LAPORAN KULIAH LAPANGAN PROYEK EKOLOGI 2015
ANALISIS EKOSISTEM DI TAMAN NASIONAL BALURAN Tanggal Praktikum: 2-6 November 2015 Tanggal Pengumpulan: 24 November 2015
disusun oleh: Restu Annisa R (10612077) Khanita Aulya (10613002) Maulana Ahsan Busyairi (10613003) Ahmad Ardiansyah (10613007) Sherly Arista Pratiwi (10613028) Cynthia Agustene I (10613035) Andini Nurfatimah K (10613048) Yukiko Prameswari H (10613064) Kelompok 1
Asisten: Satya Reza Faturakhmat (10610033)
PROGRAM STUDI BIOLOGI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG BANDUNG 2015
1
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................ 4 PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4 1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 4 1.2 Tujuan .............................................................................................................................. 5
BAB II ............................................................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 6 2.1 Karakteristik ekosistem Taman Nasional Baluran ................................................................ 6 2.2 Biota Khas Taman Nasional Baluran ................................................................................... 8 2.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Isu Konservasi ........................................................ 10
BAB III ............................................................................................................................ 12 METODE KERJA............................................................................................................... 12 3.1 Kondisi Umum Daerah Pengamatan ................................................................................. 12 3.2 Tata Kerja ........................................................................................................................ 13 3.2.1 Analisis Vegetasi Menggunakan Metode Kuadrat .......................................................... 14 3.2.2 Pengukuran Mikroklimat & Edafik ................................................................................. 17 3.2.3 Analisis Komunitas Padang Lamun Menggunakan Metode Transek Plot ...................... 19 3.2.4 Pengamatan Burung Menggunakan Metode Point Counting dan Time Spesies Count ... 21 3.2.5 Analisis struktur floristik dan fisiognomi Menggunakan Diagram Profil ....................... 22 3.2.6 Pengamatan Visual Mamalia Malam ............................................................................... 23 3.2.7 Pengamatan Visual Sensus Ikan ...................................................................................... 23 3.2.8 Pengamatan Terumbu Karang Menggunakan Metode Point-Intercept Transect ............ 24
BAB IV ............................................................................................................................ 25 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................. 25 4.1 Analisis Vegetasi di Savana Terbuka dan Savana Terinvasi Acacia nilotica .......................... 25 4.2 Analisis Mikroklimat & Edafik di Savana Terbuka dan Savana Terinvasi Acacia nilotica . Error! Bookmark not defined. 4.3 Analisis Vegetasi di Mangrove .......................................................................................... 40 4.4 Analisis Mikroklimat & Edafik di Mangrove ...................................................................... 44 4.5 Analisis Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Bama .............................................. 46 4.6 Analisis Komunitas Burung di Hutan Pantai dan Hutan Evergreen...................................... 49 4.7 Analisis Struktur Floristik dan Fisiognomi Hutan Musim .................................................... 55 4.8 Analisis Mikroklimat Edafik di Hutan Musim ..................................................................... 56 4.9 Analisis Keberadaan Mamalia Malam ............................................................................... 59 4.10 Analisis Komunitas Ikan di Padang lamun Pantai Bama .................................................... 60 4.11 Analisis Terumbu Karang di Area Transplantasi dan Non-Transplantasi ............................ 61
BAB V KESIMPULAN........................................................................................................ 65 2
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 67 LAMPIRAN...................................................................................................................... 72
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati yang sangat melimpah. Salah satunya adalah ekosistem yang terdapat pada Taman Nasional Baluran. Savana yang terdapat pada Taman Nasional Baluran menjadi salah satu faktor yang sangat penting, sehingga apabila kelestariannya terganggu akan memberikan dampak terhadap ekosistem lain yang ada di Taman Nasional Baluran (Sabarno 2002).
Pengelolaan sumber daya alam hayati yang terdapat pada Taman Nasional Baluran menjadi sangat penting dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman yang terdapat didalamnya. Kelestarian suatu ekosistem tergantung kepada pengelolanya, karena keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari sistem alam. Kebijakan pengelola Taman Nasional Baluran akan mempengaruhi ekosistem alami dari Taman Nasional tersebut (Sabarno, 2002).
Taman Nasional Baluran yang memiliki karakteristik khusus dengan bentangan savana, telah banyak mengalami tekanan dan gangguan yang dapat mempengaruhi fungsi Taman Nasional Baluran sebagai wilayah konservasi sumber daya alam. Salah satu isu yang ada di Taman Nasional Baluran adalah invasi Acacia nilotica.
Invasi A.nilotica telah
berlangsung sejak tahun 1969, dimana tujuan awal penanamannya adalah sebagai sekat bakar, karena tumbuhan ini tahan terhadap api (baluran national park, 2014). Namun secara tidak terduga A.nilotica sangat mudah teradaptasi di wilayah tersebut. Tumbuhan tersebut sampai sekarang menjadi ancaman yang cukup besar, karena pertumbuhan dari A.nilotica yang sangat cepat, yang dikhawatirkan seluruh daerah savana akan tertutup dengan keberadaanya. Gangguan yang lain adalah, melimpahnya sumber daya hayati yang ada di Taman Nasional Baluran, mengundang masyarakat untuk mengambil kekayaan sumber daya alam untuk dimanfaatkan potensinya dalam mencukupi kebutuhan mereka. Sehingga lama kelamaan, kekayaan sumber daya alam di Taman Nasioanl Baluran akan berkurang. Maka dari itu kajian ekologi di Taman Nasional
4
Baluran sangat penting dilakukan untuk dapat digunakan sebagai informasi pengelolaan Taman Nasional Baluran selanjutnya agar lebih lestari.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian kali ini adalah: 1.
Membandingkan karakteristika lingkungan (mikroklimat dan edafik), struktur dan komposisi komunitas tumbuhan pada 4 ekosistem berbeda, yaitu Savana, Savana Terinvasi Acacia nilotica, Hutan musim dan Mangrove di Taman Nasioanal Baluran.
2.
Mendeskripsikan komunitas padang lamun di pantai Bama.
3.
Mengestimasi keanekaragaman dan kelimpahan burung di hutan evergreen dan hutan pantai.
4.
Mendeskripsikan struktur dan komposisi hutan musim secara floristik dan fisiognomi (profil).
5.
Mengamati kehadiran satwa malam di savana Bekol.
6.
Membandingkan karakteristika lingkungan perairan (faktor fisika & kimia perairan) dan kualitas tutupan terumbu karang pada dua ekosistem berbeda (area transplantasi dan non-transplantasi).
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ekosistem Taman Nasional Baluran Taman
Nasional
Baluran
merupakan
kawasan
konservasi
yang
memiliki
keanekaragaman yang tinggi pada habitat serta jenis satwanya. Tipe ekosistem yang dimiliki oleh Taman Nasional Baluran antara lain adalah savana, hutan musim, hutan evergreen, hutan pantai kering, dan hutan pantai basah (Primack,1998). Salah satu ekosistem yang menjadi ciri khas dari taman nasional ini adalah ekosistem savana. Savana di taman nasional ini tersebar di berbagai tempat diantaranya di Balanan, Semiang, Karangtekok, Kramat, Bekol, dan Talpat (Alikodra, 2000). Savana merupakan padang rumput yang dipenuhi oleh semak dan pohon yang persebarannya jarang serta dapat ditemukan di hutan hujan tropis dan padang pasir. Savana sebagai hutan kering tropis mengalami pergantian antara musim kering dan musim hujan, datangnya musim kering biasanya diiringi dengan faktor penting yang mengendalikan densitas dari komunitas vegetasi di savana yaitu dengan kilat. Kilat akan menyambar pada awal musim hujan sehingga menginisiasi kebakaran dan pohon akan tumbang namun rumput akan tetap bertahan dan menyebar lebih luas. Lapisan tanah pada savana juga memiliki permeabilitas rendah terhadap air sehingga terdapat genangan air. Selain itu pohon tidak akan tumbuh pada tanah yang terdapat genangan air. Ciri-ciri hewan yang ada di ekosistem ini adalah macan tutul, rusa, ajag, dan kerbau (Molles, 2014).
Selain terdapat savana terdapat pula hutan musim, hutan musim adalah hutan tropis dataran rendah yang dapat ditemukan di India, Asia Tenggara, dan Afrika Barat. Hutan ini mempunyai suhu tahunan ≥ 20°C dan curah hujan rata-rata 1600 mm/tahun. Hutan ini mempunyai cuaca kering dan basah yang sangat berbeda, pada musim kering pohonpohon menggugurkan daunnya dan beberapa pohon dapat hidup karena akarnya dapat mencapai sumber. Vegetasi yang dapat tumbuh baik di hutan ini adalah vegetasi dengan jenis yang dapat hidup di daerah kering maupun basah (Leigh Jr, 1975). Hutan evergreen merupakan hutan yang mempunyai curah hujan ≥ 2000 mm per tahun dengan suhu 15°C-30°C dan dapat ditemukan paling banyak di kawasan industri ekuator. 6
Ciri khas dari hutan ini adalah pohon dan vegetasi lainnya tidak mempunyai periode kekeringan serta banyaknya pohon yang tinggi dan batang yang kokoh. Daun dari vegetasi di hutan ini biasanya lebar untuk menghindari evapotranspirasi (Matthew, 2000).
Hutan mangrove adalah hutan yang biasanya ditemukan pada kawasan tropis dan subtropis. Salah satu ciri dari hutan ini adalah salinitas yang tinggi dari tumbuhan tersebut sehingga biasanya vegetasi yang hidup disana toleran terhadap kadar garam yang tinggi serta kepadatan yang tinggi dari hutan mangrove memungkinkan tumbuhan lain tidak berkembang (Molles, 2014).
Tidak hanya ekosistem terestrial, Taman Nasional Baluran juga mempunyai keanekaragaman yang unik pada ekosistem akuatik yaitu ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Terumbu karang merupakan asosiasi organisme yang hidup di dasar perairan dan membentuk batuan kapur kalsium karbonat (Dawes, 1981). Tipe terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai Taman Nasional Baluran adalah karang tepi, memiliki lebar yang beragam dan berada pada kisaran kedalaman 0,5 meter sampai 40 meter. Zonasi terumbu karang di perairan Taman Nasional Baluran diawali dari :
Dataran terumbu karang yang didominasi oleh karang yang berukuran kecil
Puncak terumbu karang, yang didominasi oleh jenis karang keras(hard coral)
Lereng terumbu karang, dapat dijumpai ikan hias dan berbagai macam karang
Daerah tubir merupakan daerah yang sangat menarik wisata bahari, dipenuhi oleh jenis karang lunak (soft coral) dan jenis ikan yang bergerak secara berkelompok
Kawasan perairan Taman Nasional Baluran memiliki sekitar 145 jenis karang, antara lain suku Acroporidae, suku Fungidae, suku Poritidae, suku Millepoiediae, dan suku Helioporidae (Universitas Petra, 2012). Selain membawa keuntungan ekonomi di sektor pariwisata, ekosistem
terumbu karang berperan melindungi pantai dari abrasi dan
kerusakan dengan memecah ombak yang mengarah ke pantai. Terumbu karang juga berkontribusi kepada sektor penangkapan ikan dengan menyediakan daerah pemijahan dan asuhan, penyediaan makanan dan perlindungan biota laut (Juniarsa et al., 2013).
Selain ekosistem terumbu karang terdapat pula ekosistem padang lamun. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam 7
di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizome), berakar, dan berkembang biak secara generatif dan vegetatif (Den Hartog, 1977). Lamun dapat membentuk hamparan vegetasi lamun oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman yang padat atau jarang (Tomascik et al, 1997). Ada berbagai macam fungsi ekologis lamun antara lain sebagai tempat pemijahan ikan dan biota laut, memperbaiki kualitas air, sebagai pengikat sedimen dan peredam gelombang laut (Den Hartog, 1977). Berbagai jenis lamun yang dapat ditemukan di Taman Nasional Baluran adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Halophila minor, Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata dan Syringodium isoetifolium (Maliki et.al, 2007).
2.2 Biota Khas Taman Nasional Baluran Taman Nasional Baluran adalah suatu kawasan konservasi yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi karena keberjalanan 3 fungsi yaitu melindungi sistem penyangga kehidupan biota, mengawetkan biota, dan memanfaatkan sumber daya alam dengan tetap mempertahankan kelestariannya baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Menurut Balai Taman Nasional Baluran, Banyuwangi (2007), TN Baluran memiliki 444 jenis tumbuhan yang terdiri dari 24 jenis tumbuhan eksotik, 265 jenis tumbuhan obat, 37 jenis tumbuhan ekosistem mangrove. Sedangkan untuk fauna, Taman Nasional Baluran memiliki 28 jenis mamalia, 155 jenis aves, serta pisces dan reptilia yang diantaranya terdapat fauna dengan status dilindungi. Spesies flora dan fauna yang menjadi ciri khas dari TN Baluran dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Flora dan Fauna Khas TN Baluran
Flora Nama Lokal
Nama Spesies
Pilang
Acacia indica Linn.
Mimbo
Azadicrata indica A. Juss
Gebang
Corypha utan Lamk.
Asam
Tamara indica Linn.
Kepuh
Sterculia foetida Wall.
Widoro bukol
Zyziphus jujube Lamk.
Kesambi
Schleichera oleosa
8
Ketapang
Terminalia catappa Linn.
Manting
Syzygium polyanthum Fauna Nama Lokal
Nama Spesies
Banteng
Bos javanicus
Kerbau
Bubalus bubalis
Rusa
Cervus timorensis
Kijang
Mutiacus muntjak
Babi hutan
Sus scrova
Macan tutul
Panthera pardus
Kucing batu
Felis bengalensis
Kucing bakau
Felis viverrina
Ajag
Cuon alpinus
Kera ekor panjang
Macaca fascicularis
Lutung/budeng
Trachypithecus auratus cristatus
Merak hijau
Pavo muticus
Ayam hutan merah
Gallus gallus
Ayam hutan hijau
Gallus varius
Kangkareng
Anthracoceros convexus
Rangkong
Bucheros rhinoceros
Beberapa objek wisata telah dikembangkan untuk menarik minat pengunjung, diantaranya adalah Bekol yang merupakan savana luas menjadi tempat untuk melihat beberapa mamalia besar seperti rusa, banteng, kerbau, kijang, ajag, lutung, dan monyet ekor panjang. Tidak hanya mamalia besar yang dapat dilihat, ada pula beberapa jenis burung seperti merbah cerukcuk, kutilang, tekukur, srigunting, ayam hutan hijau, merak hijau, burung layang-layang, dan lainnya. Tumbuhan yang hidup di savanna diantaranya adalah pilang, widoro bukol, kesambi,serta rumput dan semak belukar yang beragam.
Objek wisata air yang dikelola salah satunya adalah Pantai Bama. Pantai ini dikelilingi oleh hutan mangrove yang terdiri dari beberapa jenis flora seperti Rhizophora muncronata (bakau bandul), Rhizophora apiculata (bakau kacang), dan Sonneratia alba. Selain hutan mangrove, Pantai Bama juga dikelilingi oleh hutan pantai yang jenis 9
floranya didominasi oleh waru laut, gebang, nyamplung, ketapang, dan manting. Fauna yang dapat ditemui adalah berupa rusa, kera ekor panjang, lutung, tupai, kalong, biawak, cekakak sungai, pergam, julang emas, kangkareng, elang ular, cinenen jawa, perenjak, merbah cerukcuk, dan trinil karang. Objek wisata tidak hanya dikelola di tepi laut, namun hingga ke dalam laut. Tidak jauh dari tepi pantai, terdapat padang lamun. Beberapa jenis lamun yang ada yaitu Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalasia hemprichii, Syringodium isoetifolium, dan Halophila minor. Di padan lamun biasanya ditemukan fauna berupa Holothuria atra, Tridacna crocea, Diadema setosum dna Lambis millipede. Di laut dengan jarak sekitar 500 m dari tepi pantai terdapat zona transplantasi terumbu karang dan zona non transplantasi terumbu karang yang juga banyak terdapat ikan karang seperti Dascyllus aruanus, Pomacentrus moluccenis, Amphiripon ocellaris.
2.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Isu Konservasi Taman Nasional Baluran dapat digunakan untuk pengelolaan sumber daya alam hayati disertai dengan pemeliharaan dan peningkatan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Taman Nasional Baluran memiliki berbagai macam flora dan fauna yang bermaanfaat baik secara terbatas ataupun tidak terbatas. Taman Nasional Baluran memiliki daya tarik wisata alam yang beragam, terdiri daro kombinasi berbagai bentang alam dari ekosistem laut hingga pegunungan, savana, dan keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan. Beberapa daerah di Taman Nasional Baluran, sering dikunjungi wisatawan dan masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai daerah tujuan wisata. Tempat-tempat tersebut diantaranya adalah Gua Jepang, Curah Tangis, Visitor Centre, Candi Bang, Savana Semiang, Savana Bekol, Evergreen Forest Bekol, dan Pantai Bama (Nirmala, 2009).
Wilayah Taman Nasional Baluran juga berbatasan langsung dengan pemukiman warga. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat yang ada disekitarnya menggunakan sumber daya alam dari kawasan Taman Nasional Baluran. Masyarakat desa sekitar Taman Nasional Baluran memanfaatkan kayu bakar, gadung, ules, buas asam, buah kemiri, biji akasia, rutan, bambu, rumput, madu, dan pengembalaan ternak. Beberapa sumber daya hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya secara musiman atau dimanfaatkan sepanjang tahun. Selain digunakan sebagai sumber daya alam dan ekowisata, Taman Nasional Baluran juga menentukan kawasan yang dilindungi (Nirmala, 2009).
10
Kawasan Taman Nasional yang dilindungi dibagi menjadi 6 kawasan. Kawasan I adalah kawasan perlindungan atau hutan rimba yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali perindungan hewan liar dan penelitian. Kawasan I dibagi enjadi dua yaitu Ia dan Ib. Ia adalah kawasan yang hanya boleh dimanfaatkan untuk penelitian saja, sedangkan Ib adalah kawasan hutan rimba atau alam liar yang hanya untuk perlindungan satwa liar. Kawasan II adalah Taman Nasional yang dikelola terutama untuk keseimbangan ekosistem dan rekreasi. Kawasan III adalah kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi spesies tertentu. Kawasan IV adalah kawasan yang mengijinkan campur tangan manusia dalam pengelolaan konservasi. Selanjutnya adalah kawasan V yang dilindungi dan dikelola untuk konservasi dan rekreasi. Kawasan VI adalah kawasan yang dikeloa terutama untuk menyokong keberlanjutan suatu ekosistem alami (Emma et al., 2011).
