PENGARUH KONSENTRASI CRUDE GLISEROL (LIMBAH BIODIESEL) TERHADAP PERTUMBUHAN Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 DAN INDEKS EMULSIFIKASI BIOSURFAKTAN YANG DIHASILKANNYA
FATHIN HAMIDA
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H
PENGARUH KONSENTRASI CRUDE GLISEROL (LIMBAH BIODIESEL) TERHADAP PERTUMBUHAN Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 DAN INDEKS EMULSIFIKASI BIOSURFAKTAN YANG DIHASILKANNYA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
FATHIN HAMIDA 105095003125
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H
Pengesahan Ujian Skripsi ini berjudul “PENGARUH KONSENTRASI CRUDE GLISEROL (LIMBAH BIODIESEL) TERHADAP PERTUMBUHAN Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 DAN INDEKS EMULSIFIKASI BIOSURFAKTAN YANG DIHASILKANNYA” telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian sidang munaqasyah pada tanggal 1 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi. 1 Maret 2010 Menyetujui, Penguji 1,
Penguji 2,
DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. NIP. 150 375 182
Priyanti, M.Si. NIP. 132 283 153
Pembimbing 1,
Pembimbing 2,
Dr. Ing. M.Abdul Khaliq, M.Sc. NIP. 680003010
Megga Ratnasari Pikoli, M.Si. NIP. 19720322 200212 2 002
Mengetahui; Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Ketua Program Studi Biologi
DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis. NIP. 196801172001121001
DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. NIP. 150 375 182
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Jakarta, 1 Maret 2010
Fathin Hamida NIM. 105095003125
ABSTRAK
Fathin Hamida. Pengaruh Konsentrasi Crude Gliserol (Limbah Biodiesel) terhadap Pertumbuhan Lysinibacillus sphaericus strain HytAp-B60 dan Indeks Emulsifikasi Biosurfaktan yang Dihasilkannya. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Biosurfaktan, merupakan senyawa produk metabolit mikroba yang dapat mengemulsi minyak dalam air dan dapat dijadikan sebagai pengganti surfaktan sintetik untuk meningkatkan degradasi hidrokarbon dalam proses bioremediasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi “crude gliserol biodiesel” terhadap pertumbuhan sel dan indeks emulsi yang dihasilkan oleh isolat bakteri L. sphaericus dari Cepu. Variasi konsentrasi “crude gliserol biodiesel” yang digunakan adalah 2%, 4%, dan 6% v/v. Penelitian dilakukan dalam kultur kocok yang berisi medium Bushnell-Haas pada pH 7, jumlah inokulum 5% v/v, suhu inkubasi 28 oC dengan agitasi 120 rpm. Analisis data menggunakan analisis varian yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata diantara konsentrasi 2%, 4%, dan 6% crude gliserol terhadap pertumbuhan L. sphaericus dan indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkannya. Konsentrasi crude gliserol 2% merupakan konsentrasi optimal untuk pertumbuhan L. sphaericus dan indeks emulsifikasi. Dimana dihasilkan crude biosurfaktan sebanyak 6,7 g/l yang diekstraksi menggunakan kombinasi pelarut kloroform dan methanol (2:1 v/v).
Kata Kunci: Crude gliserol (limbah biodiesel), Biosurfaktan, L. sphaericus, Indeks Emulsifikasi (IE24%).
ABSTRACT
Fathin Hamida. Effect of Crude Gycerol (Biodiesel waste) Concentration of Lysinibacillus sphaericus Strain HytAp-B60 Growth and Biosurfactant Production on Index of Emulsification. Minithesis. Departemen of Biology. Faculty of Science and Technology. Islamic State University. Jakarta Biosurfactant, microbial metabolite whose properties like surfactant, can emulsify oil phase in water, suggested to replace chemically synthesized surfactant to increase degradation of hydrocarbon in order to enhance bioremediation. This research was done to the examine effect of crude biodiesel glycerol concentrations on growth of L. sphaericus and on emulsification index of the produced biosurfactant. Concentration of “crude glycerol biodiesel” were 2%, 4%, and 6% v/v. Experiment was carried out in Bushnell-Haas medium on pH 7, inoculum concentration 5% v/v, temp 28oC and agitation 120 rpm. Data obtained were analyzed by analysis of variance then continued with Duncan analysis. Results showed that glycerol concentration of 2%, 4%, and 6% were not significantly different for growth of L. sphaericus and index of emulsification. Glycerol concentration of 2% was optimal for growth of L. sphaericus and index of emulsification. Crude biosurfactant obtained was 6.7 g/l which extracted by mixed solvents of chloroform and methanol (2:1 v/v).
Key Word:
Crude Gycerol (Biodiesel waste), Biosurfactant, Indeks of Emulsification (IE24%).
L. sphaericus,
KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah SWT, Rabb kehidupan yang telah memberikan nikmat yang tiada ternilai, atas rahmat, hidayah dan kekuatan-Nya yang diberikan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini dengan lancar. Juga tak lupa shalawat beserta salam semoga selalu tercurahlimpahkan kepada suri tauladan umat manusia di jagad raya Rasulullah Muhammad SAW. Alhamdullilah banyak ilmu dan pengalaman berharga yang telah Penulis peroleh selama proses penelitian yang berjudul “PENGARUH KONSENTRASI CRUDE GLISEROL (LIMBAH BIODIESEL) TERHADAP PERTUMBUHAN Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 DAN INDEKS EMULSIFIKASI BIOSURFAKTAN YANG DIHASILKANNYA”. Tak lupa Penulis sampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. Penulis ucapkan terimakasih yang setinggi – tingginya kepada: 1. Mamah dan Papah, uni Izah, Uni Ami, ke-3 adikku dan seluruh keluargaku tercinta yang selalu memberi dukungan moril maupun materiil yang tiada ternilai serta menjadi motivator utama bagi penulis. 2. Dr.-Ing. M. Abdul Khaliq, M.Sc. sebagai pembimbing 1, dan Megga Ratnasari Pikoli, M.Si. selaku pembimbing 2. Penulis haturkan banyak terimakasih atas segala bentuk dukungan moril, ilmu, bimbingan, dan waktu yang telah diberikan kepada Penulis selama penyusunan skripsi.
3. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud. selaku ketua Program Studi Biologi, sebagai pembimbing akademik, dan sebagai dosen penguji dalam sidang skripsi Penulis. 4. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5. DR. Ir. Ikbal, M.Eng. selaku Kepala Balai Teknologi Lingkungan BPPTSerpong, yang telah memberikan perizinan kepada Penulis untuk penelitian. 6. Seluruh staff Balai Teknologi & Lingkungan BPPT-Serpong terutama staff Laboratorium Mikrobiologi, Staff Kultur Jaringan (Lab. Flora) dan staff Laboratorium Kimia Analitik yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil. 7. Irawan Sugoro, M.Si. dan Hermanto, M.Si. selaku dosen penguji dalam seminar proposal dan seminar hasil penelitian. Priyanti, M.Si. selaku dosen penguji dalam sidang skripsi, terimakasih Penulis haturkan atas segala saran dan masukannya. 8. Dosen-dosen Prodi Biologi yang selalu memberikan ilmu, arahan, dan nasehatnya tanpa pamrih kepada Penulis agar menjadi saintis sejati. 9. Fahri Fahrudin yang selalu memberi dukungan moril kepada penulis. 10. Diah Suprapti, S.Si, Dwi Sandri, M.Si., Ibu Fuji Astuti Febria, M.Si. yang selalu hadir dalam suka dan duka selama penelitian dengan segala dukungan moril, dan nasehat-nasehatnya yang membangun.
11. Keluarga besar di Ciputat Bpk. Azmir dan keluarga atas dukungan moril dan materil kepada Penulis. 12. Keluarga besar BIOMA (Biologi 2005) yang selalu hadir memberi nuansa hangat. 13. Dan semua pihak yang telah terlibat dalam proses penelitian ini. Akhir kata, Penulis sangat menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan skripsi ini. Oleh karena itu usul serta saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Jakarta, Maret 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. viii BAB I
PENDAHULUAN 1.1..............................................................................................Lat ar Belakang......................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah..................................................................
2
1.2..............................................................................................Hip otesis.................................................................................................
3
1.3..............................................................................................Tuj uan ....................................................................................................
3
1.4..............................................................................................Ma nfaat ..................................................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komposisi Minyak Bumi..........................................................
4
2.2. Bakteri Hidrokarbonoklastik.....................................................
5
2.3. Lysinibacillus spaerichus..........................................................
6
2.4. Biodegradasi Hidrokarbon ........................................................
6
2.5. Crude Gliserol (Limbah Biodiesel) ...........................................
8
2.6. Biosurfaktan ............................................................................. 10 2.6.1. Definisi, Sifat, dan Klasifikasi....................................... 10
2.6.2. Biosintesis Biosurfaktan................................................ 13 2.6.3. Produksi Biosurfaktan ................................................... 14 2.6.3. Tipe Produksi Biosurfaktan........................................... 14 2.6.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi Biosurfaktan.................................................................. 15 2.6.5. Ekstraksi Biosurfaktan .................................................. 20 2.7. Indeks Emulsifikasi (IE24)......................................................... 21
BAB III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 23 3.2. Alat dan Bahan ......................................................................... 23 3.3. Cara Kerja ................................................................................ 24 3.3.1. Penguapan Gliserol ...................................................... 24 3.3.2. Pembuatan Media Bushnell-Haas................................. 24 3.3.3. Peremajaan Kultur Stok................................................. 25 3.3.4. Pembuatan Kurva Standar ............................................. 25 3.3.5. Pembuatan Prekultur ..................................................... 26 3.3.6. Pembuatan Kurva Pertumbuhan dan Optimasi Produksi Biosurfaktan.................................................................. 27 3.3.7. Uji Aktifitas Emulsifikasi.............................................. 27 3.3.8. Ekstraksi Biosurfaktan .................................................. 28 3.4. Analisis Data ............................................................................ 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Bakteri Lysinibacillus spaerichus......................... 30 4.2. Aktifitas Emulsifikasi ............................................................... 34 4.3. Hubungan Produksi Biosurfaktan dengan Pertumbuhan Sel ...... 37 4.4. Ekstraksi Biosurfaktan............................................................... 38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .............................................................................. 40
5.2. Saran ........................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 42 LAMPIRAN ................................................................................................... 47 DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Pertumbuhan Bakteri L. sphaericus pada Medium Perlakuan Crude Gliserol 2%, 4%, 6%, dan Kontrol...................................... 30 Gambar 2. Kondisi pH Kultur Medium Perlakuan Selama Masa Inkubasi ...... 34 Gambar 3. Indeks Emulsifikasi (IE24%) L. spaerichus pada Medium Perlakuan Crude Gliserol 2%, 4%, 6%, dan Kontrol...................... 35 Gambar 4. Pola Pertumbuhan Sel dan IE24% pada Medium Crude Gliserol ... 37 Gambar 5. Kurva Korelasi Hubungan antara Pertumbuhan L. sphaericus dengan Indeks Emulsifikasi Biosurfaktan yang dihasilkannya ....... 38
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Data Kontrol ..................................................................................... 49 Tabel 2. Data Crude Gliserol 2% .................................................................... 49 Tabel 3. Data Crude Gliserol 4% .................................................................... 50 Tabel 4. Data Crude Gliserol 6% .................................................................... 50 Tabel 5. Data Ulangan Jumlah Sel .................................................................. 51 Tabel 6. Kuadrat Ulangan Jumlah Sel ............................................................. 51 Tabel 7. Total Jumlah Sel ............................................................................... 52 Tabel 8. Kuadrat Total Jumlah Sel .................................................................. 52 Tabel 9. Analisis Sidik Ragam Jumlah Sel ..................................................... 52 Tabel 10. Jarak Duncan Jumlah Sel.................................................................. 53 Tabel 11. Analisis Duncan Jumlah Sel ............................................................. 53 Tabel 12. Jarak Duncan Jumlah Sel.................................................................. 55 Tabel 13. Analisis Duncan Jumlah Sel ............................................................. 55 Tabel 14. Notasi Interaksi Jumlah Sel .............................................................. 56 Tabel 15. Ringkasan Interaksi Jumlah Sel ........................................................ 56 Tabel 16. Tabel Ulangan Indeks Emulsi.......................................................... 57 Tabel 17. Total Indeks Emulsi ........................................................................ 57 Tabel 18. Analisis Sidik Ragam Indeks Emulsifikasi ...................................... 58 Tabel 19. Jarak Duncan Indeks Emulsi ............................................................ 58 Tabel 20. Analisis Duncan Indeks Emulsi ....................................................... 58 Tabel 21. Jarak Duncan Indeks Emulsi............................................................ 60 Tabel 22. Analisis Duncan Indeks Emulsi ........................................................ 60
Tabel 23. Notasi Interaksi Indeks Emulsi ......................................................... 61 Tabel 24. Ringkasan Interaksi Indeks Emulsi ................................................ 61
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian .................................................................. 47 Lampiran 2. Kurva Standar ............................................................................. 48 Lampiran 3. Tabel Data Hasil Penelitian ........................................................ 49 Lampiran 4. Tabel Analisis Statisitk Jumlah Sel dan Indeks Emulsi ............... 51 Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian............................................................... 62
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Limbah hidrokarbon merupakan polutan terbesar dalam pencemaran
lingkungan baik di darat maupun di perairan, hal ini menjadi masalah cukup serius bagi lingkungan. Penanganan limbah hidrokarbon di lingkungan selama ini telah dilakukan baik secara fisika maupun kimiawi. Penanganan secara fisika misalnya
dengan
menggunakan
adsorben
dan
secara
kimiawi
dengan
menggunakan bahan kimia tambahan, namun cara tersebut seringkali tidak sempurna
dan
sering menimbulkan permasalahan baru,
terutama
oleh
penambahan bahan kimia. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut kini sedang dikembangkan penanganan limbah atau cemaran hidrokarbon secara biologis yang diharapkan dapat menjadikan hidrokarbon terdegradasi dan aman bagi lingkungan yaitu dengan menggunakan biosurfaktan (Aditiawati, et al., 2001). Biosurfaktan merupakan senyawa produk metabolit mikroba yang mengemulsi minyak dalam air dan dapat mengurangi tegangan permukaan, sehingga dapat dijadikan sebagai pengganti surfaktan dalam meningkatkan degradasi hidrokarbon dalam proses bioremediasi. Keunggulan biosurfaktan dibandingkan dengan surfaktan sintetik yaitu sebagai emulsifier yang sifatnya cenderung lebih stabil daripada surfaktan sintetik sehingga lebih optimal dalam mendegradasi hidrokarbon (Kosaric, 2001).
