KARAKTERISASI ENZIM EKSTRASELULER DAN PRODUK BIOSOLUBILISASI BATUBARA HASIL IRADIASI GAMMA OLEH KAPANG Penicillium sp. DAN Trichoderma sp.
YELVI ERIDA
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARI HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1431 H
KARAKTERISASI ENZIM EKSTRASELULER DAN PRODUK BIOSOLUBILISASI BATUBARA HASIL IRADIASI GAMMA OLEH KAPANG Penicillium sp. DAN Trichoderma sp.
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
YELVI ERIDA 106095003217
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARI HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1431 H
Bismillaahirrahmaanirrahiim
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Yunus: 6)
Pengetahuan diperlikan karena ia adalah akar, tempat bertaut cabang. Setiap sayap tak akan mampu terbang melintasi kekuasaan samudra. Hanya ilmu yang terlimpah lansung dari Allah dapat mengantarkan seseorang dari haribaan-Nya (Anonim)
Skripsi ini dipersembahkan Teruntuk kedua orang tua dan keluarga tercinta
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Desember 2010
Yelvi Erida 106095003217
YELVI ERIDA
Karakterisasi Enzim Ekstraseluler dan Produk Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma oleh Kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp.
JAKARTA 2010 M / 1431 H
ABSTRAK Karakterisasi Enzim Ekstraseluler dan Produk Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma oleh Kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Biosolubilisasi adalah teknologi yang memiliki potensi untuk mengubah padatan batubara menjadi bahan bakar cair atau kimia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi enzim ekstraseluler dan mengetahui produk biosolubilisasi batubara hasil iradiasi gamma oleh kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Dosis iradiasi gamma yang digunakan pada batubara adalah 5 kGy dan batubara yang tidak diiradiasi. Parameter yang diukur adalah uji kualitatif enzim ekstraseluler kapang (fenoloksidase, lignin peroksidase, dan Mnperoksidase), pH medium, nilai absorbansi hasil biosolubilisasi batubara (λ250 nm and λ450 nm), pengukuran hidrolisis FDA, pengukuran kadar protein ekstraseluler kapang dengan metode Lowry, analisis senyawa hasil biosolubilisasi batubara dengan GC-MS dan karakteristik enzim ekstraseluler dengan SDS-PAGE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kapang memiliki ketiga jenis enzim dan iradiasi gamma pada batubara (5 kGy) tidak mempengaruhi pH medium, biosolubilisasi, hidrolisis FDA dan kadar protein ekstraseluler kecuali pada karakteristik enzim ekstraseluler kapang Trichoderma sp. Enzim yang terdeteksi pada kapang Penicillium sp. adalah mangan peroksidase (BM=48 KDa) dan lakase (BM=56 KDa) baik pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy), sedangkan pada kapang Trichoderma sp. terdeteksi hanya lakase (BM=56 KDa) pada batubara yang diiradiasi (5 kGy) dan mangan peroksidase (BM=48 KDa) dan lakase (BM=56 KDa) pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy). Produk solubilisasi menunjukkan kecenderungan setara bensin pada perlakuan batubara yang diiradiasi dan tidak diiradiasi untuk Trichoderma sp., sedangkan Penicillium sp. hanya pada batubara yang tidak diiradiasi. Kata kunci: batubara, biosolubilisasi, enzim ekstraseluler, iradiasi gamma, Penicillium sp. dan Trichoderma sp.
ABSTRACT Characterization of Extracellular Enzyme And Biosolubillization Product of Gamma Irradiation Coal By Penicillium sp. and Trichoderma sp. Biosolubilization is a technology that has a potential for converting solid coal into liquid fuel or chemical. The objectives of this research were to characterize extracellular enzyme and to know biosolubillization products of gamma irradiation coal by Penicillium sp. and Trichoderma sp. The dosages which has been used for gamma irradiation were 5 kGy and unirradiated coal. The parameters were the qualitative test of extracellular enzyme enzyme (phenoloxidase, peroxidase, and Mn-peroxidase), pH of medium, absorbance of the coal biosulubilization (λ250 nm and λ450 nm), hydrolysis of FDA, protein concentration by Lowry method, analysis of coal biosolubilization product by GC-MS, and characteristics of the extracellular enzyme by SDS-PAGE. The result showed both of fungi were positive for all enzymes test and the gamma irradiated did not effect on the pH medium, biosolubilization, FDA hydrolysis and extracellular protein concentration but effected on the characteristic of extracellular enzyme from Trichoderma sp. The enzymes detected from Penicillium sp. were manganese-peroxidase (MW = 48 KDa) and laccase (MW = 56 KDa) in both irradiated coal (5 kGy) and unirradiated coal (0 kGy), whereas on Trichoderma sp. was detected only laccase (MW = 56 KDa) in irradiated coal (5 kGy), and manganese-peroxidase (MW = 48 KDa) and laccase (MW = 56 KDa) in unirradiated coal (0 kGy). The biosolubilization product showed the similarity with gasoline in irradiated and unirradiated coal for Trichoderma sp., but for Penicillium sp. only occurred on unirradiated coal .
Keywords: biosolubilzation, coal, extracellular enzyme, gamma iradiation, Penicillium sp., and Trichoderma sp.
KATA PENGANTAR Puji syukur yang dalam penulis sampaikan kehadiran Allah Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yang diharapkan, dalam skripsi ini penulis mengambil judul tentang ”Karakterisasi Enzim Ekstraseluler dan Produk Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma oleh Kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp.” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat, keluarga, dan pengikut-pengikut beliau hingga hari akhir. Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan saran-saran serta pentunjuk kepada : 1. `Dr. Sopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas sains dan Teknologi. 3. Irawan Sugoro, M.Si dan Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku Pembimbing I dan Pembimbing II, yang dengan sabar memberikan petunjuk serta bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 4. Dra. Nani Radiastuti, M.Si dan La Ode Sumarlin, M.Si, selaku Penguji I dan II pada seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud dan Dasumiati, M.Si, selaku Penguji I dan II pada sidang Munagosyah yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Kedua orang tua tercinta, Mama dan Papa yang selalu hidup di hati penulis sampai kapanpun, yang telah memberikan kasih sayang, do’a, dan pengorbanan yang tak terkira demi kehidupan dan masa depan penulis.
i
7. Bang Ary dan Adek-adekku (Ade, Syahrul, Ilham dan Putra) yang telah memberi perhatian, semangat dan keceriaan pada penulis sehingga segala kepenatan dapat terobati dalam penulisan skripsi ini (Love You All). 8. Keluarga besar penulis ( Nenek, Kakek, Mak wo, Nte nana, Mama ii, Nte titi, Nte ja, Ni on, Om yos, Om pen, ka pup dan Uncu) yang selalu memberi motivasi, kasih sayang, doa maupun materi pada penulis. 9. Keluarga di Citayam (Nte fifi, Om rid, Om al dan Nte adek) yang selalu memberikan motivasi, doa, perhatian dan kasih sayang kepada penulis. 10. Mitha, Riska, Dede, Astri dan Rian yang menemani penulis dalam melaksanakan Penelitian di Batan (makasih atas kerjasamanya plend). 11. Biologi Angkatan 2006 khususnya ayang-ayangan (Rinae, Ise, Noe yang selalu menemeni penulis) dan teman-teman seperjuanganku, Nene, Anggi, Lidi, Mpit, Nungky, Nita, Zian, Hera, Eko, Ipin, Muhe, Deden, Malik, Iqbal, Adeng, dan Geleng) tetap kompak sampai kapanpun. 12. Teman masa kecil penulis ( Ami, Yelin dan Ci) atas doa dan perhatiannya. 13. Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, tapi saya ucapkan sekali lagi banyak terima kasih karena dengan bantuan semuanya segala masalah dapat terselesaikan dengan lebih mudah dan mendapatkan hasil yang baik. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya serta para pembaca umumnya dalam melengkapi ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ”Karakterisasi Enzim Ekstraseluler dan Produk Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma oleh Kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp.” Akhir kata hanya kepada Allah SWT dipanjatkan do’a untuk membalas segala budi baik untuk semua pihak yang terkait.
Jakarta, 14 November 2010
Yelvi Erida
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................
i
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ....................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
viii
BAB
BAB
I
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ...............................................................
1
1.2
Perumusan Masalah ........................................................
3
1.3
Hipotesis..........................................................................
4
1.4
Tujuan Penelitian ............................................................
4
1.5
Manfaat Penelitian ..........................................................
5
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
BAB
Batubara ..........................................................................
6
2.1.1
Penyusun Batubara..............................................
6
2.1.2 Klasifikasi Batubara ...........................................
7
2.2
Biosolubilisasi Batubara .................................................
9
2.3
Kapang Pengsolubilisasi Batubara..................................
10
2.3.1
Kapang Trichoderma sp. ....................................
12
2.3.2
Kapang Penicillium sp. .... .................................
14
2.4
Enzim ..............................................................................
15
2.5
Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GCMS) ...........
20
2.6
Elektroforesis ..................................................................
21
2.7
Iradiasi Gamma ..............................................................
23
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian .......................................
iii
24
3.2
Alat dan Bahan ..............................................................
24
3.3
Cara Kerja .....................................................................
25
3.3.1
Persiapan Serbuk Batubara ................................
25
3.3.2
Pembuatan Medium .... ......................................
25
3.3.2.1 Medium Potato Dextrose Agar (PDA) .... 25 3.3.2.2 Medium Minimal Salt (MMS) .... ..........
26
3.3.2.3 Medium Potato Dextrose Agar Minimal Salt (PDAM) .... .....................................
26
3.3.2.4 Medium Minimal Salt + Sukrosa (MMSS) ............................................................................ 26 3.3.3 Peremajaan Kultur Kapang ................................ 27 3.3.4
Kultur Inokulum Spora .... .................................
27
3.3.5
Uji Enzim Ekstraseluler .... ................................
27
3.3.5.1 Fenoloksidase ........................................
27
3.3.5.2 Peroksidase ............................................
27
3.3.5.3 Mangan Peroksidase .... .........................
28
3.3.6 Pengukuran pH Medium ....................................
28
3.3.7 Pengujian Biosolubilisasi Batubara ....................
28
3.3.7.1 Pengukuran Biosolubilisasi Batubara ....
29
3.3.8 Pengukuran Hidrolisis FDA ..............................
30
3.3.9
Pengukuran Kadar Protein Ekstraseluler dengan Metode Lowry ....................................... 3.3.10 Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara oleh Kapang Penicilium sp. dan Trichoderma sp. Dengan Menggunakan GC-MS ................................................................ 3.3.11 Karakteristik Enzim Ekstraseluler dengan Elektroforesis ..................................................... 3.4
BAB
Analisis Data .................................................................
30
31 31 33
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Analisis Kualitatif Enzim Ekstraseluler Kapang ...
34
4.2 Hasil Pengukuran pH Medium Kapang ..........................
35
4.3 Hasil Biosolubilisasi Batubara ........................................
38
iv
4.4 Hasil Hidrolisis FDA ......................................................
44
4.5 Hasil Kadar Protein Ekstraseluler Kapang......................
46
4.6 Analisis Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Menggunakan GC-MS ....................................................
49
4.7
BAB
Karakteristik Enzim Ekstraseluler Kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. ..................................................... 53
V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan .....................................................................
56
5.2
Saran................................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
57
LAMPIRAN...................................................................................................
61
.
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Klasifikasi Batubara ......................................................................
8
Gambar 2. Kapang Trichoderma sp. ............................................................. 12 Gambar 3. Kapang Penicillium sp. . .............................................................. 15 Gambar 4. Uji kualitatif adanya enzim ekstraseluler kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. ..................................................................... 34 Gambar 5. Nilai pH medium kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. ... 37 Gambar 6. Nilai absorbansi supernatan pada panjang gelombang 250 nm hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp. (B) ...................................................................... Gambar 7.Nilai absorbansi supernatan pada panjang gelombang 450 nm hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp (B).. ..................................................................... Gambar 8. Nilai absorbansi pada panjang gelombang 490 nm hasil aktivitas enzim kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp. (B).. . ... Gambar 9. Nilai kadar protein ekstraseluler kapang Penicillium sp.(A) dan Trichoderma sp. (B). ..................................................................... Gambar 10.Karakteristik enzim ekstraseluler kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. pada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy)......
vi
39
41 45 47
54
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Enzim ekstraseluler pendegradasi lignin dari kapang pelapuk putih (White Rot Fungi) ..................................................... 18 Tabel 2. Komposisi medium perlakuan ......................................................... 25 Tabel 3. Data perlakuan kultur kapang .......................................................... 29 Tabel 4. Senyawa hasil biosolubilisasi batubara menggunakan GC-MS........ 51
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Kerangka berpikir.................................................................... 61
Lampiran 2.
Bagan kerja ............................................................................ 62
Lampiran 3.
