Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
DISINTEGRASI, PEMERINTAHAN LOKAL DAN DANA PERIMBANGAN PUSAT
Pandji Santosa Email:
[email protected] Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unla Jl. Karapitan no. 116 Bandung
ABSTRACT The ways we act on proportion funding and rural financial rule are still based on proportional apportion, and not by wide span of authority delegation. In that condition, the necessitation on natural resources share out are consider more propitious for the wealthier rural and inauspicious for any rural that does not have any natural resources. Meanwhile the allocation on general funding are based on objective and transparent formula, but still using equal apportion and not considering the equity side of the rural. The government ability to overcome rural funding difficulty is the most important movement in governing the rural area, but the consequences will lead to the demand on the funding apportion, federalization, even to the disintegration threat, when the central government are consider cannot maintain the fairness on proportional apportion between central and rural government, because it does not consider the rural contribution to central government revenue. Based on several reference, that designing the appropriate and based on the assessment on the equity of rural the funding, implemented the right funding apportion policy that based on rural area revenue capability, and also guarantee on rural autonomy and the local accountability, are ways to anticipate the negative effect caused by the funding apportion. Keyword: Disintegration, Local Governance and Center Policy Of balance Fund Counter.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
1
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
PENDAHULUAN Indonesia, selain dituntut agar segera keluar dari krisis ekonomi saat ini menghadapi beragam tuntutan dari daerah baik yang menyangkut tuntutan otonomi luas, otonomi khusus sampai kepada tuntutan pembagian keuangan yang lebih adil, tuntutan federalisasi hingga terdapat juga tuntutan kemerdekaan. Kebijakan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil oleh masyarakatnya di daerah pada waktu tertentu dianggap masalah yang memunculkan kritik tersendiri karena selain hasil pembangunannya dianggap tidak memuaskan masyarakat juga
dampak dari pembangunannya dapat memperparah
kesenjangan sosial. Keadaan ini dalam pelaksanaannya baik berdasarkan perspektif teknologi, pertumbuhan, dan kemajuan tidak melahirkan kesejahteraan masyarakat, sehingga situasi ini memberi peluang besar bagi munculnya ancaman yang melemahkan eksistensi negara dan bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan dalam ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan serta keamanan dan dapat berkembang menjadi gerakan disintegrasi negara dan bangsa. Ancaman terbesar bagi integrasi nasional cenderung datang dari akumulasi kekecewaan daerah terhadap pusat, atau konflik yang bersifat vertikal. Munculnya bibit-bibit disintegrasi bangsa terjadi antara lain ketika pemerintah pusat dinilai mempertahankan perimbangan keuangan pusat-daerah secara tidak adil dan menimbulkan ketergantungan. Pemberlakuan otonomi daerah yang dapat menimbulkan distorsi dan biaya ekonomi tinggi pada pasca reformasi perlu segera diatasi sejalan dengan transisi demokrasi lokal yang saat ini sedang melakukan konsolidasi politik agar
proses desentralisasi membawa
perubahan pada tatanan ekonomi daerah untuk mengembangkan dan memobilisasi PADnya. Setelah pilkada dilaksanakan, maka pelaksanaan demokrasi dan otonomi suatu pemerintah daerah telah memberikan kewenangan membuat keputusan maupun kewenangan keuangan yang semakin besar melalui proses politik khas lokal di daerahnya. Dalam kondisi tersebut proses demokratisasi dan politik lokal muncul di daerah disertai dengan peran elitnya yang secara intensif berkembang dengan dinamika sosial politiknya. Seharusnya sesuai konteks undang-undang, berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999 adalah untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian J U R N AL K Y B E R N O L O G I
2
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
daerah (Hardjosoekarto, 2002:9) yang kini di ubah dengan UU No.32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, namun intinya misi yang dikandung belum bergeser dari undangundang sebelumnya.
Padahal mengatur mobilisasi pendapatan daerah tidak sekedar
berorientasi pada kepentingan memaksimalkan pendapatan daerah, tetapi lebih kepada kepentingan mendukung pemberdayaan dan penciptaan ruang yang lebih besar bagi peran serta masyarakat dan stakeholder dalam pengembangan ekonomi daerah. Berdasarkan realitas tersebut masalah penting untuk dikaji adalah bagaimana perilaku politik (Pemerintah Pusat) dapat menghargai aspirasi daerah atau bagaimana agar kebijakan dana perimbangan pusat dapat dipadukan
(matching) dengan penguatan
demokrasi lokal. Tulisan ini mencoba mengungkapkan beberapa prespektif dan argumentasi dengan pendekatan pengulasan dan telaahan kritis (review article) terhadap masalah yang dihadapi berdasarkan
tinjauan
teori
administrasi
publik,
sehingga
pembahasan
yang
diungkapkannya dapat menjelaskan dan membandingkan beberapa penafsiran dan solusi yang sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi. Secara umum sasaran penulisan pada intinya berupaya untuk mengeloborasi masalah atau isu yang berkembang dari tiga sudut pandang antara disintegrasi, pemerintahan lokal kebijakan dana perimbangan pusat yang bertujuan mengembangkan demokrasi di aras lokal, sehingga kemampuan dan pemberdayaan ekonomi daerah bisa segera diwujudkan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakatnya.
DISINTEGRASI Proses demokratisasi yang bertumpu pada otonomi daerah ternyata tidak selalu berjalan mulus dan menyisakan sejumlah persoalan-persoalan baru. Selain munculnya raja-raja kecil di daerah, proliferasi korupsi di daerah, perebutan sumber daya, sentimen putra daerah dan non putra daerah dalam kontelasi politik lokal, muncul berbagai organisasi masa (ormas) yang mengusung sentimen identitas lokal. Hal ini sempat menyulut konfliks kekerasan di banyak daerah yang disebabkan oleh tokoh etnis lokal yang bersaing J U R N AL K Y B E R N O L O G I
3
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
memperebutkan kekuasaan politik dan akses terhadap sumber daya materil (Van Klinken 2001). Hingga kini masih adanya simpul yang menterminologi putra daerah kerap diintrepretasikan secara longgar dan tidak bijak serta tidak hanya mengacu kepada aspek etnisitas, melainkan juga kepada domisili dan tempat kelahiran untuk memberikan ruang bagi tampilnya elit nasional yang mengincar posisi strategis di daerah. Bila dicermati, adanya konflik kekerasan di Indonesia bukanlah hal yang baru dalam episode sejarah nasional. Dinamika konflik kekerasan selalu mengiringi perjalan bangsa ini. Karenanya, Indonesianis seperti Ben Anderson tak segan-segan berpendapat bahwa kultur kekerasan bukanlah monopoli penguasa orde baru, tetapi sudah sejak lama melekat semua lapisan masyarakat (Anderson 2001). Namun demikian, dahsyatnya tingkat konflik dan kekerasan atas nama agama, kepentingan etnis dan kelompok di berbagai pelosok negeri serta isu disintegrasi menuntut penjelasan yang lebih luas ketimbang sekedar faktor kultural ataupun dampak dari euphoria politik dari proses demokratisasi. Di era orde baru, ancaman terbesar bagi integrasi nasional cenderung datang dari akumulasi kekecewaan daerah terhadap pusat, atau konflik yang bersifat vertikal, maka dewasa ini, kekerasan dan konflik horizontal menjelma menjadi ancaman serius bagi integrasi nasional. Ted Gurr, seorang ilmuwan yang mendalami masalah konflik etnisagama menyimpulkan bahwa sentimen identitas suatu kelompok dapat mengalami pasang surut, sesuai dengan derajat kepentingan anggota suatu kelompok (Gurr 1993). Identitas kolektif akan menguat secara drastis manakala kelompok tersebut mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Sebaliknya, identitas kolektif suatu kelompok akan melemah ketika terjadi proses asimilasi atau keanggotaan yang berlapis dari anggota suatu kelompok dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat. Namun demikian, pada kasus negara - negara demokrasi baru, kerapkali para pemimpin kelompoklah yang memanipulasi
pasang
surut
identitas
kelompoknya.
Para
pemimpin
tersebut
mengeksploitasi faktor sejarah clan simbol-simbol kultural untuk memobilisasi dukungan politik.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
4
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Menariknya, Samuel Huntington menyatakan bahwa krisis identitas ini bukan saja monopoli negara-negara demokrasi baru, melainkan telah menjadi fenomena global dan melanda negara-negara demokrasi mapan. Merosotnya otoritas negara sebagai penjamin keamanan
rakyatnya
telah
memberikan
insentif
bagi
rakyat
untuk
menolak
mengidentifikasikan diri dengan negara dan mempromosikan identitas kelompok yang bersifat sub nasional maupun trans nasional (Huntington 2004). Di berbagai belahan dunia tumbuh gerakan - gerakan yang kuat yang berusaha untuk melakukan proses redefinisi identitas negara dalam terminologi keagamaan sebagai upaya adaptasi dengan perubahan pada tataran global dan membangun rasa aman dan nyaman. Menurut Huntington, jika pada abad ke 19 dan 20 para elit politik dan intelektual memobilisasi kebangkitan identitas nasional dan memelopori gerakan-gerakan nasionalisme, saat ini justru kita menyaksikan manuver para elit yang tengah melakukan proses denasionalisasi di banyak negara. Dalam konteks di Indonesia, manuver elit untuk memanipulasi identitas kultural adalah gerakan pemekaran daerah yang marak dilakukan sejak lahirnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Elit politik lokal, birokrat lokal dan pengusaha lokal memainkan peran penting dalam mengolah emosi masa untuk menciptakan kesadaran kolektif mengenai urgensi dari pembentukan wilayah adminsitratif baru di daerah kelahiran mereka sejak kurun waktu 1999 hingga 2004. Bagaimana agar segera keluar dari konflikasi dalam permasalahan yang menyangkut konflik dan integrasi nasional? Setidaknya diperlukan penelisikan sisi lain dari konfliks, sebagaimana dikatakan Dahrendorf bahwa konfliks juga dapat dilihat sebagai mekanisme alamiah dalam konteks rekonstruksi sosial untuk mencari keseimbangan baru dan menghilangkan unsur-unsur disintegratif dalam masyarakat. Karenanya, jika mengacu kepada sisi tersebut 1) cara melakukan proses transformasi konflik, yaitu menyalurkan energi negatif konflik kepada saluran-saluran alternatif yang akan mengelola konflik tersebut. 2) Dalam mengatasinya antara konflik kekerasan dan integrasi nasional, politik identitas dan konsolidasi demokrasi, diperlukan komitmen politik dari para elit politik untuk memulai suatu proyek jangka panjang, merumuskan mengenai strategi dan taktik
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
5
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
proses nation building untuk membangun kultur baru bangsa yang mengapresiasi perbedaan sebagai modal sosial dan mencetak generasi baru di masa datang.
PEMERINTAHAN LOKAL Politik lokal menurut Surbakti (1992) yaitu: (a) Usaha yang di tempuh warga negara untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakatnya di daerah tertentu; (b) Segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (c) Segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat; (d) Kegiatan yang berkaiatan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum; (e) Sebagai konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber yang dinilai penting. Selain itu ada yang didefinisikan Heinelt dan Wollmann (2003) sebagai suatu sense dalam pembagunan yang secara sosial bentuknya dapat berupa keputusan-keputusan dalam sistem interaksi yang menyangkut fisik dan ruang sosial. Memahami bagaimana itu politik lokal tentunya akan terkait dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Artinya, kekuasaan itu tidak hanya berdasarkan pada kemampuan tetapi juga ditentukan oleh faktor lain yang memiliki hubungan dengan kondisi daerah bersangkutan. Sebab itu, ada dua faktor yang akan mempengaruhi kehidupan politik lokal dalam masyarakat Indonesia yaitu 1) sistem kultural dan 2) kepercayaan (Sjamsudin, 1989). Namun yang perlu diperhatikan dalam konteks politik lokal ini adalah bagaimana memadukan antara keinginan pusat dan aspirasi lokal yang muncul di daerah yang tidak lepas dari peran birokrasi pada aras lokal. Sebab dinamika kehidupan pemerintahan lokal yang akan dibangun tersebut, kondisinya akan terus berubah oleh pengaruh perubahan konteks ekonomi dan sosial, selain oleh konfliks ideologi dan politik lokal yang terjadi disekitar pemerintahan lokal (John and Gerry, 1989). Perlu juga dipahami bahwa aras pemerintahan lokal tersebut memiliki karateristik yang berbeda di setiap daerah sehingga diperlukan penyesuaian dengan pemerintah pusat. Di samping itu, diperlukan pula perubahan struktur pemerintahan lokal yang akan berdampak pada perubahan perluasan program ekonomi, sosial, dan pembaharuan ideologi. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
6
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Boleh jadi, upaya yang perlu dilakukan adalah menghadapi tantangan yang ditekankan pada keuangan untuk kemudian diperluas perhatiannya pada peran, organisasi, kelembagaan, dan manajemen. Oleh karena itu, dalam pemerintahan lokal penataan kehidupan bernegara untuk melakukan interaksi dengan pemerintah pusat secara optimal perlu dilakukan. Untuk itu, ada tiga hal yang mesti dikaji dalam status pemerintahan lokal yaitu: fungsi, struktur, dan keuangan (Martin, 1986). Semua itu, diperlukan guna memberikan arti bernegara bahwa kehidupan tradisional sudah mulai disinergiskan dengan aktivitas yang mengarah kepada kepentingan nasional di era globalisasi, sehingga mau tak mau, suka atau tak suka telah masuk ke dalam arena globalisasi, berhenti sedikit saja akan tergerus arus tersebut. Artinya, dalam program pembangunan lokal maupun nasional harus diintegrasikan, kemudian harus berdampak pada stabilitas internal. Hal ini, tentunya memerlukan peran dari pemerintah pusat, dan pada saat yang sama peran pemerintah daerah (propinsi ataupun kabupaten dan kota) sangat dibutuhkan. Karena kurangnya sumber yang tersedia ditingkat lokal, maka pemerintah lokal pada saat ini mendapat peran penting dan akses dari struktur pemerintah pusat. Semua itu, dapat diwujudakan melalui kebijakan pemerintah pusat yang akan didesentralisasikan pada pemerintah lokal yang merupakan otoritas daerah untuk menyatukan berbagai kepentingan, tujuan dan kemampuan dalam pembangunan daerah melalui program pembangunan. Sehingga dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pemerintah lokal akan alokasi sumbersumber daya dan tidak bergantung kepada pemerintah pusat semata. Dampak dari itu semua tentunya memiliki arti penting bagi pembangunan memandirian pemerintahan lokal, meski yang muncul berbagai agenda pemekaran wilayah namun itu semua merupakan ekses dari demokrasi yang tengah dibangun bangsa ini. Sangat kontras, ketika hegemoni negara yang dipraktikkan masa Orde Baru yang memarginalkan masyarakat lokal. Dengan demikian, diperlukan revitalisasi (diberi penguatan kembali) sehingga dapat diakomodasi dan diakses dalam pelaksanaan pembangunan.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
7
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Penguatan politik lokal atau identitas lokal harus dipahami sebagai salah satu kekuatan perekat integrasi nasional dan kekuatan yang memperlancar pembangunan. Revitalisasi identitas lokal dilakukan dalam tataran institusi, status, dan peran seperti Krama adat, lembaga dapat yang ditopang oleh aturan-aturan adat secara arif dan bijaksana. Jadi dapat dipahami bahwa dengan munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik salah satu indikasi penguatan identitas terhadap wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia kaya akan identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bisa memperkuat pluralisme (Abdilah, 2002). Sementara Giddens (2000) menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Dia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari arti ―berbangsa dan bernegara‖ yang sesungguhnya. Secara politik, bagaimana memanfaatkan pintu pemberian otonomi daerah tersebut sehingga menjadi sebuah jalan masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat, agar sejajar antara pemerintahan lokal dengan pertumbuhan otoritas pemerintah pusat yang melakukan stabilitas ekonomi, sosal dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program pembangunan (Mac Andrew, 1986). Oleh karena itu sebagaimana dikatakan Morfit, (1995) bahwa usaha yang dilakukan pemerintah pusat dalam menangani masalah yang ada di daerah adalah memperkuat posisi pemerintah daerah, ini semua terkait dengan desentralisasi yang dilakukan. Dengan demikian, akan menunjukkan betapa pentingnya peran pemerintah di aras lokal/daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing. Ketika konteks demokrasi lokal diwujudkan, maka semakin besar otonomi suatu pemerintah daerah, baik dalam arti kewenangan membuat keputusan maupun kewenangan keuangan, akan makin besar pula derajat proses politik yang khas lokal (local politics). Maka dengan kondisi tersebut, dapat disimpulkan yakni; Pertama, makin besar otonomi lokal yang diberikan, maka semakin besar pula proses demokratisasi dan politik lokal yang muncul di daerah. Kedua, semakin intesif peran elit masyarakat, maka semakin berkembang pula dinamika sosial politik di daerah yang bersangkutan. Ketiga, semakin J U R N AL K Y B E R N O L O G I
8
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
dinamis proses demokratisasi maka semakin dinamis pula perkembangan politik lokal di daerah.
KEBIJAKAN DANA PERIMBANGAN Davey (1988) mengatakan hubungan antara keuangan pusat dan daerah, prinsipnya lebih pada persoalan tentang pembagian kue kekuasaan. Terutama hak mengambil keputusan mengenai anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya. Semua itu bertujuan untuk menggapai kesesuaian dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah (Devas, 1989:179). Dia juga mengidentifikasikan dua bentuk utama peranan pemerintah lokal/daerah yang masing-masing membutuhkan dukungan format kebijakan keuangan yang berbeda. Kedua peranan dan format kebijakan keuangan yang sesuai dengan masingmasing peranan tersebut yakni: Pertama, pandangan yang menekankan peranan pemerintah sebagai ungkapan kemauan dan indentitas masyarakat setempat. Pemerintah lokal/daerah merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan aspirasinya sesuai dengan keinginan dan prioritas mereka. Kedua, pandangan yang menekankan peranan pemerintah lokal/daerah sebagai lembaga yang menyelenggarakan layananlayanan publik dan sebagai alat untuk menebus biaya memberikan layanan yang bermanfaat untuk daerah. Apa yang diungkapkan Davey dan Devas, intinya adalah menekankan pentingnya keseimbangan antara beban urusan yang menjadi tanggungjawab pemerintah lokal/daerah dan kewenangan finansialnya. Semakin luas urusan yang menjadi tanggungjawab pemerintah lokal/daerah, semakin besar pula kewenangan finansial yang dibutuhkannya. Sebagai konsekuensinya, seperti ditegaskan Hun Cho dan Meinardus (1996) “If decentralizacion of power is the aim, then logically decentralization public finances must go with it (Hun Cho dan Meinardus, 1996:175). Argumen tersebut, tentunya berdasar pada mendorong munculnya prinsip baru dalam politik pembiayaan desentralisasi. Prinsip baru ini tercemin pada adagium no mandate wihtout funding atau money follow functions menggantikan prinsip kuno yang dikemukan Wayong (1956) yaitu functions follow money yang dinilai tidak realistik (Gaffar,dkk, 2002:189). J U R N AL K Y B E R N O L O G I
9
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Undang-undang No. 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya mengatur
tentang
pelaksanaan
desentralisasi
yang
berlandaskan
pada
prinsip
keseimbangan. Ditegaskan bahwa kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi, harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut, meski dalam tataran implementasinya masih banyak mengundang kontroversi. Gaffar, dkk (2002) menilai bahwa peraturan tentang masalah keuangan daerah yang ada masih bersifat setengah hati, karena titik beratnya masih tetap pada pembagian proporsi, bukan kepada pemberian kewenangan yang luas sebagaimana yang dinyatakan dalam UU No.22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32/2004 (Gaffar, dkk, 2002:203). Uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun uang bukan satu-satunya alat menggerakkan roda pemerintahan. Otonomi adalah kewenangan, dengan kewenangan, maka uang akan dapat dicari (Gaffar, dkk, 2002: 213). Menyikapi persoalan dana perimbangan, dapat gali dari sisi kebijakan bagi hasil, pola bagi hasil masih dilakukan basis per basis pajak dan belum mencakup setiap sumber pendapatan pusat yang ada di daerah. Penekanan lebih besar pada bagi hasil sumberdaya alam (SDA), dinilai lebih menguntungkan daerah yang kaya SDA dan tidak menguntungkan daerah yang bukan penghasil kekayaan alam tersebut (Pratikno, 2002:66). Sementara sumber dana alokasi umum, meskipun didasarkan formula yang lebih objektif dan transparan, tetapi cenderung lebih mengutamakan pemerataan dan kurang memperhatikan sisi keadilan. Bahkan cenderung bersifat disinsentif karena tidak memperhitungkan kontribusi daerah kepada pendapatan pusat. Demikian pula pendekatan 25 persen dari pendapatan dalam negeri, belum dikembangkan untuk mencapai sufficiency pembiayaan daerah. Jadi secara umum, transfer keuangan intra-pemerintahan hendaknya mampu mendorong peningkatan manajemen fiskal yang baik dan menghidari parktek yang tidak efisien (Shah, 1994:71). Bahkan mampu mengurangi beban perpajakan lokal yang relatif tinggi (Bailey, 1999:207). Upaya seperti ini akan dapat dilakukan pemerintah lokal/daerah, apabila pemerintah lokal/daerah memiliki kewenangan memadai di bidang pengelolaan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
10
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
sumberdaya
ekonomi.
