HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Penelitian Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi Berdasarkan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Raja
Ampat, Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan agropolitan yaitu sebagai wilayah pengembangan peternakan seperti sapi potong dan kawasan pengembangan pertanian tanaman pangan khususnya padi dan perkebunan. Wilayah Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan pengembangan peternakan khususnya sapi potong mencakup tiga kampung yaitu kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan (Bappeda Raja Ampat 2006) yang menjadi lokasi target penelitian ini. Ketiga kampung ini terletak di sebelah selatan Pulau Salawati dan saling
berbatasan satu dengan lainnya, dimana
kampung
Kalobo dan
Waijan berada pada daerah lembah dataran rendah dengan ketinggian tempat kurang dari 100 m diatas permukaan laut (dpl) dan sebagian besar dihuni oleh penduduk transmigran asal Jawa, sedangkan kampung Sakabu berada di pesisir pantai dan umumnya dihuni oleh masyarakat pribumi (asli Papua). Jarak antara kampung Sakabu dengan Kalobo sebesar ±5 km, antara kampung Kalobo dan Waijan berjarak ±12 km. Secara umum, kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Secara geografis lokasi penelitian memiliki iklim tropis yang lembab dan panas, curah hujan relatif tinggi (±211.42 mm/bulan) dan merata sepanjang tahun. Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan hijauan dan leguminosa sehingga dapat menjamin ketersediaan dan kontinuitasnya sebagai sumber pakan ternak sapi potong sepanjang tahun. Rata-rata temperatur udara 27.4oC dengan kisaran temperatur terendah sebesar 23.9 oC, tertinggi 33.1oC. Kelembaban berkisar antara 79% – 87% dengan rata-rata radiasi penyinaran matahari sebesar 60% tiap tahun. Menurut Hidayati et al. (2001) saat terbaik bagi pertumbuhan dan produksi padang rumput dan leguminosa berada pada kondisi iklim dengan temperatur 27 oC, kelembaban antara 70 – 80 % dan radiasi matahari 60 – 80%. Keadaan ini sesuai dengan kondisi optimal untuk sapi potong daerah tropis guna mendukung aktifitas reproduksinya (Talib et al. 1999). Disamping itu, kondisi iklim ini sangat memungkinkan bagi pengembangan sapi lokal Indonesia (sapi Bali) karena sapi
27
lokal pada umumnya mempunyai kemampuan beradaptasi baik pada lingkungan iklim tropis dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Tabel 4. Kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian No. 1
2
Uraian (Peubah Diamati) Iklim a. Curah hujan (mm/thn) b.Temperatur rata-rata (oC) c. Kelembaban (%) d.Tekanan udara (mbs) e. Penyinaran matahari (%) Jenis tanah dan topografi a. Ketinggian tempat (dpl) b.Kemiringan lahan (%) c. Jenis tanah d.Tekstur tanah e. Tingkat kesuburan f. Kedalaman efektif (cm) g.Kondisi air tanah
Sakabu
Lokasi Penelitian Kalobo
Waijan
2537 27.7 84 1010.7 60 0-25 0-40 Podsolik+Aluvial Sedang Subur, sedang 0-100 Agak rendah
25 <8 Podsolik Sedang Sedang 25-50 Agak rendah, sedang
25-50 0-40 Podsolik Sedang Sedang 50-100 Agak rendah, sedang
Sumber: Bappeda Kabupaten Raja Ampat (2006) Topografi kampung Sakabu adalah dataran disertai areal perbukitan, dengan ketinggian antara 0 sampai 25 m dpl serta kemiringan lahan antara 0-40% (Gambar 5). Diperkirakan kondisi lahan yang datar sebesar 45% sedangkan sisanya (65%) merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian tidak lebih dari 25 m dpl. Jenis tanah adalah podsolik berwarna merah kuning dan aluvial coklat dengan tekstur tanah sedang, menunjukkan tingkat kesuburannya yang sedang sampai subur. Air tersedia secara cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air minum ternak, memandikan/membersihkan ternak, pertumbuhan hijauan pakan ternak, dan kebutuhan lainnya. Kurang lebih 90% dari lahan di kampung Kalobo memiliki topografi yang datar dan sisanya (10%) merupakan daerah sedikit berbukit dengan ketinggian mencapai 25 m dpl (Gambar 6). Jenis tanah podsolik berwarna merah kuning dengan tekstur tanah sedang, sehingga tingkat kesuburan tanah sedang. Kondisi air tanah rendah hingga sedang menunjukkan tidak semua lokasi di Kampung
28
Kalobo mudah memperoleh sumber air tanah , beberapa lokasi kondisi airnya diduga agak kurang baik begitu pula dengan kampung Waijan.
Gambar 5. Kondisi topografi kampung Sakabu
Gambar 6. Kondisi topografi kampung Kalobo Kampung Waijan memiliki topografi yang datar dan sedikit berbukit dengan ketinggian antara 25 sampai 50 m dpl serta kemiringan lahan antara 0-40%
29
(Gambar 7). Jenis tanah podsolik berwarna merah kuning dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Menurut Harjowigeno dan Widiatmaka (2006), kondisi media perakaran yang sesuai untuk padang penggembalaan yaitu tekstur tanah sedang (lempung liat berpasir), kedalaman efektif >30 cm, dan drainase tanah agak terhambat sampai sedang. Secara umum kondisi lokasi penelitian yang didominasi oleh wilayah yang datar akan sangat cocok bagi pengembangan sapi potong, apalagi dengan didukung oleh ± 50 – 60% daerah dataran yang berupa padang rumput sebagai sumber pakan sapi potong.
Gambar 7. Kondisi topografi kampung Waijan Potensi Wilayah dan Daya Dukung Lahan Hasil survei menunjukkan bahwa luas lahan kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan masing-masing sebesar 2.887, 5.579, dan 4.283 ha (Tabel 5). Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk ternak ruminansia antara lain: lahan sawah, padang pengembalaan/padang rumput, lahan perkebunan, hutan dan lahan pekarangan. Luas lahan tersebut dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif masih rendah (≤10 jiwa/km2) memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak dengan tanaman perkebunan dan perikanan di kampung Sakabu, atau pola integrasi ternak dengan tanaman pertanian atau tanaman padi di kampung Kalobo dan Waijan, yang mana pola integrasi ini merupakan suatu proses saling menunjang dan
30
saling menguntungkan. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak (Riady 2004). Tabel 5. Daya dukung lahan dan potensi kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan No
Uraian (Peubah Diamati)
1 2 3 4 5 6
Luas Lahan (Ha) Jumlah Penduduk (KK) Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Luas Lahan Pangan (Ha) Nisbah Lahan Pangan Terhadap Penduduk (jiwa/ha)
7
8 9 10 11 12
Tata Guna Lahan : a. Luas hutan (ha) b. Luas padang rumput (ha) c. Luas sawah (ha) d. Luas perkebunan (ha) e. Luas pekarangan (ha) PMSL (ST)a Populasi saat ini (ST) KPPTR (ST)b PMKK (ST)c Pola dasar Pembangunan
13
Pola Pertanian
14
Sarana Irigasi
Lokasi Penelitian Sakabu 2.887 97 394 10.8 83
Kalobo 5.579 143 672 9.5 1.424
Waijan 4.283 113 486 8.9 1.021
4.75
0.47
0.48
2057 686 0 119 25 6237.703 35.2 6202.50 291 Lahan Pertanian. pemukiman
1399 2599 655 769 157 6371.387 657.95 5713.42 429 Lahan Pertanian. pemukiman
Perikanan tradisional Non-irigasi
persawahan. palawija Irigasi teknis
1726 1413 456 565 123 6391.781 515.15 5876.63 339 Lahan Pertanian. pemukiman persawahan. palawija Irigasi teknis
Sumber : Bappeda Raja Ampat (2007) Keterangan : a. PMSL = Potensi Maksimum berdasarkan Sumber Daya Lahan b. KPPTR= Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia c. PMKK = Potensi Maksimum Usaha Ternak berdasarkan Kepala Keluarga Sudah saatnya peruntukan pemanfaatan lahan harus dilakukan dengan menerapkan tingkat kesesuain lahan melalui pengkajian yang mendalam dan tidak terpola pada kepentingan sesaat. Optimalisasi pemanfaatan lahan tidak lagi secara monokultur tetapi dilakukan dengan sistem yang terintegrasi dengan komoditas lain, seperti perkebunan atau tanaman padi sebagai sumber pakan bagi ternak ruminansia. Menurut Rayes (2007), lahan merupakan lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi yang mempengaruhi potensi penggunaannya, termasuk didalamnya adalah akibatakibat kegiatan manusia.
31
Pada usaha sapi potong, lahan merupakan basis untuk usaha tersebut atau merupakan faktor produksi sebagai sumber pakan pokok. Lahan dapat berfungsi sebagai tempat terselenggaranya kegiatan produksi. Kebutuhan lahan bagi pengembangan ternak ruminansia seperti sapi potong adalah penting terutama sebagai sumber pakan seperti rumput (graminae), leguminosa dan hijauan dari tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain sebagainya (Soekartawi e t a l . 1 9 8 6 ) . Berdasarkan luas lahan sawah di kampung Kalobo dan Waijan dengan rata – rata produksi gabah kering giling 2.5 ton/ha/panen (Distannak Raja Ampat 2009) dapat menghasilkan limbah berupa dedak padi sebanyak 472 ton. jumlah ini dapat digunakan sebagai pakan konsentrat untuk 2.098 ST. Disamping itu produksi jerami padi dapat mencapai 7.221 ton/panen. yang menurut Sumanto et al. (2005) setiap hektar sawah mampu menghasilkan jerami padi 5-8 ton/ha/panen. Jerami padi ini dapat digunakan sebagai pakan alternative untuk ± 2.865.7 ST sepanjang tahun. Lahan perkebunan terbagi atas kebun tanaman durian dan sagu, namun lebih di dominasi oleh tanaman sagu ± 1017 ha (70%), dari luasan ini. Produksi ampas sagu dengan kadar air 40% dapat mencapai 89 000 ton. Rata-rata tanaman sagu di panen 73 batang/ha/tahun (Bintoro 2008). Menurut Saitoh et al. (2004) perbandingan pati dan ampas dari tanaman sagu adalah 1 : 5 dengan rata-rata produksi pati untuk tanaman sagu di wilayah Papua 600 kg/batang. Berdasarkan jumlah produksi ampas sagu tersebut, dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi untuk 123 611 ST sepanjang tahun. Kondisi lahan sawah dan sagu dapat dilihat pada Gambar 8. Sistem penggunaan lahan di lokasi penelitian terbagi atas lahan usaha dan lahan pekarangan dengan status kepemilikan lahan berupa hak milik bagi masyarakat transmigran (kampung Kalobo dan Waijan) dan hak ulayat bagi penduduk asli (kampung Sakabu). Umumnya lahan usaha hanya sebagian dipergunakan untuk tanaman padi sawah dan selebihnya tidak digarap. Kondisi ini umumnya dimanfaatkan sebagai areal penggembalaan ternak karena HMT sebagai sumber pakan sapi potong selalu tersedia. Kebutuhan lahan untuk usaha ternak ruminansia dapat dibedakan menjadi dua: 1) usaha peternakan yang berbasis lahan pertanian (land base agriculture); dan 2) usaha peternakan yang tidak berbasis lahan pertanian (non land base agriculture). Menurut Suratman et al. (1998), khusus untuk peternakan berbasis lahan pertanian dengan komponen pakannya sebagian
32
besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosa), lahan merupakan faktor lingkungan hidup dan pendukung pakan. Agar ternak dapat berproduksi dengan baik, perlu diperhatikan persyaratan penggunaan dari sifat-sifat pembatas lahan yang meliputi kelompok kualitas lahan yang diperlukan dan yang mempunyai pengaruh merugikan untuk produksi ternak. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), kualitas lahan yang perlu diperhatikan untuk produksi ternak adalah: 1) tersedianya semua unsur yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman; 2) kesesuaian iklim yang mempengaruhi ternak; 3) ketersediaan air minum ternak; 4) nilai nutrisi rumput; 5) sifat racun dari rumput; 6) penyakit-penyakit hewan; 7) ketahanan terhadap kerusakan rumput; dan 8) ketahanan erosi akibat penggembalaan.