Komposisi medium ................................................................ 63
Lampiran 4. Komposisi reagen Lowry ....................................................... 63 Lampiran 5. Komposi larutan elektroforesis .............................................. 64 Lampiran 6. Hasil pengujian pH medium kapang ....................................... 65 Lampiran 7. Hasil pengujian biosolubilisasi batubara................................. 65 Lampiran 8. Hasil pengujian hidrolisis FDA.............................................. 65 Lampiran 9. Hasil pengujian kadar protein ekstraseluler kapang................ 66 Lampiran 10. Kurva standar protein BSA ..................................................... 66 Lampiran 11. Kurva standar marker.............................................................. 67 Lampiran 12. Uji statistik analisis varians..................................................... 68 Lampiran 13. Kromatogram hasil GC-MS kontrol ....................................... 70 Lampiran 14. Kromatogram hasil GC-MS biolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp. ........................................................... 71 Lampiran 15. Kromatogram hasil GC-MS biosolubilisasi batubara oleh kapang Trichoderma sp. ........................................................ 72 Lampiran 16. Foto-foto hasil biosolubilisasi batubara. . ............................. 73
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kebutuhan bahan bakar minyak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sedangkan cadangan minyak mentah diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 20 tahun. Sumber energi yang akan memegang peranan yang penting adalah batubara. Indonesia memiliki cadangan batubara sekitar 36,3 juta ton dan 49 % dari cadangan tersebut masih dalam bentuk batubara peringkat rendah. Penggunaan batubara terutama untuk kebutuhan energi listrik, tetapi Indonesia tidak mungkin membakar habis batubara dalam bentuk PLTU karena akan mengotori lingkungan dengan dihasilkannya polutan seperti sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), karbondioksida (CO2) dan logam berat. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan bahan bakar minyak adalah dengan mengolah batubara sehingga menjadi energi bersih seperti melalui proses pencairan batubara (Novia et al., 2009). Biosolubilisasi batubara adalah suatu upaya untuk mencairkan batubara yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Pada umumnya metode yang digunakan dalam proses pencairan batubara adalah dengan metode kimia dan fisika. Kelemahan metode kimia dan fisika yaitu membutuhkan biaya operasional yang cukup tinggi karena prosesnya dilakukan dalam temperatur dan tekanan yang tinggi, memerlukan instalasi yang cukup rumit dan menghasilkan CO2 dua kali lipat dari bahan bakar minyak biasa.
1
2
Alternatif lainnya dengan metode biologi yaitu dengan bantuan mikroorganisme. Pencairan batubara dengan metode biologi relatif dapat menekan biaya operasional karena tidak dilakukan dalam tekanan dan temperatur yang tinggi serta lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan produk sampingan yang berbahaya (Scott et al., 1991). Hasil biosolubilisasi batubara akan menghasilkan senyawa yang setara dengan autput minyak bumi (Cohen et al., 1990). Mikrooganisme dapat diterapkan dalam proses biosolubilisasi batubara (Laborda et al., 1999). Menurut Cohen dan Gabriele (1982) mikroorganisme menggunakan material batubara sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan kemampuannya dalam mensolubilisasi batubara. Mikroorganisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Penelitian Sugoro et al. (2009) membuktikan bahwa kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. memiliki nilai absorbansi tertinggi, artinya kapang tersebut telah melakukan pendegradasian batubara tertinggi dan mampu tumbuh menggunakan medium batubara. Pembuktian ini diperkuat oleh penelitian Laborda et al. (1999) membuktikan bahwa kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. terlibat dalam proses biosolubilisasi batubara. Biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. tumbuh dengan adanya batubara. Biosolubilisasi batubara melibatkan enzim. Enzim-enzim ekstraseluler yang berperan
dalam
biosolubilisasi
batubara
adalah
peroksidase,
esterase,
fenoloksidase, mangan peroksidase, lignin peroksidase dan lakase (Laborda et al., 1999; Fakuosa dan Hofrichter, 1999). Enzim peroksidase terdiri dari lignin peroksidase dan mangan peroksidase. Lignin peroksidase, mangan peroksidase
3
dan lakase, masing-masing mempunyai berat molekul 38-47 KDa, 38-50 KDa, dan 53-110 KDa (Fakuosa dan Hofrichter, 1999). Biosolubilisasi dapat ditingkatkan dengan cara praperlakuan terhadap batubara. Batubara diiradiasi dengan iradiasi gamma. Pemakaian dosis dalam iradiasi gamma mempengaruhi proses biosolubilisasi batubara karena pada iradiasi terjadi proses oksidasi yang dapat menghasilkan senyawa asam. Penelitian ini menggunakan batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) (Selvi, 2009). Pemakaian dosis iradiasi gamma bertujuan untuk mengubah senyawa kompleks pada batubara menjadi senyawa sederhana sehingga hasil biosolubilisasi batubara menjadi lebih sempurna. Selain itu, iradiasi gamma dapat meningkatkan site adsorpsi pada batubara sehingga enzim atau sel dapat bekerja maksimum (Sugoro, 2009). Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh batubara hasil iradiasi gamma terhadap karakteristik enzim ekstraseluler dari kultur kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang enzim ekstraseluler yang mampu mensolubilisasi batubara.
1.2. Perumusan Masalah 1. Apakah ada pengaruh iradiasi gamma pada batubara terhadap kadar protein ekstraseluler kultur kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp.?
4
2. Apakah ada perbedaan karakteristik enzim ekstraseluler kultur kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. dalam medium yang mengandung batubara hasil iradiasi gamma? 3. Apakah ada perbedaan produk biosolubilisasi batubara oleh Penicillium sp. dan Trichoderma sp. dalam medium yang mengandung batubara hasil iradiasi gamma?
1.3. Hipotesis 1. Iradiasi gamma pada batubara berpengaruh terhadap kadar protein ekstraseluler kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. 2. Karakteristik enzim ekstraseluler kultur kapang
Penicillium sp. dan
Trichoderma sp. dalam medium yang mengandung batubara hasil iradiasi gamma berbeda. 3. Produk biosolubilisasi batubara oleh Penicillium sp. dan Trichoderma sp. dalam medium yang mengandung batubara hasil iradiasi gamma berbeda.
1.4. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh iradiasi gamma pada batubara terhadap kadar protein ekstraseluler kultur kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. 2. Mengetahui karakteristik enzim ekstraseluler kultur kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. dalam medium yang mengandung batubara hasil iradiasi gamma.
5
3. Mengetahui perbedaan produk biosolubilisasi batubara oleh Penicillium sp. dan Trichoderma sp. dalam medium yang mengandung batubara hasil iradiasi gamma.
1.5. Manfaat Penelitian Karakteristik enzim ekstraseluler kultur kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. diharapkan dapat memberikan informasi tentang enzim-enzim yang mampu mensolubilisasi batubara.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batubara Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil, proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan. Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50%-70% berat volumenya merupakan bahan organik. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa kulit pohon, daun, akar, spora, polen, dan lain-lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya (Speight, 1994).
2.1.1. Penyusun Batubara Menurut Speight (1994) batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya fosil tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dan protein. Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam mengubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan
6
7
molekul umum dari lignin belum diketahui dengan pasti, namun susunannya dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada berbagai macam jenis tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput (Hatakka, 2001). Karbohidrat terdiri dari disakarida, trisakarida, ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya menyusun batubara, karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling banyak mengandung polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan membentuk batubara (Speight, 1994) Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu hadir sebagai protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein pada umumnya adalah rantai asam amino yang dihubungkan oleh rantai amida. Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai steroid (Laborda et al.,1999).
2.1.2. Klasifikasi Batubara Batubara diklasifikasikan berdasarkan tingkat pembatubaraan dan tujuan pemanfaatannya. Misalnya, batubara bituminus banyak digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik, pada industri baja atau genteng serta industri semen. Tipe batubara berdasarkan tingkat pembatubaraan ini dapat dikelompokkan yaitu lignit, subbituminus, bituminus, dan antrasit (American Coal Foundation, 2007).
8
A.
B.
C.
D.
Gambar 1. Klasifikasi batubara (American Coal Foundation, 2007) (A. lignit; B. subbituminus; C. bituminus; dan C. antrasit) Lignit merupakan batubara muda dengan kualitas terendah. Lignit adalah batubara yang sangat lunak dan mengandung air 70% dari beratnya. Batubara ini berwarna hitam, sangat rapuh, nilai kalor rendah dengan kandungan karbon yang sangat sedikit, kandungan abu dan sulfur yang banyak (Gambar 1 A). Batubara jenis ini dijual secara eksklusif sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Subbituminus merupakan batubara yang berada di antara batubara lignit dan bituminus, terutama digunakan sebagai bahan bakar untuk PLTU. Batubara
9
subbituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, oleh karena itu menjadi sumber panas yang tidak efisien (Gambar 1 B). Bituminus adalah batubara yang tebal, biasanya berwarna hitam mengkilat, terkadang coklat tua (Gambar 1 C). Batubara bituminus mengandung 86% karbon dari beratnya dengan kandungan abu dan sulfur yang sedikit. Umumnya dipakai untuk PLTU, tapi dalam jumlah besar juga dipakai untuk pemanas dan aplikasi sumber tenaga dalam industri. Antrasit adalah batubara peringkat teratas, biasanya dipakai untuk bahan pemanas ruangan di rumah dan perkantoran. Batubara antrasit berbentuk padat, keras dengan warna hitam mengkilat dan mengandung antara 86% – 98% karbon dari beratnya, terbakar lambat, dengan nyala api berwarna biru dengan sedikit sekali asap (Gambar 1 D).
2.2. Biosolubilisasi Batubara Biosolubilisasi adalah proses pelarutan dalam suatu medium dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa upaya untuk mencairkan batubara yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Di samping untuk mencairkan batubara, biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara (Faison et al., 1989). Batubara cair yang dihasilkan dari proses biosolubilisasi adalah berupa campuran senyawa yang larut dalam air, senyawa-senyawa polar dengan berat molekul relatif lebih tinggi. Teknologi ini memiliki potensi besar, tetapi masih ada sejumlah masalah yang harus dipecahkan tanpa adanya air atau pelarut yang
10
cocok, produk yang dihasilkan tetap padat. Produk terlarut ini memiliki kandungan energi tinggi dan memungkinkan digunakan sebagai bahan bakar, tetapi belum dapat digunakan sebagi bahan bakar sarana transportasi. Selain itu, kebanyakan mikroorganisme membutuhkan gula dan media pertumbuhan lebih dari dua minggu. Media murah dan mampu mempercepat pertumbuhan mikroorganisme untuk aplikasi komersial. Produksi batubara cair dapat dilakukan dengan memanfaatkan enzim hasil isolasi mikroorganisme (Liu et at., 1989).
2.3.
Kapang Pengsolubilisasi Batubara Kapang (mould/filamentous fungi) merupakan mikroorganisme anggota
Kingdom Fungi yang membentuk hifa (Carlile dan Watkinson 1994). Kapang bukan merupakan kelompok taksonomi yang resmi, sehingga anggota-anggota dari kapang tersebar ke dalam filum Glomeromycota, Ascomycota, dan Basidiomycota (Hibbett et al., 2007). Sifat-sifat fisiologi kapang dipengaruhi oleh kebutuhan air, suhu pertumbuhan, kebutuhan oksigen dan pH, makanan, dan komponen penghambat. Pada umumnya kebanyakan kapang membutuhkan aw minimal untuk pertumbuhan lebih rendah. Kapang bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan kapang adalah sekitar 25-30°C, tetapi ada beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37°C atau lebih tinggi, misalnya Aspergillus. Semua kapang bersifat aerofilik, yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas, yaitu pH 2-8,5 tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam
11
atau pH rendah. Kapang dapat menggunakan berbagai komponen makanan dari yang sederhana sampai kompleks. Kapang memproduksi enzim hidrolitik, misalnya amilase, pektinase, proteinase, dan lipase. Kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat organisme lainnya. Komponen ini disebut antibiotik. Pertumbuhan kapang biasanya berjalan lambat bila dibandingkan pertumbuhan bakteri dan khamir (Fardiaz, 1989). Habitat kapang sangat beragam, namun pada umumnya kapang dapat tumbuh pada substrat yang mengandung sumber karbon organik (Carlile dan Watkinson 1994). Kapang yang tumbuh dan mengkolonisasi bagian-bagian di dalam ruangan telah banyak diteliti. Kapang tersebut mudah dijumpai pada bagian-bagian ruangan yang lembab, seperti langit-langit bekas bocor, dinding yang dirembesi air, atau pada perabotan lembab yang jarang terkena sinar matahari. Genus kapang yang sering dijumpai tumbuh di dalam ruangan adalah Cladosporium, Penicillium, Alternaria, dan Aspergillus (Mazur et al., 2006). Kapang melakukan reproduksi dan penyebaran menggunakan spora. Spora kapang terdiri dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual (Carlile dan Watkinson 1994). Menurut Champe et al. (1981) dan Carlile dan Watkinson (1994), spora aseksual dihasilkan lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan spora seksual. Spora aseksual memiliki ukuran yang kecil (diameter 1-10 μm) dan ringan, sehingga penyebarannya umumnya secara pasif menggunakan aliran udara. Sejumlah strain
jamur dan bakteri berfilamen diketahui berinteraksi
dengan batubara kualitas rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan
12
medium yang lebih gelap selama proses kultur atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar. Diketahui bahwa tedapat beberapa jenis mikroorganisme dari jenis bakteri maupun fungi yang dapat mengubah batubara padat menjadi produk cair, dengan minimalisasi hilangnya kandungan energi total awal (Faison et al., 1989).
2.3.1. Kapang Trichoderma sp. Ciri-ciri spesifik kapang Trichoderma sp. adalah mempunyai konidia, sterigmata, konidiofora, miselium berseptat (Gambar 2). Koloni kapang Trichoderma sp. tersebut berumur 7 hari, penampakan koloninya dilihat menggunakan mikroskop pada perbesaran 400 X (Kuraesin, 2009). Kapang Trichoderma
sp.
mempunyai
konidiofora
bercabang
banyak,
ujung
percabangannya merupakan sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang, dan berbentuk bola-bola berlendir ( Fardiaz, 1989).