Namun, dalam pengelolaan kawasan di Taman Nasional Baluran ini terjadi Isu Konservasi yaitu invasi Acacia nilotica. Tanaman Acacia nilotica ini diintroduksi dari Aftika sebagai tanaman pagar. Acacia nilotica ditanam sebagai sekat bakar karena tumbuhan ini tahan api namun pertumbuhan dan penyebaran tanaman ini sangat cepat. Acacia nilotica sudah menginvasi 50% savanna. Tanaman ini dapat mengurangi populasi banteng karena menggangu pertumbuhan rumput lokal sebagai pakan utama banteng. Savana yang awalnya tertutupi oleh rumput, akan ditutupi oleh akasia. Perubahan tutupan ini akan mengubah pola dan bentuk kebakaran yang menjadi salah satu tahap dalam proses suksesi di ekosistem savanna. Pemberantasan Acacia nillotica sangat sulit dilakukan karena banyak hewan-hewan yang secara tidak sengaja menjadi polinator. Penanggulangan ini dilakukan secara mekanis dan kimia. Penanggulangan dengan kimia dilakukan dengan pemberian racun yang disuntikkan kedalam batang pohon. Sedangkan mekanis dilakukan dengan cara penebangan pohon (Djufri, 2006).
11
BAB III METODE KERJA 3.1 Kondisi Umum Daerah Pengamatan Taman Nasional Baluran merupakan salah satu taman nasional yang memiliki beberapa jenis ekosistem di dalamnya dan merupakan kawasan konservasi. Kondisi umum di Taman Nasional Baluran adalah beriklim kering tipe F menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan temperatur berkisar antara 27,2°C – 30,9°C, kelembaban udara kelembapan udara 77%, dan arah angin sangat dipengaruhi oleh arus angin tenggara yang kuat. Musim hujan di kawasan Taman Nasional Baluran berlangsung pada bulan November hingga April dan musim kemarau berlangsung pada April hingga Oktober dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember hingga Januari. Secara geologi, kawasan ini memeliki dua jenis tanah, yaitu tanah pegunungan yang terdiri dari jenis tanah aluvial dan tanah vulkanik, serta tanah dasar laut (Sabarno, 2002).
Terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur dengan letak geografis antara 7° 45’ - 7° 15’ LS, serta antara 114° 18’ - 114° 27’ BT, sebelah timur laut Pulau Jawa. Dibatasi oleh Selat Madura di sebelah utara, Sungai Bajulmati di sebelah barat, Selat Bali di sebelah timur, dan Sungai Klokoran di sebelah barat laut (Sabarno, 2002). Posisi Taman Nasional Baluran berdasarkan gambaran dari citra satelit dapat dilihat pada Gambar 3.1a-3.1d di bawah ini. Gambar 3.1d merupakan peta tematik yang menunjukkan posisinya di Kabupaten Situbondo dengan pembagian ekosistem (Balai Taman Nasional Baluran, 2014).
Ekosistem yang ada di kawasan Taman Nasional Baluran sangat beragam. Mulai dari ekosistem ekosistem hutan pantai, hutan payau, hutan hujan pegunungan, hutan musim, hutan evergreen, savana, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Berdasarkan informasi dari Balai Taman Nasional Baluran (2014), pantai di Baluran memiliki jenis pasir hitam dan putih. Terdapat formasi Baringtonia yang tumbuh dengan baik di daerah ini. Di hutan mangrove, mangrove yang berukuran kecil hingga besar yang dapat tumbuh di atas lumpur di daerah intertidal. Mangrove merupakan vegetasi yang toleran dengan kondisi lingkugan yang terendam air dan dengan tingkat salinitas yang tinggi (Molles, 2008). Hutan payau terdapat di Sungai Kepuh dengan vegetasi berupa Malengan, 12
Manting, dan poh-pohan. Hutan ini terletak pada ketinggian 1200 m dpl dan merupakan wilayah yang sangat penting sebagai daerah tangkapan air. Hutan musim di Baluran dipisahkan menjadi 2 kelompok yaitu hutan musim dataran rendah dan dataran tinggi. Hutan evergreen merupakan hutan yang selalu hijau walaupun dalam keadaan musim kering. Savana di Baluran merupakan klimaks kebakaran yang sangat dipengaruhi aktivitas manusia. Sebagian besar wilayah savana telah terinvasi oleh Acacia nilotica yang tidak dapat dikontrol lagi persebarannya (Sabarno, 2002). Formasi padang lamun di kawasan ini tersebar di pantai yang landai dengan gelombang air yang tidak terlalu besar. Jenis terumbu karang di Baluran adalah jenis karang tepi dan berada pada kedalaman 0,5 – 40 meter (Balai Taman Nasional Baluran, 2014).
Gambar 3.1 Lokasi Taman Nasional Baluran yang dilihat dari citra satelit. Terletak di Indonesia (Gambar 3.1a), Pulau Jawa (Gambar 3.1b), Jawa Timur, Kabupaten Situbondo (Gambar 3.1c). Gambar 3.1d menunjukkan peta tematik dari jenis ekosistem di Taman Nasional Baluran. (Sumber: Google Earth, 2015)
Pengamatan dilakukan selama tiga hari sejak tanggal 3 November 2015 hingga 5 November 2015 di beberapa jenis ekosistem yaitu, ekosistem savana dan savana yang terinvasi Acacia nilotica di Savana Bekol, hutan mangrove, padang lamun, hutan pantai, dan terumbu karang di kawasan Pantai Bama, hutan evergreen, dan hutan musim. Lokasi masing-masing tipe ekosistem dapat dilihat pada peta tematik Taman Nasional Baluran (Gambar 3.1d).
3.2 Tata Kerja Penelitian kuliah lapangan besar dilakukan pada tanggal 3-5 November 2015 di Taman Nasional Baluran. Secara garis besar metode-metode kerja yang digunakan yaitu: metode 13
kuadrat untuk analisis vegetasi di savana, savana terinvasi Acacia nilotica dan hutan mangrove; pengukuran mikroklimat dan edafik di savana, savana terinvasi Acacia nilotica, hutan mangrove, dan hutan musim; transek plot, pengamatan visual komunitas lamun dan pengukuran fisika kimia perairan di padang lamun pantai Bama; point count dan time species count untuk pengamatan burung di hutan pantai dan hutan evergreen; diagram profil untuk analisis struktur floristik dan fisiognomi di hutan musim; pengamatan visual mamalia malam di savana bekol; visual sensus ikan di padang lamun pantai Bama; dan terakhir point intercept transek untuk pengamatan terumbu karang di area transplantasi dan non-transplantasi.
3.2.1 Analisis Vegetasi Menggunakan Metode Kuadrat Metode kuadrat merupakan salah satu metode dasar yang digunakan untuk mencuplik berbagai organisme didalam plot yang telah dibuat.. Prinsip dasar metode kuadrat yaitu membuat suatu area dengan luasan tertentu untuk kemudian mengukur, menghitung dan mengidentifikasi individu-individu yang ada didalamnya. Kuadrat yang dibuat yaitu sebagai berikut:
2m 2m
5m 10 m
5m
10 m Gambar 3.2 Plot kuadrat untuk analisis vegetasi
Klasifikasi tahapan hidup tumbuhan yang diamati dalam metode ini yaitu: pohon dan tiang (diameter ≥ 10 cm) pada plot 10 x 10 m, pancang (2 cm ≤ diameter < 10 cm) pada plot 5 x 5 m, dan semai serta herba (diameter < 2 cm) pada plot 2 x 2 m.
Lokasi analisis vegetasi dengan menggunakan metode kuadrat dilakukan pada savana terinvasi Acacia nilotica yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 a dan hutan mangrove yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 b 14
Gambar 3.2 a lokasi analisis vegetasi metode kuadrat savana terinvasi A.nilotica (Sumber: Google Earth, 2015)
Gambar 3.2 b lokasi analisis vegetasi metode kuadrat hutan mangrove (Sumber: Google Earth, 2015)
Parameter yang diukur yaitu kerapatan, frekuensi dan kerimbunan relatif dari tiap jenis vegetasi. Rumus penghitungannya yaitu sebagai berikut: a.
Kerapatan relatif (Krr) 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑥 100 % 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
b.
Frekuensi relatif (Frr) 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑥 100 % 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
c.
Kerimbunan relatif (Kbr) 𝐾𝑒𝑟𝑖𝑚𝑏𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑥 100 % 𝐾𝑒𝑟𝑖𝑚𝑏𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
Untuk pengukuran kerimbunan, digunakan nilai tengah sesuai dengan skala Daubenmire yang tertera pada tabel berikut:
15
Tabel 3.1 Skala kerimbunan Daubenmire
Kelas penutupan
Kisaran penutupan (%)
Nilai tengah kelas (%)
6
95-100
97.5
5
75-95
85
4
50-75
62.5
3
25-50
37.5
2
5-25
15
1
0-5
2.5
Indeks nilai penting didapat dengan menjumlahkan ketiga nilai pamater diatas.
Selain itu, dilakukan pengukuran tinggi pohon dengan menggunakan haga meter. Nilai tinggi didapat dengan mengalikan nilai yang tertera di skala hagameter dengan jarak antara pengamat dan pohon (State Forest of New South Wales, 1995). Dari data DBH (Diameter at Breast High) yang didapat, dilakukan pengukuran LAB (luas area basal) dengan rumus sebagai berikut: a.
LAB 1 𝑥 3.14 𝑥 (𝐷𝐵𝐻)2 4
b.
LAB relatif 𝐿𝐴𝐵 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑥 100% 𝐿𝐴𝐵 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
Analisis
komunitas
vegetasi
dilakukan
dengan
mengkuantifikasi
tingkat
keanekaragaman menggunakan indeks Shannon-Wiener (H’) dan tingkat kesamaan dengan menggunakan indeks Sorensen (Is). a.
Indeks Shannon-Wiener (H’) 𝐻 ′ = − ∑ 𝑝𝑖 𝑙𝑛 𝑝𝑖
b.
Indeks Sorensen (Is) 2𝐶 𝑥 100 % 𝐴+𝐵
Dimana A merupakan jumlah jenis spesies tumbuhan di komunitas pertama, B merupakan jumlah jenis spesies tumbuhan di komunitas kedua, dan C merupakan jumlah jenis spesies tumbuhan yang ditemukan di komunitas pertama maupun komunitas kedua.
16
3.2.2 Pengukuran Mikroklimat & Edafik Parameter yang diukur dalam mikroklimat yaitu temperatur udara, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Pengukuran kelembaban dan suhu udara dilakukan dengan menggunakan sling psychrometer. Sementara, pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan lux meter.
Parameter yang diukur dalam edafik yaitu profil tanah, kandungan organik dan mineral tanah, kelembaban dan pH tanah, suhu tanah, bulk density serta porositas tanah. Pengukuran profil tanah dilakukan dengan pengamatan visual pencuplikan tanah menggunakan Auger (Deckers & Dondeyne, 2004). Kemudian, dari hasil pencuplikan diukur pula kandungan organik dan mineral tanah dengan rumus sebagai berikut: a.
Kandungan organik tanah (%) 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝑥 100 % 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
b.
Kandungan mineral tanah (%) 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝑥 100 % 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
Lokasi pengukuran parameter mikroklimat dan edafik dilakukan pada savana terinvasi Acacia nilotica yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 c, hutan mangrove yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 d, dan hutan musim yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 e.
Gambar 3.2 c lokasi pengukuran parameter mikroklimat edafik savana terinvasi A.nilotica (Sumber: Google Earth, 2015)
17
Gambar 3.2 d lokasi pengukuran parameter mikroklimat edafik mangrove (Sumber: Google Earth, 2015)
Gambar 3.2 e lokasi pengukuran parameter mikroklimat edafik hutan musim (Sumber: Google Earth, 2015)
Kelembaban dan pH tanah diukur dengan menggunakan soil tester. Suhu tanah diukur dengan menggunakan termometer weksler. Bulk density serta porositas tanah diukur dengan mencuplik tanah menggunakan core sampler untuk kemudian diolah menggunakan rumus berikut (Den Bigelaar, 2006): a.
Bulk density (g/cm3) = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑜𝑟𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒𝑟
b.
Total porositas (%) = 𝑏𝑢𝑙𝑘 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 1−( ) 𝑥 100 % 𝑝𝑎𝑟𝑡𝑖𝑐𝑙𝑒 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦
18
3.2.3 Analisis Komunitas Padang Lamun Menggunakan Metode Transek Plot Dibuat transek garis sejauh 100 m yang terbagi menjadi 5 titik, yaitu titik 0 m, 25 m, 50 m, 75 m, dan 100 m dengan arah tegak lurus garis pantai. Kemudian pada setiap titik ditaruh plot kuadrat dengan ukuran 1 x 1 m yang terbagi menjadi 25 subplot berukuran 20 x 20 cm seperti pada gambar 3.3 berikut:
Gambar 3.3 Plot Lamun
Air lalu dicuplik di tempat yang sama dengan tempat plot lamun diletakkan. Air cuplikan kemudian diukur suhu, konduktivitas salinitas, PH, dan DO dengan menggunakan SCT meter dan PH meter. Pada setiap subplot diamati keberadaan lamun, tutupan lamun, pengidentifikasian lamun, dan penghitungan jumlah biota yang ada selain lamun. Penutupan lamun dihitung dengan rumus :
C=
Σ(𝑀𝑖 x 𝑓𝑖) Σ𝑓
Keterangan: C
: Pesentase penutupan jenis lamun l (persentase terhadap 100x100 cm)
Mi : Persentase titik tengah kelas penutupan lamun Fi
: Banyaknya subplot yang terdapat lamun di dalamnya
f
: Jumlah total subplot dalam plot 100 cm x 100 cm
Persentase titik tengah penutupan lamun diperoleh berdasarkan kategori yang ditetapkan Kementrian Lingkungan Hidup (2004), seperti yang ditunjukkan pada table 3.2 berikut:
19
Tabel 3.2 Titik Tengah Penutupan Lamun
Kelas
% Penutupan Area
%Titik Tengah
5
50-100
75
4
25-50
37,5
3
12,5-25
18,75
2
6,25-12,5
9,38
1
<6,25
3,13
0
0
0
Lokasi analisis komunitas padang lamun dengan menggunakan metode transek akan ditunjukkan pada gambar 3.2 f sebagai berikut :
Gambar 3.2 f lokasi analisis padang lamun (Sumber: Google Earth, 2015)
Setelah mengetahui nilai persentase penutupan lamun, dilakukan penentuan status padang lamun dengan kriteria pada tabel 3.3 yang telah ditetapkan Kementrian Lingkungan Hidup (2004). Tabel 3.3 Penentuan Status Padang Lamun
Baik Rusak
Kondisi Kaya/sehat Kurang kaya/kurang sehat Miskin
% Penutupan ≥ 60 30-59,9 ≤ 29,9
20
Biota yang telah didata jumlah dan jenisnya kemudian dihitung kepadatan relatifnya dengan rumus : Kepadatan relatif = Jumlah spesies i/luas area (m2).
3.2.4 Pengamatan Burung Menggunakan Metode Point Counting dan Time Spesies Count Pada metode point-counting, rentang pengamatan berjarak sekitar 50 meter dari pusat titik pengamatan dan metode pencatatan dilakukan selang interval masingmasing interval 10 menit dan dihitung jumlah individu yang ditemukan. Metode ini dapat digunakan untuk membandingkan keanekaragaman burung antar tempat dan dapat digunakan memperkirakan jumlah populasi burung di suatu tempat (Hostetler dan Main, 2015). Keunggulan metode ini adalah identifikasi jenis burung dapat dilakukan lebih maksimal tanpa memperhatikan arah berjalan seperti metode transect line, lebih banyak kemungkinan untuk mendeteksi burung yang bersembunyi dan menghubungkan ciri-ciri habitat dengan keberadaan burung tersebut (Bibby et.al, 2000).
Untuk metode pencatatan ,digunakan timed-species count .Metode pencatatan ini sering
digunakan
untuk
menentukan
kelimpahan
relatif
dalam
studi
konservasi.Tata kerja metode ini adalah dengan menentukan waktu pengamatan dan membagi durasi menjadi beberapa interval antara 5-10 menit (Freeman et al, 2003). Lokasi pengamatan burung di Taman Nasional Baluran terletak pada hutan evergreen, yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 g, dan pada birdwatching trail, yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 h.
Gambar 3.2 g lokasi pengamatan burung hutan evergreen (Sumber: Google Earth, 2015)
21
Gambar 3.2 h lokasi pengamatan burung di birdwatching trail (Sumber: Google Earth, 2015)
3.2.5 Analisis struktur floristik dan fisiognomi Menggunakan Diagram Profil Plot sebesar 15 x 30 m dibuat dengan arah yang sama. Data diagram profil horizontal diproyeksikan sebagai sumbu x dan sumbu y yang dinyatakan sebagai panjang dan lebar, serta ditentukan titik (0,0)-nya. Diagram pohon vertikal dibuat dengan koordinat kanopi pohon yang diproyeksikan terhadap sumbu-sumbu x dan y. Pada setiap plot, dilakukan identifikasi jenis tumbuhannya. Pada setiap pohon dengan diameter > 20cm di dalam plot, dilakukan pengukuran koordinar pohon terhadap titik pusat (x,y), tinggi pohon, tinggi percabangan pertama, diameter batang, dan lebar penutupan kanopi. Hasil pengukuran di lapangan di proyeksikan secara horizontal dan vertikal pada kertas dengan skala 1:100. Kemudian dilakukan analisis untuk mengidentifikasi jumlah strata vegetasi pada plot pengukuran. Lokasi analisis struktur floristik dan fisiognomi menggunakan diagram profil pada hutan musim yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 i.
Gambar 3.2 i lokasi analisis diagram profil hutan musim (Sumber: Google Earth, 2015)
22
3.2.6 Pengamatan Visual Mamalia Malam Pengamatan mamalia malam dilakukan di savana bekol. Pengamat berada di posisi tepi jalan. Pengamatan dilakukan menggunakan alat bantu yaitu senter bercahaya merah dan senter tembak. Pengerjaan dilakukan selama satu jam. Pertama-tama dilakukan pengamatan menggunakan senter berwarna merah. Bila terlihat pantulan cahaya berwarna putih atau merah, dapat diketahui cahaya tersebut adalah mamalia. Bila pantulan dari mata mamalia sudah terlihat, sumber pantulan disorot menggunakan senter tembak sehingga spesies mamalia yang ditemukan dapat jelas teramati. Lokasi pengamatan visual mamalia malam di savana bekol akan ditunjukkan pada gambar gambar 3.2 j.
