TRANSKRIP DIALOG RADIO Judul: Mengupas Modus Gratifikasi Pejabat Negara Diselenggarakan atas kerjasama KHN dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Jakarta Tempat : Ruang Perpustakaan KHN, Lantai 2, Jalan Diponegoro 64 Jakarta Pusat Hari/Tanggal : Rabu, 7 Mei 2014 Waktu : Pukul 13.00-14.00 WIB Narasumber : 1. Frans Hendra Winarta (Anggota KHN RI) 2. Jeremiah Limbong (YLBHI) 3. Giri Suprapdiono (Direktur Grativikasi KPK)
Host : Selamat Siang kita berjumpa lagi dalam dialog hukum, saya Vivie Zabkie bersama Anda. Kita bersiaran langsung dari ruang perpustakaan Komisi Hukum Nasional RI Lantai 2, Jl. Diponegoro no.64 Jakarta Pusat. Saudara, siaran bisa Anda simak di 50 radio jaringan KBR. Dan siang ini, saya mengajak Anda Mengupas Modus Gratifikasi Pejabat Negara. Ya, ini produsen ipod, Apple agak senang mungkin, tapi bisa juga gak senang juga karena agak populer, ketika anak dari Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi menikah pada bulan Maret 2014 lalu, rupanya tamu undangan dapat cenderamata berupa ipod. Nah, tamu undangan ini karena yang menikah adalah anak Sekretaris MA, kan terdiri dari para pejabat negara. Nah, kemudian ini menjadi kontroversi, karena beberapa undangan yang mendapatkan cenderamata tersebut sudah mengembalikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan beberapa undangan memilih tidak mengembalikannya dengan berbagai argumentasi, terutama karena pemberian itu tidak dianggap sebagai gratifikasi, sebagaimana tercantum dalam UU. Nah, itu hanyalah salah satu bentuk dari gratifikasi. Ada cara-cara lain pemberian gratifikasi pada pejabat negara. Nah, kita akan kupas dalam diskusi
kali ini. Untuk itu kita akan bersama dengan Direktur Gratifikasi KPK, Bapak Giri Suprapdiono yang sedang ada di luar kota, jadi kita akan berbincang melalui saluran telepon. Sementara di ruang perpustakaan KHN sudah hadir Dr. Frans Hendra Winarta, anggota KHN. Kemudian dari YLBHI ada Bang Jeremiah Limbong yang sudah berkemas. Oke baik, saya akan bertanya langsung ke Pak Giri. Pak Giri? Giri Suprapdiono : Selamat siang. Host : Pak Giri, kan masih ada yang belum mengembalikan ipod dalam pernikahan anaknya Pak Nurhadi, Sekretaris MA, salah satu alasanya mengatakan “ini tidak masuk sebagai gartifikasi”. Sebetulnya yang dimaksud gratifikasi itu seperti apa? Apakah termasuk dalam pemberian ipod sebagai cendera mata ini? Giri Suprapdiono : Sebenarnya ini kejadian yang unik, ya. Karena biasanya gratifikasi terkait dengan penerima, namun kemudian menjadi menarik ketika, ini yang menikahkan yang memberi. Jadi ini memang kasus pertama KPK, dimana yang kita telaah itu dua pihak yaitu pemberi dan penerima. Gratifikasi sendiri kalau dalam Undang-undang kan dalam arti luas, dan itu akan dianggap suap apabila pemberian tersebut terkait jabatan dan tugasnya, yang berlawanan dengan tugas dan kewajibannya. Jadi kami harus menemukan bahwa pemberian tersebut terkait jabatan, yang kedua, melawan tugas dan kewajibannya. Dan kami menemukan di kode etik MA yang disepakati oleh Komisi Yudisial mengenai keputusan bersama bahwa pemberian dalam bentuk di acara-acara struktural dan tidak terkait perkara dan tidak terkait konflik kepentingan yang di bahkan preadilan, maka MA membatasi nilainya Rp 500.000, sehingga kalau diatas Rp 500.000 maka itu masuk kategori gratifikasi yang dilarang oleh kode etik MA. Larangan terhadap kode etik MA ini yang membawa kita kepada salah satu alasan mengapa pemberian ipod dari Bapak Nurrhadi kepada tamu undangan masuk ke dalam gratifikasi. Host : Em…Undangan itu siapa saja ya? Apakah undangan yang kemudian dianggap gratifikasi ini apa pejabat negara kah? Atau yang punya kepentingan dengan MA? Bagaimana kalau masyarakat biasa ada di sana kan gak kena ya? Giri Suprapdiono : Masyarakat biasa tidak. Jadi yang wajib melaporkan gratifikasi adalah pegawai negeri dan penyelenggara negara. Jadi ada beberapa
