PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS KELELAWAR DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA
RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS KELELAWAR DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA
RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN. E34050078. Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan ANI MARDIASTUTI. Sebahagian besar masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari. Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar (Chiroptera: Megachiroptera). Tidak hanya itu, kelelawar juga berperan penting dalam menjaga ekosistem di KHBT, karena membantu penyerbukan dan penyebaran biji beberapa jenis tumbuhan di sana. Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT didominasi oleh suku Batak, dan sangat gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Perburuan yang tidak lestari dikhawatirkan akan menekan populasi kelelawar. Untuk itu perlu dilakukan survei perburuan dan perdagangan kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar. Lokasi penelitian berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Penelitian dilaksanakan bulan November 2009-Juni 2010. Alat yang digunakan adalah peta kawasan, buku panduan lapang “Kelelawar di Indonesia” (Suyanto 2001), GPS, kamera digital, camera trap, binokuler, senter, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Objek yang di teliti adalah jenis kelelawar yang diburu, pemburu, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak, pengkonsumsi, serta petani durian. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, wawancara, observasi lapangan dan pemasangan camera trap. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelelawar yang diburu adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak. Jenis kalong kapauk lebih banyak diburu daripada lalai kembang dan kusing dayak. Perburuan dengan tujuan komersial ini dilakukan dengan menggunakan jaring, namun ada juga sebahagian kecil yang menggunakan senapan angin dan rawe. Perburuan kalong kapauk berlangsung musiman (musim bunga durian), sedangkan perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak. Perdagangan kelelawar terjadi secara lokal. Harga seekor kalong kapauk dari pedagang kepada pembeli sekitar Rp 15.000-40.000, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dijual seharga Rp 1.000 per ekor. Bentuk pemanfaatan kelelawar adalah sebagai sumber protein, menu makanan ekstrem, dijadikan serbuk obat asma, dan sebagai tambul. Diperlukan suatu upaya konservasi untuk menyelamatkan populasi kelelawar yang diperkirakan terus menurun ini, yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai fungsi penting kelelawar, pendidikan konservasi dibangku sekolah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyuluhan pertanian, dan perbaikan habitat kelelawar. Kata kunci: perburuan, perdagangan, Pteropodidae, Hutan Batang Toru
SUMMARY RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN. E34050078. The Hunt and Trade of Some Species of Bats inside and surround Forest Area of Batang Toru, North Sumatra. Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and ANI MARDIASTUTI Most of local people surround Batang Toru Forest Area work at agriculture sectors. Durian and petai are mostly cultivated due to those commodities have high economic value. The main wild animals that help pollination of durian and petai is bat (Chiroptera: Megachiroptera). Not only help durian and petai pollination, but bats also help other plants pollination and spread some seeds. Therefore bats also have function as forest ecosystem keeper. The local people inside and surrounding Batang Toru forest is dominated by Batak ethnic. They are found of consuming bats meat (Pteropodidae). Unsustainable bat hunting is worrying since it can decrease bats population. The aims of study is to get information concerning the hunt and trade of some species of bats inside and surrounding Batang Toru Forest Area from conservation perspective. The locations of study were at Batang Toru Forest Area, surrounding Batang Toru Forest Area. The study was conducted during November 2009 - June 2010. The tools that were used consisted of map of area, guidance book “Kelelawar di Indonesia”, GPS, digital camera, 2 unit of trap camera, binocular, flash light, watch, alcohol 90% and guidance questioner. The objects of this study were kalong kapauk, lalai kembang and kusing dayak, bats hunters, bats collectors, bats sellers, bats buyers, food shop owners, toddy shop owners, bats consumers and durian farmers. The data was collected through literature study, interview, field observation and video from trap camera. The data then was analyzed descriptively. The bats trades happen locally. The price of one kalong kapauk can reach Rp 15.000,00 – Rp 40.000,00, while one lalai kembang or kusing dayak is only paid Rp 1.000,00. The utilizations of bats are usually for protein source, extreme menu, medicine and Snacks. Concerning the important aim of bats in the ecosystem, it needs conservation effort to conserve bat population that is getting decrease. The conservation effort can be giving socialization to local people regarding important aim of bats to the ecosystem, delivering conservation education to pupils in the schools, increasing local people welfare by giving agricultural illumination and repairing the habitat of bats. Key words: hunt, trade, Pteropodidae, Batang Toru Forest
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Ronald Andreas Paja Siagian NRP E34050078
Judul Skripsi : Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara Nama
: Ronald Andreas Paja Siagian
NIM
: E34050078
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. Haryanto R. Putro, MS NIP. 19600928 198503 1 004
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc NIP. 19590925 198303 2 002
Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal:
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan pada bulan November 2009-Juni 2010 adalah Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di bawah bimbingan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Maraknya perburuan kelelawar yang terjadi di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menimbulkan kekhawatiran bagi sebahagian pihak yang peduli terhadap masalah lingkungan. Penulis melakukan penelitian ini untuk melihat kondisi perburuan dan perdagangan kelelawar yang terjadi sejauh ini. Sumber dana dalam pelaksanaan penelitian ini diperoleh dari Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Ekosistem Lestari (LSM YEL). Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2011
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyadari bahwa penelitian ini terlaksana berkat dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluarga besar penulis khususnya Bapa dan Mama atas kasih sayang, nasehat, kesabaran, dan dukungan doa. 2. Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc atas semua masukan berharga serta motivasi dan nasihat-nasihatnya kepada penulis. 3. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan. 4. Ir. Jajang Suryana, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan. 5. Ir. Oemijati Rachmatisjah, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Silvikultur. 6. Yayasan Ekosistem Lestari, Gabriella Fredriksson, Graham User, dan Helga Peters atas kesempatan, masukan-masukan, bantuan selama di lapangan, dan bantuan dana penelitian yang telah diberikan. 7. Seluruh staf YEL Batang Toru (Pinda Sianturi, S.Hut, M Faesal Rakhman Khakim, S.Hut, Sri Mahaini, Jumiatik, Subroto, Waldi Sipahutar, Rijal Simangunsong, Pak Buyung, Con, dan Kalam) atas bantuannya di lapangan. 8. Lina Kristina Dewi, S.Hut dan Insan Kurnia, S.Hut atas masukan dan bantuannya. 9. Keluarga besar KSHE 42 atas semua perjuangan dan kebersamaannya. 10. Keluarga besar Himakova khususnya Kelompok Pemerhati Gua (G-12) atas semua perjuangan dan kebersamaannya. 11. Keluarga besar KSHE atas bantuannya kepada penulis selama menimba ilmu di IPB. 12. Keluarga besar UKM PMK IPB khususnya Komisi Pelayanan Siswa atas pengalaman dan persahabatan yang dirasakan penulis. 13. Penghuni kost Sakura (David Siagian, A.Md, Dian Firdaus, S.Hut, Dion, Christian, dan Boyce).
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pabatu, Sumatera Utara pada tanggal 12 Juli 1987 sebagai anak keempat dari empat bersaudara pasangan Arnold Siagian dan Tianur Saragih. Pendidikan formal penulis dimulai di SDN IV Ajamu (19931999), kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Yapendak Ajamu (1999-2002). Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU RK Bintang Timur Rantauprapat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru IPB. Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Himakova Kelompok Pemerhati Gua (G12) tahun 2006-2008, koordinator bidang pelayanan Komisi Pelayanan Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun 2007-2008, dan wakil koordinator II bidang eksternal Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun 2008-2009. Kegiatan lapang yang pernah diikuti adalah Eksplorasi Fauna dan Flora Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang Bandung (2008). Kegiatan akademik lapang yang pernah diikuti antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan BKPH Gunung Slamet Barat Baturaden Jawa Tengah (2007), Praktek Pengelolaan Konservasi Eksitu di Kebun Tanaman Obat Karya Sari Leuwiliang Bogor dan Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selatan. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur (2009). Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara dibimbing oleh Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... iv I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 2 1.3 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 3 1.4 Maksud dan Tujuan ......................................................................... 3 1.5 Manfaat ............................................................................................ 4 II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5 2.1 Bio-Ekologi Kelelawar ................................................................... 5 2.1.1 Kalong Kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) ....... 6 2.1.2 Lalai Kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) .......... 11 2.1.3 Kusing Dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890) ..... 12 2.2 Fungsi di Alam ............................................................................... 13 2.3 Alat dan Cara Perburuan ................................................................. 14 2.4 Perdagangan .................................................................................... 16 2.5 Upaya Konservasi ........................................................................... 18 III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 19 3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................... 19 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 19 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ........................................................ 19 3.4 Metode Pengumpulan Data ............................................................ 20 3.4.1 Pengamatan (Observasi) ..................................................... 20 3.4.2 Wawancara (Interviu) ......................................................... 21 3.4.3 Camera Trap ........................................................................ 21 3.4.4 Jenis Kelelawar yang Diburu dan Diperdagangkan ............ 22 3.4.5 Perburuan Kelelawar .......................................................... 23 3.4.6 Perdagangan Kelelawar ....................................................... 23 3.4.7 Karakteristik Responden ..................................................... 23 3.4.8 Kondisi Habitat ................................................................... 24 3.4.9 Kebun Durian ...................................................................... 24 3.5 Analisis Data ................................................................................... 24 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................... 25 4.1 Letak dan Luas ................................................................................ 25 4.1.1 Kabupaten Tapanuli Utara .................................................. 25 4.1.2 Kabupaten Tapanuli Tengah ............................................... 26 4.1.3 Kabupaten Tapanuli Selatan ............................................... 27 4.2 Topografi dan Geologi .................................................................... 28 4.3 Iklim ................................................................................................ 29 4.4 Potensi Fauna dan Flora ................................................................. 29 4.5 Kondisi Masyarakat ........................................................................ 30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 31 5.1 Pengenalan Kalong Kapauk, Lalai Kembang dan Kusing Dayak .............................................................................................. 31
5.2
Perburuan Kalong Kapauk .............................................................. 5.2.1 Alat dan Cara Perburuan ..................................................... 5.2.1.1 Jaring (Jala) ........................................................... 5.2.1.2 Senapan Angin ...................................................... 5.2.1.3 Rawe (Mata Kail Pancing) .................................... 5.2.2 Daerah dan Lokasi Perburuan ............................................. 5.2.3 Waktu Perburuan ................................................................ 5.2.4 Frekuensi Perburuan ........................................................... 5.2.5 Estimasi Jumlah Tangkapan ............................................... 5.3 Perdagangan Kalong Kapauk ......................................................... 5.3.1 Rantai Perdagangan ............................................................ 5.3.2 Lokasi Penjualan ................................................................. 5.4 Karakteristik Responden Pemanfaat Kalong Kapauk ..................... 5.4.1 Pemburu .............................................................................. 5.4.2 Pengumpul dan Pedagang ................................................... 5.4.3 Pembeli ............................................................................... 5.4.4 Pemilik Rumah Makan dan Warung Tuak yang Menjual Kalong Kapauk Siap Saji ...................................... 5.4.5 Pengkonsumsi Kalong Kapauk Siap Saji ........................... 5.5 Perburuan Lalai Kembang dan Kusing Dayak ............................... 5.5.1 Alat dan Cara Perburuan ..................................................... 5.5.2 Daerah dan Lokasi Perburuan ............................................. 5.5.3 Waktu Perburuan ................................................................. 5.5.4 Frekuensi Perburuan ........................................................... 5.5.5 Sex ratio Hasil Buruan ........................................................ 5.5.6 Estimasi Jumlah Tangkapan ............................................... 5.6 Perdagangan Lalai Kembang dan Kusing Dayak ........................... 5.7 Karakteristik Pemanfaat Lalai Kembang dan Kusing Dayak .......... 5.7.1 Pemburu .............................................................................. 5.7.2 Pembeli ............................................................................... 5.8 Kondisi Habitat ............................................................................... 5.9 Kebun Durian ................................................................................. 5.10 Pembahasan Umum ........................................................................ 5.10.1 Kalong Kapauk ................................................................... 5.10.2 Lalai Kembang dan Kusing Dayak ..................................... 5.10.3 Implikasi Terhadap Pengelolaan ......................................... 5.10.3.1 Kelestarian Kalong Kapauk, Lalai Kembang, dan Kusing Dayak ................................................ 5.10.3.2 Sifat Migrasi Kalong Kapauk ............................... 5.10.3.3 Kondisi Habitat ..................................................... 5.10.3.4 Upaya Pemerintah ................................................. VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 6.2 Saran ............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN ....................................................................................................
32 32 33 35 35 36 38 39 39 40 40 42 43 46 48 48 50 52 53 53 54 55 56 58 58 58 59 60 62 62 63 65 65 70 71 71 72 72 73 76 76 77 78 81
DAFTAR TABEL No. 1.
Halaman Lokasi pasar tradisional yang menjual kalong kapauk, di dalam dan sekitar KHBT ...........................................................................................
2.
Karakteristik umum responden pemanfaat kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT ....................................................................................
3.
44
Asal responden yang menjadi pembeli kalong kapauk di Kabupaten Tapanuli Tengah ......................................................................................
4.
43
49
Lokasi dan jumlah rumah makan/warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji di dalam dan sekitar KHBT, berdasarkan hasil survei ........................................................................................................
5.
Lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap .....................................
6.
61
Jumlah pemburu lalai kembang dan kusing dayak per kelompok dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap ......................................
9.
60
Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap ......................................
8.
56
Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak di Kecamatan Tukka ......................................................................
7.
50
61
Luas tanaman, produksi, dan rata-rata produksi durian di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, tahun 20062008 ..........................................................................................................
64
DAFTAR GAMBAR No. 1.
Halaman Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan kelelawar di dalam dan sekitar KHBT ......................................................
3
2.
Penyebaran geografi kalong kapauk (Sumber: Kunz & Jones 2000) ...............
7
3.
Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001) .................
15
4.
Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006) ....................
17
5.
Camera trap tipe Sony P41 ......................................................................
19
6.
Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL) ..................
25
7.
Kalong kapauk (a), lalai kembang (b), dan kusing dayak (c) .................
32
8.
Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring ...................
35
9.
Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe ....................
36
10. Persentase kepemilikan lahan yang dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk ..........................................................................................
37
11. Beberapa lokasi penjaringan kalong kapauk di punggung bukit (a) dan salah satu lokasi penjaringan kalong kapauk (b) ...............................
38
12. Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara pemburu (n = 69) .....................................................................................
39
13. Pemburu di Panti menjual hasil tangkapan kepada pengumpul di Panti (a), keranjang pengiriman (b), serta kalong kapauk yang sudah diikat mulut dan sayapnya lalu dikelompokan sesuai ukuran (c) ............
41
14. Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT ........
41
15. Kalong kapauk setelah dibakar (a), masakan daging kalong kapauk (b), dan salah satu rumah makan kalong kapauk siap saji di Desa Tukka (c) ..................................................................................................
42
16. Penjualan kalong kapauk dengan cara berkeliling menggunakan sepeda motor ............................................................................................
42
17. Persentase responden pemanfaat kalong kapauk berdasarkan masingmasing kategori ........................................................................................
43
18. Persentase persepsi pemburu mengenai upaya perlindungan kalong kapauk (n = 69) ........................................................................................
47
19. Alat perburuan lalai kembang dan kusing dayak .....................................
53
iii
20. Tempat perburuan lalai kembang dan kusing dayak (patca) dengan memanfaatkan pohon hidup (a) dan menggunakan tiang kayu (b) ..........
54
21. Gua Liang (a) dan Gua Anak Liang (b) di dalam KHBT blok Barat, Kabupaten Tapanuli Utara .......................................................................
54
22. Jumlah perburuan yang dilakukan setiap pemburu dari masingmasing desa/dusun dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ...............
56
23. Frekuensi perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ...............................................
57
24. Sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan (n = 1) ..............
58
25. Penanganan lalai kembang dan kusing dayak sebelum dipasarkan: membuang sayap (a), ditusuk dengan kayu (b), dibakar (c), hasil setelah dibakar (d), perebusan (e), dan pengasapan (f) .............................
59
26. Sampah yang ditinggalkan pemburu (a), tempat masak (b), dan batu gilingan (c) ...............................................................................................
63
27 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara petani durian (n = 59) ...............................................................................
63
28. Penyebab berkurangnya produksi durian berdasarkan wawancara petani durian (n=59) .................................................................................
65
DAFTAR LAMPIRAN No. 1.
Halaman Panduan wawancara kepada pemburu kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT ............................................................................................
2.
Panduan wawancara kepada pemburu lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT ...........................................................
3.
86
Panduan wawancara kepada pembeli kalong kapauk (untuk konsumsi sendiri), di dalam dan sekitar KHBT .......................................
5.
85
Panduan wawancara dengan pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk, di dalam dan sekitar KHBT ........................................................
4.
82
87
Panduan wawancara kepada pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar KHBT .......................................................................................................
6.
88
Panduan wawancara kepada pengkonsumsi di rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar KHBT ....................................................................................
7.
89
Panduan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan sekitar KHBT ...........................................................................................
90
8.
Persebaran jenis-jenis anggota marga Pteropus (Sumber : Suyanto (2001)) ......
91
9.
Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dan di Panti ........
92
10. Perburuan lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan camera trap ....
94
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Kawasan HBT berstatus hutan produksi seluas 93.628 ha (68,7%), hutan lindung (register) atau suaka alam seluas 25.315 ha (18,6%) dan area peruntukan lain seluas 17.341 ha (12,7%) (Indra & Fredriksson 2007). Sebahagian besar masyarakatnya memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai merupakan jenis tanaman yang banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari oleh masyarakat. Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar. Selain durian dan petai, di dalam dan sekitar KHBT terdapat sekitar 184 jenis tanaman lain yang penyerbukannya juga dibantu oleh kelelawar, seperti: nangka, mangga, pisang, jambu serta beragam jenis tanaman penting lainnya yang menghasilkan kayu dan non kayu (Indra & Fredriksson 2007). Kelelawar juga berperan sebagai pemencar biji-bijian yang efektif, karena dapat menyebarkan biji dengan jarak lebih luas. Kelelawar jenis kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) di Malaysia memiliki daya tempuh 60 km dalam semalam (Burns 2009), sedangkan kelelawar jenis lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) memiliki daerah jelajah mencapai radius 40 km dalam semalam (Suyanto 2001). Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan habitat dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009). Perburuan kalong kapauk sering terjadi karena satwa tersebut dianggap merugikan (memakan buah-buahan di kebun) dan kurangnya informasi bagi masyarakat (Kencana 2002). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), perburuan satwaliar pada awalnya hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein. Pemanenan kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dari pihak lain (Soehartono & Mardiastuti 2003). Masyarakat di dalam dan disekitar KHBT didominasi oleh suku Batak yang gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Jenis kelelawar
2
yang diburu dan diperdagangkan adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Ketiga jenis kelelawar ini berasal dari genus yang berbeda-beda dan termasuk dalam kelas Mamalia, subordo Megachiroptera, dan famili Pteropodidae. Kalong kapauk termasuk dalam genus Pteropus (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001), lalai kembang termasuk dalam subfamili Macroglossinae dan genus Eonycteris (Suyanto 2001), sedangkan kusing dayak termasuk dalam genus Dyacopterus (Suyanto 2001). Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT sudah lama mengenal ketiga jenis kelelawar ini. Kalong kapauk lebih dikenal dengan sebutan haluang, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dikenal dengan sebutan lopong. Lopong merupakan sebutan lokal untuk semua jenis kelelawar yang tinggal di dalam gua. Jenis lopong yang diburu adalah lalai kembang dan kusing dayak, karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Penulis tidak melakukan identifikasi terhadap jenis kelelawar lain yang tidak diburu oleh masyarakat. Perburuan dan pedagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak yang berlangsung secara terus menerus dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan populasi dari ketiga jenis kelelawar tersebut. Penurunan populasi kelelawar ini dapat mengakibatkan produktivitas buah durian, petai dan jenis tanaman budidaya lainnya menurun, serta terganggunya ekosistem di KHBT. Penelitian mengenai perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu untuk dilakukan. 1.2 Perumusan masalah Penelitian ini diarahkan untuk merumuskan jawaban atas pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: (1) jenis kelelawar yang diburu; (2) alat dan cara perburuan; (3) daerah-daerah (desa/dusun) dan lokasi perburuan; (4) waktu perburuan; (5) frekuensi peburuan; (6) sex ratio hasil buruan; (7) estimasi jumlah hasil tangkapan; (8) rantai perdagangan kelelawar; (9) bentuk pemanfaatannya; (10) letak lokasi penjualan; (11) karakteristik pemanfaat kelelawar; (12) kondisi habitat kelelawar; dan (13) hasil panen durian dari tahun ke tahun. Data dan informasi yang menjawab permasalahan di atas diperlukan dalam upaya
3
konservasi terhadap jenis kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak khususnya di dalam dan sekitar KHBT. 1.3 Kerangka pemikiran Kelelawar memiliki peranan penting dalam membantu proses penyerbukan dan pemencaran biji tumbuhan. Perburuan secara tidak lestari dikhawatirkan dapat menekan populasinya di alam, karena perkembangbiakannya yang berlangsung lambat. Perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu segera disurvei untuk melihat kondisi yang sebenarnya, sehingga dapat dilakukan upaya yang tepat untuk mendukung pelestarian dari ketiga jenis kelelawar ini. Kerangka penelitian perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak dapat dilihat pada Gambar 1. Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT
Survei lokasi perburuan
Diperdagangkan secara komersial
Diburu secara tradisional
Konsumsi sendiri
Populasi berkurang
1. Produktivitas kebun buah berkurang 2. Ekosistem di KHBT terganggu
Survei pasar tradisional
Persepsi para pihak
Upaya-upaya konservasi
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan kelelawar di dalam dan sekitar KHBT. 1.4 Maksud dan tujuan Maksud dan tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar.
4
1.5 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam: 1. Menyediakan informasi mengenai sistem perburuan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT. 2. Menyediakan informasi mengenai kajian perdagangan dan pemanfaatan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT. 3. Memberikan usulan-usulan tentang upaya yang perlu dilakukan agar kelelawar yang diburu dan diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT tetap lestari.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi kelelawar Kelelawar termasuk Ordo (bangsa) Chiroptera dan memiliki 2 subordo (anak bangsa), yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera umumnya berukuran besar, telinga tidak memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua umumnya bercakar dan terdiri dari dua tulang jari, serta pemakan buah dan nektar (Standbury 1970; Yalden & Morris 1975; Feldhamer 1999; Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Microchiroptera pada umumnya berukuran kecil, telinga memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua tidak bercakar, tidak memiliki tulang jari, dan pemakan serangga (Standbury 1970; Feldhamer 1999; Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001), serta pemakan ikan dan darah (Feldhamer 1999). Perbedaan lainnya adalah dari cara melihat, ukuran dan bentuk sayap, orientasi mencari pakan (Feldhamer 1999) dan tingkat ketajaman indra penciumannya (Standbury 1970). Megachiroptera memiliki mata yang lebih besar, penciuman yang baik, dan memiliki lidah yang panjang (Standbury 1970). Di dunia ada 18 suku, sekitar 192 marga, dan 977 jenis kelelawar (Nowak 1999, diacu dalam Suyanto 2001). Meskipun memiliki jumlah jenis yang banyak (terbesar kedua setelah Rodentia dalam kelas Mamalia), namun umumnya anggota individu masing-masing jenis tidak banyak (Suyanto 2001). Di Indonesia ada 205 atau 21% jenis kelelawar di dunia yang sudah diketahui, sembilan suku dari jenisjenis ini termasuk dalam 52 marga (Suyanto 2001). Kesembilan suku tersebut terdiri dari Subordo Megachiroptera (Pteropodidae) dan Subordo Microchiroptera (Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Molossidae) (Suyanto 2001). Selain memiliki tingkat adaptasi yang baik kelelawar juga memiliki daerah penyebaran yang bersifat kosmopolit, karena ditemukan hampir diseluruh wilayah di muka bumi kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terisolasi (Stadbury 1970; Vaughan 1986). Menurut Suyanto (2001), kelelawar dapat tinggal di kolong atapatap rumah, terowongan-terowongan, di bawah jembatan, rerimbunan dedaunan, gulungan daun pisang/palem, celah bambu, lubang-lubang batang pohon dan pohon-pohon besar. Musuh alami kelelawar adalah ular sanca, ular hijau, elang kelelawar, kucing dan burung hantu (Suyanto 2001).
