BIOEKOLOGI DAN ETNOBOTANI PANDAN (Pandanaceae) OLEH ORANG RIMBA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI
DIMAS PRASAJA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioekologi dan Etnobotani Pandan (Pandanaceae) oleh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Januari 2016
Dimas Prasaja NIM G353124051
RINGKASAN DIMAS PRASAJA. Bioekologi dan Etnobotani Pandan (Pandanaceae) oleh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi. Dibimbing oleh MUHADIONO dan IWAN HILWAN. Penelitian ini bertujuan mempelajari bioekologi dan etnobotani Pandanaceae yang dimanfaatkan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi. Penelitian dilaksanakan bulan Februari – Juni 2014 di zona pemanfaatan TNBD. Pengambilan data melalui analisis vegetasi dengan metode kombinasi jalur dan garis berpetak (nested sampling). Metode ini menggunakan plot bentuk bujur sangkar dengan ukuran tertentu, untuk strata pohon (20x20) m2, tiang (10x10) m2, pancang (5x5) m2, dan semai (2x2) m2. Petak contoh dibuat sebanyak 35 petak pada tiga kelompok Orang Rimba yang dipimpin Tumenggung. Pengumpulan data etnobotani pandan dilakukan dengan metode observasi dan wawancara untuk mendapatkan nilai Index Cultural Significance (ICS). Data dicatat pada setiap plot meliputi, spesies tumbuhan terdapat dalam plot, jumlah rumpun, dan faktor biotik meliputi komposisi floristik. Data lingkungan dicatat meliputi suhu, ketinggian tempat, intensitas penyinaran, kelembaban udara, dan pH tanah. Analisis tanah selanjutnya dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Parameter kerapatan dan frekuensi digunakan untuk mendapatkan Indeks Nilai Penting (INP). Penentuan karakteristik habitat berkaitan erat dengan kehadiran kelompok pandan dilakukan analisis statistik korelasi menggunakan software Minitab dan XL STAT. Untuk mengetahui karakteristik faktor abiotik dan keberadaan pandan digunakan metode Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis (PCA). Hasil penelitian mencatat enam spesies pandan, dua genus (Benstonea dan Pandanus) digunakan untuk kebiasaan dan aktivitas keagamaan. Hanya empat spesies digunakan untuk kerajinan terutama tikar dan dompet (sumpit) yaitu Pandanus furcatus Roxb; P. labyrinthicus Kurz ex Miq; P. immersus Ridl; dan Benstonea atrocarpa (Griff.) Callm. & Buerki. Dua spesies digunakan sebagai pelengkap upacara dan ritual adat adalah P. labyrinthicus Kurz ex Miq. (ritual pernikahan), sementara B. atrocarpa (Griff.) Callm. & Buerki untuk kiding (prosesi sebelum masa tanam padi dimulai). Hanya satu spesies digunakan sebagai bahan atap rumah atau pondok yaitu Benstonea kurzii (Merr.) Callm. & Buerki. Keterampilan membuat kerajinan diperoleh turun temurun dari generasi sebelumnya. Spesies tumbuhan berasosiasi dengan B. kurzii yaitu Litsea sp1, dan Artocarpus elasticus, sementara P. furcatus berasosiasi dengan Maranta leuconeura. Pada P. labyrinthicus berasosiasi dengan M. leuconeura, dan B. atrocarpa juga berasosiasi dengan M. leuconeura. Faktor tanah berpengaruh pada lingkungan tumbuh B. atrocarpa dan B. kurzii adalah pH, KTK, Debu, dan kandungan unsur hara K, Na, C, N, dan P. Pandanus immersus dan P. furcatus lebih dipengaruhi Kejenuhan Basa, Pasir, dan kandungan hara Mg dan Ca, sedang pada P. labyrinthicus lebih dipengaruhi liat dan S.
B. kurzii memiliki INP tertinggi diantara semua spesies, yakni 11.88%. Pengamatan langsung di lapang terdapat populasi B. kurzii melimpah pada habitat tanah berlumpur dan rawa. Spesies P. amaryllifolius memiliki indeks kepentingan budaya tertinggi dengan nilai ICS 37, sementara nilai ICS tergolong kategori tinggi juga ditunjukkan B. kurzii dengan nilai 24, P. labyrinthicus nilai 24, B. atrocarpa nilai 21. Sedangkan P. furcatus dan P. immersus dengan nilai ICS tergolong sedang. Ini menunjukkan bahwa ke-enam spesies pandan memiliki nilai kegunaan, intensitas kegunaan dan nilai ekslusivitas tergolong tinggi, sehingga perlu konservasi terutama jika nilai INP kecil/rendah sementara ICS tergolong tinggi. Spesies ini perlu dipertahankan, dibudidaya, dan dikonservasi, supaya populasi pandan tidak menurun, karena spesies pandan tersebut sangat penting sebagai bahan kerajinan dan ritual keagamaan di lingkungan masyarakat Orang Rimba. Kata kunci: Etnobotani, konservasi, pandan, Orang Rimba.
SUMMARY DIMAS PRASAJA. Bioecology and Ethnobotany of Pandans (Pandanaceae) by Orang Rimba in Bukit Duabelas National Park. Supervised by MUHADIONO and IWAN HILWAN. By research aims to study bioecology and ethnobotany of Pandanaceae utilized Orang Rimba in Bukit Duabelas National Park (BDNP) Jambi. The research was conducted in February – June 2014 in utilization zone of BDNP. Vegetation analysis data was collected through a combination of lines and terraced line methods. The method used square plots with size depend on the vegetation strata, i.e. tree strata (20x20) m2, pole strata (10x10) m2, sapling strata (5x5) m2, and seedling strata (2x2) m2. Total sample plots used in this research were 35 plots, which were devided into three groups. Each group was led by a Tumenggung. Data was recorded in each plot covered species within plot, total of clumps, and biotic factors including floristic composition. Environmental data was recorded including air temperature, altitude, light intensity, air humidity, and soil pH. Soil analysis was tested at the Laboratory of Soil Chemistry, Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Parameters of density and frequency were used to measure Important Value Index (IVI). Habitat characteristic associated with the presence of pandan group was tested statistically using correlation analysis by software Minitab and XL STAT. Characteristics of abiotic factors and presence of pandans were analyzed using Principal Component Analysis (PCA). Aspects of pandans ethnobotany was conducted by Index of Cultural Significance (ICS). The result recorded two genera (Benstonea and Pandanus) and six species of pandans. This plant was utilized for daily need and religious activity. Four species: Pandanus furcatus Roxb; P. labyrinthicus Kurz ex Miq; P. immersus Ridl; and Benstonea atrocarpa (Griff.) Callm. & Buerki were used for crafts especially as mats and wallets (sumpit). Two other species were used as ceremony complement materials and tribe rituals, i.e., P. labyrinthicus Kurz ex Miq (ritual of marriage) and B. atrocarpa (Griff.) Callm. & Buerki (for kiding: the procession before the rice planting season begins). Another species, Benstonea kurzii (Merr.) Callm. & Buerki, was used as material of house or cottage roof. Skill for making handicraft were obtained iterally from previous generations. Litsea sp1 and Artocarpus elasticus associated with B. kurzii, while P. furcatus associated with Maranta leuconeura and both P. labyrinthicus and B. atrocarpa associated with M. Leuconeura. Edafic factors affected the growing environment of those plants. B. atrocarpa and B. Kurzii were affected by pH, CEC, Dust, and nutrient contents of K, Na, C, N. P. Pandanus immersus and P. furcatus were more affected by base saturation, sand, and nutrient contents of Mg and Ca. P. labyrinthicus was affected by clay and S. B. kurzii had the highest IVI value (12.01%) among pandan species. Direct observation in field showed that population of B. kurzii were abundant in bog and marsh habitat. P. amaryllifolius had cultural interest with the highest index value (37) among B. Kurzii, P. Labyrinthicus, and B. atrocarpa (ICS value: 24, 24, and
21, respectively). While P. furcatus and P. immersus had moderate ICS value. These showed that six types of pandans had high value of utility, usefulness and exclusivity intensity. Thus, it is important to be conserved mainly for plant with low IVI value high but ICS value. Given the important of pandan as materials for craft and religious rituals in Orang Rimba’s community, these species need to be maintained, cultivated and conserved to avoid reducing pandan population. Keywords: Ethnobotany, conservation, pandan, Orang Rimba.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
BIOEKOLOGI DAN ETNOBOTANI PANDAN (Pandanaceae) OLEH ORANG RIMBA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI
DIMAS PRASAJA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Nunik Sri Ariyanti. M.Si
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Bioekologi dan Etnobotani Pandan (Pandanaceae) oleh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi Dimas Prasaja G353124051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Muhadiono, MSc Ketua
Dr Ir Iwan Hilwan, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Miftahudin, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 14 Desember 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah Pemanfaatan Pandan, dengan judul “Bioekologi dan Etnobotani Pandan (Pandanaceae) oleh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi” Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc dan Dr. Ir. Iwan Hilwan, MS selaku pembimbing yang telah mengarahkan penulis sejak persiapan penelitian hingga terselesaikannya karya ilmiah ini. serta Dr. Nunik Sri Ariyanti, M.Si yang telah banyak memberi masukan berupa saran dan arahan guna perbaikan tesis ini. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Staf dan Karyawan TNBD BKSDA Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Wilayah Jambi yang telah bersedia membantu penulis selama penelitian di Taman Nasional Bukit Duabelas. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, Bapak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Januari 2016 Dimas Prasaja
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN
1
2 TINJAUAN PUSTAKA
5
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Variabel Pengamatan Analisis Data
8 8 8 8 10 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Bioekologi Pandan Komposisi Floristik pada Habitat Pandan di TNBD Komposisi Floristik Strata Semai pada Habitat Pandan Komposisi Floristik Strata Pancang pada Habitat Pandan Komposisi Floristik Strata Tiang pada Habitat Pandan Komposisi Floristik Strata Pohon pada Habitat Pandan Analisis Parameter Vegetasi Berdasar Indeks Lainnya Indeks Keanekaragaman Spesies (H’) Indeks Dominansi Spesies (C) Indeks Kemerataan Spesies (E) Indeks Kekayaan Spesies (Dmn) Kelimpahan Spesies Pandan di TNBD Pola Sebaran Pandan Asosiasi Pandan di TNBD Karakteristik Habitat Pandan Etnobotani Pandan Pengetahuan Lokal Orang Rimba Tentang Keanekaragaman Pandan Spesies Pandan sebagai Bahan Ritual Adat Tradisional Spesies Pandan sebagai Bahan Kerajinan Kearifan Lokal Orang Rimba Membuat Anyaman Daun Pandan Nilai Sosial Ekonomi Daun Pandan Kelestarian dan Konservasi Pandan Indeks Kepentingan Budaya Kearifan dan Tindakan Konservasi 5 SIMPULAN DAN SARAN
19 19 22 23 24 25 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 42 42 44 45 45 47 47 47 48 51
DAFTAR PUSTAKA
52
LAMPIRAN
59
RIWAYAT HIDUP
86
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kategori kisaran INP dalam penelitian Kategori nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wiener Kategori nilai indeks kemerataan (E) Kategori nilai indeks dominansi (C) Kategori nilai indeks kekayaan (Dmn)/diversitas Menhinick Contingency 2x2 untuk perhitungan asosiasi Kategori indeks asosiasi pasangan spesies Kategori kisaran ICS dalam penelitian Kategori strategi konservasi tumbuhan Letak geografis kawasan TNBD Kondisi topografi, hidrologi, dan tanah kawasan TNBD Sepuluh spesies tumbuhan strata semai dengan INP tertinggi Sepuluh spesies tumbuhan strata pancang dengan INP tertinggi Sepuluh spesies tumbuhan strata tiang dengan INP tertinggi Sepuluh spesies tumbuhan strata pohon dengan INP tertinggi Kelimpahan spesies pandan strata semai Kelimpahan spesies pandan strata pancang Sebaran pandan (Pandanaceae) di kawasan TNBD Hasil perhitungan asosiasi spesies pandan dengan tumbuhan lain Kontribusi spesies pandan terhadap masing-masing komponen Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen fisik Eigenvalue unsur-unsur tanah terhadap tempat tumbuh individu pandan Matriks karakteristik hara tanah terhadap pandan di TNBD Jambi Spesies-spesies pandan yang dijumpai di TNBD Jambi Nilai ICS enam spesies pandan dalam masyarakat Orang Rimba
12 13 13 14 14 15 17 17 17 20 21 24 25 26 27 33 33 34 34 37 37 38 39 43 49
DAFTAR GAMBAR 1 Alur kerangka pemikiran penelitian bioekologi dan etnobotani pandan di TNBD 2 Distribusi dan sebaran Pandanaceae 3 Peta sebaran plot ditemukan spesies pandan di lokasi zona pemanfaatan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) 4 Ilustrasi petak contoh metode garis berpetak/plot bersarang 5 Total jumlah individu dari semua spesies tumbuhan pada tiap strata pengamatan di TNBD 6 Nilai H’ setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD 7 Nilai C setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD 8 Nilai E setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD 9 Nilai Dmn setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD 10 Biplot hasil komponen utama Principal Component Analysis (PCA) unsurunsur tanah terhadap lingkungan tempat tumbuh pandan (Pandanaceae) di TNBD 11 Nilai ICS spesies pandan yang dimanfaatkan Orang Rimba TNBD
4 5 8 9 23 28 30 31 32
36 48
DAFTAR LAMPIRAN 1 Daftar spesies tumbuhan bawah beserta nilai INP 2 Daftar spesies tumbuhan pada plot pengamatan strata semai beserta nilai INP 3 Daftar spesies tumbuhan pada plot pengamatan strata pancang beserta nilai INP 4 Daftar spesies tumbuhan pada plot pengamatan strata tiang beserta nilai INP 5 Daftar spesies tumbuhan pada plot pengamatan strata pohon beserta nilai INP 6 Kriteria penilaian sifat kimia tanah 7 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada setiap spesies pandan di TNBD 8 Nilai kualitas (q = quality value), intensitas penggunaan (i = intensity value), dan tingkat kesukaan (e = exclusivity value) kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori etnobotani 9 Nilai indeks kepentingan budaya (ICS) enam spesies pandan di lingkungan masyarakat Orang Rimba 10 Foto dokumentasi penelitian
59 60 64 69 73 78 79
80 81 82
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara “mega-biodiversitas”terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Kekayaan sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Sumber daya genetik dan keanekaragaman tersebut merupakan aset yang tidak ternilai harganya dan berpotensi mendatangkan kemakmuran nasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Biodiversitas yang dimiliki Indonesia masih banyak tumbuhan liar dan belum diketahui manfaatnya oleh masyarakat. Sekitar 4000 jenis tumbuhan di hutan dataran rendah Indonesia belum banyak diketahui manfaat langsung oleh penduduk, dan baru 25% telah dibudidayakan (Sastrapradja & Rifai 1972). Jambi adalah salah satu provinsi di pulau Sumatra. Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan dataran rendah dan lahan gambut, dengan curah hujan tinggi, merupakan episentrum “tropical rainforest” di Sumatera. Di Provinsi Jambi terdapat empat Taman Nasional yang sangat penting artinya bagi masyarakat, meliputi: Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Bukit Duabelas. Masyarakat adat di Jambi terdiri tiga kelompok masyarakat adat yaitu Talang Mamak (tersebar di kawasan Bukit Tigapuluh, Siberida Riau), Bajau (Pantai Timur Jambi), dan Anak Dalam atau Suku Anak Dalam (Bukit Duabelas; mereka lebih suka disebut Orang Rimba). Masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) merupakan masyarakat asli penghuni wilayah Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan tersebar hanya di kawasan Taman Nasional tersebut. Taman Nasional Bukit Duabelas menyediakan beragam hasil hutan berupa pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Di kawasan TNBD tidak hanya hasil kayu yang melimpah, namun Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menjadi prioritas utama mendukung perekonomian masyarakat sekitar. TNBD kaya jenis hewan maupun tumbuhan tergolong langka. Pengelolaan HHBK masih terabaikan dan kurang mendapat perhatian masyarakat umum karena kurang penelitian dan informasi tentang nilai ekonomi dan manfaat HHBK tersebut. Upaya pemanfaatan dan konservasi HHBK masih jarang dilakukan, khususnya berbasis kearifan lokal. Kawasan TNBD penting bagi Orang Rimba, karena mereka masih menggantungkan kehidupan terhadap hasil hutan di kawasan tersebut. Sama hal dengan beberapa suku mendiami wilayah Indonesia, kehidupan Orang Rimba secara umum tergolong tradisional, mereka mengandalkan hutan alam sekitar sebagai sumber pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Mereka memanfaatkan alam sekitar sebagai penyedia bahan baku dan sumber kebutuhan lain. Kemampuan Orang Rimba menerapkan pengetahuan lokal bergantung sumberdaya alam merupakan cerminan corak hidup mereka dalam memenuhi semua kebutuhan hidup. Hutan TNBD menjadi tempat Orang Rimba menerapkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber dari hutan sebaik-baiknya. Selain peran ekologi, hutan TNBD mempunyai arti ekonomi penting dalam memenuhi kebutuhan hidup
2 mereka. Penelitian tentang bioekologi pandan, terutama beberapa jenis pandan yang dimanfaatkan di hutan TNBD belum pernah dilakukan, padahal penelitian ini sangat penting mengingat peran tumbuhan tersebut dalam mempertahankan kearifan tradisional Orang Rimba, serta populasi jenis pandan tersebut sudah terancam punah dan mengakibatkan terganggu kestabilan ekosistem TNBD. Untuk mempertahankan kestabilan ekosistem maka diperlukan upaya konservasi pandan. Inventarisasi, studi vegetasi, dan analisis status keanekaragaman hayati pandan dapat menjadi langkah awal yang baik untuk membangun landasan memformulasikan strategi konservasi. Selain Orang Rimba, panggilan lain yang mereka sukai adalah “Sanak”, berarti keluarga atau kerabat. Sebaliknya, mereka sangat tidak suka bila disebut Orang Kubu karena dianggap merendahkan (Sasmita 2009). Sebagai wujud kearifan lokal pengelolaan hutan, masyarakat adat Suku Anak Dalam masih berpedoman pada hukum adat yang diakui dan diberlakukan hingga kini. Etnobotani merupakan kajian interaksi antara manusia dan tumbuhan atau diartikan sebagai studi mengenai pemanfaatan tumbuhan pada suatu budaya tertentu (Martin 1998). Pandanaceae adalah suku dari kelompok besar kelas tumbuhan berkeping satu (Monocotyledoneae). Di dalam Monocotyledoneae, pandan termasuk kelompok memiliki spektrum habitat luas, mulai dari tepi pantai hingga hutan dataran tinggi (montane forest) mendekati ketinggian 4000 m dari permukaan laut. Dalam kaitan antara masyarakat adat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba dengan flora pandan, penelitian terkait pemanfaatan pandan oleh Orang Rimba sebelumnya belum pernah dilakukan, sehingga penelitian ini merupakan yang pertama di TNBD. Keim (2007a) dan; Walujo et al. (2007) melaporkan bahwa Pandanaceae merupakan salah satu suku tumbuhan berperan sangat penting dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia, dua yang lain adalah Arecaceae dan Poaceae. Orang Rimba melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan guna memenuhi kebutuhan ekonomi maupun melestarikan lingkungan hidup mereka berdasar kearifan lokal mereka sendiri. Salah satu bentuk kearifan lokal tersebut dalam kaitan pandan adalah pemanfaatan tumbuhan untuk aneka macam keperluan mulai kegiatan ritual adat, hingga membuat anyaman tikar dan sumpit (sejenis dompet menyimpan tembakau dan rokok) berbahan dasar daun pandan. Tumenggung (Kepala Suku) Tarib menyatakan bahawa Orang Rimba tidak pernah menanam (budidaya) pandan, sehingga material pandan untuk keperluan mereka diambil dari alam. Dengan kata lain, Orang Rimba mencari dan memperoleh pandan di dalam kawasan TNBD. Sayangnya, saat ini keberadaan pandan sulit ditemukan karena pembukaan hutan besar-besaran baik oleh masyarakat luar maupun Orang Rimba sendiri. Belum ada kegiatan budidaya turut mempercepat penurunan populasi spesies pandan di kawasan TNBD. Sebagai dampaknya, Orang Rimba sudah jarang membuat anyaman pandan. Kondisi tersebut diperparah masih kurang data pemanfaatan dan pengelolaan pandan sehingga kepedulian Orang Rimba melestarikan ekosistem hutan masih rendah Hal ini sangat berbeda dengan yang ditemukan di Taman Nasional lain di Indonesia, misalnya di TN Ujung Kulon, dimana masyarakat disekitar Taman Nasional tersebut sudah mengetahui membudidayakan pandan, khususnya ‘pandan samak’ (Pandanus tectorius) (Rahayu & Handayani 2008). Terkait
3 permasalah di atas, penelitian ini ditujukan untuk mendapat informasi mengenai bioekologi dan etnobotani jenis pandan dimanfaatkan oleh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi, serta nilai budaya bagi Orang Rimba sebagai konservasi jenis pandan berdasar kearifan lokal. Selanjutnya, penelitian bertujuan mengetahui bagaimana Orang Rimba memandang flora pandan mereka. Perumusan Masalah Perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana masyarakat Orang Rimba melihat berbagai perspektif/pandangan mengenai spesies pandan baik dari aspek vegetasi ekologi, etnobotani, pelestarian jenis, dan keterkaitan spesies tumbuhan tersebut terhadap budaya lokal mengacu ke arah prosesi maupun ritual adat. Berdasar studi awal penelitian diketahui bahwa populasi jenis pandan di TNBD menurun akibat ancaman dan kurang pelestarian di kawasan tersebut. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah mengkaji bioekologi, etnobotani, dan inventarisasi pandan (Pandanaceae) dimanfaatkan Orang Rimba di TNBD sebagai upaya pelestarian sumberdaya alam hayati berkelanjutan dimasa akan datang. Hasil penelitian bermanfaat sebagai: 1. Bentuk inventarisasi dan dokumentasi bagi Pemerintah Daerah (Pemda) maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan wilayah Jambi setempat terhadap kekayaan flora daerah tersebut. 2. Menjadi bahan pertimbangan upaya mengembangkan konservasi pandan secara in situ di hutan TNBD. 3. Bentuk pelestarian pengetahuan kearifan lokal Orang Rimba melalui kajian etnobotani. 4. Hasil penelitian diharapkan menjadi dasar dan pendorong untuk penelitian lebih lanjut mengenai berbagai komponen ekologi dan aspek biologi pandan baik di ekosistem hutan TNBD maupun ekosistem hutan lainnya. Hipotesis Penelitian Diduga sulitnya mendapatkan jenis pandan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan karet serta sawit oleh Orang Rimba maupun masyarakat luar berakibat terhadap penurunan populasi pandan di TNBD sehingga perlu upaya konservasi berdasar aspek bioekologi dan etnobotani. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dibatasi pada vegetasi ekologi dan karakteristik habitat pandan bernilai ekonomi tinggi serta sumber penghasilan Orang Rimba. Lokasi penelitian dibatasi areal pemukiman dan pemanfaatan pandan pada tiga kelompok Orang Rimba dipimpin Tumenggung masing-masing di TNBD.
