54
V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI 5. by1. Kondisi Umum Wilayah Penelitian 5.1.1. Kondisi Geografis Wilayah Penelitian Wilayah Kecamatan Sadang memiliki luas 5.7212,8 Ha yang terbagi menjadi 7 wilayah administrasi yaitu Desa Pucangan, Seboro, Wonosari, Sadangkulon, Cangkring, Sadangwetan dan Kedunggong. Kondisi Geografis Kecamatan Sadang dari ke 7 desa tersebut semuanya berada wilayah pegunungan, Desa terluas adalah Desa Seboro dengan luas Wilayah ; 1500,500 Ha, sedangkan desa terkecil adalah Desa Sadangwetan dengan Luas Wilayah 522,448 Ha. Diantara 7 Desa yang ada di Kecamatan Sadang desa yang terjauh dari Kecamatan Sadang yaitu Desa Kedunggong dengan jarak 6,5 Km. Pusat pemerintahan Kecamatan Sadang berada di Desa Sadangkulon berjarak 30 Km dari Kota Kabupaten Kebumen. Desa Sadangkulon berada di ketinggian 89,23 meter dpl (termasuk daerah lereng/perbukitan) dengan luas wilayah 845,0 Ha. Wilayah Kecamatan Sadang berbatasan dengan dua kabupaten dan satu kecamatan yaitu : Kabupaten Wonosobo (Sebelah Timur), Kecamatan Karangsambung (sebelah Barat), Kabupaten Banjarnegara (sebelah Utara), dan Kecamatan Karangsambung (Sebelah Selatan). Desa Sadang Kulon memiliki luas lahan sawah 432,88 ha terdiri dari 65,88 ha sawah irigasi dan 367,00 sawah non irigasi dan luas lahan kering 734,23 ha (394,25 ha merupakan lahan tegalan). Sesuai dengan karakteristik lahan, terdapat dua komoditi pangan utama yang diusahakan petani di Kecamatan Sadang yakni padi dan ubi kayu. Luas areal padi 139.60 ha dengan jumlah produksi padi 675,00 kg, sedangkan luas areal ubikayu 130 ha dengan jumlah produksi ubikayu 2.021 kg (BPS Sadang , 2012). Jumlah penduduk Desa Sadang Kulon adalah 2538 jiwa dengan jumlah rumahtangga 738. Berdasarkan indikator kemiskinan BPS, jumlah rumahtangga sasaran yang digolongkan sebagai rumahtangga miskin adalah 383 rumahtangga dimana 85% atau 345 rumahtangga miskin dari rumahtangga sasaran adlah rumahtangga petani (BPS Sadang, 2012).
55
5.1.2. Kondisi Ketahanan Pangan Wilayah Penelitian Permasalahan ketahanan pangan menjadi permasalahan turunan pada daerah-daerah miskin di Kabupaten Kebumen sehingga pemerintah mencoba tanggap dengan melaksanakan program penanggulangan kemiskinan
yang
bertujuan secar langsung maupun tidak langsung pada ketahanan pangan rumahtangga seperti PUAP dan raskin. Dalam tabel berikut dinyatakan bahwa Kecamatan Sadang merupakan daerah rawan pangan yang mengalami perbaikan prioritas kerawanan pangan.
Tabel 3. Perkembangan Daerah Rawan Pangan berdasarkan Indikator Ketahanan Pangan Badan Ketahanan Pangan No
1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan
Padureso Pejagoan Sadang Karangsambung Karanggayam
Indeks Ketahanan Pangan 2011 0.45 0.44 0.34 0.34 0.42
Indeks Ketahanan Pangan 2012
Tingkat Kerawanan Pangan 2011
Tingkat. Kerawanan Pangan 2012
0.46 0.43 0.29 0.36 0.53
Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 4
Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 3
Sumber : Badan Ketahanan Pangan, 2011-2012 Badan Ketahanan Pangan (BKP) memiliki sembilan indikator untuk menganalisis tingkat kerawanan pangan suatu wilayah yakni ketersediaan pangan utama, kemiskinan, kondisi jalan, ketersediaan fasilitas listrik, angka buta huruf, angka harapan hidup, angka kesehatan balita, fasilitas air bersih dan fasilitas kesehatan. Indikator kemiskinan menjadi indikator penting dalam menganalisis ketahanan pangan karena indeks kemiskinan menandakan akses ekonomi rumahtangga atau wilayah tersebut terhadap pangan yang tersedia.
