TINJAUAN PUSTAKA
Sekilas Taman Nasional Batang Gadis Hutan lindung merupakan kawasan hutan register yang relatif masih utuh dan terbaik dibandingkan dengan kawasan hutan lindung di Provinsi Sumatera Utara. Hutan lindung dan hutan produksi tersebut merupakan sumber mata air bagi Batang Gadis dan sungai-sungai lainnya di DAS Batang Gadis. Ada 13 dari 17 kecamatan di Kabupaten Madina dan Kecamatan Batang Angkola di tapanuli Selatan yang termasuk DAS dan Sub DAS Batang Gadis, ialah : Muara Sipongi, Ulu Pungkut, Kotanopan, Lembah Sorik Merapi, Laru Tambangan, Panyabungan Kota, Panyabungan Utara, Bukit Malintang, Siabu, dan Muara Batang Gadis sepanjang 180 kilometer (Harahap, 2004). Ancaman terhadap kelestarian hutan di Madina terutama datang dari meningkatnya aktivitas manusia, menurunnya potensi hutan produksi sebagai akibat dari semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jumlah pengangguran sekaligus. Taman Nasional Batang Gadis adalah jawaban yang tepat untuk meningkatkan intensitas pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan aspekaspek pemanfaatan, pengamanan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem di kawasan itu. Pengelolaan hutan secara professional dengan stakeholder, pemanfaatan secara proporsional akan membuka lapangan kerja baru sekaligus dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Madina dengan tetap menjaga kelestariannya (Harahap, 2004).
6
Universitas Sumatera Utara
Berbeda halnya dengan taman nasional lainnya, penunjukan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) diprakarsai oleh Pemerintah Derah Mandailing Natal (Madina). Prakarsa ini tidak terlepas dari inisiatif, keinginan, dorongan, dan dukungan dari masyarakat setempat, tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup. Tujuannya tak lain untuk menyelamatkan “harta dan kekayaan” Madina yaitu tutupan hutan alam yang masih tersisa dan relatif utuh di Provinsi Sumatera Utara, agar dapat mendatangkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat setempat dan Pemerintah daerah (Rahayuningsih, dkk., 2004). Sejalan dengan upaya sinergi dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan disambut Departemen Kehutanan, akhirnya dapat ditunjuk dan diresmikan penunjukannya oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan pelestarian alam yang meliputi luas 108.000 hektar berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.126/Menhut-II/2004 tanggal 29 April 2004 (Balai TNBG, 2007). Sesuai dengan peraturan, penataan batas-batas Taman Nasional Batang Gadis merupakan wewenang dari Badan Planologi Kehutanan, sedangkan pengelolaannya menjadi wewenang Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Harahap, 2004). Taman Nasional Batang Gadis secara administrasi berada di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak diantara 99° 12' 45" sampai dengan 99° 47' 10" Bujur Timur dan 0° 27' 15" sampai dengan 1° 01' 57" Lintang Utara (Balai TNBG, 2007). Taman Nasional Batang Gadis memiliki luas 108.000 hektar atau 16 % dari total luas
Kabupaten Madina dan terletak pada kisaran ketinggian 300
Universitas Sumatera Utara
sampai 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertingginya di puncak gunung berapi Sorik Merapi. Keadaan topografi kawasan hutan TNBG berupa perbukitan sampai pegunungan (dolok – dolok) yang memiliki ketinggian bervariasi, dengan kemiringan rata – rata lebih dari 40 %. Kombinasi curah hujan yang tinggi, dominasi kemiringan lereng > 50 %, kondisi topografi yang umumnya perbukitan dan pegunungan, terletak di daerah vulkanis aktif sehingga membawa kondisi geologis yang labil. Disamping itu dengan topografi yang memiliki elevasi yang tinggi tersebut mengakibatkan tingkat rawan erosi tanah sangat tinggi, dengan kata lain tanah akan rawan tererosi, sehingga keadaan ini menyebabkan di Mandailing Natal relatif rawan bencana alam seperti tanah longsor, erosi dan penurunan kualitas tanah (Balai TNBG, 2007). Kawasan hutan TNBG yang terdapat di Sumatera Utara merupakan hamparan hutan hujan tropis antara dataran hingga pegunungan dengan hari hujan rata – rata bulanan adalah 12 – 13 hari/bulan, Presipitasi rata – rata tahunan > 1.717,5 mm/th. Temperatur rata – rata bulanan adalah 23 – 25,4°C (valensi rata – rata bulannya tidak begitu besar, hal ini dipengaruhi oleh ketinggian). Dari hasil rata rata tersebut, menurut klasifikasi iklim Scmith-Ferguson TNBG termasuk dalam tipe A. Kawasan TNBG ditunjuk sebagai kawasan pelestarian alam karena memiliki salah satu fungsi sebagai pengendali siklus hidrologi, pengatur tata air dimana merupakan bagian dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. TNBG yang terdiri dari beberapa bentang alam yang berupa pegunungan menyimpan fungsi sebagai daerah tangkapan air dan sumber mata air bagi beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang antara lain: DAS Batang Gadis, DAS Batang Natal, DAS Batang Batahan, dan DAS Batang Parlampungan yang mempunyai luas
