KAJIAN EKOLOGI UNGKO (Hylobates agilis agilis) DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA
TUAH MALEM BANGUN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
Tuah Malem Bangun NIM P.057030051
RINGKASAN TUAH MALEM BANGUN. Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan M. BISMARK Ungko (Hylobates agilis) merupakan salah satu satwa primata Indonesia yang terancam keadaannya. Kawasan Taman Nasional Batang Gadis merupakan salah satu habitat penyebaran Ungko (H.agilis agilis) di Sumatera Utara yang dijadikan oleh pemerintah sebagai daerah konservasi. Informasi populasi ungko di alam saat ini masih sangat terbatas dan bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik populasi (kepadatan kelompok/individu, ukuran dan komposisi kelompok), karakteristik habitat (vegetasi dan sumber pakan) dan perilaku masyarakat terhadap ungko dan habitatnya di TN. Batang Gadis. Metode yang digunakan untuk melakukan survei populasi adalah line transect sampling sebanyak 2 jalur dengan panjang masing-masing 2,3 dan 2,35 km dan lebar 100 m. Analisis vegetasi dilakukan di sepanjang jalur penelitian populasi dengan menggunakan metode garis berpetak. Wawancara kepada masyarakat sekitar kawasan juga dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan ungko. Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2005 sampai dengan September 2005 Hasil pengamatan menunjukkan ungko jantan dan betina dewasa mudah dibedakan dari rambut yang tumbuh pada muka atau pipi jantan berwarna putih dan pada betina menyerupai warna tubuh, alis pada betina putih melengkung sedangkan jantan putih bersambung. Ukuran tubuh jantan dewasa lebih besar dari betina dewasa. Hasil estimasi kepadatan populasi pada setiap jalur, dengan luas daerah survey 4,65 km2, menunjukkan bahwa kepadatan kelompok di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yaitu 2,60 kelompok/km2 dengan kepadatan individu berkisar 8,82 ekor/km2. Berdasarkan kepadatan populasi di kedua jalur didapat estimasi populasi keseluruhan sebesar 2.240 kelompok dan 7.620 individu. Vegetasi tingkat pohon didominasi oleh Geunsia farinosa Blume, Mallotus sp, danLitsea elliptica (Blume) Boerl. Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan ungko Geunsia farinosa Blume, Craton laevifolius Blume, Myristica iners Blume dan Syzygium sp. Aktivitas masyarakat sekitar kawasan masih sangat mempengaruhi keberadaan ungko dan kelestarian habitatnya di TN. Batang Gadis. Pembukaan areal perkebunan dan sisa eksplorasi hutan masih ditemukan di kawasan ini. Pengelolaan terhadap kawasan yang kurang baik akan memperburuk kondisi kawasan. Oleh sebab itu, perlu disusun program penyelamatan habitat dan populasi ungko yang sifatnya partisipatif antara masyarakat sekitar kawasan dan komponen terkait lainnya dan dilakukan secara berkelanjutan, agar keberadaan satwa primata ini dapat terus dipertahankan. Kata kunci: Ungko (Hylobates agilis agilis), populasi, habitat, Taman Nasional Batang Gadis
ABSTRACT
TUAH MALEM BANGUN. Ecology Study of The Mountain Agile Gibbon (Hylobates agilis-agilis) At Batang Gadis National Park, Nort Sumatera. Under supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and M. BISMARK. Ungko/mountain agile gibbon (Hylobates agilis agilis) is one of Sumatera endemic gibbon and is considered a near threatened spesies. The aim of this research was to study the ecology of mountain agile gibbon (ungko) at Batang Gadis National Park. Surveyed on characteristic, population of ungko, habitat condition and interactions between ungko and local people around the national park, were conducted three-months period (July-September 2005). Methods used were line transect for population estimation, ungko habitat was analysed by block line method and interview for interaction between ungko local people. The average group size density for ungko at the study area was 2.60 groups/km2, group size was estimated at 3.41 animals, and the population density was estimated 8.82 individuals/km2. There were 2,240 groups, and 7,620 individuals in Batang Gadis National Park. The vegetation was dominated by Geunsia farinosa Blume, Mallotus sp, and Litsea elliptica (Blume) Boerl . Food sources for the ungko was dominated by Geunsia farinosa Blume, Craton laevifolius Blume, Myristica iners Blume and Syzygium sp. Social activity around areals still very influence existence of ungko and sustainable habitat in Batang Gadis National Park. Opening areal plantation and rest of eksplorasi forest still be found in this area. Management to unfavourable area will make wart area condition. On that account, require to be compiled by a population ungko and habitat saving program which partisipative between society about other relevant component and area and done on an ongoing basis, in order to this animal primate existence can be non-stoped to be defended
Key Word: Ungko (Mountain agile gibbon), population, habitat, Batang Gadis National Park.
© Hak cipta milik IPB, 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
KAJIAN EKOLOGI UNGKO (Hylobates agilis agilis) DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA
TUAH MALEM BANGUN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : drh R.P. Agus Lelana, Sp.MP,M.Si.
Judul Tesis
: Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara
Nama
: Tuah Malem Bangun
NRP
: P057030051
Program Studi
: Primatologi (PRM)
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer. Ketua
Prof. Dr. M. Bismark, APU Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Primatologi
Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas kasih dan anugerah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara ini berjudul Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera utara Terima kasih dan penghargaan tak terhingga penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Prof.Dr. M. Bismark,MS selaku ketua dan anggota tim pembimbing atas segala waktu, bimbingan dan perhatian yang diberikan sejak awal sampai selesainya karya ilmiah ini. 2. drh. R.P. Agus Lelana, Sp.MP,M.Si selaku penguji luar komisi, atas segala saran dan masukan untuk penyempurnaan thesis ini. 3. Prof.drh. Dondin Sajuthi, MST, Phd selaku Ketua Program Studi Primatologi atas fasilitas dan bimbingan dalam perkuliahan. 4. Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) beserta staf, yang telah memberikan fasilitas selama perkuliahan. 5. Dirjen DIKTI DEPDIKNAS yang telah memberikan dana penelitian melalui hibah Pasca 6. Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) II SUMUT 7. Conservation International Indonesia (CII) Medan dan staf, yang telah membantu dalam pemberian fasilitas selama penelitian 8. Semua rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Primatologi, rekanrekan PERMATA Bogor dan rekan-rekan Perwira 12 atas kebersamaan dan bantuan yang diberikan selama studi. 9. Teman-teman yang membantu selama pengambilan data di lapangan: Pak Jabbar, Keni Sultan dan kepala Desa Aek Nangali terima kasih untuk bantuan dan kebersamaannya. Yang terkasih wina, untuk segala bantuan, perhatian, kasih dan kesetiaan yang diberikan sejak awal penelitian sampai selesainya tesis ini. 10. Dr. Ir. Entang Iskandar dan Dr. drh. Heri Wijayanto atas bantuan yang diberikan 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih yang tak ternilai sekalipun kecil artinya dibandingkan dengan tetesan keringat dan air mata kedua orang tua Ayahanda J. Bangun dan Ibunda N. Sembiring, adik-adik tercinta Desi Anita Bangun, SPd dan Oktavianita Bangun serta seluruh keluarga yang selalu melimpahkan kasih sayang dan tiada henti-hentinya berdoa untuk penulis. Bogor, Agustus 2007
Tuah Malem Bangun
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Berastagi pada tanggal 2 Juni 1979 dari ayah Jiwa Bangun, BA dan ibu Nurhayati Sembiring, BA. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri I Berastagi dan pada tahun yang sama lulus seleksi Masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan dan menamatkannya pada tahun 2002. Pada tahun 2003, penulis diterima di Program Studi Primatologi Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………………..xi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………..xii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang....................................................................................................1 Tujuan ................................................................................................................2 Manfaat .............................................................................................................2 Kerangka Pemikiran ...........................................................................................3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Ungko .......................................................................6 Populasi Ungko...................................................................................................8 Habitat dan Penyebaran Ungko ..........................................................................8 Sumber Pakan ...................................................................................................10 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ..................................................12 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat............................................................................................14 Bahan dan Alat .................................................................................................14 Metode .............................................................................................................14 Koleksi dan Analisi data ..............................................................................14 Penentuan Lokasi Penelitian........................................................................14 Karakteristik Ungko.....................................................................................15 Populasi Ungko............................................................................................15 Tipe Habitat .................................................................................................16 Vegetasi ......................................................................................................17 Aspek Konservasi .......................................................................................20 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................21 Karakteristik Ungko..........................................................................................21 Sifat Kualitatif.............................................................................................21 Sifat Kuantitatif...........................................................................................25 Populasi.............................................................................................................26 Habitat...............................................................................................................29 Vegetasi ............................................................................................................30 Sumber Pakan ...................................................................................................34 Aspek Konservasi .............................................................................................36 Sosial Ekonomi Masyarakat ........................................................................36 Kerusakan Habitat........................................................................................38 Persepsi Masyarakat ....................................................................................40 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ...........................................................................................................43
Saran .................................................................................................................43 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................44 LAMPIRAN ....................................................................................................... 47
DAFTAR TABEL Halaman 1. Deskripsi karakteristik kualitatif ungko ...........................................................22 2. Persentase pewarisan warna rambut ungko .....................................................24 3. Estimasi kepadatan populasi ungko, lokasi dan luas pengamatan ...................26 4. Komposisi kelompok ungko (H. agilis agilis) di TN Batang Gadis..................28 5.Parameter vegetasi, habitat dan populasi............................................................31 6. Sepuluh nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon ..........................................32 7. Sepuluh nilai INP tertinggi vegetasi tingkat tiang .............................................33 8. Daftar nama tumbuhan sumber pakan ungko ....................................................34
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian .........................................................5 2. Ungko (Hylobates agilis agilis) Jantan................................................................6 3. Peta penyebaran ungko (H.agilis agilis) (Geisman 2006) ................................ 10 4. Peta lokasi penelitian di TNBG (BKSDA Sumut II 2004)................................12 5. Disain line transect sampling ............................................................................16 6. Skema analisis vegetasi dengan jalur petak.......................................................17 7. Pola warna rambut ungko di TNBG ..................................................................21 8. Ungko betina dan bayi (a) dan ungko jantan (b) (foto: Mootnick. A 2004)......23 9. Posisi ungko sedang tidur ..................................................................................25 10.Gambaran habitat di lokasi penelitian di TN Batang Gadis ...........................30 11 Jalur transek analisis vegetasi dan pengamatan populasi .................................31 12.Jenis vegetasi yang menjadi sumber pakan ungko ...........................................35 13.Persentase jenis pekerjaan masyarakat di Desa Aek Nangali...........................36 14.Aktivitas pertanian dan perkebunan masyarakat di sekitar areal TNBG..........37 15.Sisa bekas penebangan kayu di areal penelitian ...............................................39 16.Persentase tanggapan masyarakat terhadap keberadaan ungko di TN Batang Gadis ................................................................................................................42
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Daftar nama vegetasi yang ditemukan di areal penelitian di TNBG .................48 2. Daftar inventarisasi vegetasi berdasarkan penelitian Kuswata et.al. (2004) di Taman Nasional Batang Gadis......................................................................50
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwaliar yang tinggi, dan tersebar di beberapa tipe habitat dalam ekosistem hutan. Jenis satwaliar ini merupakan sumberdaya hutan non kayu yang dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, meliputi berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis, ekonomis, sosial maupun budaya. pemanfaatan yang tidak memperhatikan aspek ekologis akan menyebabkan penurunan populasi satwa dialam, bahkan untuk jenis yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan habitat dapat menyebabkan jenis satwa liar terancam kepunahan, diantaranya satwa primata di Indonesia terutama jenis-jenis dalam suku Hylobatidae Penurunan populasi yang diakibatkan oleh penurunan kualitas, kuantitas habitat maupun perburuan liar merupakan permasalahan umum terjadi di Indonesia. Sedikitnya 32 jenis satwa primata yang telah dimasukkan dalam daftar satwa primata yang dilindungi memerlukan upaya-upaya konservasi habitat, penangkaran untuk peningkatan populasi, termasuk pemanfaatan jasa dan penelitian (Supriatna dan Wahyono 2000). Ungko (Hylobates agilis agilis) merupakan salah satu dari satwa primata Indonesia yang terancam. Penurunan populasi ungko yang drastis telah mendorong IUCN pada tahun 1994 mengkatagorikannya sebagai spesies nyaris terancam (Near Threatened nt = LR) (Eudey & Members of the Primate Specialist Group 2006), sedangkan CITES
mencantumkannya dalam Appendix I (Soehartono dan
Mardiastuti 2000). Ungko (H.agilis) dan spesies Hylobates lainnya adalah satwa dilindungi negara berdasarkan Dierenbeschermingsverordening 1935, No. 513 as Hylobatidae, Surat Keputusan Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/KptsII/1991 (Colin dan Muchtar 2002). Peraturan ini diperkuat oleh Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Hylobatidae. Satwa yang terancam punah dan habitatnya yang terus-menerus mengalami kerusakan (penurunan kualitas dan kuantitas) memerlukan strategi konservasi yang tepat untuk menanggulanginya dari kepunahan. Informasi mengenai satwa seperti kajian ekologi, perilaku, demografi dan genetik sangat diperlukan untuk menentukan
strategi konservasi yang tepat. Informasi tersebut dapat diperoleh dengan melakukan penelitian seperti penelitian ekologi satwa tersebut berada. Penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah di berbagai daerah, terutama di daerah penyebaran satwa atau biodiversitas yang menjadi kunci konservasi area merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi penurunan populasi ungko. Taman Nasional Batang Gadis merupakan salah satu habitat penyebaran Ungko (H.agilis) di Sumatera Utara yang dijadikan oleh pemerintah sebagai daerah konservasi. Namun, informasi mengenai spesies ungko seperti struktur umur, ukuran populasi, penyebaran, sumber pakan dan sikap mayarakat sekitar masih belum memadai. Informasi ini sangat diperlukan untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan kawasan taman nasional, khususnya dalam pelestarian spesies ungko. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu penelitian mengenai ekologi ungko sebagai dasar dalam memberikan rekomendasi dalam penggelolaan dan konservasi kawasan. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan informasi karakteristik populasi (kepadatan kelompok dan individu, ukuran dan komposisi kelompok) H. agilis agilis. 2. Mendapatkan informasi karakteristik habitat (vegetasi dan sumber pakan). 3. Mendapatkan informasi persepsi masyarakat terhadap pelestarian ungko dan habitatnya. Manfaat 1. Bahan acuan penyusunan rekomendasi manajemen pengelolaan ungko. 2. Memberi landasan pemilihan pakan ungko di lokasi penangkaran dan restorasi habitat.