Hasil eksplorasi bakteri dari tanah tercemar minyak bumi di Cepu, Jawa Tengah yang telah dilakukan oleh Balai Teknologi Lingkungan-BPPT Serpong berhasil diisolasi 23 isolat bakteri hidrokarbonoklastik. Berdasarkan hasil skrining dari 23 isolat tersebut berhasil diperoleh satu isolat bakteri (Lysinibacillus spaerichus) yang paling berpotensi menghasilkan biosurfaktan. Dari penelitian sebelumnya (Sandri, 2009) diketahui bahwa L. sphaericus mampu tumbuh dengan IE24% terbaik ketika ditumbuhkan pada medium dengan penambahan 2% crude gliserol (limbah produksi biodiesel) dibandingkan dengan sumber karbon lainnya. Oleh karena itu dalam hal ini perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi crude gliserol terhadap pertumbuhan L. sphaericus dan IE24% yang dihasilkannya. Variasi konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu konsentrasi 2%, 4%, dan 6%. Crude gliserol yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah crude gliserol yang merupakan produk samping dari produksi biodiesel. Pemanfaatan crude gliserol dari limbah biodiesel merupakan salah satu alternatif dalam penanganan limbah untuk menghindari timbulnya masalah lingkungan akibat buangan gliserol, disamping itu juga dapat meningkatkan efisiensi industri biodiesel.
1.2.
Perumusan Masalah 1. Apakah terdapat perbedaan pertumbuhan sel L. sphaericus diantara ketiga konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, 6% dengan kontrol.
2. Apakah terdapat perbedaan indeks emulsifikasi biosurfaktan dari L. sphaericus diantara ketiga konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, 6% dengan kontrol.
1.3.
Hipotesis 1. Terdapat perbedaan pertumbuhan sel L. sphaericus diantara ketiga konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, 6% dengan kontrol. 2. Terdapat perbedaan indeks
emulsifikasi biosurfaktan dari L.
sphaericus diantara ketiga konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, 6% dengan kontrol.
1.4.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh konsentrasi
gliserol sebagai sumber karbon terhadap pertumbuhan isolat bakteri L. sphaericus dan indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkannya.
1.5.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memproduksi biosurfaktan yang nantinya
dapat diaplikasikan untuk bioremediasi, disamping itu juga diharapkan menjadi alternatif dalam pemanfaatan limbah biodiesel sehingga menjadi produk yang bernilai ekonomis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Komposisi Minyak Bumi Minyak bumi adalah senyawa kompleks yang terdiri dari komponen
hidrokarbon dan non-hidrokarbon. Hidrokarbon merupakan senyawa dominan yang terkandung dalam minyak bumi terdiri dari unsur karbon (C) dan hidrogen (H). Secara umum hidrokarbon dalam minyak bumi terdiri dari 3 komponen besar, yaitu: alkana (paraffin), sikloalkana (naphten), dan aromatik. Alkana atau parafin (CnH2n+2) merupakan hidrokarbon jenuh yang memiliki rantai lurus dan bercabang. Sikloalkana atau naphten (CnH2n) merupakan hidrokarbon jenuh dengan satu atau lebih struktur cincin. Aromatik (CnH2n-6) merupakan hidrokarbon yang mengandung satu atau lebih struktur cincin aromatik dengan beberapa ikatan rangkap pada rantai karbonnya (Akbar, 2004). Aromatik hanya terdapat dalam jumlah kecil, tetapi sangat diperlukan dalam bensin. Proporsi dari ketiga tipe hidrokarbon sangat tergantung pada sumber minyak bumi (Zuhra, 2003). Kandungan senyawa non-hidrokarbon dalam minyak bumi relatif kecil, terdiri dari sulfur, oksigen, nitrogen, dan logam. Sulfur merupakan komponen non-hidrokarbon terbesar di dalam minyak bumi. Oksigen dan nitrogen terdapat dalam konsentrasi rendah dan sangat sedikit di dalam minyak bumi. Logam yang terkandung dalam minyak bumi umumnya berupa unsur vanadil (Va) Nikel (Ni), besi (Fe), dan kobalt (Co) membentuk garam anorganik dan senyawa kompleks logam organik (Udiharto, 1992).
2.2.
Bakteri Hidrokarbonoklastik Bakteri dalam aktivitas hidupnya memerlukan molekul karbon sebagai
salah satu sumber nutrisi dan energi untuk melakukan metabolisme dan pertumbuhannya. Bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa hidrokarbon
untuk
kebutuhan
metabolisme
dan
pertumbuhannya
disebut bakteri hidrokarbonoklastik (Atlas & Bartha, 1985 dalam Nugroho, 2006a). Mikroorganisme hidrokarbonoklastik secara alami memiliki potensi genetik
untuk
mengikat,
mengemulsi,
mentranspor,
dan
mendegradasi
hidrokarbon, yaitu dengan menghasilkan enzim oksigenase yang terikat membran sitoplasma dan memiliki mekanisme untuk mengoptimumkan kontak antara permukaan sel mikroorganisme dengan hidrokarbon yang tidak larut dalam air (Rosenberg et al., 1992). Sintesis enzim tersebut dikode dalam kromosom atau plasmid, tergantung pada jenis bakterinya (Ashok et al., 1995). Berdasarkan penelitian sebelumnya telah banyak diketahui bakteri hidrokarbonoklastik yang mempunyai kemampuan mendegradasi hidrokarbon, diantaranya yaitu Pseudomonas aeoroginosa, Pseudomonas sp., P. fluorescens, Bacillus
licheniformis,
Serratia
marcessens,
Azotobacter
chroococcum,
Mycobacterium sp., Rhodococcus erithropolis, Bacillus subtilis, Thiobacillus, Bravibacterium, Corynebacterium kutscheri (Desai & Banat, 1997; Al-Araji et al., 2007; Zhang et al., 2005; Samadi et al., 2007; Rismani et al., 2006; Sandri, 2009; Thavasi et al., 2007).
2.3.
Lysinibacillus spaerichus Golongan Lysinibacillus dapat tumbuh pada kisaran suhu 16 – 45 oC dan
pada kisaran nlai pH 6,0 – 9,5 (Ahmed et al., 2007). Lysinibacillus spaerichus merupakan bakteri basil gram negatif. Sandri (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa .L. sphaericus dapat tumbuh optimum dalam medium Bushnell–Haas dengan urea sebagai sumber nitrogen dan crude gliserol sebagai sumber karbon pada pH 6. Supernatant L sphaericus yang mengandung biosurfaktan memiliki kemampuan yang hampir sama dengan LAS. Biosurfaktan yang dihasilkan bersifat termostabil dari suhu 28 sampai dengan suhu 121oC, tetap stabil pada kisaran pH 1 – 11. Biosurfaktan yang dihasilkannya dapat mengemulsi jenis hidrokarbon crude oil dan oli motor bekas. Lysinibacillus spaerichus didalam database Kyoto Encyclopedia of Genes and Genomes Pathway diketahui dapat melakukan metabolisme dalam pertumbuhannya yaitu diantaranya glikolisis, siklus asam sitrat, biosintesis asam lemak,
metabolisme asam
gliseropospolipid,
lemak, metabolisme gliserolipid, metabolism
biosintesis
peptidoglikan,
dan
sebagainya
(http://www.genome.jp/kegg/.).
2.4.
Biodegradasi Hidrokarbon Secara umum biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa organik
kompleks menjadi senyawa sederhana dengan bantuan mikroorganisme (Udiharto, 1999). Dalam proses biodegradasi senyawa organik diubah menjadi CO2, komponen sel, dan produk lain sesuai jalur metabolismenya, proses ini
berlangsung secara aerob. Oleh karena itu proses biodegradasi sangat tergantung pada oksigen yang tersedia. Dua hal penting bagi mikroba sebagai syarat awal dalam mengoksidasi hidrokarbon, yaitu sintesis enzim oksidase dan kontak antara mikroba dengan air dan hidrokarbon yang tidak larut air dengan bantuan biosurfaktan yang dihasilkan oleh mikroba tersebut (Rosenberg et al., 1993 dalam Akbar, 2004). Tahap pertama degradasi hidrokarbon oleh mikroba adalah reaksi antara molekul oksigen dan hidrokarbon dengan bantuan enzim oksigenase. Tahap berikutnya yaitu dengan dua mekanisme pengambilan substrat oleh bakteri. Pertama, pengambilan substrat dilakukan pada saat hidrokarbon telah mengalami emulsifikasi oleh biosurfaktan yang dihasilkannya; kedua, pengambilan substrat dilakukan setelah sel mengalami kontak langsung dengan hidrokarbon melalui mekanisme adhesi fisik. Kontak ini terjadi ketika mikroba mengeksresi biosurfaktan akibat respon dari keberadaan hidrokarbon (Rosenberg et al., 1993 dalam Akbar, 2004; Kinbal, 1994 dalam Zam, 2006). Biosurfaktan yang dihasilkan oleh mikroba dapat menurunkan tegangan permukaan dan meningkatkan luas daerah kontak antara hidrokarbon dan mikroorganisme melalui pembentukan misel, pelarutan dan emulsifikasi hidrokarbon serta pembebasan tetesan minyak. Misel yang terbentuk berfungsi sebagai paket transport hidrokarbon dan mempermudah mikroba dalam memperoleh nutrisi bagi pertumbuhannya sehingga pertumbuhan sel menjadi lebih baik. Misel adalah agregat molekul aktif permukaan yang membentuk fase non-polar dalam larutan air. (Rosenberg et al., 1993 dalam Akbar, 2004; Kinbal,
1994 dalam Zam, 2006; Barnet et al 1974 dalam Noviana 1998). Mikroorganisme yang memiliki afinitas tinggi terhadap hidrokarbon dapat menggunakan minyak baik dalam bentuk tetesan besar (droplet) maupun dalam bentuk tetesan sangat kecil (submikron). Sedangkan mikroorganisme yang memiliki afinitas rendah terhadap hidrokarbon lebih efektif mendegradasi hidrokarbon dalam bentuk submikron daripada bentuk droplet (Buhler & Schindler, 1984 dalam Pikoli, 2000). Proses biodegradasi pada setiap hidrokarbon tidak sama, karena setiap hidrokarbon memiliki tingkat kesulitan yang berbeda untuk dapat didegradasi oleh mikroba (Udiharto dan Sudaryono, 1999). Senyawa hidrokarbon alifatik lebih mudah didegradasi dibandingkan senyawa hidrokarbon aromatik dan naftalen. Hidrokarbon jenuh lebih mudah didegradasi dibandingkan hidrokarbon tidak jenuh, dan
hidrokarbon alifatik rantai lurus lebih mudah didegradasi
dibandingkan hidrokarbon alifatik rantai bercabang (Akbar, 2004; Udiharto,1999).
2.5.
Crude Gliserol (Limbah Biodiesel) Biodiesel (ester metil) merupakan bahan bakar alternatif yang dibuat dari
minyak nabati. Dalam proses pembuatan biodiesel menghasilkan biodiesel juga menghasilkan produk samping (air limbah). Kandungan dalam air limbah biodiesel merupakan campuran dari metanol, asam lemak, minyak dan ester metil yang terlarut. Air limbah yang dihasilkan memiliki kandungan organik yang cukup tinggi. Proses pembuatan biodiesel yang lazim dilakukan adalah melalui reaksi transesterifikasi. Pada reaksi ini, trigliserida bereaksi dengan metanol
menghasilkan ester metil dan gliserol. Dalam proses transesterifikasi dihasilkan 80% ester metal dan 20% crude gliserol sebagai produk samping. Crude Gliserol terdiri dari gliserol, air, methanol, residu katalis dan sabun (Syafilla et al., 2007; Syah, 2006). Gliserol termasuk dalam golongan derivat lipid. Derivat lipid yaitu senyawa lipid yang dihasilkan dari proses hidrolisis lipid. Gliserol merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Jadi, tiap atom karbon mempunyai gugus –OH. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua atau tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserid, digliserid atau trigliserid. Gliserol larut baik dalam air dan tidak larut dalam eter. Gliserol merupakan senyawa yang tidak berwarna, tidak berbau dan berbentuk cairan kental yang terasa manis. Rumus kimia gliserol yaitu: C3H8O3. Gliserol merupakan derivat lipid yang dapat larut dalam air (water-soluble) (Poedjiadi, 1994). Biosurfaktan tipe rhamnolipid oleh genus Pseudomonas dapat diproduksi dengan substrat gliserol, glukosa, manitol, dan etanol sebagai sumber karbon (Desai & Banat, 1997).
Sebagian besar penelitian diketahui bahwa sintesis
biosurfaktan oleh mikroorganisme selain dapat ditumbuhkan pada hidrokarbon tidak larut air, tetapi beberapa juga dapat diproduksi dalam substrat larut air seperti glukosa, gliserol dan etanol (Abu-Ruwaida et al., 1991). Berdasarkan hasil penelitian Rismani et al (2006) diketahui bahwa pada konsentrasi 0,5% sumber karbon gliserol, molasse, heksan, dan crude oil merupakan substrat yang
terbaik bagi pertumbuhan Bacillus licheniformis dan produksi biosurfaktan dengan penurunan tegangan permukaan (surface tension) yang terbaik. Zhang et al (2005) menyebutkan bahwa P. aeroginosa mampu memproduksi rhamnolipid lebih banyak ketika ditumbuhkan pada substrat gliserol dengan konsentrasi 3% sebagai sumber karbon dibandingkan
dengan substrat
yang lain (glukosa, minyak nabati, dan paraffin cair). Samadi et al (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Bravibacterium mampu tumbuh maksimum dan memproduksi glikolipid dengan penurunan tegangan permukaan terbaik ketika ditumbuhkan pada susbtrat gliserol dengan konsentrasi 5%.
2.6.
Biosurfaktan
2.6.1. Definisi, Sifat, dan Klasifikasi Biosurfaktan adalah produk metabolit yang diproduksi oleh bakteri, ragi, dan jamur sebagai produksi ekstraseluler atau bagian dari dinding sel. Biosurfaktan meruapakan senyawa aktif permukaan dalam bentuk senyawa amphipatik terdiri dari bagian hidrofilik dan hidrofobik. Bagian hidrofilik merupakan molekul polar dapat berupa karbohidrat, asam amino, atau kelompok fosfat. Bagian hidrofobik umumnya merupakan karbon rantai panjang atau rantai hidrokarbon dari asam lemak. Oleh karena itu biosurfaktan mampu mengikat molekul hidrokarbon, menurunkan tegangan permukaan pada ruang antar air dan minyak dan membentuk mikroemulsi sehingga membantu degradasi hidrokarbon. (Al-Araji, et al., 2007; Van dyke, 1991 dalam Budiarti, 2001; Vater, et al., 2002 dalam Suryatmana 2006; Desai & Banat, 1997; Suryatmana et al., 2006).
