DICETAK DI ATAS KERTAS DAUR ULANG
1
INTRODUKSI
TAMAN NASIONAL DI TENGAH PROP. JAMBI LAP. UTAMA
ORANG RIMBA Tempo Doeloe, BADUY DALAM-nya SUMATERA
VOLUME I - NO: 1/ JANUARI 2001
AKTUAL
NASIB ORANG RIMBA MAKIN TRAGIS
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
2
Susunan Redaksi
Dari Redaksi
Penanggung Jawab Rudi Syaf Editor Erdi Taufik Pelaksana Tim WARSI Artistik Aulia Erlangga Distribusi Aswandi
idang Pembaca, tahun berganti dan era pun berubah. Memasuki era milenium III ini, AS&P,
S
buletin yang tengah Anda baca ini, juga mengikuti alur itu. Ada dua perubahan mendasar
yangperlukamilakukan,yaknipadastrukturkeredaksiandannama(sekaligus logo)buletin.
Dari susunan redaksi, mulai edisi ini sejumlah nama akan hilang dari biasanya. Buletin ini melepas kerjasama dengan WWF ID 0117 Taman Nasional Bukit 30. Perubahan ini terpaksa kami lakukan – meski dengan berat hati, karena proyek WWF ID 0117, sejak akhir tahun 2000 lalu sudah selesai masa tugasnya. Dan sebagaimana Anda bisa lihat di sisi kiri halaman ini, struktur keredaksian (untuk sementara)hanyamelibatkanstafWarsi.
Tentu kami tidak ingin “menangisi“ kepergian kawan-kawan dari WWF ID 0117, yang sejak awal telahmemberikontribusiyangsangatbesarterhadapisidarisetiapedisiyangkamiterbitkan. Buletin ini tetap membuka diri untuk kerjasama dengan lembaga lain, terutama organisasi nonpemerintah, yang memiliki kepedulian terhadap kawasan konservasi sumberdaya alam dan hutan, khususnya di Pulau Sumatera. Kami berharap kerjasama itu bisa terwujud mulai edisi mendatang.
Begitupun dari segi nama. Kami memang sengaja melakukan perubahan, dengan melepas kata Foto Cover: Oyvind Sandbukt
“Pembangunan” di belakangnya, sehingga menjadi Alam Sumatera. Penghilangan kata pembangunan bukan berarti kami tidak suka dengan kata itu —yang memang sudah lama mengalami inflasi. Kami sadar,titikperhatiankami,sejakterbitpertamakali,lebihkepadaalamdansedikit“mengabaikan”aspek
Alam Sumatera adalah Buletin Intern yang dikelola oleh WARSI (Warung Informasi Konservasi)
pembangunan –walaupun filosofinya tetap tidak bisa lepas dari aspek pembangunan itu sendiri.
Itulah, antara lain, sidang pembaca, beberapa perubahan yang dialami buletin ini. Perubahan tahun 2000 menjadi 2001, tentu, bukan sekadar penggantian angka di belakangnya. Ia bisa memberi
Jl. Teuku Umar No.24 RT.09/RW03 - P.O.BOX 28 BKO 37312, Jambi Telp : (0746) 21508 Fax : (0746) 322178 E-mail:
[email protected] Website:http:\\www.warsi.or.id
makna pada upaya pelestarian alam dan hutan secara berkelanjutan. Itulah soalnya. Akhir kata, mohon maaf atas keterlambatan edisi ini ke hadapan Anda, sidang pembaca.
Salamlestari
KONSEP 3
Pengelolaan Partisipatif erhatian terhadap pelibatan masyarakat dalam pembangunan bukanlah merupakan hal yang baru saat ini. Setidaknya wacana ini mulai banyak mengemuka pada pertengahan tahun 70-an. Meskipun pada awalnya partisipasi lokal dalam pembangunan banyak yang memandangnya lebih sebagai mitos daripada praktek nyata.
P
Kesadaran pentingnya pelibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan hingga saat ini terus berkembang. Pendekatanpartisipatif mulaibanyakditerapkandalamberbagai proyek pembangunan yang mencoba memandang permasalahan secara menyeluruh(integrated). Pelibatan masyarakat menjadi salahsatuciriupayapembangunanyangbersifatintegralsaatini. Termasuk dalam proyek yang menggunakan pendekatan partisipatif adalah upaya konservasi di kawasan konservasi. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi diyakinisebagaisalahsatusyaratkeberhasilanupayakonservasi. Dalam pengelolaan sumberdaya alam secara umum, dimana masyarakat lokal memiliki ketergantungan terhadapnya maka pelibatan mereka menjadi sangat penting. Dalam hal ini tidak hanya dalam hal pembagian pendapatan, tetapi juga dalam kontrol pengelolaannya. Kawasankonservasi,sepertitamannasionalyangbanyakterdapat di Indonesia, dalam pengelolaannya saat ini masih banyak yang tidakmelibatkanmasyarakatlokal. Masyarakatlokalhinggasaat ini lebih banyak menanggung‘cost’ denganadanyataman nasional daripada keuntungan yang didapat secara ekonomi. Bagaimana menyeimbangkan kedua hal tadi merupakan salah satu permasalahan yang harus dipecahkan dengan pelibatan masyarakat. Hingga saat ini telah banyak proyek yang memadukan pembangunan pedesaan dengan upaya konservasi, untuk mencoba menjaminkan kelestarian kawasan konservasi. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan proses yang dinamis, bukan statis. Partisipasi merupakan proses yang bisa bergerak diantara dua kutub. Pelibatan bisa berwujud pasif, hanya dengan menginformasikan aturan pengelolaan yang sudah ada, sampai pada pelibatan yang menjadikan masyarakat sebagai pengelola sepenuhnnya. Taman Nasional Bukit Duabelas yang baru saja lahir adalah salah satu contoh kawasan konservasi yang memiliki hubungan erat dengan masyarakat lokal. Di dalamnya tinggal masyarakat dengan ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya hutan. Langkah pengelolaan yang diterapkan akan sangat mempengaruhi hubungan tersebut. Pada kasus seperti ini keterlibatan mereka
dalam pengelolaan adalah mutlak diperlukan. Setidaknya ada dua aspek yang harus ditargetkan dari pengelolaan, yaitu kelestariankawasankonservasidanmanfaatnyatabagimasyarakat. Tidak hanya bagi masyarakat yang tinggal di dalam kawasan, tetapijugayangberadadisekelilingkawasan(daerahpenyangga). Mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat merupakan tantangan besar dalam dunia konservasi saat ini, termasuk di Indonesia. Di saat tekanan terhadap sumberdaya alam khususnya hutan terus meningkat, makin menjadikanpendekatanpartisipatifsebagaisatulangkahstrategis yang sudah seharusnya dilakukan. (A.B. Utomo)
INTRODUKSI
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
4
Taman Nasional Bukit Duabelas,
Taman Nasional di Tengah Propinsi Jambi ebuah taman nasional baru telah lahir di jantung Propinsi Jambi dengan nama Taman National Bukit Duabelas. Tamannasionaliniditetapkantahunlalu,padahariterakhir tugas Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nur Mahmudi Ismail, sebelum kabinet Pemerintahan Abdurrahman Wahid demisioner, dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan kemudian dimerger ke dalam Departemen Pertanian (dan Kehutanan). Dengan penetapan ini, Propinsi Jambi memiliki empat taman nasional. Tiga taman lainnya adalah Kerinci Seblat, Bukit Tigapuluh dan Berbak..
S
Dengan ukuran luas 60.500 ha, sesungguhnya Bukit Duabelas tergolong kecil untuk kategori taman national, dibanding yang sudah ada di Indonesia. Namun banyak kekhasan dari taman yang baru ini yang menarik. Di antaranya adalah adanya masyarakat asli yang telah lama mendiami kawasan Bukit Duabelas, yakni Orang Rimba atau pemerintah menyebutnya
Suku Anak Dalam. Dengan keluarnya SK Nomor 258/KptsII/2000, menjadikan keberadaan mereka di diakui secara legal di dalam taman nasional. Agaknya, inilah satu-satunya taman nasional di Indonesia yang dari awal pembentukkannya telah mengakui dan mempertimbangkan keberadaan masyarakat asli yang masih hidup nomaden. Perjalanan pembentukan taman nasional di kawasan Bukit Duabelas memiliki sejarah yang cukup panjang dan melibatkan banyak dalam proses pembentukkannya: mulai dari kalangan LSM, perguruan tinggi, pemerintah daerah, instansi kehutanan, dan masyarakat Jambi. Pada tahun 1984, Gubernur Jambi mengusulkan adanya peruntukkan kawasan bagi Orang Rimba di Bukit Duabelas. Usulan itu kemudian diakomodasi melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dengan menetapkan Bukit Duabelas sebagai kawasan cagar biosfer. Areal cagar biosfer dengan luas sekitar 26.800 ha ini terletak di kawasan perbukitan, yang sesungguhnya bukan merupakan areal yang menjadi konsentrasi penyebaran Orang Rimba. BAPPEDA Tingkat I Jambi pada tahun 1994 sudah menyadari bahwa cagar biosfer itu perlu dikembangkan ke arah utara agar bisa mencakup konsentrasi penyebaran Orang Rimba. Hal ini muncul setelah BAPPEDA bersama BPN Jambi melakukan analisa dan desain tata ruang untuk kawasan itu. Namun analisa itutidakadatindaklanjutnyadanhilangbegitu saja.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
5 akhirnya juga mendukung usulan perluasan. Begitu juga kalangan perguruan tinggi dan akademisi, baik yang berada di Jambi maupun Jakarta dan Bogor, yang ikut memberi dorongan Hal yang sama juga dilakukan kalangan wartawan, yang membantu mempublikasikan berbagai persoalan di Bukit Duabelas. Dukungan yang sangat berarti datang dari Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin, yang baru terpilih waktu itu. Setelah mendengar langsung masalah yang dihadapi Orang Rimba, Gubernur segera mengirim surat dan mendesak Menhutbun untuk memperluas Cagar Biosfer Bukit Duabelas.
Seiring dengan berjalannya waktu ancaman peminggiran Orang Rimba pun makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh tingginya pembukaan hutan. Hutan alam yang tersisa di Bukit Duabelas, yang merupakan sumber penghidupan mereka, malah segera akan melayang dengan adanya berbagai rencana konversi. Bahkan, ancaman itu disertai dengan proses tebang habis, yang sudah berlangsung sejak tahun 1997. Mulai tahun 1998, Warsi (Warung Informasi Konservasi) menemui berbagai pihak untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi Orang Rimba, khususnya yang berada Bukit Duabelas. Dengan melihat persoalan di Bukit Duabelas secara menyeluruh, Warsi meminta berbagai rencana konversi itu segera dibatalkan dan mengusulkan perluasan cagar biosfer ke arahutara.
Pertengahan tahun 1999, Menhutbun (saat itu) Muslimin Nasution, mengeluarkan keputusan untuk menghentikan kegiatan pengambilan kayu di areal perluasan, membatalkan rencana memberi izin konversi, serta dan membentuk Tim Peninjau Lapangan.
Melalui usulan ini, hutan alam yang tersisa di Bukit Duabelas diharapkan bisa selamat dari kehancuran. Secara lebih luas, upaya penyelamatan hutan alam di jantung Propinsi Jambi itu menjadi sangat penting mengingat perannya sebagai daerah tangkapan air yang penting bagi DAS Batanghari bagian tengah.
Pada akhirnya perluasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas menjadi usulan masyarakat Jambi. Hal ini terlihat saat kedatangan Tim Peninjau, yang dibentuk dan berkunjung ke lapangan untuk mendengarkan tanggapan berbagai pihak. Akhirnya tim ini merekomendasikan perluasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas sesuai dengan tuntunan daerah.
Melalui berbagai kesempatan, ancaman yang dihadapi Orang Rimba dan hutan mereka yang tersisa, sudah disampaikan ke berbagai pihak, baik di daerah Jambi maupun di tingkat nasional. Sambutan dan dukungan kemudian muncul. Forum Penyelamat Hutan Jambi (FPHJ), forum LSM Jambi dimana Warsi juga menjadi anggota, turut mendorong proses usulan perluasan cagar biosfer. Kanwil Kehutanan Jambi pada
H
ompongon. Begitu Orang Rimba menyebut ladang mereka yang berada di sisi paling luar Taman Nasional Bukit 12. Kawasan paling luar ini merupakan tempat strategis dan sangat rawan, karena menjadi incaran orang-orang desa untuk masuk ke dalam kawasan taman. Agar orang desa tidak masuk ke dalam taman, baik untuk membuka ladang maupun mengambil kayu, Orang Rimba membuat Hompongon. Hompongon memang berfungsi menghempang laju tekanan dari luar. Berdasarkan sistem perladangan yang berlaku di Jambi, arah pembukaan ladang tidak boleh melewati ladang milik orang lain. Dengan kata lain, Hompongon ini akan menjadi batas simbolik antara wilayah Orang Rimba dengan orang desa. Hompongon sekaligus menjadi zona kawasan hidup Orang Rimba. Pembuatannya dibuat secara bertahap, sesuai dengan kebiasaan mereka berladang. Selain untuk pengamanan, Hompongon sekaligus berfungsi mempersiapkan sumber penghidupan anak cucu orang rimba kelak di dalam taman. Selain menanam ubi, mereka juga menanam karet dalam Hompongon. Dengan cara ini, secara perlahan Orang Rimba akan pindah dari zona inti taman ke zona pemanfaatan yang berada pada sisi luar.
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Hompongon, Pagar Taman Nasional
Namun, perjalanan usulan itu belum mulus. Memasuki tahun 2000, keputusan mengenai perluasan cagar masih belum jelas. Prosesnya mengalami hambatan karena berkaitan dengan pergantian kabinet, termasuk Menhutbun. Lalu, bersama-
Ladang Orang Rimba : Hompongon ini akan menjadi batas simbolik antara wilayah Orang Rimba dengan orang desa. Dengan sistem Hompongon ini pula, kelompok Tumenggung Tarib, Orang Rimba yang tinggal di sisi selatan taman nasional memperoleh penghargaan berupa Kehati Award 2000, bulan Februari tahun lalu. Sebab, menurut penilaian Yayasan Kehati selaku panitia pemberian penghargaan, Hompongon sekaligus berfungsi menyelamatkan keragaman hayati dan plasma nutfah, yang berada dalam taman. (Rober t A.)
INTRODUKSI bentuk kawasan konservasi tersendiri atau sebagai konsep pengelolaansaja? Taman nasional yang telah ditetapkan, sesungguhnya lebih luas dariusulanperluasancagarbiosfer. SisaarealdiBukitDuabelas yang belum dibebani hak pengelolaan, akhirnya dimasukkan ke dalam taman nasional. Termasuk di dalam lahan-lahan yang telah dibuka masyarakat desa yang dijadikan perladangan dan perkebunan. Padahal, melalui usulan yang diajukan, lahan yang telah dikuasai masyarakat desa telah dikeluarkan. Yang masuk dalam usulan perluasan cagar biosfer hanyalah hutan alam dan lahan Orang Rimba. Dengan batas taman yang ada dalam peta lampiran SK Menhutbun itu, tentu akan menimbulkan masalah baru dalam pengelolaan nantinya.
sama Gubernur Jambi dan wakil Orang Rimba, Warsi, bulan April 2000, kembali menyampaikan usulan perluasan itu kepada Menhutbun yang baru, Nur Mahmudi Ismail, pengganti Muslimin Nasution. Bulan Agustus tahun 2000 akhirnya keluarlah keputusan yang ditunggu-tunggu. Bahkan bukan perluasan cagar biosfer yang diberikan, tetapi taman nasional. Meskipun status kawasan yang diinginkan adalah cagar biosfer, setidaknya hal itu cukup melegakan banyak pihak. Sebab SK yang ditandatangi Menhutbun antara lain memuat adanya kepentingan Orang Rimba sebagai salah satu pertimbangan untuk menetapkan kawasan itu menjadi taman nasional.
Kini hutan alam yang tersisa di jantung sebuah propinsi, yang menjadi sumber hidup bagi sebuah kelompok masyarakat, telah berstatus dilindungi. Hal ini merupakan awal dari keseluruhan upaya. Soalkeberlanjutandankelestariantamannasionaldimasa datang, adalah tantangan nyata yang harus dihadapi.
Memang, yang paling cocok untuk Bukit Duabelas sebenarnya adalahcagarbiosfer. IniterkaitdengankeberadaanOrangRimba yang masih hidup nomaden di dalamnya. Jika berstatus cagar biosfer, kawasan itu dimungkinkan untuk memberikan lebih banyak pilihan pengelolaan dibandingkan berstatus taman nasional.
Penetapan Taman Nasional Bukit Duabelas adalah bagian dari upaya melestarikan ekosistem hutan tropis dataran rendah, yang hari ke hari makin terancam kelestariannya. Bukan usaha mudah, memang, namun harus tetap diupayakan. Yang jelas, pelestarian taman nasional ini membutuhkan peran banyak pihak. Pengelolaannya tidak boleh ditumpukan pada satu pihak saja, tapi melihatkan berbagai pihak dan dilakukan secara bersamasama. (Agus Budi Utomo)
Harus diakui, peraturan perundangan di Indonesia mengani cagar biosfer belum lengkap. Satu-satunya yang memuat kata “cagar biosfer” hanya UU No. 5 Tahun. 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. Tidak ada peraturan pelaksanaanmengenaicagarbiosfer.DiIndonesiamemangdikenal beberapacagarbiosferyangditetapkansebagaijaringan‘biosphere reserve’ internasional. Kekurangan peraturan yang ada itu pada akhirnyamelahirkanpertanyaan;apakahcagarbiosfersebagaisuatu
T
aman Nasional Bukit 12 bukan hanya punya hutan dengan ekosistem unik dan fungsi hidro-orologis (tata guna air) untuk Propinsi Jambi. Tumbuhan, hewan dan juga cendawan, yang hidup dalam kawasan itu pun berguna bagi penduduk negeri ini, yakni memiliki indikasi biota medika. Potensi itu telah dibuktikan Tim Biota Medika sewaktu melakukan penelitian di Bukit 12, akhir 1998 lalu. Mereka berasal dari berbagai instansi: LIPI, IPB dan UI. Selama sepuluh hari di lapangan, tim ini mencermati satu-persatu jenis tanaman dan hewan yang hidup dalam kawasan itu dan berpotensi memiliki kandungan bahan baku untuk obat-obatan. Jenis biota medika yang mereka temukan berjumlah 137 jenis. Sebagian besar berpotensi mengobati berbagai penyakit; mulai kulit, saluran pencernaan dan pernapasan, hingga penyakut dalam. Sebanyak 101 jenis berasal dari tumbuh-tumbuhan, bersumber dari empat macam habitus (pohon, herba, liana dan perdu). Jenis tumbuhan ini berpotensi untuk mengobati 54 jenis penyakit; Dari unsur cendawan ditemukan 27 jenis. Sebagian besar berasal dari hutan sekunder, juga di ladang dan pinggir jalan. Jenis biota ini
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Potensi yang Terabaikan
Orang RImba & Rotan berpotensi mengobati 24 jenis penyakit. Sisanya, 9 jenis hewan: mulai dari beruang, buaya, kijing, lintah, yang hidup di hutan primer dan sekunder. Hewan ini berpotensi mengobati 11 jenis penyakit: . Di saat prinsip Kembali ke Alam dengan memanfaatkan obat asli, ternyata potensi biota ini juga terancam, seiring dengan gangguan penebangan ilegal yang tengah dihadapi taman nasional . (ET)
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
A
LAPORAN UTAMA
Sebuah Ikhtiar Pengelolaan Bersama Pendahuluan aman Nasional Bukit Duabelas, yang berada di jantung Propinsi Jambi, telah lahir dengan berbagai harapan. Sebagai kawasan konservasi, taman ini diharapkan bisa melestarikan hutan tropis dataran rendah yang kaya dengan keragamanhayati. Keberadaaanya juga diharapkan bisa melindungi tataguna air (hidro-orologi) dari bagian tengah DAS Batanghari.
T
Satu kekhasan yang dimiliki taman nasional ini dalam pembentukkannya adalah pertimbangan adanya satu masyarakat lokal yang telah lama menghuni kawasan ini, yaitu Orang Rimba. Secara langsung SK Menhutbun No. 258/Kpts-II/2000 tentang penetapan kawasan ini sebagai taman nasional, telah memberikan legalitas bagi keberadaan Orang Rimba di dalamnya. Oleh karena itu juga menjadi harapan, agar Orang Rimba yang ada di dalam kawasan mendapatkan jaminan akses berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan nonkayu. Masalahnya, bagaimana taman ini dikelola sehingga bisa mewujudkan harapan itu? Banyak cara dan model pengelolaan yang bisa dikembangkan dan diterapkan di Taman Nasional Bukit Duabelas. Seyogyanya, sisi pengelolaan bisa memperhatikan segenap aspek yang menjadi karakteristik kawasan, dengan menggunakan pendekatan holistik; mengabungkan pemikiran bio-fisik dan sosial budaya. Masalah Aparat pemerintah dengan instansi yang ditunjuk bisa saja menjadi sebuah lembaga yang berkuasa penuh, mengatur segala hal berkaitan dengan pengelolaan taman. Dengan kewenangan yang dimiliki, instansi itu dapat menentukan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan di dalam taman, kemudian pihak lainnya yang berkepentingan harus tunduk. Hanya saja model pengelolaan seperti itu sulit mewujudkan harapan semua pihak. Kelestarian taman tidak bisa terjamin dengan pengaturan yang terpusat hanya pada instansi pemerintah, dalam hal ini kehutanan, sebagai lembaga pengontrol. Rasa memiliki dan tanggung jawab bagi pelestarian taman ini seharusnya menjadi milik bersama dari komunitas. Demikian pula dari segi azas manfaat, baiksecaraekologi,sosialdanekonomi,seyogyanyabisadirasakanmasyarakatluas.
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
LAPORAN UTAMA 8 Banyak pihak di luar pemerintah yang berkepentingan atas kelestarian taman nasional. Ada pihak Orang Rimba yang sangat berkepentingan dengan kelestarian kawasan, karena kawasan hidup mereka berada di dalamnya. Kepentingan mereka akan terkenadampaklangsungdaripengelolaanyangditerapkan. Selain itu setiap interaksi mereka dengan sumberdaya di dalam taman jelas akan memberi dampak terhadap pengelolaan. Disini sangat terlihat bahwa Orang Rimba sesungguhnya merupakan pihak kunci dalam pengelolaan TNBD.
Logpond dan Kayu Siluman
S
iapa tidak kenal log-pond (lokasi penimbunan kayu hasil tebangan) di Sungai Ruan. Desa ini berada di pinggiran Sungai Batanghari, tepatnya di Kecamatan Maroseboulu, Kabupaten Batanghari. Setiap hari, beribu-ribu kubik kayu-kayu gelondongan siap dialirkan sungai terpanjang di Propinsi Jambi, sesuai pesanan; bisa ke pabrik pengolahan kayu, sawmill besar dan, bahkan, diekspor. Juga sudah menjadi rahasia umum, lokasi berukuran sekitar 2 hektar itu juga menjadi muara dari sebagian besar kayu ilegal dari Taman Nasional Bukit 12. Meski berlangsung terang-terangan, hingga kini kegiatan ilegal itu belum tersentuh hukum. Informasi yang didapat menyebutkan, saat ini tidak kurang dari 60-an truk beroperasi setiap hari, mengangkut hasil jarahan milik sekitar 700-an pebalok setiap hari. Buktinya.bisa dilihat dengan kasat mata. Kayukayu yang dikeluarkan tanpa dilengkapi surat angkut kayu bulat (SAKB). Log-pond ini, awalnya milik perusahaan HPH, yang beroperasi silih berganti di Bukit 12. Ada HPH PT. Alas Kesuma, lalu PT. Intan Petra Darma. Terakhir PT Putra Sumber Utama Timber, kontraktor PT Inhutani V. Peran HPH lalu digantikan izin pemanfaatan kayu (IPK) yang didapat Halim, seorang pengusaha keturunan. Tahun 1999 mestinya tidak ada lagi penebangan kayu di Bukit 12, karena ada SK pelarangan dari Menhutbun (waktu itu) Muslimin Nasution. Tapi secarik kertas itu tidak membantu. Penebangan ilegal terus berlangsung. Malah Kanwil Kehutanan Propinsi Jambi mengeluarkan IPK kepada Halim, yang mengatasnamakan Koperasi Ruan Putra Anak Dalam. Lokasi camp-nya juga berada dalam taman nasional. Keterlibatan warga Sungai Ruan memiliki sejarah panjang dalam sistem perkayuan. Diawali sebagai karyawan HPH. Keterlibatan yang relatif lama ini menyebabkan mereka mengalami stagnasi terhadap sumber ekonomi seperti menyadap karet dan berladang. Mereka sudah terbiasa tergantung pada kayu. Selain nilai uang lebih besar hasilnya diperoleh lebih cepat. Ketika izin HPH habis, ketergantungan itu sulit dihilangkan, meski bukan lagi karyawan HPH. Pada aspek lain sistem ini melahirkan toke-toke besar yang memiliki jaringan kuat dengan warga desa. Jaringan ini digalang menjadi kekuatan besar untuk menghadapi ancaman dan kepentingan luar. Akibatnya, setiap ada operasi untuk menyetop kegiatan mereka, akhirnya gagal karena uang bermain dibalik kekuatan besar itu. Jaringan ini didukung Halim, pengusaha yang punya akses mengamankan segala rintangan. Selain memiliki modal, ia juga menfasilitasi semua kebutuhan untuk penebangan ilegal, termasuk alat-alat berat. Malah dengan berkedok IPK untuk koperasi, kegiatan ilegalnya bisa selamat dari berbagai pemeriksaan. (Robert Aritonang)
Daerah di luar taman, yang disebut daerah penyangga, memiliki artipentingdalamkelestariantamannasional. Pengelolaantaman tentu tidak bisa lepas dari kegiatan pembangunan secara lebih luasdikawasanini. Olehkarenaitubanyakpihaklainyangjuga harusdiperhitungkandalampengelolaan. Initerkaitdenganjenis penggunaan lahan di luar taman dan banyak desa dengan berbagai kelompok masyarakat di dalamnya. Tidak kurang dari 23 desa yang mengelilingi taman nasional, dengantingkatinteraksiyangberbedasatusamalain. Desa-desa itu terdiri dari desa melayu asli dan desa transmigrasi, dengan kondisi sosial ekonomi beragam. Di dalam desa-desa itu pun terdapat berbagai kelompok kepentingan dalam mengakses sumberdaya ke dalam taman, seperti lahan, kayu, dan hasil hutan non kayu. Ada banyak peruntukkan lahan untuk kegiatan budidaya pertanian di daerah penyangga, di antaranya beberapa kebun kelapa sawit dan areal HTI. Yang paling bermasalah adalah banyaknya lahan masyarakat yang masuk ke dalam TNBD. Ini disebabkan penarikan batas taman di atas peta yang tidak memperhatikan keberadaan lahan garapan masyarakat. Sisa areal hutan produksi yang tidak lagi dibebani hak pengusahaan telah dimasukkan seluruhnya ke dalam taman. Padahal pada saat taman diusulkan, hanya areal berhutan saja yang dimasukkan. Dengan kata lain, apa yang dilakukan sehubungan dengan upaya pengelolaan taman, akan bersinggungan juga dengan masyarakat desa. Pengelolaan Bersama Banyak pihak, selain instansi kehutanan, yang akan saling mempengaruhi dalam kegiatan pengelolaan taman nasional. Mereka harus menjadi pertimbangan dalam pengelolaan taman. Idealnya, pengelolaan taman bisa melibatkan berbagai pihak untuk saling mempengaruhi secara positif. Karena itu, pada tahap awal penting sekali diidentifikasi pihak mana saja yang perlu dilibatkan, baik yang berkepentingan di dalam taman maupun di daerah penyangganya. Tingkat keterlibatan berbagai pihakinibisadinilaisejauhmanaiasesuaidengankebutuhan. Namun yang perlu digarisbawahi, seluruh pihak yang terlibat harusmemilikipersepsiyangsama:melestarikanekosistemTaman Nasional Bukit Duabelas secara keseluruhan. Upaya pelestarian tamannasionaliniharusmenjadisatutujuanutamayangdisadari dan diterima bersama dari seluruh pihak yang terlibat. Pihak kunci, seperti Orang Rimba yang tinggal di dalam taman, adalah mutlak disertakan dalam setiap pengembilan keputusan. Penyusunan rencana pengelolaan taman hingga implementasi dan monitoring, merupakan proses yang selalu melibatkan mereka.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
Yang Terlantar di Sepanjang Trans Sumatera
Aspek lain terkait dengan kegiatan tata batas. Penatabatasan kawasan taman secara partisipatif sangat diperlukan. Lahan masyarakat desa, berupa ladang dan kebun, yang masuk di dalam batas taman, perlu dipertimbangkan, agar tidak menimbulkan masalahdikemudianhari. Secararealistisharusdilihatarealyang masih berhutan untuk dimasukkan ke dalam taman nasional. Areal yang telah dibuka masyarakat sebaiknya dilepas dan dilakukan satu bentuk kegiatan pemberdayaan ekonomi agar bisa berfungsi sebagai penyangga. Dengan langkah ini, batas yang dimiliki benar-benar realistis, konflik dengan masyarakat bisa diminimalisir, dan masyarakat bisa menghormati batas yang dibuat.
W
ilayah sepanjang Jalan Lintas Sumatera yang melewati Propinsi Jambi dari Kab. Sarolangun (perbatasan dengan Sumatera Selatan) hingga Kabupaten Muaro Bungo (perbatasan dengan Sumatera Barat) merupakan bukti, betapa keberadaan Orang Rimba tidak diperhitungkan dalam mendesain pembangunan di wilayah ini. Orang Rimba yang mengandalkan sumber ekonominya dari hasil hutan nonkayu, hidup tak menentu. Lahan mereka habis untuk kepentingan pembangunan: jalan, perkebunan besar, konsesi HPH serta areal transmigrasi. Temuan Warsi tahun 1998 menunjukkan, keberadaan Orang Rimba di sini berjumlah sekitar 1000 jiwa. Parahnya, mereka bukan hanya kehilangan lahan sumberdaya pencarian, tapi terpaksa menyingkir dari kehadiran kaum pendatang yang haus dengan perluasan lahan.
Kondisi Satu syarat mutlak yang harus ada agar masyarakat seperti Orang Rimba bisa ikut dalam pengelolaan, adalah kemauan dan kesediaan dari instansi pemerintah untuk menyertakan mereka dalam setiap proses pengelolaan secara aktif. Jika instansi kehutanan masih kaku dan enggan untuk berbagi dalam pengambilan keputusan, sulit sekali bagi Orang Rimba maupun pihak lain untuk berperan. Kesediaan dan kepercayaan dari instansi berwenang akan menjadikan mereka merasa yakin untuk ikut mengelola.
Akibatnya, mereka tinggal di sisa-sisa hutan yang sudah mengalami degradasi, membangun sesudungon di sela-sela kebun karet para pendatang. Ladang karet mereka jenis karet tua juga harus mengalah dengan kehadiran perkebunan. Dari temuan itu, tidak satu pun dari Orang Rimba yang memiliki lahan. Mereka bagai menumpang di tanah mereka sendiri.
Fasilitasi Mewujudkan sebuah pengelolaan bersama memang tidak mudah. Proses menuju kesepakatan pengelolaan, baik di dalam taman maupun di daerah penyangga, merupakan proses yang sangat panjang. Agar tercapai proses yang benar-benar partisipatif, sebaiknya ada pihak independen yang menjembatani masyarakat dengan pemerintah. Selain mengupayakan agar keterlibatan mereka bisa diterima pemerintah, juga harus diupayakan peningkatan kemampuan partisipasi masyarakat. Melaluiketerlibatanmasyarakatdanpihaklaindalampengelolaan, jaminan pelestarian taman di masa depan, lebih memungkinkan. Rasa memiliki dan tanggung jawab pada komunitas yang beragam di Bukit Duabelas akan sangat mendukung keberadaan taman. Tentu keterlibatan berbagai pihak harus dengan tujuan yang sama: demi pelestarian taman. (Agus Budi Utomo)
RIZA MARLON
Jika kemauan dari instansi berwenang sudah ada, selanjutnya diperlukan media atau forum di mana masyarakat bisa menyalurkan aspirasinya. Ketersediaan forum merupakan salah satu upaya agar masyarakat bisa bertemu dengan instansi pemerintah dalam suatu proses pengambilan keputusan yang terkait dengan pengelolaan taman. Forum ini bisa dilegalkan, sehingga menjadi sebuah badan pengelola taman. Penciptaan kondisi yang memungkinkan Orang Rimba atai pihak lain untuk berpartisipasi merupakan keharusan dalam mewujudkan pengelolaan bersama. Selain membutuhkan forum, mereka membutuhkan saluran informasi. Melalui saluran itu, mereka bisa memperoleh dan memberi informasi, sehingga diperlukan kemampuan secara kelembagaan, dan tentu saja pendanaan.
9
Gubuk Orang Rimba : mereka tinggal di sisa-sisa hutan yang sudah mengalami degradasi, membangun sesudungon di sela-sela kebun karet para pendatang Upaya yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan masa depan mereka adalah dengan memanfaatkan sisa-sisa lahan yang memang tidak terpakai. Ada yang berbatasan dengan lahan penduduk di kawasan transmigrasi, juga sela-sela perkebunan, atau bersebelahan dengan kebun karet milik orang desa. Meskipun tidak terlalu luas, lahan sisa itu kemudian dilegalisasikan menjadi hak Orang Rimba. Hingga kini, upaya itu telah menghasilkan 105 surat pengesahan lahan dengan luas sekitar 138 ha. Jumlah ini tentu tidak seimbang dibanding lahan mereka yang hilang untuk kepentingan pembangunan. Juga belum semua Orang Rimba bisa diupayakan bisa mendapatkan sisa-sila lahan Melalui upaya legalisasi ini, lahan yang bisa ditanami karet atau tanaman lainnya bisa segera mendapat pengakuan hak secara legal. Sayang upaya itu terhambat, karena Orang Rimba belum mampu menyediakan dana untuk proses sertifikasi dan pihak BPN pun tidak memberi keringanan untuk itu. Pengorbanan mereka menyerahkan lahan demi pembangunan ternyata belum cukup. (Erinaldi)
LAPORAN UTAMA 10
OrangRimba Tempo Doeloe, Baduy Dalam-nya Sumatera i awal tahun 1975 saya datang ke Jambi untuk pertama kali dan baru mengetahui adanya populasi Orang Kubu yang masih hidup di dalam rimba secara terpisah dari dunia luar. Informasi ini dari sebuah laporan mengenai keadaan didaerahAirHitam,aliasBukitDuabelas,olehtimSubDirektorat Suku-suku Terasing di Departement Sosial yang baru dikunjunginya. Di dunia antropologi tidak pernah didengar lagi berita tentang Orang Kubu, sejak mereka sempat menjadi kasus kontroversialpadaawalabadke20dalamkaitanteori-teorievolusi manusia dan budayanya. Anggapan umum, mereka sudah terasimilasiataumusnah.
D
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Kedatangan ke Jambi sebenarnya dalam rangka penelitian terhadapsuku-sukuOrangLautdisekitarSelatMelakadanpantai timur Sumatera. Penelitian ini sudah mencapai tahap akhir dan tidak tersisa waktu untuk mengunjungi Orang Kubu. Jadi keinginan untuk meneliti masyarakat ini baru terwujud beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1979-80.
Waktu itu hutan rimba di kawasan Bukit Duabelas masih sangat luas. Transmigrasi atau perkebunan belum dibangun. Pembalokan HPHbarusebagaiintervensidariluar.Danternyata,disinimasih ada masyarakat Kubu yang secara sangat luar biasa mempertahankan suatu tradisi dan kehidupan tersendiri. KeunikanmasyarakatKubudisinilebihjelaslagitahun1985,di mana saya dapat dasar perbandingan lewat cara mengunjungi kelompok-kelompok Kubu di seluruh wilayah pendistribusian mereka di Jambi dan Sumatera Selatan, serta suku-suku hutan lainnyadiPropinsiRiau. Berbeda dengan masyarakat Kubu di daerah lain, yang berada di pedalaman Bukit Duabelas secara sistematis membatasi dan mengatur kontak dengan dunia luar. Upaya ini berdasarkan norma perilaku yang disangsikan hukum adat, dan didukung pula oleh pantangan, yang sangsinya berupa ancaman bencana, bahkan kiamat. Mereka menyebut dirinya sebagai Orang Rimba. Manusia lain,yangtinggaldiluarhutan,disebutnyasebagaiOrangTerang. Motonya: Orang Rimba tetap di rimba, Orang Terang tetap di terang. Dan tidak boleh campur. Implikasinya, Orang Rimba harus hidup sesuai pola nenek moyang mereka, dan pantang berubah. Dari segi pantang ini, boleh dikatakan mereka sangat bermirip dengan Orang Baduy Dalam di Jawa Barat. Di belakang ”tembok pantang” mereka ini, Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas ternyata memiliki sistem sosial dan budaya yang lebih kompleks dan terpadu dibanding Orang Rimba di daerah lain. Salah satu contoh adalah hierarki kepemimpinan politikdenganbanyaktingkatdangelar.Tetapiinibukanhierarki semata-mata yang menyangkut hak komando yang jelas dan didudukiberdasarkanprinsipsuksesiyangjelas.Kedudukanposisi
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
11 kepemimpinan serta wujud dari posisi itu merupakan hasil dari kompetisi yang hebat antara lelaki yang berambisi. Mereka harus mendapat dukungan dan persetujuan dari masyarakatnya lewat berbagai cara. Terutama harus menguasai hukum adat dan pandai menyelsaikan masalah. Juga sebaiknya menjadi pemburu yang mampu mendapatkan mangsa besar yang dagingnya dapat didistribusikansecaraluas. Jugaterbantukalaumemilikibakat sebagai dukun yang dapat mempengaruhi dunia lewat hubungan dengan dewa-dewa. Namun, akhirnya faktor yang paling menentukan adalah pengakuan dan dukungan dari kekuatan politik di luar rimba, yaitudarimasyarakatdesa.Padatahun70-an,kekuatanluarmasih diformalkansebagaisegitigadalamsebutanadat:PangkalWarisdi Tanah Garo, Ujung Waris di Serenggam, Berajo Berjenang di Air Hitam. Makna ”waris” di sini adalah pemegang hak atas sumberdaya alam dan tenaga Orang Rimba di pedalaman. Kedua waris ini adalah masyarakat asli, atau wakilnya, di pintu masuk utama di sisi utara dan timur kawasan, yakni di Muara Sungai Mengkekal di Tabir, dan di Muara Serenggam di Tembesi. Jenang di Air Hitam adalah kekuatan luar yang utama terhadap Orang Rimba. Di zaman Kerajaan Jambi, seorang jenang adalah penghubung antara raja di Jambi dan masyarakat yang tersebar di sepanjang anak Sungai Batanghari. Fungsi utamanya adalah mengumpul jajah atau pajak berupa hasil bumi, dan sebaliknya membantu menyelesaikan konflik yang tidak terselesaikan secara lokal. Cara mendapatkan jajah adalah dengan serah, yaitu pemberian barang dagangan dari luar, seperti kain, yang menciptakan hutang. Sebagaimana diketahui, Kerajaan Jambi diakhiri Belanda pada awal abad ke-20. Namun yang sangat menarik, pada tahun 1980 saya langsung menyaksikan jenang Air Hitam masih bertindak terhadap Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas, persis seperti jenang yang mewakili Raja Jambi di zaman kerajaan. Pemberian serah dalam bentuk kain atau alat besi terpaksa diterima oleh Orang Rimba dan dibayar kembali dalam bentuk jerenang atau bahan berharga lainnya,dengannilaiberkalilipatnilaiserah.Perluditambahkan, pada waktu itu Orang Rimba di kawasan Bukit Duabelas tidak memiliki uang dan tidak berpartisipasi langsung dalam ekonomi pasar sehingga kurang mengetahui harga barang yang sebenarnya. Mereka tukar barang langsung dengan barang dan menggunakan lembar kain sebagai medium untuk mengumpulkan kekayaan atau membayar hutang maupun membeli makanan kalau benarbenar perlu. Bagaimanapun, Orang Rimba tahu, mereka dirugikan dan sering berupaya untuk menghindar. Namun, kalau perlu, jenang mampu mendapatkan dukungan dari pasirah, camat maupun polisi, kadang-kadang dengan meminjam peluru yang ditunjukkan kepada Orang Rimba secara menakutkan. Sebenarnya upaya jenang untuk menguasai Orang Rimba di utara Bukit Duabelas cenderung menunjang klaim kepasirahan Air Hitam atas wilayah yang hampir sampai ke Tabir, sekaligus klaim Kecamatan Pauh dan Kabupaten Sarolangun-Bangko (kini Sarolangun). Masalahnya, belum ada batas administrasi yang diperjelasdandisepakatidipedalamanini.Jadiwarissebaliknya mengklaimwilayahsampaiketaliBukit,yaitudekatsekalidengan
Orang Rimba Ingin Sehat
P
ola dan perilaku hidup Orang Rimba selama ini dikenal sangat memperhatikan kesehatannya. Mereka sangat protektif terhadap sesuatu yang berasal dari luar, termasuk tamu yang datang. Sebelum melakukan interaksi, tamu harus besesanding (diisolasi), untuk mendeteksi apakah membawa penyakit. Besesanding ini dilakukan darena orang luar diasumsikan pembawa penyakit. Setelah dua hingga empat hari tidak terjadi apa-apa, baru terjadi komunikasi di antara mereka. Dalam kehidupan sehari-hari perilaku Orang Rimba juga mendukung pola hidup sehat. Mereka tabu buang air besar, mandi dan mencuci pakai sabun di sungai. Alasan mereka air sungai digunakan untuk memasok kebutuhan sehari-hari:, makan, minum dan mandi. Namun hutan di Bukit Duabelas sudah banyak ditebangi orang luar, hal ini membawa pengaruh terhadap kondisi kesehatan mereka. Sungai-sungai tidak hanya dicemari oleh kotoran manusia tetapi juga berbagai sampah, tuba hingga limbah, yang dibuang sembarangan. Dari pemeriksaan yang dilakukan dokter yang menjadi fasilitator kesehatan dalam dua tahun terakhir ini, sebagian besar Orang Rimba menderita penyakit diare dan kulit. Bahkan, untuk penyakit kulit, saat ini ada aturan adat yang berlaku. Bagi lelaki atau perempuan yang hendak menikah, jika diketahui menderita penyakit kulit, sebelum pernikahan berlangsung harus membayar denda. Sayangnya, hingga kini akses mereka untuk mendapatkan fasilitas kesehatan belum memenuhi harapan. Keberadaan puskesmas sangat jauh dari kawasan hidup mereka, sehingga sulit mendapat pelayanan. Selain jarak yang jauh dari pusat pelayanan, petugas yang ada kurang proaktif memberi pelayanan hingga ke genah (tempat tinggal) Orang Rimba. Akibatnya, ketika ada anggota mereka yang sakit dan butuh pengobatan medis, tidak ada tindakan pengobatan memadai yang bisa mereka lakukan. Fasilitator kesehatan yang sudah dimulai sejak dua tahun belakangan, mendapat tanggapan positif dari mereka. Keberadaan dokter yang langsung mendatangi Orang Rimba dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit yang selama ini mereka derita, meski sebagian terlihat ragu-ragu. Kehadiran dokter ini secara bertahap mulai memberi kesadaran pada Oran Rimba untuk hidup sehat. Mereka sudah memasak dulu air yang diminum, yang bisa mencegah diare. Begitu juga dengan jenis penyakit lain. Orang Rimba juga ingin sehat. Banyak yang ingin tahu apa penyebab penyakit dan bagaimana mencegahnya. (Herti Harjati)
LAPORAN UTAMA
Sokola Orang Rimba di Bukit 12
dusun-dusundiAirHitam,dandibekingolehkepasirahanPintas, serta Kecamatan Tebo Hilir dan kabupatennya, Bungo-Tebo.
S
12
okola (sekolah) merupakan model pendidikan alternatif yang didapatkan anak-anak Orang Rimba di Bukit Duabelas. Pendekatannya tidak menyerupai pendidikan formal yang dipakai di sekolah-sekolah umum, tapi lebih kepada kebutuhan mereka. Tidak ada gedung, ruang kelas, begitu juga guru-guru serta kurikulum.
StatusPangkalWarisdiTanahGarodipegangolehRioataukepala desa, tetapi sebenarnya meliputi semua warga berketurunan asli di desa itu. Pangkal Waris inilah yang merupakan pesaing berat bagi jenang Air Hitam, sedangkan Ujung Waris masih jauh dan marginal.PangkalWarisjugamengklaimhakatashasildantenaga Orang Rimba. Berbeda dengan Air Hitam, dari dulu hak ini sudah terbagi-bagi antara warga di Tanah Garo dan terbagi lagi lewatprinsipwarisansepertijugahaklain.Jadisetiapwargadesa asli memegang hak atas satu sampai beberapa Orang Rimba, dan lebih lanjut dapat menguasai anak dari Orang Rimba itu juga.
Program sokola dilakukan untuk memberi akses kepada Orang Rimba dalam mengenal baca-tulis-hitung,. Paket ini diharapkan terpakai dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memudahkan mereka berinteraksi dan bertransaksi dengan orang desa (mereka menyebutnya Orang Terang). Penyajiannya disampaikan secara praktis dan sederhana, dengan mengurangi kesan formal, sehingga tidak membosankan dan mudah dicerna. Pada awal diperkenalkan, sekitar 2 tahun lalu, belum semua Orang Rimba bisa menerima. Alasannya, sokola dikhawatirkan akan menggiring Orang Rimba menjadi Orang Terang, yang selama ini dianggap merusak dan menggadaikan hutan sebagai kawasan hidup mereka. Namun, dengan pendekatan yang dilakukan, sebagian bisa menerima. Mereka sadar, kemampuan baca-tulishitung yang dikuasai, bukan untuk menjadi pintar, tapi minimal tidak bisa ditipu dalam bertransaksi dan berkomunikasi dengan Orang Terang.
