111
VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1
Sumberdaya Perikanan Pelagis
6.1.1
Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi
adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap oleh alat tangkap yang diteliti. Data upaya penangkapan untuk perhitungan analisis bioekonomi diperoleh dengan cara mengumpulkan data rata-rata jumlah trip per alat tangkap per tahun kemudian dikalikan dengan jumlah alat tangkap yang beroperasi. Data produksi dan jumlah trip untuk sumberdaya ikan pelagis seperti terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Produksi dan upaya tangkap sumberdaya ikan pelagis Produksi (ton) Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Upaya tangkap (trip)
Payang
Gill Net
Pancing
Total Produksi
Payang
Gill Net
Pancing
720,66 654,2 555,958 183,662 102,036 91,416 107,845 112,422 117,424 118,084 169,365 168,676 156,999 161,393 98,481
11810,79 9986,055 14250,05 10985,61 5502,604 5948,234 8211,672 9741,318 10457,22 12393,16 8714,135 6934,789 7095,819 4005,424 3404,828
43,382 197,01 207,976 66,961 155,135 147,145 111,939 81,299 65,515 51,034 27,58 23,6 20,38 511,301 12,67
12574,83 10837,27 15013,99 11236,23 5759,775 6186,795 8431,456 9935,039 10640,16 12562,27 8911,08 7127,065 7273,198 4678,118 3515,979
13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.500 13.500 13.500 12.200 10.500 16.500 10.200 8.600 7.800 4.800
99.200 165.400 135.400 62.000 62.000 57.400 79.200 79.200 79.200 79.200 79.200 192.000 192.000 192.000 195.000
115.200 117.400 159.200 149.800 149.800 189.000 260.800 230.400 230.400 146.200 153.200 137.000 160.800 160.800 163.200
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Perhitungan CPUE dapat dilakukan jika data hasil tangkapan dan jumlah upaya tangkap (trip) tiap alat tangkap diketahui. Nilai CPUE didapat dari hasil pembagian antara jumlah produksi per alat tangkap dengan satuan upayanya. Hasil perhitungan CPUE untuk kelompok sumberdaya ikan pelagis dapat dilihat
112
pada Lampiran 14 sedangkan perkembangan CPUE dari setiap alat tangkap yang
CPUE (Ton/trip)
diteliti dapat dilihat pada Gambar 17. 0,20 0,18 0,16 0,14 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00
Payang Gill net Pancing
Gambar 17. Perkembangan CPUE alat tangkap sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Dari hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) untuk sumberdaya ikan pelagis dapat dilihat bahwa penambahan effort pada setiap alat tangkap tidak menambah produksi secara signifikan. Gambar 17 menunjukan bahwa nilai CPUE pada setiap alat tangkap cukup rendah. Menurut Sparre dan Venema (1989), CPUE merupakan indeks kelimpahan stok ikan di perairan. Oleh karena itu, melalui nilai yang dihasilkan pada analisis ini dapat diartikan bahwa stok sumberdaya ikan pelagis di perairan Jakarta dapat dikatakan sudah mulai terancam keberlanjutannya sehingga upaya meningkatkan produksi bukanlah rekomendasi kebijakan yang tepat. 6.1.2
Standarisasi Upaya Penangkapan Perhitungan Fishing power indeks (FPI) diperlukan jika alat tangkap yang
mengeksploitasi sumberdaya ikan atau suatu jenis ikan tertentu jumlahnya lebih dari satu. FPI adalah tingkat kemampuan suatu alat tangkap dalam menangkap ikan atau suatu jenis ikan tertentu dalam waktu dan daerah penangkapan tertentu. Dalam perhitungan FPI perlu dipilih salah satu alat tangkap yang paling dominan dalam operasi penangkapan untuk dijadikan rujukan dalam menyeragamkan jumlah upaya penangkapan (effort) yang terjadi terhadap sumberdaya ikan tersebut. Dalam penelitian ini, alat tangkap yang dijadikan standar adalah jaring
113
insang sehingga jaring insang memiliki nilai FPI sama dengan satu. Nilai FPI dari alat tangkap yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran 15. Standarisasi upaya penangkapan adalah menyeragamkan besarnya nilai upaya penangkapan (effort) dari beberapa jenis alat tangkap yang berbeda ke satuan jenis alat tangkap yang menjadi standar. Nilai effort standar didapat dari hasil perkalian effort dengan nilai FPI dari setiap alat tangkap yang diteliti. Nilai effort standar dari setiap alat tangkap yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran 16. Alat tangkap jaring insang adalah alat tangkap yang dijadikan standar sehingga nilai effort standarnya adalah nilai effort aktualnya. Setelah didapat nilai standar dari effort pada setiap alat tangkap maka langkah selanjutnya adalah menjumlahkan nilai effort standar semua alat tangkap sehingga didapat nilai total effort standar yang diperlukan untuk perhitungan analisis bioekonomi selanjutnya. Hubungan antara effort standar (trip) dengan CPUE standar pada sumberdaya ikan pelagis digambarkan dalam persamaan y=-0,000000702x+0,179, secara grafis ditunjukkan pada Gambar 18. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Kondisi ini mengindikasikan sumberdaya ikan pelagis telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Hal ini karena peningkatan jumlah effort tidak diikuti dengan peningkatan jumlah produksi sehingga terjadi inefisiensi ekonomi dalam usaha penangkapan ikan. Nilai CPUE ini berbeda setiap tahunnya tergantung pada jumlah produksi dan jumlah effort yang digunakan.