Terutama
kewenangan
pemerintahan
lokal/daerah
dalam
mengendalikan tarif pajak daerah (local tax power) (Bird dan Vaillancourt, 2000:49). Pemerintah lokal/daerah perlu memiliki dana memadai, sehingga memiliki fleksibilitas untuk lebih menekankan pada intensifikasi. Bahkan kemungkinan memberikan tax holiday demi merangsang investasi di daerahnya (Mardiasmo, 2002:153). Melihat hasil studi de Mello dan Berenstein (2002) yang menunjukkan semakin besar bagian dana yang dibelanjakan daerah, semakin besar keterkaitan positif antara desentralisasi dan perwujudan governance (Abed and Gupta, 2002:360). Agar tidak terjadi pelemahan upaya fiskal daerah, setiap desain perimbangan keuangan harus bersendikan elemen potensi kapasitas penerimaan daerah (Bird dan Vaillancourt, 2000:45). Misalnya di Spanyol, 25 persen dana perimbangan daerah dialokasikan menurut penerimaan pajak daerah dan 70 persen menurut jumlah penduduk. Sebagai perbandingan Denmark dan Swedia, Kanada dan Australia, secara eksplisit mengkalkulasikan dana perimbangan dengan mengasumsikan penerapan tarif pajak daerah menurut rata-rata nasional. Daerah yang menetapkan tarif pajak di atas rata-rata tarif pajak daerah, tidak diberi sanksi dengan pengurangan dana perimbangan. Sementara yang menerapkan tarif di bawah rata-rata, diberi insentif kenaikan dana perimbangan yang diterimanya. Demikian pula, keuangan intra pemerintahan tidak seharusnya mengandung kompleksitas yang tidak perlu. Di semua negara, kompleksitas hunbungan fiskal antar pemerintahan tidak dapat dihindari dan biasanya tidak memuaskan bagi pihak-pihak yang terkait. Jika apa yang dikerjakan pusat adalah mesukseskan suatu tujuan khusus, dilakukan tanpa menambah kerumitan atas keuangan intra-pemerintahan. Bilamana mungkin, transfer langsung ke kelompok masyarakat miskin lebih baik daripada transfer tidak langsung melalui daerah. Kebijakan keuangan intra pemerintah, karenanya perlu dirancang lebih cermat. Devas (1988) mengemukakan tujuh kriteria dasar yang perlu diperhitungkan yaitu: simplicity (kesederhanaan, formula alokasi mudah dimengerti), adequacy (cukup untuk membiayai kebutuhan dasar daerah), elasticity (menyesuaikan diri terhadap inflasi, dll), stability and predictability (jumlah alokasi relatif stabil dan mudah diprediksi), equity (unsur J U R N AL K Y B E R N O L O G I
11
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
pemerataan daerah), economic efficiency (menjamin efisiensi penggunaan dana), serta decentralization and local accountability (menjamin otonomi daerah dan akuntabilitas lokal) (Pratikno, 2002:61). Kriteria serupa ditegaskan oleh Shah (1994) yang mengemukakan sejumlah kriteri dasar yang perlu dipertimbangkan dalam merancang transfer keuangan intra-pemerintahan yaitu: autonomy, revenue adequacy, equity, predictability, efficiency (neutrality), simplicity, incentive, and safeguard of grantor’s objectives (Shah, 1994:30). Disamping PAD dan DAU/DAK dari Pemerintah Pusat, sumber dana pemerintah lokal/daerah lainnya yang potensial adalah ―pinjaman daerah‖ (local borrowing). Berdasarkan undang-undang, daerah diberikan kewenangan melakukan pinjaman. Baik itu pinjaman pada pusat, bank komersial, dan institusi keuangan lainnya. Termasuk melakukan pinjaman ke luar negeri. Akan tetapi melalui peraturan No.107/2000, kewenangan ini oleh pusat diatur sangat ketat sekali yang pada akhirnya justru mempersulit kemungkinan pemerintah lokal/daerah untuk melakukan pinjaman. Larangan pemerintah lokal/daerah untuk melakukan pinjaman ini, dapat menimbulkan kondisi kurang mendukung bagi percepatan perbaikan kinerja pemerintah lokal/daerah. Bahkan merupakan bentuk patronase lama untuk melindungi kinerja pemerintah lokal/daerah yang tidak efektif. Seperti dikemukakan Bird dan Vaillancourt (2000): ―Pemberlakuan batasan utang untuk mencegah kesalahan fiskal pada pemda dapat berakibat buruk. Karena dapat membendung terjadinya sangsi pasar secara alamiah. Kreditur potensial pemerintah, dapat memiliki kemampuan dan motivasi untuk membuat evaluasi kemungkinan risiko pada uangnya. Dari perspektif ini, kekhawatiran atas keteledoran pemerintah lokal/daerah yang dapat menyebabkan mereka terjebak dalam posisi sulit, merupakan contoh lain dari paternalisme yang tidak tepat atau keliru, yang umum terjadi pada pemerintah pusat dalam menghadapi kemungkinan tidak enaknya kehilangan kontrol akibat desentralisasi. Pemerintah lokal/daerah sulit berkinerja dengan baik jika mereka selalu diamankan dari kemungkinan berbuat salah dengan memberlakukan batasan yang sembarang atau jika mereka yakin bahwa pusat selalu siap memberikan bantuan. Jika pusat ingin menghidari permasalahan, J U R N AL K Y B E R N O L O G I
12
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
dapat dilakukan dengan tidak memberikan subsidi atas utang pemerintah lokal/daerah dan merelakannya dililit utang terlalu banyak dan bangkrut seperti terjadi di Maroko‖ (Bird dan Vaillancourt, 2000:10). Ilustrasi di atas tersebut, menandakan adanya sejumlah persoalan krusial yang ditengarai telah menjadi faktor penting guna mendorong otonomi seolah-olah identik dengan automoney. Meningkatkan PAD dengan cara menambah jenis dan meningkatkan tarif pajak/retribusi. Munculnya berbagai konflik perebutan sumber pendapatan antar pemerintahan. Seperti kengototan sejumlah Pemkab/Pemkot untuk mendapatkan bagi hasil lebih besar dari pajak kendaraan bermotor. Tuntutan pengalihan kewenangan pengelolaan uji kir kendaraan yang selama ini tangani Pemprov, hal serupa juga ditujukan pada sumber pajak yang selama ini dikuasai pusat. Seperti cukai rokok, bandara, pelabuhan, BUMN dan sebagainya.
PENUTUP Perimbangan keuangan pusat dan daerah merupangan suatu kebijakan yang berorientasi kepada terselenggaranya hubungan yang representatif dalam pemerintahan antara pusat dan daerah
khususnya dalam rangka membentuk pemerintahan daerah yang mampu
mengurus rumah tangganya dengan kemampuan sendiri secara berdayaguna dan berhasilguna. Penyediaan sumber sumber desentralisasi
pendanaan berdasarkan kewenangan
dan dekonsentrasi serta tugas
pemerintah pusat,
pembantuan tersebut sebenarnya tidak
hanya sekedar menyangkut masalah pembagian dana, namun lebih jauh merupakan pencerminan dari pembagian beban antara pusat dan daerah dalam melaksnakan tugas dan tanggung jawab
pemerintahan Hubungan ini memiliki makna yang penting dalam
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
mengingat dalam sistem
pemerintahan negara yang berbentuk negara kesatuan, pusat adalah pusatnya daerah, dan daerah adalah daerahnya pusat. Oleh karena itu dana perimbangan pusat untuk daerah tetap harus sebanding dengan yang diserap pusat dari daerah tersebut agar pemanfaatannya dapat memaksimalkan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
13
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
kesejahteraan rakyat di daerah. Tanpa ada good governance, dana tersebut tidak tepat sasaran dan tidak bisa menyejahterakan rakyat daerah dan akan menjadi ancaman terbesar bagi integrasi nasional karena hal itu cenderung menimbulkan
kekecewaan daerah
terhadap pusat hingga menyebabkan adanya konflik yang bersifat vertikal. Bila ancaman tersebut tidak segera diatasi, disintegrasi bangsa akan terus membayangi negeri ini, karena selain perjuangan dan gerakan ke arah otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab, hal itu merupakan kepentingan pemerintah lokal dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi wilayahnya. Otonomi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sebagaimana dalam penjelasan UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan Pemerintah pusat dan Daerah bahwa dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka pemerintah suatu negara pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yaitu fungsi-fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi antara lain meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat. Fungsi distribusi meliputi antara lain, pendapatan dan kekayan masyarakat, pemerataan pembangunan. Dan fungsi stabilisasi yang meliputi, antara lain, pertahanan-keamanan, ekonomi dan moneter. Pembagian ketiga fungsi tersebut adalah sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara jelas dan tegas. Dengan adanya dana perimbangan yang meliputi bagi hasil pusat-daerah, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus itu mencerminkan upaya dan asas keadilan perimbangan antara pusat dan daerah, disamping upaya dan asas pemerataan alokasi dana untuk berbagai kegiatan dan pembangunan di Daerah-daerah. Kebijakan alokasi anggaran yang relatif meningkat besar ke arah daerah-daerah yang memiliki potensi SDM yang besar dan menguntungkan akan banyak merubah kemampuan daerah yang bersangkutan untuk membangun. Namun kondisi ini perlu diimbangi dengan dana perimbangan khususnya melalui dana alokasi umum (DAU), terutama bagi daerah J U R N AL K Y B E R N O L O G I
14
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
yang miskin SDA dan potensi sumber pendapatan daerahnya agar tidak menimbulkan kesenjangan yang baru. Sehingga selain aspek keadilan dan pemerataan dalam sumber pembiayaan pembangunan juga diharapkan kemajuan dan pembangunan akan berjalan dengan berimbang antar daerah, sehingga ketimpangan pendapatan (dan pembangunan) akan menjadi semakin berkurang, dalam arti akan terjadi pemerataan antar daerah dalam pembangunan dan hasil-hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdilah S., Ubed, 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Magelang: Indonesiatera. Anderson, Benedict, ed (2001), Violence and the State in Suharto's Indonesia, Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University. Abed, George T., and Gupta, Sanjeev, 2002, Governance, Corruption & EconomicPerformance, IMF: Washington, D.C. Bailey, Stephen J., 1999, Local Government Economics: Principles and Practice,Macmillan Press Ltd.: London. Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois, 2000, Desentralisasi Fiskal di Negaranegara Berkembang, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Cho, Chang-hyun, and Meinardus, 1996, Local Autonomy and Local Finance, CLAHanyang University: South Korea. Davey, K.J., 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI Press: Jakarta. Devas, Nick., dkk., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI-Press: Jakarta. Davies (ed) When Men Revolt and Why. New York: Transaction Snyder, Jack (2000) From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, New York: Norton. Dahrendorf, Ralf (1976) "The Modern Social Conflict: an Essay to the Politics of Liberty. London: Weidenfeld and Nicholson. Gidden, Anthony, 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
15
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Gaffar, Afan, dkk, 2002, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustakan Pelajar :Yogyakarta. Gurr, Ted (1993) Minorities, Nationalist, and Ethnipolitical Conflict Higley, John dan Richard Gunther (ed) (1992) Elite and Democratic Consolidation in Latin America abd Southern Europe, Cambridge: Cambridge University Press. Hardjosoekarto, 2002, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 2. Heinelt, Hubert and Wollmann, 2003. Local Politics Research In Germany: Developments and Characteristics In Comparative Perspective. London: Sage Publications. Huntington, Samuel (2005) "Who Are We? America's Great Debate" Free Press, London. John, Steward & Gerry Stoker, 1989. The Future of Local Government, London: Macmillan. Katzenstein, Peter (1996) The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics, New York: Colombia University Press. Hal. 59. Morfit, M., Strengthening the Capacities of Local Government : Policies and Constraints, in Mac Andrew (ed) 1986. Central Government and Development in Indonesia, Singapore: Oxford University Press. Mardiasmo, 2002, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI: Yogyakarta. Pratikno, 2002, Keuangan Daerah: Manajemen dan Kebijakan, MAP-UGM: Yogyakarta. (Pointers Kuliah). Surbakti, Ramlan, 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia. Sjamsudin, Nazarudin, 1989. Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia. Shah, Anwar, and Qureshi, Zia, 1994, Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia, The World Bank: Washington, D.C. Tornquist, 011e (2002) Popular Development and Democracy: Case Studies with Rural Dimensions in the Philippines, Indonesia and Kerala, Oslo: Centre for Development and the Envoronment. Van Klinken, Gerry (2001) "The Maluku Wars: Bringing society back in," Indonesia 71 (April 2001), 1-26. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
16
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
BAKORWIL ”DAPAT DIBENTUK” OLEH GUBERNUR DALAM PELAKSANAAN KOORDINASI PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN Oleh : M. Arry Djauhari *) Abstract To help coordinate the work area governors in general is quite extensive and the number of people quite a lot, the role of the previously named "Assistant Governor" and later became the Regional Coordinating Board (Bakorwil), for Government Coordination and Regional Development or any other name, is still required to support their governor in their respective working areas. 1.
Latar Belakang Pada dasarnya tugas pokok Pemerintah Indonesia adalah menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan Nasional. Oleh karena itu pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan Nasional, maka tugas pokok Pemerintah Daerah juga pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan tujuan Nasional dalam wilayah yang bersangkutan. Pembangunan Daerah yang pada dasarnya diorientasikan pada pengembangan suatu wilayah tertentu, pada akhir-akhir ini semakin diharapkan kepada berbagai permasalahan yang kompleks, sehingga perlu terselenggaranya koordinasi. Penyelenggaraan pemerintah di Daerah yang berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, mendudukan Gubernur Kepala Daerah baik selaku alat Pemerintah Daerah Propinsi juga alat Pemerintah Pusat di Daerah. Gubernur Kepala Daerah mempunyai kewajiban mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sektoral dan pembangunan daerah, agar terdapat keserasian dan keterpaduan dalam pencapaian sasarannya, berdasarkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh RPJP Nasional dan RPJP Daerah. Selanjutnya Gubernur Kepala Daerah berkewajiban J U R N AL K Y B E R N O L O G I
17
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan operasional baik yang dilakukan oleh instansiinstansi vertical di Daerah maupun oleh dinas-dinas Daerah. Sejak diundangkannya Peraturan Presiden No.22 tanggal 25 Oktober 1963 semua keresidenan dinyatakan dihapus. Dengan dihapuskannya Keresidenan yang semula dapat merupakan channel pengawasan terhadap Kabupaten/Kota, ternyata baru dirasakan kemudian, Gubernur terlalu luas ―Span of Controlnya‖. Berdasarkan pengalamanpengalaman dalam praktek penyelenggaraan pemerintah di daerah, adanya faktor-faktor geografis, jumlah penduduk, rentang kendali dan lain sebagainya, maka dalam rangka peningkatan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, masih dirasakan kebutuhan adanya eselon jabatan Pembantu Gubernur yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi, yang dicantumkan dalam pasal 73 Undang-Undang No.5 tahun 1974. Sedangkan sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden tanggal 25 Oktober 1963 No.22 tahun 1963 hingga diundangkannya Undang-Undang No.5 tahun 1974, kepada para residen diberi tugas Pembantu/Penghubung Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang mempunyai wilayah kerja yang menyangkut beberapa wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dengan tugas koordinasi saat itu. Sebagaimana telah diutarakan di atas, bahwa jabatan Pembantu Gubernur secara yuridis formalnya diatur dalam pasal 73 Undang-Undang No.5 tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah. Dalam pasal ini ditetapkan bahwa apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Menurut Taliziduhu Ndraha, ―Pembantu Guberbur adalah staf teritorial‖ (Taliziduhu Ndraha, Metodologi Ilmu Pemerintahan Indonesia, 1983 : 110). Sebagai staf teritorial, Pembantu Gubernur bertindak untuk dan atas nama Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan oleh karena itu, Pembantu Gubernur diharapkan dapat menjadi perpanjangan
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
18
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
tangan Gubernur yang akan berhadapan langsung dengan instansi-instansi Vertikal, berbagai jenis program dalam kondisi wilayah yang luas. Dalam mengkoordinasikan, mengawasi, serta membina pemerintahan umum dan pembangunan di daerah, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dibantu oleh para Pembantu Gubernur. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa barat No. 794/Ok.100-Huk/Sk/79. tanggal 18 Juli 1979, bahwa pembagian wilayah Kantor Pembantu Gubernur se-Jawa Barat meliputi 5 wilayah yaitu : 1.
Wilayah I Serang yang meliputi Kabupaten Daerah Tiingkat II Serang, Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak, Kabupaten Daerah Tingkat II Pandeglang, Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang.
2.
Wilayah II yang meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor, Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi, Kotamadya Daerah Tingkat II Sukabumi, Kabupaten Daerah Tingkat II Cianjur.
3.
Wilayah III Cirebon yang meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon, Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon, Kabupaten Daerah Tingkat II Kuningan, Kabupaten Daerah Tingkat II Majalengka, Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu.
4.
Wilayah IV Purwakarta meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta, Kabupaten daerah Tingkat II Karawang, Kabupaten Daerah Tingkat II Subang, Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi.
5.
Wilayah V yang meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya, Kabupaten Daerah Tingkat II Ciamis, Kabupaten Daerah Tingkat II Sumedang, Kabupaten Daerah tingkat II Bandung. Koordinasi adalah salah satu masalah pemerintahan yang terpenting, yang lebih-
lebih sesudah perang dunia pertama semakin bertambah sukar tetapi pula semakin besar
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
19
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
artinya, demikian menurut Poelje. (Dalam Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di daerah, 1976 : 67). Mengenai apa yang dimaksudkan oleh Van Poelje dengan masalah koordinasi dinyatakan sebelumnya, bahwa masalah kerjasama antara aparatur pemerintah pertaliannya satu sama lain merupakan masalah koordinasi. Sekalipun pada umumnya telah disadari mengenai pentingnya koordinasi dalam proses administrasi/Manajemen Pemerintah, tetapi kenyataannya dalam praktek tidak jarang terdapat berbagai masalah yang menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan koordinasi yang diperlukan, sehingga pencapaian sasaran/tujuan tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan. Adapun berbagai faktor yang dapat menghambat tercapainya koordinasi menurut Soewarno Handayaningrat adalah sebagai berikut : a.
Hambatan-hambatan dalam koordinasi vertical (struktural). Dalam koordinasi vertical (struktural) sering terjadi hambatan-hambatan, sisebabkan perumusan tugas, wewenang dan tanggungjawab tiap-tiap satuan kerja (unit) kurang jelas. Di samping itu adanya hubungan dan tata kerja serta prosedur kerja yang kurang dipahami oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan kadang-kadang timbul keraguraguan diantara mereka. Sebenarnya hambatan-hambatan itu tidak perlu timbul, karena antara yang mengkoordinasikan
dan yang dikoordinasikan ada hubungan
komando dalam susunan organisasi yang bersifat hirarhis. b.
Hambatan-hambatan dalam koordinasi fungsional. Hambatan-hambatan yang timbul pada koordinasi fungsional, baik yang horizontal maupun diagonal, disebabkan karena antara yang mengkoordinasikan tidak terdapat hubungan hirarhis (garis komando).
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
20
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Sedangkan hubungan keduanya terjadi karena adanya kaitan, bahkan interdepensi atas dasar fungsi masing-masing. Adapun hal-hal yang biasanya menjadi hambatan dalam pelaksanaan koordinasi, antara lain : 1)
Para pejabat sering kurang menyadari bahwa tugas yang dilaksanakannya hanyalah merupakan sebagian dari keseluruhan tugas dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut.
2)
Para pejabat sering memandang tugasnya sendiri sebagai tugas yang paling penting dibandingkan dengan tugas-tugas yang lain.
3)
Adanya pembagian kerja atau spesialisasi yang berlebihan dalam organisasi.
4)
Kurang jelasnya rumusan tugas/fungsi, wewenang dan tanggung jawab dari masingmasing pejabat atau satuan organisasi.
5)
Adanya prosedur dan tatakerja yang kurang jelas dan berbelit-belit dan tidak diketahui oleh semua pihak yang bersangkutan dalam usaha kerjasama.
6)
Kurangnya kemampuan dari pimpinan untuk menjalankan koordinasi yang disebabkan oleh kurangnya kecakapan, wewenang, kewibawaan dan sebagainya.
7)
Tidak atau kurangnya forum komunikasi di antara para pejabat yang bersangkutan yang dapat dilakukan dengan saling tukar informasi dan diciptakan adanya saling pengertian guna kelancaran pelaksanaan kerjasama. (Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, 1983 : 129).
2.
Permasalahan Pada Saat Berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa koordinasi mutlak diperlukan oleh suatu
pemeritahan dalam pembangunan.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
21
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Agar koordinasi yang dilakukan oleh Pembantu Gubernur dapat berjalan efektif, maka diperlukan berbagai fasilitas pendukungnya baik secara kualitas maupun kuantitas di antaranya skill, komunikasi, sarana dan prasarana pendukung lainnya. Koordinasi memegang peranan yang penting dalam mewujudkan keseimbangan kegiatan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh individu dan bagian-bagian dalam suatu unit kerja, karena koordinasi merupakan suatu proses yang harus dilaksanakan oleh pimpinan untuk mencapai suatu tujuan keseimbangan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pembantu Gubernur yang bertugas membantu Gubernur Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan, mengawasi dan membina penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam lingkungan wilayah kerjanya, dalam pelaksanaannya tidak dapat berfungsi secara optimal hal ini disebabkan kurangnya kewenangan yang diberikan.
3.
Pengertian dan Prinsip-Prinsip Koordinasi Koordinasi merupakan suatu pengaturan yang tertib dan serasi dari suatu usaha,
sehingga pelaksanaan usaha itu menghasilkan kegiatan-kegiatan teratur dan terpadu menuju tujuan yang telah ditetapkan. Setiap usaha pencapaian tujuan dalam proses manajemen memerlukan koordinasi agar setiap kegiatan dalam proses manajemen mengarah pada kesatuan gerak dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dalam ensiklopedi umum (1973 : 707) koordinasi diartikan sebagai usaha harmonisasi dan sinkronisasi (penyerentakan) tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Tercapai atau tidaknya koordinasi sebagian besar tergantung pada komunikasi. G.R. Terry megemukakan pengertian tentang koordinasi sebagai berikut : J U R N AL K Y B E R N O L O G I
22
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Koordinasi dapat dinyatakan sebagai sinkronisasi usaha secara teratur yang ditujukan untuk memberikan petunjuk pelaksanaan, timing pelaksanaan dan arah pelaksanaan agar dengan demikian dapat dicapai tindakan-tindakan yang harmonis serta yang disatukan dalam rangka usaha mencapai objective tertentu. (Winardi, (penyadur), Asas-asa Manajemen , 1970 : 55). The Liang Gie menyebutkan : Koordinasi suatu pengertian dimana terkandung aspek-aspek tidak terjadinya kekacauan, percekcokan, kekembaran dan kekosongan kerja sebagai akibat daripada pekerjaan menghubung-hunbungkan; penyatu-paduan dan penyelarasan orang-orang dan pekerjaan dalam suatu kerjasama yang diarahkan kepada pencapaian tujuan tertentu (Kamus Administrasi, 1973 : 92). Arifin Abdulrahman memberikan pengertian tentang koordinasi sebagai berikut : Pengkoordinasian adalah kegiatan-kegiatan untuk menertibkan, sehingga segenap kegiatan manajemen maupun kegiatan pelaksanaan satu sama lain tidak simpang siur, tidak berlawanan dan dapat ditujukan kepada titik arah pencapaian tujuan dengan efisien (ordoadalah orde=tertib). (Arifin Abdulrahman. Kerangka pokok-pokok Manajemen Umum, 1979 : 113). Definisi lain adalah : Koordinasi ialah pengaturan dan pemeliharaan tata hubungan golongan manusia ke arah tertib usaha, sehingga terjamin adanya kesatuan tindakan ke arah tujuan bersama. Untuk tertibnya hubungan ini perlu diciptakan hubungan yang harminis antara berbagai bagian dari organisasi itu dimana masing-masing menyerahkan dirinya sedemikian, sehingga tiap-tiap bagian memberikan sumbangan yang maksimal bagi tercapainya hasil usaha bersama dan keseluruhannya itu. (Achmad Ichsan, Tata Administrasi Kekaryaan, 19 : 98).
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
23
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
S.P. Siagian berpendapat bahwa : ―Koordinasi adalah suatu proses pengaturan tata hubungan dari usaha bersama untuk memperoleh kesatuan tindakan dalam usaha pencapaian tujuan bersama pula‖. (S.P. Siagian, Peranan staf dalam manajemen, 1978 : 110). Mooney dan Reily menyebutkan : ―Coordination as the achievement of orderlygroup effort, and unity of action in the persuit of a common purpose‖ (Koordinasi sebagai pencapaian usaha kelompok secara teratur dan kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama). (Soewarno Handayaningrat, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1982 : 88). Dari uraian di atas terlihat bahwa koordinasi bukan sekedar kegiatan atau kerjasama yang bersyarat walaupun unsur kerjasama merupakan unsur penting dalam koordinasi. Ensiklopedi
umum
menyebutkan
komunikasi
sebagai
syaratnya.
Kamus
Administrasi, menekankan pentingnya pengarahan; sementara Achmad Ichsan memandang perlu tiap bagian memberikan sumbangan yang maksimal bagi tercapainya hasil usaha bersama. Sedangkan S.P. Siagian sejalan dengan pendapat Mooney dan Reily yang menekankan pentingnya kesatuan tindakan. Ateng syafrudin memberikan penjelasan tentang kerjasama (cooperation) sebagai berikut : ―Kerjasama (cooperation) secara singkat dapat diartikan sebagai tindakan kolektif dari satu orang dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. (Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, 1976 : 68). Jadi kerjasama berbeda dengan koordinasi sebab dalam koordinasi yang lebih penting adalah menciptakan keserasian, keteraturan dan ketertiban serta kekompakan seluruh kegiatan dalam setiap kerjasama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki bersama. Pada koperasi/kerjasama terdapat unsur kesukarelaan atau sifat sukarela (voluntary attitude) dari orang-orang di dalam organisasi, sedangkan koordinasi tidak terdapat unsur kerjasama secara sukarela, tetapi besifat kewajiban (compulsory) (Soewarno Handayaningrat, 1982 ; 90).
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
24
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Dalam mengartikan koordinasi dapat dilihat : 1.
Dari segi tujuan : Koordinasi adalah pengaturan mekanisme kerjasama yang tertib dan serasi, sehingga menghasilkan kegiatan-kegiatan yang teratur dan terpadu menuju pada tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian maka hubungan kerja yang simpang siur, duplikatif dapat dihindarkan dan efisiensi pelaksanaan kerja dapat tercapai.
2.
3.
Dari segi-segi unsur koordinasi, meliputi adanya : a.
Hubungan kerjasama
b.
Kesatuan tindakan
c.
Pengarahan mengenai kepemimpinan
d.
Sinkronisasi kegiatan antar unit
e.
komunikasi
Dari segi proses pelaksanaan : Koordinasi adalah kerjasama (cooperative) yang berada pada rasionalitas yang
tinggi, jadi bukan kerjasama biasa melainkan kerjasama yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional dalam suatu sistem administrasi. Sasaran pengaturan dalam koordinasi adalah hubungan kerjasama, dan karena berlangsung menurut ketentuanketentuan yang telah ditetapkan (misalnya mengenai tugas, wewenang dan ruang lingkup tanggung jawab) maka hubungan kerjasama itu bersifat mengikat (bukan sukarela). Kordinasi di suatu fihak dipandang sebagai fungsi manajemen di antara fungsifungsi lainnya, sedangkan di fihak lain dipandang sebagai salah satu prinsip manajemen J U R N AL K Y B E R N O L O G I
25
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
menurut Herbert G. Hicks : Prinsip adalah sebuah pernyataan fundamental atau kebenaran yang menjadi pedoman kearah pemikiran atau tindakan. (S.P. Siagian, Manajemen dalam Pemerintahan, 1978 : 18). Melalui prinsip-prinsip manajemen, seorang manajer dapat menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan fundamental dalam tindakan-tindakannya. (G.R. Terry, Principles of Management, Alih Bahasa : Winardi, 1979 : 12). Dengan demikian koordinasi sebagai salah satu prinsip manajemen merupakan pedoman yang melandasi setiap kegiatan manajerial yang harus ditentukan terlebih dahulu dengan jelas dan tegas sebelum kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan sehingga kesalahan-kesalahan fundamental dapat dihindari. 4.
Pelaksanaan Koordinasi di Daerah Propinsi Dalam mengkoordinasikan pembangunan baik sektoral maupun regional, Gubernur
berkewajiban : 1. Mengkoordinasikan Perencanaan Pembangunan Sektoral dan Pembangunan Gubernur Kepala Daerah berkewajiban mengkoordinasikan perencanaan sektoral dan pembangunan daerah, agar terdapat keserasian dan keterpaduan dalam pencapaian sasarannya, berdasarkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh RPJP Nasionall dan RPJP Daerah. Adapun
aparatur
Daerah
yang
bertugas
mengkoordinasikan
perencanaan
pembangunan sektoral dan pembangunan daerah ialah Bappeda. Bappeda di dalam melaksanakan tugasnya mendapat pengarahan dan pembinaan teknis dari Bappenas, sebagai Badan yang bertanggungjawab dalam perencanaan pembangunan yang bersifat nasional. Dalam penyusunan rencana dan program pembangunan di Daerah, baik yang bersifat
sektoral
maupun
regional,
Bappeda
mendapat
bahan-bahan
dari
Departemen/Lembaga Pemerintahan non Departemen dan Dinas-Dinas Daerah, serta dari Departemen Dalam Negeri yang mengkoordinasikan bantuan dari Pemerintah Pusat. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
26
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Hubungan kerja dalam usaha koordinasi perencanaan dan penyusunan program pembangunan di daerah, antara Bappeda dengan instansi vertikal di daerah dinas-dinas Daerah, yaitu penentuan tindakan-tindakan yang perlu diambil dalam
rangka
memperlancar sasaran sesuai dengan tugas pokok instansi yang bersangkutan dalam memperoleh keserasian dan keterpaduan pola pembangunan yang menyeluruh di Daerah. 2. Mengkoordinasikan pelaksanaan Rencana dan Program Gubernur berkewajiban mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan operasional baik yang dilakukan oleh badan-badan, lembaga teknis Daerah manapun oleh dinas-dinas Daerah. Berbagai proyek pembangunan sektoral di Daerah yang dilakukan oleh berbagai Departemen/Direktorat Jenderal, Lembaga Pemerintahan non Departemen, dan proyekproyek Daerah yang dilakukan oleh berbagai Dinas Daerah, serta proyek-proyek bantuan pemerintah baik yang dilakukan oleh unit pelaksana Daerah maupun yang ditangani langsung oleh aparatur Pemerintah Pusat di Daerah, kesemuanya harus diserasikan secara terpadu dan sinkron oleh Gubernur Kepala Daerah, agar tidak terjadi tumpang tindih, duplikasi dan kemacetan-kemacetan. Oleh karena itu, maka Gubernur Kepala Daerah berkewajiban memberikan pengarahan, bimbingan dan pembinaan kegiatan taktis operasional kepada semua Instansi dan Dinas-Dinas Daerah serta unit-unit pelaksana Daerah lainnya yang terlibat di dalam pelaksanaan kegiatan operasional, agar terjalin adanya kerjasama dan saling membantu dalam penyelesaian proyek-proyek yang bersangkutan. Apabila sesuatu proyek pembangunan yang sifatnya mulai fungsional atau sektoral di daerah, karena melibatkan instansi, dinas-dinas daerah, dan unit-unit pelaksana daerah lainnya dibentuk wadah koordinasi yang disebut Tim Koordinasi. 3. Mengkoordinasikan Pengawasan dan Pengendalian Proyek Pembangunan Agar perencanaan dan program pembangunan di Daerah dapat berjalan sesuai dengan anggaran yang telah ditentukan, maka diperlukan pengawasan dan pengendalian J U R N AL K Y B E R N O L O G I
27
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
proyek-proyek pembangunan di Daerah. Pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui apakah hasil pelaksanaan yang dilakukan oleh aparatur Pemerintah Pusat ataupun aparatur Pelaksana di Daerah, sesuai dengan rencana/program yang ditentukan dalam anggaran. Pengendalian dimaksudkan untuk mengetahui hasil pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan, dan melakukan tindakan perbaikan apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan daripada rencana/program yang telah ditentukan.
5.
Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Pembantu Gubernur Berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 Seperti telah dikemukakan bahwa dalam menyelenggarakan Pemerintahan
Khususnya pada Propinsi digunakan dua asas utama, yaitu asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Berdasarkan asas pertama dibentuk daerah-daerah Otonom, sedangkan berdasarkan asas kedua dibentuk wilayah-wilayah administratif. Dalam urusan-urusan dekonsentratif, Gubernur Kepala Daerah dibantu oleh beberapa Pembantu Gubernur yang masing-masing Pembantu Gubernur mempunyai wilayah Kerja tertentu. Para pembantu Gubernur adalah sebagai staf teritorial. Secara kategoris tidak semua propinsi memerlukan Pembantu Gubernur. Propinsi yang memerlukan Pembantu Gubernur adalah Propinsi yang memilki 8 Daerah Tingkat II atau lebih, karena manurut peraturan yang berlaku adalah lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila seorang Pembantu Gubernur mempunyai wilayah kerja 4 atau 5 wilayah Kabupaten. Jabatan Pembantu Gubernur diatur dalam pasal 75 Undang-Undang No.5 tahun 1974. dalam pasal ini ditetapkan bahwa apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
28
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Dari staf teritorial diharapkan penguasaan secara sedikit demi sedikit tentang semakin banyak hal, karena Pembantu Gubernur dihadapkan kepada banyak instansi, berbagai jenis program, dan kondisi wilayah yang luas. Sebagai staf, Pembantu Gubernur bertindak dan atas nama Gubernur Kepala daerah yang bersangkutan. Dalam memahami tugas dan kewenangan yang diberikan kepada lembaga Pembantu Gubernur saat itu, perlu diperhatikan perkembangan administrasi pemerintahan dan administrasi Pembangunan Indonesia. Variable-variabel yang diperhitungkan dalam hubungan ini antara lain : 1.
Tanggung jawab dan kewenangan Kepala wilayah.
2.
Perkembangan Instansi Vertikal di daerah.
3.
Posisi Wilayah Kerja Pembantu Gubernur. (Drs. Taliziduhu Ndraha, Metodologi Pemerintahan Indonesia, 1983 : 115).
Posisi Pembantu Gubernur di antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota juga semakin terasa pentingnya. Ia diharapkan sebagai komunikator antara Gubernur dengan Bupati/Walikota dalam wilayah kerjanya, selain dari itu, ia juga berfungsi sebagai penyaran
terhadap
urusan
desentralisasi,
pengambil
prakarsa
terhadap
urusan
dekonsentrasi dan pembantuan, bahkan pengambil keputusan terhadap urusan yang bersifat mendadak atau darurat. Ekstensitas dan Intensitas tugas dan tanggungjawab Pembantu Gubernur digambarkan oleh Taliziduhu Ndraha sebagai berikut :
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
29
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Tingkat Kewenangan
Darurat/Delegasi
Dekonsentrasi
Pembantuan
Desentralisasi
Komunikator
X
X
X
X
Penyaran
X
X
X
X
Pemrakarsa
X
X
-
-
Pemutus
X
-
-
-
Gambar 1.
Tugas dan Tanggungjawab Posisional Pembantu Gubernur (Taliziduhu Ndraha, Metodologi Pemerintahan Indonesia, 1983 : 117).
Selanjutnya bidang Pelayanan
Staf Teritorial Pembantu Gubernur Taliziduhu
Ndraha menggambarkan sebagai berikut : Bidang
Pembinaan
Pemerintahan Pembangunan
6.
Pengawasan Umum
Prev.
Repres.
X
X
X
x
X
X
X
x
Koordinasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Umum Menurut Prajudi Atmosudirdjo : ―Pemerintahan Umum adalah pemerintahan yang
berintikan penegakan kekuasaan, wibawa, dan undang-undang negara secara seutuhnya‖, (Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1984 : 103). Dengan kata lain pemerintahan umum adalah pemerintahan yang berintikan penegakan politik dan keamanan negara. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
30
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Lawan atau pembedaan dari pemerintahan umum adalah pemerintahan khusus atau pemerintahan teknis, yakni : pemerintahan di bidang keuangan, pemerintahan perpajakan, pemerintahan di bidang pertanian, pemerintahan di bidang pekerjaan umum, pemerintahan di bidang perindustrian, pemerintahan di bidang kepolisian, dan seterusnya. Bilamana terdapat suatu persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh semua pemerintahan khusus, maka persoalannya diselesaikan oleh pejabat pemerintah umum, yakni Pamong Praja. Karena belum ada perincian yang mendetail tentang urusan pemerintahan yang bersifat dekonsentrasi, maka ―wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah‖ sebagai gambaran tentang apa-apa yang termasuk ke dalam urusan pemerintahan umum, sebab Kepala Wilayah adalah merupakan pejabat dalam rangka pelaksanaan tugas.
7.
Permasalahan Pada Saat Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 Untuk memfungsikan pejabat yang mempunyai fungsi koordinasi seperti Pembantu
Gubernur setelah berlakunya UU No. 22 tahun 1999 dirasakan masih di perlukan oleh pemerintah pusat, namun dengan otonomi luas yang dimiliki oleh daerah baik kabupaten/kota maupun propinsi dan tidak adanya hubungan secara khirarkhi maupun organisatoris yang dianut oleh UU No. 22 tahun 1999 karena asas dalam UU ini adalah asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Fungsi koordinasi pada saat itu sulit di lakukan. Daerah propinsi dan kabupaten/kota berjalan sendiri-sendiri, sehingga mengancam terjadinya disintegrasi bangsa karena daerah propinsi menginginkan otonomi yang seluasluasnya, malah banyak daerah yang berkeinginan untuk memisahkan diri, Sehingga sebelum UU ini berlaku efektif secara keseluruhan, UU ini sudah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dgn UU No. 32 tahun 2004.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
31
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
8.
Permasalahan pada saat ini sejak berlakunya UU No.32 tahun 2004 Dengan berlakunya undang-undang No 32 tahun 2004 yang berasaskan
desentralisasi yang moderat atau seimbang dengan asas sentralisasi, sehingga
sebagai
pejabat pusat yang ada didaerah (dekonsentrasi) yang mempunyai fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kepada badan lembaga teknis daerah, dinas dan pemerintah Kabupaten/Kota. Sehingga kedudukan gubernur disamping sebagai kepala daerah juga sebagai kepala wilayah administrative. Untuk membantu mengkoordinasikan wilayah kerja gubernur yang pada umumnya cukup luas dan jumlah penduduk yang cukup banyak, peran lembaga yang sebelumnya bernama ―Pembantu Gubernur‖ dan kemudian menjadi Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil), Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah atau nama lain, masih diperlukan untuk membantu tugas-tugas gubernur di wilayah kerjanya masing-masing. Dengan keluarnya PP 41 tahun 2007 mengisyaratkan gubernur dapat membentuk badan-badan untuk mendukung kinerjanya. Dengan dasar PP 41 tahun 2007 tersebut, maka dibentuklah badan yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan koordinasi pemerintahan dan pembangunan dengan nama Badan Kordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah. Namun demikian dengan semangat reformasi birokrasi yang menganut ramping struktur kaya fungsi, maka kedudukan Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan ini menjadi bertentangan sehingga eksistensi badan ini banyak kalangan yang mempertentangkannya dan mempertanyakan, apakah badan ini betul-betul di perlukan atau diadakan untuk kepentingan tertentu saja. Karena badan ini sifatnya dapat dibentuk, sehingga untuk menentukan dibentuk atau tidaknya badan ini perlu dilakukan suatu kajian akademik yang mendalam sehingga pembentukan badan ini menjadi efektif dan dapat dirasakan manfaatnya baik bagi pemerintah propinsi sebagai pemegang fungsi koordinasi maupun oleh pemerintah kabupaten/kota. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
32
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 1963 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Taliziduhu Ndraha, Metodologi Ilmu Pemerintahan Indonesia, 1983 Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa barat No. 794/Ok.100Huk/Sk/79. tanggal 18 Juli 1979, bahwa pembagian wilayah Kantor Pembantu Gubernur se-Jawa Barat Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di daerah, 1976 Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, 1983 Ensiklopedi Umum, 1973 G.R. Terry , Winardi, (penyadur), Asas-asa Manajemen , 1970 The Liang Gie, Kamus Administrasi, 1973 Arifin Abdulrahman. Kerangka pokok-pokok Manajemen Umum, 1979 Achmad Ichsan, Tata Administrasi Kekaryaan, 1983 S.P. Siagian, Peranan staf dalam manajemen, 1978 Soewarno Handayaningrat, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1982 Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, 1976 S.P. Siagian, Manajemen dalam Pemerintahan, 1978 G.R. Terry, Principles of Management, Alih Bahasa : Winardi, 1979 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1984 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
33
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PEMDA K aus a r A. S, Dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta
ABSTRACT Government has three (3) essential functions, such as service, empowerment and development. Service is to provide justice in society, will encourage community selfempowerment and development will be creation of wealth in society. Factors that influence the local government geography, authority, residents, local government boundary changes and problems of local governments in carrying out its functions. Through the local government community can participate and the services provided oversee local government better.
Pendahuluan Secara filosofis, Adanya Pemerintah adalah untuk menciptakan Law and Order (ketentraman
dan
ketertiban)
dan
untuk
menciptakan
kesejahteraan
walfare
(kesejahteraan). Sedangkan Perlunya Pemerintah Daerah (Pemda) karena wilayah negara terlalu luas dan untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis, adalah
merupakan
konsekwensi
logis
bahwa
dalam
menentukan
isi
otonominya Pemda harus mengacu kepada urusan-urusan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Fungsi primer yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia (provider) jasa jasa publik yang tidak diprivatisasikan termasuk jasa pertahanan keamanan (hankam), layanan sipil dan layanan birokrasi (Ndraha, 2003: 75-76). Fungsi sekunder yaitu sebagai 34 J U R N AL K Y B E R N O L O G I
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
penyedia kebutuhan dan tuntutan yang diperintah akan barang dan jasa yang mereka tidak mampu penuhi sendiri karena masih lemah dan tak berdaya, termasuk penyediaan dan pembangunan sarana dan prasarana. Pemerintahan mempunyai tiga fungsi yang hakiki, yaitu pelayanan (services) , pemberdayaan (empower ment] dan pembangunan (development). Rasyid (1997: 48), Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. II. Fungsi Utama Pemda Secara teoritis ada tiga fungsi utama yang harus dilakukan oleh Pemda yaitu Public service functions (fungsi pelayanan masyarakat), Developmental Functions (Ekonomi, Pedagangan,industri) dan Proctevtive Functions (Ketentraman dan ketertiban), sedangkan pelayanan yang dilakukan Pemda bersifat Regulatory dan Provision of goods. Adapun untuk dirinci sebagai berikut: 1. Fungsi pelayanan masyarakat (Public Service Functions) Fungsi Pelayanan Masyarakat mencakup aktivitas-aktivitas: a.
Pendidikan
b.
Kesehatan
c.
Keagamaan
d.
Lingkungan:penataan lingkungan kumuh (MCK,Hidrant umum, jalan-jalan setapak/gang-gang), tata kota/ tata bangunan, taman, kebersihan, kesehatan lingkungan (polusi, penyakit menular, penyakit yang ditularkan
binatang; rabies,
malaria,
pes clsb),
saluran
limbah,
persampahan, penerangan jalan, pemeliharaan sungaisungai. e.
Rekreasi: sport centre/gelanggang remaja, perpustakaan, teater, tamantaman
rekreasi,
museum,
gallery,
camp
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
sites,
agar
budaya, 35
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
pengembangan potensi wisata kota/tourisme dsb. f.
Sosial: pengurusan orang-orang terlantar, panti-panti asuhan, orang-orang jompo dan lain sebagainya.
g.
Perumahan
h.
Pemakaman dan crematorium
i.
Registrasi penduduk (KTP, kelahiran, kematian dan perkawinan)
j.
Air minum
2. Fungsi pembangunan (Developmental Functions) Fungsi pembangunan terutama berkaitan dengan kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat kota. Fungsi ini terutama berkaitan dengan aspek-aspek enabling dan facilitating aktivitas -aktivitas perekonomian kota. Kegiatan-kegiatannya antara lain mencakup: a.
Menyiapkan
prasarana-prasarana
yang
mendukung
kegiatan
perekonomian seperti pasar, gudang, jalan, trotoar, road safety, marks jalan, terminal, pelabuhan, parlor, sistem transportasi (perencanaan, pengaturan transportasi dan transportasi umum). b.
Mengatur
urusan-urusan
perijinan,
membantu
perkreditan,
penentuan
peruntukan (perencanaan) lahan perkotaan ( RU TRK ), p e ngada a n d a n p enyi ap an l ahan unt uk kepentingan prasarana umum, perlindungan konsumen, peningkatan mutu produksi. c.
P engat uran p ed agang kaki l im a, pe nga t ur a n d a n peningkatan sektor informal dan industri kecil, pemberian keterampilan (training centres dan rehabilitation centres), menggalakan terbentuknya job centres sebagai bursa tenaga kerja.
d.
P eni ngkat an ger a kan s wad a ya m a s y a r a ka t d a l a m pembangunan melalui NGO, koperasi, UKM, dsb.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
36
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
3. Fungsi ketentraman dan ketertiban (Protective Functions) Menyusun program yang berkaitan dengan pemberian perlindungan kepada masyarakat dari gangguan yang disebabkan baik oleh unsur manusia maupun alam. Fungsi ini mencakup: a.
Penciptaan Ketentraman dan Ketertiban yang dilaksanakan oleh pihak Kepolisian, Polisi Pamong Praja, ataupun pihak militer.
b.
Perlindungan hukum buat masyarakat.
c.
Perlindungan dari banjir dan bencana alam lainnya.
d.
Perlindungan dari bahaya kebakaran.
Pelaksanaan dari fungsi-fungsi pemerintahan kota tersebut diatas, dewasa ini dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah, baik pemerintah kabupaten/kota (via Dinas-dinas), instansi-instansi sektoral (Kanwil atau Kandep), swasta, maupun kerjasama antara pemerintah dengan swasta. Pengaturannya telah diatur dalam UU 32/2004 yang kemudian dijabarkan ke dalam PP 38/2007. III. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemda Dalam
menjalankan
mempengaruhinya
yaitu
fungsinya pengaruh
Pemda geografis
terdapat terhadap
faktor-faktor
yang
Pemda, pengertian
desentralisasi dan dekonsentrasi, Faktor area dan kewenangan, pandangan para ahli tentang unit-unit Pemda, Pengaruh Area dan Penduduk terhadap Pemda, perubahan batas Pemda, masalah Pemda dalam menjalankan fungsinya, kriteria Pemda dikaitkan dengan fungsi, kaitan pelayanan dan area, faktor-faktor yang mempengaruhi besaran Pemda.
1.
Pengaruh Geografis terhadap Pemda Keadaan geografis dari Pemda akan menentukan
karakter
masyarakat, administrasi, ekonomi, dan budayanya. Suatu daerah yang bersifat agraris sebagai mata pencaharian utama akan menjadikan daerah tersebut 37 J U R N AL K Y B E R N O L O G I
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
bersifat rural, sehingga suatu bentuk pemerintahan daerah yang bersifat rural
dibutuhkan.
Suatu
daerah
industri
yang
bersifat
urban
a ka n
membut uhkan suatu bent uk Pemda ya ng dapa t memenuhi kebutuhan perkotaan. Dengan demikian keadaan geografis suatu area merupakan parameter yang menentukan secara dominan pola administrasi pemerintahannya.
2.
Pengertilan Desentralisasi dan Dekonsentrasi Tiada satupun pemerintah dari suatu negera dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi (Bowman & Hampton, 1983). Dari pandangan ini kita dapat melihat urgensi dari kebutuhan akan pelimpahan ataupun penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat baik dalam konotasi politis maupun administratif kepada organisasi atau unit diluar Pemerintah Pusat itu sendiri. Apakah pelimpahan ini akan lebih menitik beratkan pada pilihan devolusi, dekonsentrasi, delegasi ataupun bahkan privatisasi, hal ini tergantung dari para pengambil keputusan politik di negara yang bersangkutan. Di banyak negara di dunia keempat bentuk tersebut diterapkan oleh Pemerintah, walaupun salah satu bentuk mungkin mendapatkan prioritas dibandingkan bentuk-bentuk lainnya (Rondinelli & Cheema, 1983). S e r i n g s e c a r a u m u m t i m b u l k e r a n c u a n d a l a m penggunaan istilah desentralisasi dengan istilah dekonsentrasi. U n t uk i t u b a g a n d i b a w a h ini
a k an
m em b a nt u
untuk
membedakan
pemakaian
istilah
d e s e n t r a l i s a s i d a n dekonsentrasi.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
38
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Deconcentration Deconcentration (French Writers)
Terms associated with: Organising Principle
Decentrlisation Decentralisation (French Writers)
Deconcentration (UN Report) Bureaucratic Decentralisation
Devolution (UN Report) Democratic Decentralisation
Administrative Decentralisation
Political Dcentralisation
Field Administration Regional Administration
Tructure in which the principle dominates
Prefectoral Administration Delegation of Power
Local Government Local Self Government Municipal Administration
Practice
Devolution of Power
(Mawhood, 1983:3-4) 3.
Faktor Area dan Kewenangan Dari berbagai variabel yang menentukan sistem pembentukan Pemda, faktor area dan kewenangan merupakan salah satu unsur utama. Suatu pembagian pemerintahan yang berdasarkan area baik untuk kepentingan demografis, politis, ad m i ni s t r at i f , eko no m i s , s ej ar a h d a n b ud a ya s e l a l u memerlukan adanya pendelegasian kewenangan (power). Kekuasaaan negara dijalankan melalui berbagai lembaga untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian konsentrasi kekuasaan pada suatu badan atau lembaga terhindarkan dan menjadi berkurang.
4.
Pandangan ParaAhli tentang Unit-unit Pemda Dari pandangan diatas lahir berbagai pemikiran bagaimana kekuasaan tersebut harus dibagikan kedalam unit-unit pemerintahan dan kewenangan-kewenangan atau fungsi fungsi mana saja yang dijalankan oleh unitJ U R N AL K Y B E R N O L O G I
39
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
unit yang berbeda tersebut. Thomas Jefferson dan Mahatma Gandi bicara mengenai Grass Roots, Wards, dan village sebagai unit-unit pemerintahan yang utama karena di sanalah terletak keinginan dan kesejahteraan masyarakat. Gandi mengatakan bahwa Desa lah yang menjadi basis bagi kemandirian ekonomi. Thomas Jefferson menyatakan bahwa Good Government dapat dicapai melalui pembagian kekuasaan dan bukan konsentrasi kekuasaan. Unit pemerintahan lokal akan lebih responsif kepada kepentingan masyarakat dan untuk itu mereka hendaknya diberikan kewenangan sebanyak mungkin sebatas kemampuan mereka. Pemerintah hendaknya dibentuk sedekat mungkin dengan masyarakat agar masyarakat dapat aktif berpartisipasi didalamnya, sebaliknya konsentrasi pemerintahan pada satu organ akan mengarah pada tirani. Menurut Jafferson setiap warga/desa bertanggung jawab atas beberapa fungsi pemerintahan yaitu: perlindungan terhadap orang miskin, jalan, polisi, merekrut tenaga militer, admi ni st r as i pe r dama ia n d es a, pe ne nt uan j ur i unt uk pengadilan county, dan melakukan pemilihan pejabat-pejabat pemerintahan. James Madison melihat dari sudut yang berbeda. Kepentingan rakyat akan terlindungi apabila unit pemerintahan tersebut jauh dari masyarakat itu sendiri. Makin dekat ke masyarakat akan makin timbul kecenderungan factionalisme. Pemerintahanan dilakukan melalui perwakilan yang mewakili kepentingan masyarakat banyak. Munurut Madison Pemda akan menyebabkan tekanan kepada golongan minoritas. De Tocqueville menganjurkan jalan tengah dari situasi antara forced integration and chaos through diversity. Dia mengusulkan adanya dua values yaitu keseimbangan antara individual liberty dan sufficient government's power untuk menciptakan kemakmuran dan keutuhan masyarakat.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
40
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
5. Pengaruh Area dan Penduduk terhadap Pemda Area dan penduduk merupakan faktor utama juga yang menentukan ukuran Pemda. Pertumbuhan penduduk menyebabkan perluasan pemukiman yang mempunyai implikasi terhadap aspek ekonomi, politik, administrasi dan wilayah kerja dari Pemda. Besaran fisik, ekonomi dan jumlah penduduk akan menentukan sejauhmana Pemda mampu berperan dalam pembangunan dan kehidupan nasional. Catchment area dari Pemda menjadi bertambah luas d a n p e nga r u h p er ko t aan j uga m enj ad i b es ar . U nt uk menjalankan kontrol yang efektif bagi catchment area, maka lahirlah ide kota metropolitan dengan bentuk pemerintahan kota yang mempunyai pola, struktur, pegawai, dan peranan yang bersifat perkotaan. Dari segi efisiensi pemerintahan metropolitan feasible karena economies of scale dari services yang dis edi akan, nam un dar i a spe k demo kr at i s, uni t pemerintahan ini akan menjadi makin komplek dan makin jauh dengan aspirasi masyarakat. Dari aspek ekonomi munculnya kota-kota metropolitan tersebut akan memberikan leverage bagi pertumbuhan ekonomi nasional, namun dari sisi economic equality, gejala t ers ebut
a kan
c end er ung
me nimb ul ka n
kes enj angan pembangunan antara urban dan rural areas. 6. Perubahan Batas Pemda Perubahan area akan terjadi secara cepat karena pertumbuhan penduduk, sosial ekonomi, transportasi, teknologi dan lain-lain. Batasbatas Pemerintah Daerah yang berdasarkan warisan historis dan tradisi secara cepat menjadi obselete. Sedangkan ketergantungan antar daerah sangat dominan misal dalam hal transportasi, air, listrik, pemukiman, sewerage, persampahan dan lain-lain. Untuk itu maka pola dan karakter Pemda haruslah dibentuk sedemikian rupa untuk memungkinkan Pemda menjalankan fungsi-fungsinya seperti; public, developmental dan protective services dan mampu mengayomi
kepentingan
warga
dan
mengadaptasikan diri terhadap perubahan-perubahan cara hidup, pekerjaan, dan dinamika masyarakat. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
41
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
7. Masalah Pemda dalam Menjalankan Fungsinya Ada beberapa kelemahan yang menyebabkan Pemda kurang mampu mengakomodasikan fungsi-fungsinya secara efektif dan efisien yaitu; a.
Areal Pemda tidak sesuai dengan pola kehidupan dan mata pencaharian warganya; kesenjangan ini akan makin melebar akibat perubahan yang cepat dari aspek sosial, ekonomi dan teknologi.
b.
Fragmentasi dari negara kedalam Pemda-pemda yang menjalankan fungsifungsi secara independen dan terpisahnya kota-kota dengan wilayah pedesaan.
c.
Pelayanan-pelayanan
yang
seyogyanya
dilakukan
oleh
satu
Pemda
terfragmentasi kedalam berbagai Pemda. d.
Banyak Pemda yang sangat kecil baik dari segi ukuran maupun pendapatan daerah sehingga tidak mampu untuk memperkerjakan tenaga-tenaga profesional dan tidak mampu mengadakan peralatan-peralatan teknis sehingga tugas-tugas tidak terlaksana secara efektif dan efisien.
8. Kriteria Pemda dikaitkan dengan Fungsi Muncul pertanyaan berapa ukuran luas dan penduduk suatu pemda sehingga services dapat diberikan secara efisien. a.
Pendekatan dengan standard quantitative. Jumlah pemda di design dari atas dan bukan tumbuh dari bawah dengan pertimbangan span of control Dengan demikian dapat didesign suatu area dan jumlah penduduk yang seimbang. Dalam model ini pemerintah mungkin lebih menekankan pada aspek deconcentration. Untuk itu perlu adanya pengaturan-pengaturan seperti kejelasan policy, fungsi-fungsi yang diberikan, kewenangan dan hubungan antara unit atasan dengan bawahan di lapangan. Di Perancis dibawah regime Vichy tahun 1941 mengubah Regional Prefecture dari 90 unit menjadi 17 unit, suatu jumlah yang mudah untuk J U R N AL K Y B E R N O L O G I
42
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
diketahui dan diawasi. Dari segi administratif, pendekatan kuantitatif memungkinkan untuk mendesign Pemda dengan jumlah penduduk yang dikaitkan dengan kemampuan membayar pajak, tingkat pembangunan, pertimbangan geografis dan alam, atau pelayanan yang harus diberikan. b.
Standard Fisik dan Sosial Ekonomi. Areal Pemda ditarik b e r d a s a r ka n p er t i mb angan geo gr af i s , eko no m i s , demografis, dan budaya. Sering areal ditandai oleh sungai atau gunung-gunung. Dalam hal ini features fisik menjadi pertimbangan utama.
c.
Tidak ada ukuran yang bersifat universal berapa idealnya jumlah penduduk dan besaran geografis suatu pemda. Apabila pemda daerahnya terlalu luas, sifat lokalnya akan tidak nampak lagi. Rasa kebersamaan masyarakatnya akan hilang karena kehilangan arti politis dan sosial. Sedangkan besaran penduduk tidaklah menciptakan persoalan seperti b e s a r a n w i l a y a h . W a l a u p u n w i l a y a h s e m p i t d a n penduduknya padat, rasa kebersamaan penduduk masih ada pada isu-isu lokal atau daerah.
d.
Areal dan Pelayanan. Terdapat saling ketergantungan antara areal, penduduk dengan services. Jenis pelayanan yang diberikan oleh Pemda tergantung dari jumlah penduduk dan luas areal dari pemda. Orang tidak dapat menentukan services apa yang harus diberikan daerah sebelum ia tahu berapa luas areal yang harus dilayani. Demikian juga sebaliknya orang tidak mampu menentukan luas areal apabila dia tidak tahu jenis pelayanan apa yang harus
diberikan.
Dalam
mencapai
efisiensi
walaupun
dengan
mengorbankan rasa kebersamaan terdapat kecenderungan menyatukan unitunit pemerintahan yang kecil kedalam unit yang besar seperti di Jepang dan Scandinavia.
9. Kaitan Pelayanan dengan Area Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan antara services dengan areas yaitu: J U R N AL K Y B E R N O L O G I
43
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
a.
Perkembangan tekonologi menimbulkan tuntutan akan pelayanan yang lebih baik dan menyuluruh. Unt uk mencapai tehnical efisiensi maka area Pemda sebaiknya cukup luas untuk mencapai economies of scale. Namun area yang luas akan berpengaruh terhadap partisipasi dan akuntabilitas
Pemda
dalam
memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat. Disinilah terjadi dilema dalam kaitan antara kepentingan efisiensi dan akauntabilitas. Pemda yang luas akan efisien karena economies of scale, namun akan lemah dalam akuntabilitas karena rendahnya i nt ens i t as p em er i nt ah d enga n r a ky a t ya ng ha r us dilayaninya. Untuk itulah sangat diperlukan keseimbangan antara akuntabilitas dengan efisiensi. b.
Areal Pemda harus memungkinkan hubungan yang efektif antara wakil rakyat dengan rakyatnya.
c.
Areal Pemda harus memungkinkan keterkaitan antara kota dengan pheripherydan bila mungkin pembentukan daerah metropolitan.
d.
Semua services yang berkaitan dengan lingkungan fisik seperti perencanaan, transportasi, dan services untuk pribadi-pribadi seperti pendidikan, kesehatan harus ada dibawah satu authority.
e.
Pemda harus mampu menyiapkan resources dan pegawai yang cakap untuk memberikan services secara optimal.
f.
Besaran Pemda akan bervariasi apabila dikaitkan dengan besaran penduduk, namun jumlah minimum penduduk harus ditentukan.
10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besaran Pemda Berdasarkan survey oleh PBB, besaran pemda haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a.
Sistem pemda yang sudah ada.
b.
Kemampuan administrasi dari Pemda.
c.
Hubungan antara urban dan rural. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
44
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
d.
Karakter dari communityyang ada.
e.
Keinginan dari warga masyarakat.
f.
Tingkat partisipasi masyarakat.
g.
Keadilan dalam memikul beban pajak dan keuntungan yang diperoleh dari servicesyang diberikan pemda.
IV. Penutup Ukuran apapun yang dipakai dalam menentukan Pemda, yang penting adalah menentukan viability dari suatu pemda sebagai suatu unit yang demokratis dan sedapat mungkin efisien. Hal ini berkaitan dengan hakekat dari pemda sebagai partner dari pemerintah pusat untuk mencapai tujuan nasional. Melalui Pemda masyarakat dapat mengadakan services untuk mereka, berpartisipasi dalam aktivitas pemda untuk menentukan jenis services dan lingkungan yang mereka kehendaki dalam batas-batas kemampuan mereka. Secara alamiah Pemerintah Pusat cenderung menjadi birokratik. Melalui kombinasi unit pemerintahan lokal dan lembaga-lembaga nasional, demokrasi secara nasional dapat dikembangkan
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
45
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
REFERENSI
Cochrane,G.(1987). Policies for Strengthening Local Government in Developing Countries, World Bank. Honadle,G.H.(1981). Fishing for Sustainability: The Role of Capacity Building in Development Administration. Washington: DAI. Rondinelli,D and Cheema,S. (1983). Implementing Decentralisation Policies. London: Sage. Smith,BC. (1985). Decentralisation. London: George Allen and Unwin. Stewart,JD. (1988). Understanding the Management of Local Government. Essex: Longman. UIMDS.(1988). Urban Institutional and Manpower Development Study, Jakarta: PT Hasfarm Dian Konsultan and DHV Consulting Engineers.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
46
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA: PRAGMATISME DI TENGAH ARUS GLOBALISASI NEOLIBERAL
Oleh: Budi Winarno,
ABSTRACT Under the powerful influence of global neoliberalism, Indonesia’s food agriculture has been dictated to practice neoliberal policies. Consequently, while in the middle of 1980s before the power of global market controlled the national economy, Indonesia achieved a self-sufficiency in rice production, but since 1998 till today, Indonesia has been the biggest food importer country in the world. In order to feeding the fast growing population achieving 237 millions of people, and to reducing the country’s dependence on food import, the increase of the production and the productivity of food agriculture is a crucial option. Therefore, the current government of Susilo Bambang Yudoyono has launced a pragmatic policy, namely agricultural revitalization through a private involvement. This study concludes, that the agricultural revitalization is just a short-term pragmatic policy, and serves the neoliberal ideology. It will not solve the major problems of food security and of rural life. What should be done by the government, however, is a long-term attempt and planning to strengthen the production and the productivity of food agriculture and to improve the life of poor peasants in rural areas – the majority of Indonesian population. Essentially, the attempt and planning have to be directed to solving two basic problems of food security in Indonesia, namely, the problems of food access and peasant vulnerability. Keywords: Indonesia’s food agriculture – Indonesia’s food security policy.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
47
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
PENDAHULUAN Membahas kebijakan pangan atau secara lebih spesifik ketahanan pangan di Indonesia akan dihadapkan pada dua isu penting. Pertama, berbicara ketahanan pangan dalam konteks Indonesia akan dihadapkan pada ironi negara agraris. Meskipun pada pertengahan 1980-an Indonesia sempat swasembada beras, tetapi sejak tahun 1998 hingga saat ini Indonesia telah berubah menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Kondisi ini tentu saja sangat ironis karena, sebagai negara agraris terbesar di Asia Tenggara
dengan lahan yang luas dan subur, Indonesia tentunya tidak akan sulit
memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya yang mencapai 237 juta orang, Dalam kenyataannya, selama beberapa tahun belakangan, Indonesia menghadapi kekurangan bahan pangan seperti beras, gula, kedelai dan juga jagung sehingga harus diimpor dari negara lain dalam jumlah yang sangat besar. Pada periode 1998 hingga 2000, sebagai misal, Indonesia menjadi net importer bahan pangan rata-rata US$ 863 juta per tahun (Witoro, 2006: 229). Kedua, pangan merupakan isu yang sangat sensitif karena ia berkaitan dengan
prestasi suatu rejim atau pemerintahan. Di Indonesia, pengurangan
angka kemiskinan telah menjadi salah satu indikator penting dalam menilai keberhasilan suatu rejim. Oleh karenanya, dalam hampir setiap pemilu, isu ini selalu menjadi komoditas politik yang mengundang banyak polemik. Klaim pemerintahan yang berkuasa (incumbent) hampir bisa dipastikan akan mendapatkan tantangan dari pengamat dan lawan-lawan politiknya. Sementara di sisi lain, angka-angka kemiskinan itu sendiri sangat rentan terhadap fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok (Basri, 2008). Kenaikan harga kebutuhan pokok sedikit saja akan berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah orang miskin di Indonesia. Padahal, analisis kritis yang hati-hati dalam melihat angka-angka kemiskinan di Indonesia, dengan standar US$1,5 per hari sebagaimana digunakan BPS, jumlah orang miskin pada tahun 2009 yang mencapai 32,53 juta (14,15%) pada dasarnya sangatlah rentan. Ini karena jumlah penduduk yang mendekati garis kemiskinan sangatlah besar, dan peranan komoditas pangan sangat besar dalam menentukan kemiskinan. Oleh J U R N AL K Y B E R N O L O G I
48
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
karena itu, terjadi gejolak sedikit saja terhadap harga-harga kebutuhan pokok maka akan sangat memengaruhi jumlah orang miskin. Pada dasarnya, kerentanan ketahanan pangan di Indonesia sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari kegagalan pembangunan pertanian secara keseluruhan yang ditinggalkan Orde Baru. Revolusi hijau pada kenyataannya hanya menyisakan ketimpangan (Winarno, 2009). Subsidi dan berbagai kemudahan yang ditawarkan selama revolusi hijau ternyata hanya dinikmati oleh para tuan tanah, sedangkan petani kecil (gurem) tidak mendapatkan keuntungan yang memadai karena kurangnya akses atas input-input produksi pertanian. Kondisi petani kecil ini semakin diperburuk oleh kebijakan pangan murah yang diterapkan selama pemerintahan Orde Baru. Harga-harga kebutuhan pokok, pada masa Soeharto, senantiasa ditetapkan murah guna meredam gejolak yang mungkin muncul di masyarakat perkotaan (Jhamtani, 2008). Stabilitas politik yang menjadi salah satu tujuan utama selama masa pembangunan mengharuskan rejim mencegah setiap gejolak yang mungkin timbul. Kebijakan pangan murah, dalam hal ini, digunakan untuk meredam potensi gejolak tadi selain secara terus-menerus menggunakan aparat militer untuk melakukan tindakan represif terhadap kelompok-kelompok pembangkang. Akibat yang ditimbulkan atas kebijakan ini adalah jelas, yakni semakin lebarnya ketimpangan kehidupan sosial dan ekonomi antarlapisan penduduk. Seperti pernah disinyalir Sritua Arif (2005), pada masa Orde Baru, bahwa 20% penduduk menikmati 80% kekayaan Indonesia, sedangkan sisanya yang menempati jumlah terbesar hanya menikmati sebanyak 20% kekayaan Indonesia. Ketika rejim Orde Baru ambruk pada penghujung tahun 1990-an, tepatnya Mei 1998, pemerintahan sesudahnya mewarisi sistem ekonomi yang bangkrut dengan utang yang sangat besar. Indonesia juga harus menaati tuntutan IMF sebagai kompensasi atas bantuan keuangan yang diberikan. Ironisnya, dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami krisis yang sama, Indonesia karena terlalu taat terhadap saran-saran IMF justru mengalami recovery ekonomi yang jauh lebih lama. Masuknya IMF ke Indonesia selama masa reformasi telah memberikan implikasi yang luas dalam perekonomian Indonesia, terutama di sektor pertanian. Salah satu hasil Letter of Intens (LoI) adalah liberalisasi pertanian dan reformasi BULOG. Kesepakatan ini J U R N AL K Y B E R N O L O G I
49
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
dituangkan dalam ―Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (Memorandum of Economic and Financial Policies), yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan IMF pada awal tahun 1998. Ada empat hal pokok yang disepakati dalam memorandum tersebut, (Jhamtani, 2008: 21), yakni: Pertama, monopoli impor oleh BULOG atas terigu dan tepung terigu, dan bawang dihapuskan. Importir swasta boleh memasarkan semua produk ini di pasar domestik kecuali terigu. Tarif diberlakukan untuk semua jenis produk tersebut, tetapi dibatasi maksimum 20% atau kurang, dan akan dikurangi hingga 5% pada tahun 2003. Kedua, tarif untuk semua produk makanan diturunkan kembali menjadi maksimum 5%, sementara peraturan mengenai kandungan lokal untuk produksi susu dihapuskan. Ketiga, monopoli BULOG dibatasi hanya beras, itupun terbatas hanya dalam penyediaan domestik. Keempat, semua importir bisa mengimpor gula dan memasarkannya di pasaran domestik. Kebijakan ini dimaksudkan untuk merasionalisasi produksi gula dan meningkatkan efisiensi serta kemampuan kompetitif industri yang memakai gula, seperti pengolahan makanan. Selain itu, pemerintah juga harus mereformasi BULOG yang selama Orde Baru menjadi institusi ketahanan pangan di Indonesia. Melalui Letter of Intent (LoI), pada tahun 1998, status BULOG sebagai state trading enterprise (STE) harus dicabut (Khudori, 2008: 41). Salah satunya yang paling penting adalah monopoli komoditas strategis (beras, gula, kedelai, jagung, gandum, dan minyak goreng) dihapuskan, dana murah KLBI dipangkas, dan captive market (PNS dan TNI) dihapuskan. Melihat keseluruhan LoI bidang pertanian di atas, tidak sulit kiranya menebak arah kebijakan pangan dan pembangunan sektor pertanian di Indonesia pada masa-masa berikutnya, yakni dominasi kebijakan neoliberal. Melalui keempat kesepakatan di atas, Indonesia digiring untuk menjadi bagian dari globalisasi neoliberal di sektor pertanian, yang di tataran internasional (WTO) berjalan tersendat-sendat. Oleh karena itu, melalui IMF yang merupakan tempat bersemayam ideologi neoliberal paling subur (Harvey, 2009) kebijakan tersebut tampaknya melaju tanpa hambatan. Di luar itu, laju kencang kebijakan neoliberal juga ditopang oleh ―intelektual organis‖ dalam bahasa Gramsci (Sugiono, 1999) yang mendominasi pemerintahan reformasi. Hal ini bisa dilihat dari dua indikasi, yakni konsistensi liberalisasi di sektor pertanian dan semakin menguatnya dominasi swasta J U R N AL K Y B E R N O L O G I
50
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
dalam pembangunan sektor pertanian. Pertanyaan berikutnya yang layak diajukan adalah apakah kebijakan neoliberal di sektor pertanian ini akan memperkuat ketahanan pangan atau justru sebaliknya? Selain itu, dalam konteks Indonesia, adakah alasan lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan dominasi kebijakan neoliberal di sektor pertanian ini, terutama dalam konteks revitalisasi sektor pertanian? Tulisan ini akan berusaha menjawab kedua pertanyaan di atas dengan memfokuskan pada analisis bahwa kebijakan liberalisasi di sektor pertanian merupakan kebijakan yang bersifat pragmatis. Suatu kerangka kebijakan yang pada dasarnya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pragmatisme ekonomi era Orde Baru. Dalam konteks ini, revitalisasi pertanian harus dilihat dalam kerangka liberalisasi sektor pertanian yang sebenarnya bukan hanya melayani ideologi neoliberal, tetapi juga merupakan respon pragmatis atas kemunduran sektor pertanian atau secara lebih spesifik menurunnya produktivitas sektor pertanian di Indonesia yang berimplikasi pada ketahanan pangan.
KERANGKA KONSEPTUAL Kita tidak akan mempunyai pemahaman yang baik dalam mendeskripsikan liberalisasi sektor pertanian tanpa melihat ideologi yang menjadi penggeraknya, yaitu neoliberal. Secara singkat, neoliberal adalah pendukung liberalisasi ekonomi yang membela pentingnya pasar bebas dan prinsip laissez-faire. Ideologi ini mulai menguat pada era tahun 1980-an ketika Margaret Thactcer dan Ronald Reagan melakukan reformasi ekonomi. Kedua tokoh ini percaya bahwa pasar merupakan mekanisme yang paling efisien dalam
mendistribusikan
sumber-sumber
ekonomi
langka.
Menurut
pendukung
neoliberalisme ekonomi, perdagangan internasional yang damai dan ekonomi pasar dapat menghasilkan standar penghidupan jauh di atas negara-negara besar yang diperintah secara buruk (Wofl, 2007: 39). Landasan diberlakukannya perdagangan bebas adalah teori keuntungan komparatif (comparative advantage) yang dikembangkan Adam Smith dan David Ricardo. Menurut teori ini, suatu negara hendaknya mengkhususkan diri untuk memproduksi barang-barang yang mempunyai ongkos paling rendah dibandingkan dengan negara lain berdasarkan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
51
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
keuntungan komparatif yang dimilikinya. Sebagai misal, jika Indonesia mempunyai keuntungan komparatif dalam memproduksi tepung beras, maka jauh lebih baik jika Indonesia mengkhususkan diri dengan menjual komoditas tersebut. Untuk produk-produk lain yang dibutuhkan, Indonesia jauh lebih baik mendapatkannya dari pasar internasional melalui perdagangan internasional karena hal tersebut akan jauh lebih murah dibandingkan dengan jika Indonesia memproduksi sendiri. Menurut teori keuntungan komparatif (Chang, 2008: 54), meskipun suatu negara lebih efisien dalam memproduksi segala sesuatu dibanding negara lainnya, negara lain tersebut masih bisa untung dengan mengkhususkan diri membuat barang yang ongkos produksinya memberinya keuntungan melebihi mitra dagangnya. Begitu sebaliknya, suatu negara masih akan bisa mendapatkan keuntungan meskipun ia tidak mempunyai keuntungan ongkos produksinya melebihi mitra dagangnya dalam memproduksi apapun asalkan ia mengkhususkan diri untuk memproduksi barang yang mempunyai paling sedikit ongkos produksinya. Eli Heckscher dan Bertil Ohlin, ekonom Swedia, dan juga Samuelson menyempurnakan teori keuntungan komparatif ini. Dengan masih merujuk David Ricardo, tetapi mempunyai perbedaan dalam beberapa hal penting (Chang, 2008: 84) teori HOS (Heckscher, Ohlin, dan Samuelson) percaya bahwa keuntungan komparatif muncul terutama karena perbedaan internasional dalam sumbangan relatif ―faktor produksi‖ (modal dan tenaga kerja) bukan karena perbedaan internasional dalam teknologi. Menurut teori perdagangan bebas, setiap negara mempunyai laba komparatif pada beberapa produksinya karena, berdasarkan definisi ini, relatif lebih baik dalam memproduksi beberapa barang dibandingkan dengan memproduksi barang lainnya. Dari sudut pandang HOS, sebuah negara mempunyai laba komparatif pada produk-produk yang secara intensif menggunakan faktor produksi yang relatif lebih banyak membantu. Perdagangan bebas, dalam kaitan ini, akan mendorong negara-negara untuk melakukan spesialisasi berdasarkan keuntungan komparatif yang mereka miliki. ―Di bawah payung perdagangan bebas, setiap negara dapat dan akan mengkhususnya diri dalam industri tertentu yang memiliki keunggulan komparatif, dan melakukan hubungan dagang dengan negara lain untuk
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
52
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
mendapatkan produk yang bukan menjadi keuntungan komparatifnya‖ (Chang dan Graebel, 2008: 54). Menurut Heckscher dan Ohlin (Oatley, 2004: 23-24), keuntungan komparatif suatu negara akan meningkat sebagai akibat perbedaan-perbedaan faktor endowments yang dimiliki suatu negara. Faktor-faktor ini merupakan a basic tool bagi proses produksi. Faktor endowments yang dimaksud oleh model Heckscher-Ohlin adalah tenaga kerja dan modal. Ketika perusahaan memproduksi sebuah barang maka ia menggunakan tenaga kerja dan kapital dalam rangka mengubah bahan-bahan material menjadi bentuk barang jadi. Setiap negara dalam pemahaman ini mempunyai faktor-faktor endowments yang berbeda. Oleh karena itu, ia harus mengkhususkan memproduksi barang yang mempunyai biaya paling murah agar mendapatkan keuntungan dari perdagangan internasional. Asumsi dasar yang dibangun dalam teori perdagangan bebas inilah yang kemudian menjadi basis liberalisasi sektor pertanian. Dalam perspektif teoritik ini, perdagangan bebas menguntungkan semua negara, terutama bagi negara miskin. Pertama, liberalisasi sektor pertanian akan mendorong efisiensi. Persaingan selalu dilihat dalam pengertian yang positif berdasarkan pada asumsi bahwa persaingan akan mendorong pelaku pasar untuk mencari cara yang paling efisien. Kedua, bagi negara-negara Dunia Ketiga, jauh lebih baik jika mereka membuka pasarnya dibandingkan dengan menutup diri karena penduduk di negara-negara Dunia Ketiga akan mempunyai kesempatan lebih besar guna mendapatkan produk-produk pertanian yang lebih murah. Ini akan mendorong konsumsi dan pada akhirnya semakin banyak masyarakat miskin yang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan bahan pangan murah. Ketiga, negara-negara Dunia Ketiga akan semakin diuntungkan oleh terbukanya pasar-pasar di negara-negara maju. Negara-negara Dunia Ketiga bisa memanfaatkan pasar negara-negara maju melalui ekspor produk-produk pertanian dimana mereka mempunyai keunggulan komparatif. Hasil ekspor ini penting sebagai sumber pendapatan yang nantinya dapat mereka gunakan untuk membiayai pembangunan dalam negeri. Dengan begitu, liberalisasi pertanian akan menciptakan kemakmuran bagi semua negara.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
53
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Persoalan yang dihadapi dalam kerangka liberalisasi sektor pertanian di atas bahwa apa yang diasumsikan oleh para pendukung neoliberalisme tidak membawa hasil yang diharapkan. Ada beberapa alasan yang bisa diajukan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pertama, teori keunggulan komparatif yang menjadi landasan teori ekonomi neoliberal di era globalisasi sekarang ini telah mengandung cacat dan mulai dipersoalkan (Burcill, et.al. 1996: 57-61). Teori keunggulan komparatif yang digunakan pada waktu itu dikemukakan ketika ada kontrol nasional terhadap pergerakan modal. Ricardo dan Smith menganggap modal tidak bergerak dan hanya disediakan untuk investasi nasional. Mereka juga berpendapat bahwa kapitalis adalah pertama dan yang utama anggota masyarakat politik nasional, yang dalam konteks ini membentuk identitas komersial. Dalam pandangan Smith, ―si tangan ajaib‖ (an invincible hand) mensyaratkan hubungan-hubungan internal dan ikatan-ikatan masyarakat sehingga si kapitalis merasakan ―keengganan alami‖ (a natural disinclination) untuk menanamkan modalnya keluar negeri. Dengan demikian, Smith dan Ricardo tidak dapat meramalkan apa yang sering disebut sebagai a world of cosmopolitan managers dan perusahaan-perusahaan transnasional, yang di samping mempunyai liabilitas terbatas dan immoralitas yang diberikan oleh pemerintah nasional. Mereka juga telah mengabaikan pemerintah-pemerintah tersebut dan tidak lagi melihat komunitas nasional sebagai konteks mereka. Oleh karena itu, munculnya kaum kapitalis yang telah membebaskan diri dari kewajiban-kewajiban dan loyalitas masyarakat, dan yang tidak mempunyai ―a natural disclination‖ untuk menanamkan modal ke luar negeri akan nampak absurd (Day dan Cobb, 1989: 251). Pasar-pasar modal yang bergerak dan berubah arah adalah tantangan bagi teori keunggulan komparatif. Kedua, perkembangan intelektual, ekonomi dan politik, termasuk di dalamnya pergeseran dari keuntungan ‗komparatif‘ menjadi keuntungan ‗kompetitif‘ (a competitive adavantage) sebagai basis perdagangan, dan perumusan teori perdagangan (strategis) ‗baru‘ (Gilpin dan Gilpin, 2002: 85). Menurut teori keuntungan kompetitif, perdagangan tidak semata-mata ditentukan oleh berkah modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam. Namun, perdagangan seringkali disebabkan oleh perubahan spesialisasi, peristiwa sejarah, dan perkembangan teknologi (Gilipin dan Gilpin, 2002: 91). Teori ini mengakui bahwa J U R N AL K Y B E R N O L O G I
54
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
perubahan teknologi semakin memiliki arti penting dalam menentukan pola-pola perdagangan. Dalam kaitan ini, teknologi melandasi keuntungan kompetitif, dan pola-pola perdagangan seringkali diciptakan secara sengaja oleh pemerintah dan perusahaan. Selain itu, beberapa aspek ekonomi nasional memiliki arti khusus: budaya nasional dan pengaruhnya pada tujuan kegiatan ekonomi, status modal dan tenaga kerja, keberadaan kecukupan permintaan, kesehatan industri-industri pendukung dan struktur industri dalam ekonomi (Gilpin dan Gilpin, 2002: 92). Oleh karenanya, menurut pendukung teori keuntungan kompetitif, memberikan dukungan terhadap gagasan bahwa keuntungan dalam perdagangan internasional, setidaknya dalam industri, dapat dan pada kenyataannya diciptakan oleh kebijakan-kebijakan dan keputusan perusahaan dan pemerintah yang disengaja, dan bukannya suatu pemberian statis dari alam. Terakhir, perkembangan baru bentuk-bentuk
proteksionisme
dalam
perdagangan.
Ironisnya,
hambatan
dalam
perdagangan ini banyak terjadi di negara-negara maju yang terus mendesakkan liberalisasi perdagangan. Oleh karenanya, liberalisasi hanya dipakai alat oleh negara-negara maju untuk mendesakkan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka terhadap negara-negara Dunia Ketiga. Sementara pada waktu bersamaan mereka menghambat masuknya barangbarang dari negara-negara lain melalui berbagai hambatan nontarif yang merugikan. Green dan Luehrmann (2003: 118) mengatakan, ―Ironically, for all their talk about “free trade”, it is subsidies and various protectionist measures by developed countries that are making it hard for much of the third world to earn an honest living through trade”. Joseph Stiglitz (2007: 151) telah mengungkapkan trend liberalisasi sektor pertanian ini dan implikasinya pada negara-negara Sedang Berkembang, yang secara tidak langsung mengukuhkan keberatan-keberatan di atas. Menurut Stiglitz, satu dekade sejak Putaran Uruguay dilaksanakan, lebih dari dua pertiga pendapatan pertanian di Norwegia dan Swiss berasal dari subsidi, lebih dari setengah di Jepang, dan sepertiga di Uni Eropa. Untuk beberapa tanaman, menurut Stiglitz, seperti gula (tebu) dan beras (padi), subsidinya sebesar 80% dari pendapatan yang diperoleh dari hasil pertanian. Jadi, menurut Stiglitz, secara agregat subsidi bidang pertanian di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang sedikitnya sebesar 75% total pendapatan di wilayah sub-Sahara Afrika. Suatu jumlah yang J U R N AL K Y B E R N O L O G I
55
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
sangat besar, dan sekaligus melemahkan keamampuan petani Afrika untuk bersaing di pasaran dunia (lihat Stiglitz, 2007: 152). Seperti ditunjukkan Stiglitz, negara-negara Dunia Ketiga tidak hanya menghadapi model subsidi pertanian negara maju yang mematikan, tetapi juga sempitnya lahan yang mereka garap. Oleh karena itu, berapapun besaran harga pangan yang dihasilkan dari proses globalisasi di sektor ini tidak akan mampu menutupi kebutuhan dasar mereka. Ini belum termasuk rendahnya akses teknologi para petani di negara-negara Dunia Ketiga, sistem pengairan yang buruk, dan hambatan nontarif lainnya yang semakin menghambat par petani di negara-negara Dunia Ketiga untuk mengakses pasar-pasar yang diciptakan oleh liberalisasi di negara-negara maju. Pelajaran yang bisa dipetik dari apa yang terjadi dalam perdagangan kapas dunia menunjukkan kegagalan asumsi teoritik teori perdagangan bebas. Subsidi pemerintah Amerika Serikat kepada 25.000 ribu petani kapas yang kaya sebesar US$3-4 milyar telah menekan harga kapas dunia dan merugikan sebanyak 10 juta petani kapas di Burkina Faso dan tempat-tempat lain di Afrika (Stiglitz, 2007: 152). Lebih memprihatinkan lagi, jumlah penduduk yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian di Negara-negara Dunia Ketiga jauh lebih besar dibandingkan dengan di negara-negara maju. Seperti ditunjukkan Stiglitz (2007: 153), jika kita menelaah semua produk yang dihasilkan dalam bidang pertanian (1% dari total) menerima hampir 25% dari total subsidi yang dikeluarkan yang jumlah rata-ratanya lebih dari US$1 juta per lahan pertanian. Delapan puluh persen uang tersebut masuk ke kantong petani-petani kaya yang jumlahnya 20% dari total petani dengan jumlah penerimaan rata-rata US$ 200.000. Ironisnya, menurut Stiglitz, 2.440.184 petani kecil di level bawah, yang merupakan keluarga petani sesungguhnya hanya menerima 13% dari total subsidi yang jumlah kurang dari US$ 7000. Akibatnya, para petani kecil tersingkir. Dengan melihat fakta-fakta di atas, perdagangan bebas pada dasarnya tidak lebih sebagai sebuah kondisi yang ingin dicapai, sementara prasyarat untuk mencapai hal tersebut hampir tidak bisa dipenuhi. Persoalan yang dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia acapkali mereka tidak mampu mengelak dari tekanan-tekanan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
56
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
internasional untuk membuka pasar-pasar pertanian dalam negeri sebagai akibat ketergantungan finansial, ketiadaan visi para pemimpinnya, dan birokrasi yang tidak efisien. Akibatnya, liberalisasi membuat petani semakin termarginalkan dan menjadi miskin.
IMPLIKASI LOI DI BIDANG PERTANIAN Kasus liberalisasi perdagangan di Indonesia pasca-ditandatanganinya LoI IMF mencerminkan dampak-dampak merusak dari neoliberalisme di sektor pertanian. Seperti ditunjukkan Witoro (2006: 228), liberalisasi perdagangan pangan pada gilirannya meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor. Pada periode 1989-1991, Indonesia tercatat sebagai pengekspor pangan (net exporter) dengan nilai sekitar US$ 418 juta per tahun. Namun, sejak tahun 1994, Indonesia menjadi pengimpor pangan murni (net food importer). Pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan (net importer) ratarata US$ 863 juta per tahun. Selama periode 1996-2003, menurut catatan Witoro (2006: 229), Indonesia per tahun rata-rata mengimpor beras 2,83 juta ton, gula 1,6 juta ton, jagung 1,2 juta ton, kedelai 0,8 juta ton, serta beberapa bahan pangan lainnya. Pada tahun 2003, Indonesia mengalami defisit US$ 2,3 milyar untuk tanaman pangan dan US$ 134,4 juta untuk peternakan. Di bidang industri gula, LoI yang ditandatangi IMF dan Indonesia pada tahun 1998 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden No. 5/1998 tentang penghentian program Tebu rakyat Intensisfikasi (TRI) dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan melalui surat Keputusan No. 717/MPP/Kep/12/199 tentang pencabutan tata niaga beras dan gula telah menghancurkan kemampuan produksi gula dalam negeri. Selain menghapus monopoli BULOG dan subsidi, LoI tersebut telah menghapus keharusan petani untuk menanam tebu (Witoro, 2006: 232). Selain itu, importir swasta boleh mengimpor gula dengan bea masuk 0%. Akibatnya, produksi gula nasional yang pada tahun 1996 sebesar 2,1 juta ton telah merosot menjadi 1,5 juta ton pada 1998. Pada tahun-tahun berikutnya, memang terjadi peningkatan, tetapi tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Jika pada tahun 1996 impor gula hanya sebesar 1,09 juta tahun, maka pada tahun J U R N AL K Y B E R N O L O G I
57
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
1999 impor gula mencapai 1,95 juta ton meskipun pada periode 2000-2001 mengalami sedikit penurunan. Kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang bias industri mengabaikan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan pangan penduduk. Akibatnya, Indonesia secara terus-menerus terperangkap dalam arus impor pangan. Lebih dari US$ 5 milyar atau setara dengan Rp. 50 trilliun lebih devisa setiap tahun terkuras untuk impor pangan (Kompas, 24 Agustus 2009: 1). Angka ini adalah sekitar 5 persen dari APBN.
REVITALISASI PERTANIAN Menghadapi kritik berbagai kelompok masyarakat mengenai kerentanan ketahanan pangan di Indonesia, pemerintahan Soesilo Bambang Yudoyono menggulirkan, dalam banyak kesempatan, pentingnya revitalisasi pertanian. Ini digunakan sebagai usaha untuk menjawab berbagai persoalan pokok di bidang pertanian. Ketika memberikan pidato sambutan pada acara seminar Dies Natalis Universitas Gadjah Mada ke-57 dengan tema ―Pelaksanaan Program Revitalisasi Pertanian: Keberhasilan dan Hambatan (Desember 2006), menteri Pertanian Anton Apriantono mengemukakan bahwa revitalisasi pertanian merupakan kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional
dan
kontekstual,
yang
diartikan
menyegarkan
kembali
vitalitas,
memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Menurut Anton Apriantono, agenda revitalisasi adalah membalik trend penurunan dan mengakselerasi peningkatan produksi dan nilai tambah usaha pertanian. Faktor kunci untuk itu ialah, menurut Apriantono, peningkatan dan perluasan kapasitas produksi melalui renovasi, menumbuh-kembangkan dan restrukturisasi agribisnis, kelembagaan ataupun infrastruktur penunjang. Ini akan dilakukan melalui investasi bisnis maupun investasi infrastruktur, yang pada intinya merupakan modal untuk meningkatkan atau memfasilitasi peningkatan kapasitas produksi. Operasionalisasi revitalisasi sektor pertanian ini mencakup tiga hal pokok, yakni program peningkatan ketahanan pangan, program pengembangan agrobisnis, dan program peningkatan kesejahteraan petani. Khusus menyangkut program peningkatan ketahanan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
58
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
pangan, Menteri mengemukakan bahwa hal ini akan dicapai melalui (1) intensifikasi dan ekstensifikasi produksi komoditas pangan pokok; (2) pengembangan sumber daya alternatif pangan lokal; (3) pengembangan konsumsi pangan lokal nonberas; (4) fasilitasi subsidi input produksi; dan (5) perumusan dan penetapan harga pangan, (6) pengelolaan tata niaga pangan; dan (7) pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Dari kelima program ini, tampak bahwa ketahanan pangan lebih dimaknai sebagai peningkatan kapasitas produksi meskipun pada program yang lain disinggung usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, kemampuan program peningkatan kesejahteraan petani ini akan sangat ditentukan oleh faktor-faktor lain, seperti seberapa mampu pemerintah membendung neoliberalisme di sektor pertanian. Dalam kaitan ini, akses tanah menjadi salah satu isu krusial. Sayangnya, berbagai kebijakan pemerintah justru lebih mengukuhkan dominasi korporasi di sektor pertanian, dan bukannya memberikan perhatian serius atas kurang lebih 60% total penduduk yang bekerja di sektor ini. Padahal, seperti ditunjukkan oleh Brandt dan Otzen (2000; dikutip dari Ivan A. Hadar, 2008), pengalaman-pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan terpenting pembangunan pertanian dan pedesaan. Oleh karena itu, reformasi agraria menjadi sebuah keharusan. Keberpihakan yang sangat kuat terhadap korporasi tercermin dari berbagai produk undang-undang ataupun peraturan pemerintah. Jadi, sesuatu yang tidak mengherankan bila pada bulan Maret 2007 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada
penguasaan dan kepemilikan agraria. Selanjutnya, Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur investasi pangan skala luas (food estate) telah membuka jalan bagi privatisasi dan monopoli di sektor pangan semakin terbuka (Rini, 2010: 62). Kondisi ini semakin diperparah oleh kerangka kebijakan yang dirancang oleh Departemen Pertanian dengan mengacu Peraturan Presiden Nomor 77 tahun 2007 dalam lampiran II yang menyebutkan bahwa komoditas tanaman pangan masuk ke dalam kategori bidang usaha dengan kepemilikan asing dibatasi. Budidaya padi, jagung, ubi kayu, J U R N AL K Y B E R N O L O G I
59
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
dan jenis tanaman pangan lain dengan luas lebih dari 25 ribu hektar kepemilikan asing maksimal 95% (Rini, 2010: 63). Kebijakan ini dilakukan dalam rangka mendorong investasi yang lebih besar di sektor pertanian. Berbagai kebijakan ini memang telah mendorong investasi asing masuk ke Indonesia. Sebagai misalnya, investor dari Korea Selatan telah berminat untuk menanamkan investasinya di Kabupaten Sigi, Sumatra Barat. Para investor dari Korea Selatan ini tertarik mengembangkan tanaman jagung dan ubi sebagai bahan baku produk yang akan dikirim ke negara mereka. Luas lahan yang dijadikan proyek investasi adalah sebesar 1.500 hektar tersebar di Desa Pombeve dan Desa Sidera Kecamatan Sigi Biromaru. Sementara itu, investor dari China juga tertarik untuk menanamkan investasinya di Sulawesi Barat. Rencananya, pada tahun 2010 ini, investor China akan membuka lahan seluas 1000 hektar di daerah tersebut. Di Merauke, Grup Medco telah masuk ke daerah tersebut dengan membuka lahan yang cukup besar. Di luar itu, masih banyak investor asing yang rencananya akan masuk ke Indonesia. Persoalannya yang kini harus dijawab adalah apakah privatisasi sektor pertanian dengan memberikan peluang yang lebih besar kepada korporasi akan memantabkan ketahanan pangan di Indonesia ataukah justru sebaliknya?. Untuk melihat hal ini, perlu dilihat secara hati-hati apakah yang dimaksud dengan ketahanan pangan itu, dan bagaimana pengaruh liberalisasi terhadap ketahanan pangan suatu negara. Ini penting digarisbawahi karena sebagaimana dicatat oleh Rini (2010: 106) bahwa Inpres nomor 5 tahun 2008 tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menjawab permasalahan pangan nasional dengan memberikan kesempatan kepada pengusaha dan investor untuk mengembangkan perkebunan tanaman pangan. Ini akan membuat karakter pertanian dan pangan Indonesia mengalami pergeseran dari pertanian berbasis keluarga tani menjadi produksi pangan dan pertanian berbasis perusahaan yang akan melemahkan kedaulatan pangan di Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya, revitalisasi pertanian lebih sebagai suatu usaha untuk memenuhi produktivitas sektor pangan dibandingkan memperluas akses pangan masyarakat. Dengan kata lain, revitalisasi ini merupakan kebijakan pragmatis guna menambal defisit pangan nasional. Namun, persoalannya adalah ketahanan pangan bukan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
60
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
persoalan produktivitas dan ketersediaan pangan semata, tetapi lebih pada akses terhadap sumber daya tersebut. Ini hanya mungkin dilakukan jika pemerintah mampu meningkatkan pendapatan petani dan bukannya menggeser pola pertanian keluarga sebagai ciri khas pertanian Indonesia menjadi pertanian padat modal yang dikembangkan oleh korporasi.
KETAHANAN PANGAN: PERSOALAN AKSES DAN KERENTANAN PETANI Ketahanan pangan merupakan isu strategis dalam pembangunan negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia (LIPI, 2007) karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai salah satu sasaran utama pembangunan. Di sini, fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk. Selain itu, ketahanan pangan juga penting dalam konteks politik internasional dan global. Kerapuhan di sektor pangan akan mengancam kemandirian Indonesia, dan karenanya akan menghambat bagi pencapaian politik luar negeri Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam konstitusi. Dari waktu ke waktu, ketahanan pangan didefinisikan secara berbeda. Namun, terdapat pergeseran dimana ketahanan pangan mulai didefinisikan sebagai akses dibandingkan sebagai hak. Maxwell and Slater (2003) melakukan pelacakan atas berbagai definisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana (discourse) ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus pada ketersediaan-penyediaan (supply & availability) ke perspektif hak dan akses (entitlements). Pribadi (Jhamtani, 2008: 14) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai keadaan dimana semua penduduk memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk mendapatkan gizi yang cukup bagi kehidupannya yang produktif dan sehat. Lebih jauh, Amartya Sen (1981), dalam Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, mendefinisikan ketahanan pangan tidak sekedar sebagai ketersediaan, tetapi juga akses. Melalui studi di India dan Afrika, Sen berada pada suatu kesimpulan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan terjadi bukan karena tersedia atau tidaknya kebutuhan pangan di suatu negara atau wilayah, tetapi lebih pada ada atau tidaknya akses atas pangan (entitlements failures). Di sini, Sen telah menggugurkan paradigma
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
61
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
sebelumnya dimana ketahanan pangan sebatas dipahami sebagai produksi dan ketersediaan pangan. Rumusan Sen ini menarik karena setidaknya dua alasan. Pertama, terdapat banyak bukti dimana produksi bahan pangan dunia saat ini cukup berlimpah dan mampu menghidupi masyarakat di seluruh dunia, baik masyarakat yang berada di negara-negar kaya maupun negara-negara Dunia Ketiga. Namun, pada kenyataannya, kelaparan masih banyak terjadi. Faktor penyebabnya sebagaimana ditunjukkan dalam kasus-kasus kelaparan di Indonesia adalah karena kemiskinan, dan ini berarti menyangkut akses. Ada bahan pangan yang bisa mereka dapatkan di pasaran, tetapi tingginya harga beras atau rendahnya daya beli mereka terhadap kebutuhan pokok membuat mereka tidak mampu menyediakan kebutuhan pangan sendiri. Kedua, gagasan Sen juga menarik terutama dalam kaitannya dengan gelombang neoliberalisme di sektor pertanian. Liberalisasi neoliberal akan mendorong penguasaan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar, dan dalam jangka panjang akan memarginalkan petani kecil. Dalam kaitan ini, produksi pangan yang meningkat tidak akan diikuti oleh peningkatan daya beli sehingga produktivitas sektor pertanian tetap tidak akan memberikan kontribusi bagi peningkatan ketahanan pangan untuk seluruh penduduk. Kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa perusahaan-perusahaan besar di sektor pertanian hanya peduli terhadap usaha meraih keuntungan dan tidak peduli dengan persoalan-persoalan hak asasi manusia (Jhamtani, 2005: 31). Dari perspektif ini, pembukaan lahan besar-besaran yang dilakukan melalui korporasi-korporasi tidak akan serta merta mendorong ketahanan pangan Indonesia. Di sisi lain, di era liberalisasi perdagangan sekarang ini, daya saing komoditas pangan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan berproduksi, tetapi juga bergantung pada sistem distribusi dan harga di tingkat konsumen (Adnyana, 2006: 119). Dengan demikian, meningkatkan daya beli masyarakat merupakan suatu hal penting dalam rangka mendorong ketahanan pangan. Namun, ini hanya mungkin dilakukan jika pemerintah secara serius memperhatikan petani kecil yang jumlah totalnya hampir mencapai 60% jumlah penduduk. Jika tidak, maka kemiskinan akan terus menghinggapi sebagian besar penduduk pedesaan sehingga peningkatan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
62
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
produktivitas melalui privatisasi sebagai langkah pragmatis mengatasi kelangkaan kebutuhan pangan dalam negeri tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan petani. Di sisi lain, peningkatan produktivitas tidak serta merta mengamankan kebutuhan pangan dalam negeri karena liberalisasi justru akan mendorong orientasi ekspor pangan ke pasar-pasar luar negeri yang lebih menjanjikan. Jika hal ini terjadi, maka penguasaan lahan tanah atas korporasi justru akan semakin memarginalkan petani gurem dan miskin. Data yang di-release Kompas menunjukkan kebenaran argumentasi ini. Seperti diungkapkan oleh Kompas, produksi beras terus mengalami kenaikan sejak tahun 2006, dan produksi beras nasional hampir selalu mengalami surplus (lihat tabel 1). Namun, pada kenyataannya, masih banyak penduduk miskin di Indonesia mengkonsumsi beras aking. Kasus-kasus gizi buruk dan kelaparan juga masih banyak.
Tabel 1 Produksi dan Konsumsi Beras (Ribu metrik ton)
2006/2007
2007/2008
2008/2009
2009/2010
Agustus 2010/2011
Produksi Beras Nasional/
35.300/
37.000/
38.300/
38.300/
40.000/
Konsumsi Beras Nasional
35.900
36.350
37.090
38.100
39.500
Sumber: Kompas, 30 Agustus 2010, hal. 1
Dengan melihat data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan tidak hanya cukup dengan meningkatkan produktivitas, meningkatkan skala produksi karena faktanya masih banyak masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, ketahanan pangan tidak hanya persoalan produktivitas, tetapi juga harus melibatkan usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan pembangunan di perdesaan, terutama perhatian terhadap petani yang penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektar. Tanpa itu, ketahanan pangan akan terus menjadi masalah. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
63
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
KESIMPULAN Indonesia adalah salah satu dari negara-negara Dunia Ketiga,
yang telah
mendapatkan desakan luar biasa untuk mempraktikkan kebijakan neoliberalisme, tidak terkecuali di sektor pertanian. Perekonomian yang bangkrut selama krisis ekonomi dan moneter 1998 telah memaksa pemerintah meminjam dana dari IMF. Sebagai konsekuensi, Indonesia harus melakukan liberalisasi di sektor pertanian, yang sayangnya justru menurunkan produktivitas di sektor pertanian, kehancuran produk-produk pertanian dalam negeri, dan marginalisasi petani dalam skala luas. Di sisi lain, sejak 10 tahun terakhir, Indonesia menghadapi persoalan kerentanan ketahanan pangan. Pemerintah Indonesia setelah reformasi, khususnya Pemerintah Susilo Bambang Yudoyono mensikapi kerentanan ketahanan pangan tersebut melalui revitalisasi pertanian yang salah satu bagian pokoknya adalah mendorong produktivitas di sektor pertanian dengan mendorong keterlibatan swasta. Dalam jangka pendek, kebijakan ini mungkin akan meningkatkan produktivitas di sektor pertanian, tetapi ketahanan pangan bukan sekedar produktivitas, melainkan juga akses. Dengan demikian, revitalisasi ini hanyalah merupakan kebijakan pragmatis jangka pendek yang diorentasikan sekedar memenuhi kelangkaan pangan dibandingkan sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengangkat rakyat petani miskin di perdesaan yang mencapai kurang lebih 60% penduduk Indonesia.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
64
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, Made Oka (2006). ―Lintasan dan Marka Jalan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan dalam Era Perdagangan Bebas‖. Dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Jakarta: Kompas. Apriyantono, Anton. (2006). ―Pelaksanaan Program Revitalisasi Pertanian: Keberhasilan dan Hambatan,‖ Pidato Pembukaan Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis ke-57 Universitas Gadjah Mada, 8-9 Desember 2006. Arif, Sritua. (2005). Negeri Terjajah: Menyingkap Ilusi Kemerdekaan, Yogyakarta: Ressist Book. Burchill, Scott, et.al., (1996). Theories of International Relations, New York: St. Martin‘s Press, Inc. Grafiti Chang, Ha-Joon. (2008). Bad Samaritans: Negara-Negara Kaya, KebijakanKebijakan Buruk, dan Ancaman bagi Dunia Berkembang. Jakarta: Grafiti Chang, Ha-Joon dan Ilene Grabel. (2008). Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan. Edisi terjemahan. Yogyakarta: Insist. Hadar, Ivan A. (2008). ―Memerangi Kelaparan‖. Kompas, Sabtu, 21 Juni 2008 Gilpin, Robert dan Millis Jean Gilpin (2002). Tantangan Kapitalisme Global, Jakarta: Murai Kencana. Green, December dan Laura Luehrmann. (2003). Comparative Politics of the Third World: Linking Concepts and Cases. Boulder London: Lynne Riener Publishers. Harvey, David. (2009). Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis.Yogyakarta: Resist Book. Jhamtani, Hira. (2005). ―Kelaparan di Tengah Kelimpahan: Dominasi Korporasi atas Pangan‖, Jurnal Wacana, XIX/2005. _______________. (2008). ―Rawan Pangan: Bukan Perbuatan Tuhan‖. Jurnal Wacana edisi 23. Tahun VIII 2008. Khudori (2008). ―Merombak Struktur Pasar Komoditas Pertanian Pangan‖. Dalam Jurnal Wacana edisi 23. Tahun VIII 2008. Kompas, ‖RI Terjebak Impor Pangan,‖ 24 Agustus 2009. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
65
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah. ―Kebijakan Ketahanan Pangan di Indonesia‖, Inforistek Vol 5, No. 2 tahun 2007. Maxwell, S. & R. Slater, (2003) ―Food Policy Old and New‖. Development Policy Review, Vol. 21(5-6), pp. 531-553. Oatley, Thomas. (2004). International Political Economy: Interest and Institutions in the Global Economy. New York: Pearson Longman. Rini, Komala. (2010). ―Liberalisasi Sektor Pertanian Pangan di Indonesia PascaOrde Baru.‖
Tesis
tidak
diterbitkan.
Program
PascaSarjana
Studi
Hubungan
Internasional, FISIPOL UGM. Sen, A. (1981) Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford, Clarendon Press. Sugiono, Muhadi. (1999). Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stiglitz, Joseph. (2007). Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi, Menuju Dunia yang Lebih Adil. Jakarta: Mizan. Witoro .(2006). ―Mempertimbangkan Kehidupan: Menelisik Nasib Beras di Bawah PasalPasal WTO. Dalam Sugeng Bahagijo (ed.). Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES. Wolf, Martin. (2007). Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Jakarta: Freedom Institute.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
66
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Kritik Pembangunan Dunia Ketiga: Studi atas Keterbelakangan dan Kemiskinan di Indonesia
Oleh: Faris Alfadh,
Abstract Developmentalism in the third world has become a global discourses since post-cold war. Theorists of modernization argue that to aim for the economic advancement, underdeveloped countries should adopt modernization process, as well as developed countries did, by economic saving and investment policy. The lack of financial capital can be solved through foreign aid and foreign investment. However in some states, development has become failure, due to its dependence and backwardness implication in the third world countries. This article tries to explain theoretically the failures of developmental theory on the third world. In the case of Indonesia, its failure appears clearly in the unsolvedproblems of backwardness and poverty. It can be explain by three causes of development: First, integration to the global economy and interaction with developed countries mostly in exploitation rather than development cooperation. Second, ineffective and collusion relations between state (bureaucracy), global/foreign capital, and local capitalist. And third, the wrong economic recipes from the international financial organizations, especially after 1997 Asia financial crisis.
Keywords: development, modernization, underdevelopment, dependency, poverty, third world
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
67
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Pendahuluan
Wacana pembangunan atau developmentalisme pertama kali muncul pasca Perang Dunia Kedua. Di beberapa kawasan Asia, Afrika, serta Amerika Latin, banyak negara yang kemudian memerdekakan diri dan muncul sebagai negara pascakolonial baru. Namun negara-negara baru ini ternyata dihadapkan pada dua persoalan akut: (1) kehancuran ekonomi akibat perang dan penjajahan, dan (2) masalah pembentukan identitas nasional sebagai negara bangsa (nation building).1 Persoalan ekonomi serta disorganisasi sosial yang sangat memprihatinkan pasca kolonial, menjadikan negara-negara baru merdeka ini mengalami survival difficulty. Untuk membangun ekonomi pun amat sulit, terlebih proses penjajahan tidak memberikan kesempatan sedikitpun bagi mereka untuk memiliki alat produksi sendiri. Menghadapi persoalan yang kompleks, serta demi mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, beberapa pengambil kebijakan negara dunia ketiga pun mulai menempuh jalan modernisasi, mengejar pertumbuhan, serta mendorong stabilisasi—jalan yang kemudian juga dikenal sebagai pembangunan. Pada tahun 1960-an hingga 1980-an, pembangunan menjadi wacana yang amat populer dalam tataran global. Mantra pembangunan melalui teori modernisasi kemudian banyak diadopsi di beberapa negara. Bahkan ketika wacana tersebut mengalami perkembangan di tahun 1980-an dan 1990-an dengan arus neo-liberalisme yang berhembus ke hampir semua negara dunia ketiga, 2 dengan orientasi ekonomi liberal serta kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar, negara-negara dunia ketiga pun seolah berbondong-bondong mengadopsi perspektif tersebut. Investasi asing menjadi begitu populer, tidak hanya disambut dengan penghapusan pembatasan penanaman modal asing, melainkan juga dengan tawaran insentif bagi investasi baru. Banyak negara kemudian mengetuk pintu Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memperoleh kucuran dana, begitu juga dengan kebijakan privatisasi. Bahkan hal tersebut juga terjadi di negara-negara Budi Winarno, 2005, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru, Yogyakarta: Tajidu Press, hlm. 132. Lihat Caroline Thomas & Melvin Reader, “Development and Inequality”, dalam Brian White (ed), 2001, Issues in World Politics, New York: Palgrave, hlm. 79. 1 2
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
68
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
seperti India, Nigeria, dan Brazil, di mana nasionalisme ekonomi sebenarnya mengakar secara historis. Namun demikian, strategi pembangunan melalui teori modernisasi yang dianut beberapa negara dunia ketiga ini ternyata dihadapkan pada tantangan yang cukup berat— bahkan kegagalan. Alih-alih memajukan taraf ekonomi sehingga mampu mengejar ketertingalan dari negara-negara maju, negara dunia ketiga justru semakin tenggelam dan terpuruk. Kesenjangan ekonomi terlihat di mana-mana, jumlah penduduk miskin setiap hari bertambah banyak, tingkat pengangguran meningkat drastis, belum lagi kualitas hidup masyarakat yang semakin rendah. Kegagalan pembangunan di Amerika Latin yang ditandai dengan krisis utang menjelang akhir tahun 1070-an hingga awal 1980-an, misalnya, menjadi bukti bahwa wacana pembangunan tidak mampu menyelesaikan persoalan keterbelakangan dunia ketiga. Kritik atas kegagalan di Amerika Latin ini juga yang kemudian melahirkan teori keterbelakangan serta dipendensia (ketergantungan) dalam studi pembangunan. 3 Begitu juga dengan krisis yang melanda Asia tahun 1997. Bahkan akibat rapuhnya fondasi ekonomi yang dibangun atas strategi pembangunan selama ini, mengakibatkan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara—termasuk Indonesia—mengalami kesulitan untuk bangkit pasca krisis. Hal ini semakin membuktikan bahwa strategi pembangunan di kawasan ini tidak berjalan baik. Yoshihara Kunio, seorang ahli ekonomi dari Jepang, bahkan mengemukakan tesis menarik, bahwa kapitalisme yang dibangun melalui teori modernisasi di beberapa negara Asia Tenggara tak lebih dari ―kapitalisme semu‖. 4 Tulisan ini berupaya membuktikan secara teoritik bahwa teori pembangunan yang diterapkan di beberapa negara dunia ketiga justru mengalami kegagalan. Dalam kasus Indonesia hal tersebut tampak sangat jelas dari ketergantungan Indonesia yang sangat besar terhadap negara-negara donor seperti AS, serta persoalan keterbelakangan dan kemiskinan yang tak kunjung selesai.
Lihat Andre Gunder Frank, 1984, Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi, Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, hlm. 32. 4 Baca Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES. 3
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
69
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Paradigma Pembangunan Dunia Ketiga
Alejandro Portes (1976), mendefinisikan pembangunan (development) sebagai proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan dimaknai sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. 5 Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi. Kemajuan, misalnya, dapat diidentifikasi melalui peningkatan rasionalisasi kehidupan masyarakat, teknologi dan efisiensi. Sedangkan pertumbuhan identik dengan kemajuan ekonomi yang ditandai dengan pendapatan masyarakat sebagai akibat dari kenaikan produktifitas berkelanjutan yang diikuti oleh difersifikasi kegiatan ekonomi. Karena itu, pembangunan memiliki ciri-ciri seperti: adanya pertumbuhan, difersifikasi/diferensiasi dan perbaikan pada semua aspek dan level kehidupan masyarakat. Dalam diskursus mengenai teori pembangunan, ada dua paradigma besar yang berkembang: modernisasi dan ketergantungan (dependensi). 6 Namun ada juga yang membaginya ke dalam tiga paradigma: modernisasi, keterbelakangan, dan ketergantungan. Sebagaimana yang dilakukan Tikson (2005). Untuk keperluan analisis secara kritis dan mendalam, dalam tulisan ini penulis akan mengacu pada pandangan yang disebut terakhir. Pertama, teori modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial, dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Teori yang berkembang sejak awal 1950-an ini didasari oleh dua pendekatan pokok: struktural (makro) dan sosial psikologis (mikro). 7 Para ahli modernisasi, terutama setelah Perang Dunia II, baik dalam aliran makro maupun mikro,
5
Lihat Alejandro Portes & John Walton, 1976, Urban Latin America: The Political Position from Above and Below, Austin Texas: University of Texas Press. 6 Pembagian ini mengacu pada pandangan Ted C. Lewellen (1995), Dependency and Development: A Introduction to the Third World, London: Bergin & Garvey; Jorge Larrain, 1994, Theories of Development, Cambridge, MA: Polity Press; dan Ray Kiely, 1995, Sociology and Development: The impasse and Beyond, London: U.C.L. Press. 7 Deddy T. Tikson, 2005, Keterbelakangan dan Ketergantungan;Teori Pembangunan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, Makassar: Ininnawa, hlm. 27.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
70
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
kemudian berpendapat bahwa negara-negara miskin memerlukan bantuan negara-negara kaya untuk mempercepat proses pembangunan mereka. Bantuan perlu diberikan baik dalam bentuk modal maupun teknologi dan pendidikan yang merupakan bagian dari proses difusi nilai-nilai atau budaya barat ke timur. Dalam kaitan ini, Rostow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebuah masyarakat dapat dilakukan melalui lima tahap: (1) masyarakat tradisional, (2) periode transisi/prakondisi untuk tinggal landas, (3) tinggal landas, (4) menuju kedewasaan, dan (5) konsumsi massa yang tinggi. 8 Rostow beranggapan bahwa negara-negara dunia ketiga (belum berkembang) dapat meniru proses modernisasi/industrialisasi yang dialami oleh negara-negara industri maju dengan menciptakan kebijakan-kebijkaan pembangunan yang mengarah kepada pembentukan dan akumulasi modal melalui tabungan, investasi, dan membangkitkan kewirausahaan. Konsumsi dan investasi akan mampu mempercepat kegiatan ekonomi, yang pada saatnya akan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Masalah yang selalu dihadapi oleh negara-negara miskin adalah kelangkaan dana untuk investasi (financial capital). Untuk mengatasi hal tersebut, Rostow mendukung pemberian bantuan luar negeri oleh negara-negara industri maju. Indutrialisasi diperlukan karena dianggap merupakan satu-satunya jalan menuju pertumbuhan ekonomi makro melalui investasi. Dengan demikian bisa dikatakan, modernisasi mengajarbah bawa untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di negara-negara dunia ketiga diperlukan bantuan investasi dari negara-negara kaya (melalui Penanaman Modal Asing), karena merek (baca: negara dunia ketiga) tidak memiliki modal yang cukup. Kedua, kegagalan atas penerapan teori modernisasi, terutama yang terjadi di Amerika Latin tahun 1970-an, kemudian memunculkan reaksi kritis dari beberapa ilmuan. Lahirnya teori keterbelakangan merupakan bagian dari itu. Teori ini cenderung melihat pembangunan dan keterbelakangan di dunia ketiga melalui pendekatan politik. 9 W.W. Rostow, 1960, The Stages of Economic Growth: A non-communist manifesto, Cambridge: Cambridge University Press. 9 Teori ketergantungan banyak didasarkan pada pemikiran, seperti, Paul Baran, 1960, The Politoical Economy of Growth, New York, NY: Prometheus; Andre Gunder Frank, 1967, Capitalism and Underdevelopment in Latin America: Historical Studies of Chile and Brazil, New York, NY: Monthly Review Press; dan Samir Amin, 1976, Unique Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral Capitalism, New York, NY: Monthly Review Press. 8
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
71
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Kemunculan teori keterbelakangan banyak dipengaruhi oleh pemikiran Marx tentang pertentangan kelas dalam masyarakat kapitalis, dan pandangan Lenin terhadap imperealisme. Para pakar di dalamnya, seperti Paul Baran, Andre Gunder Frank, Samir Amin dan Wallestein, mencoba menjelaskan bahwa keterbelakangan dan kemiskinan di dunia ketiga sebagai akibat dari adanya kontak dengan negara maju dan ketergantungan terhadap kekuatan ekonomi global serta konflik internasional. Kemiskinan di negara dunia ketiga merupakan akibat dari sistem ekonomi dunia yang tidak seimbang, di mana sekelompok negara kuat mengeksploitasi negara-negara yang lebih lemah. Frank
(1967)
kemudian
memperkenalkan
konsep
underdevelopment
(keterbelakangan) dan sebuah model exploitasi metropole-satellite, di mana ketimpangan ekonomi dunia, menurutnya, merupakan hasil dominasi ekonomi oleh negara-negara kapitalis/industri. Negara-negara berekonomi kuat akan tetap semakin kuat dengan melakukan
pemerasan
terhadap
negara
miskin.
Dengan
demikian
usaha-usaha
pembangunan di dunia ketiga tidak akan dapat mengejar ketertingalan mereka dari dunia pertama. Teori ini berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri sebagai pusat ekonomi dunia, justru memerlukan hubungan dengan negara-negara miskin. Terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perkembangan kapitalisme di Barat, menurut teori ini, merupakan hasil eksploitasi terhadap negara-negara miskin tetapi kaya dengan sumber daya alam.10 Ketiga, teori ketergantungan (dependent development) lebih memberikan perhatian kepada kemungkinan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang sedang membangun, walupun terjadi ketergantungan terhadap ekonomi global. Teori ini menyatakan bahwa ketergantungan terhadap ekonomi internasional tidak selalu menghasilkan keterbelakangan di dunia ketiga. Teori ini menganggap bahwa kemajuan ekonomi sebuah negara, lebih bergantung kepada faktor-faktor domestik dari pada global, seperti kemampuan pemerintah (state capacity), pemilik modal domestik, masyarakat, dan hubungan antar
10
Andre Gunder Frank, Ibid.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
72
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
kelas yang dapat menjadi faktor pendukung ke arah pertumbuhan ekonomi dan proses modernisasi.11 Menurut teori ini, pengaruh modal internasional dan investasi asing tidak melulu berimplikasi negatif, tetapi sangat bergantung kepada corak interaksi di berbagai elit (ekonomi, politik, militer, dan teknokrat) dalam memanfaatkan sumberdaya internasional. Sejumlah pakar yang telah menguji model ketergantungan, menemukan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam mengendalikan dan mengarahkan pembangunan agar tidak terjadi pengaruh negatif dari penetrasi modal asing. Robinson (1976), menandaskan bahwa adanya struktur pemerintahan dan para pelaku ekonomi yang kuat akan dapat memberikan kekuatan ekonomi di dalam ekonomi global. Teori ini telah memperkaya paradigma ketergantungan dengan menambahkan sebuah tesis bahwa negaranegara yang sedang berkembang masih akan dapat memajukan ekonomi mereka walaupun disertai dengan adanya penetrasi asing, yakni melalui peranan pemerintah. 12 Peran pemerintah dalam pembangunan ini, kemudian dirumuskan lebih lanjut oleh Peter B. Evans , Dietrich Rueschemeyer dan Theda Skocpol (1985) dalam buku mereka berjudul Bringing the State Back In. Pandangan ini telah melahirkan sebuah pendekatan pembangunan yang disebut New Comparative Political Economy (NCPE), yang mengaitkan pembangunan ekonomi dengan dimensi politik dan pemerintah di negaranegara pinggiran. Pendekatan NCPE menerima asumsi bahwa lingkungan ekonomi global bersifat netral terhadap negara-negara pinggiran/satelit. Artinya, hubungan antara negara satelit dengan dunia ineternasional bisa memberikan pengaruh positif atau negatif. 13 Perspektif NCPE menolak determinisme dan pesimisme perspektif keterbelakangan Frank. Namun demikian, kritik atas perspektif ini juga muncul, karena dalam kenyataannya hanya sebagian kecil dari negara dunia ketiga yang mengalami pengaruh positif dari lingkungan ekonomi global, seperti yang dialami negara di kawasan Asia Deddy T. Tikson, Op.cit., hlm. 75. Richard Robinson, 1976, “The World Economy and the Distribution of Income within States: A Cross National Study.” American Sociological Review 41: 638-59. 13 Lihat Peter B. Evans , Dietrich Rueschemeyer & Theda Skocpol, 1985, Bringing the State Back In, Cambridge: Cambridge University Press. 11 12
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
73
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Timur. Selebihnya, banyak negara di kawasan Amerika Latin, Afrika, ataupun Asia Tenggara justru mengalami pengaruh negatif.
Kegagalan Pembangunan di Indonesia: Keterbelakangan dan Kemiskinan
Jauh sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Bank Dunia (1993) melaporkan bahwa Indonesia termasuk salah satu dari delapan negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, yang dijuluki sebagai East Asian Economic Miracle. Bahkan pada tahun 1990, Indonesia termasuk salah satu dari tujuh negara industri baru setelah China, Brasil, Korea Selatan, Meksiko, India dan Turki. Namun persepsi tentang Indonesia berubah pasca krisis 1997. Kehancuran ekonomi nasional membongkar habis bobroknya ekonomi yang dihasilkan melalui pembangunan pola modernisasi yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut. Banyak kalangan kemudian menengok ke belakang, dan menyimpulkan bahwa strategi pembangunan yang selama ini dijalankan ternyata tidak tepat. Walaupun Indonesia pernah menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat (mencapai 8%) pada periode bonanza minyak antara tahun 1974-1982, karena diuntungkan oleh melonjaknya harga minyak dunia, namun periode ini juga ditandai oleh mengalirnya PMA dan hutang luar negeri dengan cukup deras, namun yang tidak disasari bahwa hutang luar negeri ternyata tumbuh lebih cepat daripada nilai PMA. Besarnya hutang luar negeri kemudian memberikan beban yang cukup berat untuk pembayaran hutang pokok beserta bunganya. Perbandingan (rasio) antara hutang luar negeri dengan pendapatan nasional (GNP), semakin lama semakin meningkat; 28% tahun 1980 menjadi 56,9%, dan debt service ratio menjadi 30,9% pada tahun 1995. Hal ini memberikan indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia telah didominasi oleh kehadiran modal asing, bukan oleh kekuatan domestik dalam tabungan, investasi dan produktifitas nasional. Dengan kata lain, pembangunan tidak dilandasi oleh kekuatan endogen yang dihasilkan oleh mode of production sebelumnya.14
14
Deddy T. Tikson, Op.cit., hlm. 117.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
74
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Dari perspektif makro ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dihasilkan oleh pertumbuhan produksi, investasi dan tabungan nasional; tetapi oleh derasnya arus modal asing. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi tidak disebabkan oleh pertumbuhan output, melainkan input.15 Karena itu, penerapan teori modernisasi ternyata telah memberikan efek negatif di Indonesia. Pembangunan di Indonesia justru lebih mendukung premis-premis yang dikemukakan teori keterbelakangan dan ketergantungan. Karena itu, kegagalan pembangunan di Indonesia bisa dianalisis dari dua perspektif ini. Pertama, kegagalan pembangunan di Indonesia bisa dijelaskan melalui teori keterbelakangan, di mana interaksi dengan negara-negara industri maju serta ikut bergabungnya Indonesia dalam tatanan ekonomi kapitalis global semakin memarjinalkan ekonomi nasional. Besarnya hutang luar negeri serta banyaknya investasi asing yang masuk bukan dalam posisi pendorong pembangunan, tetapi justru mengeksploitasi. Penetrasi ekonomi melalui hutang luar negeri tersebut justru membuat Indonesia tidak berdaya di hadapan negara-negara donor. Banyaknya MNC‘s yang berseliweran, misalnya, amat kontras dengan kondisi ekonomi rakyat yang masih hidup miskin di bawah 2 dollar sehari–sebagaimana standar PBB. Sementara penghasilan MNC‘s yang ada amat besar dan di luar dugaan, bahkan melebihi jumlah kuangan sebuah negara. Dalam hal ini, Amien Rais (2008),16 sepakat dengan pendapat John Perkins, bahwa kekuatan korporatokrasi (yang domotori oleh korporasi, pemerintah AS, serta lembaga keuangan internasional) telah membuyarkan sendi-sendi ekonomi nasional yang semestinya dijaga. Dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man, Perkins menyebut korporatokrasi sebagai upaya membangun imperium global dengan menyatukan kekuatan korporasi besar, bank, dan pemerintah untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendaknya.17
Lihat Paul R. Krugman, 1995, Currencies and Crisis, MIT Press. Lihat Amien Rais, 2008, Agenda Mendesak bangsa; Selamatkan Indonesia, Yogyakrta: PPSK, hlm. 81. 17 Baca John Perkins, 2005, Confessions of an Economic Hit Man, Jakarta: Abdi Tandur. hlm. 16. 15 16
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
75
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Menurut mazhab keterbelakangan, ketergantungan terhadap ekonomi global akan melemahkan kelembagaan domestik dan menghambat kemunculan institusi modern di zona pinggiran. Tidak hanya kelembagaan sosial tetapi juga politik. Pemerintah di dunia ketiga dianggap sebagai institusi untuk mempertahankan status quo. Dengan kata lain, pemerintan di negara-negara pinggiran menjadi lemah setelah menjalin hubungan dengan dunia luar. Lahirnya beberapa kebijakan yang pro ekonomi kapitalis, semacam UU Penanaman Modal serta Kontrak Karya dengan Perusahaan Asing yang memarjinalkan ekonomi rakyat, mislanya, bisa dilihat dari perspektif ini. Karena itu, tidak berlebihan jika Noreena Hertz mengatakan bahwa kapitalisme global yang berada di balik globalisasi tak lebih dari upaya ―membunuh atas nama kebebasan‖. 18 Dalam pandangan Anonio Gramsci, pemangunan yang terjadi di dunia ketiga dipandang sebagai upaya negara-negara industri maju melakukan proses hegemoni. Akibatnya
negara-negara
dunia
ketiga—seperti
Indonesia—menjalankan
strategi
pembangunan dengan ―suka rela‖ tanpa merasa bahwa proses tersebut sebenarnya dilakukan sebagai bentuk ekploitasi akan sumber ekonomi nasional. 19 Kedua, keterpurukan ekonomi Indonesia dapat ditelusuri dari karakteristik kolaborasi antara pemerintah/birokrasi, modal asing, dan kapitalis lokal. Sebagaimana dijelaskan teori ketergantungan, bahwa kinerja pembangunan sebuah bangsa banyak ditentukan oleh corak interaksi di antara ketiga aktor tersebut. Immanuel Wallerstein, mensinyalir bahwa pemerintah yang kuat di negara pinggiran—seperti kasus Indonesia di bawah Orde Baru—hanya akan menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dan merugikan kelompok lainnya. Ia menyatakan bahwa, strong states serve the interests of some group and hurt those of others. 20 Di dalam pemerintahan seperti ini, elit penguasa menjalin hubungan dengan sumber dana luar negeri, baik investasi langsung melalui PMA maupun hutang luar negeri. Elit penguasa dan pengusaha menjadi saling mengkooptasi untuk kepentingan ekonomi mereka. Lihat Noreena Hertz, 2003, The Silent Takeover, New York: HarperCollins Publishers Inc. Lihat Muhadi Sugiono, 1999, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 49. 20 Immanuel Wallerstein, 1974, The Modern World System I: Kapitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the Sixteen Century, New York: Academic Press, hlm. 354. 18 19
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
76
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Fungsi pemerintah seolah hanya untuk melindungi dan memfasilitasi kepentingan kelas-kelas kapitalis domestik dan internasional. Pemerintah tidak menjalankan fungsinya sebagai administrator, koordinator dan penyelaras semua kepentingan nasional. Mekanisme seperti inilah yang kemudian menyebabkan ketergantungan negara-negara dunia ketiga semakin kuat. Dalam proses pembangunan di Indonesia, terdapat kelas atau kelompok yang mendominasi perumusan kebijakan serta pelaksanaannya: birokrasi, teknokrat dan militer, yang kemudian berkolaborasi amat mesra dengan kapitalis internasional serta kelas kapitalis lokal. Hal ini terus berlangsung hingga menjelang keruntuhan ekonomi tahun 1997. Kelas-kelas yang lain (pengusaha, petani, guru, buruh) nasibnya ditentukan oleh kelas yang dominan tersebut. Munculnya pemerintahan yang kuat dan sentralistik di Indonesia, dapat ditelusuri sejak pasca kemerdekaan 1945. Dalam bidang politik, adanya sentralisasi kekuasaan cenderung untuk meminimalkan pasrtisipasi masyarakat di daerah dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan publik. Di banyak negara dunia ketiga, akses terhadap political resources ini akhirnya diperdagangkan oleh para penguasa di pusat. Dalam bidang ekonomi, sistem kekuasaan yang sentralistik juga menciptakan ketimpangan struktural, karena semua aset dan sumberdaya nasional banyak diekstrasi dan dieksploitasi untuk kemudian dibawa ke pusat. Perkembangan industrialisasi di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di beberapa negara Asia Timur seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura dan Cina. Pembangunan di Indonesia lebih banyak diwarnai oleh despotisme pemerintah. Ciri utama pemerintahan yang despotik adalah otoriter dan represif yang didukung oleh kekuatan militer dan intelijen. Bentuk rezim seperti ini sesuai dengan konsep bureauchratic-authoritarian state dari Guellermo O‘Donnel (1987), atau konsep Negara Otoriter Birokratik dalam bahasa Mohar Mas‘oed.21 Orde Baru didominasi oleh despotisme yang sangat kuat. Dominasi pihak penguasa telah menjadi fenomena yang sangat menonjol selama pembangunan oleh 21
Lihat Mohtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
77
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
pemerintah Orde Baru. Peran pemerintah selama lebih dari 31 tahun bisa dibilang tidak efektif sperti pemerintah Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, ataupun Cina. Di negara-negara ini, intevensi pemerintah dalam pembanguna telah berhasil mencitakan sebuah ―nasionalisme ekonomi‖ (economic nationalism). Di negara-negara Asia Timur, pemerintah otoriter telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kemakmuran. Negara berhasil mentransformasikan berbagai kekuatan kelas-kelas sosial-ekonomi tradisional menjadi kekuatan bisnis yang rasional berbasis ilmu pengetahuan dan tekologi. Haslinya adalah kemunculan kelas kapitalis baru. Dalam kasus Indonesia ―proteksi‖ pemerintah hanya diberikan kepada kelas kapitalis tertentu untuk mempertahankan relasi yang menguntungkan dengan kelas penguasa. Sementara kelas-kelas lainnya, seperti buruh, petani, pers, partai politik, pegawai, LSM, bahkan kaum akademik, berada pada posisi yang tidak terproteksi— bahkan tereksploitasi. Maka tidak heran jika selama pembangunan di Indonesia, jumlah penduduk miskin tetap saja tinggi, karena pembangunan yang terjadi alih-alih mendorong pertumbuhan dan pemerataan, sebagaimana tujuan dari Trilogi Pembangunan, tetapi justru menciptakan marjinalisasi kelas-kelas tertentu dari akses ekonomi. Persoalan paling akut yang terus dihadapi Indonesia dari tahun ke tahun adalah kemiskinan. Proses pembangunan yang berjalan selama ini justru menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Memang dalam beberapa tahun terakhir jumlah penduduk miskin Indonesia mengalami tren penurunan. Tahun 2010, misalnya, sebagaimana yang dilaporkan Badan Pusat Statistik Nasional No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010, bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta jiwa (13,33 persen), turun 1,51 juta jiwa dibanding bulan Maret tahun 2009 yang sebesar 32, 53 juta jiwa (14,15 persen). Namun yang perlu dicatat adalah, penurunan tersebut lebih banyak terjadi di masayarakat perkotaan, sementara di pedesaan justru persentasenya semakin meningkat. Di tahun 2009 63,38 persen penduduk miskin berada di daearh pedesaan, sedangkan di tahun 2010 jumlah
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
78
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
tersebut justru meningkat sebesar 64,23 persen. Dan sebagian besar penduduk miskin tersebut bekerja di sektor pertanian.22 Karena itu sulit rasanya mengharapkan proses pembangunan di Indonesia berjalan sebagai upaya menciptakan kebebasan (freedom), seperti yang diharapkan Amartya Sen (1999). Menurut Sen, pembangunan di dunia ketiga seharusnya mampu menciptakan kebebasan: dengan memberikan akses ekonomi kepada semua kelas sosial, termasuk mereka yang paling miskin dan marjinal. Karena kemiskinan, menurut Sen, sangat berpotensi menghilangkan kapabilitas manusia untuk berkembang (freedom) dan berfungsi.23 Relasi yang tidak efektif dan cenderung kolutif antara pemerintah, modal asing, kapitalis lokal serta didukung kuat oleh militer selama pemerintahan Orde Baru, membuat pembangunan di Indonesia tidak berjalan baik, bahkan bisa dibilang gagal. Ketiga, kegagalan pembangunan di Indonesia juga bisa dilihat sebagai implikasi serius dari resep yang keliru yang diberikan negara-negara maju, terutama resep yang ditawarkan oleh lembaga keuangan global semacam IMF pasca krisis Aisa 1997. Resepresep yang ditawarkan oleh kedua lembaga tersebut, alih-alih menjadi penawar, justru racun yang mematikan. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi tahun 2001, bahkan menyalahkan lembaga tersebut atas gagalnya beberapa negara di Asia Tenggara dalam menanggulangi krisis moneter. Ibarat seorang dokter, IMF justru keliru mendiagnosa penyakit, sehingga memberikan resep obat yang sama terhadap penyakit yang berbeda. Akibatnya berapa negara di Asia Tenggara–termasuk Indonesia–mengalami kesulitan pulih pasca krisis, bahkan semakin terpuruk. Stiglitz mensinyalir bahwa kebijakan-kebijakan IMF justru membawa dunia ke ambang kehancuran.24
Lihat Laporan Bada Pusat Statistik Nasional No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010, “Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010.” 23 Lihat Amartya Sen, 1999, Development As Freedom, New York: Oxford, hlm. 87. 24 Josep E. Stiglitz, 2003, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional, Jakarta: PT. Ina Publikatama, hlm. 125. Lihat juga Cyrillus Harinowo, 2004, IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca-IMF, Jakarta: Gramedia. 22
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
79
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Kesimpulan
Kebijakan pembangunan yang diambil Indonesia sejak awal 1970-an sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan negara-negara pasca colonial lainnya. Hal tersebut, terutama, didorong oleh kondisi sosial-ekonomi yang semakin terpuruk pasca Orde Lama di bawah Soekarno, serta tuntutan untuk mengejar ketertinggalan secara ekoomi dari negara-negara maju. Namun demikian, teori pembangunan tersebut justru mengalami distorsi. Dalam analisis Gramsci, pembangunan yang awalnya dihembuskan sebagai wacana ke dunia ketiga itu, tak lebih dari upaya hegemoni yang dilakukan negara maju. Akibatnya, negara dunia ketiga meyakini perspektif pembangunan sebagai satu-satunya jalan dalam memajukan ekonomi, padahal fakta yang terjadi justru praktek eksploitatif. Hanya sedikit negara dunia ketiga yang menikmati implikasi positif dari pembangunan, itu pun dalam kasus tertentu saja, seperti yang dialami beberapa negara di Asia Timur, karena terkait erat dengan posisi mereka yang dekat dengan AS pada masa perang dingin, sehingga mereka banyak menikmati kemudahan akses ekonomi yang diberikan negara paman sam tersebut. Di Indonesia, kegagalan pembangunan justru terlihat jelas. Premis-premis yang dijanjikan teori modernisasi tak terbukti. Justru semakin membuktikan premis-premis yang dikemukakan teori keterbelakangan dan ketergantungan. Adanya penetrasi ekonomi nasional melalui hutang luar negeri serta PMA, membuat ekonomi nasional tak berdaya, bahkan tereksploitasi. Hal ini diperparah lagi oleh rezim Orde Baru yang bersifat despotik, atau bercirikan otoriter-birokratik, sebagaimana yang dikemukakan Mohtar Mas‘oed. Dalam mengelola ekonomi rezim pemerintah lebih banyak membangun relasi kolutif dengan kelas kapitalis lokal serta rezim ekonomi global. Krisis moneter 1997 akhirnya membuktikan keterpurukan strategi pembangunan sebelumnya. Rapuhnya fondasi ekonomi tersebut semakin membuat Indonesia terkapar pasca krisis ketika harus mengikuti kebijakan yang keliru yang ditawarkan IMF. []
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
80
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Daftar Pustaka
Amin, Samir, 1976, Unique Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral Capitalism, New York, NY: Monthly Review Press. Baran, Paul, 1960, The Politoical Economy of Growth, New York, NY: Prometheus. Evans, Peter B., Dietrich Rueschemeyer & Theda Skocpol, 1985, Bringing the State Back In, Cambridge: Cambridge University Press. Frank, Andre Gunder, 1967, Capitalism and Underdevelopment in Latin America: Historical Studies of Chile and Brazil, New York, NY: Monthly Review Press. _________, 1984, Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi, Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Harinowo, Cyrillus, 2004, IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca-IMF, Jakarta: Gramedia. Hertz, Noreena, 2003, The Silent Takeover, New York: HarperCollins Publishers Inc. Kiely, Ray, 1995, Sociology and Development: The impasse and Beyond, London: U.C.L. Press. Krugman, Paul R., 1995, Currencies and Crisis, MIT Press. Kunio, Yoshihara, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES. Larrain, Jorge, 1994, Theories of Development, Cambridge, MA: Polity Press. Laporan Bada Pusat Statistik Nasional No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010, ―Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010.‖ Lewellen, Ted C., (1995), Dependency and Development: A Introduction to the Third World, London: Bergin & Garvey. Mas‘oed, Mohtar, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES. Perkins, John, 2005, Confessions of an Economic Hit Man, Jakarta: Abdi tandur. Portes, Alejandro & John Walton, 1976, Urban Latin America: The Political Position from Above and Below, Austin Texas: University of Texas Press. Rais, Amien, 2008, Agenda Mendesak bangsa; Selamatkan Indonesia, Yogyakrta: PPSK.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
81
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Rostow, W.W., 1960, The Stages of Economic Growth: A non-communist manifesto, Cambridge: Cambridge University Press. Sen, Amartya, 1999, Development As Freedom, New York: Oxford. Stiglitz, Josep E., 2003, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional, Jakarta: PT. Ina Publikatama. Sugiono, Muhadi, 1999, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tikson, Deddy T., 2005, Keterbelakangan dan Ketergantungan: Teori Pembangunan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, Makassar: Ininnawa. White, Brian (ed), 2001, Issues in World Politics, New York: Palgrave. Winarno, Budi, 2005, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru, Yogyakarta: Tajidu Press.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
82
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah
Oleh: Triyuni
Abstract substance of decentralization is to improve public service that is fair, transparent and accountable. Local government organizations should be established as an organization that is sensitive to the public interest. Development of human resources is a very important factor in realizing the regional autonomy. To achieve the strategic direction of human resource development is the most expert local elites are conditioned to obtain adequate formal education so that the capacity and competence to meet the proficiency and reliability in managing local government, resulting in a shift towards human resource knowledgebase.
I. Pendahuluan Membangun sumber daya aparatur Pemerintah Daerah dapat membuka efek ganda dalam jangka panjang yaitu efisiensi dan kompetitif. Dengan mutu sumber daya aparat yang tinggi, kebijakan dapat dilaksanakan secara efisien dari segi tenaga, waktu dan biaya, serta produk kerja yang berupa barang dan jasa memiliki daya saing (kompetitif). Konsep ini tidak hanya berlaku dalam dunia bisnis tetapi juga dalam lingkungan pemerintahan, khususnya Pemerintah Daerah. Sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tidak hanya menyangkut masyarakat umum. Tetapi juga termasuk manusia dalam lembagalembaga pemerintahan di Daerah. Dalam pelaksanaan pembangunan kedua macam sumber daya manusia tersebut perlu bekerjasama secara harmonis. Melalui kerja sama itu akan dapat melahirkan pengertian dan tanggung jawab bersama yang pada akhirnya tercipta rasa memiliki bersama (sense of belonging) yang disertai dengan upaya untuk melakukan pemeliharaan bersama.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
83
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
Dalam rangka menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah telah menerima pengelolaan kewenangan dan sumber daya (manusia dan non manusia) yang besar, sekaligus menerima tanggung jawab yang besar pula, untuk dapat mengelolanya. Untuk itu dituntut memiliki sumber daya aparatur yang memiliki kemampuan teknis dan manajerial, profesional, dan mempunyai komitmen yang tinggi agar dapat menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan otonomi Daerah secara efektif, yaitu meningkatnya kualitas pelayanan kepada masyarakat, meningkatnya demokratisasi, meningkatkan partisipasi
masyarakat,
meningkatkan
efisiensi
dan
efektivitas
penyelenggara
Pemerintahan, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Namun dari hasil pengamatan, terlihat masih dijumpai banyak masalah dan kelemahan dalam bidang sumber daya aparatur Pemerintah Daerah, antara lain, di bidang kualitas dan kuantitas, di bidang pendidikan dan pelatihan, di bidang kesejahteraan, di bidang pengembangan karir, terlambatnya mutasi pegawai dengan alasan sistem pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) dan mengemukanya sikap primordialisme dan kedaerahan yang sempit dalam penempatan pegawai.
II. Sumber daya Aparatur Pemerintah Daerah Manajemen kepegawaian pada umumnya, masih bersifat ketatausahaan, yang antara lain berupa kegiatan pencatatan, pembuatan surat keputusan yang umumnya bersifat rutin. Sedangkan kegiatan Perencanaan kepegawaian, pengembangan pegawai, dan lainlain kegiatan yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia pada umumnya sedikit sekali dilakukan. Masalah lainnya, adalah sistem remunerisasi yang berlaku masih belum dapat berfungsi sebagai pemacu peningkatan kinerja, karena jumlahnya masih belum dapat memenuhi ketentuan hidup yang layak dan penetapan gaji pokok dan tunjangan masih belum didasarkan pada bobot jabatan. Akibatnya, struktur gaji pokok masih belum dapat memenuhi prinsip-prinsip keadilan individu, internal dan eksternal. Sistem remunerisasi yang berlaku masih belum transparan, masih ada PNS yang menerima penghasilan dari berbagai sumber non belanja pegawai. Dengan tunjangan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
84
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
jabatan struktural yang melebihi dan gaji pokok, telah menimbulkan distorsi dan mendorong terjadinya kompetensi yang tidak sehat dikalangan PNS untuk dapat mencapai kedudukan. Ditambah lagi dengan masih rendahnya disiplin pegawai dan mekanisme akuntabilitas yang belum dapat ditegakkan. Hal ini disebabkan antara lain tidak jelasnya uraian tugas dan tanggung jawab PNS serta sasaran pencapaian hasil yang dibebankan kepadanya. Dengan adanya penyerahan beberapa urusan dan diikuti dengan pembentukkan dinas-dinas baru, terjadi perubahan beberapa personil sehingga beban Pemerintah Daerah menjadi semakin besar. Besarnya jumlah pegawai tersebut tidak diikuti oleh proporsi tenaga ahli atau pegawai yang mempunyai kualifikasi sesuai dengan tuntutan tugas dan fungsi serta jabatan-jabatan dalam organisasi Pemerintah Daerah. Pola pengadaan pegawai yang sebelumnya, cenderung bias ke pusat menyebabkan daerah cenderung memperoleh distribusi pegawai dengan kualifikasi ―marjinal‖, karena tenagatenaga dengan kualifikasi terbaik justru di tempatkan di pusat. Sekarang, keadaannya justru terbalik akibat adanya perampingan struktur organisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sebagai akibat adanya otonomi daerah.Hal ini dikarenakan struktur kelembagaan Daerah cenderung kurang menarik dan kurang menantang bagi pengembangan karir pegawai karena jalur promosi jabatannya cenderung terbatas, termasuk keterbatasan kemampuan Daerah sendiri untuk mengembangkan sistem/insentif yang memadai. Dalam hal ini, belanja pegawai masih disubsidi Pemerintah Pusat. Sehingga daerah, mempunyai sumber daya manusia (aparat) yang besar, akan tetapi dari segi kualifikasi dan kehandalannya dalam melaksanakan tugas masih jauh sesuai dengan harapan. Substansi dari otonomi Daerah adalah bagaimana meningkatkan pelayanan publik yang adil, transparan, dan akuntabel sehingga masyarakat terlayani dengan memuaskan. Organisasi pemerintah Daerah yang dibangun adalah organisasi yang sensitif terhadap kepentingan umum. Organisasi demikian akan cenderung lebih rasional dan efisien serta efektif dalam proses pengambilan keputusan dan proses manajerial lainnya. Visi yang demikian ini memunculkan sebuah paradigma dalam birokrasi pemerintah daerah yang
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
85
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
mengacu pada falsafah how to be served menjadi how to served the public sebagai sebuah paradigma baru yang bersifat anti tesis terhadap paradigma yang lama. Hal ini akan berakibat pada masa yang akan datang, adanya pensiun dini dan pemutusan hubungan kerja di instansi pemerintahan, merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan lagi, karena adanya restrukturisasi pemerintahan baik di pusat maupun di Daerah. Realisasinya ini merupakan proses yang melalui masa yang panjang dan penuh dengan potensi konflik. Namun hal ini tetap dilakukan, walaupun cukup besar resikonya yang dihadapi oleh pemerintah. Yang paling penting adalah merupakan kepentingan rakyat yang paling utama bukan kepentingan pegawai. Adanya organisasi pemerintah yang besar, yang tidak diimbangi oleh kualifikasi yang memadai akan mengakibatkan pemborosan keuangan bagi pemerintah. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengelola organisasi melalui anggaran aparat, jangan sampai melebihi 50 % APBD , yang sekarang terlihat rata-rata 6070 % APBD digunakan anggaran aparat, sehingga anggaran publiknya lebih kecil. Idealnya anggaran aparat paling tinggi 40 % dari APBD. Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka mewujudkan otonomi Daerah. Faktor di lapangan menunjukkan sebagai daerah yang pendapatan asli daerahnya (PAD) sangat besar bahkan potensi ekonomi Daerah tersebut sangat besar. Namun ada juga beberapa Daerah yang potensi ekonominya demikian lemah sehingga PAD -nya pun kecil. Banyaknya pengangguran akibat tidak banyaknya peluang kerja, atau minimnya tingkat pendidikan masyarakat akan membuat daerah tersebut lebih banyak menanggung beban daripada peluang. Ketidak jelian pimpinan di Daerah untuk mencari peluang-peluang bisnis pada tingkat global dan regional akan membuat tertinggal dengan Daerah-daerah lainnya. Akibatnya peluang kemandirian yang diberikan oleh otonomi daerah tetap saja tidak dapat diwujudkan. Kebutuhan yang sangat penting lainnya adalah mambangun kreativitas individual dan kolektif di Daerah agar potensi daerah lebih berkembang dan teraktualisasi. Daerah yang potensi ekonominya memadai akan lebih berkembang dan Daerah yang potensi kurang pun bisa berkembang pula. Ini semua baru dapat dicapai bila masyarakat di Daerah mampu J U R N AL K Y B E R N O L O G I
86
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
membangun daya dan kreativitasnya sendiri. Tidak menutup kemungkinan hal ini akan berimbas pula pada struktur penggajian pegawai daerah yang satu sama lain berbeda sesuai dengan kemampuan Daerahnya masing-masing. Kreativitas individual dan kolektif bisa berkembang di satu Daerah, apabila ada upayaupaya strategis baik secara struktural dan kultural di masyarakat guna mengembangkan sumber daya manusianya. Target strategis menciptakan masyarakat yang responsif atas pembangunan daerahnya, dengan diikuti oleh visi dan misi pimpinan pemerintah Daerah yang dinamis, bukan saja dilihat dari segi pertumbuhan, tetapi juga mencakup terwujudnya demokrasi yang berdimensi lokal dan kultural. Untuk mencapai arah strategis pengembangan sumber daya manusia (SDM) tadi, yang paling utama adalah para elite pemerintahan di kondisikan untuk memperoleh peluang pendidikan formal untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi individual agar dapat lebih cakap dan andal dalam mengelola pemerintahan Daerahnya. Kesadaran mengikuti pendidikan formal agaknya sudah cukup disadari oleh kalangan elite pemerintahan Daerah. Namun kecenderungan yang terjadinya bahwa akses dan peluang mengikuti pendidikan bukan didasarkan pada upaya aktualisasi diri yang lebih bermartabat dan kompeten di bidangnya melainkan lebih didasarkan pada kepentingan - kepentingan legal dan pragmatis untuk mendapatkan promosi jabatan dan peningkatan pendapatan. Iklim ini makin kondusif ketika kultur KKN masih demikian mewabah sehingga penilaian untuk promosi jabatan bukan didasarkan pada merit system melainkan ―spoil system‖. Namun, tidak semua elite pemerintah di Daerah tersebut mengikuti pendidikan bersifat pragmatis saja, melainkan kecenderungannya kearah aktualisasi diri dan kepentingan kompetensinya. Bagi mereka yang mempunyai kecenderungan kearah aktualisasi diri dan kepentingan kompetensinya, peluang mengikuti pendidikan bukan saja di Dalam Negeri, tetapi harus didorong mampu mengikuti pendidikan di Luar Negeri agar selain mendapat ilmu mampu mengembangkan kemampuan wawasan berpikirnya dengan yang terjadi di Luar Negeri tersebut. Seandainya kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal belum ada, para elit Pemerintahan dapat pula memanfaatkan berbagai kursus, pelatihan, lokakarya atau seminar J U R N AL K Y B E R N O L O G I
87
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
sesuai dengan bidang tugasnya. Bahkan, proses aktualisasi tidak saja terfokus pada pendidikan dan pelatihan, upaya meningkatkan sensitivitas kognitif atas berbagai peristiwa dan perkembangan mutakhir baik keilmuan maupun kemasyarakatan yang berdimensi politik, kultural, dan sosial lewat terpaan media massa dan media interaktif lainnya, termasuk dialog menjadi sumber aktualisasi bagi pengembangan kognitif individu. Selain itu, pemanfaatan jaringan dengan perguruan tinggi setempat, LSM dan konsultan-konsultan yang beragam bidang, dapat dimanfaatkan untuk mencari modelmodel
pembangunan yang berorientasi lokal dengan berbagai kultur setempat yang
kondusif dalam pengembangan Daerah. Karena itu, adalah penting bagi elit dikalangan pemerintahan untuk senantiasa dekat dan membuat jaringan dengan berbagai komponen strategis masyarakat agar proses pembangunan Daerah di dukung dan di isi oleh alam pemikiran aspirasi mereka. Agar pembangunan Daerah tidak hanya datang dari atas (top down), perlu juga strategi untuk meningkatkan SDM di kalangan masyarakat secara menyeluruh. Dalam konteks ini, APBD misalnya, perlu memberi tempat yang istimewa dan utama untuk pengembangan sektor pendidikan. Memberi keutamaan pada sektor pendidikan di APBD, akan meningkatkan kualitas masyarakat, khususnya tingkat melek huruf atau literasi masyarakat yang tinggi dan cerdas. Dengan tingkat pendidikan yang memadai, anggota masyarakat dapat menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki Daerah secara optimal, selain itu juga anggota masyarakat dapat memperoleh peluang kerja yang memadai atau bahkan mampu membangun kreatifitas sendiri dengan membuat pekerjaan bagi dirinya secara mandiri. Kualifikasi sumber daya manusia di lingkungan pemerintah Daerah yang kurang memadai ini, cenderung menjadi faktor tingginya tingkat pengendalian oleh unsur-unsur pimpinan organisasi atau oleh unsur-unsur pemerintah pusat atau propinsi. Pola organisasi mekanistis-birokratis yang diterapkan menjadi semakin kurang dinamis karena kecenderungan sentralisasi kewenangan interval dalam setiap satuan kerja organisasi. sebagai akibat rendahnya kapabilitas sumber daya manusia yang ada.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
88
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
III. Penutup Mengingat hal-hal tersebut, aspek SDM dalam rangka penataan kewenangan organisasi pemerintah daerah perlu diarahkan pada hal-hal sebagai berikut : Perancangan pola pengembangan karier pegawai dalam jenjang jabatan di lingkungan pemerintah Daerah, serta efektivitas pada promosi dan mutasi jabatan antar satuan kerja, antar daerah, serta jalur promosi dan mutasi jabatan kedalam lingkungan organisasi pemerintah propinsi atau pemerintah pusat. Pola
struktur
kepegawaian
Daerah
yang
bersifat
menggembung
sebaiknya
diakomodasi oleh struktur organisasi model fungsional atau matrik Penataan kembali kewenangan Daerah dalam bidang kepegawaian dalam hubungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah Daerah propinsi. Kemampuan mengelola perubahan-perubahan mengenai bagaimana suatu lembaga dikelola tergantung daripada Dinas-dinas daerah diorganisasikan dan dilengkapi kebutuhan aparaturnya. Kemampuan dan kinerja bisa ditingkatkan bukan hanya karena tenaganya menjadi lebih terampil dan berkeahlian, tetapi lebih penting justru kelembagaannya menjadi lebih fleksibel sehingga secara sinambung dapat menyempurnakan dan mengembangkan kemampuan dasar aparat yang dimilikinya. Kebanyakan unit-unit kerja di lingkungan pemerintah Daerah, justru tidak bersifat fleksibel, karena salah satu mengartikan makna ―bersih dan berwibawa‖ menjadi lebih condong ke penampilan lahiriah bukan kepada karakter, sikap dan perilaku. Oleh karena itu yang kerap terlihat dan dirisaukan masyarakat ialah ―kekakuan‖ dan ini oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) disebut sebagai ―rules driven organization‖, dan bukan ―customer driven government‖. Keadaan kelembagaan berikut aparatnya yang ―kaku‖, karena terikat oleh ketatnya aturan-aturan menyebabkan lembaga tersebut atau unit kerja tersebut menjadi kurang kompetitif (berdaya saing). Dalam pengembangan kemampuan aparat, khususnya aparat yang memiliki bakat harus dititik beratkan kepada kebutuhan masa depan dengan lebih memperhatikan pegawai-pegawai yang ada dan sudah bekerja pada unit-unit kerja. Kelembagaan modern cenderung lebih sederhana, ringkas, lincah, tetapi berkinerja tinggi karena diisi sedikit staf J U R N AL K Y B E R N O L O G I
89
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
tetapi dengan kemampuan prima, unit kerja yang demikian ini bisa berfungsi sebagai ―front-line management‖ yang efektif dalam setiap pelaksanaan tugas, oleh karena dengan sedikit pejabat struktural dan hirarki manajemen, maka kemampuan manajerial akan menjadi lebih penting dari pada kedudukan dalam manajemen. Pelaksanaan
Otonomi
Daerah
berimplikasi
terhadap
semua
bidang
penyelenggaraan Pemerintahan dan keidupan masyarakat, termasuk penataan kelembagaan organisasi perangkat Daerah dan pembangunan Sumber Daya Aparaturnya. Penataan organisasi perangkat Daerah yang ramping struktur dan kaya fungsi dapat meningkatkan kemampuan dalam menghadapi tantangan perubahan paradigma Pemerintahan. Dengan terwujudnya Sistem Manajemen Sumber Daya Aparatur yang terpadu diharapkan aparat mampu berperan ganda sebagai aparatur yang berfungsi mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat juga mampu hidup dan berkembang di atas perbedaa suku, ras, agama dan kedaerahan. Dalam kondisi ini, aparatur Daerah tidak saja sebagai aset nasional dan komponen penting bangsa,melainkan juga sebagai sarana dan wahana asimilasi dan akulturasi yang mengedepankan nilai kebersamaan, kesejahteraan, simpati dan empati, intern dan antar golongan. Potensi keberhasilan organisasi perangkat Daerah tidak terlepas dari peran sumber daya aparaturnya. Sumber daya aparatur perlu dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan serta diberi dorongan (motivasi) untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karenanya akan terjadi pergeseran kearah Sumber Daya Manusia yang berbasis pengetahuan (knowledge based). Fungsi Birokrasi Pemerintah akan bergeser dari manajemen sumber daya atau penyedia pelayanan publik kearah fungsi sebagai pendukung merangsang tercapainya kemandirian dan kemampuan Daerah dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
90
Volume I Edisi Pertama Tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA
Sadu Wasistiono, 2001. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, AlQa-Print Jatinangor Aileen Mitchell Stewart, 1998. Empowering People. terjemahan Agus M. Hardjana, Kanisius Jakarta. A. Kartiwa, 1999. Perspektif Administrasi Negara Menjelang Abad Ke-21 (Suatu Tinjauan Aspek Pengembangan Sumber Daya Manusia), Makalah Clutterduck, David, 1994. The Power of Empowerment, Kogan Page Limited, London. H.A. Djadja Saefullah. 2001. Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Dalam Otonomi Daerah, Makalah Miller James B. & Paul B. Brown, 1993. The Coorporate Coach, Golden Books Centre. SDN. BHD, Kuala Lumpur. MC. Kenne, Eugene, & Nich Beech, 1995. The Essence of Human Resources Management. Prentice - Hall, London. Osborne & Gaebler. 1992. Reinventing Government: How The Enterpreneurial Spirit In Transforming the Public Sector, Reading, MA. Addison Westley Publishing Company Inc. Thompson, John W, 1992. Coorporate Leadership in The 21ST Century, Barret Koehler, Publisers, San Fransisco. Pantius D. Soeling, 1997. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia untuk Peningkatan Pelayanan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Nomor 2, Volume III/Agustus 1997.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
91