PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM FILM ALKAUTSAR Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh RINAL RINOZA NIM: 104051001846
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H
Rinal Rinoza NIM: 104051001846
Abstrak Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar Film ini berkisah tentang seorang santri Pondok Pesantren Pabelan yang bernama Saiful Bahri yang dikirim untuk mengajar ke sebuah desa. Tekadnya untuk menegakkan kebenaran agama banyak menghadapi rintangan terutama dari Tuan Harun yang memfitnahnya dan sikap Haji Musa selaku tokoh agama yang disegani di kampung tersebut yang kurang bersimpati kepada Saiful karena perbedaan pandangan keagamaan. Dalam setiap dialog yang terjadi antara Haji Musa dan Saiful acapkali diwarnai perbedaan, Haji Musa disatu sisi konservatif dan Saiful Bahri disisi lain reformis yang membawa gagasan pembaruan di desa tersebut. Dalam film ini bagaimana usaha Saiful Bahri untuk menegakkan kebenaran dengan meretas jalan dakwah melalui nilai-nilai pembaruan yang ia bawa dari Pesantrennya untuk diimplementasikan di desa sekarlangit. Bagaimana pula usaha Saiful untuk meyakinkan Haji Musa dan penduduk desa terhadap gagasan pembaruannya dan membuktikan dirinya bersih dari segala tuduhan fitnah yang ditimpakan kepadanya. Secara teoritis, saya mendasarkan pada teori komunikasi antar budaya. Dalam pada itu, komunikasi antar budaya terjadi dalam ragam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur yang berbeda. Secara metodologis, skripsi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Metodologi ini digunakan karena sesuai dengan konteks film Al-Kautsar yang mengisahkan perbedaan antara kedua pemahaman dalam menginterpretasikan ajaran Islam dan keteguhan tokoh protagonis dalam menegakkan kebenaran menuju perubahan di penduduk desa sekarlangit. Kedatangan Saiful Bahri tokoh protagonis dalam film ini menimbulkan konflik karena ketidaksenangan tokoh antagonis yang diwakili Tuan Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk melenyapkan Saiful mulai dari percobaan pembunuhan, memfitnah Saiful melakukan hubungan serong dengan seorang janda yang bernama Halimah hingga pengrusakan Madrasah yang ia kelola. Selain itu, mula-mula kehadiran Saiful menimbulkan pertentangan dengan Haji Musa tokoh ulama setempat yang sangat dihormati karena Saiful membawa gagasan-gagasan pembaruan dalam Islam dan setiap dialog yang terjadi dengan sangat jelas memperlihatkan perbedaan pandangan tersebut. Film Al-Kautsar merupakan pandangan pembuatnya yakni Chaerul Umam dan Asrul Sani untuk mengedepankan gagasan Islam yang modernis. Film ini berangkat dari struktur kehidupan sosial dan beragama umat Islam dan pembuatnya mencoba merepresentasikan Islam yang modernis dan membawa gagasan pembaruan untuk responsif terhadap perubahan.
i
KATA PENGANTAR
Bismilahirahmanirahim Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan nikmat-Nya dan tak lupa penulis sampaikan salawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi bagi para mujaddid-mujaddid untuk melakukan pencerahan kepada umat Islam. Penulis merasa bersyukur atas selesainya skripsi ini dengan perjuangan yang panjang selama 1,5 tahun waktu pengerjaan yang sempat tertunda karena berbagai hal dan penulis merasa bahagia dengan selesainya skripsi ini. Selama waktu pengerjaan yang begitu panjang banyak sekali pengalaman dan wawasan baru yang penulis dapat untuk memperkaya isi skripsi ini dan adapun berbagai kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini menurut hemat penulis adalah bagian dari sebuah proses untuk ‘menjadi’. Proses inilah yang mengantarkan penulis sampai dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan, perhatian, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis untuk menyampaikan penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 2. Bapak Drs. Jumroni, M.Si selaku Ketua Jurusan dan Ibu Umi Musyarofah, MA selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang senantiasa membantu penulis dalam berbagai hal termasuk memberi kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Murodi, MA selaku Pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis.
ii
4. Kepada Yang Terhormat Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, Gun Gun Heryanto, M. Si, Dra. Armawati Arbi, M.Si, Dr. Umaimah Wahid, M.Si dan Drs. Syifak Masyuhudi, M.Si yang telah memberikan insight kepada penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak H. Chaerul Umam selaku sutradara film Al-Kautsar yang penulis teliti di skripsi ini, terima kasih atas waktu dan pemikirannya dalam pengerjaan skripsi ini. 6. Kedua orang tuaku tercinta, Ismet Tanjung dan Maharni yang telah memberikan kasih sayang dan doanya yang tak pernah putus yang luar biasa kepada penulis, karenanyalah aku bisa kuliah. Dan kedua adikku Andio dan Vina yang selalu mengingatkanku untuk segera selesaikan kuliah. 7. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Perpustakaan FFTV IKJ “Terima kasih Mas Ridwan copyan filmnya”, Perpustakaan Sinematek ”Terima kasih materi naskah skenario film AlKautsarnya”, dan Perpustakaan Unika Atmajaya. 8. Mas Ekky Imanjaya yang telah bersedia membantu dengan berkorespondensi via email dengan memberikan buah pemikirannya mengenai film-film Islam sebagai referensi yang berharga bagi penulis, juga kepada mas Eric Sasono, bang Hafiz yang telah membuka cakrawala berpikir penulis tentang konteks kritik film serta Veronica Kusuma yang baik hati sumbang pemikiran dan buku-buku yang dipinjamkan dan yang diberikan kepada penulis. 9. Sahabat-sahabatku yang dipertemukan di kelas KPI C 2004: Ray Sangga Kusuma, Hayustiro, Murniati, Iskandar, Etty Maryati, Agustin Intan serta Edwin Saleh, Lutfi Anwar, dan teman-teman KPI C 2004 yang lain. Kenangan bersama kalian adalah kekayaan hati buat aku.
iii
10. Kawan-kawan Laskar Kertamukti 2007: Ghulam Mubarok, Kahfi, Khusnul Anwar. Spirit perjuangan dan persyarikatan yang mempertemukan hati kita. Dan juga Muhammad Hajid, penulis banyak belajar memahami sebuah kerendahhatian dan keramahan. Tak ketinggalan Viki Fahmi dan Hilmi Arif yang begitu pengertian dan memaklumkan tingkah laku penulis. 11. Zakka Abdul Malik dan
Irfanul Hakim yang ikut membantu penulis dalam
pengerjaan skripsi ini, thanks foto & tape recordernya! 12. Sahabat-sahabat yang selalu baik padaku: Kesy Wulansari, Intan Leliana, Farah Nurul Hikam, Arry Susanty, Sa’ada Pueri Natasari, Ana Sabhana, Dhini Utami dan Rina Amalia Budiati yang di Tasikmalaya terima kasih curahan perhatiannya kepada penulis. Kalian semua perempuan yang istimewa buat aku! 13. Keluarga keduaku di Ciputat kawan-kawan di Komunitas Djuanda. Dan juga kawankawan LS-ADI: Saiful Munir, Rezza,, Ki Bagus Hadikusuma. Rasanya aku jadi muda terus bersama kalian! Penulis mohon maaf tidak dapat menyebut satu persatu, tapi dukungan orang-orang yang telah membantu baik langsung dan tak langsung penulis sangat hargai dan berterima kasih banyak. Akhirul kalam, penulis haturkan rasa syukur atas selesainya skripsi ini dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. Ciputat, 12 Agustus 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK............................................................................................................ i KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................. 11 D. Metodologi Penelitian ............................................................... 12 E. Sistematika Penulisan ............................................................... 13 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya...................................... 16 1.Teori Komunikasi Antar Budaya........................................... 16 2. Proses Komunikas Antar Budaya.......................................... 20 B. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya................................... 21 1. Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap........................................ 23 1.1. Sistem Keyakinan.......................................................... 23 1.2. Sistem Nilai................................................................... 25 1.3. Sistem Sikap.................................................................. 26 2. Pandangan Dunia ................................................................. 27 3. Organisasi Sosial.................................................................. 28 C. Teori Film ................................................................................. 26 D. Struktur Film ............................................................................. 31 BAB III FILM AL-KAUTSAR DAN DERIVASI GAGASANNYA A. Gambaran Umum Film Al-Kautsar dan Konteks Historisnya ..... 41 B. Relevansi Film Al-Kautsar dengan Gagasan Pembaruan............. 54 C. Representasi Islam dalam Sinema: Studi Atas Film Al-Kautsar .. 57 1. Catatan Awal bagi Representasi Islam dalam Sinema Indonesia.............................................................................. 57 2. Representasi dan Film Profetik............................................. 68 3. Film Al-Kautsar sebagai Representasi Islam yang Transformatif ....................................................................... 69 D. Sekilas Profil Pembuat Film Al-Kautsar..................................... 71 1. Asrul Sani ............................................................................ 71 2. Chaerul Umam..................................................................... 73 BAB IV
ANALISIS DATA FILM AL-KAUTSAR
iii
A. Jalan Cerita Film Al- Kautsar dan Kontekstualisasinya Dalam Gagasan Pembaruan Islam (Tinjauan Konsepsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar)...................... 76 B. Tinjauan Teoritis Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar......................................................................... 81 C. Tinjauan Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya ...................... 87 1. Unsur Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap ............................ 93 2. Unsur Pandangan Dunia ....................................................... 102 3. Unsur Organisasi Sosial ....................................................... 105
BAB V Penutup A. Kesimpulan ............................................................................... 115 B. Saran-saran................................................................................ 117
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 118 LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................... 123
iv
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Film Al-Kautsar dibuat ditengah kondisi perfilman Indonesia yang
bertemakan Islam masih sedikit. Sejarah film Indonesia mencatat produksi filmfilm bertemakan Islam masih dalam kategori minus. Film-film Indonesia masih di dominasi oleh film-film yang bertemakan cinta, remaja, komedi, dan horor.1 Ini dapat dilihat dari jumlah produksi film Indonesia yang masih didominasi oleh genre tersebut. Perilaku dan pola seperti itu bukanlah tanpa sebab, karena pada dasarnya ini merupakan sebuah tradisi yang diwariskan secara terus menerus oleh para pembuat film, baik produser, sutradara, dan
1
Data mengenai tema-tema tersebut dapat dilihat selengkapnya di buku Katalog Film Indonesia 1926-2005, karangan JB Kristanto yang diterbitkan secara bersama oleh Penerbit Nalar, FFTV-IKJ dan Sinematek Indonesia dan juga ulasan JB. Kristanto dalam resensinya yang dimuat di JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia. (Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004). Hal 58. Dalam resensinya JB. Kristanto menuliskan film Al-Kautsar merupakan sebuah film bernafaskan Islam, sebuah film yang boleh dikatakan amat langka, dan bagi produsernya sebuah langkah baru yang cukup berani karena tindakannya ini boleh dibilang agak melawan arus produksi film yang dibanjiri dengan jenis film banyolan, cinta remaja, dan sebagainya. Disamping itu menurutnya, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film kita, yaitu kehidupan desa yang bernafaskan Islam, yang merupakan bagian penting kehidupan kita. Tema-tema tersebut dikategorikan sebagai Dosa Asal (terminologi Dosa Asal penulis pungut dari esai Wicaksono Adi, Dosa Asal Film Indonesia—esai tersebut menurut hemat penulis belum sepenuhnya membedah secara anatomis dan genealogis yang dimaksud dosa asal film Indonesia), film Indonesia di mana pada masa penjajahan kolonial Belanda, film-film di tanah air ditujukan sebagai komoditas barang dagangan yang berorientasi pada akumulasi modal dan ketika itu belum ada kesadaran untuk menjadikan film sebagai ekspresi kebudayaan dan medium perjuangan. Kesadaran mulai tampak tatkala di masa pendudukan Jepang, film dapat dijadikan medium propaganda dan disitulah beberapa seniman mulai menyadari film sebagai alat perjuangan. Usmar Ismail dalam artikelnya, “ Sari Soal dalam Film-film Indonesia”, yang dimuat Star News, Th. III, No.5, 25 September 1954,yang kembali dimuat di Usmar Ismail Mengupas Film, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983) Hal. 55-56, mengatakan dengan jelas bahwa hawa baru yang sebenarnya, baik mengenai isi maupun mengenai proses pembuatan film, datang pada waktu pendudukan Jepang. Meskipun Pemerintah Jepang tidak membawa kemari ahli-ahlinya yang kelas satu, efek dari turut campur tangannya ialah terciptanya pengertian tentang fungsi film yang kemudian akan ternyata berguna sekali bagi usaha-usaha membangunkan film nasional di masa kemerdekaan. Barulah pada masa Jepang orang sadari akan fungsi film sebagai alat komunikasi sosial. Satu hal lagi yang patut dicatat ialah lebih terjaganya bahasa, hingga dalam hal ini tampak bahwa film mulai tumbuh dan mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan.
1
2 distributor film termasuk pihak bioskop. Peta sosiologis penonton film Indonesia pada sebelum kemerdekaan ialah mereka yang bertaraf pendidikan rendah dan biasanya berprofesi sebagai kuli atau orang-orang kelas bawah. Oleh karena itu, mayoritas penonton film Indonesia diperkirakan adalah orang-orang kelas bawah, maka film-film Indonesia yang dibuat oleh produser-produser ini pun adalah film-film bermutu rendah. Yang penting disini bukan lagi kualitas, tapi kuantitas. Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul pertahun yang bisa dihasilkan tanpa pernah bersibuk dengan mutu di balik judul-judul tersebut.2 Karena film dianggap semata-mata barang dagangan, maka yang menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal. Sutradara—yang sebagai pencipta mestinya harus menentukan—di sini harus tunduk saja pada perintah yang punya uang. 3 Misbach Yusa Biran dalam bukunya, Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa menyebutkan bahwa pada akhir 1930-an, dunia film sepenuhnya dikuasai oleh anak wayang, bahkan sampai akhir 1950-an pemain yang berasal dari kalangan bawah yang kebanyakan tidak bisa baca tulis. Mereka mempunyai alasan untuk memasuki profesi ini, seperti ada yang terpikat karena nonton, terpikat oleh Anak Wayang, diajak teman, dibawa keluarga dan sebagainya. Generasi berikut banyak yang merupakan keluarga dari Anak Wayang sendiri karena dari kecil sudah ikut keliling dengan orangtuanya. Mereka ikut tampil sesudah dewasa. Contohnya adalah Roekiah, pemain film paling populer tahun 1938-1942 dan Kasma Booty, bintang film Malaya paling
2 Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press. 1982). Hal 10-11. 3 Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press. 1982). Hal 12
3 populer di Malaya dan Indonesia awal tahun 1950-an. 4 Mereka hidup tertutup disana. Mereka tidak boleh bergaul dengan orang luar. Hal ini dilakukan agar jangan
menghilangkan
kharisma
mereka,
bahkan
kalau
sang
sri
panggung/primadona pindah dari kendaraan masuk ke wilayah panggung, kepalanya ditutup kain agar tidak dilihat masyarakat. Mereka tidak bersentuhan dengan apa yang terjadi di luar dan tidak baca Koran karena tidak bisa baca. 5 Watak inilah yang sangat mempengaruhi film Indonesia saat itu, dengan tingkat literasi yang rendah baik oleh para pemainnya maupun penontonnya yang umumnya kalangan pribumi yang sebagian besar tidak terdidik. Kalangan penonton pribumi kala itu dikenal dengan sebutan slam. Yang dimaksud dengan kata “slam” di atas adalah Pribumi, yang umumnya beragama Islam. Untuk penonton pribumi, sejak 1903 diberikan keringanan agar bisa ikut penonton. Maklum tingkat ekonomi Pribumi umumnya amat rendah.6 Oleh karena itu, menurut Adi Wicaksono film seolah berada di luar hiruk pikuk pemikiran politik kebudayaan pada masanya dan dibuat semata-mata sebagai hiburan, kelangenan, pelipur lara.7 Maka, film sebagai seni bazaar, yang dimunculkan dalam konteks masyarakat kolonial yang majemuk, tidak dapat berperan sebagai alat integratif budaya. Dalam masyarakat bazaar orang membeli hiburan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi dan status sosialnya. 8 Kini, film Indonesia pun masih mewariskan kultur dan watak dari periode awal perfilman nasional. Faktor genealogis inilah yang masih
4
Misbcah Yusa Biran Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa, (Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2009). Hal 9 5 Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 10 6 Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 30 7 Adi Wicaksono , Dosa Asal Film Indonesia http://www.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm 8 Taufik Abdullah, dkk. Film Indonesia Bagian I; 1900-1950. (Jakarta: Dewan Film Nasional, 1993). Hal 13
4 mempengaruhi perfilman nasional saat ini walaupun secara tidak langsung generasi pembuat film dewasa ini tidak mempunyai hubungan langsung dengan generasi awal namun dilihat dari sifatnya tak dapat dielakkan lagi. Menurut Adi Wicaksono dalam esainya Dosa Asal Film Indonesia, ia menyatakan bahwa apa yang menjadi momok bagi perfilman nasional ialah film Indonesia tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia hingga kini belum berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Fakta bahwa film adalah benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia. Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk budaya sekaligus produk industri. 9 Menurut Usmar Ismail (1983), film sebagai alat komunikasi masa dewasa ini telah dipakai untuk berbagai tujuan. Bagi mereka yang melihat film itu sebagai media seni an-sich, sebagai media seni tok dan menterapkan “seni untuk seni”, film hanyalah suatu media untuk menyatakan pikiran, perasaan, isi hati, kadang-kadang nafsu mereka pribadi dengan tidak memperdulikan norma, nila-nilai selain daripada ukuran-ukuran mereka sendiri sebagai seniman. 10 Usmar Ismail juga mengkritik pemahaman film-film yang dibuat berdasarkan segi komersil belaka, menurutnya film sifatnya tidak lagi memberikan sekedar hiburan saja, tetapi dengan sengaja merangsang dan menghidupkan gairah nafsu yang rendah, dan membangkitkan histeri manusia. Di bidang sinematografi, ekses-ekses komersialisme ini menampakkan diri dalam film-film sensasional, film-film seks, kejahatan, kekerasan dan
9 Adi Wicaksono, Dosa Asal Film Indonesia, http://www2.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm 10 Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film. (Cet. I. Bandung: Penerbit Sinar Harapan. 1983). Hal 98
5 kekejaman, pendeknya yang dapat membangkitkan bulu tengkuk. Adapun mengenai persoalan ini perlu diadakan penelitian secara saksama, karena pada umumnya film-film yang dibikin, dimana pun di dunia dewasa ini tidak bisa dilepaskan sama sekali dari perhitungan untung rugi. Baik di Negara-negara sosialis di mana Negara yang menjadi produsernya ataupun Negara-negara kapitalis di mana swasta yang menjadi pengusahanya, maupun di negara-negara Pancasila seperti Indonesia, umumnya film-film dibuat dengan pengharapan untuk pasaran yang seluas-luasnya. Hanyalah dalam pertimbangan masingmasing produser itu ada perbedaan yang bertingkat-tingkat.11 Usmar Ismail dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa bagi sineas-sineas Muslim Indonesia, yang harus diutamakan adalah juga patriot bangsa, adalah menjadi kewajiban untuk menjadikan film media perjuangan dan media dakwah Islamiyah. Ditilik dari sudut ideologi, pekerjaan itu bukanlah merupakan suatu problem yang sukar, justru karena filsafat negara dan bangsa Indonesia sudah dicakup oleh ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian tiap pengungkapan ayat Allah serta kata perbuatan Rasulullah Saw, secara sinematografis dengan sendirinya juga akan turut membina jiwa Pancasila yang berpucukkan takwa kepada Allah SWT. Dan selanjutnya pengungkapan-pengungkapan ajaran Bung Karno, yang sudah disimpulkan beliau dalam ajimat revolusi yang semuanya adalah juga diajarkan Islam, bagi para seniman Muslimin dalam pemikiranpemikiran menghadapi kewajiban di atas dunia yang fana ini, untuk mendapatkan kerelaan Allah SWT kelak di alam baka. Karena memang Allah menciptakan dunia untuk manusia dan manusia untuk akhirat.12
11
Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film. (Cet. I Bandung: Penerbit Sinar Harapan. 1983). Hal 98-9 12 Usmar Ismail, Usmar Ismail … Hal 99
6 Usmar Ismail dalam tulisannya mengatakan bahwa jika penulis-penulis Muslimin sudah sadar dan menghayati sumber-sumber ilham yang terdapat dalam ayat-ayat Allah serta hadis-hadis sahih Nabi Besar Muhammad SAW dan mereka telah menguasai pula teknik penulisan skenario, maka insya Allah pada suatu ketika kita pun akan dapat membanggakan film-film yang benar-benar diabdikan di atas jalan Allah. Ini berarti bahwa kita tidak boleh membuat filmfilm, apalagi yang komersial tujuannya seperti film-film keagamaan: “The Ten Commandements” atau “King of Kings”. Tetapi jika seniman Muslimin di dalam karya-karyanya berdasarkan atas ajaran-ajaran agamanya membela kepentingan-kepentingan kaum kecil, kaum yang tertindas, kaum Marhaen dan segala sesuatu yang dilakukannya “karena Allah semata-mata”, maka itu adalah fardhu kifayah
baginya. Artinya, itu adalah suruhan Allah yang mesti
dikerjakannya, “mendorong kepada kebajikan dan mencegah kejahatan”. 13 Dalam pada itu, Usmar Ismail menambahkan bahwa membuat film untuk maksud komersial semata-mata, seperti yang telah dikemukan di atas dengan panjang lebar, teranglah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Maka hanyalah tinggal lagi satu jalan bagi para sineas Muslimin, yaitu mengabdikan karya-karya mereka di atas jalan yang telah diredlai Allah yang pada hakikatnya jalan ini cukup lebar, luas dan lapang untuk bergerak. Justru karena sumbersumber ilham adalah langsung dari wahyu Ilahi seperti yang telah dimaktubkan di dalam kitab suci Alquran dan seperti yang telah diteladankan oleh Nabi Besar Muhammad SAW. 14
13 14
Usmar Ismail, Usmar Ismail… Hal 100 Usmar Ismail, Usmar Ismail … Hal 101.
7 Adalah film besutan Asrul Sani yang berjudul Titian Serabut Di Belah Tujuh
15
yang di produksi pada tahun 1959 disebut-sebut sebagai tonggak
kelahiran film bergenrekan agama, film ini mengisahkan seorang guru agama yang bernama Efendi yang diutus ke sebuah desa yang penduduknya sudah kehilangan panutan dan film ini memperlihatkan kondisi sosial keagamaan di Tanah Air. Apabila kita pehatikan dengan seksama poduksi film Indonesia setelah pasca kemerdekaan memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda di bandingkan sebelum kemerdekaan. Pembuatan film Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1926, semasa Indonesia masih dijajah Belanda. Tujuan pembuatan film di masa itu jauh lebih sederhana, yaitu untuk kepentingan dagang. Para pembuat film di masa itu bukanlah orang-orang yang memiliki latar belakang budaya dan politik yang ingin menjadikan film sebagai salah satu bentuk budaya bangsa. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer, menyatakan, bahwa “umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu”.
Dengan kata lain, perkembangan film
Indonesia hanya dapat dipahami dengan baik jika perkembangan itu dilihat dalam hubungannya dengan latar belakang perkembangan sosial budaya bangsa itu. 16 Berdasarkan asumsi tersebut, kita dapat melihat perbedaannya cukup tajam antara film yang di produksi sebelum kemerdekaan dengan film yang di produksi sesudah kemerdekaan. Pada masa pasca kemerdekaan filmdibuat
15
Film Titian Serabut Di Belah Tujuh di produksi lagi pada tahun 1982 dengan disutradarai oleh Chaerul Umam dan penulis skenarionya tetap pada Asrul Sani. Secara substansial film yang diproduksi kembali ini tidak ada perubahan yang signifikan pada ceritanya. 16 Asrul Sani, Sekedar Catatan Buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950). (Jakarta: Penerbit Dewan Film Nasional & Perum Percetakan RI. 1993). Hal. v- vi.
8 membantu “revolusi Indonesia” dengan film dan dengan demikian impian mereka memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia jadi alat untuk melarikan diri dari kenyataan, tapi untuk mendorong dialog dalam diri setiap penonton hingga ia dapat memperoleh gambaran yang lebih jernih tentang kenyataan yang ada di sekitarnya.
17
Begitupun Film-film yang
bertemakan
agama dalam hal ini film-film Islam. Sudut pandang yang
disuguhkan
dalam film Islam adalah mencoba merepresentasikan dan
mengartikulasikan
pengejahwantahan
nilai-nilai
ajaran
Islam
yang
mendasarkan pada kondisi sosio-historis masyarakat atau umat untuk mencapai sebuah dialog antara yang di tonton dengan yang menonton. Kehadiran film-film yang bertemakan Islam penting artinya sebagai media
untuk
mengartikulasikan
dan
merepresentasikan
Islam
kepada
masyarakat yang notabene mayoritas beragama Islam. Berbicara film Islam tak terlepas dari konteks yang melingkupinya, kehadirannya tidak hanya menyuguhkan keberagamaan yang simbolik namun substansi
keberislaman
yang ditampilkan sebagai bagian dari misi profetik dalam menyiarkan Islam. Namun sebelum itu, saya akan menguraikan sedikit ekspresi kebudayaan Islam di mana film juga memainkan peranan yang signifikan bagi kebudayaan Islam. Pada dasarnya, ekspresi kebudayaan Islam tak terlepas dari sistem nilai dalam ajaran Islam sebagai bentuk menifestasi dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang bersumbu pada doktrin tauhid. Di bawah ini saya akan menguraikan secara singkat konsepsi ajaran Islam yang memiliki implikasi pada karya seni dan kebudayaan Islam.
17
Asrul Sani, Sekedar Catatan Buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950). (Jakarta: Penerbit Dewan Film Nasional & Perum Percetakan RI). 1993. Hal v
9 Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam. Tapi kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu diaktualisasikan menjadi amal, bahwa konsep tentang iman, tentang tauhid, harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah zakatmisalnya-adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, di dalam Islam, konsep teosentrisme ternyata bersifat humanistik. Artinya, menurut Islam, manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepantingan manusia sendiri. Humanisme-teosentris inilah yang merupakan nilai-inti (core-value) dari seluruh ajaran Islam.18
18
Humanisme –teosentris menjadi tema sentral peradaban Islam. Arti tema sentral inilah muncul sistem simbol. Sistem yang terbentuk karena proses dialektik antara nilai dan kebudayaan. Misalnya dalam Al-Quran, kita mengenal adanya rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar, yaitu perintah untuk menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran. dari rumusan itu kita melihat adanya dua proses yang sekaligus berlawanan tapi sekaligus merupakan satu kesatuan: emansipasi dan pembebasan. Dalam konteks ini seluruh sistem simbol yang muncul dari rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar ditujukan untuk serangkaian gerakan pembebasan dan emansipasi. Nahiy mungkar, atau mencegah kemungkaran, berarti membebaskan manusia dari semua bentuk kegelapan (zhulumat) alam pelbagai manisfestasinya. Dalam bahasa ilmu sosial, ini juga berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amr ma’ruf yang merupakan langkah berangkai dari gerakan nahiy
10 Dalam konteks ini, apa yang terkandung pada cerita film Al-Kautsar, film yang telah memenangi penghargaan pada Festival Film Asia XVIII di Bangkok untuk kategori Tata Suara terbaik
19
adalah
melakukan dakwah
Islamiyah dengan menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit yang dilakukan oleh tokoh protagonis Saiful Bahri dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang sesuai dengan konteks emansipasi dan pembebasan. Usaha Saiful Bahri dalam melangsungkan dakwahnya terbukti telah memberikan perubahan yang signifikan bagi desa sekarlangit dengan menggagas dan mengimplentasikan Islam yang berpihak pada transformasi sosial. Memang pada awal mulanya usaha untuk merintis gagasan Islam yang transformatif banyak mendapatkan tentangan terutama dari Haji Musa tokoh ulama setempat yang sangat disegani, ditambah ulah seorang tengkulak yang bernama Tuan Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk menghentikan usaha Saiful Bahri dalam menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit. Maka, penulis dengan ini mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi dan
penulis
memberi judul: “Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film AlKautsar” A.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi
penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas pada kajian ini. Penulis hanya membatasi pada isi film Al-Kautsar, dalam hal penulis mengupas jalan cerita film Al-Kautsar dan relevansinya dengan gagasan mungkar, diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia. Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Cet. VIII. (Bandung: Penerbit Mizan. 1998). Hal 228-229 19 JB. Kristanto,Katalog Film Indonesia; 1926- 2005. (Jakarta: Penerbit Nalar-FFTV IKJ, 2005). Hal 145
11 pembaruan Islam—penulis melakukan analisis tinjauan dari konteks konsepsi amar ma’ruf nahi mungkar dan analisis tinjauan perspektif komunikasi antarbudaya yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Berdasarkan pembatasan di atas, maka rumusan yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penjabaran kontekstualisasi gagasan pembaruan Islam dalam film Al-Kautsar? 2. Bagaimana penjabaran analisis tinjauan teoritis komunikasi antarbudaya dalam film Al-Kautsar? 3. Bagaimana unsur-unsur komunikasi antarbudaya dibentuk, dikemas, dan ditetapkan dalam film Al-Kautsar? B.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis rumuskan
di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, di antaranya: 1. Untuk dapat mengetahui hubungan film Al-Kautsar dengan konteks gagasan pembaruan Islam—dalam hal ini tinjauan konsepsi amar ma’ruf nahi mungkar. 2. Untuk dapat mengetahui tinjauan teoritis Komunikasi Antar Budaya dalam film Al-Kautsar. 3. Untuk dapat mengetahui unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terkandung dalam film Al-Kautsar. Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui dengan jelas hubungan film Al-Kautsar dengan gagasan pembaruan Islam terutama konsepsi mengenai amar ma’ruf nahi mungkar 2. Mengetahui dengan jelas analisis tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam film Al-Kautsar.
12 3. Mengetahui dengan jelas unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terkandung dalam film Al-Kautsar 4. Menjelaskan dan mengetahui secara umum unsur-unsur budaya yang menentukan dalam proses Komunikasi Antar Budaya dalam film Al-Kautsar. 5. Memberikan informasi tentang unsur-unsur budaya yang secara langsung pengaruhnya terhadap makna dan persepsi dalam konteks Komunikasi Antar Budaya. 6. Menjadi sumbangan sederhana bagi wacana keilmuan tentang representasi Islam dalam film dan diskursus yang berjalin kelindan antara gagasan pembaruan dan konservatisme.
C.
Metodologi Penelitian Dilihat dari segi tujuannya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif.
Sedangkan dilihat dari segi jenis data, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, yakni dengan cara mencatat dan mendokumentasikan informasi dari bahan-bahan tertulis, yaitu dengan mengumpulkan data-data dari naskah skenario film Al-Kautsar dan materi film Al-Kautsar dalam format DVD sebagai landasan analisis dan pendapat-pendapat para ahli dari berbagai literatur yang ada seperti buku-buku, jurnal, makalah, tulisan-tulisan lain termasuk di internet yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Di samping itu diterapkan juga teknik wawancara.