Universitas Sumatera Utara
kurang lebih 386.445 Ha atau 58,37 % dari luas daratan Kabupaten Mandailing Natal (Balai TNBG, 2007). TNBG yang terletak pada bagian bukit barisan di tubuh Pulau Sumatera bagian Barat-Utara, memiliki potensi sebagai hutan hujan tropis alami mendukung untuk terbentuknya koridor biodiversitas Sumatera. Dipertegas bahwa adanya bentang alam yang berfungsi sebagai koridor biodiversitas ini akan membantu dalam upaya penyelamatan species langka untuk dapat berkembang biak dengan menyediakan peluang untuk bergerak, berpindah untuk mendapatkan habitat dan berinteraksi dengan individu lain sehingga menghindarkan pada kawin kerabat yang akan menurunkan kualitas genetis pada turunannya (Balai TNBG, 2007). Penelitian keanekaragaman hayati secara cepat telah dilakukan oleh CI Indonesia, Balitbang Kehutanan-Dephut, LIPI dan Pemerintah Kabupaten Madina pada tahun 2004. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak penelitian di hutan dataran rendah dengan ketinggian ± 660 meter dpl, di TN. Batang Gadis terdapat 240 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) yang terdiri dari 47 suku atau sekitar 0,9% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh di Indonesia). Nilai penting jenis untuk famili dari 10 famili
yang
paling
seringkali
ditemukan
menunjukan
bahwa
keluarga
Dipterocarpaceae menempati urutan pertama dengan Species Important Values for a Family (TSIVF) sebesar 84,24% disusul secara berurutan keluarga-keluarga dari Euphorbiaceae
31.97%,
Burseraceae
24.11%,
Myrtaceae
15.89%,
Fagaceae 13.72%, Lauraceae 11.62 %, Sapotaceae 11.51% , Myristicaceae 9.73%,
Moraceae 9.09% dan
Clusiaceae 7.44%. Berdasarkan pengamatan
langsung dan tak langsung, survei berhasil menambah secara signifikan catatan
Universitas Sumatera Utara
keberadaan mamalia di TN. Batang Gadis dan sekitarnya dari 26 menjadi 47 jenis. Di antara jenis mamalia yang tercatat dalam survei ini adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac), Landak (Hystrix brachyura) empat jenis primata, serta beberapa jenis kucing hutan yaitu : Kucing emas (Catopuma temmininckii), Kucing cengkok (Celis bengalensis), Macan dahan (Neofelis nebulosa). Sementara masyarakat juga menginformasikan adanya anjing hutan/ajak (Cuon alpinus) dan dua jenis berang-berang di TNBG (Balai TNBG, 2007). Hasil Kajian Tim terpadu ini menjadi bahan pertimbangan bagi Menteri Kehutanan dalam proses pengambilan keputusan tentang pembentukan Taman Nasional Batang Gadis. Keputusan Menteri Kehutanan itu merupakan landasan kebijakan pengelolaan dan pelestarian kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Hal ini menjadi sangat penting, karena proses penetapan Taman Nasional Batang Gadis berawal dari keinginan yang kuat dari seluruh elemen masyarakat Mandailing Natal. Keinginan yang kuat itu ditanggapi dan diperjuangkan oleh Pemerintah Daerah Mandailing Natal, sampai ditetapkannya Taman Nasional Batang Gadis. Ini bermakna, bahwa peran serta dan kerjasama masyarakat dan Pemerintah Daerah Mandailing Natal sejak dahulu sampai kini masih tetap kuat dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan, tanah, air, danau, dan sumber daya alam lainnya (Harahap, 2004). Pengelolaaan Taman Nasional Batang Gadis dilaksanakan secara bersamasama oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah Propinsi, instansi pemerintah Kabupaten dan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi-
Universitas Sumatera Utara
organisasi non pemerintah terkait lainnya. Dengan pendekatan pengelolaan kolaboratif atau pengelolaan multipihak bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan kesinambungan keberdayaan serta memperbesar komitmen dari para pihak dalam pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis (Dinas Kehutanan Madina, 2004).