Biosurfaktan mempunyai kapasitas sebagai enzim seluler yang dapat melarutkan, sebagai reseptor, dan protein (Kitamoto, 1993). Biosurfaktan memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan surfaktan sintetik seperti toksisitas rendah, kemampuan biodegradasi yang tinggi, memiliki sifat emulsifier yang lebih stabil dibandingkan dengan surfaktan sintetik sehingga proses degradasi lebih optimal, lebih ramah lingkungan, buih yang banyak, mempunyai gugus molekul yang spesifik terhadap suatu reaksi dan aktifitas yang spesifik pada kondisi lingkungan yang ekstrim (temperatur, pH, dan salinitas) (Desai & Banat, 1997; Rahman & Gakpe, 2008). Biosurfaktan dapat diproduksi dari bahan baku yang murah yang dihasilkan dalam jumlah besar, dapat menggunkan sumber karbon yang berasal dari hidrokarbon, karbohidrat, dan atau lipid yang digunakan terpisah atau dikombinasikan dengan yang lain, bernilai ekonomis karena biosurfaktan juga dapat diproduksi dari limbah industri, dapat berfungsi sebagai pengontrol lingkungan – digunakan untuk menangani emulsi industri, kontrol tumpahan minyak, dan bioremediasi pada tanah tercemar (Kosaric, 2001; Makkar & Cameotra, 1999). Desai & Banat (1997) mengklasifikasikan biosurfaktan menjadi 5 kelompok berdasarkan komponen kimianya yaitu: glikolipid, lipopeptida dan lipoprotein (lipid biosurfaktan yang mengandung asam amino), fosfolipid dan asam lemak, surfaktan polimerik, dan surfaktan partikulat. Glikolipid merupakan karbohidrat dengan rantai alifatik panjang atau asam hidroksialifatik. Diantara glikolipid yang cukup diketahui dengan baik antara lain rhamnolipid, trehalolipid,
dan sophorolipid. Rhamnolipid merupakan satu atau dua molekul rhamnose dihubungkan pada satu atau dua molekul asam β-hidroxidekanoik. Trehalolipid kebanyakan diperoleh dari genus Mycobacterium disebabkan ester trehalolipid berada pada permukaan sel. Trehalolipid mengandung disakarida trehalose yang dihubungkan pada C-6 dan C-6’ pada asam mikolik. Asam mikolik merupakan rantai panjang asam lemak α-β-hidroksi. Sophorolipid terdiri dari sebuah gula sophorose dan sebuah asam lemak hidroksil yang dihubungkan dengan sebuah ikatan β-glikosidik. (Asselineau & Asselineau, 1978 dalam Rahman & Gakpe, 2008; Desai & Banat, 1997; Rahman & Gakpe, 2008; Karanth et al, 2005; ). Lipopeptida disebut juga surfaktin, terdiri dari tujuh asam amino yang diikat pada sebuah gugus karboksil dan hidroksil pada 14 asam karbon. Biosurfaktan asam lemak terdiri dari gugus OH dan cabang alkil. Emulsan, liposan,
mannoprotein,
dan
komplek
polisakarida-protein
merupakan
biosurfaktan polimerik. Emulsan yaitu bioemulsifier polianionik amphipatik heteropolisakarida. Liposan merupakan emulsifier ekstraseluler yang larut dalam air. Liposan terdiri dari 83% karbohidrat dan 17 % protein dengan bagian karbohidrat merupakan heteropolisakarida yang terdiri dari glukosa, galaktosa, galaktosamin, dan asam galaktoronik. Jenis polimerik lainnya antara lain biodispersan, bioemulsifier makanan, komplek protein, dan insektida emulsifier. Biosurfaktan polimerik disusun oleh protein, phospolipid, dan lipopolisakarida (Desai & Banat, 1997; Rahman & Gakpe, 2008). Disamping itu Ron dan Rosenberg (2001) juga mengelompokkan biosurfaktan menjadi 2 kelompok berdasarkan berat molekulnya, yaitu :
1. Biosurfaktan dengan berat molekul (BM) rendah, yaitu glikolipid, seperti soforolipid, trehalosa lipida, fosfolipid, dan asam lemak, yang semuanya memiliki bagian hidrofilik dan hidrofobik. Berfungsi dalam menurunkan tegangan permukaan dan antar muka. 2. Biosurfaktan dengan berat molekul (BM) tinggi, yaitu lipoprotein, lipopolisakarida dan polisakarida amphipatik, tidak memiliki bagian hidrofilik dan hidrofobik serta lebih efektif pada stabilisasi minyak dalam emulsi air.
2.6.2. Biosintesis Biosurfaktan Hidrokarbon masuk melalui membran dengan mekanisme difusi pada sisi pelekatan selnya dengan minyak dan terjadi oksidasi hidrokarbon untuk membentuk asam lemak dalam sitoplasma. Pelekatan minyak pada sel yang terjadi karena adanya struktur tertentu pada dinding sel seperti saluran, pori-pori, vesikel membran, dan kompleks membran yang melipat ke dalam. Struktur ini diketahui terdapat pada berbagai mikroorganisme yang tumbuh pada substrat hidrokarbon (Buhler & Schindler, 1984 dalam Pikoli, 2000; Homel & Ratledge, 1993 dalam Akbar, 2004). Pada tahap degradasi, volume hidrokarbon dalam medium sangat banyak dibandingkan
jumlah
sel
bakteri
pendegradasi,
hal
ini
menyebabkan
terakumulasinya asam lemak dalam sitoplasma. Sel melakukan dua mekanisme untuk menjaga keseimbangan konsentrasi asam lemak didalam sel, yaitu sebagian akan dikeluarkan kembali dalam bentuk asam lemak bebas ekstraseluler dan asam
– asam lemak berlebih yang terdapat di dalam sel akan disintesis untuk pembentukan glukosa. Keduanya merupakan komponen surfaktan yang potensial (Homel & Ratledge, 1993 dalam Akbar, 2004).
2.6.3. Tipe Produksi Biosurfaktan Produksi biosurfaktan dikelompokkan menjadi beberapa tipe, yaitu (Desai & Banat, 1997) : 1. Produksi pertumbuhan gabungan (Growth-Associated Production), yaitu terjadi hubungan yang paralel antara pertumbuhan, pemanfaatan substrat, dan produksi biosurfaktan. Produksi biosurfaktan meningkat dengan meningkatnya pertumbuhan sel. 2. Produksi di bawah kondisi pertumbuhan terbatas (production under growth-limiting conditions), yaitu kenaikan biosurfaktan merupakan hasil dari keterbatasan satu atau lebih komponen medium. 3. Produksi dengan resting atau immobilized sel, yaitu produksi biosurfaktan terjadi tanpa diikuti dengan pembelahan sel. 4. Produksi
dengan
memberi
suplemen
prekursor,
yaitu
produksi
biosurfaktan dilakukan dengan penambahan prekursor biosurfaktan pada medium pertumbuhan dengan tujuan pada perubahan kualitatif dan kuantitatif biosurfaktan yang dihasilkan.
2.6.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi Biosurfaktan Secara umum faktor – faktor yang mempengaruhi komposisi dan terakumulasinya biosurfaktan di dalam suatu media pertumbuhan antara lain substrat pertumbuhan, umur kultur, dan kondisi lingkungan (pH dan salinitas, temperatur, agitasi, dan ketersediaan oksigen) (Akbar, 2004; Budiarti, 2000). 1. Substrat Pertumbuhan a. Sumber Karbon Pemilihan sumber karbon mempunyai peran penting terhadap hasil dan struktur biosurfaktan. Sumber karbon yang telah diketahui dapat digunakan untuk produksi biosurfaktan yaitu karbohidrat, hidrokarbon, dan minyak nabati. Beberapa mikroorganisme memproduksi biosurfaktan hanya pada substrat karbohidrat, beberapa
hanya
pada substrat hidrokarbon,
dan beberapa
mikroorganisme ada yang mampu memproduksi biosurfaktan pada substrat dengan beberapa sumber karbon yang digabungkan atau terpisah. Tipe, kualitas, dan kuantitas biosurfaktan yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh sifat sumber karbon (Desai & Banat, 1997). Perbedaan sumber karbon dapat mempengaruhi komposisi dan bagaimana biosurfaktan itu diproduksi. Arthrobacter hanya memproduksi 75% biosurfaktan ekstraseluler ketika ditumbuhkan pada asetat atau etanol, namun dapat mencapai 100% biosurfaktan ekstraseluler ketika ditumbuhkan pada substrat hidrokarbon (Mulligan & Gibbs, 1993). Panjang rantai substrat hidokarbon sering berakibat signifikan terhadap konsentrasi akhir fermentasi biosurfaktan (Georgiou, 1992).
Kemampuan bakteri menggunakan karbon dari substrat pertumbuhannya akan menentukan kualitas dan kuantitas biosurfaktan yang dihasilkan sehingga memberikan aktivitas emulsifikasi yang berlainan, serta perbedaan kemampuan dalam menurunkan tegangan permukaan kultur (Desai & Desai, 1993 dalam Fathimah, 2007). Sumber karbon seperti mannitol, gliserol, dan ethanol mampu digunakan oleh Pseudomonas sp. untuk memproduksi rhamnolipid, namun produksinya masih lebih rendah dari substrat tidak larut air seperti n-alkana dan olive oil (Desai & Banat, 1997). Bravibacterium mampu tumbuh pada sumber karbon glukosa, gliserol, molasse, gasolin, Canola oil, dan limbah minyak, akan tetapi biosurfaktan tipe gllikolipid hanya dapat diproduksi pada substrat dengan sumber karbon glukosa, gliserol, dan Canola oil. Penurunan tegangan permukaan terbaik didapat pada substrat gliserol (Samadi et al., 2007). Sandri (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Lysinibacillus sphaericus mampu tumbuh pada sumber karbon yang berbeda dan memproduksi biosurfaktan dengan indeks emulsifikasi biosurfaktan yang berbeda pula. Crude gliserol, oli bekas, dan crude oil merupakan sumber karbon yang dapat digunakan oleh L. spaerichus dalam pertumbuhannya dan produksi biosurfaktan. Oli bekas dan crude oil mengandung senyawa yang heterogen, hal ini menyebabkan
lambatnya
pertumbuhan
sel
bakteri
dan
mempengaruhi
biosurfaktan yang dihasilkan (Sandri, 2009). Gliserol mudah dimanfaatkan oleh bakteri karena bersifat larut air dan asam lemak bebas yang terkandung dapat merangsang pembentukan biosurfaktan dengan cepat (Bidlan et al., 2007).
Moussa et al (2006) dalam penelitiannya diketahui bahwa pada produksi biosurfaktan oleh Nocardia amarae dengan peningkatan konsentrasi olive oil hingga
mencapai
konsentrasi
3%(v/v)
menyebabkan
kenaikan
jumlah
biosurfaktan namun pada konsentrasi >3%(v/v) jumlah biosurfaktan menurun. Rashedi et al., (2005b) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa gliserol menunjukkan merupakan substrat yang paling baik untuk produksi rhamnolipid oleh strain P. aeruginosa CFTR-6 dibandingkan dengan substrat gasolin, paraffin oil, dan whey. Pada konsentrasi 5% gliserol diperoleh biomassa tertinggi dan produksi rhamnolipid terbanyak. Namun, pada gliserol dengan konsentrasi lebih dari 5% gliserol terjadi penghambatan pada pertumbuhan bakteri dan produksi biosurfaktan. Penghambatan ini diduga berkaitan dengan solubilitas gliserol dan kesulitan bakteri untuk memperoleh nutrisi dalam medium kultur. Nugroho (2006b) dalam penelitiannya telah memperoleh penurunan tegangan permukaan yang cenderung meningkat secara teratur sesuai dengan peningkatan konsentrasi paraffin dalam media kultur. Semakin tinggi konsentrasi parafin dalam media maka semakin tinggi pula penurunan tegangan permukaan yang dihasilkan. Suryatmana (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi glukosa yang digunakan dalam pertumbuhan Azotobacter chroococcum untuk produksi biosurfaktan maka semakin tinggi pula produksi biosurfaktan yang dihasilkan. Begitu pula dengan Rashedi et al (2005a) dalam penelitiannya diketahui bahwa produksi biosurfaktan oleh Pseudomonas aeruginosa meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi molasse sebagai satu – satunya sumber karbon.
Sedangkan Ruzniza (2005) pada penelitiannya menyebutkan bahwa terjadi perbedaan signifikan pada biomassa sel isolat ETL-CR1 antara penambahan 1 mM glukosa dengan 3 mM – 10mM glukosa. Dan tidak terjadi perbedaan signifikan biomassa sel pada medium dengan penambahan 3 mM – 10 mM glukosa. b. Sumber Nitrogen Nitrogen merupakan unsur lain yang dibutuhkan dalam medium pertumbuhan yang dibutuhkan mikroba untuk produksi biosurfaktan. Sumber nitrogen dalam medium juga memberikan hasil yang baik dalam produksi biosurfaktan. Sumber nitrogen juga berperan sebagai pengontrol pH dalam medium. Garam ammonium dan urea memberikan hasil yang lebih baik untuk produksi biosurfaktan oleh A. paraffineus. Disamping itu nitrat mendukung produksi biosurfaktan lebih banyak oleh P. aeroginosa (Desai & Banat, 1997). Sandri (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pertumbuhan L. spaerichus lebih tinggi ketika ditumbuhkan dalam medium dengan ammonium nitrat dibandingkan dengan urea sebagai sumber nitrogen, namun produksi biosurfaktan pada medium dengan ammonium nitrat lebih rendah dibandingkan dengan urea. Makkar & Cameotra (2002) menyebutkan bahwa sodium nitrat, potassium nitrat, dan urea merupakan sumber nitrogen yang paling baik untuk pertumbuhan Bacillus subtilis dibandingkan dengan sumber nitrogen lain yang dicobakan (peptone, yeast ekstrak, beef ekstrak, tripton, ammonium nitrat, dan sodium sulfat).
Syldatk (1985) dalam Desai & Banat (1997) menyebutkan bahwa ketersediaan nitrogen yang terbatas tidak hanya menyebabkan produksi biosurfaktan yang berlebih namun juga mengubah komposisi dan biosurfaktan yang dihasilkan. Budiarti (2001) menyebutkan bahwa pertumbuhan bakteri B4 pada medium urea sebagai sumber nitrogen lebih baik dibandingkan dengan media yeast ekstrak. Konsentrasi nitrogen yang terlalu tinggi dalam suatu medium pertumbuhan dengan hidrokarbon sebagai satu-satunya sumber karbon dapat menyebabkan keracunan pada bakteri. 2. Umur Kultur Umur kultur merupakan faktor yang penting untuk memproduksi biosurfaktan dalam kultur batch. Semakin tua umur kultur, maka semakin banyak nutrisi yang digunakan oleh mikroorganisme, sehingga nutrien dalam medium kultur batch semakin terbatas. Hal tersebut dapat mengakibatkan akumulasi produk sisa metaboilisme yang menyebabkan perubahan pada metabolisme sel dan produksi biosurfaktan. Bertambahnya umur kultur dapat berhubungan pula dengan pembentukan permukaan sel mikroba yang hidrofobik untuk digunakan dalam deemulsifikasi emulsi minyak dalam air ( Kosaric, 1987 dalam Budiarti, 2000). Produksi biosurfaktan secara signifikan meningkat pada saat memasuki fase stasioner sampai fase kematian bakteri (Mulligan & Gibs, 1993). 3. Kondisi Lingkungan Faktor – faktor lingkungan yang berpengaruh dalam produksi biosurfaktan adalah pH dan salinitas, temperatur, agitasi, dan ketersediaan oksigen. Faktor – faktor tersebut disamping mempengaruhi hasil biosurfaktan juga mempengaruhi
pertumbuhan dan aktifitas sel. Sebagian besar biodegradasi oleh bakteri terjadi pada pH netral. Sandri (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pertumbuhan L. spaerichus dan aktivitas emulsi yang baik diperoleh pada pH 6. Salinitas dapat berfungsi dalam membantu keseimbangan konsentrasi mineral dalam sel. Apabila salinitas terganggu, maka akan mempengaruhi pertumbuhan sel dalam produksi biosurfaktan (Budiarti, 2000). Abu Ruwaida et al (1991) dalam Al-Araji et al (2007) menyebutkan bahwa pengaruh salinitas terhadap produksi biosurfaktan tergantung pada efek aktivitas seluler. Kenaikan dan penurunan temperatur kemungkinan berperan dalam mengubah metabolisme mikroba. Pada kultur batch isolat AB-Cr1 dan ETL-Cr1 dengan variasi suhu 30ºC sampai 55º, diperoleh temperatur yang optimum pada suhu 37ºC untuk produksi biosurfaktan terbanyak (Ruzniza, 2005). Kenaikan kecepatan agitasi menghasilkan penurunan produksi biosurfaktan oleh Nocardia erythropolis (Desai & Banat, 1997). Pada penelitian yang lain, produksi biosurfaktan meningkat ketika agitasi dan aerasi ditingkatkan (Desai & Banat, 1997).
2.6.5. Ekstraksi Biosurfaktan Biosurfaktan adalah lipid yang mengandung molekul amphipatik dan dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut organik. Ekstraksi (recovery) biosurfaktan bergantung pada pertukaran ion, kelarutan terhadap air, dan lokasi produk biosurfaktannya (intraseluler, ekstraseluler, atau berikatan dengan sel). Umumnya teknik ekstraksi biosurfaktan yang digunakan pada sistem batch adalah
metode ekstraksi dengan pelarut kloroform-metanol, diklorometan-metanol, butanol, etil asetat, pentana, hexana, asam asetat, eter, dan lain-lain. Sebagian besar biosurfaktan dikeluarkan dalam medium dan diisolasi dari kultur filtrat atau supernatan (Desai & Banat, 1997; Gautam dan Tyagi, 2006). Glikolipid dari P. aeroginosa dan U. zeae diekstraksi dengan presipitasi asam pada suhu rendah. Glikolipid yang lain berasal dari populasi mikroba dan rhamnolipid berasal dari kedua bakteri P. aeroginosa dan C. lipolitica berhasil diekstraksi dengan pelarut kloroform-metanol (Desai & Banat, 1997). Diantara ketiga pelarut (kloroform-metanol, etil asetat pada kondisi asam (pH 2), dan diklorometan dengan ultrasonik, pelarut kloroform-metanol (1:1 v/v) merupakan pelarut yang efisien dalam ekstraksi bioemulsi yang melekat pada sel dari suspensi sel Myroides sp (Maneerat & Dikit, 2007). Biosurfaktan merupakan molekul amphipatik yang bisa diekstraksi menggunakan pelarut organik. Variasi tiap pelarut organik bisa digunakan baik secara tunggal maupun kombinasi. Daud et al (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dengan menggunakan pelarut kombinasi kloroform:methanol (2:1) diperoleh crude biosurfaktan sebanyak 7 g/l dan hasil ini memberikan hasil yang lebih banyak dibandingkan dengan crude biosirfaktan yang diperoleh menggunakan pelarut MTBE:kloroform.
2.7.
Indeks Emulsifikasi (IE24%) Indeks Emulsifikasi (IE24%) merupakan aktifitas emulsifikasi yang terjadi
pada hidrokarbon uji dan ditetapkan sebagai persentase tinggi lapisan emulsi
(mm) dibagi dengan total tinggi dari cairan kolom (Kumar et al., 2008). Emulsifikasi minyak oleh biosurfaktan terjadi karena adanya ikatan antara gugus hidrofobik dari tetes minyak dengan gugus hidrofilik dari biosurfaktan dengan membentuk struktur misel yang berukuran mikron sehingga menyebabkan minyak terdispersi dalam larutan dan terjadi emulsifikasi antara minyak-biosurfaktan dan air (Suryatmana et al., 2006). Menurut Barnet et al (1974) dalam Noviana (1998) misel adalah agregat molekul aktif permukaan yang membentuk fase non-polar dalam larutan air yang akan mengikat konsentrasi molekul hidrokarbon yang lebih besar daripada fase air itu sendiri, sehingga misel dapat dikatakan bekerja sebagai paket transport bagi hidrokarbon. Fathimah (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan oleh Pseudomonas sp. dalam kultur dengan substrat glukosa memiliki aktivitas emulsifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan biosurfaktan yang dihasilkan dengan substrat yang lain. Biosurfaktan yang dihasilkan memiliki kemampuan dalam mengemulsi beberapa jenis hidrokarbon uji yaitu solar, minyak pelumas, dan heksadekan. Besarnya kemampuan biosurfaktan dalam mengemulsi hidrokarbon bergantung pada jenis biosurfaktan dan minyak uji yang digunakan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juni – November
2009 di
Laboratorium Mikrobiologi Balai Teknologi Lingkungan – BPPT, Serpong.
3.2.
Alat dan Bahan Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar air flow
cabinet (Panasonic), rotary shaker (Multi Shaker PSU 20 Boeco), inkubator (Memmert),
sentrifuge (Sorvall®RMC 14), spektrofotometer UV-Vis (V-530
Jasco), pH meter (WTW 82362 Weilheim), Vortex (Yellow Line), timbangan analitik (Sartorius – CP224 S), autoklaf (All American Model No. 25 X), hot plate (Cimarec®2), rotary evaporator (Heidolph), labu distilasi (Iwaki Pyrex), corong pisah (Iwaki Pyrex), oven (Memmert), Microwave (Panasonic), Mikropipet, erlenmeyer (Iwaki Pyrex) 500 ml dan 250 ml, cawan petri (Iwaki Pyrex), tabung reaksi (Iwaki Pyrex), botol Schott Duran, glass beker (Iwaki Pyrex), mikrotip, mikrotube, ose lup, bunsen, penggaris (cm), dan kamera digital. Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri Lysinibacillus spaerichus, medium Bushnell-Haas (per liter akuades) (Atlas, 1994): 0,2 gram MgSO4.7H2O; 1 gram K2HPO4; 1 gram KH2PO4; 0,05 gram FeCl3; 1 gram NH4NO3; 0,02 gram CaCl2.2H2O; dan ditambahkan 1,2 gram yeast ekstrak. Bushnell-Haas Agar, crude gliserol (limbah biodiesel) sebagai sumber
karbon, akuades, NaCl fisiologis 0,85%, kloroform:metanol, HCl, dan hidrokarbon uji (bensin).
3.3.
Cara Kerja
3.3.1. Penguapan Gliserol Gliserol sebelum disterilisasi diuapkan terlebih dahulu diatas hot plate dengan suhu 80 – 100 0C selama ±1 jam, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memurnikan gliserol dengan memisahkan metanol.
3.3.2. Pembuatan Medium Bushnell-Haas Sebanyak 0,2 gram MgSO4.7H2O; 1 gram K2HPO4; 1 gram KH2PO4; 0,05 gram FeCl3; 1 gram NH4NO3; 0,02 gram CaCl2.2H2O; dan 1,2 gram yeast ekstrak dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 1L, ditambahkan crude gliserol (limbah biodiesel) sebagai sumber karbon sebanyak 2%, 4%, da 6% v/v, seluruh komponen dilarutkan dengan akuades hingga mencapai 1L dan diaduk hingga larut. pH medium diatur pada pH 7 selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121
0
C selama 15 menit. Untuk pembuatan Bushnell-Haas Agar,
dimasukkan semua komponen diatas (tanpa crude gliserol) dan ditambahkan 15 gram agar (Atlas, 2004).
3.3.3. Peremajaan Kultur Stok Satu ose isolat dari kultur stok diinokulasikan ke dalam agar miring Bushnell-Haas dengan cara gores. Kemudian diinkubasi selama 24 – 48 jam pada suhu 28 0C.
3.3.4. Pembuatan Kurva Standar Kultur stok ditambahkan sebanyak 10 ml medium cair Bushnell-Haas, lalu dikocok menggunakan vortex dengan kecepatan maksimum. Dilakukan pengenceran dengan akuades menggunakan rasio perbandingan konsentrasi pengenceran 0,5%, 1%, 1,5%, 2%, dan 2,5%, dan dari tiap pengenceran dilakukan pengukuran kekeruhan dengan menggunakan spektrofotometri pada panjang gelombang 600nm dan jumlah sel dengan total plate count (TPC). Data dari TPC dan kekeruhan diplotkan dalam bentuk kurva sebagai kurva standar. Data yang diperoleh dijadikan sebagai acuan untuk pengukuran jumlah sel pada tahap selanjutnya. Total plate count (TPC) dilakukan dengan menggunakan medium Bushnell-Haas Agar dan pengenceran berseri. Pengenceran berseri dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1 ml kultur dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 9 ml larutan NaCl fisiologis 0,85% steril ke dalamnya, lalu kocok dengan vortex; suspensi yang terbentuk disebut pengenceran 1:10 atau 10-1. Kemudian diambil 1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan NaCl fisiologis 0,85% steril, lalu kocok dengan vortex; suspensi yang terbentuk disebut pengenceran 1:10 atau 10-2. Selanjutnya
lakukan cara yang serupa untuk pengenceran
10 -3 10-4 10-5 sampai dengan
pengenceran 10-10 (jumlah pengenceran dalam satu seri tergantung pada kekeruhan kultur). Dari tiga pengenceran terakhir (10-8 10 -9 dan 10 -10 ) masing-masing diambil 0,1 ml dengan menggunakan pipet steril yang berbeda, kemudian dilakukan inokulasi pada tiga plat agar berbeda yang telah berisi medium Bushnell-Haas Agar. Suspensi disebarkan pada permukaan plate agar dengan menggunakan batang glass drygalski hingga merata secara aseptis. Selanjutnya Plat agar diinkubasi pada suhu 280C selama 24 - 48 jam. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah koloni yang tumbuh pada setiap plate agar. Jumlah yang dapat dihitung adalah 30-300 koloni. Jumlah sel dinyatakan dengan rumus:
∑koloni x n + ∑koloni x n + ∑koloni x n 10-1 10-1 10-1 3 Ket: n : faktor pengenceran
3.3.5. Pembuatan Prekultur Sebanyak tiga ose isolat dari slant agar diinokulasi ke dalam erlenmeyer ukuran 250 ml yang berisi 80 ml medium Bushnell-Haas+crude gliserol 2% (sebagai sumber karbon), kemudian diinkubasi dalam rotary shaker dengan kecepatan agitasi 120 rpm pada suhu ruang selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pengukuran kekeruhan dari kultur dengan menggunakan spektrofotometri pada
panjang gelombang 600nm. Inokulum prekultur digunakan sebagai inokulum untuk pembuatan kultur kurva pertumbuhan dan optimasi produksi biosurfaktan.
3.3.6. Pembuatan Kurva Pertumbuhan dan Optimasi Produksi Biosufaktan Inokulum dibuat dalam erlenmeyer 250 ml berisi 80 ml medium BushnellHaas+crude gliserol 2%, 4%, dan 6% (v/v) yang ditambahkan 5% (v/v) inokulum yang berasal dari prekultur, kemudian diinkubasi pada rotary shaker dengan agitasi 120 rpm pada suhu ruang. Pada jam ke-0 dan tiap 24 jam berikutnya dilakukan pengukuran kekeruhan dengan menggunakan spektrofotometri pada panjang gelombang 600nm dan indeks emulsi (IE24%)
sebagai uji aktifitas
emulsifikasi biosurfaktan.
3.3.7. Uji Aktifitas Emulsifikasi Uji aktifitas emulsifikasi dilakukan menggunakan metode Cooper dan Goldenberg (1987). Sebanyak 5 ml kultur (3.3.6) disentrifugasi dengan agitasi 5000 rpm selama 30 menit pada suhu 40C dengan tujuan untuk melisiskan sel. Supernatan yang didapat selanjutnya diambil sebanyak 2 ml ditambahkan dengan 3 ml hidrokarbon uji (bensin) dan divortex dengan kecepatan maksimum selama 2 menit. Campuran tersebut kemudian didiamkan selama 24 jam yang selanjutnya diukur dengan perhitungan sebagai berikut : tinggi lapisan emulsi %E24=
x 100% total tinggi
3.3.8. Ekstraksi Biosurfaktan Ekstraksi biosurfaktan dilakukan terhadap kultur dengan nilai IE24% terbaik. Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi dengan menggunakan pelarut kloroform:methanol. Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya (Maneerat & Phetrong, 2007). Tiga puluh ml kultur (3.3.6) disentrifugasi (5000 rpm selama 30 menit pada suhu 4 0C) dengan tujuan untuk melisiskan sel. Supernatan yang didapat kemudian diasamkan dengan HCl sampai pH 2. Selanjutnya didiamkan satu malam
pada
suhu
40C.