Observasi dan
wawancara dilakukan untuk memperkuat data-data primer yang bersumber dari naskah film al-Kautsar dan materi filmnya. Peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama. Teknik wawancara diterapkan dengan cara
13 mewawancarai yang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan dibahas. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara induktif, yaitu penulis berangkat dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus, kemudian membuat spesialisasi analisis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Pendekatan induktif jelas pada beberapa jenis analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai yang digambarkan oleh beberapa penulis penelitian kualitatif. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui pengembangan tema-tema yang diikhtisarkan dari data kasar. Pendekatan ini jelas dalam analisis data kualitatif. Ada yang menjelaskan secara gamblang sebagai induktif dan lainnya menggunakan pendekatan tanpa memberikan nama secara eksplisit.20 Dalam penelitian ini, saya berangkat dari pendekatan analisis data kualitatif, di mana data-data yang penulis peroleh berasal dari sumber-sumber yang terdapat dari film Al-Kautsar dan kemudian di sintesiskan dengan data yang bersumber pada konteks film Al-Kautsar. Jadi, data yang ada sesuai dengan konteks film yang penulis teliti, artinya memiliki relevansinya dengan objek penelitian penulis. Adapun Teknik dan sistematika Penulisan skripsi berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi ,Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
E.
Sistematika Penulisan
20
Prof. Dr. lexy J. Moleng, MA dalam Metoe Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosakarya. 2006. Hal 297-298
14 Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab I diawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II menjelaskan tinjauan teoritis komunikasi antarbudaya. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan tinjauan teoritis tentang teori film, yang meliputi: pengertian film, elemen-elemen dalam film, struktur film. Bab III menguraikan gambaran umum tentang film Al-Kautsar. Pada bab ini menjelaskan tentang cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar, relevansi film ini dengan konteks gagasan pembaruan Islam, representasi Islam dalam sinema, dan profil pembuat film Al-Kautsar dalam hal ini sutradara Chaerul Umam dan Asrul Sani yang melatari pembuatan film ini dan platform apa yang mereka anut sehingga film ini dibuat. Bab IV merupakan inti persolan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu berupaya menerangkan analisis cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar dan korelasinya dengan konteks perdebatan gagasan pembaruan Islam dan keteguhan tokoh protagonis dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Pada bab ini dijelaskan secara mendalam tinjauan teoritis komunikasi antar budaya dan unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya dengan disertai tabel yang mendukungnya.
15 Bab V merupakan akhir atau penutup dari penulisan skripsi ini, berisi kesimpulan dan saran-saran.
Pada bagian penutup ini merupakan jawaban
terhadap beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah. Lampiran-lampiran. Berisikan naskah wawancara, dokumentasi tentang film Al-Kautsar, footage-footage gambar dalam film Al-Kautsar, foto-foto pembuat film Al-Kautsar, dll.
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya 1. Teori Komunikasi Antar Budaya Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Lustig dan Koester dalam jurnal Intercultural Communication Competence, komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang- karena memiliki derajat kepentingan tertentumemberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Dalam bukunya, Alo Liliweri menambahkan satu pendapat lagi mengenai teori komunikasi antarbudaya dari Guo-Ming Chen dan William J. Starosta yang mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. 1 Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal dan non-verbal. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat 1
Alo Liliweri, Dasar-dasar komunikasi antarbudaya, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 8
16
17 ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak tampak dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan tampak tidak bersahabat. Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Disini, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. 2 Asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat di mana teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat di terapkan. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu: 1. Komunikasi antarbudaya di mulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antar komunikator dengan komunikan. 2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi. 4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan. 6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.3 Disini penulis dengan mengutip dari Alo Liliweri dalam bukunya menjabarkan secara singkat beberapa asumsi teori komunikasi antarbudaya yang telah ditulis diatas: 1. Tujuan Komunikasi Antarbudaya: Mengurangi Tingkat Ketidakpastian Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang 2
Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 11-2 3 Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 14
18 lain. Gudykunst dan Kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni: (1) pra-kontrak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun nonverbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi); (2) initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut; misalnya anda bertanya pada diri sendiri; Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu kalau berkomunikasi dengan dia?; (3) closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah apa mendorong dia berkata, berpikir atau berbuat demikian? Kalau seorang menampilkan tindakan yang positif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang itu, karena dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya kalau orang itu menampilkan tindakan yang negatif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif pula. Sementara itu kita pun dapat mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas kehadiran sebuah kepribadian implisit. 2. Komunikasi Berpusat pada Kebudayaan Menurut John B. Gatewood (1999) tentang hubungan antara keberadaan manusia (baca: melalui komunikasi) dengan kebudayaan, yaitu bahwa: (1) kebudayaan manusia di distribusikan dalam kebudayaan (“whole-cultures” are the unit); dan (2) kebudayaan manusia di distribusikan dalam tarit complexes )”trait-
19 complexes” are the unit). Gatewood sendiri menjawab bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusiaan itu sangat banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh periode waktu dan tempat. Artinya kalau komunikasi itu merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya maka komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi.4 Sedangkan menurut Smith (1976) bahwa “Komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan”. Atau Edward T. Hall mengatakan: “ Komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada dua jawaban; pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi dan kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi. 3. Tujuan Komunikasi Antarbudaya adalah Efektivitas Antarbudaya Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Demikian pula dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan sebuah manajemen komunikasi yang efektif. 5
4 Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 11-2 5 Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 14-22
20 2. Proses Komunikasi Antarbudaya Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Wahlstrom mengatakan bahwa pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi yang lain, yakni yang interaktif dan transaksional serta dinamis. Komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah/timbal balik (two way communication) namun masih tahap rendah. Alo Liliweri dengan mengutip Hybels dan Sandra mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya memasuki tahap transaksional apabila ada proses pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti, memahami perasaan dan tindakan bersama. Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting yakni; (1) keterlibatan emosional yang tinggi, yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan atas pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi meliputi seri waktu, artinya berkaitan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang; (3) partisipan dalam komunikasi antarbudaya menjalankan peran tertentu. Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang hidup, berkembang dan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu. Karena proses komunikasi yang dilakukan merupakan dinamisator atau “penghidup” bagi proses komunikasi tersebut. 6
6
Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 24-5
21 B. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya terkait erat dengan persoalan persepsi. Pengertian persepsi dalam konteks KAB ialah proses penyeleksian yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, proses penyeleksian atau penyaringan adalah salah satu fungsi dari kebudayaan bagi anggota-anggota kelompok budaya yang memiliki budaya tersebut, dalam menghadapi lingkungan ekstern. Kebudayaan lalu menentukan apa-apa saja yang perlu diperhatikan dan yang perlu dihindari. Fungsi penyaringan disini diartikan melindungi sistem syaraf manusia dari kejenuhan informasi. Kejenuhan informasi atau information load ada kaitannya dengan sistem pemrosesan informasi untuk menggambarkan suatu situasi yang kacau dan macet pada seseorang karena bertimbunnya informasi yang masuk. Proses penyeleksian yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan ini, dikenal dengan istilah dan pengetian persepsi. Tentu saja persepsi itu bersifat subyektif sepanjang menentukan perilaku termasuk perilaku komunikasi.7 Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan juga mengorganisasikan stimulasi (rangsangan) dari lingkungan eksternal. Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk perilaku tertentu. Keberhasilan dan cara mempersepsi dunia perilaku ini adalah hasil pengalaman budaya. Oleh karena itu KAB lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi peristiwa dan objek-objek tertentu. Sesuatu masalah dapat timbul karena rangsangan yang sama, kadang-kadang dipersepsi secara berbeda-beda oleh individu dalam kelompok berbeda. Masing-masing individu, kelompok budaya yang berbeda melihat dengan perspektifnya sendiri. Jika kita 7
Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57
22 bermaksud meningkatkan kemampuan bergaul dengan orang-orang yang kebudayaannya berbeda-beda, perlulah kita memahami jawaban (respons) arah perseptual mereka. Perlu disadari bahwa kebudayaan itulah yang umumnya menentukan standar ukuran-ukuran persepsi itu. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa pemahaman tentang persepsi bermanfaat sebagai landasan memahami hubungan antar kebudayaan dan persepsi itu sendiri. 8 Kembali pada pemahaman keterpaduan hubungan persepsi dengan unsurunsur budaya dalam kita berkomunikasi. Unsur-unsur budaya disini laksana suatu stereo, setiap unsur budaya berfungsi saling berhubungan dan saling membutuhkan antara satu unsur dengan lainnya. KAB dipahami sebagai perbedaan budaya mempersepsi dunia, manusia dan peristiwa. Perlu dipahami benar bahwa masalahmasalah yang timbul dalam komunikasi dan berkomunikasi bersumber dari perbedaan-perbedaan persepsi. Oleh karena itu perlu kita memahami benar apa dan bagaimana kerangka persepsi orang lain tentang pemilihan, penilaian dan tindakannya terhadap dunia, manusia dan peristiwa di lingkungan eksternal. Dalam KAB diupayakan banyak persamaan pengalaman dan persepsinya sungguhpun ciri kebudayaan itu sendiri banyak menimbulkan perbedaan dalam pengalaman dan persepsi.9 Samover et.al (1981:38-48) membagi berbagai aspek kebudayaan kedalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan tingkah laku komunikasi. Pengaruh-pengaruh terhadap komunikasi ini sangat 8
Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58. 9 Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58. 9
Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 58
23 beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses KAB unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen-komponen dari suatu sistem stereo—karena masing-masing saling berkaitan dan membutuhkan yang lainnya. 10 Unsur-unsur komunikasi dalam kajian KAB, dikenal tiga unsur sosial budaya utama yang besar dan secara langsung pengaruhnya terhadap makna dalam persepsi kita ialah sebagai berikut: - sistem kepercayaan/keyakinan (belief), nilai-nilai (values), sikap (attitude) - pandangan dunia (worldview) - organisasi sosial (social organization). Pengaruh makna dalam persepsi dari tiga unsur utama sosial budaya tersebut selanjutnya mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif, seperti orang melihat sesuatu objek (dunia, manusia dan peristiwa) secara umum melalui nama, istilah, dan tanggapan itu, sama. Tetapi dari segi pandangan kepribadian (subjektif) seseorang, berbeda.11 Disini penulis akan menjabarkan masing-masing unsur budaya tersebut yang menentukan dalam proses KAB. 1. Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap. 1.1 Sistem Keyakinan Keyakinan secara umum diartikan sebagai perkiraan secara subyektif bahwa sesuatu obyek atau peristiwa ada hubungannya dengan obyek atau peristiwa lain, atau dengan nilai, konsep, atribut tertentu. Singkatnya, suatu obyek atau
10 Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 25 11 Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 58
24 peristiwa diyakini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Keyakinan ini mempunyai derajat kedalaman atau intensitas tertentu. Ada 3 macam keyakinan, yaitu: (a) keyakinan, berdasarkan pengalaman (experinsial); (b) keyakinan berdasarkan infornasi (Informasional) dan (c) keyakinan berdasarkan penarikan kesimpulan (inferensial). a. Keyakinan dapat terbetuk melalui pengalaman langsung. Melalui indera peraba, kita belajar untuk mengetahui dan kemudian meyakini bahwa obyek atau peristiwa tertentu
memiliki
karakteristik
tertentu.
Kebudayaan,
sebaliknya
sangat
mempengaruhi pembentukan keyakinan berdasarkan informasi dan pengambilan kesimpulan. b. Keyakinan berdasarkan informasi dibentuk melalui sumber-sumber luar sperti orang-orang lain, buku, majalah, televisi, film. Sumber-sumber inipun biasanya kita pilih karena keyakinan kita akan kebenarannya. Keyakinan semacam ini sangat dipengaruhi oleh berbagai ragam faktor kebudayaan. Seringkali pembentukannya tergantung pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi, yaitu keyakinan akan otoritas (kewenangan) seseorang atau lembaga atas topik-topik atau masalah-masalah tertentu. Misalnnya, jika kita percaya bahwa surat kabar Kompas merupakan sumber pemberitaan yang bersifat netral, maka kita yakin dan percaya akan kebenaran isi beritanya. Latar belakang dan pengalaman kebudayaan berperan penting dalam pembentukan keyakinan berdasarkan informasi ini. Dalam komunikasi Antar Budaya, tidak dapat dikatakan keyakinan mana yang salah atau benar. c. Keyakinan yang dibentuk berdasarkan pengambilan kesimpulan melibatkan penggunaan sistem logika intern. Pembentukannya dimulai dengan pengamatan
25 terhadap suatu tingkah laku atau peristiwa, kemudian perkiraan bahwa tingkah laku tersebut digerakkan atau disebabkan oleh suatu perasaan atau emosi tertentu. 1.2 Sistem Nilai Nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem keyakinan, nilai dan sikap. Dimensi-dimensi evaluatif mencakup kualitas-kualitas seperti kegunaan, kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan dan pemberian kepuasan. Walaupun nilai-nilai bisa bersifat unik dan individual, tetapi ada pula yang cenderung untuk sudah merasuk dalam suatu kebudayaan, yakni yang disebut nilainilai kebudayaan. Nilai-nilai kebudayaan biasanya berakar dari falsafah dasar secara keseluruhan dari suatu kebudayaan. Nilai-nilai ini umumnya bersifat normatif, karena memberikan informasi pada anggota kebudayaan tentang apa yang baik dan buruk, yang benar dan salah, yang postif dan negatif, apa yang perlu diperjuangkan dan dilindungi, apa yang perlu ditekuni dan lain-lain. 12 Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai (values) yang ada, sebab nilai-nilai itu adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai, dan sikap, yang meliputi kualitas atau asas-asas seperti: -Kemanfaatan -Kebaikan -Keindahan (estetika) -Kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan Di antara nilai-nilai (values) itu ada yang sudah membaku dan meresap lama melalui proses internalisasi kepada individu-individu. Yaitu yang dinamakan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini erat kaitannya dengan agama sehingga 12
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 25-27.
26 sering istilahnya digabung menjadi sistem nilai-nilai budaya dan nilai agama. Umumnya nilai budaya dan nilai agama ini membaku dalam norma-norma apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang asli dan yang palsu, yang positif dan yang negatif, yang bermanfaat dan yang mubazir, dan sebagainya. Kesemua nilai dan norma tersebut adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan yang selanjutnya menentukan perilaku-perilaku mana yang baik dan buruk, mana yang dituruti dan dihindari. Nilai-nilai inilah yang disebut nilai normatif karena dianggap sudah diterima menjadi peraturan yang berlaku, seperti bidang agama, atau lalu lintas ataupun di kantor. Yang penting dalam KAB bahwa nilai normatif itu dapat dikenal dalam perilaku-perilaku normatif sehari-hari sebagai pedoman bagi individu dan kelompok untuk mengurangi atau mengatasi suatu konflik. 13 1.3 Sistem Sikap Kepercayaan atau keyakinan serta nilai-nilai menyumbang pada atau melandasi perkembangan dan isi dari sistem sikap. Secara formal, sikap dirumuskan sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk memberikan respons secara konsisten terhadap objek orientasi tertentu. Sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu: a. Komponen kognitif atau keyakinan b. Komponen afektif atau evaluatif c. Komponen intensitas atau harapan. Intensitas dari sikap berlandaskan pada derajat penyaluran akan kebenaran dari keyakinan dan evaluasi. Kerja komponen sikap tersebut berinteraksi untuk menciptakan keadaan siap secara psikologis untuk bereaksi terhadap obyek-obyek 13
Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 59
27 dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungan. Sikap dipelaajri atau dibentuk dalam konteks budaya. Sikap ini kemudian mempengaruhi kesiapan untuk memberi respons dan tingkah laku. Pengaruh kebudayaan terhadap sistem keyakinan, nilai dan sikap dapat terlihat dalam contoh menyerupai pertarungan antara binatang banteng dengan orang yang berasal dari negara Spanyol. Bagi sejumlah orang di Amerika, kekejaman terhadap binatang adalah perbuatan yang salah. Contoh dan kekejaman ini ialah kegiatan secara sistematik untuk membuat lemah dan kemudian membubuh binatang banteng tersebut. Akibatnya banyak orang Amerika Serikat yang memandang pertandingan manusia binatang dalam rangka sifat yang negatif dan secara aktif akan menghindarkan diri dari kemungkinan terekspose pada peristiwa tersebut. Tetapi bagi orang Amerika Latin, pertarungan manusia dengan banteng diyakini sebagai cara untuk mempertunjukkan keberanian sehingga dinilai positif.14 2. Pandangan Dunia Unsur budaya ini berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup manusia terhadap makhluk dan masalah-masalah filosofis mengenai Tuhan, kemanusiaan, alam, alam semesta. Pandangan hidup ini bersifat abadi dan merupakan landasan budaya. Konsep pemahamannya cukup sulit karena sangat abstrak di antara unsurunsur kebudayaan.15 Unsur kebudayaan ini, walaupun sebagai konsep dan deskripsi bersifat abstrak, tetapi merupakan salah satu yang terpenting dari aspekaspek perseptual komunikasi antar budaya. Karena sifatnya yang kompleks,
14 Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 27- 28 15 Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 62-63
28 kadang-kadang sulit untuk memisahkan dan mengindentifikasikannya dalam suatu peristiwa antara budaya. 16 Pandangan hidup merupakan landasan pokok yang paling mendalam dari suatu kebudayaan. Efeknya seringkali sangat tersamar sehingga tidak dapat terlihat secara nyata seperti misalnya cara-cara berpakaian, gerak isyarat dan perbendaharaan kata.
17
Apalagi pandangan hidup tersebut menyebar, menjiwa
serta membudaya ke dalam keseluruhan aspek kebudayaan. Dalam pandangan hidup itu melekat pula kepercayaan, nilai-nilai, sikap dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. 18 3. Organisasi Sosial Organisasi sosial sebagai unsur budaya, merupakan cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan bagaimana lembaga-lembaganya mempengaruhi cara anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia serta bagaimana pula mereka berorganisasi.19 Ada dua macam bentuk pengaturan sosial yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya: a. Kebudayaan geografik, yakni negara, suku-bangsa, kasta, sekte keagamaan dan lain sebagainya yang dirumuskan berdasarkan batas-batas geografik. b. Kebudayaan-kebudayaan peranan, yaitu keanggotaan dalam posisi-posisi sosial yang jelas batasannya dan lebih spesifik, sehingga menghasilkan perilaku komunikasi yang khusus pula. Pengorganisasian masyarakat atas dasar peranan ini melintasi organisasi masyarakat secara geografik dan mencakup seluruh
16
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 28 17 Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 28-29 18 Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 63 19 Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 63
29 organisasi-organisasi yang menekankan ideologi-ideologi tertentu. Karena kebudayaan-kebudayaan peranan mangajarkan cara-cara berperilaku dalam posisiposisi sosial khusus, maka jelas pengaruhnya terhadap komunikasi antarbudaya. Misalnya, seorang tenaga pengajar di Indonesia telah mempelajari seperangkat cara-cara bertingkah laku komunikasi yang sangat berbeda dari apa yang dipelajari dan dimiliki oleh seorang pelacur di Amerika. Dalam hal ini, dua kebudayaan peranan sosial telah memberikan batasan kepada masing-masing anggotanya polapola bertingkah laku tertentu dan menentukan jaringan komunikasinya. Apalagi anggota dari kebudayaan-kebudayaan geografik mungkin menemukan kesulitan dalam proses komunikasi antar budaya karena latar belakang pengalaman yang sangat berbeda sehingga kerangka acuan berbeda pula, maka anggota-anggota dari kebudayaan peranan mungkin lebih mudah untuk berkomunikasi dalam batasan peranan-peranannya walaupun mereka berasal dari kebudayaan-kebudayaan geografik yang berbeda.20 Beberapa unit-unit sosial yang dominan berpengaruh dalam suatu kebudayaan ialah: keluarga, sekolah dan lembaga keagamaaan. Institusi-institusi ini bertanggungjawab dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi lain dan pelestariannya. Kita semua merupakan anggota dari bermacam-macam institusi sosial, yaitu dari yang berjangka waktu lebih singkat seperti sekolah, sampai pekerjaan. Semua institusi ini mempunyai derajat pengaruh tertentu terhadap pembentukan diri dalam kebudayaan. Semua unsur-unsur sosial budaya di atas mempengaruhi proses-proses persepsi. Walaupun demikian daftar dari unsur-unsur budaya itu bersifat terbatas (“exhaustive”). Segala segi atau aspek kebudayaan dapat dimasukkan ke dalam macam-macam cara klasifikasi dan cara 20
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 29-30.
30 analisis. Bagaimanapun dua hal yang perlu ditegaskan, yakni: (1). Apa yang dipersepsikan sebagai hal yang penting bervariasi dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain; (2) Apa yang dikomunikasikan oleh dan bagaimana seseorang berkomunikasi meruapakan pencerminan dari apa yang dipersepsikan oleh kebudayaannya. 21 Harris dan Moran (1979) mengajukan sepuluh klasifikasi umum sebagai model sederhana untuk menilai dan menganalisis suatu kebudayaan secara sistematik, yakni: (a). Komunikasi dan Bahasa (b). Pakaian dan penampilan (c). Makanan dan cara makan (d). Konsep dan kesadaran tentang waktu (f). Pemberian imbalan dan pengakuan (g). Hubungan-hubungan (h). Konsep kesadaran diri dan jarak ruang (j). Keyakinan (kepercayaan) dan sikap. Harris dan Moran juga mengakui bahwa kategorisasi tersebut belum mencakup semua aspek kebudayaan atau satu-satunya cara untuk menganalisis kebudayaan. Hanya diingatkan oleh mereka bahwa semua aspek kebudayaan saling berkaitan sehingga berubahnya salah satu aspek atau bagian dapat mengakibatkan berubahnya keseluruhan. Harris dan Moran juga menyatakan bahwa ada berbagai macam cara pendekatan anthropologis terhadap analisis kebudayaan. Selain yang
21
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 30
31 telah disebut tadi, ada alternatif lain yang bisa dipilih, yakni pendekatan sistem yang terkoordinasi.22
C. Teori Film Sebagai sebuah bentuk kesenian, film adalah sama dengan media artistik lainnya, karena ia memiliki sifat-sifat dasar dari media lain tersebut yang terjalin dalam susunannya yang beragam itu. Seperti halnya seni lukis dan seni pahat, film juga mempergunakan garis, susunan, warna, bentuk, volume, dan massa, sama baiknya dalam saling pengaruh-mempengaruhi secara halus antara cahaya dan bayang-bayang. Sebagian besar dari petunjuk-petunjuk komposisi fotografi yang dijadikan anutan dalam film juga sama dengan yang dipergunakan dalam seni lukis dan seni pahat. Seperti drama, film melakukan komunikasi verbal melalui dialog. Seperti musik dan khususnya seperti puisi ia berkomunikasi melalui citra, metafora dan lambang-lambang. Laksana pantomime, film memusatkan diri pada gambar bergerak dan seperti tari, gambar bergerak itu memiliki sifat-sifat ritmis tertentu. Akhirnya seperti novel, film mempunyai kesanggupan untuk memainkan waktu dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak-majukan atau memundurkannya secara bebas dalam batas-batas wilayah yang cukup lapang dari kedua dimensi ini. Tapi biarpun antara film dan media terdapat kseamaa-kesamaan, film adalah sesuatu yang unik, yang dibedakan dari segenap media lainnya karena sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap. Berkat unsur ini, film dapat melangkahi keterbatasan statis lukisan dan hasil seni pahat pada segi keruwetan pikatan 22
daya
tariknya
dan
sekaligus
berkomunikasi
serentak
dengan
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 30
32 mempergunakan penglihatan, suara dan gerak. Film melebihi drama karena ia memiliki kemampuan ajaib dalam mengambil sudut pandangan yang bermacammacam. gerak, waktu dan karena rasa ruang yang tak terbatas yang bisa ia timbulkan. Berbeda dengan drama panggung, film punya kesanggupan untuk menyajikan suatu arus yang terus menerus dan tak terpatah-patah, yang mengaburkan atau mengecilkan transisi waktu dan tempat sambil tetap mempertahankan suatu kejernihan dan kejelasan. Berbeda dari novel dan sajak, film berkomunikasi tidak melalui lambang-lambang abstrak yang dicetak di atas halaman kertas (sehingga memerlukan peterjemahan oleh otak ke pelukisan visual dan suara), tapi langsung melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata. Selanjutnya, film memiliki kseanggupan untuk menangani berbagai –bagai subyek yang tidak terbatas ragamnya. Dalam buku The Art of The Film, Ernest Lindgreen antara lain menyatakan: Adalah mustahil untuk membayangkan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata atau didengar oleh telinga, baik sesuatu yang benar-benar ada maupun sesuatu yang ada dalam khayalan, yang tidak dapat disajikan dalam media film. Dari kutub sampai khatulistiwa, dari Grand Canyon sampai ke cacat yang sekecilkecilnya pada sepotong baja, dari desing lajunya sebutir peluru sampai kepada kelambanan pertumbuhan setangkai bunga, dari kejapan fikiran pada wajah yang hampir-hampir tidak member ksean apapun, sampai pada hingar-bingarnya ocehan seorang gila, tidak ada satu titik pun dalam ruang, tidak ada kadar besar atau cepatnya gerak yang mungkin difahami manusia, yang tidak berada dalam jangkauan film. Film tidak hanya tak terbatas dalam lingkungan subyeknya, tapi pun dalam cakupan cara pendekatan pada materi tersebut. dalam suasana dan cara pengerjaan, ia bisa berada antara suasana yang liris dan nada yang epis; dalam soal sudaut pandangan ia bisa meliputi seluruh spektrum dari yang bersifat obyektif murni sampai kepada yang bersifat sangat subyektif; dalam kedalaman ia dapat
33 memusatkan diri pada permukaan realitas dan pada yang bersifat sensual murni, atau menggali sesuatu yang bersifat intelektual dan falsafi. Dalam soal dimensi, waktu, film dapat berpaling ke belakang dan memandang kea rah kelampauan yang jauh, atau menyusup ke depan, ke kanan yang jauh. Ia bisa membuat beberapa detik terasa seperti beberapa jam. Ia dapat memadatkan satu abad menjadi beberapa menit. Akhirnya, film sanggup menghidupkan seluruh spektrum kepekaan manusia, mulai dari yang paling lembut, halus, rapuh, dan indah sampai kepada yang kasar, kejam dan memuakkan. Tapi yang lebih penting lagi daripada ketidak-terbatasan ruang lingkup media film ini menyangkut sasaran utama dan penanganannya adalah citarasa kenyataan yang melimpah ruah yang dapat ia sampaikan, tanpa menghiraukan sifat dasar daripada masalah intinya itu. Citarasa kenyataan dalam film ini terutama bersumber pada arus penglihatan, arus suara dan arus gerak yang serba berkesinambungan yang terdapat dalam media ini, yang keseluruhannya merupakan modal dasar sinematik, yang mampu membuat segala yang tampak pada layar seakan-akan tengah berlangsung pada saat yang sama dan menjadikan penonton benar-benar terbenam dalam angan yang paling lengkap dan mutlak yang diemban oleh film adalah bentuk dan dampak emosional dari realita yang paling telanjang. 23 Sedangkan menurut André Bazin24 sinema adalah fenomena gagasan. Gagasan yang direka manusia itu sudah ada secara lengkap di benaknya.25 23
Joseph M. Boggs, Cara Menilai Sebuah Film (The Art of Watching Film) diterjemahkan oleh Asrul Sani, Jakarta:Penerbit Yayasan Citra, 1992. Hal 4-6 24 André Bazin dilahirkan di kota Anger, 18 April 1918. Pada usia lima tahun ia masuk sekolah dasar di La Rochelle, ia bercita-cita menjadi seorang pengajar. Setelah di La Rochelle Bazin melanjutkan pendidikannya di Versailles. Kemudian, pada tahun 1938, ia dikirim untuk melanjutkan pendidikan tingginya di École Normale Supérieur, St. Cloud Perancis. Di sana ia belajar sastra dan ia menyelesaikan pendidikannya dengan ujian kualifikasi yang cemerlang. Bazin mulai menulis tentang film pada tahun 1943 dan turut mendirikan majalah Cahiers du Cinéma pada tahun 1951 bersama Jacques Doniol-Valcroze dan Lo Duca. Ia secara intensif
34 Sejatinya sinema merupakan seni yang dapat mencapai obsesinya akan realitas yang selama ini ingin dituntaskan oleh seni lukis dan Bazin sendiri sering membandingkan film dengan media seni lainnya dan asumsi Bazin mengatakan bahwa film adalah satu-satunya media yang sangat baik untuk mengungkapkan realitas, esainya yang bertajuk The Ontology of The Photography Image mengulas secara lebih mendalam konstribusi film dalam membentuk realitas. Di mana tulisan tersebut membahas mengenai obyektifitas film dalam mengungkapkan realitas.
