Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg) pada Ikan Cencen (Mystacoleucus marginatus) di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Heavy Metal Content of Mercury (Hg) in Cencen Fish (Mystacoleucus marginatus) in Batang Gadis River Mandailing Natal Regency Latifa Sari Dalimunthe1, Mohammad Basyuni2, Ani Suryanti3 1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, (Email :
[email protected]) 2 Staff Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara 3 Staff Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Mercury (Hg) is a dangerous pollutant because its toxic when accumulating in the tissues of organism and difficult to degraded in environment. Mercury can pollute the environment of river water that comes from galundung waste to waters area without management or handling. The objective of this research Are to analyse the heavy metals concentrations Hg and in water and soft tissue of cencen fish, analyse the effect of mercury on cencen fish gill histological observations. This study was conducted in Batang Gadis River Mandailing Natal Regency from June until August 2014. Sampling method is purposive sampling, which located 3 station. Water and fish sampling was taken for 2 weeks. The result of this research has showed that average out heavy metals Hg concentrations in the water are between 0,00015 − 0,00043 ppm, and in tissue of fish between 0,00128 − 0,01097 ppm. Concentrations of Hg in the river water and tissue was below of the quality standard. The result of the calculation of low value fish bioaccumulation factor are between 12,88 – 25,51. This study showed that cencen fish in Batang Gadis River accumulated Hg. The observation of the gill histology in all stations showed availability of edema, hyperplasia, fusion of lamellae and mineralization. Keywords: Batang Gadis River, Mercury (Hg), Accumulation, Histology PENDAHULUAN Sungai berperan penting sebagai sumberdaya air baik secara ekologi, hidrologi dan ekonomi. Sungai Batang Gadis sebagai habitat untuk berbagai organisme air, sumber air minum bagi masyarakat sekitar, tempat penangkapan ikan, menunjang aktivitas pertambangan emas (Yulistiyanto, 2013). Aktivitas yang terdapat di Sungai Batang Gadis salah satunya adalah pertambangan emas yang berada di
sekitar sungai. Kegiatan pertambangan emas memerlukan proses amalgamasi yaitu proses percampuran antara emas dan merkuri. Menurut Widodo (2011) proses amalgamasi yaitu suatu proses pengikatan logam emas dari bijih tersebut dengan menggunakan merkuri dalam tabung yang disebut sebagai galundung. Galundung tersebut dapat diputar dengan tenaga penggerak air sungai melalui kincir atau tenaga listrik. Selanjutnya dilakukan pencucian dan
pendulangan untuk dapat memisahkan amalgamasi dari ampas (tailing). Limbah yang dihasilkan pada kegiatan pertambangan emas biasanya mengandung bahan kimia beracun. Pada proses pertambangan, logam merkuri digunakan untuk mengikat emas. Polii dan Sonya (2002) menyatakan bahwa selain unsur-unsur logam berat lainnya yang berbahaya, unsur utama yang harus diperhatikan dan sangat berbahaya yang terdapat pada limbah pertambangan emas adalah merkuri. Masuknya logam berat merkuri (Hg) pada Sungai Batang Gadis dapat terakumulasi pada tubuh ikan cencen (Mystacoleucus marginatus). Ikan dapat menyerap merkuri melalui makanannya dan langsung dari air dengan melewati insang, sehingga logam berat merkuri yang masuk ke dalam tubuh ikan akan memberikan dampak buruk terhadap kesehatan manusia, terutama saat manusia mengkonsumsi ikan tersebut (Triyani, 2009). Sehingga diperlukan dilakukan penelitian tentang Kandungan Logam Berat Merkuri pada Ikan Cencen di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2014 dengan interval waktu pengambilan sampel 2 minggu. Analisis sampel air dilakukan di Badan Penelitian dan Teknologi Perindustrian Provinsi Sumatera Utara dan analisis sampel histologi ikan dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, pH meter, oven, thermometer, coolbox, kertas label, timbangan analitik, botol sampel, kaca penutup, kaca objek, pancing, jala, pisau, gunting, ember, gayung, alat tulis, mikroskop, corong, labu erlenmeyer,
