ANALISIS MORFOLOGI DAN EKOLOGI KALAWET (Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH
SUYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis Morfologi Dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
Suyanti NRP. P057030031
ABSTRAK SUYANTI. Analisis Morfologi dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan ANI MARDIASTUTI. Kalawet (H.a. albibarbis) merupakan salah satu spesies Hylobates yang terdapat di kalimantan dan dapat dijumpai di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) CIMTROP Universitas Palangkaraya, di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli s/d Oktober 2005 di LAHG dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi dan ekologi (populasi dan habitat) kalawet. Pengamatan morfologi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode yang digunakan untuk survei populasi line transect sampling. Pengamatan habitat difokuskan pada penggunaan stratum vegetasi dan profil pohon, yang hasilnya digambarkan dalam bentuk diagram profil habitat. Wawancara kepada masyarakat di sekitar kawasan LAHG juga dilakukan untuk mendapatkan informasi aktivitas masyarakat sekitar Taman Nasional. Karakteristik kualitatif bagian tubuh kalawet mempunyai warna rambut yang beragam yaitu hitam, putih, coklat muda dan coklat tua. Karakteristik kuantitatif dari segi ukuran tubuh kalawet jantan dewasa lebih besar dari jantan remaja dan betina dewasa. Bobot badan jantan dewasa 4,0±1,0 kg, jantan remaja 3,1±0,5 kg dan betina dewasa 3,9±0,7 kg. Dari segi bentuk tubuh antara kalawet jantan dewasa dan jantan remaja sama, sebaliknya antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Hasil survei populasi dengan luas daerah survei 6,0 km2 di tipe hutan gambut campuran ditemukan 15 kelompok kalawet dengan jumlah anggota kelompok 2-4 individu. Kepadatan populasi 7,67 individu/km2 dengan kepadatan kelompok 2,5 kelompok/km2 dan rata-rata ukuran kelompok 3 individu/kelompok. Stratum vegetasi yang paling banyak digunakan kalawet adalah stratum B (60%) yang tingginya lebih dari 15-25 m dari permukaan tanah. Untuk jenis pohon yang paling umum ditemukan Callophyllum canum, Palaquium leiocarpum, Camnosperma coriaceum, Syzygium clavatum, Callophyllum sclerophyllum dan Diospyros pseudomalabarica. Masyarakat tidak melakukan perburuan terhadap kalawet, perburuan di LAHG hanya pada babi hutan, kelelawar, burung, ular dan biawak. Kata kunci: Kalawet, Hylobates agilis albibarbis, morfologi, populasi, habitat, Taman Nasional Sebangau.
ABSTRACT SUYANTI. Morphological and Ecological Analyses of Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) in Sebangau National Park, Central Kalimantan, under supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and ANI MARDIASTUTI. Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) is one species of Hylobates naturally in Kalimantan and can be found in Natural Peat Swamp Forest Laboratory (LAHG) CIMTROP of Palangkaraya University, Sebangau National Park, Central Kalimantan. This research was aimed to assess the morphology and ecology (population and habitat) of kalawet. It was carried out in July up to October 2005. The morphological characteristics of kalawet were observed qualitatively and quantitatively. The line transects sampling method was used to survey population. Whereas, habitat study focused on vegetation stratum and tree profile uses, and the characteristics of habitat was shown in a habitat profile diagram. Interview with community surrounding, who live around the park, aimed to collect information about community’s activities related with kalawet. The qualitative characteristics of kalawet were varied on hair color, such as white, black, light brown and dark brown. Whereas, the quantitative characteristics, in case of body size of adult males were bigger than juveniles and adult females. The body weight of adult males were 4,0±1,0 kg, the juvenile males were 3,1±0,5 kg and the adult females were 3,9±0,7 kg. In case of body shape, the adult and juvenile males were similar, while the adult males and the adult females were different. The results of population survey of 6 km2 of mixed swamp forest were found 15 groups of kalawet, which consisted of 2-4 individuals/group. The population density were 8 individuals/km2 with group density were 2,5 groups/km2 and the average of group size were 3 individuals/group. The most vegetation stratum used by kalawet was B (60%), which had more than 15-25 m from the ground. The most general trees found were Callophyllum canum, Palaquium leiocarpum, Camnosperma coriaceum, Syzigium clavatum, Callophyllum sclerophyllum and Dyospyros pseudomalabarica. The local communities did not hunt on kalawet, but in LAHG, they did hunt on wild boars, cave bats, birds, snakes and lizards. Keywords:
kalawet, Hylobates agilis albibarbis, morphology, population, habitat, Sebangau National Park
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS MORFOLOGI DAN EKOLOGI KALAWET (Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH
SUYANTI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si
Judul Tesis
: Analisis Morfologi dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah
Nama
: Suyanti
NRP
: P. 057030031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ketua
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Primatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 23 Agustus 2007
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan serangkaian penelitian hingga penulisan tesis yang berjudul “Analisis Morfologi Dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) Di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah”. Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini dapat terlaksana dengan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan peghargaan kepada : 1. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, masingmasing sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari pesiapan, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. 2. Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si, yang telah meluangkan waktu dan berkenan menjadi penguji luar komisi atas segala saran dan masukan untuk penyempurnaan tesis ini. 3. Drh. Joko Pamungkas, M.Sc selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) beserta staf, yang telah memberikan fasilitas selama perkuliahan. 4. Ir. Hi. Ilyas Mekka (mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Morowali) dan Drh. Sujanarto (Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Propinsi Sulawesi Tengah), yang telah memberi izin tugas belajar; Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Primatologi serta seluruh stafnya yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi di SPs-IPB. 5. Direktur CIMPTROP Universitas Palangkaraya, Ir. Suwido H. Limin, MS, dan staf atas izin, fasilitas dan bantuan yang diberikan dalam melakukan penelitian di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG). 6. Saudara Dr. drh. Hery Wijayanto, MP; Dr. Ir. Yulius Duma, MS; Moh. Irfan S.Pt, M.Si; Ir. M.R. Yantu, MS; Ir. Wardah, MFSc; Ir. Rizal Tantu, M.Si; rekanrekan seangkatan 2003, rekan-rekan mahasiswa Primatologi (HIMAPRIMA), serta rekan-rekan mahasiswa pacasarjana Sulawesi Tengah (HIMPAST) di Bogor, atas bantuan dan dukungannya langsung maupun tidak langsung selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak mertua Mustakim, ibu mertua Hasna Korompot, kakakku Syarif Masitudju, Zatul Masitudju, Alamsyah Masitudju (Alm) dan adikku Sofyan Nur Masitudju (Alm), Ajmila
Masitudju, serta seluruh keluarga, yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa dan dukungan moral kepada penulis. Kepada suamiku tercinta Hardi Mustakim dan anak-anakku tersayang Anda Ryan Syah, Mahvicka Ariyani dan Nugrah Setiawan, terima kasih atas segala kesabaran, pengertian, pengorbanan dan dukungan yang diberikan, yang senantiasa menyemangati penulis dalam penyelesaian tesis. Akhirnya dengan penuh rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada ayahanda Drs. Hi. Tato Masitudju dan ibunda Hj. Zamani. Hi. Laraga yang telah dengan sabar mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan senantiasa mendorong dan memberikan semangat kepada penulis untuk terus melangkah meraih pendidikan yang lebih tinggi. Semoga karya ilimiah ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2007 penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu pada tanggal 10 Juni 1972 dari ayah Drs. Hi. Tato Masitudju dan ibu Hj. Zamani Hi. Laraga. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1985 di SDN 15 Palu. Tahun 1988 menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri I Palu dan tahun 1991 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Karya Palu. Pada tahun 1991 pendidikan sarjana di tempuh di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Tadulako dan lulus pada tahun 2000. Di tahun 2000 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali. Tahun 2003 penulis diterima masuk ke Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Primatologi. Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Hardi Mustakim dan telah dikaruniai tiga orang putera-puteri; Anda Ryan Syah, Mahvicka Ariyani dan Nugrah Setiawan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang .......................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................... Kerangka Pemikiran ...................................................................
1 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran ..................................................... Morfologi .................................................................................... Ekologi ........................................................................................ Populasi dan Kepadatan Populasi ............................................. Habitat ........................................................................................ Stratifikasi ................................................................................... Pakan ......................................................................................... Interaksi Masyarakat dengan Hutan ...........................................
5 7 8 9 11 12 13 14
Status Konservasi ......................................................................
15
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Luas dan Letak ........................................................................... Dasar Hukum ............................................................................. Topografi dan Tanah .................................................................. Iklim ........................................................................................... Potensi Flora dan Fauna ........................................................... Pencapaian ke Lokasi ................................................................ Profil Kelurahan Kereng Bangkirai .............................................
16 17 17 17 18 19 19
MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi Penelitian ........................................................................ Tempat dan Waktu ..................................................................... Alat dan Bahan ........................................................................... Metode Penelitian ......................................................................
21 21 21 22
Cara Pengumpulan Data ........................................................... Morfologi .................................................................................... Ekologi ....................................................................................... Populasi ................................................................................ Tipe Habitat .......................................................................... Profil Habitat ......................................................................... Stratum Vegetasi .................................................................. Sumber dan Jenis Pakan ..................................................... Survei Aktivitas Masyarakat .................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi ....................................................................................
22 22 26 26 28 28 29 29 30 31
Sifat Kualitatif ....................................................................... Sifat Kuantitatif ..................................................................... Ukuran Tubuh Kalawet ......................................................... Hasil dan Analisis Komponen Utama ......................................... Perbandingan Ukuran dan Bentuk Kalawet Jantan Dewasa, Jantan Remaja dan Betina Dewasa ...................... Populasi ...................................................................................... Komposisi Kelompok ............................................................ Ukuran Kelompok ................................................................. Kepadatan Populasi ............................................................. Habitat ........................................................................................ Tipe Habitat .......................................................................... Profil Habitat ......................................................................... Pemanfaatan Stratum Vegetasi ............................................ Sumber Pakan ...................................................................... Aktivitas Masyarakat ...................................................................
31 32 32 34 37
SIMPULAN ........................................................................................
64
SARAN ..............................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
66
LAMPIRAN ........................................................................................
70
38 38 41 42 45 45 47 52 54 57
DAFTAR TABEL Halaman 1
Estimasi kepadatan populasi Hylobates agilis ...............................
10
2
Pengukuran bagian-bagian tubuh kalawet ....................................
23
3
Deskripsi morfologi eksternal kalawet ...........................................
31
4
Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran kalawet jantan dewasa dan jantan remaja .....................................
33
Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran kalawet jantan dewasa dan betina dewasa ...................................
34
Perbandingan penciri utama ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa ..
35
7
Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T0 ................
39
8
Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T1A .............
40
9
Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T2.................
41
10
Estimasi populasi kalawet di lokasi penelitian ...............................
42
11
Persentase pemanfaatan stratum oleh kalawet .............................
52
12
Jenis tumbuhan yang dimakan oleh kalawet .................................
55
5 6
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alur kerangka pemikiran ................................................
4
2
Peta penyebaran kalawet (H.a. albibarbis) ................................
6
3
Kalawet (H.a. albibarbis) jantan remaja .....................................
7
4
Profil pohon yang melintasi hutan rawa gambut ........................
12
5
Peta taman nasional sebangau ..................................................
16
6
Laboratorium alam hutan gambut CIMTROP UNPAR ...............
21
7
Bagian tubuh kalawet yang diukur .............................................
24
8
Sketsa transek pengamatan .......................................................
28
9
Profil kalawet (H.a. albibarbis) ....................................................
32
10
Perbandingan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa ................................
37
11
Profil vegetasi di LAHG TN. Sebangau ......................................
46
12
Diagram profil pohon dijalur T0 ..................................................
49
13
Diagram profil pohon dijalut T1A ................................................
50
14
Diagram profil pohon dijalur T2 ..................................................
51
15
Sampel pakan kalawet di LAHG, Blumeodendron tokbrai, Ficus sp dan Gnetum sp .....................................................................
54
16
Jenis mata pencaharian masyarakat ..........................................
57
17
Kayu log dihanyutkan di sungai ..................................................
58
18
Jenis kayu yang ditebang ...........................................................
59
19
Kebakaran hutan di sekitar kawasan LAHG ...............................
60
20
Tingkat perburuan pada lokasi penelitian ...................................
61
21
Persentase pemahaman masyarakat mengenai konservasi.......
62
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Data umum kalawet .......................................................................
70
2
Hasil analisis komponen utama kalawet jantan dewasa ...............
71
3
Hasil analisis komponen utama kalawet jantan remaja .................
72
4
Hasil analisis komponen utama kalawet betina dewasa ...............
73
5
Hasil uji-t antara kalawet jantan dewasa dan jantan remaja .........
74
6
Hasil uji-t antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa ........
77
7
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh dengan keragaman total dan nilai eigen (Eigen value) pada kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa .............................................................
80
Nilai koefisien korelasi dengan komponen utama I (ukuran) dan komponen utama II (bentuk) antara kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa ..................................................
81
9
Data survei populasi pada setiap jalur penelitian ..........................
82
10
Nama-nama jenis tumbuhan yang dijumpai di lokasi penelitian ....
83
8
PENDAHULUAN Latar Belakang Tak dapat dipungkiri bahwa lokasi Indonesia di daerah tropik dan keragaman floranya sangat mendukung kehidupan satwa yang ada di dalamnya. Tidak mengherankan, jika Indonesia merupakan salah satu negara dengan ragam jenis satwa primata terkaya di dunia. Namun, tekanan yang besar terhadap keberadaan keanekaragaman hayati menempatkan Indonesia sebagai negara dengan daftar jenis satwa terancam punah tertinggi pula. Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) adalah salah satu spesies Hylobates yang dapat dijumpai di Kalimantan dan Sumatera. dicantumkan
Pada CITES, kalawet
dalam Appendix I (Soehartono & Mardiastuti 2002) dan IUCN
mengkategorikannya
sebagai spesies yang lower risk.
Perbedaan utama
kalawet dengan spesies lainnya adalah pada morfologi, pola suara dan struktur genetiknya. Kalawet dalam penyebarannya dapat dijumpai di hutan rawa gambut Kalimantan Barat dan Tengah (Supriatna & Wahyono 2000). Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau merupakan bagian dari Taman Nasional Sebangau yang terletak di antara sungai Katingan dan sungai Sebangau. Secara administratif kawasan ini meliputi Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya.
Kawasan Sebangau
merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan rawa gambut yang masih tersisa di Kalimantan Tengah dengan ketebalan gambut mencapai 12 m dan memiliki karakteristik ekosistem yang unik di tinjau dari jenis tanah, topografi, hidrologi, flora dan fauna, serta memiliki ciri khas air hitam, dan juga merupakan habitat orang utan, binturung, beruang madu, kalawet dan kelasi (Drasospolino 2004). Kalawet di kawasan ini masih dapat dijumpai, tetapi dengan kerapatan yang lebih rendah daripada di hutan dataran yang kering, mengingat hutan rawa gambut miskin akan jenis dan kurangnya pohon-pohon besar untuk melakukan perjalanan/pergerakan. Selain itu kehadiran penduduk desa di sekitar kawasan Taman Nasional Sebangau menimbulkan beberapa permasalahan yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mengancam kehidupan kalawet. Banyak di antara mereka yang belum mengetahui status, jenis satwa yang dilindungi dan cara melakukan perlindungan, sehingga masih banyak pelanggaran yang terjadi, seperti memelihara satwa yang dilindungi, berburu ataupun merusak habitatnya untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan, serta penggalian kanal yang
2
merusak struktur lahan gambut.
Selain itu, masalah lain yang tidak bisa
dikendalikan seperti kebakaran hutan yang sering terjadi di sekitar kawasan tersebut. Dengan berbagai tekanan ini, sudah dapat dipastikan bahwa kehidupan kalawet di alam mengalami penurunan dan tidak menutup kemungkinan suatu ketika akan mengalami kepunahan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka perlu diupayakan berbagai macam pendekatan konservasi. Dalam upaya konservasi kalawet, diperlukan pemahaman tentang aspek kehidupan alami, antara lain aspek morfologi dan ekologinya. Oleh karena itu, suatu penelitian akan dilakukan untuk mempelajari morfologi dan ekologi kalawet yang terdapat di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Kalimantan Tengah. rekomendasi
yang
Sebangau,
Ketersediaan data ini diharapkan dapat melahirkan berkaitan
dengan
upaya
konservasi
kalawet,
agar
keberadaannya dapat dipertahankan dan dilestarikan. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan karakteristik morfologi secara kualitatif dan kantitatif terhadap kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa. 2. Mengetahui keadaan ekologi (populasi dan habitat) kalawet di Laboratorium Alam Hutan Gambut CIMTROP Universitas Palangkaraya, Taman Nasional Sebangau 3. Mendapatkan informasi
sikap dan aktivitas masyarakat
yang terkait
dengan keberadaan kalawet di sekitar kawasan. Manfaat Penelitian 1. Menggunakan informasi karakteristik morfologi dan ekologi kalawet sebagai dasar pijakan dalam pengembangan dan strategi konservasi. 2. Memberikan salah satu informasi dalam menyusun program konservasi guna pelestarian populasi dan habitat kalawet di Laboratorium Alam Hutan Gambut CIMTROP Universitas Palangkaraya, Taman Nasional Sebangau.
3
Kerangka Pemikiran Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi, dan tersebar di beberapa tipe habitat.
Bermacam-macam jenis satwa liar ini
merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk banyak kepentingan manusia, meliputi berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis, ekonomis, sosial maupun kebudayaan. Manusia memanfaatkan dengan berbagai cara dan seringkali menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat dan penurunan populasi satwa liar, bahkan telah menyebabkan beberapa jenis satwa liar termasuk satwa primata terancam kepunahan (Gambar 1). Kehilangan
dan
rusaknya
hutan
merupakan
ancaman
terhadap
kehidupan kalawet. Perambahan hutan (illegal/leggal logging (HPH), konversi hutan, kebakaran) dan perburuan (hewan peliharaan dan konsumsi) merupakan permasalahan yang selama ini semakin mempersempit habitat kalawet di Taman Nasional Sebangau. Habitat yang semakin sempit dibarengi dengan fragmentasi habitat yang tinggi, semakin memperkecil ruang lingkup ekologis bagi kalawet. Penebangan pohon akan menyebabkan berkurangnya jumlah pohon sebagai tempat aktivitas kalawet dan dapat mempengaruhi ketersediaan sumber pakan. Sifat kalawet yang arboreal dan lokomosi secara brakhiasi membuatnya sulit untuk mencari dan mengembangkan wilayah jelajahnya pada kondisi kualitas habitat yang rendah dan terfragmentasi. Penyempitan daerah jelajah dapat mengakibatkan ukuran kelompok (jumlah individu dalam kelompok) menjadi lebih kecil sesuai dengan daya dukung lingkungan hutan sebagai habitat, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap populasi dan biologis kalawet. Belum lagi adanya jalur-jalur penebangan, semakin mempermudah akses untuk masuk jauh ke dalam hutan bagi pemburu liar. Semua permasalahan diatas, dapat menyebabkan populasi kalawet semakin menurun. Untuk itu, perlu ditempuh langkah-langkah penyelamatan, perlindungan dan pelestarian habitat dalam kawasan konservasi.