Partisipasi Mengutip pendapat David-Case (1990) dikemukakan oleh Messerschmidt (1995) dalam Sardjono (2004), partisipasi merupakan pelibatan secara aktif pihak dalam ataupun pihak luar dalam seluruh keputusan yang terkait dnegan sasaran, tujuan dan kegiatan, maupun dalam implementasi kegiatan itu sendiri. Maksud daripada partisipasi itu sendiri adalah pelibatan secara aktif pihak dalam ataupun dari luar dalam seluruh keputusan yang terkait dengan sasaran, tujuan dan kegiuatan, maupun dalam implementasi kegiatan itu sendiri. Maksud daripada partisipasi itu sendiri adalah untuk mendorong kemandirian masyarakat sehingga tercapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sementara Natapracha dan Stephens (1990) dalam Desmond (1996) dalam Sardjono (2004), partisipasi merupakan masyarakat sebagai suatu proses dimana masyarakat dilibatkan pada setiap tahap situasi yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Keterlibatan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan dan pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah penjajagan, perencanaan, implementasi, pemantauan, evaluasi dan distribusi keuntungan. Korten (1983) dalam Sardjono (2004), bahwa dengan keterlibatan masyarakat sejak perencanaan akan dapat diperoleh komitmen mereka terhadap pemanfaatan yang optimal dan sustainabilitas hasil-hasil kegiatan yang telah
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan. Disamping itu, dan tidak kalah pentingnya adalah membuat mereka menjadi lebih mandiri dan lebih mampu dalam mencoba menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mungkin akan dihadapi selanjutnya pada saat dukungan teknis dan finansial dari pemerintah atau pihak luar lainnya dihentikan. Dalam upaya meningkatkan keberhasilan pemeransertaan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, perlu diperhatikan dan dipelajari situasi lapangan. Memang benar bahwa masyarakat lokal tradisonal relatif homogen dalam arti antara lain berciri kelompok primer, ikatan-ikatan kekeluargaan dan kekerabatan (family and kindship ties) membentuk batasanbatasan dalam masyarakat dan menentukan kesetiaan (loyalties) dan solidaritas (soladarities). Akan tetapi, kondisi tersebut tidak berarti bahwa perbedaan kecil yang menyangkut kelompok-kelompok berkepentingan lebih kecil seperti didasarkan jenis kelamin (kelompok pria dan wanita), umur (golongan tua dan golongan muda), tingkat pendidikan (kelompok terdidik dan kurang terdidik), dan lain-lain bisa diabaikan (Sardjono, 2004). Berdasarkan kondisi faktual di atas, maka ada kunci-kunci lainya yang harus disadari bahwa dalam partisipasi masyarakat, harus benar-benar melibatkan atau mendengarkan suara dari wakil-wakil seluruh fraksi yang ada di masingmasing kelompok masyarakat sasaran. Pemberian kesempatan kepada wakil kelompok perempuan untuk berpartisipasi serta dalam proses sebagai contoh, tidak hanya akan memantapkan komitmen, tetapi juga melengkapi berbagai informasi yang diperlukan dalam perencanaan terkait program kegiatan yang akan dilaksanakan (Sardjono, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu, partisipasi dalam arti melibatkan masyarakat yang mewakili seluruh komponen yang ada semata tidak mencukupi untuk menunbuhkan kemandirian, bilaman tidak disertai dengan pembagian tanggung jawab. Tanggung jawab hanya dapat ditumbuhkan bilamana setiap pihak yang terlibat juga memberikan kontribusinya secara setara, tidak terkecuali masyarakat lokal sekitar hutan. Hal inilah yang mulai menggeser konsep pelibatan masyarakat kepada konsep bekerja bersama antar parapihak dengan menempatkan masyarakat sebagai salah satu komponen kuncinya (Sardjono, 2004). Tipe – tipe Partisipasi masyarakat menurut Sardjono, (2004) : 1)
