Web Publishing
ISSN 2088-7590
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi JTMGB
Volume 11 Nomor 2 Agustus 2016
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Society of Indonesian Petroleum Engineers JTMGB
Vol. 11
No. 2
Hal. 47-118
Jakarta Agustus 2016
ISSN 2088-7590
Keterangan gambar cover : Cynthia Dougherty, “Hydraulic Fracturing Applicability of the Safe Drinking Water Act and Clean Water Act”, EPA, US Environmental Protection Agency,” 7 April 2010.
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi ISSN 0216-6410
JTMGB
Volume 11 Nomor 2 Agustus 2016
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi adalah majalah ilmiah diterbitkan setiap kwartal yang menyajikan hasil penelitian dan kajian sebagai kontribusi para professional ahli teknik perminyakan indonesia yang tergabung dalam Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) dalam menyediakan media komunikasi kepada anggota IATMI pada khususnya dan mensosialisasikan dunia industri minyak dan gas bumi kepada masyarakat luas pada umumnya. KEPUTUSAN KETUA UMUM IATMI PUSAT NO: 003/SK/IATMI/III/2015 Penanggung Jawab : Ir. Alfi Rusin Pemimpin Redaksi
: Ir Raam Krisna
Redaktur Pelaksana : Ir. Andry Halim Peer Review
: Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar (Enhanced Oil Recovery) Prof. Dr. Ir. Pudjo Sukarno (Integrated Production System) Prof. Dr. Ir. Doddy Abdassah, PhD. (Reservoir Engineering) Dr. Ir. RS Trijana Kartoatmodjo (Production Engineering) Dr. Ir. Arsegianto (Ekonomi & Regulasi Migas) Dr. Ir. Bambang Widarsono (Penilaian Formasi) Dr. Ir. Sudjati Rachmat, DEA (Well Stimulation and Hydraulic Fracturing) Dr. Ir. Sudarmoyo, SE, MT (Penilaian Formasi) Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi (Penilaian Formasi - CBM) Dr. Ir. Sugiatmo Kasmungin (Reservoir Engineering) Dr. Ing. Ir. Bonar Tua Halomoan Marbun (Drilling Engineering) Suryono Adisoemarta, PhD. (Petroleum Engineering)
Senior Editor
: Ir. Junita Musu, M.Sc. Ir. Ida Prasanti Ir. Chairatil Asri
Sekretaris
: Ir. Bambang Pudjianto (IATMI)
Layout Design
: Alief Syahru Syaifulloh, S.Kom. (Sekretariat IATMI)
Sirkulasi
: Abdul Manan, A.Md. (Sekretariat IATMI) Alamat Redaksi: Patra Office Tower Lt.1 Ruang 1-C Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 32-34 Jakarta 12950 – Indonesia. Tel/Fax: +62-21-5203057 website: https://iatmi.or.id email:
[email protected] Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (ISSN 0216-6410) diterbitkan oleh Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, Jakarta Didukung oleh Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi ISSN 0216-6410
JTMGB
Volume 11 Nomor 2 Agustus 2016
DAFTAR ISI
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S .................................................................................... 47 - 64 Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel .................................................................................. 65 - 84 Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan .......................................................... 85 - 102 Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X” Steven Chandra .................................................................................................................. 103 - 110 Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode Pendant Drop Muslim dan A.K. Permadi ................................................................................................ 111 - 118
KATA PENGANTAR
JTMGB Edisi Agustus 2016 Para Pembaca JTMGB yang budiman, Dirgahayu Republik Indonesia ke-71. Merdeka! Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya kami kembali bisa menjumpai para pembaca dengan aneka materi bacaan ilmiah yang tersaji dalam Majalah Ilmiah JTMGB Volume 11 Nomor 2 Edisi Agustus 2016. Dalam rangka ikut merayakan Ulang Tahun RI ke-71, kami menyajikan 5 (lima) tulisan ilmiah dengan berbagai topik menarik. Dalam bidang produksi disajikan 3 tulisan yang membahas teknik-teknik baru, dimana artikel pertama menyajikan pembahasan pembuatan model Geomechanic dan design Hydraulic fracturing lapisan yang akan di fract dengan metode Artificial Intelegence, yang dapat meminimalkan biaya fract. Artikel kedua, membahas penerapan Metode stimulasi hydraulic fracturing dengan desain proppant optimum pada lapangan CBM bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sumur dan juga mempercepat proses dewatering. Tulisan lain di bidang produksi, mengkaji pengaruh dari parameter panjang setengah rekahan dari hydraulic fracturing dan hydraulic fracture spacing terhadap aspek produksi dan reservoir lapangan shale gas, serta menentukan hubungan kedua parameter tersebut dalam penentuan Intial Gas In Place (IGIP). Di bidang reservoir menyajikan pembahasan metode miscible injection, yaitu injeksi fluida yang akan bercampur dengan fluida reservoir membentuk suatu komponen baru yang viskositasnya lebih rendah dan efisiensi penyapuannya lebih tinggi yang dapat diterapkan pada reservoir tekanan rendah. Di bidang EOR, disajikan tulisan yang membahas bagaimana memperkirakan Tekanan Tercampur Minimum (TTM) melalui pengukuran tegangan antar muka atau interfacial tension (IFT) dengan menggunakan metode pendant drop, dimana penentuan TTM ini merupakan faktor penting dalam perencanaan injeksi gas CO2 untuk mendapatkan perolehan minyak yang maksimum. Kami berharap, edisi JTMGB Agustus 2016 ini dapat menambah dan melengkapi referensi para pembaca. Selamat menikmati... (Alfi Rusin)
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi ISSN 0216-6410
Date of issue: 2016-11-21
The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. Sudjati Rachmat (Institut Teknologi Bandung) Andri Taufik S (PT Pertamina EP) Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing Artificial Neural Network of Shear Sonic Data Prediction for Hydraulic Fracturing Design JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 47-64 Untuk memperkirakan sifat geomekanik lapisan bawah permukaan diperlukan data kecepatan geser/shear stress sebagai dasar perhitungan, namun dalam prakteknya shear sonic tidak termasuk dalam data log yang diperoleh tetapi yang ada hanya data sonic compressional. Di samping pengukuran data secara langsung, metode Artificial Intelegence (AI) saat ini telah digunakan secara luas untuk tujuan prediksi. Setelah jaringan dilatih, jaringan tersebut dapat membuat prediksi berdasarkan pembelajaran sebelumnya, dari input data baru dengan set pola yang sama. Sehingga pada penulisan ini, korelasi empiris dengan metode AI melalui software ANFIS digunakan untuk memperkirakan kecepatan gelombang geser (shear sonic/wave velocity) berdasarkan input data GR, RHOB, DT, dan NPHI. Terdapat 2423 input data per kedalaman yang dapat digunakan untuk selanjutnya dilakukan sorting dan normalisasi data. Data utama yang dijadikan sebagai training/pelatihan merupakan 70-90 persen dari total input data atau sekitar 1695 data dan data testing/ pengujian sekitar 10-15 persen dari total data yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi atau sekitar 363 data. Hasil pemodelan ANFIS menunjukan untuk memperoleh error terkecil adalah dengan menggunakan cra sebesar 0,3 dan epoch sebanyak 50, dengan hasil RMSE training sebesar 0,11701 dan RMSE testing sebesar 0,078915. Pengaruh ketidaksediaan data input terhadap hasil RMSE (Root Means Square Error) testing yaitu data DT sonic compresional dengan nilai RMSE testing paling besar sebesar 0.09005 sehingga data ini sangat diperlukan dalam perhitungan shear sonic. Pada akhirnya hasil output data shear sonic dari pemodelan ANFIS dapat dipakai untuk membuat model Geomechanic dan design Hydraulic fracturing lapisan yang akan kita fract, sehingga dapat meminimalkan biaya fract di lapangan X. Kata Kunci: artificial intelegence, adaptive neuro fuzzy inference system (ANFIS), shear sonic, model geomekanik, design hydraulic fracturing.
Sudjati Rachmat (Institut Teknologi Bandung) Evans Immanuel (Institut Teknologi Bandung) Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir Studi Komprehensip tentang Perancangan Propan Optimum pada Stimulasi Hydraulic Fracturing untuk Gas Methan Batubara JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 65-84 Coal Bed Methane (CBM) development has increased dramatically over the last decades. Coalbed methane gas production is viewed as a new and significant energy source that promise of relatively clean and stable gas supply to complement with the world’s growing energy demand . Even though there are some similarities between coal seam and conventional gas reservoir, production scheme of a CBM well exhibit different processes. Hydraulic Fracturing treatment is often used to increase productivity of a low permeability wells. Fracture is generated hydraulically by pumping down fracturing fluid above the formation breakdown pressure, and then the established fracture is kept open by using proppants. Therefore, the optimum proppant design is crucial in obtaining the required fracture conductivity. This stimulation treatment is applied on CBM wells which aims to increase the well productivity, and therefore accelerating the dewatering process. Due to the characteristic difference between coalbed methane and conventional gas reservoirs, largely accepted norms in the hydraulic fracturing inadequate to address problems associated with hydraulic fracture stimulation in CBM reservoirs. In this study, the optimum proppant design in hydraulic fracturing treatment for CBM well is analyzed. Parameters that are used to examine the optimum proppant design are proppant type, proppant concentration, and proppant size distribution. Simulations are run using P3D geometry model to model fracture propagation in order to obtain fracture half length, fracture width, and fracture conductivity. This study also examine coal mechanic properties which distinct it from conventional gas reservoir, which is low Young’s modulus and high Poisson’s ratio value and their effect on hydraulic fracturing treatment design. Keywords: Hydraulic Fracturing, CBM, Proppant.
Rayner Susanto (Institut Teknologi Bandung) Doddy Abdassah (Institut Teknologi Bandung) Dedy Irawan (Institut Teknologi Bandung) Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan Sensitivity Analysis of Hydraulic Fracturing Scenario in Shale Gas Simulation Model: Fracture Spacing and Fracture Half Length JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 85-102 Pengembangan reservoir gas non konvensional sangat berkembang di Amerika Utara. Shale gas merupakan salah satu jenis hidrokarbon non konvensional yang utama dikembangkan di sana. Shale mempunyai karakteristik yang unik sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda dengan hidrokarbon konvensional. Karakteristik tersebut berupa permeabilitas yang sangat rendah, terdapat rekahan berukuran mikro, dan sensitivitas terhadap fluida kontak. Proses hydraulic fracturing merupakan salah satu proses stimulasi yang seringkali dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas sumur gas pada lapangan shale gas. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui lebih dalam pengetahuan mengenai proses hydraulic fracturing ini. Dalam sebuah proses hydraulic fracturing shale gas, terdapat banyak parameter yang memegang peranan penting dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam studi ini, akan dilakukan proses analisis pengaruh dua dari berbagai parameter tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan pengaruh dari parameter panjang setengah rekahan dari hydraulic fracturing dan hydraulic fracture spacing terhadap aspek produksi dan reservoir lapangan shale gas, serta menentukan hubungan kedua parameter tersebut dalam penentuan IGIP. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan alur dalam penentuan persamaan untuk mencari recovery factor, plateu time, dan IGIP dari reservoir shale gas yang dimodelkan. Dalam studi kasus ini akan dilakukan skenario kombinasi antara kedua parameter yang disebut di atas. Studi kasus ini mengambil data dari sebuah lapangan shale gas di Amerika yang berasal dari publikasi - publikasi yang telah dirilis. Studi ini menggunakan software perminyakan untuk mengolah data dan membuat model lapangan shale gas. Kata Kunci: hydraulic fracturing, shale gas, hydraulic fracturing spacing, half fracture length.
Steven Chandra (Institut Teknologi Bandung) Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X” Comparative Study of Miscible and Immiscible Injection of CO2 for Field “X” JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 103-110 Seiring dengan meningkatnya praktek CO2 - EOR sebagai upaya lanjutan dari Carbon Capture and Storage (CCS), injeksi karbon dioksida ke formasi merupakan upaya lanjutan dalam meningkatkan produksi migas. Praktik umum yang saat ini dilakukan di Negaranegara Amerika Utara dan Eropa, injeksi karbon dioksida dilakukan diatas MMP (Minimum Miscibility Pressure) yaitu tekanan minimum dimana karbon dioksida akan bercampur dengan fluida reservoir membentuk suatu fluida dengan komposisi baru dari komponen asal fluida yang viskositasnya lebih rendah dan efisiensi pendesakan lebih tinggi. Metode ini disebut miscible injection, yaitu injeksi fluida yang akan bercampur, namun metode ini kurang popular dilakukan di Indonesia dikarenakan kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya bertekanan rendah (700 psi, 360 K) jauh dibawah MMP karbon dioksida yaitu di kisaran 1500 -2000 psi. Metode yang umum di Indonesia adalah immiscible injection, yaitu karbon dioksida diinjeksikan sebagai pendorong fluida reservoir tanpa harus bercampur secara kimiawi. Penelitian dalam karya tulis ini menggunakan sampel core sintetis yang merupakan representasi dari Lapangan “X” dimana lapangan ini bisa merepresentasikan kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya, dengan menginjeksikan karbondioksida dibawah MMP dan di atas MMP. Dari penelitian yang telah dilakukan, injeksi tidak tercampur memberikan hasil yang belum seoptimal injeksi tercampur tetapi cocok dilakukan jika injeksi tercampur menjadi tidak ekonomis akibat keharusan memakai kompresor yang lebih besar. Kata Kunci: karbondioksida, MMP, injeksi tak bercampur, injeksi tercampur, EOR.
Muslim (Universitas Islam Riau) A.K. Permadi (Institut Teknologi Bandung) Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode Pendant Drop Minimum Miscibility Pressure Estimation through Interfacial Tension Test Using Pendant Drop Method JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 111-118 Penentuan tekanan tercampur minimum (TTM) merupakan faktor penting dalam perencanaan injeksi gas CO2 untuk mendapatkan perolehan minyak yang maksimum dari suatu lapangan atau reservoir. Slim tube test merupakan suatu metode untuk menentukan TTM yang telah diakui oleh industri. Namun demikian, terdapat beberapa kekurangan dalam menggunakan metode ini antara lain membutuhkan waktu yang lama dan memerlukan banyak sampel untuk mendapatkan nilai TTM yang diinginkan. Studi ini bertujuan untuk memperkirakan TTM melalui pengukuran tegangan antar muka atau interfacial tension (IFT) menggunakan metode pendant drop. Metode ini membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat dan memerlukan sampel yang relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan metode slim tube test. Studi ini menggunakan dua sampel minyak yaitu Sampel A dan Sampel B dimana Sampel A mempunyai API gravity lebih tinggi dari Sampel B. Hasil studi menunjukkan bahwa TTM yang diperoleh adalah sebesar 1611 psia pada temperatur 60oC dan sebesar 1777 psia pada temperatur 66oC untuk Sampel A. Sedangkan untuk Sampel B TTM yang dihasilkan adalah sebesar 1918 psia dan 2072 psia masing-masing pada temperatur yang sama seperti digunakan pada Sampel A. Besaran API gravity sangat berpengaruh terhadap besaran TTM yang dihasilkan. Semakin tinggi API gravity maka semakin rendah TTM dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, API gravity yang tinggi menyebabkan CO2 lebih mudah terlarut dan tercampur dengan minyak. Perkiraan TTM melalui pengukuran tegangan antar muka menggunakan metode pendant drop sangat menguntungkan untuk dilakukan karena dapat menghemat waktu, sampel, dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan harga TTM. Kata Kunci: Tekanan tercampur minimum, CO2, pendant drop, tegangan antar muka.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing Artificial Neural Network of Shear Sonic Data Prediction for Hydraulic Fracturing Design Sudjati Rachmat1 dan Andri Taufik S2
[email protected] 1Teknik Perminyakan ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Tel. +6222-2504955 2PT. Pertamina EP, Jl. Prof. Dr. Satrio Kav. 164, Jakarta 12950, Tel. +6221-59974000 Abstrak Untuk memperkirakan sifat geomekanik lapisan bawah permukaan diperlukan data kecepatan geser/ shear stress sebagai dasar perhitungan, namun dalam prakteknya shear sonic tidak termasuk dalam data log yang diperoleh tetapi yang ada hanya data sonic compressional. Di samping pengukuran data secara langsung, metode Artificial Intelegence (AI) saat ini telah digunakan secara luas untuk tujuan prediksi. Setelah jaringan dilatih, jaringan tersebut dapat membuat prediksi berdasarkan pembelajaran sebelumnya, dari input data baru dengan set pola yang sama. Sehingga pada penulisan ini, korelasi empiris dengan metode AI melalui software ANFIS digunakan untuk memperkirakan kecepatan gelombang geser (shear sonic/wave velocity) berdasarkan input data GR, RHOB, DT, dan NPHI. Terdapat 2423 input data per kedalaman yang dapat digunakan untuk selanjutnya dilakukan sorting dan normalisasi data. Data utama yang dijadikan sebagai training/pelatihan merupakan 70-90 persen dari total input data atau sekitar 1695 data dan data testing/pengujian sekitar 10-15 persen dari total data yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi atau sekitar 363 data. Hasil pemodelan ANFIS menunjukan untuk memperoleh error terkecil adalah dengan menggunakan cra sebesar 0,3 dan epoch sebanyak 50, dengan hasil RMSE training sebesar 0,11701 dan RMSE testing sebesar 0,078915. Pengaruh ketidaksediaan data input terhadap hasil RMSE (Root Means Square Error) testing yaitu data DT sonic compresional dengan nilai RMSE testing paling besar sebesar 0.09005 sehingga data ini sangat diperlukan dalam perhitungan shear sonic. Pada akhirnya hasil output data shear sonic dari pemodelan ANFIS dapat dipakai untuk membuat model Geomechanic dan design Hydraulic fracturing lapisan yang akan kita fract, sehingga dapat meminimalkan biaya fract di lapangan X. Kata kunci: artificial intelegence, adaptive neuro fuzzy inference system (ANFIS), shear sonic, model geomekanik, design hydraulic fracturing. Abstract To estimate subsurface properties of geomechanics data required shear velocity/shear stress as a basis for calculation, but in practice it is not included in the well log data obtained, but there are only sonic compressional the data. Nowadays we can measure the sonic shear directly into the well by entering the logging tool so that the data obtained can be used to create more accurate models Geomechanic. In addition methods of Artificial Intelligence (AI) is now widely used for predictive purposes. Once trained network, the network is able to make predictions based on previous learning, from the input of new data with the same set of patterns. So at this writing, the empirical correlation with AI through software ANFIS method used to estimate the speed of shear wave (shear sonic/wave velocity) based on the input of data GR, RHOB, DT, and NPHI. There are 2423 data input by the depth that can be used for further sorting and data normalization. The main data used as training about 70-90 percent of the total input of data or 1695 data and the data testing about 10-15 percent of the total data collected and selected, or about 363 data. ANFIS modeling results show to get the smallest error is to use cra of 0.3 and epoch of 50, with the results of RMSE of 0.11701 and 0.078915 for testing. The influence of the absence of the input data on the results of RMSE (Root Means Square Error) testing is DT sonic compresional data with RMSE most testing value of 0.09005 so that this data is needed to calculate shear sonic.
47
48
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
In the end the result of shear sonic data output of ANFIS modeling can be used to model and design Geomechanic for Hydraulic fracturing will we fract layer, so as to minimize fract costs in the field X. Keywords : artificial intelligence, adaptive neuro fuzzy inference system (ANFIS), shear sonic, geomechanics models, design of hydraulic fracturing.
I. PENDAHULUAN Lapangan X merupakan lapangan penghasil minyak yang terletak pada lingkungan pengendapan deltaic sehingga dalam satu sumur memiliki layer-layer reservoir yang banyak namun berukuran tipis. Secara litologi reservoirnya tersusun atas sandstone dan strikstrik berupa limestone dan memiliki permeabilitas yang rendah. Di antara zona-zona prospek reservoir juga ditemukan litologi shale dan coal. Untuk meningkatkan productivity dan keekonomisan suatu sumur diperlukan kegiatan Hydraulic Fracturing dalam rangka meningkatkan permeabilitasnya. Seperti yang kita ketahui, Hydraulic Fracturing sangat cocok untuk diterapkan pada zona reservoir yang tebal sehingga dapat leluasa untuk menghindari water bearing zone dan meningkatkan perolehan minyaknya. Untuk menghindari kegagalan pada reservoir yang tipis tersebut, sangat penting untuk mengetahui dan mengukur dengan tepat fract geometri yang terbentuk berupa height growth dan fracture length sehingga terhindar dari water bearing zone dan coal. Kemampuan untuk menentukan model Geomechanic batuan yang akan kita Fract yaitu sifat mekanika batuan, local stress regime dan stress barrier, akan menghasilkan Fract Geometri yang akurat. Pada kasus Hydraulic Fracturing di sumur X-01 Lapangan X, penggunaan data shear sonic sebelum melakukan pekerjaan Hydraulic Fracturing sangat berguna dalam menentukan lapisan target yang akan dikerjakan karena dapat mengestimasi model fracture geometry yang lebih akurat dari setiap kandidat lapisan yang akan dilakukan hydraulic fracturing. Berdasarkan studi yang sudah ada, untuk memperkirakan sifat mekanik lapisan bawah permukaan diperlukan data kecepatan geser/ shear sonic sebagai dasar perhitungan (Zoback, 2007). Namun, dalam prakteknya shear sonic tidak termasuk dalam data log yang diperoleh tetapi yang ada hanya data sonic compressional. Penggunaan berbagai macam korelasi empiris telah diteliti selama dekade terakhir untuk
memperkirakan kecepatan gelombang geser dari parameter fisik batuan (Castagna et al.). Namun, korelasi ini telah dikembangkan untuk wilayah tertentu dan penggunaannya di lapangan lain terdapat ketidakpastian. Namun dalam beberapa tahun terakhir, metode Artificial Intelegence (AI) telah digunakan secara luas untuk tujuan prediksi. Setelah jaringan telah dilatih, jaringan tersebut dapat membuat prediksi berdasarkan pembelajaran sebelumnya, tentang output berdasarkan pada input data baru dengan set pola yang sama. Sehingga pada penulisan ini, akan digunakan korelasi empiris dengan metode AI untuk memperkirakan kecepatan gelombang geser (shear wave velocity/ shear sonic) berdasarkan input data log petrofisika. Hydraulic Fracturing di Sumur X-01 Untuk mengoptimasi produksi maka dilakukan pekerjaan hydraulic fracturing pada sumur X-01 yang disebabkan reservoir sandstone pada sumur tersebut memiliki tight permeability. Dan untuk memperoleh hasil design fracturing yang lebih akurat maka sebelumnya dilakukan run logging sonic scanner sampai kedalaman 1163 m. Data sonic scanner yang berupa shear sonic kemudian diolah untuk mendapatkan profil stress dan mekanika batuan (Young Modulus dan poison ratio) lapisan target. Berdasarkan data Well Diagram sumur X-01 pada Lampiran Gambar 1 terdapat dua kandidat lapisan untuk dilakukan Hydraulic Fracturing, yaitu lapisan D-07 dan D-12. Namun setelah melakukan run logging sonic scanner untuk memperoleh data shear sonic, dapat terlihat bahwa dari simulasi fract geometry lapisan D-07 menghasilkan fracture half length sebesar 102 ft, dengan height sebesar 100 ft di mana mengenai zona air di 2800 ft / 854 m, kemudian lapisan D-12 menghasilkan fracture half length sebesar 149 ft, effective dengan height sebesar 141 ft masih berada pada area shale dan pasir contain di zona D-12. Geometri fracture kedua lapisan tersebut tersaji pada Lampiran Gambar 3 dan 4.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing (Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.)