4
Kalawet (H.a.albibarbis)
Permasalahan
Kurangnya informasi karakteristik biologi
Penyempitan habitat
Penurunan populasi
Kurangnya kesadaran
konservasi
Pemecahan Masalah Melalui Penelitian
Analisis : Morfologi
Analisis : - Karakteristik populasi (ukuran kelompok, komposisi kelompok dan kepadatan populasi)
Analisis : -Tipe habitat - Profil habitat - Pemanfaatan stratum - Sumber pakan
Rekomendasi Konservasi
Gambar 1 Bagan alur kerangka pemikiran
Analisis : Sikap masyarakat
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran Hylobates merupakan salah satu genus dari famili Hylobatidae. Menurut Geissman (2003), Hylobatidae terdiri dari empat genus dan 12 spesies yang hidup tersebar di kawasan hutan tropik Asia Tenggara, yaitu 1) Genus Nomascus Miller, 1933 terdiri dari empat spesies: a) Nomascus concolor, b) Nomascus gabriellae, c) Nomascus leucogenys, dan d) Nomascus nasutus
menyebar di China, Hainan, Laos, Vietnam dan
Kamboja; 2) Genus Symphalangus Glonger, 1841: Symphalangus syndactylus, menyebar di Sumatera dan Malaysia; 3) Genus Bunopithecus: Matthew dan Granger, 1923: Bunopithecus hoolock, menyebar di Assam, Bangladesh dan Myanmar; 4) Genus Hylobates Illiger, 1811 terdiri dari 6 spesies: a) H. pileatus, menyebar di Thailand dan Kamboja, b) H. klossii, menyebar di Kepulauan Mentawai, c) H. lar, menyebar di Sumatera bagian utara, d) H. moloch, menyebar di Pulau Jawa, e) H. muelleri, menyebar di Kalimantan, dan f) H. agilis, menyebar di Sumatera, Kalimantan, Malaysia dan Thailand. Hylobates agilis memiliki tiga subspesies, yakni (a) Hylobates agilis agilis, yang menyebar di dataran tinggi Sumatera bagian barat dan semenanjung Malaysia, (b) Hylobates agilis ungko, menyebar di dataran rendah Sumatera bagian timur, dan (c) Hylobates agilis albibarbis, menyebar di Kalimantan Barat dan Tengah, dibagian utara di batasi oleh Sungai Kapuas, di timur dibatasi oleh Sungai Barito hingga ke utara di hulu Sungai Barito (Gambar 2) (Chivers 2001). Nama lokal Hylobates agilis menurut Supriatna & Wahyono (2000) lebih dikenal dengan nama wau-wau (Kalimantan), ungko tangan hitam (Sumatera) dan kelawat (bagian selatan Sumatera). Di Kalimantan Tengah Hylobates agilis albibarbis dikenal dengan nama kalawet. Klasifikasi Hylobates agilis albibarbis adalah sebagai berikut:
6 Kerajaan
: Animalia,
Filum
: Chordata,
Subfilum
: Vertebrata,
Kelas
: Mamalia,
Ordo
: Primata,
Subordo
: Anthropoidea,
Infraordo
: Catarrhini,
Superfamili
: Hominoidea,
Famili
: Hylobatidae,
Genus
: Hylobates,
Spesies
: Hylobates agilis,
Subspesies
: Hylobates agilis albibarbis, dan
Nama lokal
: Kalawet
Gambar 2 Peta Penyebaran Kalawet (H.a. albibarbis) (Chivers 2001)
7 Di daerah hulu Sungai Barito (Barito Ulu) sebagai batas daerah sebaran Hylobates agilis albibarbis dan Hylobates muelleri dilaporkan telah terjadi hibrida di antara keduanya (Marshall & Sugardjito 1986, McConkey et al. 2003). Selain di Barito Ulu, hibrida juga terjadi di Semenanjung Malaysia antara Hylobates agilis dengan Hylobates lar, dan di Thailand terjadi hibrida antara Hylobates lar dengan Hylobates pileatus (Brockelman dan Gittins 1984). Morfologi Genus Hylobates merupakan kera kecil tak berekor, mempunyai kepala kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil, rongga dada pendek tetapi lebar, serta memiliki rambut tebal dan halus (Chivers 1977). Menurut Groves (2001) pada genus Hylobates baik jantan maupun betina mempunyai ukuran tubuh relatif sama. Gambaran sifat-sifat pada tubuh ditunjukkan dengan seluruh tubuh ditutupi oleh rambut berwarna abu-abu, kecoklatan hingga hitam. Rambut yang tumbuh pada tangan berwarna hitam dan umumnya lebih gelap dari bagian tubuh lainnya, sehingga sering disebut black/dark-handed gibbon. Pada umumnya memliki garis lengkungan putih pada alis (white brow) sampai pipi (cheek patches). Garis lengkungan putih di sekeliling wajah pada jantan lebih jelas daripada betina. Profil kalawet jantan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kalawet (H.a. albibarbis) jantan remaja (Duma 2007)
8 Pada betina, garis putih di pipi (cheek patches) berangsur hilang pada umur sekitar enam tahun atau menjelang dewasa. Kalawet betina dewasa, yang dipelihara pada kondisi cahaya yang kurang atau defisiensi nutrisi dapat kehilangan garis putih pada alis (GCC 2004). Satwa primata yang tergolong satwa arboreal (termasuk kalawet) mempunyai bentuk empat jari yang panjang dan ibu jari yang lebih kecil, morfologi telapak tangan berupa segitiga dan datar, mempunyai telapak tangan dan pergelangan tangan yang panjang, demikian pula telapak kaki dan pergelangan kakinya, yang merupakan adaptasi mereka untuk brakhiasi/berayun dan menggantung di tajuk-tajuk pohon (Napier & Napier 1967). Genus Hylobates memiliki rumus gigi 2 1 2 3/2 1 2 3 = 32, dengan gigi seri kecil dan sedikit ke depan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang, ada sedikit perbedaan antara ukuran jantan dan betina. Diastema terdapat di rahang atas untuk gigi taring bawah. Premolar atas dan bawah berbentuk bikuspid. Premolar bawah pertama berbentuk sektorial. Molar atas berbentuk kuadrikuspid yang menunjukkan tipe hominoidea dan molar bawah berbentuk kuinkuekuspid (Napier & Napier 1985). Sariyani (2003) melaporkan ciri yang menonjol pada kalawet jantan adalah jumbai seperti ekor yang menutupi skrotum (scrotal tuft). Scrotal tuft berwarna hitam dengan kerapatan rambut bervariasi. Besar klitoris pada kalawet betina sama besarnya dengan ujung penis pada jantan. Panjang tubuh kalawet berkisar antara 45-55 cm dengan bobot badan antara 5–7 kg. Hidup membentuk keluarga atau pasangan (monogamous) dengan satu atau dua anaknya yang belum dewasa (Collinge 1993). Indeks intermembral sebesar 121 (Rowe 1996).
Masa kehamilan antara 7–8 bulan,
dengan jarak kelahiran satu anak dengan anak berikutnya sekitar 38 bulan, dan individu yang siap melakukan perkawinan berumur sekitar 8–9 tahun (Supriatna & Wahyono 2000) dengan masa hidupnya mencapai 30-40 tahun (Napier & Napier 1985). Ekologi Ekologi adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya, baik lingkungan abiotik maupun biotik. Hubungan organisme dengan lingkungan sebenarnya tidak lain adalah pemanfaatan sumber daya lingkungan oleh organisme. Kelangsungan hidup bagi
9 organisme, menyangkut kelangsungan hidup individu, kelangsungan hidup jenisnya (populasi), dan kelangsungan hidup komunitas. Menurut Suin (2003) lingkungan abiotik terdiri dari litosfir (tanah) adalah bahan, tipe, struktur, tekstur, warna serta faktor fisika dan kimia tanah lainnya. Adapun yang tergolong hidrolisfir (air) adalah arus, kedalaman, suhu, kekeruhan, bahan-bahan terlarut, dan faktor fisika-kimia lainnya dan unsur-unsur atmosfir antara lain adalah iklim, cuaca, angin dan suhu. Lingkungan biotik adalah totalitas dari semua organisme yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Bila sejenis organisme oleh karena sesuatu hal, sampai pada suatu daerah baru yang pada mulanya tidak ada di daerah itu, maka organisme itu akan berusaha untuk menetap dan selanjutnya bereproduksi disana. Apabila di lokasi baru itu keadaan lingkungan abiotik dan biotiknya dapat mendukung organisme tersebut untuk berkembang biak dengan baik, maka akan bertambahlah jumlahnya, dengan kata lain populasi organisme tersebut akan bertumbuh kepadatan populasinya. Sebaliknya apabila keadaan lingkungan tidak mendukung untuk kelangsungan kehidupannya, maka organisme tersebut akan berusaha pindah ke tempat yang lain. Organisme yang tidak dapat berpindah seperti tumbuhan dan hewan-hewan yang tingkat mobilitasnya rendah akan mati. Dengan demikian jelaslah bahwa faktor lingkungan sangat menentukan keberadaan dan kepadatan populasi suatu organisme di suatu daerah. Populasi dan Kepadatan Populasi Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu serta memiliki ciri/sifat khusus kelompok dan bukan ciri individu. Ciri tersebut antara lain kerapatan, natalitas, mortalitas, penyebaran umur, potensi biotik dan pertumbuhan (Anderson 1985). Suatu populasi dapat menempati wilayah yang sempit sampai yang luas tergantung pada spesies dan kondisi daya dukung habitatnya. Kebutuhan dasar populasi adalah untuk berlindung, makan, bergerak dan berkembang biak. Populasi dapat stabil, berkembang atau menurun yang disebabkan oleh: (1) keadaan lingkungan hidup satwa seperti makanan, tempat tinggal, pelindung dan lain-lain (2) keadaan sikap hidup satwa yaitu kelahiran, kematian dan survival, serta (3) perpindahan satwa (Alikodra 2002). Kepadatan populasi menurut Alikodra (2002) merupakan besaran populasi dalam suatu unit ruang yang dapat dipengaruhi oleh faktor luar seperti
10 terjadinya perubahan lingkungan, dan faktor dalam
seperti interaksi antara
individu (persaingan, pemangsaan dan penyakit), yang menyebabkan terjadinya perkembangan atau penurunan kepadatan. Brockelman & Srikosamatara (1993) menambahkan bahwa kepadatan populasi Hylobates dapat diperkirakan dengan mendengarkan nyanyian bersama pada tiap teritorial kelompok monogami. Kalawet telah kehilangan sekitar 66% habitatnya yang semula cukup luas, yaitu sekitar 500.000 km² menjadi 170.000 km². Diperkirakan pada tahun 1986 populasi kalawet yang tertinggal di alam hanya sekitar 30.000 ekor, dan dapat dipastikan populasinya sampai saat ini semakin jauh berkurang dibanding data tahun 1986 di atas. Kini kalawet hanya hidup di dalam kawasan konservasi di Kalimantan dan Sumatera (Supriatna & Wahyono 2000). Umumnya populasi satwa primata menghadapi beberapa ancaman karena faktor destruksi dan fragmentasi habitat, perburuan dan penangkapan untuk konsumsi atau tujuan lain. Faktor tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain: tingkat dan jenis aktivitas manusia, tradisi perburuan lokal, jumlah permintaan satwa primata untuk hewan piaraan semakin meningkat dan untuk diperjualbelikan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap populasi Hylobates agilis di Sumatera dan Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Estimasi kepadatan populasi Hylobates agilis Lokasi Densitas (ekor/km²) TN. Gunung Palung TN. Way Kambas Sumatera TN. Kerinci Seblat Sumatera
Kawasan Lindung HPHTI Riau Sebangau, Kalimantan Tengah
13,5-15,6* 1,9 6 11,4 10,8 4,26 17,45 7,4*
Sumber Mitani 1990 Yanuar & Sugardjito 1993 Yanuar 2001
Apriadi 2001 Buckley 2004
*) Hylobates agilis albibarbis Mitani (1990) mendapatkan kepadatan populasi kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di TN Gunung Palung Kalimantan Barat sebesar 13,5-15,6 ekor/km2 di habitat hutan dataran rendah, perbukitan dan hutan gambut, namun tidak jelas metode yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil estimasi kepadatan populasi kalawet (Hylobayes agilis albibarbis) yang didapatkan oleh Buckley (2004) dengan menggunakan metode fixed point count di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau Kalimantan Tengah 7,4 ekor/km2.
Perbedaan
kepadatan populasi yang didapatkan di TN Gunung Palung jauh lebih tinggi dibandingkan di LAHG Sebangau. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1981 Gunung
11 Palung sudah di tetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa dan kemudian pada tahun 1990 ditetapkan sebagai taman nasional, sedangkan LAHG Sebangau merupakan bekas konsesi HPH dan baru ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 2004. Dengan kata lain kondisi habitat di TN Gunung Palung jauh lebih baik daripada TN Sebangau sehingga kepadatan populasi kalawetnya lebih tinggi. Habitat Habitat adalah
suatu tempat hidup organisme atau individu biasanya
ditemukan dan berkembang biak secara alami. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi dan iklim (makro, mikro) serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegetasi dan satwa (Smieth 1986). Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi penyebaran dan produktivitas satwa.
Habitat yang
mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan menghasilkan kehidupan satwa yang lebih baik. Sebaliknya, habitat yang rendah kualitasnya akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah (Alikodra 2002). Habitat satwa primata dapat ditemukan di hutan tropik dataran tinggi, hutan dataran rendah, hutan mangrove dan hutan rawa gambut. Hutan rawa gambut adalah hutan yang tumbuh diatas gambut yang tebalnya berkisar antara 1 – 20 m. Gambut dan air yang mengaliri bersifat asam dengan pH rata-rata 3,5 – 4,0.
Ini tentunya menjadikan tanah sangat miskin akan unsur hara
(oligotrof), khususnya kalsium. Hutan ini juga merupakan suatu ekosistem yang cukup unik, karena tumbuhnya diatas tumpukan bahan organik yang melimpah dan hidupnya tergantung pada hujan. Tumbuhan yang hidup pada daerah ini adalah jenis-jenis Shorea sp, Dacrydium sp, Calophyllum sp, dan Alstonia sp (Arief 1994). Kebanyakan rawa gambut mempunyai zona hutan yang terpusat, yang berubah dari hutan yang tinggi dengan tajuk yang tidak rata di bagian luar, serupa dengan hutan Dipterocarpacea dataran rendah, menjadi zona-zona dengan pohon-pohon yang lebih rendah, lingkar batang lebih kecil, daun-daun semakin tebal dan kekayaan jenis menurun pula menuju ke bagian pusat rawa. Komposisi flora juga berubah melintasi urutan katena. Beberapa jenis tumbuhan memiliki akar nafas untuk memperoleh oksigen di habitat rawa gambut yang selalu tergenang. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
12
Gambar 4 Profil pohon yang melintasi hutan rawa gambut (MacKinnon et al. 2000) Monyet, owa dan bahkan orang utan ditemukan di hutan rawa gambut, tetapi dengan kerapatan yang lebih rendah. Macaca fascicularis dan Presbytis cristata, terdapat dalam kerapatan yang lebih tinggi di hutan rawa gambut daripada di hutan dataran rendah lainnya, tetapi hanya di sepanjang sungai. Jauh dari sungai, semua kerapatan satwa primata jauh lebih rendah, dengan kerapatan rata-rata menurun dari 10 kelompok/km² menjadi 3 kelompok/km² di pedalaman. Ini terjadi mengingat hutan rawa gambut miskin akan jenis dan kurangnya pohon buah-buahan dan pohon-pohon besar untuk melakukan perjalanan, khususnya menuju ke bagian tengah rawa (MacKinnon et al. 2000). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) kalawet dapat hidup di hutan rawa, selain itu mereka sering ditemukan di daerah batas antara hutan rawa dan tanah kering.
Selanjutnya Raemaekers (1979) menambahkan, ungko dapat
hidup simpatrik dengan H. lar dan siamang, serta pada kesempatan tertentu dapat berhibridisasi dengan H. muelleri. Stratifikasi Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunakan dalam menentukan stratifikasi baik vertikal maupun horisontal yang menjadi dasar untuk melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan. Struktur vertikal dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai
13 lapisan tajuk, sedangkan stuktur horisontal untuk menerangkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya, yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan (Ewusie 1990). Stratifikasi yang terjadi dalam suatu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang dibawahnya. Batas-batas tinggi stratifikasi pohon itu akan berbeda pada keadaan tempat tumbuh dan komposisi hutan yang berlainan. Misalnya didalam hutan hujan Way Kambas, tinggi rata-rata statum A dapat bervariasi antara 30 m keatas, stratum B antara 20-30 m, stratum C antara 4-20 m. Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah yaitu stratum D antara 1-4 m dan stratum E merupakan lapisan penutup tanah, tingginya 0-1 m (Soerianegara dan Indrawan 2002). Antara stratum A dan stratum B terdapat perbedaan yang jelas karena terdapat diskontinuitas tajuk yang vertikal. Antara stratum B dan stratum C perbedaan ini umumnya kurang jelas, sehingga hanya dapat dibedakan berdasarkan tinggi dan bentuk pohon saja. Tidak semua hutan memiliki ketiga stratum diatas, yang berarti hutan hanya mempunyai stratum A-B atau A-C saja. Yang penting adanya peranan liana (tumbuh-tumbuhan pemanjat) berkayu yang dapat menjadi bagian dari tajuk hutan (Arief 1994). Pohon-pohon dari stratum A tumbuh menjulang tinggi dari tajuk hutan seringkali disebut emergents, sedangkan stratum B yang merupakan tajuk paling tebal seringkali disebut tajuk hutan utama (main canopy atau main storey) (Soerianegara dan Indrawan 2002). Salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horisontal adalah dengan membuat diagram profil hutan, tetapi diagram profil ini hanya bersifat kualitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan (Richards, 1983). Torquebian (1982) menambahkan dalam pembuatan diagram profil peubah yang diukur adalah tinggi total pohon, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk. Pakan Makanan merupakan sumber energi untuk pertumbuhan, produksi, reproduksi dan penunjang kebutuhan pokok lainnya. Kalawet dalam hidupnya mengkonsumsi
buah 58% (terutama yang banyak mengandung gula seperti
14 buah ficus), daun 39%,
bunga 3% dan sisanya 1% berbagai jenis serangga.
Umumnya mereka makan sambil bergantungan pada dahan dan memetik satu persatu buah, biji, bunga atau daun muda (Supriatna & Wahyono 2000). Apriadi (2001) menyatakan bahwa sikap bergantung pada Hylobates agilis banyak digunakan pada saaat makan buah dan sikap duduk pada saat makan daun. Kegiatan makan cenderung terjadi pada tajuk dengan ketinggian menengah (15-25 m) dari permukaan tanah. Kalawet biasanya mencari buah dan daun muda pada kanopi bagian tengah dan atas. Selain makanan, air juga merupakan komponen habitat yang penting. Satwa primata arboreal seperti kalawet, minum di tempat yang tergenang air diantara cabang pohon. ungko minum dengan cara merendam tangannya pada genangan air dan meraihnya ke mulut, menghisap dan menjilati air yang terdapat pada bulu tangannya.
Tempat minum kalawet
berada antara 10-30 m dari
permukaan tanah (Chivers 1977). Whitington (1992) melaporkan adanya interaksi antara Hylobates sp dan Macaca nemestrina (beruk) dalam mencari sumber makanan. Hylobates sampai di pohon tempat makan lebih dahulu dibanding M. nemestrina. M. nemestrina tidak mendekati pohon buah yang sedang di kuasai oleh Hylobates, tetapi menunggu sampai kelompok Hylobates selesai makan dan menjauh dari pohon tersebut. Setelah Hylobates pergi, M. nemestrina mulai makan pada pohon buah yang sama. Hylobates merupakan penyebar biji yang baik di hutan. Hylobates menyebarkan 81% biji dari buah yang mereka makan dan hanya merusak 12% biji yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Efektivitas tumbuh dari biji tersebut bervariasi, tetapi hampir semua spesies biji tersebut dapat tumbuh (McConkey 2000). Interaksi Manusia dengan Hutan Interaksi diartikan sebagai suatu hubungan antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi atau saling memberi aksi dan reaksi. Interaksi sosial pengertiannya menunjuk pada hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan di antara orang per orang, antara perorangan dengan kelompok manusia, maupun antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia lainnya (Sulistiadi 1986). Suhendang (2002) membagi bentuk interaksi manusia dengan hutan kedalam dua kelompok, yaitu
15 1) berdasarkan bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang dilakukan oleh manusia, dan 2) berdasarkan bentuk-bentuk fungsional dan sifat-sifat ketergantungan manusia terhadap hutan dan sebaliknya. Pengelompokan cara pertama bersifat struktural, oleh karena dasar-dasar pengelompokan bentuk interaksi berlandaskan kepada sifat-sifat yang terstruktur, sedangkan pengelompokan cara kedua bersifat fungsional, oleh karena dasardasar pengelompokan bentuk interaksi berlandaskan kepada sifat-sifat yang menerangkan bentuk-bentuk fungsi yang melekat pada masing-masing, yaitu hutan dan manusia. Jadi dasar pengelompokannya adalah macam-macam fungsi hutan bagi kehidupan dan peradaban manusia, demikian pula sebaliknya macam-macam fungsi manusia bagi keberlanjutan keberadaan hutan di muka bumi ini, diukur menurut kuantitas dan kualitas hutannya (Suhendang 2002). Status Konservasi Pada saat ini banyak diantara spesies satwa yang tersebar di wilayah zoogeografisnya terancam kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkannya, terutama karena penyempitan dan kerusakan habitat serta perburuan yang tidak terkendali. Berbagai negara termasuk Indonesia, telah giat melakukan upayaupaya untuk mencegah terjadinya kepunahan spesies satwa tersebut melalui program konservasi. Program konservasi ini bukan hanya melestarikan spesies satwa yang terancam punah, tetapi sekaligus melestarikan habitatnya. IUCN menetapkan status konservasi kalawet sebagai Lower Risk, dan oleh CITES kalawet dicantumkan dalam Appendix I (Soehartono & Mardiastuti 2002). Pemerintah Indonesia telah melindungi kalawet melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 dan SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991. Undang-undang ini mengenai inventarisasi satwa yang dilindungi dan atau bagian-bagiannya yang di pelihara oleh perorangan.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Luas dan Letak Sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, sebagian kawasan hutan Sebangau dikelola oleh CIMTROP (Centre for International Cooperation in Management
of
Tropical
Peatland)
Universitas
Palangkaraya
sebagai
Laboratotium Alam Hutan Gambut (LAHG) yang luasnya kurang lebih 50.000 ha. LAHG berada pada daerah aliran sungai Sebangau yang dibatasi dengan Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan Sabangau. Taman Nasional Sebangau secara geografis terletak pada 113º18’-114º 03’ BT dan 01º55’-03º07’ LS, dan secara administratif terletak di Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya (Gambar 5). Mempunyai luas 568.700 ha, terdiri dari hutan produksi seluas 510.250 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas kurang lebih 58.450 ha.
100000
120000
140000
160000
9780000
Tewangkadamba
5
0
5
10
15
9780000
MODEL ZONASI KAWASAN LINDUNG SEBANGAU PROPINSI KALIMANTAN TENGAH
Kasongan
20
Kilometers
Luwukkanan
Luwukkiri
180000
Tewangtampang 9760000
9760000
Handiwong Tumbangbanggu Petak Bahandang Hiyangbana Talingke Palangka Raya
9740000
9740000
" 8 " 8
Asemkumbang Pahandut Baun BangoD. Jalan Pangen Tumbangronen
" 8
" 8
Jahanjang
" 8 " 8
Perupuk Telaga
9720000
9720000
" 8
" 8
Karuing " 8
" 8
" 8 " 8 "" 8 8 " 8
" 8
Tampelas " 8
9700000
" 8
" 8
" 8
9700000
Galinggang
Tumbang Bulan
9680000
9680000
" 8
Perigi
Paduran III Paduran II
" 8
Zoning Kawasan Paduran I " 8
U
9660000
9660000
Tewang Kampung Kampung Melayu Mekartani
Zone Penyangga
Mendawai Teluk Sebulu
Zone Inti Kawasan Lindung
B
T
Bantanan Zone Rimba Seikaki
Zone Perikanan Zone Rehabilitasi
Setiamulia
Zone Penelitian CIMTROP
Bangunjaya Jayamakmur
Batas Kabupaten
Suburindah Singamraya ampungtengah mpung keramat Pagatan Pegatan Hilir P H l 100000
9640000
9640000
Kampung baru
S Pangkoh
Zone Pemanfaatan
Batas Usulan Kawasan
120000
140000
S i
160000
Jalan
Bahaur
Sungai
180000
Gambar 5 Peta Taman Nasional Sebangau (Drasospolino 2004)
17 Dasar Hukum Taman Nasional ini ditetapkan di Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 423/Menhut-II/2004, pada tanggal 19 Oktober 2004 (Drasospolino 2004). Topografi dan Tanah Kawasan Taman Nasional Sebangau membentuk topografi yang relatif datar, dengan ketinggian antara 5-20 m dari permukaan laut (dpl) dan ketebalan gambut antara 0-12 m (CIMTROP 2002). Keadaan ini membentuk beberapa tipe hutan dengan vegetasi yang berbeda. Berdasarkan tipe hutan beserta vegetasi di LAHG berbeda menurut jaraknya dari pinggir sungai Sebangau, yaitu (1) hutan rivarian (RF) dengan jarak sampai 1 km dari sungai, (2) hutan rawa gambut (MSF) 1-5 km dari pinggir sungai, (3) hutan tegakan rendah (LPF) 5-13 km dari pinggir sungai dan (4) hutan tegakan tinggi (TIF) kurang lebih 13 km dari pinggir sungai (Rieley et al. 1996 dan Shepherd et al. 1997). Jenis tanah yang terdapat dalam wilayah Taman Nasional adalah tanah organosol yang merupakan tanah gambut. Adapun tanah gambut ini termasuk jenis ombrogen, yaitu tanah gambut yang pembentukannya hanya dipengaruhi oleh air hujan (Ismunadji & Soepardi 1984). Pengukuran kedalaman muka air tanah (water table) yang dilakukan pada akhir musim kemarau di bawah permukaan gambut di LAHG ini bervariasi menurut tipe hutan. Di tipe hutan MSF (2 lokasi) masing-masing 39,0 cm, di LPF (3 lokasi) masing-masing 34,3 cm, 23,7 cm dan 24 cm, dan di TIF (1 lokasi) 150 cm (Rieley et al. 1996, Shepherd et al. 1997). Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada gambut ombrogen ini diantaranya Tristania spp, Eugenia spp, Tetramerista glabra, Dactylocladus stenostachys, Diospyros spp dan Myristica spp. Iklim Iklim di Pulau Kalimantan adalah ikilim hujan tropis, memiliki delapan bulan basah dan tidak memiliki bulan kering yang nyata. Jumlah hujan pada bulan kering lebih dari 60 mm (BKSDA 2006). Berdasarkan tipe klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson, kawasan ini termasuk dalam tipe A. Musim hujan dimulai dari bulan Oktober sampai dengan April, dan musim kemarau dari bulan Mei sampai dengan September. Curah hujan tahunan mencapai 2.600 mm dengan curah hujan bulanan bervariasi dari 22-525 mm (CIMTROP 2003). Temperatur udara di LAHG rata-rata 27,2ºC dengan kisaran 23,1ºC-34,7ºC diareal terbuka
18 (basecamp LAHG) dan temperatur udara di dalam hutan rata-rata 25,6ºC dengan kisaran 23,0ºC-29,6ºC (Rieley et al. 1996). Potensi Flora dan Fauna Taman Nasional Sebangau memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna yang tinggi, meliputi 166 jenis flora, 116 jenis burung, 35 jenis mammalia dan 36 jenis ikan, serta merupakan habitat orang utan (Pongo pygmaeus) dengan kelimpahan populasi sebanyak kurang lebih 6.200 ekor (Drasospolino 2004). Jenis flora yang terdapat di kawasan ini diantaranya adalah ramin (Gonystylus
bancanus),
jelutung
(Dyera
costulata),
balangeran
(Shorea
balangeran), bintangur (Calophyllum sclerophyllum), jinjit (Calophyllum canum), meranti (Shorea sp.), nyatoh (Palaquium sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), agathis (Agathis sp.), menjalin (Xanthophyllum sp.), bengaris (Kompassia malaccensis), hangkang (Palaquium leiocarpum), tumih (Combretocarpus rotundatus), jambu-jambu (Eugenia sp.), galam tikus (Eugenia spicata), manggismanggis (Garcinia sp.), malam-malam (Diospyros pseudomalabarica dan D. siamang), medang (Ixora sp.), kenari (Blumeodendron tokbrai), mahang kerume (Ternstroemia magnifica), Lithocarpus dasystachys, milas merah (Xanthophyllum amoenum), kopi-kopi (Randia sp.), kajalaki (Aglaia rubiginosa), Parastemon sp., Polyalthia sp., Neoscortechinia kingii, Litsea sp., jangkang putih (Xylopia fusca), kambasira (Aromadendron nutans), mendarahan merah (Horsfieldia crassifolia), Cotylelobium
lanceotlatum,
karipak
(Lisania
splendens),
terantang
(Camnosperma coriaceum), rembangun (Tetractomia tetrandra), pampaning (Castanopsis foxworthyii), Gymnostoma sumatrana, tebaras (Ilex hypoglauca), Palaquium pseudorostratum, punak (Tetrameristra glabra) dan galam tikus merah (Syzygium remotifolium) (Shepherd et al. 1997 dan BKSDA 2006). Jenis mamalia yang terdapat dikawasan ini adalah tupai (Tupaia minor), ingkar (Tarsius bancanus), kukang (Nycticebus coucang), kelasi (Presbytis rubicunda), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk/buhis (Macaca nemestrina), owa/kalawet (Hylobates agilis albibarbis), orang utan (Pongo pygmaeus), beruang madu (Healrctos malayanus), kucing hutan (Niverra tangalunga), babi hutan (Sus barbatus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus atheroides), kancil (Tragulus javanicus), dan macan dahan (Neofelis nebulosa). Jenis reptil antara lain sanca (Python reticulatus), ular air (Homalopsis buccata), ular pipa berekor merah (Cylindrophis rufus), kobra (Naja sumatrana), ular hijau
19 (Ahaetulla prasina), ular coklat malaya (Xenelaphis hexagonatus), cecak terbang (Draco sp.), biawak (Varanus salvator), kura-kura kotak (Cuora amboinensis) dan kura-kura berduri (Heosemys spinosa). Jenis burung antara lain pecuk ular (Anhinga melanogaster), cangak laut (Ardea sumatrana), cangak merah (Ardea purpurea), elang hitam (Ictinaetus malayensis), pergam (Ducula bicolor), enggang berjambul putih (Aceros comatus), enggang gunung (A. undulatus), enggang gading (Buceros vigil), enggang badak (Buceros rhinoceros), bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus), layang-layang api (Hirundo rustica) dan layanglayang bulu (H. tahitica) (Page et al. 1997 dan BKSDA 2006). Pencapaian ke Lokasi Taman Nasional Sebangau berjarak kurang lebih 20 km arah selatan dari Kota Palangkaraya, tepatnya di Kelurahan Kereng Bangkirai Kecamatan Sabangau. Sarana transportasi dari Kereng Bangkirai ke Laboratorium Alam Hutan Gambut CIMTROP Universitas Palangkaraya, masih menggunakan transportasi laut (speed boat dan kelotok). Profil Kelurahan Kereng Bangkirai Kelurahan Kereng Bangkirai Kecamatan Sabangau Kota palangkaraya, secara geografis terletak 020 16 LS dan 1130 56’ BT.
Secara administratif
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: - sebelah utara dengan
: Kelurahan Menteng,
- sebelah selatan dengan
: Laut,
- sebelah timur dengan
: Kelurahan Sabaru, dan
- sebelah barat dengan
: Kabupaten Katingan.
Luas wilayah 39.442,8 km2 dengan jumlah penduduk 4.246 jiwa (1063 KK), yang dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu penduduk asli yang terdiri dari suku Dayak Ngaju, Bakumpai dan Ma anyan, dan penduduk pendatang yang terdiri dari suku Jawa, Banjar,Madura, Bugis dan Sunda. Mata pencaharian penduduk terdiri atas buruh/swasta 586 orang,
PNS 239 orang pengrajin 2
orang, pedagang 119 orang, penjahit 6 orang, tukang batu 15 orang, tukang kayu 30 orang, peternak 11 orang dan TNI/Polri 17 orang (Disnaker 2005). Selain pekerjaan utama, penduduk juga memiliki pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan didominasi oleh pekerjaan sebagai nelayan, berkebun, pencari hasil hutan dan tukang ojek. Pekerjaan sampingan ini dilakukan setelah selesai melakukan pekerjaan utama mereka. Hal ini terjadi karena memilki satu
20 pekerjaan saja tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.
MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi Penelitian Tempat dan Waktu Sebelum melaksanakan penelitian telah dilakukan observasi lapangan dan survei awal pada bulan Oktober 2004. Pengambilan data di Laboratorium Alam Hutan Gambut CIMTROP (Centre For International Co-Operation In Management of Tropical Peatland) Universitas Palangkaraya, Taman Nasional Sebangau, Propinsi Kalimantan Tengah (Gambar 6), dilakukan mulai dari bulan Juli sampai dengan Oktober 2005.
Gambar 6 Laboratorium Alam Hutan Gambut CIMTROP Universitas Palangkaraya (CIMTROP 2000) Alat dan Bahan Alat yang digunakan meliputi: pita ukur, jangka sorong, alat suntik, timbangan, binokuler, kamera, jam, kompas, GPS (Global Positioning System), peta lokasi, meteran, kertas millimeter dan lembar pengamatan. Bahan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kalawet (Hylobates agilis albibarbis) dan vegetasi yang ada di habitatnya. Untuk analisis morfologi digunakan obat bius ketamin hidroklorida.
22 Metode Penelitian Penelitian ini diawali dengan observasi lapangan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan lokasi penelitian dan keberadaan kelompok kalawet dari masyarakat setempat. Setelah dilakukan survei awal ke lokasi yang telah ditentukan, selanjutnya dilakukan pengamatan untuk pengambilan data pada jalur yang telah ada. Pengamatan dilakukan setiap hari, mulai pukul 04.30-08.00 WIB dan siang hari sampai pukul 11.00-13.30. Pada waktu tersebut, diasumsikan kalawet sedang aktif bersuara, mencari makan dan melakukan aktivitas lainnya. Apabila cuaca tidak memungkinkan (berkabut dan hujan), survei ditunda pada keesokan harinya. Peubah yang diamati dalam penelitian ini untuk morfologi (pengamatan kualitatif dan kuantitatif) dan untuk ekologi mencakup populasi (komposisi kelompok, ukuran kelompok, kepadatan populasi),
habitat (tipe habitat, profil
habitat, penggunaan strata vegetasi, sumber pakan) dan aktivitas masyarakat sekitar Taman Nasional. Cara Pengumpulan Data Morfologi Pengamatan morfologi ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap kalawet yang dipelihara oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian. Sebelum
pengamatan,
kalawet
dibius
dengan
cara
disuntik
dengan
menggunakan suntikan berobat bius (ketamin hidroklorida 1 ml/ 10 kg bobot badan). Pengamatan secara kualitatif meliputi perbedaan jenis kelamin, pola sebaran warna bulu pada seluruh tubuh (kepala, wajah, alis, dagu, punggung, lengan dan kaki), dan tingkatan umur.
Untuk menentukan tingkatan umur,
dilakukan pengamatan pada gigi kalawet tanpa memperhatikan keausannya. Kalawet dengan gigi permanen lengkap ditetapkan dewasa. Pengamatan secara kuantitatif meliputi pengukuran bobot tubuh kalawet dengan menggunakan alat timbang badan. Pengukuran bagian-bagian tubuh lainnya menggunakan jangka sorong dan pita ukur sampai 0,1 mm pengukuran terkecilnya. Bagian-bagian tubuh yang diukur mengikuti pengukuran yang biasa dilakukan oleh Hamada et al. (1995) (Gambar 7). Hasil pengukuran yang digunakan dalam analisis sebanyak 11 karakter (Tabel 2). Sampel yang didapat
23 terdiri atas jantan dewasa 12 ekor, jantan remaja 5 ekor dan betina dewasa 5 ekor. Tabel 2 Pengukuran bagian-bagian tubuh kalawet
Bagian tubuh yang diukur (cm)
Cara Mengukur
Tinggi kepala (TK)
Tinggi dari ujung kepala – ujung dagu
Panjang leher (PL)
Panjang dari ruas tulang leher pertama sampai terakhir
Panjang badan (PB)
Panjang dari pangkal tulang dada–tonjolan tulang diatas alat kelamin
Lingkar dada (LD)
Lingkar tengah-tengah tulang dada sejajar puting susu
Panjang humerus (PH)
Panjang dari pangkal tulang humerus– ujungnya (tulang tangan atas)
Panjang radius ulna (PRU)
Panjang dari pangkal radius/siku–ujungnya /pergelangan tangan (tulang tangan bawah)
Panjang Telapak Tangan (PTT) Ujung ruas ketiga jari tengah sampai pergelangan tangan Panjang femur (PF)
Panjang dari pangkal tulang paha – ujungnya /persendian lutut
Panjang tibia fibula (PTF)
Panjang dari pangkal tulang tibia/persendian lutut – ujungnya/pergelangan kaki (tulang kaki bawah)
Panjang telapak kaki (PTK)
Ujung jari kaki sampai pergelangan kaki
Bobot badan (kg)
Timbang bobot badan
24
PRU PTT
PL PH LD PB
TK
PF PTF PTK Gambar 7 Bagian tubuh kalawet yang diukur (Hamada et al. 1995) Peubah yang diukur dianalisis menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) menurut Gaspersz (1992) dengan model sebagai berikut: Yp = a1pX1 + a2pX2 + a3pX3......+ a10pX10 Keterangan: Yp = komponen utama ke-p, a1p, a2p…….a14p = vektor ciri (koefisien pembobot komponen utama), X1 = tinggi kepala, X2 = panjang leher, X3 = panjang badan, X4 = lingkar dadar, X5 = panjang humerus, X6 = panjang radius ulna, X7 = panjang telapak tangan, X8 = tinggi femur, X9 = panjang tibia fibula, dan X10 = panjang telapak kaki.
25 Uji-t dilakukan terhadap peubah-peubah antara jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa dengan tujuan memperoleh kesimpulan mengenai perbedaan dari rata-rata peubah antara jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa. Adapun rumus uji-t menurut Gaspersz (1992) sebagai berikut: X1 – X2 Uji-t diperoleh dengan rumus: t = S√(1/n1 + 1/n2) Keterangan: X1 X2 n1 n2 S
= rerata kelompok pertama, = rerata kelompok kedua, = jumlah kelompok pertama, = jumlah kelompok kedua, dan = galat baku.
Dua komponen utama yang mempunyai nilai keragaman tertinggi digunakan sebagai persamaan ukuran dan bentuk. Korelasi antara ukuran dan bentuk dari masing-masing peubah dihitung berdasarkan rumus (Gaspersz 1992): aij√λj rxiyj = ----------Si Keterangan: rxiyj = aij λj Si
= = =
korelasi antara peubah-peubah xi dan komponen utama ke-j (j = 1,2,3,....10), vektor Eigen/Vektor ciri ke-j, Nilai Eigen/Akar ciri ke-j, dan simpangan baku dari peubah xi
Pengukuran bagian-bagian tubuh kalawet (Hylobates a.albibarbis) dianalisis secara deskriptif meliputi rerata, nilai maksimum, simpangan baku dan koefisien keragaman. Model statistik yang digunakan untuk menghitung rerata dan simpangan baku menurut Mattjik dan Sumertajaya (2000) sebagai berikut :
1 n x = ∑ xi n 1= n Keterangan:
x = nilai, n = jumlah contoh, dan xi = anggota contoh.
26
s= Keterangan:
1 n ∑ ( xi − x) n − 1 i −1
s = simpangan baku, n = jumlah contoh, xi = anggota contoh, dan x = nilai tengah contoh.
Masing-masing ukuran tubuh kalawet dihitung koefisien keragamannya. Model matematika yang digunakan untuk menghitung koefisien keragaman menurut Steel and Torrie (1995):
s ΚΚ = ×100% x Keterangan:
ΚΚ = koefisien keragaman, s = simpangan baku, dan x = nilai tengah contoh.
Data ukuran dan bentuk diolah dengan bantuan Minitab versi 14 dan dianalisis secara deskriptif. Ekologi Populasi Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode garis transek (line transect method), yang dilakukan sebanyak sepuluh
kali
pengulangan di tiga jalur yang telah ditentukan. Panjang transek untuk ketiga jalur masing-masing 2 km (jalur T0, T1A dan T2), dengan lebar transek 100 m (50 m kiri dan 50 m kanan) (Gambar 8). Dalam pelaksanaan metode ini peneliti berjalan sepanjang garis transek secara perlahan-lahan dengan kecepatan 1 km/jam, dan apabila dilihat kelompok kalawet pengamat berhenti selama 10 menit untuk melakukan pencatatan pada lembar pengamatan. Selama pengamatan, dilakukan pencatatan: waktu kalawet terlihat pertama, jarak peneliti dengan kalawet, lokasi (nomor transek), tempat kalawet berada waktu pertama kali terlihat (di pohon dan perkiraan tingkat kanopi), jumlah kelompok, jumlah individu, dan kelompok umur. Batasan peubah-peubah yang diamati dirinci sebagai berikut ini:
27 1. Komposisi Kelompok Data komposisi kelompok ditentukan dengan mengidentifikasi setiap anggota kelompok ke dalam beberapa kelompok umur, yaitu a) bayi (infant): berumur 0-2 tahun. Masih menyusui dan dirawat oleh induknya selama kurang lebih setahun, dan kemanapun induknya pergi, bayi akan selalu dibawa/digendong dengan cara diletakkan pada bagian depan perut; b) anak (Juvenile): berumur 2-4 tahun, berbadan kecil dan berjalan sendiri tapi cenderung dekat dengan induknya. Kelompok umur ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain; c) remaja (Sub-adult): berumur diatas 4 tahun, hampir sama dengan dewasa tetapi belum matang seksual dan masih tetap tinggal dalam kelompok; d) dewasa (Adult): dicirikan dengan pertumbuhan tubuh yang optimal dan kematangangan reproduksi. 2. Ukuran kelompok Data ukuran kelompok diperoleh dengan menghitung semua anggota dalam satu kelompok yang ditemui selama sensus dilakukan. 3. Kepadatan populasi Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu yang ditemui selama sensus. Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang, yang pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit atau volume. Penghitungan kepadatan populasi dengan menggunakan rumus (Subcommittee on Conservation of Natural Populations 1981): P = D x A, dengan keterangan: P = D = A =
populasi kepadatan populasi areal yang dihuni
Kepadatan populasi dapat diperoleh dengan menghitung jumlah individu yang diidentifikasi dan membaginya dengan luas areal penelitian, sebagai berikut: Jumlah individu teridentifikasi D = -----------------------------------------Total areal penelitian
28
Gambar 8 Sketsa transek pengamatan (CIMTROP 2002) Tipe Habitat Untuk tipe habitat dilakukan observasi lapangan untuk menentukan kawasan hutan yang tergolong hutan primer dan hutan sekunder. Kriteria penggolongan didasarkan pada vegetasi yang ada dan kondisi hutan. Kawasan hutan yang digolongkan sebagai hutan sekunder adalah hutan yang sudah terganggu oleh aktivitas manusia berupa penebangan, perkebunan dan perladangan yang letaknya berada di sekitar pemukiman penduduk, selain itu di hutan sekunder masih banyak di jumpai pohon dalam taraf pertumbuhan dan adanya semak belukar. Sebaliknya hutan primer tidak dijumpai lagi pohon dalam taraf pertumbuhan maupun semak belukar. Hutan primer merupakan kawasan hutan yang relatif jauh dari pemukiman, sehingga belum terganggu oleh aktivitas manusia. Profil Habitat Untuk pengamatan diagram profil habitat dibuat masing-masing satu plot pada ketiga jalur dengan ukuran 10x100 m yang merupakan daerah tempat makan dan pohon tidur kalawet, dengan mengidentifikasi semua pohon yang mempunyai DBH ≥ 12 cm.
Pohon yang tidak diketahui nama lokal maupun
latinnya, diambil daunnya untuk diidentifikasi di unit herbarium CIMPTROP
29 Palangkaraya dan Herbarium Bogoriense LIPI, Bogor.
Pengambilan data
dilakukan dengan mencatat jenis pohon, tinggi pohon, tinggi dan lebar tajuk, diameter pohon dan posisi pohon. Selanjutnya berdasarkan data-data tersebut, dibuat gambar profil vegetasi dengan menggunakan Program Corel Draw 12. Stratum Vegetasi Pengamatan ini dilakukan untuk mendapatkan karakteristik serta hubungan antara habitat dan populasi kalawet. Pengamatan difokuskan pada pemanfaatan strata/tajuk pohon oleh kalawet dalam melakukan aktivitas. Pengamatan pemanfaatan stratum ini dilakukan bersamaan dengan survei populasi, dengan mencatat selang ketinggian di atas pohon, yang digunakan oleh kalawet saat terlihat pertama kali. Dalam menentukan tinggi pohon dengan menggunakan alat bantu berupa kayu yang panjangnya 5 m. Adapun pemanfaatan stratum vegetasi dibagi menjadi 5 yaitu 1) Stratum A dengan ketinggian di atas 25 m, merupakan lapisan teratas yang mempunyai batang pohon tinggi dan tegak lurus, 2)
Stratum B dengan ketinggian 15-25 m, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi serta mempunyai banyak cabang,
3) Stratum C dengan ketinggian 10-14 m, yang terdiri dari pohon-pohon kecil, rendah dan banyak cabang, 4) Stratum D dengan ketinggian di atas lantai 1- 9 m, merupakan tanaman perdu dan semak-semak, 5) Stratum E merupakan lantai hutan dan lapisan penutup tanah. Sumber dan Jenis Pakan Pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan survei populasi. Saat kalawet terlihat sedang makan, kemudian dicatat jenis dan bagian pohon yang dimakan di lembar borang pengamatan. Disamping pengamatan langsung, jenis pohon pakan yang dimakan oleh kalawet yang diketahui melalui informasi masyarakat yang mempunyai akses ke hutan dan enumerator. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah dan jenis pohon (Ficus dan Nonficus) serta bagian bagian pohon yang dimakan (bunga, buah, daun dan getah), yang dilakukan secara kualitatif.
30 Survei Aktivitas Masyarakat Survei ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan hutan, sikap (attitude) terhadap kalawet serta tanggapan atas kegiatan konservasi, yang dilakukan dengan metode wawancara. Wawancara ini dirancang dalam bentuk borang wawancara untuk mendapatkan jawaban secara terbuka, dan ditujukan kepada masyarakat kelurahan kereng bangkirai yang berbatasan dengan kawasan LAHG Taman Nasional Sebangau. Seleksi responden berdasarkan pendidikan, pekerjaan, umur, dan terutama mereka yang berhubungan langsung dengan kalawet dan hutan. Jumlah responden yang di wawancarai 60 orang (5,64%).
Survei ini
ditambahkan dengan data sekunder dari kepala desa, kecamatan, kelompok masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil data survei disajikan dalam bentuk diagram dan kemudian dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Sifat Kualitatif Karakteristik suatu individu dapat dicirikan melalui ciri morfologi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Ciri kualitatif lebih didasarkan dari penampilan luar tubuh kalawet sedangkan ciri kuantitatif didasarkan pada pengukuran komponen-komponen tubuh kalawet. Deskripsi morfologi eksternal kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Deskripsi morfologi eksternal kalawet Kalawet Bagian Tubuh
Jantan dewasa
Jantan remaja
Betina dewasa
Kepala
Hitam
Hitam
Hitam
Wajah
Hitam
Hitam
Hitam
Alis
Putih
Putih
Putih
Dagu
Hitam
Hitam
Hitam
Punggung
Coklat muda, coklat tua
Coklat muda
Coklat muda
Dada
Coklat tua
Coklat muda
Coklat tua
Perut
Coklat tua
Coklat muda
Coklat tua
Tangan
Coklat tua
Coklat muda
Coklat muda
Jari tangan
Hitam
Hitam
Hitam
Kaki
Coklat tua
Coklat tua
Coklat tua
Jari kaki
Hitam
Hitam
Hitam
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa variasi warna rambut tubuh pada kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa sangat beragam yaitu hitam, putih, coklat muda dan coklat tua. Warna hitam didapatkan di bagian kepala, wajah, dagu, jari tangan dan jari kaki, sedangkan warna putih ditemukan pada alis.
Warna coklat muda dan coklat tua didapatkan di bagian punggung,
dada, perut, tangan dan kaki. Pola warna rambut baik pada tubuh kalawet jantan dan betina mulai dari usia anak sampai dewasa akan mengalami perubahan. Profil kalawet jantan remaja, jantan dewasa, betina remaja dan betina dewasa dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil pengamatan ini sejalan dengan GCC (2004)
32 bahwa didapatkan variasi warna pada tubuh H.agilis Kalimantan
mulai dari
coklat muda sampai coklat tua dan bagian perut warnanya lebih gelap daripada bagian punggungnya.
Kalawet jantan remaja
Kalawet betina remaja
Kalawet jantan dewasa
Kalawet betina dewasa
Gambar 9 Profil kalawet (Hylobates agilis albibarbis) (Duma 2007) Tampak pada gambar diatas perbedaan yang sangat nyata antara kalawet jantan dan betina adalah pada jantan dewasa
mempunyai garis
lengkungan putih (jambang) yang lebih jelas disekeliling wajahnya dan pada kalawet betina garis lengkungan putih ini akan berangsur hilang setelah dewasa. Tetapi di lapangan, sangat sulit untuk membedakan antara kalawet jantan dan betina hanya berdasarkan warna rambutnya saja. Sifat Kuantitatif Ukuran Tubuh Kalawet Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman (KK) ukuran tubuh kalawet jantan dewasa dan jantan remaja disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, kalawet jantan dewasa memiliki rerata tinggi kepala, panjang badan, panjang radius ulna, panjang telapak tangan, panjang tibia fibula, panjang
33 telapak kaki dan bobot badan (kg) lebih besar daripada kalawet jantan remaja, tetapi berdasarkan hasil uji-t tidak memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan hasil uji-t rerata panjang leher, lingkar dada, panjang humerus dan panjang femur pada kalawet jantan dewasa berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih besar dibanding kalawet jantan remaja. Panjang leher, lingkar dada, panjang humerus dan panjang femur merupakan peubah yang memberikan sumbangan besar terhadap ukuran tubuh untuk pertumbuhan. Tabel 4 Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman (KK) ukuran kalawet jantan dewasa dan jantan remaja Jantan dewasa (n=12) Jantan Remaja (n=5) Rerata±SD Rerata±SD Peubah KK KK (cm) (%) (cm) (%) 7,2±1,0 6,5±0,8 Tinggi kepala 13,7 12,2 5,2±1,2a 3,8±0,3b Panjang leher 22,3 7,2 30,4±3,0 27,2±2,5 Panjang badan 10,0 9,2 34,3±3,1a 29,1±2,4b Lingkar dada 8,9 8,1 a 20,9±1,6 17,4±1,5b Panjang humerus 7,5 8,7 20,4±3,0 21,5±3,9 Panjang radius ulna 14,5 18,3 14,5±1,1 12,1±1,3 Panjang telapak tangan 7,8 10,7 18,6±2,6a 15,1± 0,7b Panjang femur 13,9 4,3 Panjang tibia fibula 15,5±2,1 13,9±1,7 13,3 12,3 12,3±2,0 9,9±2,3 Panjang telapak kaki 16,2 23,3 4,0±1,0 3,1± 0,5 Bobot badan (kg) 26,1 14,5 Keterangan ; huruf superskrip kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01).
Panjang leher dan lingkar dada yang besar bagi kalawet terutama terkait dengan kemampuan kalawet dalam bersuara. Panjang leher mempengaruhi volume suara dan lingkar dada berhubungan dengan besar kecilnya kantong udara. Lingkar dada yang besar memungkinkan paru-paru menyimpan udara yang diperlukan dalam bersuara, meskipun saat bersuara kantung udara kecil tetapi mempunyai peranan penting dalam mengeluarkan suara dengan frekuensi tinggi. Supriatna dan Wahyono (2000) menambahkan bahwa Hylobates memiliki kantung udara yang berperan dalam vokalisasi. Panjang humerus memiliki peranan yang penting bagi kalawet dalam melakukan brakhiasi di tajuk-tajuk pohon. Menurut Napier dan Napier (1967) bahwa struktur tangan dan jari yang panjang memungkinkan bagi Hylobates untuk menjangkau dahan yang jauh dan efisien dalam pergerakan di antara tajuk-tajuk pohon di dalam hutan. Nilai koefisien keragaman panjang leher, lingkar dada, panjang humerus dan panjang femur kalawet jantan dewasa dalam penelitian ini masih cukup
34 tinggi berkisar dari 7,5%-22,3%, sedangkan untuk kalawet jantan remaja koefisien keragaman berkisar antara 4,3%-8,7%. Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman (KK) ukuran tubuh kalawet jantan dewasa dan jantan remaja disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman (KK) ukuran kalawet jantan dewasa dan betina dewasa Jantan dewasa (n=12) Betina Dewasa (n=5) Rerata±SD Rerata±SD Peubah KK KK (cm) (%) (cm) (%) 7,2±1,0 8,0±1,5 13,7 18,8 Tinggi kepala 5,2±1,2 6,0±1,2 22,3 19,5 Panjang leher 30,±3,0a 26,7±1,7b 10,0 6,4 Panjang badan 34,3±3,1 35,3±1,4 8,9 4,0 Lingkar dada 20,9±1,6 21,1± 2,1 7,5 10,1 Panjang humerus 20,4±3,0 19,1±3,6 14,5 18,8 Panjang radius ulna 14,5±1,1 14,4±1,2 7,8 8,3 Panjang telapak tangan 18,6±2,6 17,8±0,8 13,9 4,7 Panjang femur 15,5±2,1 14,1±1,9 13,3 13,8 Panjang tibia fibula 12,3±2,0 12,1±1,3 16,2 11,1 Panjang telapak kaki 4,0±1,0 3,9±0,7 26,1 18,9 Bobot badan (kg) Keterangan ; huruf superskrip kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01).
Berdasarkan Tabel 5, antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa memiliki perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada panjang badan. Kalawet jantan mempunyai ukuran badan yang lebih panjang daripada kalawet betina sehingga bentuk badannya lebih ramping. Kalawet betina memiliki ukuran lingkar dada yang lebih lebar dibanding kalawet jantan dikarenakan kalawet betina memiliki glandula mamae yang berfungsi untuk menyusui anaknya, sehingga ukuran/panjang badannya lebih pendek dibanding kalawet jantan dewasa. Koefisien keragaman untuk panjang badan kalawet jantan dewasa adalah 10% dan kalawet betina dewasa 6,4%. Hasil Analisis Komponen Utama Perbedaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dan betina dapat terlihat dengan melakukan analisis konformasi tubuh satwa. Umumnya dengan melakukan Analisis Komponen Utama (AKU). Analisis komponen utama (AKU), merupakan salah satu metode multivariasi yang sering digunakan untuk membandingkan susunan tubuh, meliputi ukuran dan bentuk tubuh. Melalui AKU dapat dibedakan karakteristik tiap hewan yang merupakan ciri khas dari hewan tersebut. Variabel yang mempunyai nilai Eigen yang besar dari suatu persamaan ukuran (PC1) dan bentuk tubuh (PC2), dijadikan sebagai penciri ukuran dan
35 bentuk kalawet karena memiliki kontribusi yang besar pada persamaan tersebut. Perbandingan penciri utama ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Perbandingan penciri utama ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada kalawet jantan dan betina Kalawet
Jantan Dewasa
Jantan Remaja Betina Dewasa
Penciri Ukuran Tubuh Panjang badan (0,503) Lingkar dada (0,539) Panjang radius ulna (0,854) Panjang tibia fibula (0,355) Panjang humerus (0,438) Panjang radius ulna (0,745)
Koefisien Korelasi 0,848 0,903 0,398 0,458 0,933 0,942
Penciri Bentuk Tubuh Panjang radius ulna (0,755) Panjang tibia fibula (0,432) Panjang badan (0,624) Lingkar dada (0,540) Tinggi kepala (0,472) Panjang radius ulna (-0,452)
Berdasarkan Tabel 6, panjang badan dan lingkar dada
Koefisien Korelasi 0,749 0,616 0,594 0,929 0,787 -0,314 merupakan
penciri utama ukuran tubuh kalawet jantan dewasa dengan nilai Eigen terbesar berturut-turut sebesar 0,503 dan 0,539. Panjang badan dan lingkar dada berkontribusi besar terhadap skor ukuran tubuh dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,903 dan 0,848. Hal ini menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara panjang badan dan lingkar dada dengan ukuran tubuh positif, sehingga pada kalawet jantan dewasa semakin besar panjang badan dan lingkar dada maka ukuran tubuhnya semakin besar. Panjang radius ulna dan panjang tibia fibula dengan nilai Eigen, sebesar 0,755 dan 0,432 merupakan penciri utama bentuk tubuh kalawet jantan dewasa. Panjang radius ulna dan panjang tibia fibula berkontribusi besar terhadap skor bentuk tubuh dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,749 dan 0,616. Korelasi antara panjang radius ulna dan panjang tibia fibula pada kalawet jantan dewasa memiliki pola hubungan positif. Artinya semakin besar panjang radius ulna dan panjang tibia fibula maka semakin besar skor untuk bentuk tubuh atau sebaliknya. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dewasa memiliki keragaman total masing-masing sebesar 54,4% dan 17,8% dengan nilai Eigen berturut-turut sebesar 26,228 dan 8,597. Keragaman kumulatif dari komponen
36 utama pertama (ukuran tubuh) dan komponen kedua (bentuk tubuh) kalawet jantan dewasa sebesar 72,2%. Ini berarti bahwa sebesar 72,2% keragaman data kalawet jantan dewasa dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Penciri utama ukuran tubuh kalawet jantan remaja adalah panjang radius ulna dan panjang tibia fibula dengan nilai Eigen berturut-turut sebesar 0,854 dan 0,355 (Tabel 6). Panjang radius ulna dan panjang tibia fibula memiliki kontribusi besar terhadap skor ukuran tubuh dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,398 dan 0,458. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara panjang radius ulna dan panjang tibia fibula memilki pola hubungan positif, sehingga semakin besar panjang radius ulna dan panjang tibia fibula maka ukuran tubuh kalawet jantan remaja semakin besar. Panjang badan dan lingkar dada dengan nilai Eigen 0,642 dan 0,540 merupakan penciri utama bentuk tubuh kalawet jantan remaja. Panjang badan dan lingkar dada berkontribusi besar terhadap skor bentuk tubuh dengan nilai koefisien korelasi masing-masing 0,594 dan 0,929.
Korelasi antara panjang
badan dan lingkar dada pada kalawet jantan remaja memiliki pola hubungan positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar panjang badan dan lingkar dada maka semakin besar pula skor bentuk tubuhnya dan sebaliknya. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan remaja memiliki keragaman total masing-masing sebesar 47,9% dan 34,4% sedangkan nilai Eigen berturut-turut sebesar 19,483 dan 14,005. Keragaman kumulatif pada komponen I (ukuran tubuh) dan komponen II (bentuk tubuh) sebesar 82,3%. Ini berarti sebesar 82,3% keragaman data kalawet jantan remaja dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Penciri utama ukuran tubuh kalawet betina adalah panjang humerus dan panjang radius ulna
dengan nilai Eigen berturut-turut sebesar 0,438 dan 0,745
(Tabel 6). Panjang humerus dan panjang radius ulna memiliki kontribusi besar terhadap skor ukuran tubuh dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,933 dan 94,2. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara panjang humerus dan panjang radius ulna memilki pola hubungan positif, sehingga semakin besar panjang humerus dan panjang radius ulna maka ukuran tubuh kalawet betina dewasa semakin besar. Tinggi kepala dan panjang radius ulna dengan nilai Eigen 0,472 dan 0,452 merupakan penciri utama bentuk tubuh kalawet betina dewasa. Tinggi kepala dan panjang radius ulna berkontribusi besar terhadap skor bentuk tubuh
37 dengan nilai koefisien korelasi masing-masing 0,787 dan -0,314. Korelasi antara tinggi kepala dan panjang radius ulna pada kalawet betina memiliki pola hubungan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ukuran panjang radius ulna maka skor bentuk tubuh semakin menurun sebesar -0,314. Namun untuk korelasi antara tinggi kepala dan skor bentuk tubuh memberikan kontribusi positif yang berarti semakin besar tinggi kepala maka semakin besar pula skor bentuk tubuhnya dan sebaliknya. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet betina memiliki keragaman total masing-masing sebesar 61,3% dan 18,5% sedangkan nilai Eigen berturutturut sebesar 20,678 dan 6,243. Keragaman kumulatif pada komponen I (ukuran tubuh) dan komponen II (bentuk tubuh) sebesar 79,8%. Ini berarti sebesar 79,8% keragaman data kalawet betina dewasa dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Perbandingan ukuran dan bentuk kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina Perbandingan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dewasa, jantan
Komponen Utama II (Vetor bentuk)
remaja dan betina dewasa disajikan pada Gambar 10. Keterangan : ● = Kalawet Jantan Dewasa
45
■ = Kalawet Jantan Remaja
40
Ò =
Kalawet Betina Dewasa
35 30 25 20 15 30
35 40 45 50 Ko mpone n Ut a ma I (V e kt or Ukur a n)
55
Gambar 10 Diagram ukuran dan bentuk tubuh kalawet Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa kalawet jantan dewasa dan betina dewasa memiliki ukuran tubuh yang sama dibandingkan dengan kalawet jantan remaja. Namun ada satu kalawet jantan remaja yang memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan kalawet jantan dewasa. Keadaan ini ditunjukkan dengan wilayah jantan remaja yang tumpang tindih dengan kalawet jantan dewasa. Pada kalawet jantan dewasa panjang badan dan lingkar dada lebih mewakili volume
38 tubuh sedangkan kalawet jantan remaja hanya pada bagian panjang radius ulna dan panjang tibia fibula, demikian pula pada kalawet betina dewasa penciri ukuran tubuh yaitu hanya pada bagian lengan (panjang humerus dan panjang radius ulna). Dari segi bentuk tubuh antara kalawet jantan dewasa dan jantan remaja hampir sama, sedangkan antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa memiliki perbedaan. Kalawet jantan dewasa dan jantan remaja lebih besar dibanding kalawet betina. Tubuh kalawet jantan dewasa lebih panjang sehingga bentuknya lebih ramping, sedangkan kalawet betina memiliki bentuk tubuh yang lebih kompak dengan lingkar dada yang besar dan bobot badannya lebih berat sehingga kelihatan lebih gemuk dibandingkan dengan kalawet jantan dewasa dan jantan remaja. Adanya perbedaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa juga dapat disebabkan oleh hormon kelamin yang dimiliki jantan dan betina. Menurut Edey (1983) bahwa pada jantan bekerja hormon testosteron yang berfungsi untuk meningkatkan pembentukan protein jaringan tubuh dan merangsang adanya pembesaran tulang. Hal ini yang menyebabkan sehingga bertambahnya ukuran-ukuran tubuh pada kalawet jantan lebih tinggi dibanding kalawet betina. Populasi Komposisi Kelompok Kelompok kalawet merupakan bentuk parental family
atau sistem
keluarga dan bersifat monogami sejati. Dalam komposisi kelompok yang lengkap terdiri dari satu jantan dewasa, satu betina dewasa, satu remaja dan satu anak. Tetapi pada kelompok tertentu dapat dijumpai sepasang jantan dan betina dewasa dengan satu anak dan ada juga yang hanya terdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa. Berdasarkan hasil pengamatan di ketiga jalur penelitian dijumpai komposisi kelompok yang berbeda-beda. Secara umum kelompok kalawet yang lengkap yang terdiri dari satu jantan desawa, satu betina dewasa, satu remaja dan satu anak memiliki persentase 26,67% (1:1:1:1). Kelompok yang terdiri dari satu jantan dewasa, satu betina dewasa dan satu anak memiliki persentase sebesar 53,33% (1:1:1:0) dan kelompok yang hanya terdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa memiliki persentase 20,00% (1:1:0:0). Perbandingan antara
39 umur masing-masing yaitu untuk jantan dewasa 32,61%, betina dewasa 32,61%, remaja 21,74% dan anak 13,04%. Jumlah kelompok kalawet yang dijumpai di jalur T0 ada 6 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri antara 3-4 individu (Tabel 7). Tabel 7 Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T0 Kelompok I II III IV V VI
Jantan 1 1 1 1 1 1
Betina 1 1 1 1 1 1
Remaja 1 1 1 1 0 0
Anak 0 1 0 1 1 1
Jumlah 3 4 3 4 3 3
Rata-rata Komposisi (%)
1,00 30,0
1,00 30,0
0,67 20,0
0,67 20,0
3,33 100,0
Tampak pada tabel 8 perbandingan antara jantan dewasa, betina dewasa, remaja dan anak adalah 1:1:0,67:0,67. Persentase pasangan yang memiliki satu individu anak sebesar 66,67% dan pasangan yang memiliki dua individu anak 33,33%. Berdasarkan data ini dapat diketahui bahwa kelompok kalawet di jalur T0 berpeluang mempunyai tingkat keberhasilan reproduksi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari seluruh kelompok yang dijumpai rata-rata memiliki anak dan juga dikarenakan kondisi habitat di jalur T0 masih sangat menunjang kebutuhan hidup kalawet khususnya ketersediaan sumber pakan yang cukup banyak. Napier dan Napier (1985) menambahkan bahwa jumlah individu dalam setiap kelompok (ukuran kelompok) pada suatu spesies satwa primata juga dipengaruhi oleh kelimpahan pakan. Komposisi kelompok kalawet yang cukup lengkap juga dijumpai di jalur T1A. Dari lima kelompok yang dapat diidentifikasi, terdapat satu kelompok yang hanya terdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa (20%). Hal ini diduga kelompok tersebut merupakan kelompok yang baru terbentuk sehingga masih memerlukan waktu untuk bereproduksi. Tiga kelompok dijumpai masing-masing memiliki satu individu anak (60%) dan satu kelompok lainnya lengkap memiliki dua individu anak pada kelas umur yang berbeda (20%). Komposisi kelompok yang lengkap ditunjukkan oleh kelompok IV (Tabel 8).