labu ukur 50 ml dan 100 ml, batang pengaduk, beaker glass, bunsen, desikator, tanur, hot plate, lemari asam, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) dan kamera digital. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air dan organ ikan (insang), akuades, aluminium foil, HNO3, formalin 10%, Hematoksilin dan Eosin, xylol, paraffin, alkohol 95%, 80%, 70% dan 50%. Metode yang digunakan dalam menentukan lokasi sampling untuk pengambilan sampel air dan ikan adalah Purposive Sampling yaitu sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu pada 3 stasiun pengamatan. Sampel air diambil secara langsung dan dimasukkan ke dalam botol sampel sebanyak 100 ml. Sampel air untuk analisis logam diberi larutan HNO3 sebagai pengawet sampai pH ≤ 2 kemudian botol sampel dimasukkan ke dalam coolbox. Pengambilan sampel ikan dengan menggunakan pancing dan jala yang mempunyai ukuran 1/2 dan 1 inchi. Insang ikan dimasukkan kedalam botol sampel dan diawetkan menggunakan formalin 10 % dan daging ikan diambil untuk diukur kandungan logam berat merkuri. Pengukuran parameter fisika dan kimia air dilakukan dengan dua cara, yakni secara langsung dilapangan dilakukan terhadap parameter suhu, pH, arus, kecerahan, kedalaman, lebar sungai dan DO, secara tidak langsung dilakukan terhadap parameter kekeruhan dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Medan. Preparasi sampel air dilakukan di Badan Penelitian dan Teknologi Perindustrian Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan AAS. Sebanyak 100 ml sampel air dimasukkan ke dalam labu ukur, ditambahkan HNO3 sebanyak 5 ml. Kemudian dipanaskan di atas hot
plate sampai volume air ±15 ml, sampel didinginkan dan disaring dengan kertas saring whatman 0,45 µm. Filtrat diencerkan dengan akuabides dalam labu ukur 100 ml dan dianalisis dengan menggunakan AAS. Preparasi sampel daging ikan dilakukan di Badan Penelitian dan Teknologi Perindustrian Provinsi Sumatera Utara. Daging ikan diambil dan ditimbang sebanyak 5 – 10 g. Sampel daging ikan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 3 jam. Daging ikan kering yang diperoleh digerus dan ditumbuk hingga halus. Bubuk daging ikan diabukan dalam tanur selama 8 jam pada suhu 550 °C. Sampel yang telah menjadi abu dipindahkan secara kuantitatif kedalam gelas piala 250 ml ditambahkan HNO3 sebanyak 30 ml. Hasil destruksi ini disaring dan filtratnya ditampung dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan akuabides. Filtrat ini kemudian diukur dengan AAS. Pembuatan preparat insang dilakukan secara histologi melalui prosedur pengambilan organ (insang), fiksasi, dehidrasi dengan alkohol bertingkat, penjernihan (clearing) dengan xylol, infiltrasi dengan xylol dan parafin, pengikatan sampel (embending) dengan parafin, pemotongan atau pengirisan sampel (section), penempelan objek, deparafisasi, pewarnaan dengan hematoksilin dan eosin. Penentuan konsentrasi logam berat dengan cara langsung untuk contoh air dan daging ikan dengan cara kering Pengukuran logam berat yang dilakukan menggunakan AAS selanjutnya dihitung menggunakan rumus: Kandungan Logam =
C×V mg/kg W
Keterangan : W = Berat sampel (g) C = Konsentrasi pembacaan alat (ppb) V = Volume labu ukur terakhir (ml) Menurut Arnot dan Gobas (2006) biokonsentrasi (FBK) dapat dihitung sebagai rasio kandungan kimia dalam organisme dan air pada kondisi yang mantap dan dihitung dengan menggunakan rumus : FBK =
Cb Cwd
Keterangan : Cb = Kandungan logam berat merkuri dalam organisme (ppm) Cwd = Kandungan logam berat merkuri dalam air (ppm) Hasil dari perhitungan faktor biokonsentrasi atau indeks faktor konsentrasi (IFK) dilanjutkan dengan mengklasifikasikan kedalam kategori tingkat akumulasi berdasarkan Van Esch (1977) yaitu: Akumulasi rendah : IFK < 100 Akumulasi sedang : 100 < IFK ≤1000 Akumulasi tinggi : IFK > 1000 Untuk melihat kondisi pencemaran logam berat pada air dan daging ikan Sungai Batang Gadis maka hasil analisis logam berat dibandingkan dengan baku mutu air sungai berdasarkan PP. No. 82 tahun 2001 (0,001 mg/l). Untuk melihat kondisi pencemaran logam berat di tubuh ikan, digunakan baku mutu berasal dari Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) (0,5 mg/kg). Tingkat kerusakan insang akibat logam merkuri di tentukan dengan metode Pantung dkk., (2008) yaitu (-) tidak ada kerusakan sama sekali (normal), (+) terjadi kerusakan kurang dari 30% (ringan), (++) terjadi kerusakan 30% − 70% (sedang), (+++) terjadi kerusakan lebih dari 70% (berat).