Setelah mendapatkan data shear sonic dengan run logging sonic scanner, maka dari hasil simulasi model fract lapisan D-12 lebih optimistik dibandingkan dengan lapisan D-07. Hal ini disebabkan karena: • Dari simulasi model, fract growth lapisan D-07 ke arah atas tidak tercover oleh ketebalan sand tersebut sehingga menembus zona air. • Stress anomali pada lapisan D-12 tidak ada perbedaan, sedangkan pada lapisan D-07 terdapat perbedaan berupa straight elbow yang besar. Setelah dilakukan hydraulic fracturing hasil fracture properties di lapisan D-12 interval 1158 – 1164 m adalah propped fracture half length: 114,2 ft / 34,8 m, fracture height: 56,4 ft / 17,2 m dan FCD – Dimensionless Conductivity: 9,8. Fract geometry lapisan D-12 setelah hydraulic fracturing ditunjukan pada Lampiran Gambar 5. Gain production yang dihasilkan adalah Nett 40 bopd dengan FOI – Fold of Increase: 2,5. Berdasarkan perhitungan IPR sebelum fracturing diperoleh AOFP sebesar 23 bfpd dan setelah fracturing menjadi AOFP sebesar 72 bfpd. Performa produksi dan hasil perhitungan IPR sumur tersebut dapat dilihat pada Lampiran Gambar 6. II. TEORI DASAR Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Network)
49
(pada kesalahan minimum yang dicapai) untuk semua pola yang dipelajari, hal ini sesuai dengan anggapan menemukan error terendah dalam proses mengenali sekelompok obyek pola yang dipelajari. Gambar 1. menunjukkan komponen dari neuron.
Gambar 1. Komponen Neuron.
Sinapsis menghubungkan antara neuron yang satu dengan neuron yang lain, dimana setiap sinapsis memiliki bobot masing-masing (w). Penjumlah (Ʃw) dan adder/bias (b) bertugas menjumlahkan sinyal input yang telah diberi bobot (w) berdasarkan bobot pada sinapsis neuron tersebut. Neuron adalah unit yang berfungsi untuk memproses informasi yang merupakan dasar dari operasi neural network untuk menghasilkan output. Fungsi aktivasi adalah fungsi yang akan digunakan untuk memproses input menjadi output yang diinginkan. Fungsi sigmoid (Gambar 2) membatasi output neuron dalam rentang antara 0 hingga 1. Fungsi ini didefinisikan pada fungsi matematis sebagai berikut :
Secara biologis jaringan saraf terdiri dari neuron-neuron yang saling berhubungan. Neuron merupakan unit struktural dan fungsional dari sistem saraf, mempunyai kemampuan untuk mengadakan respon bila dirangsang ................................................... (1) dengan intensitas rangsangan yang cukup kuat. Respon neuron bila dirangsang dengan adalah memulai dan menghantarkan impuls. Jaringan saraf tiruan merupakan gabungan sejumlah elemen yang memproses informasi dari input sehingga memberikan suatu informasi keluaran. Sekelompok obyek dipelajari oleh sistem belajar dengan tujuan untuk mengenali bentuk pola setiap bentuk tersebut. Proses ini dilakukan dengan cara melatih sistem belajar (train neural network) melalui pemberian bobot dan bias pada hubungan antar simpul. Hasil yang dicapai adalah didapatkannya sekelompok bobot dan bias Gambar 2. Fungsi sigmoid.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
50 Tahap Latih/Training
reservoir dan pengamatan geofisika. Respon amplitudo seismik tergantung sifat dari kecepatan Tahap ini merupakan tahap pembelajaran gelombang P (Vp), kecepatan gelombang S (Vs), yang dilakukan oleh jaringan. Parameter pada dan density (ρ) dalam batuan reservoir berpori. jaringan dirubah-rubah berdasarkan data yang dimasukkan agar menghasilkan output yang Hooke’s Law diinginkan. Perubahan parameter - parameter diharapkan mampu menyelesaikan masalahUntuk gelombang amplitudo yang kecil masalah yang sejenis, tidak overfitting maupun sekali, hukum empiris Hooke menyatakan underfitting. hubungan stress - strain. Stres didefinisikan sebagai besarnya gaya per satuan luas. Unit SI Tahap mundur adalah pascal (Pa), tetapi lebih sering terjadi pada industri minyak menggunakan psi (pound Pada proses ini dilakukan algoritma EBP per inci persegi). Persamaan stres adalah : (Error Backpropagation) dimana pada setiap layer dilakukan perhitungan error untuk melakukan .................................................................. (4) update parameter-parameter ANFIS. Pada layer terakhir dilakukan perhitungan error dengan Strain adalah perubahan/deformasi yang rumus differensial dari perhitungan MSE yaitu: diinduksi dalam batuan yang disebabkan oleh stress. Tiga konstanta elastis yang paling umum .............................................. (2) digunakan untuk kuantitatif menggambarkan kekuatan batuan adalah shear (μ), bulk (K), dan (E) modulus Young. Penjelasan mengenai hal ini Nilai yd adalah output aktual, dan nilai dapat dilihat pada Gambar 3. y adalah output ANFIS. Setelah persamaan (2) dideferensial maka menghasilkan persamaan (3) berikut: .......................................................... (3)
Setiap epoch dari jaringan adalah satu kali tahap maju dan satu kali tahap mundur dilakukan. Pada tahap mundur, error rates dipropagasikan balik sampai lapisan input dan parameter premis Gambar 3. Hubungan stress – strain dari pengukuran dirubah hingga error terkecil. laboratorium. Tahap Uji/Testing
Persamaan Kecepatan
Tahap uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah ANFIS dapat mengenali pola dengan memberikan input yang mungkin berbeda dengan input pada tahap dan latih. Dataset yang ada dibagi menjadi data latih data uji dengan komposisi yang berbeda. Pada tahap ini, jaringan hanya berjalan satu kali tahap maju untuk setiap rangkaian data yang dimasukkan.
Tidak seperti density, yang hanya membagi massa dengan satuan volume, kecepatan melibatkan deformasi batuan sebagai fungsi dari waktu. Berikut adalah persamaan untuk kecepatan dengan modulus bulk dan modulus geser. Jika modulus bulk batuan dalam gigapascals (GPa) dan density dalam gm/cc (gm/ cm3), maka kecepatan dinyatakan dalam km/s.
Geomekanik dan Fisik Batuan Fisika batuan adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat fisik batuan
............................................................... (4) ........................................... (5) .............................................................. (6)
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing (Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.)
.............................................................. (7)
51
...................................(10)
Modulus Elasticity dan Poisson Ratio Modulus elastisitas adalah konstanta yang menggambarkan perilaku linear material. Hubungan antara stress (σx) terhadap elongasi (εx) bisa digambarkan sebagai hukum Hooke di mana koefisien E disebut Modulus Young. .......................(8)
Tipe lain dari modulus elastisitas adalah menggambarkan perpanjangan lateral. stress (σx) akan meningkatkan lebar sampel yang disebut elongasi lateral (εy = εz = (D-D’) / D). Rasio εy dan εz disebut Poisson’s ratio dan didefinisikan Gambar 5. Principal stress dalam batuan. sebagai, Data dari LOT dan rekah hidrolik dapat digunakan untuk menentukan tegangan utama minimum. Hal ini dapat dilakukan dengan Ilustrasi Poisson ratio terlihat pada Gambar 4. mengasumsikan kegagalan tarik/tensile failure selama LOT atau rekah hidrolik. Deformasi pada Tegangan utama (Principal Stress) formasi dapat terjadi secara alami dalam massa batuan melalui tekanan tektonik yang dihasilkan In-situ keadaan stress bumi dapat dari proses geologi masa lalu dan sekarang. Stress dimodelkan sebagai tiga tegangan normal yang horizontal di formasi dapat dijelaskan dengan disebut tegangan utama. Tiga stress utama adalah persamaan: Stress vertikal (Sv), Stress maksimum horizontal (SH max) dan Stres minimum horizontal (SH min). Stress utama tersebut berarah tegak lurus ..................(11) satu sama lain. Seperti pada Gambar 5. untuk minimum stress horizontal, dan ............(9)
.................(12)
untuk maximum stress horizontal. III. PEMODELAN ANN Gambar 4. Ilustrasi Poisson ratio.
Pemodelan ANFIS
Stress vertikal atau stress overburden adalah stress yang arahnya vertikal ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh massa lithostatik. Untuk menentukan stress vertikal adalah menghitung integral dari density batuan (ρ) dari permukaan ke kedalaman target. Persamaan stress vertikal adalah :
Pemodelan Artificial Neural Network (ANN) menggunakan software ANFIS dalam hal ini output target yang akan dianalisa adalah data shear sonic yang berasal dari run logging sonic scanner di sumur X-01 terhadap input data well log sumur X-01 yaitu Gammay Ray, NPHI, RHOB, dan Sonic compressional. Penelitian akan
52
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
terdiri dari tujuh tahap, yaitu: 1. Akuisisi data 2. Persiapan data 3. Persiapan pemodelan ANFIS 4. Input data ke ANFIS 5. Generate FIS 6. Training / pelatihan FIS 7. Menguji Pasca Pelatihan FIS Akuisisi dan Persiapan data
Data utama yang dijadikan sebagai training/ pelatihan merupakan 70-90 persen dari total input data atau sekitar 1695 data. Dari sekian banyak data training yang diambil alangkah lebih baik jika dapat mewakili keseluruhan input data yang ada yang keanggotaanya merupakan data yang berbeda dari data testing, dan tidak dapat dipergunakan kembali sebagai data testing. Sedangkan sekitar 1015 persen dari total data yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi atau sekitar 363 data sebagai data testing merupakan data dari berbagai sebaran baik di awal, ditengah dan diakhir. Sehingga data testing cukup mewakili dari berbagai segmental.
Sesuai bahasan yang dimaksud bahwa parameter shear stress sumur minyak X-01 akan di jadikan obyek penelitian, terkait dengan data parameter faktual yang akan dikumpulkan. Data Tabel 1. Data Initial Well Log (sebagian). yang dianggap lengkap dan dapat mewakili analisa target penelitian yang akan difokuskan, untuk bisa menghasilkan akurasi hasil penelitian yang tinggi. Data composite well log dan data sonic scanner Sumur X-01 diambil dari data *.las untuk mengetahui nilai parameter-parameter dengan interval depth setiap 0,5 ft. Parameter yang digunakan sebanyak 5 parameter yang terbagi atas 4 parameter sebagai input data yaitu Gamma Ray, Sonic, RHOB dan NPHI, sedangkan 1 parameter sebagai output data yaitu shear sonic. Tabel 2. Data Initial Hasil Filter. Dari sekian banyak data yang ada terlebih dahulu dilakukan filter data untuk memperoleh data yang berkualitas sehingga tidak mengganggu dalam proses data. Dari hasil filter data diperoleh 2423 point data terhadap kedalaman yang dikumpulkan dalam excel file, seperti pada Tabel 1. Dikarenakan begitu variasinya besaran kelima data perameter tersebut, maka untuk lebih memudahkan dan meningkat kualitas hasil olahan ANFIS nantinya, maka perlu dilakukan Untuk kedua hasil pembagian kategori normalisasi, dengan angka minimalnya nol ‘0’ dan angka maksimalnya satu ‘1’. Rumus baik data training ataupun testing, 4 kolom pertama merupakan data input dan kolom terakhir normalisasi yang dilakukan adalah: merupakan data output/target. Berikut sebagian data training dan testing yang siap untuk di export ke dalam bentuk file Dimana V’ merupakan nilai normalisasi notepad (*.txt) ditunjukan pada Tabel 3 & 4. Ada dua proses loading data ke dalam dari nilai nyata sebelumnya sebagai V. Min A merupakan nilai minimum dari input data sedangkan ANFIS Matlab, melalui GUI dan command max A merupakan nilai maksimum dari input data. window. Untuk yang melalui GUI ANFIS Selanjutnya ke semua data yang ternormalisasi di Matlab, maka proses transfer ke notepad perlu sorting dimana akan didasarkan pada nilai shear dilakukan. Sementara kalo pemodelan melalui sonic dari terkecil hingga terbesar. Hasil sebagian commad window (script atau m-file), seluruh data contoh data yang telah ternormalisasi dan di sorting dalam bentuk matriks tersebut langsung di copy ke dalamnya. ditunjukan pada Tabel 2.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing (Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.)
Tabel 3. Data Training.
Tabel 4. Data Testing.
53
awal, maka ANFIS akan diterapkan dengan beberapa data yang perlu dimasukkan seperti epoch, minerror dan optimization method. Artinya penggunaan/ penyatuan dua metoda pembelajaran pada ANFIS. Pada penelitian ini yang digunakan adalah metode backpropagation. Error tolerance adalah akibat yang timbul pada saat program menemui kesalahan. Sehingga engine akan melakukan iterasi ulang untuk mencari error terkecil pada sejumlah epochs yang ditentukan. Epochs adalah moment waktu yang digunakan sebagai titik acuan. Dalam penelitian ini error tolerance yang digunakan adalah 0, sedangkan epochs-nya dicari pada nilai optimum berapa. Training
Langkah selanjutnya dari pemrosesan data training/pelatihan adalah dengan memulainya melakukan training pada model yang akan dibuat. Pelatihan ini akan mengatur parameterPersiapan Pemodelan ANFIS parameter fungsi keanggotaan dan menampikan error selama pelatihan, yaitu selisih keluaran Penelitian kali ini menggunakan software FIS dengan data training. Gambar 7 merupakan MatlabTM 2013 dengan metode ANFIS. Lalu contoh hasil training pada Epochs 50 Cra 0,3. kita buka anfisedit kemudian kita pilih load data Aktual lalu type data untuk data training dan testing. Anfis Pada Gambar 6 diperlihatkan editor anfis untuk memasukkan data kedalam kerangka pemodelan yang akan kita buat.
Gambar 7. Hasil Training Epochs 50 Cra 0.3
Menguji Pasca Pelatihan ANFIS Setelah melakukan pelatihan FIS, selanjutnya perlu melakukan pengujian pada Gambar 6. Anfis Editor Load Data Training. data testing yang sudah disiapkan untuk melihat seberapa akurat ANFIS melakukan prediksi terhadap kehadiran data diluar data training tadi. Generate ANFIS Gambar 8 merupakan plot antara data testing Untuk memberikan pelatihan lanjutan output hasil ANFIS dan aktual, sehingga dapat terhadap data input yang sudah menggunakan FIS diketahui nilai error yang dihasilkan.
54
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
Gambar 9. Plot Nilai Error pada Cra 0,3. Gambar 8. Plotting dan Testing Error Output ANFIS vs Aktual.
Tabel 6. Nilai epoch min pada berbagai cluster radius, cra.
IV. HASIL ANALISA Dari simulasi pemodelan ANFIS akan dilakukan analisa hasil simulasi untuk memperoleh output yang terpercaya. Analisa overfitting pada ANFIS
Dapat dirangkum dalam Tabel 6 nilai ‘epoch’ yang diperlukan untuk mendapat RMSE Setelah dilakukan training dan testing data testing yang terkecil/minimal agar tidak terjadi dari ANFIS dengan menggunakan nilai cra dan overfitting pada masing-masing nilai cra, yang epoch yang bervariasi maka didapat nilai error/ dinotasikan dengan epoch min. kesalahan pada model. Semakin kecil nilai error, model yang dibuat keakuratannya semakin baik. Analisa Penetapan nilai cra (cluster radius) Semakin banyak epochs yang digunakan nilai training error terus mengecil namun nilai Nilai ‘cra’ radius ini menentukan testing error sedikit demi sedikit terus membesar, besar area cluster, semakin kecil radius yang ini menunjukan bahwa telah terjadi overfitting diberikan, biasanya akan menyebabkan genfis selama training. Overfitting terjadi karena proses menghasilkan lebih banyak cluster dalam data training memaksa output dari ANFIS untuk (dan menghasilkan banyak rule). Sebaliknya menyamai dengan training output data, sehingga semakin besar radius yang diberikan biasanya pada saat dilakukan uji data dengan testing data akan menyebabkan genfis menghasilkan lebih yang belum pernah dilatihkan sebelumnya maka sedikit cluster menghasilkan lebih sedikit rule. nilai testing error akan semakin membesar. Oleh Dari hasil pengujian data dengan berbagai karena itu, untuk menghindari masalah overfitting epochs dan cra diperoleh nilai RMSE testing sebaiknya dipilih ANFIS yang menghasilkan terkecil dari masing-masing cra sehingga dapat nilai testing error minimum, dan bukan nilai diketahui pula berapa cra optimal yang dapat training error minimum. Tabel 5 dan Gambar 9 menghasilkan nilai error (RMSE testing) terkecil. menunjukan contoh hasil simulasi pada cra 0,3. Nilai RMSE testing terkecil pada masing-masing Tabel 5. Nilai Error Dengan Berbagai Epochs pada Cra 0,3. cra ditunjukan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai RMSE testing terkecil pada berbagai nilai cluster radius cra.
0,3
50
0,11701
0,078915
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing (Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.)
55
Tabel 9. Pengaruh Ketidaksediaan Data Input Dari analisa diatas, ternyata nilai cra optimum yang bisa diaplikasi pada proses pemodelan ANFIS ini adalah dengan menggunakan cra sebesar 0,3 dan epoch sebanyak 50, dengan hasil RMSE training sebesar 0,11701 dan RMSE testing sebesar 0,078915. Sehingga hal ini dapat meningkatkan akurasi prediksi Rangkuman hasil testing error pada output dengan input data yang lainnya. setiap ketidaksediaan data input dapat dilihat pada Tabel 9 berikut: Analisa Pengaruh Variable Input Terhadap Dari Tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa Output ketidaksediaan data DT Compresional memiliki nilai Root Means Square Error (RMSE) testing Analisa ini untuk mengetahui variable yang paling besar sebesar 0,09005. Semakin input mana yang berpengaruh terhadap nilai besar nilai RSME testing-nya maka data input output/target sehingga jika tidak terdapat tersebut semakin penting dan sangat berpengaruh variable input tersebut sampai sejauh mana akan terhadap hasil data output pemodelan ANFIS. mempengaruhi keakuratan hasil. Dalam hal ini Sehingga variable input yang paling berpengaruh pengujian terhadap pengaruh tiap variable input terhadap penentuan nilai output/target adalah dilakukan dengan penghilangan 1 variable setiap data DT Compresional kemudian data GR, data data input untuk mengetahui variable mana yang NPHI, dan terakhir data RHOB. menghasilkan nilai testing error terbesar pada cra optimum yang sama yaitu 0,3. Keekonomian Hasil dari pengujian testing error dengan penghilangan input data DT compresional dapat Apabila tidak melakukan pekerjaan run dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 10 bahwa logging sonic scanner untuk memperoleh data ketidaksediaan data DT compresional memiliki shear sonic langsung ke dalam sumur, maka nilai Root Means Square Error (RMSE) testing total biaya pekerjaan yang dibutuhkan adalah sebesar 0,09005 pada cra 0,3 dan epoch 400. Untuk hasil simulasi pengaruh setiap data lainnya dapat dilihat pada Lampiran. Tabel 8. Nilai error dengan no DT data pada cra 0,3.
Gambar 10. Plot nilai error dengan no DT data pada cra 0,3.
Gambar 11. Perhitungan Keekonomian Tanpa Biaya Sonic Scanner
56
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
USD 2828,70. Dengan hasil produksi yang sama, 3. Apabila analisa pemodelan ANFIS untuk maka perhitungan keekonomian yang dihasilkan penentuan shear sonic dapat digunakan adalah NPV sebesar USD 209.000, IRR sebesar untuk menggantikan pengambilan langsung 103,25% dan POT 0,49 tahun (dapat dilihat pada data shear sonic ke dalam sumur, maka pada Gambar 11). pekerjaan Hydraulic fracturing di sumur Perbandingan nilai keekonomian dapat X-01 selisih yang dapat diperoleh adalah dilihat dari Tabel 10 bahwa apabila analisa NPV sebesar USD 21.000, IRR sebesar pemodelan ANFIS untuk penentuan shear 22,02%, dan POT lebih cepat 0,06 tahun. sonic ini dapat digunakan untuk menggantikan Nilai keekonomisan tersebut akan kurang pengambilan langsung data shear sonic ke dalam lebih sama pada sumur lainnya di lapangan X, sumur, maka selisih yang dapat diperoleh adalah sehingga pekerjaan yang dilakukan menjadi NPV sebesar USD 21.000, IRR sebesar 22,02%, lebih ekonomis. dan POT lebih cepat 0,06 tahun. VI. SARAN Tabel 10. Perbandingan Nilai Keekonomian Pekerjaan Sonic Scanner
V. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil analisis studi ini : 1. Dari hasil analisa simulasi ANFIS dengan 4 input data (GR, RHOB, sonic compressional, dan NPHI) yang telah dilakukan terhadap output data shear sonic, dapat dilihat bahwa nilai cra optimum yang bisa diaplikasi pada proses pemodelan ANFIS ini adalah dengan menggunakan cra sebesar 0,3 dan epoch sebanyak 50, dengan hasil RMSE training sebesar 0,11701 dan RMSE testing sebesar 0,078915. Sehingga untuk model penentuan nilai output shear sonic di lapangan X, dapat dilakukan dengan model ANFIS tersebut. 2. Dari hasil analisa simulasi ANFIS yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa variable input yang paling berpengaruh terhadap penentuan nilai output/target shear sonic adalah data sonic compressional kemudian kemudian data GR, data NPHI, dan terakhir data RHOB. Ketidaksediaan data DT sonic compresional memiliki nilai Root Means Square Error (RMSE) testing yang paling besar sebesar 0,09005. Sehingga data sonic compressional sangat diperlukan sebagai dasar perhitungan nilai kecepatan geser/shear sonic.
