TRANSKRIP DIALOG RADIO Judul: Dialog Kepemimpinan Nasional “Membangun Budaya Malu” Diselenggarakan atas kerjasama KHN dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Jakarta Tempat : Auditorium Binakarna Hotel Bidakara, Jakarta Selatan Hari/Tanggal : Selasa, 10 Juni 2014 Waktu : Pukul 13.00-15.00 WIB Narasumber : 1. Taufik Ismail(Budayawan) 2. Atmakusumah (Tokoh Pers Nasional ) 3. Romo Benny Susetyo(Tokoh Agama) 4. Rocky Gerung(Pengamat Politik) Keynote speaker : J.E.Sahetapy (Anggota KHN RI)
Host 1: Selamat siang Bapak dan Ibu, Kita berjumpa dalam Dialog Kepemimpinan Nasional yang dipersembahkan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Diskusi ini disiarkan oleh 50 radio jaringan KBR 68H, dari Aceh sampai Papua. Saya Dede Riani. Host 2 : Dan juga saya Rizal Wijaya. Host 1: Betul, kita menyapa pendengar yang ada di Aceh sampai Papua, dan tentunya juga kepada Bapak dan Ibu yang ada di ruangan Binakarna, Hotel Bidakara, untuk mengikuti Dialog Kepemimpinan Nasional, Membangun Budaya Malu. Nah, sebelum kita memulai dialog kepemimpinan Nasional, Membangun Budaya Malu, sekaligus peluncuran buku Ketua Komisi Hukum Nasional, Prof. Dr.J.E.Sahetapy.
Host 2 : Ya, sekali lagi, sekaligus peluncuran buku Ketua Komisi Hukum Nasional, Profesor Dr. J.E.Sahetapy. Kami Persilahkan keynote speaker, Ketua Komisi Hukum Nasional, Profesor Dr. J.E.Sahetapy untuk segera maju ke panggng memberikan pengantar diskusi pada siang hyari ini. Sekali lagi kepada Beliau, Bapak J.E.Sahetapy, kami persilahkan. Host 1: Profesor Dr. J.E.Sahetapy akan memberikan sambutan terkait dengan dialog kepemimpinan nasional, silahkan Profesor. J.E.Sahetapy : Para hadirin sekalian, yang saya hormati. Selamat siang, kepada saya dinerikan kesempatan untuk membicarakan tentang membumikan budaya malu. Saya sadar benar, bahwa tentu ada baik diantara hadirin maupun diantara anggota masyarakata Indonesia, ada yang tidak sepakat tentang permasalahan budaya malu ini. Oleh karena itu dalam rangka menyusun makalah ini, saya teringat kepada sebuah ucapan dalam bahasa Inggris, yang dikemukakan oleh kita tidak kenal orangnya, cukup disebut dengan anonyms, yaitu A way of seeing is a way of not seeing. Sudah lama sekali hati nurani saya seperti dikejar-kejar untuk menulis tentang budaya malu. Mengapa tentang budaya malu!? Jawabannya sederhana saja. Bukankah korupsi yang sedemikian jahat dan seolah-olah tidak mengenal batas, ruang dan waktu sudah begitu merajalela dewasa ini di segala aras kehidupan dan di semua lapisan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Fenomena ini berarti bahwa rasa bersalah dan rasa malu seolah-olah tidak dikenal lagi dalam hati nurani orangorang yang terlibat korupsi di Indonesia. Jika Wakil Proklamator RI, Dr. Moh. Hatta masih hidup, beliau akan mengatakan, nah benar kan: “Korupsi sudah membudaya!” Namun, hati nurani saya, terlepas dari adanya Undang-undang Korupsi, tidak setuju kalau dikatakan bahwa korupsi sudah membudaya meskipun ada ungkapan kolonial bahwa “de uitzonderingen bevestigen de regel”, Arti bebas: “selalu ada pengecualian”. Masih ada banyak (sekali) orang dari berbagai lapisan masyarakat yang tidak sepakat atau setuju bahwa korupsi sudah membudaya. Dari segi kriminologi dan viktimologi jelas tidak. Lalu saya teringat kepada tulisan Stanton Wheeler, seorang Guru Besar Amerika yang sangat terkenal, dalam perspektif prisonisasi, kehidupan di dalam penjara. Judul buku dan tahun saya lupa. Tetapi diceritakan bahwa di Norwegia, salah satu negara Skandinavia, penjara Botsfengslet di kota Oslo, bila pintu penjara dibuka, tidak ada narapidana yang melarikan diri. Sungguh mengherankan dan menakjubkan! Dalam konteks teori saya “Sobural”, yaitu akronim dari “skala nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat,
seharusnya permasalahan korupsi ini harus di kupas dan ditelaah dari perspektif budaya (malu). Hati nurani mereka di lapisan bawah masyarakat masih bersih dan mereka tidak setuju untuk melakukan korupsi, meskipun ada kesempatan untuk korupsi. Mengapa!? Karena korupsi berarti pembusukan (Belanda : Verotten). Dan pembusukan berarti bau busuk. Lagi pula Allah yang Rahmani dan Rahimi tidak berkenan terhadap korupsi, sebab korupsi adalah perbuatan jahat. Dalam ungkapan spiritual itu adalah dosa! Kalaupun ada tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh ilmuwan dan para pejabat tinggi yang sudah disumpah sekalipun melakukan korupsi, korupsi tetap haram dan dalam ungkapan spiritual tetap suatu dosa. Mendahului uraian selanjutnya, yang melakukan korupsi karena hati nuraninya sudah begitu tercemar sehingga tidak memiliki rasa bersalah dan malu, baik terhadap atasan dan sesama manusia maupun terhadap Allah Sang Pencipta! Korupsi sudah membungkam hati nuraninya sehingga ia bukan saja kehilangan rasa bersalah, tetapi juga sudah hilang rasa malunya. Betapa parah sekali perbuatan sedemikian. Bayangkan pembentuk undang-undang mengizinkan hakim memutus perkara: “ Demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa”, padahal putusan itu penuh dengan korupsi, tipu daya dan pemerasan. Seharusnya putusan pengadilan harus diucapkan: “ Demi Keadilan berdasarkan Pancasila”, karena Pancasila adalah “staatsfundamentaal norm” atau “ Weltanschauung”. Berkali-kali sudah saya kemukakan itu sejak di zama pemerintahan Jendral Soeharto.
Anda bisa saksikan bagaimana para koruptor yang “ditangkap” KPK itu meskipun perbuatan mereka belum mempunyai putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, mereka terus tersenyum seolah-olah mereka tidak berdosa dan atau bersalah, kecuali ada satu dua yang tidak. Bahkan dengan wajah tersenyum yang bersangkutan masih mengangkat dua ibu jarinya atau tersenyum seolah-olah berpesan jangan kuatir “saya tidak bersalah”. Meskipun Indonesia belum atau tidak memiliki “Shame Culture” dan atau “ Guilt Culture”, saya anggap, terlepas dari seharusnya ada sikap “praduga tak bersalah”, sikap yang demikian sulit dapat ditolerir/dibenarkan. Kalau Guit culture, contoh terakhir yang saya baca di majalah, salah satu pembantu dari Presiden Jerman, itu karena hanya terlibat dalam penulisan tesis dengan melakukan plagiat, langsung begitu terungkap mengundurkan diri. Di
Jepang, menteri karena minum terlalu banyak, menghadapi para wartawan dengan mata kemerahan dan rambut agak awut-awutan, bicara. Besok ditulis di koran, langsung mengundurkan diri. Di Indonesia, wah, sama sekali tidak. Biasanya orang menjawab, ya betapa susah sekali, dan tidak ada rasa malu atau bersalah di Republik kita ini. Dibawah ini secara “arbitrair” saya akan kutip sebagian kecil saja dari beritaberita yang mencerminkan bukan saja korupsi sudah merajalela, juga suatu keadaan “anomie” baik dalam pengertian harfiah normlessness, artinya tidak ada hukum lagi, dalam konteks penulisan istilah “anomie” oleh Durkheim (1952) maupun yang kemudian diambil alih oleh Merton (1957). Saya mau kutip, saya sebetulnya juga tidak tega untuk mengucap kalimat pertama ini dihadapan Ibu-ibu yang hadir disini. Tapi saya harus sebutkan, karena sudah terlalu! Siswi SMP di sekolah di Jakarta Pusat diperkosa, lalu direkam 6 teman sekolah di depan siswi-siswi lain (Jawa Pos, 18 Oktober 2013). Tidak ada komentar dari Menteri yang bersangkutan. Saya pikir, mungkin karena mulutnya penuh “sariawan”, sehingga dia tidak bisa komentar terhadap kasus ini. KPK tahan mantan pejabat Kemenag (Koran Sindo, 26 Oktober 2013). Digerebek KPK F. tanpa busana (Jawa Pos, 18 Mei 2013). 70 Persen pejabat Korup (Suara Pembaruan 08 Agustus 2012). Sudah 400 anak jadi korban pedofilia (Jawa Pos, 7 Mei 2014). 309 Kepala Daerah terjerat hukum (Media Indonesia 9 Oktober 2013). Anda percaya atau tidak percaya bahwa keputusan hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang? Ketika diselidiki, di Jakarta 83.8 % percaya ; 69.2 % di Jayapura percaya. (Kompas, 10 Oktober 2005). Habis korupsi data sekolah malah dapat posisi (Forum Keadilan 01 September 2013). 60.000 dosen tidak layak (Seputar Indonesia, 4 September 2008). Advokat bagian dari Mafia Peradilan (Forum Keadilan 01 November 2013). Transaksi miliaran pegawai Kementerian Pendidikan (Tempo, 13 Oktober 2013). Kondisi Korupsi Meningkat 72% (Koran Sindo). Plagiat marak di kalangan Dosen (Jawa Pos, 3 Oktober 2013). Produksi 1.600 Ijazah Palsu (Jawa Pos, 14 Juni 2012). Kiai mesum akhirnya dibekuk terbukti setubuhi dua santriwati dan cabuli lima korban. (Jawa Pos 20 Februari 2014). Nanti kalau makalah saya diperbanyak, disitu, Anda lihat kutipan-kutipan dengan merujuk kepada koran atau majalah yang bersangkutan. Saya sama sekali tidak sepakat dengan pendapat seorang mantan pejabat tinggi yang kini sedang naik daun bahwa “kejahatan korupsi itu virus”. Saya juga agak heran. Kalau virus, mengapa hanya para pejabat, orang-orang berduit, para
