ANALISIS KAWASAN DAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS, KABUPATEN MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA

ANALISIS KAWASAN DAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS, KABUPATEN MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA Benteng H. Sihombing1 dan M. Sumaryono2 1

2

Univ. Simalungun Sumatera Utara, Medan. Laboratorium Perencanaan Hutan Fahutan Unmul, Samarinda

ABSTRACT. Region Analysis and Land-covering Change In Batang Gadis National Park of Mandailing Natal District, North Sumatera. This research was aimed to determine the existing land cover system, its change, potential zonation and its contribution to region economic development. This research was conducted using several methods consisted of remote sensing data interpretation, overlay and the SWOT (strength, weakness, opportunity and threat) analysis. This methods were used to describe the effect of human influence on Batang Gadis National Park. Batang Gadis National Park was covered by trees land cover types; Primary Forest (HP), Secondary Forest (HS) and Non Forest Area (NH). This land cover types had changed as follows: Primary Forest had been reduced from 100,684.69 ha or 56.02% in 1994 to 75,160.81 ha or 41.83% in 2001, and 70,589.05 ha or 39.29% in 2004. The Secondary Forest area had been increased from 29,613.33 ha or 16.48% in 1994 to 47,540.01 ha or 22.57% in 2001, and 43,446.71 ha or 24.18% in 2004. Non Forest area had been increased from 49,407.49 ha or 27.50% in 1994 to 56,968.69 ha 35.60% in 2001, and 64,633.75 ha or 36.53% in 2004. Based on the Ministry of Forest Regulation number 65 year 2006 and the potential of Batang Gadis National Park, it can be zonated to be six different zones consited of Core Zone 35,528.97 ha (in north and south), Jungle Zone 77,296.13 ha, Recreation Zone 2,016.32 ha, Buffer Zone 119,378.34 ha, Rehabilitation Zone 92,579.19 ha and the Special Zone 2,037.63 ha (enclave). The SWOT analysis showed that the existance of Batang Gadis National Park was relatively influenced by two factors. This implies that efforts must be made for Social and institution capacity building for the local community, dissemination of information about Batang Gadis National Park, forest security, and the low enforcement for the existance of Batang Gadis National Park. Kata kunci: interpretasi citra, penutupan lahan, zonasi, konflik sosial

Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) merupakan kawasan penyangga kehidupan di Kabupaten Mandailing Natal sehingga perlu diperhatikan aspek konservasi dan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan ini secara bijaksana, karena kawasan ini telah mengalami penurunan kuantitas/kualitas keanekaragaman hayati. Kawasan hutan TNBG tergolong kepada tipe hutan tropis dataran rendah (ketinggian 660 m dpl) yang dihuni oleh beragam jenis tumbuhan berkayu (vascular plant) dan jenis hewan mammalia. Keanekaragaman jenis biologi di kawasan ini terdapat 240 jenis tumbuhan berkayu yang termasuk 47 famili dan famili yang dominan adalah Dipterocarpaceae, selain itu juga terdapat 42 jenis hewan. Beberapa jenis dari famili Dipterocarpaceae yang ditemukan di kawasan ini ternyata telah terancam 12

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009

13

keberadaannya, seperti jenis Aglaia ganggo Miq., Anisoptera costata Korth., Hopea beccariana, H. nigra Burck., Shorea acuminata Dyer., S. gibbosa Brandis., S. platyclados Sloot., Vatica perakensis King. dan V. mangachapoi Blco. (Anonim, 2004). Dari 42 jenis hewan yang terdapat di kawasan ini, dua jenis di antaranya merupakan jenis endemik/khas yang juga mendekati kepunahan yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan kambing hutan sumatera (Naemorhedus sumatrensis) (Anonim, 2004). Untuk mempertahankan keutuhan habitat dan keragaman hayati dalam kawasan TNBG ini sebagai penyangga kehidupan agar dapat memberikan manfaat positif terhadap kualitas hidup masyarakat Mandailing Natal, maka diperlukan pengelolaan yang tepat yang memperhatikan keseimbangan ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Upaya ini sangat mendesak karena perbedaan persepsi atas kehadiran TNBG, ternyata telah melahirkan potensi konflik sosial baik dalam bentuk wacana maupun konflik di lapangan. Pengelolaan kawasan TNBG melalui institusi Balai Taman Nasional (BTN) juga tidak langsung memperlihatkan hasil kegiatan yang signifikan yang dapat menunjukkan bahwa kawasan ini benar-benar dialihfungsikan untuk dikelola dengan pasti. Penandaan batas permanen di lapangan sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena adanya keterbatasan perangkat admnistrasi dan tenaga pengelola TNBG yang belum memadai. Permasalahan utama yang menjadi kendalan dalam pengelolaannya adalah belum adanya perencanaan fungsi kawasan dan ketetapan alokasi kawasan TNBG ini dalam konteks usulan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). Data penginderaan jauh (citra satelit) dapat digunakan sebagai bahan penafsiran dalam perencanaan penataan zonasi yang dapat dipertanggungjawabkan walaupun pengesahan/penetapan zonasi berdasarkan usul BTN yang disepakati oleh multi pihak. Perubahan penutupan lahan yang terekam pada citra satelit (terutama perubahan penutupan lahan kategori hutan primer – hutan sekunder – non hutan) dengan 3 periode peliputan citra yaitu tahun 1994, 2001 dan 2004 pada TNBG di bagian utara ini bisa memberikan gambaran kecenderungan perubahan penutupan lahan ke depan dalam hubungannya dengan penurunan penutupan lahan dan fragmentasi penutupan lahan hutan primer bila kondisi yang terjadi berlangsung minimal dengan kondisi yang sama sejalan dengan penyusutan nilai keanekaragaman hayati yang dikandung oleh kawasan TNBG. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kawasan dan penutupan lahan TNBG. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah didapatkannya informasi tentang kondisi faktual TNBG, perubahan tutupan lahan dan arahan rencana fungsi kawasan TNBG. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di TNBG Sumatera Utara. Data primer maupun data sekunder yang berhubungan dengan TNBG didapatkan dari Balai TNBG, Dishut, BKSDA, Bappeda, BPS, Bappedalda Kabupaten Mandailing Natal. Analisis Citra

