Minyak & Gas Bumi Kemampuan Cairan Rumen dalam Menghasilkan Gas Metana Batubara pada Sumur Coal Bed Methane (CBM) dan Batubara Mutu Rendah Kosasih, Dewi Susan Brataningtyas, Dahrul Effendi, dan Byan Muslim Pratama Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
[email protected],
[email protected] SARI Meningkatnya kebutuhan energi dan menipisnya cadangan energi, menyebabkan perlu dicari nya sumber energi alternatif. Salah satunya peningkatan produksi gas metana pada Coal Bed Methane (CBM) dan merekayasa batubara mutu rendah menjadi sumber gas metana. Hal tersebut dapat dicapai di antaranya dengan menambahkan cairan rumen yang mengandung mikroba penghasil gas metana (metanogen) pada batubara. Mikroba metanogen berfungsi mendegradasi batubara menjadi gas metana. Cairan rumen dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produksi gas metana pada sumur CBM yang telah mengalami decline serta pada batubara mutu rendah (lignit). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan penambahan sumber mikroba dari cairan rumen terhadap batubara pada kondisi reservoir CBM dan batubara mutu rendah kemudian diukur volume gas metana yang dihasilkan. Parameter yang diuji adalah temperatur, tekanan, salinitas, volume, dan komposisi cairan rumen. Berdasarkan hasil pengukuran didapat kan volume gas metana dari degradasi batubara dengan cairan rumen pada kondisi reservoir CBM dengan jenis batubara sub bituminus selama 75 hari adalah 256 cf/ton dan terus meningkat sejalan dengan waktu inkubasi. Sedangkan pada batubara lignit dengan kondisi permukaan (suhu ruang dan tekanan 1 atm) menghasilkan 57,35 cf/ton gas metana selama 60 hari, dan terus meningkat sejalan dengan waktu inkubasi. Mikroba cairan rumen mampu mendegradasi 21 – 37 kg/ton/bulan batubara. Kata kunci: Coal Bed Methane (CBM), cairan rumen, mikroba metanogen, lignit
1. PENDAHULUAN Saat ini, harga minyak dan gas bumi (migas) terus menurun akibat kelimpahannya yang tinggi. Salah satu faktor penyebabnya adalah produksi migas non-konvensional yang telah berhasil dilakukan di Amerika Serikat. Hal itu berbeda dengan di Indonesia yang cadangan energi dalam negerinya terus menipis, sedangkan kebutuhan energinya terus meningkat. Penurunan cadangan energi ini, salah satunya disebabkan oleh cadangan migas konvensio nal yang selama ini menjadi andalan terus menurun dan belum dimanfaatkannya potensi migas non-konvensional yang terdapat di In-
60
donesia. Tidak dapat terpenuhinya kebutuhan energi dalam negeri tersebut menyebabkan impor migas di Indonesia terus meningkat. Selain itu, rendahnya harga migas menyebabkan industri migas kurang berdenyut. Di Indonesia, terdapat cadangan terbukti mi nyak bumi sebesar 3,6 miliar barel, gas bumi sebesar 100,3 TCF, dan cadangan batubara sebesar 31,35 miliar ton. Bila diasumsikan tidak ada penemuan cadangan baru maka minyak bumi akan habis dalam 13 tahun, gas bumi 34 tahun dan batubara 72 tahun (BPPT, 2015). Apabila tidak menemukan cadangan baru yang cukup besar, impor minyak diperkirakan akan