4 Kerangka Pemikiran Berdasar latar belakang diatas disusun kerangka pemikiran mengarah pada pelestarian spesies pandan. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
Sumberdaya Jenis Pandan di TNBD
Bioekologi (Indeks Nilai Penting)
Karakteristik habitat
Komposisi floristik dan analisis parameter vegetasi (H’, C, E, D Menhinick, Sebaran dan Asosiasi)
Etnobotani (Indeks Kepentingan Budaya)
Pemanfaatan jenis pandan oleh Orang Rimba
Sifat fisik dan kimia tanah PCA
Kearifan dan tindakan konservasi
Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian bioekologi dan etnobotani pandan di TNBD
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Sistematika Pandan Pandanaceae merupakan tumbuhan berkayu dengan akar tunjang (proproot), berbentuk semak, pohon. Stone (1982); Heywood (1993) menyatakan bahwa suku ini terdiri 3 genus yaitu Pandanus, Freycinetia dan Sararanga, namun setelah perkembangan ilmu pengetahuan, genus Pandanaceae sekarang diklasifikasikan ke dalam 5 genus, yaitu genus Benstonea, Pandanus, Freycinetia, Sararanga, dan Martilledendron. Kata "pandan" berasal dari bahasa Melayu dan digunakan untuk nama semua spesies pandan famili Pandanaceae (Rumphius 1743; Warburg 1900; St John 1963; Keng 1978; Hyam & Pankhurst 1995). Pandanaceae termasuk kelas Monocotyledoneae merupakan famili meliputi kelompok palem-paleman, rerumputan, pisang-pisangan, anggrek dan jahe-jahean (Dahlgren & Clifford 1982; Heywood 1993; Zomlefer 1994). Tergolong satusatunya anggota Pandaniflorae (Dahlgren & Clifford 1982) dan termasuk lebih dari 900 spesies dibagi menjadi empat genus: Freycinetia, Pandanus, Sararanga, dan Martellidendron (Stone 1982; Callmander et al. 2003). Saat ini Pandanaceae disepakati terdiri dari lima genus: Benstonea, Freycinetia, Martellidendron, Pandanus, dan Sararanga. (Callmander et al. 2012). Untuk kawasan Flora Malesiana menjadi tempat sangat penting dalam kaitan dengan kajian keragaman spesies pandan karena hanya di kawasan floristik inilah keempat genus Pandanaceae ditemukan hidup berdampingan (cohabitant), kecuali genus Martellidendron. Peta sebaran pandan di belahan dunia disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Distribusi dan sebaran Pandanaceae (Stone 1983) Pandan berbunga jantan jarang ditemukan karena jangka waktu bunga mekar pendek, bisa sampai tiga hari (Stone 1983). Namun perkembangan buah terlihat jelas dalam waktu lebih lama. Berdasar hal tersebut famili pandan diklasifikasi berdasar individu betina. Callmander et al. (2012) mengelompokkan Benstonea terpisah dari Pandanus berdasarkan ciri morfologi. Benstonea mudah dikenali di lapangan dengan karakter mencakup: 1) bantalan/penampang bunga jantan tunggal (kadang-kadang 2 atau 3) benang sari dengan filamen pendek dan anther sempit; dan 2) drupa betina selalu monokarpel dan alur stigma abaksial. Menurut Heyne
6 (1950) Sekitar 700 spesies pandan tersebar di daerah subtropik maupun tropik, dan 22 jenis dimanfaatkan sebagian besar masyarakat untuk menunjang kebutuhan perekonomian sehari-hari. Secara morfologi Pandanaceae dikelompokkan kedalam tiga genus yaitu: a. Pandanus Tumbuhan semak atau pohon, kadang-kadang bercabang, ovari memiliki ovul soliter pada plasenta sub basal. Didunia terdapat sekitar 600 spesies. Pandan adalah genus suku memiliki penyebaran terbesar daerah dari Afrika, Madagaskar, India, Sri Lanka, daratan Asia Tenggara, Malesia, Australia, dan Pasifik. b. Freycinetia Umumnya dijumpai dalam bentuk tumbuhan memanjat atau epifit, ovari memiliki ovul banyak pada satu lokus dan melekat pada satu atau lebih plasenta parietal. Ciri khusus membedakan dengan marga lain yaitu mempunyai akar panjat, dan tumbuh sebagai epifit. Daun berbentuk pita, bagian tepi dan bawah tulang daun utama berduri. Bunga kecil, berumah dua, tidak mempunyai perhiasan bunga. Karpel biasa banyak, sinkarp dengan stigma tidak bertangkai. Buah pelok dengan bentuk melonjong sampai bundar, berserabut dan biasa berwarna mencolok. Marga Freycinetia terdiri atas 100 spesies. Di New Guinea ditemukan 57 spesies, 10 diantaranya merupakan spesies endemik di Irian Jaya c. Sararanga Marga terdiri 2 spesies dengan bunga panilkoid. Di Irian Jaya hanya ditemukan satu spesies yaitu Sararanga sinousa merupakan endemik di New Guinea Ekologi, Sebaran dan Habitat Pandanaceae Spesies Pandanaceae mempunyai kisaran toleran sangat tinggi terhadap kondisi tanah dan salinitas, sehingga banyak dijumpai baik di daerah becek, berpasir, keadaan air tanah dangkal sampai dalam, hutan rindang atau ternaungi, ditepi sungai dan danau maupun di pantai. Di daerah subtropik dijumpai mulai dari ketinggian 2 sampai 4000 meter diatas permukaan laut. Pandan ditemukan mulai di hutan hujan tropis ke daerah empat musim, beberapa bahkan ditemukan di subtropis. Mereka menyebar dari Afrika Barat, Madagaskar, India, Sri Lanka, Indocina, Malesia, Australia, New Selandia ke Pasifik (Stone 1982; 1983). Pandan tumbuh di habitat dari pantai berpasir dan hutan bakau (mangrove), tepi sungai sampai dataran tinggi dengan ketinggian tertinggi tercatat sekitar 3500 mdpl (Stone 1982). Mereka ditemukan di hutan sekunder (savanna) dan daerah kering berpasir (Keim 2007b). Freycinetia menyebar dari Sri Lanka, Indocina, Malesia sampai ke bagian utara Australia (Queensland) dan Selandia Baru. Meskipun relatif dekat antara Sri Lanka dan India daratan, Freycinetia tidak pernah ditemukan di India daratan. Sararanga menyebar dari Filipina, New Guinea dan pulau berdekatan (Keim 2007b) hingga Kepulauan Solomon (Stone 1982). Martellidendron memiliki daerah penyebaran kecil, mencakup Madagaskar dan Seychelles (Callmander et al. 2003). Pemanfaatan Pandan Menurut Heyne (1950); Hyndman (1984); Purwanto (2011) bagian tumbuhan dimanfaatkaan bervariasi mulai dari tunas, helai daun, kulit batang,
7 tongkol bunga, buah, akar gantung dan kulit akar. Berdasar peringkat kepentingan Pandanus dimanfaatkan untuk tanaman pagar, bahan anyaman, obat-obatan, bahan pembuat atap, bahan pengganti kertas rokok, minuman keras, pewangi, bahan pangan minyak dan sumber karbohidrat. Definisi Etnobotani dan Ruang Lingkup Etnobotani berasal dari kata ethnos dan botany. Ethnos dari bahasa Yunani berarti bangsa dan botany artinya tumbuhan. Istilah etnobotani untuk pertama kali diadopsi Fewkes tahun 1896, istilah tersebut digunakan dalam pustaka dan publikasi antropologi dan menitikberatkan pada nama lokal tumbuhan dan etimologi (Soekarman & Soedarsono 1992). Etnobotani merupakan salah satu bidang ilmu berkaitan kearifan lokal masyarakat tertentu terhadap tumbuhan disekitarnya. Etnobotani perlu dipelajari sebagai upaya pelestarian dan konservasi keanekaragaman spesies tumbuhan serta pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan disekitarnya (Zaman et al. 2013). Kurang lebih ada 400 etnis di Indonesia memiliki hubungan erat dengan tumbuhan obat (Zuhud 2003). Walujo et al. (1992) mengungkapkan ruang lingkup etnobotani dibatasi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mendalami persepsi dan konsepsi masyarakat tentang sumberdaya nabati di lingkungannya. Dalam hal ini adalah upaya untuk mempelajari kelompok masyarakat mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkungan, yang digunakan tidak saja untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan spiritual dan nilai budaya lain. Studi etnobotani membantu masyarakat mencatat atau merekam kearifan lokal yang mereka miliki untuk kehidupan masa mendatang. Studi etnobotani memberi kontribusi besar dalam proses pengenalan sumber alam hidup di suatu wilayah melalui kegiatan pengumpulan kearifan lokal bersama masyarakat setempat (Ndero & Thijssen 2004 ). Beberapa pemanfaatan tumbuhan dalam aspek etnobotani antara lain memanfaatkan tumbuhan sebagai makanan, obat, ritual, kosmetik, pewarna tekstil, bahan bangunan, dan mata uang. Selain itu, etnobotani membahas tentang bagaimana cara pengolahan tumbuhan dan penggunaannya (Choudhary et al. 2008). Penelitian tentang etnobotani sudah dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia, Mairida et al. (2014) melakukan penelitian mengenai kearifan lokal SAD di Jambi dalam memanfaatkan tumbuhan rotan guna berbagai keperluan rumah tangga dan kerajinan lain bersumber dari TNBD. Bagian tumbuhan mereka gunakan pada umumnya berasal dari famili Arecaceae, Bambusaceae, dan Pandanaceae. Berbagai hasil kerajinan dan peralatan rumah tangga dihasilkan dari memanfaatkan spesies tumbuhan seperti rotan, pandan dan bambu. Tidak hanya di daerah Jambi, Purwanto & Munawaroh (2010) mengkaji kearifan lokal masyarakat Papua memanfaatkan spesies buah merah (Pandanus conoideus) sebagai bahan pangan dan zat pewarna alternatif. Dalam penelitian ini lingkup bioekologi dan etnobotani diamati mencakup spesies pandan dan lingkungan berupa habitat tempat tumbuh serta faktor kemungkinan berpengaruh terhadap keberadaan dan kelangsungan pandan di TNBD.
8
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai Juli 2014. Studi bioekologi dilakukan di zona pemanfaatan TNBD, sedang studi etnobotani di beberapa kelompok Orang Rimba berlokasi di Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Lokasi ditemukan spesies pandan di zona pemanfaatan TNBD disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta sebaran plot ditemukan spesies pandan di lokasi zona pemanfaatan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Bahan dan Alat Perlengkapan teknis maupun non teknis penelitian ini adalah kamera digital, perekam suara, panduan wawancara semi terstruktur, kertas label, kertas koran, tali ukur, ring sampler, luxmeter, tali tambang, kardus, karung, peta, GPS, kompas, soil tester, sasak, plastik, skop tanah, spiritus putih, tali rafia, simpul, buku identifikasi dan jurnal untuk determinasi, laptop, thermohigrograf, etiket gantung, dan perlengkapan tulis. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dua tahap yaitu tahap pertama studi bioekologi mencakup vegetasi ekologi untuk medapatkan parameter Indeks Nilai Penting (INP). Studi ekologi mengkaji keterkaitan faktor biotik dan abiotik terhadap jenis pandan, baik itu dari segi spesies tumbuhan dominan pada habitat pandan serta menganalisis kandungan unsur hara tanah tempat kelompok pandan tersebut tumbuh. Tahap kedua yaitu studi etnobotani mencakup Indeks of Cultural Significance (ICS) merupakan indeks kepentingan budaya spesies tumbuhan memiliki berbagai manfaat bagi masyarakat sekitar baik itu tumbuhan obat, penghasil serat, pengawet makanan dan lain-lain.
9 Analisis Vegetasi Data tumbuhan diperoleh dengan analisis vegetasi menggunakan kombinasi metode jalur dan garis berpetak. Metode ini khusus digunakan dalam penarikan contoh tipe vegetasi bawah (semai dan sapihan) dan vegetasi atas (tiang dan pohon) (Setiadi 1989; Soegianto 1994). Penentuan lokasi sampling dilakukan secara purposive pada habitat pandan yang dijumpai. Studi ekologi di lokasi penelitian dengan melakukan penjelajahan di kawasan TNBD. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan emik dan etik. Pendekatan emik dengan wawancara dan observasi partisipasi aktif bersama informan untuk menunjukkan dan menentukan lokasi habitat pandan. Pendekatan etik dengan analisis vegetasi menggunakan metode kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak/plot bersarang (nested plot method) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran tertentu (Kusmana 1997) di lokasi zona pemanfaatan di TNBD. Total plot dibuat berjumlah 35 plot (1.4 ha) pada tiga kelompok Orang Rimba yang dipimpin Tumenggung. Jalur plot dibentuk dengan arah mendaki, menurun perbukitan, dan memotong badan sungai serta rawa. Untuk strata pohon, plot dibangun berukuran (20x20) m2, strata tiang (10x10) m2, strata pancang (5x5) m2, dan strata semai (2x2) m2 (Soerianegara dan Indrawan 2002). Data dikumpulkan meliputi keanekaragaman spesies tumbuhan yang menduduki tiap petak contoh, jumlah individu setiap spesies, luas total petak contoh yang diduduki setiap spesies, jumlah luas bidang dasar setiap spesies, bentuk dan ukuran plot penelitian disajikan pada Gambar 4.
d
a
c
b Keterangan: a = Petak pengukuran untuk strata pohon (20 × 20) m2, dengan diameter batang ≥ 20 cm (dbh). b = Petak pengukuran untuk strata tiang (10 × 10) m2, dengan diameter 10-19 cm (dbh). c = Petak pengukuran untuk strata pancang (5 × 5) m2, dengan tinggi ≥ 1.5 cm. d = Petak pengukuran untuk strata semai (2 × 2) m2, dengan tinggi < 1.5 cm.
Gambar 4 Ilustrasi petak contoh metode garis berpetak/plot bersarang Data dicatat dalam pengamatan vegetasi pada seluruh tingkat pertumbuhan parameter diukur pada setiap petak contoh meliputi: 1. Spesies, jumlah, tinggi bebas cabang, tinggi total dan diameter tingkat pohon lebih besar dari 20 cm [pohon-pohon berdiameter setinggi dada atau dbh (diameter breast height) ± 130 cm dari permukaan tanah atau 20 cm diatas banir].
10 2. Spesies, jumlah, tinggi bebas cabang, tinggi total dan diameter tingkat tiang (pohon-pohon memiliki diameter setinggi dada dari permukaan tanah atau 20 cm diatas banir adalah 10 - 20 cm). 3. Spesies, jumlah, tinggi bebas cabang dan diameter tingkat pancang (anakan pohon dengan tinggi > 1.5 meter atau pohon muda berdiameter setinggi dada < 10 cm). 4. Spesies dan jumlah tingkat semai (anakan pohon mulai dari tingkat kecambah sampai memiliki tinggi < 1.5 meter), dan tumbuhan bawah yaitu tumbuhan selain permudaan pohon misalnya herba, semak dan perdu. Studi Etnobotani Metode ethnodirect sampling untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan oleh Orang Rimba. Metode ini digunakan dalam pengumpulan data material tumbuhan pandan berdasar pada pengetahuan etnik atau suku (Purwanto 2005). Pengumpulan data pemanfaatan dilakukan observasi dan wawancara. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam (in-depth interview), observasi partisipasi aktif, dokumentasi (foto, rekaman, dan spesimen), dan kajian pustaka (Martin 1995). Wawancara dilakukan pada sejumlah informan kunci terdiri dari Tumenggung (pemimpin tertinggi), Induk (sebutan wanita untuk Orang Rimba), warga biasa, dan warga luar Orang Rimba. Pemilihan responden menggunakan metode snowball (bola salju) menitikberatkan pada subyek penelitian (Bernard 2002). Data dikumpulkan melalui pendekatan emik dan etik (Ilmu pengetahuan). Pendekatan emik dengan wawancara, observasi partisipasi pasif dan dokumentasi. Weintré (2003) menyatakan bahwa observasi partisipasi intinya pengamatan langsung pada kearifan lokal Orang Rimba dalam memanfaatkan spesies pandan, konservasi, kondisi hutan, dan cara hidup kelompok diobservasi serta belajar bahasanya. Pengambilan dokumentasi terlebih dahulu meminta izin kepada responden. Pendekatan etik dengan analisis tingkat kepentingan budaya Orang Rimba menggunakan Indeks of Cultural Significance (ICS) (Cunningham 2001; Purwanto 2003). Variabel Pengamatan Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, diuraikan sebagai berikut: Data Primer (Vegetasi) Vegetasi Data vegetasi dihimpun meliputi: nama lokal, nama ilmiah, deskripsi singkat jenis yang dijumpai. Kondisi Lingkungan Habitat Parameter lingkungan habitat diamati meliputi: suhu, kelembaban, pH serta jenis tanah dan kondisi topografi sekitar habitat dengan yaitu ketinggian.
11 Pemanfaatan Data dihimpun meliputi: spesies yang dimanfaatkan, bentuk pemanfaatan, serta pengetahuan lain dimiliki Orang Rimba berkaitan pemanfaatan pandan. Data Sekunder Data sekunder dikumpulkan meliputi kondisi fisik kawasan TNBD: iklim, topografi, aksesibilitas dan komunikasi serta vegetasi. Penentuan Lokasi Sampling Sampling dilakukan secara purposive pada habitat pandan yang dijumpai. Pengambilan spesimen tumbuhan dilakukan untuk setiap spesies pandan yang dijumpai di lapangan. Spesimen tersebut diidentifikasi dan dideterminasi di Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong. Observasi Observasi awal berupa studi/penelitian pendahuluan dilakukan, selanjutnya perlu untuk mengumpulkan data mencakup situasi dan kondisi daerah penelitian secara umum, kondisi Orang Rimba, maupun warga sekitar yang berada disekitar daerah luar TNBD. Wawancara Teknik wawancara menggunakan pedoman wawancara (daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya) serta wawancara bebas dan terbuka (open interview). Penentuan responden untuk diwawancarai secara purposive sampling. Menurut Nasution (1988); Moloeng (1990) dijelaskan bahwa untuk memilih sampel atau informan dalam suatu penelitian bersifat kualitatif yang terpenting adalah menentukan informan kunci yang mempunyai banyak informasi mengenai topik penelitian, sehingga purposive sampling lebih efektif dibanding cara acak. Penentuan responden dilakukan berdasar status sosial dalam masyarakat seperti kepala kampung, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Analisis Data Data vegetasi hutan terkumpul selanjutnya dianalisis dengan nilai-nilai yang menyatakan parameter ekologi sebagai berikut: Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Spesies (DR), Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman spesies (H’), indeks kemerataan spesies (E), indeks dominansi spesies (D), indeks kekayaan spesies (Dmn), kelimpahan spesies pandan, pola sebaran (ID), dan indeks asosiasi/Ochiai index (Oi) antar-spesies. Perhitungan komponen nilai penting menggunakan rumus-rumus menurut Cox (2002); Setiadi (1989) sebagai berikut: Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (penguasaan) spesies-spesies dalam komunitas tumbuhan (Soerianegara & Indrawan 2008). Nilai INP digunakan sebagai parameter mengungkap pentingnya kajian ekologi spesies dalam ekosistem
12 tertentu (Setiawan & Narendra 2012). Tulalessy (2012) menerangkan bahwa nilai INP dihitung berdasar kerapatan, luas bidang dasar dan frekuensi keberadaan, dalam hal ini kondisi vegetasi menggambarkan komposisi spesies pohon penyusun dan spesies dominan. Perhitungan komponen nilai penting menggunakan rumus-rumus menurut Cox (2002); Setiadi (1989) sebagai berikut: a. Kerapatan (K) : K (ind/ha) =
jumlah individu suatu spesies luas seluruh petak contoh
b. Kerapatan Relatif (KR) : KR (%) =
c. Frekuensi (F) : F=
Kerapatan suatu spesies x 100 % Kerapatan total seluruh spesies
jumlah petak dijumpai suatu spesies jumlah seluruh petak contoh
d. Frekuensi Relatif (FR) : FR (%) =
frekuensui suatu spesies x 100 % frekuensi seluruh spesies
e. Dominansi (D) : D (m2 /ha) =
luas bidang dasar suatu spesies dominansi seluruh spesies
f. Dominansi Relatif (DR) : DR (%) =
dominansi suatu spesies x 100 % dominansi dari seluruh spesies
Indeks Nilai Penting (INP) Untuk tingkat semai dan pancang : INP = KR + FR Untuk tingkat tiang dan pohon : INP = KR + FR + DR Total INP untuk setiap strata pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah, dihitung untuk melihat kondisi suatu ekosistem yang menggambarkan kondisi vegetasi. Keterangan: Luas bidang dasar suatu spesies pohon = ¼ π D2 Kategori INP dari spesies pandan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kategori kisaran INP dalam penelitian Nilai INP (%) Kategori ≥ 20 Tinggi 10 – 19.9 Sedang ≤ 9.9 Rendah a
Sumber: Diadaptasi dari Setyaningrum (2009).
Indeks Keanekaragaman Spesies (H’) Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis menggambarkan ciri tingkatan komunitas berdasar organisasi biologinya.
13 Keanekaragaman spesies digunakan untuk menyatakan struktur komunitas dan stabilitas komunitas dalam suatu ekosistem. Keanekaragaman spesies ditentukan dengan menggunakan rumus Shanon Index of General Diversity (Soerianegara & Indrawan 2008): 𝑛 𝑛𝑖 𝑛𝑖 ′ H = − ∑[ 𝑙𝑛 ] 𝑁 𝑁 𝑖=1
Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman Spesies N = Total jumlah individu dari seluruh spesies ni = Banyaknya individu pada spesies ke i ln = Log natural
Besar indeks keanekaragaman jenis telah diklasifikasi oleh Odum (1993) menurut rumus Shannon–Wiener disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kategori nilai indeks keanekaragaman (H’) Shannon – Wiener Nilai Indeks Kategori Keanekaragaman (H’) Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu >3 setiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu 2.1 – 3 setiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu 1.1 – 2 setiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah Keanekaragaman sangat rendah, penyebaran jumlah ≤1 individu setiap spesies sangat rendah dan kestabilan komunitas sangat rendah Indeks Kemerataan Spesies (E) Ludwig & Reynold (1988) menyatakan proporsi kelimpahan jenis tumbuhan dihitung menggunakan indeks kemerataan spesies. Rumus indeks kemerataan spesies secara umum digunakan oleh pakar ekologi menurut (Indriyanto 2008) adalah sebagai berikut : H' E = ln(S) Keterangan : E = Indeks Kemerataan Spesies H’= Indeks Keanekaragaman Spesies
S = Jumlah spesies ln = Logaritma natural
Berdasarkan Magurran (1988) kategori nilai indeks kemerataan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kategori nilai indeks kemerataan (E) Nilai Indeks Kemerataan Kategori 0.96 - 1 Merata 0.76 – 0.95 Hampir merata 0.51 – 0.75 Cukup merata 0.26 – 0.50 Kurang merata 0.00 – 0.25 Tidak merata
14 Indeks Dominansi Spesies (C) Nilai Indeks Dominansi menggambarkan pola dominansi spesies dalam suatu komunitas. Nilai indeks tertinggi adalah 1, menunjukkan bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu spesies atau terpusat pada satu spesies. Jika beberapa spesies mendominansi bersama-sama maka indeks dominansi akan mendekati nol atau rendah. Untuk mengetahui indeks dominansi digunakan rumus sebagai berikut (Misra 1980). n ni 2 C = ∑( ) N i=1
Keterangan: C = Indeks dominansi-Simpson ni = Jumlah individu spesies i N = Total dari jumlah seluruh individu
Odum (1993) mengkategorikan indeks dominansi Simpson bernilai antara 01 dengan deskripsi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kategori nilai indeks dominansi (C) Nilai indeks dominansi Kategori > 0.05 Dominan / tinggi 0.02 – 0.05 Sub dominan / sedang < 0.02 Non dominan / rendah a
Jika nilai indeks mendekati 0 maka indeks semakin rendah atau dominan oleh satu spesies (tidak ada jenis yang mendominansi), dan jika nilai indeks mendekati 1 maka indeks besar atau di dominansi beberapa spesies (terdapat jenis yang mendominansi).
Indeks Kekayaan Spesies/Diversitas Menhinick (Dmn) Untuk mengukur kekayaan spesies dalam unit pengamatan, pendekatan digunakan adalah Indeks Diversitas Menhinick (Magurran 1988). Indeks kekayaan Menhinick (Dmn) menunjukkan kekayaan spesies suatu komunitas, dimana besar nilai ini dipengaruhi banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Nebath (2008) menjelaskan bahwa indeks kekayaan menggambarkan total jumlah spesies dalam komunitas. Untuk mengetahui indeks kekayaan spesies digunakan rumus sebagai berikut: 𝑆 Dmn = √N Keterangan : S = Jumlah spesies yang ditemukan (banyaknya spesies) N = Jumlah total individu dari seluruh spesies yang tercatat
Dmn = Indeks Menhinick ln = Logaritma natural
Berdasarkan Magurran (1988), kategori indeks kekayaan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kategori nilai indeks kekayaan (Dmn)/diversitas Menhinick Nilai Dmn Kriteria Dmn ≥ 4.0 kekayaan jenis tergolong tinggi Dmn = 2.5 – 3.9 kekayaan jenis tergolong sedang Kekayaan jenis tergolong rendah Dmn < 2.5
15 Pola Sebaran (Dispersi) / Indeks Morisita (ID) Data vegetasi berupa jenis komposisi floristik diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui pola sebaran tumbuhan pandan, struktur tegakan dan asosiasi dengan tumbuhan lain. Untuk mendapatkan pola sebaran pandan dilakukan perhitungan rasio ragam (Ludwig & Reynolds 1988) sebagai berikut: ̅= 𝑋
2
𝑆 =
∑ 𝑥𝑖 . 𝑓𝑖 ∑ 𝑓𝑖
=
𝑛 𝑁
̅. 𝑛 ∑(𝑥2𝑖 . 𝑓𝑖 ) − 𝑋
𝑁−1
Keterangan : xi fi 𝑋̅ n N S2
= jumlah individu = frekuensi banyaknya jumlah individu ditemukan = nilai rata-rata (jumlah individu/total plot) = jumlah total individu = jumlah plot = varians/keragaman
Indeks Dispersi (ID): ID=
𝑺𝟐 ̅ 𝑿
bila nilai: ID > 1 berarti menyebar secara berkelompok, ID < 1 berarti menyebar secara merata, ID = 1 berarti menyebar secara acak. Indeks Asosiasi / Ochiai Index (Oi) Analisis asosiasi dilakukan pada spesies penyusun utama memiliki INP ≥10 % yang menggunakan Tabel contingency 2x2 (Ludwig & Reynolds 1988). Bentuk tabel contingency 2x2 untuk 2 spesies disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Contingency 2x2 untuk perhitungan asosiasi Spesies A Spesies B Jumlah Ada Tidak ada Ada a b a+b Tidak ada c d c+d Jumlah a+c b+d N=a+b+c+d a
Keterangan: a = pengamatan jumlah titik pengukuran yang menandung spesies A dan spesies B; b = pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A saja; c = pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies B saja, d = pengamatan jumlah titik pengukuran yang tidak mengandung spesies A dan spesies B; N = jumlah titik pengamatan.
Dalam melakukan penelitian, maka terlebih dahulu ditetapkan hipotesis sebagai bahan uji terhadap hasil akhir yang ingin dicapai, pengujian dilakukan menggunakan selang kepercayaan 95% sebagai berikut: Ho: Tumbuhan pandan berasosiasi dengan tumbuhan lain dalam pertumbuhannya (jika X2 hitung > X2 tabel, maka tolak H0),
16 Hi: Tumbuhan pandan tidak berasosiasi dengan tumbuhan lain dalam pertumbuhannya (jika X2 hitung < X2 tabel, maka terima H0) Kriteria uji dilakukan dengan persamaan sebagai berikut: 𝑋2 =
∑𝑛𝑖=1(𝑂 − 𝐸)2 𝐸
Keterangan : O = Frekuensi hasil pengamatan E = Frekuensi harapan df = derajat bebas yaitu (r-1)(c-1), α = 0.05 (tingkat signifikansi 5 %)
Untuk menentukan keberadaan 2 jenis antara pandan dengan tumbuhan lain berasosiasi atau saling bebas, maka dilakukan uji khi-kuadrat dengan persamaan dari rumus sebelumnya melalui penjabaran sebagai berikut (Ludwig & Reynolds 1988): [𝑎 − 𝐸(𝑎)]2 [𝑏 − 𝐸(𝑏)]2 [𝑐 − 𝐸(𝑐)]2 [𝑑 − 𝐸(𝑑)]2 𝑋 = + + + 𝐸(𝑎) 𝐸(𝑏) 𝐸(𝑐) 𝐸(𝑑) 2
Maka nilai harapan untuk a, b, c, dan d adalah: E(a) = (a+b)(a+c)/N E(c) = (c+d)(a+c)/N E(b) = (a+b)(b+d)/N E(d) = (c+d)(b+d)/N Jika X 2 hitung > X 2 tabel, maka hipotesis terdapat asosiasi antara spesies A dan B diterima. Terdapat dua tipe asosiasi, yaitu: 1) Positif, jika nilai observasi a > E(a), kedua spesies lebih sering terdapat bersama-sama daripada sendiri-sendiri (bebas satu sama lain). 2) Negatif, jika nilai observasi a < E(a), kedua spesies lebih sering terdapat sendiri-sendiri, dari pada bersama-sama. Nilai Chi-square hitung kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square tabel pada derajat bebas = 1, pada taraf uji 1% dan 5% (nilai 3.84). Apabila nilai Chi-square Hitung > nilai Chi-square tabel, maka asosiasi bersifat nyata. Apabila nilai Chi-square Hitung < nilai Chi-square tabel, maka asosiasi bersifat tidak nyata (Ludwig & Reynold 1988). Hasil perhitungan asosiasi jenis pohon memiliki INP ≥ 10%. Selanjutnya diuji dengan perhitungan Indeks Asosiasi (Ludwig & Reynolds 1988): a Oi = √a + b . √a + c Berdasarkan rumus tersebut, maka terdapat 2 jenis asosiasi yaitu: (1) asosiasi positif, apabila nilai a > E (a) berarti pasangan jenis terjadi bersama lebih sering dari yang diharapkan; (2) asosiasi negatif, apabila nilai a < E (a) berarti pasangan jenis terjadi bersama kurang sering dari yang diharapkan. Berikut kategori indeks asosiasi pasangan spesies dikemukakan Ludwig & Reynolds (1988) disajikan pada Tabel 7.
17 Tabel 7 Kategori indeks asosiasi pasangan spesies Indeks asosiasi Keterangan 1.00 – 0.75 Sangat Tinggi (ST) 0.74 – 0.49 Tinggi (T) 0.48 – 0.23 Rendah (R) <0.22 Sangat Rendah (SR) Indeks Kepentingan Budaya / Index Cultural Significance (ICS) Untuk mengukur kepentingan jenis tumbuhan pandan bagi kehidupan Orang Rimba di kawasan TNBD dilakukan analisis indeks kepentingan budaya meliputi nilai kualitas, intensitas kegunaan, dan tingkat kesukaan (Lampiran 6) biasa disebut Index of Cultural Significance (ICS). Penghitungan ICS berdasar pada formula yang dikembangkan Turner (1988) telah dimodifikasi oleh Purwanto (2007). Untuk menghitung ICS digunakan rumus sebagai berikut: n
ICS= ∑(q . i . e)nᵢ i=1
Keterangan: ICS = Index of Cultural Significance q = Nilai kualitas (quality value), dihitung dengan cara memberikan skoring atau nilai kualitas dari suatu jenis i = Nilai intensitas (intensity value) yaitu menggambarkan intensitas pemanfaatan dari spesies tumbuhan e = Nilai eksklusivitas (exclusivity value) yaitu tingkat kebutuhan tergantung budaya. Menunjukkan urutan pemanfaatan tumbuhan yang kesekiannya ni = Nilai ke-i pemanfaatan ke n (terakhir) dari suatu jenis tumbuhan
Dalam menentukan kategori hasil perhitungan ICS dari pemanfaatan berbagai spesies pandan dan kategori strategi konservasi tumbuhan disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8 Kategori kisaran ICS dalam penelitian Nilai ICS Kategori Kode >20 Tinggi T 10 – 19.9 Sedang SD 1 – 9.9 Rendah R a
Sumber: Diadaptasi dari Setyaningrum (2009).
Tabel 9 Kategori strategi konservasi tumbuhan Kategori pembanding INP ICS Tinggi Rendah
a
Tinggi / sedang
Tinggi / sedang
Rendah
Tinggi/ sedang
Rendah
Rendah
Sumber: Diadaptasi dari Batoro (2012).