Partisipasi Pasif (Passive participation). Masyarakat berperan serta dengan melalui
pemberitahuan/arahan
dari
satu
sisi
(penyelenggara
proyek/program kegiatan a.l. pemerintah atau perusahaan); 2)
Partisipasi dalam Pemberian Informasi (Participation in Information Giving). Masyarakat berperan serta dengan sekedar menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepada mereka sehubungan dengan suatu kegiatan proyek/program kegiatan;
3)
Partisipasi
untuk Konsultasi (participation by Consultation). Berbeda
dengan butir dua di atas, masyarakat di sini berperan serta dengan cara memberikan saran-saran/pandangan atas permasalahan yang sedang dihadapi dalam rangka suatu peroyek / program kegiatan ; 4)
Partisipasi untuk Intensif materi (Participation for Material Incentives). Masyarakat berpartisipasi dengan pemberian kompensasi atas jasa yang divberikan atas suatu kebutuhan (misal suatu proyek atau program kegiatan);
Universitas Sumatera Utara
5)
Partisipasi secara Fungsional
(Functional participation). masyarakat
berperan serta dengan membentuk kelompok-kelompok kecil guna memenuhi tujuan proyek / program kegiatan yang telah ditetapkan; 6)
Partisipasi Interaktif (Interactive participation). Masyarakat berperan serta dalama analisis bersama pelaksana proyek/program kegiatan melalui upaya memfungsikan peran kelembagaan yang sudah ada di masyarakat. Tipe partisipasi ini yang umum dikembangkan saat ini ;
7)
Mobilisasi secara Mandiri (Self-mobilization). Masyarakat berperan serta dalam suatu proyek/program kegiatan berdasarkan inisiatif sendiri tanpa tergantung dengan pihak luar.
Prinsip- prinsip partisipasi menurut Djohani, dkk., (1996) adalah: •
Cakupan. semua orang, atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses-proyek pembangunan misalnya.
•
Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang
mempunyai
ketrampilan,
kemampuan
dan
prakarsa
serta
mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak. •
Transparansi.
Semua pihak
harus
dapat
menumbuh-kembangkan
komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
Universitas Sumatera Utara
•
Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.
•
Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.
•
Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain
•
Kerjasama. Diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia.
Hambatan-hambatan yang kerap menghambat menurut Djohani, dkk., (1996) antara lain: •
Hambatan perilaku. Para pegawai negeri sudah terbiasa bekerja dalam sistem top-down dengan menunggu perintah dari atasan apa yang harus dilakukannya. Sehingga sangatlah sulit merubah sikap mereka ke dalam sistem bottom-up, dimana mereka tidak sekedar harus mendiskusikan dengan pelanggan mereka (masyarakat), tapi juga bertanggung jawab untuk menyampaikan hasil -hasilnya kepada atasannya.
Universitas Sumatera Utara
•
Hambatan
Kebijakan.
