1.1
Latar Belakang. Millennium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium, atau MDGs) mengandung
delapan tujuan sebagai respon atas permasalahan perkembangan global, dengan target pencapaian pada tahun 2015. Tujuan Pembangunan Milenium terdapat dalam Deklarasi Milenium yang diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangi oleh 147 kepala Negara dan pemerintahan pada UN Millennium Summit yang diadakan di bulan September tahun 2000. Delapan butir MGDs terdiri dari 21 target kuantitatif dan dapat diukur oleh 60 indikator. Salah satu target MDGs adalah mengurangi hingga setengahnya jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar, dengan indikator:
Proporsi dari populasi yang menggunakan sumber air minum berkualitas
Proporsi dari populasi yang menggunakan sarana sanitasi berkualitas MDGs mencanangkan pada 2015 sebanyak 77,2% persen penduduk Indonesia ditargetkan
telah memiliki akses air minum yang layak dan minimal 59.1 persen penduduk Indonesia di Kota dan Desa sudah memperoleh pelayanan sanitasi yang memadai (Status Millenium Development Goal Indonesia 2009). Secara nasional, Indonesia telah mencapai target ini, tetapi cakupan ini belum merata dan belum menggambarkan kualitas fasilitas sanitasi yang sebenarnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kondisi ini, antara lain disebabkan lemahnya perencanaan pembangunan sanitasi, yang ditandai dengan pembangunan sanitasi tidak terpadu, salah sasaran, tidak sesuai kebutuhan, dan tidak berkelanjutan, serta kurangnya perhatian masyarakat pada perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu upaya memperbaiki kondisi sanitasi adalah dengan menyiapkan sebuah perencanaan pembangunan sanitasi yang responsif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, Pemerintah mendorong kota dan kabupaten di Indonesia untuk menyusun Strategi Sanitasi Perkotaan atau Kabupaten (SSK) yang memiliki prinsip: -
Berdasarkan data aktual
-
Berskala kota atau kabupaten
-
Disusun sendiri oleh kota atau kabupaten (dari, oleh, dan untuk kota atau kabupaten tersebut)
-
Menggabungkan pendekatan bottom-up dan top-down
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-1
Untuk menghasilkan SSK yang demikian, maka kota atau kabupaten harus mampu memetakan situasi sanitasi wilayahnya. Pemetaan situasi sanitasi yang baik hanya bisa dibuat apabila kota atau kabupaten mampu mendapatkan informasi lengkap, akurat, dan mutakhir tentang kondisi sanitasi, baik menyangkut aspek teknis mapun non teknis. Dalam konteks ini Buku Putih merupakan prasyarat utama dan dasar bagi penyusunan SSK. Buku Putih Sanitasi merupakan pemetaan situasi sanitasi kota atau kabupaten berdasarkan kondisi aktual. Pemetaan tersebut mencakup aspek teknis dan aspek non-teknis, yaitu aspek keuangan, kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, perilaku hidup bersih dan sehat, dan aspekaspek lain seperti keterlibatan para pemangku kepentingan secara lebih luas. Buku Putih merupakan “database sanitasi kota atau kabupaten” yang paling lengkap, mutakhir, aktual, dan disepakati seluruh SKPD dan pemangku kepentingan terkait pembangunan sanitasi. Sebagai gambaran kondisi sanitasi Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2009 adalah data Program Lingkungan Sehat Propinsi DIY (Tabel 1). Dari Tabel tersebut dapat dilihat walaupun terdapat realisasi target yang di atas target dan realisasi Nasional dan Propinsi (prosentase keluarga yang menggunakan air bersih di perdesaan dan perkotaan dan prosentase keluarga yang menggunakan jamban sehat), tetapi persentase air bersih yang memenuhi syarat kualitas bakteriologis dan persentase rumah sehat belum memenuhi target. Oleh karena itu, sesuai dengan maksud penyusunannya, maka Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul ini akan menggambarkan: 1)
Status terkini situasi sanitasi di Kabupaten Gunungkidul
2)
Kebutuhan layanan sanitasi dan peluang pengembangan di masa mendatang di Kabupaten Gunungkidul
3)
Usulan/rekomendasi awal terkait peluang pengembangan layanan sanitasi, salah satunya adalah “penetapan kawasan prioritas di Kabupaten Gunungkidul. Tabel 1.1 Target Program Lingkungan Sehat Propinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2009