5.1.3. Demografi Rumahtangga Petani Sampel di Wilayah Penelitian Rumahtangga petani sampel mempunyai variasi dalam usia KK, namun untuk jumlah anggota keluarga, pendidikan KK, jumlah angkatan kerja dalam keluarga dan jumlah anak sekolah yang relatif homogen. Persentase umur KK terbesar berada di usia produktif, yakni 25-55 tahun (35 KK), sementara lima kepala keluarga lainnya memiliki usia di atas 55 tahun. Pendidikan kepala keluarga petani sampel umumnya relatif rendah sehingga penguasaan kepala keluarga
56
terhadap lapangan kerja selain sektor pertanian dan berburuh relatif rendah. Rumahtangga sampel umumnya memberdayakan anggota keluarga pada usia produktif sebagai angkatan kerja untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga . Pada rumahtangga sampel, anak yang masih dalam tanggungan biaya sekolah umumnya berada pada tingkat SD dan SMP. Karakteristik keluarga akan menjadi faktor penentu keputusan produksi dan konsumsi rumahtangga pertanian.
Tabel 4. Karakteristik Demografi Rumahtangga Petani Sampel Uraian Jumlah Anggota Keluarga (orang) Umur KK (tahun) Pendidikan KK Jumlah Anak Sekolah (orang) Jumlah Angkatan Kerja (orang)
2-6 28-60 SD-SMP 1-3 1-2
5.2. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sampel Perilaku ekonomi rumahtangga petani terdiri dari kegiatan produksi yang dipengaruhi luas garapan, kegiatan konsumsi atau pengeluaran rumahtangga dan kegiatan menabung. Alokasi tenaga kerja keluarga pada kegiatan produktif pertanian dan non pertanian akan membentuk pendapatan rumahtangga. Sementara dari konsumsi pangan rumahtangga dapat dianalisis kecukupan energi dan protein anggota rumahtangga sebagai indikator hasil ketahanan pangan yang mencerminkan pola konsumsi pangan rumahtangga petani sampel.
5.2.1. Luas Garapan dan Produksi Usahatani Padi Usahatani padi merupakan usahatani utama rumahtangga petani sampel. Faktor kepemilikan lahan akan menentukan produksi yang akan dihasilkan sehingga mendukung indikator ketersediaan pangan. Lahan merupakan akses fisik bagi rumahtangga petani yang menetukan tingkat ketahanan pangan rumahtangga. Luas garapan dan produksi ditampilkan pada Tabel 5.
57
Tabel 5. Luas Garapan dan Produksi Padi No. Uraian 1. 2.
Luas Garapan (ha) Produksi Padi (Kg/Th)
0.210 488.5
Tabel 5 menyajikan luas garapan dan produksi rata-rata yang menjelaskan petani sampel adalah petani gurem yang mempunyai luas lahan kurang dari 0,25 ha sehingga hasil produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. 92,5 % atau 37 petani adalah petani subsisten yang mengkonsumsi seluruh produksi padinya guna memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga. Terdapat tiga rumahtangga yang menjual gabahnya di pasar sebagai sumber pendapatan rumahtangga dari usahatani padi.
Tabel 6. Luas Garapan Petani yang Melakukan Penjualan Gabah Uraian Luas Garapan (ha) Produksi Padi (kg/th) Produksi Padi Tidak Dijual (kg/th) Produksi Padi Dijual (kg/th) Penerimaan dari padi yang dijual (Rp/Th)
0.25 640 583 56.67 226 667
Berdasarkan Tabel 8 dinyatakan bahwa rata-rata produksi padi yang dijual (dalam bentuk gabah) oleh petani hanya 8 % dari total produksi. Petani menjual dalam bentuk gabah setelah kebutuhan pangan anggota keluarga terpenuhi dan penjualan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti biaya pendidikan.
