USUL PENELITIAN DISERTASI
JUDUL PENELITIAN
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SISTEM POLA TANAM DI PULAU LOMBOK OLEH
I Wayan Yasa, ST., MT.
KEPADA
PROGRAM DOKTOR
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA TAHUN 2015
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SISTEM POLA TANAM DI PULAU LOMBOK
ABSTRAK Perubahan iklim saat ini telah terjadi secara global dan telah dan akan menyebabkan bahaya langsung berupa perubahan pola curah hujan, kenaikan temperatur, kenaikan muka air laut, dan kejadian iklim ekstrim. . Perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara, serta peningkatan kejadian iklim ekstrim berupa banjir dan kekeringan merupakan beberapa dampak serius perubahan iklim yang dihadapi beberapa wilayah di Indonesia. Perubahan iklim yang terjadi akan berdampak pada perubahan pola curah hujan baik kejadian dan intensitasnya, Perubahan pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan. Perubahan ini tentunya sangat berkaitan dengan sektor pertanian. Perpaduan antara meningkatnya suhu rata-rata, siklus hidrologi yang terganggu sehingga menyebabkan musim kemarau lebih panjang dan musim hujan yang lebih intensif namun lebih pendek, meningkatnya siklus anomali musim kering dan hujan dan berkurangnya kelembaban tanah akan menganggu sektor pertanian. Perubahan iklim akan mempengaruhi ketersedian air dan berdampak pada pergeseran pola tanam. Sektor pertanian perlu beradaptasi terhadap perubahan iklim karena seiring dengan semakin tingginya suhu bumi dan berubahnya pola presipitasi terjadi juga: perubahan zona iklim dan pertanian, perubahan pola produksi pertanian. Selain menurunkan produktivitas, pergeseran musim dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan dan kebanjiran, juga menjadi penyebab penciutan dan fluktuasi luas tanam serta memperluas areal pertanaman yang akan gagaI panen, terutama tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya. Oleh sebab itu perubahan iklim dan kejadian iklim ekstrim seperti EI-Nino dan La-Nina akan mengancam ketahanan pangan nasional, dan keberlanjutan pertanian pada umumnya. Salah satu persoalan kebutuhan manusia yang terpengaruh sebagai dampak pemanasan global tersebut adalah ketersedian air. Ketersediaan air merupakan permasalahan yang penting yang terkait dengan perubahan iklim. Vörösmarty et al. (2000) menunjukan bahwa masalah air terjadi karena adanya peningkatan penduduk bumi sehingga meningkatkan pula kebutuhan air. Kebutuhan yang meningkat akan semakin menekan pada sistem air global yang berkaitan dengan efek pemanasan global. Peningkatan jumlah penduduk dan ekonomi menjadi pendorong utama kebutuhan air, sementara itu ketersediaannya dipengaruhi oleh peningkatan evaporasi (penguapan) akibat peningkatan temperatur permukaan bumi. Hal ini berkorelasi pada kebutuhan akan adanya manajemen terintegrasi sumber daya air, yang bila tidak dilakukan akan berdampak pada pengrusakan sumber daya air secara fisik, institusional, dan selanjutnya berimplikasi pada sosioekonomi. Penelitian yang akan dilaksanakan mengunakan analisis empiris berupa analisis imbangan air pada setiap periode bulanan dengan menggunakan data-data historis klimatologi berupa data hujan, penguapan, kelembaban udara, radiasi matahari, temperature. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran hasil analisis perubahan karakter klimatologi sampai dengan tahun
2011. Data yang digunakan yaitu keseluruhan data hujan yang berada di Pulau Lombok baik yang bersumber dari Dinas Pertanian, BMKG, BISDA Analisis yang dilakukan yaitu analisis pergeseran bulan kejadian hujan, analisis perubahan penguapan, analisis ketersediaan air, analisis pola tanam serta analisis produktivitas pertanian. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu memperoleh gambaran nyata terhadap dampak perubahan iklim di Pulau Lombok terhadap ketersediaan air dan pergeseran pola tanam yang nantinya dapat digunakan sebagai rujukan dalam menata kembali sitem pola tanam yang ada sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan anomaly perubahan iklim yang terjadi. Sehingga dengan demikian produktivitas pertanian masih dapat terjaga. Dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dapat menambah kasanah tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap kelangsungan sitem pertanian, pengembangan IPTEK dalam mengantasipasi perubahan iklim dan rekayasa system penyediaan air untuk pertanian. Kata kunci : iklim, ketersediaan air, pola tanam
BAB I. PENDAHULUAN Iklim adalah besaran rata-rata dari fenomena fisis cuaca, yaitu variasi ekstrem dari musim yang berlangsung secara lokal, regional atau global. Pada suatu daerah tertentu cuaca dapat berubah dengan cepat dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Perubahan ini antara lain dapat meliputi terjadinya perubahan suhu, fenomena pergeseran waktu terjadinya presipitasi, fenomena perubahan intensitas angin dan akumulasi awan. Perubahan iklim dengan segala penyebabnya secara faktual sudah terjadi di tingkat lokal, regional maupun global. Peningkatan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) mengakibatkan terjadinya pemanasan global, diikuti dengan naiknya tinggi permukaan air laut akibat pemuaian dan pencairan es di wilayah kutub.Naiknya tinggi permukaan air laut akan meningkatkan energi yang tersimpan dalam atmosfer, sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim, antara lain El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino dan La Nina sangat berpengaruh terhadap kondisi cuaca/iklim di wilayah Indonesia dengan geografis kepulauan. Sirkulasi antara benua Asia dan Australia serta Samudera Pasifik dan Atlantik sangat berpengaruh, sehingga wilayah Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Hal ini diindikasikan dengan terjadinya berbagai peristiwa bencana alam yang intensitas dan frekuensinya terus meningkat. Fenomena El Nino adalah naiknya suhu di Samudera Pasifik hingga menjadi 31°C, sehingga akan menyebabkan kekeringan yang luar biasa di Indonesia. Dampak negatifnya antara lain adalah peningkatan frekuensi dan luas kebakaran hutan, kegagalan panen, dan penurunan ketersediaan air. Fenomena La Nina merupakan kebalikan dari El Nino, yaitu gejala menurunnya suhu permukaan Samudera Pasifik, yang menyebabkan angin serta awan hujan ke Australia dan Asia Bagian Selatan, termasuk Indonesia. Akibatnya, curah hujan tinggi disertai dengan angin topan dan berdampak pada terjadinya bencana. Perubahan iklim sudah berdampak pada berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan di Pulau Lombok. Sektor kesehatan manusia, infrastruktur, pesisir dan sektor lain yang terkait dengan ketersediaan pangan (pertanian, kehutanan dan lainnya) telah mengalami dampak perubahan tersebut. Di sektor pertanian, sama dengan sektor lainnya, belum ada studi tingkat nasional yang mengkaji dampak perubahan iklim terhadap sumber daya iklim, lahan, dan