A. Konidia B. Sterigma C. Konidiofora
Gambar 2. Kapang Trichoderma sp.( Kuraesin, 2009)
13
Kapang Trichoderma sp. diklasifikasikan menurut sistem nama binomial yaitu: Kingdom Fungi; Filum Eumycota; Sub Filum Deuteromycota; Kelas Hyphomycetes; Ordo Hyphomycetales; Famili Moniliaceae; Genus Trichoderma dan Spesies Trichoderma sp. Koloni dari kapang Trichoderma sp. berwarna putih, kuning, hijau muda, dan hijau tua. Susunan sel kapang Trichoderma sp. bersel banyak berderet membentuk benang halus yang disebut dengan hifa. Hifa pada jamur ini berbentuk pipih, bersekat, dan bercabang-cabang membentuk anyaman yang disebut miselium. Miseliumnya dapat tumbuh dengan cepat dan dapat memproduksi berjuta-juta spora, karena sifatnya inilah Trichoderma sp. dikatakan memiliki daya kompetitif yang tinggi. Dalam pertumbuhannya, bagian permukaan akan terlihat putih bersih, dan bermiselium kusam. Setelah dewasa, miselium memiliki warna hijau kekuningan (Carlile dan Watkinson, 1994). Trichoderma sp. adalah salah satu jamur tanah yang tersebar luas (kosmopolitan), yang hampir dapat ditemui di lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Trichoderma sp. bersifat saprofit pada tanah, kayu, dan beberapa jenis bersifat parasit pada jamur lain. Pada spesies saprofit, kapang tumbuh pada kisaran suhu optimal 22-30°C. Suhu optimal untuk pertumbuhan kapang ini adalah 32-35°C dan pH optimal sekitar 4.0. Trichoderma sp. berkembangbiak secara aseksual dengan membentuk spora di ujung fialida atau cabang dari hifa (Mazur et al., 2006). Miselium Trichoderma sp. dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase (pendegradasi selulosa) dan kitinase (pendegradsi kitin). Oleh karena adanya enzim selulase, Trichoderma sp. dapat
14
tumbuh secara langsung di atas kayu yang terdiri atas selulosa sebagai polimer dari glukosa. Oleh karena adanya kitinase, Trichoderma sp. dapat bersifat sebagai parasit bagi jamur yang lainnya. Secara alami seseorang dapat sering menemukan Trichoderma sp. yang menjadi parasit pada badan buah dan miselia dari jamur yang lain (Carlile dan Watkinson, 1994). Penelitian sebelumnya Sugoro et al. (2009) membuktikan bahwa kapang Trichoderma sp. memiliki nilai absorbansi tertinggi, artinya berarti telah melakukan pendegradasian batubara tertinggi pada hari ke-2 inkubasi yaitu 1,936. Kapang Trichoderma sp. mampu tumbuh menggunakan medium batubara dan memiliki nilai pH medium yang berfluktuasi, artinya telah terjadi proses degradasi selama proses inkubasi.
2.3.2. Kapang Penicillium sp. Ciri-ciri spesifik Penicillium sp. (Gambar 3) adalah mempunyai hifa berseptat, konidia, sterigma , konidiospora (Kuraesin, 2009). Kapang Penicillium sp. mempunyai hifa berseptat, miselium bercabang, konidiospora septat dan muncul di atas permukaan, kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu dengan sterigma muncul dalam berkelompok, dan konidia membentuk rantai (Fardiaz, 1989).
15
A. Konidia B. Sterigma C. Konidiofora
Gambar 3. Kapang Penicillium sp. (Kuraesin, 2009) Kapang Penicillium sp. diklasifikasikan menurut sistem nama binomial yaitu: Kingdom Fungi; Filum Ascomycota; Kelas Eurotiomycetes; Ordo Eurotiales; Famili Trichocomaceae; Genus Penicillium dan Spesies Penicillium sp. Kapang Penicillium sp. banyak tersebar di alam. Penicillium juga digunakan dalam industri untuk memproduksi antibiotik, misalnya penisilin yang diproduksi oleh Penicillium notatum dan Penicillium chrysogenum (Fardiaz, 1989). Pada hasil penelitian Sugoro et al. (2009) membuktikan bahwa kapang Penicillium sp. memiliki nilai absorbansi tertinggi, artinya berarti telah melakukan pendegradasian batubara tertinggi, mampu tumbuh menggunakan medium batubara dan memiliki nilai pH medium yang berfluktuasi, artinya telah terjadi proses degradasi selama proses inkubasi.
2.4. Enzim Enzim adalah biokatalis atau substansi yang dapat mempercepat atau membantu suatu reaksi kimia tanpa harus ikut terlibat di dalam reaksi itu sendiri. Enzim ditemukan dalam setiap sel hidup, mulai dari organisme bersel tunggal
16
sederhana sampai organisme multiseluler yang kompleks, termasuk manusia. Enzim termasuk molekul protein. Reaksi biokimia yang paling sering saat mengaplikasian enzim secara industri adalah peruraian hidrolitik komponen bahan pangan yang memiliki berat molekul (BM) tinggi seperti pati, protein, selulosa, dan sebagainya (Poedjiadi dan Supriyanti, 2006). Setiap jenis enzim memiliki kisaran pH tertentu yang sangat menentukan enzim beraktivitas secara optimal. Enzim bersifat spesifik artinya hanya mengkatalisis suatu reaksi yang dirancang khusus untuk enzim tertentu, misalnya pektinase hannya dapat mendegradasi pektin, bukan pati atau selulosa. Sekitar 80% dari enzim industrial adalah enzim hidrolitik, yang digunakan untuk depolimerisasi (pemecahan molekul-molekul yang kompleks menjadi yang lebih sedarhana) bahan-bahan alami (Hidayat et al., 2006). Mikroba merupakan sumber penting dari beberapa jenis enzim. Sebagai sumber enzim, mikroba memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan hewan maupun tanaman, yaitu : produksi enzim pada mikroba lebih murah, kandungan enzim dapat diprediksi dan dikontrol, pasokan bahan baku terjamin, dengan komposisi konstan dan mudah dikelola (Hidayat et al., 2006). Ada 3 keuntungan yang berkaitan dengan enzim ekstra sel : pertama, tidak memerlukan proses penghancuran sel saat memanen enzim (proses penghancuran sel tidak selalu mudah dilakukan dalam skala besar). Kedua, enzim protein yang disekresikan keluar sel umumnya terbatas jenisnya. Ini berarti enzim ekstrim sel terhindar dari kontaminasi berbagai jenis protein. Ketiga, secara alami enzim disekresikan keluar sel umumnya lebih tahan terhadap proses denaturasi.
17
Ada tiga golongan utama sumber enzim yaitu tanaman, hewan, dan mikroba. Enzim tanaman pada dasarnya diperoleh dari tanaman. Di antara kelompok ini yang sudah dikenal luas yaitu papain, bromelin, ficin, dan enzim amilolitik dari sereal, lipoksigenase dari kedelai dan specialized enzymes dari buah jeruk. Sebagian besar enzim tanaman tersedia dalam bentuk unpurified powder extracts, meski demikian ada juga yang tersedia dalam bentuk lain seperti papain dalam bentuk stabilized dan purified liquid. Enzim dari hewan umumnya di peroleh dari glandula. Sedangkan enzim mikrobial adalah diperoleh dari mikroba misalnya yang bersumber dari fungi, bakteria maupun khamir seperti amilase, diastase, lipase, dan sebagainya. Enzim yang berasal dari fungi menempati urutan teratas, disusul dari bakteri dan khamir (Hidayat et al., 2006). Penggolongan enzim berdasarkan tempat bekerjanya adalah endoenzim dan eksoenzim. Endoenzim disebut juga enzim intraseluler, yaitu enzim yang bekerjanya di dalam sel. Umumnya merupakan enzim yang digunakan untuk proses sintesis di dalam sel dan untuk pembentukan energi (ATP) yang berguna untuk proses kehidupan sel, misalnya dalam proses respirasi. Eksoenzim disebut juga enzim ekstraseluler, yaitu enzim yang bekerjanya di luar sel. Umumnya berfungsi untuk “mencernakan” substrat secara hidrolisis untuk dijadikan molekul yang lebih sederhana dengan BM lebih rendah sehingga dapat masuk melalui membran sel. Energi yang dibebaskan pada reaksi pemecahan substrat di luar sel tidak digunakan selama proses kehidupan sel (Lehninger, 1982). Kapang mendegradasi batubara menggunakan enzim ekstraseluler, hal tersebut diperkuat dengan penelitian bahwa proses solubilisasi pada batubara
18
dikatalis melalui aktifitas enzim ekstratseluler (Ward, 1990). Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al., 1989).
Tabel 1. Enzim ekstraseluler pedegradasi lignin dari kapang pelapuk putih (white rot fungi) (Akhtar et al., 1997).
Enzim
Tipe enzim
Peran dalam degradasi
LiP Degradasi unit (Lignin Peroksidase non–fenolik peroksidase) Degradasi unit MnP fenolik dan (Mangan Peroksidase non-fenolik peroksidase) dengan lipid Oksidasi unit Fenol fenolik dan non Lakase oksidase fenolik dengan mediator
Kerja bersama dengan H2O2
H2O2, lipid
Berat Molekul pH optimum (KDa) 38-47
2,5-3,0
38-50 4,0-4,5
O2, mediator : 3hidroksibenzotriazol
53-110
Enzim pendegradasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu lakase dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase dan mangan peroksidase. Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah, larut dalam air dan CO2 (Akhtar et al., 1997). Mangan peroksidase (MnP), lignin peroksidase (LiP) atau lakase mampu mendegradasi komponen aromatik di batubara dan mendepolimerisasinya menjadi komponen yang kaya oksigen dan dapat melarut ke dalam air (Holker et al., 2002).
3,5-7
19
Lignin peroksidase (LiP) merupakan enzim utama dalam proses degradasi lignin karena mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin. Unit non fenolik merupakan penyusun sekitar 90 persen struktur lignin. Oksidasi substruktur lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai dengan pemisahan satu elektron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan radikal aril. LiP memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin, pemotongan tersebut merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih (Hammel, 1996). Mangan peroksidase (MnP) berperan dalam oksidasi unit fenolik, sehingga LiP dan MnP dapat bekerja secara sinergis. Siklus katalitik MnP dimulai dengan pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim ferric alami dan pembentukan kompleks peroksida besi. Pemecahan ikatan oksigen peroksida membutuhkan Fe okso-porpirin-radikal kompleks dalam pembentukan MnPkomponen I, kemudian ikatan dioksigen dipecah dan dikeluarkan satu molekul air. Reaksi berlangsung sampai terbentuk MnP-komponen II, ion Mn2+ bekerja sebagai donor 1-elektron untuk senyawa antara porfirin dan dioksidasi menjadi Mn3+. Mn3+ merupakan oksidasi kuat yang dapat mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat menyerang unit non fenolik lignin (Perez et al., 2002). Lakase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Lakase mereduksi oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990).
20
2.5. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GC-MS) Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa atau sering disebut GCMS (Gas Chromatography
Mass
Spectrometry)
adalah
teknik
analisis
yang
menggabungkan dua metode analisis yaitu Kromatografi Gas dan Spektroskopi Massa. Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana sampel terpisahkan secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ion-ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa (Hermanto, 2008). Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot molekul pada suatu komponen, juga terdapat reference pada software (Hermanto, 2008). Pemisahan komponen senyawa dalam GCMS terjadi di dalam kolom (kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas pembawa (Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu ± 99,995%). Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom. Selanjutnya komponen-komponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS
21
yang berfungsi sebagai detektor secara instrumentasi, MS adalah detektor bagi GC (Hermanto, 2008).
2.6. Elektroforesis Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada muatan listrik tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran (Lehninger, 1982). Dengan demikian elektroforesis dapat digunakan untuk separasi makromolekul (seperti protein dan asam nukleat). Posisi molekul yang terseparasi pada gel dapat dideteksi dengan pewarnaan. Menurut Yuwono (2005), elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul seluler berdasarkan atas ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Kecepatan gerak molekul tergantung pada nisbah (rasio) muatan terhadap massanya, serta tergantung pula pada bentuk molekulnya. Kegunaan elektroforesis adalah menentukan berat molekul (estimasi). Penetapan BM secara lebih teliti dapat dilakukan dengan ultrasentrifuge, meskipun dengan elektroforesis cukup memenuhi syarat, dapat mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan, dapat mendeteksi terjadinya kerusakan bahan seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan, untuk memisahkan spesies molekul yang berbeda secara kualitatif, yang selanjutnya masing-masing spesies dapat dianalisis dan menetapakan titik isoelektrik protein (Lehninger, 1982).
22
Salah satu jenis elektroforesis adalah elektroforesis SDS-PAGE. Sodium Sodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) terutama dilakukan untuk mengetahui apakah suatu protein monometrik ataukah oligometrik, selain itu untuk menetapkan berat molekul dan jumlah rantai polipeptida sebagai subunit atau monomer. Pada mekanisme SDS-PAGE, protein bereaksi dengan SDS yang merupakan deterjen anionic membentuk kompleks yang bermuatan negatif. Protein akan terdenaturasi dan terlarut membentuk kompleks berikatan dengan SDS, berbentuk elips atau batang, dan berukuran sebanding dengan berat molekul protein. Protein dalam bentuk kompleks yang bermuatan negatif ini dipisahkan berdasarkan muatan negatif ini dipisahkan berdasarkan muatan dan ukurannya secara elektroforesis di dalam matriks gel poliakrilamid. Berat molekul protein dapat diukur dengan menggunakan protein standar yang telah diketahui berat molekulnya (Ummubalqis, 2000). SDS-PAGE dilakukan pada pH normal. Pada metoda ini digunakan anionic deterjent yang bersama dengan beta-merkaptoetanol dan pemanasan menyebabkan rusaknya struktur tiga dimensi protein menjadi konfigurasi random coil. Hal ini menyebabkan oleh terpecahnya ikatan disulfida yang selanjutnya tereduksi menjadi gugus-gugus sulfihidril. SDS akan membentuk kompleks dengan protein dan komleks ini bermuatan negatif karena gugus-gugus anion dari SDS. Pada pH 7, SDS 1% dan merkaptoetanol 0,1 M sebagian besar rantai protein mengikat sekitar 1,4 gr SDS per gram protein, dengan demikian jumlah SDS yang terikat oleh protein adalah tetap. Oleh karena itu protein dapat dipisahkan
23
hanya berdasarkan ukurannya (BM) di dalam kompleks SDS protein yang lebih besar mempunyai mobilitas yang lebih kecil dibandingkan dengan kompleks yang lebih kecil (Hames, 1998).