Gambar 3.2 j lokasi pengamatan visualisasi mamalia malam (Sumber: Google Earth, 2015)
3.2.7 Pengamatan Visual Sensus Ikan Selain pengamatan keanekaragaman dari terumbu karang,dilakukan juga pengamatan biota laut yang berasosiasi dengan terumbu karang yaitu ikan karang. Ikan karang merupakan salah satu organisme yang memiliki habitat di terumbu karang dan biasanya dimanfaatkan tempat berlindungg, mencari makan, dan berkembang biak (Juniarsa et.al, 2013). Selain ekosistem terumbu karang, ikan biasanya terdapat di padang lamun dan mangrove yang tertutup dengan air. Metode ini mengkombinasikan belt-transect serta line-transect, lalu pengamatan dilakukan pada area 2,5 m di kiri dan kanan transek adalah menggunakan jaring besar berukuran 40 cm x 40 cm. Ikan yang teramati dihitung jumlahnya dan ciri-cirinya untuk diidentifikasi (Halford dan Thompson,1994). Dalam pengamatan visual sensus ikan, lokasi pengamatannya terletak pada pantai Bama, yang akan ditunjukkan pada gambar 3.2 k 23
Gambar 3.2 k lokasi pengamatan visualisasi sensus ikan (Sumber: Google Earth, 2015)
3.2.8 Pengamatan Terumbu Karang Menggunakan Metode Point-Intercept Transect Metode yang digunakan dalam pengamatan terumbu karang adalah metode pointintercept. Metode ini menggunakan bantuan garis yang dibentangkan sejajar dengan jarak yang telah ditentukan lalu dilihat kategori bentuk hidup terumbu karang yang berada tepat dibawah garis transek. Pada pengamatan terumbu karang kali ini dilakukan pada dua lokasi yaitu habitat transplantasi dan non transplantasi. Titik pengamatan dimulai dari titik 0,5 dan dilanjutkan sepanjang 20 m dengan jarak 0,5 m. Kemudian tim pengamat yang lain melakukan perekaman video, rona lingkungan, mencuplik sampel air pada kedalaman 20-30 cm, dan melakukan pengamatan (Manuputty et.al,2009)
Perhitungan parameter untuk analisis terumbu karang adalah: a.
Persentase Penutupan Terumbu Karang (% Cover ) 𝐶=
b.
𝑎 𝐴
x 100 %
Indeks Mortalitas Terumbu Karang % 𝐾𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖
MI = % 𝐾𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖+% 𝐾𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝
24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Vegetasi di Savana Terbuka dan Savana Terinvasi Acacia nilotica Berikut ini adalah
hasil penelitian analisis vegetasi komunitas pohon pada savana
terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica Tabel 4.1 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman pohon di savana terbuka
NAMA SPESIES
Kr rf
Fr Rf
LAB Rf
1
Azadirachta indica
100
100
100
300
1
100
100
100
300
1
TOTAL
INP
Jumlah
NO
Individu
Pi
Pi2
ln Pi
Pi ln Pi
1
0
0
1
H'
0
350 300
INDEKS NILAI PENTING
250 200 LAB Rf 150
Fr Rf Kr rf
100 50 0 Azadirachta indica
NAMA SPESIES
Gambar 4.1 Grafik indeks nilai penting pohon di savana terbuka Tabel 4.2 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman pohon di savana terinvasi Acacia nilotica
25
NO
Kr rf
NAMA SPESIES
Fr Rf
LAB Rf
INP
Jumlah Individu
Pi
Pi2
ln Pi
Pi ln Pi
1
Acacia nilotica
95
83.333
99.527
277.860
38
0.95
0.903
-0.051
-0.049
2
Azadirachta indica
2.5
8.333
0.106
10.939
1
0.025
0.001
-3.689
-0.092
3
Acacia leucophloea
2.5
8.333
0.367
11.200
1
0.025
0.001
-3.689
-0.092
100
100
100
300
40
TOTAL
H'
0.233
300
INDEKS NILAI PENTING
250 200 150
LAB Rf Fr Rf
100
Kr rf
50 0 Acacia nilotica
Azadirachta indica
Acacia leucophloea
NAMA SPESIES Gambar 4.2 Grafik indeks nilai penting pohon di savana terinvasi Acacia nilotica
Berdasarkan data penelitian pada tabel 4.1, didapat bahwa komunitas pohon pada savana terbuka jenis spesies yang terambil hanya Azadirachta indica dengan jumlah individu 1, sehingga indeks nilai penting nya 300 dengan indeks dominansi (pi2) 1 dan indeks keanekaragaman (H’) 0. Indeks nilai penting menggambarkan struktur komunitas vegetasi dalam suatu ekosistem (Dombois & Ellenberg, 1974). Dalam literatur lain, disebutkan bahwa indeks nilai penting juga merepresentasikan peranan vegetasi dalam suatu komunitas (Prasetyo, 2007). Nama komunitas diambil dari nama genus vegetasi yang memiliki INP terbesar pada ekosistem tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa nama komunitas pada savana terbuka berdasarkan vegetasi pohonnya yaitu Azadirachta. Grafik indeks nilai penting dengan komposisi nilai kerapatan, frekuensi dan kerimbunan basal (LAB = Luas Area Basal) vegetasi dapat dilihat pada gambar 4.2. Kemudian,
26
untuk mengetahui ada tidaknya dominansi dari suatu spesies dapat digunakan indeks dominansi Simpson (Brower, J. E. dan J. H. Zar, 1997). Dari data penelitian, diperoleh indeks dominansi (pi2) pada Azadirachta indica sebesar 1. Menurut Yuliana et al. (2012), suatu spesies tergolong dominan bila indeks Simpson nya berkisar antara 0.5 – 1, dan suatu spesies tergolong tidak dominan bila indeks Simpsonnya berkisar antara 0.5 – 0. Maka, dapat disimpulkan bahwa Azadirachta indica sangat dominan pada komunitas vegetasi pohon di savana terbuka. Indeks dominansi ini berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman komunitas, dimana semakin besar pengaruh dominansi spesies, maka tingkat keanekaragaman vegetasi dalam suatu komunitas akan semakin kecil. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang didapat yakni senilai 0. Menurut Fitriana (2006), indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat keragaman hayati dalam suatu komunitas, dimana nilai ini turut mengindikasikan kestabilan ekosistem. Kategori tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener dikelompokkan oleh Krebs (1978) dalam tabel berikut: Tabel 4.3 Tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’)
Nilai H’ 0 - 1.5
1,5 - 3,32
> 3,32
Keterangan Kearagaman rendah, miskin, produktivitas rendah, tekanan ekologi tinggi Keragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang Keragaman tinggi, produktivitas tinggi, kondisi ekosistem stabil, tahan terhadap tekanan ekologis
Maka, dapat disimpulkan bahwa tingkat keragaman komunitas pohon di savana terbuka rendah, dan kondisi ekosistem berproduktivitas rendah dengan tekanan ekologi yang tinggi.
Kemudian, dari data tabel 4.2, diperoleh spesies Acacia nilotica dengan jumlah individu 38, Azadirachta indica dengan jumlah individu 1 dan Acacia leucophloea dengan jumlah individu 1. Indeks nilai penting tertinggi dimiliki oleh Acacia nilotica yaitu sebesar 277.860 dan Acacia leucophloea sebesar 11.200. Maka, nama komunitas untuk vegetasi pohon di savana terinvasi Acacia nilotica yaitu Acacia acacia. Berdasarkan indeks dominansi Simpson, terlihat bahwa nilai pi2 yang dimiliki Acacia nilotica sangat besar 27
yaitu 0.903. Nilai ini menunjukan bahwa Acacia nilotica sangat mendominasi ekosistem tersebut, mengalahkan dua spesies lainnya. Adanya dominansi yang besar dari suatu spesies biasanya akan menurunkan tingkat keragaman hayati di ekosistem tersebut. Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh yaitu sebesar 0.233, dimana menurut Krebs (1978) nilai ini menunjukkan tingkat keragaman yang rendah, produktivitas rendah dan tekanan ekologi yang tinggi. Selanjutnya, untuk mengetahui derajat kesamaan antara struktur dan komposisi dari dua komunitas vegetasi, digunakan indeks kesamaan Sorensen dengan variabel kehadiran vegetasi tumbuhan di kedua ekosistem yang akan dibandingkan (Michael, 1984). Indeks Sorensen untuk komunitas vegetasi pohon antara savana terbuka dan savana terinvasi yaitu: 𝐼𝑠 =
2𝐶 2𝑥1 𝑥 100% = 𝑥 100% = 50% 𝐴+𝐵 1+3
Dengan A = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terbuka (1 spesies) , B = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terinvasi Acacia nilotica (3 spesies), dan C = jumlah spesies yang ditemukan pada kedua komunitas (1 spesies). Semakin tinggi persentase indeks Sorensen, maka semakin tinggi tingkat kemiripan antara dua komunitas yang dibandingkan sedangkan semakin rendah persentase indeks Sorensen, maka semakin rendah tingkat kesamaan yang berarti semakin tinggi tingkat perbedaan antara dua komunitas yang dibandingkan (Odum, 1996). Nilai 50% ini menunjukkan bahwa antara komunitas savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica tingkat kemiripannya rata-rata.
Untuk komunitas vegetasi tiang, hanya ditemukan pada savana terinvasi Acacia nilotica dengan data penelitian sebagai berikut: Tabel 4.4 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman tiang di savana terinvasi Acacia nilotica
Fr Rf
LAB Rf
INP
Jumlah
NO
NAMA SPESIES
Kr Rf
1
Acacia nilotica
100
100
100
300
34
100
100
100
300
34
TOTAL
Individu
Pi 1
Pi2
ln Pi
Pi ln Pi
1
0
0
H'
0
28
INDEKS NILAI PENTING
350 300 250 200 LAB Rf 150
Fr Rf Kr Rf
100 50 0 Acacia nilotica
NAMA SPESIES
Gambar 4.3 Grafik indeks nilai penting tiang di savana terinvasi Acacia nilotica
Berdasarkan data penelitian diatas, diperoleh satu jenis spesies dengan bentuk hidup tiang yaitu Acacia nilotica sejumlah 34 individu. Indeks nilai pentingnya yaitu 300 dengan komposisi masing-masing parameter -kerapatan, frekuensi dan kerimbunan basal- 100, seperti terlihat pada gambar 4.3. Maka, nama komunitas vegetasi tiang pada savana terinvasi Acaica nilotica yaitu Acacia. Kemudian, indeks dominani (pi2) nya yaitu 1, yang menandakan bahwa spesies Acacia nilotica sangat mendominasi komunitas ini. Indeks dominansi ini umumnya berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Nilai H’ yang diperoleh yaitu 0, dimana berdasarkan kategori yang di kelompokkan oleh Krebs (1978), nilai ini menunjukkan tingkat keragaman hayati yang rendah, dengan produktivitas rendah dan tekanan ekologi yang tinggi. Selanjutnya, untuk vegetasi dengan bentuk hidup semai di savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
29
Tabel 4.5 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman semai di savana terbuka
NO
NAMA SPESIES
1
Azzadiractha indica TOTAL
Kb Rf
Kr Rf
Fr Rf
INP
Jumlah
Pi
Individu
100
100
100
300
3
100
100
100
300
3
Pi2
ln Pi
1
0
1
Pi ln Pi
0
H'
0
INDEKS NILAI PENTING
350 300 250 200 Fr Rf 150
Kr Rf Kb Rf
100 50 0 Azzadiractha indica
NAMA SPESIES
Gambar 4.4 Grafik indeks nilai penting semai di savana terbuka
Tabel 4.6 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman semai di savana terinvasi Acacia nilotica
NO
NAMA SPESIES
Kb Rf
Kr Rf
Fr Rf
INP
Jumlah Individu
Pi
Pi2
ln Pi
Pi ln Pi
1
Azadiractha indica
85.484
64.706
71.429
221.618
22
0.629
0.395
-0.464
-0.292
2
Capparis micracantha
12.903
14.706
21.429
49.038
5
0.143
0.020
-1.946
-0.278
3
Vernonia cinerea
1.613
20.588
7.143
29.344
7
0.200
0.040
-1.609
-0.322
100
100
100
300
34
TOTAL
H'
0.892
30
INDEKS NILAI PENTING
250 200 150 Fr Rf
100
Kr Rf Kb Rf
50 0 Azadiractha indica
Capparis micracantha
Vernonia cinerea
NAMA SPESIES Gambar 4.5 Grafik indeks nilai penting semai di savana terinvasi Acacia nilotica
Berdasarkan tabel 4.5, hanya terdapat satu spesies semai yang ditemukan pada savana terbuka yaitu Azzadiractha indica dengan jumlah individu 3. Indeks nilai pentingnya 300 dengan porsi nilai 100 untuk masing-masing parameter; kerapatan, frekuensi dan kerimbunan relatif. Maka, nama komunitas berdasarkan INP nya yaitu Azzadiractha. Kemudian, indeks dominansi juga dikuasai oleh vegetasi tumbuhan ini dengan nilai pi2 1. Nilai ini menandakan adanya dominansi yang sangat kuat pada daerah tersebut. Dominansi yang kuat dari spesies tertentu akan menurunkan indeks keanekaragaman hayati pada struktur komunitasnya, dimana nilai H’ yang diperoleh hanya sebesar 0. Maka, dapat disimpulkan berdasarkan literatur dari Krebs (1978), nilai ini menunjukkan tingkat keragaman hayati yang rendah, dengan produktivitas rendah dan tekanan ekologi yang tinggi.
Lalu untuk kawasan savana terinvasi Acacia nilotica berdasarkan tabel 4.6, didapat tiga jenis spesies dengan bentuk hidup semai yaitu Azadiractha indica sejumlah 22 individu, Capparis micracantha sejumlah 5 individu dan Vernonia cinerea sejumlah 7 individu. Indeks nilai penting ketiga spesies dengan porsi nilai masing-masing parameternya dapat dilihat pada gambar 4.5. Dari data penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa INP tertinggi dimiliki oleh spesies Azadiractha indica dengan nilai 221.618 dan Capparis micracantha dengan nilai 49.038. Maka, nama komunitas untuk vegetasi semai pada savana terinvasi Acacia nilotica yaitu Azadirachta Capparis. 31
Kemudian, indeks dominansi (pi2) yang dimiliki ketiga spesies ini terbilang rendah karena kurang dari ambang batas 0,5 (Yuliana et. al., 2012). Sehingga, dapat dikatakan tidak ada spesies dominan pada struktur komunitasnya. Berdasarkan literatur, indeks dominansi umumnya berbanding terbalik dengan tingkat keanekaragaman vegetasi pada suatu komunitas. Hal ini sesuai karena nilai H’ yang diperoleh yaitu sebesar 0.892, dimana menurut kategori Krebs (1978) nilai ini menunjukkan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, produktivitas tinggi, kondisi ekosistem yang stabil dan tahan terhadap tekanan ekologis. Selanjutnya, indeks kesamaan sorensen yang didapat untuk komunitas vegetasi dengan bentuk hidup semai di savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica adalah sebagai berikut: 𝐼𝑠 =
2𝐶 2𝑥1 𝑥 100% = 𝑥 100% = 50% 𝐴+𝐵 1+3
Dengan A = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terbuka (1 spesies) , B = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terinvasi Acacia nilotica (3 spesies), dan C = jumlah spesies yang ditemukan pada kedua komunitas (1 spesies). Dari derajat kesamaan yang didapat yaitu sebesar 50%, dapat dikatakan bahwa vegetasi di kedua komunitas cukup mirip (Odum, 1996).
Selanjutnya, untuk vegetasi perdu pada struktur komunitas savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.7 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman perdu di savana terbuka
NO
NAMA SPESIES
Kb Rf
Kr Rf
Fr Rf
INP
Jumlah Individu
Pi
Pi2
ln Pi
Pi ln Pi
1
Crotalaria sp.
20
42.857
20
82.857
3
0.429
0.184
-0.847
-0.363
2
Rhamnaceae
40
28.571
40
108.571
2
0.286
0.082
-1.253
-0.358
3
Acacia nilotica
40
28.571
40
108.571
2
0.286
0.082
-1.253
-0.358
100
100
100
300
7
TOTAL
H'
1.079
32
INDEKS NILAI PENTING
120 100 80 60
Fr Rf Kr Rf
40
Kb Rf 20 0 Crotalaria sp.
Rhamnaceae
Acacia nilotica
NAMA SPESIES Gambar 4.6 Grafik indeks nilai penting perdu di savana terbuka Tabel 4.8 Indeks nilai penting, indeks dominansi, dan indeks keanekaragaman perdu di savana terinvasi Acacia nilotica
NO
NAMA SPESIES
Kb Rf
Kr Rf
Fr Rf
INP
Jumlah Individu
Pi
Pi2
ln Pi
Pi ln Pi
1
Acacia nilotica
45.349
13.333
35.714
94.396
10
0.133
0.018
-2.015
-0.269
2
Jatropha indica
22.093
29.333
35.714
87.141
22
0.293
0.086
-1.226
-0.360
3
Flacourtia indica
1.163
29.333
7.143
37.639
22
0.293
0.086
-1.226
-0.360
4
Rhamnaceae
31.395
28.000
21.429
80.824
21
0.280
0.078
-1.273
-0.356
100
100
100
300
75
TOTAL
H'
1.345
INDEKS NILAI PENTING
100 90 80 70 60 50
Fr Rf
40
Kr Rf
30
Kb Rf
20 10 0 Acacia nilotica
Jatropha indica
Flacourtia indica
Rhamnaceae
NAMA SPESIES Gambar 4.7 Grafik indeks nilai penting perdu di savana terinvasi Acacia nilotica
33
Berdasarkan tabel 4.7, diperoleh tiga jenis spesies perdu di savana terbuka yaitu Crotalaria sp. sejumlah 3 individu, Rhamnaceae sejumlah 2 individu dan Acacia nilotica sejumlah 2 individu. Kemudian dari gambar 4.6 terlihat bahwa spesies yang memilik INP tertinggi adalah Acacia nilotica dan Rhamnaceae. Maka, nama komunitas berdasarkan INP nya yaitu Acacia Rhamnaceae. Indeks dominansi yang dimiliki ketiga spesies terbilang rendah dimana menurut Yuliana et. al. (2012), suatu spesies baru dikatakan dominan apabila indeks dominansinya diatas 0.5. Sehingga dapat dikatakan tidak ada spesies dominan pada struktur komunitasnya. Ketidakberadaan spesies yang dominan biasanya akan meningkatkan tingkat keragaman hayati komunitas. Namun, hal ini tidak sesuai dimana nilai H’ yang diperoleh sebesar 1.079. Nilai ini menunjukkan tingkat keanekaragaman hayati nya tergolong rendah dengan produktivitas rendah dan tekanan ekologi yang tinggi. Hal ini memungkinkan mengingat banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keragaman hayati seperti waktu, heterogenitas ruang, kompetisi, pemangsaan, kestabilan iklim dan produktifias (Krebs, 1978).
Kemudian untuk vegetasi perdu di komunitas savana terinvasi Acacia nilotica pada tabel 4.8, diperoleh Acacia nilotica sejumlah 10 individu, Jatropha indica sejumlah 22 individu, Flacourtia indica sejumlah 22 individu dan Rhamnaceae sejumlah 21 individu. Perbandingan indeks nilai pentingnya dapat dilihat pada gambar 4.7. Spesies dengan INP tertinggi yaitu Acacia nilotica dan Jatropha indica, sehingga dapat disimpulkan bahwa nama komunitasnya yaitu Acacia Jatropha. Indeks dominansi (pi2) yang dimiliki seluruh spesies tergolong rendah sehingga dapat dikatakan tidak ada spesies dominan pada struktur komunitasnya. Nilai keanekaragaman hayati (H’) yang diperoleh juga terbilang rendah yaitu sebesar 1.345. Menurut Krebs (1978), nilai ini menunjukkan tingkat keragaman hayati yang rendah, dengan produktivitas rendah dan tekanan ekologi yang tinggi.