Strategi konservasi Mempertahankan luasan habitat dan meningkatkan intensitas pemanfaatan spesies Mempertahankan luasan habitat dan intensitas pemanfaatan spesies Membudidayakan dan menurunkan intensitas pemanfaatan spesies Membudidaya dan dipertahankan intensitas pemanfaatan spesies
18 Analisis Komponen Utama Penentuan karakteristik habitat sebagai faktor paling berkaitan erat dengan kehadiran kelompok pandan dalam komunitas dengan analisis statistik korelasi Minitab dan XL STAT 2014. Karakteristik faktor abiotik dengan keberadaan kelompok pandan dalam komunitasnya menggunakan metode principal component analysis (PCA). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Principal Component Analysis atau Analisis Komponen Utama untuk melihat secara serentak keseluruhan hubungan antar variabel yang diamati guna keperluan interpretasi dan analisis hubungan. Metode PCA membentuk suatu kombinasi hubungan linear maksimal antara distribusi spesies terhadap variabel lingkungannya. Diagram ordinasi yang dihasilkan menggambarkan pola variasi suatu komunitas dan juga distribusi spesies sepanjang variabel-variabel lingkungannya. Hal tersebut terlihat dari eigenvalues yang dihasilkan dari analisis ini.
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Secara geografis Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) terletak di antara 102o31’37” sampai 102o48’27” Bujur Timur dan antara 1o44’35” sampai 2o03’15” Lintang Selatan. Secara administratif TNBD terletak di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Tebo. Kawasan TNBD memiliki luas sebesar 60500 Ha, sebagian berada di wilayah Kabupaten Batanghari + 41259 Ha (70%), sisanya berada di Kabupaten Tebo + 12483 Ha (20%), dan Kabupaten Sarolangun + 6758 Ha (10%). Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Secara umum, Taman Nasional memiliki topografi bervariasi mulai dari datar, bergelombang, dan perbukitan dengan kisaran 50-438 mdpl. Ada 12 bukit utama yang terdapat di TNBD yaitu Bukit Kuaran, Bukit Sungai Punai/Punai Banyak, Bukit Berumbung, Bukit Lubuk Semah, Bukit Sungai Keruh Mati, Bukit Panggang, Bukit Enau, Bukit Terenggang, Bukit Pal, Bukit Suban, Bukit Tiga Beradik, dan Bukit Bitempo. Kawasan TNBD memiliki jenis tanah didominasi oleh podsolik. Sifat tanah podsolik umumnya miskin hara dan mudah tererosi pada kondisi terbuka. Pengelolaan TNBD dikembangkan dalam enam sistem zonasi kawasan, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona pemanfaatan terbatas, zona pemanfaatan pariwisata alam, dan zona rehabilitasi. Zonasi TNBD ditetapkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2007 dalam Buku Informasi Mengenal Taman Nasional Bukit Duabelas adalah sebagai berikut: Zona Inti Zona inti adalah kawasan steril dari aktivitas manusia, dengan ekosistem rapuh dan rentan terhadap gangguan, terutama flora dan fauna terancam punah. Kawasan ini merupakan kawasan perwakilan semua ekosistem TNBD yang di dalam banyak terdapat sumberdaya utama bagi kehidupan fauna karena merupakan habitat sumber plasma nutfah penting. Zona inti berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi kawasan bawah. Zona Religi Zona ini digunakan untuk keperluan ritual adat Orang Rimba, penelitian terbatas dan kegiatan pemantauan oleh petugas TNBD. Dalam zona ini dilarang memanen, memindahkan atau mengganggu sumberdaya alam, kecuali keperluan ritual adat Orang Rimba. Dalam zona ini dilarang mendirikan sarana dan prasarana umum, kecuali kepentingan pengamanan kawasan. Zona ini merupakan kawasan yang memiliki nilai sakral bagi Orang Rimba dan ditabukan untuk pengunjung luar. Zona Rimba Zona rimba mirip dengan zona inti. Perbedaan dengan zona inti hanyalah zona rimba tidak steril seperti zona inti, karena zona rimba merupakan ruang kehidupan Orang Rimba. Dalam zona ini dilarang memanen, memindahkan atau mengganggu sumber daya alam, kecuali untuk kebutuhan hidup Orang Rimba berupa komoditi pangan, komoditi jual, dan biota obat hutan.
20 Zona Tradisional Zona tradisional dimanfaatkan untuk aktivitas Orang Rimba. Zona ini digunakan sebagai wilayah relokasi dan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat Orang Rimba. Selain itu, zona tradisional dimanfaatkan sebagai ruang interaksi Orang Rimba dengan masyarakat luar dilakukan di zona ini. Zona Pemanfaatan Zona pemanfaatan terdiri atas zona pemanfaatan terbatas dan zona pemanfaatan pariwisata. Zona ini untuk perkebunan Orang Rimba yang sudah ada selama ini. Perkebunan tidak diperkenankan diperjual-belikan atau diperluas dan wajib melakukan pengkayaaan spesies tanaman endemik kawasan. Zona pemanfaatan dikembangkan untuk zona pengembangan sarana dan prasarana ekowisata, program interpretasi, kegiatan rekreasi, laboratorium alam terbuka, pengembangan budidaya tanaman hias dan biota obat hutan, serta pengembangan Pusat Penyelamatan Satwa Endemik Sumatera, dan pengembangan penangkaran satwa liar. Zona Rehabilitasi Zona rehabilitasi merupakan areal kawasan mengalami kerusakan ekosistem dan dipulihkan kembali melalui proses intervensi. Zona ini tertutup bagi semua kegiatan kecuali intervensi pemulihan, pendidikan dan penelitian. Setelah proses intervensi berakhir, tipe zona untuk eks-areal rehabilitasi disesuaikan dengan keperluan konservasi kawasan. Kawasan TNBD mencakup tiga wilayah kabupaten dengan luas areal keseluruhan berdasar data sementara BKSDA Jambi (2009) meliputi areal seluas 58.300 Ha dengan rincian luas menurut masingmasing Kabupaten sebagai berikut: : 65 % Kabupaten Batanghari Kabupaten Sarolangun : 15 % Kabupaten Tebo : 20 % Luasan merupakan data sementara sebab pada belahan kawasan di Kabupaten Batanghari garis batas luar kawasan belum ‘temu gelang’ (BKSDA Jambi 2004). Letak geografis kawasan TNBD disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Letak geografis kawasan TNBD Uraian Letak a. Geografis b. Administratif
Batas a. Batas alam b. Batas buatan
a
Utara
Timur
Selatan
01 44’35” LS Kec. Marosebo Ulu, Kab. Batanghari
102 31’37” BT Kec. Batin XXIV, Kab. Batanghari
02 03’15” LS Kec. Air Hitam, Kab. Sarolangun
PT. Limbah Kayu Utama dan PT. Sawit Desa Makmur
PT. Wana Perintis
Kebun dan pemukiman masyarakat desa-desa di Kec. Air Hitam (Semurung, Baru, Jernih, Lubuk Jering, Pematang Kabau dan Bukit Suban
o
Sumber: BKSDA Jambi (2004)
o
o
Barat 102 48’27” BT Kec. Tebo Ilir, Kab, tebo o
Sungai Bernai Pemukiman Transmigran Kuamang Kuning (SP A, SP E, dan SP G).
21 Iklim, Topografi, Hidrologi, dan Tanah Schmidt dan Ferguson mengklasifikasikan iklim di TNBD dalam tipe iklim A dengan curah hujan antara 3294-3669 mm/tahun dan suhu udara 32 – 40 oC serta kelembaban udara 80% - 94%. Kondisi topografi, hidrologi. dan tanah kawasan TNBD disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Kondisi topografi, hidrologi, dan tanah kawasan TNBD Deskripsi Topografi Belahan Selatan Belahan Utara Hidrologi
Uraian Perbukitan Datar Bergelombang Kawasan hulu dari sejumlah sungai
Tanah
Jenis tanah didominasi oleh Podsolik a Sumber: BKSDA Jambi (2004).
Keterangan Ketinggian 50 – 438 mdpl Daerah Aliran Sungai (DAS) penting di dalam dan sekitar kawasan meliputi: Sub DAS Air Hitam: Anak Sungai Tembesi Sub DAS Jelutih dan Serengam: Anak Sungai Tembesi Sub DAS Kejasung Kecil, Kejasung Besar, Sungkai dan Makekal: Anak Sungai Tabir Sub DAS Bernai dan Seranten: Anak Sungai Tabir Sifat tanah podsolik umumnya miskin hara dan mudah tererosi pada kondisi terbuka
Sekilas Mengenai Orang Rimba Orang Rimba/masyarakat Suku Anak Dalam merupakan bagian dari kelompok minoritas berada di wilayah Provinsi Jambi dengan populasi 2951 kepala keluarga atau 12909 jiwa tersebar di tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo Tebo dan Kabupaten Sarolangun. Secara garis besar Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi dibagi dalam tiga kelompok besar berdasar wilayah penghidupan, yaitu Orang Rimba Bukit Dua Belas, hidup menyebar di kawasan TNBD dengan populasi saat ini sekitar 1500 jiwa. Selanjutnya Orang Rimba jalan lintas hidup menyebar di sepanjang jalan lintas Sumatera dari batas Jambi-Sumsel hingga batas Jambi-Sumbar. Berdasarkan Bioregion, kehidupan Orang Rimba tahun 2008 terdapat 1700 jiwa di kawasan ini tersebar dalam banyak kelompok. Populasi Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) sejumlah 450 jiwa (Handayani 2009). Kearifan Orang Rimba Sebagaimana suku terasing lain di Indonesia, Orang Rimba selama hidupnya dan segala aktivitas dilakukan di hutan, mereka memiliki budaya dan kearifan khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan bagi mereka merupakan harta tidak ternilai harganya, tempat mereka hidup, beranak pinak, sumber pangan, sampai tempat dilakukan adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Salah satu kearifan lokal Orang Rimba adalah meramu. Meramu adalah aktivittas Orang Rimba mencari berbagai jenis tanaman, baik tanaman obat-obatan, untuk dikonsumsi, maupun dijual ke desa sekitar hutan. Flora rimba banyak menyimpan puluhan jenis tumbuhan berkhasiat obat. Beberapa diantaranya adalah tumbuhan
22 bedaro putih, pulai, kayu selusuh, pinang, petaling, dan petai. Khasiatnya macammacam dan telah digunakan Orang Rimba sejak lama sebagai pengobatan tradisional mereka. Orang Rimba memiliki kearifan lokal dalam bidang menganyam. Orang Rimba terkenal dengan warisan budaya eksotis sangat terkenal dengan potensi menganyam. Orang Rimba memiliki kemampuan memanfaatkan hasil hutan non kayu sebagai alat pemenuh kebutuhan, seperti ambung terbuat dari bahan dasar rotan serta menganyam daun rumbas dan spesies pandan menjadi tikar merupakan bentuk kearifan lokal dimiliki Orang Rimba, yakni nilai luhur terkandung dalam kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Handayani 2009). Pada dasarnya, Orang Rimba menganggap tabu menambah harta benda tidak termasuk kebutuhan pokok atau memiliki barang menyulitkan untuk berpindah. Menurut kosmologi Orang Rimba, mereka tidak terdorong atau tergoda menambah harta benda. Alasan itulah menyebabkan mereka tidak memiliki rasa kecemburuan dan iri hati (Weintré 2003). Pakaian dikenakan Orang Rimba tergolong unik. Dahulu, sebelum mengenal kain, pakaian terbuat dari kulit kayu terap (Artocarpus elasticus) yang dipukul pukul hingga lembut. Setyowati (2003) menyebutkan busana laki-laki memakai kancut (cawot), sedang wanita memakai kain panjang (kemben). Pemukiman Orang Rimba di Hutan TNBD, mereka tinggal dengan memanfaatkan sudung (rumah Orang Rimba) sebagai tempat berteduh dari terik matahari di siang hari dan dingin angin malam di malam hari, sebagian ada menggunakan atap serdang dan rumbia, namun dinding terbuka dan hanya beralas kayu. Tradisi nomaden dan ketergantungan pada hutan salah satu tradisi unik Orang Rimba adalah tradisi belangun dan bemalom. Istilah belangun merupakan adat Orang Rimba berupa perpindahan tempat tinggal sebab ada kematian anggota satu kelompok masyarakat Orang Rimba. Tujuannya adalah agar orang yang ditinggal tidak berlarut dalam kesedihan dan pergi dari kesialan. Bemalom (merantau) adalah kegiatan berpindah, meramu, dan berburu Orang Rimba untuk memperoleh persedian bahan makanan sebelum masa panen ladang dengan menginap sementara di hutan tempat meramu dan berburu. Bemalom diisyaratkan mendirikan sudung untuk tempat istirahat dan berlindung. Bioekologi Pandan Bioekologi merupakan kajian ilmu mengenai keterkaitan tumbuhan terhadap faktor pendukung mencakup komponen biotik dan abiotik dalam komunitas. Faktor biotik meliputi komposisi floristik yang dapat mengukur tingkat keanekaragaman spesies vegetasi. Sementara faktor abiotik meliputi habitat fisik dan kimia yang mendukung tempat tumbuh seperti karakteristik tanah dan hara terkandung penentu kualitas habitat. Penelitian bioekologi pandan di kawasan TNBD belum pernah dilakukan, padahal ini sangat penting mengingat peran pandan sebagai tumbuhan dimanfaatkan Orang Rimba di kawasan tersebut. Spesies pandan digunakan sehari-hari sebagai bahan baku membuat kerajinan dan ritual keagamaan. Apabila keberadaan pandan punah akan mengakibatkan kestabilan ekosistem di TNBD terganggu yang berdampak pada hilangnya spesies tersebut. Selanjutnya Orang
23 Rimba tidak lagi membuat kerajinan yang menunjang perekonomian dan mempertahankan kearifan tradisional mereka. Oleh karena itu perlu upaya konservasi pandan. Inventarisasi dan analisis status keanekaragaman hayati menjadi langkah awal membangun landasan memformulasi strategi konservasi tersebut. Komposisi Floristik pada Habitat Pandan di TNBD Komposisi spesies tumbuhan suatu ekosistem diartikan sebagai variasi flora disajikan pada daftar floristik tumbuhan penyusun komunitas (Soerianegara & Indrawan 2005). Daftar floristik berguna dalam analisis sebagai salah satu parameter mengetahui keanekaragaman tumbuhan (species diversity) suatu komunitas. Hasil eksplorasi dijumpai enam spesies pandan (Pandanaceae) terbagi dua genus berbeda yaitu Benstonea dan Pandanus. Genus Benstonea terdiri atas B. atrocarpa (Griff.) Callm. & Buerki dan B. kurzii (Merr.) Callm. & Buerki. Sementara Pandanus terdiri atas P. labyrinthicus Kurz ex. Miq, P. immersus Ridl., P. furcatus Roxb. dan P. amaryllifolius Roxb. Spesies pandan tersebut dijumpai tersebar pada beberapa ketinggian dengan kondisi tempat tumbuh hampir seragam. Indeks nilai penting (important value index) merupakan parameter kuantitatif untuk menyatakan tingkat penguasaan atau pentingnya peran spesies dalam vegetasi suatu ekosistem. Apabila INP spesies bernilai tinggi dibanding spesies lain di dalam suatu ekosistem, maka keberadaan spesies ini sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut. Hal ini karena mungkin akibat kerapatan tinggi atau penyebaran merata atau penguasaan basal area lebih luas atau kombinasi dari kedua atau ketiganya (Soerianegara dan Indrawan 2005; Indriyanto 2006; Fachrul 2007). Indeks nilai penting pada kawasan ini memberi gambaran tentang jenis yang mendominasi dan kerapatan tumbuhan pada vegetasi pandan di TNBD. Kerapatan jumlah individu tumbuhan pada masing-masing strata disajikan pada Gambar 5. 70000
61143
Kerapatan (ind/ha)
60000 50000 40000 30000 20000
6286
10000
1049
313
0
semai
pancang tiang Strata pertumbuhan
pohon
Gambar 5 Total jumlah individu dari semua spesies tumbuhan pada tiap strata pengamatan di TNBD
24 Kelimpahan spesies pandan pada strata cenderung dominan pada strata pancang dibanding strata semai dengan dibuktikan banyaknya individu yang ditemukan pada strata tersebut. Keseluruhan populasi dilihat dari jumlah individu per hektar. Hasil analisis vegetasi (Gambar 5) menunjukkan proporsi jumlah individu pada tiap strata. Strata semai menggambarkan kerapatan jumlah individu tertinggi, sedangkan strata yang semakin dewasa memperlihatkan kecenderungan jumlah individu semakin menurun dengan strata pohon merupakan proporsi terendah. Fachrul (2007) menjelaskan bahwa indeks kerapatan memberikan gambaran suatu komposisi spesies dalam komunitas. Bila dihubungkan dengan pendapat Crow et al. (1994), dominansi yang dikemukakan merupakan tipe keanekaragaman dicirikan oleh distribusi horisontal dan ukuran tumbuhan. Selain itu dominansi suatu spesies pada tiap tingkatan vegetasi memberi petunjuk daya survival suatu spesies dalam komunitas hutan. Spesies selalu dominan pada tiap tingkatan dikatakan memiliki daya survival tinggi. Komposisi Floristik Strata Semai pada Habitat Pandan Komposisi spesies strata semai dengan famili terbanyak di TNBD terdiri 44 famili dari 106 spesies. Pada strata semai ditemukan famili Arecaceae lebih banyak terdiri 23 spesies. Selanjutnya daftar tersebut diikuti famili Dipterocarpaceae dengan 10 spesies, disusul famili Burseraceae dan Pandanaceae masing-masing 5 spesies. Kemudian diikuti famili Lauracecae, Leguminosae, dan Melastomaceae masing-masing 4 spesies dan seterusnya. Daftar 10 spesies tumbuhan dengan INP tertinggi disajikan pada Tabel 12. Data INP tumbuhan bawah dan fase semai selengkapnya disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Tabel 12 Sepuluh spesies tumbuhan strata semai dengan INP tertinggi K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
Sapotaceae
31.43
8.13
0.35
6.4
14.53
Mezzetiopsis sp
Annonaceae
14.29
3.70
0.15
2.75
6.45
Garcinia sp2
Clusiaceae
13.58
3.52
0.15
2.75
6.27
Kedundung
Santiria dacryodifolia
Burseraceae
7.86
2.04
0.23
4.21
6.25
5
Beyung
Canarium pilosum
Burseraceae
14.29
3.70
0.12
2.2
5.90
6
Pandan gegas
Benstonea kurzii
Pandanaceae
14.29
3.70
0.12
2.2
5.90
7
Balik angin
Homalanthus populneus
Euphorbiaceae
13.58
3.52
0.12
2.2
5.72
8
Kabau
Achidendron bubalinum
Leguminosae
13.58
3.52
0.12
2.2
5.72
9
Simpur jangkang
Dillenia eximia
Dilleniaceae
13.58
3.52
0.12
2.2
5.72
Medang
Litsea firma
Lauraceae
9.29
2.41
0.18
3.3
5.71
No
Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
1
Balam merah
Palaquium gutta
2
Mempisang
3
Kayu pisang
4
10
Tabel 12 menunjukkan spesies Palaquium gutta memiliki INP tertinggi 14.53% kemudian disusul Mezetiopsis sp dengan nilai INP 6.45%. Kedua spesies ini menggambarkan kemampuan adaptasi terbaik pada fase ini, baik segi kerapatan maupun penyebaran. Hal ini didukung kemampuan fekunditas (jumlah keturunan dihasilkan) dari keduanya sangat tinggi, dimana berdasar hasil observasi ditemukan jumlah semai sangat melimpah terutama dibawah tegakan
25 induk, termasuk strata pohon tergolong famili Dipterocarpacae dan Lauraceae. Pada strata ini ditemukan juga spesies Benstonea kurzii dengan nilai INP 5.9%. Komposisi Floristik Strata Pancang pada Habitat Pandan Komposisi spesies strata pancang dengan famili terbanyak di TNBD terdiri 40 famili dari 95 spesies. Pada strata ini memperlihatkan famili Arecaceae lebih banyak terdiri 23 spesies. Selanjutnya daftar tersebut diikuti famili Pandanaceae, Lauraceae, dan Rubiaceae masing-masing 5 spesies, disusul famili Euphorbiaceae 4 spesies dan seterusnya. Daftar 10 spesies tumbuhan dengan INP tertinggi disajikan pada Tabel 13. Data INP tumbuhan strata pancang selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. Tabel 13 Sepuluh spesies tumbuhan strata pancang dengan INP tertinggi K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
Pandanaceae
35.00
8.90
0.20
2.98
11.88
Benstonea atrocarpa
Pandanaceae
29.29
7.45
0.15
2.24
9.69
Pometia pinnata
Sapindaceae
17.86
4.55
0.26
3.87
8.42
Mengkuang tikus
Pandanus labyrinthicus
Pandanaceae
22.86
5.82
0.12
1.79
7.61
5
Kayu arang
Diospyros buxifolia
Ebenaceae
16.43
4.18
0.20
2.98
7.16
6
Mengkuang ladang
Pandanus furcatus
Pandanaceae
18.58
4.73
0.15
2.24
6.97
7
Rotan cikoi
Daemonorops geniculata
Arecaceae
10.00
2.55
0.23
3.43
5.98
8
Rotan sego putih
Calamus caesius
Arecaceae
7.86
2.00
0.26
3.87
5.87
9
Rumbas tapo
Pandanus immersus
Pandanaceae
14.29
3.64
0.09
1.34
4.98
Rotan udang/siuh
Korthalsia echinometra
Arecaceae
10.00
2.55
0.15
2.24
4.79
No
Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
1
Pandan gegas
Benstonea kurzii
2
Mengkuang sabut
3
Kayu kasai
4
10
Pada strata ini di dominasi oleh 5 spesies pandan (Tabel 13) dimanfaatkan Orang Rimba sebagai bahan baku pembuatan anyaman tikar, sumpit, dan ritual tradisional. Jenis B. kurzii merupakan tumbuhan INP tertinggi (11.88%) pada strata pancang, kemudian B. atrocarpa dengan INP (9.69%), Pometia pinnata dengan INP (8.42%), P. labyrinthicus dengan INP (7.61%). Jenis B. kurzii dan B. atrocarpa tergolong famili Pandanaceae memiliki selisih INP tidak begitu besar. Hasil observasi lapang, spesies ini hidup berkelompok dan kebanyakan tumbuh di daerah perairan dan rawa berlumpur di hutan TNBD, namun letak lokasi spesies pandan lain sangat jauh dan sudah masuk ke zona inti. Pada strata ini spesies Pometia pinnata memiliki kemampuan adaptasi lebih baik dibanding spesies lain, diduga pada strata ini spesies tersebut masih mampu berkompetisi terhadap spesies lain. Selain itu sebaran cukup tinggi dimungkinkan karena buah spesies P. pinnata disukai burung sehingga sangat membantu penyebaran lebih jauh dan merata. Komposisi Floristik Strata Tiang pada Habitat Pandan Komposisi spesies strata tiang dengan famili terbanyak di TNBD terdiri 22 famili dari 83 spesies. Pada strata ini memperlihatkan famili Dipterocarpaceae lebih banyak terdiri 14 spesies, selanjutnya daftar tersebut diikuti famili Lauraceae terdiri 13 spesies, kemudian diikuti famili Anacardiaceae dan Clusiaceae masing-masing 6 spesies. Pada daftar tersebut famili pandan absen.
26 Daftar 10 spesies tumbuhan dengan INP tertinggi disajikan pada Tabel 14. Data INP tumbuhan strata tiang selengkapnya disajikan pada Lampiran 4. . Tabel 14 Sepuluh spesies tumbuhan strata tiang dengan INP tertinggi No 1
Nama lokal Balam merah
Sapotaceae
K (ind/ha) 20.00
KR (%) 7.62
Nama Ilmiah
Famili
Palaquium gutta
0.35
FR (%) 4.98
D (m2/ha) 0.10
DR (%) 4.26
INP (%) 16.86
F
2
Asam-asam
Garcinia atroviridis
Clusiaceae
12.15
4.63
0.38
5.40
0.07
2.98
13.01
3
Buah bunto
Garcinia sp
Clusiaceae
7.86
3.00
0.26
3.70
0.10
4.26
10.96
4
Mempening
Quercus lucida
Fagaceae
10.00
3.81
0.26
3.70
0.07
2.98
10.49
5 6
Medang Bengkal timah
Litsea sp1 Koordersiodendron pinnatum
Lauraceae Anacardiaceae
11.43 8.58
4.36 3.27
0.29 0.2
4.12 2.85
0.04 0.05
1.71 2.13
10.19 8.25
7
Kedundung
Santiria dacryodifolia
Burseraceae
8.58
3.27
0.20
2.85
0.05
2.13
8.25
8
Mahang
Macaranga kingii
Eurphobiaceae
9.29
3.54
0.15
2.14
0.06
2.56
8.24
Terap Merpayang
Artocarpus elasticus Scaphium macropadum
Moraceae Malvaceae
7.86 7.86
3.00 3.00
0.15 0.09
2.14 1.28
0.03 0.04
1.28 1.71
6.42 5.99
9 10
Pada strata tiang spesies Palaquium gutta dengan INP (16.86%), Garcinia atroviridis dengan INP (13.01%), kemudian diikuti Garcinia sp dengan INP (10.96%), lalu Quercus lucida dengan INP (10.49%), Litsea sp1 dengan INP (10.19%), dan seterusnya. Terlihat bahwa spesies P. gutta mendominasi tingkatan ini diikuti spesies G. atroviridis dan Garcinia sp. Diduga Palaquium gutta memiliki kemampuan adaptasi cukup baik, sehingga spesies ini lebih banyak ditemukan dikawasan pada strata tiang dengan selisih INP tinggi karena kemampuan spesies ini beradaptasi lebih baik di lingkungan basah dan berkelembaban tinggi. Spesies mempunyai INP tinggi dan sangat tinggi tersebut di atas dalam ekologi tumbuhan dikenal sebagai spesies istimewa (exclusive) terkait nilai kuantitatif baik frekuensi, kerapatan, atau dominansi. Komposisi Floristik Strata Pohon pada Habitat Pandan Komposisi spesies strata pohon dengan famili terbanyak di TNBD terdiri 33 famili dari 108 spesies. Pada strata ini memperlihatkan famili Anacardiaceae memiliki lebih banyak spesies terdiri dari 14 spesies. Selanjutnya daftar tersebut diikuti famili Lauraceae dan Dipterocarpaceae masing-masing 12 spesies dan seterusnya. Pada daftar tersebut famili pandan absen. Famili Arecaceae lebih banyak spesies terdiri 23 spesies. Selanjutnya daftar tersebut diikuti famili Pandanaceae, Lauraceae, dan Rubiaceae masing-masing 5 spesies, disusul famili Euphorbiaceae 4 spesies dan seterusnya. Pada daftar tersebut famili pandan absen. Daftar 10 spesies tumbuhan dengan INP tertinggi disajikan pada Tabel 15. Data INP tumbuhan strata pohon selengkapnya disajikan pada Lampiran 5.