kecerahan, kedalaman, lebar sungai, kekeruhan, kecepatan arus dan DO. Rata-rata hasil pengukuran parameter fisika dan kimia Sungai Batang Gadis dapat dilihat pada Tabel 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Parameter Fisika dan Kimia Perairan Parameter fisika dan kimia air yang diukur pada saat pengamatan di Sungai Batang Gadis meliputi suhu,
Tabel 1. Rata-Rata Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Parameter Suhu pH DO Kecerahan Kekeruhan Kecepatan arus Kedalaman Lebar sungai
Satuan o
C mg/l cm NTU m/detik m m
Baku Mutu Dev 3 6–9 ≥3 -
Stasiun I
II 21 6,87 5,44 40 2,47 1,90 1,2 45
III 25,6 6 3,94 45 4,53 0,23 2,55 60
24,33 6,83 3,97 40 1,51 0,54 1,24 55
*Berdasarkan PP 82/2001 Kelas III
Kandungan Merkuri dalam Air dan Daging Ikan Hasil pengukuran kandungan logam berat merkuri dalam air dan daging ikan cencen dapat dilihat pada Tabel 2. Rata-rata kandungan logam
merkuri baik pada daging ikan dan air secara keseluruhan di Sungai Batang Gadis stasiun 1 sampai stasiun 3 yaitu 0,000004 – 0,00071 mg/l untuk air dan 0,000004 – 0,02832 mg/kg untuk daging ikannya.
Tabel 2. Rata-rata Kandungan Merkuri dalam Air dan Daging Ikan Cencen Air
Ikan
Stasiun 1 2 3 1 2 3
Kandungan Merkuri 0,00043 0,00025 0,00015 0,01097 0,00322 0,00218
Faktor Biokonsetrasi (FBK) Faktor biokonsentrasi dapat mengukur kemampuan suatu biota atau organisme air dalam mengakumulasi bahan pencemar yang berada di sekitar lingkungan biota. Hasil perhitungan faktor biokonsentrasi tertinggi terdapat
Baku Mutu PP. No. 82 tahun 2001 (0,001 mg/l) Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No. 03725/SK/VII/89 (0,5 mg/kg)
pada stasiun 1 yaitu 25,51 dan terendah pada stasiun 2 yaitu 12,88. Hasil Faktor biokonsentrasi akan dilanjutkan dengan mengklasifikasikan kedalam kategori tingkat akumulasi berdasarkan Van Esch (1977) terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Tingkat Akumulasi Ikan Cencen Stasiun 1 2 3
Faktor biokonsentrasi (FBK) 25,51 12,88 14,53
Tingkat Akumulasi Akumulasi Rendah Akumulasi Rendah Akumulasi Rendah
tingkat berat. Data gambaran kerusakan insang ikan diperoleh dari pengamatan langsung terhadap jaringan insang ikan cencen dengan menggunakan mikroskop perbesaran 10x4, dapat dilihat pada Tabel 4.
Kondisi Histologi Insang Ikan Cencen (Mystacoleucus marginatus) Perubahan jaringan insang dapat dijadikan sebagai indikator tingkat pencemaran di suatu lingkungan mulai terjadinya pencemaran ringan sampai Tabel 4. Tingkat Kerusakan Jaringan Insang Stasiun 1
Kerusakan yang terjadi Edema
Tingkat kerusakan ++
Keterangan
- Adanya pembengkakan sel akibat penimbunan cairan
Hiperplasia
++
- Eritrosit terlihat pecah - Penambahan jumlah sel pada lamella
++ + +
- Penyempitan pembuluh darah - Lamella sekunder saling menempel - Terdapat bintik hitam - Adanya pembengkakan sel akibat
primer
2
Fusi lamella Mineralisasi Edema
penimbunan cairan
3
Mineralisasi
+
Mineralisasi
+
Keterangan : (-) = Tidak ada kerusakan sama sekali (normal) (+) = Terjadi kerusakan kurang dari 30% (ringan) (++) = Terjadi kerusakan 30% − 70% (sedang) (+++) = Terjadi kerusakan lebih dari 70% (berat) Hasil dari pengamatan histologi terhadap organ insang pada ikan cencen terlihat adanya perubahan pada organ. Perubahan tersebut antara lain adalah adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada organ insang ikan cencen di Sungai Batang Gadis yakni mengalami edema, hiperplasia, fusi lamella dan mineralisasi.