Gambar 8. Kondisi Lahan sagu dan sawah di lokasi penelitian
33
Hasil analisis daya dukung lahan/wilayah berdasarkan atas potensi maksimum sumber daya lahan dan kemampuan menghasilkan hijauan pakan ternak secara alami. menunjukkan bahwa populasi sapi potong tahun 2008 dan daya tampung wilayah untuk ternak sapi potong masih cukup memadai sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis, jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan di kampung Sakabu. Kalobo dan Waijan memenuhi daya tampung masing-masing sebesar 6202.50. 5713.42. dan
5876.63
ST.
Apabila
pembangunan
peternakan
diarahkan
pada
pengembangan sapi potong dengan pola integrasi atau secara intensifikasi, daya tampung tersebut masih dapat ditingkatkan. Prioritas lokasi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat yang perlu dioptimalkan pengelolaannya adalah (1) lokasi perkebunan tanaman buah-buahan (durian) di kampung Sakabu. (2) lokasi pertanian tanaman padi yang tersebar di Kampung Kalobo dan Waijan, dan (3) perkampungan ternak sapi di ketiga kampung dengan lahan total mencapai 12 749 ha dengan kemampuan peningkatan populasi sapi potong sebesar 17 792.55 ST, sehingga dari jumlah tersebut terlihat bahwa lokasi penelitian cukup potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pengembangan sapi potong. Karakteristik Produksi Ternak Sapi Potong Populasi Sapi Potong Populasi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7. Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan 2008 telah terjadi peningkatan populasi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat rata-rata sebesar 53.64%
per tahun.
Peningkatan
pemasukan
tersebut
terjadi sebagian
besar
akibat
adanya
bibit/bakalan sapi potong antara tahun 2005-2008 sebagai bukti dari upaya pemerintah untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong di daerah ini, atau merupakan hasil dari upaya pemerintah daerah mendatangkan bibit sapi potong secara kontinu. Namun demikian pertumbuhan ternak sapi potong masih relatif lambat dan cenderung tidak mampu mengimbangi permintaan disebabkan intensitas pemeliharaan yang rendah, teknologi dan sistem usaha yang dilakukan
34
tidak terfokus pada pertumbuhan produksi secara cepat. Usaha penggemukan sapi yang dalam waktu singkat dapat menghasilkan daging secara kontinu belum dilakukan. Penjualan sapi umumnya dilakukan karena peternak membutuhkan uang cepat sehingga pemeliharaan sapi hanya sebagai tabungan, ini berakibat produksi setiap tahunnya cenderung konstan atau mengalami peningkatan yang tidak berarti. Belum berkembangnya usaha penggemukan sapi juga disebabkan karena belum berkembangnya sistem pembibitan sapi potong yang baik yang dapat menjamin ketersediaan sapi bakalan secara berkesinambungan. Tabel 6. Populasi sapi potong (ekor) di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008 Rata-rata Tahun Kenaikan/tahun (%) No Wilayah 20061 20071 20082 1 Distrik Salawati Utara 732 948 1733 56.55 2
Distrik Lainnya
61
73
3 Kabupaten Raja Ampat 793 1021 1 Sumber : : Distanakbun Raja Ampat (2008) 2 : Hasil survei penelitian (2008)
54
-113.01
1787
53.64
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase kelahiran sapi potong yang dipelihara oleh peternak berkisar antara 15.9 sampai 28.0% dari total populasi sehingga peternak dapat menggantikan ternak yang sudah tidak produktif lagi dengan ternak baru. Angka kelahiran ini termasuk rendah karena kurangnya penanganan peternak dalam program perkawinan dan rendahnya pengetahuan peternak tentang aspek reproduksi ternak.
Persentase kematian ternak masih
cukup tinggi yaitu berkisar 2.14 sampai 7.22% per tahun. Kematian tertinggi terjadi pada tahun 2008 khususnya di kampung Sakabu yang mencapai 54 ekor dari populasi 92 ekor sebagai akibat dari wabah penyakit menular (Distannak 2009). Penyakit ini kemungkinan terbawa oleh ternak yang baru dimasukkan pemerintah dari kabupaten lain tanpa terlebih dahulu ternak tersebut dikarantina. Berdasarkan hasil ini, untuk mengurangi jumlah kematian dapat dilakukan dengan cara mengarantina ternak gaduhan pemerintah terlebih dahulu sebelum dimasukkan atau dilepas ke masyarakat peternak.
35
Tabel 7. Performans reproduksi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008 Tahun No Kriteria (Peubah yang Diamati) 1 2006 20071 20082 1 Populasi (ekor) 793 1021 1787 - Jantan 303 - Betina 1286 2 Persentase peningkatan populasi (%/thn) 28.75 75.02 3 Kelahiran (ekor) 126 294 398 4 Persentase kelahiran dari populasi (%) 15.89 28.80 22.27 5 Persentase kelahiran dari jumlah betina (%) 53.00 6 Kematian (ekor) 17 32 129 7 Persentase kematian (%) 2.14 3.13 7.22 Sumber :
1
: Distanakbun Raja Ampat (2008) : Hasil survei penelitian (2008)
2
Perubahan populasi ternak sapi dalam kurun waktu 2006 – 2008 dapat dilihat pada Tabel 8. Data ini menunjukkan peningkatan yang tidak berarti dengan intensitas yang rendah. Pada tahun 2008 jumlah ternak sapi yang keluar dari
Raja Ampat mencapai 360 ekor dengan total produksi daging
diperkirakan sebesar 55.07 ton dengan rata-rata pengeluaran mencapai 35% per tahun. Angka ini melampaui pertambahan populasi setiap tahunnya walaupun dari Tabel 8. Jumlah pemasukan. pengeluaran dan pemotongan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008 No
Kriteria (Peubah yang Diamati)
1 2 3 4
Pemasukan (ekor) Jumlah pengeluaran/pemotongan (ekor) Persentase pengeluaran/pemotongan (%) Produksi Daging (Kg)
Sumber :
1 2
20061 80 352 44.39 53.851.8
Tahun 20071 240 416 40.74 63.643.0
20082 125 360 20.15 55.075.7
: Distanakbun Raja Ampat (2008) : Hasil survei penelitian ini (2008)
hasil survei menunjukkan persentase kelahiran untuk tahun 2008 mencapai 53%. Kondisi ini jika tidak ditanggulangi maka akan terjadi pengurasan populasi yang signifikan. Pengeluaran sapi pada umumnya dijual sebagai sapi potong dan bukan sebagai sapi bakalan, hal ini berarti sebagian besar penghasilan masyarakat adalah dari hasil penjualan sapi potong. Pada penelitian ini tidak teridentifikasi jumlah sapi jantan atau betina (produktif atau tidak produktif) yang dijual oleh peternak.
36
Tingginya pengeluaran dan pemotongan ternak menunjukkan besarnya tingkat permintaan daging masyarakat Kabupaten Raja Ampat dan daerah sekitarnya di Papua Barat dan Papua terutama Kabupaten Sorong. Secara regional keragaan usaha ternak sapi potong ditandai dengan masih besarnya ketergantungan akan bibit sapi potong, ternak siap potong, dan produksi hasil ternak dari daerah lain. Kegiatan budidaya saat ini tampaknya masih lemah dan harus terus diupayakan perkembangannya sedangkan kegiatan pasca produksi cenderung meningkat. Peningkatan permintaan hasil ternak sapi potong yang intensif belum diimbangi dengan kesiapan sistem budidaya sapi potong. Akibatnya kesenjangan supplydemand harus diatasi dengan pemasukan sapi bakalan dan daging sapi dari daerah lain. Neraca perdagangan sapi potong dalam bentuk hidup di Kabupaten Raja Ampat ditandai dengan volume impor yang hampir sebanding dengan ekspor. Impor dari daerah lain baik berupa sapi bibit, bakalan maupun sapi siap potong masih tinggi sementara ekspor masih terbatas. Hal ini mencerminkan tingginya konsumsi daging regional kabupaten yang belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam daerah sendiri. Produktivitas Sapi Potong Data produktivitas sapi potong meliputi bobot badan dapat dilihat pada Tabel 9. Bobot badan sapi Bali jantan dan betina berumur < 1 tahun hampir sama pada ketiga lokasi penelitian. Menurut Pratiwi et al. (2008), bahwa pertumbuhan anak sapi pada masa prasapih umumnya dipengaruhi oleh kemampuan pedet memperoleh nutrisi yang berasal dari air susu induknya. Penampilan produksi berupa bobot badan sapi Bali betina umur > 1 sampai ≤ 2 tahun tidak menunjukkan perberbedaan nyata, ini berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang relatif sama di ketiga lokasi, sementara ternak sapi jantan di Kampung Kalobo memiliki ukuran tubuh yang nyata (P<0.05) lebih besar daripada yang ada di kampung Sakabu. Hal ini disebabkan kriteria ternak sapi jantan dipilih oleh peternak untuk digunakan mengawini sapi betina memiliki tubuh yang besar. Menurut Pamungkas (2007), bahwa terjadi perbedaan variasi bobot badan sapi di beberapa lokasi pemeliharan adalah sebagai akibat dari pengaruh lingkungan terutama nutrisi dan sistem pemeliharaan.
37
Tabel 9. Rataan bobot badan sapi Bali berdasarkan jenis kelamin dan umur di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan Kabupaten Raja Ampat lokasi Penelitian Sakabu
No
Umur (Tahun)
1
Jantan : 0 4 4
144.37a±18.73 291.20a±59.40
2
<1 >1 s/d ≤ 2 >2 Betina : <1 >1 s/d ≤ 2 >2
12 12 10
103.95a±17.86 141.77a±33.92 218.30a±33.20
Jumlah sampel (ekor)
Kalobo
Jumlah Bobot badan sampel (kg) (ekor)
Waijan
Bobot badan (kg)
Jumlah sampel (ekor)
Bobot badan (kg)
6 13 10
104.50a±54.60 170.90b±38.00 257.10a±56.20
11 9 4
107.20a±53.30 164.30ab±53.30 256.90a±52.50
14 46 65
98.56a±27.64 130.32a±35.11 249.20b±34.59
28 26 40
111.07a±37.60 143.70a±34.76 224.06a±41.08
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05). Bobot badan sapi Bali jantan umur > 2 tahun yang ada di tiga kampung penelitian tidak berbeda nyata karena pada umur ini ternak jantan akan dijual oleh peternak, sedangkan untuk sapi betina terdapat perbedaan dimana sapi betina di kampung Kalobo memiliki ukuran tubuh yang nyata (P<0.05) lebih besar. Hal ini disebabkan ternak betina akan digunakan sebagai calon induk yang diharapkan dapat memperoleh keturunan yang besar. Bobot badan dan ukuran tubuh sapi Bali jantan maupun betina umur < 1 tahun dan >1 tahun sampai dengan ≤ 2 tahun di Kabupaten Raja Ampat masih termasuk rendah dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (Deptan 2006). Menurut Rajab (2009), bahwa sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat memiliki ukuran tubuh dan bobot badan yang rendah dibandingkan sapi Bali yang terdapat dibeberapa wilayah di pulau Bali (Gambar 9). Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan performans dan mutu genetik sapi Bali Kabupaten Raja Ampat, sebagai akibat penjualan ternak unggul yang tidak terkontrol dari populasi dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional dengan tingkat penerapan teknologi peternakan yang masih rendah oleh peternak.