No
Jenis Indikator
1
Prosentase keluarga yg menggunakan air bersih di perdesaan dan perkotaan Persentase air bersih yg memenuhi syarat kualitas bakteriologis Persentase keluarga yg menggunakan jamban sehat Persentase rumah sehat
2 3 4
Target (%)
Realisasi
Nasional
DIY
Gk
DIY
Gk
62
90
100
94,36
94,7
75
75
75
30
36
68
87
100
76
94,31
75
78
75
65,27
55,2
Sumber: Dinas Kesehatan Gunungkidul
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-2
1.2
Pengertian Dasar Sanitasi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) secara umum sanitasi didefinisikan sebagai
usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yg baik di bidang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat. Sedangkan pengertian yang lebih teknis dari adalah upayapencegahan terjangkitnya dan penularan penyakit melalui penyediaan saranasanitasi dasar (jamban), pengelolaan air limbah rumah tangga (termasuk sistemjaringan perpipaan air limbah), drainase dan sampah (Bappenas, 2003). Sehingga dengan definisi tersebut dapat dilihat 3 sektor yang terkait dengan sanitasi adalah sistem pengelolaan air limbah rumah tangga, pengelolaan persampahan dan drainase lingkungan. Air limbah rumah tangga adalah air sisa proses dari kegiatan rumah tangga. Berkaitan dengan pengelolaan air limbah rumah tangga, maka limbah yang muncul dari rumah tangga dikelompokkan dalam dua bagian. Bagian pertama adalah limbah yang berasal dari metabolisme tubuh manusia (excreta) berupa air kencing (urine) dan tinja. Kelompok pertama ini biasa disebut sebagai blackwater. Sedangkan kelompok kedua adalah air limbah yang berasal selain dari metabolisme tubuh manusia, antara lain berasal dari sisa pencucian pakaian, dapur, dan sisa air mandi. Bagian kedua ini dikenal sebagai greywater. Sektor lain yang terkait dengan sanitasi adalah sektor persampahan. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. (Undang-Undang No. 18/2008). Di dalam pengelolaan sampah dikenal istilah sampah spesifik dan sampah non spesifik. Yang termasuk didalam pengertian sampah non spesifik adalah sampah yang berasal dari rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga (kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan fasilitaslainnya). Sedangkan yang termasuk di dalam sampah spesifik adalah: 1)
sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;
2)
sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;
3)
sampah yang timbul akibat bencana;
4)
puing bongkaran bangunan;
5)
sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau
6)
sampah yang timbul secara tidak periodik. Sektor terakhir yang berhubungan dengan sanitasi adalah sektor drainase lingkungan.
Drainase lingkungan adalah suatu sistem penanganan atau pengaliran air hujan. Secara konvensional, hujan yang turun pada suatu wilayah diusahakan secepat mungkin mengalir melalui saluran-saluran air hujan menuju badan air penerima. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya genangan di pemukiman atau jalan. Sistem ini sebagian besar berhasil digunakan untuk mengendalikan terjadinya genangan, tetapi menjadi tidak terkait dengan konservasi air. Konsep penanganan air hujan dengan memperhatikan konservasi air tanah biasa disebut sebagai konsep drainase berwawasan lingkungan atau ecodrainage. Dengan konsep ini maka air hujan yang turun diusahakan untuk semaksimal mungkin meresap ke dalam tanah atau ditampung untuk Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-3