Indeks kesamaan vegetasi perdu untuk kedua komunitas tersebut dirumuskan menggunakan indeks kesamaan Sorensen sebagai berikut: 𝐼𝑠 =
2𝐶 2𝑥2 𝑥 100% = 𝑥 100% = 57,143% 𝐴+𝐵 3+4
Dengan A = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terbuka (3 spesies) , B = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terinvasi Acacia nilotica (4 34
spesies), dan C = jumlah spesies yang ditemukan pada kedua komunitas (2 spesies). Dari derajat kesamaan yang didapat yaitu sebesar 57,143% maka dapat dikatakan bahwa vegetasi di kedua komunitas tersebut cukup mirip (Odum, 1996). Selanjutnya, untuk vegetasi herba pada komunitas savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica data penelitiannya adalah sebagai berikut: Tabel 4.9 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman herba di savana terbuka
NO
NAMA SPESIES
Kb Rf
Fr Rf
INP
Jumlah
Pi
Individu
Pi2
ln Pi
Pi ln Pi
1 Thespesia lampas
0
18.421
18.421
7
0.184
0.034
-1.692
-0.312
2 Abutilon crypsum
73.333
13.158
86.491
5
0.132
0.017
-2.028
-0.267
0
5.263
5.263
2
0.053
0.003
-2.944
-0.155
20
31.579
51.579
12
0.316
0.100
-1.153
-0.364
6.667
5.263
11.930
2
0.053
0.003
-2.944
-0.155
6 Themeda arguens
0
5.263
5.263
2
0.053
0.003
-2.944
-0.155
7 Dichanthium caricosum
0
2.632
2.632
1
0.026
0.001
-3.638
-0.096
8 Panicum distichum
0
10.526
10.526
4
0.105
0.011
-2.251
-0.237
9 Sclerachne punctata
0
5.263
5.263
2
0.053
0.003
-2.944
-0.155
0
2.632
2.632
1
0.026
0.001
-3.638
-0.096
100
100
200
38
3 Heteropogon contortus 4 Vernonia cinerea 5 Crotalaria sp.
10 Sida sp.
H'
Sida sp.
Sclerachne punctata
Panicum distichum
Dichanthium caricosum
Themeda arguens
Crotalaria sp.
Vernonia cinerea
Heteropogon contortus
Abutilon crypsum
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Thespesia lampas
INDEKS NILAI PENTING
TOTAL
1.991
Fr Rf Kb Rf
NAMA SPESIES Gambar 4.8 Grafik indeks nilai penting herba di savana terbuka
35
Tabel 4.10 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman herba di savana terinvasi Acacia nilotica
Jumlah
Pi2
ln Pi
Pi ln Pi
0.067
0.004
-2.708
-0.181
2
0.133
0.018
-2.015
-0.269
16.723
2
0.133
0.018
-2.015
-0.269
13.333
40.452
2
0.133
0.018
-2.015
-0.269
22.034
20.000
42.034
3
0.200
0.040
-1.609
-0.322
6 Firnunia sineria
1.695
6.667
8.362
1
0.067
0.004
-2.708
-0.181
7 Bidens spilosa
11.864
13.333
25.198
2
0.133
0.018
-2.015
-0.269
8 Sida sp.
10.169
6.667
16.836
1
0.067
0.004
-2.708
-0.181
9 Eragrostis tenella
10.169
6.667
16.836
1
0.067
0.004
-2.708
-0.181
100
100
200
15
NO
NAMA SPESIES
Kb Rf
Fr Rf
10.169
6.667
16.836
1
2 Azzadirachta indica
3.390
13.333
16.723
3 Thespesia lampas
3.390
13.333
4 Stachytarpeta indica
27.119
5 Brachira raphtan
1 Abutilon crypsum
INDEKS NILAI PENTING
TOTAL
INP
Individu
Pi
H'
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
2.119
Fr Rf Kb Rf
NAMA SPESIES Gambar 4.9 Grafik indeks nilai penting herba di savana terinvasi Acacia nilotica
Dapat dilihat pada tabel 4.9, ditemukan 10 spesies herba pada komunitas savana terbuka yaitu: Thespesia lampas sejumlah 7 individu, Abutilon crypsum sejumlah 5 individu, Heteropogon contortus sejumlah 2 individu, Vernonia cinerea sejumlah 12 36
individu, Crotalaria sp. sejumlah 2 individu, Themeda arguens sejumlah 2 individu, Dichanthium caricosum sejumlah 1 individu, Panicum distichum sejumlah 4 individu, Sclerachne punctata sejumlah 2 individu dan Sida sp. sejumlah 1 individu. Berdasarkan gambar 4.8, terlihat bahwa spesies yang memiliki INP tertinggi yaitu Abutilon crypsum dan Vernonia cinerea. Maka, nama komunitas berdasarkan INP tertingginya yaitu Abutilon Vernonia. Indeks dominansi (pi2) yang dimiliki keseluruhan spesies tidak ada yang melebihi angka 0.5 sehingga dapat disimpulkan tidak ada spesies dominan dalam struktur komunitasnya (Yuliana et. al., 2012). Ketidakberadaan spesies dominan biasanya akan meningkatkan keragaman hayati suatu komunitas. Hal ini sesuai dimana nilai H’ yang diperoleh yaitu sebesar 1,991. Menurut Krebs (1978), nilai ini menunjukkan tingkat keragaman hayati sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dan tekanan ekologis sedang.
Lalu untuk vegetasi herba di savana terinvasi Acacia nilotica data penelitiannya dapat dilihat pada tabel 4.10. Diperoleh 9 spesies herba yaitu Abutilon crypsum dengan jumlah individu 1, Azzadirachta indica dengan jumlah individu 2, Thespesia lampas dengan jumlah individu 2, Stachytarpeta indica dengan jumlah individu 2, Brachira raphtan dengan jumlah individu 3, Firnunia sineria dengan jumlah individu 1, Bidens spilosa dengan jumlah individu 2, Sida sp.dengan jumlah individu 1, dan Eragrostis tenella dengan jumlah individu 1. Berdasarkan gambar 4.9, INP tertingginya dimiliki oleh spesies Stachytarpeta indica dan Brachira raphtan. Maka nama komunitas berdasarkan INP tertingginya ini yaitu Stachytarpeta Brachira. Indeks dominansi (pi2) yang dimiliki keseluruhan spesies terbilang sangat rendah dan tidak ada yang melebihi 0.5, sehingga dapat dikatakan tidak ada spesies dominan dalam struktur komunitasnya (Yuliana et. al., 2012). Ketidakberadaan spesies dominan biasanya akan meningkatkan tingkat keanekaragaman hayati komunitas. Nilai H’ yang diperoleh yaitu sebesar 2.119. Menurut Krebs (1978), nilai ini menunjukkan tingkat keragaman hayati sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dan tekanan ekologis sedang.
Derajat kesamaan vegetasi herba antara komunitas savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica dapat dirumuskan menggunakan indeks kesamaan Sorensen sebagai berikut: 𝐼𝑠 =
2𝐶 2𝑥3 𝑥 100% = 𝑥 100% = 31,579 % 𝐴+𝐵 10 + 9 37
Dengan A = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terbuka (10 spesies) , B = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terinvasi Acacia nilotica (9 spesies), dan C = jumlah spesies yang ditemukan pada kedua komunitas (3 spesies). Dari derajat kesamaan yang didapat yaitu sebesar 31,579 % maka dapat dikatakan bahwa vegetasi di kedua komunitas tersebut cukup berbeda (Odum, 1996).
4.2 Analisis Mikroklimat & Edafik di Savana Terbuka dan Savana Terinvasi Acacia nilotica Berikut adalah hasil penelitian kondisi mikroklimat di savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica : Tabel 4.11 Kondisi mikroklimat di savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica Lokasi
Savana terbuka
Savana terinvasi Acacia nilotica
Suhu
27.190
30.513
Kelembaban Rf udara (%)
74.893
76.155
Intensitas cahaya (Lux)
608.1
3980.667
5000,000 4500,000 4000,000 3500,000 3000,000 2500,000 2000,000 1500,000 1000,000 500,000 0,000
Savana terinvasi Acacia nilotica Savana terbuka
Suhu (oC)
Kelembaban Intensitas Rf udara (%) cahaya (Lux)
Gambar 4.10 Grafik perbandingan kondisi mikroklimat di savana terbuka dan terinvasi Acacia nilotica
Berdasarkan data penelitian tersebut, didapat nilai suhu udara, kelembaban udara dan intensitas cahaya nya lebih tinggi pada savana terinvasi Acacia nilotica. Hal ini diduga karena faktor waktu pengukuran mikroiklimat dan kondisi rona lingkungan. Savana terbuka diukur pada waktu petang dengan kondisi sedikit tanaman hidup (kebanyakan mati) dan tidak ada naungan/kanopi. Sementara savana terinvasi Acacia nilotica diukur pada waktu sore hari dengan cuaca cerah berawan, dan kondisi lingkungan kanopi terbuka. Menurut website resmi Taman Nasional Baluran (2014), berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson iklim di kawasan ini termasuk dalam kategori kering tipe F dengan temperatur 38
antara 27,2 – 30,9 °C dan kelembaban udara 77 %. Umumnya, vegetasi tumbuhan yang terdapat pada kawasan savana ini adalah spesies yang mampu beradaptasi dengan kondisi cuaca yang sangat kering seperti widoro bukol (Ziziphus rotundifolia), mimba (Azadirachta indica), dan pilang (Acacia leucophloea). Terdapat pula spesies tumbuhan lain seperti asam (Tamarindus indica), gadung (Dioscorea hispida), kemiri (Aleurites moluccana), gebang (Corypha utan), api-api (Avicennia sp.), kendal (Cordia obliqua), manting (Syzygium polyanthum), dan kepuh (Sterculia foetida) (Departemen Kehutanan, 2015). Kemudian, untuk kondisi edafik di kawasan savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica data penelitiannya adalah sebagai berikut: Tabel 4.12 Kondisi edafik di savanna terbuka dan savanna terinvasi Acacia nilotica
Lokasi
Savana terbuka
Savana terinvasi Acacia nilotica
Suhu tanah
36.562
36.724
Kelembaban tanah
0.66
1.302
pH tanah
7.05
7.053
Kandungan air (%)
32.906
37.518
Materi organik (%)
33.547
31.241
Mineral (%)
66.453
68.7
Bulk density (g/cm3)
0.565016035
0.549038488
Kondisi suhu tanah dan pH tanah di kedua lokasi tidak begitu berbeda jauh dimana suhu cukup tinggi, diduga karena pengaruh musim kemarau dimana kondisi tanah sangat kering hingga retak-retak, dan pH tanahnya terhitung netral. Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada kondisi kelembaban tanah, dimana pada savana terinvasi Acacia nilotica kelembaban tanahnya lebih tinggi. Jika dihubungkan dengan isu kebakaran yang sering terjadi dan pengamatan visual pada waktu penelitian dimana terlihat banyak daerah yang recover sesudah kebakaran, maka wajar bila kelembaban di savana terbuka lebih rendah karena tanahnya akan jauh lebih kering dibanding dengan savana yang terinvasi Acacia nilotica, karena spesies ini tergolong tahan api. Berdasarkan website resmi Taman Nasional Baluran (2014), kondisi edafik di kawasan ini kaya akan mineral namun miskin terhadap bahan-bahan organik. Secara kimiawi, tingkat kesuburannya cukup tinggi tapi secara fisik terlihat kurang baik, 39
sebagian besar berpori dan tidak dapat menyimpan air dengan maksimal. Kondisi edafik savana umumnya mendukung pertumbuhan vegetasi berjenis Poaceae (rumputrumputan). Kemudian, bulk density kedua lokasi juga hampir sama dimana nilai ini merupakan indikator penetrasi akar dan aerasi tanah. Bulk density atau bobot isi yang mirip ini bisa menandakan bahwa invasi Acacia nilotica tidak begitu berpengaruh pada tingkat kepadatan tanah. Jika dibandingkan dengan materi padat seperti batu, nilai bulk density nya sebesar 2.65 g/cm3 (Michigan State University, 1998).. Maka, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepadatan edafik di kawasan ini terbilang sangat rendah. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh musim kemarau menyebabkan tanah kering dan rapuh, sehingga jauh dari padat.
4.3 Analisis Vegetasi di Mangrove Berikut adalah hasil penelitian analisis vegetasi komunitas pohon di mangrove: Tabel 4.13 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman pohon di mangrove
1.
Nama Spesies
Rhizophora mucronata Jumlah
Kb Rf (%)
Kr Rf (%)
Fr Rf (%)
100 100
100 100
NP
100 100
300
∑ individu
51 51
Pi
PI2
1
1 H'
ln Pi
Pi (ln Pi)
0
350 300
Indeks Nilai Penting
NO
250 200 Kb Rf (%) 150
Fr Rf (%)
100
Kr Rf (%)
50 0 Rhizopora mucronata Nama Spesies Gambar 4.11 Grafik indeks nilai penting pohon di kawasan Mangrove
Berdasarkan data penelitian pada tabel 4.13, didapat bahwa komunitas pohon pada mangrove jenis spesies yang terambil hanya Rhizophora mucronata dengan jumlah individu 51, sehingga indeks nilai penting nya 300 dengan indeks dominansi (pi2) 1 dan indeks keanekaragaman (H’) 0. Maka, dapat disimpulkan bahwa nama komunitas pada 40
0 0
mangrove berdasarkan vegetasi pohonnya yaitu Rhizophora. Dari data penelitian, diperoleh indeks dominansi (pi2) pada Rhizophora mucronata sebesar 1 dan dapat disimpulkan bahwa Rhizophora mucronata sangat dominan pada komunitas vegetasi pohon di mangrove. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang didapat yakni senilai 0. Menurut Fitriana (2006), indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat keragaman hayati dalam suatu komunitas, dimana nilai ini turut mengindikasikan kestabilan ekosistem. Kategori tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener dikelompokkan oleh Krebs (1978) dalam tabel berikut: Tabel 4.14 Tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’)
Nilai H’
Keterangan Kearagaman rendah, miskin, produktivitas rendah, tekanan
0 - 1.5
ekologi tinggi
1,5 - 3,32 > 3,32
Keragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang Keragaman tinggi, produktivitas tinggi, kondisi ekosistem stabil, tahan terhadap tekanan ekologis
Maka, dapat disimpulkan bahwa tingkat keragaman komunitas pohon di mangrove rendah, dan kondisi ekosistem berproduktivitas rendah dengan tekanan ekologi yang tinggi. Untuk hasil penelitian analisis vegetasi komunitas tiang di mangrove,berikut indeks nilai penting,indeks dominansi dan indeks keanekaragaman tiang di mangrove pada tabel 4.15 : Tabel 4.15 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman tiang di mangrove
NO 1.
Nama Spesies
Rhizophora mucronata Jumlah
Kr Rf (%)
Fr Rf (%)
100 100
100 100
Kb Rf (%)
100 100
NP
300 300
∑ individu
17 17
Pi
Pi2
1
ln Pi
1
Pi (ln Pi)
0
H'
41
0 0
350
Indeks Nilai Penting
300 250 200
Kb Rf (%)
150
Fr Rf (%)
100
Kr Rf (%)
50 0 Rhizopora mucronata Nama Spesies Gambar 4.12 Grafik indeks nilai penting tiang di hutan mangrove
Berdasarkan data penelitian pada tabel 4.15, didapat bahwa komunitas tiang pada mangrove jenis spesies yang terambil hanya Rhizophora mucronata dengan jumlah individu 17, sehingga indeks nilai penting nya 300 dengan indeks dominansi (pi2) 1 dan indeks keanekaragaman (H’) 0. Maka, dapat disimpulkan bahwa nama komunitas pada mangrove berdasarkan vegetasi tiangnya yaitu Rhizophora. Dari data penelitian, diperoleh indeks dominansi (pi2) pada Rhizophora mucronata sebesar 1 dan dapat disimpulkan bahwa Rhizophora mucronata sangat dominan pada komunitas vegetasi tiang di mangrove. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang didapat yakni senilai 0. Berdasarkan tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’) yang dapat dilihat pada tabel 4.14 menyimpulkan bahwa tingkat keragaman
komunitas
pohon
di
mangrove
rendah,
dan
kondisi
ekosistem
berproduktivitas rendah dengan tekanan ekologi yang tinggi. Untuk hasil penelitian analisis vegetasi komunitas tiang di mangrove,berikut indeks nilai penting,indeks dominansi dan indeks keanekaragaman semai di mangrove pada tabel 4.16 : Tabel 4.16 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman semai di mangrove NO 1
Nama Spesies
Rhizophora mucronata Jumlah
Kb Rf (%)
100 100
Kr Rf (%)
Fr Rf (%)
100 100
100 100
NP
300 300
∑ individu
6 6
Pi
Pi2
1
ln Pi
1
Pi (ln Pi)
0
0 0
H'
42
350
Indeks Nilai Penting
300 250 200
Fr Rf (%)
150
Kr Rf (%)
100
Kb Rf (%)
50 0 Rhizopora mucronata Nama Spesies Gambar 4.13 Grafik indeks nilai penting semai di mangrove
Berdasarkan data penelitian pada tabel 4.16, didapat bahwa komunitas semai pada mangrove jenis spesies yang terambil hanya Rhizophora mucronata dengan jumlah individu 6, sehingga indeks nilai penting nya 300 dengan indeks dominansi (pi2) 1 dan indeks keanekaragaman (H’) 0. Maka, dapat disimpulkan bahwa nama komunitas pada mangrove berdasarkan vegetasi semainya yaitu Rhizopora. Dari data penelitian, diperoleh indeks dominansi (pi2) pada Rhizophora mucronata sebesar 1 dan dapat disimpulkan bahwa Rhizophora mucronata sangat dominan pada komunitas vegetasi semai di mangrove. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang didapat yakni senilai 0. Berdasarkan tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’) yang dapat dilihat pada tabel 4.14 menyimpulkan bahwa tingkat keragaman
komunitas
pohon
di
mangrove
rendah,
dan
kondisi
ekosistem
berproduktivitas rendah dengan tekanan ekologi yang tinggi. Setelah dilakukan beberapa analisis terkait dengan kerapatan dan tutupan yang terdapat pada mangrove Pantai Bama, dapat diambil kesimpulan bahwa status mangrove dapat ditentukan dari presentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup. Kriteria baku kerusakan mangrove terbagi atas 3 parameter yaitu baik, sedang dan rusak. Berikut merupakan tabel dari parameter tersebut: Tabel 4.17 Kriteria baku kerusakan mangrove (KLH,2004)
Berdasarkan tabel 4.17 dan apabila dikaitkan dengan analisis rata-rata dari penutupan dan kerapatan yang terdapat pada mangrove pantai Bama dapat diambil kesimpulan bahwa kriteria hutan mangrove Pantai Bama adalah Baik. Hal ini dapat terjadi karena 43
persentase penutupan pada seluruh komunitas yang ada pada hutan mangrove Pantai Bama bernilai 100% dan berkriteria baik (sangat padat). Selanjutanya, kerapatan yang diambil dari hasil rata-rata kerapatan total pada setiap komunitas sebesar 1316,66 pohon/ha yang berkriteria baik (sedang). Maka dari itu kriteria hutan mangrove Pantai Bama dikatakan baik. Komunitas vegetasi yang terdapat pada hutan mangrove Pantai Bama baik pohon, tiang ataupun semai adalah Rhizophora mucronata. Rhizophora mucronata ini dapat tumbuh dan hidup sesuai dengan lingkungan yang mendukungnya. Menurut hasil analisis, suhu yang didapat pada mikroklimat sebesar 29,99 oC hal ini sesuai karena menurut Hutchings dan Saenger (1987) Rhizophora mucronata dapat hidup dan tumbuh pada suhu sekitar 26-29 oC. Selanjutnya, pH tanah yang sesuai untuk Rhizophora mucronata berkembang hidup berkisar 4,6-6,5 (Arief, 2003) serta hasil analisis yang didapat pH tanah yang didapat adalah 5,73 maka dari itu Rhizophora mucronata dapat berkembang dengan baik. Kemudian, faktor penting lainnya agar Rhizophora mucronata dapat tumbuh dengan baik adalah dengan intesitas cahaya yang cukup tinggi (Arief, 2003) dan hasil analisis yang didapat intensitas cahaya sebesar 3730,333 lux.Dari faktorfaktor diatas, terlihat bahwa pertumbuhan dan perkembangan Rhizophora mucronata baik karena parameter dan hasil analisis data sesuai dengan literatur yang ada.
4.4 Analisis Mikroklimat & Edafik di Mangrove Untuk analisis mikroklimat dan edafik di hutan mangrove.Berikut adalah tabel 4.18 yang menunjukkan data mikroklimat di vegetasi mangrove: Tabel 4.18 Mikroklimat rata-rata di vegetasi mangrove
Mikroklimat
Hasil Pengukuran
Suhu
29,99 C
Kelembaban udara
82,3%
Intensitas cahaya
3730,333 lux
Dari pengukuran mikroklimat yang sudah dilakukan, didapatkan suhu rata-rata sebesar 29,99oC. Pengukuran suhu dilakukan pada sore hari menjelang malam maka dari itu suhu rata-rata yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan pengambilan data pada siang hari. Kemudian, kelembaban udara rata-rata sebesar 82,3%. Kelembaban ini cukup tinggi yang disebabkan karena terjadinya penguapan air pada permukaan tanah dan
44
menyebabkan kondisi lingkungan sekitar yang kering karena didukung pula dengan data intensitas cahaya yang tinggi sebesar 3730,333 lux. Berikut merupakan hasil rata-rata dari parameter edafik pH, suhu, Kelembapan di vegetasi hutan mangrove: Tabel 4.19 Parameter edafik pH, suhu, kelembapan rata-rata hutan mangrove
Parameter Edafik
Hasil Pengukuran
Suhu tanah
29,004oC
Kelembaban tanah
76,83%
pH tanah
5,73
Dari pengukuran parameter edafik yang sudah dilakukan, didapatkan suhu rata-rata tanah sebesar 29,004oC. Tingkat kekeringan suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu tanah. Suhu permukaan tanah sangat berpengaruh terhadap pasokan air di dalam tanah. Apabila suhu tanah tinggi, pasokan air pun menipis dan organismeorganisme sekitar sulit mendapatkan nutrisi. Suhu permukaan tanah merupakan parameter kunci keseimbangan energi pada permukaan (Prasasti, 2004). Suhu tanah yang terdapat pada vegetasi mangrove relatif rendah dibanding vegetasi lainnya karena terdapat tutupun yang lebih banyak dibanding vegetasi lainnya di Taman Nasional Baluran menyebabkan suhu tanah pun rendah. Pengukuran suhu dilakukan pada saat sore hari. Kemudian, kelembaban tanah rata-rata sebesar 76.83%. Kelembaban tanah merupakan jumlah air yang tersimpan di antara pori-pori tanah dan kelembapan tanah yang sangat dinamis, hal ini disebabkan oleh penguapan melalui permukaan tnah, transpirasi dan perkolasi (Suyono dan Sudarmadi, 1997). Selanjutnya pH, pH rata-rata tanah di vegetasi mangrove adalah 5,73 pH ini cukup asam. Pengaruh terbesar yang umum dari pH terhadap pertumbuhan tanaman adalah pengaruh terhadap ketersediaan unsur hara. Keasaman pH tanah menentukan keberadaan unsur hara dalam tanah tersebut (Sunarko, 2009). pH yang asam dapat menyebabkan perkembangan yang baik untuk pertumbuhan generatif dan vegetatif dari tumbuhan.
Selain pengukuran parameter edafik (pH, suhu, kelembaban), dilakukan pula pengukuran parameter edafik (kandungan organik, kandungan anorganik, bulk density, kandungan air) di vegetasi mangrove. Berikut tabel 4.20 yang menunjukkan hasil ratarata dari kandungan organik, kandungan anorganik, bulk density, dan kandungan air : 45
Tabel 4.20 Parameter edafik dari rata-rata kandungan organik, kandungan anorganik, bulk density, dan kandungan air
Parameter Edafik
Hasil Pengukuran
Kandungan Organik
7.991%
Mineral
92.008%
Bulk density
0.481 g/cm3
Kandungan air
73.783%
Berdasarkan tabel 4.20 terlihat bahwa hasil pengukuran bulk density sebesar 0.481 g/cm3 dimana menurut Michigan State University (1998), bulk density batu sebesar 2.65 g/cm3 dan hal ini menunjukan bahwa bulk density di vegetasi hutan mangrove kurang padat karena selisih nilai bulk density pada literatur cukup jauh dibandingkan dengan analisis yang didapat. cukup padat. Kemudian mineral yang terdapat pada vegetasi mangrove sebesar 92.008%. Kandungan mineral ini mendekati 100% karena berhubungan dengan salinitas air laut yang kaya akan mineral. Selanjutnya, kandungan organik yang dianalisis sebesar 7.991%. Kandungan organik ini lebih kecil dibanding kandungan anorganik, salinitas air laut yang terdapat pada hutan mangrove menyebabkan sulitnya tumbuhan lain untuk tumbuh selain tumbuhan yang dapat beradapatasi dengan air laut. Terakhir, terdapat kandungan air sebesar 73,783%. Nilai kandungan air cukup tinggi karena letak hutan mangrove berada pada pesisir pantai dan menyebabkan kandungan air tinggi.
4.5 Analisis Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Bama Berdasarkan data yang terlampir pada lampiran ditemukan 11 spesies lamun. Berikut gambar 4.14 yang menunjukkan persentase Indeks Nilai Penting (INP) spesies lamun di Pantai Bama,Taman Nasional Baluran:
46
1,2 1 0,8 0,6 0,4
Kerimbunan Relatif
0,2
Halimeda discoidea
Halophila decipiens
Halodule uninervis
Cymodocea serrulata
Syringodium…
Halomeda sp.
Halophila ovalis
Thalassia hemprichii
Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
0
Cymodocea…
Frekuensi Relatif
Gambar 4.14 Indeks nilai penting spesies lamun di Pantai Bama
Untuk komunitas padang lamun, spesies yang memiliki INP tertinggi adalah Enhalus acoroides yaitu
0,356 % dan Thalassia hemprichii yaitu 1,149 %. Jadi dapat
disimpulkan bahwa komunitas spesies lamun di Pantai Bama adalah Thalassia – Enhalus. Thalassia hemprichii merupakan spesies lamun yang dapat ditemukan di perairan yang memiliki kedalaman kurang dari 10 m dan termasuk famili Hydrocharitaceae. Spesies ini hidup dan mendominasi spesies padang lamun di bagian barat timur Samudra Hindia dan bagian barat Samudra Pasifik (Lin dan Shao,1998) dan Pantai Bama di Taman Nasional Baluran adalah perairan yang termasuk dari kawasan Samudra Hindia (Juniarsa et.al, 2013). Menurut Larkum dan Den Hartog (1989) lamun jenis Thalassia hemprichii memiliki morfologi rimpang yang tebal dan dan kokoh sehingga memungkinkan untuk tumbuh pada substrat yang bervariasi. Enhalus acoroides merupakan spesies lamun yang berukuran besar namun pertumbuhannya cenderung lambat dan berasal dari famili Hydrocharitaceae dapat ditemukan hampir di seluruh perairan di Indonesia. Spesies ini dapat membentuk padang lamun tunggal maupun berasosiasi dengan jenis spesies lainnya (Tomascik et al, 1997). Lamun Enhalus acoroides memiliki perakaran yang kuat sehingga berfungsi sebagai pengikat sedimen dan menyerap nutrien dalam substrat (Susetiono, 2004). Indeks keanekaragaman dari padang lamun adalah 1,175 yang mengindikasikan bahwa tingkat keanekaragaman spesies lamun di Pantai Bama adalah menengah (Shannon-Wienner,1963) sedangkan indeks dominansi Simpson dari padang lamun ini adalah 0,45 yang mengindikasikan bahwa tidak ada spesies lamun yang mendominasi di 47
Pantai Bama (Simpson,1949). Persentase penutupan lamun tertinggi dimiliki oleh spesies Thalassia hemprichii. Berikut gambar 4.15 yang menunjukkan persentase penutupan lamun per spesies di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran: 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Persentase tutupan lamun
Halimeda discoidea
Halophila decipiens
Halodule uninervis
Cymodocea serrulata
Syringodium…
Cymodocea rotundata
Halomeda sp.
Halophila ovalis
Thalassia hemprichii
Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
Gambar 4.15 Persentase penutupan per spesies lamun di Pantai Bama
Sedangkan jumlah total persentase penutupan lamun adalah 45,321 % sehingga dapat disimpulkan bahwa status padang lamun di Pantai Bama adalah kurang kaya (KLH, 2004). Berdasarkan parameter fisika-kimia di lampiran rata-rata suhu air adalah 28,567 °C dan menurut Frediksen et,al (2000) lamun dapat tumbuh optimal pada suhu 28°C30°C sedangkan rata-rata nilai salinitasnya adalah 35 ppt (Dahuri, 2001) dan hasil pengukuran fisika-kimia dari penelitian ini adalah 34,6 ppt. Penurunan salinitas pada habitat lamun akan mengurangi kemampuan lamun untuk berfotosintesis dan arus air laut sangat memengaruhi fluktuasi konsentrasi salinitas dan suhu air (Dahuri, 2001). Nilai pH juga merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi produktivitas perairan (Gacia dan Duarte, 2001). Rata-rata nilai pH pada penelitian ini adalah 8,071 sedangkan nilai derajat keasaman (pH) optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar 7,3-9,0 (Burrell & Schubell 1977). Keberadaan biota lamun sangat dipengaruhi juga oleh parameter fisika-kimia.Berikut grafik kerapatan dan kelimpahan relatif biota padang lamun :
48
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Liomera venosa
Holothuria leucospilota
Diadema setosum
Vasum turbinelus
Holothuria arta
Kr Relatif Kl relatif
Gambar 4.16 Kelimpahan dan kerapatan relatif biota lamun di Pantai Bama
Gambar 4.16 menunjukkan bahwa kelimpahan dan kerapatan relatif tertinggi dari biota lamun adalah Holothuria arta. Spesies ini termasuk dari famili Holothuridae dan kelimpahan dan keanekaragamannya sangat tinggi di kawasannya Indo-Pasifik (Conand,1993). Habitat spesies ini adalah pada perairan dangkal yaitu kurang dari 10 m dan pada substrat yang berpasir serta terdapat pecahan karang (Purton,2012). Holothuria atra merupakan komunitas spesies bentik penting pada ekosistem pantai yang dapat menyebabkan perubahan komposisi sedimen dari dasar laut (Michio et al,2003) selain itu spesies ini juga berperan sebagai pendaur materi anorganik dalam sehingga stabilitasi konsentrasi oksigen terlarut tetap terjaga (Uthicke dan Karez ,1999). Konsentrasi materi organik,karbon organik dan nitrogen terlarut yang tinggi adalah habitat yang optimum bagi Holothuria arta (Conand,1993). Hal ini sesuai dengan data fisika-kimia yang terlampir pada plot 3,4,7 dan 8, bahwa konduktivitas airnya cenderung lebih tinggi daripada plot lainnya dimana konduktivitas air dipengaruhi oleh kandungan materi organik dan anorganik terlarut (EPA,2012)
4.6 Analisis Komunitas Burung di Hutan Pantai dan Hutan Evergreen Keanekaragaman jenis burung dan kelimpahannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain vegetasi, struktur hutan, sumber makanan, suhu, cuaca, tanah, dan predator (Bibby et al., 1998). Hal ini dikarenakan burung membutuhkan ketersediaan makanan, air, udara bersih, tempat berlindung dari predator, serta tempat untuk berkembang biak agar dapat terus bertahan hidup. Semakin banyak dan beragam jenis vegetasi di suatu 49
ekosistem, akan menciptakan relung yang lebih bervariasi sehingga menciptakan kesempatan yang lebih besar agar berbagai jenis burung hidup bersama (Hadinoto et al., 2012). Keanekaragaman dan kelimpahan burung di Taman Nasional Baluran diamati di dua ekosistem hutan yang berbeda, yaitu hutan pantai dan hutan evergreen. Pengamatan burung di lokasi hutan pantai Bama (tepatnya di Birdwatching Trail) dilakukan pada tanggal 4 November 2015 pukul 16.30-17.30. Pengamatan burung di lokasi hutan evergreen dilakukan pada tanggal 5 November 2015 pukul 05.15-06.30. Menurut Bibby, et al. (1998), pemilihan waktu pengamatan harus didasarkan pada waktu aktif burung agar kemungkinan perjumpaan dengan burung semakin tinggi. Pagi hari merupakan puncak aktifitas burung-burung hutan dalam mencari makan dan berkicau, yaitu sekitar pukul 05.00-06.00. Sore hari sekitar pukul 17.00 merupakan puncak aktifitas burung kedua karena banyak burung yang kembali pulang ke sarang masing-masing (Bibby et al., 1998). Metode Point Counting dengan interval waktu per 10 menit selama 6 periode dilakukan untuk menghitung komunitas burung yang ditemukan di titik-titik pengamatan di dua ekosistem hutan, ditemukan 25 spesies burung di lokasi Birdwatching Trail di hutan pantai Bama dan 51 spesies burung di hutan evergreen. Kelimpahan burung di kedua ekosistem dalam enam periode pengamatan dapat dilihat di grafik pada Gambar 4.17 (a) dan (b) di bawah ini dan juga spesies-spesies yang muncul di setiap interval waktu pengamatan. 80
Collocalia linchi Anthracoceros albirostris Ducula aerea Hemipus hirundinaceus Strereoranus Merops leschenaulti Corvus enca Artamus leucorynchus Treron bicincta Padda orizyvora Sturnus melanopterus Merops philippinus Pavo muticus Hirundo rustica Streptopelia chinensis Halycon chloris Lanius schach Hydrochous gigas Gallus varius Alcedo coerulenscens
60
40
20
0 0-10'
10-20'
20-30'
30-40'
40-50'
50-60'
50
140
120
100
80
60
40
20
0 0-10'
10-20'
20-30'
30-40'
40-50'
50-60'
Hemipus hirundinaceus Collocalia linchi Zosterops palpebrosus Lonchura leucogastroides Pericrocotus cinnamomeus Dicaeum trochileum Pericrocotus flammeus Rhipidura javanica Anthracoceros albirostris Pycnonotus goiavier Macronous flavicollis Pericrocotus sp. Picus puniceus Lalage sueurii Columba argentina Dicrurus macrocercus Hirundo tahitica Streptopelia bitorquata Pycnonotus aurigaster Pellorneum capistratum Ducula aenea Sitta frontalis Pycnonotus simplex Coracina javensis Gallus gallus Cuculus saturatus Corvus enca Gallus varius Streptopelia chinensis Dicrurus leucophaeus Orthotomus sutorius Merops leschenaulti Hemiprocne longipennis Lalage nigra Falco sp.
(b) Gambar 4.17 Kelimpahan burung per interval waktu di (a) hutan pantai Bama Birdwatching Trail dan (b) hutan evergreen
Dari Gambar 4.17 (a) dan (b), dapat dilihat kelimpahan jumlah burung dikedua lokasi pengamatan mencapai titik tertinggi pada periode ketiga, yaitu pada menit ke 2030 dan menurun pada periode berikutnya. Terdapat 61 individu burung yang muncul pada periode ketiga di lokasi pengamatan hutan pantai dan sebanyak 132 individu burung yang muncul di periode ketiga. Secara sekilas, dapat dilihat bahwa jumlah burung yang muncul di hutan evergreen selama pengamatan jauh lebih banyak dibanding di hutan pantai dengan total 426 individu burung di hutan evergreen dan 234 individu burung di hutan pantai. Kelimpahan relatif spesies per interval waktu pengamatan di hutan pantai dan hutan evergreen dapat digunakan untuk mengetahui spesies burung manakah yang paling tinggi kelimpahannya. Kelimpahan relatif sangat dipengaruhi oleh jumlah individu dari masing-masing jenis burung yang dijumpai selama pengamatan (Rusmendro, 2009). Grafik kelimpahan relatif spesies dapat dilihat pada Gambar 4.18 (a) dan (b) di bawah ini.
51
10,000 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,000 Hemipus hirundinaceus Collocalia linchi Zosterops palpebrosus Lonchura leucogastroides Pericrocotus cinnamomeus Dicaeum trochileum Pericrocotus flammeus Rhipidura javanica Anthracoceros albirostris Pycnonotus goiavier Macronous flavicollis Pericrocotus sp. Picus puniceus Lalage sueurii Columba argentina Dicrurus macrocercus Hirundo tahitica Streptopelia bitorquata Pycnonotus aurigaster Pellorneum capistratum Ducula aenea Sitta frontalis Pycnonotus simplex Coracina javensis Gallus gallus Cuculus saturatus Corvus enca Gallus varius Streptopelia chinensis Dicrurus leucophaeus Orthotomus sutorius Merops leschenaulti Hemiprocne longipennis Lalage nigra Falco sp. Treron vernans Atthamus leucorincus Pycnonotus atriceps Aethopyga mystacalis Pavo muticus Halycon sp. Centropus nigrorufus Cisticola exilis Phylloscopus borealis Alophoixus bres Corvus macrorhynchos Merops philipinus Pycnonotus aurigaster Larius schach Orthotomus ruficeps Parus major
Collocalia linchi
0,000 Collocalia maxima
Pericrocotus flammeus
Malacocinda sepiarium
Chalcophaps indica
Chrysocolaptes lucidus
Alcedo coerulenscens
Gallus varius
Hydrochous gigas
Lanius schach
Halycon chloris
Streptopelia chinensis
Hirundo rustica
Pavo muticus
Merops philippinus
Sturnus melanopterus
Padda orizyvora
Treron bicincta
Artamus leucorynchus
Corvus enca
Merops leschenaulti
Strereoranus
Hemipus hirundinaceus
Ducula aerea
Anthracoceros albirostris
35,000
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
(a)
(b)
Gambar 4.18 Kelimpahan relatif spesies burung per 10 menit di (a) hutan pantai Bama Birdwatching Trail dan (b) hutan evergreen
Dapat dilihat dari Gambar 4.18 (a) dan (b) di atas bahwa spesies burung yang paling
melimbah per interval 10 menit di hutan pantai adalah Collocalia linchi dengan nilai
kelimpahan relatif sebesar 32,479% dan diikuti oleh spesies Anthracoceros albirostris
dengan nilai kelimpahan relatif sebesar 15,385%. Sedangkan di lokasi hutan evergreen,
spesies yang memiliki kelimpahan yang tertinggi per interval 10 menit adalah Hemipus
hirundinaceus dengan nilai kelimpahan relatif sebesar 8,92% dan diikuti oleh spesies
Collocalia linchi dengan nilai kelimpahan relatif sebesar 8,451%. Kelimpahan burung
dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, kondisi habitatnya, serta faktor abiotik lainnya
(Bibby et al., 1998). Dapat disimpulkan bahwa hutan pantai memiliki kondisi habitat
52
yang bagus untuk burung sehingga kelimpahan burung di hutan evergreen lebih tinggi dibanding hutan pantai.