- Eritrosit terlihat pecah - Terdapat bintik hitam - Terdapat bintik hitam Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 1
Keterangan: A. Edema B. Hiperplasia C. Fusi lamella D. Mineralisasi E. Hiperplasia Lamella
Pembahasan Parameter Fisika dan Kimia Perairan Pengukuran rata-rata parameter fisika dan kimia Sungai Batang Gadis yang tertera pada Tabel 1. menunjukkan suhu pada setiap stasiun menunjukkan hasil yang berbeda, suhu tertinggi terdapat di stasiun 2 yaitu 25,16 ○C, suhu terendah pada hasil pengukuran terdapat pada stasiun 1 yaitu 21 ○C, sedangkan suhu yang terdapat pada stasiun 3 yaitu 24,33 ○C, masih dalam kategori normal untuk kehidupan ikan cencen yaitu 25,16 ○ C dan 24,33 ○C. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bertua (2013) bahwa ikan cencen hidup di perairan dengan suhu tropis yaitu 22 – 28 ○C. Berarti suhu perairan Sungai Batang Gadis masih sangat mendukung kehidupan ikan cencen. pH Sungai Batang Gadis pada setiap stasiun selama penelitian berkisar antara 6 – 6,87. pH tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 6,87 sedangkan pH terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 6. Nilai pH yang terdapat pada setiap stasiun penelitian sudah tergolong normal dan perairan yang baik untuk kehidupan organisme perairan termasuk ikan cencen. Menurut PP No. 82 tahun 2001 mengemukakan bahawa kisaran pH yang sesuai untuk kehidupan organisme perairan dalam kritera baku mutu air kelas III adalah 6 − 9. DO di Sungai Batang Gadis pada setiap stasiun selama penelitian berkisar antara 3,94 – 5,44 mg/l. DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 5,44 mg/l dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 3,94 mg/l. Kandungan DO Sungai Batang Gadis belum tergolong rendah, karena nilai DO tidak kurang dari 4 mg/l. Menurut PP No. 82 Tahun 2001 nilai kandungan oksigen terlarut untuk katagori kelas III batas adalah 4 mg/l. Kandungan oksigen terlarut Sungai Batang Gadis masih berada pada ambang batas yang ditetapkan dan
mendukung untuk kegiatan perikanan dan kehidupan organisme di dalamnya. Kecerahan pada masing-masing stasiun selama penelitian di Sungai Batang Gadis berkisar antara 40 – 45 cm. Kecerahan yang tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 45 cm, stasiun 1 dan 2 yaitu 40 cm. Menurut Boyd (1982) perairan yang memiliki kecerahan 0,60 m – 0,90 m dianggap cukup baik untuk menunjang kehidupan ikan dan organisme lainnya. Akan tetapi jika kecerahan < 0,30 m, maka dapat menimbulkan masalah bagi ketersediaan oksigen terlarut yang ada diperairan. Dibandingkan dengan hasil pengukuran lapangan selama penelitian kecerahan Sungai Batang Gadis masih mendukung kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan terutama ikan cencen. Kekeruhan berdasarkan hasil pengukuran pada masing-masing stasiun selama penelitian di Sungai Batang Gadis berkisar antara 1,51 – 4,53 NTU. Nilai kekeruhan Sungai Batang Gadis berdasarkan hasil pengukuran ternyata masih dibawah ambang batas dan tidak mengganggu untuk kehidupan dan pertumbuhan organisme suatu perairan. Menurut Pamungkas (2003) bahwa kisaran kekeruhan 13,65 – 18,94 NTU secara umum cukup baik dan masih mendukung kehidupan suatu organisme terutama ikan cencen. Kecepatan arus pada masingmasing stasiun selama penelitian di Sungai Batang Gadis berkisar antara 0,23 – 1,90 m/detik. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 1,90 m/detik dan terendah pada stasiun 2 yaitu 0,23 m/detik. Menurut Johan dan Edimarwan (2011) kecepatan arus dapat dibagi menjadi empat katagori yaitu: (1) kecepatan arus 0,25 cm/detik berarus lambat, (2) kecepatan arus 25 – 50 cm/detik berarus sedang, (3) kecepatan arus 50 – 100 cm/detik berarus cepat dan kecepatan arus lebih besar dari 100
