Volume II Edisi Pertama 2012 KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN KERJA SAMA DAERAH PROVINSI, KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Dr. Kausar A.S, M.Si Dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta
ABSTRACT
Regional autonomy policy requires harmony, balance and support inter-regional capabilities. Inter-regional cooperation will affect market attractiveness and business strength, given the patterns of investment and regional development will be the main attraction for investors and local governments in the development strategy of the region. Cooperation between regions of a social nature that protects the public interest is not got a boost as cooperation in the reduction and prevention of infectious diseases and fire hazards.
I. PENDAHULUAN Pembagian wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI)
dalam
penyelenggaraan
pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Wilayah Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubenur sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi. Gubernur J U R N AL K Y B E R N O L O G I
1
Volume II Edisi Pertama 2012 sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku Wakil Pemerintah di Daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota. Pemerintah Daerah dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu memperhatikan pola hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang antar pemerintahan wajib memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Wilayah administrasi pemerintahan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan Provinsi sebagai Wilayah Administrasi sekaligus Daerah Otonom, sedangkan Kabupaten dan Kota hanya sematamata Daerah Otonom. Pengaturan sedemikian ini berarti bahwa antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota ada keterkaitan satu sama lain, baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan karena Kabupaten dan Kota penyusunannya dilandasi oleh Wilayah Negara, yang diikat sebagai Wilayah Provinsi. Pemikiran bahwa Provinsi dengan Kabupaten dan Kota terlepas satu sama lain, mengingkari prinsip-prinsip NKRI dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara jelas mengatur secara sistematik antara masing-masing strata penyelenggaraan Pemerintahan. Menyadari hal itu, Gubernur yang berfungsi sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi sekaligus sebagai Kepala Daerah Otonom, maka dalam rangka prinsip-prinsip NKRI, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi menerima pelimpahan wewenang Pemerintahan Umum dalam hubungannya dengan Daerah Otonom Kabupaten/ Kota. Provinsi mempunyai kedudukan sebagai Daerah J U R N AL K Y B E R N O L O G I
2
Volume II Edisi Pertama 2012 Otonom sekaligus adalah Wilayah Provinsi yaitu wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja Gubernur untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Setiap daerah memiliki batas wilayah administratif yang ditentukan secara formal melalui peraturan perundangan, akan tetapi dalam kenyataannya berbagai masalah dan kepentingan sering muncul sebagai akibat dari hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi yang melewati batas-batas wilayah administratif tersebut. Dalam ruang inilah kerja sama antar daerah merupakan keniscayaan yang perlu ditingkatkan dan dibenahi mengingat perannya yang begitu strategis dalam memantapkan ketahanan berbangsa dan bernegara, dan begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi dan dipenuhi dengan melewati batas-batas wilayah administrasi. Pembenahan kerja sama daerah tidak terlepas dari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang harus memperhatikan prinsip-prinsip manajemen modern dan tuntutan globalisasi dimana fungsifungsi manajemen harus berjalan secara stimulant, berkelanjutan, efektif dan efisien serta bertanggung jawab kepada publik. Semua ini dilakukan dalam koridor peraturanperundangan yang berlaku antara lain: a.
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah
Daerah
Provinsi
Dan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota; b.
PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah;
c.
PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah;
d.
PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; dan
e.
PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan.
II. DASAR HUKUM KERJA SAMA DAERAH Dalam Pasal 195 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerja sama antar daerah yang diatur dalam keputusan bersama. Demikian juga dalam penyelenggaraan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. Kerja sama yang membebani masyarakat dan daerah J U R N AL K Y B E R N O L O G I
3
Volume II Edisi Pertama 2012 harus mendapat persetujuan DPRD. Dalam Pasal 196 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat. Demikian juga dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. Apabila daerah tidak melaksanakan kerja sama dimaksud maka pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam penyelesaian perselisihan ditegaskan dalam Pasal 198 bahwa Gubernur menyelesaikan perselisihan penyelenggaraan pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, sedangkan perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota diwilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, maka Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. Selanjutnya dalam PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah ditegaskan bahwa kerja sama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterkaitan antar daerah dalam kerangka NKRI, mensinergikan potensi antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga, serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiskal. Kerja sama daerah dilakukan dengan
memperhatikan
prinsip-prinsip
efisiensi,
efektivitas,
sinergi,
saling
menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI, persamaan kedudukan, transparansi, keadilan dan kepastian hukum. Kerja sama daerah adalah kesepakatan antar Gubernur dengan Gubernur atau Gubernur dengan Bupati/Walikota atau antara Bupati/Walikota dengan Bupati/Walikota yang lain dan/atau Gubernur, Bupati/Walikota dengan pihak ketiga yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Oleh karenanya aspek legalitas kerja sama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama.
III. KEBIJAKAN KERJA SAMA DAERAH Ada tiga arah kebijakan kerja sama daerah, yaitu menyangkut aspek kewilayahan, aspek peran strategis peran pemerintah daerah dan tuntutan globalisasi pelayanan publik. Pertama, aspek kewilayahan yaitu kerjasama daerah diarahkan untuk mengurangi permasalahan: J U R N AL K Y B E R N O L O G I
4
Volume II Edisi Pertama 2012 1.
Ketidakseimbangan laju pertumbuhan daerah;
2.
Ketidakefisienan pemanfaatan sumber daya alam dan kemerosotan kualitas lingkungan hidup,
3.
Ketidaktertiban penggunaan lahan dan perijinan,
4.
Ketidakefektifan interaksi kegiatan social ekonomi,
5.
Ketidakharmonisan dalam pemanfaatan ruang dan program pembangunan.
Kedua, aspek peran strategis pemda, yaitu dalam mewujudkan tertib penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan antara lain: 1.
Tercapainya keserasian hubungan antar pemda,
2.
Semakin terlembaganya koordinasi antar pemerintah daerah sesuai dengan hak, kewajiban serta kewenangannya masing-masing dalam penyelenggaraannya,
3.
Terwujudnya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi program pembangunan antara pemerintah, swasta dan masyarakat,
4.
Tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Ketiga, tuntutan globalisasi pelayanan publik, yaitu dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan bernegara secara fundamental menuju ke sistem pemerintahan yang demokratis, transparan serta meletakkan supremasi hukum, dimana kepentingan rakyat dapat kembali diletakkan pada posisi sentral, antara lain: 1.
Menerapkan tata pemerintahan yang baik (good governance),
2.
Memberikan kepastian berusaha,
3.
Peningkatan daya saing daerah dan masyarakatnya dalam menghadapi tantangan globalisasi.
IV. PERAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN KERJA SAMA ANTARDAERAH Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
di daerah mempunyai peran yang sangat
strategis karena Gubernur merupakan perangkat pemerintahan negara yang melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi atas terselenggaranya pemerintahan daerah dan pemerintahan umum di daerah. Dengan demikian Gubernur selaku Wakil Pemerintah dan Kepala Daerah, Gubernur juga merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi diwilayah jabatannya dalam melaksanakan sebagian urusan pemerintahan negara di daerah. Dalam J U R N AL K Y B E R N O L O G I
5
Volume II Edisi Pertama 2012 rangka memperkuat peran Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah, perlu diberikan dukungan baik dukungan politik, manajemen, personil, anggaran maupun prasarana dan sarana. Oleh karenanya dalam kerja sama daerah, Gubernur selain melakukan kerja sama dengan Gubernur lainnya maupun pihak ketiga, maka Gubernur juga melakukan pembinaan kerja sama daerah kabupaten/kota di wilayahnya. Beberapa peran strategik yang perlu mendapat perhatian dalam, pelaksanaan kerja sama daerah antara lain: pembinaan wilayah, penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dan peningkatan pelayanan publik di kecamatan perbatasan. Pelaksanaan Otonomi Daerah tidak secara otomatis mengeliminir tugas, peran, dan tanggung jawab Pemerintah Pusat, Otonomi Daerah bukan berarti otonomi tanpa batas. Oleh karena itu sebagai perwujudan dari semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dipertahankan dalam arti bahwa semangat dan cita-cita reformasi terns dimantapkan tanpa harus mengorbankan persatuan dan kesatuan nasional dan perwujudan Negara Indonesia sebagai suatu entitas idiologi, politik, social budaya, dan pertahanan keamanan. Dalam konteks ini maka urgensi pengaturan pembinaan wilayah perlu dikedepankan mengingat kesadaran suatu negara bangsa (nation state) perlu diaplikasikan dalam fungsi-fungsi pemerintahan sebagai perekat keutuhan bangsa. Oleh karena itu aspek pembinaan wilayah perlu dilegalisasi sebagai dasar dalam menerapkan tugas-tugas pemerintahan umum, yang bukan merupakan hal baru alam fungsi pemerintahan Indonesia. Pembinaan wilayah sebagai suatu kegiatan merupakan refleksi dari tugas-tugas pemerintahan umum yang termanifestasi dalam unit administrasi dan fungsi yang dijalankannya. Dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia bahkan sejak zaman Hindia Belanda, fungsi-fungsi kewilayahan ini sudah ada dan dijalankan di segenap nusantara, yang kemudian setelah Indonesia merdeka sangat dikenal dengan tugas-tugas kepamongprajaan, yang dilaksanakan oleh Pejabat Pamong Praja. Sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena Indonesia adalah "Eenheidstaatt" maka didalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah bersifat "staat" juga. Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
6
Volume II Edisi Pertama 2012 demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri: 1.
Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal.
2.
Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan.
3.
Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir b tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat. Dengan demikian, semakin jelas bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk
mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa (national unity) yang demokratis (democratic government) dalam konteks Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selalu harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional dalam prinsip dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pembinaan wilayah yang dilaksanakan di negara kita pada prinsipnya mengacu pada sistem yang berlaku sesuai struktur ketatanegaraan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah suatu Negara Kesatuan. Pencerminan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dalam dimensi lokal-nasional politik ketatanegaraan tidak hanya mengenal satu bentuk politik pemerintahan atau desentralisasi semata, tetapi juga menyangkut aspek-aspek kewilayahan yang merupakan pencerminan dari tugas umum pemerintahan. Penerapan Otonomi Daerah tidak berarti menghilangkan peranan kewilayahan termasuk didalamnya pembinaan wilayah, dalam arti bahwa tugas-tugas Pemerintah Pusat dilaksanakan pula oleh Daerah Otonom. Jelasnya, Pemerintah Pusat mendelegasikan aspek pembinaan wilayah kepada Daerah Otonom dan dilaksanakan oleh perangkat otonom. Walaupun pada prinsipnya tugas pembinaan wilayah adalah untuk kesejahteraan daerah itu sendiri, namun sebagai suatu negara kesatuan, pemerintah wajib mengontrol daerah sebagai sub sistem nasional, sehingga entitas kebangsaan tidak mengalami pembiasan dalam wilayah daerah itu sendiri. Dengan demikian, secaa umum dimensi pembinaan wilayah dapat dikategorikan sebagai berikut : 1.
Pembinaan wilayah sebagai proses pengintegrasian berbagai nilai sosial-kultural yang terdapat pada berbagai sub-wilayah di suatu wilayah tertentu; J U R N AL K Y B E R N O L O G I
7
Volume II Edisi Pertama 2012 2.
Pembinaan wilayah sebagai proses untuk menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi, dan budaya di wilayah yang bersangkutan;
3.
Pembinaan wilayah sebagai upaya untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban wilayah pemerintahan sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat; dan
4.
Pembinaan wilayah sebagai upaya untuk membangun manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia dalam kerangka satu bangsa, bangsa Indonesia. Berdasarkan dimensi tersebut, peran Gubernur dalam pembinaan wilayah pada
dasarnya
berupa
upaya-upaya
mengkoordinasikan
pengelolaan
yang
dilakukan
dan
pengerahan
oleh
Gubernur
segala
potensi
dalam wilayah
rangka yang
bersangkutan untuk dipergunakan secara terpadu guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Proses pendayagunaan itu berupa kombinasi dari pengerahan beberapa faktor di atas yang saling menunjang terhadap satu sama lain sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran pembinaan wilayah oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah harus dapat mewujudkan segala potensi yang ada yang terkandung dalam aspek-aspek kewilayahan geografis-sosiologis dan geografis-teritorial serta demografisnya yang kemudian menghasilkan output yang maksimal guna kepentingan seluruh masyarakat dan negara Indonesia. Terkait dengan hat tersebut, agar peran Gubernur dapat dilakukan dengan optimal perlu didukung dengan data base kewilayahan yang baik. Sehubungan dengan hat tersebut, beberapa agenda yang perlu mendapat dukungan dan perhatian Gubernur adalah perlunya perhatian serius terhadap pemutahiran kode dan data wilayah, Pemetaan potensi wilayah baik sumber daya alam, sumber daya buatan, maupun sumber daya manusia yang bisa dijadikan referensi dalam penawaran kerja sama daerah. Kebijakan otonomi daerah membutuhkan keselarasan, keseimbangan dan dukungan yang kapabilitas antar daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat dan menciptakan keseimbangan yang dinamis antar daerah sehingga kekompakan dan keterpaduan yang terjalin antar daerah akan dapat menciptakan hubungan yang harmonis serta menjaga ketertiban dan keamanan serta dapat mempercepat pertumbuhan pembangunan serta membuka pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru dalam penyelenggaraan otonomi daerah merupakan hal yang perlu terus dikembangkan dalam rangka memperkuat perekonomian daerah.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
8
Volume II Edisi Pertama 2012 Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja sama
Daerah dalam mengembangkan kerja sama
antar
pemerintah daerah dan daerah dengan pihak ketiga, substansi yang dikerjasamakan harus jelas sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah masingmasing. Dalam rangka efektivitas pelaksanaan kerja sama daerah maka Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah, perlu melakukan langkah-langkah: 1.
Memfasilitasi kerja sama daerah antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi;
2.
Menginventarisasi pedanjian pelaksanaan kerja sama daerah;
3.
Memfasilitasi penyelesaian perselisihan kerja sama antar daerah Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi;
4.
Melakukan monitoring dan evaluasi.
Masyarakat di daerah dengan prakarsa kepala daerah harus aktif dalam menciptakan keunggulan bersaing (competitive advantage) nya masing-masing. Pada akhirnya, secara merata dalam suatu wilayah Indonesia yang luas ini tercipta kekuatan besar yang mampu menghadapi ekonomi global. Pembangunan harus berdasar geographically cluster maping, mengingat Indonesia ini luas sekali berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik.
V. PERMASALAHAN PELAKSANAAN KERJA SAMA DAERAH Dalam pengamatan masih terdapat beberapa kendala didalam melakukan kerja sama antar daerah antara lain: 1.
Kurangnya pemahaman stakeholders dan penentu kebijakan akan arti pentingnya Kedasama Antar Daerah. Terbatasnya perangkat peraturan dan kelembagaan untuk terciptanya "link and match".
2.
Belum siapnya kerangka kerja Kerjasama Daerah dalam bentuk Master Plan (rencana induk) dan data base Kerjasama Antar Daerah.
3.
Belum sinkronnya kebutuhan untuk investasi kerjasama antar daerah yang relatif besar dengan kemampuan sharing dari masing-maisng APED yang relatif terbatas seperti untuk : -
Investasi untuk penyediaan lahan; J U R N AL K Y B E R N O L O G I
9
Volume II Edisi Pertama 2012 -
Investasi pengadaan sarana dan prasarana utilitas, infrastruktur dan pelayanan umum;
-
Investasi dalam penyediaan prasarana Daerah, Kota/Kabupaten/Provinsi seperti 'hirarki jaringan jalan, air bersih, drainase, sanitasi lingkungan, persampahan, listrik, transportasi, jaringan komunikasi dan sebagainya;
4.
Besarnya investasi untuk operasi dan pemeliharaan yang terpadu.
Belum adanya keterpaduan antara pihak Pemerintah dan Non Pemerintah/Pihak Swasta. Misal : perlu integrasi antara penyediaan infrastruktur proyek swasta dengan jaringan makro infrastruktur Pemerintah/Daerah.
5.
Belum terintegrasinya sarana dan prasarana Kab/Kota secara terpadu dalam program Kerjasama Antar Daerah. Menurut pengamatan empirik pola-pola Kerjasama Antar Daerah akan sangat
dipengaruhi dengan daya tarik pasar dan kekuatan bisnis, mengingat pola-pola investasi dan pengembangan Daerah akan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor ataupun Pemerintah Daerah didalam pengembangan strategi wilayahnya. Sementara itu Kerjasama Antar Daerah yang bersifat sosial yang melindungi kepentingan publik masih kurang mendapat dorongan seperti kerjasama dalam penanggulangan dan pencegahan banjir, kebakaran, penyakit menular dsb
VI. PENUTUP Dalam rangka meningkatkan kerja sama daerah maka perlu diimplementasikan kebijakan PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, inisiasi kerja sama dapat dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan atau pemerintah daerah lainnya dan/atau pihak ketiga. Oleh karenanya dibutuhkan pemetaan potensi daerah yang akan dikerjasamakan, menyiapkan kelembagaan serta meningkatkan kapasitas aparatur di bidang kerja sama daerah.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
10
Volume II Edisi Pertama 2012 DAFTAR PUSTAKA
Mubyarto, Satono Kartodirdjo, 1988, Pembangunan Pedesaan di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Hoogerwerf, 1983, Ilmu Pemerintahan, alih bahasa Tobing, Jakarta: Erlangga. Howleett, Michael and Ramesh M. 1995, Studying Public Policy, Policy Cycles and Policy Subsystem, New York: Oxford University Press. Iglesias, Gabriel, U. 1976, Implementation the Problem of Achieving Result, Manila. Mustopadidjaja, 1992, Studi Kebijaksanaan, Perkembangan dan Penerapannya dalam Administrasi dan Manajemen Pembangunan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ndraha Taliziduhu, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Rineka Cipta. PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah Rasyid, Muhammad Ryaas, 1997, Makna Pemerintahan di Tinjau dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta : Yasir Watampone. Sadu Wasistiono dan M.Irawan Tahir, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Fokus Media, Bandung.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
11
Volume II Edisi Pertama 2012 KEANEKARAGAMAN BUDAYA DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT
ABSTRACT With the mutual understanding in a pluralistic society, which is based on conflict and ethnic culture can be reduced. Development of social, cultural, economic and political impact of rapid globalization kamtibmas cause problems. Community involvement in addressing various issues accelerate problem resolution.
I.
Pendahuluan Integrasi Nasional yang telah berhasil diwujudkan melalui sebuah proses yang
panjang dan kompleks. Integrasi nasional hanya sebuah proses untuk mengubah loyalitas yang bersifat sempit, yang bersumber pada nilai-nilai yang bersifat askriptif, pada loyalitas yang lebih luas, yaitu negara bangsa (Nation State). Proses pendidikan politik menentukan keberhasilan dalam memelihara integritas nasional. Melalui proses pendidikan politik yang menanamkan rasa cinta kepada bangsa dan tanah air dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan kepada setiap warga negara akan tumbuh rasa cinta kepada bangsa dan tanah air yang lebih mendalam. Hal ini harus disertai dengan sejumlah langkah-langkah yang positif dari berbagai pihak, termasuk keteladanan dari kalangan pemimpin, penegakkan aturan dan norma hukum, serta perwujudan sumber ekonomi yang berkeadilan. Integrasi nasional pada dasarnya mencakup 2 (dua) masalah pokok, yaitu bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara dan meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik setiap anggota masyarakat itu. Wujud integrasi nasional bisa vertikal dan horizontal. Vertikal dalam arti integrasi antara elite dan massa dalam aspek kehidupan masyarakat dan horizontal, integrasi antar kelompok – kelompok masyarakat dalam aspek kehidupan itu. Kesamaan nilai-nilai dan yang dimiliki oleh bangsa, haruslah dijadikan tali pengikat perbedaan-perbedaan yang ada. Konflik yang sering terjadi dewasa ini, lebih disebabkan karena adanya perbedaan persepsi tentang sesuatu, baik itu perbedaan antar generasi, ketidakpuasan sikap Daerah terhadap Pusat, dan lemahnya Pemerintah Pusat dalam mensikapi persoalan-persoalan yang muncul di daerah. Dalam kemajemukan masyarakat ini, kebijakan nasional sangat J U R N AL K Y B E R N O L O G I
12
Volume II Edisi Pertama 2012 mempengaruhi integrasi nasional. Kebijakan nasional dituntut untuk mampu menghasilkan output yang bersifat atau memberikan dampak integratif, dan harus mampu menciptakan serta membina stabilitas sosial dalam masyarakat . Sehingga mampu mengendalikan diri dari segala bentuk ikatan primordial tetapi berdasarkan pada konsensus normatif yang ditumbuhkan pada nilai-nilai dasar yang hidup dalam masyarakat.