Jadi pedalaman Bukit Duabelas menjadi suatu arena di mana hubungan antara Orang Rimba dan dunia luar telah dilembagakan dan lembaga itu oleh pihak luar dimanfaatkan sebagaialatuntukmenguasaidanmendominasi.TetapiolehOrang Rimba sendiri dipandang sebagai alat untuk melindungi mereka dari campur-tangan pemerintah, dan harga yang dibayar untuk otonomi itu, yaitu eksploitasi oleh jenang dan waris, dibatasi dengan berbagai cara, terutama mobilitas. Dinamika inilah yang menjadi sumber rangsangan bagi pengembangan organisasi sosial dan budaya yang luar biasa di pedalaman ini. 20 tahun sudah berlalu. Jenang sudah meninggal dan tidak lagi diganti. Pengaruh Pangkal Waris masih ada tetapi sudah jauh berkurang. Hubungan Orang Rimba dengan dunia luar sudah menjadi hal biasa karena hutannya sudah sempit. Persoalannya, bagaimana Orang Rimba menyesuaikan diri dengan keadaan sekarang dan di masa depan, dan bagaimana kita, secara manusiawi, dapat membantu mereka. (Oyvind Sandbukt)
Yusak Adrian Hutapea (alm.) : Fasilitator pendidikan, meninggal saat menjalankan tugas di lapangan) Secara amat tragis, fasilitator pendidikan pertama, Yusak Adrian Hutapea, meninggal dunia setelah sakit mendadak saat menjalankan tugas di lapangan. Pekerjaan yang dirintisnya baru diteruskan setelah cukup lama dicari penggantinya. Saat ini sudah ada sekitar 20 anak-anak Orang Rimba dari wilayah Makekal (sisi timur taman nasional) yang menjadi murid sokola. Jumlah ini bisa bertambah, atau berkurang, seiring dengan mobilitas melangun Orang Rimba. Saat melangun fasilitator mengikuti mereka sambil menyisipkan kegiatan sokola di sela-sela kegiatan melangun. Dengan belajar secara intensif sekitar 4 bulan, kemampuan anak-anak Orang Rimba mencerna pelajaran yang disajikan sangat beragam. Satu orang di antaranya, Gentar (16), memiliki kemampuan lebih dari yang lain. Ia lalu dikader menjadi instruktur yang menularkan ilmu sokola ke anak-anak Orang Rimba di kelompok lain. DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Akhirnya, pertahanan yang dimiliki Orang Rimba untuk mengimbangi tekanan dari luar adalah mobilitas mereka. Orang Rimba adalah satu-satunya masyarakat di pedalaman Sumatra yang mampu hidup di alam secara berkelana dengan hanya mengumpul dan berburu, walaupun biasanya memilih kehidupan berladang yang lebih menjaminkan. Dan kartu trufnya adalah institusi melangun, yaitu keharusan untuk meninggalkan suatu lokasi atau daerah apabila ada kematian. Mereka sendiri yang memutuskan seberapa jauh dan lama mereka harus pergi, dan berapa banyak saudara yang perlu ikut. Jadi dalam situasi ekstratertekanmerekacenderungmelangunjauh,lama,danramai sehingga sulit dipegang. Dan, karena melangun dapat dibilang wajib, mereka tidak bisa dihalangi atau disalahkan kalau pergi jauh dan lama-lama, walaupun ada hutang yang terlantar.
TIJOK
Bukan hanya itu. Hak atas ”orangnya” (istilah yang dipakai di Tanah Garo) dapat diperjual-belikan di dalam desa oleh warga, atau digunakan untuk melunasi hutang. Dan Orang Rimba yang bersangkutan tidak bisa menolak kalau dijual. Dia terpaksa mencarihasil hutan untukorang yang berhak atas dirinya.Harga ataunilaitukaryangditerimadalamketerikataninisangattidak menguntungkan, walau tidak serendah nilai tukar diberikan Jenang Air Hitam.
Sejak empat bulan belakangan, Gentardidampingi fasilitator dari Warsi sudah bisa mengajar di wilayah Kedundung Muda (sisi selatan Taman Nasional Bukit 12), dengan memperkenalkan huruf dan angka. Jika salah satu dari anak-anak di wilayah ini sudah bisa dikader, program sokola akan pindah ke kelompok lain. Diperlukan Gentar-gentar yang lain, sehingga tidak akan ada lagi yang menipu Orang Rimba dalam berinteraksi dan bertransaski dengan Orang Terang (Saur Marlina)
13
Di Balik Deklarasi TN Bukit 12
Setelah Deklarasi, Lalu Apa ? ebuah pesta besar —untuk ukuran rakyat Jambi— baru saja usai. Presiden Abdurrahman Wahid mendeklarasikan Taman Nasional Bukit Duabelas, disertai pencanangan pencegahan penebangan liar, akhir Januari lalu di Jambi. Deklarasi yang ditingkahi demo mahasiswa itu, dihadiri rombongan presiden, dan disaksikan masyarakat Jambi lewat televisilokalyangmenyiarkansecaralangsung.
S
Kawasan hutan merupakan salah satu pusat keragaman hayati terpenting di Indonesia; tempat berkembangnya ribuan flora danfauna,danmemilikitipeekosistemunik. Upayapelestarian yang sudah dilakukan, di antaranya, dengan menetapkan 40 tamannasional,yangtersebardiberbagaipropinsi.
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Masalahnya, pengelolaan sumberdaya hutan selama tiga dekade belakangan begitu memprihatinkan. Deforestasi mencapai1,6jutahapertahun. Kapasitasindustri perkayuan dan pulp, pun jauh melebihi kemampuan hutan menghasilkan kayu secara lestari.Penebanganliarmencapai17-30jutameter kubik pertahun. Begitu juga inefisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan karena under-valueddankecilnyamanfaatyangditerimamasyarakat di dalam dan sekitar hutan atas keberadaa sumberdaya hutan. Akibatnya, hampir semua kawasan hutan terdegradasi. Situasi ini diperparah oleh meningkatnya penebangan liar. Kegiatan ini dipacu bukan hanya oleh krisis ekonomi serta politik,tapilebihmerupakanakselerasidarikegitan ilegal terhadap sumberdaya hutan dan praktek KKN yang terjadi selama tiga dekade. Dalam banyak hal penebangan ilegal merupakan konsekuensi marginalisasi dan pembatasan hak masyarakat lokal terhadap hutan. Mereka kemudian direkrut para pemilik modal untuk membuat kacau hutan demi kepentingan bisnis mereka. Untuk menyelamatkan hutan perlu dilakukan tindakan nyata. Salah satu solusinya adalah dengan mengeluarkan kebijakan kehutanan Indonesia yang menghargai hak-hak masyarakat adat, dengan menjamin peran dan keterlibatan mereka dalam pengelolaan, serta mengakui hak-hak mereka terhadap hutan. Propinsi Jambi merupakan salah satu bagian terpenting dari pusat keragaman hayati di Indonesia. Propinsi ini memiliki empat kawasan taman nasional dengan tipe ekosistem lengkap: Kerinci Seblat, Bukit Tigapuluh, Berbak dan Bukit Dua Belas. Bukit Duabelas merupakan kawasan hutan alam tropis dengan
ekosistem khas; kaya dengan keragaman hayati dan plasma nutfah, jugamemilikifungsihidro-orologis(tatagunaair)yangpenting bagiPropinsiJambi. Orang Rimba, masyarakat adat yang bermukim di kawasan hutan Bukit Duabelas, kini tengah menghadapi ancaman akibat eksploitasi hutan yang berlebihan. Sumberdaya kehidupan mereka, berupa hasil hutan nonkayu; rotan, manau, damar, getah jernangdanjenislain,sulitdidapatkarenahutanterdegradasi. Akibatnya mereka terpaksa berupaya apa saja untuk bisa bertahan hidup. Tahun 1984, Gubernur Jambi berupaya agar kawasan hutan di Bukit Duabelas diusulkan menjadi cagar biosfer, seluas 26.800 ha. Tujuannya, menyelamatkan ekosistem dan fungsi hidrologis untuk Propinsi Jambi dan melindungi Orang Rimba yang berada dalam kawasan itu. Upaya itu belum optimal dilakukan. Kegiatan eksploitasidankonversihutanmasihsajaberlangsung. Warsi –LSM yang bergerak di bidang konservasi dan pendampingan Orang Rimba sejak tahun 1995— bersama Forum Penyelamat Hutan Jambi berpendapat, upaya menyelamatkan kawasan hutan Bukit Duabelas adalah dengan segera mengurangi bahkan menghentikan ancaman yang berlangsung di sana. Caranya, menetapkanarealberkriterialindungsebagai kawasankonservasihinggakesisiutaracagar biosfer.Upayainitidakhanyamenyelamatkan hutan, sekaligus Orang Rimba, masyarakat lokalyangselamainimengalamimarginalisasi akibat pembangunan. Berbagai upaya pun dilakukan; menyurati dan menemui Menteri Kehutanan, baik sewaktu berkunjung ke Jambi maupun dengan mendatangi ke Jakarta. Sejumlah kalangan di Jambi; Pemda, Kanwil Kehutanan, LSM dan pers ikut membantu. Upaya ini membawa hasil. Melalui Surat Keputusan Nomor 258/Kpts-II/2000, tanggal 23 Agustus 2000, Menteri Kehutanan dan Perkebunan menetapkan Bukit Duabelas yangmasihberstatususulancagarbiosfer,menjaditamannasional. Akhirnya, perjuangan menyelamatkan kawasan Bukit Duabelas, denganekosistemkhas, tercapai. Surat keputusan itu, dari aspek legalitas, telah menyelamatkan kawasanhutanalamtropisyangtersisadijantungPropinsiJambi. Deklarasi, diiringi pencanangan pencegahan penebangan liar, merupakan sebuah momen berarti di saat ketidakpastian hukum mulai terasa mengganggu. Kegiatan berdalih pembangunan diharapkan tidak lagi membuat ekosistem di sejumlah taman nasional terganggu. Momen ini sekaligus akan menjadi langkah awal perhatian pemerintah, karena bertujuan tidak hanya menyelamatkan kawasan konservasi hutan, tapi juga menciptakan kemakmuransebesar-besarnyabagimasyarakat,baikmasasekarang maupun di masa datang. (ET)
LAPORAN UTAMA 14
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Dalam kaitan dengan Orang Rimba, hal ini menjadi sangat menarik, karena mereka dipandang sangat resisten terhadap kemajuan atau sistem yang berlaku umum. Sudah lama pemerintah (dulu melalui Departemen Sosial) menginginkan Orang Rimba berubah. Namun, komunitas ini masih sangat gigih mempertahankan kebiasaan nenek moyangnya. Kegigihan itu masih terus berlangsung hingga saat ini; tetap berpindahpindah sambil berburu-meramu, berladang. pakai cawat, peralatan hidup minim, buta huruf, serta tidak menganut agama tertentu.
Orang Rimba Juga(akan)Berubah Pendahuluan eorang Filosof bernama Rene Descartes pernah mengatakan tidak ada yang tetap, alias kekal, di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Maksudnya, semua akan berubah, seiring perjalanan waktu. Hingga kini belum ada yang membantahnya, sehingga masih tetap relevan dipakai.
S
Sama halnya dengan Orang Rimba, masyarakat asli yang berada di dalam hutan Taman Nasional Bukit 12. Namun, perdebatan tentang perubahan cara hidup mereka, masih terus berlangsung, baik di kalangan LSM, pemerintah, peneliti, wartawan dan pemerhati komunitas asli. Ada sejumlah pertanyaan yang sering muncul: apakah Orang Rimba dibiarkan menentukan sendiri kehidupannya tanpa banyak intervensi? Apakah Orang Rimba perludiintervensimelaluiproyektertentuagarmerekaakanmeniru pola hidup yang berlaku umum? Penganutrelativismekebudayaanmelihat,setiapkebudayaanatau cara hidup memiliki kekhususan dan kekhasan tersendiri, yang tidakdapatdinilaiolehorangluarkecualipendukungkebudayaan itusendiri.Setiapcarahidupsukutertentuharusdihormatidan dijunjung tinggi dan hanya masyarakat pendukungnya yang berhak untuk mengubah sesuai kepatutan dan kesiapan mereka untuk berubah. Penganutmodernismemelihat,carahidupsuatukomunitasseperti Orang Rimba harus secepat mungkin disesuaikan dengan pola umum. Semua nilai-nilai budaya yang menghambat ke arah tujuan pembangunan harus dihilangkan dari masyarakat pendukungnya, kemudian diintervensi dengan nilai-nilai baru yang diinginkan perencana pembangunan. Latar belakang pemikiran seperti ini banyak ditemukan di kalangan birokrat pemerintah, penyiar agama, sebagian peneliti dan orang awam umumnya.
Orang Rimba Berubah? Sekitar 20 tahun lalu, Orang Rimba di Bukit Duabelas masih menggunakan sistem barter dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka pun belum menggunakan uang sebagai alat tukar. Sekarang, mereka sudah memakai uang dan membelanjakan sendiri, sesuai kebutuhan. Dengan demikian sangat tidak realistis jika ada orang beranggapan bahwa Orang Rimba belum berubah. Tentu saja perubahan yang terjadi pada mereka terkesan sangat lambat dan sulit diintervensi, karena sejumlah faktor yang mempengaruhi.
Pertama, adanya hambatan struktural. Hambatan ini terkait dengan sistem yang berlaku umum, yang tidak dapat mengakses Orang Rimba. Hampir semua tatanan dan lembaga yang dimiliki Orang Rimba memiliki otonomi tersendiri dan sebaliknya hampir semua sistem yang berada di luar (berlaku sangat umum) seperti pendidikan,kesehatan,politik, tidak berlaku dalam kehidupan mereka. Kedua adalah hambatan kultural. Hambatan ini menyangkut sistemnilaibudaya,sepertijatidiri,kepercayaanatauritual, norma-norma dan tabu-tabu. Hambatan seperti ini tentu saja lebih sulit lagi diubah walau masih dimungkinkan. Perubahan terhadap sistem nilai dianggap perubahan yang sangat radikal dantaruhannyaadalahjatidiriataueksistensimereka.Jikadipaksa malah menimbulkan guncangan pada Orang Rimba, dan akan merusak sumua tatanan yang sudah ada. Namun jika dilihat lebih seksama sebenarnya sudah banyak perubahan yang terjadi pada Orang Rimba. Di Propinsi Jambi, komunitas yang menamakan dirinya Orang Rimba berjumlah hampir 3.000 orang. Sebagian besar di antaranya sudah mengalami perubahan, terutama setelah kawasan hidup mereka, berupa hutan, mulai berkurang, terutama sejak dua dasawarsa terakhir ini. Bahkan di sepanjang Jalan Lintas Sumatera, yang sudah tidak menyisakan hutan sama sekali, telah banyak mengalami perubahan. Walaupun mereka tetap mempertahankan jati diri, tetapi banyak di antaranya sudah menyebutdirisebagaibagiandaridesadisekitarnya. Sejumlah anak-anak juga sudah ikut pendidikan formal di sekolah, dan bahkan bersedia dikunjungi penyiar agama. Penampilan mereka juga tidak berbeda dengan orang desa, terutama jika mereka ke pasar. Begitupun dengan mereka yang masih berada dalam hutan, terutama sekitarTamanNasional BukitDuabelas, jugamengalami perubahan. Sudah ada di antara anak-anak mereka yang
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
15 mendapatkanpendidikanalternatif(baca-tulis-hitung)yangmulai dikembangkan Warsi sejak dua tahun belakangan, dan beberapa orang sudah memiliki kemampuan baca-tulis-tulis.
Akibatnya,merekamencarialternatifsumbernafkah. Diantaranya mencuri buah sawit milik orang desa dan transmigrasi. Tindakan ini justru dibumbui dengan tuntutan bahwa kebun sawit itu pada awalnya berasal dari lahan mereka sejak dulu. Dengan menjadi orang desa, mereka juga mengenal judi dan menontot VCD porno di rumah warga desa. Puncaknya adalah ketika salah seorang perempuan, menantu Besiring, diperkosa orang desa. Setelah peristiwa itu, beberapa anggota kelompok Besiring, terutama perempuan minta kembali ke hutan. Jika suaminya keberatan mereka bercerai, dan anaknya ikut ke dalam hutan.
Orang rimba pun menyambut baik pengobatan secara medis. Kehadiran dokter yang difasilitasi Warsi sejak tiga tahun belakangan diterima dengan terbuka, meski pengobatan yang dilakukan tetap dengan pola mereka. Tidak ada penolakan terhadap pemeriksaan secara medis —termasuk obat-obat yang harus diminum, meski sebelumnya mereka lebih mengandalkan pengobatan tradisional. Yang diperlukan saat ini adalah menghilangkan hambatan birokratis agar Orang Rimba dapat mengaksesfasilitaskesehatanterdekat.
Prospek ke Depan Kehadiran taman nasional, menggantikan status cagar biosfer, antara lain juga untuk melindungi hak dan kepentingan Orang Rimba, selain tentu saja untuk kepentingan konservasi. Di dalam taman seluas 65.000 ha ini, terdapat sekitar 1000 lebih Orang Rimba. Penetapan cagar biosfer menjadi taman nasional bukan untuk “menghutankan” Orang Rimba. Dengan kata lain keberadaannya bukan hendak menutup akses mereka melakukan perubahan. Justru kawasan ini sekaligus menjawab masalah yang paling krusial dari kehidupan Orang Rimba: melindungi hak dan kekayaan yang dapat menjamin masa depan mereka.
Beberapa kelompok Orang Rimba di sisi Taman Nasional Bukit12, juga sudah ada gejala mengendorkan norma tabu, yang selama ini membatasi kontak dengan orang Melayu yang berladang dekat mereka. Selama ini kontak dengan mereka dibatasi secara ketat. Pelonggaran itu adalah dengan mengurangi hambatan kultural yang bertujuan agar mereka lebih mudah mengakses pertukaran barang dan jasa yang lebih menguntungkan di antara Orang Rimba dengan Orang Melayu. Perubahan yang Membawa Bencana Perubahan pola hidup Orang Rimba secara cepat ternyata membawa bencana pada mereka. Seperti dialami kelompok Besiring yang berjumlah sekitar 50 KK, di sisi selatan taman nasional. Hutan di kawasan ini telah habis dikonversi menjadi perkebunan sawit dan permukiman transmigrasi. Hal ini menyebabkan kelompok Besiring menjadi sangat marginal dibanding kelompok lain. Pihak pemerintah lalu berupaya mengubah cara hidup kelompok ini. Awalnya mereka menyiapkan sekitar 50 unit rumah dan satu tempat ibadah untuk kelompok Besiring, untuk dimukimkan dengan pola transmigrasi swakarya mandiri (TSM). Kelompok ini juga mendapat jatah hidup berupa kebutuhan dasar selama 1 tahun. Proyek ini juga menjanjikan jatah kebun kelapa sawit sekitar dua hektar setiap KK. Namun, dalam perjalanan kemudian, rumah yang disediakan tidak semua dihuni, tapi dijual, karena Orang Rimba tidak melihatnya sebagai kebutuhan. Kelompok Besiring juga mengalamidilematisdalampemilihanjatidiriantaraOrangRimba dan Orang Melayu (yang telah memeluk agama). Untuk menjadi Orang Melayu/desa, ternyata mereka tidak mampu bersaing hidup dan memiliki mata pencaharian seperti orang desa. Untuk bisa kembali lagi ke dalam hutan, sebagaimana Orang Rimba pada umumnya, sudah agak berat karena sudah memeluk agama, terancamdiasingkan.
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Di bidang pengembangan ekonomi, mereka sudah mulai menanam pohon karet di ladang. Dengan perubahan itu berarti kemungkinan untuk mengarahkan mereka untuk lebih menetap ke tempat-tempat yang dinilai lebih strategis, makin terbuka. Semua itu merupakan perubahan yang signifikan. Sebab Orang Rimba selama ini dipandang sebagai masyarakat perburu-peramu yang membutuhkan mobilitas tinggi.
Kelompok Orang Rimba : Perubahan pola hidup Orang Rimba secara cepat ternyata membawa bencana pada mereka.
Belum ada suatu model pembangunan yang dapat menjawab masalah yang mereka hadapi saat ini. Keberadaan taman nasional dapat dipandang sebagai dasar pijakan yang kokoh bagi Orang Rimba untuk berubah. Cara ini jauh lebih terhormat dan manusiawi karena mereka melakukan dengan caranya sendiri untuk memutuskan perubahan. Pada akhirnya perubahan yang terjadi pada Orang Rimba tentu sesuai dengan yang mereka inginkan. Yang perlu dipahami perubahan itu berlangsung gradual, bukan radikal. Perubahan itu adalah bagian dari milik mereka, bukan formulasi dari luar. Perubahanituperludiiringidenganterbukanyaaksesdandisertai dengan penambahan kemampuan dan ketrampilan: penyediaan sumberdaya di masa depan —yang tidak hanya diperoleh dari hutan—pendidikansertapartisipasipolitik. (RobertAritonang)
LAPORAN UTAMA 16
Begitulah kondisi nyata yang dihadapi Bukit Duabelas, setelah dikukuhkan menjadi taman nasional melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 258/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus tahun lalu. Dengan secarik surat keputusan itu, taman nasional dengan luas 60.500 ha ini, tetap belum bebas dari tekanan maupun ancaman eksploitasi, baik berupa perladangan maupun pengambilan kayu secara ilegal. Tekanan perladangan umumnya datang dari masyarakat desa di sekitar taman nasional. Situasi ini, sebetulnya, sudah berlangsung sejak kejatuhan rezim Orde Baru. Pada saat itu ketidakpastian hukum mulai berawal, sehingga tidak lagi menjamin sejumlah kawasan hutan lindung terhindar dari hingar-bingar tindakan ilegal. Malah, setelah status berubah menjadi taman, belum ada tanda-tanda ancaman itu akan berkurang. Hukum telah diabaikan. Mereka merasa tindakan pembukaan ladang yang dilakukan di kawasan hutan lindung dan sekitarnya tidak menyalahi ketentuan. Kawasan hutan, baik yang berstatus hutan lindung maupun produksi terbatas (HPT), tetap menjadi target operasi. Polanya, dilakukan sendiri-sendiri, sedangkan luasannya disesuaikan dengan kemampuan dan modal yang dimiliki. Biasanya, pembukaan yang dilakukan perorangan berkisar antara satu hingga dua hektar dalam setahun.
RIZA MARLON
Berbeda dengan yang dilakukan para tauke (pemilik modal). Mereka yang berasal dari desa sekitar taman, malah mampu membuka areal cukup luas mencapai puluhan hektar sekali buka dalam setahun. Caranya, melibatkan tenaga kerja (buruh) lokal, yang tidak terlalu sulit didapatkan, yakni orang-orang yang tidak memiliki modal untuk membuka sendiri. Pola pembukaan hutan ini tidak berhenti pada tahap sekali buka lalu kemudian berhenti karena lahan yang ada sudah mencukupi, tapi bersifat tahunan. Ladang-ladang yang dibuka, ditanami anakan karet alam, tanpa memerlukan biaya. Begitu seterusnya, sampai akhirnya ladang karet yang sudah berusia empat tahunan bisa dipanen.
Nasib Bukit Duabelas setelah Berstatus Taman Nasional
Tekanan dan Ancaman (sudah) di Ambang Pintu
M
empertahankan yang sudah didapat lebih sulit daripada meraih yang belum ada. Begitulah biasanya argumen sering muncul dari mulut sang juara. Argumen ini juga relevan untuk keberadaan Taman Nasional Bukit 12 (TNBD). Disebut relevan bukan karena telah meraih kemenangan dari awal berstatus cagar biosfer (yang diusulkan) menjadi taman nasional. Tetapi betapa sulitnya mempertahankan kawasan yang jelas-jelas sudah dilindungi, tapi begitu mudah terganggu karena tidak jelasnya kepastian hukum belakangan ini.
Anehnya, meski sudah memiliki lahan dan menjanjikan penghasilan, tidak berarti ekspansi itu akan menyurut. Masalahnya, nilai hasil panen karet, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sini, kekurangan ini bisa ditutup dengan :kebaikan para tauke. Selama panen tidak mencukupi, sang tauke dengan tangan terbuka menerima utangan. Pada waktu di mana utang sudah menumpuk dan harga karet kurang bagus, warga memilih menjual ladangnya agar hutang tidak makin menumpuk. Begitu pola yang terjadi, sehingga pembukaan hutan tidak akan pernah berhenti sepanjang ketergantungan mereka pada tauke masih terus berlangsung. Ulah seperti itu akhirnya membuat sisi Taman Nasional Bukit Duabelas tampak compang-camping. Pembukaan lahan berlangsung di semua sisi, terutama yang berbatasan langsung dengan desa. Yang paling parah adalah di sisi selatan, yang langsung berbatasan dengan desa. Warga beberapa desa, seperti Pematang Kabau, Lubuk Jering, Jernih hingga Dusun Baru yang dihubungkan oleh jalan aspal saat ini memiliki ladang hingga ke dalam taman. Berbeda dengan desa-desa lain di sisi utara, barat dan timur. Warga di wilayah ini masih sebagian kecil yang membuka ladang hingga ke dalam taman. Bukan berarti karena kesadaran akan pentingnya kawasan konservasi sudah tertanam dalam pikiran mereka, tetapi lebih disebabkan karena akses mereka relatif jauh ke kawasan taman dan dibatasi oleh kawasan hidup Orang Rimba.
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
Sisi utara taman nasional, misalnya. Jarak dari desa ke taman nasional relatif jauh dan tidak ada akses jalan yang cukup baik untuk bisa bolak-balik ke kawasan lindung. Karena itu, keterlibatan warganya membuka ladang lebih kecil. Pembukaan ladang masih terbatas pada warga Tanah Garo, Batusawar, Peninjauan dan Sungai Ruan. Juga warga Desa Paku Aji, Hajran dan Jelutih di sisi timur, sudah berinteraksi dengan Bukit Duabelas sejak masih berstatus (usulan) cagar biosfer. Sementara di sisi barat, antara desa dan taman dibatasi kawasan hidup Orang Rimba, sehingga yang membuka ladang hingga ke arah taman nasional masih terbatas pada warga Desa Rantau Panjang dan Rantau Limau Manis.
A
17
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
A
Kendati demikian, ancaman terbesar yang dihadapi taman nasional adalah penebangan ilegal, yang mereka sebut bebalok. Dibanding ancaman berupa perladangan, kegiatan bebalok justru lebih membahayakan taman nasional, mengingat pelakunya dari luar desa sekitar taman, dan berlangsung besar-besaran dalam dua tahun terakhir, baik itu dengan modal sendiri maupun oleh para tauke.
Ancaman : Selain dilakukan secara ilegal oleh masyarakat secara sendiri-sendiri dan berkelompok., ada pula yang mengatasnamakan koperasi
Tingginya ancaman penebangan ilegal, didukung oleh akses jalan yang berada di sekitar taman nasional. Selain jalan aspal di sisi selatan, pada sisi utara dan timur taman, juga masih ada bekas jalan logging sebelumnya dipakai pemilik HPH yang hingga kini masih bisa dilewati kendaraan ataupun alat-alat berat. Yang lebih menyedihkan, bekas kawasan HPH yang habis masa izinnya, sempat dikelola oleh pihak swasta untuk dijadikan hutan tanaman industri (HTI). Padahal, menurut rencana tata ruang wilayah, bekas HPH itu masuk dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Setelah mendapat tekanan dari sejumlah LSM lokal, izin untuk HTI itu akhirnya dibatalkan, meski sebagian besar hutannya sudah rusak.
Perambahan di sekitar taman terjadi begitu cepat selama dua tahun belakangan. Ada banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan emas hijau ini. Selain dilakukan secara ilegal oleh masyarakat secara sendiri-sendiri dan berkelompok., ada pula yang mengatasnamakan koperasi, padahal dalam operasi dimodali pengusaha. Jenis yang terakhir ini justru mendapat izin pemanfaatan kayu (IPK) dari pemerintah. Modus lainnya, dilakukan pengusaha yang tidak terlibat secara langsung, tapi menebarkan modal pada sejumlah anggota masyarakat dan kemudian membelinya dengan harga miring.
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Memanjat Pohon Sialang : Pohon Madu
Hasil kegiatan penebangan ilegal itu dibawa ke log-pond di pinggiran Sungai Batanghari, Desa Sungai Ruan, Kecamatan Marosebu Ulu, sebelah utara taman nasional. Menurut informasi, hasil tebangan dari Bukit Duabelas yang dimodali pengusaha, kebanyakan dijual ke sejumlah industri pengolahan kayu, juga sawmill ukuran besar, bahkan sebagian diekspor. Sementara hasil tebangan masyarakat, kebanyakan dijual ke sawmill-sawmill terdekat yang ada di sekitar taman nasional. Kehadiran sawmill-sawmill, baik ukuran besar maupun kecil, berbanding lurus dengan tingginya kegiatan penebangan ilegal ke Bukit Duabelas. Sejak dua tahun belakangan, ada belasan sawmill yang muncul; mulai dari Rantau Panjang di sisi barat, hingga Kecamatan Pauh, Sarolangun dan Singkut, bahkan di Lubuk Linggau di timur dan selatan, serta Kecamatan Mersam di sisi utara, umumnya menampung kayu-kayu ilegal, terutama yang berasal dari Bukit Duabelas. Sebagian besar kehadiran sawmill itu tidak memiliki izin alias ilegal. Meski kehancuran taman nasional sudah di depan mata, hingga kini tidak ada tindakan hukum yang berarti, baik terhadap pembuka ladang maupun penebang ilegal yang telah melibatkan semua pihak. Kalau hal itu berlangsung hingga taman nasional hanya diakui berdasarkan secarik kertas bernama surat keputusan, pada akhirnya kawasan hutan di jantung Propinsi Jambi ini akan mengalami degradasi yang tinggi. Akankah hal ini dibiarkan? (Bintoro Juandaru)
LAPORAN UTAMA 18
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
diandalkan sudah berusia tua dan maka produktivitasnya makin menurun. Terlebih, harga karet belakangan ini rendah, jauh di bawah harga bahan-bahan pokok, terutama beras. Kondisi ini mendorong masyarakat desa mencari sumber ekonomi lain. Dengan keterampilan yang minim dan ketiadaan modal, alternatif yang paling dimungkinkan adalah dengan melirik kawasan hutan yang berdekatan dengan wilayah mereka. Bukit Duabelas, yang selama ini belum dimanfaatkan dan sudah lama dieksploitasipengusahadariluar,akhirnyamenjaditargetuntuk dimanfaatkan. Meski berstatus dilindungi, anggota masyarakat tetap memanfaatkan kayu yang ada di dalamnya secara ilegal. Bahkansejakerareformasibergulir,intensitaspengambilankayu (istilahnyabebalok)semakintinggi.