6
2.1.1 Kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) Kalong kapauk termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili Pteropodidae dan Genus Pteropus, serta memiliki 58 jenis (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), kalong kapauk mempunyai beberapa sub spesies yaitu P. v. malaccensis di Sumatera, Malaysia, Burma, Muangthai dan Vietnam; P. v. vampyrus di Jawa; P. v. pluton di Bali dan Lombok; P. v. edulis di Timor dan Pulau Sawu; P. v. natunae di Pulau Natuna (Bunguran, Pulo Panjang) dan Kalimantan; P. v. lanensis di Filipina. Nama ”pteropus” berasal dari bahasa Yunani ”pteron” yang berarti sayap, sedangkan ”vampyrus” berasal dari bahasa Perancis dan Jerman ”vampir” yang berarti penghisap darah, sebutan untuk kelelawar penghisap darah (Suyanto 1979). Sebutan ”vampir” bertentangan dengan sifat binatang yang bersangkutan, karena makanannya berupa buah-buahan dan sama sekali tidak menghisap darah (Suyanto 1979). Kalong kapauk memiliki nama lain: keluang, paniki, kabog, giant flying fox, island flying fox, Malayan flying fox, Malayan large flying fox, Malaysian flying fox, common flying fox, Sunda Island flying fox, large fruit bat, Malacca fruit bat, dan red-necked fruit bat (Kunz & Jones 2000). Ciri-ciri umum yang dimiliki kalong kapauk menurut Suyanto (1979) adalah panjang badan dan kepala dapat mencapai 40 cm, kepala mirip anjing, berwarna kuning kemerah-merahan sampai coklat kehitam-hitaman (warna ini hanya sampai kebahu, sedangkan sisanya kehitam-hitaman), betis dan sayap tidak berambut , panjang telinga 4-5 cm dengan ujung meruncing, membran antar paha tidak tumbuh di tengah, rigi platum (tonjolan kulit pada langit-langit) 5+5+3 atau 5+51/2 atau 6+3, betis bagian atas tidak berbulu, basal ledge belakang pada graham tidak tumbuh, dan lengan bawah panjangnya mencapai 18-22 cm. Kalong kapauk tidak memiliki ekor (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Kalong kapauk juga dapat dibedakan dengan jenis lainnya melalui warna bulu (Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Warna dan bentuk bulu kalong kapauk bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin (Goodwin 1979, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Kalong kapauk remaja biasanya berwarna abu-abu sampai cokelat/ pirang (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz &
7
Jones 2000). Bulu jantan terlihat sedikit lebih kaku dan lebih tebal dibandingkan betina (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Jantan juga mempunyai kelenjar neck-tufts yang kaku di leher (Andersen 1912). Menurut Ingle dan Heaney (1992) diacu dalam Kunz dan Jones (2000), kalong kapauk memiliki berat badan kira-kira mencapai 645–1,092 gram. Menurut Suyanto (1979), berat kalong kapauk dewasa sekitar 600 - 1.400 gram. Menurut Yalden dan Morris (1975), berat kalong kapauk dapat mencapai 1.200 gram, yang sama dengan berat seekor kelinci. Panjang rentang sayap 1,320–1,500 m (Yalden & Morris 1975; Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), kalong kapauk terdapat hampir diseluruh wilayah Wallace Indo-Malayan (Gambar 2). Kalong kapauk terdapat mulai dari selatan Burma dan Thailand bagian timur sampai ke Filipina dan ke Selatan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Timor (Andersen 1912). Di Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, kalong kapauk umumnya berada di wilayah pantai, tetapi juga terdapat pada ketinggian sampai 1,370 m dpl (Medway 1969, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Menurut Liat (1966), di Malaysia kalong kapauk dapat ditemukan di hutan-hutan dataran rendah yang hinggap bergantungan di pohon-pohon besar dengan ketinggian antara 100-150 kaki dari permukaan tanah.
Gambar 2 Penyebaran geografi kalong kapauk (Sumber: Kunz & Jones 2000).
8
Menurut Lekagul dan McNeely (1975), penyebaran kalong kapauk hampir meliputi seluruh kawasan Asia Tenggara, yaitu dapat dijumpai di dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian kurang lebih 1.300 m dpl. Sarang kalong kapauk juga dapat ditemukan di hutan-hutan mangrove, dimana jenis ini berkelompok dalam jumlah yang lebih kecil dengan jumlah antara 20-150 ekor setiap kelompoknya (Liat 1966). Kalong kapauk dalam koloni yang besar, mungkin dapat berkisar ratusan sampai ribuan individu (Liat 1966). Menurut Dharmawan (1987), kalong kapauk yang ada di Pulau Rambut Kepulauan Seribu hanya menggunakan dua tipe hutan, yaitu: hutan payau (mangrove) dan tipe hutan sekunder dataran rendah. Pada hutan payau, jenis pohon tempat istirahat adalah bakau merah (Rhizopora mucronata), sedangkan pada hutan sekunder dataran rendah, jenis pohon yang digunakan adalah pohon kepuh (Sterculia foetida), kedoya (Amoora aphanamixis), dan kesambi (Schleichera oleosa) (Dharmawan 1987). Pohon-pohon yang disenangi adalah pohon tertinggi, mudah dijangkau, bercabang banyak, dan kuat, serta cabangnya menyebar luas (Dharmawan 1987). Menurut Pieters (1953) diacu dalam Suyanto (1979), kalong kapauk di alam memakan buah semacam beringin (Ficus) dan kersen (Muntingia calabura). Kalong kapauk juga makan bunga dan daun muda untuk mendapatkan serbuk sari dan air, terutama pada musim kering. Bunga randu (Ceiba pentandra), durian (Durio zibethinus) dan kelapa (Cocos nucifera) sangat disukai kalong kapauk. Menurut Yalden dan Morris (1975), makanan kalong kapauk adalah buah, nektar, dan serbuk sari. Selain kalong kapauk, Chiroptera pemakan buah, nektar, dan serbuk sari lainnya adalah Phyllostomidae yang berasal dari Subordo Microchiroptera (Yalden & Morris 1975). Tipe pohon-pohon yang disenangi kalong kapauk untuk tempat bersarang mempengaruhi penyebarannya. Pteropus spp. lebih menyenangi pohon-pohon yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang menyebar luas (Liat 1966). Kalong kapauk sering bersarang pada satu pohon tertentu atau satu kelompok pohon, dan dari tahun ketahun kalong kapauk tersebut enggan (malas) meninggalkan tempat yang telah disenanginya itu (Liat 1966). Perilaku umum dari kalong kapauk ini menunjukkan bahwa penyebaran lokalnya sangat berkaitan dengan penyebaran
9
tanaman atau ketersediaan makanannya (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Liat 1966). Kalong kapauk melimpah pada bulan April-Juni dan Desember-Januari setiap tahunnya, karena pada waktu-waktu tersebut adalah musim buah-buahan (Liat 1966). Di Semenanjung Malaysia, puncak kebuntingan kalong kapauk terjadi pada bulan November sampai Januari (Medway 1969, diacu dalam Kunz & Jones 2000), tetapi dapat juga pada waktu yang berbeda (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Di Thailand, induk kalong kapauk melahirkan anak secara bersamaan pada bulan Maret atau April (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Lekagul & McNeely 1977). Kalong kapauk berkembangbiak dengan melahirkan anak dengan masa buntingnya sekitar 6 bulan dan jumlah anak seekor pada setiap kelahiran (Lecagul & McNeely 1977; Suyanto 1979). Umumnya masa kelahiran bayi kalong kapauk dipengauhi oleh musim buah, yaitu bersamaan dengan musim buah-buahan, tetapi dapat juga berbedabeda berdasarkan letak wilayahnya (Lecagul & McNeely 1977). Menurut
Yalden
dan
Morris
(1975),
faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi musim kawin (breeding) pada hewan mamalia pada umumnya adalah perubahan cahaya (bertambah atau berkurangnya sepanjang hari), curah hujan dan temperatur (suhu). Setiap kalong kapauk yang berada di daerah beriklim sedang adalah jenis monoestrous, yaitu hanya memiliki satu masa bereproduksi dalam setahun dan menghasilkan seekor anak setiap kelahirannya. Di daerah tropis, cahaya dan temperatur relatif stabil dan beberapa jenis kalong kapauk di daerah ini seharusnya akan berbiak setiap bulannya, tetapi ternyata kalong kapauk hanya menghasilkan anak seekor setiap tahunnya (Yalden & Morris 1975). Beberapa jenis kelelawar di daerah tropis memiliki musim kawin yang dibatasi oleh siklus tahunan melalui pergantian hujan, sehingga anak kalong kapauk akan dilahirkan dengan mengikuti musim berbunga atau musim buah (Yalden & Morris 1975). Menurut Yalden dan Morris (1975), sebelum melahirkan induk-induk kalong kapauk mengalami pemisahan sex terlebih dahulu. Induk-induk yang bunting tersebut kadang-kadang ditemani oleh beberapa ekor betina yang masih muda dan membentuk suatu kelompok asuh (nursing colonies). Diduga
10
pemisahan induk-induk bunting dengan pejantan untuk mengurangi adanya kekacauan dan persaingan makanan (Yalden & Morris 1975). Janin kalong kapauk sangat besar, terkadang mencapai sepertiga berat induknya (Yalden & Morris 1975). Bayi yang baru lahir menempel pada induknya dan untuk beberapa hari pertama turut dibawa terbang dalam pencarian makanan. Setelah itu ditinggalkan di pohon tempat istirahat setiap kali induknya mencari makan (Yalden & Morris 1975). Kalong kapauk umumnya sudah dapat terbang sendiri pada usia sekitar 2 - 3 bulan (Yalden & Morris 1975). Karena jumlah bayi yang berasal dari satu induk sangat kecil, populasi kalong kapauk memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat. Mungkin ini diimbangi dengan masa hidupnya yang lama (Yalden & Morris 1975). Perilaku satwa merupakan suatu reaksi (ekspresi) satwa terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi baik itu faktor internal yang berasal dari dalam tubuh satwa dan dipengaruhi oleh sifat genetik, maupun faktor eksternal yaitu rangsangan dari lingkungan (Suratmo 1979). Perilaku merupakan gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari lingkungannya. Fungsi perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Alikodra 2002). Kalong kapauk merupakan satwa yang aktif pada malam hari yang selalu berkoloni dalam kelompok kecil sampai besar dan beristirahat pada siang hari dengan cara menggantung ke bawah dan kuku kaki mencengkram cabang (ranting pohon), sehingga pohon-pohon yang dihuninya terlihat seperti dipenuhi oleh daun-daun kering yang berwarna coklat (Suyanto 2001). Sebagian kecil tinggal di gua, umumnya tinggal di tajuk pepohonan di antara dedaunan yang rimbun (Suyanto 2001). Koloni kalong kapauk diatur berdasarkan kelompok belum dewasa dan dewasa belum berkembang biak. Pada sekeliling kelompok kalong kapauk, jantan bertindak sebagai penjaga, yang akan memberikan alarm yang keras jika terdapat gangguan (Yalden & Morris 1975). Disebutkan juga oleh Yalden dan Morris (1975) bahwa suatu koordinasi dan prilaku kelompok yang lebih tinggi terjadi pada kalong kapauk yang hidup pada kelompok yang sangat besar, dan mencari makan pada tempat yang relatif
11
terlokalisasi dimana terdapat buah-buahan. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh kelelawar pemakan serangga untuk mencari makan secara bersama-sama dan berdekatan, karena makanannya sangat mobil dan tersebar (Yalden & Morris 1975). 2.1.2 Lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) Lalai kembang termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili Pteropodidae, Subfamili Macroglossinae, dan Genus Eonycteris (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), Genus Eonycteris terdiri dari 3 jenis, yaitu E. spelaea (Dobson, 1871), E. major (Andersen, 1910), dan E. rosenbergii (Jentink, 1889). Di Indonesia genus Eonycteris hanya terdapat 2 jenis saja, yaitu: E. major (Andersen, 1910), yang penyebarannya di Kalimantan dan E. spelaea (Dobson, 1871) yang memiliki daerah penyebaran di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi (Suyanto 2001). Lalai kembang memiliki nama Inggris Dawn bat, Common dawn bat, Common nectar bat, Lesser dawn bat (IUCN 2008). Lalai kembang memiliki penyebaran di India, Myanmar, Thailand, Indocina, Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi) (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi et al. 2003; Suyanto 2001). Selain itu, di Indonesia lalai kembang juga dapat ditemukan di Bali, Lombok, Sumba, Muna, Sanana, Halmahera, Batjan dan Tidore (IUCN 2008). Habitat lalai kembang adalah di berbagai tipe hutan, mulai dari hutan primer sampai lahan pertanian campuran (IUCN 2008). Sedangkan, menurut Suyanto (2001) Eonycteris tinggal di gua-gua atau ceruk-ceruk batuan pada mintakat peralihan atau gelap total. Ciri-ciri yang dimiliki lalai kembang adalah: jari kedua tanpa cakar, moncong panjang, lidah panjang, bulu pendek halus seperti beludru, ada sepasang kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal, lengan bawah sayap 60-85 mm, betis 25-40 mm, kaki belakang dengan cakar 17-21 mm, dan ukuran telinga 16-22 mm (Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001). Menurut Suyanto (2001), yang membedakan E. spelaea dengan E. major adalah ukuran lengan bawah sayap dan warna tubuh, dimana E. spelaea memiliki ukuran lengan bawah
12
sayap 60-81 mm dan berwarna lebih terang, sedangkan E. major memiliki ukuran lengan bawah sayap 72-85 mm dan berwarna lebih gelap. Lalai kembang merupakan kelelawar berukuran sedang (kira-kira 53–84 g) yang bertengger di dalam gua dalam koloni besar dan berpergian dengan jarak yang jauh untuk mencari makanan berupa nektar dan serbuk sari (Corbet & Hill 1992 diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Hill & Smith 1984 diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Kitchener et al. 1990 diacu dalam Maharadatunkamsi et al. 2003). Banyak jenis tanaman yang bergantung pada kelelawar ini untuk penyerbukan dan penyebaran biji, tetapi jumlah populasinya mengalami penurunan karena pengrusakan habitat, gangguan pada gua, dan perburuan (Maharadatunkamsi et al. 2003). Tercatat lebih dari 4.000 individu lalai kembang ditemukan di gua-gua Batu di Malaysia (Bates dan Harrison 1997 diacu dalam IUCN 2008). Di Pulau Palawan ditemukan dua populasi, satu melebihi 2.000 individu dan lain yang mungkin melebihi 50.000 individu (Esselstyn et al. 2004 diacu dalam IUCN 2008). Sepanjang tahun, seekor lalai kembang betina hanya melahirkan satu anak (Bates dan Harrison 1997 diacu dalam IUCN 2008). Sedangkan menurut Suyanto (2001), secara umum suku Pteropodidae memiliki masa bunting 3-6 bulan, dengan melahirkan seekor anak dalam setiap kelahiran. Menurut Heideman & Utzurrum (2003), di Filipina lalai kembang memiliki pola musim kawin yang sama dengan Rousetus amplexicaudatus dan Macroglossus minimus, dengan 2 musim kelahiran setiap tahun, yaitu pada pertengahan bulan Maret atau April dan Agustus atau September. 2.1.3 Kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890) Kusing
dayak
termasuk
dalam
subordo
Megachiroptera,
famili
Pteropodidae, dan genus Dyacopterus (Suyanto 2001). Kusing dayak memiliki nama Inggris Dayak fruit bat dan Dyak fruit bat (IUCN 2008). Menurut Suyanto (2001), genus Dyacopterus hanya memiliki satu jenis anggota, yaitu kusing dayak D. spadiceus (Thomas, 1890). Kusing dayak dapat ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand (IUCN 2008). Menurut Suyanto (2001) persebaran kusing dayak adalah di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia.
13
Menurut Suyanto (2001), ciri-ciri kusing dayak adalah: bentuk geraham atas (P3, P4) dan geraham bawah (P3, P4, dan M1) menyerupai segiempat berukuran besar, P3 berukuran 2,87-3,01 x 2,36-2,60 mm, P4 berukuran 2,52-2,90 x 2,32-2,61 mm, P3 berukuran 3,38-3,60 x 2,21-2,31 mm, dan P4 berukuran 3,063,17 x 2,35-2,67 mm. Rumus gigi I1I2CP3P4M1/I1I2CP1P3P4M1M2 dengan M1 jauh lebih kecil daripada P4, (dibandingkan dengan Cynopterus yang hampir sama besarnya), crista sagittalis tumbuh baik, ada celah antara gigi seri nomor 2 dengan taring atas (Suyanto 2001). Selanjutnya, Suyanto (2001) menyatakan lengan bawah sayap berukuran 76-92 mm, betis 27 mm, telinga 17-21 mm, warna wajah kehitaman, bahu kekuningan, coklat pada daerah punggung dan sisi samping badan, serta keputih-putihan pada dada dan perut. 2.2 Fungsi di alam Fungsi kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di alam sangat besar. Dilihat dari segi ekologi, kalong kapauk dapat memencarkan biji pohonpohon yang menghasilkan buah ke tempat-tempat yang lebih luas dibandingkan dengan yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang lainnya (Suyanto 1979). Peran ini akan sangat penting dalam hal pemulihan hutan di lokasi-lokasi yang rusak akibat aktivitas penebangan hutan ataupun akibat bencana alam (Suyanto 1979). Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak juga berperan dalam penyerbukan pohon-pohon di hutan, termasuk pohon-pohon dengan nilai komersial tinggi seperti durian, randu, dan jenis-jenis lainnya di hutan mangrove (Suyanto 1979). Fungsi kalelawar secara umum, selain fungsi yang telah disebutkan diatas adalah sebagai pengendali hama serangga, penghasil pupuk guano (lalai kembang E. spelaea Dobson, 1871) dan tambang fosfat di gua-gua, sebagai obyek wisata, bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan yang tidak kalah pentingnya daging dan hati kalong kapauk ternyata merupakan penawar asma yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto 1979). Menurut Suyanto (1979) dibeberapa tempat di Indonesia daging kalong kapauk dianggap lezat, tetapi kebanyakan orang enggan memakannya karena baunya yang tidak sedap. Disamping dagingnya, tulang lengan bawah kalong kapauk dibeberapa tempat digunakan sebagai pipa rokok. Menurut Walker et al.
14
(1968) diacu dalam Suyanto (1979) oleh penduduk tertentu lemaknya digunakan untuk menyuburkan rambut kepala dan menyembuhkan penyakit encok. Ada pula yang mengatakan hati kalong kapauk dicampur hati codot (Macroglossus minimus)
dan
cleret
gombel
(Draco
volans),
setelah
dimasak
dapat
menyembuhkan penyakit asma yang berat (Suyanto 1979). 2.3 Alat dan cara perburuan Peraturan yang mengatur perburuan satwaliar terdapat pada bab 4 pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999, tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar. Perburuan jenis satwaliar dalam peraturan tersebut dilakukan untuk keperluan olah raga buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat. Penangkapan kelelawar dapat dilakukan untuk tujuan penelitian, khususnya bagi jenis-jenis yang belum diketahui identitasnya (Suyanto 2001). Alat penangkapan kalelawar meliputi jaring kabut (mistnet), jaring harpa dan jaring serangga (jaring bertangkai) (Suyanto 2001). Di Indonesia alat yang biasa dipakai untuk menangkap kalelawar adalah jaring kabut (Gambar 3a) dan jaring serangga (Gambar 3b) (Suyanto 2001). Jaring kabut yang dipakai untuk menangkap kalelawar adalah jaring yang memiliki mesh (lebar mata jaring) 30-32 mm, dan ketebalan benang jaring 80 Denier (1 Denier = berat 9000 m benang nilon dalam gram), serta benang nilon yang terdiri dari untaian rangkap (Suyanto 2001). Di dalam gua yang berlangit-langit rendah jaring bertangkai biasanya sangat efektif untuk menangkap kelelawar. Sedangkan, untuk gua yang berlangitlangit tinggi dapat menggunakan jaring kabut dengan mengikatkannya pada kedua tiang, lalu menggerakkan kedua tiang kearah kelelawar (Suyanto 2001). Suyanto (2001) melanjutkan bahwa tempat paling baik untuk memasang jaring adalah di tempat kelelawar tidur atau sedang mencari makan, seperti di sekitar pohon yang sedang berbuah (jambu, beringin dan lain-lain), pohon randu atau pisang yang sedang berbunga dan di sekitar tempat koloni laron atau semut terbang. Jaring dapat dipasang menyusuri tepi hutan, atau punggung bukit, menyilang lorong-lorong atau jalan setapak yang dilalui kelelawar (Suyanto 2001). Jaring harus dipasang di tempat yang agak terbuka karena ditempat yang
15
tumbuhannya lebat biasanya tidak dilalui kelelawar karena kelelawar tidak bisa menggunakan sayapnya dengan bebas untuk terbang (Suyanto 2001).
Gambar 3 Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001). Selain alat-alat yang telah disebutkan diatas, cara lain yang biasa digunakan pemburu kalong kapauk adalah dengan menggunakan senapan angin, jala ikan (jaring), dan layangan. Penangkapan dengan senapan angin dan jala ikan pernah dilakukan di Kebun Raya Bogor, ketika populasi kalong kapauk dinyatakan mengalami peningkatan yang begitu cepat dan dinyatakan dapat mengakibatkan kematian pohon koleksi (Susetyo 2007). Penangkapan dengan jala ikan yang dimaksudkan adalah menangkap dengan menggunakan jaring semacam net untuk permainan bola voli. Jaring dipasang dengan tali kemudian dinaikkan hingga membentang di lintasan udara yang biasa dilalui kalong kapauk. Dalam sehari, sejak matahari terbenam hingga subuh, rata-rata tertangkap 30-40 ekor (Susetyo 2007). Cara penangkapan dengan jaring ini juga yang dilakukan penangkap kalong kapauk di kawasan Bukit Tangkiling di Palangkaraya dan di hutan Timpah, arah ke Buntok Kabupaten Barito Selatan (Zainuddin 2009). Penangkapan kalong kapauk dengan layangan pernah dilakukan oleh warga Sirenjang Jambi, yang mana di daerah ini kalong kapauk dianggap sebagai hama pertanian (Pakde 2009). Pada tali layangan dipasang mata kail (pancing) yang cukup banyak dengan tujuan kalong kapauk akan tersangkut di mata kail tersebut ketika layangan diterbangkan (Pakde 2009). Biasanya layangan diterbangkan sampai ketinggian 100 m dan dilakukan dari pukul 17.00−18.30 WIB, yaitu ketika kalong kapauk baru mulai keluar dari sarang untuk mencari makan sampai hari mulai gelap. Dalam sehari mereka dapat menangkap 8 ekor kalong kapauk (Pakde 2009).
16
2.4 Perdagangan Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar, pada bab 5 pasal 18 menjelaskan bahwa: (1) Tumbuhan dan satwaliar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwaliar yang tidak dilindungi. (2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari: hasil penangkaran, pengambilan atau penangkapan dari alam. Pada awalnya pemanenan hidupan liar hanya ditujukan untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari, misalnya untuk memenuhi kebutuhan protein (Soehartono & Mardiastuti 2003). Selanjutnya kegiatan pemanenan ini kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak lain (Soehartono & Mardiastuti 2003). Pada skala nasional, perdagangan hidupan liar dapat menyumbangkan devisa bagi negara, meskipun jika dibandingkan dengan sumberdaya lainnya, seperti minyak, gas dan kayu, nilai hidupan liar memang tergolong sangat kecil (Soehartono & Mardiastuti 2003). Kalong kapauk terdaftar dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora (CITES), yaitu pada Appendix II. Jenis ini akan menjadi terancam punah jika perdagangannya tidak diatur (Brautigan 1992 diacu dalam Kunz & Jones 2000; Soehartono & Mardiastuti 2003). Kelelawar jenis lalai kembang dan kusing dayak belum masuk kedalam daftar CITES. Pelaku perdagangan sumberdaya alam (Gambar 4) pada umumnya mencakup pengumpul dan penjual sumberdaya alam atau collector, pembeli sekaligus penjual atau trader, pembeli sekaligus penjual sekala besar atau largescale trader, serta pembeli dan pengguna atau consumer (MWBP 2006). Di Kalimantan Tengah, penangkap kalong kapauk dari hutan membawa hasil buruannya ke kota-kota besar seperti ke Palangkaraya, dan menjualnya dengan harga partai (Zainuddin 2009). Kemudian kalong kapauk tersebut dibeli pedagang pengecer kemudian dijual di beberapa tempat, bukan hanya di pinggir jalan tetapi juga di beberapa lokasi pasar yang ramai pengunjungnya (Zainuddin 2009).
