DISTRIBUSI DAN KEPADATAN SIMPATRIK UNGKO (Hylobates agilis) DAN SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA
AKROM MUBAROK
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
DISTRIBUSI DAN KEPADATAN SIMPATRIK UNGKO (Hylobates agilis) DAN SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA
AKROM MUBAROK
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN AKROM MUBAROK. Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Dibawah bimbingan DONES RINALDI dan ANI MARDIASTUTI. Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) termasuk keluarga Hylobatidae yang dapat dijumpai di Hutan Sumatera. Keduanya merupakan primata arboreal yang hidup dalam kelompok monogami dan memiliki banyak kemiripan termasuk kebutuhan hidup dan perilakunya. Keduanya memiliki banyak kemiripan dan dapat hidup dalam satu area yang sama (simpatrik), salah satunya di Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT). Saat ini, keduanya terancam keberadaanya akibat perubahan dan degradasi hutan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mempelajari distribusi, kepadatan dan pemilihan waktu bersuara kedua spesies simpatrik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah triangle count dan VES (Visual Encounter Survey). Triangle count dilakukan untuk mendapatkan kepadatan, distribusi dan pemilihan waktu panggil ungko dan siamang berdasarkan suara. Triangle count dilakukan pada 4 area dimana setiap area dilakukan survei 4-5 hari berturut-turut. VES dilakukan untuk mengetahui ukuran dan komposisi kelompok serta distribusi kedua spesies. Hasil pengamatan menunjukan ungko dan siamang tersebar hampir di seluruh area Stasiun Penelitian Yayasan Ekosistem Lestari-Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP). Walaupun terjadi tumpang tindih home range dan teritori antar spesies maupun antar kelompok, setiap kelompok ungko dan siamang tetap memiliki teritori yang dipertahankan. Keduanya dapat hidup simpatrik karena tidak berada pada relung ekologi yang sama. Kepadatan populasi ungko dan siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP berturut-turut sebesar 5,12 kelompok/km2 dan 3,37 kelompok/ km2. KHBT yang berupa hutan pegunungan bawah dan hutan Dipterocarpaceae merupakan habitat yang baik bagi ungko. Ungko melakukan group call lebih awal dibandingkan siamang. Probabilitas group call ungko dan siamang stabil pada hari ke-4. KHBT memiliki biodiversitas yang tinggi untuk itu perlu dipertahankan untuk pelestarian plasma nutfah. Pengelolaan KHBT hendaknya memperhatikan keberadaan flora fauna di dalamnya. Ungko dan siamang memerlukan vegetasi dengan tajuk rapat dan kontinu, sehingga dalam pembuatan insfrastruktur seperti jalan dan bangunan tidak membuat habitatnya terpisah-pisah dan tetap menyisakan koridor yang menghubungkan antar hutan.
Kata kunci: ungko, siamang, distibusi, kepadatan, simpatrik, KHBT
SUMMARY AKROM MUBAROK. Distribution and Density of Sympatric Agile Gibbon (Hylobates agilis) and Siamang (Symphalangus syndactylus) in Batang Toru Forest, North Sumatera. Supervised by DONES RINALDI and ANI MARDIASTUTI. Agile gibbon (Hylobates agilis) and Siamang (Symphalangus syndactylus) are belonging to Hylobatidae family and both species can be found in the forest of Sumatera. Both species are arboreal primates living in monogamous groups and have many similarities, including habitat requirements and behavior. Both species are able to live in the same area (sympatric) in Batang Toru forest area, North Sumatera. Currently, both species are threatened to extinction due to the habitat changes and forest degradation. The research objective is to determine the distribution, density, and call timing of the sympatrics Agile Gibbons and Siamangs in Yayasan Ekosistem Lestari - Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP) Research Station, Batang Toru forest (approximately 2.400ha). Data were collected by triangulation and Visual Encounter Survey (VES). Triangulation was performed to obtain population density of both species, distribution and call timing. Triangulation was performed in four sites and each site were surveyed in 4 to 5 consecutive days. VES was carried out to determine the size and composition of the group and the distribution of both spesies. The observations revealed that Agile gibbon and Siamang spreaded almost in all of the study areas. Although the overlapping home ranges between species and between groups occured, each group still has the exclusive territory. Both can live sympatric for not being in the same ecological niche. Population density in Agile gibbon and Siamang in the YEL-SOCP Research Station were 5.12 groups/km2 and 3.37 groups/km2, respectively. The low mountains forest and Dipterocarp forest was the best habitat for Agile gibbons. Agile gibbon made group call earlier than Siamang. The probability of group call in Agile gibbon and Siamang stabilized on day-4. Batang Toru Forest Area has a high biodiversity that need to be maintained for conservation. Batang Toru forest area should be managed in such as way in order to maintain the existence of plants and animals in the study area. Keyword: agile gibbon, siamang, distribution, density, sympatric, KHBT
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Akrom Mubarok NIM E34070054
Judul Skripsi : Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara Nama
: Akrom Mubarok
NIM
: E34070054
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F NIP. 196105181988031002
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc NIP. 195909251983032002
Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580911984031003
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara”. Skripsi ini menyajikan dan membahas data mengenai distribusi dan kepadatan ungko dan siamang yang hidup secara simpatrik di Stasiun Penelitian YEL-SOCP Batang Toru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam mendukung perkembangan ilmu pengetahuan mengenai ungko dan siamang. Selain itu diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menyangkut keberadaan satwa dilindungi dan terancam punah ini. Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Bapak Ir. Dones Rinaldi, MSc.F dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Matthew Nowak yang telah memberikan fasilitas selama penelitian. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah memberi dukungan, bimbingan, dan arahan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Maka dari itu, diharapkan adanya saran dan kritik sebagai upaya penyempurnaan skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 20 Agustus 1989 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak H. Sarana, SPd. dan Ibu Hj. Sri Marwati, S.Pd.I. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2001 di SD Negeri 1 Karangpucung, Kecamatan Tambak, Banyumas. Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan formal ke SLTP Negeri 1 Sumpiuh, Kabupaten Banyumas dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan ke SMU Negeri 2 Purwokerto dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk (USMI) sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi “pelestarian alam” Uni Konservasi Fauna (UKF) dari tahun 2007 hingga sekarang. Penulis menjabat sebagai Ketua Divisi Karnivora pada tahun 2009-2010 dan Ketua Dewan Pertimbangan Umum pada tahun 2010-2011 dalam organisasi yang sama. Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang-Kamojang, Jawa Barat pada tahun 2009 dan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat pada tahun 2010. Selain itu, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2011. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara” dibawah bimbingan Ir.Dones Rinaldi, MSc.F dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc.
UCAPAN TERIMAKASIH Syukur alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Penghargaan dan terima kasih yang pertama penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta (Ibu dan Bapak) atas do‟a dan kasih sayang serta dukungan moral maupun materi yang telah engkau berikan. Kepada Mbah „Biyung” Hj. Siti Romelah dan keluaga besar Fachri (Mba Elok dan Nabil) yang selalu memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dosen pembimbing Bapak Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan, arahan, serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS sebagai dosen penguji dan Ibu Resti Meilani,S. Hut, M.Si sebagai ketua sidang dalam ujian komperhensif.
3.
„Boss‟ Matthew Nowak yang telah memfasilitasi serta bimbingan dan masukanya selama pengambilan data di lapangan.
4.
„Boss‟ M. F. Rakhman Khakim, S.Hut. (Mas Ican) sebagai kordinator Stasiun Penelitian YEL-SOCP Batang Toru, Ronald A. P. Siagian, S.Hut. Alamsyah, Ulil, Nardi, Akhir, Kak Sri, Jumiatik, serta seluruh Staf Yayasan Ekosistem Lestari yang banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
5.
Irvan Nurmansyah dan Fitrotul Aini, S.Hut. sebagai partner dan teman satu lokasi penelitian yang banyak memotivasi serta membantu penulis selama penelitian berlangsung.
6.
Keluarga besar IC Balio 33B Mas Andi PS, Kang Andi NC, Mas Heri S, Mas Kuntoro BA, Kang Raden Yossi Z, Reza P, Niku KH, Mufti FB, Soni SB, JS Lembong, Riski A dan Riski M sebagai keluarga satu atap selama di Bogor.
7.
Keluarga besar Uni Konservasi Fauna IPB yang telah banyak memberikan pengalaman, pembelajaran, serta tempat mengasah diri sehingga menjadi sumber inspirasi penulis selama menjadi mahasiswa. Terima kasih kepada Bang Sasi „Ucok‟ Kirono, Mas Nanang „Kembon‟ KH, Mas „Pakdhe‟ Fatkhurahman AK, Mas Eri „Wedhus‟ K
yang
bersedia menjadi teman sharing mengenai penelitian ini. Terima kasih juga kepada „Tim Shelter‟ Balio dan UKF 5 Juli S, Izzudin, Agung, Bagus C dan lainya. 8.
Teman-teman seperjuangan KSHE 44 KOAK dan FAHUTAN 44 atas kebersamaan selama ini serta menjadi ruang mematangkan diri, persaudaraan dan penyemangat.
9.
Temen-teman saya yang rela meluangkan waktunya untuk ikut serta mengoreksi tulisan ini menjadi lebih baik dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu dalam merampungkan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .....................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Tujuan ....................................................................................
2
1.3 Manfaat ..................................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi ..............................................................................
3
2.2 Morfologi ...............................................................................
3
2.3 Habitat dan Penyebaran .........................................................
4
2.4 Populasi ..................................................................................
6
2.5 Distribusi ................................................................................
8
2.6 Komposisi Kelompok ............................................................
9
2.7 Perilaku ..................................................................................
10
2.8 Persaingan ..............................................................................
11
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi ..................................................................
13
3.2 Alat dan Bahan .......................................................................
14
3.3 Metode Pengumpulan Data ....................................................
14
3.3.1 Triangle Count .............................................................
14
3.3.1 VES (Visual Encounter Survey) ..................................
15
3.3.2 Pemetaan ......................................................................
16
3.4 Analisis Data ..........................................................................
16
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas .......................................................................
18
4.2 Kondisi Fisik ..........................................................................
19
4.3 Potensi Flora dan Fauna .........................................................
19
ii
BAB V HASIL 5.1 Distribusi ................................................................................
21
5.1.1 Kondisi Habitat ............................................................
21
5.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan VES ......
23
5.1.3 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan Triangle Count ...........................................................................
25
5.1.4 Distribusi Intra dan Interspesifik .................................
27
5.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok .........................................
30
5.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko ...................
30
5.2.1 Ukuran dan Kepadatan Kelompok Siamang ................
33
5.3 Kepadatan Populasi ................................................................
34
5.4 Perilaku Bersuara ...................................................................
36
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Distribusi ................................................................................
40
6.1.1 Kondisi Habitat ............................................................
40
6.1.2 Distibusi Ungko dan Siamang di Area Penelitian .......
41
6.1.3 Distribusi Intra dan Interspesifik .................................
42
6.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok .........................................
45
6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko ...................
45
6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang ...............
46
6.3 Kepadatan Populasi ................................................................
47
6.4 Perilaku Bersuara ...................................................................
49
6.5 Implikasi Terhadap Pengelolaan ............................................
50
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ............................................................................
53
7.2 Saran ......................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
55
LAMPIRAN .............................................................................................
60
iii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Klasifikasi Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus ..................
3
2.
Kepadatan ungko dan siamang di Indonesia dan Malaysia (ind/km2) .....
7
3.
Komposisi kelompok ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT ..
32
4.
Komposisi kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT
34
5.
Kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT ...................
35
6.
Kepadatan siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT ...............
36
7.
Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang ............................
39
iv
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Peta sebaran Hylobatidae di Asia Tenggara (Geissmann 1995) ..............
6
2.
Peta transek Stasiun Penelitian YEL-SOCP ............................................
13
3.
Lokasi penelitian Kawasan Hutan Batang Toru ......................................
18
4.
Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP ..............
21
5.
Kondisi habitat ungko dan siamang di lokasi penelitian .........................
22
6.
Aktivitas istirahat pada ungko (kiri) dan makan pada siamang (kanan) ..
23
7.
Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan VES di Stasiun Penelitian YEL-SOCP .............................................................................
8.
Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan triangle count di Stasiun Penelitian YEL-SOCP .............................................................................
9.
24
26
Sketsa perkiraan home range kelompok ungko (kiri) dan kelompok siamang (kanan) berdasarkan VES dan triangle count .............................
28
10. Sketsa tumpang tindih home range ungko dan siamang ..........................
29
11. Perilaku makan pada ungko dan siamang: (a) siamang makan daun, (b) ungko makan daun dan (c) ungko makan buah dan bunga Palaqium rostratum ..................................................................................................
30
12. Ukuran kelompok ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP ....................
31
13. Variasi rambut ungko berwarna kuning (kiri) dan hitam (kanan) ............
32
14. Ukuran kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT ...
33
15. Beda kehitaman warna rambut antara siamang (kiri) dan ungko versi hitam (kanan) ............................................................................................
34
16. Grafik pemilihan waktu dawn call/male solo pada ungko dalam tujuh periode waktu pengamatan dihitung dari frekuensinya ...........................
37
17. Grafik perbandingan aktivitas group call ungko dan siamang pada tujuh periode waktu pengamatan, dihitung dari frekuensinya ..........................
38
v
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Peta transek Stasiun Penelitian YEL-SOCP Batang Toru .......................
61
2.
Daftar perjumpaan ungko dan siamang ...................................................
62
3.
Daftar perjumpaan primata lain ...............................................................
64
1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Satwaliar merupakan makhluk hidup yang memiliki peranan sebagai penyeimbang berjalannya siklus ekologi. Satwaliar pada dasarnya berkaitan sangat erat dengan kehidupan manusia. Namun tidak sedikit manusia yang belum mengetahui dan menyadari pentingnya satwaliar. Hal ini terlihat dari aktivitas manusia yang kerap tidak memperhatikan keberadaan satwaliar, seperti eksploitasi satwa itu sendiri maupun habitatnya. Salah satu satwa yang memiliki peranan penting dan mendapatkan ancaman dari berbagai aktivitas manusia ialah jenis-jenis primata Hylobatidae. Hylobatidae memiliki habitat asli hanya di Asia Tenggara dan sekitarnya termasuk sebagian wilayah Indonesia (Geissmann 1995). Terdapat 3 jenis di Pulau Sumatera yaitu Hylobates agilis, Hylobates lar dan Symphalangus syndactylus. Ketiganya merupakan primata dengan habitat dan perilaku sosial yang mirip. Beberapa wilayah di selatan Danau Toba Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus hidup dalam satu tempat yang sama (simpatrik). Kedua merupakan satwa teritorial, sebagian besar monogami dan memiliki perilaku bersuara yang unik yaitu bersuara sangat keras (Chivers 1974). Keduanya satwa ini sudah diteliti sejak puluhan tahun yang lalu namun tidak banyak data serta informasi mengenai populasi dan demografi (O‟Brien et al. 2004). Padahal dalam upaya konservasi satwaliar, data dan informasi ini menjadi sangat penting, sehingga pembuat kebijakan dan pelaku konservasi dapat mengembangkan upaya strategis dalam pengelolaan dan perkiraan perkembangan populasi satwa ini. Saat ini kondisi hutan sebagai habitat alami simpatrik Hylobatidae semakin memburuk dengan adanya deforestasi. Alih fungsi guna lahan untuk perkebunan, pertanian, pertambangan dan pemukiman tanpa pertimbangan yang lebih jauh mengakibatkan habitatnya semakin sempit. Terlebih lagi dengan adanya fragmentasi habitat dan isolasi yang akan mengancam keberlangsungan hidupnya. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan sehingga ungko dan
2
siamang masuk kedalam status Endangered (ED) IUCN (Whitaker 2009) dan Apendik I CITES. Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) merupakan salah satu habitat alami simpatrik Hylobatidae ini. Hasil penelitian ilmiah diharapkan menjadi informasi dan bahan pertimbangan masyarakat luas dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya menyangkut kawasan hutan beserta ekosistemnya. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara adalah: 1.
Memetakan dan mempelajari distribusi simpatrik Hylobatidae di KHBT
2.
Menghitung
dan
mempelajari
kepadatan
populasi
simpatrik
Hylobatidae di KHBT 3.
Mengidentifikasi dan mempelajari pemilihan waktu bersuara pagi pada simpatrik Hylobatidae di KHBT
1.3 Manfaat Hasil penelitian menunjukan kondisi keberadaan ungko dan siamang di KHBT. Selain itu menjadi bahan pertimbangan, pembanding dan informasi ilmu pengetahuan dalam upaya konservasi ungko dan siamang dan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengelolaan menyangkut kebijakan manajemen KHBT.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang pada Tabel 1.: Tabel 1 Klasifikasi Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus (Napier et al. 1985) Klasifikasi Ungko Siamang Kingdom Animalia Animalia Filum Chordata Chordata Kelas Mammalia Mammalia Ordo Primates Primates Famili Hylobatidae Hylobatidae Genus Hylobates Symphalangus Spesies
Hylobates agilis F. Cuvier 1821
Symphalangus syndactylus Gloger 1841
Nama lokal
Ungko
Siamang
Hylobates agilis memiliki tiga sub-spesies, yaitu Hylobates agilis ungko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis (Supriatna et al. 2000). 2.2 Morfologi Hylobates memiliki ciri-ciri umum yaitu kera kecil tak berekor dengan kepala bulat kecil, hidung tidak menonjol serta rambut tebal dan halus (Chivers 1977 dalam Sultan 2009). Tubuh ungko ditutupi rambut dengan warna yang bervariasi dari terang (coklat keemasan) hingga gelap. Ungko jantan dewasa memiliki rambut berwarna putih di bagian alis dan pipi yang, berbeda dengan betina dewasa yang memiliki rambut putih hanya di bagian alis. Ungko memiliki warna kulit pada pergelangan tangan dan kaki berwarna gelap (hitam), lebih gelap daripada bagian tubuh yang lainnya. Siamang sendiri hanya memiliki satu warna rambut yaitu hitam dan sedikit warna abu-abu gelap di bagian antara dagu dan mulutnya, tidak seperti ungko yang memiliki beberapa variasi warna rambut. Ungko dewasa memiliki bobot badan 5-7 kg dengan panjang/tinggi tubuh 45-50 cm (Supriatna et al. 2000). Hylobatidae memiliki tangan yang lebih
4
panjang dibandingkan kakinya dan satwa ini tidak dapat berenang (Bismark 1984). Struktur tangan, kaki dan jari-jarinya panjang sehingga memungkinkannya untuk menjangkau dahan-dahan di sekitarnya sehingga efektif untuk melakukan pergerakan berayun di tajuk-tajuk pohon dalam hutan (Napier dan Napier 1967). Siamang memiliki ukuran tubuh paling berbeda dengan Hylobatidae lainnya. Siamang jauh lebih besar dan memiliki berat tubuh mencapai 10-15 kg (Palombit 1997). Siamang memiliki ciri khas yaitu kantung suara (gular sacs) serta memiliki selaput diantara jari-jari tangan dan kakinya. 2.3 Habitat dan Penyebaran Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar populasi, yaitu tempat berlindung, pakan dan air (Alikodra 2002). Ungko dapat hidup di hutan primer, hutan hujan dataran rendah, hutan sekunder dan hutan rawa (Supriatna et al. 2000). Menurut Curtin et al. (1979 dalam Bangun 2007), satwa ini dapat beradaptasi terhadap beberapa perubahan lingkungan habitat. Hutan primer memiliki peranan penting sebagai habitat jenis Hylobatidae karena kondisinya lebih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ungko dan siamang
jarang sekali turun ke lantai hutan dan pergerakannya berayun dari pohon ke pohon lain (brakhiasi), sehingga habitat dengan vegetasi yang memiliki tajuk kontinyu antar pohon memiliki peranan penting (Sultan 2009). Makanan ungko dan siamang relatif sama dengan pakan satwa primata lainnya. Pakan ungko yaitu buah, daun, bunga dan beberapa jenis serangga kecil. Keduanya merupakan satwa yang cenderung frugivorous, namun dilaporkan siamang lebih folivorous dibandingkan ungko di Semenanjung Malaysia (Chivers 1974; Palombit 1997). Kebutuhan air ungko dan siamang dipenuhi dari buah-buahan yang dimakan, dari sisa-sisa air hujan yang ada di daun dan kulit pohon serta terkadang meminum langsung dari mata air (Napier et al. 1976). Keduanya memanfaatkan tajuk pohon untuk istirahat dan tempat tidur. Geissmann (2006) melaporkan ada tiga subspesies H. agilis yang memiliki distribusi masing-masing, yaitu: a.
H. a. agilis, tersebar di bagian barat Sumatera, khususnya di bagian pegunungan;
5
b.
H. a. ungko, tersebar di bagian timur Sumatera, khususnya di daerah dataran rendah. Subspesies ini pun tersebar di Semenanjung Malaysia
c.
H. a. albibarbis, tersebar di bagian barat Kalimantan dan Kalimantan Tengah, di bagian utara dibatasi oleh Sungai Kapuas sementara ke arah timur dibatasi oleh Sungai Barito hingga ke utara di hulu Sungai Barito;
Hylobatidae dapat ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara (Gambar 1). Ada lima jenis Hylobates yang tersebar di Indonesia yaitu H. agilis, H. lar, H. klosii, H. moloch dan H. muelleri. Ungko memiliki sebaran di Indonesia (Sumatera), Semenanjung Malaysia dan Thailand. Ada 2 spesies Hylobates yang hidup simpatrik dengan siamang yaitu H. agilis dan H. lar. H. agilis simpatrik di Pulau Sumatera dari Danau Toba ke selatan hingga Lampung dan di Semenanjung Malaysia di utara Sungai Muda. H. lar simpatrik dengan siamang di Pulau Sumatera bagian utara tepatnya di utara Danau Toba dan di Malaysia tepatnya di selatan Sungai Muda. Daerah jelajah primata merupakan area habitat yang digunakan untuk melakukan aktivitas hidup suatu kelompok satwa primata. Ungko memiliki luas daerah jelajah 29 ha atau lebih sempit dibandingkan siamang yaitu 31 ha (Chiever 2001). Daerah jelajah dapat berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada ketersediaan sumber pakan, air, perubahan iklim, persaingan antar kelompok dan beberapa masalah perubahan habitat (Rowe 1996 dalam Duma 2007). Berdasarkan penelitian Iskandar (2007) luas daerah jelajah owa jawa memiliki perbedaan anatara habitat hutan primer dan hutan sekunder. Selain itu, juga terjadi perbedaan luas pada saat musim hujan dan musim kemarau. Iskandar (2007) menyebutkan luas daerah jelajah pada musim hujan lebih sempit daripada saat musim kemarau. Pada hutan primer, luas daerah owa jawa saat musim hujan 16,58 ha, sementara pada musim kemarau 18,91 ha. Berbeda dengan klawet, hasil penelitian Duma (2007) menunjukan luas daerah jelajah klawet sebesar 29,5 ha dengan teritori diperkirakan seluas 23,6-26,6 ha.
6
Gambar 1 Peta sebaran Hylobatidae di Asia Tenggara (Geissmann 1995).
2.4 Populasi Populasi adalah kelompok organisme terdiri dari individu-individu sejenis yang berinteraksi dan mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya pada tempat dan waktu tertentu. Sifat-sifat khas pada suatu populasi antara lain kepadatan, laju kelahiran, laju kematian, sebaran, stuktur umur, nisbah kelamin, sifat genetik dan perilaku (Alikodra 2002). Populasi suatu jenis dapat berubah karena beberapa faktor, yaitu keadaan lingkungan hidup satwa, keadaan sifat hidup satwa (natalitas, mortalitas, survival) dan pergerakan satwa itu sendiri (Wiersum 1973 dalam Alikodra 2002).
7
Tabel 2 Kepadatan Ungko dan Siamang di Indonesia dan Malaysia (ind/km2) No 1
Ungko 1,4 – 2,8
Siamang 4.2 – 10,3
Sumber O'Brien et al. (2004)
1,9
2,8
0 – 11,4
7,2 – 24,6
Yanuar & Sugardjito (1993) Yanuar (2001)
8,82
-
Bangun 2007
12,9
-
Sultan 2009
6
Lokasi TN Bukit Barisan Selatan, Sumatera TN Way Kambas, Sumatera TN Kerinci Seblat, Sumatera TN Batang Gadis, Sumatera TN Batang Gadis, Sumatera Riau, Sumatera
7
Ketambe, Sumatera
-
5–7
8
Sumatera
8,6
9
MacKinnon & MacKinnon (1980); West (1981) Wilson & Wilson (1977)
9
TN Bukit Barisan Selatan, 1,7 – 4,3 Sumatera LAHG, Kalimantan 3.5 – 13.9
2,1 – 5,7
Yanuar (2009)
-
2 3 4 5
10
17,45±5,61 -
Apriadi 2001
13,5 – 15,6
-
8,7
-
Mather (1992)
10,38 8,2 – 18
-
15
Gunung Palung, Kalimantan TN Tanjung Puting, Kalimantan Sabangau, Kalimantan Stasiun Riset Barito Ulu, Kalimantan Sebangau, Kalimantan
Buckley et al. (2006); Hamard et al. (2010) Mitani (1990)
Cheyne et al. (2008) Mather (1992); McConkey et al. (2002) Duma (2007)
16
Sungai Dal, Malaysia
18,92
2,4
17 18 19 20
Ulu Sempan, Malaysia Kulala Lompot, Malaysia Ulu Gombak, Malaysia Malaysia
6,12
6 5 2,4 -
11 12 13 14
10,75±2,99 -
Gittins & Raemaekers, 1980 Chivers (1974) Chivers (1974) Chivers (1974) Chivers (1974)
Kepadatan populasi merupakan ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah atau biomasa per satuan luas atau per satuan volume (Suin 2003). Harianto (1988) menyebutkan, kepadatan populasi primata tergantung kepada tipe habitat, bentuk sosial kelompok, daerah jelajah dan teritorialnya. Iskandar (2007) menjelaskan, penyebaran Hylobates tergantung pada kualitas habitatnya. Kualitas habitat yang semakin baik, semakin banyak pula jumlah kelompok yang ada di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, maka jarak antar kelompok semakin berdekatan dan angka kepadatannya juga semakin tinggi.
8
Kepadatan populasi ungko cenderung meningkat dari selatan ke garis lintang utara di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Sedangkan kepadatan siamang cenderung menurun dari selatan ke utara sementara variabilitas dalam ukuran kelompok tidak menunjukkan tren (O‟ Brien et al. 2004). 2.5 Distribusi Distribusi ungko merupakan lokasi-lokasi yang ditinggali ungko. Sultan (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa ciri kawasan yang menjadi sebaran ungko, yaitu memiliki kerapatan tajuk yang baik sehingga memungkinkan ungko dapat bergerak secara brakhiasi karena umumnya pohon tergolong stratum B, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar (rerata 180 pohon/ha) dan kawasan yang minim interaksi atara ungko dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (>4 km dari batas desa). Ungko tersebar di wilayah yang memiliki ketinggian hingga 1500 m dpl. Ketinggian diatas 1500 m dpl bukan habitat yang baik bagi Hylobates karena memiliki jenis tumbuhan yang sedikit dan jenis tumbuhannya cenderung tidak sesuai untuk melakukan brakhiasi (Rowe 1996 dalam Sultan 2009). Iskandar (2007) juga menyebutkan, semakin tinggi kawasan, maka semakin sedikit kepadatan populasinya. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yaitu potensi sumber pakan yang semakin sulit dan kepadatan tajuk yang menyulitkan pergerakannya (brakhiasi). Sebaran ungko di TN Kerinci Sbelat berada pada habitat berbukit dengan ketinggian 500-800 m dpl. Habitat ungko di TN Batang Gadis meliputi hutan primer dan hutan sekunder pada ketinggian antara 637-967 m dpl. Sultan (2009) dalam penelitiannya mendapatkan persentase sebaran populasi ungko per ketinggian yaitu dari selang 600-1000 m dpl. Hasilnya menunjukan lebih dari separuh sebaran populasi (57,1%) berada pada ketinggian 701-800 m dpl. Sultan (2009) menjelaskan, home range Hylobatidae dapat berubah dengan adanya gangguan yang memaksanya berpindah/merubah wilayahnya. Gangguan yang mempengaruhi antara lain adanya aktivitas manusia dan pemukiman penduduk sehingga dapat menyebabkan fragmentasi habitat. Selain itu, juga dipengaruhi kondisi hutan/kerusakan hutan.
Kasus di Sumatera Selatan
menunjukan bahwa hutan yang terpisah (patches) akibat adanya penanaman karet
9
secara monokultur menyebabkan populasi Hylobates agilis dan Sympalangus syndactylus semakin berkurang meskipun masih menyisakan pohon aslinya (Geissmann et al. 2006). 2.6 Komposisi kelompok Keluarga Hylobatide hidup berkelompok dalam kelompok sosial monogami. Satu kelompok Hylobatide berisi sepasang jantan-betina dewasa dengan anaknya. Satu kelompok ini dapat terdiri dari 3-5 individu. Pasangan Hylobates secara umum melahirkan anak dengan selang waktu 2-3 tahun sekali. Tingkat kelas umur dapat dibagi berdasarkan ukuran tubuh dan perkembangan perilakunya, yaitu sebagai berikut (Gittins et al. 1980): a)
bayi (infant): dari lahir hingga umur dua tahun, ukuran tubuh kecil, pada tahun pertama dibawa atau digendong oleh induk betina selama pergerakannya;
b) anak-1 (juvenil-1): berumur 2-4 tahun, berbadan kecil dan berjalan sendiri didekat induknya; c)
anak-2 (juvenil-2): berumur 4-6 tahun, ukuran tubuh sedang, cenderung melakukan aktivitas makan dan berjalan sendiri;
d) muda (sub-adult): berumur > 6 tahun, ukuran tubuh hampir sama dengan dewasa (induk) tetapi belum matang seksual, tetap dalam kelompok tetapi cenderung memisahkan diri; dan e)
dewasa (adult): memiliki ukuran tubuh maksimal dan hidup berpasangan.
Jantan dan betina hampir dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup sendiri dengan pasangannya sebagai keluarga baru (Kirkwood et al. 1992 dalam Duma 2007). Hylobatidae memiliki ukuran kelompok antara 2-5 individu/kelompok. Ukuran kelompok dengan jumlah lebih dari 4 jarang ditemukan. Adanya kelompok berjumlah 5 individu biasanya disebabkan anak umur dewasa belum keluar dari kelompok induknya untuk membentuk kelompok baru (Sultan 2009). Berdasarkan penelitian Sultan (2009), sebagian besar pasangan ungko di TN Batang Gadis memiliki anak (76,3%) dengan persentase kelompok dengan satu anak 42% dan lebih dari satu anak 34,4%. Struktur umur populasi ungko
10
menunjukan dari urutan paling banyak adalah dewasa, anak dan remaja. Hasil penelitian lain menunjukan, komposisi kelompok populasi jantan dan betina dewasa masing-masing 29,27%, pra-dewasa 4,88%, remaja/anak 26,83% dan bayi 9,75%. Struktur umur populasi pada penelitian dapat diketahui, yaitu dewasa 31,7% pra-dewasa 16,7%, anak 17,5% dan bayi 2,5% (Bangun 2007). 2.7 Perilaku Aktivitas harian pada salwaliar adalah refleksi fisiologis terhadap lingkungan sekitarnya. Hylobates umumnya melakukan aktivitas harian di tajuktajuk pohon (arboreal) yaitu dimulai dari meninggalkan pohon tidur hingga masuk ke pohon tidur selanjutnya. Chivers (1980) dalam Duma (2001) menyebutkan, Hylobates mulai beraktivitas sebelum matahari terbit dan mengakhirinya pada sore hari untuk beristirahat lebih awal dari jenis primata diurnal lainnya. Waktu aktivitas hariannya kurang lebih berlangsung 9,5 jam, dari pukul 06.19 hingga 15.43. Aktivitas yang dilakukan antara lain bersuara, berpindah, makan, bermain dan istirahat. Aktivitas harian kelompok Hylobates diawali dengan bersuara, hal ini dilakukan untuk menunjukan teritorial dan pengaturan ruang antar kelompok. Aktivitas bersuara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling bersautan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok (Bates 1970). Gittins et al. (1980) menyebutkan aktivitas bersuara ungko dilakukan selama ± 15 menit yang terdengar hingga 1 km. Pada ungko jantan hampir dewasa kegiatan bersuara juga dilakukan untuk menarik lawan jenis. Aktivitas bersuara biasanya dilakukan di pohon sumberpakan atau yang berdekatan. Makan merupakan aktivitas yang dilakukan setelah bersuara. Hylobates dapat melakukan kegiatan makan pada satu pohon yang sama selama 2-3 hari berturut-turut. Pada saat itu, satwa jenis ini melakukan perpindahan dan biasanya tidur di sekitar atau di dekat pohon pakan. Lama aktivitas makan tergantung pada jenis dan kelimpahan jenis pakan. Hylobates makan dengan cara memetik satupersatu buah atau daun muda yang dimakan (Rinaldi 1992).
11
Secara umum, jenis-jenis Hylobatidae memiliki perilaku yang sama. Hasil penelitian Iskandar (2007) perilaku yang dilakukan yaitu makan, sosial, lokomosi agresi dan istirahat. Owa jawa paling banyak melaksanakan aktifitas istirahat dan makan. Hampir sama dengan hasil penelitian Duma (2007) pada klawet, aktivitasnya lebih banyak makan dan istirahat. Lebih jauh menjelaskan, klawet memulai aktivitas harian antara pukul 04.50-07.10 WIB yaitu vokalisasi (duet call). Setelah itu mulai meninggalkan pohon tidur untuk berpindah, makan dan istirahat. Setelah pukul 16.00 WIB, klawet sudah beristirahat penuh. 2.8 Persaingan Hylobates adalah spesialis buah masak (Chivers 2001) yang menggunakan buah ficus sebagai sumber utama (Marshall et al. 2009). Asumsi bahwa siamang adalah folivorous benar, namun gagasan bahwa siamang bergantung pada buah ficus ke tingkat yang sama seperti Hylobatidae lain juga ditunjukan dalam berbagai penelitian (Plombit et al. 1997). Chivers et al. (1986) mengusulkan bahwa siamang lebih akurat digambarkan sebagai ''pencari ficus,'' pemikiran ini didukung juga oleh Palombit (1997). Chivers et al. (1986) menunjukan Hylobates sebagai spesialis buah lunak, namun Palombit (1997) dan Marshall (2004) menemukan bahwa owa bertubuh kecil (H. lar and H. albibarbis) menekankan buah ficus pada tingkat yang sama seperti siamang. Dua spesies menempati relung ekologi yang sama dalam satu wilayah, akan menjadi sangat kompetitif, kecuali dua berbeda dalam beberapa dimensi relung digunakan (Brown et al. 1956). Spesies Hylobatidae bertubuh kecil memiliki distribusi yang lebih luas (dari Cina hingga Jawa) dari siamang dan memungkin hidup dalam tempat yang sama (simpatrik) atau berbeda (allopatrik) dengan siamang (Geissmann 1995). Jenis-jenis Hylobatidae bertubuh kecil umumnya allopatric dalam distribusinya, tersebar di Thailand, Malaysia, dan Kalimantan (Brockelman dan Gittins 1984; Gittins 1978; Marshall dan Brockelman 1986;. McConkey et al. 2002). Berbeda dengan siamang yang tumpang tindih dengan spesies Hylobatidae lain (H. lar atau H. agilis) di seluruh rentang mereka (Geissmann 1995). Oleh karena itu, siamang selalu menghadapi kompetisi intraspesifik dan persaingan dalam memperoleh sumberdaya sangat tinggi (Raemaekers 1984;. O'Brien et al. 2004). Ukuran tubuh besar siamang menjadi
12
peran kunci sehingga memungkinkannya hidup bersama dengan jenis yang ukurannya lebih kecil (Raemaekers 1984). Elder (2009) berasumsi siamang mengkonsumsi lebih banyak daun diharapkan untuk mengurangi persaingan langsung dengan Hylobatidae lain saat mereka hidup simpatrik. Teori ekologi memprediksi perbedaan relung antara spesies yang tinggal simpatrik (Brown et al. 1956), spesies Hylobatidae simpatrik menunjukan adanya tumpang tindih secara luas dalam ekologi dengan menggunakan bagian yang sama pada ruang kanopi (Raemaekers 1977; MacKinnon et al. 1980), makanan dan ukuran ruang (Raemaekers 1984; Palombit 1997). Siamang dan owa tangan putih dipelajari memiliki perbedaan dalam proporsi makan. Sebagai contoh, di Sumatera bagian utara yang didominasi kedua spesies pemakan buah, makan lebih banyak buah ficus dan memperoleh sebagian besar protein mereka dari serangga, namun siamang menghabiskan lebih banyak waktu makan daun muda (siamang 16%, owa tangan putih 4%) dan owa tangan putih makan buah lunak lebih lama (owa tangan putih 26%, dari siamang 18%) (Palombit 1997). Jika, pada kenyataannya siamang dan Hylobatidae bertubuh kecil dibatasi oleh makanan yang berbeda (daun muda dan buah lunak), maka perbedaan dalam kepadatan populasi mereka mungkin mencerminkan variasi dalam ketersediaan sumberdaya (Elder 2009). O'Brien et al. (2004) menunjukkan bahwa dalam rentang distribusi siamang, kepadatan populasinya menurun dari selatan ke utara untuk siamang dan meningkat untuk ungko. Pola ini mungkin muncul dari lebih tingginya ketersediaan buah ficus di selatan ke utara (Palombit 1997; O'Brien et al. 2004). Siamang diharapkan memiliki keunggulan kompetitif dari ungko dalam memanfaatkan bagian ini karena ukuran tubuh yang lebih besar (Raemaekers 1984). Sebaliknya, kepadatan pohon buah-buahan meningkat lebih kecil dari selatan ke utara dan ungko mungkin lebih efisien dalam mencapai dan memakan sumberdaya lebih besar dalam dimensi ruang (O'Brien et al. 2004).
13
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Utara - Sumatera Utara, tepatnya di Stasiun Penelitian Yayasan Ekosistem Lestari – Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP). Kegiatan penelitian dilakukan para area seluas 2.400 ha. Stasiun Penelitian memiliki transek sebagai penunjuk lokasi (Gambar 2).
Gambar 2 Peta transek Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
14
3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah peta lokasi penelitian, Global Positioning System (GPS), binokuler, kompas, kamera, jam tangan, head ligh dan alat tulis. Bahan penelitiannya adalah ungko dan siamang yang merupakan obyek utama dan Kawasan Hutan Batang Toru sebagai habitatnya. 3.3 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari kegiatan pengamatan di lapangan menggunakan metode pengambilan data yang sudah ditentukan. Sedangkan data sekunder merupakan data maupun informasi yang diperoleh dari hasil studi literatur yang relevan sebagai pendukung kajian penelitian. Sensus cukup sulit dilakukan karena mereka cenderung berada di tempat yang tinggi, kanopi yang rapat, sangat waspada dan memiliki respon tidak terduga dari deteksi manusia dengan berpindah diam-diam dan kemudian bersembunyi (O‟Brian et al. 2004). Penentuan metode yang tepat sangat menentukan akurasi data. Brockelman et al. (1987) merekomendasikan penggunaan metode penghitungan titik untuk menghindari masalah yang terkait dengan keterbatasan visibilitas objek pada kanopi dan variabel responnya untuk terdeteksi oleh manusia. Perilaku Hylobatidae melakukan morning call yang dapat terdengar hingga lebih dari 2 km pada beberapa medan (O‟Brien at al. 2004), meskipun great call umumnya terdengar sejauh 1 km di dalam hutan (Brockelman at al. 1987). Karena sifat vokal satwa ini, metode audio sampling terbukti lebih efektif dibandingkan metode transek garis (Brockelman et al. 1993). Triangle count diperlukan untuk menentukan lokasi akurat keberadaan Hylobatidae karena topografi bergelombang dan tutupan hutan, jarak pengamat dengan Hylobatidae sulit diketahui berdasarkan volume suara. 3.3.1 Triangle Count Triangle count didesain untuk mengetahui posisi objek dengan menarik sudut sehingga menemukan satu titik pertemuan garis-garis direksi. Satu area pengamatan terdapat tiga pos pada formasi triangle count, yaitu pos A, B dan C.
15
Masing-masing pos berpencar membentuk segitiga. Jarak tiap antar pos antara 300-500 m (Brockelman et al. 1993; Buckley et al. 2006; Cheyne et al. 2008). Group call digunakan untuk pengambilan sempel populasi Hylobatidae. Probabilitas bersuara Hylobatidae stabil saat hari ke-4 (Brockelman et al. 1987; Brockelman et al. 1993; O‟Brien et al. 2004; Buckley et al. 2006), sehingga pengamatan dilakukan selama minimal 4 hari berturut-turut dalam satu area. Pengamatan hanya dilakukan pada saat cuaca cerah atau tidak hujan. Apabila hujan terjadi maka pengamatan hari itu diganti hari berikutnya. Pengamatan dilakukan pada pukul 05.00-12.00 WIB (O‟Brien et al. 2004). Waktu ini ditentukan berdasarkan perilaku Hylobatidae saat melakukan aktivitas bersuara pagi. Area pengamatan ditentukan pada tempat-tempat yang strategis agar suara dapat terdengar lebih jelas, misalnya di bukit-bukit yang memiliki ketingian lebih dibandingkan tempat lainnya. Setelah sebelumnya melakukan survei didapat 16 pos pendengaran dalam 4 area. Metode ini dilakukan oleh tiga orang pengamat yang berada pada pos-pos terpisah yang sudah ditentukan sebelumnya. Masing-masing pengamat diam di titik yang telah ditentukan dan mencatat data,
yaitu cuaca, jenis, waktu
dimulainya suara, lamanya suara didengar, arah suara/azimut, estimasi jarak dan jenis suara. Luas area penelitian setiap area merupakan radius 1 km dari tiap pos pengamat. Radius 1 km digunakan dengan asumsi kemampuan pengamat mendengar suara Hylobatidae secara optimal. 3.3.2 VES (Visual Encounter Survey) Pengamat mencari dan melihat kelompok Hylobatidae secara langsung dan mencatat jumlah individu, komposisi dan kepadatan kelompok. Data jumlah individu didapat dengan menghitung individu dari semua kelompok. Komposisi kelompok dibagi berdasarkan struktur umur yang diidentifikasi dari ukuran tubuh dan perilakunya. Kelompok dibedakan dengan mengidentifikasi jumlah, struktur umur, ciri fisik dan lokasi penemuan. Pengambilan data kepadatan populasi dilakukan dengan VES lapang untuk menemukan ukuran dan komposisi kelompok ungko maupun siamang. Kelompok yang ditemukan sebisa mungkin diikuti sehingga
16
data yang didapat semakin akurat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi anggota kelompok yang sedang memisahkan diri. VES dilakukan di area transek dan di fokuskan di wilayah selatan dan timur stasiun penelitian. Jumlah pengamat sebanyak 5-8 pengamat yang terbagi menjadi 3-4 tim selama 40 hari. VES dilakukan mulai pukul 07.30-15.00 WIB. VES tidak dilakukan saat turun hujan. 3.3.3 Pemetaan Hasil titik triangle count dan perjumpaan langsung saat dituangkan dalam peta setiap setelah pengamatan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui distribusi Hylobatidae dan memberikan data kepadatan kelompok. Titik-titik triangle count pada masing-masing jenis dengan jarak >500 m terpisah dianggap kelompok berbeda. Pada ungko, Jarak ini ditentukan berdasarkan perkiraan diameter perpindahan kelompok Hylobatidae diantara waktu bersuara (O‟Brien et al. 2004). O‟Brien et al. (2004) menjelaskan dengan wilayah jelajah 70 ha, bila diasumsikan berbentuk lingkaran akan didapat diameter 472 m. Sehingga 500 m adalah jarak pemisahan konservatif antar titik suara untuk membedakan kelompok (O‟Brien et al. 2004). Pada siamang, perpindahan dalam 3 jam pertama aktivitas sehari-harinya sangat jarang melebihi 500 m (O‟Brien et al. 2004). Sehingga 500 m merupakan batas jarak untuk membedakan suara kelompok berbeda (Brockelman et al.1993; O‟Brien et al. 2004).
3.4 Analisis Data Distribusi ungko dan siamang dianalisis berdasarkan peta dari perjumpaan langsung dan triangle count. Hasil distribusi dua metode dikembangkan membentuk sketsa pembagian home range masing-masing spesies. Selanjutnya tumpang tindih home range dan teritori antar spesies dianalisis secara deskriptif terkait distribusi intra dan interspesifik. Perkiraan kepadatan diperoleh berdasarkan perhitungan denagan rumus (Brockelman et al. 1993): D = n / [ p (m) x E] D adalah kepadatan, n adalah jumlah kelompok terdengar per periode sampel, p (m) adalah proporsi bersuara kelompok selama periode sampel dan E adalah area
17
efektif pendengaran. Area efektif pendengaran ditentukan berdasarkan polygon yang terbentuk dari titik-titik terluar suara kelompok terdeteksi. Proporsi bersuara kelompok selama periode sampel [p (m)], ditentukan dengan rumus: p (m) = 1 – [ 1 – p (1) ]m dimana p (1) adalah probabilitas rata-rata bersuara selama hari tertentu dan m adalah jumlah hari survei.
18
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Secara administratif Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terletak di Propinsi Sumatera Utara yang mencakup tiga kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Secara geografis KHBT terletak di antara 980 53‟ – 990 26‟ Bujur Timur dan 020 03‟ – 010 27‟ Lintang Utara (Gambar 3). Luas KHBT sebesar 132.716 ha terbagi 90.106 ha atau sekitar 60% di Kab. Tapanuli Utara, 45.953 ha atau sekitar 31% di Kab. Tapanuli Selatan dan 12.510 ha atau sekitar 8.4% di Kab. Tapanuli Tengah. Berdasarkan fungsi hutan dan penetapannya, KHBT terbagi menjadi hutan produksi tetap seluas 115.241,6 ha, hutan lindung seluas 17.382,7 ha, hutan suaka alam 12.994,7 ha dan hutan produksi terbatas seluas 2.951,1 ha (Perbatakusuma et al. 2007). Lokasi penelitian ditunjukan pada Gambar 3.
Gambar 3 Lokasi penelitian Kawasan Hutan Batang Toru.
19
4.2 Kondisi Fisik KHBT memiliki topografi yang beragam mulai landai hingga terjal, lebih didominasi daerah perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lahan antara 16% hingga lebih dari 60%. Ketinggian kawasan mulai dari 50 meter diatas permukaan laut (m dpl) di sekitar Sungai Sipan Sihaporas hingga 1,875 m dpl di Puncak Dolok Lubuk Raya. Kawasan ini juga dilewati
rangkaian jalur
pegunungan vulkanis aktif Pegunungan Bukit Barisan Selatan. Daerah ini juga merupakan Daerah Patahan Besar Sumatera atau dikenal sebagai bagian dari rangkaian Sub Patahan Batang Gadis – Batang Angkola – Batang Toco. Kondisi ini menyebabkan kawasan memiliki potensi besar terjadinya gempa bumi akibat pergerakan patahan (Perbatakakusuma et al. 2007). Jenis tanah di area kawasan antara lain ultisolik, alluvioculluvial dan inseptisolic. Area kawasan secara umum tersusun oleh 15 jenis batuan geologis yang didominasi batuan Qvt. Batuan Qvt merupakan batuan vulkanik tufa toba (Toba Tuffs) yaitu batuan polimik bersusun riolit-dasit, aliran tufa kristal, gelas, debu dengan sedikit tufa eksposif pada bagian atasnya. Kawasan ini masih memiliki tutupan hutan relatif baik dan utuh. Terdapat sedikitnya lima Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Das Batang Toru, DAS Aek Kolang, DAS Bila, DAS DAS Barumum dan DAS Batang Gadis. Kondisi ini menjadikan KHBT memiliki fungsi ekologi yang cukup tinggi sehingga sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitar kawasan, baik sebagai pengatur tata air maupun sebagai pencegah banjir, erosi dan tanah longsor. Selain itu, potensi ini juga dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi PLTA Sipan Sihaporas (Midora dan Angraeni 2007 dalam Perbatakakusuma et al. 2007). 4.3 Potensi Flora dan Fauna KHBT memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Kawasan ini memiliki beberapa tipe habitat. Tipe habitat yang ada di KHBT diantaranya hutan pegunungan bawah, hutan gambut dan hutan dataran rendah. Jenis pohon yang mendominasi tiap vegetasi berbeda-beda pada masing-masing habitat. Jenis-jenis itu antara lain dari famili Casuarinaceae, Podocarpaceae, dan Myrtaceae. Pada hutan dataran rendah terdapat jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae dan Fagaceae. KHBT juga menyimpan jenis-jenis anggrek hutan, Nephentes spp. dan
20
Rafflesia spp. Berdasarkan inventarisassi yang telah dilakukan kawasan ini memiliki 688 jenis tumbuhan. Dari sekian banyak jenis tumbuhan, terdapat 8 jenis terancam punah, 3 endemik Sumatera, 4 jenis dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, 2 jenis endemik dan langka yaitu Amorphophalus baccari dan Amorphophalus gigas. Selain itu juga terdapat 3 jenis Nephenthes yang terancam punah (Perbatakusuma et al. 2007). Berdasarkan inventarisasi fauna yang telah dilakukan, KHBT memiliki 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna. Pada jenis mamalia terdapat 20 jenis satwa dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999, 12 jenis masuk kedalam daftar terancam punah IUCN dan 14 jenis masuk kategori CITES. Jenis-jenis satwaliar yang terancam punah antara lain ungko (Hylobathes agilis), siamang (Symphalangus syndactilus), orangutan sumatera (Pongo abelii), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus) dan lainnya. Pada jenis burung terdapat 51 jenis dilindungi PP No. 7 Tahun 1999. Jenis burung langka yang ditemukan di kawasan ini antara lain jenis rangkong seperti Buceros rhinoceros, Buceros bicornis, Rhyticeros comatus dan Rhinoplax vigil. Jenis-jenis elang seperti Ictinaetus malayensis, Spilornis cheela dan Accipiter virgatus (Perbatakusuma et al. 2007). Pada jenis herpetofauna terdapat 4 jenis endemik, 7 jenis masuk kategori CITES dan 5 jenis terancam punah secara global (Perbatakusuma et al. 2007).
21
BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan berdasarkan kombinasi struktur vegetasi dan habitat fisik, yaitu habitat hutan gambut, Dipterocarpaceae atas, dan peralihan (Gambar 4). Habitat hutan gambut ditandai dengan adanya tumbuhan khas seperti kantung semar dan mosses. Tajuk pada hutan gambut didominasi oleh pepohonan dengan daun berwarna coklat kemerahan seperti mayang merah (Palaquium sp.). Daerah peralihan ditunjukan
Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
22
23
5.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan VES Perjumpaan dengan ungko dan siamang paling banyak terjadi pada saat melakukan aktivitas pergerakan (moving). Perjumpaan juga terjadi pada saat aktivitas makan,
istirahat, bersuara dan beberapa kali aktivitas membuang
kotoran pada ungko (Gambar 6).
Gambar 6 Aktivitas istirahat pada ungko (kiri) dan makan pada siamang (kanan). Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan titik-titik perjumpaan selama penelitian (Gambar 7). Tercatat ada 59 perjumpaan ungko (110 individu) dan 23 perjumpaan siamang (46 individu). Perjumpaan banyak terjadi di bagian timur dan selatan, hal ini dikarenakan VES lebih difokuskan di daerah tersebut. Berdasarkan titik-titik perjumpaan yang disajikan pada peta, dapat menggambarkan distribusi dan besarnya populasi relatif ungko dan siamang. Selain menggambarkan populasi relatif, data ini juga dapat menunjukan posisi strategis untuk menjumpainya. Terlihat ada siamang dan ungko dijumpai pada titik lokasi yang sama, namun ada beberapa lokasi hanya dijumpai ungko dan hanya dijumpai siamang.
24
Gambar 7 Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan VES di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
25
Selain kedua spesies, juga dijumpai primata lain yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii), simpai (Presbytis melalophos) dan beruk (Macaca nemestrina) (Lampiran 3). Mereka sama-sama primata arboreal yang hidup di tempat sama. Simpai dan beruk memiliki wilayah jelajah yang lebih sempit dan cukup terkonsentrasi di suatu wilayah. Sementara orangutan memiliki wilayah jelajah sangat luas dibandingkan jenis primata lain di area penelitian. Individu orangutan yang sama dapat ditemukan di lokasi berbeda hingga berjarak lebih dari 3 km dalam waktu dua hari. 5.1.3 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan Triangle Count Selain perjumpaan langsung, titik-titik perkiraan lokasi ungko dan siamang yang disusun berdasarkan data triangle count (Gambar 8). Triangle count dilakukan di 4 area yang memiliki tumpang tindih. Tumpang tindih area dilakukan karena lokasi penelitian memiliki topografi ekstrim sehingga memungkinkan adanya suara yang tidak terdengar. Distribusi berdasarkan triangle count menunjukan titik-titik keberadaan siamang lebih luas daripada ungko. Hal ini disebabkan karena suara yang dikeluarkan siamang lebih keras. Distribusi siamang terdeteksi lebih dari 1km dari pengamat. Sementara suara ungko terdengar lebih dari 1km pada kondisi tertentu yaitu saat lokasi sumber suara tidak terhalang bukit. Estimasi berdasarkan titik-titik hasil triangle count (Gambar 9) mewakili titik-titik lokasi keberadaan ungko dan siamang hasil VES (Gambar 8) dengan area yang lebih luas. Sebagian besar area ditempati oleh kedua jenis, beberapa lokasi terlihat hanya terdapat ungko saja atau siamang saja. Ada beberapa lokasi yang tidak di jumpai ungko dan siamang secara langsung, namun ada titik-titik perkiraan keberadaan berdasarkan triangulasi. Hal ini dkarena VES tidak dilakukan di semua wilayah Stasiun Penelitian. Lokasilokasi tersebut terdeteksi berdasarkan suara, selain itu jarak yang relatif dekat dengan titik-titik perjumpaan langsung, terutama di wilayah selatan dan timur.
26
Gambar 8 Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan triangle count di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
27
5.1.4 Distribusi Intra dan Interspesifik Distribusi ungko dan siamang membentuk blok-blok home range dan teritori. Setiap Kelompok memiliki mekanisme dalam mendapatkan dan mempertahankan daerah kekuasaan dengan vokalisasi. Posisi ditemukannya kelompok menunjukkan daerah tersebut menjadi bagian home range. Hasil pengamatan dan survei suara menunjukan pola pembagian wilayah ungko dan siamang di area penelitian. Peta sebaran ungko dan siamang dari hasil VES dan triangle count dapat menunjukkan sketsa distribusi home range masing-masing kelompok pada ungko dan siamang (Gambar 9). Selama penelitian dijumpai 13 kelompok ungko dan 9 kelompok siamang yang teridentifikasi ukuran dan komposisinya. Beberapa kelompok lain dijumpai namun tidak teridentifikasi jumlah individunya yaitu kelompok siamang SJ, SK dan SL. Ungko dan siamang memiliki cara yang khas dalam mempertahankan wilayahnya. Perilaku yang dilakukannya ialah vokalisasi untuk menandakan keberadaan suatu kelompok terhadap kelompok tetangganya. Konflik antar kelompok dapat terjadi saat terjadi pertemuan antar kelompok (encounter). Encounter banyak terjadi di dekat perbatasan dan area tumpang tindih home range. Secara umum pada saat encounter jantan dewasa berada pada paling depan dan saling bertatapan dari kejauhan. Sementara betina berada di belakangnya dan bersuara keras. Pada survei suara, encounter dapat di ketahui berdasarkan dua vokalisasi kelompok atau lebih dalam satu lokasi. Selama penelitian, sedikitnya terdapat 9 lokasi dijumpai encounter pada ungko dan 1 kali pada siamang. Tumpang tindih wilayah sangat besar terjadi antara kedua spesies. Hampir semua home range dan teritori antar kedua spesies tumpang tindih. Tumpang tindih terjadi diperkirakan mencapai lebih dari 80% (Gambar 10). Hampir di semua lokasi ditemukannya ungko selama penelitian ditemukan juga siamang. Ada sebagian wilayah kelompok ungko GA tidak ditemukan siamang baik dari perjumpaan langsung maupun tanda keberadaan berdasarkan suara. Namun, sebagian wilayah kelompok ungko GA tumpang tindih dengan siamang kelompok SA dan SF.
28
Keterangan :
area tumpang tindih;
encounter
Gambar 9 Sketsa perkiraan home range kelompok ungko (kiri) dan kelompok siamang (kanan) berdasarkan VES dan triangle count.
29
...... ____
Siamang Ungko encounter
Gambar 10 Sketsa tumpang tindih home range ungko dan siamang. Ungko dan siamang memiliki persaingan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Selama pengamatan dijumpai dua kali encounter antar keduanya. Pertama, ungko masuk ke pohon Ficus sp. yang sama dengan siamang, namun siamang tidak menghiraukan. Ungko hanya singgah sebentar untuk makan dan kemudian pergi meninggalkan pohon dan siamang masih tetap di pohon. Kedua,
30
siamang memberikan respon mengusir ungko ketika datang dan ungko pergi menjauh dengan cepat. Persaingan antar keduanya juga terjadi dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya. Perselisihan tidak dijumpai secara langsung, namun ungko dan siamang ditemukan makan buah dan daun yang sama pada waktu yang berbeda. Kedua jenis dijumpai memakan buah daun dan bunga (Gambar 11). Jenis-jenis vegetasi yang sama menjadi sumber pakan bagi keduanya antara lain buah Ficus, bunga dan buah Palaqium rostratum dan buah Camnosperma auriculatum.
Gambar 11 Perilaku makan pada ungko dan siamang: (a) siamang makan daun, (b) ungko makan daun dan (c) ungko makan buah dan bunga Palaqium rostratum. 5.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok 5.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko Ungko dan siamang merupakan satwa primata yang hidup dalam kelompokkelompok keluarga monogami selayaknya jenis-jenis Hylobatidae lainnya. Setiap kelompok umumnya terdiri dari sepasang induk jantan dan betina beserta anak. Induk jantan dan betina melahirkan satu anak per kelahiran serta hidup bersama hingga menjelang dewasa dan keluar membentuk kelompok baru. Anak dapat hidup dengan induknya hingga berumur ± 10 tahun, dengan rentang waktu kelahiran 3,2 tahun (Mitani 1990) maka satu kelompok dapat berjumlah 5 individu dengan 3 anak didalamnya. Selama pengamatan di stasiun penelitian ada 14 kelompok ungko yang teridentifikasi. Ukuran kelompok ungko yang bervariasi antara 2-5 individu per
31
kelompok. Kelompok dengan ukuran 3 individu memiliki persentase terbanyak yaitu 64% (9 kelompok) kemudian diikuti 2 dan 4 individu masing-masing 14% dan 5 individu sebesar 7% (Gambar 12). Setiap kelompok ungko sebagai satwa monogami umumnya memiliki 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa sebagai pasangan dan 1-2 anak sebelum mandiri serta memisahkan diri untuk membentuk kelompok baru.
persentase
80 64
60
rata-rata = 3,14 ind/kel
40 14
14
20
7 0 1
2
3
4
5
Ukuran kelompok (individu)
Gambar 12 Ukuran kelompok ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. Individu-individu pada kelompok memiliki komposisi baik dari jenis kelamin maupun kelas umur. Ungko memiliki variasi warna rambut yang dapat hidup dalam satu kelompok. Komposisi kelompok dapat menunjukan pola kelangsungan hidup dalam berkembang biak. Selain itu komposisi tiap kelompok juga mempengaruhi sistem sosialnya. Selama pengamatan tercatat 14 kelompok dengan komposisi bervariasi (Tabel 3). Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan jantan dan betina (sex ratio) secara menyeluruh sebesar 19:17. Hal ini wajar karena ungko merupakan salah satu jenis Hylobates yang dikenal monogami. Dari 44 individu ungko yang ditemukan, ada 8 individu tidak teridentifikasi jenis kelaminnya. Delapan individu tidak teridentifikasi kelamin sebagian besar merupakan bayi (umur <2 tahun) dan beberapa anak (umur 2-6 tahun). Komposisi kelas umur pada kelompok ungko memiliki perbandingan dewasa:pra-dewasa:anak:bayi berturut-turut sebesar 62,90:9,10:11,36:13,64.
32
33
kelompok ungko yang terdeteksi, tercatat 48% kelompok berwarna rambut hitam semua, 23% berwarna kuning dan 29% berwarna campuran kuning hitam. 5.2.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang Hasil pengamatan tercatat 9 kelompok siamang yang teridentifikasi. Ukuran kelompok siamang bervariasi antara 1-4 individu per kelompok. Kelompok dengan ukuran 3 individu memiliki persentase terbanyak yaitu 67% (6 kelompok). Sama seperti kelompok ungko, setiap kelompok siamang juga merupakan satwa monogami yang umumnya memiliki 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa sebagai pasangan dan 1-2 anak sebelum mandiri serta memisahkan diri untuk membentuk kelompok baru. Ukuran
kelompok
siamang
di
lokasi
penelitian
sebesar
2,78
individu/kelompok, lebih kecil dibandingkan ungko (3,14 individu/kelompok). Pada siamang jarang ditemui kelompok lebih dari 3 individu dan hanya ada 14% kelompok dengan 4 individu yang merupakan kelompok dengan anggota terbesar (Gambar 14). Berbeda dengan ungko, ada 21% kelompok yang anggotanya lebih dari 3 individu dan dijumpai juga kelompok dengan 5 individu.
Persentase
80
67
rata-rata = 2,78 ind/kel
60 40 20
11
11
11
0 1
2
3
4
5
Ukuran kelompok (individu)
Gambar 14 Ukuran kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT. Selama pengamatan dijumpai 9 kelompok siamang yang seluruhnya berjumlah 25 individu dengan komposisi bervariasi (Tabel 4). Terdapat 19 individu teridentifikasi jenis kelaminnya yaitu 10:9 betina dan jantan. Komposisi kelas
umur
pada
kelompok
siamang memiliki
dewasa:anak:bayi sebesar 68:4:20:8 (Tabel 4).
persentase
dewasa:pra-
34
Tabel 4 Komposisi kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT Dewasa
Pra-dewasa
Anak
Bayi
Σ
SA
B 1
J -
J -
B -
J -
B -
? -
-
1
SB
1
1
-
-
1
-
-
1
4
Kelompok
SC
1
1
-
1
-
-
-
-
3
SD
1
1
-
-
-
-
1
-
3
SE
1
1
-
-
-
-
1
-
3
SF
1
1
-
-
-
-
-
-
2
SG
1
1
-
-
-
-
1
-
3
SH
1
1
-
-
-
-
-
1
3
SI
1
1
-
-
1
-
3
Σ
9
8
4
2
25
36
32
16
8
100
8
100
Persentase
68
0
-
-
1
1
4
4
4
0 20
Ket: J = jantan; B = betina; ? = tidak teridentifikasi
Warna rambut hitam antara siamang dan ungko memiliki perbedaan. Perbedaan warna hitam pada ungko dan siamang terlihat mencolok pada saat terkena sinar matahari langsung (Gambar 15). Siamang memiliki warna rambut hitam pekat. Warna rambut hitam ungko tidak pekat dan lebih terlihat pudar menuju coklat.
Gambar 15 Beda kehitaman warna rambut ungko versi hitam (kanan).
antara siamang (kiri) dan
5.2 Kepadatan Populasi Kepadatan populasi merupakan banyaknya individu per satuan luas. Kepadatan satwaliar cukup sulit diketahui karena sifat liar itu sendiri. Namun, ada metode yang memudahkan hal tersebut. Primata jenis-jenis Hylobatidae seperti ungko dan siamang memiliki vokalisasi khas yang dapat mempermudah mengetahui kepadatan yaitu dengan metode triangle count. Vokalisasi yang dimaksud dalam metode triangle count yaitu group call dan duet call jantan dan
35
betina dewasa pada setiap kelompok. Vokalisasi dapat menunjukan informasi keberadaan kelompok di suatu titik lokasi. Vokalisasi solo tidak dipakai karena tidak menunjukan suatu kelompok. Kepadatan populasi pada Hylobatidae dapat menunjukan besarnya persaingan, tumpang tindih wilayah (home range) antar kelompok sejenis dan keberlangsungan hidup suatu spesies dalam mempertahankan keturunannya. Kepadatan yang besar akan mengakibatkan tingginya persaingan dan tumpang tindih wilayah. Namun kondisi ini lebih menjamin kelestarian spesies tersebut daripada kepadatan yang rendah dalam habitat yang normal. Belum diketahui secara pasti mengenai kepadatan ideal pada ungko dan siamang. Hasil kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan hasil data yang dipetakan menggunakan ArcGis 9.3, area dengar efektif triangle count sebesar 2,64 ha. Area dengar efektif dipengaruhi oleh pemilihan pos pendengaran dan topografi area survei. Hambatan suara pada survei adalah terhalang bukit, arah angin dan suara bising di sekitar pos. Pos pendengaran yang baik yaitu berada pada lokasi tertinggi di areanya sehingga dapat mengurangi hambatan. Tabel 5 Kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT Estimasi Area Dengar
Area Dengar Efektif
1
(km2) 4,53
(km2) 2,36
2
4,79
2,28
3
4,73
4
4,79
Rerata
4,71
Area
Kepadatan
Grup Terdengar
p (1)
m (hari)
p (m)
12,00
0,52
5,00
12,00
0,60
4,00
2,39
12,00
0,48
3,54
16,00
0,75
2,64
13,00
0,59
kel/km2
ind/km2
0,98
5,19
16,30
0,98
5,37
16,86
4,00
0,93
5,40
16,96
4,00
1,00
4,52
14,19
4,25
0,97
5,12
16,08
ket: p (1): probabilitas rata-rata; m: jumlah hari pengamatan; p (m): proporsi bersuara kelompok
Pengamatan yang dikukan selama 4-5 hari pada setiap area, rata-rata kelompok terdengar setiap pada area sebanyak 13 kelompok. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, rata-rata kepadatan ungko sebesar 5,12 kelompok/km2. Mengacu rata-rata ukuran kelompok ungko berdasarkan pengamatan langsung pada 14 kelompok yaitu 3,14 per kelompok, didapat estimasi kepadatan ungko sebanyak 16,08 individu/km2. Hasil yang sedikit berbeda ditunjukan pada area ke4, berdasarkan teknisnya hal ini dikarenakan pos yang digunakan lebih strategis sehingga luas area dengar efektif dan kelompok yang terdengar lebih banyak.
36
Hasil analisis data pengamatan siamang disajikan pada Tabel 6. Luasan area dengar efektif rata-rata dari 4 area sebesar 2,85 ha dengan kepadatan rata-rata 3,37 kelompok/km2. Sama halnya dengan ungko, berdasarkan ukuran rata-rata kelompok siamang sebesar 2,28 individu/kelompok, didapatkan kepadatan ratarata sebesar 9,37 individu/km2. Tabel 6 Kepadatan siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT Estimasi Area Dengar
Area Dengar Efektif
(km2)
(km2)
1
4,53
2
Area
Kepadatan
Grup Terdengar
p (1)
2,12
8,00
0,40
5,00
4,79
3,35
8,00
0,53
3
4,73
2,67
10,00
4
4,79
3,27
Rerata
4,71
2,85
m (hari)
p (m) kel/km2
ind/km2
0,93
4,06
11,29
4,00
0,95
2,51
6,98
0,63
4,00
0,98
3,82
10,62
10,00
0,45
4,00
0,99
3,09
8,59
9,00
0,50
4,25
0,96
3,37
9,37
ket: p (1): probabilitas rata-rata; m: jumlah hari pengamatan; p (m): proporsi bersuara kelompok
5.3 Perilaku Bersuara Perilaku bersuara memiliki peranan penting bagi satwa primata Hylobatidae. Satwa ini tergolong satwa teritorial dan suara menjadi komunikasi sosial baik antar individu dalam kelompok maupun komunikasi antar kelompok. Ungko dan siamang melakukan vokalisasi dapat diartikan sebagai penanda teritorinya dan sebagai media pembagian wilayah antar kelompok serta sebagai komunikasi antar pasangan dalam satu kelompok. Hasil pengamatan menunjukan waktu dan tahapan perilaku bersuara. Jantan dan betina memiliki suara dengan tahapan dan waktu yang berbeda. Vokalisasi dapat dilakukan solo maupun duet dan juga dapat berupa vokalisasi kelompok. Ungko mulai bersuara sebelum matahari terbit. Suara yang dikeluarkan sebelum matahari terbit dilakukan oleh individu jantan dewasa disebut dawn call, sementara vokalisasi dengan tipe yang sama setelah matahari terbit disebut male solo. Awal waktu dawn call bervariasi tiap harinya, yaitu tercatat paling awal pada pukul 05.03 WIB (Gambar 16). Pada beberapa kondisi berbeda, dawn call/male solo diawali pada pukul 07.42 WIB. Selama penelitian tercatat ada 103 vokalisasi dalam 17 kali pengamatan. Secara umum, aktivitas suara ini diawali antara pukul 05.30 sampai 05.59 WIB sebanyak 52 %. Dawn call/male solo diakhiri sebelum pukul 08.00 WIB.
37
60
52
Persentase
50 40 30
21 14
20 10
7 0
2
4
0
0
Pukul (WIB)
Gambar 16 Grafik pemilihan waktu dawn call/male solo pada ungko dalam tujuh periode waktu pengamatan dihitung dari frekuensinya. Jenis kelamin individu Hylobatidae dapat dibedakan berdasarkan suaranya (vokalisasi). Betina menghasilkan vokalisasi lebih menonjol, nyaring, melengking dan panjang yang biasa disebut great call. Great call dibagi menjadi tiga fase, yaitu pre-trill, trill dan post-trill. Sangat berbeda dengan vokalisasi jantan yang lebih pendek (male solo). Male solo merupakan vokalisasi jantan yang berurutan tanpa jeda oleh fase atau not vokalisasi betina (Duma 2007). Jantan dewasa bersuara pagi sebagai awal aktivitas setelah bangun dan kemudian berpindah untuk mencari makan. Umumnya setelah ungko jantan melakukan dawn call/male solo pada awal bersuara, kemudian betina dewasa membalasnya dengan great call dan dawn call berhenti. Setelah selang beberapa waktu kelompok ungko melakukan duet call maupun group call yaitu great call oleh betina dewasa yang langsung diikuti coda jantan dewasa Great call dapat dilakukan oleh dua betina sekaligus atau biasa disebut double great call. Double great call dapat dilakukan oleh kelompok yang memiliki anak betina remaja atau hingga dewasa. Begitu juga dengan jantan, suara balasan dapat dilakukan double pada kelompok yang memiliki anak jantan atau hingga dewasa. Berbeda dengan ungko, siamang bersuara setelah matahari terbit. Pada siamang juga ada vokalisasi double seperti ungko. Bedanya, suara jantan pada siamang dilakukan pada saat great call betina belum selesai atau pada tengah-tengah dan mengikuti alur suara betina.
38
Selama pengamatan tercatat ada 325 group call dalam 16 hari oleh kelompok ungko. Ungko melakukan group call paling awal yaitu sebelum pukul 06.00 WIB tercatat 2%. Terlihat pada Gambar 16, mulai pukul 06.00 WIB frekuensi bersuara ungko mulai terus naik hingga mencapai puncaknya pada pukul 08.00 WIB dan menurun setelahnya hingga tidak terdengar lagi setelah pukul 11.00 WIB. Frekuansi vokalisasi ungko paling tinggi pada pukul 07.00 –
Persentase
08.00 WIB sebesar 36%. 40 35 30 25 20 15 10 5 -
36
34
ungko 25
5-6
24
10 8
3
2
0 6-7
7-8
\
siamang
18
12 2
27
8-9
9-10
10-11
0 11-12
Pukul (WIB)
Gambar 17 Grafik perbandingan aktivitas group call ungko dan siamang pada tujuh periode waktu pengamatan, dihitung dari frekuensinya. Tercatat ada 150 group call siamang selama 16 hari pengamatan. Siamang melakukan vokalisasi paling awal yaitu sebelum pukul 08.00 WIB sebanyak 2%. Namun siamang memulai vokalisasi pertamanya paling banyak pada pukul 09.0010.00 WIB sebanyak 27%. Pemilihan waktu awal panggil siamang 1 jam sebelum dan sesudah waktu terbanyak tidak berbeda jauh. Dengan kata lain siamang cenderung melakukan vokalisasi awal pada pukul 08.00-11.00. Gambar 17 menunjukan adanya kecenderungan pergantian aktivitas panggil yang dilakukan antara ungko dan siamang dari segi waktu. Ketika frekuensi vokalisasi ungko menurun, pada saat itu frekuensi vokalisasi siamang meningkat hingga mencapai puncaknya. Kedua jenis ini sudah sedikit mengawali vokalisasi setelah pukul 11.00 WIB, bahkan pada ungko tidak ada yang memulai vokalisasi setelah pukul 11.00 WIB. Probabilitas vokalisasi menunjukan kemungkinan kelompok melakukan satu kali vokalisasi dalam waktu tertentu.Hal ini penting diketahui dalam penggunaan
39
triangel count untuk menunjukan minimal jumlah hari pengamatan untuk menghindari kelompok yang tidak melakukan vokalisasi selama pengamatan. Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang disajikan pada Tabel 2. Semua probabilitas ungko dan siamang mencapai 100% pada hari ke-4, namun ada beberapa area yang sudah mencapai 100% pada hari ke-3 yaitu pada area 3 untuk ungko dan area 2 untuk siamang. Rata-rata kelompok bersuara pada setiap area sebanyak 13 kelompok ungko dan 9 kelompok siamang. Tabel 7 Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang Ungko
Siamang
Hari ke-
Rerata Area 1
Area 2
Area 3
Area 4
1
50,00
50,00
58,33
50,00
2
66,67
91,67
75,00
3
83,33
91,67
100
4 5 Σ Kel. Rerata
100 100 12
100 12 13
Rerata Area 1
Area 2
Area 3
Area 4
52,08
25,00
62,50
50,00
50,00
46,88
62,50
73,96
62,50
87,50
70,00
60,00
70,00
93,75
92,19
75,00
100
80,00
90,00
86,25
100
100
100 100
100
100
100
100 100
12
16
100 100 8
10
10
8 9
40
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Distribusi 6.1.1 Kondisi Habitat Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menunjukan sebagai hutan pegunungan bawah yang baik. Indikatornya adalah masih ditemukan satwa-satwa yang sensitif terhadap kerusakan dan gangguan dari luar seperti ungko (H. agilis), siamang (S. syndactylus), orangutan (Pongo abelii), harimau sumatera (Panhtera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus) dan tapir (Tapirus indicus) (camera trap Stasiun Penelitian). Kondisi hutan yang baik juga ditunjukan dengan kualitasnya menyediakan sumberdaya alam bagi kehidupan satwa-satwa didalamnya. Lokasi Stasiun Penelitian YEL-SOCP di KHBT berada pada posisi relatif aman dari gangguan. Kegiatan yang mengganggu keberadaan ungko dan siamang adalah pengalihan fungsi lahan menjadi kebun karet yang dilakukan masyarakat sekitar hutan di wilayah barat Stasiun Penelitian. Sebelah timur merupakan hutan produksi yang dikelola oleh HPH, sementara disebelah utara dan selatan terdapat lokasi pertambangan. Kondisi ini memungkinkan satwa akan bergerak menuju kawasan hutan lindung dimana kondisi hutan masih baik. Sebaran Hylobatidae dapat berubah dengan adanya beberapa gangguan yang memaksanya berpindah dan merubah wilayahnya. Gangguan yang mempengaruhi antara lain adanya aktivitas manusia dan pemukiman penduduk sehingga dapat menyebabkan kerusakan hutan serta fragmentasi habitat (Sultan 2009). Geissman et al. (2006) menunjukan populasi ungko dan siamang di Sumatera Selatan semakin berkurang akibat aktivitas manusia yang membuat hutan terpisah-pisah (patches) dan adanya penanaman karet secara monokultur meski masih menyisakan beberapa pohon aslinya. Iskandar (2007) menjelaskan, penyebaran Hylobatidae tergantung pada kualitas habitatnya. Kualitas habitat yang semakin baik, akan semakin banyak pula jumlah kelompok yang ada didalamnya. Kondisi habitat seperti ini memungkinkan kepadatan kelompok semakin tinggi dan jarak antar kelompok