27 Tabel 15 Sepuluh spesies tumbuhan strata pohon dengan INP tertinggi No
Lauraceae
K (ind/ha) 14.29
KR (%) 4.55
0.35
FR (%) 3.72
D (m2/ha) 0.02
DR (%) 1.66
INP (%) 9.93
Moraceae
14.29
4.55
0.35
3.72
0.02
1.66
9.93
Sapotaceae
14.29
4.55
0.32
3.41
0.02
1.66
9.62
Burseraceae
7.86
2.51
0.29
3.09
0.02
1.66
7.26
Olacaceae
10.72
3.42
0.26
2.77
0.01
0.83
7.02
Fagaceae
8.58
2.74
0.26
2.77
0.01
0.83
6.34
Dipterocarpaceae
3.58
1.14
0.15
1.60
0.04
3.31
6.05
Burseraceae
8.58
2.74
0.23
2.45
0.01
0.83
6.02
Dipterocarpaceae
7.15
2.28
0.26
2.77
0.01
0.83
5.88
Lauraceae
7.15
2.28
0.23
2.45
0.01
0.83
5.56
Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
1
Medang labu
2 3 4
Terap Balam merah Beyung
5
Petaling
6
Mempening
7
Pengerowon
8
Kedundung
9
Kelungkung
Litsea glutinosa Artocarpus elasticus Palaquium gutta Canarium pilosum Ochanostachys amentacea Lithocarpus lucidus Hopea mengerawan Santiria dacryodifolia Shorea retinodes Litsea sp
10
Medang
F
Pada strata pohon spesies Litsea glutinosa lebih mendominasi dengan INP tertinggi (9.93%), kemudian pohon Artocarpus elasticus dengan INP (9.93%), lalu dua spesies pohon Palaquium gutta dan Canarium pilosum dengan nilai INP 9.62% dan 7.62% dan seterusnya. Spesies L. glutinosa lebih mendominasi dengan jumlah individu terbanyak, hal ini dimungkinkan karena spesies mampu menghasilkan jumlah benih yang banyak setiap musim pembungaan. Strata tiang hingga ke strata pohon L. glutinsoa dan A. Elasticus lebih mendominasi dan pertumbuhan spesies tergolong cepat. Pada strata tiang dan pohon kedua spesies lebih cenderung bersifat intoleran, selain itu mempunyai kemampuan pertumbuhan optimal. Di alam spesies famili Lauraceae dan Moraceae tersebut ditemui dengan tinggi mencapai 35 meter (Lekito et al. 2008). Analisis Parameter Vegetasi Berdasar Indeks Lainnya Keanekaragaman hayati spesies diamati melalui berbagai macam teknik analisis parameter vegetasi. Ada banyak panduan yang menuntun interpretasi hasil analisis sesuai dengan metode atau indeks keanekaragaman, kekayaan, kemerataan, dan dominansi yang digunakan (Smith & van Belle 1984); Magurran 1988). Masing-masing indeks memiliki sensitivitas tersendiri bergantung pada metode teknis yang digunakan penemu indeks tersebut. Magurran (1988) menjelaskan penting keanekaragaman dan pengukurannya karena merupakan topik sentral dalam ekologi dan digunakan melihat kestabilan ekosistem. Tingkat keanekaragaman jenis merupakan ciri tingkat komunitas berdasar organisasi biologi. Tingkat keanekaragaman spesies memberi gambaran stabilitas ekosistem terbentuk melalui proses suksesi di dalamnya, yaitu kemampuan ekosistem menjaga keberlangsungan dan kestabilan terhadap gangguan yang terjadi, baik dari dalam (intern) maupun dari luar (extern). Salah satu pendekatan digunakan menilai stabilitas ekosistem yaitu pendekatan melalui kategori nilai indeks Shannon-Wiener (Tabel 2).
28 Untuk memastikan bahwa indeks dihasilkan memberi respon perubahan jumlah spesies. Berbagai pendapat mengemukakan bahwa indeks pengukuran masih belum sempurna dan inheren memiliki kelemahan (Ludwig & Reynolds 1988; Van Dyke 2003). Tidak hanya itu, pemilihan indeks keanekaragaman dan indeks lain meliput indeks dominansi, indeks kemerataan, dan indeks kekayaan spesies juga menjadi penting dalam pengukuran dan pengamatan keanekaragaman spesies dalam suatu ekosistem. Indeks Keanekaragaman Spesies (H’)
indeks keanekaragaman spesies (H')
Kekayaan spesies berbanding lurus dengan nilai keanekaragaman spesies, sedang kemerataan spesies menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies terdistribusi secara merata pada jumlah banyak individu. Kondisi keanekaragaman spesies tumbuhan di lokasi plot pengamatan disajikan pada Gambar 6. 5.83 6 5
4.01
4.17
4.56
4 3 2 1 0 semai
pancang
tiang
pohon
strata pertumbuhan
Gambar 6 Nilai H’ setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa strata semai memiliki indeks keanekaragaman tertinggi dengan nilai 5.83 dibanding strata pancang, tiang, dan pohon dengan nilai masing-masing 4.01; 4.17; dan 4.56. Berdasar klasifikasi Shannon-Wienner (1949) dalam Ludwig & Reynolds (1988), Waite (2000); dan Fachrul (2007) nilai indeks keanekaragaman spesies vegetasi pada strata semai adalah 5.83, nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman spesies strata semai tergolong melimpah atau tinggi, sehingga kondisi kestabilan ekosistem dan proses suksesi strata ini juga dalam kondisi baik, karena nilai H’ strata semai tergolong tinggi. Hal tersebut menunjukkan bila terjadi gangguan ekosistem pada strata semai walaupun di bawah ambang batas daya dukung kawasan namun keberlangsungan proses regenerasi tetap berjalan ke strata pertumbuhan berikutnya dengan adanya suplai regenerasi berasal dari tingkat pertumbuhan di atas. Namun apabila gangguan tersebut melebihi kemampuan pemulihan ekosistem, maka proses regenerasi terhenti dengan demikian suksesi pada kawasan tersebut juga terhenti. Perlu diketahui bahwa kondisi kestabilan ekosistem dan keberlangsungan suksesi strata semai ke strata berikutnya sangat bergantung kestabilan kondisi strata pertumbuhan di atasnya sebagai penyuplai tegakan induk. Pada strata pertumbuhan semai nilai indeks keanekaragaman 5.83 tergolong tinggi. Dapat diasumsikan bahwa tingkat keanekaragaman spesies strata pertumbuhan tergolong sangat tinggi dan kondisi kestabilan ekosistem serta
29 proses suksesi juga tergolong lebih baik dari tingkatan lain. Selanjutnya diharapkan proses regenerasi ke strata pertumbuhan berikutnya (ke pancang, tiang, dan pohon) berjalan baik dan suksesi alami secara umum berjalan normal. Strata pertumbuhan tiang memiliki nilai indeks keanekaragaman tergolong melimpah atau tinggi, sehingga kondisi kestabilan ekosistem dan suksesi alami tergolong baik. Hal ini memberi gambaran proses regenerasi ke tahap pertumbuhan berikutnya (strata pohon) maupun regenerasi permudaan (strata semai) dan proses suksesi tetap berjalan normal dan alami bila tidak ada peningkatan gangguan melebihi daya dukung ekosistem kawasan. Namun demikian kawasan ini tetap rentan bila terjadi peningkatan gangguan melebihi daya dukung ekosistem. Ini disebabkan karena strata pertumbuhan pohon merupakan penciri tegakan utama kawasan, selain itu strata ini sangat berperan sebagai faktor penentu kestabilan ekosistem, karena menciptakan iklim mikro dan makro bagi keseimbangan pertumbuhan strata - strata di bawahnya dan sangat berperan menyuplai regenerasi alami suksesi yang terjadi. Keanekaragaman spesies komunitas tidak cukup diterangkan dengan kekayaan spesies, tetapi juga oleh kelimpahan relatif (relative abundance) masing-masing populasi selanjutnya memberi gambaran ekuitabilitas. Keanekaragaman lebih besar jika ekuitabilitas lebih besar, yaitu jika populasipopulasi itu merata satu sama lain dalam kelimpahan. Jika beberapa spesies saja melimpah, sedang yang lain sangat jarang (ekuitabilitas rendah) maka keanekaragaman jenis tersebut adalah rendah (Soeriaatmadja 1985). Bila nilai keanekaragaman spesies makin tinggi maka makin meningkat keanekaragaman tegakan tersebut. Odum (1993) menyatakan keanekaragaman spesies cenderung tinggi dalam komunitas lebih tua dan rendah dalam komunitas baru terbentuk. Secara umum kondisi tingkat keanekaragaman spesies pada habitat vegetasi pandan di kawasan TNBD tergolong melimpah atau tinggi tingkat kestabilan ekosistemnya. Suksesi dan proses regenerasi alami berada dalam kondisi normal sehingga diharapkan kawasan ini tetap memegang peran penting untuk menjaga kestabilan ekosistem dan fungsi kawasan sebagai daerah tangkapan air dalam pengelolaan kawasan lebih baik. Hal ini peran spesies tumbuhan berasosiasi terhadap keberadaan pandan yang dimanfaatkan Orang Rimba untuk memenuhi perekonomian mereka tetap dilestarikan dan mereka tetap menjaga hutan menyediakan kebutuhan penting sesuai prinsip kearifan lokal. Indeks Dominansi Spesies (C) Indeks dominansi adalah ukuran untuk memeriksa tingkat penguasaan spesies komunitas. Nilai indeks dominansi strata pengamatan di hutan TNBD seperti tersaji pada Gambar 7. Indeks dominansi strata semai dengan nilai 0.05 menunjukkan adanya dominansi oleh satu spesies. Untuk tumbuhan bawah di dominansi oleh Maranta leuconeura dengan INP 59.18%, sedangkan semai didominansi oleh Palaquium gutta dengan INP 14.53%. Pada strata ini dijumpai kedua jenis tersebut lebih dominan di lapang dengan kerapatan tinggi. Kerapatan M. leuconeura sebesar 82.86 ind/ha, sedang kerapatan P. gutta dengan kerapatan 31.43 ind/ha. Pada strata pancang, tiang, dan pohon indeks kemerataannya tergolong sedang, hal ini mengindikasikan spesies tumbuhan pada ketiga strata pertumbuhan tidak didominansi satu spesies, artinya spesies merata.
30 Observasi keberadaan spesies pandan banyak ditemukan pada strata pancang. Pada strata ini ditemukan 5 spesies pandan dengan INP tinggi karena spesies tersebut menyebar dan mendominansi tahapan tersebut. Sesuai kecocokan habitat, pandan banyak ditemukan di habitat liat berpasir dan rawa di hutan TNBD. indeks dominansi spesies (C)
0.05 0.05
0.04
0.04
0.03
0.03
0.02
0.02 0.01 0 semai
pancang
tiang
pohon
strata pertumbuhan
Gambar 7 Nilai C setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD Suatu habitat mengalami perubahan akibat gangguan (seperti penebangan, deforestasi, hama penyakit, kebakaran, dan lain-lain), menyebabkan tumbuhan bereaksi mengubah lingkungan sampai pada kondisi cocok bagi spesies baru lebih cocok bagi individu baru. Reaksi ini berperan penting dalam pergantian spesies (Shukla & Chandel dalam Istomo & Kusmana 1997). Secara garis besar dominansi suatu spesies terjadi pada tiap strata pertumbuhan tipe hutan terbentuk melalui integrasi faktor kondisi vegetasi secara menyeluruh (pertumbuhan dan perkembangan, interaksi dengan tumbuhan lain, proses regenerasi, distribusi, dan lain-lain), kondisi lahan serta aktivitas dalam tipe hutan tersebut. Indeks Kemerataan Spesies (E) Nilai indeks kemerataan spesies (E) tiap strata pertumbuhan tidak jauh berbeda. Nilai kemerataan spesies strata semai 1.32; strata pancang 0.88; pada strata tiang 0.95; dan pada strata pohon 0.98. Besaran nilai E < 0.3 menunjukkan kemerataan spesies rendah. E = 0.3–0.6 menunjukkan kemerataan spesies sedang, dan nilai E > 0.6 menunjukkan kemerataan spesies tinggi (Magurran 1988). Nilai E pada setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD disajikan pada Gambar 8. Berdasar klasifikasi kemerataan spesies keempat strata pertumbuhan tersebut tergolong tinggi karena keempatnya memiliki nilai E > 0.6. Pada strata ini kemerataan spesies tergolong tinggi dengan jumlah spesies terbanyak ditemukan pada strata pohon, sedang jumlah individu terbanyak strata semai dengan kerapatan 61143 individu/ha dari total seluruh plot semai. Jika diperhatikan jumlah individu pandan, ternyata jumlah individu pandan tinggi dan sebarannya mengelompok serta tumbuh rumpun yang memiliki ukuran individu tergolong besar.
indeks kemerataan spesies (E)
31
1.4
1.32
1.2
0.88
1
0.95
0.98
0.8 0.6 0.4 0.2 0 semai
pancang
tiang
pohon
strata pertumbuhan
Gambar 8 Nilai E setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD Indeks kemerataan spesies (Gambar 8) menunjukkan jumlah spesies tertinggi dijumpai strata pohon dibanding strata lain. Spesies pandan termasuk tumbuhan rumpun, strata ini menyebar pada strata pancang dan semai. Sebaran spesies pandan merata dan tumbuh di kondisi tanah berlumpur dan masam. Menurut Djufri (2002) spesies tumbuhan termasuk kelompok rumpun cenderung pola distribusi mengelompok lebih besar dibanding pola distribusi teratur dan acak, sedang pola distribusi teratur dan acak relatif berpola sama. Kondisi tersebut karena kelompok rumpun mempunyai jumlah individu relatif banyak setiap individu spesies tumbuhan, sedang pola distribusi acak teratur relatif sama, karena kelompok non-rumpun umum mempunyai nilai kerapatan sangat tinggi, namun tidak didukung jumlah individu yang banyak. Variasi nilai indeks keanekaragaman berbagai tingkatan spesies tumbuhan (semai hingga pohon) terjadi merupakan hubungan karakteristik tempat tumbuh dan aktivitas komunitas hutan. Sejalan pendapat tersebut, Bruenig (1995) menyatakan keanekaragaman spesies berhubungan dan dibatasi kondisi tanah dimana terdapat zona perakaran, kelembaban tanah, kandungan hara, dan kualitas humus. Kissinger (2002) menjelaskan aktivitas hutan relatif berpengaruh terhadap kondisi keanekaragaman yang ditampilkan. Indeks Kekayaan Spesies (Dmn) Besar nilai indeks kekayaan spesies diadaptasi mengacu kepada Magurran (1988) sesuai dengan konsep penelitian. Nilai Dmn tiap strata pertumbuhan di kawasan hutan TNBD tersaji pada Gambar 9. Berdasar hal tersebut kekayaan spesies ketiga strata pertumbuhan pancang, tiang dan pohon tergolong tinggi dengan nilai indeks masing-masing adalah sebagai berikut (4.05; 4.34; dan 5.16). Kecuali pada strata semai indeks kekayaan spesies tergolong sedang dengan nilai 3.62. Perbedaan nilai kekayaan spesies tidak signifikan pada ketiga strata pertumbuhan tersebut dipengaruhi jumlah spesies dijumpai di lokasi penelitian jumlah tergolong tinggi yaitu: pancang (95 jenis), tiang (83 jenis), dan pohon (108 jenis).
indeks kekayaan spesies (Dmn)
32
5.16
6 5 4
3.62
4.05
4.34
3 2 1
0 semai
pancang
tiang
pohon
strata pertumbuhan
Gambar 9 Nilai Dmn setiap strata pengamatan di kawasan hutan TNBD Mengacu keempat grafik diatas, dapat dikemukakan indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan merupakan dua hal berbeda, demikian hal antara kekayaan spesies dan keanekaragaman spesies. Menurut Barbour et al. (1987) adakala kekayaan spesies berkorelasi positif dengan keanekaragaman, tetapi kondisi lingkungan di sepanjang areal kajian sangat heterogen, sehingga penurunan kekayaan spesies disertai peningkatan keanekaragaman spesies. Hal tersebut terjadi karena setiap plot pengamatan mempunyai jumlah individu sangat bervariasi. Kemerataan menjadi maksimum dan homogen jika semua spesies mempunyai jumlah individu sama pada vegetasi tertentu. Gejala demikian sangat jarang terjadi di alam, karena setiap spesies mempunyai daya adaptasi dan toleransi serta pola sejarah hidup berbeda terhadap kondisi suatu habitat. Selanjutnya apabila dikaitkan dengan stadia perkembangan mulai berkecambah sampai mati. Kondisi lingkungan di alam sangat kompleks dan bervariasi. Pada lingkungan makro mungkin bersifat homogen, tetapi pada lingkungan mikro dapat terdiri dari mikrositus heterogen. Kelimpahan Spesies Pandan di TNBD Indeks keanekaragaman diukur melalui pendekatan kelimpahan spesies (species abudance) dan kekayaan spesies (species richness). Kekayaan spesies ditentukan jumlah spesies suatu komunitas, semakin banyak spesies teridentifikasi maka kekayaan spesies semakin tinggi. Kelimpahan spesies merupakan jumlah individu tiap spesies. Kajian kelimpahan spesies diteruskan pada kajian kemerataan spesies, kajian ini menujukkan kelimpahan spesies tersebar antar spesies tersebut. Semakin merata jumlah individu masing-masing spesies ditemukan di berbagai tempat, maka semakin merata dan melimpah spesies tersebut. Berdasar hasil pengamatan langsung dilakukan di zona pemanfaatan TNBD ada lima spesies pandan ditemukan yaitu: B. kurzii, B. atrocarpa, P. labyrinthicus, P. furcatus, dan P. immersus. Berikut tabulasi kelimpahan spesies pandan strata semai disajikan pada Tabel 16 dan strata pancang disajikan pada Tabel 17.
33 Tabel 16 Kelimpahan spesies pandan strata semai Spesies Benstonea kurzii Benstonea atrocarpa Pandanus labyrinthicus Pandanus furcatus Pandanus immersus Total
Kelimpahan (ind/plot) 20 10 7 12 11 60
Kerapatan (ind/ha) 1428 714 500 857 785 4284
Tabel 17 Kelimpahan spesies pandan strata pancang Spesies Benstonea kurzii Benstonea atrocarpa Pandanus labyrinthicus Pandanus furcatus Pandanus immersus Total
Kelimpahan (ind/plot) 49 41 32 26 20 168
Kerapatan (ind/ha) 560 468 365 297 228 1918
Berdasar olah data penelitian kelimpahan spesies pandan strata semai, spesies B. kurzii paling banyak ditemukan dengan kerapatan 1428 ind/ha, sedang spesies P. labyrinthicus cenderung lebih sedikit dengan kerapatan 500 ind/ha. Sementara kelimpahan spesies pandan strata pancang jenis B. kurzii juga banyak ditemukan, namun spesies P. immersus paling sedikit kelimpahannya. Kondisi di lapang menunjukkan pandan ini mendominasi strata semai dan pancang dengan jumlah populasi melimpah di daerah rawa dan tingkat kemasaman tanah yang tinggi. Kelimpahan P. labyrinthicus (Tabel 16) dan P. immersus (Tabel 17) cenderung sedikit, sehingga dikhawatirkan spesies tersebut akan punah di alam, sehingga berimplikasi terhadap kestabilan ekosistem hutan TNBD. Keberadaan pandan berperan penting guna menunjang perekonomian dan melestarikan kearifan budaya Orang Rimba dalam hal menentukan strategi konservasi pandan. Kelimpahan pandan diduga dipengaruhi faktor ketersediaan unsur hara, suhu, pH, salinitas, topografi, dan kerapatan tumbuhan itu sendiri, Odum (1993) menjelaskan bahwa kelimpahan relatif merupakan persentase jumlah individu suatu spesies terhadap jumlah total individu daerah tertentu. Pola Sebaran Pandan Pada strata semai dan pancang dijumpai 5 spesies pandan di TNBD, yaitu: B. kurzii, B. atrocarpa, P. labyrinthicus, P. furcatus, dan P. immersus. Berdasar perhitungan indeks dispersi (ID) Morisita diperoleh tipe sebaran kelima spesies pandan seperti tersaji pada Tabel 18. Berdasar perhitungan ID (Tabel 18), terdapat dua spesies pandan dengan nilai lebih besar dari satu yaitu B. kurzii dan B. atrocarpa menyebar berkelompok. Sebagian besar lokasi penelitian merupakan hutan primer berkerapatan pohon cukup tinggi. Hasil analisis vegetasi strata semai menyatakan bahwa banyak jumlah spesies tumbuhan bawah mendominasi areal tersebut. Spesies pandan B. kurzii dan B. atrocarpa umum hidup pada habitat rawa dengan tanah berlumpur dan pH masam, kemudian spesies P. labyrinthicus, P. furcatus dan P. immersus tumbuh merata pada tanah gembur di daerah perbukitan
34 kawasan tersebut. Kemungkinan mengelompok dua spesies pandan karena termasuk ke dalam tumbuhan sedikit memerlukan cahaya, sehingga ditemukan di tempat ternaungi dan agak teduh. Pola distribusi erat hubungan dengan kondisi lingkungan. Organisme suatu tempat bersifat saling bergantung, sehingga tidak terikat berdasar kesempatan semata, dan bila terjadi gangguan organisme serta sebagian faktor lingkungan akan berpengaruh terhadap komunitas (Barbour et al. 1987). Tabel 18 Sebaran pandan (Pandanaceae) di kawasan TNBD Spesies pandan B. kurzii B. atrocarpa P. furcatus P. labyrinthicus P. immersus
𝑋̅ 38.45 32.14 22.00 27.00 16.40
S2 63.00 40.39 8.23 14.70 2.86
ID 1.63 1.25 0.37 0.54 0.17
Tipe Sebaran Mengelompok Mengelompok Merata Merata Merata
Hasil penelitian di lapang menunjukkan beberapa spesies pandan menyebar berkelompok (Tabel 18). Terlepas dari faktor lingkungan dan kompetisi, hasil tersebut relevan dengan kesimpulan Barbour et al. (1987) spesies tumbuhan rumpun cenderung memiliki pola distribusi mengelompok, sebab tumbuh bereproduksi dengan biji jatuh dekat induk atau dengan rimpang menghasilkan anakan vegetatif masih dekat induk. Pandan merupakan spesies tumbuhan berumpun, kelompok rumpun punya kecenderungan pola distribusi mengelompok lebih besar dibanding pola distribusi teratur dan acak (Djufri 2002). Asosiasi Pandan di TNBD Asosiasi antar spesies merupakan pendekatan untuk melihat ada atau tidak asosiasi antara spesies pandan di TNBD dengan spesies lain. Dalam formulasi ini menggunakan hipotesis H0 tidak terdapat asosiasi dan H1 terdapat asosiasi. Asosiasi beberapa spesies pandan dengan tumbuhan lain ditemukan setiap strata pertumbuhan. Hasil perhitungan dan pengujian X2 tipe asosiasi interspesifik mencatat hanya satu spesies berasosiasi positif dengan satu jenis pandan seperti tersaji pada Tabel 19. Nilai koefisien positif (Tabel 19) mengindikasikan meski tidak ada hubungan nyata antara satu spesies pohon dominan tersebut dengan beberapa spesies pandan, tapi masih bisa hidup bersama dan tidak saling mengganggu satu dengan lainnya. Sesuai pendapat Mueller-Dombois & Ellenberg (1974), bahwa selain pengaruh interaksi suatu komunitas, tiap tumbuhan saling memberi tempat hidup dalam suatu area dan habitat yang sama. Tabel 19 Hasil perhitungan asosiasi spesies pandan dengan tumbuhan lain Spesies pandan yang berasosiasi Benstonea kurzii dengan Litsea sp1
X2tabel (5%) 3.84
X2hitung 7.87*
Keterangan: +: asosiasi positif, *: Berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Tipe Asosiasi +
E(a) 2.00
Indeks Asosiasi (Oi) 0.59
35 Pasangan spesies tidak selalu menghasilkan hubungan positif. Spesies tumbuhan yang memiliki frekuensi kehadiran tinggi dan dominan, tidak selalu memberi nilai asosiasi positif tinggi dengan spesies lain. Selanjutnya spesies yang memiliki frekuensi kehadiran rendah tidak selalu memberi asosiasi negatif dengan spesies lain. Hasil perhitungan asosiasi spesies pandan dengan tumbuhan lain (Tabel 19) diketahui hanya Benstonea kurzii yang berasosiasi positif dengan Medang (Litsea sp1). Penentuan asosiasi dengan tabel kontingensi dilanjut uji nilai indeks asosiasi, sehingga diketahui apakah asosiasi positif pada matriks juga menunjukkan nilai indeks asosiasi tinggi. Demikian sebaliknya untuk asosiasi negatif, hasil perhitungan indeks asosiasi tentu memperkuat kesimpulan hasil perhitungan tabel kontingensi, bahwa umumnya spesies tumbuhan di TNBD menunjukkan toleransi hidup bersama pada area sama, atau ada hubungan timbal balik saling menguntungkan. Medang (Litsea sp1) ditemukan melimpah dilapang dengan kerapatan 11.43 ind/ha dan nilai INP sebesar 10.19%. Diduga spesies Medang berasosiasi positif dengan pandan, meskipun tingkat asosiasi rendah. Asosiasi positif menunjukkan terdapat kondisi baik terhadap satu spesies atau kedua spesies tersebut. Dalam lingkungan hutan heterogen, asosiasi berasal dari suatu kesamaan adaptasi dan respon terhadap lingkungan beberapa spesies (Kusmana 1997). Asosiasi negatif terjadi pada pasangan spesies lain, kehadiran bersama individu spesies berbeda bersifat indikatif dari pada interaksi bersifat menghancurkan atau merugikan satu atau dua spesies bersangkutan. Di dalam lingkungan heterogen asosiasi negatif mencerminkan adaptasi atau respon individu tumbuhan spesies berbeda terhadap faktor lingkungan (Kusmana 1997). Hasil perhitungan indeks asosiasi memperkuat kesimpulan perhitungan tabel contingency 2x2, bahwa umumnya spesies penyusun komunitas vegetasi spesies pandan menunjukkan hubungan timbal balik saling menguntungkan dengan spesies lain walaupun tingkat asosiasi tidak terjadi pada setiap spesies tumbuhan lain. Diluar pengaruh interaksi suatu komunitas, setiap tumbuh saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat sama. Integritas komunitas merupakan fenomena dibentuk dengan baik, ada toleransi kebersamaan, sehingga terbentuk derajat keterpaduan (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974; Barbour et al. 1987). Karakteristik Habitat Pandan Eni et al. (2011) melaporkan bahwa vegetasi dan tanah saling berkaitan satu dengan lain. Vegetasi mendukung fungsi ekosistem skala spasial. Vegetasi sangat mempengaruhi karakter tanah termasuk volume tanah, kimia tanah maupun tekstur. Karakter tersebut memberikan timbal balik terhadap karakteristik kerapatan, potensi, serta keanekaragaman vegetasi seperti produktivitas, struktur, dan komposisi flora. Principal Component Analysis (PCA) merupakan salah satu teknik transformasi secara linier satu set peubah ke dalam peubah baru lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil namun representatif (Saefulhakim 2000). Dasar PCA berfungsi mereduksi variabel yang banyak menjadi beberapa komponen utama agar dapat dijelaskan bagaimana hubungan antar variabel secara sederhana. Hasil pengukuran variabel kesuburan tanah meliputi sifat fisik dan kimia dari unsur tanah pada plot pengamatan beberapa spesies pandan
36 (Pandanaceae) di TNBD, dilakukan analisis PCA untuk melihat hubungan karakteristik sifak fisik dan kimia terhadap pertumbuhan lima spesies pandan. Agar hasil PCA bersifat deskriptif dilakukan analisis biplot untuk menyajikan secara visual segugus objek dan variabel dalam satu grafik. Biplot hasil PCA keterkaitan faktor lingkungan fisik dengan pertumbuhan pandan disajikan pada Gambar 10. Biplot (axes F1 and F2: 82.16 %) 2
P. labyrinthicus S
1.5
Liat 1
F2 (25.79 %)
Debu 0.5 P. furcatus 0 KTK B. kurzii R C/N K Na C N B. atrocarpa P
-0.5 pH
Ca KB P. immersus
-1
Psr
Mg -1.5 -2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
F1 (56.37 %)
Keterangan: kemasaman tanah (pH); Fosfor (P); Kalium (K); Kalsium (Ca); Magnesium (Mg); Natrium (Na); Kapasitas Tukar Kation (KTK); Kerapatan Basa (KB); Sulfur (S); Pasir (Psr)
Gambar 10 Biplot hasil komponen utama Principal Component Analysis (PCA) unsur-unsur tanah terhadap lingkungan tempat tumbuh pandan (Pandanaceae) di TNBD Kedekatan karakteristik B. atrocarpa dan B. kurzii (Gambar 10) dicirikan oleh kemasaman tanah (pH), Kapasitas Tukar Kation (KTK), Debu, Rasio C/N dan kandungan hara berupa K, Na, C, N, dan P. Selain itu kedekatan karakteristik P. immersus dan P. furcatus dicirikan oleh Kejenuhan Basa (KB), Pasir, dan kandungan unsur hara berupa Mg dan Ca. Adapun kedekatan karakteristik P. labyrinthicus dicirikan oleh Liat dan Sulfur. Selengkapnya hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada setiap spesies pandan di TNBD dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasar hasil PCA keterkaitan lingkungan fisik dengan pertumbuhan lima jenis pandan, diketahui bahwa akar ciri komponen utama pertama (KU1) adalah sebesar 8.45 dan mampu menerangkan data sebesar 56.36%. Adapun akar ciri komponen utama kedua (KU2) adalah sebesar 3.86 dan mampu menerangkan keragaman data sebesar 25.79%. Akar ciri menunjukkan suatu nilai keragaman dari peubah komponen utama yang dihasilkan dari hasil analisis, semakin besar nilai akar ciri maka semakin besar keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru.