dimanfaatkan, sedangkan kelebihannya baru dialirkan melalui saluran air hujan. Peresapan air hujan dapat dilakukan dengan menggunakan kolam retensi atau embung, sumur resapan air hujan dan biopori. Walaupun sektor air besih/air minum tidak termasuk di dalam sektor-sektor yang terkait dengan sanitasi, tetapi sektor air minum dianggap sangat mempengaruhi kondisi sanitasi. Oleh karena itu seringkali sektor air minum disebut beriringan dengan sistem sanitasi, seperti istilah Water and Sanitation(WATSAN) atau AMPL (Air Minum Dan Penyehatan Lingkungan) Sebagai salah satu bahan penyusunan Buku Putih dilakukan penilaian kondisi sanitasi suatu daerah, yang dikenal dengan Studi Environmental Health Risk Assessment (EHRA). EHRA adalah sebuah survai partisipatif di tingkat kota yang bertujuan untuk memahami kondisi fasilitas sanitasi dan higinitas serta perilaku-perilaku yang terkait yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program termasuk advokasi di tingkat kota sampai ke kelurahan. Tujuan dari studi EHRA adalah untuk mendapatkan gambaran fasilitas sanitasi dan perilaku yang berisiko terhadap kesehatan tingkat kota berdasarkan data primer. Studi lain yang dilakukan sebagai bahan penyusunan buku putih adalah survey partisipasi sektor swasta dan Lembaga Non-Pemerintah (LNP) di dalam pengelolaan sanitasi perkotaan, atau biasa disebut sebagai Sanitation Supply Assessment (SSA). Tujuan studi SSA adalah: 1) Menilai dan memetakan pihak-pihak yang saat ini berperan dalam penyelenggaraan sanitasi kota, khususnya partisipasi sektor swasta dan Lembaga Non Pemerintah 2) Mengumpulkan data/ informasi untuk merumuskan bentuk sinergi antara:
Pemerintah kota,
Sektor swasta, baik yang lahan usahanya terkait maupun tidak terkait dengan pengelolaan sanitasi, dan
Lembaga Non Pemerintah yang memfasilitasi masyarakat dalam pengelolaan sanitasi
3) Meningkatkan efektivitas program pengelolaan sanitasi dengan melibatkan semua unsur yang terkait. Hasil dari berbagai bahan yang masuk di dalam penyusunan buku putih akan digunakan untuk menentukan area beresiko. Area beresiko adalah adalah area kelurahan yang memiliki potensi risiko terhadap kesehatan. Apabila tidak segera dilakukan intervensi tertentu, akan memperbesar potensi terjadinya kasus kejadian penyakit. Hal ini perlu dibedakan dengan „dampak‟ yang dinyatakan dengan kasus kejadian penyakit. Oleh karenanya, angka kejadian penyakit seharusnya tidak dijadikan sebagai salah satu indikator untuk penentuan area berisiko tinggi, sebab hal ini akan mencampurkan antara „risiko‟ dengan „dampak‟ (Seri Manual Pengembangan Strategi Sanitasi Perkotaan Tahap B Penilaian dan Pemetaaan Situasi Sanitasi Kota). Untuk tahap awal penentuan area beresiko, Indikator yang umum digunakan adalah : a. Kepadatan penduduk. Makin padat penduduk, maka risiko penyebaran penyakit akan semakin besar. Informasi yang juga penting tetapi relatif sukar diperoleh adalah jumlah penduduk pendatang di masing-masing kelurahan, sebab informasi ini seringkali tidak terdata di tingkat Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-4
kota. Bappeda memang memiliki sumber data tentang jumlah dan kepadatan penduduk. Tetapi informasi mengenai penduduk pendatang, bila dipandang perlu, harus dicari di instansi lain, atau harus dikumpulkan melalui Ketua RW/kelurahan. Apabila data tersebut sukar diperoleh maka dapat diabaikan lebih dulu. b. Jumlah KK miskin. Semakin banyak KK miskin, yang relatif lebih sulit untuk mendapatkan akses sanitasi, maka risikonya pun semakin tinggi. Ada beberapa data KK miskin, sehingga sering membingungkan data mana yang akan digunakan. Pemerintah Kota biasanya memiliki data resmi yang berasal dari BPS. c. Sambungan air bersih. Berupa sambungan langsung atau hidran umum. Makin banyak anggota masyarakat yang mendapatkan akses air bersih maka pengaruhnya positif, artinya risiko terhadap penyakit makin kecil. Data ini berasal dari PDAM dan Dinas Kesehatan. d. Jumlah jamban. Dihitung berdasarkan jumlah KK yang memiliki jamban, artinya bila ada KK memiliki lebih dari satu jamban maka hanya dihitung satu. Semakin banyak KK yang memiliki jamban maka pengaruhnya positif, berarti risikonya semakin kecil. Data jumlah jamban biasanya diperoleh dari Dinas Kesehatan. e. Fasilitas tangki septik. Adanya fasilitas tangki septik yang sesuai dengan standar teknis memberikan pengaruh positif dan berarti risikonya semakin kecil. Data kepemilikan dan kualitas tangki septik biasanya dimiliki oleh Dinas Kesehatan. f. Fasilitas jaringan sewerage atau sistem komunal (Sanimas atau lainnya). Jaringan sewerage atau sistem komunal membawa air limbah (terutama black water) keluar dari area permukiman. Adanya koneksi ke jaringan sewerage atau sistem komunal mengecilkan risiko.