Meskipun
kebijakan
tingkat
tinggi
telah
memperkenalkan pendekatan partisipatif, namun visi, misi serta program lembaga pemerintah masih mengikuti pendekatan top-down. Hal ini diperparah lagi oleh para manajer senior dan pembuat kebijakan yang masih memakai cara-cara lama dalam pengambilan kebijakan, yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan dan Petunjuk Pelaksanaan. •
Hambatan sistem manajemen. Sebagian besar
bahkan nyaris semua-
sistem manajemen dalam lembaga pemerintah masih mengikuti "Model Perencanaan Mekanistik" dimana "para ahli" di tingkat pusat menyiapkan "cetak biru" untuk dilaksanakan oleh petugas lapangan. Alokasi dana dan sistem manajemen dirancang untuk mendukung proyek mencapai hasilhasil fisik. Sedang sistem monitoring dan evaluasi didesain untuk mengukur pengeluaran dan pembelanjaan ketimbang mengetahui hasil dan dampak yeng telah dicapai. Sistem perencanaan bottom-up yang dulu tidak berfungsi, kini sudah mulai digunakan untuk menyusun rencana pembangunan daerah, sehingga pada akhirnya nanti proyek akan dibiayai dari anggaran pemerintah daerah. Sayangnya, meski angin desentralisasi telah dihembuskan ke daerah, namun nyaris tidak ada saran yang diberikan kepada pemerintah daerah mengenai sistem yang selayaknya mereka bangun. Situasi ini akan terus menghidupkan sistem top-down dan sentralistik. •
Hambatan
sumber
daya
manusia.
"Masyarakat
sebagai
fokus
pembangunan" merupakan konsep baru bagi staf pemerintah, sehingga butuh waktu untuk sekadar memperkenalkan agar konsep ini bisa diterima
Universitas Sumatera Utara
ditengah-tengah mereka. Karenanya pelatihan sangat diperlukan untuk melengkapi mereka dengan keahlian baru yang kelak akan berguna.
Masyarakat Lokal Istilah masyarakat didefinisikan dalam bahasa yang berbeda oleh para ahli sosiologi, akan tetapi secara umum mengandung persamaan pemahaman, yaitu, menjelaskan: sekelompok manusia, yang hidup bersama pada suatu wilayah geografis tertentu, sehingga memilki budaya yasng sama, dan (lebih penting lagi) dapat bertindak secara terintegrasi dalam mencapai tujuan kolektif. Dalam pemahaman luas dapat meliputi suatu bangsa atau secara sempit dapat dipandang sebagi suatu kampung. Penggunaan istilah “lokal” dimaksudkan untuk mengartikulasikan, masyarakat ‘manakah’ yang dimaksud, atau membedakan antara suatu persekutuan hidup dimaksud dengan ‘siapa- siapa’ yang tidak termasuk didalamnya (Sardjono, 2004). Masyarakat Lokal (Pemerintah: SK Menteri Kehutanan No. 31/ Kpts II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan) yaitu : “Kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/ atau di sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan pada mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan pada mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama” Masyarakat lokal adalah sekelompok orang, baik yang disebut masyarakat adat maupun pendatang (baik sedaerah ataupun dari luar daerah), yang turun-
Universitas Sumatera Utara
temurun bertempat tinggal didalam dan di sekitar hutan sehingga memiliki keterikatan kehidupan (termasuk teknologi dan norma budaya) serta penghidupan (meliputi subsistensi dan pendapatan) bersama atas hasil hutan dan / atau lahan hutan (Sardjono, 2004). Menurut Sardjono (2004), sebenarnya sulit untuk mencari alasan yang sangat ‘akurat’ dalam hal ini. Akan tetapi secara pemikiran logis (common sense), adalah adil bila masyarakat adat memperoleh prioritas kepentingan terhadap sumberdaya alam setempat lebih tinggi daripada kelompok pendatang, karena: •
ditinjau baik dari sisi sejarah kehadirannya (yang seharusnya lebih dulu)
•
keterikatan dan tanggung jawab bagi masa depan sumberdaya (yang seharusnya lebih besar)
•
implementasi kelembagaan (yang seharusnya lebih membudidaya)
•
pengakuan yang diberikan oleh pihak- pihak luar atas sumberdaya (yang seharusnya lebih kuat) Soejarwo (1998) dalam Sardjono (2004), mengatakan bahwa masyarakat
sekitar hutan adalah masyarakat yang pada umumnya merupakan suatu masyarakat zona sosial-ekonomi yang berada dalam kawasan dalam dan luar hutan. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya kuat dalam menjaga adat istiadat dari berbagai pengaruh dari luar, memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber ekonomi untuk bertani (palawija, cabe, ubi kayu, sayur-sayuran), sumber energi untuk keperluan rumah tangga dipenuhi melalui pengadaan bahan kayu bakar dari kebun maupun dari ladang, norma dan nilai sosial memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari (dilarang menebang pohon beringin), selain agama