37 Berdasar kedekatan karakteristik (Gambar 10) diketahui bahwa terdapat beberapa kelompok pandan yang memiliki karakteristik mirip, yaitu: 1. B. kurzii – B. atrocarpa (Kuadran II) 2. P. immersus (Kuadran III) 3. P. labyrinthicus – P. furcatus (Kuadran IV) Masing-masing spesies pandan memberikan kontribusi pada kedua komponen disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Kontribusi spesies pandan terhadap masing-masing komponen Spesies pandan B. atrocarpa B. kurzii P. furcatus P. immersus P. labyrinthicus
Komponen 1 17.54 25.65 1.94 54.67 0.21
Komponen 2 14.92 1.48 0.07 12.93 70.57
Tabel 18 menunjukkan persen variabel yang memberikan kontribusi ke masing-masing komponen. Jumlah seluruh nilai dalam masing-masing kolom komponen 1 dan komponen 2 adalah 100%. Berdasar Tabel 20 terlihat bahwa dalam komponen 1 kontribusi terbesar diberikan oleh P. immersus sebesar 54.67%, sedang di dalam komponen 2 kontribusi terbesar diberikan P. labyrinthicus sebesar 70.57%. Berdasar hasil analisis faktor prosedur PCA diperoleh nilai total varian yang dijelaskan sebesar 82.16% dengan jumlah matriks komponen (vektor ciri) sebanyak dua komponen seperti disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen fisik Komponen Utama 1 2 3 4
Total 8.45 3.86 1.64 1.02
Akar Ciri % Keragaman 56.36 25.79 10.98 6.85
% Kumulatif 56.36 82.16 93.14 100.00
Komponen 1 memiliki nilai eigen value (akar ciri) lebih besar (56.36%) dari pada komponen 2 (25.79%), sehingga dapat dinyatakan bahwa komponen 1 berpengaruh lebih besar terhadap pertumbuhan pandan. Variabel komponen habitat fisik berkorelasi positif dengan nilai vektor ciri terbesar pada komponen 1 dan 2 akan digunakan dalam menentukan faktor berpengaruh paling dominan terhadap kehadiran dan pertumbuhan pandan di lokasi tersebut. Berdasar analisis komponen di atas, berikut nilai eigenvalue masing-masing komponen disajikan pada Tabel 22. Analisis Komponen Utama dilakukan terhadap sifat kimia tanah lingkungan tempat tumbuh pandan menunjukkan 10 unsur hara tanah diamati, dapat dikelompokkan ke dalam dua komponen utama. Hal ini mengindikasi nilai eigenvalue > 1. Hasil PCA menunjukkan total nilai keragaman mampu dijelaskan komponen 1 dan 2 yaitu 82.16% dari variabel unsur tanah yang seluruhnya
38 diamati. Komponen pertama memiliki informasi relatif lebih besar dibanding komponen kedua, walaupun tidak memiliki selisih jauh. Tabel 22 Eigenvalue unsur-unsur tanah terhadap tempat tumbuh individu pandan Eigenvalue Proporsi Kumulatif Variabel: C N P Ca Mg K Na KTK KB S Pasir Debu Liat pH Jumlah rumpun B. atrocarpa Jumlah rumpun P. furcatus Jumlah rumpun B. kurzii Jumlah rumpun P. immersus Jumlah rumpun P. labyrinthicus a
KU 1 (Faktor komponen 1) 8.45 56.36 56.36
KU 2 (Faktor komponen 2) 3.86 25.79 82.16
0.85* 0.81 0.75 -0.84 -0.63 0.91* 0.85* 0.95* -0.88 0.17 -0.68 0.73 0.49 0.29 2.72 -0.90 3.29 -4.80 0.29
-0.47 -0.52 -0.59 -0.33 -0.68 -0.31 -0.38 -0.10 -0.34 0.92* -0.64 0.46 0.63* -0.31 -1.69 0.12 -0.53 -1.58 3.69
Keterangan: *) Faktor determinan kehadiran pandan di suatu tempat
Tabel 22 menunjukkan komponen 1 menjelaskan varian terbesar Kapasitas Tukar Kation (0.95), K (0.91), C (0.85), Na (0.85), N (0.81), P (0.75), Debu (0.73), Kejenuhan Basa (-0.88), Ca (-0.84), dan pasir (-0.68). Komponen 2 menjelaskan varian terbesar S (0.92), Liat (0.63), Mg (-0.68), dan pH (-0.31). Hasil perhitungan berdasar Tabel 20, dapat disusun model indeks habitat pandan terkait peran faktor unsur tanah sebagai berikut: KU1 = 0.85 C + 0.81 N + 0.75 P – 0.84 Ca – 0.63 Mg + 0.91 K + 0.85 Na + 0.95 KTK – 0.88 KB + 0.17 S – 0.68 Pasir + 0.73 Debu + 0.49 Liat + 0.29 pH + 2.72 jumlah rumpun B. atrocarpa – 0.90 P. furcatus + 3.29 B. kurzii – 4.80 P. immersus + 0.29 P. labyrinthicus. KU2 = -0.47 C – 0.52 N – 0.59 P – 0.33 Ca – 0.68 Mg – 0.31 K – 0.38 Na – 0.10 KTK – 0.34 KB + 0.92 S – 0.64 Pasir + 0.46 Debu + 0.63 Liat – 0.31 pH – 1.69 jumlah rumpun B. atrocarpa + 0.12 P. furcatus – 0.53 B. kurzii – 1.58 P. immersus + 3.69 P. labyrinthicus. Matriks karakteristik faktor tanah (edafik) pandan disajikan pada Tabel 23. Berdasar Tabel 23 bahwa keterkaitan kelima spesies pandan sangat dipengaruhi sifat kimia dan sifat fisik tanah berbeda. Penjelasan mengenai beberapa komponen mempengaruhi pertumbuhan pandan didasari atas dua komponen dari komponen 1 (KU1) dan komponen 2 (KU2). Secara keseluruhan, faktor lingkungan fisik berkorelasi positif terhadap pertumbuhan kelima spesies pandan di TNBD, yaitu KTK, Rasio C/N, tekstur tanah berupa fraksi debu dan
39 liat, serta kandungan unsur hara, berupa C, N, P, K, Na, dan S. Korelasi positif digambar melalui garis dengan arah sama atau membentuk sudut lancip (< 90˚). Adapun faktor lingkungan fisik berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan kelima spesies pandan di TNBD yaitu fraksi pasir, kemasaman tanah (pH), serta kandungan unsur hara, berupa Ca, Mg, dan Kejenuhan Basa (KB). Tabel 23 Matriks karakteristik hara tanah terhadap pandan di TNBD Jambi Sifat kimia/fisik tanah C N Rasio C/N P Ca Mg K Na KTK KB S Pasir Debu Liat pH
B. atrocarpa 5.89 7.89 1.32 9.20
2.51 3.76 0.27
B. kurzii 0.47 0.36 8.58 1.72
Spesies Pandan P. furcatus P. immersus
14.00
8.46 5.04
9.16
9.16
P. labyrinthicus
4.17 0.55 1.28 22.08 1.31
0.24
0.24
49.09
1.00
18.65
Hasil analisis PCA terlihat bahwa komponen utama diambil dari KU1 dan KU2 dengan total kumlatif keragaman 82.16% (Tabel 21). Komponen 1 memberi informasi lebih besar dibanding komponen 2. Komponen Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah adalah komponen unsur tanah paling berpengaruh pada komponen satu (KU1). Sulfur (S) adalah komponen unsur tanah paling berpengaruh terhadap komponen dua (KU2). Meski demikian, berdasar Gambar 10 dan Tabel 23, terlihat beberapa unsur memberi pengaruh kuat terhadap habitat pandan, untuk B. kurzii lebih dipengaruhi Kapasitas Tukar Kation (KTK), debu, dan rasio C/N, serta dipengaruhi unsur pendukung lain yaitu K, Na, C, N, dan P. B. atrocarpa lebih dipengaruhi Posfor (P) dan pH, serta unsur lain meliputi N, C, dan Na. P. immersus dipengaruhi Kejenuhan Basa (KB) dan pasir, serta unsur lain seperti Mg dan Ca. P. furcatus dipengaruhi Kejenuhan Basa (KB) dan unsur Ca. Adapun jenis P. labyrinthicus dipengaruhi liat dan hara Sulfur (S). Pengaruh beberapa unsur dan faktor lain terhadap keberadaan pandan di TNBD tergolong erat dan bersifat positif. Hal ini terlihat dari sudut lancip antara kelima jenis pandan dengan beberapa unsur pendukung, sudut lancip menunjukkan keeratan hubungan. Nilai positif merupakan pengaruh diberikan tersebut terhadap rumpun pandan, sedangkan Nilai negatif (Tabel 22) menunjukkan hubungan sebuah peubah dengan peubah lain berbanding terbalik, yaitu semakin tinggi nilai suatu peubah maka peubah lain dikorelasikan semakin rendah. Hasil penelitian menunjukkan tanah di lokasi tumbuh beberapa jenis pandan di TNBD tergolong tanah liat berpasir. Tekstur tanah merupakan perbandingan antara kadar pasir, debu, dan liat. Fraksi pasir berhubungan dengan cadangan mineral jangka panjang, sedang fraksi halus tanah secara langsung berhubungan
40 dengan penyediaan unsur hara tanaman. Karakteristik tanah liat berpasir sangat cocok untuk pertumbuhan pandan. Tanah dengan tekstur liat atau berlempung mempunyai laju infiltrasi sedang dan lebih mampu menyangga air bagi tanaman juga lebih mendukung perkembangan akar. Secara kimiawi, kurang dominan fraksi liat menyebabkan kapasitas tukar kation tanah menjadi rendah. Permukaan koloid liat memegang kendali utama terhadap pertukaran kation dalam tanah. Hal ini terjadi karena memiliki muatan negatif sehingga kation ditarik secara elektrostatik (Tan 1998). Derajat kemasaman tanah lapisan atas (topsoil) di lokasi penelitian termasuk kategori masam (pH) berkisar antara 6.5 – 7.5. Ini menjelaskan pandan tumbuh pada kondisi tanah dengan tingkat pH masam (Hardjowigeno 2003). Secara umum pandan bertahan pada kondisi dengan kandungan hara rendah dan tingkat kemasaman tinggi. Hal ini dibuktikan penyebaran pandan secara alami ditemukan di lembah, rawa, dan dataran tinggi, sebagian daerah lain di Indonesia pandan ditemukan di pesisir pantai. Pada reaksi tanah masam ketersediaan hara makro seperti P, K, Ca dan Mg cenderung sedikit sehingga menimbulkan kahat unsur hara bagi tanaman. pH tanah mempengaruhi ketersediaan hara bagi tanaman. Banyak unsur di dalam tanah mengalami perubahan bentuk akibat perubahan reaksi dan pH lingkungan. Curah hujan berlebihan menyebabkan kation basa seperti Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+ dari larutan tanah diganti H+ dan Al3+ yang bersifat masam (Munawar 2011). Kandungan C-organik kawasan TNBD memiliki kisaran 1.5 – 4.9 % sebagian tergolong kategori rendah dan tinggi, sedang nitrogen tanah berkisar antara 0.1 – 0.4 % tergolong kategori rendah. Rendahnya kadar nitrogen tanah menunjukkan bahwa sumber nitrogen tanah terbatas. Nitrogen tanah bersifat sangat mobil. Nitrogen tanah biasa berasal dari bahan organik mempunyai kandungan protein tinggi dan pengikatan nitrogen bebas mikroba tanah, air hujan, dan juga melalui pemupukan. Rendahnya kandungan bahan organik menjadi faktor utama rendahnya status kesuburan tanah. Hal ini terlihat populasi pandan tidak begitu melimpah di lapang. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa Rasio C/N bernilai 9 – 13. Tisdale et al. (1993) menjelaskan jika C/N < 20 berarti proses dekomposisi segera terjadi. Hal ini dipengaruhi sifat koloid tanah dan kation diserap. Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan nitrogen, ditentukan banyak kandungan nitrogen tinggi dan konsentrasi polifenol rendah. Rasio C/N merupakan petunjuk kecepatan proses perombakan bahan organik berupa dekomposisi dan mineralisasi hara secara kimia terikat bentuk senyawa kompleks tubuh organisme. Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro penting pertumbuhan tanaman dan umum sebagian besar tanaman menyerap N dari tanah dalam bentuk NH4+ dan NO3- (Mengel & Kirkby 1978). Hasil penelitian menunjukkan tiga jenis pandan memiliki kandungan P tersedia tergolong kategori sangat rendah (7.9 ppm) yaitu P. immersus, P. furcatus, dan P. labyrinthicus. Sedang spesies pandan kandungan Fosfor tergolong sedang (13.5 ppm) yaitu B. atrocarpa dan B. kurzii. Unsur hara P umumnya diserap dari tanah dalam bentuk H3PO4. Fosfor merupakan hara makro penting bagi tumbuhan setelah unsur hara nitrogen. Ketersediaan fosfor rendah di lokasi penelitian tersebut dimungkinkan karena rata-rata pH tergolong masam.
41 Pengelolaan tanah yang baik penting untuk mengatur pH dan menambah bahan organik. Kalium merupakan unsur hara makro penting bagi pertumbuhan tanaman selain N dan P. Kalium berperan sebagai hara penyeimbang terhadap pengaruh hara N dan P kurang menguntungkan. Berdasar hasil analisis sifat kimia tanah diketahui bahwa semua jenis pandan memiliki kandungan K rendah (< 0.2 cmol/kg). Koloid tanah merupakan bagian dari fraksi tanah penting dan aktif melakukan pertukaran ion yang terdapat di dalam kompleks jerapan dengan kation dalam larutan tanah. Tanah dengan KTK tinggi sebagian besar K tersedia bagi tanaman dalam bentuk K dapat ditukar (K-dd) sehingga menjamin pasokan K lebih efektif dibanding tanah dengan KTK rendah. Pada tanah KTK rendah konsentrasi K larut lebih besar, sehingga mudah mengalami kehilangan K akibat pencucian. Kapasitas Tukar Kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah mengikat dan menukarkan unsur kation, meskipun sebenarnya secara langsung tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Kapasitas Tukar Kation tanah mengontrol ketersediaan hara dalam bentuk kation diantaranya K, Ca, dan Mg. Di lokasi penelitian kategori KTK tergolong sedang dan tinggi. Kandungan KTK tanah di kawasan TNBD bernilai antara 7.00 – 23.00 cmol/kg dengan kriteria termasuk kategori sedang. Kapasitas Tukar Kation merupakan sifat kimia erat hubungan dengan tingkat kesuburan tanah (Hadjowigeno 2003). Secara keseluruhan, nilai KTK lokasi penelitian termasuk kategori sedang di mana subsoil memiliki kisaran luas dengan KTK 7.00 – 23.00 cmol/kg. Spesies pandan memerlukan KTK rendah yaitu P. immersus, P. labyrinthicus, dan P. furcatus. Sedangkan kandungan KTK tergolong sedang yaitu pada spesies pandan Benstonea kurzii dan B. atrocarpa. Tanah mengandung KTK tinggi mampu menyediakan unsur hara lebih baik dibanding tanah dengan KTK rendah. Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah tinggi terhindar pencucian hara, sehingga hara cenderung berada dalam jangkauan perakaran tumbuhan. Lokasi penelitian merupakan tanah dengan KTK sedang dan tinggi, cocok sebagai penunjang tempat tumbuh pandan, sehingga tanah dengan KTK tinggi didominasi kation basa, Mg, K, Ca, Na meningkatkan kesuburan tanah, namun jika didominasi kation asam, Al da H mengurangi tingkat kesuburan tanah. Kandungan Mg, Ca, dan Na pada kawasan TNBD rerata berurutan adalah 0.26%; 0.81%; dan 0.10% termasuk kategori rendah (Hardjowigeno 2003). Tanah dengan pH tinggi memiliki kandungan basa tinggi pula, sesuai analisis tanah kawasan TNBD memiliki pH tanah tergolong mendekati netral dan memiliki kandungan basa rendah. Kandungan tanah bersifat masam berasal dari dekomposisi serasah daun pandan yang berjalan lambat, sehingga apabila terkena air terjadi pembusukan yang lambat. Berdasar analisis sifat kimia tanah di lokasi penelitian kelima jenis pandan memiliki kandungan Kejenuhan Basa (KB) sangat rendah (< 20%). Kejenuhan basa (KB) merupakan persentase banyak kation basa terjerap dalam kompleks koloid tanah seperti kalsium, magnesium, kalium, dan natrium (Tisdale et al. 1985). Kejenuhan basa merupakan salah satu sifat kimia tanah yang erat berhubungan dengan tingkat kemasaman tanah, ketersediaan hara, dan kesuburan tanah. Semakin tinggi nilai KB tanah maka tanah cenderung lebih
42 subur. Selengkapnya kriteria penliaian sifat kimia tanah menurut Hardjowigeno (2003) dapat dilihat pada Lampiran 6. Etnobotani Pandan Etnobotani merupakan kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan atau diartikan sebagai studi mengenai pemanfaatan tumbuhan pada suatu budaya tertentu (Martin 1995). Sekarang banyak pengetahuan tradisional pemanfaatan hewan dan tumbuhan hilang dari keberadaan suatu masyarakat. Sastrapradja & Rifai (1989) mengungkapkan hilangnya kearifan tradisional atau berbagai spesies tumbuhan dan variasinya belum sempat diketahui dan dikaji informasinya karena kondisi lingkungan berubah dengan cepat. Keberadaan pandan sangat penting guna menunjang kebutuhan perekonomian membuat anyaman dan pelengkap ritual keagamaan Orang Rimba di TNBD. Pewarisan kebudayaan tradisional dan pengetahuan lokal Orang Rimba memanfaatkan pandan sudah lama dilakukan turun temurun yang mencerminkan ketergantungan mereka terhadap hasil hutan. Pengetahuan masyarakat lokal tersebut memberi gambaran bagaimana mereka menyikapi alam dan lingkungan agar tetap harmonis sehingga mereka terus dapat menikmati hasil dengan mengolahnya. Pengetahuan Lokal Orang Rimba Tentang Keanekaragaman Pandan Orang Rimba (Suku Anak Dalam) memiliki pengetahuan tradisional cukup baik dalam mencari, menemukan dan memanfaatkan pandan berdasar hukum adat yang berlaku. Pengetahuan ini mereka dapat secara turun temurun berdasar pengalaman mereka di lapangan. Menurut Pattinama (2009) pengetahuan lokal lahir dari pengalaman yang tetap dipertahankan turun temurun. Sumber pengetahuan tertinggi berasal dari orang tua, oleh karenanya kebanyakan masyarakat tradisional hukum adat mereka mengharuskan setiap orang tua mewariskan pengetahuan berkaitan pemenuhan dan penunjang kebutuhan hidup kepada anak keturunannya. Proses pewarisan pengetahuan menggunakan dua teknik pewarisan yaitu dengan cara penyampaian dan diajak bekerja. Sebelum penelitian ini di kawasan TNBD dilaporkan 11 spesies tumbuhan digunakan untuk membuat peralatan rumah tangga khususnya bahan anyaman, terutama dari famili Pandanaceae dan Poaceae, khususnya subfamili Bambusoideae (anggotanya adalah jenis tanaman yang kita kenal sebagai bambu (Setyowati 2003). Eksplorasi pandan di lapangan dijumpai enam spesies pandan seperti disajikan pada Tabel 24. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi penelitian terdapat enam spesies pandan diketahui dimanfaatkan Orang Rimba (Tabel 24) di mana dua spesies dari genus Benstonea dan empat spesies dari genus Pandanus. Empat spesies pandan digunakan sebagai bahan baku anyaman seperti tikar dan sumpit (sejenis dompet untuk menyimpan tembakau dan rokok); ‘mengkuang ladang’ (P. furcatus), ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus), ‘rumbas tapo’ (P. immersus) dan ‘mengkuang sabut’ (B. atrocarpa). Tiga spesies digunakan untuk keperluan ritual adat; ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus), ‘mengkuang sabut’ (B. atrocarpa), dan ‘pandan harum’ (P. amaryllifolius).
43 Tabel 24 Spesies - spesies pandan yang dijumpai di TNBD Jambi No 1.
Nama Lokal Mengkuang ladang
Nama Ilmiah Pandanus furcatus Roxb.
2.
Mengkuang sabut
Benstonea atrocarpa (Griff.) Callm. & Buerki
3.
Mengkuang tikus
Pandanus labyrinthicus Kurz ex Miq.
4.
Pandan gegas
5.
Pandan harum
6.
Rumbas tapo
Benstonea kurzii (Merr.) Callm. & Buerki Pandanus amaryllifolius Roxb. Pandanus immersus Ridl.
Kegunaan Bahan kerajinan untuk dibuat tikar dan sumpit (sejenis dompet untuk menyimpan tembakau dan rokok). Bahan pembuatan sumpit (sejenis dompet untuk menyimpan tembakau dan rokok) dan keperluan dalam prosesi atau ritual kiding yaitu menjemput padi atau kegiatan sebelum dimulainya masa tanam di lahan perkebunan. Bahan kerajinan pembuatan sumpit (sejenis dompet untuk menyimpan tembakau dan rokok), pembuatan tikar, ritual pernikahan dan untuk memanggil dewa. Bahan baku pembuatan atap rumah atau pondok dan dinding rumah. Pewarna, pewangi makanan dan untuk ritual kematian yang disebut belangun. Bahan kerajinan pembuatan sumpit (sejenis dompet untuk menyimpan tembakau dan rokok) dan pembuatan tikar.
Purwanto & Munawaroh (2010) menyatakan tidak satu spesies-pun dari famili Pandanaceae berguna sebagai bahan pangan yang dikembangkan menjadi tanaman budidaya di Indonesia, kecuali beberapa spesies seperti Pandanus brosimos, P. conoideus, dan P. julianettii yang secara tradisional tanaman budidaya masyarakat New Guinea dan Papua sebagai tanaman sela di pekarangan, kebun, dan ladang. Hasil penelitian mencatat hanya satu spesies pandan digunakan sebagai bahan pangan sekunder oleh Orang Rimba yaitu ‘pandan harum’ (P. amaryllifolius). Tumenggung (Kepala Suku) bernama Tarib menjelaskan bahwa dulu Orang Rimba sempat menanam ‘pandan harum’ ketika mereka bermukim jauh di dalam kawasan TNBD. Seiring perkembangan zaman, sebagian Orang Rimba mulai bermukim di luar kawasan TNBD dan sebagian mereka mendapat bantuan rumah tempat bermukim dari Pemerintah Daerah, namun mereka tetap mencari kebutuhan hidup memanfaatkan hasil hutan sehari-hari. Sekarang ‘pandan harum’ (P. amaryllifolius) tidak ditemukan di kawasan TNBD, namun tetap digunakan sebagai bahan pangan sekunder dan kebutuhan ritual adat kematian (belangun). Spesies pandan mudah tumbuh dan ditanam sembarang di sekitar pemukiman Orang Rimba di luar kawasan. Sampai sekarang untuk melaksanakan kegiatan ritual belangun bertempat di zona rimba TNBD, Orang Rimba memperoleh ‘pandan harum’ (P. amaryllifolius) dari luar kawasan. Orang Rimba menggunakan mengkuang tikus (P. labyrinthicus) untuk bahan membuat anyaman tikar (Tabel 24). Observasi Marpaung et al. (2013) di Aceh menemukan P. labyrinthicus menjelaskan bahwa sebagian besar spesies pandan ditemukan pada daratan realitf basah dengan jenis tanah alluvial berasal dari pengendapan lumpur sungai membawa unsur hara lebih banyak dibanding daratan relatif kering berpasir dengan jenis tanah dari pelapukan batuan tidak mengikat air dan daerah perairan dengan sumber hara berasal dari air hujan. Kondisi tanah TNBD didominasi Podsolik. Sifat tanah jenis ini umumnya miskin hara dan mudah tererosi pada kondisi terbuka.
44 ‘Mengkuang ladang’ (P. furcatus) dijadikan bahan anyaman kerajinan. Spesies ini memiliki ukuran daun panjang, lebar dengan duri pelindung sepanjang tepi daun. ‘Mengkuang ladang’ banyak tumbuh di rawa dan tepi sungai kecil di dalam kawasan. Spesies ini memiliki jenis serat hampir sama bagus dengan ‘mengkuang tikus’. Orang Rimba menggunakan daun ‘pandan gegas’ (B. kurzii) tidak untuk anyaman, melainkan untuk membuat atap pondok atau dangau ketika berladang, berkebun dan bermukim. Daun B. kurzii memiliki tekstur kuat dan kokoh untuk atap pondok, namun tidak cocok untuk membuat tikar, karena serat mudah putus setelah kering ketika dianyam tetap bermiang (bulu halus pada daun menimbulkan rasa gatal), sehingga waktu lama daun berubah warna menjadi hitam. Oleh karena itulah Orang Rimba lebih menyukai daun untuk atap rumah. ‘Pandan gegas’ (B. kurzii) banyak ditemukan tumbuh di rawa. Selengkapnya foto beberapa spesies pandan dapat dilihat pada Lampiran 10. Spesies Pandan sebagai Bahan Ritual Adat Tradisional Orang Rimba mengenal berbagai spesies pandan untuk aneka keperluan terkait adat seperti upacara pernikahan, ritual menyambut musim tanam padi ladang dan kematian. Meski sejalan masuk agama-agama dari luar praktek pemanfaatan pandan dalam kaitan adat sudah banyak mengalami perubahan, namun Orang Rimba setidaknya masih mencatat memanfaatkan tiga spesies pandan sebagai sarana ritual, yaitu ‘mengkuang sabut’ (B. atrocarpa), mengkuang tikus (P. labyrinthicus), dan ‘pandan harum’ (P. amaryllifolius). Berdasar hasil eksplorasi lapang dan wawancara dengan salah seorang Tumenggung Orang Rimba bernama Nyuling, ‘mengkuang sabut’ (B. atrocarpa) mulai sulit ditemukan. Sepanjang eksplorasi spesies ini hanya ditemukan di rawa dengan tanah berlumpur. Tumenggung Betaring menjelaskan bahwa ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus) dipakai untuk ritual pernikahan dan memanggil dewa. Dalam upacara pernikahan, mengkuang tikus diserahkan kaum pria saat meminang wanita akan dinikahi (yaitu sepadan seserahan pernikahan adat suku Sunda dan Jawa). Dalam ritual memanggil dewa Orang Rimba menggunakan pandan sebagai medium pemanggilan. Umumnya dimohon adalah pertolongan ketika dilanda musibah dan kurang pangan maupun hewan buruan. Orang Rimba menggunakan ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus) dan ‘mengkuang sabut’ (B. atrocarpa) dalam kiding yaitu ritual menjemput benih padi yang akan ditanam di ladang. Ritual dilakukan sebelum masa tanam dimulai oleh kelompok Orang Rimba bermukim di suatu wilayah dengan tujuan agar hasil panen berlimpah dan meningkat dibanding musim tanam sebelumnya. Sayangnya, saat ini sebagian Orang Rimba mengubah ladang padi menjadi perkebunan kelapa sawit (Elaies guineensis; Arecaceae) atau karet (Hevea brasilliensis; Euphorbiaceae), sehingga kegiatan ritual bersifat sakral tersebut jarang dilakukan (Mairida et al. 2014). Sebagai dampak tentu saja pemanfaatan ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus) dan ‘mengkuang sabut’ (B. atrocarpa) menjadi berkurang. Sepertinya ini terdengar bagus untuk konservasi, namun justru kebalikan, karena tidak lagi dimanfaatkan maka kedua spesies pandan tersebut sering “dikorbankan” (dibabat) untuk pembukaan lahan sawit atau karet.
45 Orang Rimba menggunakan ‘pandan harum’ (P. amaryllifolius) untuk ritual kematian disebut belangun. Bila dalam komunitas Orang Rimba masih nomaden ada yang meninggal, jenazah umum dimakamkan, namun sebelum dimakamkan terlebih dahulu dibersihkan dengan rebusan air ‘pandan harum’ melalui ritual kematian. Spesies Pandan sebagai Bahan Kerajinan Berdasar hasil pengamatan lapang dan wawancara dengan beberapa Tumenggung diketahui ada empat spesies pandan yang daunnya untuk bahan baku anyaman tikar dan sumpit yaitu ‘mengkuang ladang’ (P. furcatus), ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus), ‘rumbas tapo’ (P. immersus), dan ‘mengkuang sabut’ (B. atrocarpa). Orang Rimba lebih sering menggunakan daun ‘mengkuang ladang’ (P. furcatus) dan ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus) sebagai bahan baku membuat tikar. Alasan mereka karena kedua spesies pandan masih mudah ditemukan di sekitar pemukiman. Orang Rimba diwawancara dalam penelitian ini lebih menyukai tikar pandan daripada tikar plastik; terkait dengan kenyamanan. Saat musim penghujan (suhu udara relatif lebih rendah/dingin dari pada musim kemarau) tikar pandan memberi kehangatan sehingga nyaman digunakan. Begitu juga sebaliknya, saat musim panas tikar dingin saat digunakan (menurunkan panas). Lebih jauh lagi, Orang Rimba tidak sukar mendapat bahan baku dan untuk itu mereka tak perlu mengeluarkan biaya. Hasil anyaman untuk keperluan sendiri maupun dijual ke masyarakat luar dengan harga tertentu sesuai tingkat kesulitan dan ukuran anyaman tersebut. Dengan kata lain, memberi tambahan penghasilan. Daun ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus) paling umum dipanen sebagai bahan baku membuat sumpit. Menurut Orang Rimba daun pandan jenis ini memiliki serat bagus tekstur lembut sehingga mudah proses mengolah dan saat pengeringan. Daun seperti itu tidak mudah putus, tidak bermiang dan awet untuk pemakaian waktu lama. Kearifaan Lokal Orang Rimba Membuat Anyaman Daun Pandan Hasil penelitian menunjukkan bahwa Orang Rimba memanfaatkan dan mengolah daun pandan melalui beberapa tahapan atau proses hingga menjadi hasil kerajinan. Tahap pertama adalah mengambil (memanen) di lapangan. Pengambilan daun pandan dilakukan secara hati-hati, agar tumbuhan pandan tidak mati. Menurut Tumenggung Tarib memanen daun pandan dilakukan ketika siang hari, sedang untuk malam hari saat terang bulan. Bagi mereka pandan merupakan tumbuhan yang dijaga dan kepemilikannya oleh bersama, hal ini menunjukkan bahwa siapa saja Orang Rimba boleh memanen dan mengambil daun pandan namun tidak boleh membabat habis. Daun pandan diambil adalah daun masih lentur dengan panjang 1 m atau lebih. Bagian pangkal dan ujung daun dipotong menggunakan pisau atau parang. Duri daun bagian tepi dihilangkan, lalu daun dibelah memanjang dengan pisau sesuai ukuran lebar dibutuhkan. Biasanya satu helai daun dibuat menjadi empat hingga lima helai ukuran lebih kecil. Lebar helaian daun diukur sesuai kebutuhan kemudian dilicinkan atau dihaluskan di atas alas kain menggunakan pisau kecil
46 agar hasil anyaman semakin halus dan irisan daun berukuran kecil menjadi lentur serta mudah dianyam. Setelah helaian daun terkumpul, mereka diikat kemudian dijemur dibawah sinar matahari atau kering-angin bila intensitas sinar matahari kurang. Daun direbus sekitar 2 jam hingga air rebusan berbuih. Kemudian daun dijerang dan diperas menggunakan bilah bambu hingga getah keluar. Setelah itu didiamkan dan direndam air dingin dengan tujuan menghilangkan sisa lendir masih menempel pada daun. Pembersihan irisan daun bertujuan menghilangkan bahan bukan serat terkandung di dalamnya. Lama perebusan dan ukuran helaian pandan merupakan faktor mempengaruhi mutu hasil anyaman. Kaum induk (wanita) Orang Rimba menjelaskan jika penjemuran kurang sinar atau cuaca mendung hasil anyaman tampak putih kusam, sedang jika perebusan daun pandan kurang lama, helaian pandan mudah rusak saat dianyam. Proses penganyaman dilakukan untuk sumpit (tempat menyimpan rokok dan tembakau). Bahan non selulosa seperti protein, gula, pigmen, lemak dan air dihilangkan dengan merendam dalam air panas atau air dingin, atau larutan lain (Winarni 2009). Sebagian besar bahan non selulosa diketahui merupakan media baik untuk pertumbuhan jamur, bakteri dan serangga (Haryanti et al. 1985) perusak bahan baku anyaman tikar yang tengah diproses tersebut serta berdampak pada proses pengolahan selanjutnya. Daun pandan telah dimasak lalu dijemur kembali pada sinar matahari selama kurang lebih 2 hingga 3 hari. Pengeringan dilakukan bertahap dan perlahan-lahan guna mencegah daun pandan menjadi getas mudah patah ketika dianyam. Sebelum dianyam daun pandan dipukul-pukul perlahan agar menjadi lemas dan berpermukaan halus. Kemudian dianyam menjadi tikar atau sumpit. Sebelum dipakai untuk keperluan pribadi ataupun diperdagangkan, hasil anyaman tikar dijemur kembali agar terlihat lebih segar dan menarik. Proses pengolahan daun pandan menjadi tikar secara garis besar sama dilakukan oleh masyarakat seputar Taman Nasional Ujung Kulon di Banten (Rahayu & Handayani 2008). Lebih jauh lagi, proses tersebut secara umum sama dengan yang ditemukan seluruh masyarakat Jawa (Hofstede 1925). Temuan ini tentu bukan sesuatu istimewa mengingat Orang Rimba dan suku Jawa (Jawa dan Sunda, bahkan juga Bali) termasuk ke dalam bangsa besar Austronesia, di mana ragam pengolahan pandan untuk keperluan sehari-hari memang luar biasa dan tradisi pemanfaatan ini dibawa mereka ke segenap Nusantara dan Pasifik, bahkan Madagaskar melalui perjalanan melintasi samudera mereka yang legendaris (Grimble 1934; Keim 2011) Hasil wawancara dengan Tumenggung Tarib diperoleh informasi bila mutu hasil anyaman dipengaruhi beberapa faktor seperti ukuran belahan, lama perebusan daun, intensitas sinar matahari, dan keterampilan kaum wanita dalam proses menganyam. Tikar dihasilkan umumnya berbentuk persegi panjang, ukuran panjang 150 cm dan lebar 95 cm. Saat ini kegiatan menganyam jarang ditemui karena mulai sulit mendapat bahan baku di alam ditambah belum ada kegiatan budidaya penanaman jenis sumber bahan baku. Hal ini mengancam baik keberadaan spesies pandan di alam dan tradisi pemanfaatan pandan Orang Rimba itu sendiri. Sepanjang pengamatan di lapangan, belum ada upaya pihak TNBD Jambi melakukan kegiatan konservasi pandan di wilayah tersebut.
47 Nilai Sosial Ekonomi Daun Pandan Tumenggung Tarib menjelaskan bahwa kegiatan menganyam dilakukan kaum wanita Orang Rimba (atau disebut induk dalam bahasa setempat) semenjak lama pengetahuan menganyam tikar dilestarikan secara turun temurun, secara lisan dan diberikan semenjak mereka kanak-kanak. Sementara kaum pria Orang Rimba mencari bahan baku pandan hingga jauh ke dalam hutan. Frekuensi pembuatan kerajinan anyaman Orang Rimba masih tidak pasti tergantung kemauan masing-masing keluarga. Dalam 1 bulan dihasilkan 4-5 lembar tikar per keluarga Orang Rimba dengan ukuran dan harga berbeda. Hasil kerajinan digunakan sendiri atau sesekali dijual ke orang luar bila ada permintaan. Umumnya tikar berukuran kecil hingga besar dihargai Rp. 50000 hingga Rp. 150000 tergantung tingkat kesulitan menganyam. Kelestarian dan Konservasi Pandan Pandangan masyarakat Orang Rimba terhadap lingkungan berkaitan erat dengan falsafah maupun kepercayaan yang dianut. Mereka percaya bila aturan dilanggar maka berdampak tidak baik. Hal tersebut mengacu bagaimana Orang Rimba mengambil dan memanen pandan tanpa membabat habis populasi berdasar hukum adat agar keberadaan pandan tetap lestari di alam. Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan metode survei yaitu pengamatan langsung mencakup pencacahan komposisi floristik menggunakan parameter INP dan perhitungan ICS berdasar formula dikembangkan Turner (1988). Perhitungan ICS bertujuan mengevaluasi atau mengukur kepentingan jenis tumbuhan bagi masyarakat Orang Rimba. Strategi konservasi digunakan merupakan kombinasi perbandingan antara nilai INP dan ICS setiap jenis pandan yang dimanfaatkan. Indeks Kepentingan Budaya Orang Rimba merupakan masyarakat lokal bermukim baik di luar maupun dalam kawasan TNBD. Mereka mempunyai ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya hayati dan lingkungan sekitar. Lingkungan tempat tinggal masyarakat Orang Rimba merupakan hutan primer, hutan sekunder, dan perkebunan karet. Pengetahuan mereka mengenai keanekaragaman tumbuhan cukup baik khususnya terhadap jenis pandan yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, berupa bahan tambahan pangan, bahan pembuatan atap rumah, keperluan ritual, dan pembuatan anyaman tikar serta sumpit. Orang Rimba mempunyai pengetahuan baik mengenai pengenalan dan pemanfaatan keanekaragaman spesies pandan. Berdasar analisis nilai kepentingan pandan menggunakan ICS, telah dianalisis 6 jenis pandan berguna. Pada Gambar 11 disajikan 6 spesies pandan mempunyai nilai ICS tertinggi. Nilai indeks kepentingan tumbuhan menggambarkan jenis paling disukai masyarakat. Hasil perhitungan ICS ditentukan berdasar nilai kegunaan, intensitas penggunaan, dan tingkat kesukaan masyarakat, selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Oleh karena itu nilai ICS dapat berubah dalam perjalanan waktu (Turner 1988). Tingkat nilai ICS spesies pandan (Gambar 11) menunjukkan kategori penggunaan berdasar kriteria yang dibuat Turner (1988).
48
spesies pandan
Pandanus furcatus
12
Pandanus immersus
12 21
Benstonea atrocarpa Pandanus labyrinthicus
24
Benstonea kurzii
24 37
Pandanus amaryllifolius 0
10
20
30
40
nilai ICS
Gambar 11 Nilai ICS spesies pandan yang dimanfaatkan Orang Rimba TNBD ‘Pandan harum’ (P. amaryllifolius) merupakan spesies pandan berguna mempunyai nilai kepentingan paling tinggi. Kegunaan utama spesies ini sebagai bahan penambah rasa, pewarna hijau makanan, air rebusan untuk obat, bahan ritual dan mitologi. Spesies ini memiliki nilai ICS sangat tinggi, nilai kegunaan dan intensitas penggunaan sangat tinggi serta merupakan spesies pandan paling disukai Orang Rimba, namun spesies ini tidak bisa digunakan untuk kerajinan pembuatan anyaman tikar dan sumpit. Jenis pandan digunakan lainnya oleh Orang Rimba adalah ‘mengkuang ladang’ (P. furcatus) (ICS 12); ‘pandan gegas’ (B. kurzii) (ICS 24); ‘mengkuang tikus’ (P. labyrinthicus) (ICS 24); ‘rumbas tapo’ (P. immersus) (ICS 12); dan ‘mengkuang sabut’ (B. atrocarpa) (ICS 21). Masyarakat SAD menggunakan ‘pandan gegas’ (B. kurzii) sebagai bahan pembuatan atap rumah/pondok. Hanya spesies pandan ini bisa digunakan untuk membuat atap, karena sifat kuat dan tahan sinar matahari. Selengkapnya nilai indeks kepentingan budaya (ICS) enam spesies pandan di lingkungan masyarakat Orang Rimba dapat dilihat pada Lampiran 9. Kearifan dan Tindakan Konservasi Menurut Purwanto (2011) tingkat pengetahuan dan pemanfaatan jenis tersebut mengalami penurunan seiring dengan penurunan keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan tersebut. Nilai ICS setiap spesies pandan diperoleh analisis kepentingan budaya mengenai kegunaan bagi Orang Rimba. Nilai INP diperoleh dari analisis vegetasi zona pemanfaatan TNBD. Tindakan konservasi dihasilkan dari analisis perbandingan kategori indeks ICS dengan kategori INP masingmasing spesies pandan disajikan pada Tabel 25. Berdasar Tabel 23 spesies B. kurzii, B. atrocarpa, P. furcatus, P. labyrinthicus, dan P. immersus memiliki kategori ICS berskala sedang dan tinggi dengan INP berskala sedang/rendah (kecuali P. amaryllifolius tidak terdapat dalam plot pengamatan), ini menandakan tumbuhan tersebut sangat dibutuhkan Orang Rimba, namun populasi jenis rendah jika ditinjau kembali ke nilai penting masing-masing spesies tersebut.
49 Tabel 25 Nilai ICS enam spesies pandan dalam masyarakat Orang Rimba Nama ilmiah INP ICS Tindakan Konservasi B. kurzii 11.88 24 Meningkatkan luasan habitat dan budidaya, serta intensitas pemanfaatan B. atrocarpa 9.69 21 Meningkatkan luasan habitat dan budidaya, serta intensitas pemanfaatan P. furcatus 6.97 12 Meningkatkan luasan habitat dan budidaya spesies P. labyrinthicus 7.61 24 Meningkatkan luasan habitat dan budidaya spesies P. immersus 4.07 12 Meningkatkan luasan dan budidaya spesies P. amaryllifolius 37 Tidak ada nilai INP karena tidak berada dalam plot pengamatan Keterangan: kategori INP : rendah (≤ 9.9), sedang (10 – 19.9) dan tinggi (≥ 20) ICS: rendah (1 – 9.9), sedang (10 – 19.9) dan tinggi (≥ 20). a
Permasalahan dikawatirkan spesies timbul kelangkaan di alam, dengan demikian strategi konservasi perlu dilakukan adalah membudidayakan di sekitar pekarangan rumah maupun diantara tanaman perkebunan untuk memenuhi kebutuhan Orang Rimba dan melestarikan spesies tersebut. Turner (1988) mengungkapkan semakin banyak kebutuhan menggunakan tumbuhan maka semakin besar kepentingan tumbuhan tersebut. Jadi tumbuhan penting dalam suatu budaya dapat dinyatakan sebagai berguna dalam beberapa pengertian sehingga lebih intensif atau lebih luas tumbuhan digunakan maka semakin besar nilai kepentingan budayanya. Hasil analisis indeks kepentingan budaya mencatat B. atrocarpa, B. kurzii, P. amaryllifolius, dan P. labyrinthicus memiliki nilai ICS berskala tinggi (Gambar 15) dengan INP berskala sedang/rendah, begitu juga Jenis P. immersus dan P. furcatus memiliki kategori ICS berskala sedang dengan kategori INP berskala rendah (Tabel 25). Hal ini menunjukkan spesies tersebut cukup dibutuhkan Orang Rimba, namun populasi rendah di zona pemanfaatan TNBD, sehingga dikhawatirkan spesies tersebut mengalami penurunan populasi di hutan. Hampir semua spesies pandan memiliki ICS sedang/tinggi, akibat hanya bagian daun digunakan, sementara kebutuhan lain meningkat. Strategi konservasi perlu dilakukan adalah agroforest, membudidayakan, dan mengkaji serta mengembangkan potensi lain jenis tersebut. Pembudidayaan sistem agroforest melakukan budidaya pekarangan dan memanfaatkan tumbuhan tetap memperhatikan aturan adat Orang Rimba. Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bioekologi dan teknik budidaya pandan secara umum sangat terbatas. Di sisi lain, publikasi dan informasi sangat diperlukan guna mendasari upaya melestarikan, memanfaatkan, dan mengembangkan pandan oleh Orang Rimba khususnya melalui budidaya jenis. Hal ini menunjukkan peran lembaga ilmiah sangat perlu ditingkatkan. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk keperluan manusia perlu diimbangi upaya konservasi, baik secara insitu maupun eksitu agar tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragaman (Zuhud & Haryanto 1991). Beberapa spesies pandan menjadi prioritas penyelamat konservasi. Pandan adalah tumbuhan khas (pemanfaatan), mempunyai potensi tanaman obat, mempunyai arti tersendiri di kehidupan Orang Rimba sebagai bahan anyaman
50 tradisional. Luas sebaran semakin semakin sempit, peluang punah semakin tinggi jika hutan sekunder dikelola masyarakat beralih fungsi menjadi perkebunan dan lain sebagainya. Pandan merupakan spesies diburu atau dipanen manusia, masyarakat lokal umum memanfaatkan jenis ini guna keperluan anyaman dan ritual, jika perilaku pemanenan tidak memperhatikan aspek pelestarian, maka spesies ini lebih cepat punah. Primack (1998) menjelaskan bahwa penyebab utama hilang dan punah spesies tumbuhan berasal dari populasi manusia berkembang cepat, dari cara manusia memperluas wilayah dan memanfaatkan sumber daya hayati dari bumi lebih banyak lagi. Mekanisme langsung kepunahan meliputi hilang dan terkotak-kotaknya habitat akibat fragmentasi, invasi jenis baru diintroduksi dan pemanfaatan sumber daya hayati berlebihan apalagi tanpa upaya budidaya, polusi, perubahan iklim global, serta perkembangan industri pertanian dan kehutanan (UNEP 1992). Pengetahuan tradisional memiliki pemahaman tersendiri terhadap alam karena kesalahan penerapan pengetahuan menyebabkan gagal pengembangan kebijakan yang mencerminkan nilai ilmiah, ekonomis dan sosial. Hal ini mendorong kesalahan fatal membuat perencanaan pengelolaan hutan. Pandan mempunyai peranan sebagai salah satu sumber plasma nutfah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga melakukan konservasi terhadap beberapa jenis pandan di TNBD berarti bukan hanya melakukan perlindungan dan pengawetan tetapi juga melakukan pemanfaatan secara lestari. Orang Rimba memanen pandan hutan bersifat liar dengan memanfaatkan kondisi habitat masih tersisa di kawasan TNBD. Semakin terbatas luas areal hutan terdapat pandan. Selanjutnya harus segera diimbangi dengan budidaya. Tindakan budidaya pandan mulai diupayakan, beserta Pemda Kabupaten Sarolangaun dan Pemerintah Provinsi Jambi untuk mengangkat dan mempertahankan keberadaan pandan sebagai tumbuhan khas mempunyai nilai khusus lokal Orang Rimba. Selain itu budidaya merupakan upaya menjaga sumber plasma nutfah atau genetik. Orang Rimba bersifat pedalaman walaupun sebagian mulai bermukim diluar TNBD. Cara mengelola sumberdaya alam dan lingkungan sangat dipengaruhi pandangan hidup. Orang Rimba memiliki ajaran memberi tuntunan menghargai milik orang lain, tidak boleh mencuri, tidak boleh merusak hutan, memanfaatkan sumberdaya hutan sebaiknya tanpa menghabiskan atau memusnahkan tumbuhan dan hewan bermanfaat lainnya. Permasalahan pengelolaan sumberdaya hayati Orang Rimba adalah semakin terkikis sumberdaya hayati lokal akibat budidaya intensif jenis tertentu bernilai ekonomi atau jenis intensitas penggunaan tertinggi. Zuhud (2009) menjelaskan kondisi ini berperan besar melemahkan keunikan sistem kedirian masyarakat lokal. Sistem pengelolaan sumberdaya alam mempunyai target utama pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use) berdasar prinsip manfaat bersama dan saling timbal balik menjaga keseimbangan sosial dan keselarasan alam sekitar (Purwanto et al. 2004).
51
5 SIMPULAN DAN SARAN Tercatat enam spesies tumbuhan suku Pandanaceae dimanfaatkan Orang Rimba untuk keperluan sehari-hari, dari kerajinan tangan hingga keperluan terkait ritual adat. Ke-enam spesies tersebut terdiri empat spesies dari genus Pandanus (Pandanus furcatus Roxb; P. labyrinthicus Kurz ex Miq; P. immersus Ridl; P. amaryllifolius Roxb.), dan dua spesies dari Benstonea (Benstonea atrocarpa (Griff.) Callm. & Buerki; B. kurzii (Merr.) Callm. & Buerki). Komposisi floristik pada habitat pandan strata semai terdiri 106 spesies, pancang 95 spesies, tiang 83 spesies, dan pohon 108 spesies. Hanya satu spesies pandan berasosiasi dengan spesies pohon yaitu Benstonea kurzii dengan Litsea sp1. Faktor edafik berpengaruh terhadap lingkungan tumbuh B. atrocarpa dan B. kurzii adalah pH, KTK, debu, rasio C/N, dan kandungan unsur hara berupa K, Na, C, N, dan P. Spesies Pandanus immersus dan P. furcatus dipengaruhi Kejenuhan Basa, Pasir, dan kandungan unsur hara berupa Mg dan Ca, sedang P. labyrinthicus dipengaruhi liat dan S. Nilai indeks kepentingan budaya (ICS) spesies pandan tergolong tinggi di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas ditunjukkan ‘Pandan harum’ (P. amaryllifolius) nilai 37, ‘Mengkuang tikus (P. labyrinthicus) nilai 24, ‘Pandan gegas (B. kurzii) nilai 24, dan ‘Mengkuang sabut (B. atrocarpa) nilai 21. Hasil penelitian memberi informasi bahwa ke-lima spesies pandan di TNBD memerlukan upaya konservasi adalah B. atrocarpa, B. kurzii, P. labyrinthicus, P. furcatus, dan P. immersus, karena memiliki nilai INP rendah, sedang ICS tergolong tinggi. Intensitas penggunaan semua spesies pandan tergolong tinggi, dan rentan kepunahan. Selanjutnya perlu upaya meningkatkan potensi, pemanfaatan dan pengelolaan agar keanekaragaman terjaga. Perlu melakukan koordinasi pihak pengelola kawasan dengan Orang Rimba, agar ketersediaan pandan (Pandanaceae) hidup liar tidak terancam punah, melalui perlindungan dan rehabilitasi habitat pandan di kawasan TNBD secara keseluruhan.
52
DAFTAR PUSTAKA [BKSDA] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Jambi. 2004. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD). Jambi (ID): Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Wilayah Jambi. [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jambi. 2009. Potensi Flora Taman Nasional Bukit Dua Belas. Jambi (ID): Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Wilayah Jambi. Barbour GM, Busk JK, Pitts WD. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York (US): The Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc. Batoro J. 2012. Etnobiologi Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bernard HR. 2002. Research Methods in Cultural Anthropology: Qualitative and Quantitative. California: Alta Mitra Press, Walnut Creek. Bruenig EF. 1995. Conservation and Management of Tropical Rainforest: An Integrated Approach to Sustainability. Wallingford (GB): CAB International. Callmander MW, Chassot P, Küpfer P, Lowry PP. 2003. Recognition of Martellidendron, a new genus of Pandanaceae, and its biogeographic implications. Taxon. 52: 747-762. Callmander MW, Lowry II PP, Forest F, Devey DS, Beentje H, Buerki S. 2012. Benstonea Callm. & Buerki (Pandanaceae): characterization, circumscription, and distribution of a new genus of screw-pines, with a synopsis of accepted species. Candollea. 67(2): 323-345. Choudhary K, Singh M, Pillat U. 2008. Ethnobotanical survey of Rajasthan – an update. J. Botany American-Eurasian. 1(2):38-45. Cox GW. 2002. Laboratory Manual of General Ecology. Ed ke-8. New York (US): Mc Graw – Hill Company. Crow TR, Haney A, Walter DM. 1994. Biological Diversity. USDA Forest Service and Michigan Department of Natural Resources. Cunningham AB. 2001. People, Wild Plants Use and Convertion. Applied Ethnobotany. London and Sterling (GB): Earthscan Publications Ltd. Dahlgren RMT, Clifford HT. 1982. The Monocotyledons: A Comparative Study. London (GB): Academic Press. Djufri. 2002. Penentuan pola distribusi, asosiasi, dan interaksi spesies tumbuhan khususnya padang rumput di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. J. Biodiversitas. 3(1): 181-188. Eni DD, Iwara AI, Offiong RA. 2011. Analysis of soil-vegetation interrelationships in south-southern secondary forest of Nigeria. J. Forest Research. (2012):1-8. doi:10.1155/2012/469326. Fachrul MS. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Grimble A. 1934. The migration of a pandanus people. Memoirs of the Polynesian Society 12: 1-185. Handayani L. 2009. Pembinaan Suku Anak Dalam (SAD) dalam Memodifikasi dan Mengkreasikan Kerajinan Tangan Anyam-anyaman Khas Suku Anak Dalam di Desa Senami Kecamatan Jebak Kelurahan Sridadi Kabupaten Batanghari. Jambi (ID): Universitas Jambi.
53 Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Haryanti R, Sulistiyani, Sudarmi, Priyono. 1985. Pengembangan Pengolahan Serat Pandan Menjadi Bahan Baku Industri Kerajinan. Yogyakarta (ID): Balai Besar Industri Kerajinan dan Batik. Heyne K. 1950. Pandanaceae. Di dalam: Tumbuhan Berguna Indonesia, 1978. Ed ke-1. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan. Hlm 115-129 Heywood VH. 1993. Flowering Plants of the World. London (GB): BT Batsford. Hofstede HW. 1925. Het Pandanblad: Als grondstof voor de pandanhoedenindustrie op Java. Netherland (NL): Eibergen (Publisher) Co Ltd. Hyam R, Pankhurst R. 1995. Plants and their names: A Concise Dictionary. Oxford (GB): Oxford University Press. Hyndman DC. 1984. Ethnobotany of Wopkaimin Pandanus: significant Papua New Guinea plant resources. J. Economic Botany. 38(3): 287-303. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara. Istomo, Kusmana C. 1997. Penuntun Praktikum Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Keim AP. 2007a. 300 Tahun Linnaeus: Pandanaceae, Linnaeus dan koneksi Swedia. Eds. Khusus. Memperingati 300 tahun Carolus Linnaeus (23 Maret 1707 – 23 Mei 2007). J. Berita Biologi. 8(4). 37-57. Keim AP. 2007b. Pandanaceae of the Island of Yapen, Papua (W. New Guinea), Indonesia, with their Nomenclature and Notes on the Rediscovery of Sararanga sinuosa, and Several New Species and Records. Di dalam: Hovenkamp P. editor. Flora Malesiana. Proceeding of the 7th Flora Malesiana Symposium; 2007. Leiden (NL). Keim AP. 2011. New variety, records & discoveries of some species of Pandanus (Pandanaceae) in Sumatra & Kalimantan, Indonesia. Reinwardtia 13(3): 255-262. Keng H. 1978. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Singapore (SG): Singapore University Press. Kissinger. 2002. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan, Struktur Tegakan, dan Pola Sebaran Spasial Beberapa Spesies Pohon Tertentu di Hutan Kerangas [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press. Lekito K, Matani OPM, Remetwa H, Heatubun CD. 2008. Keanekaragaman Flora Taman Wisata Alam Gunung Meja – Papua Barat (Jenis-jenis Pohon Bagian-1). Manokwari (ID): Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. 2nd ed. London (GB): Edward Arnold (Publisher) Co Ltd. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurenment. Princeton (US): Princeton University Press. Mairida D, Hariyadi B, Saudagar F. 2014. Kajian etnobotani peralatan rumah tangga Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas Kabupaten Sarolangun, Jambi. J. Biospecies. 7(2): 68-75. Martin GJ. 1995. Ethnobotany. London (GB): Chapman and Hall Mc Neely Mengel K., dan Kirkby EA. 1978. Principles of Plant Nutrition. Switzerland (CH): International Potash Institute Switzerland. 593p.
54 Misra KC. 1980. Manual of Plant Ecology. 2nd Ed. New Delhi (IN): Oxford and IBH Publishing Co. Moleong LJ. 1990. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York (US): John Wiley and Sons. Munawar A. 2011. Kesuburan tanah dan nutrisi tanaman. Bogor (ID): IPB Press. Nasution S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik dan Kualitatif. Bandung (ID): Tarsito. Ndero G, Thijssen R. 2004. Studi Etnobotani: Menemukan Jenis-jenis Tanaman Potensial. Tropical Ethnobiology. Ed ke-1. Hlm 8-9. www.leisa.info [5 April 2014]. Nebath J. 2008. Kelimpahan tumbuhan akuatik di danau Tondano. J. Ekoton. 8(2): 25-29. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi, Ed ke-3. Jogjakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Pattinama, MJ. 2009. Pengentasan kemiskinan dengan kearifan lokal (studi kasus di Pulau Buru – Maluku dan Surade- Jawa Barat). J. Makara Sosial Humaniora. 13 (1): 1-12. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Purwanto Y. 2003. Metode Penelitian Etnobotani. Bogor (ID): Puslit Biologi LIPI. Purwanto Y, Laumonir Y, Malaka M. 2004. Antropologi dan Etnobiologi Masyarakat Yamdena di Kepulauan Tanimbar. Jakarta (ID): The TLUP Project Director, Tanimbar LUP/BAPPEDA. Purwanto Y. 2005. Studi Etnobotani Masyarakat Pakurehua di Sekitar TN. Lore Lindu, Lembah Napu, Wuasa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Bogor (ID): Puslit Biologi LIPI. Purwanto Y. 2007. Ethnobiologi: Ilmu Interdisipliner, Metodologi, Aplikasi, dan Prosedurnya dalam Pengembangan Sumberdaya Tumbuhan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purwanto Y, Munawaroh E. 2010. Etnobotani jenis-jenis Pandanaceae sebagai bahan pangan di Indonesia. Berkala Penelitian Hayati. 5A: 97-108. Purwanto Y. 2011. Hasil Hutan Bukan Kayu: Terminologi dan Perannya Bagi Masyarakat di Sekitar Hutan. Bogor (ID): Puslit Biologi, LIPI. Rahayu SE, Handayani S. 2008. Keanekaragaman morfologi dan anatomi Pandanus (Pandanaceae) di Jawa Barat. J. Vis Vitalis. 01:2. Rumphius GE. 1743. Herbarium Amboinense. Vol. 4. Amsterdam (NL): Franciscus Changuion. Saefulhakim RS. 2000. Permodelan Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. Sasmita K. 2009. Etnoekologi Perladaangan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi [Tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Sastrapradja DS, Rifai MA. 1989. Sumber Pangan Nabati dan Plasma Nutfahnya. Puslitbang Bioteknologi-LIPI. Bogor. Setiadi D. 1989. Penuntun Praktikum Ekologi. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB Press.
55 Setiawan O, Narendra BH. 2012. Ecology of medicinal tree, Strychnos ligustrina Bl. in Dompu district, West Nusa Tenggara Province. J. Forestry Research 9(1): 1-9. Setyaningrum S. 2009. Struktur Tumbuhan dan Bioprospeksi Jenis di Taman Hutan Raya Raden Soerjo Wilayah Kecamatan Jombang, Jawa timur [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setyowati FM. 2003. Hubungan keterikatan masyarakat Kubu dengan sumber daya tumbuh-tumbuhan di Cagar Biosfer Bukit Duabelas, Jambi. J. Biodiversitas. 4(1): 47-54. Smith E, van Belle G. 1984. Nonparametric estimation of species richness. J. Biometrics 40: 119–129. Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Surabaya (ID): Usaha Nasional. Soekarman, Soedarsono R. 1992. Status Pengetahuan Etnobotani di Indonesia. Di dalam: Editor. Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani; 1992. Bogor (ID): Depdikbud, Deptan, LIPI, Pusnas RI. Hlm 1 – 7. Soeriaatmadja RE. 1985. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta (ID): Yayasan Indonesia. Soerianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. St John H. 1963. The proposal (93) to conserve Pandanus L.f. Taxon. 12(5): 201204. Stone BC. 1982. New Guinea Pandanaceae: First Approach to Ecology and Biogeography. Di dalam: Gressitt JL. Editor. Biogeography and Ecology of New Guinea. Vol. 1. Monographiae Biologicae; 1982. The Hague (NL): Junk W Publ. Stone BC. 1983. A guide to collecting Pandanaceae (Pandanus, Freycinetia and Sararanga). J. Annal Missouri Botanical Garden. 70: 137-145. Tan KH. 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Yogyakarta (ID): UGM Press. 295p. Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and fertilizer. Fourth edition. New York (US): The Macmillan Publ Co. 752p. Turner NJ. 1988. The importance of a Rose: evaluating the cultural significance of plants in Thompson and Lillooet Interior Salish. British. J. American Anthropologist 90: 272-290. Tulalessy AH. 2012. Potensi flora di Kabupaten Seram Bagian Barat. J. Ekosains 1(1): 1-5. [UNEP] United Nations Environment Programme. 1992. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Washington (US): WRI. Van Dyke F. 2003. Conservation Biology: Foundations, Concepts, Applications. New York (US): McGraw-Hill Companies. Waite S. 2000. Statistical Ecology in Practice. A Guide to Analysing Environmental and Ecologycal Field Data. England (GB): Pearson Education Limited.
56 Walujo EB, Keim AP, Justin M. 2007. Kajian etnotaksonomi Pandanus conoideus Lamarck untuk menjembatani pengetahuan lokal dan ilmiah. J. Berita Biologi. 8(5): 391 – 404. Walujo EB, Soeditjo H, Widjaja EA, Rifai MA. 1992. Penggunaan Etnoekologi Secuplikan Masyarakat Etnis di Indonesia. [Makalah KIPNAS- V]. Bogor (ID): Puslit Biologi. Warburg O. 1900. Pandanaceae. Di dalam: Engler A. Editor. Pflanzenreich 4. Berlin (DE): Engelmann. 9(3). Hlm 1-100. Weintre J. 2003. Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia: Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden). Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Winarni I. 2009. Pemanenan dan pengolahan pandan secara tradisional. Buletin Hasil Hutan 15(1): 9 – 16. Zaman Q, Hariyanto S, Purnobasuki H. 2013. Etnobotani tumbuhan di Kabupaten Sumenep Jawa Timur. J. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 16(1):21-30. Zomlefer WB. 1994. Guide to Flowering Plant Families. London (GB): University of North Carolina Press. Zuhud EAM, Haryanto. 1991. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan tropis Indonesia (Prosiding). Bogor (ID) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Zuhud EAM. 2003. Pengembangan Obat Berbasis Konsep Bioregional (Contoh Kasus di Kawasan Meru Betiri Jawa Timur). Bogor (ID): IPB. Zuhud EAM. 2009. Revitalisasi pengetahuan etnobotani bagi pembangunan masyarakat kecil (etnis) menuju bangsa yang mandiri dan bermanfaat dalam era global. Di dalam: Purwanto Y, Walujo EB, (Ed). Prosiding Seminar Etnobotani IV: Keanekaragaman Hayati, Budaya dan Ilmu Pengetahuan, 18 Mei 2009. Jakarta (ID): LIPI Press.
Lampiran 1. Daftar spesies tumbuhan bawah beserta nilai INP Nama ilmiah
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Maranta leuconera Arcangelisia sp Labisia pumila Pericamphylus glaucus Clidemia hirta Selaginella plana Rhinacanthus nasutus Etlingera sp Cassia alata Melastoma malabatricum Etlingera sp2 Diplocyclos palmatus Phaseoloides sp Tetracera scandens Ageratum conyzoides Pternandra azurea Gardenia augusta Arcangelisia flava Verbena sp Rhizogonium longiflorum Begonia isoptera Rhyzopelma sp Total
Marantaceae Menispermaceae Primulaceae Menispermaceae Melastomaceae Selaginellaceae Acanthaceae Zingiberaceae Leguminosae Melastomaceae Zingiberaceae Cucurbitaceae Leguminosae Dilleniaceae Compositae Melastomaceae Rubiaceae Menispermaceae Verbenaceae Rhizogoniaceae Begoniaceae Rhizogoniaceae
Kancil lirik Akar kunyit Selentuk Lemponang Sekedemek Daun cermin Bengkal timah Puar lancang Ketapang Senduduk Puar jenton Tawas Akar beluru Akar ampelai kijang Tahi babi Kayu hubi Tengguli Akar kuning Tentepung Lumod Pecah pinggan Reribu
K (ind/ha) 82.86 13.58 15.00 13.58 16.43 9.29 7.86 6.43 6.43 6.43 6.43 6.43 5.00 7.15 6.43 2.86 2.86 2.15 2.15 2.15 2.15 1.43 225.08
KR (%) 36.82 6.04 6.67 6.04 7.30 4.13 3.50 2.86 2.86 2.86 2.86 2.86 2.23 3.18 2.86 1.28 1.28 0.96 0.96 0.96 0.96 0.64 100
F 0.38 0.18 0.09 0.09 0.06 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.06 0.06 0.06 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 1.7
FR (%) 22.36 10.59 5.30 5.30 3.53 5.30 5.30 5.30 5.30 5.30 3.53 3.53 3.53 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 100
INP (%) 59.18 16.63 11.97 11.34 10.83 9.43 8.80 8.16 8.16 8.16 6.39 6.39 5.76 4.95 4.63 3.05 3.05 2.73 2.73 2.73 2.73 2.41 200
SDR (%) 29.59 8.32 5.99 5.67 5.42 4.72 4.40 4.08 4.08 4.08 3.20 3.20 2.88 2.48 2.32 1.53 1.53 1.37 1.37 1.37 1.37 1.21 100
59
No Nama lokal
60
Lampiran 2. Daftar spesies tumbuhan pada plot pengamatan strata semai beserta nilai INP No Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Palaquium gutta Mezzetiopsis sp Garcinia sp2 Santiria dacryodifolia Canarium pilosum Benstonea kurzii Homalanthus populneus Achidendron bubalinum Dillenia eximia Litsea firma Knema laurina Parashorea malaanonan Daemonorops geniculata Calamus caesius Scaphium macropodum Litsea sp Timonius wallichianus Scaphium sp Dacryodes rugosa Pandanus furcatus Pandanus immersus Shorea bracteolata
Sapotaceae Annonaceae Clusiaceae Burseraceae Burseraceae Pandanaceae Euphorbiaceae Leguminosae Dilleniaceae Lauraceae Myristicaceae Dipterocarpaceae Arecaceae Arecaceae Malvaceae Lauraceae Rubiaceae Malvaceae Burseraceae Pandanaceae Pandanaceae Dipterocarpaceae
Balam merah Mempisang Kayu pisang Kedundung Beyung Pandan gegas Balik angin kabau Simpur jangkang Medang Kayu salok Meranti batu / sapot Rotan cikoi Rotan sego putih Anak tunom Medang kuning Sebengkal Merpayang Kepala subodo Mengkuang ladang Rumbas tapo Meranti ramboy
K (ind/ha) 31.43 14.29 13.58 7.86 14.29 14.29 13.58 13.58 13.58 9.29 13.58 8.58 5.00 5.00 8.58 6.43 8.58 7.86 5.00 8.58 7.86 5.72
KR (%) 8.13 3.70 3.52 2.04 3.70 3.70 3.52 3.52 3.52 2.41 3.52 2.22 1.30 1.30 2.22 1.67 2.22 2.04 1.30 2.22 2.04 1.48
F 0.35 0.15 0.15 0.23 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.18 0.09 0.15 0.18 0.15 0.09 0.12 0.09 0.09 0.12 0.06 0.06 0.09
FR (%) 6.40 2.75 2.75 4.21 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 3.30 1.65 2.75 3.30 2.75 1.65 2.20 1.65 1.65 2.20 1.10 1.10 1.65
INP (%) 14.53 6.45 6.27 6.25 5.90 5.90 5.72 5.72 5.72 5.71 5.17 4.97 4.60 4.05 3.87 3.87 3.87 3.69 3.50 3.32 3.14 3.13
SDR (%) 7.26 3.22 3.13 3.12 2.95 2.95 2.86 2.86 2.86 2.85 2.58 2.48 2.30 2.02 1.93 1.93 1.93 1.84 1.75 1.66 1.57 1.56
Lampiran 2 (lanjutan) No Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Hopea dasyrrachis Cantleya corniculata Ochanostachys amentacea Benstonea atrocarpa Hopea dryobalanoides Shorea cf. singkawang Neoscortechinia sp Eugenia lineata Aglaia odoratissima Ficus deltoidea Planera sp Santiria laevigata Dipterocarpus baudii Shorea leprosula Calamus manan Pterospermum sp Pandanus labyrinthicus Ancistrocladus tectorius Litsea sp2 Calamus ornatus Cinnamomum sp Shorea retinodes
Dipterocarpaceae Stemonuraceae Olacaceae Pandanaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Meliaceae Moraceae Ulmaceae Burseraceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Arecaceae Malvaceae Pandanaceae Ancistrocladaceae Lauraceae Arecaceae Lauraceae Dipterocarpaceae
Pengerowon Cium-cium Petaling Mengkuang sabut Conggol Meranti bungo / solu Meresik Kilatdari Pacar cina Merajakane Kayu siluk Kedundung tunjuk Kawon Meranti sijungkang Rotan manau Merelang Mengkuang tikus Basau Medang seluang Rotan tetebu Jomel Klungkung
K (ind/ha) 5.72 7.15 5.00 7.15 4.29 4.29 5.72 7.15 6.43 6.43 4.29 2.15 2.15 4.29 2.15 5.00 5.00 2.15 4.29 2.15 3.58 1.43
KR (%) 1.48 1.85 1.3 1.85 1.11 1.11 1.48 1.85 1.67 1.67 1.11 0.56 0.56 1.11 0.56 1.30 1.30 0.56 1.11 0.56 0.93 0.37
F 0.09 0.06 0.09 0.06 0.09 0.09 0.06 0.03 0.03 0.03 0.06 0.09 0.09 0.06 0.09 0.03 0.03 0.06 0.03 0.06 0.03 0.06
FR (%) 1.65 1.10 1.65 1.10 1.65 1.65 1.10 0.55 0.55 0.55 1.10 1.65 1.65 1.10 1.65 0.55 0.55 1.10 0.55 1.10 0.55 1.10
INP (%) 3.13 2.95 2.95 2.95 2.76 2.76 2.58 2.40 2.22 2.22 2.21 2.21 2.21 2.21 2.21 1.85 1.85 1.66 1.66 1.66 1.48 1.47
SDR (%) 1.56 1.47 1.47 1.47 1.38 1.38 1.29 1.20 1.11 1.11 1.10 1.10 1.10 1.10 1.10 0.92 0.92 0.83 0.83 0.83 0.74 0.73
61
62
Lampiran 2 (lanjutan) No Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
Calophyllum inophyllum Garcinia sp1 Vatica sp Livistona chinensis Icacina sp Eugenia kunstleri Magnolia sp Macaranga triloba Artocarpus elastica Pometia pinnata Canarium asperum Koompassia malaccensis Shorea multiflora Rhodamnia cinerea Tetrastigma lanceolarium Parkia roxburghii Nephelium uncinatum Calamus flabellatus Pternandra rostrata Helicia sp Pentadesma sp Diospyros buxifolia
Calophyllaceae Clusiaceae Dipterocarpaceae Arecaceae Icacinaceae Myrtaceae Magnoliaceae Euphorbiaceae Moraceae Sapindaceae Burseraceae Caesalpiniaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Vitaceae Leguminosae Sapindaceae Arecaceae Melastomaceae Proteaceae Clusiaceae Ebenaceae
Bintangur Kayu mampot Semasom Serdang Sentubung Anakan samok Kresik beneng Sengkubung Terap Kasai Kenari Kempas Meranti kepala tupoi Merpuyon Kekabo Potoi Ridan kuneng Rotan senamo kekecik Merubi Keniti Gerunggang Kayu hitam
K (ind/ha) 2.86 2.86 2.86 2.86 2.86 2.15 2.15 2.15 2.15 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 0.72 0.72 0.72
KR (%) 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.56 0.56 0.56 0.56 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.19 0.19 0.19
F 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
FR (%) 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
INP (%) 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 1.11 1.11 1.11 1.11 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.74 0.74 0.74
SDR (%) 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.55 0.55 0.55 0.55 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.37 0.37 0.37
Lampiran 2 (lanjutan) No Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Scorodocarpus bomeensis Calamus diepenhorstii Calamus trachycoleus Daemonorops draco Calamus retrophyllus Korthalsia echinometra Calamus javensis Daemonorops verticiliaris Calamus cf ciliaris Calamus zonatus Calamus sp1 Calamus hispidulus Daemonorops brachystachys Calamus axillaris Calamus scipionum Korthalsia rostrata Calamus sp2 Calamus rhomboideus Total
Olacaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae
Kulim Rotan batu Rotan balam Rotan jernang Rotan tunggal Rotan udang Rotan cacing Rotan gelang Rotan getah Rotan ikuk titil Rotan kona Rotan malang Rotan sabut Rotan sego air Rotan semambu Rotan semut Rotan temati Rotan telikung
K (ind/ha) 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 386.82
KR (%) 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 100
F 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 5.47
FR (%) 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 100
INP (%) 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 200
SDR (%) 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 100
63
64
Lampiran 3. Daftar spesies tumbuhan pada plot pengamatan strata pancang beserta nilai INP No Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Benstonea kurzii Benstonea atrocarpa Pometia pinnata Pandanus labyrinthicus Diospyros buxifolia Pandanus furcatus Daemonorops geniculata Calamus caesius Pandanus immersus Korthalsia echinometra Donax canaeformis Daemonorops draco Cryptocarya crassinervia Litsea sp1 Calamus manan Symplocos fasciculate Garcinia sp Santiria laevigata Saprosma arboreum Palaquium gutta Calamus retrophyllus Verbena sp
Pandanaceae Pandanaceae Sapindaceae Pandanaceae Ebenaceae Pandanaceae Arecaceae Arecaceae Pandanaceae Arecaceae Marataceae Arecaceae Lauraceae Lauraceae Arecaceae Symplocaceae Clusiaceae Burseraceae Rubiaceae Sapotaceae Arecaceae Verbenaceae
Pandan gegas Mengkuang sabut Kayu kasai Mengkuang tikus Kayu arang Mengkuang ladang Rotan cikoi Rotan sego putih Rumbas tapo Rotan udang/siuh Bemban Rotan jernang Antui Medang kuning Rotan manau Kayu jirak Kayu pisang Kedundung tunjuk Si kentut Balam merah Rotan Tunggal Siluk
K (ind/ha) 35.00 29.29 17.86 22.86 16.43 18.58 10.00 7.86 14.29 10.00 7.86 7.86 10.00 6.43 5.00 8.58 8.58 6.43 7.86 7.15 5.00 4.29
KR (%) 8.90 7.45 4.55 5.82 4.18 4.73 2.55 2.00 3.64 2.55 2.00 2.00 2.55 1.64 1.28 2.19 2.19 1.64 2.00 1.82 1.28 1.10
F 0.20 0.15 0.26 0.12 0.20 0.15 0.23 0.26 0.09 0.15 0.18 0.18 0.12 0.18 0.20 0.12 0.12 0.15 0.12 0.12 0.15 0.15
FR (%) 2.98 2.24 3.87 1.79 2.98 2.24 3.43 3.87 1.34 2.24 2.68 2.68 1.79 2.68 2.98 1.79 1.79 2.24 1.79 1.79 2.24 2.24
INP (%) 11.88 9.69 8.42 7.61 7.16 6.97 5.98 5.87 4.98 4.79 4.68 4.68 4.34 4.32 4.26 3.98 3.98 3.88 3.79 3.61 3.52 3.34
SDR (%) 5.94 4.84 4.21 3.80 3.58 3.48 2.99 2.93 2.49 2.39 2.34 2.34 2.17 2.16 2.13 1.99 1.99 1.94 1.89 1.80 1.76 1.67
Lampiran 3 (lanjutan) Nama ilmiah
Famili
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Archidendron bubalinum Omalanthus populneus Calophyllum inophyllum Cassia alata Calamus hispidulus Macaranga triloba Santiria sp Xanthophyllum laevigatum Calamus scipionum Artocarpus elasticus Gomphandra capitulata Dialium maingayi Baker Mangifera sp Pterospermum sp Polyalthia sp Ochanostachys amentacea Korthalsia rostrata Calamus zonatus Mangifera sp Symplocos cochinchinensis Dillenia sufurticosa Labisia pumila Syzygium polyanthum
Leguminosae Euphorbiaceae Clusiaceae Leguminosae Arecaceae Euphorbiaceae Burseraceae Polygalaceae Arecaceae Moraceae Stemonuraceae Leguminosae Anacardiaceae Malvaceae Annonaceae Olacaceae Arecaceae Arecaceae Anacardiaceae Symplocaceae Dilleniaceae Primulaceae Myrtaceae
Kabau Balik angin Bintangur Ketapang Rotan malang Sengkubung Kedundung sendok Mengkarok kotom Rotan semambu Terap Sentubung Keranji Kemang payo Merelang Mempisang Petaling Rotan semut Rotan ikuk titil Tayai Simasom Simpur Akar bakung Kayu kelat
K (ind/ha) 7.15 4.29 5.72 5.00 4.29 5.72 2.86 2.86 2.86 4.29 2.15 5.00 2.86 2.86 2.86 2.15 2.15 2.15 2.15 3.58 3.58 1.43 1.43
KR (%) 1.82 1.10 1.46 1.28 1.10 1.46 0.73 0.73 0.73 1.10 0.55 1.28 0.73 0.73 0.73 0.55 0.55 0.55 0.55 0.92 0.92 0.37 0.37
F 0.09 0.12 0.09 0.09 0.09 0.06 0.09 0.09 0.09 0.06 0.09 0.03 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.03 0.03 0.06 0.06
FR (%) 1.34 1.79 1.34 1.34 1.34 0.90 1.34 1.34 1.34 0.90 1.34 0.45 0.90 0.90 0.90 0.90 0.90 0.90 0.90 0.45 0.45 0.90 0.90
INP (%) 3.16 2.89 2.80 2.62 2.44 2.36 2.07 2.07 2.07 2.00 1.89 1.73 1.63 1.63 1.63 1.45 1.45 1.45 1.45 1.37 1.37 1.27 1.27
SDR (%) 1.58 1.44 1.40 1.31 1.22 1.18 1.03 1.03 1.03 1.00 0.94 0.86 0.81 0.81 0.81 0.72 0.72 0.72 0.72 0.68 0.68 0.63 0.63
65
No Nama lokal
66
Lampiran 3 (lanjutan) No Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Calamus sp2 Peronema canescens Shorea bracteolata Oncosperma borridum Ploiarium alternifolium Angiopteris evecta Knema laurina Litsea sp3 Litsea sp4 Daemonorops verticiliaris Calamus ornatus Nephelium sp Smilax zeylanica Chinonanthus sp Cantleya corniculata Xerospermum laevigatum Cyrtandra picta Evodia aromatica Lasianthus sp Neoscortechinia sp Eugenia sp Calophyllum sp
Arecaceae Lamiaceae Dipterocarpaceae Arecaceae Bonnetiaceae Marattiaceae Myrsticaceae Lauraceae Lauraceae Arecaceae Arecaceae Sapindaceae Smilacaceae Oleaceae Stemonuraceae Sapindaceae Gesneriaceae Rutaceae Rubiaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Clusiaceae
Temati Sungkai Meranti ramboy Bayais Cium-cium Durian gejoh Kayu salok Medang seluang medang sendok Rotan gelang Rotan tetebu Siabuk Akar penyegar Buntor Daru-daru Durian pacat Kayu cendewon malom Kayu wangi Kayu terjang angin Kayu Meresik Kayu samak Kayu Kuwau
K (ind/ha) 1.43 2.86 2.15 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72
KR (%) 0.37 0.73 0.55 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19
F 0.06 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
FR (%) 0.9 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45
INP (%) 1.27 1.18 1.00 0.82 0.82 0.82 0.82 0.82 0.82 0.82 0.82 0.82 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64
SDR (%) 0.63 0.59 0.50 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
Lampiran 3 (lanjutan) No Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89
Flacourtia rukam Gardenia augusta Magnolia sp Commersonia echinata Curculigo sp Litsea sp2 Elateriospermum tapos Myristica sp Etlingera sp Argostemma angustifolia Bambusa sp Anisophyllea disticha Calamus trachycoleus Calamus diepenhorstii Calamus javensis Daemonorops brachystachys Calamus axillaris Calamus flabellatus Calamus cf ciliaris Calamus sp1 Calamus rhomboideus Costus speciosus
Salicaceae Rubiaceae Magnoliaceae Malvaceae Hypoxidaceae Lauraceae Euphorbiaceae Myristicaceae Zingiberaceae Rubiaceae Poaceae Anisophylleaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Arecaceae Costaceae
Kayu mukom Tengguli Kresik beneng Kresik Lelendongon Medang miang Mengkukuh Pianggu Puar jenton Puding rimbo Rebung Ribu ribu Rotan balam Rotan batu Rotan cacing Rotan sabut Rotan sego air Rotan senamo kekecik Rotan getah Rotan kona Rotan telikung Setawar
K (ind/ha) 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72
KR (%) 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19
F 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
FR (%) 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45
INP (%) 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64
SDR (%) 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
67
68
Lampiran 3 (lanjutan) No Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
90 91 92 93 94 95
Gynotroches axillaris Carallia brachiata Aporosa sp Psychotria viridiflora Saccharum officinale Scaphium macropodum Total
Rhizophoraceae Rhizophoraceae Phyllanthaceae Rubiaceae Poaceae Malvaceae
Semampot Semeragi Selorah Salung Tebo Landak Tunom
K (ind/ha) 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 393.27
KR (%) 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 100
F 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 6.72
FR (%) 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 100
INP (%) 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 200
SDR (%) 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 100
Lampiran 4. Daftar spesies tumbuhan pada plot pengamatan strata tiang beserta nilai INP No Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Palaquium gutta Garcinia atroviridis Garcinia sp Quercus lucida Litsea sp1 Koordersiodendron pinnatum Santiria dacryodifolia Macaranga kingii Artocarpus elasticus Scaphium macropadum Bouea oppositifolia Hopea mengerawan Shorea bracteolata Parashorea malaanonan Heritiera javanica Litsea sp4 Clusia sp Shorea leprosula Shorea cf. singkawang Gluta pubescens Pterospermum sp Dipterocarpus baudii
Sapotaceae Clusiaceae Clusiaceae Fagaceae Lauraceae Anacardiaceae Burseraceae Eurphobiaceae Moraceae Malvaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Malvaceae Lauraceae Clusiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Anacardiaceae Malvaceae Dipterocarpaceae
