VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.
Hubungan Konsentrasi BOD dan Pendapatan Per Kapita pada Polusi Air Sungai di Jepang Hubungan antara variabel BOD dengan pendapatan per kapita diperoleh
melalui regresi panel data. Regresi tersebut dilakukan dengan estimasi berdasarkan Random Effect Model (REM) dan Fixed Effect Model (FEM) pada spesifikasi model kuadratik dan kubik. Hasil estimasi regresi ditampilkan pada Tabel 6 sedangkan hasil regresi secara lengkap ditampilkan dalam Lampiran 1-10. Secara keseluruhan, hasil regresi panel data menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik dari tanda dan signifikasi koefisien variabel. Seperti dijelaskan sebelumnya, bila
, maka variabel tersebut akan signifikan. Dalam
tabel 6, variabel yang signifikan pada taraf alfa 5% ditunjukkan dengan tanda *. Untuk model kuadratik, semua variabel pendapatan (Inc dan Inc2) signifikan pada taraf nyata 5% dan tanda sesuai dengan yang diharapkan. Tanda variabel Inc diharapkan bernilai positif dan Inc2 bernilai negatif sehingga akan terbentuk kurva Kuznet yang berbentuk huruf U terbalik. Model FEM dan REM menunjukkan kurva yang sesuai dengan hipotesis yaitu kurva U terbalik. Tabel 6. Hasil Estimasi Regresi Panel Data Model
Hasil Estimasi Incit Incit 2
Kuadratik Popden Intercept Hausman Test Turning Point R-Square Kurva
REM 5,77 x 10-3* (7,8880) -1,25 x 10 -6* (-10,2894) -6,16 x 10-6 (-0,0037) -2.27 (-1,8272)
2.308,80 0,3950
FEM 6,7 x 10-3* (9,0347) -1,3 x 10-6* (-10,4610) -1,6 x 10-3* (-5,5756) 0,91 (0,7231) 77,2136 [0,0000] 2.608,98 0,8461
Tabel 6. Lanjutan Model Incit Incit 2 Incit 3 Popden Kubik
Intercept Hausman Test Turning Point
R-square Kurva
Hasil Estimasi REM FEM -5,2 x 10-3 -0,01 (-0,9607) (-1,9000) 2,4 x 10-6 4,4 x 10-6* (1,3448) (2,4265) -10 -3,81 x 10 * -5,92 x 10-10* (-2,0523) (-3,1356) -1,5x 10-4 -1,85 x 10-3* (-0,8594) (-6,2432) 8,71 18,03* (1,6063) (3,2204) 28,3867 [0,0000] 1 2 1 2 Tidak Terdefinisi 0,4123
1.990 2.980 0,8439
Sumber: Data diolah Keterangan : Tanda dalam ( ) menyatakan nilai t statistik dan tanda [ ] menyatakan probabilitas Tanda * berarti statistik pada taraf nyata 5%
Penentuan model yang terbaik antara FEM dengan REM dilakukan dengan menggunakan Uji Hausman. Probabilitas uji Hausman bernilai 0,0000 dan lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa model terbaik adalah model REM akan ditolak. Titik Turning point model kuadratik dicapai pada tingkat pendapatan ¥ 2.308,80 (REM), dan ¥ 2.608,98 (FEM). Dengan demikian, model yang terbaik untuk spesifikasi kuadratik adalah model FEM dengan turning point pada tingkat pendapatan ¥ 2.608,98. Untuk model kubik, variabel pendapatan yang signifikan adalah variabel Inc2 dan Inc3 untuk model FEM serta variabel Inc3 untuk model REM. Untuk semua model, tanda Inc adalah negatif, Inc2 positif, dan Inc3 negatif sehingga kurva yang terbentuk adalah kurva berbentuk huruf tilted-S. Hal ini berarti polusi akan menurun pada awal pertumbuhan ekonomi. Setelah mencapai titik turning
40
point pendapatan yang pertama, polusi akan meningkat lagi dan menurun setelah turning point yang kedua. Probabilitas uji Hausman menunjukkan nilai 0,0000. Nilai ini juga lebih kecil daripada taraf nyata (5%) sehingga dapat disimpulkan bahwa FEM lebih baik daripada REM. Nilai turning point untuk model REM kubik ternyata tidak terdefenisi karena akar determinan dalam penghitungan turning point bernilai negatif. Oleh karena itu, hasilnya menjadi tidak terdefinisi. Turning point yang pertama untuk model kubik tercapai pada tingkat pendapatan ¥ 1.990 (FEM) dan yang kedua pada tingkat pendapatan ¥ 2.980 (FEM). Oleh karena itu, model yang dapat merepresentasikan model kubik adalah model FEM dengan turning point ¥ 1.990 dan ¥ 2.980. Dari uji sebelumnya, FEM merupakan model yang terbaik di antara yang lainnya. Untuk menguatkan kesimpulan ini, kelayakan model akan ditinjau berdasarkan nilai R2. Model FEM memiliki nilai R2 yang paling tinggi, yaitu 84,61% (kuadratik) dan 84,39% (kubik). Sementara itu, untuk model REM, nilai R2 adalah 39,50% (kuadratik) dan 41,23% (kubik). Oleh karena itu, secara jelas terlihat bahwa model FEM adalah yang terbaik dimana model dapat menjelaskan sekitar 84% keragaman variabel yang dijelaskan yaitu konsentrasi BOD di sungai. Model ini juga memasukkan variabel kepadatan penduduk (Popden) sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada tingkat konsentrasi BOD di perairan. Untuk spesifikasi kuadratik dan kubik, variabel Popden signifikan untuk model FEM, namun tidak signifikan pada model REM. Sementara itu, dari segi tanda, koefisien bernilai negatif untuk model FEM dan REM