38
Sumber : 1. Rajab (2009) 2.
Data hasil penelitian
Gambar 9. Perbandingan bobot badan sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat dengan sapi Bali di beberapa wilayah di Pulau Bali Karakteristik Peternak Identitas Peternak Secara umum karakteristik peternak sapi potong di lokasi penelitian Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Tabel 10. Karakteristik peternak ditentukan oleh beberapa faktor utama yaitu, umur peternak, tingkat pendidikan, mata pencaharian utama, pengalaman beternak, dan kepemilikan ternak.
39
a. Umur Peternak Hasil survei memperlihatkan bahwa sebagian besar (≥ 75%) peternak berumur antara 15 – 55 tahun. sedangkan berumur dibawah 15 tahun atau diatas 55 tahun adalah kurang dari 25% peternak, ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak termasuk dalam usia produktif. Jumlah peternak dengan usia produktif yang tinggi, hal ini akan berpengaruh positif dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan program pengembangan kawasan sentra sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. b. Tingkat Pendidikan Kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu informasi sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan, dimana dengan mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi maka seseorang akan memiliki motivasi lebih tinggi dan wawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian (Rakhmat 2000). Tingkat pendidikan peternak relatif beragam. didominasi oleh lulusan SD (57-76%), SLTP (7-15%) dan SLTA (8-36%), sedangkan lulusan Perguruan Tinggi (PT) terendah (1-2.5%). Tingginya jumlah peternak yang tingkat pendidikannya
rendah
karena
rata-rata
angkatan
kerja
produktif
yang
berpendidikan setingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) dan Perguruan Tinggi umumnya lebih memilih berkerja di perusahaan swasta atau instansi pemerintah. Hal ini didukung oleh banyaknya perusahaan dan pemekaran beberapa wilayah di Provinsi Papua Barat sehingga sangat membutuhkan tenaga kerja dengan spesifikasi pendidikan minimal setingkat SMA. Salah satu faktor penyebab lambatnya pengembangan peternakan adalah kurang kemampuan atau rendahnya mengadopsi teknologi dari peternak. Menurut Abdullah (2008), salah satu aspek penyebab sulitnya adopsi teknologi oleh petani adalah kurangnya sistem diseminasi teknologi pertanian dan rendahnya tingkat pendidikan petani. Menurut Rahmat (2006), bahwa rendahnya tingkat pendidikan turut mempengaruhi motivasi dan partisipasi peternak dalam pelaksanaan program pengembangan peternakan.
40
Tabel 10. Karakteristik peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat No
Uraian (Peubah Diamati)
1 2
Jumlah Peternak (orang) Umur Peternak (%) a. Produktif (15-55 tahun) b. Belum/Tidak Produktif (<15 tahun / > 55 tahun) Tingkat Pendidikan (%) a. SD b. SLTP c. SLTA d. PT Pekerjaan Pokok (%) a. Petani/Nelayan b. Pedagang/Wiraswasta c. PNS d. Lainnya Usaha Pemeliharaan Ternak (%) a. Pokok b. Sambilan Tujuan Pemeliharaan Ternak (%) a. Tabungan/Tambahan Penghasilan b. Hobbi c. Lainnya Pengalaman Beternak (%) a. 0-5 tahun b. 5-10 tahun c. > 10 tahun Jumlah . Komposisi Umur dan Kepemilikan Ternak a. Total Ternak (Ekor) Jantan Betina Rasio Jantan Betina b. Komposisi umur ternak - Anak & Muda (umur<2 tahun) Jantan Betina - Dewasa (Umur ≥ 2 tahun) Jantan Betina c. Kepemilikan (ekor) - Sendiri - Gaduhan/Bantuan Pemerintah
3
4
5
6
7
8
Lokasi Penelitian Sakabu Kalobo Waijan 14 118 86
Jumlah
RataRata -
85.71
79.66
74.42
239.79
79.93
14.29
20.34
25.58
60.21
20.07
57.14 7.14 35.72 0
73.73 11.86 11.86 2.54
75.58 15.12 8.14 1.16
206.45 34.12 55.72 3.7
68.82 11.37 18.57 1.23
78.57 7.14 14.29 0
86.44 4.23 7.63 1.69
94.19 2.33 2.33 1.15
259.2 13.7 24.25 2.84
86.40 4.57 8.08 0.95
0 100
4.24 95.76
0 100
4.24 295.76
1.41 98.59
100
99.15
100
299.15
99.72
0 0
0.85 0
0 0
0.85 0
0.28 0.00
100 0 0
46.76 20.34 33.90
50.0 13.95 36.05
196.76 34.29 69.95
65.59 11.43 23.32
42 7 35 5
859 151 708 4
674 131 543 4
1575 289 1286 13
525.00 96.33 428.67 4.33
16 4 12 26 3 23
371 60 311 488 92 396
274 65 209 400 66 334
661 129 532 914 161 753
220.33 43.00 177.33 304.67 53.67 251.00
3 39
466 393
204 470
673 902
224.33 300.67
c. Mata Pencaharia Utama Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (78.57-94.19%) pekerjaan pokok masyarakat adalah sebagai petani atau nelayan, khususnya penduduk di kampung Sakabu adalah semuanya (78.57%) nelayan, sedangkan penduduk di kampung Kalobo dan Waijan masing-masing 86.44 dan 94.19%
41
adalah petani sawah, hal ini disebabkan 90% penduduk di kedua kampung ini adalah transmigran asal Jawa. Pedagang atau wiraswasta lebih banyak (7.14%) di kampung Sakabu diikuti dengan kampung Kalobo (4.23%) dan Waijan (2.23%). Demikian juga PNS dengan pola yang sama masing-masing 14.29; 7.63 dan 2.33% untuk kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan. Penduduk di tiga kampung peternaknya memelihara
sapi Bali
adalah
sebagai usaha sambilan dan hanya 4.24% peternak di kampung Kalobo yang menjadikannya sebagai usaha pokok. Sapi potong dipelihara sebagai tabungan atau tambahan penghasilan. dan peternak menjualnya saat membutuhkan uang. d. Pengalaman Beternak Sebagian besar peternak rata-rata (65.6%) pengalaman beternaknya masih kurang dari lima tahun, karena penduduk asli dan keluarga baru ada yang baru mencoba untuk beternak sapi potong. Di kampung Sakabu semuanya (100%) adalah peternak pemula, sementara di kampung Kalobo dan Waijan rata-rata peternak sudah memelihara sapi 5-10 tahun bahkan banyak juga yang diatas 10 tahun, mereka umumnya adalah transmigran asal Jawa yang sudah memulai memelihara sapi sejak tahun 1983 dengan adanya bantuan Presiden sebanyak 160 ekor untuk dua lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di Kalobo dan Waijan (Disnak Kab.Sorong 2007). e. Kepemilikan Ternak Jumlah ternak sapi potong yang dipelihara oleh tiap peternak berkisar antara 3 - 8 ekor dengan komposisi pedet, jantan dan betina muda masing-masing berkisar antara 4 – 65 ekor dan 12 – 311 ekor, jantan dan betina dewasa masingmasing berkisar 3 – 92 ekor dan 23 – 396 ekor, rasio jantan dan betina sebesar 1 : 5. Jumlah sapi potong jantan dan betina dewasa cukup tinggi masing-masing 161 dan 753 ekor, karena pejantan digunakan untuk perkawinan secara alami di padang pengembalaan. Jumlah sapi betina yang tinggi dalam populasi diharapkan dapat menghasilkan anak untuk menggantikan induk yang tua dan dijual. Persentase sapi pedet dan sapi muda relatif seimbang serta sapi betina relatif lebih banyak dan ini merupakan komposisi yang baik sebagai ternak pengganti (replacement stock) pejantan dan induk. Komposisi tersebut merupakan rasio yang cukup ideal untuk proses pengembangan. Guna memperoleh kualitas bibit
42
sapi yang baik dengan sistem perkawinan secara alami, rasio jantan dengan betina maksimum diusahakan adalah 1 : 10, untuk pengadaan ternak pengganti (replacement stock), calon bibit jantan dan betina diambil dari umur sapih yakni 6 – 7 bulan sebanyak 10 dan 25% yang diseleksi berdasarkan performan masingmasing (Deptan 2006). Pengetahuan, Motivasi dan Partisipasi Pengembangan Peternakan Sapi Potong.
Peternak
dalam
Kegiatan
Hasil analisis mengenai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Tabel 11. Petani peternak di Kabupaten Raja Ampat memiliki pengetahuan relatif rendah dengan skor < 25.0 terutama tentang manajemen sapi potong. Nilai skor paling rendah (14.71) adalah peternak di kampung Sakabu dan tertinggi (20.49) adalah peternak di Waijan. Pengetahuan yang rendah tentang budidaya sapi potong erat kaitannya dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat ekstensif. Hampir seluruh kehidupan ternak tergantung dari alam, dan peternak hanya mengawasi tanpa campur tangan yang serius. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa pengetahuan peternak tentang kegiatan pengembangan peternakan di kampung Sakabu berbeda dengan kampung Kalobo dan Waijan, hal ini disebabkan peternak di kampung Kalobo dan Waijan adalah peternak lama yang sudah sering menerima penyuluhan dan 90% peternak (terbanyak) berada di kedua kampung tersebut. Tabel 11. Hasil uji Mann-Whitney tentang pengetahuan. motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat Lokasi Penelitian (kampung) No Uraian (Peubah Diamati) Sakabu Kalobo Waijan 1 Peternak (orang) 14 118 86 2 Pengetahuan (skor) 14.71±2.67a 18.20±5.31b 20.49±6.39c 3 Motivasi (skor) 16.43±4.31a 21.66±6.16b 23.12±6.28b a b 4 Partisipasi (skor) 11.14±2.03 14.71±3.95 15.33±4.09b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0.05). Motivasi peternak dalam program pengembangan dan penerapan teknologi budidaya sapi potong (sapi Bali) termasuk rendah (skor < 25.0). Hasil uji MannWhitney menunjukkan bahwa peternak di kampung Sakabu memiliki motivasi yang paling rendah (16.43) dibanding peternak di dua kampung lainnya, karena mereka masih merupakan peternak baru dan belum berhasil dalam kegiatan
43
beternak sapi potong bila dibandingkan dengan peternak di Kalobo (21.66) dan Waijan (23.12) yang memiliki motivasi cukup baik. Partisipasi peternak dalam budidaya sapi potong juga termasuk rendah (skor < 25.0) dan tidak terdapat perbedaan antara kampung Kalobo (14.71) dan Waijan (15.33) namun keduanya berbeda dengan Sakabu (11.14). Sejalan dengan tingkat motivasi, peternak di kampung Sakabu memiliki tingkat partisipasi yang juga rendah, karena sebagai peternak baru masih banyak membutuhkan dukungan dari pemerintah terutama pembinaan dalam cara beternak. Persepsi dan Aspirasi Masyarakat tentang Peternakan Sapi Potong Persepsi dan aspirasi peternak mempengaruhi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 12. Usaha pertanian sawah dan perkebunan yang kurang memberikan hasil, mengakibatkan rendahnya pendapatan dari sawah dan perkebunan (sagu dan durian) dan hanya mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu harapan beternak
sapi potong
(sapi Bali) merupakan komoditas alternatif guna menunjang peningkatan pendapatan petani. Tabel 12. Potensi peternakan sapi potong menurut persepsi dan aspirasi masyarakat di Kabupaten Raja Ampat Kampung
Peternak
Status Perkembangan Usaha (%)
(orang)
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Kalobo
55
100
0
0
Sakabu
125
100
0
0
Waijan
95
100
0
0
Manajemen Produksi Sapi Potong Penerapan Teknologi Budidaya Sapi Potong Teknis pemeliharaan sapi Bali di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan dapat dilihat pada Tabel 13, yang menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan masih bersifat ekstensif dengan cara digembalakan pada areal padang pengembalaan, hutan, persawahan atau perkebunan. Peternak sapi potong di Sakabu, Kalobo dan Waijan belum melaksanakan seleksi ternak secara terarah, bahkan cenderung
44
menjual ternak dengan ukuran tubuh dan bobot badan yang besar untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Sistem perkawianan umumnya masih secara alami, ada beberapa peternak yang sudah mengawinkan sapi dengan pejantan yang dianggap unggul namun itupun masih secara alami. Tabel 13. Teknis pemeliharaan sapi potong di lokasi penelitian No 1
Peubah yang diamati Jumlah Peternak
Sakabu
Kampung Kalobo
Waijan
14
118
86
.…..………..%................... 2
3
4
5
Bibit a. Seleksi Seleksi alam Seleksi buatan (Tradisional) Seleksi buatan (modern) b. Sistem perkawinan Kawin alam ( tdk diatur) Kawin alam (pejantan unggul) Kawin suntik Sistem Pemeliharaan (Perkandangan) a. Digembalakan sepanjang hari (Ekstensif) b. Digembalakan siang hari dan dikandangkan malam hari (Semi-Intensif) c. Dikandangkan (Intensif) Pakan a. Hijauan Diberikan Tidak b. Konsentrat Diberikan Tidak c. Vitamin. Mineral. Antibiotik Kesehatan dan Penyakit a. Ternak dimandikan b. Upaya pencegahan penyakit c. Pemberian obat
100 0 0
100 0 0
100 0 0
85.71 14.29 0
72.03 27.97 0
84.88 15.12 0
100
100
100
0 0
0 0
0 0
100 0
100 0
100 0
14.29 82.71 0
4.24 95.76 0
3.49 96.51 0
14.29 14.29 14.29
6.78 4.24 5.93
8.14 3.49 4.65
Kebutuhan pakan seluruhnya tergantung pada hijauan yang tersedia dan dikonsumsi ternak selama merumput. Beberapa peternak memberikan pakan tambahan atau konsentrat berupa dedak, bungkil kelapa, limbah perikanan atau limbah rumah tangga yaitu masing-masing 14.29, 4.24 dan 3.49% masing-masing di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan. Penanganan kesehatan dan penyakit pada ternak dilakukan dengan cara membersihkan ternak atau mengobati sapi yang sakit dengan memberikan obat yang sering digunakan manusia seperti obat cacing combatrin untuk sapi yang cacingan atau antibiotik tetraciclin untuk mengobati diare dengan dosis yang dimodifikasi. Secara umum, sebagian besar
45
(>85%) peternak di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan menerapkan tatalaksana pemeliharaan ternak sapi secara semi tradisional dengan campur tangan manusia yang terbatas. Menurut Riady (2004), keterbatasan peternak dalam ilmu pengetahuan dan masalah modal merupakan permasalahan dalam pengembangan sapi potong di Indonesia. Infrastruktur (Sarana dan Prasarana) Pendukung Perintisan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dimulai pada tahun 2006 melalui pembangunan UPTD-Peternakan. Informasi mengenai identitas dan karakteristik peternak, kontrol kesehatan, upaya penurunan angka kematian, dan pencegahan penyakit ternak sapi potong (sapi Bali) diperoleh melalui pemanfaatan fasilitas kegiatan rutin layanan kesehatan hewan dan pemberian obat-obatan pada hewan/ternak secara berkala menggunakan fasilitas layanan yang tersedia (Tabel 14). Tabel 14. Fasilitas sarana dan prasarana (infrastruktur) layanan peternakan Fasilitas
Jumlah
Poskeswan 1 TPH/RPH* 0 Gedung Obat-Obatan 1 Dokter Hewan (orang) 1 Petugas Peternakan (orang) 3 Kebun HMT (ha) 20 Pabrik Penggilingan Padi (unit) 6 Jalan Tersedia (aspal) Pelabuhan Tersedia (3 buah) Keterangan : *Tempat Pemotongan Hewan/Rumah Potong Hewan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fasilitas layanan peternakan sapi potong relatif cukup memadai dan perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Fasilitas lain seperti cattle yard, holding ground, dan kandang permanen sedang dalam proses pembangunan. Kondisi ini sangat mendukung upaya pengembangan dan pembibitan peternakan sapi potong sebagai suatu kebijakan dan peran aktif pemerintah dalam hal ketersediaan, movilitas, dan jangkauan pelayanan. Menurut Samariyanto (2004), ketersediaan fasilitas mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan dan pembibitan sapi Bali disuatu wilayah pemeliharaan.
46
Kelayakan Usaha Sapi Potong Analisis kelayakan usaha sapi potong secara sederhana dilakukan pada skala usaha kecil untuk menggambarkan prospek perkembangan khususnya di tingkat masyarakat peternak (Lampiran 6a dan 6b). Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha sapi potong pada tingkat peternak rakyat dengan pola ekstensif adalah pada skala kepemilikan 3.25 satuan ternak (ST) atau setara dengan RP 23 159 250 untuk satu periode pemeliharaan. Hal ini berarti jika pola pemeliharaan ditingkatkan dari pola ekstensif menjadi semi intensif atau intensif akan lebih meningkatkan pendapatan peternak, disamping itu dapat menjadi salah satu acuan dalam penentuan skala usaha minimal bagi peternak. Kawasan Sapi Potong Rakyat Berdasarkan hasil analisis kawasan sapi potong dengan menggunakan metode skoring memberikan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 14. Dari nilai total skor yang diperoleh, pada kawasan pembibitan dan penggemukan sapi potong di tiga kampung penelitian adalah dibawah 500, yang berarti bahwa ketiga lokasi penelitian diklasifikasikan sebagai Kawasan Baru yang terbagi dalam dua klaster yaitu kelompok Sakabu dan kelompok Kalobo Waijan. Berdasarkan hasil analisis klaster (Gambar 10), menunjukkan bahwa kampung Sakabu mempunyai karakteristik yang berbeda di banding Kalobo dan Waijan. Hal ini disebabkan beberapa komponen kawasan yang meliputi ternak, teknologi budidaya, dan peternak mempunyai nilai skoring terrendah dibanding kampung Kalobo dan Waijan. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh pengalamam beternak, karena peternak di kampung Sakabu umumnya adalah peternak yang baru mulai mencoba memelihara ternak sapi potong. Kondisi lahan dan topografi serta komponen penyusun kawasan lainya relatif sama, kecuali sarana dan prasarana penunjang peternakan hanya tersedia di kampung Kalobo, namun hal ini tidak terlalu bermasalah karena aksesibilitas dari Sakabu dan Waijan ke kampung Kalobo relatif mudah.
47
Tabel 15. Skoring penilaian kawasan penggemukan dan pembibitan sapi potong No
Kriteria
1
Lahan
2 3 4 5 6 7 8
Ketersediaan HMT Ternak Teknologi budidaya Peternak Tenaga pendamping Fasilitas Kelembagaan Total skor
Skor Penggemukan Sakabu Kalobo Waijan 50 47.5 47.5 150 150 150 35 65.5 58.5 67 67 67 20 30 20 4 4 2 20 55 20 5 5 5 351 424 370
Skor Pembibitan Sakabu Kalobo Waijan 50 47.5 47.5 150 150 150 42 86.5 79.5 80 80 80 20 30 20 3 3 2 20 55 20 5 5 5 370 457 404
Menurut Ditjennak (2002), Priyanto (2002), dan Bappenas (2004), kawasan peternakan sapi potong secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan usaha sapi potong, terintegrasi dengan komponen usaha tani atau ekosistem tertentu,. dan dalam
pengembangannya
banyak
melibatkan
partisipasi
rakyat
dengan
mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal yang ada. Data pada Tabel 15 menunjukkan, bahwa sebagai kawasan baru, optimalisasi pemanfaatan semua sumber daya yang tersedia dan didukung penerapan teknologi aplikatif akan mampu meningkatkan peran ternak sebagai usaha alternatif bagi masyarakat.
Gambar 10. Dendogram hasil analisis klaster lokasi penelitian
48
Komponen Kawasan Agribisnis Sapi Potong Berdasarkan hasil analisis kawasan yang menunjukkan sebagai kawasan baru, kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan mempunyai karakteristik komponen kawasan baru yang meliputi lahan dan pakan, peternak, ternak, teknologi serta sarana dan prasarana . a. Lahan dan Pakan Status kondisi lahan dan pakan (Tabel 15) pada tahapan tradisional di kampung Kalobo, Sakabu dan Waijan terbagi menjadi dua sistem usaha peternakan sapi potong sebagai berikut : 1) Pembibitan Berdasarkan hasil skor kawasan pembibitan
untuk lahan menunjukkan
nilai tertinggi (47.5-50), artinya bahwa lahan usaha sepenuhnya di kuasai oleh peternak. Secara keselurahan pada ketiga lokasi belum ada peruntukan lahan secara khusus untuk usaha pembibitan semuanya masih bertumpu pada lahan usaha tani lainnya dan lahan-lahan yang berada di bawah otoritas sektor atau subsector non peternakan. Umumnya ternak sapi dibiarkan lepas merumput pada lahan bekas sawah dan padang rumput. Pakan utama adalah rumput alami dan sisa hasil pertanian dengan sistem pemeliharan yang bersifat ekstensif. Belum ada usaha kearah budidaya hijauan, begitu pula dengan penyuluhan dan pembinaan yang terprogram oleh instansi terkait kearah intergasi usaha peternakan dengan sektor pertanian, perkebunan maupun kehutanan yang secara formil memegang otoritas terhadap lahan-lahan tersebut. 2) Penggemukan Seperti halnya kawasan pembibitan, skor untuk kawasan penggemukan mempunyai nilai yang tinggi (47.5-50). Ditinjau dari segi manajemen pemeliharaan, usaha penggemukan sapi potong relatif lebih bersifat intensif di bandingkan breeding. Pada ketiga lokasi penelitian, manajemen pemeliharaan oleh peternak belum mengarah kepada sistem penggemukan walaupun hubungan antara status dan kondisi lahan dengan klasifikasi kawasan penggemukan pada hakekatnya tidak berbeda dengan kawasan breeding. Pemanfaatan lahan untuk budidaya hijauan masih belum dijumpai dalam jumlah yang cukup berarti pada ketiga lokasi. Menurut Priyanto (2002), lahan pada kawasan baru umumnya
49
merupakan bagian dari kawasan pertanian tanaman pangan dan holtikutura yang masih jarang ternak ruminansia, namun petani setempat sudah terbiasa menggunakan limbah peternakan seperti pupuk kandang. b. Ternak dan Teknologi 1) Ternak Sapi Ternak sapi yang dipelihara adalah jenis sapi Bali yang di introduksi pertama kali pada tahun 1979. Dari rata-rata skor nilai ternak untuk kawasan pembibitan dan penggemukan (< 50%) berada di bawah nilai skor 75. Hal ini di dukung dengan hasil pendugaan bobot badan menunjukkan bahwa sapi Bali di ketiga lokasi penelitian manunjukan produktivitas yang rendah. Persentase kelahiran (22.32%) dari populasi dengan tingkat kematian (4.1%), nilai menunjukkan bahwa tingkat kematian ternak masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kelahiran (<5%). Salah satu ciri dari kawasan baru adalah ternak sapi yang dipelihara memiliki tingkat reproduksi yang rendah yang dicirikan dengan tingkat kelahiran dibawah 50 % dan kematian anak sapi ≥15 %, dan ternak sapi yang dipelihara memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah dengan
rataan
pertambahan
bobot
badan
dibawah
0.5
kg/ekor/hari
(Priyanto 2002). 2) Teknologi Budidaya Teknologi budidaya yang dipakai merupakan teknologi pada level produksi subsistem yaitu teknologi input rendah dimana input dan biaya produksi ditekan serendah mungkin. Beberapa hal yang menunjukkan ketiga lokasi ini sebagai kawasan baru dilihat dari aspek teknologi budidaya antara lain ; (1) sapi yang dipelihara adalah jenis sapi lokal (sapi Bali) yang sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, (2) sistem perkawinan masih kawin alam dan belum ada seleksi ternak yang terarah, (3) pakan yang diberikan terutama hijauan dengan mengandalkan rumput alam yang tidak dibudidayakan atau limbah pertanian, (4) pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif dengan menggunakan tenaga kerja keluarga, dan (5) penangan kesehatan dan gangguan reproduksi praktis tidak dilakukan dan jika ada bersifat pengobatan.
50
c. Peternak dan Petugas Pendamping Tingkat pengetahuan peternak diketiga lokasi penelitian terkait dengan penguasaan teknologi beternak dan keterampilan dalam pengelolaan usaha umumnya masih rendah begitupula dengan motivasi dan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan sapi potong. Umumnya mereka adalah peternak baru, sehingga masih perlu bimbingan dari instansi pemerintah melalui penyuluhan di kelompok peternak. Upaya peningkatan pengetahuan yang bermanfaat bagi peternak adalah pendidikan nonformal berupa kursus dan pelatihan. Kebutuhan tenaga pendamping baik keberadaan atau aksesibilitasnya masih kekurangan. Tingkat aksesibilitas dari kawasan untuk mendapatkan pelayanan dari petugas pendamping yang berada di sekitar lokasi cukup mudah namun keberadaan dari petugas pendamping yang masih sangat kekurangan dan tidak berada setiap saat. d. Aspek Kelembagaan Peternak dan Kelembagaan Keuangan Kelembagaan peternak umumnya masih berupa kelompok pemula yang di bentuk Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Raja Ampat sebagai pelaksana teknis. Peternak dalam kelompok ini baru mengenal kehidupan organisasi/kelompok dan umumnya mereka menjadi anggota bukan atas kemauan atau kesadaran sendiri tetapi lebih disebabkan oleh keinginan untuk menerima bantuan bibit ternak sapi potong dari pemerintah. Tingkat partisipasi anggota kelompok masih rendah karena nilai motivasi dan tingkat pengetahuan dalam peternakan sapi potong yang relatif rendah. Koordinasi pembinaan kelompok masih sepenuhnya masih diatur oleh tenaga pendamping dari pemerintah. Keberadaan kelembagaan keuangan perbankan maupun non bank sangat penting karena merupakan alternatif pembiayaan usaha. Pada ketiga kampung, Sakabu, Kalobo, dan Waijan sepenuhnya belum ada akses permodalan melalui perbankan. Seluruh bantuan kegiatan usaha peternakan sapi potong masih berasal dari program-program pengembangan sapi potong oleh Pemda Kabupaten Raja Ampat. Menurut Saragih (2000) dan Priyanto (2002), upaya mewujudkan kawasan
agribisnis
peternakan
menjadi
sumber
pertumbuhan
ekonomi
51
membutuhkan dukungan ketersediaan sumber-sumber permodalan yang sesuai dengan
karakteristik
masing-masing
usaha.
Sesuai
dengan
tingkat
pengembangannya pada kawasan baru umunya peternak belum banyak mengenal atau berhubungan dengan lembaga keuangan terutama yang formal. Langkah pertama yang harus di lakukan adalah memperkenalkan bank kepada peternak melalui bantuan permodalan dalam bentuk dana bergulir dengan sistem penyaluran langsung bank ke kelompok peternak. Bantuan permodalan tidak hanya mengandalkan Pemerintah tetapi juga dari pihak swasta dan masyarakat. Bentuk kerjasama permodalan yang sesuai bagi kelompok peternak pemula di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan adalah sistem bagi hasil dalam bentuk perguliran ternak. e. Manajemen Sistem pegelolaan peternakan sapi potong oleh peternak di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan masih bersifat ekstensif, tidak ada recording ternak dan pembukuan usaha, hal ini karena tingkat pendidikan peternak yang relatif rendah. Dalam hal perencanaan, peternak belum dapat menyusun rencana usaha jangka pendek maupun jangka panjang, tidak bisa meramalkan tingkat produksi maupun biaya produksi yang harus disediakan untuk tahun-tahun yang akan datang. Kondisi ini disebabkan tujuan beternak sapi potong oleh peternak hanya sebatas sebagai tabungan atau cadangan penghasilan yang akan digunakan sewaktu-waktu. f. Fasilitas Fasilitas penunjang dasar seperti holding ground, pos keswan, laboratorium diagnostik dan kandang karanrtina ternak telah di bangun di Unit Pelaksnana Teknis Daerah (UPTD) Sapi Potong di Kampung Kalobo, namun fasilitas ini belum dapat dipergunakan sebagaimana mestinya karena keterbatasan sumber daya manusia yang mengelolanya. Aksesibilitas ke fasilitas penunjang ini di dukung dengan jalan yang cukup memadai terutama dari kampung Sakabu dan Waijan. Penyaluran sarana produksi peternakan terutama vaksin dan obat-obatan sepenuhnya masih di tangani pemerintah dalam bentuk bantuan layanan kesehatan hewan.
52
Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong Dalam rangka menyusun suatu strategi pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, proses perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan secara efektif dan efisien pada level strategis dan taktis. Penelaahan pada level strategis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis SWOT. Hasil kajian pada level strategis ini akan menghasilkan suatu arahan sebagai masukan untuk penelaahan pada level taktis. Penelaahan pada level taktis dilakukan dengan menggunakan metode IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary). Analisis Faktor Internal-Eksternal (Analisis SWOT) 1. Kekuatan Analisis kekuatan dalam pengembangan kawasan ternak sapi potong pada wilayah penelitian (kampung Kalobo, Sakabu, dan Waijan) melibatkan beberapa aspek penting yaitu : (a) kapasitas tampung ternak, (b) kesesuaian agroklimat, (c)
ketersediaan
sumber
daya
manusia,
(d)
persepsi
atau
kebiasaan
masyarakat/peternak membudidayakan sapi potong, (e) organisasi peternak, (f) kondisi geografis, (g) ketersediaan sarana penyedia input produksi, dan (h) ketersediaan pasar dan pemasaran. Kombinasi antara kondisi lahan dan agroklimat merupakan unsur kekuatan yang dapat mendukung pengembangan ternak sapi potong di daerah tersebut. Kombinasi tersebut memungkinkan sebagian besar sapi potong di wilayah tropis seperti halnya sapi Bali dapat berkembang dengan baik, yang didukung oleh posisi geografis yang strategis. Lokasi kawasan yang dekat dengan kota Sorong sebagai pasar bagi produk sapi potong, merupakan akses yang mudah dengan menggunakan sarana transportasi laut yang cukup lancar. Demikian halnya dengan kemudahan penyediaan sarana input peternakan sapi potong, kepulauan Raja Ampat yang terkenal indah memungkinkan pengembangan wilayah tersebut menuju kawasan AgroEcoTourism yang terintegrasi berbasis sumberdaya lokal. Lahan yang tersedia sebesar 12 749 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya ternak sapi potong dengan daya tampung kurang lebih 17 792.55 satuan ternak. Disamping itu,. lahan sawah di daerah sekitarnya yang relatif masih luas dapat
53
dioptimalkan pemanfaatannya sebagai areal pengembalaan sapi potong. Limbah pertanian dari sawah, lahan pekarangan dan perkebunan sagu merupakan sumber pakan potensial untuk ternak sapi potong. Struktur penduduk di wilayah kawasan pengembangan sebagian besar (>75%) adalah petani atau nelayan merupakan modal tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sapi potong di daerah tersebut. Keragaan penduduk seperti ini mengindikasikan potensi yang relatif besar bagi upaya pengembangan sapi potong karena dari kelompok inilah sebagian besar menjadi ujung tombak aktivitas peternakan di tingkat dasar. Minat dan persepsi masyarakat untuk mengembangkan sapi potong cukup besar, karena kontribusi dari padi sawah kurang mendukung peningkatan pendapatan petani ternak. Disamping itu kebiasaan petani yang selalu memelihara ternak sapi sebagai bagian dari usaha taninya. Kondisi ini tentunya merupakan dukungan bagi pengembangan sapi potong yang tidak dapat berjalan sendiri, tetapi memerlukan masyarakat petani di daerah sekitarnya. Kerjasama pemerintah (UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat) sebagai inti dan peternak di kawasan peternakan sapi potong sebagai plasma merupakan kekuatan bagi upaya pengembangan sapi potong. Petani peternak dapat dihimpun dalam wadah kelompok tani/ternak dan dioptimalkan peran aktif para anggota peternaknya. Meski sebagian besar peternak berkualifikasi pemula, setidaknya proses kerjasama ini akan mengefektifkan proses percepatan pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, dan meningkatkan posisi bersaing peternak di wilayah tersebut dengan berbagai sub sistem yang lain. Beberapa lembaga penyedia input produksi peternakan telah tersedia pada wilayah sekitar lokasi penelitian meskipun belum memadai. Keberadaan UPTDPeternakan Kabupaten Raja Ampat (Gambar 10), yang terletak di kampung Kalobo telah dibangun gedung poskeswan yang menyediakan obat-obatan ternak dan gudang untuk menampung sarana peternakan. Disamping itu industri penggilingan padi dan usaha perikanan secara tidak langsung berperan sebagai lembaga penyedia pakan ternak tambahan (konsentrat) yang relatif murah. Ketersediaan pasar dan pemasaran bagi hasil ternak sapi potong berupa daging berlangsung relatif baik, hal ini disebabkan konsumsi daging masyarakat
54
Kabupaten Raja Ampat masih sangat tergantung dari daerah lain. Disamping itu kebutuhan akan daging berkualitas oleh perusahan-perusahan penambangan besar disekitar wilayah tersebut sangat menjamin bagi pengembangan usaha ternak sapi potong. Saat ini di lokasi penelitian belum terdapat TPH/RPH, dan pemasaran hasil ternak banyak dilakukan oleh pedagang secara tradisional.
Gambar 11. UPTD- Peternakan Sapi Potong di kampung Kalobo 2. Kelemahan Kajian mengenai unsur kelemahan dalam pengembangan kawasan ternak sapi potong pada lokasi penelitian meliputi aspek ; (a) fasilitas pembibitan ternak belum memadai, (b) belum tersedianya hijauan makanan ternak berkualitas, (c) fasilitas layanan kesehatan ternak belum memadai, (d) tingkat penguasaan teknologi peternakan masih relatif rendah, (e) tingkat penguasaan penanganan limbah masih relatif rendah, (f) kualitas sumber daya manusia peternakan masih relatif lemah, (g) peran institusi penyuluhan dan alih teknologi masih relatif rendah, (h) belum ada tata ruang ruang wilayah khusus peternakan, dan (i) tingkat pendapatan dan permodalan petani/ternak masih rendah. Tersedianya bibit ternak sapi yang unggul merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan usaha sapi potong di suatu wilayah. Sapi Bali dengan tingkat produktivitas yang relatif lebih rendah di lokasi penelitian bila
55
dibandingkan daerah lainnya merupakan kelemahan, disamping fasilitas pembibitan ternak belum memadai. Pembangunan fasilitas pembibitan sapi potong yang dirintis oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Raja Ampat berupa pembangunan UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat masih dalam tahap pembangunan sarana fisik awal. Selain itu, sumber pakan hijauan makanan ternak dan pemanfaatan limbah pertanian yang berkualitas serta ketersediannya secara kontinu belum dikelola secara baik. Sapi Bali yang ada hanya memanfaatkan hijauan alam yang tersedia dan belum ada hasil penelitian tentang kualitas hijauan tersebut, sementara itu kebun hijauan makanan ternak yang ada belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Begitu pula dengan ketersediaan fasilitas layanan kesehatan ternak yang masih sangat minim. Meskipun obat-obatan hewan telah tersedia tetapi pemanfaatannya belum optimal karena tidak adanya tenaga ahli seperti dokter hewan dan paramedisnya yang khusus secara langsung menangani ternak sapi. Sementara itu Poskeswan dan rumah dokter hewan saat ini baru dalam tahap pembangunan. Keterbatasan penyediaan sarana dan mobilitas petugas peternakan serta jangkauan layanan pada akhirnya bermuara pada minimnya layanan kesehatan ternak sapi potong berakibat pada lambatnya proses pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Peternak sebagai pelaku usaha, merupakan unsur penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong. Pada konteks yang lebih modern, peternak dituntut berperan efektif sebagai pelaku sekaligus manajer bagi usaha ternak sapi potongnya. Relatif masih lemahnya kualitas SDM peternak terlihat dari masih kurang efektifnya teknis produksi peternakan. Sebagai ilustrasi adalah belum optimalnya penggunaan hijauan berkualitas di kebun HMT milik UPTDPeternakan sebagai pakan ternak, disamping layanan kesehatan ternak dari petugas peternakan yang belum optimal dan efektif dalam memanfaatkan peralatan dan obat-obatan ternak. Penguasaan teknologi peternakan masih relatif rendah oleh kalangan peternak di kawasan pengembangan juga menjadi hambatan. Hasil pengkajian di lapangan, para peternak menegaskan pentingnya peningkatan kualitas SDM peternak melalui penyuluhan dan pelatihan baik yang menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan manajemen pembibitan,
56
pemeliharaan, produksi, pakan maupun kesehatan ternak sapi potong. Disamping itu, penguasaan teknologi penanganan limbah peternakan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong, teknologi ini diperlukan mengingat bahwa pengembangan peternakan di suatu kawasan sering menimbulkan masalah estetika atau pencemaran lingkungan. Peningkatan kuantitas dan kualitas petugas peternakan serta sarana dan prasarana penunjangnya merupakan salah satu hal yang tampaknya perlu segera dilakukan dalam upaya pengembangan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Hal ini menjadi sangat penting karena sebagian besar peternak menyatakan mereka kurang memperoleh pembinaan tentang berbagai aspek teknis pengembangan peternakan. Disamping itu, kurangnya modal menjadi kendala dalam usaha peternakan sapi potong di lokasi penelitian. Hasil survei dalam kajian ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak yang merupakan peternak binaan dari UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat memiliki keterbatasan dalam hal modal untuk mengembangkan ternak sapi potongnya. 3. Peluang Kajian mengenai unsur peluang dalam upaya pengembangan kawasan ternak sapi potong meliputi aspek ; (a) dukungan pemerintah daerah, (b) permintaan produk sapi potong secara internal, (c) keterbukaan pasar produk sapi potong, dan (d) teknologi peternakan yang semakin berkembang. Dukungan pemerintah daerah merupakan unsur penting dalam upaya pengembangan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Dukungan ini terlihat dari Rencana Strategis dan Program Kerja Bidang Peternakan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Raja Ampat tahun 2005. Prioritas program kerjanya meliputi ; (a) peningkatan ketahanan pangan, (b) pengembangan agribisnis peternakan, (c) peningkatan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, (d) peningkatan populasi dan produksi peternakan, (e) peningkatan SDM peternak dan petugas peternakan, dan (f) peningkatan PAD dari bidang peternakan. Semakin berkembangnya teknologi baru bidang peternakan sapi potong membuka banyak peluang bagi upaya pengembangan usaha sapi potong di
57
Kabupaten Raja Ampat. Peluang bagi upaya pengembangan tersebut antara lain melalui perbaikan teknik, manajemen dan efisiensi produksi peternakan sapi potong. Permintaan akan produk daging sapi potong oleh masyarakat dalam lingkup kabupaten Raja Ampat cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, peningkatan taraf hidup masyarakat dan dijadikannya kabupaten Raja Ampat sebagai pusat terumbu karang dunia dan wisata bahari. Produk daging sapi potong dalam lingkup Kabupaten Raja Ampat yang terserap dalam pasar regional maupun nasional mencapai angka 100%. Pangsa pasar ini akan semakin meningkat dengan munculnya perusahan-perusahan pertambangan baru yang menyerap banyak tenaga kerja dan membaiknya perekonomian masyarakat. 4. Ancaman Kajian secara mendalam mengenai unsur-unsur ancaman meliputi aspek : (a) penurunan mutu genetik ternak, (b) ancaman wabah penyakit, (c) persaingan pasar produk peternakan, dan (d) kebijakan daerah lain sejalan dengan otonomi daerah. Penurunan mutu genetik ternak sebagai akibat belum berfungsinya lembaga pembibitan secara optimal, kurangnya anggaran untuk penyediaan bibit sapi potong yang unggul dan pola pemeliharaan ekstensif oleh peternak akan memaksa peternak binaan untuk mengandalkan pola pembibitan rakyat yang mengarah pada makin menurunnya mutu genetik ternak sebagai akibat dari terjadinya silang dalam. Kondisi ini semakin diperburuk dengan ketergantungan masyarakat akan daging sapi impor baik dari luar daerah maupun luar negeri yang berakibat makin ketatnya persaingan pasar produk daging ternak. Ancaman ini tentunya perlu diantisipasi dengan optimalisasi keunggulan komparatif dan kompetitif produk sapi potong yang dimiliki, efisiensi proses produksi dan kegiatan promosi. Belum tersedianya kandang karantina ternak dan belum optimalnya layanan kesehatan ternak memungkinkan terjadinya penyebaran suatu wabah penyakit menular tertentu dengan sangat cepat. Apabila hal ini tidak segera ditanggulangi dapat mengarah pada makin menurunnya populasi sapi potong sehingga akan menghambat upaya pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.
58
Pelaksanaan otonomi daerah mengharuskan setiap daerah merevisi dan memprioritaskan arah pembangunannya untuk menggali seluruh sumber-sumber pendapatan daerah yang potensial. Daerah-daerah dengan orientasi SDA yang mendukung subsektor peternakan sebagai basis andalan daerah tentunya sedikit banyak akan menjadi ancaman bagi upaya pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, terlebih lagi jika daerah-daerah tersebut adalah kabupaten lain yang berada di Provinsi Papua Barat. Perencanaan Strategis Guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia bagi pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, dilakukan perencanaan strategis secara terintegrasi dan aktif melibatkan peran serta masyarakat. Dalam kaitannya dengan penyusunan suatu sistem atau strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, maka proses perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan pada level strategis, taktis, dan operasional. Perencanaan pada level strategis dirumuskan berdasarkan hasil analisis SWOT. Selanjutnya hasil analisis SWOT memberikan arahan bagi perencanaan pada level taktis yang dapat dirumuskan melalui metode IFAS dan EFAS. Berdasarkan elemen-elemen penentu berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah diuraikan sebelumnya, dirumuskan beberapa strategi dasar bagi pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. 1. Strategi SO (Strengths-Opportunities) Berdasarkan kekuatan dan peluang yang dimiliki, beberapa strategi yang disarankan berupa : a. Peningkatan skala usaha sapi potong hingga mencapai skala usaha yang lebih ekonomis dan dapat dilakukan melalui ; (a) penggunaan bibit ternak sapi potong unggul atau bibit ternak yang produktivitasnya tinggi, (b) pendayagunaan
HMT
berkualitas
tinggi,
(c)
mempersingkat
waktu
pemeliharaan (d) percepatan pergantian ternak, (e) penggunaan beberapa bangsa sapi potong unggul, dan (f) pembentukan usaha bersama (korporasi) yang tepat. Untuk penentuan skala usaha sapi potong yang ekonomis dilakukan dengan menghitung proyeksi usaha tersebut sebagai usaha pokok. Variabel
59
yang mempengaruhi skala usaha ternak sapi potong yang ekonomis meliputi nilai BC-Ratio, harga produk sapi potong berupa daging dan hasil ikutannya di daerah, dan produktivitas sapi potong itu sendiri. b. Percepatan
pencapaian
kapasitas
tampung
maksimum
ternak
sapi
potong dapat diupayakan melalui ; (a) peningkatan jumlah populasi, dan (b) peningkatan produktivitas populasi sapi potong. Peningkatan laju pertumbuhan atau produktivitas sapi potong dapat dilakukan melalui cara (1) perbaikan kualitas bibit, (2) optimalisasi pemanfaatan HMT berkualitas dan limbah pertanian/perkebunan, (3) perbaikan teknologi beternak sapi potong melalui sistem penggemukan yang lebih cepat, dan (d) perbaikan manajemen. Hal ini tentunya perlu mensyaratkan pentingnya penyediaan bibit sapi potong unggul, dan juga tersedianya tenaga SDM yang berkualitas untuk berfungsinya alih teknologi peternakan yang efektif. Sementara itu, peningkatan populasi saat ini dapat dilakukan melalui program penggaduhan ternak antara UPTDPeternakan Kabupaten Raja Ampat sebagai inti dan peternak rakyat dengan kelompok tani/ternaknya sebagai plasma
secara efektif dan efisien, serta
peningkatan kualitas layanan kesehatan dan pemuliabiakan ternak sapi potong. c. Peningkatan/percepatan alih teknologi peternakan kepada petugas dan atau peternak rakyat di Kabupaten Raja Ampat adalah dengan intensifikasi sistem beternak sapi potong, promosi yang intensif, dan pengembangan sistem penanganan dan pengolahan produk sapi potong dan hasil ikutannya. Intensifikasi dapat dilakukan melalui penerapan dan peningkatan pola pengembalaan
bergilir,
untuk
mengoptimalkan
pengembalaan dan hijauan makanan ternak.
pemanfaatan
padang
Berkaitan dengan kerangka
otonomi daerah, UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat dapat diarahkan pengembangannya menjadi suatu badan/lembaga pemerintah yang berorientasi profit/keuntungan dan pendidikan peternakan sapi potong bagi masyarakat melalui pengemabangan pusat pelatihan yang efektif dibawah koordinasi instansi terkait. Pembentukan unit usaha yang demikian ini akan mendorong pengembangan peternakan sapi potong disatu sisi dan peningkatan pendapatan daerah pada sisi lainnya. Pembentukan jaringan kerja ini diharapkan dapat
60
menjembatani semua sub sistem yang terlibat dalam program pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. 2. Strategi WO (Weakness-Opportunities) Strategi yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan yang ada antara lain ; (a) optimalisasi fasilitas yang telah ada, (b) perbaikan budidaya melalui sistem layanan kesehatan dan pemberian pakan yang efisien untuk mengimbangi kondisi rendahnya tingkat produktivitas bibit sapi potong, (c) penerapan teknologi tepat guna untuk mempercepat pengembangan sapi potong seperti pelaksanaan sistem pengembalaan bergulir, (d) integrasi usaha sapi potong dengan usaha pertanian padi sawah dan perkebunan sagu, (e) peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas/peternak melalui magang atau pelatihan pada daerah yang pengembang sapi potongnya telah berhasil seperti di Ciawi atau Ciamis, Jawa Barat. Peningkatan
nilai
tambah
dilakukan
melalui
pengolahan
limbah
penggilingan padi, pengolahan sagu dan hasil perikanan masyarakat untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan tambahan bagi ternak sapi potong. Pengadaan bibit sapi potong yang berasal dari balai pembibitan ternak sapi potong diperlukan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang telah ada. 3. Strategi ST (Strengths-Threats) Strategi untuk mengatasi ancaman penurunan mutu genetik ternak sapi potong yang terjadi karena proses silang dalam yang berlangsung lama, dapat dilakukan melalui pembuatan catatan (recording) ternak secara teratur guna terus memantau perkembangan sapi potong dan pelaksanaan sistem perkawinan silang antar ternak dengan pemilikan berbeda. atau antara kelompok ternak. Sistem perkawinan dengan pemanfaatan teknologi kawin suntik (IB) dapat juga dilakukan dimasa mendatang guna meningkatkan kualitas bibit sapi potong. Untuk mengatasi ancaman wabah penyakit dapat dilakukan dengan segera membangun kandang karantina hewan dan optimalisasi layanan kesehatan ternak. Strategi lain yang perlu disiapkan adalah peningkatan efisiensi produksi. perbaikan teknologi peternakan sapi potong. dan pengembangan sarana dan sistem transportasi. Disamping itu perlu pula dilakukan pemanfaatan limbah ternak sapi potong secara optimal melalui pengembangan sistem instalasi biogas dan
61
pembuatan pupuk organik. Terobosan untuk pasar produk daging sapi potong melalui pelayanan konsumen yang lebih baik dapat dilakukan, setelah sebelumnya dilaksakan pengembangan fasilitas TPH/RPH sesuai standar internasional. 4. Strategi WT (Weakness - Threats) Strategi untuk
mengatasi kelemahan dan
ancaman
dalam upaya
pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat menyangkut ; (a) rendahnya kualitas bibit sapi potong, (b) terbatasnya fasilitas peternakan yang mendukung, (c) belum optimalnya pemanfaatan HMT berkualitas dan layanan kesehatan ternak, (d) rendahnya kualitas SDM peternak, dan (e) adanya ketidakpastian atau keterbatasan modal. Menghadapi persaingan yang semakin ketat, upaya bertahan yang dapat dilakukan adalah mengembangkan model budidaya yang tepat guna dan fleksibel seperti mengembangkan model pengembalaan bergilir, penggunaan teknologi lokal sederhana jika ada, perlindungan plasma nutfah ternak asli Indonesia, dan mobilisasi sumber dana untuk menunjang permodalan. Usaha untuk mengatasi keterbatasan fasilitas, harus dilakukan dengan sistem pelayanan fasilitas yang menganut sistem skala prioritas. Pelayanan kesehatan untuk sistem pencegahan penyakit dapat menjadi prioritas utama karena penyakit masih merupakan masalah penting dalam usaha ternak sapi potong. Sehingga pembangunan poskeswan dan kandang karantina ternak yang dirintis saat ini harus diperlancar pelaksanaannya, begitupula dengan penambahan tenaga dokter hewan dan paramedis kesehatan hewan untuk pelaksanaan layanan kesehatan tersebut. Faktor Penentu Pengembangan Kawasan Sapi Potong Melalui metode IFAS dan EFAS dihasilkan beberapa sub elemen kunci yang merupakan faktor penggerak keberhasilan program pengembangan kawasan ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Sub-sub elemen tersebut adalah menyusun model pengembangan kawasan sapi potong terkait dengan; Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, Teknologi Budidaya Sapi Potong, Fasilitas Pembibitan Ternak dan Pengembangan Sistem Pemuliabiakan Sapi Potong, Fasilitas Kandang Karantina Ternak/Hewan, Fasilitas Layanan Kesehatan Berupa Poskeswan dan Dokter Hewan, Pasar dan Pemasaran, Kemitraan Usaha, Lembaga
62
Keuangan dan Modal, Kualitas Bibit Sapi Potong yang Rendah, dan Layanan Peternakan. Pembinaan Sumber Daya Manusia Peternakan. Ketersediaan sumber daya manusia peternakan pada kawasan peternakan baik kuantitas dan kualitas merupakan salah satu kebutuhan dan sub elemen kunci yang memiliki daya gerak besar bagi suksesnya program pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Menurut Priyanto (2002), peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan peternakan. Hal ini disebabkan karena dalam pengembangan kawasan peternakan, SDM tidak hanya sekedar faktor produksi melainkan yang lebih penting lagi adalah pelaku langsung kawasan peternakan. Sasaran penting pengembangan SDM
peternakan di Kabupaten Raja
Ampat mencakup tiga hal pokok yaitu ; (1) mengembangkan kemampuan penguasaan teknologi dan pengetahuan sehingga searah dengan pengembangan teknologi peternakan pada sistem dan usaha agribisnis, (2) mengembangkan kewirausahaan bagi peternak sehingga dapat menjadi pelaku-pelaku ekonomi bidang peternakan sapi potong yang handal/tangguh, (3) Mengembangkan kemampuan kerja tim sebagi pelaku langsung pengembangan kawasan peternakan sehingga mempunyai akses di kelembagaan yang ada pada sub-sistem agribisnis hulu, sub-sistem usaha tani (on - farm), sub-sistem agribisnis hilir dan agribisnis pendukung. Penerimaan tenaga yang bertugas pada UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat dengan demikian masih diperlukan, dan diusahakan tenaga tersebut tidak sebagai tenaga kontrak atau honorer tetapi sebagai pegawai negeri dalam UPTD-Peternakan. Pembinaan terhadap sumber daya manusia yang ada pun harus dilakukan secara kontinu melalui pelatihan dan magang. Pembinaan terhadap peternak dan atau petugas peternakan diarahkan pada upaya terjadinya transfer teknologi dalam budidaya sapi potong, teknologi penanganan limbah sumber biogas dan pupuk organik. Bila dilakukan pengelolaan yang baik, biogas dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi penerangan pada UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat dan wilayah sekitarnya, dimanfaatkan
untuk
meningkatkan
kesuburan
dan pupuk organik dapat tanah
masyarakat
petani
sawah/kebun. Disamping itu, pembuatan instalasi biogas dapat menjadi motivator
63
bagi peternak pemula dan penduduk sekitarnya untuk beternak sapi potong, hal ini sangat dimungkinkan karena dengan beternak sapi potong, ketergantungan akan bahan bakar minyak sebagai sumber energy listrik dan aktifitas memasak dapat diganti dengan energi yang berasal dari KTS (kotoran ternak segar) sapi potong yang diternakkan. Pembinaan terhadap kelompok ternak sebagai peternak binaan dan partner dari UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat perlu diintensifkan karena fungsi kelompok ternak akan mendukung kegiatan UPTD-Peternakan. Kelompok peternak memerlukan pembinaan intensif karena 90% responden menyatakan “kurang” memperoleh pembinaan dari petugas peternakan. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan diharapkan berperan sebagai ujung tombak dalam pembinaan sumber daya manusia peternak ini. Penyediaan Bibit Sapi Potong. Kualitas bibit sapi potong yang rendah di Kabupaten Raja Ampat dipengaruhi oleh kurang tersedianya dana yang digunakan untuk membeli bibit berkualitas, disamping mutu genetik bibit yang rendah karena pengaruh inbreeding sapi lokal. Oleh karena itu perlu diterapkan sistem perkawinan silang melalui proses seleksi bibit yang sesuai bagi kelompok ternak. Untuk pengembangan, diperlukan bibit sapi potong dengan kualitas yang lebih baik dalam rangka peningkatan produktivitas. Pencatatan ternak atau recording ternak secara teratur merupakan bagian yang penting untuk dilakukan. Pengembangan Fasilitas Peternakan. Fasilitas layanan peternakan yang belum memadai perlu ditingkatkan terutama untuk layanan kesehatan ternak. Pembangunan poskeswan dan penambahan tenaga dokter hewan serta paramedis kesehatan hewan seperti yang telah dirintis saat ini perlu segera direalisaikan, guna menunjang perbaikan kesehatan dan penanganan penyakit yang menyerang ternak sapi antara lain SE (Septicema epizootica), Jembrana, dan diare. Selain itu dilakukan peningkatan kualitas padang penggembalaan rakyat dengan sistem penggembalaan rotasi dan pembuakaan areal baru untuk penanaman hijauan makanan ternak seperti Rumput Gajah Thailand, Rumput Raja, Setaria dan beberapa jenis rumput lainnya yang berkualitas. Penyediaan instalasi tepat guna untuk pengolahan limbah pertanian seperti jerami dan ampas sagu untuk dijadikan
64
konsentrat, serta instalasi pembuatan biogas dan kompos untuk memanfaatkan limbah dari penggemukan sapi potong. Sistem pemasaran ternak yang ada dilokasi penelitian merupakan sistem pemasaran tradisional. Pemerintah dalam hal ini UPTD-Peternakan Sapi Potong di Kalobo difungiskan sebagai penyedia fasilitas dan pelaksana pasar sekaligus pengontrol pasar, seluruh hasil panen berupa ternak sapi hidup dijual oleh peternak dengan standar harga pasar tertinggi kepada UPTD. Hal ini dimaksudkan agar peternak terhindar dari persaingan pasar yang cenderung merugikan, disamping itu akan memotivasi peternak maupun kelompok peternak untuk semakin mengembangkan usaha ternaknya. Pengembangan Kawasan Sapi Potong Pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dimulai dengan perencanaan yang matang dalam kawasan sapi potong. Sementara itu dalam kerangka pembangunan UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat sebagai inti dalam pengembangan kawasan sapi potong yang berskala usaha ekonomis, maka upaya pengembangan usaha sapi potong hendaknya berbasis pendekatan agribisnis dengan pemanfaatan sumber daya lokal. Integrasi hulu-hilir dan horisontal-vertikal perlu mendapatkan tekanan perhatian agar upaya pengembangan sapi potong berjalan efisien dan bermanfaat bagi semua pihak. Integrasi yang dimaksud meliputi : (a) usaha pembibitan, (b) pengembangan sistem dan skala usaha, (c) penyediaan dan pengembangan modal, (d) adopsi teknologi tepat guna khususnya dalam hal pakan, pengendalian penyakit, dan pengembangan model pertanian LEISA, (e) pemberdayaan masyarakat, (f) seleksi target dan pengembangan yang tepat, (g) peningkatan dan distribusi fasilitas pelayanan peternakan, dan (h) pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang efektif dan berkelanjutan. Strategi pengembangan kawasan peternakan sapi potong di lokasi penelitian dari kawasan baru menjadi kawasan peternakan yang lebih maju, dilakukan dalam tiga tahap yang dimulai dari tahap exisiting (kawasan baru) kemudian tahapan kawasan pengembangan dan berikutnya tahapan kawasan maju (Lampiran 8). Berdasarkan rincian tahapan pengembangan kawasan ini diperlukan suatu model
65
perencanaan yang
teritegrasi dengan pertanian tanaman pangan (sawah) dan
perkebunan (sagu) di lokasi penelitian (kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan). Model Pengembangan Inti -Plasma Pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat sebagai suatu sistem berbasis agribisnis yang berskala ekonomis dapat dilakukan dengan model inti plasma. Pengembangan ternak sapi potong diarahkan sebagai usaha pokok yang berskala ekonomis dapat dikembangkan sebagai komponen penunjang model pertanian LEISA (Low Eksternal Input and Sustainable Agricultural). UPTD-Peternakan sebagai inti dan kelompok peternak penerima program perguliran ternak sapi potong sebagai plasma. Model ini dilaksanakan secara terintegrasi antara UPTD-Peternakan, peternak, dan petani tanaman pangan (Gambar 12). Sistem kerja ini dibagi dalam tiga komponen utama antara lain : 1. UPTD-Peternakan UPTD-Peternakan berfungsi sebagai inti yang menyediakan bibit ternak. bahan kandang dan bibit HMT serta pembinaan yang berkesinambungan kepada kelompok peternak melalui program perguliran. Disamping itu UPTD menerima setiap penjualan hasil ternak dari plasma maupun non plasma sesuai dengan harga standart tertinggi, hal ini berfungsi untuk mengontrol harga pasar sehingga peternak tidak dirugikan. Setiap ternak yang di peroleh dari kelompok peternak kemudian di seleksi. Hasil seleksi dibagi dalam dua kriteria yaitu sebagai ternak bibit atau sebagai bakalan untuk digemukkan, 50% bibit akan diredistribusi kembali ke anggota kelompok peternak baik sebagai perguliran ternak atau penjualan bibit baru, sedangkan sebagiannya lagi akan di masukkan ke unit pembibitan dalam UPTD-Peternakan. Ternak yang kurang baik sebagai bibit dimasukkan ke unit penggemukan untuk digemukkan kemudian dipotong dan dikemas dalam bentuk daging segar sesuai standar pengolahan di unit pasca panen sehingga daging tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi. Pada UPTD-Peternakan disediakan beberapa kandang pemeliharaan dan penggemukan yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin ternak. Kandang kawin dibuat untuk mencegah atau mengurangi proses terjadinya silang dalam yang dapat berakibat pada menurunya mutu genetik sapi potong, sehingga dengan
66
kandang kawin dapat memperlancar proses silang luar ternak sapi meski dimasa mendatang UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat dapat mengupayakan penerapan teknologi IB. Kandang melahirkan dibuat untuk menjamin dan menjaga proses kelahiran ternak sapi potong.