Balam merah Asam-asam Buah bunto Mempening Medang Bengkal timah Kedundung Mahang Terap Merpayang Raman burung Pengerowon Meranti ramboy Meranti sapot Mengkulang jari Medang Seluang Balsa Meranti sijungkang Meranti solu Kabau jalang Marelang Kawon
K (ind/ha)
20.00 12.15 7.86 10.00 11.43 8.58 8.58 9.29 7.86 7.86 4.29 4.29 3.58 4.29 5.72 4.29 5.00 3.58 3.58 2.86 2.86 3.58
KR (%)
7.62 4.63 3.00 3.81 4.36 3.27 3.27 3.54 3.00 3.00 1.64 1.64 1.37 1.64 2.18 1.64 1.91 1.37 1.37 1.09 1.09 1.37
F
FR (%)
0.35 0.38 0.26 0.26 0.29 0.20 0.20 0.15 0.15 0.09 0.12 0.09 0.09 0.12 0.12 0.12 0.12 0.18 0.09 0.12 0.12 0.09
4.98 5.40 3.70 3.70 4.12 2.85 2.85 2.14 2.14 1.28 1.71 1.28 1.28 1.71 1.71 1.71 1.71 2.56 1.28 1.71 1.71 1.28
D (m2/ha)
0.10 0.07 0.10 0.07 0.04 0.05 0.05 0.06 0.03 0.04 0.06 0.07 0.07 0.05 0.03 0.04 0.03 0.02 0.05 0.04 0.04 0.04
DR (%)
INP (%)
4.26 2.98 4.26 2.98 1.71 2.13 2.13 2.56 1.28 1.71 2.56 2.98 2.98 2.13 1.28 1.71 1.28 0.86 2.13 1.71 1.71 1.71
16.86 13.01 10.96 10.49 10.19 8.25 8.25 8.24 6.42 5.99 5.91 5.9 5.63 5.48 5.17 5.06 4.9 4.79 4.78 4.51 4.51 4.36
SDR (%)
5.62 4.34 3.66 3.50 3.4 2.75 2.75 2.75 2.14 2.00 1.97 1.97 1.88 1.83 1.73 1.69 1.64 1.60 1.60 1.51 1.51 1.46
69
70
Lampiran 4 (lanjutan) No Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Dialium maingayi Cinnamomum parthenoxylon Litsea glutinosa Archidendron bubalinum Palaquium hexandrum Santiria laevigita Shorea retinodes Dacryodes rugosa Shorea multiflora Litsea sp3 Neolitsea sp Hopea drayobalanoides Eusideroxylon zwageri Styrax benzoin Vatica ressak Dyera costulata Syzygium sp Dimocarpus longan Pometia pinnata Canarium pilosum Cryptocarya sp Campnosperma auriculata Desmos dasymaschalus
Leguminosae Lauraceae Lauraceae Leguminosae Sapotaceae Burseraceae Dipterocarpaceae Burseraceae Dipterocarpaceae Lauraceae Lauraceae Dipterocarpaceae Lauraceae Styracaceae Dipterocarpaceae Apocynaceae Myrtaceae Sapindaceae Sapindaceae Burseraceae Lauraceae Anacardiaceae Annonaceae
Keranji Meripoyon Medang labu Kabau Balam putih Kedundung tunjuk Kelungkung Kedundung subodo Kepala tupoi Medang kuning Medang leso Conggol Ulin Kemenyan Resak Jelutung Kelat merah Kayu bidara Kasai Beyung Lelabi Terentang Kenanga hutan
K (ind/ha)
4.29 4.29 4.29 2.86 5.00 3.58 3.58 2.86 2.86 2.86 2.86 2.15 2.15 2.15 2.86 2.86 2.86 1.43 3.58 2.15 2.86 2.86 2.86
KR (%)
1.64 1.64 1.64 1.09 1.91 1.37 1.37 1.09 1.09 1.09 1.09 0.82 0.82 0.82 1.09 1.09 1.09 0.55 1.37 0.82 1.09 1.09 1.09
F
FR (%)
0.09 0.09 0.09 0.09 0.06 0.09 0.09 0.06 0.06 0.12 0.09 0.09 0.09 0.09 0.06 0.09 0.09 0.06 0.09 0.09 0.06 0.06 0.09
1.28 1.28 1.28 1.28 0.86 1.28 1.28 0.86 0.86 1.71 1.28 1.28 1.28 1.28 0.86 1.28 1.28 0.86 1.28 1.28 0.86 0.86 1.28
D (m2/ha)
0.03 0.03 0.03 0.04 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.02 0.02 0.04 0.01 0.02 0.02 0.02 0.01
DR (%)
INP (%)
1.28 1.28 1.28 1.71 1.28 1.28 1.28 1.71 1.71 0.86 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 0.86 0.86 1.71 0.43 0.86 0.86 0.86 0.43
4.20 4.20 4.20 4.08 4.05 3.93 3.93 3.66 3.66 3.66 3.65 3.38 3.38 3.38 3.23 3.23 3.23 3.12 3.08 2.96 2.81 2.81 2.8
SDR (%)
1.40 1.40 1.40 1.36 1.35 1.31 1.31 1.22 1.22 1.22 1.22 1.13 1.13 1.13 1.08 1.08 1.08 1.04 1.03 0.99 0.94 0.94 0.94
Lampiran 4 (lanjutan) No Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Vatica sp Willughbeia angustifolia Litsea sp2 Dipterocarpus hasseltii Dillenia reticulata Palaquium burckii Peronema canescens Myristica sp Goniothalamus macrophyllus Pterospermum javanicum Nephelium cuspidatum Sterculia subpeltata Horsfieldia sp Artocarpus kemando Nephelium maingayi Shorea sp Desmos sp Dillenia sufurticosa Litsea lanceolata Garcinia sizygiifolia Calophyllum soulattri Ochanostachys amenteca
Dipterocarpaceae Apocynaceae Lauraceae Dipterocarpaceae Dilleniaceae Sapotaceae Lamiaceae Myristicaceae Annonaceae Malvaceae Sapindaceae Malvaceae Myristicaceae Moraceae Sapindaceae Dipterocarpaceae Annonaceae Dilleniaceae Lauraceae Clusiaceae Clusiaceae Oleaceae
Semasong Gitan Medang darah Keruing Kayu parok Kayu suntai Sungkai Pianggu Antui Bayur Rambutan kabung Tampui Pala hutan Cempedak air Buah sungkit Meranti kepala tupoi kenanga Simpur Lese putih Asam kandis Bintangur Petaling
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
1.43 2.15 2.15 2.15 1.43 1.43 1.43 1.43 2.15 1.43 1.43 1.43 1.43 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 1.43 1.43
0.55 0.82 0.82 0.82 0.55 0.55 0.55 0.55 0.82 0.55 0.55 0.55 0.55 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.55 0.55
0.06 0.06 0.06 0.03 0.06 0.06 0.06 0.03 0.06 0.06 0.06 0.06 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
0.86 0.86 0.86 0.43 0.86 0.86 0.86 0.43 0.86 0.86 0.86 0.86 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43
D (m2/ha)
0.03 0.02 0.02 0.03 0.02 0.02 0.02 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01
DR (%)
INP (%)
SDR (%)
1.28 0.86 0.86 1.28 0.86 0.86 0.86 1.28 0.43 0.43 0.43 0.43 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.43 0.43
2.69 2.54 2.54 2.53 2.27 2.27 2.27 2.26 2.11 1.84 1.84 1.84 1.84 1.57 1.57 1.57 1.57 1.57 1.57 1.57 1.41 1.41
0.9 0.85 0.85 0.85 0.76 0.76 0.76 0.76 0.71 0.62 0.62 0.62 0.62 0.53 0.53 0.53 0.53 0.53 0.53 0.53 0.47 0.47
71
72
Lampiran 4 (lanjutan) No Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
Garcinia sp2 Tetracera scandens Cryptocarya crassinerva Artocarpus dadah Alstonia pneumatopora Syzygium polyanthum Litsea sp6 Litsea sp5 Tabernaemontana macrocarpa Pentaspadon motleyi Dipterocarpus grandiflorus Alstonia scholaris Canarium sp Fagraea fragrans Tetracera sp Toxicodendron radicans Total
Clusiaceae Dilleniaceae Lauraceae Moraceae Apocynaceae Myrtaceae Lauraceae Lauraceae Apocynaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Apocynaceae Burseraceae Gentianaceae Dilleniaceae Anacardiaceae
Daun benal Amplas kucing Kayu batu Bakil Basung-pulai putih Kayu kelat Medang merah Medang sendok Simbar badak Pelanjau Keruing Pulai Rantaih Tembesu Sempalai Jelatang
K (ind/ha)
0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 262.52
KR (%)
0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 100
F
FR (%)
0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 7.04
0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 100
D (m2/ha)
0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 2.35
DR (%)
INP (%)
0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 0.43 100
1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 300
SDR (%)
0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38 100
Lampiran 5. Daftar spesies tumbuhan pada plot pengamatan strata pohon beserta nilai INP No Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Litsea glutinosa Artocarpus elasticus Palaquium gutta Canarium pilosum Ochanostachys amentacea Lithocarpus lucidus Hopea mengerawan Santiria dacryodifolia Shorea retinodes Litsea sp Syzygium polyanthum Gluta sp2 Hopea dryobalanoides Garcinia sp Shorea cf.singkawang Parashorea melaanonan Litsea sp4 Pometia pinnata Dyera sp Campnosperma auriculata Shorea leprosula Santiria laevigata
Lauraceae Moraceae Sapotaceae Burseraceae Olacaceae Fagaceae Dipterocarpaceae Burseraceae Dipterocarpaceae Lauraceae Myrtaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Clusiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Lauraceae Sapindaceae Apocynaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Burseraceae
Medang labu Terap Balam merah Beyung Petaling Mempening Pengerowon Kedundung Kelungkung Medang Kelat Sentubung Conggol Kayu mampot Meranti Solu Meranti sapot Medang kuning Kasai Gerutak beruang Terentang Meranti Sijungkang Kedundung tunjuk
K (ind/ha)
14.29 14.29 14.29 7.86 10.72 8.58 3.58 8.58 7.15 7.15 8.58 7.86 3.58 3.58 5.72 3.58 5.00 5.72 6.43 4.29 5.00 2.86
KR (%)
4.55 4.55 4.55 2.51 3.42 2.74 1.14 2.74 2.28 2.28 2.74 2.51 1.14 1.14 1.83 1.14 1.60 1.83 2.05 1.37 1.60 0.92
F
FR (%)
0.35 0.35 0.32 0.29 0.26 0.26 0.15 0.23 0.26 0.23 0.18 0.20 0.15 0.09 0.18 0.15 0.18 0.15 0.12 0.18 0.15 0.12
3.72 3.72 3.41 3.09 2.77 2.77 1.60 2.45 2.77 2.45 1.92 2.13 1.60 0.96 1.92 1.60 1.92 1.60 1.28 1.92 1.60 1.28
D (m2/ha)
0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.04 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.03 0.03 0.01 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02
DR (%)
1.66 1.66 1.66 1.66 0.83 0.83 3.31 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 2.48 2.48 0.83 1.66 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 1.66
INP (%)
9.93 9.93 9.62 7.26 7.02 6.34 6.05 6.02 5.88 5.56 5.49 5.47 5.22 4.58 4.58 4.40 4.35 4.26 4.16 4.12 4.03 3.86
SDR (%)
3.31 3.31 3.21 2.42 2.34 2.12 2.02 2.01 1.96 1.86 1.83 1.83 1.74 1.53 1.53 1.47 1.45 1.42 1.39 1.38 1.35 1.29
73
74
Lampiran 5 (lanjutan) No Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Garcinia atroviridis Goniothalamus macrophyllus Artocarpus champeden Shorea bracteolata Prunus arborea Chionanthus retusus Bouea oppositifolia Dipterocarpus baudii Anisoptera costata Desmos sp Artocarpus rigidus Vatica sp Garcinia sp2 Litsea sp2 Artocarpus sp2 Cryptocarya crassinerva Litsea sp5 Syzygium sp Gluta sp Dyera costulata Styrax paralleloneorum Dialium indum
Clusiaceae Annonaceae Moraceae Dipterocarpaceae Rosaceae Oleaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Annonaceae Moracaea Dipterocarpaceae Clusiaceae Lauraceae Moraceae Lauraceae Lauraceae Myrtaceae Anacardiaceae Apocynaceae Styracaceae Leguminosae
Asam-asam Antui Temuli Meranti ramboy Tampui Buntor Raman burung Kawon Mersawa Ampelu Tampunik Semasong Puding rimbo Medang darah Mendarung kedalung Kayu Batu Medang miang Meribung Bugis Jelutung Kemenyan Keranji
K (ind/ha)
5.00 5.00 5.00 3.58 3.58 2.86 2.86 2.86 2.86 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 2.86 2.86 3.58 2.15 2.15 2.15 2.15
KR (%)
1.60 1.60 1.60 1.14 1.14 0.92 0.92 0.92 0.92 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 0.92 0.92 1.14 0.69 0.69 0.69 0.69
F
FR (%)
0.12 0.09 0.09 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.06 0.09 0.09 0.09 0.09
1.28 0.96 0.96 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 0.96 0.96 0.96 0.96 0.96 0.96 0.96 0.96 0.64 0.96 0.96 0.96 0.96
D (m2/ha)
0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
DR (%)
0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83
INP (%)
3.71 3.39 3.39 3.25 3.25 3.03 3.03 3.03 3.03 2.93 2.93 2.93 2.93 2.93 2.93 2.71 2.71 2.61 2.48 2.48 2.48 2.48
SDR (%)
1.24 1.13 1.13 1.09 1.09 1.01 1.01 1.01 1.01 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.91 0.91 0.87 0.83 0.83 0.83 0.83
Lampiran 5 (lanjutan) No Nama lokal
Nama Ilmiah
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
Myristica sp1 Myristica sp2 Scaphium sp Shorea multiflora Intsia bijuga Alstonia scholaris Pentaspadon motleyi Fissistigma manubriatum Pterospermum javanicum Archidendron bubalinum Litsea sp6 Nephelium uncinatum Mangifera foetida Litsea sp3 Dracontomelon dao Calophyllum soulattri Dipterocarpus haselltii Eusideroxylon zwageri Scorodocarpus boomensis Dacryodes rugosa Payena acuminata Xerosperum laevigatum
Pianggu Siluk Tunom Meranti kepalo tupoi Merpinding Pulai Kayu plajau Belengas Bayur Kabau Medang seluang Ridan Mambacang Medang kerupuk Dahu Bintangur Keruing Bulian/Ulin Kulim Kedundung subodo Balam duren Rambutan hutan
K (ind/ha) Myristicaceae 2.15 Myristicaceae 2.15 Malvaceae 2.15 Dipterocarpaceae 2.86 Leguminosae 2.86 Apocynaceae 2.86 Anacardiaceae 3.58 Annonaceae 2.15 Malvaceae 2.15 Fabaceae 2.15 Lauraceae 2.15 Sapindaceae 2.15 Anacardiaceae 2.86 Lauraceae 2.86 Anacardiaceae 1.43 Calophyllaceae 1.43 Dipterocarpaceae 1.43 Lauraceae 1.43 Olacaceae 1.43 Burseraceae 1.43 Sapotaceae 1.43 Sapindaceae 1.43 Famili
KR (%) 0.69 0.69 0.69 0.92 0.92 0.92 1.14 0.69 0.69 0.69 0.69 0.69 0.92 0.92 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46
F 0.09 0.09 0.09 0.06 0.06 0.06 0.03 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.03 0.03 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
FR D (%) (m2/ha) 0.96 0.01 0.96 0.01 0.96 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.32 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01
DR (%) 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83
INP (%) 2.48 2.48 2.48 2.39 2.39 2.39 2.29 2.16 2.16 2.16 2.16 2.16 2.07 2.07 1.93 1.93 1.93 1.93 1.93 1.93 1.93 1.93
SDR (%) 0.83 0.83 0.83 0.80 0.80 0.80 0.77 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.69 0.69 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65
75
76
Lampiran 5 (lanjutan) No Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88
Tetracera sp Dysoxylum aliaceum Dillenia eximia Peronema canescens Garcinia rigida Syzygium chlorantum Neocouma sp Horsfieldia sp Lithocarpus sp Dracontomelon sp Bouea macrophylla Anthocepallus chinensis Eugenia sp Bouea sp Desmos dasymaschalus Artocarpus dadah Neolitsea sp Pinanga patula Licuala sp Cinnamomum sp Artocarpus sp Commersonia echinata
Dilleniaceae Meliaceae Dilleniaceae Lamiaceae Clusiaceae Myrtaceae Apocynaceae Myriasticaceae Fagaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Rubiaceae Myrtaceae Anacardiaceae Annonaceae Moracaea Lauraceae Arecaceae Arecaceae Lauraceae Moracaea Malvaceae
Sempalai Kayu bawang Simpur Sungkai Asam kandis Jambu hutan Gitan labu Pala hutan Kayu gesing Dahu tanah Raman Jabon Kayu kolot Rengas Kenanga hutan Bakil Medang leso Pinang buring Lipoi Kendelo Bakil Lelisan
K (ind/ha) 1.43 1.43 1.43 1.43 2.15 2.15 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72
KR (%) 0.46 0.46 0.46 0.46 0.69 0.69 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23
F 0.06 0.06 0.06 0.06 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
FR D 2 (%) (m /ha) 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.64 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01
DR (%) 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83
INP (%) 1.93 1.93 1.93 1.93 1.84 1.84 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38
SDR (%) 0.65 0.65 0.65 0.65 0.62 0.62 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46
Lampiran 5 (lanjutan) No
Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108
Banitan Marelang Kayu hudang Medang batu Tembesu Mengkauk kotom Merpayang Merambang Pauh Penggitan Petai Kayu salok Hujan panas Tayas Salimuli Akar karet Terentang Tenggeris/kempas Kayu rengas Tunggul buto
Polyalthia sp Pterospermum sp Palaquium sp Cryptocarya sp Fagraea sp Xanthophyllum laevigatum Scaphium macropadum Vernonia arborea Mangifera odorata Polyalthia sumatrana Parkia speciosa Knema laurina Elaeocarpus mastersii Mangifera laurina Cordia subcordata Willughbeia angustifolia Buchanania sessilifolia Koompassia beccariana Gluta rengas Evodia latifolia Total
Annonaceae Malvaceae Sapotaceae Lauraceae Gentianaceae Polygalaceae Malvaceae Compositae Anacardiaceae Annonaceae Leguminosae Myristicaceae Elaeocarpaceae Anacardiaceae Boraginaceae Apocynaceae Anacardiaceae Caesalpiniaceae Anacardiaceae Rutaceae
K (ind/ha) 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 314.13
KR (%) 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 100
F 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 9.41
FR D 2 (%) (m /ha) 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 0.32 0.01 100 1.21
DR (%) 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 100
INP (%) 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 300
SDR (%) 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 0.46 100
77
78
Lampiran 6. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Hardjowigeno 1995) Kriteria Sifat Tanah pH H2O
Sangat rendah < 4.5
C-organik (%)
Sangat masam < 1.00
1.00 – 2.00
Agak masam 2.01 – 3.00
N-total (%)
< 0.10
0.10 – 0.20
0.21 – 0.50
0.51 – 0.75
> 0.75
C/N
<5
5 – 10
11– 15
16– 25
> 25
P2O5 HCl (mg/100 g)
< 10
10 – 20
21 – 40
41 – 60
> 60
P2O5 Bray-I (ppm)
< 10
10 – 15
16 – 25
26 – 35
> 35
P2O5 Olsen (mg/100 g)
< 10
10 – 25
26 – 45
46 – 60
> 60
K2O HCl 25% (mg/100 g)
< 10
10 – 20
21 – 40
41 – 60
> 60
KTK (me/100 g)
<5
5 – 16
17 – 24
25 – 40
> 40
K (me/100 g)
< 0.1
0.1 – 0.2
0.3 – 0.5
0.6 – 1.0
> 1.0
Na (me/100 g)
< 0.1
0.1 – 0.3
0.4 – 0.7
0.8 – 1.0
> 1.0
Mg (me/100 g)
< 0.4
0.4 – 1.0
1.1 – 2.0
2.1 – 8.0
> 8.0
Ca (me/100 g)
< 0.2
2–5
6 – 10
11 – 20
> 20
Kejenuhan Basa (%)
< 20
20 – 35
36 – 50
51 – 70
> 70
Aluminium (%)
< 10
10 – 20
21 – 30
31 – 60
> 60
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
4.5 – 5.5
5.5 – 6.5
6.6 – 7.5
7.6 – 8.5
> 8.5
Masam
Netral
Agak alkalis
alkalis
3.01 – 5.00
> 5.00
Susunan kation:
Lampiran 7. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada setiap spesies pandan di TNBD
Nama Spesies Benstonea atrocarpa Benstonea kurzii Pandanus immersus Pandanus furcatus Pandanus labyrinthicus
Walkley & Black C-organik
Kjeldhal N-Total
Rasio C/N
Bray I
N NH4OAc pH 7.0
P
Ca
Mg
Na
KTK
K
Tekstur KB
S-Tersedia
Pasir
Debu
Liat
pH
...(%)... 4.94
...(%)... 0.43
...(%)... 11.49
...(ppm)... 14.00
0.50
...(me/100g)... 0.28 0.19 0.13
18.24
..(%).. 6.03
...(ppm)... 71.92
44.14
..(%).. 18.36
37.50
7.50
4.94
0.36
13.72
13.30
0.46
0.21
0.19
0.12
23.00
4.26
123.29
45.33
30.26
24.41
6.20
1.51
0.16
9.44
8.60
2.00
0.40
0.07
0.07
7.53
33.73
65.06
75.17
9.55
15.28
6.50
1.91
0.18
10.61
8.00
0.48
0.22
0.15
0.11
12.29
7.81
71.92
63.34
12.17
24.49
6.00
1.51
0.15
10.07
7.30
0.60
0.18
0.10
0.08
13.09
7.33
229.45
29.69
26.46
43.85
6.50
79
80
Lampiran 8. Nilai kualitas (q = quality value), intensitas penggunaan (i = intensity value), dan tingkat kesukaan (e = exclusivity value) kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori etnobotani (diadaptasi dari Turner, 1988) Kategori nilai kualitas (q) Kategori Makanan pokok Makanan sekunder / tambahan + material primer Bahan makanan lainnya + material sekunder + tumbuhan obat Ritual, mitologi, rekreasi dan lain sebagainya Mere recognition
Nilai / skor 5 4 3 2 1
Kategori intensitas kegunaan (i) Kategori Sangat tinggi intensitas penggunaannya; yaitu jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, digunakan secara reguler hampir setiap hari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya Intensitas penggunaannya tinggi; meliputi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, digunakan secara reguler harian, musiman, atau dalam waktu berkala Intensitas sedang; penggunaan jenis-jenis tumbuhan secara regular tetapi dalam waktu-waktu tertentu, misalnya pemanfaatan yang bersifat musiman. Biasanya jenis-jenis ini diramu, diekstrak, atau bila hasilnya berlebihan bisa diperjual belikan Intensitas pemggunaannya rendah; meliputi jenis-jenis yang jarang digunakan dan tidak mempunyai pengaruh pada kehidupan seharihari masyarakat Sangat jarang intensitas penggunaannya; meliputi jenis-jenis tumbuhan yang sangat minimal atau sangat jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
Nilai 5
4
3
2
1
Kategori tingkat kesukaan (e) Kategori Nilai Meliputi jenis tumbuhan yang menjadi komponen utama dan sangat 2 berperan dalam budaya. Jenis-jenis ini memiliki kegunaan yang paling disukai dan nilai guna tidak tergantikan oleh jenis lain. Meliputi jenis-jenis tumbuhan yang berguna yang disukai tetapi dapat 1 digantikan dengan jenis lain apabila jenis tersebut tidak ada. Meliputi jenis-jenis tumbuhan berguna yang hanya sebagai kebutuhan 0,5 sekunder dengan nilai kesukaannya rendah.
Lampiran 9. Nilai indeks kepentingan budaya (ICS) enam spesies pandan di lingkungan masyarakat Orang Rimba Nilai kualitas (q) 4
Nilai intensitas (i) 4
Nilai eksklusivitas (e) 1
- Air rebusan daun bermanfaat sebagai obat demam dan sakit perut - Digunakan dalam ritual belangun (kematian)
3 2
1 2
- Bahan untuk membuat anyaman tikar dan sumpit (tempat menyimpan rokok/tembakau) - Bahan digunakan dalam ritual pernikahan dan memanggil dewa
3
3 3 Total 4
2
No.
Nama lokal
Nama ilmiah
Kegunaan
1
Pandan harum
Pandanus amaryllifolius
- Pewarna hijau alami dan pewangi makanan
2
Mengkuang tikus
Pandanus labyrinthicus
2
3
Pandan gegas
Benstonea kurzii
- Bahan untuk membuat atap dan dinding rumah/pondok
3
3 Total 4
4
Mengkuang sabut
Benstonea atrocarpa
- Bahan untuk membuat anyaman tikar dan sumpit (tempat menyimpan rokok/tembakau) - Bahan untuk ritual adat kiding yaitu “menjemput padi” (kegiatan sebelum dimulainya masa tanam di lahan perkebunan dan pertanian)
3
1
ICS 16 9 12 37 12
2
12 24 24
Total 3
1
24 9
2
3
2
12
5
Mengkuang ladang
Pandanus furcatus
- Bahan untuk membuat anyaman tikar dan sumpit (tempat menyimpan rokok/tembakau)
3
Total 4
1
21 12
6
Rumbas tapo
Pandanus immersus
- Bahan untuk membuat anyaman tikar dan sumpit (tempat menyimpan rokok/tembakau)
3
Total 4
1
12 12
Total
12
81
82 Lampiran 10. Foto dokumentasi penelitian
Wawancara dengan Tumenggung Tarib
Wawancara dengan Tumenggung Nyuling
Wawancara dengan Tumenggung Betaring
Eksplorasi pandan di TNBD
Pencacahan tumbuhan – analisis vegetasi di lapang
83 Lampiran 10 (lanjutan)
Kondisi hutan di lokasi penelitian
Populasi Benstonea kurzii di lapang
Daun Benstonea kurzii (Pandan gegas)
Atap rumah terbuat dari Pandan gegas
Mengkuang sabut (Benstonea atrocarpa)
84 Lampiran 10 (lanjutan)
Mengkuang ladang (Pandanus furcatus)
Mengkuang tikus (Pandanus labyrinthicus)
Rumbas tapo (Pandanus immersus)
85 Lampiran 10 (lanjutan)
Sumpit (tempat menyimpan rokok dan tembakau)
Tikar pandan hasil anyaman Orang Rimba
Kondisi sosial ekonomi / kehidupan masyarakat Orang Rimba di TNBD
86
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rejang Lebong pada tanggal 31 Januari 1990, sebagai anak sulung dari dua bersaudara dari pasangan Yonis dan Ponija. Pendidikan dimulai di SD Negeri 27 Lebong Utara, Lebong, Bengkulu (1995-2001) dilanjutkan pada SMP Negeri 1 Lebong Utara, Lebong, Bengkulu (2001-2004), kemudian penulis melanjutkan SMA Negeri 1 Lebong Utara, Lebong, Bengkulu (2004-2007). Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan sarjana yang ditempuh di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Bengkulu (UNIB) dan penulis menyelesaikan studi Sarjana pada tahun 2011. Awal tahun 2013 Penulis melanjutkan studi Magister di Sekolah Pascasarjana, Departemen Biologi, Mayor Biologi Tumbuhan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama mengikuti program S-2 penulis menghasilkan karya ilmiah berjudul ‘Etnobotani Pandan (Pandanaceae) di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi’ yang diterbitkan oleh Jurnal Berita Biologi LIPI edisi Agustus 2015. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah mengikuti International Seminar Ecosystem Restoration in the Tropics: Lessons and Best Practices pada tanggal 28 November 2013 dan 3rd International Conference of Indonesia Forestry Research pada tanggal 21 dan 22 Oktober 2015. Untuk menyelesaikan tugas sebagai syarat meraih gelar Magister Sains, penulis melaksanakan penelitian berjudul “Bioekologi dan Etnobotani Pandan (Pandanaceae) oleh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi” dibimbing oleh Dr. Ir. Muhadiono, MSc dan Dr. Ir. Iwan Hilwan, MS.