Taman Nasional yangDikelilingi Desa Gambaran Umum asyarakat desa sekeliling Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) adalah desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan taman. Masyarakatnya berinteraksi dengan taman nasional baik langsung maupun tidak langsung. Interaksi itu bisa dilihat dari segi penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di sekitar dan dalam kawasan taman.
M
Saatiniteridentifikasi22desadisekelilimgtamannasionalyang baru saja dideklarasikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang secara administratif masuk dalam beberapa kecamatan: Bathin XXIV dan Maro Sebo Ulu (Kabupaten Batanghari), di sebelah timur dan sebagian di utara, Tabir (Kabupaten Merangin) di sisi Barat, Tebo Ilir (Kabupaten Tebo) di sisi utara dan sebagian di timur,sertaPauh(KabupatenSarolangun)disisiselatan. Desa-desa ini dapat dikelompokan menjadi dua: desa transmigran dan desa Melayu. Desa transmigran umumnya terkonsetrasi di sisi selatan dan barat taman nasional dan desa Melayu berada di sebelahselatan,timurdanutara. Perekonomian Masyarakat Sumber mata pencaharian utama masyarakat desa Melayu sebagian besar bertumpu pada karet (alam) yang dikelola secara ekstensif dengan sistem perladangan berpindah. Sumber penghasilan mereka semula juga dibantu hasil hutan nonkayu dan buah-buahan. Namun karena hasil hutan nonkayu makin sulit diperoleh, andalan utamanya kembali kehasil kebun karet. Masalahnya, sejak dua tahun belakangan tanaman karet yang
Berbeda dengan masyarakat dari desa transmigrasi. Sumber pencarianmerekasebagianbesarberasaldarikebunkelapasawit, dansisanyadarikebunkaret(jenisunggul)yangdikelolasecara intensif. Setiapkepalakeluargarata-ratamemilikilahanusaha seluas 2,25 hektar, ditambah satu hektar sebagai lahan cadangan dan kawasan permukiman serta pekarangan seluas 0,25 hektar. Tahun 1990 perusahaan perkebunan kelapa sawit mengembangkan pola perkebunan inti rakyat di kawasan transmigrasi (PIR-Trans) pada lahan cadangan. Sementara lahan usaha sebesar 2,25 ha sebenarnya dialokasikan untuk tanaman semusim atau palawija. Hanya saja, mereka memilih tanaman karet(unggul)dansebagianlagiditanamikelapasawit.Sementara di pekarangan, penghuni areal transmigrasi yang rata-rata dari Pulau Jawa, pemanfaatan lahan di sekitar rumah di manfaatkan seoptimal mungkin, terutama dengan tanaman untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan pemanfaatan lahan yang optimal kondisi ekonomi mereka relatif lebih berkembang dibanding masyarakatdesa. Penggunaan lahan Dengan pola pertanian yang bersifat ekstensif, mereka hingga sekarang masih membuka lahan baru di areal yang masih ada. Pembukaan lahan yang berlokasi di kawasan yang masih berhutan umumnya dimanfaatkan untuk menambah areal kebun karet. Namun, karena lahan yang ada sudah terdesak oleh kehadiran pendatang, pembukaan ladang mengarah pada taman nasional terutama yang berada di sisi selatan. Bahkan sejumlah warga memiliki ladang di dalam kawasan taman. Pembukaan ladang dilakukan dengan memanfaatkan akses jalan (jalan logging bekas HPH yang tidak dimusnahkan ketika izinnya habis),sertasungaiyangadadisekelilingtamannasional.Tekanan perladangan semakin meningkat akibat potensi lahan persawahan yang ada di desa tidak mampu dimanfaatkan secara optimal, baik karena kegagalan panen akibat serangan hama (tikus dan burung) maupun kondisi saluran irigasi yang kurang mendukung. . Desakan terhadap taman nasional semakin kuat karena hutan yang masih tersisa dan yang bisa dibuka hanyalah yang mengarah ke taman nasional. Masyarakat setiap waktu membuka hutan, meski sebagian kecil masih memanfaatkan belukar lama. Sejumlah tauke (pemilik modal) malah membuka areal hutan dalam jumlah
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
19 banyak, kayu itu dirakit dan dihilirkan ke sawmill-sawmill di daerah Mersam, Sengeti atau Jambi,sertaidustripengolahankayuyangtersebar diPropinsiJambi. Keberadaan sawmill di sekitar taman nasional, cukup banyak belakangan ini. Meski berstatus ilegal,belasansawmillituberoperasitanpaada hambatan. Begitu juga dengan industri pengolahan kayu lainnya. Meski kayu-kayu yang keluar tidak memiliki izin, mereka tetap menampung, karena bisa membeli dengan harga jauh di bawah harga pasaran. Sayannya, tindakan ilegal itu belum tersentuh hukum. Ada memang razia yang dilakukan aparat terkait. Namun hal itu hanya sebatas menangkap operatorlapangan,bukanpemodal,sehinggatidak berpengaruh terhadap keselamatan taman. Pada akhirnya, kegiatan ini berakibat pada degradasi taman nasional, meski akhir Januari lalu, pemerintah sudah mendeklarasikan kawasan lindung itu, sekaligus pencanangan penebangan liar. (DickyKurniawan)
Peta Taman Nasional Bukit Duabelas : Tekanan dari segala arah
yang sangat luas; mencapai puluhan bahkan ratusan hektar dalam sekali bukaan. Mereka mampu membayar tenaga kerja yang sebagian besar berasal dari desa-desa sekitar taman. Cara-cara seperti ini paling berpotensi mengancam taman nasional. Tingginya tekanan perladangan oleh masyarakat di desa-desa sekelilingtamannasionalbisadilihatpadapetaberikut.
Kegiatan bebalok yang mengarah ke taman nasional umumnya menggunakan akses jalan darat, yakni jalan logging bekas HPH yang diperbaiki kembali. Ada juga yang menggunakan akses sungai untuk angkutan kayu. Mobil angkutan kayu, umumnya jenis truk, dapat dengan mudah memanfaatkan bekas jalan milik HPH, hingga masuk ke dalam taman Dalam prakteknya, kayu-kayu yang ditebang dari dalam hutan ditarik secara manual oleh tenaga manusia (“ongkak”) dan juga dengan memanfaatkan tenaga kerbau yang menarik kayu hingga ke jalan besar, atau ke tepi sungai. Kayu-kayu itu ditumpuk di tepi jalan sebelum diangkut mobil truk dan dibawa ke sawmill. Ada juga yang ditumpuk di log-pond di pinggir Sungai Batanghari yang melewati Desa Sungai Ruan. Setelah terkumpul cukup
DOK.AS&P/AULIA ERLANGGA
Pencurian Kayu Pengambilan hasil hutan umumnya adalah jenis kayu, baik kayu balok maupun bantalan (scarlog), yang secara ilegal sudah jauh masuk kedalam kawasan taman nasional. Kondisi ini dipicu oleh tingginya permintaan kayu dan harga yang cukup tinggi di pasaran,sertalemahnyapengawasanyangdilakukanaparatterkait. Pekerjaan yang relatif berat ini kebanyakan melibatkan mereka yang masih berusia muda dan kuat fisiknya, dan yang berusia tua lebih banyak menyadap karet.
Ancaman : Masyarakat desa mencuri kayu
DOK.AS&P/AULIA ERLANGGA
AKTUAL 20
Nasib Orang Rimba Makin Tragis
K
isah duka menyelimuti Orang Rimba. Sebanyak enam anggota kelompok yang dipimpin Arau (55), dibunuh secara keji di kawasan hutan di Sungai Kunyit, Dusun Petekun, Desa Nalo, Kecamatan Bangko, Jambi. Korban yang meninggal berasal dari satu keluarga: Arau sebagai kepala keluarga dan isterinya (50), Bujang anak Arau(30) dan isterinya (25), serta Pangendum (20) janda, bekas isteri Bujang Tinggi dan Pangebet (6) keduanya anak Arau. Satu orang lagi, adik isteri Bujang (8), yang diduga sebagai korban, hingga kini belum diketahui nasibnya. Para korban ditemukan di dua tempat empat mayat di Sungai Kunyit dan sisanya di sekitar pondok tidak jauh dari sungai. Pihak kepolisian yang datang ke lokasi dua minggu setelah kejadian, menduga, pembunuhan sadis itu terjadi karena pertentangan antarkelompok, yakni sesama Orang Rimba. Alasannya, Arau marah pada Bujang Tinggi, yang menceraikan anaknya, dan Bujang Tinggi dendam, sehingga menghajar semua anggota Arau. Dugaan ini dikaitkan polisi dengan luka tombak yang ada di tubuh korban. Tombak memang dikenal sebagai senjata berburu Orang Rimba. Dugaan itu tentu terlalu dini, mengingat pelacakan yang dilakukan masih menyisakan sejumlah misteri. Hasil investigasi tim Warsi di lapangan menemukan, korban semula tinggal di dekat sawmill kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat Dusun Petekun (berdekatan dengan permukiman transmigrasi), Desa Nalo Pada hari lebaran, mereka sempat bertamu meminta kue ke rumah penduduk desa (penduduk asli dan trans). Waktu itu, korban wanita menggunakan perhiasan berupa emas, yang biasa mereka pakai pada saat lebaran. Esoknya, kelompok Arau pindah ke Sungai Kunyit (masih Dusun Petekun), sekitar 20 km dari lokasi semula. Alasan pindah, karena di tempat lama, labi-labi (penyu sungai), getah jernang, rotan, damar dan hasil hutan nonkayu mulai berkurang. Sebelum sampai di lokasi baru, mereka berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung Mat Ali, toke yang selama ini melayani kebutuhan mereka. Setelah itu, tidak ada yang mengetahui keberadaan Arau, sampai akhirnya seorang bocah (Beben) warga Desa Nalo yang tengah mencari ikan di Sungai Kunyit, menemukan satu organ tubuh salah seorang korban, dua hari setelah lebaran. Dalam kehidupan sehari-hari, Arau sering berinteraksi dengan dunia luar. Kebutuhan sehari-hari mereka dipenuhi warung Mat Ali, sedang hasil buruannya dibeli sejumlah toke, di antaranya Fauzi di Kota Bangko yang juga memenuhi kebutuhan mereka dalam jumlah besar, dan toke-toke kecil di sekitar Nalo.
Orang Rimba yang berada di kawasan penyangga TNKS memiliki mata pencarian yang relatif memadai dibanding kelompok lain di Propinsi Jambi. Menurut penuturan Kitab Orang Rimba yang kini berada di Rantau Panjang yang sudah lama kenal Arau, kelompok ini memiliki pencarian yang relatif baik dibanding kelompok lain. Penghasilan mereka tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga simpanan emas. Per tengkaran Antar Kelompok? Warsi sebagai LSM yang sudah mendampingi Orang Rimba selama lima tahun, berharap pihak kepolisian menelusuri berbagai indikasi yang layak dilacak, untuk menemukan pelaku pembunuhan. Sejumlah indikasi, di antaranya perampokan karena korban sekaligus kehilangan simpanan emas dan harta benda lain patut dilacak lebih jauh. Motif karena pertentangan antarkelompok terlalu dini dan sangat sulit diterima mereka. Meskipun pada tubuh korban terdapat luka akibat tusukan tombak, belum bisa disimpulkan bahwa pelakunya adalah Orang Rimba. Kasus ini membuat mereka traumatis. Kehilangan enam nyawa merupakan sebuah musibah yang luar biasa mengagetkan dan belum pernah terjadi selama ini. Mereka sulit menerima jika ada anggotanya yang meninggal seketika dalam jumlah sebanyak itu, apalagi dalam bentuk kekerasan fisik. Budaya Orang Rimba tidak mengenal konflik yang disertai adu fisik sesama anggota dan kelompok lain yang disertai pembunuhan. Mereka amat defensif bereaksi jika tersinggung atau diperlakukan secara tidak adil. Cara untuk tidak terlibat konflik adalah dengan menghindar atau pergi menjauh. Jatuhnya korban enam jiwa dari Orang Rimba mengindikasikan, posisi mereka sangat marginal di tengah-tengah masyarakat. Kalau hasil penyidikan masih menjurus pada konflik antarkelompok, semakin memperkuat indikasi bahwa pemerintah tidak peduli terhadap mereka. Dua Orang Rimba yang meninggal dunia setelah dikeroyok penduduk desa di utara Bukit 12, tahun 1997, hingga kini juga belum ada penyelesaian secara hukum. Orang Rimba memang belum dianggap sebagai bagian dari warga negara. Tidak satu pun dari mereka yang sudah memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Pemerintah, terutama di tingkat desa tidak bersedia membuatkan kartu identitas karena menganggap Orang Rimba tidak memiliki domisili tetap. Anehnya, pada waktu Pemilu berlangsung, mereka gampang dikelompokkan ke dalam desa-desa tertentu dan diwajibkan mencoblos partai tertentu. Tanpa ada identitas formal, mereka tidak punya akses untuk mendapatkan berbagai proyek pembangunan yang disediakan, dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya. Mulai dari pengobatan gratis, dana jaring pengaman sosial (JPS), hingga proyek pengembangan tanaman karet unggul, pemberiannya berdasarkan pada desa di mana mereka berada. Khusus pengembangan karet, sejumlah Orang Rimba di sepanjang Jalan Lintas Sumatera, sudah lama menanam karet, tapi bukan jenis unggul. Kalaupun ada, kegiatan pembangunan yang mereka dinikmati justru tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Proyek pemukiman kembali masyarakat terasing (PKMT), misalnya. Pemerintah membangun rumah, tapi tidak disesuaikan dengan pola hidup Orang Rimba, sehingga ditinggal atau dijual. Pendekatan yang dilakukan masih top-down (dari atas dan seragam) bukan bottom up (apa sebetulnya yang dibutuhkan). Seyogyanya, dana proyek PKMT dialokasikan sesuai kebutuhan mereka Orang Rimba. Belajar dari kasus itu, Warsi berpendapat, sudah saatnya pemerintah mengubah pendekatan dalam memahami Orang Rimba. Keberadaan mereka sebagai anggota masyarakat sudah seharusnya diakui dengan memasukkan mereka ke dalam satu desa atau kecamatan berdasarkan kawasan hidup mereka, sehingga memberi akses untuk menikmati berbagai proyek dan hasil pembangunan. (ET/Robert A./Dicky K.)
21
DOK. WARSI
hentikan begitu saja. Ini sulit, memang. Padahal, kondisi sumberdaya alam tidak akan bertambah, karena luas wilayah memang tidak bertambah. Eksploitasi yang melebihi kemampuan alam untuk memperbaiki diri, akhirnya menjadi rusak. Tapi, di sisilain, banyakorangbisamendapatkanizinpemanfaatanhutan, yang melebihi kemampuan sumberdaya alam dan hutan yang ada. Contoh nyata, produktivitas hutan yang hanya 30 juta m3 pertahun, sementara kapasitas produksi industri yang berkaitan dengan sumberdaya hutan mencapai 60 juta m3. Jadi ada kekurangan separuh. Akibatnya, terjadi eksploitasi yang berlebihan dan besar-besaran agar masing-masing mendapat bagian yang lebih banyak.