cm/detik berarus sangat cepat. Kecepatan arus Sungai Batang Gadis termasuk perairan yang berarus sedang dan cepat. Perairan dengan kecepatan arus sedang dan cepat cenderung memiliki dasar perairan berlumpur dan berpasir. Arus yang cepat dapat mengangkut bahan-bahan pencemar seperti parikel-partikel lumpur dengan segera terbawa bersama arus dan begitu juga sebaliknya apabila perairan yang kecepatan arusnya lambat maka dasar perairannya akan cenderung berlumpur. Kedalaman Sungai Batang Gadis pada masing-masing stasiun selama penelitian berkisar antara 1,2 – 2,55 m. Nilai kedalaman perairan tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 2,55 m dan angka kedalaman terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu 1,2 m. Menurut Johan dan Edimarwan (2011) menyatakan perairan yang baik untuk pemeliharaan ikan berkisar pada kedalaman perairan 75 – 125 cm, karena air pada kedalaman tersebut masih dipengaruhi oleh sinar matahari sehingga merupakan lapisan yang produktif. Berdasarkan pendapat tersebut kedalaman perairan Sungai Batang Gadis masih layak sebagai tempat kehidupan organisme perairan terutama ikan cencen. Kandungan Merkuri (Hg) dalam Air dan Ikan Pengukuran rata-rata logam berat merkuri yang tertera pada Tabel 2. menunjukkan kandungan logam berat merkuri yang tertinggi pada air terdapat pada stasiun 1 yaitu 0,00043 mg/l dan yang terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,00015 mg/l. Kandungan logam berat merkuri pada stasiun 2 yaitu 0,00025 mg/l. Jika dibandingkan dengan baku mutu air kelas III yaitu untuk kegiatan pembudidayaan ikan air tawar (PP No. 82 Tahun 2001) yang bernilai 0,001 mg/l, menunjukkan bahwa
kandungan merkuri di Sungai Batang Gadis masih berada dibawah ambang batas baku mutu tersebut atau masih tergolong baik untuk kehidupan ikan cencen. Pengukuran kandungan logam berat merkuri pada ikan cencen yang tertera pada Tabel 2. tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 0,01097 mg/kg dan yang terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,00218 mg/kg. Pada stasiun 2 kandungan logam merkuri yaitu 0,00322 mg/kg. Jika dibandingkan dengan baku mutu Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No. 03725/SK/VII/89 sebesar 0,5 mg/kg, masih berada dibawah ambang batas baku mutu tersebut atau masih tergolong baik untuk dikonsumsi oleh manusia. Kandungan logam merkuri di dalam daging ikan cecen selama penelitian, nilainya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan yang terdapat pada kolom perairan. Hal ini diduga karena adanya proses akumulasi logam berat. Menurut Triyani (2009) terjadinya proses akumulasi merkuri di dalam tubuh biota air, karena kecepatan pengambilan merkuri oleh hewan air lebih cepat dibanding dengan proses ekresi, karena merkuri memiliki waktu sampai beberapa ratus hari di tubuh biota air, sehingga zat ini menjadi terakumulasi dan konsentrasinya lebih besar dibanding air disekitarnya. Faktor Biokonsentrasi (FBK) Tingkat akumulasi logam berat merkuri pada ikan yang tertera pada Tabel 3. Menunjukkan hasil yang tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 25,51 dan yang terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 12,88, sedangkan pada stasiun 3 faktor biokonsentrasinya yaitu 14,53. Penentuan faktor biokonsentrasi (FBK) merkuri dalam tubuh ikan cencen terhadap air dilakukan untuk mengetahui kemampuan ikan cencen mengakumulasi
merkuri dalam tubuhnya, menurut Van Esch (1977) FBK < 100 menunjukkan daya akumulasi ikan cencen terhadap air rendah. Menurut Syaputra dkk., (2011) rendahnya konsentrasi logam pada air, bukan berarti logam tersebut tidak berdampak negatif terhadap perairan lebih disebabkan kemampuan perairan cukup tinggi untuk mengencerkan bahan pencemaran. Sehingga logam berat yang terakumulasi pada ikan masih aman untuk dikonsumsi. Kondisi Histologi Insang Ikan Cencen (Mystacoleucus marginatus) Tingkat kerusakan jaringan insang ikan cencen yang tertera pada Tabel 4. dapat dilihat bahwa hampir semua insang ikan cencen yang diambil dari Sungai Batang Gadis pada setiap stasiun memperlihatkan terjadinya gejala kerusakan. Pada gambar histologi insang stasiun 1 terjadi kerusakan dengan adanya