14

Sihombing dan Sumaryono (2009). Analisis Kawasan dan Perubahan Penutupan Lahan

Landsat dan Citra Aster dalam hubungannya dengan perubahan penutupan lahan dan arahan zonasi TNBG dilaksanakan di Laboratorium Perencanaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2007. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Citra Landsat, Citra Aster dan peta-peta tematik seperti Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Lampiran SK Menhut nomor 126 tahun 2004, Peta Administrasi Kabupaten Mandailing Natal dan lain-lain. Peralatan yang digunakan antara lain adalah perangkat komputer dengan perangkat lunak ErMapper 6,4, Global Mapper 7, Arc View 3,3, Image Analysis dan ArcGIS, scanner, printer, GPS Garmin 12 CX, kompas Suunto, digital camera dan peralatan survei/inventarisasi lainnya. Data-data penting yang dikumpulkan sebagai bahan dalam penelitian ini meliputi data tabular seperti data administratif, monografi/demografi, klimatis, edafik dan peta analog yang diperoleh dari Kantor Balai TNBG, Dishut, BKSDA, Babpeda, BPS, Bappedalda Kabupaten Mandailing Natal. Untuk kepentingan deskripsi TNBG, selain data sekunder, diperlukan juga data peta-peta seperti peta administrasi, geologi, tanah, iklim dan lain-lain. Klasifikasi citra dilaksanakan dengan cara klasifikasi terbimbing dengan visual karena data lebih akurat dengan kontrol data lapangan tipe penutupan lahan. Interpretasi citra dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Mengadakan koreksi citra (radiometrik dan geometrik). 2. Mengadakan klassifikasi (klassifikasi visual). 3. Mendigitasi klas-klas visual. 4. Mengakurkan dengan data lapangan. 5. Overlay dengan peta tematik lainnya. 6. Menghitung luas masing-masing kelas visual dan 7. Membuat lay out peta untuk dicetak. Input Data. Proses digitasi peta analog/peta tematik dalam penelitian ini dilakukan dengan scanning peta analog/peta tematik terlebih dahulu dengan outputnya dalam format JPEG. Hasil tersebut diolah pada perangkat komputer dengan menggunakan perangkat lunak Arc View 3,3 dengan supporting extenstion Image Analysis. Selanjutnya hasil image (yang telah berbentuk JPEG) dilakukan rektifikasi dengan memasukkan titik ikat (entry koordinat) pada image sehingga hasilnya menjadi image yang georeference lalu dilakukan digitasi secara on screen (mendigit peta raster pada monitor komputer). Pengolahan data vektor dilakukan dengan mendigitasi data raster atau dengan pengambilan data di lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System), data tersebut berupa titik kordinat atau dapat juga merupakan gabungan titik kordinat (tracking). Dari hasil ini dibuat suatu informasi atau keterangan dalam bentuk tabular (data base sistem). Kodifikasi. Langkah pertama adalah agar dapat dilakukan link antara peta dengan data tabular, maka dilakukan proses pemberian kode untuk setiap objek pada peta. Kode tersebut harus sama dengan yang ada pada data tabular. Proses selanjutnya adalah proyeksi format koordinat posisi. Semua peta digital diproyeksikan ke dalam proyeksi geografis atau UTM. Verifikasi Lapangan. Verifikasi lapangan dilakukan untuk mengetahui apakah data yang ada di peta sesuai dengan kondisi lapangan yang sebenarnya. Pengecekan dilakukan dengan sistem sampel berupa pengambilan beberapa titik di lapangan pada tanda-tanda yang mudah dikenali di lapangan dan yang ada di peta, misalnya pertigaan sungai, persimpangan jalan, jembatan dan petunjuk lainnya. Hasil dari


15

pengecekan lapangan dan hasil pemasangan jaringan titik kontrol yang telah ada kemudian digunakan untuk memperbaiki peta pada bagian yang salah serta menghaluskan deliniasi yang kurang tepat berdasarkan data jaringan titik kontrol dan analisis data sekunder. Data penutupan lahan didapat dari hasil klasifikasi visual interpretasi Citra Landsat menurut periode tahun liputan. Hasil klasifikasi visual pengukuran penutupan lahan dari penutupan lahan dibatasi atas tipe Hutan Primer (HP), Hutan Sekunder (HS) dan Non Hutan (NH, termasuk semak, kebun dan lahan terbuka) karena dikaitkan dengan sejarah kawasan yang ditunjukkan oleh dinamika hutan dari waktu ke waktu. Untuk menentukan zonasi pada kawasan TN mengacu kepada Peraturan Menteri Kehutanan nomor 56 tahun 2006 tentang Penataan Zonasi Taman Nasional. Penataan zonasi tidak memberikan angka tertimbang berupa nilai skoring karena untuk fungsi hutan konservasi, penentuan deliniasi kawasannya adalah tidak lagi menggunakan nilai skoring melainkan langsung ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan sesuai dengan kekhasan kawasan yang diusulkan oleh BTN setelah diadakan pembahasan dalam sosialisasi dengan multi stakeholder, sehingga penetapan zonasi TN bisa berdasarkan kesepakatan masyarakat. Analisis SWOT adalah suatu metode atau kerangka kerja dengan menggunakan dua pendekatan dari dalam dan dari luar. Pendekatan dari dalam berisi tentang kondisi dasar yang ada pada saat ini yang dianalisis melalui strength (kekuatan) yang dapat mendukung bagi program selanjutnya dan weakness (kelemahankelemahan) yang dapat menghambat pengembangan program. Pengembangan strategi dengan mengggunakan matrik SWOT dilakukan setelah mengidentifikasi isu dan menyusun strategi. Matriks tersebut dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis yang disajikan pada tabel berikut. Tabel 1. Analisis SWOT Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Keberadaan dan Pengelolaan TN Batang Gadis Faktor eksternal Opportunity (O) Peluang eksternal Threat (T) Ancaman eksternal

Faktor internal Strength (S) Weakness (W) Kekuatan internal Kelemahan internal (SO) Strategi: (WO) Strategi: Menggunakan kekuatan untuk Meminimalkan kelemahan memanfaatkan peluang untuk memanfaatkan peluang (ST) Strategi: (TW) strategi: Menggunakan kekuatan untuk Meminimalkan kelemahan dan mengatasi ancaman menghindari ancaman

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kawasan TN Batang Gadis TNBG secara administratif berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara dengan posisi geografis terletak di antara koordinat 99°12'45" sampai dengan 99°47'10" BT dan 0°27'15" sampai dengan 1°01'57" LU dan terletak