yang diundang kan em misalkan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi di Provinsiprovinsi, mengundang beberapa pejabat yang ada kaitannya dengan jabatan, Namun untuk masyarakat biasa, misalkan saudaranya besan, kemudian saudaranya pengantin misalkan, tidak diwajibkan menurut undang-undang untuk melaporkan. Host : Baik, ini unik ya. Biasanya kalau ada pejabat yang menikahkan anak, dia yang buru-buru melapor bila menerima uang dari tamunya, ini sekarang tamunya yang harus melapor karena menerima sesuatu dari yang menikahkan. Nah, Pak Frans, saya ingin tanya, apakah memang sekarang kecenderungan para penguasa yang terpilih di legislatif, eksekutif, juga yudikatif, ini makin permisif pada gratifikasi yang mengarah pada suap dan tindak pidana korupsi, apalagi kalau masuknya pada money politic dan sebagainya? Frans Hendra Winarta: Menurut saya, begini ya, sebenarnya budaya permisif ini sudah lama, sudah beberapa generasi, sejak saya masih anak-anak, jadi ini bukan hal yang baru. Yang paling penting sekarang, bagaimana memotong budaya sungkan kalau menurut saya ini. Karena dengan budaya seperti ini, orang kan jadi sungkan, terlepas dari jumlahnya berapa tadi dibatasi oleh kode etik MA dan KY yang Rp 500.000 keatas itu tidak boleh. Tapi menurut saya, pemberian itu kalau menimbulkan rasa terimakasih, rasa hutang budi, dan lainlain yang menyebabkan orang tidak bebas lagi. Apalagi dalam suatu jabatan tertentu, karena pemberian itu jadi sungkan, jadi mau melanggar hukum, atau mau melakukan katakanlah kejahatan. Itu yang tidak boleh menurut saya. Jadi gratifikasi ini kan mulai dari wisata, hotel, tiket pesawat, janji-janji, komis, uang, sampai kepada seks. Nah, bedanya dengan korupsi, korupsi langsung menyebabkan kerugian keuangan negara, kalau gratifikasi tidak, terselubung. Jadi menurut saya, budaya seperti ini harus kita potong. Kita tahu sama-sama, sudah lama sekali, berapa generasi, dari generasi orang tua kita sampai sekarang. Yang kecil-kecilan mau buat SIM, KTP, dulu istilahnya uang rokok, uang lelah, uang keringat, uang dengar, uang apa lagi lah. Saya kira ini budaya yang harus kita potong, kalau tanpa itu saya kira ini sulit. Dan itu memerlukan pendidikan sejak kecil di rumah maupun sejak taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA, sampai tingkat Universitas, sikap anti korupsi ini harus dibina, dipupuk. Karena sehari-hari saya praktik itu, kalau saya kalah karena tidak menyuap, ada teman atau klien yang mengatakan “Anda terlalu jujur sih”. Ya, kata-kata ‘terlalu’ itu permisif, menurut saya hanya ada jujur dan tidak jujur, gak bisa abu-abu
ditengah-tengah jujur, atau separuh jujur, separuh tidak jujur. Budaya ini lah yang kita harus potong. Itulah yang menurut saya, kalau ini tidak dibenahi, korupsi akan tetap marak, gratifikasi apalagi. Seingat saya, di pengadilan tipikor, itu hampir jarang, atau mungkin tidak ada tuntutan kepada orang karena gratifikasi. Kebanyakan karena korupsi saja, karena mungkin pembuktiannya lebih mudah, dan mungkin hukumannya lebih berat. Coba lihat di pengadilan tipikor, jarang orang dituntut karena gratifikasi. Ini pun jadi salah satu sebab kenapa orang tidak takut, boro-boro ada rasa jera. Jadi budaya kita ini yang harus diubah. Host : Nah, ada dua berarti pr kita. Dan nanti kita akan tanya ke Pak Giri, nanti, bagaimana membuktikan dan mengubahnya. Saya ingin ke Bang Jeremiah Limbong dulu dari YLBHI. Bagaimana Anda melihat kaus ini, misalnya apa yang harus dilakukan oleh KPK, dan saya ingin melihat Pak Nurhadi ini kan sudah jelas pejabat publik negara, ketika menikahkan, dia kan harusnya tahu undangan adalah para pejabat negara, disorot publik pula, tapi masih percaya diri membagikan ipod, menurut Anda apa yang terjadi sih sebenarnya? Apa yang bisa kita lihat dalam konteks korupsi? Jeremiah Limbong: Ya, kalau kita lihat tadi setelah keterangan Pak Giri tadi, bahwasanya kalau kita perhatikan memang Nurhadi merupakan Sekretaris MA, ya dia telah melakukan tindak gratifikasi tadi. Kenapa? Karena yang juga patut nantinya di selidiki, dan kami juga percaya KPK sedang menyelidiki itu. Eee, darimana harta sebanyak itu kna nanti jadi pertanyaan di masyarakat. Darimana harga ipod yang dipasaran adalah Rp 500.000- Rp 700.000. Host : Dollar ya? Ipod? Jeremiah Limbong: Rp 700.000. itu patut dipertanyakan, sedangkan tamu undangan hingga 4000 orang. Bagaimana seorang sekretaris MA kok bisa menggelar satu pernikahan yang fantastis, bak seorang putra milyuner. Kalau dia memang milyuner sih gak papa, tapi ini adalah seorang Sekretaris MA, ini yang harus kita lihat. Host : Diluar urusan gratifikasi tadi itu juga yang harus dikaji juga, ya? Jeremiah Limbong: Itu dia, kami melihat seperti itu, karna kecenderungannya bukan hanya Nurhadi juga, mungkin belum kethuan saja, ada juga pastinya tindakan serupa seperti yang dilakukan Nurhadi sendiri. Tetapi itu belum
terungkap, ini akan jadi pr untuk KPK dan kita semua untuk mengawasi dan mengungkap kasus.
