Topik Utama Dana Ketahanan Energi: Pembelajaran Dari Norwegia Tri Muji Susantoro Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
[email protected]
Sari Kondisi produksi minyak di Indonesia terus menurun secara permanen sedangkan konsumsi minyak terus meningkat. Kondisi ini memungkinkan Indonesia dalam kondisi krisis energi. Pe ngelolaan energi nasional perlu dilakukan dan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional. Perubahan paradigma tentang energi dikembangkan sebagai modal pembangunan bukan lagi komoditas. Energi terbarukan menjadi prio ritas pengembangan di masa depan dan penggunaan minyak bumi diminimalkan. Gas bumi dan batubara pemanfaatannya dioptimalkan sebagai pasokan energi nasional. Pembelajaran dari negara lain diperlukan untuk keamanan energi di masa depan. Norwegia merupakan salah satu negara yang konsisten mengamankan kebutuhan energi untuk generasi mendatang. Kesadaran akan keamanan energi dimulai tahun 1970an ketika terjadi krisis energi di dunia. Kebijakan me ngenai awal pengembangan minyak bumi dilakukan oleh pemerintah Norwegia dengan mendirikan perusahan minyak milik negara STATOIL tahun 1972. Kebijakan selanjutnya adalah prinsip 50% partisipasi negara dalam kegiatan minyak dan gas. Mengingat pendapatan migas mempunyai karakteristik yang unik; terkadang tidak dapat diprediksi, mudah berubah akibat berkurangnya cadangan ataupun habis maka Norwegia mengembangkan dana pendapatan migas. Tujuan dana migas dalam jangka panjang sebagai pendapatan negara yang digunakan untuk dana investasi dari hasil migas sehingga dapat bermanfaat baik oleh generasi sekarang maupun yang akan datang. Dana ini berfungsi sebagai penyangga antara pendapatan migas dan belanja negara. Dengan cara ini, perekonomian negara terlindungi dari fluktuasi harga migas dunia. Pendapatan minyak juga dapat secara bertahap diintegrasikan ke dalam perekonomian Norwegia. Strategi investasi dari dana Government Pension Fund Norway (GPFG) terus berevolusi. Pada awalnya diinvestasikan secara ekslusif pada obligasi. Namun pada tahun 1998 sekitar 40% dana investasi dipindahkan ke ekuitas. Dana tersebut saat ini memiliki alokasi target investasi 60% ekuitas, 35%-40% pada fixed income securities dan sampai 5% pada real estate. Tujuan menyeluruh investasi GPFG adalah untuk dapat kembali pada jangka panjang yang tertinggi dengan risiko sedang sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Norwegia untuk memenuhi kebutuhan energinya terus mengusahakan menggunakan energi terbarukan. Separuh dari penggunaan energi adalah untuk listrik dan hampir semua sumber tenaga listrik berasal dari tenaga air (PLTA), yaitu sekitar 96,1% dari total produksi listrik pada tahun 2013 Selain itu sumber daya energi terbarukan yang dikembangkan adalah tenaga ombak, tenaga matahari, tenaga angin dan biomassa yang menghasilkan hingga 20 TWh per tahun. Kata Kunci: Krisis Energi, Kebijakan, Dana Ketahanan Energi, GPFG, Energi Terbarukan
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
11
Topik Utama 1. Pendahuluan Kondisi produksi minyak di Indonesia juga terus menurun secara permanen sejak tahun 1995 dari 1,6 juta barrel/day menjadi 0,8 juta barrel/day pada tahun 2014. Namun demikian konsumsi minyak terus meningkat menjadi 1,6 juta barrel/day pada tahun 2014. Diperkirakan akan terus meningkat menjadi 1,9 juta barrel/ day pada tahun 2025 (Muin, 2014). Penurunan produksi minyak terjadi dikarenakan lapangan produksi sudah melewati puncak produksinya dan disisi lain penemuan tidak mampu mengganti produksi yang berkurang. Diperkirakan rata-rata success ratio pemboran wildcat sekitar 56% (Taylor, 2004). Adapun di Indonesia tingkat keberhasilan eksplorasi (success ratio) selama kurun waktu 1985 sampai 1993 berkisar antara 40,2% sampai 52,1%. Pada 1993, dari 114 eksplorasi, hasilnya adalah 27 ditemukan minyak, 27 gas, dan 60 sumur lainnya ke ring. Success ratio pada 1993 adalah 47,3% (Romadhon, 2009). Pada tahun 2013 success ratio adalah 34% , sedangkan pada tahun 2014 adalah 42% (SKK Migas, 2014). Berdasarkan hal tersebut kondisi energi di Indonesia akan semakin mengkhawatirkan. Pengelolaan energi diperlukan untuk mengatasi kondisi tersebut.