16


pada kisaran ketinggian 3002.145 m dpl dengan titik tertingginya di puncak gunung berapi Sorik Marapi. Jumlah hari hujan rata-rata 12–13 hari/bulan, presipitasi rata-rata >1.717,5 mm/thn, bahkan rata-rata curah hujan 3 tahun terakhir justru bisa mencapai 3.763 mm/thn yang terjadi di daerah Muara Sipongi (Anonim, 2006a). Temperatur rat-rata 23–25,4°C/bulan (valensi rata-rata bulannya tidak begitu besar, hal ini dipengaruhi oleh ketinggian). Dari hasil rata rata tersebut, maka iklim TNBG menurut klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson adalah termasuk tipe A. Kondisi topografi secara umum Kabupaten Mandailing Natal adalah datar sampai berbukit curam. Namun kondisi topografi pada kawasan hutan TNBG secara khusus berbukit sampai pegunungan yang memiliki ketinggian bervariasi, dengan kemiringan rata-rata lebih dari 40%. Salah satu fungsi dasarnya sebagai pengendali siklus hidrologi, pengatur tata air yang merupakan bagian dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. TNBG yang terdiri dari beberapa bentang alam yang berupa pegunungan menyimpan fungsi sebagai daerah tangkapan air dan sumber mata air bagi beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis, DAS Batang Natal, DAS Batang Batahan dan DAS Batang Parlampungan yang mempunyai luas kurang lebih 386.445 ha atau 58,37% dari luas daratan Kabupaten Mandailing Natal. Secara garis besar tipe batuan induk di dalam TNBG terdapat 8 tipe, yaitu: metamorphic, metamorphic sedimentary, mixed, plotonic, sedementary, volcanic, vulcanic plutonic dan volcanic sedimentary. Jenis tanah di TNBG secara berurutan dari yang dominan dapat disebutkan sebagai berikut: jenis tanah intermediate basic (jenis batuan vulkanik), mixed (jenis batuan metamorphic), felsic (jenis batuan plutonic), quartz (jenis batuan sedimentary), basic, basic mixed, calcareous dan jenis tanah felsic intermediate. Berdasarkan data Mandailing Natal Dalam Angka 2005, penduduk di sekitar TNBG hidup dengan kepadatan rata-rata 55 jiwa per km2, penduduk usia produktif berjumlah 211.281 jiwa, terdiri dari 100.216 laki-laki dan 111.065 perempuan. Berdasarkan hasil sensus ekonomi tahun 2006 diketahui, bahwa pendapatan per kapita masyarakat sekitar kawasan TNBG yang dihitung berdasarkan harga pasar yang ada adalah Rp5.464.262,90/tahun atau Rp455.355,24/bulan (Anonim, 2006b). Demikian kecil pendapatan per kapita di kawasan TNBG ini, sehingga penduduknya masih tergolong kelompok masyarakat miskin. Tahun 2002 kontribusi sektor pertanian 55,7%. Setiap tahun produksi padi ratarata surplus 53.000 ton (setara dengan 31.800 ton beras), yang mana luas areal pertanian mencapai 78.000 ha dengan luas area panen 23.864 ha dan produksi per tahun mencapai 168.214 ton (43,08 kw/ha). Produksi karet yang tersebar di wilayah ini menempati urutan ketiga setelah Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan dengan produksi sekitar 26.000 ton pada tahun 2001. Ekosistem Kawasan TN Batang Gadis TNBG mendukung terbentuknya koridor biodiversitas yang akan membantu upaya penyelamatan spesies langka (scarce species) agar dapat berkembang biak dengan menyediakan peluang ruang untuk bergerak, berpindah untuk mendapatkan habitat dan berinteraksi dengan individu lain, sehingga menghindarkan kawin kerabat yang akan menurunkan kualitas genetis pada keturunannya. Berdasarkan


17

peta penyebaran vegetasi Sumatera, maka formasi penyebaran satwa di TNBG dapat dikategorikan menjadi 2 subtipe formasi hutan. Pertama, subtipe formasi Air Bangis – Singkil yang menjadi bagian dari tipe formasi Bukit Barisan Barat perbukitan berelevasi menengah (3001000 m dpl). Kedua, sub-tipe Hutan Montana (1000– 1800 m dpl) yang menjadi bagian dari tipe formasi Bukit Barisan di atas 1000 m dpl. Berdasarkan peta tutupan lahan Kabupaten Mandailing Natal tahun 2000 hasil interpretasi Citra Landsat (BKSDA Sumatera Utara) bahwa khusus dalam kawasan TNBG mempunyai tipe ekosistem hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa air tawar primer, hutan rawa air tawar sekunder, hutan belukar, pertanian lahan kering campur semak dan areal pertanian/sawah. Vegetasi yang dominan di kawasan ini adalah jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae (meranti-merantian) mencakup 18,42% dari semua jenis dengan luas bidang dasar 18,99 m2 atau 46,82% dari luas bidang dasar total dalam petak cuplikan. Jenis yang menonjol adalah Dipterocarpus palembanicus Sloot., Shorea acuminata Dyer., S. gibbosa Brandis, S. parvifolia Dyer., Hopea beccariana Burck., H. nigra Burck. dan H. nigra Burck. yang dilaporkan jarang dan hanya terdapat di Bangka dan Belitung termasuk salah satu dari 10 jenis utama di sini. Jenis-jenis yang teridentifikasi di hutan dataran rendah terdapat jenis bunga langka dan dilindungi yaitu bunga padma (Rafflesia sp.) jenis baru, Nephenthes sp. dan Amorphaphalus sp. dan juga jenis-jenis endemik Sumatera seperti Baccaurea dulcis Merr., H. nigra Burck., S. platyclados Sloot. ex Foxw. Selain itu, banyak jenis-jenis pohon komersil dari famili Dipterocarpaceae telah masuk dalam Daftar Status Merah IUCN (IUCN Red List), sehingga diprioritaskan tindakan konservasinya agar jenis-jenis tersebut tidak punah, seperti Aglaia ganggo Miq., Anisoptera costata Korth., H. beccariana Burck, H. nigra Burck, S. acuminata Dyer, S. gibbosa Brandis, S. platyclados Sloot. ex Foxw., Vatica perakensis King dan V. mangachapoi Blco. Tingkat ancaman kepunahan jenis bervariasi dari tingkat critically endangered, endangered sampai vulnerable dengan penyebab pemusnahan jenis diakibatkan berbagai sumber berupa perusakan habitat alami, konversi habitat alami sampai penebangan habis suatu jenis. Berdasarkan pengamatan langsung dan tak langsung, survei berhasil menambah secara signifikan catatan keberadaan mamalia di TNBG dan sekitarnya dari 26 menjadi 47 jenis. Di antara jenis mamalia yang tercatat dalam survei ini adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac), landak (Hystrix brachyura) empat jenis primata serta beberapa jenis kucing hutan yaitu: kucing emas (Catopuma temmininckii), kucing cengkok (Celis bengalensis) dan macan dahan (Neofelis nebulosa). Konsep baru yang dipakai dalam pelestarian kawasan konservasi di antaranya menggunakan habitat satwa herbivora besar sebagai kunci dalam mendesain kawasan konservasi dalam skala luas. Pelestarian herbivora besar berkaitan dengan komposisi vegetasi, sehingga dapat dijadikan sebagai spesies payung bagi pelestarian fauna dan flora. Dalam konteks ini herbivora besar terestrial yang mendukung upaya pelestarian adalah tapir dan kambing hutan.

18


Survei melaporkan adanya keberadaan avifauna di TNBG dari 149 jenis menjadi menjadi 247 jenis burung. Catatan sebelumnya untuk seluruh daerah Hutan Belantara Angkola adalah 57 jenis. Dari 247 jenis tersebut, 47 jenis merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, 7 jenis secara global terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah (Anonim, 2004). Potensi wisata alam yang dimiliki oleh Taman Nasional antara lain keindahan puncak gunung Sorik Marapi yang tingginya 2.145 m dpl dengan kawah Sorik Marapi yang aktif (kaldera berdiameter ±80 m). Berdampingan dengan kaldera terdapat Danau Cunik yang memiliki rasa tawar dan memantulkan tiga warna yaitu kuning, hijau dan kebiruan dengan kedalaman air ±1 m. Panorama pegunungan alam, udara sejuk, dapat dilihat tipe ekosistem hutan pegunungan dan vegetasi yang dapat disaksikan dari jalan raya Panyabungan – Natal (jalan koridor) tepatnya di titik tertinggi jalan tersebut sesuai untuk dikembangkan menjadi wisata pendidikan. Aliran air panas dari dalam kawasan TNBG mengalir ke Desa Sibanggor berupa sungai kecil yang airnya hangat dan mengandung belerang. Keindahan Danau Saba Begu Sopotinjak memiliki keindahan tersendiri karena dilatarbelakangi oleh puncak Gunung Sorik Marapi sehingga cocok untuk kegiatan fotografi, tracking keliling danau, camping, memancing, pengamatan jejak satwa dan pengamatan burung. Danau ini juga merupakan sumber air minum bagi satwa, sehingga banyak dijumpai jejak satwa yang melintas ke danau ini. Alternatif lain kegiatan wisata di daerah ini adalah tracking ke dalam hutan menuju Desa Sibanggor (selama 3 jam) sambil melihat berbagai jenis flora, fauna dan camping. Dari danau ini akan menarik jika dibuat tracking khusus yang menuju puncak Sorik Marapi, namun danau ini sangat rentan terhadap gangguan karena merupakan sumber air minum bagi satwa dan daerah sekeliling danau merupakan formasi rawa. Dikhawatirkan dengan banyaknya pengunjung yang tidak terkelola dengan baik akan merusak keutuhan ekosistem danau ini. Desa Sibangor yang terletak di pinggir kawasan TNBG membuka peluang untuk kegiatan wisata budaya. Di desa ini terdapat keunikan yaitu bangunan yang ada didominasi oleh bangunan berarsitektur adat dan berbahan alami yang terdapat di sekitar pemukiman mereka. Desa ini merupakan persinggahan terakhir jika akan menuju ke puncak Sorik Marapi. Untuk wisata pendidikan banyak peluang ditawarkan TNBG, seperti di daerah Sungai Sihayo yang dapat dijumpai habitat burung Rangkong, beruang dan berbagai jenis reptil; di enclave Batahan dapat ditemukan keunikan masyarakatnya dan masih banyak lagi. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan erat hubungannya dengan aktivitas yang terjadi pada sebidang lahan. Perubahan penutupan lahan khususnya pada kawasan hutan dikategorikan secara sederhana menurut perubahan dari tipe Hutan Primer (HP) menjadi Hutan Sekunder (HS) atau menjadi Non Hutan (NH) seperti kebun rakyat, ladang, lahan terbuka dan lain-lain. Selanjutnya hasil klasifikasi visual menurut periode peliputan citra dipaparkan sebagai berikut:


19

Komposisi penutupan lahan analisis citra tahun 1994 adalah seperti ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Penutupan Lahan dalam Batas Analisis Citra Tahun 1994 Tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Non Hutan (NH) Luas

Luas (ha) 100.190,13 37.220,48 42.258,90 179.669,51

Persentase (%) 55,76 20,72 23,52 100,00

Komposisi penutupan lahan batas TNBG bagian utara tahun 1994 seperti ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Penutupan Lahan TN Batang Gadis Utara Tahun 1994 Tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Non hutan (NH) Luas

Luas (ha) 58.970,66 2.136,04 158,44 61.265,14

Persentase (%) 96,25 3,49 0,26 100,00

Komposisi penutupan lahan analisis citra tahun 2001 adalah seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Penutupan Lahan dalam Batas Analisis Citra Tahun 2001 Tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Non hutan (NH) Luas

Luas (ha) 75.160,81 47.540,01 56.968,69 179.669,51

Persentase (%) 41,83 22,57 35,60 100,00

Komposisi penutupan lahan batas TNBG bagian utara tahun 2001 seperti ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Penutupan Lahan TN Batang Gadis Utara Tahun 2001 Tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Non hutan (NH) Luas

Luas (ha) 48.562,91 11.910,58 791,65 61.265,14

Persentase (%) 79,27 19.44 1,29 100,00

Komposisi penutupan lahan analisis Citra Landsat tahun 2004 seperti ditampilkan pada Tabel 5.

20

Sihombing dan Sumaryono (2009). Analisis Kawasan dan Perubahan Penutupan Lahan Tabel 5. Penutupan Lahan dalam Batas Analisis Citra Tahun 2004 Tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Non hutan (NH) Luas

Luas (ha) 70.589,05 43.446,71 64.633,75 179.669,51

Persentase (%) 39,29 24,18 36,53 100,00

Komposisi penutupan batas TNBG bagian utara seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Penutupan Lahan TN Batang Gadis Utara Tahun 2004 Tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Non hutan (NH) Luas

Luas (ha) 46.839,53 13.260,64 1.164,65 61.265,14

Persentase (%) 76,45 21.65 1,90 100,00

Analisis Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan menurut periode peliputan citra yang tercatat tahun 1994, 2001 dan 2004 berhubungan dengan pola aktivitas yang berkenaan atas kawasan, mulai dari adanya aktivitas HPH resmi, masa stagnasi kegiatan, aktivitas legal logging, illegal logging, perambahan dan pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan lokal dan lain-lainnya. Berikut ini disajikan resume data komposisi dan perubahan penutupan lahan dalam batas analisis yang terjadi selama periode 10 tahun menurut periode peliputan citra dan disajikan pada tabel 7 berikut. Tabel 7. Perubahan Penutupan Lahan dalam Batas Analisis Citra Tahun/TPL 1994 2001 Selisih 2004 Selisih

Hutan primer (ha) 100.190,13 75.160,81 -25.029,32 70.589, 05 -4.571,76

Hutan sekunder (ha) 37.220,48 47.540,01 +10.319,53 43.446,71 - 4.093,30

Non hutan (ha) 42.258,90 56.968,69 +14.709,79 65.633,75 +8.665,06

Luas (ha) 179.669,51 179.669,51 0,00 179.669,51 0,00

Khusus untuk wilayah yang dibatasi oleh batas TNBG bagian utara saja, maka resume data komposisi penutupan lahan dan perubahannya selama periode 10 tahun berdasarkan hasil perhitungan luas dan persentase penutupan lahan ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan Penutupan Lahan TN Batang Gadis Utara Tahun/TPL 1994 2001 Selisih 2004 Selisih