17
• • •
Desa Collector Trader Consumer
Lokasi Penangkapan • Collector • Trader
• • •
Pasar kota lokal Trader Large-scale Trader Consumer
• •
Pasar luar Large-scale Trader Consumer
Gambar 4 Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006). Menurut Suyanto (2001), di Indonesia semua jenis kalelawar belum dilindungi oleh undang-undang. Berbeda dengan di negara-negara maju dimana kelelawar hanya boleh ditangkap oleh peneliti saja. Isu yang beredar di masyarakat daging dan hati kalong kapauk dipercaya menjadi penyembuh penyakit asma yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto 1979). Selain untuk tujuan penyembuhan penyakit, kalong kapauk juga diperjual belikan di pasar untuk dikonsumsi dagingnya (Suyanto 1979). Seperti halnya yang terjadi di Palangkaraya, daging kalong kapauk disukai bukan hanya karena enak rasanya, tetapi ternyata daging ini juga berkhasiat obat, seperti obat asma, obat pedarahan, atau sangat baik bagi ibu yang baru melahirkan (Zainuddin 2009). Masakan kalong kapauk dapat disop, dibuat makanan kare, dibuat gorengan, atau dibakar begitu saja (Zainuddin 2009). Harga kalong kapauk berbeda-beda berdasarkan tempat dan waktunya. Pada waktu musim buah populasi kalong kapauk akan meningkat dan harga kalong kapauk akan menurun (Khairulid 2005). Di Medan, kalong kapauk dihargai mulai dari 40 ribu hingga 70 ribu rupiah per ekornya, bergantung hasil tawar-menawar (Khairulid 2005). Di Sirenjang Jambi, kalong kapauk dijual kepada orang Cina seharga 15 ribu rupiah (Pakde 2009). Sedangkan di Palangkaraya, Misdan yang biasa menjual 115 ekor per harinya biasa menjual seekor kalong kapauk dengan harga 30 ribu rupiah (Zainuddin 2009).
18
2.5 Upaya konservasi Berdasarkan Red List IUCN (2008) versi 3.1, kalong kapauk terdaftar sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT), karena jenis ini menurun secara signifikan akibat pemanenan secara berlebihan untuk dimakan, dan karena terusmenerus mengalami degradasi habitat di hutan primer (IUCN 2008). Berbeda dengan lalai kembang yang berstatus risiko rendah (Least Concern; LC), karena lalai kembang memiliki disribusi yang luas, diduga populasinya besar di sejumlah kawasan lindung, dapat mentoleransi sedikit banyak perubahan habitat, dan karena tidak mungkin mengalami penurunan populasi yang begitu cepat (IUCN 2008). Sedangkan, kusing dayak terdaftar sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT) karena hilangnya habitat secara luas, sehingga membuat spesies dekat dengan kualifikasi untuk Rentan di bawah kriteria A (IUCN 2008). Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan atau rusaknya habitat, dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009). Banyak jenis kelelawar yang mencari makan di hutan hujan tropis dan menyesuaikan hidupnya dengan kondisi sekitarnya. Ketika hutan tersebut dikonversi maka akan ada banyak kelelawar yang tidak mampu bertahan hidup bahkan akan mati (Suyanto 2001). Di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Thailand, Vietnam dan pulau sekitarnya, populasi kalong kapauk terancam punah akibat penurunan jumlah hutan mangrove, perdagangan, dan pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan karet (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Metode perlindungan yang baik adalah dengan melindungi kelompok-kelompok kalong kapauk di pulau-pulau kecil. Menurut Kepala Balai Zoologi LIPI, Ahmad Johan Arif diacu dalam Mulyana (2009), populasi jumlah kalong kapauk di KRB mulai berkurang akibat pengaruh pembangunan Kota Bogor. Penangkapan kelelawar untuk dimakan secara
berlebihan
juga
dapat
mengancam
populasinya,
karena
perkembangbiakannya yang berlangsung sangat lambat (Suyanto 2001). Selain itu, kebakaran hutan juga dapat mengancam kehidupan satwaliar di dalamnya.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan pada tanggal 15 November 2009 - 15 Juni 2010. Lokasi penelitian berada di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT), yaitu: di Kabupaten Tapanuli Utara, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Padang Sidempuan, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian perburuan lalai kembang dan kusing dayak berada di Gua Liang, yaitu di salah satu gua yang ada di dalam KHBT blok Barat. 3.2 Alat dan bahan Alat yang digunakan adalah: peta kawasan, Global positioning System (GPS), kamera digital, 2 unit camera trap tipe Sony P41 (Gambar 5), binokuler, alat penerangan (senter), pengukur waktu, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah: kalong kapauk, lalai kembang, kusing dayak, dan sebahagian kecil dari masyarakat di dalam dan di sekitar KHBT yang terlibat dalam kegiatan perburuan dan perdagangan ketiga jenis kelelawar tersebut, serta petani durian.
Gambar 5 Camera trap tipe Sony P41 3.3 Jenis data yang dikumpulkan Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian (Gulo 2002). Jenis-jenis data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut: 1. Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan. 2. Data perburuan, yaitu: alat dan cara perburuan, daerah dan lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, sex ratio hasil buruan, dan estimasi jumlah tangkapan.
20
3. Data perdagangan, yaitu: rantai perdagangan kelelawar dan lokasi penjualan. 4. Karakteristik responden pemanfaat kelelawar (pemburu, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsi kalong kapauk siap saji). 5. Data kondisi habitat, yaitu: pembukaan KHBT beberapa tahun terakhir, perubahan luas area kebun durian, posisi koordinat mulut gua, tinggi dan lebar mulut gua, jarak dengan pemukiman penduduk, bukti-bukti aktivitas perburuan, dan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perburuan tersebut. 6. Data kebun durian, yaitu: karakteristik petani durian, waktu musim berbunga durian, hasil panen buah durian beberapa tahun terakhir, penyebab penurunan panen buah (bila panen menurun), dan pengaruh keberadaan kelelawar bagi kebun durian. Selain data diatas, data penunjang penelitian yang diperlukan adalah kondisi umum lokasi penelitian (letak dan luas, topografi dan geologi, iklim, dan potensi flora maupun fauna), kondisi masyarakat di lokasi penelitian, dan peta lokasi penelitian. 3.4 Metode pengumpulan data Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan metode Triangulasi, yaitu menggunakan beberapa metode pengumpulan data dan analisis data sekaligus dalam sebuah penelitian, termasuk menggunakan informan sebagai alat uji keabsahan dan analisis hasil penelitian (Bungin 2003). Beberapa tahap yang dilakukan yaitu: (1) melakukan studi literatur dan konsultasi dengan ahli, (2) melakukan pengumpulan data di lapangan dengan pengamatan (observasi), wawancara dan pemasangan camera trap, (3) melakukan pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan hasil mengenai gambaran perburuan dan perdagangan kelelawar. Pendokumentasian dilakukan dalam setiap kegiatan pengumpulan data di lapangan. 3.4.1 Pengamatan (observasi) Pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang ia saksikan selama penelitian (Gulo 2002). Dalam penelitian ini pengamatan lapang dilakukan dengan partisipasi penuh, yaitu peneliti menyamakan diri dengan orang yang diteliti. Artinya, peneliti ikut serta
21
dalam aktivitas orang yang diteliti tanpa membatasi diri hanya sebagai pengamat saja (Gulo 2002). Pengamatan dilakukan di lokasi perburuan kalong kapauk yang termasuk dalam lokasi penelitian, dan di Gua Liang (habitat kelelawar) yang mejadi lokasi perburuan lalai kembang dan kusing dayak. 3.4.2 Wawancara (interviu) Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden (Gulo 2002). Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal (Gulo 2002). Dalam wawancara telah disiapkan daftar pertanyaan (instrumen) dalam bentuk panduan wawancara. Secara prosedur wawancara ini termasuk kedalam bentuk wawancara terpimpin, yang menggunakan panduan pokok-pokok masalah yang diteliti (Gulo 2002). Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa lokal (Batak Toba), dan diusahakan tidak membuat responden tersinggung atau takut. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel secara sengaja yang melibatkan informan kunci (Bungin 2003). Penggunaan teknik purposive sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti, dengan asumsi yang telah dipilih untuk dijadikan sampel dianggap dapat mewakili dari sampel yang diharapkan. Total responden berjumlah 247 orang, yang terdiri dari: 69 responden pemburu kalong kapauk; 6 responden pemburu lalai kembang dan kusing dayak; 4 responden pengumpul kalong kapauk; 2 responden pedagang kalong kapauk; 20 responden pembeli kalong kapauk; 25 responden pembeli lalai kembang dan kusing dayak; 25 responden pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji; 37 responden pengkonsumsi kalong kapauk siap saji; dan 59 responden petani durian. 3.4.3 Camera trap Pemasangan camera trap dilakukan selama 12 bulan dan hanya ditujukan untuk pemburu lalai kembang dan kusing dayak. Camera trap dipasang dalam 2 periode. Pemasangan pertama dilakukan oleh LSM YEL selama 7 bulan, yaitu bulan Desember 2008 - Juni 2009. Pemasangan camera trap yang kedua dilakukan pada saat penelitian sedang berlangsung, selama kurang dari 5 bulan
22
(24 Desember 2009 - 4 Mei 2010). Foto hasil camera trap diambil setiap 1-2 bulan sekali. Lokasi pemasangan camera trap berada di 2 jalur yang biasa dilalui pemburu lalai kembang dan kusing dayak (berasal dari 4 dusun). Kedua jalur ini memiliki jarak yang tidak terlalu jauh dari lokasi perburuan dan masih merupakan daerah penelitian LSM YEL, sehingga pemasangan camera trap relatif aman dari gangguan manusia. Pemasangan camera trap di sekitar gua (lokasi perburuan) tidak dilakukan karena menghindari rasa curiga dari pemburu dan pertimbangan keamanan. Jumlah pemburu dalam satu kelompok diketahui dengan menghitung jumlah orang (datang pada waktu yang bersamaan) pada foto hasil camera trap. Jumlah seluruh kunjungan pemburu ke Gua Liang dan jumlah seluruh kelompok diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pemburu dan seluruh kelompok yang ada. Untuk mengetahui jumlah orang yang melakukan perburuan dan asal dari pemburu tersebut maka dilakukan identifikasi wajah (pemburu) pada foto hasil camera trap. Identifikasi wajah dibantu oleh salah seorang masyarakat lokal. Setelah mengidentifikasi wajah pemburu, kelas umur pemburu dan banyaknya perburuan yang dilakukan oleh masing-masing pemburu juga dapat diketahui. Lamanya waktu perburuan (berapa malam) diketahui dengan melihat jam kedangan dan kepulangan pemburu pada foto hasil camera trap. 3.4.4 Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan Pengambilan sampel kelelawar yang diburu dan diperdagangkan dilakukan setelah beberapa kali melakukan pengamatan lapang. Sampel kalong kapauk diperoleh dengan membeli seekor kalong kapauk yang sedang diperjual-belikan, sedangkan sampel lalai kembang dan kusing dayak diperoleh dengan membeli hasil buruan langsung di lokasi perburuan. Sampel diambil sebanyak 5 ekor, yaitu: 1 ekor kalong kapauk; 2 ekor lalai kembang (jantan dan betina); dan 2 ekor kusing dayak (jantan dan betina). Sampel diawetkan dengan cara direndam dalam larutan alkohol 90%. Sampel kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku kunci identifikasi “Kelelawar di Indonesia” seri panduan lapang (Suyanto 2001).
23
3.4.5 Perburuan kelelawar Pada perburuan kalong kapauk, data mengenai alat dan cara perburuan, daerah dan lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, serta estimasi jumlah tangkapan dikumpulkan melalui wawancara dengan pemburu kalong kapauk (Lampiran 1). Di beberapa desa/dusun, pengumpulan data ini juga dilakukan dengan pengamatan lapang. Pengamatan lapang dilakukan dengan menyewa seorang masyarakat lokal (pemburu) untuk menunjukkan lokasi-lokasi perburuan kalong kapauk. Pada perburuan lalai kembang dan kusing dayak, data mengenai alat dan cara perburuan, lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, estimasi jumlah tangkapan, serta data sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan dikumpulkan melalui pengamatan lapang dan melalui wawancara dengan pemburu lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 2). Selain itu juga dilakukan pemasangan camera trap di 2 jalur menuju lokasi perburuan. 3.4.6 Perdagangan kelelawar Data rantai perdagangan kalong kapauk dan lokasi penjualan penjualan diperoleh dengan mewawancarai pengumpul dan pedagang kalong kapauk (Lampiran 3), sedangkan pada perdagangan lalai kembang dan kusing dayak dilakukan wawancara pada pemburu. Pada perdagangan kalong kapauk, survei pasar juga dilakukan di pasar-pasar tradisional yang biasanya melakukan jual-beli kalong kapauk. Penulis mencatat setiap lokasi penjualan kalong kapauk, sumber kalong kapauk, harga yang ditawarkan, serta melakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui jaringan perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT. Untuk mengetahui apakah kalong kapauk selalu habis terjual ada kalanya penulis mengikuti pedagang/pengecer saat berangkat dari rumah pengumpul. 3.4.7 Karakteristik responden Karakteristik pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk, serta jumlah dan lokasi perdagangan kalong kapauk, diperoleh dari hasil wawancara kepada pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk (Lampiran 3). Data pembeli kalong kapauk, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsinya masing-masing diperoleh dengan mewawancarai pembeli kalong kapauk (Lampiran 4), pemilik rumah makan dan warung tuak
24
yang menyediakan kalong kapauk siap saji (Lampiran 5), dan pengkonsumsinya (Lampiran 6). Data pembeli lalai kembang dan kusing dayak diperoleh melalui wawancara kepada pembeli lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 7). 3.4.8 Kondisi habitat Data kondisi habitat kelelawar diperoleh berdasarkan hasil pengamatan lapang. Wawancara kepada pemburu juga dilakukan untuk menggali lebih banyak lagi informasi mengenai kondisi habitat. 3.4.9 Kebun durian Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, perburuan dan perdagangan kelelawar dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kebun durian milik masyarakat. Untuk membuktikan dampak penurunan tersebut, maka dilakukan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan di sekitar KHBT (Lampiran 8). 3.5 Analisis data Seluruh data yang diperoleh dari hasil pengamatan lapang, wawancara, dan pemasangan camera trap dianalisis secara deskriptif.
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan luas Kawasan HBT (Gambar 6) yang terdiri dari blok barat dan blok timur (Sarulla), secara geografis terletak antara 98o 53’ - 99o 26’ Bujur Timur dan 02o 03’ - 01o 27’ Lintang Utara (Indra & Fredriksson 2007). Hutan alami (primer) di HBT yang tersisa saat ini diperhitungkan seluas 136.284 ha dan berada di Blok Barat seluas 81.344 ha dan di Blok Timur seluas 54.940 ha (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT secara administratif berada di 3 kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara.
Gambar 6 Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL). 4.1.1 Kabupaten Tapanuli Utara Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas wilayah sekitar 3.800,31 km2, yang terdiri dari luas daratan 3.793,71 km2 dan luas perairan Danau Toba 6,60 km2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari 15 kecamatan, yaitu: Parmonangan (14 desa/kelurahan), Adian Koting (14 desa/kelurahan), Sipoholon (14
desa/kelurahan),
Tarutung
(31
desa/kelurahan),
Siatas
Barita
(12
desa/kelurahan), Pahae Julu (19 desa/kelurahan), Pahae Jae (13 desa/kelurahan), Purbatua (11 desa/kelurahan), Simangumban (8 desa/kelurahan), Pangaribuan (22 desa/kelurahan), Garoga (12 desa/kelurahan), Sipahutar (23 desa/kelurahan), Siborong-borong (21 desa/kelurahan), Pagaran (14 desa/kelurahan), dan Muara (15 desa/kelurahan) (BPS 2009). Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 300-1500 m dpl ini, secara astronomis berada pada posisi 1o20’ – 2o41’ Lintang Utara dan 98o05’-99o16’
26
Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten Tapanuli Utara berbatasan langsung dengan kabupaten Toba Samosir, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu, sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasudutan dan Tapanuli Tengah (BPS 2009). Curah hujan di tahun 2008 tercatat 2.922 mm dan lama hari hujan 209 hari, atau curah hujan bulanan sebanyak 243,50 mm dan lama hari hujan 17,42 hari (BPS 2009). Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli, yaitu 619 mm dengan 15 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari, yaitu 175 mm dan lama hari hujan 12 hari (BPS 2009). Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Utara adalah seluas 89.236 ha atau 65,5 % dari luas hutan. Air dari HBT di Tapanuli Utara mengairi persawahan luas di lembah Sarulla dan hulunya dari DAS Sipansihaporas dan Aek Raisan berada di Tapanuli Utara. Pegunungan yang paling tinggi di Batang Toru berada di Tapanuli Utara, yaitu di Dolok Saut dengan ketinggian 1.802 m dpl (Indra & Fredriksson 2007). 4.1.2 Kabupaten Tapanuli Tengah Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki luas wilayah sekitar 2.194,98 km2, sebahagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebahagian kecil berada di pulau-pulau kecil di sekitar wilayah kabupaten ini (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri dari 20 kecamatan, yaitu: Pinangsori (7 desa/kelurahan), Badiri
(9
desa/kelurahan),
Sibabangun
(7
desa/kelurahan),
Lumut
(6
desa/kelurahan), Sukabangun (6 desa/kelurahan), Pandan (9 desa/kelurahan), Sarudik (5 desa/kelurahan), Tukka (8 desa/kelurahan), Tapian Nauli (9 desa/kelurahan), Sitahuis (6 desa/kelurahan), Kolang (12 desa/kelurahan), Sorkam (14 desa/kelurahan), Sorkam Barat (11 desa/kelurahan), Pasaribu Tobing (8 desa/kelurahan), Barus (13 desa/kelurahan), Sosor Gadong (9 desa/kelurahan), Andam Dewi (14 desa/kelurahan), Barus Utara (6 desa/kelurahan), Manduamas (9 desa/kelurahan), dan Sirandorung (8 desa/kelurahan) (BPS 2009). Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 0-1.266 m dpl ini, secara astronomis berada pada posisi 1o11’00” – 2o22’00” Lintang Utara dan 98o07’98o12’ Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten
27
Tapanuli Tengah berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia (BPS 2009). Suhu udara rata-rata tahun 2008 di Kabupaten Tapanuli Tengah 25,98oC, dengan suhu maksimum mencapai 31,50oC dan suhu minimum mencapai 21,51oC. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September, dan musim penghujan terjadi pada bulan November-Maret (BPS 2009). Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Tengah adalah seluas 15.492 ha atau 11,4%
dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007).
Kawasan HBT di Tapanuli Tengah merupakan daerah tangkapan air bagi PLTA Sipansihaporas yang sudah beroperasi sejak tahun 2002 dengan kapasitas 50 MW (Indra & Fredriksson 2007). Areal sekitar Sipansihaporas merupakan hutan di tebing kapur yang sangat indah dengan banyak air terjun (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan Bukit Anugerah sedang dibangun di tepi HBT yang akan dijadikan sebagai kawasan ekowisata Tapanuli Tengah (Indra & Fredriksson 2007). 4.1.3 Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki luas wilayah 4.367,05 km2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 12 kecamatan, yaitu: Batang Angkola (58 desa/kelurahan), Sayurmatinggi (55 desa/kelurahan), Angkola Timur (39 desa/kelurahan), Angkola Selatan (18 desa/kelurahan), Angkola Barat (24 desa/kelurahan), Batang Toru (29 desa/kelurahan), Marancar (32 desa/kelurahan), Sipirok (100 desa/kelurahan), Arse (31 desa/kelurahan), Saipar Dolok Hole (68 desa/kelurahan), Aek Bilah (42 desa/kelurahan), dan Muara Batang Toru (7 desa/kelurahan) (BPS 2009). Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 0-1.925,3 m dpl ini, secara astronomis berada pada garis 0o58’35” – 2o07’33” Lintang Utara dan 98o05’99o16’ Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah utara Kabupaten Tapanuli Utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
28
Mandailing Natal dan juga Samudera Indonesia (BPS 2009). Curah hujan rata-rata di tahun 2008 tercatat 295,83 mm, dengan lama hari hujan rata-rata 16 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret, yaitu 650 mm dengan 23 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei, yaitu 106 mm dan lama hari hujan 9 hari (BPS 2009). Kawasan HBT yang termasuk kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan adalah seluas 31.556 ha atau 23,1% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007). Air dari sungai Batang Toru menjadi penting buat perkebunan luas yang berada di daerah hilir (Indra & Fredriksson 2007). Di Kabupaten Tapanuli Selatan sedang dilakukan eksplorasi oleh tambang emas di Kecamatan Batang Toru (Indra & Fredriksson 2007). 4.2 Topografi dan geologi Keadaan topografi di KHBT bergelombang dan sangat curam (Indra & Fredriksson 2007). Berdasarkan peta kontur sebagian besar kelerengan berkisar lebih dari 40 %, lebih curam lagi di Blok Timur Sarulla (Indra & Fredriksson 2007). Jenis tanah di KHBT adalah tanah ultisolik, alluviocolluvial dan inseptisolik (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT menjadi areal yang penting untuk mencegah terjadinya banjir, erosi dan longsor di daerah Tapanuli yang rentan terhadap datangnya bencana alam, termasuk gempa (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT merupakan hutan pegunungan dataran rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1.000 m dpl, hutan batu kapur, hutan berlumut, hutan rawa diketinggian 800 m dpl dan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 400-1.803 m dpl (Indra & Fredriksson 2007). Titik terendahnya berada di Sungai Sipansihaporas (dekat Kota Sibolga) dan titik tertingginya berada pada Dolok Lubuk Raya di bagian selatan kawasan (Indra & Fredriksson 2007). Indra dan Fredriksson (2007) melanjutkan bahwa KHBT memiliki daerah tangkapan air untuk 10 sub-DAS (daerah aliran sungai). Kawasan DAS ini masih memiliki tutupan hutan yang utuh dibagian hulunya dan mempunyai fungsi penting sebagai penyangga kehidupan dan pengatur tata air maupun sebagai pencegah bencana. Sepuluh sub-DAS ini adalah Sipansihaporas, Aek Raisan, Batang Toru Ulu, Sarulla Timur, Aek Situmandi, Batang Toru Ilir (Barat dan Selatan), Aek Garoga, Aek Tapus, Sungai Pandan dan Aek Namapar/Aek Puli
29
(Batang Toru Timur). PLTA Sipansihaporas adalah salah satu pembangkit listrik yang memanfaatkan DAS Sipansihaporas (Indra & Fredriksson 2007). 4.3 Iklim Curah hujan di KHBT cukup tinggi yaitu antara 4.500 sampai 5.000 mm per tahun. Suhu pada malam hari dapat turun sampai 14ºC. Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan dari tahun 2007-2008 menurut PT. Agincourt Oxiana adalah sebesar 4.190,65 mm per tahun. Sementara curah hujan rata-rata bulanannya adalah sebesar 349,22 mm per bulan (Indra & Fredriksson 2007). Berdasarkan pengukuran pada bulan November-Desember 2009, temperatur ratarata pada pagi hari 21,96ºC dan temperatur rata-rata pada sore hari 20,29ºC. 4.4 Potensi fauna dan flora Kawasan HBT memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selain ditemukan berbagai jenis kelelawar, saat ini KHBT adalah habitat terakhir untuk populasi orangutan Pongo abelii yang jauh terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (Indra & Fredriksson 2007). Populasi orangutan diperkirakan sekitar 600 ekor di blok Batang Toru Barat dan sekitar 300-400 ekor di blok Batang Toru Timur, berkisar 10-15% dari seluruh populasi orangutan Sumatera yang saat ini diperkirakan hanya tinggal 6.600 ekor yang tersisa di dunia ini (Indra & Fredriksson 2007). Selain orangutan ada beragam satwa langka lainnya seperti tapir (Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muntjak), Babi Hutan (Sus scrofa) harimau Sumatera (Panthera tigris Sumaterae), kucing batu (Pardofelis marmorata), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis). Ditemukan 265 jenis burung yang 59 jenis diantaranya termasuk langka atau khas Sumatera (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT banyak ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan, seperti pohon cemara gunung(Casuarina sp.), sampinur tali (Dacrydium spp.), mayang (Palaquium spp.). Jenis-jenis pohon dominan yang dijumpai berasal dari famili Theaceae, Sapotaceae dan Lauraceae. Banyak juga ditemukan jenis-jenis epifit, lumut dan jenis tanaman yang punya simbiosis (seperti kantong semar, Nephentes spp.). Jenis bunga yang ditemukan adalah bermacam-macam agrek dan bunga bangkai (Rafflesia gadutensis) (Indra & Fredriksson 2007).