Pengelolaan energi nasional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional. Peraturan ini menggantikan Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006. Dasar utama dalam pengelolaan energi adalah prinsip keadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan guna tercipta nya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional. Adapun untuk menindaklanjuti kebijakan energi nasional dilakukan perubahan paradigma energi yang semula menjadi komoditas menjadi modal pembangunan. Energi terbarukan menjadi prioritas pengembangan di masa yang akan datang dan penggunaan minyak bumi diminimalkan. Gas bumi dan batubara pemanfaatannya dioptimalkan sebagai pasokan energi nasional. Program lain yang dilakukan meliputi pengurangan ekspor ener gi fosil secara bertahap, terutama gas dan batubara, mengurangi subsidi BBM dan listrik secara bertahap dan menyediakan cadang an penyangga energi dan cadangan energi strategis di samping memastikan ketersediaan cadangan operasional oleh Badan Usaha (Bu ku Ketahanan Energi Indonesia, 2014). Wacana dana ketahanan energi sebagai apli kasi pengelolaan energi nasional muncul saat
Gambar 1. Beban Subsidi Energi di Indonesia dari Tahun 2006 – 2012 (Badan Kebijakan Fiskal, 2012)
12
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama terjadi penurunan bahan bakar minyak pada bulan Januari 2015 yang diambil dari harga BBM. Namun demikian wacana tersebut menjadi kontroversi, karena dianggap dasar hukumnya yang masih lemah walaupun pada dasarnya baik (Rakhmanto, 2015). Di sisi lain kebutuhan dana ketahanan energi semakin mendesak. Anggaran subsidi energi dalam APBN semakin besar dan sangat berisiko membebani APBN dan berpengaruh fluktuatifnya terhadap harga minyak bumi. Beban subsidi energi pada tahun 2006 mencapai Rp.107,4 trilliun dan terus meningkat menjadi Rp.245,1 trilliun (Gambar 1). Haryanto (2016) berpendapat ide pungutan dana ketahanan energi perlu didukung dengan melengkapi berbagai infrastruktur yang dibu tuhkan, seperti dasar hukum, kelembagaan serta mekanisme beneficiary sharing dan aspek pengawasannya. Ketergantungan energi minyak dan kurang berkembangnya energi terbarukan menyebabkan kondisi perekonomian Indonesia menjadi sangat rentan. Oleh karena itu Indonesia perlu belajar dari berbagai negara yang telah memformulasikan kebijakan energi untuk memastikan keberlangsungan energi dalam jangka panjang. Hal ini dilakukan untuk keamanan energi bagi kehidupan yang berkelanjutan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk ketahanan energi adalah memfungsikan dana ketahanan energi yang diambil dari produksi sebanyak 5%. Dana tersebut dapat digunakan untuk pengembangan penelitian energi baru terbarukan ataupun pengembangan lapangan baru untuk pemenuhan energi sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Rangkuti dan Suryanto, 2012). Pada awalnya dana ketahanan energi meru pakan dana yang dialokasikan untuk tujuan pengadaan cadangan minyak mentah dan BBM yang hanya digunakan dalam keadaan darurat. Alasan pengadaan dana ketahanan energi meliputi produksi minyak mentah yang terus menurun, usia kilang minyak yang sudah tua dan hanya mampu memenuhi separuh kebutuhan, impor minyak mentah yang terus meningkat dan potensi energi baru terbarukan (EBT) Indonesia yang berlimpah tetapi belum
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
diolah secara baik. Tujuan dana keta hanan energi untuk mendorong eksplorasi agar laju/ tingkat deplesi (Depletion rate) cadangan bisa ditekan sedemikian rupa dan membangun prasarana strategis dan berkelanjut an untuk energi baru dan terbarukan (http:// bahrullah.com/wp-content/uploads/2016/02/ gam_14556271905 18. pdf). 2. Kondisi Krisis Energi di Indonesia Indonesia mempunyai potensi krisis energi di masa depan. Kondisi saat ini menunjukkan produksi dan kebutuhan sudah tidak seimbang. Muin (2014) menyatakan faktor-faktor yang menjadi dasar terjadinya krisis meliputi (1) Selama beberapa dekade ini Indonesia tidak memiliki kebijakan pengelolaan energi strategis yang komprehensif dan terpadu; (2) tidak adanya suatu perencanaan jangka panjang yang memadai, workable, konsisten berkelanjutan dan berimbang dengan kepen tingan publik lainnya; dan (3) kebijakan dari berbagai kementerian masih bersifat sektoral, terlalu berorientasi pada target jangka pendek, tumpang tindih dan lemah koordinasinya. Secara detail dijelaskan oleh Muin (2014) terjadinya krisis energi terjadi karena (1) Pe ngelolaan Kelistrikan, dimana pengadaan pembangkit Listrik di masa lalu dominan berbasiskan energi fosil yang “murah” (BBM yang disubsidi, mewakili 30% dari volume atau 70% dari biaya minyak pembangkit listrik saat ini); (2) kebijakan untuk menyiapkan “Spare Ca pacity” yang memadai untuk mengamankan kebutuhan minyak dan gas untuk domestik dalam situasi “emergency” masih terabaikan, dan bersifat sementara; (3) upaya penghematan/ efisiensi konsumsi energi, terutama BBM belum tersentuh secara jelas (kemacetan bahkan mengakselerasi pemborosan konsumsi); (4) pengelolaan hasil/revenue dari sumber energi migas cenderung berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan rutin Belanja Negara (APBN), sehingga alokasi dana bagi pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi relatif terabaikan cukup lama; dan (5) kebijak an fiskal juga cenderung untuk lebih meng
13
Topik Utama
Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Minyak (Ribu barrel per hari) tahun 1966-2025 (Muin, 2014)
optimalkan Penerimaan Negara (pajak) secara sektoral dalam jangka pendek, sehingga tidak merangsang (kontra produktif) bagi pengembangan energi alternatif jangka panjang yang berkesinambungan. Mulyana dan Istiqomah (2013) selama ini kebutuhan energi di dunia masih mengandalkan minyak bumi sebagai sumbernya. Padahal sumber energi ini semakin langka dan mahal. Di Indonesia sekitar 80% kebutuhan energi masih dipenuhi oleh minyak bumi (data 2002). Kebutuh an energi diproyeksikan setiap tahun meningkat rata-rata 1,6% sampai tahun 2020 dan kemudian melambat menjadi 1%. Perlambatan ini terjadi karena melemahnya pertumbuh an ekonomi dunia. Meningkatnya kebutuhan energi di Indonesia akan menimbulkan dilema karena produksi minyak semakin menurun (Gambar 2). Minyak sampai tahun 2035 masih tetap menjadi bahan bakar penting dalam bauran energi primer global. Namun demikian diperkirakan minyak pangsanya akan turun dari 31% pada tahun 2011 menjadi 27% pada tahun 2035 (Dewan Energi Nasional, 2014).
14
Presiden IPA, Craig Stewart dalam Indocita (2015) menyatakan laju peningkatan konsumsi energi di Indonesia sudah melampui batas laju pertumbuhan hasil produksi. Padahal selama beberapa tahun ini kegiatan eksplorasi belum membawa hasil penemuan sumber daya hidrokarbon baru yang signifikan. Hal ini mengakibatkan Indonesia menghadapi krisis energi dengan semakin meningkatnya jumlah impor minyak dan gas. Situasi ini terjadi dalam volatilitas energi global yang sedang mengalami turunnya harga minyak global dan secara global menghambat investasi di sektor minyak dan gas bumi. Beberapa hal yang harus direnungkan untuk membangun kedaulatan energi nasional adalah (1) sejak tahun 2008 Indonesia telah menjadi net importir migas, tetapi masih merasa kaya migas; (2) 50% konsumsi BBM berasal dari impor, tetapi penggunaan masih boros dan terus disubsidi; (3) APBN dibebani subsidi untuk kelas menengah ke atas, infrastruktur tidak dibangun; (4) sumber daya energi baru melimpah, tetapi perhatian untuk pengem
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama bangan energi baru terbarukan masih minimal; (5) Energi fosil yang akan habis disubsidi, tetapi energi baru yang sustainable tidak didukung dan (6) cadangan migas turun terus, produksi menurun tetapi eksplorasi migas tidak serius (Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama, KESDM, 2015). 3. Ketahanan Energi di Norwegia Krisis energi dunia yang terjadi pada tahun 1970an memberi kesadaran seluruh negara-negara di dunia atas posisi strategis energi sebagai sesuatu yang perlu dijaga dan diles tarikan. Kesadaran energy security mulai timbul, khususnya negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Swiss, Norwegia dan Denmark. Hal ini menggambarkan energi memiliki pengaruh besar terhadap semua aspek kehidupan manusia. Di mana kelangsungan peradaban modern sangat bergantung pada berbagai sumber energi yang ada (Aryani, 2012). Kebijakan energi yang di lakukan oleh negara-negara untuk mengatasi krisis berbeda-beda. Hal ini tergantung dari tujuan, ideologi politik, geografi, demografi dan potensi sumber daya. Norwegia yang secara geografi terletak di utara Eropa dengan penduduk sekitar 4.953.000 jiwa dan memiliki pertumbuhan penduduk 0,327% pertahun. Kondisi alam norwegia yang heterogen, terdiri dari glaciated, dataran tinggi dan pegunungan terjal, tetapi terdapat juga lembah-lembah yang subur. Kondisi alam tersebut menyebabkan pertumbuhan sektor transportasi tinggi, bahkan dari tahun 1990 – 2007 pertumbuhannya paling tinggi (Aryani, 2012). Hal ini menyebabkan sumber energi menjadi sangat penting. Pada akhir tahun 1950 hanya sedikit orang yang percaya Norwegia kaya akan depo sit migas. Namun demikian penemuan gas di Groningen, Belanda menyebabkan para ahli geologi mengubah pemikirannya tentang potensi migas di laut Utara. Pada tahun 1962 perusahaan migas Phillips Petroleum meminta
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
izin melakukan survei geologi di Norwegia dan kemudian diikuti oleh yang lainnya (https:// www.regjeringen.no/globalassets /upload/kilde/oed/bro/2004/0006/ddd/pdfv/204702-factsog0104.pdf). Pencarian minyak di Norwegia dimulai tahun 1962 di Laut Utara. Pada tahun 1963 pemerintah Norwegia menegaskan kedaulatannya atas continental shelf termasuk kepemilikan eksklusif dari sumber bawah permukaannya. Kemudian diizinkan eksplorasi seismik. Pemboran sumur pertama dilakukan tahun 1966, tetapi kering (Poelzer, 2015). Pemboran yang berhasil dilakukan pada tahun 1969 di lapangan Ekofisk. Adapun produksi lapangan tersebut dimulai tahun 1971. Pada tahun 1975 produksi lapangan tersebut mencapai 9 juta ton minyak atau setara dengan kebutuhan minyak di Norwegia. Gas dari lapangan Ekofisk dikirim ke Emden, Jerman Barat. Gas juga dikirim ke St. Fergus dari lapangan Frigg yang mulai diproduksi tahun 1977. Pada tahun 1979 mulai diproduksi lapangan Statfjord yang terletak di barat laut Bergen yang dibawa dengan tanker. Pada tahun 1980 produksi mencapai 50 juta TOEs (tons of oil equivalent), dari lapangan Ekofisk dengan operator Phillips Petroleum memproduksi 75%, lapangan Frigg dengan operator Elf Aquitaine memproduksi 20% dan 5% dari lapangan Statjord dengan operator STATOIL, sebagai BUMN Norwegia. Sejak tahun 1980 produksi migas stabil sekitar 50 juta TOEs (Hansen, 1983). Adapun total produksi migas di Norwegia dapat dilihat pada Gambar 3. Kebijakan mengenai awal pengembangan mi nyak bumi dilakukan oleh pemerintah Norwegia melalui Storting (Parlemen), dengan mendirikan perusahaan minyak negara STATOIL pada tahun 1972. Kebijakan selanjutnya adalah prinsip 50% partisipasi negara dalam kegiatan minyak dan gas. Pada aplikasinya STATOIL yang membayar semua bagian pemerintah untuk biaya eksplorasi dan pengembangan serta menerima kembali hasil pembagiannya. Prinsip ini kemudian dimodifikasi tergantung kondisi tertentu. Perkembangan selanjutnya dengan meningkatnya sektor migas, maka pada tahun
15
Topik Utama
Gambar 3. Total Produksi Migas Tahun 1970 -2030 (Karstad, 2009).
1985 pemerintah Norwegia mereorganisasi pengelolaan aset STATOIL dengan mendirikan Direct Finan cial Interest (SDFI). SDFI merupakan entitas pemerintah formal yang bergerak di bidang migas, jalur pipa dan fasilitas di darat. Tahin 2001 pemerintah Norwegia membuat langkah privatisasi dengan mendirikan Petoro sebagai manajemen tersendiri yang terpisah dari STATOIL. Pada privatisasi ini dilakukan penjualan aset SDFI sebesar 21,5% (15% STAT OIL dan 5% NorskHydro). Pada tahun yang sama STAT OIL menjual sahamnya di bursa efek Oslo dan New York. Privatisasi STATOIL dilakukan tahun 2007. Sekarang ini 67% saham dimiliki pemerintah Norwegia dan 33% dimiliki oleh pemegang saham lainnya (Poelzer, 2015). Dari tahun 1981 – 1985 harga minyak bumi stabil, tetapi pada tahun 1986 kondisi Norwegia mengalami kejutan dengan turunnya harga minyak ke level terbawah, yaitu U$D 9 per barrel. Harga tersebut kemudian pada tahun 1987 bervariasi antara U$D 17 – U$D 25 per barel. Kemudian fluktuasi harga terjadi dari tahun 1995 – 2005. Adanya fluk tuasi harga ini maka untuk menghemat bia
16
ya dikembangkan NORSOK (Norsk Sokkels Konkurranseposisjon). NORSOK merupakan program industri untuk pengembangan tek nologi dan standar baru, pengembangan or ganisasi dan hubungan kontraktual baru, peraturan dan inisiatif baru untuk kerja sama dan negosiasi antara perusahaan minyak dan pe masoknya. Tujuannya adalah untuk me ngurangi biaya rata-rata sebanyak 50%. Program ini terinspirasi dari Inggris CRINE (Cost Reductions in a New Era). NORSOK ini memberi kebebasan kepada pelaku usaha dalam peren canaan dan pelaksanaan solusi tek nologi alternatif dengan tujuan meningkatkan efisiensi, standardisasi dan mengurangi biaya (Engen, 2007). Pendapatan migas mempunyai karakteristik yang unik; terkadang tidak dapat diprediksi, mudah berubah akibat berkurangnya cadang an ataupun habis. Pada awalnya pendapatan mulai mengalir dengan adanya signature bonus, kemudian diikuti dengan periode awal produksi dan puncaknya pada produksi puncak. Oleh karena itu banyak negara mulai mengembangkan dana pendapatan migas (Tabel 1). Di Norwegia sendiri pengembangan dana penda patan migas diawali pada tahun 1990 dengan referensi volume ekspor dan harga minyak
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama (Tormodsgard, 2014; World Bank Cambodia, 2008). Tujuan dana ini adalah dalam jangka panjang sebagai pendapatan negara yang digunakan untuk dana investasi dari hasil migas sehingga dapat bermanfaat baik oleh generasi sekarang maupun yang akan datang. Transfer pertama dana ini dilakukan pada tahun 1996 dan dilakukan secara tahunan. Dana yang masuk selanjutnya juga berasal dari pengembalian, bunga dan hasil investasi (Tormodsgard, 2014). Selanjutnya dana pendapatan dari migas dinamakan Pension Fund Global pada tahun 2006 (Eliassen, 2009). Rangkuti dan Suryanto (2012) menyatakan dana ini berfungsi sebagai penyangga antara pendapatan migas saat ini dan belanja negara dalam ekonomi Norwegia. Dengan cara ini, perekonomian negara terlindungi dari fluktuasi harga migas dunia. Pendapatan minyak dapat secara bertahap diintegrasikan ke dalam perekonomian Norwegia. Dana tersebut juga meru
pakan dana tabungan Pemerintah. Kedua tujuan di atas menyiratkan bahwa dana migas harus diinvestasikan di luar ekonomi Norwegia. Undang-undang yang berkaitan dengan Dana Migas Pemerintah menetapkan bahwa Dana Migas wajib mengumpulkan semua pendapatan pemerintah pusat dari operasi minyak bumi dan bahwa pendapatan Dana Migas hanya boleh digunakan oleh peme rintah pusat. Ketentuan ini menjamin bahwa sekali setahun otoritas pemerintah membuat keputusan tentang berapa banyak dari Dana Migas bisa digunakan. Hal ini juga memastikan bahwa semua penggunaan dana pemerintah pusat ini harus tunduk pada rencana ang garan tahunan sehingga penggunaan untuk kepentingan apapun harus dipertimbangkan secara matang. Storting (Parlemen Norwegia) telah menyetujui pedoman untuk penggunaan pendapatan minyak bumi yaitu terbatas pada 4 persen dari pendapatan nyata operasi migas per tahun.
Tabel 1. Dana Pendapatan Migas di Beberapa Negara
Sumber: World Bank Cambodia, 2008
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
17
Topik Utama Strategi investasi dari dana Government Pen sion Fund Norway (GPFG) terus berevolusi. Pada awalnya diinvestasikan secara eksklusif pada obligasi. Namun pada tahun 1998 sekitar 40% dana investasi dipindahkan ke ekuitas. Dana tersebut saat ini memiliki alokasi target investasi 60% ekuitas, 35%-40% pada fixed income securities dan sampai 5% pada real estate. Tujuan menyeluruh investasi GPFG adalah untuk dapat kembali pada jangka panjang yang tertinggi dengan risiko sedang sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuang an. Sebagai indikasi dari kinerja, rata-rata pengembalian dana tahunan adalah 5,7% antara Januari 1998 dan Desember 2013. Hasil perhitungan dengan mempertimbangkan inflasi dan biaya manajemen, laba bersih rata-rata sekitar 3,6%. Hal ini adalah sedikit dari target nyata 4% dari keuntungan yang diharapkan dalam jangka panjang. Adapun prinsip-prinsip yang ditetapkan untuk pengelolaan GPFG adalah pengelolaan aset harus didasarkan pada transparansi dan kesadaran (Legislative Council Secretariat, 2014). Adapun total dana dari Government Pension Fund Norway pada tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 4. Norwegia meskipun merupakan negara penghasil migas yang pada tahun 2012 Norwegia merupakan pengekspor ketiga terbesar gas dan ke 10 minyak bumi di dunia (Tormodsgard, 2014), namun untuk kebutuhan energinya te rus mengusahakan menggunakan energi ter
Gambar 4. Perkembangan Government Pension Fund Norway dari tahun 1996-2008 (Eliassen, 2009)
barukan. Konsumsi energi di Norwegia telah mencapai 212 – 229 TWH per tahun dari tahun 2000-2013, dengan konsumsi tertinggi pada tahun 2010 dan terendah pada tahun 2009 (Gambar 5). Separuh dari penggunaan energi adalah untuk listrik dan hampir semua sumber tenaga listrik berasal dari tenaga air (PLTA), yaitu sekitar 96,1% dari total produksi listrik pada tahun 2013 (Rosenberg, 2015).
Gambar 5. Konsumsi Final Energi di Norwegia (Rosenberg, 2015)
18
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama Penggunaan PLTA ini memungkinkan harga listrik menjadi rendah. Penggunaan tenaga air di Norwegia didukung oleh kondisi alam dan curah hujan yang tinggi di bagian barat. Selain itu sumber daya energi terbarukan yang dikembangkan adalah tenaga ombak, tenaga matahari, tenaga angin dan biomassa yang menghasilkan hingga 20 TWh per tahun. Di sisi lain Norwegia mempunyai cadangan minyak bumi mencapai 13,2 milyar SM3 OE dan gas alam yang difokuskan untuk mini LNG (Aryani, 2012). Ketergantungan kepada tenaga air yang tinggi pada produksi listrik membuat Minister of Petro leum and Energy Norwegia membuat kebijak an untuk keamanan pasokan energinya, yaitu (1) diversifikasi sektor energi (untuk keamanan energi), (2) menciptakan pasar untuk solusi energi baru (daya saing), (3) fokus pada sisi suplai, transportasi dan permintaan (pendekatan yang mengintegrasikan efisiensi energi dan energi terbarukan) (Aryani, 2012). Di Norwegia terdapat sekitar 4.000 sistem sungai yang terdiri dari sungai dan semua alirannya, danau, snowfields, dan gletser. Pembangkit listrik tenaga air yang ada mempunyai karakteristik terletak di daerah pegunungan dengan memanfaatkan gletser sebagai sumber daya level kedua. Tenaga air terbesar di Norwegia pada tahun 2008 meliputi Kvilldal, Sima dan Tonstad dengan produksi rata-rata tahunan 3517 jam gigawatt (GWh), 3.441 GWh, dan 4.196 GWh, masing-masing (Gonzales dkk. 2011). 4. Kesimpulan Norwegia merupakan negara yang memahami pentingnya ketahanan energi untuk masa depan. Adanya penemuan migas yang besar pada tahun 1960-an tidak mengakibatkan ke tergantungan sumber energinya pada migas. Pengembangan dan penambahan nilai sumber daya alam yang dimilikinya terus dilakukan. Hal inilah yang menyebabkan Norwegia berhasil dalam mencukupi kebutuhan energinya dan mempunyai dana ketahanan energi mencapai US$ 836 miliar. Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia, pada awalnya migas merupa-
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
kan komoditas yang terus diproduksi sebagai sumber energi utama. Perubahan paradigma baru dijalankan setelah produksi migas terus menurun dan tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri. Kebijakan energi nasional memegang peranan penting dalam mencapai kedaulatan energi. Pemerintah harus kreatif dan adil dalam membuat kebijakan yang menyokong ketahanan energi nasional. Pola-pola kebijakan yang bercorak produksi-konsumsi dan mengutamakan energi terbarukan harus didukung penuh untuk mencapai swasembada energi. Berkenaan dengan hal ini semua institusi bersinergi untuk mencapai target tersebut secara konsisten untuk mengamankan kebutuhan energi di masa depan. Pada jangka panjang kebijakan pemerintah diperlukan untuk menciptakan iklim invesitasi yang mendukung terjaminnya suplai energi dan pembangunan infrastruktur yang merata. Hal ini untuk memudahkan investasi di semua daerah di Indonesia. Dana ketahanan energi merupakan salah satu aplikasi pengelolaan energi nasional untuk keamanan kebutuhan energi di masa mendatang. Infrastruktur untuk mendukung adanya dana ketahanan energi seperti dasar hukum, kelembagaan serta mekanisme bene ficiary sharing dan aspek pengawasannya harus dilengkapi. Indonesia bisa belajar dari Norwegia dan negara lain yang telah memformulasikan kebijakan energi untuk memastikan keberlangsungan energi dalam jangka panjang. Salah satu cara adalah memfungsikan dana ketahanan energi yang diambil dari produksi sebanyak 5%. Dana tersebut dapat digunakan untuk pengembang an penelitian energi baru terbarukan ataupun pengembangan lapangan baru untuk peme nuhan energi sesuai dengan prinsip pemba ngunan berkelanjutan. Pembelajaran dari Norwegia, antara lain pengembangan teknologi terus dilakukan untuk menghemat biaya di sektor migas dengan pengembangan teknologi dan standar baru, pengembangan organisasi dan hubungan kontraktual baru, peraturan dan inisiatif baru
19
Topik Utama untuk kerja sama dan negosiasi antara perusahaan minyak dan pemasoknya. Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya rata-rata sebanyak 50%. Tahun 1990 dikembangkan dana pendapatan migas/Government Pension Fund Norway (GPFG). Tujuan dana ini adalah dalam jangka panjang sebagai pendapatan nega ra yang digunakan untuk dana investasi dari hasil migas sehingga dapat bermanfaat baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Strategi investasi terus dilakukan, diawali dengan obligasi, kemudian berkembang ke ekuitas. Hal ini dilakukan agar risiko menjadi sedang. Pada kebutuhan energinya Norwegia terus mengusahakan menggunakan energi terbarukan. Hampir semua sumber tenaga listrik berasal dari tenaga air (PLTA), yaitu sekitar 96,1% dari total produksi listrik pada tahun 2013. Sumber daya energi terbarukan yang dikembangkan selain tenaga air adalah tenaga ombak, tenaga matahari, tenaga angin dan biomassa yang menghasilkan hingga 20 TWh per tahun. Daftar Pustaka Aryani, D., 2012. Skenario Kebijakan Energi Indonesia hingga Tahun 2035. Disertasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Program Doktor Ilmu Administrasi. Universitas Indonesia. Depok. Badan Kebijakan Fiskal, 2012. Kebijkan Fiskla Instrumen Efektif Wujudkan Ketahanan Energi Nasional. Kementerian Keuangan, 6 Juni 2012 Dewan Energi Nasional. (2014). Outlok Energi Indonesia 2014. Dewan Energi Nasional Republik Indonesia. Eliassen, H., 2009. The Norwegian Pension Fund-Global. The Business of Clean Energy in Alaska. Counselor for Econo mic and Financial Affairs. Royal Norwegian Embassy
20
Engen, A., 2007. The Development of the Norwegian Petroleum Innovation System: A Hystorical Review. University of Stavanger. TIK Working paper on Innovation Studies No. 20070605 Gonzales, D., Kilinc, A., dan Weldmann, N., 2011. Renewable Energy Development Hidropower in Norway. Seminar Papers in International Finance and Economic. George Simon Ohm. University of Applied Sciences Nuremberg. Indocita, 2015. Indonesian Petroleum Association (IPA) akan Gelar Konvensi Migas ke39, Mencari Solusi Krisis Energi?. Indopetronews.com. Hansen, J.C., 1983. Oil and the Chanfing geo graphy of Norway. Geography. Vol. 68, No. 2 (April 1983), pp. 162-165. http://www. jstor.org/stable/40570664. Haryanto, J.T., 2016. Dana Ketahanan Energi untuk Efisiensi. Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. http://www. kemenkeu.go.id/Artikel/dana-ketahanan-energi-untuk-efisiensi. Diunduh tanggal 25 Mei 2016. Karstad, P. I., 2009. Norwegian value Creation Beyond Oil and Gas. Strategic opportu nities in sustainable Norwegian energy production to secure European energy supplies. Thesis for the degree of Philosophiae Doctor. Department of Geology and Mineral Resources Engineering. Faculty of Engineering Science and Technology. Norwegian University of Science and Techno logy Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015. Membangun Kedaulat an Energi Nasional. Disampaikan pada Pra-Musrenbangnas, 2015. Jakarta, 16 April 2015.
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama Legislative Council Secretariat, 2014. Go vern ment Pension Fund of Norway. FSC50/13- 14 http://www.legco.gov.hk/ research-publications/english/1314fsc50government-pension-fund-of-norway20140902-e.pdf. Muin, A., (2014): Ketahanan Energi Nasional. Tantangan bagi Pemerintahan Joko Wido do. Dialog Kebangsaan Arah Kebijakan Ekonomi, Politik Pemerintahan, Jokowi. Jakarta. Mulyana, E. Dan Istiqomah, A., 2013. Energi Alternatif untuk Indonesia di Masa Depan. Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2013. 269-277. Poelzer, G., 2015. What Crisis? Global Lessons from Norway for Managing Energy-Based Economies. Celebrating 5 Years MLI. A Macdonal-Laurier Institute Publication. Rakhmanto, P.A., 2015. Dana Ketahanan Ener gi. Kompas Tanggal 30 Desember 2015. Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi. Universitas Trisakti. Pendiri ReforMiner Institute.
SKK Migas, (2013). Buku Laporan Tahunan SKK MIGAS. Jakarta Taylor, I. L., (2004): Methods of Exploration and Production Petroleum Resources. Geolo gy/ Vol. V. Encyclopedia Support Systems (EOLSS). U.S. Geological Survey. Reston. Virginia. USA. World Bank Cambodia, 2008. Petroleum Re venue Fund-Part -. Petroleum sector Briefing Note. Special Supplement. Oil & Gas. June-July 2008. Internet http://bahrullah.com/wp-content/uploads/2016/02/gam_1455627190518.pdf. Dana Ketahanan Energi. Sumber Litbang Kompas/BIM, diolah dari laman Kementerian ESDM dan Laman BPH Mgas. https://www.regjeringen.no/globalassets/upload/kilde/oed/bro/2004/0006/ddd/pdfv/204702-factsog0104.pdf. Norwegian Oil History in Brief.
Rangkuti, Z., dan Suryanto, U., 2012). Pemanfaatan Dana Migas (Migas Fund) untuk Ketahanan Energi (Energy Security) sebagai Alternatif Pengembangan Industri Hulu (Upstream) Migas Nasional. State Islamic Unversity (UIN) Syarif Hidayatullah-Jakarta. Romadhon, T.M., (2009). Pengaturan Product ion Sharing Contract dalam undang-Undang Minyak dan Gas. Jurnal Hukum No. 1 Vol 16. http://law.uii.ac.id/images/stories /Jurnal%20 Hukum/Topan%20Meiza%20 Ramadhani.pdf Rosenberg, E., 2015. Energi Efficiency Trends and Policies in Norway. Institute for Energy Technology. Norway.
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
21