sama-sama
Host : Baik, Bang Jeremiah Limbong, terimakasih. Pak Giri, masih bersama kami Pak Giri? Giri Suprapdiono : Ya. Host : Nah, soal pembuktian itu, apakah soal gratifikasi ini lebih sulit pembuktiannya dibanding dengan kasus korupsi yang langsung begitu, yang lebih besar? Giri Suprapdiono : Kalau kesulitas sebenarnya relatif. Kalau pak Frans bilang belum pernah ada kasus gratifikasi, kami punya beberapa catatan. Yang pertama di sidang dan punya putusan bersalah dalam pasal yaitu Gayus Tambunan, pegawai pajak yang kena 6 tahun karena gratifikasi terkait pengurusan pajak. Yang kedua, kasus gratifikasi karena kepemilikian uang senilai 650.000 US$. Jadi ada beberapa. Kemudian yang menarik adalah beberapa kasus-kasus yang potensial kasus gratifikasi. Kenapa potensial? Karena kalau gratifikasi ini kita pidanakan maka akan jadi predicate crime yang bagus dan mudah bagi tindak pidana pencucian uang. Jadi dengan menemukan harta yang diluar kewajaran, kita hanya membuktikan kalau harta itu diperoleh dari mana saja? Apa dari hibah? Karena bila dalam 30 hari kerja tidak dilaporkan KPK, maka itu bisa jatuh pada pasal gratifikasi. Jadi sebenarnya bisa mudah bisa sulit. Namun ada kecenderungan bahwa Jaksa-jaksa itu memilih pasal-pasal yang lebih mudah dibuktikan, seperti pasal 11, pasal 5, dimana tidak memerlukan pembuktian yang dobel. Kalau gratifikasi kan pemberian terkait jabatan, dan melawan tugas dan kewajiban. Ada kata ‘dan’ itu artinya ada dua hal yang perlu dibuktikan disana. Yang pertama, terkait jabatannya. Yang kedua adalah melawan tugas dan kewajiban. Namun, untuk membuktikan melawan tugas dan kewajiban itu tidak harus kita buktikan layaknya pasal suap lain, bahwa keputusan pemberian itu terkait dengan mempengaruhi putusan yang bersangkutan. Tapi, ee pelanggaran kode etik dan sumpah jabatan merupakan bentuk dari melawan tugas dan kewajiban tersebut. Apalagi kalau diperkuat misalkan di MA ada kode etik yang melarang menerima hadiah terkait jabatan. Bahkan terkait struktural pun, hakim sudah dibatasi. Itulah mengapa ketika menetapkan ipod, posisi hakim itu sangat unik, karena kalau kita pahami kan hakim itu kan atas nama Tuhan untuk menetapkan nasib
seseorang. Misalkan dicabut, sehingga orang bisa bebas. Eee, hal-hal lain yang dalam konteks HAM itu sepertinya pelanggaran, tetapi hakim mempunyai kewenanngan yang cukup besar sehingga dibutuhkan suatu kode etik dan tatanan sehingga hakim ini dijaga benar dari perilaku-perilaku kurang tepat, patutnya begitu. Jadi memang kasus ipod ini pelajaran bagi kita semua sehingga tidak semata-mata hukum formil, namun unsur etika dan kepatutan itu jadi lebih penting, dalam bahasa kerennya, rule of moral itu mustinya juga harus mengimbangi rule of law. Host : Baik, menarik sekali. Kita akan kembali kupas modus gratifikasi pejabat negara di bagian berikutnya. Dan untuk Anda yang hadir disini, mungkin nanti setelah perbioncangan diskusi kita, KPK memberikan video tentang Gratifikasi yang bisa kita tonton bersama setelah diskusi. Saudara tetap bergabung bersama kita dalam diskusi modus gratifikasi pejabat negara dengan telepon ke …..atau sms ke ….. Kami segera kembali. IKLAN
Host : Mengupas modus gratifikasi pejabat negara itu tema diskusi hari ini. Masih bersama Bapak Giri Suprapdiono, Direktur ratifikasi KPK, Bapak Frans Hendra Winarta, Anggota Komisi Hukum Nasional dan Bung Jeremiah Limbong dari YLBHI. Nah, saudara, tadi ada beberapa hal menarik yang disampaikan oleh Pak Giri, diantaranya soal etika kepatutan juga perlu diperhatikan selain hukum yang berlaku. Nah, bagaimana pendapat Anda, Bang Jeremiah? Ada juga yang mengatakan ini orang makin lama menganggap gratifikasi ini bukan hal yang penting dalam skala kecil di masyarakat, seperti yang disampaikan Pak Frans, sudah dianggap biasa. Jeremiah Limbong: Iya, bahwasanya kita tadi sudah melihat bahwasanya terjadi sikap permisif di masyarakat. Pertama kita mesti liat dulu, saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Pak Frans, bahwasanya masyarakat menjadi permisif karena memang orang sudah cuek, sudah jadi budaya. Bahwasanya setiap pemilu, kalau kita lihat gambar di internet, “menerima serangan fajar”, bisa sampai kalau gitu ya. Ada juga bila kita lihat aspek lain, kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah, ini bisa jadi salah satu faktor, masyarakat bersikap
permisif. Itu kalau kita lihat di ranah pemilu. Pemilu 2014, ini kan kita sering lihat di media bahwasanya terjadi money politic yang dalam skala yang cukup besar. Lalu sangkut pautnya kepada gratifikasi, masyarakat merasa bahwa “gue dikasih kok, ini hanya sekedar cenderamata”. Masyarakat tidak melihat ada apa dibalik, bukan berarti ini bersentuhan langsung. Seperti apakah ada kaitan Nurhadi dengan undangan-undangan tersebut dalam arti rekan kerja atau baaimana. Tapi yang bisa kita lihat adalah masyarakat begitu cuek, bahkan beberapa bandel gak mau mengembalikan itu karena mereka melihat ini tidak ada kaitanya kok. Kan ini saya dikasih. Dikasih ya saya terima. Ini yang sebenarnya harus diadakan edukasi, sosialisasi, pendidikan bahwa ini merupakan salah satu bagian dari kita harus mempertanyakan. Host : Ketika seseorang memberi kita, kita patut mempertanyakan apakah ada maksudnya? Jeremiah Limbong: Heem, bukan itu saja. Maksudnya dalam arti kita melihat ini cukup mewah kalau kita lihat untuk seukuran pejabat negara. Kalau kita lihat Nurhadi begitu super mewah mengadakan pesta pernikahan anaknya. Nah, kalau masyarakat itu kritis kan akan bertanya, dapaet ipod juga, kan biasanya dapet gelas segala macem. Host : Gantungan kunci, hehee. Jeremiah Limbong: Nah itu, kekritisan mayarakat di pupuk sedari sekarang. Jadi masyarakat jangan terlalu cuek, ini kalau kita sama-sama mau menegakkan sikap anti korupsi dalam masyarakat. Kita harus bersama-sama meningkatkan kekritisan masyarakat mulai dari kita sendiri. Host : Nah ini ada pertanyaan menarik dari Ibu Niar di Depok. Pertanyaanya, “gratifikasi saat kenaikan kelas, kasih hadiah untuk gurunya. Bagaimana caranya untuk menghilangkan itu? “ Dia menganggap itu gratifikasi ya. Nanti kita tanya ke Pak Giri. Kemudian Ibu/ Bapak Juni di Pontianak, Kalimantan Barat. “Bagaimana kita memberi batasan ini gratifikasi dan itu tanda terimakasih? “ Pak Giri tolong dibantu jawab dulu, Pak. Apa misalnya kasih hadiah untuk gur sebagai ucapan terimakasih itu gratifikasi? Kalau menurut Ibu Niar, itu gratifikasi. Lalu bagaimana membedakan gratifikasi dan tanda terimakasih?
Giri Suprapdiono : Kalau gurunya itu PNS, maka gratifikasi. Host : Otomatis ya Pak? Berapapun nilainya? Giri Suprapdiono : Masyarakat cenderung menghalalkan ini. Karena anggapannya setelah naik kelas kan tidak bertemu lagi, jadi ini tidak akan mempengaruhi perlakuannya. Perlu diingat kalau gratifikasi itu pada unsur penerima jadi makanya pegawai negeri dilarang menerima hadiah dalam bentuk apapun, itu adalah bagian dari pelayanan. Host : Karena tugas seorang guru kan memberikan pelayannan ya? Jadi tidak perlu dikasih hadiah karena sudah mengajar, begitu ya Pak? Giri Suprapdiono kedepannya.
: Itu bisa menimbulkan preferensi dan ketidakadilan
Host : Ya, Pak Giri, mohon maaf suara Anda agak terputus-putus. Kami akan menelpon Anda lagi supaya suaranya lebih jelas. Giri Suprapdiono : Baik. Host : Pak Frans, tadi ada sms, menarik ini, bagaimana kita memberi batasan dari gratifikasi dengan tanda terimakasih. Nah, ini agak nyambung dengan apa yang Bapak katakan di awal, bahwa masyarakat Indonesia ini kan budayanya mengucapkan terimakasih, kasih barang begitu ya, Pak? Frans Hendra Winarta:Justru setelah kita lihat pasal 12 ayat 1b ini, tidak selalu melanggar hukum memang, bisa saja kalu itu bentuknya suap ya melanggar hukum kan. Tapi kalau tidak ada motif untuk menguntungkan yang memberi, mungkin tidak melanggar hukum, tapi secara etika sudah pasti tidak boleh . Host : Secara etika tidak bisa ya? Frans Hendra Winarta: Ya, karena kan seorang guru sudah dibayar dengan gaji, mau minta apa lagi? Apalagi kalau minta sendiri. Nah, orang tua yang memberi juga harus hati-hati. Apakah memberi pada tempatnya atau tidak. Ini karna budaya permisif atau budaya sungkan tadi yang harus kita potong. Jadi gak selalu semuanya harus dengan hukum. Contoh begini lah ya, kita bandingkan dengan Jepang, nanti dengan Korea. Coba lihat di Jepang, uang yang paling kecil sajalah jangan bilang Rp 500.000 ke atas,
kembalian 10 yen saja, misalnya Rp 10.000 kita, supir taksi itu tidak mau terima, sama sekali tidak mau. Itu masalah kebanggan dia dari suatu bangsa, sebagai manusia tidak mau dia. Dia hanya mau menerima apa yang tertera di meteran taksi. Tapi sisanya itu, atau dilebihi saja, dia tidak mau. Begitu juga di Korea. Tetapi di Singapura, Thailand, Pfhilipina itu lain lagi. Apalagi disini, itu diterima dengan baik, karena mungkin kita ketularan budaya Amerika Serikat. Soal tip, jadi kalau misalnya pelayan itu selain dia dapat gaji. Kalau dilayani untuk suatu yang lebih cepat itu kelihatannya boleh ya, saya tidak tahu persis mengapa. Tapi kalau di Restoran itu aturannya 10%, kalau puas itu tambah lagi 5%, itu sebagai jasa atau servis. Ini kita harus menentukan kedepannya, para pemimpin dan masyarakat, kita mau budaya yang seperti Jepang, strict, tidak mau terima sama sekali. Atau kita anggap itu sah dan etis saja menerima itu, karena ada pelayanan yang lebih dari pada normal, dan sangat memuaskan. Kita sekarang di dalam era yang abu-abu, apa kita mau seperti bangsa epang yang karena kebanggan tidak mau sama sekali secara etis, atau kita mau seperti bangsa Amerika yang menerima itu sebagai aturan tidak tertulis, itu saja. Kedepan kita harus tegas mengenai itu. Host : Nah, dalam rangka membangun budaya anti korupsi, mana diantara dua pilihan ini yang paling pas dengan kondisi negara ini luar bisa menghadapi masalah besar korupsi? Frans Hendra Winarta: Ini pendapat saya ya, bukan Komisi Hukum Nasional. Host : Silahkan Bapak, boleh Pak. Hahaaa Frans Hendra Winarta: Kalau saya, kalau kita memang mau memerangi korupsi secara tuntas dan lebih cepat. Kita harus poting generasi. Mulai sekarang kita bilang, berapapun jumlahnya tidak boleh, apalagi dia pejabat publik ya. Host : Untuk membiasakan semua orang? Frans Hendra Winarta: Ya, itu dimulai dari sekolah, kalau menurut saya. Jadi mungkin kalau resminya, pejabat publik, penyelenggara budaya. Tapi kalau secara budaya, saya kira sejak taman kanak-kanak, karakter anti korupsi harus ditanamkan dari kecil. Saya pernah membela suatu perkara, seorang profesor dari perguruan tinggi negeri. Dan ketika perkara itu jalan, maaf saya gak menyebut namanya, dia diamdiam ngasih uang sebagai tanda terimakasi. Ada yang sebelum putusan, ada yang
sesudah putusan. Ketika saya protes, profesor itu bilang “ya, sebagai tanda terimakasih.” Uang lelah, uang keringat, uang dengar. Kan kalau ada yang transaksi di depan kita, kita bilang uang dengar. Padahal kita tidak punya jasa apapun juga, Pak. Host : Cuma karena kebetulan ada saja. Frans Hendra Winarta: Ini kan sudah budaya tertanam di kita, uang dengar, uang lelah, uang rokok. Itu semuanya saya kira dimulai dari situ timbulnya korupsi. Sekali, dua kali tidak ketahuan, ketiga kali mulai merasakan enak, makin lama makin besar maik enak. Lama-lama jadi karakter seseorang. Host: Kalau gak dikasih marah ya? Baik, gimana Bang Jeremiah, pendapat Anda? Jeremiah Limbong: Ya, saya setuju kata Pak Frans tadi, bahwasanya di sekolah. Di sekolah bahkan sudah terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Pak Giri, kalau betul di sekolah negeri itu akan jadi gratifikasi. Nah ini, karena bahkan dari sekolah, itu sudah ada. Tujuannya itu apa? Ya, memang perlu ada penelitian lebih lanjut. Tapi orang tua kan supaya anaknya baik-baik disitu. Mungkin ada keinginan dari orang tua, ucapan terimakasih karena sudah mendidik anaknya selama ini. Tapi memang kalau kita lihat bahwasanya orang tua jangan memberikan itu. Memang kita perlu mengapresiasi guru, tapi kan bisa dengan cara yang lain, jangan memberikan cendramata gratifikasi. Karena orang tua secara tidak langsung akan memberikan contoh bagi anaknya. Host : Nanti kalau besarnya akan begitu ya? Kalau mau dapat pelayanan oke harus begitu ya? Jeremiah Limbong: Tanpa disadari akan begitu. Karena itu sudah dari sekolah, dan entri budaya kita itu dari sekolah. Kalau seandainya gratifikasi sudah dimulaidari sekolah, pasti akan jadi budaya Host : Baik, kami masih akan bersama Anda. Dan di bagian segmen berikutnya, saya ingin membuka segmen pertanyan dari sini. Dan juga akan membacakan pesan singkat, Pak Giri nanti kita lanjutkan perbincangan setelah pesan-pesan berikut ini. IKLAN
Host: Kami masih mengupas modus gratifikasi pejabat negara dalam perbincangan dialog hukum persembahan Komisi Hukum Nasional. Ada pertanyaan dari sini? Bapak boleh sebut nama dan lembaganya? AU1: Pertanyaan dan mungkin komentar. Ini kita bicara gratifikasi pejabat negara, kaitan kasus barang kali Sekjen MA. Nah itu ada dua hal memang, masalahnya di negara kita ini, terutama orang-orang yang berduit, mantan pejabat ini sudah jadi tradisi memberikan souvenir kalau mengadakan suatu pesta. Jadi yang diberikan ini kan suatu souvenir, tapi yang diundang ini kan pejabat negara yang mungkin saja atasan dari yang pemangku hajat dan juga masyarakat umum. Jadi menurut pendapat saya, ya ini juga mohon bertanya pada Pak Frans selaku narasumber. Saya pikir kalau masyarakat jelas tidak ada untungnya. Saya dari Tapanuli, Logan Siagian dari Kompolnas. Ada pepatah turun temurun dari nenek moyang kita, orang Batak, yang terjemahan dalam bahasa Indonesia “sakit ditolak meminta, tapi lebih sakit ditolak memberi”. Apalagi kepada atasan kita, kita memberi dan ditolak itu luar biasa sakitnya. Nah, jadi kepada pejabat negara yang juga diundang, katakanlah Ketua MA, bahkan mungkin Presiden, saya tidak tahu kepala negara kita datang atau tidak. Kalau ditolak kan paling tidak enak. Yang kedua, pertanyaan untuk pemangku hajat. Ini jadi masalah, terus terang saja, saya jadi Polisi sudah dari tahun 1970. Saya mengalami ketika orde baru, ada instruksi presiden. Kalau pejabat negara mengadakan pesta, undangannya dibatasi, kalau tidak salah tidak boleh lebih dari 500. Ada lagi instruksi, tidak boleh menerima karangan bunga. Coba sekarang kalau kita lihat ada pesta, ada 200 karangan bunga, kali 500.000 saja itu sudah 100 juta. Ini saja sudah jadi problem. Jadi pertanyaan kami, menurut kami kalau tidak memberi pada pejabat tertentu itu boleh? Dan kedua, saya kira maksud Pak Sekjen ini, kan beliau punya rejeki, dibagi-bagi lah. Kan sebenarnya kalau yang diundang kan memberikan pengantin amplop, iya kan? Jadi ini yang jadi masalah. Untuk itu kami sarankan kepada pimpinan negara, memberikan lagi instruksi kepada pejabat yang mengadakan hajat itu dibatasilah, baik. Host: Baik, Pak Logan, langsung ya usulannya. Pak Frans, silahkan tanggapannya. Nanti saya minta Pak Giri juga tanggapannya. Silahkan Pak Frans. Soal ini kan soal budaya juga ya, sakit rasanya kalau ngasih tapi ditolak.
Frans Hendra Winarta: Inilah kalau kita budayanya masih seperti ini. Kita ini feodalistik, semi feofdalistik, atau demokratis? Itu tidak akan ada habisnya. Tapi kalau kita lihat Pak Logan katakan dari undangan yang beribu-ribu, saya kira itu apa bedanya sih? Saya kira ini budaya feodal, budaya pamer. Kalau misalnya pejabat tidak undang 4000-5000 orang kayaknya kurang afdol, gengsi turun. Untuk supaya nanti di kampung saya terkenal kaya, undangan saya buat 5000 orang. Hahaha ..Kalau bisa di Convention Hall, dari pagi sampai malam, diterima terus undangannya. Pernah waktu itu, undangan nikah, maaf saya diberikan hadiah, semacam cincin swarlosky, satu itu 500$ per orang. Kalau saya gak salah denger, konglomerat yang lari ke luar negeri, itu semua datang dikasih cincin emas, lalu pesawat dan penginapan 3 malam yang dijamin. Ini bedanya apa dengan raja-raja jaman dulu. Jadi orang mencoba meniru untuk menjelaskan kesuksesannya dalam satu jabatan, katakanlah sekarang ini kasusnya pejabat. Jadi untuk membuktikan di kampung dia kalau dia sukses, dengan pesta besarbesaran dan diberikan hadiah yang juga bernilai juta-jutaan. Inilah yang harus dikurangi dengan inpres supaya pejabat gak pesta besar-besar. Host : Jadi harus ada semacam aturan atau policy yang mengatur itu ya? Frans Hendra Winarta: Kan sudah dari jaman orde baru. Hidup sederhana lah. Tapi kembali lagi ke feodalistik, supaya terlihat kaya, terlihat wah, supaya dikenal sebagai orang yang sudah sukses. Host : Baik. Pak Giri masih bersama kita ya? Pak Giri tolong Anda memberikan komentar, dan saya juga ingin dengar tentang disamping rule of law perlu juga rule of moral. Silahkan Pak Giri. Giri Suprapdiono : Jadi memang, kayaknya Pak Logan ini tahu tentang pola hidup sederhana. Walaupun ini peninggalan jaman Pak Harto, tapi intinya menarik karena pernikahan dibatasi undangannya. Jadi memang ada positif, negatif dari Pak Harto. “Saya gaji kecil kamu, sisanya cari sendiri.” Cari sendiri inilah yang kemudian menghalalkan gratifikasi. Rakyat kita itu punya apresiasi yang sangat tinggi. Suka memberi sesuatu padahal itu dilarang oleh undang-undang. Jadi memang pola hidu sederhana itu perlu kita jual lagi dengan kemasan yang lebih bagus. Saya kembali kepada budaya. Kita pilih model Amerika atau model Jepang. Amerika yang memberikan tambahan jika service 10% itu hanya yang dari
swasta, pelayan hotel, restaurant, tapi kalau pekerja pemerintah, pegawai negeri Amerika dilarang menerima terkait layanan apapun. Dan, ini sangat ketat. Host: Baik. Giri Suprapdiono : Ada satu yang menarik, nih mba. Saya baca di Korea. Korea itu pegawai, pejabat, kalau bikin acara kawinan itu dilarang, kecuali hanya pengunguman. Itu kan terkait etikanya. Host: Sampai detail ya, perkara pernikahan juga diatur. Giri Suprapdiono : Betul. Host: Baik. Giri Suprapdiono : KPK memberikan peraturan sumbangan maksimal 1juta rupiah. Host: Tapi belum mengatur soal sumbangan itu dari orang menyelenggarakan pernikahan ya?
yang
Giri Suprapdiono : Ya, karena memang sudut pandangnya penerima. Host: Baik, terimakasih Pak Giri. Sebenarnya kami ingin berbincang lebih jauh dengan Anda, tapi suara Anda agak kurang jelas. Nanti kita akan sambung kembali. Dan saudara, kami akan mengajak Anda mendengarkan pesan-pesan berikut ini, tapi sebelumnya saya ingin membacakan sms yang masuk. Dari Laras di Bekasi, dia mengatakan “ dulu ada paket umroh untuk pejabat. Jelas praktik gratifikasi. Mereka pikir, Tuhan bisa ditipu, umroh, haji pake uang begituan.” Terimakasih Laras. IKLAN Host: Anda masih bersama kami dalam dialog hukum KHN, masih bersama saya Vivie Zabkie. Pak Giri masih bersama kita kembali. Saya mau ke Bang Jeremiah. Dengan perbincangan kita, apakah memang sudah saatnya kita juga membuat aturan-aturan untuk pegawai kita, seperti yang dicontohkan Pak Giri, di Korea pejabat negara nikah pun gak boleh undang orang, bahkan cukup pengunguman saja. Untuk kondisi kita apa perlu begitu?