1.3
Maksud dan Tujuan.
1.3.1
Maksud Buku Putih Sanitasi ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas dan faktual
mengenai kondisi dan profil sanitasi Kabupaten Gunungkidul pada saat ini. Pemetaan kondisi dan profil sanitasi (sanitation mapping) dilakukan untuk menetapkan zona sanitasi prioritas yang penetapannya berdasarkan urutan potensi resiko kesehatan lingkungan (priority setting). Dalam Buku Putih ini, priority setting dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang tersedia, hasil studi Penilaian Resiko Kesehatan Lingkungan (Environmental Health Risk Assessment) atau EHRA, dan persepsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Gunungkidul yang menangani secara langsung pembangunan dan pengelolaan sektor sanitasi di Kabupaten Gunungkidul. 1.3.2
Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam proses penyusunan Buku Putih ini antara lain
adalah pembangunan kapasitas (capacity building) Pemerintah Kabupaten Gunungkidul beserta stakeholder lainnya untuk mampu mengidentifikasi, memetakan, menyusun rencana tindak dan menetapkan strategi pengembangan sanitasi Kabupaten. Di samping itu, pembentukan Pokja Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-5
Sanitasi diharapkan dapat menjadi embrio entitas suatu badan permanen yang akan menangani dan mengelola program pembangunan dan pengembangan sanitasi di tingkat Kabupaten.
1.4
Metodologi
Secara umum metode di dalam penyusunan Buku Putih ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu : a.
Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder sektor sanitasi digunakan sebagai dasar untuk membuat pemetaan kondisi sanitasi secara aktual, serta memotret kebutuhan akan layanan sanitasi yang baik, sesuai standar kebutuhan minimal pembangunan sanitasi. Tidak hanya sekedar kompilasi, tetapi juga dilakukan proses seleksi dan verifikasi data. Banyak dokumen kegiatan program yang mampu memberikan informasi mengenai apa yang terjadi dimasa lampau yang erat kaitannya dengan kondisi yang terjadi pada masa kini.
b.
Pendalaman data Sekunder yang telah diperoleh Dari data sekunder yang telah diperoleh, maka dilakukan verifikasi lanjutan, pengecekan silang data-data yang diperoleh dan pendalaman data tersebut dengan melaksanakan: pertemuan secara berkala dengan anggota Pokja yang dikoordinasikan oleh Bappeda Kabupaten Gunungkidul selaku Ketua Pokja meninjau tempat-tempat yang dilayani program sanitasi serta sebagian dari daerah pelayanan di kawasan perkotaan dan daerah kumuh (survey dan observasi) diskusi yang bersifat teknis (focus group discussion) dan mendalam juga akan dilakukan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sanitasi. Diskusi untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terkait kondisi yang ada serta upaya-upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan untuk meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat di bidang sanitasi Pengumpulan Data Primer Data primer yang dikumpulkan meliputi : -
Studi Kelembagaan dan Keuangan
-
Penilaian Sanitasi Berbasis Masyarakat (Community-based Sanitation Assessment)
-
Studi Penyedia Layanan Sanitasi (Sanitation Supply Assessment/SSA)
-
Penilaian Resiko Kesehatan Lingkungan (Environmental Health Risk Assessment/EHRA)
-
Studi Komunikasi dan Pemetaan Media
1.5
Posisi Buku Putih Buku Putih Sanitasi menyediakan data dasar yang esensial mengenai struktur, situasi, dan
kebutuhan sanitasi Kabupaten Gunungkidul. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010 ini, diposisikan sebagai acuan perencanaan strategis sanitasi tingkat kabupaten. Rencana pembangunan sanitasi Kabupaten Gunungkidul dikembangkan atas dasar permasalahan yang dipaparkan dalam Buku Putih Sanitasi. Setiap tahun data yang ada akan dibuat “Laporan Sanitasi Tahunan” yang merupakan Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-6
gabungan antara Laporan Tahunan SKPD dan status program/kegiatan sanitasi. Laporan Sanitasi Tahunan menjadi Lampiran Buku Putih Sanitasi 2010 dan setelah 3 tahun, semua informasi tersebut dirangkum dalam Revisi Buku Putih Sanitasi.