30
4.5 Kondisi masyarakat Masyarakat di dalam dan di sekitar KHBT sebagian besar berasal dari suku Batak. Masyarakat tersebut pada umumnya sudah lama bermukim (Indra & Fredriksson 2007). Di sisi Barat-Selatan banyak ditemui hutan yang baru dibuka dalam beberapa tahun terakhir, oleh warga Nias yang datang dari Pulau Nias (Indra & Fredriksson 2007). Sistem mata pencaharian masyarakat di dalam dan disekitar KHBT adalah bertani. Jenis tanaman yang banyak ditanam adalah padi sawah, karet, coklat, durian, petai, aren, dan kemenyan (Indra & Fredriksson 2007). Jenis tanaman buah-buahan seperti durian, biasanya ditanam bersamaan dengan tanaman karet.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengenalan kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak Bagi masyarakat Indonesia, kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) umumnya lebih sering dikenal dengan sebutan “kalong” saja. Padahal menurut Suyanto (2001), di Indonesia ada 20 jenis anggota marga Pteropus yang dalam bahasa lokal juga memiliki nama depan kalong (Lampiran 8). Seluruh jenis anggota Pteropus ini dibedakan berdasarkan ada/tidak adanya tonjolan belakang (basal ledge posterior) pada graham depan, ada/tidaknya bulu pada betis, ukuran lengan bawah sayap, ukuran panjang telinga dan warna tubuh (Suyanto 2001). Di dalam dan sekitar KHBT kalong kapauk atau yang lebih dikenal dengan sebutan haluang ini dapat dilihat pada sore hari (ketika sedang terbang dari tempat tinggal menuju sumber pakan), dan malam hari saat mencari makan di sekitar tumbuhan yang sedang berbunga atau berbuah (seperti: durian, petai, langsat, mangga, rambutan dan pisang). Pada kondisi yang sama ada kalanya kita tidak dapat melihat kalong kapauk, karena sedang bermigrasi ke daerah lain. Kalong kapauk merupakan salah satu jenis kelelawar berukuran besar (berat berkisar 600-1.200 g). Bila kedua sayap direntangkan, rentangan sayap kalong kapauk dapat mencapai 1-1,5 m. Dada, perut, dan punggung kalong kapauk berwarna hitam, bahu berwarna coklat kekuningan, kepala mirip anjing, ujung telinga meruncing, bagian di atas betis tidak berbulu dan tidak berekor (Gambar 7a). Kalong kapauk yang sedang terbang secara sepintas terlihat seperti burung, namun akan berbeda bila dilihat dengan lebih teliti. Sayap kalong kapauk terbentuk dari kulit tipis yang membentang di antara jari-jari yang memanjang, sedangkan sayap pada burung memiliki bulu-bulu. Kelelawar lainnya yang diburu dan diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT adalah lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) dan kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Lalai kembang merupakan jenis kelelawar berukuran sedang (sekitar 50 g), memiliki warna sedikit lebih terang, tidak ada cakar pada jari kedua sayap, moncong dan lidah panjang, bulu pendek dan halus, serta ada sepasang kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal (Gambar 7b). Kelelawar jenis kusing dayak ditandai dengan wajah berwarna kehitaman, bahu kekuningan, punggung coklat, dada dan perut keputih-putihan,
32
dan memiliki bentuk hidung yang khas (Gambar 7c). Pada saat pengamatan dilapangan, ukuran tubuh (berat) kusing dayak hampir sama dengan lalai kembang.
(a)
(b)
(c)
Gambar 7 Kalong kapauk (a), lalai kembang (b), dan kusing dayak (c). Saat terbang lalai kembang dan kusing dayak tidak mudah dikenali, atau hampir sama dengan jenis kelelawar lainnya. Pengenalan jenis dapat dilakukan setelah melakukan penangkapan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lalai kembang dan kusing dayak keluar dalam waktu yang bersamaan (pukul 18.50 WIB), sedangkan kelelawar lain yang berukuran lebih kecil keluar lebih awal (pukul 18.30 WIB). Penulis tidak melakukan identifikasi terhadap kelelawar yang berukuran lebih kecil tersebut karena jenis ini tidak diburu. 5.2 Perburuan kalong kapauk 5.2.1 Alat dan cara perburuan Alat yang digunakan untuk berburu kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT adalah: jaring (jala), senapan angin, dan rawe (mata kail pancing). Berdasarkan hasil wawancara dengan 69 responden pemburu kalong kapauk, 61 responden (88,41%) menggunakan jaring, 7 responden (10,14%) menggunakan senapan angin, dan 1 responden (1,45%) menggunakan rawe. Hasil tangkapan paling banyak adalah dengan menggunakan jaring. Penelitian ini lebih banyak mengamati perburuan dengan menggunakan jaring, karena jaring merupakan alat perburuan yang paling banyak digunakan, hasil tangkapan dalam jumlah besar, dan lokasi perburuannya dapat diamati.
33
5.2.1.1 Jaring (jala) Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring sudah lama diketahui dan terjadi secara turun-temurun. Salah satu responden sudah menggunakan alat ini sejak tahun 1980. Pada waktu itu jaring dibuat dengan menggunakan tali/benang pancing, berbeda dengan sekarang yang menggunakan benang nilon. Jaring yang digunakan saat ini merupakan hasil perbaikan dari jaring-jaring yang sebelumnya. Cara perburuan kalong kapauk menggunakan jaring adalah dengan membentangkan jaring di tempat yang sudah disiapkan, kemudian menunggu sampai kalong kapauk menabrak jaring. Bila kalong kapauk sudah menyentuh jaring, maka jaring segera diturunkan agar kalong kapauk tidak dapat meloloskan diri. Di beberapa lokasi, perburuan kalong kapauk dilakukan dengan menggunakan suara pancingan (kalong kapauk yang disiksa agar mengeluarkan suara), untuk menarik perhatian kalong kapauk lain. Pemasangan jaring yang baik adalah apabila posisi jaring tegak lurus dengan arah datangnya kalong kapauk (jaring tidak mudah terlihat). Bagian-bagian alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring (Gambar 8), beserta kegunaannya: a. Pohon tiang: pohon tinggi (20-40 m) dan kokoh yang digunakan sebagai tiang/penahan. Pohon tiang dipilih setelah menemukan lokasi perburuan kalong kapauk yang baik. Bagian-bagian pohon yang mengarah ke jaring dipangkas, karena dapat mengganggu proses naik turunnya jaring. b. Paduk: dua buah batang bambu yang masing-masing pangkalnya diikatkan pada pohon tiang. Pengadaan dan ukuran paduk dibuat berdasarkan kondisi kedua pohon tiang. Ada kalanya paduk tidak diperlukan, karena kedua pohon tiang sudah cukup tinggi atau memiliki tinggi yang sama. Kegunaannya adalah: agar sisi kiri dan kanan jaring memiliki ketinggian yang sama; memberikan jarak antara jaring dengan dedaunan/ranting pohon, sehingga jaring tidak tersangkut; serta lebih kokoh (awet) bila dibandingkan dengan mengikatkan tali samping langsung ke batang/ranting pohon. c. Hili-hilian: katrol dari bambu yang diikatkan di ujung paduk. Katrol berfungsi untuk menjaga tali samping agar berjalan/berputar dengan baik.
34
d. Tali samping: tali nilon berukuran kecil (tidak mudah terlihat oleh kalong kapauk), kuat, dan kedua ujungnya diikat/disatukan. Tali samping berputar pada katrol dan berfungsi sebagai tempat diikatkannya jaring, sehingga jaring dapat dinaikkan dan diturunkan. Jaring biasanya dilepas dan dibawa pulang oleh pemburu bila sudah selesai berburu kalong kapauk. e. Jaring (rambang): benang nilon nomor 2 atau 3 yang dirangkai sedemikian rupa menyerupai net pada permainan bola voli. Mata jaring berukuran 11 × 11 cm2 sampai 13 × 13 cm2. Jaring dapat dibuat sendiri, tetapi juga dapat diperoleh dengan memesan kepada orang yang ahli membuat jaring. Jaring dapat dibeli dengan harga Rp 500.000-600.000. Tingginya harga jaring dipengaruhi oleh harga bahan baku dan lamanya waktu pembuatan yang dibutuhkan (8 bulan). Lamanya waktu pembuatan jaring disebabkan oleh pembuatan jaring hanya dilakukan pada waktu-waktu santai saja, sedangkan apabila dikerjakan dengan rutin dapat diselesaikan dalam 2 bulan. Ukuran panjang dan lebar jaring berbeda-beda berdasarkan kondisi di lokasi penjaringan dan selera pemburu. Jaring pada umumnya dibuat memanjang ke bawah, dengan lebar 10 m dan panjang 15 m. Bila disimpan dengan baik, jaring dapat dipergunakan lebih dari 10 tahun. Apabila ada bagian jaring yang rusak, maka bagian tersebut langsung diperbaiki dengan cara menyambung bagian yang terputus atau rusak. f. Sasa nihe: tali nilon yang dirangkai (berbentuk kotak-kotak) secara horizontal dan berada 1-2 meter diatas tanah. Fungsinya adalah untuk menahan jaring agar tidak menyentuh tanah, atau tersangkut pada rerumputan maupun tanaman lainnya yang ada di lantai lokasi penjaringan. Sasa nihe berperan dalam menjaga keawetan jaring dan memudahkan pemburu selama perburuan berlangsung. g. Basa-basa: kayu dengan panjang 30-40 cm dan berdiameter 3-4 cm, yang berfungsi sebagai pememukul kepala kalong kapauk sampai kalong kapauk mati. Basa-basa hanya dipakai di Desa Sipange, karena di desa ini kalong kapauk yang di dapat langsung dibunuh. Dalam bahasa lokal, basa-basa sama artinya dengan berkat.
35
h. Peralatan lain-lain. Peralatan pendukung lainnya yang dibutuhkan pada saat melakukan perburuan kalong kapauk adalah: pondok tempat istirahat, senter, anti nyamuk bakar, dan keranjang bambu (tempat penyimpanan kalong kapauk yang ditangkap dalam keadaan hidup). c
b
d a e
f Gambar 8 Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring. Keterangan : a = pohon tiang; b = paduk; c = hili-hilian; d = tali samping; e = jaring; f = sasa nihe.
5.2.1.2 Senapan angin Senapan angin biasa digunakan oleh pemburu yang tidak memiliki jaring, atau pemburu yang ingin menangkap kalong kapauk dalam jumlah kecil untuk dikonsumsi sendiri. Perburuan dengan senapan angin dilakukan di sekitar pohon durian yang sedang berbunga. Kelemahan alat ini adalah hasil tangkapan sedikit, karena tidak jarang kalong kapauk yang sudah tertembak namun tidak mati. Selain itu gerombolan kalong kapauk juga akan segera pergi jika mendengar suara letusan senapan angin. Jumlah seluruh pemburu kalong kapauk yang menggunakan senapan angin sulit diketahui, karena kelompok pemburu ini tidak rutin melakukan perburuan dan tidak ada tanda-tandanya di lapangan. 5.2.1.3 Rawe (mata kail pancing) Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe hanya ditemukan di Desa Aek Horsik Kabupaten Tapanuli Tengah. Rawe merupakan alternatif lain bagi pemburu yang tidak memiliki biaya yang cukup untuk membeli jaring. Selain lebih murah harganya, perburuan dengan menggunakan rawe tergolong mudah
36
dilakukan. Pemburu hanya perlu memasang rawe pada sore hari, kemudian sesekali diperiksa pada malam atau pagi hari. Rawe biasanya dipasang di sekitar pohon durian yang sedang berbunga (sumber pakan), dengan tujuan kalong kapauk yang sedang terbang dapat tersangkut sayapnya pada mata kail pancing. Bahan yang diperlukan adalah mata kail pancing berukuran besar dan benang/tali pancing. Mata kail pancing diikatkan di masing-masing benang pancing (vertikal) dengan jarak yang tidak terlalu rapat. Seluruh benang pancing tersebut kemudian diikatkan ke benang pancing yang panjang (horizontal) yang kedua sisi kanan dan kirinya akan dililitkan ke batang pohon (tiang), sehingga mata kail pancing dalam kondisi menggantung (Gambar 9). Sama halnya dengan perburuan menggunakan senapan angin, alat perburuan ini juga tidak mudah teramati di lapangan.
Gambar 9 Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe. 5.2.2 Daerah dan lokasi perburuan Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT terjadi di 42 desa/dusun (Lampiran 9). Dalam satu malam, sebanyak 367 kelompok pemburu kalong kapauk berburu dengan menggunakan jaring, 7 pemburu menggunakan senapan, dan 1 pemburu menggunakan rawe. Perburuan paling banyak terjadi di Kabupaten Tapanuli Tengah, yaitu di 24 desa/dusun (265 kelompok pemburu menggunakan jaring dan seorang pemburu menggunakan rawe). Jumlah kedua terbesar berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu di 10 desa/dusun (51 kelompok pemburu menggunakan jaring dan 7 pemburu menggunakan senapan). Perburuan kalong kapauk di Kabupaten Tapanuli Utara terjadi di 8 desa/dusun (51 kelompok pemburu menggunakan jaring).
37
Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring dilakukan di atas sebidang tanah yang secara sengaja dipersiapkan untuk perburuan kalong kapauk. Berdasarkan kepemilikannya, lahan yang dijadikan lokasi penjaringan dibedakan atas perkebunan milik sendiri/keluarga, perkebunan milik orang lain, kawasan hutan, dan lahan orang lain yang sengaja disewa untuk perburuan kalong kapauk (Gambar 10). Pembuatan lokasi penjaringan di area perkebunan orang lain memerlukan persetujuan dan kesepakatan mengenai sistem pembagian hasil, sedangkan lahan yang disewa untuk dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk adalah sebidang tanah yang sengaja disewa (berkisar Rp 300.000-400.000 dalam satu musim) karena dipandang sangat strategis untuk berburu kalong kapauk.
Gambar 10 Persentase kepemilikan lahan yang dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk. Jarak dari rumah masing-masing pemburu ke lokasi perburuan kalong kapauk berbeda-beda. Perburuan dengan menggunakan senapan dan rawe dilakukan di lokasi yang lebih dekat dengan rumah pemburu, sedangkan perburuan dengan menggunakan jaring dilakukan di tempat yang jaraknya lebih jauh. Jarak rumah responden ke lokasi penjaringan kurang dari 500 m sebanyak 7 responden (10,14%), 500-1000 m sebanyak 21 responden (30,43%), 1000-3000 m sebanyak 24 responden (34,78%), 3000-5000 m sebanyak 11 responden (15,94%), dan lebih dari 5000 m sebanyak 6 responden (8,70%). Lokasi penjaringan kalong kapauk ditentukan berdasaran pengalaman pemburu yang sering melihat keberadaan kalong kapauk di sekitar lokasi tersebut. Menurut hasil wawancara, 41 responden (59,42%) memiliki lokasi penjaringan di punggung bukit (Gambar 11), 20 responden (28,99%) memiliki lokasi penjaringan di sekitar tumbuhan pakan, dan 8 responden (11,59%) memiliki lokasi penjaringan di kedua tempat tersebut. Lokasi penjaringan yang berada di
38
punggung bukit umumnya lebih tinggi (± 25-40 m) daripada lokasi penjaringan di sekitar tumbuhan pakan (± 15-20 m). Sumber pakan kalong kapauk berdasarkan hasil wawancara pemburu adalah bunga durian, buah-buahan seperti langsat, mangga, rambutan, dan buah beringin (Ficus).
(b) (a)
Gambar 11 Beberapa lokasi penjaringan kalong kapauk di punggung bukit (a) dan salah satu lokasi penjaringan (b). Jumlah lokasi penjaringan yang dimiliki masing-masing responden pemburu kalong kapauk berkisar 1-4 lokasi. Sebanyak 45 responden (65,22%) memiliki 1 lokasi, 18 responden (26,09%) memiliki 2 lokasi, 4 responden (5,80%) memiliki 3 lokasi, dan 2 responden (2,90%) memiliki 4 lokasi penjaringan. Lokasi penjaringan yang dimiliki masing-masing pemburu dijaga oleh anggota keluarga atau dikerjakan oleh pemburu lain dengan sistem bagi hasil. 5.2.3 Waktu perburuan Perburuan kalong kapauk dilakukan pada malam sampai pagi hari, yaitu pada saat kalong kapauk mencari makan sampai kembali lagi ke pohon sarang. Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan senapan angin berlangsung lebih singkat (pukul 19.00-23.00 WIB), sedangkan perburuan dengan menggunakan jaring dan rawe berlangsung sejak pukul 19.00-05.00 WIB. Jika lokasi penjaringan cukup jauh, maka pemburu sudah mulai berangkat dari rumah masing-masing pukul 15.00 WIB. Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dilakukan secara musiman. Perburuan kalong kapauk diluar musim kalong kapauk hanya terjadi di Desa Sipange, Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah. Musim kalong
39
kapauk bersamaan dengan musim berbunga durian dan musim panen buahbuahan. Puncak musim kalong kapauk terjadi saat musim berbunga durian (secara serentak dan banyak), yang umumnya berlangsung selama 3 minggu. Perburuan kalong kapauk pada musim panen buah-buahan dapat berlangsung 3-4 bulan, namun jumlah tangkapan sedikit. Berdasarkan hasil wawancara, 24,64% responden berpendapat bahwa puncak musim berbunga durian terjadi dari bulan Juli-Agustus (Gambar 12).
Gambar 12 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara pemburu (n = 69). 5.2.4 Frekuensi perburuan Perburuan diluar musim kalong kapauk berlangsung pada waktu-waktu tertentu saja (2-3 kali dalam seminggu), sedangkan perburuan selama musim kalong kapauk berlangsung setiap malam. Bila musim kalong kapauk tiba, pemburu lebih memilih berburu kalong kapauk daripada mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Pada perburuan diluar musim kalong kapauk, beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi pemburu kalong kapauk untuk pergi berburu adalah: sedang tidak hujan, tidak terang bulan, dan angin tidak terlalu kencang. Frekuensi perburuan kalong kapauk juga meningkat pada hari-hari libur sekolah, karena tidak jarang orang tua akan mengikut sertakan anaknya yang masih duduk di bangku sekolah untuk berburu. 5.2.5 Estimasi jumlah tangkapan Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah hasil tangkapan baik pada saat musim maupun tidak musim kalong kapauk adalah: posisi lokasi penjaringan, tidak terang bulan, tidak hujan, angin tidak terlalu kencang, dan kemampuan yang dimiliki pemburu. Hasil tangkapan yang diperoleh pemburu di masing-masing
40
daerah dan lokasi perburuan berbeda-beda. Ketika musim kalong kapauk, pada kondisi yang kurang baik dalam satu malam jumlah tangkapan berkisar 2-10 ekor, sedangkan pada kondisi yang baik dapat mencapai 100 ekor per lokasi penjaringan. Kisaran jumlah seluruh tangkapan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT (375 lokasi penjaringan musiman) dalam satu malam adalah 9.041 ekor. Jika musim kalong kapauk berlangsung 3 minggu (21 malam) dalam setahun, maka kisaran jumlah tangkapan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dalam setahun adalah 189.861 ekor. 5.3 Perdagangan kalong kapauk 5.3.1 Rantai perdagangan Perburuan kalong kapauk yang dilakukan oleh pemburu bertujuan untuk dijual dalam keadaan hidup (per ekor) dan sebahagian kecil untuk dikonsumsi sendiri (sebagai sumber protein dan dipercaya berkhasiat obat). Berdasarkan hasil wawancara: 48 responden (69,57%) mengkonsumsi sebahagian kecil hasil tangkapan dan menjual yang lainnya kepada pengumpul; 13 responden (18,84%) menjual seluruh hasil tangkapan kepada pengumpul; 5 responden (7,25%) menjual kalong kapauk ke rumah makan dan warung tuak; dan 3 responden (4,35%) mengkonsumsi sendiri hasil tangkapannya. Kalong kapauk yang mati akibat perburuan lebih sering dikonsumsi sendiri atau dijual ke rumah makan dan warung tuak dengan harga rendah. Kalong kapauk yang diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT merupakan hasil tangkapan pemburu yang berasal dari sekitar KHBT itu sendiri (lokal) dan dari Panti, Provinsi Sumatera Barat (luar daerah). Pada saat penelitian berlangsung, kalong kapauk yang diperdagangkan berasal dari Panti. Pemburu kalong kapauk di Panti menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul di Panti (Gambar 13 a). Pengumpul tersebut kemudian mengirimkan kalong kapauk dengan menggunakan keranjang (Gambar 13 b) dan dibawa oleh truk pengangkut ikan atau bus angkutan umum. Pengiriman dilakukan pada malam hari sekitar pukul 23.00 WIB, agar kalong kapauk tidak kepanasan/mati. Penanganan kalong kapauk setelah sampai di tangan pengumpul yang ada di dalam dan sekitar KHBT adalah
dengan
mengikat
mulut
dan
sayap
kalong
dikelompokkan berdasarkan ukurannya (Gambar 13 c).
kapauk,
kemudian
41
(a)
(b)
(c)
Gambar 13 Pemburu di Panti menjual hasil tangkapan kepada pengumpul di Panti (a), keranjang pengiriman (b), serta kalong kapauk yang sudah diikat mulut dan sayapnya lalu dikelompokan sesuai ukuran (c). Harga seekor kalong kapauk dari pemburu kepada pengumpul sama, sedangkan harga dari pengumpul dan pedagang kepada pemilik rumah makan/warung tuak dan pembeli disesuaikan dengan ukuran kalong kapauk. Seekor kalong kapauk berukuran besar (0,8-1 kg) diberi harga Rp 25.000-40.000, sedangkan kalong kapauk berukuran kecil (0,5-0,7 kg) memiliki harga Rp 15.00025.000. Harga kalong kapauk juga dipengaruhi oleh ketersediaan kalong kapauk pada saat itu. Semakin sedikit jumlah kalong kapauk (langka), maka akan semakin tinggi pula harganya. Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dapat dilihat pada Gambar 14. Kalong Kapauk Di Alam Pemburu di Panti
Rp 9.000-16.000
Pengumpul & Pedagang di Panti Rp 14.000-20.000
Pemburu di KHBT
Rp 10.000-20.000
Pengumpul & Pedagang di KHBT
Rp 10.000-15.000 Rumah Makan & Warung Tuak
Rp 15.000-40.000
Rp 30.000-80.000 Pengkonsumsi Siap Saji
Rp 10.000-15.000
Pembeli Rumah Tangga
Rp 15.000-40.000
Gambar 14 Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT. Bentuk pemanfaatan kalong kapauk antara lain sebagai lauk makan seharihari, menu makanan ekstrem di rumah makan kalong kapauk siap saji (Gambar 15), serbuk obat (penyakit asma), dan teman minum tuak (tambul). Masyarakat
42
dari suku Tionghoa dan suku Batak sangat menyukai daging kalong kapauk, karena rasa daging yang keras, manis, tidak membosankan, dan bagian dalam kalong kapauk (hati, empedu, dan usus) dipercaya dapat menyembuhkan penyakit asma.
(a)
(b)
(c)
Gambar 15 Kalong kapauk setelah dibakar (a), masakan daging kalong kapauk (b), dan salah satu rumah makan kalong kapauk siap saji di Desa Tukka (c). 5.3.2 Lokasi penjualan Perdagangan kalong kapauk dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berjualan keliling dan berjualan menetap di suatu lokasi. Perdagangan kalong kapauk dengan cara berjualan keliling dilakukan dengan mendatangi pembeli (menggunakan sepeda motor) di daerah-daerah yang masyarakatnya memiliki minat yang tinggi untuk mengkonsumsi kalong kapauk (Gambar 16). Pedagang keliling ini juga mengantarkan kalong kapauk ke rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji. Lokasi rumah makan dan warung tuak akan dijelaskan pada sub-bab karakteristik responden pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji.
Gambar 16 Penjualan kalong kapauk dengan cara berkeliling menggunakan sepeda motor. Perdagangan kalong kapauk dengan berjualan menetap di suatu lokasi dilakukan oleh pemburu kalong kapauk dan oleh pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk. Pemburu yang juga berperan sebagai pedagang kalong kapauk
43
(hasil tangkapan sendiri) dan pengumpul ini berjualan di pasar-pasar tradisional, yang berlangsung satu kali dalam seminggu. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 5 pasar tradisional yang biasanya menjadi lokasi perdagangan kalong kapauk (Tabel 1). Tabel 1
Lokasi pasar tradisional yang sekitar KHBT No Kabupaten Kecamatan 1 Tapanuli Utara Pahae Jae 2 Tapanuli Utara Pahae Julu 3 Tapanuli Tengah Sibabangun 4 Tapanuli Selatan Batang Toru 5 Tapanuli Selatan Batang Toru
menjual kalong kapauk, di dalam dan Desa Sarulla Onan Hasang Simanosor Batang Toru Huta Raja
Lokasi Pasar Sarulla Pasar Onan Hasang Onan Huta Padang Pasar Batang Toru Pasar Huta Raja
5.4 Karakteristik responden pemanfaat kalong kapauk Responden terdiri dari pemburu kalong kapauk, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsi kalong kapauk siap saji. Persentase responden berdasarkan masing-masing kategori dapat dilihat pada Gambar 17, sedangkan karakteristik umum seluruh responden pemanfaat kalong kapauk dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambar 17 Persentase responden pemanfaat kalong kapauk berdasarkan masingmasing kategori.