41
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa model FEM merupakan model yang terbaik dimana variabel Popden signifikan tetapi tandanya negatif. Menurut hipotesis, seharusnya peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi BOD yang artinya air sungai semakin terpolusi akibat aktivitas manusia yang meningkat. Oleh karena itu, variabel Popden diharapkan bertanda positif. Penjelasan yang memungkinkan adalah variabel kepadatan penduduk memang signifkan mempengaruhi peningkatan konsentrasi BOD, tetapi peraturan yang tegas dan dan perhatian publik akan kualitas lingkungan berhasil menurunkan konsentrasi limbah di perairan. Survei terhadap konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) yang juga merupakan salah satu indikator polusi air dari sungai yang bermuara di Tokyo Bay pada tahun 1999 menunjukkan bahwa hampir 70% limbah berasal dari penggunaan domestik. Namun, adanya peraturan tentang drainase menyebabkan jumlah total konsentrasi COD menurun hampir 50% dibandingkan dua puluh tahun sebelumnya. Hal ini ditampilkan dalam Gambar 10.
Sumber : Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism (2002) Gambar 10. Proporsi Sumber Polutan Chemical Oxygen Demand (COD) di Tokyo Bay Tahun 1979-1999
42
Faktor penjelas selanjutnya adalah perhatian publik terhadap kualitas lingkungan, misalnya partisipasi dalam kegiatan restorasi sungai. Nakamura (2006) menyatakan bahwa meningkatnya harga minyak pada dekade 1970-an melambatkan pertumbuhan ekonomi Jepang dan masyarakat mulai sadar akan lingkungan yang rusak selama industrialisasi pesat sebelumnya. Dekade 1990-an adalah titik balik perhatian masyarakat dan pemerintah sekaligus sebagai awal dari aktivitas restorasi sungai. Kegiatan terus digencarkan hingga tahun 2011 dan berhasil memulihkan sungai dari berbagai kerusakan seperti penyempitan badan sungai dan perkembangan spesies non native yang sangat pesat. Hal yang menarik dan membedakannya dari proyek serupa di negara lain yang umumnya disponsori oleh Non Government Organization (NGO) internasional yang kuat adalah aktivitas restorasi di Jepang berasal dari inisiatif kelompok masyarakat lokal dan NGO kecil. Walaupun mereka memiliki pengetahuan dan dana yang terbatas, mereka mampu menghubungkan ilmuwan dan pihak yang berwenang untuk merencanakan proyek restorasi yang lebih besar lagi. Pada kenyataannya, masyarakat Jepang menganut paham animisme yang mempercayai bahwa benda alam seperti danau, gunung, dan sungai adalah dewa yang harus dihormati. Model FEM terdiri dari model kubik dan kuadratik. Pemilihan hasil estimasi terbaik akan dilakukan berdasarkan bentuk kurva. Kurva model FEM berbentuk kuadratik berbentuk kurva U terbalik, sedangkan model FEM kubik berbentuk kurva tilted-S. Kurva model FEM kuadratik sudah memenuhi hipotesis kurva Kuznet dimana polusi akan meningkat pada awal pertumbuhan ekonomi dan akhirnya menurun seiring dengan peningkatan pendapatan. Sementara itu, kurva FEM kubik menggambarkan kenyataan sebaliknya. Polusi akan menurun di
43
awal sampai titik turning point yang pertama, kemudian meningkat sampai titik turning point yang kedua dan menurun kembali. Ditinjau dari signifikansi variabel, semua variabel model FEM kuadratik signifikan sedangkan terdapat satu variabel FEM kubik yang tidak signifikan sehingga secara jelas terlihat bahwa model FEM kuadratik lebih baik daripada FEM kubik. Walaupun tidak berbeda terlalu signifikan, nilai R2 FEM kuadratik sedikit (84,61%) lebih tinggi daripada R2 FEM kubik (84,39%). Oleh karena itu, model yang paling cocok untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh tingkat pendapatan per kapita dan polusi air sungai yang dicerminkan oleh konsentrasi BOD pada sungai di Jepang adalah FEM kuadratik dengan model sebagai berikut.
Nilai turning point pendapatan per kapita adalah sebesar ¥ 2608,98, sedangkan nilai elastisitas pendapatan per kapita terhadap BOD adalah -0,508. Hal ini berarti apabila pendapatan per kapita meningkat 1%, maka BOD akan menurun sebesar 0,508%.
BOD (mg/L)
Kurva hipotetikal Kuznet di Jepang ditampilkan dalam Gambar 11. 12 10 8 6 4 2 0
BOD
Pendapatan Per Kapita (¥1.000)
Sumber : Data Diolah Gambar 11. Kurva Hipotetikal Kuznet Jepang
44
Gambar 12 menunjukkan hubungan konsentrasi BOD dan pendapatan per kapita kota Chofu dari tahun 1978 sampai 2004 dengan membandingkan nilai BOD yang sebenarnya dan BOD prediksi dari model FEM kuadratik. Kota Chofu dianggap dapat mewakili kota besar lokasi penelitian karena kota ini terletak di Provinsi Tokyo dan merupakan bagian dari Tokyo Metropolitan Area sebagai pusat perekonomian, industri, dan penduduk di Jepang. Model prediksi BOD ini cukup baik karena dapat mendekati nilai sebenarnya. Model FEM kuadratik menunjukkan bahwa turning point dicapai pada tingkat pendapatan ¥ 2.608,98. Dari gambar terlihat bahwa kota Chofu sudah melalui titik ini sehingga sekarang berada pada tahap kedua kurva Kuznet, yaitu peningkatan pendapatan per kapita yang diikuti dengan penurunan konsentrasi BOD. Namun, dalam tahap ini, penurunan
BOD
cenderung
fluktuatif,
yaitu
menurun,
meningkat,
BOD (mg/L)
menurun,meningkat, dan menurun kembali. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
BOD Prediksi BOD sebenarnya
Pendapatan Per Kapita (¥ 1.000)
Sumber: data diolah Gambar 12. Kurva Hipotetikal Kuznet Kota Chofu, Provinsi Tokyo Untuk lebih memahami dinamika perubahan kualitas air sungai di Jepang, berikut akan dijelaskan data dalam laporan mengenai polusi air sungai yang
45
dikeluarkan oleh Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan pada tahun 2009. Gambar 13 menunjukkan konsentrasi BOD pada tiga sungai utama di Jepang yaitu Sungai Otagawa yang mengalir di Hiroshima; Sungai Yoshinogawa yang mengalir di Kouchi dan Tokushima; dan Sungai Chikugawa yang mengalir di Kumamoto, Oita, dan Fukuoka. Sementara itu, Gambar 14 menunjukkan konsentrasi BOD sungai yang mengalir di lokasi industri, yaitu Sungai Ayasegawa yang mengalir di Saitama; Sungai Tamagama yang mengalir di Yamanashi, Tokyo, dan Kanagawa; Sungai Tsurumigawa yang mengalir di Tokyo dan Kanagawa; serta Sungai Yamatogawa yang mengalir di Nara dan Osaka.
Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan (2010) Gambar 13. Konsentrasi BOD Sungai Utama di Jepang Periode 1973-2009 Konsentrasi BOD pada sungai utama berfluktuasi dari tahun 1973 sampai dekade 1990-an, namun secara umum menunjukkan kecenderungan yang menurun. Kualitas sungai ini masih dapat dikatakan bagus karena konsentrasi BOD masih berada pada batas ambang yang diijinkan. Konsentrasi tertinggi terdapat di sungai Chikugawa, yaitu sekitar 5,6 mg/L, sedangkan batas ambang BOD adalah kurang dari 1-10 mg/L (Ministry of Environment Japan).
46
Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan (2010) Gambar 14. Konsentrasi BOD Sungai di Kawasan Industri di Jepang pada Periode 1973-2009 Sementara itu, kualitas air sungai yang mengalir di kawasan industri seperti Tokyo, Saitama, Kanagawa dan Osaka sangat buruk karena konsentrasi BOD di perairan jauh lebih tinggi daripada batas ambang yang diperbolehkan (kurang dari 1-10 mg/L). Konsentrasi BOD tertinggi terjadi pada tahun 1973 di sungai Ayasegawa (sekitar 42 mg/L) yang mengalir melalui Saitama dan Tokyo. Dekade 1960-an merupakan masa keemasan bagi perekonomian Jepang karena berhasil bangkit dari kekalahan setelah perang dunia kedua dan menjadi negara dengan GDP terbesar kedua di dunia. Pada saat itu, pemerintah masih terfokus pada upaya membangun perekonomian dengan industrialisasi dengan mengabaikan kualitas lingkungan. Gambar 15 menunjukkan limbah cair yang langsung dibuang ke perairan di Kitakyushu tanpa pengolahan lebih lanjut pada dekade 1960-an.
47
Sumber: Ministry of the Environment Japan (2009) Gambar 15. Limbah Industri yang Langsung Dibuang ke Perairan Kitakyushu pada Dekade 1960-an Pertumbuhan ekonomi yang menjadi target utama pemerintah mengakibatkan terjadinya bencana akibat lingkungan yang rusak. Dampak yang besar terhadap masyarakat dan ekosistem menyebabkan pemerintah mulai sadar untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Fokus pembangunan pun mulai diubah dengan membuat faktor lingkungan sebagai pusat sehingga aktivitas ekonomi harus diusahakan agar tidak membahayakan
lingkungan. Hal ini sudah
digambarkan oleh hasil estimasi regresi panel terhadap data pendapatan per kapita dan konsentrasi BOD yang menunjukkan kurva berbentuk huruf U terbalik. Setelah melalui tingkat pendapatan sebesar ¥ 2.608,98, konsentrasi BOD semakin menurun. Bukti pendukungnya adalah data time series tentang konsentrasi BOD sungai utama dan sungai di kawasan industri pada Gambar 12 dan Gambar 13 yang menunjukkan trend yang menurun sepanjang waktu. 6.2 Kondisi Historis Polusi Air dan Peraturan Lingkungan di Jepang Jepang merupakan salah satu negara maju dengan kualitas lingkungan yang baik. Namun, sebelumnya, Jepang juga mengalami kerusakan lingkungan akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat intensif. Informasi dari kementerian Lingkungan Jepang menyebutkan bahwa polusi air telah terjadi di Jepang sebelum 48
era industrialisasi yaitu pada periode Meiji (1868-1912). Limbah tambang dari perusahaan Ashio Copper Mine dibuang langsung ke sungai Watarase sehingga menimbulkan gangguan kesehatan dan pencemaran lahan sawah di sekitar sungai. Setelah periode Meiji, polusi air terus meningkat dan menyebar ke berbagai wilayah di Jepang seiring dengan dimulainya industrialiasasi. Kekalahan di perang dunia II menjadi momentum bagi Jepang untuk memulihkan kembali perekonomian yang hancur akibat perang melalui industrialisasi. Transisi dari rekonstruksi pasca perang ke era keemasan ekonomi Jepang dimulai sejak dekade 1950an. Jepang berhasil mencapai Gross Domestic Product (GDP) yang melebihi GDP sebelum perang pada tahun 1953. Pada awal dekade 1960-an, dalam kondisi politik pasca perang yang masih tidak stabil, Perdana Menteri Hayato Ikeda meluncurkan program Income Doubling Plan dengan target peningkatan pendapatan ril dua kali lipat dalam kurun waktu sepuluh tahun. Rencana ini dinilai tidak realistis karena pendapatan nominal mungkin meningkat tapi inflasi harus dipastikan konstan agar program tersebut terlaksana. Walaupun publik pesimis, pada kenyataannya pendapatan ril meningkat lebih dari dua kali lipat dalam sepuluh tahun. Tingkat pengangguran dapat ditekan hingga tingkat 1,1%-1,3 % kecuali pada tahun 1960 (1,6%). Pada tahun 1968, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi sehingga tahun 1968 sering disebut golden era dan masa paling penting yang menandai transformasi Jepang menjadi negara modern. GDP Jepang mencapai $ 152 miliar dan menjadi GDP tertinggi kedua di dunia (Hamada, 1996). Seiring
dengan
pertumbuhan
ekonomi
yang
mencengangkan,
permasalahan lingkungan juga meningkat dengan cepat. Sejak dekade 1950-an,
49
perekonomian Jepang bertumbuh dengan pesat, tetapi diikuti dengan kerusakan lingkungan. Pada tahun 1955, cemaran limbah merkuri menyebabkan penyakit Minamata di barat daya pulau Kyushu. Setelah itu, kasus minamata kedua terjadi di Sungai Agano, Laut Teluk Jepang. Sungai Jinzu yang juga terletak di sekitar Laut Teluk Jepang juga tercemar Cadmium dan menyebabkan penyakit gatal-gatal (Itai-Itai). Menanggapi dampak bencana lingkungan yang besar bagi masyarakat dan ekosistem, pemerintah mulai mengusahakan upaya untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Secara umum. pengaturan polusi air di Jepang dilakukan melalui tiga metode yang diterapkan pada sumber polutan yang dapat diidentifikasi. Metode tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Kontrol terhadap konsentrasi polutan pada limbah cair.
2.
Kontrol terhadap konsentrasi polutan di badan air. Standar ini merupakan target wajib kebijakan lingkungan jangka panjang.
3.
Kontrol terhadap konsentrasi polutan limbah cair dalam satuan volume. Hal ini diterapkan bila kualitas standar lingkungan tidak dapat dicapai melalui pembatasan konsentrasi polutan. Umumnya, metode ini diterapkan pada badan air yang merupakan menjadi muara bagi polutan dari industri dan rumah tangga dalam jumlah yang besar. Awalnya, kesadaran akan pentingnya membuat peraturan tentang
lingkungan dimulai dari pemerintah daerah di pusat industri di wilayah Kanto seperti Tokyo dan Kanagawa. Beberapa pemerintah daerah mulai menerbitkan peraturan lingkungan yang berlaku untuk daerahnya masing-masing. Pemerintah Kota Metropolitan Tokyo mulai mengeluarkan kebijakan pencegahan polusi sejak
50
1949, Osaka sejak 1950, Kanagawa sejak 1951, dan Fukuoka sejak 1955. Saat itu, masalah lingkungan belum menjadi perhatian pemerintah pusat karena pemerintah pusat masih fokus meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi. Permasalahan lingkungan mulai menjadi perhatian pemerintah pusat sejak tahun 1958 ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur kualitas air untuk publik dan limbah perusahaan. Namun, peraturan ini kurang efektif karena pelaksanaannya kurang tegas dan pemberlakuannya hanya terbatas di berbagai lokasi. Kemudian, pada tahun 1967, kontrol sumber polusi mulai diperketat dengan mengeluarkan Basic Law for Environmental Pollution Control. Pada tahun 1970, pemerintah akhirnya mengeluarkan hukum tentang polusi air yang merupakan penggabungan dari berbagai peraturan yang sudah ada sebelumnya. Hukum ini mengatur batas standar limbah cair yang berlaku secara nasional dan dikontrol oleh pemerintah melalui Environmental Agency. Namun, pada dekade 1970-an, kasus polusi air semakin sering terjadi . Industrialisasi intensif di sepanjang Laut Pulau Seto menyebabkan kualitas air memburuk. Pada tahun 1972, terjadi kematian mendadak biota laut dalam jumlah besar akibat pertumbuhan eksposif ganggang merah yang muncul karena tumpahan minyak dari pabrik penyulingan minyak dan kontaminasi Kromium dari sampah industri. Kondisi ini kemudian ditanggapi cepat oleh pemerintah setahun kemudian dengan mengeluarkan Water Pollution Control Law untuk konservasi lingkungan di Laut Pulau Seto dan mendorong pengembangan teknologi yang dapat menghilangkan polutan seperti COD, Nitrogen, dan Phospor pada air limbah. Hukum ini kemudian direvisi pada tahun 1978 untuk mengesahkan pihak yang berwenang untuk membatasi total polutan yang diperbolehkan dibuang ke
51
perairan. Sistem ini kemudian dilaksanakan di Teluk Tokyo dan Teluk Ise yang juga mengalami kerusakan lingkungan akibat industrialisasi yang sangat pesat. Selanjutnya, kebijakan perbaikan infrastruktur mulai diarahkan pada sistem suplai air dan pembuangan limbah cair untuk mengontrol polusi air dari perusahaan. Pemerintah pun mengimpor teknologi dari luar negeri yang berkaitan dengan penyaringan air keran, pengolahan limbah cair perusahaan dan kotoran manusia. Namun, di saat yang sama, sektor pendidikan distimulai untuk melakukan penelitian agar teknologi tersebut diproduksi di dalam negeri untuk tujuan komersil. Pada dekade 1990-an, Basic Environment Law disahkan oleh pemerintah untuk mengatur kualitas standar indikator kualitas lingkungan. Pemerintah juga mengeluarkan sejumlah peraturan untuk yang mengatur sumber air minum, konservasi untuk sumber air minum, dan management pengolahan limbah manusia seperti feces dan urine. Pada dekade 2000-an, polusi yang diakibatkan oleh bahan berbahaya menjadi masalah lingkungan yang baru. Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan Law Concerning Special Measures against Dioxins dan Soil Contamination Countermeasures Law. Selain itu, terdapat juga sejumlah konvensi internasional yang menjadi dasar bagi pencegahan polusi air di Jepang seperti Konvensi tentang pencegahan polusi di laut dari sampah yang dibuang dari kapal dan pesawat udara. Konvensi ini diratifikasi pada tahun 1980. Pada tahun 1983, Jepang juga meratifikasi konvensi internasional tentang pencegahan polusi akibat akitivitas pengoperasian maupun kecelakaan kapal.
52
Kualitas standar untuk polusi air diklasifikasikan berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan dan komponen lingkungan yang hidup seperti binatang, tumbuhan,dan habitatnya. Polutan yang berpengaruh terhadap kesehatan adalah bahan beracun sepertu logam Merkusi, Arsen, dan Klorin. Sementara itu, polutan yang berpengaruh terhadap komponen lingkungan yang hidup adalah bahan beracun, polusi bahan organik seperti BOD
dan COD, dan nutrien seperti
Nitrogen dan Phospor. Indikator polusi air yang paling utama adalah konsentrasi Oksigen di perairan yang dapat diukur melalui BOD dan COD. Berkurangnya Oksigen dapat menyebabkan kematian bagi kehidupan di perairan. Komponen penting dalam managemen sumber daya air di Jepang adalah adanya monitoring secara berkala. Kementerian Lingkungan memeriksa kualitas air di permukaan (danau, sungai, dan laut) dan air tanah di sekitar 9.000 titik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik air, trend perubahan kualitas air dalam jangka panjang, dan mendeteksi adanya polusi air sejak dini. Data ini kemudian dianalisis dan dipublikasikan ke website maupun dalam bentuk laporan tahunan yang dapat didistribusikan ke lembaga pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan. Peraturan tentang standar konsentrasi polutan yang diperbolehkan berlaku terhadap semua perusahaan yang terdaftar dalam specified fatories karena mengeluarkan emisi dalam jumlah yang besar seperti perusahaan bahan kimia, logam, pengolahan limbah, dan hotel. Specified
berarti perusahaan harus
memiliki teknologi tertentu untuk mengolah limbah sebelum dibuang ke perairan. Pengawasannya adalah sistem direct penalty yang artinya perusahaan dapat dikenakan sanksi apabila konsentrasi polutan dalam limbah yang dikeluarkan ke
53
perairan telah melalui ambang batas. Sistem pengawasan ini dilakukan secara seragam oleh pemerintah pusat (uniform control). Sampai tahun 2005, sebanyak 290.000 specified factories terdaftar dalam subjek pengawasan pemerintah pusat. Kontrol polusi yang lebih ketat mungkin dilaksanakan di tingkat provinsi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dimengerti bahwa pemerintah daerah juga sangat berperan penting dalam menjaga kualitas ambang polutan di daerahnya masing-masing. Pemerintah daerah umumnya bertanggung jawab untuk mengontrol polutan dari perusahaan skala kecil. 6.3.
Pelajaran yang Dapat Diambil Indonesia dari Pengalaman Jepang Walaupun pernah
mengalami
kerusakan
lingkungan
yang
parah
sebelumnya, saat ini Jepang telah menjadi negara maju yang modern dengan kualitas lingkungan yang baik. Sementara itu, Indonesia masih berada pada tahap mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebelum menguraikan pelajaran yang dapat diperoleh Indonesia dari
pengalaman Jepang yang telah mengalami kerusakan terlebih dahulu, akan dipaparkan kondisi lingkungan Indonesia saat ini. Seperti halnya Jepang pada awal pertumbuhan ekonomi, faktor ekonomi masih diposisikan sebagai target utama
yang harus dicapai. Sementara itu,
kualitas lingkungan masih cenderung di undervalue. Sebanyak 70% di negara berkembang termasuk Indonesia membuang limbah langsung ke sungai tanpa pengolahan lebih lanjut (WHO, 2012). Ketika lingkungan yang merupakan penyedia input bagi aktivitas ekonomi rusak, aktivitas perekonomian pun menjadi terganggu.