edema, fusi lamella primer dan sekunder dengan 30 – 70 % luasan pandang dan mineralisasi, pada stasiun ini memiliki kandungan merkuri lebih tinggi dikarenakan aktivitas galundung yang langsung kontak dengan sungai. Pada gambar histologi insang stasiun 2 terjadi kerusakan edema pada lamella sekunder, fusi lamella primer 30 % luasan pandang dan mineralisasi. Sedangkan gambar histologi stasiun 3 terjadi kerusakan mineralisasi. Hal ini disebabkan insang merupakan organ pertama tempat penyaringan air yang masuk ke dalam tubuh biota ikan dan jika suatu perairan mengandung logam berat akan memberikan dampak pada jaringan organ insang tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono (2001) bahwa insang sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam berat. Dengan terakumulasinya bahan-bahan pencemar (logam berat) pada insang ikan akan ada gangguan pada fungsi normal.
Pada penelitian ini terjadinya edema maupun hiperplasia karena habitat ikan cencen yang diduga tercemar oleh limbah dari galundung. Edema terjadi dikarenakan adanya zat toksik dalam air yang masuk melalui insang dan mengakibatkan sel bersifat iritatif yang menyebabkan sel akan mengalami pembengkakan, hal tersebut menunjukan bahwa telah terjadi kontaminasi tetapi belum ada suatu pencemaran. Adanya edema pada insang akan menyebabkan eritrosit menjadi mudah pecah dan berubah bentuk karena kekurangan oksigen, sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan. Menurut Nilsson (2005) pembengkakan ataupun edema dapat disebabkan oleh logam berat yang menyebabkan berubahnya struktur sel pada insang ikan. Sementara hiperplasia diakibatkan oleh edema yang berlebihan sehingga sel darah merah keluar dari kapilernya dan sel akan terlepas dari penyokongnya. Hiperplasia adalah pembentukan jaringan secara berlebihan karena bertambahnya jumlah sel. Lamella yang mengalami hiperplasia mengakibatkan penebalan jaringan epitel di ujung filamen yang terletak di dekat dasar lamella diduga diakibatkan kontak ion merkuri dan mengakibatkan organ insang mengalami fusi lamella karena mengeluarkan lendir untuk perlindungan terhadap toksikan merkuri, akan tetapi mukus yang dihasilkan justru menutup permukaan lamella insang sehingga pertukaran O2 dan CO2 terhambat sesuai pernyataan Sukarni dkk., (2012) bahwa lendir yang berlebih merupakan salah satu respon kelenjar mukus untuk melindungi insang dari logam merkuri, namun apabila lendir yang dihasilkan berlebihan tentu akan bersifat negatif bagi ikan sehingga untuk pengambilan oksigen dari dalam air akan menjadi terhambat.
Mineralisasi yang terdapat pada insang ikan cencen secara histologi pada gambar stasiun 1, 2 dan 3 terlihat dari adanya bintik hitam, merupakan indikasi adanya suatu bahan pencemar yang masuk ke dalam insang ikan melalui media air. Bahan pencemar yang masuk dalam insang ikan diduga berasal dari logam berat. Menurut Bevelander (1988) mineralisasi pertama terjadi pada bagian pusat batang tulang, kemudian sel tulang rawan mengalami profeksi subur dan hipertrofi yang dapat mengakibatkan peningkatan jumlah dan ukuran lakuna. Disaat yang sama, sel perikondrius memperoleh fungsi ostergenik sehingga tulang menempel rapat pada tulang rawan di bawahnya dan membantu dalam menunjang tulang. Periostom makin tebal dan panjang serta menembus tulang dan matriks sehingga membentuk rongga, menyebabkan pengendapan matriks tulang yang berturut-turut. Jadi jika termineralisasi membentuk rongga sumsum tulang primer, maka pembentukan tulang endokondrial tiap spikula diendapkan disekeliling pemekaran matriks tulang rawan yang telah mengapur. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai Kandungan Logam Berat Merkuri pada Ikan Cencen di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsentrasi logam berat merkuri pada kolom air dan daging ikan cencen masih dibawah ambang batas baku mutu air yang telah ditetapkan oleh PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No.03725/SK/ VII/89.