Tabel 2 Karakteristik umum responden pemanfaat kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT Uraian
Pemburu Jumlah
Usia (tahun) 10−15 16−25 26−35 36−45 46−55 56−65 Jenis Kelamin Pria Wanita Asal Suku Batak Toba
Angkola Nias Tionghoa Karo Agama Islam Kristen Budha Pendidikan SD SMP SMA
%
Pengumpul & pedagang* Jumlah %
Pembeli
Pemilik RM
Jumlah
%
Jumlah
%
Pengkonsumsi siap saji Jumlah %
Total Jumlah
%
3 4 26 23 12 1
4,35 5,80 37,68 33,33 17,39 1,45
0 0 1 3 2 0
0,00 0,00 16,67 50,00 33,33 0,00
0 0 2 6 8 4
0,00 0,00 10,00 30,00 40,00 20,00
0 0 3 10 11 1
0,00 0,00 13,04 34,78 47,83 4,35
1 0 8 12 10 6
2,70 0,00 21,62 32,43 27,03 16,22
4 4 40 54 43 12
2,55 2,55 25,48 34,39 27,39 7,64
69 0
100,00 0,00
6 0
100,00 0,00
4 16
85,00 15,00
11 14
47,83 52,17
32 5
86,49 13,51
122 35
77,71 22,29
52 6 11 0 0
75,36 8,70 15,94 0,00 0,00
6 0 0 0 0
100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
18 2 0 0 0
90,00 10,00 0,00 0,00 0,00
22 2 1 0 0
86,96 8,70 4,35 0,00 0,00
14 4 2 16 1
37,84 10,81 5,41 43,24 2,70
112 14 14 16 1
71,34 8,92 8,92 10,19 0,64
1 68 0
1,45 98,55 0,00
0 6 0
0,00 100,00 0,00
0 20 0
0,00 100,00 0,00
0 25 0
0,00 100,00 0,00
6 17 14
16,22 45,95 37,84
7 136 14
4,46 86,62 8,92
32 23 14
46,38 33,33 20,29
0 0 6
0,00 0,00 100,00
8 7 5
40,00 35,00 25,00
10 7 8
34,78 30,43 34,78
4 13 20
10,81 35,14 54,05
54 50 53
34,39 31,85 33,76
Tabel 2 Lanjutan ... Uraian
Pemburu
Matapencaharian Utama Buruh upahan Kebun keluarga Pedagang kios/keliling Pemilik toko Pegawai swasta PNS Pemburu Warung makan/minum Warung tuak Pelajar Keterangan :
Jumlah
%
16 35 2 0 0 0 8 0 5 3
23,19 50,72 2,90 0,00 0,00 0,00 11,59 0,00 7,25 4,35
Pengumpul & pedagang Jumlah % 0 4 2 0 0 0 0 0 0 0
0,00 66,67 33,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Pembeli
Pemilik RM
Jumlah
%
Jumlah
%
3 12 4 0 0 1 0 0 0 0
15,00 60,00 20,00 0,00 0,00 5,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0 0 0 0 0 0 0 7 18 0
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28,00 72,00 0,00
* = 2 orang pengumpul berasal dari Panti; RM = Rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji.
Pengkonsumsi siap saji Jumlah % 0 9 0 12 6 8 0 0 0 2
0,00 24,32 0,00 32,43 16,22 21,62 0,00 0,00 0,00 5,41
Total Jumlah
%
19 60 8 12 6 9 8 7 23 5
12,10 38,22 5,10 7,64 3,82 5,73 5,10 4,46 14,65 3,18
46
5.4.1 Pemburu Usia pemburu sangat dipengaruhi oleh waktu perburuan. Pada hari libur sekolah dapat dijumpai pemburu berusia belasan tahun, sedangkan pada hari-hari biasa pemburu adalah orang dewasa yang terdiri dari umur 26-55 tahun. Bila dilihat dari latar belakang pendidikannya sebahagian besar pemburu (46,38%) hanya pernah duduk di bangku SD. Pemburu yang berlatar belakang pendidikan setingkat SMA adalah pemburu-pemburu dengan usia lebih muda. Rendahnya pendidikan pemburu juga menjadi penyebab terjadinya perburuan kalong kapauk. Pemburu kalong kapauk yang berhasil diwawancarai sebahagian besar berasal dari Suku Batak Toba (75,36%) dan Suku Nias (15,94%). Hal ini terjadi karena pemburu dari Suku Batak lebih terbuka dan besedia dalam memberi informasi. Bila ditelusuri lebih dalam lagi ternyata jumlah pemburu yang berasal dari kedua suku ini hampir sama besar. Pemburu kalong kapauk yang berada di pinggiran hutan atau kebun umumnya berasal dari Suku Batak, sedangkan pemburu yang berada di dalam hutan atau kebun umumnya dari Suku Nias. Seluruh pemburu adalah pria dan umumnya beragama Kristen. Aktivitas perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebanyak 22 responden (31,88%) berburu kalong kapauk lebih dari 10 tahun, 34 responden (49,28%) berburu 5−9 tahun, 11 responden (15,94%) berburu 1−4 tahun, dan 2 responden (2,90%) berburu kalong kapauk kurang dari 1 tahun. Perburuan kalong kapauk dijadikan pekerjaan tambahan, karena umumnya pemburu memiliki pekerjaan tetap (Tabel 2) Responden mengetahui cara perburuan dari orang tua (66,67%) dan dari teman atau lingkungannya (33,33%). Awalnya pengetahuan tentang cara perburuan kalong kapauk ini menyebar dari satu daerah ke daerah lain, karena pemburu juga melakukan perburuan ke daerah-daerah baru yang belum melakukan perburuan. Berdasarkan hasil wawancara, alasan responden berburu kalong kapauk adalah sebagai matapencaharian tambahan (62,32%), sebagai hiburan (17,39%), menganggap kalong kapauk sebagai hama (13,04%), dan karena adanya pesanan (7,25%). Umumnya pemburu menganggap profesi ini sebagai pekerjaan tambahan, karena meskipun mendapatkan uang yang lebih besar, perburuan hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja (musiman). Perburuan kalong
47
kapauk karena adanya pesanan terjadi di Desa Sipange, karena di tempat ini perburuan dilakukan tanpa musim. Jumlah efektif pemburu dalam 1 lokasi penjaringan sebanyak 2-3 orang. Berdasakan hasil wawancara, 48 responden (69,57%) menjawab 2-3 orang dalam setiap lokasi; 15 responden (21,74%) menjawab 3−5 orang; dan 6 responden (8,70%) menjawab lebih dari 5 pemburu dalam 1 lokasi penjaringan. Sistem pembagian hasil perburuan dilakukan dengan membagi rata uang hasil penjualan kalong kapauk. Bentuk pembagian hasil antara pemilik jaring: pemburu (1): pemburu (2) adalah 1:1:1. Apabila jaring yang dipergunakan adalah milik pemburu 1, maka perbandingannya menjadi 2:1. Anggota dalam setiap kelompok pemburu adalah teman atau anggota keluarga yang dianggap cocok untuk dijadikan teman dalam berburu kalong kapauk. Sebanyak 21 responden (30,43%) menjawab anggota tim masih merupakan keluarga dekat dan 48 responden lainnya (60,57%) menyatakan anggota tim merupakan teman dekat. Responden yang menjawab orang-orang dalam satu lokasi penjaringan biasanya tetap sebanyak 46 orang (66,67%), sedangkan yang menjawab tidak tetap sebanyak 23 orang (33,33%). Perburuan kalong kapauk yang terjadi belum memperhatikan kelestarian dari kalong kapauk tersebut. Tidak ditemukan adanya upaya-upaya perlindungan kalong kapauk. Hal tersebut juga didukung oleh hasil wawancara dengan pemburu kalong kapauk yang 100% mengatakan bahwa jumlah hasil tangkapan pemburu semakin berkurang. Menurut responden pemburu, berkurangnya hasil tangkapan disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah pemburu di dalam dan sekitar KHBT. Persepsi responden mengenai upaya perlindungan kalong kapauk dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Persentase persepsi pemburu mengenai upaya perlindungan kalong kapauk (n = 69).
48
5.4.2 Pengumpul dan pedagang Pada saat penelitian berlangsung, jumlah pengumpul yang diketahui dan diwawancarai sebanyak 4 orang, sedangkan jumlah pedagang hanya 2 orang. Dari jumlah tersebut 2 orang pengumpul berada di Panti (sebagai pemasok), 2 pengumpul lainnya berada di Desa Gunung Marijo Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah, sedangkan 2 orang pedagang kalong kapauk adalah orang yang bekerja pada pengumpul tersebut. Pengiriman kalong kapauk lintas provinsi ini dimulai pada tahun 2009. Jumlah pengumpul dan pedagang kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT akan bertambah bila musim perburuan kalong kapauk tiba. Seseorang dapat menjadi pengumpul kalong kapauk jika memiliki modal (uang) yang cukup. Besarnya modal awal yang dikeluarkan akan terbayar oleh besarnya keuntungan yang akan diperoleh. Sebelum menjadi pengumpul dan pedagang, 5 responden (83,33%) pernah menjadi pemburu kalong kapauk. Sebanyak 2 responden (33,33%) menjalani profesi ini selama 1 tahun, 2 responden (33,33%) selama 2-4 tahun, dan 2 responden (33,33%) lain selama 510 tahun. Pengumpul dan pedagang menganggap profesi ini sebagai pekerjaan tambahan, karena hanya dapat dilakukan pada musim kalong kapauk saja dan masing-masing responden memiliki matapencaharian utama yaitu berkebun (66,67%) dan pedagang kios (33,33%). Pedagang kalong kapauk keliling akan berjualan kalong kapauk jika jumlahnya mencukupi (lebih dari 60 ekor). Apabila jumlah kalong kapauk sedikit, kalong kapauk akan disimpan untuk dijual keesokan harinya. Jumlah kalong kapauk yang diperdagangkan setiap hari berbeda-beda, dengan rata-rata 70-90 ekor per hari. Pedagang memiliki pelanggan tetap, baik itu pembeli rumah tangga maupun pemilik rumah makan/warung tuak. Menurut pengumpul dan pedagang, jumlah pembeli setiap tahun selalu tinggi karena peminat daging kalong kapauk banyak. Kalong kapauk yang dibawa oleh pedagang selalu habis terjual. 5.4.3 Pembeli Responden membeli kalong kapauk untuk keperluan konsumsi keluarga. Responden yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah (Tabel 3) ini diwawancarai ketika sedang membeli kalong kapauk dari pedagang keliling.
49
Berdasarkan hasil wawancara, 1 responden (5%) sudah menjadi pembeli kalong kapauk selama 1-4 tahun, 4 responden (20%) menjadi pembeli 5-10 tahun, 8 responden (40%) menjadi pembeli 10-20 tahun, 5 responden (25%) menjadi pembeli 20-30 tahun, dan 2 responden (10%) menjadi pembeli selama 30-40 tahun. Tabel 3 Asal responden yang menjadi pembeli kalong kapauk di Kabupaten Tapanuli Tengah Asal pembeli (Desa/Dusun) Pinangsori Tukka Sipange Huta Nabolon Sigiring-giring S Kalangan II /Haramonting Bonan dolok
Kecamatan Pinangsori Tukka Tukka Tukka Tukka Tukka Sitahuis
Total
Persen (%) 5,00 10,00 20,00 10,00 10,00 25,00 20,00
Jumlah (Orang) 1 2 4 2 2 5 4
100,00
20
Sebanyak 10 responden (50%) membeli kalong kapauk sebagai teman makan nasi (lauk), 7 responden (35%) membeli kalong kapauk untuk dimakan begitu saja, serta 3 responden (15%) lainnya membeli kalong kapauk karena khasiatnya. Menurut responden, daging kalong kapauk memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya berbeda dengan daging hewan lainnya, yaitu: sebagai obat asma dan penambah stamina tubuh (5 responden, 25%); sebagai obat asma dan rasanya tidak membosankan (3 responden, 15%); sebagai obat asma dan tidak menaikkan tensi darah (4 responden, 20%); serta memiliki rasa daging yang enak, keras, dan tidak membosankan (8 responden, 40%). Masing-masing responden membeli kalong kapauk 1-6 kali dalam satu bulan, dengan 1-2 ekor kalong kapauk dalam setiap pembelian. Sebanyak 3 respoden (15%) membeli 1 kali dalam sebulan, 5 responden (25%) 1-2 kali dalam sebulan, 8 responden (40%) 2-4 kali dalam sebulan, dan 4 responden (20%) 5-6 kali dalam sebulan. Responden umumnya membeli kalong kapauk berdasarkan kondisi keuangan masing-masing. Seluruh responden mengaku tidak mampu membeli kalong kapauk siap saji di rumah makan, karena harganya mahal. Menurut 14 responden (70%) harga kalong kapauk yang ditawarkan pedagang
50
tidak tergolong mahal, sedangkan 6 responden (30%) lainnya mengatakan harga kalong kapauk tergolong mahal. 5.4.4 Pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji Pada saat penelitian sedang berlangsung, ditemukan 7 rumah makan dan 4 warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji. Menurut hasil survei, jumlah rumah makan dan warung tuak di dalam dan sekitar KHBT yang biasanya menyediakan kalong kapauk siap saji adalah 124 tempat (Tabel 4). Jumlah ini dapat bertambah jika musim perburuan kalong kapauk tiba, karena banyak rumah makan dan warung tuak lain yang juga menyediakan kalong kapauk siap saji pada waktu-waktu tersebut. Pemilik warung tuak sering menggunakan daging kalong kapauk sebagai menu pemancing agar pembeli minum tuak di warungnya. Rumah makan kalong kapauk siap saji paling populer berada di Desa Tukka dan Huta Nabolon. Di lokasi tersebut, ada 3 rumah makan kalong kapauk siap saji yang keberadaannya sudah terkenal sampai ke luar daerah. Tabel 4
Lokasi dan jumlah rumah makan/warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji di dalam dan sekitar KHBT, berdasarkan hasil survei
Kabupaten/Kota Tapanuli Utara Tapanuli Tengah
Kecamatan/kota Adian Koting Pahae Jae Pinangsori Badiri Pandan Sarudik Tukka
Tapanuli Selatan Padang Sidempuan (PSP)
Batang Toru Tano Tombangan PSP PSP Selatan
Desa Banuaji II Pasar Sarulla Gunung Marijo Huta Balang Kalangan Aek Horsik Sibuluan Nalambok Sipange Huta Nabolon Bona Lumban Tukka Batang Toru (pasar) Aek Hahombu Manegen Aek Horsik Sidakkal/Gg Gosen
Total Keterangan : a) = Berdasarkan hasil wawancara
Persen (%) 0,81 0,81 3,23 1,61 0,81 0,81 3,23 0,81 2,42 0,81 2,42 0,81 72,58 0,81 7,26 0,81 100,00
Jumlah 1 1 4 2 1 1 4 1 3 1 3 1 a) 90 1 9 a) 1 124
Dari seluruh rumah makan dan warung tuak yang ada, pemilik rumah makan dan warung tuak yang diwawancarai sebanyak 25 orang. Berdasarkan hasil wawancara, 1 responden (4%) sudah berjualan sekitar 40 tahun, 3 responden
51
(12%) berjualan 20-39 tahun, 5 responden (20%) berjualan 10-20 tahun, 7 responden (28%) berjualan 5-9 tahun, 5 responden (20%) berjualan 1-4 tahun, dan 4 responden (16%) baru memulai usaha kurang dari 1 tahun. Jika pasokan kalong kapauk lancar, sebanyak 3 responden (12%) berjualan 2 hari dalam seminggu, 9 responden (36%) berjualan 3-5 hari dalam seminggu, dan 13 responden (52%) berjualan 6-7 hari dalam seminggu. Waktu penjualan ini sewaktu-waktu dapat berubah, tergantung minat pengkonsumsi di rumah makan atau warung tuak tersebut. Masing-masing rumah makan dan warung tuak dapat menghabiskan 2-10 ekor kalong kapauk dalam sehari. Jumlah kalong kapauk untuk diolah di warung tuak lebih sedikit dibandingkan dengan di rumah makan. Sebanyak 13 responden (52%) memerlukan 2-4 ekor kalong kapauk per hari, 9 responden (36%) memerlukan 5-7 ekor per hari, dan 3 responden (12%) memerlukan 8-10 ekor per hari. Jumlah kalong kapauk yang diolah pada hari Sabtu dan Minggu lebih banyak dari hari lainnya, karena pada waktu seperti ini pembeli lebih ramai. Kalong kapauk diperoleh dari pemburu dan pedagang kalong kapauk. Sebanyak 5 responden (20%) membeli kalong kapauk langsung kepada pemburu, 8 responden (32%) membeli dari pedagang, 1 responden (4%) memperoleh kalong kapauk dari hasil tangkapan sendiri, dan 11 responden (44%) membeli kalong kapauk dari pemburu atau pedagang (dengan pertimbangan harga beli yang termurah). Masing-masing pemilik warung tuak dan rumah makan sudah memiliki pemasok kalong kapauk yang tetap, baik itu langsung kepada pemburu kalong kapauk maupun dengan berlangganan kepada pedagang kalong kapauk. Kalong kapauk siap saji disajikan dalam bentuk potongan daging dan cincang (per piring). Sebanyak 17 responden (68%) menyajikan dalam bentuk potongan daging, sedangkan 8 responden (32%) lainnya menyajikan dalam bentuk cincang. Seekor kalong kapauk berukuran besar (0,8-1 kg) dibagi menjadi 6-8 potong atau 4-5 piring daging cincang, sedangkan yang berukuran lebih kecil (kurang dari 0,8 kg) hanya dapat menghasilkan 4-6 potong atau 3 piring cincang saja. Harga daging kalong kapauk siap saji di masing-masing daerah bervariasi, yaitu mulai dari Rp 5.000 - 10.000 per potong atau Rp 5.000 - 8.000 per piring (cincang). Harga ini dipengaruhi oleh perekonomian pengkonsumsi di daerah
52
tersebut. Harga kalong kapauk siap saji di Kecamatan Tukka lebih tinggi (Rp 10.000 per potong), karena pengkonsumsinya berasal dari perekonomian menengah ke atas (dari Kota Sibolga). 5.4.5 Pengkonsumsi kalong kapauk siap saji Responden adalah pengkonsumsi kalong kapauk siap saji di 6 rumah makan dan 2 warung tuak. Responden berjumlah 37 orang dan masing-masing diwawancarai ketika sedang mengkonsumsi kalong kapauk siap saji. Sebanyak 2 responden
(5,41%) mengkonsumsi kalong kapauk kurang dari 1 tahun, 10
responden (27,03%) mengkonsumsi 1-4 tahun, 13 responden (35,24%) mengkonsumsi 5-9 tahun, 8 responden (21,62%) mengkonsumsi 10-20 tahun, 3 responden (8,11%) mengkonsumsi 20-39 tahun, dan 1 responden (2,7%) sudah mengkonsumsi kalong kapauk lebih dari 40 tahun. Responden yang mengkonsumsi kalong kapauk siap saji untuk obat dari penyakit yang dideritanya sebanyak 11 responden (29,73%), sedangkan 26 responden (70,27%) lainnya mengkonsumsi kalong kapauk karena merasa senang atau sudah ketagihan. Persepsi masing-masing responden terhadap keunggulan dari daging kalong kapauk adalah: sebagai obat asma, dapat menyembuhkan badan yang pegal-pegal, dan penambah stamina tubuh (15 responden, 40,54%); obat asma dan tidak menimbulkan rasa bosan (5 responden, 13,51%); sebagai obat asma dan tidak menaikkan tensi darah (7 responden, 18,92%); rasa yang enak, daging keras, dan tidak membosankan (10 responden, 27,03%). Sebanyak 16 responden (43,24%) mengkonsumsi kalong kapauk siap saji 1 kali dalam seminggu, 10 responden (27,03%) mengkonsumsi sebanyak 1-2 kali dalam seminggu, 5 responden (13,51%) mengkonsumsi dalam waktu 2 minggu sekali, 4 responden (10,81%) mengkonsumsi 2-3 kali dalam seminggu, dan 2 responden (5,41%) mengkonsumsi kalong kapauk 1 kali sebulan. Masing-masing responden biasanya datang seorang diri (5,41%), bersama keluarga (13,51%), bersama teman satu pekerjaan (37,84%), atau bersama teman sepermainan (43,24%). Responden sebahagian besar berasal dari kota dan memiliki perekonomian yang cukup baik. Sebanyak 25 responden (67,57%) mengatakan harga kalong kapauk siap saji tidak tergolong mahal (karena termasuk langka dan tidak selalu dapat
53
dikonsumsi jika sewaktu-waktu menginginkannya), sedangkan menurut 12 responden (32,43%) lainnya harga tersebut tergolong mahal. Jumlah biaya yang dikeluarkan masing-masing responden setiap kali mengkonsumsi daging kalong kapauk tergolong tinggi. Sebanyak 11 responden (29,73%) mengeluarkan biaya sebesar Rp 15.000-30.000, 8 responden (21,62%) mengeluarkan biaya paling sedikit Rp 50.000, 7 responden (18,92%) mengeluarkan biaya Rp 30.000-50.000, 6 responden (16,22%) mengeluarkan biaya Rp 100.000-200.000, dan 5 responden (13,51%) mengeluarkan biaya Rp 10.000-20.000. 5.5 Perburuan lalai kembang dan kusing dayak 5.5.1 Alat dan cara perburuan Alat yang digunakan pemburu lalai kembang dan kusing dayak adalah jaring dan dua batang bambu (5-6 m). Selain buat sendiri, jaring juga dapat dibeli dengan harga Rp 300.000. Jaring diikatkan pada dua buah batang bambu yang pangkalnya disatukan/diikat, sehingga bila kedua batang bambu ditegakkan akan berbentuk huruf V (Gambar 19). Jaring dan bambu tidak diikat secara permanen, sehingga jaring dapat dilepas bila telah selesai berburu. Cara perburuannya adalah dengan mengayunkan batang bambu kearah datangnya lalai kembang dan kusing dayak. Kedua batang bambu kemudian disatukan, sehingga lalai kembang dan kusing dayak tidak dapat melepaskan diri. Lalai kembang dan kusing dayak diambil dengan menekan bagian kepalanya sampai mati.
Gambar 19 Alat perburuan lalai kembang dan kusing dayak. Karena mulut gua tinggi dan lebar, maka perburuan dilakukan di atas patca (Gambar 20). Patca membuat posisi pemburu menjadi lebih tinggi dan lebih mudah untuk menjangkau lalai kembang dan kusing dayak. Patca dibuat dengan memanfaatkan pepohonan di sekitar mulut gua, tetapi juga dapat dibuat dengan menggunakan tiang-tiang kayu yang disusun sedemikian rupa. Bila menggunakan
54
pepohonan, pohon yang dijadikan patca adalah yang kokoh, tinggi, dan berada di sekitar jalur keluar masuknya lalai kembang dan kusing dayak. Perburuan dapat dilakukan dengan posisi duduk atau berdiri di patca.
(a)
(b)
Gambar 20 Tempat perburuan lalai kembang dan kusing dayak (patca) dengan memanfaatkan pohon hidup (a) dan menggunakan tiang kayu (b). 5.5.2 Daerah dan lokasi perburuan Perburuan lalai kembang dan kusing dayak terjadi di salah satu gua yang ada di dalam KHBT blok barat. Posisi koordinat gua berada di 1o41’00” 0o68’00” Lintang Utara dan 99o00’-06o26’ Bujur Timur. Secara administratif gua tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Oleh masyarakat setempat gua ini dikenal dengan nama Gua Liang (Gambar 21 a). Di sekitar Gua Liang terdapat sebuah gua lainnya yang disebut-sebut sebagai Gua Anak Liang (Gambar 21 b). Dalam bahasa lokal (Batak Toba), ”liang” sama artinya dengan gua.
(a)
(b)
Gambar 21 Gua Liang (a) dan Gua Anak Liang (b) di dalam KHBT blok Barat, Kabupaten Tapanuli Utara. Perburuan dilakukan di beberapa lokasi di sekitar mulut gua. Ada 14 lokasi yang sering dijadikan tempat beburu lalai kembang dan kusing dayak, yaitu 8 lokasi berada di depan mulut gua dan 6 lokasi berada di atas mulut gua. Perburuan awalnya terjadi di Gua Anak Liang, karena lalai kembang dan kusing dayak
55
paling banyak ditemukan di gua tersebut. Seiring berjalannya waktu, lalai kembang dan kusing dayak di Gua Anak Liang mulai habis dan perburuan berpindah ke Gua Liang. Menurut pemburu, lalai kembang dan kusing dayak di Gua Anak Liang habis karena diburu dan sebahagian berpindah ke Gua Liang. Gua Liang berada jauh dari tempat tinggal pemburu dan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak Gua Liang dari Dusun Haramonting sejauh 12,39 km dan memerlukan waktu sekitar 6 jam, dari Dusun Badiri Pardomuan sekitar 5 jam, dari Tapian Nauli sekitar 7 jam, dan dari Lubuk Pariasan sekitar 8 jam bila berjalan kaki dengan cepat. Kondisi ini mengakibatkan pemburu harus menyediakan waktu paling sedikit 2 hari 1 malam, agar dapat berburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang. 5.5.3 Waktu perburuan Perburuan lalai kembang dan kusing dayak dilakukan tanpa mengenal musim. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, perburuan berlangsung 2 kali dalam 1 malam. Perburuan pertama berlangsung pada saat lalai kembang dan kusing dayak keluar dari mulut gua untuk mencari makan, yaitu dari pukul 18.5020.00 WIB. Perburuan pada waktu seperti ini dilakukan di depan mulut gua, baik di sisi kiri maupun sisi kanan gua. Perburuan kedua berlangsung ketika lalai kembang dan kusing dayak kembali ke dalam gua (pukul 23.00-06.00 WIB) dan perburuan dilakukan di atas mulut gua. Berdasarkan hasil wawancara kepada 6 responden pemburu lalai kembang dan kusing dayak, 3 responden (50%) melakukan perburuan hanya dalam 1 malam, 2 responden (33,33%) 1-2 malam, dan 1 responden (16,67%) melakukan perburuan dalam 2 malam. Menurut responden, lamanya waktu perburuan dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan dan ketersediaan waktu yang dimiliki pemburu tersebut. Berdasarkan hasil pemasangan camera trap selama 12 bulan, lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dapat dilihat pada Tabel 5.
56
Tabel 5 Lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap Lama Perburuan (malam) 1 2 3
Haramonting & H. Raja (kelompok) 21 4 1
Tapian Nauli (kelompok) 9 -
Lubuk Pariasan (kelompok) 6 2 -
Badiri Pardomuan (kelompok) 2 -
Jumlah
Persen
(kelompok) 38 6 1
(%) 84,44 13,33 2,22
5.5.4 Frekuensi perburuan Menurut hasil wawancara, perburuan lalai kembang dan kusing dayak sering dilakukan saat terang bulan. Meskipun demikian perburuan tidak berlangsung setiap terang bulan, karena lokasi perburuan jauh dari permukiman pemburu. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya perburuan lalai kembang dan kusing dayak adalah: (1) terlalu sering hujan, sehingga tidak bisa menyadap getah karet; (2) harga jual getah karet rendah; dan (3) hari libur. Berdasarkan hasil camera trap yang terpasang selama 12 bulan, setiap pemburu dari masing-masing desa/dusun melakukan perburuan sebanyak 1-21 kali (Gambar 22). Pemburu yang berburu hanya 1 kali diduga ikut-ikutan atau hanya ingin berpetualang saja.
Gambar 22 Jumlah perburuan yang dilakukan setiap pemburu dari masingmasing desa/dusun dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap. Berdasarkan hasil camera trap, 50 orang pemburu melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak sebanyak 110 kali dalam 53 malam, baik itu berkelompok maupun individu (Gambar 23). Data frekuensi perburuan pada bulan Desember 2008 - Juni 2009 diperoleh dari data yang dikumpulkan oleh YEL, sedangkan data pada bulan Desember 2009 sampai awal Mei 2010 diambil selama penelitian berlangsung.
Gambar 23 Frekuensi perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap. Keterangan :
Pada bulan Januari 2009 tidak terjadi perburuan. Pada bulan Juli - November 2009 tidak tersedia data karena tidak dilakukan pemasangangan camera trap. Pemasangan camera trap pada bulan Desember 2009 dimulai dari tanggal 24. Pemasangan camera trap pada bulan Mei 2010 sampai tanggal 4.
58
5.5.5 Sex ratio hasil buruan Penghitungan jantan dan betina pada lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan hanya dilakukan pada satu kali kejadian saja (Gambar 24). Hal ini terjadi karena jadwal perburuan yang sulit diketahui dan pemburu juga merasa kurang nyaman (tidak suka) jika aktivitas perburuan mereka terlalu diperhatikan.
Gambar 24 Sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan (n = 1). 5.5.6 Estimasi jumlah tangkapan Hasil tangkapan pemburu akan lebih banyak jika pemburu memiliki kemampuan/pengalaman yang cukup, perburuan dilakukan saat terang bulan, dan sedang tidak hujan. Menurut responden (pemburu), jumlah hasil tangkapan pemburu yang sering berburu lalai kembang dan kusing dayak lebih banyak dibanding dengan pemburu yang hanya sesekali berburu lalai kembang dan kusing dayak. Oleh karena itu, pemburu yang melakukan 1 kali perburuan diperkirakan mendapat 60 ekor, pemburu yang melakukan 2-3 kali perburuan diperkirakan mendapat 120 ekor, pemburu yang melakukan 4-5 kali perburuan diperkirakan mendapat 200 ekor, dan pemburu yang melakukan perburuan lebih dari 5 kali diperkirakan mendapat 250 ekor dalam 1 malam. Jumlah tangkapan pemburu lalai kembang dan kusing dayak selama dilakukan pemasangan camera trap (12 bulan) diperkirakan sekitar 19.720 ekor (Lampiran 10). 5.6 Perdagangan lalai kembang dan kusing dayak Perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang betujuan untuk dijual dan sebahagian kecil dikonsumsi sendiri. Perdagangannya bersifat lokal, karena hasil buruan hanya dijual kepada penduduk desa/dusun yang berada di sekitar tempat tinggal pemburu tersebut. Sebelum dipasarkan lalai kembang dan
59
kusing dayak terlebih dahulu dibuang sayapnya, ditusuk dengan kayu, dibakar sampai bagian bulu hilang, dan direbus (Gambar 25). Apabila perburuan berlangsung lebih dari 1 malam, maka lalai kembang dan kusing dayak diawetkan dengan cara pengasapan. (a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 25 Penanganan lalai kembang dan kusing dayak sebelum dipasarkan: membuang sayap (a), ditusuk dengan kayu (b), dibakar (c), hasil setelah dibakar (d), perebusan (e), dan pengasapan (f). Harga seekor lalai kembang dan kusing dayak dari pemburu kepada pembeli sebesar Rp 1000. Pemburu dapat membeli dengan harga lebih murah bila membeli dalam jumlah yang banyak, seperti dengan membayar Rp 20.000 pembeli mendapat 25 ekor lalai kembang dan kusing dayak. Pembeli dapat membeli lalai kembang dan kusing dayak langsung ke rumah pemburu, atau dengan memesan kepada pemburu kemudian pemburu yang akan menghantarkan. 5.7 Karakteristik pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak Responden terdiri dari pemburu (6 orang) dan pembeli (25 orang) lalai kembang dan kusing dayak. Pemburu dan pembeli yang berhasil diwawancarai dikelompokkan menjadi 4 kelompok dusun, yaitu: Haramonting dan Huta Raja, Tapian Nauli, Lubuk Pariasan, dan Badiri Pardomuan. Dusun Haramonting, Huta Raja, dan Badiri pardomuan termasuk dalam Desa S Kalangan II Kecamatan Tukka, sedangkan Dusun Tapian Nauli dan Lubuk Pariasan termasuk dalam Desa Tapian Saur Manggita Kecamatan Tukka. Masyarakat dari Dusun Haramonting, Huta Raja, dan Tapian Nauli didominasi oleh suku Batak, sedangkan masyarakat dari desa Lubuk Pariasan dan Badiri Pardomuan didominasi oleh suku Nias.
60
Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak di Kecamatan Tukka Uraian
Haramonting & Huta Raja Pemburu Pembeli (orang) (orang)
Umur (tahun) 16-25 26-35 36-45 46-55 ≥ 56 Pendidikan SD SMP SMA Asal suku Batak Toba Batak Angkola Nias Agama Islam Kristen Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Matapencaharian Petani karet Pemilik warung kopi Pegawai swasta Jumlah responden %
Tapian Nauli Pembeli (orang)
Lubuk Pariasan Pembeli (orang)
Badri Pardomuan Pembeli (orang)
2 2 2 -
2 2 4 5 2
2 2 1 -
2 1 -
2 -
2 1 3
8 2 5
5 -
3 -
2 -
4 1 1
11 3 1
5 -
3
2
1 5
2 13
5
3
2
6 -
7 8
1 4
3
1 1
4 1 1 6 19,35
13 2 15 48,39
5 5 16,13
3 3 9,68
2 2 6,45
5.7.1 Pemburu Kelompok masyarakat yang pertama melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak adalah masyarakat dari dusun Haramonting dan Huta Raja. Menurut salah satu responden, pada tahun 1922 mereka sudah melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang. Seiring berjalannya waktu masyarakat dari Dusun Tapian Nauli, Lubuk Pariasan, dan Badiri Pardomuan juga melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak. Berdasarkan identifikasi wajah pada foto hasil camera trap, pemburu lalai kembang dan kusing dayak berusia sekitar 10-60 tahun. Kelas umur pemburu bervariasi dan didominasi oleh kelas umur 46-55 tahun (13 orang; 26%),
61
sedangkan menurut data responden, pemburu berusia 16-45 tahun. Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan hasil camera trap, disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap Usia (tahun)
Haramonting & Ht Raja (orang)
10-15 16-25 26-35 36-45 46-55 ≥ 56 Total
7 3 3 6 1 20
Tapian Nauli (orang)
Lubuk Pariasan (orang) 1 5 4 4 14
4 4 5 13
Badiri Pardomuan (orang) 1 2 3
Jumlah (orang)
Persen (%)
1 12 12 11 13 1 50
2,00 24,00 24,00 22,00 26,00 2,00 100,00
Jumlah kelompok pemburu yang berburu di Gua Liang berdasarkan hasil camera trap selama 12 bulan adalah 45 kelompok. Kelompok pemburu berkisar 16 orang, tetapi yang paling sering dijumpai adalah 2 orang pemburu dalam satu kelompok, yaitu sebanyak 13 kali (Tabel 8). Bentuk pembagian hasil perburuan adalah dengan membagi rata uang hasil penjualan lalai kembang dan kusing dayak. Tabel 8 Jumlah pemburu lalai kembang dan kusing dayak per kelompok dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap Pemburu (orang per kelompok) 1 2 3 4 5 6
Haramonting & Ht Raja (kali) 12 9 3 2 -
Tapian Nauli (kali) 1 4 3 1
Lubuk Pariasan (kali) 2 3 2 1 -
Badiri Pardomuan (kali) 1 1 -
Jumlah (kali) 12 13 11 7 1 1
Persen (%) 26,67 28,89 24,44 15,56 2,22 2,22
Berdasarkan hasil wawancara, 1 responden (16,67%) berburu lalai kembang dan kusing dayak untuk matapencaharian sampingan, 2 responden (33,33%) untuk hiburan/petualangan, dan 3 responden lainnya (50%) berburu lalai kembang dan kusing dayak untuk matapencaharian sampingan sekaligus sebagai hiburan. Bagi masyarakat Haramonting dan Huta Raja khususnya kaum muda, pergi ke Gua Liang untuk berburu lalai kembang dan kusing dayak merupakan suatu hal yang sangat menarik dan membanggakan.
62
Kegiatan lain yang biasa dilakukan pemburu di sekitar lokasi perburuan adalah memasak makanan, makan, beristirahat, dan memancing ikan. Apabila perburuan lalai kembang dan kusing dayak berlangsung lebih dari 1 malam, aktivitas pemburu pada siang sampai sore harinya adalah memancing ikan. Dalam perjalanan pergi maupun pulang, pemburu juga sering kali melakukan aktivitas memancing ikan di sungai-sungai kecil yang ada di hutan. Ikan hasil pancingan juga dapat dijual, sebagai tambahan pendapatan dari berburu lalai kembang dan kusing dayak. 5.7.2 Pembeli Pembeli berasal dari daerah yang sama dengan pemburu. Lalai kembang dan kusing dayak diminati oleh segala usia, tetapi kurang diminati oleh yang beragama Islam. Pembeli sudah biasa mengkonsumsi lalai kembang dan kusing dayak untuk dimakan dagingnya (tradisi). Menurut responden, daging lalai kembang dan kusing dayak cukup diminati, karena memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya berbeda dengan daging jenis hewan lainnya, yaitu: sebagai obat sesak napas (5 responden, 20%); sebagai obat sesak napas dan rasanya tidak membosankan (6 responden, 24%); dan memiliki rasa yang enak dan harganya murah (14 responden, 56%). 5.8 Kondisi habitat Kondisi habitat sangat mempengaruhi kelangsungan hidup satwaliar. Menurut Indra & Fredriksson (2007), kerusakan KHBT dalam kurun waktu 6 tahun (2001-2007) adalah sekitar 2.000 ha. Kerusakan hutan terjadi di blok Barat, terutama di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan (Indra & Fredriksson 2007). Pada saat pengambilan data di lapangan, penulis tidak menemukan tempat tinggal, tempat persinggahan, maupun bekas tempat tinggal kalong kapauk. Menurut informasi yang diperoleh dari pemburu, bila musim kalong kapauk tiba, kalong kapauk berasal dari dalam KHBT yang letaknya jauh dari permukiman penduduk. Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT tidak pernah dilakukan di sekitar tempat tinggal kalong kapauk. Dalam pengambilan data di lapangan, penulis tidak mensurvei seluruh gua yang ada di dalam KHBT. Penulis hanya mengunjungi Gua Liang, yang menjadi
63
habitat sekaligus sebagai lokasi perburuan lalai kembang dan kusing dayak. Di sekitar mulut Gua Liang banyak ditemukan sampah-sampah bungkus makanan, botol bekas air mineral, botol minuman beralkohol, bungkus rokok, pakaian pemburu, garam dapur, peralatan makan, dan sisa-sisa pembakaran. Selain itu juga dapat dilihat sebuah batu gilingan dan tanaman asam dengan tinggi sekitar 6 meter (Gambar 26). Mulut Gua Liang yang memiliki lebar 26,42 meter dan tinggi sekitar 16 meter ini menghadap ke arah Barat.
(a)
(b)
(c)
Gambar 26 Sampah yang ditinggalkan pemburu (a), tempat masak (b), dan batu gilingan (c). 5.9 Kebun durian Jumlah pohon durian yang dimiliki masing-masing responden adalah: 1-5 batang (26 responden; 44,07%), 5-10 batang (23 responden; 38,98%), dan 10-20 batang (10 responden; 16,95%). Sebanyak 18 responden (30,51%) sudah mengalami masa panen durian selama 1-5 tahun, 21 responden (35,59%) mengalami masa panen 5-10 tahun, 12 responden (20,34%) mengalami masa panen 10-20 tahun, dan 8 responden (13,56%) mengalami masa panen 20-30 tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani durian, musim berbunga durian di dalam dan di sekitar KHBT dapat dilihat pada Gambar 27.
%
Gambar 27 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara petani durian (n = 59)
64
Durian merupakan salah satu jenis tanaman buah musiman yang memiliki nilai komesial tinggi, dan banyak dibudidayakan oleh masyarakat di dalam dan sekitar KHBT. Durian ditanam di antara tanaman karet, di area perkebunan karet milik masyarakat. Luas panen, produksi, dan rata-rata produksi durian di 3 kabupaten yang berada di dalam dan sekitar KHBT pada tahun 2006-2008, berdasarkan data BPS (2009) dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Luas tanaman, produksi, dan rata-rata produksi durian di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, tahun 20062008 Kabupaten
Tahun
Tapanuli Utara
2008 2007 2006
Luas Tanaman (Ha) 700,88 694,95 684,74
Produksi (Ton) 6619,72 6565,84 6467,37
Rata-rata Produksi (Kw/Ha) 94,45 94,48 94,45
Tapanuli Tengah
2008 2007 2006
1902 -
26127 -
137,37 -
Tapanuli Selatan
2008 2007 2006
595 666 -
4045 4528 -
67,98 67,99 -
Keterangan: - = tidak tersedia data.
Berdasarkan Tabel 9, luas tanaman dan produksi durian di Kabupaten Tapanuli Utara terus meningkat, sedangkan di Kabupaten Tapanuli Selatan mengalami penurunan. Berdasarkan hasil wawancara kepada petani durian di 3 kabupaten tersebut, 31 responden (52,54%), mengatakan produksi durian selalu sama setiap tahunnya dan 28 responden (47,46%) mengatakan produksi durian semakin berkurang. Bila dibandingkan dengan produksi durian pada 10 tahun yang lalu, maka 44 responden (74,58%) mengatakan produksi durian jauh sekali berkurang jumlahnya, 14 responden (23,73%) mengatakan tetap, dan hanya 1 responden (1,69%) yang mengatakan produksi durian bertambah. Berdasarkan hasil wawancara, berkurangnya produksi durian disebabkan oleh beberapa faktor (Gambar 28). Menurut pengetahuan sebahagian besar responden (38,98%), penurunan produksi durian disebabkan oleh bencana alam (gempa bumi) yang akhir-akhir ini sering terjadi, sehingga mengakibatkan bunga durian terjatuh. Selain itu, menurut responden penurunan produksi durian juga
65
disebabkan oleh semakin langkanya kalong kapauk yang membantu proses penyerbukan durian.
Gambar 28 Penyebab berkurangnya produksi durian berdasarkan wawancara petani durian (n=59). 5.10 Pembahasan umum 5.10.1 Kalong kapauk Meskipun memerlukan biaya awal yang besar (Rp 500.000-600.000) untuk membeli jaring (jala), pemburu lebih memilih menggunakan alat ini karena hasil tangkapan lebih banyak dan kalong kapauk didapat dalam keadaan hidup. Selain itu jaring juga dapat bertahan dalam waktu yang lama (lebih dari 10 tahun), sehingga dapat dipergunakan secara turun temurun. Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring sudah umum terjadi dan juga dapat dijumpai di Sulawesi, Malaysia (Serawak), Thailand, dan Vietnam (Mickleburgh et al. 2009). Hasil penelitian Mickleburgh et al. (2009) menyatakan, selain menggunakan jaring, perburuan kalong kapauk juga dilakukan dengan menggunakan layangan yang diberi mata kail pancing pada tali/benangnya, ketapel, panah, tongkat pemukul, tiang bambu yang diikatkan pengait pada bagian ujung, dan perekat yang ditempelkan di cabang pohon. Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring dilakukan di sekitar tumbuhan pakan dan di punggung bukit, yaitu dengan memasang jaring di loronglorong yang sengaja dibuat (dengan menumbang sejumlah pohon) untuk dilalui kalong kapauk. Perburuan di sekitar tumbuhan pakan dilakukan karena di tempat tersebut banyak dijumpai kalong kapauk yang posisi terbangnya lebih rendah, sedangkan perburuan di punggung bukit dilakukan dengan tujuan menjerat kalong kapauk yang melintas di bukit tersebut. Menurut pengalaman peburu, untuk
66
melintasi daerah perbukitan (ketika dalam kondisi sedang mencari makan) kalong kapauk cenderung lebih memilih jalur yang lebih rendah dan terbuka (loronglorong). Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyanto (2001), dimana kelelawar lebih menyukai daerah yang terbuka untuk dilalui, karena dapat menggunakan sayapnya (terbang) dengan bebas. Kalong kapauk dikenal sangat menyukai bunga durian. Di dalam dan sekitar KHBT banyak dijumpai tumbuhan durian, bahkan pada tahun 2008 luasnya mencapai sekitar 3.197,88 ha (BPS 2009). Tumbuhan durian tersebut tersebar di kebun karet milik masyarakat dan di kawasan hutan. Dengan demikian lokasi perburuan kalong kapauk oleh masyarakat di dalam dan sekitar KHBT dilakukan di kebun karet dan kawasan hutan yang di dalamnya terdapat tanaman durian. Musim perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT bersamaan dengan musim bunga durian yang terjadi secara menyeluruh (serentak), karena penyebaran kalong kapauk umumnya mengikuti ketersediaan sumber pakannya (Liat 1966; Payne et al. 1985 diacu dalam Kunz & Jones 2000). Hasil wawancara kepada pemburu dan petani durian menunjukkan bahwa musim bunga durian sekarang ini cukup bervariasi dan sulit diprediksi, namun sebahagian besar responden mengatakan musim bunga durian terjadi pada bulan Juli-Agustus. Perburuan kelelawar pada musim bunga durian juga terjadi di Kalimantan Tengah, yaitu sekitar bulan November-Desember (Struebig et al. 2007). Meskipun berlangsung musiman, perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT belum dapat dikatakan lestari, karena umumnya masa kelahiran bayi kalong kapauk terjadi pada saat sumber pakannya melimpah (Lecagul & McNeely 1977; Fujita 1988; Azlan at al. 2001; Struebig et al. 2007). Perburuan kalong kapauk yang terjadi bersamaan dengan masa perkembang biakannya dapat mengakibatkan penurunan populasi, karena kurangnya kesempatan untuk berkembang biak. Selain itu perburuan kalong kapauk yang terjadi musiman ini juga dilakukan setiap malam, sehingga semakin mempercepat laju penurunan populasi kalong kapauk. Perburuan kalong kapauk pada malam hari dilakukan dengan alasan aktivitas kalong kapauk yang tinggi pada malam hari, sehingga memudahkan
67
untuk menemukan dan memburu hewan tersebut. Perburuan pada siang hari juga dapat dilakukan di sekitar pohon sarang. Namun itu tidak terjadi karena pemburu tidak mengetahui lokasi pohon sarang tersebut. Kalong kapauk umumnya tinggal di tajuk pohon yang tinggi, memiliki cabang-cabang yang banyak dan menyebar luas, serta aman dari gangguan manusia (Liat 1966; Dharmawan 1987; Suyanto 2001). Jumlah orang yang ikut serta dalam perburuan kalong kapauk mempengaruhi hasil tangkapan. Jumlah pemburu dalam satu lokasi penjaringan idealnya adalah 3 orang, dimana 2 orang bertugas menaikkan dan menurunkan jaring, sedangkan seorang lagi berperan dalam mengambil kalong kapauk yang terperangkap di jaring. Jumlah pemburu yang terlalu banyak (5−7 orang) menimbulkan suasana yang ramai, sehingga hasil tangkapan berkurang. Begitu pula dengan pemburu yang hanya satu orang saja dalam satu lokasi penjaringan, akan kesulitan (lama) dalam menaikkan dan menurunkan jaring. Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah kalong kapauk yang diburu di dalam dan sekitar KHBT dalam semalam sebanyak 9.041 ekor, dan dalam setahun jumlahnya sekitar 189.861 ekor (Lampiran 9). Jumlah ini tergolong sangat besar, dan metode wawancara saja sepertinya belum cukup. Perlu dilakukan survei lapangan lanjutan yang waktu pelaksanaannya dilakukan saat musim perburuan kalong kapauk tiba. Namun dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa perburuan kalong kapauk terjadi di 42 desa/dusun, dengan jumlah kelompok pemburu sebanyak 375 kelompok. Jumlah pteropus vampyrus natunae (subspecies dari kalong kapauk) yang diburu di salah satu lokasi perburuan di sekitar hutan Palangkaraya pada tahun 2003 selama 30 hari adalah sebanyak 4.500 ekor (Struebig et al. 2007). Wawancara terhadap responden yang berprofesi sebagai pemburu menunjukan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar KHBT melakukan perburuan kalong kapauk untuk matapencaharian tambahan (62,32%), sebagai hiburan (17,39%), menganggap kalong kapauk sebagai hama (13,04%), dan karena adanya pesanan pembeli (7,25%). Namun setelah ditelusuri lebih lanjut, ada 4 alasan utama yang menjadi pemicu terjadinya perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT. Pertama, pada waktu-waktu tertentu jumlah kalong kapauk di
68