sistem produksi pertanian (terutama pangan). Kerentanan suatu daerah terhadap perubahan iklim atau tingkat ketahanan dan kemampuan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, bergantung pada struktur sosial-ekonomi, besarnya dampak yang timbul, infrastruktur, dan teknologi yang tersedia. Di Indonesia, upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1990. Untuk memperkuat pelaksanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia pada sektor pertanian, perlu ditetapkan strategi nasional mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara terpadu dan terorganisir. Pengembangan sektor pertanian sangat tergantung dari kondisi ketersediaan air permukaan yang didominisi oleh keberadaan hujan sehingga keberhasilan produksi pertanian sangat tergantung oleh keberadaan hujan. Terjadinya pergeseran dan perubahan iklim secara signifikan telah mempengaruhi system pertanian yang telah berlangsung dan berdampak pada menurunnya hasil produksi pertanian, banyak lahan irigiasi potensial tidak dapat dimanfaatkan karena keterbatasan ketersediaan air permukaan. Strategi antisipasi dan teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi rencana strategis dalam rangka menyikapi perubahan iklim. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pertanian yang tahan (resilience) terhadap variabilitas iklim saat ini dan mendatang. Upaya yang sistematis dan terintegrasi, serta komitmen dan tanggung jawab bersama yang kuat dari berbagai pihak sangat diperlukan guna menyelamatkan sektor pertanian. Kerentanan dan risiko perubahan iklim terhadap sektor air perlu dipahami sejak dini dalam upaya pengelolaan, sumber daya air dan sektor pembangunan terkait sumber daya air yang lebih baik di wilayah-wilayah tersebut. Pengenalan bahaya dan kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim dalam berbagai periode yang ditinjau serta skenario perubahan iklim yang dilibatkan akan memberikan gambaran risiko dalam aspek ketersediaan air, bahaya banjir, dan kekeringan. Dengan itu, maka persoalan-persoalan berkaitan dengan dampak perubahan iklim dan upaya pengurangan risiko perubahan iklim dapat dikenali sejak awal. Secara metodologis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya metode kajian atau penelitian kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim di wilayah pulau dengan profil kondisi seperti Pulau Lombok. Metode penelitian dan saran- saran hasil penelitian diharapkan bermanfaat
untuk pulau-pulau lainnya yang kondisinya tidak banyak berbeda dengan Pulau Lombok, baik situasi geografis, ketersediaan data, maupun kondisi dan situasi lainnya. Secara aplikatif, penelitian ini diharapkan dapat memperjelas persoalan mengenai dampak, kerentanan dan risiko akibat perubahan iklim terhadap ketersediaan air dan pergeseran pola tanam dengan skala informasi yang dihasilkan berada pada tataran meso level. Dengan demikian, terdapat acuan awal untuk kajian kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim dalam skala yang lebih rinci, dan strategi adaptasi guna mengurangi risiko akibat perubahan iklim terhadap sektor air pada periode waktu dan skenario waktu dan ruang..
Permasalahan Permasalahan yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap pola tanam di Pulau Lombok. Dalam hal tersebut akan mencari hubungan perubahan iklim
pada dampak yang ditimbulkan berupa potensi ketersediaan
sumberdaya air permukaan yang menjadi sumber air irigasi. Ketersediaan sumberdaya air dalam sekala waktu dan ruang sangat ditentukan oleh kejadian hujan serta tingkat penguapan yang terjadi. Kejadian perubahan iklim yang terjadi akan berpengaruh pada rentang waktu ketersediaan air dan volume air yang tersedia sehingga sangat perlu di analisis kuantitas air yang tersedia dan waktu keberadaannya sehingga dapat digunakan dalam menentukan pengelolaan system irigasi dan usaha pertanian yang dilakukan. Demikian pula dalam menetapkan system pola tanam sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air sehingga keberhasilan produksi pertanian sangat tergantung dari ketersediaan air permukaan. Perubahan pola hujan menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan. Perubahan tersebut tentunya sangat berkaitan dengan sektor pertanian. Perpaduan antara meningkatnya suhu rata-rata, siklus hidrologi yang terganggu sehingga menyebabkan musim kemarau lebaih panjang dan musim hujan yang lebih intensif namun lebih pendek, meningkatnya siklus anomaly musim, berkurangnya kelembaban tanah akan menggangu sektor pertanian. Sektor pertanian perlu beradaptasi terhadap perubahan iklim karena seiring semakin tingginya suhu bumi, berubahnya presipitasi serta terjadi juga perubahan zona iklim. Selain menurunkan produktivitas, pergeseran musim dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrem terutama kekeringan dan
kebanjiran oleh sebab itu perubahan iklim ekstrem seperti El-Nino dan La-Nina akan mengancam ketahanan pangan nasional. Secara rinci permasalahan yang melatar belakangi rencana penelitian yaitu diantaranya sebagai berikut: 1. Ketidakpastian ketersediaan air permukaan yang menjadi sumber air irigasi 2. Berkurangnya luas lahan irigasi yang dapat dibudidayakan karena keterbatasan ketersediaan air 3. Bergesernya pola curah hujan dari tahun ketahun 4. Tingginya tingkat kegagalan produksi pertanian
Tujuan Khusus Semakin tidak menentunya pola perubahan iklim khususnya dewasa ini telah berdampak nyata pada berbagai aspek peradaban masyarakat terutamanya pada tataran irigasi. Keberhasilan pengelolaan system irigasi/pertanian sangat tergantung dari ketersediaan sumber air irigasi, keadaan tanah, curah hujan, temperature, kelembaban serta jenis tanaman yang dibudidayakan. Banyak factor yang menentukan keberhasilan produksi pertanian diantaranya yaitu ketersediaan air irigasi, ketepatan memilih waktu tanam, jenis tanaman yang dibudidayakan serta kesesuaian iklim. Berbagai usaha yang perlu dilakukan dalam mengantisipasi dampak phenomena terjadinya perubahan iklim terutamanya dalam mempertahankan keberlanjutan proses industri pertanian. Penyesesuaian pengelolaan sistem irigasi sangat penting terutama dalam penyediaan air irigasi yang sebagian besar tergantung dari air permukaan yang bersumber dari hujan. Jika hal demikian diabaikan peluang akan terjadinya kegagalan dalam proses produksi pertanian akan sangat besar. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan khusus dari penelitian ini yaitu: 1. Melakukan analisis perubahan iklim yang terjadi 2. Melakukan kajian secara mendalam terhadap pola pergeseran musim hujan dan musim kering 3. Melakukan kajian terhadap perubahan kuantitas ketersediaan air permukaan akibat perubahan iklim 4. Melakukan kajian secara mendalam terhadap pergeseran pola tanam
Urgensi Penelitian Perubahan iklim merupakan perubahan baik pola maupun intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata-rata 30 tahun). Perubahan iklim dapat berupa perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi rata-ratanya. Sebagai contoh, lebih sering atau berkurangnya kejadian cuaca ekstrim, berubahnya pola musim dan peningkatan luasan daerah rawan kekeringan. Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim yaitu suhu, curah hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin, dan perawanan. Pengertian perubahan Iklim menurut berbagai sumber : a. UU No. 31 Tahun 2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. b. Pemahaman petani Perubahan Iklim adalah terjadinya musim hujan dan kemarau yang sering tidak menentu sehingga dapat mengganggu kebiasaan petani (pola tanam) dan mengancam hasil panen. c. Pemahaman nelayan Perubahan iklim adalah susahnya membaca tanda-tanda alam (angin, suhu, astronomi, biota, arus laut) karena terjadi perubahan dari kebiasaan sehari-hari, sehingga nelayan sulit memprediksi daerah, waktu dan jenis tangkapan. d.