5.2.2. Alokasi Tenaga Kerja Alokasi tenaga kerja atau dalam hal ini menunjukan curahan jam kerja merupakan keputusan ekonomi yang penting dalam rumahtangga pertanian karena hal ini menandakan upaya rumahtangga mengelola angkatan kerja yang dimiliki dalam
menjalankan
aktifitas
produktif
guna
meningkatkan
pendapatan
rumahtangga. Tenaga kerja keluarga akan menjadi supply pada pasar tenaga kerja non pertanian dan demand pada usahatani padi.
58
Tabel 7. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga Pada Kegiatan Produktif dalam 1 Tahun No 1. 2. 3. 4.
Alokasi Waktu Tenaga Kerja Usahatani Padi Usahatani Non Padi Berburuh Pertanian Berburuh Non Pertanian
Jam/Tahun 21.80 150.75 98.70 177.90
Dalam rumahtangga pertanian, alokasi sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki diprioritaskan untuk usahatani yang dikelola.. Namun demikian, rumahtangga petani juga memiliki alokasi waktu bekerja di luar sektor pertanian untuk meningkatkan pendapatan. Bagi rumahtangga petani yang mempunyai alokasi waktu bekerja di luar sektor pertanian atau alokasi waktu sebagai buruh tani di lahan orang lain, mereka akan menyewa tenaga kerja luar keluarga untuk mengelola usahatani padinya sehingga berimplikasi pada peningkatan biaya usahatani padi. Pada rumahtangga sampel, 90 % rumahtangga atau 36 rumahtangga menyewa tenaga kerja luar keluarga untuk mengelola usahatani padi khususnya untuk kegiatan mengolah lahan dan perawatan pasca panen. Selain untuk kegiatan pertanian, 22,5 % rumahtangga petani sampel atau 9 rumahtangga menggunakan alokasi waktu tenaga kerja dalam keluarga untuk kegiatan berburuh non pertanian. Sedangkan untuk kegiatan berburuh pertanian 27,5 % atau 11 rumahtangga sampel mengalokasikan waktu tenaga kerja keluarga untuk kegiatan berburuh di sektor kehutanan.
5.2.3. Sumber Pendapatan Rumahtangga Pendapatan rumahtangga merupakan hasil dari kegiatan produktif angkatan kerja keluarga yang akan digunakan untuk kegiatan konsumsi rumahtangga, keperluan produksi selanjutnya dan tabungan. Jika dikaitkan dengan indikator ketahanan pangan, pendapatan rumahtangga merupakan faktor penentu, dimana pendapatan mencerminkan daya beli pangan rumahtangga. Tabel 8 menjelaskan diversifikasi usaha petani sampel. Petani sampel merupakan petani dengan usahatani utama tanaman padi, dimana 92,5 % atau 37 rumahtangga petani mengkonsumsi seluruh produksi padi guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga, hanya 7,5 % atau 3 rumahtangga petani yang menjual gabah guna memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak seperti biaya
59
pendidikan. Selain usahatani padi, 67,5 % rumahtangga petani atau 27 rumahtangga memiliki usahatani non padi berupa tanaman tahunan seperti singkong, jahe, dan kencur. Menurut Siswati (2012), diversifikasi usahatani memungkinkan peningkatan pendapatan pertanian. Usahatani singkong pada daerah penelitian tidak memberi keuntungan bagi petani karena seluruh petani singkong menjual singkong dalam bentuk mentah sehingga mendapatkan harga rendah yang tidak mampu menutupi biaya usahatani. Pendapatan sektor pertanian lebih rendah dari pendapatan sektor non pertanian menunujukan penurunan peran relatif sektor pertanian dan meningkatnya peran sektor non pertanian yang disebabkan oleh (1) terbukanya akses perekonomian desa-kota sehingga kesempatan kerja semakin terbuka, (2) kecilnya investasi di sektor pertanian sehingga tidak memberikan nilai tambah, dan (3) perubahan kenaikan upah di sektor non pertanian lebih besar dari upah di sektor pertanian. Kegiatan produktif lain yang dilakukan oleh 22,5 % rumahtangga sampel atau 9 rumahtangga petani sampel sebagai sumber pendapatan adalah berburuh non pertanian dengan nilai upah di atas upah berburuh pertanian (upah berburuh pertania 15.000-30.000, sedangkan berburuh non pertanian di atas 35.000) sehingga berimplikasi pada peningkatan pendapatan rumahtangga.
Tabel 8. Pendapatan Rumahtangga Rata-rata Per Tahun Menurut Sumber No. 1. 2. 3. 4. 5.
Sumber Pendapatan
Nilai (Rp/Tahun)
Usahatani Padi Usahatani Non Padi Berburuh Pertanian Berburuh Non Pertanian Lainnya Pendapatan Total
1 152 569 64 150 1 630 500 1 068 000 4 847 200 8 763 419
Persentase dari Pendapatan Total (%) 13.15 0.73 18.60 12.18 55.31 100.00
Sejalan dengan temuan Nurmanaf (2005) yang menyatakan bahwa pendapatan berburuh non pertanian mencapai 58,3 % dari pendapatan rumahtangga. sebanyak 27,5 % rumahtangga sampel atau 11 rumahtangga menjadi buruh di sektor pertanian untuk menambah pendapatan rumahtangga. Sumber pendapatan lain dimiliki oleh 70 % atau 28 rumahtangga petani sampel yakni berasal dari usaha kecil dan pendapatan kiriman.
60
5.2.4. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga terdiri dari pengeluaran pangan, non pangan, dan investasi sumberdaya manusia. Termasuk pengeluaran pangan adalah nilai dari produksi padi yang dikonsumsi serta jumlah beras dibeli dan raskin. Struktur pengeluaran rumahtangga rata-rata per tahun dijelaskan pada Tabel 9.
Tabel 9. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Per Tahun (Rp) No.
1. 2. 3. 4.
Jenis Pengeluaran
Nilai (Rp/Tahun)
Pangan Non Pangan Pendidikan Kesehatan Total Pengeluaran Rumahtangga
3 907 850 7 529 475 1 646 550 61 525 13 145 400
Persentase dari Total Pengeluaran Rumahtangga (%) 29.73 57.27 12.52 0.46 100.00
Pengeluaran terbesar rumahtangga sampel adalah pengeluaran non pangan baik berupa pembayaran cicilan, kegiatan sosial, kebutuhan non pangan seperti kebutuhan sehari-hari, rokok dan minyak serta biaya transportasi. Sejalan dengan temuan Nurmanaf (2005) dan Hanani (2010) yang menyatakan bahwa pengeluaran non pangan rumahtangga petani lebih besar dari pengeluaran pangan karena keputusan rumahtangga untuk menyederhanankan pola konsumsi. Sementara untuk pengeluaran pendidikan hanya 12,52 % karena umumnya anak usia sekolah yang memiliki tanggungan biaya sekolah masih duduk di bangku SD-SMP sehingga biaya sekolah masih didukung oleh biaya operasional sekolah. Pengeluaran kesehatan relatif rendah disebabkan oleh dua hal, yakni pemanfaatan kartu berobat oleh masyarakat miskin dan keengganan masyarakat untuk berobat. Meurut
Rochaeni
(2005),
pengeluaran
investasi
sumberdaya
manusia
(pengeluaran pendidikan dan kesehatan) lebih kecil dari konsumsi pangan dan non pangan yakni hanya sebesar 22,77 %, sementara konsumsi pangan dan non pangan mencapai 50,52 % yang menandakan kesadaran rumahtangga petani untuk melakukan investasi sumberdaya manusia masih rendah.
61
5.2.5 Kecukupan Energi dan Protein Kecukupan konsumsi energi dan protein merupakan indikator hasil ketahanan pangan yang menunujukan pemanfaatan pangan yang dikonsumsi anggota keluarga. Penghitungan konsumsi energi dan protein berdasarkan nilai fisik makanan yang dikonsumsi anggota keluarga yang dikonversi berdasarkan nilai konversi bahan makanan yang ditetapkan Departemen Kesehatan. Standar ketahanan pangan berdasarkan Widyakarya Pangan Nasional 2008 adalah terpenuhinya konsumsi energi atau protein dengan persentase 70 % dari kebutuhan
energi
(2000
Kkal/kapita/hari)
atau
kebutuhan
protein
(52
gram/kapita/hari). Konsumsi energi menunjukan kandungan gizi dari jenis makanan yang dikonsumsi anggota keluarga baik sumber karbohidrat, protein dan sayuran yang merupakan hasil recall konsumsi rumahtangga selama seminggu yang dirata-ratakan, dimana setiap jenis makanan yang dikonsumsi diketahui nilai fisiknya untuk dikonversi dalam bentuk kalori dengan nilai konversi yang ditetapkan pada daftar komposisi bahan makanan (DKBM).
Tabel 10. Kecukupan Energi dan Protein No. 1. 2. 3. 4.
Uraian Konsumsi energi (Kkal/AEU/hr) Angka Kecukupan Energi (%) Konsumsi Protein (Gram/AEU/hr) Angka Kecukupan Protein (%)
Nilai 1 165.4740 58.2737 19.9985 38.4587
Rumahtangga petani sampel pada umumnya (90 %) mampu memenuhi kebutuhan beras anggota keluarga dari produksi padi yang tidak dijual, raskin dan beras yang dibeli di pasar. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, 2 rumahtangga sampel mencampur oyek (olahan singkong) pada proses pembuatan nasi. Namun untuk konsumsi protein, 80 % rumahtangga atau 32 rumahtangga sampel mengkonsumsi sumber protein seragam yakni tempe dan ikan asin yang memiliki angka kecukupan protein di bawah 70 % atau di bawah standar ketahanan pangan. Rumahtangga petani memilih tempe, tahu dan ikan asin sebagai menu rutin sebagai bentuk penyesuaian terhadap rendahnya pendapatan rumahtangga, sementara harga sumber protein hewani tergolong mahal untuk tingkat pendapatan rumahtangga petani.
62
5.2.6. Tabungan Rumahtangga Peran tabungan bagi rumahtangga adalah sebagai bentuk strategi bertahan hidup apabila kondisi ekonomi rumahtangga memburuk sementara rumahtangga memiliki kebutuhan mendesak (Faridi, 2005). Jumlah tabungan rumahtangga tidak hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan rumahtangga melainkan juga kepemilikan asset produktif. Rumahtangga petani sampel umumnya memiliki pendapatan terbatas sehingga hal ini menjadi kendala untuk menjadikan uang tunai sebagai sumber utama tabungan rumahtangga yang disimpan di bank. Nilai rata-rata dari berbagai sumber tabungan rumahtangga sampel pertahun dijelaskan di Tabel 11.
Tabel 11. Tabungan Rumahtangga No.
1. 2. 3.
Sumber Tabungan
Tabungan Tunai Asset Produktif Inventaris Rumahtangga Total Tabungan
Nilai (Rp/Th)
1 398 125 2 029 625 481 875 3 909 625
Persentase dari total tabungan (%) 35.76 51.91 12.33 100.00
Keberadaan tabungan berupa uang tunai bagi petani gurem memang jarang ditemukan, namun rumahtangga petani memiliki asset produktif dan inventaris rumahtangga yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun investasi sumberdaya manusia. Asset produktif yang dimiliki petani yakni hewan ternak seperi sapi, kambing, ayam dan itik yang dapat dijual sewaktu-waktu jika memiliki kebutuhan rumahtangga yang mendesak.
5.3. Perkembangan PUAP dan Raskin di Wilayah Penelitian 5.3.1. Perkembangan PUAP di Wilayah Penelitian Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) di lokasi penelitian telah berkembang dari Tahun 2009. Namun karena menemui kendala dalam hal pengembalian pinjaman oleh petani dan dilaksanakannya program ekonomi kerakyatan di bidang peternakan, peminjam dana PUAP di Desa Sadang Kulon mengalami penurunan.
63
Sebagian besar peminjam PUAP adalah petani tanaman pangan yang merupakan basis pertanian di wilayah penelitian. Sebagian besar petani tanaman pangan khususnya petani padi sebagai pangan utama berorientasi pada kebutuhan subsisten karena keterbatasan lahan yang diusahakan. Rendahnya pendapatan petani baik dari kegiatan usahatani maupun non usahtani menjadi kendala petani untuk melunasi cicilan pinjaman PUAP sehingga pada Tahun 2012, jumlah petani pangan khususnya petani dengan luas lahan kurang dari 0,25 ha yang meminjam PUAP mengalami penurunan.
Tabel 12. Perkembangan PUAP di Desa Sadang Kulon per Oktober 2011 No
Usaha Produktif
1. 2. 3. 4.
Budidaya Tanaman Pangan Budidaya Tanaman Hortikultura Industri Rumahtangga Pertanian Pemasaran Hasil Pertanian Skala Mikro
Penerima (Org) 258 5 24 7
Total
294
Nilai (Rp000) 318 450 3 600 27 600 5 350 335 000
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Kebumen, 2011
Tabel 13. Rekapitulasi Perkembangan Pinjaman PUAP oleh Petani Padi dengan Luas Lahan ≤ 0,25 ha per Maret 2012 No 1. 2. 3. 4.
Nama Kelompok Tani Karya Rukun Arto Tani Sri Rejeki Karya Tani Total Sumber : Laporan PUAP Gapoktan Satuhu, 2012
Petani Peminjam (orang) 5 20 8 17 50
Keseluruhan rumahtangga petani padi dengan luas lahan kurang dari 0,25 ha peminjam PUAP tersebut juga merupakan penerima raskin. Namun dari 50 petani tersebut, hanya 40 rumahtangga yang memiliki kelengkapan informasi untuk mengkonfirmasi data yang diperlukan dalam penelitian ini, sehingga jumlah seluruh sampel menjadi 40 rumahtangga petani. Persyaratan untuk mengajukan pinjaman PUAP tergolong mudah dengan syarat wajib tergabung di kelompok tani dan memiliki usaha produktif.
64
Selanjutnya calon peminjam mengajukan rancangan biaya kepada anggota Gapoktan pengelola PUAP sesuai dengan kebutuhan usaha.
Tabel 14. Penggunaan Dana PUAP Rumahtangga Petani Sampel No. 1. 2. 3.. 4.
Penggunaan Dana PUAP
Nilai (Rp/Tahun)
Usahatani Padi Usahatani Non Padi Usaha Kecil Konsumsi
581 250 243 750 267 500 188 750
Meskipun dalam pengajuan peminjaman dana PUAP, rumahtangga petani sampel mengajukan rancangan kebutuhan biaya untuk usahtani padi, namun pada kondisi di lapangan, 15 rumahtangga atau 37,5 % menggunakan pinjaman PUAP untuk usahatani non padi. Untuk usaha kecil, sebanyak 15 rumahtangga juga menggunakan dana PUAP yang semula diajukan untuk usahatani padi. Sebanyak 10 rumahtangga atau 25 % rumahtangga peminjam PUAP juga menggunakan dana PUAP untuk konsumsi non pangan seperti biaya pendidikan, pembayaran kredit motor dan membeli fasilitas rumahtangga. Dana PUAP yang diterima rumahtangga petani sampel mampu membantu usahatani padi karena 71 % dari biaya usahatani rata-rata/tahun dapat dipenuhi dari PUAP (biaya usahatani padi rata-rata per tahun dijelaskan pada Tabel 15).
Tabel 15. Biaya Usahatani Padi Rata-rata No. 1. 2. 3. 4.
Input Produksi
Nilai (Rp/Tahun) 185 000 500 000 32 500 100 000 817 500
Pupuk Tenaga Kerja Bibit Biaya Lain Total
5.3.2. Perkembangan Raskin di Wilayah Penelitian Beras
untuk
masyarakat
miskin
(raskin)
penanggulangan kemiskinan yang berorientasi
merupakan
program
pada pemenuhan kebutuhan
sesaat. Dalam juknis distribusi raskin, penerima raskin adalah rumahtangga sasaran (RTS) yang terdata sebagai daftar penerima manfaat (DPM). Sesuai dengan tujuannya, raskin diperuntukan bagi rumahtangga miskin dengan jumlah
65
15 kg/bulan/rumahtangga atau 50 % dari kebutuhan beras riil rata-rata rumahtangga dengan nilai tebus Rp 1600/Kg. Perkembangan distribusi raskin di lokasi penelitian dijelaskan oleh Tabel 16.
Tabel 16. Perkembangan Raskin di Desa Sadang Kulon per Juni 2012 No. 1. 2.
Kategori Rumahtangga Raskin Rumahtangga Sasaran Terdata Rumahtangga Penerima
Jumlah Rumahtangga Penerima 353 1 259
Jumlah Raskin/KK (Kg) 15 5
Nilai Tebus (Rp) 24 000 11 500
Pada lokasi penelitian, raskin tidak hanya diterima oleh rumahtangga sasaran yang terdaftar, melainkan juga didistribusikan pada sebagian besar masyarakat Desa Sadang Kulon (49,6 % dari total penduduk menerima raskin) sehingga jumlah raskin yang diterima setiap rumahtangga hanya 5 Kg setiap bulannya atau hanya memenuhi 16,67 % dari kebutuhan beras riil rata-rata rumahtangga. Hal ini sejalan dengan penelitian Hutagaol (2007) tentang studi pelaksanaan raskin di Provinsi Jawa Barat dimana raskin tidak hanya dibagikan pada rumahtangga sasaran sehingga setiap rumahtangga hanya menerima 10 kg/bulan.
5.4. Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani 5.4.1. Analisis Indikator Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Ketahanan pangan rumahtangga petani merupakan hasil dari keputusan ekonomi rumahtangga yakni kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan rumahtangga petani. Hasil analisis deskriptif kualitatif terhadap tingkat ketahanan pangan rumahtangga dengan indikator tahan pangan (1) ketersediaan pangan perbulan (KSPB) lebih dari kebutuhan beras riil perbulan (KBRB), (2) rasio pengeluaran pangan terhadap pendapatan (RPP) per bulan kurang dari atau sama dengan 60 % dan (3) angka kecukupan energi (AKE) lebih dari atau minimal sama dengan 70 %, dimana untuk menyesuaikan dengan pemenuhan konsumsi energi yang masih rendah oleh rumahtangga petani sampel di daerah penelitian, maka untuk angka kecukupan energi (AKE) tahan pangan adalah 65 % ke atas menunjukan bahwa 90 % dari rumahtangga sampel atau 36 rumahtangga mampu
66
memenuhi kebutuhan pangan utama yakni beras baik dari hasil produksi padi yang tidak dijual, alokasi raskin dan sejumlah beras yang dibeli di pasar. Ketersediaan pangan rata-rata perbulan pada rumahtangga sampel lebih dari kebutuhan beras riil rata-rata per bulan mengindikasikan bahwa ketersediaan beras pada rumahtangga sampel memenuhi kebutuhan bears riil anggota keluarga. Ketersediaan pangan utama tidak hanya digunakan untuk konsumsi pangan anggota rumahtangga, melainkan juga sebagai biaya sosial kemasyarakatan pada saat menghadiri acara pernikahan. Pada
indikator
rasio
pengeluaran
pangan
terhadap
pendapatan
rumahtangga, 37,5 % dari rumahtangga sampel atau 15 rumahtangga memiliki nilai rasio di atas 60 % yang mengindikasikan masih tingginya porsi pengeluaran pangan dalam pendapatan rumahtangga pada 15 rumahtangga tersebut. Hal ini disebabkan rendahnya pendapatan pada rumahtangga tersebut jika dibandingkan dengan pengeluaran pangan. Sejalan dengan asumsi Berg (1986) yang menyatakan bahwa porsi pengeluaran pangan semakin tinggi jika pendapatan rumahtangga tersebut semakin rendah. Untuk tetap memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga, rumahtangga dengan pendapatan rendah memilih jenis protein dengan harga murah Rasio pengeluaran pangan terhadap pendapatan yang tinggi mengindikasikan daya beli pangan rumahtangga rendah. Keputusan rumahtangga untuk menyederhanakan pola konsumsi pangan tanpa mempertimbangkan kebutuhan energi anggota rumahtangga berimplikasi pada rendahnya angka kecukupan energi sebagai indikator hasil ketahanan pangan rumahtangga. Pilihan untuk mengkonsumsi jenis protein dengan harga murah namun belum memenuhi kebutuhan energi protein anggota rumahtangga tidak hanya disebabkan karena daya beli pangan rumahtangga yang masih rendah, melainkan pengetahuan rumahtangga akan kebutuhan energi anggota keluarga yang masih rendah sehingga 62,5 % dari rumahtangga sampel atau 25 rumahtangga memiliki angka kecukupan energi di bawah 65 % dari total energi yang dibutuhkan anggota keluarga.
67
Tabel 17. Nilai Rata-rata Indikator Ketahanan Pangan Rumahtangga No. 1. 2. 3. 4.
