu oleh jamur yaitu : white rot fungi (busuk putih) dan brown rot fungi (busuk cokelat). Jamur busuk putih umumnya mampu mendegradasi komponen dinding sel seperti lignin, hemiselulosa dan selulosa. Sebagai contoh Poria medulla-panis akan mendelignifikasi substrat pada kayu keras secara selektif, namun mampu mendegradasi seluruh komponen dinding sel pada jenis konifer. Terdapat 3 kelas enzim selulolitik yang teridentifikasi pada jamur busuk putih yaitu : (1) enzim hidrolitik
seperti glukanase dan glikosidase; (2) enzim oksidatif; (3) enzim
oksidoreduktif. Pada jamur busuk cokelat, kayu yang diserang akan berwarna cokelat dan meninggalkan bekas kubik yang rapuh. Pada busuk cokelat hanya sedikit lignin yang termodifikasi. Serangan jamur busuk cokelat cenderung mendepolimerisasi polisakarida pada dinding sel, seperti selulosa dan hemiselulosa.