Pemahaman masyarakat umum Perubahan iklim adalah ketidakteraturan musim.
Phenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ketersediaan air permukaan sangat berkurang demikian pula dengan waktu kejadian hujan dari tahun ketahun mengalami pergeseran sehingga ketepatan dalam melakukan waktu tanam tidak menentu. Demikian juga dengan capaian luas tanam yang dapat dilakukan menunjukkan adanya kecenderungan penurunan luas yang dapat dibudidayakan. Selain hal tersebut harapan ketersediaan air irigasi pada masa-masa pertumbuhan tanaman membutuhkan air seringkali tidak tersedia, hal demikian yang mempengaruhi tingginya tingkat kegagalan produksi pertanian. Kejadian tersebut kemungkinan disebabkan adanya perubahan iklim yang mempengaruhi besarnya intensitas hujan dan pergesaran waktu kejadian hujan. Perubahan iklim dapat berupa perubahan dalam kondisi rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi rata-rata. Sebagai contoh lebih sering atau berkurangnya kejadian cuaca ekstrim,
berubahnya pola musim dan peningkatan luasan daerah rawan kekeringan. Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim yaitu : suhu, curah hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin dan perawanan. Kerentanan dan resiko perubahan iklim terhadap sector air di Pulau Lombok perlu segera dipahami dalam upaya pengelolaan sumberdaya air dan sektor pembangunan terkait sumberdaya air yang lebih baik. Peneganalan bahaya dan kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim dalam berbaai periode yang ditinjau serta skenario perubahan iklim yang dilibatkan akan memberikan gambaran resiko dalam aspek ketersediaan air, bahaya banjir dan kekeringan. Urgensi dari hasil penelitian diharapkan dapat menjadi refeernsi atau rujukan dalam menata kembali keberadaan sistem pola tanam yang dapat menyesesuaikan dengan pergeseran kejadian curah hujan sehingga keterjaminan sumber air irigasi selama musim tanam dapat tersedia.
Temuan/Inovasi Target Sebagai
salah
satu
wilayah
yang
sebagian
besar
masyarakatnya
menggantungkan
perekonomiannya dari hasil pertanian kejadian perubahan dan pergesaran iklim akan berpengaruh pada hasil pertanian yang dibudidayakan. Pengaruh yang mungkin timbul akibat perubahan iklim tidak hanya bersifat negatif yaitu kekeringan dan kebanjiran tetapi disuatu wilayah kemungkinan berdampak positif . Temuan atau inovasi target dari hasil penelitian yang ingin dicapai yaitu: 1. Pola perubahan iklim di Pulau Lombok 2. Dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan sumberdaya air 3. Pergeseran sistem pola tanam akibat perubahan iklim
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Keberadan ramalan cuaca menjadi sangat penting, khususnya di negara-negara seperti di Eropa dan di Amerika, yang disiarkan berulang kali dalam sehari melalui radio atau televisi. Berbeda dengan cuaca, iklim dipengaruhi oleh terjadinya perubahan orbit bumi terhadap matahari, perubahan enersi matahari yang memancar ke bumi, perubahan-perubahan fenomena fisis yang terjadi di lautan dan didaratan. Jadi pada dasarnya iklim dikontrol oleh fenomena alamiah kesetimbangan enersi antara bumi dan atmosfer yang berlangsung dalam kurun waktu yang lebih lama. Sinar matahari yang sampai ke bumi (visible light) diserap oleh permukaan bumi dan oleh atmosfer. Sebagian dari energi yang diserap tersebut secara seimbang dipancarkan kembali sebagai enersi infra merah yang lebih bersifat panas. Gas karbon dioksida, metana, uap air, awan dan partikel-partikel aerosol yang terdapat di atmosfer bumi, mempunyai sifat menyerap panas dari radiasi infra merah tersebut. Dengan terjadinya peningkatan konsentrasi gas-gas tersebut di atmosfer maka lebih banyak panas yang diserap dan dipantul balikkan, sehingga menyebabkan kenaikan suhu di permukaan bumi kita. Inilah yang dinamakan efek rumah kaca (greenhouse effect). Angin dan arus laut mendistribusikan panas ke permukaan bumi. Kondisi inilah yang kemudian meyebabkan kecenderungan terjadinya peru-bahan iklim yang ditandai dari berbagai peru-bahan fenomena alam, misalnya naiknya suhu udara, perubahan intensitas presipitasi, pergeseran dan ketidak aturan pergantian musim, perubahan tekanan udara dan lain sebagainya. Dampak dari segala perubahan tersebut akan membawa pengaruh terhadap pola kehidupan di muka bumi ini. Seperti telah dikemukakan bahwa terjadinya efek rumah kaca disebabkan oleh sejumlah massa berupa gas atau pertikel-pertikel halus yang ada di atmosfer, misalnya gas karbon dioksida, methane uap air dan partikel-partikel halus berupa debu yang berasal dari letusan gunung berapi. Efek rumah kaca ini sebenarnya sudah terjadi sejak beratus bahkan beribu tahun yang lalu, karena uap air dan karbon dioksida secara alamiah sudah hadir secara seimbang di atmosfer bumi ini. Adanya karbon dioksida dan uap air alamiah di atmosfer yang dalam keadaan seimbang inilah yang menciptakan variasi suhu udara seperti yang kita rasakan selama ini. Sebab kalau misalnya di atmosfer ini tidak terdapat gas karbon dioksida dan uap air maka suhu udara di bumi akan menjadi 340C lebih rendah dari yang kita rasakan saat ini. Namun apabila kadar gas rumah
kaca di atmosfer bumi ini meningkat terus melebihi kadar alamiahnya akibat perilaku dan tindakan manusia (external factors) maka akan diikuti peningkatan suhu udara global. Akselerasi pertambahan kadar karbon dioksida di alam ini seharusnya agak dapat dikurangi oleh vegetasi kawasan hutan dan tanaman lainnya yang memerlukan gas karbon dioksida dalam proses fotosintesa. Namun ironisnya, manusia dengan dalih ingin memper-cepat laju pembangunan justru banyak mem-babat hutan dan membuka lahan. Aktivitas manusia yang dapat menambah kadar karbon dioksida di atmosfer adalah semua kegiatan yang dikerjakan dengan menggunakan energi dimana energi tersebut diperoleh dari pembakaran bahan fosil, seperti batubara, minyak bumi dan gas alam. Sebagai produk samping utama dari energi yang diperoleh dari pembakaran bahan fosil tersebut adalah gas karbon dioksida yang makin lama akan makin memenuhi atmosfer bumi. Berapa banyak gas karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer bumi dapat di-ilustrasikan dengan data pada kondisi pada tahun 1997. Pada tahun 1997 tersebut telah diproduksi 5,2 milyard ton batubara, 26,4 milyard barrel minyak bumi dan 81,7 triliun kubik feet gas alam. Apabila bahan-bahan fosil tersebut dibakar untuk memperoleh energi maka akan dihasilkan karbon dioksida sebanyak 6,2 milyard metrik ton yang akan menyebar ke atmosfer bumi. Dari data yang dihimpun oleh UNEP menunjukkan bahwa kadar gas karbon dioksida di amosfer telah meningkat 31% sejak tahun 1975. Peningkatan gas karbon dioksida selama 20 tahun terakhir ini 75% berasal dari hasil pembakaran energi fosil (minyak bumi, gas alam dan batubara). Apabila penggunaan energi fosil terus berlangsung dan makin bertambah maka akumulasi gas karbon dioksida juga akan makin bertambah. Pada saat sekarang ini kadar gas karbon dioksida di atmosfer sudah mencapai lebih dari 360 ppm. Gas ini bersama dengan uap air dan gas rumah kaca lainnya seperti metana, menyelimuti atmosfer dan menyerap serta memantul balikkan sinar infra merah yang mengandung panas yang dapat meningkatkan suhu di muka bumi. Kondisi ini akan menyebabkan efek berantai dimana dengan meningkatnya suhu udara akan menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas penguapan air permukaan dan air laut. Dengan meningkatnya intensitas penguapan air permukaan berarti menambah kadar uap air di atmosfer dan ini menambah konsentrasi gas rumah kaca. Dengan makin meningkatnya intensitas penguapan juga mengakibatkan meningkat dan berubahnya pola presipitasi di wilayah tertentu
yang menyebabkan terjadinya banjir di suatu wilayah dan kekeringan di wilayah lainnya. Meningkatnya suhu udara secara global juga akan menyebabkan mencairnya es di kutup dan salju di pegunungan yang menyebabkan meningkatnya muka air laut dan terjadinya banjir besar di negara-negara wilayah sub tropis. Meningkatnya suhu akan menyebabkan juga terjadinya penurunan kadar air tanah (soil moisture content), sehingga tanah menjadi cepat kering dan memerlukan lebih banyak air untuk irigasi pertanian. Apabila kondisi tersebut berlangsung terus, apalagi kalau makin meningkat, maka akan terjadi apa yang dinamakan perubahan iklim (climate changes). Pada abad ke 20 ini suhu udara di bumi rata-rata meningkat 0,6 ± 0,20C. Tahun 1998 adalah merupakan tahun terpanas sejak 1861. Antara tahun 1950 – 1993 suhu udara minimum pada malam hari naik 0,20 C setiap dekade. Akibat dari kenaikan suhu udara ini dari foto satelit diketahui bahwa sejak tahun 1960 luasan hamparan salju di wilayah kutub dan sekitarnya telah menyusut 10 %. Demikian pula ice cover di pegunungan-pegunungan juga mengalami penyusutan. Dari data paras air laut dicatat bahwa paras air laut pada abad 20 ini telah meningkat antara 0,1 – 0,2 m. Pada bulan Februari 2001 UNEP (United Nations Environmental Programme) dan WMO (World Meteorogical Organization) telah mensponsori diadakannya suatu pertemuan para ahli di Geneva Switzerland. Pertemuan tersebut dinamakan Intergovernmental Panel on Climate Change 2001 (IPCC). Ada empat topik utama dimana salah satunya adalah yang dibahas oleh Working Group II yaitu tentang: Impact, Adaption and Vulnerability of Climate Change. Dalam laporanyang dipersiapkan oleh lebih dari 70 orang tenaga ahli dari berbagai negara, secara singkat dapat dikemukakan bahwa sistem alam dan kehidupan akan terpengaruh oleh terjadinya perubahan iklim, yang dimanifestasi-kan dari gejala-gejala sebagai berikut, yaitu:
perubahan suhu udara yang variatif
perubahan pola dan intensitas siklus hidrologi
perubahan jumlah dan pola presipitasi
terjadinya extreme weather events
meningkatnya permukaan air laut akibat mencair-nya es di kutub bumi
perubahan kadar air tanah (soil moisture) dan kondisi sistem hidrologi pada umumnya
Dari berbagai gejala yang dikemukakan tersebut maka dampak dari perubahan iklim ini akan mempengaruhi faktor-faktor kemanusian dalam aspek kebutuhan dasar, aspek sosial dan aspek budaya. Pengaruh-pengaruh tersebut antara lain akan menimbulkan berbagai masalah dalam:
Ketersediaan sumber daya air
Sekuriti suplai pangan
Ekosistem perairan air tawar
Ekosistem zona kelautan
Pemukiman penduduk, egergi dan industri
Sistem asuransi, financial services lainnya
terjadinya ledakan timbulnya hama (baru)
terjadinya perubahan distribusi vektor penya-kit dan sasaran penderitanya (host)
Cuaca adalah keadaan udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relative sempit dan pada jangka waktu yang sempit. Cuaca terbentuk dari gabungan unsur cuaca dan jangka waktu cuaca bisa hanya beberapa jam saja. Di Indonesia keadaan cuaca selalu diumumkan untuk jangka waktu sekitar 24 jam melalui prakiraan cuaca hasil analisis Badan Meteorologi Klimatoogi Geofisika (BMKG). Iklim adalah cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya dilakukan dalam waktu yang lama (minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang luas. Matahari adalah kendali ikim yang sangat penting dan sumber energy dibumi yang menimbulkan gerak udara dan arus laut. Kendali iklim yang lain, misalnya distribusi darat dan air, tekanan tinggi dan rendah, masa udara, pegunungan, arus laut dan badai. Ada beberapa unsur yang mempengaruhi cuaca dan iklim, yaitu suhu udara, tekanan udara, kelembaban udara dan curah hujan. 2.1. Pemanasan Global Pemanasan global atau global warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0,74 ± 0,18°C (1,33 ± 0,32°F) selama seratus tahun terakhir, yang mengakibatkan akan terjadi perubahan iklim (Anonim, 2007). Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (Intercentennial). Perubahan tersebut disebabkan oleh
kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih guna lahan. Fenomena alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrim seperti silicon yang dapat terjadi di dalam suatu tahun (interannual) dan El Nino serta La Nina yang dapat terjadi di dalam sepuluh tahun (interdecadal) tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan iklim global (Muniri, 2004). El Nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi laut dan atmosfer yang ditandai dengan pemanasan suhu muka laut di Pasifik Ekuador. Dan fenomena La Nina merupakan mendinginnya suhu muka laut di Pasifik Ekuador (Anonim, 2009). 2.2. Pola Curah Hujan di Indonesia Menurut Putra Pamungkas (2006), pola curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh letak geografis. Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar dari pada Indonesia bagian timur. Di wilayah Indonesia hujan terbanyak terdapat di Baturaden Jawat Tengah yaitu mencapai 7069 mm/tahun dan hujan paling sedikit terjadi di Palu Sulawesi tengah yang merupakan daerah terkering dengan curah hujan sekitar 547 mm/tahun. Sedangkan pulau Lombok mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun. 2.3. Pemanfaatan IOS Keberadaan pulau Lombok di daerah katulistiwa dan diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Samudra India dan Samudra Pasifik) menyebabkan pulau ini dipengaruhi oleh iklim musiman (Moonsonal Climate). Apabila data runtun curah hujan bulanan, musiman atau tahunan dihubungkan dengan IOS (Indeks Osilasi Selatan) maka diperoleh petunjuk tentang adanya keterkaitan yang erat antara nilai IOS dan kejadian hujan di pulau Lombok, dimana pada tahun-tahun El Nino (IOS secara konsisten negatif) umumnya curah hujan berada jauh di bawah rata-rata yang diikuti dengan kejadian kekeringan dan panen padi tidak memuaskan. Pada triwulan I (Oktober s/d Desember) terjadi beberapa kali hujan di atas 200 mm, yang berarti jumlah yang lebih dari cukup untuk memulai bercocok tanam. Tahun kejadiannya adalah 1950; 1952; 1954; 1955;1 964; 1974; 1975; 1978; 1981; 1987; dan 1992 yang berkaitan dengan terjadinya fenomena La Nina. Fenomena La Nina menyebabkan curah hujan melampui 200 mm per triwulan dan hal ini mengindikasikan musim hujan yang datang lebih awal dari keadaan normal. Sebaliknya fenomena El Nino menyebabkan rendahnya curah hujan bulan Oktober sampai Desember. Hal ini mengindikasikan tertundanya musim hujan (Mansur Ma’shum, 2005). 2.4. Iklim, Cuaca, dan Perubahannya
Beberapa kalangan yang menyebutkan munculnya kegiatan gejala El Nino pada tahun 2001 ataupun tahun 2002 umumnya mengacu pada kejadian beberapa dasawarsa sebelumnya. Sejak tahun 1961, 1972, 1982, dan 1991 telah muncul kondisi kemarau yang umumnya merupakan dampak kegiatan gejala El Nino. Bahkan dari kalangan internasional telah muncul prediksi pada awal tahun 2001 yaitu akan muncul kegiatan gejala El Nino yang akan berdampak besar berupa kekeringan dan kebakaran di kawasan Papua Nugini di timur wilayah Indonesia (Anonim, 2006).
2.5.
Evapotranspirasi
Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergeraknya dari permukaan tanah ke udara disebut evaporasi (penguapan). Peristiwa penguapan dari tanaman disebut transpirasi. Bila kedua-duanya terjadi bersama-sama disebut evapotranspirasi. Besarnya faktor meteorologi yang akan mempengaruhi besarnya evaporasi adalah sebagai berikut: 1) Radiasi matahari, merupakan konversi air ke dalam uap air. Proses ini terjadi hampir tanpa berhenti di siang hari dan kerap kali juga di malam hari. Perubahan dari keadaan cair menjadi gas ini memerlukan input energi yang berupa panas evaporasi. Proses tersebut sangat aktif jika ada penyinaran langsung dari matahari, 2) Angin, jika uap air menguap ke atmosfer maka lapisan batas antara tanah dengan udara
menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses evaporasi berhenti. Agar proses tersebut berjalan terus lapisan jenuh itu harus diganti dengan udara kering. Pergantian itu hanya dimungkinkan kalau ada angin, kecepatan angin memegang peranan penting dalam proses evaporasi , 3) Suhu (temperatur), jika suhu udara tanah cukup tinggi proses evaporasi akan berjalan lebih cepat dibandingkan jika suhu udara dan tanah rendah disebabkan karena adanya energi yang tersedia, 4) Kelembaban relatif, jika kelembaban udara relatif naik, kemampuan untuk menyerap uap air akan berkurang sehingga laju evaporasi akan menurun. Jumlah kadar air yang hilang dari tanah oleh transpirasi tergantung pada (Soemarto, 1987) : 1) Adanya persedian air yang cukup (hujan dan lain-lain), 2) Faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban dan lain-lain, 3) Tipe dan cara kultivasi tumbuh-tumbuhan.
Evapotranspirasi merupakan faktor yang sangat penting dalam studi pengembangan sumber daya air dan sangat mempengaruhi debit sungai, kapasitas waduk dan penggunan konsumtif (consumptive use) untuk tanaman. Perhitungan evapotranspirasi dihitung berdasarkan Metode Penman (modifikasi FAO) sesuai rekomendasi Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Persamaan Penman modifikasi FAO adalah: c (W . Rn + (1-W) .f(u) . (
)
……………………………………
(2.1)
dengan: evapotranspitasi tanaman acuan (mm/hari), W
= faktor temperatur dan ketinggian (tabel 2.4),
Rn
= radiasi bersih (mm/hari), = tekanan uap jenuh (mbar), = tekanan uap nyata (mbar),
c
= faktor koreksi kecepatan angin dan kelembaban,
F(u) = fungsi kecepatan angin.
Sedangkan: Rn = Rns - Rnı
…………………………………………………………….
(2.2)
……………………………………………………………..
(2.3)
6% (areal genangan), 25% (areal irigasi), 25% (catchment area). ……………………………………………………….
(2.4)
Menurut Soemarto (1987), a dan b merupakan konstanta yang tergantung letak suatu tempat di atas bumi, untuk Indonesia dapat diambil harga a dan b yang mendekati yaitu Australia a = 0.25 , b = 0.54. ……………………………………………..
(2.5)
…………………………………………………………………….
(2.6)
dengan: Rn
= radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari),
Rns = radiasi bersih gelombang pendek (mm/hari), Rs
= radiasi gelombang pendek (mm/hari),
Ra = radiasi teraksial ekstra (mm/hari) yang dipengaruhi oleh letak lintang daerah, Rh
= kelembaban udara (%), = lama penyinaran matahari terukur (%).
Dengan harga fungsi-fungsi
2.6.
…………………………………………………….
(2.7)
………………………………………................
(2.8)
………………………………………………………..
(2.9)
Ketersediaan Air
Salah satu aspek yang harus diketahui sebelum mengadakan analisis neraca air untuk suatu daerah tertentu adalah jumlah ketersediaan air. Ketersediaan air dalam pengertian sumberdaya air pada dasarnya berasal dari air hujan (atmosferik), air permukaan dan air tanah. Hujan yang jatuh di atas permukaan pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Wilayah Sungai (WS) sebagian akan menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian akan mengalir melalui permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai atau danau dan sebagian lagi akan meresap jatuh ke tanah sebagai imbuhan (recharge) pada kandungan air tanah yang ada. Air yang dibutuhkan oleh tanaman sangat penting dalam menghitung waktu pemberian air irigasi yang mendapatkan kebutuhan air dari sumber air lain yang dapat diandalkan. Menurut Vaughn, Orson dan Glen (1986), 3 (tiga) pertimbangan utama yang mempengaruhi waktu pemberian air irigasi dan besarnya air yang diberikan, yaitu : 1) Air yang dibutuhkan tanaman, 2) Ketersediaan air untuk irigasi, 3) Kapasitas tanah didaerah akar untuk menampung air. Model yang cukup sederhana untuk pengembangan model hujan aliran adalah model Nreca. Model Nreca dikembangkan oleh Norman H Crewfod (USA), yaitu merupakan penyederhanaan dari standart wathershed Model IV. Model ini digunakan untuk menghitung debit bulanan dari hujan bulanan berdasarkan keseimbangan air di DPS (Direktorat Jendral Pengairan, Panduan
Perencanaan Bendungan Urugan). Secara umum persamaan dasar dari model ini dirumuskan sebagai berikut: Q=P–E+S
……………………………………………………………….
(2.10)
dengan: Q
= limpasan (mm),
P
= hujan rata-rata DAS (mm),
E
= evapotranspirasi aktual (mm),
S
= perubahan kandungan / simpanan air dalam tanah (mm).
Model Nreca membagi aliran bulan menjadi dua, yaitu limpasan langsung (limpasan permukaan dan bawah permukaan) dan aliran dasar. Tampungan juga dibagi dua, yaitu tampungan kelengasan (moisture storage) dan tampungan air tanah (Ground Water Storage). Adapun tahapan perhitungan model Nreca adalah sebagai berikut: 1) Analisa nilai rerata setengah bulanan (Rb) 2) Analisa nilai evapotranspirasi potensial (PET) 3) Analisa nilai tampungan kelengasan awal (Wo) 4) Analisa nilai tampungan kelengasan tanah (Wi) ………………………………………………………………….
(2-11)
Nominal = 100 + 0,2 Ra ………………………………………………………...
(2-12)
dengan: Ra = hujan tahunan (mm), Wo = tampungan kelengasan awal, Wi = tampungan kelengasan tanah. 5) Rasio
…………………………………………………………………………. (2.13)
6) Rasio
…………………………………………………………………………. (2.14)
AET = nilai evapotranspirasi aktual 7) Analisa evapotranspirasi aktual, dengan rumus : …………………………………………………………………. (2.15) 8) Analisa neraca air, dengan rumus: Na = Rb – AET ……………………………………………………………………… ( 2.16)
9) Analisa rasio kelebihan kelengasan 10) Analisa rasio kelebihan kelengasan = rasio kelebihan kelengasan * neraca air 11) Analisa perubahan tampungan = neraca air – kelebihan kelengasan 12) Analisa tampungan air tanah dengan rumus: TAT = P1 * kelebihan kelengasan P1 = parameter yang menggambarkan karakteristik tanah permukaan pada kedalaman 0-2 m, nilainya berkisar 0,1-0,5 tergantung pada sifat lolos air tanah. P1 = 0.1 bila bersifat kedap air, P1 = 0,5 bila bersifat lolos air. 13) Analisa tampungan air tanah awal yang harus di coba-coba dengan nilai awal sama dengan 2. 14) Analisa tampungan air tanah akhir dengan rumus: = tampungan air + tampungan air tanah awal 15) Analisa aliran air tanah, dengan rumus: = P2 * tampungan air tanah akhir P2 = parameter untuk lapisan tanah pada kedalaman 2-10m, P2 = 0,9 bila bersifat kedap air, P2 = 0,5 bila bersifat lolos air. 16) Analisa aliran langsung (direct runoff), dengan rumus: = kelebihan kelengasan – tampungan air tanah. 17) Analisa aliran total, dengan rumus: = aliran langsung + aliran tanah, (mm/bln). Untuk perhitungan berikutnya: a. Tampungan kelengasan = tampungan kelengasan bulan sebelumnya + perubahan tampungan, b. Tampungan air tanah = tampungan air tanah sebelumnya – aliran air tanah.
2.7.
Kebutuhan Air irigasi
Besarnya kebutuhan air irigasi merupakan selisih antara evapotranspirasi tanaman dengan kehilangan air yang terjadi di petak tanaman terhadap curah hujan yang ada di daerah tersebut. Harga kebutuhan air irigasi didapat dari data klimatologi dengan menggunakan rumus–rumus
empiris yang ada. Selain itu dapat pula ditentukan dari hasil percobaan dan pengamatan di lapangan. Berdasarkan (KP-01) besarnya kebutuhan air untuk tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Kebutuhan Air untuk Penyiapan Lahan Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya menentukan kebutuhan maksimum air irigasi suatu areal pertanian. Faktor-faktor penting untuk menentukan besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan adalah: a)
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan penyiapan lahan yang ditentukan oleh tersedianya sarana dan tenaga untuk pekerjaan penggarapan tanah dan perlunya memperpendek waktu tersebut agar cukup tersedia waktu untuk penanaman.
b)
Jumlah air yang diperlukan untuk penyiapan lahan, yang ditentukan oleh derajat kejenuhan tanah sebelum dan sesudah penyiapan lahan, kedalaman genangan dan kehilangan air selama satu hari.
Selain faktor tersebut diatas, kondisi sosial budaya yang ada di daerah penanaman akan mempengaruhi lamanya waktu yang diperlukan untuk penyiapan lahan.
Untuk
perhitungan
kebutuhan air irigasi selama penyiapan lahan digunakan metode Van de Goor dan Zijlstra (Anonim,1986). Metode tersebut didasarkan pada kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi disawah, yang sudah dijenuhkan dalam periode penyiapan lahan 30 hari, dengan tinggi genangan air 250 mm atau 8,33 mm/hari (berdasarkan perencanaan tanpa bero KP-01). Perhitungan penyiapan lahan dengan persamaan : ……………………………………………….……........................... 2.17) dengan: IR
= kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hari),
M
= kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan, M = = evaporasi air terbuka yang diambil 1,1 (mm/hari),
P
= perkolasi (mm/hari)
K
=
,
+ P (mm/hari), selama penyiapan lahan
T
= jangka waktu penyiapan lahan (hari),
S
= kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50 mm, yaitu 200 + 50 = 250 mm,
e
= Bilangan alam (2,7182881820).
2. Pemakaian Konsumtif Pemakaian konsumtif didefinisikan sebagai jumlah air aktual yang digunakan tanaman untuk transpirasi dan evaporasi selama pertumbuhannya. Pemakaian konsumtif dihitung berdasarkan persamaan : Etc kc .Eto ………………………………………………………………………... (2.18)
dengan: = evapotranspirasi tanaman (mm/hari), = evapotranspirasi tanaman acuan (mm/hari), = koefisien tanaman sesuai dengan pertumbuhannya. Secara matematis kebutuhan air irigasi dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Untuk tanaman padi
IR
Etc E P W G Re …………………………………………………………………………………………… (2.19) Efisiensi
dengan: I
= kebutuhan air irigasi total terhitung di bangunan utama (mm/hari) = evapotranspirasi tanaman (mm/hari)
W
= genangan air di petak tanaman / sawah (mm/hari)
G
= penggantian genangan air/kebutuhan persemaian (mm/hari)
P
= perkolasi (mm/hari)
E
= evaporasi (mm/hari)
Re
= curah hujan efektif (mm/hari).
b. Untuk tanaman palawija
IR dengan:
Etc Re …………………………………………………………………………. (2.20) Efisiensi
= evapotranspirasi tanaman (mm/hari) Re
= curah hujan efektif (mm/hari).
Persamaan tambahan untuk menyelesaikan persamaan di atas adalah sebagai berikut: Etc =Eto x kc …………………………………………………………………………… (2.21) E = 1.10 x Eto ……………………………………………………………………….. (2.22)
2.8.
Sistem Pola Tanam Pola tanam adalah urutan berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan petani dalam
jangka satu tahun. Penanaman jenis tanaman ditentukan oleh tersedianya air dari sumber air. Pada musim hujan tersedia cukup air sehingga dapat dilakukan penanaman pada seluruh areal irigasi, sedangkan pada musim kemarau persediaan air sedikit sehingga tidak seluruh areal irigasi dapat diairi. Penyusunan pola tanam didasarkan pada jenis tanaman, umur tanaman, kecocokan tanah pada tanaman, pengelolaan pertanian, pengalaman yang ada sebelumnya dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitar daerah irigasi tersebut. Ada beberapa pola tanam yang berlaku di Indonesia, masing-masing pola tanam biasanya sangat tergantung pada iklim, kondisi tanah serta kebiasaan petani setempat. Secara umum pola tanam yang dipakai di Indonesia sebagai berikut: 1. Padi-Padi Pola tanam padi-padi cocok dipakai pada daerah irigasi dimana tanaman palawija belum memikat petani atau petani cendrung menanam varietas lokal yang umumnya lebih dari 140 hari. 2. Padi-Padi-Palawija Pola tanam padi-padi-palawija memungkinkan untuk diterapkan pada daerah irigasi dengan debit sungai di musim kemarau cukup besar. Untuk melaksanakan pola tanam ini harus menyediakan air cukup di musim kemarau, yaitu untuk tanaman padi kedua di musim kemarau. 3. Padi-Palawija-Palawija Pola tanam padi-palawija-palawija cocok untuk daerah irigasi dengan keadaan debit sungai yang kecil di musim kemarau, sehingga petani sangat intensif untuk mengelola tanah.
2.9.
Analisa Regresi
Analisis regresi adalah salah satu metode statistika yang dapat digunakan untuk menyelidiki atau membangun model hubungan antara beberapa variabel (Mustofa Usman, 2009). A. Regresi linear sederhana Analisis regresi linier sederhana adalah hubungan secara linier antara satu variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan (Anonim, 2011) Rumus regresi linier sederhana sebagai berikut: Y = βo + β1X + ε ....…………………………………………………………………. (2.21) dengan: Y
= variabel dependen ( variabel tak bebas),
X
= variabel independen (variabel bebas),
β0 dan β1= parameter yang akan diduga, ε
= standar error of estimate (SEE).
B. Regresi linier berganda Analisis linier berganda adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel independen ( X1, X2, …, Xn ) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan (Anonim, 2011)..
Bentuk umum model regresi ganda dengan k variabel bebas adalah Y = βo +β1X1 + β2X2 + ….. + βnXn + ε ……………………………………………….. (2.22) Keterangan: Y
= variabel dependen ( Variabel tak bebas),
X1…Xn = variabel independen (Variabel bebas),
β0 …βn = parameter yang akan diduga, ε
= standar error of estimate (SEE).
C. Analisa Uji Hipotesis Pengujian hipotesis pada penelitian ini terdiri dari uji signifikansi simultan (uji F statistik), uji signifikansi parameter individual (uji t statistik) dan uji koefisien determinasi.
D. Uji Signifikansi (Uji f Statistik) Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006: 88). Penelitian ini menggunakan level signifikansi 95% atau = 5% = 0,05. Apabila probabilitas signifikansi < 0.05, artinya seluruh variabel independen berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Adapun langkah-langkah pengujian hipotesisnya yaitu: 1. Memformulasikan hipotesis: H0 : βi = 0, artinya: tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel bebas Xi terhadap variabel Y. H1 : βi ≠ 0, artinya: ada pengaruh yang signifikan antara variabel bebas Xi terhadap variabel Y. 2. Menentukan level of significance (α). Level of significance yang digunakan adalah 5%. 3. Menentukan nilai koefisien determinasi (R2). 4. Menentukan F hitung dengan rumus :
R2 (k 1) F ................................................................................................... (2.23) (1 R 2 ) (n k ) dengan : k = jumlah parameter yang diestimasi dengan membandingkan nilai Ftabel n = jumlah observasi R2 = koefisien determinan
5. Kriteria Pengujian Kriteria pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai Ftabel dan Fhitung. H0 ditolak jika Fhitung ≤ Ftabel _____ H1 diterima jika Fhitung > Ftabel. E. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t Statistik) Uji t statistik bertujuan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara individu (parsial). Penelitian ini menggunakan level signifikansi 95% atau = 5% = 0,05. Langkah-langkah yang dilakukan untuk uji t statistik yaitu: 1. Memformulasikan hipotesis. H0 : ρi = 0, artinya: tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara variabel bebas Xi terhadap variabel Y. H1 : ρi ≠ 0, artinya: terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara variabel bebas Xi terhadap variabel Y. 2. Menentukan level of significance (α). Level of significance yang digunakan adalah 5%. 3. Menentukan nilai koefisien determinasi parsial (R 2) dengan menguadratkan nilai koefisien korelasi parsial. 4. Menentukan thitung dengan rumus: t
i SE ( i )
5. Kriteria Pengujian Kriteria pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai t tabel dan thitung H0 ditolak jika - thitung ≤ ttabel ≤ thitung H1 diterima jika thitung > ttabel atau - thitung < - ttabel
F. Uji Koefisien Determinasi Uji koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan model
dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2006: 87). Koefisien determinasi akan menjelaskan seberapa besar perubahan atau variasi suatu variabel bisa dijelaskan oleh perubahan atau variasi pada variabel lain. Dalam bahasa sehari-hari adalah kemampuan variabel bebas untuk berkontribusi terhadap variabel tetapnya dalam satuan persentase. Uji koefisien determinasi dilihat dari nilai adjusted R2 (koefisien determinasi) yang nilainya terletak antara 0 dan 1 (0 < adjusted R2 < 1). Jika hasil lebih mendekati angka nol berarti
kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel amat terbatas. Tapi, jika hasil mendekati angka 1 berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen.
III. METODOLOGI PENELITIAN Rencana pelaksanaan penelitian mengikuti bagan alir berikut:
MULAI PERSIAPAN PENGUMPULAN PUSTAKA DAN JURNAL PENGUMPULAN DATA
Data Hujan
Data Iklim
Data Daerah Irigasi
Penapisan Iklim Global
Penapisan Iklim Regional
Analisis Evapotranspirasi
Analisis Ketersediaan Air Permukaan
Analisis Pola Tanam
Pembahasan
Kesimpulan
Data Pola Tanam
3.1 Lokasi Studi Lokasi studi yang akan diteliti adalah Pulau Lombok dengan membagi menjadi 4 (empat) wilayah penelitian dengan karakter hidrologi dan karakter wilayah yang berbeda yaitu Lombok Bagian Utara, Lombok Bagian Selatan, Lombok Bagian Timur dan Lombok Bagian Barat.
Gambar 3.1 Peta Pulau Lombok
3.2
Tahap Pelaksanaan
3.2.1 Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan langkah awal yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran sementara mengenai lokasi yang akan dijadikan sebagai lokasi penelitian meliputi pengumpulan pustaka/literatur, jurnal terkait dengan topic penelitian 3.2.2. Pengumpulan Data Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder jangka panjang yang diperoleh dari berbagai instansi diantaranya Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG), Balai Informasi Sumber Daya Air Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Dinas Pekerjaan Umum Masing-Masing .
Data-data yang digunakan diantaranya 1. Data curah hujan Data curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan dari semua alat ukur hujan yang tersedia di Pulau Lombok
2. Data klimatologi Data klimatologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data klimatologi yang meliputi, kelembaban, suhu (temperatur), kecepatan angin dan penyinaran matahari. Data klimatologi ini didapatkan dari empat pos klimatologi yang ada di pulau Lombok yaitu: Pos Klimatologi Keruak, Kopang, Sambelia dan Sopak serta Pos Klimatologi Selaparang
3. Data Pola Tanam Data pola tanam yang digunakan yaitu data pola tanam dari beberapa daerah irigasi yang pengelolaannya sudah memiliki kelembagaan/organisasi yang baik.
3.2.3 Analisa Data Langkah–langkah yang akan dilakukan untuk menganalisa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Analisis data hujan 2. Analisis penapisan iklim global 3. Anlaisis penapisan iklim regional 4. Analisis evapotranspirasi menggunakan metode Penman 5. Analisis pola ketersediaan air menggunakan metode Simple Water Balance. 6. Analisa pengaruh iklim terhadap ketersediaan air menggunakan analisis regresi linier berganda, dimana program yang digunakan adalah SPSS, yaitu dengan menggunakan beberapa variabel bebas dan tak bebas. Variabel bebas yang dianalisis adalah temperatur(X1), kelembaban (X2), penyinaran matahari (X3), dan kecepatan angin (X4). Untuk variabel tak bebas adalah ketersediaan air (Y). 7. Analsisi pola tanam
PUSTAKA
Anonim, 1990 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20, tentang Pengendalian Pencemaran Air
Anonim, 2006, Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air Untuk Banjir Dan Kekeringan di Pulau Jawa. Badan Perencanaan Dan Nasional
Mengatasi Pembangunan
Andimangga, S., (1992). Peta Geologi Lembar Lombok, Nusa Tenggara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. CD. Soemarto, (1985). Hidrologi Teknik, Jakarta Crippen International LTD., (1975). Lombok Island Water Resources Development, Vol 2-4, 6. Directorate General of Water Resources Development, Jakarta. Danaryanto H. (1994). Penyelidikan Potensi Airtanah di P. Lombok, Nusa Tenggara Barat Sumberdaya Airtanah dan Perlindungannya, Studi Geologi Lingkungan Untuk Perencanaan Regional dan Penggunaan Lahan, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. F.W., (1990). Physical and Chemical Hydrogeology, John Wiiey and Sons, Inc., Canada.
Ghozali, Imam. 2006. Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang Badan Penerbit Undip Harto, Sri, 1993, Analisis Hidrologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Linsley Ray K. and Franzini Joseph B. Water Resources Engineering. Las I, Boer, R,
Syahbuddin, H, Pramudia, A., Susanti, E., Surmaini, K., Estiningtiyas, W., Suciantini, Apriyatna, 1999. Analisis Peluang penyimpangan Iklim dan ketersediaan air pada wilayah pengembangan IP padi 300. Laporan Penelitian ARMP-II Badan peneliti dan pengembangan pertanian Bogor. Randolph J, 2004, Environtmental Land Use Planning and Management, Island Press, p 36-52.
Soewarno, 1995, Hidrologi”Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data” Nova, Bandung Usman, M.,2009, Model Linier Terapan, Sinar Baru Algensindo, Bandung