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan terhadap kehadiran tenaga supranatura dalam bentuk tempat dan larangan masuk daerah keramat masih sangat kuat. Menurut Sardjono (2004), tipologi masyarakat lokal hanya akan dibedakan atas dasar dua kelompok yang lebih umum, yaitu : 1. Masyarakat Lokal tradisional (Local Traditional Community) Yaitu masyarakat yang sudah turun- temurun di dalam atau sekitar hutan, baik yang saat ini sudah atau belum bertempat tinggal pada suatu desa yang defenitif, tetapi masih memiliki dan mempraktekkan kelembagaan (organisasi, struktur dan norma) adat dan teknologi tradisionalnya dalam kehidupan sehari- hari (termasuk dalam mengelola sumberdaya hutan sebagai sumber utama kehidupan dan penghidupan di samping kegiatan perladangan dan perkebunan tradisional). 2. Masyarakat Lokal Non-Tradisional (Local Non-Traditional Community) Masyarakat asli maupun pendatang yang telah tinggal permanen di pemukiman, dusun ataupun desa- desa definitif di dalam dan di sekitar hutan, meskipun tidak memiliki (dan apalagi mempraktekkan) institusi adat (kalaupun ada bersifat longgar) tetapi ada yang telah mengembangkan aturan/kesepakatan
lokal
dalam
pengelolaan
sumberdaya
alam
disekitarnya termasuk pemanfaatan sumberdaya hutan hasil hutan dan lahan hutan untuk pertanian). Lokasi relatif terbuka (aksesbilitas cukup tinggi) dan secara umum merupakan pusat pertumbuhan ekonomi (ada kegiatan pasar, warung dan industri rumah tangga), dan/ atau berada di sekitar pusat pemerintahan lokal (ibukota Kecamatan ataupun Kota/ Kabupaten).
Keterbukaan
wilayah
juga
mengakibatkan
struktur
Universitas Sumatera Utara
demografinya heterogen (multietnik), lokasinya tersentuh dengan beberapa program pembangunan (khususnya sarana dan prasarana sosial- ekonom, pendidikan dan kesehatan), motivasi dan orientasi semi-komersial hingga komersial mulai mewarnai kehidupan perekonomian masyarakat.
Kelembagaan Meskipun
secara
historis
pengetahuan
masyarakat
lokal tentang
pengelolaan hutan telah cukup memadai. Namun peningkatan terus menerus kualitas teknis dan produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Selain itu, masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang banyak disyaratkan oleh pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan skenario redistribusi sumberdaya alam yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang, dkk., 2000). Pada tataran pragnatis, keberadaan kelompok/institusi masyarakat di sekitar kawasan hutan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai institusi lokal baik formal/dengan legitimasi pemerintah), informal (yang hanya memperoleh legitimasi sosial maupun lembaga Adat telah tumbuh dan berkembang cukup lama di masyarakat. Meskipun dari segi konsep dan bentuk lembaga-lembaga tersebut
Universitas Sumatera Utara
masih sangat beragam, namun dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya mengenai pelestarian peran, manfaat dan fungsi hutan, masyarakat sudah memiliki pola kelembagaan yang berperan mengatur kegiatan, membangun, memanfaatkan dan menjaga sumberdaya hutan. Dalam kehidupan sehari-hari, kelompok/institusi ini memiliki corak yang beragam, baik dalam jenis, bentuk maupun kegiatannya, sesuai dengan yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat (Awang, dkk., 2000). Hal umum yang dijumpai menyangkut kelembagaan adat di beberapa kelompok masyarakat lokal adalah bahwa peraturan-peraturan adat yang terkait dengan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan seringkali bersifat lisan atau tidak tertulis. Walaupun demikian, adanya karisma seorang Kepala Adat dan penyelesaian permasalahan yang dilakukan secara musyawarah dengan bantuan dewan adat (yang umumnya terdiri dari orang-orang tua berpengalaman atau berpengaruh dalam kelompok masyarakat itu sendiri) telah mampu membuat aturan adat tetap dihormati dan bahkan tetap diberlakukan hingga sekarang ini di beberapa daerah. Oleh karenanya, penyeragaman administrasi pemerintahan desa di seluruh nusantara selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru ataupun dengan semakin banyaknya generasi muda di desa yang berpendidikan lebih tinggi (meskipun dalam sisi tertentu di beberapa tempat telah mampu menyurutkan peran dan fungsi lembaga adat) sejatinya tidak sepenuhnya hilang. Hal tersebut dikarenakan kelembagaan adat masih merupakan kebutuhan dalam mengimbangi dinamika kehidupan masyarakat lokal. Apalagi dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, lembaga adat tampaknya tidak lagi hanya menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat lokal, melainkan dapat
Universitas Sumatera Utara
merupakan sarana ampuh dalam memperjuangkan kembalinya hak penguasaan sumberdaya alam termasuk hutan (Sardjono, 2004).
