Volume II Edisi Kedua 2012 PELAYANAN TERPADU SATU ATAP DALAM UPAYA MENINGKATKAN INVESTASI DI DAERAH
Oleh : Asnuryati,
ABSTRACT
Public service is the country's efforts to meet basic needs and civil rights of every citizen of goods, services, and administrative services provided by public service providers. But we realize also that the condition of public service is still faced with a system of government that have not been effective and efficient and the quality of human resources are not adequate, "ONE ROOF INTEGRATED SERVICES IN EFFORT TO INCREASE INVESTMENT IN REGIONAL" is One of the important efforts undertaken is to improve service investment through a system of business licensing and investment services in an integrated manner. It is guided by the desire to integrate the entire process of public service, both licensing and non-licensing into the system of Integrated One-Stop Service Unit. The aim is for the bureaucracy of licensing services to be more simple, transparent and certainly without losing control functions inherent therein.One effective strategy to improve the licensing bureaucracy is through an integrated licensing service center (One Stop Service-OSS). The success of the country / region to increase the attractiveness of investment depends on the ability of one country / region in formulating policies related to investment and business and enhancing the quality of service to the community. The ability of countries / regions to determine the factors that can be used as a measure of the competitiveness of national economies / regions relative to the country / region are also very important in the effort to enhance its appeal and win the competition. It is also important to consider in efforts to attract investors, in addition to a conducive macroeconomic well as the development of human resources and infrastructure in a broad sense.
81
Volume II Edisi Kedua 2012 I.
PENDAHULUAN Proses reformasi telah membawa perubahan paradigma pemerintahan dari
government menjadi governance. Revitalisasi dan reposisi kelembagaan pemerintah daerah telah dilakukan mengawali proses desentralisasi (otonomi daerah) sebagai bagian dari proses menuju governance. Desentralisasi untuk mengoptimalkan fungsi pemerintahan, meliputi: pelayanan. pengaturan dan pemberdayaan diformulasikan dalam kebijakan publik, serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Penerapan desentralisasi masih sebatas sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Komitmen untuk memperbaiki kondisi masyarakat lokal secara nyata dan sistemik melalui perbaikan kinerja organisasi dan layanan publik relatif masih rendah. Kondisi masyarakat masih menunjukan kualitas layanan publik belum mengalami peningkatan yang signifikan dengan peningkatan belanja daerah, peningkatan beban masyarakat yang berupa kenai kan paj ak dan biaya layanan. Realitas tersebut menunjukan, bahwa layanan publik sebagai bagian yang sangat penting dari peran pemerintah bel um dap at d i optimalkan. Pada hal layanan publik menjadi indikator utama sejauh mana suatu pemerintahan telah menjalankan mandat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara. Layanan publik merupakan suatu arena transaksi paling nyata dan intensif antara rakyat dengan pemerintah, interaksi aktif antara pemberi dan penerima layanan merupakan bagian penting dari proses membangun dan mengembangkan investasi di daerah. Pemerintah daerah sebagai penyedia layanan publik senantiasa dituntut kemampuannya meningkatkan kualitas layanan, mampu menetapkan standar layanan yang berdimensi menjaga kualitas hidup, melindungi keselamatan dan meningkatkan kesejahtraan masyarakatnya dengan memperbaiki iklim investasi dan usaha di daerah. Kebijakan pelayanan investasi melalui sistem pelayanan perizinan usaha dan investasi secara terpadu di daerah bertujuan untuk percepatan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi khususnya melalui pengembangan dunia usaha dan peningkatan investasi di daerah. Mengingat pentingnya makna investasi bagi perkembangan ekonomi daerah, berbagai upaya penataan dan pengembangan bagi percepatan investasi dilakukan oleh instansi penanaman modal daerah. Salah satu upaya penting yang dilakukan adalah memperbaiki pelayanan investasi melalui sistem pelayanan perizinan usaha dan investasi secara terpadu. Hal ini dilandasi 82
Volume II Edisi Kedua 2012 oleh keinginan untuk mengintegrasikan seluruh proses pelayanan publik, baik perizinan maupun non perizinan ke dalam sistem penyelenggaraan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap. Tujuan adalah agar birokrasi pelayanan perijinan menjadi lebih sederhana, transparan dan pasti tanpa kehilangan fungsi pengawasan yang melekat didalamnya. Salah satu strategi yang efektif untuk memperbaiki birokrasi perizinan adalah melalui pusat layanan perizinan terpadu (One Stop Service-OSS). Saat ini pelayanan perizinan tersebar pada beberapa dinas sesuai dengan jenis izin yang dikeluarkan dan terkait dengan sektornya. Hal ini menjadi salah satu sebab pelayanan perizinan menjadi kurang efisien dimana untuk mengurus beberapa perizinan yang berbeda, pemohon harus mendatangi beberapa instansi. Disamping itu, pemrosesan untuk terbitnya suatu izin juga masih cukup rumit dan memerlukan proses yang panjang dengan tidak ada kepastian waktu penyelesaian dan biaya yang harus dibayar. Untuk itu dibutuhkan sebuah upaya guna mendorong pemerintah daerah menyatukan pelayanan perizinan melalui pola pelayanan terpadu (one stop service). Hal ini menjadi sangat strategis untuk meningkatkan efisiensi dalam pelayanan. Dengan semakin berkembangnya dunia bisnis dituntut upaya-upaya pemerintah
daerah untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pelaku bisnis,
utamanya dalam hal pemberian fasilitas dan kemudahan izin dalam melakukan investasi dan mengembangkan usaha di daerah.
II. KEBIJAKAN PELAYANAN SATU ATAP Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Namun disadari pula bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti : prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsive dan lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemerintah. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik secara berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang 83
Volume II Edisi Kedua 2012 prima. Upaya perbaikan kualitas pelayanan publik dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi. Pelayanan perizinan usaha dan investasi adalah salah satu bentuk pelayanan administrasi publik yang banyak mendapat sorotan karena masih buruknya pelayanan ini pada sebagian besar daerah di Indonesia. Padahal pelayanan perizinan ini juga biasanya akan terkait dengan pelayanan administrasi lainnya yang menyertai atau menjadi persyaratan dari perizinan tersebut. Sehingga pelayanan publik ini juga biasanya berlangsung pada lini-lini yang linear dengan pelayanan perizinan termasuk pelayanan administrasi kependudukn. Buruknya pelayanan perizinan ini menjadi sorotan mengingat pengaruhnya yang besar terhadap iklim usaha dan investasi di suatu daerah. Dalam rangka efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik terhadap pemberian pelayanan yang meliputi berbagai jenis pelayanan dapat dilakukan melalui pelayanan terpadu. Untuk pemberian pelayanan pada satu tempat, meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses, dan dilayani melalui beberapa Atap, diselenggarakan melalui pelayanan terpadu satu atap. Untuk pemberian pelayanan pada satu tempat dan meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses, diselenggarakan melalui Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap. Reformasi pelayanan publik mulai dikembangkan dan dilakukan di negara-negara Eropa Barat pada awal tahun 1980-an. Suatu paradigma baru yang dikembangkan dalam reformasi pelayanan publik di Eropa Barat adalah apa yang dinamakan sebagai Neo Managerial Reform, di mana terdapat beberapa prinsip global berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik, yakni antara lain; (1) Berorientasi pada pendekatan bisnis; (2) Penggunaan pendekatan pelayanan yang berorientasi pada kinerja dan kualitas; (3) Responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan pengguna layanan. Wacana penyederhanaan proses dan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap sebenarnya sudah berlangsung sejak lama dan disertai dengan pilot project pada beberapa daerah. Disadari bahwa pelayanan administrasi publik dalam bentuk perijinan dan non perijinan yang lebih terpadu dan berada dalam satu lokasi akan memudahkan masyarakat dalam mengurus perijinan dan dokumen administrasi publik lainnya karena cukup datang ke satu lokasi. Hal ini juga memudahkan instansi pemerintah daerah yang melayani permohonan administrasi perijinan dan non perijinan dari masyarakat dan pembayaran retribusi/pajak yang terkait karena akan memudahkan koordinasi pelayanan. 84
Volume II Edisi Kedua 2012 Dalam kerangka pelaksanaan sistem pelayanan satu atap/Atap, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 tentang Badan Kooordinasi Pelayanan dan Penanaman Modal (BKPPM), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004, sistem pelayanan satu atap/Atap terkait dengan investasi dilaksanakan oleh BKPPM. Hal tersebut kemudian diperkuat dengan peraturan pelaksana teknisnya melalui Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalalm Rangka PMA dan PMDN Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, sistem pelayanan satu Pintu / Atap adalah suatu sistem pelayanan pemberian persetujuan penanaman modal dan perizinan pelaksanaannya pada satu instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal. Pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPPM, berdasarkan pelimpahan kewenangan dari Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membina bidang-bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan satu Pintu / Atap. Namun, sebagai bagian dari Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Percepatan Pemulihan Ekonomi, pemerintrah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 24 Tahun 2006, yaitu tentang Penyelenggaraan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap. Hal ini dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil dan menengah, khususnya di tingkatan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pelayanan terpadu yang dimaksudkan adalah pelayanan kepada penanam modal
dalam
pelaksanaan
kegiatan
penanaman
modal
yang
diberikan
oleh
lembaga/instansi yang berwenang di bidang penanaman modal, baik di pusat maupun daerah, sehingga diharapkan dapat: (i) meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; (ii) menciptakan lapangan pekerjaan; (iii) meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; (iv) meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan (v) meningkatkan kapasitas teknologi nasional; Unit Pelayanan Terpadu (UPT) perijinan adalah bentuk yang paling sederhana dan pola yang paling dasar dalam model Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap untuk perijinan. Bentuk ini pula yang pernah dikembangkan oleh beberapa daerah pada tahun 1990-an sebagai model ujicoba perijinan satu atap. Model ini pula yang biasanya menjadi model awal oleh daerah-daerah yang mengembangkan pelayanan perijinan terpadu, termasuk 85
Volume II Edisi Kedua 2012 yang saat ini telah berhasil mengembangkan perijinan terpadu satu Atap yang efisien dalam bentuk yang paling baik. Bentuk UPTSA dalam bentuk UPT perijinan ini sebenarnya lebih mirip bentuk pelayanan kantor pos dengan mengandalkan fungsi utama pada pelayanan yang berhadapan langsung dengan pemohon ijin (front office). Dengan kata lain, keterpaduan dan satu Atap hanya terjadi pada front office dimana pemohon ijin dapat menyampaikan permohonan ijin pada tempat yang sama yaitu front office di UPT perijinan untuk berbagai macam perijinan yang berbeda-beda yang dilayani oleh UPT perijinan tersebut, termasuk beberapa jenis perijinan sekaligus. Bentuk UPTSA perijinan satu atap merupakan bentuk yang lebih maju dari bentuk UPT perijinan dalam pola kantor pos dalam hal keterpaduan dan penyederhanaan proses perijinan. Pada pola ini, keterpaduan proses dan pelayanan tidak hanya berlangsung pada front office atau bagian pelayanan permohonan ijin, namun juga pada bagian back office yang memproses perijinan. Pada pola ini pemrosesan ijin sudah dilakukan dalam lingkungan UPTSA dan berkas tidak dibawa ke dinas teknis terkait dalam pemrosesannya kecuali untuk penandatanganan ijin untuk beberapa jenis ijin yang masih menjadi kewenangan dari dinas yang terkait dengan perijinan tersebut. Dengan kata lain, kewenangan perijinan belum sepenuhnya berada di lembaga UPTSA atau Kepala UPTSA. Keterlibatan dinas/SKPD teknis dalam proses perijinan dilakukan dalam bentuk koordinasi teknis untuk pemeriksaan lapangan untuk perijinan yang bersifat sangat teknis dan membutuhkan pemeriksanaan lapangan. Artinya, meskipun proses seleuruhnya berlangsung di UPTSA sampai dengan penerbitan ijin oleh Kepala UPTSA, namun dinas/SKPD teknis tetap dilibatkan dalam pemeriksaan teknis dan memberikan pertimbangan teknis termasuk dalam penetapan besaran retribusi. UPTSA yang telah memikiki kemampuan memberikan penilaian teknis kelayakan ijin baik karena proses pelatihan yang sudah diberikan maupun karena staf tersebut berasal dari pegawai dari dinas teknis terkait yang sudah dialihkan menjadi staf di UPTSA. Dengan demikian, selutruh staf yang ada di UPTSA sudah menjadi staf UPTSA dan tidak lagi staf dinas teknis yang hanya ditempatkan di UPTSA. Jenis UPTSA yang memiliki kewenangan penuh dalam pemrosesan dan penerbitan ijin yang ditandatangani oleh Kepala UPTSA (untuk perijinan) menuntut kelembagaan UPTSA yang mandiri dan memiliki kewenangan penuh. Pembayaran retribusi dalam 86
Volume II Edisi Kedua 2012 pengurusan ijin juga sudah dilakukan di kantor UPTSA melalui petugas bank daerah yang ditempatkan di UPTSA atau petugas kas daerah di UPTSA.
III.
MENGEMBANGKAN INVESTASI DI DAERAH Menyadari tuntutan untuk perbaikan iklim usaha dan daya saing investasi salah
satunya melalui perbaikan birokrasi perijinan, pengembangkan sistem perijinan terpadu menuju pelayanan terpadu satu Atap. Penyelenggaraan UPTSA ini dilakukan dengan mengalihkan kewenangan pelayanan perijinan dari Dinas/SKPD teknis kepada kelembagaan PUPTSA yang dibentuk. Kepala Daerah mendelegasikan kewenangan penandatanganan perizinan dan non perizinan kepada Kepala PUPTSA
untuk
mempercepat proses pelayanan. Pembentukan UPTSA dalam bentuk One Gate Service (OGS) perijinan disamping sebagai pelaksanaan dari peraturan tersebut juga menjadi sebuah kebutuhan mengingat tingginya dinamika kegiatan usaha di daerah serta potensi investasi yang dimiliki khususnya disektor jasa dan keuangan. Prinsip dasar pelayanan oleh UPTSA di daerah dalam membangun dan mengembangkan investasi di daerah adalah sebagai berikut : 1. Penyederhanaan (simplifikasi/ streamlining) prosedur, yaitu proses perijinan di UPTSA Daerah harus menghasilkan proses yang lebih sederhana dengan persyaratan yang dapat lebih diringkas, termasuk penggunaan persyaratan yang sama untuk perijinan yang berbeda jika diurus secara paket, dan alur pengurusan ijin yang ringkas tanpa menyebabkan pemohon harus mendatangi beberapa instansi untuk pengurusan ijin yang dilakukan. 2. Kejelasan dan Kepastian, yaitu kejelasan dalam prosedur untuk mengajukan permohonan ijin
dan persyaratan yang
diperlukan serta unit kerja yang
bertanggungjawab dalam pengurusan ijinnya, serta kepastian dalam hal biaya dan persyaratan yang dibutuhkan. 3. Kepastian waktu, yaitu adanya kepastian waktu penyelesaian dari ijin yang diurus baik tersendiri maupun secara paket. Kepastian waktu ini bis didapatkan ketika pemohon mengajukan perijinan dan sudah tertera dalam informasi yang diberikan untuk perijinan tersebut. 4. Kepastian hukum proses : biaya dan waktu sesuai ketentuan perundangan, yaitu adanya kejelasan dan kepastian akan biaya dan waktu penyelesaian perijinan yang 87
Volume II Edisi Kedua 2012 diproses yang dimuat dalam payung hukum dari kelembagaan dan operaional UPTSA di Daerah. Sehingga dalam pelaksanaan dilapangan, biaya dan waktu yang dikeluarkan oleh pemohon ijin maksimal sama dengan yang ada payung hukum operasional UPTSA. 5. Kemudahan akses, yaitu UPTSA di Daerah harus berada dalam jangkauan public yang membutuhkan, berada pada lokasi yang mudah diakses, serta tersedia informasi yang memadai tentang lokasi dan pelayanan yang disediakan oleh UPTSA di tempattempat publik. Kemudahan akses juga berarti adanya pelayanan yang respondif dari petugas UPTSA yang memudahkan publik dan memohon ijin memahami dan mengetahui pelayanan dan pengurusan ijin di UPTSA. 6. Kenyamanan, yaitu pelayanan yang memberikan kenyamanan bagi pemohon ijin dalam memanfaatkan pelayanan di UPTSA, meliputi kenyamanan ruang tunggu dan pelayanan, kenyamanan suasana pelayanan dan kenyamanan pelayanan yang diberikan petugas UPTSA. 7. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yaitu operasional petugas UPTSA yang memilikim kedisiplinan tugas dan fungsi (termasuk kedisiplinan dalam jam oeprasional UPTSA) masing-masing bagian dalam UPTSA, kesopanan petugas dalam memberikan pelayanan kepada pemohon ijin serta keramahan dalam memberikan pelayanan perijinan. Investasi menunjukkan kecenderungan yang berbeda antara Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). PMDN menunjukkan kecenderungan fluktuasi yang tinggi. Untuk penanaman modal asing, investasi di daerah yang masuk menunjukkan trend meningkat dalam tiga tahun terakhir. Nilai PMA yang masuk juga mengalami fluktuasi meskipun dari sisi jumlah proyek cenderung meningkat. Bereda dengan PMDN, penurunan realisasi nilai PMA ini juga diikuti dengan penurunan jumlah proyek yang masuk pada tahun tersebut. Artinya, dari sisi besaran nilai per proyek yang masuk, tidak mengalami penurunan seperti yang terjadi pada PMDN. Hasil survey Doing Business yang dilakukan oleh International Corporation Finance (IFC)-The World Bank menunjukkan bahwa peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lain termasuk di regional ASEAN yang menjadi kompetitor utamanya. Dalam beberapa tahun survey terakhir, peringkat Indonesia
88
Volume II Edisi Kedua 2012 masih diluar 100 besar yang menunjukkan masih buruknya regulasi yang membentuk iklim usaha di Indonesia. Tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah dalam hal regulasi dan perizinan investasi juga masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Rancangan Undang-undang (RUU) Penanaman Modal yang belum disahkan membuat ketidakpastian dalam berinvestasi. Tumpang tindihnya kewenangan antar lembaga dan antara pusat dan daerah semakin memperburuk keadaan yang ada. Dalam era otonomi daerah, perlu dibuktikan bahwa otonomi yang ada benar-benar mampu dapat menarik investasi ke daerah sehingga dapat memberikan manfaat bagi daerah yang bersangkutan. Dengan dasar permasalahan tersebut, Pemerintah Pusat menetapkan berbagai arah kebijakan, sasaran, dan program untuk meningkatkan dan mewujudkan iklim investasi yang sehat di Indonesia sehingga mampu bersaing dengan negara-negara lainnya yang sudah maju. Bersama dengan peningkatan ekspor, peningkatan investasi dipercaya dapat menjamin keberlanjutan pelaksanaan pembangunan suatu negara atau daerah. Dalam perekonomian nasional, sumber pertumbuhan ekonomi utama nasional antara lain berasal dari aktivitas konsumsi, investasi, dan perdagangan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun masyarakat/swasta. Diketahui bersama bahwa, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sisi konsumsi (consumption driven economy) sulit dijaga keberlangsungan dan kestabilannya. Pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh sisi konsumsi tidak menunjukkan struktur perekonomian daerah yang kuat, dan kurang menunjukkan kondisi riil dari masyarakat yang ada di daerah. Bahkan, apabila kegiatan konsumsi dilakukan secara berlebihan, selain kurang memberikan nilai tambah, juga berpotensi untuk mendorong dan meningkatkan tingkat inflasi. Oleh karena itu, agar dapat dijaga keberlangsungan dan kestabilannya, pertumbuhan ekonomi perlu didorong melalui kegiatan investasi bersama-sama dengan perdagangan) (investment and trade driven economy) dan pengembangan dunia usaha. Dampak pengganda (multiplier effect) yang ditimbulkan dari aktivitas perdagangan dan investasi memungkinkan terjadinya dorongan pertumbuhan ekonomi dari kegiatan perdagangan dan masuknya investasi dalam suatu sistem perekonomian. Investasi dari masyarakat/swasta dirasakan semakin penting peranannya dikarenakan kapasitas fiskal Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota) cukup terbatas sehingga sulit untuk selalu dijadikan sebagai sumber utama. 89
Volume II Edisi Kedua 2012 Melalui aktivitas investasi (dan perdagangan), memungkinkan perekonomian akan menghasilkan nilai tambah dan output yang lebih banyak, pemanfaatan sumberdaya secara optimal, dan melakukan pertukaran produksi. Peran investasi dan perdagangan sebagai sumber penggerak dan pertumbuhan ekonomi menjadi semakin signifikan disaat globalisasi melanda dunia. Dengan dukungan perkembangan teknologi transportasi dan informasi, globalisasi mendorong cepatnya pergerakan barang dan perpindahan modal antar daerah serta mobilitas sumberdaya (bahan mentah, barang modal, dan tenaga kerja) yang semakin mudah & murah. Investasi dan perdagangan dapat menjadi pendorong roda ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan para pelakunya ketika semua pihak mendapat keuntungan (gain) maksimal dari perdagangan tersebut. Dalam situasi ini, pengusaha mendapat profit yang memadai untuk melakukan penambahan modal, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Bagi tenaga kerja dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan perdagangan dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima. Kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung dan/atau berinvestasi. Bagi pemerintah daerah, investasi dan pengembangan dunia usaha akan mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan lapangan kerja yang akan membantu upaya mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan. Berkembangnya kegiatan usaha melalui investasi juga berpeluang meningkatkan pemerintah daerah melalui pajak dan retribusi daerah dari kegiatan usaha formal. Peranan investasi dalam perekonomian dapat dilihat dari kontribusi investasi dalam produk domestik bruto daerah atau nasional (PDB/PDRB). Perkembangan komposisi PDB nasional berdasarkan pengeluaran dalam
lima tahun terakhir
memperlihatkan investasi menunjukkan peranan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu kunci utama untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas adalah investasi. Investasi akan masuk ke suatu negara atau daerah tergantung dari daya tarik negara atau daerah tersebut terhadap investasi, dan adanya iklim investasi yang kondusif, selain sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan. Iklim investasi adalah semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa datang, yang dapat mempengaruhi tingkat
90
Volume II Edisi Kedua 2012 pengembalian dan resiko suatu investasi (Stern, 2002). Tiga faktor utama dalam iklim investasi, yaitu mencakup: a. Kondisi ekonomi makro: termasuk stabilitas ekonomi makro, keterbukaan ekonomi, persaingan pasar, dan stabilitas sosial dan politik; b. Kepemerintahan dan kelembagaan: termasuk kejelasan dan efektifitas peraturan, perpajakan, sistim hukum, sektor keuangan, fleksibilitas pasar tenaga kerja dan keberadaan tenaga kerja yang terdidik dan trampil; dan c. Infrastruktur: mencakup antara lain sarana transportasi, telekomunikasi, listrik, dan air.
VI.
PENUTUP Secara umum investasi atau penanaman modal, baik dalam bentuk penanaman
modal dalam negeri (PMDN) maupun pananaman modal asing (PMA) membutuhkan adanya iklim yang sehat dan kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal. Iklim investasi juga dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi suatu negara atau daerah. Kondisi inilah yang mampu menggerakan sektor swasta untuk ikut serta dalam menggerakan roda ekonomi. Keberhasilan negara/daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap investasi salah satunya tergantung dari kemampuan negara/daerah dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Kemampuan negara/daerah untuk menentukan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai ukuran daya saing perekonomian nasional/daerah relatif terhadap negara/daerah lainnya juga sangat penting dalam upaya meningkatkan daya tariknya dan memenangkan persaingan. Hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam upaya menarik investor, selain makroekonomi yang kondusif juga adanya pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur dalam arti luas.