Indikator
Nilai
Ketersediaan Pangan (Kg/Bulan) Kebutuhan Beras Riil (Kg/Bulan) Rasio Pengeluaran Pangan dengan Pendapatan Rumahtangga (%) Angka Kecukupan Energi (%)
52.37 39.75 75.51 58.27
Berdasarkan indikator ketahanan pangan yang digunakan, 25 % rumahtangga sampel atau 10 rumahtangga digolongkan sebagai rumahtangga tahan pangan dan 75 % rumahtangga sampel atau 30 rumahtangga digolongkan sebagai rumahtangga tidak tahan pangan.
Indikator ketahanan pangan
rumahtangga yang tidak terpenuhi oleh sebagian besar rumahtangga tidak tahan pangan adalah rasio pengeluaran pangan dengan pendapatan (RPP) dan angka kecukupan energi.. Faktor daya beli pangan yang rendah (ditunjukan dengan tingginya nilai rasio pengeluaran pangan dalam pendapatan rumahtangga) akibat rendahnya pendapatan dan rendahnya kesadaran rumahtangga pada kebutuhan energi
anggota
rumahtangga
menjadikan
rumahtangga
petani
sampel
menyederhanakan pola konsumsi pangan sehingga belum mampu memenuhi standar konsumsi energi untuk kategori tahan pangan.
5.4.2. Distribusi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Distribusi ketahanan pangan rumahtangga petani yang dijelaskan pada Tabel 18 menunjukan kinerja masing-masing indikator ketahanan pangan rumahtangga dengan karakteristik rumahtangga petani yang mempengaruhinya. Tabel 18. Nilai Rata-rata Indikator Ketahanan Pangan Pada Distribusi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Kriteria
Tahan Pangan Tidak Tahan Pangan
Jumlah Rumahtangga 10
Ketersediaan Pangan (Kg/Bln) 58.10
30
50.46
Kebutuhan Beras (Kg/Bln) 31 43.33
Rasio P.Pangan dengan Pendapatan (%) 28.94 89.71
Angka Kecukupan Energi (%) 71.78 56.89
68
Rumahtangga tahan pangan mempunyai ketersediaan pangan lebih besar dari rumahtangga tidak tahan pangan. Hal ini dikarenakan rumahtangga tahan pangan memiliki jumlah produksi padi tidak dijual lebih besar dari rumahtangga tidak tahan pangan, dimana produksi padi tidak dijual adalah sumber pemenuhan utama kebutuhan beras rumahtangga sampel. Rata-rata produksi padi tidak dijual pada rumahtangga tahan pangan adalah 48,25 kg/bulan atau 83,04 % dari pangan yang tersedia , sementara rumahtangga tidak tahan pangan memiliki produksi padi tidak dijual sebesar 37,73 kg/bulan atau 74,77 % dari pangan yang tersedia. Di sisi lain, kebutuhan beras riil rumahtangga tidak tahan pangan lebih besar dari rumahtangga tahan pangan karena jumlah anggota keluarga rumahtangga tidak tahan pangan lebih besar dari rumahtangga tahan pangan. Rumahtangga tahan pangan memiliki rasio pengeluaran pangan dengan pendapatan rumahtangga yang lebih rendah dari rumahtangga tidak tahan pangan. Hal ini mengindikasikan rumahtangga tahan pangan memiliki daya beli yang baik terhadap pangan. Daya beli pangan yang rendah pada rumahtangga tidak tahan pangan dikarenakan rendahnya pendapatan rumahtangga sampel. Daya beli pangan yang rendah yang diperkuat dengan rendahnya kesadaran akan kebutuhan energi anggota rumahtangga
berimplikasi pada
rendahnya angka kecukupan energi pada rumahtangga tidak tahan pangan. Rendahnya angka kecukupan energi merupakan cerminan dari pola konsumsi rumahtangga tidak tahan pangan, baik konsumsi karbohidrat, protein maupun sayuran. Rumahtangga tidak tahan pangan memilih jenis makanan khususnya sumber protein yang memiliki harga murah tetapi belum memenuhi kebutuhan energi protein anggota keluarga dengan pertimbangan terbatasnya pendapatan rumahtangga.