Kerangka Pemikiran Ungko (Hylobates agilis) merupakan salah satu jenis satwa primata Indonesia yang keberadaannya terancam dan perlu mendapat perhatian khusus. Mungkin salah satu alasannya karena informasi yang akurat tentang keberadaanya dan nasibnya di alam tidak tersedia untuk masyarakat umum, sehingga banyak tekanan terhadap hutan sebagai habitat yang sangat mempengaruhi kehidupan ungko tidak mendapat perhatian Keberadaan ungko saat ini di alam bebas sudah sangat memperihatinkan. Kerusakan ekologi merupakan salah satu penyebab makin berkurangnya populasi ungko dialam. Kerusakan ekologi dapat terjadi akibat faktor manusia maupun alam sendiri. Pemaanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia merupakan salah satu faktor yang paling cepat merusak ekologi ungko, sehingga berpengaruh terhadap populasi dan kelangsungan hidup satwa ini sendiri. Perambahan secara legal atau illegal loging telah mengakibatkan fragmentasi hutan yang sangat serius. Penebangan hutan untuk industri (industrial logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan tropis dalam skala masif. Kecepatan penyusutan hutan alam antara tahun 1984 dan 1998 adalah sebesar 1,6 juta hektar per tahun, dan saat ini telah melampaui 2,4 juta hektar per tahun; salah satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia (Walhi 2007). Fragmentasi hutan menurunkan kualitas habitat akibat berkurangnya vegetasi, pohon tidur dan pohon sumber pakan yang merupakan ancaman bagi populasi ungko di alam. Disamping perusakan habitat perburuan terhadap satwa yang dilindungi juga mengakibatkan penurunan populasi. Perburuan terjadi akibat kurangnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai konservasi. Kurangnya informasi mengenai karakteristik biologi ungko bagi sejumlah peneliti dan masyarakat umumnya mengakibatkan pengembangan ungko secara in-situ maupun ex-situ menjadi kurang maksimal. Keadaan di atas juga dipengaruhi lemahnya peran aparat terkait dalam pengamanan daerah-daerah konservasi. Lemahnya peran aparat ini dapat dilihat dari minimnya petugas pengawas yang terdapat di Taman Nasional dan insfrastruktur yang belum memadai, pelatihan kepada petugas dianggap masih kurang dan demikian pula koordinasi antar instansi.
Memperhatikan keadaan di atas maka diperlukan suatu penelitian untuk bisa menjawab semua tantangan dan keadaan yang mengancam keberadaan Ungko di alam bebas. Penelitian yang dilakukan meliputi analisis vegetasi, kepadatan populasi dan ukuran kelompok, karakteristik ungko serta persepsi masyarakat tersebut mengenai ungko dan habitatnya. Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) merupakan salah satu habitat ungko (Hylobates agilis) yang terdapat di Sumatera Utara, melihat kondisinya taman nasional ini dianggap lokasi yang tepat untuk melakukan penelitian. Hal ini karena TNBG sendiri merupakan batas sebaran Hylobates Lar, taman nasional baru dan terdapat areal yang merupakan bekas tebangan. Dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu rekomendasi konservasi ungko, khususnya di Taman Nasional Batang Gadis, seperti pada Gambar 1 berupa bagan alir kerangka pemikiran.
Ungko (Hylobates agilis)
Ekologi Biologi - Identifikasi kesukaan pakan - Reproduksi - Morfologi - Morfometri - Tingkah laku
Populasi - Kepadatan populasi - komposisi Kelompok - Ukuran Kelompok - Distribusi
Habitat - Identifikasi Vegetasi - Tipe Habitat - Geografi - Iklim
Sosial Ekonomi -Perambahan hutan -Perburuan ungko
PermaPPpppp PPP Permasalahan Kurangnya informasi karakteristik biologi
Penurunan populasi
Penyempitan habitat
Kurangnya kesadaran konservasi
Pemecahan Masalah Melalui Penelitian - Morfologi kualitatif
- Kepadatan populasi - Ukuran kelompok
- Analisis vegetasi
- Sikap masyarakat - Tujuan perburuan - Dampak perambahan
Rekomendasi Konservasi
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Ungko (Hylobates agilis) Ungko (Hylobates agilis) dimasukkan kedalam jenis kera kecil yang klasifikasinya menurut Napier dan Napier (1985) dimasukkan ke dalam: ordo Primata, famili Hylobatidae, genus Hylobates, spesies Hylobates agilis. Spesies Hylobates agilis dikelompokkan lagi kedalam tiga subspesies, yaitu Hylobates agilis ungko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates albibarbis (Supriatna dan Wahyono 2000). Tubuh ungko ditutupi oleh rambut berwarna abu-abu, kecoklatan hingga hitam. Pada ungko jantan, rambut yang tumbuh di sekitar pipi serta alis berwarna putih, sedangkan pada betina dewasa hanya bagian alis yang berwarna putih. Ungko memiliki warna pergelangan dan jari tangan serta kaki berwarna hitam dan biasanya warna bagian tubuh ini lebih gelap jika dibandingkan dengan warna bagian tubuh lainya (Gambar 2). Bobot badan ungko dewasa antara 5-7 kg dan panjang tubuh antara 450-500 mm (Supriatna dan Wahyono 2000). Biasanya bobot tubuh jantan lebih besar dari betina (Animal Diversity 2004). Ciri lainnya, ungko tidak berekor dengan tangan lebih panjang daripada kaki dan tidak dapat berenang (Bismark,1984). Menurut Napier and Napier (1967), struktur tangan, kaki dan jari yang panjang memungkinkan ungko dapat menjangkau dahan-dahan yang jauh dan efisien untuk berayun atau menggantung di tajuk-tajuk pohon dalam hutan.
Gambar 2 Ungko (H. agilis agilis) jantan (Rowe 1996).
Ungko memiliki kantong tenggorokan yang berperan dalam vokalisasi (Fleagle 1988). Suara yang dikeluarkan ungko sangat keras mencapai 1 K Hertz yang mempunyai beberapa arti (Supriatna dan Wahyono 2000). Pada pagi hari dapat diartikan sebagai tanda keberadaan dan peringatan kepada pasangan lain. Suara ini biasanya ditanggapi oleh pasangan lain yang berdekatan. Suaranya juga mempunyai arti kontak dengan pasangan lain, baik kontak sahabat ataupun kontak saling menyerang. Famili hylobates (gibbon) menurut Fleagle (1988) merupakan satwa primata yang sangat tangkas dan akrobatik dalam melakukan pergerakan, gibbon menghabiskan kebanyakan waktunya di tajuk pepohonan hal ini karena gibbon merupakan satwa arboreal. Gibbon berpindah dan bergerak dengan berayun dari cabang ke cabang yang disebut brachiating. Ketika sedang melakukan brachiate, gibbon menggunakan empat jari tangannya menjadi suatu sangkutan (bukan ibu jari). Gibbon juga dapat berjalan-jalan dicabang kecil yang tinggi seperti berjalan kaki dengan membentangkan lengannya untuk membantu keseimbangannya. Gibbon dapat juga melompat dangan akrobatik untuk menyeberang diatas tajuk dari cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Gibbon diketahui dapat melompat dalam sekali lompatan sejauh 30 kaki atau 9 m. Menurut Gittins dan Raemaekers (1980), famili hylobatidae hidup dalam kelompok sosial monogami yang kecil yang terdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa dengan 1-2 anak. Pasangan hylobates umumnya melahirkan seekor anak dengan selang waktu 2-3 tahun sekali. Dewasa kelamin pada famili hylobatidae biasanya ketika berumur 12-13 tahun. Masa prenatal pada hylobates betina sekitar 7 bulan,dan biasanya melahirkan satu anak saja, sangat jarang terjadi anak kembar pada keluarga hylobates. Bayi yang baru lahir biasanya akan selalu digendong oleh induknya dan akan tinggal bersama-sama keluarganya sampai berumur 6 tahun sebelum membentuk keluarga yang baru. Berdasarkan ukuran tubuh dan perkembangan perilakunya, tingkatan kelas umur ungko dibagi menjadi : a ) bayi (infant); mulai lahir sampai umur dua tahun, ukuran badan kecil dan pada tahun pertama dibawa oleh induk betina dengan digendong selama pergerakanya;
b ) anakkan (juvenile-1); berumur 2-4 tahun, badanya kecil, berjalan sendiri tapi cenderung selalu dekat induknya; c ) remaja/muda (juvenile-2); berumur 4-6 tahun ukuran badan sedang, sering berjalan dan melakukan aktivitas makan sendiri; d ) hampir dewasa (sub-adult); mulai umur 6 tahun, ukuran badan hampir sama dengan dewasa tetapi belum matang seksual, tetap dalam kelompok tapi lebih sering memisahkan diri dan e ) dewasa (adult); mempunyai ukuran tubuh maksimal dan hidup berpasangan Populasi Ungko Menurut Alikodra (2002) populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Anggota kelompok ini tidak atau jarang melakukan hubungan dengan spesies yang sama dari kelompok lainnya. Suatu populasi dapat menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung pada spesies dan daya dukung habitatnya. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), diperkirakan populasi ungko yang tersedia di alam pada tahun 1986 hanya berkisar 30 ribu ekor yang hanya dapat ditemukan di kawasan konservasi di Kalimantan dan Sumatera. Satwa ini telah kehilangan 66% habitatnya yang semula cukup luas yaitu sekitar 500.000 km2, sekarang tersisa hanya sekitar 170.000 km2 saja. Bertentangan dengan pernyataan diatas di Taman Nasional Kerinci Seblat yang luasnya 1,3 juta hektar diperkirakan saat ini terdapat ungko sekitar 150 ribu ekor yang mendiami hutan perbukitan dataran tinggi 500-800 m dpl (Tempointeraktif 2004). Kepadatan pupulasi ungko di Taman Nasional Kerinci Seblat adalah 0,283-0,567 kelompok/km2 (Kehati 2004). Berdasarkan hasil penelitian Apriadi (2001), dikawasan lindung HPHTI PT. RAPP Sektor Baserah, Riau diperoleh kepadatan populasi ungko di KPPN sebesar 17,45 ± 5,61 ekor/km2 dan sempadan sungai 4,26 ± 0,67 ekor/km2 dengan kepadatan kelompok masing-masing 7,47 ± 0,52 kelompok/km2 dan 1,89 ± 0,02 kelompok/km2. Habitat dan Penyebaran Ungko Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), ungko hidup di hutan primer, hutan hujan dataran rendah, hutan sekunder (hutan tebang pilih dan hutan produksi) dan
hutan rawa. Sebaran habitat ungko dalam memilih habitat cenderung dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari permukaan laut (Kehati 2004). Selain itu, mereka sering ditemukan di daerah batas antara hutan rawa dan tanah kering. Hylobates agilis merupakan primata arboreal murni. Di habitat hutan, primata ini jarang sekali turun ke tanah, kebiasaanya bergelantung dari cabang pohon yang tinggi ke cabang pohon yang lain dengan kecepatan mencapai 60 km/jam, sehingga fragmentasi hutan menjadi ancaman populasi ungko akibat penebangan liar. Penebangan secara selektif melebihi 8-12 pohon per ha akan mengganggu perjalanan Hylobates dan akan mengakibatkan kera tersebut turun ke lantai hutan sehingga mudah tertangkap oleh predator. Walaupun demikian, jenis kera ini dapat beradaptasi terhadap berbagai bentuk perubahan lingkungan habitatnya (Curtin dan Chivers 1979). Menurut Wilson dan Wilson (1975), hutan primer tetap mempunyai peranan yang besar terhadap berbagai jenis Hylobates. Walaupun mereka makan dan mencari makan dihutan sekunder, tetapi untuk tidur tetap di hutan primer. Sebaran ungko (H.agilis) meliputi hutan hujan tropis di Thailand, Malaysia dan Indonesia (Sumatera dan Kalimantan), hidup di kanopi atas hutan, memakan buah-buahan, dauan-daunan dan serangga (Animal Diversity 2004). Ungko biasanya memakan buah yang mengandung kalori yang tinggi Penyebaran H.agilis berdasarkan tiga subspesies menurut (Supriatna dan Wahyono 2000; Geisman 2006) yaitu a ) H. a. albibarbis, tersebar di bagian barat Kalimantan dan Kalimantan Tengah, ke arah utara dibatasi oleh sungai Kapuas sedangkan ke timur dibatasi oleh sungai Barito, hingga ke utara di hulu sungai Barito; b ) H. a. agilis, tersebar di bagian barat Sumatera, khususnya di bagian pegunungan; c ) H. a. ungko, tersebar di bagian timur Sumatera, khususnya di daerah dataran rendah. Subspesies ini pun tersebar di semenanjung Malaya. Gambar 3 menampilan peta penyebaran genus Hylobates.
Gambar 3 Peta penyebaran ungko (H.agilis agilis) (Geisman 2006) Lebih lanjut, Supriatna dan Wahyono (2000) dan Indonesia Primate Camp (2001), mengemukakan bahwa pada saat ini ungko dapat ditemui di Taman Nasional Tanjung Puting yang merupakan tempat terbaik satwa primata ini di Kalimantan. Di Sumatera, ungko dapat dijumpai di Taman Nasional Way Kambas, Bukit Barisan selatan dan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera Barat. Sumber Pakan Hutan tropika Malaysia memiliki keragaman spesies satwa primata yang tinggi, baik satwa primata pemakan daun (folivorous) maupun pemakan buah (frugivorous). Hal ini didukung oleh ekologi dari setiap spesies primata dalam
memanfaatkan jenis pakan yang berbeda sesuai dengan yang jenis pakan yang disukai, penggunaan stratifikasi tajuk hutan dan pola pergerakannya (Curtin dan Chivers 1979). Keragaman jenis tumbuhan yang tinggi dihabitat satwa primata, terutama satwa primata simpatrik akan memungkinkan tingginya keragaman jenis pakan menurut ruang dan waktu. Walaupun di hutan primer banyak terdapat pohon besar dan tinggi, pada umumnya kehidupan satwa lebih banyak berkisar pada ketinggian antara 25-35 m dan 15-30 m kecuali pada habitat tertentu, seperti di tepi sungai (Curtin dan Chivers 1979). Sumber pakan satwa primata di alam dapat dikelompokkan atas tiga kategori, yaitu bagian vegetatif tumbuhan, bagian reproduktif tumbuhan serta hewan. Dalam hal ini dapat berupa daun, bunga, buah, telur burung maupun serangga. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), pakan ungko terdiri dari buah, daun, bunga dan beberapa jenis serangga kecil. Umumnya mereka makan sambil bergantung pada dahan dan memetik satu persatu buah, biji, bunga atau daun muda. Kadang-kadang juga menarik ranting yang ada pakannya. Selanjutnya, Supriatna dan Wahyono (2000) menyatakan bahwa primata ini dalam hidupnya mengkonsumsi buah 58%, daun 39%, bunga 3% dan sisanya yaitu 1% berbagai jenis serangga. Hal sedikit berbeda dengan yang dinyatakan Napier dan Napier (1967), makanan ungko terdiri atas 80% buah-buahan dan sisanya 20% daun, bunga dan pucuk daun. Kadangkadang ungko memakan telur burung, anak burung dan serangga. Air sebagian besar didapat dari buah-buahan, akan tetapi air juga didapat dengan menjilati kulit pohon dan daun setelah hujan terjadi, kadang-kadang juga meminum langsung dari mata air. Dalam mencari makan ungko bersifat selektif terhadap pakan yang tersedia. Jika ada pohon yang berbuah pada daerah teritorialnya, ungko berusaha untuk mengunjungi semua pohon tersebut. Sebagian dari waktu makan berorientasi sekitar pakan utama, yaitu Ficus spp (Bismark 1984). Selanjutnya, dinyatakan bahwa seleksi terhadap makanan bertujuan untuk mencapai keseimbangan nutrisi makanannya. Selain dari cover yang bersifat pelindung serta sebagai sumber makanan berupa daun dan buah, maka sumber air merupakan komponen habitat yang penting. Sumber air selain sebagai sumber minum juga berfungsi sebagai sumber mineral (Bismark 1984).
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Taman
Nasional
Batang
Gadis
(TNBG)
secara
administratif
berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Propinsi Sumatera Utara yang meliputi 13 wilayah kecamatan dan bersinggungan dengan 68 desa. Secara geografis, TNBG terletak diantara 99° 12' 45" sampai dengan 99° 47' 10" BT dan 0° 27' 15" sampai dengan 1° Or 57" LU. Nama taman nasional berasal dari nama sungai utama yang membelah Kabupaten Madina, yaitu Batang Gadis. TNBG meliputi kawasan seluas 108.000 hektar atau 26% dari total luas hutan di Kabupaten Madina dan terletak pada kisaran ketinggian 300 sampai 2.145 m di atas permukaan laut dengan titik tertingginya di puncak gunung berapi Sorik Merapi. Kawasan TNBG seluas 108.000 hektar ini terbentuk dari Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap. Hutan Lindung yang dialihfungsikan menjadi taman nasional seluas 101.500 hektar (Departemen Kehutanan 2004). TNBG berbatasan langsung dengan 68 desa yang berada di 13 kecamatan. Desa yang berbatasan langsung dan merupakan pintu masuk ke lokasi penelitian adalah Desa Aek Nangali yang berjarak sekitar delapan kilometer dari lokasi penelitian yang akan dilakukan (Gambar 4)
. Gambar 4 Peta lokasi penelitian di TNBG (BKSDA Sumut II 2004)
Keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat di TNBG sangat tinggi. Dalam petak penelitian seluas 200 meter persegi terdapat 242 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) atau sekitar 1% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh yang ada di Indonesia). Selain itu, ditemukan juga bunga langka dan dilindungi yaitu bunga Padma (Rafflesia sp.) jenis baru. Potensi satwa langka yang ditemukan di TNBG seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), kucing hutan (Catopuma temminckii), kancil (Tragulus javanicus), binturong (Arctitis binturong) beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac) dan landak (Hystix brachyura) serta amfibi tak berkaki (Ichtyopis glutinosa) yang merupakan jenis satwa purba dan katak bertanduk tiga (Megophyris nasuta) yang sudah langka dan merupakan jenis yang hanya dapat dijumpai (endemik) di Sumatera. Jenis-jenis satwa primata yang dapat ditemukan, seperti Siamang (Sympahalangus syndactylus), Lutung (Presbytis cristata), Ungko (Hylobates agilis), Beruk (Macaca nemestrina) dan Monyet Ekor Panjang (Macaca facscicularis) (Departemen Kehutanan 2004). Jumlah burung di kawasan TNBG yang dapat ditemukan sampai saat ini ada 242 jenis. Dari 242 jenis tersebut, 45 merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, delapan jenis secara global terancam punah, 11 jenis mendekati terancam punah, seperti jenis-jenis Sunda groundcuckoo, Salvadori pheasant, Sumatran cochoa. Crested fireback dan March finfoot. Dua jenis burung yang selama ini dikategorikan sebagai 'kekurangan data' (data defisien) oleh IUCN karena sedikitnya catatan, juga ditemukan. Kawasan TNBG juga merupakan salah satu lokasi transit burung-burung migran yang datang dari belahan bumi utara. Burung Lophura inornata (salvadori pheasant) dan Pitta schneiderii (schneider's pitta) adalah jenis langka dan endemik untuk Sumatera (Departemen Kehutanan 2004). Selain itu ditemukan juga enam jenis burung dari keluarga rangkong (Bucerotidae) atau 60% dari total jenis yang ditemukan di Pulau Sumatera, diantaranya Buceros rhinoceros, Rhinoplax vigil dan Aceros undulatus. Kehadiran jenis burung ini menunjukan bahwa hutan tropis Taman Nasional Batang Gadis masih sehat untuk berkembangnya jenis-jenis satwa pemakan buah (frugivor) (Departemen Kehutanan 2004).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Lama waktu penelitian tiga bulan, mulai dari Juli sampai dengan September 2005. Bahan dan Alat Bahan (ungko dan vegetasi di daerah penelitian) dan peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini peta lokasi, lembaran kerja, binokuler, kompas, altimeter, pita, meteran, termometer, higrometer, kamera, tenda dum, ransel (tas punggung), GPS (global positioning system), tali plastik, kantong plastik, kertas koran, alkohol 70%, gunting, pisau, kertas label serta lembaran borang. Metode Penentuan lokasi penelitian Informasi awal tentang lokasi penelitian (data sekunder) diperoleh dari peta topografi dan penutupan lahan yang diperoleh dari Bakosurtanal dan Departemen Kehutanan/Perkebunan. Informasi tentang keberadaan kelompok ungko di lokasi penelitian diperoleh berdasarkan survei pendahuluan pada tahun 2004 dan informasi dari petugas taman nasional serta masyarakat sekitar lokasi. Berdasarkan informasiinformasi diatas, kemudian dibuat overlay-nya untuk menentukan titik-titik pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan. Koleksi Data Koleksi data dilakukan melalui studi pustaka, wawancara dan pengamatan langsung (terhadap populasi, vegetasi dan karakteristik morfologi). Studi pustaka dikumpulkan dari berbagai buku teks, jurnal dan karya ilmiah lainnya. Wawancara dilakukan terhadap petugas lapangan dan masyarakat sekitar. Data yang dikumpulkan mengenai lokasi penelitian, tipe habitat, analisis vegetasi, populasi (kepadatan populasi dan ukuran kelompok), pengaruh masyarakat terhadap ungko dan habitatnya (perburuan, perambahan hutan dan budaya) dan karakteristik (secara kualitatif). Pengamatan dilakukan setiap hari, saat matahari mulai terbit (sekitar pukul 07.00 WIB) sampai matahari terbenam (pukul 17.00 WIB).
Karakteristik Morfologi Ungko Pengamatan karakteristik dilakukan secara kualitatif meliputi pola warna rambut, perbedaan antara jantan betina, perbedaan berdasarkan stratifikasi umur, pola tubuh dan pola wajah serta ekstrimitas. Data akan dianalisis secara dekskiptif. Pengamatan karakteristik kuantitatif tidak dapat dilakukan karena ungko di lokasi penelitian tidak boleh ditangkap, tetapi ukuran-ukuran tubuh ungko didapat dari kilik masyarakat di Sumatera Barat sebanyak jantan
2 ekor dan betina 1 ekor.
Pengamatan secara kualitatif terhadap 12 kelompok ungko di lapangan dapat diketahui ukuran jantan lebih besar dibanding betina dengan menggunakan penciri kualitatif. Populasi Ungko Data populasi yang dikumpulkan berupa kepadatan kelompok dan individu, ukuran kelompok dan komposisi kelompok. Kepadatan kelompok atau individu menunjukkan jumlah kelompok atau individu satwa per km2. Ukuran kelompok adalah jumlah individu dalam satu kelompok, sedangkan komposisi kelompok menggambarkan individu dalam kelompok berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur. Populasi ungko diperoleh dengan melakukan pengamatan menggunakan metode jalur (line transects method).
Pengamatan populasi dilakukan dengan
menelusuri setiap jalur yang telah di tentukan dan bila menemukan ungko, dilakukan pengambilan data dengan mencatat: jumlah kelompok, jumlah seluruh individu dalam kelompok, jarak antara pengamat dan kelompok target, waktu perjumpaan serta panjang jalur yang ditelusuri. Jalur yang digunakan sebanyak dua buah dengan panjang masing-masing 2,30 dan 2,35 km dengan lebar jangkauan pandang 100 m pada kedua sisi jalur yaitu 50 m kiri dan 50 m kanan. Wilson dan Wilson (1975) mengatakan pandangan terjauh yang dapat dilakukan pengamat untuk melihat satwa primata di hutan adalah 50 m. Pengamatan untuk mengetahui populasi ungko dilakukan sepuluh kali pengulangan (sensus dilakukan sepuluh kali di setiap jalur yang telah ditentukan) sehingga panjang total jalur pengamatan adalah 46,5 km. Jalur diberi tanda pada setiap 50 m untuk memudahkan mencatat lokasi perjumpaan. Gambar 5 menyajikan disain line transect sampling yang digunakan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------50 m 2.300 m --------------------------------------------------------50 m ----------------------------------------------------------------------------------------------------Gambar 5 Disain line transect sampling populasi Pengamatan dilakukan setiap hari, dimulai pukul 07.00 WIB. Peneliti berjalan sepanjang jalur yang telah di tentukan dan bila menemukan ungko, dilakukan pencatatan: posisi kuadrat perjumpaan dengan menggunakan GPS, jumlah kelompok, jumlah individu dalam kelompok, jarak antara pengamat dan kelompok target, waktu perjumpaan serta panjang jalur yang telah ditempuh. Peneliti akan mengidentifikasi kelompok atau individu ungko yang ditemukan selama 10 menit (Mouria et al.2003) Peubah ukuran populasi adalah komposisi kelompok meliputi jumlah individu dan kelas umur setiap individu dalam kelompok ungko yang ditemukan. Analisis data kepadatan populasi dihitung dengan membandingkan besarnya kelompok dengan luas jelajahnya. Penentuan estimasi kepadatan (D) populasi ungko dilakukan dengan cara sebagai berikut: D = jumlah individu/ total areal penelitian Habitat Untuk mengetahui vegetasi habitat ungko dilakukan observasi lapangan untuk menentukan kawasan habitat yang tergolong hutan primer dan hutan sekunder. Kawasan hutan yang digolongkan sebagai hutan sekunder adalah hutan yang berada di sekitar pemukiman penduduk (enclave) dan kawasan yang di lokasi bekas ladang tua,jalan setapak atau kawasan hutan ini sudah terganggu oleh aktivitas penduduk berupa penebangan atau perkebunan dalam hutan sebagai sumber buah dan tempat buru. Sebaliknya, hutan primer adalah kawasan hutan yang relatif jauh dari pemukiman sehingga belum terganggu oleh aktivitas penduduk. Pengamatan dilakukan terhadap stratifikasi hutan, topografi dan sumber air di areal hutan tersebut.
Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak yang dibuat dalam jalur sensus populasi dengan panjang masing-masing 2,3 km dan 2,35 km. Jalur I terletak pada ketinggian 637-764 m dpl, sedangkan Jalur II terletak pada ketinggain 791-967 m dpl. Cara pengambilan dilakukan dengan menggunakan plot yang berbentuk empat persegi (bujur sangkar) petak yang besar mengandung petak-petak yang lebih kecil yang disebut nested sampling. Plot dibuat di tempat ungko berada dan mengikuti kontur lahan. Data yang dikumpulkan pada setiap plot bujursangkar meliputi: tingkat pohon (diameter > 35 cm), tingkat tiang (diameter antara 10 cm dan 35 cm), tingkat pancang (tinggi > 1,5 m dan diameter paling besar 10 cm), dan tingkat anakan (tinggi mencapai 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm). Tingkat pohon ditentukan dari petak berukuran 20x20 m, tingkat tiang dan pancang ditentukan dari bujur sangkar 10x10 m dan 5x5 m, dan tingkat semai ditentukan dari bujur sangkar dengan luas 2x2 m yang dibuat di dalam petak utama (Gambar 6) (Soerianegara dan Indrawan 2002). Pada setiap lokasi penelitian dibuat dua plot
vegetasi berukuran 20x 100 m (5 plot ukuran 20x20), sehingga jumlah keseluruhan 4 plot. Pengukuran diameter untuk tingkat pohon, tiang, dan pancang diukur pada batang setinggi dada. B A
C DA A
D C B
Gambar 6 Skema analisis vegetasi dengan jalur petak Keterangan : A. petak ukur 20x20 m untuk pengamatan tingkat pohon; B. petak ukur 10x10 m untuk pengamatan tumbuhan tingkat tiang; C. petak ukur 5x5 m untuk pengamtan tumbuhan tingkat pancang;
D. petak ukur 2x2 m untuk pengamatan tumbuhan tingkat semai dan tumbuhan bawah, herba dan semak. Pada setiap petak peubah yang diamati adalah 1) nama jenis (untuk jenis yang belum diketahui dibuat herbarium), 2) jumlah individu per jenis dalam petak pengamatan, 3) frekuensi (jumlah individu pada setiap petak contoh), dan 4) pendugaan tinggi pohon dan keliling/ diameter pohon. Dari hasil pengukuran akan dihitung kerapatan, kerapatan relatif, dominansi, dominansi relatif dan indeks nilai penting. Analisis ini memerlukan tiga parameter kuantitatif, yaitu kerapatan, dominansi dan frekuensi. Total nilai relatif dari ketiga parameter tersebut disebut Indeks Nilai Penting (Soerianegara dan Indrawan, 2002). Adapun ukuran-ukuran vegetasi ditentukan menurut rumus-rumus (Soerianegara dan Indrawan, 2002), sebagai berikut: Jumlah dari individu a ) Kerapatan
= Luas contoh Kerapatan dari suatu spesies/jenis
b ) Kerapatan relatif (%) =
x 100% Kerapatan seluruh jenis Jumlah bidang dasar
c ) Dominansi
= Luas petak contoh Dominansi suatu spesies/jenis
d ) Dominansi relatif (%) =
x 100% Dominansi dari seluruh jenis Jumlah plot diketemukannya suatu spesies/jenis
e ) Frekuensi
= Jumlah seluruh plot Frekuensi dari suatu jenis
f ) Frekuensi relatif (%) =
x 100% Frekuensi dari seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = kerapatan relatif (%) + dominansi relatif (%) + frekuensi relatif (%)
Kerapatan (K) merupakan banyaknya batang (batang = individu) per satuan luas, seperti banyaknya (bilangan) per ha, maka nilai itu disebut kerapatan (density). Untuk menetapkan nilai penting atau dominansi suatu jenis terhadap jenis lain dalam tegakan maka diperlukan nilai kerapatan relatif (KR) yaitu persentase jumlah individu dari suatu jenis yang ada. Frekuensi (F), yaitu perbandingan banyaknya petak yang terisi oleh suatu jenis terhadap jumlah petak-petak seluruhnya, yang biasanya dinyatakan dalam persen, adalah ukuran dari uniformitas atau regularitas terdapatnya jenis itu di dalam tegakan. Untuk menghitung nilai penting atau dominansi diperlukan pula besaran frekuensi relatif (FR) yaitu persen frekuensi suatu jenis terhadap jumlah frekuensi semua jenis. Dominansi (D) suatu jenis terhadap jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan berdasarkan banyaknya batang dan kerapatan (density), persen penutupan (cover precentage) dan luasnya bidang dasar (basal area), volume, biomasss dan indeks nilai penting (importance value index). Di dalam tegakkan hutan dominan harus ditetapkan menurut masing-masing lapisan, yaitu untuk pohon-pohon dan tumbuhan –tumbuhan bawah. Dominansi relatif (DR) yaitu persen dominansi suatu jenis terhadap dominansi seluruh jenis Indeks Nilai Penting (INP) merupakan hasil penjumlahan kerapatan relatif, frekuaensi relatif dan dominansi relatif. Pengamatan sumber pakan
dilakukan dengan mencatat keanekaragaman
spesies pakan yang terdapat pada plot analisis vegetasi dan juga berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaannya peneliti akan mencatat jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan seperti buah, daun, bunga, jamur dan pakan lainnya seperti serangga. Aspek Konservasi Untuk mengetahui aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan hutan, persepsi terhadap ungko serta tanggapan atas kegiatan konservasi maka diadakan survei dengan
metode
wawancara
langsung
kepada
masyarakat
sekitar
dengan
menggunakan borang. Survei dengan wawancara meliputi aktivitas perburuan terhadap ungko, perambahan hutan sebagai habitat dan budaya masyarakat yang
berkaitan dengan ungko dan habitatnya. Desa yang paling dekat dengan lokasi penelitian adalah Desa Aek Nangali. Desa ini dibagi atas tiga lorong atau dusun yaitu lorong Batunabontar, lorong Pasar dan lorong Malaka, diantara ketiga lorong tersebut lorong Batunabontar yang memiliki jumlah penduduk yang paling banyak dibanding lorong yang lainnya. Desa Aek Nangali sendiri memiliki sekitar 300 kepala keluarga dengan jumlah dengan jumlah penduduk sekitar 1200 jiwa. Responden yang akan diwawancarai adalah mayarakat tiga lorong yang dipilih secara acak sebanyak 30 responden. Wawancara dilakukan dengan metode semi struktural yang dibuat untuk mendapatkan jawaban secara terbuka. Survei ditambahlan pula dengan data sekunder dari kepala desa, kelompok masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Hasil wawancara diperoleh dengan menggunakan borang, disajikan dalam bentuk diagram dan akan dianalisis secara deksriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ungko Sifat kualitatif Pengamatan karakteristik dilakukan secara kualitatif terhadap pola warna rambut dan ukuran tubuh ungko di TNBG melalui pengamatan jarak jauh serta secara kuantitatif terhadap ungko yang berasal dari Sumatera Barat. Berdasarkan pengamatan diperoleh penyebaran pola warna rambut ungko di TNBG yang berbedabeda yaitu hitam, kuning, coklat dan gelap (hitam kecoklatan/abu-abu) (Gambar 7).
Gambar 7. Pola warna rambut ungko di TNBG Ungko yang mempunyai pola warna rambut hitam kecoklatan adalah pada bagian punggung, dan dada lebih dominan dengan rambut berwarna hitam kecoklatan(gelap) sedangkan bagian tubuh lainnya dipenuhi rambut berwarna kecoklatan. Pada bagian lengan ungko ditumbuhi rambut berwarna hitam atau coklat
gelap walaupun pada seluruh tubuhnya dipenuhi warna yang lain seperti kuning atau coklat (Tabel 1) Tabel 1. Deskripsi karakteristik ungko secara kualitatif .Bagian tubuh Rambut kepala Wajah Alis Dagu Punggung Dada Perut Tangan Jari tangan Kali jari
Ungko Jantan Hitam/kuning Hitam Putih bersambung Hitam Hitam/kuning/coklat/abu-abu Hitam/kuning Hiitam/kuning Hitam/coklat/campuran Hitam Hitam/coklat Hitam
Betina Hitam/kuning Hitam Putih melengkung Hitam Hitam/kuning/coklat/abu-abu Hitam/kuning Hiitam/kuning Hitam/coklat/campuran Hitam Hitam/coklat Hitam
Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa tidak terlihat perbedaan bentuk morfologi kualitatif yang jelas antara jantan dan betina, dalam hal ini pola warna rambut yang menutupi seluruh tubuh. Semua bentuk warna rambut dan kulit pada jantan hampir bisa dipastikan terdapat juga pada betina. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa antara jantan dan betina tidak ada perbedaan penyebaran warna rambut yang disebabkan oleh pengaruh hormon (dimorfisma seks) kecuali pada rambut yang tumbuh di sekitar pipi jantan dan bentuk alis yang berbeda dengan betina. Pola warna rambut ungko tidak terkait dengan perbedaan jenis kelamin (dimorfisma seks) karena perbedaan jenis warna rambut tersebut dapat ditemui pada setiap individu jantan atau betina dewasa, remaja atau anak sehingga dapat dikatakan perbedaan pola warna rambut bukan karena umur (tingkat kedewasaan). Pewarisan pola warna rambut pada ungko di Taman Nasional Batang Gadis ini belum diketahui apakah terkait faktor genetik atau kerena adanya persilangan antara H agilis agilis dengan H.agilis ungko bahkan dengan Hylobates lar hal ini terkait letak TNBG sendiri yang merupakan daerah perbatasan penyebaran H.aglis agilis, H.agilis ungko dan H.lar. Berdasarkan penyebaran H.agilis agilis terdapat disepanjang pegunungan disebelah Barat Sumatera khususnya didaerah pegunungan, H.aglis ungko dihutan dataran rendah sebelah Timur Sumatera (Supriatna&Wahyono 2000), sedangkan H.lar di Sumatera Utara ke Selatan sampai Danau Toba (PIKA 2007). Melihat peta penyebaran spesies dari famili Hylobates tersebut, ketiganya
sangat mungkin hidup di TN Batang Gadis. Hal ini dapat dilihat dari letak geografis dan topografi kawasan TN Batang Gadis sendiri yang terdapat diketinggian 3002.145 m dpl dan terletak di perbatasan Sumatera bagian utara dan Sumatera bagian barat (Gambar 3 peta penyebaran ungko; Geismann (2006)). Menurut Geismann (2006) di daerah Thailand dan semenanjung Malaya ditemukan adanya persilangan antara H. Lar dengan H. agilis ungko (Lowland agile gibbon). Adapun warna rambut tubuh ungko hasil persilangan tersebut hampir sama dengan ungko yang terdapat di TNBG, yaitu berwarna hitam, kuning dan coklat. Persilangan H. agilis tidak hanya terjadi di daerah Thailand dan Malaysia saja, Geismann (2006) juga melaporkan adanya persilangan antara H. agilis albibarbis dengan H. Muelleri di daerah Barito kalimantan. Mengacu pada pernyataan-pernyaan tersebut makan tidak tertutup kemungkinan bahwa ungko yang terdapat di TNBG juga merupakan hasil persilangan antar spesies maupun subspesies Hylobates yang terdapat di Sumatera. Karakteristik kualitatif (pola dan warna rambut) ungko dapat dilihat pada Gambar 7 diatas dan Gambar 8 berikut . a
b
Gambar 8. Ungko betina dan bayi (a) dan ungko jantan (b) (foto: Mootnick. A 2004) Pada umumnya karakteristik kualitatif warna rambut pada tubuh ungko jantan dan betina di TNBG hampir sama yaitu hitam, kuning, coklat dan keabu-abuan, namun sangat mudah untuk membedakan ungko jantan mauoun betina karena memiliki ciri khusus. Pada ungko jantan sekeliling wajah (pipi) ditumbuhi rambut
berwarna putih, sedangkan pada betina ditumbuhi rambut yang sama dengan warna tubuhnya. Alis pada jantan berwarna putih bersambung dan betina putih melengkung. Persentase perbandingan karakteristik warna rambut ungko yang berwarna kuning (termasuk coklat) dan warna hitam pada ungko yang tercatat selama penelitian disajikan pada Tabel 2 berikut ini Tabel 2. Persentase pewarisan warna rambut ungko Warna rambut pada tubuh Hitam Kuning Jumlah
dewasa ♂ 5 7 12
♀ 5 9 14
Remaja/ anak ∑ 4 7 11
Bayi Total ∑ 3 1 4
17 24 41
Persentase (%) 41,46 58,54
Tabel 2 menunujukkan bahwa sebagian besar ungko yang ditemui berwarna kuning, yaitu sebesar 58,54%, sedangkan yang berwarna hitam hanya 41,46%. Hal ini menunjukkan ungko tidak dapat diidentikkan dengan warna rambut hitam yang mendominasi seluruh tubuhnya. Hanya ungko yang masih bayi dan digendong induk yang lebih dominan berwarna hitam, hal ini menuntut penelitian yang lebih lanjut tentang pewarisan warna rambut pada ungko ini terkait akan faktor umur, sedangkan pada ungko yang telah memasuki usia anak sampai dewasa lebih didominasi rambut warna kuning pada sekujur tubuh ungko. Selama pengamatan, ungko (H.agilis) biasanya melakukan morning call pada mulai pagi hari sekitar pukul 05.00 wib-08.00 wib. Biasanya ungko bernyanyi sahutsahutan untuk menandakan batas teritori maupun untuk membangunkan anggota kelompoknya. Menurut Geissmann (1993), pada spesies Hylobates betina dewasa memiliki great call yang lebih besar dibanding dengan jantan dewasa. Pada siang hari sekitar pukul 11.00-15.00 wib, tidak terdengar lagi suara ungko karena ungko biasanya istirahat. Berdasarkan pengamatan ungko biasanya mulai mencari pohon tidur sebelum matahari terbenam. Adapun pohon tidur yang dipilih adalah pohon yang paling aman dari serangan predator. Ungko biasanya memilih pohon bercabang yang berada dipinggiran sungai, hal ini dilakukan untuk menghindari serangan predator (Gambar 9). Predator biasanya mengetahui posisi ungko salah satu dengan cara mencium sisa defikasi ungko tersebut, tetapi dengan mencari pohon tidur yang berada ditepi sungai
yang percabangannya persis diatas sungai maka sisa defikasi ungko akan jatuh ke sungai sehingga jejaknya terhidar dari predator.
. Gambar 9. Posisi ungko sedang tidur Informasi yang diperoleh dari masyarakat mengidikasikan bahwa ungko dan siamang mempunyai predator yang sama yaitu Binturong (Arctictis binturong) yang biasa disebut Guliman oleh masyarakat setempat. Ular juga merupakan salah satu musuh/predator ungko dan siamang. Pada umumnya ungko diareal penelitian masih cenderung bersifat liar, hal ini disebabkan belum terhabituasi dengan baik. Cukup sulit untuk bisa mendekati ungko dari jarak yang dekat, sehingga pengamatan hanya dapat dilakukan dari jarak yang agak jauh dan dalam waktu yang singkat. Pada saat survei populasi, sebagian besar ungko ditemukan sedang makan dan sisanya sedang lokomosi dan bermain. Ungko akan segera lari dan membuat kegaduhan atau membuat bunyi alarm call apabila menyadari ada manusia atau bahaya yang mengancam kelompok mereka. Biasanya untuk bisa melihat ungko dalam jarak yang dekat bisa dilakukan dengan menunggui dan bersembunyi disekitar dipohon pakan yang sering didatangi oleh kelompok ungko. Sifat Kuantitatif Berdasarkan pengukuran tubuh ungko secara kuantitatif, ungko jantan (2 ekor) memiliki bobot badan yang lebih besar dibanding betina 4,35±0,49 kg berbanding 2,6 kg. Animal Diversity (2004) dan Fleagle (1988) menyatakan bahwa pada umumnya bobot tubuh jantan lebih besar dari betina yaitu 5,8 kg untuk jantan dan 5,4 kg betina. Hasil pengamatan jarak jauh menunjukkan bahwa ukuran jantan
dewasa lebih besar dibanding betina dewasa, jadi dengan melihat karakteristiknya dapat dibedakan dengan mudah jantan dan betina dewasa Populasi Populasi menurut Tarumingkeng (1994) adalah sebagai suatu himpunan individu atau kelompok suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam suatu spesies dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah tertentu. Kepadatan populasi adalah ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per satuan luas atau per satuan volume (Suin 2003). Kepadatan populasi jenis kera atau monyet tergantung penggunaan dan tipe habitat, bentuk sosial kelompok maupun home range dan teritorialnya (Harianto 1988). Ukuran dan estimasi kepadatan populasi ungko di Taman Nasional Batang Gadis pada setiap jalur sensus disajikan pada Tabel 3 Tabel 3. Estimasi kepadatan populasi ungko, lokasi dan luas daerah pengamatan, Juli sampai September 2005 Lokasi
Jumlah kelompok
Jalur I
Luas daerah pengamatan (km2) 2,3
Jalur II Rerata
5
Kepadatan kelompok (kel/ km2) 2,18
Rerata ukuran kelompok (individu/kelompok) 3,80
Kepadatan individu (individu/km2) 8,26
2,35
7
2,98
3,14
9,36
2,325
6
2,60
3,41
8,82
Hasil estimasi kepadatan populasi pada setiap jalur, dengan luas total areal survei 4,65 km2 (Tabel 3), menunjukkan bahwa kepadatan kelompok di Taman Nasional Batang Gadis yaitu 2,6 kel/km2 dengan kepadatan individu berkisar 8,82 ekor/km2. Pada Jalur I, survei dilakukan ulangan sebanyak 10 kali teridentifikasi 5 kelompok ungko, dan jumlah individu yang teramati sebanyak 19 ekor. Estimasi kepadatan kelompok dan individu masing-masing 2,18 kel/km2 dan 8,26 ekor/km2 dengan rerata ukuran setiap kelompok 3,8 ekor/kelompok. Pada Jalur II dari 10 kali ulangan dan teridentifikasi 7 kelompok ungko, dan jumlah individu yang teramati sebanyak 22 ekor. Estimasi kepadatan kelompok dan individu masing-masing 2,98 kelompok/km2 dan 9,36 ekor/km2 dengan rerata ukuran setiap kelompok 3,14 ekor/kelompok.
Perjumpaan dengan individu atau kelompok ungko pada kedua jalur disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3) pengaruh kegiatan manusia dan (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan merangsang satwa liar untuk datang (Alikodra 1997). Kepadatan populasi ungko pada Jalur II lebih tinggi dibandingkan denga Jalur I, hal ini disebabkan jenis pohon pakan pada Jalur II lebih banyak, dan ketika penelitian berlangsung pohon pakan yang berada diJalur II sebagian besar sedang berbuah. Pohon pakan yang sedang berbuah merupakan daerah yang paling sering dikunjungi ungko untuk memenuhi kebutuhan akan makanannya, hal ini sesuai dengan sifat ungko yang selektif terhadap makanan dimana jika ada pohon yang berbuah pada daerah teritorialnya, ungko berusaha untuk mengunjungi semua pohon tersebut dan sebagian dari waktu makan berorientasi sekitar makanan utama (Bismark 1984). Menurut Whitten (1982), untuk satwa primata, pergerakan didalam wilayah jelajahnya sangat ditentukan oleh sumberdaya makanan, pohon-pohon yang dipergunakan untuk bersuara/bernyanyi. Kepadatan populasi ungko di Taman Nasional Batang Gadis lebih rendah jika dibandingkan dengan kawasan lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp&Paper sektor Baserah dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan sempadan sungai propinsi Riau seperti yang dilaporkan Apriadi (2001) yaitu kepadatan populasi ungko dikawasan tersebut masing-masing berkisar 17,45 ± 5,61 ekor/km2 4,26 ± 0,67 ekor/km2 dengan kepadatan kelompok masing-masing 7,47±0,52 kelompok/km2 dan 1,89±0,02 kelompok/km2. Secara umum kepadatan populasi ungko di Taman Nasional Batang Gadis cukup tinggi, jika dibandingkan dengan kepadatan pupulasi ungko diareal penelitian Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu berkisar 0,283-0,567 kelompok/km2 (Kehati 2004). TNBG meliputi kawasan seluas 108.000 hektar (DEPHUT 2004), dan kawasan hutan tersebut sesuai sebagai habitat. Berdasarkan luasan tersebut yang dapat dijadikan sebagai habitat ungko sekitar 80% hal ini mengingat faktor ketinggian dan fragmentasi habitat yang tidak dapat diabaikan, maka estimasi populasi ungko di TNBG sebanyak 2.240 kelompok atau 7.620 individu. Populasi ini lebih tinggi dari perkiraan Supriatna dan Wahyono (2000), yang menduga populasi
ungko yang tersedia di alam pada tahun 1986 hanya berkisar 30 ribu ekor yang hanya dapat ditemukan di daerah-daerah konservasi di Kalimantan dan Sumatera. Jika dibandingkan dengan kepadatan populasi H.a. albibarbis di Taman Nasional Sebangau yaitu 8,72 individu/km2 (Duma 2007) dan kepadatan owa jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Halimun-Salak yaitu 8,2 individu/km2 (Iskandar 2007), maka kepadatan populasi H. agilis agilis di TNBG lebih tinggi. Tingginya populasi ungko di TNBG menunjukkan bahwa TNBG merupakan salah satu kawasan terbaik yang dapat mendukung keberlangsungan hidup dan kelestarian ungko di alam. Dari
pengamatan
yang
dilakukan
ukuran
kelompok
berkisar
2-5
individu/kelompok. Komposisi kelompok disajikan pada Tabel 4 Tabel 4. Komposisi kelompok ungko (H.agilis-agilis) di TN Batang Gadis Dewasa Lokasi Jalur I
Jalur II
(kel: A) (kel: B (kel: C) (kel: D) (kel: E) (kel: F) (kel: G (kel: H) (kel: I) (kel: J) (kel: K) (kel: L)
Jumlah Rerata (individu) Komposisi (%)
♂ 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12
♀ 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12
Pradewasa Remaja/ Bayi Total Nisbah anak kelamin ♂ ♀ ∑ ∑ dewasa 2 4 1:1 1 1 1 5 1:2 1 3 1:1 1 3 1:1 1 3 1:1 1 1 4 1:2 1 3 1:1 2 1:1 1 3 1:1 1 3 1:1 2 4 1:1 1 1 4 1:1 -
2
0
4,88
11
3
41 1:1
29,27
29,27
26,83
9,75
Keterangan: (-) = tidak teridentifikasi Ukuran kelompok pada jalur I (3,8 individu) lebih tinggi dibanding pada Jalur II (3,14), melihat pada Jalur I semua pasangan induk (kelompok) mempunyai anak, bahkan ada pasangan yang memiliki jumlah anggota kelompoknya lebih dari dua anak. Pada Jalur II terdapat pasangan induk yang tidak memiliki anak, diduga merupakan pasangan induk yang baru terbentuk Komposisi kelompok memperlihatkan populasi jantan 29,27%, betina 29,27%, remaja/anak 26,83% dan bayi 9,75%. Berdasarkan ukuran dan komposisi
komposisi kelompok ungko yang terdapat di TNBG, maka dapat dilihat keberhasilan reproduksi dan regenerasi yang tinggi di kawasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ukuran kelompoknya yang mencapai 5 individu. Dua kelompok memiliki anggota pradewasa betina. Betina ini sudah mendekati morfologi dewasa, namun belum keluar dari kelompok mengingat tidak ditemukan pradewasa jantan dari kelompok sekitarnya untuk membentuk kelompok baru. Selain itu dapat diperkirakan bahwa betina pradewasa masih membutuhkan perlindungan dari kelompok induk untuk menghindari ancaman predator .Hampir setiap pasangan induk memiliki keturunan (anak) dan hanya satu kelompok yang terdiri dari sepasang induk, hal ini diduga karena kelompok tersebut baru terbentuk dan masih membutuhkan waktu yang lama untuk bereproduksi dan memiliki anak. Seperti jenis owa lainya, ungko juga hidup berpasangan dengan keluarga yang monogamus. Tabel 4 menunjukkan bahwa perbandingan jantan dengan betina 1:1 yang mengidentifikasikan bahwa di TNBG ungko jantan hanya memiliki satu pasangan ungko betina saja, Napier (1972) menyatakan bahwa jumlah jantan dan betina dewasa pada famili Hylobates adalah sama. Pada Tabel 4 dapat dilihat 2 kelompok yang memiliki 1 jantan berbanding 2 betina dewasa, hal ini diduga mungkinkan karena salah satu betina dewasa tersebut adalah anggota keluarga tersebut yang sudah dewasa tetapi belum membentuk kelompok yang baru. Habitat Habitat ungko (H. agilis agilis) di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dapat digolongkan menjadi dua tipe yaitu kawasan hutan primer dan hutan yang telah mengalami gangguan (sekunder). Hutan terganggu sebabkan oleh pembukaan lahan dan penebangan pohon yang lakukan oleh manusia. Salah satu gambaran habitat TN Batang Gadis disajikan pada gambar 10.
Gambar 10. Gambaran habitat di lokasi penelitian di TN Batang Gadis Berdasarkan letak topografi dan ketinggian serta jenis kayu yang terdapat di di kawasan hutan tersebut maka TNBG dapat digolongkan kedalam formasi hutan hujan tropika dataran rendah yaitu formasi hutan dengan ketinggian 0-900 m dpl (Bratawinata 2001). Hal ini dapat dilihat dari ketinggian lokasi penelitian di TNBG yang berkisar 637-967 m dpl dan tumbuhan yang banyak didominasi dari suku Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae dan Dipterocarpaceae. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Anwar et al. (1984) bahwa hutan-hutan dataran rendah Sumatera didominasi oleh pohon-pohon dari suku Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae, Sapotaceae, Burseraccaea, Rubiaceae dan Dipterocarpaceae. Menurut Forest Watch Indonesia (2000) tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan. keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan dataran rendah yang juga sumber pakan untuk satwa liar merupakan habitat yang paling baik. Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Vegetasi Analisis vegetasi di lokasi penelitian dilakukan untuk mengetahui potensi habitat dalam mendukung kebutuhan hidup ungko di TN. Batang Gadis. Berdasarkan
hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian, selanjutnya diidentifikasi jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan. Jalur yang digunakan sebagai petak contoh analisis vegetasi dan pengamatan populasi dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Jalur transek analisis vegetasi dan pengamatan populasi Terdapat 97 jenis tumbuhan yang diidentifikasi pada areal penelitian yang jumlahnya lebih rendah dibanding plot 1 ha di hutan primer Aek Nangali yang dilaporkan Kartawinata et al. (2004) sebanyak 184 jenis tumbuhan dalam 41 suku. Tabel 5 menunjukkan hubungan antar vegetasi, habitat dan populasi ungko Tabel 5. Parameter vegetasi, habitat dan populasi ungko Habitat Bekas tebangan Hutan primer
pohon 24 31
Jumlah jenis tiang pancang 13 17 12 27
Jumlah semai pohon/ha 27 220 32 295
Populasi (individu/km2) 8,26 9,36
Kerapatan tingkat pohon pada Jalur I adalah 220 batang/ha dan pada Jalur II lebih tinggi yaitu 295 batang/ha. Hal ini terjadi karena pada Jalur I sebagian merupakan hutan terganggu akibat penebangan pohon yang terjadi beberapa tahun silam, sedangkan pada Jalur II relatif lebih baik karena berada dipunggungan bukit yang lebih sulit dijangkau manusia dan mendapat intensitas cahaya yang lebih baik. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa perubahan kualitas habitat (bekas tebangan) menurunkan populasi ungko sebesar 12%. Tabel 6 menyajikan sepuluh INP tertinggi jenis vegetasi tingkat pohon dan Tabel 7 sepuluh INP tertinggi untuk tingkat tiang.
Tabel 6. Sepuluh nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon Jenis vegetasi Jalur I oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl) marambong (Geunsia farinosa Blume) ndolok (Ixora sp.) sengal (Shorea sp) meranti Gembung (Shorea sp.) andaurung (Grewia acuminata Juss.) tampang (Artocarpus dadah Miq) tapa-tapa (Mallotus sp) meranti merah (Aporosa antennifera) darah-darah (Myristica iners Blume) Jalur II tapa-tapa (Mallotus sp) langsat hutan (Craton laevifolius Blume) marambong (Geunsia farinosa Blume) kemenyan (Syrax benzoin Dryan) ndolok (Shionanthus ramiflorus Roxb) mayang (Litsea Oppositifolia (Blume) Vill) medang (Litsea sp) oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl) ndolok Silon (Syzygium cymosum) rube (Ficus sp)
KR
FR
DR
INP
Tinggi pohon
14,77 17,04 7,95 5,68
3,84 3,84 7,69 3,84
17,37 5,83 6,96 11,94
35,99 26,72 22,61 21,47
26,69 14,03 23,98 34,54
4,54 10,22 6,82 3,41 2,27 4,54
3,84 3,84 3,84 7,69 7,69 3,84
12,44 5,027 8,02 3,89 4,57 3,09
20,83 19,10 18,68 14,99 14,53 11,48
32,07 15,87 25,67 21 40,75 28,87
23,72 7,62 7,62 5,93 3,38 4,23 4,23 2,54 3,39 5,08
5,88 2,94 5,88 2,94 5,88 2,94 2,94 2,94 2,94 2,94
19,91 13,30 6,48 5,72 5,05 6,48 5,05 5,25 4,27 2,20
49,52 23,87 19,99 14,59 14,32 13,66 12,23 10,74 10,60 10,22
17,89 28,37 22,51 19,05 33,87 37,06 24,94 29 27,17 19,86
Tingkat kesukaan
*
*
*
* *
*
Tabel 6 menunjukkan tinggi pohon pada Jalur I mempunyai rerata 24,976±9,718 m dan lebih tinggi dibanding Jalur II yang mempunyai rerata 22,318±6,613 m. Berdasarkan analisis vegetasi, oteng (Litsea elliptica Blume Boerl), marambong (Geunsia farinosa Blume) dan ndolok (Ixora sp.) adalah jenis vegetasi tingkat pohon yang mendominasi plot pada Jalur I dengan INP berturut-turut 35,99; 26,72 dan 22,61. Pada Jalur II vegetasi didominasi oleh tapa-tapa (Mallotus sp) dari suku Euphorbiaceae, langsat hutan (Craton laevifolius Blume) dan marambong (Geunsia farinosa Blume) dengan INP berturut-turut 49,52; 23,87 dan 19,99 Jalur I dan II memiliki kesamaan vegetasi tingkat pohon sebanyak 40%, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan vegetasi yang mendominasi kedua jalur. Rendahnya kesamaan vegetasi di kedua jalur tersebut diduga karena pengaruh ketinggian dari permukaan laut (dpl) yang membedakan jenis vegetasi yang tumbuh di kedua lokasi tersebut, berkaitan dengan temperatur atau iklim setempat. Dari sepuluh vegetasi tingkat pohon yang memiliki INP tertinggi pada kedua jalur, masing-masing terdapat 3 spesies pohon yang menjadi sumber pakan ungko dan hanya satu spesies yang sama yaitu marambong.
Tabel 7. Sepuluh nilai INP tertinggi vegetasi tingkat tiang Jenis vegetasi Jalur I kayu air (Saurauia) marambong(Geunsia farinosa Blume) tandiang (Chistella parasitica) durian hutan (Durio zibethinus Murr) meranti (Shorea sp) goring-goring (belum teridentifikasi) gumbot (Ficus padana Blume) medang (Litsea sp) cimpedak (Artocarpus integer Merr) abo (Archidendron fagifolium (Blume en Miq) Nielsen) Jalur II tapa-tapa (Mallotus sp) darah-darah( Myristica iners Blume) oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl) monton (Antidesma stipuilarei) tampang (Artocarpus dadah Miq) langsat ( Craton laevifolius Blume) oteng Belanak (Famili Moracea) ndolok (Ixora sp.) simartulan (Myrica esculenta Buch-Ham) marambong (Geunsia farinosa Blume)
KR
FR
DR
INP
Tinggi tiang
21,05 10,52 10,52 5,26 10,52 5,26 5,26 5,26 5,26
7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69
11,76 13,12 11,36 14,02 8,27 11,22 8,99 6,04 4,85
40,50 31,34 29,58 26,98 26,49 24,17 21,94 18,99 17,81
11,25 19 15 8,5 25 10,5 8 11,5 6
5,26
7,69
3,59
16,55
20
20 13,33 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67
7,69 15,38 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69
24,10 17,42 13,86 8,09 7,96 7,21 6,93 4,71 3,85 3,81
51,79 46,14 28,22 22,45 22,32 21,57 21,29 19,07 18,20 18,17
21 16 15 16,6 15 18 22 13 15,8 25
Tingkat kesukaan
*
* *
* * *
*
Tinggi tiang pada Jalur I dan II berdasarkan Tabel 7 masing-masing 13,54 ± 5,98 m
dan 19,42 ± 7,34 m. Hasil ini menunujukkan bahwa tinggi tingkat tiang pada Jalur II lebih tinggi dibanding jalur I yang artinya ungko akan lebih senang berada pada Jalur II mengingat ungko merupakan satwa yang arboreal dan cenderung berada pada tajuk strata A yaitu ketinggian lebih dari 15 m. Pada tingkat tiang vegetasi Jalur I didominasi oleh kayu air (Saurauia) dari suku Actinidiaceae, marambong (Geunsia farinosa Blume) dari suku Verbenaceae dan tandiang (Chistella parasitica) dari suku Thelipteridaceae dengan INP berturut turut yaitu 40,50; 31, 34 dan 29,58. Jalur II vegetasi tingkat tiang didominasi oleh tapa-tapa
(Mallotus sp) dari suku Euphorbiaceae kemudian darah-darah dan oteng dengan INP berturut-turut adalah 51,79; 46,14 dan 28,22. Hanya marambong vegetasi tingkat tiang yang sama pada kedua jalur, sedangkan vegetasi yang lain berasal dari jenis yang berbeda. Pada Jalur I terdapat 3 jenis vegetasi yang merupakan sumber pakan ungko yaitu marambong, gumbot dan cimpedak, sedangkan Jalur II terdapat 4 jenis vegetasi yang merupakan sumber pakan ungko yaitu darah-darah, monton, langsat dan marambong.
Sumber Pakan Pohon pakan merupakan jenis tumbuhan yang buah, daun, bunga atau bagian lainnya dimakan oleh ungko. Hasil pengamatan menunjukkan jenis pohon pakan yang mendominasi habitat di TNBG adalah Marambong (Geunsia farinosa Blume),langsat hutan (Craton laevifolius Blume) dan darah-darah(Myristica iners Blume) serta jambu-jambu (Syzygium sp). Secara keseluruhan ditemukan sebanyak 15 jenis pohon pakan ungko yang dikelompokkan ke dalam 6 famili di areal penelitian. Jumlah pohon pakan yang ditemukan dapat dikategorikan tinggi karena jumlah keseluruhan jenis vegetasi untuk tingkat pohon hanya 33 jenis dan 15 jenis merupakan pohon pakan untuk ungko. Tabel 8 menunjukkan daftar nama vegetasi yang menjadi sumber pakan ungko di lokasi penelitian di TNBG. Tabel 8. Nama tumbuhan sumber pakan dominan ungko dari Juli sampai September 2005 No
Nama Lokal
1
batang riman
2 3 4 5 6 7
cimpedak darah-darah dondong gitan gumbot jambu-jambu
8 9 10 11 12 13 14 15
langsat hutan lempayang marambong mobi monton rambutan hutan rube tampang
Nama Ilmiah
belum dapat diidentifikasi
Famili
belum dapat diidentifikasi Artocarpus integer Merr Myristacaceae Myristica iners Blume Myristacaceae Ficus vagiageta Blume Moraceae Cheiocarpus sp Apycinaceae Ficus padana Blume Moraceae Syzygium polyanthum (Wight) Myrtaceae Walp Craton laevifolius Blume Euphorbiaceae Antthocephalus cadamba Miq Rubiaceae Geunsia farinosa Blume Verbenaceae Ficus sp Moraceae Euphorbiacea Antidesma stipuilare Knema latericia Elmer Myristacaceae Ficus sp Moraceae Artocarpus dadah Miq Moraceae
Lokasi ditemukan Jalur Jalur I II * * * * * *
* * * * * * *
* * * * *
* * * * *
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada Jalur II lebih banyak ditemui jenis pohon pakan (13 jenis) dibandingkan pada Jalur I (10 jenis). Berdasarkan pengamatan dan informasi masyarakat, jambu-jambu (Syzygium polyanthum (Wight) Walp), gumbot (Ficus padana Blume), marambong (Geunsia farinosa Blume), darah-darah (Myristica iners Blume) dan mobi (Ficus sp) adalah berturut-turut pohon pakan yang
paling sering dikunjungi ungko. Hal ini disebabkan tingkat kesukaan ungko terhadap buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut sangat tinggi. Jenis pohon pakan ungko bervariasi menurut musim sehingga musim tertentu jumlahnya berbeda dengan jumlah musim yang lain. Sumber pohon pakan owa jawa sepanjang tahun (musin kemarau dan penghujan) di areal Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terdapat 33 jenis pohon pakan yang dikelompokkan ke dalam 11 famili (Iskandar 2007). Persentase terbesar sumber pakan owa jawa tersebut berasal dari famili Moraceae, Fagaceae, Myrtaceae, Euphorbiacea dan Meliaceae. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sumber pakan ungko di TNBG yang sebagian besar berasal dari famili Moraceae, Myristacaceae, Euphorbiacea dan Myrtaceae. Jenis sumber pakan yang dikonsumsi Ungko di TNBG ini pada umumnya berupa buahbuahan (Gambar 12).