26
film tidak berhenti sebatas melestarikan untuk kita objek yang disalut secara mendadak seperti halnya serangga dari zaman dahulu dalam batu pualam, film membebaskan seni barok dari katalepsi mendadak. Untuk pertama kalinya, citra benda juga merupakan citra kelangsungannya dan sebagai mumi perubahan. Di lain pihak, sinema adalah bahasa. 27 Biarpun film adalah sebuah media yang unik, dengan kelengkapan dan kekhususan yang membedakan dia dari kesenian lainnya seperti seni lukis, seni pahat, fiksi dan drama, ia juga dalam bentuknya paling populer dan paling kuat,
tertarik pada film di mulai pada tahun 1939 tatkala ia menjadi tentara sebagai bagian wajib militer dalam Perang Dunia II. Dan di bentangan antara tahun 1944-1953, Bazin menulis beberapa esainya, sebelum ia meninggal dunia di usia sekitar 40 tahun. Umumnya pada bahasa aslinya (baca: Perancis) Qu’est- ce que le Cinéma? Yang terdiri dari empat esai dan pada edisi bahasa Inggris diseleksi dan diterjemahkan oleh Hugh Gray menjadi dua volume What Is Cinema? Selain itu, Hugh Gray juga menerjemahkan buku Bazin yang lain yang berjudul Jean Renoir, Orson Welles: A Critical View and French Cinema of Occupation and the Resistence. Pendekatan teori film André Bazin dimulai dengan melihat kebudayaan visual (image cultures) secara antropologis, secara khusus Bazin berhutang budi pada André Malraux, Roger Leenhardt, Walter Benjamin, Debray, McLuhan, Jean Paul Sartre, Gilles Deleuze, Maurice Merleau Ponty (sumbangan fenomenologi bagi pendekatan teori film) dan para pemikir lainnya. Profil mengenai André Bazin saya dapat dari kata pengantar yang ditulis oleh Hugh Gray dalam What Is Cinema? Vol 1, terj. Hugh Gray (California: The University of California Press, 1967). Dengan sedikit penjabaran dari penulis tulis dalam esai berjudul André Bazin dan Akademisasi Film. Lembaran Viewfinder edisi desember 2008. 25 André Bazin dalam Sinema, Apakah Itu?Terj. Dr. Rahayu S. Hidayat dari Qu’est-ce Que le Cinema?/What Is Cinema? (Jakarta: Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengetahuan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996). Hal 9 26 Renal Rinoza Kasturi ,André Bazin dan Akademisasi Film. Lembaran Viewfinder edisi desember 2008. 27 André Bazin dalam Sinema, Apakah Itu? Terj. Dr. Rahayu S. Hidayat dari Qu’est-ce Que le Cinema?/What Is Cinema? (Jakarta: Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengetahuan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.) Hal 5-6
35 merupakan sebuah media untuk bercerita yang memiliki unsur-unsur yang sama seperti yang ditemui dalam cerita pendek dan novel. Dan karena film menyajikan kisahnya secara lengkap dalam bentuk dramatis, ia memiliki banyak kesamaan dengan pertunjukkan panggung: kedua bentuk ini memainkan atau menjabarkan dengan gerak dan suara atau mendramatisasikan kisah dan arti mereka. Mereka lebih banyak memperlihatkan ketimbang menceritakan. Perbedaan terbesar antara film dan novel serta cerita pendek, atau drama panggung adalah karena film tidak mudah dipelajari, dalam pengertian ia tidak bisa efektif dibekukan di atas halaman cetak. Karena novel dan cerita pendek adalah media cetakan, maka kedua bentuk kesenian ini lebih mudah dipelajari. Keduanya ditulis untuk dibaca. Drama panggung sedikit lebih sulit untuk dipelajari karena ia ditulis untuk dipanggungkan, bukan untuk dibaca. Tapi drama umumnya dicetak dank arena bentuk kesenian ini terutama mengandalkan kata-kata yang diucapkan, pembaca-pembaca yang imajinatif dan kreatif dapat membayangkan setidaktidaknya suatu tiruan semua dari pengalaman yang mungkin mereka alami kala menonton pemanggungan drama tersebut. Sedangkan dengan skenario tidaklah demikian halnya. Karena sebuah film begitu tergantung pada unsur-unsur visual dan non visual lainnya maka ia tidak mudah diutarakan dalam bentuk tulisan. Sebuah skenario menuntut bagitu banyak “tambahan” dalam imajinasi kita hingga kita tidak mungkin bisa mengira-ngira penghayatan film itu hanya dengan jalan membaca skenarionya. Hanya jika kita sudah melihat film tersebut barulah membaca skenarionya ada gunanya. Sehingga, kebanyakan skenario diterbitkan bukan untuk dibaca, tapi untuk diingat.28
28
André Bazin, Sinema… Hal Hal 23
36 Film dan drama berbeda dalam kenyataan. Sebuah drama memiliki pembagian structural yang jelas yang disebut babak atau adegan yang mempengaruhi penempatan puncak-puncak kekuatan dan intensitas dramatik. Akhir sebuah babak misalnya bisa dibangun hingga mencapai suatu puncak emosional yang gegap gempita, dan dengan demikian dapat menciptakan suatu gema dramatik yang kuat yang bisa melimpah ke babak berikutnya. Biarpun film memiliki sekwen-sekwen yang secara kasar dapat dianggap padanan dari babak, tapi disini arus berlangsung secara terus-menerus. Sekwen yang satu melancar ke dalam sekwen berikutnya. Tapi kadang-kadang disini juga kita temui kesamaankesamaan, karena freeze frame (gambar beku) memberikan pada sekwen suatu rasa berakhir yang sama dengan rasa berakhir yang diberikan oleh babak. Perlengkapan sinematik ini juga hampir menyerupai efek lama panggung yang disebut tableu, di mana para aktor “membekukan” diri dalam pose-pose dramatik selama beberapa detik sebelum layar diturunkan dengan maksud lebih meninggalkan kesan yang dalam pada ingatan penonton. 29 John Howard Lawson menulis: “ Sifat film membuatnya tidak sesuai dengan langgam percakapan yang dibenarkan dipanggung”. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dialog film pasti berbeda dari dialog panggung. Umumnya, dialog film jauh lebih bersahaja dari dialog yang diucapkan di atas panggung. Karena dalam film citra visual lebih berarti daripada di atas panggung, maka banyak bagian yang memerlukan dialog, dalam film dapat diutarakan melalui gambar. Jika plot dapat dikembangkan dengan jalan memperlihatkan apa yang terjadi, maka seorang sutradara umumnya akan memilih cara yang pertama. Karena adanya unsur visual yang memikul beban tambahan,
29
André Bazin, Sinema… Hal Hal 244-5
37 maka dialog film biasanya lebih bersahaja, lebih bersifat sehari-hari dan tidak begitu puitis. Dialog puitis lebih cocok untuk panggung daripada untuk film. 30
D. Struktur Film Film yang setiap kali kita tonton pastilah memiliki bentuk-karena dia dapat dilihat maupun didengar- dan bentuk film itulah yang sering disebut sebagai Film Form. Apabila ditelusuri lebih lanjut dalam film terdapat dua hal besar yang merupakan sebuah unsur inti pembentuk yang terdiri dari formal system dan stylistic system. Dalam formal system terdiri dari dua unsur—naratif dan nonnaratif. Unsur naratif inilah yang selalu diperhatikan oleh penonton dibandingkan unsur yang lain, karena disinilah cerita dan narasi film dibentuk. Sepanjang film mereka akan mengikuti kemana arah alur cerita itu menuju. Sedangkan untuk yang non-naratif dapat dibagi menjadi rhetorical form, categorical form, abstract form, associational form. Namun kali ini pembahasan akan menyempit dan berkisar pada unsure naratifnya saja. Stylistic system memiliki empat elemen terpisah yang terdiri dari mise en scene, cinematography, editing dan sound. Diantara empat elemen tersebut mise en scene-lah yang keberadaannya diadopsi dari seni teater. Yang didalamnya sendiri masih terdapat apa yang dimaksud dengan setting, property, kostum & make up, figure ekspresi & movement, juga lighting. Elemen sound juga diadopsi dari seni pertunjukan namun lebih pada seni musiknya, karena memang music menjadi salah satu bagian dari sound dalam film. Selain unsur-unsur tersebut hampir kesemuanya
30
André Bazin, Sinema… Hal 247.
38 merupakan bagian dari film yang berada lebih dekat dengan teknologi yang nantinya berfungsi sebagai elemen penunjang utama dalam menyampaikan naratif cerita film. Tanpa adanya teknologi maka tidak akan ada apa yang disebut dengan film, karena film tanpa teknologi hanya akan menjadi sebuah drama panggung biasa. Berbagai macam unsur-unsur tersebut tentu saja saling terkait satu dengan yang lain. tidak ada satu buah petunjuk pun yang tersusun acak dalam hubungan antara naratif dan style. Bagaimana akan memahami sebuah film secara penuh bila unsur-unsurnya tersusun secara acak dan tidak berpola. Oleh karena itulah alasannya film memiliki sebuah bentuk film form utuh yang terwujudkan dalam berbagai unsur pembentuk. Setiap film memiliki kemampuan untuk bercerita mengenai story dalam naratif yang mereka miliki masing-masing namun itu saja belum cukup tanpa ada dukungan sepenuhnya dari sistem elemen besar yang disebut style. Akan menjadi sebuah sajian yang komplit rasanya jika kesatuan dan keterpaduan itu terwujud antara naratif dan style. Antara formal system dan stylistic system terdapat hubungan interaksi keduanya yang menjadi setiap adegan dan scene yang terlihat memiliki satu keutuhan. 31
31
Kus Pujiati dalam Naratif dan Style; Pasangan Setia Tidak Terpisahkan. Makalah yang belum dipublikasikan.
39 Seperti yang terlihat pada bagan dibawah ini.
FILM FORM
FORMAL SYSTEM
Narrative
Non- Narrative
STYLISTIC SYSTEM
Mise en Scene
Cinematography
Editing
Sound
Karena film form adalah sebagai sebuah sistem—yang mempersatukan hubungan, saling keterkaitan antar elemen—yang mesti pada beberapa prinsip dapat menciptakan hubungan antara beberapa bagian. 32 Secara mendasar naratif adalah sebuah petunjuk bagi manusia terhadap keberadaannya di dunia. Kelaziman dari sebuah cerita adalah salah satu alasan yang kita butuhkan untuk lebih dekat pada bagaimana cara film mewujukan bentuk naratif. Saat kita berbicara tentang “membuat film” kita hampir selalu mengartikan bahwa kita akan melihat naratif film—film yang menceritakan sebuah kisah. Apa itu naratif? Kita dapat menganggap sebuah naratif menjadi sebuah rangkaian peristiwa dalam hubungan sebab akibat yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu. Sebuah naratif adalah apa yang biasa kita artikan sebagai inti cerita, walaupun kita akan menggunakan cerita dalam sebuah situasi yang biasanya berbeda. Khususnya sebuah naratif diawali dengan satu situasi; dimulai dengan rentetan perubahan 32
David Bordwell dan Kristin Thompson ,Film Art; An Introduction, 7th Edition. (New York: McGrawHill, 2004). Hal 59
40 yang terjadi menurut pola dari sebab akibat. Akhirnya sebuah situasi baru terangkat yang menghasilkan akhir dari naratif. Seluruh komponen dari definisi kita—kausalitas, ruang dan waktu sangatlah penting bagi naratif dalam banyaknya media, tapi kausalitas dan waktu merupakan pusatnya.33
33
David Bordwell dan Kristin Thompson Film Art… Hal 68-9
BAB III FILM AL-KAUTSAR DAN DERIVASI GAGASANNYA
A. Gambaran Umum Film Al-Kautsar dan Konteks Historisnya Film Al-Kautsar adalah film yang diproduksi tahun 1977, disutradarai oleh Chaerul Umam dan skenarionya ditulis oleh Asrul Sani. Film ini berkisah tentang keteguhan hati seorang santri yang dikirim untuk mengajar di sebuah desa yang bernama desa Sekarlangit. Perjuangannya dalam menegakkan kebenaran merupakan tema utama film ini sebagai misi pembaruan Islam. Dalam film ini tokoh protagonis banyak mengalami berbagai kesulitan yang ia temui sepanjang cerita, mulai dari ketegangannya dengan seorang tokoh ulama setempat yang berselisih paham pada pemahaman dan pengalaman/praktik beragama, si tokoh protagonis—Saiful Bahri dengan tokoh ulama setempat—Haji Musa acapkali berdebat berkenaan dengan perbedaan pemahaman dalam mengartikulasikan ajaran Islam. 1 Di film ini diperlihatkan bagaimana seorang Saiful Bahri memperjuangkan Islam sesuai dengan konteks dalam menjawab kebutuhan paling aktual umat— warga desa Sekarlangit, Saiful Bahri tampil sebagai lokomotif pembaharu dengan membawa
gagasan
dan
pemahaman
Islam
yang
berkemajuan
dengan
perkembangan zaman dan akibat gagasannya tersebut ia mendapati berbagai macam rintangan. Salah satu implementasi gagasan pembaruannya ialah merombak sistem pendidikan di sebuah madrasah dengan metode pengajaran yang sangat baru dan melakukan transformasi keislaman yang menyangkut hidup orang banyak seperti pembangunan irigasi untuk memajukan pertanian dan keahliannya
1
Lihat Petikan dialog di scene 45 naskah skenario film Al-Kautsar
41
42 dibidang pertanian ini membuatnya selalu berselisih paham dengan Haji Musa yang menyatakan antara ilmu agama dan ilmu umum (baca: pertanian) berdiri sendiri dan masing-masing mempunyai kewajibannya sendiri-sendiri namun pendapat Haji Musa ini tidak dapat diterima oleh Saiful Bahri yang menyatakan bahwa agama harus dipindahkan kedalam perbuatan ke dalam kehidupan. Bagi Saiful Bahri antara agama dan dunia kehidupan lainnya tidaklah terpisah melainkan dapat dipersatukan karena itulah Islam dapat menjawab persoalanpersoalan kehidupan seperti apa yang dialami oleh masyarakat desa Sekarlangit yang memerlukan sistem irigasi pertanian untuk memajukan pertanian mereka. 2 Film yang berkisah di sebuah pelosok pedesaan yang masih memegang kuat nilai-nilai agama sebagai tolok ukur ini tiba-tiba menjadi berubah setelah kedatangan Saiful Bahri—tokoh protagonis yang membawa sebuah gagasan pembaruan dan menimbulkan berbagai macam polemik baik dengan Haji Musa dan tuan Harun—seorang tengkulak yang ditakuti penduduk. Dalam film ini, Asrul Sani menarasikan tentang bagaimana perdebatan dan friksi yang terjadi antara gagasan pembaruan di satu sisi dan pemahaman keagamaan yang berkutat pada aspek simbolik semata di sisi lain dan juga perilaku warga sebuah desa yang masih dalam kategori jumud sehingga mudah sekali terhasut dan terprovokasi. Film yang ditulis oleh Asrul Sani ini merupakan sebuah cerminan dari realitas yang ada saat itu berupa perdebatan yang penuh pergumulan, film ini dibuat sesuai dengan konteks zamannya yang diliputi pergulatan isu Islam modernis vis a vis Islam tradisional di mana Asrul Sani menangkap fenomena tersebut yang ia tuangkan dalam film Al-Kautsar.
2
Lihat Scene 45 naskah skenario Film Al-Kautsar
43 Di film ini Asrul Sani ingin memperlihatkan bahwa bukan “Islam modernis” yang hendak digelorakan tetapi bagaimana Islam mampu menjawab problem keumatan seperti yang ia bayangkan di dalam sosok Saiful Bahri yang konsisten dalam menegakkan amar ma’ruf nahiy mungkar melalui reformasi sistem pengajaran di madrasah, membuat irigasi untuk pengairan sawah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar dengan kebulatan tekad untuk memperbaiki akhlak, taraf hidup dan mampu memecahkan persoalan umat di desa Sekarlangit.3 Film Al-Kautsar merupakan film bergenre religi yang boleh dibilang masih teramat langka ketika itu. Film yang diproduksi pada tahun 1977 ini, tahun di mana terjadi peningkatan jumlah produksi film nasional yang sangat tinggi. Perlu dicatat bahwa pada tahun 1977 film-film nasional masih didominasi oleh film-film yang bercerita tentang drama rumahtangga, remaja, komedi, action, sex, dan hanya beberapa film yang bergenrekan film religi selain film Al-Kautsar seperti Panggilan Ka’bah yang diproduksi oleh Mitra Djaya Film disutradarai oleh Chaidar Djafar, Ridho Allah yang diproduksi oleh PT. Yukawai Naviri Film Prod disutradarai oleh Yung Indrajaya. Jadi, film-film Islam masih tergolong minim
3
Bandingkan dengan ulasan Eric Sasono yang menyatakan bahwa film Al-Kautsar dan Titian Serambut Di Belah Tujuh tergolong luar biasa dalam merepresentasikan Islam. Kedua film ini tidak berangkat dari sebuah spektrum moral yang mencoba membuat orang “menjadi lebih baik” atau “menjadi muslim sempurna”, melainkan berangkat dari sebuah struktur masyarakat yang bermasalah dan kemudian tokoh muslim itu terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut. Dan tokoh-tokohnya adalah wakil dari modernitas dan perubahan yang datang membawa dua hal sekaligus: Islam dan pembaruan dalam bidang-bidang sekuler. Maka pengertian mengenai film Islam dalam film-film Asrul Sani jauh dari pengertian normatif. Islam tidak merupakan satusatunya penyelesaian persoalan, melainkan bagian dari kenyataan yang direkonstruksi ulang. Maka film Islam tidak dikaitkan sebagai bagian dari ajaran untuk mengajak orang untuk ‘menjadi lebih islami’ atau tidak sebagai sarana dakwah. Lihat Eric Sasono dalam Beragam Representasi Islam dalam Beberapa Film Indonesia, tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi mengenai film-film Islam di Yayasan Salihara, Jakarta 12 September 2008. Tulisan ini belum dipublikasikan.
44 dalam skala produksi film nasional bahkan dapat dihitung dengan jari jumlah produksi film-film Islam dalam kurun waktu 10 tahun. 4 Salim Said dalam paparannya menyatakan bahwa pada perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 1977 banyak kritik yang dialamatkan pada industri film nasional. Setelah menonton 27 film cerita Juri Festival Film Indonesia (FFI) 1977 sampai pada kesimpulan: … film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser betul-betul sematamata sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat. Produsen film kita menampakkan diri terutama sebagai pedagang impian (merchant of dreams), dalam posisi demikian si produser memang tidak memijak kakinya di bumi Indonesia sebab mimpi yang indah toh senantiasa berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal. 5 Oleh karena itu, kehadirian film Al-Kautsar memberikan warna yang berbeda dan menegasikan kondisi industri film nasional ketika itu, dalam wawancara dengan penulis Chaerul Umam menyatakan bahwa film al-Kautsar dibuat untuk melawan arus industri film nasional dan keinginan masyarakat Islam Indonesia yang ingin menonton film-film Islam atau katakanlah sesuatu yang dapat merefleksikan kehidupan riil umat Islam. 6 film ini menawarkan sebuah arus baru dala menonton, artinya film Al-Kautsar melawan arus utama dalam industry film nasional yang di dominasi oleh film-film yang bertemakan kehidupan urban dengan kompleksitas masalahnya yang masih berkutat pada drama rumahtangga yang menampilkan kemewahan dan kehidupan kota yang kosmopolit, selebihnya secara tematik dari yang penulis amati bahwa di tahun 1977 secara tematik film
4
Produksi film-film Islam pada tahun 1977 masih tergolong minim, dari data yang saya peroleh di buku Katalog Film Indonesia 1926-2005 karangan JB. Kristanto hanya terapat 3 buah film Islam dari total 132 buah film nasional yang diproduksi pada tahun 1977. Dalam sejarah film Indonesia pada tahun 1977 merupakan rekor tertinggi dalam jumlah produksi film nasional dan hingga kini rekor tersebut belum ada yang menandingi, mengenai rekor ini juga dapat dilihat di sebuah grafik di Sinematek Indonesia. 5 Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 3 6 Wawancara penulis dengan Chaerul Umam, 4 Februari 2010.
45 nasional masih banyak didominasi oleh film-film yang menampilkan pada aspek kehidupan yang jauh dari realitas masyarakat, film-film yang ada hanya terpusat pada tema-tema yang secara komersil laku dipasaran tanpa mempertimbangkan atau berani membuat film yang berbeda dari kebanyakan film-film yang dibuat berdasarkan pada mekanisme pasar namun abai terhadap aspek-aspek problematika riil masyarakat. pada kasus ini tak mengherankan jika juri FFI 1977 dengan pedas mengatakan bahwa apa yang tersajikan di industri film Indonesia sebagai merchant of dreams yang kisahnya sebuah dunia yang tidak selalu dikenal masyarakat Indonesia. JB. Kristanto dalam ulasannya mengatakan bahwa film Al-Kautsar pantas dicatat. Pertama, karena jenis film itu sendiri bernafaskan agama Islam, sebuah film yang boleh dikatakan amat langka, dan bagi produsernya sebuah langkah baru yang cukup berani karena tindakannya ini boleh dibilang agak melawan arus produksi film yang dibanjiri dengan jenis film banyolan, cinta remaja, dan sebagainya. Kedua, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film kita, yaitu kehidupan desa yang bernafaskan Islam, yang merupakan bagian penting kehidupan kita. Ketiga, dan ini yang penting, ternyata film ini meruapakan hasil kerja yang sangat lumayan.7 Hal yang pantas pula dicatat dari film ini adalah usaha sutradara hanya menggunakan lagu-lagu kasidahan dalam bentuk kor dan suara orang mengaji sebagai ilustrasi musiknya. Satu-satu efek suara yang digunakan untuk membangun situasi dramatik adalah ketukan kayu, ini adalah sebagian dari usaha sutradara untuk mencapai cara pengucapan yang baru dalam film-film kita. Yang
7
58.
JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia. (Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004). Hal
46 penting lagi adalah bahwa usaha ini membawa utuhnya suasana keislaman seperti yang dimaksud. Dan film dengan nafas Islam ini bisa tampil secara utuh. 8 Suara kor kasidahan inilah yang mengantarkan film Al-Kautsar meraih Penghargaan Festival Film Asia XXIII, di Bangkok Thailand, 1977 untuk Tata Suara Terbaik.9 Penghargaan ini merupakan sebuah apresiasi atas hal-hal yang sangat mencerminkan wajah keindonesiaan dengan ilustrasi musik kasidah sebagai cerminan masyarakat Indonesia kebanyakan yang masih kuat dengan tradisi keislamannya dan ini menjadi sangat kontras dengan produksi film nasional pada tahun 1970-an yang didominasi oleh jualan mimpi kaum elit perkotaan dengan setting yang penuh kemewahan. Film Al-Kautsar merupakan satu dari tiga film Islam
10
yang diproduksi
pada tahun 1977. Kehadiran film al-Kautsar tentunya memberikan corak tersendiri bagi perfilman nasional, berdasarkan fakta yang ada di tahun 1977 atau secara umum di tahun 1970-an, film-film nasional di dominasi oleh tema-tema yang menggambarkan sebuah sandiwara tonil yang diwariskan oleh watak perfilman
8
58- 60.
9
JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia. (Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004). Hal
JB. Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2005, (Jakarta: Penerbit Nalar-FFTV IKJ Press). Hal 145. 10 Pada tahun 1977 secara kuantitas produksi film nasional mencapai grafik tertinggi dalam sejarah film Indonesia tercatat ada sebanyak 132 buah film yang diproduksi. Namun dari sekian banyak produksi hanya terdapat tiga buah film Islam saja yang diproduksi diantaranya ialah film Al-Kautsar yang diproduksi oleh PT. Sippang Jaya Film disutradarai oleh Chaerul Umam sebagai debut pertamanya dalam menyutradarai film, film Panggilan Ka’bah produksi PT Mitra Djaya Film-PT Putra Utama Film, disutradarai oleh Chaedar Djafar, film Ridho Allah produksi PT Yukawi Naviri Film Production yang disutradarai oleh Yung Indrajaya. Film-film yang diproduksi sebagian besar bertemakan hal-hal yang menyangkut kehidupan nyata seperti film Nasib si Miskin, Kemelut Hidup, Rahasia Seorang Ibu, Saritem Penjual Jamu, Jakarta Jakarta, dll walaupun sebagian besar lagi menarasikan sesuatu hal yang meletakkan film sebagai brang dagangan dan ini terlihat dari segi tema yang diambil yang mengisahkan romansa drama kehidupan yang penuh kemewahan dan film-film komedi, remaja, action dan sex yang minus edukasi dan memberikan penerangan, contohnya ialah film Akibat pergaulan Bebas, Aula Cinta yang dibintangi oleh Roy Marten, Cowok Komersil, Guna-guna Istri Muda, Inem Pleyan Sexy, Pendekar Tangan Hitam, Sembilan Janda Genit, Ateng Sok Aksi dll. Hal ini sudah sangat jelas bahwa film-film bertemakan Islam masih belum mendapat tempat dan masih berada pada wilayah pinggiran bukan sesuatu yang mendatangkan keuntungan komersil di mata produser ketika itu. Ulasan ini penulis sarikan dari buku Katalog Film Indonesia 1926-2005 karangan JB. Kristanto, Jakarta: Penerbit Nalar-FFTV IKJ Press, 2005.
47 Indonesia sebelum kemerdekaan yang sangat sarat dengan film-film yang berkualitas rendahan sesuai dengan sukses dipasaran. Penulis akan mengulas secara singkat fenomena tersebut. Di awal tahun tujuh puluhan, wartawan terkemuka Rosihan Anwar sudah dengan kesal melontarkan pertanyaan: Mengapa film Indonesia mesti memperlihatkan hal itu juga: rumah mewah, Mercedes Benz, pemuda dengan sepeda motor Honda, night club?
11
Hidup
mewah, erotisme dan kekerasan yang ditampilkan oleh film-film buatan Indonesia dirasakan sangat asing oleh penulis Jacob Sumardjo. “ Kapan wajah kita yang sebenarnya bisa kita lihat disana?”, begitu Jacob bertanya.
12
Bagi Umar Kayam,
Dirjen Radio TV dan Film Departemen Penerangan RI mengatakan bahwa filmfilm Indonesia sebagai penyaji impian-impian. cuma saja itu dinilainya sebagai “belum sebuah impian Indonesia. 13 Pendapat yang sama juga dikatakan oleh H. Asrul Sani : Cerita-cerita kita pada umumnya sekarang bukan lagi datang dari pengarang-pengarang sebenarnya, tapi datang dari finasir yang mengajukan ramuan dari unsur-unsur yang menurut perhitungannya akan membuat film itu laku. Jadi, orang tidak bertolak dari sebuah cerita yang menarik, tapi dari kehadiran sekian persen unsur seks, sekian persen unsur kekejaman. 14 Begitupun Gayus Siagian seorang pengamat film menandaskan bahwa bilamana kita melihat hanya atau terutama sebagai barang dagang atau perusahaan 11
H. Rosihan Anwar : “Melihat Unsur Kemewahan dalam Film Indonesia”. Budaya Jaya, Th. V. No. 44, Januari 1972. Hal 2 dalam Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Penerbit Grafiti Press, Jakarta, 1982). Hal 3 12 Jacob Sumardjo : “Image Indonesia dalam Film Nasional Kita”, Kompas, 16 April 1974, hal 4 dalam Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 4 13 Kompas, 25 November 1975 hal 4 dalam Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 4 14 Asrul Sani, “ Mengapa Film Indonesia Makin Lama Kehilangan Simpati Penonton”, Tempo, 27 November 1971, hal 44 dalam Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 4
48 film itu sendiri sebagai industri hiburan yang memprodusir hiburan untuk massa, maka dengan sendirinya kita berpikir dalam istilah dagang, cost accounting, yang tidak berpretensi seni. Jika kita menerima film sebagai barang dagangan, konsekwensinya ialah, kita harus dapat melihat dengan kacamata seorang pedagang dengan semboyan: De klant is koning, langganan adalah raja. Implikasinya ialah, dia hanya akan menjual barang yang disukai oleh pembeli, yaitu film yang disukai publik. Sebab tujuannya untuk mencari uang, bukan mendidik massa. 15 Salim Said dalam argumennya menandaskan bahwa cerita umumnya tidak jalan lantaran disusun dari ramuan-ramuan yang diajukan oleh produser, karena pada mulanya memang adalah ramuan, unsur-unsurnya—seks, kemewahan, kekerasan, kesedihan yang berlebihan-sering kali lebih menonjol secara sendiri. Sebab ramuan itu kebanyakan diperdapat dari film-film impor. Maka “wajah Indonesia” memang jarang sekali ditemukan disana. Hal yang terakhir ini menyebabkan penampilan para aktor dan aktris tidak bisa dirasakan sebagai tokoh Indonesia, kaku, dan kurang meyakinkan. 16 Watak film nasional seperti ini merupakan sebuah warisan dari penggambaran film Indonesia sebelum kemerdekaan, eksodusnya orang-orang sandiwara tonil ke film terjadi pada paruh awal abad 20. Kegiatan kultural yang muncul dalam konteks hubungan pasar, membina seni yang bercorak bazaar, yang bisa dibeli. Jika seni kraton, yang bercorak high culture, lebih memperlihatkan sifat-sifat seremonial dan ritual yang secara simbolik terkait dalam usaha peneguhan wibawa sang penguasa, sedangkan kesenian rakyat cenderung “carnival” yang melebur batas-batas “pemain” dengan”penikmat”. Seni bazaar, 15
Hal 9
16
Gayus Siagian dalam Menilai Film, (Jakarta: Penerbit Dewan Kesenian Jakarta, 2006). Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia,( Jakarta: Penerbit Grafiti Press,1982). Hal 5
49 adalah transaksi antara penikmat dan pemain. Keduanya—penikmat dan pemain— yang terpisah, kemudian dipertemuan oleh alat tukar yang berupa wang. Komersialisasi telah terjadi disini.17 Melalui film Terang Boelan yang diproduksi pada tahun 1938 menjadi sebuah momentum peralihan bagi pemain dan penonton kesenian sandiwara tonil untuk beralih menjadi pemain dan penonton film. Ada dua hal yang menjadi penting disini, Pertama, usaha pembuatan film bukan saja merupakan bisnis yang fisibel, tapi juga menjanjikan keuntungan yang fantastik; kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung tonil. 18 Sukses besar yang dinikmati film Terang Boelan dilihat dari kenyataan bahwa penonton sandiwara dan tonil yang tidak pernah secara serempak jadi penonton film, kini telah berduyun-duyun menjadi datang ke gedung bioskop. Impian para pembuat film menarik sebanyak mungkin penonton dari berbagai kalangan, dengan resep Terang Boelan, hijrahnya orang panggung ke studio film, makin populernya gedung bioskop bagi pribumi, datangnya tambahan modal, peralatan dan tenaga ahli dari Shanghai, semua itulah yang menjadi sebab bagi bertambahnya dengan pesat jumlah perusahaan film di Batavia menjelang datangnya bala tentara Jepang. 19 Hal yang sama juga berlaku bagi pembuat film ditahun 1970-an yang diwariskan dari watak seperti ini. Kebiasaan inilah yang telah menjadi faktor determinannya berupa resep dalam film Terang Boelan yang juga berlaku di era tahun 1970-an dan 1980-an. Memang ada kalanya seorang produser mencoba memberi arah pada selera publik dengan merubah tema cerita yang dia pandang 17
Taufiq Abdullah, dkk, Film Indonesia Bagian I (1900-1950 . (Jakarta: Dewan Film Nasional, 1993). Hal 18 18 Taufiq Abdullah, dkk, Film Indonesia Bagian I (1900-1950). (Jakarta: Dewan Film Nasional, 1933). Hal 165 19 Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 27
50 sudah terlalu banyak dipakai atau mencari genre lain, umpamanya dari Western beralih ke love story atau dari silat ke musical dengan maksud untuk mendahului saingan-saingan dengan genre yang baru mendapat pasaran. Jika genre yang baru ini ternyata dapat sambutan baik dari publik, maka dia akan meneruskan percobaan ini. Produser-produser lain tentu akan cepat mengikuti jejaknya dan dalam waktu yang singkat pasaran akan dibanjiri film-film genre baru itu. Sebaliknya jika eksperimen itu gagal, maka dia tidak akan meneruskan dan akan meneruskan kembali membuat film genre lama. Produser-produser lain tidak akan mengikutinya juga dan akan mengulangi kegagalan itu. Sikap publik ini akan merupakan petunjuk bagi para produser, penonton belum bosan dengan genre lama dan mereka harus menunggu sampai nampak tanda-tanda kebosanan. Dengan kata lain, juga di bidang film spekulasi tidak asing. Dengan berpijak semata-mata pada dasarnya winstmotief (motif keuntungan) seorang produser yang bermentalitas pedagang tentu tidak akan buang waktu memikirkan segi-segi moral atau moral.20 Penonton yang banyak dan orang sandiwara yang memadati dunia film masa itu, bukanlah tidak memberi karakter tersendiri terhadap film-film buatan sebelum perang. Resep Terang Boelan yang diperoleh dulu masih tetap dipegang asarinya—pemandangan indah, perkelahian, lagu-lagu merdu, pemain terkenal— tapi variasinya makin lama makin dekat dengan sandiwara. Hal yang demikian ini nampaknya memang sulit untuk dihindarkan oleh dunia film yang sudah didominir oleh orang sandiwara. Pengaruh sandiwara terlihat, baik pada struktur cerita maupun pada cara bermain. 21
20
Gayus Siagian dalam Menilai Film, (Jakarta: Penerbit Dewan Kesenian Jakarta, 2006).