penegak hukum yang dihinggapi oleh virus itu. Mengapa rakyat kecil tidak kena virus itu!? Ada ungkapan kolonial “ hoe groter geest, hoe groter beest”, yang berarti “makin beradab makin biadab” dan selanjutnya bahwa “het begin van alle opvoeding is zelfopvoeding”, yang berarti bebas: “permulaan dari segala pendidikan ialah mendidik diri sendiri (terlebih dulu). Menurut saya, ini yang terpenting, mendidik diri sendiri terlebih dahulu, mulai dari RI1 sampai yang paling bawah. Saya lalu teringat pada pepatah di SD/SR di zaman federal bahwa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Mungkin sekarang sudah tidak begitu lagi. Guru kencing berdiri, murid kencing terbang, kira-kira begitu kalau saya nanti jadi guru Bahasa Indonesia. Dan masih banyak pepatah yang ditanam di Sekolah Dasar/Rakyat. Disamping itu ada pelajaran budi pekerti bukan pelajaran agama. Hadirin, di usia saya 82 tahun, saya mencari teman-teman saya pada waktu masih di Sekolah Rakyat. Saya kira sebagian besar sudah meninggal. Yang saya cari di tingkatan SMA 2 Surabaya, saya baru ketemu satu, tidak terlibat dalam korupsi. Kita tidak dapat pelajaran agama, Cuma daat pelajaran budi pekerti. Kalau begitu, mengapa sampai keadaan korupsi dewasa ini seperti kanker stadium 3!? Karena para pemimpin tidak beri contoh dan teladan, kecuali “politik pencitraan” yang munafik (maaf!!!). Agama sebagai “obat mujarab”, dirusak sendiri. Ada subkultur dari berbagai daerah yang pada hakekatnya kurang mendukung, tetapi masih dibutuhkan penelitian. Banyak guru besar atau banyak dosen yang mengajar hukum adat itu tidak mengetahui, bahwa Van Houven itu tidak pernah datang ke Indonesia, tapi dia bisa menulis berjilid-jilid buku, terutama tentang kondis hukum di Indonesia, hanya dari laporan para camat, bupati dari jaman Hindia Belanda. Dahulu tidak ada polisi yang jaga bahan ujian dan ikut campur dalam pelaksanaan. Malu harus ditanam dirumah oleh sang pendidik utama: ibu. Dan saya, pada saat menulis ini, merasa sangat berhutang budi, kagum terhadap Ibu saya yang mendidik dengan disiplin bersih. Saya tidak tulis di sini, tapi saya mau jelaskan ketika saya dari sat poulau kecil yang tidak kelihatan di peta, datang ke pulau Jawa hanya ada dua syarat yang diminta oleh Ibu saya, dan saya harus tunduk. Dia mengatakan, “Kalau kamu tidak berpegang pada janjimu, kamu akan lihat sikap saya. Yaitu 1. Tidak merokok. Jadi saya sampai tamat mahasiswa memang tidak merokok. Kedua, tidak boleh punya pacar. Jadi memang saya selama di SMA dan jadi mahasiswa tidak punya pacar. Di kemudian hari saya lihat-lihat yang dulu saya agak kagum ternyata semuanya sudah gemuk, tidak ada punya potongan lagi. Untung kata subkultur Jawa. Jadi, Malu harus ditanam dirumah oleh
sang pendidik utama: ibu. Oleh karena itu saya selalu bilang sama para murid saya, laki-laki. Kalau cari sang istri jangan cari yang cantik, apalagi seperti selebritis sekarang yang bisa dibeli dengan satu mobil. Jangan cari perempuan cantik! Lho? Kok bisa? Harus cari yang mana? Cari yang manis. Kalau dalam bahasa belanda, cantik dan manis itu ada bedanya. Orang kalau cantik itu beauty salon supaya tetap kelihatan cantik, kalau perlu dengan operasi. Tapi kalau orang manis, tidak perlu, akan tampak dari wajahnya dan dari tampilan hati nuraninya. Kata Mahatma Gandhi: I learnt from my illiterate but wise mother, that all rights to be deserved and preserved came from duty well done”. Kita semua tahu, siapa Mahatma Gandhi, Ibunya hanya seorang buta huruf. Di sekolah hal itu dilanjutkan dan di ”polish”. Seluruh sistem dan falsafah pendidikan kita harus “turun mesin” atau “di-overhaul”; jangan diverpolitisir untuk kepentingan oknum dan golongan tertentu, apalagi berdimensi sektarian. Tidak ada maksud untuk menciptakan suatu teori yang holistik. Masih dibutuhkan banyak penelitian namun langkah permulaan harus dimulai. Saya sadar bahwa mengubah kultur ke arah “shame culture “dan “ guilt culture” membutuhkan waktu dari generasi ke generasi dan itu tidak mudah. Pernah seorang Indian di Amerika Selatan mengatakan dalam konteks ini bahwa harus ditanam suatu “mimpi baru” (John Perkins, lupa tahun).Kita ini para pendidik harus menanam suatu mimpi baru. Ibu-ibu harus menanam kepad anaknya, suatu mimpi baru tentang kejujuran, tentang malu dan tentang rasa bersalah. Kalau Anda ragu-ragu terhadap ucapan ini, baca buku John Pherkins. Saya tidak heran, John Perkins sudah tulis itu semua tentang keadaan di Indonesia, kalau para pemimpin/pejabat tidak bisa dibeli dengan uang, beli saja atau berikan saja dia perempuan cantik, semua nanti beres. Saya lalu teringat kepada sekolah ibu saya, semacam Taman Siswa di zaman kolonial karena ibu saya tidak mau kerja sama dengan Belanda. Harga yang harus dibayar memang mahal. Tetapi disiplin dan etika yang ditanamkan dengan disiplin baja, baru sadarkan saya dewasa ini, Orang hidup bukan karena melihat dan mendengar saja, tetapi harus percaya. Kini kita harus mulai, sabar dan tabah. Pada dasarnya makalah saya ini hanya ingin merangsang agar kita semua berpikir bersama tentang hal bagaimana mulai “membumikan budaya malu”. Sebagai mantan pendidik, saya teringat kata-kata bijak: “A man's feet must be planted in his country, but his eyes should survey the world (Santayana)”. Saya heran, banyak orang di sini senang melihat ke Amerika, kenapa tidak melihat ke negara-negara Skandinavia, mereka makmur, hampir-hampir tidak ada kejahatan yang luarbinasa
seperti di Amerika Serikat. Kita harus banyak belajar dari negara-negara Skandinavia. Dan terhadap sesama pendidik saya selalu berpedoman pada: “Men kan niet onderwijzen wat men weet; men kan niet onderwijzen wat men wil; men kan alleen onderwijzen wat men is”, demikian Jean Jaures. (Orang tidak bisa mengajar apa saja yang dia tahu; orang tidak bisa mengajar apa saja yang dia mau; orang hanya bisa mengajar berdasarkan apa adanya dia). Inilah sebetulnya pekerjaan yang maha besar untuk Menteri Pendidikan yang akan datang. Sebagai mantan pendidik, saya betul-betul merasa prihatin terhadap generasi muda yang dewasa ini hidup dan tumbuh untk menjadi pemimpin atau bangsa kita yaitu bangsa saya sendiri. Terimakasih. Host 1 : Ya, terimakasih kepada Prof. Dr. J.E.Sahetapy yang telah memberikan pengantar diskusi Dialog Kepemimpinan Nasional, Membangun Budaya Malu. Kita juga akan sapa kembali, pendengar yang menyimak siaran ini melalui KBR dia 50 radio jaringan KBR dari Aceh sampai Papua dan juga Bapak dan Ibu yang ada di ruangan ini. Dan selanjutnya, diskusi akan dipandu oleh Moderator Vivi Zabkie. Tapi sebelum kita memulai, kita akan mendengarkan profil Prof. J.E.Sahetapy sekaligus pemutaran Flashnews terkait dengan rekomendasi yang dikeluarkan Komisi Hukum Nasional. Host 1: Ya, itu kita sudah mendengarkan profil Prof. J.E.Sahetapy. Kemudian kita akan jeda sejenak sebelum mulai yang akan dipandu Vivie Zabkie usia jeda berikut. Tetaplah bersama kami. Ya, kami persilahkan untuk para narasumber. Yang pertama adalah Budayawan sekaligus tokoh muslim, Bapak Taufiq Ismail. Dan juga untuk langsung menuju panggung, Ibu Vivi Zabkie silahkan menuju panggung selaku moderator. Host 2: Ya, ini yang akan memandu acara dialog siang hari ini. Dan Mba Vivie Zabkie ini adalah salah satu jurnalis senior KBR (Kantor Berita Radio) Host 1: Betul, selain jurnalis, penyiar, presenter senior di KBR dan juga TV Tempo. Kami persilahkan untuk narasumber untuk menuju kepanggung, Bapak Rocky Gerung, Bapak Romo Benny, Bapak Taufiq Ismail. Nanti juga akan hadir perwakilan dari KPK, Bapak Dedi Arrahim, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK. Dan juga satu lagi yang sangat penting, ini adalah tokoh pers nasional, Bapak Atmakusumah. Kami persilahkan, Bapak.