2.7. Iradiasi Gamma Iradiasi merupakan pemancaran suatu energi elektromagnetik atau partikelpartikel dengan kecepatan tinggi. Iradiasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu iradiasi panas dan iradiasi pengion. Iradiasi panas menggunakan frekuensi rendah atau dengan panjang gelombang tinggi, misalnya infra merah. Iradiasi pengion menggunakan frekuensi tinggi, misalnya sinar alfa (α), sinar beta (β), dan sinar gamma (Akhadi, 1997). Aplikasi sumber iradiasi pengion telah meluas dalam berbagai bidang. Pemanfaatan sumber iradiasi misalnya bidang kedokteran, bidang industri dan bidang pertanian. Efek kerusakan yang ditimbulkan bergantung pada jenis dan kualitas iradiasi karena mempunyai daya tembus yang rendah dan bermuatan positif, bentuk sinar alfa (α) merupakan partikel inti He yang bergerak cepat. Partikel beta (β) memiliki daya tembus lebih besar dibandingkan sinar alfa (α) dan bermuatan negatif (Darussalam, 1996). Sinar gamma merupakan jenis iradiasi yang bisa digunakan dalam berbagai bidang karena muatan netral, panjang gelombang pendek dan daya tembus paling tinggi sehingga energi sinar gamma yang dipancarkan sumber terhadap target dapat menimbulkan perubahan pada komposisinya. Perubahan dapat terjadi secara acak dan tiba-tiba. Besar kecilnya efek iradiasi gamma tergantung dari energi dan jarak sumber radioaktif (Lehninger, 1994).
24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Juli tahun 2010 dan bertempat di Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pasar Jum’at Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, mikropipet, refrigerator, sentrifuse, pH meter, spektrofotometer Uv-vis, autoklaf, pipet tetes, Gas Chromatograph Mass Spectrometer (GC-MS) Shimadzu dan Mini Protein-Gel Elektroforesis “Atto”. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batubara subbituminus, kertas whatman No.1, alkohol 70 %, NaCl 0,85 %, isolat kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. koleksi dari BATAN (Irawan Sugoro), aseton, akuades, medium Potato Dextrose Agar (PDA), Medium Minimal Salt (MMS), agar bakto, sukrosa 1 %, Lowry I ( 2% Na2CO3 dalam NaOH 0,1 N ; 2,7% K.Na tartat; 2% CuSO4), Lowry II (Folin dan akuades (1:1) ), Larutan Standar BSA, buffer sampel, Separating Gel (10%) dan Stacking Gel (45%), tanin, methylene blue, manganese chloride, dan fluorescien diacetate.
25
3.3. Cara Kerja 3.3.1. Persiapan Serbuk Batubara Batubara dihaluskan menggunakan mortar secara aseptik, kemudian disaring menggunakan saringan berukuran 0,2 mm (70 mesh). Serbuk batubara yang telah siap ditimbang sebanyak 5 gr dan dimasukkan ke dalam plastik polyetilen. Serbuk batubara ditutup rapat dan diiradiasi gamma (5 kGy) dan tidak diiradiasi (0 kGy).
3.3.2. Pembuatan Medium Tabel 2. Komposisi medium perlakuan No. 1.
2.
Nama Medium
PDA (ml)
Agar bakto (gr)
MMS (ml)
Sukrosa
Serbuk Batubara
Keterangan
Potato Dextrose Agar Minimal Salt (PDAM)
75
0,75
75
-
-
Untuk peremajaan kapang
Medium Minimal Salt + Sukrosa (MMSS
-
-
600
1%
2%
Untuk proses biosolubilisasi.
3.3.2.1. Medium Potato Dextrose Agar Sebanyak 39 gr PDA dilarutkan dalam 1 liter akuades, kemudian ditambahkan agar bakto sebanyak 10 gr. Medium PDA dipanaskan dengan menggunakan hot plate dan magnetic stirer agar terlarut. Medium PDA tersebut disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 121°C selama 15 menit.
26
3.3.2.2. Medium Minimal Salt (MMS) Sebanyak 0,52 gr MgSO4.7H2O; 0,003 gr ZnSO4.7H2O pH 5,5 ; 5 gr K2HPO4; 0,005 gr FeSO4, dan 1 gr NH4(SO4) dilarutkan dalam 1 liter akuades, kemudian dilarutkan sampai homogen. Medium MMS tersebut disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 121°C selama 15 menit (Silva et al., 2007).
3.2.2.3. Medium Potato Dextrose Agar Minimal Salt (PDAM) Medium PDAM dibuat dengan mencampurkan medium PDA dan MMS dengan perbandingan 1:1 atau 75 ml : 75 ml. Medium PDA ditambahkan 1 % agar bakto atau 0,75 gr. Medium PDA dan MMS disterilisasi dulu menggunakan autoklaf dengan suhu 121°C dengan waktu 15 menit sebelum dicampurkan. Medium PDAM dihomogenkan dengan cara pengadukan. Sebanyak 5 ml dimasukkan tabung reaksi untuk peremajaan kapang pada tabung reaksi (agar miring).
3.2.2.4. Medium Minimal Salt + Sukrosa (MMSS) Sebanyak 600 ml MMS ditambahkan sukrosa sebanyak 1% (6 gr sukrosa) lalu dihomogenkan, kemudian 100 ml MMSS dimasukkan ke dalam erlenmeyer. MMSS disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 121°C dengan waktu 15 menit.
27
3.3.3. Peremajaan Kultur Kapang Sebanyak 5 ml medium PDAM di masukkan ke dalam tabung reaksi (untuk agar miring). Kultur stok/isolat kapang diinokulasikan pada medium PDAM tersebut menggunakan ose. Kultur kapang tersebut diinkubasi pada suhu ruang sampai kapang menghasilkan spora, selama 5-7 hari pada suhu ruang.
3.3.4. Kultur Inokulum Spora Kultur spora yang sudah diremajakan pada medium PDAM, kemudian diambil sporanya menggunakan ose. Kultur spora pada medium ditambahkan 5 ml NaCl steril 0,85 % sambil dilepaskan sporanya menggunakan ose, kemudian dimasukkan ke dalam yellow tube steril.
3.3.5. Uji Enzim Ekstraseluler 3.3.5.1. Fenoloksidase Pengujian berdasarkan reaksi kimia warna Bavendamm. Kapang ditumbuhkan pada medium PDA yang mengandung tanin 4 mM/L. Lingkaran warna coklat yang terbentuk menunjukkan adanya ekskresi fenoloksidase kapang (Tao et al., 2009). 3.3.5.2. Peroksidase Metode penambahan warna medium untuk pengujian enzim peroksidase. methylene blue sebanyak 0,1 gr/L ditambahkan kedalam medium PDA dan kapang ditumbuhkan diatasnya. Pudarnya warna medium memperlihatkan kehadiran enzim peroksidase (Tao et al., 2009).
28
3.3.5.3. Mangan Peroksidase Sebanyak 1 gr/L Manganese cloride ditambahkan dalam medium PDA dan kapang diinokulasikan lalu diinkubasi selama 2 minggu. Selama masa inkubasi dilakukan pengamatan terhadap titik-titik hitam-coklat yang terbentuk. MnP mengkatalis terjadinya oksidasi MnCl2 menjadi MnO2 yang dihasilkan warna hitam-coklat (Tao et al., 2009).
3.3.6. Pengukuran pH medium Medium diukur nilai pHnya dengan menggunakan pH meter. Selanjutnya dibuat grafik perubahannya.
3.3.7. Pengujian Biosolubilisasi Batubara Kultur inokulum spora sebanyak 10 % v/v diinokulasikan ke dalam erlenmeyer yang sudah berisi 100 ml MMSS. Kemudian, ditambahkan sebanyak 2% serbuk batubara (2 gr) dengan masing-masing yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan diiradiasi (5 kGy). Kultur kapang diinkubasi pada suhu ruang. Kultur ini dinamakan kultur diam tanpa adanya mengocokan selama pertumbuhan kapang (Gadjar et al., 2006). Pencuplikan sampel kultur kapang dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28 dan 35 untuk pengukuran biosolubilisasi terhadap batubara (Scott and Lewis, 1990).
29
Tabel 3. Data perlakuan kultur kapang Kapang
Dosis Iradiasi Serbuk Batubara
Medium MMS+ 1 % Sukrosa
% Inokulum spora kapang
Penicillium sp.
tanpa batubara
100 ml
10 % v/v
tidak diiradiasi
100 ml
10 % v/v
100 ml
10 % v/v
tanpa batubara
100 ml
10 % v/v
tidak diiradiasi
100 ml
10 % v/v
100 ml
10 % v/v
(0 kGy) diiradiasi (5 kGy) Trichoderma sp.
(0 kGy) diiradiasi (5 kGy)
3.3.7.1. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara Sampel pada kultur diam diambil sebanyak 10 ml menggunakan mikropipet, kemudian dimasukkan ke dalam yellow tube steril. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 5400 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil sentrifugasi diambil menggunakan pipet tetes kemudian dimasukkan dalam yellow tube steril, kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm untuk mengetahui tingkat solubilisasi batubara (Selvi, 2007). Nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat solubilisasi batubara yang tinggi pula.
30
3.3.8. Pengukuran Hidrolisis FDA Supernatan dimasukkan 1 ml ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 4 ml KH2PO4 buffer (pH 7,6) 60 mM. Reaksi dimulai dengan menambahkan 40 µg FDA (Fluorescien diacetate) dalam 4 ml aseton, kemudian diinkubasi dalam pengocokan selama 20 menit. Setelah penginkubasian segera ditambahkan aseton sebanyak 4 ml untuk menghentikan reaksi. Suspensi disaring dengan kertas Whatman No. 1, filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditutup dengan kertas parafilm dan disimpan dalam es batu untuk menguapkan aseton. Nilai OD ditera dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm (Breeuwer, 1996).
3.3.9. Pengukuran Kadar Protein Eketraseluler dengan Metode Lowry Sebanyak 0,5 ml sampel ditambahkan 2,5 ml larutan Lowry I dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 0,25 ml larutan Lowry II, divortek dan diinkubasi pada suhu ruang selam 30 menit. Setelah itu absorbansi dibaca dengan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 750 nm dan dibandingkan dengan standar Bovine Serum Albumin (BSA) (Apriyanto et al., 1989). Pengukuran kadar protein ekstraseluler bertujuan untuk mengetahui seberapa besar enzim ekstraseluler diekresikan oleh kapang.
31
3.3.10. Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara oleh Kapang Penicilium sp. dan Trichoderma sp. Dengan Menggunakan GC-MS Supernatan dan pelarut dicampurkan dengan perbandingan 1:1. Pelarut yang digunakan adalah benzena : heksana : dietil eter dengan perbandingan 3:1:1. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong Buchner lalu diaduk sampai bercampur kemudian didiamkan beberapa saat sampai terbentuk fase atas dan bawah. Fase atas dipakai untuk identifikasi jenis senyawa produk hasil biosolubilisasi batubara dan menentukan kadarnya dengan menggunakan GC-MS Shimadzu. Kolom yang digunakan adalah Dimethyl polysiloxana dengan kondisi suhu kolom oven 50 0C, suhu injeksi 280 0C, laju alir 1,54 ml/menit, dan fase gerak gas helium. Kontrol yang digunakan adalah medium MMSS yang ditambahkan serbuk batubara yang diiradiasi dan tidak diiradiasi (Silva et al., 2007).
3.3.11. Karakteristik Enzim Ekstraseluler dengan Elektroforesis Karakterisasi enzim ekstraseluler dilakukan melalui elektroforesis dengan menggunakan SDS-PAGE. Adapun tahapan kerja yang dilakukan antara lain: 1. Preparasi sampel Sebanyak 30 µl supernatan ditambahkan 50 µl buffer sampel lalu dipanaskan pada suhu 95 °C selama 10 menit. Kemudian sampel disentrifus dengan 6000 rpm selama 10 menit.
32
2. Preparasi gel elektroforesis a.
Separating gel (10%) Sebanyak 6 ml Acrylamid 30 % dicampurkan dengan separating
gel buffer (1,5 Tris-HCl, pH 8,8) sebanyak 4,5 ml kemudian akuabides 7,5 ml, SDS 50 µl, amonium persulfate (APS) 0,08 ml dan TEMED 0,01 ml. b.
Stacking gel (45%) Sebanyak 0,9 ml Acrylamid 30 % dicampurkan dengan separating
gel buffer (1,5 Tris-HCl, pH 8,8) sebanyak 1,5 ml kemudian akuabides 3,6 ml, SDS 25 µl, amonium persulfate (APS) 0,02 ml dan TEMED 0,01 ml. 3. Proses Elektroforesis Setelah separating gel dibuat, kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam alat elektroforesis dengan mikropipet, lalu ditambahkan akuades untuk meratakan separating gel tersebut. Setelah separating gel membeku, akuades dibuang dan dimasukkan stacking gel sedikit demi sedikit, lalu dipasang sisir pembentuk kolom dan dibiarkan hingga stacking gel membeku kemudian sisir diangkat. Sebanyak 600 ml larutan running buffer dimasukkan dalam tangki elektroforesis. Kemudian sampel sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam kolom gel yang sudah terbentuk lalu dielekroforesis dengan kecepatan 200 Volt dan kuat arus 40 mA selama lebih kurang 1 sampai 2 jam atau hingga warna biru sebagai penanda pada sampel mencapai batas bawah gel.
33
Gel diangkat lalu diwarnai dengan staining solution coomassie blue R250 kurang lebih selama 24 jam.Gel dicuci dengan larutan destaining yang terdiri atas methanol 40 %, asam asetat 7,5 % dan akuades kurang lebih selama 24 jam. Protein yang telah didestaining kemudian discan dan dianalisa dengan Lab.Image untuk menentukan nilai RF (Retensi Faktor) sebagai representasi dari profil protein yang dihasilkan dan berat molekulnya.
3.4. Analisa Data Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) yang dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA) satu arah untuk mengetahui apakah ada perbedaan atau pengaruh
yang signifikan pada tiap
perlakuan. Uji Anaisis Varian ini (ANOVA) dibantu dengan bantuan program SPSS 16.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Analisis Kualitatif Enzim Ekstraseluler Kapang Pengujian enzim ekstraseluler kapang sangatlah penting dilakukan sebelum proses biosolubilisasi batubara. Pengujian ini bertujuan mengetahui ada atau tidaknya enzim ekstraseluler kapang yang berperan dalam proses biosolubilisasi batubara. Uji enzim ini menggunakan substrat atau pereaksi (tanin, methylene blue dan manganese chloride) yang berbeda untuk setiap enzim.
A.1
A.2
Fenoloksidase (+)
B.1
A.3
Peroksidase (+)
B.2
Fenoloksidase (+)
Gambar 4.
Mangan Peroksidase (+)
B.3
Peroksidase (+)
Mangan Peroksidase (+)
Uji kualitatif adanya enzim ekstraseluler kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp. (B)
34
35
Hasil pengujian kualitatif enzim ekstraseluler kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. menunjukkan hasil yang positif
untuk
terdapatnya enzim
fenoloksidase, peroksidase, dan mangan peroksidase (MnP) (Gambar 4). Enzimenzim ekstraseluler yang terlibat dalam proses biosolubilisasi batubara adalah peroksidase, esterase, fenoloksidase atau lakase, MnP dan lignin peroksidase. Enzim-enzim ini berperan untuk memecah senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, kemudian digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan kapang (Laborda et al., 1999; Fakuosa dan Hofrichter, 1999). Tao et al. (2009) mengindikasikan perubahan medium untuk mengamati terjadinya lingkaran coklat oleh fenoloksidase yang dihasilkan oleh kapang (Gambar 4 A.1 dan B.1). Pada (Gambar 4 A.2 dan B.2) positif terdapatnya enzim peroksidase karena pudarnya warna medium pada bagian medium yang ditumbuhi oleh kapang. (Gambar 4 A.3 dan B.3) adanya titik-titik coklat yang terbentuk sehingga positif terdapatnya enzim MnP. Hal itu terjadi karena MnP mengkatalis terjadinya oksidasi MnCl2 menjadi MnO2 hingga dihasilkan warna coklat.
4.2. Hasil Pengukuran pH Medium Kapang Pola perubahan pH medium, baik kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. cenderung sama (Gambar 5). Nilai pH medium setelah 7 hari inkubasi mengalami penurunan dan setelah itu mengalami kenaikan sampai hari ke-35 inkubasi. Penurunan pH medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan diiradiasi (5 kGy) yang terjadi pada hari ke-7 inkubasi tidak terlalu besar. Penurunan pH medium disebabkan terbentuknya asam-asam organik hasil
36
biosolubilisasi batubara seperti asam karboksil dan asam fulvat yang merupakan senyawa humat yang terdapat dalam batubara (Cerniglia,1992). Menurut penelitian Mustikasari (2009), nilai pH cenderung mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya masa inkubasi. Kondisi peningkatan pH medium dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Kemungkinan pertama karena hasil degradasi lignin menghasilkan berbagai macam senyawa fenolik yang memiliki gugus –OH. Keberadaan gugus tersebut dapat meningkatkan nilai pH pada masa akhir inkubasi dan kemungkinan kedua adalah terjadinya peningkatan jumlah sel yang lisis. Menurut Judoamidjojo et al. (1992) sel yang lisis tersebut terdeaminasi dan menyebabkan peningkatan pH. Nilai pH medium kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. selama proses inkubasi berkisar antara 2,69 - 4,9 pada kontrol (tanpa batubara), pada medium yang mengandung batubara yang tidak diradiasi (0 kGy) dan yang diradiasi (5 kGy).
Nilai pH medium kapang Penicillium sp. berkisar antara 2,71- 4,62
(Gambar 5 A), sedangkan pada medium kapang Trichoderma sp. adalah 2,69- 4,9 (Gambar 5 B). Enzim-enzim ekstraseluler pendegradasi lignin bekerja pada pH yang optimum. Kondisi pH medium mendukung kerja enzim fenoloksidase atau lakase yang bekerja optimum pada pH 3,5-7. Lignin peroksidase bekerja optimum pada pH 2,5-3,0 dan mangan peroksidase bekerja optimum pada pH 4,0-4,5 (Akhtar, 1997). pH medium kultur kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. masih pada kisaran pH yang optimum untuk bekerjanya enzim fenoloksidase atau lakase, lignin peroksidase dan mangan peroksidase.
37
A. 4.5 4 pH medium
3.5 3
kontrol
2.5
0 kGy
2
5 kGy
1.5 1 0.5 0 0
7
14
21
28
35
w aktu (hari)
B. 6
pH medium
5 4
kontrol
3
0 kGy 5 kGy
2 1 0 0
7
14
21
28
35
w aktu (hari)
Gambar 5. Nilai pH medium kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp. (B). ( kontrol = tanpa batubara; 0 kGy = batubara tidak diiradiasi dan 5 kGy = batubara diiradiasi 5 kGy) Hasil pengujian statistik menunjukkan nilai pH medium kapang Penicillium sp. menunjukkan perbedaan yang signifikan (probabilitas ≤ 0,05) (Lampiran 12). Selama proses inkubasi, medium yang mengandung batubara yang diiradiasi (5 kGy) nilai pH cenderung lebih tinggi daripada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy). Nilai pH medium yang mengandung batubara lebih asam daripada medium yang tidak mengandung batubara (kontrol). Diduga iradiasi menyebabkan terlepasnya senyawa-senyawa fenolik yang memiliki gugus –OH sehingga pH medium cenderung meningkat. Berbeda dari
38
kapang Penicillium sp., hasil pengujian statistik pada penggunaan kapang Trichoderma sp. tiap perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan (probabilitas ≥ 0,05) (Lampiran 12) Perubahan pH merupakan hal yang menjadi salah satu faktor pengukuran dalam proses biosolubilisasi batubara. Nilai pH medium kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. cenderung asam, yaitu 2,69- 4,9 dan memiliki pola yang sama setelah 35 hari inkubasi. Kisaran pH tersebut memungkinkan untuk pertumbuhan kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. karena kapang tersebut dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu pH 2 - 8,5 dan pertumbuhan kapang akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah (Fardiaz, 1989). Dengan pertumbuhan kapang yang lebih baik itu dapat mempengaruhi kadar dan aktivitas enzim yang dihasilkan oleh kapang selama proses biosolubilisasi batubara. Nilai pH medium sangat mempengaruhi hasil biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. sehingga hasilnya dapat dilihat pada biosolubilisasi batubara pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm.
4.3. Hasil Biosolubilisasi Batubara Pengukuran nilai absorbansi supernatan pada panjang gelombang 250 nm bertujuan untuk mendeteksi adanya gugus fenolik produk hasil biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Gugus fenolik terbentuk oleh proses solubilisasi senyawa lignin yang merupakan komponen penyusun batubara. Penguraian senyawa lignin ini dibantu oleh enzim lignin peroksidase yang mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin (Hammel, 1996).
39
Semakin tinggi nilai absorbansi maka semakin baik pula hasil biosolubilisasi batubara (Selvi dan Banerjee, 2007). A. 3 Absorbansi
2.5 2
0 kGy
1.5
5 kGy
1 0.5 0 0
7
14
21
28
35
w aktu (hari)
B.
A b s o rb a n s i
3 2
0 kGy
1
5 kGy
0 0
7
14
21
28
35
waktu (hari)
Gambar 6.
Nilai absorbansi supernatan pada panjang gelombang 250 nm hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp. (B)
Hasil pengukuran supernatan kultur medium kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm memiliki pola yang sama, baik pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) maupun batubara yang diiradiasi (5 kGy) (Gambar 6 dan 7). Hasil pengujian statistik juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan (probabilitas ≥ 0,05) (Lampiran 12). Pada (Gambar 6) terlihat bahwa nilai absorbansi supernatan pada medium yang mengandung batubara yang tidak
40
diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) mengalami peningkatan pada hari ke-7 inkubasi dan setelah itu mengalami penurunan pada panjang gelombang 250 nm. Pada medium kapang Penicillium sp. yang mengandung batubara yang diiradiasi (5 kGy) tidak mempengaruhi biosolubilisasi batubara. Tanpa radiasi gamma, nilai absorbansi kapang Penicillium sp. memililki nilai absorbansi yang tinggi. Nilai absorbansi supernatan meningkat dan menurun seiring dengan bertambahnya masa inkubasi. Nilai absorbansi yang meningkat pada hari ke-7 inkubasi disebabkan karena proses biosolubilisasi batubara padat diurai menjadi batubara terlarut dan selain itu dihasilkan pula gas CO2. Nilai absorbansi yang menurun pada hari ke-14 dan sampai akhir inkubasi disebabkan karena proses degradasi atau biosolubilisasi batubara yang sudah melarut kemudian diurai kembali menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan dihasilkan pula gas CO2 (Ward, 1990). Unit fenolik hasil degradasi lignin dioksidasi oleh enzim lakase yang berperan dalam oksidasi unit fenolik (Perez et al.,2002). Tiap kapang memiliki waktu yang berbeda dalam hal memiliki nilai absorbansi tertinggi pada panjang gelombang 250 nm. Kapang Penicillium sp. nilai absorbansi tertinggi terjadi pada inkubasi hari ke-7 dalam medium yang mengandung
batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan diirasiasi (5 kGy).
Kapang Trichoderma sp. nilai absorbansi tertinggi pada inkubasi hari ke-35 dalam medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan diirasiasi (5 kGy).
41
Tingkat biosolubilisasi juga diamati melalui nilai absorbansi pada panjang gelombang 450 nm. Pengukuran nilai absorbansi pada panjang gelombang tersebut bertujuan untuk mendeteksi produk hasil biosolubilisasi berupa gugus karboksil dan hidroksil oleh kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. karena karakter lain dari produk biosolubilisasi kaya akan gugus karbonil (C=O) dan hidroksil (O-H) (Scott dan Lewis, 1990).
A b so rb an si
A.
0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0
0 kGy 5 kGy
0
7
14
21
28
35
w aktu (hari)
B. A b s o rb a n s i
0.25 0.2 0.15
0 kGy
0.1
5 kGy
0.05 0 0
7
14
21
28
35
waktu (hari)
Gambar 7.
Nilai absorbansi supernatan pada panjang gelombang 450 nm hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp. (B) (0 kGy = batubara tidak diiradiasi dan 5 kGy = batubara diiradiasi 5 kGy).
42
Pada (Gambar 7A) terlihat bahwa nilai absorbansi pada masa inkubasi hari ke7 dan 28 pada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) mengalami penurunan. Nilai absorbansi terus meningkat pada masa inkubasi hari ke-14 dan 21, kemudian nilai
absorbansi meningkat lagi pada hari ke-35.
Peningkatan nilai absorbansi tertinggi pada masa inkubasi hari ke-35 yaitu, sebesar 0,063 pada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy). Nilai absorbansi pada medium yang mengandung batubara yang diiradiasi (5 kGy) pada masa inkubasi dari hari ke-0, 7 dan 14 terus mengalami peningkatan, kemudian nilai absorbansi menurun lagi pada hari ke-28 dan 35. Peningkatan nilai absorbansi tertinggi pada masa inkubasi hari ke-35 yaitu, sebesar 0,053 pada dosis batubara yang diiradiasi (5 kGy). Iradiasi gamma 5 kGy pada batubara tidak mempengaruhi biosolubilisasi. Hasil pengujian statistik kapang Penicillium sp menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan (probabilitas ≥ 0,05) (Lampiran 12). (Gambar 7 B) terlihat bahwa nilai absorbansi pada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dari ke-0, 7, 14, 21 dan 35 terus mengalami peningkatan, kemudian nilai absorbansi menurun pada hari ke-28 inkubasi. Peningkatan absorbansi tertinggi pada masa inkubasi hari ke-35 yaitu, 0,220. Nilai absorbansi pada dosis batubara yang diiradiasi (5 kGy) menurun pada hari ke-7 dan 28. Kemudian meningkat pada hari ke-14 dan ke-21. Nilai absorbansi meningkat lagi pada hari ke-35 yaitu, sebesar 0,178. Peningkatan nilai absorbansi tertinggi pada masa inkubasi ke-35. Hasil pengujian statistik kapang Trichoderma
43
sp. menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan (probabilitas ≥ 0,05) (Lampiran 12) Jika dibandingkan dengan nilai pH medium (Gambar 5) maka dapat dilihat adanya hubungan yang berbanding terbalik antara pH medium dengan absorbansi supernatan. Ketika nilai pH medium meningkat maka nilai absorbansi supernatan mengalami penurunan sedangkan jika nilai pH menurun maka nilai absorbansi supernatan menigkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Selvi dan Banerje (2007), yang menghasilkan biosolubilisasi yang tertinggi pada pH yang rendah. Kapang Trichoderma sp. memiliki
nilai absorbansi lebih tinggi daripada
kapang Penicillium sp. pada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) selama proses inkubasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Sugoro et al. (2009) kapang Trichoderma sp. memiliki nilai absorbansi tertinggi atau memiliki kemampuan tertinggi dalam mendegradasi
batubara subbituminus
Sumatera Selatan dibandingkan isolat kapang Penicillium sp., Mucor sp., Aspergillus sp. dan isolat lainnya (belum teridentifikasi). Menurut Ward (1990) perbedaan absorbansi menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat biosolubilisasi batubara oleh kapang melalui aktivitas enzim ekstraseluler menjadi produk yang dapat larut dan mencair, sehingga dalam penelitian ini perlu dilakukan analisis hidrolisis FDA.
44
4.4. Hasil Hidrolisis FDA Nilai absorbansi diukur bertujuan untuk melihat aktivitas dari enzim intraseluler dan enzim ektraseluler dalam kegiatannya menghidrolisis FDA (Fluorescien diacetate). FDA dalam pengujian ini merupakan substrat sebagai pengganti batubara. Jumlah FDA yang terhidrolisis menunjukkan jumlah enzim intraseluler dan ekstraseluler. Selain ketiga enzim seperti lakase, lignin peroksidase dan mangan peroksidase ternyata masih ada enzim ektraseluler lain seperti lipase, protease dan terutama esterase. Aktivitas dari enzim akan menghasilkan senyawa yang berpendar berwarna kuning (Lampiran 16.5 )(Breeuwer, 1996). Hasil pengujian statistik kapang Penicillium sp. menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan (probabilitas ≥ 0,05) (Lampiran 12).(Gambar 8 A) terlihat bahwa nilai absorbansi pada kontrol (tanpa batubara), batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) mengalami peningkatan pada inkubasi hari ke-7. Pada kontrol (tanpa batubara), nilai absorbansi menurun pada hari ke-14, dan terus meningkat pada hari ke-21, 28 dan 35, sedangkan pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) terus meningkat pada hari ke-14 dan nilai absorbansi menurun pada hari ke-21, 28, dan 35. Nilai absorbansi tertinggi pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) yaitu, pada hari ke-14 yaitu sebesar 0, 85, sedangkan pada kontrol (tanpa batubara) nilai aborbansi tertinggi pada masa inkubasi hari ke-35. Meningkat dan menurunnya hidrolisis
45
FDA karena dipengaruh oleh pH medium, disaat hidrolisis FDA terus meningkat maka nilai pH medium juga meningkat (Gambar 5). A.
0.9 0.8
Absorbansi
0.7 0.6 Kontrol
0.5
0 KGy
0.4
5 KGy
0.3 0.2 0.1 0 0
7
14
21
28
35
waktu (hari)
B. 0.6
A b so rb an si
0.5 0.4
Kontrol 0 KGy
0.3
5 KGy
0.2 0.1 0 0
7
14
21
28
35
waktu (hari)
Gambar 8.
Nilai absorbansi pada panjang gelombang 490 nm hasil hidrolisis FDA kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp. (B). ( kontrol = tanpa batubara; 0 kGy = batubara tidak diiradiasi dan 5 kGy = batubara diiradiasi 5 kGy).
(Gambar 8 B) terlihat bahwa nilai absorbansi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) mengalami peningkatan pada hari ke-7 sampai hari ke-14, 21 dan 28. Nilai absorbansi hidrolisis FDA menurun pada hari35. Pada kontrol nilai absorbansi menurun pada hari ke-7 dan meningkat pada hari ke-35. Nilai absorbansi tertinggi pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan
46
batubara yang diiradiasi (5 kGy) yaitu pada masa inkubasi hari ke-28, sedangkan pada kontrol (tanpa batubara) nilai absorbansi tertinggi pada hari ke-21. Hasil pengujian statistik kapang Trichoderma sp. menunjukkan perbedaan yang signifikan (probabilitas ≤ 0,05) (Lampiran 12) Peningkatan nilai absorbansi hidrolisis FDA tiap masa inkubasi karena jumlah kapang yang terus meningkat sehingga aktivitas enzim juga tinggi, dan menurut penelitian Indahwati (2009), hasil degradasi batubara yang kompleks menjadi senyawa yang terlarut dalam medium menyebabkan peningkatan kekeruhan medium sehingga nilai absorbansi juga meningkat. Menurut Fengel dan Weneger (1995), enzim-enzim pendegradasi lignin harus bekerja secara aktif untuk mendegradasi zat-zat makromolekul batubara, untuk itu perlu dilakukan analisis kadar protein ekstraseluler kapang. Kadar protein ekstraseluler berhubungan dengan enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang, sehingga bisa dihubungkan dengan biosolubilisasi.
4.5. Hasil Kadar Protein Ekstraseluler Kapang Pengukuran kadar protein ekstraseluler kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. bertujuan untuk mengetahui seberapa besar enzim ekstraseluler diekresikan oleh kapang. Hasil uji menunjukkan bahwa kadar protein ektraseluler yang tinggi menyebabkan warna supernatan akan lebih gelap setelah proses uji (Lampiran 16.4), karena menurut Faison et al. (1989), biosolubilisasi batubara oleh kapang melalui proses ektraseluler akan menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur.
47
A. 0,7 0,6 mg/ ml
0,5
kontrol
0,4
0 kGy
0,3
5 kGy
0,2 0,1 0 0
7
14
21
28
35
waktu (hari)
B. 1
mg/ ml
0,8 kontrol
0,6
0 kGy 0,4
5 kGy
0,2 0 0
7
14
21
28
35
waktu (hari)
Gambar 9.
Nilai kadar protein ekstraseluler kapang Penicillium sp.(A) dan Trichoderma sp. (B) (kontrol = tanpa batubara; 0 kGy = batubara tidak diiradiasi dan 5 kGy = batubara diiradiasi 5 kGy).
(Gambar 9 A), pada kapang Penicillium sp. terlihat bahwa kadar protein ekstraseluler pada kontrol (tanpa batubara) dan medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) menurun pada hari ke-7 inkubasi dan meningkat pada hari ke-14 inkubasi. Pada kontrol (tanpa batubara) kadar protein ekstraseluler tertinggi yaitu pada hari ke-35 inkubasi, sedangkan pada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) tertinggi pada hari ke-21 inkubasi.
48
Pada medium yang mengandung batubara yang diiradiasi (5 kGy) kadar protein ekstraseluler menurun pada hari ke-28 inkubasi dan kadar protein ekstraseluler tertinggi pada hari ke-21 inkubasi yaitu, 0,57 mg/ml. Hasil pengujian statistik kapang Penicillium sp. menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan (probabilitas ≥ 0,05) (Lampiran 12). Radiasi gamma tidak mempengaruhi kadar proein ekstraseluler kapang. Pada hari ke-21 dan ke-28 inkubasi terjadi peningkatan kadar protein ekstraseluler karena kapang mengekresikan enzim ekstraseluler (Gandjar et al., 2006) dan terjadi juga degradasi batubara oleh kapang (Sugoro et al., 2009). (Gambar 9 B), pada kapang Trichoderma sp. kadar protein ekstraseluler pada kontrol (tanpa batubara), batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy ) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) meningkat pada hari ke-7 inkubasi. Pada kontrol (tanpa batubara) kadar protein ekstraseluler menurun pada hari ke-28 inkubasi dan kadar protein ekstraseluler tertinggi pada hari ke-21 inkubasi yaitu, 0,93 mg/ml. Pada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) kadar protein ekstraseluler turun pada hari ke-21 inkubasi dan kadar protein ekstraseluler tertinggi pada hari ke-14 inkubasi yaitu, 0,55 mg/ml. Pada batubara yang mengandung batubara yang diiradiasi (5 kGy) kadar protein ekstraseluler menurun pada hari ke-14 inkubasi dan Trichoderma sp. tertinggi pada hari ke-7 yaitu, 0,62 mg/ml. Hasil pengujian statistik kapang Trichoderma sp. menunjukkan perbedaan yang signifikan (probabilitas ≤ 0,05) (Lampiran 12). Kadar protein tertinggi pada media yang berisi batubara yang diiradiasi (5 kGy) masa inkubasi ke-21 yaitu, 0,58 mg/ml (Gambar 9 A). Kadar protein pada media yang mengandung batubara
49
yang tidak diiradiasi (0 kGy) pada masa inkubasi ke-21. Jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa batubara) kadar protein tertinggi yaitu pada masa inkubasi hari ke-35.
4.6. Analisis Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara oleh Kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Menggunakan GC-MS. Hasil analisis biosolubilisasi menggunakan GC-MS pada pada kontrol (MMSS+ batubara tanpa kapang) dan perlakuan pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan diiradiasi (5 kGy) oleh kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. dinyatakan dalam persen area. Hasil analisis biosolubilisasi tersebut menunjukkan hasil biosolubilisasi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan diiradiasi (5 kGy) oleh kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. menghasilkan senyawa-senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi. Senyawa hidrokarbon adalah senyawa-senyawa organik yang setiap molekulnya hanya mempunyai unsur karbon dan hidrogen saja (Hardjono, 2001). Sampel yang digunakan dalam analisis GC-MS
adalah berdasarkan nilai
biosolubilisasi yang tinggi yaitu, kapang Penicillium sp. yang mendegradasi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy dan) dan diiradiasi (5 kGy) pada hari ke-7 inkubasi, sedangkan kapang Trichoderma sp. pada hari ke-14 inkubasi. Puncak-puncak yang muncul pada kromatogram dari kontrol (MMSS+ batubara tanpa kapang) dibandingkan dengan perlakuan. Ada senyawa-senyawa yang mengalami peningkatan, pengurangan persen area dan pembentukan senyawa baru karena proses degradasi batubara (Sugoro et al., 2009). Senyawa
50
hidrokarbon yang terbentuk selama proses biosolubilisasi adalah delapan sampai dua puluh satu atom karbon (C8-C21). Menurut penelitian Indahwati (2009), senyawa hidrokarbon yang terbentuk selama proses biosolubilisasi batubara adalah tujuh sampai lima puluh empat atom karbon (C7-C54). Hasil analisis GC-MS pada kontrol (MMSS+ batubata yang tidak diradiasi (0 kGy) terdeteksi 8 senyawa, sedangkan batubara yang diiradiasi (5 kGy) terdeteksi 12 senyawa. Kapang Penicillium sp. yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy)
pada hari ke-7 inkubasi terdapat 4 puncak senyawa
hidrokarbon, sedangkan batubara yang diiradiasi (5 kGy) terdeteksi hanya 2 senyawa. Kapang Trichoderma sp. yang mendegradasi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) pada hari ke-14 inkubasi terdeteksi 2 senyawa hidrokarbon, sedangkan batubara yang diiradiasi (5 kGy) terdeteksi 4 senyawa hidrokarbon (Tabel 4). Hasil analisis GC-MS kapang Penicillium sp. yang mendegradasi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) pada hari ke-7 inkubasi memiliki 9-21 atom karbon (C9-C21). Terjadi pengurangan persen area pada senyawa 2,4-dimetilheptana (C9H20) dari 19,43 % menjadi 13,24 % dan n-tetradekana (C14H30) dari 18,03 % menjadi 15,02 %. Senyawa baru yang terbentuk adalah 3,7-dimetildekana (C12H26) sebanyak 14,97 % dan senyawa 2,6,10,14-tetrametilheptadekana (C21H32) terdeteksi paling tinggi sebanyak 56,77 %. Kapang Penicillium sp. yang mendegradasi batubara yang diiradiasi (5 kGy) pada hari ke-7 inkubasi memiliki 13-14 atom karbon (C13-C14). Senyawa baru yang terbentuk berbeda dengan batubara yang tidak diiradiasi yaitu
3,7-dimetilundekana (C13H28), senyawa
51
tersebut terdeteksi paling banyak, yaitu 65,61 %. Selain itu, terjadi penambahan persen area pada senyawa n-tetradekana (C14H30) dari 18,03 % menjadi 34,39 % (Tabel 4). Tabel 4. Senyawa hasil biosolubilisasi batubara menggunakan GC-MS %area/5 µl Perlakuan Penicillium sp. Trichoderma sp. 0 kGy 5 kGy 0 kGy 5 kGy H-7 H-7 H-14 H-14 13,24 24,41 67,19 -
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Senyawa n-oktana (C8H18) 3,3-dimetilheksana (C8H18) 2,3,3-trimetilpentana (C8H18) 2,4-dimetil-1-heptena (C9H18) 2,4-dimetilheptana (C9H20) 4-metiloktana (C9H20) 2,3,4-trimetilheksana (C9H20) n-nonena (C9H20) 1-iododekana (C10H21)
Kontrol 0 kGy 5 kGy H-0 H-0 11,07 6,26 23,37 3,33 4,99 19,43 17,73 4,50 4,93 9,53 2,12 4,52
10 11 12 13 14
6-etil-2-metiloktana (C11H24) dodekana,1,1-difloro (C12H24) dodekana (C12H26) 2,4-dimetildekana (C12H26) 3,7-dimetildekana (C12H26)
5,49 29,22 6,73 -
5,23 -
14,97
-
-
-
15 16 17 18 19
4,7-dimetilundekana (C13H28) 3,7-dimetilundekana (C13H28) n-tetradekana (C14H30) n-pentadekana (C15H32) n- heksadekana (C16H34) 2,6,10,14tetrametilheptadekana (C21H32)
18,03 5,53 -
16,07 1,92 -
15,02 -
16,61 34,39 -
32,81 -
22,96 20,59
-
-
56,77
-
-
-
Total % area
100
100
100
100
100
100
Total senyawa
8
12
4
2
2
4
20
Keterangan: Kontrol Perlakuan
32,04
: MMSS + serbuk batubara tanpa kapang : MMSS + serbuk batubara + kapang
Hasil analisis senyawa hidrokarbon pada kapang Trichoderma sp. yang mendegradasi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) hari ke-14 inkubasi memiliki 9-13 atom karbon (C9-C13). Senyawa baru yang terbentuk adalah 3,7dimetilundekana (C13H28) sebanyak 32,81 % dan terjadi juga penambahan persen
52
area senyawa 2,4-dimetilheptana (C9H20) dari 19,43 % menjadi 67,19 %. Kapang Trichoderma sp. yang mendegradasi batubara yang diiradiasi (5 kGy) hari ke-14 inkubasi memiliki atom karbon dari 9-16 (C9-C16). Senyawa baru yang terbentuk adalah 3,7-dimetilundekana (C13H28) dan n-heksadekana (C16H34) terdeteksi paling tinggi sebanyak 32,04 %. Senyawa yang mengalami penambahan persen area adalah 2,4-dimetilheptana (C9H20) dari 19,43 % menjadi 24,41 % dan senyawa n-tetradekana (C14H30) dari 18,03 % menjadi 20,59 % (Tabel 4). Formulasi kimia yang masuk ke dalam fraksi bensin memiliki jumlah atom karbon sebanyak 4-12 (American Petroleum Institute, 2001), sedangkan pada hasil penelitian Sugoro et al. (2009), degradasi batubara oleh kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. berpotensi sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak yang setara dengan bensin karena kedua kapang tersebut mampu mendegradasi batubara yang kompleks menjadi senyawa dengan rantai karbon sebanyak 6-12 dengan persentase yang cukup tinggi, yaitu 33,67 % dan 33,33 %. Pada penelitian ini senyawa dengan rantai karbon 9-12 berpotensi sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak yang setara dengan bensin , yaitu kapang Trichoderma sp.