91
Volume II Edisi Kedua 2012 DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto. 2001, Pemberdayaan, Pengembangan Masyyarakat dan, Intervensi Komunitas (Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2002, Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan), Pemenang ―Book Publication Award‖ FISIP UI Tahun 2003, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Barber, Michael, 1972. Public Administration, Boston:Macdonald and Evans Limited. Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia. Dunn, William N. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction, Second Edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Int., Inc. Easton, David. 1965. A System Analysis of Political Life. New York: Wiley. Edward, G., and Sharkansky, I. 1978. The Policy Predicament, San Francisco: W.H. Freeman and company. Grindle, Marilee S. 1980. Politics dan Policy Evoluation the Third World. New York: Princeton University Press. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pemberdayaan Masyarakat, Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ,1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES. Lane Berry, Robert, L. 1995. American Public Policy. New York: North Western University Harper & Row Publisher. Ndraha, Taliziduhu, 1986. Budaya Pemerintahan dan Dampaknya terhadap Pelayanan Kepada masyarakat : Sebuah Studi Tentang, Manajemen Pemerinyahan DKJI Jakarta Mengantisipasi Implementasi UU Nomor 11 Tahun 1990, Jakarta : Jurnal MIPI Edisi Ketiga. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : Reneka Cipta. Rondenelli, Dennis A, Neris John R. Chemaa Shabir G.1984. Decentralization in Developping Countries & Review of Recent Experience, Washington D.C: The World Book. 92
Volume II Edisi Kedua 2012 Sedarmayanti, 2004. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Bagian kedua, Bandung : Mandar Maju. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: CV. Alfabeta. Stewart, Allen Mitchell, 1998, Empowering People, Terjemahan : Agus M. Hardjana, Yogyakarta: Kanisius. 1999. Agenda Pemulihan Ekonomi, Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat Melalui Pemberdayaan Otonomi Daerah, Jakarta : PT.Kipas Putih Aksara. Suradinata Ermaya, 1993. Kebijakan Pembangunan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Perkembangan Teori dan Penerapan, Bandung: Ramadhan. Udoji, Chief. J. O. 1981. The African Public Policy in Africa. Addis Adaba: African Association and Management. Van Meter, Donald S, and Carly E van Horn, 1975, ―The Policy Implementation Process : A Conceptual Framework‖, Administration and Society, Vol 6 No. 4, New York:Sage Publications, Inc. Vincent, J. R., A. Jean, D. Giovanna, M. Adriani, R. Vivianti and W. Thomas, 2002, Public Environmental Expenditure in Indonesia. Jakarta : Bulletin of Indonesian Economic, 35 (1). Wahab, Solihin Abdul. 2002. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Walters, J. S. 2002. Big Vision, Small Business. San Fransisco: Berrett-Koehler Publisher, Inc.
93
Volume II Edisi Kedua 2012 KEBERAGAMAN BUDAYA SEBAGAI PEREKAT INTEGRASI
Oleh : Syarif Muhidin, Visiting Professor , Universiti Sains Malaysia dan Guru Besar Universitas Langlangbuana (UNLA) Bandung
Abstract This paper discusses the cultural diversity Indonesia. middle of Indonesia for a national cultural identity, multiculturalism pluralisma who rely on getting stronger in the sense reformasi. in the era efforts to create a national culture does not necessarily deny the diversity existence of culture. even more with the system of regional autonomy, the decentralization culture became a growing discourse as the culture. diversity this area should be the foundation for the establishment of a national culture and national integration as well as adhesives.
PERSOALAN KEBERAGAMAN BUDAYA Budaya yang beraneka-ragam menjadi ciri yang sangat dominan dalam pembentukan negara kesatuan Indonesia. Ciri ini memiliki akar historis yang amat panjang, karena pada zaman pra Indonesia, gugusan pulau di kawasan Nusantara ini hanya mengenal masyarakat ―suku bangsa‖, di bawah kekuasaan raja-raja (Hindu atau pun Islam). Dibalik perbedaan-perbedaan tersebut, muncul kesadaran, terutama di kalangan angkatan muda dan terpelajar untuk mempersatukan wilayah ini, yang mencapai puncaknya pada 28 Oktober 1928 yang dikenal sebagai hari Sumpah Pemuda. Para intelektual muda itu mengukuhkan tekad mereka untuk mengakui hanya ada satu Tanah Air, yaitu Tanah Air Indonesia; satu Bangsa, yaitu Bangsa Indonesia dan satu Bahasa, yaitu Bahasa Indonesia. Momen itu menjadi pendorong semangat ke-Indonesia-an mereka yang kemudian melahirkan masyarakat bangsa dan masyarakat negara, dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945 di dalam wadah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (N.K.R.I.). Keberhasilan para pendiri negara ini untuk mempersatukan wilayah yang terceraiberai dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu- nya, tidak serta-merta menghapuskan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bahasa daerah, suku – bangsa dan 94
Volume II Edisi Kedua 2012 sub-kultur tetap berdiri tegak di atas upaya untuk mengembangkan kebudayaan nasional. Sebagai masyarakat majemuk (istilah yang pada pertama kali dikenalkan oleh Furnival – zaman Hindia Belanda), mengandung kekuatan-kekuatan tertentu dan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada berkembangnya semangat kesatuan dan kebersamaan yang tercermin dari tumbuhnya solidaritas kebangsaan dengan melawan perbedaan atau menganggap perbedaan itu sebagai kekuatan untuk saling melengkapi. Semangat kebangsaan inilah yang mampu memelihara pluralitas masyarakat Indonesia sebagai kekuatan pendorong dan pemersatu. Keberagaman atau perbedaan pada sisi lain jelas menjadi salah satu potensi konflik di antara kelompok etnis yang memang memiliki sub-kultur yang berbeda, sehingga di antara kelompok yang berbeda tersebut sulit mengembangkan kesepakatan, di atas nilai-nilai yang bersifat mendasar (van den Berghe dikutip Nasikun, 2001:33). Ditambah lagi dengan masyarakat Indonesia yang bersifat ―terbuka‖, memudahkan infiltrasi dan penetrasi budaya asing yang tidak diharapkan, tanpa ketangguhan budaya sendiri, jelas merupakan ancaman bagi ketahanan budaya bangsa (Hamengku Buwono X, 2007:11).
MULTIKULTURALISME VERSUS MONOKULTURALISME Wacana multikulturalisme mulai mengemuka sejak reformasi dan perubahan tata kelola penyelenggaraan negara di Indonesia dari sistem sentralisasi kepada desentralisasi. Keberagaman budaya merupakan salah satu komponen yang amat penting yang menjadi bingkai multikulturalisme. Kalau ditelusuri lebih jauh, multikulturalisme dengan keragaman budaya sebagai intinya, sudah merupakan gejala yang universal. Artinya hampir semua negara di dunia terbentuk dari keaneka-ragaman budaya, sehingga perbedaan menjadi asasnya (Hikmat Budiman, www.antropologi.sosial.co.id 2010, 20/2/). Hal itu disebabkan karena migrasi dan mobilitas penduduk dunia dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya terjadi amat cepat. Mungkin yang paling penting adalah bagaimana sikap dan pandangan kita terhadap persoalan ini, sehingga kita dapat menentukan strategi dan tindakan yang tepat. Sebagian memandang multikulturalisme sebagai suatu masalah yang seringkali menimbulkan konflik dan perpecahan, sehingga yang dikedepankan adalah nasionalitas
95
Volume II Edisi Kedua 2012 yang dibangun atas dasar keseragaman dan monokulturalisme. Pandangan demikian nyaris telah menjerumuskan Indonesia kepada sentralisme dan otoritarian yang kuat di masa lalu. Sebagian lagi melihat multikulturalisme sebagai suatu kecenderungan baru yang mengedepankan multikulturalisme – etnik yang mengakui dan menghargai eksistensi dan hak-hak warga etnik (H. Budiman, www. antropologi.sosial.co.id.2010, 20/2/). Dengan demikian, keberagaman kebudayaan menjadi suatu realita yang harus diakui dan tak terbantahkan. Upaya untuk membangun budaya tunggal (monokulturalisme) sebagai identitas kebangsaan dengan metropolis Jakarta sebagai ikon dan pusat modernisasi budaya, tidak hanya bertentangan dengan semangat pluralisme, tetapi juga rentan dan rapuh dalam menghadapi perubahan. Begitu pula asas desentralisasi akan kehilangan makna dan rohnya bilamana tidak mampu memperhitungkan secara cermat keragaman budaya dilihat dari segi suku bangsa, bahasa, agama, sumberdaya alam dan manusia serta kondisi ekologi dan geografis. Karena itu, bilamana multikulturalisme dapat dipandang sebagai perekat integrasi bangsa maka kebijakan multikulturalisme harus diarahkan sebagai suatu strategi yang mampu mengelola perbedaan (keberagaman budaya) sebagai suatu ketahanan baru yang tidak akan tergoyahkan oleh arus globalisasi yang pada sisi negatifnya ingin menghancurkan budaya bangsa.
IDENTITAS BUDAYA DAN PENETRASI BUDAYA Identitas budaya merupakan bagian yang amat penting dari pencarian identitas kebangsaan Indonesia. Dibalik keragaman budaya – seperti budaya lokal atau sub-kultur – kalau dicari secara mendalam memiliki banyak kesamaan nilai-nilai yang hakiki. Dengan kearifan para founding fathers kita, nilai-nilai kebersamaan itu tertuang dalam falsafah kebangsaan ―Pancasila‖. Tidak ada satupun segmen bangsa ini yang menolak nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila, bahkan hampir dapat dikatakan pasti Pancasila itulah yang mempercepat persatuan Indonesia, sebagai suatu bangsa baru di muka bumi ini. Begitu pula ―bahasa Indonesia‖ yang bersumber pada bahasa Melayu yang telah diikrarkan sebagai bahasa nasional menjadi alat komunikasi yang ampuh mengatasi segala perbedaan yang disebabkan ratusan bahasa daerah (sekitar 200 local dialecks) di seantero nusantara ini. 96
Volume II Edisi Kedua 2012 Dengan adanya bahasa Indonesia, tidak serta merta mematikan bahasa daerah, justru bahasa daerah tumbuh subur dan menjadi alat komunikasi pokok di antara warga masyarakat yang berasal dari suku yang sama. Bahasa daerah yang sama menentukan budaya lokal yang sama, tidak heran kalau wilayah Nusantara ini memiliki ratusan seni budaya dan adat kebiasaan yang berbeda-beda. Oleh karena itu pencarian identitas kebangsaan yang bercirikan budaya bangsa (atau boleh dikatakan budaya nasional atau budaya Indonesia) adalah suatu proses yang tidak pernah ada hentinya. Ada sebagian yang menyatakan bahwa budaya Indonesia bukan persambungan dari yang lama (Hamengku Buwono X, 2007:11). Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa asal-usul budaya Indonesia bersumber dari masa lalu juga, karena tidak ada satu budaya pun yang berhenti pada suatu titik. Begitu pula budaya Indonesia, lahir sebagai suatu entitas budaya baru, hasil dari proses persinggungan dan kontak budaya yang dibawa para pendatang dari Barat, India, Timur Tengah dan Timur Jauh dengan budaya tradisional Indonesia. Dalam persinggungan kebudayaan tersebut, budaya yang dianggap modern, dinilai oleh sebagian pemikir Barat akan mendominasi budaya-budaya lokal dan tradisional. Anggapan itu sejalan dengan teori evolusi yang berkembang di akhir abad ke-19 bahwa setiap masyarakat akan berevolusi dari kondisi Tradisional kepada modern ala model budaya masyarakat maju; kenyataan- nya bagi Indonesia tidak selamanya benar. Indonesia dapat menerima modernisasi dan industrialisasi, tetapi tetap mampu mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai budayanya sendiri (Muhidin, 2005:7; Garna, Yudistira K., 1993:40). Pencarian identitas budaya Indonesia menjadi sangat relevan untuk menentukan jati diri bangsa bukan hanya penting bila berhadapan dengan bangsa lain, tetapi akan menentukan karakter bangsa yang seharusnya tetap bertahan di tengah terpaan arus globalisasi. Setiap bangsa memiliki identitas budaya yang di dalamnya ter- kandung nilai-nilai luhur yang mampu mengikat kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Jepang misalnya memiliki identitas budaya yang terangkum dalam ―Bushido‖ (moral samurai) yang berisikan ajaran tentang nilai-nilai kejujuran, rela berkorban, kerja keras; nilai-nilai tersebut menjadi ciri kepribadian bangsa Jepang yang tidak pernah luntur dalam persentuhannya dengan budaya bangsa lain. 97
Volume II Edisi Kedua 2012 Dalam menemukan identitas diri sesungguhnya Indonesia telah menemukan ideologi dan falsafah Pancasila yang intinya menjadi pemersatu di atas keragaman nilai budaya masyarakat Indonesia. Pancasila bukan sekadar ideologi negara tetapi seharusnya menjadi ―way of life‖ setiap warga negara Indonesia, di dalamnya menanamkan nilai-nilai musyawarah – mufakat, gotong-royong, perikemanusiaan dan demokrasi. Pancasila mengakui adanya perbedaan-perbedaan dengan simbolnya Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity), berbeda tetapi tetap bersatu.
KEBUDAYAAN NASIONAL DAN MULTIKULTURALISME Upaya untuk menciptakan kebudayaan nasional tidak menafikkan eksistensi keragaman budaya (multikulturalisme). Proses pembentukan kebudayaan nasional bukanlah suatu cara untuk menghadirkan budaya tunggal yang melahirkan keseragaman, sebab hal itu bertentangan dengan akar historis bangsa ini sebagai masyarakat majemuk. Masyarakat Indonesia bukan lagi masyarakat yang monokultural, tetapi masyarakat yang memiliki banyak budaya (multikulturalisme), hal itu merupakan kekayaan yang luar biasa apabila mengacu kepada pengertian kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karya manusia. Tidak mungkin ada wacana kebudayaan nasional tanpa landasan keragaman budaya. Wacana budaya nasional muncul, ketika kita bersatu dalam wadah negara kesatuan. Karena itu, pada hakikatnya kebudayaan nasional adalah kristalisasi atau puncak dari seluruh kebudayaan daerah yang mampu membangun jiwa nasionalisme (Dewantara, 1994). Budaya nasional bukanlah penjumlahan dari budaya lokal, tetapi merupakan ―pengembangan‖ dari semua subkultur yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebagai akibat dari dinamika budaya itu sendiri. Budaya nasional harus dapat menampilkan ―wajah baru‖ yang menyingkirkan jauh-jauh sifat feodalisme atau sukuisme atau etnosentrisme. Dengan terciptanya budaya nasional setidaknya dapat melahirkan jati diri atau identitas kepribadian bangsa, sehingga dengan demikian, ke dalam akan mendorong semangat ―integrasi nasional‖ dan keluar mampu menyaring dan berdiri tegak menghadapi arus budaya luar yang ingin menghancurkan jati diri bangsa Indonesia. Sebaliknya, membangun kebudayaan nasional tidak berujung pada semangat ―sentralisme budaya‖ yang beranggapan ada semacam budaya daerah tertentu yang mampu mengendalikan sub-kultur yang lainnya. Strategi seperti itu sudah lewat dan tidak lagi 98
Volume II Edisi Kedua 2012 merupakan wacana, karena kegagalannya, kita berbalik arah, kepada desentralisme budaya (sesuai dengan semangat otonomi daerah).
DESENTRALISASI BUDAYA DAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL Desentralisasi budaya merupakan suatu keniscayaan untuk merajut kembali keIndonesia-an kita dari aspek budaya (Hamengku Buwono X, 2007:18-19). Sejalan dengan otonomi daerah, maka jelas otonomi budaya pun harus dikembangkan secara kreatif, dalam arti
tidak
sekedar
mem-
pertahankan
nilai-nilai
budaya
tradisional,
tetapi
menggerakkannya secara lentur sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Kantungkantung kebudayaan di daerah seharusnya tidak menjadi lembaga yang konservatif dan defensif (Hamengku Buwono X, 2007:19), tetapi dengan sikap keterbukaannya dapat memberi ruang bagi anak bangsa untuk menggali potensi yang masih terpendam secara kreatif dan inovatif. Hanya dengan demikian akan melahirkan budaya Indonesia baru yang memberikan makna baru terhadap nilai-nilai kebudayaan sehingga menjadi kekuatan bangsa. Sebagai
konsekuensi
dari
pandangan
tersebut
maka
melestarikan
dan
mengembangkan nilai-nilai budaya daerah adalah suatu keharusan. Budaya nasional atau budaya bangsa tidak akan kokoh tanpa memperkuat nilai budaya lokal. Memandang budaya daerah sebagai pilar-pilar pembentukan budaya nasional merupakan ―modal dasar‖ untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa ini perlu membangun ―kearifan lokal‖ yang boleh menghantar bangsa ini untuk saling memahami dan menghargai sesama suku bangsa sehingga keberagaman budaya menjadi milik bersama.
KERAGAMAN SEBAGAI PEREKAT INTEGRASI Dalam sejarah perkembangan masyarakat di dunia, khususnya di Dunia Ketiga, keragaman budaya dalam masyarakat plural, kadangkala mudah memicu konflik antara etnis yang rawan bagi disintegrasi bangsa. Hal itu terjadi di Indonesia. Aceh pernah ingin memisahkan diri, begitu pula Papua hingga sekarang, meskipun keinginan itu bukan merupakan cerminan sikap mayoritas masyarakatnya. Masalahnya adalah bagaimana menjadikan keanekaragaman budaya tersebut sebagai perekat integrasi bangsa. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
99
Volume II Edisi Kedua 2012 1) Strategi membangun budaya Indonesia perlu berlandaskan kepada pen- dekatan multikulturalisme. Kokoh dan berkembangnya budaya daerah menjadi dasar dari pembentukan budaya Indonesia baru. 2) Wacana untuk membangun budaya nasional harus sejalan dengan upaya memperkuat budaya daerah. Warga masyarakat yang ingin mengem- bangkan budaya dan seni budayanya perlu didukung dengan berbagai sumber daya dan kesempatan. 3) Keanekaragaman dan perbedaan seharusnya dijadikan sebagai suatu kekuatan dan kekayaan budaya bukan kelemahan dan kemiskinan. Seni budaya yang beraneka ragam itu menunjukkan kreativitas masyarakat Indonesia yang dapat menjadi andalan ketika bangsa ini membina komunikasi dalam kehidupan bangsa-bangsa di dunia. 4) Hasil produksi seni budaya Indonesia yang diakui dan dihargai bangsa lain dapat meningkatkan harga diri bangsa (national – proud), yang dampaknya semakin meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan. 5) Negara (pemerintah dan masyarakat) perlu mengeliminir semua faktor yang mendorong terjadinya perpecahan seperti konflik antar etnis dan meningkatkan kemampuan untuk mengatasinya dan menjadikan pen- dekatan budaya sebagai mainstream dalam pembangunan, yang tidak kalah pentingnya dari pendekatan ekonomi dan politik.
100
Volume II Edisi Kedua 2012 DAFTAR PUSTAKA
Asagiri, Amsal (Ed), 2004. Indonesia, an official Hand book, Jakarta: Ministry of Communication and Informatics Republic of Indonesia. Garna, Yudistira K., (Ed), 1993. Perubahan Sosial di Indonesia: Tradisi, Akomodasi dan Modernisasi, Bandung: Program Pascasarjana Unpad. Hakim, Lukman (Ed), 2001. Reformasi dalam Stagnasi, Jakarta: Yayasan Al-Mukmin. Hamengku Buwono X, Sultan, 2007. Merajut Kembali Ke-Indonesia-an Kita, Jakarta: PT Gramedia Mulyana (Ed), 2005. Demokrasi dalam Budaya Lokal, Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. Muhidin, Syarif, 2005. Industralisasi dan Modernisasi: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Masyarakat Industri di Indonesia, Bandung: Universitas Langlangbuana. ----------------------, 2008. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Bandung: Universitas Langlangbuana.
101
Volume II Edisi Kedua 2012 IMPACT OF GLOBALIZATION ON INDONESIA’S DEVELOPMENT
By : Budi Winarno
Abstract: Globalization and economic liberalization have given benefit for the developed countries, but have been baneful for the developing countries, including Indonesia. Market-driven development pushed the government losing its control of preventing foreign and domestic capital flight out of the country, when Indonesia was beaten by monetary, economic, and political crises. As a result, poverty, unemployment and the widening gap between the rich and the poor people have been increasing. Indonesia‟s NGOs have blamed and resisted the conspiracy of developed countries in the process of impoverishing developing countries, including Indonesia. Therefore, efforts have been undertaken by Indonesia‟s NGOs to provide advocacy and empowerment, as well as defending the rights of poor people and their dignity. However, the struggle of Indonesia‟s NGOs in the side of poor people is still far away. Key-words: Globalization – Indonesia‟s Development – NGOs
INTRODUCTION There are a number of reasons that arouse interest in the topic of this paper. Firstly, in the last decades of the 20 th century global changes have been taking place very fast, not only have resulted in interdependence among nation states and transnational relations, but it also have created what then so-called globalization. Secondly, in the process of globalization has created the fading of national cultures and self-reliance, as well as the declining capability of the states in the process of decision making, and their implementation in development, monetary, and business policies. Thirdly, although the process of globalization has opened the chance for every nation to enlarge its market and resources, it is no doubt that the only developed countries get the benefit because in the open and free market economy system, which is a capitalist system based on the laissezfaire principle, they are the strong hegemonic powers and are prepared to face the globalization. On the contrary,
for the developing countries, such as Indonesia 102
Volume II Edisi Kedua 2012 globalization can create a dilemma, because its impact can lead to the fading of the state‘s economic borders. And in turn, it will weaken the state as a result of its incapability to move the state‘ domestic potential to support its development or its owned comparative advantage and comparative competitiveness vis-à-vis the other states in international trade. This writing discusses problems concerning what is and how does the process of globalization go on, and then
what is its implication on the role of the state in
development, with the case of Indonesia‘s experience? What have Indonesia‘s NGOs responded toward globalization? And what is their contribution to improve the social and economic life of the poor people?
Theoretical Framework The Fall of the Bretton Woods System. During and after World War II, countries developed and enforced a set of rules, institutions, and procedures to regulate important aspects of international economic interaction. For nearly two decades, this international economic order, known as the Bretton Woods system, was effective in controlling conflict and achieving the common goals of the states which had created it. The political bases for the Bretton Woods system are to be found in the coincidence of three conditions: the concentration of power in a small number of states, the existence of a cluster of important interests shared by those states, and the presence of a dominant power willing and able to assume a leadership role ( Kindleberger, 1973). By the 1970‘s, however, the Bretton Woods system was in shambles and the management of the international economy was gravely threatened. Power was challenged and leadership weakened, and its implication was the consensus on a liberal, limited system dissolved. Although the developed countries remained the dominant political and economic powers, states outside the group have challenged their right to manage the system. The major challenge came from the less developed countries. Finally, by the 1970‘s the agreement on a liberal and limited system, which was the basis of the Bretton Woods, had collapsed. States no longer agreed on the ends and the means of management. The most vociferous dissenters from the liberal vision of international management were the developing countries. They sought to revise the rules, institutions, and procedures of the system to make possible their development and their economic independence. More 103
Volume II Edisi Kedua 2012 than that, they sought to make that development a primary goal and responsibility of the system. Thus they also dissented from consensus on limited international economic management. International management, in their view, should be positive, activist, and more interventionist. For many in the developed countries as well, liberalism was no longer an adequate goal of management.
Globalization Entering the third millennium, changes in the global system have been going on very fast, and have created some complex implications, namely interdependence in almost every dimension of life in the context of the nation states and transnational relations. These fast changes with their complex implications have brought about what so-called globalization. Lodge (1995) says that globalization is a process of putting the world societies to be able to reach out for each other or to be connected one another in every aspect of their life: in culture, politics, economy, technology, as well as in environment. In a more short language, a globalization is then understood as a process of emerging a global society, that is a physical integrated world, which goes beyond the national boundaries, ideology as well as world political institutions ( Amal, 1992:96). For globalist, a globalization is understood as the realization of an integrated world economy. Nations - individually as well as collectively - support globalization by eliminating obstacles of international trade, thus permitting international commerce, investment, currencies, and information across the national boundaries. Globalization applies to consumers and business alike. For the consumer, globalization implies having ready access to the products of the world at international prices. For business, globalization implies the ability to establish operations of market for goods or services anywhere without restrictions based on national origin. Nowadays, the phenomenon of globalization clearly appears in the life dimension of economy and trade. Economic globalization can be seen from the fact that corporations and currency moved freely across the national boundaries. The increase of trade sector, financial flows, population migration, and relocation of corporations has been speeding the process of world integration (Amal, 1996:96). This is in agreement with globalist‘s point of view saying that:
104
Volume II Edisi Kedua 2012 A truly global economy…has emerged or to be in the process of emerging, in which distinct national economies and, therefore, domestic strategies of national economic management are increasingly irrelevant. The world economy has internationalized in its principal economic actors and major agents of change truly transnational corporations, that owe allegiance to no nation state and locate wherever in the global market advantage dictates (Hirst and Thompson, 1996:1). In the fast process of economic globalization, there are some of the many forces that have created the global marketplace (Steiner and Steiner, 1994:389-390). Firstly, during the last quarter century, world gross national product grew explosively, especially in the developed countries of the world. Merchandise trade (exports and imports) expanded even more rapidly, reflecting a new demand for goods from affluent customers. A large volume of this trade was for standardized products of similar quality, such as cameras, soft drinks, watches, computers, chemicals, and drugs. To exploit this demand, companies sought competitive advantage by cutting costs and improving product quality. One important result was the growth of large corporations with worldwide operations. The competitive positions of these large corporations were enhanced by a virtual revolution in manufacturing, distribution, and product quality control. For example, the wider use of robotics, automation, and new technologies in product design facilitated cost reduction and quality improvement. Transportation costs were reduced with new technology of ship containerization and more efficient aircraft. Lower tariff barriers facilitated trade and investment. Secondly, coinciding with these developments there was a revolution in communications technology. Queen Isabella learned of Columbus‘s discovery only after five months. Europe learned of Lincoln‘s assassination in two weeks, but the world learned of Neil Armstrong‘s first step on the moon in 1.3 seconds. Today there is virtually instantaneous global coordination of productive resources. Thirdly, other forces have also facilitated the rise of great global corporations. The following have been significant: the growth of large pools of fluid capital and more efficient capital markets to employ the quickly; improvement in management techniques, such as strategic planning and quantitative decision making; more efficient inventory controls; improved techniques for product control; and understanding of how to make human resources more productive.