WAWANCARA
Widodo S. Ramono
“Hutan di Sumatera Akan Habis Tahun 2005” ekhawatiran sejumlah kalangan terhadap kondisi kawasan hutan lindung sudah lama bergaung, termasuk berbagai kebijakan yang mendukungnya. Tapi apa daya, semuanya tidak banyak berarti. Deforestasi hutan malah sudah mencapai 1,6 juta hektar pertahun. Begitu tingginya ancaman itu, sejumlahhutandinegeriinidiprediksikanakanhabishanya dalam waktu beberapa tahun lagi.
K
Widodo S. Ramono, Direktur Kawasan Konservasi, Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam, Dephutbun mengakui, upaya yang perlu dilakukan untuk menyelematkan sumberdaya hutan tidaklah mudah. “Selama 30 tahun lebih kita membangun dengan memanfaatkan hutan secara berlebihan. Tidak mudah untuk mengalihkannya ke sumberdaya lain,” papar Widodo. Berbagai persoalan di bidang kehutanan termasuk pikirannya tentang pengelolaan kawasan konservasi di masa datang, dipaparkan mantan Kakanwil Dephutbun Propinsi Aceh ini kepada Tim Redaksi AS&P beberapa waktu lalu, di ruang kerjanya. Petikannya:
Sesuai UU tentang konservasi, keberadaan kawasan taman nasionaldilindungidariberbagaikepentinganeksploitasi. Tapi, faktanya tidak begitu. Apa sebetulnya masalahnya? Inimemang satuproblem. Kondisi saatini begitu tidak menentu. Tapi itu kenyataan. Kadang-kadangaspek legalitassering tidak mendapat perhatian dan malah bisa mengalahkan kepentingan masa depan. Bayangkan, sekitar tiga dasawarsa kita sangat bergantung pada sumberdaya alam dan hutan, tiba-tiba kita
‘Kan peraturannya sudah ada. Apa perlu diperbaharui sehingga kewenangan untuk melindungi menjadi lebih kuat? Terus terang, secara teoritis, aturan yang ada memang sudah memadai. Seperti membatasi agar hutan tetap produktif, dengan sistemtebangpilihpadahutanalam. Kalauaturaninidipatuhi, tidak masalah. Masalahnya, kenyataan di lapangan tidak begitu. BanyakRKT(rencanakerjatahunan,red)yangtidaksesuaiusulan. Begitu juga dengan HPH yang diharapkan bisa mengawasi, juga tidakmampu. Akibatnya,terjadidegradasiterhadaphutan-hutan kita. Apakah aparat dari kehutanan tidak mampu mengontrol? Masalahnya, berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan, yang mau tidak mau tergantung jumlah petugas di lapangan. Percaya atautidak,penghasilanparapetugaskitadilapangannominalnya lebih rendah dari pegawai pasar. Akibatnya mereka begitu mudah tergoda. Seberapa parah sih sebetulnya kerusakan hutan saat ini? Menurut perkiraan Bank Dunia, hutan dataran rendah di Sumatera akan habis tahun 2005. Trend penurunan kondisi hutan itu sudah dimulai tahun 1970-an. Sekitar 30 tahun lebih kita membangun dengan memanfaatkan hutan secara berlebihan. Bahkan, seperti dirilis Bank Dunia, sejak saat itu pola pembangunan dan pemanfaatan hutan bersifat timber oriented (berorientasi pembalakan), dengan mengabaikan nilai-nilai lingkungan/ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Tindakan ini kemudian mendorong terjadinya eksploitasi hutan secara berlebihan. Akibatnya, potensi sumberdaya alam lain menjadi rusak dan hilang tanpa memberikan hasilyangoptimal. YanglebihparahdiSulawesi. Hutandataran rendah di sana diprediksikan habis tahun 2001. Di Kalimantan, masih bisa bernapas sampai 2010. Kenapa bisa terjadi secepat itu? Inijugaantaralainakibatkonversiyangberlebihan. Sepertisaya katakan, kapasitas industri yang jauh melampaui produktivitas hutan itu sendiri telah menyebabkan terjadi kerusakan hutan yang amat parah. Kalau begitu kondisinya, pihak kehutanan seharusnya mampu mengatasi. Tapi kesannya, tidak bisa melakukan sendiri karena terkait dengan instansi lain, misalnya perindustrian. Apa memang begitu?
SELINGAN 22
Pada saat otonomi daerah diberlakukan, problemnya jadi bertambah. Ada kemungkinan kawasan hutan akan dimanfaatkan untuk menunjang PAD. Apa strategi yang disiapkan agar kecenderungannya tidak begitu? Salah satunya adalah dengan tidak melepas kawasan. Minimal kawasan hutan yang dilindungi harus tetap, tidak berkurang. Memang ada upaya pemanfaatan hutan seoptimal mungkin untuk kepentingan daerah. Misalnya dengan mengutak-atikhak-hakadat,tapitujuannyalain. Tiaporang bisa saja mengklaim itu hak adat, padahal tujuannya untuk dikonversi. Jaditidakbisabegitusajamenyebut-nyebut hak adat. Harusadapersyaratantertentuyangdiakuisecaraadat. Bukandiklaimbegitusaja. Harusjelasdulu. Kalau daerah ngotot? Kita tetap mempertahankan kawasan yang ada. Malah dengan otonomidaerahnanti,kitaakanmemperkuatposisimasyarakat lokal dalam memanfaatkan hasil hutan, terutama nonkayu. Sebab, pemanfaatan hutan tidak hanya kayu, tapi juga nonkayu, sehingga keberadaan hutan menjadi multifungsi. Setelah otonomi berjalan, kebijakan kehutanan tidak hanya dikuasaipusat,tapiberbagidengandaerah. Pengelolaanhutan produksi diserahkan pada daerah. Kegiatan rehabilitasi diserahkan ke PKT (Perhutanan dan Konservasi Tanah). Begitu juga dengan penataan hutan dan hutan lindung juga diserahkan ke daerah. Sedang berkaitan dengan PP Nomor 25 Tahun 2000 hal-hal yang berkaitan dengan konservasi, pengelolaannya berbagi dengan daerah. Pusat berkewajiban dariaspekpengelolaanbaikdaerisegiregulasi,fasilitasimaupun supervisi, sedang kegiatan dan pengusahaan diserahkan pada daerah. Langkah-langkah apa yang tengah disiapkan departemen ini untuk ke depan, dalam rangka mempertahankan hutan yangtersisasaatini? Kitatengahmenginventarisirkeberadaanhutanyangtersisa. Dengan inventarisasi, dilakukan penataan batas, Melakukan penataan batas, dengan melakukan pengukuhan. Lalu juga dengan menelaah fungsi-fungsi kawasan dan kemudian menginformasikan data tentang pengelolaan. Rencana pengelolaanyangbetulituharusdenganmelihatreaktualisasi. Di sini kita harus memprediksi sumberdaya hutan yang ada. Dengan langkah-langkah itu, apa yang akan diharapkan? Sumberdaya hutan bukanlah barang yang hasilnya langsung jadi. Jadi bukan sesuatu yang instan. (Tim AS&P)
DOK WARSI
Harus diakui, memang kurang terjadi koordinasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di satu sisi ada yang menganggap keseluruhan sumberdaya hutan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan industri bidang kehutanan. Disisilain,belumsemuapelakuindustrikehutananmemiliki visikedepan. Akibatnya,itutadi,pemanfaatanhutanbersifat timber oriented. Anggapannya, kalau semua hutan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan industri, kenapa tidak. Pikiran seperti ini kan sangat berbahaya bagi kelangsungan hutan kita. Ini bukan sistem lagi yang salah, tapi sudah budaya.
Melangun, Sebuah Tradisi Orang Rimba M
elangun merupakan tabu kematian yang menjadikan Orang Rimba harus meninggalkan tempat mereka tinggal dan mencari tempat baru ketika terjadi kematian yang menimpa salah seorang kerabat atau anggota kelompoknya. Tradisi melangun juga khas dan unik karena tidak ditemukan pada suku-suku lain, sehingga orang awam akan memandangnya dengan berbagai persepsi. Tradisi melangun dimulai dengan adanya kematian pada salah seorang anggota kelompok Orang Rimba. Saat tersiar kabar kematian, mereka akan meratap, terkadang sampai histeris, terutama perempuan, dan ini menjadi puncak emosional di antara mereka. Segera para penghulu (tetua adat) berunding untuk menetukan tempat baru yang akan dituju. Dalam waktu singkat semua peralatan hidup dikemas, sebelum menuju tempat baru yang disepakati. Hari itu juga, sekitar 3-4 orang akan ditugaskan mengantarkan mayat ke tempat lain. Mayat akan diusung dengan tandu yang terbuat dari kain sebagai alas yang diikat pada dua batang pohon, dibawa menuju kawasan hutan yang jarang dilewati manusia.. Di sana, mereka membangun rumah panggung mungil tanpa dinding setinggi 1,5 meter, dan di dalamnya mayat dibaringkan. Mayat ini diberi kain selengkapnya, layaknya seperti sedang tidur dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa peralatan disertakan bersama mayat itu, sebagai bekal, berupa beberapa kain pilihan, sebuah kujur (sejenis tombak khas Orang Rimba), parang, alat masak seperti periuk dan sudu (sendok), serta sejumlah uang. Perlakuan seperti ini didasarkan pada sistem religi Orang Rimba, yang percaya orang mati bukanlah telah mati dalam arti sebenarnya. Kepercayaan ini memberi makna, kehidupan dan penghidupan orang tersebut memang telah berakhir, tapi kematian merupakan manifes dari pindah halom (alam). Pada halom halom berikutnya, yang bersangkutan akan melanjutkan kehidupannya sehingga perlu dibekali beberapa peralatan. Kesemua peralatan itu memiliki arti masingmasing. Kain dimaksudkan untuk baju, sempolung (selimut) untuk alat pembayaran adat, kujur untuk berburu, parang untuk membuat rumah dan mencari kayu apai, serta uang untuk bebelanjo (belanja).
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
Khusus untuk kematian budak ebun (anak berusia di bawah 2 tahun), pada beberapa kelompok, ada perbedaan pada tradisi pemakaman. Di antaranya, membungkus mayat bayi dalam sebuah sarung yang keempat ujungnya disimpul dan diikat di atas pohon di dalam hutan yang tersembunyi. Buntalan mayat ini kelak akan membusuk hingga berlendir. Lendirnya menetes-netes ke bawah, terkadang tetesannya menimpa para pencuri kayu yang sedang mencari mangsa di dalam hutan, sehingga saat melihat ke atas, ia akan lari karena ketakutan.
hutannya sudah rusak. Mereka hanya mengandalkan benor (ubi hutan) dan buah-buahan hutan, ikan dalam ukuran kecil dan sedikit malah sering mendapat yang sudah keracunan, dituba orang desa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk mengharapkan louk godong (lauk besar= babi, rusa, kijang, dll) hampir tidak mungkin, karena jarang ditemui di hutan yang sudah rusak. Kecuali babi hutan yang masih bisa ditemui dekat kebun kelapa sawit. Ketika hutan di Taman National Bukit-12 masih utuh, mobilitas melangun dilakukan dalam bentuk perjalanan panjang dari Barat menuju ke Timur, atau dari Utara ke Selatan, dan sebaliknya, sesuai lokasi kematian terjadi. Kini mobilitasnya menurun mengingat Bukit Duabelas kian menyempit dan kerusakannya meningkat. Mau tidak mau Orang Rimba menyesuaikan pada upaya bagaimana agar tradisi melangun sejalan dengan kelangsungan hidup mereka yang ditinggalkan.
Berita melangun ini segera tersebar ke kelompok lain yang terdekat, setelah diberitahu anggota keluarga yang meninggal ke kelompok lain. Pada saat ini kelompok lain itu menyarankan lokasi pemakaman yang layak, agar tidak dilewati selama beberapa tahun. Orang desa yang berada di sekitar kelompok yang meninggal, secara tidak langsung juga mengalami pengaruh melangun. Misalnya transaksi jual beli hasil hutan jadi terputus. Jika ada Orang Rimba yang sebelumnya berhutang membeli kebutuhan sehari-hari, pemilik warung terp[aksa mengikhlaskan. Sebaliknya, jika orang desa yang berhutang, Orang Rimba sering datang menagih, karena diperlukan untuk bekal perjalanan melangun.
Melangun tidak berarti meninggalkan tempat tinggal sebelumnya, selamanya. Biasanya ada yang kembali menengok tanaman karet, ubi-ubian, padi ladang, dan tumbuhan lain yang sempat ditanam sebelumnya. Rentang waktunya tergantung pada masa panen tumbuhan itu. Jika ubi-ubian atau padi ladang, rentang waktu untuk kembali dua hingga tiga bulan. Setelah panen, mereka meninggalkan tempat itu, dan kelompok lain bisa memanfaatkan. Lain halnya jika mereka menanam karet di tempat yang lama. Biasanya akan ditengok dua hingga tiga tahun kemudian, tergantung pada posisi dan jasa pada kelompok. Makin besar pengaruh dalam kelompok, masa untuk kembali makin lama. Namun, tanaman ini sekaligus mengikat mereka untuk kembali. Orang Rimba lain biasanya boleh menjadikan sebagai genah (tempat tinggal) tapi tidak berhak memiliki karet itu.
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Keadaan mereka yang melangun biasanya amat memprihatinkan. Orang Rimba berjalan tanpa kepastian bahan pangan yang memadai, terutama jika berada di kawasan yang
DOKUMENTASI : OYVIND SANDBUKT
Perjalanan melangun menuju lokasi yang baru, bisa berlangsung berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Sebelum mencapai lokasi, mereka bermalam di beberapa tempat untuk istirahat. Kegiatan selama istirahat ini dimanfaatkan untuk ngoli jorot (melihat jerat binatang yang dipasang sebelumnya), nyuluh (berburu), mencari ikan untuk bahan makanan. Ada juga yang membuat tikar atau hambung. Di tempat sementara ini mereka tidak membuat susudungan (rumah panggung), tetapi belalapion (rumah dengan dua tiang beratap plastik). Pada waktu itu, setiap malam hari, biasanya suami, istri, ibu, atau orang terdekat dari yang meninggal akan menangis melolong-lolong.
Tradisi melangun juga bisa merefleksikan situasi sosial dalam kelompok Orang Rimba. Setiap anggota kelompok dapat mendekatkan diri atau menjauhkan diri dari ikatan kelompoknya, dengan berbagai alasan konflik atau pelanggaran-pelangaran adat yang terjadi. Jika komposisi anggota suatu kelompok terlalu stabil dalam waktu relatif lama, mereka akan semakin rentan terhadap berbagai konflik terutama karena ketersediaan sumber daya yang semakin menipis.. Melangun menjadi alasan terbaik untuk menjauhkan diri dan bergabung dengan kelompok lain.
Harta Orang Rimba : Kain merupakan harta orang Rimba yang akan selalu dibawa ketika melangun Situasi ini dapat terjadi dengan beberapa pertimbangan. Misalnya menghindari konflik dalam kelompok asal, karena antipati pada pimpinan kelompok atau anggota yang lain, merasa kurang beruntung dalam memperoleh sumber makanan, atau ingin mempunyai suasana kehidupan yang sama sekali baru. Bisa juga dengan alasan, ingin mendapat kesempatan yang lebih besar dalam mencari pasangan. Dengan kata lain, melangun merupakan tahapan transisi. Pada waktu itu tercipta keseimbangan baru untuk memperbaharui tatanan sosial antar kelompokkelompok Orang Rimba. Di balik tradisi ini banyak sekali makna yang diberikan setiap aktor dalam kelompok, sehingga melangun tak ubahnya menjadi sebuah sarana dan justifikasi atas tindakan yang dimaknai secara luas. Karena itu, tradisi melangun tetap bertahan, meski sudah terjadi banyak perubahan dalam kehidupan Orang Rimba. (Robert. A./Saur M)
23
PROFIL 24
Gentar, Sosok Seorang “Guru” dari Rimba enampilannya tidak terlalu istimewa dibanding remaja sebayanya. Pakaicawatpenutupauratjikadidalamrimba dan memakai pakaian biasa jika masuk desa. Gaya bicaranyajugaceplas-ceplos,tapisukabicaraterus-terangmeski dianggap tabu sekalipun. “Saya ingin semua Orang Rimba bisa sokola, supaya tidak lolo (bodoh, red) seumur hidup dan ditipu OrangTerang,”tuturnyasuatukali. Keinginan itu memang wajar, meski dianggap tabu bagi Orang Rimba, masyarakat asli yang sebagian besar bermukim di kawasan hutan di Propinsi Jambi. Anggapan yang berkembang, sokola adalah milik Orang Terang —begitu mereka menyebut orang desa/Melayu—yang mengajarkan ilmu mengubah adat dan halom (hutan), dan akan mendorong Orang Rimba berbuat jahat, sehinggatidakbaikbagimereka. Anggapan seperti itu bukan mengada-ada, dan selama ini mereka alamisendiridansaksikansaatberinteraksidenganOrangTerang: halom, yang menjadi kawasan hidup mereka setiap hari ditebangi meski sudah ada larangan, uang hasil penjualan rotan dan karet merekaseringdikurangijikamenjualnyapadataukeOrangTerang. Yanglebihekstrim,ilmudarisokola dianggapsebagaisenjataawal Orang Terang untuk menyingkirkan keberadaan Orang Rimba. Bagi Gentar (16), begitu ia biasa dipanggil, stigma seperti itu tidak ditelan mentah-mentah. Yang salah bukan ilmu yang diperoleh dari sokola, tapi mental orang-orangnya. Dalam berinteraksi mereka memang sering “kalah” dibanding Orang Terang. Namun, menurut Gentar, kelebihan itu diperoleh karena merekapintar,danitubisadidapat,antaralain,melaluisokola. Karena itu, ia ingin mendobrak hambatan kultural yang selama inimasihkuatdipercaya. Ia pernah mendatangi beberapa sekolah formal yang ada di beberapa desa di sekitar genah-nya, subDAS Makekal, sisi barat Taman Nasional Bukit Duabelas. Setelah sempat mengamati, muncul kesadaran dalam dirinya sebagai Orang Rimba; yang membedakan dirinya dengan Orang Terang adalah karena Orang Terang bisa membaca, menulis dan berhitung — dan karena itu mereka pintar, sedang ia bodoh. Ia lalu melontarkan keinginan masuk sekolah pada kelompoknya. Jawaban yang diperoleh bukan dikabulkan, justru disidang anggota kelompok. “Sokola hanya melawan takdir sebagai Orang Rimba,” begitu hasil rapat kelompok. Jika masih ingin sokola, ancamannya dibuang secara adat. Padahal, “Akeh sokola supayo hopidikerottoke,tokangberitung-bejualhasilrimba(sekolahagar tidak ditipu toke dan mahir menghitung hasil dari rimba, red),” Gentar memberi alasan. Gentar bukanlah remaja dari rimba yang gamang dengan ancaman dan sanksi adat yang akan diterima. Kalau dianggap melanggar
DICKY KURNIAWAN/ WARSI
P
Gentar : Saya ingin semua Orang Rimba bisa sokola, supaya tidak lolo (bodoh, red)
adat, tapi mendapatkan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi diri sendiridananggotakelompoknyakelak,iarela“berkorban”.“Kalo idaksokolakamiloloselamonye,dannasibkamiidakakanberubah, ” paparnya tentang pentingnya sekola. Ia sadar betul dengan stigma tentang Orang Rimba selama ini; bodoh dan terbelakang, bau serta memiliki ilmu hitam. Padahal, itu hanya “tuduhan” untuk menyudutkan mereka dari pergaulan sosialbersamaOrangTerang. Salahsatujalankeluarnya,menuntut ilmu dari sokola, sehingga bisa menyamai apa yang didapatkan Orang Terang. Ia tidak malu untuk minta diajari baca-tulis-hitung dari Orang Terang. Pertama kali ditolak mentah-mentah karena menganggap tidakadamanfaatnyabuatdiasebagaiOrangRimba.Kalilain,ia coba lagi dengan belajar angka-angka pada seorang pemuda dari desa lain. Itupun tidak lama. Ia sulit menghapal karena belum bisa menulis. Pada waktu lain, bersama beberapa teman, Gentar sempat membeli buku tulis dan pensil, kemudian menuliskan sesuatutanpaiamengertiarticoretanyangdiguratnya. Setelah tidakadalagiyangbisadicoret,bukuitulaludibuang. Keinginan Gentar dan beberapa temannya untuk bisa baca-tulishitung, akhirnya kesampaian setelah Warsi menempatkan fasilitatoruntukpendidikandigenahkelompokGentar,Februari tahun lalu. Pada awalnya Gentar agak ragu-ragu, karena belum pernah bertemu. Tumenggungnya malah terang-terangan menolak kedatangan fasilitator, yang kebetulan wanita. Bagi Orang Rimba,, seorang wanita dari dunia terang yang berani masuk sendirian ke dalam hutan, dianggap sangat aneh buat mereka.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
25 Keragu-raguanitu kemudian ditepisnya, karena yakin kedatangan orang “asing” itu bertujuan baik. Setelah mengikuti polajoron pertama dengan serius dan hati-hati, ia menyadari tidak ada masalah. Malah ia senang karena sokola yang diikutinya bisa sambil bermain, berenang atau berburu, karena ke mana pun ia bersama-sama teman-temannya menginginkan, fasilitator selalu mengikuti. Tapiituhanyabeberapahari. Obsesinyauntuksekolaituternyata belum berjalan mulus. Kehadiran fasilitator itu menjadi bahan gunjingan di kalangan Orang Rimba, dan membuat gerah kelompok Gentar. Kekhawatiran kelompoknya masih tetap sama; fasilitator dari “dunia lain” hanya akan menyebarkan ilmu jahat yang akan menggiring anak-anak Orang Rimba hidup berkampung seperti Orang Terang. Ilmu darisokola juga dituduh sebagai senjata untuk menghancurkan adat mereka. Karena itu, Gentarharusditarikdarisokola.
Gentarjugasadar,semuanyaakanterwujudjikaiabisamelakukan apayangselamainidiidamkan. Kehadiranfasilitatorbagaimenjadi tumpuan harapan. Meski selama ini ia suka memprotes segala sesuatu yangianilailaindanagakaneh,bersamafasilitatoria pendam,meskisekali-sekalisempatdilontarkan.Protesnyajustru mendapat tanggapan positif dari fasilitator yang dianggapnya sebagaiguru. Komunikasipunberjalanduaarah,sehinggaGentar dengan mudah bisa menerima apa yang didapatnya. Ia merasa tidak cukup dengan waktu belajar yang ada. Selama fasilitatormasihadadigenah-nyaiamanfaatkan,untukbertanya atau mengetahui tentang hal-hal yang belum ia mengerti. Pagipagi, sebelum “jam” sokola dibuka, ia sudah membolak-balik pelajaran hari sebelumnya, sehingga membantu untuk pelajaran hari itu. Ini pun belum cukup. Ketika fasilitator kembali ke Bangko untuk beberapa hari, ia pun minta diajak agar waktu sokola-nyatidakterputus.
Setengah tahun telah berlalu. Gentar pun sudah mulai tokang (mampu) menulis, menghitung hingga jumlah jutaan, juga membaca buku-buku meski untuk kata-kata yang agak asing ia masih mengeja dan belum paham artinya. Memang, kemampuannya belum sefasih anak-anak seusianya dari desa. Tapi kemampuan yang masih minim itu tidak dinikmati sendiri. Didampingi fasilitator, ia pun berbagi dengan anak-anak Orang Rimbalain,disela-selawaktubelajarnya. Iapunsudahmenjadi guru bagi teman sebayanya.
Induk (ibu) Gentar putus asa dengan tindakan itu dan mengancam akan bunuh diri jika fasilitator masih membukasokola buat anaknya. Ancaman itu bukan mengada-ada, tapi langsung mendatangi sokola Gentar dengan membawa cuka pengencer getah karetyangsiapdiminum. Setelahfasilitatormenjelaskantentang manfaat sokola bagi Gentar dan semua anak-anak Orang Rimba, siindokakhirnyamenerima. Gentarbolehsekolahdan tidakjadi bertunak(dijodohkan),tapidengansyarattidakbolehlaridari rimba.
Ada belasan anak-anak Orang Rimba, yang kini belajar bersama Gentar, dengan tetap sambil bermain, berburu atau juga menjelang tidur. Tak ada lagi yang menghalangi mereka. Buku tulisdanpensilbukanlagibendaasingdansudahmenjadibagian darikegiatanmereka.
Anak kelima dari enam bersaudara ini memiliki kemauan keras untuk belajar Ia tidak khawatir akan rintangan yang menghadang, dan semuanya memang mampu dilewati. Masa-masa “bulan madu” bersama kelompoknya dimanfaatkannya untuk dengan cepat menguasai ilmu sokola (bacatulis-hitung). Pengalaman melihat anak-anak seusianya di desa yang dengan mudah membaca buku atau surat kabar, atau menghitung angkaangka, makin memacu semangat belajarnya. Ia seperti bermimpi bahwa ilmu yang didapat dari sokola akan membawanya ke dunia lain, bukan cuma di genah rimba.
Akeh sokola supayo hopi dikerot toke, tokang beritung-bejual hasil rimba(sekolah agar tidak ditipu toke dan mahir menghitung hasil dari rimba, red),
DICKY KURNIAWAN
Gentar lalu dipanggil kakaknya dengan alasan sudah dijodohkan, Para penghulu merestui. Cara ini dinilai tepat untuk menyuruh Gentar berhenti sokola. Sebab, budaya Orang Rimba mengharuskan calon suami (semendo) mencari lauk untuk keluarga calon isteri, dan setelah dianggap pantas baru perkawinan berlangsung. Gentar bukan menurut. Ia malah mengamuk dan mengancam keluar dari kelompok kalau masih dipaksa berhenti sokola. Ancaman itu langsung dilakukan, dengan mengumpulkan barangmiliknya,iaminggatdanlarikedesa.
Meski begitu, ia masih belum mengerti, mengapa para orangtua mereka dulu melarangnya sokola. Sebab sokola bukan mengajarkan Orang Rimba mengubah adat, tapi menjadi pintar dan tidak mudah dibohongi Orang Terang. Ilmu dari sokola
26 bukan untuk menggiring Orang Rimba menjadi jahat, tapi menjadi orang beik, tidak merusak badan, dan tidak ada pantangan. Berbedajikabelajar“ilmu”lainyangbanyaksyaratnya,seperti tuju gembung, yang menurut Gentar bisa membuat perut seseorang menjadi buncit, pancung manyo, membuat orang bisa kesakitan cukup dengan cara menunjuk ke arah orang yangingindisakiti. “Ilmu”itu,bagiGentartidakperludipelajari tapiharusdibuangkarenajahatdanbanyakpantangan. Berbeda dengan beberapa teman sebayanya, baik di desa maupun dalam rimba, masih ada yang ingin mempelajari. Justru,katanya,denganilmusokola banyakpelajarandirimba yangbisadiberikanparaorangtuapadaanak-anaknya. Misalnya menghafal undang-undang rimba yang mengatur penghidupan Orang Rimba sehari-hari, dongeng-dongeng lamayangsekarangnyaristenggelamkarenamasihsedikityang melanjutkan ceritanya. Melalui sokola, semua itu bisa diwariskan, tanpa hilang ditelan kemajuan zaman yang terus berkembang. Obsesi Gentar untuk maju bersama Orang Rimba patut diacungi jempol. Perlu menunggu waktu, kesabaran dan kesadaran sejumlah Orang Rimba lain, yang masih cemas dengan kehadiransokola .(SaurMarlina)
Tamu. Sebanyak 26 mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi
Agder University College Norwegia, kembali berkunjung ke Propinsi Jambi, 26 Januari hingga 3 Pebruari. Disebut kembali berkunjung, kedatangan mahasiswa dari Norwegia ini adalah yang ketiga kali, sejak 1999 dan dilakukan setiap akhir atau awal tahun. Selama bertamu, rombongan yang disertai dua orang dosen ini melakukan tur studi ke berbagai lokasi. Di Jambi, mereka mengunjungi sentra kerajinan rakyat batik Jambi di Mudung Laut dan situs Candi Muara Jambi keduanya di seberang kota Jambi, sambil menelusuri Sungai Batanghari. Kunjungan dilanjutkan ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), yang masuk ke Propinsi Riau. Di TNBT mereka menyusuri Sungai Gangsal dan Dusun Tuo Datai, sambil menyelami kehidupan Suku Talang Mamak, salah satu indigenous people, sekaligus mempelajari etnobotani di wilayah itu. Rombongan ini juga menyempatkan diri ke Pulau Bakong di pantai timur Propinsi Riau, menyelami kehidupan masyarakat Suku Laut.
Homepage. Bagi Anda yang membutuhkan berbagai informasi tentang Warsi, Orang Rimba, serta aktifitasnya di dua taman nasional: Bukit 12 dan Bukit 30, bisa klik homepage kami: www.warsi.or.id. Selain itu, Anda juga bisa baca dua buletin yang diterbitkan Warsi: Alam Sumatera & Pembangunan, dan Warta Warsi, yang di update setiap edisi baru terbit. Untuk kedua buletin ini, memang beberapa edisi terlambat naik cetak, karena terganggu banyak kesibukan. Tentu kami berharap, ada kritik, saran dan masukan terhadap homepage yang kami rancang dan desain sendiri, sehingga.dapat memuaskan para pengunjung situs yang berasal dari berbagai kalangan.
Sang Kemare DICKY KURNIAWAN
Presiden Gus Dur mendeklarasikan TN Bukit 12 dan Pencanangan Pencegahan Penebangan Liar Kata sebuah iklan: Jangan bilang Siapa-siapa, kalau memang serius
Gentar, Sosok Seorang Guru dari Rimba
Anak-anak Orang Rimba sudah mulai bisa baca-tulis-hitung Baca-tulis-hitung bisa dikuasai semua orang, kecuali membohongi rakyat Sebanyak enam Orang Rimba dibunuh secara keji Maaf, (polisi) belum bisa melacak karena masih mencari Tommy Soehar to
PHOTONEWS 27
Orang Rimba 20 Tahun Silam dokumentasi: Oyvind Sandbukt
28
?!?
buletin ini dipublikasikan oleh WARSI (Warung Informasi Konser vasi) Website: http:\\www.warsi.or.id