Setelah
itu,
supernatan
diekstraksi
dengan
kloroform:methanol (2:1) selama 10 menit dan dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. Pelet yang diperoleh dari hasil ekstraksi berwarna kekuning – kuningan kemudian dikeringkan pada suhu 600C, selanjutnya ditimbang sampai diperoleh berat konstan. Berat ekstrak tersebut merupakan crude biosurfaktan.
3.4.
Analisis Data Untuk memilih konsentrasi gliserol yang memberikan pertumbuhan
optimum bagi L. sphaericus digunakan analisis sidik ragam dengan rancang acak lengkap pada taraf uji 0,05%. Variabel yang dianalisis adalah jumlah sel dan Indeks Emulsi (IE24%) sebagai parameter yang diuji. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan nilai F-hitung dan F-tabel, yaitu jika jika F-hitung < Ftabel maka Ho diterima, dan jika nilai F-hitung > F-tabel maka Ho ditolak. Jika hasil berbeda nyata atau sangat nyata pada taraf signifikansi 95%, maka dilakukan analisis lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Untuk menganalisis hubungan
antara jumlah sel dengan Indeks Emulsi (IE24%) digunakan uji Korelasi Pearson dengan menggunakan SPSS 12. Penentuan keeratan hubungan yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi mengikuti kriteria berikut ini (Nugroho, 2005): 1.
0,00 – 0,2 : Hubungan sangat lemah
2.
0,21 – 0,4 : Hubungan lemah
3.
0,41 – 0,7 : Hubungan kuat
4.
0,7 – 0,9 : hubungan sangat kuat
5.
0,91 – 0,99 : Hubungan sangat kuat sekali
6.
1 berarti korelasi sempurna
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Pertumbuhan Bakteri L. sphaericus Pola pertumbuhan bakteri L. sphaericus pada medium perlakuan crude
gliserol 2%, 4%, 6%, dan kontrol menunjukkan pola yang hampir sama (Gambar 1), yaitu tidak menunjukkan adanya fase adaptasi atau pertumbuhan langsung memasuki fase eksponensial. Hal ini terjadi karena bakteri L. sphaericus ditumbuhkan dalam medium utama pertumbuhan yang sama dengan medium perlakuan, yaitu pada medium Bushnell-Haas+yeast ekstrak dengan penambahan crude gliserol 2%, sehingga sel sudah siap tumbuh dalam medium yang baru tanpa melalui fase adaptasi. Seperti yang dijelaskan oleh Purwoko (2007) bahwa sel tidak memerlukan fase adaptasi ketika ditumbuhkan dalam medium dan lingkungan pertumbuhan yang sama dengan medium dan lingkungan sebelumnya.
Gambar 1. Pertumbuhan Bakteri L. sphaericus pada Medium Perlakuan Crude Gliserol 2%, 4%, 6%, Dan Kontrol. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (tabel 9 dalam lampiran 4) diketahui bahwa pertumbuhan sel dalam medium dengan penambahan crude gliserol lebih besar secara nyata dibandingkan dengan pertumbuhan sel dalam medium kontrol. Hal ini artinya pertumbuhan sel dalam medium dengan penambahan crude gliserol lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sel dalam medium kontrol. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa crude gliserol sebagai sumber karbon dapat memacu pertumbuhan L. sphaericus. Samadi et al (2007) menyebutkan bahwa gliserol merupakan hidrokarbon larut air yang mudah diurai. Oleh karena itu crude gliserol dapat dengan mudah digunakan oleh L. sphaericus sebagai sumber karbon dan pembentukan energi bagi pertumbuhannya sehingga pertumbuhan sel dalam medium dengan penambahan crude gliserol lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sel dalam medium kontrol. Pertumbuhan L. sphaericus dalam medium kontrol tampak mengalami kenaikan pada hari ke-1 kultivasi. Dalam hal ini sel memanfaatkan yeast ekstrak yang terkandung dalam medium kontrol sebagai sumber karbon bagi pertumbuhannya dan pembentukan energi. Budiarti (2001) menyebutkan bahwa yeast ekstrak selain berperan sebagai sumber nitrogen juga dapat digunakan sebagai sumber karbon dalam pembentukan energi bagi pertumbuhan bakteri. Populasi sel pada medium kontrol sesudah hari ke-1 kultivasi mulai terjadi penurunan hingga mencapai fase kematian. Penurunan populasi sel dapat
disebabkan oleh berkurangnya sumber karbon atau sumber nutrisi lain yang terkandung dalam medium. Namun, hal ini tidak terjadi pada pertumbuhan L. sphaericus dalam medium yang ditambahkan dengan crude gliserol. Pertumbuhan L. sphaericus pada medium perlakuan yang ditambahkan dengan crude gliserol sesudah hari ke1 kultivasi masih menunjukkan kenaikan hingga mencapai puncaknya. Dalam hal ini L. sphaericus menggunakan crude gliserol sebagai sumber karbon bagi pertumbuhannya secara langsung setelah suplai yeast ekstrak dalam medium sudah habis tanpa melalui fase adaptasi. Hal ini ditandai dengan terjadinya penurunan populasi sel dalam medium kontrol sesudah hari ke-1 kultivasi sedangkan populasi sel dalam medium dengan penambahan crude gliserol masih naik. Pertumbuhan L. sphaericus dalam medium yang ditambahkan dengan crude gliserol tampak berada pada fase eksponensial sesudah hari ke-0 sampai hari ke-3 kultivasi. Pada fase eksponensial sel melakukan konsumsi nutrien dan proses fisiologis lainnya. Pertumbuhan L. sphaericus dalam medium dengan penambahan crude gliserol tampak memasuki fase stasioner sesudah hari ke-3 hingga hari ke-7 kultivasi, hal ini ditandai dengan jumlah populasi sel yang tetap. Hal ini terjadi dapat disebabkan oleh suplai nutrisi dalam medium sudah habis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap metabolisme L. sphaericus diketahui bahwa L. sphaericus dapat melakukan metabolisme diantaranya yaitu glikolisis, siklus krebs, biosintesis asam lemak, metabolisme
asam
lemak,
metabolisme
gliserolipid,
metabolisme
gliseropospolipid
(http://www.genome.jp/kegg/.).
Dalam
hal
ini
gliserol
dimanfaatkan oleh L. sphaericus sebagai sumber karbon dan energi dalam proses metabolismenya, antara lain sintesis biomassa, sintesis produk ekstraseluler, dan energi pertumbuhan. L. sphaericus memanfaatkan gliserol sebagai sumber energi dalam proses metabolismenya dan memproduksi berbagai jenis biosurfaktan yang kemungkinan dapat dihasilkannya. Disamping faktor nutrisi, pertumbuhan sel juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pH, suhu dan ketersediaan oksigen yang mendukung pertumbuhan (Purwoko, 2007). pH medium pertumbuhan pada awal inkubasi berada pada pH 7, suhu medium pertumbuhan berada pada suhu kamar, dan suplai oksigen dalam medium diperoleh dari pengocokan (rotary shaker) kultur selama inkubasi dengan kecepatan konstan. Sandri (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa L. sphaerichus mampu tumbuh pada kisaran pH 8 sampai 6 dan tumbuh optimum pada pH 6. Menurut Ahmed et al (2007) golongan Lysinibacillus tumbuh pada kisaran nilai pH 9,5 – 5,5. Kondisi pH kultur medium kontrol dan medium yang ditambahkan crude gliserol selama inkubasi memiliki pola yang hampir sama (Gambar 2). pH medium selama inkubasi berada pada kisaran pH 7,3 - 5,6. Penurunan pH yang terjadi selama proses degradasi disebabkan sumber karbon yang terkandung dalam medium merupakan sumber karbon yang sederhana. Seperti yang dijelaskan oleh Nugroho (2006b) bahwa sumber karbon sederhana yang terkandung dalam medium kultur dapat langsung digunakan oleh bakteri untuk metabolismenya sehingga menghasilkan asam – asam organik yang merupakan
sisa dari metabolismenya dan hal ini cenderung menyebabkan pH medium menurun.
Gambar 2. Kondisi pH Kultur Medium Perlakuan Selama Masa Inkubasi. Berdasarkan hasil analisis duncan (tabel 15 dalam lampiran 4) diketahui bahwa pertumbuhan sel pada medium dengan penambahan crude gliserol 2%, 4%, dan 6% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan crude gliserol pada konsentrasi 2% - 6% sebagai sumber karbon tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan L. sphaericus. Hal ini terjadi karena sebagian crude gliserol pada konsentrasi 4% dan 6% dalam medium kultur tidak terpakai untuk pertumbuhan sel. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa konsentrasi crude gliserol yang optimal bagi pertumbuhan L. sphaericus yaitu pada konsentrasi 2%. Dengan demikian dapat disarankan untuk penelitian mendatang perlu dilakukan pengujian dengan menurunkan konsentrasi crude gliserol dibawah 2% guna mengetahui sejak konsentrasi berapa pertumbuhan sel mulai mengalami kenaikan.
4.2.
Aktifitas Emulsifikasi Aktifitas emulsifikasi mulai tampak sejak hari pertama pertumbuhan sel
(Gambar 3). Dalam hal ini aktifitas emulsifikasi yang terjadi menunjukkan bahwa biosurfaktan yang diproduksi oleh isolat bakteri L. sphaericus mampu mengemulsi bensin. Emulsifikasi minyak bensin oleh biosurfaktan tersebut terjadi karena adanya ikatan antara gugus hidrofobik dari tetes minyak dengan gugus hidrofilik dari biosurfaktan dengan membentuk struktur misel yang berukuran mikron, dan menyebabkan minyak terdispersi dalam larutan. Sehingga terjadi emulsifikasi antara minyak-biosurfaktan dan air.
Gambar 3. Indeks Emulsifikasi (IE24%) L. sphaericus pada Medium Perlakuan Crude Gliserol 2%, 4%, 6%, Dan Kontrol.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (tabel 18 dalam lampiran 4) diketahui bahwa IE24% dari biosurfaktan medium yang ditambahkan dengan crude gliserol tampak lebih besar secara nyata dengan IE24% biosurfaktan medium kontrol. Artinya bahwa IE24% biosurfaktan dari medium yang ditambahkan crude gliserol lebih tinggi dibandingkan dengan IE24% biosurfaktan medium kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan crude gliserol
sebagai sumber karbon mampu meningkatkan produksi biosurfaktan. Seperti yang disebutkan oleh Bidlan et al (2007) bahwa gliserol mudah dimanfaatkan oleh bakteri karena asam lemak bebas yang terkandung dapat merangsang bakteri untuk memproduksi biosurfaktan dengan cepat. Dalam penelitian ini sumber karbon pada medium kontrol hanya diperoleh dari yeast ekstrak. Apabila dibandingkan IE24% dari biosurfaktan medium kontrol pada hari ke-4 kultivasi (IE24% tertinggi) dengan IE24% dari biosurfaktan medium crude gliserol 6% pada hari yang sama terdapat 18% perbedaannya. Artinya dengan penambahan crude gliserol 6% sebagai sumber karbon dihasilkan biosurfaktan 18% lebih banyak dari biosurfaktan yang dihasilkan dalam medium kontrol. Berdasarkan hasil analisis duncan (tabel 24 dalam lampiran 4) diketahui bahwa IE24% yang berasal dari biosurfaktan kultur medium dengan penambahan crude gliserol 2%, 4%, dan 6% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan crude gliserol pada konsentrasi 2% sampai dengan 6% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkan oleh L. sphaericus. Hal ini terjadi karena sebagian crude gliserol pada konsentrasi 4% dan 6% dalam medium kultur tidak terpakai untuk pertumbuhan sel dan uji emulsifikasi. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa konsentrasi crude gliserol yang optimal untuk indeks emulsi biosurfaktan yang dihasilkan oleh L. spaerichus yaitu pada konsentrasi 2%. Dengan demikian dapat disarankan untuk penelitian mendatang perlu dilakukan pengujian dengan menurunkan konsentrasi crude gliserol dibawah 2% guna mengetahui sejak
konsentrasi berapa indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkan oleh L. spaerichus mulai mengalami kenaikan. 4.3.
Hubungan Produksi Biosurfaktan dengan Pertumbuhan Sel Nilai IE24% biosurfaktan tertinggi dari medium dengan penambahan crude
gliserol diperoleh pada akhir fase eksponensial yaitu pada hari ke-3 kultivasi, sedangkan nilai IE24% biosurfaktan cenderung konstan selama fase stasioner (Gambar 4). Artinya biosurfaktan lebih banyak dihasilkan pada akhir fase eksponensial, hal ini menunjukkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan oleh L. sphaericus merupakan metabolit primer. Seperti yang disebutkan oleh Tabatabaee et al (2005) dan Abouseod et al (2008) bahwa biosurfaktan yang diproduksi lebih banyak selama fase eksponensial menunjukkan bahwa biosurfaktan tersebut merupakan produk metabolit primer.
Gambar 4. Pola Pertumbuhan Sel dan IE24% pada Medium Crude Gliserol Berdasarkan analisis korelasi hubungan antara pertumbuhan sel dengan produksi biosurfaktan menunjukkan hubungan yang kuat (r = 0,993) (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa produksi biosurfaktan sejalan dengan pertumbuhan sel. Dalam hal ini pola produksi biosurfaktan dari L sphaericus termasuk dalam tipe produksi pertumbuhan gabungan (growth-associated production), yaitu
produksi biosurfaktan meningkat sejalan dengan kenaikan pertumbuhan sel. Seperti yang disebutkan oleh Desai & Banat (1997) bahwa pada produksi pertumbuhan gabungan terjadi hubungan yang berbanding lurus antara pertumbuhan sel dan produksi biosurfaktan.
150000
Jumlah sel/ml
100000
50000
0 0
20
40
60
Indeks Emulsi
Gambar 5. Kurva Korelasi Hubungan antara Pertumbuhan L. sphaericus dengan Indeks Emulsifikasi Biosurfaktan yang dihasilkannya.
4.4.