Hutan primer (ha) 58.059,70 48.562,91 -9.496,79 46.839, 53 -1.723,38

Hutan sekunder (ha) 2.659,27 11.910,58 + 9.251,31 13.260,64 + 1.350,06

Non hutan (ha) 546,17 791,65 +245,48 1.164,65 +372,99

Luas (ha) 61.265,14 61.265,14 0,00 61.265,14 0,00


21

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 1994 sampai 2001 Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa perubahan luas rata-rata penutupan lahan periode 19942001 berturut-turut adalah penurunan luas tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) mencapai 25.029,32 ha/7 tahun atau setara dengan 3.575,62 ha/tahun, peningkatan luas tipe penutupan lahan Hutan Sekunder (HS) 10.319,53 ha/7 tahun atau setara dengan 1.474,22 ha/tahun dan peningkatan luas tipe penutupan lahan Non Hutan (NH) 14.709,79 ha/7 tahun atau setara dengan 2.101,40 ha/tahun. Bila data luas Blok RKT di HPH PT Keang Nam Development Indonesia sebagai pembanding adalah 800 ha/tahun, maka dapat dilihat bahwa operasional pembalakan pada periode 19942001 merupakan kejadian yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Kehilangan hutan primer seluas 3.575,62 ha/tahun berada di luar batas kewajaran karena jauh melebihi luas tebangan legal. Sementara peningkatan luas tipe penutupan Non Hutan (NH) yang telah mengalami penambahan luas hingga mencapai 2.101,40 ha/tahun memperkuat bukti bahwa perubahan lahan hutan baik Hutan Primer (HP) maupun Hutan Sekunder (HS) telah terjadi di luar batas kenormalan, walaupun penyebab utamanya adalah pembalakan hutan oleh pemegang izin HPH legal yang pada saat itu beroperasi. Pada Tabel 7 dapat juga dilihat bahwa perubahan luas penutupan lahan periode 19942001 dalam batas TNBG bagian utara berturut-turut adalah penurunan luas tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) 1.356,68 ha/tahun, peningkatan luas tipe penutupan lahan Hutan Sekunder (HS) 1.321,62 ha/tahun dan peningkatan luas tipe penutupan lahan Non Hutan (NH) 35,07 ha/tahun. Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2001 sampai 2004 Pada Tabel 7 di atas dapat juga dilihat bahwa perubahan proporsi luas penutupan lahan periode 20012004 berturut-turut adalah penurunan luas tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) mencapai 4.571,76 ha/3 tahun atau setara dengan 1.523,92 ha/tahun, peningkatan luas tipe penutupan lahan Hutan Sekunder (HS) 4.093,30 ha/3 tahun atau setara dengan 1.364,43 ha/tahun dan peningkatan luas tipe penutupan lahan Non Hutan (NH) 8.665,06 ha/3 tahun atau setara dengan 2.888,35 ha/tahun. Kondisi penutupan lahan yang ditunjukkan oleh komposisi penutupan lahan pada tahun 2004 menggambarkan bahwa pada kawasan eks HPH PT Aik Gadis Timber justru mengalami tekanan kerusakan yang lebih besar dari periode tahun 19942001. Pembalakan yang terjadi oleh kegiatan legal maupun illegal diduga dilakukan oleh masyarakat bersama perusahaan pemegang izin IUPHHK yang masih aktif di sekitarnya seperti PT Inanta Timber dan PT Keang Nam Development Indonesia. Data selanjutnya memperlihatkan bahwa penurunan luas penutupan lahan Hutan Primer (HP) selama masa 3 tahun mencapai 1.523,92 ha/tahun. Bila data luas Blok RKT di HPH PT Keang Nam Development Indonesia sebagai pembanding adalah 800 ha/tahun, maka dapat dilihat bahwa operasional pembalakan pada periode 20012004 justru semakin membabibuta. Pengurangan luas Hutan Primer (HP) diikuti oleh penambahan luas Hutan Sekunder (HS) mencapai dengan penambahan luas 1.364,43 ha/tahun. Berdasarkan

22


visualisasi citra diduga ada bagian Hutan Sekunder (HS) yang tidak mengalami perubahan akibat pembalakan kayu dan telah mengalami pengembalian hutan (recovery) dan ada juga yang pada saat sedang mengalami proses pengembalian, kembali mengalami pembalakan ulang. Peningkatan luas tipe penutupan lahan Non Hutan (NH) pada periode 2001–2004 dominan terjadi karena pembalakan hutan dan alih fungsi kawasan semakin tak terkendali sehingga bisa mencapai luas 2.888,35 ha/tahun. Mengingat letak dan lokasi perambahan kawasan Hutan Primer (HP) sudah di luar batas areal PT Inanta Timber atau PT Keang Nam Dev. Indonesia dan telah memasuki sisi barat kawasan eks PT Aik Gadis Timber (calon TNBG), maka pemerintah melalui pengambil keputusan bidang kehutanan telah memiliki fakta pelanggaran berupa penebangan di luar areal IUPHHK dan menghentikan operasional dua sisa perusahaan yang masih aktif yaitu PT Inanta Timber dan PT Keang Nam Development Indonesia (Mujur Timber Group). Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa perubahan luas dan persentase penutupan lahan periode 2001–2004 dalam batas TNBG bagian utara berturut-turut adalah penurunan luas tipe penutupan lahan Hutan Primer (HP) 574,46 ha/tahun, peningkatan luas tipe penutupan lahan Hutan Sekunder (HS) 450,02 ha/tahun dan peningkatan luas tipe penutupan lahan Non Hutan (NH) 124,33 ha/tahun. Khusus dalam batas kawasan TNBG utara, perubahan yang terjadi atas tipe penutupan lahan hutan (hutan primer dan sekunder) relatif kecil, ini disebabkan karena adanya kondisi tofografi yang relatif curam dan tindakan pengamanan pada akhir tahun 2004 yang semakin intensif dilakukan oleh petugas yang berkompeten atas kawasan TNBG tersebut. Analisis Potensi Kawasan TN Batang Gadis Arahan zonasi TN Batang Gadis Arahan penataan zonasi TNBG dikembangkan mengikuti petunjuk Peraturan Menteri Kehutanan nomor 56 tahun 2006. Dalam paradigma baru pengembangan hutan konservasi secara global termasuk kawasan pelestarian alam bahwa semua bagian dari kawasan TN adalah sama pentingnya. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan di atas maka di sini diusulkan 6 zona TNBG seperti disajikan dalam Tabel 9 berikut: Tabel 9. Komposisi dan Luas Zonasi TN Batang Gadis Tipe zona Inti: Utara Selatan Rimba Wisata Rehabilitasi Khusus: Enclave I Enclave II Penyangga Luas