105
Volume II Edisi Kedua 2012 In the meantime, two of the most important catalysts for a global integrated economy (Radius Prawiro, 1998: 314). Firstly, it is technology, or more specially, information technologies, such as computers, software, and telecommunications. Indonesia recognized the importance of information technologies and in the 1970s was one of the early countries to build a national telecommunications system around satellite technologies. During the 1980s, the advances in information technologies reached a breakthrough in term of power, ease of use, and availability. The rapid advances in computers and software, and their consolidation with telecommunications led to the creation of a host of supporting technologies, from fax machines to satellite television broadcasts, corporate computer networks, and the global internet. Together, these technologies have made possible the transmission of information a scale and with a speed that was utterly inconceivable even three decades ago. Secondly, another major catalyst of globalization is political. The world witnessed a turning point in history in November 1989 when the Berlin Wall fell. With that symbolic event, the scourge of communism was exorcised in a matter of months. In all but a few strongholds, communist dictatorships gave a way to the forces of capitalism and democracy. Even the last of the communist giants, China, has accommodated market economy while officially espousing communism. The fall of communism helped unify what had been a bipolar world. With this change, for the first time it has been possible to talk about a global economy. In short, the emergence of information technologies and the fall of communism helped to create a condition that was conducive to globalization. The movement, however, depends additionally on the support of two principal agents: governments and business. Firstly, in a government-led globalization, it is assumed that all governments, including Indonesia, tend to regard globalization with some ambivalence. The duty of a government is to the nation. It is through the nation that the government obtains power and legitimacy.. Globalization, however, requires that nations conform the global conventions, which may conflict with domestic interests. These issues are particularly sensitive for a developing country like Indonesia, since many Indonesians have worried that opening the economy too widely could lead to foreign domination of the economy. Secondly, parallel to government-led globalization, the other driving force has been business. The primary vehicles for business-led globalization are trade and investment. The growing world trade 106
Volume II Edisi Kedua 2012 and investment has created a melding of international trade. According to the IMF, from 1987 to 1994, total world trade in goods and services increased from US$ 3.1 trillion to US$ 5.3 trillion. In 1994, world trade increased by 8.75 per cent over the previous year (International Monetary Fund, 1995:28,91). The trend in overseas private investment has been even more impressive. According to the United Nations Conference on Trade and Development (UNTACD), on a global basis, total overseas foreign direct investment rose to an estimated US$ 325 billion in 1995, an increase of 46 per cent over the previous year. Among all developing countries, Indonesia was among the top four recipients of foreign direct investment (The Jakarta Post, 7 June 1996).
Neo-Liberalism To a significant extent, the globalization of the world economy coincided with a renaissance of neo-liberal thinking in the Western world. The political triumph of the ‗New Right‘ in Britain and the United States in particular during the late 1970s and 1980s was achieved at the expense of Keynesianism, the first coherent philosophy of state intervention in economic life. According to the Keynesian formula, the state intervened in the economy to smooth out the business cycle, provide a degree of social equity and security, and maintain full employment. Neo-liberals, who had always favored the free play of ‗market forces‘ and a minimal role for the state in economic life, wanted to ‗roll back‘ the welfare state, in the process challenging the social-democratic consensus established in most Western states during the post-war period. Just as the ideological predilection of Western governments become more concerned with efficiency and productivity and less concerned with welfare and social justice, the power of the state to regulate he market was eroded by the forces of globalization, in particular the deregulation of finance and currency markets. The means by which domestic societies could be managed by the natural workings of the market, declined significantly. In addition, the disappearance of many traditional industries in Western economies, the effects of technological change, increased competition for bargaining power of labor. The sovereignty of capital began to reign over both the intervention behavior of the state and the collective power of organized working people.
107
Volume II Edisi Kedua 2012 The following will examine both the contemporary relevance of liberalinternationalism in explaining the present form of the world economy and the extent to which liberal ideas have shaped the world order of the 1990s. a. The nature of „free trade.‟ For neo-liberal, the principles of free trade first enunciated by Smith and Ricardo, continue to have contemporary relevance. Commercial traders should be allowed to exchange money and goods without concern for national barriers. There should be few legal constraints on international commerce, and no artificial protection or subsidies constraining the freedom to exchange. An open global market, where goods and services can pass freely across national boundaries, should be the objective of policy-makers in all nation-states. Only free trade will generate the competition that will promote the most efficient use of resources, people and capital. The cornerstone of the free trade argument is the theory of ‗comparative advantage‘, which discourages national self-sufficiency and autarky by advising states to specialize in goods and services they can produce most cheaply – their ‗factor endowments‟. They can then exchange their goods for what is produced more cheaply elsewhere. As everything is then produced most efficiently, according to the price mechanism, the production of wealth is maximized and everyone is better off. For Smith, the ‗invisible hand‘ of market forces directs every member of society in every state to the most advantageous position in the global economy. The self-interest of one becomes the general interest of all. The relevance of the theory of comparative advantage in the era of globalization has recently come under question (Strange, 1985; Daly and Cobb, 1994). The first difficulty that it faces is that it was devised at a time when there were national controls on capital movements. Ricardo and Smith assumed capital was immobile and only available for national investment. They also assumed that the capitalist was first and foremost a member of a national political community, which was the context in which he established his commercial identity: Smith‘s ‗invisible hand‘ presupposed the internal relations and bonding of community, so that the capitalist feels a ‗natural disinclination‘ to invest abroad. The second problem arises from the fact the forms of international trade have dramatically changed over recent decades. The idea of national, sovereign states trading with each other as discrete economic units is becoming an anachronism. Intra-industry or intra-firm trade dominates the manufacturing sector of the world economy. Over 40 per 108
Volume II Edisi Kedua 2012 cent of all trade is now comprised of intra-firm transactions, which are centrally managed interchanges within transnational corporations (that cross international borders) guided by a highly ‗visible hand‘, to quote Alfred Chandler: these are what Robert Reich has called a ‗global web‘ of linkages and exchanges. Intra-firm trade runs counter to the theory of comparative advantage, which advises nations to specialize in products where factor endowments provide a comparative advantage. The third challenge to the relevance of the theory of comparative advantage is the steady erosion of the rules, which have underpinned multilateral trade in the post-war era. Protectionism and neo-mercantilism are actually on the rise, particularly in Europe and North America, where declining international competitiveness has forced governments to move even further barriers away from free market principles. While there has been a reduction in barriers to trade within blocs, such as the EU and NAFTA, they have been raised between blocs. b. Sovereignty and foreign investment. The enormous volumes of unregulated investment capital liberated by the collapse of the Bretton Woods system in the early 1970s has transformed the relationship between states and markets. The resulting increase in the power of transnational capital and the diminution of national economic sovereignty is perhaps the most dramatic example of the realization of liberal economic ideas. The relationship between a nation‘s economic prosperity and the world‘s money markets is decisive. Because most states are incapable of generating sufficient endogenous wealth to finance their economic development, governments need to provide domestic economic conditions which will attract foreign investment into their countries. In a world where capital markets are globally linked and money can be electronically transferred around the world in microsecond, states are judges in terms of their comparative ‗hospitality‘ to foreign capital: that is, they must offer comparative investment climates to relatively scarce supplies of money. This gives the foreign investment community enormous influence over the course of the nation‘s economic development, and constitutes a significant diminution in the country‘s economic sovereignty. Finance markets, dominated by large banks and financial institutions, insurance companies, brokers and speculators, exist only to maximize their own wealth. There is no reason for them to act in the interests of the poor, the homeless, the infirm or those who are deprived of basic human rights by their own governments. These are irrelevant considerations, unless they impinge in some way on the ‗stability‘ of the host economy. 109
Volume II Edisi Kedua 2012 States which cede economic sovereignty to these global players in the name of free trade and commerce therefore run risk of elevating private commercial gain to the primary foreign policy objective of the state.
ANALYSIS DAN DISCUSSION Its Implication Globalization and economic liberalization as has been explained before in essence is a global economic change which has an inclination to integrate world economy and trade into a free and open global market system. This, in turn, has brought about some implications and strong pressures on Indonesia‘s government to change its economic structure into a more open economy. As a consequence, Indonesia‘s policy of economic liberalization has been directed to an integrated world economy. Therefore, it was not denied that since the 1980s Indonesia has been adopting the paradigm of market-driven development replacing the old paradigm of a state-led development. Indonesia‘s trade liberalization has proceeded rapidly since 1986, with one or two deregulation packages every year eliminating many of the non-tariff barriers. Tariffs have also been lower gradually. Liberalization in foreign investment also began in 1986 by increasing the maximum ownership to 95 per cent for export-oriented projects and in 1989 the complicated priority list was replaced with a negative list. Subsequently, relaxation of various ownership, sector and investment restrictions were undertaken, which culminated in 1994. The main elements of the last deregulation are: restriction on foreign ownership were lifted allowing 100 per cent foreign ownership in most cases; the minimum capital requirement was lifted; and the requirement to divest foreign ownership to majority Indonesian equity was eliminated. The results of the trade and investment liberalization has been a surge in foreign investment, especially in export oriented investments and a significant increase in manufactured exports. Some observers say that Indonesia‘s market-driven development supported by the high mobility of capital can have a significant impact on the economy of the country receiving the investment. This assumes that the investment pushes demand in other sector at the national level. The pessimists, however, consider the most obvious impact of this investment, especially in Indonesia, is found in the increasing quantitative aspects (number of manpower). On the other hand, aspects of quality, such as the level of skills of the 110
Volume II Edisi Kedua 2012 workers, are still problematic. Ultimately, investment emphasizes quantity over quality (Asia DHRRA Secretariat, 1998:5). It is clear to say that globalization and economic liberalization have some impacts on Indonesia‘s economy. The followings are: Firstly, Indonesian national economy is becoming more open to the global economy that is also known as the „world system.‟ This means that Indonesia is forced to integrate itself into the constellation of the global economy, i.e., the free market. Consequently, when a national economic system is integrated into the global system, not only economic aspects are affected, but also the nation‘s ideology as a part of global capitalism is integrated. Competition becomes an arena for interaction. All enterprises, weak and powerful, must be given the opportunity to compete, because competition will make their enterprise more efficient. This premise is considered to appropriately and satisfactorily fulfill the conditions for business fairness. Therefore, a competitive edge is important quality in entering the free market. However, with unequal access to capital, pressures to use a particular technology and a certain production organization, some enterprises have a greater competitive edge than others. The desired free market and transfer has the potential to marginalized some players. Second, a new production strategy has come to the fore. This new strategy attempts to exploit all possible opportunities. This is obvious in the frame of decentralizing production, where developed countries because of several considerations relocate and transfer (some or all) of their production process to Indonesia. In order to continue to benefit from the capital mobility, industrialized countries must create a condition of dependency. Thus, when capital moves it serves as a package with other supporting instruments, such as science and technology, new production organization, production management, and other new factors come along with capital penetration. Industrialized countries continue or advance their advantageous economic position on the local and national levels in Indonesia. On a small scale and in a simpler form, the process of globalization is evident in the system of production decentralization and business competition. Relocation and transfer of the production process may be seen in sub-contracting (usually in industries) or contract farming. Competition can be monitored by observing the activities of upstream
111
Volume II Edisi Kedua 2012 and downstream monopolies with huge capital that make it difficult for Indonesia‘s small industries to develop. Thirdly, multinational (MNC) and transnational corporations (TNC) have become more prominent. The activities of MNCs and TNCs are apparent in foreign investment or joint venture especially in the industrial sector. Foreign investment may now enter almost all sectors, including those traditionally held by small-scale enterprises. Even though the government of Indonesia has an explicit ―negative investment‖ list, implicitly these sectors welcome foreign investors with capital, even if the sector is managed by the people. The expansion of foreign capital holds the possibility of threatening the existence of smallscale industries. With mass production of much higher quality products due to sophisticated technology, high capital (foreign) investment ventures threaten to take control of the market segments held by people‘s enterprises. Fourthly, infrastructure, especially in information and transformation, has become more sophisticated. This enables the rapid flow of information and people through geographic, ethnic, class and other former borders. Only large scale investments can offer these. Naturally, the information which flows through these channels reflects the interests of the business. The business is also able to make predictions and anticipate change faster with control over these facilities. Meanwhile, people‘s industries are slow to react because of their limited access to information. Thus, they are slow to anticipate changes and left behind high investment ventures. Nevertheless, small-scale, or people‘s industries, cannot be free of the low of globalization and are in a relatively vulnerable position to its influences and impact. High investments have already begun moving into sectors traditionally held by small input materials, movement of big capital into various sectors can possibly threaten small-scale industries. In short, in the context of free market competition, it is doubted that small-scale industries can survive, let alone prosper and expand their enterprises. In addition, the government‘s protection is questionable considering the extent of collusion and the free market system which provides no protection. Based on the above impacts as have been explained, it is no longer doubted that as a result of globalization, many small indigenous industries/enterprises have become bankrupt. There were 30% of Indonesian small industries collapsed
during eight years,
1980-1987 (Effendi, 2001). It is also important to note that since foreign investment 112
Volume II Edisi Kedua 2012 flowed into Indonesia in 1967,
many traditional industries, particularly textile had
collapsed, because they could not compete with modern industries owned by foreign capital. It is estimated that during 1969 to 1970, Indonesia‘s traditional textile industries totaled 324.000, but in 1976-1977 they reduced drastically, and only remained 60.000. This means that globalization had made Indonesia to lose 60% of its traditional textile industries. The significant change in globalization has been on the enlarging role of world financial market. Billions of dollar have been sold per day in the currency transaction (Giddens, 1999:34). The fast widespreade of currency transaction has destabilized and shaken the monetary system in many developing countries, including Indonesia. Monetary system in Southeast Asia has undergone crises as a result of big money brokers were playing currency transactions in the global market. Monetary crises, which began in the middle of 1997 caused the economic foundations shaking and then collapsed. Modern economic sectors, such as industry, construction, and finance were destroyed. Millions of workers lost their jobs and joined in the ranks of unemployment. It is estimated that the rate of unemployment has reached 40 millions (Effendi, 2001). In short, the majority of Indonesian has become poor. NGO’s Response Globalization and economic liberalization have brought about destructive implications on many poor countries, including Indonesia on the one hand. However, on the other hand, they have strengthened the dominant role of rich countries in the global and open economic and trade system. In this context, the role of Indonesia‘s NGOs have become very important to carry out advocacy and empowerment of the poor people. Some important NGOs, namely INFID (inter-NGO Conference on IGGI Matters), LP3ES (one of the biggest NGOs in Indonesia), and LPS (Organization for Development Studies, and established by former students who called them as generation of 66) have focused their role of encouraging people‘s participation in public policy-making and the process of democratization. They also have been concerned with and made some efforts in building people‘s political consciousness to involve in forming public policies, encouraging people‘s empowerment, to strengthen the civil society, and have been concerned with environment and democratization. 113
Volume II Edisi Kedua 2012 INFID, for example, is concerned with protecting Indonesian poor people by attempting to do some measures. Firstly, it attempts to make sure that policy formulation and implementation related with the liquidity of development aid, capital investment, and trade must be made in accordance with protecting the poor people, based on peace and justice. Secondly,
it makes some efforts to create
a favorable condition supporting
democratic life through people‘s participation, access and control of development in Indonesia. LPS, which has been influenced by radical thinking, such as theory of dependency, has carried out studies on destructive impacts brought by transnational corporations, the widening gap between the rich and the poor people, and marginalizing local enterprises and ability. Therefore, it has undertaken researches to formulate alternative development strategies based on democracy and social justice. In order to do this, it has to be involved in influencing government‘s policies and political system. In the same time, it also encourages people participation and mobilization in the context of improving economic and social conditions, as well as of making consciousness of people‘s rights (Elridge, 1995). LP3ES,
as one of the biggest NGO in Indonesia, has been concerned with
research activities and policy studies related with the interest of grass-roots communities, beginning informal sectors, cooperation, small industries, and handicraft, traditional education institutions, namely religious institution, non-formal education, peasant participation, environment, child and mother health, and studies on societal and state relations. The establishment of local planning and development Bappeda) in Indonesia is recommended by a research done by LP3ES. Some of researches done by LP3Es have been presented in various discussions and seminars published by the press media. Some of studies conducted by LP3ES also have been published in the form of books.
CONCLUSION Globalization and economic liberalization, in essence, is a global economic change, which has an inclination to integrate world economy and trade into a free and an open global market system. This, in turn, entering the decade of 1980s, has put some pressures on the government of Indonesia to transform its economic structure from a state-led development into a market-driven development. The impact of such change has 114
Volume II Edisi Kedua 2012 been capital and technology inflows, as well increasing dependence of Indonesia‘s trade on the developed countries. The government of Indonesia has no longer ability to control its development. The collapse of the Suharto government, and the weakening capability of the current government in providing the Indonesian citizens with economic and social welfare , it raises a big question for the validity of economic system based on a free market or a market-driven development.
already failed. Globalization and economic liberalization
have pushed Indonesia into economic and monetary crises, as well as into a debt trap. As a consequence, unemployment, poverty, and the gap between the rich and the poor people have become increasing. Indonesia has then been plunged in a prolonged multi-dimension of crises. Consequently, foreign and domestic investors pull their capital out of the country. Many government and private enterprises have collapsed, and these have pushed thousands of workers out of jobs. In short, the government has lost its capability in meeting the public demands of improving their dimensions of life. Indonesia‘s NGOs regards that globalization and economic liberalization have paralyzed the government‘s ability in providing social and economic welfare. Moreover, the government has been sometimes looked as a tool of IMF and the Word Bank to implement their policies in the context of protecting and enlarging the interest of developed countries, and in the same time damaging the social and economic life of Indonesian poor people. Therefore, it is understood that Indonesia‘s NGOs have always been in the side of poor people. Efforts have been made by NGOs in providing advocacy and empowerment, as well as defending the poor people‘s rights and dignity.
115
Volume II Edisi Kedua 2012 BIBLIOGRAPHY Amal, Ichlasul, 1992, ―Globalisasi, Demokrasi dan Wawasan Nusantara: Perspektif Pembangunan Jangka Panjang‖, dalam Wawasan Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi, Pusat Kajian Kebudayaan Universitas Bung Hatta. Burchil, Scott, et.all., 1996, Theories of International Relations, St. Martin‘s Press, Inc., New York Effendi, Tadjuddin Noer, 2001, ― Globalisasi dan Kemiskinan di Indonesia: Peluang atau Hambatan Upaya Penanggulangan Kemiskinan,‖ Paper, First Forum INFID Eldrige, Philip J. 1995, Non-Government Organizations and Democratic Participation in Indonesia, Oxford University Press, Oxford. Giddens, Anthony, 1999, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial (terjemahan), Gramedia, Jakarta. Hirst, Paul and Grahame Thompson, 1996, Globalization in Question, Blackwell Publishers, Ltd., Cambridge International Monetary Fund, 1995. Keohane, Roberth O. and Joseph S. Nye, 1997. Power and Interdependence: World Politics in Transition, Litlle, Brown and Company (Inc.), Boston. Kindleberger, Charles P., 1973, The World in Depression, 1992-1939, University of California Press, Berkeley, California. Marcus, Irwin M., 1973, ‗Introduction: A Historical Overview of the Global Economy‖, dalam Erward W. Gondolf, Irwin M. Marcus, and James P. Dougherty (ed.), 1991, The Global Economy: Divergent Perspectives on Economic Change, Westview Press, Boulder and London. Ohmae, Kenichi, 1995, ―The End of Nation State‖, The 1995 Panglaykim Memorial Lecture, Jakarta, 4 October. Post, James E., et.al., 1996, Business and Society: Corporate Strategy, Public
Policy,
Ethics, Lynne Rienner Publisher, Boulder and London. Prawiro, Radius, 1998, Indonesia‟s Struggle for Economic Development: Pragmatism in Action, Oxford University Press, New York. Spero, Joan Edelman, 1981, The Politics of International Relations, St. Martin‘s Press, Press, New York. 116
Volume II Edisi Kedua 2012 Tussie, Diana, 1992, ―Trading in Fear?: US Hegemony and Open World Economy in Perspective‖, dalam Craig N. Murphy and Roger Tooze (eds.), The New International Political Economy, Lynne Riener Publisher, Boulder. World Bank, 1993, The East Miracle: Economic Growth and Public Policy, Oxford University Press, Oxford. , 1997, World Development Report, Oxford University Press, Inc. New York.
117
Volume II Edisi Kedua 2012 KETERLIBATAN PIHAK ASING DAN RESPON INDONESIA : PEMILU DAN PERMINYAKAN
Oleh : Fatkurrohman,
ABSTRACT This article focuses on involving of foreign actors in general election 2009 and oil sector in Indonesia. The strong influence of globalization eases external parties to intervene a country in particular Indonesia in designing democratization suitable with its will. One of the most important pieces of evidence related to foreign intervention in Indonesia is foreign aid. Besides that, election training is also part of important things in creating new hegemony in developing country. Both foreign aid and election training made Indonesia dependent on desire of foreign. Foreign oil producer companies dominated over oil sector in Indonesia. One of the biggest companies is Chevron has controlled about 51, 42 percent on oil total in Indonesia. Pertamina as a official Indonesian oil producer has just ruled approximately 4, 42 percent. Keywords: Indonesia, general election, oil, foreign aid and election training.
PENDAHULUAN Pemilu (Pemilihan Umum) merupakan representasi dari munculnya spirit demokrasi dalam sebuah negara. Pemilu muncul ketika masyarakat sebuah negara membutuhkan media untuk menyalurkan segala bentuk aspirasinya. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang masyarakatnya sangat membutuhkan kran demokrasi mengalir setelah hampir tiga dekade dalam cengkraman rejim Soeharto. Momentum itu muncul sejak 21 Mei 1998 yang merupakan simbol jatuhnya rezim Soeharto dan munculnya kebebasan mengemukakan segala bentuk pemikiran dalam konteks berbangsa dan bernegara1. Pemilu 1999 adalah wujud konkret dari kebebasan masyarakat Indonesia hal itu bisa dilihat dari banyaknya partai politik yang muncul di era tersebut. Pada tahun 1999, partai politik yang muncul hampir mencapai angka 90-an lebih, tetapai ketika dilakukan Olle Tornquist, Dynamics of Indonesian Democratisation, Third Quarterly, Vol.21, No 3, 2000, p. 384-385. 1
118
Volume II Edisi Kedua 2012 verifikasi yang berhak mengikuti pemilu adalah 48 partai politik. Pada Pemilu 2004, banyak partai politik yang membubarkan diri karena kekurangan dana dan ada juga yang melakukan penyatuan dengan parpol lain. Kondisi ini mengakibatkan terjadainya penurunan partai politik peserta Pemilu yang awalnya 48 menjadi 24 partai politik 2. Bergulirnya reformasi di Indonesia pada tahun 1998 tentunya tidak bisa dilepasakan dari faktor lingkungan eksternal (dunia internasiona) hal ini terjadi karena Indonesia merupakan negara yang selalu membangun hubungan dengan negara lain dalam konteks globalisasi. Terkait dengan persinggunganya dengan negara lain maka tidak mengherankan jika banyak aktor-aktor asing baik berupa negara atau INGO (International Non Government organization) yang ikut terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Banyak uang jutaan dolar Amerika Serikat yang mengalir dari negara asing atau INGO tersebut ke Indonesia dalam dua kali Pemilu pasca reformasi di Indonesia. Mengapa pihak asing ikut terlibat (intervensi) dalam pemilu di Indonesia khusunya Pemilu 2009?. Bagaimana bentuk keterlibatan asing dalam Pemilu 2009 di Indonesia?. Menurut argumnetasi penulis keterlibatan asing dalam pemilu-pemilu di Indonesia khusunya dalam Pemilu 2009 bertujuan untuk mengendalikan Indonesia agar melakukan demokrasi sesuai kepentingan mereka (kooptasi). Teknik yang digunakanya untuk mencapai tujuanya tersebut adalah dengan mengucurkan dana ke LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) lokal dan pemberian pelatihan tentang Pemilu. Untuk mendukung argumetasi tersebut, penulis akan menggunkaan konsep trade off (rational choice) dari Axelrode (1987)3. Axelrode menggunakan kalkulasi untung rugi sebagai sebuah pilihan yang rasional. Ketika aktor membuat sebuah pilihan harus menguntungkan bagi dirinya tentunya dengan cost yang serendah-rendahnya. Biaya (cost) yang sudah dikeluarkan harus kembali dengan terpenuhinya kepentingan mereka. Jika ditarik ke pokok persoalan aktor-aktor asing yang ikut intervensi terhadap Pemilu di Indonesia maka aktor-aktor tersebut pasti memiliki kepentingan yang tentunya harus menguntungkan mereka.