54
Kualitas air sungai dapat dilihat dari status mutu air yang merupakan kondisi mutu air yang dibandingkan terhadap baku mutu air. Pada tahun 2008, secara umum status mutu dari beberapa sungai di Indonesia telah tercemar jika dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas II. Beberapa di antaranya telah berstatus tercemar berat terutama di sungai Pulau Jawa seperti Kali Angke (Banten), Ciliwung (DKI Jakarta), dan Citarum (Jawa Barat). Sungai seperti Ciliwung merupakan lokasi padat penduduk sehingga berpengaruh juga terhadap banyaknya sampah aktivitas domestik yang dihasilkan. Status mutu beberapa sungai di Indonesia ditampilkan dalam Tabel 7. Tabel 7. Status Mutu Air Sungai Indonesia Tahun 2008 Jumlah Titik No Provinsi Sungai 6 1 NAD Krueng Aceh 10 2 Riau Kampar 12 3 Jambi Batang Hari 6 4 Bengkulu Air Bengkulu 8 5 Sumatera Selatan Musi 15 6 Lampung W.Sekampung 6 7 Bangka Belitung Rangkui 6 8 Banten Kali Angke 15 9 DKI Jakarta Ciliwung 6 10 Jawa Barat Citarum 6 11 Jawa Tengah Progo 7 12 DIY Progo 10 13 Jawa Timur Bengawan Solo 6 14 Bali Tukad Badung 6 15 NTB Jangkok 6 16 Kalimantan Selatan Martapura 6 17 Kalimantan Tengah Kahayan 8 18 Sulawesi Utara Tondano 6 19 Gorontalo Bone 6 20 Sulawesi Selatan Tallo 6 21 Sulawesi Tenggara Konahewa 6 22 Sulawesi Selatan Jeneberang 3 23 Maluku Batu Gajah
Status CB CB CS CS-CB CB CS CB CB CB CB CS-CB CB CB CB CB CB CB CB CS CB CB CB CB
55
Tabel 7. Lanjutan Jumlah Titik Status No Provinsi Sungai 3 24 Maluku Batu Merah CB 6 25 Maluku Utara Tabobo CS-CB Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup (2009) Keterangan: CR = Tercemar Ringan CS = Tercemar Sedang CB = Tercemar Berat Sebagai negara tropis dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, yaitu sekitar 2.779 mm/tahun, seharusnya Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya air. Pada kenyataannya, Indonesia saat ini sering mengalami krisis air di musim kemarau dan banjir di musim hujan karena sebanyak 66% air hujan mengalir menjadi air permukaan dan menjadi sumber bencana seperti bajir dan longsor. Ancaman krisis air ini semakin nyata di pusat pertumbuhan ekonomi dan penduduk seperti Pulau Jawa dan Bali. Pada tahun 1930, Pulau Jawa mampu memasok air sebesar 4.700 m3 per tahun. Namun, pada tahun 2020, diperkirakan potensi airnya tinggal 1.200 m3 per tahun dimana hanya 35% yang layak dikelola secara ekonomis (Kementerian Lingkungan Hidup, 2011). Secara ekonomi, budaya, maupun struktur sosial masyarakat, kondisi Jepang dan Indonesia memang berbeda. Jepang memiliki pendapatan yang cukup untuk berinvestasi pada infrastruktur manajemen sumber daya air, kesadaran publik terhadap lingkungan yang tinggi, dan kesiapan menghadapi bencana yang baik. Penduduk di Jepang tidak terbiasa membuang sampah langsung ke sungai karena nilai untuk melestarikan sungai sudah terinternalisasi ke dalam budaya hidup masyarakat yang mempercayai bahwa benda mati seperti sungai, danau, dan laut adalah dewa yang harus dihormati. Walaupun demikian, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil oleh Indonesia dari pengalaman Jepang yang telah
56
terlebih dahulu mengalami kerusakan lingkungan. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Pertama, penguatan lembaga pemerintah di tingkat daerah terutama yang mengalami dampak kerusakan lingkungan. Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab yang kompleks dan pada umumnya pemerintah pusat fokus pada upaya mencapai pertumbuhan ekonomi. Pengaturan tentang polusi air di Jepang juga diawali pemerintah daerah Kanagawa, Tokyo, dan Osaka. Di Indonesia, pemerintah daerah telah diberikan wewengan yang lebih banyak melalui Otonomi Daerah. Pemerintah daerah seharusnya memberikan ijin yang lebih ketat terhadap perusahaan yang ingin mendirikan ijin usaha untuk memastikan bahwa usaha aktivitas tersebut tidak merusak lingkungan. Dalam hal ini, peran pemerintah sangatlah krusial untuk
menentukan arah pertumbuhan ekonomi yang
memperhatikan kelestarian lingkungan. Kedua adalah penggunaan teknologi baik dalam mengelola limbah agar aman dibuang ke lingkungan maupun mendaur ulang air. Teknologi sangat penting peranannya karena jumlah limbah sudah tidak sebanding dengan kemampuan alam untuk menguraikannya secara alami. Pada awalnya, Jepang belum memiliki teknologi pengolahan air sehingga mereka harus mengimpor dari luar negeri. Semua industri kemudian diwajibkan untuk mengolah limbah sampai kadar polutannya tidak berbahaya bagi lingkungan. Pemerintah daerah juga menggunakan teknologi untuk mengelola limbah domestik dan mendaur ulang pemakaian air bekas seperti mencuci dan mandi. Di
saat
yang
sama,
pemerintah
mendorong
pendidikan
untuk
menghasilkan teknologi sehingga akhirnya Jepang mampu memproduksi
57
kebutuhan dalam negeri. Pada akhirnya, industri teknologi pengolahan air menjadi industri utama di Jepang dan mampu mengekspor ke luar negeri. Jadi, dalam hal ini Jepang mampu menggunakan tantangan sebagai salah satu kesempatan untuk membuka peluang bisnis yang baru melalui riset dan pengembangan di dunia pendidikan. Selain itu, Jepang juga percaya dan mencintai produk dalam negeri. Nilai seperti ini yang perlu diinternalisasikan kepada masyarakat Indonesia. Ketiga adalah penegakan hukum yang tegas. Negara Jepang terbukti melakukan pengawasan rutin dan menindak pelanggar dengan tegas. Hal ini terbukti dari data yang menyatakan bahwa pada awal dekade 2000-an, total buangan limbah sudah menurun hampir 50% bila dibandingkan dua puluh tahun sebelumnya (Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism Japan, 2002) Seperti telah dijelaskan sebelumnya. Ketegasan hukum yang berlaku bagi semua orang harus diupayakan di Indonesia agar Indonesia dapat mengalami pertumbuhan ekonomi dari potensi sumber daya alam yang sangat kaya. Hal yang terakhir adalah upaya mengembangkan sektor ekonomi tersier di Indonesia. Industri primer dan sekunder seperti pertanian, pertambangan, manufaktur, dan konstruksi membutuhkan banyak input material sehingga tekanan lingkungan untuk menyediakan input juga meningkat. Semakin banyak input semakin banyak juga limbah yang dihasilkan dan efek negatif terhadap lingkungan apalagi bila limbah tidak ditangani dengan baik. Sementara itu, industri tersier seperti industri berbasis jasa, informasi, dan komunikasi membutuhkan teknologi dan kemampuan sumber daya manusia, tetapi dapat mengurangi penggunaan input material.
58
Pada kenyataannya, Indonesia adalah negara pertanian dan kaya akan sumber daya alam seperti tambang.
Sumber daya yang melimpah ini dapat
menjadi menjadi sumber bencana apabila tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, kegiatan sektor primer dan sekunder harus diupayakan agar tidak merusak lingkungan sambil mengupayakan pertumbuhan sektor sekunder. Transisi ekonomi terbukti menjadi salah satu faktor yang dapat menjelaskan perbaikan kualitas lingkungan di negara maju (Dinda, 2000). Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa untuk tahun 2008, industri tersier di Tokyo bertumbuh positif, sedangkan industri sekunder dan primer mengalami pertumbuhan negatif. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia diharapkan dapat mendorong dan memfasilitasi para ilmuwan Indonesia yang tersebar di berbagai negara untuk bekerja sama dalam mengupayakan pertumbuhan sektor ekonomi tersier sambil mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi primer dan sekunder yang berwawasan lingkungan.
59