Ekstraksi Biosurfaktan Biosurfaktan merupakan molekul amphipatik yang terdiri dari bagian
hidrofilik yang bersifat polar dan bagian hidrofobik yang bersifat non-polar (AlAraji et al., 2007). Biosurfaktan dapat diekstraksi menggunakan sistem pelarut organik baik dengan pelarut tunggal maupun kombinasi pelarut (mix solvent). Kombinasi pelarut (mix solvent) umumnya digunakan untuk memudahkan
penyesuaian polaritas antara pelarut sebagai agen pengekstraksi dan biosurfaktan yang akan diekstraksi. Proses pemisahannya berdasarkan perbedaan kelarutan (Kuyukina, et al., 2001). Umumnya ekstraksi biosurfaktan yang digunakan dalam sistem batch yaitu dengan menggunakan pelarut kloroform-metanol, diklorometan-metanol, butanol, etil asetat, pentana, hexana, asam asetat, eter, dan lain-lain. Pelarut ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pelarut yang mampu mengikat kedua molekul polar dan non-polar. Pada penelitian ini, ekstraksi biosurfaktan dilakukan dengan menggunakan kombinasi pelarut kloroform dengan metanol (2:1 v/v). Molekul hidrofilik dari biosurfaktan akan terikat oleh pelarut metanol (polar) sedangkan molekul hidrofobik dari biosurfaktan akan terikat oleh kloroform (nonpolar). Berdasarkan ekstraksi biosurfaktan yang dilakukan dengan menggunakan pelarut kloroform-metanol (2:1 v/v) berhasil diperoleh crude biosurfaktan sebanyak 6,7 g/l. Hasil ini hampir sebanding dengan hasil ekstraksi biosurfaktan yang diperoleh Daud et al (2007) dalam penelitiannya yaitu sebanyak 7 g/l dimana ekstraksi juga dilakukan dengan menggunakan kombinasi pelarut kloroform dan methanol (2:1 v/v).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan
1. Tidak terdapat perbedaan nyata terhadap pertumbuhan L. spaerichus diantara ketiga konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, dan 6%. Namun, bila dibandingkan pertumbuhan L. spaerichus dalam medium dengan penambahan crude gliserol dengan medium kontrol (tanpa crude gliserol) terdapat perbedaan yang nyata. Konsentrasi crude gliserol yang optimal untuk pertumbuhan L. spaerichus yaitu pada konsentrasi 2%. 2. Tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap Indeks Emulsi diantara ketiga konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, dan 6%. Namun, bila dibandingkan Indeks Emulsi dalam medium dengan penambahan crude gliserol dengan medium kontrol (tanpa crude gliserol) terdapat perbedaan yang nyata. Konsentrasi crude gliserol yang optimal untuk Indeks Emulsi biosurfaktan yang dihasilkan oleh L. spaerichus yaitu pada konsentrasi 2%.
5.2.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian pertumbuhan L. spaerichus dan IE24% dengan interval tiap 6-8 jam pada hari pertama kultivasi. 2. Perlu dilakukan penelitian terhadap pertumbuhan L. spaerichus dan Indeks Emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkannya dengan menggunakan konsentrasi crude gliserol dibawah 2%.
DAFTAR PUSTAKA Abouseoud, M., R. Maachi, A. Amrane, S. Boudergua, dan A. Nabi. 2008. Evaluation of different carbon and nitrogen sources in production of biosurfactant by Pseudomonas fluorescens. Desalination. 223: 143–15. Abu-Ruwaida, A. S., I. M. Banat, S. Haditirto, S. Salem, dan A. Kadri. 1991. Isolation of biosurfactant producing bacteria product characterization and evaluation. Acta Biotech, 11(4): 315-24. Aditiawati, P., D. I. Astuti, dan I.N.P. Aryantha. 2001. Produksi biosurfaktan oleh bakteri hidrokarbonoklastik untuk bioremediasi tumpahan minyak bumi. Laporan Hasil Penelitian. Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi MIPA – ITB. Bandung. Ahmed, I., A. Yokota, A. Yamazoe, dan T. Fujiwara. 2007. Proposal of Lysinibacillus boronitolerans gen. nov. sp. nov., and transfer of Bacillus fusiformis to Lysinibacillus fusiformis comb. nov. and Bacillus sphaericus to Lysinibacillus sphaericus comb. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology. 5: 1117–1125. Akbar, M.A. 2004. Optimasi sumber karbon dan konsentrasi pada produksi biosurfaktan oleh bakteri isolat 1G dari tarakan. Tesis. Fakultas Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Bandung. Al-Araji, L., R.N.Z.R.A. Rahman, M. Basri,
dan
A.B. Salleh.
2007.
Microbial
surfactant. Asia Pacific Journal of Molecular Biology and Biotechnology. 15 (3): 99-105. Ashok, B. T., S. Saxena., dan J. Susarrat. 1995. Isolation and characterization of four polycyclic aromatic hidrocarbon degrading bacteria from soil near on oil refinery. Letter in Applied Microbiology. The Society for Applied Bacteriology. 21: 246-248. Atlas, R.M. 2004, Handbook of Microbiological Media – 3rd ed, CRC Press. Washington D.C. Bidlan, R., N. Deepthi, N.K. Rastogi, dan H.K. Manonmani. 2007. Optimised production of biosurfactant by Serratia marcescens DT-1P. Research Journal of Microbiology. 2 (10): 705-716. Budiarti, R.S. 2000. Optimasi konsentrasi crude oil dan sumber nitrogen pada produksi biosurfaktan oleh bakteri hidrokarbonoklastik dan bangko. Tesis. Fakultas Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Bandung. Cooper, D.G. dan B.G. Goldenberg. 1987. Surface-active agent from two Bacillus species. Applied and Environmental Microbiology. 53 (2): 224-229.
Daud, F. N., A. Yahya, M. M. Salleh, N. Suhaimi, dan C. Hui Xuan. 2007. Production of biosurfactant by locally isolated thermophilic facultatively anaerobic bacteria strain B160. Journal of Kustem. Biology Department, Faculty of Science, Universiti Teknologi Malaysia. Desai, J.D. dan I.M. Banat. 1997. Microbial production of surfactants and their commercial potential. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 61(1):47–64. Fatimah. 2007. Uji produksi biosurfaktan oleh Pseudomonas sp. pada substrat yang berbeda. Berkala Penelitian Hayati. (12): 181–185. Gautam, K.K. dan V.K. Tyagi. 2006. Microbial Surfactant: A Review. Journal of Oleo Science. 55 (4): 155-166. Georgiou, G., Sung-Chyr Lin, dan M.M. Sharma. 1992. Surface compounds from microorganisms. Bio/Technology. 10: 60 – 65. Karanth, N.G.K., P.G. Deo dan N.K. Veenanadig. 2005. Microbial production of biosurfactants and their importance. Kitamoto D., H. Yanagishita, T. Shinbo, T. Nakane, C. Kamisawa, dan T. Nakahara. 1993. Surface active properties and antimicrobial activities of mannosylerythritol lipids as biosurfactants produced by Candida antartica. Journal of Biotechnology. 29 (1-2) : 91-96. Kosaric, N. 2001. Biosurfactants and their application for soil bioremediation. Food Technol. Biotechnol. 39(4): 295–304. Kumar, M., V. Leo´n, A. De Sisto Materano, O. A. Ilzins, dan L. Luis. 2008. Biosurfactant production and hydrocarbon-degradation by halotolerant and thermotolerant Pseudomonas sp. World J Microbiol Biotechnol. (24):1047–1057. Kuyukina, M.S., I.B. Ivshina, J.C. Philp, N. Christofi, S.A. Dunbar, dan M.I. Ritchkova. 2001. Recovery of Rhodococcus biosurfactants using methyl tertiary-butyl ether extraction. Journals of Microbiological Methods. 46: 149-156. Makkar, R.S. dan S.S. Cameotra. 2002. Effect Various Nutritional supplements on biosurfactant production by a strain of Bacillus subtilis at 450C. Journal of Surfactant and Detergent. 5 (1): 11 – 17.
Maneerat, S. dan K. Phetrong. 2007. Isolation of biosurfactant-producing marine bacteria and characteristics of selected biosurfactant. Songklanakarin Journal Science Technology. 29(3): 781-791. Maneerat, S. dan P. Dikit. 2007. Characterization of cell-associated bioemulsifier from Myroides sp. SM1, a marine bacterium. Songklanakarin Journal Science Technology. 29(3) : 769-779 Moussa, T.A.A.,G.M. Ahmed dan S.M-S. Abdel-Hamid. 2006. optimization of cultural conditions for biosurfactant production from Nocardia amarae. Journal of Applied Sciences Research. 2(11): 844-850. Mulligan, C.N. dan B.F. Gibbs. 1993. factors influencing the economics of biosurfactants. dalam: Kosaric, N. (ed.). Biosurfactants Production, Properties and Applications: 329-37. New York: Marcel Dekker, Inc. Noviana, H. 1998. Isolasi dan karakterisasi bakteri hidrokarbonoklastik dari salah satu sumur minyak bumi di sumatera. Tesis. Fakultas Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Bandung. Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistic Penelitian dengan SPSS. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Nugroho, A. 2006a. Biodegradasi sludge minyak bumi dalam skala mikrokosmos: simulasi sederhana sebagai kajian awal bioremediasi land treatment. Makara, Teknologi. 10(2): 82-89. ______. 2006b. Produksi biosurfaktan oleh bakteri pengguna hidrokarbon dengan penambahan variasi sumber karbon. Biodiversitas. 7 (4): 312-316 Pikoli, M.R. 2000. Isolasi Bertahap Bakteri Termofilik Pendegradasi Minyak Bumi dari Sumur Bangko. Tesis. Program Studi Mikrobiologi ITB. Bandung. Poedjiadi, A. 1994. Dasar – Dasar Biokimia. UI-Press. Jakarta. Purwoko, T. 2007. Fisiologi Mikroba. Bumi Aksara. Jakarta Rahman, P.K.S.M., dan E. Gakpe. 2008. Production, Characterisation and Application of Biosurfactant-Review. Biotechnology 7 (2): 360 – 370. Rashedi, H., M.M. Assadi, B. Bonakdarpour, dan E. Jamshidi. 2005a. Environmental importance of rhamnolipid production from molasses as a carbon source. International Journal Environmental Science Technology. 2(1): 59-62.
_____. 2005b. Isolation and production of biosurfactant from Pseudomonas aeruginosa isolated from Iranian southern wells oil. International Journal Environmental Science Technology. 2(2): 121-127. Rismani, E., J. Fooladi, dan G.H. Ebrahimi Por. 2006. Biosurfactant production in batch culture by a Bacillus licheniformis isolated from the persian gulf. Pakistan Journal of Biological Sciences. 9(13): 2498-2502. Ron, E.Z. dan E. Rosenberg. 2001. Minireview: natural roles of biosurfactant. Environmental Microbiology. 3 (4): 229-236. Rosenberg, E., R. Legmann, A. Kushmaro, R. Taube, E. Adler, dan E. Ron. 1992. Petroleum bioremediation – a multiphase problem. Biodegradation. 3: 213-226. Ruzniza, M.Z. 2005. Production of biosurfactant by locally isolated bacteria from petrochemical waste. Tesis. Faculty of Science. Universiti Teknologi Malaysia. Malaysia. Sandri, D. 2009. Bakteri hidrokarbonoklastik tanah tercemar penghasil biosurfaktan: skrining dan identifikasi bakteri, optimasi produksi dan karakterisasi produknya. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Samadi, N., N. Abadian, A. Akhavan, M. R. Fazeli, A. Tahzibi, dan H. Jamalifar. 2007. Biosurfactant production by the strain isolated contaminated soil. Journal of Biological Sciences. 7(7): 1266-1269. Suryatmana, P. E. Kardena, E. Ratnaningsih, dan Wisjnuprapto. 2006. Karakteristik biosurfaktan dari Azotobacter chroococcum. Jurnal Microbiologi Indonesia. II (1): 30-34. Syafila, M., T. Setiadi, A. H. Mulyadi, dan Esmiralda. 2007. Kajian biodegradasi limbah cair industri biodiesel pada kondisi anaerob dan aerob. PROC. ITB Sains & Teknologi. 39A(1&2): 165-178 165. Syah, A.N.A. 2006. Biodiesel – Jarak Pagar – Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan. Agromedia. Tabatabaee, A., M. M. Assadi, A. A. Noohi, dan V. A. Sajadian. 2005. Isolation of biosurfactant producing bacteria from oil reservoirs. Iranian Journal Environmental Health Science Engineering. 2(1):6-12. Thavasi, R., S. Jayalakshmi, T. Balasubramanian, dan I. M. Banat. 2007. Biosurfactant production by Corynebacterium kutscheri from waste motor
lubricant oil and peanut oil cake. Journal Compilation@2007 The Society for Applied Microbiology, Letters in Applied Microbiology. 45: 686–691. Udiharto, M. 1992. Aktivitas mikroba dalam mendegradasi crude oil. Diskusi Ilmiah VII. Hasil Penelitian Lemigas. Jakarta. _____. 1999. Degradasi senyawa hidrokarbon dan fenol dalam air buangan dari suatu lapangan migas pada kondisi statis. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan. BPPT. Udiharto, M. dan Sudaryono. 1999. Bioremediasi terhadap tanah tercemar minyak bumi parafinik dan minyak bumi aspal. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah dan Pemulihan Lingkungan Lingkungan. BPPT. Zam, S.I. 2006. Bioremediasi limbah pengilangan minyak bumi pertamina up II sungai pakning dengan menggunakan bakteri indigen. Tesis. Fakultas Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Bandung. Zhang, G.L., Wu, Y.T., Qian, X.P., dan Meng, Q. 2005. Biodegradation of crude oil by Pseudomonas aeruginosa in the presence of rhamnolipids. Journal of Zhejiang University Science. 6B(8):725-730. Zuhra, C. F. 2003. Penyulingan, pemrosesan dan penggunaan minyak bumi. Jurusan Kimia – Fakultas MIPA USU. Medan. http://www.genome.jp.kegg/. 15 Februari 2010, pkl. 19.00 WIB.
Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian
Peremajaan Kultur Stok
Pembuatan Prekultur
Pembuatan Kurva Standar
Kurva Tumbuh dan Optimasi Produksi Biosurfaktan
Uji Aktifitas Emulsifikasi
Analisis Data
Lampiran 2. Kurva Standar
Lampiran 3 DATA PENELITIAN Tabel 1. Tabel Data Kontrol Hari 0 1 2 3 4 5 6 7
Absorbansi 3 Rata-rata
1
2
1,02 0,85 0,80 0,70 0,61 0,54 0,44
1,05 0,94 0,90 0,90 0,85 0,78 0,68
1,01 0,93 0,88 0,89 0,87 0,65 0,44
1,03 0,91 0,86 0,83 0,78 0,66 0,52
1 5,19x103 7,2x104 6,21x104 5,88x104 5,3x104 4,78x104 4,39x104 3,8x104
Jumlah sel/ml 2 3 3 5,19x10 5,19x103 7,38x104 7,15x104 6,7x104 6,64x104 6,5x104 6,36x104 6,47x104 6,41x104 6,2x104 6,3x104 4 5,8x10 5x104 4 5,18x10 3,78x104
Rata-rata 5,19x103 7,24 x104 6,52 x104 6,25 x104 6,06 x104 5,76 x104 5,06 x104 4,25x104
Rata-rata log jumlah sel/ml
3,72 4,86 4,81 4,80 4,78 4,76 4,70 4,63
Tabel 2. Tabel Data Crude Gliserol 2% Hari 0 1 2 3 4 5 6 7
Absorbansi 3 Rata-rata
1
2
1,63 1,83 2,08 2,04 2,07 2,15 2,15
1,69 1,91 2,05 2,08 2,08 2,11 2,11
1,97 1,92 2,03 2,03 2,05 2,13 2,16
1,76 1,89 2,05 2,05 2,06 2,13 2,14
1 5,19x103 1,08x105 1,20x105 1,35x105 1,32x105 1,34x105 1,38x105 1,39x105
Jumlah sel/ml 2 3 5,19x103 5,19x103 1,12x105 1,28x105 1,24x105 1,25x105 1,33x105 1,32x105 1,34x105 1,31x105 1,34x105 1,33x105 1,36x105 1,37x105 1,36x105 1,39x105
Rata-rata 5,19x103 1,16x105 1,23x105 1,33x105 1,33x105 1,34x105 1,37x105 1,38x105
Rata-rata log jumlah sel/ml
Tabel 3. Tabel Data Crude Gliserol 4% Hari 0 1 2 3 4 5 6 7
Absorbansi 3 Rata-rata
1
2
1,66 1,81 2,01 1,99 1,95 2,01 2,01
1,67 1,92 2,00 1,99 2,03 2,01 2,02
2,01 2,09 2,03 2,07 2,27 2,47 2,57
1,78 1,94 2,01 2,02 2,08 2,16 2,20
1 5,19x103 1,10x105 1,19x105 1,30x105 1,29x105 1,27x105 1,30x105 1,30x105
Jumlah sel/ml 2 3 5,19x103 5,19x103 1,10x105 1,31x105 1,25x105 1,35x105 1,30x105 1,32x105 1,29x105 1,34x105 1,31x105 1,46x105 1,30x105 1,58x105 1,31x105 1,64x105
Rata-rata 5,19x103 1,17x105 1,26x105 1,31x105 1,31x105 1,35x105 1,39x105 1,42x105
Jumlah sel/ml 2 3 5,19x103 5,19x103 1,06x105 1,05x105 1,21x105 1,20x105 1,28x105 1,27x105
Rata-rata 5,19x103 1,04x105 1,20x105 1,27x105
Rata-rata log jumlah sel/ml
Tabel 4. Tabel Data Crude Gliserol 6% Hari 0 1 2 3
Absorbansi 3 Rata-rata
1
2
1,50 1,83 1,96
1,60 1,85 1,97
1,58 1,83 1,95
1,56 1,84 1,96
1 5,19x103 1,00x105 1,20x105 1,27x105
Rata-rata log jumlah sel/ml
4 5 6 7
1,90 1,92 2,21 2,41
2,01 1,99 1,99 2,00
1,98 2,00 1,98 1,99
1,96 1,97 2,06 2,13
1,24x105 1,25x105 1,42x105 1,54x105
1,30x105 1,29x105 1,29x105 1,30x105
1,29x105 1,30x105 1,28x105 1,29x105
1,28x105 1,28x105 1,33x105 1,38x105
Lampiran 4 Analisis Statistik Jumlah Sel Tabel 5. Tabel Data Ulangan Jumlah Sel Gliserol 0%
2%
4%
6%
0 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103 5,19x103
1 7,20x104 7,38x104 6,09x104 1,08x105 1,12x105 1,28x105 1,10x105 1,10x105 1,31x105 1,00x105 1,06x105 1,0 x105
2 6,21x104 6,70x104 6,64x104 1,20x105 1,24x105 1,25x105 1,19x105 1,25x105 1,35x105 1,20x105 1,21x105 1,20x105
Tabel 6. Tabel Kuadrat Ulangan Jumlah Sel Gliserol 0 1 0% 2,70x107 5,18x109 2,70x107 5,44x109 7 2,70x10 3,71x109 7 2% 2,70x10 1,17x1010 2,70x107 1,24x1010 7 2,70x10 1,64x1010 7 4% 2,70x10 1,21x1010 7 2,70x10 1,21x1010 7 2,70x10 1,71x1010 7 6% 2,70x10 1,01x1010 7 2,70x10 1,13x1010 7 2,70x10 1,11x1010
3 5,88x104 6,50x104 6,36x104 1,35x105 1,33x105 1,32x105 1,30x105 1,30x105 1,32x105 1,27x105 1,28x105 1,27x105 Total
2 3,86x109 4,49x109 4,41x109 1,43x1010 1,55x1010 1,57x1010 1,41x1010 1,57x1010 1,83x1010 1,44x1010 1,47x1010 1,44x1010
Hari 4 5,30x104 6,47x104 6,41x104 1,32x105 1,34x105 1,31x105 1,29x105 1,29x105 1,34x105 1,24x105 1,30x105 1,29x105
5 4,78x104 6,20x104 6,30x104 1,34x105 1,34x105 1,33x105 1,27x105 1,31x105 1,46x105 1,25x105 1,29x105 1,30x105
Hari 3 4 3,46x109 2,81x109 4,22x109 4,19x109 9 4,04x10 4,11x109 10 1,82x10 1,74x1010 1,76x1010 1,80x1010 10 1,73x10 1,73x1010 10 1,69x10 1,67x1010 10 1,68x10 1,67x1010 10 1,74x10 1,80x1010 10 1,62x10 1,53x1010 10 1,64x10 1,70x1010 10 1,61x10 1,66x1010 Total (∑Yijk2)
6 4,39x104 5,80x104 5,00x104 1,38x105 1,36x105 1,37x105 1,30x105 1,30x105 1,58x105 1,42x105 1,29x105 1,28x105
5 2,28x109 3,84x109 3,97x109 1,79x1010 1,81x1010 1,76x1010 1,60x1010 1,73x1010 2,13x1010 1,56x1010 1,67x1010 1,68x1010
Tabel 7. Tabel Total Jumlah Sel Gliserol (A) 0%
0 1,56x104
1 2,07x105
2 1,96x105
Hari (B) 3 4 5 1,87x10 1,82x105
5 1,73x105
6 1,52x105
7 1,28x105
Total (A
1,24x10
2% 4% 6% Total (B)
1,56x104 1,56x104 1,56x104 6,23x104
3,48x105 3,51x105 3,12x105 1,22x106
3,69x105 3,79x105 3,61x105 1,30x106
3,99x105 3,92x105 3,82x105 1,36x106
3,98x105 3,93x105 3,83x105 1,36x106
4,01x105 4,04x105 3,84x105 1,36x106
4,12x105 4,18x105 4,00x105 1,38x106
4,14x105 4,25x105 4,13x105 1,38x106
2,76x10 2,78x10 2,65x10 9,42x10
Tabel 8. Tabel Kuadrat Total Jumlah Sel Gliserol (A) 0% 2% 4% 6% Total (B)
0 2,43x108 2,43x108 2,43x108 2,43x108 3,88x109
1 4,27x1010 1,21x1011 1,23x1011 9,72x1010 1,5 x1012
2 3,82x1010 1,36x1011 1,44x1011 1,30x1011 1,7x1012
Hari (B) 3 4 3,51x1010 3,31x1010 1,59x1011 1,58x1011 1,53x1011 1,54x1011 1,46x1011 1,47x1011 1,8x1012 1,8x1012
5 2,99x1010 1,61x1011 1,63x1011 1,47x1011 1,8x1012
6 2,30x1010 1,70x1011 1,75x1011 1,60x1011 1,9x1012
7 1,63x1010 1,71x1011 1,80x1011 1,71x1011 1,9x1012
Total (A) 1,5 x10 7,60x10 7,71x10 7,02x1 8,8x10
Tabel 9. Tabel Analisis Sidik Ragam Jumlah Sel Sumber Ragam
db
JK
Gliserol Hari Gliserol*hari Galat Total
Perlakuan (p) Ulangan (n) FK
3 7 21 64 95
KT
6,96 x1010 1,21 x1011 1,43 x1010 3,31 x109 2,04 x1011
F-Tabel 5% 2,76 2,17 1,75
F-Hit
2,32 x1010 1,72 x1010 6,80 x108 5,18 x107
448 333 13
1% 4,13 2,95 2,2
= 32 =3 = 9,25 x1011
Kesimpulan : dari keempat perlakuan yang diuji terdapat perbedaan yang sangat nyata. Tabel 10. Tabel Jarak Duncan Jumlah Sel JNT(α,d,v) = JND (α,d,v) * (KTgalat percobaan/r) JND (0.05,6,64)* (5,17x107/3)= 4,15x103 2
3
4
5
6
7
8
9
10
2,829
2,976
3,073
3,143
3,198
3,241
3,277
3,307
3,333
1,1x104
1,2x104
1,2x104
1,3x104
1,3x104
1,3x104
1,3x104
1,3x104
1,3
Tabel 11. Tabel Analisis Duncan Jumlah Sel Gliserol (Hari) 0% (0) 2% (0) 4% (0)
6% (0)
0%(7)
0% (6)
0% (5)
0% (4)
0% (3)
P rp atau JND (α) Rp atau JNT (α)
0% (0) 2% (0) 4% (0) 6% (0) 0% (7)
3,73x104*
3,73x104*
3,73x104*
3,75x104*
0% (6)
4,54 x104*
4,54x104*
4,54x104*
4,55x104*
8,07x103
0% (5)
5,24 x104*
5,24x104*
5,24x104*
5,25x104*
1,51x104*
6,99x103
0% (4)
5,54 x10
4*
4*
4*
4*
5,56x10
1,81x10
4*
1,00x104
3,03 x103
0% (3)
5,54x10
5,54x10
5,73 x104*
5,73x104*
5,73x104*
5,74x104*
1,99x104*
1,18x104
4,86 x103
1,83 x103
0% (2)
6,00 x104*
6,00x104*
6,00x104*
6,01x104*
2,27x104*
1,46x104*
7,60 x103
4,57 x103
2,74 x10
0% (1)
6,37 x10
4*
4*
6,37x10
4*
4*
2,63x10
4*
4*
4
8,26E+03
6,43 x10
9,87 x10
4*
9,87x10
4*
6,14x10
4*
4,63x10
4*
4*
4,14x10
2% (1)
1,11 x10
4*
1,11x10
1,11x10
5*
1,11x10
7,34x10
4*
6,53x10
5,83x10
4*
4*
5,53x10
5,35x10
4% (1)
1,12 x104*
1,12x105*
1,12x105*
1,12x105*
7,43x104*
6,63x104*
5,93x104*
5,62x104*
5,44x10
6% (2)
1,15 x10
4*
5*
1,15x10
5*
5*
7,78x10
4*
4*
6,27x10
4*
4*
5,79x10
2% (2)
1,18 x10
5*
1,18x10
1,18x10
5*
1,18x10
8,05x10
4*
7,24x10
6,55x10
4*
4*
6,24x10
6,06x10
4% (2)
1,21 x105*
1,21x105*
1,21x105*
1,21x105*
8,38x104*
7,58x104*
6,88x104*
6,57x104*
6,39x10
6% (3)
1,22 x10
5*
5*
1,22x10
5*
5*
8,49x10
4*
4*
6,98x10
4*
4*
6,50x10
6% (4)
1,22 x10
5*
1,22x10
1,22x10
5*
1,23x10
8,51x10
4*
7,71x10
7,01x10
4*
4*
6,71x10
6,52x10
6% (5)
1,23 x105*
1,23x105*
1,23x105*
1,23x105*
8,54x104*
7,73x104*
7,03x104*
6,73x104*
6,54x10
4% (3)
1,25 x10
5*
5*
1,25x10
5*
5*
8,80x10
4*
4*
7,29x10
4*
4*
6,81x10
4% (4)
1,26 x10
5*
1,26x10
1,26x10
5*
1,26x10
8,83x10
4*
8,03x10
7,33x10
4*
4*
7,03x10
6,84x10
2% (4)
1,27 x105*
1,27x105*
1,27x105*
1,27x105*
9,00x104*
8,19x104*
7,49x104*
7,19x104*
7,01x10
2% (3)
1,28 x10
5*
5*
1,28x10
1,28x10
5*
5*
1,28x10
9,05x10
4*
4*
8,25x10
7,55x10
4*
4*
7,24x10
7,06x10
6% (6)
1,28 x105*
1,28x105*
1,28x105*
1,28x105*
9,07x104*
8,27x104*
7,57x104*
7,27x104*
7,08x10
2% (5)
1,28 x10
5*
5*
1,28x10
5*
5*
9,11x10
4*
4*
7,61x10
4*
4*
7,12x10
4% (5)
1,29 x10
5*
1,29x10
1,29x10
5*
1,30x10
9,21x10
4*
8,41x10
7,71x10
4*
4*
7,40x10
7,22x10
2% (6)
1,32 x105*
1,32x105*
1,32x105*
1,32x105*
9,49x104*
8,68x104*
7,98x104*
7,68x104*
7,50x10
6% (7)
1,32 x10
5*
5*
1,32x10
5*
5*
9,52x10
4*
4*
8,01x10
4*
4*
7,52x10
2% (7)
1,33 x10
5*
1,33x10
1,33x10
5*
1,33x10
9,55x10
4*
8,74x10
8,04x10
4*
4*
7,74x10
7,56x10
4% (6)
1,34 x105*
1,34x105*
1,34x105*
1,34x105*
9,69x104*
8,89x104*
8,19x104*
7,88x104*
7,70x10
4% (7)
5*
5*
5*
5*
4*
4*
4*
4*
7,92x10
6% (1)
1,36 x10
6,37x10
4*
9,87x10
5*
1,15x10
5*
1,22x10
5*
1,25x10
5*
1,28x10
5*
1,32x10
5*
1,36x10
1,36x10
6,38x10
4*
9,88x10
5*
1,15x10
5*
1,22x10
5*
1,25x10
5*
1,29x10
5*
1,33x10
5*
1,37x10
9,91x10
Keterangan : * menunjukkan perbedaan nyata yang signifikan.