dalam dan sekitar KHBT melimpah jumlahnya dan mudah untuk diburu. Kedua, permintaan akan daging kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT tinggi, karena rasa daging yang banyak disukai dan dipercaya berkhasiat obat. Ketiga, belum adanya aturan yang melarang perburuan kalong kapauk. Keempat, kalong kapauk dianggap sebagai hama pertanian (Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Perburuan kalong kapauk termasuk mudah untuk dilakukan karena aktivitas perburuannya dapat dilakukan di kebun sendiri ( 38 responden; 55,07%). dan dilakukan bersama anggota keluarga (21 responden; 30,43%), sehingga pendapatan yang diterima dari penjualan hasil buruan lebih banyak. Selain itu keberadaan kalong kapauk juga dapat diprediksi, karena kehadirannya bersamaan dengan musim bunga atau buah (Mickleburgh et al. 2009). Tingginya permintaan konsumen akan daging kalong kapauk menciptakan sebuah peluang usaha bagi masyarakat di dalam dan sekitar KHBT untuk memburu dan memperdagangkan kalong kapauk. Begitu pula yang terjadi di beberapa daerah di Kalimantan Tengah, kalong kapauk banyak diburu karena daging dan hati kalong kapauk dipercaya dapat mengobati penyakit asma (Struebig et al. 2007). Dari hasil penelitian sebanyak 26 responden (70,27%) merasa ketagihan dan mengkonsumsi daging kalong kapauk secara teratur. Sama halnya dengan hasil wawancara pedagang kalong kapauk yang seluruhnya mengatakan bahwa kalong kapauk selalu habis terjual. Tingginya permintaan akan daging kalong kapauk juga membuat pemburu rela pergi berburu kalong kapauk ke daerah lain. Perburuan kalong kapauk di Panti awalnya dilakukan oleh pemburu yang berasal dari Tano Tombangan, Kabupaten Tapanuli Selatan. Alat dan teknik berburunya sama, hanya saja waktu perburuannya yang berbeda. Perburuan kalong kapauk di Panti berlangsung dari pukul 03.00-06.00 WIB, yaitu ketika kalong kapauk akan kembali ke pohon sarang. Jumlah kelompok pemburu di Panti dalam satu malam sebanyak 15 kelompok. Jumlah kalong kapauk yang ditangkap dalam satu malam sekitar 225 ekor. Perburuan kalong kapauk juga kerap terjadi karena belum adanya peraturan (nasional) yang melindungi kalong kapauk. Hal serupa juga terjadi di Malaysia (Azlan at al. 2001; Burns 2009). Tidak ada perlindungan kalong kapauk
69
secara adat, bahkan perburuan sudah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Kalong kapauk juga dianggap sebagai hama pertanian karena kalong kapauk mencari makan di kebun dan kurangnya informasi mengenai fungsi kalong kapauk (Suyanto 2001; Kencana 2002). Jumlah pemburu yang berburu kalong kapauk karena menganggapnya sebagai hama ada 9 responden (13,04%). Hal ini bertentangan dengan fungsi kelelawar yang sebenarnya berperan sebagai penyerbuk dan pemencar biji dari tanaman penting dan memiliki nilai ekonomis tinggi (Fujita & Tuttle 1991; Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Perburuan kalong kapauk lebih diutamakan untuk tujuan kemersial dan sebahagian kecil untuk konsumsi. Perdagangan kalong kapauk yang ditangkap di dalam dan sekitar KHBT bersifat lokal, sedangkan di Panti tidak. Hasil buruan umumnya dijual kepada pengumpul. Kalong kapauk kemudian dijual ke daerahdaerah yang sebahagian besar masyarakatnya beragama Kristen, karena di daerah ini peminat daging kalong kapauk banyak. Kalong kapauk hasil buruan di Panti dikirim/dijual ke Tapanuli Tengah (Gunung Marijo Kecamatan Pinangsori) dan Tapanuli Utara (Pasar Sarulla Kecamatan Pahae Jae dan Onan hasang Kecamatan Pahae Julu), karena di Panti peminat/pengkonsumsi kalong kapauk sedikit. Pemburu lebih memilih menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul karena harga yang ditawarkan pengumpul relatif stabil dan seluruh hasil tangkapan pemburu dapat ditampung oleh pengumpul. Harga kalong kapauk dari pengumpul atau pedagang/pengecer kepada pembeli kalong kapauk lebih tinggi dibanding dengan harga kalong kapauk dari pemburu kepada pengumpul. Kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh risiko dan biaya lebih yang dikeluarkan oleh pengumpul dan pedagang/pengecer. Tidak jarang beberapa ekor kalong kapauk mati dalam pengiriman. Selain itu, pengumpul dan pedagang/pengecer juga harus mengeluarkan biaya untuk transportasi/pengangkutan. Pembeli kalong kapauk dari kalangan rumah tangga lebih banyak jumlahnya bila dibanding dengan pembeli dari pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji. Hal ini disebabkan oleh pembeli pada umumnya tidak sanggup membeli kalong kapauk yang sudah diolah (masak) di rumah makan atau warung tuak. Harga seekor kalong kapauk yang masih hidup
70
berkisar Rp 15.000-40.000, sedangkan harga kalong kapauk siap saji berkisar Rp 5.000-10.000 per piring. 5.10.2 Lalai kembang dan kusing dayak Perburuan lalai kembang dan kusing dayak terjadi di salah satu gua yang ada di dalam KHBT blok Barat. Oleh masyarakat gua tersebut diberi nama Gua Liang. Perburuan dilakukan oleh 45 kelompok pemburu, yang terdiri dari 48 orang. Apabila dilihat dari kelompoknya, 26 kelompok pemburu (57,78%) berasal dari Haramonting dan Huta Raja, 9 kelompok (20%) berasal dari Tapian Nauli, 8 kelompok (17,78%) berasal dari Lubuk Pariasan, dan 2 kelompok (4,44%) berasal dari Badiri Pardomuan. Sedangkan bila dilihat dari orang yang melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak, 18 pemburu (37,50%) berasal dari Haramonting dan Huta Raja, 13 pemburu (27,08%) dari Tapian Nauli, 14 pemburu (29,17%) dari Lubuk Pariasan, dan 3 pemburu (6,25%) dari Badiri Pardomuan. Pemburu berasal dari kalangan perekonomian menengah ke bawah, yang pada umumnya bekerja sebagai petani tanaman perkebunan (karet dan aren). Seluruh pemburu adalah pria, dan berusia sekitar 16-55 tahun. Lalai kembang dan kusing dayak merupakan sebahagian dari jenis kelelawar yang hidup di Gua Liang, yang dapat dikonsumsi karena memiliki bobot tubuh lebih besar dari jenis kelelawar lainnya. Di dalam dan sekitar KHBT, kedua jenis kelelawar ini terdapat dalam jumlah yang besar dan memiliki distribusi yang luas. Perburuan lalai kembang dan kusing dayak saat ini hanya terjadi di Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah. Namun, perburuan dikhawatirkan akan menyebar ke daerah lain, karena KHBT memiliki beberapa lokasi gua yang di dalamnya juga terdapat lalai kembang dan kusing dayak. Tingginya minat masyarakat untuk mengkonsumsi lalai kembang dan kusing dayak menciptakan peluang usaha bagi pemburu untuk terus memburu dan memperdagangkannya. Lalai kembang dilaporkan dimakan secara teratur dan populasinya menjadi terancam di Filipina, Thailand, dan Vietnam (Mickleburgh at al. 2009). Menurut hasil penelitian Bates (2003) diacu dalam Mickleburgh at al. (2009), kelelawar kecil juga dimakan karena daging dan tulangnya dapat dikonsumsi. Sedangkan Heinrichs (2004) diacu dalam Mickleburgh at al. (2009),
71
menyatakan di beberapa lokasi kelelawar kecil diburu karena sudah tidak ada kelelawar berukuran besar lagi. Perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak dilakukan setiap malam. Dalam waktu 12 bulan, perburuan berlangsung sebanyak 53 malam. Itu artinya perburuan terjadi setiap 5-6 hari sekali. Waktu perburuan yang demikian dipengaruhi oleh lokasi gua yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman pemburu. Namun, meskipun perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak berlangsung setiap malam, perburuan juga tidak memiliki musim atau atau batas waktu. Perburuan dilakukan sewaktu-waktu, bila pemburu ingin berburu lalai kembang dan kusing dayak. 5.10.3 Implikasi terhadap pengelolaan 5.10.3.1 Kelestarian kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak, sebagai dampak perburuan Populasi kelelawar khususnya jenis kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dalam 10 terakhir ini diperkirakan mengalami penurunan yang signifikan, akibat perburuan secara berlebihan. Ada 2 alasan yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi ini. Alasan pertama, reproduksi kelelawar tergolong lambat. Masa bunting kelelawar umumnya sekitar 3-6 bulan dan melahirkan seekor anak dalam setiap kelahiran (Yalden & Morris 1975; Lecagul & McNeely 1977; Suyanto 1979; Mickleburgh et al. 2009). Kejadian seperti ini sering terjadi di banyak tempat dan telah mengakibatkan penurunan populasi kelelawar (Mickleburgh at al. 2009). Kedua, perburuan kalong kapauk dilakukan saat musim bereproduksi. Umumnya masa kelahiran bayi kalong kapauk dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakannya (Lecagul & McNeely 1977; Fujita 1988; Azlan at al. 2001; Struebig et al. 2007). Berdasarkan hasil penelitian, kelelawar jenis kalong kapauk lebih sering diburu dibanding dengan kelelawar jenis lalai kembang dan kusing dayak, bahkan hampir di setiap tempat yang dapat dijumpai kalong kapauk. Kondisi ini wajar karena kalong kapauk memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Menurut penelitian Mickleburgh et al. (2009), target utama perburuan kelelawar untuk dikonsumsi adalah genus pteropus. Berdasarkan hasil wawancara, jumlah kalong kapauk yang diburu di dalam dan sekitar KHBT dalam satu malam berkisar 9.041
72
ekor, dan mencapai 189.861 ekor per tahun. Jumlah ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan perburuan kalong kapauk di Malaysia, yang dalam setahun mencapai 22.000 ekor (Burns 2009). Jumlah lalai kembang dan kusing dayak yang diburu dalam 12 bulan (penuh) pada tahun 2008-2010 sekitar 19.720 ekor. Penelitian ini tidak dapat menyimpulkan bahwa populasi kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak yang ada di dalam dan sekitar KHBT mengalami penurunan, karena tidak ada data mengenai jumlah populasi setiap tahun dari ketiga kelelawar tersebut. Tetapi dengan berkurangnya hasil tangkapan pemburu, maka itu sudah menjadi indikasi bahwa populasi kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT telah mengalami penurunan. 5.10.3.2 Sifat migrasi kalong kapauk Keberadaan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT terjadi secara musiman. Hal ini terjadi karena penyebaran kalong kapauk sangat berkaitan dengan penyebaran tanaman pakannya, yaitu bunga dan buah (Payne et al. 1985 diacu dalam Kunz & Jones 2000; Liat 1966). Hasil penelitian Burns (2009) menyatakan kalong kapauk dapat terbang sejauh 60 km dalam semalam. Ini menunjukan bahwa kalong kapauk mampu melakukan perpindahan dengan jarak yang sangat jauh. Hasil penelitian Epstein et al. (2009) yang menggunakan telemetry juga mengatakan bahwa kalong kapauk melakukan pergerakan yang sangat luas, bahkan lintas internasional, yaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand. Di Indonesia sendiri, kalong kapauk dapat dijumpai di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara (Suyanto 2001). 5.10.3.3 Kondisi habitat Selain karena faktor perburuan, penurunan populasi kelelawar juga dapat disebabkan oleh berkurangnya sumber pakan (Suyanto 2001; Racey & Entwistle 2002 diacu dalam Fukuda et al. 2009). Berdasarkan informasi dari masyarakat, selain untuk bahan bangunan, penebangan durian karena kurang produktif juga sering terjadi beberapa tahun terakhir. Di beberapa tempat, kalong kapauk sudah tidak lagi terlihat karena sudah tidak ada durian. Menurut Struebig et al. (2007), hal itu disebabkan satwa tersebut bermigrasi ke daerah lain karena telah kehilangan pakannya.
73
Kelestarian kelelawar sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas lingkungan atau habitatnya. Sebaliknya, bila populasi kelelawar berkurang atau hilang maka dapat menyebabkan kuantitas dan kualitas lingkungan tersebut menurun. Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa kelelawar sangat berperan sebagai penyerbuk dan penyebar biji tumbuhan yang secara ekonomi penting (Fujita & Tuttle 1991; Fukuda et al. 2009). Bahkan menurut Indra dan Fredriksson (2007), di dalam dan sekitar KHBT terdapat 186 jenis tumbuhan yang penyerbukan atau penyebaran bijinya di bantu oleh kelelawar. Dapat dibayangkan bila perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT terus terjadi, maka akan ada banyak kerugian yang dirasakan. 5.10.3.4 Upaya-upaya pemerintah Berbeda dengan di Thailand, di Indonesia kalong kapauk tidak termasuk dalam jenis satwaliar yang dilindungi (Burns 2009). Berdasarkan CITES, kalong kapauk terdaftar pada Apendix II, yang artinya merupakan jenis yang pada saat ini tidak termasuk kedalam kategori terancam punah, namun memiliki kemungkinan untuk terancam punah bila perdagangannya tidak diatur (Brautigan 1992 diacu dalam Kunz & Jones 2000; Soehartono & Mardiastuti 2003). Berdasarkan Red List IUCN (2008) versi 3.1, kalong kapauk terdaftar sebagai Hampir Terancam (Near Threatened; NT), karena jenis ini menurun signifikan akibat pemanenan secara berlebihan untuk dikonsumsi, dan karena terus-menerus mengalami degradasi habitat di hutan primer (IUCN 2008). Lalai kembang dan kusing dayak tidak termasuk dalam daftar CITES. Berdasarkan Red List IUCN (2008) versi 3.1, lalai kembang berstatus risiko rendah (Least Concern; LC), karena memiliki disribusi yang luas, diduga populasinya besar di sejumlah kawasan lindung, dapat mentoleransi sedikit banyak perubahan habitat, dan tidak mungkin mengalami penurunan populasi yang begitu cepat (IUCN 2008). Kusing dayak terdaftar sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT), karena hutan tempat tinggal spesies ini mungkin mengalami penurunan yang signifikan akibat kehilangan habitat (IUCN 2008). Perburuan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT secara ekonomi dapat meningkatkan perekonomian masyarakat tertentu (pemburu, pengumpul dan pedagang, serta pemilik rumah makan atau
74
warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji), bahkan menjadi matapencaharian utama ketika musim kalong kapauk tiba. Namun perlu dipertimbangkan bahwa perburuan kalong kapauk secara tidak lestari juga dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar baik dari segi ekologis maupun ekonomi (Struebig et al. 2007). Upaya-upaya yang mungkin untuk dilakukan agar kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT tetap lestari adalah: 1. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan Penyuluhan dilakukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai fungsi ekologi kelelawar. Meskipun belum termasuk dalam kategori dilindungi, intensitas perburuan kelelawar sebaiknya dikurangi demi keseimbangan ekosistem. Perburuan sebaiknya tidak dilakukan setiap malam dan perlu dilakukan pengaturan sistem berburu secara bergantian. Apabila populasi kalong kapauk di alam tetap lestari, tentunya merupakan keuntungan bagi masyarakat yang berburu kalong kapauk, karena pemburu akan tetap memperoleh hasil tangkapan yang cukup. Penyuluhan juga diperlukan untuk meluruskan pandangan sebahagian masyarakat (petani buah), yang masih mengganggap kalong kapauk sebagai hama pertanian. 2. Pendidikan konservasi di bangku sekolah. Pendidikan konservasi di bangku sekolah perlu dilakukan untuk mendidik anak muda sedini mungkin, agar peka terhadap kelestarian lingkungan khususnya terhadap kelestarian kelelawar. Program pendidikan yang menekankan peran kelelawar dalam memberikan jasa ekosistem kini sudah banyak dilaksanakan (Mickleburgh et al. 2009). 3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Mengingat sistem matapencaharian sebahagian besar masyarakat di sekitar KHBT adalah bertani, maka perlu dilakukan penyuluhan pertanian oleh pemerintah daerah.
Bila
masyarakat sejahtera, maka masyarakat tidak akan terlalu bergantung pada perburuan kelelawar. Pemerintah juga dapat membantu dalam pengadaan bibit tanaman buah yang unggul seperti jenis durian, petai, cokelat, rambutan, dan langsat. 4. Kerjasama berbagai pihak, bahkan kerja sama internasional (Einstein 2009). Mengingat bahwa perburuan kalong kapauk berlangsung di banyak tempat
75
bahkan di banyak negara, serta tingginya mobilitas kelelawar, sebaiknya pemerintah daerah dari ketiga kabupaten yang ada di dalam dan sekitar KHBT ikut serta mendorong pelestarian kelelawar, khususnya jenis kalong kapauk. 5. Pengelolaan habitat dengan membuat habitat baru di pulau-pulau kecil namun tidak terisolir (Heideman & Henny 1992 diacu dalam Kunz & Jones 2000).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Perburuan kelelawar di dalam dan di sekitar KHBT umumnya dilakukan dengan menggunakan jaring, karena hasil tangkapan lebih banyak, tangkapan khususnya jenis kalong kapauk didapat dalam keadaan hidup, dan jaring dapat digunakan secara turun temurun. Alat perburuan lainnya adalah senapan angin dan rawe. 2. Perburuan kalong kapauk terjadi di 42 desa/dusun, dan paling banyak berada di Kabupaten Tapanuli Tengah, sedangkan perburuan lalai kembang dan kusing dayak hanya terjadi di salah satu habitat. Kalong kapauk lebih disukai daripada lalai kembang dan kusing dayak, sehingga perburuannya terjadi di banyak tempat. 3. Kecuali di Desa Sipange, perburuan kalong kapauk berlangsung musiman dan dilakukan di sekitar tumbuhan pakan (durian yang sedang berbunga) dan di punggung bukit. Perburuan lalai kembang dan kusing dayak terjadi langsung di gua (habitat) dan terjadi setiap 5-6 hari sekali. 4. Jumlah kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT yang diburu dalam setahun sekitar 189.861 ekor kalong kapauk, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak sekitar 19.720 ekor. 5. Perburuan kelelawar telah mengakibatkan terjadinya penurunan populasi yang signifikan karena terjadi bersamaan dengan musim reproduksi dan perburuan berlangsung di setiap daerah yang dapat ditemukan kalong kapauk. Hasil tangkapan pemburu juga semakin berkurang. 6. Rantai perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan di sekitar KHBT bersifat lokal. Pemanfaatan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak adalah untuk dikonsumsi dagingnya sebagai sumber protein hewani, menu makanan ekstrim, dipercaya berkhasiat obat (asma), dan dijadikan tambul. 7. Diperkirakan dalam satu malam sebanyak 375 kelompok pemburu pergi berburu kalong kapauk ketika musim kalong kapauk tiba.
77
8. Pemanenan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak sebaiknya dilakukan secara lestari, karena dapat membantu perekonomian masyarakat setempat. 6.2 Saran Beberapa saran yang dapat dipertimbangkan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah: 1. Dilakukannya survei lapangan saat musim perburuan kalong berlangsung, agar menghasilkan data yang lebih akurat. 2. Perlu dilakukan kajian mengenai populasi dan ekologi dari ketiga jenis kelelawar yang diburu di dalam dan di sekitar KHBT, sehingga bila diperlukan penentuan kuota tangkapan dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan satwaliar jilid I. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Andersen K. 1912. Catalogue of the chiroptera in the collection of the british museum. London: United Kingdom. Azlan MJ, Zubaid A, Kunz TH. 2001. Distribution, relative abundance and conservation status of the large flying fox: Pteropus vampyrus, in Peninsular Malaysia: a preliminary assessment. Acta Chiropterologica, vol. 3, 149-162. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2009. Tapanuli Selatan dalam angka. Sipirok: BPS Kabupaten Tapanuli Selatan. 2009. Tapanuli Tengah dalam angka. Pandan: BPS Kabupaten Tapanuli Tengah. 2009. Tapanuli Utara dalam angka. Tarutung: BPS Kabupaten Tapanuli Utara. Bungin B. 2003. Analisis data penelitian kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Burns J. 2009. 'Extinction threat' to flying fox. http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/ nature/8221132.stm [21 Juni 2010]. Dharmawan U. 1987. Studi prilaku persaingan burung-burung air dan Kalong (Pteropus vampyrus) di Cagar Alam Pulau Rambut [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Epstein JH, Olival KJ, Pulliam JRC,Smith C, Westrum J, Hughes T, Dobson AP, Zubaid A, Rahman SA, Basir MM, Field HE, Daszak P. 2009. Pteropus vampyrus. A hunted migratory species with a multinational home-range and a need for regional managemen. Journal of Applied Ecology. doi: 10.1111/j.1365-2664.2009.01 699.x Fukuda D, Tisen OB, Momose K, Sakai S. 2009. Bat diversity in the vegetation mosaic around a lowland dipterocarp forest of Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology. 57(1): 213-221 Feldhamer GA, CD Lee, HV Stephe, FM Joseph. 1999. Mammalogy: adaptation, diversity, and ecology. New York: McGraw Hill. Fujita MS and Tuttle MD. 1991. Flying foxes (Chiroptera: Pteropodidae): threatened animals of key ecological and economic importance. Conserve. Biol. 5, 455-463. Gauthreaux SA. 1980. Animal migration, orientation, and navigation. New York: Academic Press.
79
Gulo W. 2002. Metodologi penelitian. Jakarta: PT Grasindo. Indra M, Fredriksson G. 2007. Hutan Batang Toru harta karun Tapanuli. Tapanuli: Yayasan Ekosistem Lestari. [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. The IUCN red list of Dyacopterus spadiceus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/ 6931/0 [26 November 2010]. 2008. The IUCN red list of Eonycteris spelaea. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/7787/ 0/ summary [26 November 2010]. 2008. The IUCN red list of Pteropus vampyrus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/ 18766/0/ summary [26 November 2010]. Kencana BE. 2002. Rencana Aksi Konsevasi Kalelawar Indonesia. WARTA IWF/Vol. 6 No. 1 Januari 2002/ISSN 1411 -8076/D. Jakarta: Yayasan Pembinaan Suaka Margasatwa Indonesia (The Indonesian Wildlife Fund, IWF). Khairulid. 2005. Kalong sebagai obat penyakit asma. http://khairulid.blogspot. com/2005_02_01_archive.html [2 Oktober 2009]. Kunz TH, Jones DP. 2000. Mammalian Species Pteropus vampyrus. No. 642, Pp. 1–6, 3 Figs. The American Society Of Mammalogists. http://www.science. smith.edu/departments/Biology/VHAYSSEN/msi/pdf/642_Pteropus_vamp yrus.pdf [7 Oktober 2009]. Lekagul B, JA McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok: Sahakarnbhat. 758 p. Liat LB. 1966. Abundance and distribution of Malaysian Bats in different ecologycal habitats. Kuala Lumpur: Federation Museums Journal XI. Institute for Medical Research. Maharadatunkamsi, Kitchener DJ. 1997. Morphological variation in Eonycteris spelaea (Chiroptera: Pteropodidae) from the greater and Lesse Sundas Island, Indonesia and description of a new subspecies. Treubia Vol 31: 133-165. Maharadatunkamsi, Hisheh S, Kitchener DJ, Schmitt LH. 2003. Relationships between morphology, genetics and geography in the cave fruit bat Eonycteris spelaea (Dobson, 1871) from Indonesia. Biological Journal of the Linnean Society. 79, 511-522. Mickleburgh S, Kerry W, Paul R. 2009. Bats as bushmeat: a global review. Review. Fauna & Flora International, Oryx, 43(2), 217-234. Mulyana A. 2009. Kalong Kebun Raya Bogor berkurang. Jurnal Bogor.
80
http://www.jurnalbogor.com/?p=46162 [7 Oktober 2009]. [MWBP] Mekong Wetlands Biodiversity Conservation and Sustainable Use Programme. 2006. Trade in natural resources in Attapeu Province, Lao PDR: an assessment of the wildlife trade. Pakde. 2009. Menyulap kalong menjadi uang saku. http://inspirasipakde.com/ 2009/03/21/menyulap-kalong-menjadi-uang-saku/ [7 September 2009]. Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: JICA. Standbury P. 1970. Looking at Mammals. Sydney: Angus and Robertson. Struebig MJ, Harrison ME, Cheyne SM, Limin SH. 2007. Intensive hunting of large flying foxes Pteropus vampyrus natunae in Central Kalimantan, Indonesian Borneo. Oryx Vol 41 390-393. Suratmo FG. 1979. Prinsip dasar tingkah laku satwaliar. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Susetyo SB. 2007. Burung blekok dan kalong ‘over’ populasi di Kebun Raya Bogor. http://www.kapanlagi.com/h/0000172115_print.html [7 September 2009]. Suyanto A. 1979. Mengenal kalong (Pteropus vampyrus L) dan peranannya. Buletin Kebun Raya 4(1): 1-5. . 2001. Panduan lapang kelelawar di Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI. Vaughan TA. 1986. Mammalogy. Ed ke-3. Flagstaff, Arizona: Nothern Arizona University. hlm 96-137. Yalden DW, Morris PA. 1975. The Lives of Bats. New York: The New York Times Book. Zainuddin H. 2009. Makanan dari daging kalong disukai suku Dayak. http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/105129-makanandari-daging-kalong--disukai-suku-dayak.pdf [3 November 2009].
82
Lampiran 1 Panduan wawancara kepada pemburu kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Jenis kelamin : L / P Asal suku : _______________ Agama : _______________
Pendidikan Pekerjaan Asal desa
: (SD/ SMP/ SMA/ PT*) : _______________ : _______________
B. KARAKTERISTIK PEMBURU 1. Sudah berapa tahun mulai berburu kalong? [ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] ≥ 10 tahun 2. Dari mana pengetahuan tentang perburuan kalong tersebut Bapak ketahui? [ ] Dari orang tua (tradisi) [ ] Dari teman [ ] Tahu sendiri [ ] Lainnya: _______________ 3. Mengapa berburu kalong? [ ] Menambah pendapatan sehari-hari [ ] Adanya pesanan [ ] Lainnya: _______________ 4. Kalong hasil tangkapan akan diapakan? [ ] Dijual ke pengumpul [ ] Konsumsi sendiri [ ] Dijual ke rumah makan dan warung tuak [ ] Lainnya: _______________ 5. Berapakah jumlah orang yang ikut serta dalam 1 lokasi perburuan? [ ] 2-3 orang [ ] 3-5 orang [ ] > 5 orang 6. Bagaimana sistem pembagian hasilnya? _______________ 7. Apakah orang-orang tersebut biasanya memiliki hubungan kekeluargaan? [ ] Ya [ ] Tidak [ ] Sebagai _______________ 8. Apakah orang-orang dalam satu tim tersebut tetap? [ ] Ya [ ] Tidak C. PERBURUAN 9. Apa saja alat yang dapat digunakan untuk berburu kalong? [ ] Jaring [ ] Senapan [ ] Panah [ ] Ketapel [ ] Lainnya: _______________ 10. Bapak berburu kalong di lahan siapa? [ ] Kebun sendiri [ ] Kebun orang lain [ ] Hutan [ ] Lainnya: _______________ 11. Dimana Bapak memasang jaring? [ ] Di jalur terbang kalong (bukit) [ ] Di tempat kalong mencari makan [ ] Lainnya: _______________ 12. Berapa jauh (km) jarak dan waktu yang diperlukan dari rumah ke lokasi perburuan? _______________ 13. Berapa jumlah lokasi perburuan kalong yang Bapak miliki? []1 []2 []3 []>3 [ ] Lainnya: _______________ 14. Apakah Bapak rutin (setiap hari) berburu kalong? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 15. Adakah musim perburuan kalong? [ ] Ya [ ] Tidak
83
16. Kalau musiman, pada saat kapan Bapak berburu kalong? (Bulan apa dan musim bunga/buah jenis tanaman apa?) _______________ 17. Pukul berapa Bapak berburu kalong? _______________ 18. Kalau sedang tidak musim kalong, dalam seminggu bisa berapa kali berburu kalong? [ ] 1-2 kali [ ] 2-3 kali [ ] > 3 kali 19. Apa saja faktor yang mempengaruhinya? _______________ 20. Kalau sedang musim kalong, dalam seminggu bisa berapa kali berburu kalong? [ ] 1-3 kali [ ] 4-6 kali [ ] 7 kali 21. Jumlah kalong yang didapat (per malam) ketika tidak sedang musim perburuan kalong? _______________ 22. Jumlah kalong yang didapat (per malam) ketika dalam kondisi sedang musim perburuan kalong? _______________ 23. Apakah jumlah hasil tangkapan kalong yang didapat dalam satu kali (malam) perburuan itu tetap? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 24. Apakah jumlah hasil buruan kalong dari tahun ketahun selalu sama? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah Alasannya : _______________ D. PERDAGANGAN 25. Apakah kalong ditangkap dalam keadaan hidup? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 26. Bila kalong hasil buruan dijual, kepada siapakah kalong tersebut dijual? [ ] Pengumpul [ ] RM / warung tuak [ ] Tetangga [ ] Lainnya: _______________ Alasannya : _______________ 27. Apakah ukuran kalong mempengaruhi besar harganya? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 28. Berapa harga jual satu ekor kalong? [ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________ E. PERSEPSI MASYARAKAT DAN UPAYA PERLINDUNGAN 29. Jika mendapat kalong yang sedang bunting, apakah juga akan mengambil kalong tersebut? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 30. Jika mendapat anakan kalong, apakah juga akan mengambil anakan kalong tersebut? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 31. Apakah ada aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan adat untuk melindungi kalong? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _______________ 32. Apakah ada pembinaan dari pemerintah untuk melindungi kalong? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _____________ 33. Apakah layak untuk mengambil kalong dari alam dengan adanya sistem kuota/pembatasan jumlah dan musim? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 34. Apa saja fungsi kalong yang Bapak ketahui? [ ] Membantu penyerbukan tumbuhan [ ] Penyebar biji tumbuh-tumbuhan
84
[ ] Lainnya: _______________ 35. Apa saja dampak buruk dari keberadaan kalong? [ ] Hama buah langsat [ ] Hama buah rambutan [ ] Lainnya: _______________ Keterangan:
[ ] Menularkan penyakit
Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45 tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
85
Lampiran 2 Panduan wawancara kepada pemburu lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Jenis kelamin : L / P Asal suku : _______________ Agama : _______________
Pendidikan Pekerjaan Asal desa
: (SD/ SMP/ SMA/ PT*) : _______________ : _______________
B. KARAKTERISTIK PEMBURU 1. Sudah berapa tahun mulai berburu lopong? [ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] ≥ 10 tahun 2. Dari mana pengetahuan tentang perburuan lopong tersebut Bapak ketahui? [ ] Dari orang tua (tradisi) [ ] Dari teman [ ] Tahu sendiri [ ] Lainnya: _______________ 3. Mengapa berburu lopong? [ ] Menambah pendapatan sehari-hari [ ] Adanya pesanan [ ] Lainnya: _______________ C. PERBURUAN 4. Apakah Bapak rutin (setiap hari) berburu lopong? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 5. Adakah musim perburuan lopong? [ ] Ya [ ] Tidak 6. Pada saat kapan Bapak berburu lopong? _______________ 7. Jika melakukan perburuan, berapa lama (malam) Bapak berburu? [ ] 1malam [ ] 2 malam [ ] Lainnya: _______________ 8. Hal apa saja yang mempengaruhi Bapak, sehingga Bapak pergi berburu lopong? _______________ 9. Hal apa saja yang dapat membuat hasil tangkapan menjadi lebih banyak? _______________ _______________ 10. Jumlah lopong yang didapat (per malam) ketika dalam kondisi yang baik (menguntungkan)? [ ] 40-60 ekor [ ] 60-80 ekor [ ] 80-100 ekor [ ] > 100 ekor [ ] Lainnya: _______________ 11. Jumlah lopong yang didapat (per malam) ketika dalam kondisi yang tidak baik? [ ] 40-60 ekor [ ] 60-80 ekor [ ] 80-100 ekor [ ] > 100 ekor [ ] Lainnya: _______________ 12. Apakah jumlah hasil tangkapan lopong yang didapat dalam satu kali (malam) perburuan itu tetap? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 13. Apakah jumlah hasil buruan lopong dari tahun ketahun selalu sama? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah Alasannya : _______________ Keterangan:
Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45 tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
86
Lampiran 3
Panduan wawancara dengan pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk, di dalam dan sekitar KHBT
A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Jenis kelamin : L / P Asal suku : _______________ Agama : _______________
Pendidikan Pekerjaan Asal desa
: (SD/ SMP/ SMA/ PT*) : _______________ : _______________
B. DATA PERDAGANGAN 1. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu menjadi pengumpul/berjualan kalong? [ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-10 tahun 2. Dari daerah mana kalong diperoleh? _______________ 3. Berapa ekor jumlah kalong yang diperdagangkan per harinya? [ ] 60-70 ekor [ ] 71-100 ekor [ ] 101-150 ekor [ ] > 150 ekor [ ] Lainnya: _______________ 4. Apakah dagangan Bapak/Ibu selalu habis? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 5. Apakah menjual kalong dalam keadaan hidup? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 6. Apakah terjadi penurunan harga bila kalong mati? [ ] Ya [ ] Tidak 7. Apakah ukuran kalong mempengaruhi besar harganya? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 8. Berapa harga beli seekor kalong dari pemasok? [ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________ 9. Berapa harga jual kalong per ekor? [ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________ 10. Apakah terjadi penurunan harga bila jumlah kalong meningkat? [ ] Ya [ ] Tidak 11. Bagai mana sistem penjualan kalong Bapak/Ibu? [ ] Menetap di suatu tempat. (pasar/ pekan/ tepi jalan, lainnya: ____________*) [ ] Mendatangi/mencari pembeli dengan sepeda motor [ ] Menghantar sesuai dengan pesanan pembeli (pemesanan melalui sms) [ ] Lainnya: _______________ Keterangan:
Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45 tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
87
Lampiran 4 Panduan wawancara kepada pembeli kalong kapauk (untuk konsumsi sendiri), di dalam dan sekitar KHBT A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Jenis kelamin : L / P Asal suku : _______________ Agama : _______________
Pendidikan Pekerjaan Asal desa
: (SD/ SMP/ SMA/ PT*) : _______________ : _______________
B. DATA PEMBELIAN KALONG KAPAUK 1. Dari Siapa Bapak/Ibu membeli kalong? [ ] Pemburu [ ] Pengumpul [ ] Lainnya: _______________ 2. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu mengkonsumsi kalong? [ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-39 tahun [ ] ≥ 40 tahun 3. Untuk apa Bapak/Ibu membeli kalong? _______________ 4. Apa saja khasiat kalong yang Bapak/Ibu rasakan? _______________ 5. Berapa harga seekor kalong dari pemasok? [ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________ 6. Apakah harga kalong saat ini tergolong mahal? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 7. Adakah waktu-waktu tertentu harga kalong menjadi mahal? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _______________ 8. Adakah waktu-waktu tertentu harga kalong menjadi murah? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _______________ 9. Berapa jumlah kalong yang Bapak/Ibu beli untuk setiap satu kali pembelian? [ ] 1 ekor [ ] 2 ekor [ ] 3 ekor [ ] 4 ekor [ ] ≥ 5 ekor 10. Dalam seminggu, berapa kali Bapak/Ibu membeli kalong? [ ] 1 kali [ ] 2 kali [ ] 3 kali [ ] > 3 kali 11. Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu membeli kalong? _______________ Keterangan:
Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45 tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
88
Lampiran 5 Panduan wawancara kepada pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar KHBT A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Jenis kelamin : L / P Asal suku : _______________ Agama : _______________
Pendidikan Pekerjaan Asal desa
: (SD/ SMP/ SMA/ PT*) : _______________ : _______________
B. DATA PENJUALAN KALONG KAPAUK SIAP SAJI 1. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu berjualan kalong siap saji? [ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-39 tahun [ ] ≥ 40 tahun 2. Dalam seminggu, bisa berapa kali berjualan? [ ] 1-2 kali [ ] 3-5 kali [ ] 6-7 kali 3. Selain kalong, apa saja jenis hewan lainnya yang menjadi menu makanan di warung Bapak/Ibu? _______________ 4. Untuk menunjang usaha Bapak/Ibu, berapa ekor jumlah kalong yang dibutuhkan setiap harinya? [ ] 2-4 ekor [ ] 5-7 ekor [ ] 8-10 ekor [ ] 10-20 ekor Alasannya : _______________ 5. Apa upaya yang Bapak/Ibu lakukan agar mendapatkan kalong sesuai dengan jumlah yang diperlukan? _______________ 6. Dari siapa kalong diperoleh? [ ] Pemburu [ ] Pengumpul [ ] Tangkapan sendiri [ ] Lainnya: _______________ 7. Berat rata-rata kalong yang dibeli dari pemasok? [ ] 0,5-0,7 kg [ ] 0,8-1 kg [ ] 1,1-1,5 kg [ ] > 1,5 kg [ ] Lainnya: _______________ 6. Berapa harga seekor kalong dari pemasok? [ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________ 7. Bagai mana sistem penjualan/penyajian kalong siap saji Bapak/Ibu? [ ] Per potong [ ] Per ekor [ ] Per Piring (Cincang) 8. Berapa harga kalong siap saji per unit? _______________ 9. Jika per potong, maka 1 ekor kalong dapat dibagi menjadi berapa potong (bagian)? _______________ 10. Jika per piring (cincang), maka 1 ekor kalong dapat dibagi menjadi berapa piring? _______________ 11. Apa saja jenis masakan kalong Bapak/Ibu? [ ] Gulai rendang [ ] Goreng [ ] Sop [ ] Panggang [ ] Lainnya: _______________ 12. Bagai mana jumlah pembeli kalong dari tahun-ketahun? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah Alasannya : _______________ 13. Apakah ada hari-hari tertentu pembeli paling ramai? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _______________ Keterangan:
Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45 tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
89
Lampiran 6 Panduan wawancara kepada pengkonsumsi di rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar KHBT A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Jenis kelamin : L / P Asal suku : _______________ Agama : _______________
Pendidikan Pekerjaan Asal desa
: (SD/ SMP/ SMA/ PT*) : _______________ : _______________
B. DATA PENKONSUMSIAN KALONG KAPAUK SIAP SAJI 1. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu mengkonsumsi kalong siap saji? [ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-39 tahun [ ] ≥ 40 tahun 2. Mengapa Bapak/Ibu mengkonsumsi kalong siap saji? [ ] Obat [ ] Kesenagan/ ketagihan [ ] Lainnya: _______________ 3. Apa saja khasiat kalong yang Bapak/Ibu rasakan? _______________ 4. Apakah harga kalong siap saji saat ini tergolong mahal? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 5. Berapa biaya yang Bapak/Ibu keluarkan untuk satu kali (setiap kali) mengkonsumsi kalong? _______________ 6. Dalam seminggu, berapa kali Bapak/Ibu mengkonsumsi kalong siap saji? [ ] 1 kali [ ] 2 kali [ ] 3 kali [ ] > 3 kali 7. Apakah jenis masakan kalong yang paling Bapak/Ibu sukai? [ ] Gulai rendang [ ] Goreng [ ] Sop [ ] Panggang [ ] Lainnya: _______________ Alasannya : _______________ 8. Bila akan mengkonsumsi kalong siap saji, bersama siapakah Bapak/Ibu pergi mengkonsumsi? [ ] Teman [ ] Keluarga [ ] Lainnya: _______________ Alasannya : _______________ 9. Berapa jumlah orang yang pergi bersama Bapak/Ibu bila akan mengkonsumsi kalong siap saji? [ ] 1 orang [ ] 2 orang [ ] 3 orang [ ] 4 orang [ ] 5 orang [ ] > 5 orang Keterangan:
Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45 tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
90
Lampiran 7 Panduan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan sekitar KHBT 1. 2.
Berapa jumlah pohon durian yang Bapak/Ibu miliki? _______________ Sudah berapa tahun Bapak/Ibu mengalami panen Durian? [ ] 1-5 tahun [ ] 5-10 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-30 tahun 3. Pada saat bulan berapakah durian mulai berbunga? _______________ 4. Apakah hasil panen buah durian Bapak/Ibu selalu sama setiap tahunnya? [ ] Ya [ ] Berkurang [ ] Bertambah 5. Bagai mana hasil panen buah durian Bapak/Ibu bila dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah 6. Hal apa saja yang dapat mengakibatkan panen buah durian Bapak/Ibu berkurang? _______________ 7. Apakah panen buah durian sangat membantu perekonomian Bapak/Ibu? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 8. Apakah Bapak/Ibu mengenal kalong? [ ] Ya [ ] Tidak 9. Apa saja fungsi kalong yang Bapak/Ibu ketahui? [ ] Membantu penyerbukan tumbuhan [ ] Penyebar biji tumbuh-tumbuhan [ ] Lainnya: _______________ 10. Apakah Bapak/Ibu setuju bila kalong tetap diburu? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 11. Apakah saat ini di kebun Bapak/Ibu semakin sulit untuk melihat kalong? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________ 12. Apa saja dampak buruk dari keberadaan kalong? [ ] Hama buah langsat [ ] Hama buah rambutan [ ] Menularkan penyakit [ ] Lainnya: _______________
Lampiran 8 Persebaran jenis-jenis anggota marga Pteropus (Suyanto 2001) Nama ilmiah
Nama daerah
Persebaran
P. alecto Temminck, 1837
Kalong hitam
P. argentatus Gray, 1844 P. caniceps Gray, 1871 P. chrysoproctus Temminck, 1837 P. conspicillatus Gould, 1850 P. griseus E. Geoffroy, 1810 P. hypomelanus Temminck, 1853
Kalong ambon Kalong morotai Kalong maluku Kalong kacamata Kalong kelabu Kalong kecil
P. lombocensis Dobson, 1878 P. macrotis Peters, 1867 P. melanopogon Peters, 1878 P. melanotus Blyth, 1863 P. neohibernicus Blyth, 1876 P. ocularis Peters, 1867 P. personatus Temminck, 1825 P. pohlei P. pumilus Miller, 1910 P. scapulatus Peters, 1862 P. speciosus Andersen, 1908 P. temmincki Peters, 1867 P. vampyrus Linnaeus, 1758
Kalong lombok Kalong nissi Kalong awab Kalong enggano Kalong bismark Kalong seram Kalong manu Kalong manguai Kalong talaud Kalong merah Kalong laut Kalong temmincki Kalong kapauk
P. Bawean (Jawa), Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, Papua Nugini, dan Australia Maluku dan Ambon Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara Maluku Maluku, Papua Barat, Papua Nugini, dan Australia Asia Tenggara benua, Fillipina dan sulawesi, Nusa Tenggara, P. Timor, Maluku Asia Tenggara benua, Pulau-pulau kecil sekitar Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua Barat dan Papua Nugini sampai Solomon Nusa Tenggara dan Maluku P. Aru, Salawati, Wokam, Papua Barat, dan Papua Nugini P. Aru dan Maluku Kep. Enggano, Kep. Andaman, dan Asia Tenggara benua Papua Barat dan Papua Nugini P. Buru, P. Seram, dan Maluku Maluku P. Yapen dan P. Biak (Papua Barat) Filipina, P. Talaud, dan Sulawesi Papua Barat, Papua Nugini, dan Australia Kep. Talaud dan Filipina Timor (keberadaannya diragukan oleh Goodwin 1979), Maluku, dan Papua Nugini Tenasserim, Thailand, Indocina, Malaysia dan Filipina, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara
Lampiran 9 Lokasi perburuan, alat perburuan, jumlah kelompok pemburu, rata-rata tangkapan, dan total tangkapan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT dan di Panti Kabupaten Kecamatan
Desa/Dusun
Alat Perburuan A B C
Tapanuli Utara
Dolok Sanggul/ Lumban Garaga Lobu Sihim Bonani Dolok/ Lobuharambir Simardangiang Simardangiang/ Sibio-bio Simardangiang/ Lumban Goting Simardangiang/ Pasir Nauli Simataniari Bonan Dolok Sipange Sigiring-giring S Kalangan II/ Huta Raja S Kalangan II/ Haramonting Tap Saur Manggita/ Tapian Nauli Tap Saur Manggita/ Lobu Pariasan Pagaran Honas Lubuk Ampolu Aek Horsik Gunung Marijo Gunung Marijo/Aek Tolang Toga Basir Simarlailan Sihiong Aek Gambir Masundung
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Simangumban Purbatua Pahae Julu
Tapanuli Tengah
Sitahuis Tukka
Badiri Pinangsori Lumut
√ √ √ √ √ √ √ √
Jumlah Pemburu Rata-rata Tangkapan Total Tangkapan (kelompok/malam) (ekor/lokasi/malam) (ekor/lokasi /malam) Tetap Musiman Tetap Musiman 10 20 200 12 20 240 6 30 180 4 10 40 5 10 50 3 10 30 8 10 80 3 15 45 5 5 25 27 23 3 30 690 8 30 240 8 30 240 20 30 600 8 30 240 10 30 300 8 10 80 7 10 70 1 3 3 35 30 1050 8 30 240 8 20 160 1 30 30 6 30 180 8 30 240 8 30 240
Lampiran 9 Lanjutan ... Kabupaten
Kecamatan
Sibabangun
Tapanuli Selatan
Batang Toru Sipirok Tano Tombangan Sayur Matinggi Batang Angkola Siais Angkola Selatan
Total
Desa/Dusun
Sialogo Mombang Boru/ Sihobuk Anggoli Simanosor Muara Sibuntuon Sibio-bio Huta Gur-gur Marancar/ Hau Natas Luat Lombang/ Hutaimbaru Panabaring Huta Raja Huta Tonga Ranto Natas Huta Padang Sigulang Losung Simarpinggan Simaronop
Alat Perburuan A B C √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Jumlah Pemburu Rata-rata Tangkapan (kelompok/malam) (ekor/lokasi/malam) Tetap Musiman Tetap Musiman 8 30 5 15 6 20 13 20 20 15 30 20 12 20 2 5 1 40 13 25 3 13 3 25 13 25 3 10 1 10 1 8 5 80 6 40 30 375 3 22
Keterangan: Alat perburuan A=menggunakan jaring, B=menggunakan senapan angin, C=menggunakan rawe.
Total Tangkapan (ekor/lokasi /malam) 240 75 120 260 300 600 240 10 40 325 325 325 30 10 8 400 240 9.041
Lampiran 10 Aktivitas perburuan lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan hasil camera trap Tanggal 19-Des-08 22-Des-08 29-Des-08 04-Feb-09 07-Feb-09 10-Feb-09 05-Mar-09 09-Mar-09 13-Mar-09 16-Mar-09 16-Mar-09 19-Mar-09 11-Apr-09 17-Apr-09 01-Mei-09 09-Mei-09 12-Mei-09 16-Mei-09 29-Mei-09 30-Mei-09 08-Jun-09 20-Jun-09 26-Des-09 02-Jan-10 03-Jan-10
Jam Datang (WIB) 13.26 14.23 13.43 13.34 14.59 11.42 17.05 14.39 14.27 12.37 15.08 13.18 14.11 14.21 13.58 14.18 15.03 14.42 13.41 13.41 12.35 13.13 14.25 15.41 -
Jam Pulang (WIB) 09.12 08.02 10.05 11.19 09.37 09.46 15.27 11.02 08.51 08.51 09.27 09.33 08.57 09.41 08.56 09.03 08.28 08.41 08.22 07.36 10.14 08.13 09.47 09.41 08.24
Lama Perburuan (malam) 3 2 2 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah Pemburu (orang) 4 3 4 2 3 4 3 2 2 2 3 3 4 6 4 4 2 5 1 2 3 2 2 2 4
Usia (tahun)
Daerah Asal
2B,C,E C,D,A 2D,2C 2D C,D,E 3B,D 2E,C C,D C,B E,D 2E,C 2C,B E,2D,C 4E,2C 3B,C E,3D D,B B,2C,2D D E,D D,2B B,C 2D E,D 2D,C,B
Haramonting & H. Raja Lubuk Pariasan Lubuk Pariasan Haramonting & H. Raja Tapian Nauli Haramonting & H. Raja Badiri Lubuk Pariasan Haramonting & H. Raja Badiri & Haramonting Tapian Nauli Haramonting & H. Raja Tapian Nauli Tapian Nauli Lubuk Pariasan Tapian Nauli Haramonting & H. Raja Lubuk Pariasan Haramonting & H. Raja Tapian Nauli Lubuk Pariasan Lubuk Pariasan Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Tapian Nauli
Jumlah Tangkapan (ekor/malam) 330 380 440 370 370 430 240 320 240 370 490 240 500 860 620 770 310 630 250 450 460 450 250 310 710
Total Tangkapan (ekor) 990 760 880 370 370 430 240 320 480 370 490 480 500 860 620 770 310 630 250 450 460 450 250 310 710
Lampiran 10 Lanjutan ... Tanggal 05-Jan-10 11-Jan-10 16-Jan-10 23-Jan-10 29-Jan-10 01-Feb-10 12-Feb-10 26-Feb-10 05-Mar-10 12-Mar-10 21-Mar-10 23-Mar-10 30-Mar-10 06-Apr-10 11-Apr-10 13-Apr-10 17-Apr-10 20-Apr-10 27-Apr-10 01-Mei-10 Total
Jam Datang (WIB) 12.54 13.16 13.10 16.05 14.17 14.13 13.13 12.24 12.44 11.54 14.01 13.03 11.55 12.01 12.51 12.36 14.26 11.51
Jam Pulang (WIB) 11.03 08.27 08.19 10.44 07.47 10.17 08.08 09.42 08.27 09.34 08.35 08.24 07.51 07.36 07.40 07.45 10.50 08.40 08.02 08.54
Lama Perburuan (malam) 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 53
Jumlah Pemburu (orang) 2 1 1 2 1 2 1 3 1 2 3 1 1 1 3 1 3 1 1 3 110
Usia (tahun)
Daerah Asal (Dusun)
D,C D D D,B D E,F D E,D,C D D,C E,D,C D D D 2E,D D 2B,C D D E,D,B
Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Tapian Nauli Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Tapian Nauli Haramonting & H. Raja Lubuk Pariasan Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja Haramonting & H. Raja
Keterangan: Usia A = 5-15 tahun; B = 16-25 tahun; C = 26-35 tahun; D = 36-45 tahun; E = 46-55 tahun.
Jumlah Tangkapan (ekor/malam) 370 250 250 370 250 180 250 490 250 370 570 250 250 250 570 250 510 250 250 240
Total Tangkapan (ekor) 370 250 250 370 250 360 250 490 250 740 570 250 250 250 570 250 510 250 250 240 19.720