Hal 10-11
21
8
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 27-
51 Dalam sejarah film Indonesia rupanya adanya polarisasi dalam membuat film Indonesia dan masing-masing kutub tersebut satu sama lain saling berlawanan. Yang satu memandang film sebagai sebuah komoditi dan di satu sisi film dipandang sebagai manifestasi ekspresi seni atau merekam realitas yang sebenarnya. Disini penulis akan menguraikan polarisasi yang terjadi dan ini memiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan film Indonesia selanjutnya termasuk watak film Indonesia di tahun 1970-an yang di mana kedua kutub tersebut semakin bertentangan namun sayangnya yang dominan ialah film dipandang sebagai barang dagangan berupa julan mimpi-mimpi dan menurut hemat penulis posisi film al-Kautsar berada dalam aras film yang menggambarkan kondisi realitas masyarakat Indonesia pada umumnya berupa kehidupan religius dunia pesantren dan kampung namun sekali lagi sangat disayangkan justru realitas seperti ini tidak menarik bagi kebanyakan insan film Indonesia dalam membuat film. Dari sejarah kepeloporan orang Tionghoa dalam bidang film di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa alasan utamanya adalah komersial. Sebagai orang Timur Asing masa itu, tidak banyak yang bisa diharapkan dari orang Tionghoa untuk membuat film yang mempunyai keterlibatan sosial, apalagi politik, kendati masa itu udara Hindia Belanda berangsur-angsur dipenuhi oleh semangat pergerakan nasional. Setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail memulai suatu tradisi yang sama sekali baru untuk dunia perfilman di Indonesia, berbeda dengan kebiasaan pembuat film Tionghoa, sebelum maupun setelah perang—yang waktu itu bangkit kembali—Usmar Ismail membuat film cerita-cerita yang digalinya dari kenyataan hidup di sekelilingnya. Maka wajah Indonesia memang bisa terlihat lewat film-film
52 buatan Usmar dan kawan-kawannya yang bergabung dalam Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dari sejarah perfilman Indonesia, terlihat adanya dua pola menonjol dalam pembuatan film. Yang pertama adalah pola yang dipelopori oleh orang Tionghoa sebelum perang, dilanjutkan lagi setelah perang, dan diikuti oleh banyak pembuat film bukan Tionghoa. Pola kedua, yakni pola yang dicoba kembangkan oleh Usmar Ismail dan kawan-kawannya. Pola pertama berciri dagang, sedangkan yang kedua, dagang bukan merupakan satu-satunya tujuan. Disini ekspresi memegang peranan yang penting. Jika pada pola pertama film dibuat seluruhnya berdasarkan pertimbangan apa yang dikehendaki penonton, maka pola Usmar tidak menjadikan penonton seratus persen saja, sebab lewat karyanya itu si pembuat film ingin menyampaikan sesuatu. Dengan singkat bisa dikatakan bahwa pola pertama itu tanpa idealisme sedang pola yang dimulai oleh Usmar Ismail justru menonjolkan idealisme. Berdasarkan kenyataan ini maka dapat dikatakan bahwa baik cara kerja yang dikembangkan oleh para produser Tionghoa maupun yang oleh Usmar, keduanya merupakan bagian dari subkultur dari subkultur film.
22
Karena film
dianggap semata-mata sebagai barang dagangan, maka yang menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal. Sutradara-yang sebagai pencipta mestinya harus menentukan-disini harus tunduk saja pada perintah yang punya uang. 23 Dari proses inilah pola pertama, yakni film sebagai komoditi yang menjadi dominan di Indonesia. Pola seperti ini telah melembaga dan mengakar kuat dalam perkembangan perfilman nasional. Relevansinya dengan film Al-Kautsar ialah bahwa film ini hadir ditengah-tengah pusaran film yang berorientasi dagangan. & 9.
22
Salim Said Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 6-7
23
Salim Said Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 12
53 Posisi film Al-Kautsar sangat jelas ia melawan arus dalam genre dan kebiasaan para pembuat film ketika itu. Mengapa kedudukan film Al-Kautsar
menjadi
penting, pertama dalam tahun 1977 peningkatan film nasional mencapai puncak tertingginya, kedua, film-film yang bertemakan religi masih belum dilirik, ketiga, film ini berani untuk memberikan sebuah tontonan alternatif kepada masyarakat tentang kehidupan umat Islam Indonesia di mana pesantren dan sebuah kampung yang sangat kuat memegang tradisi keberislaman sebagai mikrokosmosnya. Dalam film Al-Kautsar para pembuatnya telah berani untuk menggambarkan wajah Indonesia yang sebenarnya berdasarkan pergulatan yang terjadi di dalamnya. Cerita yang disuguhkan dalam film al-Kautsar, merupakan sebuah persoalan-persoalan yang melibatkan ranah agama dalam pergulatan pemikiran, sosial, budaya dan sangat jelas untuk menghadirkan sesuatu yang aktual dengan kenyataan masyarakat, yakni pertentangan antara Islam tradisional dan Islam modernis pada saat film Al-Kautsar dibuat menjadi suatu hal yang masih dipertentangkan oleh sebagian masyarakat antara dikotomi Islam tradisional dengan Islam modernis. Para pembuatnya mencoba untuk menggambarkan sebuah pergulatan ini walaupun frame yang dibuat oleh pembuat film Al-Kautsar memposisikan berimbang, menceritakan secara deskriptif dan mengajak para penontonnya untuk menginterpretasikan dan berdialog terhadap cerita yang disampaikan dalam film tersebut. Jadi, film Al-Kautsar mengusung sebuah gaya pengungkapan yang menghadirkan realitas yang mengendap di masyarakat untuk digambarkan langsung dalam media film, tinggal masyarakat sendirilah yang dapat menilai dan menafsirkannya.
54 B. Relevansi Film Al-Kautsar dengan Gagasan Pembaruan Islam Gagasan pembaruan Islam telah berkumandang di paruh abad ke-19 yang dipelopori oleh Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh dan secara konsisten telah menyebar ke seluruh negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia. Namun sebelum penulis jauh membahas konteks historis gagasan pembaruan Islam yang memiliki relevansinya dengan film al-Kautsar, terlebih dahulu penulis akan menjabarkan konteks sosio-historis gagasan pembaruan Islam di medio abad ke 19. Pertanyaannya kenapa penulis harus menulis ini dan apa relevansinya dengan objek penelitian ini. Penelitian yang sedang penulis lakukan ini adalah menelaah sebuah film yang dilihat dari aspek naratifnya. Yang dimaksud dengan aspek naratif ialah cerita yang disuguhkan dalam film Al-Kautsar menurut hemat penulis banyak sekali bermuatan dan mengandung berbagai macam gagasan-gagasan pembaruan Islam yang dilakukan oleh seorang tokoh utama film Al-Kautsar bahkan secara eksplisit telah diutarakan di dalam film ini. Segala berbagai macam rintangan dijalani dengan kesabaran dan keteguhan hati untuk menyampaikan kebenaran dan merupakan bentuk affirmative action dalam mengejawantahkan gagasan pembaruan Islam di sebuah desa yang masih berpaham jumud dan kolot. Adalah Saiful Bahri tokoh protagonis dalam film Al-Kautsar yang berjuang menegakkan kebenaran di sebuah masyarakat pedesaan agraris untuk membuka pemahaman tentang signifikansi pembaruan Islam walaupun secara tidak langsung tokoh protagonis menggadang-gadangkan gagasan pembaruan Islam secara verbalistik namun spirit yang ditangkap dapatlah dikatakan dan bahkan secara sangat
jelas
memperlihatkan
usaha
sang
tokoh
protagonis
dalam
mengaktualisasikan dan mengimplementasikan gagasan pembaruan Islam di desa Sekarlangit.
55 Apa-apa yang dilakukan oleh Saiful Bahri untuk melakukan transformasi keislaman dengan mencoba melakukan perubahan di desa Sekarlangit merupakan sebuah ikhtiar dalam menyiarkan Islam dan perjuangannya yang total penuh dengan segenap dedikasi serta pengorbanan yang begitu besar dengan tetap istiqomah ia jalani sampai pada keberhasilan yang ia raih dan bukanlah hal yang mudah dilakukan. Saiful Bahri telah berhasil melakukan transformasi sosial di desa Sekarlangit yang dalam istilah kaum Islam modernis disebut dengan istilah Tajdid. Pembahasan relevansi film Al-Kautsar dengan gagasan pembaruan Islam tak terlepas dari aspek kesejarahan gagasan pembaruan Islam yang berkumandang sejak abad ke-19. Sejak masa-masa permulaannya, Islam memiliki sebuah tradisi pembaruan reformasi. Kaum Muslim selalu cepat tanggap sebagai ancaman terhadap akidah dan praktik: Pemisahan kaum Khawarij, pemberontakan Syi’i, perkembangan hukum Islam, dan sufisme. Pada abad-abad yang silih berganti, sebuah tradisi revivalis yang kaya mewujudkan dirinya dalam berbagai konsep dan keyakinan, dalam kehidupan dan ajaran pribadi para pembaru, dan dalam kegiatankegiatan suatu gerakan. 24 Film Al-Kautsar merupakan cara pengungkapan Islam dan modernitas. Proses transformasi Islam menuju agama yang mencerahkan diejawantahkan ke dalam sebuah tindakan yang dilakukan oleh Saiful Bahri sebagai tokoh protagonis dalam film ini. Film Al-Kautsar hadir sebagai pewaris gagasan Islam modernis yang telah dikumandangkan oleh Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh sebagai perintis Islam yang berkemajuan. Pesan yang secara eksplisit dan implisit dalam film Al-Kautsar ialah kembali menggali sumber-sumber Islam yang didasari
24
John L. Esposito dalam Islam Warna Warni; Ragam Ekspresi Menuju “ Jalan Lurus” (al-Shirât al-Mustaqim). Penerjemah Arif Maftuhin, M. Ag. Cet. I, (Jakarta, Penerbit Paramadina, 2004). Hal 146
56 oleh al-Quran dan Sunnah sebagai spirit untuk menjawab tantangan zaman.25 Jika Jamaludin al-Afghani menyerukan reformasi Islam dengan membuka kembali pintu ijtihad dan mengecam stagnasi Islam dari pengaruh sufisme maupun keterbelakangan ulama yang konservatif dalam merespon masalah-masalah aktual yang dihadapi umat dan Muhammad Abduh tampil dengan reinterpretasi Islam melalui sistem pendidikan dan reformasi-reformasi sosial, maka Saiful Bahri tokoh protagonis film Al-Kautsar menyerukan sebuah gagasan pembaruan dengan melakukan perbaikan sistem sosial di sebuah pedesaan. Perbaikan sistem sosial yang dilakukan oleh Saiful Bahri yaitu merombak sistem pengajaran di madrasah dan membuat irigasi pertanian. Sebelumnya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Saiful Bahri mendapat tentangan bukan hanya dari mereka yang tidak menyukai kehadirannya seperti tuan Harun yang selalu menfitnahnya melain juga Haji Musa selaku tokoh agama yang disegani. Perbedaan yang mendasar dalam hal pemahaman agama dengan tokoh ulama setempat menjadi suatu tantangan tersendiri yang dialami oleh Saiful Bahri meskipun diantara mereka berdua nantinya adanya pemahaman bersama (common platform) dan responsif terhadap perkembangan zaman. Jejak historis gagasan pembaruan Islam yang memiliki relevansi terhadap film Al-Kautsar yang penulis jabarkan di atas sesuai dengan konteks film al25
Konsep pembaruan (tajdid) dan reformasi (ishlah) adalah komponen yang fundamental dari falsafah Islam, berakar dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Kedua konsep tersebut memuat ajakan untuk kembali sumber utama Islam (Al-Quran dan Sunnah). Ishlah adalah istilah Al-Quran (7: 170; 11:117; 28:19) digunakan untuk menggambarkan reformasi yang didakwahkan dan dilakukan oleh para nabi ketika mereka mengingatkan umat mereka yang berdosa dan mengajak mereka untuk kembali ke jalan Tuhan dengan menyelaraskan kehidupan mereka, sebagai individu dan masyarakat, dengan norma-norma syariah. Tugas dari Al-Quran ini digambarkan dalam kehidupan dan dakwah para nabi, khususnya kehidupan dan dakwah Muhammad, disertai dengan perintah Tuhan untuk ber-amar ma’ruf nahi mungkar (3: 104; 110), menjadi alasan sepanjang zaman untuk reformisme Islam, bagaimana pun keragaman manifestasinya dalam sejarah. John L. Esposito dalam Islam Warna Warni; Ragam Ekspresi Menuju “ Jalan Lurus” (al-Shirât alMustaqim). Penerjemah Arif Maftuhin, M. Ag. Cet. I, (Jakarta, Penerbit Paramadina, 2004). Hal 146
57 Kautsar yang mengedepankan nilai-nilai Islam yang feasible
dan responsif
terhadap modernitas dan apa yang telah dilakukan oleh tokoh protagonis dalam mengejawantahkan formulasi gagasan pembaruan Islam yang secara eksplisit terlihat dari usaha Saiful Bahri dalam mereformasi sistem pengajaran di madrasah, berdebat mengenai sesuatu yang substansif, menyeru kepada perubahan di mana agama dapat bertindak sebagai agen perubahan sosial dan mentransformasikan nilai-nilai keislaman bagi kemaslahatan umat seperti membangun irigasi dengan semangat kebersamaan.
C. Representasi Islam dalam Sinema : Studi Atas Film Al-Kautsar 1. Catatan Awal bagi Representasi Islam Dalam Sinema Indonesia Berbicara representasi tak akan mungkin dilepaskan dari konstribusi Stuart Hall salah seorang teoritisi kebudayaan kontemporer dalam membangun landasan epistemik tentang teori representasi. Dalam tesisnya—representasi ialah bagian penting dalam proses membuat dan menukar antara masing-masing kebudayaan. Representasi meliputi penggunaan bahasa, tanda-tanda dan citra-citra yang tetap dipertahankan dan menggambarkan hal-hal tersebut. Representasi memproduksi makna yang dikonsepsikan di pikiran kita melalui perlambang bahasa. Hubungan antara konsep dan bahasa memungkinkan kita untuk menunjukkan salah satu yang ‘real’ dari dunia materi, masyarakat atau peristiwa, atau sunguh-sungguh untuk membayangkan objek rekaan dunia, masyarakat atau peristiwa. 26 Di dalam proses pemaknaan kebudayaan, selanjutnya, ada dua relasi sistem representasi. Pertama, memungkinkan kita untuk memberikan makna kepada dunia yang dikonstruksi dari kesinambungan atau sebuah rangkaian yang berkesesuaian 26
Lihat Stuart Hall dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practises. Chapter I: The Work of Representation. (London: Sage Publication Ltd, 1997). Hal 15& 17.
58 antara hal-hal seperti masyarakat, material, peristiwa, gagasan abstrak, dsb. Dan sistem konsep kita, peta konseptual kita. Kedua, bergantung pada konstruksi yang ditata dari kesinambungan antara peta konseptual kita dan tanda-tanda yang ditentukan. Menata atau mengelolanya kedalam berbagai macam bahasa yang dipertahankan atau yang menggambarkan konsepsi tersebut. Relasi antara ‘benda’, konsep dan tanda merentang di pikiran makna di dalam bahasa. Proses yang menghubungkan elemen-elemen ini secara bersama-sama apa yang kita sebut sebagai ‘representasi’. 27 Dalam hal ini dapat terbaca bahwa representasi Islam dalam sinema merupakan mediasi penanda kultural sebagai sebagai sebuah sistem bahasa. Relasi yang terjadi masing-masing menghubungkan berbagai macam tanda-tanda, peristiwa dan gagasan yang satu sama lain memberikan makna didalam proses bahasa sebagai penghubungnya. Baik para pembuatnya dan yang menontonnya sama-sama memproduksi makna. Film Al-Kautsar merupakan film yang mewakili dan merepresentasikan Islam secara kontekstual dengan permasalahan sosial keumatan yang dihadapi umat Islam Indonesia dan latar atau setting film Al-Kautsar sangat khas mewakili dunia kehidupan sosial umat Islam Indonesia dengan berangkat dari sebuah budaya yang dianut masyarakat Indonesia. Artinya, film Al-Kautsar menarasikan sebuah sistem sosial dan budaya yang masih kuat di Indonesia dan ketika arus perubahan atau pembaruan melanda masyarakat Islam di sebuah desa yang bernama Sekarlangit, maka tak ayal terjadilah sebuah pertentangan antara yang masih mempertahankan paham ortodoks keagamaan yang diwakili oleh Haji Musa dan tuan Harun yang mewakili runtuhnya moral di masyarakat dan Saiful Bahri— 27
Lihat Stuart Hall dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practises. Chapter I: The Work of Representation. (London: Sage Publication Ltd, 1997). Hal 19.
59 tokoh utama dalam film ini yang mewakili semangat Islam yang dinamis, responsif, adaptif dan progresif dalam mengemban misi perubahan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Menurut hemat penulis film-film Islam Indonesia sebagian besar masih menarasikan Islam dengan konteks historisnya walaupun akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran tema dan film-film Islam menghadirkan sebuah dialog yang konstruktif terhadap sebuah permasalahan yang dihadapi oleh umat baik dalam skalasi
personal
maupun
keumatan
secara
luas.
Wajah
Islam
yang
direpresentasikan masih tetap menegaskan permasalahan yang sangat kuat garis korespondensinya dengan sebuah keyakinan beragama dalam membangun sebuah pondasi keimanan yang kokoh walaupun dengan berbagai cobaan dan rintangan yang dihadapinya. Konflik-konflik yang terjadi adalah duplikatisasi persoalan keumatan secara lebih ekstensif. 28 Film Titian Serambut Dibelah Tujuh adalah film Islam pertama Indonesia yang dibuat pada tahun 1959, berdasarkan cerita dan skenario Asrul Sani dan disutradarai juga olehnya. Film ini berkisah tentang seorang guru muda, Ibrahim, mencoba menentang cara berpikir dan sistem pendidikan yang kolot dan bagaimana ia menghadapi berbagai macam cobaan. Usahanya dalam membuka kesadaran penduduk akhirnya membuahkan hasil berkat kesabarannya dan pintu kebenaran yang terbuka untuknya walaupun jalan itu diraih sangat melelahkan
28 Bandingkan dengan pendapat Eric Sasono dalam artikelnya Beragam Representasi Islam dalam Beberapa Film Indonesia, bahwa posisi Islam dalam film-film Islam pasca reformasi tidak menjadi sumber inspirasi bagi perubahan sosial dan lari kedalam bentuk-bentuk eskapisme yang tak peduli pada persoalan-persoalan masyarakat (umat).
60 bagaikan tengah menyeberang titian serambut dibelah tujuh. Diproduksi kembali pada tahun 1982 dan disutradarai oleh Chaerul Umam. 29 Berdasarkan temuan yang penulis dapati jumlah produksi film-film Islam Indonesia masih terbilang sangat minim, artinya tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Namun dalam penelitian ini penulis tidak membahasnya karena belum ada sebuah penelitian yang mencoba menjelaskan ini. Menurut hemat penulis minimnya film-film Islam lebih dikarenakan kalah dengan tema-tema lainnya. Penelusuran yang penulis dapati ada sebuah patahan yang sangat tajam di film Islam Indonesia. Penulis membaginya kedalam dua periodesisasi, sebelum dan sesudah gerakan reformasi ’98, artinya film-film yang diproduksi sebelum tahun 1998 sangat jauh berbeda dengan filmfilm yang diproduksi setelah reformasi 1998. Perbedaan tersebut bukan pada aspek teknisnya melainkan narasi yang disuguhkan oleh film tersebut dan menurut hemat penulis keduanya sangatlah memiliki karakteristik tersendiri terutama dalam aspek struktur form-nya. Jika sebelum reformasi 1998 film-film Islam Indonesia menampakkan sebuah wajah yang sangat populis dan sangat aktual dengan permasalahan umat, tak berlebihan penulis mengasumsikannya demikian karena hampir sebagian besar cerita yang dibangun berdasarkan problem aktual dan memiliki relevansinya dengan Islam yang bukan hanya sebagai agama melainkan sebagai sebuah satuan kosmos dalam kehidupan terutama representasi keindonesiaannya tergambar dengan jelas. Begitupun juga dengan cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar yang sangat kental akan semangat pembaruan Islam yang menegaskan kembali pada penuntasan persoalan umat (problem solving) dan membawa misi perubahan 29
Film ini tampil sebagai suatu gagasan Islam yang tampil sebagai sebuah kenyataan historis dalam melibatkan diri pada sejumlah persoalan-persoalan eksistensial dan kemasyarakatan sekaligus yang dialami oleh tokoh-tokohnya.
61 sosial masyarakat khususnya masyarakat desa Sekarlangit sebagai sebuah lanskap yang mewakili Indonesia secara keseluruhan. Nah, ini sangatlah berbeda dengan film-film Islam Indonesia yang dibuat pasca reformasi yang menurut hemat penulis masih kurang menampung aspirasi keumatan. Cerita yang diwartakan lebih kepada hal-hal yang bersifat elitis, borjuis dan domestik. Ini tak ubahnya dengan jualan mimpi, kemewahan dan permasalahan cerita cinta sang tokoh padahal permasalahan yang di hadapi oleh umat Islam Indonesia jauh lebih besar. Jika sebelum reformasi film-film Islam Indonesia tampil sebagai lokomotif pembaharu dan membawa gagasan perubahan sosial sebagai bentuk liberasi dan emansipatorisnya terhadap umat yang tertindas (membela kaum mustadz afin— tertindas, teraniaya secara sosial dan politik) maka film-film Islam Indonesia semenjak pasca reformasi justru terjebak pada sandiwara kaum borjuis, konflik yang dibangun berdasarkan pada ranah domestik dan biasanya tidak memiliki sensivitas gender, contoh yang sangat jelas ialah film Ayat-ayat Cinta yang penulis kira gagal untuk membongkar hegemoni negara dan ulama dalam hal ini apa yang sangat relevan dengan konteks Mesir khususnya ranah kehidupan para pelajar/mahasiswa asal Indonesia, di mana ruang demokrasi masih jauh dari harapan, padahal dalam novelnya sang pengarang Habiburrahman el Shirazy secara sangat eksplisit membongkar itu semua namun dalam film Ayat-ayat Cinta yang ditampilkan ialah pada aspek romansanya saja yang menjadi sudut pandang cerita. Selain itu, film Kun Fa Kun, Perempuan Berkalung Sorban, yang penulis kira masih terasa kering dan dangkal serta tidak memposisikan Islam sebagai
62 agama yang membebaskan dan tafsiran yang sangat bias terhadap pesan-pesan agama.30 Berbeda dengan film-film Islam Indonesia yang pada umumnya bercerita tentang kehidupan domestik para pemainnya, ada beberapa film-film Islam Indonesia di pasca reformasi yang masih menjadikan agama sebagai spirit pembebasan dan aspek-aspek yang lebih memberikan point of interest pada nilainilai humanisme. Film Rindu PadaMu karya sutradara Garin Nugroho yang diproduksi tahun 2004 ini membicarakan Islam pada aktivitas rutin di lingkungan pasar tradisional, di film ini Islam bergumul dengan aneka problematika di sebuah pasar. Masing-masing tokoh mempunyai permasalahannya dan masjid sebagai simbol dari representasi Islam hadir sebagai magnet dari setiap problematika orang-orangnya di mana di akhir cerita masjid mendapat sumbangan kubah yang sebelumnya tokoh dalam film ini kesulitan dana untuk memperoleh kubah. Film Ketika karya Deddy Mizwar yang diproduksi tahun 2006 dan Kiamat Sudah Dekat mempunyai benang merah yang sama tentang persoalan negeri ini berupa korupsi, mentalitas kelas elite dan disatu sisi masyarakat banyak yang masih hidup penuh keterbatasan, Islam dalam film hadir sebagai denyut nadi kehidupan tokoh-
30 Dalam konteks ini, penggambaran Islam hanya bersifat verbalistik dan formalistik belaka. Gusdur dalam sebuah esainya, Film Dakwah:Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk, memberikan penilaian dan pengamatannya bahwa ada sebuah kecenderungan untuk memperlakukan Islam secara formalitas. Gusdur dalam pengamatannya melihat gejala formalisasi agama dalam film berangkat dari sebuah kenyataan obyektif masyarakat Islam di Indonesia yang memperlakukan Islam secara formalitas dan baginya itu juga berdampak bagi produk budaya yang diciptakan termasuk film. Gusdur dengan gamblang menyatakan bahwa filmfilm dakwah kita ternyata tidak lain adalah pencerminan masa pembuatannya, tidak lebih dari itu kenyataan dasarnya, ditambahkannya bahwa film adalah pencerminan dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat pembuatan film itu sendiri, dalam arti tempat sang sineas, pendukung, dan awak produksi hidup di dalamnya. Namun asumsi ini tidak demikian mutlak, dalam esainya Gusdur memberikan penjelasan lanjut bahwa kebesaran seorang pembuat film justru terletak pada kemampuan “lintas waktu”: universalitas gagasan yang dipesankannya, yang bertitik tolak dari kurun waktu pembuatan film yang dapat memproyeksikan kedalam kurun waktu penceritaan masa lampau dan masa akan datang. Lihat Abdurrahman Wahid, “Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk”, dalam Seni Masyarakat Indonesia; Bunga Rampai (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991). Hal 51-52.
63 tokohnya dan posisi Islam dalam film Deddy Mizwar lebih menekankan aspek sosiologis Islam di Indonesia. Film 3 Doa 3 Cinta yang kembali dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra menghadirkan sisi lain kehidupan dunia pesantren, kepolosan santri berhadapan dengan aneka masalah yang dirasakan masing-masing tokoh dan pergulatan santrinya dengan modernitas. Film Sang Murobbi, film yang mengisahkan secara biopik seorang tokoh kharismatis KH. Rahmat Abdullah yang sangat resisten terhadap oligarki kekuasaan orde baru seperti pelarangan penggunaan jilbab di sekolah negeri pada medio 1990-an. Film Kantata Takwa yang dibuat oleh Eross Djarot, menurut Ekky Imanjaya dalam tulisannya menyebutkan bahwa film ini layak memenuhi teori sastra profetik (atau, film profetik) Kuntowijoyo. Ini adalah salah satu puncak pencapaian dari pertemuan film, teater, musik, idealisme, perjuangan, dan nilai keislaman. Eross Djarot menyatakan bahwa inilah wahana yang “… menempatkan seni pada posisi yang sebenarnya”. Rendra menyatakan film inilah gerakan budaya perlawanan. Bergenre (ini istilah Eross) eksperimental puitis, film ini sejak awal sudah bernafaskan perlawanan terhadap orde baru dengan semangat tauhid. 31 Perlawanan
tersebut
merupakan
semangat
doktrin
mengandaikan humanisasi, liberasi, dan transendensi.
31
32
tauhid
yang
Dan Doa Yang
Lihat Ekky Imanjaya dalam Wajah Islam dan Umatnya dalam Film Indonesia, 2008, http://ekkyij.multyply.com/journal/item/104 32 Pengandaian tersebut merupakan pemikiran Kuntowijoyo tentang doktrin tauhid yang bersifat teosentris. Dalam tesisnya Kuntowijoyo memajukan istilah Khairu Ummah (umat terbaik) yang cirinya adalah ta’muruna bil’ ma’ruf (mengajak kebajikan), tanhauna ‘anil munkar (mencegah kemungkaran) wa tu’minuna billah (dan beriman kepada Allah). Yang pertama adalah humanisasi, yang kedua adalah liberasi dan yang terakhir adalah transendensi. Ketiganya—pembebasan— kemanusiaan—ketuhanan—harus dalam satu nafas, satu paket. Sastra profetik adalah sastra yang mengikuti tradisi kerasulan, yang “berani berhadap-hadapan dengan manusia dan realitas sosial, dengan menyodorkan kritik terhadapnya. Nilai-nilai keislaman terinternalisasi ke dalam diri setiap muslim, tereksternalisasi dalam perbuatan, terobyektifikasi dalam karya-karyanya. Bagi Kuntowijoyo, setipa perilaku seorang msulim adalah keislaman, zikir, dan ibadah. Setiap karya yang mengandung ketiga unsur di atas layak disebut karya profetik, walaupun tidak ada simbol
64 Mengancam film yang dibuat oleh Hanung Bramantyo mewakili sebuah mikrokosmos kehidupan seorang muslim kelas pinggiran yang mengalami pergulatan iman yang praktis karena himpitan kehidupan yang ia rasakan. Di film ini Hanung memposisikan dirinya sebagai pembela kaum tertindas dengan menghadirkan permasalahan
si Madrim tokoh utama film
ini. Dalam
wawancaranya, Hanung mengatakan bahwa Doa Yang mengancam sangat berbeda dengan Ayat-ayat Cinta karena film lebih ke black comedy religi. Lebih berbicara tentang Tuhan di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Ia (Hanung) ingin menunjukkan bahwa Tuhan ada di mana saja. Bukan hanya di kalangan atas seperti dalam AAC, tetapi juga di tempat-tempat kumuh, di mushala-mushala kecil, di pasar-pasar tradisional yang kotor dan becek. Menurutnya ditengah masyarakat kotor, kumuh, ternyata juga masih ada ”nafas-nafas” Tuhan. Tuhan ada di sebuah mushala yang butut, pasar, kios-kios. Di cerita ini, Tuhan juga dilafalkan oleh seorang yang bodoh. Hanung menandaskan bahwa religiusitas tidak hanya ada pada orang yang punya uang, tetapi juga mereka yang tak punya. Pengasan ini secara jelas kita lihat dari fragmen-fragmen sinematografis, dimana terlihat ’hamba’ Tuhan yang beribadah di mushola-mushola yang sempit bersebelahan dengan toilet umum, pemukiman padat nan kumuh dan pelosok-pelosok sudut kota yang biasa kita lihat seperti di terminal dan pasar-pasar tradisional. 33 Eric Sasono dalam tulisannya menandaskan bahwa film Islam pasca reformasi tidak kongruen dengan perubahan dan kebebasan politik yang telah diraih masyarakat Indonesia. Para pembuat film Indonesia tidak terlalu banyak memanfaatkan kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan-pernyataan penting
keislaman sedikitpun. Konsepsi doktrin teosentris merupakan semangat dalam al-Quran surah Ali Imran ayat 104. 33 Renal Rinoza Kasturi dalam Doa Yang Mengancam; Potret Pergulatan Iman Kaum Subaltern dipublikasikan di www.jurnalfootage.net
65 sehubungan dengan persoalan bangsa. Dari pengamatannya, Eric Sasono menegaskan bahwa film-film Islam pasca reformasi secara representasional menceritakan sebuah problem domestik seperti eskapisme, fatalistik, dan reduksionistik. Dalam film Ayat-ayat Cinta, misalnya, film ini bersifat sangat urban, kosmopolit dengan kota Kairo sebagai settingnya. Relasi sosial yang dibangun dalam film ini ialah kota Kairo yang kosmopolit dan tokoh protagonis, Fahri yang memperdebatkan ajaran-ajaran Islam dan memilih perempuan mana yang tepat baginya diantara perempuan cantik, kaya dan mencintainya. 34 Relasi sosial yang dibangun mengandaikan sebuah eskapisme kelas menengah, persoalan-persoalan yang aktual dalam keseharian mereka yaitu permasalahan seperti cinta, harta dan kedudukan yang bersifat hedonistik dan borjuis. Film ini akan lain halnya apabila seorang Fahri berada pada setting Indonesia—misalnya, ia akan berhadapan dengan problem keumatan yang sangat sulit dipecahkan, yakni masalah kemiskinan, buruknya kualitas pendidikan, bobroknya tatanan masyarakat, kriminalitas, diskriminasi, supremasi dan legitimasi pemimpin yang lemah, krisis panutan yang hampir sebagian besar melanda umat Islam Indonesia. Jika dalam Rhoma Irama menampilkan bagaimana dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan sosialnya dari dekadensi moral seperti kemerosotan akhlak, berjudi, berzina, mabuk-mabukan, menghabiskan waktu yang sia-sia dan permasalahan-permasalahan paling aktual di masyarakat semacam penyakit masyarakat—maka dalam film Ayat-ayat Cinta yang mewakili subkultur film Islam pasca reformasi, persoalan yang disuguhkan ialah seorang mahasiswa yang menuntut ilmu di negeri orang, fokus belajar saja tanpa harus memikirkan
34 Eric Sasono dalam Beragam Representasi Islam dalam Beberapa Film Indonesia, makalah ini dipresentasikan dalam diskusi mengenai film-film Islam di Yayasan Salihara, Jakarta, 12 September 2008. Tulisan ini belum pernah dipublikasikan ke publik masih tahap work in progress.