Beberapa hal yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam studi ini antara lain: 1. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan meng-update pengambilan data shear sonic pada karakteristik sumur yang berbeda dengan melakukan pengukuran alat logging ke dalam sumur sehingga menambah variasi data untuk meningkatkan akurasi hasil/output pemodelan ANFIS di lapangan tersebut. 2. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan memperbanyak input data yang lain tidak hanya 4 data input saja dan melakukan analisa data yang berpengaruh terhadap nilai shear sonic, agar lebih meningkatkan akurasi hasil/output pemodelan ANFIS di lapangan tersebut. 3. Membandingkan pemodelan menggunakan ANFIS dengan studi korelasi penentuan nilai shear sonic yang lain sehingga bisa ditentukan metode mana yang paling cocok digunakan untuk lapangan tersebut. VII. DAFTAR SIMBOL σ = stress (psi) ε = strain F = gaya (pound) A = luas daerah (in2) μ = shear modulus (GPa) K = bulk modulus (GPa) E = Young modulus (GPa) ʋ = Poisson ratio ρ = densitas (gr/cm3) Vp = kecepatan gelombang-P (m/s) Vs = kecepatan gelombang-S (m/s)
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing (Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.)
Δtp = travel time compressional (ms/ft) Δts = travel time shear (ms/ft) Sv = stress vertical (psi) σh = stress horizontal minimum (psi) σH = stress horizontal maximum (psi) Pp = pore pressure (psi) Xf = panjang setengah rekahan (ft) GR = log gamma ray (API) RHOB = log density (gr/cm3) DT = sonic compressional (μs/ft) NPHI = neutron log V = nilai nyata data V’ = nilai normalisasi data NPV = nett present value (USD) IRR = rate of return (%) POT = pay out time (tahun) VIII. REFERENSI Hunt, B., Lipsman, R., Rosenberg, J., Coombes, K., Osborn, K., Stuck, G., Cambridge University Press. (2001): A Guide To Matlab For Beginneers and Experienced Users. Jain, A. K., Mao, J., & Mohiuddin, K. M. (1996). “Artificial Neural Networks : A Tutorial”. Michigan: IEEE. Siang, J.J., “Jaringan Syaraf Tiruan & Pemrograman Menggunakan Matlab”, Penerbit Andi, 2004. Zoback, Mark .D. 1988. Reservoir Geomechanics. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
57
Sukmono,Sigit. 2003. Rock Physics Basis. Seismic Courses. Institut Teknologi Bandung, 2003. Singh et al., 2012, R. Singh, A. Kainthola, T.N. Singh. Estimation of elastic constant of rocks using an ANFIS approach. Appl. Soft Comput., 12 (2012), pp. 40–45. Brocher, 2005. T.M. Brocher. Empirical relations between elastic wavespeeds and density in the earth’s crust. Bull. Seismol. Soc. Am., 95 (2005), pp. 2081–2092. Carroll, 1969, R.D. Carroll. The determination of acoustic parameters of volcanic rocks from compressional velocity measurements. Int. J. Rock Mech. Min. Sci., 6 (1969), pp. 557–579. Castagna et al., 1985, Castagna, J.P., Batzle, M.L., Eastwood, R.L. 1985. Relationships between compressional-wave and shear-wave velocities in elastic silicate rocks. Investigations in Geophysics, vol. 50, No.4 pp. 571–581. Castagna et al., 1993, Castagna, J.P., Batzle, M.L., Kan, T.K. 1993. Rock physics-The link between rock properties and AVO response. In: Castagna, J.P., and Backus, M., (Eds.), Offset-dependent reflectivity-Theory and practice of AVO analysis: Investigations in Geophysics, vol. 8, pp. 135–171. Wadhwa et al., 2010, R.S. Wadhwa, N. Ghosh, Ch. Subba-Rao. Empirical relation for estimating shear wave velocity from compressional wave velocity of rocks. J. Ind. Geophys. Union, 14 (1) (2010), pp. 21–30.
LAMPIRAN
Gambar 1. Peta Lokasi Lapangan X di Daratan Kalimantan Timur.
58
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
Gambar 2. Well Diagram Sumur X-01.
Gambar 3. Fract Geometry Lapisan D-07 setelah run sonic scanner.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing (Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.)
Gambar 4. Fract Geometry Lapisan D-12 setelah run sonic scanner.
Gambar 5. Fract Geometry Actual Lapisan D-12.
Gambar 6. Hasil perhitungan IPR sumur X-01 Lapisan D-12.
59
60
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
Tabel B.1 Nilai Error dengan berbagai Epochs pada Cra 0,1.
Gambar B.1 Plot Nilai Error pada Cra 0,1. Tabel B.2 Nilai Error dengan berbagai Epochs pada Cra 0,2.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing (Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.)
Gambar B.2 Plot Nilai Error pada Cra 0,2. Tabel B.3 Nilai Error dengan berbagai Epochs pada Cra 0,35.
Gambar B.3 Plot Nilai Error pada Cra 0,35.
61
62
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
Tabel C.1 Nilai Error dengan No GR Data pada Cra 0,3.
Gambar C.1 Plot Nilai Error dengan No GR Data pada Cra 0,3. Tabel C.2 Nilai Error dengan No RHOB Data pada Cra 0,3.
Gambar C.2 Plot Nilai Error dengan No RHOB Data pada Cra 0,3.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing (Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.)
Tabel C.3 Nilai Error dengan No NPHI Data pada Cra 0,3.
Gambar C.3 Plot Nilai Error dengan No NPHI Data pada Cra 0,3.
Gambar D.1. Biaya Sonic Scanner & MEM Sumur X.
63
64
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
Gambar D.2. Biaya Pekerjaan Fracturing Sumur X.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir Studi Komprehensip tentang Perancangan Propan Optimum pada Stimulasi Hydraulic Fracturing untuk Gas Methan Batubara Sudjati Rachmat1 dan Evans Immanuel2
[email protected] (1)(2)Institut Teknologi Bandung Teknik Perminyakan ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia. Tel. +6222-2504955 Abstract Coal Bed Methane (CBM) development has increased dramatically over the last decades. Coalbed methane gas production is viewed as a new and significant energy source that promise of relatively clean and stable gas supply to complement with the world’s growing energy demand . Even though there are some similarities between coal seam and conventional gas reservoir, production scheme of a CBM well exhibit different processes. Hydraulic Fracturing treatment is often used to increase productivity of a low permeability wells. Fracture is generated hydraulically by pumping down fracturing fluid above the formation breakdown pressure, and then the established fracture is kept open by using proppants. Therefore, the optimum proppant design is crucial in obtaining the required fracture conductivity.This stimulation treatment is applied on CBM wells which aims to increase the well productivity, and therefore accelerating the dewatering process. Due to the characteristic difference between coalbed methane and conventional gas reservoirs, largely accepted norms in the hydraulic fracturing inadequate to address problems associated with hydraulic fracture stimulation in CBM reservoirs. In this study, the optimum proppant design in hydraulic fracturing treatment for CBM well is analyzed. Parameters that are used to examine the optimum proppant design are proppant type, proppant concentration, and proppant size distribution. Simulations are run using P3D geometry model to model fracture propagation in order to obtain fracture half length, fracture width, and fracture conductivity. This study also examine coal mechanic properties which distinct it from conventional gas reservoir, which is low Young’s modulus and high Poisson’s ratio value and their effect on hydraulic fracturing treatment design. Keywords: Hydraulic Fracturing, CBM, Proppant. Abstrak Pengembangan lapangan Coal Bed Methane (CBM) telah meningkat secara dramatis dalam beberapa decade terakhir. Produksi coalseam gas dipandang sebagai suatu sumber energy yang signifikan dan terbarukan yang menjanjikan suplai gas bersih dan stabil untuk mengimbangi permintaan energy dunia yang semakin bertambah. Meskipun lapangan CBM memiliki beberapa kesamaan dengan lapangan gas konvensional, skema produksi lapangan CBM memiliki proses-proses yang berbeda. Perekahan Hidrolik seringkali digunakan untuk meningkatkan produktivitas sumur-sumur dengan nilai permeabilitas kecil. Rekahan dibentuk dengan memompakan fluida perekah ke dalam sumur melebihi tekanan rekah reservoir, dan rekahan yang terbentuk dijaga agar tetap terbuka menggunakan proppant. Maka dari itu, desain proppant yang optimum sangatlah krusial untuk memperoleh konduktivitas rekahan yang diinginkan. Metode stimulasi ini diterapkan pada lapangan CBM dan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sumur dan juga mempercepat proses dewatering. Oleh karena perbedaan karakteristik antara reservoir CBM dan reservoir gas konvensional, banyak norma-norma yang berlaku pada proses perekahan hidrolik pada umumnya, tidak sesuai untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi pada proses perekahan hidrolik pada lapangan CBM. Pada studi ini, dianalisa desain proppant optimum pada sebuah proses perekahan hidrolik pada lapangan CBM. Parameter-parameter yang digunakan untuk meninjau desain proppant optimum antaralain jenis proppant, konsentrasi proppant, dan distribusi ukuran proppant. Simulasi dilakukan dengan menggunakan model geometri P3D untuk memodelkan perambatan rekahan dalam rangka memperoleh nilai panjang rekahan, lebar rekahan, dan konduktivitas rekahan. Studi ini juga membahas karakteristik lapangan CBM yang membedakannya dengan
65
66
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
reservoir gas konvensional, yaitu nilai Young’s modulus yang rendah dan nilai Poisson’s ratio yang tinggi, dan efek kedua parameter tersebut terhadap desain perekahan hidrolik yang optimal. Kata kunci: Perekahan Hidrolik, CBM, Proppant.
I. INTRODUCTION
1.2 Objectives
1.1 Background
The primary objectives of this study are: 1. To know the effect of hydraulic fracturing treatment in CBM well. 2. To know rock mechanical features of CBM formations, such as Young’s Modulus and Poisson’s Ratio and their effect on hydraulic fracturing treatment design. 3. To know the proppant type, concentration, and size effect on fracture conductivity and well productivity. 4. To determine the optimum proppant design in hydraulic fracturing treatment for CBM well E-66.
Methane adsorbed to the surface of coal is a very old issue with some new commercial ramification.1 Back then, all of the gas that was produced was flared or vented. Over the past decade, however, there has been a growing awareness of the vast potential for recovery of methane gas from coal seams.2 Coal Bed Methane (CBM) development has increased dramatically over the last decades. Coalbed methane gas production is viewed as a new and significant energy source that promise of relatively clean and stable gas supply to complement with the world’s growing energy demand . Coalbed methane production contains different mechanism than conventional gas reservoirs production. Most of the pore space in the cleat system is water saturated, and methane is adsorbed on the surface of the coal matrix. To produce this gas, the pressure in the cleat system must be reduced to the critical desroption pressure. Hydraulic fracturing treatment has been an option in dewatering the coal seam, which caused a decrease of pressure in the cleat system. Due to the characteristic difference between coalbed methane and conventional gas reservoirs, largely accepted norms in the hydraulic fracturing inadequate to address problems associated with hydraulic fracture stimulation in CBM reservoirs. Experience has shown that the design and execution of fracture treatments in coal seams is not straightforward. High injection pressures, complex fracture systems, screenouts and the production of proppant and coal fines after the treatment are typical problems facing the operator.2,3 Therefore, a precise proppant could significantly affect the fracture conductivity. This study focuses on proppant selection and injection process during a hydraulic fracturing simulation in a CBM reservoir to achieve an optimum productivity.
1.3 Scope and Limitations The scope of this study has been limited to determine the optimum proppant selection design in Hydraulic Fracturing treatment on its capability to reach the optimum FCD for typical homogenous CBM reservoir using a simulation software FracCADE 5.1. The limitation of this study is based on the input parameters for the simulator. The availability of input data may vary depend on the real-condition data of CBM wells around the world. This study uses pseudo-threedimensional model to simulate the developed fracture during treatment and does not focus on the fracture propagation model generation that applies in CBM wells. 1.4 Research Methodology The methodology in this study are as follows:
Figure 1. Study Workflow Chart.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
67
To conduct this comprehensive study, the selected proppant samples are simulated using software FracCade 5.1. The reservoir data and fracture parameters used in the simulation obtained from a CBM field in Indonesia. II. THEORY 2.1 Coal Bed Methane 2.1.1 Coal Bed Methane Formation Coalbed methane reservoir is distinct from a typical sandstone or other conventional gas reservoir mainly because its ability to adsorb gas. During coalification (the process in which plant material transform into coal) large quantitites of methane-rich gas are generated and stored within coal matrix and its surface. Because coal has such a large internal surface area, it can store surprisingly large volume of methane-rich gas, six or seven times as much gas as a conventional natural gas reservoir of equal rock volume can hold.4 Coalbed formation could last for million years and ranked according to its carbon content. As geological processes apply pressure to dead biotic material over time, under suitable conditions, its metamorphic grade increases successively into several coal ranks shown in figure 2.
Figure 3. Coal Ranks based on TOC (Schweinfurth, 2009).
During the progression of coalification from peat to anthracite, an order of magnitude more methane and water may be generated. Methane can be formed via both biogenic and thermogenic process. In biogenic process, organic material is decomposed by microorganism to produce CO2 and methane. Biogenic process exist when the material formed as lignite until sub-bituminous, while in anthracites form will be exist thermogenic process. Under this condition, coal will produdce carbon-rich gas, such as methane (90%), carbon dioxide, and water.5 2.1.2 Mechanical Properties
Figure 2. Burial History Coal Bed Methane (Ref: http:// www.stovesonline.co.uk/stove/img/coal-formation.jpg).
The mechanical properties of coal are significantly different from conventional rocks. Conventional reservoir rocks typically have a value of Young’s Modulus in the range of 3 to 6 million psi. It is not uncommon to see laboratory measured values of Young’s Modulus for coal in the range of 100,000 to 1,000,000 psi.2 Young’s Modulus which is also known as the elastic modulus, is a mechanical property of linear elastic solid materials. It defines the relationship between stress (force per unit area) and strain (proportional deformation) in a material. Young’s modulus E, can be calculated by dividing the
68
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
tensile stress σ(ε) by the extensional strain ε.
(σxx ), vertical strain (εxx ), and horizontal strain (εyy ) as shown in the figure.
.................................... (1)
Where E is the Young’s modulus (modulus of elasticity) F is the force exerted on an object under tension A0 is the actual cross-sectional area through which the force is applied ΔL is the amount by which the length of the object changes Figure 4. Uniaxial Loading (Economides, 2002). L0 is the original length of the object Young’s modulus and Poisson’s ratio are the mechanical properties of rock most often reported.6 Poisson’s ratio, also known as the coefficient of expansion on the transverse axial, is the negative ratio of transverse to axial strain. By definition it is a dimensionless number. On a cylindrical sample, the Poisson’s ratio explains the increase in circumference due to the applied uniaxial stress.7 Poission’s Ratio (V), can be calculated by:
2.1.3 Gas Storage and Production Mechanism
Coalseam gas, which is the natural gas stored in the coal seams at depths of 300-1000m underground typically consist of methane (CH4), carbon dioxide (CO2), and nitrogen (N2). Unlike much natural gas from conventional reservoirs, coalbed methane contains very little heavier hydrocarbons such as propane or butane, and no natural-gas condensate. It often contains up to a few percent carbon dioxide. Another characteristic that distinct coal ................. (2) seams from other reservoir is their dual porosity and dual permeability system that is composed Where of a porous matrix (primary porosity) surrounded by a larger scale fracture system known as cleat v = resulting Poisson’s ratio (secondary porosity). Instead of contained in the εtrans = transverse strain (negative for axial cleat system, most coalseam gas is adsorbed on tension, positive for axial compression) the surface of the coal matrix and trapped inside εaxial = axial strain (positive for axial tension, the primary porosity. Gas storage in primary negative for axial compression) porosity is controlled by adsorption which makes up to around 90-95% of the Gas in Place.9 The Poisson’s ratio of a stable, isotropic, linear elastic material cannot be less than −1.0 or greater than 0.5 because of the requirement for Young’s modulus, the shear modulus and bulk modulus to have positive values. Most materials have Poisson’s ratio values ranging between 0.0 and 0.5. Poisson’s ratio for coal spans a narrow range of 0.34 to 0.37 which is high compared to most rocks (0.25).8 Figure 4 is a schematic representation of a static experiment with uniaxial loading. The two parameters obtained from such an experiment are the Young’s modulus (E) and the Poisson ratio (v). They are calculated from the vertical stress Figure 5. Dual Porosity System in Coal (Ali, 2008).
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
Although coal porosity may be only 2% in the cleat system, it may have a storage capacity for methane in the micropores equivalent to that of a 20% porosity sandstone of 100% gas saturation at the same depth. A large surface area necessarily exists for adsorption.10 Secondary porosity does not give significant contribution to the methane storage mechanism, even though some free gas may exist in the cleat system. Cleat system main contribution is to transport the methane trapped in primary porosity during coalbed methane production scheme. Most of the cleat system in coal bed methane reservoirs is water saturated. To produce the gas, the pressure in the cleat system must be reduced to cause the gas to desorb from the surface of the coal to the cleat system and diffuse through the coal matrix. Normally, significant volumes of water must be produced in order to lower the pressure in the cleat system until a critical pressure is reached to liberate the desorbed gas in the coal surface.2 Coal bed methane reservoirs exhibit a different production scheme from other conventional reservoir. While production from conventional reservoir is governed by diffusion, production in CBM reservoirs rely on desroption.3 Because gas desorption is the primary source of production, the gas flow rate from a coal seam may increase with time. It is not uncommon for maximum gas flow rates to occur months or even years into the production history of a coal bed methane well.
69
Table 1. Differences between CBM and gas sands.
2.2 Hydraulic Fracturing 2.2.1 Fracturing Objectives In coalbed methane gas production scheme, the initial gas recovery is very low with high water production. In this situation, a fluid made of predominantly water and sand with a small number of chemical additives, is pumped down the well bore. The fluid is directed into an isolated section of the coal under pressure to create additional pathways (fractures) to help accelerate dewatering process and extract the gas. This is called hydraulic fracture stimulation, or hydraulic fracturing. There are two basic reasons for fracturing a well: to increase the rate or productivity and/or to improve the multimate recovery. Additionally, other wells may also be fractured to aid in secondary recovery operations and to assist in the injection or disposal of waste water.6 2.2.2 Fracturing Pressure
In hydraulic fracturing, sufficient pressure must be applied to initially break down or fracture the formation and enough pressure must continue to be imposed to allow the fracture to continue Figure 6 CBM production scheme (Ref: http://spec2000. to grow o propagate. Normally, more pressure is net/17-speccbm.htm) required to initially break down a formation than The differences between a CBM reservoir is required to propagate a fracture. Once fracture and conventional reservoir gas production is is formed, the fluid in the fracture acts as a wedge, shown below:11 forcing the fracture to grow.
70
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
2.2.3 Fracture Orientation In many applications of hydraulic fracturing it is essential to ascertain, if at all possible, the orientation of the fracture. The first question to be answered regards whether or not the fracture is vertical or horizontal. Generally, horizontal fractures are preferred, but in deeper formation they are, as will be evident, most often vertical.6
Figure 7. Fracturing Pressure Profile (Shechter,1992).
Pressure behavior during a fracturing treatment is illustrated by Fig. 7. The fluid injection rate is constant, except that at some time injection is stopped to obtain the instantaneous shut in pressure. The bottomhole pressure is shown versus time from initial injection of fluid until the treatment has been completed. The surface pressure is, of course, different from the bottomhole pressure because of the weight of the fluid and the friction losses in the wellbore. The critical portions of the pressure history shown in Figure 8. Principle stresses on a rock body (Schechter, 1992) Fig. 7 are: Figure 8 illustrate stresses work on a rock body, which in this case σz > σy > σx. The principle apparently governing the orientation of a fracture is that the crack opens and widens in an orientation requiring the least work. The crack is shown to be perpendicular to σx, the smallest of the three principle stresses. Thus, it may be postulated that fractures should occur along planes normal to the least If PBISIP is the instantaneous shutin pressure measured at the surface, then the principal stress. Since the fracture gradient for bottomhole shut-in pressre (PBISIP) is given by: deeper formations is often much smaller than the weight of overburden, these fractures are vertical. ........................................ (3) The equation describing an elastic body are: PBISIP = PISIP + ρgD • Breakdown Pressure: the pressure required to break down the formation and initiate fracture. • Propagation Pressure: the pressure required to continually enlarge the fracture. • Instantaneous Shut-in Pressure: the pressure that is required to just hold the fracture open.
..... (5) Where D is the formation depth. This equation is precise because when flow is stopped, the friction pressure vanishes. Where p is the formation pressure, G is The bottomhole pressure required to the shear modulus, and v is Poisson’s ratio. Since maintain a fracture divided by the reservoir depth the fracture which opens vertically must act (D) is defined as fracture gradient (FG). Thus, against the stress σx , it is possible to identify σx as PBISIP . This is the pressure necessary to hold FG = PBISIP / D .................................................... (4) the fracture open.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
71
2.2.3 Fracture Geometry Modelling
pressure in a layered stress environment. The stress intensity factor is calculated at the top There are several phenomena involved and the bottom of the fracture and set equal to in hydraulic fracturing. While it is difficult to the fracture toughness of the materials resulting analyze the effect of each fracture parameter in a unique height and position of the crack with individually, an attempt has been made by Geir respect to the stress field. Hareland in 1993, utilizing a three dimensional, As shown in Figure Z, the stress intensity three stress layer model. factor at the top of the crack is given by the The most widely used models not following equation: involving numerical simulations are the PKN and KGD. These are two dimensional fracture .................. (6) propagation models where fracture width and length are functions of the continuity, elasticity, and fluid flow equations. The fracture height Where: is uniform along the length of the fracture. a = half height of fracture To simulate vertical and lateral propagation, KIc* = stress-intensity factor integrated pseudo-three-dimensional models P(y) = net fracture pressure distribution have been developed. These models are so called opening the fracture because the actual fracture dimensions are not explicitly determined in three-dimensional space, The net fracture pressure distribution is given by:13 but several fracture height and width assumptions are made.12 P(y) = Pw - σ3 for - a ≤ y ≤ - b3 , These assumptions are constant, linear, P(y) = Pw - σ1 for - b3 ≤ y ≤ b2 , and parabolic fracture height propagation along P(y) = Pw - σ2 for b2 ≤ y ≤ a , the length of the fracture and constant averaged width. The basic concept of this pseudo three With an additional geometry constraint of b3 = dimensional model is the same as the PKN model, h - b2. but the fracture height depends on the position along the fracture and time. Newtonian Fluid If the fracturing fluid is assumed to be Newtonian, the fracture area at any time t is given by: ...... (7)
The area A(t) is then expressed in terms of the assumed height variation. If it is assumed that a fracture has a constant height the fracture area is given by: Figure 9 Fracture in Three-Layered Stress Medium (Hareland, 1993)
A(t) = L(t) * h .......................................................... (8) Hareland in 1993 proposed that the fracture height in a layered medium can be If it is assumed that the fracture has a calculated if material property variations in each linear height variation along the length of the stress layer are neglected and the vertical pressure fracture, the area is given by: distribution in the fracture is assumed constant. The analysis is a calculation of the equilibrium ....................................... (9) height of a hydraulic fracture for a given internal
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
72
If it is assumed that the fracture height Fracture pressure can then be determined by: variation is parabolic along the length of the fracture, the area is given by: ..................................... (10)
The fracture width at the wellbore is a function of fracture length and is given by: ..................................... (11)
............................... (18)
Again for different fracture height variations the values of γ is as follows. For constant fracture height:
γ= 1 The required fracturing pressure at the wellbore for each fracture height variation is For a linear fracture height variation: calculated using the following expression:
............................................... (19)
...................... (12)
For a parabolic fracture height variation:
Where; For constant height fracture: γ = 1 ......................................................................... (13) For a linear fracture height variation: ................................................ (14)
....... (20)
For a parabolic fracture height variation: 2.3 Proppant ................. (15)
2.3.1 Proppant Overview
After the injection of fracturing fluid into the fractures terminated, established fractures begin to close because the release of the hydraulic Non-Newtonian Fluids pressure. To prop the fractures open, the fractures For non-Newtonian fracturing fluids, must be filled with materials that oppose earth fluid is assumed to behave in conformance with stresses which is called proppant. To successfully prop the fractures, the material must be strong the power law. enough strong enough to bear the closure stress, ........................................................... (16) otherwise the conductivity of the (crushed) proppant bed will be considerably less than the design value (both the width and permeability The fracture width can then be determined by: of the proppant bed decrease). Other factors considered in proppant selection are size, shape, composition, and, to a lesser extent, density. The two main categories of proppants are naturally occurring sands and manmade ceramic or ......................... (17) bauxite proppants. Sands are used for lower-stress applications, in formations approximately 8,000
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
ft and (preferably, considerably) less. Manmade proppants are used for high-stress situations in formations generally deeper than 8,000 ft. For high permeability fracturing, where a high conductivity is essential, using high-strength proppants may be justified at practically any depth.14
73
2.3.3 Fracture Conductivity
Fracture length and dimensionless fracture conductivity are the two primary variables that control the productivity index of a fractured well. Dimensionless fracture conductivity is a measure of the relative ease with which produced fluids 2.3.2 Closure Stress flow inside the fracture compared to the ability of the formation to feed fluids into fracture. It is In the course of proppant selection, it calculated as the product of fracture permeability is necessary to estimate the magnitude of the and fracture width, divided by the product of closure stress acting on the proppant. The most reservoir permeability and fracture length. common equation used to estimate the closure stress is known: ............................... (21)
Where: Sh Sv v α Pp
= absolute horizontal stress = absolute vertical stress = Poisson’s ratio = Biot’s constant (typically a value between 0.7 - 1) = reservoir pore pressure
Figure 10 and 11 summarized Fracture conductivity of various proppant types to specific closure stress.
Figure 12. Notation for fracture performance (Economides, 2002).
For a vertical well intersecting a rectrangular vertical fracture that penetrates fully from the bottom to the top of the rectangular drainage volume, the performance is known to depend on the penetration ratio in the X direction, ................................................................. (22) Figure 10. Fracture conductivity for various proppants (Economides, 2002).
And on the dimensionless fracture conductivity, .............................................................. (23)
Figure 11. Closure (Economides, 2002).
Stress
for
various
proppants
Where: Ix CfD Xf Xe k kf w
= Penetration ratio = dimensionless fracture conductivity = fracture half length = side length of the square drainage area = formation permeability = proppant pack permeability = average (propped) fracture width
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
74 2.3.4 Proppant Number
........................................ (28)
Economides et al. in 2002 proposed a methodology named Unified Fracture Design (UFD) that generates optimum fracture design for any kind of reservoir. In unified fracture design, where both low and high permeability formations are considered, the best single variable to characterize the size of a created fracture is the volume of proppant placed in the productive horizon, or “pay”. Proppant Number, Nprop is given by:
Where dp is the diameter of the proppant particle and Øf is the porosity of the packed, multilayer bed of proppant particles. As a fair approximation and in the absence of experimental data, Øf ≈ 0.32 - 0.38 (Schechter, 1992).
.......................................... (24)
......................................................... (25)
Where: Nprop Kf k Vprop Vres
Figure 13. Sketch depicting various proppant arrangements (Schechter, 1992).
= proppant number = effective proppant pack permeability = formation permeability = propped volume in the pay (two wings, including void space between proppant grains) = drainage volume
2.4 Fractured Well Productivity
Hydraulic Fracturing treatment will create a conductive path that accommodate reservoir fluids to flow. Therefore, the productivity index of a fractured well must be significantly higher than a non-fractured well. Apparently, the productivity of fractured wells depend on two With optimal dimensionless fracture steps: (1) receiving fluids from formation and (2) conductivity determined, the optimal fracture transporting the received fluid to the wellbore.15 length and width are set and they represent the The relative importance of each of the steps only ones for which the fracture must be designed: can be analyzed using the concept of fracture conductivity (FcD). The fold of increase of productivity of a .................................. (26) well can be expressed as: .................................. (27)
Where Vf is the volume of one propped wing, Vf = Vprop / 2 2.3.4 Proppant Permeability
.............................................. (29)
Where Sf is the equivalent skin factor due to stimulation Valko et al. (1997) established a correlation between fracture conductivity and equivalent skin factor: .... (30)
Final fracture permeability is strictly a function of the diameter of the proppant particles used in the treatment. According to the Blake- Where ......................................................... (31) u = ln (CfD) Cozeny equation:6
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
75
III. Simulation
3.2 Proppant Design
In this study, fracCade 5.1 is used to simulate hydraulic fracturing stimulation in a CBM well. The P3D model is used to model fracture propagation in order to obtain fracture half length, fracture width, and fracture conductivity. In order to identify the effect of proppant design in hydraulic fracturing stimulation in a CBM well and generate the optimum proppant design, the simulation process is breakdown into several integrated scenarios as shown in figure 14.
To determine the effect of proppant design in a hydraculic fracturing treatment, this stage is done by doing sensitivity analysis over several proppant types, concentrations, and sizes using FracCADE 5.1. This stage is done by doing sensitivity analysis over several proppant samples using FracCADE 5.1. Four proppant samples that represent four different proppant types (sand, resin-coated sand, ceramic, and resin-coated ceramic) are used as propping agents in hydraulic fracturing simulations. The essential indicator to be concerned is dimensionless fracture conductivity (CfD) as the result of each proppants performance, as it represents the fracture performance. Dimensionless fracture conductivity (CfD) is related to well productivity index. Fold of increase in well productivity (J/J0) then calculated using equation 29 in Microsoft Office Excel. The proppant sample which gives the best productivity will be advanced to the next stage (proppant concentration sensitivity). This is done by adding proppant concentration and inspecting its effect to well productivity. In the third stage, the best proppant types from stage first with corresponding best proppant concentration from second stage is used as a base case. The effect of proppant size distribution to well productivity is then examined.
Figure 14. Simulation Process Flowchart.
3.1 Base Model This study is based on CBM Well E-66 in Indonesia. Well E-66 parameters that is used in the simulation and base case scenario parameters is summarized in Appendix A and Appendix B respectively. Due to their characteristic difference with conventional gas reservoirs, largely accepted norms in the hydraulic fracturing may not suitable to address problems associated with hydraulic fracturing treatment in CBM reservoirs. Regarding to the base model, this study will define some critical CBM reservoir parameters that distinguish hydraulic fracturing treatment design in CBM wells and conventional gas wells.
Table 2. Hydraulic Fracturing Base Case.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
76 IV. Result and Analysis
4.1 Base Case Design Hydraulic Fracturing A simulation is done to determine the effect of the hydraulic fracturing on a CBM well using FracCADE 5.1. The established fracture result is summarized in table 2. From the base case design, the established fracture has dimensionless effective conductivity value of 3.7. By using equation (29), the fold of increase in well productivity index is determined. The application of hydraulic fracturing stimulation treatment in Well E-66 can increases its productivity up to 2.030485 fold. Productivity index is a measure of the well potential or ability to produce and is a commonly measured well property. If productivity index of a well increase, the cumulative production over a period of time increases as well. This leads to a faster reservoir pressure decline, and ultimately enhance the dewatering process. 4.2 Young’s Modulus and Poisson’s Ratio Sensitivity Young’s Modulus and Poisson’s Ratio are two parameters that are most reported in rock typing. The sensitivity result of both Young’s Modulus and Poisson’s ratio by FracCade 5.1 as shown below: Table 3. Young’s Modulus Sensitivity Result.
Table 4. Poisson’s Ratio sensitivity result.
From the simulation, it is known that Young’s Modulus and Poisson’s Ratio have effects to the established fracture geometry. Lower value of Young’s modulus tends to give a wider but shallow fracture. This phenomenon can be described by figure 15.
Figure 15. Stress-Strain diagram of Ductil & Brittle Materials (Ref: http://www.slideshare.net/HarisRafiq1/ stressstrain-curve-shear-force-and-bending-moment).
Young’s modulus is a ’stiffness’ measurement of a material. Materials having high Young’s modulus value are categorized as brittle materials, while materials having lower Young’s modulus value are categorized as ductile materials. From figure 15 shown that brittle materials are indeed stonger, because there is little strain for a high stress, but they tend to fracture suddenly after the load exceeds materials yield point. They do not enter plastic region as there is little or almost no plastic deformation. On the other side, ductile materials have the ability to absorb energy exposed on them. Even though having lower yield point that those of brittle materials, ductile materials do not fracture easily. After passing the elastic region, there is a section when deformation occurs in plastic region. Therefore, to fracture ductile materials, more mechanical energy is needed. For a given loading, the stresses in layers with low Young’s Modulus are normally less than those in layers with high Young’s Modulus. Stiff Layers take up more loading, and tend to magnify or raise (concentrate) the stresses, whereas soft layers take up little of the loading, and tend to surpress the stresses.16 Poisson’s ratio is the coefficient of expansion on the transverse axial. When a material is compressed in one direction, it usually tends to expand in the other two directions perpendicular to the direction of compression. From table 3, it can be inferred that Lower Poisson Ratio tends to give deeper fracture geometry, even though the effect is not as significant as Young’s modulus.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
77
Table 5. Mechanical Properties of various rocks.
Coal formations have a lower value of Young’s modulus than other conventional sandstone formation. Most of them also have a typical Poisson’s ratio of 0.35 to 0.45 which is higher than those of sandstone formations. This leads to different fracture geometry established by hydraulic fracturing treatment in those formations. The low value of Young’s modulus will result in the creation of very wide hydraulic fractures. Field experience shown that the creation of long hydraulic fractures is extremely difficult, as abnormally high treating pressure is needed.
Figure 17. Complex Fracture system in CBM formations (Reynolds, 2005).
4.3 Proppant Type Sensitivity This stage is done by doing sensitivity analysis over several proppant samples using FracCADE 5.1. Four proppant samples that represent four different proppant types (sand, resin-coated sand, ceramic, and resin-coated ceramic) are used as propping agents in hydraulic fracturing simulations. The fracturing fluid used is YF104D w/0.5 lb/k (water based) by adding additive CrossLink Gel. The proppant concentration is set to 5 PPA and all of the proppant samples are in the same size-range, 20/40 mesh.The sensitivity result is shown in table 5. Table 6. Proppant type sensitivity result.
Figure 16. Effect of Young’s Modulus and Poisson’s ratio to Fracture Geometry (Gudmundsson, 2011).
Additionally, the fracture systems that are created during fracturing in a CBM formation is very complex. Not only are multiple vertical fractures often created, but fractures propagating in multiple directions can be quite common due to the presence of the cleat system.2 Reynolds in 2005 proposed if multiple fractures are growing, the net pressure is related to the number of fractures by the following equation:17 .................................................. (32) Pnet = ( ns ) 0.5
Based on the simulation, creamic type proppant technically gives the highest fracture conductivity value. Naplite boost the well productivity by 2.2 fold. This is mainly caused by the high compressive stress ceramic type proppant yield. The closure pressure in Well E-66 is 2695 psi. As shown in table 5, at this pressure resincoated proppant gives lower conductivity than non-resin coated proppants. From literature study, resin coated proppants have a higher compressive strength which should lead to a higher fracture conductivity, but in this case, it turned out to be low. This phenomenon happened due to the value of proppant permeability itself. Figure 18 shows the value of each proppant’s permeability
78
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
Figure 18. Various Proppant Sample Permeability accoding to fracture closure pressure.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
79
Figure 18. Graded Proppant Injection Schedule. (Proppant Size Index: 6=16/20 Naplite 8 PPA; 5=12/18 Naplite 8 PPA; 3=20/40 Naplite 8 PPA).
in relationship to closure stress. Resin-coated samples are in the same size-range, 20/40 mesh. proppants tend to have a lower value of The sensitivity result is shown in table 6. permeability than non resin-coated proppants. As a consequence, the conductivity created is lower. Table 7. Proppant concentration sensitivity result. At higher pressure, non-resin coated starts to embedded ,and, or crushed. This leads to a reduction of fracture conductivity. At this condition, resin-coated proppants which have higher compressive strength give good performance. 4.4 Proppant Concentration Sensitivity
The best proppant sample in this scenario is Naplite with 8 PPA concentration. It raise the In this stage, the fracturing fluid used well productivity by 2.44 fold, which is 10.48% is YF104D w/0.5 lb/k. The proppant type used higher than the well productivity established by is ceramic (NAPLITE) and all of the proppant placement of 5 PPA Naplite.
80
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
Simulation result shows that established fracture conductivity is proportional to injected proppant concentration. This result matches equation (24) proposed by Economides. If the concentration of the proppant is lower, the distance between proppant particles is longer, and consequently , there is excessive rock deformation between the particles due to normal stresses, which would decrease the fracture permeability as shown in figure 19.18 The decrease in permeability will result in decrease of well productivity as well.
to proppant size. Bigger proppant size accommodates wider fracture, therefore higher fracture permeability value. Economides (2000) showed that during hydraulic fracturing in cases where an induced fracture is propped by a partial monolayer of large-sized proppant particles, larger permeability would be reached than the situation where the fracture is fully packed with small-sized, multilayer proppants. The highest well productivity is given by 12/18 mesh-sized Naplite, which enhances the productivity index by 2.55 fold. 4.5.1 Graded Proppant Placement Traditionally, low permeability wells have been stimulated by creating large fractures and filling them with mono-sized proppant particles during hydraulic fracturing. In this simulation, the effect of graded proppant size placement is evaluated. Table 9. Graded Proppant Simulation Result.
Figure 19. Fracture Deformation (Bedrikovetsky, 2012).
4.5 Proppant Diameter Sensitivity In this stage, the fracturing fluid used is YF104D w/0.5 lb/k. The proppant type used is ceramic (NAPLITE) and the proppant concentration is set to 8 PPA. The sensitivity result is shown in table 7. Table 8. Proppant Diameter Sensitivity Result.
Mesh is often used in determining the particle-size distribution of a granular material. Mesh size is inversely proportional with grain size. The higher mesh value indicated finer grains. A mesh size of 20/40 means the granular size is between 20 and 40 mesh. From the simulation, it is indicated that fracture conductivity value is proportional
Graded size proppant placement enhances the fractured Well E-66 productivity even higher to 2.57 fold compared to the traditional monolayer 12/18 sized proppant that only enhances the well productivity by 2.55 fold. In this case, the diameter of proppants injected into the fracture increases gradually, from the finer to bigger proppants. The optimal pumping schedule and proppant size distribution generated for gradual proppant injection is summarized in figure 20. Since the size of proppants determines the stimulation radius, finer proppants would penetrate deeper into the reservoir and maximize the stimulation radius. Alternatively, bigger size proppant is injected in the near wellbore area to create wider conductive path. In other words, small mono-sized proppants provide non-optimal near wellbore permeability, and large mono-sized proppants lead to a nonoptimal stimulation radius.19 The phenomenon of graded proppant placement is depicted by figure 21.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
81
conductivity, while finer proppant grains lead to optimum stimulation radius. 6. The optimum proppant design in this study is Naplite with 8 PPA concentration and graded proppant size placement. This proppant design could increase Well E-66 productivity index by 2.574 fold. Recommendation
Figure 21. Graded Proppant Placement (Bedrikovetsky, 2012).
V. Conclusions and Recommendation
1. This study may be continued with other parameter sensitivity, such as NPV, IRR, and other economical aspects to know the feasibility of hydraulic treatment in CBM wells technically and economically. 2. This study may be continued and applied to a heterogenous CBM reservoir model to increase the design’s accuracy. 3. A mathematical model of graded proppant placement could be studied further.
Conclusions
VI. REFERRENCES
After doing comprehensive simulations and sensitivity analysis, the conclusion of this study can be summarized as follows: 1. Hydraulic fracturing treatment could enhance CBM productivity, hence accelerate the dewatering process in CBM wells. 2. Due to their characteristic difference, different treatment conditions apply to hydraulic fracturing in CBM wells than conventional gas reservoirs. Having a low Young’s Modulus and high Poisson’s Ratio value make it is hard to prop long fracture in CBM formations, hence higher treatment pressure is needed. 3. Proppant types affects fracture conductivity. Proppant permeability and compressive strength are two major factors in selecting the optimum porppant in a hydraulic fracturing treatment. Proppant samples with higher permeability tend to generate higher fracture conductivity. 4. Conductivity of established fracture is proportional to proppant concentration. If the concentration of proppants injected is low, the distance between proppant grains is longer and their ability to keep the fracture open decrease. 5. Proppant size distributions affect the fracture conductivity significantly. Larger size proppants give better near-wellbore
Lea, James F. 2008. Gas Well Deliquification, 2nd Edition. United Kingdom: Gulf Professional Publishing. Holditch, S.A. 1988. Enhanced Recovery of Coalbed Methane Through Hydraulic Fracturing. 63rd Annual Technical Conference and Exhibition, Houston, SPE 18250. Valencia, K.L., Chen, Z., Rahman, S.S. 2005. Design and Evaluation of Hydraulic Fracture Stimulation of Gas and Coalbed Methane Reservoirs Under Complex Geology and Stress Conditions. International Petroleum Technology Conference, Qatar, IPTC 10795. Nuccio, Vito. 2000. Coal-Bed Methane: Potential and Concerns. Denver: U.S. Geological Survey, MS 939 Rogers, R., Ramurthy, M., Rodvelt, G., Mullen, Mike. 2007. Coal Bed Methane – Principles and Practices, 3rd Edition 2007, Oktibbeha Publishing Co., LLC, Starkville, MS. Schechter, Robert S. 1992. Oil Well Stimulation. New Jersey: Prentice-Hall, in. Fintland, Trygve Westlye. 2011. Measurements of Young’s Modulus on Rock Samples at Small Amplitude And Low Frequency. Norway: Norwegian University of Science and Technology. Greenhalgh S.A., Emerson D.W. (1986) Elastic
82
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
properties of coal measure rocks from the Sydney Basin, New South Wales. Exploration Geophysics 17 , 157–163. Shi, J.Q., and Durucan, S. 2003. Part 1. Paper 0341 Mangudumalau, S.M. 2014. Sensitivity Studies to Select the Optimum Hydraulic Fracturing Design for Coalbed Methane Reservoir. Graduate Thesis. Fekete. 2014. CBM Properties Hareland, G., Rampersad, P., Dharaphop,J., Sasnanand,S. 1993. Hydraulic Fracturing Design Optimization. Eastern Regional Conference & Exhibition, Pittsburgh, SPE 26950. Rahman, M.M., and Rahman, M.K. 2010. A review of Hydraulic Fracture Models and Development of an Improved Pseudo -3D Model for Stimulating Tight Oil/Gas Sand. Economides, M.J., Oligney, R.E. and Valko,P.P.:”Unified Fracture Design, Orsa Press, Houston, 2002a. Guo, Boyun., Lyons, William C., and Ghalambor, Ali: Petroleum Production Engineering A Computer Assisted Approach. Elsevier Science & Technology Books. 2007. Gudmundsson, Agust. 2011. Rock Fractures in Geological Processes. United Kingdom: Cambridge University Press. Reynolds, M.M., Shaw, J.C. 2005. Optimizing Hydraulic Fracturing Treatments for CBM Production Using Data From Post-Frac Analysis. Petroleum 6th Canadian International Petroleum Conference, Canada, PAPER 2005-13. Bedrikovetsky, P., Keshavarz, A., Khanna, A., Kenzie, K.M., and Kotousov, A. 2012. Stimulation of
Natural Cleats for Gas Production From Coal Beds by Graded Proppant Injection. SPE Asia Pacific Oil and Gas Conference and Exhibition, Perth, SPE 158761. Keshavarz, A., Khanna, A., Hughes, T., Boniciolli, M., Cooper, A., and Bedrikovetsky, P. 2014. Mathematical Model for Stimulation of CBM Reservoirs During Graded Proppant Injection. SPE/EAGE European Unconventional Conference and Exhibition, Austria, SPE 167758. Ali, M., Sarkar, A., Sagar, R., Klimentos, T., Basu, I. 2008. Cleat Characterization in CBM wells for completion Optimization. 2008 Indian Oil and Gas Technical Conference and Exhibition, Mumbai, SPE 113600. Demarchos, A.S., Chomatas, A.S., Economides, M.J., University of Houston, Mach, J.M., Wolcott, D.S., Yukos. 2004. Pushing the Limits in Hydraulic Fracture Design. SPE International Symposium and Exhibition on Formation Damage Control, Lousiana, SPE 86483. Economides, M.J., University of Houston, Wang, X., XGAS. 2010. SPE International Symposium and Exhibition on Formation Damage Control, Louisiana, SPE 127870. Halliburton. 2008. Coalbed Methane: Principles and Practice. Ma, Y. Z., Holditch, S.A. 2016. Unconventional Oil and Gas Resources Handbook Evaluation. United Kingdom: Gulf Professional Publishing. Schweinfurth, S.P. 2009. An Introduction to Coal Quality. US Geological Survey, Professional Paper 1625-F
APPENDIX A WELL E-66 COMPLETION DATA Well Completion Data
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir (Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel)
Tubing Data
Casing Data
Perforation Data
Hole Survey
Mechanical Fluid Data
Rheology Power Law
83
84
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
Zone Properties Zone 1
APPENDIX A WELL E-66 COMPLETION DATA BASE CASE DATA
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan Sensitivity Analysis of Hydraulic Fracturing Scenario in Shale Gas Simulation Model: Fracture Spacing and Fracture Half Length Rayner Susanto1, Doddy Abdassah2 dan Dedy Irawan3
[email protected] (+49-176-2019-6305);
[email protected] (+62-812-2049-804);
[email protected] (+62-821-1506-0699). (1)(2)(3)Institut Teknologi Bandung Teknik Perminyakan ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia. Abstrak Pengembangan reservoir gas non konvensional sangat berkembang di Amerika Utara. Shale gas merupakan salah satu jenis hidrokarbon non konvensional yang utama dikembangkan di sana. Shale mempunyai karakteristik yang unik sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda dengan hidrokarbon konvensional. Karakteristik tersebut berupa permeabilitas yang sangat rendah, terdapat rekahan berukuran mikro, dan sensitivitas terhadap fluida kontak. Proses hydraulic fracturing merupakan salah satu proses stimulasi yang seringkali dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas sumur gas pada lapangan shale gas. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui lebih dalam pengetahuan mengenai proses hydraulic fracturing ini. Dalam sebuah proses hydraulic fracturing shale gas, terdapat banyak parameter yang memegang peranan penting dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam studi ini, akan dilakukan proses analisis pengaruh dua dari berbagai parameter tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan pengaruh dari parameter panjang setengah rekahan dari hydraulic fracturing dan hydraulic fracture spacing terhadap aspek produksi dan reservoir lapangan shale gas, serta menentukan hubungan kedua parameter tersebut dalam penentuan IGIP. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan alur dalam penentuan persamaan untuk mencari recovery factor, plateu time, dan IGIP dari reservoir shale gas yang dimodelkan. Dalam studi kasus ini akan dilakukan skenario kombinasi antara kedua parameter yang disebut di atas. Studi kasus ini mengambil data dari sebuah lapangan shale gas di Amerika yang berasal dari publikasi - publikasi yang telah dirilis. Studi ini menggunakan software perminyakan untuk mengolah data dan membuat model lapangan shale gas. Kata Kunci: hydraulic fracturing, shale gas, hydraulic fracturing spacing, dan half fracture length. Abstract Unconventional gas reservoir developments in North America are improving nowadays. Shale gas is one majority type of unconventional hydrocarbons which has been developed there. Shale has unique characteristics which cause necessarity of different treatments compared with conventional hydrocarbons. The characteristics include very low permeability, many fractures with micro size, and sensitivity of contact fluids. Hydraulic fracturing is a stimulation process which needed to improve gas well productivity in shale gas fields. Because of that, it’s really important to gather more information about this hydraulic fracturing process. In a shale gas hydraulic fracturing process, there are many parameters which have important roles and affect each other. In this study, there’s an analytical process to observe the effect of two of those parameters. The purpose of this study is to explain the effect of half-fracture length of hydraulic fracturing and hydraulic fracture spacing to production and reservoir aspects in a shale gas field and to find connection between those two parameters in the determination of IGIP. Beside that, this study explains the process in determining equations to find recovery factor, plateu time, and Initial Gas In Place of modeled shale gas reservoir. There are combination scenarios of those two parameters in this study mentioned one the above. The information data in this study is gathered from publication about a shale gas field in USA. This study uses petroleum softwares to calculate reservoir data and make computerial model of shale gas field. Keywords: hydraulic fracturing, shale gas, hydraulic fracturing spacing, and half fracture length.
85
86
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
I. PENDAHULUAN Dunia saat ini sangat haus akan energi. Kecenderungan peningkatan kebutuhan dunia akan energi tidak mempunyai tanda-tanda akan adanya penurunan di masa depan. Dunia saat ini telah sampai pada tahap di mana mulai terjadi kekurangan cadangan energi hidrokarbon dalam memenuhi kebutuhan energi dunia yang sangat besar dan terus meningkat tajam. Dr. M. King Hubbert menyatakan bahwa laju produksi hidrokarbon mengikuti bell-shaped curve. Sehingga terdapat masa di mana laju produksi hidrokarbon mencapai titik puncak dan akhirnya mengalami penurunan. Periode ini disebut sebagai peak oil, yaitu keadaan di mana laju produksi hidrokarbon lebih kecil dibandingkan dengan penemuan cadangan hidrokarbon baru. Penjelasan mengenai Peak Oil dapat dilihat pada Gambar 2.
Hidrokarbon non konvensional yang satu ini mempunyai potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Di Amerika, potensi sumber daya shale gas diperkirakan sebesar 500 sampai 1000 Tcf. Beberapa lapangan seperti Barnett dan Marcellous terbukti telah sukses dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi gas di Amerika. Pada Gambar 1, dapat dilihat peta persebaran lapangan shale gas yang terdapat di Amerika. Berbeda dengan lapangan hidrokarbon konvensional pada umumnya, lapangan hidrokarbon non konvensional, seperti shale gas membutuhkan penanganan yang khusus. Shale gas mempunyai permeabilitas yang sangat kecil. Agar dapat dilakukannya proses produksi dalam skala komersil pada lapangan shale gas diperlukan adanya proses stimulasi seperti hydraulic fracturing untuk meningkatkan permeabilitas pada rekahan sehingga gas dapat mengalir keluar.
Gambar 1. Peta persebaran lapangan shale gas di Amerika.
Permasalahan tersebut memicu seluruh negara di dunia berlomba - lomba untuk menjadi yang pertama dalam pengusahaan berbagai jenis energi baru. Di Indonesia, proses eksploitasi energi tak terbaharukan masih tergantung penuh pada jenis hidrokarbon konvensional, seperti minyak dan gas bumi. Berbeda halnya pada negara maju seperti USA dan Canada, jenis hidrokarbon non konvensional seperti shale gas dan CBM telah dikembangkan sejak beberapa dekade terakhir. Shale gas merupakan gas yang dihasilkan dari formasi shale yang kaya akan bahan organik dan merupakan source rock sekaligus reservoir. Gas tersebut tersimpan di dalam ruang kosong yang terdapat di dalam pori batuan shale.
Gambar 2. Bell-Curved Shape (Peak Oil).
II. TEORI DASAR Pembentukan Shale Gas Shale adalah batuan klastik berbutir halus yang dihasilkan dari konsolidasi silt dan clay. Materi organik yang terendapkan di dalam batuan shale mengandung kerogen yang mengalami pematangan akibat tekanan overburden dan suhu, menjadikannya sebuah batuan induk yang menghasilkan serta mengekspulsikan hidrokarbon. Shale gas reservoir merupakan batuan induk yang menarik hidrokarbon yang dihasilkannya. Gas berasal dari proses adsorbsi
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan)
87
materi organik serta free gas yang terjebak di interest atau untuk mengurangi kerusakan pada dalam pori-pori materi organik dan di dalam lubang sumur. Proses hydraulic fracturing tidak matriks materi anorganik. secara fisik memperbesar lubang sumur, tetapi memperbesar jari-jari pengurasan disekitar Produksi Shale Gas lubang sumur. Produksi shale gas dapat terjadi dengan tiga cara : • Berasal dari gas yang terdesorpsi keluar dari konten organik dan kemudian tersimpan dalam rekahan alami yang terdapat pada shale bed. • Gas yang teradsorbsi ke dalam shale itu sendiri. • Proses desorpsi dari kerogen secara langsung. Untuk memperbesar luas permukaan dari reservoir shale untuk melepas gas, maka dilakukan pemboran sumur horizontal dan proses hydraulic fracturing.
Gambar 3. Proses Hydraulic Fracturing.
Hydraulic Fracturing Pengertian Teknik hydraulic fracturing merupakan metode yang umum digunakan pada pengembangan dalam dunia perminyakan dalam beberapa dekade terakhir. Hydraulic fracturing adalah proses pemompaan campuran air dengan proppant dan bahan kimia ke dalam lubang sumur dengan tujuan untuk membentuk atau melebarkan rekahan sehingga gas dapat keluar dari formasi batuan. Proppant adalah partikel kecil seperti pasir yang menjaga agar rekahan yang baru terbentuk tetap terbuka sehingga gas dapat mengalir keluar dari sumur. Proses ini disebut juga sebagai fracking atau hydrofracking. Dengan terbentuk rekahan, luas permukaan dari formasi semakin besar dan rekahan menyediakan jalur konduktif yang mengalirkan gas yang terbebas menuju ke lubang sumur. Hal ini menyebabkan hydraulic fracturing secara efektif meningkatkan laju fluida yang dapat diproduksi dari reservoir. Penjelasan mengenai proses ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 4. Proses Hydraulic Fracturing 3 dimensi.
Jenis Hydraulic Fracturing
Beberapa jenis dari hydraulic fracturing telah dikembangkan untuk digunakan pada kondisi yang berbeda-beda. Metode yang terkenal adalah high-volume hydraulic fracturing (HVHF) dan slick water fracturing. Pada metode ini, jutaan galon air bersih setiap sumur dikontaminasi dengan tambahan aditif kimia yang sangat beracun. Teknik ini menggabungkan Tujuan air dengan aditif kimia, yaitu friction reducer sehingga proses pemompaan dapat dilakukan Hydraulic fracturing mempunyai tujuan lebih cepat ke dalam formasi. Water fracturing utama sebagai proses stimulasi pada zona tidak menggunakan polimer untuk menebalkan
88
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
untuk menjaga agar rekahan tetap terbuka dan jumlah proppant yang digunakan lebih setelah pelepasan tekanan fracturing. sedikit daripada ketika menggunakan gel. Slick water fracturing bekerja dengan sangat baik pada • Gelling Agents: meningkatkan viskositas fluida untuk membentuk transportasi proppant. reservoir dengan permeabilitas rendah. Teknik ini telah menjadi alat utama yang digunakan pada • Biocides: membunuh bakteri yang merusak gelling agent. produksi hidrokarbon non konvensional seperti • Breaker: menurunkan viskositas dari fluida pada lapangan Barnett. fracturing, setelah proses fracturing, untuk meningkatkan flowback. Pertimbangan • Aditif Fluid-Loss: menurunkan leakoff dari fluida fracturing ke dalam batuan. Terdapat beberapa pertimbangan yang dalam mendesain proses hydraulic fracturing • Anti-Korosi: melindungi senyawa logam dalam sumur pada sumur tertentu. Contohnya adalah karakteristik formasi, seperti permeabilitas, • Friction Reducer: mengurangi friksi agar tekanan dan laju alir dapat ditingkatkan. porositas, tekanan reservoir, kekerasan batuan, sensitivitas air, kelarutan asam. Semua itu adalah faktor desain yang penting. Faktor lainnya adalah Aspek Lingkungan volume, viskositas fluida, laju injeksi dan ukuran Terdapat beberapa masalah lingkungan dan tipe proppant. Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar yang diakibatkan oleh proses hydraulic fracturing. 70-80% dari proses hydraulic fracturing Beberapa masalah yang mungkin terjadi: menggunakan propping agent yang merupakan • Limbah CO2 yang dihasilkan akibat pembakaran hidrokarbon, yaitu metana yang fluida water-based pembawa proppant. Terdapat merupakan komponen utama dari gas bumi beberapa kelebihan dalam mengunakan fluida mengakibatkan efek rumah kaca. Seperti kita water-based. Kelebihan tersebut berhubungan ketahui bersama bahwa gas CO2 merupakan dengan keamanan dan dengan ketersediaan penyebab utama peningkatan temperatur bahan kimia, mengurangi tekanan friksi pipa iklim dunia. Beberapa well head mempunyai ketika injeksi, mengontrol fluid loss pada formasi. kebocoran metana sebesar 9% dari total output. Tetapi salah satu kerugian dari fluida water-based adalah efek potensial pada formasi yaitu swelling • Pengaruh terhadap bentang alam akibat diperlukannya area yang cukup luas untuk dan migrasi mineral clay. pembentukan sumur-sumur, drilling pads, dan . infrastruktur penunjang proses eksploitasi. Proses Kerja Kebutuhan akan area ini akan menganggu habitat liar dan lingkungan sekitar. Pada umumnya, proses hydraulic fracturing mempunyai tiga fase. Pertama, • Jumlah air yang diperlukan untuk operasi hydrofracturing sangatlah besar. Pada daerah memompa fluida dengan campuran bahan tertentu, penggunaan air yang besar dapat kimia agar terbentuknya rekahan baru. Kedua, mengakibatkan rusaknya ekosistem air dan memompa fluida dengan proppant agar rekahan kurangnya ketersedian air untuk penggunaan yang baru terbentuk dapat terganjal sehingga tidak aktivitas lainnya. Jumlah air yang digunakan langsung tertutup kembali. Ketiga, memompa sampai dengan 7 juta galon untuk setiap sumur. keluar fluida kimia dan proppant yang tertinggal di sumur. Teknik ini kadang menggunakan beberapa • Fluda flowback yang dihasilkan dari operasi hydrofracturing, mengandung material kombinasi dari fase pertama dan kedua dari ketiga berbahaya bagi kehidupan bila tidak dilakukan fase dalam bentuk mutiple atau coba-dan-ulangi. proses treatment secara baik dan benar. Aspek Kimia Hydraulic Fracturing Penentuan IGIP dan RF Shale Gas Berikut ini adalah bahan kimia yang Berikut ini persamaan untuk menentukan dipakai dalam proses hydraulic fracturing: • Proppant: partikel, seperti pasir, berfungsi initial gas in place (IGIP) dan recovery factor
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan)
89
Simulasi Reservoir Shale Gas
(RF) dari shale gas:
Beberapa pilihan metode telah dievaluasi untuk menentukan pendekatan desain grid dan _ Gs = 1359,7 A h ρ Gsc .......................................... (1) model porositas mana yang mendapatkan hasil terbaik. Cara terbaik untuk membuat model yang akurat dan efisien adalah dengan: (1) Free Gas In Place Volume menggunakan metode dual permeability untuk merepresentasikan semua jaringan rekahan 43560 A h Øɛ Sg _____________ ....................................... (2) pada daerah terstimulasi dan tidak, dan (2) Gf = Bg secara lokal menghaluskan grid pada daerah terstimulasi dengan menggunakan desain grid Gas Formation Volume Factor : secara logaritma. Pendekatan ini adalah metode Psc z (T + 460) _____________ __________ ....... (3) DK-LS-LGR. Metode ini digunakan untuk Bg= Zsc (Tsc + 460) P memodelkan reservoir shale gas yang dilakukan proses hydraulic fracturing. Initial Shale Gas In Place (IGIP): Sorbed Gas In Place
[
][
]
.................................................... (4)
IGIP = Gf + Gs
Sorbed Gas Recovery Factor _
GsL P fsg = 1 - __________ Gci (PL + P)
......................................... (5)
Free Gas Recovery Factor zi P ffg = 1 - ______ Pi z
.................................................. (6)
Cadangan Cadangan = fsg x Gs + ffg x Gf
......................... (7)
Gambar 5. Periode aliran transien dan pseudo steady state (PSS)
Gambar 6. Reference Grid dan Simplified Grid.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
90
Dari Gambar 6, dapat dilihat bahwa simplified grid merepresentasikan jaringan rekahan pada daerah yang distimulasi oleh proses hydraulic fracturing pada sumur shale gas. Model ini telah divalidasi sebagai pendekatan dual permeability untuk memodelkan. Kelebihan dari pendekatan tersebut adalah: • Sifat dual permeability dapat diperhitungkan, baik di dalam maupun di luar daerah terstimulasi (hal ini sangat penting pada beberapa skenario shale gas di mana permeabilitas rekahan cukup signifikan). • Variasi dalam intensitas rekahan dapat diakomodasi tanpa diperlukannya proses variasi ukuran grid block. Pressure Drawdown Terdapat berbagai metode untuk dalam menentukan Initial Gas In Place (IGIP) dari suatu reservoir. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan metode pengujian formasi, yaitu tes Pressure Drawdown ketika periode Pseudo Steady State (PSS). Periode ini terjadi ketika melewati periode transien dan transien lanjut. Kondisi PSS terjadi ketika nilai dP/dT = konstan. Gambar 5. menunjukkan periode PSS. Berikut ini persamaan yang digunakan: Vp = 0,0418
QB ____ ................................................. (8) β Ct
skin. Istilah aliran non-Darcy diadaptasi oleh industri migas untuk mendeskripsikan tambahan penurunan tekanan yang diakibatkan aliran turbulen. Berikut ini adalah persamaan untuk mencari D factor: β = 1,88 (10-10) (k)-1,47 (Ø)-0,53 ...................... (9)
[
] .................... (10)
β T γg F = 3,161 x 10-12 __________ μgw h2 rw
Parameter akhir yang dihitung adalah faktor D, dengan persamaan sebagai berikut: Fkh _______ ...................................................... (11) D= 1422 T Kompresibilitas Kompresibilitas merupakan salah satu sifat petrofisika dari batuan. Kompresibilitas adalah perubahan volume diakibatkan oleh perubahan tekanan. Dalam sebuah reservoir, umumnya terdapat tiga jenis fluida, yaitu minyak, air, gas. Setiap fluida tersebut termasuk batuan reservoir mempunyai nilai kompresibilitas masing-masing. Persamaan untuk mencari kompresibilitas total dari reservoir tersebut adalah Ct = Co So + Cg Sg + Cw (1 - So - Sg ) + Cr .. (12)
Nilai 0,0418 merupakan konstanta yang digunakan pada reservoir minyak. Nilai konstanta ini bergantung dari jenis fluida reservoir. Koesfisien Kompresibilitas Isotermal Selain menggunakan analisis ketika periode PSS, kita juga dapat melakukan proses Koefisien kompresibilitas isotermal analisis ketika periode transien lanjut berlangsung. gas atau disebut sebagai kompresibilitas gas Bila hasil keduanya tidak sama, maka nilai yang didefinisikan sebagai: didapat ketika periode PSS lebih representatif. 1 ____ ǝV __ ............................................. (13) Cg= V ǝP T Faktor Aliran Turbulen
(
Semua persamaan matematik yang digunakan selama ini didasarkan pada asumsi bahwa kondisi aliran laminar terjadi ketika proses aliran terjadi. Ketika aliran radial, kecepatan aliran meningkat ketika mencapai lubang sumur. Peningkatan kecepatan ini dapat menyebabkan aliran turbulen di sekitar lubang sumur dan menyebabkan tambahan penurunan tekanan, terutama pada fasa gas, diakibatkan oleh efek
)
Untuk gas ideal, Cg= -
P _____ nRT
(
nRT _____ P2
Untuk gas nyata, 1 ____ 1 __ ǝZ __ Cg= P Z ǝP
(
)
)
=
1 __ ..................... (14) P
.......................................... (15)
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan)
91
LINEST
permeabilitas rekahan, porositas matriks dan porositas rekahan. Persebaran sifat petrofisika Persamaan yang berasal dari program tersebut dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel ini mempunyai fungsi untuk Petrel versi tahun 2008 dengan menggunakan menghitung data statistik dari sebuah garis dengan menggunakan metode least square. Metode ini menghitung garis lurus linear yang paling merepresentasikan data yang ada, sehingga didapatkan persamaan multilinear. Bentuk dasar dari persamaan yang dihasilkan program ini adalah: y = m1x1 + m2x2 + m3x3 + ... + b ............... (16) Sedangkan bentuk syntax yang diinput dalam program adalah sebagai berikut: LINEST (y diketahui, x diketahui, konstanta, status) III. MODEL RESERVOIR
Gambar 7. Model simulasi reservoir pada program CMG (tampak atas).
Penjelasan Umum Model Analisis hydraulic fracturing dilakukan dengan menggunakan software CMG versi tahun 2008 dalam membuat model reservoir. Model yang digunakan merupakan model simplified grid dan mempunyai luas permukaan reservoir sebesar 4000 x 3400 ft. Model ini dibagi menjadi dimensi grid cell sebanyak 99 x 17 x 1. Persebaran besar dari grid cell yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Dimensi grid cell. Gambar 8. Spesifikasi bentuk sumur (tampak samping).
Letak dari hasil proses hydraulic fracturing terletak pada grid cell yang berukuran 1 ft. Pada bagian ini akan dimanipulasi parameter permeabilitas rekahan untuk dimensi I, J dan K menjadi sebesar 2000 md. Pada Gambar 7. dapat dilihat tampilan dari model reservoir tersebut dari bagian atas. Sifat Petrofisika Model reservoir ini bersifat heterogen isotropik. Sifat petrofisika yang dimodelkan Gambar 9. Spesifikasi hydraulic fracturing dengan HFS secara heterogen berupa permeabilitas matriks, 1500 ft.
92
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
digunakan untuk menentukan persebaran porositas matriks dan fracture dengan permeabilitas matriks dan fracture adalah sebagai berikut: kmatriks = Ø matriks _________ 300 krekahan = Ørekahan
....................................... (17)
.......................................... (18)
Gambar 13 sampai 16 menampilkan persebaran sifat petrofisika pada software CMG setelah dilakukan proses pendistribusian normal. Gambar 10. Spesifikasi hydraulic fracturing dengan HFS 750 ft.
Gambar 13. Persebaran porositas matriks.
Gambar 11. Spesifikasi hydraulic fracturing dengan HFS 375 ft.
Gambar 14. Persebaran permeabilitas matriks dimensi I, J & K.
Gambar 12. Spesifikasi hydraulic fracturing dengan HFS 187,5 ft.
sistem pendistribusian normal. Setelah model heterogen dibuat pada software PETREL, dilakukan proses ekspor ke dalam model yang terdapat pada software CMG. Persamaan yang Gambar 15. Persebaran porositas rekahan.
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan)
93
aliran non-Darcy. Nilai faktor D dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 9 sampai 11. Berikut ini nilai dari faktor D yang digunakan:
Sensitivitas Dalam proses pemodelan dengan menggunakan software CMG ini dilakukan uji sensitivitas terhadap dua jenis parameter, yaitu Input Data panjang setengah rekahan (Xf) dan hydraulic fracture spacing. Dalam studi kasus ini akan Proses hydraulic fracturing dilakukan di dilakukan proses kombinasi antara kedua lapangan shale gas X yang terletak di Amerika. sensitivitas tersebut. Input data untuk studi ini berada di Tabel 2 yang diperoleh dari studi literatur. Hydraulic Fracture Spacing Gambar 16. Persebaran permeabilitas rekahan dimensi I, J & K.
Tabel 2. Input data untuk software.
Terdapat empat jenis kasus yang digunakan dalam pemodelan dengan menggunakan parameter ini. Jarak hydraulic fracture spacing yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 3. Hydraulic Fracture Spacing.
Spesifikasi Sumur
Panjang Setengah Rekahan (Xf)
Sumur yang digunakan merupakan sumur Untuk parameter yang satu ini, terdapat deviasi dengan sumur vertikal terlebih dahulu 9 kasus yang digunakan dalam pemodelan ini. dari permukaan sampai kedalaman 150 ft yang Panjang setengah rekahan yang digunakan adalah merupakan titik tengah dari net pay reservoir sebagai berikut: tersebut, dilanjutkan dengan sumur horizontal Tabel 4. Panjang setengah rekahan (Xf) sepanjang 1500 ft. Gambar 8 menunjukkan spesifikasi sumur yang lebih detil. Perforasi Letak perforasi dari sumur yang digunakan adalah dari (86,9,1) sampai dengan (14,9,1) yang merupakan panjang dari ujung ke ujung sumur horizontal yang digunakan. Sebagai data input di bagian perforasi, dimasukkan pula nilai faktor D yang merepresentasikan pengaruh
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
94
Kedua parameter tersebut selanjutnya akan dikombinasikan satu dengan yang lainnya sehingga menjadi sejumlah 36 skenario (9 x 4).
Tabel 6. Produksi Kumulatif.
IV. STUDI SENSITIVITAS I Studi sensitivitas pertama ini mempunyai tujuan untuk melihat pengaruh dari kedua parameter, yaitu panjang setengah rekahan (Xf) dan hydraulic fracture spacing terhadap aspek produksi dan reservoir dari model ini yang direpresentasikan dalam parameter recovery factor dan plateu time. Umur Produksi Model reservoir shale gas ini diproduksi selama 50 tahun, yaitu dari tanggal 1 Januari 1901 sampai dengan tanggal 1 Januari 1951. Umur produksi tersebut ditetapkan berdasarkan umur lapangan shale gas pada umumnya yang cukup lama (lebih dari 30 tahun).
Tabel 7. Recovery Factor.
Constraint Produksi Terdapat 2 jenis constraint yang digunakan dalam proses simulasi ini adalah: Tabel 5. Daftar Constraint Produksi.
Constraint yang pertama, yaitu Qprod ditentukan dengan cara mencari nilai terbesar dari laju alir rata-rata dari semua skenario yang digunakan dengan menggunakan hanya constraint tekanan bawah sumur sebesar 600 psia. Laju alir rata-rata terbesar yang didapat sebesar 1,25 MMSCFD. Selanjutnya dilakukan proses penambahan besar laju alir menjadi 1,3 MMSCFD. Hal ini bertujuan agar kita dapat melihat lama plateu time untuk setiap skenarionya. Constraint kedua merupakan sebagai pembatas. Dalam studi ini, parameter yang ditinjau dari skenario-skenario tersebut adalah produksi kumulatif, recovery factor (RF), plateu time, dan laju alir rata - rata. Berikut ini yang didapatkan:
Tabel 8. Plateu Time.
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan)
95
Tabel 9. Laju Alir Rata - Rata.
Gambar 20. Plot antara Recovery Factor dan Xf dengan Hydraulic Fracture Spacing sebesar 1500 ft.
Pada Gambar 21 dapat dilihat hubungan antara laju alir dengan waktu untuk setiap skenario yang dilakukan. Sedangkan pada Gambar 24 sampai 31 terdapat plot setiap skenario secara individu. Skenario yang mempunyai plateu time paling panjang adalah skenario dengan kombinasi panjang setengah rekahan terbesar dan hydraulic fracture spacing terkecil, yaitu dengan Xf = 1700 ft dan HFS = 187.5 ft.
Gambar 17. Plot antara Recovery Factor dan Xf dengan Hydraulic Fracture Spacing sebesar 187,5 ft.
Gambar 21. Plot antara laju alir dengan waktu.
Gambar 18. Plot antara Recovery Factor dan Xf dengan Hydraulic Fracture Spacing sebesar 375 ft.
Gambar 19. Plot antara Recovery Factor dan Xf dengan Gambar 22. Plot antara produksi kumulatif dengan waktu. Hydraulic Fracture Spacing sebesar 750 ft.
96
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
Gambar 23. Plot antara Recovery Factor, Xf dan Hydraulic Fracture Spacing.
Gambar 26. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas I (HFS = 750 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
Gambar 24. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas I (HFS = 1500 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
Gambar 27. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas I (HFS = 750 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).
Gambar 25. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas I (HFS = 1500 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).
Gambar 28. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas I (HFS = 375 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan)
97
Gambar 31. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas I (HFS = 187,5 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).
Gambar 29. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas I (HFS = 375 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).
Gambar 32. Plot antara tekanan bawah sumur (Pwf) dengan waktu pada studi kasus II.
Gambar 30. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas I (HFS = 187,5 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
Gambar 33. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas II (HFS = 1500 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
98
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
Gambar 36. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas II (HFS = 750 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).
Gambar 34. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas II (HFS = 1500 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, dan 1700 ft ). Gambar 37. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas II (HFS = 375 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
Gambar 35. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas II (HFS = 750 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
Gambar 38. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas II (HFS = 375 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan)
99
PT = -0,01479 HFS + 0,013856 Xf + 9,1529 .... (20)
dengan R sebesar 0,767 V. STUDI SENSITIVITAS II Gambar 39. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas II (HFS = 187,5 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
Studi sensitivitas kedua ini mempunyai tujuan untuk menganalisis hubungan antara kedua parameter tersebut, yaitu panjang setengah rekahan (Xf) dan hydraulic fracture spacing terhadap penentuan Initial Gas In Place (IGIP) dari model reservoir yang dibuat. Persaman dasar yang akan kita gunakan adalah sebagai berikut: IGIP =
C Q ______ m Ct
................................................ (21)
Persamaan tersebut dapat dirubah menjadi: C=
IGIP Ct m _________ Q
................................................ (22)
Sebagai pertimbangan, besar IGIP yang dihasilkan oleh software CMG adalah sebesar 5,997 x 1010 SCF. Umur Produksi Model reservoir shale gas ini diproduksi selama 150 tahun, yaitu dari tanggal 1 Januari Gambar 40. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, 1901 sampai dengan tanggal 1 Januari 2051. tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas Umur produksi tersebut ditetapkan berdasarkan II (HFS = 187.5 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, umur lapangan shale gas pada umumnya yang cukup lama (lebih dari 30 tahun). Tujuan lainnya dan 1700 ft ). adalah agar fasa pseudo-steady state dari produksi Bila kita tinjau pada Tabel 7, skenario setiap kasus dapat terlihat dengan baik dan jelas dengan kombinasi panjang setengah rekahan sehingga dapat mengurangi kesalahan paralaks terbesar dan hydraulic fracture spacing terkecil, dalam menarik garis linear. yaitu dengan Xf = 1700 ft dan HFS = 187,5 ft memperoleh recovery factor terbesar, yaitu 73,4%. Constraint Produksi Dengan menggunakan program Excel, yaitu LINEST, didapatkan persamaan Terdapat 2 jenis constraint yang digunakan untuk menentukan recovery factor dengan dalam proses simulasi ini adalah: menggunakan kedua parameter tersebut, yaitu Tabel 10. Daftar Constraint Produksi. panjang setengah rekahan (Xf ) dan jarak hydraulic fracture spacing sebagai variabel dalam korelasi tersebut. Persamaan yang diperoleh adalah sebagai berikut: RF = -0,0116 HFS + 0,01134 Xf + 16,37
dengan R sebesar 0,918
......... (19)
Constraint yang pertama, yaitu Qprod, ditentukan sebesar 10.000 SCFD dengan tujuan agar plateu time dari semua skenario dapat berlangsung
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
100
lebih dari waktu produksi, yaitu 150 tahun. Constraint kedua sebesar 14,7 psia bertujuan untuk mengantisipasi bahwa nilai Pwf tidak mungkin bernilai kurang dari Patm = 1 atm = 14,7 psia. Proses pertama yang dilakukan adalah penentuan nilai kompresibilitas total dari setiap skenario. Persamaan untuk menentukan kompresibilitas gas yang dipakai adalah Persamaan 15. Setelah didapat nilai kompresibilitas gas untuk setiap skenario, maka selanjutnya akan ditentukan kompresibilitas total. Dalam model reservoir ini, hanya terdapat satu jenis fluida saja, yaitu gas (Sg = 1). Hal ini disebabkan karena model tersebut belum mencapai water gas contact (WGC). Oleh karena itu, Persamaan 12 akan berubah menjadi: Ct = Cg + Cr
Karena nilai kemiringan yang dihasilkan mempunyai nilai negatif, maka kita mengambil nilai absolut dari kemiringan tersebut. Berikut ini adalah kemiringan dari setiap skenario yang didapatkan: Tabel 12. Kemiringan (slope).
........................................................ (23)
Nilai kompresibilitas batuan yang dipakai sebesar 9,9974 x 10-7 1/psi. Berikut ini hasil dari kompresibilitas total untuk setiap skenario: Tabel 11. Kompresibilitas Total.
Setelah mendapatkan parameter kompresibilitas total dan kemiringan dari setiap skenario, maka langkah selanjutnya adalah mencari nilai konstanta untuk setiap skenario dengan menggunakan persamaan. Berikut ini adalah konstanta dari setiap skenario yang didapatkan: Tabel 13. Konstanta.
Proses kedua yaitu mencari nilai kemiringan (slope) dari setiap skenario. Prinsip yang dilakukan untuk mencari kemiringan adalah sebagai berikut: Misal terdapat dua titik koordinat: A : (x1, y1) B : (x2, y2) maka kemiringan dari kedua titik tersebut adalah: m=
y2 - y1 ______ x2 - x1
........................................................ (24)
Seperti halnya pada studi sensitivitas pertama, digunakan program Excel, yaitu LINEST untuk mencari persamaan konstanta. Persamaan yang didapat adalah sebagai berikut: C = 3,7 x 10-4 Xf + 5,62 x 10-6 HFS + 2,035 ..... (25)
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan)
dengan nilai R sebesar 0,9145 Persamaan 25 di atas kemudian dimasukkan ke dalam Persamaan 21, sehingga menjadi: IGIP = (3,7 x 10-4 Xf + 5,62 x 10-6 HFS + 2,035) Q ( ____ ) ..................................................... (26) m Ct
VI. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil analisis studi ini: 1. Semakin besar parameter panjang setengah lengan, maka semakin besar nilai recovery factor dan plateu time yang didapatkan. 2. Semakin kecil parameter hydraulic fracture spacing, maka semakin besar recovery factor dan plateu time yang didapatkan. 3. Persamaan penentuan recovery factor dan initial gas in place (IGIP) yang diperoleh dari program excel, yaitu LINEST yang ditentukan cukup akurat. Nilai keakuratan dari persamaan tersebut adalah sebesar 91,79%, dan 91,45%, dengan tingkat error sebesar 8,21%, dan 8,55%. 4. Persamaan penentuan plateu time yang diperoleh dari program excel, yaitu LINEST yang ditentukan kurang akurat. Nilai keakuratan dari persamaan tersebut adalah sebesar 76,76%, dengan tingkat error sebesar 23,24% VII. SARAN Beberapa hal yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam studi ini antara lain: 1. Menambahkan data persebaran porositas dan permeabilitas aktual dari lapangan shale gas. 2. Menambahkan data nyata spesifikasi sumur yang terdapat di lapangan shale gas. 3. Memodifikasi persamaan untuk menentukan recovery factor dengan menambah parameter lainnya sebagai variabel. 4. Menambahkan aspek perencaaan pengembangan lapangan yang lebih spesifik dan aspek keekonomian.
101
VIII. DAFTAR SIMBOL A = luas daerah (ft2) Bg = formation volume factor gas (cuft/scf) C = konstanta (dimensionless) Ct = kompresibilitas total (1/psi) Co = kompresibilitas minyak (1/psi) Cw = kompresibilitas air (1/psi) Cr = kompresibilitas batuan (1/psi) F = koefisien non-Darcy (psi2/cp/(MSCF/ hari)2) fsg = fractional sorbed gas recovery (fraksi) ffg = fractional free gas recovery (fraksi) Gci = initial gas content of storage capacity (scf/ton) Gf = volume gas bebas (scf) Gs = volume sorbed gas in place (scf) Gsc = adsorbed gas storage capacity (scf/ton) GsL = Langmuir storage capacity (scf/ton) h = ketebalan (ft) HFS = hydraulic fracturing spacing (ft) IGIP = initial gas in place (ft3) k = permeabilitas (md) kmatriks = permeabilitas matriks (md) krekahan = permeabilitas rekahan (md) m = kemiringan (psi/hari) Pi = tekanan awal (psia) PL = tekanan Langmuir (psia) Psc = tekanan pada kondisi standar (psia) PT = Plateu Time (hari) RF = Recovery Factor (%) Sg = saturasi gas (fraksi) So = saturasi minyak (fraksi) Sw = saturasi air (fraksi) T = temperatur (oF) Tsc = temperatur pada kondisi standar (oF) Qg = laju alir gas (ft3/hari) x = variabel pertama Xf = panjang setengah rekahan (ft) y = variabel kedua z = z factor pada P (dimensionless) zi = z factor awal (dimensionless) zsc = z factor pada kondisi standar (dimensionless) μgw = viskositas gas (cp) γg = specific gravity gas β = parameter turbulen Ø = porositas efektif (fraksi) _ɛ ρ = densitas rata-rata (gr/cm3)
102
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
IX. REFERENSI Cipolla, C.L.:”Reservoir Modeling and Production Evaluation in Shale-Gas Reservoirs”, paper IPTC 13185 presented at the International Petroleum Technology Conference, Doha, Qatar, December 7-9, 2009. Cipolla, C.L.:”Reservoir Modeling in Shale-Gas Reservoirs”, paper SPE 125530 presented at the 2009 SPE Eastern Regional Meeting, West Virginia, USA, September 23-25, 2009. Browning, John, et.al.:”Barnett Shale Production Outlook”, Bureau of Economic Geology, University of Texas, Austin. Frantz Jr., J.H, et.al.:”Evaluating Barnett Shale
Production Performance Using an Integrated Approach” paper SPE 96917 presented at the 2005 SPE Annual Technical Conference and Exhibition, Dallas, Texas, October 9-12, 2005. Cipolla, C.L.:”Modeling Well Performance in ShaleGas Reservoirs”, paper SPE 125532 presented at the 2009 SPE/EAGE Reservoir Characterization and Simulation Conference, Abu Dhabi, UAE, October 19-21,2009. Abdassah, Doddy:”Analisis Transien Tekanan”,Institut Teknologi Bandung, Bandung, 1997. Abdassah, Doddy:”Teknik Gas Bumi”, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 1998. Siagian, Ucok: ”Diktat Kuliah Fluida Reservoir”, Institut Teknologi Bandung, Desember, 2002.
Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X” Comparative Study of Miscible and Immiscible Injection of CO2 for Field “X” Steven Chandra
[email protected] Institut Teknologi Bandung Teknik Perminyakan ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia. Abstrak
Seiring dengan meningkatnya praktek CO2 - EOR sebagai upaya lanjutan dari Carbon Capture and Storage (CCS), injeksi karbon dioksida ke formasi merupakan upaya lanjutan dalam meningkatkan produksi migas. Praktik umum yang saat ini dilakukan di Negara-negara Amerika Utara dan Eropa, injeksi karbon dioksida dilakukan diatas MMP (Minimum Miscibility Pressure) yaitu tekanan minimum dimana karbon dioksida akan bercampur dengan fluida reservoir membentuk suatu fluida dengan komposisi baru dari komponen asal fluida yang viskositasnya lebih rendah dan efisiensi pendesakan lebih tinggi. Metode ini disebut miscible injection, yaitu injeksi fluida yang akan bercampur, namun metode ini kurang popular dilakukan di Indonesia dikarenakan kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya bertekanan rendah (700 psi, 360 K) jauh dibawah MMP karbon dioksida yaitu di kisaran 1500 -2000 psi. Metode yang umum di Indonesia adalah immiscible injection, yaitu karbon dioksida diinjeksikan sebagai pendorong fluida reservoir tanpa harus bercampur secara kimiawi. Penelitian dalam karya tulis ini menggunakan sampel core sintetis yang merupakan representasi dari Lapangan “X” dimana lapangan ini bisa merepresentasikan kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya, dengan menginjeksikan karbondioksida dibawah MMP dan di atas MMP. Dari penelitian yang telah dilakukan, injeksi tidak tercampur memberikan hasil yang belum seoptimal injeksi tercampur tetapi cocok dilakukan jika injeksi tercampur menjadi tidak ekonomis akibat keharusan memakai kompresor yang lebih besar. Kata Kunci: karbondioksida, MMP, injeksi tak bercampur, injeksi tercampur, EOR.
Abstract Due to the increasing demand of Carbon capture and Storage in the world, CO2 injection by means of EOR is regarded as the potential way to increase oil recovery. Normal practices in Northern America and European countries practice CO2 injection above MMP (Minimum Miscibility Pressure), which means the minimum pressure where carbon dioxide and reservoir fluid mix readily, forming a composite substance where the viscosity is reduced and increase in sweep efficiency is observed. This method, called miscible injection, is not popular in Indonesia, due to the state of reservoir in Indonesia (700 psi and 360 K) which is below. The MMP of CO2, approximately 15002000 psi. The method of immiscible injection is more common in Indonesia, where injected carbon dioxide act as driving force without having to mix chemically with the reservoir fluid. The research for this paper is conducted by utilizing core sample from field “G”, which can be assumed to be able to represent current condition of Indonesian reservoir by injecting CO2 below and above MMP. From the results of laboratory testing, it is known that immiscible injection performs less remarkable compared to miscible injection, but the former process can be considered should the economics of the project cannot allow expenses for bigger, more expensive compressor. Keyword: carbon dioxide, MMP, miscible injection, immiscible injection, EOR.
I. DASAR TEORI Penggunaan gas karbondioksida sebagai gas injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak sudah dilakukan dalam jumlah besar di Amerika Utara pada awal tahun 1980 yang dilakukan di Bravo Dome, New Mexico. Penggunaan gas karbondioksida dianggap sebagai suatu solusi
yang murah untuk meningkatkan produktivitas suatu lapangan minyak khususnya lapangan minyak dengan komponen intermediate (sedang) dengan tidak terlalu banyak komponen ringan. Beberapa keunggulan metode injeksi gas karbondioksida adalah sumber yang relative lebih banyak, pengolahan dan transportasi yang mudah, serta pemakaian yang cukup luas di industri.
103
104
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 103-110
Namun injeksi gas karbon dioksida ke reservoir produktif juga menimbulkan masalah khususnya pada masalah kebocoran gas kepermukaan yang bias menimbulkan masalah sosial. Jarrell et al (2002) mempublikasikan bahwa saat ini kurang lebih terdapat 4100 sumur injeksi dengan penambahan produksi mencapai 313000 BOPD dengan menggunakan CO2 - EOR. Saat ini dengan semakin oleh pihak swasta maupun pemerintah, jumlah proyek CO2 - flooding di dunia akan semakin bertambah, sehingga diperlukan insentifinsentif tertentu untuk mendorong pemanfaatan sumber karbondioksida dari industri seperti dari pembangkit listrik, buangan pabrik, dan lainlain untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan perolehan migas baik di Indonesia Mekanisme Injeksi Karbon dioksida Secara kimiawi, gas karbon dioksida adalah suatu zat dengan ikatan kimia kovalen yang terdiri dari dua atom oksigen dan 1 atom karbon. Secara fisis, gas karbon dioksida merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berasa serta bersifat asam dalam larutan dengan air. Gas karbon dioksida cenderung mengalami perubahan fasa menyublim dan kondisi superkritikal dicapai pada 7,38 MPa, 300,1 K. dalam injeksi karbon dioksida ke reservoir saat ini umum digunakan karbon dioksida dalam fasa super kritikal dimana diagram fasa gas karbon dioksida terlampir pada Gambar 1. Pertimbangan penggunaan fasa ini adalah kompresibilitas tinggi sehingga meningkatkan efisiensi aliran, dan mempermudah dalam proses transportasi.
Dalam proses injeksi karbon dioksida ke reservoir sendiri ada 2 mekanisme umum yang akan dibahas dan diteliti dalam karya ilmiah ini yaitu injeksi tercampur dan tak bercampur. Mekanisme Injeksi Tercampur pada dasarnya injeksi karbon dioksida akan mencapai kondisi tercampur dengan melewati mekanisme multiple-contact miscibility. Pada multiple– contact miscibility terjadi percampuran daripada 2 minyak dan karbon dioksida yang tidak langsung bercampur melainkan melalui beberapa kontak untuk bercampur sampai minyak yang kaya akan karbondioksida tidak lagi berpisah. Kondisi ini akan tercapai pada saat melewati Minimum Miscibility Pressure (MMP). Karbon dioksida awalnya kondensasi pada minyak dan membuat minyak lebih ringan, sedangkan komponen yang lebih ringan pada minyak akan teruapkan menuju fasa kaya akan karbondioksida dan akan meningkatkan densitasnya sehingga berperilaku seperti minyak dan akan lebih mudah larut dalam minyak. Pada proses bercampurnya karbon dioksida dengan minyak terjadi transfer massa sampai tercapai pencampuran sempurna. Selama oil displacement terjadi gradasi pada komposisinya dari murni karbon dioksida menuju minyak seperti diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skematik satu dimensi bagaimana karbondioksida tercampur dengan minyak.
Gambar 1. Diagram Fasa gas Karbondioksida.
Mekanisme Injeksi Tak Bercampur ketika tekanan reervoir tidak mencukupi untuk bercampurnya karbondioksida dan minyak, terjadilah penyapuan dengan kondisi minyak dan karbondioksida yang tak bercampur. Mekanisme utama yang terjadi pada proses ini adalah: (1) mengembangnya fasa minyak, minyak tersaturasi dengan kabondioksida; (2) berkurangnya viskositas pada minyak yang mengembang dan campuran karbondioksida; (3) ekstraksi pada komponen ringan pada hidrokarbon menuju
Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X” (Steven Chandra )
fasa karbon dioksida; (4) pendesakan oleh fluida dengan tekanan. Kombinasi daripada mekanisme tersebut memungkinkan minyak yang tersisa pada reservoir untuk termobilisasi dan terproduksi. Namun pada umumnya, effisiensi yang didapat oleh injeksi karbon dioksida tak bercampur akan lebih rendah daripada injeksi tercampur. Penentuan MMP Laboratorium
dengan
Pengujian
105
Pengukuran daripada MMP dengan slim-tube test sendiri dapat memerlukan biaya yang cukup mahal. Maka dari itu terdapat pula cara memprediksi MMP dengan menggunakan mathematical model dan Korelasi MMP Termodinamik. CO2 Thermodynamic MMP. Pemakaian Korelasi untuk Prediksi MMP Menurut Holm dan Josendal, karbon dioksida mencapai kondisi tercampur dengan minyak secara dinamik ketika densitas dari karbondioksida cukup tinggi untuk menguapkan komponen C5 sampai C30 daripada hidrokarbon. Mereka menemukan bahwa densitas karbon dioksida pada termiodinamik MMP berkisar antara 0,40 sampai 0,65 g/cm3. Mereka juga menemukan bahwa MMP termodinamik berkaitan dengan berat molekul rata-rata dari C5+ pada temperatur dan tekanan reservoir.
Pada studi kali ini, penentuan MMP dilakukan dengan slim-tube test. Pengukuran CO2 Thermodynamic MMP yang ditunjukan oleh metode ini menghasilkan 1D displacement dengan tingkat pencampuran yang sangat rendah. Slim-tube terbuat dari stainless steel, umumnya memiliki diameter luar ¼ inchi dan memiliki panjang 40 ft. Dengan pasir sebagai media berporinya. Tes dimulai dengan pasir yang telah disaturasi oleh minyak pada temperatur konstan. Tekanan diatur oleh backpressure regulator dan displacement pada minyak terukur sebagai perolehan. Tidak ada air yang digunakan. Highpressure sight glass menunjukan fasa pada slim-tube. Dibawah kondisi MMP ditunjukan gelembung-gelembung pada karbon dioksida. Ketika karbon dioksida tercampur dengan minyak maka hanya satu fasa yang mengalir. Akan dibuat plot pada setiap tekanan dimana perolehan minyak pada 1,2 Hydrocarbon Pore Volumes daripada karbon dioksida yang diinjeksikan Gambar 4. Korelasi Termodinamik MMP dikembangkan seperti Gambar 3 yang ditunjukan dibawah ini. oleh Mungan pada temperatur tertentu dan minyak dengan
berat molekul untuk komponen C5+ yang membutuhkan tekanan lebih tinggi untuk bercampur.
Gambar 3. hasil simulasi 1D dengan model homogen yang diinjeksikan gas karbondioksida.
Gambar 5. Korelasi MMP CO2 sebagai fungsi dari kehadiran C5 - C30
106
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 103-110
Ketika y2 < 0,2 dan 300K < TR < 410K Untuk CO2, αi = 18,9 psi/K Untuk CO2, N2, αi = 10,5[1/8+103 y2 /(TR - Tci )] Untuk CO2/CH4, αi = 10,5[1/8+102 y2 /(TR - Tci )] I = C11 + C21M + C31M 2 + C41M 3 + (C12 + C22 )p2 Dimana: C11 C21 Gambar 6. Korelasi Densitas CO2 pada MMP sebagai C31 fungsi dari kehadiran C5 - C30 C41 C12 Selain Holm dan Josendal berbagai C22 korelasi pun dibuat untuk mencari nilai MMP, C13 I berikut adalah korelasi-korelasi tersebut: K 9 Pci Korelasi Glaso M β ρmm Tci Mi = 810,0 - 3,404 MC7+ p -1,052 y2 )]T + [1,700 x 10-9 MC7+ 3,73e (786,8 MC7+ Dan, ρmm = 2947,9 - 3,404 MC7+
= -11,73 , = 6,313x10-2, = -1,954x10-4, = 2,502x10-7, = 0,1362 , = 1,138x10-5, dan = -7,222x10-5, = 2,22K - 25,84 + 0,66K-2, = Watson K Factor, = injection gas critical pressure, pcia = number average molecular weight of oil, = 0,285 , = injection gas critical temperature, K, = molecular weight injection gas, = API gravity, and = mole fraction CO2 impurity.
Kandungan yang tidak murni dari karbon dioksida yang diinjeksikan pun akan memberikan dampak pada hasil korelasi, maka dari itu terdapat beberapa koreksi terhadap hal tersebut seperti ditunjukan Gambar 7.
+ [1,700 x 10-9 MC7+ 3,73e (786,8 MC7+ -1,052)]T
II. PERMASALAHAN
- 121,2 fRF
Injeksi gas karbondioksida secara kontinu pada umumnya dilakukan dengan metode injeksi terlarut yaitu dimana tekanan karbondioksida dibuat diatas MMP (Minimum Miscibility Pressure) dari formasi yang bersangkutan, dengan MMP ditentukan dari pengujian sample core batuan formasi. Injeksi jenis ini umum dipraktekkan di Amerika Utara, dimana tekanan reservoir yang cukup tinggi akan sangat membantu karbondioksida mencapai MMP tanpa perlu kompresi yang memakan biaya tinggi, sehingga keekonomian proyek tidak terlalu terganggu. Keadaan demikian tidak terjadi di Indonesia, dimana rata-rata tekanan reservoir
Dimana: MC7+ = berat molekul dari C7+ pada STO T = temperature, oF, dan fRF = %mol C2 sampai C4 pada fluida reservoir Korelasi Johnson dan Pollin4 ρmm - ρci = αi (TR - Tci ) + 1 ( βM - Mi )2
Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X” (Steven Chandra )
107
akan dikorelasikan dengan persamaan YellingMetcalfe untuk verifikasi hasil. Selanjutnya akan dilakukan injeksi tercampur dan tidak tercampur untuk sampel core yang ada, dengan memperhitungkan recovery dan tekanan injeksi yang berbeda-beda. IV. HASIL DAN ANALISIS Dalam penelitian ini digunakan tiga sampel core sintetis dari bahan kapur untuk menyerupai core lapangan yang bersifat karbonat. Masingmasing core akan diperiksa nilai porositasnya dengan menggunakan metode saturasi, penentuan permeabilitas dengan menggunakan alat PERL200. Pengukuran sifat-sifat fisik fluida akan dilakukan dengan hydrometer untuk pengukuran API gravity, pengukuran viskositas menggunakan Ostwald viscometer dan dan peralatan lain yang Gambar 7. Koreksi ketidakmurnian karbondioksida karena relevan. Tiga buah sampel core yang tersedia H2S dan SO2. pada awalnya akan disaturasi dengan paraffin untuk menentukan porositas dengan pengukuran di lapangan minyak Indonesia umumnya relatif pada picnometer menunjukkan densitas air suling rendah (900 psia). Tekanan yang relative rendah sebesar 0,92 gr/cc, dengan hasil pengukuran ini akan sangat menyulitkan proses injeksi terlarut sebagai berikut. dikarenakan ongkos kompresi yang tinggi beserta kebutuhan listrik dan peralatan permukaan Tabel 1. Pengukuran Densitas Paraffin Untuk Saturasi Core lainnya, sehingga mengurangi keekonomian Pengukuran Dimensi Core Core No Panjang Lebar: 1 2,52 cm 1,71 cm; 2 2,55 cm 1.75 cm: 3 2,56 cm 1,74 cm. proyek. Untuk itu penulis mengusulkan dalam publikasi ini, metode injeksi tak tercampur dengan tekanan karbondioksida yang relative lebih rendah, sehingga karbondioksida tidak terlarut dalam minyak melainkan hanya berfungsi sebagai tenaga pendorong saja. III. METODOLOGI Penelitian Dalam penelitian ini, digunakan model reservoir pada Lapangan “X” yang merupakan lapangan yang telah beroperasi selama kurang lebih 30 tahun, dimana secara umum lapangan ini memiliki litologi karbonat dengan perlapisan batu pasir dan fluida yang dihasilkan berupa minyak ringan. Dikarenakan kesulitan dalam memperoleh core dan sampel fluida asli dari sumur “X”, penulis menggunakan core sintetik dan fluida reservoir berasal dari lapangan lain yang sifat fisiknya mendekati. Penentuan MMP dilakukan dengan menggunakan peralatan slim tube, dimana core disaturasi dengan minyak sampel dan brine. Hasil MMP ini
Tabel 2. Penentuan Dimensi Core Uji.
Sampel core yang diuji memiliki nilai permeabilitas rata rata 30 mD dan porositas 15%, dimana cukup representative untuk mewakili data lapangan yang diperoleh dari report PVT, fluida reservoir sendiri menggunakan minyak
108
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 103-110
yang sifatnya hampir mendekati dengan contoh lapangan yaitu, Tabel 3. Penentuan Porositas Core dengan Metode Saturasi.
Untuk tekanan injeksi akan dilakukan dengan beberapa tahap tekanan sampai ke tekanan MMP dengan nilai step sebesar 100 psi. Hasil injeksi ditampilkan dibawah ini: Tabel 7. Pengujian Pendesakan Core #1.
Tabel 4. Penentuan Permeabilitas Sampel Core.
Tabel 8. Pengujian Pendesakan Core #2. Tabel 5. Sifat fisik fluida reservoir.
Pada tahapan selanjutnya setiap core dimasukkan ke dalam peralatan slim tube apparatus dengan saturasi fluida reservoir untuk melakukan pengukuran MMP, dengan hasil sebagai berikut (grafik regresi terlampir):
Tabel 9. Pengujian Pendesakan Core #3.
Tabel 6. Hasil Pengukuran MMP Core.
V. DISKUSI Pada tahapan selanjutnya, dilakukan CO2 flooding pada masing-masing core, dimana pada penelitian ini digunakan gas karbon dioksida jenis food grade, dikarenakan sangat sulit mencari gas karbondioksida dengan polutan gas sulfide yang merepresentasikan keadaan di lapangan. Injeksi karbondioksida ini akan mengukur perolehan minyak dari core dengan flooding selama 2 hari, dan fluida minyak yang didesak akan diukur dalam gram, dan akan ditentukan perolehannya dengan metode Volumetric.
Dalam penelitian ini digunakan paraffin cair sebagai fluida saturasi pada core, dimana sifat core yang terbuat dari batu kapur (chalk), membuat penggunaan air sebagai fluida saturasi tidak cocok karena air akan melarutkan sebagian kapur sehingga pengukuran parameter fisik core menjadi tidak akurat, sedangkan paraffin tidak akan mengalami reaksi apapun dengan sampel core. Dari hasil pengujian petrofisika sampel core diperoleh nilai-nilai yang cukup masuk akal, dengan range porositas di sekitar 15 % dan permeabilitas di 30 mD, sekalipun
Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X” (Steven Chandra )
demikian nilai-nilai ini masih belum cukup merepresentasikan keadaan di reservoir yang mengandung gerowong dan sebagainya, namun masih mendekati data yang terekam di reservoir. Pada pengukuran untuk menentukan Minimum Miscibility Pressure, diperoleh hasil yang relative homogen sehingga bisa disimpulkan bahwa core memiliki kualitas dan material yang cukup merata. Sekalipun demikian hasil ini harus dikalibrasi kembali dengan kondisi alat yang ada. Dari pengujian pendesakan untuk masing-masing core, yang bisa diobservasi dari masing-masing test adalah terjadinya lonjakan yang cukup besar (10-15%) dari pengujian injeksi tak tercampur dengan injeksi tercampur, dimana hasil ini disebabkan oleh perbedaan sifat fisis campuran karbondioksida-minyak yang mengurangi viskositas, meningkatkan rasio mobilitas, dan mengurangi efek kebasahan karena pada core karbonat pada umumnya sifatnya adalah oil-wet. Injeksi yang memberikan hasil yang relative baik terjadi di dekat tekanan pelarutan (MMP) yaitu near miscible injection, dengan selisih hanya sekitar 10%. Kondisi ini bisa membantu menjelaskan bahwa injeksi hampir tercampur bisa meningkatkan perolehan secara signifikan, namun masih belum sebaik injeksi tercampur. VI. KESIMPULAN Dalam percobaan laboratorium dengan data lapangan X, diperoleh beberapa hal penting: • Sampel core yang dipakai memiliki porositas rata-rata 15% dan permeabilitas rata-rata 30 md. • Tekanan tercampur minimum (MMP) ratarata dari sampel core sebesar 1391 Psi. • Dari hasil percobaan core flooding, injeksi tercampur (miscible) akan memberikan
109
hasil lebih baik jika dibandingkan dengan injeksi tidak tercampur (immiscible) dengan perbedaan rata-rata sebesar 15%. • Injeksi tidak tercampur layak dipertimbangkan untuk lapangan tua yang tidak memungkinkan secara keekonomian untuk memakai compressor berkapasitas besar. VII. REFERENSI Sourisseau, D.K.2000. Surface Facilities consideration for injecting sour gas and acid gas. SPE 87265. Society of Petroleum Engineering. Calgary,Canada. Nimtz, M et al. 2010. Modelling of the CO2 process and transport chain system. Chemie-der-erde-70. Elsevier. Cottbus , Germany. Mito, S et al. 2008. Case study of geochemical reactions at the Nagaoka CO2 injection site, Japan. Elsevier. Kyoto, Japan. Han, D.H. et al. 2009. CO2 velocity measurement and temperature model on carbonate reservoir. Geophysics Vol 75 No 3. Houston, Texas. DNV RP- J202. 2006. Design and operation of CO2 pipeline. Oslo, Norway Jarrel , M.P. et al. 2002. Practical Aspects of CO2 Flooding. SPE. Houston, Texas. PT Elnusa Drilling Services. 2012. Final Well Report Sumur “J”. Gunter, W.D. 2014. Personal correspondences Satoh, Tohru. 2014. JAPEX Research Center. Personal correspondences. Enviro Energy.2008. Recommended practices for CO2 pilot test in China. Alberta, Canada. Podgurny, Dave et al. 2014.Alberta Research Council. Personal correspondences. Asikin, Ariesty. 2013. Preliminary geologic study on feasibility of CO2 injection in field “G”. Teknik Geofisika ITB. Bandung, Indonesia.
110
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 103-110
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode Pendant Drop Minimum Miscibility Pressure Estimation through Interfacial Tension Test Using Pendant Drop Method Muslim1 dan A.K. Permadi2
[email protected];
[email protected] 1Universitas Islam Riau, Jl. Kaharuddin Nasution No. 113, Pekanbaru, Riau; 2Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia Abstrak Penentuan tekanan tercampur minimum (TTM) merupakan faktor penting dalam perencanaan injeksi gas CO2 untuk mendapatkan perolehan minyak yang maksimum dari suatu lapangan atau reservoir. Slim tube test merupakan suatu metode untuk menentukan TTM yang telah diakui oleh industri. Namun demikian, terdapat beberapa kekurangan dalam menggunakan metode ini antara lain membutuhkan waktu yang lama dan memerlukan banyak sampel untuk mendapatkan nilai TTM yang diinginkan. Studi ini bertujuan untuk memperkirakan TTM melalui pengukuran tegangan antar muka atau interfacial tension (IFT) menggunakan metode pendant drop. Metode ini membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat dan memerlukan sampel yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan metode slim tube test. Studi ini menggunakan dua sampel minyak yaitu Sampel A dan Sampel B dimana Sampel A mempunyai API gravity lebih tinggi dari Sampel B. Hasil studi menunjukkan bahwa TTM yang diperoleh adalah sebesar 1611 psia pada temperatur 60oC dan sebesar 1777 psia pada temperatur 66oC untuk Sampel A. Sedangkan untuk Sampel B TTM yang dihasilkan adalah sebesar 1918 psia dan 2072 psia masing-masing pada temperatur yang sama seperti digunakan pada Sampel A. Besaran API gravity sangat berpengaruh terhadap besaran TTM yang dihasilkan. Semakin tinggi API gravity maka semakin rendah TTM dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, API gravity yang tinggi menyebabkan CO2 lebih mudah terlarut dan tercampur dengan minyak. Perkiraan TTM melalui pengukuran tegangan antar muka menggunakan metode pendant drop sangat menguntungkan untuk dilakukan karena dapat menghemat waktu, sampel, dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan harga TTM. Kata kunci: Tekanan tercampur minimum, CO2, pendant drop, tegangan antar muka.
Abstract Minimum miscibility pressure (MMP) determination is an important factor for a successful CO2 injection plan in order to obtain maximum oil recovery from a field or reservoir. The method of slim tube test has been used and well accepted by industry for determining the MMP. However, the method still has some limitations in nature; for example it requires much time and samples to obtain the required MMP. This study is aimed to estimate the MMP through an interfacial tension (IFT) test by using the method of pendant drop. The method is relatively quicker and requires less samples compared to those required by the slim tube test. In this study, two samples were used namely Sample A and Sample B where Sample A has higher API gravity. The result shows that the MMP for Sample A was obtained as 1611 psia and 1777 psia at the temperature of 60oC and 66oC, respectively. Meanwhile, for Sample B it was obtained as 1918 psia and 2072 psia for the same temperatures used for Sample A, respectively. The API gravity affects the MMP significantly. The higher the API gravity the lower the MMP and vice versa. In this case, the API gravity makes the CO2 to dissolve and be miscible with oil more easily. The estimation of MMP through an interfacial tension test using pendant drop method provides advantages because it saves time, use less samples, and requires less cost. Keywords: Minimum miscibility pressure, CO2, pendant drop, interfacial tension test.
111
112
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 111-118
I. PENDAHULUAN Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menentukan tekanan tercampur minimum (TTM) telah dikembangkan. Metode yang telah sering digunakan antara lain slim tube test (Yellig dan Metcalfe, 1980; El-Sharkawy, 1996), korelasi (Johnson dan Pollin, 1981), rising bubble apparatus (Christiansen and Kim, 1987), vanishing interfacial tension test (Rao, 1997), dan simulasi numeric (Ahmed, 2000). Namun, berbagai metode tersebut di atas memiliki kekurangan masing-masing seperti yang telah disampaikan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Jarrel dkk (2002) dan Johns dkk (2000) mengungkapkan bahwa metode slim tube test memerlukan waktu yang lama dan banyak sampel minyak untuk mendapatkan nilai TTM yang ingin diketahui. TTM yang dihasilkan dari pengukuran rising bubble apparatus sangat subjektif dan kasar (Thomas dkk, 1994; Farzad dan Amani, 2012). Penentuan TTM menggunakan simulasi memerlukan input data yang berkualitas tinggi dan over tuning yang berlebihan akan memberikan dampak negatif terhadap TTM yang dihasilkan (Lee and Reitzel, 1982; Firoozabadi and Khalid, 1986. Di antara metode penentuan TTM yang telah diterapkan hingga saat ini dan terbukti telah memberikan hasil yang signifikan serta penyimpangan yang tidak terlalu jauh dari metode slim tube adalah metode vanishing interfacial tension test (VIT). Metode ini dikembangkan oleh Rao (1997). Pada prinsipnya, VIT adalah penentuan TTM yang dilakukan dari hasil pengukuran tegangan antar muka atau interfacial tension (IFT) antara CO2 dan minyak menggunakan metode pendant drop atau sessile drop. Metode ini sangat efektif untuk menentukan TTM dengan cara melakukan plot IFT terhadap tekanan. Pada saat tegangan antar muka sama dengan nol maka tekanan pada kondisi tersebut diasumsikan sebagai TTM. Salah satu kelebihan metode ini adalah singkatnya waktu yang diperlukan untuk mendapatkan nilai TTM serta tidak diperlukannya jumlah sampel minyak yang banyak selama pengujian berlangsung (Ayirala dan Rao, 2006). Studi ini melakukan kajian tentang penentuan TTM melalui pengujian tegangan antar muka antara CO2 dan minyak menggunakan metode pendant drop. Setelah Rao (1997)
menemukan metode ini untuk menentukan TTM, peneliti lain telah melakukan beberapa pengujian lanjutan dengan menggunakan metode ini seperti yang dilakukan oleh Nobakth dkk (2008); Jessen dan Orr Jr (2008); Ayirala dan Rao (2006); dan Hawthorne dkk (2014). Dalam studi ini, sampel minyak yang digunakan berasal dari salah satu lapangan minyak yang berada di Formasi Air Benakat, Cekungan Sumatera Selatan. Penggunaan metode ini dapat mempercepat penentuan TTM yang diperlukan. Selain itu, pengukuran TTM ini sangat penting sebagai langkah awal sebelum melakukan injeksi gas CO2 di lapangan yang akan sedang direncanakan. Lake (1989), menyampaikan bahwa injeksi CO2 dengan mekanisme tercampur (miscible) dapat memberikan tambahan perolehan minyak sebesar 10-20% dan dengan mekanisme injeksi tidak tercampur (immiscible) dapat memberikan perolehan minyak sebesar 5-10% dari cadangan minyak awal atau original oil in-place (OOIP). II. METODOLOGI Metode yang digunakan untuk menentukan TTM dalam studi ini adalah uji laboratorium menggunakan peralatan goniometer produksi dari Ramehart Ltd. Perkiraan TTM akan diperoleh dari hasil plot antara tegangan antar muka antara CO2 dan minyak pada temperatur 60oC dan 66oC. Sampel minyak yang digunakan berasal dari salah satu lapangan minyak yang berada di Cekungan Sumatera Selatan. Tabel 1 menunjukan informasi tentang sampel minyak yang digunakan selama pengujian berlangsung. Tabel 2 dan 3 memberikan informasi tentang komposisi sampel minyak yang digunakan. Gas CO2 yang digunakan mempunyai tingkat kemurnian sebesar 99,99%. View cell yang digunakan mampu menahan tekanan hingga 3.000 psia dan temperatur 300oC. Diameter cell adalah 30 cm dan tingginya 60 mm. Panjang jarum yang digunakan adalah 50 mm dan diameternya adalah 0,91 mm. Jarum tersebut ditempatkan di dalam view cell untuk mengalirkan minyak hingga di ujung jarum saat pengukuran tegangan antar muka dilakukan. Gambar 1 menunjukkan ilustrasi peralatan yang digunakan selama eksperimen. Eksperimen untuk menentukan TTM dilakukan melalui tiga tahap kegiatan yaitu pra-eksperimen, eksperimen, dan pasca eksperimen.
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode Pendant Drop (Muslim dan A.K. Permadi)
Kegiatan pra-eksperimen meliputi pembersihan view cell dan tubing line menggunakan toluene dan gas nitrogen. Semua tubing line yang digunakan dalam eksperimen ini harus dibersihkan untuk menghindari terjadinya penyumbatan saat minyak dialirkan menuju view cell. View cell tersebut harus dibersihkan dari sampel minyak yang tersisa atau lengket pada dinding kaca (window glass). View cell harus dipanaskan sesuai temperatur yang telah ditentukan yaitu 60oC dan 66oC. Sampel minyak dituangkan ke dalam oil chamber yang mempunyai kapasitas maksimal 100 ml. Kegiatan eksperimen dimulai dengan memompakan air menggunakan Isco Pump 160D menuju oil chamber. Laju alir pompa yang diberikan sebesar 0,1-0,5 cc/menit. Tekanan pengujian dilakukan mulai dari 700 psia sampai 2.500 psia. Pengukuran tegangan antar muka dilakukan pada setiap tekanan yang diberikan dan temperatur yang konstan. Tekanan yang dihasilkan dari pompa harus lebih besar dari tekanan yang ada di dalam view cell. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar minyak dapat mengalir hingga ke ujung jarum di dalam view cell. Tekanan di dalam cell dihasilkan dari gas CO2 yang diinjeksikan ke dalamnya menggunakan Isco Pump 260D. Sebuah valve dan back pressure diletakkan di antara oil chamber dan view cell. Back pressure digunakan untuk mengantisipasi tekanan balik dari view cell dan valve digunakan untuk mengontrol laju alir minyak yang akan dialirkan hingga ke ujung jarum. Pengukuran tegangan antar muka dilakukan secara komputerisasi menggunakan software DROPimage yang sudah tersedia dalam paket alat uji dari Ramehart Ltd. Pada saat butiran atau tetesan minyak sudah sampai di ujung jarum dan keadaannya sudah stabil selama beberapa saat (sekitar 30 sampai 60 detik), kemudian dilakukan pengambilan gambar secara otomatis dengan menggunakan kamera yang sudah tersedia pada peralatan tersebut. Program yang ada di dalam komputer akan menghitung nilai tegangan antar muka secara geometris berdasarkan gambar yang diperoleh serta beberapa input data lainnya seperti bahan jarum yang digunakan serta densitas minyak yang digunakan. Pengambilan gambar dilakukan sebanyak tiga kali untuk mendapatkan hasil yang optimal.
113
Kegiatan pasca eksperimen meliputi pembersihan tubing line dan view cell, serta oil chamber menggunakan toluene dan gas nitrogen. Semua prosedur ini harus dilakukan untuk menjaga peralatan tetap bersih dan menghindari kerusakan akibat tertinggalnya sisa minyak pada peralatan yang digunakan. Langkah terakhir yang dilakukan setelah kegiatan eksperimen selesai adalah membuat plot tegangan antar muka hasil proses dari program yang ada di dalam komputer terhadap tekanan pada temperatur yang telah ditentukan. Setelah plot tegangan antar muka CO2-minyak diperoleh, hasil plot tersebut digunakan untuk memperkirakan TTM dengan asumsi TTM sama dengan tekanan pada saat tegangan antar muka sama dengan nol. III. HASIL EKSPERIMEN Hasil eksperimen memberikan harga TTM untuk Sampel Minyak A dan B pada temperatur yang ditetapkan sesuai dengan kondisi di lapangan yaitu 60oC dan 66oC. Gambar 2, 3, 4, dan Gambar 5 menunjukan TTM pada masingmasing temperatur. TTM yang diperoleh untuk Sampel Minyak A dengan API gravity 41,38 dan temperatur 60oC dan 66oC adalah masingmasing 1611 dan 1777 psia. Sedangkan untuk Sampel Minyak B dengan API gravity 20 TTM yang dihasilkan pada temperatur yang sama adalah 1918 dan 2072 psia. IV. PEMBAHASAN Eksperimen yang dilakukan dalam studi ini telah berhasil mengukur tegangan antar muka antara CO2 dan minyak. Hasil eksperimen tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan TTM untuk sistem CO2minyak dimaksud. Eksperimen yang dilakukan menggunakan dua jenis sampel minyak yang masing-masing mempunyai API gravity berbeda. Sampel Minyak A yang mempunyai API gravity 41,38 menghasilkan TTM yang lebih kecil dibandingkan dengan TTM yang diperoleh untuk Sampel Minyak B yang mempunyai API gravity 20 pada temperatur yang sama. Gambar 2 dan 4 ataupun Gambar 3 dan 5 memberikan informasi tentang harga TTM yang berbeda untuk sampel minyak dengan API gravity yang berbeda. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa API gravity
114
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 111-118
sangat berpengaruh terhadap TTM. Harga API gravity yang tinggi pada suatu sampel minyak menggambarkan jumlah komponen ringan yang tinggi yang terkandung di dalam sampel minyak tersebut. Keadaan ini menyebabkan gas CO2 lebih mudah untuk tercampur dengan sampel minyak. Sebaliknya, harga API gravity suatu sampel minyak memberikan informasi jumlah komponen berat yang tinggi yang terkandung di dalam sampel minyak tersebut. Jumlah komponen berat dapat pula dilihat dari berat molekul heptana plus untuk masing-masing sampel minyak. Semakin banyak komponen berat yang terkandung dalam sampel minyak akan menyebabkan semakin tinggi tekanan yang diperlukan agar CO2 bisa tercampur di dalam sampel minyak tersebut. Argumentasi ini bersesuaian dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Mungan (1981). Mungan menyebutkan bahwa berat molekul minyak dapat mempengaruhi besaran TTM hasil pengukuran di laboratorium. Sesuai dengan keadaan di lapangan, eksperimen dalam studi ini menggunakan dua harga temperatur yaitu 60oC dan 66oC. Temperatur yang tinggi mengakibatkan CO2 lebih sulit untuk terlarut atau tercampur ke dalam sampel minyak. Agar bisa terlarut atau tercampur maka diperlukan tekanan, yaitu TTM, yang lebih besar. Kenaikan temperatur yang mengakibatkan meningkatnya TTM tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 ataupun Gambar 4 dan 5. Untuk Sampel Minyak A, kenaikan temperatur 6oC meningkatkan TTM sebesar 166 psia. Sementara itu untuk Sample Minyak B kenaikan temperatur 6oC meningkatkan TTM sebesar 154 psia. Efek dari kenaikan temperatur terhadap TTM juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Yellig dan Metcalfe (1980). Perkiraan TTM melalui pengukuran tegangan antar muka menggunakan metode pendant drop relatif lebih cepat dan sederhana. Seperti terlihat pada Gambar 2, 3, 4, dan Gambar 5, TTM dapat diperkirakan dari plot antara tegangan antar muka antara CO2 dan minyak terhadap tekanan. Harga TTM dapat ditentukan pada saat IFT sama dengan nol. Penarikan garis ekstrapolasi harus dilakukan pada saat sebelum terjadinya deviasi data (ditunjukkan oleh garis tebal) pada gambar-gambar tersebut. Pada daerah di mana telah terjadi deviasi data (ditunjukkan oleh garis putus-putus) pada gambar-gambar
tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan TTM dari sampel minyak yang digunakan. Plot tegangan antar muka antara CO2 dan minyak terhadap tekanan yang diperoleh dari eksperimen ini sesuai dengan pola yang pernah dikemukakan oleh Jessen dan Orr Jr (2008). Mereka menyebutkan bahwa jika tekanan meningkat maka pada suatu harga tekanan tertentu plot tegangan antar muka terhadap tekanan akan menyimpang atau mengalami deviasi dari trend data pada harga tekanan yang lebih rendah. Setelah titik data penyimpangan maka penurunan tegangan antar muka selanjutnya menjadi relatif lebih kecil (ditunjukkan oleh perubahan kemiringan kurva menjadi lebih kecil) walaupun tekanan tetap ditingkatkan. Penurunan tegangan antar muka antara CO2 dan minyak pada saat awal terjadi secara drastis dan fenomena ini diakibatkan oleh keadaan di mana CO2 terlarut secara perlahan ke dalam minyak. Ketika tekanan dinaikkan secara kontinyu maka harga densitas gas CO2 akan mendekati harga densitas minyak. Jika perbedaan densitas antara kedua fluida semakin kecil maka tegangan antar muka kedua fluida tersebut akan semakin kecil pula. Namun demikian, keadaan tercampur (miscible) tidak dapat langsung terjadi dalam eksperimen ini. Hal ini disebabkan oleh karena masih ada komponen berat yang tertinggal di dalam minyak. Hal inilah yang menyebabkan nilai tegangan antar muka hasil eksperimen tidak dapat mencapai nol. Agar diperoleh nilai tegangan antar muka sama dengan nol perlu dilakukan teknik ekstrapolasi dari plot yang diperoleh. V. KESIMPULAN Kesimpulan dari studi ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Perkiraan TTM melalui pengukuran tegangan antar muka antara CO2 dan minyak menggunakan metode pendant drop telah berhasil dilakukan dalam studi ini. 2. Tegangan antar muka antara CO2 dan minyak tidak dapat mencapai harga nol atau kondisi tercampur tidak dapat terjadi pada eksperimen dalam studi ini. Namun demikian, perkiraan TTM dapat dilakukan dengan melakukan ekstrapolasi data. Ekstrapolasi tersebut harus dilakukan sebelum terjadi deviasi atau penyimpangan data.
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode Pendant Drop (Muslim dan A.K. Permadi)
115
observations of CO2/oil interactions at reservoir 3. Kenaikan tekanan menyebabkan perbedaan conditions”, Energy Procedia, Vol. 63, pp. 7724densitas antara CO2 dan minyak menjadi lebih 7731. kecil. Oleh karena itu maka nilai tegangan Jarrell, P.M., Fox, C.E., Stein, M.H., dan Webb, antar muka antara kedua fluida menjadi lebih S.L., 2002. Practical Aspects of CO2 Flooding. kecil. SPE Monograph Series, Society of Petroleum 4. Densitas heptana plus dan temperatur sangat Engineers, Richardson, TX. berpengaruh terhadap nilai TTM yang diukur Jessen, K. dan Orr Jr., F.M., 2008. “On interfacial pada eksperimen dalam studi ini. Semakin tension measurements to estimate minimum tinggi densitas heptana plus maka semakin miscibility pressures”, SPE Reservoir Evaluation tinggi pula nilai TTM yang terukur. Demikian & Engineering Journal, Vol. 11, No. 5, pp. 933pula, semakin tinggi temperatur maka 939. semakin tinggi pula tekanan yang dibutuhkan Johnson, J.P. dan Pollin, J.S., 1981. “Measurement and Correlation of CO2 Miscibility Pressures”, untuk mencapai keadaan tercampur.
UCAPAN TERIMA KASIH Para penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada EOR Laboratory, Department of Energy and Mineral Resources Engineering, Sejong University, Korea, atas pemakaian peralatan dan material eksperimen untuk keperluan studi ini. REFERENSI Ahmed, T., 2007. EOS and PVT Analysis. Gulf Publishing Co., Houston, Texas. Ayirala, S.C. dan Rao, D.N., 2006. “Comparative evaluation of a new MMP determination technique”, Paper SPE-99606-MS presented at the SPE/DOE Symposium on Improved Oil Recovery, Tulsa, OK, 22-26 April. http://dx.doi. org/10.2118/99606-MS. Christiansen, R.L. dan Haines, H.K., 1987. “Rapid measurement of minimum miscibility pressure with the rising-bubble apparatus”, SPE Reservoir Engineering, Vol. 1, No. 4, pp. 523-527. El Sharkawy, A.M., 1996. “Measuring CO2 MMP: Slim tube or Rising Bubble Method?” Energy and Fuel, 10, 3. Farzad, I. dan Amani, M., 2012. “An analysis of reservoir production strategies in miscible and immiscible gas injection projects”, Advances in Petroleum Exploration and Development, Vol. 3, No. 1, pp. 18-32. Firoozabadi, A. dan Khalid, A., 1986. “Analysis and correlation of nitrogen and lean-gas miscibility pressure”, SPE Reservoir Engineering, Vol. 1, No. 6, pp. 575-582. Hawthorne, S.B., Miller, D.J., Gorecki, C.D., Sorensen, J.A., Hamling, J., Roen, T.D., Harju, J.A. dan Melzer, L.S., 2014. “A rapid method for determining CO2/oil MMP and visual
Paper SPE 9790 presented at the SPE Symposium on EOR, Tulsa, April 5-8. Johns, R.T., Sah, P. dan Solano, R., 2000. “Effect of dispersion on local displacement efficiency for multicomponent enriched-gas floods above the MME”, Paper SPE-64725-MS presented at the International Oil and Gas Conference and Exhibition, Beijing, China, 7-10 November. http://dx.doi. org/10.2118/64725-MS. Lee, J.I. dan Reitzel, G.A., 1982. “High pressure, dry gas miscible flood Brazeau River Nisku oil pools”, Journal of Petroleum Technology, Vol. 34, No. 11, pp. 2503-2508. Metcalfe, R.S., 1980. “Effects of Impurities on MMP and MME Levels for CO2 and Rich Gas Displacements”, Paper SPE 9230 presented at the SPE ATCE, Dallas, Sept. 21-24. Mungan, N., 1981. “Carbon dioxide flooding fundamental,” Journal of Canadian Petroleum Technology, vol. 20, no. 1, pp. 87-92. Nobakth, M., Moghadam, S. dan Gu, Y., 2008. “Determination of CO2 minimum miscibility pressure from measured and predicted equilibrium interfacial tensions,” Industrial & Engineering Chemistry Research, Vol. 47, No. 22, pp. 8918-8925. Rao, D.N., 1997. “A new technique of vanishing interfacial tension for miscibility determination”, Fluid Phase Equilibria, Vol. 139, No. 1-2, pp. 311-324. Thomas, F.B., Zhou, X.L., Bennion, D.B. dan Bennion, D.W., 1994. “A comparative study of RBA, P-X, multicontact and slim tube results”, Journal of Canadian Petroleum Technology, Vol. 32, No. 2, pp. 17-26. Lake, L.W., 1989. Enhanced Oil Recovery. Prentice Hall, NJ. Yellig, W.F. dan Metcalfe, R.S., 1980. “Determination and Prediction of CO2 Minimum Miscibility Pressure”, SPE Journal of Petroleum Technology, 32, 1.
116
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 111-118
LAMPIRAN Tabel 1. Sifat fisik sampel minyak dan kondisi reservoir.
Tabel 2. Komposisi Sampel Minyak A.
Sifat heptana plus: Densitas minyak @ 60/60oF Berat molekul
0,8308 142,73
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode Pendant Drop (Muslim dan A.K. Permadi)
Tabel 3. Komposisi Sampel Minyak B.
Sifat heptana plus: Densitas minyak @ 60/60oF Berat molekul
0,9397 206,66
Gambar 1. Peralatan eksperimen untuk penentuan tegangan antar muka CO2-minyak.
117
118
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 111-118
Gambar 2. TTM pada temperatur 60oC untuk Sampel Minyak A.
Gambar 3. TTM pada temperatur 66oC untuk Sampel Minyak A.
Gambar 4. TTM pada temperatur 60oC untuk Sampel Minyak B.
Gambar 5. TTM pada temperatur 66oC untuk Sampel Minyak B.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada para Mitra Bestari yang telah mengevaluasi, mereview dan memberikan saran perbaikan tulisan-tulisan yang dimuat di majalah Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (JTMGB) edisi penerbitan Volume 11 Nomor 2, Agustus 2016. 1. 2. 3. 4. 5.
Prof. Dr. Ir. Pudjo Sukarno Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar Dr. Ir. RS Trijana Kartoatmodjo M.Sc. Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi Dr. Ing. Ir. Bonar Tua Halomon Marbun
INDEKS A K adaptive neuro fuzzy inference system (ANFIS) karbon dioksida 103, 104, 105, 106, 108 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57 koefisien gesek 1, 2, 3, 4, 5 artificial intelegence 47, 48 korelasi 23, 29, 31, 32, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 44 B Buckling 1, 2, 5
L Laju Alir Produksi 17, 18, 20, 21
C carbon dioxide 67, 68, 103, 115 CBM 65, 66, 67, 69, 75, 76, 77, 81, 82, 86 CO2 27, 33, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 67, 68, 88, 103, 104, 105, 106, 108, 109, 111, 112, 113, 114, 115, 117 computerized model 7, 8 correlation 21, 23, 37, 44
M Minimum miscibility pressure 37, 44, 103, 104, 106, 109, 111, 115 miscible injection 103, 109 MMP 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 111, 115 model geomekanik 47 model komputerisasi 7 model Palmer and Mansoori 23, 25, 27, 29
D design hydraulic fracturing 47, 76 Drag 1, 2, 3, 4, 5, 6 Drilling with casing 1, 2, 5, 6
N numerical simulation 37
E EOR 103, 104, 115 equation of state 37, 40 F Friction factor 1 G geomechanics models 48 H half fracture length 85 hydraulic fracturing 7, 8, 16, 47, 48, 49, 51, 53, 55, 56, 65, 66, 69, 70, 71, 74, 75, 76, 77, 80, 81, 82, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 101 hydraulic fracturing spacing 85, 101 I immiscible injection 103 injection falloff test 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 33, 34, 35 injeksi tak bercampur 103, 104 injeksi tercampur 103, 104, 105, 107, 109 interfacial tension test 111, 112
O Optimisasi 7, 9, 12, 13, 15 Optimization 7, 8, 15, 16, 44 P Palmer and Mansoori model 23, 27 pendant drop 111, 112, 114 perekahan hidrolik 7, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 65, 66 persamaan keadaan 37, 38, 39, 40, 42, 44 Production Rate 17 Proppant 65, 66, 67, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 87, 88 R rasio perubahan permeabilitas 23, 25, 29, 30, 31, 32 ratio of permeability change 23 rekahan vertikal 7, 10 S shale gas 85, 86, 87, 88, 89, 90, 93, 94, 99, 101, 102 shear sonic 47, 48, 49, 51, 52, 55, 56 simulasi numerik 25, 37, 38, 39, 40, 42, 43 software 7, 8, 13, 15, 26, 28 stress-dependent permeability 23, 24, 25, 26, 27, 28, 32
T tegangan antar muka 111, 112, 113, 114, 115, 117 Tekanan tercampur minimum 37, 38, 44, 109, 111, 112 Torque 1, 5, 6 Torsi 1, 2, 4, 5 V vertical fract 8, 16 W Water Coning 17, 18, 20, 21
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI PEDOMAN PENULISAN ISI DAN KRITERIA UMUM Naskah makalah ilmiah (selanjutnya disebut ”Naskah”) untuk publikasi di Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (JTMGB) dapat berupa artikel hasil penelitian atau artikel ulas balik/tinjauan (review) tentang minyak dan gas bumi, baik sains maupun terapan. Naskah belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang diajukan pada majalah/jurnal lain. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang digunakan. Naskah harus selalu dilengkapi dengan Abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa Inggris. Naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan JTMGB akan dikembalikan ke penulis oleh redaksi untuk diperbaiki. FORMAT Umum. Seluruh bagian dari naskah termasuk judul abstrak, judul tabel dan gambar, catatan kaki, dan daftar acuan diketik satu setengah spasi pada electronic-file dan print-out dalam kertas HVS ukuran A4. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman gambar dan tabel. Hasil penelitian atau ulas balik/tinjauan ditulis minimum 5 halaman dan maksimum sebanyak 15 halaman, di luar gambar dan tabel. Selanjutnya susunan naskah dibuat sebagai berikut: Judul. Pada halaman judul tuliskan judul, nama setiap penulis, nama dan alamat institusi masing-masing penulis, dan catatan kaki, yang berisikan terhadap siapa korespondensi harus ditujukan termasuk nomor telepon dan faks serta alamat e-mail jika ada. Abstrak. Abstrak/abstract ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah tanpa harus memberikan keterangan terlalu terperinci dari setiap bab. Abstrak tulisan bahasa Indonesia paling banyak terdiri dari 250 kata, sedangkan tulisan dengan bahasa Inggris maksimal 200 kata. Kata kunci/keywords ditulis di bawah abstrak/abstract dan terdiri atas tiga hingga lima kata. Pendahuluan. Bab ini harus memberikan latar belakang yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami dan dapat mengevaluasi hasil yang dicapai dari penelitian yang dilaksanakan tanpa harus membaca sendiri publikasi-publikasi sebelumnya, yang berhubungan dengan topik yang bersangkutan. Permasalahan. Bab ini menjelaskan permasalahan yang akan dilakukan penelitian ataupun kajian. Metodologi. Berisi materi yang membahas metodologi yang dipergunakan dalam menyesaikan permasalahan melalui penelitan atau kajian. Hasil dan Analisis. Hanya berisi hasil-hasil penelitian baik yang disajikan dengan tulisan, tabel, maupun gambar. Hindarkan penggunaan grafik secara berlebihan bila dapat disajikan dengan tulisan secara singkat. Batasi penggunaan foto, sajikan yang benar-benar mewakili hasil penemuan. Beri nomor gambar dan tabel secara berurutan. Semua gambar dan tabel yang disajikan harus diacu dalam tulisan. Pembahasan atau Diskusi. Berisi interpretasi dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan. Kesimpulan dan Saran. Berisi kesimpulan dan saran dari isi yang dikandung dalam tulisan. Kesimpulan atau saran tidak boleh diberi penomoran. Ucapan Terima Kasih. Bila diperlukan dapat digunakan untuk menyebutkan sumber dana penelitian dan untuk memberikan penghargaan kepada beberapa institusi atau orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian dan atau penulisan laporan.
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI PEDOMAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA Acuan. Acuan ditulis dan disusun menurut abjad. Beberapa contoh penulisan sumber acuan: Jurnal Hurst, W., 1934. Unsteady Flow of Fluids in Oil Reservoirs. Physics (Jan. 1934) 5, 20. Buku Abramowitz, M and Stegun, I.A., 1972. Handbook of Mathematical Functions. Dover Publications, Inc., New York. Bab dalam Buku Costa, J.E., 1984. Physical geomorphology of debris flow. Di dalam: Costa, J.E. & Fleischer, P.J. (eds), Developments and Applications of Geomorphology, Springer-Verlag, Berlin, h.268-317. Abstrak Barberi, F., Bigioggero, B., Boriani, A., Cavallini, A., Cioni, R., Eva, C., Gelmini, R., Giorgetti, F., Iaccarino, S., Innocenti, F., Marinelli, G., Scotti, A., Slejko, D., Sudradjat, A., dan Villa, A., 1983. Magmatic evolution and structural meaning of the island of Sumbawa, Indonesia-Tambora volcano, island of Sumbawa, Indonesia. Abstract 18th IUGG I, Symposium 01, h.48-49. Peta Simandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo, Sumatera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Prosiding Marhaendrajana, T. and Blasingame, T.A., 1997. Rigorous and Semi-Rigorous Approaches for the Evaluation of Average Reservoir Pressure from Pressure Transient Tests. paper SPE 38725 presented at the SPE Annual Technical Conference and Exhibition, San Antonio, Oct. 5–8. Skripsi/Tesis/Disertasi Marhaendrajana, T., 2000. Modeling and Analysis of Flow Behavior in Single and Multiwell Bound ed Reservoir. PhD dissertation, Texas A&M University, College Station, TX. Informasi dari Internet Cantrell, C., 2006. Sri Lankan’s tsunami drive blossom: Local man’s effort keeps on giving. Http:// www.boston.com/news/local/articles/2006/01/26/sri_lankans_tsunami_drive_blossoms/[26 Jan 2006] Software ECLIPSE 100 (software), GeoQuest Reservoir Technologies, Abbingdon, UK, 1997. Naskah sedapat mungkin dilengkapi dengan gambar/peta/grafik/foto. Pemuatan gambar/peta/grafik/foto selalu dinyatakan sebagai gambar dan file image yang bersangkutan agar dilampirkan secara terpisah dalam format image (*.jpg) dengan ukuran minimal A4 dan minimal resolusi 300 dpi, Corel Draw (*,cdr), atau Autocad (*,dwg). Gambar dan tabel diletakkan di bagian akhir naskah masing-masing pada halaman terpisah. Gambar dan tabel dari publikasi sebelumnya dapat dicantumkan bila mendapat persetujuan dari penulisnya. PENGIRIMAN Penulis diminta mengirimkan satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya (file) di dalam compact disk (CD) yang harus disiapkan dengan program Microsoft Word. Pada CD dituliskan nama penulis dan nama dokumen. Naskah akan dikembalikan untuk diperbaiki jika persyaratan ini tidak dipenuhi. Naskah agar dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi d.a. Patra Office Tower Lt. 1 Ruang 1C Jln. Jend. Gatot Subroto Kav. 32-34 Jakarta 12950 – Indonesia Pengiriman naskah harus disertai dengan surat resmi dari penulis penanggung jawab/korespondensi (corresponding author) yang harus berisikan dengan jelas nama penulis korespondensi, alamat lengkap untuk surat-menyurat, nomor telepon dan faks, serta alamat e-mail dan telepon genggam jika memiliki. Penulis korespondensi bertanggung jawab atas isi naskah dan legalitas pengiriman naskah yang bersangkutan. Naskah juga sudah harus diketahui dan disetujui oleh salah satu penulis dan atau seluruh anggota penulis dengan pernyataan secara tertulis.
ISSN 021664101-2 ISSN 0216-6410
9
7 7 0 2 1 6
6 4 1 0 1 4