II.
Keanekaragaman Budaya Kebijakan otonomi Daerah diharapkan mampu memelihara integrasi nasional dan
keutuhan bangsa Indonesia. Dengan otonomi Daerah dapat mewujudkan hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, proses demokrasi berjalan baik dan adanya peningkatan kesejahteraan di Daerah. Daerah memiliki kepercayaan kepada pemerintah Pusat, yang akhirnya dapat memperlancar pembangunan bangsa menuju keutuhan nasional. Daerah merupakan pilar yang kokoh bagi negara kesatuan. Semakin kuat daerah, semakin kuat pula bangsa dan negara. Disintegrasi akan terjadi kalau daerah diperlakukan tidak adil, kewenangan Pemerintah Daerah dibatasi dan tidak adanya kemandirian Daerah. Penguatan otonomi Daerah ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada Daerah untuk berprakarsa dan memberdayakan masyarakat untuk menggali potensi yang ada di Daerahnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Masalah keamanan dan rasa aman masyarakat hendaknya berorientasi pada masyarakat yang dilayani dengan berpedoman pada: 1) kebenaran, kebebasan, dan kejujuran; 2) keadilan; 3) cinta dan kasih ; 4) tanggung jawab; 5) penghargaan terhadap kebudayaan. Sejalan dengan pemikian tersebut untuk memaknai community police, dengan memperhatikan berbagai fungsional antara masyarakat dengan polisi. Karena keberadaan polisi beserta fungsi-fungsinya ditentukan oleh corak masyarakat dan corak kekuatan akan pengayoman dan rasa aman. Pemolisian
masyarakat merupakan salah satu model pemolisian yang pro aktif dan
problem solving dalam masyarakat yang demokratis. Yaitu: 1) polisi dan masyarakat berkerja sama untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, 2) polisi berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat atas gangguan kriminalitas atau berupaya memberikan jaminan kemanan, 3) lebih menekankan tindakan pencegahan kriminalitas, 4) berorientasi pada masyarakat dan 5) senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian polisi dapat menyelesaikan konflik tidak lagi dengan kekerasan tetapi dengan dialog atau komunikasi J U R N AL K Y B E R N O L O G I
dan mencari solusi terbaik. 13
Volume II Edisi Pertama 2012 Penyelesian konflik dalam mewujudkan keamanan dan rasa aman haruslah berdasarkan: 1) Supremasi hukum, 2) Memberikan jaminan perlindungan HAM, 3) Adanya transparansi , 4) Adanya pertanggungjawaban
publik danan 5) Berorientasi pada kepentingan
masyarakat. Nilai-nilai ideal Pancasila yang menjunjung kebhinekaan atau pluralisme, demokrasi dan keadilan sosial justru semakin relevan dengan kondisi kebangsaan negara kita sekarang. Komitmen memperkokoh Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, tidak dimaksudkan untuk mensakralkan Pancasila dan UUD 1945 karena keduanya memang tidak perlu disakralkan. Namun, tidak akan memberikan ruang pemikiran untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain ataupun mengubah pembukaan UUD 1945 yang berisi Pancasila sebagai dasar negara. Sejarah telah membuktikan pada saat kita meninggalkan Pancasila terjadi
perpecahan dan konflik politik dalam negara yang
mengarah desintegrasi bangsa. Setelah kembali lagi melaksanakan Pancasila secara konsisten, integrasi bangsa dan negara terwujud kembali. Kesejahteraan masyarakat meningkat dan pembangunan dapat berjalan baik. Oleh karena itu, kita harus memperkuat konsensus untuk melaksanakan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa secara konsisten. Kalau kita renungkan dan melakukan refleksi diri terhadap kejadian-kejadian yang sekarang ini terjadi pada bangsa dan negara kita seperti : Anarkis, konflik politik yang tidak terselesaikan, saling fitnah di antara tokoh, peningkatan kemiskinan dan pengangguran serta konflik-konflik yang mengarah kepada desintegrasi bangsa, ternyata semuanya bermuara pada tidak diperhatikan dan dilaksanakan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal Pancasila mampu mengakomodasi kebutuhan zaman. Untuk itu perlu dicegah adanya penafsiran terhadap Pancasila yang dapat melemahkan posisi dan peran Pancasila dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Ada dua aspek yang membuat pasang surutnya pemahaman Pancasila saat ini. Pertama, aspek internal sebagai dampak dari otonomi daerah yang telah melahirkan sentimen etnik dan provinsialisme yang semakin menguatkan kecenderungan pada local nationalisme. Kedua, aspek eksternal pengaruh globalisasi yang mengakibatkan pudarnya identitas dan jati diri bangsa. Dengan adanya dua aspek tadi, mengharuskan adanya upaya serius untuk melakukan perbaikan sehingga pancasila tetap menjadi jati diri bangsa ditengah globalisasi dunia. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
14
Volume II Edisi Pertama 2012 Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perbaikan, apalagi menyangkut keselamatan bangsa dan keutuhan NKRI. Kesempatan ini harus kita manfaatkan secara optimal untuk melakukan revitalisasi cita-cita para pendiri bangsa untuk mewujudkan negara Pancasila. Eksistensi Pancasila sebagai dasar negara simbol pemersatu dan identitas nasional yang bisa diterima berbagai kalangan harus terus dijaga. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, Pancasila harus dimasyarakatkan. Menghidupkan Pancasila bukan didasari romantisme historis terhadap masa lalu, tetapi suatu fakta riil akan pentingnya identitas nasional untuk membingkai dinamika kenegaraan dan kemasyarakatan yang kompleks. Demokrasi yang kita jalankan, haruslah diarahkan untuk menjaga dan melindungi kelangsungan NKRI. Demokrasi harus sesuai dengan kultur bangsa yang Pancasilais yang sangat menghargai kebersamaan, perbedaan, dan nilai-nilai gotong royong yang selama ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Demokrasi yang dilaksanakan juga harus menghargai kearifan lokal dan kultur masyarakat yang sudah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, selama itu bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten karena Pancasila bukanlah berisikan nilai-nilai statis, tetapi memiliki nilai-nilai dinamis. Untuk itu ada hal yang penting yang perlu dilakukan dalam menempatkan Pancasila sebagai ideologi perubahan. Pancasila sebagai ideologi dasar negara dan filsafat hidup bangsa ideologinya tumbuh dan dipraktikkan dalam setiap aktivitas masyarakat. Sosialisasi nilai-nilai Pancasila harus terus digelorakan, tidak terkecuali internalisasi nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat. Selain itu hal yang penting lagi adanya komitmen dan konsistensi pada pemimpin bangsa terutama elit politik untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak. Hal ini akan menimbulkan keteladanan kepemimpinan sehingga membuat rakyat mempunyai rasa aman sehingga tingkat kesejahteraannya meningkat. Budaya merupakan fenomena empirik tentang sifat, watak, dan tabiat yang diungkapkan dalam pola pikir, tindak dan perbuatan individu maupun kelompok sosial. Budaya lokal dapat mewarnai minimal dalam 3 dimensi, yaitu pertama, dimensi masyarakat (yang diperintah), kedua, dimensi yang memerintah (pemerintah), dan ketiga, dimensi program pembangunan. Dimensi-dimensi tersebut merupakan mata rantai yang saling terkait dan saling memberi makna. Fenomena lokalisme hendaknya dikelola dengan baik, sehingga tidak mengarah pada etnosentrisme . Kunci keberhasilan implementasi budaya lokal adalah menguatnya kesadaran masyarakat seiring dengan tingginya sanksi J U R N AL K Y B E R N O L O G I
15
Volume II Edisi Pertama 2012 sosial yang diberikan kepada individu atau seseorang yang melanggar tatanan hidup yang dibingkai dalam budaya lokal. Dengan adanya saling memahami dalam masyarakat majemuk, dapat diwujudkan suatu kondisi yang kondusif terwujudnya keamanan dalam negeri, konflik yang berlandaskan budaya dan etnik dapat dikurangi sehingga muncul saling percaya dan kondusif dalam membangun kesejahteraan bangsa dan negara. Negara harus membangun tata kelola konflik dengan baik. Ada 3 (tiga) dimensi tata kelola konflik yang belum dibangun dengan baik oleh negara. Pertama, adalah tata keamanan
yaitu kepolisian
bertanggung jawab sebagai pelaksananya. Tata keamanan ini harus dituangkan dalam kapasitas kepolisian dalam menilai dinamika konflik , memobilisasi aparat keamanan dan meberikan pengetahuan massa untuk bertindak tidak dengan kekerasan. Kedua, adalah dimensi kelembagaan resolusi konflik damai. Konflik yang muncul dalam masyarakat perlu dilembagakan di dalam sistem formal yang difasilitasi oleh negara. Ketiga, adalah lembaga rekonsiliasi yang diciptakan oleh kelompok sosial dengan difasilitasi oleh kepolisian dan pemerintah. Lembaga ini dibuat untuk menciptakan saling pengertian sehingga rasa saling bersimpati masyarakat menjadi waspada dan mulai melalui proses komunikasi terbuka dalam lembaga ini.
III.
Globalisasi dan Peran Kepolisian Globalisasi mengakibatkan kompetisi semakin terbuka dan peningkatan tuntutan
masyarakat dalam pelayanan publik. Dalam menghadapi perubahan tersebut agar jati diri bangsa tetap terjaga diperlukan: •
Manusia Indonesia yang mempunyai orientasi baru sesuai dengan tuntutan global
•
Kepemimpinan
berdasar fondasi yang kuat pada agama dan nilai budaya yang
berkembang dalam masyarakat, dapat memberikan keteladanan dan menggali peluang-peluang secara optimal serta mengembangkan sifat optimistik dalam menghadapi permasalahan yang muncul. •
Semangat gotong royong dan musyawarah untuk mufakat sebagai landasan solidaritas baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga tercipta nilai-nilai demokrasi yang sesuai dengan budaya Indonesia.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
16
Volume II Edisi Pertama 2012 •
Kebijakan Nasional yang berdasarkan konsensus normatif yang ditumbuhkan pada nilai-nilai dasar yang hidup dalam masyarakat dan mampu menghasilkan out put yang bersifat atau memberikan dampak integratif
•
Peningkatan kemampuan Pemerintah beserta jajaran birokrasinya untuk membuat kebijakan yang dapat meningkatkan kesehteraan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, memberikan pendidikan yang murah dan berkualitas bagi rakyat, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan memberikan peluang masuknya investasi sehingga tercipta kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sangat pesat serta berbagai
dampak dari era globalisasi pada masyarakat menimbulkan berbagai permasalahan Kamtibmas yang semakin kompleks dan meluas yang sangat mungkin terjadi kapan saja dan di mana saja. Tingginya angka kejahatan di tengah-tengah keterbatasan sumber daya yang dimiliki aparat Polri, seperti sumber daya manusia, sarana prasarana serta anggaran, tentu mendorong perlunya semua pihak untuk ikut terlibat di dalamnya. Mengharapkan aparat keamanan untuk dapat mengatasi semua bentuk ancaman dan gangguan Kamtibmas bukanlah pilihan yang bijaksana Di samping itu, pengalaman membuktikan, bahwa pelibatan pihak lain, misalnya anggota masyarakat dalam menjaga Kamtibmas merupakan cara yang paling efektif, mengingat masyarakat sendirilah yang mengetahui secara tepat kondisi wilayah dimana mereka tinggal, sehingga setiap potensi terjadinya ancaman dan gangguan Kamtibmas lebih mudah untuk dideteksi serta diantisipasi.
IV.
Penutup Globalisasi menjadikan dinamika sosial budaya yang mengarah kepada tindakan-
tindakan kriminal semakin meningkat. Pendidikan karakter dan menimbulkan kembali rasa kebanggan terhadap bangsa Indonesia menjadikan nilai-nilai kebangsaan semakin kuat. Seiring dengan itu gangguan kamtibmas yang meresahkan masyarakat dapat terdeteksi dan dapat diprediksikan sehingga dapat dikendalikan. Kepastian hukum merupakan hal yang paling penting ditumbuhkan untuk mengurangi tingkat kriminalitas dalam masyarakat. Kesan dan citra buruk masyarakat terhadap peran, tugas dan lembaga kepolisian akan membatasi ruang gerak kepolisian dalam menjalankan peran dan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
17
Volume II Edisi Pertama 2012 Tantangan polisi semakin berat ditengah beragamnya bentuk dan modus kriminalitas serta kompleksitas persoalan sosial yang terus berkembang. Polisi perlu partner masyarakat sebagai sumber informasi sekaligus subjek yang diberdayakan sehingga terwujud masyarakat yang aman, tentram dan harmonis. Polisi harus dekat dengan masyarakat. Strategi proaktif policing perkembangan kedepan mulai dilakukan suatu upaya pada peningkatan tindakan reaktif menjadi pro aktif sehingga tersipta suasana kondusif rasa aman dalam masyarakat dn memberikan pelayanan yang prima bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Albiaw, Martin. 1989. Birokrasi, Terjemahan M. Rusli Karim dan Totok Daryanto. Tiara Wacana Yogyakarta. Bennis, Warren, & Mitchel Hisehe. 1995. Organisasi Abad 21 Reinventing melalui Reengineering. Terjemahan Irma Andriani R. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Gouvillart, J. Francais, James N. kelly. 1995. Transforming the Organization. Mc GrawHill Inc. New York. Novri, Susan. 2009. Sosiologi Konflik, Isu-isu Konflik Kontemporer, Penerbit Kencana. Jakarta. Osborn, and Ted Goebler. 1992. Reinventing Government, How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. William Patrick Book, Addison Wesley Publishing Company, Inc. Rasjid, Ryaas.1997. Pembangunan Pemerintah Indonesia Memasuki Abad 21. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Politik IIP Jakarta. Robbins, Stephen. 1995. Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi. Edisi 3, alih bahasa Yusuf Udaya. Penerbit Arcon Sofyan, Ahmadi. 2010. Melihat Polisi dengan Mata Hati. Polda Bangka Belitung. Suparlan, Parsuadi. 2008. Ilmu Kepolisian. Penerbit Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Suwarmi. 2009. Prilaku Polisi. Penerbit Nusa Media. Bandung. Warlan, Ambar. 2009. Polisi dan Politik. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Winardi. 1994. Manajemen Konflik, Konflik Perubahan dan Pengembangan. Penerbit CV. Mandar Maju Bandung. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
18
Volume II Edisi Pertama 2012 Perencanaan Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dan Mahasiswa Pemondok Dalam Pembangunan Kesehatan Berwawasan Lingkungan Di Jatinangor Kabupaten Sumedang Oleh : Soni A. Nulhaqim ABSTRACT The expected environment in Jatinangor is being a good environment to be the healthy environment, so there are need more effort to increase of healthy environment. In the research that the title is Planning of Locality Society and Student Empowering of Health Development in Seeing the Environment, purposed to know about health in Jatinangor, behavior of societies and students in healthy environment, also their role and efforts in Health Development in Seeing the Environment. Its included five health indicators, among they are healthy dwelling, cleaned water, water closet, rubbish, and neighborhood waste (RAKSA). This research used descriptive method and take the sample based the location of had large student number. The amount of respondent are 30 people from local society and 30 people from student. The study result, about the healthy dwelling is all respondenrs already permanent, and their efforts of respondents are still based on their habitual activities like open the door and window in the morning. And the respondent already have desire to take care the interaction among them. About the good water, the respondent use drill well or digging well. And their consumption of water from refill mineral water or bought mineral water. Their efforts to maintain the water is cleaning the water places. About water closet, all the respondents already have their own closet. And majority respondent already have septic tank. About the management of rubbish, all the respondents manage it by themselves, with throw their rubbish in to rubbish place but based this research the majority is burning their rubbish because in Jatinangor not yet has rubbish official. Neighborhood waste, the majority of respondent already have drainage ditch and the direction to the river. In doing the community empowerment of health development in seeing the environment, recommended that it should be implement Stakeholder Integration System of Community Empowerment of Health Development Based on Environment synchronizes all stakeholder system in order to carry out implemented strategies of flowered model,
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
19
Volume II Edisi Pertama 2012 especially their who carry out the programs based five health indicators, among they are healthy dwelling, cleaned water, water closet, rubbish, and neighborhood waste (RAKSA).
1.
PENDAHULUAN Jatinangor adalah salah satu kecamatan di Barat Kab. Sumedang dan dikenal sebagai
kawasan pendidikan, di dalamnya terdapat empat Perguruan Tinggi yaitu Universitas Padjadjaran, Universitas Winaya Mukti, IKOPIN (Institut Koperasi dan Manajemen Indonesia), dan IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri). Maka dari itu pendatang yang berasal dari luar dari daerah untuk menuntut ilmu di Jatinangor semakin banyak. Jumlah pemondokan yang disediakan untuk mahasiswa terus bertambah, berdasarkan data Kecamatan Jatinangor pada tahun 2002 jumlah pemondokan telah mencapai 927 buah dan jumlah kamar 11.341 kamar, sedangkan jumlah kamar yang terisi yaitu 8.907. Jika melihat jumlah mahasiswa yang mondok di Jatinangor cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Jatinangor yaitu sebesar 68.411 jiwa. Semakin banyaknya mahasiswa, maka pembangunan fisik di Jatinangor sangat cepat untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dari luar, akibatnya pembangunan kurang memperhatikan
aspek pembangunan
kesehatan berwawasan lingkungan.
Seperti
semerawutnya penataan pembangunan pondokan hingga lahan untuk serapan air semakin berkurang, bahkan ada beberapa titik rawan air bersih, kemudian semakin banyaknya pondokan maka dibutuhkan banyaknya tempat untuk septictank, jika tidak memperhatikan hal ini maka sumber air bersih akan mudah tercemar, kemudian pengelolaan sampah masih kurang, terutama dari fasilitas sampah. Maka diperlukan usaha-usaha dalam pembangunan kesehatan yang berkesinambungan dengan mensinergikan antara masyarakat lokal dengan mahasiswa pendatang yang mondok di daerah Jatinangor. Lingkungan yang diharapkan adalah lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolongmenolong dalam memelihara nilai-nilai budaya bangsa. Maka masa depan yang ingin dicapai melalui pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan berwawasan lingkungan dimana masyarakatnya hidup dalam lingkungan yang sehat dengan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu J U R N AL K Y B E R N O L O G I
20
Volume II Edisi Pertama 2012 secara adil, merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, sehingga Kabupaten Sumedang dapat memberi andil cukup besar dalam pencapaian tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional yaitu Indonesia Sehat 2010. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, diperlukan usaha-usaha dalam meningkatkan
kesehatan
masyarakat
beserta
lingkungannya
dengan
mendorong
kemandirian para mahasiswa pondokan dan masyarakat lokal untuk hidup sehat yaitu perlu ditingkatkannya tingkat perilaku sehat mahasiswa pondokan dan masyarakat lokal dalam pembangunan kesehatan terutama dalam lingkungan mereka, hingga pola perilaku mereka dapat membentuk kondisi lingkungan yang kondusif untuk hidup sehat. Upaya tersebut dilakukan melalui perencanaan pembangunan kesehatan yang difokuskan pada pemberdayaan mahasiswa pondokan dan masyarakat lokal dalam pembangunan kesehatan yang berwawasan lingkungan yang sehat agar terdorong kemandirian masyarakat secara keseluruhan untuk hidup sehat. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan identifikasi masalah penelitian sebagai berikut : 1.
Bagaimana keadaan lingkungan pemondokan Mahasiswa dan rumah penduduk?
2.
Bagaimana keadaan keadaan air bersih di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk?
3.
Bagaimana keadaan Kakus/MCK di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk?
4.
Bagaimana keadaan pembuangan dan pengelolaan sampah di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk?
5.
Bagaimana saluran pembuangan air limbah rumah tangga di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk?
6.
Bagaimana perencanaan pemberdayaan masyarakat lokal dengan mahasiswa pemondok dalam pembangunan kesehatan berwawasan lingkungan?
Kemudian tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tentang: 1.
Keadaan lingkungan pemondokan Mahasiswa dan rumah penduduk
2.
Keadaan keadaan air bersih di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk
3.
Keadaan Kakus/MCK di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
21
Volume II Edisi Pertama 2012 4.
Keadaan pembuangan dan pengelolaan sampah di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk
5.
Saluran pembuangan air limbah rumah tangga di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk
6.
Perencanaan pemberdayaan masyarakat lokal dengan mahasiswa pemondok dalam pembangunan kesehatan berwawasan lingkungan
Definisi Operasional Guna mengarahkan penelitian ini, penyusun mengemukakan definisi operasional sebagai berikut: 1.
Pembangunan kesehatan adalah berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal.
2.
Kesehatan berwawasan lingkungan adalah keadaan tempat tinggal masyarakat baik individu, keluarga maupun masyarakat yang menunjang hidup sehat.
3.
Pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat untuk mengatasi
permasalahannya
sendiri dalam menjalankan hidupnya. 4.
Perencanaan
adalah
adalah
proses
dalam
menyusun
arah
tujuan
dengan
mempersiapkan tahapan-tahapan tertentu untuk mencapai tujuan tersebut. 5.
Program-program yang ditujukan untuk mencapai tingkat kemandirian masyarakat dalam pembangunan kesehatan dengan menjaga lingkungannya hingga menjadi kondusif untuk hidup sehat.
6.
Perencanaan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan berwawasan lingkungan yaitu penyusunan arah tujuan program pembangunan kesehatan berwawasan lingkungan dengan memegang prinsip partisipasi, kemandirian, dan kesinambungan.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan teknik survey. Serta untuk mendapat dukungan data, dalam penelitian ini mengambil beberapa orang untuk di wawancara tersturktur. Penelitian ini dilakukan di Jatinangor, Kabupaten Sumedang dengan sasaran populasi adalah mahasiswa pondokan, masyarakat lokal, tokoh masyarakat J U R N AL K Y B E R N O L O G I
22
Volume II Edisi Pertama 2012 dan aparat pemerintah khususnya instansi terkait yang memiliki kewenangan dalam perencanaan pembangunan kesehatan baik dari tingkat II maupun sampai tingkat kecamatan. Penentuan wilayah berdasarkan jumlah mahasiswa yang paling banyak berdasarkan data di pemerintahan kecamatan Jatinangor. Teknik penentuan menggunakan Quota random samling yaitu dengan mengambil sampel 30 responden mahasiswa yang tinggal di pemondokan dan 30 responden masyarakat setempat. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental random sampling Untuk keperluan analisis kajian ini, data atau informasi yang dikumpulkan berasal dari data hasil wawancara kepada masyarakat dalam pembangunan kesehatan berwawasan lingkungan Kemudian data juga diperoleh dari tokoh masyarakat setempat dalam bentuk indepth interview dan data penunjang lainnya dari dinas-dinas atau sumber-sumber lain. Untuk melengkapi kajian ini dilakukan pula penelusuran dari berbagai kebijakan atau dokumen yang terkait dengan kajian ini. Data yang terkumpul, terutama hasil kuesioner diproses dengan menggunakan program SPSS, yaitu program statistik dengan menggunakan alat bantu komputer. Sebelum data di proses terlebih dahulu dilakukan coding data yaitu kegiatan untuk mengklasifikasikan jawaban responden ke dalam kelompok-kelompok yang telah ditentukan, hal ini dilakukan terutama pada jawaban yang bersifat terbuka. Setelah kegiatan coding dilakukan maka proses berikutnya adalah entry data yaitu kegiatan memasukan data hasil wawancara yang telah melewati proses peng-codingan ke dalam program SPSS yang selanjutnya dilakukan pengolah data. Hasil dari pengolahan data ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi. Sementara informasi dari Instansi pemerintah dilakukan melalui kategori data, pengecekan data oleh informan dan pengungkapan informasi secara naratif.
2.
KAJIAN PUSTAKA
Mahasiswa Pemondok Mahasiswa pemondok sebagai pendatang biasanya harus melakukan penyyesuaianpenyesuaian kebudayaan, baik dari segi bahasa maupun adat istiadat. Norma-norma, kebiasaan dan tata kelakuan dipelajari dan dilaksanakan oleh mahasiswa pemondok agar menjadi bagian dari masyarakat tersebut sehingga dapat terjalin kehidupan masyarakat J U R N AL K Y B E R N O L O G I
23
Volume II Edisi Pertama 2012 yang baik. Interaksi sosial tersebut membawa perubahan-perubahan yang diharapkan memberikan kemajuan bagi kedua belah pihak, terutama masyarakat setempat. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Astrid S. Susanto (1983) bahwa : “ …tugas pemuda adalah membentuk „agency of sociual change (for pfogress)‟ yang diarahkan pada falsafah hidup masyarakat dengan manusia yang bermartabat”
Mahasiswa dapat melakukan perubahan-peruabahn itu dengan cara berpartisipasi dan ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat. Partisipasi sosial menurut Holil Soelaiman (1985:6) adalah : “keterlibatan aktif warga masyarakat baik secara perorangan, kelompok atau dalam kesatuan masyarakat, dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan social dan pembangunan masyarakat yang dilaksanakan di luar maupun di dalam Lingkungan masyarakat atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosialnya”
Mahasiswa pemondok sebagai sivitas memiliki kewajiban untuk membawa pencerahan intelektual bagi masyarakat sekitarnya. Salah satu cara yaitu dilakukan dengan berpartisipasi mahasiswa pemondok dalam kegiatan masyarakat terutama dalam bidang kesehatan lingkungan. Masyarakat tentunya memiliki harapan akan keberadaan mahasiswa pemondok untuk berpartisipasi di lingkungan sekitarnya seperti yang dinyatakan oleh Dudi Supardi : “Kami sebagai masyarakat Jatinangor, benar-benar berharap mahasiswa dapat memposisikan
dirinya
di
masyarakat….Kami
berharap
mahasiswa
bisa
berpartisipasi supaya ada keseimbangan antara masyarakat asli dengan mahasiswa” (Tabloid Djatinangor, 2002:8)
Pemberdayaan Masyarakat Upaya pembangunan sosial pada dasarnya merupakan suatu pemberdayaan masyarakat. Bagi seorang pelaku perubahan, hal yang dilakukan terhadap klien mereka (baik individu, keluarga, kelompok ataupun komunitas) adalah upaya memberdayakan (mengembangkan klien dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Dalam kaitan dengan ini, Payne dalam Adi J U R N AL K Y B E R N O L O G I
24
Volume II Edisi Pertama 2012 (2000 : 32) mengemukakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment), pada intinya ditujukan guna : Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
Istilah pemberdayaan masyarakat menunjukkan digunakannya berbagai pendekatan dan teknik dalam suatu program tertentu pada masyarakat-masyarakat lokal sebagai kesatuan tindakan dan mengusahakan perpaduan diantara bantuan yang berasal dari luar dengan keputusan dan upaya masyarakat lokal yang diorganisasikan. Program ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong prakarsa dan kepemimpinan lokal sebagai salah satu perubahan primer (Definisi PBB dalam Soetarso, 1994 : 5-10). Terkait dengan isu Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan, maka dalam bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial dikenal dua bentuk intervensi sosial yang dikembangkan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, intervensi di level (tingkat) Mikro (Individu, keluarga, dan kelompok) dan Makro (komunitas dan Organisasi). Intervensi di tingkat makro merupakan bentuk intervensi dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial yang dugunakan untuk melakukan perubahan dan pemberdayaan pada tingkat komunitas dan organisasi. Intervensi makro dikenal dengan istilah yang berbeda di beberapa negara, antara lain istilah community work atau community organization. Intervensi komunitas itu sendiri pada dasarnya terdiri dari beberapa model intervensi antara lain yang dikemukakan oleh Glen yang mengacu pada model intervensi community development (pengembangan masyarakat), community action (aksi komunitas) dan community services approach (pendekatan pelayanan masyarakat). Netting dalam Adi (2001 : 34) mengemukakan pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk intervensi langsung yang
dirancang dalam rangka melakukan
perubahan secara terencana pada tingkat organisasi dan komunitas. Kemudian Rothman dan Tropman (1987 : 3) menyatakan intervensi makro mencakup berbagai metode profesional yang digunakan untuk mengubah sistem sasaran yang lebih besar dari individu, J U R N AL K Y B E R N O L O G I
25
Volume II Edisi Pertama 2012 kelompok dan keluarga, yaitu : organisasi, komunitas baik ditingkat lokal, regional maupun nasional secara utuh. Praktek makro berhubungan dengan aspek pelayanan masyarakat yang pada dasarnya bukan hal yang bersifat klinis, tetapi lebih memfokuskan pada pendekatan sosial yang lebih luas dalam rangka meningkatkan kehidupan yang lebih baik di masyarakat. Terlihat beragamnya istilah yang digunakan para akademis untuk menggambarkan bentuk Intervensi Makro dalam bidang pendidikan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Meskipun ada perbedaan dalam pengkategorian, tetapi secara mendasar mereka membicarakan suatu yang sama. pada intinya melihat bahwa „Intervensi Makro‟ (Macro Intervention), Intervensi Komunitas (Community intervention), „community work‟, „social work Macro Practice‟ merujuk pada praktek dan kegiatan yang sama yaitu : Pengembangan Masyarakat (community development),
Aksi Komunitas (Community action), dan Pendekatan
Pelayanan Masyarakat (community services approach).
Teknik Analisis SWOT Organisasi, pada hakekatnya merupakan suatu ecological entity, yakni merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan di sekitarnya, dan ikut memberikan pengaruh terhadap maju mundurnya organisasi. Dapat dikatakan pula bahwa sebagai suatu etentitas, organisasi tidak beroperasi di ruang hampa, melainkan berinteraksi dengan unsur-unsur lingkungannya, baik internal maupun eksternal. Sehubungan dengan adanya interaksi antar organisasi dengan unsur-unsur lingkungannya tadi, maka seluruh pendukung organisasi perlu menentukan respon agar dapat mengantisipasi setiap kemungkinan yang terjadi, khususnya yang memberikan dampak negatif bagi organisasi. Tujuan akhir dari upaya merespon kondisi ini adalah untuk mempertahankan hidup organisasi (survive). Kemudian untuk dapat menentukan respon yang tepat dan akurat, maka organisasi perlu melakukan analisis faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor eksternal (peluang dan ancaman). Dari analisis dua faktor ini diharapkan agar akan dihasilkan sinergi untuk mencapai tujuan organisasi. Selanjutnya
untuk
mengarah
pada
suatu
strategi
yang
sinergis,
perlu
diidentifikasikan berbagai alternatif tindakan yang mungkin dapat ditempuh. Pada tahap inilah terdapat proses seleksi atau pemilihan alternatif yang paling feasible, applicable, serta accountable. Namun perlu diperhatikan bahwa penentuan tindakan alternatif J U R N AL K Y B E R N O L O G I
26
Volume II Edisi Pertama 2012 (alternative actions) menjadi tindakan terpilih (decided actions), harus berjalan seiring dengan norma-norma yang lebih tinggi yang menjadi visi dan misi organisasi yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, visi dilakukan sebagai suatu kondisi yang ingin diraih/dituju (what you are going to be?) ; sedangkan misi adalah suatu tindakan yang harus dilakukan untuk menju ke arah yang diinginkan (what are you going to do?). setelah ditentukan tindakan yang harus dilakukan, maka langkah terakhir adalah menentukan rencana tindak lanjut (plan of actions) dari setiap rencana secara terperinci. Analisis SWOT merupakan suatu proses kreatif dalam merencanakan strategi, kebijakan, dan program-program kerja suatu organisasi atau unit organisasi dengan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan internal dan eksternal organisasi tersebut, baik dari sisi positif maupun sisi negatifnya. Dengan kata lain, analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor sacara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan, dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun pada saat bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Freddy Rangkuti, 1997: 19). Dalam bentuk tabel, lingkungan internal dan lingkungan eksternalanisasi beserta sisi positif dan negatifnya dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel Lingkungan Internal dan Eksternal Organisasi dan Sifatnya
3.
+/-
Internal
Positif
Strenght (Kekuatan)
Negatif
Weaknesses (Kelemahan)
Eksternal Opportunity (Peluang) Threat (Ancaman)
HASIL PENELITIAN DAN DAN PEMBAHASAN Keadaan lingkungan tempat tinggal Mahasiswa dan tempat tinggal penduduk Dalam pembangunan kesehatan penglolaan keehatan lingkungan sangat penting
karena merupakan salah satu kebijakan umum untuk mencapai Indonesia Sehat 2010. Peneliti menspesifikasikan kesehatan lingkungan ke dalam 5 (lima) aspek yaitu Rumah Sehat. Air Bersih, Kakus, Sampah, dan Air Limbah (RAKSA). Hasil penelitian tentang kebijakan dalam kesehatan berwawasan lingkungan berdasarkan persepsi masyarakat Sumedang terutama di daerah Jatinangor. Terhadap kelima kajian dalam kesehatan lingkungan dapat dikemukakan sebagai berikut : J U R N AL K Y B E R N O L O G I
27
Volume II Edisi Pertama 2012 Rumah Sehat Sebelum
masuk
ke
kebutuhan-kebutuhan
dalam
rumah
sehat,
peneliti
mengkategorikan rumah responden yaitu rumah tergabung dengan kos-kosan atau terpisah, hasilnya yaitu seperti pada berikut ini : Tabel Kategori Rumah
Uraian Rumah Tergabung Dengan Kosan Rumah Terpisah Dengan Kosan TOTAL
Penduduk Lokal F %
Mahasiswa F %
7
23,3
9
30
23
76,7
21
70
30
100
30
100
Sumber: Penelitian 2006
Berdasarkan tabel tersebut, kategorisasi rumah dan kosan terpisah paling banyak hingga dapat dikatakan interaksi sosial antara penduduk lokal dengan mahasiswa belum dapat dikatakan baik. Berpisahnya rumah penduduk lokal dengan mahasiswa akan memperlebar jarak antara mahasiswa dengan penduduk lokal. Sehingga transfer knowledge yang diharapkan dari mahasiswa sebagai agent of change terhadap penduduk lokal tidak akan berjalan dengan semestinya.
A. Kebutuhan Fisiologis Persepsi responden mengenai rumah sehat sangat bervariatif, jika dilihat dari jenis rumah yaitu permanen, semi permanen dan non permanent. Untuk keadaan jenis rumah dapat dikatakan rumah penduduk lokal sudah cukup baik, ini dapat terlihat dari 30 responden yang di teliti 93,3% memliki rumah yang permanen. Memiliki rumah yang permanen secara langsung berkorelasi terhadap peningkatan kesehatan yang bersangkutan. Rumah yang permanen akan memiliki sanitasi yang lebih baik dari rumah yang semi permanen maupun yang non permanen. Sedangkan pondokan/kos-kosan mahasiswa, seluruh rumah pondokan/kos-kosan mahasiswa (100%) adalah rumah permanen. Kemudian, mengenai jenis lantai seluruh responden baik penduduk lokal maupun mahasiswa menyatakan memiliki jenis lantai bertegel. Jenis rumah yang bertegel dapat menunjang tingkat kesehatan yang baik, karena dikorelasikan rumah bertegel terhindar dari J U R N AL K Y B E R N O L O G I
28
Volume II Edisi Pertama 2012 kotoran-kotoran di dalam rumah, dan kemudahan untuk membersihkan keadaan rumah. Hal inipun sama dengan kepemilikan jendela seluruhnya (100%) menjawab memiliki jendela. Kepemilikan jendela sangat penting dalam rumah, terutama untuk menjaga udara atau pencahayaan di dalam rumah. Dari hasil penelitian, seluruh responden memiliki jendela rumah, karena sudah semestinya jendela ada di tiap rumah mapun tempat kost. Sedangkan upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga udara di rumah. Berdasarkan hasil penelitian, jawaban dari penduduk lokal maupun mahasiswa bermacammacam, tapi mayoritas lebih banyak menjawab upaya yang dilakukan adalah jendela dan pintu dibuka sebanyak 36,7% bagi penduduk lokal sedangkan mahasiswa sebanayk 50%. ,
Tabel Upaya Menjaga Udara di Rumah Penduduk
Mahasiswa
Uraian F Lingkungan fisik pencahayaan
rumah
untuk
F
%
9
30
9
30
Jendela dan Pintu sering dibuka
11
36,7
15
50
Penanaman pohon di halaman
2
6,7
1
3,3
Lingkungan rumah terbuka dan Jendela/pintu 4 sering dibuka
13,3
3
10
Jendela/pintu sering dibuka dan penanaman pohon
3
10
-
-
Lingkungan Fisik terbuka, jendela/pintu dibuka, 1 penanaman pohon di halaman
3,3
2
6,7
100
30
100
TOTAL
terbuka
%
30
Sumber: Penelitian
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
29
Volume II Edisi Pertama 2012 Berikutnya adalah penjelasan mengenai sinar matahari secara dapat langsung masuk ke dalam rumah/kos mahasiswa. Berdasarkan hasil penelitian sebesar 80% responden penduduk lokal menjawab bahwa sinar matahari dapat langsung masuk kedalam rumah mereka. Sedangkan untuk mahasiswa pondokan, cahaya matahari yang dapat langsung masuk kedalam rumah pondokan/kos-kosan adalah sebagai berikut: sebesar 83,3% responden. Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagaian besar rumah penduduk lokal dan kos-kosan memiliki teknik pengaturan cahaya yang baik dimana pengaturan cahaya yang baik ini akan berpengaruh pula pada kualitas kesehatan penduduk. Sedangkan upaya yang dilakukan penduduk lokal maupun mahasiswa, dari berbagai jenis upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga pencahayaan, upaya yang dilakukan sebagaimana telah disebutkan diatas, upaya membuka pintu dan jendela adalah upaya yang paling banyak dilakukan oleh responden mahasiswa. Hal ini dilakukan karena upaya membuka jendela dan pintu adalah upaya yang mudah dan praktis untuk dilakukan mengingat kesibukan mahasiswa yang padat sehingga berbagai bentuk upaya lainya yang menyita waktu dan tenaga tidak memungkinkan untuk dilakukan.
B. Kebutuhan Psikologis Komunikasi sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial. Komunikasi yang baik memungkinkan seseorang untuk menjalankan tugas (task) dan perannya (role) secara baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Kualitas komunikasi antar anggota keluarga dari responden penduduk lokal dapat diketahui bahwa 100% responden, menilai bahwa kualitas komunikasi antar anggota keluarga mereka adalah baik. Kualitas komunikasi yang baik ini sangat erat kaitannya dengan berbagi upaya yang dilakukan oleh responden dalam menjaga keharmonisan komunikasi diantara anggota keluarga. Upaya-upaya tersebut secara umum berdasarkan penelitian ini yaitu menyediakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga adalah upaya yang dilakukan oleh 60% responden penduduk lokal, upaya lainnya yaitu dengan mengupayakan adanya ruangan khusus untuk berkumpul bersama, sedangkan upaya lainnya adalah komunikasi saat makan bersama. Dari berbagai upaya yang dilakukan oleh penduduk lokal untuk menjaga keharmonisan komunikasi diantara anggota keluarga, upaya dengan menyediakan waktu khusus untuk berkumpul bersama keluarga merupakan upaya yang paling banyak J U R N AL K Y B E R N O L O G I
30
Volume II Edisi Pertama 2012 dilakukan. Dari berbagai upaya yang dilakukan oleh penduduk lokal dapat disimpulkan bahwa berbagai upaya tersebut cukup efektif, hal ini dapat dilihat dari penilaian responden mengenai kualitas komunikasi antar anggota keluarga dimana seluruh responden mengatakan bahwa kualitas komunikasi diantara anggota keluarga mereka adalah baik. Sedangkan mengenai keadaan komunikasi diantara para penghuni kosan yang ditanyakan sebesar 66,7% menjawab bahwa mereka melakukan komunikasi setiap hari dengan penghuni kosan lainnya. 30% melakukan komunikasi 3 s/d 5 hari dalam seminggu dan 3,3% melakukan komunikasi sebanyak 1 s/d 2 hari dalam seminggu dengan penghuni kostan lainnya Dari jumlah (kuantitas) komunikasi antar mahasiswa penghuni kosan sebagaimana secara umum telah tergambarkan dalam penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas komunikasi antar para penghuni kostan adalah cukup baik walapun terdapat beberapa pengecualian pada kasus-kasus tertentu. Kemudian mengenai keadaan interaksi/komunikasi antara mahasiswa pemondok dengan penduduk lokal dan sebaliknya adalah sebagai berikut. Berdasarkan hasil penelitian responden dari penduduk lokal lebih banyak menjawab cukup yaitu (kadang-kadang) sebanyak 50%, kemudian yang menjawab baik berjumlah 43,3%, kemudian yang menjawab kurang hanya 6,7%. Sedangkan menurut responden dari mahasiswa keadaan interaksi mereka dengan penduduk lokal lebih banyak menjawab kurang yaitu 43,3%, Cukup (Kadang-kadang) sebanyak 36,7%, sedangkan sisanya 20% mengatakan baik. Perbedaan jawaban antara mahasiswa dengan penduduk lokal dikarenakan penduduk lebih aktif untuk memulai terjadinya komunikasi dengan mahasiswa. Sedangkan mahasiswa lebih banyak berkomunikasi dengan sesama mahasiswa. Bagi mereka komunikasi dengan penduduk lokal agak sulit karena mahasiswa masih merasa takut jika terjadi permasalahan yang melibatkan penduduk lokal, terutama dengan pemuda-pemuda lokal. Sedangkan penduduk lokal sendiri sangat berkeinginan untuk mengenal dengan mahasiswa yang berada di daerahnya. Tetapi akibat perbedaan pandangan dimana penduduk merasa mahasiswa yang harus memulai terjadinya komunikasi sedangkan mahasiswa sendiri masih ada rasa takut untuk berinteraksi menyebabkan komunikasi jarang terjadi hanya sebatas mengenal penduduk yang memiliki warung atau tempat makan, yang biasa di singgahi oleh mahasiswa tersebut. Berdasarkan penelitian bahwa cara atau upaya utama yang di tempuh oleh kedua belah pihak, baik itu pihak penduduk lokal ataupun pihak mahasiswa pondokan adalah J U R N AL K Y B E R N O L O G I
31
Volume II Edisi Pertama 2012 dengan senyum, bertegur sapa dan mengobrol, hal ini sesuai dengan kebiasaan dan adat istiadat
didaerah
priangan/sunda
dimana
bentuk
komunikasi
nonverbal
seperti
tersenyum,membungkukan bandan dan bentuk komunikasi verbal seperti bertegur sapa merupakan suatu bentuk pengejawantahan dari nilai-nilai kesopanan yang dianut oleh masyarakat. Selain itu dari tabel tersebut diketahui pula bahwa lokasi/tempat terjadinya komunikasi/interaksi antara mahasiswa pondokan dengan penduduk lokal sering kali terjadi di warung-warung dan tempat-tempat ibadah. hal ini mengandung makna bahwa tempat-tempat tersebut memiliki arti yang sangat penting untuk menunjang terpeliharanya komunikasi dan interaksi yang harmonis diantara kedua belah pihak. Suatu fakta lain yang juga dapat ditemukan tersebut bahwa terdapat 30% mahasiswa yang tidak melakukan upaya apapun untuk manjaga dan memelihara komunikasi. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa mahasiswa kurang manganggap arti penting komunikasi dengan penduduk lokal.
C. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit antar penghuni rumah Untuk memenuhi syarat rumah sehat maka harus memenuh persyaratan pencegahan penyakit antar anggota keluarga salah satunya yaitu mencegah vektor pembawa penyakit seperti tikus dan kecoa. Berikut ini adalah penjelasan mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh penduduk lokal dan Mahasiswa untuk mencegah sumber penyakit : Upaya yang paling banyak dilakukan oleh penduduk lokal maupun mahasiswa dalam mencegah penyebaran vektor/sumber penyakit adalah dengan membersihkan rumah atau kosan secara rutin atau teratur masing-masing sebanyak penduduk lokal sebanyak 53,3% dan mahasiswa sebanyak 70%. Sedangkan upaya-upaya lainnya baik responden mahasiswa maupun penduduk lokal memiliki persentasi yang sedikit. upaya-upaya tersebut adalah: Menyimpan barang-barang bekas ditempat yang bersih, tempat sampah ditutup agar tidak bisa dimasuki oleh tikus, menyimpan makan secara tertutup rapat. Kemudian responden yang memilih upaya secara keseluruhan hanya 6,7% dari penduduk lokal dan dari mahasiswa. Berdasarkan hasil penelian tersebut baik mahasiswa maupun penduduk lokal memiliki kebiasaan yang sama untuk mencegah penyebaran vektor penyakit dengan cara membersihkan rumah atau kosan secara rutin/teratur yang mereka anggap upaya tersebut sudah cukup untuk mencegah penyebaran vektor penyakit. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
32
Volume II Edisi Pertama 2012 Keadaan dan pengelolaan keadaan air bersih di lingkungan pemondokan mahasiswa dan rumah penduduk Air Bersih Pengelolaan kesehatan lingkungan juga mencakup air bersih. Pada kehidupan ini air memegang peranan yang sangat penting oleh karena itu kajian air bersih termasuk dalam kajian kesehatan lingkungan. Dalam penelitian khusus mengenai sumber air bersih ini, jawaban satu orang responden bisa lebih dari satu pilihan jawaban. Berdasarkan hasil penelitian sumber air yang paling banyak digunakan baik oleh penduduk lokal maupun mahasiswa adalah sumur bor hal ini ditunjukan dari 53,3% penduduk lokal dan 60% mahasiswa. Seperti pada tabel berikut ini: Tabel Sumber Air Bersih
Uraian
Penduduk Lokal
Mahasiswa
F
%
F
%
Sumur Galian
10
33,3
9
30
Sumur Bor
16
53,3
18
60
Ledeng (PAM)
1
3,3
2
6,7
Sumuir galian dan sumur bor
2
6,7
-
-
Sumur galian dan sumber air orang lain (tetangga)
1
3,3
-
-
1
3,3
30
100
Artesis Total
30
100
Sumber: Penelitian
Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui, untuk kos-kosan mahasiswa sudah menggunakan teknologi penyedot air dan banyak pula yang menggunakan air ledeng. sedangkan untuk penduduk lokal sudah menggunakan sumur bor dan masih ada pula yang menggunakan sumur galian tradisional, bahkan masih ada yang menumpang ke J U R N AL K Y B E R N O L O G I
33
Volume II Edisi Pertama 2012 sumber air milik orang lain. Kemudian penduduk lokal tidak menggunakan air ledeng karena penggunaan air ledeng memerlukan biaya tambahan bulannya. Kemudian sumber air baik penduduk lokal maupun mahasiswa pondokan tidak mengelami kekeringan saat musim kemarau, hal ini dikarenakan masih cukup ketersediaan air tanah di Jatinangor, hanya saja da beberapa lokasi yang airnya berkurang. Bahkan kualitas air tanah di lokasi penelitian dapat dinilai cukup baik karena air tersebut dapat dikonsumsi (dimasak terlebih dulu). Namun bagi mahasiswa mayoritas air untuk dikonsumsi oleh mereka lebih memilih untuk membeli air isi ulang atau membeli air mineral seperti pada keterangan berikut ini. Berdasarkan hasil temuan diatas dapat disimpulkan bahwa walaupun air tanah di lokasi penelitian secara kasat mata merupakan air yang layak minum tetapi kebanyakan responden memilih untuk membeli air bersih untuk konsumsi mereka sehari-hari. Akan tetapi kecenderungan untuk membeli air lebih banyak ditunjukan oleh responden mahasiswa yaitu sebesar 50% sedangkan penduduk lokal hanya berjumlah 30% dari keseluruhan responden. Perbedaan kecenderungan ini disebabkan pebedaan tingkat ekonomi dari mahasiswa pondokan dengan penduduk lokal, selain itu hal tersebut disebabkan pula oleh kebiasaan penduduk lokal dalam pola konsumsi air minum dimana secara turun-temurun mereka sudah terbiasa untuk mengkonsumsi air minum dari sumbersumber air tanah mereka. Sedangkan upaya pengelolaan air bersih seperti pada tabel beirkut:
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
34
Volume II Edisi Pertama 2012 Tabel Upaya Pengelolaan Air Bersih
Uraian
Penduduk Lokal
Mahasiswa
F
%
F
%
Membersihkan tempat penampungan air
12
40
10
33,3
Sumber air berjarak 10m dari septic tank
1
3,3
2
6,7
Sumur diplester
1
3,3
1
3,3
Tidak mengotori sumber air
5
16,7
8
26,7
Dibuatkan penyaringan air
1
3,3
3
10
Membersihkan penampungan dan Sumber air 10m dari septic tank
3
10
2
6,7
Membersihkan penampungan air dan tidak mengotori sumber air
3
10
1
3,3
Membersihkan penampungan dan dibuatkan penyaringan
2
6,7
1
3,3
Tidak mengotori sumber air dan dibuatkan penyaringan
1
3,3
1
3,3
Membersihkan tempat penampungan air, Sumber air 10m dari septic tank dan dibuatkan penyaringan air
-
-
1
3,3
30
100
30
100
Total Sumber: Penelitian
Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui upaya yang dilakukan oleh kedua kelompok responden dalam pengelolaan air bersih relatif sama yaitu dengan membersihkan tempat penampungan air secara berkala. Upaya ini menjadi salah satu bagian dari pembersihan rumah/kos secara berskala.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
35
Volume II Edisi Pertama 2012 Keadaan dan pengelolaan Kakus/MCK Kakus/MCK WC/kakus merupakan sarana penting sebagai penunjang kesehatan lingkungan. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kakus/WC dimiliki oleh 100% responden baik itu dari penduduk lokal maupun mahasiswa pondokan. hasil temuan ini mengindikasikan bahwa kakus/WC merupakan sarana yang dinilai sangat penting keberadaannya oleh kedua belah pihak baik itu mahasiswa pondokan dan penduduk lokal. Sedangkan kepemilikan septic tank baik sebagai sarana penunjang bagi terciptanya lingkungan yang sehat cukup besar. Dari responden penduduk lokal yang diambil sebagai sampel 93,7% mennjawab memiliki septic tank dan sisanya 3,3% menjawab tidak memiliki septic tank. Sedangkan mahasiswa penghuni kos-kosan terdapat 90% menjawab memiliki septic tank dan 10% menjawab tidak tahu. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa septic tank merupakan sarana yang sangat dominan digunakan untuk membuang limbah dan kotoran dalam wilayah penelitian ini. Rumah pondokan mahasiswa (kos-kosan) dan rumah penduduk lokal menggunakan septic tank guna memenuhi kebutuhan akan kesehatan lingkungan. Lebih kecilnya angka kepemilikan septic tank dari responden mahasiswa sedikit banyak juga dipengaruhi oleh ketidaktahuan responden tersebut akan ada tidaknya septic tank di kos-kosan yang mereka huni. Sedangkan jarak septic tank baik penduduk lokal maupun mahasiswa pondokan menyatakan j 60% responden penduduk lokal dan 40% responden mahasiswa menjawab bahwa jarak antara septic tank dan sumber air adalah dekat atau kurang darii 5 m. Jarak antara septic tank dan sumber air akan mempengaruhi kualitas air yang tersedia. Semakin dekat jarak atara sumber air dengan septic tank maka semakin buruklah kualitas sumber air tersbut. Jarak minimal antara sumber air dan septic tank merupakan hal yang harus diperhatikan dan dipenuhi agar kualitas air dari sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak Jarak yang dekat antara sumber air dengan septic tank ini disebabkan karena kepadatan penduduk sehingga tidak memungkinkan/sulit untuk membuat septic tank yang jaraknnya jauh dari sumber air. Untuk responden mahasiswa terdapat 50% yang menjawab bahwa jarak antara sumber air dan septic tank cukup jauh (lebih dari 5 m) hal ini
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
36
Volume II Edisi Pertama 2012 dikarenakan kos-kosan memiliki lahan yang relatif lebih luas sehingga memungkinkan dibuatnya septic tank dan sumber air yang agak berjauhan.
Keadaan pembuangan dan pengelolaan sampah Sampah Sampah merupakan hal yang seringkali menjadi masalah. Permasalahan sampah ini selain diakrenakan perilaku masyarakat juga dikarenakan oleh sarana dan prasana yang kurang. Penjelasan berikut menunjukan tempat pembuangan sampah yang ditanyakan pada responden penduduk lokal dan mahasiswa penghuni kos-kosan di lokasi penelitian Berdasarkan hasil penelitian 83,3% responden dari penduduk lokal dan 90% dari responden mahasiswa menjawab bahwa mereka membuang sampah di tong sampah. Kemudian 10% masing-masing dari penduduk lokal maupun mahasiswa menjawab membuang sampah di lubang galian, kemudian bagi responden penduduk lokal ada 3,3% yang membuang sampah di lahan kosong. Berdasarkan keterangan tersebut mayoritas mahasiswa maupun penduduk lokal sudah membuang sampah di tempat sampah, berdasarkan hasil observasi tempat sampah ini merupakan tempat sampah yang cukup untuk membuang sampah rumah tangga, terutama bagi mahasiswa, mereka memiliki tong sampah khusus di kamar mereka dan dibuang oleh mereka ke tempat sampah di kos-nya, dan sampah ini dibuang atau di bakar oleh penjaga kos-nya. Sedangkan frekuensi pengangkutan ke TPS seperti pada tabel berikut ini: Tabel Frekuensi Pengangkutan Sampah Dari Rumah Tangga/Kost ke TPS Penduduk Lokal Mahasiswa Uraian F % F % Setiap hari
10
33,3
10
33,3
Dua hari sekali
11
36,7
7
23,3
Tiap minggu
4
13,3
6
20
Tidak ada
5
16,7
7
23,3
30
100
30
100
Total Sumber: Penelitian 2006
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
37
Volume II Edisi Pertama 2012 Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pengangkutan sampah dari rumah baik itu kos-kosan maupun rumah milik penduduk dilakukan secara rutin dengan jadwal tertentu. Akan tetapi terdapat 16,7% dari penduduk lokal dan 23,3% dari mahasiswa yang manyatakan bahwa tidak ada pengangkutan sampah. Sedangkan beberapa cara dan upaya yang dilakukan apabila sampah dari rumah tidak diangkut. Responden penduduk lokal yang melakukan pembakaran sampah apabila tidak ada yang mengangkut adalah 53,3%. Upaya lainnya adalah dengan mengangkut sendiri sampahnya adalah 26,6%, didiamkan saja sebesar 6,7% dan dikubur sebesar 10%. Adapula responden penduduk lokal yang menjawab bahwa pengangkutan sampah tidak pernah yaitu sebesar 3,3%. Bagi mahasiswa penghuni kos-kosan upaya yang paling sering dilakukan adalah dengan membakar sampah tersebut yaitu 76,6%. Sedangkan yang melakukan upaya membuang sampah tersebut ke sungai adalah 3,3%, didiamkan saja sebanyak 13,3% dan yang menjawab tidak pernah telat adalah 6,7%. Dari data diatas dapat dilihat bahwa upaya yang paling banyak dilakukan untuk mengantisipasi sampah apabila tidak diangkut adalah dengan membakar sampah tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan kebiasaan masyarakat, dimana membakar sampah merupakan cara yang paling praktis dan tidak merepotkan meskipun sebagian besar responden tersebut juga menyadari bahwa membakar sampah dapat menimbulkan resiko lainnya dan juga dapat menimbulkan polusi udara. upaya lainnya yang juga cukup banyak dilakukan adalah dengan mengangkut sendiri sampah tersebut ke TPS. Pengangkutan sendiri sampah ke TPS-TPS cenderung dilakukan oleh penduduk dan mahasiswa yang tempat tinggalnnya relatif dekat dengan lokasi TPS. Dalam hal pemilahan sampah menjadi sampah basah dan sampah kering, hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa hanya sebagian kecil dari penduduk lokal dan mahasiswa yang melakukan pemilahan sampah menjadi sampah basah dan sampah kering sebelum dibuang. Terdapat 3,3% penduduk lokal dan 20% mahasiswa yang melakukan pemilahan sampah tersebut. Sebagian besar responden tidak melakukan pemilahan sampah yaitu sebesar 96,7% dari penduduk lokal dan 80% dari mahasiswa penghuni kos-kosan. Berdasarkan keterangan tersebut ternyata kesadaran responden baik mahasiswa maupun penduduk lokal masih kurang karena masih banyak yang tidak memilah sampah
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
38
Volume II Edisi Pertama 2012 Sedangkan ketika ditanyakan mengenai adakah permasalahan yang dihadapi dalam pemilahan sampah. Bagi responden penduduk lokal sebagian besar yaitu 73,3% memberikan jawaban bahwa ada permasalahan dalam pemilahan sampah tersebut. Sedangkan yang menjawab tidak ada permasaslahan adalah sebesar 26,7%. Bagi mahasiswa penghuni pondokan responden yang menjawab tidak ada permasalahan dalam hal pemilahan sampah adalah 43,3% dan responden yang yang menjawab permasalahan yang umumnya dirasakan dalam hal pemilahan sampah menjadi sampah basah dan sampah kering adalah kerena malas sebesar 20%. Kemudian responden yang tidak memberikan jawaban ada sebesar 20%. Berdasarkan hasil penelitian khususnya mengenai pemilahan sampah untuk penduduk lokal masih terbiasa digabungkan menjadi satu, karena mereka belum terlalu paham akan pentingnya mengenai pemilahan sampah. Bahkan dari beberapa responden masih menanyakan fasilitas yang kurang terutama tempat sampah umum, oleh karena itu mereka banyak juga yang langsung membakar sampah mereka. Sedangkan mahasiswa lebih banyak yang beralasan malas, karena mereka masih memikirkan kepraktisan untuk digabungkan saja, karenamereka berpendapat tidak ada pengaruhnya bagi mereka meski sampah itu digabung atau dipisah.