Host 2: Baiklah, dan kembali waktu kami persilahkan untuk Vivie Zabkie. Moderator: Terimakasih Dede dan Rizal, Hadirin selamat siang! Selamat datang di ruang Binakarna, Hotel Bidakara, tempat KBR dan juga KHN rutin menggelar diskusi. Dan, biasanya kami juga rutin menyelenggrakan diskusi di hari Rabu di Kantor Komisi Hukum Nasional. Terimakasih untuk Anda juga yang menyimak kami melalui 50 radio jaringan KBR, Anda bisa bergabung juga dalam diskusi ini. Baik, sebetulnya untuk diskusi selepan makan siang, tantangannya itu luar biasa ya. Karena biasanya habis makan ngantuk, plus tadi malam kita baru selesai melihat ee debat capres, jadi mungkin perbincangan sepanjang hari ini pasti agak sulit melepas perbincangan dari soal membahs skornya berapa tadi malam? 2-0? Ada yang bilang 1-0? Dan juga agak berat jadi moderator, karena rupanya setiap pendengar diskusi termask debat capres itu kritis-kritis. Moderatornya juga dikritik. Baik, hari ini saya juga akan mengajak Anda, hadirin dan juga para pendengar untuk berdiskusi mengenai budaya malu. Tadi kita sudah mendengar penmgantar yang sangat mendalam dari Profesor Dr. J.E.Sahetapy tentang budaya malu. Ada kekhawatiran yang luar biasa ya. Kita tentu tidak lupa melihat hasil pemilu legisltif lalu. Beberapa mungkin terkejut ketika orang-orang yang punya” masalah”, mendaat kritik luar bisa, ternyata dapat dengan mudah melenggang ke senayan karena terpilih. Misalnya saya dari Dapil Jawa Barat, ketika melihat nama Aceng Fikri, saya pikir gak mungkin kepilih dia, karena media sudah memberitakan bagaimana kritik terhadap apa yang sudah dia lakukan, dan kritik dari di tengah masyarakat yang ia pimpin, tapi nyatanya dia bisa terpilih menjadi anggota DPD dengan suara yang luar biasa banyak juga. Jadi sebetulnya kita ini, orangnya permisif sekali nampaknya. Orang sdah salah bisa melenggang dengan percaya diri tampil di depan publik. Bahkan tidak malu-malu, misalnya sudah jelas melakukan korupsi, untuk tetap tersenyum, melambaikan tangan. Bahkan ketika di sidang korupsinya pun sepertinya kita tidak melihat ada rasa malu, orang telah melakukan kesalahan. Ada aa dengan kita? Nah, saya akan berbincang dengan beberapa narasumber, tadi MC sudah mengenalkan . Saya sekali lagi ingin memperkenalkan mereka. Di seberang saya, ini adalah Pak Atmakusumah, seorang tokoh pers yang juga Ketua Dewan Pers Independen yang pertama dari Mei-Agustus 2003. Dalam perjalanannya, dia ini panutan kami, para jurnalis. Dia sudah kerja menjadi jurnalis, penyiar radio juga di ABC Melbourne. Dan juga pernah bekerja di radio Jerman. Disebelah saya, ada Pak Taufik Ismail. Pak Taufik Ismail adalah penerima anugerah seni RI yang menulis
“Malu aku jadi orang Indonesia”, tahun 1999. Pendiri majalah sastra Horizon dan juga Dewan Kesenian Jakarta. Dan, karya-karyanya sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, Arab, Inggris, Jepang, Jerman, Prancis dan sebagainya. Nah, satu lagi adalah Romo Benny Susetyo, Pastor dan juga aktivis penggerak “Manusia Merdeka” dan SETARA (Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan). Dan paling ujung adalah Mas Rocky Gerung, pengamat politik dari Universitas Indonesia. Mas Rocky ini lulusan Universitas Indonesia gelarnya Sarjana Sastra di UI dan kini mengajar di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Terimakasih. Saya ingin ke Mas Rocky Gerung dulu, lalu Ke Pak Taufik, dan mungkin semuanya. Tadi di pengantar saya sudah mengatakan, “Kita ini ada apa dengan kita? Mengapa kita bisa melihat koruptor bisa berjalan tegak tanpa rasa malu, padahal korupsi. Orang yang sudah sedemikian banyak masalahnya, yang sudah tersangka korupsi bisa dengan percaya diri mencalonkan diri kembali. Ada apa Mas Rocky? Rocky Gerung: Ada pembusukkan. Moderator: Sesuai judul bukunya Prof Sahetapy ya? Rocky Gerung: Iya memang itu yang terjadi. Saya suka dengan istilah “fermentasi”. Di dalam ilmu kimia, fermentasi itu sebetulnya bagus karena sel-nya bernafas tanpa oksigen. Jadi yang di produce energy, dalam fermentasi, energi yang di produksi. Tetapi ada bagian buruk dari fermentasi. Kalau Anda salah angkat barang, lalu tibatiba otot Anda kejang. Itu artinya asam laktat di produksi oleh proses fermentasi maka sakit. Jadi kelihatannya begitu, bangsa ini ada fermentasi tetapi karena salah latihan, akibatnya adalah kejang, eee..fraktur, gagal otot dst. Nah, otot bangsa ini sebetulnya yang sedang membusuk dan betul tadi yang diucapkan oleh Prof. Sahetapy, A way of seeing is a way of not seeing. Hal itu yang pararlel dengan apa yang saudara moderator terangkan tadi, soal terpilihnya seseorang yang secara moral caat, tetapi dia populer. Jadi sebetulnya a way of not seeing itu yang disuka oleh masyarakat. Dengan kata lain, saya mau katakan. a way of not seeing adalah hipokrasi. Hipokrasi itu penerintahan oleh kaum hipokrit yang kebanyakan asam laktat dalam pikirannya. Nah, itu yang menghasilkan semacam sinisme kita pada kehidupan. Jadi kala Anda secara cepat-cepat melihat para legislator kita dari udara, itu seperti saya melihat tbuh-tubuh tanpa kepala. Tampa kepala artinya tanpa ada desain public ethics dalam pikirannya. Kalau saya dengar Prof . Sahetapy di dalam forum yang namanya ILC itu kelihatan Prof. Sahetapy ini surplus ethics sekaligs
surplus IQ, jadi EQ dan IQ nya tumbuh bagus. Sehingga dalam pikiran saya, kalau seluruh IQ dan morals di forum yang dihadiri oleh para pejuang hukum itu, di forum talkshow itu ditukar tambah dengan IQ dan EQ dari Pak Sahetapy, masih ada kembaliannya ke Pak Sahetapy. Jadi itu memperlihatkan kalau kita sebetulnya mengalami defisit habis-habisan didalam integritas. Karena itu, kita masuk di dalam hipokrasi. Nah, kita tahu, yang terjadi sekarang adalah semacam paksaan untuk menerima satu sistem yang disebut demokrasi. Padahal yang sebenarnya kita hadapi bukan demokrasi tetapi semacam mayoritarianisme yang kehilangan akal sehat. Anda lihat misalnya pertarungan politik hari-hari ini, itu seperti perintah untuk kepung, serbu, kuasai, tikam, menang. Satu suasana homohominilupus di dalam masyarakat primitif, itu berebut daging kekuasaan. Saya tidak melihat ada satu pikiran yang menghasilkan debat bermutu untuk melihat visi Indonesia. Jadi dua kubu ini sebetulnya tidak bertarung untuk memberi tafsir visi Indonesia tapi bertarung untuk tidak sabar ingin mengendalikan kekuasaan. Jadi ini sebenarnya adalah politik tubuh, tadi, bukan politik akal. Nah, kita ada di dalam jebakan itu. Saya khawatir, kalau kita tidak punya semacam sebut saja prefora yang agak tinggi untuk menerangkan keadaan ini, kita akan masuk ke dalam jebakan kebusdayaan, yaitu kita akan menerima moral mayoritas, kita menerima paksaan myoritas dan akal kita diselundupkan di dalam moral itu. Anda lihat bagaimana begitu banyak kegembiraan menyaksikan suatu pertarungan politik di tv, tapi sebetulnya itu pertarungan politik yang dangkal. Dan karena kita tidak punya alternatif, yang dangkal pun dianggap sebagai substantif. Saya kira itu perkara kita hari ini. Terimakasih Moderator: Terimakasih mas Rocky Gerung, jadi kita masuk dalam jebakkan budaya ya, moral mayoritas yang jadi patokan, iya kalau yang mayoritas ini baik, ya kan? Pak Taufik, bagaimana Anda melihatnya? Apakah betul saat ini, masyarakat kita ada kecenderungan hipokrit lalu juga permisif terhadap hal yang sebetulnya sudah salah? Silahkan Pak. Taufik Ismail : Pertama-tama saya berterimakasih diundang. Saya mengucapkan selamat kepada Prof. Sahetapy untuk bukunya, fermentasi pembusukkan. Saya menjawab apa yang Anda tanyakan itu dengan puisi. Moderator: Ini yang kita suka dari Pak Taufik nih.
Taufik Ismail : Kembali pada apa yang disebutkan Pak Sahetapy dalam kata pengantar tadi, kita tidak daat mengabaikan pendidikan. Puisi saya judulnya “Mencari Sekolah yang mengajarkan Rasa Malu” Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A dia mengajukan permohonan “Pak Guru, tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya Kemudian, jawab kepala sekolah “Waaah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu,” “Loh, kenapa, pak?” “Begini, Bu, ketika murid-murid nyontek, guru-guru kami pura-pura tidak tahu,” “Ooooh…” Ibu itu pergi, membawa anaknya ke sekolah B dia menyebutkan permintaan yang serupa “Buu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya Kemudian, jawab ibu kepala sekolah “Waadduh, di sekolah kami tidak lagi diajarkan rasa malu,” “Loh, bagaimana toh itu maksudnya, Bu Kepala Sekolah?” “Begini, begini… Ketika UAN, ada guru ditugaskan diam-diam, kepada murid memberi jawaban ujian,” “ooooo…” Ibu yang gigih itu
ibu itu sangat gigih dia membawa anaknya ke sekolah C dia mengulang lagi permintaan itu juga “Pak, pak, pak, pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya Jawab kepala sekolah, “Yaaaah, kok nggak tau sih ibu ini? Di sekolah kami kan sudah lama sekali tidak diajarkan rasa malu,” “Loh, bagaimana itu penjelasannya Pak Kepala Sekolah?” “Walah, walaaah, sekolah kami sudah seratus persen lulusnya, dan itu harus dicapai dengan segala cara,” “Bagaimana itu caranya pak?” “dee ngaan see gaa laa caa rraa…” “ooooooooo…” 10 (sepuluh )”O”-nya itu.. *** Tiga Kali Potong Di Republik Rakyat Cina koruptor dipotong leher Di Arab Saudi koruptor dipotong tangan Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan *** Dua Kali Mundur Di Jepang, menteri merasa salah memang mundur Di Indonesia, menteri jelas salah pantang mundur
Maaf dengan pengecualian satu orang, tadi Pak Sahetapy menyebut mengenai masalah di keluarga tidak ada yang merokok, betul Pak ya? Saya bersama kawankawan yang sangat risau terhadap bahaya asap rokok ini, yang di dalamnya juga terlibat tidak ada rasa malu dari pihak produsennya. Bergerak tapi belum mendapatkan hasil. Saya akan membacakan sebuah puisi mengenai asap rokok, erat kaitannya dengan hilangnya budaya malu. Mari kita resapi makna angka perbandingan! Di dalam sehari 45 orang mati karena narkoba Di dalam sehari 62 orang mati kecelakaan lalu lintas Di dalam sehari 1100 orang mati karena asap rokok Setiap hari orang mati karena asap rokok di Indonesia 24 kali lebih besar ketimbang mati karrena narkoba Waaah..besar sekali! Lho! Tapi kok publik Cuma dipertakuti dengan bahaya narkoba, Apa sebabnya? Karena di sini iklan rokok paling bebas di dunia Dan iklan-iklan itu dusta besar semua Perusahaan rokok penindas petani tembakau kita Dunia olahraga kita ditipu dengan rupiah Ribuan juta dunia pendidikan dikelabui dengan beasiswa Dunia kesenian dikecoh dengan bantuan pementasan Dunia kesehatan diremuk 25 penyakit asap rokok Dengan kejahatan adiksi yang dimanipulsi rapi Perusahaan rokok Indonesia menolak ikut FCTC Diseluruh dunia, Cuma tiga negara yang tidak ikut FCTC Yang menolak pengaturan tembakau dengan segala cara Hanya tiga Salah satunya negara kita Dan kemudian, ada dua negara lagi Satu di afrika Dan kini para pengusaha rokok di Indonesia
Termasuk 10 orang terkaya di jagat raya. Penyogok, merteka penyogok paling raksasa Ukuran dunia Liat di Afrika sekarang Terkekeh-kekeh, tertawa Menjagal 1100 warga bangsa kita setiap harinya Di ruangan ini, Ketika bertemu tadi sampai sekarang, Sudah 20 orang Indonesia mati karena asap rokok 25 macam penyakitnya Mereka terkekeh-kekeh tertawa Menjagal 1100 warga bangsa kita Setiap harinya Setiap harinya para algojo berjas Berdasi itu membunuh manusia berpuluh tahun lamanya Dan selama ini kita biarkan saja Jadi bagaimana? Bagaimana? Bagaimana kok sampai begini jadinya? Mereka…mereka tidak kenal budaya malu Di dalam diri Di dalam susunan urat syarafnya *** Terimakasih….
Moderator: Tepuk tangan untuk Pak Taufik Ismail. Luar biasa, lewat puisinya kita bisa tahu ya. Saya jadi agak malu ketika mendengar puisi yang pertama tadi, karena kita berhadapan langsung dengan peristiwa-peristiwa itu. Jangan-jangan kita menjadi bagian dari orang-orang yang juga tidak memiliki budaya malu itu. Nah, pada tahun 1977, Mochtar Lubis, Tokoh Pers Indonesia juga menyebutkan salah satu ciri orang Indonesia itu hipokrit, munafik katanya. Ini dengan kekacauan moral
macam ini, mana yang benar. Apakah benar sampai sekarang ini seperti itu orang Indonesia? Pak Atma, saya ingin bertanya pada Anda. Apakah betul sampai saat ini orang Indonesia benar hipokrit juga munafik? Silahkan Pak Atma. Atmakusumah : Ya, Mochtar Lubis sudah pernah mengingatkan bertahun-tahun yang lampau. Ya, almarhum pernah mengatakan, orang Indonesia ini punya karakter atau sifat yang buruk, gitu ya. Tapi, baiklah. Karena hari ini tadi disinggung masalah sekolah, masalah murid oleh Pak Sahetapy, Pak Taufik Ismail tadi, saya kembali saja dulu ke sekolah ya? Maksud saya begini, masalah kurangnya ditegakkan budaya malu ini memang bukan hanya persoalan di Indonesia. Di Australia, selama beberapa bulan atau tahun terakhir sedang terjadi pembahasan di kalangan para guru yang mengamati bahwa menurut pengalaman mereka, kalau mengajarkan kemahiran membaca, menulis, berhitung kepada anak-anak cukup dengan waktu setengah atau satu tahun. Tapi untuk membangun karakter yang ideal, ternyata memerlukan waktu sedikitnya 15 tahun. Itu berarti tidak cukup hanya di SD, SMP, SMA saja, tapi juga dari taman kanak-kanak berarti. Jadi saya tadi diingatkan mengenai budipekerti yang pernah dikembangkan oleh taman siswa puluhan tahun yang silam. Saya rasa, harus diingatkan kepada para pengelola pendidikan, para guru, pentingnya memberikan pendidikan moral, pendidikan karakter yang baik, minimal dari taman kanak-kanak lah.. Moderator: Pak Atma, saya ingin Anda melanjutkan ulasan ini, tapi kita akan mendengarkan kabar baru dulu, kita akan bergabung ke studio. Nanti kita akan lanjutkan kembali perbincangan ini. Dan hadirin tetaplah bersama kami. Dan bagi Anda yang mendengarkan kami lewat 50 radio jaringan KBR 68H, Anda juga boleh bergabung dengan mengirimkan sms ke 081211181. Dan untuk Anda yang dari sini juga bisa bergabung berdiskusi dengan narasumber. Kami segera kembali bersama Anda sesaat lagi. Moderator: Hadirin dan saudara yang menyimak kami melalui 50 radio jaringan KBR, Anda bersama kami dalam diskusi Komisi Hukum Nasional, Membangun Budaya Malu. Dan, kita akan menyambung lagi perbincangan dengan Pak Atmakusumah, Tokoh pers. Tadi Pak Atma banyak menyinggung tentang pentingnya pendidikan, ya Pak? Jadi itu harus dibangun dari dini. Mengapa harus pendidikan Pak? Tadi Pak Sahetapy juga menyebut, mempertanyakan, tampaknya pendidikan karakter atau budi pekerti nampaknya lebih bekerja dalam membentuk karakter orang Indonesia ketimbang pendidikan agama, misalnya. Saya ingin tanggapan dari Anda, Pak Atma.
Atmakusumah : Ya, pendidikan yang menuju pengembangan karakter yang baik itu kan bisa berdasarkan macam-macam. Tentu saja berdasakan ajaran agama, filosofi, ideologi. Nah, terhadap anak-anaka, agama memang merupakan pegangan yang paling utama sebab itu dikembangkan sejak mereka masih kecil sebelum mengenal ideologi, pandangan politik dan lainnya. Nah, masalahanya adalah karena korupsi ini, kalau menurut pendapat saya, itu memang dari dulu. Sejak saya masih kecil itu saya sudah mengamati di hubungan sosial antara masyarakat dan para pejabat, para pengusaha dan pejabat. Pengusaha tentu berpegang pada ilmu ekonomi yang mengajarkan kita harus mendapat keuntungan yang sebesarbesarnya dengan modal sekecil-kecilnya, begitu kan? Jadi apapun akan dilaukan pengusaha agar mendapatkan transaksi bisnis atau ijin dari para pejabat. Lalu? Apa boleh buat, mereka memberikan suap. Dan para pejabat, mereka merasa para pengusaha kan mendapatkan keuntungan berkat ijin atau kebijakan pemerintah yang dikelola oleh para pejabat kita mulai dari Camat, Bupati, Gubernur dan seterusnya. Dan, karena para pengusaha ini dapat memperoleh kekayaandari keuntungan bisnisnya, ya para penguasa politik atau para pemimpin pemerintahan patut dong mendapat bagian dari itu. Jadi, pada masa lampau, terutama pada masa orde baru utamanya, bahkan sejak pada msa orde lama, itu seolah-olah semacam balas budi dari para pengusaha kepada para pejabat. Dan, pengusaha tidak merasa kalau itu sebagai suap, dan para pejabat yang menerimanya juga tidak merasa itu korupsi. Bahkan gratifikasi pun barangkali tidak. Tapi dianggap sebagai bals budi kan? Kemudian hubungan antara masyarakat dengan kita dan para pemimpin, dari dulu kita mengenal tradisi feodalisme. Dan, itu biasa kalau para pejabat pergi ke daerah, apakah bupati ke daerah-daerah, biasa kalau mengharapkan entah masyarakat, entah lurah, membawa oleh-oleh gitu kan? Jadi, hahhaa Moderator: Ini sebenarnya budaya kita memang kebiasaan yang sudah terlalu lama diterapkan sehingga jadi budaya? Atau seperti apa memang kita seperti itu sebagai orang Indonesia? Atmakusumah : Ya, ini sudah bukan hanya puluhan tahun ya, tapi sudah ratusan tahun. Tentu saja barangkali dari masa kerajaan-kerajaan kita di Indonesia, masa kerajaan majapahit, sriwijaya dan sebelumnya, gitu kan. Kita harus muli mengembangkan pendidikan karakter ini ya tentu saja bukan hanya di sekolah, tapi juga di kalangan masyarakat. Tapi kan pendidikan yang terstruktur, yang rutin dan continue kan sekolah. Dan, kemudian, pers penting. Saya rasa, kebebasan pers yang dirasakan pada msa reformasi selama kurang lebih 15 tahun terakhir, terutama
pada masa pemerintahan SBY, itu tampak sekali bahwa korupsi itu memang berada dimana-mana. Dan yang menggembirakan adalah pers banyak menyiarkan tentang kegiatan KPK, dan sekali-kali juga ada tindakan dari polisi dan Kejaksaan Agung yang diberitakan. Bayangkan, kita kan tidak pernah mengalami pada masa lampau, pemerintahan orde baru atau lama. Boleh dikatakan bahwa tiap hari ada berita entah itu gubernur, entah itu bupati, entah itu mantan menteri yang diadili setidaknya diperiksa, oleh KPK. Pada Masa Soharto pun, banyak tindakan-tindakan penyelewengan kekuasaan, penyelewengan peraturan dan perundang-undangan sebagaimana diberitakan sekarang. Tidak benar kalau dikatakan sekarang korupsi marak. Dari dulu ya seperti ini. Hanya bedanya, seolah-olah ini marak karena diberitakan pers. Oleh karena itu, saya selalu mengingatkan terutama wartawan muda. Sejak awal ketika memilih untuk menjadi wartawan, mengembangkan profesi jurnalistik, usahakan agar tidak menerima apa yang disebut ’amplop’. Sekalipun ‘amplop’ memang bukan suap. Tapi saya selalu mengingatkan kalau ’amplop’ itu Anda terima rutin setiap bulan dari pengusaha umpamanya, atau dari pemimpin pemerintahan, atau dri parpol. Dalama setahun dua tahun, namanya apa itu? Jadi agar pers memberitakan fakta yang betul-betul untuk 4diketahui masyarakat umum, sehingga publik mengetahui apa itu yang disebut penyalahgunaan kekuasaan, wewenang dan apa akibatnya. Moderator: Ya, baik. Tapi pers kita juga belakangan ini tidak malu-malu untuk tidak independen di pilpres. Tapi nanti kalau kita bicara itu akan jadi diluar konteks kita. Saya beralih Atmakusumah : Saya rasa, kita mudah untuk melihat mana yang independen, mana yang tidak. Bagi saya, tidak menjadi masalah karena mengumpulkan, menyebarkan informasi atau pendapat adalah hak setiap warga. Biarkan media itu seperti apa. Yang akan memberikan penilaian akhirnya kita juga, pembaca, pendengar, penonton. Silahkan lihat, media yang tidak profesional, banyak yang sudah mati. Yang hidup puluhan tahun, itu rata-rata media profesional. Moderator: Baik, Pak Atma, terimakasih. Saya mau ke Romo Benny. Romo, orang bilang kalau orang Indonesia ini religius. Tapi kemudian kita lihat orang korupsi tidak malu. Orang lakukan tindak atau kesalahan di tengah masyarakat juga tidak malu. Ada apa? Apakah orang Indonesia sudah tidak religius lagi? Karna kan agama itu mengajarkan standar-standar moral yang sangat bagus
Romo Benny: Ya, inilah kalau agama itu hanya dia yakini, dia tidak menjadi …, ya maka hipokrit itu terjadi. Nah, problem kita kan agama kan menjadi aksesori. Nah, ketika agama menjadi aksesori, dia menjadi ritual tapi tidak mempengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar seseorang. Maka belum tentu orang yang ‘saleh’ secara individual punya keshalehan secara … Nah, problem kita akhir-ahir ini adalah cara beragama kita yang formalisme dan ritualisme. Tapi aama tidak dibandingkan dengan sikap hidup. Misalnya bangsa ini tidak punya rasa malu ketika tidak bisa membedakan mana milik privat, mana milik publik. Pejabat, rumah dinas itu harta privat, tapi di Indonesia yang publik diberitakan sehingga hilang rasa malu itu karena menjadi yang wajar. Rasa malu hilang karena apa? Karena kita ada persoalan-persoalan yang menganggap semua itu dianggap wajar. Rasa malu itu terkait dengan hubungan bagaimana orang itu dihargai. Ketika orang itu memiliki sikap prilaku yang mendahulukan karakter jujur. Di sini kan tidak. Karena orang jujur selalu dianggap tidak beruntung. Jujur dianggap sesuatu yang membuat penderitaan. Moderator: Ya, sekarang kalau orang jujur. Hari gini kok jujur? Sepertinya menjadi jujur itu hal yang salah. Romo Benny: Ya, itu karena budaya kita memang tidak memungkinkan orang jujur untuk memberikan ketauladanan. Karena publik lebih suka yang tidak juijur, koruptor itu dijadikan tokoh. Dan, media dalam arti ini memang lebih bvanyak menampilkan orang-orang tidak jujur mengisi nilai-nilai di publik kita. Maka kalau kita lihat acara sinetron , itu kan menggambarkan hedonisme, konsumerisme, tapi juga mengajarkan nilai ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran dianggap wajar karena bangsa ini tidak memiliki nilai habitus. Habitus itu suatu gugus insting mengenai cara berpikir, bertinmdak, bernalar yang harus ditanamkan sejak anak-anak. Nah, pendidikan nilai ini sekarang diabikan. Jadi tidak hanya serkolah, pendidikan nilai itu ada pada keluarga. Maka dalam nilai-nilai hirarki keluarga itu jalan. Nilai kejujuran, rasa malu, santun ditanamkan sejak anak kecil, maka dia punya kebiasaan baik. Tapi karena nilai dalam keluarga itu tidak ditanamkan, maka kebiasaan baik itu tidak menjadi acuan. Tapi nilai baik yang ditanamkan dalam keluarga adalah bahwa seseorang itu berhasil karena kaya raya, seseorang berhasil itu karena menduduki posisi penting. Maka, kalau kita mau jujur, kita ini hipokrit. Di satu sisi, kita mengaggungkan moral, tapi di sisi lain kita sebenarnya mengabaikan moral. Jadi memang itu kondisinya.
Nah, kembali selama kita tidak ada mengubah mentalitas feodal itu kita akan seperti ini. Perubahan mentalitas feodal hanya bisa kalau kita mengalami pencerahan. Pencerahan itu dimulai pada pendidikan dasar dimulai. Tapi kita lihat pendidikan dasar kita gak serius. Selama guru jadi pawang dan mentor tiodak menjadi rekan dan sahabat murid, maka guru tidak memberikan contoh keteladanan, ya kita jangan harap pendidikan budi pekerti akan jalan. Mengapa pendidikan budi pekerti itu berjalan? Karena guru itu tidak menjadi pawang mentor, tapi guru itu menjadi orang tua kedua, maka anak-anak merasa guru bisa dicontoh dan diteladani. Sekarang tidak. Karena apa? Kembali lagi, selama orientasi pembangunan kita sifatnya matrealistis dan hedonistis itu menjadi cara kita mengekspresikan kebudayaan, maka pendidikan nilai tidak pernah terjadi. Jadi problemnya ketika kita mau pendidikan moral dimulai itu dari keteladanan. Keteladanan dimulai dari diatas. Jadi budaya malu itu harus dibangun dari atas. Kalu atasnya busuk ya bawahnya busuk. Kalau atasnya tidak punya budaya malu dan tidak konsisten, ya orang akan meniru. Problem kita adalah , kita hari-hari ini kekurangan stok orang-orang baik. Maka negeri ini diisi oleh orang-orang yang tidak baik menghiasi wajah republik ini, dan mereka mendikte cara berpikir, bertindak, bernalar kita. Maka ketika media hanya mengutip orang tidak baik dan eksis, maka kita tidak ada nila. Nah kita krisis nilai itu. Yang kedua yang ingin saya katakan, saatnya koalisi orang-orang baik itu tampil mengisi publik untuk membuat contoh. Jadi harus ada contoh itu yang akhirnya tepatri dalam memori ingatan kita. Selama tidak ada contoh ketauladanan ya kita akan seperti ini terus. Jadi persoalannya adalah harus ada membongkar mindset bahwa keberhasilan jangan hanya dinilai dari materi tapi harus dari karakter, keteguhan, prinsip kejujuran, keadilan. Dan, nili-nilai itu yang harus dikedepankan dibanding aksesori lain. Nah, problem kita, selama kita tidak pernah mengalami revolusi kebudaaan dalam arti membangun sebuah habitus, gugus insting yang mempengaruhi cara berpikir, bertingkahlaku dan ber-relasi, maka kita akan tetap seperti ini. Jadi selama budaya kita feodal, dan reaktif, ya kita akan tetap seperti ini. Jadi persoalan korupsi, manipulasi, kemerosotan moral itu sebenarnya ya kita tidal pernah tercerahkan. Nah, bangsa yang tidak pernah tercerahkan akan masuk ke dalam lingkaran kepedulian. Maka akan selalu menjadi reaktif dan tidak pernah proaktif. Nah, bagaimana kita memutus sebuah proses ini? Yaitu dengan membangun kembali ingatan kita akan bagaimana ingatan memori kebaikan itu harus jadi suatu cara untuk memutusnya, yaitu lewat pendidikan dasar. Kalau kita
tidak membenahi pendidikan dasar, ya jangan harap kita akan membangun budaya malu itu. Moderator: Baik, Romo terimakasih banyak. Jadi semua sepakat, kita butuh pendidikan dasar untuk mengubah sekarang yang sudah ‘kebolak-balik’. Nah, saya menawarkan kepada hadirin di sini kalau ingin ikut berdiskusi boleh mengajukan pertanyaan. Baik, sebelum ke sana, Anda yang mendengarkan kami di radio boleh sms ke 08121118181. Setelah tadi kita sudah banyak berbicara tentang pentingnya menanamkan pendidikan sejak dini mengenai budaya malu ini. Nanti kita bisa singgung juga, tadi Romo melontarkan hal yang menarik tentang perlunya kita melihat orang-orang baik tampil. Terkait dengan pilpres, nanti kita bisa cari apa yang dibutuhkan negreri ini terkait dengan upaya kita untuk membangun budaya malu. Saya ber kesempatan kepada floor. Sebutkan nama dan mohon ringkas, silahkan. Audience 1: Oke, terimakasih moderator. Perkenalkan nama saya Julius Ibrani dari YLBHI. Saya ingin memberikan komentar sekaligus pertanyaan buat Prof. Sahetapy dan narasumber di deoan. Sekilas saya baca buku ini bahas tentang rasa malu yang ada kaitannya dengan moral dan etika publik. Ada kata “moral” dan “etika” di depannya dan publik, karena kaitannya dengan dengan kepmimpinan lembaga negara, pemerintahan, dan ada rakyat sebagai konstituennya. Dari dulu, dari puluhan tulisan Prof Sahetapy di buku ini, saya melihat bahwa segala tindakan kebijakan dari para pejabat negara itu nyaris semuanya gak punya moral dan etika, dari lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif juga bertentangan dengan moral dan etika publik sehingga kami melihat bahwa sebenarnya apa sih akar persoalan yang menyebabkan itu? Karena ternyata bahwa pejabat publik ini bukanlah orang yang mewakili jiwa dan raga yang mewakili jiwa dan raga publik tersebut. Mereka bukan benar-benar datang dari cita-cita dan keinginan rakyat akan sebiuah lembagadan pejabat publik yang betul-betul memperjuangkan kepentingan mereka. Ada tulisan Prof . Sahetapy tentang Akil Mochtar, sebelum menjadi MK, kita tahu bertapa rusaknya beliau, tapi beliau masuk juga. Begitu juga dengan yang lain. Kebijakan legislatif tadi, Pak Taufik Ismail bicara tentang per-tembakau-an yang sebenarnya sudah digagalkan di periode sebelumnya, tahun ini dinaikkan lagi yang ada RUU Pertembakauan yang isinya legalisasi industri rokok. Di Kompas, beberapa hari yang lalu, Direktur salah satu perusahan rokok menyatakan keberhasilan mereka untuk menurunkan usia pengguna rokok sampai ke SMP, dan SD berkat iklan, betul Pak Taufik Ismail. Dan keuntungan mereka naik 15 kali lipat. Ini semua
bertentangan dengan moral dan etika publik. Sampai kami juga menyampaikan bahwa ternyata mereka-mereka yang duduk mengatasnamakan kepentingan publik di lembaga publik ternyata datangnya tidak melalui pengawasan publik. Pak Rocky berbicara tentang debat capres-cawapres yang tida bermutu, tidak substansial dalam persoalan publik, betul. Kenapa? Karena lagi-lagi publik kehilangan porsinya. Transparansi, partisipasinya untuk memberikan pandangan, persoalan lewat lembaga negara. KPU menyatakan kalau dia tidak melakukan verifikasi faktual; terhadap persyaratan administratif yang diberikan, salah satunya adalah berkelakuan baik. Bagaimana bisa seorang pembantaian manusia di Papua, Timortimor dan lainnya berkelakuan baik, padahal dia dipecat dari lembaganya, namanya prabowo. Nah, ini sebuah logika yang bertentangan dengan moral dan etika publik. Sehingga menurut saya, mungkin ke depannya Prof. Sahetapy selain bicara rasa malu juga bisa menyiarkan bagaimana publik punya porsi terhadap pengangkatan pejabat publik, terhadap mereka-mereka yang mencalonkan diri untuk kepentingan publik, supaya mereka benar-benar menjadi perwakilan dari jiwa dan raga publik. Kami, YLBHI berencana untuk menggugat SK KPU yang menetapkan terkait capres/cawapres sebagaimana kami menggugat SK SBY terkait dengan pengangkatan Patrialis Akbar, yang tadi Pak Taufik Ismail bicarakan, memotong masa hukuman 11 koruptor, lebih dari 60% masa hukumannya dan mengangkat saudara-saudaranya di CPNS Kemenkumham dan yang lainnya termasuk Maria Farida juga yang kita duga banyak terlibat. Moderator : Baik. Audience 1: Apakah ada peluang untuk itu Prof Sahetapy dan para narasumber di depan? Moderator: Terimakasih Julius Ibrani dari YLBHI. Tepuk tangan untuk pertanyaanya. Kita tampung, satu lagi silahkan. Audience 2: Selamat siang, saya Novi dari Pijar Lawfirm. Saya bersyukur ada di tempat ini walaupun kebetulan, tapi saya yakin tidak ada yang kebetulan. Saya hanya mencermati judul dialog, yaitu kepemimpinan dan budaya malu. Kalau kepemimpinan, saya merasa di sini saya bukan siapa-siapa, mungkin orang tidak kenal saya. Tapi bagaimana budaya malu tidak hanya jadi wacana di ruangan ini saja. Kemudian bagaimana aplikasinya? Karena kalau bicara kepemimpinan, saya merasa berhutang budi nantinya pas saya keluar, apa yang harus saya lakukan supaya kehadiran saya di sini bisa membawa dampak di luar. Tapi saya bersyukur,