40 Tabel 8 Jumlah dan komposisi kelompok kalawet dijalur T1A Kelompok I II III IV V Rata-rata Komposisi (%)
Jantan 1 1 1 1 1 1,00 33,3
Betina 1 1 1 1 1 1,00 33,3
Remaja 0 1 1 1 0 0,80 26,7
Anak 0 0 0 1 1 0,20 6,7
Jumlah 2 3 3 4 3 3,00 100,0
Perbandingan antara jantan dewasa, betina dewasa, remaja dan anak adalah 1:1:0,80:0,20. Perbandingan komposisi antara betina dewasa dan anak adalah 33,3%:33,4%. Walaupun keadaan habitat di jalur T1A ini sudah terfragmentasi tetapi kemampuan reproduksinya masih baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase antara betina dewasa dan anak yaitu persentase anak sama dengan persentase betina dewasa. Disaat
menjelang
dewasa,
individu
remaja
akan
meninggalkan
kelompoknya untuk mencari pasangannya membentuk kelompok baru dan individu anak akan menjadi remaja, dan betina dewasa sudah dapat mengandung anak lagi, sehingga kelestarian populasi kalawet dapat terus terjaga. Perubahan ini merupakan suatu proses regenerasi yang baik dari suatu kelompok kalawet untuk tetap mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian spesiesnya.
Tetapi kondisi ini bisa saja terjadi apabila tidak ada
gangguan dari manusia terhadap habitat maupun satwanya secara langsung untuk diburu dijadikan hewan peliharaan dan diperjualbelikan. Jumlah dan komposisi kelompok kalawet yang paling rendah dijumpai di jalur T2 (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T2 Kelompok I II III IV
Jantan 1 1 1 1
Betina 1 1 1 1
Remaja 1 0 1 0
Anak 0 0 1 0
Jumlah 3 2 4 2
Rata-rata Komposisi (%)
1,00 36,4
1,00 36,4
0,50 18,2
0,25 9,1
2,75 100,0
Tabel 9 menunjukkan dari empat kelompok yang dijumpai, dua kelompok hanya terdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa (50%), satu kelompok yang hanya memiliki satu individu anak (25%) dan satu kelompok lengkap, terdiri
41 dari sepasang jantan dan betina dewasa, satu remaja dan satu anak (25%). Persentase perbandingan antara jantan dan betina dewasa, remaja dan anak adalah 1:1:0,50:0,25. Dua kelompok yang dijumpai hanya terdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa diduga merupakan kelompok kalawet yang baru terbentuk. Dengan melihat komposisi kelompok kalawet yang ada pada jalur T2 ini sangat mengkhawatirkan. Ini dapat dilihat dari persentase anak terhadap induk betina lebih kecil, disamping itu gangguan terhadap habitatnya cukup tinggi. Masyarakat masih sering melakukan penebangan pohon guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini tentu saja dapat menyebabkan berkurangnya jumlah pohon sebagai tempat aktifitas kalawet dalam melakukan pergerakannya dan mengurangi
ketersediaan
sumber
pakan,
yang
pada
akhirnya
akan
mempengaruhi kemampuan reproduksi. Nijman (2006) menambahkan bahwa pengaruh terhadap gangguan habitat akan sangat mempengaruhi kepadatan populasi. Dalam pengamatan di lapangan ini, tidak semua individu dalam tiap struktur umur khususnya remaja dan anak dapat dikenali jenis kelaminnya, sehingga adanya bias dalam penentuan rasio ini sangat mungkin terjadi. Ukuran Kelompok Ukuran kelompok menunjukkan banyaknya individu di dalam suatu kelompok. Ukuran kelompok kalawet yang dijumpai di ketiga jalur penelitian bervariasi antara 2-4 individu. Ukuran kelompok ini sama dengan ukuran kelompok Hylobates pada umumnya, yang terdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa dan dua individu anak pada umur yang berbeda. Ukuran kelompok kalawet yang dijumpai pada jalur T0 adalah sebesar 3,33 ekor/kelompok, lebih tinggi dibandingkan jalur T1A (3,0 ekor/kelompok) dan jalur T2 (2,75 ekor/kelompok) dengan rata-rata ukuran kelompok 3,03 ekor/kelompok. Besarnya ukuran kelompok yang didapatkan pada jalur T0 ini berhubungan dengan ketersediaan sumber pakan dan habitatnya yang cenderung masih lebih baik dibandingkan pada jalur T1A dan jalur T2. Ukuran kelompok yang diperoleh dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dari hasil penelitian yang didapatkan Buckley (2004) sebesar 3,4 ekor/kelompok di lokasi penelitian yang sama antara jalur T0 dan jalur T2 di tipe hutan gambut campuran (mixed swamp forest) LAHG Sebangau. Ukuran kelompok yang lebih
42 tinggi ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah anggota kelompok kalawet yang dijumpai oleh Buckley (2004) sebagian besar lebih dari empat individu. Sebelumnya telah pernah dilakukan penelitian terhadap anggota famili Hylobatidae lainnya pada H. syndactylus (siamang) dan H. agilis (ungko). Bashari (1999) mendapatkan ukuran kelompok siamang di kawasan hutan HTI. PT Musi Hutan Persada Sumatera Selatan rata-rata 2,9 ekor/kelompok. Apriadi (2001) juga mendapatkan ukuran kelompok ungko di HPHTI Riau 2,71 ekor/kelompok dan O´Brien et al.
(2004) mendapatkan rata-rata ukuran
kelompok ungko di Sumatera 2,61 ekor/kelompok. Jika dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian ini, ukuran kelompok yang didapatkan di hutan tipe MSF LAHG Sebangau jauh lebih tinggi. Kepadatan Populasi Hasil estimasi kepadatan populasi pada setiap jalur penelitian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Estimasi populasi kalawet di lokasi penelitian Total Luas Daerah Pengamatan (km2)
Jumlah Kelompok
Kepadatan Kelompok (kel/km2)
Kepadatan Individu (individu/km2)
Rata-rata Ukuran Kelompok (individu/kel)
Jalur TO
2,0
6,0
3,0
10,0
3,33
Jalur T1A
2,0
5,0
2,5
7,5
3,0
Jalur T2
2,0
4,0
2,0
5,5
2,75
-
-
2,5
7,67
3,03
Lokasi
Rerata
Hasil estimasi kepadatan populasi pada setiap jalur lokasi penelitian dengan luas daerah survei 6,0 km2 (Tabel 10) di hutan tipe MSF ini menunjukkan bahwa kepadatan individu yang didapatkan yaitu 7,67 ekor/km2 dengan kepadatan
kelompok
2,5
kelompok/km2
ekor/kelompok. Pada saat survei populasi,
dan
ukuran
kelompok
kelompok kalawet
3,03
yang terlihat
berkisar antara 0-2 kelompok/hari dan total keseluruhan kelompok kalawet yang terlihat selama survei populasi yaitu 15 kelompok. Berdasarkan hasil pengamatan, dari 10 kali survei pada jalur T0 terjadi 5 kali perjumpaan dengan kelompok kalawet dengan dugaan jumlah keseluruhan individu yang teramati 20 ekor terdiri dari 6 jantan dewasa, 6 betina dewasa, 4 remaja dan 4 anak. Estimasi kepadatan individu dan kelompok masing-masing 10,0 ekor/km² dan 3,0 kelompok/km².
43 Pada jalur T1A dari 10 kali survei, terjadi 4 kali perjumpaan dengan kelompok kalawet dengan dugaan jumlah keseluruhan individu 15 ekor terdiri dari 5 jantan desawa, 5 betina dewasa, 4 remaja dan 1 anak. Hasil estimasi kepadatan individu pada jalur ini yaitu 7,5 ekor/km² dengan kepadatan kelompok 2,5 kelompok/km². Pada jalur T2 dari 10 kali survei, terjadi 4 kali perjumpaan dengan kelompok kalawet, dengan dugaan jumlah keseluruhan individu yang teramati 11 ekor terdiri dari 4 jantan dewasa , 4 betina dewasa, 2 remaja dan 1 anak. Estimasi kepadatan individu yaitu 5,5 ekor/km² dengan kepadatan kelompok 2,0 kelompok/km². Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, besarnya jumlah yang didapatkan pada jalur T0 disebabkan keadaan habitat di jalur ini masih cukup baik bagi kelangsungan hidup kalawet serta didukung oleh ketersediaan sumber pakan yang relatif lebih banyak berbuah dan diameter pohon serta tinggi pohon yang lebih tinggi, dibandingkan pada jalur T1A dan T2. Disamping itu jalur T0 ini letaknya dekat dengan basecamp, sehingga kemungkinan bagi para penebang liar untuk melakukan penebangan pohon di sekitar jalur ini relatif kecil. Berbeda
pada
jalur
T1A
dan
T2,
keadaan
habitatnya
sudah
terfragmentasi dan diperparah dengan adanya aktivitas masyarakat sekitar lokasi penelitian yang sering masuk ke hutan untuk mengambil dan menebang pohon. Dengan adanya aktivitas penebangan pohon ini, sangat mempengaruhi jumlah pohon sebagai sumber pakan dan tempat aktivitas kalawet. Keadaan ini menyebabkan kalawet berpindah mencari habitat baru yang lebih aman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Habitat
yang
sudah
terfragmentasi
mengancam/membahayakan
keberadaan spesies yaitu (1) dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan kolonisasi. Banyak spesies mamalia pada daerah pedalaman hutan tidak akan dapat menyeberangi daerah terbuka oleh karena adanya bahaya
dimakan
pemangsa.
Akibatnya,
banyak
spesies
yang
tidak
mengkolonisasi lagi daerah asalnya setelah populasi awalnya hilang. (2) pengurangan daerah jelajah dari hewan asli. Kebanyakan spesies hewan baik sebagai individu atau kelompok sosial, memiliki daerah jelajah yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan ini harus dapat berjalan dari satu sumber makanan ke sumber makanan yang lain. Jika habitat terfragmentasi,
44 spesies yang berada dalam satu fragmen tidak dapat berjalan ke fragmen lain yang awalnya merupakan daerah jelajahnya juga (Primack et al. 1998). Perbedaan kepadatan populasi pada ketiga jalur penelitian disebabkan oleh perbedaan kondisi vegetasinya, terutama ketersediaan pohon pakan dan tinggi pohon. Untuk menunjang pergerakannya yang secara brakhiasi, kalawet sangat membutuhkan tegakan vegetasi yang tinggi dan kanopi yang kontinu. Menurut Alikodra (2002), perbedaan kepadatan populasi dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3) pengaruh kegiatan manusia dan (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan merangsang satwaliar untuk datang ke wilayah. Pada saat survei populasi, kalawet lebih mudah dijumpai pada pagi hari dibanding siang hari. Pada pagi hari, kalawet lebih aktif bersuara sambil bergantungan didahan-dahan yang besar dan setelah itu kalawet akan bergerak mencari makan. Siang hari kalawet sangat sulit untuk dijumpai, karena biasanya kalawet beristirahat sambil berdiam diri didahan pohon yang besar dan setelah itu akan bergerak mencari pohon tidur. Kalawet akan mengeluarkan bunyi tanda bahaya (alarm call) apabila mengetahui/melihat kedatangan manusia. Biasanya kalawet akan bersembunyi diatas pohon dan dibalik dahan pohon yang besar sampai keadaan aman. Berdasarkan hasil penelitian ini, jika dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Buckley (2004) menunjukkan adanya peningkatan kepadatan individu sebesar 3,65% dan kepadatan kelompok 13,6%. Buckley melakukan pengamatan populasi kalawet dengan menggunakan metode point count. Peningkatan kepadatan individu dan kepadatan kelompok dapat terjadi disebabkan oleh adanya perubahan kondisi vegetasi habitat yang ada di hutan tipe MSF LAHG ini dalam kurun waktu satu tahun sudah semakin membaik, antara lain ketersediaan sumber pakannya lebih banyak, kerapatan pohon dan tinggi pohon dengan tajuk saling bersentuhan, yang sangat menunjang pola hidup dan pergerakan kalawet secara brakhiasi. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi kemampuan reproduksi kalawet. Hal ini sejalan dengan pernyataan Primack et al (1998) bahwa kondisi hutan berupa komposisi jenis, kerapatan pohon, penyebaran pohon maupun tingkat pertumbuhannya akan menentukan kelimpahan dan penyebaran bahkan
45 pergerakan satwa liar. Untuk primata pergerakan didalam wilayah jelajahnya sangat
ditentukan
oleh
sumberdaya
makanan
dan
pohon-pohon
yang
dipergunakan sebagai tempat bersuara/bernyanyi. Berdasarkan analisis foto lansat TN. Sebangau, habitat yang diperkirakan layak dihuni oleh kalawet di LAHG adalah seluas 24.511 ha (Duma 2007). Berdasarkan luasan tersebut, estimasi populasi kalawet dengan menggunakan metode line transect sampling didapatkan populasi kalawet di LAHG sebanyak 1.882 individu dan Duma (2007) dengan metode point count mendapatkan populasi kalawet pada areal yang sama (LAHG) sebanyak 2.404 individu. Dengan demikian dapat diperkirakan populasi kalawet yang ada di hutan LAHG berkisar antara 1.882-2.404 individu. Hasil survei populasi ini tentunya memiliki berbagai keterbatasan yang tidak dapat dihindari, yang pada akhirnya mempengaruhi hasil estimasi populasi. Habitat Tipe Habitat Habitat alami kalawet di lokasi penelitian Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau merupakan hutan sekunder dengan tipe hutan gambut campuran (mixed swamp forest), ± 3 km dari sungai sebangau, dan merupakan jenis gambut ombrogen dengan jenis tanah organosol. Bentuk vegetasinya mempunyai kemiripan dengan hutan hujan dataran rendah. Karakteristik tajuk bervariasi, baik dalam hal bentuk dan ukuran dan terdapat strata tajuk yang dapat dibedakan secara jelas. Pada sekitar lokasi ini telah terjadi fragmentasi habitat yang disebabkan oleh penebangan hutan, dimana kawasan LAHG ini merupakan kawasan hutan bekas tebangan perusahaan HPH PT. Setia Alam Jaya yang ditinggalkan kurang lebih 10 tahun lalu. Kawasan yang terdegradasi dicirikan oleh kanopi yang terbuka dan renggang. Diantara pohon-pohon yang mempunyai diameter kecil dan rapat, masih terdapat pohon dengan diameter besar dan tinggi
dengan
kanopi yang mengembang (20-35 m dari permukaan tanah). Pada beberapa spesies pohon memiliki akar nafas. Menurut MacKinnon et al. (2000) akar nafas merupakan bentuk adaptasi tumbuhan yang umum dijumpai di habitat yang sering digenangi air, misalnya hutan mangrove, hutan rawa dan hutan gambut. Profil vegetasi hutan dikawasan LAHG Sebangau dapat dilihat pada Gambar 11. Jenis-jenis pohon dijumpai
disekitar lokasi penelitian didominasi oleh
hangkang (Palaquium leiocarpum), jinjit (Calophyllum canum), kapur naga
46 jangkar
(Calophyllum sclerophyllum), terantang (Camnosperma coriaceum),
jjambu (Syzygium clavatum), kambasira (Aromadendron nutans), jelutung (Dyera costulata) dan kacapuri (Diospyros pseudomalabarica).
Gambar 11 Profil vegetasi di LAHG Sebangau(a,b) (Duma 2007) Menurut Soerianegara dan Indrawan (2002) jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan gambut adalah Camnosperma sp, Alstonia sp, Cratoxylon arborescens rotundatus, Payena spp, Gonystylus bancanus, Dactylocladus stenostachys, Tristania spp dan Ploiarium alternifolium. Sutisna et al. (1998) menambahkan bahwa di Kalimantan Tengah di daerah hutan rawa gambut Tengkiling, jenis pohon Palaquium leiocarpum dan Gonystylus bancanus merupakan kombinasi jenis utama yang mendominasi, sedangkan di Sampit didominasi oleh jenis Gonystylus bancanus dan Diospyros bantamensis. Shepherd et al. (1997) telah melakukan analisis vegetasi di LAHG Sebangau ini. Didapatkan empat tipe hutan yang berbeda yaitu; Satu, tipe hutan gambut campuran (Mixed swamp forest) ± 3 km dari sungai sebangau, yang didominasi antara lain oleh jenis pohon Diospyros evena, Diospyros siamang, Camnosperma coriaceum, Knema intermedia, Xylopia fusca dan Mezzetia leptopoda. Dua, tipe hutan transisi (Transition forest) 4-6 km dari sungai sebangau, diisi antara lain jenis pohon Tristania obovata, Combretocarpus rotundatus, Calophyllum spp, Tristania grandifolia, Eugenia palembanica dan Xanthopyllum amoenum. Di hutan transisi ini juga didominasi oleh jenis Pandanus spp. Tiga, tipe hutan tegakan rendah (Low pole forest) 6-11 km dari sungai, terdapat jenis pohon Calophyllum fragrans, Combretocarpus rotundatus, Calophyllum hosei, Camnosperma coriaceum, Dactylocladus stenostachys dan Garcinia cuneifolia. Empat, tipe hutan tegakan tinggi (Tall interior forest) 12 km
47 dari sungai di dominasi antara lain oleh jenis Agathis dammara, Shorea teysmanniana, Shorea platycarpa, Eugenia havilandii, Cratoxylum glaucum, Gymnostoma sumatrana, Mezzetia leptopoda, Palaquium cochlearifolium, Palaquium leiocarpum, Xanthopyllum spp dan Kompassia malaccensis. Profil Habitat Dalam pelaksanaan pengamatan profil habitat dijalur T0 (T0. 1750) ditemukan 34 jenis pohon (69 pohon) dengan diameter berkisar antara 12,7-56,0 cm dan tinggi pohon berkisar antara 12-35 m. Didominasi oleh jenis pohon terantang (Camnosperma coriaceum),
jinjit (Calophyllum canum), nyatu babi
(Palaquium
(Palaquium
ridlleyii),
hangkang
leiocarpum),
lampuak
(Neoscortechinia philippinensis), kacapuri (Diospyros pseudomalabarica), katiau (Madhuca mottleyana), jangkang putih (Xylopia fusca) dan jelutung (Dyera costulata) (Gambar 12). Di jalur T1A (T1A. 1700) ditemukan 37 jenis pohon (77 pohon) dengan ukuran diameter antara 13,6-45,8 cm dan tinggi pohon berkisar antara 12-35 m. Pada jalur ini didominasi oleh jenis pohon hangkang (Palaquium leiocarpum), lampuak (Neoscortechinia philippinensis),
kambalitan (Mezzetia leptopoda),
mertibu (Dactylocladus stenostachys), jinjit (Calophyllum canum) dan kacapuri (Diospyros pseudomalabarica). Beberapa jenis pohon yang ada pada jalur ini tidak ditemukan pada jalur T0, diantaranya adalah rembangun (Tetractomia tetrandra), ramin (Gonystylus bancanus), bintan (Ctenolophon parvifolius), punak (Tetramerista glabra), kenari (Blumeodendron tokbrai), pampaning (Castanopsis foxworthyii), mendarahan merah (Horsfieldia crassifolia), meranti tembaga (Shorea guiso), galam merah (Syzygium valdevenosum), manggis (Garcinia rostrata) dan medang putih (Litsea gracilipes) (Gambar 13). Di jalur T2 (T2. 1200) jenis pohon yang ditemukan relatif lebih sedikit yaitu 24 jenis (66 pohon), dengan ukuran diameter antara 12,1-39,1 dan tinggi pohon 13-35 m (Gambar 14). Jenis pohon di dominasi oleh pohon hangkang (Palaquium leiocarpum), terantang (Camnosperma coriaceum), kapur naga jangkar (Calophyllum sclerophyllum), jinjit (Calophyllum canum), kambalitan (Mezzettia leptopoda), katiau (Diospyros pseudomalabarica) dan jelutung (Dyera costulata). Pada jalur T2 ini ditemukan 5 jenis pohon yang tidak ditemukan pada jalur T0 maupun pada jalur T1A yaitu tumih (Combretacarpus rotundatus), uring pahe (Diospyros confertiflora), papung (Sandoricum beccarianum), galam tikus merah (Syzygium remotifolium) dan piais (Nepheliium maingayi).
48 Secara keseluruhan berdasarkan hasil pengamatan di ketiga jalur lokasi penelitian di hutan tipe MSF ditemukan jenis pohon yang paling umum adalah hangkang
(Palaquium
coriaceum)
(8,49%),
leiocarpum) jinjit
(13,20%),
(Calophyllum
terantang
canum)
(Camnosperma
(5,19%),
lampuak
(Neoscortechinia philippinensis) (4,72%), kambalitan (Mezzettia umbellata) (3,78%), kacapuri (Diospyros pseudomalabarica) (3,30%) dan jenis lainnya (61,32%). Masing-masing jenis pohon ini berasal dari famili Sapotaceae, Annacardiaceae, Annonaceae, Clusiaceae, Euphorbiaceae dan Ebenaceae, yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap kondisi hutan gambut yang miskin hara. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Duma (2007) yang melaporkan bahwa berdasarkan analisis vegetasi di hutan tipe MSF, LPF, dan TIF di LAHG ini didapatkan untuk jenis tumbuhan tingkat pohon yang banyak ditemukan
adalah
jenis
hangkang
(Palaquium
leiocarpum),
diikuti
jinjit
(Calophyllum canum), terantang (Camnosperma coriaceum), jelutung (Dyera costulata) dan jangkang putih (Xylopia fusca). Rata-rata tinggi pohon di hutan tipe MSF 25,92 m dan di hutan tipe TIF 28,92 m, sedangkan di hutan tipe LPF 19,46 m.
49
Gambar 12 Diagram profil pohon di jalur T0
50
Gambar 13 Diagram profil pohon di jalur T1A
51
Gambar 14 Diagram profil pohon di jalur T2
52 Pemanfaatan Stratum Vegetasi Pada umumnya hutan rawa gambut memiliki tiga lapisan tajuk. Lapisan tajuk teratas dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mertibu (Dactylocladus
stenostachys),
jelutung
(Dyera
costulata),
pisang-pisang
(Mezzetia umbellata) nyatuh (Palaquium spp), durian hutan (Durio spp) dan kempas (Kompassia malaccensis). Lapisan tajuk tengah umumnya dibentuk oleh jenis-jenis jambu (Eugenia spp), pelawan (Tristania spp), medang (Litsea spp), kemuning (Xanthophyllum amoenum), mendarahan (Myristica spp) dan kayu malam (Diospyros spp). Lapisan tajuk bawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari jenis Crunis spp Pandanus spp dan Zalaca spp (Wiraatmodjo 1975). Pemanfaatan stratum vegetasi oleh kalawet dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11Persentase pemanfaatan stratum oleh kalawet Stratum
Selang ketinggian (m)
Jumlah Pemanfaatan
Persentase
A
>25 m-atas
-
-
B
15-25
9
60%
C
10-14
6
40%
D
1-9
-
-
E
Lantai hutan
-
-
15
100%
Total
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kalawet tidak memanfaatkan
semua
bagian
stratum.
Dalam
beraktivitas,
kalawet
menghabiskan sebagian besar waktunya diatas pohon pada ketinggian lebih dari 15-25 m di atas permukaan tanah (Stratum B) dengan frekuensi penggunaan rata-rata 60%. Hal ini berkaitan dengan penggunaan pohon sebagai sumber pakan. Bagian tepi dari tajuk pohon sangat disukai oleh kalawet, karena ketersediaan akan buah, pucuk dan daun muda berada pada bagian ini. Pemanfaatan stratum oleh kalawet ini sesuai dengan hasil penelitian Apriadi (2001) yang melaporkan bahwa Hylobates agilis dalam melakukan aktivitas makan cenderung terjadi pada tajuk dengan ketinggian 15-25 m dari permukaan tanah. Hylobates agilis mencari buah dan daun muda pada kanopi bagian tengah dan atas. Berbeda dengan pernyataan Rinaldi (1985) bahwa di Way Kambas Hylobates syndactylus (siamang) dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi
53 vegetasi tanpa stratum A yang didominasi oleh jenis-jenis non Dipterocarpaceae. Haryanto (1987) juga melaporkan bahwa Hylobates muellery dapat melakukan pergerakan pada bawah tajuk dan tengah (5-25 m) yang berbeda dengan jenis lainnya yang hidup di hutan primer pada tajuk bagian atas. Stratum B yang tingginya 15 m keatas antara lain terdiri dari jenis pohon punak (Tetramerista glabra), rasak (Cotylelobium lanceolatum), kacapuri (Diospyros pseudomalabarica), mendarahan merah (Horsfieldia crassifolia), hangkang (Palaquium leiocarpum), jangkang putih (Xylopia fusca), terantang (Camnosperma coriaceum), jinjit (Calophyllum canum) dan nangka hutan (Parartocarpus venenossus). Jenis pohon yang menghasilkan buah pada sratum B ini adalah kacapuri (Diospyros pseudomalabarica), mendarahan merah (Horsfieldia crassifolia), hangkang
(Palaquium
leiocarpum)
dan
nangka
hutan
(Parartocarpus
venenossus). Pohon penghasil buah dan daun adalah punak (Tetramerista glabra), rasak (Cotylelobium lanceolatum), jangkang putih (Xylopia fusca) dan terantang (Camnosperma coriaceum), sedangkan pohon yang daunnya hanya dimakan oleh kalawet adalah jinjit (Calophyllum canum). Pada selang ketinggian 10-15 m (Stratum C) didapatkan frekuensi penggunaan rata-rata 40%. Pohon-pohon yang termasuk dalam stratum C ini merupakan pohon yang batangnya memiliki percabangan yang besar dengan kanopi yang saling bersentuhan (kontinu). Kalawet menyukai stratum ini terutama untuk melakukan pergerakan dengan cepat sambil mengayunkan lengannya dan berpindah dengan cara bergantungan (brakhiasi) dari satu pohon ke pohon lainnya. Biasanya pada stratum ini juga, digunakan kalawet untuk beristirahat dan bersembunyi. Bismark (1980) menambahkan Hylobates masih bisa hidup pada hutan sekunder dengan pepohonan rapat serta tajuknya berketinggian antara 10-15 m. Habitat yang demikian memiliki persediaan makanan yang cukup, berupa daun-daunan dan buah Ficus. Stratum C ini terdiri antara lain dari jenis pohon meranti batu (Shorea uliginosa),
kenari
(Blumeodendron
tokbrai),
lampuak
(Neoscortechinia
philippinensis), jambu (Syzygium clavatum), kambasira (Aromadendron nutans) dan manggis (Garcinia bancana). Jenis pohon yang menghasilkan buah adalah kenari (Blumeodendron tokbrai), jambu (Syzygium clavatum), kambasira (Aromadendron nutans) dan manggis (Garcinia bancana), sedangkan pohon
54 penghasil daun yang dimakan oleh kalawet adalah meranti batu (Shorea uliginosa) dan lampuak (Neoscortechinia philippinensis). Kalawet tidak pernah dijumpai pada stratum A, stratum D dan stratum E. Pada stratum A terdapat pohon-pohon yang tajuknya tidak saling bersentuhan (diskontinuitas) dan emergents. Kalawet dalam bergerak/berpindah dengan menggunakan kedua lengannya dari satu pohon ke pohon lainnya secara brakhiasi pada pohon yang tinggi, sehingga menyebabkan satwa primata ini dapat mengalami kesulitan untuk bergerak pada pohon-pohon yang tajuknya tidak saling bersentuhan. Demikian pula pada stratum D, kalawet akan mengalami kesulitan untuk bergerak/berpindah pada pohon-pohon yang rendah dengan batang yang kecil, dan selain itu pada sratum D tidak menyediakan sumber pakan bagi kalawet. Kalawet tidak akan mungkin untuk turun ke lantai hutan (stratum E) untuk mencari sumber pakan, dikarenakan sifatnya yang arboreal. Sumber Pakan Berdasarkan hasil observasi terdapat sekitar 28 famili dengan 55 spesies tumbuhan yang menjadi sumber pakan bagi kalawet di tiga jalur lokasi penelitian di hutan tipe MSF LAHG ini. Famili Myrtaceae merupakan sumber pakan yang terbanyak, diikuti oleh Clusiaceae, Euphorbiaceae, Moraceae, Sapotaceae, Annonaceae dan Dipterocarpaceae. Chivers (2001) melaporkan famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan sumber pakan paling umum bagi Hylobates di Barito Ulu (hibrida H. agilis albibarbis x H. muelleri) diikuti Leguminosae, Myrtaceae, Annonaceae, Rubiaceae, Guttiferae dan Anacardiaceae. Beberapa sampel pakan kalawet di LAHG dapat dilihat pada gambar 15.
Gambar 15 Sampel pakan kalawet di LAHG, Blumeodendron tokbrai, Ficus sp dan Gnetum sp Jenis tumbuhan yang potensial menghasilkan buah sebagai pakan utama kalawet adalah sebanyak 36 jenis, clavatum),
kambalitan
(Mezzettia
diantaranya adalah jambu (Syzygium leptopoda),
galam
merah
(Syzygium
55 valdevenosum), hangkang (Palaquium leiocarpum), manggis (Garcini rostrata), kenari (Blumeodendron tokbrai), kacapuri (Diospyros pseudomalabarica), karipak (Licania splendens), pupuh pelanduk (Blumeodendron elateriospermum) dan mendarahan merah (Horsfieldia crassifolia), daun 28 jenis, bunga 5 jenis dan getah 1 jenis (Tabel 12). Tabel 12 Jenis tumbuhan yang dimakan oleh kalawet Famili Anacardiacee Annonaceae Apocynaceae Aquifoliaceae Celasteraceae Clusiaceae
Crypteroniaceae Dipterocarpaceae
Ebenaceae Euphorbiaceae
Fabaceae Fagaceae Guetaceae Hyperiaceae Icacinaceae Lauraceae Linaceae Magnoliaceae Meliaceae Moraceae
Myristicaceae Myrtaceae
Rosaceae Rutaceae Sapindaceae Sapotaceae
Theaceae Thymelaceae
Nama Latin Camnosperma coriaceum Mezzetia leptopoda Xylopia corrifolia Xylopia fusca Alstonia angustifolia Dyera costulata Ilex hypoglauca Ilex walichii Lophopetalum javanicum Calophyllum canum Calophyllum lowii Calophyllum sclerophyllum Garcinia rostrata Dactylocladus stenostachys Cotylelobium lanceolatum Shorea guiso Shorea teysmanniana Shorea uliginosa Diospyros confertiflora Diospyros pseudomalabarica Antidesma coriaceum Blumeodendron elateriospermum Blumeodendron tokbrai Neoscortechinia phillipinensis Kompassia malaccensis Castanopsis foxworthyii Gnetum neglectum Cratoxylon glaucum Stemonurus scorpioides Litsea gracilipes Litsea rufo-fusca Ctenolophon parvifolius Aromadendron nutans Aglaia rubiginosa Sandoricum beccarianum Ficus consociata Ficus deltoidea Ficus sumatrana Ficus xylophylla Parartocarpus venenossus Horsfieldia crassifolia Syzygium clavatum Syzygium remotifolium Syzygium valdevenosum Tristania obovata Tristaniopsis whiteana Licania splendens Tetractomia tetrandra Nephellium maingayi Madhuca mottleyana Palaquium leiocarpum Palaquium ridleyii Payena lerii Tetramerista glabra Gonystylus bancanus
Nama Lokal
Buah
Daun
Terantang Kambalitan Jangkang merah Jangkang putih Pulai Jelutung Tebaras Kayu tepung Perupuk gelagah Jinjit Kapur naga duduk Kapur naga jangkar Manggis Mertibu Rasak Meranti tembaga Meranti bunga Meranti batu Uring pahe Kacapuri Galam tikus putih Pupuh pelanduk Kenari Lampuak Bengaris Pampaning Liana Gerunggang Pasir-pasir Medang putih Medang telor Bintan Kambasira Kajalaki Papung Lunuk Lunuk Lunuk Lunuk Nangka hutan Mendarahan merah Jambu Galam tikus merah Galam merah Pelawan merah Pelawan putih Karipak Rembangun Piais Katiau Hangkang Nyatu babi Nyatu undus Punak Ramin
* * * * *
*
Bunga
* * *
*
* * *
* * * * * * *
* * * * *
* * * * * * * * * *
* * *
* * * * * * * * * * * * * *
* * *
* * * * * * * *
Getah
* * * * * *
*
56 Terdapat 12 jenis pohon yang buah dan daunnya sebagai pakan kalawet antara lain: terantang (Camnosperma coriaceum), jangkang merah (Xylopia corrifolia), jangkang putih (Xylopia fusca), mertibu (Dactylocladus stenostachys), galam tikus merah (Syzygium remotifolium), katiau (Madhuca mottleyana), nyatu babi (Palaquium ridleyii), nyatu undus (Payena lerii), punak (Tetrameristra glabra) dan ramin (Gonystylus bancanus). Bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan adalah buah (65,4%). Hal ini dapat dipahami bahwa pada umumnya genus Hylobates merupakan satwa primata yang frugivorus, yaitu sebagian besar komposisi pakannya berupa buah. Satwa yang frugivorus memiliki sistem pencernaan yang sederhana, sehingga tidak mampu mencerna makanan dengan serat yang tinggi. Buah mempunyai kandungan serat kasar yang lebih rendah, mudah dicerna dan kandungan nutrisinya lebih tinggi dibandingkan dedaunan (Fleagle 1988). Selain sebagai frugivorus, tingginya persentase konsumsi buah oleh kalawet juga ditunjang oleh habitatnya yang menyediakan cukup pohon buah untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Berdasarkan sampel yang diambil dari 12 jenis daun yang dimakan oleh kalawet rata-rata mempunyai ukuran panjang 13,93±4,21 cm dengan lebar 4,75±1,56 cm. Clusiaceae.
Dari 10 jenis daun ini, dua diantaranya berasal dari famili
Famili Clusiaceae memiliki komposisi daun tunggal dan tertata
secara opposite, permukaan daun licin dengan ujung daun meruncing dan pangkal daun tumpul. Pertulangan daun menyirip rapat sampai jarang (Istomo 1999). Duma (2007) juga mendapatkan jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan kalawet di LAHG (hutan tipe MSF, LPF dan TIF) sebanyak 35 famili dengan 72 spesies. Famili Myrtaceae merupakan sumber pakan terbanyak (8 jenis), diikuti Annonaceae, Cluciaceae, Moraceae, Sapotaceae, Apocynaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae dan Dipterocarpaceae. Menurut Duma sebagian besar jenis pohon di LAHG dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan bagi kalawet, kecuali di hutan tipe LPF. Lebih dari 90% jenis pohon di tipe hutan MSF dan TIF potensial sebagai sumber pakan bagi kalawet, sedangkan di hutan tipe LPF sekitar 54%. Rendahnya potensi sumber pakan di tipe hutan LPF ini disebabkan oleh adanya jenis tumih (Combretacarpus rotundatus) yang lebih dominan tumbuh di tipe hutan ini, yang tidak dimakan oleh kalawet. Terdapat 3 famili tumbuhan yang dimanfaatkan kalawet sebagai sumber pakan di LAHG Sebangau, diidentifikasi pula di TN. Gunung Halimun-Salak yakni
57 Euphorbiaceae, Moraceae dan Myrtaceae (Iskandar 2007). Berdasarkan hasil penelitiannya terdapat 11 famili dan 33 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh owa jawa (Hylobates moloch) sebagai sumber pakannya. Aktivitas Masyarakat Gambaran pola kehidupan suatu kelompok masyarakat dapat dilihat dari jenis-jenis mata pencaharian penduduknya. Struktur mata pencaharian penduduk dalam hal ini, didekati dari mata pencaharian utama dari anggota masyarakat. Tetapi kebanyakan dalam suatu keluarga mempunyai lebih dari satu sumber mata pencaharian dalam kegiatan sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden (n=60) atau 5,64%, mata pencaharian penduduk didominasi oleh nelayan 24 orang, pengusaha kayu 10 orang, tukang bangunan 9 orang, pedagang 5 orang, tukang ojek 4 orang, peternak 3 orang, PNS 2 orang, dan patroli hutan 2 orang (Gambar 16).
peternak 5%
pegawai 3%
pedagang 8%
tukang bangunan 15%
pengusaha kayu 17% nelayan 42%
patroli hutan 3% tukang ojek 7%
Gambar 16 Jenis mata pencaharian masyarakat (n=60) Nelayan di Kereng Bangkirai ini adalah penangkap ikan sungai untuk dijual dan dipelihara di sekitar sungai Sebangau. Umumnya alat yang dipakai untuk menangkap ikan masih tradisional yaitu jala, rengge dan kail. Pengusaha kayu merupakan mata pencaharian penting (17%) setelah nelayan (42%). Tingginya jumlah anggota masyarakat yang mengusahakan kayu di sekitar kawasan LAHG dapat berpengaruh negatif terhadap konservasi terutama habitat kalawet. Kondisi ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk memperoleh kebutuhannya dengan cara menebang secara illegal dan menjualnya kepada pengusaha kayu. Jika keadaan tersebut berlangsung terus-menerus maka dapat mengakibatkan kerusakan pada habitat kalawet yang selanjutnya akan
58 berpengaruh terhadap populasinya. Selanjutnya, mata pencaharian penting lainnya adalah tukang bangunan (15%) yang merupakan jenis usaha yang dapat segera menghasilkan uang, karena biasanya mereka memperoleh upah setelah selesai bekerja seharian atau bahkan ada yang memberi panjar upah terlebih dahulu. Sebagian masyarakat (63,3%) di sekitar kawasan LAHG masih melakukan penebangan liar, meskipun sudah ada larangan dari pihak pengelola LAHG. Sebagan kayu yang ditebang bukan untuk keperluan komersial, melainkan untuk keperluan sehari-hari, sebagai bahan kayu bakar, kandang ayam, perahu dan rumah. Adapun ukuran kayu yang ditebang bervariasi, mulai dari yang berdiameter kecil (dbh > 10 cm) sampai diameter besar (dbh > 50 cm). Menurut beberapa responden, kayu yang berdiameter besar (kayu log) diambil oleh para penebang liar yang tempat tinggalnya tidak berbatasan langsung dengan kawasan LAHG. Kayu log tersebut kemudian dihanyutkan ke sungai terdekat pada saat musim hujan melalui kanal, yang panjangnya mencapai 5-20 km dan lebar 1-3 m. Kanal tersebut selain berfungsi sebagai jalan untuk mengeluarkan kayu dari hutan, juga mempercepat proses kekeringan hutan waktu kemarau sehingga hutan mudah terbakar. Salah satu contoh illegal logging, berupa kayu log yang dihanyutkan ke sungai pada saat musim hujan, dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Kayu log dihanyutkan di sungai (CIMTROP 2000) Jenis- jenis kayu yang paling sering ditebang oleh para responden adalah meranti (Shorea sp) kapur naga (Calophyllum sp), ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), terantang (Camnosperma coriaceum), agatis (Agathis spp) dan jenis kayu lainnya (Gambar18). Ada beberapa jenis kayu lainnya yang juga diambil masyarakat
antara lain bengaris (Kompassia malaccensis), jinjit
59 (Calophyllum canum), tumih (Combretacarpus rotundatus), jangkang (Xylopia sp), galam (Syzigium sp) dan mertibu (Dactylocladus stenostachys). Jelutung (Dyera costulata) merupakan pohon penghasil getah, yang pernah mempopulerkan kawasan Sebangau sebagai objek penyadapan jelutung. Di Sebangau potensi jelutung terdapat di daerah antara sungai Rasau sampai dengan daerah Hampangan–Kasongan, dan populasi terbanyak di lokasi LAHG sampai ke bagian selatan danau Kamipang. Akibat sering ditebang, maka populasi pohon jelutung akan semakin berkurang dan jika hal ini dibiarkan terus terjadi, dengan sendirinya jelutung akan habis. Untuk mencegah kehilangan jenis pohon jelutung, maka telah dilakukan penanaman kembali pohon jelutung (Dyera costulata) di bagian utara LAHG sebanyak 300 jalur dan setiap jalurnya terdiri dari 70-120 pohon (CIMTROP 2002). Ramin, 10% Jelutung, 8%
Lain-lain, 44%
Meranti, 20%
Terantang, 4%
Agathis, 2%
Kapur naga, 12%
Gambar 18 Jenis kayu yang ditebang (n=38) Penebangan beberapa jenis pohon tersebut di atas menyebabkan rusaknya habitat kalawet terutama kondisi tajuk yang berfungsi sebagai cover dan shelter bagi kalawet, dan mempengaruhi ketersediaan pakan kalawet. Sifat kalawet yang arboreal pada kanopi atas dan lokomosi secara brakhiasi membuatnya sulit untuk mencari dan mengembangkan wilayah jelajahnya pada kondisi kualitas habitat yang rendah dan terfragmentasi. Selanjutnya menurut Bismark (1980), penebangan pohon secara selektif yang melampaui batas dari 8-12 batang per ha, akan mengganggu pergerakan Hylobates. Hal ini akan mengakibatkan Hylobates tersebut terpaksa turun ke permukaan tanah, dengan demikian kemungkinan untuk tertangkap oleh predator akan lebih besar.
60 Alikodra (2002) mengatakan bahwa pengaruh eksploitasi hutan terhadap primata dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu: pertama, suara yang ditimbulkan oleh alat-alat berat dan rusaknya habitat dapat menimbulkan stress dan mengubah perilaku. Kedua, rusaknya pohon-pohon penghasil buah dan rusaknya pohon/cabang yang dipergunakan untuk tempat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya. Ketiga, setelah kegiatan penebangan, regenerasi pohon sangat lambat, sehingga seringkali kondisi semula tidak dapat terbentuk. Selain penebangan liar, kebakaran hutan juga merupakan ancaman terhadap kelestarian hutan rawa gambut di LAHG Sebangau. Sebagai contoh, pada tahun 1997-1998 sedikitnya ada empat titik api yang telah memusnahkan flora dan fauna dibagian Tall interior forest. Kebakaran ini tak lain disebabkan oleh ulah manusia. Akibat dari kedua kejadian ini (penebangan liar dan kebakaran hutan) menyebabkan populasi jenis satwa liar termasuk orang utan dan kalawet akan menurun dikarenakan berkurangnya ruang hidup dan putusnya rantai makanan. Satwa liar termasuk orang utan dan kalawet akan bermigrasi ke daerah yang terbatas sumber makanannya. Keterbatasan sumber makanan tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan dari satwa liar ini. Gambar 19 merupakan salah satu contoh kebakaran hutan yang terjadi di sekitar kawasan LAHG.
Gambar 19 Kebakaran hutan di sekitar kawasan LAHG (CIMTROP 2002) Widada et al.
(2003) menambahkan habitat yang rusak atau bahkan
hilang, tentunya juga akan menyebabkan rusak dan hilangnya keanekaragaman hayati. Semakin banyak habitat yang hilang maka penurunan kuantitas dan kualitas keanekaragaman hayati juga semakin cepat terjadi. Kemungkinan perburuan terhadap kalawet pernah terjadi sebelum LAHG ini dikelola oleh CIMTROP. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya masyarakat
61 sekitar kota palangkaraya yang memelihara satwa tersebut sebagai hewan kesayangan (pet). Disamping untuk berbagai tujuan, kegiatan perburuan kalawet ini dilakukan karena masyarakat tidak mengetahui adanya larangan perburuan terhadap satwa tersebut sebagai hewan yang dilindungi dan karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan resiko penyakit zoonosis. Setelah di kelola oleh CIMTROP perburuan terhadap kalawet bukan merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan hidup kalawet untuk saat ini di LAHG Sebangau. Meskipun 17 orang dari responden sering melakukan perburuan, tetapi mereka tidak melakukan perburuan terhadap kalawet. Selama berada di dalam hutan, mereka jarang melihat kalawet tetapi hanya mendengarkan suaranya saja. Perburuan hanya dilakukan terhadap babi hutan, kelelawar, burung, ular dan biawak (Gambar 20). Hasil buruan yang diperoleh sebagian besar dijual. Khusus kelelawar dan babi hutan selain dijual, juga dikonsumsi sebagai lauk. Perburuan terhadap kelelawar berlangsung setiap tahunnya pada bulan tertentu yaitu bulan Nopember-Desember. Burung, 12% Kelelawar, 35% Babi hutan, 41%
Biawak, 6% Ular, 6%
Gambar 20 Tingkat perburuan pada lokasi penelitian (n=17) Menurut Riyanto (2004) bahwa kegiatan perburuan satwa liar tanpa izin (pemburu liar) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu a) pemburu liar untuk memperoleh daging satwa guna kebutuhan hidup seharihari, b) pemburu liar untuk keperluan perdagangan satwa guna pemeliharaan (antara lain jenis burung) dan c) pemburu liar karena hobi berburu satwa.
62 Berdasarkan pernyataan diatas, pemburu liar di kelompok a dan b adalah merupakan kelompok yang di jumpai di LAHG Sebangau. Kesulitan ekonomi merupakan faktor salah satu faktor yang memaksa masyarakat untuk melakukan perburuan. Hal ini berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan yang berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat yang rendah. Sebagian dari masyarakat memasuki kawasan hutan untuk mencari tambahan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun proses penegakan hukum terhadap para pemburu ini belum dapat dilaksanakan dengan tegas, mengingat para pemburu ini adalah masyarakat sekitar kawasan LAHG, yang mempunyai latar belakang ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Hal ini juga diakui oleh beberapa petugas patroli hutan, mereka telah berusaha melarang dan menegur agar tidak melakukan perburuan di lokasi LAHG, tetapi larangan itu seakan-akan tidak didengar dan tidak dipatuhi oleh masyarakat. Tanggapan masyarakat terhadap perlindungan kalawet dapat dilihat pada Gambar 21.
Ya 40% Tidak 60%
Gambar 21 Persentase pemahaman masyarakat mengenai konservasi (n=60) Berdasarkan
gambar
tersebut,
menunjukkan
masih
rendahnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi. Sekitar 60% (36 orang) diantara mereka yang belum mengetahui arti dari konservasi dan perlindungan terhadap kalawet, sedangkan 40% (24 orang) responden mengetahui
kalawet
dilindungi
berdasarkan
Undang-Undang
Peraturan
Pemerintah melalui media massa (radio dan televisi). Pada dasarnya alasan para responden yang memberikan jawaban mengapa kalawet perlu dilindungi adalah karena kalawet saat ini sudah sulit untuk dijumpai, sehingga sangat perlu untuk menjaga dan melestarikan hutan sebagai habitat kalawet dan satwa liar lainnya, agar tidak mejadi punah dan populasinya semakin bertambah. Namun karena tuntutan hidup, memaksa mereka mejadikan hutan disekitarnya sebagai tempat untuk memenuhi
63 kebutuhan hidup. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini menjadi salah satu akar permasalahan yang dialami oleh penduduk yang tinggal disekitar hutan atau kawasan yang dilindungi. Disadari bahwa kegiatan penyuluhan masih sangat perlu ditingkatkan dan dilaksanakan secara terus menerus. Untuk itu dukungan, peranan dan kerjasama yang baik antara PEMDA dan instansi terkait (DISHUT), pengelola LAHG, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh masyarakat dan generasi muda sangat penting dan diharapkan dalam perlindungan dan pelestarian
kalawet yang
merupakan salah satu satwa endemik Kalimantan Tengah, khususnya di Laboratorium Alam Hutan Gambut, Sebangau.
SIMPULAN Warna tubuh kalawet beragam yaitu hitam, coklat muda dan coklat tua. Warna putih ditemukan pada alis. Kalawet jantan dewasa mempunyai garis lengkungan putih (jambang) yang jelas disekeliling wajahnya dan pada kalawet betina garis lengkungan putih ini akan berangsur hilang setelah dewasa. Dari segi ukuran tubuh, kalawet jantan dewasa lebih besar dari kalawet jantan remaja dan betina dewasa. Bobot badan jantan dewasa 4,0±1,0 kg, jantan remaja 3,1±0,5 kg dan betina dewasa 3,9±0,7 kg. Dari segi bentuk tubuh antara kalawet jantan dewasa dan jantan remaja sama. Sebaliknya antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Hasil survei populasi kalawet di hutan tipe MSF di LAHG dengan luas daerah survei 6,0 km2, ditemukan 15 kelompok kalawet dengan jumlah kelompok antara 2-4 ekor. Kepadatan populasi yaitu 7,67
ekor/km2 dengan kepadatan
kelompok 2,5 kelompok/km2 dan rata-rata ukuran kelompok sebesar 3,02 ekor/kelompok. Perbandingan antara umur masing-masing untuk jantan dewasa 32,61%, betina dewasa 32,61%, remaja 21,74% dan anak 13,04%. Habitat LAHG merupakan hutan sekunder dengan tipe hutan gambut campuran (Mixed swamp forest). Terdapat 28 famili dengan 55 spesies tumbuhan di LAHG dimanfaatkan oleh kalawet sebagai sumber pakan. Jenis pohon yang paling umum adalah hangkang (Palaquium leiocarpum) (13,20%), terantang (Camnosperma coriaceum) (8,49%), jinjit (Calophyllum canum) (5,19%),
lampuak
(Neoscortechinia
philippinensis)
(4,72%),
kambalitan
(Mezzettia umbellata) (3,78%), kacapuri (Diospyros pseudomalabarica) (3,30%) dan jenis lainnya (61,32%). Dalam melakukan aktivitas kalawet memanfaatkan stratum B (60%) dan stratum C (40%). Mata pencaharian penduduk disekitar kawasan LAHG didominasi oleh nelayan 42%, pengusaha kayu 17%, tukang bangunan 15%, pedagang 8%, tukang ojek 7%, peternak 5%, PNS 3%, dan patroli hutan 3%. Masyarakat tidak melakukan perburuan terhadap kalawet, perburuan hanya dilakukan pada babi hutan (10%), kelelawar (9%), burung (3%), ular (1%) dan biawak (1%). Sekitar 60% responden belum mengetahui arti dari konservasi dan perlindungan terhadap kalawet, dan 40%
responden mengetahui kalawet dilindungi
berdasarkan Undang-Undang Peraturan Pemerintah melalui media massa (radio dan televisi).
SARAN Disarankan dilakukan penelitian lanjutan di LAHG antara lain mengenai tingkah laku dan daerah jelajah kalawet, sosial ekonomi serta budaya masyarakat dihubungkan dengan populasi kalawet. Disarankan adanya peningkatan sosialisasi peraturan yang berkaitan dengan konservasi secara terus menerus dan berkesinambungan kepada masyarakat dan instansi terkait. Disarankan adanya pengawasan yang ketat dan peningkatan kedisiplinan dari pengelola kawasan LAHG, sehingga diharapkan tidak terjadi lagi perambahan hutan dan penebangan pohon oleh masyarakat di sekitar lokasi LAHG Sebangau.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Liar.
Jilid I. Yayasan
Penerbit
Anderson SH. 1985. Managing Our Wildlife Resources. London: Bell & Howell Co. Apriadi ST. 2001. Studi Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis F. Cuvier 1821) Di Kawasan Lindung HPHTI PT. Riau Andalan PULP & Paper, Propinsi Riau. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Arief A. 1994. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bashari H. 1999. Studi Populasi dan Habitat Siamang (Hylobates syndactylus Raffles 1821) Di Kawasan Hutan Konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Bismark. 1980. Mengenal jenis-jenis Hylobatidae. Jurnal Kehutanan Indonesia No 11 Th IV. Direktorat Jenderal Kehutanan. Bogor. BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam] Kalimantan Tengah. 2006. Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya: BKSDA Kalteng. Brockelman WY, Srikosamatara S. 1993. Estimation of Density of Gibbon Groups By Use of Loud Songs. American Journal of Primatologi. 29: 93-108. Brockelman WY, Gittins SP. 1984. Natural hybridization in the Hylobates lar species group: Implications for speciation in gibbons. In: Preuschoft H, Chivers DJ, Brockelman WY, Creel N. (eds), The lesser apes. Evolutionary and behavioural biology (pp. 498-532). Edinburgh: Edinburgh University Press. Buckley C. 2004. Survey of Hylobates agilis albibarbis in unprotected primary peat swamp forest: Sebangau Catchmant Area, Central Kalimantan. MSc in Primates Conservation Newsletter, Oxford Brookes University. Canopy 3 (1):17-19. Chivers DJ. 1977. Primate Conservation. New York: Academic Press. CIMTROP[Centre of International Cooperation in Management of Tropical Peatlands]. 2002. Biophysical Characteristics of Area Between Sebangau And Katingan Rivers Central Kalimantan. Palangkaraya: The University of Palangkaraya. Collinge NC. 1993. Introduction to Primate Behavior. Iowa: Publishing Company.
Kendall/Hunt
Disnaker. 2005. Daftar Isian Tingkat Perkembangan Kelurahan. Palangkaraya.
67 Drasospolino. 2004. The Sebangau National Park: Challenges and Priorities. Paper on Seminar/Workshop “The Opportunities Challenges for Wise Use of Peatland in Central Kalimantan”. Palangkaraya. 26 November 2004. Palangkaraya: CIMTROP UNPAR. Edey TN. 1983. Tropical Sheep and GoaT Production. Australian Univercity International Development Program (AUIDP), Canberra Australia. Ewusie. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: Institut Tekhnologi Bandung. Fleagle JG. 1988. Primate Adaptation and Press.
Evolution. London: Academic
Gaspersz V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Jilid 2. Tarsito: Bandung. Geissman T. 2003. The Gibbons (Hylobatidae): An Introduction. Gibbon Research Lab. http://www.tihohannover.de/gibbons/main/introduction/contents.html [28 Maret 2005] Gittins SP, Raemaekers JJ. 1980. Siamang, lar and agile gibbons. In: Chivers DJ (ed.), Malayan forest primates- Ten years study in tropical rain forest. New York: Plenum Press. [GCC] Gibbon Conservation Center. 2004. Genus Hylobates (Illiger, 1811). http://www.gibbon center.org/hylobates.htm [16 Agustus 2004]. Groves CP. 2001. Primate Taxonomy. London: Smithsonian Institution Press. Haryanto. 1987. Pengaruh Pengelolaan Hak Pengusaha Hutan Terhadap Kehidupan Satwa Liar. Paper Pada Seminar Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ke Arah Peningkatan Fungsi-Fungsi Sumberdaya Hutan Yang Lestari. Darmaga. Bogor. Tidak dipublikasikan. Istomo. 1999. Bibliografi Hasil-Hasil Penelitian Hutan Rawa Gambut Di Indonesia. Periode 1982-1999. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Leighton DR. 1987. Gibbons: Territoriality and Monogami. In: Smuts et al. (Eds.) Primate Societies. Chicago and London: The University of Chicago Pr. Marshall J, Sugardjito J. 1986. Gibbon systematics. In Swindler DR, Erwin J. (Eds). Comparative Primate Biology Vol. I: Systematics, Evolution and Anatomy. New York: Alan R. Liss. Pp 137-185. Mattjik AA dan Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: Program Pascasarjana IPB. MacKinnon K, Hatta G, Halim H, Mangalik A. 2000. Ekologi Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia Buku III. Tjitrosoepomo G, Kartikasari SN, Widyantoro A. Penerjemah: Jakarta: Prehalindo. Terjemahan dari: The Ecology of Kalimantan.
68 McConkey KR. 2000. Primary seed shadow generated by gibbons. In The Rain Forest of Barito Ulu, Central Borneo. American Journal of Primatologi. 52:13-29. McConkey KR, Ario A, Aldy F, Chivers DJ. 2003. Influence of forest seasonality on gibbon food choice in the rain forest of Barito Ulu, Central Kalimantan. Int. J. Primatol. 24(1): 19-32. Napier JR, Napier PH. Academic Press.
1967.
Napier JR, Napier PH. 1985. Cambridge: The MIT Press.
A Hand Book of Living Primates. London: The
Natural
History of
The
Primates.
Nijman V. 2006. Effect of behavioural changes due to habitat disturbance of rain forest vertebrates, as illustrated by gibbons (primate: hylobatidae). http:/diwpa.ecology.kyotou.ac.jp/symposiumabstract/woronoerdjito.pdf. Page SE, Rieley JO, Doody K, Hodgson S, Husson S, Jenkins P, Morrough Bernard H, Otway S, Wilshaw S. 1997. Biodiversity of tropical peat swamp forest: A case study of animal diversity in the Sungai Sebangau catchment of Central Kalimantan, Indonesia. In: Rieley JO, Page SE. (Eds). Tropical Peatlands. Cardigan: Samara Publishing Limited. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Raemaekers J. 1979. Ecology of Sympatric Gibbons. Folia Primatol 31:227245. Richards PW. 1983. The tree dimensional structure of tropical rain forest. In: Sutton LC, Whitmore TC and Chadwick AC. (Eds). Tropical rain forest: Ecology and Management. London: Blackwell Scientific Publications (2): 310. Rieley JO, Page SE, Shepherd PA. 1996. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat Swamp Forest. Nottingham, UK: East Midlands Environmental Consultants. Rinaldi D. 1985. Studi Perilaku Siamang (Hylobates syndactylus) di Taman Nasional Way Kambas. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Riyanto B. 2004. Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan Di Indonesia. Bogor: Penerbit Lembaga Pengkajian hukum Kehutanan dan Lingkungan. Rowe N. 1996. The Pogonias Press.
Pictorial Guide To The Living Primates. New York:
Sariyani S. 2003. Karakteristik dan Kekerabatan Empat Spesies Hylobates Berdasarkan Morfologi dan DNA Mikrosatelit. Tesis. Program Studi Primatologi. Program Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
69 Shepherd PA, Rieley JO, Page SE. 1997. The relationship between forest vegetation and peat characteristics in the upper catchment of Sungai Sebangau, Central Kalimantan. In: Rieley JO, Page SE. (Eds). Tropical Peatlands. Cardigan: Samara Publishing Limited. Singarasa H. 1988. Pemukiman Kembali Penduduk Di Desa Kereng Bangkirai Propinsi Kalimantan Tengah. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Smieth D. 1986. Management of Habitat Conservation Management. Bogor. P-1.
School of Environmental
Soehartono T, Mardiatuti A. 2002. CITES. Implementation in Indonesia. Jakarta: Nagao Natural Environment Foundation. Soerianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan.Bogor: Institut Pertanian Bogor. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Stastistika Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Subcommittee on Conservation of Natural Population. 1981. Techniques For the Study of Primate Population Ecology. Washington, DC: National Academy Press. Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Suliastiadi F. 1986. Interaksi antara masyarakat kecamatan Gunung Kerinci dengan kawasan Taman Nasional Gunung Kerinci seblat. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. Sutisna U, Soeyatman CH, Wardani M. 1988. Analisis Komposisi Jenis Pohon Hutan Rawa Gambut di Tengkiling dan Sampit. Kalimantan Tengah: Buletin Penelitian Hutan (497): 41-51. Torquebian E. 1982. Forest synecology. Lecture Note. Bogor: BIOTROP. Whitington CL. 1992. Interactions Between Lar Gibbons and Pig-tailed Macaques. At Fruit Sources. American Journal of Primatologi. 26: 61-64. Widada, Mulyati S, Kobayashi H. 2003. Sekilas Tentang Konservasi, Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Bogor: Biodiversity Conservation Project. Wiraatmodjo, P. 1975. Hutan Ramin (Gonystylus bancanus) di Kalimantan. Kehutanan Indonesia Tahun II (Nopember). Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta
70 Lampiran 1 Data umum kalawet No 0301 0314 0315 0316 0317 0318 0319 0320 0321 0322 0323 0324 0325 0326 0327 0328 0329 0330 0331 0332 0333 0334
Alamat Jl. Hiu putih VII/26 Palangkaraya Jl. Agung 126 Palangkaraya Jl. Tambora Palangkaraya Jl. Tambora Palangkaraya Jl. Lawu 696 Palangkaraya Jl. Mendawai Palangkaraya Jl. Purnama 49 Banjarbaru Jl. Purnama 49 Banjarbaru Kp. Baru Mtpr Rest. Anugrah Banjarbaru Jl. W. Kusuma No 2 Banjarbaru Taman Idaman Banjarbaru Jl. Pasar Panjang Permai Blok A3 Jl. Cilik Riwut Bamba Jl. Perwita Gg Kenanga IV Mess Meranti I No 1 Gang seroja II No 36 Jl. Singamaruta No 10 Jl. Permai II No 6 Jl. Pasanah 15a Jl. Alhuda Kumai Hulu Jl. Alhuda Kumai Hulu
Asal
Umur
Kelamin
PKBN Muara Teweh Termianglayang, Barat Timur Palangkaraya Buntok Ampah Buntok Pangkalanbun Buntok Pangkalanbun Pangkalanbun Kotawaringin Barat Kotawaringin Barat Mendawai Nangabulik -
Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Remaja Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Remaja Remaja Dewasa Remaja Remaja Dewasa Dewasa Dewasa
Betina Betina Betina Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan
71 Lampiran 2 Hasil Analisis Komponen Utama kalawet jantan dewasa Eigenanalysis of the Covariance Matrix Eigenvalue 26,228 Proportion 0,544 Cumulative 0,544 Eigenvalue Proportion Cumulative
8,597 0,178 0,722
4,501 0,093 0,816
PC3 0,091 0,090 -0,138 -0,095 0,392 0,498 -0,276 0,426 -0,533 0,106
3,765 0,078 0,894
3,396 0,070 0,964
0,780 0,016 0,981
0,556 0,012 0,992
0,295 0,006 0,998
0,072 0,001 1,000
0,014 0,000 1,000
Variable TK PL PB LD PH PRU PTT PF PTF PTK
PC1 0,148 0,152 0,503 0,539 0,195 -0,320 0,067 0,422 0,032 0,295
PC2 -0,091 0,083 0,367 0,252 -0,010 0,755 -0,002 -0,128 0,432 -0,121
Variable TK PL PB LD PH PRU PTT PF PTF PTK
PC9 -0,225 0,107 -0,069 -0,055 -0,431 0,224 0,688 0,219 -0,210 0,357
PC10 0,770 -0,163 -0,164 0,225 -0,515 0,139 -0,123 0,055 -0,034 0,010
PC4 -0,136 -0,074 -0,066 -0,364 -0,207 -0,012 -0,400 0,423 0,515 0,439
PC5 0,056 0,026 -0,607 0,361 0,377 0,061 0,126 -0,249 0,267 0,450
PC6 0,319 0,825 -0,110 -0,273 0,072 -0,055 0,149 0,092 0,230 -0,196
PC7 -0,441 0,360 -0,301 0,483 -0,378 -0,060 -0,373 0,105 -0,119 -0,202
PC8 0,031 0,327 0,294 -0,112 -0,154 0,011 -0,305 -0,559 -0,281 0,534
72 Lampiran 3 Hasil Analisis Komponen Utama kalawet jantan remaja Eigenanalysis of the Covariance Matrix Eigenvalue 19,483 Proportion 0,479 Cumulative 0,479 Eigenvalue Proportion Cumulative
14,005 0,344 0,823
6,171 0,152 0,974
1,041 0,000 0,000 0,026 0,000 0,000 1,000 1,000 1,000
0,000 0,000 1,000
-0,000 -0,000 -0,000 -0,000 1,000 1,000
-0,000 -0,000 1,000
Variable TK PL PB LD PH PRU PTT PF PTF PTK
PC1 -0,141 0,031 0,208 0,144 0,137 0,854 -0,158 0,068 0,355 0,105
PC2 0,130 0,043 0,624 0,540 0,351 -0,288 0,215 0,141 0,042 0,161
Variable TK PL PB LD PH PRU PTT PF PTF PTK
PC9 0,290 -0,147 -0,197 -0,330 0,461 -0,102 0,331 0,014 0,630 -0,132
PC10 -0,082 -0,024 -0,250 0,138 -0,249 -0,078 0,049 0,897 0,168 0,087
PC3 -0,013 -0,062 0,019 -0,407 0,183 0,010 0,043 0,066 -0,191 0,868
PC4 0,015 0,075 -0,142 0,201 -0,018 -0,339 -0,711 -0,175 0,463 0,261
PC5 -0,145 0,198 0,219 -0,060 -0,641 -0,077 0,427 -0,246 0,430 0,207
PC6 -0,499 0,176 0,469 -0,518 0,132 -0,199 -0,236 0,211 0,081 -0,261
PC7 0,366 0,909 -0,082 -0,090 0,076 0,071 -0,012 0,091 -0,071 -0,008
PC8 -0,684 0,262 -0,413 0,271 0,340 -0,072 0,267 -0,147 0,007 0,073
73 Lampiran 4 Hasil Analisis Komponen Utama kalawet Betina Dewasa Eigenanalysis of the Covariance Matrix Eigenvalue 20,678 6,243 Proportion 0,613 0,185 Cumulative 0,613 0,798 Eigenvalue Proportion Cumulative
3,932 0,117 0,915
2,872 0,085 1,000
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
-0,000 -0,000 -0,000 -0,000 1,000 1,000
-0,000 -0,000 1,000
Variable TK PL PB LD PH PRU PTT PF PTF PTK
PC1 -0,157 -0,169 -0,185 -0,108 -0,438 -0,745 -0,129 -0,117 -0,246 -0,253
PC2 0,472 0,273 -0,251 0,369 0,106 -0,452 0,404 -0,001 0,232 0,266
Variable TK PL PB LD PH PRU PTT PF PTF PTK
PC9 -0,144 -0,081 0,235 0,439 0,422 -0,255 -0,584 -0,325 0,166 0,092
PC10 -0,254 0,079 0,218 -0,376 0,506 -0,267 0,329 -0,112 -0,434 0,323
PC3 0,055 -0,229 0,432 -0,447 -0,101 -0,206 0,117 -0,063 0,695 0,069
PC4 -0,340 -0,201 -0,623 -0,160 0,409 -0,081 -0,052 0,373 0,330 -0,066
PC5 -0,023 -0,176 -0,390 -0,091 0,021 0,225 0,208 -0,839 0,090 -0,046
PC6 -0,440 0,139 -0,133 0,070 -0,427 0,064 -0,095 -0,010 0,105 0,747
PC7 0,595 -0,281 -0,205 -0,361 0,046 0,016 -0,445 0,029 -0,195 0,396
PC8 0,026 0,814 -0,116 -0,387 0,032 -0,037 -0,324 -0,141 0,141 -0,162
74 Lampiran 5 Hasil uji-t antara kalawet jantan dewasa dan jantan remaja 1) Two-sample T for TK vs TKR N Mean StDev SE Mean TK 12 7.150 0.980 0.28 TKR 5 6.500 0.791 0.35 Difference = mu (TK) - mu (TKR) Estimate for difference: 0.650000 95% CI for difference: (-0.374424, 1.674424) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.44 P-Value = 0.185 DF = 9 2) Two-sample T for PL vs PLR N Mean StDev SE Mean PL 12 5.23 1.17 0.34 PLR 5 3.800 0.274 0.12 Difference = mu (PL) - mu (PLR) Estimate for difference: 1.43333 95% CI for difference: (0.65880, 2.20786) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4.00 P-Value = 0.002 DF = 13 3) Two-sample T for PB vs PBR N Mean StDev SE Mean PB 12 30.38 3.04 0.88 PBR 5 27.20 2.51 1.1 Difference = mu (PB) - mu (PBR) Estimate for difference: 3.17500 95% CI for difference: (-0.05158, 6.40158) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.23 P-Value = 0.053 DF = 9 4) Two-sample T for LD vs LDR N Mean StDev SE Mean LD 12 34.29 3.06 0.88 LDR 5 29.10 2.36 1.1 Difference = mu (LD) - mu (LDR) Estimate for difference: 5.19167 95% CI for difference: (2.08315, 8.30018) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.78 P-Value = 0.004 DF = 9 5) Two-sample T for PH vs PHR N Mean StDev SE Mean PH 12 20.92 1.56 0.45 PHR 5 17.40 1.52 0.68
75 Difference = mu (PH) - mu (PHR) Estimate for difference: 3.51667 95% CI for difference: (1.58995, 5.44338) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4.32 P-Value = 0.003 DF = 7 6) Two-sample T for PRU vs PRUR N Mean StDev SE Mean PRU 12 20.42 2.95 0.85 PRUR 5 21.50 3.94 1.8 Difference = mu (PRU) - mu (PRUR) Estimate for difference: -1.08333 95% CI for difference: (-6.11185, 3.94519) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.55 P-Value = 0.604 DF = 5 7) Two-sample T for PTT vs PTTR N Mean StDev SE Mean PTT 12 14.50 1.13 0.33 PTTR 5 12.10 1.29 0.58 Difference = mu (PTT) - mu (PTTR) Estimate for difference: 2.40000 95% CI for difference: (0.77495, 4.02505) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.61 P-Value = 0.011 DF = 6 8) Two-sample T for PF vs PFR N Mean StDev SE Mean PF 12 18.58 2.57 0.74 PFR 5 15.100 0.652 0.29 Difference = mu (PF) - mu (PFR) Estimate for difference: 3.48333 95% CI for difference: (1.75855, 5.20811) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4.36 P-Value = 0.001 DF = 13 9) Two-sample T for PTF vs PTFR N Mean StDev SE Mean PTF 12 15.50 2.06 0.59 PTFR 5 13.90 1.71 0.76 Difference = mu (PTF) - mu (PTFR) Estimate for difference: 1.60000 95% CI for difference: (-0.59006, 3.79006) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.65 P-Value = 0.133 DF = 9
76 10) Two-sample T for PTK vs PTKR N Mean StDev SE Mean PTK 12 12.33 2.00 0.58 PTKR 5 9.90 2.30 1.0 Difference = mu (PTK) - mu (PTKR) Estimate for difference: 2.43333 95% CI for difference: (-0.45630, 5.32297) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.06 P-Value = 0.085 DF = 6 11) Two-sample T for BB vs BBR N Mean StDev SE Mean BB 12 3.97 1.04 0.30 BBR 5 3.140 0.456 0.20 Difference = mu (BB) - mu (BBR) Estimate for difference: 0.826667 95% CI for difference: (0.049804, 1.603529) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.28 P-Value = 0.039 DF = 14
77 Lampiran 6 Hasil uji-t antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa 1) Two-sample T for TKJ vs TKB N Mean StDev SE Mean TKJ 12 7.150 0.980 0.28 TKB 5 8.00 1.50 0.67 Difference = mu (TKJ) - mu (TKB) Estimate for difference: -0.850000 95% CI for difference: (-2.721546, 1.021546) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.17 P-Value = 0.296 DF = 5 2) Two-sample T for PLJ vs PLB N Mean StDev SE Mean PLJ 12 5.23 1.17 0.34 PLB 5 6.00 1.17 0.52 Difference = mu (PLJ) - mu (PLB) Estimate for difference: -0.766667 95% CI for difference: (-2.240599, 0.707265) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.23 P-Value = 0.258 DF = 7 3) Two-sample T for PBJ vs PBB N Mean StDev SE Mean PBJ 12 30.38 3.04 0.88 PBB 5 26.70 1.72 0.77 Difference = mu (PBJ) - mu (PBB) Estimate for difference: 3.67500 95% CI for difference: (1.15614, 6.19386) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.15 P-Value = 0.008 DF = 13 4) Two-sample T for LDJ vs LDB N Mean StDev SE Mean LDJ 12 34.29 3.06 0.88 LDB 5 35.30 1.40 0.62 Difference = mu (LDJ) - mu (LDB) Estimate for difference: -1.00833 95% CI for difference: (-3.32654, 1.30987) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.93 P-Value = 0.367 DF = 14 5) Two-sample T for PHJ vs PHB N Mean StDev SE Mean PHJ 12 20.92 1.56 0.45 PHB 5 21.10 2.13 0.95
78 Difference = mu (PHJ) - mu (PHB) Estimate for difference: -0.183333 95% CI for difference: (-2.896380, 2.529714) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.17 P-Value = 0.869 DF = 5 6) Two-sample T for PRUJ vs PRUB N Mean StDev SE Mean PRUJ 12 20.42 2.95 0.85 PRUB 5 19.10 3.60 1.6 Difference = mu (PRUJ) - mu (PRUB) Estimate for difference: 1.31667 95% CI for difference: (-3.13620, 5.76954) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.72 P-Value = 0.497 DF = 6 7) Two-sample T for PTTJ vs PTTB N Mean StDev SE Mean PTTJ 12 14.50 1.13 0.33 PTTB 5 14.40 1.19 0.53 Difference = mu (PTTJ) - mu (PTTB) Estimate for difference: 0.100000 95% CI for difference: (-1.378714, 1.578714) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.16 P-Value = 0.877 DF = 7 8) Two-sample T for PFJ vs PFB N Mean StDev SE Mean PFJ 12 18.58 2.57 0.74 PFB 5 17.800 0.837 0.37 Difference = mu (PFJ) - mu (PFB) Estimate for difference: 0.783333 95% CI for difference: (-1.001355, 2.568021) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.94 P-Value = 0.362 DF = 14 9) Two-sample T for PTFJ vs PTFB N Mean StDev SE Mean PTFJ 12 15.50 2.06 0.59 PTFB 5 14.10 1.95 0.87 Difference = mu (PTFJ) - mu (PTFB) Estimate for difference: 1.40000 95% CI for difference: (-1.09384, 3.89384) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.33 P-Value = 0.226 DF = 7
79 10) Two-sample T for PTKJ vs PTKB N Mean StDev SE Mean PTKJ 12 12.33 2.00 0.58 PTKB 5 12.10 1.34 0.60 Difference = mu (PTKJ) - mu (PTKB) Estimate for difference: 0.233333 95% CI for difference: (-1.601021, 2.067688) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.28 P-Value = 0.785 DF = 11 11) Two-sample T for BBJ vs BBB N Mean StDev SE Mean BBJ 12 3.97 1.04 0.30 BBB 5 3.920 0.740 0.33 Difference = mu (BBJ) - mu (BBB) Estimate for difference: 0.046667 95% CI for difference: (-0.947283, 1.040616) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.10 P-Value = 0.919 DF = 10
80 Lampiran 7 Persamaan ukuran dan bentuk tubuh dengan keragaman total dan nilai Eigen (Eigen value) pada kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa Kalawet
Jantan Dewasa
Jantan Remaja
Betina Dewasa
Persamaan Ukuran Tubuh = 0,148 X1 + 0,152X2 0,539X4 + 0,195X5 0,067X7 + 0,422X8 0,295X10 Bentuk Tubuh = -0,091X1 + 0,083X2 0,252X4 - 0,010X5 0,0,02X7 - 0,128X8 0,121X10
+ 0,503X3 + - 0,320X6 + + 0,032X9 + + 0,367X3 + + 0,755X6 + 0,432X9 -
Ukuran Tubuh = -0,141X1 + 0,031X2 + 0,208X3 + 0,144X4 + 0,137X5 + 0,854X6 0,158X7 + 0,068X8 + 0,355X9 + 0,105X10 Bentuk Tubuh=
0,130X1 + 0,043X2 + 0,624X3 + 0,540X4 - 0,351X5 - 0,288X6 + 0,215X7 + 0,141X8 + 0,042X9 + 0,161X10
Ukuran Tubuh = 0,157X1 + 0,169X2 + 0,185X3 + 0,108X4 + 0,438X5 + 0,745X6 + 0,129X7 + 0,117X8 + 0,246X9+ 0,253X10 Bentuk Tubuh = 0,472X1 + 0,273X2 – 0,251X3 + 0,369X4 + 0,106X5 - 0,452X6 + 0,404X7 - 0,001X8 + 0,232X9 + 0,266X10
KT (%)
(λ)
54,4
26,228
17,8
8,597
47,9
19,483
34,4
14,005
61,3
20,678
18,5
6,243
Keterangan: X1 = tinggi kepala; X2 = panjang leher; X3 = panjang badan; X4 = lingkar dada; X5 = panjang humerus; X6 = panjang radius ulna; X7 = panjang telapak tangan ; X8 = panjang femur ; X9 = panjang tibia fibula ; X10 = panjang telapak kaki KT = Keragaman Total, λ = nilai Eigen.
81 Lampiran 8 Nilai koefisien korelasi dengan komponen utama I (ukuran) dan komponen utama II (bentuk) antara kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa Kalawet Peubah (cm) Jantan Dewasa Jantan Remaja Betina KU I KU II KU I KU II KU I KU II Tinggi kepala
0,772
-0,272
0,437
-0,431
0,477
0,787
Panjang leher
0,668
0,210
-0,786
0,616
0,655
0,581
Panjang badan
0,848
0,354
0,502
0,594
0,489
-0,366
Lingkar dada
0,903
0,241
0,365
0,929
0,353
0,660
Panjang humerus
0,640
-0,018
0,27
0,858
0,933
0,124
Panjang radius ulna
-0,555
0,749
0,398
0,867
0,942
-0,314
Panjang telapak tangan
0,304
-0,006
0,958
-0,274
0,491
0,846
Panjang femur
0,840
-0,145
-0,54
0,622
0,638
-0,004
Panjang tibia fibula
0,079
0,616
0,458
0,807
0,573
0,298
Panjang telapak kaki
0,753
-0,177
0,916
0,091
0,859
0,495
82 Lampiran 9 Data survei populasi pada setiap jalur penelitian Jalur 0
Ulangan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jml Kelompok
0
0
1
0
1
1
1
2
0
0
Jml Ekor/Klpk
0
0
3
0
4
4
3
3,3
0
0
Total Observasi : 6 Kelompok dan 20 ekor kalawet
Jalur 1A
Ulangan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jml Kelompok
0
2
0
1
0
0
1
0
1
0
Jml Ekor/Klpk
0
2,3
0
3
0
0
4
0
3
0
Total Observasi : 5 Kelompok dan 15 ekor kalawet
Jalur 2
Ulangan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jml Kelompok
0
1
0
1
0
0
1
1
0
0
Jml Ekor/Klpk
0
3
0
2
0
0
4
2
0
0
Total Observasi : 4 Kelompok dan 11 ekor kalawet.
83 Lampiran 10 Nama-nama jenis tumbuhan yang di jumpai di lokasi penelitian No.
Famili
Nama Latin
Nama Lokal
Keterangan
1. 2. 3.
Anacardiaceae Anisophyllaceae Annonaceae Aquifoliaceae
5.
Apocynaceae
6. 7.
Celasteraceae Clusiaceae
8. 9.
Crypteroniaceae Dipterocarpaceae
Terantang Tumih Kambalitan Jangkang merah Jangkang putih Tebaras Kayu tepung Pulai Jelutung Perupuk gelagah Jinjit Kapur naga duduk Kapur naga jangkar Manggis Mertibu Rasak Meranti tembaga Meranti bunga Meranti batu Uring pahe Kacapuri Galam tikus putih Pupuh pelanduk
√
4.
Camnosperma coriaceum Combretacarpus rotundatus Mezzetia umbellata Xylopia coriifolia Xylopia fusca Ilex hypoglauca Ilex walichii Alstonia angusifolia Dyera costulata Lophopetalum javanicum Calophyllum canum Calophyllum lowii Calophyllum sclerophyllum Garcinia rostrata Dactylocladus stenostachys Cotylelobium lanceolatum Shorea guiso Shorea teysmanniana Shorea uliginosa Diospyros confertiflora Diospyros pseudomalabarica Antidesma coriaceum Blumeodendron elateriospermum Blumeodendron tokbrai Neoscortechinia phillipinensis Kompassia malaccensis Castanopsis foxworthyii Gnetum negletum Cratoxylon glaucum Stemonurus scorpioides Litsea gracilipes Litsea rufo-fusca Ctenolophon parvifolius Aromadendron nutans Aglaia rubiginosa Sandoricum beccarianum Ficus sp Parartocarpus venenossus Horsfieldia crassifolia Syzygium clavatum Syzygium remotifolium Syzygium valdevenosum Tristania obovata Tristaniopsis whiteana Licania splendens Tetractomia tetrandra Nephellium maingayi Madhuca mottleyana Palaquium leiocarpum Palaquium ridleyii Payena lerii Tetramerista glabra Gonystylus bancanus
Kenari Lampuak Bengaris Pampaning Liana Gerunggang Pasir-pasir Medang putih Medang telor Bintan Kambasira Kajalaki Papung Lunuk punei Nangka hutan Mendarahan merah Jambu Galam tikus merah Galam merah Pelawan merah Pelawan putih Karipak Rembangun Piais Katiau Hangkang Nyatu babi Nyatu undus Punak Ramin
√ √ √ √ √ √
10.
Ebenaceae
11.
Euphorbiaceae
12. 13. 14. 15. 16. 17.
Fabaceae Fagaceae Guetaceae Hyperiaceae Icacinaceae Lauraceae
18. 19. 20.
Linaceae Magnoliaceae Meliaceae
21.
Moraceae
22. 23.
Myristicaceae Myrtaceae
24. 25. 26. 27.
Rosaceae Rutaceae Sapindaceae Sapotaceae
28. 29.
Theaceae Thymelaeaceae
Keterangan: √ = Sumber pakan
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √