ANALISIS EMPIRIS KURVA LINGKUNGAN KUZNET PADA POLUSI AIR SUNGAI DI JEPANG
ELLEN PAULINA HUTAGAOL
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Empiris Kurva Lingkungan Kuznet pada Polusi Air Sungai di Jepang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2012
Ellen Paulina Hutagaol H4407000
RINGKASAN
Ellen Paulina Hutagaol. Analisis Empiris Kurva Lingkungan Kuznet pada Polusi Air Sungai di Jepang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI. Dewasa ini, terjadi peningkatan penduduk dunia yang cukup signifikan. Malthus memprediksi bahwa populasi penduduk akan meningkat secara eksponensial, sedangkan makanan secara linear. Walaupun kebenaran prediksi ini masih menjadi perdebatan, perkembangan pertanian, perubahan struktur sosial, dan teknologi telah ditemukan sebagai respon terhadap kelangkaan sumber daya Peningkatan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan sumber daya yang terbatas berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan seperti polusi perairan, deforestasi, dan polusi udara. Di Jepang, polusi perairan menjadi perhatian publik karena Jepang berhasil membangun perekonomian yang hancur setelah perang dunia kedua namun diikuti sejumlah permasalahan akibat polusi air seperti penyakit Minamata. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kerusakan lingkungan digambarkan dengan kurva U terbalik yang kemudian dikenal dengan nama kurva Kuznet. Studi empiris untuk membuktikan kurva ini telah banyak dilakukan untuk berbagai kasus seperti polusi udara dan air. Beberapa studi berhasil terbukti, namun terdapat juga studi yang menemukan kurva berbentuk lain seperti huruf U, N, dan tilted-S. Umumnya, studi ini dilakukan dengan regresi panel data pada sekelompok data negara. Asumsi dasar yang menggeneralisasikan data semua negara ke dalam kelompok panel data dikritik oleh Dinda (2004) karena terdapat hal spesifik yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan di suatu negara sehingga diperlukan adanya studi di tingkat yang lebih rendah, yaitu negara. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan per kapita dan polusi air sungai di Jepang, menjelaskan historis polusi air sungai dan peraturan lingkungan di Jepang, dan memperoleh pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari pengalaman negara maju seperti Jepang dalam hal permasalahan lingkungan. Indikator polusi air sungai diwakili oleh konsentrasi Biological Oxygen Demand (BOD). Metode yang digunakan adalah kuantitatif dengan regresi panel data dan deskriptif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu konsentrasi BOD, pendapatan per kapita, luar area, dan jumlah penduduk dari 11 kota besar pada periode 1978-2004.Terdapat dua macam pendekatan dalam regresi panel data yaitu Random Effect Model (REM) dan Fixed Effect Model (FEM). Model terbaik kemudian ditentukan dengan Uji Hausman. Model yang terbaik adalah model FEM dengan bentuk kurva U terbalik dan turning point ¥ 2.608,98. Seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita, konsentrasi BOD meningkat sampai tingkat ¥ 2.608,98 kemudian menurun kembali. Nilai elastisitas pendapatan per kapita terhadap BOD adalah -0,508 yang artinya bila pendapatan per kapita meningkat 1%, makan konsentrasi BOD akan menurun 0,508% Polusi air yang terjadi di Jepang sudah terjadi sejak era Meiji (1868-1912), namun semakin meningkat sejak era industrialisasi. Peraturan mengenai kualitas
lingkungan awalnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang terkena dampak dan menjadi perhatian pemerintah pusat sejak tahun 1968. Saat ini, Indonesia juga mengalami kerusakan lingkungan seperti polusi perairan terutama di pusat pertumbuhan ekonomi. Terdapat berbagai pelajaran yang dapat diambil Indonesia dari pengalaman Jepang seperti penegakan hukum yang tegas, penggunaan teknologi, pengembangan industri tersier, dan adanya inisiatif pemerintah daerah untuk mengawasi pihak yang berpotensi mencemari lingkungan. Kata Kunci: Pendapatan Per Kapita, BOD, Kuznet, Jepang
ANALISIS EMPIRIS KURVA LINGKUNGAN KUZNET PADA POLUSI AIR SUNGAI DI JEPANG
ELLEN PAULINA HUTAGAOL H44070001
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP
: Analisis Empiris Kurva Lingkungan Kuznet pada Polusi Air Sungai Di Jepang : Ellen Paulina Hutagaol : H44070001
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc NIP. 19620421 198603 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003 Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi ini kepada: 1. Tuhan Yesus yang telah menjadi penopang, pemberi kekuatan, dan sumber suka cita dalam setiap kesulitan dan tantangan. 2.
Bapak (Open Hutagaol), Ibu (Rosdi Simbolon), adik-adik (Elisabeth, Lupe, Eriyanti, dan Deartha) beserta
keluarga besar yang telah memberikan
motivasi, doa, dukungan, dan perhatian. 3.
Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku dosen pembimbing di Institut Pertanian Bogor, Bapak Kouzi Kato, dan Bapak Kodama selaku dosen pembimbing ketika mengikuti pertukaran pelajar di Universitas Utsunomiya, Jepang. Beliau telah memberikan bimbingan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Ibu Dr. Eka Intan Kumala Putri, MS sebagai penguji utama dan Bapak Novindra SP. M.Si sebagai penguji kedua. Terima kasih atas masukan yang sangat berharga dalam perbaikan skripsi ini.
5.
Bapak yang menginspirasi Ir. Sahat M.H. Simanjuntak, M.Sc, mahasiswa pasca sarjana ESL yaitu Bapak Slamet dan Mbak Maria. Terimakasih atas diskusi menyenangkan dan kerendahan hatinya untuk berbagi pengalaman dan ilmu kepada penulis.
6.
Junya Suzuki dan Naoko Ochiai beserta anggota laboratorium Agricultural Economics Universitas Utsunomiya Kimura, Taniguchi, dan Shimizu Takumi. Terimakasih atas bantuan untuk pencarian data, referensi, dan penerjemahan
dari
bahasa
Jepang
ke
bahasa
Inggris.
7. Mbak Fatma, Erna, Viva, Kevin, Micha, Chrisye. Terima kasih atas dorongan motivasi dan semangat selama penulisan skripsi ini. 8. Seluruh dosen, staf pengajar, dan staf tata usaha Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB. Terima kasih atas ilmu dan pengalaman berharga selama penulis menimba ilmu serta motivasi menanyakan waktu kelulusan yang membuat penulis semakin bersemangat menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan angkatan 44, Divisi Student
Research
Development
REESA,
Divisi
Pendidikan
dan
Pengembangan KEMAKI, Puella Domini, dan OMDA Samosir. Terima kasih atas kebersamaan dan pengalaman selama kuliah.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Empiris Kurva Lingkungan Kuznet pada Polusi Air Sungai Di Jepang”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh pendapatan per kapita dan kerusakan lingkungan yang diwakili oleh konsentrasi BOD pada sungai yang mengalir melalui sungai di kota-kota besar wilayah Kanto, Jepang. Kajian ini juga memaparkan beberapa pelajaran yang dapat diambil oleh Indonesia dari pengalaman Jepang sebagai negara maju yang telah mengalami kerusakan lingkungan sebelumnya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Bogor,
Mei 2012
Ellen Paulina Hutagaol H44070001
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xiv
I.
PENDAHULUAN .................................................................
1
II.
1.1. Latar Belakang .............................................................. 1.2. Perumusan Masalah ...................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................ 1.5. Batasan Penelitian ......................................................... TINJAUAN PUSTAKA .......................................................
1 7 8 9 9 11
2.1. Indikator Kerusakan Lingkungan Sungai ....................... 2.2. Hipotesis Environmental Kuznet Curve (EKC) .............. 2.3. Studi Empiris Environmental Kuznet Curve (EKC) Terdahulu ......................................................................
11 13
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................
21
IV.
METODE PENELITIAN .....................................................
24
4.1. Lokasi dan Waktu ........................................................ 4.2. Jenis dan Sumber Data .................................................. 4.3. Metode Analisis dan Pengolahan Data ........................... 4.3.1. Metode Analisis Data......................................... 4.3.2. Perumusan Model .............................................. 4.3.3. Metode Pengolahan Data ...................................
24 24 25 25 25 28
V.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................
33
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................
40
6.1. Hubungan Konsentrasi BOD dengan Pendapatan Per Kapita pada Polusi Air Sungai di Jepang ....................... 6.2. Kondisi Historis Polusi Air dan Peraturan Lingkungan di Jepang ....................................................................... 6.3. Pelajaran yang Dapat Diambil Indonesia dari Pengalaman Jepang ....................................................... VII.
16
40 49 55
SIMPULAN DAN SARAN...................................................
61
7.1. Simpulan ....................................................................... 7.2. Saran ............................................................................
61 62
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
63
LAMPIRAN ......................................................................................
67
RIWAYAT HIDUP ............................................................................
72
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Daftar Kota Besar Lokasi Penelitian ..............................................
24
2.
Kemungkinan Kurva Hasil Estimasi Model ...................................
27
3.
Provinsi dengan Estimasi Jumlah Penduduk Terbanyak di Jepang Tahun 2011 ...................................................................................
34
Provinsi dengan Estimasi Kepadatan Penduduk Tertinggi di Jepang Tahun 2011 ...................................................................................
35
GDP Nominal Sektor Pertanian Provinsi Ibaraki Tahun 2006-2011 .....................................................................................
38
6.
Hasil Estimasi Regresi Panel Data .................................................
40
7.
Status Mutu Air Sungai Indonesia Tahun 2008 ..............................
56
4. 5.
2
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Populasi Dunia Tahun 1950-2008 dan proyeksi 2012-2050 ...........
2
2.
Tekanan Populasi Terhadap Makanan Menurut Malthus................
2
3.
Kurva Lingkungan Kuznet ............................................................
6
4.
Kerangka Berpikir Penelitian ........................................................
23
5.
Peta Lokasi Wilayah dan Sungai di Kanto .....................................
33
6.
Provinsi dengan GDP Nominal Terbesar di Jepang Tahun 2007 ....
36
7.
Tingkat Pertumbuhan GDP Nominal per Sektor pada Tahun 2008 di Tokyo .......................................................................................
37
8.
Industri Utama di Provinsi Ibaraki Tahun 2010 .............................
37
9.
Ratio Output Manufaktur di Provinsi Tochigi Tahun 2010 ............
39
10. Proporsi Sumber Polutan Chemical Oxygen Demand (COD) di Tokyo Bay Tahun 1979-1999 .......................................................
43
11. Kurva Hipotetikal Kuznet Jepang ..................................................
45
12. Kurva Hipotetikal Kuznet kota Chofu, provinsi Tokyo ..................
46
13. Konsentrasi BOD Sungai Utama di Jepang Periode 1973-2009 .....
47
14. Konsentrasi BOD Sungai di Kawasan Industri Jepang Periode 1963-2009 .....................................................................................
48
15. Limbah Industri Langsung Dibuang ke Perairan Kitakyushu pada Dekade 1960-an ....................................................................
49
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Random Effect Model Model Kuadratik.........................................
67
2.
Fixed Effect Model Model Kuadratik.............................................
67
3.
Random Effect Model Model Kubik ..............................................
68
4.
Fixed Effect Model Model Kubik ..................................................
69
5.
Hausman Test Model Kuadratik ....................................................
69
6.
Hausman Test Model Kubik .........................................................
70
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dewasa
ini,
pertumbuhan
penduduk
dunia
menunjukkan
trend
peningkatan yang sangat pesat. Data survei resmi United Nation dalam The 2010 Revision1 mengestimasi bahwa jumlah penduduk dunia akan mencapai 7 miliar di akhir tahun 2011 sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk dunia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 2,53 miliar pada tahun 1950. Diperkirakan bahwa jumlah penduduk ini akan menjadi 9 miliar pada tahun 2050 dan 10 miliar pada tahun 2100. Tambahan tiga miliar penduduk hingga tahun 2100 akan meningkatkan jumlah penduduk di negara berkembang yang diprediksi akan meningkat dari 5,7 miliar pada tahun 2011 menjadi 8 miliar pada tahun 2050 dan 8,8 miliar pada tahun 2100. Sementara itu, populasi di negara maju diperkirakan akan meningkat sedikit dari 1,24 miliar pada tahun 2011 menjadi 1,34 miliar pada tahun 2100. Pertumbuhan penduduk dunia dari tahun 1950-2008 dan prediksi sampai tahun 2050 ditampilkan pada Gambar 1. Hubungan jumlah penduduk, sumber daya, dan tingkat kesejahteraan telah menjadi diskusi yang menarik sejak Mathus mencetuskan ide pada tahun 1798 yang menyatakan bahwa populasi bertumbuh secara eksponensial, sedangkan produksi makanan meningkat dengan laju linear. Pada titik tertentu akan terjadi krisis pangan. Pakar ekonomi Stanford Nathan Rosenberg dalam tulisan Wolfgram (2005) memberikan ilustrasi yang lebih jelas untuk memahami pemikiran Malthus. Penduduk yang meningkat drastis mengindikasikan adanya peningkatan output berupa makanan yang juga berarti peningkatan tenaga kerja 1
Laporan data jumlah penduduk The 2010 Revision ini dibangun berdasarkan publikasi sebelumnya yaitu The 2008 Revision dengan mengakomodasi survei populasi terbaru di seluruh dunia
pertanian. Output perekonomian memang meningkat, tetapi pertumbuhan output berkurang karena ketersediaan lahan sebagai input utama sifatnya tetap. Pada titik tertentu, tambahan tenaga kerja pada usaha pertanian tidak akan menghasilkan tambahan makanan. Pertumbuhan menjadi melambat karena tidak ada pendapatan yang dapat dialokasikan untuk pembentukan modal di masa yang akan datang. Penjelasan ini ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 2.
Sumber: United Nation Population Division (2011) Gambar 1. Populasi Dunia Tahun 1950-2011 dan Proyeksi Tahun 2012-2050 Jumlah Penduduk Pertumbuhan Populasi
Produksi Makanan Krisis Pangan
t1
Waktu
Sumber: Malthus (1976) Gambar 2. Tekanan Populasi Terhadap Makanan Menurut Malthus Terdapat beberapa faktor penting dalam ilustrasi di atas. Pertama, dalam kondisi sumber daya yang jumlahnya tetap, pertumbuhan populasi akan
2
mempengaruhi konsumsi secara langsung. Sebagai konsekuensi dari hukum diminishing return, produktivitas tenaga kerja akan berkurang seiring dengan penambahan tiap satu orang tenaga kerja pada sumber daya yang bersifat tetap. Hal ini berarti pendapatan per kapita akan cenderung konstan. Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan populasi akan menyebabkan alokasi investasi berubah dari tabungan dan pengembangan sumber daya manusia ke keadaan subsisten yang artinya individu hanya memiliki uang atau makanan untuk bertahan hidup. Hal ini didukung oleh studi Madison dalam Ashraf (2008) yang menyatakan bahwa rata-rata pendapatan per kapita dunia di millenium pertama adalah sekitar $450 per tahun dengan pertumbuhan pendapatan per kapita hampir mendekati nol. Pada tahun 1000-1820, rata-rata pendapatan per kapita dunia masih di bawah $670 per tahun dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita sekitar 0,05% per tahun. Periode stagnasi ini terus berlanjut sampai akhir abad ke delapan belas. Walaupun demikian, krisis pangan yang diprediksi Malthus tidak bisa dikatakan sepenuhnya terjadi. Dalam Wolfgram (2005) juga dinyatakan bahwa faktor perkembangan pertanian, perubahan struktur sosial, dan kebijakan pemerintah menyebabkan manusia dapat menghindari situasi dimana jumlah penduduk lebih besar yang lebih besar daripada daya dukung. Lebih lanjut lagi, Krautkraemer (2005) juga menyatakan bahwa manusia terbukti telah mampu menemukan solusi berupa teknologi sebagai respon terhadap kelangkaan sumberdaya. Contohnya di Indonesia adalah swasembada pangan akibat revolusi hijau yang berhasil meningkatkan produktivitas padi pada tahun 1980-an.
3
Hingga saat ini, kebenaran berbagai paham yang diawali oleh pemikiran Malthus masih menjadi perdebatan. Namun, terlepas dari hal tersebut, hubungan antara penduduk dan kerusakan lingkungan memang ada, namun belum terbukti secara ilmiah. Panayotou (2000) menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada studi empiris yang berhasil membuktikan hubungan antara kedua variabel tersebut. Lebih lanjut lagi mengenai dampak terhadap lingkungan, Ehrlich dan Holdren (1971) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap individu memberikan dampak yang negatif terhadap lingkungan dalam berbagai aktivitas kehidupan , pertanian. Total dampak negatif tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut. I=PxF
...................................................................................................... (1)
I
: Dampak terhadap lingkungan
P
: Ukuran populasi
F
: Ukuran dampak per individu Dampak terhadap lingkungan (I) akan meningkat apabila variabel P dan F
sama-sama meningkat atau peningkatan variabel yang satu lebih besar dari penurunan variabel yang lain. Ehrlich dan Holdren kemudian memasukkan teknologi sebagai salah satu faktor yang dikaitkan dengan ukuran dampak per individu (F). Awalnya, F dihubungkan dengan konsumsi per kapita, misalnya konsumsi energi dan mineral. Faktor ini kemudian dihubungkan dengan tingkat teknologi yang memungkinkan adanya konsumsi tersebut dan dilakukan pengukuran untuk mengetahui apakah teknologi tersebut memberikan dampak lingkungan yang semakin banyak atau semakin sedikit. Secara umum dapat
4
dikatakan bahwa perbaikan teknologi dapat membuat dampak per individu (F) konstan ataupun menurun. Di saat yang sama, perbaikan teknologi tersebut akan meningkatkan konsumsi per kapita. Review terhadap persamaan Ehrlich dan Holdren yang dilakukan oleh Chertow (2001) menyatakan bahwa persamaan di atas masih mengalami berbagai perubahan variabel setelah melalui perdebatan yang panjang antara ilmuwan seperti Commoner. Bentuk akhir persamaan tersebut adalah sebagai berikut. I = P x A x T ...................................................................................................... (2) I
: Dampak terhadap lingkungan
P
: Ukuran populasi
A
: Tingkat kemakmuran per kapita yang dapat dicerminkan oleh GDP (Gross Domestic Product)
T
: Teknologi dalam tiap unit konsumsi Hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh tingkat
pendapatan seperti GDP dan kerusakan lingkungan digambarkan dengan kurva berbentuk U terbalik (Gambar 3). Awal perkembangan ekonomi ditandai dengan intensifikasi pertanian dan ekstraksi sumber daya besar-besaran untuk kebutuhan industri. Pada tahap ini, laju ekstraksi mulai melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya dan munculnya limbah berbahaya yang kadarnya terus meningkat sepanjang tahun. Hal ini berarti bahwa kerusakan lingkungan akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan sampai pada tingkat tertentu. Setelah melewati titik balik kurva, kerusakan akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan karena masyarakat semakin peduli terhadap lingkungan dan memiliki pendapatan yang cukup untuk berinvestasi pada teknologi yang dapat mengurangi
5
laju kerusakan lingkungan. Kurva pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan selanjutnya dikenal sebagai Kurva Kuznet atau Environmental Kuznet Curve (EKC) karena bentuknya menyerupai hubungan antara pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan (kurva U terbalik) yang ditemukan oleh Kuznet pada tahun 1955 (Dinda, 2004). Kerusakan Lingkungan
Pendapatan
Sumber: Kuznet dalam Dinda (2004) Gambar 3. Kurva Lingkungan Kuznet (EKC) Tekanan populasi, keterbatasan sumber daya, pertumbuhan ekonomi berdampak
pada
permasalahan
lingkungan
seperti
deforestasi,
sanitasi,
kelangkaan air bersih, sampah, krisis energi, polusi air, udara, dan tanah. Air bersih terkontaminasi oleh limbah industri dan sampah rumah tangga yang langsung dibuang ke sumber air. Banyak sungai di Asia yang terkontaminasi oleh polutan seperti Nitrogen, Posfor, bakteri Patogen, dan residu pestisida. Polusi udara juga menjadi masalah yang sangat serius akibat emisi dari industri, rumah tangga, dan kendaraan bermotor telah melebihi kemampuan alami kota untuk mengembalikan emisi ke level yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Brennan, 1999). Kerusakan lingkungan seperti polusi perairan juga dialami oleh Jepang ketika negara tersebut berhasil memulihkan perekonomian yang hancur dalam kondisi politik yang tidak stabil setelah perang dunia kedua melalui industrialisasi
6
intensif. Dekade 1950-an dianggap sebagai masa persiapan dan transisi dari kekalahan perang ke masa emas pertumbuhan ekonomi dimana Jepang menjadi negara dengan GDP terbesar kedua pada tahun 1968. Beberapa kasus yang berdampak besar pada masyarakat pun dibawa ke pengadilan seperti penyakit gatal (itai) akibat limbah Cadmium dari Mitsui Metal and Mining Co. dan penyakit minamata akibat ikan yang tercemar oleh merkuri dari New Nippon Nitrogen Co. di Teluk Minamata (Hamada, 1996). 1.2
Perumusan masalah Studi empiris untuk membuktikan EKC telah banyak dilakukan untuk
berbagai kasus kerusakan lingkungan, misalnya polusi udara dan air. Umumnya, studi tersebut merupakan analisis terhadap sejumlah data polutan time series dari berbagai negara yang digabungkan menjadi satu panel dan meregresikannya pada tingkat pendapatan yang berbeda. Beberapa studi berhasil membuktikan kebenaran kurva Kuznet, namun terdapat juga studi yang menemukan bentuk kurva lain seperti kurva berbentuk U, N, dan tilted-S. Studi yang dilakukan oleh Dinda (2000) menunjukkan bahwa umumnya EKC terbukti untuk masalah lingkungan yang mudah dipecahkan dan terdata dengan baik seperti SO 2, NOx, suspended partial matter (spm), CO, dan CO2. Oleh karena itu, generalisasi EKC tidak dapat dilakukan pada semua jenis polutan. Penelitian terdahulu memberikan kritik terhadap metode yang digunakan dalam uji empiris EKC, yaitu studi panel data. Dinda (2004) mengemukakan bahwa asumsi dasar dalam panel data perlu dikritisi karena terdapat berbagai hal spesifik yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sehingga tidak dapat digeneralisasikan, seperti: faktor sosial masyarakat, politik, dan kondisi alam.
7
Contohnya adalah luasan tutupan hutan yang berbeda antar negara akan berpengaruh terhadap penyerapan emisi karbon. Hal ini menandakan pentingnya studi EKC di tingkat yang lebih rendah, yaitu suatu negara agar hipotesis tersebut semakin dapat menjelaskan kondisi nyata. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan polusi air sungai di Jepang menarik untuk diteliti karena sebelumnya Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti dengan polusi perairan, tapi saat ini sudah menjadi negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi dan kualitas perairan yang baik. Kenyataan ini sesuai dengan hipotesis lingkungan Kuznet yang telah diuraikan sebelumnya. Ketersediaan data time series yang lengkap di Jepang juga memungkinkan penelitian ini dilakukan karena studi EKC melihat perubahan indikator kualitas lingkungan dalam jangka panjang. Dalam hal ini, indikator kualitas lingkungan yang diteliti dibatasi pada polusi air sungai. Oleh karena itu, akan dilakukan studi empiris untuk membuktikan EKC di Jepang dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana hubungan antara tingkat pendapatan dan polusi air sungai di Jepang?
2.
Bagaimana kondisi historis polusi air sungai dan peraturan terkait dengan kerusakan lingkungan di Jepang?
3.
Apa pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari pengalaman negara maju seperti Jepang yang terlebih dahulu mengalami kerusakan lingkungan?
8
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui hubungan tingkat pendapatan dan polusi air sungai di Jepang.
2.
Menjelaskan historis polusi air sungai dan peraturan tentang lingkungan di Jepang.
3.
Memperoleh pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari pengalaman negara berkembang seperti Jepang dalam hal permasalahan lingkungan.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini ditujukan kepada pemerintah dan individu yang
diuraikan sebagai berikut: 1.
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi pembanding dari analisis hubungan pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan dan pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman negara maju seperti Jepang yang telah terlebih dahulu mengalami kasus kerusakan lingkungan.
2.
Bagi individu, tulisan ini diharapkan dapat menstimulasi pemikiran dan ide penelitian terkait dengan studi ekonomi lingkungan yang mempelajari pembuktian hipotesis Kuznet di Indonesia.
3.
Bagi akademisi, penelitian akan menjadi referensi bagi studi mengenai hipotesis Kuznet.
1.5
Batasan Penelitian Adapun batasan penelitian adalah sebagai berikut:
9
1.
Lokasi yang dijadikan objek penelitian adalah kota besar di wilayah Kanto, Pulau Honshu, Jepang.
2.
Indikator polusi air sungai diwakili oleh konsentrasi Biological Oxygen Demand dan Chemical Oxygen Demand (COD).
3.
Pertumbuhan
ekonomi
dicerminkan
oleh
pendapatan
per
kapita.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1
Indikator Kerusakan Lingkungan Sungai Kualitas air sungai tergantung pada komponen penyusun sungai dan
komponen yang berasal luar, seperti pemukiman dan industri. Oleh karena itu, ekosistem sungai berhubungan erat dengan lingkungan fisik dan sosial di sekitarnya. Umumnya, sungai terpolusi oleh aktivitas pertanian, sampah rumah tangga, dan limbah industri. Panduan perlindungan badan aliran sungai dari Northeast Georgia Regional Development Center (1999) menjelaskan beberapa indikator pencemaran sungai sebagai berikut: 1.
Dissolved Oxygen (DO) Mahkluk yang hidup di air membutuhkan oksigen untuk bernafas dalam
bentuk oksigen terlarut (DO). Konsentrasi DO dipengaruhi oleh suhu, sedimentasi, jumlah oksigen yang diambil dari sistem melalui proses penguraian dan respirasi, serta jumlah oksigen yang masuk ke sistem melalui fotosintesis. Konsentrasi DO diukur dalam miligram per liter (mg/l) atau part per million (ppm). 2.
Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) Bahan organik yang memasuki perairan merupakan salah satu jenis
pencemar perairan. Secara alami, pencemar ini akan diuraikan oleh bakteri pengurai karena bahan organik merupaka makanan bagi bakteri. Proses penguraian membutuhkan oksigen sehingga reaksi ini akan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut bagi organisme perairan. BOD adalah ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan bahan organik secara biologi. Bila polutan dengan konsentrasi BOD yang tinggi masuk ke sungai, hal
ini akan mempercepat pertumbuhan bakteri dan membutuhkan oksigen yang semakin banyak untuk menguraikan polutan tersebut. Bahan organik juga dapat diuraikan melalui reaksi kimiawi oleh pengoksidasi seperti K2Cr2O7. COD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan pengoksidasi tersebut untuk menguraikan bahan pencemar organik. Secara umum, kadar BOD dan COD yang tinggi mencerminkan konsentrasi bahan organik yang tinggi sehingga diperlukan oksigen yang tinggi dan menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut di perairan. Kadar oksigen yang sangat rendah dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Oleh karena itu, semakin tinggi kadar BOD dan COD, maka tingkat polusi perairan juga semakin parah. 3.
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) mengukur jumlah ion hidrogen di dalam air. Hal
ini dapat mempengaruhi tingkat kelarutan bahan kimia beracun dalam air. Derajat pH yang tinggi akan menyebabkan kebanyakan logam menjadi lebih beracun dan mudah larut dalam air. 4.
Nutrient Nutrient seperti Posfor dan Nitrogen berperan penting dalam pertumbuhan
alga dan tumbuhan yang lain. Namun, konsentrasi yang berlebih dapat menyebabkan pertumbuhan yang di atas batas normal sehingga mengurangi jumlah oksigen terlarut di air sungai. Pupuk yang berlebihan, sistem septik tank yang buruk, dan limbah air adalah sumber posfor dan nitrogen. 5.
Elecritical Conductivity (EC) Electrical Conductivity (EC) adalah kemampuan untuk menghasilkan
listrik. Bila EC meningkat, itu menandakan bahwa terdapat ion terlarut sehingga
12
dapat digunakan dalam memprediksi masalah kualitas air. Secara alami, air memiliki kemampuan untuk menghantarkan listrik karena air merupakan konduktor yang baik. Peningkatan ion terlarut yang ditunjukkan oleh nilai EC yang meningkat menandakan bahwa ada cemaran logam karena. Logam tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan bila terakumulasi terus-menerus dalam tubuh biota laut. 3.2
Hipotesis Environmental Kuznet Curve (EKC) Dinda (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya hipotesis EKC
menggambarkan dinamika perubahan pendapatan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan seperti emisi. Ketika pendapatan meningkat, emisi juga meningkat sepanjang waktu sampai tingkat pendapatan tertentu. Setelah itu, emisi akan mulai menurun. Studi EKC merupakan fenomena jangka panjang sehingga periode ketika emisi mulai menurun tidak dapat dikatakan secara eksplisit. Proses yang terjadi adalah ekonomi yang terus bertumbuh dalam tahap perkembangan yang berbeda sepanjang waktu. Studi ini dapat dilakukan di satu negara maupun kelompok negara dengan menganalisis data panel pendapatan ekonomi dan variabel kualitas lingkungan. Menurut hipotesis kurva Kuznet mengenai hubungan emisi dan dan pendapatan, garis regresi seharusnya membentuk huruf U terbalik. Dari studi hipotesis EKC yang dilakukan oleh Dinda (2004) terhadap sejumlah penelitian terdahulu oleh, beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap bentuk kurva EKC dijelaskan sebagai berikut. 1.
Elastisitas Pendapatan Terhadap Permintaan Kualitas Lingkungan
13
Elastisitas pendapatan terhadap permintaan kualitas lingkungan lebih dari satu dan bernilai positif. Hal ini berarti peningkatan permintaan terhadap kualitas lingkungan lebih besar daripada peningkatan pendapatan. Ketika pendapatan meningkat, masyarakat menginginkan standar kehidupan yang lebih tinggi dan lebih peduli terhadap kualitas lingkungan. Setelah mencapai tingkat pendapatan yang menyebabkan emisi menurun, willingness to pay meningkat dengan proporsi yang lebih besar daripada pendapatan. Hal ini dapat dilihat dari donasi terhadap organisasi
lingkungan
dan
preferensi
terhadap
eco-product.
Penduduk
berpendapatan tinggi umumnya lebih menghargai dan melestarikan lingkungan daripada penduduk berpendapatan rendah. Tidak hanya mampu membeli eco products, mereka juga mampu menekan pemerintah maupun perusahaan dalam hal pengaturan dan perlindungan lingkungan. 2.
Efek Skala, Teknologi, dan Komposisi Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kualitas lingkungan melalui tiga
cara yaitu efek skala, teknologi, dan komposisi. Peningkatan output membutuhkan lebih banyak input dari sumber daya alam yang juga berarti peningkatan emisi sebagai produk sampingan proses produksi. Peningkatan output akibat ekonomi yang bertumbuh akan meningkatkan lebih banyak polusi. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi menciptakan efek skala yang memiliki efek negatif terhadap lingkungan. Pertumbuhan ekonomi juga memiliki positif melalui efek komposisi. Peningkatan pendapatan cenderung mengubah struktur ekonomi dengan meningkatan aktivitas ekonomi yang menghasilkan lebih sedikit polusi. Kerusakan lingkungan cenderung meningkat ketika dari era pertanian ke industri
14
berbasis energi, namun mulai menurun ketika memasuki industri berbasis jasa dan teknologi. Negara kaya umumnya memiliki dana yang cukup untuk riset dan pengembangan sehingga teknologi lama dapat diperbaharui terus menerus dengan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan. Efek skala yang berdampak buruk terhadap lingkungan di masa awal pertumbuhan ekonomi dapat dikompensasi dengan dampak positif dari skala komposisi dan teknologi. 3.
Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah faktor paling penting yang dapat
menjelaskan EKC. Perdagangan meningkatkan ukuran ekonomi dan akhirnya meningkatkan polusi juga. Namun, perdagangan internasional dapat menyebabkan efek yang kontradiktif. Di satu sisi, kualitas lingkungan dapat memburuk melalui efek skala ketika volume perdagangan meningkat khususnya ekspor. Di sisi lain, perdagangan dapat memperbaiki kualitas lingkungan melalui efek komposisi dan teknologi. Ketika ekonomi meningkat melalui perdagangan, peraturan lingkungan semakin diperketat sehingga dapat mendorong adanya inovasi untuk mengurangi polusi. 4.
Displacement Hypothesis Hipotesisnya adalah industri berpolusi tinggi akan berpindah dari negara
maju dengan peraturan lingkungan yang ketat ke negara berkembang karena negara ini masih dalam tahap mengembangkan ekonomi sehingga peraturan lingkungan cenderung lemah untuk menarik minat investor. Negara yang mengekspor barang manufaktur membutuhkan banyak energi dan menghasilkan polusi yang tinggi juga. Untuk barang yang produksinya menghasilkan polusi yang tinggi, negara berkembang cenderung menjadi net exporter dan negara maju
15
menjadi net importer. Hal ini berarti negara berkembang fokus pada industri “kotor” dan produksi berbasis input material, sedangkan negara maju fokus pada industri “bersih” dan produksi berbasis jasa. 5.
Harga Tahap awal pertumbuhan ekonomi sering dikaitkan dengan eksploitasi
sumber daya yang intensif. Hal ini dapat mengurangi stok sumber daya alam. Efisiensi penggunaan sumber daya alam mulai meningkat ketika tingkat pendapatan tertentu dicapai dan di saat yang sama pasar untuk sumber daya lingkungan mulai berkembang, Harga mencerminkan nilai sumber daya. Harga sumber daya alam yang semakin meningkat mendorong peralihan ke industri berbasis teknologi yang sedikit polusi. Sebagai contoh adalah peningkatan haraga minyak bumi mengakibatkan banyak pihak mulai meneliti sumber energi alternatif lain. 2.3
Studi Empiris Environmental Kuznet Curve (EKC) Terdahulu Kerusakan lingkungan sebagai konsekuensi atas pertumbuhan yang
didasarkan pada ekstraksi sumberdaya alam berlebihan telah membuat banyak peneliti melakukan studi terhadap hubungan kerusakan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada hipotesis EKC. Shafik (1992) melakukan studi terhadap delapan indikator kualitas lingkungan yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan di berbagai negara, yaitu: kekurangan air bersih, sanitasi yang buruk, ambang batas suspended partial matter (spm), sulfur dioksida (SO2), perubahan luas hutan pada periode 1961-1986, rataan deforestasi tahunan, oksigen terlarut Dissolved Oxygen (DO) di sungai, konsentrasi feces manusia di sungai, limbah rumah tangga per kapita, dan polusi karbon per kapita. Pendapatan
16
signifikan untuk semua indikator kualitas lingkungan, tetapi hubungan antar variabel tersebut tidak dapat disimpulkan. Ketika pendapatan meningkat, kebanyakan indikator kualitas lingkungan menjadi memburuk, kecuali akses terhadap air bersih dan sanitasi. Hal ini berarti peningkatan pendapatan menyebabkan masyarakat mampu memiliki sanitasi dan stok air bersih yang semakin memadai. Negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan investasi tinggi cenderung lebih banyak mengeksploitasi sumber daya. Teknologi terbukti dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Uji ekonometrik juga menunjukkan bahwa kebijakan makroekonomi seperti volume perdagangan dan utang sepertinya memiliki efek yang relatif kecil terhadap lingkungan. Hasil studi ini sesuai dengan analisis dan review yang dilakukan Dinda (2004) terhadap berbagai literatur EKC terdahulu. Negara maju telah melakukan inovasi teknologi secara kontinu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mempertahankan tingkat real income, dan memperkecil laju kerusakan. Difusi teknologi dari negara maju dapat mencegah negara berkembang mengalami kerusakan lingkungan seperti yang sudah dialami negara maju sebelumnya. Perdagangan internasional mempengaruhi lingkungan karena perdagangan cenderung meningkatkan ukuran ekonomi yang selanjutnya meningkatkan tingkat polusi. Di sisi lain, perdagangan teknologi antar negara maju dengan negara berkembang dapat mengurangi tingkat polusi. Kurva EKC hanya terbukti pada indikator polusi udara yang diukur pada tingkat lokal. Penjelasan yang memungkinkan untuk pembuktian kurva tersebut adalah (1) Transformasi dari ekonomi agraria yang bersih ke ekonomi industri
17
yang menghasilkan polusi tinggi dan selanjutnya ke ekonomi berbasis jasa dengan tingkat polusi rendah dan (2) Penduduk dengan tingkat pendapatan tinggi yang cenderung memiliki preferensi yang tinggi juga terhadap lingkungan. Sebelumnya, Dinda (2000) juga telah melakukan studi empiris terhadap polutan udara (spm dan SO2) terhadap 33 negara yang dibagi menjadi negara dengan tingkat pendapatan tinggi, sedang, dan rendah. Hubungan tersebut adalah kurva berbentuk huruf U sehingga bertentangan dengan hipotesis EKC. Mithyli (2011) juga menguji EKC terhadap konsentrasi bahan organik yang diukur melalui indikator Biological Dissolved Oxygen (BOD) di negara berkembang India dan menemukan hubungan berbentuk huruf tilted-S. Hal ini berarti polusi menurun seiring dengan peningkatan pendapatan sampai tingkat tertentu dan meningkat kembali sampai tingkat pendapatan titik balik yng kedua. Setelah itu, tingkat polusi akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan. Hettige (2000) melakukan studi EKC di tiga belas negara untuk menguji dampak pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan yang diwakili oleh kontribusi sektor industri terhadap total output negara. Kontribusi sektor yang menghasilkan polusi dalam output industri, dan intensitas penggunaan polutan per unit output pada sektor yang menghasilkan polusi. Konstribusi industri terhadap total output memenuhi hipotesis kurva EKC, namun kedua indikator yang lain tidak sesuai. Ketika efek dari ketiga indikator tersebut digabungkan untuk melihat implikasi EKC secara menyeluruh, ternyata hipotesis EKC tidak terbukti. Paudel (2008) kemudian memodifikasi hipotesis kurva Kuznet dengan mengadakan studi untuk mengetahui bagaimana pengaruh Social Capital (SC) terhadap polutan air (N, P, DO) pada 53 parishes di negara bagian Lousiana,
18
USA. Social capital merupakan karakteristik masyarakat seperti norma dan tingkat kepercayaan yang memungkinkan kelompok masyarakat bekerja sama secara efektif untuk mencapai suatu tujuan. SC berpengaruh signifikan dalam menjelaskan polutan N, tapi tidak signifikan pada P dan DO. Namun, peneliti menemukan kurva U pada hubungan polutan N dan SC. Artinya adalah konsentrasi N yang tinggi terjadi pada tingkat SC yang rendah dan tinggi sehingga tingkat SC yang moderat adalah kondisi yang bagus untuk lingkungan. Secara keseluruhan, hipotesis EKC tidak terbukti. Komen (1997) juga melakukan studi lebih mendalam terhadap hipotesis EKC dengan menganalisis hubungan antara pendapatan dan pendapatan per kapita yang dialokasikan untuk penelitian terkait lingkungan di sembilan belas negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Elastisitas pendapatan terhadap dana penelitian untuk perbaikan lingkungan adalah positif dan mendekati satu. Studi EKC di tingkat negara seperti yang disarankan oleh Dinda (2004) telah pernah dilakukan oleh Mithyli (2011) dengan menggunakan variabel konsentrasi BOD, urbanisasi, dummy industri untuk periode 1990-1991 dan 20052006 di India yang merupakan salah satu negara berkembang. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah studi di negara maju dengan menggunakan data tahun 1978-2004 yang diharapkan dapat menjelaskan perubahan indikator polusi air sungai dan pendapatan per kapita jangka panjang. Dalam hal ini, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi mencengangkan setelah dekade 1960-an yang diikuti polusi air sungai, tetapi saat ini, kualitas air sungai sudah membaik dengan adanya peraturan dan meningkatnya perhatian publik
19
terhadap kualitas lingkungan yang baik. Selain itu, penelitian ini juga memasukkan variabel kepadatan penduduk untuk menggambarkan pengaruh kepadatan
penduduk
terhadap
polusi
air
sungai.
20
III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah pertumbuhan penduduk secara signifikan dan keterbatasan sumber daya alam. Walaupun terbatas, sumber daya alam diposisikan sebagai input yang dapat diekstrak sebanyak-banyaknya untuk merespon pertumbuhan penduduk yang meningkat sangat cepat. Akibatnya adalah pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan permasalahan lingkungan seperti krisis energi, pemanasan global, krisis air bersih, deforestasi, dan polusi air, tanah, serta udara. Berbagai studi menemukan hubungan berbentuk U terbalik pada variabel kerusakan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Hubungan ini identik dengan hubungan antara pendapatan dan ketidakmerataan pendapatan yang dikemukakan Kuznet pada tahun 1955 sehingga kurva kemudian dikenal dengan istilah Kurva Kuznet. Hipotesis pada kurva Kuznet menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan, kerusakan lingkungan akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan sampai pada tahap tertentu. Setelah itu, tingkat kerusakan akan menunjukkan trend yang menurun karena masyarakat berpendapatan tinggi memiliki preferensi yang tinggi terhadap kualitas lingkungan dan adanya teknologi yang memungkinkan untuk mengurangi laju kerusakan. Studi empiris telah banyak dilakukan oleh peneliti. Hipotesis itu terbukti pada sebagian polutan, namun ada juga studi yang tidak menemukan bukti empiris kurva EKC. Terdapat hasil studi EKC yang mengikuti pola lain seperti huruf U, bentuk N, tilted-S, dan bentuk hubungannya tidak dapat didefenisikan. Umumnya, studi EKC dilakukan melalui uji panel terhadap data dari sekelompok negara. Dinda (2004) mengkritik metode tersebut. Asumsi pengumpulan semua data dari
negara yang berbeda menjadi satu panel perlu dipertanyakan karena tiap negara bersifat spesifik sehingga tidak dapat digeneralisasikan. Jepang merupakan salah satu negara yang menarik untuk diteliti karena memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti oleh kerusakan lingkungan di awal masa keemasan Jepang pada dekade 1960-an, namun saat ini, kualitas lingkungan sudah membaik. Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian untuk menguji kurva EKC di Jepang dalam hubungan antara konsentrasi BOD dengan pendapatan per kapita. Hipotesis yang mendasari adalah konsentrasi BOD akan dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dan kepadatan penduduk. Semakin tinggi kepadatan penduduk, maka BOD akan semakin tinggi karena sungai akan semakin terpolusi akibat aktivitas manusia. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi tinggi yang digambarkan oleh tingkat pendapatan per kapita akan diikuti oleh peningkatan konsentrasi polutan sampai pada tingkat pendapatan tertentu dan menurun kembali seiring dengan peningkatan pendapatan. Regresi panel data akan menghasilkan bentuk kurva hubungan BOD dengan pendapatan per kapita di Jepang sehingga tingkat pendapatan yang merupakan titik balik dimana konsentrasi BOD mulai menurun dapat dihitung. Selanjutnya, akan dipaparkan sejarah polusi air dan peraturan lingkungan di Jepang. Untuk menghubungkan dengan kondisi Indonesia, akan dijelaskan juga pelajaran yang dapat diperoleh Indonesia dari pengalaman negara Jepang yang telah mengalami kerusakan lingkungan sebelumnya. Secara sistematis, kerangka pemikiran tersebut disajikan dalam Gambar 4.
22
Pertumbuhan penduduk tinggi dan keterbatasan sumber daya alam
Ekstraksi sumber daya alam untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi
Kerusakan lingkungan
Pertumbuhan ekonomi tinggi
Pendapatan
Hipotesis Kuznet: Hubungan pendapatan dengan kerusakan lingkungan
Studi empiris EKC telah banyak dilakukan: analisis data panel terhadap kelompok negara (cross country) Kritik terhadap studi cross country (Dinda, 2004): Asumsi yang membuat data antar negara dikumpulkan menjadi satu panel perlu ditinjau ulang
Setelah perang dunia II, Jepang berhasil menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia namun diikuti dengan polusi air sungai
Studi EKC di suatu negara yaitu Jepang untuk menguji kurva EKC pada konsentrasi BOD sebagai indikator polusi air sungai dengan pendapatan per kapita untu Regresi panel data untuk mengetahui hubungan bentuk kurva titik balik pendapatan per kapita Sejarah Polusi Air dan Peraturan Lingkungan Jepang Pelajaran bagi Indonesia dari pengalaman Jepang yang telah mengalami kerusakan lingkungan sebelumnya
Gambar 4. Kerangka Berpikir Penelitian
23
IV. METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan melalui studi literatur dan pengumpulan data
sekunder dari sebelas kota besar di wilayah Kanto. Lokasi ini dipilih karena Kanto terletak di pulau Honshu yang merupakan pulau terbesar di Jepang dan sekaligus berperan sebagai pusat perekonomian, penduduk, serta pemerintahan. Oleh karena itu, lokasi ini dianggap dapat mewakili dinamika konsentrasi BOD dan perdapatan per kapita sebagai indikator kerusakan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi Jepang. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada rentang Juli-Agustus 2011. 4.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel yang berasal
dari data time series tahunan pada periode 1978-2004 dari sebelas kota di Jepang. Daftar kota tersebut diberikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Daftar Kota Besar Lokasi Penelitian No Kota 1 Mito 2 Utsunomiya 3 Otawara 4 Maebashi 5 Tagasaki 6 Kawagoe 7 Saitama 8 Nagareyama 9 Hachioji 10 Chofu 11 Yokohama Sumber : data olahan
Provinsi Ibaraki Tochigi Tochigi Gunma Gunma Saitama Saitama Chiba Tokyo Tokyo Kanagawa
Variabel yang diamati adalah jumlah penduduk, pendapatan per kapita, luas area, dan konsentrasi polutan sungai, yaitu BOD pada rentang waktu 19782004. Data BOD diambil dari sungai Tone, Tama, dan Ara. Jumlah data untuk
untuk 1 kota adalah 27 x 4 = 108 sehingga total data adalah sebesar 108 x 11 = 1188. Data pendapatan per kapita diperoleh dari laporan tahunan provinsi dan konsentrasi BOD diperoleh dari Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism. Sementara itu, data jumlah populasi dan luas area diperoleh dari masingmasing website tiap kota yang termasuk dalam wilayah penelitian. 4.3
Metode Analisis dan Pengolahan Data Secara umum, analisis akan dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif dan kuantitatif yaitu panel data. Namun, sebelumnya akan dibentuk model yang akan diregresikan menurut regresi panel data. Hal ini akan dijelaskan secara rinci pada uraian berikut. 4.3.1 Metode Analisis Data` Penelitian ini akan menggunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan kondisi historis polusi air dan peraturan lingkungan di Jepang serta pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari Jepang yang sudah terlebih dahulu mengalami kerusakan lingkungan. Sementara itu, metode kuantitatif digunakan dalam uji empiris terhadap hipotesis Kuznet untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi BOD dengan pendapatan per kapita. Uji empiris ini dilakukan dengan menggunakan analisis panel data pada software E- views. 4.3.2 Perumusan Model Faktor yang mempengaruhi konsentrasi BOD adalah pendapatan per kapita dan populasi penduduk. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat kurva EKC yang memiliki dua titik balik (kurva kubik). Penjelasan yang memungkinkan adalah pada tingkat pedapatan yang sangat
25
tinggi, aktivitas ekonomi menjadi sangat pesat sehingga dampak negatif nya pada lingkungan tidak dapat diimbangi oleh efek teknologi dari peningkatan pendapatan (Mythili, 2011).Oleh karena itu, analisis panel data akan dilakukan dengan model parametrik yang terdiri dari model model kuadratik dan kubik. Modelnya dituliskan dalam persamaan 3. ……………................ (3) Keterangan: BOD
: Konsentrasi Biological Oxygen Demand 75% (mg/L)
Inc
: Pendapatan per kapita (¥ 1.000)
Popden : Kepadatan Penduduk (orang/km2) : Gangguan Acak i
: Kota ke-i
t
: Periode waktu (1978,1979,...2004)
m
: 2 (persamaan kuadratik)
m
: 3 (persamaan kubik) Hipotesis yang dikembangkan dalam model ini adalah semakin tinggi
pendapatan per kapita maka konsentrasi BOD juga akan meningkat sampai tingkat pendapatan tertentu. Kemudian konsentrasi BOD akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita sehingga terbentuk kurva kuznet berbentuk huruf U terbalik. Selanjutnya, kepadatan penduduk akan berpengaruh positif terhadap konsentrasi BOD karena peningkatan aktivitas manusia akan meningkatkan pencemaran air yang dapat dicerminkan oleh konsentrasi BOD. Oleh karena itu tanda yang diharapkan adalah koefisien variabel Inc yang positif
26
dan variabel Inc2 yang negatif sehingga terbentuk kurva U terbalik. Sementara itu, koefisien variabel Popden diharapkan bernilai positif. Bentuk kurva Kuznet kemudian ditentukan melalui nilai variabel yang diperoleh dari analisis terhadap persamaan. Bentuk kurva yang mungkin dari analisis model diberikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Kemungkinan Kurva Hasil Estimasi Model Bentuk Kurva Monoton linear positif
0
0
>0
Monoton linear negatif
0
0
<0
Berbentuk U
<0
>0
0
Berbentuk U terbalik
>0
<0
0
Berbentuk N
>0
<0
>0
Berbentuk tilted-S
<0
>0
<0
Gambar
Sumber: De Bryuyn, Van Den Bergh JC, Opschoor (1998) Titik balik dapat diperoleh dengan mencari turunan pertama dan membuatnya sama dengan nol. Bentuk persamaan kuadratik dan kubik adalah sebagai berikut:
…………......................... (4)
.......................... (5) Maka turunan pertama BOD terhadap Inc adalah: Kuadratik
:
................................................. (6)
27
Kubik
............................ (7)
:
Dengan membuat persamaan (6) dan (7) sama dengan nol, maka diperoleh : Kuadratik
:
................................................................................ (8)
Kubik
:
.......................................................... (9)
Pengaruh perubahan pendapatan per kapita terhadap konsentrasi BOD dapat dihitung dengan menggunakan konsep elastisitas dengan persamaan sebagai berikut. ........................................................................................ (10) ..................................................................................... (11) 4.3.3 Metode Pengolahan Data Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode panel data. Panel data merupakan pengukuran berulang terhadap variabel yang sama sepanjang waktu, misalnya: karakteristik rumah tangga, individu, dan perusahaan. Sejumlah N individu (i=1,2,3,...N) diukur dalam T periode waktu (t=1,2,3,...T). Dengan kata lain, panel data adalah kombinasi antara data satu unit variabel yang diukur pada periode waktu yang berbeda (cross section) dan data beberapa variabel berbeda yang diukur dalam waku yang sama (time series). Panel data juga sering disebut pooled data, micropanel data, dan longitudinal data. Secara umum, jumlah N variabel lebih besar dari periode pengukuran , tetapi pengukuran data N variabel yang kecil pada periode waktu yang besar juga mungkin terjadi. Baltagi (2005) memberikan beberapa alasan mengapa panel data lebih baik digunakan dalam penelitian sosial ekonomi sebagai berikut:
28
1.
Panel data mengandung heterogeneitas karena pengukurannya dilakukan terhadap individu, perusahaan, wilayah, ataupun negara yang berbeda. Teknik estimasi panel data memasukkan variabel yang bersifak spesifik terhadap analisis.
2.
Penggabungan cross section dan time series menyebabkan panel data dapat memberikan data yang lebih informatif, beragam, kolinearitas antar variabel yang berkurang, dan efiensi serta derajat bebas yang meningkat.
3.
Panel data melakukan pengamatan berulang sehingga dapat memahami proses perubahan dinamis yang terjadi dalam variabel yang diukur.
4.
Panel data lebih baik dalam mengukur efek yang tidak terdeteksi dalam data time series dan cross section. Contohnya adalah efek hukum upah minimum lebih mudah dipelajari bila peneliti memasukkan perubahan upah di beberapa wilayah sepanjang waktu.
5.
Panel data memungkinkan peneliti untuk mempelajari studi perilaku yang lebih kompleks.
6.
Panel data dapat meminimalkan derajat bebas bila jumlah unit variabel cukup besar. Jenis data yang akan diuji adalah balance panel, yang artinya tiap variabel
memiliki jumlah pengamatan yang sama pada periode 1978-2004. Menurut Gujarati (2009), terdapat tiga macam pendekatan dalam analisa panel data, yaitu Pooled Least Square (PLS), Random Effect Model (REM), dan Fixed Effect Model (FEM). Metode PLS mengasumsikan semua variabel penjelas adalah variabel non stokastik. Estimasi PLS akan menghasilkan nilai R2 yang signifikan dan sangat tinggi, namun statistik Durbin-Watson sangat rendah sehingga dapat
29
diduga bahwa mungkin terdapat autokorelasi dalam data. Nilai Durbin-Watson yang rendah juga berhubungan dengan kesalahan spesifikasi. Masalah utama model PLS adalah model mengabaikan heterogeneitas yang mungkin terjadi antar individu. Akibatnya adalah error term dapat berhubungan dengan variabel penjelas sehingga terjadi bias. Padahal, salah satu asumsi penting dalam regresi linear klasik adalah tidak ada korelasi antara variabel penjelas dengan error term. Untuk
memperoleh
koefisien
parameter
yang
mengakomodasi
heterogeneitas, akan dilakukan analisis dengan menggunakan model Fixed Effect Model (FEM) dan model Random Effect Model (REM). FEM mengasumsikan bahwa intersep boleh berbeda antar individu namun sama antar waktu. Sementara itu, koefisien parameter atau slope diasumsikan sama antar waktu dan individu. Untuk memungkinkan intersep berbeda berbeda antar individu, akan dilakukan dengan metode dummy. Hasil estimasi FEM menunjukkan bahwa koefisien intersep signifikan sehingga masalah heterogenitas telah teratasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model FEM lebih baik daripada model PLS. Namun, teknik dummy yang digunakan dalam model FEM mengakibatkan berkurangnya derajat bebas. Dalam hal ini, metode ini gagal mengakomodasi variabel penjelas yang mungkin tidak berbeda sepanjang waktu karena memiliki nilai yang sama. Oleh karena itu, variabel dummy mengindikasikan kurangnya pengetahuan tentang model yang baik. Untuk mengatasi hal ini, pendekatan yang digunakan adalah metode yang dapat mengakomodasi perbedaan waktu dan individu melalui komponen disturbance error melalui metode REM. Oleh karena itu, komponen error terdiri
30
dari dua bagian, yaitu: individual spesific error dan time error. Error gabungan tidak berkorelasi dengan variabel penjelas. Dari penjelasan diatas diketahui bahwa model PLS memang kurang dapat diandalkan sehingga regresi panel data akan dilakukan pada model FEM dan REM.
Penentuan
model
terbaik
diantara
keduanya
dilakukan
dengan
menggunakan uji Hausman. H0
: REM lebih baik daripada FEM
H1
: FEM lebih baik daripada REM Uji nilai statistik Hausman signifikan apabila probabilitasnya kurang dari
taraf nyata sehingga Ho ditolak yang artinya FEM lebih baik daripada REM. Untuk melihat signifikansi variabel akan dilakukan uji t hitung pada taraf alfa 5% dengan hipotesis sebagai berikut. Ho
:
H1
:
(Variabel tersebut mempengaruhi BOD)
Hipotesis nol (Ho) ditolak apabila nilai n
: jumlah data
k
: jumlah variabel
Untuk n > 30, nilai Jumlah data dalam penelitian ini melebihi 30 buah sehingga bila nilai , maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa variabel tidak mempengaruhi BOD akan ditolak.
Artinya adalah variabel tersebut
akan signifikan.
31
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kanto adalah wilayah geografis yang terletak di sebelah tenggara Pulau Hoshu yang meliput provinsi Gunma, Tochigi, Ibaraki, Saitama, Tokyo, Chiba, dan Kanagawa. Di daerah ini terdapat empat Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Sami, DAS Tama, DAS Tone, dan DAS Ara. Keempatnya bermuara di Tokyo Bay dan samudera Pasifik. Sungai yang termasuk dalam lokasi pengambilan data konsentrasi BOD dalam penelitian ini adalah sungai Tama, Sungai Ara, dan Sungai Tone. Peta wilayah Kanto diberikan dalam Gambar 5.
Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism Japan (2002) Gambar 5. Peta Lokasi Wilayah dan Sungai di Kanto Kanto merupakan pusat perkembangan ekonomi dan pemerintahan di Jepang. Di wilayah Kanto terdapat Greater Tokyo Area yang merupakan merupakan kota metropolitan terbesar kedua di dunia setelah New York Metropolitan Area. Wilayah administrasinya meliputi provinsi Tokyo, Kanagawa, Saitama, dan Chiba.
Menurut sensus resmi pemerintah pada tahun 2010, jumlah penduduk di Jepang adalah 127.803.597 orang. Jumlah populasi di wilayah Kanto mencapai sepertiga dari total penduduk. Hal ini dikarenakan oleh empat provinsi di Kanto termasuk dalam sepuluh provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu Tokyo (1), Kanagawa (2), Saitama (5), dan Chiba (6). Sementara itu, Ibaraki berada di urutan sebelas, Gunma di urutan delapan belas, dan Tochigi di urutan sembilan belas. Dari segi kepadatan penduduk, provinsi Tokyo, Kanagawa, Saitama, dan Chiba masih berada dalam daftar provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi. Tokyo tetap menjadi provinsi dengan penduduk terpadat. Kanagawa berada di urutan tiga, Saitama di urutan empat, dan Chiba tetap di urutan lima. Sementara itu, Ibaraki berada di urutan dua belas, Gunma di urutan dua puluh satu, dan Tochigi di urutan dua puluh dua. Estimasi jumlah penduduk dan kepadatan penduduk beserta ranking per provinsi di Jepang diberikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4 Tabel 3. Provinsi dengan Estimasi Jumlah Penduduk Terbanyak di Jepang Tahun 2011 No Nama Provinsi Jumlah Penduduk (orang) 1
Tokyo
13,186,562
2
Kanagawa
9,059,616
3
Osaka
8,865,448
4
Aichi
7,420,215
5
Saitama
7,204,168
6
Chiba
6,211,820
7
Hyogo
5,582,114
8
Hokkaido
5,485,916
9
Fukuoka
5,080,308
10 Shizuoka Sumber: Higashide (2011)
3,752,592
33
Tabel 4. Provinsi dengan Estimasi Kepadatan Penduduk Tertinggi di Jepang Pada Tahun 2011 Kepadatan Penduduk No Nama Provinsi (orang/km2) 1
Tokyo
6,027.73
2
Osaka
4,670.92
3
Kanagawa
3,750.07
4
Saitama
1,897.21
5
Aichi
1,436.75
6
Chiba
1,204.63
7
Fukuoka
1,020.72
8
Hyogo
664.86
9
Okinawa
615.97
10 Kyoto Sumber: Higashide (2011)
570.65
Konsentrasi penduduk yang besar di Kanto terjadi karena wilayah ini merupakan pusat perekonomian di Jepang. Untuk tahun 2006, Jepang adalah negara dengan GDP terbesar kedua di dunia setelah USA dengan total nilai output sebesar $ 4.362,1 (Kanto Bureau of Economy, Trade, and Industry, 2009). Sebanyak 44% aktivitas perekonomian Jepang berlokasi di Kanto dengan total nilai sekitar ¥ 228 triliun. Pada tahun 2007, Tokyo merupakan provinsi dengan GDP nominal terbesar di Jepang dengan nilai sebesar 92,3 triliun Yen. Provinsi yang termasuk dalam Greater Tokyo Area seperti Kanagawa dan Saitama juga merupakan penyumbang GDP nominal terbesar, masing-masing di urutan keempat dan kelima. Daftar GDP nominal berdasarkan provinsi diberikan dalam Gambar 6.
34
GDP (Triliun Yen)
100 80 60 40 20 0
GDP (Triliun Yen) Tokyo
Osaka
Aichi Kanagawa Saitama Provinsi
Sumber: Tokyo Metropolitan Government (2011) Gambar 6. Provinsi dengan GDP Nominal Terbesar di Jepang Tahun 2007 Kegiatan ekonomi utama di Tokyo adalah industri primer (pertanian, kehutanan, dan perikanan), industri sekunder (konstruksi, pertambangan, dan manufaktur), industri tersier (perumahan, asuransi keuangan, komunikasi, transportasi, listrik, air, gas, dan layanan jasa) dan administrasi publik. Berbeda dari era industrialisasi yang menekankan industri primer dan sekunder sebagai sektor utama ekonomi, kecenderungan saat ini adalah pergeseran ke industri tersier yang tidak membutuhkan banyak input material. Pada tahun 2008, bersama dengan sektor administrasi publik, industri tersier seperti layanan jasa, perumahan, keuangan, dan asuransi menunjukkan pertumbuhan yang positif. Sementara itu, sektor pertanian, kehutanan, perikanan, manufaktur, dan pertambangan menunjukkan pertumbuhan yang negatif. Pertumbuhan GDP sektor ekonomi utama di Tokyo ditampilkan dalam Gambar 7. Provinsi Ibaraki terletak di Sebelah utara Kanto. Menurut data dari website resmi Provinsi Ibaraki, perekonomian di Ibaraki tergantung pada industri dan pertanian. Industri utama adalah industri berat (71,1%) yang terdiri dari produksi mesin, bahan kimia, peralatan listrik, baja, dan komponen lainnya. Sementara itu, sebanyak 28,9% merupakan industri ringan seperti keramik, pasir, minuman, plastik, dan makanan. Pada tahun 2010, GDP nominal sektor pertanian adalah
35
sekitar ¥ 430 Miliar dan merupakan lokasi pertanian paling produktif kedua di Jepang. Produk pertanian yang utama adalah melon, babi, beras Koshihikari, dan hasil perikanan. Industri utama dan data GDP nominal pertanian pada tahun 20062010 untuk provinsi Ibaraki diberikan dalam Gambar 8 dan Tabel 5. %
Sumber: Tokyo Metropolitan Government (2011) Gambar 7. Tingkat Pertumbuhan GDP Nominal Per Sektor pada Tahun 2008 di Tokyo
Sumber : http://www.pref.ibaraki.jp/bukyoku/seikan/kokuko/en/data/industry.htm Gambar 8. Industri Utama di Provinsi Ibaraki pada Tahun 2010
36
Tabel 5. GDP Nominal Sektor Pertanian Provinsi Ibaraki Tahun 2006-2010 Tahun Miliar Yen 2006 399 2007
408
2008
428
2009
417
2010 430 Sumber : http://www.pref.ibaraki.jp/bukyoku/seikan/kokuko/en/data/industry.htm Perekonomian Provinsi Tochigi ditopang oleh sektor manufaktur dengan konstribusi sebesar 36,6% terhadap total perekonomian Jepang dan termasuk dalam lokasi industri yang penting. Produksi output manufaktur di Tochigi cukup beragam mulai peralatan transportasi, informasi, elektronik, minuman, tembakau, plastik, logam, baja, dan kertas. Dari total output barang dan jasa, sektor utama adalah industri peralatan transportasi, dan informasi dengan kontribusi masingmasing sebesar 18,8 % dan 10,6 %. Sementara itu, sektor lain seperti kertas, makanan, elektrik, dan baja hanya berkontribusi kurang dari 5%. Ratio output manufaktur di Provinsi Tochigi diberikan dalam Gambar 9. Saat ini pemerintah daerah sedang mengembangkan Tochigi menjadi salah satu pusat industri utama di Jepang dengan mengupayakan adanya pusat penelitian untuk teknologi industri, seminar dan training serta pertemuan internasional untuk mempromosikan Tochigi kepada para investor.
37
Sumber : http://www.pref.tochigi.lg.jp/kogyo/english/03/index2.html Gambar 9. Ratio Output Manufaktur di Provinsi Tochigi pada Tahun 2010 Provinsi Gunma berbatasan dengan Tochigi di sebelah timur, Nagano di sebelah barat, Saitama di sebelah selatan, serta Nigata dan Fukushima di sebelah utara. Industri utama adalah peralatan tranportasi, peralatan pangan, listrik, dan bahan kimia. Lokasinya yang dekat dengan Tokyo Metropolitan Area sebagai pasar potensial yang sangat besar menyebabkan pertanian dikembangkan sebagai sektor utama perekonomian. Produk pertanian utama adalah kol, jamur Shitake, gandum,
dan
terong.
(http://www.gunma-kokusai.jp/english/gunma-
english/location-and-topography/, 2010).
38
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.
Hubungan Konsentrasi BOD dan Pendapatan Per Kapita pada Polusi Air Sungai di Jepang Hubungan antara variabel BOD dengan pendapatan per kapita diperoleh
melalui regresi panel data. Regresi tersebut dilakukan dengan estimasi berdasarkan Random Effect Model (REM) dan Fixed Effect Model (FEM) pada spesifikasi model kuadratik dan kubik. Hasil estimasi regresi ditampilkan pada Tabel 6 sedangkan hasil regresi secara lengkap ditampilkan dalam Lampiran 1-10. Secara keseluruhan, hasil regresi panel data menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik dari tanda dan signifikasi koefisien variabel. Seperti dijelaskan sebelumnya, bila
, maka variabel tersebut akan signifikan. Dalam
tabel 6, variabel yang signifikan pada taraf alfa 5% ditunjukkan dengan tanda *. Untuk model kuadratik, semua variabel pendapatan (Inc dan Inc2) signifikan pada taraf nyata 5% dan tanda sesuai dengan yang diharapkan. Tanda variabel Inc diharapkan bernilai positif dan Inc2 bernilai negatif sehingga akan terbentuk kurva Kuznet yang berbentuk huruf U terbalik. Model FEM dan REM menunjukkan kurva yang sesuai dengan hipotesis yaitu kurva U terbalik. Tabel 6. Hasil Estimasi Regresi Panel Data Model
Hasil Estimasi Incit Incit 2
Kuadratik Popden Intercept Hausman Test Turning Point R-Square Kurva
REM 5,77 x 10-3* (7,8880) -1,25 x 10 -6* (-10,2894) -6,16 x 10-6 (-0,0037) -2.27 (-1,8272)
2.308,80 0,3950
FEM 6,7 x 10-3* (9,0347) -1,3 x 10-6* (-10,4610) -1,6 x 10-3* (-5,5756) 0,91 (0,7231) 77,2136 [0,0000] 2.608,98 0,8461
Tabel 6. Lanjutan Model Incit Incit 2 Incit 3 Popden Kubik
Intercept Hausman Test Turning Point
R-square Kurva
Hasil Estimasi REM FEM -5,2 x 10-3 -0,01 (-0,9607) (-1,9000) 2,4 x 10-6 4,4 x 10-6* (1,3448) (2,4265) -10 -3,81 x 10 * -5,92 x 10-10* (-2,0523) (-3,1356) -1,5x 10-4 -1,85 x 10-3* (-0,8594) (-6,2432) 8,71 18,03* (1,6063) (3,2204) 28,3867 [0,0000] 1 2 1 2 Tidak Terdefinisi 0,4123
1.990 2.980 0,8439
Sumber: Data diolah Keterangan : Tanda dalam ( ) menyatakan nilai t statistik dan tanda [ ] menyatakan probabilitas Tanda * berarti statistik pada taraf nyata 5%
Penentuan model yang terbaik antara FEM dengan REM dilakukan dengan menggunakan Uji Hausman. Probabilitas uji Hausman bernilai 0,0000 dan lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa model terbaik adalah model REM akan ditolak. Titik Turning point model kuadratik dicapai pada tingkat pendapatan ¥ 2.308,80 (REM), dan ¥ 2.608,98 (FEM). Dengan demikian, model yang terbaik untuk spesifikasi kuadratik adalah model FEM dengan turning point pada tingkat pendapatan ¥ 2.608,98. Untuk model kubik, variabel pendapatan yang signifikan adalah variabel Inc2 dan Inc3 untuk model FEM serta variabel Inc3 untuk model REM. Untuk semua model, tanda Inc adalah negatif, Inc2 positif, dan Inc3 negatif sehingga kurva yang terbentuk adalah kurva berbentuk huruf tilted-S. Hal ini berarti polusi akan menurun pada awal pertumbuhan ekonomi. Setelah mencapai titik turning
40
point pendapatan yang pertama, polusi akan meningkat lagi dan menurun setelah turning point yang kedua. Probabilitas uji Hausman menunjukkan nilai 0,0000. Nilai ini juga lebih kecil daripada taraf nyata (5%) sehingga dapat disimpulkan bahwa FEM lebih baik daripada REM. Nilai turning point untuk model REM kubik ternyata tidak terdefenisi karena akar determinan dalam penghitungan turning point bernilai negatif. Oleh karena itu, hasilnya menjadi tidak terdefinisi. Turning point yang pertama untuk model kubik tercapai pada tingkat pendapatan ¥ 1.990 (FEM) dan yang kedua pada tingkat pendapatan ¥ 2.980 (FEM). Oleh karena itu, model yang dapat merepresentasikan model kubik adalah model FEM dengan turning point ¥ 1.990 dan ¥ 2.980. Dari uji sebelumnya, FEM merupakan model yang terbaik di antara yang lainnya. Untuk menguatkan kesimpulan ini, kelayakan model akan ditinjau berdasarkan nilai R2. Model FEM memiliki nilai R2 yang paling tinggi, yaitu 84,61% (kuadratik) dan 84,39% (kubik). Sementara itu, untuk model REM, nilai R2 adalah 39,50% (kuadratik) dan 41,23% (kubik). Oleh karena itu, secara jelas terlihat bahwa model FEM adalah yang terbaik dimana model dapat menjelaskan sekitar 84% keragaman variabel yang dijelaskan yaitu konsentrasi BOD di sungai. Model ini juga memasukkan variabel kepadatan penduduk (Popden) sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada tingkat konsentrasi BOD di perairan. Untuk spesifikasi kuadratik dan kubik, variabel Popden signifikan untuk model FEM, namun tidak signifikan pada model REM. Sementara itu, dari segi tanda, koefisien bernilai negatif untuk model FEM dan REM
41
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa model FEM merupakan model yang terbaik dimana variabel Popden signifikan tetapi tandanya negatif. Menurut hipotesis, seharusnya peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi BOD yang artinya air sungai semakin terpolusi akibat aktivitas manusia yang meningkat. Oleh karena itu, variabel Popden diharapkan bertanda positif. Penjelasan yang memungkinkan adalah variabel kepadatan penduduk memang signifkan mempengaruhi peningkatan konsentrasi BOD, tetapi peraturan yang tegas dan dan perhatian publik akan kualitas lingkungan berhasil menurunkan konsentrasi limbah di perairan. Survei terhadap konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) yang juga merupakan salah satu indikator polusi air dari sungai yang bermuara di Tokyo Bay pada tahun 1999 menunjukkan bahwa hampir 70% limbah berasal dari penggunaan domestik. Namun, adanya peraturan tentang drainase menyebabkan jumlah total konsentrasi COD menurun hampir 50% dibandingkan dua puluh tahun sebelumnya. Hal ini ditampilkan dalam Gambar 10.
Sumber : Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism (2002) Gambar 10. Proporsi Sumber Polutan Chemical Oxygen Demand (COD) di Tokyo Bay Tahun 1979-1999
42
Faktor penjelas selanjutnya adalah perhatian publik terhadap kualitas lingkungan, misalnya partisipasi dalam kegiatan restorasi sungai. Nakamura (2006) menyatakan bahwa meningkatnya harga minyak pada dekade 1970-an melambatkan pertumbuhan ekonomi Jepang dan masyarakat mulai sadar akan lingkungan yang rusak selama industrialisasi pesat sebelumnya. Dekade 1990-an adalah titik balik perhatian masyarakat dan pemerintah sekaligus sebagai awal dari aktivitas restorasi sungai. Kegiatan terus digencarkan hingga tahun 2011 dan berhasil memulihkan sungai dari berbagai kerusakan seperti penyempitan badan sungai dan perkembangan spesies non native yang sangat pesat. Hal yang menarik dan membedakannya dari proyek serupa di negara lain yang umumnya disponsori oleh Non Government Organization (NGO) internasional yang kuat adalah aktivitas restorasi di Jepang berasal dari inisiatif kelompok masyarakat lokal dan NGO kecil. Walaupun mereka memiliki pengetahuan dan dana yang terbatas, mereka mampu menghubungkan ilmuwan dan pihak yang berwenang untuk merencanakan proyek restorasi yang lebih besar lagi. Pada kenyataannya, masyarakat Jepang menganut paham animisme yang mempercayai bahwa benda alam seperti danau, gunung, dan sungai adalah dewa yang harus dihormati. Model FEM terdiri dari model kubik dan kuadratik. Pemilihan hasil estimasi terbaik akan dilakukan berdasarkan bentuk kurva. Kurva model FEM berbentuk kuadratik berbentuk kurva U terbalik, sedangkan model FEM kubik berbentuk kurva tilted-S. Kurva model FEM kuadratik sudah memenuhi hipotesis kurva Kuznet dimana polusi akan meningkat pada awal pertumbuhan ekonomi dan akhirnya menurun seiring dengan peningkatan pendapatan. Sementara itu, kurva FEM kubik menggambarkan kenyataan sebaliknya. Polusi akan menurun di
43
awal sampai titik turning point yang pertama, kemudian meningkat sampai titik turning point yang kedua dan menurun kembali. Ditinjau dari signifikansi variabel, semua variabel model FEM kuadratik signifikan sedangkan terdapat satu variabel FEM kubik yang tidak signifikan sehingga secara jelas terlihat bahwa model FEM kuadratik lebih baik daripada FEM kubik. Walaupun tidak berbeda terlalu signifikan, nilai R2 FEM kuadratik sedikit (84,61%) lebih tinggi daripada R2 FEM kubik (84,39%). Oleh karena itu, model yang paling cocok untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh tingkat pendapatan per kapita dan polusi air sungai yang dicerminkan oleh konsentrasi BOD pada sungai di Jepang adalah FEM kuadratik dengan model sebagai berikut.
Nilai turning point pendapatan per kapita adalah sebesar ¥ 2608,98, sedangkan nilai elastisitas pendapatan per kapita terhadap BOD adalah -0,508. Hal ini berarti apabila pendapatan per kapita meningkat 1%, maka BOD akan menurun sebesar 0,508%.
BOD (mg/L)
Kurva hipotetikal Kuznet di Jepang ditampilkan dalam Gambar 11. 12 10 8 6 4 2 0
BOD
Pendapatan Per Kapita (¥1.000)
Sumber : Data Diolah Gambar 11. Kurva Hipotetikal Kuznet Jepang
44
Gambar 12 menunjukkan hubungan konsentrasi BOD dan pendapatan per kapita kota Chofu dari tahun 1978 sampai 2004 dengan membandingkan nilai BOD yang sebenarnya dan BOD prediksi dari model FEM kuadratik. Kota Chofu dianggap dapat mewakili kota besar lokasi penelitian karena kota ini terletak di Provinsi Tokyo dan merupakan bagian dari Tokyo Metropolitan Area sebagai pusat perekonomian, industri, dan penduduk di Jepang. Model prediksi BOD ini cukup baik karena dapat mendekati nilai sebenarnya. Model FEM kuadratik menunjukkan bahwa turning point dicapai pada tingkat pendapatan ¥ 2.608,98. Dari gambar terlihat bahwa kota Chofu sudah melalui titik ini sehingga sekarang berada pada tahap kedua kurva Kuznet, yaitu peningkatan pendapatan per kapita yang diikuti dengan penurunan konsentrasi BOD. Namun, dalam tahap ini, penurunan
BOD
cenderung
fluktuatif,
yaitu
menurun,
meningkat,
BOD (mg/L)
menurun,meningkat, dan menurun kembali. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
BOD Prediksi BOD sebenarnya
Pendapatan Per Kapita (¥ 1.000)
Sumber: data diolah Gambar 12. Kurva Hipotetikal Kuznet Kota Chofu, Provinsi Tokyo Untuk lebih memahami dinamika perubahan kualitas air sungai di Jepang, berikut akan dijelaskan data dalam laporan mengenai polusi air sungai yang
45
dikeluarkan oleh Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan pada tahun 2009. Gambar 13 menunjukkan konsentrasi BOD pada tiga sungai utama di Jepang yaitu Sungai Otagawa yang mengalir di Hiroshima; Sungai Yoshinogawa yang mengalir di Kouchi dan Tokushima; dan Sungai Chikugawa yang mengalir di Kumamoto, Oita, dan Fukuoka. Sementara itu, Gambar 14 menunjukkan konsentrasi BOD sungai yang mengalir di lokasi industri, yaitu Sungai Ayasegawa yang mengalir di Saitama; Sungai Tamagama yang mengalir di Yamanashi, Tokyo, dan Kanagawa; Sungai Tsurumigawa yang mengalir di Tokyo dan Kanagawa; serta Sungai Yamatogawa yang mengalir di Nara dan Osaka.
Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan (2010) Gambar 13. Konsentrasi BOD Sungai Utama di Jepang Periode 1973-2009 Konsentrasi BOD pada sungai utama berfluktuasi dari tahun 1973 sampai dekade 1990-an, namun secara umum menunjukkan kecenderungan yang menurun. Kualitas sungai ini masih dapat dikatakan bagus karena konsentrasi BOD masih berada pada batas ambang yang diijinkan. Konsentrasi tertinggi terdapat di sungai Chikugawa, yaitu sekitar 5,6 mg/L, sedangkan batas ambang BOD adalah kurang dari 1-10 mg/L (Ministry of Environment Japan).
46
Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan (2010) Gambar 14. Konsentrasi BOD Sungai di Kawasan Industri di Jepang pada Periode 1973-2009 Sementara itu, kualitas air sungai yang mengalir di kawasan industri seperti Tokyo, Saitama, Kanagawa dan Osaka sangat buruk karena konsentrasi BOD di perairan jauh lebih tinggi daripada batas ambang yang diperbolehkan (kurang dari 1-10 mg/L). Konsentrasi BOD tertinggi terjadi pada tahun 1973 di sungai Ayasegawa (sekitar 42 mg/L) yang mengalir melalui Saitama dan Tokyo. Dekade 1960-an merupakan masa keemasan bagi perekonomian Jepang karena berhasil bangkit dari kekalahan setelah perang dunia kedua dan menjadi negara dengan GDP terbesar kedua di dunia. Pada saat itu, pemerintah masih terfokus pada upaya membangun perekonomian dengan industrialisasi dengan mengabaikan kualitas lingkungan. Gambar 15 menunjukkan limbah cair yang langsung dibuang ke perairan di Kitakyushu tanpa pengolahan lebih lanjut pada dekade 1960-an.
47
Sumber: Ministry of the Environment Japan (2009) Gambar 15. Limbah Industri yang Langsung Dibuang ke Perairan Kitakyushu pada Dekade 1960-an Pertumbuhan ekonomi yang menjadi target utama pemerintah mengakibatkan terjadinya bencana akibat lingkungan yang rusak. Dampak yang besar terhadap masyarakat dan ekosistem menyebabkan pemerintah mulai sadar untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Fokus pembangunan pun mulai diubah dengan membuat faktor lingkungan sebagai pusat sehingga aktivitas ekonomi harus diusahakan agar tidak membahayakan
lingkungan. Hal ini sudah
digambarkan oleh hasil estimasi regresi panel terhadap data pendapatan per kapita dan konsentrasi BOD yang menunjukkan kurva berbentuk huruf U terbalik. Setelah melalui tingkat pendapatan sebesar ¥ 2.608,98, konsentrasi BOD semakin menurun. Bukti pendukungnya adalah data time series tentang konsentrasi BOD sungai utama dan sungai di kawasan industri pada Gambar 12 dan Gambar 13 yang menunjukkan trend yang menurun sepanjang waktu. 6.2 Kondisi Historis Polusi Air dan Peraturan Lingkungan di Jepang Jepang merupakan salah satu negara maju dengan kualitas lingkungan yang baik. Namun, sebelumnya, Jepang juga mengalami kerusakan lingkungan akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat intensif. Informasi dari kementerian Lingkungan Jepang menyebutkan bahwa polusi air telah terjadi di Jepang sebelum 48
era industrialisasi yaitu pada periode Meiji (1868-1912). Limbah tambang dari perusahaan Ashio Copper Mine dibuang langsung ke sungai Watarase sehingga menimbulkan gangguan kesehatan dan pencemaran lahan sawah di sekitar sungai. Setelah periode Meiji, polusi air terus meningkat dan menyebar ke berbagai wilayah di Jepang seiring dengan dimulainya industrialiasasi. Kekalahan di perang dunia II menjadi momentum bagi Jepang untuk memulihkan kembali perekonomian yang hancur akibat perang melalui industrialisasi. Transisi dari rekonstruksi pasca perang ke era keemasan ekonomi Jepang dimulai sejak dekade 1950an. Jepang berhasil mencapai Gross Domestic Product (GDP) yang melebihi GDP sebelum perang pada tahun 1953. Pada awal dekade 1960-an, dalam kondisi politik pasca perang yang masih tidak stabil, Perdana Menteri Hayato Ikeda meluncurkan program Income Doubling Plan dengan target peningkatan pendapatan ril dua kali lipat dalam kurun waktu sepuluh tahun. Rencana ini dinilai tidak realistis karena pendapatan nominal mungkin meningkat tapi inflasi harus dipastikan konstan agar program tersebut terlaksana. Walaupun publik pesimis, pada kenyataannya pendapatan ril meningkat lebih dari dua kali lipat dalam sepuluh tahun. Tingkat pengangguran dapat ditekan hingga tingkat 1,1%-1,3 % kecuali pada tahun 1960 (1,6%). Pada tahun 1968, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi sehingga tahun 1968 sering disebut golden era dan masa paling penting yang menandai transformasi Jepang menjadi negara modern. GDP Jepang mencapai $ 152 miliar dan menjadi GDP tertinggi kedua di dunia (Hamada, 1996). Seiring
dengan
pertumbuhan
ekonomi
yang
mencengangkan,
permasalahan lingkungan juga meningkat dengan cepat. Sejak dekade 1950-an,
49
perekonomian Jepang bertumbuh dengan pesat, tetapi diikuti dengan kerusakan lingkungan. Pada tahun 1955, cemaran limbah merkuri menyebabkan penyakit Minamata di barat daya pulau Kyushu. Setelah itu, kasus minamata kedua terjadi di Sungai Agano, Laut Teluk Jepang. Sungai Jinzu yang juga terletak di sekitar Laut Teluk Jepang juga tercemar Cadmium dan menyebabkan penyakit gatal-gatal (Itai-Itai). Menanggapi dampak bencana lingkungan yang besar bagi masyarakat dan ekosistem, pemerintah mulai mengusahakan upaya untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Secara umum. pengaturan polusi air di Jepang dilakukan melalui tiga metode yang diterapkan pada sumber polutan yang dapat diidentifikasi. Metode tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Kontrol terhadap konsentrasi polutan pada limbah cair.
2.
Kontrol terhadap konsentrasi polutan di badan air. Standar ini merupakan target wajib kebijakan lingkungan jangka panjang.
3.
Kontrol terhadap konsentrasi polutan limbah cair dalam satuan volume. Hal ini diterapkan bila kualitas standar lingkungan tidak dapat dicapai melalui pembatasan konsentrasi polutan. Umumnya, metode ini diterapkan pada badan air yang merupakan menjadi muara bagi polutan dari industri dan rumah tangga dalam jumlah yang besar. Awalnya, kesadaran akan pentingnya membuat peraturan tentang
lingkungan dimulai dari pemerintah daerah di pusat industri di wilayah Kanto seperti Tokyo dan Kanagawa. Beberapa pemerintah daerah mulai menerbitkan peraturan lingkungan yang berlaku untuk daerahnya masing-masing. Pemerintah Kota Metropolitan Tokyo mulai mengeluarkan kebijakan pencegahan polusi sejak
50
1949, Osaka sejak 1950, Kanagawa sejak 1951, dan Fukuoka sejak 1955. Saat itu, masalah lingkungan belum menjadi perhatian pemerintah pusat karena pemerintah pusat masih fokus meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi. Permasalahan lingkungan mulai menjadi perhatian pemerintah pusat sejak tahun 1958 ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur kualitas air untuk publik dan limbah perusahaan. Namun, peraturan ini kurang efektif karena pelaksanaannya kurang tegas dan pemberlakuannya hanya terbatas di berbagai lokasi. Kemudian, pada tahun 1967, kontrol sumber polusi mulai diperketat dengan mengeluarkan Basic Law for Environmental Pollution Control. Pada tahun 1970, pemerintah akhirnya mengeluarkan hukum tentang polusi air yang merupakan penggabungan dari berbagai peraturan yang sudah ada sebelumnya. Hukum ini mengatur batas standar limbah cair yang berlaku secara nasional dan dikontrol oleh pemerintah melalui Environmental Agency. Namun, pada dekade 1970-an, kasus polusi air semakin sering terjadi . Industrialisasi intensif di sepanjang Laut Pulau Seto menyebabkan kualitas air memburuk. Pada tahun 1972, terjadi kematian mendadak biota laut dalam jumlah besar akibat pertumbuhan eksposif ganggang merah yang muncul karena tumpahan minyak dari pabrik penyulingan minyak dan kontaminasi Kromium dari sampah industri. Kondisi ini kemudian ditanggapi cepat oleh pemerintah setahun kemudian dengan mengeluarkan Water Pollution Control Law untuk konservasi lingkungan di Laut Pulau Seto dan mendorong pengembangan teknologi yang dapat menghilangkan polutan seperti COD, Nitrogen, dan Phospor pada air limbah. Hukum ini kemudian direvisi pada tahun 1978 untuk mengesahkan pihak yang berwenang untuk membatasi total polutan yang diperbolehkan dibuang ke
51
perairan. Sistem ini kemudian dilaksanakan di Teluk Tokyo dan Teluk Ise yang juga mengalami kerusakan lingkungan akibat industrialisasi yang sangat pesat. Selanjutnya, kebijakan perbaikan infrastruktur mulai diarahkan pada sistem suplai air dan pembuangan limbah cair untuk mengontrol polusi air dari perusahaan. Pemerintah pun mengimpor teknologi dari luar negeri yang berkaitan dengan penyaringan air keran, pengolahan limbah cair perusahaan dan kotoran manusia. Namun, di saat yang sama, sektor pendidikan distimulai untuk melakukan penelitian agar teknologi tersebut diproduksi di dalam negeri untuk tujuan komersil. Pada dekade 1990-an, Basic Environment Law disahkan oleh pemerintah untuk mengatur kualitas standar indikator kualitas lingkungan. Pemerintah juga mengeluarkan sejumlah peraturan untuk yang mengatur sumber air minum, konservasi untuk sumber air minum, dan management pengolahan limbah manusia seperti feces dan urine. Pada dekade 2000-an, polusi yang diakibatkan oleh bahan berbahaya menjadi masalah lingkungan yang baru. Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan Law Concerning Special Measures against Dioxins dan Soil Contamination Countermeasures Law. Selain itu, terdapat juga sejumlah konvensi internasional yang menjadi dasar bagi pencegahan polusi air di Jepang seperti Konvensi tentang pencegahan polusi di laut dari sampah yang dibuang dari kapal dan pesawat udara. Konvensi ini diratifikasi pada tahun 1980. Pada tahun 1983, Jepang juga meratifikasi konvensi internasional tentang pencegahan polusi akibat akitivitas pengoperasian maupun kecelakaan kapal.
52
Kualitas standar untuk polusi air diklasifikasikan berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan dan komponen lingkungan yang hidup seperti binatang, tumbuhan,dan habitatnya. Polutan yang berpengaruh terhadap kesehatan adalah bahan beracun sepertu logam Merkusi, Arsen, dan Klorin. Sementara itu, polutan yang berpengaruh terhadap komponen lingkungan yang hidup adalah bahan beracun, polusi bahan organik seperti BOD
dan COD, dan nutrien seperti
Nitrogen dan Phospor. Indikator polusi air yang paling utama adalah konsentrasi Oksigen di perairan yang dapat diukur melalui BOD dan COD. Berkurangnya Oksigen dapat menyebabkan kematian bagi kehidupan di perairan. Komponen penting dalam managemen sumber daya air di Jepang adalah adanya monitoring secara berkala. Kementerian Lingkungan memeriksa kualitas air di permukaan (danau, sungai, dan laut) dan air tanah di sekitar 9.000 titik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik air, trend perubahan kualitas air dalam jangka panjang, dan mendeteksi adanya polusi air sejak dini. Data ini kemudian dianalisis dan dipublikasikan ke website maupun dalam bentuk laporan tahunan yang dapat didistribusikan ke lembaga pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan. Peraturan tentang standar konsentrasi polutan yang diperbolehkan berlaku terhadap semua perusahaan yang terdaftar dalam specified fatories karena mengeluarkan emisi dalam jumlah yang besar seperti perusahaan bahan kimia, logam, pengolahan limbah, dan hotel. Specified
berarti perusahaan harus
memiliki teknologi tertentu untuk mengolah limbah sebelum dibuang ke perairan. Pengawasannya adalah sistem direct penalty yang artinya perusahaan dapat dikenakan sanksi apabila konsentrasi polutan dalam limbah yang dikeluarkan ke
53
perairan telah melalui ambang batas. Sistem pengawasan ini dilakukan secara seragam oleh pemerintah pusat (uniform control). Sampai tahun 2005, sebanyak 290.000 specified factories terdaftar dalam subjek pengawasan pemerintah pusat. Kontrol polusi yang lebih ketat mungkin dilaksanakan di tingkat provinsi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dimengerti bahwa pemerintah daerah juga sangat berperan penting dalam menjaga kualitas ambang polutan di daerahnya masing-masing. Pemerintah daerah umumnya bertanggung jawab untuk mengontrol polutan dari perusahaan skala kecil. 6.3.
Pelajaran yang Dapat Diambil Indonesia dari Pengalaman Jepang Walaupun pernah
mengalami
kerusakan
lingkungan
yang
parah
sebelumnya, saat ini Jepang telah menjadi negara maju yang modern dengan kualitas lingkungan yang baik. Sementara itu, Indonesia masih berada pada tahap mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebelum menguraikan pelajaran yang dapat diperoleh Indonesia dari
pengalaman Jepang yang telah mengalami kerusakan terlebih dahulu, akan dipaparkan kondisi lingkungan Indonesia saat ini. Seperti halnya Jepang pada awal pertumbuhan ekonomi, faktor ekonomi masih diposisikan sebagai target utama
yang harus dicapai. Sementara itu,
kualitas lingkungan masih cenderung di undervalue. Sebanyak 70% di negara berkembang termasuk Indonesia membuang limbah langsung ke sungai tanpa pengolahan lebih lanjut (WHO, 2012). Ketika lingkungan yang merupakan penyedia input bagi aktivitas ekonomi rusak, aktivitas perekonomian pun menjadi terganggu.
54
Kualitas air sungai dapat dilihat dari status mutu air yang merupakan kondisi mutu air yang dibandingkan terhadap baku mutu air. Pada tahun 2008, secara umum status mutu dari beberapa sungai di Indonesia telah tercemar jika dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas II. Beberapa di antaranya telah berstatus tercemar berat terutama di sungai Pulau Jawa seperti Kali Angke (Banten), Ciliwung (DKI Jakarta), dan Citarum (Jawa Barat). Sungai seperti Ciliwung merupakan lokasi padat penduduk sehingga berpengaruh juga terhadap banyaknya sampah aktivitas domestik yang dihasilkan. Status mutu beberapa sungai di Indonesia ditampilkan dalam Tabel 7. Tabel 7. Status Mutu Air Sungai Indonesia Tahun 2008 Jumlah Titik No Provinsi Sungai 6 1 NAD Krueng Aceh 10 2 Riau Kampar 12 3 Jambi Batang Hari 6 4 Bengkulu Air Bengkulu 8 5 Sumatera Selatan Musi 15 6 Lampung W.Sekampung 6 7 Bangka Belitung Rangkui 6 8 Banten Kali Angke 15 9 DKI Jakarta Ciliwung 6 10 Jawa Barat Citarum 6 11 Jawa Tengah Progo 7 12 DIY Progo 10 13 Jawa Timur Bengawan Solo 6 14 Bali Tukad Badung 6 15 NTB Jangkok 6 16 Kalimantan Selatan Martapura 6 17 Kalimantan Tengah Kahayan 8 18 Sulawesi Utara Tondano 6 19 Gorontalo Bone 6 20 Sulawesi Selatan Tallo 6 21 Sulawesi Tenggara Konahewa 6 22 Sulawesi Selatan Jeneberang 3 23 Maluku Batu Gajah
Status CB CB CS CS-CB CB CS CB CB CB CB CS-CB CB CB CB CB CB CB CB CS CB CB CB CB
55
Tabel 7. Lanjutan Jumlah Titik Status No Provinsi Sungai 3 24 Maluku Batu Merah CB 6 25 Maluku Utara Tabobo CS-CB Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup (2009) Keterangan: CR = Tercemar Ringan CS = Tercemar Sedang CB = Tercemar Berat Sebagai negara tropis dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, yaitu sekitar 2.779 mm/tahun, seharusnya Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya air. Pada kenyataannya, Indonesia saat ini sering mengalami krisis air di musim kemarau dan banjir di musim hujan karena sebanyak 66% air hujan mengalir menjadi air permukaan dan menjadi sumber bencana seperti bajir dan longsor. Ancaman krisis air ini semakin nyata di pusat pertumbuhan ekonomi dan penduduk seperti Pulau Jawa dan Bali. Pada tahun 1930, Pulau Jawa mampu memasok air sebesar 4.700 m3 per tahun. Namun, pada tahun 2020, diperkirakan potensi airnya tinggal 1.200 m3 per tahun dimana hanya 35% yang layak dikelola secara ekonomis (Kementerian Lingkungan Hidup, 2011). Secara ekonomi, budaya, maupun struktur sosial masyarakat, kondisi Jepang dan Indonesia memang berbeda. Jepang memiliki pendapatan yang cukup untuk berinvestasi pada infrastruktur manajemen sumber daya air, kesadaran publik terhadap lingkungan yang tinggi, dan kesiapan menghadapi bencana yang baik. Penduduk di Jepang tidak terbiasa membuang sampah langsung ke sungai karena nilai untuk melestarikan sungai sudah terinternalisasi ke dalam budaya hidup masyarakat yang mempercayai bahwa benda mati seperti sungai, danau, dan laut adalah dewa yang harus dihormati. Walaupun demikian, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil oleh Indonesia dari pengalaman Jepang yang telah
56
terlebih dahulu mengalami kerusakan lingkungan. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Pertama, penguatan lembaga pemerintah di tingkat daerah terutama yang mengalami dampak kerusakan lingkungan. Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab yang kompleks dan pada umumnya pemerintah pusat fokus pada upaya mencapai pertumbuhan ekonomi. Pengaturan tentang polusi air di Jepang juga diawali pemerintah daerah Kanagawa, Tokyo, dan Osaka. Di Indonesia, pemerintah daerah telah diberikan wewengan yang lebih banyak melalui Otonomi Daerah. Pemerintah daerah seharusnya memberikan ijin yang lebih ketat terhadap perusahaan yang ingin mendirikan ijin usaha untuk memastikan bahwa usaha aktivitas tersebut tidak merusak lingkungan. Dalam hal ini, peran pemerintah sangatlah krusial untuk
menentukan arah pertumbuhan ekonomi yang
memperhatikan kelestarian lingkungan. Kedua adalah penggunaan teknologi baik dalam mengelola limbah agar aman dibuang ke lingkungan maupun mendaur ulang air. Teknologi sangat penting peranannya karena jumlah limbah sudah tidak sebanding dengan kemampuan alam untuk menguraikannya secara alami. Pada awalnya, Jepang belum memiliki teknologi pengolahan air sehingga mereka harus mengimpor dari luar negeri. Semua industri kemudian diwajibkan untuk mengolah limbah sampai kadar polutannya tidak berbahaya bagi lingkungan. Pemerintah daerah juga menggunakan teknologi untuk mengelola limbah domestik dan mendaur ulang pemakaian air bekas seperti mencuci dan mandi. Di
saat
yang
sama,
pemerintah
mendorong
pendidikan
untuk
menghasilkan teknologi sehingga akhirnya Jepang mampu memproduksi
57
kebutuhan dalam negeri. Pada akhirnya, industri teknologi pengolahan air menjadi industri utama di Jepang dan mampu mengekspor ke luar negeri. Jadi, dalam hal ini Jepang mampu menggunakan tantangan sebagai salah satu kesempatan untuk membuka peluang bisnis yang baru melalui riset dan pengembangan di dunia pendidikan. Selain itu, Jepang juga percaya dan mencintai produk dalam negeri. Nilai seperti ini yang perlu diinternalisasikan kepada masyarakat Indonesia. Ketiga adalah penegakan hukum yang tegas. Negara Jepang terbukti melakukan pengawasan rutin dan menindak pelanggar dengan tegas. Hal ini terbukti dari data yang menyatakan bahwa pada awal dekade 2000-an, total buangan limbah sudah menurun hampir 50% bila dibandingkan dua puluh tahun sebelumnya (Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism Japan, 2002) Seperti telah dijelaskan sebelumnya. Ketegasan hukum yang berlaku bagi semua orang harus diupayakan di Indonesia agar Indonesia dapat mengalami pertumbuhan ekonomi dari potensi sumber daya alam yang sangat kaya. Hal yang terakhir adalah upaya mengembangkan sektor ekonomi tersier di Indonesia. Industri primer dan sekunder seperti pertanian, pertambangan, manufaktur, dan konstruksi membutuhkan banyak input material sehingga tekanan lingkungan untuk menyediakan input juga meningkat. Semakin banyak input semakin banyak juga limbah yang dihasilkan dan efek negatif terhadap lingkungan apalagi bila limbah tidak ditangani dengan baik. Sementara itu, industri tersier seperti industri berbasis jasa, informasi, dan komunikasi membutuhkan teknologi dan kemampuan sumber daya manusia, tetapi dapat mengurangi penggunaan input material.
58
Pada kenyataannya, Indonesia adalah negara pertanian dan kaya akan sumber daya alam seperti tambang.
Sumber daya yang melimpah ini dapat
menjadi menjadi sumber bencana apabila tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, kegiatan sektor primer dan sekunder harus diupayakan agar tidak merusak lingkungan sambil mengupayakan pertumbuhan sektor sekunder. Transisi ekonomi terbukti menjadi salah satu faktor yang dapat menjelaskan perbaikan kualitas lingkungan di negara maju (Dinda, 2000). Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa untuk tahun 2008, industri tersier di Tokyo bertumbuh positif, sedangkan industri sekunder dan primer mengalami pertumbuhan negatif. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia diharapkan dapat mendorong dan memfasilitasi para ilmuwan Indonesia yang tersebar di berbagai negara untuk bekerja sama dalam mengupayakan pertumbuhan sektor ekonomi tersier sambil mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi primer dan sekunder yang berwawasan lingkungan.
59
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1
Simpulan Dinamika perubahan kualitas lingkungan di Jepang dapat dijelaskan
melalui hipotesis Kuznet. Estimasi regresi berganda dilakukan terhadap data panel berdasarkan REM dan FEM untuk model kuadratik dan kubik. Model terbaik untuk menjelaskan hubungan konsentrasi BOD dengan pendapatan per kapita adalah model FEM kuadratik dengan turning point pendapatan ¥ 2.608,98. Elastisitas pendapatan per kapita terhadap BOD adalah -0,508 yang artinya bila pendapatan per kapita 1 %, makan konsentrasi BOD akan menurun 0,508%. Polusi air yang terjadi di Jepang sudah terjadi sejak era Meiji (1868-1912), namun semakin meningkat sejak era industrialisasi. Peraturan mengenai kualitas lingkungan awalnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang terkena dampak dan menjadi perhatian pemerintah pusat sejak tahun 1968. Pemerintah mengontrol limbah dengan menggunakan teknologi yang diimpor sambil mendorong riset dalam negeri agar dapat memproduksi secara mandiri. Saat ini, Indonesia juga mengalami kerusakan lingkungan seperti pencemaran sumber daya air terutama di pusat pertumbuhan ekonomi. Terdapat berbagai pelajaran yang dapat diambil Indonesia dari pengalaman Jepang. Diperlukan adanya upaya memicu pertumbuhan industri tersier, penegakan hukum yang tegas, penggunaan teknologi, dan inisiatif pemerintah daerah untuk mengawasi pihak yang berpotensi mencemari lingkungan. Pemerintah juga harus mendorong lembaga riset agar teknologi dapat diproduksi dalam negeri. Selain itu, nilai percaya dan mencintai produk dalam negeri perlu diperkuat lagi dalam budaya hidup orang Indonesia.
7.2
Saran Saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Analisis kurva Kuznet di tingkat yang lebih kecil, yaitu kota Chofu menunjukkan bahwa kota tersebut sudah melewati titik turning point pendapatan sehingga sekarang berada dalam tahap peningkatan pendapatan per kapita yang diikuti oleh penurunan konsentrasi BOD. Prediksi BOD menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi BOD yang cukup fluktuatif. Oleh karena itu, pemerintah kota Chofu diharapkan agar lebih memperketat kontrol terhadap konsentrasi polutan di sungai untuk menghindari penurunan yang fluktuatif. Selain itu, peningkatan pendapatan juga dapat mempengaruhi penurunan konsentrasi BOD. Nilai elastisitas menunjukkan nilai -0,508 sehingga bila pemerintah membuat program yang bertujuan meningkatkan pendapatan sebesar 1%, maka konsentrasi BOD akan berkurang sebesar 0,508%.
2.