Pupuk
PETERNAK
PETANI Jerami, dedak, ampas sagu
Pembinaan
Sapi Pupuk Jerami, dedak, ampas sagu
UPTD Peternakan
Biogas
PEMBIBITAN PENGGEMUKAN
RPH KTS
Konsumen
Konsentrat
Pengolahan Limbah
Gambar 12. Model pengembangan inti-plasma sapi potong yang terintegrasi dengan pertanian dan perkebunan Padang
pengembalaan
digunakan
untuk
memperlancar
upaya
pengembangan sapi potong. Tiap areal padang pengembalaan dapat ditanami tiga jenis HMT dengan pola penanaman yang intensif (penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, irigasi, dan
teknik defoliasi yang benar).
67
Pembangunan RPH dapat menjadi rencana jangka menengah untuk menghasilkan produk daging berkualitas, tetapi pembuatan instalasi biogas sebaiknya menjadi rencana jangka pendek untuk mengatasi kesulitas listrik dan penerangan saat ini. Sementara itu pembangunan sarana dan prasarana air bersih serta jalan harus menjadi rencana jangka pendek yang pembangunannya dapat dilakukan sebelum atau bersamaan dengan pembangunan fasilitas lain. Hal penting lainnya adalah ketersediaan dan kecukupan petugas peternakan pada UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat. Lemahnya sistem layanan karena belum ada dukungan memadai petugas. Penerimaan petugas baru serta mengikutsertakan petugas-petugas ini dalam kegiatan pelatihan, penyuluhan dan alih teknologi peternakan sapi potong harus dilakukan secara intensif. 2. Peternak Sebagai plasma, peternak yang tergabung dalam kelompok peternak diberikan bantuan ternak dan sarana produksi dari pemerintah melalui UPTDPeternakan. Bantuan ini diatur sesuai ketentuan dalam pola perguliran ternak (Gambar 13) sampai peternak tersebut dapat mandiri. Program perguliran bibit sapi potong dalam bentuk paket peternak dapat dijadikan sebagai salah satu model yang dapat diterapkan sebagai pilot project. Jumlah paket program agribisnis usaha sapi potong (sapi Bali) yang digulirkan sebanyak 125 paket. Peternak dalam setiap paket program mendapat masingmasing sebanyak 4 ekor bibit sapi (3 ekor betina siap kawin dan 1 ekor pejantan), biaya pembuatan kandang penaganan dan kandang sederhana, serta program layanan kesehatan ternak (obat-obatan. vitamin dan vaksinasi) selama 12 bulan sejak paket diterima oleh sasaran. Rentan waktu untuk program layanan kesehatan tertanggung selama 12 bulan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa setelah masa 12 bulan ternak sapi sudah dapat berproduksi secara optimal sehingga setiap penerima paket program dapat membiayai sendiri kebutuhan program pemeliharaan dan kesehatan usaha ternaknya.
68
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Persiapan Penyebaran Paket : Sosialisasi program Seleksi ternak Seleksi peternak Karantina ternak Pelatihan Petugas Peternakan Pelatihan peternak Penyiapan lahan dan kandang Monitoring dan evaluasi
Paket Awal Program
UPTDPeternakan Kabupaten Raja
Program Pengembalian Paket Bibit (30-35%) 1.
Redistribusi 2. Dikelola oleh UPTD
Kelompok Sasaran
Peternak Sasaran
Kelompok Sasaran Baru
Produksi
Peternak Sasaran Baru
Milik Peternak (65-70%) 1. Pengembangan Usaha 2. Peningkatan Kesejateraan
Keterangan : : Alur pengembalian : Perguliran pertama : Perguliran berikutnya/Redistribusi Gambar 13. Pola pengembangan usaha sapi potong rakyat dengan sistem perguliran ternak. Jumlah sasaran penerima paket program agribisnis sapi potong direncanakan sebanyak 125 kepala keluarga (masing-masing satu paket /KK) untuk tiap kampung. Semua (125 KK) sasaran ini akan dibagi dalam lima kelompok (25 anggota KK / kelompok) yang didasarkan pada hamparan lokasi usaha. Pengelompokan sasaran ini selain akan memudahkan dalam proses pengelolaan dan pembinaan program, juga dapat mengefektifkan perencanaan pengembangan
69
kegiatan usaha selanjutnya. Lokasi yang dipilih untuk untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan agribisnis usaha sapi potong pada UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat didasarkan pada pertimbangan kondisi sosial ekonomi, aksesbilitas, dan sumberdaya pendukung daerah setempat (kampung Kalobo, Sakabu dan Waijan). Mekanisme perguliran. Paket awal kegiatan program aksi. ternak yang digulirkan sebanyak 375 paket untuk 375 KK sasaran (satu paket /KK) pada tiga desa, masing-masing desa memperoleh 125 paket, dan akan dinaungi oleh lima kelompok kegiatan usaha (25 KK/kelompok/Desa). Nilai nominal kredit program yang diperhitungkan dan harus dikembalikan oleh setiap penerima paket program terdiri dari biaya pembelian empat ekor ternak sapi tertanggung selama 12 bulan. Sedangkan biaya pelatihan, layanan kesehatan, dan pengadaan fasilitas/peralatan pendukung lain yang terkait dengan pengembangan usaha kelompok akan dimasukkan dalam kategori biaya bantuan atau hibah yang berasal dari dana APBD Kabupaten Raja Ampat atau Dana Alokasi Khusus Departemen Pertanian RI. Hasil pengembalian dari paket awal kegiatan program aksi ini akan digulirkan kembali (redistribusi) kepada sasaran penerima berikutnya, jumlah penerima menjadi salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan kegiatan, sekaligus menentukan kapasitas ekonomi keluarga petani yang terlibat dalam program. Sistem pengembalian dari paket program aksi ini pada prinsipnya dapat dirumuskan
dan
disepakati
oleh
kelompok,
yang
pada
intinya
harus
mencerminkan distribusi hasil usaha secara proporsional untuk kepentingan peningkatan
kesejahteraan
sasaran
dan
kegiatan
perguliran
selanjutnya
(redistribusi program). Sebagai pegangan, sistem pengembangan untuk mendukung kegiatan redistribusi program dapat dilakukan sebagai berikut : Setiap sasaran penerima paket program wajib mengembalikan kredit program yang diterimanya dalam bentuk 30-35% produksi ternaknya berupa bibit sapi setiap tahunnya sampai masa pelunasan kredit selesai. Sedangkan 65-70% hasil produksi ternak tersebut dapat dimanfaatkan oleh sasaran untuk membiayai dan mengembangkan kegiatan usahanya, serta meningkatkan kesejahteraannya.
70
Dana pengembalian paket program tersebut selanjutnya dapat menjadi modal baru yang akan digulirkan kembali (redisribusi) kepada sasaran penerima program berikutnya atau menjadi modal untuk dikembangkan di lokasi UPTDPeternakan Kabupaten Raja Ampat. Selain itu, sebagian kecil dari dana pengembalian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai dana usaha penyangga kelompok (maksimum 20%) dan dana operasional kelompok ( maksimum 10 %), sehingga dana pengembalian yang dialokasikan untuk kepentingan kegiatan redistribusi program minimum 70%. Seluruh hasil produksi dari peternakan berupa sapi bakalan ditampung oleh UPTD-Peternakan untuk kemudian dipasarkan dalam bentuk daging segar maupun bibit sapi unggul. Pembinaan secara berkelanjutan kepada peternak menjadi tanggung jawab sepenuhnya pihak UPTD sampai dengan peternak maupun kelompok peternak dapat mandiri. 3. Petani Tanaman Pangan Pihak petani tanaman pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem integrasi. Hasil limbah pertanian berupa jerami padi. dedak dan ampas sagu dari petani diolah pada unit pengelolahan limbah di UPTDPeternakan menjadikannya sebagai bahan pakan konsentrat bagi sapi yang digemukkan, begitu pula pada kelompok peternak.
Hasil limbah peternakan
berupa kotoran ternak segar (KTS) diolah menjadi sumber biogas dan pupuk organik yang kemudian akan dimanfaatkan kembali oleh Pihak UPTD, peternak dan petani. Pola ini merupakan komponen dalam model LEISA, pemeliharaan sapi potong yang dilakukan oleh peternak plasma/binaan UPTD-Peternakan dan unit penggemukannya sebagai komponen penunjang aktivitas usaha petani tanaman pangan. Dalam hal ini, kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk menunjang peningkatan produktivitas pertanian. Kegiatan pendampingan program agribisnis usaha sapi potong dilaksanakan oleh UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat secara intensif. Aktivitas yang dilakukan meliputi kesehatan ternak, produksi, manajemen, sumberdaya manusia, pemasaran, dan aspek teknis lain yang terkait dengan usaha pengembangan sapi potong dan kesejahteraan peternak. Pembinaan secara berkelanjutan dilakukan oleh UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat agar peternak dapat mandiri.
71
Melalui pembinaan yang intensif dalam jangka panjang dapat terbentuk kawasan peternakan sapi potong yang maju, dan hal ini tentunya menjadi salah satu wujud keberhasilan keberadaan UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat. Keberhasilan penerapan Model ini perlu didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi secara rutin dan cermat. Hal ini karena pola ini memerlukan perencanaan dan manajemen investasi yang akurat. Disamping aspek pembibitan dan budidaya, pola konsumsi lokal juga merupakan aspek penting yang memerlukan monitoring secara terus menerus. Pelaksanaan monitoring harus ditunjang dengan penempatan tenaga lapangan khusus dibawah koordinasi UPTDPeternakan Kabupaten Raja Ampat yang dapat bekerja dengan efektif. Evaluasi sangat di perlukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi usaha pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.
72