Keanekaragaman spesies burung di kedua lokasi dihitung dengan menggunakan indeks
keanekaragaman
Shannon-Wiener
dan
didapatkan
nilai
2,328
untuk
keanekaragaman di hutan pantai (Birdwatching Trail) dan nilai sebesar 3,412 untuk hutan
evergreen.
Keanekaragaman
dikatakan
rendah
jika
memiliki
indeks
keanekaragaman kurang dari 1 (H’ < 1), sedang jika indeks keanekaragaman 1 < H’ < 3 , dan tinggi jika indeks keanekaragaman lebih dari 3 (Marian & Oka, 2008). Jadi dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman spesies burung di hutan pantai termasuk dalam tingkat yang sedang dan keanekaragaman spesies burung di hutan evergreen termasuk tinggi. Hutan pantai memiliki nilai indeks dominansi Simpson yang lebih tinggi dibanding hutan evergreen, yaitu sebesar 0,158 untuk hutan pantai dan 0,045 untuk hutan evergreen. Indeks dominansi ini mendeskripsikan kemungkinan tercupliknya individu dari suatu populasi merupakan spesies yang sama seperti spesies yang tercuplik pertama (Southwood & Henderson, 2000). Indeks dominansi yang tinggi menyatakan adanya dominansi
spesies
tertentu
di
suatu
ekosistem.
Perbandingan
nilai
indeks
keanekaragaman dan indeks dominansi antara dua ekosistem hutan dapat dilihat pada Gambar 4.19 di bawah ini: 4 3,412
3,5 3 2,5
2,328
2 1,5 1 0,5
0,158
0,045
0 Indeks Keanekaragaman (H') Hutan Pantai
Indeks Dominansi (D) Hutan Evergreen
Gambar 4.19 Perbandingan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan indeks dominansi Simpson (D) antara hutan pantai dan hutan evergreen
53
Hutan evergreen memiliki keanekaragaman spesies burung yang tinggi dibanding hutan pantai. Hal ini kemungkinan karena hutan evergreen memiliki komposisi vegetasi yang lebih beragam dibanding hutan pantai. Semakin beragamnya komposisi vegetasi di ekosistem, semakin banyak pula sumber makanan dan relung yang dapat dimanfaatkan oleh hewan (Molles, 2008). Menurut Setiawan et al. (2006), keanekaragaman jenis burung berkorelasi secara positif atau searah dengan keanekaragaman jenis vegetasi. Spesies yang mendominansi di hutan pantai merupakan walet linchi (Collocalia linchi) karena memiliki kelimpahan relatif paling tinggi diantara spesies lainnya. Spesies burung yang mendominansi kedua di hutan pantai adalah kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris). Kedua spesies ini mendominasi di ekosistem hutan pantai karena kondisi lingkungannya sangat cocok bagi tempat tumbuh dan berkembangnya (Bibby et al., 1998). Selain itu, kedua jenis burung ini sangatlah mudah dijumpai, sehingga nilai kelimpahannya tinggi sehingga memengaruhi nilai indeks dominansi. Spesies yang paling mendominansi di hutan evergreen adalah spesies Hemipus hirundinaceus kemudian diikuti oleh spesies Collocalia linchi karena memiliki nilai kelimpahan relatif kedua tertinggi. Kedua spesies ini mendominansi karena memiliki kondisi habitat yang sangat cocok unutk kedua spesies ini (Bibby et al., 1998). Menurut Winnasis et al. (2009), Collocalia linchi atau walet linchi merupakan burung yang sangat aktif sepanjang hari sehingga sangat umum serta sangat mudah dijumpai di seluruh kawasan Taman Nasional Baluran. Memiliki ukuran tubuh kecil yaitu sekitar 10 cm dan memiliki tubuh bagian atas berwarna hitam kehijauan buram, tubuh bagian bawah berwarna abu-abu jelaga dengan perut keputih-keputihan dan ekor sedikit bertakik. Habitat walet linchi tersebar di daerah hutan, tempat terbuka, tebing-tebing, serta bangunan (Mackinnon et al., 2010). Kondisi lingkungan di hutan pantai Bama merupakan lokasi terbaik untuk menemukan berbagai macam burung karena memiliki banyak tipe habitat yaitu dekat dengan hutan mangrove, pesisir pantai, dan dekat dengan hutan musim. Daerah seperti ini sangat cocok bagi Walet Linchi karena merupakan daerah terbuka dan terdapat hutan juga sebagai tempat mencari makan sehingga walet linchi sangat mudah dijumpai dan sangat melimpah di daerah ini. Di hutan evergreen juga sangat mudah dijumpai walet linchi yang bertebangan kian kemari untuk mencari makan karena kawasan hutan ini memang sangat sering disinggahi burung karena vegetasinya masih hijau dibanding hutan lain (Winnasis et al., 2009).
54
Kangkareng perut putih juga merupakan burung yang sangat umum dijumpai di kawasan Tamna Nasional Baluran dan tersebar di sekitar hutan pantai, hutan musim, dataran tinggi serta dataran rendah. Burung ini menyukai tempat terbuka sebagai habitatnya seperti di pinggir hutan, hutan bekas tebangan, serta hutan sekunder. Ukuran burung yang termasuk besar (sekitar 45 cm) membuatnya mudah terlihat oleh pengamat. Kebiasaan kangkareng perut putih yang suka berkelompok dalam mencari makan dan suka bertengger di atas pohon juga membuat perjumpaan dengan burung ini semakin tinggi dan mudah diamati. (Mackinnon et al., 2010). Lingkungan hutan pantai merupakan kondisi yang sangat cocok bagi kangkareng perut putih karena banyak vegetasi yang merupakan sumber pakannya dan banyak pohon untuk tempat bertengger dan tidur (Hadinoto et al., 2012). Menurut Winnasis et al. (2009), burung jingjing batu (Hemipus hirundinaceus) merupakan burung yang umum sehingga mudah dijumpai di kawasan Taman Nasional Baluran. Habitat burung jingjing batu tersebar di hutan musim dan hutan pantai Bama, yaitu daerah hutan dataran rendah dserta perbukitan. Memiliki morfologi yang berukuran kecil (sekitar 15 cm) dan berwarna hitam dan putih. Iris jingjing batu berwarna coklat dengan paruh hitam dan kaki hitam pula. Pada pagi hari, sering bersuara “ciit-wiit-wiitwiit” sambil melompat-lompat dari dahan ke dahan. Kondisi hutan evergreen yang memiliki banyak vegetasi dan termasuk lebat merupakan tempat yang cocok bagi Hemipus hirundinaceus sehingga memungkinkan burung ini dapat hidup dengan baik dan memiliki kelimpahan yang tinggi dibanding burung lainnya di hutan evergreen (Winnasis et al., 2009). Ketiga burung ini (walet lichi, kangkareng perut putih, dan jingjing batu) sama-sama memiliki puncak waktu aktif yang sama, yaitu pada pagi hari dan sore hari (Bibby et al., 1998). Dari kedua ekosistem ini (hutan pantai Bama dan hutan evergreen), memiliki indeks kesamaan Sorensen sebesar 31,579%. Nilai ini menunjukkan adanya tingkat kesamaan antara komposisi komunitas di kedua ekosistem (Spellerberg, 2005). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan komunitas burung sebesar 31,579% antara dua ekosistem hutan tersebut. Indeks kesamaan ini dipengaruhi oleh kelimpahan spesies di kedua ekosistem (Spellerberg, 2005). 4.7 Analisis Struktur Floristik dan Fisiognomi Hutan Musim Dari pembuatan plot di hutan musim dengan koordinat 7o 50’ 53,7’ dan 114o 25’ 44’ , dapat digambarkan diagram profilnya dengan mengambil skala sebesar 1 : 100. Pada pengamatan di hutan musim, didapatkan 12 individu pohon, dengan 6 jenis spesies yang 55
berbeda. Nama-nama pohon yang ditemukan di hutan musim dapat dilihat pada halaman lampiran. Gambar diagram profil tampak vertikal dan tampak horizontal terlampir 4.8 Analisis Mikroklimat Edafik di Hutan Musim Data yang diambil selain diagram pohon di hutan musim adalah pengukuran parameter mikroklimat dan edafik yang dihubungkan dengan komposisi vegetasinya. Berikut adalah tabel 4.21 yang menunjukkan data mikroklimat di hutan musim : Tabel 4.21 Hasil pengukuran mikroklimat rata-rata hutan musim
Mikroklimat
Hasil Pengukuran
Suhu
31.41oC
Kelembaban
71.43%
Intensitas
38669.6 lux
Dari pengukuran mikroklimat yang sudah dilakukan, didapatkan suhu rata-rata sebesar 31.41oC. Pengukuran suhu dilakukan pada saat pagi hari sekitar pukul 08.00 pagi. Suhu akan terus meningkat sampai siang hari. Kemudian, kelembaban udara rata-rata sebesar 71.43%. Kelembaban yang cukup tinggi ini disebabkan karena terjadi penguapan semua air yang ada di permukaan tanah dan menyebabkan lingkungan menjadi sangat kering (Utah State University,2008). Hal ini didukung dengan intensitas cahaya rata-rata yang tinggi yaitu sebesar 38669.6 lux,sehingga rona lingkungan di hutan musim dapat dideskripsikan adalah banyak tanaman yang meranggas akibat kekeringan, banyak serasah, kanopi sedikit dan hampir tak ada, serta tanah gersang.Kondisi cuaca yang teramati adalah panas, terik, kering, dan tidak ada angin. Selain pengukuran mikroklimat, dilakukan juga pengukuran edafik di hutan musim. Berikut adalah tabel 4.22 dan gambar 4.20 yang menampilkan hasil pengukuran edafik :
Tabel 4.22 Hasil pengukuran edafik rata-rata hutan musim
Suhu
32.19oC
Kelembaban Tanah
0.7%
PH Tanah
7.01
Bulk density
0.65 g/cm3
56
70 60
Persentase
50 40 30 20 10 0 Series1
Kandungan Air
Materi Organik
Mineral
16,47795711
41,76102145
58,23897855
Gambar 4.20 Hasil pengukuran rata-rata kandungan edafik hutan musim
Suhu tanah yang diukur sebesar 32.19 oC tidak berbeda jauh dengan suhu udara sebelumnya. Hal ini menunjukkan suhu udara memengaruhi suhu tanah. Suhu udara juga akan memengaruhi kelembaban tanah. Dapat dilihat bahwa di hutan musim, kelembaban tanahnya hanya sebesar 0.7%. Pengukuran dilakukan pada saat musim kemarau yang panjang sehingga kandungan air di dalam tanah menurun. Menurut Abbas et al (1995) benih pohon dapat tumbuh dan berkecambah dengan suhu maksimal 30oC. Jika dilihat dari kondisi suhu tanah di hutan musim saat kemarau yang lebih dari 30oC, maka dapat dipastikan, akan jarang sekali benih-benih baru yang tumbuh di hutan musim. Tanah yang terlalu panas akan menghambat pertumbuhan dari pohon itu sendiri. Selain itu, kelembaban tanah di hutan musim hamper nol yaitu hanya sebesar 0.7%. Sehingga pohon-pohon yang ada di hutan musim melakukan penyesuaian diri dengan cara meranggas. Akibatnya, terdapat banyak tumbuhan serasah di tanah.
Namun, pH yang dimiliki tanah di hutan musim sebesar 7.01. Hutan musim memiliki pH yang normal, sehingga tanah ini cocok ditanami pepohonan. Vegetasi yang dimiliki oleh hutan musim diantaranya adalah terdapat 98 individu dari 16 spesies berbeda yang diukur pada 10 plot. Pohon tertinggi dimiliki spesies Cordia sp yang memiliki tinggi hingga 26.05 meter. Pengukuran selanjutnya adalah bulk density. Bulk density adalah berat massa tanah per satuan volume tertentu, sehingga menunjukkan kepadatan tanah. Semakin padat suatu tanah, semakin tinggi bulk density-nya sehingga semakin sulit 57
meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman (USDA,2005). Bulk density di hutan musim sebesar 0.65 g/cm3 sedangkan bulk density pada batu adalah sebesar 2.65 g/cm3 (Michigan State University, 1998).Hal ini menunjukkan perbedaan yang sangat besar antara kepadatan batu dengan tanah yang dimiliki hutan musim sehingga dikatakan bahwa massa tanah pada keadaan kering sangat kecil dibandingkan dengan volumenya. Kecilnya nilai bulk density dapat disebabkan oleh tingginya kandungan organik yang dibuktikan pada grafik. Selain itu, dari morfologi tanah yang di cuplik, tanah di hutan musim memiliki pori-pori yang terlihat jelas sehingga kepadatan tanahnya menjadi sangat kecil. Selanjutnya adalah kandungan materi organik, anorganik, dan kandungan air pada tanah. Kandungan materi organik sebesar 41.76% sedangkan menurut Boundless (2015) kandungan organik yang ideal adalah sebesar 5% sehingga dapat dipastikan terdapat banyak sekali kandungan organik yang dihasilkan dari serasah yang jatuh ke tanah. Namun, karena suhu yang terlalu panas, mikroorganisme pengurai mati sehingga kandungan organik yang didapatkan sangat tinggi selanjutnya adalah materi anorganik di hutan musim didapatkan sebesar 58.23%. Persentase ini termasuk tinggi, hal ini dapat disebabkan banyaknya bahan organik yang telah dikomposisi selama sebelum musim kemarau dan tersimpan di dalam tanah. Sedangkan untuk kandungan air sebesar 16%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kandungan air di tanah hutan musim lebih rendah dari yang seharusnya yaitu sebesar 25%. Namun, dengan rendahnya kandungan air di hutan musim, pohon di hutan musim masih dapat menyesuaikan diri dengan cara meranggas.
58
4.9 Analisis Keberadaan Mamalia Malam
Jumlah Individu
Untuk analisis keberadaan mamalia malam.Berikut gambar 4.21 adalah hasil pengamatan mamalia malam di savana Bekol: 20 15 10 5 0 1
2
3
4
Titik Pengamatan Cervus timorensis
Paradoxurus hermaphroditus
Bubalus bubalis
Macaca fascicularis
Gambar 4.21 Pengamatan mamalia malam
Pada gambar 4.21 terlihat jumlah spesies yang ditemukan selama pengamatan pada 4 titik. Dari keempat titik yang berada di savana bekol, terlihat bahwa spesies Cervus timorensis paling banyak ditemukan. Pada titik 1 ditemukan 12 individu, titik ke 2 dengan 14 individu, titik ke 3 dengan 12 individu, dan titik ke 4 dengan 1 individu. Cervus timorensis merupakan mamalia yang lebih aktif pada siang hari, daripada malam hari. Namun hewan tersebut dapat teradaptasi menjadi hewan yang aktif pada malam hari bila kondisinya sedang terganggu (Thohari et al., 1991). Selain itu menurut Garsetiasih (1996) habitat yang disukai oleh C.timorensis adalah hutan yang terbuka, padang rumput, semak, dan savana, maka dari itu di savana bekol masih dapat dijumpai sekitar 39 individu, spesies C.timorensis. Dari 4 titik pengamatan, 3 diantara dijumpai spesies C.timorensis yang hidupnya berkoloni sekitar 12-14 individu. Menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994), spesies C.timorensis hidupnya sering kali berkelompok dan mempunyai daerah teritorial sendiri – sendiri antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Selain
C.timorensis,
ditemukan
juga
spesies
Paradoxorus
hermaphroditus.
P.hermaphroditus ditemukan pada titik pertama sebanyak 4 individu. Spesies P.hermaphroditus dapat hidup di beberapa habitat, diantaranya di daerah temperata dan hutan tropis. Namun tidak jarang spesies ini ditemukan di taman dan kebun, selain itu spesies P.hermaphroditus termasuk spesies yang aktif pada malam hari (nokturnal), dan hidupnya sering kali menyendiri (soliter) (Duckworth et al., 2011). Dalam pengamatan ini, spesies P.hermaphroditus ditemukan sedang aktif berlari di padang savana.Spesies 59
Bubalus bubalis juga ditemukan pada pengamatan mamalia kali ini. Spesies tersebut ditemukan pada titik pertama yang berjumlah 1 individu. Kerbau yang ditemukan di Taman Nasional Baluran adalah jenis Kerbau Lumpur. Ciri dari kerbau lumpur adalah memiliki warna kulit abu-abu keputihan, dan menjadi kehitaman setelah mereka dewasa, tanduk kerbau yang berbentuk lengkungan setengah lingkarang dan memiliki ciri lain suka berkubang di lumpur untuk menstabilkan suhu tubuhnya di musim kemarau. Selain itu, dalam aktivitas kesehariannya, Bubalus bubalis membentuk kelompok bila dalam kondisi ada gangguan. Namun tidak jarang kerbau juga ditemukan tidak dalam kelompok (soliter)(Kampas, 2008). Sehingga masih relevan bila dalam pengamatan mamalia malam hanya ditemukan 1 individu Bubalus bubalis.
Spesies Macaca fascicularis ditemukan pada titik ketiga. M.fascicularis ditemukan sedang bertengger di atas pohon, dimana mereka sedang beristirahat. Macaca fascicularis termasuk hewan yang aktif pada siang hari (diurnal). Pada siang hari mereka berpindah – pindah dari tempat satu ke tempat yang lain untuk mencari makanan (Maestripieri, 2004). Sehingga pada pengamatan mamalia di malam hari, spesies M.fascicularis tidak ditemukan dalam jumlah banyak seperti pada siang hari, dimana mereka berlari – lari di tengah savana untuk mencari makan.