Keadaan dan pengelolaan saluran pembuangan air limbah Air Limbah Kajian berikut adalah mengenai air limbah, terutama mengenai saluran air limbah dari rumah tangga atau kos-kosan. Berikut adalah penjelasan mengenai arah saluran pembungan air limbah dari rumah tangga yang ditanyakan pada responden penduduk lokal dan responden mahasiswa. Berdasarkan hasil penelitian arah saluran pembuangan air limbah yang dibuang ke selokan umum adalah 80% dari peduduk lokal dan 70% dari responden mahasiswa penghuni kos-kosan. Arah saluran pembuangan air limbah ke sungai sebesar 6,7% dari penduduk lokal dan 3,3% dari mahasiswa. Kemudian 3,3% responden penduduk lokal lainnya menjawab arah saluran pembuangan air limbahnya ke kolam penampungan dan sedangkan mahasiswa menjawab arah saluran ke kolam penampungan sebesar 10%. Kemudian responden penduduk lokal menjawab arah saluran selain ke kolam penampungan juga ke selokan umum sebesar 3,3%. Sedangkan responden mahasiswa ada J U R N AL K Y B E R N O L O G I
39
Volume II Edisi Pertama 2012 yang tidak menjawab yaitu sebesar 13,3%, hal ini dikarenakan mereka tidak tahu arah saluran air limbah dari kos-an mereka. Kemudian ada upaya-upaya yang dilakukan oleh responden untuk merawat saluran air limbah mereka, berikut adalah penjelasan yang menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan baik oleh penduduk lokal maupun mahasiswa dalam merawat saluran air mereka. Berdasarkan hasil wawancara, jawaban responden sangat bervariatif. Upaya yang dilakukan untuk merawat SPAL (saluran pembuangan air limbah) diantaranya dilakukan dengan : membersihkan secara rutin dilakukan oleh 3,3% dari penduduk lokal dan 23,3% dari mahasiswa. Upaya lainnya dengan tidak membuang sampah ke SPAL dilakukan oleh dilakukan oleh responden penduduk lokal sebesar 30% sedangkan responden mahasiswa menjawab sebesar 33,3%. Menutup SPAL dilakukan oleh dilakukan oleh penduduk lokal sebesar 33,3% dan oleh responden mahasiswa sebesar 3,3%. Sedangkan responden yang melakukan 2 upaya sekaligus yaitu membersihkan SPAL secara rutin dan tidak membuang sampah ke SPAL dilakukan oleh 6,7% penduduk lokal dan responden mahasiswa menjawab sebesar 3,3%. Upaya lainnya dengan tidak membuang sampah ke SPAL dan menutup SPAL dilakukan oleh responden penduduk lokal sebesar 6,7% dan responden mahasiswa sebesar 6,7%. Untuk responden penduduk lokal terdapat upaya lainnya yaitu dengan tidak membuang sampah dan menggunakan penyaring dari kawat kasa sebesar 3,3%, upaya lainnya dengan membuat saluran dari semen dan tidak membuang sampah sebesar 3,3%, kemudian upaya membuat penampungan dan tidak membuang sampah sebesar 3,3%. Bagi responden mahasiswa terdapat 13,3% yang tidak menjawab karena tidak melakukan upaya apapun untuk menjaga saluran pembuangan air limbah kemudian mereka juga yang menjawab tidak mengetahui apakah di kos-nya terdapat saluran limbah atau tidak. Sedangkan penduduk lokal terdapat 6,7% yang tidak menjawab karena mereka tidak memiliki saluran air limbah. Dari data diatas dapat diamati bahwa upaya yang paling banyak dilakukan untuk memelihara SPAL adalah dengan membersihkan secara rutin dan tidak membuang sampah ke dalam SPAL. Upaya ini dilakukan karena upaya tersebut merupakan upaya yang relatif mudah dilakukan dan bagian dari upaya menjaga kebersihan lingkungan secara umum.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
40
Volume II Edisi Pertama 2012 Masalah yang lebih krusial adalah masalah sosial, sebab, perkembangan pembangunan Jatinangor umumnya baru bisa dinikmati kaum pendatang saja, sedangkan warga pribumi Jatinangor nyaris tertinggal, malah bisa dikatakan tersisih. Dengan melihat keadaan tersebut menyebabkan kawasan pendidikan ini menyimpan permasalahan yang besar, terutama dalam kesehatan lingkungan seperti saluran pembuangan air limbah rumah tangga yang kotor dengan sampah, dan semakin banyak air buangan dari rumah-rumah atau kos-kosan menyebabkan saluran air limbah/sungai kecil yang menampung air buangan kurang memadai terutama jika hujan tiba, banjir dapat mengancam di beberapa wilayah di Jatinangor, terutama di ruas-ruas jalan tertentu karena saluran air yang mampet karena sampah. Hal ini juga tampak dari sangat minimnya fasilitas untuk pembuangan sampah, masih banyak lahan-lahan kosong dijadikan pembuangan sampah. Hal ini sangat memprihatinkan karena tidak terlihat fasilitas tempat sampah di sepanjang jalan di Jatinangor, tempat sampah hanya tersedia di dalam lokasi kampus. Selain itu pada penelitian ini dikaji pula mnegenai penyakit diare untuk mengetahui sebaran penyakit yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang menderita penyakit diare selama satu bulan terakhir adalah 10% responden dari penduduk lokal dan 16,7% dari mahasiswa. Penyakit diare yang disebabkan oleh kuman penyakit merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kualitas lingkungan suatu wilayah. Penyakit diare lebih banyak diderita oleh mahasiswa penghuni kos-kosan dari pada penduduk lokal sangat berkaitan dengan pola konsumsi mahasiswa penghuni kos-kosan dimana mahasiswa koskosan membeli makanan untuk kebutuhan konsumsinya setiap hari, dan biasanya mereka membeli di tempat-tempat yang agak kotor tempatnya. Kemudian tujuan utama jika ada teman/kerabat/anggota keluarga yang sakit adalah responden dari penduduk lokal lebih banyak memilih berobat di puskesmas yaitu sebanyak 66,6%, kemudian menjawab ke rumah sakit sebesar 26,7%, sedangkan ke klinik dan dengan membeli obat warung masing-masing sebesar 3,3%. Hal ini berbeda jauh dengan jawaban responden dari mahasiswa, jawaban dari mahasiswa berfariatif dengan angka relatif sama, yang pertama ke Puskesmas sebanyak 30%, kemudian menjawab ke UPT sebanyak 26,7%, ke klinik 16,7% dan jawaban membeli obat ke warung dan pergi ke rumah sakit masing-masing sebesar 13,3%. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
41
Volume II Edisi Pertama 2012 Berdasarkan data tersebut tersebut dapat diketahui bahwa jawaban mahasiswa dengan penduduk lokal cukup berbeda, bagi penduduk lokal masih banyak yang berobat di Puskesmas sedangkan mahasiswa cendeung sama, tergantung kedekatan lokasinya, bahkan mahasiswa yang memerlukan pegobatan cepat klinik dan UPT siap melayani 24 jam.
4.
KESIMPULAN Rumah Sehat mayoritas sudah permanen sedangkan upaya-upaya yang dilakukan
responden untuk menjaga rumah sehat
hanya berupa kebiasaan responden seperti
membuka pintu atau jendela, sedangkan tiap responden sudah memiliki keinginan untuk menjaga keharmonisan interaksi antara penduduk lokal dengan mahasiswa dan sebaliknya. Air Bersih, sumber air untuk keperluan mandi di dapat dari sumur bor atau galian. Sedangkan untuk dikonsumsi lebih banyak yang membeli kemasan isi ulang atau membeli air mineral. Upaya-upaya responden mahasiswa maupun penduduk untuk menjaga agar air tidak kootr yaitu memilih dengan membesihkan tempat penampungan air. Kakus/MCK, mayoritas sudah memiliki kakus/MCK sendiri, dan mayoritas sudah menggunakan septic tank. Sampah, sebagian besar responden mengurus sampah rumah tangga sendiri, dengan membuang di tong sampah, namun setelah itu banyak dengan cara dibakar sebab petugas kebersihan belum ada (belum ada yang mengangkut sampah). Air Limbah Rumah Tangga, Mayoritas responden sudah memiliki saluran air limbah rumah tangga dan arah aliran air tersebut menuju ke saluran air (selokan) umum. Dalam mengatasi permasalahan Kesehatan Lingkungan, maka diiperlukan suatu Kerja sama yaitu kemitraan dari semua pihak dan sinkronisasi terutama dalam menjalankan program-program berdasarkan bidang Rumah Sehat, Air Bersih, Kakus, Sampah, dan Air limbah.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
42
Volume II Edisi Pertama 2012 DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). FEUI. Jakarta. I.L. Pasiribu. 1986. Sosiologi Pembangunan. Tarsito. Bandung Ife, Jim (1995), Community Development: Creating Community Alternatives,Vision, Analysis and Practice, Longman, Australia, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 128/MENKES/SK/II/2004 (2004). Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen, Santos H. Hernandez, 1994. The Integration of Social Work Practice. Wadsworth, Inc., California. Pasiribu, Amudi. 1983. Pengantar Statistik. Ghalia Indonesia. Jakarta. Profil Kecamatan Jatinangor. 2005 Rappaport, J., 1984. Studies in Empowerment: Introduction to the Issue, Prevention In Human Issue. USA. Swift, C., & G. Levin, 1987. Empowerment: An Emerging Mental Health Technology, Journal of Primary Preventio. USA.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
43
Volume II Edisi Pertama 2012 PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH Oleh : Ati Dahniar,
Abstract The emergence of a new phenomenon on the changing role of the bureaucrats implementing a motivator, dynamic factor, and facilitators of development as well as the resources or ability to objectively Local Government is increasingly limited, causing among the bureaucrats thought to mimic the private groups that still "exist" and "survive" even though the resources roughing, it is necessary to redefine the meaning and nature of the public service and local government organizations create a lean but powerful and efficient. Achievement-oriented bureaucracy capable of creating good customer service, prioritizing expediency rather than results, and oriented along its intended purpose. Public service delivery system that is usually handled through the administrative mechanism to be a public service providing market-based incentives. To that end, bureaucracy should be able to build a culture of democracy. Keywords: Bureaucracy and Public Service
I. Pendahuluan Kekecewaan terhadap pelayanan publik dan birokrasi pemerintah sudah sering kita mendengarnya. Keputusan untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari pemerintah nyaris tinggal harapan saja. Rasanya tidak heran bila kemudian gagasan Osborne dan Gaebler menjadi begitu populer. Berbagai masalah publik bisa diatasi oleh karena semangat entrepreneurial (kewirausahaan) pada birokrasi di tingkat daerah berhasil mengembangkan inisiatif dan kreatifitas warga masyarakatnya. Pelayanan publik adalah pemberian jasa baik oleh Pemerintah, pihak swasta atas nama Pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat. Dengan demikian yang memberikan pelayanan publik kepada masyarakat luas bukan hanya instansi Pemerintah melainkan juga pihak swasta. Pelayanan publik yang dijalankan oleh instansi pemerintah bermotif sosial-politik, yakni menjalankan tugas pokok serta mencari dukungan suara. Sedangkan pelayanan publik oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari keuntungan. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
44
Volume II Edisi Pertama 2012 Beberapa alasan perhatian Pemerintah terhadap pelayanan publik, menurut Sadu Wasistiono (1999 : 2) antara lain sebagai berikut: a.
Instansi Pemerintah pada umumnya menyelenggarakan kegiatan yang bersifat monopoli, sehingga tidak terdapat iklim kompetisi di dalam, padahal tanpa kompetisi tidak akan tercipta efisiensi dan peningkatan kualitas.
b.
Dalam menjalankan kegiatan, aparatur Pemerintah lebih mengandalkan kewenangan daripada berbuat jasa ataupun kebutuhan konsumen.
c.
Belum atau tidak diadakan akuntabilitas terhadap kegiatan suatu instansi Pemerintah, baik akuntabilitas vertikal ke bawah, kesamping maupun ke atas. Hal ini disebabkan oleh adanya tolok ukur kinerja setiap instansi Pemerintah yang dibakukan secara nasional berdasarkan tanda yang dapat diterima secara umum.
d.
Dalam aktivitasnya, aparat Pemerintah seringkali terjebak pada pandangan “ectic”, yakni mengutamakan pandangan dan keinginan mereka sendiri (birokrasi) daripada konsep “emic”, yakni konsep dari mereka menerima jasa layanan Pemerintah.
e.
Kesadaran anggota masyarakat akan hak dan kewajiban sebagai warga negara maupun sebagai konsumen masih relatif rendah, sehingga mereka cenderung menerima begitu saja, terlebih layanan yang diberikan bersifat cuma-cuma.
Pelayanan publik kepada masyarakat dapat diberikan secara cuma-cuma ataupun dengan pembayaran. Pemberian pelayanan publik yang diberikan cuma-cuma sebenarnya merupakan kompensasi dari pajak yang telah dibayarkan oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan pemberian pelayanan publik yang disertai dengan bayaran, sementara tarifnya didasarkan atas harga pasar ataupun ditetapkan menurut harga yang paling terjangkau. Akan tetapi memberikan tarif pelayanan yang sama kepada setiap orang sebenarnya justru tidak adil, karena selain kemampuan membayarnya tidak sama tingkat urgensi atas jasa tersebut juga berbeda-beda. Dalam rangka memuaskan kepentingan masyarakat sebagai pelanggan, sudah saatnya Pemerintah menggalakkan pola lama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, yakni pola tunggal, baik dalam jenis pelayanan maupun dalam penentuan tarifnya. Pada umumnya pelayanan publik yang sering menimbulkan masalah adalah pelayanan yang langsung secara orang perseorangan. Hal ini dapat dipahami karena secara individual masing-masing orang mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga sikap J U R N AL K Y B E R N O L O G I
45
Volume II Edisi Pertama 2012 terhadap pelayanan yang diberikan bisa berbeda satu sama lain. Perbedaan karakteristik itulah yang mempengaruhi dalam penilaian terhadap pelayanan yang diberikannya. Demikian pula, karakteristik yang dimiliki aparat pemberi pelayanan akan berpengaruh terhadap sikapnya dalam memberikan pelayanan. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah perlu menciptakan kondisi kompetitif diantara lembaga pemerintah dan swasta, antara swasta dan swasta atau antara lembaga pemerintah baik yang menyangkut kualitas pelayanan maupun mutu hasil kerja. Kondisi kompetitif ini diciptakan oleh pemerintah diharapkan akan memberi manfaat yang cukup besar, berupa peningkatan efisiensi dan timbulnya pembaharuan pelayanan, baik yang menyangkut biaya operasional maupun kualitas pelayanan. Pada hakekatnya otonomi daerah merupakan kebebasan bagi daerah untuk lebih leluasa mengembangkan peran serta dan prakarsanya guna memikirkan, mengembangkan dan memajukan daerahnya. Dengan otonomi daerah membuat daerah dan masyarakatnya lebih berdaya, sehingga ketergantungan kepada Pemerintah Pusat berkurang. Perangkat daerah yang efisien adalah berfungsi sebagai “front line management” karena bekerja atas dasar misi dan potensi nyata yang ada di daerahnya. Perangkat pemerintah daerah yang lebih baik berorientasi kepada pelayanan publik akan menimbulkan keberdayaan (empowerment) dan bukan ketergantungan masyarakat. Dalam konteks keberdayaan itu partisipasi masyarakat tumbuh bukan dimobilisasi melainkan karena self efficiency. Dengan demikian harus ada perubahan dalam birokrasi pemerintah daerah. Perubahan harus dilakukan meskipun akan memakan waktu yang cukup lama. Hal ini juga akan lebih lama lagi apabila tidak diakomodasi oleh figur kepemimpinan daerah yang mempunyai komitmen untuk kepentingan masyarakat dengan orientasi jauh kedepan.
II. Konsep Pemberian Pelayanan Publik Valerie A. Zeithaml at al. (1990) mengkonsepsikan mutu layanan publik atas dua pengertian, yaitu expected service dan preceived service. Keduanya terbentuk oleh dimensi-dimensi mutu layanan yaitu:
tangibles
(terjamah),
rehability (handal),
responsiveness (tanggap), competence (kompeten), courtesy (ramah), credibility (bisa dipercaya), security (aman), access ( akses), communication (komunikasi), understanding the customer (memahami pelanggan). Dalam pada itu, expected service juga dipengaruhi oleh word of mouth (kata-kata yang diucapkan), personal needs (kebutuhan pribadi), past J U R N AL K Y B E R N O L O G I
46
Volume II Edisi Pertama 2012 experience (pengalaman masa lalu), external communications (komunikasi eksternal). Perpaduan antara expected service dan preceived service yang terwujud hanyalah preceived service quality, yaitu layanan yang bisa diberikan berdasarkan apa yang dimengerti oleh birokrasi. Di atas sudah digambarkan skema hubungan keduanya yang memperlihatkan, meskipun expected service diperkuat oleh pengaruh dari lima variable lainnya di samping dilatar-belakangi oleh dimensi-dimensi mutu layanan, outcome-nya tetap saja mutu layanan yang diberikan adalah sebatas yang dimengerti oleh birokrasi.
Dimensions of Service Qual Tangibles Realibility Responsiveness Competence Expected Courtesy Credibility Secutruty Access Communication Understanding the Customer
Word of mouth
Personal needs
Past Experienc
Service Preceived Service
External Communication
Preceived Service Quality
Gambar 1 : Penilaian masayarakat (pelanggan) atas mutu pelayanan Sumber: Valeri A. Zeithaml et al. 1990
Dari matrix berikut ini memperlihatkan bahwa dimensi-dimensi SERVQUAL mencoba menyederhanakan beberapa dimensi mutu layanan menurut penilaian masyarakat (pelanggan) ke dalam dimensi assurence untuk mempresentasi dimensi-dimensi competence, courtesy, credibility, security dan dimensi empathy sebagai representasi dimensi-dimensi access, communication, understanding the customer bagi terpenuhinya mutu layanan yang diharapkan oleh masyarakat.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
47
Volume II Edisi Pertama 2012 Original Dimensions for Evaluating Sevice Quality
Tangibles
Reliability
Responsiveness
Assurance
Empathy
Tangible Reliability
Responsiveness
Competence Cortesy Credibility Security Access Communication Understanding the Customer
Gambar 2 : Matrix Dimensi-dimensi mutu layanan menurut penilaian masyarakat dan Dimensi-dimensi mutu layanan model SERVQUAL Sumber: Valeri A. Zeithaml et al. 1990
Pemberian pelayanan dalam bentuk jasa, secara nyata jelas berbeda dengan kegiatan menghasilkan barang. Gasperz (1997:241) mengemukakan tigabelas macam ciri atau karakteristik jasa yang sekaligus membedakannya dengan barang. Rinciannya yaitu sebagai berikut : a)
Pelayanan merupakan output tak berbentuk (intangible output);
b)
Pelayanan merupakan output variable, tidak standar;
c)
Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi;
d)
Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan;
e)
Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan; J U R N AL K Y B E R N O L O G I
48
Volume II Edisi Pertama 2012 f)
Keterampilan personel “diserahkan” atau diberikan secara langsung kepada pelanggan;
g)
Pelayanan tidak dapat diproduksi secara maksimal;
h)
Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan pelayanan;
i)
Perusahaan jasa pada umumnya bersifat subyektif;
j)
Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan;
k)
Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyektif;
l)
Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses;
m)
Option penetapan harga lebih rumit.
III. Jenis-jenis Pelayanan Umum Pengelompokan jenis pelayanan umum pada dasarnya dilakukan dengan melihat pada jenis jasa yang dihasilkan oleh institusi. Jasa itu sendiri menurut Kotler (1994) adalah “setiap tindakan ataupun perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak terwujud fisik (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa dapat berhubungan dengan produk fisik maupun tidak”. Berdasarkan definisi jasa sebagaimana dikemukan di atas, Tjiptono (1996:8-13) menyimpulkan pendapat berbagai ahli mengenai jenis-jenis jasa sebagai berikut: 1) Dilihat dari pangsa pasarnya, dibedakan antara: a. Jasa kepada konsumen akhir; b. Jasa kepada konsumen organisasional. 2) Dilihat dari tingkat keberwujudannya (tangibility), dibedakan antara: a. Jasa barang sewaan (rented goods service); b. Jasa barang milik konsumen (owned goods service); c. Jasa untuk bukan barang (non-goods service). 3) Dilihat dari ketrampilan penyedia jasa, dibedakan antara: a. Pelayanan profesional (professional service); b. pelayanan nonprofesional (nonprofessional service). 4) Dilihat dari tujuan organisasi, dibedakan antara: a. Pelayanan komersial (commercial or profit service); b. Pelayanan nirlaba (nonprofit service) J U R N AL K Y B E R N O L O G I
49
Volume II Edisi Pertama 2012 5) Dilihat dari pengaturannya, dibedakan antara : a. Pelayanan yang diluar (regulated service); b. Pelayanan yang tidak diatur (nonregulated service). 6) Dilihat dari tingkat intensitas karyawan, dibedakan antara : a. Pelayanan yang berbasis pada alt (equipment based service); b. Pelayanan yang berbasis pada orang (people based service). 7) Dilihat dari tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan, dibedakan antara: a. Pelayanan dengan kontak tinggi (high-contact service); b. pelayanan dengan kontak rendah (low-contact service).
Sejalan dengan pendapat tersebut, deVrye (1997:66) mengemukakan tujuh strategi sederhana meningkatkan pelayanan, yang disingkat S-E-R-V-I-C-E. Strategi tersebut yaitu sebagai berikut: 1)
Self-esteem (memberi nilai pada diri sendiri);
2)
Exceed expectation ( melampaui yang diharapkan);
3)
Recover (rebut kembali);
4)
Vision (visi);
5)
Improve (peningkatan);
6)
Care (perhatian);
7)
Empower (pemberdayaan). Prinsip ataupun strategi yang telah dikemukakan di atas memang ditujukan kepada
pemberian jasa yang dikelola oleh sektor bisnis. Akan tetapi ada pula prinsip atau strategi tertentu yang dapat digunakan pula pada pelayanan jasa sektor pemerintah, sepanjang kita memahami perbedaan mendasar antara kegiatan sektor bisnis dengan sektor pemerintah. Tiga orang ahli lainnya yaitu Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1990) mengembangkan
konsep
pelayanan
yang
berkualitas
atau
“Service
Quality”
(SERVQUAL). Paradigma Servqual ini berangkat dari adanya empat kesenjangan sebagai berikut: Kesenjangan pertama : Tidak mengetahui keinginan pelanggan. Kesenjangan kedua : Kesalahan menentukan standar kualitas pelayanan Kesenjangan ketiga : Adanya kesenjangan kinerja pelayanan. Kesenjangan keempat : Janji yang diberikan, tidak sesuai dengan kenyataan. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
50
Volume II Edisi Pertama 2012 Pada buku yang lain, Berry, Zeithaml dan Parasuraman (Lovelock, 1992:224) mengemukakan identifikasi dimensi prinsip yang digunakan oleh pelanggan untuk menilai institusu pemberi layanan jasa, yaitu: Tangibles Reliability Responsiveness Assurence Empathy
Selanjutnya
Berry,
Zeithaml
dan
Parasuraman
(Lovelock,
1992:225)
mengemukakan lima penyebab potensial terjadinya ambivalensi peranan jasa yaitu: No service standard Too many service standard General service standard Poorly communicated service standard Service standard unconnected to the performance measurement.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan, perlu diketahui terlebih dahulu sebagai kekurangan yang ada selama ini. Berdasarkan kekurangan tersebut dapat disusun langkahlangkah praktis untuk mengatasinya. Dalam uraian selanjutnya, Aeithaml, Parasuraman dan Berry (1990) mengemukakan berbagai kesenjangan pemberian pelayanan yang berkualitas serta jalan keluarnya. Berkaitan dengan adanya berbagai kesenjangan dalam pemberian pelayanan, Macaulay dan Cook (1997:8) memberikan kiat meningkatkan pelayanan kepada pelanggan yaitu sebagai berikut: 1)
Menciptakan kepemimpinan yang berorientasikan pelanggan (customer oriented).
2)
Menciptakan citra positif di mata pelanggan.
3)
Bersikap tegas tetapi ramah terhadap pelanggan.
4)
Mengelola proses pemecahan masalah.
5)
Pengembangan budaya persuasi positif dan negosiasi.
6)
Mengatasi situasi sulit yang dihadapi pelanggan. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
51
Volume II Edisi Pertama 2012 Untuk dapat mencapai sasaran pemberian pelayanan secara tepat, Macaulay dan Cook ( 1997:126 ) menyarankan menggunakan pendekatan S-M-A-R-T, atau: Specific (spesifik); Measurable (terukur); Achievable (dapat dicapai); Relevant (relevan); Time-bound (keterikatan dengan waktu).
Sedangkan menurut Keputusan Menpan Nomor 06/1995 tentang Pedoman Penganugerahan Piala Abdisatyabakti Bagi Unit Kerja/Kantor Pelayanan Percontohan, sebagaimana tertera pada lampirannya - diatur mengenai kriteria pelayanan masyarakat yang baik yaitu sebagai berikut : 1.
Kesederhanaan: Kriteria ini mengandng arti bahwa prosedur/tatacara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
2.
Kejelasan dan Kepastian. Kriteria ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: prosedur/tatacara pelayanan; persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif; unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan; rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cata pembayarannya; jadual waktu penyelesaian pelayanan
3.
Keamanan: Kriteria ini mengandung arti bahwa proses serta hasil pelayanan dapat memberi rasa aman, kenyamanan dan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
4.
Keterbukaan: Kriteria ini mengandung arti bahwa prosedur, tatacara, percyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib J U R N AL K Y B E R N O L O G I
52
Volume II Edisi Pertama 2012 diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. 5.
Efisien: Kriterian ini mengandung arti: persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan. dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintahan lain yang terkait.
6.
Ekonomis Kriteria ini mengandung arti bahwa pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran; londisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar; ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.
Keadilan dan Merata: Kriterian ini mengandung arti bahwa cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
8.
Ketepatan Waktu: Kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu telah ditentukan.
Disamping kriteria-kriteria kualitatif tersebut di atas, dalam melakukan penilaian digunakan pula kriteria kuantitatif, antara lain meliputi: jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan (per hari, per bulan atau per tahun); perbandingan periode pertama dengan periode berikutnya menunjukkan peningkatan atau tidak; J U R N AL K Y B E R N O L O G I
53
Volume II Edisi Pertama 2012 lamanya waktu pemberian pelayanan masayarakat sesuai permintaan (dihitung secara rata-rata); penggunaan
perangkat-perangkat
modern
untuk
mempercepat
dan
mempermudah pelayanan kepada masyarakat; frekuensi keluhan dan atau pujian masyarakat penerima pelayanan terhadap pelayanan yang diberikan oleh unit kerja/kantor pelayanan yang bersangkutan.
IV. Birokrasi dan Pelayanan Publik. Pada sektor publik, dimana negara dan sistem pemerintah menjadi tumpuan pelayanan atas warga negara yang harus memperoleh jaminan atas hak-haknya, penataan manajemen kelembagaan sektor ini bukanlah persoalan sederhana. Sistem politik, berbagai regulasi yang menjadi bagian sistem birokrasi penataan suatu negara, budaya organisasi birokrasi yang memberi tempat pada kewenangan yang berlebih (over authority) sektor pemerintahan atas swasta atau negara atas rakyatnya dapat menjadi urusan penghambat munculnya sistem pelayanan prima dalam sektor publik. Dalam hal ini revitalisasi birokrasi dan cara-cara menemukan kembali penataan sistem manajemen publik dalam mengantisipasi tuntutan untuk melayani sektor swasta serta rakyat pada umumnya menjadi crucial. Kebutuhan mendesak ini menemukan momentumnya manakala globalisasi pasar bebas memacu tingkat kompetisi yang sangat tinggi dari seluruh elemen kelembagaan negara, khususnya Pemerintah Daerah maupun sektor swasta pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka, dorongan untuk mengurangi biaya (cost reduction drive), dorongan untuk memenangkan segmen jasa yang tersedia (market drive) manajemen mutu pelayanan semakin strategis dan menjadi variabel penentu dalam memenangkan kompetisi ini, oleh karenanya, selain secara internal setiap organisasi, perusahaan maupun birokrasi pemeritahan daerah dihadapkan kepada keharusan memenuhi perubahan apresiasi atas kemampuan organisasi memenuhi tujuan mereka, juga secara eksternal akan dihadapkan pada kenyataan yang menghendaki keharusan untuk melakukan adaptasi. Langkah-langkah inovatif kemudian menjadi salah satu pilihan yang harus diambil agar setiap elemen internal maupun eksternal secara sinergis membanun kemampuan memenangkan persaingan dan memberi jaminan pelayanan internal atas tuntutan mendasar yang terus berubah. Dinamika pasar, dinamika global, serta tarikan-tarikan kekuatan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
54
Volume II Edisi Pertama 2012 eksternal, karenanya harus secara taktis diantisipasi secara pro-active bukan bahkan secara relatif. Persoalan yang paling mendasar adalah bagaimana Birokrasi Pemerintah Daerah mampu menciptakan suatu nilai dan moral untuk melayani bukan dilayani. Bukan jalan yang mudah untuk menciptakan sistem manajemen pelayanan prima, tetapi jalan pikiran yang sedang mengarah secara terencana ke upaya-upaya meningkatkan kemampuan manajemen sektor publik maupun swasta untuk mencapai pelayanan yang tinggi seperti ketepatan waktu, (delivery on time), keunggulan mutu produk (high quality of products), penunjang biaya untuk memperoleh pelayanan (cost reduction), serta perlakuan yang semakin menempatkan konsumen atau rakyat sebagai pihak yang memiliki martabat dan kedaulatan, semakin menemukan bentuknya. Modal yang paling mendasar adalah memenangkan kompetisi jasa masa depan, sebuah perlakuan yang menempatkan konsumen pada tingkat yang terhormat akan menjadi kekuatan yangpenting. Upaya untuk membuat konsumen dapat dilakukan dengan mendesain fungsi dan peranan pelayanan konsumen yang lebih efektif dan efisien. Dalam hal ini, peranan teknologi modern merupakan faktor penunjang utama. Peran Pemerintah Daerah sebagai penyediaan pelayanan (Rowing) berubah kepada visi sebagai pengarah, penggerak, dan fasilitator dalam penyediaan pelayanan publik. Hal ini ditandai dengan orientasi dan peran aktif Pemerintah Daerah untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik. Organisasi Pemerintah Daerah sebagai pembuat kebijakan, harus membebaskan diri semaksimal mungkin dari kegiatan teknis operasional. Organisasi Pemerintah Daerah yang bersifat steering memiliki 3 (tiga) jenis pekerjaan utama, yaitu bekerja sebagai pembuat kebijakan, menyalurkan dan mengoperasionalkan kepada penyedia pelayanan publik, serta mengevaluasi hasilnya. Dengan mengkonsentrasikan diri pada steering, maka Pemerintah Daerah harus mampu memainkan peran sebagai pusat pemikiran. Untuk itu kemampuan aparatur harus terus ditingkatkan. Dimensi peran Pemerintah Daerah dalam penyediaan pelayanan publik secara tidak disadari telah menempatkan usaha pembangunan pada umumnya dan pelayanan publik pada khususnya sebagai milik birokrasi. Dominasi birokrasi ini menciptakan suatu gambaran birokrasi yang serba bisa, dan serba tahu di satu sisi, dan masyarakat serba lemah dan bergantung pada birokrasi, di sisi lain pelayanan publik dalam lingkungan
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
55
Volume II Edisi Pertama 2012 semacam ini menimbulkan mentalitas ketergantungan, mematikan inisiatif dan kreatifitas masyarakat. Bagi Pemerintah Daerah hubungan semacam ini menjadi beban yang sangat berat dan menguras sumber daya pada usaha yang tidak produktif. Jadi “empowering rather than service” adalah semangat yang perlu ditimbulkan di kalangan aparat pemerintah, karena keberdayaan masyarakat akan mengurangi beban Pemerintah Daerah pada saat sumbersumber publik semakin langka tersedianya. Masyarakat tidak hanya dibebani dengan kewajiban-kewajibannya akan tetapi juga diperhatikan akan hak-haknya. Dengan demikian akan banyak pelayanan publik dalam masyarakat dapat terpecahkan , karena masyarakat memiliki kontrol yang lebih besar, masyarakat memahami permasalahannya lebih baik, dan usaha pemberian pelayanan dari masyarakat diharapkan lebih murah dibandingkan dengan usaha profesional. Dengan demikian mendorong daya saing dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan efisiensi, lebih bersikap responsif, dan merangsang inovasi dan gairah kerja aparat Pemerintah Daerah. Dengan pemberdayaan birokrasi ini Pemerintah Daerah memberikan fokus yang lebih besar pada hasil yang dicapai, sehingga menghilangkan sifat kaku, dan biaya tinggi kerja birokrasi. Sistem penyediaan pelayanan publik yang biasanya ditangani melalui mekanisme administratif menjadi penyediaan pelayanan publik yang berdasarkan insentif pasar, yang menumbuhkan kemampuan perubahan dan perkembangan kearah kemajuan. Budaya birokrasi harus mampu membangun tumbuhnya budaya demokrasi. Tuntutan pelayanan publik semakin tinggi, karena itu perlu diberikan ruang gerak yang lebih besar dengan kontrol yang memadai antara birokrasi dan masyarakat.
VI. Penutup Pelayanan publik yang diberikan oleh Birokrasi Pemerintah Daerah dilakukan lebih efisien dengan tidak mengurangi dan mengubah pola pikir bahwa birokrasi menjadi lebih komersial. Akan tetapi tetap pada upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Dengan profesionalisme aparat dan keberdayaan birokrasi diharapkan akan mampu melayani tuntutan pelayanan sektor publik tadi. Dengan demikian diharapkan dapat menghilangkan kesan, bahwa pelayanan publik yang diberikan birokrasi pada masyarakat sering dibuat dengan ukuran apa yang menurut birokrasi baik dan perlu, bukan kesesuaian dengan para penggunanya dalam hal ini kebutuhan masyarakat. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
56
Volume II Edisi Pertama 2012 DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman (1987), Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT Media Sarana Press Jakarta. Bellone, Carl. K (1980), Organization Theory and the New Public Administrator. Allyn and Bacou, Inc. Boston-London-Sidney-Toronto. Carley Michael and Jan Christie (1992), Managing Sustainable Development, Earthcan Publication Ltd, London. Esman J. Milton (1991), Management Dimentions of Development, Kumarian Press. Evans Peter (1978), The Alliance of Multinational State and Local Capital in Brazil, Princetown University Press, New Jersey. E. S. Savas, (1987). Privatization, The Key to Better Government, Chatman House Publisher, Inc, New Jersey. Fernanda, Desi, (1999), Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Pelayanan Umum, Makalah, Fisip Unpad. Kartiwa, Asep (1995), Penyempurnaan Manajemen Pemerintah Daerah untuk Peningkatan Pelayanan Sektor Publik, Orasi Ilmiah Unla Bandung. Kristiadi, JB. (1997), Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di Indonesia, Setia Press Jakarta. Osborne, David and Ted Gaebler, (1992). Reinventing Government : How the Entepreuneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Hodson-Wesley Publishing Company, Inc, New York. Osborne, David and Peter Plastrik, (1997). Banishing Bureaucracy : The Five Strategies for Reinventing Government, Hodson-Wesley Publishing Company Inc, New York. Saefullah, A.D. (1999), Konsep dan Metode Pemberian Pelayanan Umum yang Baik, Makalah, Fisip Unpad. Suryawikarta, Bay, (1999), Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Pelayanan Umum, Makalah, Fisip Unpad. Wasistiono, Sadu (1999), Konsep dan Metode Pelayanan Umum, Makalah, Fisip Unpad. Zeethari, Valarie, A, A. Patasuraman and Leonard L. Bery, (1990), Delivering Quality Service - Balancing Customer. Perception and Expectation, The Free Press, USA.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
57
Volume II Edisi Pertama 2012 PROFIL PEMIMPIN INDONESIA MASA DEPAN
Oleh : Adjat Daradjat,
ABSTRACT
Decreased quality of government leadership. Profile of the Indonesian leader must have a personality that is determined by the values and beliefs that have strong self-esteem to grow, visional and have strong beliefs to shape the future and are committed to the prosperity of the people. Ideology of the future leaders of the Indonesian government is a combination of "leader" and "manager". A "leader" can unite his followers as well as provide the vision, mission and spirit. While the "manager" capable of carrying out tasks together and adopting efficient and effective manner.
I.
Pendahuluan Banyak pihak berpendapat bahwa menjadi pemimpin di zaman reformasi ini
sungguh sangat berat. Di satu pihak kondisi ekonomi sosial masyarakat terpuruk, tuntutan masyarakat sangat banyak, di pihak lain sumber daya yang ada memenuhi tuntutan tersebut sangat terbatas. Namun anehnya, dalam bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban yang di emban oleh pemimpin, justru pemilihan pimpinan nasional
baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif di Era Reformasi ini menampakkan gairah yang luar biasa. Demokrasi menegaskan prinsip-prinsip bahwa setiap manusia diperlakukan sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama pula di bawah hukum. Dengan sendirinya individu memainkan peranan yang
sangat penting dalam sistem demokrasi sehingga
konsep hak asasi manusia sangat erat kaitannya dengan prinsip-prinsip demokrasi. Bergesernya dasar legitimasi kepemimpinan dari “atas” ke “bawah” dengan sendirinya mengubah hubungan antara negara dengan masyarakat. Apabila dalam kepemimpinan tradisional masyarakatlah yang mengabdi pada penguasa , maka dalam sistem demokrasi justru
pemerintah
yang
mengabdi
pada
kepentingan
rakyat
dan
harus
mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat yang memilih. Fungsi negara berubah dari “dilayani” menjadi “melayani”. Artinya pemimpin dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat serta harus mampu menyediakan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
58
Volume II Edisi Pertama 2012 barang dan jasa bagi kepentingan rakyat banyak. Keabsahan dan keagungan seorang pemimpin tidak dapat lagi ditunjukkan melalui upacara-upacara kebesaran atau pembangunan monumen-monumen yang spektakuler seperti yang dilakukan raja-raja di masa lampau. Dukungan terhadap pimpinan dalam sistem pemerintahan modern sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk memberikan rasa aman serta meningkatkan kesejahteraannya. Sejalan dengan paradigma pemerintahan yang baru menuntut kegiatan nyata pemimpin yang diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif, orientasi kepentingan masyarakat, orientasi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Seorang pemimpin tidak hanya cukup mengandalkan intuisi semata, tetapi harus didukung oleh kemampuan intelektual dan keahlian yang memadai, ketajaman visi serta kemampuan etika dan moral yang beradab. Profil pemimpin pemerintahan yang benar-benar efektif pada masa yang akan datang, memiliki kepribadian yang ditentukan oleh nilai dan keyakinan kuat dalam kemampuan individu untuk tumbuh. Mereka akan mempunyai citra masyarakat yang diinginkan sebagai tempat diri dan organisasi mereka hidup. Mereka akan menjadi visional, memiliki kepercayaan yang kuat bahwa mereka mampu dan harus membentuk masa depan, serta dapat bertindak atas dasar keyakinan dan pribadi yang tangguh.
II.
Kepemimpinan Indonesia Masa Kini Hingga saat ini belum muncul nama-nama baru yang bisa menggeser dominasi elite
lama dalam benak masyarakat. Peran parpol yang
kurang mendominasi kaderisasi
pemimpin tampak menjadi salah satu penyebab mandeknya kepemimpinan pemerintahan. Lingkungan parpol sebagai tempat ideal untuk kaderisasi pemimpin tidak banyak memberikan kesempatan bagi kader muda untuk menggantikan elite mapan. Selain itu juga hampir semua parpol mengalami krisis perpecahan pada saat menyelesaikan tuntutan alih generasi kepemimpinannya. Parpol cenderung menjadi komoditas bagi kepentingan pribadi elite penguasanya. Selain itu pula terdapat gejala-gejala sebagai berikut: 1.
Terjadi degradasi perilaku kepemimpinan nasional, yang ditandai dengan maraknya: saling hujat, saling fitnah, provokasi, agitasi para pengikutnya, pengingkaran kebenaran, saling jegal, menjadi pengadu domba, menjadikan massa pengikutnya
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
59
Volume II Edisi Pertama 2012 setia sampai mati tanpa peduli kebenaran, keadilan dan budaya, pokoknya membalas lawan tanpa etika, menjadi pemimpin kharismatik yang memiliki pengikut fanatik. 2.
Para pemimpin sebagian besar tidak mencegah pengikutnya melakukan pelanggaran : konstitusi, norma agama, adat, sosial dan etika profesi. Bahkan norma dan tata pergaulan dunia/keprotokolan diterjang tanpa malu.
3.
Tidak peka ( sensitive ) terhadap aspirasi masyarakat, bahwa rakyat memerlukan ketenteraman, kenyamanan dan keadilan bukan wacana politik yang terus meruncing.
4.
Tidak melakukan pendidikan politik bagi para pengikutnya, dibuktikan dengan pemahaman yang sempit terhadap keputusan politik.
5.
Keteladanan berperilaku ; ucapan, pernyataan, diplomasi dan penyelesaian masalah mendasar yang dihadapi bangsa kurang. Sense-of crisis hampir-hampir punah karena dominasi kepentingan ( interest) pribadi, kelompok, partai dan golongan, bisnis dan rasis.
6.
Para pemimpin partai-partai, orsospol, LSM dan OKP, membungkus aktifitas politik dengan nuansa keagamaan yang cenderung memicu pertikaian antar etnik, antar sesama warga masyarakat, bahkan sesama penganut agama namun berbeda aliran politik.
Dengan demikian rakyat awam sulit membedakan dengan akal rasionya mana kegiatan agama atau politik. Kepemimpinan pemerintahan mengalami penurunan kualitas. Hal ini terlihat dari berbagai kasus penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik telah merata di seluruh lembaga negara, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Adanya
kecenderungan
kepemimpinan
pemerintahan
mengalami
disfungsi
dikhawatirkan akan meruntuhkan seluruh sistem penegakan hukum, tidak berfungsinya sistem ketatanegaraan dan hilangnya kepercayaan publik kepada para pemimpinnya. Meskipun tampak di permukaan, mayoritas masyarakat cenderung apatis, bukan berarti tidak ada keresahan sosial yang berpotensi memicu ledakan sosial. Kesenjangan yang makin lebar antara rakyat kebanyakan yang sangat menderita akibat krisis ekonomi yang belum pulih, dengan perilaku kepemimpinan yang korup dan bermewah-mewah secara tidak sah, dapat memicu munculnya keresahan dan anarki sosial. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
60
Volume II Edisi Pertama 2012 III.
Merasionalkan Kepemimpinan Indonesia Masa Depan Kelahiran kepemimpinan pemerintahan di pentas nasional bukan tanpa kendala.
Setidaknya masih ada katup budaya yang perlu ditembus. Masyarakat kita masih berpola pikir tradisional, masih menganggap pemimpin itu seperti manusia setengah dewa. Bahkan, di masa raja-raja Hindu dahulu, pemimpin adalah titisan dewa. Mitos Ratu Adil pun masih menjadi pengalaman yang mengendap di alam bawah sadar kebanyakan masyarakat kita. Karenanya, memunculkan kepemimpinan pemerintahan baru harus dilakukan dengan merasionalisasikan pikiran masyarakat. Masyarakat harus diyakinkan bahwa pemimpin itu adalah manusia biasa yang punya titik lemah disamping keintimewaankeistimewaan individual yang dimilikinya. Sehingga dengan begitu, tidak akan ada pengagungan terlalu berlebihan kepada seorang pemimpin dan ketika ada “cacat” dalam kepemimpinannya tidak terjadi tragedi yang mencoreng sejarah kepemimpinan bangsa ini. Jika rasionalitas masyarakat telah tercipta, maka kepemimpinan pemerintahan akan terbentuk dari sebuah sistem demokrasi yang kuat. Ada rule of the game yang jelas. Di era transisi seperti sekarang ini, kita membutuhkan elite-elite kepemimpinan pemerintahan yang sehat. Pemimpin-pemimpin yang visioner dan transformatif. Setidaknya untuk mendidik dan menyiapkan masyarakat menjadi rasional. Tentu saja cara yang paling efektif adalah dengan keteladanan. Pemimpin-pemimpin di masa transisi ini harus bisa menjadi suri teladan masyarakat. Jika para elitenya rasional, maka pengikutnya juga rasional. Bukan waktunya lagi elite hidup dan eksis dari memanipulasi massa pengikutnya. Masyarakat membutuhkan tipe kepemimpinan baru, yaitu kepemimpinan dari lapisan generasi muda. Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat: pertama, perencana dan pemikir. Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama. Kedua, pelayanan dan menguasai permasalahan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja yang solid. Ketiga, teladan. Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia J U R N AL K Y B E R N O L O G I
61
Volume II Edisi Pertama 2012 dengan nilai-nilai dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif. Terdapat pula beberapa falsafah pemimpin yang harus dipegang teguh pemimpin masa depan Indonesia. Pertama, pemimpin pemerintahan harus punya integritas. Bukanya kita selalu selalu mengatakan, paling enak berhubungan dengan orang yang memiliki integritas. Kedua, pemimpin harus mengakui akan adanya perbedaan dan keanekaragaman bangsa kita. Dengan demikian, pemimpin pemerintahan masa depan negeri ini mampu mengelola segala perbedaan budaya, latar belakang suku dan agama, serta kepentingan seluruh elemen bangsa ini lalu mengubahnya menjadi peluang dan kelebihan. Jadi pemimpin pemerintahan masa depan adalah pemimpin yang berpikiran terbuka (open minded), sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pemimpin pemerintahan masa depan adalah pemimpin yang sadar betul bahwa segala tindakan dan keputusannya akan berpengaruh terhadap orang lain atau sekelompok masyarakat. Kepemimpinannya menjadi begitu empati dengan nasib dan derita rakyatnya. Dalam sejarah mungkin kepedulian Umar bin Khaththab seperti dongeng yang mustahil bagi pemimpin masa sekarang. Umar memanggul sendiri sekarung gandum saat ia mendapati seorang ibu memasak batu untuk mendiamkan anaknya yang lapar.
IV.
Seleksi Kepemimpinan Nasional Masa Depan Sudah saatnya panggung suksesi kepemimpinan pemerintahan sekarang ini diisi
dengan isu memunculkan kepemimpinan yang kuat, yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara; pemimpin yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan intelektual. Sudah waktunya kepemimpinan pemerintahan dipegang oleh pribadi yang bersih, peduli, dan profesional. Jangan serahkan tongkat kepemimpinan bangsa ini kepada pemimpin dengan kepribadian yang tidak konsisten dan dikelilingi lingkungan yang tidak kondusif. Bangsa ini harus membuka kesempatan untuk munculnya pemimpin-pemimpin baru bukan hanya berdasarkan level struktural lembaga pemerintahan, tapi juga per segmen sektor kehidupan masyarakat. Bukan masanya lagi kepemimpinan menjadi monopoli segelintir elite.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
62
Volume II Edisi Pertama 2012 Sudah bukan masanya lagi suksesi kepemimpinan diseleksi oleh para elite sendiri. Apalagi jika berdasarkan keturunan. Seorang ibu dan ayah menyerahkan tongkat kepemimpinan partainya kepada anak kandungnya, atau seorang paman kepada keponakkannya. Seharusnya pemimpin adalah seorang petani yang membuka ladang seluas-luasnya agar bibit-bibit pemimpin baru tumbuh di sekelilingnya. Adalah fakta bahwa bangsa Indonesia punya potensi yang luar biasa. Pemimpin pemerintahan masa depan adalah orang yang membuka kesempatan untuk bagi siapa pun untuk muncul ke pentas nasional. Ia menghapus kendala budaya yang ada seperti paternalistik, feodalisme, dan mental abdi dalam dari setiap individu anak bangsa. Sebagai pemimpin, pemimpin pemerintahan masa depan harus menjadi sosok yang berani memberi tantangan dan resiko kepada kader-kadernya. Sebab, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang menjadi sekolah bagi pemimpin generasi selanjutnya.
V.
Kepemimpinan Nasional Demokratis Bagi kita yang telah mampu menerima dan menerapkan pemikiran liberal,
barangkali tidak terlalu relevan untuk mempersoalkan esensi dan posisi kepemimpinan dalam kepolitikan Indonesia kontemporer. Sejauh pemilihannya telah memenuhi prinsipprinsip demokratis, siapa pun harus dapat diterima sebagai pemimpin. Seandainya ada keberatan atau kekecewaan terhadap cara kepemimpinannya, serahkan kembali kepada mekanisme yang berlaku. Bila, sang pemimpin melakukan pelanggaran hukum, maka lembaga peradilanlah yang paling tepat untuk memprosesnya. Atau, jika yang dilanggar adalah politik, maka keputusan politik yang akan menentukan, yakni jangan pilih dia kembali dalam pemilihan berikutnya. Sebetulnya pemilu merupakan ajang yang paling paripurna untuk memilih seorang pemimpin. Apalagi pemilu sekarang sudah jauh lebih demokratis dibanding Pemilu Orde Baru. Dengan demikian, kita tidak boleh berpikir lain untuk mencari pemimpin. Siapa pun yang menang, harus diakui dan legitimate untuk menjalankan perannya. Partai apa pun yang mengusungnya, harus diterima dengan tangan terbuka oleh semua pihak. Karena hakekat pemilu adalah seleksi yang terbaik, maka pemenang pemilu, kita asumsikan sebagai partai terbaik pula. Pada gilirannya, partai pemenang harus berprinsip kepentingan partai berakhir.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
63
Volume II Edisi Pertama 2012 Idealnya, harus muncul pemimpin yang muda dan berkualitas sebagaimana terdapat di negara-negara yang sudah maju. Namun praktiknya sangat sulit diwujudkan. Jawaban atas sejumlah permasalahan di atas, rupanya terletak pada beberapa pandangan berikut. Pertama, bahwa politik masih merupakan variabel penentu perubahan yang utama. Politik yang berarti kekuasaan, masih dipandang sebagai sumberdaya utama dalam menentukan arah kecenderungan bangsa ini. Tak ubahnya dengan system kerajaan di masa lalu, hanya mereka yang berkuasalah yang menentukan, system yang kita warisi sekarang juga tidak terlalu jauh dari budaya politik istana semacam itu. Bila di masa lalu, ujung dari kekuasaan politik adalah wilayah dan kesetiaan rakyat terhadap raja, sekarang kekuasaan dimanifestasikan ke dalam otoritas dan uang. Kedua, hanya mereka yang memiliki posisi lebih dibanding sesama itulah yang layak dan berani untuk ikut bersaing dalam kontes kepemimpinan nasional. Akibatnya, basis massa dan pendukung menjadi lebih penting ketimbang ukuran- ukuran yang lain, termasuk profesionalitas sekalipun. Meski banyak sekali di antara tokoh bangsa yang memiliki kapasitas sebagai CEO, mereka tidak memiliki keberanian untuk mengajukan diri dan bersaing dalam panggung politik nasional. Ketiga, lemahnya pengkaderan dalam partai politik, menjadi faktor penentu lainnya. Sejauh ini, tidak banyak partai politik yang melakukan agenda regenerasi secara terbuka dan adil. Karena budaya politik seperti digambarkan pada pikiran pertama tadi, oposisi dalam partai politik ditabukan. Siapa pun yang dipandang sebagai lawan oleh pimpinan partai, akan diusahakan untuk digeser. Akibatnya, yang muncul dalam kepengurusan partai adalah sekedar pemimpin denganpengikutnya. Padahal, bila kaderisasi dilakukan secara baik, persaingan dalam partai, harus disikapi sebagai sebuah dinamika dan kemajemukan partai. Keempat, politik merupakan the only game in town; (satu satunya lahan permainan) buat para politisi. Di luar itu, tak ada lagi. Dengan demikian, para politisi akan sekuat tenaga mempertahankan apa yang sekarang dimiliki. Soalnya, keluar dari lingkaran kepemimpinan partai dan politik, berarti akan habis sudah. Ia seolah-olah telah kehilangan semuanya. Jangan heran apa bila kaderisasi bukan agenda terpenting dalam sebuah partai politik.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
64
Volume II Edisi Pertama 2012 VI.
Kepemimpinan Nasional Ideal Masa Depan Kebutuhan pada tipe kepemimpinan tertentu berubah dari waktu ke waktu. Ketika
negara dalam bahaya, misalnya dalam situasi perang atau ancaman disintegrasi, seorang pemimpin yang mampu memberikan semangat juang dan menumbuhkan rasa persatuan dan solidaritas sangat dibutuhkan. Apabila prioritas utama adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka kemampuan manajemen seorang pemimpin jauh lebih penting daripada kemahirannya berpidato. Untuk mendapatkan seorang pemimpin yang mampu sekaligus menjadi "leader" dan "manajer" bukanlah suatu perkara yang mudah. Namun dalam kondisi sekarang ini, di mana Indonesia perlu mengatasi berbagai krisis yang bersifat multidimensional, sangatlah diharapkan bahwa kepemimpinan pemerintahan dimasa mendatang sekaligus memiliki kemampuan "leadership" dan "managerial".Dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti di Indonesia tidaklah mudah bagi seorang pemimpin untuk mendapatkan dukungan dari semua pihak. Sistem demokrasi juga mengharuskan adanya pilihan dan persaingan dalam seleksi pemimpin. Seorang pemimpin yang dinyatakan mendapat dukungan dari seluruh anggota masyarakat biasanya hanya ditemukan dalam sistem pemerintahan otoriter sehingga rakyat tidak dapat bebas menyuarakan pilihan dan perbedaan pendapat dengan penguasa. Pemilihan pemimpin nasional dalam sistem demokrasi lebih banyak ditentukan oleh kalkulasi dan kompetisi politik, perbedaan kepentingan dan besarnya dukungan publik yang tidak selalu berkaitan dengan kriteria-kriteria rasional. Namun demikian peluang bagi seseorang untuk terpilih sebagaipemimpin tidak dapat dilepaskan dari kondisi nyata maupun harapan yang ingin direalisasikan oleh masyarakat yang bersangkutan. Pemimpin pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dituntut untuk tidak saja mahir mengubar janji, tetapi juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dan kompetensi untuk merancang dan melaksanakan program-program pembangunan. Globalisasi serta interdependensi regional dan internasional telah menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari. Pemimpin pemerintahan masa depan tidak hanya dituntut untuk berperan secara efektif di dalamnegeri, tetapi juga harus mampu berkiprah di forum-forum regional dan internasional, suatu hal yang juga diamanatkan oleh Mukaddimah UUD '45. Demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia telah diterima sebagai nilai-nilai universal yang akan dikembangkan secara konsisten di Indonesia. Seorang calon pemimpin yang dinilai tidak mewakili semangat demokrasi akan sulit diterima di masa-masa J U R N AL K Y B E R N O L O G I
65
Volume II Edisi Pertama 2012 mendatang. Pemimpin pemerintahan masa depan harus betul-betul mampu membangun komunikasi dengan rakyat. Masyarakat Indonesia telah menempatkan masalah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sebagai musuh utama bangsa yang harus diperangi. Pemimpin nasional masa depan dituntut untuk memiliki integritas dan moralitas yang tinggi, di samping menjunjung tinggi "rule of law" demi tegaknya "good governance" dan "clean government". Setiap pemimpin yang muncul hendaklah berdasarkan kemampuan dan prestasi yang ia raih sendiri, sedangkan kekuasaan yang dimiliki berasal dari rakyat sehingga harus dipersembahkan untuk, dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Namun sebaik-baiknya seorang pemimpin, ia tetap akan tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya apabila kekuasaan tersebut tidak dibatasi, sesuai dengan ungkapan "power corrupts, and absolut power corrupts absolutely". Kepemimpinan hanyalah satu bagian saja dari sistem pemerintahan nasional secara keseluruhannya. Yang sangat diperlukan ialah suatu sistem politik yang memiliki ketahanan dan kekenyalan terhadap goncangan-goncangan, antara lain dengan mempunyai kemampuan untuk melakukan koreksi dan pembaharuan terhadap dirinya sendiri secara terus menerus. Hal ini hanya mungkin diperoleh apabila suatu sistem politik memiliki basis dukungan dan legitimasi yang luas, yang senantiasi terbuka dan tanggap terhadap aspirasi dan kritik, serta dibatasikekuasaannya.
VII. Simpulan Bergesernya dasar legitimasi kepemimpinan dari “atas” ke “bawah” dengan sendirinya mengubah hubungan antara negara dan masyarakat. Dalam sistem pemerintahan tradisional masyarakatlah yang demokrasi
pemerintah
yang
mengabdi kepada penguasa sedangkan dalam sistem mengabdi
pada
kepentingan
rakyat
dan
harus
mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat yang memilih. Fungsi negara berubah dari “dilayani” menjadi “melayani”. Dukungan terhadap pemimpin dalam sistem pemerintahan modern sangat ditentukan oleh kemampuan untuk memberikan rasa aman serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Idealnya, seorang pemimpin pemerintahan merupakan kombinasi dari “leader” dan “manager”. Seorang leader dapat mempersatukan pengikutnya serta memberikan visi, misi dan semangat. Sedangkan manajer mampu mengatur dan melaksanakan tugas yang diembannya secara efisien dan efektif. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
66
Volume II Edisi Pertama 2012 Pemilihan kepemimpinan pemerintahan dalam sistem demokrasi lebih banyak ditentukan oleh kalkulasi dan kompetisi politik, perbedaan kepentingan dan besarnya dukungan publik yang tidak selalu berkaitan dengan kriteria-kriteria rasional, hal ini terjadi karena tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi. Sistem Pemilu Legislatif, Pilpres, maupun Pilkada yang sekarang ini dilakukan belum dapat mewujudkan kepemimpinan pemerintahan Indonesia yang ideal. Hal ini karena tidak memunculkan tokoh-tokoh yang membawa terjadinya perubahan dan selalu berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA Allen Louis A. (1989), Profesi Manajemen, Erlangga Jakarta. Terjemahan oleh DP. Tampubolon. Bellone, Carl. K (1980), Organization Theory and the New Public Administrator. Allyn and Bacou, Inc. Boston-London-Sidney-Toronto. Carley Michael and Jan Christie (1992), Managing Sustainable Development, Earthcan Publication Ltd, London. Charan Ram, (2007), Know-How 8 Keterampilan yang Menjadi Ciri Pemimpin Sukses, (Alih Bahasa : Fairano Ilyas), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. David and Ted Gaebler, (1992). Reinventing Government : How the Entepreuneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Hodson-Wesley Publishing Company, Inc, New York. Edersheim Haas Elizabeth, (2007), The Definitive Drucker, (Terjemahan. Alih Bahasa : Latifah Hanim), PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Esman J. Milton (1991), Management Dimentions of Development, Kumarian Press. E. S. Savas, (1987), Privatization, The Key to Better Government, Chatman House Publisher, Inc, New Jersey. Fernanda, Desi (1999), Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Pelayanan Umum, Makalah, Fisip Unpad. Haas, Richard N, (2005), The Burreaucratic Entrepreneur: Bagaimana Menjadi Birokrat Efektif Dalam Pemerintahan, PT Ina Publikatama, Jakarta. Hoadley, C. Mason, (2006), Quo Vadis Administrasi Negara Indonesia: Antara Kultur Lokal dan Struktur Barat (Terjemahan), Graha Ilmu, Yogyakarta. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
67
Volume II Edisi Pertama 2012 Indarwanto, (2001), Teori Administrasi Publik dan Birokrasi, Kartiwa, Asep (1995), Penyempurnaan Manajemen Pemerintah Daerah untuk Peningkatan Pelayanan Sektor Publik, Orasi Ilmiah Unla Bandung. Kasali, Rhenald, (2003), Change!: Tak Peduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda Jalani, Putar Arah Sekarang Juga ( Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan) , PT Gramedia Pustaka Utama , Jakarta. Kasali, Rhenald, (2007), Re-Code Your Change DNA, Membebaskan Belenggu Untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan Dalam Pembaharuan, PT Gramedia, Jakarta. Ken Blanchard & Paul Hersey, (1986), Perilaku Organisasi, Erlangga Jakarta.Terjemahan oleh Agus Darma. KriSTISIP di, JB. (1997), Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di Indonesia, STISIP Press Jakarta. Lako, Andreas, (2004), Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi: Isu, Teori dan Solusi, Amara Books, Yogyakarta . Mills, C. Wright (1959), The Power Elite, Oxford University Press, New York. Muhammad, Fadel, (2008), Reinventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah, Editor : Rayendra L.Toruan , PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, Jakarta. Osborne, David and Peter Plastrik, (1997), Banishing Bureaucracy : The Five Strategies for Reinventing Government, Hodson-Wesley Publishing Company Inc, New York. Pilliang Indra Ramdani, Pribadi (2003), Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Penerbit Yayasan Harkat Bangsa. Saefullah, A.D. (1999), Konsep dan Metode Pemberian Pelayanan Umum yang Baik, Makalah, FISIP Unpad. Salam, Setyawan, Dharma, (2002), Manajemen Pemerintahan Indonesia, Penerbit Jambatan. Sarundayang, (2003), Birokrasi dalam Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta. Shelton Ken, (Editor), (2002), A New Paradigm of Leadership ( Paradigma Baru Kepemimpinan) Berbagai Visi Luar Biasa Bagi Organisasi Abad ke-21, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Suryawikarta, Bay, (1999), Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Pelayanan Umum, Makalah, Fisip Unpad. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
68
Volume II Edisi Pertama 2012 Syaukani, Affan Gaffar, Ryaas Rasyid, (2002), Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta Thoha, Miftah (2008), Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Thoha, Miftah (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta. Thoha, Miftah (2004), Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta. Wasistiono, Sadu (1999), Konsep dan Metode Pelayanan Umum, Makalah, FISIP Unpad. Widodo, Joko, (2003), Good Governance Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birikrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Penerbit Insan Cendikia. Zeethari, Valarie, A, A. Parasuraman and Leonard L. Bery, (1990), Delivering Quality Service - Balancing Customer. Perception and Expectation, The Free Press, USA. , (2000), Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
69
Volume II Edisi Pertama 2012 ASPEK ORGANISASI DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MANADO
Oleh: William Agustinus Areros
Abstract Implementation of the policy of building permits by the Agency Integrated services peizinan can not answer the problem. Reality This can be seen from the arrangement of the organization. This research is expected to reveal and analyze the implementation of the licensing policy building in terms of organizational structuring licensing service agencies for expected that further strengthen and develop the concept implementation of policies for the development of public administration. This study used a qualitative approach as it aims to again an understanding of the whole phenomenon of empirical meaning contained in the problem under study. Researchers as the main instruken. Data obtained through direct observation at the research, in-depth interviews to a number of informants who are considered to know and understand the process policy implementation and documentation. Data were analyzed descriptively qualitative. Based on the research and discussion that has been described so it can be concluded that the organization of the implementation of the policy permits by building the Integrated Licensing Service Agency in Manado faced with limited human resources and physical facilities owned, and not the functioning of the inter-agency coordination resulted implementation of the policy of building permits by the Agency Integrated Licensing Service is not running in Manado City in accordance with the objectives good policy.
PENDAIIULUAN Mekanisme penyelenggaraan pemerintahan dituntut untuk lebih efisien, efektif dan inovatif terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, karena kebutuhan masyarakat semakin luas dan kompleks. Dalam rangka mengefektifkan, meningkatkan, sefia memperlancar pelayanan kepada masyarakat didalam mengurus perijinan, maka Pemerintah Daerah merasa perlu membentuk Unit Pelayanan Terpadu. Hal ini sesuai J U R N AL K Y B E R N O L O G I
70
Volume II Edisi Pertama 2012 dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 20 tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tata kerja unit pelayanan perizinan terpadu di daerah. Pembentukan organisasi dan tata kerja unit pelayanan terpadu kota Manado dimulai pelaksanaanya pada tanggal 29 Apil 2009 dengan ditetapkannya peraturan walikota Manado nomor 6 tahun 2009 tentang penyelenggaraan perizinan pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Manado. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu I(ota Manado adalah salah satu solusi untuk melaksanakan pelayanan, dengan sistem administrasi yang dilakukan secara terpadu dibawah satu atap yang meliputi izin baru, perpanjangan, pendaftaran kembali maupun perubahan, dalam hal pengurusan segala jenis perijinan. Dari sekian banyak peizinan yang diselenggarakan, menarik unfuk di telaah lebih lanjut menyangkut pemberian izin mendirikan bangunan (IMB). Izin mendirikan bangunan merupakan rzin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada oranghadan untuk mendirikan suatu bangunan yang dimaksudkan agar di desain dan dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku, sesuai dengan garis sempadan bangunan, garis sempadan sungai, garis sempadan pantai dan koefisien dasar bangunan yang ditetapkan dan sesuai dengan syarat – syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut. Sesuai data yang diperoleh pada pra survei menunjukkan dari Kantor Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dimana jumlah bangunan yang ada di kota Manado sampai dengan tahun 2010 ini berjumlah 76.964 bangunan sementarayang telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan baru berjumlah 30.044 (39.04%) bangunan sementara 46.920 (60.96%) tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Kenyataan berdasarkan data ini memperlihatkan bahwa sebagian besar bangunan yang ada di kota Manado dalam hal ini 60.96% belum atau tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Pennasalahan ini di satu sisi merupakan peluang yang besar bagi pemerintah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah dan di sisi lainnya ini juga merupakan tantangan bagi pemerintah kota untuk bagaimana menertibkannya sebagaimana terkandung dalam kebijakan pemerintah yang mengharuskan adanya izin mendirikan bangunan untuk setiap bangunan yang ada. Permasalahan lainnya yang cukup menarik sehubungan dengan izin mendirikan bangunan adalah bahwa Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) kota Manado berdiri pada tahun 2009 dimana sebelum badan ini berdiri pelayanan yang berhubungan dengan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
71
Volume II Edisi Pertama 2012 izin mendirikan bangunan ditangani oleh Dinas Tata Kota. Data yang diperoleh sampai dengan bulan september 2010 dimana penanganan yang berhubungan dengan izin mendirikan bangunan mengalami tren penurunan pada saat di tangani oleh BPPT dibandingkan saat ditangani oleh Dinas Tata Kota sebagaimana data yang diperoleh dari BPPT Kota Manado bahwa pengurusan IMB tahun 2008 : 1,638 (lama) 155 (bato); 2009 : 1,319 (lama) 120 (baru) dan 2010 : 689 (lama) 368 (baru). Permasalahan ini bagi peneliti dianggap sebagai suatu keunikan, sebab jika mengacu pada kebijakan pembentukan Badan Pelayanan Peizinan Terpadu Kota Manado yang diharapkan selain untuk meningkatkan efektivitas pelayanan, ketepatan waktu dan profesionalisme, memberikan kepastian pelayanan perizinan serta membentuk surnberdaya yang profesional dalam melayani perizinan juga diharapkan dapat meningkatnya jumlah bangunan yang memiliki izin mendirikan bangunan. Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas, maka yang merupakan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana aspek organisasi dalam keberhasilan implementasi kebijakan pemberian izin mendirikan bangunan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Manado ?" Maka untuk hal tersebut maksud dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan dan menganalisis aspek organisasi dalam keberhasilan implementasi kebijakan pemberian izin mendirikan bangunan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Manado.
TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan Badan Pelayanan Perizinan terpadu (BP2T) Kota Manado merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan desentralisasi sebagai upaya untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan perrzinan di kota manado. Kebijakan pemberian izin mendirikan bangunan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Manado Nomor 08 Tahun 2000 dengan sendirinya melekat pada Badan Pelayanan Perizinan terpadu (BP2T) Kota Manado sebagai organisasi perangkat daerah di Kota Manado dalam kegiatan penyelenggaraan peizinan. Kebijakan publik merupakan wujud dari komitmen pemerintah yang diterjemahkan dalam program-pro gram dan mempunyai tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta tindakantindakan pemerintah dalam menyikapi berbagai permasalahan publik. Dalam konteks implementasi kebijakan Dunn (1981 : 80), berpendapat bahwa implementasi kebijakan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
72
Volume II Edisi Pertama 2012 adalah "pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan". Implementasi kebijakan publik (public policy implementation) merupakan salah satu tahapan tahapan dari proses kebijakan publik (public policy process). Implementasi berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. Implementasi kebijaksanaan merupakan salah satu tahap dalam proses suatu kebijaksanaa selain tahap formulasi kebijaksanaan dan evaluasi kebijaksanaan, Dari sudut pandang pejabat-pejabat di lapangan, maka implementasi akan terfokus pada tindakan atau perilaku para pejabat dan instansi-instansi di lapangan dalam upaya menanggulangi gangguan-gangguan yang terjadi di wilayah kerjanya. Dengan demikian keberhasilan implementasi suatu kebijaksanaan bukan semata-mata tercapainya tujuan secara notabene, melainkan mengandung arti yang luas, yang diantaranya melihat dari kecilnya hambatan intern dalam pelaksanaan tugas seperti penyimpangan, konflik, sumber daya, dana dan waktu yang digunakan secara hemat dan tepat (efesien dan efektif), sesuai dengan peruntukkannya dan adanya kepuasan kerja. Jones (1994 : 12) mengartikan implemntasi kebijakan sebagai "getting the job done and doing it". Penegertian ini rnerupakan pengertian yang sederhana, tetapi tidak berarti bahwa implementasi merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilaksanakan dengan mudah. Dalam pelaksanaannya, menurut Jones menuntut adanya syarat anlara lain adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasional. Lebih lanjut Jones (1994 : 13) merumuskan batasan implementasi sebagai "a process olf getting additional resources so as to figure out what is to be done". Dimana implementasi kebijakan publik mefllpanan proses mendapatkan sumberdaya tambahan, sehingga dapat diperhitungkan apa yang harus dikerjakan. Pendapat Jones ini setidaknya mengisyaratkan dua bentuk tindakan yang berurutan. Pertama, merumuskan tindakan yang akan dilakukan. Kedua, melaksanakan tindakan apa yang telah dirumuskan tadi. Implementasi dimaksudkan bahwa keputusan yang dipilih oleh pemerintah dari berbagai alternatif kebijakan diterjemahkan kedalam tindakan. Agar dapat terimplementasi dengan baik apa yang menjadi tujuannya seperti yang telah dirumuskan maka kebijakan publik perlu dipersiapkan dengan baik. Keberhasilan implementasi kebijakan itu dapat dilihat dari beberapa aspek yang mempengaruhinya, yang
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
73
Volume II Edisi Pertama 2012 oleh Charles O. Jones (1996 : 296) mengemukakan bahwa terdapat tiga kegiatan yang menjadi pilar dalam implementasi kebijakan yaitu : Organization, Interpretaton Aplication Dalam
penyelenggraan
implementasi
kebijakan,
aspek
pengorganisasian
(Organization) merupakan aspek yang sangat penting mengingat pengorganisasian berhubungan dengan pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit - unit serta metode - metode yang mengarah pada upaya mewujudkan kebijakan menjadi hasil sesuai dengan apayang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Kota sebagai pusat kegiatan perdagangan, perbankan, keuangan, penyediaan jasa, pusat pemerintahan, dan pelayanan selalu mengakselerasikan pertumbuhan atau perkembangan Kota. Pertumbuhan dan perkembangan Kota yang pesat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk fungsi pengaturan sebagaimana hal tersebut di atas, yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Manado ialah "fungsi perizinan", Fungsi pemerintah dewasa ini adalah menyiapkan, menentukan dan menjalankan kebijaksanaan atas nama dan unfuk keseluruhan masyarakat. Peranan Pemerintah Kota diharapkan mampu memenuhi segala tuntutan warga masyarakatnya. Keberhasilan implementasi kebijaksanaan Pemerintah Kota Manado dalam pemberian Izin Mendirikan Bangunan serla untuk bagaimana menata Kota Manado kearah yang lebih baik didukung oleh masyarakat melalui peran serta aktif yang didukung dengan kesadaran untuk mengurus rzin mendirikan bangunan. Baik atau tidaknya hasil yang dicapai dari implementasi tersebut, maka kebijaksanaan Pemerintah tentang penataan bangunan yang menyangkut kepentingan warga tentu harus menyesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan dari warga. Dari uraian dan pendapat di atas, merupakan suatu masalah yang kompleks, berkaitan dengan tuntutan dan hak-hak warga masyarakat (yang diperintah) dalam memenuhi kelangsungan hidupnya, sedangkan kebijaksanaan yang sudah ada, harus dilaksanakan sebagaimana diatur dan dirumuskan untuk pencapaian tujuan pemerintah.
Hipotesis Kerja Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran di atas maka hipotesis kerja dalam peneiitan ini adalah : "keberhasilan dalam pengorganisasian sumberdaya kebijakan akan menjadikan implementasi kebijakan pemberian izin mendirikan bangunan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Manado berjalan dengan baik". J U R N AL K Y B E R N O L O G I
74
Volume II Edisi Pertama 2012 Metode Penelitian Didalam penelitian ini peneliti menggunakan metode peneiitian kualitatif, yaitu suatu penelitian kontekstual yang menjadikan manusia sebagai instrumen, dan disesuaikan dengan situasi yang wajar dalam kaitannya dengan pengumpulan data yang pada umumnya bersifat kualitatif dengan menjadikan implementasi kebijakan pemberian izin mendirikan bangunan sebagai objek penelitian. Pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan penelitian yang berupaya memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa yang tidak memerlukan kuantifikasi, karena gejala tidak memungkinkan untuk diukur secara tepat. Penelitian ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik dan menekankan pentingnya pernahaman tingkah laku menurut pola berpikir dan bertindak subjek kajian. Dalam hal ini tidak mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi memandang sebagai bagian dari suatu keutuhan. Bertolak pada kenyataan yang telah dikemukakan dan dengan mengetahui pentingnya suatu implementasi kebijakan penyelenggaraan perizinan terpadu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan penerbitan izin mendirikan bangunan, tentunya implementasi kebijakan ini harus dilaksanakan dengan baik yang dalam penelitian ini didukung oleh referensi teori yang ada yang dibangun dalam kerangka pemikiran dan hipotesis kerja. Untuk dapat mengatahui peran aspek pengorganisasian dalam implementasi kebijakan penyelenggaraan izin mendirikan bangunan sedang menganalisisnya diperlukan suatu aktivitas penelitian sebagai serangkaian kegiatan mengumpulkan, menggambarkan dan menafsirkan data tentang situasi yang dialami, kegiatan, hubungan tertentu, pandangan atau sikap yang tunjukkan atau tentang kecenderungan yang tampak dalam proses yang sedang berlangsung.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penduduk Kota Manado berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menunjukkan bahwa secara keseluruhan berjumlah 446.976 Jiwa yang terletak di Sembilan wilayah kecamatan. Dengan jumlah penduduk Kota Manado 446.975 dengan asumsi satu keluarga memiliki 4 orang maka jumlah bangunan rumah tinggal di Kota Manado sebanyak 111.744 buah rumah. Jumlah rumah tersebut belum termasuk peftokoan, kantor pemerintah maupun swasta. Akan tetapi berdasarkan data yang diperoleh di Dinas Tata Kota dimana jumlah bangunan yang ada di kota manado per J U R N AL K Y B E R N O L O G I
75
Volume II Edisi Pertama 2012 Desember 2010 seperti terlihat dalam tabel IV.2 sebanyak 77.886 buah. Kenyataan ini menunjukkan dengan jumlah penduduk saat ini masyarakat Kota Manado masih kekurangan 33.858 buah rumah. Sementara dari 77.886 buah bangunan rumah yang ada di Kota Manado baru 30.685 buah yang telah memiliki izin mendirikan bangunan sementara 47.20I buah rumah belum memiliki izin pendirian. Dengan 47.201 buah rumah yang tidak memiliki izin pendirian serta kebutuahn rumah saat ini sebanyak 33.858 buah menunjukkan bahwa Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Manado memiliki beban tanggung jawab yang besar untuk dapat melakukan tindakan tindakan pelayanan kepada masyarakat dalam pemberian izin mendirikan bangunan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari lokasi penelitian yang dikaitkan dengan wawancara yang dilakukan kepada informan yang ada menunjukkan adanya berbagai hal dalam kaitannya dengan aspek organisasi dalam upaya implementasi kebijakan pemberian izin mendirikan bangunan dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di Kota Manado baik yang merupakan pendorong maupun penghambat proses implementasi. Implementasi kebijakan implementasi kebijakan pemberianizin mendirikan bangunan pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu melalui melalui aspek organisasi menunjukkan dimana adanya keterkaitan dengan pelayanan Izin Mendirikan Bangunan. Implementasi kebijakan yang diambil dari dimensi organisasi yang ditinjau dari sumber daya manusia, keuangan, sarana dan prasarana, serta kelembagaan cenderung menunjukkan keterkaitan dalam artian belum memberikan kontribusi yang maksimal dalam upaya implementasi kebijakan pelayanan perizinan. Keadaan ini disebabkan oleh karena masih sangat kurangnya dukungan yang diberikan meialui aspek organisasi ini atau dengan kata lain pengorganisasian yang ada di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di Kota Manado berada dalam kondisi yang belurn memadahi atau kurang baik. Keterbatasan sumberdaya manusia pengelola perizinan perlu disikapi dengan adanya penambahan pegawai yang memiliki kompetensi secara teknis memiliki personalia yang baik, dapat menggunakan peralatan kantor dengan benar (misalnya komputer) dan menguasai bahasa asing (mengingat ada sebagain masyarakat yang dilayani merupakan investor asing) yang perekrutnnya melaiui seleksi uji kelayakan dan kepauhan, memberikan pelatihan baik formal maupun informal untuk para pegawai serta perlunya
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
76
Volume II Edisi Pertama 2012 pemberian insentif khusus untuk para pegawai yang sesuai dengan beban kerja mereka seperli yang telah diatur dalarn Permendagri Nomor 20 tahun 2008. Salah satau sebag belum optimalnya pelayanan rzin mendirikan bangunan adalah faktor dana. Terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan pada publik yang harus di berikan oleh pelaksana kebijakan juga terbatas. Dana yang minim sangat berdampak pada efektifnya penyediaan sarana dan prasaranan pelayanan, seperti ketersediaan komputer, ruang tunggu yang memadai dan lain sebagainya. Perlu ada dukungan sarana/prasarana di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu sangat diharapkan. Bagaimanapun, sarana dan prasarana menjadi utama dalam pengembangan pelayanan dewasa ini. Secara langsung perlu pihak Badan Pelayanan Perizinan Terpadu selalu melakukan evaluasi untuk sarana prasarana Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, yang mana hasil dari evaluasi tersebut juga dijadikan bahan rujukan kekurangan yang perlu dilengkapi sebagai pendukung dari kemajuan pelayanan bagi masyarakat dalam bidang peizinan. Keberadaan struktur organisasi untuk menjalankan fugas dan fungsi dalam melayani masyarakat tidak dilengkapi dengan terpenuhinya jumlah pegawai yang ada untuk melayani 19 (sembilan belas jenis perizinan) di Kota Manado. Jumlah pegawai yang hanya 32 orang serta tidak dilengkapinya dengan tim teknis yang memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian lapangan menjadikan pelayanan p erizinan menjadi terhambat. Untuk melaksanakan tugas dan fungsi berdasarkan struktur organisasi yang ada sangat memerlukan koordinasi dan kerjasama baik dengan masyarakat yang mengajukan permohonan maupun juga koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait lainnya. Perencanaan yang telah dirancang baik perencanaan strategis kerja, perencanaan personal, perencanaan tata laksana (ketata usahaan) dan perencanaan sarana dan prasarana semua itu untuk menunjang pelayanan peizinan bagi masayarckat di Kota Manado yang diupayakan untuk dilaksanakan dengan memperhatikan mutu pelayanan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu yang handal termasuk didalamnya terhadap pelayanan Izin Mendirikan Bangunan.
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan bahwa pengorganisasian dalam implementasi kebijakan izin mendirikan bangunan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di kota Manado diperhadapkan pada J U R N AL K Y B E R N O L O G I
77
Volume II Edisi Pertama 2012 keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas fisik yang dimiliki, dan tidak berjalannya fungsi koordinasi antar instansi mengakibatkan implementasi kebijakan pemberian izin mendirikan bangunan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di Kota Manado tidak berjalan sesuai dengan tujuan kebijakan baik. Mencermati kesimpulan maka dapat disarankan hal - hal yaitu : 1)
Dilakukannya penataan kembali Badan pelayanan Perizinan Terpadu dengan melalui penempatan pegawai yang sesuai dengan beban kerja yang ada.
2)
Perlu dilengkapinya sarana dan prasarana, dana operasional yang dapat mendukung struktur organisasi Badan pelayanan Perizinan Terpadu.
3)
Perlunya pemahaman yang benar dan tepan akan kebijakan bagi aparat pelaksana penerbitan izin mendirikan bangunan yang didukung oleh standar prosedur kerja dengan mengedepankan objektifitas dan transparansi yang dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.
4)
Perlu adanya pengaturan kembali (deregulasi) mengenai proses dan prosedur implementasi kebijakan pemberianizin mendirikan bangunan melalui pelayanan terpadu menjadi lebih singkat dan sederhana.
5)
Perlunya peningkatan pengawasan atas penerbitan tzin mendirikan bangunan secara terencana dan terpadu atas bangunan yang belum maupun telah rnemiliki izin sebagai perwujudan keterliban kota dalam mengimplementasikan kebij akan penataan kota.
DAFTAR PUSTAKA Anderson. James. E. 2003. Public Policy Making, Fifth Edition. USA: Houghton Mifflin Company. Bardach. E. 1917. The Implementation Game. Flwat Happen after a Bill Becomes a Law'. Cambridge, Mass: MIT Press. Bungin, Burhan. 2001. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta. Penerbit Kencana. Cresr,vell, John W. 1994. Qttalitative Inquiry and Reasearch Disign. Sage. California. Jones, Charles O. 1996. An Introduction To The Study of Public Policy, diterjemahkan oleh Ricky Irianto, Cet 3. Iakarta: RajaGrafindo Persada. Nugroho, Riant. 2008. Public Policy, Teori Kebijakan-Analisis Kebijakan-Proses kebijakan Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management dalam J U R N AL K Y B E R N O L O G I
78
Volume II Edisi Pertama 2012 Kebijakan Publik Kebijakan sebagai the Fifth Estate-Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Patton, Micheal Quinn. 200I. Qualitative Research ond Evaluation Methods. Tird Edition. USA: Sage Publications, Inc. Presman, J and Wildavsky. A, 1919. Implemetation. Berkeley. University of California Press. Ripley, B. Randall and Grace A. Franklin. 1982. Bureaucracy ancl Policy ImpIementation. Illonrs The Dorsey Press. Robbins, Stephen P 2003. Perilaku Organisasi. Jakarla : PT Indeks, Kelompok Gramedia. Sabatier, Paul and Mazmanian. 1983. Implementation end Public Policy. USA : Scott, Foresman and Company. Saefullah, H.A.Djadja. 2007 . Pentikiran Kontreporer Aclministrasi Publik, Prespektif Manajemen Sumber Daya Marutsict Dalam Erct Desentralisasi. Bandung : LP3AN FISIP UNPAD. Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung – Puslit KP2W Lemlit Unpad. Van Meter, Donalds and and Carl E Van Hom, 1915, "The policy Implementation Process: A Concetual Frameworll' Administration Society. Vol. 6 No. 4 February 1975. Wahab, Solichin Abdul, 1991, Anqlisis Kebijakan Darai Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta : Bumi Aksara Williams, W. 1980. The Implementation Perspective. Berkerley, University California Press. Winarno, Budi, 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo. Peraturan Pemerintah, Disertasi, Makalah : Undang - Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Peraturan Pemerintah No.69l Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tatacara Peran Serta Masyarckat dalam penataan ruang Peraturan Menteri Daiam Negeri nomor 20 tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan Iata kerja unit pelayanan perizinan terpadu di daerah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/2007 tentang Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Gedung Berdasarkan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
79
Volume II Edisi Pertama 2012 Peraturan Daerah Kota Manado Nomor 08 Tahun 2000 tentang lzin Mendirikan Bangunan Peraturan walikota Manado nomor 6 tahun 2009 tentang penyelenggaraan penzinan pada Badan Pelayanan Penzinan Terpadu (BPPT) Kota Manado.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
80