Kepentingan-kepentingan mereka adalah salah satunya
memaksakan masuknya nilai-nilai demokrasi Indonesia yang secara tidak langsung terkooptasinya Indonesia sebagai sebuah negara.
Leonard C.Sebastian, The Paradox of Indonesian Democracy, Contemporary South East Asia, Vol.26,No.2, 2004, p. 260-261. 3 http://www.bsos.umd.edu/gvpt/oppenheimer/research/rct.pdf 2
119
Volume II Edisi Kedua 2012 Konsep
berikutnya
adalah
konsep
globalisasi
khususnya
perspektif
hyperglobalist. David Held et al memberikan penjelasan terkait hyperglobalist as an approach which sees globalization as a new epoch in human history. This new epoch is characterized by the declining relevance and authority of nation-states, brought about largely through the economic logic of a global market 4. Secara spesifik bisa diartikan bahwa aktor-aktor internasional mampu menggerakkan perubahan dalam domestik sebuah negara Munculnya globalisasi yang ditandai dari kemajuan teknologi 5 komunikasi, transportasi dan informasi menurut Friedman menunjukkan dunia adalah datar (flat). Pandangan kelompok hiperglobalis ini menunjukkan bentuknya ketika kita dihadapkan pada fenomena kemajuan teknologi saat ini. Ada tiga hal yang terkait dengan kemajuan teknologi. Pertama adalah kemajuan teknologi di bidang transportasi, kedua kemajuan teknologi di bidang komunikasi dan yang terakhir adalah kemajuan teknologi informasi. Teknologi transportasi yang mengalami kemajuan yang sangat pesat bisa kita lihat dalam dunia penerbangan, kereta api ekpress (maglev), dan kapal laut. Pada tahun 1950-1960-an dunia penerbangan tidak secepat dan seefektif saat ini. Transformasi teknologi transportasi yang canggih bisa kita lihat awal 1980-an dan 1990-an. Saat ini penerbangan antar negara bahkan antar benua bisa ditempuh dalam hitungan jam, itu juga terjadi di level transportasi yang lain. Di bidang komunikasi juga mengalami hal yang sama. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi mengalami perubahan yang signifikan pada tahun 1980-1990-an yang menggunakan kecanggihan satelit serta telepon tanpa kabel (wireless) yang bisa kita lihat perpindahan pengunaan telepon analog menuju handphone. Ketiga, kemajuan teknologi informasi ditandai dengan mulai ditinggalkannya media klasik berupa surat kabar ke informasi online (internet). Fakta-fakta kemajuan teknologi transportasi, komunikasi dan informasi tentunya sangat berpengaruh sekali dalam kaitanya dengan hubungan antar negara. Hal ini menyebabkan hubungan antar negara bisa sangat mudah dan bahkan tanpa batas (borderless). Ketika hubungan antara satu negara dengan negara yang lain tidak memiliki 4David
Held, Anthony McGrew, David Goldblatt and Jonathan Perraton, Global Transformations : Politics, Economics and Culture, Stanford University Press, Stanford, 1999, p. 32-86. 5 Guillermo De La Dehesa, What Do We Know About Globalization?: Issue of poverty and Income Distribution, Blackwell Publishing Ltd, Victoria, 2007, p. 4
120
Volume II Edisi Kedua 2012 batas apapun maka kejadian yang terjadi di salah satu negara di dunia ini akan diketahui oleh negara yang lain. Kondisi tidak adanya batas antara satu negara dengan negara yang lain inilah yang kemudian menjadi pemicu (trigger) bagi masuknya ideologi atau pemikiran di luar negeri yang kemudian masuk ke negara lain (Indonesia). Derasnya gelombang demokrasi yang disuarakan oleh negara-negara yang sudah lama menggunakan sistem demokrasi sebagai pilihan dalam kehidupan berbangasa dan bernegara telah berimbas
ke
indonesia
dengan
menggunakan
kecanggihan
teknologi.
Dengan
menggunakan kecanggihan teknologi ideologi demokrasi mudah diakses oleh masyarakat Indonesia sehingga masayrakat Indoenesia tidak segan-segan menggunakan kata demokrasi dalam setiap perbincangan dan bahkan dalang lingkup bernegara. Derasnya arus demokrasi juga menjadi salah satu penyebab tumbangnya mantan Presiden Soeharto yang selama tiga dekade telah memimpin Indonesia dengan ‖tangan besi‖6. Demokrasi kemudian bergulir pada tahap berikutnya dengan dilaksanakanya pemilu secara langsung yang disambut sangat meriah oleh semua elemen masyarakat Indonesia pada tahun 1999. Perjalanan berikutnya adalah dilakukanya pencabutan segala bentuk undang-undang kebebasan pers, berserikat dan berkumpul, dan kebebasan untuk menyurakan pendapat melalui demonstrasi yang selama tiga dekade sangat dilarang oleh pemerintah Soeharto7. Euforia demokrasi di Indonesia yang ditanggapi secara masif memberikan efek yang sangat luar biasa bagi perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya sembuh dari krisis ekonomi. Kondisi ekonomi yang masih memburuk di awal Pemilu 1999 yang kemudian menuntun Gus Dur-Megawati sebagai presiden dan wakil presiden tidak bisa berbuat banyak dalam menyelesaikan perekonomian yang akhirnya dihentikan parlemen pada tahun 2001. Pada tahun 2001, Megawati melanjutkan Pemerintahan Gus Dur yang berakhir pada tahun 2004. Masa pemerintahan Megawati yang dianggap masayrakat Indonesia tidak bisa membawa perubahan yang berarti bagi pembangunan ekonomi politik Indonesia mengakibtkan kekalahan Megawati-Hasyim Muzadi pada putaran kedua dengang pasangan SBY-Kalla. Sehingga hal ini mengantarkan pasangan SBY-Kalla menuju karpet merah periode 2004-2009.
Adam Schawarz and Jonathan Paris, Politics of Post-Soeharto Indonesia,Council Foreign Relations Press, New York, 1999, p.1 7 Steven Drakeley, The History of Indonesia, Greenwood Press, Connecticut, 2005, p. 171 6
121
Volume II Edisi Kedua 2012 Penyelanggaraan dan mahalnya demokrasi yang menguras anggaran APBN ternyata tidak mampu mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini tentunya sangat terkait erat dengan desain demokrasi yang diberikan oleh pihak asing tidak serta merta sama dengan negara asalanya (Amerika Serikat). Ada hal yang dipaksakan oleh pihak asing agar demokrasi Indonesia bisa berjalan sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan banyak pengamat mengatakan tindakan asing yang melakukan intervensi terhadap demokrasi di Indonesia yang memaksakan demokrasi sesuai dengan kepentingan mereka (pemilihan secara langsung) telah merusak kedaulatan dan martabat Indonesia sebagai negara yang independen. Berikut penulis gambarakan data-data tentang keterlibatan asing dalam mendesain demokrasi Indonesia yang tentunya harus sesuai dengan keinginan mereka. Pihak asing memiliki banyak teknik atau cara agar demokrasi bisa berjalan sesuai dengan kehendak mereka. Teknik-teknik asing yang digunakan untuk mengintervensi kebebasan Indonesia sebagai negara bisa dilihat dengan jelas di depan mata kita. Teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut.
Teknik Pihak Asing Pihak-pihak asing yang terlibat dalam mendesain demokrasi di Indonesia yang bertujuan mengebiri posisi tawar Indonesia sebagai sebuah negara yang independen. Pihak-pihak asing yang penulis gambarkan adalah bisa berupa aktor negara maupun lembaga non pemerintah internasional (INGO) yang berusaha memasukkan nilai-nilai demokrasi sesuai dengan desain (kepentingan) mereka. Pihak-pihak asing itu diantaranya adalah IFES (International Foundation For Electoral Systems), IRI (International Republican Institute), NDI (National Democratic Institute). Lembaga-lembaga tersebut adalah berasal dari Amerika Serikat, yang pendanaanya sebagian besar dari USAID (United States Agency For International Development) dan UNDP (United Nations Development Programme)8 Selain lembaga-lembaga non pemerintah tersebut juga ada aktor negara secara utuh seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Negara-negara tersebut berusaha keras mendemokratisasikan Indonesia dalam bingkai hubungan bilateral antara mereka. http://www.thejakartapost.com/news/2011/04/19/ngos-demand-appraisal-foreignaid.html 8
122
Volume II Edisi Kedua 2012 Jika aktor negara bergerak di level hubungan bilateral antar negara yang akan memberi bantuan ke Indonesia dengan syarat harus menjalankan demokrasi secara penuh, misalnya AS akan memberikan bantuan jutaan dolar jika Inonesia memberi ruang demokrasi bagi masyarakatanya, maka aktor INGO (International Non-Government Organization) seperti IFES, IRI, NDI, Carter Centre akan bergerak dalam pengamatan, pelatihan, quick qount, pembuatan manual modul untuk TPS dan ragam lain yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu yang menggandeng LSM nasional seperti LP3ES dan CETRO, UNFREL, KIPP, JAMMPI, Rector Forum9. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat nasional yang telah digandeng oleh INGO tentunya harus melaksanankan standar pengawasan dan mekanisme pemilu sesuai dengan standar mereka. Standar mereka tentunya akan berkiblat pada Amerika Serikat. Model standar mereka meliputi demokrasi prosedural, yakni pemilihan umum secara langsung. Untuk memperlancar intervensi pihak asing dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia, pihak asing (UNDP) telah mengucurkan dana sebesar US$ 200 juta pada Pemilu 1999 dan US$ 32 juta untuk pemilu 200410. Pada Pemilu 2009, USAID telah mengucurkan dana sekitar US$ 15 juta dan pemerintah Kanada membantu sebesar US$ 2,1 juta melalui skema Multi Donor Program UNDP (MDP-UNDP). Menurut kalkulasi BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), kekurangan dana tambahan pemilu sebesar US$ 12,9 juta akan dicarikan dari donor asing. Banyaknya dana asing yang mengucur ke Indonesia melalui pemilu menjadikan tanda tanya besar bagi independensi sebuah negara. Tidak hanya dana para pengamat atau pakar tentang Pemilu seperti William Liddle dan Jimmy Carter juga memberikan andil yang sangat besar bagi pengaturan pemilu di Indonesia. Standar demokrasi khususnya pelaksanaan Pemilu akan lebih ditentukan oleh tokoh-tokoh seperti Liddle dan Carter daripada oleh masyarakat Indonesia sendiri 11. Dibalik bantuan pendanaan dan tokoh-tokoh tentunya memiliki hidden agenda yakni memaksakan desain demokrasi versi mereka (demokrasi bergaya AS) dan mengeliminir posisi Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.
http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/18/foreign-observers-2009elections.html 10 http://www.embassyofindonesia.org/news/2008/07/news038.htm 9
11
Koirudin, Kilas Balik Pemilu Presiden 2004, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, p. 99.
123
Volume II Edisi Kedua 2012 Dalih Demokrasi Tekanan perlunya demokrasi yang dibungkus dalam selebrasi lima tahunan dengan wajah Pemilu adalah dalih bagi pihak asing untuk melakukan intervensi terhadap sebuah negara (Indonesia). Intervensi atau keterlibatan asing semakin menampakkan bentuknya ketika pemilu betul-betul dilaksanakan. Fakta konkret bagaimana Indonesia tidak berdaya menghadapi tekanan dari pihak asing adalah biaya yang sangat besar yang harus dikeluarkan pihak negara untuk membiayayi pemilu. Kelemahan Indonesia dalam pembiayaan dan pengetahuan tentang Pemilu yang langsung betul-betul dimanfaatkan oleh pihak asing baik INGO maupun negara (AS). Begitu kuatnya pengaruh asing dalam mengatur demokrasi di Indonesia, bisa kita lihat dari dua indikator. Pertama adalah dekatnya letak Tabulasi Nasional Pemilu 2004 (TNP) yang berdampingan dengan markas Carter Centre dan NDI (National Democratic Institute) yang berasal dari Amerika Serikat di Hotel Borobudur. Kedua adalah untuk konferensi pres juga dilakukan di tempat yang sama yakni Hotel Borobudur 12. Intervensi asing terhadap Indonesia sebetulnya sudah mulai mencuat sejak adanya perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Perubahan-perubahan yang ada dalam UUD 1945 tersebut sebetulnya sudah ditangkap oleh salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Amin Aryoso, yang menolak keras adanya perubahan UUD 1945 tersebut 13. Keterlibatan pihak asing dalam masalah domestik Indonesia sebetulnya hal yang sangat disayangkan. Untuk itu sebetulnya dibutuhkan langkah yang cermat dalam menanggulangi unsur-unsur yang dapat merugikan bangsa Indonesia. Posisi yang lemah bangsa Indonesia di mata negara lain khususnya Amerika Serikat menjadikan Indonesia sangat lemah dalam menolak setiap bantuan-bantuan yang bersifat merugikan kepentingan nasional sebuah negara. Munculnya bantuan-bantuan asing dalam bungkus demokrasi memberikan sinyal ke Indonesia bahwa hal itu perlu dan baik. Tetapi ketika dengan menerima bantuan tersebut kemudian menjadikan Indonesia mengikuti setiap permintaan negara pemberi bantuan maka hal tersebut sama halnya menukar martabat sebuah bangsa. Pihak asing akan menggunakan segala cara dalam mewujudkan kepentingan dalam
http://aceproject.org/ero-en/regions/asia/ID/indonesia-final-report-legislativeelections-1 13 http://journal.uii.ac.id/index.php/jurnal-fakultas-hukum/article/viewFile/495/408 12
124
Volume II Edisi Kedua 2012 ‖mengatur‖ sebuah negara yang dibantu. Bukti-bukti keterlibatan asing di Indonesia bisa kita lihat dalam pemilu dan amandemen konstitusi negara.
Perminyakan Dalam konteks ini, penulis akan mengupas tuntas adanya keuntungan besar oleh pihak asing dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia khususnya mengenai minyak bumi yang dikategorikan sebagai sumber daya alam yang tidak bisa diperbaruhi (unrenewable). Sebetulnya, Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam. Begitu kayanya Indonesia bahkan Koes Plus menggambarkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Berikut penulis kutipkan lirik lagu Koes Plus tersebut 14: Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu Orang bilang tanah kita tanah surga Tongkat kayu dan batu jadi tanaman Apa yang dikatakan oleh Koes Plus itu memang benar, tetapi itu terjadi di era monarki Indonesia. Bahkan karena faktor inilah yang kemudian menjadikan bangsa-bangsa Eropa kepincut untuk mengeksploitasi Indonesia mulai dari Portugis, Belanda, dan bahkan Jepang. Mental inlander15 yang melekat di elit-elit nasional menjadikan wajah Indonesia semakin berlumuran dengan peluh-peluh kegetiran karena di bawah sub ordinasi pihak asing. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari lemahnya Undang-Undang Nomer 77 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Ada dua hal yang penulis soroti pertama mengenai UU tersebut tidak memuat satu ketentuan pun yang menyebutkan Kontrak Karya sewaktu-waktu bisa diubah jika bertentangan dengan UU itu sendiri. Kedua, Kontrak Karya dilakukan oleh korporasi asing atau swasta lain dengan pemerintah Indonesia secara langsung16.
Dikutip dari Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia, Penerbit PPSK Press, Yogyakarta, 2008, p. 195 15 Secara harfiah berarti pribumi atau anak negeri. Di era penjajahan dilekatkan kepada anak-anak negara terjajah sebagai sosok penakut dan pecundang. 16 Muhammad Amien Rais, op.cit.p. 196 14
125
Volume II Edisi Kedua 2012 Lemahnya UU No 77 Tahun 1967 tersebut membuat gerak langkah maju Pertamina menjadi agak tersendat. Pertamina yang didirikan oleh pemerintah pada awal Oktober 1957 dan menempatkan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo sebagai leader dalam perusahaan plat merah tersebut. Kemudian pada tanggal 10 Desember 1957, PT Pertamina disahkan dengan surat keputusan Menteri Kehakiman RI No. J.A.5/32/11 tanggal 3 April 1958. Kejayaan Pertamina memang pernah menempatkan Pertamina sebagai perusahaan milik negara yang memiliki income terbesar di antara BUMN-BUMN yang lain. Bahkan begitu suksesnya Pertamina, Petronas, BUMN milik Malaysia, pernah belajar dari Pertamina tentang bagaimana bisa menjadi BUMN yang kuat dan handal. Tetapi itu adalah cerita lama ketika Pertamina masih naik daun, sekarang dengan adanya UU tentang pertambangan yang sangat pro asing, Pertamina tidak ubahnya seperti penonton di negeri sendiri. Aktor-aktor di luar Pertamina yang ikut bergabung dalam eksplorasi pertambangan serta gas alam harus puas dengan perolehan yang tidak terlalu signifikan. Hal ini tentunya merupakan imbas dari dibukanya aktor asing di Indonesia. Hal ini juga bisa dipahami sebagi konsekuensi dari globalisasi yang tengah melanda dunia. Dengan dibukanya kran globalisasi maka mau tidak mau kompetisi antar aktor begitu sangat kuat. Ironisnya dalam hal ini menempati posisi yang tidak menggembirakan. Hal ini, bisa kita lihat dalam tabel berikut ini. Pada tabel yang penulis ambil pada tahun 2005 ini menunjukkan posisi Pertamina pada urutan nomor 6 dengan produksi minyak 4.4 % (2004) dan 4.42 % (2005).
126
Volume II Edisi Kedua 2012 Major Oil Producer in Indonesia (2004-2005)
Source : http://don85.wordpress.com/2007/05/31/outlook-minyak-dan-gas-indonesia-2006/
Berangkat dari tabel tersebut posisi top oil producer di Indonesia ditempati oleh Chevron Pacific Indonesia dengan 507.000 barel per hari (46.3%) pada tahun 2004 dan pada tahun 2005, Chevron bisa menghasilkan peningkatan menjadi 562.700 (51.42 %). Posisi kedua ditempati oleh Total dengan produksi 81.800 (7.5%) pada tahun 2004 dan 81.800 (7.47 %) pada tahun 2005. Posisi ketiga ditempati CNOOC dari China dengan produksi pada tahun 2004 81.500 (7.4%) dan pada tahun 2005 menghasilkan dengan produksi tetap yakni 81.500 (7.45%). Pada posisi keempat ditempati Unocal dengan kapasitas produksi pada tahun 2004 mencapai 55.700 (5.1%) dan pada tahun 2005 tidak berproduksi karena dibeli oleh Chevron. Posisi kelima ditempati Exspan dengan kapasitas produksi 54.000 (4.9%) pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 dengan produksi tetap 54.000 (4.93%). Posisi berikutnya adalah Pertamina dengan kapasitas produksi pada tahun 127
Volume II Edisi Kedua 2012 2004 adalah 48.400 (4.4%) barel per hari dan pada tahun 2005 adalah 48.400 (4.42%) barel per hari. Amin Rais (2008) dalam bukunya yang berjudul ―Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia‖ yang mengutip dari Hendri Saparini mengungkapkan bahwa Pertamina hanya bisa berproduksi sekitar 109 ribu barel dan Chevron bisa berproduksi sekitar 450 ribu barel per hari. Dan hampir 90 % dari 120 kontrak production sharing dikuasai oleh korporasi asing17. Fakta ini tentunya mengantarkan kepada kita bahwa dengan katalisator globalisasi dan Undang-Undang pertambangan yang sangat longgar dan lemahnya identitas nasional membuat pemasukan terhadap negara menjadi sangat berkurang. Bahkan selain persoalan yang membelit produksi Pertamina dan kuatnya Chevron di Indonesia yang terus secara ekspoltatif mensuras cadangan minyak di Indonesia diprediksikan dengan cadangan minyak Indonesia yang diperkirakan 4 milyar barel, maka minyak Indonesia akan habis dalam waktu 10 tahun ke depan. Hal ini tentunya dengan asumsi bahwa produksi minyak Indonesia hádala 1.061.000 barel per hari. Berikut penulis paparkan posisi produksi Indonesia dengan negara-negara lain.
17
Ibid, p. 197.
128
Volume II Edisi Kedua 2012 Daftar Negara Penghasil Minyak se-Dunia Data 2005
Source : http://don85.wordpress.com/2007/05/31/outlook-minyak-dan-gas-indonesia-2006 Berpijak dari tabel tersebut bisa kita lihat bahwa cadangan minyak Indonesia mencapai 4.600.000.000 dengan kapasitas produksi 1.061.000. Hal ini tentunya sangat jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Aljazair (1.373.000) dan Angola (1.600.000). Fakta bahwa Indonesia yang hanya dengan kapasitas produksi sekitar 1 juta barel per hari ini masih dihadapkan dengan masalah model eksplorasi minyak yang sangat jauh tercapainya kepentingan Indonesia. Dominasi kekuatan asing yang sangat menggurita dalam perminyakan semakin merontokkan kepentingan yang pro dengan semangat kerakyataan. Hegemoni yang sangat kuat aktor asing terhadap Indonesia ternyata juga terjadi di Kontrak Production Sharing (KPS). Kontrak yang secara sekilas bermanfaat bagi Indonesia dengan komposisi 85%:15% ternyata sangat merugikan Indonesia. Hal ini terjadi karena Indonesia harus membayar biaya produksi ke korporasi asing sebagai kontraktor, baru setelah itu hasil bersih dibagi dengan rasio Indonesia 85 % dan kontraktor 15%.
129
Volume II Edisi Kedua 2012 Menurut kalkulasi Kwik Kian Gie, mantan ketua Bapenas dan menteri keuangan, ternyata Indonesia hanya memperoleh 58,98% sedangkan kontraktor production sharing 41,02%18. Keterpurukan perusahaan minyak Indonesia yang diwakili oleh Pertamina dan dominasi pihak asing terhadap minyak bumi Indonesia semakin memantapkan langkah Indonesia ke arah jurang kemelaratan. Fakta lain yang mengejutkan seperti yang dikatakan oleh Drajad H. Wibowo adalah dengan diserahkanya blok Cepu ke Exxon Mobil yang memiliki valuasi deposit migas sekitar US $ 40 miliar19. Hal ini tentunya semakin memperkuat fakta bahwa Pertamina seolah-olah telah kehilangan jati dirinya sebagai pengemban aspirasi masyarakat.
Pengaruhnya Bagi Indonesia Hegemoni asing terhadap kasus perminyakan dan desain demokrasi di Indonesia mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi ambruknya kedaulatan (sovereignty) Indonesia. Hal ini juga tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran besar globalisasi semakin menemukan bentuknya akhir-akhir ini. Pandangan kelompok hiperglobalis yang menyatakan bahwa negara akan kehilangan kontrolnya akibat adanya globalisasi semakin memperkuat fakta bahwa derasnya aktor-aktor asing yang masuk ke sebuah negara, dalam hal ini Indonesia sudah tidak bisa dielakkan lagi. Hegemoni kasus perminyakan yang ada di Indonesia dan masuknya agenda asing dalam ‖mendikte‖ Indonesia khususnya masalah demokrasi dan UUD‘45 adalah bukti nyata dari pandangan hiperglobalis di Indonesia. Ketika hal ini terjadi maka yang muncul adalah fenomena yang menurut pandangan Amien Rais disebut sebagai korporatokrasi. Korporatokrasi sendiri memiliki tujuh pilar yang terdiri dari korporasi besar, pemerintah, perbankan dan lembaga keuangan internasional, militer, media massa, intelektual pengabdi kekuasaan, dan elit nasional bermental inlander. Korprasi besar akan bersinggungan dengan mafia ekonomi yang terkena penyakit pathology of profit yaitu penyakit mencari untung secara memababi buta. Pemerintah dimaknai sebagai pemerintahan yang tunduk terhadap kepentingan ekonomi korporasi besar. Perbankan dan lembaga keuangan internasional akan meliputi IMF dan Bank Dunia Ibid p. 199. Edrijiani Azwaldi, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, Penerbit MIzan, 2008, p. 26. Dalam Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, W.W. Norton&Company, Inc, New York, 2006. 18 19
130
Volume II Edisi Kedua 2012 yang merupakan hasil dari pertemuan Bretton Woods di AS. Kemudian militer, menitikberatkan pada relasi yang kuat antara militer AS dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. Media massa berfungsi sebagai lemabga yang menyuarakan kepentingan korporasi besar. Berikutnya adalah intelektual yang mengabdi pada kekuasaan. Dalam hal ini memfokuskan pada mercenary intellectuals (inteletual bayaran bagi kepentingan korporat). Dan yang terakhir adalah elit nasional yang bermental inlander. Dalam hal ini adalah tunduknya elit terhadap kepentingan asing 20. Fenomena korporatokrasi ini menjangkiti Indonesia sehingga jika tidak segera ditangani secara serius akan memunculkan state capture corruption, yakni korupsi yang menyandera negara dari semua level. Fenomena ini tentunya sangat berbahaya bagi eksistensi sebuah negara. Jika kita amati secara seksama model kepemimpinan dari Soeharto, Habibie, Megawati, dan SBY, pemerintah telah terjebak dalam desain asing. Korporasi minyak AS dan desain demokrasi di Indonesia dan adanya amandemen terhadap UUD‘45 adalah fakta yang menyakitkan bagi Indonesia karena Indonesia seolah telah menjadi ‖objek‖ bagi kekuasaan asing. Fakta ini mengakibatkan munculnya pengabdian pemerintah kepada pihak asing dan bukan kepada masyarkat Indonesia. Fakta ini akhirnya berhilir pada hilangnya kedaulatan negara dan lenyapnya eksistensi sebuah negara, yang mestinya bisa tegak berdiri dengan kepala tegak di tengah arus globalisasi.
Respon Indonesia Menyikapi adanya ketimpangan yang mengakibatkan terjadinya hegemoni terhadap kedaulatan Indonesia yang melingkupi perminyakan dan politik-hukum sehingga mengakibatkan state capture corruption perlu direspon secara cepat. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus melakukan kerja-kerja konkret dalam mengangkat wajah Indonesia kepermukaan. Dalam arti yang lebih tegas, pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan-kebijakan konkret dalam mengatasi krisis kedaulatan yang telah melanda Indonesia. Dalam hal ini banyak hal yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan counter terhadap intervensi dan hegemoni asing di Indonesia. Pertama adalah bisa menggunakan teori ketergantungan yang dimotori oleh Andre Gunder Frank pada tahun 1960, yakni
20
Amin Rais, op.cit, p 81-173
131
Volume II Edisi Kedua 2012 dengan cara melakukan revolusi sosial secara global. Dengan menggunakan revolusi sosial ini bisa dijadikan salah satu pijakan dalam melawan hegemoni asing. Revolusi sosial secara global adalah dengan cara menggandeng para negara yang tidak setuju terhadap kebijakan-kebijakan politik-ekonomi negara hegemon dan kemudian membnetuk poros baru. Poros baru ini diharapkan bisa menjadi sebuah solusi bagi negaranegara yang masuk dalam poros tersebut bisa melakukan kerja riil bagi pembangunan negara mereka. Pandangan berikutnya adalah masih satu irama dengan tokoh yang ada di gerbong teori ketergantungan. Tokoh tersebut adalah Henrique Cardoso pada tahun 1979. Cardoso berpandangan bahwa untuk bisa melepaskan jeratan dari hegemoni asing maka jalan yang terbaik adalah dengan melakukan pembangunan yang independen dan tidak perlu melakukan revolusi sosial. Ketika pembangunan berjalan maka menurut Cardoso tidak perlu melakukan revolusi. Untuk melakukan pembangunan yang independen diperlukan kerja yang ekstra. Figur-figur yang bisa kita masukkan dalam konteks ini adalah Morales dan Chaves. Artinya pembangunan ekonomi yang digalakkan adalah pembangunan yang terlepas dari kooptasi pihak asing. Dan sejarah membuktikkan bahwa model pembangunan seperti hal tersebut ternyata juga bisa berhasil meski tanpa uluran tangan negara lain. Relasi antara negara
kaya-miskin,
center-hinterland
(pedalaman),
metropolitan-satellite,
center-
periphery, akan mewarnai panggung politik ekonomi internasional jika tidak ada upaya konkret dari pihak pemerintah maka posisi tersebut akan terus mewarnai panggung internasional.21 Untuk itu diperlukan upaya yang konkret dari pihak negara ketiga untuk bisa melepaskan cengkraman dari negara maju (center). Untuk bisa menjembatani hal tersebut maka ada cara ketiga yang harus dikerjakan oleh negara ketiga untuk bisa mewujudkan kedaulatan secara utuh. Hans J. Morgenthau, mengatakan perlunya kekuatan nasional (national power) untuk mewujudkan kedaulatan tersebut. Morgenthau memberikan 9 kekuatan nasional. Aspek-aspek tersebut adalah geografi, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiapsiagaan militer, penduduk, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi, dan kualitas pemerintah 22. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, p.91 22 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations, Alfred A. Knopf, New York, 1978, p.118121. 21
132
Volume II Edisi Kedua 2012 Kekuatan-kekuatan nasional tersebut harus dioptimalkan secara baik agar terwujud kedaulatan yang betul-betul nyata bukan kedaulatan yang semu. Untuk itu harus ada agenda yang harus dilakukan oleh pihak pemerintah baik melalui cara yang dipakai Cardoso atau Gunder Frank, maupun mengikuti pandangan Morgenthau dalam mengoptimalisasikan kekuatan nasional. Untuk membangun spirit dalam mewujudkan keinginan tersebut maka kata-kata Bung Karno for a fighting nation, there is no journey‟s end harus perlu diimplementasikan.
Kesimpulan Hegemoni asing yang meliputi bidang perminyakan dan politik-hukum telah menempatkan Indonesia dalam posisi yang terpuruk. Hilangnya substansi kedaulatan Indonesia adalah bentuk dari keterpurukan tersebut. Hal ini tentunya berpengaruh besar bagi eksistensi Indonesia ke depan. Untuk itu perlu direspon secara baik oleh Indonesia untuk menegakkan kedaulatan kembali ke substansi awal yakni menjadi negara yang bisa menentukan pilihan sendiri tanpa ada ―dikte‖ dari pihak atau negara yang lain. Preskripsi dari Cardoso, Gander Frank, dan Morgenthau perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius dari para elit-elit Indonesia. Khususnya kepada para calon presiden yang akan bertarung pada pemilihan presiden (pilpres) yang akan dilangsungkan pada bulan Juni pada tahun 2009. Agenda untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia ini harus betul-betul diimplementasikan oleh presiden yang nantinya akan menjalankan roda pemerintahan 2009-2014.
133
Volume II Edisi Kedua 2012 Daftar Pustaka Buku-Buku David Held,David, dan McGrew, Anthony, Goldblatt, David Perraton, Jonathan, (1999 Global Transformations : Politics, Economics and Culture, Stanford University Press Dehesa, De La, Guillermo, (2007) What Do We Know About Globalization?: Issue of poverty and Income Distribution, Blackwell Publishing Ltd Drakeley, Steven, (2005) The History of Indonesia, Greenwood Press Koirudin, (2004) Kilas Balik Pemilu Presiden 2004, Pustaka Pelajar Schawarz, Adam and Paris,Jonathan, (1999) Politics of Post-Soeharto Indonesia,Council Foreign Relations Press
Jurnal Sebastian, C, Leonard, (2004), The Paradox of Indonesian Democracy, Contemporary South East Asia, Vol.26,No.2 : 260-261. Tornquist, Olle, (2000) , Dynamics of Indonesian Democratisation, Third Quarterly, Vol.21, No 3 : 384-385.
Akses Internet http://aceproject.org/ero-en/regions/asia/ID/indonesia-final-report-legislative-elections-1 http://journal.uii.ac.id/index.php/jurnalfakultashukum/article/viewFile/49408 http://www.thejakartapost.com/news/2011/04/19/ngos-demand-appraisal-foreign-aid.html http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/18/foreign-observers-2009-elections.html http://www.embassyofindonesia.org/news/2008/07/news038.htm http://www.bsos.umd.edu/gvpt/oppenheimer/research/rct.pdf
134
Volume II Edisi Kedua 2012 KEGAGALAN GLOBALISASI NEOLIBERALISME
Oleh: Aswin Baharuddin
Abstract Globalization has brought neoliberalism becoming
a global mainstream of
ideology pursuing growth and consumption. Theoretically, it is designed to bring the peoples of the world into prosperity, but in practice, life of the Third World‟s peoples have been getting more difficult and worsening. On the contrary, the small group of world‟s peoples who live in the developed countries have been prosperous. Globalization of neoliberalism has devided the world into the have and the have not, and in politics it means the have who controll means of production, the market and the media, controll the world. In sum, this is the failure of the global neoliberalism. Therefore, policy options must been taken to save the miserable life of the peoples of the developing countries by adopting a model of developmental state practiced by countries of East Asia bringing the state back to play her main role of development. Keywords: globalization – neoliberalism – developmental state.
PENGANTAR Penggunaan istilah globalisasi saat ini menjadi sangat lazim di hampir seluruh bagian bumi. Fenomena yang bagi banyak orang merupakan sesuatu fase lanjutan dari sejarah umat manusia yang harus dilewati. Tetapi tidak semua orang meyakini keniscayaan globalisasi tersebut, beberapa pihak bahkan secara ilmiah menjelaskan betapa globalisasi itu merupakan agenda yang didesain sedemikian rupa oleh segelintir manusia untuk terus melanjutkan bahkan mengakselerasi akumulasi capital sebagian pihak saja. Dengan kata lain globalisasi memang didesain bukan untuk kesejahteraan manusia seluruhnya tetapi hanya segelintir saja. Perdebatan ini terus terjadi meskipun diyakini bahwa globalisasi tersebut telah berlangsung dan memberikan dampak-dampak serius bagi kelangsungan hidup manusia. Berangkat dari permasalahan tersebut tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran tentang makna dan karakteristik dari Globalisasi ekonomi dan perdagangan, apa dan siapa saja faktor penggeraknya, dampak-dampak yang ditimbulkan dan siapa saja yang 135
Volume II Edisi Kedua 2012 diuntungkan dari sistem tersebut, serta diakhir tulisan ini kami memberikan masukan dan bahan diskusi tentang sistem perekonomian global yang ideal.
Makna dan Karakteristik Globalisasi Istilah Globalisasi menjadi sebuah konsep yang sering digunakan untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Memasuki millennium ketiga, dunia berubah dengan sangat cepat sehingga menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya saling ketergantungan (interdependence) dalam hampir seluruh dimensi kehidupan dalam
hubungan
antar
negara-bangsa (nation-states) dan
hubungan
transnasional (transnasional relations).23 Lebih lanjut Lodge (1991) mendefinisikan Globalisasi sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bias menjangkau satu sama lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi maupun lingkungan. 24 Sedangkan Martin Khor mencoba lebih fokus pada pendefenisian Globalisasi ekonomi, dia berpendapat bahwa ―Globalisasi ekonomi biasanya dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi, perdagangan dan pasar uang. Globalisasi dalam pengertian ini merupakan suatu proses yang berada diluar jangkauan kontrol pemerintah, karena proses tersebut terutama digerakkan oleh kekuatan pasar global, dan bukannya oleh kebijakan sebuah pemerintah secara individu‖. 25 Lebih lanjut Khor memberikan penjelasan mengenai karakteristik Globalisasi dengan menjelaskan bahwa
Aspek-aspek terpenting yang tercakup dalam proses
Globalisasi ekonomi adalah runtuhnya hambatan-hambatan ekonomi nasional; meluasnya aktivitas-aktivitas produksi, keuangan dan perdagangan secara internasional serta semakin berkembangnya kekuasaan perusahaan-perusahaan internasional dan institusi-institusi moneter internasional. 26 Selain aspek-aspek di atas Khor memberikan penjelasan tentang 2 ciri utama dari Globalisasi. Pertama, peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumberdaya alam dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maupun oleh
23
Budi Winarno. 2009, Pertarungan Negara VS Pasar. Media Presindo,Yogyakarta.hal.16 Lodge dalam ibid. hal. 19 25 Martin Khor, 2001, Globalisasi:Perangkat Negara-Negara Selatan.Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta. hal. 1. 26 Ibid. hal. 9 24
136
Volume II Edisi Kedua 2012 perusahaan-perusahaan dan dana global. Kedua, ciri ini dianggap sebagai cirri terpenting dalam menjelaskan karakteristik Globalisasi, yakni, Globalisasi dalam kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional. Kebijakan-kebijakan nasional meliputi bidangbidang ekonomi,social,budaya dan teknologi yamg hingga sekarang ini berada di bawah yurisdiksi pemerintah dan masyarakat dalam suatu Negara bergeser menjadi berada di bawah pengaruh atau diproses badan-badan internasional atau perusahaan swasta besar serta pelaku ekonomi/keuangan internasional. 27
Globalisasi sebagai Agenda Neoliberalisme Globalisasi ekonomi dan perdagangan merupakan fenomena yang diperjuangkan oleh para pemikir Neoliberalisme telah dan masih berlaku hingga saat ini. ―Asumsi-asumsi dasar dari pemikiran tersebut adalah aktor utama dari kegiatan ekonomi adalah individu. Disini Neoliberalisme menekankan perlunya penciptaan pasar yang bebas dari intervensi politik (Pemerintah). Aturan pasar adalah keterbukaan yang sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Pasar diserahkan pada kebebasan gerak modal asing. Jika ini dapat dilakukan maka akan terjadi dua hal. Pertama, perekonomian negaranegara akan maju dengan pertumbuhan yang tinggi akibat masifnya modal yang masuk. Kedua, karena kesalingterkaitan ekonomi domestik, dunia akan menjadi aman karena satu negara tidak akan berperang dengan Negara lain karena adanya pola hubungan interdependensi antara mereka‖28. Argumen-Argumen di atas dikembangkan oleh para intelektual neoliberal dan dijadikan sebagai alasan yang ampuh untuk mengatasi masalah perekonomian yang terjadi akibat kegagalan perekonomian yang dipandu oleh Negara. Manifestasi dari agendaagenda tersebut seperti liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi dipraktekkan oleh AS di bawah kepemimpinan Ronald Reagan dan Inggris yang saat itu dipimpin oleh Margareth Thatcher. Hal yang kemudiaan diperbaharui (tanpa merubah substansinya) pada tahun 1991 melalui Washington Consensus. Peristiwa-peristiwa di ataslah kemudiaan yang menandai mengglobalnya neoliberalisme dan semakin terintegrasinya pasar di seluruh dunia yang kemudiaan kita kenal sebagai pasar dan perdagangan bebas.
27 28
Ibid. hal. 12-13 Milton Friedman dalam I.Wibowo, Dua Globalisasi, Harian KOMPAS, 16 Januari 2004.
137
Volume II Edisi Kedua 2012 Jadi, fenomena globalisasi yang terjadi saat ini akan sulit kita jelaskan apabila hanya dianggap sebagai hal yang alamiah dan hal yang niscaya terjadi karena merupakan fase sejarah yang harus dilalui oleh manusia. Globalisasi harus dijelaskan sebagai dan atau dalam konteksnya sebagai agenda dari struktur ekonomi politik global yang sedang berlaku saat ini, yakni Neoliberalisme. Globalisasi adalah hasil desain dari kelompok-kelompok pengusung Neoliberalisme untuk melanggengkan corak ekonomi kapitalisme yang eksploitatif tersebut sehingga dapat terus-menerus mengakumulasi capital.
Faktor-Faktor Penggerak Globalisasi Setelah memberikan beberapa gambaran tentang makna dan karakteristik Globalisasi, lebih lanjut kami ingin menjelaskan tentang apa dan siapa saja faktor penggerak dari globalisasai tersebut. Globalisasi sebenarnya telah ada sejak dahulu kala, hanya saja disaat sekarang ini arus Globalisasi berjalan lebih cepat daripada di waktu lampau. Banyak hal yang mempengaruhi proses percepatan arus Globalisasi ini. Menurut analisa kami, faktor-faktor penggerak Globalisasi bisa dikelompokkan menjadi seperti di bawah ini: 1. Pengaruh kemajuan teknologi baik teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi (Toffler dan Naisbit). Kemajuan tekonologi telah membawa wajah baru dalam tatanan ekonomi global dimana batas-batas wilayah negara menjadi kabur dan terganti menjadi satu kesatuan global29. Artinya adalah masyarakat sekarang ini tidak bisa lagi menutup diri dari dunia luar karena kecanggihan teknologi informasi yang telah mampu masuk menembus batas-batas suatu negara30. Pengaruh radikal yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi ini bisa dilihat pada kegiatan bisnis dan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat. Masyarakat dengan mudah bisa mengakses berbagai berita dan kejadian diluar sana seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi. Semakin mudahnya orang dan barang berpindah tempat dari satu negara ke negara yang lain seiring majunya teknologi transportasi juga telah memberikan konstribusi terhadap perkembangan Globalisasi.
29 30
Alvin Toffler,1980. Future Shock, London: Pan Book Ltd. John Naisbitt.1997, Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing.
138
Volume II Edisi Kedua 2012 2. Semakin terbukanya sistem ekonomi negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, produksi dan investasi (penggunaan prinsip-prinsip kapitalisme). Seperti yang dapat dikutip dari Friedman (2002), Ide dibelakang Globalisasi yang mengendalikannya adalah kapitalisme bebas – semakin Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi, perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas kesetiap negara di dunia. Karenanya Globalisasi juga memiliki aturan perekonomian tersendiri – peraturan yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi perekonomian Anda, guna membuatnya lebih kompetitif dan atraktif bagi investasi luar negeri31. Organisasi seperti WTO, AFTA, NAFTA telah mendorong negaranegara untuk terjun ke dalam liberalisasi perdagangan yang pada akhirnya menjadi motor penggerak bagi berkembangnya Globalisasi. 3. Meng-globalnya pasar uang (permintaan pasar dunia yang semakin mengglobal) Keterbukaan ekonomi telah membuat setiap negara untuk membuka pasarnya bagi investor untuk menanamkam investasi mereka. Kepentingan suatu negara untuk meningkatkan ekonominya mau tidak mau membuat negara untuk berlaku seperti ini. Kebutuhan yang amat besar akan investasi dan pendanaan kegiatan-kegiatan ekonomi mendorong negara untuk membuka pasarnya dalam usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut32. 4. Negara sebagai penentu deregulasi dan kebijakan liberalisasi pasar serta aktor nonnegara seperti MNC/ TNC. Peran negara sekarang pun tetap ada dalam penciptaan tata ekonomi dunia melalui forum-forum yang dibentuknya seperti forum negara-negara maju atau G 7 maupun MEE yang masing-masing mewakili dari kepentingan MNCs / TNCs yang memberikan kontribusi besar dalam pendapatan negaranya 33. Tekanan dari negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dan dunia ketiga sangat ampuh untuk segera merealisasikan produksi MNCs /TNCs negara-negara maju. Jadi penggerak utama dari Globalisasi ádalah negara-negara maju dan kelas-kelas 31
Thomas L. Friedman, 2002. Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun, Penerbit ITB. Tulus Tambunan, 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia 33 James Petras & Henry Veltmeyer, 2002, Globalization Unmasked, Imperalisme in the 21 Centtury, (terjemahan Agung Prihantono), Kreasi Wacana, Yogyakarta. 32
139
Volume II Edisi Kedua 2012 dominan dalam negara tersebut (yaitu kaum kapitalis yang terwujud dalam MNCs /TNCs. Merger yang dilakukan oleh satu MNC dengan MNC lainnya lintas negara dikarenakan perbedaan kepemilikan modal dan ketersediaan barang di negara tertentu yang terbatas. kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi, transfer dan pertukaran informasi yang semakin mudah, dan individu yang semakin dekat satu sama lain meski terhalang jarak yang jauh.
Dampak Globalisasi Terhadap Perekonomian Global Di dalam banyak diskusi dan tulisan, Globalisasi ekonomi dan perdagangan yang sedang berjalan dan dilaksanakan saat ini dianggap bukan solusi yang tepat untuk perdamaian dan
kesejahteraan.
Penekanan terbesarnya adalah fakta-fakta
yang
menunjukkan kesenjangangan yang ekstrim antara individu dan/atau negara kaya dan yang miskin. Seperti yang disampaikan Fidel Castro ―memburuknya situasi sosial di negaranegara dunia ketiga merupakan salah satu manifestasi gamblang Globalisasi Neoliberal. Penerapan kebijakan penyesuaian (program-program penyesuaaian struktural), Krisis finansial, memberikan dampak negatif yang sangat mendalam terhadap realitas sosial Negara-negara berkembang dan meningkatnya instabilitas yang disebabkan oleh proses Globalisasi‖.34 Ungkapan Castro tersebut sungguh menjadi fakta yang tak terbantahkan saat ini. Globalisasi ekonomi dan perdagangan yang diusung oleh para pendukung NeoLiberalisme dan berlaku hingga saat ini tentunya membawa konsekuensi bagi perekonomian dunia. Sistem perekonomian Neoliberalisme yang mengharuskan dan memaksakan kompetisi perdagangan yang bebas tanpa adanya proteksi dari Negara. Sistem tersebut memberikan keistimewaan kepada para individu pemilik modal raksasa dengan MNCs mereka masing-masing. Dan seperti yang telah diprediksi kompetisi tersebut menjadi sangat tidak seimbang dan akhirnya keuntungan dan modal kemudian terus terakumulasi kepada pada pemilik-pemilik modal terdahulu. Sementara yang lain harus tersingkir dari model kompetisi yang memang diciptakan tidak untuk membuat mereka menang dan sejahtera.
34
Fidel Castro Ruz,‖Situasi Social di Negeri-Negeri Dunia Ketiga‖, Pidato yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-Pemimpin Negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April 2000.
140
Volume II Edisi Kedua 2012 Kondisi yang terus-menerus terjadi ini kemudiaan terakumulasi dan akhirnya menunjukkan potret kesenjangan yang sangat besar antara Negara maju dan Negara berkembang. Ketimpangan ekonomi tersebut tergambar melalui laporan Human Development UNDP tahun 1992 memperkirakan bahwa 20% dari populasi dunia yang tinggal di negara-negara maju memperoleh 82,7% dari total pendapatan dunia, sementara 20% lainnya yang tinggal di negara-negara termiskin hanya menerima 1,4% (UNDP,1992). Pada tahun 1989, rata-rata pendapatan dari 20% masyarakat yang hidup di negara-negara paling kaya mencapai 60 kali lebih tinggi dari 20% masyarakat yang hdup di negaranegara paling miskin. Rasio ini merupakan dua kali rasio tahun 1950, sebesar 30 kali. Laporan Human Development tahun 1996 menunjukkan bahwa selama tiga dekade yang lalu, 15 negara yang mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi, sementara 89 negara menjadi lebih buruk secara ekonomi dibandingkan dengan keadaannya 10 tahun yang lalu atau lebih. Di 70 negara sedang berkembang, tingkat pendapatan saat ini lebih kecil dari penghasilan tahun 1960-an atau tahun 1970-an. ―keuntungan ekonomi telah sangat menguntungkan sejumlah kecil Negara dan beban banyak Negara lainnya‖, kata laporan tersebut (UNDP, 1996). Data dan fakta yang diungkapkan melalui Human Development oleh UNDP tersebut diperkuat lagi oleh UNCTAD dalam Laporan Pembangunan dan Perdagangan tahun 1997 (TDR., 97). Ditunjukkan disana bahwa sejak awal 1980-an ekonomi dunia dicirikan oleh meningkatnya ketidakmerataan , dan kesenjangan pendapatan Utara-Selatan pun semakin melebar (UNCTAD, 1997: bab IVVI), pada tahun 1965 rata-rata pendapatan perkapita dari negara-negara industry yang tergabung dalam G-7 mencapai 20 kalinya dari 7 negara termiskin di dunia; dan 1995 menjadi 39 kalinya.35 Potret kesenjangan lainnya juga terjadi hampir disetiap Negara, dimana kekayaan menumpuk pada sebuah kelas atau kelompok masyarakat tertentu dan tidak terdistribusikan secara proporsional dan maksimal kepada kelas atau kelompok masyarakat yang menjadi korban dari kompetisi yang tidak adil tersebut. Penumpukan kekayaan melalui kompetisi yang tidak adil kemudiaan menciptakan rentang kesenjangan yang ekstrim. Masih dalam laporan UNCTAD tahun 1997, polarisasi antar negara juga diiringi oleh peningkatan ketidak merataan pendapatan didalam negeri. Pangsa pendapatan dari kelompok 20% penduduk terkaya semakin meningkat hamper disetiap negara sejak tahun 35
UNDP dalam Martin Khor, hal.19.