1.6
Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam tahap ini sebagian besar berasal dari berbagai Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD), baik berupa data umum maupun data khusus yang menyangkut teknis, keuangan, kebijakan daerah dan kelembagaan, peran serta swasta dalam layanan sanitasi, dan media. Sumber data lainnya adalah LSM atau universitas yang pernah melakukan penelitian di Kabupaten Gunungkidul. Aspek-aspek data yang dikumpulkan sebagai dasar informasi dalam Buku Putih Sanitasi Kota adalah: 1.
Umum dan Teknis: Diberikan daftar kebutuhan data yang perlu dikumpulkan oleh anggota Pokja Sanitasi Kabupaten Gunungkidul. Data tersebut nantinya terutama dibutuhkan dalam diskusi Manajemen dan Operasi Sistem Sanitasi.
2.
Kebijakan Daerah dan Kelembagaan: Selain diberikan daftar kebutuhan data yang perlu dikumpulkan oleh Pokja Sanitasi Kabupaten, maka akan dilakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama anggota Pokja Sanitasi Kabupaten. FGD dimaksudkan untuk membahas aspek tersebut lebih mendalam dan bersama anggota Pokja Sanitasi Kabupaten melakukan analisis terhadap aspek kelembagaan dan peraturan. Ini nantinya harus bisa dibagi ke dalam beberapa fungsi (di antaranya fungsi perencanaan, implementasi – fisik maupun non-fisik, operasi, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi). Termasuk juga keterkaitan kerja antar SKPD dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Berdasarkan pengalaman, diskusi ini sebaiknya dilakukan dengan dibantu oleh tenaga ahli sebagai nara sumber yang memahami kebijakan daerah dan kelembagaan, serta berpengalaman bekerja di bidang sanitasi. Data ini dibawa pada saat diskusi Manajemen dan Operasi Sistem Sanitasi.
3.
Keuangan: Pokja Sanitasi Kabupaten perlu memilah anggaran yang terkait dengan sanitasi. Penting dipahami, Pokja Sanitasi Kabupaten harus memiliki kesamaan pemahaman dan kesepakatan bagaimana memilah data keuangan yang terkait dengan sanitasi. Selain biaya investasi infrastruktur sanitasi, perlu dicatat juga besarnya biaya operasi dan pemeliharaan dalam beberapa tahun terakhir.
4.
Peran serta swasta dalam layanan sanitasi: Sebagian data diperoleh dari pihak swastayang memiliki kontrak kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten ataupun informasi lain yang dimiliki oleh SKPD terkait. Pada tahap ini, proses pengumpulan data dilakukan berdasarkan informasi lisan atau tertulis yang dimiliki SKPD atau jika diperlukan dilakukan pencarian data secara langsung di lapangan.
5.
Pemberdayaan masyarakat dan jender: Informasi tentang pemberdayaan masyarakat dalam bidang sanitasi dapat diperoleh melalui institusi lokal. Isu jender sudah menjadi perhatian dalam program-program Pemerintah Kabupaten, hanya saja kaitannya dalam bidang
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-7
sanitasi serta kedalaman dari isu tersebut masih bisa dipertanyakan lebih jauh. Tetapi informasi mengenai isu jender tersebut umumnya sudah tersedia. 6.
Komunikasi: Informasi yang dibutuhkan berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dan jenis media yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten, melalui SKPD atau lembaga lainnya (misalnya PKK), untuk penyebarluasan informasi yang berhubungan dengan sanitasi.
1.7
Peraturan Perundangan
Penyusunan Program Strategi Pembangunan Sanitasi di Kabupaten Gunungkidul didasarkan pada aturan-aturan dan produk hukum yang meliputi : 1)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alami Hayati dan Ekosistemnya
2)
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
3)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4)
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
5)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
6)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah
7)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
8)
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan
9)
Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
10) Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 11) Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 12) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 Tentang Pengaturan Air 13) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan 14) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan 15) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai 16) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman 17) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 18) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan 19) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam 20) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 21) Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 Tentang Kawasan Industri 22) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 23) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 Tentang Penggunaan Tanah bagi kawasan Industri 24) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 21/PRT/2006 tentang kebijakan dan Strategi Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-8
Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP) 25) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 16/PRT/2008 tentang kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman (KSNP-SPALP) 26) Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul no 11 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Kedudukan dan Tugas Lembaga Teknis Daerah 27) Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul no 12 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Kedudukan dan Tugas Dinas-Dinas Daerah 28) Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul no 2 Tahun 2009 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Handayani Kabupaten Gunungkidul
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul
Halaman | I-9