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Minyak & Gas Bumi meningkat lebih dari 8 kali lipat dari 113 juta barel pada tahun 2013 menjadi 953 juta barel pada tahun 2050. Kebutuhan gas bumi dalam negeri meningkat dari 1,577 BCF pada tahun 2013 menjadi 2,596 BCF pada tahun 2025 dan menjadi 7,497 BCF pada tahun 2050. Impor gas akan mencapai 66% dari total kebutuhan gas pada tahun 2050 (BPPT, 2015). Oleh karena itu, perlu dipersiapkan upaya untuk mengatasi ke tergantungan impor migas tersebut. Berbeda dengan batubara, pada tahun 2013, produksi batubara Indonesia mencapai 424 juta ton dan diperkirakan akan meningkat menjadi 545 juta ton pada 2025, dan menjadi 1.220 juta ton pada 2050. Saat ini hampir 78% dari produksi batubara digunakan untuk ekspor dan sisanya sebesar 22% untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (BPPT, 2015). Pemanfaatan utama batubara di Indonesia adalah sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan sektor industri. Berdasarkan permasalahan energi tersebut, maka perlu dicari sumber energi alternatif agar Indonesia dapat mencapai ketahanan energi dan memenuhi kebutuhan energinya tanpa bergantung pada impor migas. Selain itu, sumber energi alternatif baru diharapkan akan mampu membantu dalam mempersiapkan diri ketika harga migas dunia telah kembali stabil. Salah satu solusi untuk membantu mengatasi krisis energi tersebut adalah dengan meningkatkan produksi gas non-konvensional sumur Coal Bed Methane (CBM) serta pemanfaatan batubara mutu rendah (lignit) yang saat ini kurang bernilai. Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignit (kandungan kalori rendah) sebesar 59%, subbituminus (kandung an kalori sedang) sebesar 27%, dan bituminus mencapai 14%, sedangkan antrasit kurang dari 0,5%. Berdasarkan data dari Advances Resources International (ARI) pada tahun 2002 untuk prediksi potensi CBM di Indonesia adalah sebesar 453 Triliun Cubic Feef (TCF) yang tersebar di 11 cekungan dengan potensi terbesar ada di Sumatera Selatan 183 TCF, Barito 101,6 TCF
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
dan Kutai 80,4 TCF (BPMIGAS, 2011). Selain itu, potensi CBM Indonesia ± 41% dapat berasal dari batubara (ESDM, 2012). Mulai tahun 2016, gas dari CBM diharapkan sudah dapat diproduksi untuk menambah gas dalam negeri. Diharapkan, produksi CBM meningkat dari 0,9 BCF pada tahun 2016 menjadi 66,2 BCF pada tahun 2025 dan menjadi 203,5 BCF pada tahun 2050 (BPPT, 2015). Dengan tingginya cadangan batubara dan CBM tersebut, maka keduanya dapat menjadi sumber energi masa depan yang cukup menjanjikan apabila dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Untuk batubara yang memiliki nilai kalori tinggi seperti sub-bituminus dan bituminus telah ba nyak dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik dan industri, namun untuk batubara mutu rendah (lignit) belum banyak dimanfaatkan. Begitu pula dengan produksi gas metana pada sumur CBM, akan mengalami penurunan (de cline) ketika produksi telah maksimum, sehingga tidak dapat lagi memproduksi gas metana. Peningkatan produksi gas metana di sumur CBM dan pada batubara lignit dapat dilakukan dengan memanfaatkan cairan rumen. Di dalam cairan rumen terdapat mikroba metanogen yang dapat mendegradasi batubara menjadi gas metana. Selama ini, mikroba metanogen telah banyak dimanfaatkan untuk pembuatan biogas dari sisa sampah organik, namun belum pernah dimanfaatkan untuk produksi gas metana pada batubara maupun pada sumur CBM. Kelebihan dari penggunaan cairan rumen dalam produksi gas metana batubara yaitu dapat berjalan kontinu, metode yang digunakan cukup sederhana, dan tidak memerlukan biaya yang terlalu tinggi sehingga cocok untuk dikembangkan saat ini, ketika industri migas kurang menggeliat akibat harga yang rendah. Apabila potensi cairan rumen tersebut dapat dimaksimalkan untuk memproduksi gas metana batubara, maka akan sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan gas domestik. Selain itu, formulasi dari cairan rumen tersebut dapat menjadi nilai jual tersendiri.
61
Minyak & Gas Bumi 2. Apa itu Cairan Rumen? Cairan rumen adalah cairan mengandung mikroba yang berasal dari rumen, salah satu bagian lambung ternak ruminansia (memamah biak) seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Rumen merupakan ruang fermentasi bagi populasi mikroba yang hidup dan berperan dalam proses pencernaan pakan ternak. Degradasi semua pakan secara biokimia hampir seluruhnya dilakukan oleh mikroba rumen. Di dalam rumen tersebut terjadi proses fermentasi oleh mikroorganisme (bakteri, protozoa, fungi). Cairan rumen dari sapi masih me ngandung bahan organik yang tinggi (Manendar, 2010) dan merupakan makanan yang belum dicerna secara sempurna pada lambung pertama ruminansia dan mengandung saliva, mikroba anaerob, selulosa, hemiselulosa, protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin (Van Soest, 1982). Salah satu mikroba yang terdapat pada cairan rumen adalah mikroba metanogen yang bersifat anaerob. Mikroba metanogen pada cairan rumen merupakan mikroba yang berperan dalam memproduksi gas metana pada saat degradasi pakan ternak. Lambung sapi me rupakan tempat yang cocok bagi perkembang an mikroba metanogen sehingga gas metana dalam konsentrasi tertentu dapat dihasilkan di dalam lambung sapi tersebut. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan cairan rumen dalam menghasilkan gas metan, idealnya perlu dikondisikan lingkungan yang sesuai untuk mikroba metanogen tersebut. Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) rumen antara 6,0 sampai 6,8. Pembentukan gas metana terjadi saat nilai pH berada pada rentang pH netral, yakni 6,8 sampai 7,2 (Eckenfelder, 2000). Nilai pH merupakan salah satu faktor lingkungan yang berperan penting dalam aktivitas mikroba dalam proses anaerobik. Sifat mikroba metanogen adalah anaerob obligat, yang mana pertumbuhannya akan terhambat oleh adanya oksigen. Selain itu, materi pereduksi, seperti nitrit atau nitrat, juga dapat menghambat bakteri metanogen (Campbell, 1983).
62
Temperatur rumen bervariasi tergantung panas tubuh ruminansia. Suhu rumen cocok untuk pertumbuhan bakteri berkisar 36 – 42°C. Mikroba dalam rumen hidup pada kondisi anerobik pada temperatur 39-40°C. Populasi mikroba dalam cairan rumen sangat padat6 yaitu mengandung sekitar 1010 bakteri/ml, 10 protozoa/ml dan 103 fungi/ml (Rode, 2000). Mikroba rumen diklasifikasikan berdasarkan substrat utama yang digunakan, karena sulit mengklasifikasikan berdasarkan morfologi nya. Salah satunya mikroba metanogen yang memanfaatkan substrat asam organik menjadi gas metana dan CO2. Jenis mikroba metanogen yang terdapat pada cairan rumen adalah Methanobacterium formicicum, Methano brevi bacterruminantium, Methanomicrobium, Methanosarcina, Methanobrevibacter rumi nantiu, dan Methanomicrobium mobile pada cairan rumen sapi (Kang et al, 2015 ; Hungate, 1966). 3. Proses Metanogenesis Proses metanogenesis adalah pembentukan gas metana dengan memanfaatkan mikroba metanogen. Batubara memiliki komposisi kimia yang hampir sama dengan tumbuhan karena batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan tertumpuk pada kondisi di bawah permukaan air yang tenang. Keduanya mempunyai unsur organik seperti karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur (Jordening, 2005). Unsur organik pada batubara tersebut dapat didegradasi oleh mikroba, salah satunya mikroba metanogen menghasilkan gas metana (Strapoc et al, 2008) (Gambar 1). Gas metana yang terbentuk dalam proses biodegradasi batubara merupakan hasil fermen tasi secara anaerobik yaitu proses perombakan suatu bahan menjadi bahan lain dengan bantuan mikroba dalam keadaan tidak berhubung an langsung dengan udara bebas (anaerob). Tahapan untuk terbentuknya gas metana dari batubara terdiri atas 3 tahap yaitu tahap hidrolisis, pengasaman, dan pembentukan gas CH4 (Firdaus, 2007). Tahap hidrolisis adalah pemecahan senyawa rantai panjang menjadi
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Minyak & Gas Bumi
Gambar 1. Degradasi Batubara oleh Mikroba (Strapoc et al, 2008)
senyawa rantai lebih pendek dengan memanfaatkan peran dari mikroba pencerna selulosa, hemiselulosa, pati, gula, protein, asam dan li pid. Salah satu contohnya memecahkan polisakarida menjadi monosakrida dan protein menjadi asam amino. Tahap pengasaman bertujuan untuk memecah senyawa rantai pendek pada tahap hidrolisis menjadi asam-asam lemak volatil (Volatile Fat ty Acid, VFA) (Firdaus, 2007). Terakhir adalah tahap pembentukan gas metana (metanoge nesis) dengan memanfaatkan asam organik yang terbentuk dari proses asidifikasi. Mikroba ini akan membentuk gas CH4 dan CO2 dari gas H2 (Nijaguna, 2002). Substratnya yang berupa asam organik didekomposisi oleh mikroba metanogen menghasilkan metana dalam kondisi anaerob melalui dua jalan, yaitu pertama jalan fermentasi asam asetat menjadi metana dan CO2. Kedua melalui reduksi CO2 menjadi metana dengan menggunakan gas hidrogen atau asam format yang diproduksi oleh mikroba lain (Campbell, 1983).
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
4. Produksi Gas Metana pada Sumur CBM dengan Cairan Rumen Produksi Coal Bed Methane (CBM) dilakukan dengan memproduksikan air (dewatering) terlebih dahulu agar terjadi perubahan kesetimbangan tekanan sehingga gas metana yang terdapat dalam reservoir dan dalam matriks batubara dapat diproduksi. Produksi gas me tana akan mengalami decline setelah mencapai produksi maksimum dan perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan dan mengaktifkan kembali produksi gas metana pada sumur CBM tersebut. Setiap sumur CBM memiliki karakteristik yang berbeda, seperti temperatur, tekanan, sali nitas, dan pH. Karakteristik sumur CBM akan berkaitan dengan kemampuan mikroba cairan rumen untuk bertahan hidup dan menghasilkan gas metana batubara. Oleh karena itu, perlu diperhatikan kondisi sumur CBM yang sesuai dengan lingkungan mikroba cairan rumen agar dapat menghasilkan gas metana
63
Minyak & Gas Bumi secara maksimal. Secara singkat, pengaruh temperatur, tekanan, salinitas, dan pH terhadap kemampuan mikroba pada cairan rumen dalam menghasilkan gas metana, dijabarkan sebagai berikut: 4.1 Pengaruh Temperatur Terhadap Produksi Gas Metana Batubara Produksi gas metana batubara oleh mikroba cairan rumen pada temperatur 30-60°C meng alami peningkatan dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa degradasi batubara oleh cairan rumen dapat berjalan hingga temperatur 60°C, dan diprediksi dapat tetap berjalan pada temperatur lebih tinggi. Temperatur optimum untuk mikroba metanogen adalah 30-35oC (Yani dan Darwis, 1990). Mikroba metanogen dibagi menjadi 2 jenis tergantung ketahanan terhadap temperatur yaitu mesofilik pada 35°C dan termofilik pada 55°C (Zehnder dan Wuhrman 1976). Pengujian yang dilakukan terhadap 3 jenis batubara (lignit, sub-bituminus, dan bituminus) menunjukkan bahwa batubara jenis sub-bitu-
minus menghasilkan gas metana paling tinggi dibandingkan jenis batubara lainnya dengan semakin tingginya temperatur (Tabel 1). CBM Indonesia didominasi oleh batubara jenis sub-bituminus sehingga berdasarkan penelitian ini, cairan rumen memiliki potensi yang sangat besar apabila diterapkan di sumur CBM Indonesia. 4.2 Pengaruh Tekanan Terhadap Produksi Gas Metana Batubara Tekanan merupakan salah satu parameter penting selain temperatur. Reservoir CBM memiliki tekanan yang bervariasi tergantung tingkat kedalamannya. Pertumbuhan dan efektivitas mikroba pada cairan rumen dipengaruhi oleh tekanan. Tekanan yang diberikan 0, 200, dan 400 psi pada temperatur 60 oC (Tabel 2). Tekanan memiliki dampak yang cukup signi fikan terhadap produksi gas metana. Semakin tinggi tekanan yang diberikan menghasilkan gas metana yang semakin rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa mikroba pada cairan rumen tidak dapat bekerja dengan efektif ketika diberikan tekanan (Gambar 2). Namun
Tabel 1. Volume Gas Total dan Gas Metana pada Temperatur 30-60°C
No 1 2 3
Jenis Batubara
Hari
Lignit Sub-bituminus Bituminus
105 105 105
Volume Gas Total Volume Gas Metana (mL/Kg) (mL/Kg) 30 °C 50 °C 60 °C 30 °C 50 °C 60 °C 37030,00 12935,00 28.82 13.73 7470,00 15930,00 7744,00 445,00 1049.33 4200.47 7700,00 9730,00 852.83 97.77 -
Tabel 2. Produksi Volume Gas Total dan Gas Metana pada sub-bituminus, temperatur 60°C, tekanan 0-400 Psi
Jenis Batubara Sub-bituminus Kontrol Jenis Batubara Sub-bituminus Kontrol
64
Hari 112 112 Hari 112 112
Volume Gas Total (mL/Kg) 0 psi 200 psi 400 psi 8906,00 8646,00 8518,00 6970,00 6421,00 6195,00 Volume Gas Total (cf/ton) 0 psi 200 psi 400 psi 314,00 305,33 301,00 246,00 226,76 219,00
Volume Gas Metana (mL/Kg) 0 psi 200 psi 400 psi 5196,00 2584,00 2563,00 4368,00 2221,00 1301,00 Volume Gas Metana (cf/ton) 200 psi 400 psi 0 psi 183.48 91.26 90.52 154.27 78,43 45.93
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Minyak & Gas Bumi
Gambar 2. Produksi Volume Gas Total dan Gas Metana pada sub-bituminus, temperatur 60°C, tekanan 0-400 Psi
demikian, gas metana tetap dihasilkan pada tekanan yang tinggi dan gas metana yang dihasilkan terus bertambah dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa cairan rumen tetap dapat diaplikasikan pada sumur CBM dengan tekanan tinggi.
Gambar 3. Produksi Volume Gas Metana pada variasi salinitas, sub-bituminus, temperatur 60°C, tekanan 400 Psi
4.3 Pengaruh Salinitas Terhadap Produksi Gas Metana Salinitas berperan penting dalam menentukan optimasi kerja dari mikroba pada cairan rumen dalam memproduksi gas metana batubara. Setiap reservoir CBM memiliki salinitas yang berbeda-beda. Nilai salinitas untuk air tawar 2,45 ppt, salinitas air payau 21,23 ppt dan salinitas air laut 33,17 ppt. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi salinitas, dapat meningkatkan produksi gas metana (Gambar 3). Perlakuan pada sam-
Tabel 3. Volume gas metana kumulatif pada variasi salinitas air, sub-bituminus, temperatur 60°C, tekanan 400 psi
No
Jenis Air
Hari
1 2 3 4 5 6
Air Tawar Air Payau Air Asin Kontrol Air Tawar Kontrol Air Payau Kontrol Air Laut
75 75 75 75 75 75
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Volume Gas Metana (mL/Kg) 4557,24 5837,01 7990,78 2216,19 4338,74 4401,17
Volume Gas Metana (cf/ton) 146,00 187,00 256,00 71,00 139,00 141,00
65
Minyak & Gas Bumi pel yang mengandung air laut mampu menghasilkan gas metana lebih tinggi dibandingkan dengan air payau dan air tawar (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan bahwa sumber mikroba dari cairan rumen memiliki ketahanan terhadap salinitas tinggi. Jenis-jenis bakteri penghasil gas metana, umumnya tahan terhadap salinitas tinggi sampai dengan 50 ppt (Riffat dan Krongthamchat, 2006).
bulkan penurunan pH dan berpotensi menghambat pertumbuhan mikroba. Batubara yang mempunyai nilai sulfur tinggi akan lebih bersifat asam. Batubara yang tercampur dalam media akan melepaskan sulfur anorganik serta senyawa asam-asam organik seperti humat dan fulvat, sehingga pH menjadi lebih asam. Tabel 4 memperlihatkan nilai pH pada setiap perlakuan sampel.
4.4 Pengaruh Keasaman (pH) terhadap Produksi Gas Metana Batubara Mikroba penghasil metana sensitif terhadap perubahan pH. Nilai pH optimum dalam mikroba berkisar 7,0-7,2. Apabila terjadi perubahan pH yang ekstrim, maka aktivitas mikroba metanogen akan menurun. Pada awal penguraian akan terjadi penurunan pH akibat terbentuknya asam asetat dan hidrogen sehingga menim-
Nilai pH selama masa inkubasi berkisar 6,17,7. Nilai pH tersebut sesuai dengan pH optimal dari mikroba metanogen. Mikroba dalam rumen hidup pada pH 6,0 - 6,8 (Blakely dan Bade, 1998). Perubahan pH menunjukkan bahwa mikroba metanogen dapat mendegradasi batubara dan memproduksi asam-asam volatil dan organik dalam jumlah yang lebih tinggi. Asam-asam volatil (VFA) yang terben-
Tabel 4. Hasil Pengukuran pH sub-bituminus pada temperatur 30-60°C No
Jenis Batubara
1 2 3 4 5 6
Sub-Bituminus 30°C Sub-Bituminus 50°C Sub-Bituminus 60° C Kontrol 30° C Kontrol 50°C Kontrol 60°C
1 6,20 6,30
6.81 6.49 6.49
6.81
7 6,10 6,21 NA 6.11 6.8 NA
14 6,14 6,27
6.71 6.16 7.7
7.28
21 6,28 6,38 NA 6.30 6.9 NA
Hari ke28 38 6,35 6,40 6,44 6,54 NA 6.61 7.46 7.57 6.83 6.66 NA 6.59
48 6,48 6,67 NA 7.67 6.58 NA
54 6,51 6,73 6,79 7.68 6.65
60 6,53 6,74 6,94 7.69 6.7
7.5
7.6
Gambar 4. Hasil Pengukuran pH sub-bituminus pada temperatur 30-60°C
66
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Minyak & Gas Bumi tuk seperti asam asetat, propionat dan butirat. Biodegradasi batubara juga menyebabkan terjadinya desulfurisasi yaitu pelarutan sulfur ke dalam media cair dalam bentuk ion sulfat (SO42-) sehingga terbentuk asam sulfat dan menciptakan kondisi asam. Selain itu pada tahap metagenesis, asam-asam organik diuraikan menjadi metana dan karbondioksida, kemungkinan terbentuknya amonia (NH3) yang meningkatkan pH larutan (Kresnawaty, 2008). Peningkatan pH terjadi karena dihasilkannya senyawa amonia dari hasil degradasi piridin pada batubara. Amonia dihasilkan karena terbukanya cincin piridin menjadi pentanol (Du et al, 2010). Berdasarkan hasil tersebut di atas, gas metana dapat dihasilkan dari hasil perekayasaan batubara yang diberikan mikroba cairan rumen. Oleh sebab itu, mikroba cairan rumen dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas sumur CBM yang telah mengalami decline atau sudah tidak berproduksi lagi. Volume gas metana dari degradasi batubara dengan cairan rumen selama 75 hari inkubasi adalah 256 cf/ ton. Hasil tersebut akan terus bertambah de ngan semakin lamanya waktu inkubasi, dan akan berhenti memproduksi ketika substrat mikroba yang berupa batubara habis terdegra-
dasi. Mikroba akan terus bertahan hidup dan bekerja selama masih terdapat batubara. Berdasarkan perhitungan, mikroba akan mendegradasi 21 – 37 kg/ton/bulan. 5. Produksi Gas Metana pada Batubara Mutu Rendah Selain berpotensi dalam meningkatkan produksi gas metana pada sumur CBM, mikroba pada cairan rumen dapat memproduksi gas metana dari batubara. Pada penelitian yang telah dilakukan, difokuskan terhadap batubara mutu rendah (lignit) yang saat ini belum ba nyak dimanfaatkan. Gas metana yang dihasilkan dari campuran batubara lignit dan cairan rumen akan menjadi alternatif energi baru dan menambah pasokan energi di Indonesia. Secara singkat, proses pembuatan gas metana dari batubara dilakukan dengan penambahan cairan rumen pada komposisi tertentu terhadap batubara dan air ke dalam sebuah fermentor dengan kondisi ruang (Gambar 5). Persyaratan penting dalam desain fermentor gas metana harus berada pada kondisi bebas udara atau oksigen karena mikroba metanogen bekerja pada kondisi anaerob. Kontrol
Gambar 5. Mini Plan Produksi Gas Metana Menggunakan Cairan Rumen
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
67
Minyak & Gas Bumi Tabel 5. Pengaruh Ukuran Batubara terhadap Produksi Gas Total dan Gas Metana
Jenis Batubara
Ukuran
Lignit Lignit
Kerakal 60 mesh
Vol Gas (ml/kg) 22950 28330
terhadap fermentor dilakukan melalui deteksi produksi gas selama masa produksi. Potensi produksi gas metana pada batubara mutu rendah dengan memanfaatkan cairan rumen sangat dipengaruhi oleh ukuran dan perban dingan konsentrasi cairan rumen dan batubara yang digunakan. Kontrol pH tetap dilakukan. Hasil pengujian dijabarkan sebagai berikut: 5.1 Pengaruh Ukuran terhadap Produksi Gas Metana Batubara Ukuran batubara memiliki peranan yang pen ting dalam membantu mikroba cairan rumen dalam menghasilkan gas metana. Pengujian yang dilakukan terhadap batubara ukuran kerakal dan bubuk (60 mesh) selama 60 hari disajikan pada Tabel 5.
Vol Gas (cf/ton) 810 647
Vol Gas metana (ml/kg) 21,00 1624
Vol Gas Metana (cf/ton) 0,74 57.35
Berdasarkan Tabel 5, tampak bahwa ukuran batubara memiliki peranan yang penting dalam efektivitas produksi gas metana. Semakin halus ukuran batubara, maka gas metana yang dihasilkan akan semakin besar (Gambar 6). Hal tersebut mengindikasikan bahwa mikroba pada cairan rumen akan bekerja lebih baik pada batubara yang memiliki luas permukaan lebih besar. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan gas metana yang tinggi, akan lebih baik jika dilakukan penggerusan batubara terlebih dahulu. Penggerusan batubara merupakan proses degradasi batubara secara mekanik, yang akan membantu mikroba dalam melakukan degradasi secara biologi (biodegradasi) menghasilkan gas metana.
Gambar 6. Pengaruh Ukuran Batubara terhadap Produksi Gas Total dan Gas Metana
68
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Minyak & Gas Bumi Tabel 6. Pengaruh Komposisi Batubara:Cairan Rumen:Air terhadap Produksi Gas Metana
Jenis Batubara Lignit (kerakal) Lignit (kerakal)
Komposisi (Batubara:Cairan Vol Gas (ml/kg) Rumen: Air) 1:2:1 1:1:1
37030 22950
5.2. Komposisi cairan rumen Jumlah cairan rumen yang ditambahkan ke dalam batubara memiliki peranan yang sa ngat penting. Semakin besar jumlah cairan rumen yang ditambahkan ke dalam batubara, akan menghasilkan gas metana yang semakin besar karena semakin banyak mikroba yang bekerja untuk mendegradasi batubara menjadi gas metana. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 Walaupun semakin besar jumlah cairan rumen yang ditambahkan akan menghasilkan gas metana yang semakin besar, tetapi tetap harus diperhatikan efisiensi jumlah cairan rumen yang digunakan, agar jumlah mikroba yang ditambahkan tidak berlebihan. Berdasarkan gas metana yang dihasilkan oleh batubara mutu rendah dengan memanfaatkan cairan rumen terhadap parameter ukuran dan komposisi cairan rumen, maka semakin halus ukuran batubara dan semakin tinggi komposisi cairan rumen akan menghasilkan gas metana yang semakin besar. Dari keseluruhan peng ujian, dapat dikatakan bahwa potensi cairan rumen dalam mendegradasi batubara mutu rendah menjadi gas metana sangat besar serta layak untuk dilakukan dalam skala besar. Gas metana yang dihasilkan oleh batubara mutu rendah dengan ukuran 60 mesh serta perbandingan batubara:cairan rumen:air (1:2:1) adalah sebesar 57.35 scf/ton pada hari ke-60. Hasil tersebut akan terus bertambah dengan semakin lamanya waktu inkubasi, dan akan berhenti memproduksi ketika substrat
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Vol Gas (scf/ton)
Vol Gas metana (ml/kg)
Vol Gas Metana (cf/ton)
1308 810
29,00 21,00
1,02 0,74
mikroba yang berupa batubara habis terdegradasi. Mikroba akan terus bertahan hidup dan bekerja selama masih terdapat batubara. Berdasarkan perhitungan, mikroba akan mendegradasi 21 – 37 kg/ton/bulan. 6. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa mikroba metanogen pada cairan rumen berpotensi untuk memproduksi gas metana batubara pada reservoir CBM dan batubara mutu rendah (lignit). Volume gas metana yang dihasilkan dari degradasi batubara pada kondisi reservoir CBM dengan batubara sub-bituminus menggunakan cairan rumen selama 75 hari inkubasi adalah sebesar 256 cf/ton. Sedangkan pada batubara lignit dalam kondisi permukaan (suhu ruang dan tekanan 1 atm) menghasilkan 57.35 cf/ton gas metana selama 60 hari. Produksi gas metana terus meningkat selama waktu inkubasi sampai substrat batubaranya habis. Mikroba cairan rumen mampu mendegradasi batubara 21 – 37 kg/ ton/bulan . UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PPPTMGB “LEMIGAS”, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang telah memberi kan dukungan secara finansial. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan di laboratorium CBM, PPPTMGB “LEMIGAS”, yang telah membantu dalam penelitian ini.
69
Minyak & Gas Bumi DAFTAR PUSTAKA BPPT. 2015. Outlook Energi Indonesia 2015. Badan Pengkajian dan Penerapan Tek nologi. Jakarta. BPMigas. 2011. Buletin BPMigas ke-67: Mewujudkan Listrik dari CBM. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas. Jakarta. Campbell, J. 1983. Biomass Catalysts And Li quid Fuals. Holt Rainheart And Winston Ltd. Pensylvania. Due, Lius, Caoz, Wangy. 2005. Ammonia Removal From Aqueous Solution Using Natural Chinese Clinoptilolite. Separation And Purification Technology 44. Page 229–234. Eckenfelder Jr W.W. 2000. Industrial Water Pollution Control. Mcgraw Hill Higher Edu cation. Boston Burr Ridge. ESDM. 2012. Hand Book Of Energy Dan Economic Statistics Of Indonesia 2011. http: www.esdm.go.id. Download pada 7 juli 2011. Firdaus, I.U. 2007. Keuntungan Biogas, Http// Biogen.Litbang.Deptan.Go.Id/Terbitan/ Prosiding200384-96susi.Pdf. 01-06-2009. Pukul 13.47. Hungate, R.E. 1966. The Rumen And Its Micro bes. Academic Press. New York. Jordening, H. J. 2005. Environmental Biotechnology Concepts And Application. In Wise, L. D. (Editor). Bioprocessing And Biotreatment Of Coal. Marcel Dekker Inc. New York. Kang. Y. M, Kim M. K, An J.M, Haque. A. Md, Cho. K. M. 2015. Metagenomics Of Un-Culturable Bacteria In Cow Rumen: Constructionof cel9E–xyn10A Fusion Gene By Site-Directed Mutagenesis. Journal of Molecular Catalysis B: Enzymatic. Elsevier. Page 29-38.
70
Kresnawaty, I., I. Susanti., Siswanto dan Tri. 2008. Optimisasi Produksi Biogas Dari Limbah Lateks Cair Pekat Dengan Penambahan Logam. Menara Perkebunan, Vol 76(1). Hal 23-35 Manendar. R. 2010. Kontak Terhadap Kualitas BOD, COD, Dan pH Efluen.Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pengolahan Limbah Cair Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dengan Metode Fotokalitik TiO2: Pengaruh Waktu Nijaguna, B. 2002, Biogas Technology. New Age International (P) Ltd. New Delhi, India. Rode, L.M. 2002. Maintaining A Healthy Rumen An Overview. Research Centre Agriculture And Agri-Food Canada. Lethbridge. Riffat, R. And Krongthamchat, K. 2006. “Speci fic Methanogenic Activity Of Halophilic And Mixed Cultures In Saline Wastewater.” International Journal Of Environmental Science And Technology, Vol. 2. Page 291-299. Sagahafi, A Dan Roberts, D. 2004. CSIRO Method of Determination of Gas Content of Coal By Using Fast Desorption Technique (Quick Crush Method). CSIRO Ener gy. Newcastle Australia. Strapoc. D, Flynn. P, Courtney. T, Irene. S, Jennifer. M, Julius S.L, Yu-Shih. L, Tobias F.E, Florence. S, Kai-Uwe. H, Maria. M And Arndt. S. 2008. Methanogenic Microbial Degradation of Organic Matter In Indiana Coal Beds. Methane-Producing Microbial Community In A Coal Bed Of The Illinois Basin: Journal Of Applied And Environmental Microbiology, Vol 74. Page 2424– 2432. Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology Of The Ruminant. 0 & B Books, Inc. Corvallis. Oregon. Page 374. Zehnder, A. J. 6. & Wuhrman, K. 1976. Titanium(II1) Citrate As A Non-Toxic, Oxidation-Reduction Buffering System For The Culture Of Obligate Anaerobes. Science 194, Vol 1. Page 165 M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016