66 kondisi ekonominya karena dalam film Ayat-ayat Cinta keluarga Fahri yang di tanah air adalah keluarga kelas menengah dan problem-problem yang dihadapi berkutat pada penafsiran atas ajaran-ajaran Islam secara argumentatif sesuai dengan
lingkungan
akademis
dan
ditambah
persoalan
yang
sangat
mengganggunya—pilihan terhadap perempuan-perempuan cantik. Jadi, yang dihadapi Fahri bukanlah kegetiran hidup akibat kesulitan ekonomi di rantau yang biasanya dialami oleh mahasiswa rantau, bukan pula bagaimana ia melakukan misi perubahan sosial dengan semangat liberasi dan transformasi sosial. 35 Wajah film Islam yang telah berganti wajah tersebut kiranya haruskah tetap menampakkan karakternya sebagai pengejawantahan Islam yang rahmatan lil ’alamin sesuai dengan konteks keindonesiaan. Representasi Islam dalam sinema Indonesia biar bagaimana pun tetap pada peranan agama sebagai tiang utama dalam menjawab persoalan-persoalan faktual dan konkret yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Diantara beragamnya film-film nasional ternyata secara kuantitas film-film Islam masih sangat sedikit, sekitar 30-an jumlah film Islam yang dibuat di Indonesia sejak film pertama, Titian Serambut Dibelah Tujuh diproduksi pada tahun 1959. Kedepannya penulis kira perlu sekali digiatkan pembuatan film-film Islam baik level industri maupun jalur alternatif seperti memperkenalkannya di berbagai festival yang ada. Namun walaupun jumlahnya masih terbatas kita perlu apresiasi ternyata partisipasi penonton yang menonton film-film Islam semakin hari semakin meningkat jumlahnya dan prestasi ini telah di ukir oleh film Ayatayat Cinta yang sukses besar dalam menyedot jumlah penonton hingga 3,5 juta
35 Eric Sasono dalam Beragam Representasi Islam dalam Beberapa Film Indonesia, makalah ini dipresentasikan dalam diskusi mengenai film-film Islam di Yayasan Salihara, Jakarta, 12 September 2008. Tulisan ini belum pernah dipublikasikan ke publik masih tahap work in progress. Dalam ulasan ini penulis merekonstruksi kembali tulisan Eric Sasono.
67 penonton dan ini mengalahkan rekor sebelumnya yang disandang oleh film Walisongo yang diproduksi pada tahun 1983 dengan dibintangi oleh Deddy Mizwar. Ekky Imanjaya salah seorang kritikus film dalam tulisannya mengenai representasi Islam dalam sinema khususnya ulasannya mengenai film-film Islam di Indonesia, ia menandaskan bahwa benarkah film dapat menangkap kenyataan apa adanya? Ternyata tidak sesederhana itu. Mengutip Christine Gledhill dalam Genre and Gender: The Case of Soap Opera: ”Realita yang mana? Realita apa? Menurut Siapa?”. 36 Stuart Hall sebagaimana dikutip Ekky Imanjaya mengatakan bahwa bukan dunia materi yang membawa makna, tapi sistem bahasa atau sistem apapun yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep kita. Manusia sebagai aktor sosiallah yang membangun makna. Cerita di dalam film adalah konstruksi pembuatnya (yang memilih realitas-realitas tertentu untuk dimasukkan ke dalam karyanya), dan penonton pun memproduksi makna. Proses itu terjadi dalam sebuah sistem bahasa (dalam hal ini: bahasa film). Maka, di dalam dunia fiksi seperti film, ”realitas” selalu berupa konstruksi-konstruksi (Hall (ed.) 2003: 360), termasuk di dalam genre realisme atau dokumenter sekalipun. Dengan mengadaptasi Stuart Hall, berpendapat bahwa istilah ”Islam”, ”Umat Islam”, atau ”Santri” yang sudah termediasi sesungguhnya adalah penanda kultural yang mengkonstruksi (dan bukan merefleksikan) definisi, makna dan identitas Muslim dan keislaman (Hall (ed.) 2003: 346). Dan karena itu, dalam tulisan ini tidak lagi membandingbandingkan antara film dengan kejadian nyata (dan karena itu tidak memusingkan
36
Christine Gledhill, Genre and Gender:The Case of Soap Opera (Hall, Stuart (ed) 2003: 346) dalam Ekky Imanjaya dalam Wajah Islam dan Umatnya dalam Film Indonesia, 2008. http://ekkyij.multy.com/journal/item/104
68 mana film yang lebih dekat kepada kenyataan hakiki) dan fokus pada film itu sendiri sebagai sebuah sistem bahasa. 37
2. Representasi dan Film Profetik Setelah film Ayat-ayat Cinta sukses, banyak sekali film religius bernafaskan Islam yang beredar. Baik itu menampilkan atau eksplorasi sesuatu yang baru, atau sekedar mendompleng kelarisannya saja. Apakah semuanya layak dimasukkan dalam kategori film Islami? Pembicaraan tentang definisi film Islam, atau film dakwah seolah tak berujung. Penulis sendiri cenderung kepada teori sastra profetik Kuntowijoyo yang menyitir ayat Al-Quran tentang Khairu Ummah (umat terbaik) yang cirinya adalah ta’muruna bil’ ma’ruf (mengajak kepada yang ma’ruf, kebajikan), tanhauna ’anil munkar (mencegah kemungkaran) wa tu’mina billah (dan beriman kepada Allah). Yang pertama adalah humanisasi, yang kedua adalah liberasi, dan yang terakhir adalah transendensi. Ketiganya—pembebasan— kemanusiaan—ketuhanan –harus ada dalam satu nafas, satu paket. Sastra profetik adalah sastra yang mengikuti tradisi kerasulan, yang berani berhadap-hadapan dengan manusia dan realitas sosial, dengan menyodorkan kritik terhadapnya. 38
37
Ekky Imanjaya dalam Wajah Islam dan Umatnya dalam Film Indonesia, 2008. http://ekkyij.multy.com/journal/item/104. 38 Menurut Ekky Imanjaya yang ia kutip dari Kuntowijoyo mengatakan bahwa nilai-nilai keislaman terinternalisasi ke dalam diri setiap muslim, tereksternalisasi dalam perbuatan terobyektifikasi dalam karya-karyanya. Bagi Kuntowijoyo, setiap perilaku seorang Muslim adalah keislaman, zikir, dan ibadah. Setiap karya yang mengandung ketiga unsur di atas disebut karya profetik, walaupun tidak ada simbol keislaman sedikitpun. Dalam Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang realitas, Kuntowijoyo menekankan bahwa sastra dan seni populer (termasuk film di dalamnya) dituntut untuk ”setia pada realitas”, dan punya fungsi sosial. ” Pada awal-awal abad ini, sastra didaktis dipergunakan untuk menyebarkan etika kerja, memberantas madat, mengungkap kejahatan kawin paksa, memberantas rentenir, dan sebagainya”. Sekarang, sastra (dan juga sebagian besar film kita), ”...sudah kehilangan fungsi sosial semacam itu, tidak mau terkungkung oleh realitas, bahkan menolak menjadi agen dari pembudayaan. Karena unsur humanisasi, liberasi, dan transendensi itulah penulis menolak beberapa film yang jelas-jelas simbol dan wacana keislaman tetapi tidak mengandung semangat amar ma’ruf nahi munkar. Tulisan ini mengkaji salah satu cabangnya, yaitu representasi dunia santri dan umat Islam. Artinya, sebuah film yang menggambarkan komunitas Muslim yang kental dengan simbol dan wacana keislaman, minimal
69 3. Film Al-Kautsar sebagai Representasi Islam yang Transformatif Film Al-Kautsar merupakan sebuah representasi Islam dalam film Indonesia, narasi yang dibangun merupakan landmark bagi misi Islam yang membebaskan dan memiliki sebuah platform tentang perubahan sosial dan intisari ajaran Islam yang termanifestasikan dalam bentuk zikir, pikir, dan ibadah menjadi modal utama dalam membangun sebuah Islam dengan meminjam istilah Kuntowijoyo—berlandaskan humanisme teosentris atau doktrin tauhid sosial. Dalam tesisnya Kuntowijoyo menyebut bahwa konsep tauhid mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali mengabdi kepada Allah dan orientasi pengabdian ini mendapatkan titik baliknya terhadap manusia. Dalam pandangan teosentris sebuah keyakinan religius tak terpisahkan dari amal jariyah (perbuatan). Iman harus teraktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah zakat—misalnya adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan; tapi ujungnya terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, di dalam Islam, konsep teosentrisme ternyata bersifat humanistik. Artinya, menurut Islam, manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Humanisme-teosentris inilah yang merupakan nilai-inti (corevalue) dari seluruh ajaran Islam. 39 Humanisme-teosentris menjadi tema sentral peradaban Islam. Arti tema sentral inilah muncul sistem simbol. Sistem yang terbentuk karena proses dialektik antara nilai dan kebudayaan. Misalnya dalam Al-quran, kita mengenal adanya rumusan amar ma’ruf nahiy mungkar, yaitu perintah untuk menyeru kepada
bernafaskan dan berlatar belakang budaya Islam. Ekky Imanjaya dalam Wajah Islam dan Umatnya dalam Film Indonesia, 2008. http://ekkyij.multy.com/journal/item/104 39 Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Cet. VIII, Bandung, Penerbit Mizan. 1998. Hal 229-9
70 kebajikan dan mencegah kemungkaran. Dari rumusan itu kita melihat adanya dua proses yang sekaligus berlawanan tapi sekaligus merupakan satu kesatuan: emansipasi dan pembebasan. Dalam konteks ini seluruh sistem simbol yang muncul dari rumusan amar ma’ruf m\nahiy munkar ditujukan untuk serangkian gerakan pembebasan dan emansipasi. Nahiy mungkar, atau mencegahkan kemungkaran, berarti membebaskan manusia dari semua bentuk kegelapan (zhulumat) alam pelbagai manifestasinya. Dalam bahasa ilmu sosial, ini juga berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amar ma’ruf yang merupakan langkah berangkai dari gerakan nahi munkar, diarahkan untuk mengemasipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia.40 Dalam konteks ini, apa yang terkandung pada cerita film Al-Kautsar, film yang telah memenangi penghargaan pada Festival Film Asia XVIII di Bangkok untuk kategori Tata Suara Terbaik41 adalah melakukan dakwah dengan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di desa Sekarlangit yang dilakukan oleh Saiful Bahri—tokoh utama film ini yang mengaktualisasikan ajaran Islam berdimensi emansipatif dan liberatif. Usaha Saiful Bahri dalam melangsungkan dakwahnya terbukti telah memberikan perubahan yang signifikan bagi desa Sekarlangit dengan menggagas dan mengimplementasikan Islam yang berpihak pada misi kemanusiaan.
40 Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Cet. VIII, Bandung, Penerbit Mizan. 1998. Hal 228-9 41 JB. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia; 1926-2005. (Jakarta, Penerbit Nalar-FFTV IKJ Press. 2005). Hal 145
71 D. Sekilas Profil Pembuat Film Al-Kautsar 1. Asrul Sani Asrul Sani dilahirkan disebuah kota kecil di kecamatan Rao, bagian utara Sumatera Barat, pada tanggal 10 Juni 1927. Ayahnya adalah seorang raja adat yang bergelar Sutan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Sakti Rao Mapat, memerintah di suatu daerah yang dikenal dengan nama Besar Nan Empat Belas, di daerah Rao Mapatunggal. Sejak kecil, Asrul sudah gemar membaca-kegemaran yang ia warisi dari ibunya, yang kemudian menyelesaikan pendidikan formal— memiliki cita-cita yang tinggi terhadap anak-anaknya. Pendidikan formal Asrul diawali di sekolah dasar di HIS, Bukittinggi. Di samping belajar di HIS, Asrul mengikuti pelajaran ahama pada sore hari di sekolah agama, Dar el Ashri di kota yang sama. Pada usia 12 tahun (1939), Asrul berangkat ke Jakarta bersama ibunya sesaat ayahnya meninggal. Asrul kemudian melanjutkan ke sekolah menengah teknik KWS, Koningin Wilhemina School,Jakarta. Masuknya Jepang pada tahun 1941, menghentikan pendidikan Asrul karena ibunya menginginkan kembali ke Rao. Meski sejak awal Djamaludin Malik memimpin dan menjabat ketua umum Lesbumi, tidak diragukan lagi bahwa pemberi bentuk dan konseptor Lesbumi adalah Asrul Sani, disamping Usmar Ismail. Asrul (1927-2004) berusia paling muda diantara kedua rekannya, Djamaludin Malik (1917-1970) dan Usmar Ismail (1921-1971). Dalam kepengurusan pucuk pimpinan Lesbumi, Asrul menjabat Wakil Ketua II. Asrul Sani adalah konseptor utama Lesbumi. Ia sering memberi prasaranprasaran dan ceramah-ceramah mengenai kebudayan dalam hubungannya dengan
72 agama Islam.
42
tentu, cermaha-ceramah bertema hubungan kebudayaan dengan
agama Islam ini dilakukan belakangan setelah Asrul bergabung dengan Lesbumi. Asrul dikenal seorang sastrawan Angkatan ’45.
43
Angkatan ini ditandai oleh
munculnya Surat Kepertjaan Gelanggang tahun 1950. Bersama-sama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin, Asrul mendirikan organisasi seniman bebas ’Gelanggang Seniman Merdeka’. Ketiga penyair ini dianggap sebagai trio pembaru puisi Indonesia, pelopor Angkatan ’45. Mereka menerbitkan kumpulan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950). Karya Asrul di bidang sastra lebih banyak ditemukan dalam bentuk cerita pendek, dikumpulkan dalam Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat (1972), dan esai dikumpulkan dalam Surat-surat Kepercayaan (1997).44 Pada saat mendirikan Lesbumi (1962), kegitan Asrul sebenarnya sudah tidak lagi di bidang sastra, tetapi teater dan film. Di dunia teater dan film, Asrul terutama menekuni bidang penulisan skenario. Barangkali karena terdapat aspek ”penulisan skenario” maka bidang teater dan film ini dinilai masih ada hubungannya dengan sastra. Menurut Asrul, hubungan sastra, teater, dan film cukup rumit dijelaskan. Masalahnya, mencari hubungan antara sastra, teater, dan film berarti menghadapi suatu grensgeval, menghadapi persoalan yang edan.
45
yang hanya bisa diuangkapkan adalah bahwa kesamaan unsur yang terdapat dalam kesastraan dan juga film adalah ’unsur bercerita’. Film mengutarakan cerita 42
M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani: Tindjauan atas Sadjak-sadjak dan Tjerita Pendek, (Jakarta: Gunung Agung, 1967), hal. 23 dalam Choirotun Chisan, LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, (Yogyakarta, LKiS, 2008). Hal 186 43 A. Teew, Pokok dan Tokoh alam Kesusatraan Baru II. Djakarta: PT Pembangunan dalam Choirotun Chisan, LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, (Yogyakarta, LKiS, 2008). Hal 186. 44 Choirotun Chisan, LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, (Yogyakarta, LKiS, 2008). Hal 186 45 Asrul Sani, “Kedudukan Sastra dalam Sandiwara Pentas, Radio, dan Film”, dalam Satyagraha Hoerip (peny.), Antologi Esei tentang Persoalan-persoalan Sastra, (Jakarta: PT Sinar Kasih, 1969), hal. 64-79, dalam Choirotun Chisan, LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, Yogyakarta, LKiS, 2008. Hal 199
73 dengan gambar, ”kata Asrul menyederhanakan. Ini berarti bahwa film menuntut penguasaan terhadap kedua segi tersebut. Tidak mengherankan jika dalam prasaran Asrul di hadapan peserta Musyawarah Besar I Lesbumi tahun 1962 di Bandung, Asrul lebih asyik menyoroti masalah teater dan film ketimbang sastra—bidang yang belakangan mulai digelutinya secara intensif.46 Berkat keseriusannya di bidang film, Asrul telah banyak membuat film baik skenarionya yang ia buat maupun film tersebut ia sutradarai. Apa yang dilakukan Asrul Sani terhadap puisi, sama dan sbangun dengan apa yang dilakukannya pada film. Baginya, film adalah alat ungkap dan ekspresi personal. Dalam hal ini, Asrul Sani adalah pengarang (auteur) bagi karya-karyanya karena setiap karya adalah ekspresi pembuatnya. Ini merupakan perubahan besar dari pandangan generasi sebelumnya yang memandang film sebagai sarana ketakjuban. Bagi Asrul Sani, film adalah medium ekspresi. Dalam bahasa Jean Luc Godard, ia tidak membuat film politik, tetapi ia membuat film secara politik. 47
2. Chaerul Umam Iman Chaerul Umam. Lahir di Tegal, 4 April 1943. Agama Islam. Pendidikan: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (Tingkat III). Sebelum ke film aktif jadi aktor teater di ”Teater Amatir” (1964-1966), lalu ikut ”Bengkel Teater” Rendra (1966-1970). Pindah ke Jakarta pada tahun 1970 dan bergabung dengan ”Teater Kecil” pimpinan Arifin C. Noer (alm). Mulai terjun ke film dalam
46
Asrul Sani, “Kedudukan Sastra dalam Sandiwara Pentas, Radio, dan Film”, dalam Satyagraha Hoerip (peny.), Antologi Esei tentang Persoalan-persoalan Sastra, (Jakarta: PT Sinar Kasih, 1969), hal. 64-79, dalam Choirotun Chisan, LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, Yogyakarta, LKiS, 2008. Hal 199-200, bandingkan dalil Pierre Paolo Pasolini yang menyatakan bahwa tugas tertinggi pembuat film jauh lebih berat ketimbang seorang penyair. Ia (filmmaker) harus bisa berpikir secara visual. 47 Veronica Kusuma dalam Asrul Sani dan Fragmen Keadaan, http://old.rumahfilm.org/artikel_asrul.htm .
74 Bing Slamet Dukun Palsu (1973) sebagai Astrada (asisten sutradara). Penyutradaraannya pertama ialah dalam Tiga Sekawan (1975). Pada tahun 1977 membuat film dakwah Al-Kautsar yang memenangkan penghargaan khusus pada festival Film Asia di Muangthai (Thailand). Mamang, begitu panggilan akrabnya, meraih nominasi sebagai sutradara terbaik dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh (FFI 1983), Kejarlah Daku Kau Ku Tangkap (FFI 1986), dan Joe Turun ke Desa (FFI 1990). Tetapi akhirnya meraih pila Citra juga dalam Ramadhan dan Ramona (FFI 1992). Bersama Imam Tantowi, menyutradarai Fatahillah (1997) yang juga disinetronkan. Sebelumnya pernah menyutradarai sinetron Bengkel Bang Jun. Filmografi: Bing Slamet Dukun Palsu (as.std, 1973), Si Rano, Syangilah Daku, Sebelum Usia 17 (as.std, 1974), Tiga Sekawan (1976), Al-Kautsar, Bidan Aminah/Cinta Putih (1977), Sepasang Merpati (1979), Betapa Damai Hati Kami, Gadis Marathon (1981), Titian Serambut Di belah Tujuh (1982), Hati Yang Perawan (1984), Perceraian (as. Std, 1985), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Sama Juga Bohong, Bintang Kejora, Keluarga Markum (1986), Terang Bulan Di Tengah Hari (1988), Malioboro, Joe Turun Ke Desa (1989), Jangan Bilang Siapa-siapa, Oom Pasikom/Parodi Ibukota, Boss Carmad (1990) , Nada dan Dakwah (1991), Ramadan dan Ramona (1992), Fatahillah (1997). 48 Dalam wawancara dengan penulis, Chaerul Umam mengatakan bahwa motif ia membuat film Al-Kautsar didasari oleh lingkungannya sejak kecil hingga dewasa dekat dengan lingkungan Islami dan juga didasari motif untuk melawan arus industri film nasional yang minim sekali mengambil tema agama. Bagi Chaerul Umam sebuah karya akan komunikatif apabila si pembuat tahu dan dekat dengan permasalahannya dan juga dekat dengan lingkungannya sehingga film yang 48
Apa Siapa Orang Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan RI. 1999. Hal 115-6.
75 dibuat benar-benar dapat menyampaikan pesan komunikasinya secara baik. 49 Jadi, film al-kautsar yang dibuat tak lebih dari realitas yang ada disekitar pembuatnya yang dituangkan kedalam film.
49
Wawancara penulis dengan Chaerul Umam, 4 Februari 2010.
BAB IV ANALISIS DATA FILM AL-KAUTSAR A.
Jalan Cerita Film Al-Kautsar dan Kontekstualisasinya Dalam Gagasan Pembaruan Islam (Tinjauan Konsepsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar) Film Al-Kautsar diproduksi pada tahun 1977 oleh PT. Sippang Jaya Film
pimpinan Chan Pattimura, disutradarai oleh Chaerul Umam dan skenarionya ditulis oleh Asrul Sani. Film Al-Kautsar mengisahkan Saiful Bahri (Rendra), guru mengaji dari Pondok Pesantren Pabelan, dikirim ke Sekarlangit, suatu desa di luar Jawa, atas permintaan Haji Mustofa (Bagong Kussudiardjo). Ia terpilih karena kecuali kepandaiannya dalam agama, juga keterampilannya dalam hal pertanian. Suatu hal yang dibutuhkan desa itu menurut Mustofa. Kedatangan Saiful menimbulkan berbagai reaksi dari penduduk desa. Haji Musa (Wisnu Wardhana), yang jadi panutan penduduk, mula-mula tidak simpati pada pembaharuan yang dibawakan Saiful. Konflik halus ini meningkat karena berhadapannya Saiful dengan Tuan Harun (Soultan Saladin), tengkulak yang ditakuti penduduk dan menghalalkan segala cara, termasuk “membunuh” suami Halimah (Henny Kundhalini) yang sudah sakit-sakitan untuk bisa memperistrinya. Niat ini tak kesampaian. Halimah malah bersimpati pada Saiful, meski Saiful berusaha tak menanggapi karena ia sudah punya pacar di Pabelan, yaitu Nurhayati (Yulinar Firdaus), yang baru di akhir film diketahuinya putri Haji Musa. Halimah ikut mengajar di Madrasahnya. Maka Harun dan tangan kanannya, Kamaruddin Sutan (Wahab Abdi), penjudi yang terjerat hutang pada Harun, menyebarkan fitnah. Ini gagal. Usaha pembunuhan saat berburu juga gagal. Kesempatan baik datang saat Saiful bersama penduduk penduduk membuat saluran saluran air, agar sawah desa itu tidak lagi tergantung hujan. Halimah hanyut. Saiful menyelamatkan
76
77 dengan membuat pernafasan bantuan. Harun menganggap itu zinah. Penduduk terhasut. Ulama panutan desa Haji Musa tidak bisa berbuat apa-apa. Madrasah dirusak. Dalam keadaan begini Saiful bisa menyadarkan Sutan, yang pada dasarnya masih punya nurani, karena ia murid langsung ulama besar desa itu. Ia terkucil dari desa krena mencuri uang di mesjid untuk mengobatan ibunya. Mereka berdua memergoki Harun yang berusaha memperkosa Halimah. Sutan marah karena Harun telah menghina Tuhan. Ia melakukan salat, dan lalu membakar gudang beras Harun. Perkelahian terjadi di dalam gudang yang terbakar. Lagi-lagi Saiful menyelamatkan mereka. Namanya pulih, dan hubungannya dengan Nur semakin cerah. Cukup menarik untuk dicatat: penggunaan paduan suara dengan lagu-lagu salawat sebagai unsur utama ilustrasi musiknya. Mendapat penghargaan FFA XXIII Bangkok, 1977 untuk Tata Suara Terbaik.1 Menurut hemat saya, apa yang dilakukan Saiful Bahri dalam menggerakkan perubahan di masyarakat desa Sekarlangit adalah bagian dari implementasi dari ajaran Islam dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Al-Quran surat Ali Imran ayat 104 merupakan pijakan dasar dari ajaran Islam dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Perintah yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 104 yang bersifat teologis mempunyai implikasi sosiologis dan antropologis. Rumusannya adalah keyakinan religius membawa konsekuensi pada dimensi kemanusiaan yang bertitik tolak dari iman menuju aksi kemanusiaan dalam bentuk amal saleh yang membebaskan manusia dari kezaliman, kegelapan, penindasan, kebodohan, kemiskinan, dan kehancuran. Maka salah satu yang diharapkan dari adanya iman dalam dada (pribadi) ialah wujud nyata dalam tindakan yang berdimensi sosial itu. Itulah sebabnya dalam al-Qur’an disebutkan adanya kutukan 1
Lihat JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Nalar-FFTV IKJ, 2005). Hal 145
78 Allah kepada mereka yang melakukan ritus-ritus keagamaan namun tidak menghasilkan realisasi kebaikannya dalam bentuk tindakan-tindakan berdimensi sosial. Dimensi sosial keimanan itu juga dinyatakan dalam berbagai ungkapan yang lain. salah satunya ialah ungkapan ishlâh (usaha perbaikan, reform), khususnya, dalam suatu rangkaian, ungkapan ishlâh al-ardl (baca: Ishlâhul ardl, “reformasi dunia”, yakni usaha perbaikan tempat hidup manusia).2 M. Amin Abdullah dalam tulisannya mengatakan hal yang sama bahwa dari semula, ajaran tauhid al-Quran selalu diliputi dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi normativitas akidah dan dimensi praksis sosial. Ungkapan al-Quran bahwa “iman” harus selalu disertai dengan “amal saleh” merupakan autentisitas ajaran al-Quran. Jangankan ajaran tauhid—yang biasanya masuk kedalam wilayah arkân al-Islam pun, ibadah mahdah seperti shalat juga selalu dikaitkan dengan dimensi sosial. Ditegakkannya shalat juga untuk menjaga diri seseorang perbuatan keji (fakhsyâ) dan buruk
2
Nurcholish Madjid, Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah, dalam Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000. Hal 351-2, mengenai masalah keimanan lihat juga Nurcholish Madjid, Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia dalam Wacana Islam Liberal, Charles Kurzman (Ed)., (Penerbit Paramadina, Jakarta, 2001). Hal. 496-7, Cak Nur mengatakan iman itu lebih merupakan hasil penghayatan spiritual daripada perhitungan rasional. Iman adalah keadaan jiwa atau rohani yang penuh apresiasi kepada Tuhan. Sikap apresiatif kepada Tuhan itu merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap itu juga disebut “takwa”. Jadi, takwa adalah semangat dari kesadaran ketuhanan (God- consciousness) pada seorang manusia yang beriman. Takwa merupakan suatu bentuk tertinggi dari kehidupan rohani atau spiritual… selanjutnya Cak Nur menambahkan apabila takwa itu menguasai batin beserta sikapsikapnya, dalam suatu kesucian dan kemurnian rohani, ia akan menentukan bentuk dan nilai dorongan batin, atau motivasi, bagi seluruh kegiatan hidup ataupun budayanya. Menurut Cak Nur, dimensi kehidupan duniawi yang material adalah ilmu, sedangkan dimensi kehidupan ukhrawi yang spiritual adalah iman. Tuhan memberikan kepada manusia suatu alat yang apabila digunakan, dapat membantu manusia untuk sedikit banyak mengerti hukum-hukum yang diberikan Tuhan. Alat itu adalah kemampuan khusus pada manusia yang disebut “akal”, “rasio” atau “intelek”. Dengan adanya kemampuan itu, terbuka suatu kemungkinan bagi manusia untuk menjalankan tugasnya membangun dunia ini. Sungguh, kemampuan intelektual, ilmiah, inilah yang merupakan kelebihan utama manusia atas makhluk-makhluk yang lain, termasuk malaikat, sehingga ia memperoleh kehormatan diangkat sebagai khalifah Tuhan di Bumi. Dengan menyerentakkan iman dan ilmu itulah, manusia akan mampu melaksanakan amal salih (amal shâlîh), dan dengan begitu pula mencapai tingkat kemanusiaannya yang paling tingi (Nurcholish Madjid, Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia dalam Wacana Islam Liberal, Charles Kurzman (Ed)., (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001). Hal. 499, 500-1). Menurut hemat penulis apa yang telah dituliskan oleh Cak Nur diatas sangat relevan dengan perjuangan Saiful Bahri yang dilandasi oleh penghayatan iman dan diaktualisasikan ke dalam tindakan dalam rangka amar ma’ruf nahiy mungkar yang didadasari rasa keimanan.