41
semakin berdekatan. KHBT memiliki ciri habitat yang baik seperti yang dijelaskan Sultan (2009) yaitu memiliki kerapatan tajuk yang rapat untuk menunjang pergerakan brakhiasi, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar dan kawasan minim interaksi dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (> 4 km dari pemukiman). 6.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang di Area Penelitian Tiga spesies Hylobatidae tinggal di hutan hujan tropis Sumatera: siamang (Symphalangus syndactylus), owa tangan putih (H. lar), dan ungko (H. agilis): Groves 1972; Wilson dan Wilson 1976; Rijksen 1978). Owa tangan putih hidup simpatrik dengan siamang di Sumatera bagian ujung utara, sedangkan ungko simpatrik dengan siamang di Sumatera bagian utara hingga selatan. Distribusi ungko dan owa tangan putih dipisahkan oleh Danau Toba di Sumatera Utara, sehingga kawasan Hutan Batang Toru merupakan wilayah distribusi simpatrik ungko dan siamang paling utara. Ungko dan Siamang tersebar hampir di seluruh area Stasiun Penelitian YEL-SOCP. Keduanya hidup dalam kelompok keluarga monogami dan termasuk satwa teritorial (Chivers 1974; Bartlett 2003) dan memanfaatkan habitat yang relatif sama. Aktivitas hidup keduanya dilakukan di tajuk-tajuk pohon. Mereka merupakan satwa frugivorous, namun juga memakan daun, bunga dan serangga (Chivers 1974; Palombit 1997). Peta distribusi menunjukan di seluruh kawasan mampu menampung ruang dan sumberdaya bagi mereka (Gambar 7; Gambar 8). Penggunaan metode untuk mengetahui distribusi ungko dan siamang dilakukan dengan cara VES dan survei suara (triangle count). VES dapat menunjukkan posisi serta komposisi satwa secara langsung sehingga informasi yang didapat lebih lengkap dan akurat. Namun metode ini memiliki keterbatasan dalam area jangkauanya. Berbeda dengan triangle count, jangkauan untuk mengetahui posisi dan keberadaan lebih luas karena suara keduanya dapat terdengar hingga lebih dari 1 km. Kedua metode ini dapat saling melengkapi data yang didapat, selain itu juga menjadi perbandingan dalam mengoreksi agar data lebih mendekati kondisi sesungguhnya. Perjumpaan dan tanda keberadaan ungko dan siamang dapat mengambarkan besar populasi relatif mereka. Kelompok ungko lebih sering dijumpai di bukit
42
hutan dipterocarpaceae daripada hutan dataran rendah (Yanuar 2009). Wilson et al. (1976) melaporkan ungko biasanya tinggal di ketinggian yang lebih tinggi dan jarang terlihat di hutan dataran rendah di sebelah barat Pegunungan Barisan, sedangkan di bagian timur Sumatera mereka yang umum di dataran rendah. Sementara siamang di Sumatera lebih melimpah di hutan dataran rendah. 6.1.1 Distribusi Intra dan Interspesifik Home range menjadi wilayah yang ditempati dan dimanfaatkan selama masa sepanjang hidup dewasanya. Terjadi tumpang tindih wilayah antar kelompok. Sebagian wilayah di dalamnya merupakan teritori, di mana teritori pada ungko merupakan wilayah yang dipertahankan dan kelompok dapat mengusir kelompok lain yang akan masuk (Burt 1943 dalam Gittins 1980). Ellefson (1974) melaporkan ada 25-75 m diluar teritori H. lar menjadi wilayah yang dapat tumpang tindih dengan kelompok tetangga. Sementara pada siamang, Chivers (1974) melaporkan 50-100 m di luar teritori. Sebagai satwa teritorial, ada daerah kekuasaan yang dipertahankan masingmasing kelompok. Tiap spesies memiliki mekanisme tersendiri dalam mempertahankan teritori (intraspesifik). Interaksi perselisihan antar kelompok menunjukan perilaku teritorial. Pembagian wilayah antar kelompok dilakukan menggunakan suara keras sebagai tanda keberadaan kelompok. Meskipun demikian perselisihan dapat terjadi untuk memperebutkan wilayah atau ada penyusupan dari kelompok lain. Terlebih lagi dengan adanya kelompok baru yang belum memiliki wilayah. Perselisian banyak ditemukan di pinggiran home range karena di wilayah ini memiliki peluang besar terjadinya encounter antar kelompok. Kemungkinan terjadinya encounter diantaranya karena pertemuan yang tidak disengaja antar kelompok, kelompok mendeteksi keberadaan kelompok lain di dekat wilayahnya dari suara, dan perilaku patroli yang dilakukan. Namun sampai saat ini belum diketahui penyebab utama dan membutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini, sementara ini yang paling mungkin adalah pertemuan yang terjadi tidak disengaja (Gittins 1980). Perselisihan akan lebih banyak terjadi pada saat terbentuknya kelompok baru. Individu jantan pra dewasa akan keluar dari kelompoknya untuk mendapatkan pasangan dan mencari wilayah kekuasaan sendiri. Awalnya pejantan
43
keluar dari kelompok namun masih dalam wilayah induknya dan biasanya di tepian perbatasan. Setelah kelompok baru terbentuk maka mereka harus berjuang untuk mendapatkan teritorinya dengan ancaman dari kelompok lain. Wilayah yang mungkin ditempati mereka diantaranya sebagian wilayah kelompok induknya, wilayah yang belum ada pemiliknya dan berjuang mendapatkan wilayah kelompok lain. Saat kelompok baru mampu mengusir kelompok lain di wilayah ini maka kelompok ini telah mendapatkan tempat untuk hidup (MacKinnon et al.1977). Pertahanan wilayah selanjutnya dilakukan seperti kelompok lain dengan melakukan vokalisasi keras untuk menunjukan kepemilikan wilayahnya. Konflik pada kelompok ungko lebih sering terjadi daripada kelompok siamang. Hal ini di karenakan kepadatan ungko lebih besar. Hutan pegunungan bawah dan Dipterocarpaceae atas diketahui merupakan habitat baik untuk ungko, dan ungko lebih banyak ditemukan di habitat ini (Yanuar 2009). Selain itu ungko juga memiliki mobilisasi lebih aktif dan acak. Perilaku bersuara ungko sebagai penanda wilayah dilakukan secara bebas dan spontan serta dilakukan cenderung bukan sebagai respon atas kelompok tetangganya (Brockelman et al. 1987). Siamang menunjukan pembagian wilayah yang lebih teratur, jarang dijumpai perselisihan antar kelompok pada siamang. Sepertinya suara keras siamang efektif sebagai komunikasi pembagian wilayah antar kelompok. Siamang bersuara keras sebagai respon atas kelompok tetangganya (Bates 1970). Terdapat sebagian wilayah di Stasiun Penelitian tidak dijumpai siamang baik secara langsung maupun tanda keberadaan berdasarkan suara. Lokasi ini diantara kelompok siamang SA, SB, SD, SF, dan SJ (Gambar 9) tidak dimiliki kelompok manapun. Hal yang paling mungkin adalah wilayah tersebut di tinggal pemiliknya atau mati, selain itu mungkin juga memang belum ada kelompok yang masuk kedalamnya. Kemungkinan lain adalah pengaruh dari kelompok ungko GA dengan 4 individu hitam yang hidup di wilayah tersebut. Namun belum jelas diketahui penyebabnya dan masih perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut. Hal yang menarik adalah terjadinya tumpang tindih yang sangat besar antara wilayah kelompok pada siamang dan ungko. Kondisi simpatrik membuat keduanya memiliki mekanisme hidup masing-masing agar tetap dapat hidup
44
bersama. Mereka memiliki mekanisme pemanfaatan ruang dan sumberdaya sangat erat, namun tidak berada pada relung ekologi yang sama sehingga dapat hidup simpatrik (interspesifik) (Raemaker 1984). Siamang yang memiliki ukuran tubuh hingga dua kali lipat daripada ungko memiliki keunggulan kompetitif dalam persaingan. Berdasarkan perilaku bersuara, ungko yang lebih pagi melakukan vokalisasi menunjukan aktivitas yang lebih awal daripada siamang. Saat vokalisasi siamang mulai terdengar dan mencapai puncaknya, vokalisasi ungko semakin menurun dan kemudian menghilang. Meskipun keduanya merupakan satwa diurnal serta memanfaatkan sumberdaya dan ruang yang hampir sama, namun waktu beraktifitasnya berbeda sehingga keduanya dapat hidup simpatrik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keduanya memiliki perbedaan dalam proporsi pakan dan perilaku yang lebih spesifik. Secara umum, Hylobates adalah spesialis buah masak
yang menggunakan buah ficus sebagai sumber makanan utama
(Polomnit 1997; Chivers 2001). Meskipun banyak asumsi bahwa siamang adalah folivorous benar di beberapa lokasi, namun gagasan bahwa siamang bergantung pada buah ficus ke tingkat yang sama seperti Hylobates banyak ditemukan dalam berbagai penelitian (Palombit 1997; Chivers 2000; Elder 2009). Kesamaan ekologi keduanya dan hidup pada lokasi yang sama memberikan pertanyaan mekanisme mereka sehingga dapat hidup berdampingan. Berdasarkan ukuran tubuh, siamang diperkirakan memiliki keunggulan dalam persaingannya dengan ungko (Raemakers 1978). Ukuran tubuh yang besar memberikan peningkatan kekuatan dalam mendapatkan sumberdaya. Hal ini menunjukan penguasaan yang lebih dominan oleh siamang dalam persaingannya dengan ungko menguasai wilayah beserta sumberdaya di dalamnya. Kondisi dominan pada siamang bukan berarti dapat menempati semua ruang dan kesempatan setiap saat, sehingga ungko dapat memanfaatkannya dan dapat hidup walaupun terjadi tumpang tindih wilayah dengan membagi posisi dan waktu. Dominasi siamang dalam menguasai wilayah dapat diatasi ungko dengan kecepatan dan kemampuan pergerakan serta jangkauan yang lebih baik. Bahkan, usaha dan energi siamang untuk bergerak lebih besar karena tubuh mereka lebih
45
besar namun panjang tungkai yang hampir sama dengan ungko sehingga langkah/jangkauannya lebih pendek (Raemaekers 1979 dalam Raemaekers 1984). Siamang mungkin memiliki jelajah harian yang sedikit lebih pendek dan pergerakan lebih lambat daripada ungko. Ukuran tubuh ungko yang kecil membuatnya lebih mudah mengekplorasi tajuk baik dalam perjalananya maupun mendapatkan makanan di ujung-ujung tajuk di mana cabang dan ranting yang kecil. Kondisi ini tidak memungkinkan bagi siamang karena siamang lebih terbatas untuk bergerak pada cabang-cabang pohon kecil. Jadi kedua jenis dapat hidup simpatrik dengan membagi ruang dan menyiasati persaingan agar lebih damai menggunakan strategi beraktivitas seperti mencari makan yang berbeda menyesuaikan kelebihan masing-masing. Kondisi yang membedakan antara siamang dan ungko juga dapat menargetkan makanan yang berbeda baik dari proporsi, distribusi ataupun keduanya (Elder 2009). 6.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok 6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko Ungko merupakan primata yang hidup dalam kelompok monogami. Induk jantan dan betina dewasa akan melahirkan anak sebagai bagian anggota kelompok hingga fase anak menjadi dewasa untuk kemudian keluar dari kelompok membentuk kelompok baru. Ungko memasuki fase dewasa setelah berumur 8 tahun. Mitani (1990) menyebutkan interval minimal kelahiran ungko adalah 3,2 tahun, sehingga secara umum satu kelompok ungko dapat mencapai 5 individu. Bahkan dapat dijumpai juga kelompok dengan 6 individu (Duma 2007). Fenomena kelompok dengan >4 individu dikarenakan adanya anakan dewasa belum mendapatkan pasangan atau betina dewasa maupun jantan dewasa memiliki pasangan lebih dari satu. Ukuran kelompok ungko di area penelitian menunjukan ukuran yang umum. Beberapa hasil penelitian di lokasi berbeda menunjukan kelompok ungko dengan 3 individu paling banyak dijumpai (Bangun 2007; Sultan 2009). Begitu juga dengan Hylobates agilis albibarbis di Pulau Kalimantan (Suyanti 2007; Duma 2007). Belum jelas diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi pewarisan warna rambut pada ungko termasuk dominasi serta kecenderungan pewarisan
46
warna rambut pada kelompok dengan induk yang berbeda warna rambut. Kelompok campuran hitam dan kuning menghasilkan keturunan dengan peluang yang sama mengenai pewarisan warna rambut. Ada yang menghasilkan anak dengan warna rambut hitam dan ada juga yang menghasilkan anak berambut kuning. Berdasarkan warna rambut, ungko dapat memilih pasangannya secara acak, tidak terlihat adanya kecenderungan memilih pasangan dengan warna rambut yang sama. Walaupun sebagian besar kelompok ungko yang ditemukan memiliki semua anggota berwarna hitam (43%) seperti disajikan paga Gambar 12. namun banyak juga kelompok dengan anggota campuran antara ungko berambut hitam dan kuning (36%). Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai warna rambut baik dari segi genetik maupun perilaku sosialnya untuk menunjukan seberapa jauh pengaruh warna rambut dalam kehidupan ungko. Beberapa peneliti berpendapat perbedaan/pewarisan warna rambut pada ungko dipengaruhi adanya faktor genetik dan/atau adanya persilangan atar subspesies bahkan antar spesies. Berdasarkan distribusi beberapa spesis dan sub spesies dintaranya H. lar dan 2 sub-spesies H. agilis, Bangun (2007) menjelaskan adanya kemungkinan persilangan antar ketiganya sehingga mempengaruhi pewarisan warna rambut. Geismann (2006) menunjukan adanya persilangan antara H. lar dan H. agilis ungko di Thailand dan Semenanjung Malaysia yang menghasilkan anak dengan variasi warna rambut hitam, kuning dan coklat.
6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang Siamang memiliki pola hidup berkelompok mirip dengan ungko. Ukuran kelompok di
Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT termasuk kecil bila
dibandingkan dengan ukuran kelompok di beberapa lokasi berbeda. O‟brian et al. (2004)
melaporkan
ukuran
kelompok
siamang
sebesar
3,75
dan
3,9
individu/kelompok pada 2 lokasi berbeda di TN Bukit Barisan Selatan, Bashari (1999) melaporkan 2,9 individu/kelompok di kawasan hutan Sumatera Selatan, Chivers et al.(1978) menunjukan ukuran kelompok sebesar 3,5 individu/ kelompok, Rinaldi (1992) sebesar 3,29 individu/kelompok di TN Way Kambas, serta MacKinnon (1976) di Ranun; Rijksen (1976) di Ketambe; Wilson et al.