2. Pengaruh merkuri terhadap histologi insang ikan cencen berupa edema, hiperplasia, fusi lamella dan mineralisasi. Kerusakannya masih dikategorikan sedang dikarenakan kemampuan ikan mengakumulasi merkuri dalam tubuhnya yang rendah. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan logam berat selain merkuri dan histologi pada organ ikan selain insang serta adanya monitoring terhadap kualitas air khususnya logam berat yang dilakukan minimal setahun sekali. DAFTAR PUSTAKA Arnot, J. A. dan F. Gobas, 2006. A review of bioconcentration factor (BCF) and bioaccumulation factor (BAF) assessments for organic chemicals in aquatic organisms. Environmental Reviews 14 (4) : 257 – 297. Bertua, N. S. 2013. Studi kebiasaan makanan ikan cencen (Mystacoleucus marginatus) di sungai batang toru Kabupaten Tapanuli Selatan. [Skripsi] Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera. Bevelander, G. Histologi. Jakarta.
1988. Dasar-Dasar Penerbit Erlangga.
Boyd, C. E. 1982. Water Quality in Warm Water Fish Fond. Auburn University Agricultural Experimenta. Auburn Alabama. Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. UI Press. Jakarta.
Johan. T. I. dan Ediwarman, 2003. Dampak penambangan emas terhadap kualitas air sungai singing di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 5 (2) : 168 – 183. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 03725/B/ SK/ VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan. Nilsson, G. E. 2005. Temperature alters the respiratory surface area of crucian carp Carassius carassius and gold fish Carassius auratus. The Journal of Experimental Biology 208 : 1109 – 1116. Pantung, N., K. G. Helander., H. F. Helander dan V. Cheevaporn, 2008. Histopathological alterations of hybrid walking catfish (Clarias macrocephalus x clarias gariepinus) in acute and subacute cadmium exposure. Journal Environment Asia 1 : 22 – 27. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air dan Pengelolaan Kualitas Air. Polii, B. J. dan D. N. Sonya, 2002. Pendugaan kandungan merkuri dan sianida di daerah aliran sungai (DAS) buyat minahasa. Jurnal Ekoton 2 (1) : 31 – 37. Pamungkas, N. A. Suin, Salsabila dan Y. I. Seregar, 2003. Habitat dan kebiasaan makanan ikan pantau (Rasbora lateristriata Blkr) di sungai kampar Kabupaten
Kampar Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan 8 (2) : 91 – 102. Sukarni, Maftuch dan H. Nursyam, 2012. Kajian penggunaan ciprofloxacin terhadap histologi insang dan hati ikan botia (Botia macracanthus, bleeker) yang diinfeksi bakteri aeromonas hydrophila. Jurnal Expo Life Sci 2 (1) : 6 – 12. Triyani, A. 2009. Kandungan merkuri pada air dan akumulasinya pada daging ikan patik (Mystus micracanthus bleeker) di sungai sepauk Kalimantan Barat. [Skripsi] Program Studi Biologi. Fakultas Teknobiologi. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta. Van Esch, G. J. 1977. Aquatic pollutant and their potential ecological effects. InHutzingen, O., I.H. Van Lelyuccid and B.C.J. Zoetemen, ed. Aquatic Pollution : Transformation and Biological Effects, Procceding of the 2nd Int. Symp. on Aquatic Pollutans. Amsterdam. Pergamon Press, New York 1 – 12. Widodo dan Aminuddin, 2011. Upaya peningkatan perolehan emas dengan metode amalgamasi tidak langsung. Buletin Geologi Tata Lingkungan 21 (2) : 83 – 96. Yulistiyanto, B. 2013. Pelestarian dan pemanfaatan sungai secara terpadu dan berkelanjutan bagi kemaslahatan manusia. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.