Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Implementasi Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Kota Bekasi Oleh : Dr. H. Adjat Daradjat, M.Si. Dosen LB FISIP UNLA
ABSTRACT Implementation of public policies in the field of occupational safety and health in the city of Bekasi felt still not optimal. This is evident from some of the indicators are as follows: the numbers are still high-risk work; including accidents, a lot of companies that do not comply with safety and health norms, and the number of target groups who do not understand the substance and the health and safety benefits to the effectiveness and workfare perusahaan.Peningkatan efficiency including the protection of health and safety, is part of the national development goals. Hence the formulation and establishment of policies relating to it should be done properly, so that the purpose for which is to protect workers and improve their welfare. This research uses descriptive qualitative method. Research informants as many as 10 people. Oenentuan informant research using Teknique snow ball. Secondary data collection using literature, studies and documents using descriptive observation method triangulated approach. Results showed findings reinforce the concept presented Edward III about the factors that influence policy implementation. It needs to be added from the concept is the importance of attention to external factors implementers, namely the political, social and economic environment. The third external factor besides directly influence the effectiveness of safety and health protection.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
92
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Pendahuluan Sejak Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja ditetapkan dan disahkan pada tanggal 12 Januari 1970, hingga saat ini implementasi kebijakan publik di bidang keselamatan dan kesehatan kerja dirasakan masih belum optimal. Hal ini dapat terlihat dari beberapa indikator berikut : a) Masih tingginya angka risiko kerja, seperti jumlah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, maupun kerusakan lingkungan kerja. Hal ini merupakan akibat dari kesalahan dalam sistem dan prosedur kerja, serta ketidakpatuhan dalam menerapkan standar keselamatan dan kesehatan kerja. b) Masih banyak kelompok sasaran (perusahaan dan tenaga kerja) yang belum mematuhi norma dan standar keselamatan dan kesehatan kerja, sebagaimana ditunjukkan oleh data pelanggaran hasil pemeriksaan pengawasan ketenagakerjaan. c) Masih terjadi kekeliruan pemahaman pengusaha dan tenaga kerja mengenai makna dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja bagi efektifitas dan efisiensi perusahaan, serta lebih jauh bagi peningkatan kesejahteraan tenagakerja dan masyarakat. Kerugian yang ditanggung akibat kecelakaan tersebut tidak hanya berupa kerugian langsung dalam bentuk kompensasi yang dibayarkan, tetapi juga berupa kerugian tidak langsung, misalnya kehilangan hari atau waktu kerja yang produktif. Karena setiap risiko kerja yang terjadi baik itu kematian, cacat total, kehilangan tangan, kehilangan mata dan sebagainya biasanya disetarakan dengan kehilangan waktu kerja (Simanjuntak, 2004:131)] Salah satu faktor yang menyebabkan angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja menjadi tinggi adalah rendahnya tingkat pemahaman pimpinan perusahaan maupun tenaga kerja, mengenai tujuan dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja, serta ketidakpatuhan perusahaan untuk melaksanakan norma dan standar yang berlaku. Jumlah pelanggaran yang menggambarkan tingkat kepatuhan kelompok sasaran terhadap kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk : 1) Penyediaan alat pengaman kerja; 2) Penyediaan alat pelindung diri; J U R N AL K Y B E R N O L O G I
93
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 3) Mematuhi standar-standar keselamatan kerja yang telah ditetapkan; 4) Membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3); 5) Memberikan pembinaan pada pekerja mengenai langkah– langkah keselamatan kerja; 6) Melaksanakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3); 7) Melaporkan dalam hal terjadi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kondisi di atas mengindikasikan terjadinya kesenjangan antara sasaran dan tujuan yang diharapkan, dengan realitas senyatanya yang telah dicapai. Gejala ini oleh Andrew Dunsire dalam Wahab (1997:61) dinamakan dengan implementation gap, yaitu perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan, dengan apa yang senyatanya dicapai oleh pelaksana kebijakan. Kesenjangan tersebut menunjukkan ketidakefektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Di kota Bekasi adanya berbagai permasalahan krusial yang patut diduga merupakan faktor penyebab tidak efektifnya
implementasi kebijakan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja tersebut. Beberapa fenomena tersebut adalah : 1)
Kapasitas sumber daya yang dimiliki pemerintah kota Bekasi untuk melaksanakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak memadai, seperti : a) jumlah dan kompetensi tenaga pengawas ketenagakerjaan, b) data mengenai keadaan ketenagakerjaan serta sumber-sumber risiko yang digunakan, c) penempatan tenaga pengawas yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya, d) terbatasnya sumber keuangan untuk membiayai kegiatan, serta terbatasnya fasilitas pemeriksaan dan pengujian untuk mendeteksi risiko kerja.
2)
Struktur birokrasi yang menempatkan fungsi pengawasan ketenagakerjaan untuk mendukung keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak memadai.
3)
Aksesibilitas
maupun
rentang
kendali
antar
tingkatan
pemerintahan
berkurang, yang menyebabkan terhambatnya arus informasi kebijakan. 4)
Sikap para pelaksana yang kurang mendukung, bahkan seringkali kontra produktif terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
94
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Keempat faktor di atas merupakan kelemahan yang ditemukan pada kapasitas organisasi penyelenggara ketenagakerjaan di kota Bekasi. Badan pelaksana merupakan bagian dari sistem kebijakan (Dunn, 1981:46 serta Dye 1987:6), yaitu bagian dari komponen kelembagaan, proses dan perilaku (institution, process and behaviour). Hal yang sama dikemukakan oleh
Goggin et all (1990:38) bahwa :
“Organizational capacity refers to an institution’s ability to take purposeful action; it is a function of the structural, personnel and resource characteristics of state agencies”, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor kapasitas badan pelaksana menjadi penentu terhadap kemampuan bertindak (the state capacity act) dalam keefektifan implementasi kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Edwards III mengenai empat faktor kritis (four critical factors) yang mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan publik. Keempat faktor tersebut menurut Edwards III adalah : faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Masalah di atas relevan untuk dilakukan penelitian dengan pertimbangan: 1.
Implementasi kebijakan yang merupakan salah satu dari dimensi kebijakan publik, seringkali menjadi titik lemah dalam penyelenggaraan administrasi negara, khususnya dalam fungsi pelayanan publik serta menyelesaikan urusan-urusan publik. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan implementasinya.
2.
Perlu diteliti sejauhmana kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat nasional diimplementasikan di kota Bekasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Karena setiap daerah memiliki kondisi dan karakter yang spesifik, seperti : kemampuan untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah, keputusan politik untuk menetapkan prioritas pembangunan, kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya daerah yang sangat mempengaruhi pilihan prioritas pembangunan. Berdasarkan hal tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah
implementasi pelaksanaan kebijakan tentang keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
95
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai berbagai permasalahan, hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi Jawa Barat. Dari aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi dinas terkait maupun pemerintah kota Bekasi, untuk menyempurnakan proses formulasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, maupun dalam merancang strategi implementasi kebijakan di daerah, sehingga dapat menjadi model implementasi kebijakan yang berlaku umum.
Kajian Pustaka 1. Konsep Efektivitas Kebijakan Publik Keefektifan (effectiveness) berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari suatu perbuatan. Ensiklopedia umum (1977:296) menyebutkan bahwa yang dimaksud keefektifan adalah menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Sangat sulit untuk menetapkan definisi keefektifan secara tunggal, karena konsep keefektifan dapat ditinjau dari berbagai perspektif yang berbeda. Setiap jenis atau tahapan proses kegiatan dalam suatu organisasi dapat memberikan pandangan yang berbeda-beda mengenai keefektifan. Hal tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini : Pertama, keefektifan organisasi diartikan sebagai pencapaian sasaran-sasaran dari usaha kooperatif. Seperti dikemukakan oleh Barnard (1938:55) : “ What we mean by effectiveness … is the accomplishment of recognized objectives of cooperative effort. The degree of accomplishment indicated the degree of effectiveness”. Kedua, keefektifan organisasi diukur dari sejauhmana ia mencapai tujuan dengan nilainilai organisasi yang ada (Etzioni, 1964:18). Ketiga, diukur dari sejauhmana mencapai tujuan organisasi dari tingkat kelayakannya. (Steers, 1985: 5). J U R N AL K Y B E R N O L O G I
96
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Keempat, keefektifan berdasarkan tiga pendekatan yang berbeda yaitu pendekatan tujuan, pendekatan teori sistem dan pendekatan multiple constituency. (Gibson, 1996: 38-48). Kelima, keefektifan organisasi ditinjau dari kemampuan organisasi untuk mengeksploitasi lingkungannya, yaitu untuk mengambil sumber daya yang langka dan bernilai untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Seashare dan Yuchtman dalam Katz dan Kahn (1966:226) : “as the ability of an organization to exploit its environment in the acquisition of scarce of valued resources to sustain its functioning”. Keenam, keefektifan organisasi dipandang sebagai karakteristik struktural dari masingmasing organisasi untuk mencapai keseimbangan tugas dan lingkungannya. Seperti dikemukakan oleh Lawrence dan Lorsch dalam Wexley dan Yulk (1984:289) : “the less effective firms in each case had structural characteristic that were in appropriate in many ways for their respective tasks and environment”. Ketujuh, ukuran keefektifan bagi suatu organisasi pemerintah dapat dilihat dari sejauhmana organisasi pemerintah dapat mencapai tujuan publik yang diinginkan, memenuhi keinginan-keinginan masyarakat dan pelayanan prima. Seperti dikemukakan oleh Epstein (1988:11) : Effectiveness measurement is a method for examining how well a government is meeting the public purposes it is intended to fulfill. Put another way, effectiveness refers to the degree to which services are responsive to the needs and desires of the community. Dengan luasnya makna keefektifan seperti diatas, maka diperlukan ukuran-ukuran yang lebih operasional. Sehingga Epstein (1988:13) mengusulkan 4 (empat) macam ukuran keefektifan sebagai berikut : 1. Measures of community conditions are important measure of effectiveness as they are the most explicit measure of community needs. These are generally the effectiveness measures that are least. Controllable by local services, so it is important to supplement then with other, more controllable measures of effectiveness. 2. Measures of service accomplishment can be more directly lied to a specific service program than can general community conditions. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
97
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 3. Measures of citizen or client satisfaction and perceptions cover satisfaction with public service and perception of community conditions on the part of citizens in general, or specific clients or target group of particular programs. 4. Measures of the unintended adverse impact of a services create needs or problem that might not otherwise exist, or unintentionally aggravate existing problems.
Kita tidak bisa mengukur keefektifan dari perspektif tujuan saja karena banyak mengandung beberapa kelemahan. Karena disamping adanya berbagai tujuan dalam organisasi, juga sulitnya mengukur tujuan / sasaran yang tidak jelas kelihatan (intangible) seperti halnya sering terjadi pada organisasi pemerintahan, maupun adanya perbedaan antara tujuan organisasi dengan tujuan anggota organisasi. Oleh karena itu, selain dari perspektif tujuan, maka keefektifan juga dapat dilihat dengan menggunakan model dari perspektif sistem. Hal ini dikemukakan oleh Georgopolous dan Tannenbaum dalam Etzioni (1969: 81) sebagai berikut : For theoritical resources, however it is preferable to look at the concept of organizational effectiveness from the point of view of the system itself of the total organization in question rather than from stand point as some its parts to the larger socciety. Pendekatan teori sistem menekankan pada elemen dasar organisasi, yaitu inputproses-output, serta pengaruh-pengaruh lingkungan yang diadaptasi. Terdapat perbedaan yang cukup mendasar untuk mengukur tingkat keefektifan organisasi pemerintah dengan organisasi usaha. Ukuran keefektifan dalam organisasi publik tidak hanya berdasarkan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, tetapi melibatkan berbagai kriteria lain yang sangat spesifik. Salah satu ukuran keefektifan bisa dilihat dari karakteristik paradigma administrasi negara baru seperti yang diintrodusir oleh Frederickson dalam Bellone (1980: 46-49), dimana nilai-nilai yang akan dimaksimumkan dalam administrasi negara baru adalah : 1.
Daya tanggap (responsiveness) dari pemerintah lebih meningkat terhadap masalah dan keinginan masyarakat. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
98
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 2.
Lebih meningkatnya peluang bagi para pegawai dan warga negara untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan (worker and citizen participation in decision making).
3.
Lebih diperhatikannya azas keadilan sosial (social equity) baik dalam penghasilan maupun distribusi hasil pembangunan dan kesamaan pelayanan.
4.
Memperluas peluang bagi warga negara dalam memilih pelayanan yang diharapkannya (citizen choice), sehingga mengurangi monopoli pelayanan oleh pemerintah.
5.
Meningkatnya
tanggungjawab
administrasi
terhadap
keefektifan
program
(administrative responsibility for program effectiveness) Sedangkan mengenai kriteria keefektifan dalam implementasi kebijakan publik Mazmanian dan Sabatier mengemukakan empat kriteria yaitu : (1) kesediaan kelompok sasaran untuk mematuhi output kebijakan, (2) dampak berupa persepsi dari kelompok sasaran, (3) dampak nyata output kebijakan, dan (4) upaya revisi terhadap kebijakan. Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perilaku patuh pada umumnya berhubungan dengan penilaian individu mengenai untung ruginya jika mematuhi peraturan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rodgers dan Bullock (1980), sebagaimana dikutip oleh Edwards III mengungkapkan hal yang sama, bahwa tingkat kepatuhan seseorang terhadap peraturan perundang-undangan merupakan fungsi dari : (1) Kemungkinan bahwa pelanggaran akan mudah dideteksi dan diseret ke pengadilan (2) Tersedianya sanksi-sanksi yang menghukum pelanggaran (3) Sikap kelompok sasaran terhadap keabsahan dari kebijakan (4) biaya bagi kepatuhan yang harus dikeluarkan. Dampak nyata output kebijakan dapat diukur dari berbagai indikator misalnya: (1) perubahan perilaku yang diharapkan, (2) tercapainya suatu keadaan tertentu. Persepsi seseorang mengenai dampak kebijakan merupakan fungsi dari dampak nyata yang diwarnai dengan nilai-nilai orang yang mempersepsinya. Roger Brown (1965) mengemukakan teori disonansi kognitif, yaitu bilamana seseorang tidak sepakat terhadap J U R N AL K Y B E R N O L O G I
99
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 dampak suatu kebijakan, maka ia akan memandang : (1) dampak tersebut tidak sejalan dengan tujuan kebijakan; (2) kebijakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak sah;, dan (3) mempertanyakan keabsahan data (validitas dari dampak tersebut). Terjadinya perbaikan terhadap kebijakan yang dilaksanakan harus dipandang sebagai titik kulminasi dari proses implementasi (Abdul Wahab,1997:108). Karena upaya perubahan pada dasarnya merupakan fungsi dari persepsi terhadap kegiatan badan pelaksana dimasa lalu, terjadinya perubahan-perubahan dikalangan masyarakat (termasuk kondisi sosial, ekonomi dan politik), serta perubahan posisi strategis lembaga-lembaga atasan dari badan pelaksana.
2. Konsep dan Kebijakan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat dunia industri berlomba-lomba
melakukan
efisiensi
dan
meningkatkan
produktivitas
dengan
menggunakan alat-alat produksi yang semakin kompleks. Makin canggih peralatan yang digunakan, makin besar pula potensi bahaya yang mungkin terjadi. Akibatnya akan makin besar pula peluang terjadinya kecelakaan kerja yang dapat ditimbulkan, apabila seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi tersebut tidak dilakukan penanganan dan pengendalian sebaik mungkin. Dalam perkembangan pasar bebas dunia, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah menjadi isu global dan mempunyai kedudukan strategis, karena selain menyangkut aspek perlindungan tenaga kerja, lingkungan kerja, cara kerja, proses produksi, sangat erat pula kaitannya dengan pelaksanaan lingkungan hidup. Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga merupakan salah satu pilar tegaknya hak azasi manusia (HAM). Hal tersebut dikemukakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Tahun 2000, yang menyatakan : Oleh karena itu diadakannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk menciptakan tempat kerja yang aman dan sehat, yang dapat menjadi salah satu penentu kekuatan daya saing perusahaan, karena kualitas pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
100
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Kerja dalam jangka panjang berpengaruh terhadap kualitas manajemen dan kualitas sumber daya manusia, serta efisiensi dan produktivitas perusahaan. Upaya mendorong peningkatan penerapan standar keselamatan dan kesehatan kerja, selain merupakan tugas fungsi instansi ketenagakerjaan, juga merupakan tugas dan fungsi berbagai instansi, antara lain di bidang industri dan perdagangan, di bidang kesehatan, kalangan pengusaha. Seperti dikemukakan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI pada seminar Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dan Penerapan Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah (Februari 2002), kebijakan pemerintah mengenai keselamatan kerja di bidang industri dan perdagangan adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan di bidang iklim usaha, diantaranya menciptakan aturan yang mendorong dunia usaha untuk memperlakukan tenaga kerja sesuai dengan norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Kebijakan di bidang lingkungan yaitu ketentuan melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Unit Pengelolaan Lingkungan (UKL), Unit Pemantauan Lingkungan(UPL) sesuai dengan masing-masing jenis industri serta pengawasan operasionalnya secara berkelanjutan. 3. Peningkatan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan tenaga kerja dan sekaligus sebagai upaya memperkecil tingkat kecelakaan yang diakibatkan pekerja (human error). 4. Penerapan standar kompetensi jabatan, khususnya bagi jabatan yang dalam pekerjaannya sangat rawan kecelakaan kerja. 5. Penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja bagi industri dan perdagangan, utamanya yang rentan terhadap kecelakaan. Keselamatan kerja bukan hanya memberi keuntungan kepada pengusaha dan pekerja, tetapi juga bagi kepentingan konsumen. Hal tersebut seperti diatur di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Pasal 3 huruf (f)
menyatakan: “ Tugas pokok perlindungan konsumen adalah meningkatkan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
101
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 kualitas barang dan/ atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen ”. Pada kesempatan yang lain Raul Erickson dalam seminar Occupational, Environment, Health and Safety for Sustainable Development yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1999 menyatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja sangat besar peranannya dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama dapat mencegah korban manusia dan segala kerugian akibat kecelakaan, dan secara positif untuk mewujudkan kualitas hidup masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan. Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Asean Occupational Safety and Health Network (ASEAN OSHNET) tahun 2002 menunjukkan bahwa dari jumlah kecelakaan kerja yang terjadi, secara umum dapat dikualifikasi bahwa kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia (unsafe act) mencapai sebesar 78% dan disebabkan kondisi berbahaya dari peralatan (unsafe condition) sebesar 20% serta faktor lainnya sebesar 2%. Hal itu membuktikan bahwa perilaku manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Berkaitan dengan faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja Payaman Simanjuntak (2003:165) mengidentifikasi penyebab-penyebab sebagai berikut: a. pekerja yang bersangkutan tidak terampil atau tidak mengetahui cara mengoperasikan alat-alat tersebut; b. pekerja tidak hati-hati, lalai, dalam kondisi terlalu lelah atau dalam keadaan sakit; c. tidak tersedia alat-alat pengaman; dan/atau d. alat kerja atau alat produksi yang digunakan dalam keadaan tidak baik atau tidak layak pakai. Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja berkaitan dengan Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat (tenaga kerja). Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tingkat nasional, tingkat perusahaan dan tempat kerja. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
102
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Berikut ini dapat ditampilkan bagan upaya keselamatan dan kesehatan kerja di tingkat nasional, perusahaan dan tempat kerja (Kode Praktis ILO, 2002;9-33). Tingkat Nasional Kebijakan K3 Utk Industri
Kerangka Hkm & Perundangundangan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Pengawasan Ketenagakerjaan
Sistem Pelatihan
Pedoman
Tingkat Perusahaan Sistem Manajemen K3
Kebijakan K3
Perlengkapan Yg Aman
Tenaga Kerja Yg Kompeten
Jasa K3
Alat Pelindung Diri
Tempat Berteduh Perumahan & Gizi Kerja
Tingkat Tempat Kerja Perencanaan Lokasi
Seleksi Metode Kerja
Perlengkapan Aman
Organisasi Kerja
Operasi Aman
Catatan : K3 = Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sumber : Draft kode Praktek Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Kehutanan (Genewa, ILO, 1997 hal 5)
Gambar : 2.1
Bagi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tingkat nasional yang harus Upaya-upaya keselamatan dan kesehatan kerja pada
diperhitungkan adalah penyusunan dan penetapan kebijakan dan undang-undang tingkat nasional, perusahaan dan tempat kerja keselamatan dan kesehatan kerja, serta kebijakan implementasinya di lapangan. Kebijakan ini hditinjau atau dievaluasi mengenai sejauhmana keefektifannya dalam mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja di lapangan. Mengenai keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja Payaman (2003:165-181) menyampaikan bahwa keberhasilan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dapat diukur dari :
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
103
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 1.
Jumlah dan frekuensi kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
2.
Tingkat keparahan akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
3.
Tingkat kerugian yang terjadi baik ekonomis maupun non ekonomis;
4.
Jumlah tunjangan dan ganti rugi yang dibayarkan;
5.
Dampak akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
6.
Kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan norma dan standar keselamatan dan kesehatan kerja;
7.
Kepatuhan tenaga kerja untuk mengikuti prosedur dan mekanisme keselamatan dan kesehatan kerja;
8.
Tingkat pemahaman perusahaan dan tenaga kerja tentang tujuan dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja;
9.
Jumlah kebijakan/peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Di lingkungan dunia internasional perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
juga telah mendapat perhatian yang cukup besar. Hal itu dapat dilihat dari kesungguhan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (International Labour organization- ILO) telah mengeluarkan beberapa konvensi mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu: 1. Konvensi No. 120 Tahun 1964, tentang Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor; 2. Konvensi No.155 Tahun 1981, tentang Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan Kerja; 3. Konvensi No. 174 Tahun 1993, tentang Pencegahan Bencana Kecelakaan Kerja.
Selain itu ILO telah mengeluarkan buku petunjuk Pencegahan Kecelakaan Kerja Industri atau Code Of Practice on the Prevention of Major Industrial Accident, yang menjadi petunjuk praktis dalam penanganan keselamatan dan kesehatan kerja pada perusahaan-perusahaan di setiap Negara. Di Indonesia sendiri perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja telah dimulai sejak jaman Hindia Belanda, melalui Staats Blad Nomor 20 Tahun 1852, diperbaharui dengan Veilegheids reglement staats blad Nomor 25 Tahun 1905, dan terakhir dengan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
104
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Makna dari UndangUndang tersebut adalah untuk memberi perlindungan bagi tenaga kerja serta orang-orang yang berada di tempat kerja, agar terhindar dari resiko-resiko kecelakaan, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, maupun gangguan dari kondisi dan lingkungan. Sebagaimana dimaklumi, akibat dari risiko tersebut tidak saja merugikan pekerja beserta keluarganya tetapi juga menimbulkan kerugian bagi perusahaan dalam bentuk penambahan biaya produksi, kehilangan waktu dan tenaga. Akibatnya harus ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk peningkatan harga jual hasil produksi. Sehubungan dengan itu, dalam rangka untuk lebih menajamkan perlindungan ketenagakerjaan, International Labour Conference ke-87 tahun 1999 dan ke-88 tahun 2000, para utusan tripartit dari seluruh anggota telah menyepakati konsep kerja layak (decent work) dan menerapkannya. Seperti dikutip dari hasil sidang tersebut mengenai kerja layak sebagai berikut: In defining Decent Work (DW), the Director General identified four major components, each reflecting four main resposiblities the ILO has to human beings in the world of work . The first was to promote their fundamental right of work; the second was to increase availability and quality of productive work; the third was to addres people’s vulnerabilities and contingencies at work or whether they arise from unemployment, loss of livelihood, sickness or old age; the fourth was to ensure social dialoque based on freedom of association and equal participation. Di Indonesia sendiri, kebijakan perlindungan tenaga kerja telah ada sejak lama, bahkan sejak jaman Hindia Belanda. Seperti Staat Blaad No.25 tahun 1921 tentang perlindungan tenaga kerja anak dan wanita, Wervings Ordantie tahun 1936 tentang penempatan tenaga kerja, Undang-Undang Uap tahun 1930, dan lain-lain. Di jaman kemerdekaan makin banyak kebijakan perlindungan tenaga kerja yang telah ditetapkan, seperti Undang-undang Kerja Nomor 1 Tahun 1951 jo. Undang-Undang nomor 12 tahun 1948, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, termasuk Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang J U R N AL K Y B E R N O L O G I
105
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Konsep perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970, bukan hanya untuk mencegah terjadinya resiko-resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, tetapi lebih jauh untuk meningkatkan produktivitas kerja dan hasil usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan pertumbuhan dunia usaha, serta lebih jauh lagi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep dan kebijakan perlindungan tenaga kerja perlu diimplementasikan, agar tujuan kebijakan dapat tercapai sesuai yang diharapkan, termasuk perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk itu telah dibentuk lembaga Pengawas Ketenagakerjaan yang bertugas mengawasi semua kebijakan perlindungan agar ditaati oleh semua pihak. Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan (Labour Inspection in Industry and Commerce), mendorong setiap negara anggota ILO membentuk lembaga yang secara khusus mengawasi pelaksanaan Undang-undang mengenai perlindungan tenaga kerja dengan menyediakan tenaga dan sarana yang memadai. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003. Di samping itu, Indonesia telah memiliki Undangundang yang mengatur tentang pengawasan ketenagakerjaan yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu (Integrated Labour Inspection). Mengenai fungsi dari Pengawas Ketenagakerjaan, Heron dkk, mengatakan: Labour Inspectors: (1) enforce the labour law and related regulations, (2) advise employers and workers on how to comply with the law, (3) report to superiors on problems and depects not convered by the law.In some countries inspectors perform other functions, including: (1) promoting harmonious relations between J U R N AL K Y B E R N O L O G I
106
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 employers and workers, (2) investigating, conciliating, and mediating disputes between employers and workers. Pernyataan di atas menunjukan bahwa pengawasan ketenagakerjaan memiliki fungsi penegakan hukum, fungsi edukasi, serta fungsi mediasi dalam hal terjadinya konflik antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karena itu prinsip kerja pengawasan ketenagakerjaan adalah bersifat preventif, edukatif, promotif, rehabilitatif serta refresif. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Informan penelitian sebanyak 10 orang. Penetuan informan penelitian menggunakan snow ball technique. Pengumpulan data sekunder menggunakan studi kepustakaan, studi dokumen dan observasi. Pengolahan data menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan triangulasi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi dinilai masih belum efektif sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa indikator, yaitu : angka kecelakaan kerja dan penyakit kerja masih tinggi,
angka gangguan pada
lingkungan kerja masih tinggi, kondisi dan lingkungan kerja yang belum mapan, angka penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma dan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja masih tinggi, serta pemahaman masyarakat khususnya masyarakat pekerja dan pengusaha mengenai tujuan, manfaat serta substansi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja masih belum mapan. Indikator yang lebih operasional dapat dilihat dari: rendahnya upaya untuk melakukan pencatatan dan upaya-upaya perbaikan terhadap kasus-kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja; rendahnya tingkat pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja melalui Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( SMK3); rendahnya pembentukan dan efektifitas fungsi sarana perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, seperti Ahli Keselamatan dan Kesehatan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
107
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Kerja (AK3), Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( P2K3), dokter pemeriksa kesehatan, Tim Penanggulangan Kebakaran, serta
rendah dan atau tidak
efektifnya penggunaan alat pengaman kerja (safety device) serta alat pelindung diri (safety protection) bagi tenaga kerja. Belum efektifnya pelaksanaan kebijakan tersebut disebabkan rendahnya kapasitas organisasi yang dimiliki oleh dinas tenaga kerja yang menangani perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi, mencakup : Pertama, kapasitas komunikasi, yang menggambarkan hubungan antara pemerintah pusat sebagai perumus kebijakan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota, serta komunikasi antara para pengawas ketenagakerjaan sebagai pelaksana dengan pimpinan perusahaan dan tenaga kerja sebagai kelompok sasaran. Kedua, kapasitas sumber daya yang terdiri dari jumlah dan kualitas pengawas ketenagakerjaan, kapasitas informasi, kapasitas kewenangan, kapasitas anggaran, serta fasilitas kerja dan fasilitas sarana untuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian. Ketiga,
kapasitas sikap dan perilaku pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Keempat, kapasitas struktur organisasi (kelembagaan) dari unit kerja yang melaksanakan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Kapasitas komunikasi merupakan hal yang penting dalam keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi hambatan komunikasi, terjadi karena : Pertama, tidak konsistennya penyampaian pesan kebijakan, yang disebabkan lemahnya pemahaman pengawas ketenagakerjaan tentang substansi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta pesan yang disampaikan bersifat kontradiktif. Kedua, tidak jelasnya pesan yang disampaikan, sehingga membingungkan pimpinan perusahaan dan tenaga kerja. Ketiga, proses penyampaian pesan kebijakan tidak mengikuti kaidah-kaidah komunikasi. Sehingga terjadi kelemahan pada setiap domain komunikasi, yaitu pada domain komunikator, domain saluran komunikasi, domain proses komunikasi, domain media komunikasi, maupun domain komunikan. Dari tiga dimensi komunikasi kebijakan, maka dimensi konsistensi dalam proses penyampaian pesan maupun konsistensi dari isi J U R N AL K Y B E R N O L O G I
108
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 pesan yang disampaikan, memiliki pengaruh tertinggi. Hal ini terjadi karena inkonsistensi dalam komunikasi kebijakan mengakibatkan timbulnya kebimbangan dari pimpinan perusahaan, menimbulkan apatisme, bahkan mendorong timbulnya penolakan kebijakan. Kapasitas sumber daya merupakan faktor kedua yang berpengaruh terhadap keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini dinas yang menangani ketenagakerjaan di kota Bekasi memiliki kelemahan dalam penyediaan sumber daya, berupa kurangnya jumlah dan kualitas pengawas ketenagakerjaan, kelemahan informasi tentang cara pelaksanaan kebijakan dan data tentang kelompok sasaran, adanya
hambatan dalam penggunaan
kewenangan pengawas ketenagakerjaan, keterbatasan anggaran yang diperlukan, serta terbatasnya fasilitas kerja dan sarana untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja. Kelemahan tersebut
selain disebabkan karena
keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kabupaten dan kota, juga karena lemahnya dukungan politik dari pimpinan kabupaten dan kota serta lembaga legislatif, sehingga tidak menempatkan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai prioritas sasaran pembangunan. Sikap dan perilaku pengawas ketenagakerjaan merupakan kapasitas organisasi yang memiliki kaitan terhadap keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa keefektifan pelaksanaan kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh lancarnya komunikasi, tingkat pemahaman pelaksana tentang substansi kebijakan, serta jumlah sumber daya yang tersedia, tetapi juga oleh faktor-faktor psikologis dari pengawas ketenagakerjaan yang berkaitan dengan nilai kepentingan, latar belakang status sosial, ekonomis, pendidikan maupun nilai budaya. Faktor-faktor psikologis
tersebut mempengaruhi sikap pandang, tingkat pemahaman,
tingkat partisipasi, kerjasama, kemampuan bertindak dan mengambil keputusan. Oleh karena itu dimensi efek dari sikap pengawas ketenagakerjaan memiliki pengaruh yang lebih besar, karena secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi proses pelayanan dalam
pelaksanaan
kebijakan
perlindungan
keselamatan
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
dan
kesehatan
kerja,
109
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 mempengaruhi pemahaman pimpinan perusahaan dan tenagakerja, serta mempengaruhi tingkat kinerja setiap petugas. Struktur birokrasi dari organisasi pengawasan ketenagakerjaan mempunyai tingkat pengaruh paling kecil terhadap keefektifan pelaksanaan
kebijakan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja pada kabupaten dan kota di Jawa Barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun dengan sangat sederhana, aspek-aspek pengorganisasian dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi seperti pembagian tugas, spesialisasi, rentang kendali, kesatuan komando, maupun formalisasi melalui pembuatan prosedur operasi baku (standard operating procedures) masih dapat dilaksanakan. Dimensi yang paling besar pengaruhnya terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja adalah dimensi pembagian tugas. Hal tersebut terjadi karena terbatasnya jumlah dan keahlian pengawas ketenagakerjaan yang tersedia, sehingga satu orang pengawas ketenagakerjaan harus menangani lebih dari satu jenis tugas dan tanggung jawab. Untuk mendukung pelaksanaan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, sebenarnya
telah tersedia bermacam-
macam prosedur operasi, yang ditetapkan dan berlaku secara nasional, seperti prosedur pemeriksaan, pengujian, pemberian ijin dan pengesahan, maupun prosedur dalam tindakan penegakan hukum. Faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana serta struktur birokrasi pada organisasi pelaksana perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi, secara simultan tingkat keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, meskipun dengan tingkat pengaruh yang berbeda-beda. Hal tersebut menunjukkan bahwa keempat faktor tersebut mutlak harus tersedia sebagai kapasitas dari dinas yang menangani ketenagakerjaan di kabupaten dan kota. Apabila salah satu faktor tidak tersedia, akan mempengaruhi tingkat keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Ketersediaan faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana serta struktur birokrasi pada dinas yang menangani ketenagakerjaan pada kabupaten dan kota, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan organisasi, yaitu lingkungan politik yang J U R N AL K Y B E R N O L O G I
110
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 menunjukkan tingkat dukungan politik dari pimpinan kota Bekasi serta lembaga legislatif terhadap kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; lingkungan ekonomi, berupa kemampuan pemerintah kabupaten dan kota serta perusahaan untuk membiayai kegiatan; serta lingkungan sosial, yang menunjukkan tingkat apresiasi masyarakat termasuk media massa, mengenai pentingnya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Model implementasi kebijakan publik dari Edwards III, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat dipandang sesuai (feasible) untuk digunakan dalam mengkaji implementasi kebijakan publik di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, meskipun telah terjadi reposisi tingkat pengaruh dari variabel-variabel indikator terhadap variabel-variabel eksogennya. Hal tersebut menunjukan, bahwa posisi variabel-variabel indikator bersifat elastis, karena tergantung pada substansi kebijakan yang diteliti serta faktor lingkungan penelitian. Oleh karena itu hasil penelitian
menunjukkan temuan yang memperkuat
konsep yang dikemukakan Edward III, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Simpulan Implementasi kebijakan tentang keselamatan dan kesehatan kerja belum efektif dilaksanakan karena tingkat kecelakaan kerja sangat tinggi. Hal ini karena rendahnya kapasitas organisasi dinas tenaga kerja yang menangani perlindungan dan keselamatan kerja. Faktor komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi dan disposisi merupakan faktor yang paling penting dalam implementasi kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja di kota Bekasi. Berdasarkan hal tersebut dapat disampaikan saran sebagai berikut : Saran Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan perlindungan
keselamatan
dan
kesehatan
kerja,
perlu
ditambahkan
pentingnya
memperhatikan faktor-faktor eksternal pelaksana, yaitu lingkungan politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan sosial. Hal tersebut sangat penting dilakukan, mengingat badan pelaksana kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di Bekasi adalah 111 J U R N AL K Y B E R N O L O G I
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 organisasi publik, yang keberadaan maupun dalam penyediaan kapasitas-kapasitas yang diperlukan sangat dipengaruhi oleh dukungan politik, kemampuan ekonomi daerah, kemampuan
keuangan
perusahaan,
serta
dukungan
masyarakat
agar
kebijakan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dijadikan prioritas pembangunan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat pengaruh dari ketiga lingkungan tersebut bagi keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta bagi tersedianya kapasitas organisasi. Dalam melaksanakan sosialisasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kabupaten dan kota, perlu ditingkatkan kemampuan dan keterampilan para pengawas ketenagakerjaan dalam melakukan komunikasi, seperti kemampuan dalam merencanakan komunikasi, merancang dan mengemas kebijakan dalam bentuk pesan yang menarik dan mudah difahami, melakukan komunikasi interpersonal, memilih saluran komunikasi dan media yang tepat sesuai kelompok sasaran,
memahami kemungkinan-kemungkinan
hambatan komunikasi (noise), serta kemampuan untuk merangsang para penerima pesan agar bersedia menyampaikan umpan balik.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solihin, 1991, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta : Bumi Aksara. Anderson, James E, 1979, Public Policy Making, New York : Holt Rinehart and Winston. Anderson, Allan H. and Anna Kyrianov, 1994, Effective Organization Behaviour: A Skill and Activity-Based Approach, London:Blackwell Puslishers. Denhardt, Robert and Edwards T. Jenning S (ed), 1987, The Revitalization of The Public Services, Columbia: University Of Missouri. Dunn, William N. 1981. Public Policy Analysis: an Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc. Englewood Clift. Edwards III, George C. 1980, Implementing Public Policy, Washington DC: Congessional Quartenly Press. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
112
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Etzioni, Amitai, 1992, Organisasi-Organisasi Modern, terjemahan Suryatim, Jakarta: UI Press. Fitzenz, Jac, 1987, How to Measure Human Resources Management, New York: McGrawHill. Frederickson, George, H. 1980, The Lineage of New Public Administration, Alabama, USA : the University of Alabama Press. Gannon, Martin, Martin J., 1979, Organizational Behavior: A Managerial and Organizational Perspective, Boston Toronto: Little Brown and company. Gibson, James. L. et all, 1995. Organizations, eighth edition, Chicago: Richard D. Irwin, Inc. Goggin, Malcom et all. 1980, Implementation Theory and Practice to Word a Third Generation, Illionis: Scott, Foresman and Company Glenview. Katz, Daniel & Roberth L. Kahn, 1978, The Social Psychology of Organization, New York : John Wiley & Son. Soedjatmoko, 1983, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES. Steers, Richard M., 1985, Efektifitas Organisasi (Organizational Effectiveness) a Behaviour View, Penterjemah : Magdalena Jamin, Jakarta: Erlangga. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan Undang-Undang No. 21 Tahun 2004 tentang Retifikasi Konvensi Ilo No. 81 Tahun 1947 tentang Jabatan Inspector. Wibawa, Samodra, 1994, Kebijakan Publik : Proses dan Analisis, Jakarta: Intermedia. Wibawa, Samodra, Yuyun Purbokusumo dan Agus Pramusindo, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: Raja Grafindo. Wieland, George F. and Roberth A. Ullrich, 1976, Organization: Behavior, Design and Change, Illions USA: Richard D. Irwin Homewood. Wijaya, H.A.W., 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, Jakarta: Rajawali. Winardi, J., 1987, Pengantar Tentang Sistem Informasi Manajemen, Bandung: Nova.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
113
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 GLOBALISASI MEDIA DAN TANTANGAN DIPLOMASI INDONESIA Oleh: Puji Rianto Abstract Globalization of media has deeply effects on diplomatic efforts of a nation-state. The existence of media which operates accross the border of nation-states has positive and negative impact. On the one side, the media has an opportunity of giving information. On the other side, however, commercialization has a bad effect that frequently emerges on the surface. For Indonesia that has more bad images, there are three important things should be done by public officials and diplomats, and those are a better understanding of global media structure, a solution of domestic problems leading to a bad Indonesian image, and to formulate a strategy of global media relations. Keywords: Globalization of media - diplomacy
PENDAHULUAN Saat ini, kita hidup dalam era globalisasi, yang pengertian sederhananya adalah kita hidup dalam satu dunia (Giddens, 2001, 2). Dalam suatu dunia global (a world without borders), batas-batas negara bangsa tidak lagi signifikan. Teknologi komunikasi dan jaringan komunikasi telah menyatukan masyarakat ke dalam satu entitas global sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada satu belahan dunia dapat disaksikan oleh masyarakat di belahan dunia lain, dan apa yang terjadi di suatu sudut dunia juga mempunyai implikasi terhadap sudut dunia yang lain. Invasi AS ke Irak, misalnya, telah mendorong semakin menguatnya terorisme global (Chomsky, 2006) serta mendorong sentimen AS yang meluas di negara-negara Islam. Dunia kini telah semakin terhubung dan tergantung satu sama lain (Keohane dan Nye, 1977). Globalisasi tengah mentransformasi banyak dimensi kehidupan manusia, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi maupun budaya (Held, et.al., 1999). Bentuk-bentuk J U R N AL K Y B E R N O L O G I
114
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 relasi sosial, interaksi, dan pengalaman-pengalaman manusia juga mengalami perubahan (Rantanen, 2005, 11). Media, dalam hal ini, menjadi bagian dalam proses transformasi tersebut. Thompson (Rantanen, 2006, 9) mengemukakan bahwa perkembangan media baru dan komunikasi tidak hanya dalam jaringan-jaringan transmisi informasi diantara individu yang masih mempunyai hubungan-hubungan sosial. Namun, lebih daripada itu, perkembangan media dan komunikasi menciptakan bentuk-bentuk tindakan dan interaksi dan jenis baru hubungan-hubungan sosial-suatu bentuk hubungan yang berbeda jika dibandingkan dengan bentuk hubungan face-to-face yang hadir dalam hampir keseluruhan sejarah manusia. “Tanpa adanya komunikasi global”, menurut Tehranian (1999, 4), “maka tidak akan muncul pasar global”. Komunikasi memberikan kontribusi bagi globalisasi dunia dalam tiga cara. Pertama, komunikasi global menyediakan “infrastructures” bagi aliran data, berita, dan citra lintas batas negara bangsa yang memungkinkan pan-kapitalisme berkembang. Kedua, komunikasi global telah mendorong peningkatan permintaan melalui “channels of desire” periklanan global. Ketiga, komunikasi global memberdayakan kelompok-kelompok marginal (the silent voices) di negara-negara periferi akan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) dan keadilan sosial yang biasanya hadir dalam bentuk pemujaan mendalam atas identitas vis-a-vis pemujaan mendalam atas komoditas di negara-negara center (Rantanen, 1999, 4). Perlu juga ditegaskan bahwa munculnya konsep „perkampungan global‟ („global village)‟, menurut McLuhan (1962), atau masyarakat jaringan, menurut Manuel Castells (2000), tidak dapat dilepaskan dari peran media yang beroperasi lintas batas negara bangsa tersebut, terutama televisi (Tehranian, 1999; Rantanen, 2005). Dalam bidang politik internasional dan domestik, kondisi ini telah menggeser titik tekan dari power politics ke arah image politics (Tehranian, 1999). Oleh karenanya, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa citra negara bangsa atau pemimpin politik dan kemampuannya untuk mengontrol aliran informasi akan menentukan statusnya dalam komunitas internasional (Rai, 2003, 3). “Dalam dunia yang berubah dengan cepat“, demikian diungkapkan oleh Nye dan Owens“, informasi tentang apa yang terjadi (di dunia) menjadi komoditas utama J U R N AL K Y B E R N O L O G I
115
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 dalam hubungan internasional (Rai, 2003, 3). Menurut Rai, perubahan-perubahan revolusioner dalam diplomasi, politik, dan komunikasi global telah menciptakan bentukbentuk baru interaksi antara media dengan diplomasi. Pada gilirannya, ini akan mendorong peran lebih besar media-televisi global dalam diplomasi seperti media diplomacy, soundbite diplomacy, photodiplomacy, real-time diplomacy, dan lain sebagainya. Bagi Indonesia, keberadaan media-media yang beroperasi lintas batas negara bangsa ini menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi para pelaku diplomasi. Kekerasan etnis dan kelompok-kelompok sektarian, aksi-aksi terorisme terutama Bali I dan II, bom Marriot, bencana alam, dan korupsi telah mendapatkan liputan luas di media-media semacam CNN, BBC, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, gambaran yang muncul tentang Indonesia adalah jelas, yakni sebagai negara sarang teroris, negara koruptor, dan beberapa citra lainnya. Kondisi semacam ini akan menjadi tantangan yang sangat berat bagi usahausaha untuk menciptakan citra yang favourable bagi Indonesia. Realitas sosial yang hadir dalam media, yang biasanya realitas yang buruk, akan menghambat apapun yang dilakukan oleh para diplomat dalam meyakinkan para pemimpin politik negara lain dan juga warga negara lain. Segala realitas yang disampaikan oleh para diplomat akan dihadapkan pada realitas media. Dalam situasi semacam ini, menjadi menarik untuk mendiskusikan tantangan diplomasi Indonesia dihadapkan pada globalisasi informasi. Selanjutnya, dengan melihat tantangan tersebut, usaha-usaha apa yang harus dilakukan agar diplomasi Indonesia efektif dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasional? Tulisan ini ditujukan untuk mendiskusikan implikasi globalisasi media bagi diplomasi suatu negara, secara spesifik Indonesia. Pada satu sisi, globalisasi media memberikan ruang yang lebih besar bagi diselenggarakannya diplomasi yang lebih baik, tetapi di sisi lain dapat menghambat bahkan merusak usaha-usaha diplomasi. Bagian pertama tulisan ini akan diawali dengan membahas terlebih dahulu struktur media global. Struktur media global ini mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam merumuskan perannya dalam politik diplomasi kontemporer. Pembahasan selanjutnya akan diteruskan dengan mengupas peran media dalam diplomasi. Perlu disadari bahwa peran penting media dalam diplomasi global tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya J U R N AL K Y B E R N O L O G I
116
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 dalam memengaruhi gambaran khalayak tentang berbagai persoalan sosial dan politik dewasa ini. Oleh karena itu, bagian berikutnya akan membahas kemampuan media dalam memengaruhi persepsi atau gambaran masyarakat dunia. Akhirnya, tulisan ini akan ditutup dengan bagaimana merumuskan strategi diplomasi Indonesia dalam situasi dimana media mempunyai peran penting dalam memengaruhi gambaran khalayak dunia tentang Indonesia. Global media relations barangkali menjadi alternatif strategi yang layak dipertimbangkan demi membangun diplomasi publik yang efektif untuk membangun citra positif.
STRUKTUR MEDIA GLOBAL Media mempunyai kemampuan untuk membangun suatu citra negara bangsa atau kelompok masyarakat. Proses pencitraan semacam itu biasanya tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi terjadi dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Dengan kata lain, media tidak pernah netral dan selamanya tidak akan pernah netral. Meskipun para akademisi dan wartawan dengan gigih menyerukan pentingnya jurnalisme yang mengabdi pada kebenaran, objektivitas, dan orientasi pada kepentingan warga negara (Kovach dan Rosenthiel, 2004), tetapi pada kenyataannya jurnalisme dan media selalu berpihak pada kelompok dan kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam Manufacturing Consent (2002), Edward S. Herman dan Noam Chomsky dengan tegas mengemukakan bahwa di luar fungsi-fungsi lainnya media melayani dan mempropagandakan kepentingan-kepentingan kelompok sosial yang mengontrol dan membiayainya (2002, xi). Pada dasarnya, posisi, peran ataupun eksistensi media akan sangat ditentukan oleh struktur ekonomi-politik yang melingkupinya. Oleh karena itu, diskusi tentang peran media dalam konteks apapun harus dilihat juga struktur yang melingkupinya karena struktur inilah yang akan menentukan posisi dan peran media dalam masyarakat. Operasionalisasi media akan sangat ditentukan oleh hubungannya dengan „relasi-relasi kontrol sosial‟ yang ada meskipun media juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap lingkungannya (Hallin dan Mancini, 2004). Dengan kata lain, pengorganisasian J U R N AL K Y B E R N O L O G I
117
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 media akan sangat ditentukan oleh struktur ekonomi-politik, teknologi, dan juga warisan budaya (Chesney, 2004, 16) Dalam membahas struktur media global dewasa ini, setidaknya, ada dua hal yang layak mendapatkan perhatian khusus, yang kesemuanya mempunyai implikasi terhadap posisi dan peran media dalam diplomasi global. Pertama, monopoli dan konsentrasi media-media global tersebut di negara-negara maju, terutama AS. Amerika Serikat menjadi negara pengekspor program tv terbesar di dunia (Sraubhaar dan LaRose, 2006, 496), yang didistribusikan ke negara-negara seperti Amerika Latin, Eropa, Kanada, Australia, dan Jepang. Negara-negara seperti Inggris dan Perancis juga menjadi eksportir program acara tv meskipun juga menjadi importir (terutama dari AS). Negara-negara lain seperti Meksiko dan Brazil juga telah tumbuh menjadi produser dan eksportir besar program tv untuk negara-negara lain di kawasan Amerika Latin. Konsentrasi kepemilikan media di negara-negara maju ini, tentu saja, mempunyai imbas pada aliran informasi di dunia. Dengan menggunakan pendekatan living system theory (Gunaratne, 2005), komunikasi global pada dasarnya hanya menyuarakan kepentingan negara-negara center dibandingkan dengan menyuarakan secara lebih luas kepentingan negara-negara periferi. Seperti analisis sistem dunia yang dikembangkan oleh Emanuel Wallerstein yang menegaskan bahwa struktur ekonomi politik saat ini lebih menguntungkan negara-negara maju (center) dan merugikan negara-negara berkembang (periferi), demikian juga dengan sistem komunikasi global dewasa ini. Dalam kaitan ini, William A. Hachten memberikan komentar sebagai berikut. Berita, baik dikirim melalui satelit komunikasi ataupun dibawa oleh merpati pos, sangat mudah bergerak dengan kecepatan luar biasa, dan bila daya tariknya sangat kuat maka berita tersebut akan bergerak dengan kecepatan luar biasa ke seluruh dunia tanpa adanya hambatan yang bersifat politis ataupun teknologis pada sistem pengiriman ataupun penerimaannya. Satelitsatelit komunikasi mampu menyiarkan suatu peristiwa internasional pada waktu bersamaan dengan ketika siaran berita televisi pada malam hari menayangkannya. Siaran langsung dari benua lain dengan mudah dapat J U R N AL K Y B E R N O L O G I
118
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 diidentifikasikan sebagai suatu karya dengan jaringan yang rumit, tetapi sumber berita film tidaklah demikian. Banyak penonton televisi yang tidak mengetahui bahwa banyak berita asing di televisi ditunjang oleh dua agen berita televisi yang didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat dan Inggris (Hachten, 1993, 57). Konsentrasi media di tangan beberapa perusahaan transnasional yang berasal dari beberapa negara industri maju telah menciptakan ketidakseimbangan dalam aliran berita, citra (image), dan data melawan negara-negara kurang berkembang (Tehranian, 1999, 40). Melalui akuisisi, merger, dan perkembangan lain telah membuat perusahaan-perusahaan komunikasi tumbuh menjadi raksasa komunikasi dan media. Time Warner yang merupakan merger dua perusahaan komunikasi, Time, Inc., dan Warner Communication pada tahun 1989 telah menjadikannya sebagai perusahaan media terbesar di dunia yang mempunyai cabang-cabang di Australia, Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Kelompok Bertelsmann yang berbasis di Jerman sebagai perusahaan yang menaruh minat di bidang publishing, televisi, musik, dan sistem informasi high-tech telah beroperasi di Eropa, Amerika dan Amerika Latin. Perusahaan berita Murdoch telah mempunyai cabangcabangnya di Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Asia. Perusahaan-perusahaan ini beroperasi dalam pasar-pasar dunia dan mengorganisasikan kegiatannya dalam desain global. Namun, sebagian besar mempunyai basis di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, dan Jepang. Hanya sedikit yang mempunyai basis di negara-negara Dunia Ketiga. Chesney (2006, 534) mencatat bahwa perusahaan-perusahaan media global dewasa ini dikuasai oleh beberapa korporasi besar, yang diantaranya adalah AOL Warner, Disney, Viacom, News Corporation, Bertelsmann, Vivendy Universal, AT&T dan General Electric. Menurut Chesney, konsolidasi ini merupakan hasil deregulasi pemerintah pada dunia penyiaran, teknologi-teknologi komunikasi baru, dan longgarnya penerapan statuta-statuta antitrust. Persoalan penting kedua dalam membahas struktur
media global dewasa ini
adalah kekuatan ideologis di balik struktur tersebut, yakni komersialisasi. Implikasi komersialisasi ini dalam komunikasi global adalah jelas, yakni pada jenis dan cara bagaimana informasi disiarkan ke seluruh dunia. Berjalin dengan yang pertama, monopoli J U R N AL K Y B E R N O L O G I
119
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 dan oligopoli, dampak komersialisasi media terhadap diplomasi sangat penting. Pertama, seperti telah disinggung di awal, media seringkali menampilkan sisi negatif dibandingkan dengan sebaliknya. Aktor-aktor politik dan kelompok-kelompok masyarakat di dunia seringkali menjadi bulan-bulanan media karena blow-up berlebihan atas skandal politik, korupsi, kekerasan etnis, terorisme, pencemaran lingkungan, dan lain sebagainya. “Bad news is good news“ menjadi semacam panduan bagi para jurnalis untuk menyiarkan berita ke seluruh dunia. Menurut Merril (2005, 6), di bawah bayang-bayang kapitalisasi media yang berujung pada pengejaran profit, media menggambarkan dunia dengan cara yang timpang, sebuah dunia negatif. Merril mengemukakan hal tersebut sebagai berikut. Ini adalah sebuah dunia yang tidak normal (atypical) dan superfisial, sebuah dunia yang didiami oleh tindakan-tindakan kriminal, oleh individu-individu yang mengalami disorientasi dan psikopatik, oleh politisi-politisi tidak jujur, oleh guru-guru imoral, oleh para pemabok dan pecandu narkotik pembuat onar, oleh perilaku seks menyimpang, oleh ketidaksensitifan paparazi dan jurnalis yang melanggar privasi, oleh sistem hukum yang tidak adil, oleh tindakan-tindakan kekerasan dan terorisme, oleh pemimpin nasional yang jahat atau tidak mengindahkan moral, oleh orang-orang yang kaya yang arogan dan perlakuan terhadap orang miskin yang immoral, oleh kehancuran dan disfungsionalitas keluarga, oleh pendidikan yang berada di bawah standar, oleh pengingkaran janji, dan berbagai variasi perilaku
sosial yang
membahayakan. Motif untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya telah membuat media lebih berorientasi untuk menyebarkan berita-berita buruk dibandingkan dengan sebaliknya. Inilah yang menjadi alasan mengapa peristiwa kekerasan etnis dan gerakan kelompok Islam radikal, misalnya, lebih menarik liputan CNN dibandingkan dengan capaian-capain demokrasi di Indonesia. Ini karena peristiwa pertama lebih mempunyai nilai berita dibandingkan dengan yang kedua. Kondisi demikian tentu saja membuat pekerjaan para diplomat menjadi semakin berat. Peristiwa kerusuhan etnis dalam skala kecil dapat saja menjadi besar dan mengundang perhatian dunia internasional karena liputan media. Dalam J U R N AL K Y B E R N O L O G I
120
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 situasi semacam ini, tugas berat para diplomat adalah bagaimana mengembalikan citra yang runtuh dan mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat dunia terhadap negaranya. Implikasi kedua komersialisasi dalam komunikasi global adalah orientasi yang sangat kuat untuk menyiarkan apa yang dikatakan pejabat publik dibandingkan dengan memberikan laporan mendalam yang mampu menuntun pembaca untuk memahami peristiwa. Alasannya, liputan jenis kedua lebih menguras sumber daya media sehingga mengurangi keuntungan. Bias informasi menjadi imbas berikutnya model liputan yang berorientasi ke atas, ke pejabat-pejabat publik. Bukan saja media terjebak ke dalam apa yang sering disebut sebagai “official” truth (Cunningham, 2003), tetapi yang lebih penting adalah kerentanan media untuk dimanfaatkan oleh elit-elit politik dominan. Leslie Sklair (2002) menyebutnya sebagai elit-elit transnasional. Liputan Perang Teluk dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
Kecenderungan untuk menghemat biaya-biaya liputan dan
ketidakmauan kehilangan pasar dalam negeri dengan melawan opini publik AS membuat media di negeri tersebut hanya menyiarkan apapun yang disampaikan oleh penguasa Pentagon. Lebih parah lagi, media terlibat dalam skandal „penipuan‟ yang dilakukan oleh Pentagon dalam Perang Teluk melalui penyesatan informasi (Kellner, 1992). Sebagaimana dikemukakan Kellner (1992, 6), “the tv networks, by contrast, tended merely to reproduce what they were told or shown by US government and military”. Meskipun beberapa media koran mampu memberikan ulasan kritis, tetapi sebagian besar media mainstream mempunyai keberpihakkan yang jelas terhadap pemerintah dan militer. Liputan mediamedia mainstream dan terutama televisi telah memengaruhi cara pandang orang tentang perang. Ini karena tv mempunyai peran penting dalam menghasilkan image masyarakat mengenai perang, dan secara meyakinkan memobilisasi dukungan terhadap pemerintahan Bush. Hal yang sama juga terjadi pada waktu AS melakukan invasi ke Irak. Media AS telah berperan besar dalam memobilisasi dukungan terhadap Perang Irak dengan hanya menampilkan opini Gedung Putih (Chomsky, 2006), dan menyembunyikan banyak fakta tentang motif-motif di balik Perang Irak (Dennett, 2006). Media, dalam hal ini, telah kehilangan konteks akan akar persoalan yang sebenarnya dalam kecamuk Perang Irak.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
121
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 The Picture of Our Head dan Peran Media Peran penting yang dapat dilakukan media global dalam diplomasi dewasa ini sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada dasarnya, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan media dalam memengaruhi apa yang disebut oleh Lipmann sebagai “the picture of our head”. Dalam hal ini, media telah memengaruhi bagaimana masyarakat berfikir dan berperilaku, bagaimana mereka memandang diri mereka dan orang lain, dan bagaimana mereka mengonstruksi identitas mereka (Kellner, 1995, 2). Makanya, tidaklah berlebihan jika, oleh karena peran media dalam melayani negara, pasar, dan masyarakat sipil, Tehranian (1999, 137) mengemukakan jika setengah kekuasaan politik terdiri dari pembuatan citra (image making). Tentu saja, pembuatan image ini melibatkan peran-peran media karena hanya medialah yang mempunyai kemampuan ekstensif dalam membangun citra negara bangsa, elit-elit politik, kelompok-kelompok masyarakat, dan musuh. Media lantas menjadi bagian penting alat propaganda politik. Gambaran dan liputan media tentang negara dan kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu negara akan sangat menentukan bagaimana kelompok-kelompok masyarakat dan negara bangsa tersebut dipandang oleh masyarakat dan negara lain. Liputan media di negara-negara muslim telah menempatkan Amerika Serikat sebagai negara agresor selama masa-masa pemerintahan Bush oleh karena perilaku agresifnya dalam mendesakkan kepentingan-kepentingan nasional terhadap negara lain, sedangkan negara-negara Islam Timur Tengah, terutama negara-negara yang tidak mendukung kepentingan-kepentingan AS telah digambarkan oleh media-media Barat sebagai bangsa teroris, anti perdamaian dan demokrasi. Oleh karenanya, perlu diperangi. Bias media dan bagaimana pengaruhnya dalam mempengaruhi cara pandang orang terhadap realitas di sekelilingnya digambarkan dengan sangat baik oleh wartawan investigatif Amerika Serikat,
Ashleigh Banfeld. Dalam kasus konflik Israel dengan
Hizbullah, misalnya, ia mengatakan bahwa hanya sedikit saja orang yang mendengarkan dan memahami dengan baik apa yang sebenarnya terjadi. Bagi sebagian besar orang-orang Israel dan masyarakat di dunia barat, kata “Hizbullah“ diasumsikan sebagai jahat, bahaya, teror atau suatu jenis bom bunuh diri. Namun sebaliknya, di dunia Arab, Hizbullah berarti J U R N AL K Y B E R N O L O G I
122
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 orang beribadah. Hizbullah berarti rumah sakit. Hizbullah berarti kesejahteraan dan pekerjaan (Banfield, 2006, 61). Begitulah kira-kira ketika media telah memegang peran penting dalam kehidupan manusia dan diplomasi global. Pencitraan media melalui teknik representasi ataupun melalui strategi framing telah membuat suatu kelompok atau negara bangsa digambarkan secara buruk ataupun baik tergantung bagaimana media merepresentasikan atau melakukan framing terhadap kelompok-kelompok tersebut. Saleem (2007, 130) mengemukakan bahwa tanpa menghiraukan globalisasi ekonomi yang semakin meningkat, pengenalan teknologi modern, dan mayoritas terbesar penduduk dunia yang tidak melakukan perjalanan ke luar negeri, media mempunyai peran yang signifikan dalam membangun citra negara bangsa. Seperti dicatat Saleem (2007, 130), “the mass media play a crucial role in constructing image of various societies and their people”. Oleh karena perannya, media telah mentransformasi secara mendasar politik internasional, dan sebagaimana dikemukakan oleh Kluver (2002, 499), format media naratif seperti drama atau gambar bergerak dapat membentuk kesadaran politik melalui penggambaran pengalamanpengalaman hidup dan membentuk suasana pengalaman termediasi. Gilboa (2000, seperti dikutip Gunaratne, 2005: 760) menawarkan suatu analisis komprehensif mengenai bagaimana media (atau komunikasi massa) memengaruhi diplomasi di era informasi sekarang ini. Ia menghadirkan tiga model konseptual-secret diplomacy, closed-door diplomacy dan open diplomacy-yang didasarkan pada tingkatan dimana negosiasi diplomatik disiarkan atau diliput oleh media. Selanjutnya, Gilboa menghadirkan tiga model lainnya yang menunjukkan penggunaan ekstensif media (atau komunikasi massa) sebagai instrumen utama dalam kebijakan luar negeri, yakni diplomasi publik dimana negara dan aktor-aktor di luar negara menggunakan media dan saluran komunikasi lainnya untuk memengaruhi opini publik masyarakat luar negeri; media diplomacy dimana para pejabat publik menggunakan media untuk mempromosikan resolusi konflik; dan media-broker diplomacy dimana jurnalis secara temporer mengasumsikan peran diplomat dan bertindak sebagai mediator dalam negosiasi internasional. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
123
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Menurut
Gilboa,
model
diplomasi
publik
merupakan
model
one-sided
communication yang ditujukan kebanyakan dalam konfrontasi internasional. Gilboa merujuk pada kasus Perang Dingin dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet menggunakan diplomasi publik untuk memengaruhi pandangan orang-orang di seluruh dunia terhadap rival ideologis mereka. Sementara itu, media diplomacy merujuk pada penggunaan media massa melalui konferensi pers, wawancara, bocoran informasi, dan lain sebagainya untuk berkomunikasi dengan negara dan aktor-aktor di luar negara guna membangun kepercayaan dan mempercepat negosiasi seperti memobilisasi dukungan publik atas suatu perjanjian (agreements). Diplomasi publik biasanya mendahului diplomasi media. Diplomasi publik merujuk pada penggunaan jurnalis dalam perjalanannya menyertai para pemimpin politik ketika melakukan kunjungan diplomasi ke luar negeri, dan yang kedua merujuk pada penggunaan siaran langsung televisi menyangkut terobosan-terobosan baru dalam diplomasi. Misalnya, kesepakatan genjatan senjata oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat pertikaian atau bisa juga kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral antarnegara. Biasanya, stasiun-stasiun televisi melihat peristiwaperistiwa semacam ini mempunyai nilai berita yang tinggi sehingga ditempatkan dalam berita media secara khusus. Media-broker diplomacy, menurut Gilboa, merujuk pada mediasi internasional yang dilakukan dan kadang diprakarsai oleh para profesional media. Pekerjaan tradisional para jurnalis yang meliputi usaha-usaha mengumpulkan dan menyeleksi fakta, mengonstruksi, dan meng-coding dan merepresentasikan realitas telah mengalami perluasan (Fowler 1999; seperti dikutip Shinar, 2000, 83). Para jurnalis tidak hanya berharap menghadirkan fakta secara fair dan tanpa bias dalam bahasa yang dirancang untuk unambiguous, undistorting, dan agreeable. Namun, lebih dari itu, organisasi media dan para profesional media berpartisipasi dalam hubungan internasional, yang secara luas dan dalam peran sebagai katalis dan „broker diplomatik‟. Dalam situasi ini, posisi jurnalis sebagai pewarta dan pelaku dalam politik internasional sering kali menjadi kabur.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
124
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Larangan Terbang Uni Eropa: Sebuah Contoh Kasus Sejauh ini, telah dipaparkan mengenai struktur media dan pengaruhnya terhadap diplomasi internasional dan global serta perannya dalam membentuk citra negara bangsa. Paparan yang bersifat makro di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas bagaimana media-media global bekerja dalam menopang perannya dalam diplomasi internasional. Dalam konteks Indonesia, berbagai persoalan dalam negeri sebagai akibat salah urus (mismanagement) telah membuat citra Indonesia sedemikian buruk di mata media. Sekaligus, membuat usaha-usaha diplomasi semakin sulit. Ini karena sesuatu yang buruk (bad news) lebih menarik media dibandingkan dengan sebaliknya (good news) karena nilai komersialnya lebih tinggi. Sebagai ilustrasi, kita dapat merujuk pada kasus larangan terbang pesawat komersial milik maskapai Indonesia ke negara-negara Eropa. Ironisnya, larangan tersebut dikeluarkan justru setelah beberapa waktu sebelumnya Departemen Perhubungan mengeluarkan peringkat maskapai penerbangan nasional. Tidak terpengaruh dengan hal tersebut atau mungkin juga tidak tahu, Uni Eropa telah melarang 51 maskapai penerbangan komersial Indonesia, termasuk maskapai penerbangan milik pemerintah, Garuda Indonesia. Salah satu tujuan diberlakukan larangan terbang ini adalah agar maskapai penerbangan nasional meningkatkan kalayakan terbang (www.waspada.or.id). Larangan terbang ini mungkin tidak akan berdampak langsung terhadap penerbangan nasional karena tidak ada satupun maskapai nasional mempunyai route ke Uni Eropa. Meskipun demikian, larangan ini memberikan signal kepada banyak warga negara Eropa agar hati-hati atau bahkan tidak menggunakan maskapai penerbangan nasional Indonesia. Larangan ini juga tidak menutup kemungkinan akan ditangkap oleh warga negara non-Eropa agar menghindari penggunaan maskapai penerbangan nasional. Implikasi larangan terbang tersebut jelas, yakni terpukulnya industri pariwisata. Ini karena Eropa merupakan pasar tradisional industri pariwisata di Indonesia yang cukup potensial. Beberapa daerah melaporkan bahwa larangan terbang yang diberlakukan Uni Eropa terhadap penerbangan komersial Indonesia telah menurunkan secara drastis jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
125
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Terdapat banyak faktor yang mungkin menjadi bahan pertimbangan Uni Eropa untuk melarang maskapai penerbangan nasional ke Eropa. Namun, tampaknya, tidak dapat dilepaskan dari pajanan (exposure) media global yang cukup intensif atas berbagai peristiwa yang terjadi dalam industri penerbangan nasional. Beberapa liputan media global dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut ini. David Learmount, operations and safety editor at Flight International, said Indonesia was one of the few examples where deregulation of the airline market had lowered safety standards rather than raised them: "Standards in aviation safety have been going up dramatically on a worldwide basis, but there are still places where they are [of the standards of] the 70s and 80s. In Indonesia the safety watchdog was told earlier this year to pull its socks up, but the EU is clearly convinced that it has not done so1." Lebih lanjut, laporan tersebut menulis, Flying in Indonesia can be a worry. The number of airlines, since deregulation of the sector in the 1990s, has reached a total of 51, and there has been a sharp rise in deadly incidents: the fatality rate is now 15 times the world average. Ticket prices may have been driven down by brutal competition to as little as $10, but the drawbacks are obvious. Indonesia's air safety record is among the world's worst 2. Sementara itu, dalam kasus Adam Air yang menghilang di perairan Sulawesi, Timeonline menulis sebagai berikut. Adam Air is one of at least a dozen budget airlines to have been formed in Indonesia since 1999, when the industry was deregulated. The country's 17,000 islands present a ready-made need for cheap air travel but the rapid expansion of the field has raised some safety concerns. Many of the airlines 1
http://www.guardian.co.uk/airlines/story/0,,2114555,00.html
2
Ibid
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
126
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 lease planes that are decades old and maintenance is reportedly poor. There have been several deadly crashes in recent years. In September 2005, a Mandala Airlines Boeing 737 crashed after takeoff on Sumatra, killing 143 people3. Tak pelak, liputan media semacam ini akan mempengaruhi persepsi masyarakat dunia tentang keselamatan penerbangan Indonesia, termasuk para pengambil kebijakan Uni Eropa. Hanya medialah yang mempunyai kemampuan kuat dalam mempengaruhi gambaran orang tentang dunia (the picture of our head). Oleh karenanya, menjadi tidak mengherankan jika para pengambil kebijakan Uni Eropa melarang penerbangan nasional ke Eropa.
Media global telah menyebarkan berbagai kenyataan buruk tentang
penerbangan Indonesia, yang diantaranya berujung pada larangan terbang tersebut. Dalam situasi semacam ini, sulit bagi Indonesia untuk membangun citra positif karena apapun yang dikemukakan oleh para diplomat akan bertubrukan secara langsung dengan realitas media. Padahal, informasi yang disiarkan oleh media global ini mampu menjangkau khalayak yang luas. Realitas dapat sampai ke dunia manapun secara langsung tanpa melalui mulut pejabat-pejabat publik. Para diplomat yang mungkin akan cenderung menutupi realitas sebenarnya karena dianggap merugikan kepentingan negaranya. Sebaliknya, realitas akan menyebar melalui tulisan-tulisan jurnalis media global tanpa dapat dikontrol oleh siapapun, terutama bagi negara-negara yang telah mendukung kemerdekaan pers seperti Indonesia. Di era globalisasi media sekarang ini, tidak akan ada satupun peristiwa bernilai berita yang tidak akan diliput oleh media global. Peristiwa seperti hilangnya Adam Air di perairan Sulawesi, bencana alam seperti tsunami, gunung meletus, terorisme, gempa bumi, banjir, ataupun kereta api anjlok mempunyai nilai berita tinggi. Oleh karenanya, akan hadir di media sebagai sebuah berita yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dari berita tersebut, orang lantas mempunyai gambaran tentang Indonesia. Gambaran inilah yang kemudian mempengaruhi cara mereka dalam mengambil setiap sikap dan tindakan berkenaan dengan Indonesia.
3
http://www.timesonline.co.uk/tol/news/world/asia/article1288550.ece
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
127
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Catatan Penutup: Apa yang Harus Dilakukan? Pertanyaan penting yang layak dikemukakan dalam catatan penutup ini barangkali adalah lantas apa yang dapat kita lakukan dalam situasi dimana diplomasi mendapat tantangan berat dari globalisasi media? Dengan kata lain, upaya-upaya apa yang harus dilakukan agar globalisasi media dapat dimanfaatkan untuk mendukung diplomasi Indonesia di tingkat global dan bukannya sebaliknya? Pertama, tidak ada pilihan lain bahwa para pelaku diplomasi harus memahami bagaimana media bekerja. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, usaha-usaha para diplomat untuk meyakinkan para pejabat publik dan warga negara lain akan dihadapkan pada persebaran informasi yang cepat ke seluruh dunia. Realitas dan informasi yang mereka sampaikan akan bertubrukan dengan realitas dan informasi yang disampaikan oleh media. Oleh karena itu, para pelaku diplomasi dituntut untuk memahami media setidaknya dalam tiga hal, yakni (1) keberadaan media yang beroperasi lintas batas negara bangsa dapat dijadikan sebagai “penopang” diplomasi karena kemampuannya dalam menyebarkan pesan-pesan diplomatik ke seluruh dunia, tetapi juga dapat menjadi penghambat paling utama; (2) Media memang mempunyai kemampuan dalam menyebarkan pesan lintas batas negara bangsa dan mampu memengaruhi cara pandang dan citra suatu negara bangsa, tetapi seringkali sangat bias dan merugikan; dan (3) Peran dan cara kerja media-media yang beroperasi lintas batas negara bangsa tersebut pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari struktur yang melingkupinya. Kedua, penyelesaian semua persoalan yang membuat Indonesia direpresentasikan dan dicitrakan secara buruk oleh media. Pemahaman para diplomat mengenai bagaimana media bekerja dan perannya dalam diplomasi global tidak akan mempunyai arti apa-apa jika tidak terdapat perbaikan signifikan terhadap apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia, dan yang membuat media-media global tersebut antusias menyiarkannya. Berita tentang korupsi-terbaru kasus pegawai pajak Gayus Tambunan-, skandal Century, pembalakan hutan, kecelakaan transportasi baik darat, laut ataupun udara, kerusuhan etnis dan gerakangerakan fundamentalisme yang berujung pada kekerasan hanya akan hilang dari media jika realitas tersebut tidak terjadi lagi di Indonesia. Senyampang persoalan tersebut belum J U R N AL K Y B E R N O L O G I
128
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 dapat diatasi dengan baik maka media akan senantiasa antusias untuk menyiarkannya. Oleh karenanya, perlu usaha konkret untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Ini karena tanpa penyelesaian kasus-kasus tersebut maka usaha apapun yang dilakukan para diplomat akan berhadapan dengan realitas media. Di era globalisasi media dan informasi sekarang ini, tidaklah mungkin menutup-nutupi informasi. Kebohongan para pejabat publik akan berhadapan dengan informasi media, yang dalam banyak hal lebih dipercaya oleh publik. Para diplomat Indonesia, siapapun orangnya, tidak akan mampu meyakinkan para pejabat publik dan warga negara asing jika Bangsa Indonesia telah menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia, misalnya, jika faktanya militer masih kuat di gelanggang politik, dan pejuang HAM seperti Munir dihabisi dan tanpa penyelesaian yang jelas. Demikian juga kita tidak dapat mengatakan bahwa Indonesia telah menjaga lingkungan dan kelestarian hutan jika faktanya kerusakan hutan di Indonesia menjadi yang paling cepat dan terbesar di dunia. Di era globalisasi informasi sekarang ini, kebohongan tidak lagi dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karenanya, salah satu yang paling dapat dilakukan adalah memperbaiki cacat-cacat tersebut. Kasus Timor-Timur barangkali dapat dijadikan contoh berharga bagi para petugas diplomasi Indonesia. Pada awalnya, usaha pemerintah Indonesia untuk memasukkan Timor-Timur sebagai provinsi ke-27 mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat dan Australia sebagai akibat kekuatiran pengaruh komunis di kawasan tersebut. Namun, kasus pelanggaran HAM yang terus-menerus terjadi di Timor-Timur yang dilakukan oleh militer membuat usaha-usaha diplomasi berbenturan oleh opini dunia, yang salah satu diantaranya dipengaruhi oleh pejanan media tentang Timor-Timur. Puncak pelanggaran HAM tersebut terjadi ketika tentara melakukan pembantaian terhadap para demonstran di San Cruz. Opini dunia tentang pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Indonesia di Timor-Timur mencapai puncaknya, dan segala usaha para diplomat untuk meyakinkan masyarakat dunia menjadi tak lagi bermakna. Akhirnya, Timor-Timur menjadi negara merdeka setelah mengalami jajak pendapat yang berdarah-darah. Ironisnya, negara yang baru merdeka itupun mengalami stabilitas politik yang pasang surut.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
129
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Ketiga, pentingnya merumuskan global media relations.
Ketika media telah
merepresentasikan dan mencitrakan Indonesia dengan buruk, langkah yang dapat dilakukan adalah bagaimana Indonesia dapat direpresentasikan dan dicitrakan sebaliknya. Ini melibatkan strategi global media relations yang menyeluruh. Pada saat kerusakankerusakan telah terjadi baik karena faktor manusia; kondisi sosial ekonomi, politik dan juga kebudayaan; ataupun faktor-faktor alamiah, menyampaikan langkah-langkah yang telah dilakukan untuk memperbaiki kerusakan tersebut menjadi salah satu cara penting mengembalikan citra yang terlanjur buruk. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk merumuskan suatu strategi global media relations. Strategi tersebut setidaknya harus mencakup elemen-elemen dasar proses komunikasi yang dirumuskan secara sederhana sebagai “Who says What to Whom in Which Channel with Effect“? Pemerintah harus mampu menetapkan siapa yang bertanggung jawab untuk menyampaikan kemajuankemajuan yang telah dicapai dan usaha-usaha yang telah dicapai untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah terjadi baik dalam menyelesaikan korupsi, penegakkan hukum dan HAM, pelestarian hutan dan lingkungan secara keseluruhan, serta berbagai persoalan lain yang telah menarik sebegitu banyak media untuk menyiarkannya. Setelah menetapkan spokesperson dan pesan apa yang perlu disampaikan, langkah berikutnya adalah menentukan kelompok atau khalayak sasaran. Ini dapat meliputi para pejabat publlik, kelompok-kelompok-kelompok pecinta lingkungan hidup, dan warga negara asing di luar negeri secara keseluruhan. Memilih media yang akan dijadikan saluran untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut menjadi langkah yang harus dikerjakan berikutnya sebelum pada akhirnya menentukan dan mengevaluasi dampak-dampak yang diharapkan. Dengan cara seperti ini, diharapkan liputan media global tentang Indonesia akan menjadi sedikit lebih baik dan opini dunia tentang Indonesia tidak seburuk seperti sekarang ini. Mempunyai para diplomat yang tangguh dan memahami dengan baik bagaimana media global bekerja menjadi hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Demikian juga menyelesaikan begitu banyak persoalan yang membuat Indonesia terpuruk di mata dunia menjadi pekerjaan rumah yang tidak dapat ditunda lagi menjadi saran yang tidak perlu dibantah. Namun, di atas segalanya, barangkali yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola suatu hubungan yang baik dengan media-media yang beroperasi lintas batas J U R N AL K Y B E R N O L O G I
130
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 negara bangsa. Sebuah manajemen komunikasi yang melibatkan suatu strategi hubungan media global (global media relations). Sebagai penutup, barangkali, menarik untuk mengutip pendapat Christopher Ross (2002, 77) mengenai peranan komunikasi dan teknologi dalam menopang diplomasi publik. Dalam “Public Diplomacy Comes of Age” yang dipublikasikan di The Washington Quarterly, Spring 2002, ia mengatakan bahwa diplomasi publik beroperasi dalam dua cara yang saling berhubungan, yakni (1) komunikasi kebijakan dan (2) implikasi teknologi terhadap bagaimana diplomasi publik dikerjakan. Teknologi media menjadi faktor yang menentukan bagaimana pesan-pesan komunikasi disebarkan ke seluruh dunia, dan melalui pesan tersebut publik dibujuk untuk mengikuti kebijakan-kebijakan yang telah digariskan oleh pejabat publik suatu negara.
Daftar Pustaka Banfeld, Ashleigh (2006) “Observasi Seorang Pembawa Berita”, diedit oleh Kristina Borjesson (ed.) Mesin Penindas Pers: Membongkar Kebebasan Pers di Amerika, 55-69. Bandung: Q-Press. Castells, Manuel (2000) “The Network Society”, edited by David Held and Anthony McGrew (eds.) The Global Transformations A Reader: An Introduction to Globalization Debate, 76-81. Cambridge: Polity Press. Chomsky, Noam (2006) Failed State: The Abuse of Power and the Assault on Democracy. Henry Holt and Company, New York: Metropolitan Books. Dennett, Charlotte (2006) “Perang Melawan Teror dan Permainan Besar Minyak: Bagaimana Media Kehilangan Konnteks”, diedit oleh Kristina Borjesson (ed.) Mesin Penindas Pers: Membongkar Kebebasan Pers di Amerika, 71-106. Bandung: Q-Press. Giddens, Anthony (2000) Runway World. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Gunaratne, Shelton A. (2005). “Public Diplomacy, Global Communication and World Order: An Analysis Based on Theory of Living System”. Current Sociology, September 2005, Vol. 53(5): 749-772. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
131
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Hallin, Daniel C. dan Paolo Mancini (2004) Comparing Media Systems: Three Models of Media and Politics. Cambridge University Press. Herman, Edward S dan Noam Chomsky (2002) Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York: Pantheon Books. Hachten, William A (1993) “Sistem berita International“, diedit oleh Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat, dan Mohammad Shoelhi (eds.). Komunikasi Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Kellner, Douglas (1992) The Persian Gulf TV War. Boulder, San Fransisco, Oxford: Westview Press. Kellner, Douglas (1995) Media Culture: Culture Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern. London and New York: Routledge. Keohane, Robert O dan Joseph S. Nye (1977) Power and Interdependence: World Politics in Transition. Boston: Little, Brown and Company. Kluver, Alan R (2002) “The Logic of New Media in International Affairs”. new media and society. Vol (4) 4: 499-517. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel (2001) Elemen-Elemen Jurnalisme. Jakarta: ISAI. McChesney, Robert W (2004) The Problem of the Media: US Communication Politics in the 21st Century. New York: Montly Review Press. McChesney, Robert W (2006) “Jatuh Bangunnya Jurnalisme Profesional” diedit oleh Kristina Borjesson (ed.) Mesin Penindas Pers: Membongkar Kebebasan Pers di Amerika, 523-544. Bandung: Q-Press. Merril, John C. (2005). “Professionalization: Fusion of Media Freedom and Responsibility”.Global Media Journal. Volume 4, Issue 6, Spring 2005. Rantanen, Terhi (2006) The Media and Globalization. London, Thousand Oaks, and New Delhi. Sage Publications. Ray, Ajai K. (2003). “Diplomacy and the News Media: A Comment on the Indian Experience”. Strategic Analysis. Vol. 27 No. 1, Jan-Mar 2003: 1-28 Ross, Christopher. (2002). “Public Diplomacy Comes of Age”. The Washington Quarterly, Spring 2002. pp.75-83
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
132
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Saleem, Noshina (2007). “US Media Framing of Foreign Countries Image: An Analytical Perspective”. Canadian Journal of Media Studies, Vol 2 (1): 130-162 Shinar, Dov (2000) “Media Diplomacy and „Peace Talk‟: The Middle East and Northern Ireland”. Gazzette.Vol. 62(2): 83-97. Straubhaar, Joseph and Robert LaRose (2006) Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology. Fifth Edition. Thompson Wadworth. Tehranian, Majid (1999) Global Communication and World Politics: Domination, Development, and Discourse. United State of America: Lynne R ienner Publisher. Thompson, John B (2000) “The Globalization of Communication”, edited by David Held and Anthony McGrew (eds.) The Global Transformations A Reader: An Introduction to Globalization Debate, 202-215. Cambridge: Polity Press. Website Cunningham,
Brent.
2003.
“Re-thinking
Objectivity”.
www.cjr.org/issues/2003/4/objective-cunningham.asp http://www.timesonline.co.uk/tol/news/world/asia/article1288550.ece http://www.guardian.co.uk/airlines/story/0,,2114555,00.html
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
133
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 KEARIFAN LOKAL DAN MODEL PELAYANAN BIROKRASI PEMERINTAHAN DI DAERAH
K aus a r A. S Dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta
Abstract In order to establish the organizational idealism of local government, the integration of local cultures without negative aspect is required. Local value can in fact push negative aspect in the local government bureaucracy. This is an undeniable reality. Therefore, local value which combines local cultures with local bureaucracy, requires restructurization in the service and implementation system of local government bureaucracy. It then reflects a service model whish is compatible with the public hope. Local value in the local culture dimension can also be made as social capital to find service model in governmental bureucracy generally and in specific, local government bureaucracy.
1.
PENDAHULUAN Pemerintah dibentuk pada hakekatnya adalah bertujuan untuk menjaga ketertiban
dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah diadakan bukanlah untuk melayani dirinya sendiri, tetapi adalah untuk melayani masyarakatnya. Pemerintah memiliki dua fungsi dasar, yaitu fungsi primer atau fungsi pelayanan, dan fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan. Fungsi primer yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia (provider) jasa-jasa publik yang tidak diprivatisasikan termasuk jasa pertahanan keamanan (hankam), layanan sipil dan layanan birokrasi (Ndraha, 2003: 75-76). Fungsi sekunder yaitu sebagai penyedia kebutuhan dan tuntutan yang diperintah akan barang dan jasa yang mereka tidak mampu penuhi sendiri karena masih lemah dan tak berdaya, termasuk penyediaan dan pembangunan sarana dan prasarana.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
134
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menegaskan bahwa titik berat penyelenggaraan desentralisasi diletakkan pada pemerintahan kabupaten dan kota. Hal ini sesuai dengan batasan pengertian tentang desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, jelas memerlukan perubahan dan adaptasi yang menyeluruh. Termasuk dengan cara memasukan nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di daerah. Dampak dari adanya perubahan ini, penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak lagi ditangani secara sentralistik, tetapi lebih mengedepankan masyarakat dan pemerintahan di daerah, yang dilaksanakan dalam pola desentralisasi. Dengan pola ini, pemerintah kabupaten dan kota memiliki hak, kewajiban, tanggung jawab dan wewenang dalam menyelenggarakan administrasi publik yang sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakatnya serta kepentingan daerah. Pada tataran empirik dapat dilihat secara kasat mata, adanya indikasi kuat kurangnya rasa percaya masyarakat kepada pemerintah. Hal ini disebabkan antara lain, oleh kurang puasnya masyarakat terhadap layanan yang diberikan oleh pemerintah. Kurang puasnya masyarakat ini dapat dilihat dari sikap yang dilakukan oleh masyarakat sebagai wujud rasa ketidakpuasannya, dari yang paling sopan dengan menyampaikan saran dan kritik kepada pemerintah melalui media cetak dan elektronik, sampai kepada cara yang kasar dengan melakukan orasi dan demonstrasi. Untuk semua hal itulah penelitian ini dirancang, dan hasil yang ditemukan telah mampu menjawab persoalan, terutama
yang berkaitan dengan bagaimana seharusnya
model pelayanan pada birokrasi itu menemukan titik temu antara; apa yang diinginkan masayarakat didaerah Ddimana masyarakat sangat menjunjung nilai-nilai kearifan lokal, serta bagaimana pemerintah daerah juga dapat menjadikan nilai kearifan lokal itu, sebagai bagian dari model pelayanan yang dapat makin memperteguh dan mensukseskan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah di daerah. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
135
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 2.
KAJIAN PUSTAKA Menurut Rasyid (1997: 48), pemerintahan mempunyai tiga fungsi yang hakiki
yaitu ;
Pelayanan (services), pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan
(development). Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Pendapat ini memberikan kesan bahwa peran pemerintah tersebut hanya cocok diterapkan pada masyarakat di negara berkembang yang tingkat keberdayaan masyarakat masih rendah sehingga ketergantungannya pada pemerintah masih tinggi. Namun demikian, seiring dengan hasil fungsi-fungsi pembangunan dan pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, serta keterbatasan yang dimiliki pemerintah maka secara perlahan masyarakat dituntut untuk secara mandiri mencukupi kebutuhannya. Dengan demikian, fungsi pembangunan dan pemberdayaan itu bersifat sementara. Paradigma baru pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler (1992: 25-48) mengemukakan bahwa pemerintah yang dulunya berperan langsung sebagai penyedia pelayanan publik (rowing) dan terlibat dalam kegiatan yang bersifat teknis operasional untuk pemenuhan kebutuhan publik, akan bergeser perannya pada fungsi mengarahkan (steering). Fungsi ini mengharuskan pemerintah untuk dapat lebih memberdayakan (empowering) masyarakat dengan mendorong tumbuhnya partisipasi dalam penyediaan pelayanan publik (public services). Tugas birokrasi pemerintahan yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan kepada rakyat. Selama masyarakat belum mampu menyelenggarakan urusan atau kebutuhannya secara mandiri, maka pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan keperluan itu sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai salah satu bentuk pelayanan. upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya, adalah jawaban dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan adanya tuntutan ini mendorong pemerintah daerah untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat sekarang ini, bahwa pemerintah belum optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aparat yang bertugas sebagai J U R N AL K Y B E R N O L O G I
136
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 ujung tombak dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat banyak yang tidak memahami filosofi, strategi dan teknik pemberian pelayanan kepada masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena pemerintah bersifat monopoli dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga tidak ada kompetisi, hal ini menyebabkan kurangnya perhatian terhadap kompetensi aparat yang memberikan pelayanan. Dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintahan, terutama dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka sangat diperlukan adanya suatu sistem birokrasi pemerintahan yang rasional yang dapat melayani kebutuhan rakyat dengan maksimal dan terhindar dari hal-hal yang bersifat subyektif dan tidak rasional akibat adanya hubungan yang bersifat emosional serta memihak di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hubungan dengan birokrasi pemerintahan daerah, yang tujuan utama birokrasi pada dasarnya adalah untuk menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai secara cepat, tepat dan dengan biaya yang terjangkau atau ekonomis (Thoha, 1995: 4). Dengan kata lain, birokrasi sebenarnya berusaha mewujudkan efisiensi dan bukan sebaliknya, dan birokrasi juga antara lain sangat mengharamkan adanya praktek partikularisme, baik atas dasar nepotisme, primordialisme maupun kecenderungan hubungan patronage. Sekalipun demikian, Perrow (1986: 101) menyatakan bahwa dalam bentuk ideal birokrasi tidak pernah dapat diwujudkan karena: (1) ketidakmampuan memilih antara kepentingan pribadi atau golongan dan kepentingan organisasi; (2) ketidakluwesan birokrasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang berlangsung cepat dan terus menerus. Di dunia ketiga, birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan (Mas‟oed, 1997: 68). Untuk mensinkronkan semua itulah, maka model pelayanan yang mengedepankan kearifan lokal akan dapat menjembatani kepentingan primordial dengan selera dan atau harapan masyarakat secar keseluruhan dengan apa yang seharusnya dan sebagaimana layaknya pelayanan di birokrasi pemerintahan daerah itu dilakukan, dengan demikian penulis menggaris bawahi bahwa
model paradigma baru pemerintahan daerah dari
Osborne dan Gaebler (1992) ini yang penulis jadikan rujukan dalam menelaah bagaimana kearifan lokal memberi kontribusi dalam pelayanan birokrasi didaerah, ternyata juga J U R N AL K Y B E R N O L O G I
137
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 memberikan sumbangsih yang tidak kecil dalam menciptakan model pelayanan yang sesuai dengan harapan dan pilkiran masyarakat yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan di daerah.
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif model interpretif, metode ini sesuai dengan model yang digariskan dalam paradigma constructivis, bahwa peneliti atau penulis berfungsi untuk menterjemahkan apa yang dikatakan oleh sasaran penelitian, subjek penelitian ini adalah birokrat pemerintahan daerah di Lampung sebagai informan kuncinya, sedangkan informan pokoknya adalah masyarakat yang berhubungan langsung dengan pelayanan pemerintahan di daerah. Data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi partisipasi, validitas dan keabsahan data diperoleh dengan cara melakukan member check dan triangulasi baik pada data maupun sumber, termasuk dengan memperpanjang keikutsertaan, analisis data dilakukan sejak, sedang dan sampai semua data dilapangan diperoleh, semua data dianalisis dengan menggunakan model analisis interaktif, yakni rangkaian yang saling kait mengkait sejak penelitian dirancang diverifikasi dan ditarik kesimpulannya.
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1, Kearifan Lokal dan Paradigma Baru Pemerintahan Daerah Perspektif Osborne dan Gaebler. Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya yang tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlihat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi yang berkembang di suatu daerah tertentu, misalnya tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya yang sering mengalami perubahan. Pasang surut birokrasi yang seringkali diidentikan dengan perubahan gaya birokrasi dan manajemen pemerintahan, seringkali juga dihubungkan dengan pergantian kepala J U R N AL K Y B E R N O L O G I
138
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 pemerintahan didaerah. Jadi tentu saja fenomena ini akan juga menggeser model pelayanan birokrasi di daerah. Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi birokrasi dan selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat. Artinya budaya birokrasi itupun selayaknya berjalan linier dengan budaya lokal yang sering diartifisialkan dengan nilai kearifan lokal. Situasi seperti ini tampaknya juga bekerja pada birokrasi pemerintahan di daerah yang multi etnik. Bekerjanya banyak partai yang anggotanya terdiri dari berbagai etnik dan kelompok kepentingan tertentu, telah mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintahan di daerah terutama di Lampung. berbagai faktor keterikatan seperti atasan dan bawahan, kesamaan loyalitas terhadap partai yang sama maupun atas dasar hal lain seperti kesamaan etnis dan keturunan sehingga telah dan seringkali menisbikan nilai budaya lokal yang seharusnya dikedepankan. Fenomena seperti ini akan terjadi, seiring dengan bekerjanya dan tersebarnya para anggota partai politik ataupun simpatisan partai tertentu dalam tingkatan dan eselonering di pemerintah daerah (eksekutif) ataupun di DPRD (legislatif), yang dalam proses interaksinya saling terkait dengan berbagai hubungan yang terjadi dalam rangka kepentingan kelompok etnik maupun partai di mana hubungan orang-orang yang mengabdi dan memperabdi itu berada. Semua lingkaran setan dalam birokrasi itu pada akhirnya menurut sebagaian besar masyarakat yang sering berhuibungan dengan pelayanan birokrasi didaerah menghendaki apadanya keberpihakan yang lebih dominan pada kepentingan masyarakat. Jadi faktor pengikat itu diangagap bisa menjembatani kepentingan politik dan sosial secara lebih arif, maka mau tidak mau, bisa tidak bisaq “kearifan lokal” adalah jalan keluar yang paling masuk akal, paling relefan untuk dimasukkan dalam tiap model pelayanan. Bagaimana kondisi geografis, kondisi sosial, kon disi
psikologis dan tatanan
administrasi pemerintahan itu disatukan dalam model seperti nyang digarisbawahi oleh J U R N AL K Y B E R N O L O G I
139
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Osborne dan Gaebler (1992) menurut sebagian besar informan baik informan pokok dan informan kunci adalah dimensi paling tepat untuk menjadikan model pelayanan pada birokrasi pemerintaahan di daerah menemui sasaran sesuai dengan harapan dan kepentinganh masyarakat. Jika Osborne dan Gaebler (1992: 25-48) mengemukakan bahwa pemerintah yang dulunya berperan langsung sebagai penyedia pelayanan publik (rowing) dan terlibat dalam kegiatan yang bersifat teknis operasional untuk pemenuhan kebutuhan publik, akan bergeser perannya pada fungsi mengarahkan (steering). Fungsi ini mengharuskan pemerintah untuk dapat lebih memberdayakan (empowering) masyarakat dengan mendorong tumbuhnya partisipasi dalam penyediaan pelayanan publik (public services). Tentu saja model Osborne dan Gaebler ini bisa disinkronkan dengan model pelayanan dan perubahan paradigma pelaayanan itu sendiri. Meski sebagaian kecil aparat birokrasi di daerah kadang masih tetap mengedepankan unsur kedekatan lain yang justru bertentangan dengan budaya lokal. Menurut penulis pelan daan pasti aparat yang seperti itu pasti akan ditolak oleh maasyarakat di daerah. Jika mencermati pola hubungan yang ada dalam masyarakat maka dapat diidentifikasi norma apa saja yang berlaku sesuai dengan adat kebiasaan yang identik dengan masyarakat tersebut.Demikian pula apabila diamati pola interaksi yang terjadi pada masyarakat birokrasi, biasanya didasarkan pada ketentuan-ketentuan tertulis yang telah ditetapkan dalam sistem birokrasi. Pada tataran empirik di lapangan, pola interaksi ini tetap ada, tetapi diwarnai oleh norma-norma yang ada di sekitarnya. Salah satu pola yang mewarnai interaksi perilaku birokrasi sesuai dengan lingkungannya itu, adalah pola hubungan yang dimanifestasikan dalam pelayanan, pola itu pula yang oleh penulis diamati sebagai pola hubungan yang diwarnai nilai budaya dan nilai-nilai lain yang identik dengan kearifan lokal. Pola hubungan ini diduga turut mewarnai hampir sebagian besar birokrasi pada hampir semua lini. Perkembangan masyarakat yang ditandai dengan terjadinya proses transformasi menuju masyarakat industri, yang dapat diamati melalui tingkat mobilitas yag terjadi dalam masyarakat, dalam arti proses pergeseran dari ciri manual ke ciri non manual tidak dapat terhindarkan, sehingga jelas perbedaan antara satu kelas dengan kelas lainnya, J U R N AL K Y B E R N O L O G I
140
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 seperti kelas menengah dengan kelas pekerja (Lipset, Bendix dan Zetterberg, 1994: 250259). Selain terjadinya pergeseran dari ciri manual ke ciri non manual, kelas profesional dan manajerial juga berkembang, mereka adalah enterpreneur ataupun pekerja terampil, mereka inilah yang sering disebut sebagai kelas menengah (Goldthorpe, 1992: 122-146). Organisasi birokrasi pemerintah daerah sebagai bagian dari organisasi pemerintah secara keseluruhan dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara umum mempunyai ciri sebagai bentuk organisasi sosial. Organisasi menurut Bertrand (1972: 35) merupakan jaringan dari interaksi sosial yang terorganisir atau merupakan suatu tindakan yang tertata melalui aktivitas sosial yang terkait antara satu dengan lainnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Garna (1996: 267) bahwa organisasi merupakan susunan kerja suatu masyarakat atau juga aspek kerjasama yang mendasar menggerakkan tingkah laku para individu pada tujuan sosial dan ekonomi tertentu. Untuk melakukan analisis organisasi sosial secara struktural banyak teori yang dapat digunakan. Teori-teori tersebut, antara lain teori pertukaran, teori konflik, teori interaksi dan teori struktural-fungsional (Bertrand, 1972: 34). Deskripsi birokrasi yang menjadi fokus dalam penelitian ini terkait dengan pelayanan yang diberikannnya keada masyarakat, juga sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Weber (dalam Blau dan Meyer, 1987: 23-26), birokrasi mempunyai karakteristik pokok sebagai berikut: 1) Berbagai aktivitas reguler yang diperlukan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajibankewajiban resmi. Birokrasi menekankan penggunaan pakar-pakar spesialis dalam setiap posisi tertentu dan membuat setiap dari mereka bertanggung jawab atas kinerja efektif tugas-tugas yang harus diselesaikannya. 2) Organisasi kantor-kantor mengikuti prinsip hierarki, yaitu kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih tinggi. 3) Operasi-operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah-kaidah abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah-kaidah ini terhadap kasus-kasus spesifik. Maksudnya adalah sistem standar ini dirancang untuk mempertahankan uniformitas yang terdapat dalam kinerja setiap tugas, tanpa J U R N AL K Y B E R N O L O G I
141
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 memandang jumlah personalia yang terlibat didalamnya dan koordinasi dari tugastugas yang berlainan. Kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan yang eksplisit menentukan tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan di antara mereka. 4) Pejabat yang ideal menjalankan kantornya dengan standar-standar rasional yang mengatur operasi-operasi tersebut tanpa campur tangan pertimbangan personal. Sebuah pendekatan obyektif harus dikembangkan dalam organisasi dan secara khusus kepada klien. 5) Perekrutan dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi-kualifikasi teknis dan terhindar dari tindakan pemecatan yang sewenang-wenang. 6) Pengalaman secara universal cenderung memperlihatkan bahwa tipe organisasi administrasi yang murni birokratis, dari sudut pandang teknis murni, mampu mencapai tingkat efisiensi yang paling tinggi. Birokrasi secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu tatanan yang sistematik dan hierarkis yang menekankan adanya kerja rasional, impersonal dan legalistik (Thoha, 1995: 15). Dan jika kutipan ini sejajarkan dengan temuan penelitian yang menggunakan pendekatran osborne dan Gaebler, penulis memastikan bahwa sejatinya kearifan lokan telah berhasil memberikan model pelayanan birokrasi sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat dimana nilai-nilai kearifan lokal itu dipersonifikasikan dengan budaya didunia birokrasi yang dijalankan di daerah. Birokrasi muncul seiring dengan perkembangan modernisasi masyarakat, misalnya peningkatan
monetisasi
ekonomi,
munculnya
ekonomi
kapitalis,
perkembangan
rasionalitas dan demistifikasi masyarakat, demokratisasi dan modernisasi sosial ekonomi pada umumnya yang menimbulkan kompleksitas masalah administrasi (Weber dalam Mas‟oed, 1997: 69). Birokrasi seperti dikatakan oleh Blau dan Meyer (1987: 23-26) merupakan suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk karena birokrasi merupakan instrumen administrasi rasional yang netral pada skala besar. Karena adanya kemampuankemampuan tersebut, birokrasi sebenarnya bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang J U R N AL K Y B E R N O L O G I
142
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 memiliki nilai secara cepat, tepat dan dengan biaya yang terjangkau (Thoha, 1995: 4); atau dengan kata lain, birokrasi berusaha mewujudkan efisiensi dan bukan sebaliknya. Maka atas anama efisensi itu pula nilai kearifan lokal yang penulis temukan dalam penelitian ini ternyata mampu menjadikan model pelayanan birokrasi pada pemerintahan di daerah kian efisien.
4.2 Pembahasan Realitasnya, birokrasi itu tampaknya digambarkan sebagai suatu tatanan yang sistematik, hierarkis, impersonal, legalistik, bahkan mungkin kaku. Weber (dalam Hummel, 1977: 31) bahkan mengatakan bahwa birokrasi mempunyai perbedaan dengan kehidupan sosial yang normal.maka tentulah semua pihak yang bertanggung jawab untuk menjadikan birokrasi yang demikian menjadi lebih humanis dapat mencari pola yang lebih membumi demi menjaga keberlangsungan birokrasi dan mengefisienkan pelayanan. Pola itu penulis temukan dengan mengedepan model pelayanan yang dimanifestasikan melalui unsur kearifan lokal baik dalam bentuk budaya, potensi ekonomi, sosial, geografis dan sosiologis masyarakat. Apa yang penulis sajikan dalam tulisan ini, adalah rangkaian panjang pengamatan berperan sertaa termasuk dalam kapasitas peran penulis yang juga lama berada dalam dunia birokrasi, sehingga secara in-sider penulis memahami banyak praktek pelayanan birokrasi dan kemudian dimanifestasikan dalam dunia pendidikan untuk mengkaji berbagai fenomena atas apa yang telah penulis laksanakan, praktekan dan sinkronkan dengan teori yang ada. Penyelenggaraan roda pemerintahan belum terbiasa melakukan penilaian terhadap kinerja birokrasi publik, berbeda dengan organisasi bisnis yang kinerjanya dengan mudah dapat dilihat dari profitabilitas, yang diantaranya tercermin dari indeks harga saham di bursa. Birokrasi publik tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan tidak mudah diperoleh informasinya oleh publik. Terbatasnya informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh pemerintah. Tidak tersedianya informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dari J U R N AL K Y B E R N O L O G I
143
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda kebijakan yang penting. Perlakuan pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerja birokrasinya. Misal dalam menentukan anggaran birokrasi, pemerintah sama sekali tidak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan output. Anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yang akan diberikan birokrasi pada masyarakatnya. Akibatnya dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi publik. Temuan penelitian itu juga menjadikan pelayanan publik dalam birokrasi pemeri ntahan di daerah mengalami dilema yang terkait dengan kepuasan masyarkat atau publik yang membutuhkan dan berhubngan dengan pelaayanan birokrasi, karena itulah penelitian ininampaknya perlu ditindak lanjuti
dengan
fenomena daan pendekatan serta tema
peneitian sejenis dengan birokrasi pemerintahan di daerah , tidak sekedar menemukan preposisi tetapi menguji berbagai pendekatan yang telah dilakukan dalam menjembatani kebutuhan publik akan pelayanan dan kewajiban pemerintah umumnya khususnya pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan. Konsep tentang birokrasi seringkali diperlakukan sama dengan struktur organisasi pemerintah atau dengan proses atau fungsi administrasinya. Hal ini sinonim dengan “administrator” atau birokrat. Dalam istilah yang sama dalam banyak referensi muncul studi yang mempersamakan studi birokrasi dengan studi administrasi (Riggs, 1975: 63). Lebih lanjut Riggs mengatakan bahwa penyamaan ini tidak sepenuhnya mengikuti pendapat Weber yang mengemukakan bahwa “terlalu tingginya kekuasaan pejabat, dengan menekankan peran mereka tidak semata-mata bersifat administratif, tetapi juga dapat menyangkut unsur politik yang penting”. Hal ini apabila dikaitkan dengan kenyataan sekarang ini seringkali menekankan perhatiannya pada pengaruh politik dari pejabat negara. Sebagai upaya untuk melakukan pembedaan posisi birokrasi sesuai dengan proporsinya, maka Riggs (1975: 61) berupaya untuk melakukan pembedaaan terhadap karakteristik birokrasi, yaitu:
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
144
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Pertama, organisasi dilihat sebagai organisasi yang merupakan pengertian tradisional, ia mendefinisikan birokrasi sebagai pemerintahan yang diisi oleh staf yang ditunjuk dan bukan dipilih atau diorganisasikan secara hirarki, keberadaannya tergantung kepada otoritas yang mutlak. Kedua, mendefinisikan birokrasi sebagai rasionalisasi kegiatan kolektif, dan Ketiga, memberikan definisi bahwa birokrasi merupakan kebiadaban negara yang wujudnya berbentuk kelambanan, kelemahan, kerumitan dan keruwetan prosedur yang secara terus menerus mengecewakan karena peraturan birokrasi atau kelalaian. Penelitian ini paling tidak juga berhasil mengkaji fenomena yang sejalan dengan apa yang dikutip diatas, artinya betapapun canggihnya model birokrasi yang ingin diterapkan, jika semua unsur itu masih terjaadi, melekat dan dilakukan oleh para birokrat makaa haraapaan akan impian birokrasi dengan model pelayanaan yang efisien akan terus ada di dunia birokrasi. Sebagai organisasi publik yang mempunyai tugas dan fungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, organisasi pemerintah daerah sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan
secara
keseluruhan,
seharusnya
memperhatikan
kinerjanya
dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut pandangan sistem, kinerja adalah keluaran yang dihasilkan dari sebuah sistem yang didalamnya sekaligus menggambarkan apa yang terjadi pada saat proses konversi unsur masukan dilaksanakan. Kinerja organisasi pemerintah daerah kabupaten, adalah sagala hal yang merupakan keseluruhan keluaran yang dihasilkan oleh organisasi tersebut baik berupa barang atau jasa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Dracker (1997: 322) mengatakan bahwa kinerja merupakan keterampilan yang diperlihatkan oleh suatu organisasi dalam menyelesaikan tugas dan fungsinya. Kinerja suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemauan dan kemampuan dari semua orang yang ada dalam suatu organisasi untuk menyelesaikan tugas dari organisasinya. Senada dengan pendapat yang dikemukakan Dracker itu, Katzenbach (1997: 34-35) mengemukakan bahwa kinerja merupakan prestasi dari pimpinan, bawahan atau seseorang, sekelompok orang yang dapat memberikan perubahan besar bagi suatu organisasi dalam mencapai sasaran. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
145
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Konteks kinerja ini pula yang peneliti temukan dalam penelitian ini, sehingga apapun nilai keaarifan lokal yang ditujukan untuk mendukung agar aparat birokrasi di daerah bisa berkinerja baik, alhasil segala sesuatu ternyata harrus dikembalikan kepada aparat birokrasi sebagai ujung tombak pelaku pelayanan. Penelitian ini paaling tidak menemukan ada nilai kearifan lokal yang bisa dijasikan model tetapi penerrapan model pelayanan dikembalikan kepada birokrasi dan aparat birokrasi yang menjalankan roda pemerintahan di daerah.
5.
PENUTUP karakteristik pokok birokrasi, yaitu bahwa; operasi-operasi birokratis diselenggarakan
melalui suatu sistem atau kaidah-kaidah abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapanpenerapan kaidah dan peraturan-peraturan yang eksplisit. Dan birokrasi pemerintahan di daerah dipenuhi oleh muatan model pelayanan yang seharusnya dapat didukung dan mendukung bagaimanaa kearifan lokal bisa menjadi bagian dari model pelayanan. Temuan penelitian ini mengisyaratkan bahwa meskipun kearifan lokal yang terkandung dalam geografis daerah, dinamika sosial ekonomi dan politik itu ada dan dapat dijadikan sumber yang mengakgtifkan pelayanan seperti yaang diharapkan masyarakat, ternyata fenomena bergantinya kekuasaan dan kepemimpinan di daerah dalam bentuk pemerintahan selalu ada kaitannya dengan kelompok yang memenangkan pilkada, artinya stigma bahwa berganti pemerintahan maka berganti pula kebijakan ada kaitan juga bagaimana pemerintah daerah menerapkan model pelayanannya. Atas dasar itupul penulis menyarankan bahwa penelitian ini paling tidak bisa dilanjutkan dengan menemukan, menganalisis dan mencari tahu paradigma lain yang dapat dijadikan ukuran untuk menguji bagaimna sejatinya model peayanan di daerah dilakukan oleh pemerintah daaerah dengan tetap mengedepaankan nilai-nilai kearifan lokal.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
146
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 KEPUSTAKAAN Albrow, M. 1989. Birokrasi, terjemahan, Yogyakarta: Penerbit PT. Tiara Wacana,. Arrendt, H. 1999. The Public Face of Architecture. Civic Culture and Public Spaces, Chicago: University of Chicago Press. Arifin, D. S. 2003. Pengaruh Organisasi, Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Keuangan Terhadap Pelayanan Aparatur Pemerintah Daerah Kota Bekasi, Disertasi, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung. Babin, J. dan M. Griffin. 1998. The Nature of Satisfaction: An Updated Examination and Analysis, Journal Business Research, Vol. 41, hal 127-136. Barnes, J. G. 2003. Secrets of Customer Relationship Management, terjemahan Andreas Winardi, Yogyakarta: Penerbit Andi. Bendix, R, 1952. Bureaucracy and The Problem of Power, Merton, R.K., A. P. Gray, B. Hockey, dan H. C. Selvin, (editor) Reader in Bureaucracy. New York : The Free Press. Bernard,
H.
R,
1995.
Research
Methods
in
Anthropology:
Qualitative
and
Quantitative Approaches. Walnut Creek: AltaMira Press. Bernardin, J. H. dan J. E. A. Russel. 1992. Human Resources Management: An Experiential Approach, New York: McGraw-Hill Education. Bertalanffy, L. V. 1973. General System Theory: Foundations, Development, Applications, London Penguin University Books. Bertrand, A. L. 1972. Social Organization: A General Systems and Role Theory Perspective. Philadelphia: F. A. Davis Company. Blau, P. M. 1964. Exchange and Power in Social Life, Chicago John Wiley and Sons, Chicago. Blau, P. M. dan M. W. Meyer. 1987. Bureaucracy in Modern Society, New York : Mc Graw Hill, 3rd Edition. Boeke, J. H. 1946. Oosterse Economic, N Service Publisher, Den Haag, Netherland. Boissevain, J. 1966. Patronage in Sicily, Man, (NS), I (1), Hal 18-83. Bogdan, R. C. dan S. K. Bliken. 1986, Qualitative Research for Education – An Introduction to Theory and Methods, Boston Allyn and Bacon Inc. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
147
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Brannen, J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Jakarta : Pustaka Pelajar. Champion, D. J. dan J. A. Black. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial, Bandung : PT. Eresco. Creswell, J. W. 2002. Research Design Qualitative & Quantitative Approaches, Pengantar Parsudi Suparlan, Jakarta : KIK Press. Dam, T. dalam Betting on the Weak, Dari titik pertentangan menuju Revolusi, Dr. Gerrit Huizer, 1972. Damodar, G. terjemahan, 1995. Basic Econometry, Jakarta : Erlangga. Dipoyudo, K. 1990. Membangun atas Dasar Pancasila, Jakarta Centre for Strategic and International Studies CSIS, Jakarta. Dracker, P. F. terjemahan,1997. The Organization of The Future, Jakarta: Gramedia. Dwiyanto, A. 2002. Membangun Sistem Pelayanan Publik yang Memihak pada Rakyat, Populasi, Buletin Penelitian Kebijaksanaan Kependudukan, No.01 Vol.13, Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, Universitas Gadjah Mada. Gerard, G. and Ellinor, L. 2001.
A Guide to Practicing Dialogue, Pegasus
Communication. Esman, M. J. 1972. The Elements of Institution Building. in J. W. Eaton (ed.), Institution Building and Development: From Concepts to Application, CA: Beverly Hills. Esman, M. J. dan N. Uphoff. 1974. Local Organization for Rural Development: Analysis of Asian Experience, Special Series on Rural Local Government: No. 19. Publisher: Cornell Univ Rural Development Committee. Esman, M. J. dan N. Uphoff. 1982. Local Organizations: Intermediaries in Rural Development. Ithaca Cornell University Press, New York. Eaton, J. 1986. Credit Policy and International Competition. In Strategic Trade Policy and the New International Economics, edited by P. R. Krugman. Cambridge, Mass.: MIT Press.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
148
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 PERKEMBANGAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA
Oleh: Johny Lumolos,
ABSTRACT. Social structure is very sensitive to changes in the economy. Social dynamics has embodied the diversity of people and cultures. Indonesian society is a pluralistic society. Problems faced by the country of Indonesia will be more complex if the difference in values or characters that intersect with the factor of physical differences. Intercultural dialogue and communication is the solution to glue together different cultures.
I.
Pendahuluan Dengan adanya Revolusi Transformasi, komunikasi dan informasi tidak ada lagi
bagian dunia yang masih tertutup. Dunia semakin kecil dan terbuka, tidak dapat dipungkiri bahwa sedang dan akan terus terjadi pergeseran dalam nilai sosial budaya yang dianut oleh manusia. Pergeseran tersebut menjadi tantangan karena disatu pihak suatu bangsa ingin mempertahankan jati dirinya dan dipihak lain dituntut melakukan berbagai bentuk penyesuaian agar mampu mengikuti irama dan perkembangan zaman. Tantangan tersebut lebih terasa lagi karena pergeseran nilai tersebut dapat terlihat dalam bidang, sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Akumulasi pekerjaan dan modal ternyata tidak selalu otomatis menjamin peningkatan kualitas kehidupan kolektif suatu bangsa. Kebahagian dan kesejahteraan itu ternyata tidak bisa didekati secara kuantitatif, berdasarkan indikator-indikator ekonomi saja. Hal yang lebih penting, adalah distribusi status pekerjaan dan penghargaan kepada setiap orang. Karena itu, kepedulian pada ketersediaan pekerjaan yang baik, lingkungan hidup yang sehat, hubungan-hubungan sosial yang akrab, dan waktu luang yang cukup untuk mengembangkan kreativitas, serta gagasan – gagasan yang bermanfaat bagi kehidupan bersama dipandang lebih bermakna. Semua itu merupakan ukuran-ukuran kualitatif dari kehidupan masyarakat modern yang akan menjadi acuan penting memasuki abad mendatang. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
149
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Pergeseran basis kompetitif dari sumber daya alam kepada sumber daya manusia dalam tatanan ekonomi global merupakan salah satu pemicu betapa pentingnya kualitas sumber daya manusia. Sumber daya alam yang melimpah bukan merupakan suatu jaminan kemakmuran bangsa. Hanya negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sajalah yang mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsanya dengan cepat. Negara-negara yang hanya mengandalkan kekayaan sumber daya alam tetapi mengabaikan kulitas sumber daya manusianya tidak akan mampu bersaing dalam dunia internasional dibandingkan dengan negara-negara yang mempunyai sumber daya alam relatif terbatas namun mempunyai keunggulan kualitas sumber daya manusia. Malahan apabila mempunyai SDA yang berlimpah bila tidak diimbangi oleh SDM yang kuat bisa mengakibatkan musibah, karena dikuasai oleh negara oleh negara-negara yang kuat. Hal ini dapat dibuktikan dewasa ini pada masyarakat Jepang dan Korea. Betapa mereka mempunyai kekayaan alam yang tidak begitu menguntungkan, namun sumber daya manusia mereka lebih unggul dibandingkan negara lain sehingga produk mereka mampu menyusup perekonomian hampir seluruh penjuru dunia, bahkan tidak ada yang menyangkal, bahwa Jepang merupakan negara “Super Power” di bidang ekonomi. Strategi yang dipandang strategis adalah strategi pengembangan Sumber Daya Manusia. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas SDM dapat memberikan efek ganda dalam jangka panjang yaitu efisiensi dan kompetitif. Dengan mutu SDM yang tinggi pekerjaan dapat dilaksanakan lebih efisien dari segi tenaga, waktu dan biaya. Produk kerja berupa barang dan jasa yang dihasilkan secara efisien pasti memiliki daya saing. Konsep ini tidak hanya berlaku dalam lingkungan dunia bisnis tetapi juga dalam lingkungan birokrasi pemerintahan , termasuk dalam lingkungan tugas kepolisian. Struktur sosial masyarakat ternyata sangat sensitif terhadap perubahan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi maupun tekanan ekonomi akan membuat memudarnya keterikatan terhadap norma-norma dan memperlemah solidaritas sosial. Tekanan ekonomi juga menciptakan kompetisi lapangan kerja yang tinggi, bahkan pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan adanya perbedaan stratifikasi sosial dan kesenjangan ekonomi, pertentangan ideologi , etnik dan memunculkan potensi konflik dalam masyarakat.Akibat J U R N AL K Y B E R N O L O G I
150
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 berkurangnya solidaritas sosial dan tidak ada kekuatan untuk menegakkan norma hukum yang mengatur dapat menimbulkan berbagai tindakan sosial yang tidak rasional. Perubahan tatanan sosial budaya yang sudah terpolakan pada saat ini merupakan masa transisi. Perubahan ini pada akhirnya akan membentuk suatu tatanan sosial baru yang akan menciptakan stabilitas sosial, budaya baru dengan lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya partisipasi masyarakat yang lebih baik diharapkan akan memunculkan kualitas SDM yang baik pula, yang pada gilirannya akan menciptakan manusia baru Indonesia yang lebih baik sehingga dapat menghadapi segala tantangan yang terjadi akibat perubahan global tersebut. Dinamika soaial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat mapun kecepatan perkembangannya Masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Salah satu ciri dari masyarakat Indonesia yang menonjol adalah jumlah dan keanekaragaman suku bangsa serta kebudayaan masing-masing, keberagaman keyakinan keagamaan, dan ciri-ciri fisik atau ras.
Perkembangan yang cukup menggembirakan dan patut dicatat dalam era
reformasi ini bahwa secara bertahap orang Indonesia menjadi lebih toleran terhadap berbagai keragaman dan perbedaan yang dihadapi dan menyadari bahwa keberagaman budaya menjadi pedoman dalam tindakan-tindakan sosialnya. Sebagai masyarakat yang beradab, sikap dan tindakan orang-orang Indonesia yang seperti inilah yang ideal dari citacita sebagaimana yang dinyatakan oleh pendiri bangsa, yaitu persatuan dalam kesatuan yang penuh adab dalam kebangsaan Indonesia. Ada dua kekuatan yang memicu perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Pertama, kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor) seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat . Kedua, adalah kekuatan yang berasal dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak antar budaya (culture contact) secara langsung, maupun unsur kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan budaya masyarakat. Dalam perubahan sosial tersebut masih ada sejumlah orang dalam kelompok sosial Indonesia masih mempraktikan etnocentrisme yang tidak toleran terhadap perbedaanJ U R N AL K Y B E R N O L O G I
151
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 perbedaan kebudayaan atau rasis dan bertindak diskriminatif terutama terhadap golongan minoritas.
II.
Perkembangan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia Masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat yang majemuk. Bila dibandingkan
dengan sejumlah bangsa yang majemuk lainnya di berbagai negara berkembang, maka tampaklah bahwa pluralitas bangsa Indonesia sangat kompleks dan sering melebihi kemajemukan banyak negara lain. Dikatakan bahwa pluralitas bangsa Indonesia sangat kompleks, antara lain karena kemajemukan tidak hanya dapat dirasakan, melainkan juga dapat dilihat dengan kasat mata. Memang Kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya meliputi aspek nilai, perasaan atau karakter masyarakat saja, tetapi juga mencakup aspek fisiknya. Sementara itu dari sudut nilai, perasaan atau karakter, kompleksitas bersumber pada faktor-faktor perbedaan kesukuan, daerah/geografis, bahasa, adat istiadat,tradisi dan agama. Faktor-faktor tersebut sering dikenal sebagai primordialisme, yang melahirkan sentimen-sentimen atau kesetiaan primordial. Primordialisme lebih banyak menimbulkan kompleksitas dalam masyarakat yang heterogen, meskipun terkadang kompleksitas juga muncul dalam masyarakat yang relatif homogen, karena faktor-faktor yang membedakan antara seseorang atau sesuatu kelompok dengan orang atau kelompok lain dalam masyarakat yang sama itu, tidak mendorong mereka ke arah kompromi atau kerja sama. Hal ini karena ikatan-ikatan kesetiaan sempit yang dilahirkan primordialisme itu memang mengandung bobot kecurigaan, yang tidak lain pada taraf awal dari rasa permusuhan. Persoalan yang dihadapi negara Indonesia akan semakin kompleks bilamana perbedaan-perbedaan nilai atau karakter itu bersinggungan dengan faktor-faktor perbedaan fisik. Bayangkan saja bagaimana rumitnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di suatu daerah bilamana masyarakat itu menganut dua atau lebih karakter yang berbeda. Walaupun tidak setiap hari mereka itu akan berbenturan karena perbedaan-perbedaan nilai yang mereka miliki, tetapi jelas di sana selalu ada peluang untuk bersinggungan bilamana
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
152
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 pada suatu saat perbedaan-perbedaan tadi terpacu ke arah yang sensitif, baik secara individual maupun kelompok. Faktor lain yang juga mulai memainkan peranan dalam menambah kemajemukan masyarakat Indonesia adalah perbedaan yang berdasarkan pada pencapaian dalam bidang pendidikan dan ekonomi, yang biasanya disebut sebagai golongan menengah. Di satu pihak, perbedaan ini mengisi celah yang ada antara golongan atas dengan golongan bawah dari masyarakat kita, sehingga dapat berfungsi sebagai perantara bagi keduanya. Di lain pihak, golongan menengah adalah kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran akan keberadaannya di dalam sistem politik. Mereka adalah kelompok yang ingin berpartisipasi tidak saja di dalam kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi, sebagaimana yang diinginkan oleh elite politik, melainkan juga dalam bidang politik. Dilihat dari kacamata golongan atas, maka golongan menengah ini merupakan salah satu faktor yang mampu menggerogoti kekuasaan elite politik. Golongan menengah ini mulai membengkak jumlahnya dalam beberapa tahun terakhir ini, meskipun mereka masih harus menunggu beberapa tahun lagi untuk dapat menjadi faktor penting dalam proses persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat Indonesia akan menuju kepada masyarakat industri. Masyarakat industri adalah masyarakat terbuka. Keterbukaan itu ditunjang oleh kemajuan IPTEK dan kemudahan-kemudahan komunikasi yang dilakukannya. Keterbukaan
masyarakat
merupakan suatu proses yang tidak dapat dibendung sejalan dengan menderunya proses demokrasi yang melanda kehidupan manusia dewasa ini. Benteng-benteng otokrasi rontok satu persatu diterjang oleh hasrat manusia untuk mewujudkan salah satu hakikat kemanusiannya, yaitu demokrasi. Cepat atau lambat, proses ini akan muncul dan terus berlangsung. Tempo serta intensitas proses demokrasi itu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kehidupan politik bangsa yang menjamin keterbukaan juga perkembangan global yang mempengaruhi dinamika politik, sosial, dan budaya bangsa. Di samping itu di negara Indonesia kebebasan Pers merupakan negara yang paling bebas di seluruh dunia. Hal ini juga dapat mengganggu keamanan dan stabilitas nasional manakala meniupkan issue-issue yang bersifat SARA. Selain itu juga tanpa disadari menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Akibatnya, mereka yang tidak siapakan tergeser dan semakin terpuruk hidupnya dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada J U R N AL K Y B E R N O L O G I
153
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik parsial dalam kemajemukan dan multi kultural tersebut. Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Pendidikan menjadi kekuatan perubahan sosial karena menimbulkan kreatifitas peserta didik untuk mengembangkan perubahan
(innovator). Disamping pendidikan, penegakan hukum
diperlukan untuk menjamin keadilan sosial dan demokratisasi dalam era reformasi yang memicu perkembangan sosial budaya. Kebanyakan orang tidak menyadari dampak sosial reformasi, walaupun dengan lantangnya menuntut penataan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesungguhnya reformasi mengandung muatan perubahan sosial budaya yang harus diantisipasi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan yang seringkali menimbulkan ketidakpastian dalam prosesnya. Tanpa penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, perkembangan sosial budaya akan menghasilkan bencana sosial yang lebih parah, karena kehilangan kepercayaan masyarakat akan mendorong mereka bertindak sendiri. Reformasi harus mengandung makna perkembangan adalah perbaikan tatanan kehidupan masyarakat bernegara ke arah yang lebih baik. Pemimpin dalam percaturan global akan menghadapi tuntutan yang makin besar dan makin kompleks daripada tuntutan yang dihadapi dalam percaturan pasca global. Pemimpin pada percaturan global dituntut untuk dapat meningkatkan kinerja dalam organisasinya, sehingga dapat meningkatkan kompetisi, pengurangan jangka waktu untuk semua kegiatan dan keharusan mencapai nilai-nilai kelas dunia. Graham Winter (2003) menggambarkan perubahan dalam kinerja sebagai berikut : Gambar 1 PERUBAHAN PERUBAHAN DALAM PETA KINERJA Unsur
Percaturan Pra-global
Percaturan global
Pengaruh pada organisasi
Skala
Berbasis Negara
Menjangkau dunia
Peningkatan kompetensi
Kecepatan
Tetap dan linier
Cepat dan multi arah
Pengurangan jangka waktu untuk semua kegiatan
Standar
Nasional
Internasional
Keharusan mencapai nilai kelas dunia
Sumber : Winter (2003 :
) J U R N AL K Y B E R N O L O G I
154
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Para pemimpin yang berhasil mempunyai sifat yang hampir sama, diantaranya adanya kekuatan ego yang tinggi, kemampuan berfikir strategis, orientasi kedepan, dan suatu kepercayaan pada prinsip fundamental perilaku manusia. Pemimpin demikian mempunyai kepercayaan yang kuat atas kemampuan dirinya, sehingga tidak ada keraguan dalam melakukan tindakannya. Secara politis pada umumnya adalah orang yang cerdas. Mengetahui cara menggunakan kekuasaan demi efisiensi dan kebaikan yang lebih besar pemimpin tersebut mempunyai ketegasan dan masuk mempengaruhi pikiran orang lain sehingga mengikuti pikirannya. Kepemimpinan kinerja tinggi selalu menekankan fleksibilitas dan adaptabilitas sehingga menghasilkan kinerja yang tinggi dalam mengembangkan potensi SDM secara maksimal Dunia masa depan merupakan dunia yang cepat berubah. Agar dapat memanfaatkan dinamika perubahan itu diperlukan kemampuan persepsi yang cepat terhadap perubahan – perubahan, mampu menganalisisnya sehingga tidak hanyut dalam arus perubahan itu. Untuk itu manusia Indonesia harus cerdas. Dengan kecerdasan yang memadai dapat memperluas wawasannya dan menentukan serta mempersiapkan partisipasinya dalam pembangunan bangsa dan negara. Pendidikan berperan penting dalam memanusiakan manusia. Untuk itu perlu tumpuan pijakan yang kuat agar tidak larut dalam perubahan itu. Pijakan itu tidak lain adalah budaya Indonesia dalam arti yang luas. Dengan mempunyai ketahanan budaya yang kuat dapat dijadikan sebagai suatu mekanisme kontrol, karena ketahanan budaya itu sendiri merupakan suatu “entiti” yang dinamis. Dengan memperkuat agama dan budaya bangsa, jati diri suatu bangsa dapat diwujudkan dalam menyongsong era global tersebut. Tanpa ditopang oleh fondasi agama dan budaya masyarakat yang kuat, kemajuan yang diperoleh sebagai akibat adanya globalisasi akan mengalami kegagalan dan kehilangan arah. Untuk itu ketahanan budaya perlu diperdalam fondasinya dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara sehingga dalam proses modernisasi ini jati diri tetap terjaga. Dalam suatu masyarakat yang demokratis keterbukaan harus dimaknai dalam arti yang sarat dengan nilai-nilai, dan sikap peduli (Concern) J U R N AL K Y B E R N O L O G I
terhadap sesama untuk 155
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 bekerjasama. Sikap peduli terhadap sesama bukan berarti sikap toleransi yang pasif. Justru sebaliknya, sikap peduli yang tidak membenarkan segala yang dapat merugikan kepentingan bersama. Hakikat kepedulian itu adalah terciptanya dialog, menghargai kemitraan dan kebebasan penuh makna dari sesama manusia. Pendidikan merupakan sarana untuk membangun keberhasilan suatu bangsa. Hidup berkembangnya demokrasi dalam masyarakat bergantung pada taraf kecerdasan dan kualitas pendidikannya. Oleh karena itulah perubahan sosial budaya dalam suatu masyarakat harus dilakukan secara bertahap. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat dipengaruhi tingkat pendidikan , karena akan berpengaruh terhadap cara berpikir, daya nalar wawasan, keleluasaan pengetahuan, dan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Oleh karenanya pendidikan merupakan modal dasar yang memungkinkan sumber daya manusia berkualitas. Pendidikan formal dan in formal akan memberikan peluang dan akses pada penguasaan ilmu dan teknologi. Dengan penguasaan teknologi tadi dapat melakukan suatu perubahan sosial dalam masyarakat . Hal ini terlihat dari diagram di bawah ini: Gambar 2 KEKUATAN-KEKUATAN PEMBENTUK PETA BISNIS
GLOBALISASI
TEKNOLOGI
PERUBAHAN SOSIAL
Sumber : Winter (2003 : 7 )
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
156
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Keberhasilan program pendidikan sangat ditentukan oleh macam pendidikan yang diikuti dengan tuntutan perkembangan zaman dan menerapkan konsep “link and match”, hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah pengangguran terdidik. Semakin bertambah pendidikannya semakin laju pembangunan negaranya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia aspek pemenuhan kebutuhan hidup sangat terkait dengan kualitas kesehatan dan pendidikan . Menurut Maslow kebutuhan manusia tersusun secara hierarkis dari mulai kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan (pengakuan) dan aktualisasi diri. Hierarki kebutuhan tersebut terus bergeser sejalan dengan pemenuhan kebutuhan secara bertingkat. Terkait dengan teori motivasi tersebut, tentunya masyarakat pada umumnya yang paling dibutuhkan adalah pelayanan publik yang mendasar terutama kesehatan dan pendidikan, sedangkan untuk golongan menengah ke atas tentunya penegakkan hukum yang adil (Law enforcement). Hal ini sangat terkait dengan sifat keteladanan dari pimpinan itu sendiri. Rosabeth Moss Kanter (199 : 163), para pemimpin masa depan, membutuhkan cara baru untuk mendorong kinerja tinggi dan membangun komitmen sarana motivasi yang baru bagi pemimpin masa depan tersebut adalah mission, penguasaan agenda, belajar, reputasi dan membagi penciptaan nilai. Pekerjaan dan karir dalam terbaik akan berdasarkan pada penugasan kerja yang fleksibel bukan pada tanggung jawab tugas yang kaku. Seiring dengan hal tersebut, Graham Winter (2003), melihat bahwa proses informasi dan teknologi komunikasi dalam percaturan tidak terbatas (infinite game) sangat fleksibel sesuai dengan kondisi yang ada. Dalam negara maju, ketaatan masyarakat terhadap hukum sangat tinggi. Penegakan hukum (Law enforcement) dapat dilakukan dengan baik. Kesadaran hukum pada hakikatnya berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Hukum adalah cerminan dari masyarakat sendiri. Untuk itu hukum harus dijadikan fondasi suatu bangsa dalam menyelenggarakan pembangunannya. Oleh karena itu selama Fondasi ini belum kuat, maka terus permasalahan bangsa dan negara tidak akan terselesaikan. Untuk itu diperlukan political will dari para elite
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
157
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 pemerintah untuk dapat memberikan keteladanannya dalam mentaati hukum dan melakukan tindakan tegas terhadap pelanggarnya, tanpa melihat status dan kedudukannya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius, maka sumber tertinggi bangsa dan masyarakat adalah agama. Para pejabat publik adalah bagian dari bangsa dan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya keterikatannya bukan hanya oleh norma atau ketentuan dalam organisasi tempat bekerjanya saja, melainkan juga ketentuan yang berlaku bagi masyarakat umum. Ukuran kebenaran dari perbuatan pejabat publik mulai dari yang tertinggi agama sampai yang terendah perintah atasan. Walau demikian dalam kehidupan praktis kadang-kadang yang lebih dominan untuk mengukur perbuatan yang dilakukan adalah perintah atasan. Berbeda dengan kehidupan masyarakat modern yang menghormati kontrol dari bawah, budaya berani menentang secara terang-terangan sangat sulit dilakukan oleh pejabat publik walaupun mengetahui perintah itu tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Norma agama sudah mengingatkan bahwa segala sesuatu itu harus dilakukan secara profesional dan lebih baik dari sebelumnya. Peran media masa dalam perubahan sosial budaya ini sangat penting. Untuk itu media masa merupakan media kontrol terhadap informasi yang ada. Untuk itu media masa jangan dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai mitra dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Media massa merupakan kekuatan sosial baru dalam menghadapi perubahan. Otoritas media massa sangat menentukan dan sekaligus memberikan suatu penilaian terhadap citra Pemerintah. Oleh karenanya media massa harus didekati dan dimanfaatkan karena sangat menentukan dan sebagai kebutuhan yang besar dalam perubahan tersebut. Ada 3 langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah secara dini konflik yang bersifat multidimensional. Pertama, pemerintah harus memperkuat jaringan pengamanan sosial (JPS) untuk memberi bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dari kalangan masyarakat bawah. Kedua, menggerakan dialog antar identitas sosial berkaitan dengan fakta resesi ekonomi dunia dan dampaknya terhadap kebudayaan sosial. Ketiga, adalah kesiapan aparatur kepolisian sebagai penjaga tertib sipil (keamanan dan ketertiban masyarakat).
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
158
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Para cendekia kampus, tidak berpikir negatif terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, melainkan justru harus optimis dan menggali peluang-peluang yang ada, sehingga masalah-masalah yang muncul dapat terpecahkan dengan baik. Memberikan keteladanan, menciptakan kaderisasi yang baik, dan adanya standarisasi pelayanan publik yang memadai dengan biaya yang murah dan terjangkau merupakan hal yang paling penting untuk menyiasati dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi serta perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat, sehingga mampu menghadapi masa depan dengan lebih baik.
III.
Penutup Dalam
masyarakat
multikultural,
pemerintah
khusunya
kepolisian
harus
memberikan penegasan bahwa yang utama adalah menjadi pelindung warga negara dan bangsa Indonesia tanpa mempedulikan asal suku bangsa, ras, agama, dan daerah asal. Warga negara dilihat dari kesetiaannya pada negara Indonesia dalam bentuk karyakaryanya yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatkatnya. Kebijakan ini juga sekaligus menjadi landasan kebijakan politik menuju masyarakat multi kultural. Program-program jangka panjang yang secara langsung mendukung terwujudnya masyarakat multikultural adalah pendidikan kearganegaraan, pendidikan multikultural, pendidikan bahasa, pendidikan antar-budaya dan pendidikan antar-keyakinan keagaamaan. Seiring pula harus dibangun program-program perbaikan hukum dan lembaga-lembaga penegakan hukum.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
159
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 DAFTAR PUSTAKA Bennis, Warren, & Mitchel Hisehe. 1995. Organisasi Abad 21 Reinventing melalui Reengineering. Terjemahan Irma Andriani R. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Gouvillart, J. Francais, James N. kelly. 1995. Transforming the Organization. Mc GrawHill Inc. New York. Novri, Susan. 2009. Sosiologi Konflik, Isu-isu Konflik Kontemporer, Penerbit Kencana. Jakarta. Syaukani, Affan Gaffar, Ryaas Rasyid, (2002), Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta Sofyan, Ahmadi. 2010. Melihat Polisi dengan Mata Hati. Polda Bangka Belitung. Suparlan, Parsuadi. 2008. Ilmu Kepolisian. Penerbit Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Suwarmi. 2009. Prilaku Polisi. Penerbit Nusa Media. Bandung. Warlan, Ambar. 2009. Polisi dan Politik. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Winardi. 1994. Manajemen Konflik, Konflik Perubahan dan Pengembangan. Penerbit CV. Mandar Maju Bandung. Thoha, Miftah (2008), Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
160
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Pendekatan New Public Management, New Public Service dan Kegagalan dalam Reformasi Birokrasi di Indonesia Oleh : Ira Irawati*)
Abstract. This paper is the result of a literature study aims to explain the failure of bureaucratic reform in Indonesia, where one of the factors that influence the success of the reform measures i s unclear bureaucracy itself. Theory of bureaucracy and bureaucratic assessed to describe the problem in bureaucratic reform agenda in Indonesia today. Approach New Public Management and New Public Service should be emphasized on the importance of changing the mindset in running the government. The Four E concept in this paper can be considered as a measure of the success of bureaucratic reform. Keywords: Effectiveness, Equity and Reform
Kajian mengenai reformasi birokrasi telah menjadi perhatian besar khususnya bagi negara-negara berkembang. Reformasi birokrasi dimaknai sebagai suatu perubahan terencana guna menciptakan good governance. Begitupun di Indonesia, isu tentang reformasi birokrasi masih terus diperbincangkan di banyak kesempatan dan oleh berbag ai kalangan; baik dalam forum seminar, sidang kabinet sampai rapat -rapat dinas di tingkat pemerintah daerah, bahkan secara terbuka dan meluas di media massa. Namun sampai saat ini nampaknya belum ada suatu formula reformasi birokrasi yang tepat untuk dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pemerintah kita saat ini. Apabila kita renungkan, rasanya dalam sejarah berdirinya negara ini, baru kali ini ada “f enomena luar biasa” dalam tatanan birokrasi negara kita. Dimana ratusan persoalan,
pejabat publik “digiring” ke penjara. Lalu yang menjadi
apakah
tepat
banyaknya
jumlah
pejabat
publik
(public
administrators) yang masuk penjara ini menjadi ukuran dari keberhasilan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
161
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 program reformasi? Atau justru sebaliknya; menunjukkan ketidakpahaman b angsa ini terhadap konsep reformasi birokrasi yang sesungguhnya? Disisi lain, reformasi birokrasi yang digulirkan Presiden SBY hingga periode pemerintahannya yang kedua ternyata dipandang belum berjalan dengan baik di mata dunia internasional. Selain belu m bisa meningkatkan ef isiensi birokrasi, kegagalan Presiden SBY dalam menggulirkan reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Berangkat dari hal tersebut maka tulisan ini akan membahas mengenai sejumlah kendala reformasi birokras i di Indonesia, kemudian melihat best practices reformasi birokrasi di negara lain dan pada bagian akhir dirumuskan konsep The Four E sebagai tolak ukur keberhasilan reformasi birokrasi di Indonesia. Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif, maka kita perlu menjelaskan mulai dari konsep birokrasi dan reformasi birokrasi.
Birokrasi dan Reformasi Birokrasi Istilah birokrasi seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat.
Hal
ini
berawal
dari
konsep
birokrasi
pertama
kali
yang
dikemukakan oleh Max Weber atau dikenal dengan Birokrasi Weberian, yang melahirkan konsep tipe ideal birokrasi yang rasional, yaitu adanya suatu pembagian kerja secara hierarkis dan rinci yang didasarkan pada aturan-aturan tertulis yang diterapkan secara impersonal, d ijalankan oleh pejabat yang prof esional yang digaji atas dasar kinerja, dan pejabat tersebut sama sekali tidak turut memegang kepemilikan atas aset pemerintah. Tipe birokrasi weberian masih digunakan hingga saat ini meskipun memiliki beberapa kelemahan ya itu; aspek analisanya yang menitikberatkan pada internal organisasi, dengan memandang bahwa organisasi sebagai suatu sistem yang tertutup, tanpa memperhatikan aspek eksternal yang akan mempengaruhi sistem organisasi. Selain itu, pembagian jabatan secara hierarkis
melahirkan
kekuasaan
(power)
yang
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
berbeda
pada
setiap 162
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 jenjangnya. Semakin tinggi hierarki maka semakin besar kekuasaannya begitupun sebaliknya, dan posisi masyarakat ada pada hierarki yang paling bawah dimana pada posisi ini mereka sama sekali tida k mempunyai kekuasaan.
Inilah
yang
dinamakan
cara -cara
off icialdom,
yang
menyebabkan rakyat sangat bergantung pada para pejabat pemerintah sebagai pusat tempat penyelesaian urusan publik (Thoha, 2003). Birokrasi juga seringkali diidentikkan dengan pelayan an publik yang lamban, inefisiensi organisasi, prosedur yang berbelit -belit, bahkan Karl Marx
memandang birokrasi memainkan peranan sebagai penindas dari
kaum kapitalis, peran birokrasi bukan sebagai katalis, namun sebagai parasitik dan misinya mempertaha nkan status quo hubungan sosial yang eksploitatif (Moeljarto dalam Said, 2007:30). Birokrasi Weberianpun sulit dipraktekan sesuai gagasan awal karena dalam pelaksanaannya birokrasi tidak lagi bisa netral, pengangkatan pejabat publik tidak lagi berdasarkan kualif ikasi prof esionalitas, namun lebih pada kriteria subjektif yang dipengaruhi oleh intervensi politik tertentu. Berangkat dari adanya berbagai kelemahan tersebut, para ahli terus meneliti
birokrasi
sehingga
munculah
konsep -konsep
baru
untuk
memperbaiki penyelenggaraan birokrasi agar lebih responsif terhadap lingkungan eksternal. Konsep -konsep inilah yang akan digunakan oleh pejabat publik dalam melakukan reformasi birokrasi. “Reform” mengandung makna perbaikan, yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi lebih baik. Hal ini dinyatakan oleh Alan Milburn (dalam Flyn, 2007: 1170) yaitu bahwa “..reform is not a process that starts one day and ends the next; it must go on and on and on..”. Reformasi birokrasi
pada
hakekatnya
merupakan
upaya
perbai kan
secara
terus
menerus, dalam mengatasi berbagai permasalahan seputar pemerintahan yaitu yang menyangkut “size, role of government,
performance of public
servant and satisf action”.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
163
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Di Amerika Serikat, gerakan reformasi birokrasi telah dimulai sejak tahun 1880 -an. Dimulai pada masa Woodrow Wilson; yang dikenal sebagai The
Father
of
efficiency;
Public
Administration;
yang
menekankan
pentingnya
yaitu dengan cara menekan biaya yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah dalam mensukseskan program -program kerjanya. Selain menekan unit cost, ia juga menekankan eff ectiviness of public service melalui manajemen, pelatihan dan pengukuran kinerja berdasarkan merit sistem. Pada tahun 1940 -an langkah ini dilanjutkan oleh Luther Gulick yang mendef inisikan akronim
tuga s
(duties of
POSDCORB
administrator)
(planning,
yang dikenal dengan
organizing,
staffing,
directing,
coordinating, reporting, budgeting). Selain Luther Gulick, Henry Fayol juga berupaya memperkenalkan privat management ke dalam pemerintahan, yaitu dengan
memperkenalkan dengan 14 principles of management yaitu :
division of work, authority, discipline, unity of command, unity of direction, subordination of individual interest, remuneration, centralization (or decentralization), scalar chain (line of
authority), order, equity,
stability of tenure of personnel, initiative, esprit de corps. Perspektif perubahan,
terhadap
mulai
tahun
reformasi
birokrasipun
1990 -2000 -an
J anet
and
terus Robert
mengalami Denhardt
mengemukakan konsep New Public Service (sel anjutnya disingkat NPS) sebagai respons terhadap dominasi New Public Management (selanjutnya disingkat NPM). Konsep NPS pada dasarnya memfokuskan pada masyarakat sebagai warga negara (citizens). Sedangkan NPM memfokuskan pada masyarakat sebagai pemakai (co nsumers) . Citizens generate demands, and government is then responsible for producing services to satisf y these demands. Perbedaan utama antara kedua konsep ini terletak pada citizen engagement and community building, karena dalam kerangka demokrasi, kedua hal ini dianggap sebagai bagian penting dalam setiap tahapan implementasi kebijakan. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
164
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Melalui konsep NPS, masyarakat sebagai warga negara diharapkan berpartisipasi dalam proses planning and providing public goods and services sehingga tercipta self gover ning political community. Masyarakat diharapkan turut terlibat di dalam policy making and implementation process (Cooper, 1991:143), dimana citizen come to see themselves as citizen than as consumers, clients and benef iciaries of administrative state (Stivers, 1990 : 96), sehingga warga negara dan administrator berbagi tanggung jawab dan bekerja bersama untuk mengimplementasikan program. Dari perjalanan reformasi birokrasi tadi dapat dikatakan bahwa kegagalan dalam mengimplementasikan kebijakan/ program buk anlah semata mata merupakan
tanggung jawab dari para pejabat publik atau penyelenggara
negara tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara.
Bentuk Reformasi Birokrasi Pada dasarnya, konsep reformasi birokrasi merupakan suatu keg iatan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan agar tercapai suatu tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Bentuk reformasi birokrasi di negara berkembang yang pada umumnya dilakukan melalui dua strategi; (1) merevitalisasi kedud ukan, peran dan f ungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, (2) menata kembali sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia serta relasi antara negara dan masyarakat (Prasojo: 2, 2008). Konsep reformasi birokrasi seperti ini juga tengah menjadi agenda dalam
pemerintahan
di
Indonesia
walaupun
dalam
pelaksanaannya
menghadapi tantangan yang tidak mudah. Di tingkat pusat, lembaga yang pertama kali mengadopsi konsep reformasi birokrasi adalah kemen terian keuangan kemudian disusul dengan lembaga negara lainnya. Di tingkat daerah, reformasi birokrasi ditandai dengan terciptanya hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
165
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Menurut
Prasojo
(2008)
menjelaskan
bahwa
reformasi
harus
menyentuh sedikitnya 3 (tiga) aspek yaitu; aspek politik, aspek hukum serta aspek administrasi publik sedangkan aspek ekonomi akan dicapai ketika ketiga tersebut telah berhasil dibenahi. Lebih lanjut Prasojo menyatakan bahwa reformasi pada aspek politik, ditekankan pada perlunya political will dan political decision dalam memberikan legitimasi atas suatu r encana dan aransemen reformasi serta diperkuat oleh dukungan rakyat yang memiliki kesadaran politik yang memadai. Hal ini dapat dimanif estasikan melalui kegiatan pemilihan umum. Reformasi hukum, ditekankan bahwa hukum harus ditegakkan serta melindungi hak -hak warga negara untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum. Reformasi administrasi publik, yaitu dengan menyediakan landasan inf rastruktur, kompatibilitas sistem, serta daya dukung kelembagaan yang mapan bagi aspek -aspek lainnya yang pada akhirnya akan bermuara pada penguatan ekonomi, sebagai cross cutting issue, yang sangat terkait dengan reformasi politik, hukum dan administrasi publik. Berbicara mengenai reformasi hukum, tidak cukup hanya ditekankan pada penegakan hukum serta perlindungan hak -hak warga negaranya saja, melainkan harus dianalisa terlebih dulu “apakah suatu hukum yang berlaku tidak bertentangan dengan hukum yang berada diatasnya?” dan “apakah hukum tersebut sudah benar atau tidak bertentangan dengan rasa keadilan ataupun hak-hak warganegaranya?”. Oleh karenanya, reformasi hukum harus
benar-benar
melakukan
menjadi
reformasi
agenda
birokrasi
utama
sebagai
bagi
suatu
code
of
negara conduct
dalam dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai pendekatan yang dijadikan acuan dalam mela kukan reformasi birokrasi, pada dasarnya bertujuan dalam rangka mengejawantahkan tujuan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
166
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 negara. Sebagaimana yang diungkapkan Rohdewohld (Mas‟ud, 2007) bahwa Birokrasi merupakan suatu sistem dengan elemen penyusunnya terdiri dari bangunan/struktur
organisas i,
visi
dan
misi
organisasi,
personalia
pelaksana, fasilitas pendukung dan kepemimpinan yang bertujuan untuk mengejawantahkan
tujuan
negara
(bersif at
abstrak)
dalam
kehidupan
masyarakat (bersif at konkret). Gambar 1. Elemen Penyusun Sistem Birokrasi Tujuan Negara
Tugas besar dan luas dari pemerintahan
Apa yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan tugas besar dan luas itu?
Bangunan Organisasi
Apa yang dibutuhkan agar organisasi itu bisa bekerja secara tepat sasaran dan terfokus pada tugasnya?
Visi dan Misi Organisasi
Apa yang dibutuhkan agar organisasi yang bervisi dan misi itu bisa mengejawantah dalam gerak nyata dan dinamis?
Personalia Pelaksana
Apa yang dibutuhkan agar personalia yang bekerja itu bisa bekerja secara efektif dan efisien?
Fasilitas Pendukung
Apa yang dibutuhkan agar kerja dan kinerja dari keempat unsur di atas itu bisa terkoordinasi secara bagus dan selaras?
Kepemimpinan
(Sumber: Mas‟ud, 2007:92)
Kendala dalam Agenda Reformasi Birokrasi Birokrasi sebagai suatu sistem yang dijalankan oleh manusia, akan berkembang sesuai dengan perilaku manusia yang menjalankannya. Dengan demikian wujud birokrasi merupakan cerminan dari para pengelolanya. J U R N AL K Y B E R N O L O G I
167
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Sehingga,
walaupun
upaya
reformasi
birokrasi
dilakukan
melalui
pendekatan yang sama, namun hasil tidak selalu sama pada setiap negara. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh sosial budaya masyarakat terhadap birokrasi,
meskipu n
di
beberapa
negara
justru
birokrasi
dapat
mengintervensi perilaku dan kultur individu. Seperti halnya dikemukakan oleh Polidano (Otenyo and Lind, 2006) dalam penelitiannya bahwa keberhasilan reformasi birokrasi menunjukan hasil yang berbeda di setiap ne gara. Di negara berkembang, usaha reformasi berbasis NPM hanya bersifat retorikal dan belum sampai pada tataran substansi.
Hal
ini
disebabkan
oleh
f aktor
korupsi
dan
rendahnya
kemampuan administrator, namun di beberapa negara maju, reformasi birokrasi berb asis NPM justru menunjukan sejumlah keberhasilan. Begitupun yang terjadi di Indonesia, pada tahun 2007 pemerintah menetapkan beberapa agenda reformasi birokrasi seperti (1) reformasi sektor kelembagaan yang menghendaki organisasi yang ramping struktur dan kaya f ungsi; (2) sumber daya manusia yang prof esional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN; (3) ketatalaksanaan aparatur pemerintah yang disederhanakan; (4) akuntabilitas kinerja aparatur; (5) terbentu knya sistem pengawasan yang mendukung pelaksanaan tindak lanjut; (6) pelayanan publik; budaya kerja produktif ; (7) koordinasi integrasi dan sinkronisasi; (8) best practices dalam melaksanakan birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. (Sumber: Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance – Menpan, 2007). Namun, dalam pelaksanaannya menghadapi sejumlah kendala, salah satunya adalah ketidakjelasan ukuran keberhasilan reformasi birokrasi itu sendiri. Selain itu, terdapat sejumlah pers oalan lain terkait dengan kondisi sosial budaya di masyarakat, seperti adanya budaya patriarkhalisme dalam birokrasi yang mengakibatkan bawahan tidak berani bertindak jika tidak memperoleh restu dan petunjuk dari atasan. Petunjuk dianggap
sebagai
sikap
sop an
yang
harus
diperlihatkan
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
agar
tidak 168
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 melampaui batas kekuasaannya. (Thoha, 2003). Apabila seorang atasan masih menganut budaya ini secara f anatik, dikhawatirkan dapat mematikan kreatif itas dan inisiatif bawahannya, seperti yang menjadi ukuran bagi manajemen
rasional
(birokrasi
weberian)
dan
NPM
dalam
upaya
meningkatkan pelayanan bagi masyarakat secara luas. Kendala lain adalah bureaupathology yaitu korupsi di dalam tubuh birokrasi yang sulit diberantas. Berbagai lembaga survei melansir tentang tingginya tingkat korupsi Indonesia, salah satunya hasil survei yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup se -Asia Pasif ik. Sampai saat ini pemerintah terus mengupayakan pemberantasan korupsi , meskipun beberapa pihak menilai pemberantasan korupsi masih setengah hati dan bersif at tebang pilih, terlebih lagi saat ini kesungguhan pemerintah dalam pemberantasan korupsipun dipertanyakan seiring dengan lemahnya peran KPK dalam mengusut kasus-kasus korupsi. Menurut Tauf iq Effendi (dalam Prasojo, 7:2008), f aktor yang menyebabkan korupsi di Indonesia sulit diberantas karena ada kekeliruan peradaban (civilization f allacies) yang tidak datang dengan sendirinya, melainkan karena adanya kebiasaan yang permisif dalam waktu yang lama. Kebiasaan yang permisif inilah yang menjadikan tindakan korupsi lambat laun diterima menjadi budaya disisi lain. Maka, untuk merubahnya diperlukan political will dari pemerintah serta seluruh komponen bangsa untuk meluruskan kem bali kekeliruan ini.
Melihat Reformasi Birokrasi dari Negara Asia Lainnya Globalisasi adalah realitas yang tidak bisa dihindari oleh setiap negara untuk itu setiap negara harus mampu berperan dalam pasar global, salah satunya dengan meningkatkan kinerja sektor publik. Alasan inilah yang membuat sejumlah negara (khususnya negara berkembang) untuk melakukan
reformasi
birokrasi.
Menurut
Hardjapamekas
(2003:2)
keberhasilan reformasi birokrasi ditunjang oleh stabilitas politik dan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
169
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 kerjasama yang baik antara bi rokrasi dengan pemimpin politik, seperti yang terjadi di Singapura dan Malaysia. Reformasi birokrasi di Singapura menekankan pada peningkatan kompetensi civil service agar mereka mampu menjawab tantangan zaman dan lebih kompetitif di dunia internasional. Lebih
lanjut menurut
Andi Rachmianto,
reformasi birokrasi di
Singapura menunjukan sejumlah keberhasilan karena; (1) memiliki arah yang
cukup
jelas
dalam
hal
peningkatan
SDM,
kelembagaan
dan
ketatalaksanaan; (2) sistem penggajian antara sektor pemerintah da n swasta disesuaikan nasional;
dengan (3)
kinerja
mekanisme
perseorangan konsultasi
dan
dan
pertumbuhan
partisipasi
publik
ekonomi dalam
perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sudah berjalan baik, serta; (5) struktur kelembagaan yang relatif lebih ramping d ibanding Indonesia sehingga
pendelegasian
(www.tempointeraktif .com).
tugas
dan
wewenangnya
jelas
Sedangkan di Malaysia lebih diorientasikan
ke bisnis untuk menggantikan peran aktif birokrasi dalam pembangunan dan meredefinisi perannya sebagai fasilitator dalam aktivitas sektor swasta. Lain halnya yang terjadi di Thailand dan Filipina. Reformasi birokrasi di Thailand direspon dengan adanya penguatan peran birokrasi publik dalam memfasilitasi kebijakan pro -pasar seperti privatisasi dan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan sektor swasta seperti business licensing, perdagangan internasional, dan pengawasan f iskal. serta perubahan peran birokrasi yang lebih menempatkan dirinya sebagai katalisator untuk memf asilitasi aktivitas ekonomi yang civil service -nya berperan sebagai pendukung dan bukannya pemimpin. Hal yang sama juga dilakukan Filipina. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa perubahan birokrasi itu menekankan
perlunya
keterbukaan
struktural
untuk
memungkinkan
terjadinya pertukaran gagasan dan perubaha n inovasi. Namun, upaya reformasi birokrasi yang dilakukan di Thailand, dan Filipina dinilai kurang ef ektif dalam mewujudkan perubahan administrasi karena dominannya aparat birokrasi dan adanya konf lik atau kolusi antara birokrasi dan elite J U R N AL K Y B E R N O L O G I
170
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 politik, hal seperti ini juga terjadi di Indonesia. Dari pengalaman reformasi birokrasi yang dilakukan oleh negara lain, maka syarat keberhasilan suatu reformasi birokrasi bukanlah sekedar perubahan dalam tataran sistem dan struktur birokrasi saja, namun harus meliputi p erubahan perilaku dan budaya pejabat publik dan masyarakat pada umumnya. Disisi lain, pemerintah harus dapat menciptakan stabilitas politik agar proses reformasi dapat berjalan dengan ef ektif, yaitu dengan menciptakan birokrasi yang prof esional dan netral. Meskipun netralitas seperti gagasan awal Weber dimana birokrasi tidak dipengaruhi ideologi partai politik saat ini dirasa mustahil, tapi paling tidak pemerintah harus memiliki batasan jumlah pejabat politik dalam birokrasi untuk menciptakan stabilitas politik.
The Four E sebagai Tolak Ukur Keberhasilan Reformasi Birokrasi di Indonesia Berbicara mengenai reformasi birokrasi maka yang harus ditetapkan adalah ukuran keberhasilannya, hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan reformasi
birokrasi
memiliki
arah
dan
tujuan
yang
jelas.
Ukuran
keberhasilan reformasi birokrasi tidak cukup hanya pada penegakan hukum (law enforcement) semata, pemerintah juga harus memfokuskan pada perubahan mindset dalam melakukan pelayanan publik, yaitu dengan melihat ukuran keberhas ilan penyelenggaraan negara dari berbagai sisi; tidak hanya dari Three E yaitu Economy, Eff iciency and Effectiveness saja, tetapi
perlu ditambahkan another E yaitu Equity. Economy bicara soal
biaya yang digunakan sebagai input, Efficiency bicara soal biay a dalam memproduksi output. Eff ectiveness bicara soal producing resuslt, dan Equity bicara soal equality (persamaan) hak dalam memperoleh keadilan. Persoalan
equity,
mulai
diperbincangkan
seiring
dengan
berkembangnya paradigma NPS, yang memposisikan raky at sebagai owner of government, sehingga pekerjaan pejabat publik tidak lagi mengarahkan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
171
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 tetapi memberikan pelayanan kepada masyarakat (serving not steering). Hal ini dilakukan tidak saja untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga untuk menjalankan nilai -nilai demokrasi Masalah yang cukup krusial dalam Four E
tersebut tersebut adalah
persoalan Eff ectiveness. Konsep ini seringkali dilupakan, terlebih pada tahapan law enforcement, ironisnya justru bukan output atau bahkan outcome yang menjadi ukuran keberhasilan, melainkan proses. Prosedur, aturan,
tata
cara
dijadikan
seolah -olah
sebagai
“Hukum
Tuhan”.
Pelanggaran terhadap standar operasional prosedur (SOP) dan tata cara dipermasalahkan, bahkan mengalahkan tujuan. Ratusan pejabat publik yan g melanggar prosedur, pedoman, tata cara dimejahijaukan, padahal apa yang dilakukannya
adalah
menjalankan
discretion
power
yang
dimilikinya
sebagai pejabat publik dalam rangka memenuhi need, interest and desired outcomes. Variasi yang menyangkut Four E da lam implementasi kebijakan tidak ditolelir, satu aturan berlaku untuk semua. Undang -Undang dan Peraturan pemerintah berlaku secara nasional, tanpa melihat karakteristik local culture. Pelanggaran prosedur, SOP, tata cara, juklak/juknis dianggap sebagai pelanggaran pidana yang berujung pada hukuman badan. Inilah sebenarnya bukti kegagalan reformasi birokrasi di negeri ini. Sisi lain kegagalan reformasi birokrasi kita adalah pada tahapan proses, yaitu ketika seluruh kegiatan yang dilakukan pemerintah dianggap sebagai services, bahkan perijinan yang mengandung makna pengendalian pun dianggap sebagai service. Apabila kita memaknai apa yang dikatakan Peter J ackson (dalam Flynn, 2007:133) yang menyatakan bahwa the outcome of services maybe diff erent for diff erent stakeholder, kita akan paham bahwa stakeholders have diff erent interests in performance of public sector departements. Reformasi birokrasi dalam pengurusan perijinan bukan berarti proses pengurusan ijin itu harus dipermudah dan dipercepat, tetapi justru seharusnya
diperketat, dan bahkan tidak dijadikan sebagai sumber J U R N AL K Y B E R N O L O G I
172
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Pendapatan Asli Daerah sama sekali, karena indikator eff ectiveness bukan pada proses, tapi
output bahkan
lebih jauh lagi pada
outcome. Apakah
ef ektivitas kebijakan itu telah mengarah pada dua kategori outcome; yaitu change in state and change in behaviour? dua hal itulah yang perlu mendapat perhatian lebih besar dari pada hanya sekedar berputar pada tataran proses.
DAFTAR PUSTAKA De Bruijn, Hans. 2007. Managing Performance in The Public Sector. London:Routledge Eff endi,
Tauf ik.
Menteri
Negara
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
(Menpan). 2007. Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance. Sekertariat Negara Republik Indonesia. Flynn, Norman. 2007. Public Sector Management.Fif t h Edition. UK: Prentice Hall Galbraiyh, J ay R. 2005. Designing The Coustumer -Centric Organization: A Guide to Strategy,Structure and Process. San Francisco:Josey Bass Hardjapamekas, Erry Riana. 2003. Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Penegakan dan Pembera ntasan KKN Otenyo, Eric E and Nancy S. Lind. 2006. New Public Management And Reforms. Research In Public Policy Analysis and Management: Comparative Public Administration The Essential Readings, 15: 501 514. Prasojo, Eko. Teguh Kurniawan. 2008. Reformasi B irokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari sejumlah Daerah di Indonesia Said, M. Mas‟ud. 2007. Birokrasi Di Negara Birokratis: Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi Indonesia. Malang: UMM Press Thoha,
Mif tah.
2003.
Birokrasi
Politik
di
Ind onesia.
J akarta:
PT.
Rajagrafindo Persada.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
173
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Karakteristik Birokrasi dalam Proses Pembuatan Kebijakan di Kementerian Luar Negeri Era Susilo Bambang Yudhoyono
Oleh : Dedy Permadi,
Abstract In Susilo Bambang Yudhoyono's regime, Foreign Ministry still takes the major role in the decision-making of Indonesia's foreign policy. This can be proved by observing the procedure employed in the process of
foreign policy making, in which Foreign
Ministry becomes the key player in it. On the other hand, the very vital role of Foreign Ministry, in fact, much depends on the bureaucratic character inside it. Hence, it is important to conduct an analysis on the bureaucratic character in Foreign Ministry. Unfortunately, after conducting the analysis, it is proved that the bureaucratic character in this regime does not undergo significant changes compared to that in previous regimes. This phenomenon urges Foreign Ministry to be more professional and committed to continuously improve itself, especially related to its involvement in the process of foreign policy making. Thus, the improvement of the quality of Indonesia's foreign policy can begin from the improvement of bureaucracy in Foreign Ministry.
Keyword: Bureaucracy - Foreign policy - Indonesia.
PENGANTAR Seratus tahun kebangkitan nasional dan sepuluh tahun reformasi belum memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan rakyat di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa Indonesia semakin terpuruk di mata negara-negara lain. Pemerintah sebagai aktor utama dalam menjalankan roda kepemimpinan negara terlihat sering kesulitan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang semakin rumit. Hal tersebut dapat dilihat pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang ini. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu mendapatkan tantangan dan J U R N AL K Y B E R N O L O G I
174
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 hambatan. Bahkan seringkali tantangan dan hambatan tersebut membuat langkah pemerintah dianggap gagal. Kesulitan yang dialami oleh pemerintahan SBY tersebut tidak hanya menyangkut ranah domestik akan tetapi juga pada ranah internasional. Sebetulnya banyak hal penting yang diputuskan pemerintah berkaitan dengan politik luar negeri Indonesia pada era pemerintahan ini. Namun yang menjadi menarik di sini adalah banyaknya keputusan pemerintah tersebut yang cukup kontroversial. Dalam beberapa kasus, pemerintah mendapatkan protes keras dari banyak kalangan termasuk dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kebijakan untuk mengambil langkah-langkah negosiasi dan penandatanganan MoU antara RI dengan GAM, misalnya, mendapatkan protes keras dari DPR. Begitupula dengan kebijakan RI untuk mendukung Resolusi DK PBB 1747. Kebijakan ini bahkan mendorong banyak kalangan untuk melakukan demonstrasi. Contoh terakhir misalnya adalah upaya Indonesia untuk menjadi pelopor dirumuskannya piagam ASEAN dan tentu saja keinginan untuk meratifikasinya. Kebijakan ini pada akhirnya juga menimbulkan perdebatan yang tajam di DPR. Kementerian Luar Negeri sebagai salah satu aktor utama dalam pengambilan kebijakan luar negeri tentunya selalu berperan dalam setiap pengambilan kebijakan luar negeri. Pembicaraan tentang perumusan sebuah kebijakan tersebut tentunya tidak akan pernah terlepas dari proses yang terjadi dalam birokrasi di dalamnya. Dengan demikian, analisis mengenai birokrasi sangat relevan untuk mengetahui proses yang melatarbelakangi diputuskannya berbagai kebijakan luar negeri pada era SBY. Dengan melihat latar belakang tersebut, maka permasalahan penting yang harus dijawab adalah bagaimana birokrasi di Kementerian Luar Negeri mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri pada era pemerintahan SBY.
KERANGKA KONSEPTUAL Birokrasi dan Proses Pengambilan Kebijakan
Richard L. Park mencoba untuk menganalisis politik luar negeri dari sudut pandang the policy making process. Ia mengkategorikan aktor yang dapat bermain dalam J U R N AL K Y B E R N O L O G I
175
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 kebijakan luar negeri sebagai aktor pemerintah (governmental agencies) dan aktor nonpemerintah (non-governmental agencies)4. Makalah ini nantinya akan memfokuskan pembahasan pada aktor pemerintah sebagai aktor utama dalam sebuah pengambilan kebijakan luar negeri. Di dalam pemerintah sendiri terdapat birokrasi. Dengan melakukan analisis terhadap birokrasi ini, dapat diketahui proses yang terjadi dalam sebuah pengambilan kebijakan luar negeri. Untuk menjelaskan karakter dari sebuah struktur birokrasi maka konsepsi Max Weber tentang birokrasi cukup relevan untuk memberikan pemahaman awal. Dalam karyanya Weber berbicara tentang birokrasi dari dua perspektif, yaitu birokrasi dalam realita dan birokrasi dalam idealisme. Secara nyata/real, birokrasi banyak memperlihatkan cara-cara officialdom. Artinya adalah bahwa pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat 5. Pola yang demikian menyebabkan rakyat sangat tergantung pada para pejabat yang sedang berkuasa. Kepentingan rakyatpun menjadi terbengkelai karena para birokrat hanya memikirkan kepentingan masing-masing. Sedangkan jika dilihat dari perspektif idealism, maka birokrasi harus memiliki individu pejabat yang secara personal bebas akan tetapi dibatasi jabatannya, jabatan-jabatan disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping, tugas dan fungsi berbeda satu sama lain, memiliki kontrak jabatan yang jelas (job description), diseleksi berdasarkan kualifikasi profesionalitas, dan seterusnya 6. Analisis terhadap sistem birokrasi dapat diadaptasi dari bureaucratic analysis of decision making Graham Allison. Graham Tillet Allison Jr., merupakan professor di Harvard University7. Analisis ini memang merupakan analisis dalam studi hubungan internasional. Scott Kofmehl menyatakan bahwa analisis tersebut juga bermanfaat untuk mengidentifikasi siapa yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan suatu organisasi birokrasi. Di dalam analisis tersebut, terdapat 3 unit analisis yang perlu diperhatikan yaitu: Roy C. Macridis (Ed.), 1958, Foreign Policy in World Politics (Fifth Edition), New Jersey: Prentice-Hall, Inc. hal. 321-325 5 Mitfah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 3 6 Ibid, hal. 17-18 7 Scott Kofmehl, STIA LAN, 2007, Economic Section, raconquista.files.wordpress.com/2008/02/lecture-scott-kofmehl-edit.doc 4
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
176
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 1. Unitary actor, yaitu aktor yang organisasi pemerintahan yang dipilih oleh konstituen, berperan untuk mengambil keputusan bagi publik atau keputusan yang dihasilkan akan mengikat semua yang berada dalam satu kesatuan wilayah seperti central government (pemerintah pusat) dan provincial government (pemerintah provinsi); 2. Institutional actor, yaitu aktor lembaga yang berperan untuk mengambil keputusan yang mengikat secara kelembagaan seperti government institution (lembaga pemerintahan) dan cross-government institution; 3. Individual actor, yaitu aktor individu yang merupakan kepala dari suatu institusi atau lembaga, mengambil keputusan secara personal seperti bupati, walikota, dan sebagainya. Menurut Scott, apabila analisis sudah mampu mengidentifikasi permasalahan tersebut di atas, maka kita dapat meng-assess berbagai situasi birokrasi di manapun. Sedangkan dalam mempertimbangkan hasil keputusan tersebut, maka setiap saat harus diidentifikasi 8: 1. Siapa pelaku dalam organisasi birokrasi? 2. Berapa banyak aktor yang berperan dalam organisasi birokrasi? 3. Seberapa besar pengaruh kepentingan aktor di dalam organisasi birokrasi? 4. Bagaimana hubungan antar aktor dalam organisasi birokrasi? 5. Siapa yang mempengaruhi organisasi birokrasi di dalam maupun di luar? Setelah mengetahui gambaran konseptual tentang birokrasi, sangat penting untuk mengetahui dalam ruang lingkup apa birokrasi (dalam kaitannya dengan politik luar negeri) itu akan dianalisis. Berkaitan dengan penekanan analisis birokrasi, maka ruang lingkup dalam makalah ini adalah the decision making process9. Dalam proses pengambilan kebijakan, para pengambil kebijakan (decision maker) selalu akan mendasarkan keputusan pada rational choice (pilihan yang rasional). Pilihan rasional tersebut biasanya diputuskan dengan melalui beberapa tahapan proses pengambilan kebijakan yaitu: find the problems (menemukan masalah), defining the problems Ibid Dalam analisis politik luar negeri negara-negara berkembang dikenal setidaknya 3 ruang lingkup analisis yaitu the influences of foreign policy, the decision making process, dan the implementation of foreign policy. Makalah ini menggunakan ruang lingkup yang kedua. 8 9
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
177
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 (mendefinisikan masalah), menghitung cost and benefit (pertimbangan untung rugi), melihat values and goals (memperhatikan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang ada), melakukan evaluasi (melakukan evaluasi), dan akhirnya diputuskan suatu kebijakan.
Karakteristik Birokrasi Masa Pemerintahan SBY Di dalam memutuskan sebuah kebijakan luar negeri, pemerintah Indonesia selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal. Yang dimaksud dengan faktor eksternal disini adalah situasi dan kondisi internasional dan juga berbagai aktor yang bermain pada ranah internasional tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor internal adalah situasi dan kondisi domestik serta peran berbagi aktor decision maker dan aktor-aktor lain yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi decision maker tersebut. Faktor-faktor inilah yang juga selalu menjadi bahan pertimbangan pemerintahan SBY untuk memutuskan sebuah kebijakan luar negeri. Terkait dengan faktor internal, proses pengambilan kebijakan dalam birokrasi menjadi sangat penting. Permasalahannya adalah bahwa dalam birokrasi sering terjadi tumpang tindih antara jabatan politik dan jabatan karir. Persoalan ini sebetulnya merupakan permasalahan klasik sebagai perwujudan dari dikotomi politik dan administrasi. Carino (1994) mengemukakan terdapat dua karakter yang kemudian muncul dari permasalahan ini. Pertama, birokrasi sebagai sub-ordinasi dari politik (executive ascendancy). Artinya bahwa birokrasi dipimpin oleh orang-orang yang terpilih melalui agenda politik seperti partai politik dan sebagainya. Orang-orang tersebut sangat mungkin menggunakan partai politik sebagai “kendaraaan” untuk mendapatkan suatu jabatan. Dalam konteks Indonesia, bentuk ini diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik didasarkan atas kepercayaan. Misalnya saja supremasi mandat yang diperoleh pemimpin politik berasal dari rakyat atau public interest. Sedangkan bentuk kedua menyatakan bahwa birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation). Artinya adalah bahwa birokrasi pemerintah suatu negara tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana akan tetapi karena keahliannya mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang professional. Karakter seperti ini juga dapat ditemui dalam birokrasi di Indonesia. Beberapa jabatan menteri, misalnya, diisi oleh orang-orang yang J U R N AL K Y B E R N O L O G I
178
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 memang profesional di bidangnya dan sebelumnya telah berkarir dalam bidang tersebut. Para pejabat ini biasanya tidak terafiliasi dengan partai politik apapun. Contoh konkretnya adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan sebagainya. Dari kedua karakter tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa birokrasi di Indonesia (terutama pada level menteri) masih merupakan kombinasi antara jabatan publik dan jabatan karir. Kementerian Luar Negeri adalah salah satu departemen yang dipimpin oleh pejabat karir. Hal tersebut dikarenakan tuntutan untuk memiliki seorang menteri yang memiliki profesionalisme tinggi. Sebagaimana layaknya negara-negara berkembang lainnya, birokrasi di Indonesia masih akan menjadi aktor utama perubahan bangsa ini dalam beberapa dekade ke depan. Artinya baik buruknya Indonesia berkorelasi positif dengan performa birokrasinya. Sayangnya disaat yang sama upaya perbaikan birokrasi belum menjadi salah satu prioritas. Permasalahan-permasalahan mendasar yang sebenarnya sudah menjadi pengetahuan publik tidak pernah diangkat secara nasional. Salah satu permasalahan mendasar yang menjadi pendorong tidak sehatnya birokrasi di Indonesia adalah kesejahteraan birokrat yang rendah. Para birokrat ini secara naluriah tentu akan berupaya mencari tambahan penghasilan di luar gaji. Tambahan tersebut akhirnya dapat yang bersifat legal, semi legal dan yang terburuk dapat juga melalui cara-cara ilegal. Cara ilegal dalam mendapatkan tambahan penghasilan tersebut adalah dengan melakukan korupsi. Karena adanya kelemahan tersebut, sulit untuk mengharapkan birokrat menjadi profesional. Selain permasalahan korupsi, birokrasi di Indonesia juga dihadapkan pada keterikatan birokrat terhadap SOP dan adanya fragmentasi dalam tubuh birokrasi. SOP (Standard Operating Procedures) merupakan prosedur-prosedur kerja ukuran dasar yang digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum dalam organisasi publik atau swasta10. Seringkali penggunaan SOP ini tidak menjawab kebutuhan karena perubahanperubahan dan perkembangan yang terus terjadi di lapangan. Sedangkan SOP sendiri kurang adaptif terhadap perubahan tersebut.
10
Budi Winarno, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, hal. 151
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
179
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Sedangkan fragmentasi persebaran tanggungjawab ke dalam berbagai organisasi dalam suatu bidang kebijakan. Tarik ulur kepentingan dan saling melempar tanggungjawab antar aktor ataupun departemen seringkali juga menjadi permasalahan rumit dalam birokrasi di Indonesia. Misalnya saja kasus terakhir adalah antara PLN dan Pertamina yang saling mempersalahkan ketika terjadi pemadaman listrik. Karakteristik Birokrasi di Kementerian Luar Negeri Untuk melakukan analisis terhadap birokrasi di Kementerian Luar Negeri, analisis terhadap sistem birokrasi sebagai adaptasi dari bureaucratic analysis of decision making Graham Allison11. Analisis tersebut bermanfaat untuk mengidentifikasi siapa yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan dalam birokrasi melalui 3 unit analisis berikut: 1. Unitary actor, yaitu aktor yang organisasi pemerintahan yang dipilih oleh konstituen, berperan untuk mengambil keputusan bagi publik atau keputusan yang dihasilkan akan mengikat semua yang berada dalam satu kesatuan wilayah seperti central government (pemerintah pusat) dan provincial government (pemerintah provinsi); Dalam konteks pengambilan kebijakan luar negeri, unitary actor yang paling utama adalah presiden. Presiden merupakan top decision maker dalam segala kebijakan luar negeri. Kebijakan tersebut akan selalu ia pegang kecuali presiden telah memberikan full power kepada pejabat lain yang berwenang untuk memutuskan sebuah kebijakan. 2. Institutional actor, yaitu aktor lembaga yang berperan untuk mengambil keputusan yang mengikat secara kelembagaan seperti government institution (lembaga pemerintahan) dan cross-government institution; Aktor lembaga yang paling utama dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia adalah Kementerian Luar Negeri. Dari masa ke masa pemerintahan di Indonesia, Kementerian Luar Negeri masih menempati posisi strategis dalam setiap kebijakan luar negeri. Kebijakan diputuskan berdasarkan aturan main yang telah di tetapkan melalui koordinasi menteri luar negeri dengan birokrasi di bawahnya 12.
Scott Kofmehl, STIA LAN, 2007, Economic Section, raconquista.files.wordpress.com/2008/02/lecture-scott-kofmehl-edit.doc 12 Lihat lampiran mengenai Undang-Undang Republik Indonesia no. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri 11
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
180
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 3. Individual actor, yaitu aktor individu yang merupakan kepala dari suatu institusi atau lembaga, mengambil keputusan secara personal seperti bupati, walikota, dan sebagainya. Dalam konteks Kementerian Luar Negeri sebagai aktor lembaga yang utama, aktor individu yang bermain di dalamnya adalah menteri luar negeri, atau delegasi khusus yang dituntuk dan mendapatkan full power untuk memutuskan suatu kebijakan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan. Delegasi tersebut misalnya Duta Besar, special envoy, perwakilan Indonesia di forum PBB, dan sebagainya. Dalam
mempertimbangkan
hasil
keputusan
tersebut,
maka
setiap
saat
harus
diidentifikasi13: 1. Siapa pelaku dalam organisasi birokrasi, 2. Berapa banyak aktor yang berperan dalam organisasi birokrasi, 3. Seberapa besar pengaruh kepentingan aktor di dalam organisasi birokrasi, 4. Bagaimana hubungan antar aktor dalam organisasi birokrasi, 5. Siapa yang mempengaruhi organisasi birokrasi di dalam maupun di luar. Menurut Scott, apabila analisis sudah mampu mengidentifikasi permasalahan tersebut di atas, maka kita dapat meng-assess berbagai situasi birokrasi di manapun. dalam analisis ini, akan diambil sebuah studi kasus, yaitu proses pengambilan keputusan keterlibatan Indonesia dalam memperkuat kapasitas Palestina 14. Pada saat itu Indonesia ingin memutuskan bantuan-bantuan apa saja dan dengan teknis seperti apa untuk membantu Palestina memperkuat kapasitas domestiknya. 1. Siapa pelaku dalam organisasi birokrasi? Pelaku utama dalam kebijakan ini adalah Kementerian Luar Negeri RI khususnya Direktorat Timur Tengah, Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika dengan Aidil Chandra Sallim15 sebagai pimpinan pelaksana di bawah supervise dari Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda. 13Scott
Kofmehl, STIA LAN, 2007, Economic Section, raconquista.files.wordpress.com/2008/02/lecture-scott-kofmehl-edit.doc
15
Aidil Chandra Salim adalah Direktur Timur Tengah, Direktorat Jederal Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri RI
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
181
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 2. Berapa banyak aktor yang berperan dalam organisasi birokrasi? Direktorat yang telah disebutkan sebelumnya melakukan koordinasi baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertikal, koordinasi dilakukan melalui konsultasi rutin antara direktur dengan Direktur Jenderal dan Menteri Luar Negeri. Selain itu koordinasi vertikal ke bawah berupa koordinasi untuk para birokrat di bawah Direktur. Sedangkan koordinasi secara horizontal dilakukan dengan melibatkan berbagai departemen lain yang terkait dengan masalah ini. Koordinasi ini dilakukan dengan menyelenggarakan rapat inter-departemen dengan mendengarkan kemungkinankemungkinan jenis bantuan dari departemen pertanian, pertambangan dan energi, pendidikan, DPU, dan sebagainya. 3. Seberapa besar pengaruh kepentingan aktor di dalam organisasi birokrasi? Aktor-aktor yang terlibat tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Direktorat Timur Tengah jelas terus berusaha mencari terobosan untuk mendukung Palestina diantaranya dengan mengusahakan bantuan teknis. Namun demikian, ada juga pihak yang menganggap langkah ini hanya merupakan strategi direktorat untuk mendapatkan penghargaan dan apresiasi dari birokrat di atasnya dan juga dari masyarakat yang pro terhadap Palestina. Sangat sulit untuk mengetahui kebenarannya. Sedangkan kepentingan yang mungkin ada dalam departemen-departemen lain yang terkait adalah adanya kesempatan untuk mendapatkan proyek. Misalnya saja departemen pendidikan mendapatkan proyek untuk mengadakan pelatihan bagi guru-guru di Palestina, departemen pertanian juga mendapatkan proyek pelatihan untuk petani Palestina, dan sebagainya. 4. Bagaimana hubungan antar aktor dalam organisasi birokrasi? Dari penjelasan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa hubungan yang terbangun dalam konteks ini adalah hubungan yang saling menguntungkan. Atas dasar itu, dalam proses pengambilan kebijakan ini tidak terjadi pertentangan yang berarti dalam hubungan antar aktor. 5. Siapa yang mempengaruhi organisasi birokrasi di dalam maupun di luar? Selain langkah-langkan di atas, direktorat Timur Tengah juga meminta masukan dari
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
182
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 epistemic community sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan 16. Epistemic community menjadi penting karena kadang kompetensi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tidak bisa di dapatkan pada level internal. Selain itu, karena posisinya yang ada di luar birokrasi, mereka juga diharapkan mampu melihat permasalahan secara lebih objektif dan profesional. Sebetulnya Kementerian Luar Negeri sebagai institusi utama dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri telah melakukan upaya restrukturisasi untuk mengoptimalkan fungsi dan perannya. Upaya ini tentunya harus dilakukan secara konstan, seiring dengan konstannya perubahan yang terjadi pada tataran domestik dan internasional. Jiwa restrukturisasi dan benah diri Kementerian Luar Negeri, yaitu reposisi dari pendekatan per isu menjadi pendekatan regional, penguatan diplomasi bilateral, pelibatan peran publik yang lebih besar dalam diplomasi, serta peningkatan kualitas para diplomat dan unsur pendukung lainnya, sampai saat ini relatif telah berhasil menghasilkan inovasiinovasi baru dalam pelaksanaan diplomasi Indonesia di berbagai tataran 17. Terkait dengan jabatan Menteri Luar Negeri sebagai jabatan karir, Kementerian Luar Negeri juga selalu focus pada kualitas dan profesionalisme Sumber Daya Manusia. Kualitas tersebut sangat mempengaruhi profesionalisme dan performa birokrasi di dalamnya. Dalam hal perekrutan para calon diplomat dan pelaksanaan pelatihan teknis berjenjang seperti Sekdilu, Sesdilu dan Sesparlu Pusdiklat perlu melakukan penguatan kerjasama dengan berbagai universitas dan konsultan SDM. Hal ini untuk memastikan sistem perekrutan yang digunakan mampu menjaring la crème de la crème SDM yang tersedia di pasar. Serta kurikulum yang digunakan dalam pelatihan berjenjang di Kementerian Luar Negeri selalu disesuaikan dengan dinamika politik-ekonomi internal dan eksternal18.
Pertemuan epistemic community misalnya diseenggarakan di Jogjakarta pada tanggal 7 Juni 2007 dengan tema “Menjalin Ukhuwah, Memperkuat Kapasitas Palestina” ( Peningkatan Peran RI dalam Proses Perdamaian di Timur Tengah) 17 Ferry Akbar, 2006, Peningkatan Kinerja SDM Kementerian Luar Negeri dalam http://ferryakbar.multiply.com/journal/item/1 18 Ibid 16
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
183
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Kementerian Luar Negeri sebetulnya telah dikenal sebagai salah satu departemen yang sehat. Salah satu factor pendukungnya adalah aspek pengawasan atau penghukuman (punishment) atas kinerja seorang diplomat yang diperkuat dan diperjelas kriteriakriterianya. Hal ini akan mendorong orang untuk menjadi lebih disiplin dan tidak akan mencoba melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugasnya. Hal di atas juga didukung restrukturisasi organisasi Kementerian Luar Negeri yang diimplentasikan pada tanggal 1 Maret 200219. Kementerian Luar Negeri saat ini memiliki Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) dengan TUPOKSI (tugas pokok dan fungsi) yang telah ditetapkan, yaitu : pertama, melaksanakan pengkajian dan pengembangan di bidang kebijakan luar negeri; kedua, merumuskan kebijakan dalam rangka untuk menetapkan proyeksi tindakan dan sikap/posisi Pemerintah Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah luar negeri dan hubungan antar negara dengan mengacu kepada kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri.
Proses Pembuatan Kebijakan Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa ruang lingkup dalam makalah ini adalah the decision making process 20. Dalam proses pengambilan kebijakan, para pengambil kebijakan (decision maker) selalu akan mendasarkan keputusan pada rational choice (pilihan yang rasional). Pilihan rasional tersebut biasanya diputuskan dengan melalui beberapa tahapan proses pengambilan kebijakan yaitu: find the problems (menemukan masalah), defining the problems (mendefinisikan masalah), menghitung cost and benefit (pertimbangan untung rugi), melihat values and goals (memperhatikan nilainilai dan tujuan-tujuan yang ada), melakukan evaluasi (melakukan evaluasi), dan akhirnya diputuskan suatu kebijakan. Proses tersebut di atas sebetulnya melibatkan berbagai tahapan pengambilan kebijakan. Biasanya dalam menanggapi isu tertentu, Kementerian Luar Negeri membutuhkan masukan dari departemen lain yang terkait. Hal tersebut dilakukan melalui Ibid Dalam analisis politik luar negeri negara-negara berkembang dikenal setidaknya 3 ruang lingkup analisis yaitu the influences of foreign policy, the decision making process, dan the implementation of foreign policy. Makalah ini menggunakan ruang lingkup yang kedua. 19 20
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
184
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 rapat inter-departemen. Dalam rapat ini terjadi proses gathering masukan-masukan dan rekomendasi karena perlu disadari bahwa Kementerian Luar Negeri tidak menguasai seluruh aspek kehidupan domestik yang tentu saja penting untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Hasil rapat inter-departemen kemudian dibicarakan dalam rapat intern Kementerian Luar Negeri. Dalam rapat ini diputuskan posisi Indonesia dalam menanggapi isu tersebut. Posisi inilah yang menjadi acuan seorang aktor yang akan melakukan negosiasi. Dalam hal ini, sedikitnya terdapat 3 aktor yang biasa melakukan negosiasi di forum internasional ataupun memutuskan sebuah kebijakan luar negeri. Pertama adalah Presiden. Contoh kasus yang paling sederhana adalah ketika presiden diperhadapkan pada pilihan untuk melakukan kunjngan ke Eropa pada tahun 2008 ataukah membatalkannya. Dengan mendasarkan pada perumusan posisi Indonesia, Kementerian Luar Negeri memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk melakukan kunjungan karena kunjngan tersebut memiliki arti sangat penting untuk Indonesia. Namun demikian keputusan terakhir tetap di tangan Presiden. Pada akhirnya Presiden memutuskan untuk tidak melakukan kunjungan ke Eropa. Perbedaan pandangan antara Kementerian Luar Negeri dengan Presiden ini disebabkan kalkulasi cost and benefit Kementerian Luar Negeri dengan Presiden berbeda. Hal ini sangat dimungkinkan dalam suatu pengambilan kebijakan. Artinya, tidak selamanya pertimbangan untung rugi Presiden sama dengan birokrat di bawahnya. Dalam hal ini Presiden memiliki pertimbangan yang jauh lebih kompleks daripada Kementerian Luar Negeri mengingat posisi Presiden yang tidak hanya diperhadapkan pada isu hubungan internasional RI saja. Kedua adalah menteri luar negeri. Dalam hal ini, Presiden memberikan fullpower kepada menlu. Namun Menlu harus tetap berjalan dalam rambu-rambu yang telah diamanatkan oleh konstitusi, prinsip-prinsip politik luar negeri, advice presiden maupun pertimbangan dari birokrat di bawah Menlu. Setelah mendapatkan masukan posisi Indonesia dari birokrat di bawahnya, Menlu akan mendapatkan sebuah panduan terperinci tentang sebuah isu. Biasanya panduan tersebut berupa Point of View yang memuat segala pertimbangan dan posisi negara-negara lain dalam menanggapi isu tertentu. Point of View tersebut dibuat oleh birokrat di bawah menlu dan merupakan keberlanjutan dari posisi J U R N AL K Y B E R N O L O G I
185
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Indonesia. Misalnya saja ketika Menlu akan menghadiri Konferensi Tingkat Menteri ASEAN di Kualalumpur tahun 2006, para diplomat di Direktorat Kerjasama Intra Kawasan Asia Pasifik dan Afrika (KIK Aspasaf) menyusun Point of View untuk Menlu. Penyusunan tersebut didahului rapat inter-departemen dan rapat internal KIK Afpasaf. Setelah dipresentasikan di hadapan Menlu dan mendapatkan persetujuan, Point of View tersebut kemudian dicetak dan dijadikan pegangan untuk Menlu dan seluruh delegasi yang akan mengikuti konferensi tersebut. Ketiga, delegasi khusus. Delegasi khusus juga mendapatkan fullpower dari Presiden dan Menlu untuk menegosiasikan dan memutuskan sesuatu. Namun posisi delegasi ini juga tidak boleh keluar dari rambu-rambu yang telah ditetapkan. Delegasi ini juga mendapatkan masukan terlebih dahulu dari Presiden ataupun Menlu dan juga Point of View yang disusun oleh birokrat terkait. Dalam kondisi mendesak dan pilihan keputusan keluar dari arah yang telah ditetapkan sebelumnya, seorang delegasi bisa melakukan konsultasi dengan Menlu saat itu juga, hal ini untuk mengantisipasi dikeluarkannya sebuah keputusan/kebijakan yang tidak sejalan dengan rambu-rambu seperti telah disebutkan di atas. Contoh dari proses ini adalah ketika Marty Natalegawa menjadi delegasi Indonesia dalam forum DK PBB. Hal tersebut didasarkan pada Keputusan Menteri Luar Negeri RI No. SK.06/A/OT/VI/2004/01 tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan RI di luar negeri. Dalam Pasal 7 diatur bahwa “Kepala Perwakilan mempunyai tugas pokok mewakili, merundingkan, mempromosikan, melindungi kepentingan nasional, Negara, Pemerintah, dan Warga Negara Republik Indonesia di Negara Penerima dan/atau Organisasi Internasional di Wilayah Kerjanya.” Dan Pasal 8 butir (a) diatur bahwa “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Kepala Perwakilan menyelenggarakan fungsi perwakilan pemerintah dalam memperjuangkan kepentingan nasional, negara dan pemerintah Indonesia di negara penerima, wilayah kerja, dan/atau organisasi internasional. Untuk mengetahui lebih jauh tentang proses pengambilan kebijakan tersebut, berikut adalah analisis tentang keputusan Marty Natalegawa (sebagai representasi dari Indonesia) untuk abstain dalam resolusi DK PBB 1803. Pertama, menemukan masalah. Pemerintahan SBY diperhadapkan pada pilihan untuk mendukung, abstain, ataukah J U R N AL K Y B E R N O L O G I
186
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 menolak resolusi DK PBB. Proses selanjutnya adalah mendefinisikan masalah dalam konteks ini adalah pemerintah Indonesia harus mengetahui secara mendalam tentang permasalahan yang sedang berkembang. Artinya baik Presiden, Kementerian Luar Negeri, maupun delegasi Indonesia di DK PBB harus memiliki sumber informasi yang cukup untuk dijadikan dasar pertimbangan. Misalnya saja mengetahui sejauh mana langkah IAEA dalam menangani kasus nuklir Iran, apa isi rinci dari draft resolusi, dan sebagainya. Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung cost and benefit. Di satu sisi Indonesia tetap menginginkan hubungan yang baik dengan AS, namun di sisi lain keinginan
rakyat dan kedekatan Indonesia dengan Iran juga harus dipertimbangkan.
Pertimbangan untung rugi tersebut juga harus dilandasi nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang telah diamanatkan negara. Jangan sampai orientasi decision maker hanya keuntungan, akan tetapi apakah kebijakan tersebut sesuai dengan Pacasila, UUD 45, tujuan negara, prinsipprinsip politik luar negeri, dan sebagainya. Proses pertimbangan ini juga tidak terlepas dari peran Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan. BPPK sebelumnya telah mengadakan serangkaian kegiatan seminar, lokakarya dan diskusi. Pemerintah pada waktu itu menyatakan bahwa keputusan ini menunjukkan konsistensi RI dengan politik luar negeri bebas-aktif, yang berarti bahwa kebebasan untuk mengambil sikap atau posisi berdasar penilaian, prinsip, dan semata-mata didikte oleh kepentingan nasional sendiri 21. Setelah dilakukan evaluasi terhadap berbagai pertimbangan tersebut, diputuskanlah bahwa Indonesia memilih untuk abstain dalam resolusi DK PBB 1803.
21
Hasan Wirayudha, Kompas 1 Maret 2008.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
187
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Rapat Inter Departemen
Rapat Intra Kementerian Luar Negeri
Direkomendasikan ke Presiden
Rumusan Posisi RI
Disetujui Menlu
Advice Dijadikan Acuan Menlu
Tiga Kemungkinan Aktor
Advice
Dijadikan Acuan Delegasi
Kebijakan/Keputusan Luar Negeri
Proses dalam birokrasi Kementerian Luar Negeri terkait dengan kebijakan luar negeri RI22
KESIMPULAN
Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa Kementerian Luar Negeri masih memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri. Hal tersebut ditunjukkan
dengan rekomendasi birorasi Kementerian Luar Negeri kepada
Presiden terkait dengan berbagai isu yang sedang berkembang. Keterlibatan dan pengaruh Kementerian Luar Negeri tersebut juga sangat tergantung pada aturan main dalam birokrasi yang telah ditetapkan seperti UUD, tujuan negara, prinsip-prinsip politik luar negeri, SOP dan sebagainya. Selain itu, pengaruh Kementerian Luar Negeri juga ditentukan oleh sebuah isu. Isu yang sangat krusial sangat mungkin menyebabkan birokrasi Kementerian Luar Negeri kurang berpengaruh karena diputuskan oleh elit yang lebih tinggi. Sedangkan isu-isu yang kurang krusial dapat memberikan peluang yang lebih besar kepada mereka untuk mempengaruhi, bahkan memutuskan sebuah kebijakan.
Merupakan kesimpulan dari hasil analisis. Dihimpun dari berbagai sumber, yaitu dengan wawancara, observasi di lapangan, dan studi pustaka. 22
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
188
Volume I Edisi Kedua Tahun 2011 Namun demikian, birokrasi dalam Kementerian Luar Negeri pada era SBY masih menemui banyak tantangan seperti halnya birokrasi lain. Karakter birokrasi pada masa ini tidak mngalami perubahan yang berarti dibandingkan dengan masa-masa pemerintahan sebelumnya. Kecuali ketegasan pemerintah dalam hal korupsi dan penggunaan keuangan negara yang sebetulnya tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi proses-proses pembuatan kebijakan. Misalnya saja terkait dengan fragmentasi yang menyebabkan tarik ulur kepentingan, perbedaan persepsi, dan tumpang tindih kewenangan antar departemen, antar birokrat ataupun antara departemen dengan birokrat di atas atau dibawahnya. Hal tersebut menuntut Kementerian Luar Negeri semakin profesional, terutama terkait dengan keterlibatannya dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA Benveniste, Guy, 2000, Birokrasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada Macridis, Roy C. (Ed.), 1958, Foreign Policy in World Politics (Fifth Edition), New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Mises, Ludwig Von, 1944, Bureaucracy, New Haven: Yale University Press. Scott Kofmehl, STIA LAN, 2007, Economic Section, raconquista. files wordpress.com/2008/02/lecture-scott-kofmehl-edit.doc Thoha, Mitfah, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Thoha, Mitfah, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Prenada Media Group. Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo.
J U R N AL K Y B E R N O L O G I
189