79 (munkar). Belum lagi ibadah haji, zakat, infak, sedekah dan sebagainya. Walhasil, ajaran tauhid, menurut al-Quran sangat terkait dengan persoalan-persoalan sosial.3 Saiful Bahri dalam hal ini telah melakukan tindakan yang berdimensi sosial tersebut dan juga usahanya dalam memperbaiki paradigma keberagamaan masyarakat desa Sekarlangit serta membawa mis profetis berupa peningkatan hajat hidup orang banyak dengan memperkenalkan teknik pertanian yang baru di desa Sekarlangit dan apa yang telah ia lakukan tersebut sesuai ungkapan di atas ishlâh al-ardl, mereformasi pengajaran di madrasah dan memperkenalkan sistem pertanian baru. Pijakan yang dilakukan oleh Saiful Bahri dilandasi dengan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar yang berdimensi teologis dan sosiologis, pijakan tersebut mengacu pada proses humanisasi, liberasi dan transendensi. Dalam humanisme teosentris terkandung sebuah cita-cita perubahan yang didasari pada nila-nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari segala kemiskinan, keangkuhan teknologi, keterkungkungan akibat modernitas, dan tunduk secara pasif terhadap struktur yang membelenggunya. Sedangkan transendensi bertujuan untuk menambah dimensi transendental dalam kebudayaan menuju fitrah kemanusiaan dengan menghambakan diri kepada Yang Ilahi.4 Misi profetik tokoh protagonis film Al-Kautsar dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahiy Mungkar merupakan aksentuasi dari nilai-nilai iman dalam rangka pengabdian kepada Allah Swt. Iman sebagai sebuah keyakinan doktrinal yang berfungsi sebagai perwujudan kepasrahan kepada Allah Swt yang dijiwai oleh
3
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, (Bandung: Penerbit Mizan, 2000). Hal 51 Renal Rinoza Kasturi dalam Tauhid Sosial Dalam Film Al-Kautsar (makalah belum di publikasikan). Tulisan ini merujuk pada esai Kuntowijoyo, “Perlunya Ilmu Sosial Profetik”, dalam Pradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1998). Hal. 289. 4
80 kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (Inna lillah wa inna ilayhi raji’un), “Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya”); maka Tuhan adalah “sangkan paran” (asal dan tujuan) hidup (Hurip), bahkan seluruh makhluk (dumadi).5 Dari rumusan ini melahirkan konsep tauhid, di mana Saiful Bahri sadar upayanya dalam merubah pola pikir masyarakat desa Sekarlangit adalah sebuah kerja profetis—yang didasari oleh iman yang terejawantahkan kedalam sebuah perbuatan nyata. Tak ayal, konsepsi iman yang melahirkan nilai-nilai ketauhidan terpantul kedalam sebuah tindakan yang berdasarkan ajaran Islam yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.6 Saiful Bahri dalam usahanya tersebut mengalami berbagi rintangan yang tak mudah untuk ia hadapi seperti perbedaan pandangannya terhadap Haji Musa dalam melihat apa itu agama dan ajarannya, bagaimana ia lakukan untuk meyakinkan Haji Musa dan masyarakat desa Sekarlangit tentang gagasan pembaruan yang ia bawa, bagaimana ia dapat menyadarkan Harun dan Sutan dan tentunya perjuangannya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar bukanlah suatu perkara yang mudah bahkan ia mendapatkan ujian berat berupa fitnah—di mana Saiful Bahri dituduh menodai kampung dengan perbuatan asusila. Misi profetis tokoh protagonis film Al-Kautsar mengacu pada spirit keimanan yang terkandung dalam kitab suci Al-Quran, dalam Al-Quran, kita mengenal adanya rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar, yaitu perintah untuk menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Dari rumusan itu kita 5
Nurcholis Madjid, “Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah”, dalam Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000). Hal 1 6 M. Amin Abdullah dalam bukunya mengupas tentang konsep tauhid sosial, menurutnya tauhid sosial adalah aksentuasi dan aplikasi iman pada wilayah praksis sosial. A faith in action adalah sebutan lain untuk tauhid sosial. Dapat juga disebut practical theology untuk membedakannya dari normative theology. Tauhid sosial lebih menekankan aspek pengentasan dan pembebasan manusia dalam arti seluas-luasnya. Lihat M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, (Bandung: Penerbit Mizan, 2000). Hal 65
81 melihat adanya dua proses yang sekaligus berlawanan tapi sekaligus merupakan satu kesatuan: emansipasi dan pembebasan. Dalam konteks ini seluruh sistem simbol yang muncul dari rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar ditujukan untuk serangkaian gerakan pembebesan dan emansipasi. Nahiy mungkar, atau mencegah kemungkaran, berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amr ma’ruf yang merupakan langkah berangkai dari gerakan nahiy mungkar, diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk Ilahi untuk mencapai keadaan fithrah. Fithrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia.7
B.
Tinjauan Teoritis Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar Ditilik dari pendekatan komunikasi antarbudaya dapat ditemukan proses komunikasi yang bersifat simbolik, interpretatif, transaksional dan kontekstual. Proses komunikasi tersebut menghasilkan sebuah perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Perbedaan persepsi dalam konteks komunikasi antarbudaya merupakan asumsi yang utama dari situasi budaya yang berbeda. Perbedaan dalam proses komunikasi antarbudaya disebabkan oleh sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tampak dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan tampak tidak bersahabat. Kadangkala perbedaan persepsi menimbulkan hambatan komunikasi antarbudaya dalam bentuk norma-norma budaya, pola-pola pikir, struktur budaya & sistem budaya. Proses komunikasi antarbudaya yang bersifat alamiah berakar dari konteks relasi sosial. Menurut Walzlawick, Beavin & Jackson (1907) menekankan bahwa
7
Hal 229
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung:Penerbit Mizan, 1998.
82 isi komunikasi (content of communication) tidak berada dalam sebuah ruang yang terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dua hal yang esensial dalam bentuk relasi (relation). Di film AlKautsar isi komunikasi berada dalam sebuah ruang-latar yang menggambarkan masyarakat agraris di pedesaan yang masih memegang nilai-nilai tradisionalnya. Dalam pada itu, nilai-nilai tradisional berupa norma-norma, pola-pikir, struktur budaya dan sistem budaya yang telah mengakar tiba-tiba menimbulkan kegoncangan. Nilai-nilai pembaruan yang dibawa Saiful Bahri sontak membuat perubahan secara fundamental bagi masyarakat desa Sekarlangit dengan memperkenalkan konsepsi pendidikan di madrasah yang tepat guna—sebagai bentuk praksis dan memperkenalkan metode baru dalam pengairan sawah. Dalam proses komunikasi antarbudaya tentunya banyak dijumpai gangguan sebelum proses komunikasi tersebut berlangsung efektif. Gangguan dalam komunikasi antarbudaya biasanya menjadi penghambat laju pesan yang di tukar antara komunikator dan komunikan. Misalnya saja perdebatan antara Saiful Bahri dan Haji Musa pada awalnya dapat dikatakan sebagai sebuah gangguan karena interpretasi atas makna saling berlawanan dan non-equal. Begitupun tuduhan yang dialamatkan kepada Saiful Bahri ketika member pernafasan buatan kepada Halimah yang dimaknai sebagai sesuatu yang tidak bermoral dan mencoreng kehormatan guru agama. Nilai-nilai pembaruan yang dibawa oleh Saiful Bahri kapasitasnya di film ini bukanlah sebuah gagasan yang ditolak karena tidak sesuai dengan normanorma, pola pikir dan sistem budaya di desa Sekarlangit melainkan gagasan praksis yang dibawa Saiful Bahri telah memberikan sebuah insight bagi masyarakat desa Sekarlangit. Hanya saja kesiap-sediaan masyarakat yang belum secara penuh
83 menerima setiap perubahan-perubahan yang dibawa perlu usaha dan proses yang tak henti untuk melakukan perubahan. Dan Saiful Bahri telah membuktikannya dalam usahanya dengan berlandaskan keyakinan akan sebuah perubahan paradigma (sifting paradigm) di lapisan struktur masyarakat. Nilai-nilai pembaruan inilah yang menimbulkan friksi antara Saiful Bahri dengan Haji Musa di satu sisi dan tuan Harun disisi lain. Timbulnya perbedaan tersebut dilatari oleh perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan yang berada dalam setting sosial yang berbeda. Perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan di film AlKautsar dapat dijelaskan dalam scene 45. Perbedaan persepsi antara Saiful Bahri dan Haji Musa tentang pemahaman keagamaan. Disatu sisi Saiful berpendapat bahwa agama harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan sedangkan disisi lain bagi Haji Musa bahwa agama harus sesuai fungsinya sebagai perkara ibadah ritual an-sich, Haji Musa berpendapat bahwa ulama mempunyai kewajibannya sebagai ulama bukan dicampur aduk dengan perkara duniawi seperti mengurusi pertanian pula dan perbedaan persepsi inilah yang menimbulkan hambatan-hambatan dalam berkomunikasi diantara kedua belah pihak. Perbedaan persepsi tergambar dengan gamblang di scene 52. Dalam scene 52 ini Saiful Bahri menuding Haji Musa bersifat status quo, anti terhadap perubahan dan pembaharuan serta berpikiran kolot yang ia tumpahkan dalam isi surat kepada Nurhayati di Pesantren. Namun disisi lain Haji Musa merupakan ayahanda Nurhayati. Dalam scene ini Nurhayati sangat sedih hingga ia menangis takut
jikalau
ayahnya
membenci
Saiful,
Rohana
temannya
mencoba
menenangkannya dengan mengatakan bahwa belum tentu Haji Musa membenci Saiful dan itu hanya perasaan Saiful saja yang merasa begitu. Tampak jelas di
84 scene ini, perbedaan pandangan pemahaman keagamaan diantara keduanya semakin tajam dan meruncing sampai-sampai pernyataan Saiful Bahri jikalau Haji Musa seorang yang kolot dan tidak suka pembaharuan. 8 Proses komunikasi antarbudaya pada hakikatnya bersifat interaktif dan transaksional serta dinamis. Proses komunikasi interaktif berlangsung secara dua arah/timbal balik antara komunikator dan komunikan. Pada perbedaan persepsi yang telah penulis jabarkan diatas dapat ditemui bahwa proses komunikasi antara Saiful Bahri dan Haji Musa masih dalam tahap proses komunikasi interaktif belum memasuki tahap transaksional yang lebih tinggi. Pada tahap transaksional proses komunikasi berlangsung secara lebih memahami perasaan, saling mengerti. Wujud komunikasi transaksional ditemui tatkala Saiful Bahri berkirim surat kepada Nurhayati. Saiful Bahri terus mengirim surat kepada Nurhayati tentang situasi dan kondisi Saiful termasuk hubungan Saiful Bahri dengan Haji Musa, dengan Tuan Harun dan kematian suami Halimah. Pada scene 52 digambarkan adegan berkirim surat antara Saiful dan Nurhayati, dalam isi surat tersebut Saiful menginformasikan
8
Dalam konteks ini dapat pula dilihat sebagai bentuk pertentangan antara pemahaman keagamaan kaum tua dan kaum muda yang terjadi di paruh awal abad ke-20 di Minangkabau. Istilah kaum tua dan kaum muda masing-masing merepresentasikan Islam yang merujuk pada ortodoksi Islam seperti Al-Quran dan Sunnah dan mazhab-mazhab fiqh yang dianut, hanya bedanya kaum tua tetap bersandarkan pada ajaran mazhab sedangkan kaum muda hanya mengakui sumbersumber ajaran Islam dari al-Quran dan Hadis an-sich. Soekarno dalam artikelnya yang dimuat di majalah Pandji Islam No. 15 (15 April 1940) mengatakan bahwa perbedaan antara kaum muda dan kaum tua disinilah hanyalah, bahwa kaum tua menerima tiap-tiap keterangan dari tiap-tiap otoritas Islam, walaupun tidak tersokong oleh dalil Quran dan Hadis, sedangkan kaum muda hanyalah mau mengakui sah sesuatu hukum, kalau ternyata tersokong oleh dalil Quran dan Hadis, dan menolak semua keterangan diluar Quran dan Hadis itu, walaupun datangnya dari otoritas Islam yang bagaimana besarnya juapun adanya. Lihat Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1996. Hal 302. Selanjutnya Deliar Noer menuliskan bahwa kaum tua atau golongan tadisi lebih banyak menghiraukan soal-soal agama, din atau ibadah belaka. Bagi mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sebaliknya kaum muda atau golongan pembaharu lebih memberi perhatian pada sifat Islam yang umumnya. Bagi mereka Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam berarti kemajuan, agama ini tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains, dan kedudukan wanita. Para pembaharu berpendapat bahwa Islam “menghargai akal manusia dan melindunginya daripada tindasan-tindasan, dan ini dikemukakan dalam Quran dan Hadis. Mereka berkeyakinan pintu ijtihad masih tetap terbuka yang dinilai dengan dasar Quran dan Hadis. ( Penulis mengulas asumsi ini merujuk pada Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1996). Hal 322-3, 325.
85 keberadaannya di desa Sekarlangit yang kebetulan kampung halaman Nurhayati, kematian suami Halimah dan kegusaran Saiful Bahri terhadap Haji Musa yang selalu berbeda pendapat dengannya, dalam isi surat ini Nurhayati sedih karena yang dimaksud oleh Saiful Bahri tidak lain tidak bukan ialah ayahandanya sendiri. Dalam scene ini digambarkan proses komunikasi berlangsung sangat intim dan saling mengerti di mana Nurhayati dapat memaklumkan Saiful Bahri tatkala ia berselisih paham dengan Haji Musa yang diharapkan akan mereda dan mencair sesuai harapan Nurhayati. Tahapan proses komunikasi yang bersifat transaksional antara Saiful Bahri dan Haji Musa terjadi dalam scene 97 di mana Haji Musa menyelamatkan Saiful Bahri dari usaha percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Tuan Harun. Tindakan yang dilakukan oleh Haji Musa untuk menyelamatkan nyawa Saiful menurut hemat penulis didasari oleh keterlibatan emosional yang tinggi yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan atas pertukaran pesan, peristiwa komunikasi yang sudah berlangsung meliputi seri waktu antara masa lalu, kini dan akan datang serta di kedua belah pihak telah menjalankan peran tertentu. Proses komunikasi berlangsung secara dinamis dan berlangsung dalam konteks sosial yang hidup di desa Sekarlangit. Pertukaran pesan antara komunikator dan komunikan menjadi dua aspek penting dalam kesuksesan proses komunikasi. Tujuan komunikasi akan tercapai manakala komunikan “menerima” (memahami makna) pesan dari komunikator, dan memperhatikan (attention) serta menerima pesan secara menyeluruh. Di scene 85 dideskripsikan usah Saiful dalam menginsyafkan Sutan untuk kembali ke jalan yang benar setelah Saiful tidak berdaya akibat amuk warga yang memporakporadakan madrasahnya setelah ia dituduh/difitnah berbuat asusila dengan
86 mencium bibir Halimah. Tampak usaha Saiful Bahri dalam mempengaruhi agar Sutan kembali lagi jalan yang lurus merupakan tujuan komunikasi yang sukses dengan bertobatnya Sutan ke jalan yang benar. Di adegan scene 94 usaha Saiful Bahri berhasil dalam mengembalikan Sutan ke fitrahnya ke jalan yang lurus dengan bersembahyang yang disaksikan oleh anak istrinya dan lalu pergi ke gudang milik tuan Harun. Dalam konteks komunikasi antarbudaya, komunikator dengan komunikan masing-masing memiliki latar belakang sosial dan budaya yang berbeda dan terjadinya kesuksesan proses pertukaran pesan antara komunikator dan komunikan untuk menemukan kesepahaman bersama di dalam film Al-Kautsar dideskripsikan pada sequence VI sebagai tahapan babak resolusi konflik dan penyelesaian di film ini. Dalam sequence VI terhimpun resolusi konflik dengan bertobatnya Sutan setelah mendapatkan perhatian yang tulus untuk kembali ke jalan yang lurus dengan membuka romantika Sutan bersama gurunya Syeikh Zakaria, pembelaan Sutan kepada Saiful yang ditikam oleh tuan Harun, kemarahan Sutan kepada tuan Harun yang menghina Tuhan di depannya, pergulatan batin Sutan yang mengantarkannya untuk kembali melaksanakan shalat, pembelaan Haji Musa terhadap Saiful Bahri dari usaha percobaan pembunuhan oleh tuan Harun, Sutan dan tuan Harun yang terperangkap di gudang dengan kobaran api yang besar, insyafnya tuan Harun atas perbuatan kejinya dengan semua yang pernah ia zalimi. Dan film ini pun mencapai kesepahaman bersama tatkala adegan Saiful Bahri dan Nurhayati kembali ke Jawa. Dalam pada itu, melalui proses komunikasi antarbudaya kesenjangan pengetahuan dan pemahaman keagamaan dapat diatasi melalui kesepahaman bersama dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam. Dalam film ini diceritakan
87 bagaimana usaha Saiful Bahri yang berhasil meyakinkan Haji Musa dan membawa perubahan yang signifikan di desa Sekarlangit. Dalam pandangan komunikasi antarbudaya, menurut Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. 9 Tokoh protagonis, Saiful Bahri telah dengan sukses melakukan proses negosiasi atau pertukaran simbolik dengan Haji Musa, Sutan, tuan Harun dan masyarakat desa Sekarlangit. Gagasan pembaruannya dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat di desa Sekarlangit dan membawa nilainilai pembaruan yang berdasarkan konsepsi amar ma’ruf nahiy mungkar. Akhirnya tujuan komunikasi antarbudaya dapat tercapai dengan mengurangi tingkat ketidakpastian.
C.
Tinjauan Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya Dalam unsur-unsur komunikasi antarbudaya, persepsi merupakan hubungan
yang komplementer dengan unsur-unsur komunikasi antar budaya. Pada hematnya, persepsi diartikan sebagai proses penyeleksian
yang sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan. Persepsi adalah proses internal yang kiat lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan stimulasi (rangsangan) dari lingkungan eksternal. Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk perilaku tertentu. Keberhasilan dan cara mempersepsi dunia perilaku ini adalah hasil pengamatan budaya. Oleh karena itu KAB lebih dapat dipahami sebagai perbedan budaya dalam mempersepsi peristiwa dan objek-objek tertentu. Perlu disadari 9
Alo Liliweri, Dasar-dasar komunikasi antar budaya, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal. 8
88 bahwa kebudayaan itulah yang umumnya menentukan standar ukuran-ukuran persepsi itu. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa pemahaman tentang persepsi bermanfaat sebagai landasan memahami hubungan antar kebudayaan dan persepsi itu sendiri. 10 Kembali pada pemahaman keterpaduan hubungan persepsi dengan unsurunsur budaya dalam kita berkomunikasi. Unsur-unsur budaya disini laksana suatu stereo, setiap unsur budaya berfungsi saling berhubungan dan saling membutuhkan antara satu unsur dengan lainnya. KAB dipahami sebagai perbedaan budaya mempersepsi dunia, manusia dan peristiwa. Perlu dipahami benar bahwa masalahmasalah yang timbul dalam komunikasi dan berkomunikasi bersumber dari perbedaan-perbedaan persepsi. Oleh karena itu perlu kita memahami benar apa dan bagaimana kerangka persepsi orang lain tentang pemilihan, penilaian dan tindakannya terhadap dunia, manusia dan peristiwa di lingkungan eksternal. Dalam KAB diupayakan banyak persamaan pengalaman dan persepsinya sungguhpun ciri kebudayaan itu sendiri banyak menimbulkan perbedaan dalam pengalaman dan persepsi. 11 Dalam pada itu, Temuan data dan analisis mengenai persoalan perbedaan persepsi pada film Al-Kautsar dapat dilihat di scene 45 yang menggambarkan secara eksplisit perbedaan pandangan pemahaman keagamaan antara Saiful Bahri dengan Haji Musa, tokoh ulama yang sangat disegani di desa Sekarlangit. Berikut petikan dialog yang berlangsung antara Saiful Bahri dan Haji Musa:
10 Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58. 11 Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 58
89 Scene 45 INT.—RUMAH HAJI MUSA – MALAM Kelihatan Haji Mustafa bersama Saiful lagi berbicara dengan Haji Musa. HAJI MUSA Bagiku Haji, masing-masing punya satu kewajiban, ulama punya kewajiban ulama, ahli pertanian punya kewajiban ahli pertanian. Kalau keduanya dicampurcampur, maka salah satu tentu akan cacat…. Saiful Diam sebentar SAIFUL Agama itu harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan…. HAJI MUSA Oh, begitu anak muda. Baru kali aku tahu… Ia berdiri lalu masuk kedalam sebentar. Haji Musa berbisik pada Saiful HAJI MUSTAFA Lebih baik kau jangan membantah dia… SAIFUL Kebenaran harus diutarakan biar dalam keadaan apapun. Seorang ulama harus berani mengutarakan kebenaran biar dihadapan orang zalim sekalipun. HAJI MUSTAFA Aku tahu, aku…. Haji Musa masuk lagi HAJI MUSA Cobalah yakinkan aku dulu. Sebelum itu biarlah aku berpegang pada apa yang sampai saat ini ku anggap benar. Kalau haji ingin mendidik orang beragama, berikanlah pada guru agama….
Perdebatan mereka pun terhenti karena ada berita suami Halimah meninggal dunia dan Haji Musa, Haji Mustafa, Saifil Bahri langsung menuju rumah Halimah untuk bertakziah begitupun dengan Harun dan Sutan yang mendengar bunyi kentungan dari gudang. Perdebatan antara Haji Musa dan Saiful
90 Bahri kembali terjadi secara spontan di akhir scene 50 di kediaman Halimah tatkala keduanya duduk berdekatan saat mereka bertakziah. Berikut petikannya:
HAJI MUSA Saya dulu waktu muda, kalau ketemu ulama saya akan mencium tangannya. Tandanya kita menghormati ilmunya. Biasanya ulama itu, menarik tangannya supaya jangan dicium, itu tanda kerendahan hatinya. Tapi sekarang ini tidak berlaku lagi. Orang-orang muda ilmunya lebih tinggi dari kami yang tua-tua ini. Itu contohnya si Sutan, ilmunya sampai kelangit tapi sembahyangnya diatas kartu judi. Dan ikutannya kemenakanku Harun! SAIFUL Bapak, salah faham. Bukan begitu tanda menghargai ilmu seseorang, tetapi dengan mengerjakan apa yang diajarkannya. HAJI MUSA Maaflah, anak muda, baru saya tahu, bahwa yang diajarkan itu harus dikerjakan. Haji Mustafa memberi isyarat kepada Saiful yang sudah mulai bergelora hatinya untuk tidak menjawab. H. Mustafa memotong pembicaraan Saiful. HAJI MUSTAFA Saya cuma punya satu permintaan, pak Haji. Berilah saya kesempatan bersama saudara Saiful ini…. HAJI MUSA Saya berkewajiban memperingatkan, haji. Kalau soal mencoba tidak ada salahnya. Saya akan lihatkan, kemana perginya semua ini…. HAJI MUSA Saya maklum, pak Haji. Dalam percakapan diatas dapat kita lihat betapa tajam perbedaan pandangan pemahaman
keagamaan
diantara
Saiful
Bahri
dan
Haji
Musa
dalam
menginterpretasikan ajaran Islam. Bagi Haji Musa saat ini orang hanya belajar ilmu agama tapi tidak mengamalkan ajaran Islam termasuk shalat seperti ia menyindir Sutan dalam dialog dijelaskan, “Itu contohnya si Sutan, ilmunya sampai
91 kelangit tapi sembahyangnya diatas kartu judi” tidak hanya itu menurut penulis, Saiful Bahri juga terkena sindirian Haji Musa di mana Haji Musa mengatakan, “Saya dulu waktu muda, kalau ketemu ulama saya akan mencium tangannya. Tandanya kita menghormati ilmunya. Biasanya ulama itu, menarik tangannya supaya jangan dicium, itu tanda kerendahan hatinya”, dalam percakapan ini Haji Musa tampaknya menyindir
Saiful yang tidak seperti ia muda dulu yang
menghormati ulama dengan mencium tangannya sebagai bentuk menghormati ilmunya dan sontak apa yang dikatakan oleh Haji Musa mengundang sanggahan dari Saiful Bahri dengan mengatakan, “Bapak, salah faham. Bukan begitu tanda menghargai ilmu seseorang, tetapi dengan mengerjakan
apa yang
diajarkannya”, dan Haji Musa pun tetap pada pendiriannya dengan mengatakan, “Maaflah, anak muda, baru saya tahu, bahwa yang diajarkan itu harus dikerjakan”, dan “Saya berkewajiban memperingatkan, haji. Kalau soal mencoba tidak ada salahnya. Saya akan lihatkan, kemana perginya semua ini”. Dari dialog scene 45 dan diakhir scene 50 dapat ditemui sejumlah persoalan perbedaan persepsi diantara keduanya yang masing-masing memiliki persepsi satu sama lain yang berbeda. Tentunya perbedaan persepsi ini menyangkut pada penilaian terhadap suatu peristiwa dan objek, masing-masing dari subyek dapat melihat dengan perspektifnya sendiri sehingga dapat menentukan perilaku komunikasi subyek tersebut terhadap obyek dihadapannya. Dan petikan dialog di scene 45 dan akhir scene 50 dapat ditemukan mengenai perbedaan-perbedaan persepsi antara Saiful Bahri dan Haji Musa menyangkut soal-soal pemahaman pandangan keagamaan mereka di mana perbedaan-perbedaan persepsi tersebut adalah akibat dari masalah-masalah yang timbul dan komunikasi dan berkomunikasi diantara kedua belah pihak yang terlibat. Baik antara komunikator
92 dengan komunikan pada petikan dialog diatas menggambarkan derajat perbedaan antara Saiful Bahri dan Haji Musa yang memperkecil suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Asumsi dasar dari Komunikasi Antar Budaya ialah berangkat dari anggapan dasar bahwa adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan komunikan. Namun pada akhirnya tujuan komunikasi antarbudaya ialah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain dan dalam konteks KAB menurut Edward T. Hall mengatakan: “Komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Jadi, komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi. 12 Samover et.al (1981:38-48) membagi berbagai aspek kebudayaan kedalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan tingkah laku komunikasi. Pengaruh-pengaruh terhadap komunikasi ini sangat beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses KAB unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen-komponen dari suatu sistem stereo—karena masing-masing saling berkaitan dan membutuhkan yang lainnya. 13 Unsur-unsur komunikasi dalam kajian KAB, dikenal tiga unsur sosial budaya utama yang besar dan secara langsung pengaruhnya terhadap makna dalam persepsi kita ialah sebagai berikut: - sistem kepercayaan/keyakinan (belief), nilai-nilai (values), sikap (attitude) - pandangan dunia (worldview)
12 Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 12-14 13 Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas IlmuIlmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 25
93 - organisasi sosial (social organization). Disini penulis akan mengelaborasi tentang unsur-unsur komunikasi antar budaya dalam setiap petikan-petikan dialog disetiap scene yang menggambarkan komponen-komponen dari masing-masing unsur-unsur komunikasi antar budaya yang
menurut
Samover
unsur-unsur
tersebut
secara
langsung
sangat
mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan tingkah laku komunikasi. Unsur-unsur komunikasi antar budaya membentuk suatu keterpaduan hubungan persepsi yang saling berkaitan dan membutuhkan antara satu unsur dengan lainnya. Penulis menyusunnya dalam bentuk tabel dibawah ini.
Tabel 1.4 Analisis petikan dialog di setiap scene terhadap unsur-unsur KAB 1. Unsur Sistem Keyakinan, Nilai, dan Sikap Unsur-Unsur KAB Sistem Keyakinan/Kep ercayaan, Nilai dan Sikap
Petikan dialog di setiap Scene
Scene 31: HARUN Apa sudah tidak ada lagi diantara kalian yang pandai mengaji, makanya Haji Mustafa mengambil guru dari Jawa Scene 31: HARUN Tahu ku Sutan apa agama itu. Ini… (lalu ia membuat gerakan menghitung uang dengan jarinya). Ini… (lalu ia mengepal tinjunya) Scene 31: HARUN Tidak usah banyak bicara, Sutan. Kemana kau yang tidak pergi mengaji, menuntut ilmu. Ilmu segudang. Tapi kerjamu apa berjudi, main ceki, dan tak hentinya minta uang. Semua kau
Elemen unsur-unsur KAB Sistem Sikap
Sistem Nilai
Sistem Nilai
Keterangan
Suatu bentuk sindiran Harun terhadap orang kampung terhadap kedatangan Saiful Bahri sebagai guru agama di desa tersebut Harun membuat sebuah penilaian tentang agama yang ia lihat dan amati
Penilaian Harun terhadap Sutan yang mempunyai ilmu agama tapi tidak berguna apa-apa.
94 lakukan untuk uang. Hanya babi saja lagi yang barangkali belum kau makan… Sutan diam. Harun mengarahkan pembicaraannya pada yang lain-lain. Scene 31: HARUN Apa kalian tidak malu? Kalau aku tidak peduli. Sekarang tidak perlu agama lagi. Sekarang zaman modern. Yang perlu kaya… kalau dia perlu di usir biar Sutan yang mengejarkan. Perlu. Perlu modal untuk main ceki, Tan? Lalu Harun tertawa sambil menyulut sebatang rokok. Sutan tidak menjawab. Kelihatan ia berbalik memandang kejauhan. Dimatanya mengambang air mata. Kelihatan sekali ia menderita Scene 43: SUTAN Jangan disebut-sebut agama. Dan jangan harapkan apa-apa dari tuan Harun. Sedangkan harta pusaka dia jual Scene 44: HARUN Biar sesen berarti. Aku tahu apa yang kau katakan tadi diluar. Bahwa aku menjual harta pusaka. Hingga pamanku Haji Musa tidak mau menghiraukan aku lagi. Baik kau tahu, dalam mencari uang buat aku semua jalan.
Scene 45: HAJI MUSA Bagiku Haji, masing-masing punya satu kewajiban, ulama punya kewajiban ulama, ahli pertanian punya kewajiban ahli
Sistem Nilai
Penegasan keyakinan Harun tentang agama dan untuk zaman saat ini yang diperlukan adalah uang
Sistem Sikap
Suatu sikap Sutan yang apriori terhadap agama.
Sistem Keyakinan
Sebuah pandangan yang didasarkan pada sebuah keyakinan yang terbentuk melalui pengalaman langsung dan pengalaman ini dibentuk juga melalui sebuah pengamatan Sistem keyakinan Haji Musa yang dibentuk berdasarkan pengalaman langsung,
Sistem Kepercayaan/ Keyakinan dan Sistem Nilai
95 pertanian. Kalau keduanya dicampur-campur, maka salah satu tentu akan cacat… Scene 45: SAIFUL Agama itu harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan… Scene 45: SAIFUL Kebenaran harus diutarakan biar dalam keadaan apapun. Seorang ulama harus berani mengutarakan kebenaran biar dihadapan orang zalim sekalipun. Scene 45: HAJI MUSA Cobalah yakinkan aku dulu. Sebelum itu biarlah aku berpegang pada apa yang sampai saat ini ku anggap benar. Kalau haji ingin mendidik orang beragama, berikanlah pada guru agama… Scene 50: HAJI MUSA Saya dulu waktu muda, kalau ketemu ulama saya akan mencium tangannya. Tandanya kita menghormati ilmunya. Biasanya ulama itu, menarik tangannya supaya jangan dicium, itu tanda kerendahan hatinya. Tapi sekarang ini tidak berlaku lagi. Orang-orang muda ilmunya lebih tinggi dari kami yang tua-tua ini. Itu contohnya si Sutan, ilmunya sampai kelangit tapi sembahyangnya diatas kartu judi. Dan ikutannya kemenakanku Harun!
Sistem Kepercayaan/ Keyakinan
Scene 50: SAIFUL
Sistem Nilai
informasional dan penarikan kesimpulan (inferensial). Idem
Sistem Kepercayaan/ Keyakinan, nilai-nilai dan sikap
Antara sistem kepercayaan/keyaki nan, nilai-nilai dan sikap menjadi padu
Sistem Sikap
Suatu pandangan sikap Haji Musa dalam merespons pernyataan Saiful Bahri
Sistem Sikap
Idem
Saiful Bahri mempertahankan
96 Bapak, salah faham. Bukan begitu tanda menghargai ilmu seseorang, tetapi dengan mengerjakan apa yang diajarkannya.
pendapatnya
Scene 50; HAJI MUSA Maaflah, anak muda, baru saya tahu, bahwa yang diajarkan itu harus dikerjakan. Haji Mustafa memberi isyarat kepada Saiful yang sudah mulai bergelora hatinya untuk tidak menjawab. H. Mustafa memotong pembicaraan Saiful.