Gambar 12. Jenis vegetasi yang menjadi sumber pakan ungko Pada umumnya pakan yang dikonsumsi ungko sebagian besar berupa buahbuahan (86%) dan sisanya adalah dedaunan, batang dan bagian lainnya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Kuester (2000) bahwa Hylobates agilis adalah satwa primata frugivorous yang mengkonsumsi buah-buahan dalam jumlah yang sangat
besar disamping dedaunan dan insekta dalam jumlah yang relatif sedikit. Carpenter (1978) dalam PIKA (2007) menemukan bahwa buah dari berbagai jenis Ficus merupakan makanan terpenting dari H. lar di Siam dan menaksir bahwa buah ini mencapai 80% dari makanannya, sisanya yang 20% terdiri dari daun, kuncup, bunga; tetapi juga termasuk telur burung, anak burung dan serangga. Potensi pakan yang terdapat disetiap kawasan hutan merupakan salah satu variabel daya dukung habitat terhadap keberadaan ungko. Iskandar (2007) menambahkan bahwa jenis pohon yang digunakan sebagai pohon tempat tidur owa jawa adalah jenis pohon yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai pohon pakan. Keberadaan pohon yang berpotensi sebagai sumber pakan akan sangat menentukan tingkat kepadatan populasi ungko di suatu kawasan hutan, disamping faktor-faktor pendukung lainnya. Dengan demikian dibutuhkan perlindungan dan konservasi sumber pakan yang ada di kawasan tersebut agar keberadaan ungko tidak terancam. Aspek Konservasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pada umumnya penduduk Desa Aek Nangali beragama Islam. Mayoritas penduduk desa ini bermata pencaharian sebagai petani sawah, ladang maupun berkebun. Penggolongan jenis pekerjaan ditentukan oleh hasil wawancara dengan responden (n=30). Aktivitas masyarakat di Desa Aek Nangali dapat dilihat pada Gambar 13.
lain-lain 20%
PNS 3% Swasta 10% Petani 67%
Gambar 13. Persentase jenis pekerjaan masyarakat di Desa Aek Nangali
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa sekitar 67% masyarakat berprofesi sebagai petani, PNS yaitu guru 3%, swasta merupakan para pedagang kecil yang membuka warung sekitar 10% dan sisanya sekitar 20% adalah buruh, supir angkutan pedesaan dan sebagainya. Selain pekerjaan utama penduduk juga mempunyai pekerjaan tambahan. pekerjaan tersebut adalah berburu, mencari rotan, mencari getah damar ke kawasan hutan terutama petani hutan. Petani akan melakukan pekerjaan pengumpulan damar atau rotan dari hutan pada waktu pekerjaan di ladang dan hasil kebun sudah dipanen. Responden yang pekerjaan utamanya sebagai PNS akan melakukan pekerjaan tambahan sebagai peternak. Para responden beranggapan bahwa mereka harus siap melakukan pekerjaan apa saja pada waktu senggang untuk memenuhi kebutuhannya termasuk upaya transportasi ojek. Bertani merupakan budaya masyarakat desa hutan, pada umumnya masyarakat mempunyai lahan pertanian sendiri dan melakukan kegiatan bertani masih dengan cara yang tradisional. Disamping itu masih ada yang melakukan sistem perladangan dengan sistem berpindah-pindah, menanam tanpa pemakaian pupuk dan pestisida (Gambar 14).
Gambar 14. Aktivitas pertanian dan perkebunan masyarakat di sekitar areal TNBG
Padi dan sayur mayur lainnya merupakan tanaman yang sering ditemukan di ladang-ladang maupun sawah masyarakat setempat sebagai tanaman pokok, sedangkan karet dan coklat merupakan hasil dari perkebunan warga yang banyak ditanam dipinggiran desa atau sekitar hutan. Warga pada umumnya membuka lahan perkebunan disekitar hutan taman nasional bahkan ada juga yang sudah masuk ke dalam wilayah taman nasional untuk kemudian ditanami pohon karet atau yang disebut pohon rambong oleh masyarakat setempat. Gangguan utama yang sering menimpa tanaman pertanian dan perkebunan warga adalah serangan hama. Hama yang sering mengganggu yaitu burung, tikus, monyet ekor panjang, beruk, lutung hitam (cek-cek), babi hutan dan tapir. Menurut responden mereka membuat jerat atau memagari ladang atau kebun mereka untuk menghidari gangguan dari hama tersebut. Hampir semua masyarakat mengenal dan mengetahui ungko, yang oleh masyarakat setempat biasa disebut sarudung. menurut responden ungko bukan termasuk hama yang mengganggu tanaman mereka, karena ungko selalu berada dibagian atas pohon (tajuk) dan hampir tidak pernah turun ke bawah untuk mencari makan (arboreal). Sebagian besar masyarakat yang diwawancarai (86,67%) menyebutkan aktivitas mereka sering keluar masuk hutan untuk mencari berbagai hasil hutan untuk keperluan hidup dan sebagian lagi (80%) karena mempunyai lahan pertanian/kebun diareal hutan. Kayu, rotan dan getah damar merupakan hasil hutan yang paling sering diambil warga untuk memenuhi kebutuhannya. Kayu dan rotan biasanya diambil untuk kebutuhan sendiri (untuk kayu bakar, anyaman dan lain sebagainya) dan ada juga sebagian dijual (30%), sedangkan dan getah damar untuk dijual kepada pengumpul. Kerusakan Habitat Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian masih banyak terlihat sisa-sisa balok hasil penebangan yang dilakukan beberapa tahun yang lalu yang ditumpuktumpuk pada suatu tempat seperti terlihat pada Gambar 15. Menurut warga sekitar, ekploitasi memang pernah terjadi diareal taman nasional beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkayuan. PT. GRUTI merupakan perusahaan HPH yang pernah mengusahai kawasan hutan tersebut disamping perusahaan HPH lainnya yang berskala kecil. Hal ini dikuatkan dari pengamatan
yang dilakukan pada saat survei awal penelitian ini dilakukan setahun sebelumnya, hampir setiap hari diareal penelitian didengar suara aktivitas dengan chain saw menebang pohon. Ukuran pohon yang diambil bervariasi, tergantung kegunaannya, pohon berukuran kecil biasanya diambil untuk keperluan sendiri saja seperti untuk kayu bakar (biasanya diambil oleh masyarat sendiri). pohon untuk dijual biasanya berukuran besar dengan diameter lebih dari 1,5 m. Kayu olahan biasanya diangkut dengan menggunakan truk-truk yang telah disediakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Jenis-jenis kayu yang diambil sebagian besar jenis meranti (Shorea sp) dan medang.
Gambar 15. Sisa bekas penebangan kayu di areal penelitian. Kayu yang dibawa keluar hanya kayu yang memiliki kualitas tinggi saja, sedangkan kayu yang berkualitas rendah ditinggalkan di areal penebangan atau tempat pengumpulan sementara. Untuk mendapatkan kayu berkualitas tinggi mereka mempunyai tim survei yang ahli namun tidak jarang juga tim survei ini salah dalam menilai kualitas kayu sehingga ditinggal begitu saja setelah ditebang. Praktek
penebangan ini sangat merugikan karena akan merusak hutan dan menurunkan kualitas habitat ungko. Penurunan kualitas habitat tentunya sangat mempengaruhi satwa yang ada dihutan tersebut, terutama satwa yang membutuhkan wilayah jelajah yang luas dan arboreal seperti ungko. Curtin dan Chivers (1979) menyatakan bahwa penebangan secara selektif yang melampaui batas jumlah tebangan sebanyak 8-12 batang per ha akan menggangu perjalanan Hylobates. Hal ini akan mengakibatkan kera turun ke lantai hutan,dengan demikian mudah tertangkap predator. Walaupun demikian, jenis kera ini mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap berbagai bentuk perubahan lingkungan habitatnya Secara umum, eksploitasi hutan alam mencakup kegiatan perubahan ekosistem yang menyebabkan perubahan komposisi dan potensi flora dan fauna. Di Malaysia Jhons (1983) dalam Meijaard et al. (2006) hanya dengan laju penebangan pohon 3.3%, tebang pilih yang ada menyebabkan pengaruh yang serius terhadap satwa primata yang hidup di hutan tersebut. Pengaruh tersebut adalah terjadinya penurunan biomassa satwa primata secara drastis, kematian langsung, penurunan tingkat kelahiran, perubahan pola makan, perubahan perilaku bersuara terutama owa dan kematian bayi satwa primata. Selanjutnya Rijksen (1978) menemukan bahwa tiga dari spesies satwa primata (2 spesies owa dan beruk (Macaca nemestrina)) di bagian utara Sumatera lebih sedikit ditemui di hutan dengan gangguan ringan dibandingkan dengan hutan utuh. Spesies tersebut sama sekali tidak dapat dijumpai di hutan yang sedang ditebang. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa aktivitas masyarakat yang menebang hutan sangat berpengaruh terhadap kepadatan populasi satwa primata yang ada terutama ungko (Tabel 5). Persepsi Masyarakat Pada saat penelitian berlangsung tidak ditemukan lagi aktivitas penebangan kayu di areal TN Batang Gadis, yang ada hanya sisa-sisa dari aktivitas tersebut. Menurut sebagian responden, aktivitas penebangan dan pengambilan kayu di areal penelitian berawal dari penetapan dan peresmian kawasan hutan tersebut menjadi kawasan taman nasional. Pembentukan kawasan taman nasional membawa suatu perubahan karena kawasan hutan tersebut menjadi salah satu kawasan koservasi
dimana tidak semua orang bebas keluar masuk kawasan. Tujuan pembentukan taman nasional adalah untuk menyelamatkan satwa dan habitat alam, TNBG juga sebagai simbol pengakuan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola hutan (Wikipedia Indonesia 2006). Selama pengamatan berlangsung, masih ditemukan beberapa masyarakat sekitar yang masih berburu burung, mereka menangkap burung dengan cara memikatnya dengan burung yang sudah terlatih. Biasanya burung yang mereka pikat adalah jenis burung murai daun yang berwarna hijau. Ketika survei populasi dilakukan masih banyak dijumpai bekas jerat yang dipasang oleh masyarakat untuk menangkap binatang-binatang liar. Berdasarkan pengakuan sebagian responden jeratjerat tersebut dipasang untuk menangkap binatang-binatang buruan seperti rusa, kijang, kancil atau landak. Hasil dari buruan ini biasanya untuk konsumsi sendiri dan sisanya untuk dijual. Responden mengaku tidak pernah melihat dan melakukan perburuan terhadap ungko, karena satwa ini tidak mengganggu ladang dan perkebunan mereka. Masyarakat juga percaya bahwa bunyi ungko sebagai indikasi datangnya hujan dalam musim kemarau. Pernah ada masyarakat desa sekitar yang memelihara seekor ungko sebagai hewan peliharaan (pets) tetapi tidak ada lagi ketika penelitian ini dilakukan, dalam pemeliharaannya ungko tersebut hanya diberi nasi dan makanan yang dikonsumsi oleh pemelihara. Hal ini dilakukan karena sulit untuk mendapatkan buah-buahan asli makanan ungko dari di hutan. Sebagian besar responden mengakui tidak mengetahui bahwa ungko merupakan satwa yang dilindungi, namun mereka sependapat bahwa ungko, satwa liar lainnya dan hutan perlu dijaga dan dilestarikan. Mereka percaya bahwa setiap makhluk yang ada dimuka bumi ini bermanfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia. Persentase persepsi masyarakat terhadap pelestarian ungko di TN Batang Gadis dapat dilihat pada Gambar 16.