Komponen dan Fungsi Kelembagaan Menurut Babbie (1994) dalam Sardjono (2004), dari sisi sosiologi ada empat komponen utama kelembagaan, yaitu: norma (norms), sanksi (sanctions), nilai (values), dan kepercayaan (beliefs). Norma menekankan pada tingkah laku yang dituntut dari masyarakat secara keseluruhan (tidak terikat dengan status sosial yang disandang). Sedangkan sanksi, adalah instrument yang terikat pada norma dalam bentuk penghargaan (reward) dan hukuman (punishments). Sanksi diharapkan dapat menjamin terlaksananya norma dimaksud. Nilai, lebih ditekankan pada hal-hal yang lebih disukai (atau yang tidak disukai) dalam rangka menetapkan norma yang dipilih. Nilai akan dijustifikasikan melalui basis kepercayaan yang berkembang di kelompok. Sedangkan pola kelembagaan secara total akan membentuk budaya. Kelembagaan sebenarnya memiliki fungsi penting dalam mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya alam (termasuk hutan) agar tetap bisa berfungsi lestari, serta menjamin hubungan antar manusia dalam masyarakat (bisa warga satu desa yang sama dan atau antar desa bertetangga) agar tetap harmonis (Sardjono, 2004). Adat suatu masyarakat atau komunitas biasanya diteruskan secara lisan kepada anggota-anggotanya oleh generasi terdahulu. Adat menetapkan apa yang diharuskan, dibenarkan atau diizinkan, dicela atau dilarang dalam situasi-situasi tertentu. Adat dianggap sebagai himpunan norma-norma yang sah yang harus dijadikan pegangan bagi perilaku seseorang. Suatu pola perilaku tertentu adalah
Universitas Sumatera Utara
sah dan layak apabila sesuai dengan adat. Apa yang menjadi hukum adalah kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Bilamana terdapat pelanggaran terhadap adat kebiasaan itu, maka sanksi hukum biasanya ditetapkan oleh kepala adat setempat yang bentuk putusannya pun tidak tertulis (Sardjono, 2006).
Penguatan Identitas Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif, kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya hutan. Sistem tata nilai budaya, kelembagaan lokal, dan keterikatan masyarakat desa hutan atas lingkungan sumber daya hutan mengalami kemarginalan. Realita ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation) dari identitas bersama masyarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desar hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan (Nugraha dan Murtijo, 2005). Kelembagaan masyarakat desa hutan dalam bentangan sejarah terbukti mampu mengatur keteraturan, ketertiban, keamanan, dan keharmonisan, akan tetapi seiring masuknya budaya modernisasi dan penyeragaman kelembagaan tingkat nasional berdampak pada terpinggirkannya peran kelembagaan lokal masyarakat. Bahkan, dalam dua dekade terakhir kelembagaan lokal masyarakat telah mengalami kematian obor. Masyarakat desa hutan kehilangan arah
Universitas Sumatera Utara
melangkah untuk menapak jalan kehidupan yang pasti. Kebijakan struktural kelembagaan dari pemerintah pusat mengakibatkan tercerai berainya sistem kelembagaan masyarakat desa hutan yang berakar pada sistem tata nilai budaya lokal. Bercermin pada realita tersebut, maka langkah prioritas yang segera harus dilakukan untuk mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan adalah penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal. Hal ini didasarkan oleh sisi positif kelembagaan lokal masyarakat, yaitu berakar pada sistem tata nilai budaya masyarakat lokal, struktur kelembagaan yang demokratis, tingkat partisipasi yang tinggi, dan selaras dengan nafas desentralisasi. Atas dasar itu, upaya yang segera dapat dipersiapkan untuk menghidupkan kembali kelembagaan lokal sebagai wujud aktualisasi kembali masyarakat desa hutan, adalah : (1) identifikasi kelembagaan lokal yang pernah ada, (2) merevitalisasi kelembagaan lokal dengan mengadopsi aspek positif kelembagaan sekarang, (3) sosialisasi kelembagaan, dan (4) penerapan akulturasi kelembagaan di masyarakat (Nugraha dan Murtijo, 2005).
Kebijakan Dasar Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis Pengelolaan taman nasional pada saat ini sudah harus disesuaikan dan dapat mengatasi situasi dan perubahan-perubahan yang acap kali muncul dalam mengelola taman nasional di Indonesia. Adanya pergeseran paradigma dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam, pembangunan dan pemerintahan maka menuntut pula perubahan pada pengelolaan taman nasional. Misalnya, pergeseran paradigma pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik, pembangunan yang berpusat pada pemerintah menjadi pembangunan yang partisipatif serta
Universitas Sumatera Utara
keputusan birokrasi yang top down menjadi buttom up (Dinas Kehutanan Madina, 2004). Dengan demikian maka kebijakan dasar pengelolaan TNBG menurut Dinas Kehutanan Madina (2004), dapat ditetapkan sebagai berikut : a. Pengelolaan TNBG dilakukan secara holistic, terencana dan berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan barang, jasa maupun pelestarian lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. b. Pengnelolaan TNBG dilaksanakan secara kolaboratif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan stakeholder yang bertanggungjawab dengan pendekatan taman nasional dan kawasan pendukungnya sebagai suatu kawasan pengelolaan. c. Pengelolaan TNBG dilaksanakan secara partisipatif dan konsultatif pada tiap tingkatan untuk mendorong tumbuhnya komitmen bersama antar pihak yang berkepentingan (stakeholder). Perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan partisipasi masyarakat guna mengurangi secara bertahap baban pemerintah dalam pengelolaan TNBG. d. Sasaran wilayah pengelolaan TNBG adalah wilayah TNBG dan wilayah pendukungnya secara utuh menjadi satu kesatuan ekosistem.
Pengorganisasian dan Kelembagaan Pengelolaan TNBG Pengelolaan TNBG dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah propinsi, instansi pemerintah kabupaten dan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi-organisasi non pemerintah terkait lainnya. Dengan pendekatan pengelolaan kolaboratif atau pengelolaan multipihak
Universitas Sumatera Utara
bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan kesinambungan keberdayaan serta memperbesar komitmen dari para pihak dalam pengelolaan TNBG (Dinas Kehutanan Madina, 2004).
Pengaruh Taman Nasional Batang Gadis Menurut Dinas Kehutanan Madina (2004), keberadaan taman nasional harus dapat lebih meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain : 1. Persepsi dan kesadaran konservasi pada masyarakat. 2. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional. 3. Pengembangan sistem zonasi kawasan taman nasional yang dapat mengakomodasi peningkatan kesejahteraan masyarakat : a. Zona pemukiman khusus/enclave b. Zona pemanfaatan khusus/tradisional (pemanfaatan non-kayu) c. Zona rehabilitasi (rehabilitasi kawasan melibatkan masyarakat) 4. Pelatihan dan penguatan kelembagaan masyarakat a. Pelatihan di bidang jasa pelayanan dan pengusahaan wisata alam b. Bantuan teknis dan nasehat di bidang pengusahaan berbasis konservasi alam dan pembangunan berkelanjutan 5. Pengembangan zona penyangga
Universitas Sumatera Utara