Sistem Sikap
Respons Haji Musa terhadap pandangan Saiful Bahri
Scene 50: HAJI MUSA Saya berkewajiban memperingatkan, haji. Kalau soal mencoba tidak ada salahnya. Saya akan lihatkan, kemana perginya semua ini….
Sistem Sikap
Respons Haji Musa terhadap pernyataan Saiful Bahri yang ia utarakan ke Haji Mustafa
Scene 52: ROHANA (membaca) Aku bertemu Bapak Haji Musa. Seorang kolot dan tidak suka pembaharuan. Kukira dia benci padaku…” (pada Nurhayati) orang begini dimanamana saja menyusahkan orang. Siapa Haji Musa itu? Scene 52: ROHANA Kau jangan menangis dulu, Nur. Bukan ayahmu yang mengatakan benci pada mas Saiful. Mas Saiful yang merasa begitu. Aku tidak yakin ayahmu kolot… Scene 52: ROHANA Ya tapi tidak kolot, kalau dia kolot kau tidak akan dikirim
Sistem Sikap
Respons Saiful Bahri terhadap pola pikir Haji Musa yang ia tumpahkan melalui surat kepada Nurhayati
Sistem Keyakinan
Sebuah keyakinan Rohana sahabat Nurhayati di Pesantren jika Haji Musa tidak kolot
Sistem Keyakinan
Sistem Keyakinan berdasarkan kesimpulan ia ia ketahui tentang Haji
97 kemari.
Musa.
Scene 55: SAIFUL Agama itu mengatur kehidupan, tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau perlengkapannya sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan ilmu agama itu sambung menyambung, malahan sebetulnya satu. Scene 60: SAIFUL Bapak rupanya tidak suka pada perubahan Scene 60: HAJI MUSA Kau menghukum tanpa persoalan. Aku khawatir kalau kau seorang guru agama, gagal seperti ahli pertanian itu, maka yang kena adalah agamanya.
Sistem Nilai dan sistem sikap
Suatu pandangan Saiful Bahri mengenai peranan agama.
Sistem Nilai
Scene 60: SAIFUL Ya, saya lihat sendiri disini. Memang tidak mudah. Tapi kita harus mulai, pokoknya bapak sudah saya beri tahu. Maksud saya baik, dan maksud baik harus dijalankan….. Scene 60: HAJI MUSA Anak baik, Cuma belum matang
Sistem Sikap
Suatu bentuk penilaian Saiful Bahri terhadap Haji Musa Suatu penilaian Haji Musa terhadap peranan guru agama dalam menuntun umat dan pendapat ini didasari oleh aspek evaluatif mengenai peranan guru agama yang berperan satu saja sebagai guru agama dan tidak terlibat urusan yang lain. Konsistensi sikap Saiful Bahri dalam peranan sosial agama
Scene 72:
Sistem
Sistem Nilai
Sistem Nilai
Suatu penilaian Haji Musa terhadap Saiful Bahri yang masih perlu diuji dan dibuktikan dulu. Suatu pandangan
98 HAJI MUSA Bukan begitu. Orang banyak juga harus tahu yang buruk dan yang baik. Untuk itu agama diturunkan, supaya kita belajar menimbang dan menilai. Jangan terombangambing. Jangan ibarat pepatah, sekali air besar sekali tepian beralih. Jangan Belanda datang diikuti, Jepang datang diikuti. Kalau demikian kalian akan jatuh dari mulut harimau ke mulut buaya. Yang harus diikuti yang benar, yang berjalan dijalan Tuhan. Scene 75: SAIFUL Bukan, yang saya minta Sutan Kamarudin, bekas murid terpintar, ulama tafsir terkenal, Syekh Zakaria dari Mangara ini.
Keyakinan, sistem nilai
Haji Musa yang didasari oleh derajat kedalaman dari sebuah sistem keyakinan dan penilaian berdasarkan aspekaspek evaluatif yang diyakini Haji Musa
Sistem Keyakinan
Scene 75: SAIFUL Sekarlangit ini kampung kecil, persis seperti artinya: Di Sekarlangit saya sudah lama mendengar nama Syeikh Zakaria, tentang kemasyurannya. Saya mempelajari karangan beliau dan setelah membaca kitab-kitabnya saya berkata dalam hati: “ Kalau saya diizinkan Tuhan bertemu dengan beliau maka saya akan cium tangannya.” Itu yang membuat saya ingin belajar hidup ke Sumatera Barat ini.
Sistem Keyakinan
Suatu keyakinan Saiful Bahri jikalau di dalam diri Sutan masih tersimpan nilai-nilai kebaikan dan keluhuran. Keyakinan ini didadasari oleh tingkat experensial, informasional dan inferensial. Suatu keyakinan yang dibentuk dan didadasri berdasarkan informasi (informasional) dan keyakinan yang dibentuk berdasarkan pengambilan kesimpulan (inferensial).
99 Scene 75: SUTAN Angkat, angkat. Jangan sampai kusentuh. Kalau kotor……begini, kita tidak segolongan. Guru dipihak sana. Aku dipihak sini. Kita berlawanan. Sebelum ini aku tidak perduli pada guru….. aku tidak punya kepentingan…… tapi kini aku benci pada guru, karena mengingatkan aku pada masa lampauku…… Aku orang yang tidak punya derajad, semuanya boleh menghina aku…… Saiful berdiri lalu berjalan kedekat Sutan dan membuka kitab Al-Quran dibagian tertentu, lalu membaca
Sistem Nilai dan Sistem Sikap
Suatu bentuk penilaian diri Sutan terhadap dirinya sendiri dan sebuah sikap yang ia lakukan.
Scene 75: SAIFUL (membaca surat An’Aam. Ayat 132). Wa likullin dara-jaa-tum-mimmma ‘amiluu wa ma rabbuka bigraafilin ‘amma ya’maluun. Dan masing-masing orang memperoleh derajad menurut apa yang ia perbuat, karena Tuhanmu tidak lengah terhadap perbuatan mereka.
Sistem Nilai
Suatu penilaian Saiful Bahri terhadap Sutan untuk menyadarkan Sutan dalam jurang kesesatan
Scene 75: SAIFUL Sekarang abang penjudi, besok abang berbuat baik Scene 85: SUTAN Tidak ada orang. Siapapun tidak mau lagi kemari. Kau sudah jadi orang kotor. Sekarang kita sama. Aku sekali pernah menyentuh uang yang bukan uangku, dan aku
Sistem Nilai
Idem
Sistem Nilai
Sutan yang masih berpandangan jelek mengenai dirinya
100 dibuang. Kau menyentuh perempuan yang bukan muhrimmu, dan kau… Scene 85: SUTAN Aku berbuat begitu juga untuk menyelamatkan ibuku dari kematian. Aku memberikan uang yang bukan milikku pada sesorang yang hampir-hampir melacurkan diri karena lapar… Aku berbuat begitu juga untuk menyelamatkan ibuku dari kematian. Aku memberikan uang yang bukan milikku pada sesorang yang hampir-hampir melacurkan diri karena lapar… Tapi orang-orang seperti kita, diperhitungkan tidak boleh kenal hal yang seperti itu. Hukum buat kita lain, lain daripada untuk pedagang, supir mobil, pejabat…… Mereka lain, tapi kita, kita adalah orang-orang yang bermain dengan rohani orang lain. Karena itu tangan harus putih bersih….. apa kau masih minta aku jadi guru?
Sistem Keyakinan dan sistem Nilai
Motif utama dan alasan kuat Sutan dalam membenarkan pandangannya dan tindakannya yang tergelincir dari jalan yang lurus
Scene 85: SAIFUL Abang berusaha untuk tidak percaya. Abang berusaha menghancurkan diri abang. Tapi dalam hati abang ada sesuatu yang tidak bisa abang hancurkan. Scene 85: SAIFUL Apa abang bisa lupa wajah Syeikh Zakaria? Keningnya… keningnya luas sekali, bagai
Sistem Nilai dan sistem sikap
Sebuah penilaian Saiful Bahri terhadap diri Sutan jikalau Sutan bisa berubah dan kembali ke jalan yang benar Sistem Keyakinan berdasarkan Informasi dan keyakinan berdasarkan
Sistem Keyakinan
101 pualam. Dan suaranya tenang…. Dalam sekali ia pernah meletakkan tangannya diatas tangan abang. Rasanya sejuk bagai air sungai pegunungan… Sutan menangis
pengambilan kesimpulan mengenai sosok Syekh Zakaria
Scene 85: SAIFUL Ia sayang pada abang, muridnya yang terpandai harapannya ia sayang karena Allah…
Sistem Keyakinan dan sistem Nilai
Sistem Keyakinan berdasarkan pengambilan kesimpulan (inferensial)
Scene 86 HARUN Tidak ada yang penting… Sutan, Saiful harus dibunuh. Kita akan terancam kalau dia biarkan hidup… Sutan, begini, kau perlu uang kan?
Sistem Keyakinan dan sistem nilai
Scene 86: SUTAN Ah, kalau sudah sampai bunuhmembunuh… Itu perbuatan yang dilarang Tuhan… Scene 86: HARUN Kau betul-betul binatang lata, penjudi, pemabuk. Tuhan?.... Mana Tuhan! Tidak ada Tuhan! Ini Tuhan. (Lalu ia mengeluarkan uang kertas dari kantongnya lalu ia banting ketanah, lalu ia injakinjak).
Sistem Nilai dan Sistem Sikap
Suatu pandangang Harun di aman saiful Bahri dianggap faktor penghambat dirinya dan sikap defensifnya tatkala sudah terdesak. Suatu respons Sutan atas pernyataan Harun yang ingin membunuh Saiful Bahri
Sistem Keyakinan
Sistem Keyakinan berdasarkan pengambilan kesimpulan (inferensial)
Scene 111: ISTERI SUTAN Dia datang tadi malam sudah mulai sembahyang lagi.
Sistem Nilai
Sebagai bentuk respons istri Sutan tatkala Sutan kembali bersembahyang
102 Tabel 2.4 Analisis petikan dialog di setiap scene terhadap unsur-unsur KAB 2. Unsur Pandangan Dunia Unsur-Unsur KAB Pandangan Dunia
Petikan dialog di setiap Scene Scene 31: HARUN Apa kalian tidak malu? Kalau aku tidak peduli. Sekarang tidak perlu agama lagi. Sekarang zaman modern. Yang perlu kaya… Scene 44: HARUN Baik kau tahu, dalam mencari uang buat aku semua jalan halal… Scene 44: HARUN Coba tiru aku Sutan, belajarlah menghalalkan segalanya. Scene 45: Agama itu harus dipindahkan kedalam perbuatan, ke dalam kehidupan Scene 45: SAIFUL Kebenaran harus diutarakan biar dalam keadaan apapun. Seorang ulama harus berani mengutarakan kebenaran biar dihadapan orang zalim sekalipun. Scene 45: HAJI MUSA Cobalah yakinkan aku dulu. Sebelum itu biarlah aku berpegang pada apa yang sampai saat ini ku anggap benar. Kalau haji ingin mendidik orang beragama, berikanlah pada guru agama… Scene 50: HAJI MUSA Saya dulu waktu muda, kalau ketemu ulama saya akan mencium tangannya. Tandanya kita menghormati ilmunya. Biasanya ulama itu, menarik tangannya supaya jangan dicium, itu tanda kerendahan hatinya. Tapi sekarang ini tidak berlaku lagi. Orang-orang
Keterangan
Sebuah unsur yang berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup, persoalan-persoalan filosofis mengenai Tuhan, kemanusiaan, alam raya. Pandangan dunia dalam film ini meruapakan sebuah konsepsi landasan budaya dari setiap pelaku yang terlibat di dalamnya. Apa yang menjadi landasan dalam menyingkap dunia, tokoh-tokoh di film ini antara unsur-unsur satu sama lain saling mempengaruhi dan pendukung dalam mempersepsikan dunia, manusia dan peristiwa. Dalam pandangan dunia (worldview) inilah melekat aspek-aspek kebudayaan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan tindakan.
103 muda ilmunya lebih tinggi dari kami yang tua-tua ini. Itu contohnya si Sutan, ilmunya sampai kelangit tapi sembahyangnya diatas kartu judi. Dan ikutannya kemenakanku Harun! Scene 55: SAIFUL Agama itu mengatur kehidupan, tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau perlengkapannya sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan ilmu agama itu sambung menyambung, malahan sebetulnya satu. Scene 60: HAJI MUSA Kebutuhan manusia adalah dua macam, yang bisa dilihat dengan mata dan yang tidak bisa kelihatan, kalau kau mau melakukan perubahan, itu berarti manusianya harus kau robah. Percayalah kau, itu tidak mudah.
Scene 60: SAIFUL Ya, saya lihat sendiri disini. Memang tidak mudah. Tapi kita harus mulai, pokoknya bapak sudah saya beri tahu. Maksud saya baik, dan maksud baik harus dijalankan…
Sebuah unsur yang berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup, persoalan-persoalan filosofis mengenai Tuhan, kemanusiaan, alam raya. Pandangan dunia dalam film ini meruapakan sebuah konsepsi landasan budaya dari setiap pelaku yang terlibat di dalamnya. Apa yang menjadi landasan dalam menyingkap dunia, tokoh-tokoh di film ini antara unsur-unsur satu sama lain saling mempengaruhi dan pendukung dalam mempersepsikan dunia, manusia dan peristiwa. Dalam pandangan dunia (worldview) inilah melekat aspek-aspek kebudayaan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan tindakan.
104 Scene 86: SUTAN Ah, kalau sudah sampai bunuh-membunuh… Itu perbuatan yang dilarang Tuhan… Scene 86: Jangan. Aku boleh dihina. Tapi Tuhan jangan dihina didepanku. Tuhan jangan dihina. Scene 94: SUARA SUTAN Allahu Akbar! Scene 105: SUTAN Aku tidak gila. Duduklah dengan tenang. Kenapa harus takut pada api. Api nereka barangkali lebih besar dari ini. Ini belum apaapa. Tapi tuan telah menghina Tuhan di hadapanku. Kini pada siapa engkau akan minta tolong? Scene 105: SUTAN Tidak, uang tidak bisa menolong. Kalau engkau selamat, maka yang bisa menyelamatkan hanya Tuhan. Hanya yang Esa itu, lain tidak. Scene 111: HARUN Dia datang untuk menyelematkan aku dari siksaan yang lebih besar… neraka!
105 Tabel 3.4 3. Unsur Organisasi Sosial Tokoh/Pemeran Utama
Elemen Unsur Organisasi Sosial Kebudayaan Geografik
Kebudayaan Peranan
Saiful Bahri
Jawa, Santri, Islam Modernis
Haji Musa
Tokoh ulama dan masyarakat di latar film Al-Kautsar, berfaham ortodoks dan Sumatera
Pesantren Modern, alumni yang dikirim ke Mengara—suatu latar di film Al-Kautsar yang berkarakteristik daerah Sumatera Barat, Pemahaman keislaman yang modernis sesuai dengan pandangan pesantrennya yang di film ini di perlihatkan memakai jas, kemeja dan dasi. Atribut ini identik dengan pondok pesantren modern. Berpikiran maju dan progresif—ini dapat dilihat dari keyakinannya di scene 45 dalam petikan dialog: “ Agama itu harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan… kemudian dilanjutkan “ Kebenaran harus diutarakan biar dalam keadaan apapun. Seorang ulama harus berani mengutarakan kebenaran biar dihadapan orang zalim sekalipun. Keteguhannya ini ditegaskan lagi pada petikan dialog di scene 55 yang berbunyi; “ Agama itu mengatur kehidupan, tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau perlengkapannya sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan ilmu agama itu sambung menyambung, malahan sebetulnya satu. Surau sebagai lembaganya, pandangannya yang masih ortodok seputar agama seperti yang tertulis di petikan dialog scene 45, “ Bagi Haji, masing-masing punya satu kewajiban, ulama punya kewajiban ulama, ahli pertanian punya kewajiban ahli pertanian. Kalau keduanya dicampur-campur, maka salah satu tentu akan cacat. Pendapatnya ini tentunya sangat bertolak belakang dengan
106 pandangan Saiful Bahri dilain pihak. Dan dalam petikan dialog di scene 45 Haji Musa tetap pada pendiriannya. Berikut petikannya, “ Cobalah yakinkan aku dulu. Sebelum itu biarlah aku berpegang pada apa yang sampai saat ini ku anggap benar. Kalau haji ingin mendidik orang beragama, berikanlah pada guru agama. Pada dasarnya Haji Musa tidaklah dalam artian ortodoks, ia masih dapat menerima pandanganpandangan baru yang sesuai dengan ajaran agama seperti petikan dialog di scene 45, “ Cobalah yakinkan aku dulu. Dalam petikan dialog ini dapat dilihat pandangan Haji Musa terhadap suatu pembaruan dan ini diperkuat pada petikan dialog selanjutnya, di scene 50, “ Saya berkewajiban memperingatkan, haji. Kalau soal mencoba tidak ada salahnya. Saya akan lihatkan, kemana perginya semua ini, hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Rohana sahabat Nurhayati, putri Haji Musa yang menuntut ilmu agama di pesantren di Jawa ketika Nurhayati menerima sepucut surat dari Saiful Bahri yang notabene kekasihnya dan satu pesantren dengannya, menurut Rohana dalam petikan dialog di scene 52, “ Aku tidak yakin ayahmu kolot… kemudian Rohana menambahkan, “ Ya tapi tidak kolot, kalau kolot kau tidak akan dikirim kemari. Menurut Caherul Umam dalam wawancaranya dengan penulis mengatakan bahwa sikap Haji musa kepada Saiful Bahri hanya sebatas menguji sampai dimana konsistensi Saiful Bahri dalam menggerakkan perubahan di masyarakat. Hal ini diperkuat oleh petikan dialog scene diatas dan scene berikutnya di scene 60, berikut petikan dialognya, “ kebutuhan manusia adalah dua macam, yang bisa dilihat dengan
107
Harun
Tengkulak, kemenakan Haji Musa, lapau.
Sutan
Mantan Murid Syekh Zakaria, Lapau, mengetahui soal-soal agama
Nurhayati
Putri Haji Musa, dikirim belajar di Pesantren modern di Jawa, berpandangan maju, kekasih Saiful Bahri
Halimah
Janda, punya kegiatan menyulam, bersama Saiful Bahri mengajar di Madrasah
mata dan yang tidak bisa kelihatan, kalau kau mau melakukan perubahan, itu berarti manusianya harus kau robah. Percayalah kau, itu tidak mudah.” Kemudian dilanjutnya “Anak baik, Cuma belum matang.” Menyangsikan agama demi keserakahannya, takabur, ingkar, sombong, semuanya dapat dibeli dengan uang namun akhirnya bertobat karena mendapat seluruh kekayaannya telah musnah. Menjadi anak buah Harun karena membalas budi baik Harun yang telah menolongnya, seorang murid Syekh Zakaria yang tersesat karena dibenturkan dengan keadaan. Menjadi orang yang jauh dari ajaran agama namun suatu kala bertobat dan menuntaskan cerita film ini dengan membakar lumbung beras milik Harun. Pesantren modern di Jawa, berpandangan maju dan modernis, satu kamar dengan Rohana— sahabatnya di pesantren yang berkontribusi membentuk pandangannya, melakukan suratmenyurat dengan Saiful Bahri perihal kondisi Saiful Bahri di desa tempat ia mengajar yang kebetulan kampung halamannya. Kembali ke kampung halamannya diakhir cerita tatkala semua persoalan sudah selesai dan Saiful Bahri menyatakan segera meminangnya setelah ia selesai studi di Pesantren. Ditinggal mati oleh suaminya karena sakit, bersamanya Saiful Bahri dituduh dan difitnah berbuat asusila dengan Halimah ditambah Saiful Bahri yang memberikan pertolongan pernafasan buatan kepada Halimah yang menjadi pemicu kemarahan masyarakat yang terprovokasi oleh Harun, seluruh aktivitas Saiful Bahri hancur bersama madrasah yang ia kelola bersama Halimah namun
108 keadaan kembali memihak kepada Saiful Bahri dan Halimah sendiri yang sedari awal ditaksir oleh Harun, dimana Halimah pada akhir cerita mau menerima Harun setelah terbakar di gudangnya dan ia bertobat. Dari tabel diatas dapat
diperoleh informasi mengenai unsur-unsur
komunikasi antar budaya dalam cerita film Al-Kautsar. Dalam unsur-unsur KAB inilah dapat ditemukan sebuah pengertian persepsi diantara karakter yang terlibat di film Al-Kautsar dengan menekankan pengertian persepsi sebagai proses penyeleksian yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan. Persepsi beroperasi pada proses internal yang memilih, memilah, mengevaluasi dan juga mengorganisasikan stimulasi (rangsangan) dari lingkungan eksternal. Oleh karena itu, KAB dapat dimengerti sebagai sebuah perangkat untuk memahami perbedaan budaya dalam mempersepsikan peristiwa dan objek-objek tertentu, persepsi adalah sebuah perangkat konseptual dalam menangkap fenomena diluar diri setiap individu. Dalam tindakannya, persepsi diaktualisasikan oleh unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya. Unsur-unsur tersebut bekerja pada sebuah hubungan yang saling terkait satu sama lain dalam penciptaan makna untuk persepsi yang selanjutnya menentukan tindakan berkomunikasi. Ambil contoh, perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan dapat dijelaskan dalam scene 45. Dalam scene ini secara eksplisit dijelaskan perbedaan persepsi antara Saiful Bahri dan Haji Musa tentang pemahaman agama. Di satu sisi Saiful berpendapat bahwa agama harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan sedangkan di sisi lain Haji Musa berpendapat bahwa agama harus sesuai fungsinya sebagai perkara ibadah ritual an-sich, Haji Musa berkeyakinan bahwa ulama mempunyai kewajibannya sebagai ulama bukan dicampur adukkan dengan perkara duniawi seperti mengurusi
109 pertanian dan perbedaan persepsi inilah yang menimbulkan hambatan-hambatan dalam berkomunikasi dikedua belah pihak. Pada scene 55 Saiful kembali menegaskan gagasannya tentang sebuah pembaruan yang menyandingkan antara agama dan ilmu umum seperti pertanian yang dibutuhkan untuk memajukan desa Sekarlangit. Ia bercakap-cakap dengan salah seorang guru di madrasah yang ia tempati untuk mengajar. Bagi Saiful Bahri agama datang untuk mengatur kehidupan, tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau perlengkapannya sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan ilmu agama itu sambung menyambung, malah sebetulnya satu. Disini ia mencoba meyakinkan bahwa agama itu saling sambung menyambung dengan ilmu hidup yang dikategorikan terpisah dari ilmu agama—ilmu hidup yang dimaksud disini ialah ilmu-ilmu yang bersifat duniawi seperti ilmu pertanian, kedokteran, teknik, sosial, hukum dan lain-lain. Hal yang sama juga diutarakan oleh Chaerul Umam, dalam wawancara dengan penulis ia mengatakan bahwa agama itu tidak sekedar diomongkan tapi dilakukan jadi Islam agama yang juga mengurus masalah pertanian, mengurus keterbelakangan, mengurus HAM juga. Disini, kita dapat melihat bahwa figur Saiful Bahri adalah personifikasi dari gagasan pembaruan Islam yang dikenal dengan istilah Tajdid 14,
14
Tadjid merupakan salah satu bentuk implikasi ajaran Islam setelah nabi meninggal. Ide tadjid sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari ciri dasar ajaran Islam. Ciri ini diformulasikan dalam bentuk keyakinan bahwa pertama, Islam adalah agama yang universal, yang misinya adalah rahmat bagi semua penghuni alam sebagaimana firman-Nya, Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk rahmat bagi semesta alam (QS 21:107), Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan yang meliputi prinsip ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya, dan dengan lingkungannya. Dalam ciri ajaran yang khusus, Islam menekankan keseimbangan antara persolaan duniawi dan yang non-duniawi, antara kehidupan spiritual dan material, serta ritual dan sosial. Konsep tentang universalitas Islam dan “finalitas” fungsi kenabian stelah Nabi Muhammad mendukung suatu ide bahwa tajdid merupakan sebuah dimensi penting dalam pengalaman sejarah kaum muslim. Karena itu, dalam kerangka gerakan satu aspek penting yang menjadi misi kaum muslim adalah mengimplementasikan ajaran Islam dengan kondisi aktual dalam kehidupan masyarakat. Gerakan tajdid yang muncul selama berabad-abad di dunia Islam pada dasarnya mencoba merefleksikan ciri dasar ajaran Islam tersebut. hal ini paling tidak terlihat pada slogan yang bukan hanya mengajak kembali ke Alquran dan Sunnah, tetapi juga klaim akan perlunya ijtihad. Sementara itu, Hadis nabi yang menyatakan bahwa Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya jelas menunjukkan adanya ide tajdid dalam Islam.
110 menurut Chaerul Umam tajdid dipahami dengan tindakan nyata—agama itu dikerjakan, dilakukan, karena ketika itu agama dipahami dalam urusan yang bersifat ritualistik dan simbolik sedangkan apa yang dilakukan Saiful Bahri merupakan sebuah terobosan di mana agama juga dapat memainkan peranannya dalam dimensi sosial kemasyarakatan tidak lagi adanya distingsi agama dan dunia sosial. Baginya, memang benar Saiful Bahri mengimplementasikan bahwa agama itu dilakukan bukan sekedar diomongkan yang sekedar ritual, sekedar di-tablighkan saja tapi juga dilakukan dalam suatu perbuatan—tindakan nyata yang bermanfaat bagi umat. 15 Pada scene 55 Saiful Bahri tampil sebagai motor penggerak perubahan di desa Sekarlangit dengan melakukan perubahan terhadap pola dan sistem pendidikan di madrasah, penggerak bagi kehidupan warga desa Sekarlangit dengan memperkenalkan sistem irigasi dan merubah pemahaman masyarakat tentang fungsi agama. Baginya agama datang untuk mengatur kehidupan, tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau perlengkapannya sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan ilmu agama itu sambung menyambung, malah sebetulnya satu. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh Saiful Bahri sebagai agamawan organik; lebih menganjurkan peran dan fungsi kaum beragama yang tidak terlena dalam kesalehan pribadi, melainkan sebagai artikulator yang pandai menangkap pesanpesan agama serta memiliki kesadaran kolektif yang tinggi terhadap perubahan
Lihat Ahmad Jainuri, “ Landasan Teologis Gerakan Pembaruan”, dalam Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Asep Gunawan (Ed)., (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2004). Hal 491-2 & 494-5. 15 Wawancara penulis dengan Chaerul Umam, 4 Februari 2010.
111 sosial. Keberadaannya tidak hanya mengurusi masalah spiritualitas, tetapi mampu melakukan perubahan nyata di masyarakat.16 Apa yang dilakukan oleh Saiful Bahri dalam misi transformatifnya di desa Sekarlangit merupakan proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial di mana ia terlibat langsung dalam memberikan pemahaman keberagamaan masyarakat dan tindakan nyata dalam pemecahan masalah terutama mengenai masalah pertanian. Model strategi yang dilakukan oleh Saiful Bahri mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya, dan kedua, mendorong perubahan sosial.17 Saiful Bahri yang diutus ke desa Sekarlangit tampil sebagai agen perubahan sosial dengan membawa pemahaman baru tentang apa itu agama sebagaimana ia kemukakan dalam dialognya dengan seorang guru pembantu pada scene 55. Ia (Saiful Bahri) dengan meminjam tesis Kuntowijoyo—menangkap makna yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 110, dengan konsep yang dikenal umum yaitu humanisasi dan emansipasi untuk istilah “amr ma’ruf”, liberasi untuk “nahiy mungkar”, dan transendensi untuk “iman kepada Allah.18 Saiful Bahri secara eksplisit mengatakan bahwa agama itu harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan.19 Dalam konteks ini, tokoh agama bukanlah berperan sebagai ‘pengarah’, apalagi ‘pemaksa’ melainkan sebagai pendamping masyarakat dalam
16
Khamami Zada, “Dakwah Transformatif Mengantar Da’i sebagai Pendamping Masyarakat”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi (Ed.), (Jakarta: Penerbit LAKPESADAM NU, 2006). Hal 7 17 Khamami Zada, “Dakwah Transformatif Mengantar Da’i sebagai Pendamping Masyarakat”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi (Ed.), (Jakarta: Penerbit LAKPESADAM NU, 2006). Hal 12 18 M Dawam Rahardjo, “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi (Ed.), (Jakarta: Penerbit LAKPESADAM NU, 2006). Hal 17 19 Naskah Skenario Film Al-Kautsar, Sequence III Scene 45.
112 mengawal perubahan yang diinisiasi sendiri oleh warganya sesuai dengan desakan realitas yang menuntutnya.20 Gagasan Saiful Bahri, menurut Moeslim Abdurrahman merupakan artikulasi dari religious voices (suara-suara agama) sebagai counter hegemony terhadap agama yang telah dipakai sebagai pembenaran simbolik sehingga agama agama itu kemudian menjadi membebaskan. Saiful Bahri bertindak sebagai agamawan organik, tampil sebagai seorang yang commited untuk melakukan agency, perubahan.21 Ia (Saiful Bahri) menurut hemat penulis dalam kacamata teoritis sosial progresif, disebut sebagai seorang artikulator yang menggerakkan perubahan dari bawah dengan memberikan sebuah pemahaman bahwa agama itu harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan. 22 Hal yang sama juga dijelaskan di scene 50. Percakapan mereka diakhir scene 50 menyoal sindiran Haji Musa kepada Saiful Bahri, bagi Haji Musa seharusnya Saiful mempunyai sikap hormat terhadap yang lebih tua dengan mencium tangan seorang ulama sebagai tanda penghormatan seseorang terhadap alim ulama namun bagi Haji Musa kini tidak berlaku lagi. Haji Musa mengilustrasikan si Sutan yang ilmu agamanya sudah tinggi tapi tidak menjalankan perintah agama sebagaimana mestinya. Sontak, pernyataan Haji Musa tersebut
20
A. Fawaid Sjadzili, “Praktik Beragama Secara Transformatif, dalam Dakwah Transformatif ”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi (Ed.), (Jakarta: Penerbit LAKPESADAM NU, 2006). Hal 21 21 Penulis mengolahnya dari pernyataan Moeslim Abdurahman dalam Islam Sebagai Kritik Sosial, Mahdi, Sayed (Ed)., (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003). Hal 194-5 22 Mengenai pemahaman Saiful Bahri dalam mengartikulasikan agama ke dalam tindakan atau perbuatan menurut Budhy Munawar Rahman sebagai paradigma Islam Rasional. Menurutnya yang dicari Islam Rasional adalah ditemukannya pengetahuan yang mendasar mengenai Islam (Ilmu keislaman yang rasional), untuk mendapatkan keyakinan/kepercayaan rasional (iman yang rasional), dan selanjutnya tingkah laku yang bisa dipertanggungjawabkan secara epistemilogis (amal yang rasional). Ketiga hal itu (ilmu, iman, dan amal yang rasional) penting, untuk mendapatkan suatu orientasi “kerja” keislaman. Yang dimaksud “orientasi kerja” di sini bagaimana Islam bisa aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, tanpa perlu tafsir simbolis apalagi mistis yang rumit. Lihat Budhy Munawar Rahman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran NeoModernisme Islam di Indonesia”, dalam Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Asep Gunawan (Ed)., Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2004. Hal 444
113 membuat Saiful Bahri tidak terima dan menyanggah pernyataan tersebut dengan sebuah argumentasi bahwa untuk menghargai dan menghormati ilmu seseorang dengan mengerjakan ajaran yang sudah diajarkan. Tampak disini Haji Musa belum bisa menerima sepenuhnya pandangan Saiful Bahri dalam mempersepsikan sebuah agama, bagi Haji Musa keyakinannya bersumber pada sebuah pengalaman langsung (experensial), yang terbentuk melalui inderawinya, di mana ia melihat contoh yang ada pada diri Sutan yang berilmu tinggi namun tidak memberikan manfaat apapun bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pada kasus ini, Haji Musa membentuk sebuah sistem keyakinan, nilai-nilai dan sikap yang ia peroleh dari pengalaman langsung (experensial), informasional dan aspek inferensial yang berdasarkan penarikan kesimpulan terhadap suatu peristiwa dan objek di hadapannya. Sistem keyakinan yang ia anut inilah yang erat kaitannya dengan nilai-nilai (values), sebab nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan. Sistem nilai ini kemudian teraksentuasi kedalam sebuah sikap dan dari semua unsur-unsur tersebut termanifestasikan kedalam sebuah pandangan dunia. Terakhir diperkuat dengan lingkungan sosial yang membentuk pola pikir, paradigma yang dalam konteks KAB disebut sebagai organisasi sosial sebagai sebuah unsur yang mengorganisasikan diri setiap individu yang mempengaruhi cara mempersepsi dunia. Dalam organisasi sosial inilah dibentuknya persepsi melalui institusi-institusi seperti institusi keluarga, sekolah dan lembaga keagamaan. Institusi-institusi inilah yang bertanggung jawab dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi lain dan pelestariannya. Semua unsur-unsur sosial dan budaya di atas mempengaruhi proses-proses persepsi. 23
23
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas IlmuIlmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 30
114 Chaerul Umam, sutraradara film ini mengatakan kepada penulis bahwa apa yang diperdebatkan antara Saiful Bahri dan Haji Musa hanyalah dalam rangka menguji seberapa jauh motivasi Saiful bahri dalam mengimplementasikan pandangannya, Haji Musa pada hematnya, tak ingin Saiful Bahri berperilaku seperti Sutan yang terlela dan lupa diri. Hal ini diperkuat dalam sebuah petikan dialog di scene 45, “ Coba yakinkan aku dulu. Sebelum itu biarlah aku berpegang pada apa yang sampai saat ini ku anggap benar.” Kemudian ditegaskan kembali pada akhir petikan dialog scene 50, “Saya berkewajiban memperingatkan, haji. Kalau soal mencoba tidak ada salahnya. Saya akan lihatkan, kemana perginya semua ini…” dalam petikan dialog ini dapat diperoleh informasi secara eksplisit mengenai persepsi Haji Musa terhadap suatu peristiwa dan obyek diluar dirinya. Peristiwa dan obyek diluar itulah yang membenarkan persepsinya dan ini tentunya bertolak belakang dengan persepsi Saiful Bahri.
Namun perbedaan-perbedaan
tersebut dapat diatasi dengan sikap Haji Musa untuk mempersilahkan Saiful Bahri dalam melakukan aktivitasnya dan sikap Haji Musa dalam film ini berusaha untuk memahami persepsi Saiful Bahri sehingga tercapai pemahaman komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif adalah tujuan dari komunikasi antarbudaya untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dengan suatu proses pertukaran pesan yang saling pengertian, dan pemahaman persepsi diantara kedua belah pihak. Dalam konteks KAB, masalah-masalah yang timbul dalam komunikasi dan berkomunikasi bersumber pada perbedaan-perbedaan persepsi. Oleh karena itu perlu kita memahami benar apa dan bagaimana kerangka persepsi orang lain. 24
24
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas IlmuIlmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 25
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Dalam wawancara penulis dengan Chaerul Umam—sutradara
film Al-Kautsar menandaskan bahwa film Al-Kautsar dibuat sebagai sebuah terobosan ditengah-tengah grafik kuantitas perfilman Indonesia mencapai taraf tertinggi namun jumlah produksi film yang begitu tinggi masih berkutat pada tema yang itu-itu saja dan film Al-Kautsar hadir sebagai counter discourse terhadap kecenderungan umum film Indonesia yang menampilkan wajah perkotaan yang kosmopolit. Bagi Chaerul Umam hadirnya film Al-Kautsar bisa jadi karena melawan arus atau kerinduan masyarakat muslim akan tontonan yang Islami. Chaerul Umam menambahkan mungkin ketika itu masyarakat sudah jenuh dengan tontonan yang temanya melulu bicara soal cinta, remaja dan drama rumah tangga. Perbedaan pemahaman pandangan keagamaan antara Saiful Bahri dan Haji Musa lebih pada perbedaan yang sifatnya khilafiyah dan penafsiran terhadap ajaran agama Islam. Disatu sisi Saiful Bahri berhaluan pembaharu dan disisi lain Haji Musa berhaluan ortodoks dan tatkala mereka berdua dihadapkan maka yang ada adalah perbedaan dalam mengaktualisasikan ajaran Islam. Dalam scene 45 dapat diketahui perbedaan pandangan diantara keduanya tentang apa itu
115
116
agama, bagi Saiful Bahri agama harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan sedangkan bagi Haji Musa agama harus diserahkan kepada ahlinya—ulama yang mempunyai kewajiban sebagai seorang ulama yang mengatur perihal agama saja. Faktor yang menyebabkan perbedaan pandangan diantara keduanya ialah soal pemahaman keagamaan dan metode dalam mengaktualisasikan
ajaran
agama
ditambah
dengan
perbedaan
tingkatan pengetahuan pada agama. Saiful Bahri adalah seorang santri disebuah pondok pesantren modern yang belajar tentang gagasan dan artikulasi pembaharuan Islam yang melanda dunia termasuk Indonesia. Saiful Bahri merepresentasikan Islam yang mengedepankan pada aspek-aspek yang responsif terhadap perkembangan zaman termasuk ilmu pengetahuan umum sehingga agama dapat beradaptasi dengan berbagai tantangan zaman yang ada.
Dalam konteks unsur-unsur
komunikasi antar budaya perbedaan antara Saiful Bahri dengan Haji Musa terletak pada perbedaan sistem keyakinan, nilai-nilai dan sikap dalam memahami sebuah pandangan dunia-nya tentang Islam. Ditinjau dari perspektif komunikasi antarbudaya perbedaan-perbedaan tersebut bersumber pada perbedaa-perbedaan persepsi. Perbedaan tersebut dalam KAB dipahami sebagai perbedaan mempersepsi dunia, manusia dan
peristiwa.
Namun
perbedaan
tersebut
diupayakan
untuk
diminimalisir dan komunikasi antarbudaya bertujuan menciptakan iklim komunikasi yang efektif yang dapat mengurangi tingkat
117
ketidakpastian dengan suatu proses pertukaran pesan yang saling pengertian dan pemahaman persepsi diantara kedua belah pihak. Dalam konteks penelitian ini, hemat penulis, unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang dominan ialah unsur sistem keyakinan, nilai-nilai dan sikap. Unsur-unsur inilah yang bekerja pada sebuah hubungan yang saling terkait satu sama lain dalam penciptaan makna. Sistem keyakinan, nilai-nilai dan sikap ini kemudian termanifestasikan kedalam sebuah pandangan dunia. Terakhir diperkuat dengan lingkungan sosial yang membentuk pola pikir, paradigma yang dalam konteks KAB disebut sebagai organisasi sosial sebagai sebuah unsur yang mengorganisasikan diri setiap individu yang mempengaruhi cara mempersepsi dunia. Dalam organisasi sosial inilah dibentuknya persepsi melalui institusi-institusi seperti institusi keluarga, sekolah dan lembaga keagamaan. Institusi-institusi inilah yang bertanggung jawab dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi lain dan pelestariannya. Semua unsur-unsur sosial dan budaya di atas mempengaruhi proses-proses persepsi. 1
B. Saran-saran Akhirnya film Al-Kautsar yang penulis teliti mengacu pada konteks
perspektif
komunikasi
antar
budaya,
melalui
proses
komunikasi antar budaya kesejangan pengetahuan dan pemahaman 1
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 30
118
keagamaan dapat diatasi melalui kesepahaman bersama dan dalam film ini usaha Saiful Bahri telah menemukan momentumnya di mana Haji Musa dan masyarakat desa Sekarlangit telah dapat menerima gagasan yang ia bawa dan keteguhan hatinya dalam menegakkan amar ma’ruf nahiy mungkar secara eksplisit telah mampu menyadarkan Sutan dan Harun
dari
kesesatan
mereka.
Dalam
pandangan
komunikasi
antarbudaya, menurut Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Tokoh protagonis, Saiful Bahri telah dengan sukses melakukan proses negosiasi atau pertukaran simbolik dengan Haji Musa, Sutan, tuan Harun dan masyarakat desa Sekarlangit. Gagasan pembaruannya dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat di desa Sekarlangit dan membawa nilai-nilai pembaruan yang berdasarkan konsepsi amar ma’ruf nahiy mungkar. Akhirnya tujuan komunikasi antarbudaya dapat tercapai dengan mengurangi tingkat ketidakpastian.
118
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku Abdullah, M. Amin. Dinamika Islam Kultural, Bandung: Penerbit Mizan, 2000. Abdurahman, Moeslim. Islam Sebagai Kritik Sosial, Mahdi, Sayed (Ed)., Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003. Abdullah, Taufik (dkk). Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta: Dewan Film Nasional & Perum Pecetakan Negara RI, 1993. Bazin, Andre. What Is Cinema? vol 1, Terj. Hugh Gray. California: The University of California Press, 1967. ____________, Sinema, Apakah Itu? Terj. Dr. Rahayu S. Hidayat dari Qu’est-ce Que le Cinema?/What Is Cinema?, Jakarta: Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengetahuan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996. Chisaan,
Choirotun.
LESBUMI;
Strategi
Politik
Kebudayaan,
Jogjakarta: Penerbit LKiS, 2008. David Bordwell & Kristin Thompson, Film Art : An Introduction, Fifth edition, New York: McGraw-Hill, 1997.
118
119
Esposito, John L. Islam Warna Warni; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, Jakarta: Penerbit Paramadina, Cet. I, Diterjemahkan dari Islam ; The Straight Path. 1988, Oxford University Press, 2004. Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practises, Chapter I: The Work of Representation, London: Sage Publication Ltd, 1997. H. Rumondor, Alex. Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Universitas Terbuka, 1995. Ismail, Usmar. Mengupas Film Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983. Jainuri, Ahmad. “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia”, dalam
Artikulasi Islam
Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Asep Gunawan (Ed)., Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2004. JB. Kristanto. Katalog Film Indonesia; 1926-2005, Jakarta: Penerbit Nalar, FFTV IKJ Press & Sinematek Indonesia, 2005. ____________,
Nonton Film Nonton Indonesia, Cet. I,
Jakarta :
Penerbit Buku Kompas, 2004. Kuntowijoyo. Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Cet. VIII, Bandung : Penerbit Mizan, 1998.
120
Liliweri, Alo. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya,
Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar, 2007. Madjid, Nurcholish. “Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah”, dalam Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan,
dan
Kemodernan.
Jakarta:
Penerbit
Paramadina, 2000. ____________. “Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” dalam Wacana Islam Liberal, Charles Kurzman (Ed)., Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001. M. Boggs, Joseph. The Art of Watching Film, Diterjemahkan oleh Asrul Sani dengan judul Cara Menilai Sebuah Film, Jakarta : Yayasan Citra, 1986. Moleng. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Munawar Rahman, Budhy. “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia”, dalam Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Asep Gunawan (Ed)., Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada. 2004. Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement In Indonesia 19001942, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973, Diterjemahkan
121
oleh Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Cet. VIII, Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES,1996. Said, Salim. Profil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Grafiti Press, 1982. Sani, Asrul. Naskah Skenario Film Al-Kautsar, Jakarta: PT Sippang Jaya Sakti Film, 1976. Siagian, Gayus. Menilai Film. Jakarta:
Penerbit Dewan Kesenian
Jakarta, 2006. Sunarwinadi, Ilya. Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun. Tim Penyusun, Apa Siapa Orang Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan RI, 1999. Wahid, Abdurrahman. “Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk”, dalam Seni Masyarakat Indonesia; Bunga Rampai, Edi Sedyawati & Sapardi Djoko Damono (Ed.), Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991. Yusa Biran, H. Misbach. Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa, Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2009.
122
Zada, Khamami.
“Dakwah Transformatif Mengantar Da’i sebagai
Pendamping Masyarakat”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi (Ed.), Jakarta: Penerbit LAKPESDAM NU, 2006.
Referensi Artikel, Makalah Adi Wicaksono, Dosa Asal Film Indonesia, http://www2.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm Amir Syarifuddin, http://palantaminang.wordpress.com/2009/07/20/tentang-haratopusako- tinggi/ Dewi Indriastuti, Rantau, Surau dan Lapau di Minangkabau, http://satria11.blogspot.com/2009/08/rantau-surau-lapau-diminangkabau.html Ekky Imanjaya, Wajah Islam dan Umatnya dalam Film Indonesia, 2008, http://ekkyij.multyply.com/journal/item/104 Eric Sasono, Beragam Representasi Islam dalam Beberapa Film Indonesia, tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi mengenai film-film Islam di Yayasan Salihara, Jakarta 12 September 2008. Tulisan ini belum dipublikasikan. Hardjuno Pramundito dan Bambang Triyono, Berburu Babi Hutan di Ranah Minang, http://www.cimbuak.net/content/view/597/7/http://id.wikipedia.org/wik i/Budaya_Minangkabau
123
Kus Pujiati, Naratif dan Style; Pasangan Setia Tidak Terpisahkan. Makalah yang belum dipublikasikan. Renal Rinoza Kasturi, Doa Yang Mengancam; Potret Pergulatan Iman Kaum Subaltern dipublikasikan di www.jurnalfootage.net _________, Tauhid Sosial Dalam Film Al-Kautsar (makalah belum di publikasikan). _________, André Bazin dan Akademisasi Film, Lembaran Viewfinder edisi desember 2008. Veronica Kusuma, Asrul Sani dan Fragmen Keadaan, http://old.rumahfilm.org/artikel_asrul.htm
123
LAMPIRAN Lembar Wawancara Responden
: H. Chaerul Umam
Koresponden
: Rinal Rinoza
Waktu Wawancara
: 4 Februari 2010
Tempat Wawancara
:
Gedung
Perintis
Kemerdekaan
Jalan
Proklamasi Jakarta Pusat Assalamuaikum wr.wb terima kasih atas atensi bapak kepada saya, begini skripsi saya membahas film Bapak Al-Kautsar, skripsi saya berjudul Persepektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar , jadi ada satu hal yang saya angkat dari film itu terutama dari konteks komunikasi antar budayanya Pak, dan berkenaan dengan materi skripsi saya, yang saya tanyakan kepada bapak. 1. Sebelum saya membahas film al-kautsar ini ke bapak, ada yang ingin saya tanyakan ke bapak. Indonesia itu adalah menganut Islam terbesar di dunia. Ironisnya film-film Islam masih minim diproduksi, bagaimana menurut bapak? Ya, karena Indonesia itu kuantitasnya saja yang besar tapi kualitas keberagamaannya sangat rendah dibandingkan dengan kuantitasnya jadi masih agama turunan masih belum jadi agama kesadaran. Jadi, itu pun menyangkut dari hal yang lain seperti si pembuat filmnya juga tidak tersentuh dengan ajaran-ajaran agamanya, terus bisnismennya tidak tersentuh dengan sentimen ajaran agamanya , kebanyakan begitu yang tersntuh itu bisa dihitung dengan jari bisa dikatakan tidak ada, itu masalahnya, jadi, besarnya umat islam di Indonesia itu besarnya secara kuantitas tapi kualitasnya masih rendah dari segala hal. 2. Termasuk dalam ranah kebudayaan yang didalamnya ada film? Ya, itu apalagi. Film adalah teknologi baru 3. Yang berkaitan dengan pertanyaan saya ini ketika film Al – Kautsar ini diproduksi pada tahun 1977 itu kan kita bisa lihat perbandingannya sangat jumping sekali itu pak, dengan tema-tema
124
yang lain, bagimana bapak melihat film Al-Kautsar ini dengan film-film yang lain pada saat itu pak? Saya kira sama saya, sekarang juga sama saja ya kalau waktu itu motivasinya sebetulnya disamping memang keinginan saya tema-tema Islam itu lebih dekat dengan kehidupan saya secara marketing itu sudah saya perhitungkan hal-hal yg melawan arus itu biasanya sensasionil dan ternyata itu memang benar. Saya tidak tahu apa karena melawan arus atau kerinduan masyarakat muslim akan tontonan yang Islami, saya belum tahu, 4. Mungkin bisa dengan keseharian mereka (masyarakat muslimred)? Mungkin juga, mungkin mereka jenuh dengan tontonan yang sampai sekarang ini ada tontonan anti agama. Ketika ada film-film yang bertema religius mereka akan suka tapi disamping itu film-filmnya (film Islam) harus komunikatif kalau nggak ya jadinya tetap slogan melulu 5. Hanya bersifat simbolik belaka? Ya slogan, jadi cuma simbol-simbol saja 6. Dan itu berkaitan dengan apa sih yang menjadi problem mendasar dengan film al-kautsar ini? Bahwa agama itu dilakukan didalam motif cerita film ini, agama itu dilakukan tidak sekedar diomongkan tapi dilakukan jadi Islam agama yang
juga
mengurus
masalah
pertanian,
mengurus
masalah
keterbelangan, mengurus masalah HAM juga 7. Kalau Boleh saya asumsikan tokoh Saiful Bahri itu lokomotif pembaharu dicerita film tersebut dan juga berkenaan dengn figur Saiful Bahri sebagai agen transformasi sosial yang merombak sistem
pendidikan
di
madarasah
membangun irigasi pertanian?
dengan
metode
baru,
125
Ya, saya kira memang betul dia mengimplementasikan bahwa agama itu dilakukan bukan sekedar diomongkan yang sekedar ritual, sekedar di-tabligh-kan aja tapi dilakukan 8. Cuma masalahnya upaya yang dilakukan Saiful Bahri itu justru mendapat
atau kurang ada rasa simpatik dari H. Musa,
bagaimana menurut pandangan bapak? Nggak, sebetulnya tidak, sebetulnya h.Musa itu berpihak kepada Saiful Bahri cuma ia tidak langsung menerima, dia menguji, prinsipnya anak muda oke,
tapi harus diuji dulu jangan langsung diterima saja ka
nada adegan ketika orang kampung datang kemudian menyampaikan semacam laporan. H. Musa si Saiful begini- begini…, ini akan mengaliri sawah menurut kamu bagus apa nggak… tapi men urut pak haji aja deh… oh nggak bisa itu namanya kamu keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa… menurut kamu bagus nggak … kalau menurut saya bagus… ya ikutin, gitu! Jadi dia ini (H. Musa-red) bermain di dua tempat di masyarakat ia menganjurkan ikutin Saiful tapi sementara di depan Saifulnya tidak begitu saja memberi hati, di tes… diteror… Ya anak uda ini bisanya ngomong doang… uwah jadi anu… jadi semangat. Disini sebetulnya bukan konflik antar generasi, bukan. 9. Bukan juga dikotomi antara
yang satu modernis yang satu
tradisional, Bukan juga, yang tradisional itu masyarakatnya, sebetulnya H.Musa itu modern tapi baru dalam pemikiran kan, dia cuma tidak berbuat nah ini ada anak muda yang berbuat, setuju dia… dia diuji dulu 10. Ya, kalau saya boleh katakan hal apa yang membuat film itu dalam konteks ini adalah pandangan bapak mengenai tajdid Tadjid, ya itu tadi bahwa agama itu dikerjakan… dilakukanlah… itu sebetulnya tajdid, bahwa agama mengurus pertanian, waktu itu kan tidak, pertanian ya pertanian… agamawan ya agamawan… (Renal: ya itu menjadi dialog-dialog yang sangat alot yang ketika H. Musa
126
berdebat dengan Saiful Bahri) Ya itu pancingan saja… itu sebetulnya teror H. Musa untuk menguji sampai seberapa jauh semangatnya anak muda ini. Jadi sekadar menguji… 11. Ya itukan sering kita lihat ada sebuah adegan terjadi perdebatan soal mengimplementasikan ajaran Islam, itu menurut bapak posisinya baigamana? Tetap dalam konteks itu, dalam rangka menguji dalam rangka menyangi… seberapa jauh motivasi si Saiful Bahri sebab sebelumnya ada yang jago seperti dia yang jago Al-Quran, jago Hadis disitu yang namanya Sutan akhirnya dia rusak terlena duniawi jangan-jangan ini anak begitu juga, ada contohnya makanya H.Musa menguji 12. Ini berkenaan dengan posisi film al-kautsar dengan film-film nasional ketika itu, ada hal yang menarik ulasan dari kritikus film. Menurut JB. Kristanto seorang kritikus film mengatakan bahwa film Al-Kautsar pantas dicatat. Pertama, karena jenis film itu langka/melawan arus. Kedua, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film nasional. Nah Salim Said mengatakan film Indonesia tidak jauh dari wajah perkotaan yang serba mewah dan dipenuhi gaya hidup yang sangat kontras dengan kebanyakan masyarakat Indonesia, namun film Al-Kautsar berani untuk mengambil tema yang berbeda, bagaimana komentar bapak berkenaan dengan grafik perfilman nasional yang ketika mencapai puncaknya dan bapak berani membuat film seperti itu? Ya kira mereka benar, karena analisanya saya tadi, sesuatu yang melawan arus secara teoritis itu akan diminati orang dan yang kedua motif saya itu saya beranggapan sebuah karya akan komunikatif apabila si pembuat itu tahu dan dekat dengan permasalahannya, film saya yang Islami itu cuma 4 biji klo nggak salah tuh disamping 20 sekian biji tapi orang mencap saya sebagai sutradara
film Islam
karena itu yang lebih komunikatif disamping film yang komedi .
127
Mungkin karena sejak kecil saya dekat dengan lingkungan surau, Ibu saya seorang muballighat… kemana-mana saya dibawa disekolah juga teman-temannya yang Islam ketika mahasiswa masuknya ke HMI sampai dengan sekarang ini lingkungan saya itu ustad-ustad… sehingga lebih mengerti masalah-masalah lingkungan keislaman… (Ya, jadi itu menurut bapak) Ya, disamping melawan arus juga ada motivasi pribadi saya berpendapat bahwa suatu karya akan komunikatif apalabila si pembuat dekat dengan lingkungannya 13. Dan itu berbanding terbalik dengan tema-tema film nasional ketika itu yang melihat wajah perkotaan yg serba mewah, glamour, wah, dsb? Tapi si pembuatnya orang kampung , sutradara-sutradaraanya kan waktu itu orang kampung jadi aneh terlalu dibuat-buat ada orang dirumah mau masak pake make up nggak karuan baju mewah… itu kan berarti dia nggak ngerti kehidupan orang kaya, orang kayak lo dirumah juga pake daster biasa kan tapi di film kita nggak karena mereka nggak tahu klo orang kaya tuh begini…begini… berarti dia nggak tau tuh masak dirumah pake sanggul…pake gincu ngapain 14. Berkenaan dengan itu, bapak sependapat bahwa film Al-Kautsar ini bukan bertujuan mencari keuntungan akan tetapi mendidik masyarakat? Tetap, kita tetap cari keuntungan juga itu yang saya bilang bahwa yang melawan arus pasti diminati dan itukan duit dan kenyataannya memang benar apalagi ketika itu dapat Piala kan ah tambah laris… beredarnya setelah Festival Film Asia XVIII di Bangkok tahun 1977, wah orang pada rame-rame nonton … apa karena temanya apa karena itu (FFA XVII-red)… 15. Berkenaan dengan FFA XVIII di Bangkok pada tahun 1977, film ini mendapat penghargaan untuk Tata Suara Terbaik karena ada kor kasidahannya penghargaan?
yang membuat film ini kira-kira mendapat
128
Bukan karena itu juga (kasidahan-red) karena komposisi itunya meskipun kasidah klo kasidahnya jelek… jadi perekamannya itu lo… rekaman suara terus sama sesuai budaya (Itu siapa yg punya idenya Pak yang masukin suara kor kasidahan) saya sendiri, saya pake grup amatir saja itu, anak-anak Assyafiiyah dan konduktornya teman di Jogja dulu… saya suruh ngarang aja… 16. Di film tersebut syutingnya benar-benar di Pabelan? Ya, cuma ada antah-berantah lagi namanya desa sekarlangit disekitar Magelang saja tapi asosiasinya Sumatera, tadinya pengen kesana tapi nggak enak kesanya Sumatera terbelakang… ya cumja asosiasinya kesana (sumatera-red). Sepuluh tahun kemudian saya pake kembali dalam film Ketika Cinta Bertasbih, (laku banget Pabelan Pak, di 3 Doa 3 Cinta juga pake Pabelan, kenapa harus Pabelan Pak) saya udah keliling kemana-mana, saya mencari Pesantren yang teduh yang tidak modern bangunannya tetapi bangunannya bersih kemudian suasananya teduh, rindang nah saya tuh sudah keliling ke pesantren-pesantren di Jawa Timur di Jawa Barat. Ada bangunannya yang modern sekali, ada yang terlalu rapet/padat dengan rumah penduduk , hampir semua pesantren-pesantren tradisional itu padet nggak ada halaman kan secara secara gambar kurang enak, pengennya yg teduh
saya
dapetnya di itu tuh dapetnya jam 2 malem, saya terperosok disitu, kami lagi jalan dari jogja ke jakarta lewat magelang terus kita lihat ada Pondok Pesantren Pabelan, terus masuk gelap nggak ada lampu, ada lapangan luas, ada mesjid, didatangi sama santrinya kenalan disitu, besoknya kita lihat…oh memang enak tempatnya, adem sekali (dosendosen saya ada dari Pabelan, Rektor saya juga dari situ) 17. Dalam Film Al-Kautsar ini ceritanya berasal dari cerita H. Chan Pattimura dan skenarionya ditulis oleh H. Asrul Sani, bisa bapak ceritakan mengenai hal ini? Tadinya itu, saya pengen bikin film Titian SDT, semacam janji klo saya jadi sutradara, wah Titian sudah ada yg beli, wah klo gitu yang
129
mirip2 aja deh Pak, kan mirip-mirip tokohnya, latarnya dari Pesantren cuma konsepnya beda 18. Ini balik lagi ke cerita film itu Pak, di film Al-Kautsar ini bagaimana cara bapak menyatukan persepsi antara Saiful Bahri dengan H. Musa dalam konteks kalimatunswa (common platform), atau adegan-adegan mana yang dapat menyatukan persepsi mereka berdua? Pertama adegan itu tadi, klo dalam perdebatan tidak kelihatan. Jadi ketika orang-orang kampung datang laporan yang tadi saya sebutkan. Kedua, yang ketika orang-orang kampung pada demonstrasi bahwa Saiful berkhalwat sama si Halimah, kelihatan H. Musa membela Saiful tapi
tidak
ditampakkan.
H.
Musa
tidak
memusuhi
ternyata
dibelakangnya ada apa ini. Terakhir, ketika H. Musa berkelahi sama si Harun, kenapa paman membela dia, karena dia benar kamu (Harun) salah. Saiful Nurhayati ada di rumah tuh, loh-loh ternyata selama ini dia (H. Musa) simpati. Jadi tiga hal yang jelas disitu yang sengaja kita sembunyikan disana supaya ada ketegangan, sedikit-sedkit kita kasih nggak ketara. 19. Seperti apa bapak menilai intisari ajaran Islam berupa zikir, fikir, dan ibadah dalam konteks amar ma’ruf nahiy mungkar di film Al-Kautsar ini? Amar ma’rufnya itulah membuat irigasi, memperbagus, merombak (sebuah madrasah-red), nahiy mungkarnya adalah membela Halimah yang mau diperkosa oleh Harun, amar ma’rufnya lagi bagaimana ia menginsyafkan si Sutan, disitu jelas sekali ketika ia mempergoki Sutan yang mengintip lalu Sutan ditarik ke dalam malah suruh ngajar (di Madrasah-red). 20. Itu cara Saiful Bahri untuk mengajak kembali Kamarudin Sutan ke jalan lurus? Usahanya disentuhnya saja dengan gurunya (Syeikh Manggar), hati nuraninya disentuh tp tetap memberontak tapi hati sudah goyang…
130
implementasinya ketika ia membela ketika Saiful berkelahi dengan Harun… disitu udah ketara sekali si Sutan membela Saiful ditambah dia pulang sobek2an lalu ia ke rumah sholat… dibakar gudang milik Harun, cukup dingatkan saja ia… 21. Dan antklimaknya di film ini adalah ketika Kamarudin Sutan dan Harun terperangkap di gudang beras milik Harun yang sengaja dibakar oleh Kamarudin Sutan Itu klimaks (Chaerul Umam)… antiklimaksnya ketika mereka pingsan kedua-duanya dan mengucapkan kalimat Lailaaillah… dan itu udah mulai antiklimaks dan dua-duanya udah mulai insyaf, dua-duanya udah sama-sama lemas artinya dua-duanya sama syahadat 22. Itu kenapa harus seperti itu Pak, harus pake syahadat segala? Ya artinya insyaf, klo nggak nggak jelas si Harunnya itu loh… (Itu informasi bagi penonton kalau Harun sudah insyaf)… Ya itu sebagai tanda bahwa Harun insyaf, ya jadi selama ini aku salah bahwa api neraka lebih besar dari api ini, klo si Sutan sudah siap, sudah selesai, ketika diluar dinyatakan lagi si pamannya (H. Musa) nanya kenapa Sutan ada disana… kata Harun, Sutan menyelamatkan saya dari api neraka… Halimah langsung jatuh hati disitu… bawa dia kerumah saya (kata Halimah)… jadi itu adalah pengembangan karakter … salah satu daya tarik juga… karakter dari awal sampe akhir jahat melulu… kan cape kita… (Itu pengembangan karakter) ketika diakhir bagaimana karaktrer dikembangkan dengan baik tapi susah itu bagaimana dengan penyangkut logika, bagaimana menyangkut ini segalanya kan… 23. Dan terakhir Pak, tercapai sebuah kesepakatan baik antara Saiful Bahri, H. Musa dan tobatnya Kamarudin Sutan dan Harun dan masyarakat disitu dengan adanya Saiful Bahri, bagaimana menurut bapak? Ya, permasalahannya semua sudah selesai, Harun sama Saiful selesai, Harun sama Sutan selesai, Harun sama Halimah selesai, Sutan dengan istrinya keluarganya selesai juga, kemudian Saiful Bahri dgn si
131
Nurhayati selesai juga, H. Musa juga setuju dengan hubungan Saiful Bahri dengan anaknya, Nurhayati. Penyelesaian disana, sementara si Saiful dan Sutan sudah sama-sama mengajar di madrasah itu… Happy ending disana…
Footage-Footage Film Al Kautsar