Tidak perlu dilindungi; 13%
Perlu dilindungi; 87%
Gambar 16. Persentase tanggapan masyarakat terhadap pelestarian ungko di TN Batang Gadis Meskipun masyarakat sekitar mengaku tidak melakukan perburuan terhadap ungko, masih sangat diperlukan usaha pihak terkait untuk terus memberikan penyuluhan kepada masyarakat, penting menjaga keberadaan satwa liar khususnya di alam, mengingat masih ada kemungkinan permintaan terhadap ungko sebagai satwa peliharaan dari daerah lain maupun manca negara. Hal lain yang harus diperhatikan adalah usaha patroli terhadap hewan buruan, jangan sampai kegiatan perburuan mendapatkan ungko dan satwa lainnya dari daerah ini berkembang menjadi mata pencaharian masyarakat. Kesadaran masyarakat terhadap kegiatan konservasi sangat perlu untuk terus ditingkatkan terutaman tentang pentingnya hutan, tidak hanya sebagai habitat ungko dan satwa-satwa lainnya tetapi juga untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan manusia secara luas. Perusakaan (fragmentasi) hutan akan mengakibatkan malapetaka bagi manusia khususnya masyarakat sekitar karena akan mengakibatkan bencana seperti banjir akibat sungai yang meluap pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, tanah longsor, dan bencana alam lainnya akibat ketidakseimbangan ekosistem Program pelestarian dan penyelamatan ungko akan dapat terwujud, apabila dilakukan secara bersama-sama dengan seluruh pihak terkait. Peran petugas polisi kehutan, pemerintah kabupaten Mandailing-Natal serta pihak terkait lainya seperti LSM, swasta, serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan perlindungan ungko dan kawasan Taman Nasional Batang Gadis pada umumnya, tentunya tanpa melupakan kearifan lokal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Karakteristik morfologi ungko dapat dijadikan penciri spesies jantan dan betina dewasa, jambang (rambut yang tumbuh pada muka atau pipi jantan) berwarna putih, sedangkan pada betina menyerupai warna tubuh. Alis pada jantan putih bersambung sedangkan pada betina putih melengkung terpisah. Bobot badan jantan dewasa 4,35±0,49 kg lebih besar dibanding bobot betina dewasa 2,6 kg Populasi ungko 41,6% berwarna hitam dan 58,54 berwarna kuning. 2. Estimasi populasi ungko di TN Batang Gadis berkisar 2.240 kelompok yang terdiri dari 7.620 individu, dengan rerata kepadatan kelompok 2,6 kelompok/km2 dan kepadatan populasi 8,82 individu/km2 dan. Ukuran kelompok berkisar 2-5 individu/kelompok. Populasi ungko menunjukkan jumlah yang masih dapat terus bertahan sepanjang tidak ada degradasi habitat dan perburuan. 3. Terdapat enam famili dan 15 jenis pohon pakan di kawasan TN Batang Gadis yang merupakan sumber pakan utama bagi ungko. 4. Persepsi masyarakat terhadap kawasan dan satwa liar sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam pemanfaatan lahan dan vegetasi hutan sebagai sumber ekonomi maupun sosial budaya sebagai masyarakat petani hutan. Sebanyak 87% responden mempunyai persepsi terhadap pelestarian ungko, yang artinya akan mendukung dan memudahkan penyuluhan konservasi ungko. Saran 1. Disarankan dilakukan penelitian lagi tentang populasi ungko pada lokasi yang berbeda tetapi masih di kawasan Taman Nasional. Selain itu waktu pelaksanaan penelitian diperpanjang selama satu tahun untuk mendapatkan pengaruh musim hujan dan kemarau terhadap kepadatan populasi, serta perlu dilakukan penelitian secara mendalam untuk mendapatkan spesifikasi ungko yang berasal dari TN. Batang Gadis secara genetis. 2. Disarankan dilakukan pengkajian pengaruh pakan yang berasal dari hutan dengan pakan yang biasa diberikan pada ungko di tempat penangkaran, serta penyuluhan kepada masyarakat sekitar akan pentingnya menjaga habitat dari kerusakaan dan fragmentasi.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar, Jilid I. Bogor. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor Alikodra HS.1997. Teknik Pengelolaan Satwa Liar: dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. Bogor. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB Animal Diversity. 2004. Hylobathes. http://www.animaldiversity. Ummz.umich.edu/site/accounts/information/Hylobates_agilis.html. [8 oktober 2004]. Anwar J, Damanik SJ, Hisyam N, Whitten AJ. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada university Press Apriadi ST. 2001. Studi Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis F. Cuvier 1821) di Kawasan Lindung HPHTI PT. Riau andalan Pulp dan paper Propinsi Riau. Bogor. Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bismark M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BKSDA Sumut] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara. 2004. Peta Taman Nasional Batang Gadis. Departemen Kehutanan Bratawinata. 2001. Ekologi hutan hujan Tropis dan Metode Analisis Hutan. Samarinda. Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Badan kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Colin dan Muchtar. 2002. Indonesian Primates – Protected. http://www.natureconservation.or.id/primates/primates.html. [24 april 2007] Curtin SH, Chivers DJ 1979. Leaf eating primate of Peninsular Malaysia, the siamang and the disky leaf monkey, p. 441-464. In : The Ecology of Arboreal Folivores. Smithsonian Institution Press, washington, D.C. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Taman Nasional Batang Gadis Mutiara Hutan Tropis di Bumi Mandailing. Departemen Kehutanan. Duma Y. 2007. Kajian Habitat, Tingkah Laku, dan Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Bogor. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Eudey, A. & Members of the Primate Specialist Group 2000. Hylobates agilis. In: IUCN 2006. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>. [25 May 2007]. Fleagle JG. 1988. Primate Adaptasion & Evolution, Academic Press. State University of New York, Stony Brook
Forest Watch Indonesia. 2000. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Hutan-hutan Indonesia: apa yang dipertaruhkan?. http://fwi.or.id/E_paper/sof.indonesia.bahasa.pdf [19 Juni 2006] Geissmann T. 1993. Evolution of communication in gibbons (Hylobatidae). Ph.D. thesis, Anthropological Institute, Philosoph. Faculty II, Zürich University, Switzerland. 374 pp. http://www.webmaster/gibbon.de [25 Mei 2007] Geismann
T.
2006.
Gibbon
Systematics
and
Species
Identification.
http://gibbon.de/main/sytem/system.html. [17 juli 2007]
Gibbon Conservatin Center. 2004. Genus Hylobates: The remaining gibbon species are classified in the genus Hylobates. This genus has a diploid chromosome number of 44. http://www.gibboncenter.org/about_gibbon.htm [8 oktober 2004] Gittins SP, Raemakers JJ. 1980. Siamang, ar and agile gibbons, p. 63-106. In : Malayan Forest Primates (D.J Chivers ed.). Plenum Press, New York. Harianto SP. 1988. Habitat dan Tingkah Laku Siamang (Hylobates syndactylus) di Calon Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Bogor. Tesis Fakultas Pascasarjana, institut Pertanian Bogor. Indonesia Primate Camp. 2001. Conservation Assessment and Management Plan for The Primates of Indonesia.Taman Safari 15-19 January. Final Report Iskandar E. 2007. Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Jawa Barat. Bogor. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kartawinata K, Samsoedin I, Heryanto M, Afriastini J.J. 2004. A tree species inventory in a one-hectare plot at the Batang Gadis National Park, North Sumatera, Indonesia. Reinwardtia. A Journal on Taxonomic Botany, Plant Sociology and Ecology. Vol.12 (2): 129-204. November 2004 Kehati. 2004. Abstrak hibah penelitian kecil. http://www.kehati.or.id /abstrak hibah penelitian kecil/moreinfo/html. [11 oktober 2004] Kuester J .2000. Hylobates agilis. Animal Diversity Web. (On-line). http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Hylobates agilis.html.[ 11 Agustus 2004]. Meijaard et al (2006). Hutan Pasca Pemanenan: melindungi satwa liar dalam kegiatan hutan produksi di Kalimanta. Jakarta. SUBUR Printing. Napier JR, Napier PH 1967. A Handbook of Living Primates. Academic Press. London – New York. Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Academic Press. London – New York.
Napier P. 1972. Monkeys and Apes; a grosset all color guide. New York. Grosset&Dunlap A National Company. PIKA. 2007. Owa Serudung. PIKA database spesies:- Hasil. http://li.defined.net/cgi/pika.exe . [25 Mei 2007]. Rijksen 1978. A field study on Sumatran Orang-utans (Pongo pymaeus abelii Lesson, 1872): Ecology, behaviour and conservation. Waginingen. H.Veenman&Zonen Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. New York: Pogonias Press. Soehartono T, Mardiastuti A. 2002. CITES. Implementation in Indonesia. Jakarta. Nagao Natural Environment Foundation. Soerianegara I , Indrawan.A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Laboraorium Ekologi Hutan. Bogor. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suin NM. 2003. Ekologi Populasi. Padang. Andalan University Press Supriatna J , Wahyono EH, 2000. Primata Indonesia. Panduan Lapangan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. , hal 299 - 313 Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi: kajian ekologi kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Tempointeraktif. 2004. Ungko dan siamang Tempointeraktif edisi 6 Oktober 2004
di
TNKS
terancam
kritis.
{Walhi] Wahana Lingkungan hidup Indonesia. 2007. http://www.walhi.or.id/ kampanye/hutan/jeda/hut_hancur_moratorium_manj/ [05 agustus 2007] Whitten.1982. Diet and feeding behaviour of Kloss gibbons on Siberut Island, Indonesia. Folio rimatologica 37: 177-209 Whitten T, Mustafa M, Henderson GS. 2002. Ecology of Sulawesi. The Ecology of Indonesia Series. Singapura : Periplus Wilson CC, Wilson WL, 1975. the influence of selective logging on primates and some other animals in East Kalimantan. Folia Primatol 23 : 245-274. Wikipedia Indonesia. 2006. Taman Nasional Batang Gadis: Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Batang_Gadis [25 April 2007]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nama vegetasi yang ditemukan di areal penelitian di TNBG Nama lokal Abo Akar / Kalingamet Akar berduri Akar. Andaurang Andudur Antarsa Asam bante Bali - baliangin Baliniju Batang Riman Buluniju Bunga hutan calik Cimpedak Dabimbo Darah - darah Dondong Durian hutan Gatal (3) Gitan Gumbot Jambu - Jambu Karet Kayu air Kayu Ginseng Kayu pohon Silon Kayu sirih Kemenyan Kopi - Kopi Lalen Langsat B Lasia-lasia Lempayang Lude Malkus Manis - manis Marambong Mayang
Jenis Acrostium aureum L. Ardisia sanguinolenta Blume Litsea oppositifolia (Blume) Vill. Durio sp. Archidendron fagifolium (Blume ex Miq.) Nielsen Scindapsus pictus Hassk. Zizyphus horsfieldii Miq. Connarus monocarpus L. Grewia acuminata Juss. Korthalsia sp. Breynia racemosa (Blume) Muell. Arg. Dissochaeta reticulata Blume Mallotus paniculatus (Lam) Muell. Aglaia odoratissima Blume Cleistanthus sumatranus Muell. Arg. Tabernaemontana sp. Aglaia sexipetala Griff Artocarpus integer Merr. Labisia pumila Myristica iners Blume Ficus variegata Blume Durio zibethinus Murr. Schismatoglottis acuminatissima Schott Cheiocarpus sp. Ficus padana Burm.f. Syzygium polyanthum (Wight) Walp. Evodia aromatika Blume Saurauia sp. Tabernaemontna sp. Syzygium cymosa (Lamk) Merr. & Perry Piper aduncum L. Syrax benzoin Dryand Lasianthus sp. Santiria oblongifolia Blume Craton laevifolius Blume Anthocephalus cadamba Miq Sapium baccatum Roxb. Urophyllum arboreum (Blume) Korth. Eurya japonica Thunb. Geunsia farinosa Blume Litsea oppositifolia (Blume) Vill.
Suku Pteridaceae Lauraceae Lauraceae Bombacaceae Fabaceae Araceae Rhamnaceae Connaraceae Tiliaceae Arecaceae Euphorbiaceae Melastomataceae Euphorbiaceae Meliacecae Euphorbiaceae Apocynaceae Meliaceae Myristicaceae Myrsinaceae Myristicaceae Moraceae Bombacaceae Araceae Apycinaceae Moraceae Myrtaceae Rutaceae Actinidiaceae Apocynaceae Myrtaceae Hiperaceae Styraccaceae Rubiaceae Burseraceae Euphorbiaceae Moraceae Rubiaceae Euphorbiaceae Rubiaceae Theaceae Verbenaceae Lauraceae
Nama lokal Medang Medang cempaka Medang Tampu Lawang Medang tauru Meranti gembung Meranti Merah Meranti Putih Mobi Monton Ndolok A Ndolok B Ndolok Silon sp Opur Oteng Oteng Belanak Pakis sp Pau ursa Peteh Pinang - pinang Rambutan Hutan Rotan cacing merah Rotan Jernang Rotan Pelagos Rube Rumput Hutan A Rumput Hutan B Sejenis Langsat hutan Sengal Sial - sial Sijingkal Sikala Silang satu Simartulan Sitarak Tampang Tandiang Tapa - tapa Tinggiran Torop Tutu - tutu
Jenis Litsea sp. Litsea noronhae Blume
Suku Lauraceae Lauraceae
Cinnamomum cuspidatum Miq. Eurya japonica Thunb. Shorea sp. Aporosa antennifera (Airy Shaw) Airy Shaw Aporosa antennifera (Airy Shaw) Airy Shaw Ficus sp. Antidesma stipuilare Blume Ixora sp. Archidendron ellipticum (Blume) Nielsen Syzygium cymosum (Lamk) Merr. Perry Albizzia lebbechoides Bth. Litsea elliptica (Blume) Boerl. Diplazium sp. Archidendron clypearia (Jack) Nielsen Pinanga sp. Knema latericia Elmer Calamus ciliaris Blume Calamus javensis Blume Calamus sp. Ficus sp. Forrestia mollissima Kds. Sellaginella plana (Desv.) Hieron
Lauraceae Theaceae Dipterocarpaceae
Aglaia argentea Blume Shorea sp. Elaeocarpus sp. Costus speciosus (Koening) Smith Arisaema filiforme Myrica esculenta Buch.-Ham Macaranga denticulata Muell. Arg. Artocarpus dadah Miq. Christella parasitica Mallotus sp. Syzygium claviflora (Roxb.) Merr. & Perry Artocarpus sp. Pternandra caerulescens Jack
Euphorbiaceae Euphorbiaceae Moraceae Euphorbiaceae Rubiaceae Fabaceae Myrtaceae Fabaceae Lauraceae Moraceae Sapotaceae Fabaceae Arecaceae Myristicaceae Arecaceae Arecaceae Areceae Moraceae Commelinaceae Sellaginellaceae Meliaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Zingiberaceae Arecaceae Myristicaceae Euphorbiaceae Moraceae Thelipteridaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Moraceae Melastomataceae
Lampiran 2. Daftar inventarisasi vagetasi berdasarkan penelitian Kartawinata et.al. (2004) di Taman Nasional Batang Gadis