Jeremiah Limbong: Em, sebenarnya ini masih ada perdebatan, karena kita gak bisa pungkiri ada benturan budaya antara yang ada dengan peraturan nantinya. Nah, ini yang harus kita sama-sama pikirkan bersama, jadi pr buat kita semua. Gimana caranya? Karena memang tadi disatu sisi, kita harus menegakkan peraturan terkait gratifikasi, tapi disisi lain ada celah-celah atau bentu budaya yang ada dalam berbagai suku. Kalau kita gak ngasih, jangankan gak ngasih, gak ngundang saja udah dikucilkan satu keluarga. Nah, itu yang harus jadi kajian kita bersama. Terkait dengan gratifikasi ini juga, memang kita senang melaporkan mekanisme laporan harta pejabat negara yang memang selama ini diselenggarakan oleh KPK. Bagaimana pelaporan itu secara kontinu, karna untuk mencegah gratifikasigratifikasi. Nah, itu yang harus kita, kalau bisa sih LHKPN itu belum masuk kepada bukti otentik negara. Host: Atau ada juga yang ingin mengusulkan katanya jangan 5 tahunan, tapi lebih cepat lagi, tiap tahun misalnya? Berpengaruh gak untuk memantau korupsi, gratifikasi dan sebagainya? Jeremiah Limbong: Pada dasarnya kalau mekanime yang berkembang yaitu pelaporan pada masa awal dan masa akhir, ya 5 tahun. Kalau PNS itu pada masa promosi, mutasi. Nah kalau untuk pejabat negara, KPK memang sudah berkomunikasi bahwasanya PPATKL juga sudah memonitor itu. Host : Baik, langsung kita tanya ya. Pak Giri bersama kita. Pak, bagaimana upaya pencegahannya Pak? Bisa dengan LHKPN yang dipercepat, misalnya jangan 5 tahunan , jadi lebih sering gitu. Bagimana Pak? Giri Suprapdiono : LHKPN itu maksimal 2 tahun harus diperbaharui. Kita tergantung dengan promosi. Jadi kala misalnya promosi 6 bulan ya harus lapor lagi Host: Tapi ini cukup efektif gak? Untuk memonitor orang terima gratifikasi atau suap? Giri Suprapdiono : Sayangnya undang-undang tentang LHKPN, sanksinya gak terlalu kuat. Jadi nanti sanksi pemalsuannya yang masuk ranah pidana umum jadi bukan kasus korupsi. Namun ada yang menarik, kalau kita tarik LHKPN ini dan pendekatan gratifikasi, misalnya dapat hibah dari man, maka gratifikasi memungkinkan pembuktian terbalik. Ini yang menarik. Kalau hadiahnya diatas
10 juta rupiah, maka yang bersangkutan harus membuktikan itu bukan berasal dari suap. Jadi kalau ada orang ribut tentang pembuktian terbalik, pasal-pasal sekarang itu memungkinkan dengan pasal gratifiksi. Yang kedua, yang cukupn efektif adalah pasal 38 B, bahwa harta terdakwa yang diluar yang dituntu jaksa harus dibuktikan oleh yang bersangkutan bukan berasal dari tindak pidana korupsi, sehingga memang itu mirip dengan tindak pidana pencucian uang. Jadi orang boleh kaya, boleh nyuri tapi dia pada akhirnya kan dibuktikan di pengadilan, kalau harta itu tidak sah dan akan dikembalikan ke negara, seperti kejadian terakhir-terakhir ini. Host: Baik, Pak Giri terimakasih banyak sudah bergabung bersama kami, waktu nampaknya membatasi perbincangan kita. Terimakasih sudah mengirimkan film yang akan kami tonton di perbincangan ini. Pak Frans, diujung perbincangan ini mungkin masih ada yang mau disampaikan terkait modus gratifikasi pejabat negara? Apa sih yang harus dipahami oleh masyarakat, diwaspadai dan perubahan apa yang hrusnya kita lakukan? Frans Hendra Winarta: Jadi saya melihat singkatnya, kita harus hadapi gratifikasi ini sebagai suatu budaya, sebagai suatu yang melanggar hukum dan sebagai etika. Jadi dihadapinya harus triga font ini. Dan jangka panjangnya adalah budaya. Dari kecil kita harus sudah anti korupsi. Yang kedua adalah hukum, dengan pasal-pasal yang tadi dijelaskan, gratifikasi bisa dituntut. Yang ketiga itu etika, moral, itu yang lebih penting menurut saya , karena dari situ ada rem untuk diri kita. Karena pengawasan yang paling baik untuk mencegah korupsi dan kejahatan itu ada di diri sendiri. Kalau kita sudah tahu mana yang benar dan tidak, itu yang paling baik menurut saya. Dan itu karena sudah didik dari kecil, ini menjadi otomatis, karena ini tidak baik, maka saya tidak akan melakukan ini. Memerangi budaya inilah yang paling sulit ketimbang hukum dan etika. Pendidikan ini yang penting. Nah, ini yang saya lihat di Jepang dan Korea, yang langsung mereka menolak tanpa kompromi, jadi kebanggan diri, kebanggan bangsa itulah yang penting menurut mereka. Nasionalisme ini yang harus kita canangkan ke depan Host : Baik, Pak Frans terimakasih banyak. Terimakasih banyak juga untuk Bang Jeremiah, Untuk anda yang hadir disini. Untuk Pak Giri juga. Demikianlah diskusi hukum kerjasama KHN dan KBR68 H. Setelah ini kami akan menonton film dari KPK tentang gratifikasi. Selamat siang.