4.10 Analisis Komunitas Ikan di Padang lamun Pantai Bama Berdasarkan hasil data pengamatan komunitas ikan yang didapatkan (pada Lampiran X), kelimpahan komunitas ikan di padang lamun Pantai Bama yang didapatkan tinggi. Dengan indeks keanekaragaman (H’) sebesar -1,84974 yang artinya keanekaragaman spesies cenderung sedang (Shannon-Wienner,1963), sedangkan untuk indeks dominansi (d) sebesar 0,227392. Indeks dominansi yang mendekati nilai nol menunjukkan bahwa tidak terdapat spesies dominan antara spesies satu dengan spesies lainnya (Simpson,1949). Keberadaan spesies ikan yang didapatkan di padang lamun Pantai Bama dapat dihubungkan dengan karakteristik ekosistem, meliputi parameter fisika kimia dan rona lingkungan. Berdasarkan data, suhu rata-rata air berkisar antara 27°-28° C dan salinitas antara 34-35 ppt. Dalam hal ini suhu berkorelasi dengan intensitas cahaya. Cahaya yang optimal menjadikan suhu perairan daerah tropis menjadi hangat. Jenis ikan-ikan karang tidak terpisahkan dengan terumbu karang karena menjadikannya sebagai habitat dan keberadaan terumbu karang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, cahaya, 60
salinitas, kejernihan, arus, dan substrat. Terumbu karang lebih banyak hidup di daerah tropis dan subtropis di Atlantik Barat dan Indo-Pasifik, di mana suhu berkisar antara 26°27° C (Achituv & Dubinsky, 1990). Parameter lainnya adalah berupa rona lingkungan. Lahan yang relatif terbuka, dekat dengan pantai mangrove, gelombang air relatif tenang, kejernihan air baik dan terdapat karang ataupun batu coral kecil. Habitat mangrove dan padang lamun merupakan tempat yang baik bagi ikan karang untuk tinggal. Karena tempat tersebut menyediakan sumber makanan yang berlimpah dan tempat berlindung yang aman, dan dapat mengurangi tekanan dari predator (Blaber & Blaber 1980, Shulman 1985, Parrish 1989, Laegdsgaard & Johnson 2001 dalam Nagelkerken dkk., 2002).
4.11 Analisis Terumbu Karang di Area Transplantasi dan Non-Transplantasi Terumbu karang dijumpai di laut dangkal daerah tropika hingga subtropika dengan lintang 350LU dan 320LS (Suharsono, 1996). Terumbu karang merupakan ekosistem yang dibangun oleh biota penghasil kapur seperti karang batu dan alga berkapur yang berinteraksi dengan biota laut lainnya seperti moluska, Crustaceae, Echinodermata, Polichaeta, Porifera, bahkan hingga plankton dan ikan. Adanya terumbu karang dapat menunjang kehidupan ikan dan dapat meningkatkan keanekaragaman biota laut. Laut di kawasan TN Baluran memiliki terumbu karang yang tumbuh secara alami maupun secara buatan (transplantasi). Pengamatan terumbu karang dilakukan di Pantai Bama dengan 2 zona yang berbeda, yaitu zona transplantasi dan zona non transplantasi Data fisika kimia sampel air laut sekitar zona terumbu karang serta persentase tutupan karang dan nilai indeks mortalitas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.23 Fisika-kimia zona pengamatan terumbu karang
Parameter Suhu (0C)
Lokasi Non Transplantasi
Transplantasi
31.3
29.4
33
33
10.28
10.75
PH
8.3
8.2
%Tutupan karang hidup
60
95
%Tutupan karang mati
10
5
0,14
0,05
Salinitas (ppt) DO (ppm)
Indeks mortalitas
61
Terumbu karang dapat tumbuh dengan optimum pada perairan dengan suhu rata-rata tahunan sekitar 23-250C. Namun terumbu karang masih dapat hidup dengan toleransi suhu hingga 36-400C (Wells dalam Nybakken, 1992). Selain suhu, hidupnya terumbu karang juga dipengaruhi olrh salinitas perairan. Menurut Nybakken (1992) terumbu karang masih dapat dijumpai di teluk Persia yang salinitas air lautnya mencapai 42 ppt. Suhu yang terukur pada zona non translplantasi lebih tinggi (31,30C) dibandingkan dengan zona transplantasi (29,40C) namun suhu air di kedua zona tersebut masih dalam kisaran toleransi bagi terumbu karang untuk hidup. Kadar salinitas air terukur sebesar 33 ppm yang artinya masih tergolong sesuai untuk menunjang keberadaan terumbu karang. Terumbu karang yang merupakan interaksi antarbiota laut tentu membutuhkan oksigen untuk menghasilkan energi. Oksigen terlarut yang terukur pada zona transplantasi (10,75 ppm) lebih besar jika dibandingkan dengan yang terukur di zona non transplantasi (10,28 ppm). Kadar oksigen terlarut dipengaruhi oleh arus laut sehingga dapat dikatakan jika kuatnya arus di kedua zona seragam karena hanya terdapat sedikit perbedaan pada besarnya kadar oksigen terlarut. Arus juga berperan dalam pendistribusian nutrien bagi terumbu karang dan dapat mencegah pengendapan. Selain memproduksi energi dari nutrient yang terbawa arus, hewan karang dapat memanfaatkan energi yang dihasilkan oleh zooxanthel yang berfotosintesis. Karena itu, secara tidak langsung keberadaan hewan karang juga bergantung pada turbiditas air laut. Turbiditas air yang tinggi akan menyebabkan penetrasi cahaya matahari berkurang dan hasil fotosintesis zooxanthel tidak optimal. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima oleh terumbu karang akan membuat luas permukaan terumbu karang bertambah dan membentuk formasi plate atau tabulate. Selain intensitas cahaya, arus, gelombang dan sedimen juga berpengaruh terhadap bentuk terumbu karang. Dengan arus dan gelombang yang cukup besar, terumbu karang yang tumbuh umumnya bulat dengan lebih sedikit percabangan dan permukaan horizontalnya besar. Dan pada daerah laut yang sedimentasinya rendah, terumbu karang yang tumbuh berupa plate atau tabulate. Berdasarkan pengamatan, terumbu karang dengan bentuk plate lebih banyak terdapat pada zona transplantasi yang menandakan jika zona transplantasi memiliki turbiditas yang lebih rendah dari zona non transplantasi yang mengakibatkan cahaya matahari dapat masuk ke dalam perairan. Terdapatnya terumbu karang plate juga mengindikasikan jika sedimentasi di zona
62
transplantasi dan non transplantasi tergolong rendah, namun tingkat seimentasi lebih rendah di zona transplantasi.
Selain ditemukan terumbu karang plate dan tabulate, terumbu karang Acropora juga lebih banyak ditemukan di zona transplantasi. Acropora merupakan jenis terumbu karang yang dapat tumbuh dengan cepat, hal tersebut menjadi alasan untuk menjadikan acropora sebagai terumbu karang transplan. Acropora akan tumbuh dengan baik dan melimpah pada perairan yang berarus sedang, penetrasi cahaya tinggi, dan substrat berupa pasir dan kontur landai (Sale, 1991). Pantai Bama memiliki keadaan laut yang sesuai dengan kondisi optimum tumbuhnya acropora, sehingga jumlahnya melimpah.
Persentase tutupan karang hidup di zona transplantasi (95%) lebih besar dengan tutupan karang hidup di zona non transplantasi (60%). Hal ini berlawanan dengan persentase tutupan karang mati. Zona non transplantasi memiliki persentase tutupan karang mati (10%) yang lebih besar dibandingkan dengan di zona transplantasi (5%). Kriteria tutupan karang hidup yang ditetapkan oleh Kepmen LH no.47, Tahun 2001 ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 4.24 Kriteria tutupan karang hidup
Kategori
Tutupan Karang Hidup
Kriteria
(%) 1
1-10
Sangat rendah
2
11-30
Rendah
3
31-50
Sedang
4
51-75
Tinggi
5
76-100
Sangat tinggi
Berdasarkan persentase tutupan karang hidup, zona transplantasi merupakan daerah yang tutupan karang hidupnya yang sangat tinggi dengan nilai 95%, sedangkan zona non transplantasi merupakan daerah dengan tutupan karang hidup tinggi, yaitu sebesar 60%. Jumlah karang hidup di zona transplantasi lebih banyak karena kondisinya lebih disesuaikan agar terumbu karang dapat hidup. Salah satu caranya adalah pemasangan besi untuk tempat tumbuhnya terumbu karang. Menurut Nyabakken (1992), karang dapat berkembang biak dengan dua cara, yaitu aseksual dan seksual. Perkembangbiakkan 63
secara aseksual dilakukan dengan cara menghasilkan tunas, sedangkan secara seksual melalui penghasilan ovum dan sperma. Perkembangbiakkan secara seksual dapat membagi karang menjadi dua tipe, yaitu gonokoris dan hemaprodit. Gonokoris adalah karang yang hanya dapat menghasilkan sperma atau telur. Sperma yang dihasilkan kemudian akan terbawa oleh air laut dan kemudian akan masuk ke gastrovaskuler betina. Hemaprodit adalah karang yang dapat menghasilkan sperma dan ovum sekaligus, sehingga akan terjadi pembuahan sendiri. Setelah pembuahan terjadi, akan terbentuk larva planula yang selanjutnya dapat berenang dan tersebar hingga terbentuk koloni baru. Larva planula akan menempel pada substrat yang keras lalu akan tumbuh menjadi polip. Polip kemudian akan ditempeli zooxanthel kemudian terbentuklah terumbu karang. Dengan metode transplantasi menggunakan kerangka yang terbentuk dari besi yang merupakan substrat keras membuat larva planula dapat dengan mudah menemukan tempat untuk menempel, sehingga pada zona transplantasi akan tumbuh lebih banyak terumbu karang hidup.
Indeks mortalitas terumbu karang di kedua zona pengamatan tergolong rendah, yaitu 0,14 untuk zona non transplantasi dan 0,05 untuk zona transplantasi. Menurut Gomez & Yap (1988), jika indeks mortalitas mendekati nol maka semakin sedikit terumbu karang yang mati. Dengan nilai indeks mortalitas yang diperoleh, dapat dikatakan jika tingkat kematian terumbu karang yang ada di zona pengamatan sangat rendah. Terumbu karang secara alami memiliki mekanisme untuk memperbaiki kerusakan pada tubuhnya dengan waktu yang relatif cepat dengan syarat penetrasi cahaya tinggi dan kadar polutan serta sedimen yang berasal dari daratan rendah. Karang mati yang teramati sedikit menandakan jika keadaan perairan minim perusakan terumbu karang dan keadaan lingkungan perairan baik dengan penetrasi cahaya yang cukup dan sedimen yang minim, serta pH yang sesuai. Berdasarkan data pengamatan, pH di zona non transplantasi sebesar 8,3 dan di zona transplantasi 8,2. Nilai pH sesuai bagi karang untuk hidup, menurut Sale (1991), jika PH rendah, atau bernilai lebih kecil dari 7 (perairan asam) maka asam karbonat pada karang akan meluruh dan terumbu karang akan mati.
64
BAB V KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini antara lain : 1.
Karakteristik vegetasi komunitas dan kondisi mikroklimat edafik dari empat ekosistem di Taman Nasional Baluran yaitu:
Savana Terbuka -
Struktur vegetasi komunitas: pohon: Azadirachta (H’=0), semai: Azzadiractha (H=0), perdu: Acacia Rhamnaceae (H’=1.079), herba: Abutilon Vernonia (H’=1.991)
-
Mikroklimat edafik: suhu udara: 27.190 °C, kelembaban udara: 74.893 %, intensitas cahaya: 608.1 lux, dan materi organik tanah: 33.547 %, mineral 66.453 % dengan bulk density 0.565 g/cm3
Savana Terinvasi Acacia nilotica -
Struktur vegetasi komunitas: pohon: Acacia acacia (H=0.233), tiang: Acacia (H’=0), semai: Azadirachta Capparis (H’=0.892), perdu: Acacia Jatropha (H’=1.345), herba: Stachytarpeta Brachira (H’=2.119)
-
Mikroklimat edafik: suhu udara: 30.513°C, kelembaban udara: 76.155 %, intensitas cahaya: 3980.667 lux dan materi organic tanah: 31.241 %, mineral 68.7 % dengan bulk density 0.549 g/cm3
Hutan Mangrove -
Struktur
vegetasi
komunitas:
pohon:
Rhizophora
(H’=0),
tiang:
Rhizophora (H’=0), semai: Rhizophora (H’=0) -
Mikroklimat edafik: suhu udara: 29.99°C, kelembaban udara: 82.3 %, intensitas cahaya: 3730.333 lux, dan materi organik tanah: 7.991 %, mineral 99.008 % dengan bulk density 0.481 g/cm3
Hutan Musim -
Struktur vegetasi komunitas: 6 spesies pohon: Ximenia americana, Grewia elaiocarpa, Erythriena dadap, Streknos lusida, Walikukun, Sambucus nigra
-
Mikroklimat edafik: suhu udara: 31.41°C, kelembaban udara: 71.43 %, intensitas cahaya: 38669.6 lux, dan materi organik tanah: 41.761%, mineral 58.239 % dengan bulk density 0.65 g/cm3 65
2. Keanekaragaman spesies lamun di pantai Bama adalah 1,175 yang berarti termasuk keanekaragaman menengah ,total persentase penutupan lamun adalah 45,321 % yang dapat disimpulkan bahwa status padang lamun di Pantai Bama adalah kurang kaya.Kelimpahan dan kerapatan tertinggi biota lamun adalah Holothuria atra 3. Keanekaragaman spesies burung di hutan pantai Bama sebesar 2,328 dan hutan evergreen sebesar 3,412. Sementara itu kelimpahan spesies burung terbesar di hutan pantai Bama adalah spesies Collocalia linchi dan Anthracoceros albirostris dengan nilai kelimpahan relatif secara berurutan adalah 32,479% dan 15,385%. Kelimpahan spesies burung tersebsar di hutan evergreen adalah spesies Hemipus hirudinaceus dan Collocalia linchi, dengan nilai kelimpahan relatif secara berurutan adalah 8,92% dan 8,45%. 4. Pembuatan plot sebesar 15 x 30 m yang sudah dilakukan di hutan musim, dapat dibuat diagram profil secara horizontal dan vertikal. Sehingga diketahui terdapat 12 individu pohon dengan 6 spesies berbeda, serta stratum yang dimiliki vegetasi ini adalah stratum C dengan ketinggian pohon di bawah 12m. 5. Setelah dilakukan pengamatan secara visual pada malam hari, mamalia yang teramati di savana bekol di dominasi oleh spesies Cervus timorensis dengan 39 individu yang ditemukan pada 4 titik, kemudian diikuti spesies Paradoxurus hermaphroditus dan Macaca fascicularis masing – masing sebanyak 4 individu (1 titik pengamatan), dan terakhir ditemukan pula spesies Bubalus bubalis sebanyak 1 individu (1 titik pengamatan). 6. Tutupan terumbu karang hidup di area transplantasi sangat tinggi dengan nilai persentase tutupan 95% dan di area non transplantasi tutupan terumbu karag hidup tinggi dengan nilai 60% Suhu di area transplantasi adalah 29,40C, lebih rendah dari suhu di area non transplantasi yaitu 31,30C. Kadar oksigen terlarut di area transplantasi adalah 10,75 ppm, lebih besar dari area non transplantasi yang kadar oksigennya 10,28 ppm. Nilai PH yang terukur hampir sama yaitu 8,2 di area transplantasi dan 8,3 di area non transplantasi, sedangkan salinitas yang terukur pada kedua area bernilai sama yaitu 33 ppt.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M., and James H. (1995). Effect of High Temperature on Plant Growth and Carbohydrate Metabolism in Potato. Plant physiol. 109 : 637 – 643. Achituv, Y. and Dubinsky, Z. (1990). Evolution and Zoogeography of Coral Reefs Ecosystems of the World. Vol. 25:1–8. Alikodra, H.S. (2002). Pengolahan Satwa Liar. Bogor: IPB Arief, A. (2003). Hutan Mangrove. Penerbit kanisius: Jakarta Balai Taman Nasional Baluran, Banyuwangi. (2007). Taman Nasional Baluran : Secuil Afrika di Jawa. http://www.academia.edu/. Diakses tanggal 21 November 2015. Baluran
National
Park.
(2014).
Profil
Taman
Nasional
Baluran.
http://balurannationalpark.web.id. Diakses 22 November 2015. Baluran National Park. 2014. Profil Taman Nasional Baluran. balurannationalpark.web.id. Diakses pada Rabu, 18 November 2015 Bibby, C., Jones, M., Marsden, S. (2000). Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung. Birdlife International-Indonesia Programme: Bogor Boundless. (2015). Soil Composition. Boundless Biology. https://www.boundless.com. Diakses tanggal 21 November 2015. Brower, J.E. and J.H.Zar. (1977). Field and Laboratory Methods for General Ecology. W.M. Brown Company Publ. Dubuqe. Lowa. 194 p Burrell,D.C. dan J.R.Schubel. (1977). Seagrass ecosystems oceanography.In C.P. McRoy and C.Helfferich,eds.Seagrass ecosystems.Mar.Sci.4 : 196-232 Conand, C. and M. Byrne. (1993). A review of recent developments in the world sea cucumber fishers.Marine Fisheries Review 55 (4): 1 – 13 Dahuri, R., (2001). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : PT . Pradnya Paramita. Deckers, J., Spaargaren, O., & Dondeyne, S. (2004). “Soil survey as a basis for land evaluation”. Land cover and land use of the encyclopedia of life support systems. Den Bigelaar, Christof. (2007). Soil Properties Analysis. Agroecology Practrices Den Hartog, C. (1977). Structure, Function and Classification in Seagrass Ecosystem: A Scientific Perspective (eds. Mc. Roy and Helfferich). Marcel Dekker Inc. p. 53-87.