1,83x10
4*
5,33x10
4*
6,97x10
4*
7,68x10
4*
7,99x10
4*
8,31x10
4*
8,71x10
4*
9,10x10
1,13x10
8,40x10
4,33x10
5,97x10
6,68x10
6,99x10
7,30x10
7,71x10
8,10x10
Tabel 12. Tabel Jarak Duncan Jumlah Sel Gliserol (Hari) 2% (1) 4% (1) 2% (1) 4% (1) 9,45 x102 6% (2) 4,39 x103 3,44 x103 3 2% (2) 7,12 x10 6,18 x103 4% (2) 1,04 x104 9,49 x103 4 6% (3) 1,15 x10 1,05 x104 4 6% (4) 1,17 x10 1,08 x104 4 6% (5) 1,20x10 1,10 x104 4* 4% (3) 1,46 x10 1,36 x104 4* 4% (4) 1,50 x10 1,40 x104*
JNT(α,d,v) = P rp atau JND (α) Rp atau JNT (α)
6% (2)
2% (2)
4% (2)
6% (3)
6% (4)
2,74 x103 6,04 x103 7,11 x103 7,36 x103 7,58 x103 1,02 x104 1,06 x104
3,31 x103 4,37 x103 4,63 x103 4,84 x103 7,46 x103 7,83 x103
1,06 x103 1,32 x103 1,54 x103 4,15 x103 4,53 x103
2,56 x102 4,72 x102 3,09 x103 3,46 x103
2,16 x102 2,83 x103 3,21 x103
JND (α,d,v) * (KTgalat percobaan/r) JND (0.05,6,64)* (5,17x107/3) 10 3,333 7993
2% (4) 2% (3) 6% (6) 2% (5) 4% (5) 2% (6) 6% (7) 2% (7) 4% (6) 4% (7) Gliserol (Hari) 2% (4) 2% (3) 6% (6) 2% (5) 4% (5) 2% (6) 6% (7) 2% (7) 4% (6) 4% (7)
1,66 x104* 1,71 x104* 1,74 x104* 1,77 x104* 1,87 x104* 2,15 x104* 2,18 x104* 2,21 x104* 2,35 x104* 2,57 x104* 2% (4)
1,57 x104* 1,62 x104* 1,64 x104* 1,68 x104* 1,78 x104* 2,06 x104* 2,08 x104* 2,11 x104* 2,26 x104* 2,47 x104* 2% (3)
1,22 x104 1,28 x104 1,30 x104 1,33 x104 1,43 x104* 1,71 x104* 1,74 x104* 1,77 x104* 1,91 x104* 2,13 x104* 6% (6)
9,49 x103 1,00 x104 1,02 x104 1,06 x104 1,16 x104 1,44 x104* 1,46 x104* 1,50 x104* 1,64 x104* 1,86 x104* 2% (5)
6,18 x103 6,71 x103 6,92 x103 7,30 x103 8,31 x103 1,11 x104 1,13 x104 1,17 x104 1,31 x104 1,53 x104* 4% (5)
5,12 x103 5,65 x103 5,86 x103 6,24 x103 7,24 x103 1,00 x104 1,03 x104 1,06 x104 1,20 x104 1,42 x104* 2% (6)
4,86 x103 5,39 x103 5,60 x103 5,98 x103 6,99 x103 9,76 x103 1,00 x104 1,03 x104 1,18 x104 1,39 x104* 6% (7)
5,31 x102 7,42 x102 1,12 x103 2,13 x103 4,90 x103 5,16 x103 5,47 x103 6,93 x103 9,07 x103
2,10 x102 5,90 x102 1,59 x103 4,37 x103 4,62 x103 4,94 x103 6,40 x103 8,54 x103
3,80 x102 1,38 x103 4,16 x103 4,41 x103 4,73 x103 6,19 x103 8,33 x103
1,00 x103 3,78 x103 4,03 x103 4,35 x103 5,81 x103 7,95 x103
2,78 x103 3,03 x103 3,35 x103 4,80 x103 6,95 x103
2,56 x102 5,71 x102 2,03 x103 4,17 x103
3,15x102 1,77 x103 3,92 x103
Tabel 13. Tabel Analisis Duncan Jumlah Sel
Tabel 14. Tabel Notasi Interaksi Jumlah Sel 0%(0) A
2%(0) A
4%(0) A
6%(0) A
0%(7)
0%(6)
B
B C
0%(5)
0%(4)
0%(3)
0%(2)
0%(1)
C D
C D
C D E
D E
D E
6%(1)
2%(1)
F
F G
2%(2) G H I J K
4%2) G H I J K
6%(3) G H I J K
6% 4) G H I J K
6% (5) G H I J K M
4% (3)
4% (4)
2% (4)
2% (3)
H I J K M
I J K M
I J K M
I J K M
6% (6)
I J K M
2% (5)
4% (5)
I J K M
J K M
Tabel 15. Tabel Ringkasan Interaksi Jumlah Sel HARI 0 1 2 3 4 A DE DE CDE CD 0% A FG GHIJK IJKM IJKM 2% A FG GHIJK HIJKM IJKM 4% A F GHI GHIJK GHIJK 6% Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. GLISEROL
Analisis Statistik Indeks Emulsi Tabel 16. Tabel Ulangan Indeks Emulsi Ulangan Hari Gliserol 0 1 2 3 4 5 6 7 Total 0 0 43 69 65 67 68 65 14 391 0 0% 0 21 36 42 63 50 45 64 321 0 0 38 42 45 39 48 40 30 282 0 0 43 63 70 70 67 77 69 459 0 2% 0 59 64 64 67 68 71 68 461 0 0 64 58 64 64 68 66 65 449 0 0 60 63 69 70 67 77 70 476 0 4% 0 65 62 63 64 61 64 67 446 0 0 65 65 65 65 61 65 68 454 0 0 60 68 73 70 74 80 77 502 0 6% 0 44 62 65 65 67 64 66 433 0 0 53 62 62 65 64 60 66 432 0 Total (Yij) 5106
1 1,85 x103 4,41 x102 1,44 x103 1,85 x103 3,48 x103 4,10 x103 3,60 x103 4,23 x103 4,23 x103 3,6 x103 1,94 x103 2,81 x103
2 4,76 x103 1,30 x103 1,76 x103 3,97 x103 4,10 x103 3,36 x103 3,97 x103 3,84 x103 4,23 x103 4,62 x103 3,84 x103 3,84 x103
5 CD IJKM JKM HIJKM
3 4,23 x103 1,76 x103 2,03 x103 4,90 x103 4,10 x103 4,10 x103 4,76 x103 3,97 x103 4,23 x103 5,33 x103 4,23 x103 3,84 x103
Tabel 17. Tabel Total Indeks Emulsi Total Indeks Emulsi
Kuadrat Ulangan Hari 4 4,49 x103 4,62 x10 3,97 x103 2,50 x10 1,52 x103 2,30 x10 4,90 x103 4,49 x10 4,49 x103 4,62 x10 4,10 x103 4,62 x10 4,90 x103 4,49 x10 4,10 x103 3,72 x10 4,23 x103 3,72 x10 4,90 x103 5,48 x10 4,23 x103 4,49 x10 4,23 x103 4,10 x10 Total
Total Kuadrat Indeks
hari (B)
gliserol (A)
0
1
2
3
4
5
6
7
0%
0
102
147
152
169
166
150
108
total (A) 9.94 x102
Hari 0
1
2
3
0
1,04 x104
2,16 x104
2,31 x104
2,86 x10
2% 4%
0 0
166 190
185 190
198
201
197
199
203 189
214 206
202
1.37 x103
205
3
1.38 x10
3
0
2,76 x104
3,42 x104
3,92 x104
4,04 x10
0
3,61 x10
4
3,61 x10
4
3,88 x10
4
3,96 x10
4
3,69 x10
4
4,00 x10
4
4,00 x10
5,58 x105
5,91 x10
6%
0
157
192
200
200
205
204
209
1.37 x10
0
2,46 x10
total (B)
0
615
714
747
769
763
774
724
5.11 x103
0
3,78 x105
5,10 x105
Perlakuan (p) = 32 Ulangan (n) =3 FK = 9,25 x1011Sidik Ragam Indeks Emulsi Tabel 18. Tabel Analisis Sumber Ragam
Db
Gliserol Hari Gliserol*hari Galat Total
JK
KT 4
3 7 21 64 95
4,44x10 4,03x104 1,7x103 4,7x103 5,1x104
F-Tabel 5% 2,76 2,17 1,75
F-Hit 3
1,48 x10 5,76 x103 83 74
20 78 1
1% 4,13 2,95 2,2
Kesimpulan : dari keempat perlakuan yang diuji terdapat perbedaan yang sangat nyata. Tabel 19. Tabel Jarak Duncan Indeks Emulsi
JNT(α,d,v) = P rp atau JND (α) Rp atau JNT (α)
JND (α,d,v) * (KTgalat percobaan/r) JND (0.05,6,64)* (104,5/3)=5 2
3
4
2,829 2,976 3,073
5
6
7
8
9 10 3,307 3,333
3,143 3,198 3,241 3,277 16
14
15
15
17
16
16
16
16
6% (0)
0% (1)
0% (7)
0% (2)
0% (3)
6% (1)
2 3 6 6 7 13
1 4 4 5 11
3 3 4 10
Tabel 20. Tabel Analisis Duncan Indeks Emulsi
Gliserol (Hari) 0% (0) 2% (0) 4%(0) 6% (0) 0% (1) 0% (7) 0% (2) 0% (3) 6% (1) 0% (5) 2% (1) 0% (4) 2% (2)
4% (0)
0% (0)
36* 38* 49* 51* 52* 55* 55* 56* 62*
36* 38* 49* 51* 52* 55* 55* 56* 62*
2% (0)
36* 38* 49* 51* 52* 55* 55* 56* 62*
36* 38* 49* 51* 52* 55* 55* 56* 62*
2 4 15 17* 18* 21* 21* 22* 28*
2 13 15 16 19* 19* 20* 26*
0% (5)
1 7
2% (1)
4% (5) 4% (1) 4% (2) 6% (2) 0% (6) 4% (3) 2% (3) 4% (4) 6% (3) 6% (4) 2% (4) 2% (7) 2% (5) 6% (6) 4% (7) 6% (5) 4% (6) 6% (7) 2% (6)
63* 63* 63* 64* 65* 66* 66* 66* 67* 67* 67* 67* 68* 68* 68* 68* 69* 70* 71*
63* 63* 63* 64* 65* 66* 66* 66* 67* 67* 67* 67* 68* 68* 68* 68* 69* 70* 71*
63* 63* 63* 64* 65* 66* 66* 66* 67* 67* 67* 67* 68* 68* 68* 68* 69* 70* 71*
63* 63* 63* 64* 65* 66* 66* 66* 67* 67* 67* 67* 68* 68* 68* 68* 69* 70* 71*
29* 29* 29* 30* 31* 32* 32* 32* 33* 33* 33* 33* 34* 34* 34* 34* 35* 36* 37*
27* 27* 27* 28* 29* 30* 30* 30* 31* 31* 31* 31* 32* 32* 32* 32* 33* 34* 35*
14 14 14 15 16 17* 17* 17* 18* 18* 18* 18* 19* 19* 19* 19* 20* 21* 22*
12 12 12 13 14 15 15 15 16 16 16 16 17* 17* 17* 17* 18* 19* 20*
11 11 11 12 13 14 14 14 15 15 15 15 16 16 16 16 17 18* 19*
8 8 8 9 10 11 11 11 12 12 12 12 13 13 13 13 14 15 16
10 11 11 11 12 12 12 12 13 13 13 13 14 15 16
Keterangan : * menunjukkan perbedaan nyata yang signifikan. Tabel 21. Tabel Jarak Duncan Indeks Emulsi JNT(α,d,v) = JND (α,d,v) * (KTgalat percobaan/r) P rp atau JND (α) Rp atau JNT (α)
Gliserol
JND (0.05,6,64)* (104,5/3) 10 3,333 11
4%
Tabel 22. Tabel Analisis Duncan Indeks Emulsi
4% 4% 6% 0% 4% 2% 4% 6% 6% 2% 2% 2% 6%
(Hari) 4% (5) 4% (1) 4% (2) 6% (2) 0% (6) 4% (3) 2% (3) 4% (4) 6% (3) 6% (4) 2% (4) 2% (7) 2% (5) 6% (6) 4% (7) 6% (5) 4% (6) 6% (7) 2% (6)
(5)
(1)
(2)
(2)
(6)
(3)
(3)
(4)
(3)
(4)
(4)
(7)
(5)
(6)
1 2 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 6 7 8
1 2 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 6 7 8
1 2 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 6 7 8
1 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 6 7
1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 5 6
1 1 1 1 2 2 2 2 3 4 5
1 1 1 1 2 2 2 2 3 4 5
1 1 1 1 2 2 2 2 3 4 5
1 1 1 1 2 3 4
1 1 1 1 2 3 4
1 1 1 1 2 3 4
1 1 1 1 2 3 4
1 2 3
1 2 3
Keterangan : * menunjukkan perbedaan nyata yang signifikan.
Tabel 23. Tabel Notasi Interaksi Indeks Emulsi 0% 2% 4% 6% 0% 0% 0% 0% (0) (0) (0) (0) (1) (7) (2) (3) A A A A B B B C C C D D E
6% 0% 2% 0% 2% 4% 4% 4% (1) (5) (1) (4) (2) (5) (1) (2)
C D E F
D E F
D E F
D E F
D E F
D E F
D E F
D E F
G 4% (4) E F G
6% (3) E F G
6% (4) E F G
2% (4) E F G
2% (7) E F G
G
G
G
G
G
G
2% 6% 4% 6% 4% 6% 2% (5) (6) (7) (5) (6) (7) (6) F G
F G
F G
F G
F G
F G
G
Tabel 24. Tabel Ringkasan Interaksi Indeks Emulsi Hari
Gliserol 0
1
2
3
4
5
6
7 BC
0%
A
B
BCD
CDE
DEFG
DEFG
EFG
2%
A
DEFG
DEFG
EFG
EFG
FG
G
EF
4%
A
DEFG
DEFG
EFG
EFG
FG
FG
F
6%
A
CDEF
DEFG
EFG
EFG
FG
FG
F
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Lampiran 5. Gambar Penelitian Gambar 1. Kultur Medium Crude Gliserol Biodiesel
A. 0%
B. 2 %
Gambar 2. Alat Rotary Evaporator
Gambar 3. Hasil Ekstraksi
Biosurfaktan
C. 4%
D. 6%