Luas (ha) 22.234,11 13.294.86 116.879,05 2.016,32 92.579,19 947,55 1.090,08 211.957,53 211.957,53

Total (ha) 35.528,97 77.296,13 92.579,19 2.037,63 119.378,34 211.957,53

Posisi Dalam zona rimba Batas TN Batang Gadis Dalam zona rimba Dalam zona buffer dan zona rimba Dalam zona rimba Termasuk desa


23

Perencanaan zonasi yang terdiri atas 6 zona seperti pada Tabel 9 didasarkan atas kelayakan ekosistem (penutupan lahan), kehadiran satwa kunci (kelangsungan proses rantai makanan), letak/posisi objek wisata (survei potensi wisata alam), kekhasan gejala alam, akses ke dalam dan peluang pengembangan kawasan yang mendukung usaha penyelamatan/pelestarian biodiversity langka, peningkatan pendapatan masyarakat, pengembangan wilayah dan terpeliharanya tatanan sosial dengan baik. Perencanaan zonasi TNBG sedapat mungkin berdasarkan strategi pengelolaan yang diarahkan berdasarkan kesesuaian fungsi dan pemaksimalan cakupan spektrum kegiatan dan daerah yang lebih luas, yaitu kegiatan keterpaduan pembangunan dan konservasi (integrated conservation and development, ICDP) dengan mengaitkan pelestarian keanekaragaman hayati di TNBG dengan pembangunan sosial ekonomi setempat. Penetapan zona-zona dengan komposisi luas sebagaimana tercantum pada Tabel 9 antara lain dapat dikemukakan sebagai sebagai berikut: 1. Zona Inti (Sanctuary Zone). Zona ini ditetapkan berdasarkan penutupan lahan tipe Hutan Primer (HP), yang mana melalui analisis hasil klasifikasi citra secara visual memiliki kesamaan kenampakan. Warna zona inti secara kasat mata merupakan warna penutupan lahan dengan warna hijau tua. Penentuan bentuk, posisi dan luas zona ini sedemikian didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain bahwa rekaman penutupan lahan selama 10 tahun sebelumnya memperlihatkan bahwa zona inti ini merupakan kawasan hutan yang belum mengalami gangguan ekosistem, kondisi masih primer, tofografi relatif curam, keragaman vegetasi asli terjamin dan merupakan habitat yang relatif sesuai bagi satwa langka yang ada dalam kawasan TNBG. Zona inti dianggap zona minimal bagi habitat satwa dan bila kerusakan yang terjadi menjadi lebih parah maka satwa yang ada akan meninggalkan kawasan tersebut. Alasan psikologis bagi masyarakat di sekitar zona inti adalah agar intensifikasi sosialisasi bisa lebih mempertinggi kesadaran untuk turut bertanggungjawab dan merasa memiliki kawasan TN. Walaupun luas zona inti ini hanya sekitar 35.528,97 ha, tetapi bisa dipastikan bila ini terjamin, maka kelangsungan hidup satwa endemik (khas), fungsi lindung dan fungsi penyangga kehidupan TN Batang sebagai zona yang memberikan manfaat ekologis masih bisa dipenuhi. Batas-batas zona inti merupakan batas yang bisa dijumpai di lapangan karena selain menggunakan batas alam juga memakai batas-batas topografis yang khas seperti cekungan pegunungan dan puncak-puncak gunung. Selanjutnya ditegaskan, bahwa yang termasuk dalam kelas zona inti ini ada dua bagaian yaitu zona inti bagian utara seluas 22.234,11 ha dan zona inti bagian selatan 13.294.86 ha. Namun berdasarkan kesesuaian zona (termasuk kemudahan penataan batas dan pengelolaan selanjutnya) zona inti ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dengan multi pihak (multi stakeholder) karena pengelolaan sumberdaya di wilayah kabupaten/kota sering berbeda dengan kebijakan yang ditentukan oleh pusat. 2. Zona Rimba (Wilderness Zone). Zona rimba ditetapkan mengikuti arahan batas TNBG yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan SK nomor 126/Kpts-II/2004, yang mana luas zona rimba ini adalah 108.000 ha yang meliputi wilayah TNBG bagian utara dan selatan. Namun, hasil klasifikasi di sini, zona rimba

24


mencapai luas bersih 77.296,13 ha (minus zona inti, wisata dan enclave). Wilayah zona rimba ini merupakan kawasan yang memiliki penutupan lahan hutan primer dan sekunder (LOA dan sekunder yang telah mengalami recovery). Sebagian lahan hutan primer sengaja ditinggalkan untuk zona rimba ini dengan harapan agar proses regenerasi vegetasi dan perluasan wilayah penyebaran satwa berlangsung dengan leluasa terutama dengan telah dihentikannya operasional logging akan menyebabkan tingkat kesuksesan adaptasi satwa akan semakin tinggi. Penutupan lahan pada zona rimba ini sebagian masih memperlihatkan kenampakan yang sama dan sebagian dengan kenampakan yang sedikit lebih muda yang secara aproksimasi bisa dianggap masih merupakan kelas penutupan lahan hutan yang sama karakteristiknya (kesamaan fixel) atau berada dalam satu kelas kesamaan fixel. Hanya saja satwa akan diperkirakan lebih suka menyebar ke arah kelompok hutan yang menyediakan pakan dan mampu menyangga kondisi yang konstruktif bagi proses ekologis terutama rantai makan akan berlangsung dengan normal, di mana predator utama seperti harimau akan menjadi kunci utama dalam membentuk keseimbangan komposisi kuantitas masing-masing piramida ekologis. Diharapkan jumlah predator, konsumer dan produser, baik satwa maupun tumbuhan akan tersedia berimbang untuk menjamin proses kehidupan yang mapan, sehingga kawasan ini menjadi habitat yang sesuai bagi kehidupan flora dan fauna alami. 3. Zona Penyangga (Buffer Zone). Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Zona Penyangga Taman Nasional yang diterbitkan melalui Surat Edaran Menteri Departemen Dalam Negeri pada tahun 1999, bahwa Daerah Penyangga Taman Nasional adalah wilayah yang berada di luar kawasan Taman Nasional, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan TN. Dari ketiga rujukan tersebut di atas, tidak disebutkan batasan yang dapat digunakan dalam penetapan batas luar daerah penyangga. Jika ditinjau dari UU nomor 5 tahun 1990 terlihat dengan jelas bahwa batas kawasan penyangga tidak hanya didasarkan kepada batas ekologi, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial kultural dan sosial ekonomi masyarakat dari suatu Daerah Penyangga. Sehubungan dengan itu, guna memudahkan dalam pengelolaan khususnya manajemen pengelolaan konservasi dan pembangunan kawasan penyangga, maka batas kawasan penyangga dapat menggunakan batas administrasi kabupaten sebagai batas luar kawasan penyangga. Luasnya kawasan penyangga bervariasi tergantung kepada alokasi zona pengelolaan penyangga itu sendiri dan eksistensi kegiatan ekploitasi sumberdaya alam yang dikaitkan dengan aspek fisik dan ekologis. Zona penyangga (buffer zone) merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pengaman zona rimba maupun zona inti. Dalam kasus ini ditetapkan luas bersih zona penyangga 119.378,34 ha (dikurangi zona inti, zona rimba, wisata dan enclave). Zona penyangga ini meliputi kawasan kebun rakyat, pemukiman masyarakat dan lahan pertanian. Agar zona penyangga ini bisa berfungsi sebagai barrier terhadap zona rimba dan zona inti, maka perlu adanya suatu usaha pemberdayaan masyarakat terutama dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang sudah lama diusahakan, sehingga mampu menjamin dan meningkatkan produktivitas pangan agar bisa mengurangi tekanan


25

terhadap zona rimba dan zona inti. Program pemberdayaan masyarakat di sekitar zona penyangga ini menjadi program yang dikembangkan di TNBG terutama melalui kegiatan penyuluhan pertanian dan perkebunan rakyat, program intensifikasi pertanian dan pembudidayaan MPTS seperti karet, durian, jambu, rambutan, cengkeh, kayu manis dan komiditi berkayu lainnya. Mempertimbangkan kompleksitas rona tantangan yang dihadapi TNBG dan keterbatasan pengelolaannya saat ini sebagaimana telah dikemukakan tersebut di atas, maka TNBG membutuhkan suatu pengelolaan daerah penyangga yang lokasinya terletak antara kawasan TNBG dengan kawasan budidaya, penetapan pengelolaannya dapat diatur oleh pemerintah daerah melalui peraturan bupati, sebagaimana telah diatur peraturan perundangan yang berlaku. 4. Zona Wisata (Ecotourist Zone). Zona pemanfaatan wisata ini ditetapkan berdasarkan penutupan lahan dan kenyataan kondisi alamiah di lapangan karena memiliki keunikan alam baik dari sisi panorama maupun gejala-gejala alam seperti aliran belerang, aliran air panas maupun wilayah yang memiliki latar belakang sejarah, baik yang bersifat nyata maupun mitos seperti cerita rakyat Si Sampuraga (Anak yang malu beribu dan berayah). Pada zona wisata ini memasukkan wilayah yang berpotensi bagi pengembangan wisata alam seperti pemandian air panas Sibanggor, lokasi rumah tradisional, panorama alam Sopotinjak, Danau Sababegu, kaki gunung Sorik Marapi, Goa Jepang, pemandian Sopotinjak dan lain-lain yang mudah dikunjungi karena melalui jalan poros Panyabungan – Batang Natal. Keragaman dan keunikan ini dimanfaatkan untuk wilayah wisata domestik dan mancanegara, sehingga bisa menghasilkan pendapatan daerah dengan melakukan pemungutan bea masuk. Kenyataan menunjukkan, bahwa minat wisata alam di daerah Mandailing Natal terutama di daerah Sopotinjak sangat besar dan pemerintah telah lama merespon minat masyarakat ini dengan membangun sarana dan prasarana temapat istirahat yang baik untuk menikmati pemandangan alam yang indah dan memanfaatkan mandi air panas dari gunung berapi. Pengembangan zona wisata ini sangat diharapkan lagi agar wisatawan mancanegara juga dapat menikmati keindahan alam Mandailing Natal yang indah terutama pada kawasan TNBG sambil mendatangkan devisa bagi negara yang juga akan menambah sumber dan keragaman pendapatan masyarakat. 5. Zona Rehabilitasi (Rehabilitation Zone). Zona rehabilitasi ini ditetapkan berdasarkan kondisi penutupan lahan yang menunjukkan kondisi yang kritis dengan pertumbuhan vegetasi yang sulit, contohnya belukar dan alang-alang. Pada kondisi belukar, dimungkinkan akan mengalami penutupan (recovery) kembali jika gangguan terhadap belukar ini relatif kecil. Zona rehabilitasi ditetapkan guna meningkatkan kualitas penutupan lahan agar bisa memperluas penyebaran satwa untuk kesinambungan hidupnya terutama untuk mengembalikan fungsi tata air agar kembali menjadi normal. Sesuai dengan program pemberdayaan masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah khususnya dalam mengurangi tekanan terhadap kerusakan dan penyusutan areal TNBG, maka di zona penyangga ini diharapkan ada tindakan nyata berupa penanaman tanaman asli (prioritas) dan tanaman MPTS sesuai dengan minat

26


masyarakat. Pendekatan program kehutanan bisa juga dikombinasikan dengan program pemberdayaan masyarakat di zona penyangga ini agar semua pihak (multi stakeholder) bisa berpartisipasi dan menunjukkan kesungguhan pengelolaan kolaboratif yang ditetapkan. 6. Zona Khusus (Specific Zone). Zona khusus ditetapkan berdasarkan pemanfaatan khusus yang telah dan akan ditetapkan baik oleh pemerintah daerah setempat maupun oleh Departemen Kehutanan pusat. Zona ini terdiri dari Penutupan lahan serta kekhasan alam dengan gejala alami dan latar belakang sejarah di daerah ini, termasuk kejadian yang terekam dan yang dimitoskan oleh masyarakat setempat dan pemukiman yang sudah ada di dalam TN seperti enclave Desa Batahan I dan Batahan II). Desa enclave yang berada di dalam kawasan TNBG sudah ada sebelum ditetapkannya sebagai TN. Desa enclave ini merupakan desa yang memiliki situs sejarah berupa rumah khas disertai dengan adat yang dipertahankan turun-temurun. Pelestarian desa enclave ini sekaligus pelestarian seni budaya yang dimilikinya. Luas kedua desa enclave adalah sekitar 500 ha (tidak termasuk tanah milik dan hak ulayat) yang terdiri dari 120 ha Desa Batahan I dan sisanya Desa Batahan II. Analisis SWOT TN Batang Gadis Berdasarkan posisi dan letak, fungsi, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat yang beragam, maka diduga TNBG akan riskan dengan berbagai gangguan, baik dari dalam (desa enclave) maupun dari luar (pendatang, perambah dan lain-lain). Untuk menyikapi bagaimana mencari jalan keluar untuk dapat mempertahankan eksistensi TNBG, perlu diadakan analisis untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi tentang eksistensi TNBG berdasarkan fakta kekuatan (strength) yang dimiliki, peluang (opportunity) pengembangan, kelemahan (weakness) internal dan ancaman (threat) melekat dan dimiliki TNBG sebagai kawasan pelestarian alam. Sehubungan dengan kondisi yang kurang kondusif dalam pengelolaan TNBG yang disebabkan oleh adanya beberapa aspek yang belum sesuai (timpang) dengan kondisi ideal (yang diharapkan). Berikut disajikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan dan pengelolaan TNBG mengikuti analisis SWOT (strength, weakness, opportunity dan threat) sebagai berikut: Strength (kekuatan): 1. Dasar hukum kuat, SK Menhut, Gubernur, Bupati dan Dishut. 2. Usulan berasal dari masyarakat. 3. Akses ke dalam yang memadai. 4. Pengelolaan bersifat kolaboratif. 5. Supplier dalam carbon trade Weakness (kelemahan): 1. Kondisi infrastruktur dan tenaga pengelola belum memadai. 2. Dana pengelolaan TNBG dari pemerintah belum memadai. 3. Belum masuk dalam RTRWK. 4. Kebijakan yang berubah-ubah. Opportunity (peluang): 1. Biodiversity khas bernilai tinggi. 2. Adanya manajemen kemitraan. 3. Zona kawasan potensial dapat membantu ekonomi masyarakat. 4. Pemahaman tentang arti