67
Djufri. (2006). Studi Autoekolig dan Pengaruh Invasi Akasia (Acacia Nilotica) (L.) Willd. Ex Del. Terhadap Eksistensi Savana dan Strategi Penanganannya di Tamna Nasional Baluran Banyuwangi. IPB (Bogor Agricultural University). Dombois, Dieter-Muelller. Ellenberg, Heisz. (1974). “Aims and Method of Vegetation Ecology”. Blackburn Press: London. Duckworth, J., P. Widmann., C. Custodio., J. Gonzalez., A. Jeniings., G. Veron. (2011). Paradoxorus hermaphroditus. The IUCN Red List of Threatened Spesies. Emily, Purton. (2012). Holothuria atra.Australia : University Of Queensland Emma, Nur Suriani & Nurdin, M. Raza. (2011). Pemetaan Potensi Ekowisata di Taman Nasional Baluran. FISIP Universitas Airlangga. Vol. 24, No. 3, Hal : 251-260 EPA. (2012). Water Monitoring and Assesment : Conductivity. [Online] http://water.epa.gov. Diakses Minggu, 22 November 2015 Fitriana, Yulia R. (2005). “Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali”. Biodiversitas 7(1):67-72 Fredriksen, S., A. de Backer , C. Bostrom, & H. Christie. (2010). Infauna from Zostera marina L. meadows in Norway. Differences in Vegetated and Unvegetated Areas. Mar.Biol.Res.6: 189- 200. Freeman, Stephen., Pomeroy, Derek E., Tushabe, Herbert. (2006). On the use of Timed Species Counts to estimate abundance in species-rich communities. African Journal Of Ecology 41(4):337-348. DOI: 10.1111/j.1365-2028.2003.00481. Gacia, E. & Duarte, C.M. (2001). Sediment Retention by a Mediterranean Posidonia oceanica Meadow: the Balance between Deposition and Resuspension. Est. Coast. Shelf Sci. 52: 505-514 Garsetiasih, R. (1996). Studi Habitat dan Pemanfaatan bagi Rusa ( Cervus timorensis) di taman Wisata Alam Pulau Manipo Nusa Tenggara Timur [tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakrta Gomez, E.D dan Yap, H.T. (1988). Coral Reef Management Handbook. Jakarta : Unesco Regional Office for Science and Technology South East Asia. Halford, A.R dan Thompson, A.A. (1994). Visual Census Surveys of Reef Fish. Townsville : Australian Institute Of Marine Science Hostetler, Mark E. dan Main, Martin B. (2015). [Online] Florida Monitoring Program: PoinTCount Method to Survey Birds. https://edis.ifas.ufl.edu. Diakses pada Rabu,18 November 2015 68
Hutchings, P. dan Saenger, P. (1987). Ecology of Mangrove Aust, Eco. Series. University of Queensland Press St Lucia, Quesland. Jacoeb, T.N. dan Wiryosuhanto, S.D. (1994). Prospek Budidaya Ternak Rusa. Kanisius, Yogyakarta. Juniarsa,Eka F.,Winnasis,Swiss.,Yusuf,Agus dan Pratiwi,Arif. (2013). Ikan Karang Taman Nasional Baluran.Situbondo : Taman Nasional Baluran Juniarsa,Eka F.,Winnasis,Swiss.,Yusuf,Agus dan Pratiwi,Arif. (2013). Ikan Karang Taman Nasional Baluran.Situbondo : Taman Nasional Baluran Kampas, R. (2008). Keragaman Fenotipik Morfometri Tubuh dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Taman Nasional Baluran. http://dephut.go.id. Diakses 22 November 2015. Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 200 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup: Jakarta Krebs, C.J. (1978). Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New York: Harper and Row Publishers. Larkum, A.W.D, & Den Hartog, C. (1989). Evolution and Biogeography of Seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses: a Treatise on the Biology of Seagrasses with Special Refrence to the Australian Regon. Aquatic Plan Studies 2. Amsterdam: Elsevier. Leigh Jr, E.G. (1975). Tropical Seasonal Forests. Pennyslavania : Elsevier Lin ,Hsing-Juh dan Shao, Kwang-Tsao. (1998). Temporal changes in the abundance and growth of intertidal Thalassia hemprichii seagrass beds in southern Taiwan. Journal Bot.Bull.Acad.Sin 39 :191-198 Maestripieri, D. (2004). Maternal Behavior, Infant Handling and Socialitation In Macaca Societis: A Model for the Study of Social Organization. Cambridge University Press. Pp: 230-234 Maliki, Forsep., Fitriyah, Nurul., Patriah, Ibi. (2011). Tinjauan Keberadaan Lamun Terhadap Komunitas Alga Periphyton Dan Moluska Di Perairan Pantai Bama Taman Nasional Baluran. Malang: Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya 69
Mannuputty et.al,Djuwariah. (2009). Point intercept transect for community. Jakarta : LIPI Matthew, Roy.(n.d.). [Online] Tropical Evergreen Forests. http://www.expert-eyes.org. Diakses Rabu, 18 November 2015 Michael, P. (1984). Metoda Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta: UI-Press Michigan State University. (1998). Michigan Field Crop Ecology. Extension Bulletin. E2646. Michio K., Kengo K., Yasunori K., Hitoshi M.,Takayuki Y., Hideaki Y. and Hiroshi S. (2003). Effects of deposit feeder Stichopus japanicuson algal bloom and organic matter contents of bottom sediments of the enclosed sea. Marine Pollution Bulletin 47:118–125. Molles, Manuel. (2014). Ecology Concepts and Aplication 7th ed. New York : McGrawHill Nagelkerken, I., C. M. Roberts, G. van der Velde, M. Dorenbosch, M. C. van Riel, E. Cocheret de la Morinière, P. H. Nienhuis. (2002). “How important are mangroves and seagrass beds for coral-reef fish? The nursery hypothesis tested on an island scale”. Marine Ecology Progress Series Vol. 244: 299–305. Nirmala. (2009). Hutan Alami Taman Nasional Baluran (Aset Kabupaten Situbondo). http://bisnisukm.com. Diakses tanggal 16 November 2015. Nybakken, J.P. (1992). Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis (terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Odum, E.P. (1996). Dasar – Dasar Ekologi. Alih Bahasa. Cahyono, S. FMIPA IPB. Gadjah Mada University Press. 625p. Prasasti,
I.
(2004).
Pengkajian
Nilai
Indeks
Vegetasi
Data
MODIS
dengan
MenerapkanBeberapa Algoritma Pengolahan Data Indeks Vegetasi. Jakarta Prasetyo, Budi. (2007). “Keanekaragaman Tanaman Buah di Pekarangan Desa Jabon Mekar, Kecamatan Parung, Bogor”. Biodiversitas 8(1): 43-47 Primack, Richard B. dkk. (1998). Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan obor Indonesia. Sabarno, M. Y. (2002). Savana Taman Nasional Baluran. Biodiversitas 3(1): 207-212 Sale, P.F. (1991). The Ecology of Fishes on Coral Reefs. California : Academic Press. Shannon, C.E. and Wiener, W. (1963). The Mathematical Theory of Communication. University of Illinois press, Urbana. 117 pp. Simpson, E. H. (1949). The Measurement of Diversity. Nature. 163:688 State Forest of New South Wales. (1995). “Field Methods Manual”. Technical Paper 59 Suharsono. (1996). Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi-LIPI. 70
Sunarko. (2009). Budi Daya Dan Pengelolaan Kebun Kelapa sawit dengan system Kemitraan. Cetakan Pertama. Jakarta: Agromedia Pustaka Susetiono. (2004). Fauna Padang Lamun. 3-12h. LIPI : Jakarta Suyono dan Sudarmadil. (1997). Hidrologi Dasar. Yogyakarta: Diktat Kuliah, Fakultas Geografi, UGM Thohari M., Haryanto., B. Msy’ud., D. Rinaldi., H. Arief., W.A. Djatmiko., S.N. Mardiah., N Koesmaryandi dan Sudjatnika. (1991). Studi Kelayakan dan Perancangan Tapak Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol, KPH Bogor, Perum perhutani Unit III Jawa Barat. Direksi Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K. (1997). The Ecology of the Indonesian Seas Part Two. Periplus edition. Singapore Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K. (1997). The Ecology of the Indonesian Seas Part Two. Periplus edition. Singapore Universitas
Petra.
(2012).
[Online]
Terumbu
Karang Taman
Nasional
Baluran.
http://www3.petra.ac.id. Diakses pada Rabu,18 November 2015 USDA.2005.
[Online]
Soil
Bulk
Density
/
Moisture-Aeration
http://www.nrcs.usda.gov/Internet/FSE_DOCUMENTS/nrcs142p2_053260.pdf .Diakses pada Rabu,18 November 2015 Utah
State
University.(2008).
[Online]
Temperature-Moisture
Relationship
.http://ocw.usu.edu/Forest__Range__and_Wildlife_Sciences/Wildland_Fire_Managemen t_and_Planning/Unit_4__Temperature-Moisture_Relationship_4.html.Diakses
pada
Senin,23 November 2015 Uthicke, S. and Karez, R. (1999). Sediment patch selectivity in tropical sea cucumbers (Holothurioidea: Aspidochirotida) analysed with multiple choice experiments. J. Exp.Mar.Biol. Ecol., 236: 69–87. Yuliana, Adiwilaga, E. M., Harris E., dan Pratiwi N. T. (2012). “Hubungan Antara Kelimpahan Fitoplankton dengan Parameter Fisik-Kimiawi Perairan di Teluk Jakarta”. Jurnal Akuatika. 3(2): 169-179
71
LAMPIRAN A PENGAMATAN KOMUNITAS IKAN
No
Jumlah Individu
Spesies
TOTAL INDIVIDU
pi
ln pi
pi2
pi ln pi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1
Chromis viridis
1 1
2
0,019047619 -3,9608131696
0,0003628118
-0,0754440604
2
Amblygobios sp.
3 7 7
44
0,419047619 -0,8697707162
0,175600907
-0,3644753478
3
Amblygobios stethophtalam us
1 1
14
0,1333333333 -2,0149030205
0,0177777778
-0,2686537361
4
Arothon manilensis
1 0
10
0,0952380952 -2,3513752572
0,0090702948
-0,2239405007
5
Gobiidae sp.
4
0,0380952381
-3,267665989
0,0014512472
-0,1244825139
6
Dischistodus sp. 1
8
0,0761904762 -2,5745188085
0,0058049887
-0,196153814
7
Dischistodus sp. 2
11
0,1047619048 -2,2560650774
0,0109750567
-0,2363496748
8
Apogon fraenatus
1
0,0095238095 -4,6539603502
9,0702947845805E-005
-0,0443234319
9
Apogon hoeveni
1
8
0,0761904762 -2,5745188085
0,0058049887
-0,196153814
10
Istigobius spence
2
2
0,019047619 -3,9608131696
0,0003628118
-0,0754440604
11
Dacyllus melanorus
1
1
0,0095238095 -4,6539603502
9,0702947845805E-005
-0,0443234319
1 -33,1383647168
0,2273922902
-1,8497443857
3
4 8 11 1 7
TOTAL
105
d = 0,227392
H' = -1,84974439
72
LAMPIRAN B PENGAMATAN LAMUN DAN BIOTA LAUT Nama Spesies Lamun
Mi
Enhalus acoroides Cymodocea serrulata Thalassia hemprichii Hlophila ovalis Halomeda sp. Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Cymodocea serrulata Halodule uninervis Halophila decipiens Halimeda discoidea Total
Nama Spesies
Fi
3,13 9,38 75 3,13 3,13 3,13 3,13 3,13 3,13 3,13 3,13 112,55
Jumlah
f tot 169 95 581 3 11 34 6 25 20 1 4 949
Kr total (ha)
1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 11000
C (%) 0,52897 0,8911 43,575 0,00939 0,03443 0,10642 0,01878 0,07825 0,0626 0,00313 0,01252 45,32059
Kr Relatif
Kl relatif
Holothuria arta Vasum turbinelus Diadema setosum Holothuria leucospilota Liomera venosa
10 1 9 1 1
2500 250 2250 250 250
45,45454545 4,545454545 40,90909091 4,545454545 4,545454545
45,45454545 4,545454545 40,90909091 4,545454545 4,545454545
Total
22
5500
100
100
73
LAMPIRAN C PENGAMATAN MAMALIA MALAM
Jumlah No
Nama Spesies
Total Titik 1
1 Cervus timorensis
12
Paradoxurus 2 hermaphroditus
4
3 Bubalus bubalis
1
4 Macaca fascicularis
Titik 2 14
Titik 3 12
Titik 4 1
39 4 1
4
4
74
LAMPIRAN D PENGAMATAN TERUMBU KARANG
No
Kategori Bentuk Hidup
1 2 3
HC DC R
Jumlah Poin ST ST Non Transp Transp lantasi lantasi 24 38 4 2 10 -
4
RK
1 -
% Tutupan karang hidup ST Non Transpla ntasi
ST Transplan tasi
60
95
% Tutupan karang mati ST ST Non Transp Transp lantasi lantasi
10
5
MI ST ST Non Transp Transp lantasi lantasi 0.1428 57143
0.05
Kualitas tutupan terumbu karang
75
LAMPIRAN E PENGAMATAN BURUNG Hutan Pantai
30- 4040' 50'
5060'
Jumlah Individ u (ekor)
Jumlah Individu yang Dijumpai No
Nama Spesies
010'
10- 2020' 30'
Kelimp ahan/ 10 menit
1 Collocalia linchi Anthracoceros 2 albirostris
7
9
29
11
9
11
76
12.667
4
6
5
8
12
1
36
6
3 Ducula aerea Hemipus 4 hirundinaceus
3
0
5
10
1
6
25
4.167
4
5
1
4
2
2
18
3
5 Strereoranus
0
6
7
3
0
0
16
2.667
6 Merops leschenaulti
0
2
1
4
2
5
14
2.333
7 Corvus enca Artamus 8 leucorynchus
0
2
1
1
3
1
8
1.333
2
0
3
1
0
0
6
1
9 Treron bicincta
0
4
0
1
0
0
5
0.833
10 Padda orizyvora
0
0
2
0
3
0
5
0.833
11 Sturnus melanopterus
0
4
0
0
0
0
4
0.667
12 Merops philippinus
0
0
0
0
1
2
3
0.5
13 Pavo muticus
0
0
2
0
1
0
3
0.500
14 Hirundo rustica
0
0
1
0
1
0
2
0.333
15 Streptopelia chinensis
0
0
1
0
1
0
2
0.333
16 Halycon chloris
0
0
0
2
0
0
2
0.333
17 Lanius schach
0
0
0
0
1
0
1
0.167
18 Hydrochous gigas
0
0
1
0
0
0
1
0.167
19 Gallus varius
0
0
1
0
0
0
1
0.167
Kelimp ahan Relatif (%) 32.479 15.385 10.684 7.692 6.838 5.983 3.419 2.564 2.137 2.137 1.709 1.282 1.282 0.855 0.855 0.855 0.427 0.427 0.427
76
0.427 20 Alcedo coerulenscens Chrysocolaptes 21 lucidus
0
0
1
0
0
0
1
0.167
1
0
0
0
0
0
1
0.167
22 Chalcophaps indica Malacocinda 23 sepiarium Pericrocotus 24 flammeus
0
0
0
0
0
1
1
0.167
0.427 0.427 0.427 0
1
0
0
0
0
1
0.167
0
1
0
0
0
0
1
0.167
0
1
0
0
0
0
1
0.167
21
41
61
45
37
29
234
0.427 0.427
25 Collocalia maxima To tal
39
100
Hutan Evergreen Jumlah Individu yang Dijumpai No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Spesies
Hemipus hirundinaceus Collocalia linchi Zosterops palpebrosus Lonchura leucogastroides Pericrocotus cinnamomeus Dicaeum trochileum Pericrocotus flammeus Rhipidura javanica Anthracoceros albirostris Pycnonotus goiavier Macronous flavicollis Pericrocotus sp.
5060'
Jumla h Indivi du (ekor)
Kelim paha n/ 10 menit
Kelimp ahan
010 '
1020'
2030'
30 - 4040 50' '
2
6
13
12
1
4
38
6.333
0.089
0
9
19
4
2
2
36
6
0.085
0
0
29
3
0
2
34
5.667
0.080
0
0
10
14
1
5
30
5
0.070
0
1
5
18
0
0
24
4
0.056
5
3
15
0
0
0
23
3.833
0.054
0
0
1
17
1
0
19
3.167
0.045
3
0
10
0
2
1
16
2.667
0.038
14
0
0
1
0
0
15
2.5
0.035
0
0
0
11
3
0
14
2.333
0.033
0
2
1
1
5
3
12
2
0.028
0
8
1
1
0
0
10
1.667
0.023
Kelimp ahan Relatif (%)
8.920 8.451 7.981 7.042 5.634 5.399 4.460 3.756 3.521 3.286 2.817 2.347
77
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Picus puniceus Lalage sueurii Columba argentina Dicrurus macrocercus Hirundo tahitica Streptopelia bitorquata Pycnonotus aurigaster Pellorneum capistratum Ducula aenea Sitta frontalis Pycnonotus simplex Coracina javensis Gallus gallus Cuculus saturatus Corvus enca Gallus varius Streptopelia chinensis Dicrurus leucophaeus Orthotomus sutorius Merops leschenaulti Hemiprocne longipennis Lalage nigra Falco sp. Treron vernans Atthamus leucorincus Pycnonotus atriceps Aethopyga mystacalis Pavo muticus
0 0
10 2
0 3
0 2
0 3
0 0
10 10
1.667 1.667
0.023 0.023
0
0
0
9
0
1
10
1.667
0.023
3
3
2
0
1
0
9
1.5
0.021
4
0
0
2
2
0
8
1.333
0.019
0
0
3
0
0
5
8
1.333
0.019
0
0
3
0
3
2
8
1.333
0.019
0
0
0
4
3
1
8
1.333
0.019
6 0
1 5
0 0
0 0
0 1
0 0
7 6
1.167 1
0.016 0.014
1
0
0
0
0
6
1
0.014
0
2
3
1
0
0
6
1
0.014
2
3
0
0
0
0
5
0.833
0.012
2
2
0
0
1
0
5
0.833
0.012
1 1
1 0
0 0
1 1
1 0
0 2
4 4
0.667 0.667
0.009 0.009
1
0
0
1
0
2
4
0.667
0.009
2
1
0
0
0
3
0.5
0.007
0
0
1
0
0
2
3
0.5
0.007
3
0
0
0
0
0
3
0.5
0.007
0
0
0
1
1
1
3
0.5
0.007
0 0 0
0 0 0
0 0 2
0 0 0
0 0 0
3 2 0
3 2 2
0.5 0.333 0.333
0.007 0.005 0.005
0
0
0
1`
2
0
2
0.333
0.005
0
0
2
0
0
0
2
0.333
0.005
0
0
0
0
1
1
2
0.333
0.005
1
0
0
0
0
0
1
0.167
0.002
5
0
2.347 2.347 2.347 2.113 1.878 1.878 1.878 1.878 1.643 1.408 1.408 1.408 1.174 1.174 0.939 0.939 0.939 0.704 0.704 0.704 0.704 0.704 0.469 0.469 0.469 0.469 0.469 0.235
78
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 To tal
Halycon sp. Centropus nigrorufus Cisticola exilis Phylloscopus borealis Alophoixus bres Corvus macrorhynchos Merops philipinus Pycnonotus aurigaster Larius schach Orthotomus ruficeps Parus major
1
0
0
0
0
0
1
0.167
0.002
0
0
1
0
0
0
1
0.167
0.002
0
0
1
0
0
0
1
0.167
0.002
0
0
0
0
1
0
1
0.167
0.002
0
1
0
0
0
0
1
0.167
0.002
0
0
0
1
0
0
1
0.167
0.002
0
1
0
0
0
0
1
0.167
0.002
0
0
0
0
0
1
1
0.167
0.002
0
0
1
0
0
0
1
0.167
0.002
0
0
1
0
0
0
1
0.167
0.002
0
1
0
0
0
1
0.167
0.002
52
62
132
0 3 40 5
426
71
1
105
0.235 0.235 0.235 0.235 0.235 0.235 0.235 0.235 0.235 0.235 0.235 100
79
80
81
82