Data yang diterbitkan dalam website pemerintah Jepang sebaiknya disediakan juga dalam bahasa Inggris sehingga data tersebut dapat digunakan untuk keperluan penelitian oleh banyak pihak.
3.
Diharapkan bahwa kedepannya akan diadakan penelitian lanjutan mengenai studi EKC di Indonesia sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang sesuai dengan dinamika perubahan kualitas lingkungan di Indonesia.
61
DAFTAR PUSTAKA Ashraf Q, Galor O. 2008. „Malthusian Population Dynamics: Theory and Evidence‟. Brown University. http://www.brown.edu/Departments/ Economics/Papers/2008/2008-6_paper.pdf. Diakses pada 28 Maret 2012. Baltagi B. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons, Ltd, Inggris. Chertow MR. 2001. The IPAT Equation and Its Variants. Vol 4. No. 4. Yale University, New Haven De Bruyn SM, Van Den Bergh JC, Opschoor JB. 1998. Economic Growth and Emission: Reconsidering The Empirical Basis of Environmental Kuznet Curves. Ecological Economics.Volume 25 No.2: 161-175. Erhlich PR dan Holdren JP. 1971. Impact of Population Growth. Science. Vol 171 No 3977: 1212-1217 Dinda S, Coondoo D, Pal M. 2000. Air Quality and Economic Growth: An Empirical Study. Ecological Economic. 34: 409-423. Dinda S. 2004. Environmental Kuznet Curve Hypothesis: A Survey. Ecological Economic. 49: 431-455. Department of National Account, Economics, and Social Research Institute. 2004. Annual Report of Prefectural Accounts 1978-2004. Cabinet Office, Tokyo. Government of Nagareyama City. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.city.nagareyama.chiba.jp/section/kikakuseisaku/toukei/tokei sy o%20pdf/toukeisyopdf.htm. Diakses pada 15 Juni 2011. Government of Saitama City. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.city.saitama.jp/www/genre/0000000000000/1227521920092 /index.html. Diakses pada 15 Juni 2011. Government of Mito City. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.pref.ibaraki.jp/tokei/betu/jinko/getsu/index.htm. pada 15 Juni 2011.
Diakses
Government of Utsunomiya City. 2004. „Report of Population andArea‟. http://www.city.utsunomiya.tochigi.jp/DataBank/index.htm. Diakses pada 15 Juni 2011.
Government of Maebashi City. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.city.maebashi.gunma.jp/kbn/01200113/01200113.html. Diakses pada 15 Juni 2011. Government of Hachioji City. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.city.hachioji.tokyo.jp/profile/data/jinko/nenreibetsu/index.ht ml. Diakses pada 15 Juni 2011. Government of Chofu City. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.city.chofu.tokyo.jp/www/genre/0000000000000/127319466 2134/index.html. Diakses pada 15 Juni 2011. Government of Otawara City. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.pref.tochigi.lg.jp/c04/pref/toukei/toukei/popu2.html. Diakses pada 15 Juni 2011. Government of Yokohama. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.city.yokohama.lg.jp/ex/stat/jinko/dotai/new/index-j.html. Diakses pada 15 Juni 2011. Government of Kawagoe City. 2004. „Report of Population and Area‟. http://www.city.kawagoe.saitama.jp/www/contents/1105491285830/inde x.html. Diakses pada 15 Juni 2011. Government of Ibaraki Prefecture. 2010. „Prefecture‟s Profile‟. http://www.pref.ibaraki.jp/bukyoku/seikan/kokuko/en/data/industry.htm. Diakses pada 26 Maret 2012. Government of Tochigi Prefecture. 2010. „Prefecture‟s Profile‟. http://www.pref.tochigi.lg.jp/kogyo/english/03/index2.html. pada 26 Maret 2012.
Diakses
Government of Gunma Prefecture. 2010. „Prefecture‟s Profile‟. http://www.gunma-kokusai.jp/english/gunma-english/location-andtopography. Diakses pada 26 Maret 2012. Gujarati DN, Porter DC. 2009. Basic Econometric Fifth Edition. The MC Graw-Hill Companies, New York. Hamada K. 1996. Japan 1968: A Reflection Point during the Era of Economic Miracle. Center Disuccion Paper No. 864. Yale University, New Haven. Hettige H, Mani M, Wheeler D. 2000. Industrial Pollution in Economic Development: The Environmental Kuznet Curve Revisited. Journal of Development Economics. 62: 445-476.
63
Higashide M. 2011. „Ranking of Population, Landmass and Density Based on Prefecture in Japan 2011‟. http://rnk.uub.jp/prnk.cgi?T=p. Diakses pada 20 Maret 2012. Kanto Bureau of Economy, Trade, and Industry. 2009. „Business Introduction in Kanto Area‟. http://www.kanto.meti.go.jp/english/introduction/data/ English_brochure_2009_09.pdf. Diakses pada 25 Maret 2012. Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta . 2011. „Krisis Air di Pulau Jawa Semakin Parah‟. http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&vie w=article&id=4733:krisis-air-di-jawa-semakin-parah&catid=43:berita&Itemid=73&lang=en. Diakses pada 2 April 2012. Krautkraemer JA. 2005. Economics of Natural Resouce Scarcity: The State of the Debate. Resource for The Future,Washington. Komen MHC, Gerking S, Folmer H. 1997. Income and Environmental R&D: Empirical Evidence from OECD Countries. Environmental and Development Economics. 2:505-515. Malthus TR. 1976. An Essay on The Principle of population. Appleman P (Editor) Norton. New York. www.webbooks.com.eLibrary./NC/BO/B62/095MB62. html. Diakses pada 14 Maret 2012. Ministry of Environment. 2009. „Water Enviromental Management in Japan‟. http://wwmw.waternunc.com/jp/history_jp.htm. Diakses pada 20 Januari 2012. . 2012. Water Pollution Control Law‟. http://www.env.go.jp/en.laws/ Water.wlaw/index.html. Diakses pada 20 Januari 2012. Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism. 2002. „Pilot Case Studies: A Focus on Real World Example, Greater Tokyo, Japan‟. http://wvlc.uwaterloo.ca/WWDRMaterials/tokyo_basin.pdf. Diakses 29 Maret 2012. . 2004. „Report of Water Quality in Kanto Area‟. http://www.ktr.mlit.go.jp/ktr content/content/000042456.pdf. Diakses 11 Juni 2011. . 2010. „Water Quality in Japan”. http://www.mlit.go.jp/river/toukei_ Chousa/kankyo/kankyou/suisitu/h220729.pdf. Diakses pada 16 Maret 2012.
64
Mythili G, Mukherjee S. 2011. Examining Environmental Kuznets Curve for River Effluents in India. Environmental Development Sustain. 13: 627640. Nakamura K. 2006. „River Restoration Efforts in Japan‟: Overview and Perspective‟. http://www.pwri.go.jp/eng/activity/pdf/reports/k.nakamura. 080601.pdf. Diakses 25 April 2012. Northeast Georgia Regional Development Center. 1999. Watershed Protection Plan Development Guidebook. http://www.gaepd.org.Files_PDF/ Techguide/wpb/devwtrplan b.pdf. Diakses pada 15 Oktober 2011. Paudel KP, Schafer MJ. 2008. The Environmental Kuznet Curve Under a New Framework: The Role of Social Capital in Water Pollution. Environmental Resource Economic. 42:265-278. Panayotou. 2000. Population and Environment. Environmental and Development Paper No.2. Harvard University. Cambridge. Shafik N, Bandyopadhyay S. 1992. Economic Growth and Environmental Quality. Working Paper for World Bank. World Bank, Washington DC. Tokyo Metropolitan Government.2011. „Industry and Employment in Tokyo Graphic and Overview 2011‟. http://www.sangyorodo.metro.tokyo.jp/monthly/sangyo/graphic/2011nen/total-e.pdf. Diakses pada 27 Maret 2012. United Nations Population Division. 2011. „World Population Prospects: The 2010 RevisionVolume. http://esa.un.org/unpd/wpp/Documentation/pdf/WPP2010_VolumeI_Comprehensive-Tables.pdf. Diakses pada 14 Maret 2012. World Health Organization Indonesia. 2012. Air dan Ketahanan Pangan. Disampaikan dalam Debat Mahasiswa Air dan Ketahanan Pangan di Institut Pertanian Bogor. 29 Maret 2012. Wolfgram. 2005. „Population, Resource, and Environment : A Survey of The Debate‟. http://arts-sciences.cua.edu/econ/faculty/aguirre/resenv.htm. Diakses pada 1 Juni 2012.
65
LAMPIRAN LAMPIRAN 1. RANDOM EFFECT MODEL KUADRATIK Dependent Variable: BOD75 Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/16/11 Time: 14:50 Sample: 1978 2004 Periods included: 27 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 297 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C INC INC^2 POPDEN
-2.273474 0.005772 -1.25E-06 -6.16E-07
-1.827252 7.888029 -10.28942 -0.003703
0.0687 0.0000 0.0000 0.9970
S.D.
Rho
1.589292 1.137159
0.6614 0.3386
1.244204 0.000732 1.21E-07 0.000166
Effects Specification Cross-section random Idiosyncratic random Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.395064 0.388870 1.273054 63.78302 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.455308 1.628471 474.8552 0.921317
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
-0.682880 4003.702
Mean dependent var 3.337710 Durbin-Watson stat 0.109272
LAMPIRAN 2. FIXED EFFECT MODEL KUADRATIK Dependent Variable: BOD75 Method: Panel Least Squares Date: 08/15/11 Time: 15:57 Sample: 1978 2004 Periods included: 27 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 297 Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C INC INC^2 POPDEN
0.910658 0.006679 -1.28E-06 -0.001637
1.259297 0.000739 1.22E-07 0.000294
0.723147 9.034711 -10.46102 -5.575686
0.4702 0.0000 0.0000 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.846177 0.839111 1.137159 365.9559 -452.4287 119.7524 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.337710 2.835035 3.140934 3.315049 3.210639 1.171374
LAMPIRAN 3. RANDOM EFFECT MODEL KUBIK Dependent Variable: BOD75 Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/15/11 Time: 16:00 Sample: 1978 2004 Periods included: 27 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 297 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C INC INC^2 INC^3 POPDEN
8.718165 -0.005239 2.40E-06 -3.81E-10 -0.000151
1.606389 -0.960743 1.344883 -2.052387 -0.859451
0.1093 0.3375 0.1797 0.0410 0.3908
S.D.
Rho
1.710797 1.119819
0.7001 0.2999
5.427180 0.005453 1.79E-06 1.86E-10 0.000176
Effects Specification Cross-section random Idiosyncratic random Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.412364 0.404314 1.252974 51.22649 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.417155 1.623429 458.4237 0.960247
67
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
-0.837343 4371.181
Mean dependent var 3.337710 Durbin-Watson stat 0.100705
LAMPIRAN 4. FIXED EFFECT MODEL KUBIK Dependent Variable: BOD75 Method: Panel Least Squares Date: 05/02/12 Time: 14:34 Sample: 1978 2004 Periods included: 27 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 297 Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C INC INC^2 INC^3 POPDEN
18.03372 -0.010514 4.41E-06 -5.92E-10 -0.001858
3.220411 -1.900892 2.426544 -3.135643 -6.243322
0.0014 0.0583 0.0159 0.0019 0.0000
5.599818 0.005531 1.82E-06 1.89E-10 0.000298
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.851360 0.843981 1.119819 353.6264 -447.3393 115.3714 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.337710 2.835035 3.113396 3.299948 3.188079 1.226062
LAMPIRAN 5. HAUSMAN TEST MODEL KUADRATIK Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: F Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Cross-section random
77.213630 3
Chi-Sq. d.f. Prob. 0.0000
Cross-section random effects test comparisons: Variable
Fixed
Random
Var(Diff.) Prob.
68
INC INC^2 POPDEN
0.006679 0.005772 0.000000 -0.000001 -0.000001 0.000000 -0.001637 -0.000001 0.000000
0.0000 0.0385 0.0000
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: BOD75 Method: Panel Least Squares Date: 05/02/12 Time: 14:42 Sample: 1978 2004 Periods included: 27 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 297 Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C INC INC^2 POPDEN
0.910658 0.006679 -1.28E-06 -0.001637
0.723147 9.034711 -10.46102 -5.575686
0.4702 0.0000 0.0000 0.0000
1.259297 0.000739 1.22E-07 0.000294
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.846177 0.839111 1.137159 365.9559 -452.4287 119.7524 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.337710 2.835035 3.140934 3.315049 3.210639 1.171374
LAMPIRAN 6. HAUSMAN TEST MODEL KUBIK Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: F Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Cross-section random
28.386740 4
Chi-Sq. d.f. Prob. 0.0000
Cross-section random effects test comparisons: Variable
Fixed
Random
Var(Diff.) Prob.
69
INC INC^2 INC^3 POPDEN
0.003841 0.000000 -0.000000 -0.001126
0.013347 -0.000002 -0.000000 -0.000013
0.000004 0.000000 0.000000 0.000000
0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: BOD75 Method: Panel Least Squares Date: 05/02/12 Time: 14:17 Sample: 1978 2004 Periods included: 27 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 297 Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C INC INC^2 INC^3 POPDEN
-0.880241 0.003841 2.47E-07 -1.85E-10 -0.001126
-0.123522 0.637720 0.130861 -0.947280 -3.687352
0.9018 0.5242 0.8960 0.3444 0.0003
7.126165 0.006022 1.89E-06 1.95E-10 0.000305
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic
0.885160 0.867216 1.033073 273.2132 -409.0280 49.32974
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.337710 2.835035 3.030491 3.540401 3.234626 1.187347
70
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Samosir tanggal 25 Januari 1990. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah Sekolah Dasar di SDN 173757 Sidihoni (1995-2001), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMP Karya Murni Sidihoni (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMA N Pangururan (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis juga memperoleh kesempatan untuk mengikuti Short Term Exchange Student di Utsunomiya University, Jepang pada periode 2010-2011. Untuk mengembangkan soft skill, penulis pernah aktif baik sebagai anggota, staf divisi, maupun ketua divisi di organisasi seperti Kesatuan Mahasiswa Katolik (KEMAKI), Resource and Environmental Economic Student Association (REESA), dan Kelompok Paduan Suara Puella Domini serta kepanitiaan berbagai acara di kampus. Selain itu, penulis juga sering mengikuti lomba baik di tingkat kampus, nasional, maupun internasional. Pada tahun 2010, penulis menjadi mahasiswa berprestasi di level departemen dan fakultas. Penulis pernah menerima beasiswa mahasiswa berprestasi dari Bank Central Asia (2011-sekarang), Japan Student Service Organization (JASSO) untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang (2010-2011), dan Peningkatan Prestasi Akademik (2008-2009).
71