27

TNBG sudah memadai. Threat (ancaman): 1. Sanksi pelanggaran kurang tegas. 2. Intensitas pengawasan kurang. 3. Konflik batas dengan enclave. 4. Taraf hidup masyarakat yang masih rendah. 5. Ketergantungan terhadap SDH. 6. Kawasan TNBG terlalu terbuka. 7. Deposit emas dalam TNBG. Dengan kondisi tersebut, maka strategi pengelolaan kombinasi faktor adalah sebagai berikut: Strategi (SO): Tindakan yang mungkin dapat diambil melaui Strategi SO adalah: 1. Pemantapan kawasan TNBG. 2. Publikasi TNBG. 3. Penyusunan Program kerja. 4. Pengembangan zonasi. 5. Mencari mitra kerja pengelolaan. 6. Pemberdayaan masyarakat. Strategi (WO): Tindakan yang mungkin dapat diambil melaui Strategi SO adalah: 1. Pembangunan infrastruktur. 2. Pengadaan tenaga pengelola. 3. Usulan anggaran pengelolaan kepada Pemda. 4. Mencari penyandang dana. Strategi (ST): Tindakan yang mungkin dapat diambil melaui Strategi ST adalah: 1. Intensifikasi sosialisasi. 2. Pengamanan hutan intensif. 3. Tata ruang yang tetap. 4. Input teknologi intensifikasi pertanian. 5. Penyelesaian semua masalah batas. Strategi (WT): Tindakan yang mungkin dapat diambil melaui Strategi WT adalah: 1. Ketegasan dan kepastian sanksi hukum. 2. Intensitas pengawasan tinggi. 3. Penyelesaian sengketa batas enclave. 4. Ada Perda tentang TNBG. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis penutupan lahan TNBG bagian utara diperoleh 3 kecenderungan, yaitu: a. Perubahan penutupan lahan tipe Hutan Primer (HP) dari luas 100.190,13 ha pada tahun 1994 menjadi 75.160,81 ha pada tahun 2001 dan menjadi 70.589,05 ha pada tahun 2004. b. Perubahan penutupan lahan tipe Hutan Sekunder (HS) dari luas 37.220,48 ha pada tahun 1994 menjadi 47.540,01 ha pada tahun 2001 dan turun menjadi 43.446,71 ha pada tahun 2004. c. Perubahan penutupan lahan tipe Non Hutan (NH) dari luas 42.258,90 ha pada tahun 1994 menjadi 56.968,69 ha pada tahun 2001 dan menjadi 64.633,75 ha pada tahun 2004. Perubahan penutupan lahan dipengaruhi oleh aktivitas perusak yang membebani kawasan dan cenderung menyebabkan pengurangan penutupan lahan dan fragmentasi hutan.

28


Berdasarkan data potensi kawasan, maka dan arahan Permenhut nomor 56 tahun 2006 dapat diusulkan 6 Zona TNBG dengan luas masing-masing adalah Zona Inti seluas 35.528,97 ha (utara dan selatan), Zona Rimba 77.296,13 ha, Zona Pemanfaatan Wisata 2.016,32 ha, Zona Penyangga seluas 119.378,34 ha, Zona rehabilitasi 92.579,19 ha dan Zona Khusus (enclave) 2.037,63 ha (Batahan I dan II). Konflik sosial yang terjadi setelah kehadiran TNBG dipacu oleh adanya tumpang tindih izin pengelolaan kawasan yang diberikan oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan. Berdasarkan hasil analisis SWOT maka keberadaan dan pengelolaan TNBG relatif dipengaruhi oleh adanya kelemahan faktor internal dan ancaman faktor eksternal maka mengambil langkah penguatan kelembagaan, penyelesaian sengketa batas, sosialisasi, pengamanan hutan, pemberdayaan masyarakat dan kepastian hukum hendaknya menjadi perhatian utama. Saran Berdasarkan hasil analisis data maka dapat diajukan beberapa hal penting yang merupakan saran-saran, yaitu: gambaran penyebab perubahan penutupan lahan TNBG bagian utara mencerminkan sebagian potensi ancaman terhadap kawasan sehingga perlu diadakan evaluasi ulang pengelolaan dengan kemutakhiran data sesuai dengan kondisi riel di lapangan agar diketahui tingkat ancaman dan tindakan yang perlu dilakukan secara tepat. Arahan zonasi TNBG yang diusulkan masih memiliki kelemahan terutama dasar perencanaan zonasi, sehingga perlu diadakan peninjauan ulang agar lebih relevan dengan kondisi dan potensi kawasan yang faktual di lapangan terutama dalam hubungannya dengan pengembangan wilayah pedesaan. Konflik sosial pasti terjadi pada setiap kehadiran kawasan konservasi yang umumnya penetapannya setelah ada izin pengelolaan kawasan pada wilayah tersebut. Oleh karena itu, status hukum surat keputusan penetapan kawasan konservasi hendaknya bukan lagi SK setingkat Menteri tetapi dengan kekuatan hukum yang lebih tinggi. Informasi mengenai valuasi Nilai Ekonomi Total TNBG sangat penting dan hendaknya dilakukan oleh Badan Pemerintahan karena data valuasi sumberdaya yang dikeluarkan oleh LSM cenderung disesuaikan bentukan opini publik. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. The IUCN Red List of Threatened Species. www.redlist.org Anonim. 2006a. TN Batang Gadis dan Perusahaan PT Sorik Mas Mining. (Balai KSDA Sumatera Utara II). Anonim. 2006b. Manfaat TN Batang Gadis Dalam Mendukung Kelangsungan Sumber Penghidupan Masyarakat dan Pembangunan Daerah (Balai KSDA Sumatera Utara II).

ANALISIS KAWASAN DAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS, KABUPATEN MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA

Recommend Documents