yang mendegradasi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy)
memiliki persentasi yang lebih tinggi sebanyak 67,19 %. dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) lebih kecil 24,41 %. Kapang Penicillium sp. yang mendegradasi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) sebanyak 28,21 %. Proses biosolubilisasi tidak lepas dari peran enzim. Untuk mengetahui jenis enzim, maka akan dilakukan karakterisasi enzim ekstraseluler dengan eloktroforesis SDS-PAGE. Sampel yang akan digunakan adalah supernatan yang
53
mempunyai tingkat solubilisasi yang tinggi nilai absorbansinya pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm, nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat solubilisasi yang tinggi pula (Selvi dan Banerjee, 2007). Berdasarkan nilai solubilisasi yang tinggi, maka sampel yang akan dianalisis karakterisasi protein dengan eloktroforesis SDS-PAGE adalah
kapang
Penicillium sp. yang mendegradasi batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) pada hari ke-7 inkubasi, sedangkan kapang Trichoderma sp. pada hari ke-14 inkubasi.
4.7. Karakteristik Enzim Ekstraseluler Kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Hasil elektroforesis SDS-PAGE memperlihatkan gambaran karakteristik enzim kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Dengan elektroforesis dapat diketahui berat molekul (BM) enzim ekstraseluler. Karakteristik enzim kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. berbeda (Gambar 10). Pada hari ke-7 inkubasi karakteristik enzim kapang Penicillium sp. pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) tampak sama. Karakteristik enzim kapang Penicillium sp. terdiri atas mangan peroksidase (BM= 48 KDa) dan lakase (BM= 56 KDa), kedua enzim tersebut juga terdapat pada uji kualitatif enzim ekstraseluler (Gambar 4). Iradiasi gamma pada batubara 5 kGy yang disolubilisasi oleh kapang Penicillium sp. tidak mempengaruhi karakteristik enzim kapang tersebut karena karakteristik enzimnya sama dengan yang tidak diradiasi (0 kGy).
54
M
1
2
3
4
200 KDa
97,4 KDa
66,2 KDa 5 6 KDa
45 KDa
4 8 KDa
31,5 KDa
2 3 KDa
21,5 KDa
Gambar 10.
Karakteristik enzim ekstraseluler kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. pada medium yang mengandung batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy). M (marker), 1 (Pe,0 kGy,7 hari,) 2 (Pe,5 kGy,7 hari), 3 (Tr,0 kGy,14 hari), dan 4 ( Tr, 5 kGy, 14 hari).
Pada hari ke-14 inkubasi, karakteristik enzim kapang Trichoderma sp. batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy) menunjukkan karakteristik enzim yang berbeda (Gambar 10). Pada batubara yang tidak diradiasi (0 kGy) karakteristik enzim kapang Trichoderma sp. terdiri atas mangan peroksidase (BM= 48 KDa), lakase (BM= 56 KDa) dan belum diketahui karakteristiknya (23 kDa), sedangkan batubara yang diiradiasi 5 kGy karakteristik
55
enzim kapang Trichoderma sp. terdiri atas lakase (BM= 56 KDa) dan belum diketahui karakteristiknya (23 kDa). Enzim-enzim ekstraseluler yang terlibat dalam proses biosolubilisasi batubara adalah peroksidase, esterase, fenoloksidase atau lakase, mangan peroksidase dan lignin peroksidase (Laborda et al., 1999; Fakuosa dan Hofrichter, 1999).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Iradiasi gamma pada batubara (5 kGy) tidak mempengaruhi kadar protein ekstraseluler kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. 2. Iradiasi gamma pada batubara (5 kGy) mempengaruhi karakteristik enzim ekstraseluler kapang Trichoderma sp., tetapi pada kapang Penicillium sp. sebaliknya. Enzim yang terdeteksi pada kapang Penicillium sp adalah mangan peroksidase (BM=48 KDa) dan lakase (BM=56 KDa) baik pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan batubara yang diiradiasi (5 kGy), sedangkan pada kapang Trichoderma sp. terdeteksi hanya lakase (BM=56 KDa) pada batubara yang diiradiasi (5 kGy) dan mangan peroksidase (BM=48 KDa) dan lakase (BM=56 KDa) pada batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy). 3. Produk solubilisasi menunjukkan kecenderungan setara bensin pada perlakuan batubara yang diiradiasi dan tidak diiradiasi untuk Trichoderma sp., sedangkan Penicillium sp. hanya pada batubara yang tidak diiradiasi. 5.2. Saran Perlu dilakukan peningkatan pada dosis batubara hasil iradiasi gamma agar ditingkatkan biosolubilisasinya dibandingkan dengan yang tidak diiradiasi. Disamping itu perlu dilakukan optimasi kandungan batubara dan purifikasi enzim ekstraseluler yang berperan dalam biosolubilisasi batubara.
56
57
DAFTAR PUSTAKA Akhadi, M. 2007. Pengantar Teknologi Nuklir. PT Reneka Cipta. Jakarta. Akhtar, M., R.A. Blanchette and T.K. Kirk. 1997. Fungal Delignification and Biomechanical Pulping of Wood. Advances in Biochemical Enginering Biotechnology 57:138-144. American Coal Foundation. 2007. Coal’s Journey. http://www.coaljourney.htm, (akses 16 Februari 2010) Apriyanto, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Penelaah: D. Muchtadi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Breeuwer, P. 1996. Assesment of Viability of Microorganism Employing Fluorescene Techniques. Wageningen. Carlile, M.J. dan S.C. Watkinson. 1994. The Fungi. Academic Press. London. Cerniglia. 1992. Biodegradation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons. Biodegradation Journal. 3: 227-361 Champe, S.P., M.B. Kurtz, L.N. Yager, N.J. Butnick & D.E. Axelrod. 1981. Spore formation in Aspergillus nidulans: Competence and other developmental processes. Dalam: Turian,G. & H.R. Hohl. (eds). 1981. The Fungal Spore: Morphogenetics Controls. Academic Press. London: 255 – 276. Cohen S.M dan P.D Gabriele. 1982. Dedradation of Coal by the Fungi Poliporus versicolor and Poria monticule. Appl. Environ. Mikrobiol. 44: 23-27. Darussalam, M. 1996. Radiasi dan Radioisotop: Prinsip Penggunaan dalam Biologi, Kedokteran, dan Pertanian. Tarsito. Bandung. Faison, B.D., C.D. Scott and B.H. Davidson. 1989. Biosolubilization of Coal in aqueous and non-aqueous media. Biotechnol. Bioeng. Symp. Ser. 743-752 Fakuosa, R.M dan M. Hofrichter. 1999. Biotechnology and Microbiology of Coal Degradation. Appl. Microbiol. Biotechnol. 52: 25-40. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
58
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Penelaah: F.G. Winarno. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fengel, D dan G. Weneger. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Gandjar, I., W. Sjamsuridzal, A. Oetari. 2006. Mikologi: Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hames,B. D. 1998. Gel Electrophoresis of Protein. Oxford University Press. New York Tokyo Hammel, K.E. 1996. Extracelluler Free Radical Biochemistry of Ligninolytic Fungi. New J. Chem. 20:195-198. Hardjono, A. 2001. Teknologi Minyak Bumi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hatakka, A. 2001. Biodegradation of lignin. In: Steinbuchel, A. (editor). Biopolymers. (1): 129-180. Hibbet, D.S., et al. 2007. A Higher-level Phylogenetic Classification of the Fungi.. Mycological Research. 48: 261-266 Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta. Holker, U., H. Schmiers, S. Grobe, M. Winkelhofer, M. Polsakiewicz, S. Ludwig, J. Dohse and M. Hofer. 2002. Solubilization of Low-rank Coal by Trichoderma atroviride Evidence for the Involvement of Hydrolytic and Oxidative Enzymes by Using 14C-labelled Lignite. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology 28: 207-212. Indahwati, E. 2009. Degradasi Batubara Subbituminus Asal Kalimantan Timur Menggunakan Fungi Aspergillus sp. dan Penicillium sp. Skripsi. Jurusan MIPA Biologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Judoamidjojo, M., A.A. Darwis dan E.G. Said. 1992. Teknologi Fermentasi. Rajawali Press. Jakarta. Kersten, P.J., B. Kalyanaraman, K.E. Hammel, B. Reinhamar and T.K. Kirk. 1990. Comparation of Lignin Peroxidase, Horseradish Peroxidase and Laccase in the Oxidation of Methoxybenzenes. Biochem. J. 268: 475-480.
59
Kuraesin, T. 2009. Isoloasi Seleksi Fungi Pelaku Solubilisasi Batubara Subbituminous. Skripsi. Jurusan MIPA Biologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Mazur, L.J., J. Kim & the Commitee on Environmental Health. 2006. Spectrum of Noninfectious Healt Effects from Molds. Pediatrics 118: 1909 – 1926. Laborda, F., I.F. Monistrol, N. Luna and M. Fernandez. 1999. Processes of Liquefaction or Solubilization of Spanish Coal by Microorganism. Appl. Microbiol. Biotechnol. 57: 49-56. Lehninger, L. A. 1982. Principle of Biochemistry Worth Publisher. Inc. USA. Lehninger, L. A.1994. Dasar-dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta. Liu, R.Q, N.L. Jahson, G.C Magruder, M.D Ackerson, J.L Vega, E.C Clausen dan J.L Gaddy. 1989. Serial Biological Conversion of Coal Into Liquid Fuels. Biotechnol. Bioeng. 73: 551-564. Mustikasari, N.S. 2009. Pengaruh Jumlah Inokulum Phanerochaete chrysosporium dan Konsentrasi Batubara Pada Pencairan (Solubilisasi Batubara). Skripsi. Jurusan Mikrobiologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Novia, L. Cundari, S. Murti, M. Faisal. 2009. Modeling Proses Pencairan Batubara Menggunakan Software Fluent 6,3 CDF Code. Seminar Nasional Kimia Indonedia. Bandung. Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia and J. Martinez. 2002. Biodegradation and Biological Treatment of Cellulose, Hemicellulose and Lignin. Introduction Microbiol. 5: 53-63. Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. UI Press. Jakarta Scott, C.D., Faison, B.D., Woodward, C.A. 1991. Anaerobic Liquefaction/ Solubilization of Coal by Microorganism and Isolated Enzyme. Presented at The Liquefaction Contractor Review Meeting, Dept. of Energi. USA. Scott, C.D. and S.N. Lewis. 1990. Solubilization of coal by microbial action. In : Wise, L. D (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc. New York. Selvi, V.A. and Banerjee, R. 2007. Coal Biotechnology: Bio-conversion of Different Rank Indian Coal for The Extraction of Liquid Fuel and Fertilizer. Appl. Biochem. Biotechnology 7: 16-21.
60
Selvi, V.A., R. Benerjee, L.C. Ram, G. Singh. 2009. Biodepolymerization Studies of Low Rank Indian Coals. World J. Microbiol. Biotechnol. 25: 17131720. Silva, M.E., C.J. Vengadajellum, H.A. Janjua, S.T.L. Harrison, S.G. Burton and D.A. Cowan. 2007. Degradation of low rank coal by Trichoderma atroviride ES11. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. 34:625–631. Speight, J.G. 1994. The Chemistry and Technology of Coal, 2nd edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker Inc. New York. Sugoro, I. 2009. Aplikasi Teknik Nuklir Untuk Biosolubilisasi Batubara. Proposal Disertasi: ITB. Bandung. Sugoro, I., T. Kuraesin, M.R. Pikoli, S. Hermanto, P. Aditiawati. 2009. Isoloasi Seleksi Fungi Pelaku Solubilisasi Batubara Subbituminous. Jurnal biologi Lingkungan 3(2): 75-87 Tao, X.X., L.Y. Pan, K.Y. Shi, H. Chen, S.D. Yin, Z.F. Luo. 2009. Biosolubilization of Chinese Lignite I: Exstraseluller Protein Analysis. Mining Sciene and Technology 16: 358-362. Ummubalqis. 2000. Karakterisasi Protease dari Ekskretori atau Sekretori Stadium L3 Ascaridia gall. Jurnal Institut Pertanian Bogor 28-40. Ward, B. 1985. Isolation and Application of Coal-Solubilizing Microorganism. In: Wise, L.D (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc. New York. Yuwono, T. 2005. Biologi Molekular. Jakarta. Erlangga.
61
LAMPIRAN Lampiran 1. Kerangka berpikir
Kebutuhan BBM semakin meningkat
Melimpahnya cadangan batubara kualitas rendah di Indonesia
Teknologi alternatif ?
Biosolubilisasi batubara
Serbuk batubara tidak diiradiasi gamma: (0 kGy) dan diiradiasi (5 kGy)
Kapang: Penicillium sp. dan Trichoderma sp.
Bagaimana karakteristik enzim ekstraseluler dan produk biosolubilisasi batubara kultur kapang tersebut ?
62
Lampiran 2. Bagan kerja
Kultur stok kapang
Serbuk batubara
Peremajaan kapang
Kultur spora
Tidak diiradiasi dan diiradiasi gamma Kontrol: tanpa batubara
0 kGy dan 5 kGy
Medium MMSS
Diinkubasi pada suhu ruang t: 0, 7, 14,28 dan 35 hari
Parameter
Uji kualitatif enzim ekstraseluler
pH medium
Biosolubilisasi 250 dan 450 nm
Hidrolisis FDA
Kadar protein ekstraseluler dengan Metode Lowry
Analisis data
Analisis senyawa dengan GC-MS
Karakterisasi enzim ekstraseluler dengan SDS-PAGE
63
Lampiran 3. Komposisi medium No. Medium 1. Potato Dextrose Agar (PDA) • PDA • 1 % agar bakto • Dilarutkan dalam 1 liter akuades 2.
Medium Minimal Salt (MMS) • MgSO4.7H2O • ZnSO4.7H2O pH 5,5 • K2HPO4 • FeSO4 • NH4(SO4) • Dilarutkan dalam 1 liter akuades
Jumlah 39 gr 10 gr
0,52 gr 0,003 gr 5 gr 0,005 gr 1 gr
Lampiran 4. Komposisi reagen Lowry No. 1.
2.
Reagen
Jumlah
Reagen Lowry I • 2 % Na2CO3 dalam 0, 1 NaOH • 2,7 % K.Na Tartat • 1 % Cu SO4
49 ml 0,5 ml 0,5 ml
Reagen Lowry II • Folin • Akuades
10 ml 10 ml
64
Lampiran 5. Komposisi larutan elektroforesis No. Larutan 1. Larutan Poliakrilamid 30 % • Akrilamid • BIS (Methylene Bis Acrylamide) • Akuades 2.
3.
4.
5
6
7.
Jumlah 22,2 gr 0,8 gr 100 ml
Larutan Ammonium Persulfat 10 % • Ammonium persulfat • Akuades
0,1 gr/ml 1 ml
Larutan Staining • Coomassie Brilliant Blue R-250 • Metanol • Asam asetat • Akuades
1 gr 300 ml 100 ml 600 ml
Larutan Destaining • Metanol • Asam asetat • Akuades
300 ml 100 ml 600 ml
Gel Separating Buffer (1,5 M Tris-HCl) • Tris (Hydroxymethyl aminomethane) • SDS (Sodium Dedocyl Sulfate) • pH • Akuades
18,2 gr 0,4 gr 8,8 100 ml
Gel Stacking Buffer (0,5 M Tris-HCl) • Tris (Hydroxymethyl aminomethane) • SDS (Sodium Dedocyl Sulfate) • pH • Akuades
6,1 gr 0,4 gr 6,8 100 ml
Buffer Running • Tris (Hydroxymethyl aminomethane) • SDS (Sodium Dedocyl Sulfate) • Glisin • Akuades
3 gr/l 1 gr/l 14,4 gr/l 1 ml
65
Lampiran 6. Hasil pengujian pH medium kapang Penicillium sp. Hari 0 7 14 21 28 35 Kontrol
kontrol 0 kGy 5 kGy 4,62 3,45 3,38 2,97 2,71 2,74 3,16 2,89 2,92 3,53 2,96 3,00 3,72 3,00 3,02 3,88 3,01 3,02 : tanpa serbuk batubara.
Trichoderma sp. kontrol 4,90 2,86 3,02 3,13 3,22 3,42
0 kGy 3,40 2,69 2,82 2,96 3,00 3,00
5 kGy 3,33 2,71 2,78 2,92 2,97 2,95
Lampiran 7. Hasil pengujian biosolubilisasi batubara
Hari
0 7 14 21 28 35
Penicillium sp. Absorbansi 0 kGy 5 kGy 250 450 250 450 nm nm nm nm 0,254 0,032 0,224 0,00 2,402 0,017 2,445 0,021 2,323 0,041 1,978 0,033 2,215 0,048 1,799 0,026 2,085 0,037 1,779 0,028 1,718 0,063 1,692 0,053
Trichoderma sp. Absorbansi 0 kGy 5 kGy 250 450 250 450 nm nm nm nm 0,229 0,00 0,264 0,033 2,628 0,033 2,620 0,028 2,664 0,051 2,671 0,042 2,684 0,098 2,704 0,077 2,562 0,069 2,594 0,069 2,787 0,220 2,761 0,178
Lampiran 8. Hasil pengujian hidrolisis FDA
Hari
0 7 14 21 28 35 Kontrol
Penicillium sp.
Trichoderma sp.
Absorbansi
Absorbansi
kontrol 0 kGy 5 kGy 0,15 0,041 0,04 0,28 0,195 0,095 0,085 0,85 0,85 0,185 0,67 0,305 0,37 0,05 0.2 0,425 0,21 0,21 : tanpa serbuk batubara.
kontrol 0,27 0,1 0,27 0,5 0,15 0,3
0 kGy 0,045 0,05 0,085 0,125 0,3 0,07
5 kGy 0,038 0,07 0,1 0,09 0,24 0,1
66
Lampiran 9. Hasil pengujian kadar protein ekstraseluler kapang Penicillium sp. Trichoderma sp. Absorbansi Absorbansi kontrol 0 5 Kontrol 0 5 KGy KGy KGy KGy 0 0,23 0,31 0,22 0,28 0,225 0,25 7 0,38 0,275 0,23 0,79 0,45 0,585 14 0,38 0,29 0,24 0,895 0,55 0,57 21 0,38 0,38 0,22 0,93 0,51 0,495 28 0,405 0,28 0,22 0,81 0,47 0,46 35 0,6 0,22 0,225 0,75 0,525 0,44 Kontrol : tanpa serbuk batubara. Kadar protein y = 0,7097× + 0,2049 Hari
Lampiran 10. Kurva standar protein BSA Kadar protein (mg/ml) 1,2 0,8 0,4 0,2
Absorbansi 1 0,85 0,54 0,275
1.2
Absorbansi
1
y = 0.7097x + 0.2049 R2 = 0.946
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Kadar protein (mg/ ml)
Pembuatan kurva standar ditujukan untuk menentukan konsentrasi protein ekstraseluler kultur kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. Hasil yang diperoleh berupa persamaan garis yaitu, y = 0,7095× + 0, 2049 dan nilai R2 =
67
0,946. Sumbu x menunjukkan kadar protein (mg/ml) dan sumbu y menunjukkan nilai absorbansi.
Lampiran 11. Kurva standar marker Berat Molekul (KDa)
RF
Log BM
200
0,111
2,30103
97,4
0,278
1,98855
66,2
0,389
1,82085
45
0,5
1,65321
31
0,722
1,49136
21,5
0,917
1,33243
2.5
LogKDa
2 1.5 1 y = -1.1624x + 2.3296 2
R = 0.9554
0.5 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
RF
Kurva standar marker dibuat untuk mengetahui berat molekul protein kapang Penicillium sp. dan Trichoderma sp. pengsolubilisasi batubara. Perhitungan berat molekul diperoleh dari persamaan garis, dimana hasil yang diperoleh adalah y = -1,1624× + 2,3296 dan nilai R2 = 0,9554.
68
Lampiran 12. Uji statistik analisis varians 12.1. Kapang Penicillium sp. Sumber Keragaman
Jumlah kuadrat
Derajat Derajat bebas tengah
pH medium
1,630
2
0,815
Galat
2,234
15
0,149
Jumlah
3,864
17
Biosolubilisasi 250 nm
0,097
1
0,097
Galat
6,093
10
0,609
Jumlah
6,191
11
Biosolubilisasi 450 nm
0,002
2
0,001
Galat
0,003
10
0,000
Jumlah
0,004
12
FDA
0,023
2
0,011
Galat
1,096
15
0,073
Jumlah
1,119
17
Kadar Protein
0,019
2
0,010
Galat
0,093
15
0,006
Jumlah
1,112
17
F
Signifikansi
5,473
0,016
0,160
0,698
2,832
0,106
0,157
0,856
1,543
0,246
Uji Anova dengan hipotesis : H0 : Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan. H1 : Ada perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan. Pada tabel, tampak nilai signifikansi pH medium 0,016 ≤ 0,05, maka H0 ditolak atau pH medium pada perlakuan ada perbedaan yang signifikan, sedangkan pada biosolubilisasi 250nm, biosolubilisasi 450 nm, FDA dan kadar protein ekstraseluler ≥ (besar dari atau sama dengan) 0,05 maka H0 diterima atau tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan.
69
12.2. Kapang Trichoderma sp. Sumber Keragaman pH medium Galat Jumlah Biosolubilisasi 250 nm Galat Jumlah Biosolubilisasi 450 nm Galat Jumlah FDA Galat Jumlah Kadar Protein Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 0,865 3,307 4,173 0,000 9,814 9,814 0,000 0,045 0,045 0,097 0,167 0,264 0,318 0,422 0,740
Derajat bebas 2 15 17 1 10 11 1 10 11 2 15 17 2 15 17
Derajat tengah 0,433 0,220
F 1,963
Signifikansi 0,175
0,000 0,981
0,000
0,986
0,000 0,005
0,036
0,854
0,048 0,011
4,341
0,033
0,159 0,028
5,641
0,015
Uji Anova dengan hipotesis : H0 : Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan. H1 : Ada perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan. Pada tabel, tampak nilai signifikansi hidrolisis FDA dan kadar protein ekstraseluler 0,033 dan 0,015≤ 0,05, maka H0 ditolak atau ada perbedaan yang signifikan, sedangkan pada pH medium, biosolubilisasi 250 nm, dan biosolubilisasi 450 nm, ≥ (besar dari atau sama dengan) 0,05 maka H0 diterima atau tidak adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh perlakuan.
70
Lampiran 13. Kromatogram hasil GC-MS kontrol
Keterangan : batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) 1. 2,4-dimetilheptana (C9H20) 2. n-oktana (C8H18) 3. 4,7-dimetilundekana (C13H28) 4. 3,7-dimetilundekana (C13H28) 5. n-Tetradekana (C14H30)
6. heksadekana (C16H34) 7. nonadekana (C19H40) 8. eikosana (C20H42) 9. 2,6,10,14-Tetrametilheptadekana (C21H44)
Keterangan : batubara yang diiradiasi (5 kGy) 7. n-nonane (C9H20) 1. 2,3,3-trimetilpentana (C8H18) 2. 3,3-dimetilheksana (C8H18) 8. 2,3,4-trimetilheksana (C9H20) 3. n-oktana (C8H18) 9. 1-iododekana(C10H21I) 4. 2,4-dimetilheptana (C9H20) 10. 6-etil-2-metiloktana (C11H24) 5. 2,4-dimetil-1-heptena (C9H18) 11. 4,7-dimetilundekana (C13H28) 6. 4-metiloktana (C9H20) 12. n-pentadekana (C15H32)
71
Lampiran 14. Kromatogram hasil GC-MS biolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.
Keterangan : batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) 1. 2,4-dimetilheptana (C9H20) 2. 3,7-dimetilundekana (C13H26) kGy 3. n-tetradekana (C14H30) 4. 2,6,10,14-tetrametilheptadekana (C21H44)
Keterangan : batubara yang diiradiasi (5 kGy) 1. 3,7-dimetilundekana (C13H28) 2. n-tetradekana (C14H30)
72
Lampiran 15. Kromatogram hasil GC-MS biosolubilisasi batubara oleh kapang Trichoderma sp.
Keterangan : batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) 1. 2,4-dimetilheptana (C9H20) 2. 3,7-dimetilundekana (C13H28)
Keterangan : batubara yang diiradiasi (5 kGy) 1. 2,4-dimetilheptana (C9H20) 2. 3,7-dimetilundekana (C13H28) 3. n-tetradekana (C14H30) 4. n-heksadekana (C16H34)
73
Lampiran 16. Foto-foto hasil biosolubilisasi batubara.
(A)
(B)
Foto 1. Kontrol (tanpa batubara) pada hari ke-7 inkubasi oleh kapang Penicillium sp.(A) dan kapang Trichoderma sp. (A)
(A)
(B)
Foto 2. Hasil biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp. pada hari ke-7 inkubasi. (A) batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy) dan (B) batubara yang diiradiasi (5 kGy).
74
(A)
(B)
Foto 3. Hasil biosolubilisasi batubara oleh kapang Trichoderma sp. pada hari ke14 inkubasi. dan (A) batubara yang diiradiasi (5 kGy) dan (B) batubara yang tidak diiradiasi (0 kGy)
Foto 4. Hasil analisis kadar protein ektraseluler kapang, tanda panah menunjukkan terbentuknya warna yang lebih gelap menandakan terdapatnya enzim ektraseluler kapang.
75
(B) (A)
Foto 5. Hasil Analisis Hidrolisis FDA (Fluorescen Diacetat) Sebelum bereaksi (A) dan Terjadi reaksi (B). Tanda panah menunjukkan reaksi yang terjadi, ditandai dengan berubahnya warna menjadi warna kuning (B).
(A)
(B)
Foto 6. Isolat kapang Penicillium sp. (A) dan Trichoderma sp. (B)