47
(1977) dalam Chivers (1977) berturut-turut sebesar 3,3;4,1;3,8 individu/ kelompok. Ukuran kelompok yang termasuk kecil disebabkan banyaknya kelompokkelompok yang baru terbentuk sehingga belum melahirkan banyak anak. Angka ini juga dipengaruhi adanya 1 betina soliter yang dianggap kelompok. Betina ini memang hidup sendiri tanpa pasangan namun terlihat memiliki hubungan dekat dengan satu kelompok beranggotakan 3 individu karena memiliki tumpang tindih home range cukup besar dan beberapa kali dijumpai melakukan vokalisasi bersama-sama di lokasi yang berdekatan. 6.3 Kepadatan Populasi Area dengar efektif antar kedua spesies menunjukan angka berbeda. Siamang memiliki kemampuan bersuara lebih keras dibandingkan ungko, sehingga jangkaun luasan survei suara pada siamang lebih luas. Penelitian ini menggunakan estimasi area dengar dengan radius 1 km dari masing masing pos pendengaran (Brockelman et al. 1993; Buckley et al. 2006; Cheyne et al. 2008 ). Radius 1 km diambil dengan pertimbangan suara keras kedua spesies dapat terdengar efektif, meskipun vokalisasi keras kedua spesies mampu terdengar lebih dari 1km bahkan hingga mencapai 2 km di hutan dengan kondisi tertentu (O‟Brien et al. 2004). Penelitian ini yang dilakukan di habitat hutan Dipterocarpaceae dan hutan pegunungan bawah. Hasil penelitian ini menunjukan kepadatan yang lebih tinggi ungko (5,13 kelompok/km2) daripada siamang (3,37 kelompok/km2). Yanuar (2009) melaporkan kepadatan tertinggi di Taman Nasional Kerinci Sebelat siamang mencapai 5,4 kelompok/km2
di hutan pegunungan atas dan 5,0
kelompok/km2 di hutan dataran rendah. Sementara, ungko kepadatan tinggi di hutan Dipterocarpaceae sebesar 3,8 kelompok/km2 dan hutan pegunungan bawah 3,6 kelompok/km2. Sama halnya dengan hasil O‟Brien et al. (2004) di Taman Nasional Buki Barisan Selatan namun kepadatan siamang dan ungko lebih kecil di setiap tipe habitat. Hasil penelitian diatas menunjukan hutan Dipterocarpaceae dan hutan pegunungan bawah seperti di Stasiun Penelitian YEL-SOCP menjadi habitat terbaik bagi ungko di Sumatera.
48
Kepadatan kelompok ungko cenderung meningkat dari selatan ke utara di Sumatera. Sebaliknya, siamang menunjukan penurunan kepadatan dan ukuran kelompok dari selatan ke utara. Sehingga posisi KHBT yang berada di ujung utara distribusi ungko di Sumatera memungkinkan kepadatan ungko lebih besar dari dan kepadatan siamang lebih kecil di bagian selatan Sumatera seperti dilaporkan O‟Brien et al. (2004) dan Yanuar (2009) Secara umum bila dibandingkan dengan populasi di beberapa daerah berbeda, baik ungko maupun siamang di area penelitian termasuk tinggi di Sumatera. Mitani (1990) melaporkan H. albibarbis di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Ada kondisi berbeda antar kedua tempat yang mungkin mempengaruhi kepadatan ungko cenderung lebih rendah di Sumatera yaitu adanya siamang yang menjadi kompetitor. Banyak kesamaan dalam pemanfaataan habitat antara ungko dan siamang. Kondisi simpatrik membuat peranan keduanya cenderung tumpang tindih. Populasi kedua jenis yang hidup simpatrik memiliki kedekatan menjadi satu kesatuan. Hal ini mungkin mempengaruhi kepadatan yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis Hylobates lain yang hidup sendiri tanpa adanya simpatrik dengan siamang. Hasil pengamatan menggunakan triangle count menunjukan populasi yang sehat. Ukuran populasi yang tinggi masing-masing spesies dapat bertahan dalam jangka panjang jika kondisi habitat bertahan seperti saat ini. Gangguan terhadap populasi kedua spesies relatif kecil di area penelitian, namun tidak untuk beberapa wilayah disekitarnya. Stasiun penelitian dikelilingi kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan berbatasan langsung dengan aktivitas masyarakat seperi perkebunan. Bila kawasan disekitarnya tidak disikapi dengan baik maka akan mengancam keberlangsungan hidup kedua spesies. 6.4 Perilaku Bersuara Spesies dari Hylobatidae memiliki ciri khas menghasilkan vokalisasi/suara dengan pola yang spesifik untuk masing-masing jenis dan jenis kelamin (Geissmann 1995). Aktivitas bersuara pada ungko dan siamang dapat terdengar sejauh 1 km (Brockelman et al. 1987), bahkan mencapai 2 km pada medan dengan karakteristik tertentu (O‟Brien et al. 2004). Sifat vokal ini dapat
49
memberikan dasar informasi yang cukup akurat untuk mengestimasi kepadatan populasi. Karena sifat vokalnya, Brockelman et al. (1993) menyebutkan bahwa survei populasi menggunakan audio sampling terbukti lebih efektif dibandingkan metode transek garis. Aktivitas bersuara pada ungko sepertinya dilakukan spontan, cukup sulit dimengerti apakah suara yang dikeluarkan suatu kelompok merupakan respon dari vokalisasi kelompok lain. Namun pada saat encounter jelas terdengar vokalisasi antar kelompok saling bersaut-sautan untuk memberitahu keberadaannya dan sebagai peringatan bagi kelompok lain. Brockelman et al.(1987) berpendapat duet call pada ungko dilakukan secara spontan dan tidak secara langsung distimulasi oleh kelompok tetangganya. Lain halnya dengan ungko, aktivitas bersuara siamang cenderung lebih contagious, yaitu saat suatu kelompok bersuara maka kelompok lain yang berdekatan akan merespon dengan vokalisasi balasan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa aktivitas bersuara pada Hylobatidae dilakukan untuk menunjukan teritorial dan pengaturan ruang antar kelompok. Aktivitas bersuara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling bersautan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok (Bates 1970). Banyaknya vokalisasi berkorelasi positif dengan kepadatan. Vokalisasi kelompok rendah terjadi pada kepadatan yang rendah (Chivers 1974; Nijman et al. 2004). Setiap kelompok ungko dan siamang tidak selalu bersuara setiap hari meskipun kondisi cuaca mendukung. Oleh karena itu penelitian kepadatan berdasarkan vokalisasi harus dapat memastikan waktu yang cukup untuk dapat mendengar semua vokalisasi kelompok di lokasi penelitian. Faktor-faktor yang mempengarugi frekuensi bersuara ungko dan siamang tidak diteliti pada penelitian ini. Namun, pada H. klossii di jelaskan ada beberapa faktor ekologi terhadap aktifitas bersuara yaitu faktor cuaca, ketersediaan pakan dan hubungan antar kelompok (Whitten 1982). Bila dikaitkan dengan pengaturan ruang, ada kemungkinan ungko beraktivitas lebih awal untuk menghindari persaingan dengan siamang. Selain itu ungko bersuara lebih awal karena memiliki pembagian ruang yang tumpang tindih. Tercatat setiap hari pengamatan triangle
50
count ada 2-3 encounter antar kelompok. Hal ini menunjukan banyaknya overlap ruang yang dimanfaatkan sehingga terjadi perebutan wilayah. Berbeda dengan kelompok siamang, pembagian ruang lebih teratur. Jarang terjadi encounter antar kelompok siamang, tercatat hanya 1 kali terjadi encounter. 7.5 Implikasi Terhadap Pengelolaan Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terdiri dari dua wilayah terpisah yaitu blok barat dan blok timur. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan hutan yang tersisa di Provinsi Sumatera Utara. Topografi yang ekstrim dan curam secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi terlindunginya dari perambahan dan alih fungsi lahan. Namun dengan kondisi ini tidak sepenuhnya terhindar dari kerusakan dan gangguan lain seperti perambahan dan penebangan liar. Statusnya saat ini memberikan gambaran kondisi hutan yang akan datang. Sebagian besar kawasan hutan ditunjuk sebagai Hutan produksi. Namun kondisinya menunjukan bahwa sebagian besar kawasan ini lebih tepat sebagai kawasan hutan lindung. KHBT memiliki karakteristik kelerengan, tanah dan intensitas curah hujan yang mengarah kepada SK Menteri Pertanian No. 837/KPTS/UM/II/1980. Lebih dari itu kawasan ini merupakan daerah resapan air dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) bagi sedikitnya tiga kabupaten di sekiranya yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Sedikitnya ada 8 DAS yang bergantung pada KHBT sebagai daerah tangkapan air. KHBT memiliki potensi tinggi untuk dijadikan kawasan konservasi. Hal ini mengingat kawasan menyimpan ekosistem sumberdaya alam yang penting untuk dilestarikan. Keberadaan flora fauna langka dan habitatnya serta fungsi kawasan sebagai penyangga kehidupan terutama di daerah Tapanuli. Selain itu saat ini KHBT menjadi satu-satunya hutan yang dihuni tiga primata langka Indonesia yaitu orangutan sumatera, ungko dan siamang. Keberadaan KHBT juga potensial menjadi sumber informasi ilmu pengetahuan., seperti yang diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. KHBT dikelilingi pemukiman penduduk baik penghuni yang sudah lama tinggal maupun pendatang. Keberadaan penduduk sekitar hutan menjadi salah satu faktor penting bagi keberadaan dan kondisi KHBT. Mereka memiliki
51
interaksi langsung dengan kawasan hutan dalam kehidupan sehari-hari. Data survei YEL (2007) menunjukan sebagian besar masyarakat memiliki mata penceharian sebagai petani tanaman terutama padi sawah dan kebun-kebun tua yang terdiri karet, coklat, durian, petai, aren, kemenyan dan sebagainya. Mereka menggantungkan kegiatanya dari kawasan hutan. Faktanya saat ada beberapa aktivitas yang secara langsung mempengaruhi KHBT. Aktivitas manusia tersebut meliputi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Hal ini mempengaruhi berkurangnya luasan kawasan hutan sehingga perlu dilakukan pengelolaan untuk menyeimbangkan proporsi bagi pihak-pihak terkait. Pengaturan dan pengelolaan secara hukum saat ini berada di bawah Pemerintah Daerah Sumatera Utara serta Pengawasan dari Pemerintah Pusat. Pihak-pihak terkait tentunya memiliki peranan di dalamnya. Selain itu masyarakat sekitar juga memiliki pengaruh besar bagi keberlangsungan KHBT. Sehingga keberadaan KHBT menjadi tanggung jawab bersama. Penetapan fungsi hutan tentunya memiliki banyak pertimbangan dan penilaian. Hal ini ditetapkan untuk menunjukkan peranan hutan yang ideal dan mencakup semua kepentingan secara bijaksana. Tentunya diperlukan kolaborasi pengelolaan dari pihak-pihak terkait untuk menjaga peranan hutan secara ideal, sehingga pemanfaatan hutan dari segi ekonomi dan pelestarian ekosistem di dalamnya dapat berjalan selaras. Terkait penelitian ini, keberadaan ungko dan siamang secara umum aman di wilayah Stasiun Penelitian. Sebagian dari KHBT perlu dipertahankan kondisinya dan diperuntukan sebagai pelestarian bagi flora fauna di dalamnya termasuk ungko dan siamang. Kepadatan tinggi ungko dan siamang dalam penelitian ini memungkinkan keduanya dapat hidup dalam jangka waktu lama (lestari) jika kondisi habitat tetap bertahan seperti sekarang. Pengelolaan yang perlu dilakukan menyangkut keberadaan ungko dan siamang di antaranya mempertahankan kondisi hutan sebagai habitatnya tetap seperti saat ini. Perlunya daerah penyangga untuk meredam serta memberi dukungan terjaganya habitat ungko dan siamang. Masyarakat sekitar hutan sebagai komunitas yang berpengaruh besar terhadap kondisi hutan perlu
52
diarahkan untuk memahami peranan ekosistem hutan, sehingga aktivitas seharihari mereka lebih selektif dan memperkecil dampak negatif terhadap kawasan hutan. Berdasarkan penetapannya, setiap kawasan yang sudah ditetapkan harus memiliki area yang dipertahankan alami sebagai pelestarian plasma nutfah. Area ini paling tidak mencapai 10% dari seluruh kawasan untuk menunjang ekosistem di dalamnya. Setiap area hendaknya memiliki koridor hutan yang saling menghubungkan antara satu dan lainnya. Pembangunan insfrastruktur seperti jalan, bangunan dan lainnya sebagai pendukung pengelolaan dan kepentingan lainnya hendaknya memperhatikan dampak bagi satwa. Seperti misalnya ungko dan siamang sebagai satwa arboreal, habitatnya akan terputus dengan adanya jalan yang memisahkan tajuk-tajuk pohon. Solusinya adalah tersusun status fungsi hutan yang jelas berdasarkan kondisi terkini sehingga KHBT memiliki proporsi pengelolaan yang jelas dan efektif. Status
yang
ditentukan
akan
memberikan
ruang
pemanfaatan
sesuai
peruntukannya dan memiliki batasan aktivitas yang diperbolehkan. Hal ini akan lebih efektif dengan terbentuknya dasar hukum dan dilaksanakan secara konsiarean oleh pihak-pihak terkait. Sehingga diperlukan Badan Pengelolaan Hutan yang partisipatif dalam menaungi hak dan kewajiban pihak-pihak terkait. Selain itu penyadartauan masyarakat sekitar kawasan hutan sehingga dapat turut serta dalam pengelolaan secara bijaksana.
53
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1.
Ungko dan siamang tersebar hampir di seluruh area Stasiun Penelitian YEL-SOCP. Walaupun terjadi tumpang tindih antar spesies maupun antar kelompok, setiap kelompok ungko dan siamang tetap memiliki teritori yang dipertahankan. Keduanya dapat hidup simpatrik karena memiliki mekanisme hidup sendiri dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing serta tidak berada pada relung ekologi yang sama.
2.
Kepadatan populasi ungko dan siamang di Stasiun Penelitian YELSOCP berturut-turut sebesar 5,12 kelompok/km2 dan 3,37 kelompok/ km2 atau 16 individu/km2 dan 9 individu/ km2. KHBT yang berupa hutan pegunungan bawah dan hutan Dipterocarpaceae merupakan habitat terbaik bagi ungko. Ukuran populasi yang tinggi masing-masing spesies dapat bertahan dalam jangka panjang jika kondisi habitat bertahan tanpa adanya degradasi.
3.
Ungko melakukan vokalisasi lebih awal dibandingkan siamang. terjadi semacam pergantian pangil antara ungko dan siamang. Ketika frekuensi ungko mulai menurun setelah pukul 08.00 WIB, saat itu frekuensi panggil siamang naik hingga puncaknya antara pukul 09.00-10.00 WIB. Probabilitas vokalisasi kedua spesies stabil pada hari ke-4.
7.2 Saran
1. Penggunaan metode triangle count pada lokasi penelitian bertopografi curam hendaknya mengunakan lebih dari satu set triangle count yang masing-masing tumpang tindih. Hal ini bermanfaat untuk mengoreksi data dan mengantisipasi daerah yang suaranya tidak terdengar karena terhalang bukit.
2. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai perilaku sosial pada ungko dan siamang terkait persaingan intra-interspesifik dan relung masingmasing.
54
3. Perlu adanya evaluasi penetapan fungsi hutan KHBT karena memiliki biodiversitas tinggi termasuk satwa-satwa langka beserta habitat di dalamnya. Selain itu kawasan ini juga memiliki peranan penting bagi masyarakat disekitar hutan sebagai daerah resapan air.
55
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar, Jilid 1. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Apriadi ST. 2001. Studi Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis F Cuiver 1821) di Kawasan Lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper Propinsi Riau [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bangun TM. 2007. Kajian Ekologi Ungko (Hylobates agilis agilis) di Taman Nasional
Batang Gadis,
Sumatera
Utara
[tesis].
Bogor:
Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bartlett TQ. 2003. Intragroup and Intergroup Social Interactions in White-Handed Hylobatidaes. International Journal of Primatology 24(2): 241-159. Bashari H. 1999. Studi Populasi dan Habitat Siamang (Hylobates syndactylus affles 1821) di Kawasan Hutan Konscrvasi HTI PT Musi Hutan Persada Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bates BC. 1970. Teritorial Behavior in Primates: A Review of Recent Field Studies. Primates 11: 271-284. Bismark M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Brockelman WY, Ali R. 1987. Methods of Surveiing and Sampling Forest Primate Populations. Alan R. Liss. Di dalam: C.W. Marsh and R.A. Mittermeier, [Eds.]. Primate Conservation in the Tropical Rain Forest: 2362. Brockelman WY, Srikosamatara S. 1993. Estimation of Density of Hylobatidae Groups By Use of Loud Songs. American Journal of Primatology 29: 93108. Buckley C. 2004. Survei of Hylobates agilis albibarbis in Unprotected Primary Peat Swamp Forest: Sebangau Catchment Area, Central Kalimantan. MSc in Primates Conservation Newsletter, Oxford Brookes University. Company 3(1): 17-19
56
Cheyne SM, Thompson CJH, Phillips AC, Hill RMC, Limin, SH. 2008. Density and Population Estimate of Hylobatidaes (Hylobates agilis albibarbis) in The Sebangau Catchment, Central Kalimantan, Indonesia. Primates 49: 5056. Chivers DJ. 1974. The siamang in Malaysia : A field study of a primate in tropical rain forest. Basel: Karger. Chivers DJ. 1977. The lesser apes. Di dalam: Prince Rainier III of Monaco and Bourne GH, [Eds.]. Primate Conservation. New York: Academic Press. Chivers DJ, Gittins SP. 1978. Diagnostic features of Hylobatidae species. International Zoo Yearbook 18: 57–164. Chivers DJ. 2001. The swinging singing apes: Fighting for food and family in fareast forest. The Apes: Challenges for the 21st century. Conference Proceedings; Brookfield Zoo, May 10-13 2000. Brookfield: Chicago Zoological Society. Duma Y. 2007. Kajian Habitat, Tingkah Laku, dan Populasi Kalawet (Hylobates agilis alibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Elder AA. 2009. Hylobatid Diets Reviaread: The Importance of Body Mass, Fruit Availability, and Interspecific Competition. Di dalam: Lappan S, Whittaker DJ, [Eds.]. The Hylobatidaes: New Perspectives on Small Ape Socioecology and Population Biology. New York: Springer: 131-159. Ellefson, J.O. 1974. A Natural History of White-Handed Hylobatidaes in the Malayan Peninsula. Di dalam D.M. Rumbaugh, [Eds.]. Hylobatidae and Siamang. Basel: Karger: 1–136. Geissmann T. 1995. Hylobatidaes Systematic and Species Identification. International Zoo News 42(8): 467-501. Geissman T, Nijman V, Dallmann R. 2006. The fate of diurnal primates in southern Sumatera. Hylobatidaes Journal 2: 18-24. Gittins SP, Raemakers SJJ. 1980. Siamang, Lar, and Agile Hylobatidaes. Di dalam: Chivers DJ, [Eds.]. Malayan Forest Primates: Ten Years’ Study in Tropical Rain Forest. New York: Plenum Press.
57
Groves, C.P. 1972. Systematics and Phylogeny of Hylobatidaes. Di dalam: D.M. Rumbaugh, editor. Hylobatidae and Siamang. Vol. 1: Evolution, Ecology, Behavior, and Captive Maintenance. Basel: Karger: 1–89. Hamard M, Cheyne SM, Nijman V. 2010. Vegetation Correlation of Gibbon Density in the Peat-Swamp Forest ot the Sebangau Catchment, Central Kalimantan, Indonesia. American Journal of Primatology 71: 1-10. Harianto SP. 1988. Habitat dan Tingkah Laku Siamang (Hylobates syndactylus) di Calon Taman Nasional Way Kambas, Lampung [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Iskandar F. 2008. Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1797) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. MacKinnon J. 1977. A Comparative Ecology of Asian Apes. Primates 18: 747– 772. MacKinnon J, MacKinnon K. 1980. Niche Differentiation in A Primate Community. Di dalam: Chivers DJ, [Eds.]. Malayan Forest Primates: Ten Years' Study in Tropical Rain Forest. New York & London: Plenum Pr. Mather RJ. 1992. A Field Study of Hybrid Hylobatidaes in Central Kalimantan, Indonesia. PhD dissertation. Cambridge: Cambridge University. Mitani JC. 1990. Demography of Agile Hylobatidaes (Hylobates agilis). International Journal Primatology 11: 409-422. Napier JR, Napier PH.1967. A Handbook of Living Primates. London: Academic Press. Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. London: Academic Press. Nijman V. 2004. Consevation of the Javan Hylobatidae Hylobates moloch: Population estimates, local extinctions, and conservation priorities. The Raffles Bulletin Zoology 52(1): 271-280. O‟Brien TG, Kinnard MF, Nurcahyo A, Iqbal M, Rusmanto M. 2004. Abundance and distribution of sympatric Hylobatidaes in the treathened Sumatran rain forest. International Journal Primatology 25(2): 267-284.
58
Perbatakusuma E A, Wurjanto D, Sihombing L. 2007. Membangun Kolaborasi Para Pihak dalam Strategi Konservasi Habitat Orangutan Sumatera di Ekosistem Batang Toru. Laporan Lokakarya Para Pihak. Sibolga: Conservation International-Departemen Kehutanan. Palombit RA. 1997. Inter and Intraspesific Variation in Diets of Sympatric Siamang (Hylobates syndactylus) and Lar Hylobatidaes (Hylobates lar). Folia primatol 68: 321-337. Raemaekers JJ. 1984. Large Versus Small Hylobatidaes: Relative Roles of Bioenergetics and Competition in Their Ecological Segregation in Sympatry. Di dalam: Preuschoft H, Chivers DJ, Brockelman WY, Creel N, [Eds.]. The Lesser Apes: Evolutionary and Behavioral Biology. Edinburgh: Edinburgh University Press: 209–218. Rinaldi D. 1992. Penggunaan Metode Triangle dan Concentration Count dalam Penelitian Sebaran dan Populasi Hylobatidae (Hylobatidae). Media Konservasi Vol. IV (1): 9-21. Suin NM. 2003. Ekologi Populasi. Padang: Andalas Universiti Press. Sultan K. 2009. Kajian Habitat dan Populasi Ungko (Hylobates agilis ungko) Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara [tesis]. Bogor: Program Studi Mayor Primatologi, Institut Pertanian Bogor. Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suyanti. 2007. Analisis Morfologi dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) Di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Whitten, A.J. 1982. The Ecology of Singing in Kloss Hylobatidaes (Hylobates klossii) on Siberut Island, Indonesia. International Journal of Primatology 3. Wilson, C.C. and Wilson, W.L. 1976. Behavioral and morphological variation among
primate
populations
Anthropology 20: 207–233.
in
Sumatera.
Yearbook
of
Physical
59
Yanuar A, Sugardjito J. 1993. Population Survei of Primates in Way Kambas National Park, Sumatera, Indonesia. Tigerpaper 20: 30-36. Yanuar A. 2009. The Population Distribution and Abundance of Siamangs (Symphalangus syndactylus) and Agile Gibbons (Hylobates agilis) in West Central Sumatera, Indonesia. Di dalam: Lappan S, Whittaker DJ, [Eds.]. The Hylobatidaes: New Perspectives on Small Ape Socioecology and Population Biology. New York: Springer: 453-465.
LAMPIRAN
61
Lampiran 1 Peta transek Stasiun Penelitian YEL-SOCP Batang Toru.
62
Lampiran 2 Daftar perjumpaan ungko dan siamang. No
Tanggal
Jenis
Jumlah
Lokasi
Keterangan
1
04/06/2011
Ungko
1
Gua 1955
grup GA
2
05/06/2011
Ungko
1
C X JMK
grup GC
3
05/06/2011
Ungko
2
B 2430
semua hitam
4
05/06/2011
Ungko
1
CII2 785
Kuning
5
07/06/2011
Ungko
2
JMK 2425
grup GA
6
08/06/2011
Ungko
1
F ig 1912
Kuning
7
08/06/2011
Ungko
1
plot 13
grup GF
8
08/06/2011
Siamang
1
plot 13
grup SA
9
09/06/2011
Ungko
3
C 4500
grup GQ
10
09/06/2011
Ungko
3
CXM
grup GE
11
30/06/2011
Ungko
1
S 1025
grup GB
12
30/06/2011
Siamang
2
S1200
grup SC
13
30/06/2011
Ungko
4
AP 125-S520
grup GB
14
01/07/2011
Ungko
1
Gua X HA
grup GA
15
01/07/2011
Ungko
4
Gua 500
grup GF dan GG
16
01/07/2011
Ungko
2
Gua 475
grup GG
17
01/07/2011
Ungko
1
Gua 0
semua hitam
18
03/07/2011
Ungko
1
I 900
grup GB
19
03/07/2011
Siamang
3
S 1125
grup SC
20
05/07/2011
Ungko
1
Gua 1600
Hitam
21
05/07/2011
Ungko
1
Gua 1100
Hitam
22
05/07/2011
Siamang
3
Gua 1100
grup SG
23
05/07/2011
Ungko
3
Gua 475
grup GF
24
06/07/2011
Ungko
1
C 3225
Hitam
25
06/07/2011
Siamang
1
C 3150
Dewasa
26
06/07/2011
Ungko
2
Gua 500
grup GG
27
06/07/2011
Siamang
1
M 800
grup SC
28
06/07/2011
Ungko
3
Gua 2900
grup GB
29
07/07/2011
Ungko
2
AP 400
grup GC
30
07/07/2011
Ungko
2
S 225
grup GB
31
08/07/2011
Ungko
1
plot 8
grup GB
32
08/07/2011
Ungko
3
C 4100-O 1300
grup GD
33
09/07/2011
Siamang
2
C 900
Dewasa
34
09/07/2011
Siamang
1
IXJ - LXGua - CXL
grup SD
35
09/07/2011
Ungko
3
NL 725
grup GB
36
09/07/2011
Siamang
3
I 800
grup SE
37
09/07/2011
Ungko
1
S 275
grup GB
38
10/07/2011
Ungko
2
Gua X HB
grup GA
39
10/07/2011
Ungko
3
I X Gua
grup GD
40
13/07/2011
Ungko
3
Gua X I – C
grup GD
41
13/07/2011
Siamang
3
JMK 75
2 dewasa 1 anak
42
15/07/2011
Ungko
1
B 2400
Hitam
63
Lampiran 2 (lanjutan) No
Tanggal
Jenis
Jumlah
Lokasi
Keterangan
43
15/07/2011
Ungko
3
JMK 1175
2 hitam 1 kuning
44
15/07/2011
Ungko
3
HA 1200
grup GF
45
16/07/2011
Ungko
2
C 3200
grup GA
46
16/07/2011
Siamang
3
H 1550
2 dewasa 1 anak
47
16/07/2011
Ungko
3
Fig 33
grup GF
48
16/07/2011
Ungko
1
CGLG
Hitam
49
16/07/2011
Ungko
1
Gua 1400
grup GA
50
16/07/2011
Siamang
1
CXM
grup SK
51
16/07/2011
Ungko
2
S 650
grup GB
52
17/07/2011
Siamang
3
Plot 13
grup SD
53
17/07/2011
Ungko
1
Gua 525
Hitam
54
17/07/2011
Siamang
3
antara C dan HB
grup SD
55
18/07/2011
Siamang
3
H 2125
grup SG
56
19/07/2011
Ungko
1
C 2350
grup GJ
57
19/07/2011
Ungko
1
CGLG/survei 3A
grup GH
58
19/07/2011
Siamang
3
CGLG/survei 3A
grup SH
59
19/07/2011
Ungko
1
plot 13
Hitam
60
19/07/2011
Ungko
2
Gua 1500
grup GA
61
21/07/2011
Siamang
3
Survei 3B
grup SI
62
21/07/2011
Ungko
1
Survei 3B
grup GJ
63
24/07/2011
Siamang
1
Gua 1500
grup SA
64
26/07/2011
Ungko
1
HE 75
grup GG
65
26/07/2011
Ungko
1
plot 13
grup GF
66
26/07/2011
Siamang
1
CGLG
grup SH
67
05/08/2011
Ungko
4
S700-S600
grup GB
68
05/08/2011
Ungko
1
plot 13
grup GF
69
05/08/2011
Siamang
1
plot 14
grup SA
70
05/08/2011
Ungko
4
S525
grup GB
71
05/08/2011
Ungko
1
H2500
grup GA
72
05/08/2011
Ungko
2
Gua 1250
grup GA
73
05/08/2011
Siamang
1
plot 13-Gua350
grup SA
74
05/08/2011
Ungko
1
plot 13
grup GF
75
12/08/2011
Siamang
2
R X jalan masy
grup SC
76
12/08/2011
Ungko
1
plot 13
grup GF
77
12/08/2011
Ungko
1
Gua 625
grup GF
78
13/08/2011
Ungko
3
HA X Gua
grup GF
79
13/08/2011
Siamang
1
Gua 600
grup SA
80
14/08/2011
Ungko
1
HM 50
Hitam
81
14/08/2011
Ungko
3
C X CGLG
grup GH
82
15/08/2011
Ungko
3
JMK 450
Hitam
64
Lampiran 3 Daftar perjumpaan primata lain. No
Jumlah
1
Jenis orangutan
2
Lokasi Gua 950
2
orangutan
2
C2250
3
orangutan
1
Plot 14
4
orangutan
1
Camp 2
5
orangutan
1
Camp 2
6
orangutan
1
JMK 2600
7
orangutan
2
Gua X L
8
orangutan
1
Gua X L
9
orangutan
1
O 1300
10
orangutan
1
C
11
orangutan
1
S500
12
orangutan
2
HA1300
13
orangutan
1
C2375
14
orangutan
1
C2375
15
orangutan
1
N325
16
orangutan
1
S525
17
orangutan
1
M25
18
orangutan
2
Gua 750
19
simpai
5
Ap 1325
20
simpai
7
C X CGLG
21
simpai
5
AP X HI
22
simpai
3
Plot 19
23
simpai
6
Plot 13
24
simpai
5
IXS
25
beruk
8
HH 200
26
beruk
6
CXO
27
beruk
7
C 3800
28
beruk
5
I 900
29
beruk
8
C 4300