141
Volume II Edisi Kedua 2012 1980-an namun kelompok 20% termiskin gagal untuk memenuhi kebutuhan standar (diberbagai negara, pendapatan perkapita kelompok 20% termiskin rata-rata kurang dari sepersepuluh pendapatan perkapita kelompok 20% penduduk terkaya) dan pangsa kelas menengahpun mengalami penurunan. Meningkatnya ketidak merataan terjadi di hampir semua negara berkembang, baik yang berhasil maupun kurang berhasil, dan diseluruh wilayah termasuk Asia Timur, Amerika Latin, da Afrika. 36
Pihak yang diuntungkan dalam Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Pada awal 1990-an, Globalisasi disambut dengan euforia. Aliran modal ke negaranegara berkembang meningkat enam kali lipat dalam kurun waktu enam tahun (19901996). Semakin mapannya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995—yang merupakan buah kerja keras selama setengah abad—menciptakan semacam aturan hukum yang kukuh bagi perdagangan internasional. Setiap orang diharapkan menjadi pemenang— baik di negara maju maupun berkembang. Globalisasi dibayangkan akan membawa kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Maka, tidak mengherankan jika gelombang protes menentang Globalisasi mengejutkan mereka yang mendukung pasar bebas. Protes tersebut terjadi di Seattle pada Desember 1999, bertepatan pada era baru perjanjian perdagangan yang mengarah pada pasar bebas. Ironisnya, Globalisasi berhasil menyatukan manusia dari seluruh penjuru dunia untuk menentang Globalisasi itu sendiri. Para pekerja pabrik di Amerika Serikat melihat bahwa produk mereka terancam kalah bersaing dengan produk dari China. Petani di negara berkembang melihat bahwa mata pencaharian mereka terancam oleh masuknya jagung dan produk-produk yang lain yang mendapat subsidi yang tinggi dari Amerika Serikat. Para pekerja di Eropa melihat bahwa proteksi untuk mendapatkan pekerjaan dilonggarkan atas nama Globalisasi. Aktivis AIDS mengeluhkan bahwa perjanjian dagang yang baru akan mengakibatkan naiknya harga obat-obatan sehingga sulit dijangkau di sebagian besar wilayah di dunia.37 Globalisasi memegang peranan dalam kesuksesan maupun kegagalan. Bila mengambil contoh negara yang diuntungkan dalam berlakunya Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, maka China merupakan salah satu negara yang memenuhi kriteria 36 37
UNCTAD dalam ibid, hal. 21. Joseph E. Stiglitz, 2007, Making Globalization Work, Bandung, PT Mizan Pustaka, hal. 54.
142
Volume II Edisi Kedua 2012 tersebut. Setelah melakukan open door policy dan juga dengan sistem ekonomi yang disebut ―market socialism economy”.38 China berhasil keluar dari arus neoliberalisme yang merusak. China lantas tidak tunduk dengan resep-resep dari Bank Dunia dan IMF. Pertumbuhan ekonomi China yang berbasis pada ekspor, berhasil mengangkat jutaan orang keluar dari lembah kemiskinan. Tetapi China menyikapi Globalisasi tersebut dengan hatihati, yaitu dengan membatasi pasar impor, dan hingga saat ini tetap tidak mengizinkan masuknya ―uang panas‖ yang bersifat spekulatif—yaitu uang yang digunakan untuk mencari keuntungan tinggi dalam jangka pendek, yang mengalir deras masuk ke suatu negara jika kondisi sedang menguntungkan dan langsung ―terbang‖ kembali jika ada masalah. Pemerintah China menyadari aliran modal tersebut pada awalnya akan menimbulkan booming. Namun kondisi tersebut hanya akan berlangsung singkat, karena resesi dan depresi dalam jangka panjang akan menyusul dan menimbulkan dampak yang jauh lebih merugikan. China yang menyadari kondisi “booming dan bangkrut‖ yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Lantas negara berkembang mau tidak mau dipaksa untuk mengambil kebijakan yang telah ditetapkan oleh negara maju sebagai akibat dari bargaining power mereka yang lemah. Akibatnya negara berkembang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Perdagangan global dan rezim finansial justru memberi keuntungan yang lebih nyata pada negara-negara industri maju. Dengan meningkatnya peran FDI, maka keberadaan perusahaan multinasional menjadi sangat penting, sebab dialah yang bertanggung jawab atas kelancaran FDI. Sedemikian pentingnya, sehingga kekuasaannya melebihi kekuasaan suatu negara. Pada tahun 1992, misalnya, 172 dari 200 MNC yang berasal dari lima negara kapitalis maju (USA, Jepang, Perancis, Jerman, Inggris), menginvestasikan sebanyak US$ 2 trilyun untuk investasi asing langsung. 39 Hampir 40 persen perdagangan dunia terjadi di antara perusahaan-perusahaan yang sebenarnya dikuasai oleh satu perusahaan induk. Beberapa barang dikontrol hanya oleh satu MNC. Sebagai contoh, 6 perusahaan mengontrol 90 persen perdagangan gandum dunia; MNC juga mengontrol 80 persen dari seluruh lahan pertanian untuk ekspor padi.40
38
Budi Winarno, 2010, Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, hal. 140. David Yaffe, et. al., 2001, McGlobal Gombal, Yogyakarta: Cubuc, hal. xxi. 40 Ibid. 39
143
Volume II Edisi Kedua 2012 Sejauh ini hampir semua bukti dalam tiga dekade terakhir (1970-2000) – sebuah periode dimana Globalisasi ekonomi bergerak sangat cepat, menunjukkan bahwa hal tersebut membawa keluaran yang sangat bertolak belakang dengan klaim daripada penasihatnya. Bukti-bukti yang ada sekarang berasal kebanyakan dari advokat Globalisasi dalam posisi sebagai penentang. Keuntungan dari Globalisasi tidak sampai kepada kaum miskin, menurut yang dikatakan CIA, dan juga proses tersebut pada akhirnya mendatangkan protes global dan kekacauan. Globalisasi ekonomi hanya telah membuktikan kesuksesan dalam menciptakan korporasi global dan segelintir kaum elit yang kaya. Contohnya, dari 100 ekonomi terbesar di dunia, 52 diantaranya sekarang adalah korporasi (perusahaan). 41 Globalisasi memang dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan. Namun, kenyataannya adalah bahwa keuntungan dari pertumbuhan ini hanya terjadi dalam waktu yang singkat. Di berbagai kasus, hampir semua keuntungan tersebut telah dikantongi oleh para elite di negara tersebut, dan juga pimpinan eksekutif dari korporasi global dalam prosesnya; para eksekutif yang pendapatan tahunannya luar biasa besar, sering kali dalam sepuluh atau ratusan juta dolar. Semua hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan antara pimpinan eksekutif dan para pegawai semakin lebar. Kebanyakan dari negara miskin menikmati keuntungan yang tidak terlalu banyak dari Globalisasi. Kebijakan dari institusi Bretton Woods tidak dirancang untuk menguntungkan mereka, melainkan untuk mensejahterakan negara industri kaya dengan korporasi globalnya.
Kegagalan Neoliberalisme Proses pengintegrasian ekonomi ke dalam sebuah wadah globalisasi ekonomi membawa tantangan-tantangan sekaligus kesempatan yang harus dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Tantangan sekaligus kesempatan ini tentu saja akan menimbulkan persaingan-persaingan ekonomi antar aktor yang memegang peranan kuat menghasilkan dampak-dampak positif serta negatif secara bersamaan. Budaya-budaya konsumerisme yang berlebihan dari masyarakat adalah bagian dampak negatif yang dihasilkan melalui globalisasi ekonomi dengan memanjakan kehendak atau keinginan rakyat pasar. Secara beriringan, dampak globalisasi ekonomi juga membawa dampak positif dengan kemajuan 41
International Forum on Globalization, Jerry Mander, Debi Barker, and David Korten, Does Globalization Help the Poor, IFG Bulletin, 2001, Volume 1, hal. 2.
144
Volume II Edisi Kedua 2012 teknologi informasi dengan cepat, trend serta inovasi baru terus lahir sebagai bagian pemanjaan konsumen yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan “What is Next?‖, ―When is Next?‖ bagi para konsumen pasar, serta ―How is Next?‖ bagi para produsen ataupun pengelola pasar. Neoliberalisme dengan Globalisasi dan perdagangan bebasnya telah membuktikan dirinya sebagai sistem atau model ekonomi dan perdagangan yang hanya mensejahterakan sebagian orang saja. Ada beberapa hal mendasar yang dihadapi oleh sistem Perdagangan bebas (free trade). Pertama, masalah penyeragaman ketentuan yang menghilangkan fleksibilitas negosiasi-negosiasi perdagangan antar Negara. Kedua, masalah kompetisi perdagangan yang dapat mengakibatkan tidak meratanya distribusi kesejahteraan. Karena perdagangan bebas menciptakan kompetisi, maka berlakulah hukum yang kuat dan dominan (dalam hal teknologi, manajemen, modal, akses pasar, dan sebagainya) akan bertahan sementara pihak yang lemah akan terpental. Ketiga, masalah pembagian kerja internasional yang dapat menciptakan tidak meratanya tingkat pendapatan antar Negara. Keempat, persoalan fairness (keadilan) yang tidak pernah menjadi bahan pertimbangan utama di dalam praktik perdagangan bebas.
KESIMPULAN DAN SARAN Untuk mengatasi masalah di atas ada beberapa respon yang dilakukan oleh negara untuk melindungi kepentingan ekonomi domestiknya. Beberapa negara di kawasan Asia menerobos laju kontrol ekonomi oleh pasar Internasional dan melindungi industri-industri domestik. Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, Cina, Malaysia serta India merupakan contoh yang memberlakukan negara sebagai aktor utama dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan industri lokal adalah Negara. Kuatnya peran negara sebagai aktor dalam pembangunan di negara-negara tersebut diatas karena kuatnya pendukung struktur pemerintahan, figur pemerintah, lembaga pemerintah serta peran aktif dalam mengatur dan mengelola pasar. 42 Proteksi yang dilakukan negara adalah sebagai langkah untuk meningkatkan daya saing industri lokal terhadap perusahaan-perusahaan asing. Tarik menarik antara pasar dan negara tidaklah sepenuhnya akan membawa hasil yang baik bagi kestabilan ekonomi dan poembangunan. Harus ada kontrol yang memadai dan kerjasama yang antara kedua belah 42
Winarno, 2009. Op. Cit.. Hal. 230 - 236
145
Volume II Edisi Kedua 2012 pihak tanpa menafikan faktor-faktor pengaruh terhadap kesenjangan masyarakat. Hal ini yang sering kali luput dari pertarungan antar para pelaku ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. FAIR Trade NOT Free Trade!!! Selain itu, menjadikan Fair Trade sebagai salah satu alternatif model perdagangan global daripada terus melanjutkan masalah-masalah yang telah ditumpuk oleh perdagangan bebas. Oxfam mendefinisikan fair trade sebagai suatu gerakan internasional yang mencoba memberikan jaminan bahwa produsen di negara-negara miskin mendapatkan kontrakkontrak yang adil (fair deal) yang mencakup harga yang pantas bagi produk-produk mereka, kontrak-kontrak pembelian jangka panjang, dukungan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, serta peningkatan produktivitas. 43 Dalam upaya mencapai sistem perdagangan yang lebih adil, David Ransom mengajukan tiga model Fair Trade yang mengisyaratkan para pendukungnya untuk bekerja pada lingkup yang berbeda dengan target yang berbeda-beda pula. Model-model ini dapat digambarkan sebagai berikut: 44 1. Model I: Praktik Fair Trade yang dikaitkan dengan upaya memperpendek jarak antara produsen di Negara berkembang dan konsumen di Negara maju pada sektor produk primer dan kerajinan, sehingga para produsen bisa mendapat harga yang lebih pantas. 2. Model II: Praktik Fair Trade yang mencoba untuk menerobos hubungan perdagangan ortodoks (yang dianggap terlalu menguntungkan pemodal besar). 3. Model III: Praktik Fair Trade yang mencoba untuk meminimalisir bahkan menghasilkan tindakan-tindakan yang dirasakan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dan sustainabilitas lingkungan dengan cara mempengaruhi big businesses agar lebih memiliki tanggung jawab social, memperhatikan hak-hak buruh serta peduli terhadap lingkungan.
43
Oxfam gb dalam Bob S. Hadiwinata dan Aknolt K. Pakpahan, 2004. Fair trade: Gerakan Perdagangan alternatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta hal. 6. 44 Ibid., hal 58-60.
146
Volume II Edisi Kedua 2012 Model perekonomian lain adalah model pengelolaan ekonomi yang dilakukan Chavez di Venezuela. Berikut langkah-langkah dan program-program yang dilakukan Venezuela untuk mengatasi bencana ekonomi yang diakibatkan oleh Neoliberalisme: 45 1. Pembentukan Konstitusi 1999 Ketika Chavez terpilih sebagai Presiden pada 1998, hal pertama yang dilakukan Pemerintah adalah melaksanakan referendum untuk pembentukan Dewan Konstituante (DK). DK bertugas untuk menyusun konstitusi baru. Melalui konstitusi ini, alternatif diluar Neoliberalisme dilembagakan. Dalam konstitusi ini tidak kurang dari 111 pasal yang menjamin penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik rakyat. Selain itu juga dijelaskan tentang tugas-tugas negara dalam mengelola dan mencapai gagasan-gagasan tentang bangsa. 2. Memperkuat Demokrasi Partisipatoris Setelah menjamin hak-hak rakyat di dalam konstitusi, tugas selanjutnya adalah bagaimana partisipasi politik itu menjadi kongkrit. Karena hanya dengan demikian demokrasi partisipatoris bias semakin kuat dan berakar dalam tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat. Untuk mewujudkan hal ini secara spontan para pendukung Chavez membentuk Bolivarian Circles atau CB‘s (Circulos Bolivarianos) yang kemudian bertransformasi menjadi Bolivarian Houses (Casas Bolivarians atau CB). Bersama-sama berbagai asosiasi masyarakat sipil, Bolivarian Houses mengordinasikan dirinya masing-masing kedalam sepuluh area aktivitas menurut kepentingan dan kemampuannya. Asosiasi-asosiasi sipil concern isu-isu seperti pendidikan, social ekonomi dan kerja produktif,perencanaan dan pembangunan kebudayaan dan komunikasi,keamanan pangan, kesehatan dan lingkungan, perlindungan dan pelayanan social, infrastruktur, urbanisasi dan transportasi, turisme, rekreasi dan olahraga, dan integrasi Amerika Latin. 3. Memberdayakan Koperasi Salah satu prioritas pemerintahan Chavez adalah menerapkan model ekonomi alternatif di luar neoliberalisme. Untuk mengatasi kesenjangan yang ekstrim Chavez mengajukan tiga elemen sebagai resep:1. Reaktivasi ekonomi, 2. Redistribusi pendapatan, 3. Restrukturasi perdagangan. Pada tahap pertama, pemerintahan ini dihadapkan pada performa ekonomi nasional yang sangat buruk, 45
Diolah dari berbagai sumber.
147
Volume II Edisi Kedua 2012 tetapi Chavez tetap bersikukuh pada kebijakannya semula. Karena ia yakin ekonomi digerakkan kembali adalah mungkin baginya untuk mendorong tercapainya dua tujuan lain yakni, redistribusi pendapatan dan restrukturasi ekonomi. Redistribusi pendapatan dilakukan dengan peningkatan upah secara besar-besaran sembari menghindari terjadinya kenaikan harga. Sedangkan restrukturasi ekonomi dilakukan dengan melindungi pertukaran internasional dan sebaliknya
mendukung
peeertumbuhan
dan
upah
yang
tinggi.
Selama
pemerintahan Chavez subsidi tidak diperuntukkan untuk pengusaha-pengusaha besar tetapi hanya untuk membantu rakyat miskin , produsen skala kecil dan koperasi. Koperasi mendapat perhatian khusus karena struktur organisasinya tidak mengontradiksikan antara buruh dan majikan. Koperasi didasari oleh nilai-nilai kemandirian, tanggung jawab, saling tolong menolong, demokrasi persamaan dan solidaritas. 4. Mempromosikan ALBA sebagai Tandingan FTAA ALBA (Alternative Bolivariana Par Alas Americas/The Bolivarian Alternative for Latin Amerika and The Carribean), yang tak lain dimaksudkan sebagai alternatif terhadap FTAA (Free Trade of the Americas/ALCA). Sebagai alternatif, ALBA bertolak dari prinsip-prinsip yang diterapkan rezim Bolivarian dalam membangun ekonomi nasional. Kerjasama ekonomi tidak dilakukan dalam persaingan bebas tetapi bertumpu pada nilai-nilai persamaan, keadilan, dan solidaritas. 5. Pemberdayaan Media Komunitas Di Venezuela, media massa terbukti bias kepentingan politik kelas tertentu, yaitu kepentingan oligarki. Untuk mengatasi hal tersebut dewan nasional Venezuela memperkenalkan reformasi media melalui law of social responsibility in radio and television (LSRRT), yang mengusulkan jaminan akses publik terhadap media. Lembaga ini membantu komunitas-komunitas di seluruh Venezuela untuk memperoleh lisensi penyiaran lokal.
Ketiga model ekonomi dan perdagangan di atas merupakan sistem perekonomian yang wajib dipertimbangkan dan diperjuangkan oleh dunia untuk mengatasi dan menggantikan sistem perekonomian neoliberalisme yang bertumpu pada globalisasi dan perdagangan bebas yang telah terbukti gagal. 148
Volume II Edisi Kedua 2012 DAFTAR PUSTAKA Baswir, Revrisond Baswir,1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Engels, Frederick, 2006. Tentang Kapital Marx, (terjemahan oleh Oey Hay Djoen), Bandung: Penerbit Ultimus. Friedman ,Thomas L, 2002. Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun, Penerbit ITB. Hadiwinata ,Bob S. dan Aknolt K. Pakpahan, 2004. Fair Trade: Gerakan Perdagangan Alternatif, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar Khor, Martin, 2001. Globalisasi:Perangkat Negara-Negara Selatan, Yogyakarta: Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Korten, David C.,1995. When Corporations Rule The World.United States of Amerika: Berrett-Koehler Publishers,Inc. Mander, Jerry., Debi Baker, dan David Korten. Does Globalization Help the Poor?. IFG Bulletin. 2001. Volume 1, issue 3. International Forum on Globalization. Naisbitt, John ,1997, Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing. Petras, James & Henry Veltmeyer, 2002, Globalization Unmasked, Imperalisme in the 21 Centtury, (terjemahan Agung Prihantono), Yogyakarta : Penerbit Kreasi Wacana. Pontoh, Coen Husain, dkk. 2005. Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global, Yogyakarta: Penerbit Resist Book. Stiglitz, E. Joseph. 2007. Making Globalization Work. Bandung: Penerbit Mizan. Tambunan ,Tulus,
2004. Globalisasi dan PerdaganganInternasional, Jakarta: Ghalia
Indonesia Toffler, Alvin ,1980. Future Shock, London: Pan Book Ltd. Viotti,Paul R. dan Mark V. Kauppi,2007. International Relations and World Politic: Security, Economy, Idendity, Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall. Winarno, Budi, 2010. Melawan Gurita Neoliberalisme. Jakarta: Penerbit Erlangga. Winarno, Budi. 2009, Pertarungan Negara VS Pasar, Yogyakarta: Penerbit Media Presindo, Yaffe, David, et.al. 2001. McGlobal Gombal: Globalisasi dalam perspektif Sosialis. Jogjakarta: Penerbit Cubuc.
149
Volume II Edisi Kedua 2012 GLOBALISASI, PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN REPOSISI BIROKRASI Oleh: Suparjono46
Inti Sari Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah mengubah struktur ekonomi Indonesia. Melalui kebijakan paket-paket deregulasi, struktur ekonomi Indonesia semakin terbuka terhadap perdagangan dan investasi asing. Masuknya investasi ini ke Indonesia mendorong pengembangan kawasan Industri dan perdagangan seperti yang terjadi di Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo. Ini pada akhirnya akan mendorong daerah untuk menguasai resource and tax base secara mandrii. Secara teoritik, jika Kabupaten/Kota menguasai secara mandiri resource and tax base yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan hasil usaha lainnya dari daerah yang merupakan kawasan industri dan perdagangan yang tengah booming, seperti Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota
Sidoarjo, tentunya akan
memiliki
prospek yang cerah dalam meningkatkan PAD guna mewujudkan pemberdayaan dan kemandirian daerah, sekaligus desentralisasi dan otonomi Kabupaten/Kota. Namun dalam kenyataannya, meskipun Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo mempunyai jumlah PAD yang semakin meningkat, sebagai akibat berkembangnya kedua Dati ini menjadi kawasan industri dan perdagangan, namun sumbangannya terhadap APBD masih kecil. Ini karena pembagian sumber-sumber pendapatan yang timpang antara pemerintah pusat dengan pemerintah Kabupaten/Kota. Akibatnya, seiring dengan meningkatnya PAD dan kontribusinya terhadap APBD, juga dikuti oleh semakin tingginya ketergantungan pemerintah Kabupaten/Kota, dalam hal ini Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo, terhadap pemerintah pusat. Key words: Globalisasi, struktur ekonomi, industri dan perdagangan, resource and tax base, otonomi dan kemandirian.
46
Peneliti Madya pada BALITBANDA, Jawa Timur dan Staf Pengajar pada Universitas Widya Putra, Surabaya.
150
Volume II Edisi Kedua 2012 Abstract Since the deregulation packet was launced in the early decade of 1980‟s, several areas in Indonesia have developed into industrial and trade zones. Ideally, this development as occurred at the regencies of Greasik and Sidoarjo should be backed up by a bureaucratic reposition. This is so important because local resources would be able to be managed effeciently, if the local government developed adequately its capacity to manage the development process. Generally, it can be done by a bureaucratic repositrion through the reinvigoration of public bureaucracy. However, in fact, the local government under the New Order never did it. This was because the local government was dominated and controlled by the national government as characterized by the bureaucratic polity. Its implication was that the local bureaucracy became the tool of the national government to implement its policies. Moreover, patrimonalism which was increasingly growing during the New Order, influenced the local bureaucracy serving the interest of national government‟elites, and not to serve the local people‟s interest. In sum, the local government‟s bureaucracy did not respond to the dynamics and the growing aspiration of the people.
Key words: industrial and trade zone - bureaucratic reposition - local government bureaucracy.
PENGANTAR 1.
Latar Belakang Masalah Dalam rangka memfokuskan pokok bahasan, dan sekaligus dalam upaya
memformulasikan masalah, maka latar belakang masalah dalam penelitian ini akan diuraikan beberapa hal. Uraian pertama mengenai terbentuk dan runtuhnya the Bretton Woods System, munculnya sistem perdagangan bebas yang jauh lebih liberal pasca the Bretton Woods System, dan yang terakhir adalah reaksi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dalam merespon perubahan tersebut di penghujung tahun 1970-an serta implikasinya bagi pengembangan kawasan industri dan perdagangan, yakni kawasan Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo sebagai daerah yang dijadikan lokasi untuk penelitian. Selama masa dan pasca Perang Dunia Kedua, pemerintahanpemerintahan
yang
didominasi
oleh
negara-negara
maju
mengembangkan
dan 151
Volume II Edisi Kedua 2012 menyelenggarakan seperangkat aturan, lembaga, dan prosedur yang mengatur aspek-aspek penting dalam hubungannya dengan ekonomi internasional (Spero, 1981). Selama hampir dua dekade, orde ini yang sering disebut sebagai The Bretton Wood System, efektif dalam mengontrol konflik dan dalam rangka meraih tujuan-tujuan bersama yang telah dirumuskan oleh negara-negara bangsa. Ada beberapa hal yang membuat sistem ini efektif dalam mengelola konflik dan meraih tujuan bersama, yakni: Pertama, sistem ini tidak mendapatkan tantangan dari negara-negara komunis yang lebih cenderung memisahkan diri dari sistem ekonomi internasional, negara-negara yang kurang berkembang, dan Jepang. Kondisi pasca perang telah membuat Jepang lemah secara ekonomi sehingga masih berada dalam kondisi subordinat dan berada di luar manajemen the Brettons Woods System. Konsentrasi kekuasaan memudahkan manajemen melalui pembatasan aktor-aktor yang persetujuannnya diperlukan untuk menetapkan aturan, lembaga dan prosedur serta untuk menjalankan manajemen dari sistem tersebut. Kedua, manajemen dimudahkan oleh tingkat kesepakatan yang tinggi diantara negara-negara anggota menyangkut tujuan dan alat dalam mengelola ekonomi internasional. Dasar dari persetujuan ini ada dalam kapitalisme dan liberalisme. Meskipun diantara negara-negara tersebut mempunyai perbedaan menyangkut tipe-tipe kapitalisme yang mereka jalankan. Namun diantara negara-negara tersebut cenderung menyukai sistem liberal, yang menyandarkan diri pada pasar bebas dengan meminimalkan hambatan-hambatan perdagangan dan modal (Spero, 1981: 24). Dengan demikian, periode the Brettons Woods System ini merupakan salah satu dari usaha-usaha beberapa negara bangsa untuk menciptakan seperangkat aturan dalam rangka mengelola ekonomi internasional. Meskipun implementasi sistem liberal berbeda dari satu negara ke negara lain, namun semuanya sepakat bahwa sistem yang terbuka akan memaksimalkan kemakmuran ekonomi. Bahkan, diantara mereka percaya bahwa sebuah sistem ekonomi yang terbuka akan meninggikan kemungkinan bagi terciptanya perdamaian.
Namun
demikian, meskipun mereka percaya bahwa ekonomi liberal lebih disukai, tetapi mereka juga setuju bahwa sistem ekonomi inetrnasional liberal ini membutuhkan intervensi pemerintah. Periode pasca peranglah dimana stabilitas, pengangguran, dan pertumbuhan menjadi subyek yang penting dari kebijakan publik sehingga intervensi negara dapat diterima. Ketiga, kepentingan bersama dalam kerjasama ekonomi semakin diperkuat oleh pecahnya Perang Dingin pada akhir tahun 1940-an. Pada masa itu, kerjasama ekonomi 152
Volume II Edisi Kedua 2012 diperlukan dalam menghadapi musuh bersama, dalam hal ini blok ekonomi Uni Soviet. Kerjasama ekonomi ini tidak hanya ditujukan dalam rangka membangun kembali Eropa, suatu langkah sengaja yang dilakukan Amerika untuk mengembangkan ekonomi pasar bebasnya (Sugiono, 1999), tetapi juga demi keamanan politik dan militer mereka. Inilah yang mendorong negara-negara tersebut rela untuk berbagi beban karena masalah-masalah keamanan. Selain itu, faktor ini juga menjadi pendorong bagi ―kerelaan‖ Amerika untuk menjadi pemimpin sistem tersebut. Bagi Amerika, the Brettons Woods System diharapkan dapat menjadi ―tameng‖ Amerika dari ancaman Uni Soviet. Akhirnya, sistem tersebut dapat berjalan karena adanya kekuatan dominan Amerika Serikat yang tidak mengalami kehancuran akibat perang sehingga dapat dan secara sukarela menjalankan peran kepemimpinan, disamping Jepang dan Negara-negara Eropa Barat menerima kepemimpinan tersebut. Faktor inilah yang oleh sebagian besar penulis, dijadikan pijakan untuk menilai mengapa the Brettons Woods System relatif berhasil dalam mengelola ekonomi internasional pada waktu itu. Namun demikian, meskipun sistem ini dianggap dapat berjalan efektif pada masa itu dalam menyelesaikan konflik-konflik perdagangan yang muncul diantara negara anggota, tetapi menjelang tahun 1970-an, the Bretton Woods System dalam keadaan kacau dan terancam. Pada Agustus 1971, Presiden Richard Nixon tampil di depan publik dan secara sepihak tanpa berkonsultasi dengan para penanda tangan sistem, memutuskan untuk menunda tukar menukar penuh dolar dengan emas dan kemudian mendevaluasikannya (Hirts dan Thomson, 1996). Ini sekaligus menandai era berakhirnya the Brettons Woods System. Faktor yang menjadi penyebab keruntuhan sistem tersebut adalah karena adanya penentangan terhadap kekuasaan, melemahnya kepemimpinan dan memudarnya konsensus (Spero, 1981). Pasca keruntuhan The Bretton Woods System, sistem ekonomi dunia ditandai oleh semakin terbukanya pasar-pasar di dalam negeri. Tatanan baru yang muncul pasca the Bretton Woods System tersebut dalam kenyataannya justru merupakan tatanan ekonomi yang lebih liberal coraknya, dan lebih merupakan perdagangan bebas dibandingkan dengan proteksionisme (Tussie, 1991). Di sisi yang lain, tatanan ekonomi yang baru ini juga merupakan refleksi dari kemenangan kelompok kanan baru (the New Right ) di Inggris dan Amerika atas paham ekonomi Keynesian. Pikiran-pikiran kelompok ini dicirikan oleh pengagungan terhadap pasar dengan mendasarkan pada pemikiran Adam Smith dan David 153
Volume II Edisi Kedua 2012 Ricardo. Inilah yang menjadi titik awal globalisasi ekonomi sebagaimana kita sakisikan sekarang ini. Suatu era yang ditandai oleh mobilitas modal yang tinggi, memudarnya peran negara,
dan semakin menguatnya peran perusahaan-perusahaan multinasional atau
transnasional. Selanjutnya, dalam menyikapi perubahan-perubahan tersebut negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia mentransformasikan ekonomi domestikya melalui introduksi dan adopsi yang diniatkan untuk menata kembali peran dan keterlibatan negara dalam ekonomi (Vernon, 1988; Biersteker, 1992; Nelson, 1990; Bab I Haggard dan Kaufman, 1992: 3). Meskipun reformasi ini didukung dengan derajad antusiasme yang berlainan di negara-negara berkembang, namun tetap dalam arah liberalisasi pasar dan berkurangnya campur tangan negara dalam ekonomi. Reformasi ini juga mengakibatkan semakin meluasnya kebijakan deregulasi dan pelonggaran dalam kebijakan ekonomi eksternal yang memperbesar kebebasan bagi pergerakan modal, barang dan jasa. Bahkan, di negara-negara yang nasionalisme ekonominya mengakar secara historispun, investasi asing tidak hanya disambut dengan penghapusan penanaman modal asing melainkan juga dengan tawaran insentif bagi investasi baru (Biersteker, 1992: 206). Singkatnya, reformasi kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang selama kurun waktu 1970-an dan 1980-an mempunyai makna terjadinya pergeseran dari paradigma state-led development ke arah market-driven development. Paradigma state-led development memberikan peran yang besar dan amat penting bagi negara atau pemerintah dalam pembangunan ekonomi, sedangkan paradigma marketdriven development memberikan peran sentral pada pasar, dan memarginalkan peran negara. Sebagaimana halnya negara-negara berkembang lainnya, pemerintahan Indonesia di bawah rejim Orde Baru juga melakukan pembaruan struktur ekonominya dengan meluncurkan paket deregulasi pada awal tahun 1980-an. Dampak dari paket deregulasi di bidang perdagangan dan investasi asing ini adalah penyebaran dan peningkatan investasi di berbagai kawasan di Indonesia, khususnya di wilayah bagian Barat, yang nota bene-nya di wilayah-wilayah Daerah Kabupaten/Kota. Akibatnya, di wilayah-wilayah tersebut berkembang industri-industri global seperti industri tekstil, industri transportasi, industri kimia, food processing, foot wear, dan juga industri konstruksi. Industri-industri ini telah
154
Volume II Edisi Kedua 2012 memberikan kontribusi yang besar bagi ekspor non migas Indonesia (Sjahrir, 1995: 317318). Dengan
demikian,
deregulasi
invetasi
tidak
hanya
menumbuhkan
dan
mengembangkan industri-industri global maupun relokasi industri, tetapi juga mampu meningkatkan volume perdagangan yang mendorong ekspor. Pada akhirnya, paket kebijakan deregulasi ini mempunyai implikasi pada pengembangan kawasan industri dan perdagangan,
seperti
Kabupaten/Kota
Gresik
dan
Kabupaten/Kota
Sidoarjo.
Pengembangan kawasan ini tentunya mempunyai dampak yang luas dan mendalam dalam mendorong peningkatan resource and tax base bagi Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo. Secara teoritik jika Kabupaten/Kota menguasai secara mandiri resource and tax base yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan hasil usaha lainnya dari daerah yang merupakan kawasan industri dan perdagangan yang tengah booming, seperti Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo, tentunya akan memiliki prospek yang cerah dalam meningkatkan PAD guna mewujudkan pemberdayaan dan kemandirian daerah, sekaligus desentralisasi dan otonomi Kabupaten/Kota.
2.
Rumusan Masalah a.
Seberapa besar implikasi globalisasi dan liberalisasi: investasi dan perdagangan menimbulkan implikasi terhadap struktur ekonomi Indonesia pada tahun 1980an?
b.
Bagaimana implikasi perubahan struktur ekonomi Indonesia terhadap pengembangan kawasan industri dan perdagangan, khususnya kawasan industri dan perdagangan Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo di Jawa Timur. Dan pada gilirannya, bagaimana implikasi pengembangan resource and tax base pada resource sharing antar pemerintah pusat dan Dati I di satu pihak, dan Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo di pihak lain?
c.
Kebijakan apa yang telah dilakukan oleh Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo sebagai respon terhadap perubahan struktur ekonomi Indonesia untuk mewujudkan otonomi dan kemandirian daerah?
d.
Mengapa dan bagaimana transformasi struktural dalam power and resource sharing, yang diikuti dengan penataan kembali posisi birokrasi (repositioning bureaucracy) dalam rangka mewujudkan desentralisasi ekonomi? 155
Volume II Edisi Kedua 2012 3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian a.
Studi ini merupakan terobosan pemikiran dalam mewujudkan otonomi daerah dengan titk berat pada Kabupaten/Kota dengan konsentrasi analisis tentang bagaimana perubahan-perubahan global, khususnya globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan memberi dampak yang besar terhadap implementasi otonomi daerah.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritik bagi perkembangan ilmu, khususnya studi implementasi otonomi daerah. Secara konvensional, studi otonomi daerah tidak dikaitkan dengan sistem global. Dengan demikian, studi ini diharapkan memberikan suatu pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengkaji implementasi otonomi daerah.
c.
Studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada para pembuat
kebijakan
(decision
makers)
dalam
menetapkan
maupun
melaksanakan kebijakan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 terutama pasal 11 yang menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah diletakan pada Kabupaten/Kota, seperti yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1995.
KERANGKA TEORETIK Pembahasan mengenai kerangka konseptual atau landasan teoritik ditujukan untuk memahami dan menjawab permasalahan yang diteliti. Dengan kata lain, kerangka teori merupakan suatu kebutuhan untuk menjawab dan mengarahkan penelitian. Selain itu, kerangka teori mempunyai peran sebagai jembatan yang menghubungkan masalah penelitian dengan bangunan hipotesis atau alur pikir. Untuk itu, bangunan teori yang akan dibahas di sini adalah globalisasi dan liberalisasi ekonomi, perubahan struktur ekonomi Indonesia sejak tahun 1980-an, desentralisasi dan otonomi daerah, dan reposisi birokrasi dalam konteks paradigma baru.
1.
Globalisasi dan Liberalisasi Ekonomi Pada dasarnya, globalisasi dan liberalisasi ekonomi mengandung pengertian satu
dunia, satu ekonomi, yakni suatu kehidupan antar bangsa
yang ditandai oleh gerak 156
Volume II Edisi Kedua 2012 perusahaan dan uang secara bebas melintasi batas-batas negara bangsa. Sementara pada saat yang bersamaan, proses ini diikuti oleh semakin berkurangnya kemampuan dan kemandirian negara bangsa dalam mengambil keputusan dan implementasi kebijakankebijakan moneter dan bisnis. Kecenderungan
ini, yang berlangsung sejak tahun 1980-an, mengindikasikan
adanya pergeseran ayunan pendulum dari state-led development ke kutub market-driven development. Kebijakan ini dipengaruhi oleh dua pemimpin negara kapitalis, yakni PM Inggris, Margarat Thatcher, yang mendukung kebijakan ke arah liberalisme dan ekonomi pasar bebas sebagaimana pada jaman keemasan Ratu Victoria, dan Presiden Amerika Serikat, Ronald Regan, yang meyakini bahwa konsep negara kesejahteraan (welfare state) telah memandulkan prakarsa, kreativitas, dan.disiplin individu sehingga ia bertekad untuk menghidupkan kembali pasar bebas dengan intervensi negara seminimal mungkin. Selanjutnya, dengan didukung oleh kelompok Kanan Baru yang dimotori oleh Milton Friedman, ideologi pasar bebas ini menyebar ke seluruh dunia. Proses penyebarannya dipercepat oleh globalisasi, dan akibat dukungan lembaga-lembaga internasional penyandang dana, seperti World Bank dan IMF, yang menginginkan pembatasan campur tangan dalam urusan ekonomi dan menyerahkan perkembangan masyarakat kepada mekanisme pasar (Rapley, 1995: 5) Akhirnya, globalisasi ekonomi menjadi ideologi hampir semua negara di dunia. Ciri utamanya adalah hilangnya berbagai hambatan dalam perdagangan dan investasi, serta semakin mengecilnya peran negara dalam pembangunan. Peran tersebut telah digantikan oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang merupakan salah aktor penting dalam proses tersebut.
2.
Struktur Ekonomi Indonesia Pengaruh globalisasi dan liberalisasi ekonomi di Indonesia telah dirasakan sejak
tahun 1980-an. Untuk merspon perubahan tersebut, pemerintah Indonesia dengan cepat melakukan perubahan struktur ekonominya dan mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi global yang kapitalistis
dan berorientasi pasar bebas. Meskipun kebijakan ini juga
merupakan respon terhadap merosotnya harga minyak di pasaran internasional setelah booming selama beberapa waktu dan karena apresiasi mata uangYen terhadap dolar, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan dalam bentuk deregulasi ini juga akibat 157
Volume II Edisi Kedua 2012 tekanan-tekanan dari integrasi regional formal, seperti AFTA, komitmen multilateral di bawah GATT, maupun lembaga-lembaga penyandang dana seperti WTO dan Bank Dunia. Ini berarti bahwa sejak tahun 1980-an, Indonesia di bawah rejim Orde Baru sudah menganut paradigma market-driven development. Tujuan di balik kebijakan ini adalah dalam rangka meraih efisiensi dan meningkatkan daya saing, sekaligus dalam rangka meningkatkan peran sektor swasta dan mendorong ekspor nonmigas. Implikasi dari kebijakan dalam bentuk paket-paket deregulasi ini adalah tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan industri dan perdagangan secara cepat. Pada gilirannya, Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo, yang tumbuh dan berkembang menjadi kawasan industri dan perdagangan merupakan centers of development, yaitu menghasilkan resource and tax base yang besar, yang sebenarnya dapat digunakan untuk mewujudkan kemandirian dan otonomi Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo.
3.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Di kalangan ilmuwan politik, desentralisasi mengandung dua makna yang berbeda.
Pertama, desentralisasi administratif, dan kedua desentralisasi politik (Samoff, 1990; Rolla, 1998; dan Hutchroft, 2001, serta Rondonelli dan Nellis, 1985 dikutip oleh Asfar, 2001: 17). Desentralisasi administrasi lebih menekankan pada lembaga-lembaga pemerintahan formal dengan menitikberatkan pada susunan organisasi atau administratif. Dengan merujuk pada pengertian ini, maka desentralisasi merupakan transfer pertanggungjawaban mengenai perencanaan, manajemen, dan peningkatan maupun alokasi berbagai sumber dari pemerintah pusat dan berbagai lembaga yang dimiliki kepada berbagai unit lembaga pemerintah atau unit-unit yang berada di bawahnya. Sementara itu, pengertian desentralisasi politik lebih menekankan adanya transfer otoritas pembuatan keputusan kepada daerah, atau kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak terwakili atau termarjinalisasi. Tujuan dari desentralisasi politik adalah memberikan keleluasan yang lebih besar kepada warga negara atau para wakil yang duduk di lembaga perwakilan dalam proses pembuatan keputusan politik. Dengan menggunakan bahasa yang lebih sederhana, desentralisasi dapat dimaknai sebagai penyerahan secara sistematis dan rasional pembagian kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab dari pusat kepada
158
Volume II Edisi Kedua 2012 pinggiran, dari level atas ke level bawah, atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal (De Gusma dan Referma, 1993: 3). Sementara itu, Smith (1995) membedakan tujuan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan dua sudut kepentingan, yakni kapentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah. Jika dilihat dari kepentingan pusat, maka setidaknya ada empat tujuan yang hendak dicapai, yakni pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, usaha menciptakan stabilitas politik, dan mewujudkan demokrasi sistem pemerintahan daerah. Sedangkan jika ditinjau dari kepentingan pemerintah daerah, maka tujuan utama desentralisasi dan otonomi daerah adalah dalam rangka mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality. Melalui pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berperan serta dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. Tujuan kedua adalah dalam rangka menciptakan local accountability. Namun demikian, dalam konteks tujuan kedua ini ada perbedaan di kalangan penulis. Smith lebih mengaitkannya dengan gagasan liberty, sehingga ia mempunyai kepercayaan bahwa pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi akan meningkatkan kemampuan daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakatnya. Sementara Ruland (1992), lebih mengoperasionalkan konsep ini dalam konteks pembangunan sosial dan ekonomi. Tujuan ketiga adalah dalam rangka mewujudkan apa yang disebut sebagai local responsiveness. Asumsi dasarnya karena pemerintah daerah dianggap lebih banyak mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, sehingga kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul, sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah. Selanjutnya, jika konsep desentralisasi dan otonomi daerah dianalisis secara lebih bermakna dengan tidak hanya membatasi pada konteks hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, tetapi dalam konteks state-society relations, maka terlihat bahwa hampir semua tujuan dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah pada pengaturan mekanisme hubungan antara negara dengan masyarakat. Dengan kata lain, tujuan utama dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat sipil untuk berpartisipasi, baik dalam proses pengambilan keputusan di daerah maupun dalam implementasinya.
159
Volume II Edisi Kedua 2012 4.
Reposisi Birokrasi Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah memunculkan masyarakat global, sebuah
dunia yang terintegrasi secara fisik dengan melampaui batas-batas negara, blok ideologis, dan lembaga-lembaga politik di dunia. globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah mendorong terjadinya cross-border flow financial, psycal and human capital, yang secara konkret mencakup (a) arus finansial yang terkait dengan perdagangan barang dan jasa, seperti transaksi impor dan ekspor dan pengeluaran wisatawan; (b) penanaman modal asing yang tidak hanya menyangkut transfer modal, melainkan juga transfer modal fisik, teknologi, portofolio, dan berbagai macam transaksi finansial (Boyer dan Dracher, 1996: 68-69). Ini berakibat pada semakin berkurangnya kemandirian dan kemampuan negaranegara bangsa dalam pengambilan keputusan, maupun implementasi kebijakan-kebijakan moneter dan bisnis. Reposisi birokrasi ditujukan dalam rangka melakukan intervensi secara selektif guna menjamin mekanisme pasar agar berfungsi baik, efisien dan efektif. Selain itu juga dalam rangka menjamin persaingan yang sehat bagi dunia usaha, sekaligus menjamin kebebasan dalam perdagangan internasional dalam konteks manajemen makro ekonomi yang stabil (World Bank, 1991: 91). Ini karena negara merupakan satu-satunya institusi yang dapat berfungsi untuk menangkal krisis ekonomi yang dihadapi oleh negara dengan membatasi distorsi pasar, dan meniadakan kestabilan pasar. Dalam konteks ini, maka negara berperan sebagai ―capitalist developmental state‖, yaitu menjaga agar kebebasan pasar dan tingkat integrasi nasional dengan internasional relatif yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan tempat tertentu (Johnson, 1 983). Sebagai paradigma baru yang menempatkan market-driven development dan stateled development pada posisi yang saling melengkapi, paradigma ini membutuhkan entrepreneurial bureaucracy, seperti kebijakan untuk mendapatkan keuntungan (Kirtner, 1973: 35), dorongan untuk selalu mencari perubahan dan mengeksploitasi perubahan dan menjadikannya sebagai peluang (Drucher, 1985: 28). Untuk itu, peningkatan kapabilitas dan keefektifan peran negara tidak hanya sangat dibutuhkan, tetapi juga harus dikaitkan dengan pembangunan kapasitas manajemen daerah. Sebagaimana diungkapkan oleh Martinos dan Humphreys (dalam Robert J. Benner (ed), 1994: 114) bahwa desentralisasi politik, legal dan otonomi keuangan, maupun sumbersumber lain tidak akan dapat digunakan secara efektif, jika aparatur pemerintah tidak 160
Volume II Edisi Kedua 2012 melakukan
pengembangan
secara
memadai
kapasitas
untuk
mengelola
proses
pembangunan. Di sisi yang lain,
dalam rangka reposisi birokrasi maka penciptaan kembali
pemerintahan (reinventing government) menjadi hal yang penting. Reinvention ini dimaknai sebagai penggantian sistem birokrasi dengan sistem wirausaha. Tujuannya adalah dalam rangka memperbaiki kapabilitas dan keefektifan Kabupaten/Kota dalam menghadapi tantangan-tantangan yang menjadi kendala untuk mewujudkan kemandirian dan otonomi daerah. Untuk itu, ada lima strategi yang dapat digunakan, yakni strategi inti, strategi konsekuensi, strategi berorientasi konsumen, strategi kontrol dan strategi budaya (Osborne dan Plastrik, 1992: 39-43).
METODOLOGI 1.
Substansi penelitian Penelitian ini pada dasarnya meneliti hubungan antara globalisasi dan liberalisasi ekonomi dengan perubahan struktur ekonomi Indonesia yang mendorong pertumbuhan kawasan industri dan perdagangan Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo, sekaligus peningkatan resource and tax base yang penting dalam konteks PAD dan kemandirian serta pelaksanaan otonomi daerah.
2.
Metode penelitian Penelitian ini bersifat kasuistik, dan karena itu menggunakan studi kasus sebagai salah satu bentuk penelitian kualitatip dengan pendekatan positivistik.
3.
Subyek/Obyek penelitian Karena penelitian ini menggunakan kasus maka yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah lembaga (Kabupaten/Kota Gersik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo) dan sekaligus perkembangan masalah yang dihadapi, sedangkan subyek penelitian ini adalah beberapa tokoh pemerintahan Kabupaten/Kota, seperti Bupati Kepala Daerah, Sekretaris Wilayah/Daerah Kabupaten/Kota, Kepala-Kepala Dinas di Kabupaten/Kota dan Badan Koordinasi Modal Daerah (BKMD).
4.
Teknik pengambilan unit analisis Pengambilan unit analisis didasarkan pada purposive or judgemental sample (pengambilan
sejumlah
responden
tertentu
berdasarkan
atas
tujuan
dan
pertimbangan tertentu). 161
Volume II Edisi Kedua 2012 Dasar pertimbangan pemilihan Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo: a.
Kabupaten/Kota sidoarjo ditetapkan sebagai proyek percontohan otonomi daerah
b.
Ditinjau dari PAD, Kabupaten/Kota Sidoarjo dan Gresik menempati urutan kedua dan ketiga setelah Surabaya.
c.
Ditinjau dari arus masuk investasi, secara kumulatif selama 20 tahun terakhir (1967-1997), Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo, masing-masing menyerap investasi yang cukup besar, yakni dalam urutan empat dan tujuh se-Jawa Timur.
Variabel penelitian (dibagi dalam dua kelompok) a.
Kelompok variabel yang terdiri dari Globalisasi dan liberalisasi, kebijakan deregulasi, dan resource and tax base.
Z (Globalisasi dan liberalisasi
X (Kebijakan deregulasi)
Z:
ekonomi)
Y (Resource and tax base)
sebagai variabel pengacau/membaurkan (confounding variable), yaitu variable yang serentak mempengaruhi variabel X dan Y.
X:
variabel bebas
Y: variabel terikat
b.
Kelompok kedua terdiri dari peran dominan pemerintah pusat dalam power and resource sharing dan otonomi Kabupaten/Kota.
X (Peran dominan pemerintah dalam
Y (Otonomi Kabupaten/Kota)
power and resource sharing) 162
Volume II Edisi Kedua 2012 5.
Metode pengumpulan data a.
Wawancara (Interview for the opinion leader dan documentary interview of leader)
b. 6.
Dokumentasi dan observasi
Teknik analisis data Proses: a.
Penelaahan dari seluruh data yang telah dikumpulkan.
b.
Reduksi data dengan jalan abstraksi, yaitu membuat rangkuman pokok dan prosesnya
c.
Pembuatan satuan-satuan
d.
Melakukan kategorisasi
e.
Pemeriksaan keabsahan data
f.
Penafsiran data
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Globalisasi dan liberalisasi ekonomi sebagaimana diuraikan di awal pada dasarnya merupakan sebuah perubahan ekononomi global yang mempunyai kecenderungan untuk mengintegrasikan ekonomi dan perdagangan dunia ke dalam sistem pasar global yang terbuka dan bebas. Ini menimbulkan tekanan-tekanan bagi perubahan struktur ekonomi Indonesia agar menjadi terbuka pula. Bersamaan dengan resesi dunia yang berlangsung pada awal tahun 1980-an, yang ditandai dengan jatuhnya harga minyak di pasar internasional, pemerintah Indonesia di bawah rejim Orde Baru pada akhirnya memutuskan kebijakan liberalisasi ekonomi, yang kemudian dikenal dengan paket-paket deregulasi (Winters, 1996: 155-157). Kebijakan ini membawa dampak yang positif bagi pengembangan kawasan-kawasan industri dan perdagangan di Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo. Ini karena paket-paket yang diluncurkan oleh pemerintah tersebut mendorong dan mempercepat arus masuk investasi asing secara besar-besaran ke Indonesia, termasuk Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo. Meskipun kedua kawasan ini berkembang karena adanya faktor-fakrtor umum, yakni upah dan prasarana (jalan, pelabuhan, listrik, transportasi, keanekaragaman usaha dan akses), tetapi paket-paket kebijakan deregulasi menjadi salah satu faktor spesifik yang amat penting dan sekaligus 163
Volume II Edisi Kedua 2012 sebagai intervening variable yang kuat dalam pengembangan Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo menjadi kawasan industri dan perdagangan yang maju di Jawa Timur. Sejak diluncurkannya paket-paket deregulasi awal tahun 1980-an, arus masuk investasi baik PMA maupun PMDN ke Jawa Timur meningkat drastis dalam kurun waktu sejak tahun 1994. Khusus untuk Daerah Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo, menurut laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BPKMD) menyebutkan bahwa untuk kurun waktu 1967- Desember 1997 investasi yang masuk ke Kabupaten/Kota Gresik mencapai Rp. 16.686.705 juta atau 26,8 persen dari seluruh investasi di Jawa Timur dengan jumlah proyek 161. Sementara itu, investasi dalam negeri yang masuk ke Kabupaten/Kota Sidoarjo dalam kurun waktu yang sama mencapai Rp. 13.419.174 juta atau 21,5 persen dari seluruh investasi di Jawa Timur, dengan jumlah proyek 241. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa Kabupaten/Kota Gresik mencapai urutan nomor satu dalam PMDN di Jawa Timur, sedangkan Kabupaten/Kota Sidoarjo berada di urutan ketiga setelah Kodia Surabaya (Lihat tabel 1).
Tabel 1: Ranking dalam persentase PMDN tahun 1967-Desember 1997 menurut nilai investasi (dalam juta rupiah).
No
Lokasi
S/d Desember 1997 Proyek
Investasi
Presentase
1
Gresik
161
16. 686.705
26, 8
3
Sidoarjo
241
13. 419.174
21,5
Sementara itu, jika dikaitkan dengan penanaman modal asing (PMA) tabel 2 menjelaskan bahwa selama kurun waktu 1967-Desember 1997 investasi asing yang masuk ke Kabupaten/Kota Gresik mencapai US$ 3.639.241 ribu atau sekitar 12,1 persen dari seluruh PMA yang masuk ke Jawa Timur, dan dengan jumlah proyek sebesar 61. Untuk Kabupaten/Kota Sidoarjo, dalam kurun waktu yang sama jumlah investasi yang masuk sebesar US$ 1.03.121 riu atau sekitar 3,4 persen dari total PMA yang masuk ke Jawa Timur dengan jumlah proyek sebanyak 71 buah. Menyangkut aliran masuk investasi asing
164
Volume II Edisi Kedua 2012 ini,
berdasarkan laporan BKMD Jawa Timur tahun 1998, Kabupaten/Kota Gresik
menempati peringkat nnomor 4 dan Kabupaten/Kota Sidoarjo menempati peringkat ke-7.
Tabel 2: Rangking PMA 1967-Desember 1997 (dihitung dari keseluruhan jumlah investasi di Jawa Timur). Menurut Nilai Investasi (dalam ribu US$)
No
Lokasi
S/d Desember 1997 Proyek
Investasi
Presentase
1
Gresik
61
3,639,241
12, 1
3
Sidoarjo
71
1,030,121
3, 4
Dengan demikian, berdasarkan kedua tabel di atas, maka Kabupaten/Kota Gresik mampu menyerap investasi (baik PMDN maupun PMA) lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten/Kota Sidoarjo. Meskipun untuk jumlah proyek Kabupaten/Kota Sidoarjo lebih besar. Ini berarti bahwa proyek-proyek investasi yang masuk ke Kabupaten/Kota Gresik mempunyai jumlah atau skala yang lebih besar dibandingkan dengan proyek-proyek yang masuk ke Kabupaten/Kota Sidoarjo.
1.
Implikasi Pengembangan Kawasan Industri dan Perdagangan Pengembangan kawasan industri dan perdagangan dimanapun selalu dikaitkan
dengan orientasi untuk menghasilkan dampak positip yang maksimal atau implikasi sosial dan ekonomi yang diinginkan, yakni dalam rangka meningkatkan standar kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk itu, uraian selanjutnya akan diarahkan untuk menjelaskan dampak pengembangan kawasan industri dan perdagangan bagi perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekspor, dan produk Domestik Regioal Bruto (PDRB), maupun pendapatan regional perkapita. Masuknya investasi (capital inflow) dalam negeri maupun asing ke dalam wilayah Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo telah mendorong terjadinya akumulasi modal (capital accumulation) yang bermakna terjadinya pembentukan unit-unit usaha, besar, menengah, dan kecil. Ini berarti menciptakan banyak peluang tenaga kerja. Tabel 3 menjelaskan argumentasi ini. Berdasarkan tabel 3 di bawah ini kita dapat melihat bahwa penciptaan unit-unit usaha, baik besar, kecil maupun menengah telah membuka 165
Volume II Edisi Kedua 2012 kesempatan kerja yang cukup besar. Selain itu, tabel ini juga menjelaskan bahwa unit-unit usaha yang lebih besar jauh lebih banyak dan sekaligus menyerap tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan unit-unit usaha kecil dan menengah.
Tabel: 3 Unit Usaha dan Tenaga kerja Industri Besar, Menengah dan kecil Kabupaten/Kota Gresik Industri besar No
Tahun
Industri Menengah
Industri Kecil
Jumlah
Tenaga
Jumlah
Tenaga
Jumlah
Unit
Kerja
Unit
Kerja
Unit
Tenaga kerja
1
1982
30
8,195
66
1,755
572
4,313
2
1983
32
8,369
70
1,515
758
9911
3
1984
47
20,180
61
2,089
829
13846
4
1990
10,955
171,623
-
-
2,089
7,810
Sumber: Dinas Perindustrian Kabupaten/Kota Gresik
Sementara itu, untuk Kabupaten/Kota Sidoarjo termnyata juga mempunyai kecenderungan yang sama, yakni bahwa capital inflow akan mendorong penciptaan unitunit usaha dan pada akhirnya ini akan membuka peluang kerja yang besar bagi masyarakat. Secara keseluruhan, antara tahun 1984-1988 jumlah peluang kerja yang dihasilkan oleh unit-unit usaha di Kabupaten/Kota Sidoarjo mencapai 1. 088.148 orang. Suatu jumlah yang cukup signifikan untuk mengurangi angka pengangguran pada waktu itu. Seiring dengan meningkatnya jumlah peluang tenaga kerja di Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo, kontribusi kedua Kabupaten/Kota ini terhadap nilai ekspor juga meningkat. Tabel 4 dan tabel 5 menjelaskan hal ini.
166
Volume II Edisi Kedua 2012 Tabel 4: Nilai Ekspor Kabupaten/Kota Gresik No
Tahun
Nilai Ekspor
1
1991
US $ 180 578.571,42
2
1992
US $ 162.527.691,17
3
1993
US $ 189.091.558,10
4
1994
US $ 198.077.154,76
5
1995
US $ 503.140.880,30
6
1996
Rp. 2. 374.785.39,00
7
1997
Rp. 242.237.400.750,00
Keterangan
Sumber: Dinas Perindustrian Kabupaten/Kota Gresik
Peningkatan hasil ekspor ini penting setidaknya dalam empat hal, yakni: Pertama, pada peningkatan capital inflow. Meningkatnya nilai ekspor ini akan mendorong investasi baru masuk ke kedua Kabupaten/Kota, atau investasi yang lama akan dipertahankan dengan nilai investasi lebih diperbesar, dan dengan memperluas unit-unit usaha baru. Kedua, peningkatan peluang kerja sebagaimana telah dijelaskan di awal. Ketiga, peningkatan pada pendapatan regional dan pendapatan per kapita, dan seterusnya. Terakhir, pengembangan kedua kawasan ini menjadi kawasan industri dan perdagangan.
Tabel 5: Nilai Ekspor Hasil Produksi Kabupaten/Kota Sidoarjo No
Tahun
Nilai Ekspor
1
1988
151.639.500,00
2
1989
194.117.314,00
3
1990
231.753.000,00
4
1991
341.004460,00
5
1992
335.624028,00
6
1993
340.342.667,00
7
1994
457.179.273,00
8
1995
755.184.620,00
9
1996
867166.247,00
Keterangan
167
Volume II Edisi Kedua 2012 10
1997
1.00.724.150,00
11
1998
1.013.733.564,00
Sumber: Dinas perindustrian Kabupaten/Kota Sidoarjo.
Selain pada meluasnya peluang tenaga kerja dan peningkatan nilai ekspor, dampak positip dari adanya capital inflow di Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo juga pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pendapatan regional per kapita. Meskipun indeks PDRB di Kabupaten/Kota Gresik mengalami fluktuasi, namun tetap mempunyai kecenderungan kenaikan yang signifikan. Pada tahun 1983, misalnya indeks perkembangan PDRB Kabupaten/Kota Gresik adalah 100 persen atas dasar harga berlaku, dan 100 persen atas dasar harga konstan. Pada tahun 1992 naik menjadi 389, 13 persen atas dasar harga berlaku dan 216, 03 atas dasar harga konstan. Perkembangan indeks PDRB Kabupaten/Kota Gresik turun pada tahun 1997, yakni menjadi 194, 48 atas dasar harga berlaku, dan 141, 63 persen atas dasar harga konstan. Pendapatan regional per kapita juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 1983, pendapatan regional per kapita Kabupaten/Kota Gresik mencapai 319.345, 92 rupiah atas dasar harga konstan dan 319.345, 92 rupiah atas dasar harga konstan. Pada tahun 1997, naik menjadi 4.560.093,20 rupiah atas dasar harga berlaku, dan 3.311.356,79 rupiah atas dasar harga konstan. Sementara itu, untuk Kabupaten/Kota Sidoarjo juga menunjukan kecenderungan yang sama. Pada tahun 1985, indeks perkembangan PDRB Kabupaten/Kota Sidoarjo adalah 100 persen atas dasar harga berlaku, dan 100 persen atas dasar harga konstan. Pada tahun 1992, indeks PDRB ini naik menjadi 455, 90 atas dasar harga berlaku, dan 215 atas dasar harga konstan. Pada tahun 1997, indeks PDRB ini mengalami penurunan menjadi 118, 50 persen atas dasar harga berlaku, dan 105, 02 atas dasar harga konstan. Pendapatan regional per kapita Kabupaten/Kota Sidoarjo juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1985 pendapatan perkapita Kabupaten/Kota Sidoarjo adalah 542.886 rupiah atas dasar harga berlaku, dan 542,886 atas dasar harga konstan. Tahun 1997, naik menjadi 2. 773.713 rupiah atas dasar harga berlaku, dan 2.773.713 atas dasar harga konstan. Berdasarkan data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan kawasan industri dan perdagangan di Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo tidak dapat dilepaskan dari capital inflow (PMDN dan PMA). Ini disebabkan oleh selain faktor-faktor umum 168
Volume II Edisi Kedua 2012 sebagaimana telah dijelaskan di awal, juga faktor yang bertindak sebagai intervening variable, yakni paket-paket deregulasi yang diluncurkan sejak awal tahun 1980-an. Paket deregulasi ini telah memberikan dampak yang positip bagi peningkatan penanaman modal dalam negeri maupun modal asing, yang pada akhirnya mendorong pengembangan kawasan Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo menjadi kawasan industri dan perdagangan.
2.
Otonomi Daerah di Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo Untuk melihat pelaksanaan otonomi daerah dan kemandirian Kabupaten/Kota
Gresik dan Sidoarjo, uraian berikut ditujukan untuk melihat peran PAD di kedua dati. Uraian ini penting untuk mengetahui seberapa
besar kemampuan masing-masig
Kabupaten/Kota dalam proses pelaksanaan otonomi daerah.
Kabupaten/Kota Gresik Selama tahun 1993/1994 hingga tahun 1997/1998, PAD Kabupaten/Kota Gresik mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni dari Rp. 4.498.172.348,36 pada tahun 1993/1994 menjadi Rp. 14.683.195.829,91 pada tahun 1997/1998. Ini berarti bahwa PAD Kabupaten/Kota Gresik mengalami peningkatan sebesar 326 persen. Namun demikian, meskipun PAD Kabupaten/Kota Gresik mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi kontribusinya terhadap APBD masih cukup kecil dibandingkan dengan subsidi dari pemerintah pusat. Tabel 6 menjelaskan argumentasi ini. Tabel 6: Perkembangan kontribusi pnedapatan daerah (PAD) terhadap APBD Kabupaten/Kota Gresik. No.
Uraian
1993/1994
1997/1998
1
APBD
24.758.407.598,60
50.380.000,643,32
2
PAD
4.498.172.348,36
14.683.195.829,91
3
Presentase PAD
24%
35%
Sumber: Biro Keuangan Pemda Tingkat I, Jawa Timur, Himpunan Data APBD, Perubahan APBD, Perhitungan APBD, dan Realisasi. Lampiran A Daerah Kabupaten/Kota se Jawa Timur (Tahun Anggaran 1993/1994 s/d 1998/1999. 169
Volume II Edisi Kedua 2012 Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa seiring dengan meningkatkan PAD Kabupaten/Kota Gresik, bantuan atau subsidi dari pemeritah pusat juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Ini bisa dilihat dari membengkaknya APBD sebesar 203 %. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa peran PAD Kabupaten/Kota Gresik masih marginal dalam mendorong pelaksanaan otonomi daerah, dan sekaligus dalam mewujudkan kemandirian daerah.
Kabupaten/Kota Sidoarjo Sebagaimana halnya Kabupaten/Kota Gresik, PAD di Kabupaten/Kota Sidoarjo juga mengalami peningkatan yang cukup berarti.
Pada tahun 1993/1994 PAD
Kabupaten/Kota Sidoarjo adalah Rp. 10.557.453.189,57, dan pada tahun 1997/1998 meningkat menjadi Rp. 30.097.203.899,70. Ini berarti bahwa PAD Kabupaten/Kota Sidoarjo mengalami peningkatan sebesar 280%. Namun demikian, sama halnya dengan Kabupaten/Kota Gresik kontribusi PAD bagi APBD juga masih marginal dibandingkan dengan subsidi dari pemerintah pusat. Sebagaimana ditunjukan oleh tabel 7 bahwa meskipun PAD Kabupaten/Kota Sidoarjo mengalami peningkatan, namun bantaun daru pusat juga mengalami peningkatan yang cukup tajam.
Tabel 7: Perkembangan kontribusi pendapatan daerah (PAD) terhadap APBD Kabupaten/Kota No.
Uraian
1993/1994
1997/1998
1
APBD
40.823.042.838,69
78.501.087.724,29
2
PAD
10.577.453.189,576
30.097.203.899,70
3
Presentase PAD
26%
38%
Sumber: Biro Keuangan Pemda Tingkat I, Jawa Timur, Himpunan Data APBD, Perubahan APBD, Perhitungan APBD, dan Realisasi. Lampiran A Daerah Kabupaten/Kota se Jawa Timur (Tahun Anggaran 1993/1994 s/d 1997/1998).
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun kontribusi PAD terhadap APBD mengalami peningkatan, namun masih cukup marginal untuk mendorong 170
Volume II Edisi Kedua 2012 pelaksanaan otonomi daerah dan kemandirian daerah. Ini karena meningkatnya PAD dan sumbangan PAD terhadap APBD (dari 26% menjadi 38%), namun subsidi pemerintah pusat juga mengalami kenaikan yang cukup berarti. Selanjutnya, jika kita bandingkan kondisi di Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo, maka nampak bahwa meskipun kontribusi PAD terhadap APBD di kedua dati masih marginal karena seiring meningkatnya PAD juga diikuti oleh semakin besarnya subsidi pemerintah pusat, namun kontribusi PAD Kabupaten/Kota Gresik relatif lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten/Kota Sidoarjo. Kecilnya sumbangan PAD di kedua dati tersebut terhadap APBD, meskipun secara kuatitas meningkat, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pembagian sumber (resource) yang timpang. Kedua, adanya kendala struktural yang berakibat pada pembagian yang timpang tersebut, yang dalam hal ini adalah antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, terutama pasal 55 yang menentukan sumber-sumber pendapatan daerah. Berdasarkan
pasal tersebut ditentukan bahwa: Pertama, PAD terdiri dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan lain-hasil usaha daerah yang sah. Kedua, sumbangan dari pemerintah, sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Berdasarkan undang-undang ini, dan Undang-Undang nomor 32 tahun 1956, maka sebenarnya akses Kabupaten/Kota, dalam hal ini Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo, terhadap sumber-sumber pendapatan yang menguntungkan (lucrative) menjadi terbatas, seperti pajak pendapatan, pajak penjualan, atau pajak penghasilan
dari
perdagangan
internasional.
Pemerintah
Kabupaten/Kota
hanya
diperkenankan memiliki resource and tax base yang skalanya kecil-kecil, seperti perusahaan-perusahaan daerah, pajak hiburan, pajak ijin usaha, pajak pendaftaran ijin usaha yang ada di wilayahnya, dan pajak-pajak kecil lainnya. Sementara untuk resource and tax base seperti perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh BUMN, maupun pajakpajak yang gemuk dikuasai oleh pemerintah pusat. Ini pada akhirnya akan sangat membatasi daerah untuk meningkatkan PAD, dan sekaligus perannya dalam mendorong pelaksanaan otonomi dan kemandirian daerah. Di sisi yang lain, usaha untuk meningkatkan sumber-sumber PAD juga mengalami hambatan, sehingga penerimaan PAD menjadi kurang maksimal. Pertama, dasar hukum 171
Volume II Edisi Kedua 2012 pemungutan pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Drt tahun 1957 maupun ketentuan pajak negara yang kemudian diserahkan menjadi pajak daerah, tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, terutama tentang cakupan objek pajak, pola dan besarnya tarif serta sistem dan prosedur pemungutan. Kedua, beberapa jenis pajak daerah yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota berdasarkan UU Nomor 11 tahun 1957 hanya disebutkan nomenklatur jenisnya saja, sementara ketentuan material perpajakan belum diatur sama sekali, sehingga pelaksanaannya di daerah menjadi beraneka ragam. Ketiga, wawasan, kemampuan dan ketrampilan aparat pemungut pajak belum maksimal. Keempat, ekstensifikasi jenis pajak tidak dapat terlaksana dengan baik, karena garis batas di lapangan tidak jelas sehingga mengakibatkan terjadinya tumpang tindih antara objek pajak daerah dengan objek pajak pusat. Kelima, potensi PAD belum digali secara maksimal. Akhirnya, perubahan strukural memang perlu dilakukan dalam rangka menjamin power and resource sharing yang lebih adil antara pemerintah pusat dengan Kabupaten/Kota. Ini penting dilakukan dalam rangka mendorong otonomi dan kemandirian daerah melalui peningkatan peran yang signifikan PAD bagi APBD daerah, dan dalam rangka mengurangi daerah dari ketergantungannya dengan pemerintah pusat.
3.
Arti Penting Reposisi Birokrasi Reposisi birokrasi perlu dilakukan setidaknya karena dua alasan. Pertama,
sebagimana dijelaskan di awal bahwa reposisi birokrasi ditujukan dalam rangka melakukan intervensi secara selektif guna menjamin mekanisme pasar agar berfungsi baik, efisien dan efektif. Selain itu juga dalam rangka menjamin persaingan yang sehat bagi dunia usaha, sekaligus menjamin kebebasan dalam perdagangan internasional dalam konteks manajemen makro ekonomi yang stabil. Ini berarti bahwa globalisasi dan liberalisasi ekonomi membutuhkan birokrasi yang mempunyai semangat baru, yakni entrepreneural bureaucracy. Kedua, kondisi aparatur di kedua Kabupaten/Kota (Gresik dan Sidoarjo) masih belum cukup memadai sehingga kualitas pelayanan dan pengelolaan sumber-sumber pendapatan daerah belum maksimal. Padahal ini penting dalam rangka memacu pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu, dalam rangka mendorong otonomi daerah lebih lanjut perlu dilakukan reposisi
birokrasi yang meliputi: pertama, peningkatan
efisiensi kerja. Birokrasi diharapkan mempunyai visi dan kemampuan tepat guna untuk mengoptimalkan pemanfaatan sarana, dan prasarana, serta dana yang dimiliki, sehingga 172
Volume II Edisi Kedua 2012 dapat meningkatkan efisiensi. Kedua, kapabilitas dan peran efektif daerah. Peningkatan kemampuan untuk menggerakan masyarakat, memobilisasi sumber-sumber daerah dan sumber-sumber
lainnya
yang
lebih
luas,
sehingga
memungkinkan
pemerintah
Kabupaten/Kota dapat merebut pasar-pasar strategi, dan mengembangkan bentuk-bentuk kerjasama dan kegiatan-kegiatan bersama melalui jaringan-jaringan kerja dan kemitraan.
KESIMPULAN Globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah mendorong perubahan dalam struktur ekonomi Indonesia (tahun 1980-an) menjadi lebih berorientasi pada pasar. Ini berarti telah terjadi perubahan paradigma dari yang semula state-led development ke arah marketdriven development. Perubahan ini, melalui kebijakan deregulasi, mendorong aliran investasi besar-besaran yang mendorong pengembangan beberapa kawasan industri dan perdagangan termasuk di dalamnya Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo. Pengembangan kawasan ini penting dalam konteks peningkatan resouce and tax base bagi Kabupaten/Kota Gresik dan Sidoarjo karena daerah mendapatkan pendapatan dari berbagai sektor seperti pajak ijin usaha, pajak properti, pajak pendapatan dan lain sebagainya. Namun demikian, meskipun kedua Dati mempunyai resource and tax base yang besar dan mampu meningkatkan PAD, tetapi sumbanganya kecil bagi APBD sehingga pelaksanaan otonomi menjadi tidak maksimal. Ini karena pemerintah pusat dan Dati I masih menguasai dan mengendalikan resource and tax base, yang berasal dari kawasan-kawasan
industri
dan
perdagangan
yang
berkembang
pesat
seperti
Kabupaten/Kota Gresik dan Kabupaten/Kota Sidoarjo. Oleh karena itu, perubahan dalam power and resource sharing yang menguntungkan bagi Kabupaten/Kota tidak hanya menjadi katup penyelamat bagi upaya membangun ekonomi daerah yang nyaris bangkrut karena krisis yang berkepanjangan, tetapi juga komitmen pemerintah untuk membela rakyat melalui langkah konkret pemerintah untuk meningkatkan PAD daerah guna membangun basis ekonomi daerah yang tangguh dan mandiri. Selanjutnya, dalam konteks reposisi birokrasi sebagai usaha membangun birokrasi yang berorientasi wirausaha, dan dalam rangka mempercepat otonomi daerah maka peningkatan efisiensi kerja dan kapabilitas dan keefektifan pemerintah daerah bukan saja dibutuhkan, melainkan juga penting dalam hubungannya dengan pentingnya pembangunan 173
Volume II Edisi Kedua 2012 kapasitas manajemen daerah. Begitu juga dengan manajemen atau pengelolaan keuangan daerah baik yang berasal dari pusat maupun dari pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, Propinsi Jawa Timur, 2000. Sosialisasi pelaksanaan
Kewenangan
Penanaman
Modal
Daerah
Propinsi
dan
Kabupaten/Kota (sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25). Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, 1999. Potensi Peluang Investasi Jawa Timur. Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Sidoarjo, 1999, Produk Domestik Bruto, Kabupaten Sidoarjo. Bappeda Kabupaten Gresik, Program Pembangunan Daerah Gresik, 2001-2005. Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Sidoarjo, 2000, Incremental Capital Output Ratio (ICOR), Kabupaten Sidoarjo. Biro Keuangan Pemda Tingkat I, Jawa Timur, Himpunan Data APBD, Perubahan APBD, Perhitungan APBD dan Realisasi, Daerah Kabupaten/Kota se-Jawa Timur (Tahun Anggaran 1993/1994-1998/1999). Biro Organisasi Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat I, Jawa Timur, 2000. Pedoman Penyusunan pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Hirts, Paul dan Thompson, Grahame (1996) Globalization in Question, Blackwell Publisher Ltd., Cambridge. Khuns, Thomas S., 1962. The Structure of Scientific Revolution, The University of Chicago Press, Chicago. Kuncoro-Jakti, Dorodjatun and Keiji Omura (eds.), 1995. Indonesian Economy in the Changing World, Institute of Developing Economies, Tokyo. Martinos Haris and Ellen Humfreys, ― Capacity building in Urban dan Cultural Areas in Europe,: dalam Robert J. Bennet (ed), 1994. Local Government and Market Decentralization: Experiences in Industrialized, Developing, and Former Eastern Bloc Countries, The United Nation s university, Tokyo. Muhadjir, Noeng, 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta. 174
Volume II Edisi Kedua 2012 Osborne, David and Peter Plastrik, 1992. Banishing Bureaucracy, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., New York. And Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Penguin Books Ltd., New York. Pangestu, Mary (1996), Economic Reform, Deregulation and Privatization: The Indonesia Experience, Center for Strategic and International Studies, Jakarta. Rapley, John, 1996, Understanding Development: Theory and Practice in the Third World, Lynne Reinner Publisher, Boulder. Ruland, J. 1992, Urban Development
in Southeast Asia: Regional Cities and Local
Government. Westview Press, Boulder. Sjahriri, 1995, Meramal Ekonomi di Tengah Ketidakpastian, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Smith, BC., 1985. Decentralization: The Teritorial Dimension of the State. George Allen and Unwin, London. Spero, Joan Edelman (1981), The Poltics of International Relations, (Second edition, New Yorks, St. Martin Press). Sugiono, Muhadi (1999), Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Negara Dunia Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Winter, Jeffrey A., 1996. Power in Motion, Cornell University Press, Ithaca, New york. World Bank, 1998, Public Expenditure Management Handbook, World Bank, Washington DC.
.
175