karena apa yang disampaikan oleh Prof. Sahetapy, paling tidak ada dua hal. Saya bukan orang yang cantik tapi orang yang manis, Prof. Hahaha..Yang kedua, saya adalah seorang ibu. Saya mungkin tidak bisa bicara kepada para pemimpin di luar sana, saya juga tidak bisa bicara, kalau narasumber di depan bilang kita akan mulai dari bidang pendidikan, saya juga tidak ada kekuatan untuk bicara di situ. Saya juga mempertanyakan kalau budaya malu, apakah sama budaya malu yang kita kenal 2000 tahun yang lalu dengan yang sekarang sama? Karena Romo juga sudah bicara kalau rasa malunya itu sudah dianggap sesuatu yang wajar dilakukan semua orang, makanya orang-orang baik tampil di depan tv juga tidak malu, karena 4juga sudah melakukan hal yang sama. Gitu ya? Jadi saya berpikir bahwa bagaimana caranya orang-orang seperti saya yang sangat awam, bisa melakukan bagiannya untuk mengembalikan budaya malu dalam nilai yang kita anggap benar. Saya tadi berpikir, saya sempat berdiskusi di meja ini, budaya malu ini tolak ukurnya apa? Tetapi tadi Prof. sudah sedikit menyinggung untuk balik kepada Romo bicara bahwa, agama itu hanya dibatasan sesuatu yang praktis saja, bukan karakter atau moral, kemudian Romo juga menyinggung sesuatu sebagai habitus baru. Saya berpikir bahwa be duplicate multiply, jadi saya akan melakukan dari saya sendiri, be dulu. Saya akan mengajarkan ke anak-anak saya, apa budaya malu yang saya yakini secara iman, karena saya tidak melihat lagi apa yang dijadikan tolak ukur budaya malu. Jadi saya balik lagi ke iman saya tentang malu itu apa. Prof. itu tadi bicara dengan dosa. Kemudian, saya berharap anak-anak saya bisa me-multiply. Bersyukur nanti pada suatu kesempatan, kalau anak-anak saya jadi pemimpin nasional, mereka bisa melihat dari mama-nya, bagaimana mereka mengajarkan, seperti Prof. yang diajarkan ibunya. Karena saya berpikir jangan sampai kita keluar dari ruangan ini, dan kita hanya berbicara tentang retorika yang tinggi secara iostilah, tapi kita tidak mengaplikasikan apapun di luar sana. Kita tidak perlu menunjuk birokrat atau calon presiden tapi kita tidak mengeluarkan apa-apa.Kita lakukan bagian kita untuk be dan duplicate lalu multiply . Terimakasih. Moderator: Terimakasih, tepuk tangan untuk Mba Novi dari Pijar Lawfirm. Sebelum menuju ke jeda, kita akan angkat telepon juga karena kita di dengar dari radio. Untuk Pak Sumarlan, masih bersama kami? Mohon ringkas pertanyaanya. Audience 3: Halo, selamat siang semuanya. Semalam kita dipertontonkan oleh budaya tidak malu yaitu debat capres. Ketika ditanyakan mengenai HAM, lalu dia naik pitam. Dia malah menyalahkan atasannya. Kita dipertontonkan oleh budaya tidak malu dari cxalon kita. Apa jadinya bangsa ini? Sekarang gini, bangsa kita carut
marut, kita terlena dan lupa dengan apa yang telah dilakukan salah satu capres. Bagaimana ada penculikan, apakah kita akan kebali ke side B? Ada apa dengan bangsa ini? Moderator: Terimakasih Pak Suharlan, Bapak-bapak Narasumber dan para hadirin, kita akan mendengarkan pesan-pesan berikut ini lebih dahulu, dan kita akan tanggapi pertanyaannya. Kami akan segera kembali bersama Anda, saudara, sesaat lagi. Moderator: Anda masih bersama kami dalam dialog hukum dari Komisi Hukum Nasional, bersama saya Vivie Zabkie. Saat ini saya bersama dengan Sastrawan sekaligus tokoh muslim, Taufik Ismail, Tokoh Agama, Romo Benny Susetyo, Atmakusumah Astraatmaja Tokoh Pers Nasional, Pak Rocky Gerung, Pengamat Politik dari Universitas Indonesia. Nah, tadi kita sudah mendengarkan tiga pertanyaan, rupanya ada satu lagi pertanyaan dari floor. Mohon ringkas, ya Bu. Audience 4: Terimakasih, saya dari UPN Veteran Jakarta. Saya hanya ingin menanggapi saja mengenai me,mbangun budaya malu itu kan termasuk dalam moral ya. Pendidikan moral menurut saya dasarnya adalah dari keluarga, bisa dari orang tua, nenek kakek, kerabat, lingkungan sosial, kemudian baru ke sekolah, pendidikan formal. Dari situ juga, keteladanan harusnya dimulai dari keluarga. Jdai menurut saya yang penting harus ditanamkan adalah pendidikan awal itu ada di keluarga. Jadi kita tidak harus melihat ke sesuatu yang besar dahulu, tapi lihatlah dari dasarnya. Karena menurut saya, malu itu kan bagian dari iman, jadi kita harus mulai dari dasar, dari keluarga, baru ke pendidikan formal. Moderator: Terimakasih Ibu. Jadi ada 3 pertanyaan, sebelum ke Prof. Sahetapy karena tadi pertanyaan pertama untuk Prof. Saya ingin dengar dulu dari narasumber. Saya ingin dengar dari Pak Rocky Gerung, tentang bagaimana publik itu bisa punya porsi sehingga bisa memilih wakil yang bisa menyuarakan kepentingan publik. Tampaknya ada perasaan walaupun kita sudah punya pemilihan langsung, nampaknya mereka yang duduk itu bukan wakil yang kita inginkan. Kemudian, kedua, apa yang bisa dilakukan kita sebagai pribadi walaupun kita sudah tahu standar moral yang baik, tapi bagaimana menumbuhkan di lingkunagn sekitar kita?
Rocky Gerung: Oke, terimakasih. Saya mau terangkan agak serius, soal yang amat serius ini. Soal apakah saya memilih wakil atau tidak. Selalu ada gap antara elections dan decision. Antara yang kita pilih dan yang diputuskan. Itu hal yang berelaku dari operasi birokrasi. Birokrasi ingin efisiens, karena itu hasio election bisa 4 berbeda dari hasil decision. Nah, hal yang penting sebetulnya adalah seorang anggota DPR yang dipilih dari rakyat, dia harus paham dari awal bahwa dia adalah kacungnya rakyat. Kacung, pesuruh, bahkan dia pengemis. Ketika dia kampanye, bahkan dia mengemis suara. Jadi, dia adalah budaknya rakyat. Di kitab demokrasi bahkan ditegaskan unsidus artinya anda adalah budak saya. Karena saya malas pergi ke DPR, saya utus anda. Itu filosofinya. Jadi, kalau sekarang yang budak kemudian berlagak tuan seytelah jadi anggota DPR, itu artinya dia gak mengerti public ethics. Jadi dia sebetulnya tidak siap jadi anggota DPR. Karena menjadi anggota DPR artinya melayani publik 24 jam. Kalau Anda ada di Canberra, parlemen Canberra itu ada lampu diatasnya. Dan anggota parlemen terkahir yang keluar ruangan, dia mesti matikan lampu itu. Kenapa? Karena seluruh kota diam. Bahwa misal sampai jam 3 pagi lampu masih menyala, artinya masih ada yang bekerja di situ untuk membuat legislasi. Anda bandingkan anggota DPR kita, jam 10 sudah ada di Plaza Senayan. Ngapain? Beli jas yang paling mahal, merk-nya Hugo Boss. Kenapa mesti Hugo Boss? Karena menjadi kebanggan dimana menjadi anggota DPR, standar bajunya ADALAH Hugo Boss. Harganya paling murah 40 juta. Jadi, budaya malu itu adalah akibat dari tidak bekerjanya budaya martabat. Dignitas tidak ada. Dia milih Hugo Boss. Nanti sorenya kita bisa ketemu dia disebuah talkshow. Lalu kita bisa tahu kenapa dia beli Hugo Boss? Karena merk-nya di luar pun tidak dicopot. Bayangkan! Mengkonsumsi kemewahan pun dia tidak tahu caranya, kalau label luar ditaruh di situ supaya tidak kotor, orang lihat-lihat. Gagap kemewahan. Hanya ingin memperlihatkan dia punya Hugo Boss, dia gak tahu itu aturannya adalah you copot itu merk Hugo Boss supaya orang tidak tahu you beli Hugo Boss. Tapi bukan itu soalnya. Kalau saya tanya sama dia, siapa itu Hugo Boss? Dia tidak tahu. Hugo Boss adalah desainer Jerman. Kalau saya terangkan pada dia Hugo Boss adalah temannya Hitler. Kalau anda lihat Hitler, pasukkan khusus Hitler itu kan keren banget kalau lagi marching, nah itu dirancang oleh Hugo Boss. Karena Hugo Boss mengabdi pada Hitler, karena Hitler memberi dia buruh murah yaitu tawanan perang. Jadi industri Hugo Boss memperoleh keuntungan karena mempekerjakan buruh murah yang adalah tawanan perang Hitler. Sekarang ada problem, dia memakai barang itu tampa dia tahu genealogy politik dari Hugo Boss. Bahwa dia memakai barang yang di dalamnya ada jejak HAM yang diingkari. Saya bisa maafin kalau soal itu dia gak tahu.
Saya gak bisa maafin kalau dia gak tahu Hugo yang lain. Hugo Saves misalnya, atau Hugo Grogeus yang merupakan Bapak hukum internasional. Dia kan anggota parlemen yang seharusnya lebih paham hukum. Jadi kita lihat ada etik yang gak bekerja di situ. Kebanggan sebagai anggota DPR tidak difasilitasi dengan pengetahuan ethics yang memadai. Itu yang menyebabkan ada disparitas antara election dengan decission. Dengan dia pakai Hugo Boss merasa adalah tuan, jadi yang tadinya tuan, saya sebagai pemilih, berubah jadi pesuruhnya. Kemudian, perlu dsiterangkan Anda sebagai anggota DPR itu watch dog. Dia bilang iya saya watch dog . Tahu gak arti watch dog? Anjing penjaga. Jadi Anda adalah anjing penjaga saya untuk menggongongi pemerintah, bukan Anda menggonggongi saya, itu namanya watch dog. Jadi kita bisa tahu bertapa pengetahuan mereka yang membuat legislasi sebetulnya pengetahuan yang di supply dari luar oleh semacam kebanggan untuk mencari posisi dalam kekuasaan. Defisit itulah yang kita alami sekarang, sehingga kita tahu bahwa DPR dalah sarang ular, bukan sarang manusia. Itu yang terjadi. Kita maki-maki DPR, tapi kita tetap memilih orang yang tidak tahu recordnya. Haha Yang kedua, tadi soal pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh Ibu tadi. Sebetulnya itu pertanyaan yang menggetirkan, karena untuk melakukan hal yang sederhana pun, kita harus datang di dalam para forum para pakar. Itu bagaimana caranya supaya budaya malu diinvestasikan dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan publik? Tadi saya katakan bahwa malu itu akibat dari kepemilikan saya tentang dignitas. Saya hanya mungkin malu kalau saya punya dignitas. Harkat saya itu tidak bisa saya korupsi. Karena itu satu-satunya milik saya untuk menyatakan bahwa saya adalah manusia. Nah, itu yang tidak kita miliki. Dignitas dari sastrawan adalah memelihara humanity. Dignitas dari jurnalis adalah memelihara publicity. Dignitas dari seorang ilmuwan adalah memelihara integrity. Jadi dignitas itu yang mesti kita ucapkan setiap hari di dalam diri kita dan ke publik. Jadi seandainya kita bisa ucapkan hari ini kalau dignitas itu yang harus kita bangunkan, karena dia tidur dalam kenikmatan material. Ini adalah pemberontakan dari seseorang. Mau gak keluar dari zona aman sehingga kita bisa betul-betul menciptakan the real public of integrity. Terimakasih. Moderator: Baik, terimakasih mas Rocky. Jadi kita tidak malu miosalnya untuk jujur, padahal orang lain tidak jujur dan kita dianggap salah. Harus berani untuk menegakkan apa yang kita yakini. Saya ingin ke narasumber lainnya untuk
menanggapi empat pertanyaan tadi, tapi mohon ringkas-ringkas. Pak Taufik Ismail bisa lebih dulu, silahkan Pak. Taufik Ismail: Untuk menjawab itu perkenankan saya menceritakan pengalaman berikut ini. Cucu-cucu saya berkali-kali bertanya. Mereka sudah mulai membaca surat kabar, terutama melihat tv. Bagaimana pemilihan legislasi itu hiruk pikuknya. Kemudian, baru dua hari pemilihan berlangsung, sudah masuk pengaduan 200 kecurangan. 200 kecurangan pada waktu dua hari. Dan pada hari ini, 200 kecurangan itu jumlahnya 700. Kemudian, cucu saya juga berkata Datuk-datuk, “Apa itu money politics?” Saya jelaskan dan kemudian Oooo begitu, jadi orang menjadi anggota DPR itu harus dia membayar pemilihnya?” Itu yang terjadi. Kemudian cucu saya juga bertanya, kok ada pembakaran mobil, pembakaran rumah, dst. Kalau saya berbicara dengan anak saya itu jauh lebih mudah. Anak saya umur 40 tahun-an. Tapi dengan cucu, saya sukar bicara. Akan tetapi dengan cucu, saya sampaikanlah pada dia contoh-contoh. Jadi supaya dia tahu bahwa bangsanya ini sebenarnya 65 tahun yang lalu adalah bangsa yang jujur. Pemilu-nya tidak ada persengkataan, itu 59 tahun yang lalu. Tidak ada sogok-sogokan. Tidak ada perkelahian apalagi bunuhbunuhan. Betul di Pekalongan, saya waktu itu kelas 2 SMA, saya sudah ikut dalam pemilu pertama. Kalau arak-arakan PKI lewat di jalan dan kemudian dari arah yang berlawanan Partai Islam, mereka berteriak-teriak, mereka mengacung-acungkan tinju, tetapi tidak berkelahi, tidak tusuk-tusukkan, tidak bakar-bakaran. Hal ini pada pemilu yang kedua juga berubah. Karakter semacam ini saya sampaikan ke cucu saya, supaya dia tahu Kakek-kakeknya dulu itu adalah bagian dari bangsa yang jujur, santun , tidak menyogok pemili, akan tetapi ini berubah. Kemudian ada rasa malu yang besar. Ada rasa santun yang merupakan bentuk akhlak yang mulia dari bangsa ini. Kalau lihat, di sebelah kelurahan saya. Kelurahan saya namanya kelurahan sugihwaras. Itu ada seorang anak muda umurnya 30-an. Pekerjaanya menjual batik dan balekat. Punya kepemimpinan, kelihatanya berbakat untuk menjadi pemimpin bangsa . Akan tetapi kemudian, ikut pemilu. Dan pada suatu hari orang-orang di kampung kami datang, “Le jadilah kamu pemimpin ke Jakarta, perjuangkan kami”. Nah, kamu kan Cuma makelar batik dan tenun. Kamu tidak miskin, tetapi uangmu juga tidak banyak. Kemudian dia mengeluarkan bungkusan. Apa isinya? Uang urunan dari kami sekampung, mudah-mudahan kamu jadi pemimpin, ini untuk kamu pergi ke Jakarta. Ini saya ceritakan ke cucu saya. Dan mereka terkejut. Lho, Datuk, kok ada orang semacam itu , kok sekarang malah terbalik, menyogok. Nah, itulah ada yang terbalik sekarang ini. Kau, umurmu masih belasan tahun, ubah ini. Aku malu, aku sebagai bangsa Indonesia malu. Karena apa? Datuk–mu sudah
berusaha merubah mental itu tidak berhasil. Datuk malu. Kau jangan malu nantinya. Terimakasih. Moderator: Baik, terimakasih Pak Taufik Ismail. Kita tepuk tangan. Barangkali ini sudah banyak menjawab banyak pertanyaan tadi, bagaimana itu bisa kita lakukan. Nah, karena waktu untuk kita sangat ringkas. Saya langsung ke Pak Sahetapy untuk memberikan tanggapan tentang apa yang sudah kita bincangkan siang ini. Silahkan Pak Sahetapy. J.E.Sahetapy : Terimakasih kepada semua yang telah menyampaikan pendapatnya. Saya sadar betul bahwa maaf kalau pake ungkapan kolonial yang artinya, begitu banyak kepala, begitu banyak pendapat. Bagi saya, yang penting adalah mulai dari hari ini , ada kesadaran tentang bagaimana membangun budaya malu. Saya teringat kepada sebuah buku yang belum selesai saya baca yaitu, the frog in the cattle, katak dalam panci, dia tidak sadar kalau api itu menyala di bawah, dia mau meloncat tapi sudah terlambat. Lihat saja di Indonesia, ada pejabat tinggi yang tidak malu memakai barang katanya imitasi atau palsu. Pers juga seperti orang bodoh, tidak kasih komentar panjang lebar. Barang palsu itu dibuang, kalau itu hanya imitasi. Bayangkan kalau pejabat tinggi bisa pakai barang palsu tanpa rasa malu. Hanya itu aja. Saya pikir, kalau orang muda itu jangan pake bahasa preforistik. Kalau kita terlambat menyelamatkan bangsa ini. Saya khawatir, kalau kita tidak dijajah kembali secara ekonomi, kita akan kembali dijajah secara budaya. Saya berharap pendapat saya benar atau tidak, diterima atau tidak. Merangsang kita untuk terutama Bapak-bapak di sana untuk berpikir kembali. Terutama kepada Pak Atma, sebetulnya pers sekaranglah yang menentukan arah kemana Indonesia akan berjalan, menuju surga atau neraka. Untuk memakai ungkapan yang paling sederhana. Moderator: Terimakasih untuk Pak Sahetapy. Bapak-bapak narasumber terimakasih untuk waktunya dan diskusinya. Mohon maaf kalau dibagian akhir Pak Atma dan Romo Benny tidak kebagian. Dan juga untuk floor kita yang tadi ingin menjaukan pertanyaan atau komentar, mohon maaf waktu kita sangat terbatas. Dengan demikian, berakhir sudah diskusi kita, Membangun Budaya Malu dalam rangka peluncuran buku Prof. Sahetapy, Fermentasi Pembusukkan. Dan juga perayaan ulang tahun beliau yang ke-82. Dengan demikian saya ingin menutup diskusi ini. Salam dan selamat sore.