114
Tabel 13. Tingkat produksi aktual, total effort standar dan CPUE standar sumberdaya ikan pelagis Tahun Produksi (ton) Effort SDT CPUE SDT 1997 12.574,827 105.617,267 0,119060 1998 10.837,265 179.498,674 0,060375 1999 15.013,985 142.658,687 0,105244 2000 11.236,229 63.414,453 0,177187 2001 5.759,775 64.897,647 0,088752 2002 6.186,795 59.702,095 0,103628 2003 8.431,456 81.319,774 0,103683 2004 9.935,039 80.775,013 0,122996 2005 10.640,162 80.585,527 0,132036 2006 12.562,273 80.280,770 0,156479 2007 8.911,080 80.989,970 0,110027 2008 7.127,065 197.323,448 0,036119 2009 7.273,198 196.799,554 0,036957 2010 4.678,118 224.245,587 0,020862 2011 3.515,979 201.365,797 0,017461 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
0,200
CPUE SDT(ton/trip)
0,150
y = -0,000000702x+0,179
0,100 0,050 0,000
CPUE SDT
Effort (trip)
Gambar 18. Hubungan antara CPUE standar dan Effort standar untuk sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 6.1.3 Estimasi Parameter Biologi Pendugaan parameter biologi dilakukan dengan menggunakan model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walters dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute. Adapun
115
parameter yang diestimasi meliputi tingkat pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K) dan koefisien daya tangkap (q). Selain itu juga dilakukan uji statistik untuk validitas data serta membandingkan biomas (x), produksi (h) dan Effort (E) pemanfaatan aktual dan optimal sumberdaya ikan dari tiap-tiap model. Analisis surplus produksi dengan menggunakan motode estimasi Algoritma Fox menggunakan data produksi aktual dan effort standar dalam kurun waktu Tahun 1997 sampai 2011 (Lampiran 1). Dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) pada Microsoft Excell didapatkan nilai koefisien α = 0,1789 dan koefisien β = -000000702 (Lampiran 2). Nilai α dan β yang yang diperoleh digunakan untuk menduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya (r) sebesar -2,85 koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,0000112, dan daya dukung perairan sebesar 15.962,85 ton (Lampiran 3). Pendugaan parameter biologi dengan metode CYP memerlukan nilai logaritma CPUE pada waktu t dan t+1 serta jumlah effort pada waktu t dan t+1 (Lampiran 4). Dari hasil OLS dengan menggunakan microsoft excell maka diperoleh nilai dari koefisien α = 1,064, koefisien β =0,1487 dan koefisien γ = -0,00000487 (Lampiran 5). Dari nilai-nilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya (r) sebesar 1,4821, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,00001696, dan daya dukung perairan sebesar 16.888,41 ton (Lampiran 6). Metode estimasi Walters dan Hilborn (W-H) memerlukan nilai perbandingan CPUE antara pada waktu t+1 dengan t serta jumlah effort pada waktu t (Lampiran 7). Nilai tersebut kemudian diregresikan dengan metode OLS menggunakan microsoft excell sehingga diperoleh nilai koefisien α = 0,1781, koefisien β = 2,0567 dan koefisien γ = -0,000000101 (Lampiran 8). Dari nilainilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya ikan pelagis (r) sebesar 0,1781, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar -0,000000101, dan daya dukung perairan sebesar 857.383,36 ton (Lampiran 9). Metode estimasi Schnute memerlukan nilai logaritma perbandingan antara CPUE t+1 dengan CPUE t, nilai rata-rata CPUE t+1 dengan CPUE t, serta nilai rata-rata effort t dan effort t+1 (Lampiran 10). Nilai tersebut kemudian
116
diregresikan dengan metode OLS menggunakan microsoft excell sehingga diperoleh nilai koefisien α = 0,991, koefisien β = 5,888 dan koefisien γ = 00000247 (Lampiran 11). Dari nilai-nilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya ikan pelagis (r) sebesar 0,9907, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,000002469, dan daya dukung perairan (K) sebesar -68,152,05 ton (Lampiran 12). Perbandingan hasil analisis data dan hasil uji statistik dengan menggunakan model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clark, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walter dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute pada sumberdaya ikan pelagis seperti disajikan pada Lampiran 13. Pemilihan metode estimasi yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual daerah penelitian yang pertama adalah harus logis secara apriori teori kemudian baru didasarkan pada hasil uji statistik. Berdasarkan kelogisan apriori teori dan hasil uji statistik maka metode yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual sumberdaya ikan pelagis adalah model estimasi CYP. Pemilihan metode estimasi CYP sebagai metode yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi Jakarta juga didukung dengan hasil uji statistiknya. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan empat metode estimasi maka didapat bahwa hasil analisis model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP) mempunyai nilai Rsquare yang paling besar dibandingkan dengan yang lain. Menurut Pindyck RS and DL Rubinfeld (1998), nilai determinasi atau Rsquare lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R square menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Nilai signifikan F digunakan untuk melihat apakah variabel-variabel yang digunakan berpengaruh terhadap model. Nilai sig F harus berada dibawah 0,05 (α=95%) yang berarti bahwa variabel-variabel yang digunakan berpengaruh terhadap model. Nilai sif F pada metode estimasi CYP adalah 0,001 sehingga memenuhi kententuan bahwa variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap model. Nilai adjusted R2 digunakan untuk memilih model terbaik dari keempat model yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai adj R2 maka semakin baik.
117
Model estimasi menggunakan metode CYP adalah model terbaik mempunyai nilai adj R2 terbesar dibandingkan ketiga model lainnya. 6.1.4 Estimasi Parameter Ekonomi Parameter ekonomi yang digunakan dalam analisis bioekonomi adalah rata-rata harga ikan per ton dan rata-rata biaya per trip penangkapan. Harga yang digunakan untuk mengestimasi parameter ekonomi adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang diperoleh dilapangan dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar 2007. Langkah berikutnya adalah melakukan penyesuaian dengan IHK sehingga diperoleh nilai biaya per trip dan harga per ton seperti yang disajikan dalam Tabel 14.
Tabel 14. Biaya per trip dan harga sumberdaya ikan pelagis Biaya Trip Tahun IHK IHK 2007 (Rp/trip) 1997 58,87 41,75 0,04580 1998 60,00 42,56 0,04668 1999 73,22 51,93 0,05697 2000 77,46 54,93 0,06026 2001 88,30 62,62 0,06869 2002 100,00 70,92 0,07780 2003 108,22 76,76 0,08420 2004 113,16 80,26 0,08804 2005 123,05 87,27 0,09573 2006 135,36 96,00 0,10531 2007 141,00 100,00 0,10970 2008 109,81 109,81 0,12046 2009 118,62 118,62 0,13012 2010 132,42 132,42 0,14526 2011 138,57 138,57 0,15201 2012 144,45 144,45 0,09247 Rata-rata Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 6.1.5
Harga (Juta Rp/ton) 3,55548 3,62388 4,42223 4,67798 5,33272 6,03954 6,53627 6,83434 7,43165 8,17512 8,51575 9,35114 10,10138 11,27656 11,80027 12,301 7,17829
Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya
penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi
118
lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologi saja sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan adalah parameter biologi dan ekonomi. Parameter biologi diantaranya parameter r, q, K, sedangkan parameter ekonomi seperti c (cost per-unit effort), harga riil (real price). Tabel 15. Parameter biologi dan ekonomi sumberdaya ikan pelagis dengan menggunakan metode estimasi CYP Nilai No Variabel Kendali Simbol Pelagis 1 Tingkat pertumbuhan 1,4820975 r 2 Koefisien kemampuan tangkap 0,0000170 q 3 Daya dukung lingkungan perairan 16.888 K 4 Harga per ton (juta Rp) 7,17829 p 5 Biaya per trip (juta Rp) 0,09247 c Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 MSY atau maximum sustainable yield merupakan hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan suatu stok sumberdaya perikanan yang berada dalam batas kelestarian. MSY dalam hal ini dihitung menggunakan fungsi pertumbuhan logistik. Fungsi pertumbuhan perikanan yang umum digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik dan fungsi produksi h = qXE. Dengan menggunakan fungsi pertumbuhan dan fungsi produksi tersebut dapat diketahui tingkat produksi lestari (h) sumberdaya perikanan yang merupakan fungsi dari tingkat upaya aktual yang dilakukan setiap tahun. Semakin tinggi upaya yang diusahakan (melebihi kondisi optimal) akan mengakibatkan terkurasnya sumberdaya perikanan sehingga tidak ada lagi yang dapat dimanfaatkan. Sebelum mengestimasi MSY, terlebih dahulu dilakukan estimasi parameter biologi. Selanjutnya hasil estimasi ini digunakan untuk mengestimasi tingkat upaya (effort) pada kondisi MSY. Fungsi produksi lestari (h msy ) dipengaruhi oleh tingkat effort (E) dengan adanya parameter biologi r, q, dan K secara kuadratik. Dengan memasukan nilai effort (E) tersebut maka akan diketahui tingkat produksi lestari dan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Jakarta. Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis seperti disajikan pada Tabel 16.
119
Tabel 16.Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis Tahun Effort (Et) Produksi Aktual (Ton) Produksi Lestari (Ton) 1997 105.617,27 12.574,83 -6.324,63 1998 179.498,67 10.837,27 -54.244,31 1999 142.658,69 15.013,99 -25.874,16 2000 63.414,45 11.236,23 4.980,21 2001 64.897,65 5.759,78 4.780,99 2002 59.702,10 6.186,80 5.415,58 2003 81.319,77 8.431,46 1.610,81 2004 80.775,01 9.935,04 1.744,34 2005 80.585,53 10.640,16 1.790,33 2006 80.280,77 12.562,27 1.863,81 2007 80.989,97 8.911,08 1.691,89 2008 197.323,45 7.127,07 -71.166,80 2009 196.799,55 7.273,20 -70.639,70 2010 224.245,59 4.678,12 -100.677,3 2011 201.365,80 3.515,98 -75.294,45 Rata-rata 8.978,88 -25.356,22 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa perubahan atau penambahan effort tidak selalu diikuti penambahan produksi. Tingkat effort yang tinggi diikuti dengan menurunnya nilai produksi lestari yang sangat signifikan. Berkurangnya nilai produksi lestari mengindikasikan bahwa pengurasan sumberdaya ikan yang terbatas telah terjadi di perairan Jakarta seiring dengan peningkatan effort karena peningkatan effort tidak seirama dengan rekruitmen atau daya pulih sumberdaya ikan yang dalam jangka panjang akan menimbulkan biological over fishing. Dari Gambar 19 diketahui, adanya ekspansi yang sangat tinggi dengan peningkatan effort yang menyebabkan produksi lestari berada di bawah titik nol. Hal ini berarti keseimbangan sudah berada di sebelah kanan MSY dan di luar kurva produksi lestari yang menunjukkan pola pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis menuju open access.
120
40.000,00 20.000,00 -
Produksi (Ton)
(20.000,00) (40.000,00)
Produksi Lestari
(60.000,00)
Produksi Aktual
(80.000,00) (100.000,00) (120.000,00)
Effort (Trip)
Gambar 19. Perbandingan jumlah produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data (2013) 6.1.6
Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilihat dari
rezim maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY) dan open access. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi penguasaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan. Parameter ekonomi dimasukkan dalam analisis ini agar diketahui tingkat optimal dari nilai manfaat atau rente pemanfaatan sumberdaya perikanan yang diterima oleh masyarakat nelayan sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan mampu
mencapai
tujuan
akhirnya
yaitu
peningkatan
pendapatan
dan
kesejahteraan masyarakat nelayan. Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan pelagis secara ringkas disajikan dalam Tabel 17. Pada Tabel 17 terlihat tingkat produksi yang berbeda dari masing-masing rezim pengelolaan. Rata-rata produksi aktual lebih rendah dibandingkan kondisi pengelolaan pada rezim OA dan MSY sehingga dapat dikatakan bahwa di perairan Provinsi DKI Jakarta telah terjadi over harvested dari sisi produksi. Berdasarkan besaran nilai rente yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner (MEY) adalah nilai yang tertinggi dibandingkan dengan kondisi lainnya.
121
Selain itu, pada kondisi MEY, jumlah stok ikan di perairan menghasilkan jumlah yang paling banyak sehingga pengelolaan sumberdaya ikan secara statik di perairan Jakarta sebaiknya dikelola dengan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner. Tabel 17. Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rezim sumberdaya ikan pelagis dengan metode estimasi CYP Rezim Pengelolaan x (ton) h (ton) E (trip) 8.823,85 6.244,92 41.715,85 Sole Owner (MEY) 759,28 1.074,74 83.431,70 Open Acces (OAY) 8.444,21 6.257,57 43.679,64 MSY 3.515,88 201.360,07 Aktual Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
pengelolaan π (juta Rp) 40.970,44 40.879,65 6.618,56
Pada kondisi MEY (Sole Owner), jumlah stok ikan pelagis adalah 8.823,85 ton dengan hasil tangkapan sebesar 6.244,92 ton, jumlah upaya tangkap yang diperbolehkan sebanyak 41.716 trip agar mendapatkan nilai rente yang sebesar Rp40.970,44 juta. Rezim Open Access hanya menghasilkan biomassa optimal pada sumberdaya ikan pelagis sebanyak 759,28 ton dengan tingkat produksi optimal yang bisa didapat adalah sebesar 1.074,74 ton, jumlah upaya tangkap pada rezim open access sebanyak 83.431,70 trip tetapi rente ekonomi yang diperoleh jika menerapkan rezim ini adalah Rp 0,-. Pada kondisi MSY, stok ikan pelagis adalah 8.444,21 ton dengan hasil tangkapan optimal sebesar 6.257,57 ton dan jumlah upaya tangkap yang diperbolehkan sebanyak 43.680 trip dengan rente ekonomi optimal yang didapat sebesar Rp 40.879,65 juta. Pada Gambar 20, terlihat effort pada kondisi aktual berada di atas kondisi MEY, MSY dan open access. Rata-rata effort aktual sudah melebihi dua kali lipat dari kondisi optimal MEY. Berdasarkan Gambar 20 juga terlihat bahwa peningkatan jumlah effort tidak diikuti dengan penambahan jumlah produksi bahkan jumlah produksi semakin berkurang. Padahal penambahan effort akan meningkatkan biaya operasional yang berdampak pada penurunan tingkat keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan perbadingan kondisi aktual dengan kondisi optimal maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas penangkapan sumberdaya ikan pelagis di Provinsi DKI Jakarta telah mengalami biological dan economic overfishing.
122
catch (ton), effort (trip)
40.000,00
200.000,00
35.000,00 30.000,00
150.000,00
25.000,00 20.000,00
100.000,00
15.000,00
rente ekonomi (juta Rp)
45.000,00
250.000,00
Produksi Effort Rente Ekonomi
10.000,00
50.000,00
5.000,00 -
MEY
OAY
MSY
Aktual
Gambar 20. Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis di perairan Jakarta menurut metode estimasi CYP Sumber : Hasil Analisis Data (2013) 6.1.7
Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagis Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi untuk sumberdaya ikan pelagis
dapat dilihat pada Lampiran 17. Pada sumberdaya ikan pelagis, koefisien rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi tiap tahun secara berturut-turut mencapai 0,65 dan 0,67. Nilai rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis berada di atas batas toleransinya. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis di Perairan Jakarta telah terdegradasi dan terdepresiasi. Secara grafis ditunjukkan Gambar 21. Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis berfluktuatif, Tahun 1997 sampai dengan Tahun 1999, laju degradasi dan depresiasi berada di atas batas toleransinya. Pada tahun 2000 sampai dengan Tahun 2007, laju degradasi dan depresiasi berada di bawah batas angka toleransinya tetapi kemudian meningkat tajam pada Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2011.
123
Laju Degradasi, Laju Depresiasi
1,20 1,00 0,80 0,60
Laju Degradasi Laju Depresiasi
0,40
Bench Marking
0,20 0,00
Gambar 21. Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Pada Gambar 21 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis yang hampir sama karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi, ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan pelagis akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan.
6.2
Sumberdaya Ikan Demersal Sumberdaya ikan demersal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
semua ikan yang termasuk dalam kelompok ikan demersal dan kelompok udang, cumi dan rajungan menurut Naamin (1987). Untuk sumberdaya ikan demersal maka jumlah produksi ikan yang akan dianalisis adalah jumlah produksi ikan yang ditangkap oleh muroami (termasuk bagan dan sero), bubu, rampus dan dogol. Pemilihan alat tangkap ini didasarkan pada pertimbangan bahwa alat tangkap ini masih dominan digunakan oleh nelayan Jakarta dan sebagian besar hasil tangkapannya bersumber dari perairan Jakarta. Muroami dimasukkan dalam perhitungan bioekonomi dengan pertimbangan bahwa (1) muroami masih banyak digunakan oleh nelayan Jakarta walaupun jumlah dan produksinya pada Tahun 2012 tidak dicantumkan dalam buku statistik perikanan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012, (2) hingga Tahun 2010, data produksi dan jumlah trip muroami
124
cukup besar. Pada sumberdaya ikan demersal, alat tangkap yang dijadikan standar adalah muroami. Pemilihan alat tangkap standar ini dengan pertimbangan bahwa muroami memiliki jumlah trip terbanyak dibandingkan dengan alat tangkap lain dan dioperasikan sepanjang tahun. 6.2.1
Produksi dan Upaya penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi
adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap oleh alat tangkap yang diteliti. Data upaya penangkapan untuk perhitungan analisis bioekonomi diperoleh dengan cara mengumpulkan data rata-rata jumlah trip per alat tangkap per tahun kemudian dikalikan dengan jumlah alat tangkap yang beroperasi. Data produksi dan jumlah trip untuk sumberdaya ikan demersal seperti terlihat pada Tabel 18 dan Tabel 19.
Tabel 18. Produksi sumberdaya ikan demersal Tahun
Muroami Dogol 1997 1.833,585 1998 772,307 1999 912,304 2000 481,698 2001 547,994 2002 732,234 2003 651,028 2004 703,252 350,518 2005 454,754 324,157 2006 1.286,268 335,857 2007 4.305,419 259,998 2008 3.763,104 245,881 2009 9.196,365 251,978 2010 15.157,291 239,059 2011 20.526,226 126,725 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Produksi (ton) Bubu Rampus 125,041 431,779 211,093 851,716 493,147 1.045,742 588,513 1.157,243 662,628 912,614 984,601 1.280,685 1.074,719 224,542 921,016 99,680 556,222 141,419 436,592 264,963 516,235 22,987 274,045 312,872 219,956 194,650 -
Total 1.958,626 983,400 1.405,451 1.070,211 1.210,622 1.716,835 1.725,747 1.974,786 1.335,133 2.058,717 5.081,652 4.283,030 9.761,215 15.616,306 20.847,601
125
Tabel 19. Upaya tangkap sumberdaya ikan demersal Tahun
Muroami 1997 42.600 1998 43.500 1999 49.500 2000 20.200 2001 22.700 2002 23.600 2003 32.700 2004 28.600 2005 28.600 2006 28.400 2007 29.400 2008 32.000 2009 52.000 2010 99.200 2011 113.400 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Upaya Tangkap (trip) Dogol Bubu 135.250 155.750 134.350 137.900 140.400 136.950 188.900 18.050 172.300 22.850 168.750 22.850 135.500 22.850 135.500 24.850 123.150 24.850 46.200 24.850 46.200 24.850 46.200
Rampus 26.400 25.600 26.645 32.098 26.500 35.678 39.600 22.300 22.400 21.400 21.400 -
Hasil perhitungan CPUE untuk kelompok sumberdaya ikan demersal dapat dilihat pada Lampiran 18 sedangkan perkembangan CPUE dari setiap alat tangkap
CPUE (ton/trip)
yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 22.
0,200 0,180 0,160 0,140 0,120 0,100 0,080 0,060 0,040 0,020 0,000
Muroami Bouke Ami Dogol Bubu Rampus
Gambar 22. Perkembangan CPUE alat tangkap sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
126
Dari hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) untuk sumberdaya ikan demersal dapat dilihat bahwa penambahan effort pada setiap alat tangkap tidak menambah produksi secara signifikan. Gambar 22 menunjukan bahwa nilai CPUE pada setiap alat tangkap cukup rendah. Menurut Sparre dan Venema (1989), CPUE merupakan indeks kelimpahan stok ikan di perairan. Oleh karena itu, melalui nilai yang dihasilkan pada analisis ini dapat diartikan bahwa stok sumberaya ikan demersal di perairan Jakarta dapat dikatakan sudah mulai terancam keberlanjutannya. 6.1.2
Standarisasi Upaya Penangkapan Dalam perhitungan FPI perlu dipilih salah satu alat tangkap yang paling
dominan
dalam
operasi
penangkapan
untuk
dijadikan
rujukan
dalam
menyeragamkan jumlah upaya penangkapan (effort) yang terjadi terhadap sumberdaya ikan tersebut. Dalam penelitian ini, alat tangkap yang dijadikan standar adalah muroami sehingga muroami memiliki nilai FPI sama dengan satu. Nilai FPI dari alat tangkap yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran 19. Standarisasi upaya penangkapan adalah menyeragamkan besarnya nilai upaya penangkapan (effort) dari beberapa jenis alat tangkap yang berbeda ke satuan jenis alat tangkap yang menjadi standar. Nilai effort standar didapat dari hasil perkalian effort dengan nilai FPI dari setiap alat tangkap yang diteliti. Hasil perhitungan effort standar pada setiap alat tangkap yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran 20. Nilai CPUE ini berbeda setiap tahunnya tergantung pada jumlah produksi dan jumlah effort yang digunakan. Dari Gambar 23 diketahui bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan demersal digambarkan dalam persamaan y=-0,00000078+0,1384x. Kondisi ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan demersal akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan demersal telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambar 23 juga menunjukkan bahwa CPUE sumberdaya ikan demersal juga mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya effort.
127
Tabel 20.Total produksi aktual, total effort standar dan CPUE standar sumberdaya ikan demersal Tahun Produksi (ton) Effort SDT CPUE SDT 1997 2.390,405 55.536,696 0,04304 1998 1.835,116 103.362,453 0,01775 1999 2.451,193 132.997,393 0,01843 2000 2.227,454 93.408,257 0,02385 2001 2.035,586 100.376,680 0,02028 2002 2.750,731 133.727,305 0,02057 2003 1.715,635 134.737,675 0,01273 2004 1.598,627 150.768,114 0,01060 2005 1.358,355 85.428,502 0,01590 2006 2.084,621 46.027,139 0,04529 2007 5.104,639 34.857,557 0,14644 2008 4.283,030 36.421,252 0,11760 2009 9.620,188 55.243,634 0,17414 2010 15.963,101 102.136,922 0,15629 2011 20.847,601 115.175,481 0,18101 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
CPUE Standar (ton/trip)
0,20000 0,15000 0,10000
y=-0,00000078+0,1384x 0,05000 CPUE SDT Linear (CPUE SDT)
Effort standar (trip)
Gambar 23. Hubungan CPUE standar dengan Effort standar sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analsiss Data, 2013
6.1.3 Estimasi Parameter Biologi Analisis surplus produksi dengan menggunakan motode estimasi Algoritma Fox didapatkan nilai koefisien α = 0,1384 dan koefisien β=-,00000078 untuk sumberdaya ikan demersal (Lampiran 19). Nilai α dan β yang yang diperoleh digunakan untuk menduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya
128
(r) sebesar -1,927 koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,0000108, dan daya dukung perairan sebesar 12.797,55,67 ton (Lampiran 20). Pendugaan parameter biologi dengan metode CYP menghasilkan nilai koefisien α = 0,1481, koefisien β =0,716 dan koefisien γ = -0,00000534 (Lampiran 22). Dari nilai-nilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya (r) 0,3309, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,00001245, dan daya dukung perairan sebesar 135.237,04 ton (Lampiran 23). Metode estimasi Walters dan Hilborn (W-H) menghasilkan nilai koefisien α = 1,438, koefisien β = 5,588 dan koefisien γ = -0,00000913 (Lampiran 25). Dari nilai-nilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya ikan (r) sebesar 1,438, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar -0,00000913, dan daya dukung perairan (K) sebesar 28.179,47 ton (Lampiran 26). Metode estimasi Schnute menghasilkan nilai koefisien α = 0,8186, koefisien β = 1,1469 dan koefisien γ = -0,00000695 (Lampiran 28). Dari nilainilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik (r) sebesar 0,8186, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,00000695, dan daya dukung perairan sebesar 102.677,51 ton (Lampiran 29). Perbandingan hasil analisis data dan hasil uji statistik dengan menggunakan model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walters dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute dapat dilihat pada Lampiran 30. Pemilihan metode estimasi yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual daerah penelitian yang pertama adalah harus logis secara apriori teori kemudian baru didasarkan pada hasil uji statistik. Berdasarkan kelogisan apriori teori maka metode yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual sumberdaya ikan demersal adalah model estimasi Schnute. 6.2.4 Estimasi Parameter Ekonomi Parameter ekonomi yang digunakan dalam analisis bioekonomi adalah rata-rata harga ikan per ton dan rata-rata biaya per trip penangkapan. Untuk mendapatkan rata-rata harga ikan per ton digunakan metode rata-rata tertimbang. Biaya per trip penangkapan didapat dari hasil wawacara dengan nelayan terpilih kemudian diambil rata-rata biaya per trip dari setiap unit penangkapan.
129
Komponen biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Harga yang digunakan untuk mengestimasi parameter ekonomi adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang diperoleh dilapangan dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar 2007. Langkah berikutnya adalah melakukan penyesuaian dengan IHK sehingga diperoleh nilai biaya per trip dan harga per ton seperti yang disajikan dalam Tabel 21. Tabel 21. Biaya per trip dan harga sumberdaya ikan demersal Biaya Trip Tahun IHK IHK 2007 (Rp/trip) 1997 58,87 41,75 0,0419 1998 60,00 42,56 0,0427 1999 73,22 51,93 0,0521 2000 77,46 54,93 0,0551 2001 88,30 62,62 0,0628 2002 100,00 70,92 0,0711 2003 108,22 76,76 0,0770 2004 113,16 80,26 0,0805 2005 123,05 87,27 0,0875 2006 135,36 96,00 0,0962 2007 141,00 100,00 0,1003 2008 109,81 109,81 0,1101 2009 118,62 118,62 0,1189 2010 132,42 132,42 0,1328 2011 138,57 138,57 0,1389 2012 144,45 Rata-rata 0,0845 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
6.2.5
Harga (Juta Rp/ton) 2,9060 2,9619 3,6144 3,8235 4,3586 4,9363 5,3423 5,5859 6,0741 6,6818 6,9602 7,6430 8,2562 9,2167 9,6447 10,0540 5,8670
Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi
lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologi saja sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan adalah parameter biologi dan ekonomi. Parameter biologi diantaranya parameter r, q, K,
130
sedangkan parameter ekonomi seperti c (cost per-unit effort), harga riil (real price).
Tabel 22.Parameter biologi dan ekonomi sumberdaya ikan demersal dengan menggunakan metode estimasi Schnute No
Variabel Kendali
1 Tingkat pertumbuhan 2 Koefisien kemampuan tangkap 3 Daya dukung lingkungan perairan 4 Harga per ton (juta Rp) 5 Biaya per trip (juta Rp) Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Simbol
Nilai
r q K p c
0,819 0,0000067 102.677,51 5,87 0.085
Berdasarkan Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa perubahan atau penambahan effort tidak selalu diikuti penambahan produksi. Tingkat effort yang tinggi diikuti dengan menurunnya nilai produksi lestari yang sangat signifikan. Berkurangnya nilai produksi lestari mengindikasikan bahwa pengurasan sumberdaya ikan yang terbatas telah terjadi seiring dengan peningkatan effort karena peningkatan effort tidak seirama dengan rekruitmen atau daya pulih sumberdaya ikan yang dalam jangka panjang akan menimbulkan biological overfishing. Secara grafis ditunjukkan oleh Gambar 24.
131
Tabel 23. Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan demersal Tahun Effort Produksi Aktual Produksi Lestari (Et) 1997 55.537 2.390,41 20.946,33 1998 103.362 1.835,12 9.019,01 1999 132.997 2.451,19 (12.286,60) 2000 93.408 2.227,45 13.786,65 2001 100.377 2.123,24 10.575,19 2002 133.727 2.997,52 (12.945,71) 2003 134.738 1.950,29 (13.868,73) 2004 150.768 2.074,47 (30.169,18) 2005 85.429 1.476,55 16.741,13 2006 46.027 2.323,68 20.012,88 2007 34.858 5.104,64 17.516,37 2008 36.421 4.283,03 17.956,93 2009 55.244 9.761,22 20.933,94 2010 102.137 15.616,31 9.670,83 2011 115.175 20.847,60 1.802,38 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 30.000,00 20.000,00 10.000,00 (10.000,00)
Produksi Lestari Produksi Aktual
(20.000,00) (30.000,00) (40.000,00)
Gambar 24. Perbandingan tingkat produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 6.2.6
Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Demersal Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut dari berbagai rezim
pengelolaan sumberdaya ikan demersal di Provinsi DKI Jakarta secara ringkas disajikan dalam Tabel 24.
132
Tabel 24. Hasil Analisis bioekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan demersal dengan metode estimasi Schnute Rezim Pengelolaan x (ton) h (ton) E (trip) π (juta Rp) Sole Owner (MEY) 52.374,74 21.005,47 57.690 118.364,59 Open Acces (OAY) 2.071,97 1.661,97 115.381 0,00 MSY 51.338,76 21.014,03 58.879 118.314,38 Aktual 20.847,60 115.175 112.580,27 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Pada kondisi MEY (Sole Owner), jumlah stok ikan demersal di perairan Jakarta adalah sebanyak 52.374,74 ton dengan hasil tangkapan sebesar 21.005,47 ton untuk jumlah upaya tangkap sebanyak 57.690 trip sehingga nilai rente yang didapatkan adalah sebesar Rp118.364,59 juta. Rezim Open Access hanya menghasilkan biomassa optimal sebanyak 2.071,97 ton dengan tingkat produksi optimal yang bisa didapat adalah sebesar 1.661,97 ton dengan jumlah upaya tangkap sebanyak 115.381trip. Rente ekonomi yang diperoleh jika menerapkan rezim open access adalah Rp 0,-. Pada kondisi MSY, stok ikan demersal adalah 51.338,76 ton dengan hasil tangkapan optimal sebesar 21.014,03 ton dan jumlah upaya tangkap yang diperbolehkan sebanyak 58.879 trip dengan rente ekonomi optimal yang didapat sebesar Rp118.314,38 juta. Dengan membandingkan kondisi aktual dan kondisi optimal maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas penangkapan ikan demersal di DKI Jakarta sudah mengalami biological overfishing. Tingkat effort aktual sudah melebihi tingkat effort optimal tetapi kenaikan tingkat effort (input) tidak diimbangi dengan kenaikan tingkat produksi. Hal ini dapat dilihat dari tingkat produksi aktual yang lebih rendah dari tingkat produksi optimal sehingga keuntungan aktual lebih rendah dari keuntungan optimal. Dengan demikian aktivitas penangkapan ikan demersal di perairan Jakarta dapat dikatakan sudah mengalami economic overfishing (Gambar 25).
140.000,00
140.000,00
120.000,00
120.000,00
100.000,00
100.000,00
80.000,00
80.000,00
60.000,00
60.000,00
40.000,00
40.000,00
20.000,00
20.000,00
Produksi Effort Rente Ekonomi
-
MEY
Gambar 25.
rente ekonomi (juta Rp)
catch (ton), effort (trip)
133
OAY
MSY
Aktual
Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan demersal di perairan Jakarta menggunakan metode estimasi Schnure Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
6.2.7Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Perikanan Demersal Sumberdaya perikanan demersal di Perairan Jakarta diperkirakan sudah mengalami degradasi dan depresiasi. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan per upaya tangkap. Penurunan tersebut disebabkan input yang semakin meningkat (over capacity) juga karena semakin tingginya tingkat pencemaran di Perairan Jakara yang secara tidak langsung berdampak pada penurunan hasil tangkapan. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba menganalisis laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan demersal di Perairan Jakarta. Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi untuk sumberdaya ikan demersal dapat dilihat pada Lampiran 34. Pada sumberdaya ikan demersal, koefisien rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi tiap tahun adalah 0,33. Nilai dari laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan demersal yang berada di bawah batas toleransinya menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal di Perairan Jakarta belum terdegradasi dan terdepresiasi. Hasil analisis ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa Teluk Jakarta adalah perairan yang subur karena banyak menerima masukan bahan organik dari tiga belas sungai yang bermuara sehingga Teluk Jakarta merupakan habitat yang sesuai untuk sumberdaya perikanan terutama sumberdaya ikan demersal. Laju
134
degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan demersal secara grafis ditunjukkan Gambar 26. 1,200 1,000 0,800 0,600 0,400
Laju Degradasi Laju Depresiasi Bench Marking
0,200 0,000
Gambar 26. Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya perikanan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Pada Gambar 26 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya perikanan demersal yang hampir sama karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi, ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan demersal akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan.